Laporan Perekonomian Indonesia 2000

290
BANK INDONESIA LAPORAN TAHUNAN 2000

description

Laporan perekonomian Indonesia tahun 2000 yang dikeluarkan Bank Indonesia.

Transcript of Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Page 1: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

BANK INDONESIA

LAPORANTAHUNAN 2000

Page 2: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

LAPORANTAHUNAN

2 0 0 0BANK INDONESIA

ISSN 0522 – 2575

Page 3: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

i

Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data

r Angka diperbaiki

* Angka sementara

** Angka sangat sementara

. . . Angka belum tersedia

- Angka tidak ada

x Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain

- - Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir

$ (dolar) Dolar Amerika Serikat

Periode laporan adalah 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2000.

Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.

Page 4: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xi

Anwar NasutionDeputi Gubernur Senior

Aulia PohanDeputi Gubernur

AchwanDeputi Gubernur

Achjar IljasDeputi Gubernur

Burhanuddin AbdullahDeputi Gubernur

Syahril SabirinGubernur

Miranda S. GoeltomDeputi Gubernur

Dewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaPada Tanggal 31 Desember 2000

Page 5: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xii

GUBERNURBANK INDONESIA

Kata Pengantar

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2000 tersaji

ke hadapan pembaca. Sebagaimana dalam tiap tahun sebelumnya, Laporan Tahunan Bank Indone-

sia merupakan salah satu wujud akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.

Laporan ini juga menguraikan berbagai perkembangan penting dalam perekonomian Indonesia serta

berbagai faktor yang mempengaruhinya selama tahun laporan. Di samping itu, prospek dan arah

kebijakan ke depan merupakan bagian yang penting pula dari Laporan Tahunan Bank Indonesia ini.

Laporan Tahunan Bank Indonesia untuk periode laporan tahun 2000 ini memiliki nuansa khusus

karena tahun 2000 merupakan tahun-penuh bagi Bank Indonesia bekerja berdasarkan Undang-Undang

No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sebagaimana diketahui, Undang-undang ini telah

memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terfokus ke arah

kestabilan nilai rupiah dengan diperkuat oleh elemen independensi dan akuntabilitas secara seimbang.

Sebagai wujud dari pelaksanaan tugasnya tersebut, pada awal tahun 2000 Bank Indonesia telah

mengumumkan sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam tahun 2000, yakni antara 3,0% sampai 5,0%,

di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Hal ini dilakukan mengingat

karakteristik inflasi di Indonesia yang juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar moneter, seperti

halnya kebijakan Pemerintah mengenai administered prices – yaitu harga barang-barang dan jasa-jasa

yang ditentukan oleh Pemerintah – dan gaji pegawai negeri maupun perkembangan di sisi penawaran.

Untuk ini Bank Indonesia telah pula mengeluarkan prakiraan mengenai dampak dari rencana kebijakan

Pemerintah tersebut selama tahun laporan.

Dari sisi operasional pencapaian sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia telah mengumumkan

besaran pertumbuhan uang primer yang akan dijadikan acuan dalam tahun laporan. Rencana

pertumbuhan uang primer ini dibuat dengan memperhitungkan berbagai asumsi penting yang

mempengaruhinya seperti laju pertumbuhan ekonomi, perkembangan nilai tukar, maupun

Page 6: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xiii

perkembangan keuangan Pemerintah. Di samping itu terdapat juga satu asumsi yang mensyaratkan

adanya kestabilan sosial politik yang sangat penting bagi pemulihan kepercayaan terhadap

perekonomian nasional. Di awal tahun berbagai asumsi ini dirasakan cukup realistis mengingat tingkat

perkembangan harga yang sangat rendah dalam tahun 1999, pertumbuhan ekonomi yang masih

memiliki ruang gerak yang lebih tinggi karena baru bertumpu pada sektor konsumsi serta tersiratnya

nuansa optimisme terhadap kondisi sosial politik sehubungan dengan terpilihnya Pemerintah yang baru.

