Laporan Praktikum Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid

29
LAPORAN PRAKTIKUM IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOID

description

Senyawa flavonoid yang ada di dalam tanaman dapat dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode KLT

Transcript of Laporan Praktikum Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid

LAPORAN PRAKTIKUM IDENTIFIKASI SENYAWA GOLONGAN FLAVONOID

BAB IPENDAHULUAN1.1. Tujuan Diharapkan setelah melakukan praktikum ini mahasiswa mampu nelakukan identifikasi senyawa flavonoid pada tanaman yang digunakan dalam sistem pengobatan1.2 Dasar teori 1.2.1. Flavonoid Secara UmumSenyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa-senyawa polifenol yang mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon. Senyawa-senyawa flavonoid adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa isoflavonoid adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa neoflavonoid adalah 1,1 diaril propana. Istilah flavonoid diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon; suatu jembatan oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi yang berbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawa-senyawa ini. (Manitto, 1981)Senyawa flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Kebanyakan flavonoid ini berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Namun ada juga flavonoid yng terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi lebah. Dalam sayap kupu - kupu dengan anggapan bahwa flavonoid berasal dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoid pada golongan tumbuhan yang tersebar yaitu angiospermae, klorofita, fungi, briofita. (Markham, 1988)

1.2.2 Struktur dasar senyawa flavonoidSenyawa flavonoid adalah senyawa yang mengandung C15 terdiri atas dua inti fenolat yang dihubungkan dengan tiga satuan karbon. Struktur dasar flavonoid dapat digambarkan sebagai berikut :

Cincin A adalah karakteristik phloroglusinol atau bentuk resorsinol tersubstitusi.

Namun sering terhidroksilasi lebih lanjut :

Cincin B adalah karakteristik 4-, 3,4-, 3,4,5- terhidroksilasi

R=R=H, R=OHR=H, R=R=OHR=R=R=OH (juga R=R=R=H) (Sostrohamidjojo,1996)2.2.2. Klasifikasi Senyawa FlavonoidFlavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga menunjukkan pita serapan kuat pada daerah spektrum sinar ultraviolet dan spektrum sinar tampak, umumnya dalam tumbuhan terikat pada gula yang disebut dengan glikosida(Harborne, 1996).Pada flavonoida O-glikosida, satu gugus hidroksil flavonoid (atau lebih) terikat pada satu gula (lebih) dengan ikatan yang tahan asam. Glukosa merupakan gula yang paling umum terlibat dan gula lain yang sering juga terdapat adalah galaktosa, ramnosa, silosa, arabinosa, dan rutinosa. Waktu yang diperlukan untuk memutuskan suatu gula dari suatu flavonoid O-glukosida dengan hidrolisis asam ditentukan oleh sifat gula tersebut.Pada flavonoid C-glikosida, gula terikat pada atom karbon flavonoid dan dalam hal ini gula tersebut terikat langsung pada inti benzena dengan suatu ikatan karbon-karbon yang tahan asam. Gula yang terikat pada atom C hanya ditemukan pada atom C nomor 6 dan 8 dalam inti flavonoid, misalnya pada orientin. (Markham, 1988).Menurut Robinson (1995), flavonoid dapat dikelompokkan berdasarkan keragaman pada rantai C3 yaitu :1. FlavonolFlavonol paling sering terdapat sebagai glikosida, biasanya 3-glikosida, dan aglikon flavonol yang umum yaitu kamferol, kuersetin, dan mirisetin yang berkhasiat sebagai antioksidan dan antiimflamasi. Flavonol lain yang terdapat di alam bebas kebanyakan merupakan variasi struktur sederhana dari flavonol. Larutan flavonol dalam suasana basa dioksidasi oleh udara tetapi tidak begitu cepat sehingga penggunaan basa pada pengerjaannya masih dapat dilakukan.

2. Flavon Flavon berbeda dengan flavonol dimana pada flavon tidak terdapat gugusan 3-hidroksi. Hal ini mempunyai serapan UV-nya, gerakan kromatografi, serta reaksi warnanya. Flavon terdapat juga sebagai glikosidanya lebih sedikit daripada jenis glikosida pada flavonol. Flavon yang paling umum dijumpai adalah apigenin dan luteolin. Luteolin merupakan zat warna yang pertama kali dipakai di Eropa. Jenis yang paling umum adalah 7-glukosida dan terdapat juga flavon yang terikat pada gula melalui ikatan karbon-karbon. Contohnya luteolin 8-C-glikosida. Flavon dianggap sebagai induk dalam nomenklatur kelompok senyawa flavonoid.