Sementara itu laju pertumbuhan perekonomian dunia yang tinggi memberikan peluang akan

membaiknya kinerja sektor eksternal Indonesia.

Perkembangan selama tahun 2000 menunjukkan terjadinya beberapa perubahan asumsi yang

cukup signifikan. Terdapat perubahan asumsi yang menggembirakan seperti laju pertumbuhan ekonomi

yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan awal. Namun ada juga perubahan asumsi yang kurang

menggembirakan seperti tekanan inflasi yang meningkat, nilai tukar rupiah yang melemah dan kondisi

sosial politik yang kurang menguntungkan untuk perekonomian.

Dalam kondisi ini, Bank Indonesia dituntut untuk melakukan respon kebijakan moneter yang bersifat

memaksimalkan perkembangan yang positif sementara menekan seminimal mungkin risiko yang ada.

Kita patut bersyukur bahwa dalam tahun 2000 laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai cukup tinggi,

yang ditunjang pula oleh perbaikan kinerja ekspor dan investasi. Bagi Indonesia yang sedang berusaha

memulihkan diri dari krisis, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini menunjukkan percepatan

pemulihan yang sangat dibutuhkan dalam melangkah lebih jauh kedepan, dan oleh karenanya sangat

mahal bagi Indonesia kalau proses pemulihan ini berjalan mundur. Di samping itu tentunya merupakan

harapan kita bahwa pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini dapat disertai dengan "economic

cost" –dalam hal ini laju inflasi– yang minimal agar pemulihan ekonomi dapat berkesinambungan.

Pilihan yang ditempuh Bank Indonesia dalam tahun 2000 oleh karenanya merupakan pilihan

kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias). Ini berarti kebijakan moneter diarahkan guna

menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,

namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis dan berlebihan. Kenaikan suku bunga

yang drastis dan berlebihan dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan proses restrukturisasi utang

dan perbankan yang sedang berjalan serta kesinambungan keuangan Pemerintah, yang pada akhirnya

dapat mengancam pemulihan perekonomian yang telah dengan susah payah kita usahakan.

Untuk itu Bank Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin melakukan kebijakan moneter yang

mendorong kearah itu. Namun harus diakui pula bahwa dalam pelaksanannya, upaya ini menghadapi

permasalahan yang menyebabkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dihadapkan pada dilema.

Page 7: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xiv

Tekanan inflasi dan gejolak nilai tukar yang telah terasa sejak pertengahan tahun, yang menjadi dasar

asumsi sasaran inflasi, membuat Bank Indonesia harus berupaya agar tekanan tersebut tidak menjadi

persisten dan dapat menimbulkan ekspektasi inflasi yang tinggi. Namun di sisi lain harus pula diakui

bahwa upaya ini tidaklah mudah. Upaya pengetatan yang berlebihan dapat menjadi kontra produktif

terhadap pemulihan perekonomian. Disamping itu kondisi perbankan yang masih mengalami konsolidasi

menyebabkan transmisi moneter menjadi terganggu dan mengharuskan kehati-hatian yang lebih tinggi

dalam pelaksanaan kebijakan moneter.

Dalam upaya pengendalian uang primer, permasalahan menjadi bertambah kompleks dengan

terjadinya penyimpangan yang diamati dalam perilaku masyarakat dalam memegang uang kartal.

Uang kartal merupakan komponen penting dari uang primer yang merupakan sasaran indikatif Bank

Indonesia yang selalu diamati dari waktu ke waktu. Selama tahun 2000, uang kartal mengalami

peningkatan yang menonjol yang menyebabkan uang primer sulit dikendalikan ke level sasaran indikatif.

Terdapat beberapa penyebab yang dapat menjelaskan tingginya uang kartal tersebut yakni kebutuhan

uang kartal yang meninggi karena pertumbuhan perekonomian yang lebih cepat, inflasi dan ekspektasi

inflasi yang tinggi, serta suku bunga riil yang rendah yang membuat daya tarik penyimpanan dana di

bank menjadi kurang menarik, dan berdekatannya beberapa hari besar menjelang akhir tahun.