3. Isoflavon Isoflavon merupakan isomer flavon, tetapi jumlahnya sangat sedikit dan sebagai fitoaleksin yaitu senyawa pelindung yang terbentuk dalam tumbuhan sebagai pertahanan terhadap serangan penyakit. Isoflavon sukar dicirikan karena reaksinya tidak khas dengan pereaksi warna manapun. Beberapa isoflavon (misalnya daidzein) memberikan warna biru muda cemerlang dengan sinar UV bila diuapi amonia, tetapi kebanyakan yang lain tampak sebagai bercak lembayung yang pudar dengan amonia berubah menjadi coklat.

4. FlavanonFlavanon terdistribusi luas di alam. Flavanon terdapat di dalam kayu, daun dan bunga. Flavanon glikosida merupakan konstituen utama dari tanaman genus prenus dan buah jeruk; dua glikosida yang paling lazim adalah neringenin dan hesperitin, terdapat dalam buah anggur dan jeruk.

5. Flavanonol Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan dan hanya terdapat sedikit sekali jika dibandingkan dengan flavonoid lain. Sebagian besar senyawa ini diabaikan karena konsentrasinya rendah dan tidak berwarna.

6. KatekinKatekin terdapat pada seluruh dunia tumbuhan, terutama pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini mudah diperoleh dalam jumlah besar dari ekstrak kental Uncaria gambirdan daun teh kering yang mengandung kira-kira 30% senyawa ini. Katekin berkhasiat sebagai antioksidan.

7. Leukoantosianidin Leukoantosianidin merupakan senyawa tan warna, terutama terdapat pada tumbuhan berkayu. Senyawa ini jarang terdapat sebagai glikosida, contohnya melaksidin, apiferol.

8. Antosianin Antosianin merupakan pewarna yang paling penting dan paling tersebar luas dalam tumbuhan. Pigmen yang berwarna kuat dan larut dalam air ini adalah penyebab hampir semua warna merah jambu, merah marak , ungu, dan biru dalam daun, bunga, dan buah pada tumbuhan tinggi. Secara kimia semua antosianin merupakan turunan suatu struktur aromatik tunggal yaitu sianidin, dan semuanya terbentuk dari pigmen sianidin ini dengan penambahan atau pengurangan gugus hidroksil atau dengan metilasi atau glikosilasi.

9. Khalkon Khalkon adalah pigmen fenol kuning yang berwarna coklat kuat dengan sinar UV bila dikromatografi kertas. Aglikon flavon dapat dibedakan dari glikosidanya, karena hanya pigmen dalam bentuk glikosida yang dapat bergerak pada kromatografi kertas dalam pengembang air. (Harborne, 1996)

10. Auron Auron berupa pigmen kuning emas yang terdapat dalam bunga tertentu dan briofita. Dalam larutan basa senyawa ini berwarna merah ros dan tampak pada kromatografi kertas berupa bercak kuning, dengan sinar ultraviolet warna kuning kuat berubah menjadi merah jingga bila diberi uap amonia. (Robinson, 1995)

Menurut Harborne (1996), dikenal sekitar sepuluh kelas flavonoid dimana semua flavonoid, menurut strukturnya, merupakan turunan senyawa induk flavon dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang sama yakni:

1.2.3. Flavonoid pada Tanaman Psidium guajava Tanaman jambu biji (Psidium guajava) dalam sistematika dunia tumbuhan diklasifikasikan menjadi seperti di bawah ini: Divisio : Magnoliophyta Classis : Magnoliopsida Ordo : Myrtales Familia : Myrtaceae Genus : PsidiumSpessies : Psidium guajava, L. ( Cronquist, 1981). Menurut Taiz dan Zeiger (2002) metabolit sekunder yang dihasilkan tumbuhan merupakan bagian dari sistem pertahanan diri. Senyawa tersebut berperan sebagai pelindung dari serangan infeksi mikroba patogen dan mencegah pemakanan oleh herbivora. Metabolit sekunder dibedakan menjadi tiga kelompok besar yaitu terpen, fenolik, dan senyawa mengandung nitrogen terutama alkaloid.Tanin pada tanaman jambu biji dapat ditemukan pada bagian buah, daun dan kulit batang, sedangkan pada bunganya tidak banyak mengandung tanin. Daun tanaman jambu biji selain mengandung tanin, juga mengandung zat lainseperti asam ursolat, asam lat, asam guajaverin, minyak atsiri dan vitamin (Thomas, 1989). Daun-daun jambu biji memiliki kandungan zat-zat penyamak (psiditanin) sekitar 9%, minyak atsiri berwarna kehijauan yang mengandung eganol sekitar 0,4%, damar 3%, minyak lemak 6%, dan garam-garam mineral (Kartasapoetra, 2004). Bagian tanaman yang sering digunakan sebagai obat adalah daunnya, karena daunnya diketahui mengandung senyawa tanin 9-12%, minyak atsiri, minyak lemak dan asam malat (Depkes, 1989). Daun jambu biji mempunyai khasiat sebagai antidiare, astringen, sariawan dan menghentikan pendarahan. Sebagai obat anti diare telah dipasarkan dalam bentuk jamu modern atau pil, bahkan industri farmasi seperti Kimia Farma telah memformulasikan menjadi obat fitofarmaka yang sudah banyak beredar dipasaran dengan nama Fitodiar, produk lainnya dari pabrik Soho yaitu Diapet.Selain daunnya, buah jambu batu terutama dari jenis berwarna merah sering digunakan untuk mengobati penyakit demam berdarah. Sedangkan senyawa kimia yang terkandung didalam buah jambu adalah benzaldehid, D-ribosa, Larabinosa, D-ramnosa, D-glukosa, Dgalaktosa, D-fruktosa dan sukrosa Quersetin adalah senyawa golongan flavonoid jenis flavonol dan flavon, senyawa ini banyak terdapat pada tanaman famili myrtaceae dan solanacea. Telah dikenal sejumlah glikosida flavonol yaitu turunan dari quersetin , diantaranya adalah quersetin 3-L-rhamonoside atau quersitrin yang digunakan untuk pewarna tekstil, quersetin3-rutinoside yang biasa disebut rutin dan quersetin 3 glukoside atau isoquersitrin yang berkhasiat diantaranya untuk mengobati kerapuhan pembuluh kapiler pada manusia. Senyawa rutin terdapat dalam tanaman tembakau dari famili Solanaceae dan Eucalyptus macrorynh dari familia Myrtaceae (Harborne, 1987).1.2.4 Flavonoid Pada Tanaman Hibiscus sabdariffaGenus : HibiscusSpesies: Hibiscus sabdariffa L.Varietas :Hibicus sabdariffavar. sabdariffa L. Hibiscus sabdariffa var. ultissima Wes ter (Cronquist, 1981).

Rosella segar mengandung sangat tinggi vitamin C, selain itu Rosella juga kaya akan mineral seperti kalsium, phosphor, potassium dan zat besi yang sangat penting untuk tubuh. Kelopak bunga Rosella sangat berkhasiat sebagai antiinflamasi, antiseptik, antibakteri, astringent, analgetik dan anti kanker, anti oksidan tinggi, menurunkan kolesterol dan asam urat. Kelopak bunga Rosella memiliki khasiat tersebut karena memiliki kandungan bahan aktif, antara lain flavonoid, fenol atau polifenol , asam sitrat,saponin, tannin, anti oksidan seperti gossypeptin, anthocyanin, glucide hibiscin. Flavoid berfungsi menghambat pertumbuhan mikroorganisme, karena mampu membentuk senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hydrogen (Istudor dan Humadi, 2008).

1.2.5 Kromatografi Kromatografi merupakan suatu cara pemisahan fisik dengan unsur-unsur yang akan dipisahkan terdistribusikan antara dua fasa, satu dari fasa-fasa ini membentuk lapisan stasioner denagn luas permukaan yang besar dan yang lainnya merupakan cairan yang merembes lewat.Fasa stasioner mungkin suatu zat padat atau suatu cairan dan fasa yang bergerak mungkin suatu cairan atau suatu gas. (Underwood, 1981). Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat sifat dari fasa diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fasa diam berupa zat padat disebut kromatografi serapan, jika berupa zat cair disebut kromatografi partisi. Karena fasa gerak dapat berupa zat cair atau gas maka ada empat macam sistem kromatografi yaitu:1. Fasa gerak cairfasa diam padat (kromatografi serapan):a.kromatografi lapis tipisb.kromatografi penukar ion2.Fasa gerak gasfasa diam padat, yakni kromatografi gas padat3. Fasa gerak cairfasa diam cair (kromatografi partisi), yakni kromatografi kertas.4. Fasa gerak gasfasa diam zat cair, yakni :a. kromatografi gascairb. kromatografi kolom kapilerSemua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa senyawa yang dipisahkan terdistribusi diantara fasa gerak dan fasa diam dalam perbandingan yang sangat berbeda beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1991).

1.2.5.1 Kromatografi lapis tipisKromatografi Lapis Tipis pada plat berlapis yang berukuran lebih besar, biasanya 5x20 cm, 10x20 cm, atau 20x20 cm. Biasanya memerlukan waktu pengembangan 30 menit sampai satu jam. Pada hakikatnya KLT melibatkan dua fase yaitu fase diam atau sifat lapisan, dan fase gerak atau campuran pelarut pengembang. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang berfungsi sebagai permukaan penyerap atau penyangga untuk lapisan zat cair. Fase gerak dapat berupa hampir segala macam pelarut atau campuran pelarut. (Sudjadi, 1986).Pemisahan senyawa dengan Kromatografi Lapis Tipis seperti senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik dapat dilakukan dalam beberapa menit dengan alat yang harganya tidak terlalu mahal. Jumlah cuplikan beberapa mikrogram atau sebanyak 5 g dapat ditangani. Kelebihan KLT yang lain ialah pemakaian jumlah pelarut dan jumlah cuplikan yang sedikit. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode pemisahan yang cukup sederhana yaitu dengan menggunakan plat kaca yang dilapisi silika gel dengan menggunakan pelarut tertentu. (Gritter,1991). Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian senyawa flavonoid ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. Menurut Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan berikut:1. Mencari pelarut untuk kromatografi kolom2. Analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom3. Identifikasi flavonoid secara ko-kromatografi.4. Isolasi flavonoid murni skala kecil5. Penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi kertas (Markham, 1988).Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram besarnya dinyatakan dengan angka Rf atau hRf.

Angka Rf berjangka antara nol koma nol dan hanya ditentukan dua desimal. hRf adalah angka Rf dikalikan factor 100 (h),menghasilkan nilai berjangka nol sampai 100, tetapi karena angka Rf mempunyai fungsi sejumlah faktor, angka ini dianggap sebagai petunjuk saja, harga hRf lah yang dicantumkan untuk menunjukan letak suatu senyawa pada kromatogram (Stahl, 1985).

BAB IIMETODE2.1 Alat Bahan

2.2 Prosedur Kerja

BAB IIIHASIL

3.1 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid Pada Psidium guajavaHasil pengamatan pada bahan ekstrak Psidium guajava setelah diuapkan dengan penampak noda uap ammonia dihasilkan noda yang berwarna kuning. Dan diperoleh data berupa : a. Jarak noda dengan batas bawah: 6,3 cmb. Jarak antara batas bawah dan batas atas: 8 cmSehingga didapatkan nilai Rf sebesar : Rf = = 0,8

3.2 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid Pada Hibiscus sabdariffaHasil pengamatan pada bahan ekstrak Hibiscus sabdariffa setelah diamati dibawah lampu UV pada panjang gelombang 366 nm, noda tidak tampak dan hanya tampak garis yang berwarna biru. Dan diperoleh data berupa : a. Jarak noda dengan batas bawah: -b. Jarak antara batas bawah dan batas atas: 8 cmSehingga didapatkan nilai Rf sebesar : Rf = = -

BAB IVPEMBAHASAN

4.1 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid pada Psidium guajava4.1.1 Analisa ProsedurPada uji senyawa flavonoid ini digunakan ekstrak tanaman Psidium guajava. Ektrak ini ditimbang dalam cawan porselen sebanyak 30 mg dengan timbangan analitik. Setelah itu diukur metanol dengan gelas ukur sebanyak 3 ml, segera ditutup dengan alumunium foil agar metanol tidak menguap. Kemudian dimasukkan metanol ke dalam cawan berisi ektrak yang sudah ditimbang tadi untuk melarutkan ekstrak Psidium guajava. Pengadukan dilakukan dengan memakai batang pengaduk agar ekstrak cepat larut dalam metanol. Setelah ekstrak larut maka cawan tersebut ditutup dengan gelas arloji agar larutan ekstrak tidak cepat menguap. Langkah selanjutnya yaitu menyiapkan campuran eluen (fase gerak) dan pelat KLT untuk dilakukan proses kromatografi. Eluen yang digunakan berupa campuran n-butanol : asam asetat glasial : air= 4 : 1 : 5 dengan total volume 20 ml. Sehingga diambil n-butanol sebanyak 8 ml, asam asetat glasial sebanyak 2 ml, dan air sebanyak 10 ml. Semua zat tersebut diambil dengan gelas ukur dan segera ditutup dengan aluminium foil (untuk n-butanol dan asam asetat) karena baunya sangat menyengat. Mengambil asam asetat glasial dengan hati-hati (bila perlu menggunakan masker dan sarung tangan) karena senyawa ini bersifat asam yang sangat pekat dan berbahaya. Ketiga macam eluen ini kemudian dicampur di beaker glass hingga terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur. Ketika dua lapisan sudah terpisah dan terlihat dengan jelas, maka diambil lapisan atas dengan menggunakan pipet yang hasilnya akan digunakan sebagai eluen dan dimasukkan ke dalam chamber. Dimasukkan pula selembar kertas saring didalamnya lalu tutup rapat chamber dengan penutup kaca. Hal ini bertujuan agar chamber jenuh dengan uap eluen. Tingkat kejenuhan chamber ditandai dengan terbasahinya seluruh kertas saring. Selagi menunggu chamber jenuh, disiapkan pelat KLT (silica gel) dan diberi garis dengan pensil yaitu batas bawah 1,5 cm dan batas atas 0,5 cm. Kemudian dibuat titik tengah pada garis batas bawah dan ditotolkan sebanyak dua totol larutan ekstrak Psidium guajava pada titik tersebut dengan pipa kapiler membentuk spot noda. Selanjutnya masukkan plat ke dalam chamber berisi eluen yang sudah jenuh menggunakan pinset agar sidik jari tidak menyentuh lapisan silika pada pelat. Tutup kembali chamber agar proses eluasi berlangsung dengan optimal. Setelah fase gerak mencapai batas atas plat, maka plat KLT segera diambil dan dikeringkan kedalam lemari asam. Setelah itu diamati hasil noda yang muncul secara visual dengan bantuan penampak noda uap ammonia karena flavonoid tidak terlihat dengan pengamatan biasa. Plat KLT diuapkan dengan ammonia secara merata ke seluruh permukaan plat. Perlahan-lahan noda akan tampak berwarna kuning. Segera noda yang terlihat tersebut ditandai dengan pensil karena noda yang terlihat tadi cepat hilang bila uap ammonianya mengering. Setelah noda ditandai maka dilakukan perhitungan Rf. 4.1.2 Analisa HasilPada percobaan identifikasi senyawa golongan flavonoid pada Psidium guajava didapatkan noda yang berwarna kuning setelah diuapkan dengan ammonia. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada tanaman Psidium guajava mengandung senyawa flavonoid golongan quersetin. Menurut pustaka, ekstrak daun jambu (Psidium guajava) mengandung flavonoid , terutama turunan dari quercetin (kuersetin) yang termasuk golongan falavon dalam flavonoid. Quercetin teridentifikasi dengan baik berwarna kuning pada TLC (Thin Layer Chromatography). Kadar quersetin dalam daun jambu biji adalah 0,081% sampai 0,393% (El Sohafy, 2009).Selain itu noda yang tampak pada pelat bukanlah noda tunggal, melainkan seperti tailing yang panjang dengan gradasi warna kuning. Hal ini disebabkan karena senyawa flavonoid dalam daun jambu banyak sekali macamnya yang berupa derivate kuersetin seperti, quercetin, avicularin, guaijaverin, isoquercetin, hyperin, quercitrin, quercetin 3-0 - gentiobioside, dan quercetin 4'-glucuronoide (El Sohafy, 2009). Dan dari perhitungan nilai Rf pada noda yang terlihat paling jelas (paling atas) adalah sebesar 0,8. Kuersetin standar memiliki nilai Rf sebesar 0,8 (Fajar, 2011). Sehingga jika dibandingkan nilai Rf yang dihasilkan setelah praktikum dengan pustaka, Rf yang dihasilkan saat praktikum sesuai dengan pustaka.

4.1 Identifikasi Senyawa Golongan Flavonoid pada Hibiscus sabdariffa4.1.1 Analisa ProsedurPada uji senyawa flavonoid yang kedua digunakan ekstrak tanaman Hibiscus sabdariffa. Ektrak ini ditimbang dalam cawan porselen sebanyak 30 mg dengan timbangan analitik. Setelah itu diukur metanol dengan gelas ukur sebanyak 3 ml, segera ditutup dengan alumunium foil agar metanol tidak menguap. Kemudian dimasukkan metanol ke dalam cawan berisi ektrak yang sudah ditimbang tadi untuk melarutkan ekstrak Psidium guajava. Pengadukan dilakukan dengan memakai batang pengaduk agar ekstrak cepat larut dalam metanol. Setelah ekstrak larut maka cawan tersebut ditutup dengan gelas arloji agar larutan ekstrak tidak cepat menguap. Langkah selanjutnya yaitu menyiapkan campuran eluen (fase gerak) dan pelat KLT untuk dilakukan proses kromatografi. Eluen yang digunakan berupa campuran n-butanol : asam asetat glasial : air= 5 : 1 : 2 dengan total volume 20 ml. Sehingga diambil n-butanol sebanyak 12,5 ml, asam asetat glasial sebanyak 2,5 ml, dan air sebanyak 5 ml. Semua zat tersebut diambil dengan gelas ukur dan segera ditutup dengan aluminium foil (untuk n-butanol dan asam asetat) karena baunya sangat menyengat. Mengambil asam asetat glasial dengan hati-hati (bila perlu menggunakan masker dan sarung tangan) karena senyawa ini bersifat asam yang sangat pekat dan berbahaya. Ketiga macam eluen ini kemudian dicampur di beaker glass hingga terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur. Ketika dua lapisan sudah terpisah dan terlihat dengan jelas, maka diambil lapisan atas dengan menggunakan pipet yang hasilnya akan digunakan sebagai eluen dan dimasukkan ke dalam chamber. Dimasukkan pula selembar kertas saring didalamnya lalu tutup rapat chamber dengan penutup kaca. Hal ini bertujuan agar chamber jenuh dengan uap eluen. Tingkat kejenuhan chamber ditandai dengan terbasahinya seluruh kertas saring. Selagi menunggu chamber jenuh, disiapkan pelat KLT (silica gel) dan diberi garis dengan pensil yaitu batas bawah 1,5 cm dan batas atas 0,5 cm. Kemudian dibuat titik tengah pada garis batas bawah dan ditotolkan sebanyak dua totol larutan ekstrak Hibiscus sabdariffa pada titik tersebut dengan pipa kapiler membentuk spot noda. Selanjutnya masukkan plat ke dalam chamber berisi eluen yang sudah jenuh menggunakan pinset agar sidik jari tidak menyentuh lapisan silika pada pelat. Tutup kembali chamber agar proses eluasi berlangsung dengan optimal. Setelah fase gerak mencapai batas atas plat, maka plat KLT segera diambil dan dikeringkan kedalam lemari asam. Setelah itu diamati hasil noda yang muncul secara visual dengan bantuan penampak noda uap ammonia karena flavonoid tidak terlihat dengan pengamatan biasa. Plat KLT diuapkan dengan ammonia secara merata ke seluruh permukaan plat. Perlahan-lahan noda akan tampak berwarna kuning. Segera noda yang terlihat tersebut ditandai dengan pensil karena noda yang terlihat tadi cepat hilang bila uap ammonianya mengering. Setelah noda ditandai maka dilakukan perhitungan Rf. 4.1.2 Analisa HasilPada percobaan identifikasi senyawa golongan flavonoid pada Hibiscus sabdariffa tidak tampak noda yang berwarna biru pada saat diamati dibawah sinar UV pada panjang gelombang 366 nm, namun hanya tampak garis biru (terbentuk tailing). Tailing merupakan gangguan dalam analisa kromatografi berupa pembentukan ekor pada plat sehingga tidak dapat diamati bercak noda secara jelas. Terlalu banyak sampel yang ditempelkan menimbulkan suatu kondisi yang dinamakan tailing atau munculnya ekor. Tailing atau ekor disebabkan oleh aftinitas mol zat pada bahan penyerap yang lebih besar dibandingkan dengan kemampuan fase gerak untuk membawa zat- zat tersebut sehingga banyak bagian dari zat tersebut yang akan tertinggal di fase diam. Namun tailing dapat diatasi dengan cara melarutkan kembali zat- zat yang terserap kuat pada fase diam dengan asam atau dengan melakukan elusi secara bertahap dengan fase gerak yang semakin polar. Pemakaian fase gerak yang semakin polar akan berdampak pada perambatan fase yang semakin cepat. Namun apabila fase diam yang digunakan bersifat sangat polar justru akan memperlambat perambatan zat (Sudarmadji, 2007). Tailing yang terjadi pada percobaan ini disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam penotolan sampel. Sampel yang ditotolkan terlalu lebar sehingga muncul garis lurus seperti ekor berwarna biru (tailing).

BAB IVPENUTUP4.1 Kesimpulan Dari hasil percobaan didiapatkan bahwa psidium guajava mempunyai kandungan flavonoid. Pada psidium guajava dihasilkan senyawa quersetin yang termasuk golongan falavon dalam flavonoid yang terbukti dengan noda tampak yang berwarna kuning. Sedangkan pada hibiscus sabdarifa tidak nampak noda karena terjadinya tailing. Tailing yang terjadi pada percobaan ini disebabkan oleh kesalahan praktikan dalam penotolan sampel. Sampel yang ditotolkan terlalu lebar sehingga muncul garis lurus seperti ekor berwarna biru (tailing).

DAFTAR PUSTAKAA.N.S., Thomas, 1989,Tanaman Obat Tradisional, . Kelompok Gramedia, Jakarta.Cronquist, A. (1981). An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York : Columbia University Press. Depkes RI. (1989). Materia Medika Indonesia. Jilid V. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat Dan Makanan.El Sohafy, S.M., Metwalli, A.M., Harraz, F.M., and Omar, A.A., 2009, Quantification of flavonoids of Psidium guajava L. preparations by planar chromatography (HPTLC), Phcog Mag., 4(17), 61-66Fajar, Mohammad. 2011. Pengaruh Perbedaan Metode Ekstraksi terhadap Aktifitas Antioksidan Ekstrak etanol Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) Berdaging Buah Putih. Universitas Islam Bandung : BandungGritter, R. J. 1991. Pengantar Kromatografi Terbitan ke - 2.Terjemahan Kosasih Padmawinata. ITB. Bandung.Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia. Penuntun Cara Modern MenganalisaTumbuhan, Terjemahan K. Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB PressHasanah,formulation lazonge of guava leaves (psidium guaval.)containing flavonoids with a combination of excipients mannitol sucrose; 2013;jogjakarta;ugm press.Istudor, V., dan Humadi, S.S. (2008). Quantitative Analysis of Bio-Active Compound in Hibiscus sabdariffa L. Extracts. Note I Quantitative analysis of flavonoids. Farmacia.Kartasapoetra, G. 2004. Budidaya Tanaman Berkhasiat Obat. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.Manitto, P. (1981). Biosintesis Produk Alami. Terjemahan Koesmardiyah. Cetakan Pertama. Penerbit IKIP. Semarang. 381-382. Markham, K.R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Terjemahan K.Padmawinata. ITB Press. Bandung . 23-24, 42-43.Robinson, T. (1995).Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi keenam. Terjemahan K. Padmawinata. ITB. Bandung.191-192, 195-197. Sastrohamidjojo, H. 1991.Kromatografi Edisi ke-1. Penerbit Liberty. Yogyakarta.Stahl, E., 1985, Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, Penerbit ITB, Bandung.Sudarmadji, S. 1989.Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta : Liberti. Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi, 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Penerbit Liberty: Yogyakarta.Sudjadi. 1986. Metode Pemisahan. Kanisius. Yogyakarta.Taiz, Lincoln dan Eduardo Zeiger. 2002. Plant Physiology Third Edition. Massachusetts: Sinauer Associates, Inc., Publisher.Underwood, A. L. 1981. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi ke-4. Erlangga. Jakarta.