Permasalahan yang dihadapi transmisi moneter sehubungan dengan belum pulihnya intermediasi

perbankan hanya merupakan salah satu saja dari permasalahan yang terkait dengan penyehatan

perbankan nasional. Terlebih dari itu, penyehatan perbankan merupakan kunci dari kebangkitan

kembali perekonomian nasional secara keseluruhan.

Dalam tahun laporan ini berbagai langkah dan upaya telah dilakukan yang pada intinya

meneruskan dan memantapkan berbagai upaya penyehatan perbankan yang dilakukan bersama-

sama dengan lembaga lainnya seperti BPPN. Perkembangan yang menggembirakan dalam

restrukturisasi kredit diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pemulihan dunia usaha di samping

membantu penyehatan perbankan itu sendiri. Di samping itu, tuntasnya proses rekapitalisasi perbankan

nasional merupakan langkah penting dalam tahun laporan. Bank Indonesia juga telah melakukan

berbagai penyempurnaan ketentuan perbankan yang intinya diarahkan bagi peningkatan praktek

perbankan yang sehat. Langkah ini telah dibarengi pula dengan upaya pemantapan pengawasan

bank dan peningkatan mutu pengelolaan bank. Kesemuanya ini diarahkan kepada peningkatan daya

tahan bank, pada tiap skala usahanya, yang sehat sebagai modal penting bagi perekonomian yang

berkesinambungan (sustainable).

Page 8: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xv

Di tengah berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia di atas, masih terdapat beberapa

permasalahan yang mengganggu yang terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di masa lalu,

khususnya dalam upaya Bank Indonesia, dan Pemerintah pada waktu itu, merespon krisis yang dihadapi.

Permasalahan BLBI sempat berlarut-larut dan mengganggu konsentrasi manajemen Bank Indonesia.

Untuk ini, penyelesaian BLBI yang telah disepakati antara Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan

dapat menjadi modal dasar agar masalah BLBI ini tidak terus membebani. Permasalahan lainnya yang

menonjol adalah permasalahan sekitar pelaksanaan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 yang masih

belum dapat berjalan mulus sebagaimana diharapkan, khususnya menyangkut aspek independensi.

Menjelang akhir tahun 2000, masalah bahkan mengkristal dengan mencuatnya gagasan untuk

melakukan amandemen terhadap undang-undang yang belum berumur dua tahun ini. Munculnya

permasalahan ini telah pula menyita perhatian dan sumber daya Bank Indonesia yang tidak sedikit

selama tahun 2000.

Memandang ke tahun 2001 harus diakui bahwa permasalahan yang akan diahadapi merupakan

permasalahan yang kompleks dan saling terkait. Namun berbagai pengalaman dan pelajaran yang

dapat ditarik selama pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam tahun 2000 akan merupakan dasar yang

sangat berharga dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia di masa yang akan datang. Kesemuanya

ini dilakukan untuk melaksanakan tugas-tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak hanya

independen tetapi juga accountable. Untuk ini Bank Indonesia akan bekerja keras untuk mencapai

sasaran laju inflasi tahun 2001, yakni 4,0–6,0% di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan

pendapatan, yang diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur tanggal 9 Januari 2001. Dalam konteks

ke depan (forward looking), adalah sangat penting untuk mencapai sasaran inflasi tersebut untuk

menekan tingkat ekspektasi inflasi masyarakat.

Komitmen Bank Indonesia adalah bahwa berbagai upaya tersebut dilakukan semata-mata demi

kepentingan nasional. Dalam hal ini saya juga melihat bahwa akuntabilitas Bank Indonesia haruslah

dilihat terhadap suatu kerangka kerja yang ditempuh oleh Bank Indonesia. Ini juga berarti akuntabilitas

terhadap keseluruhan rangkaian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan proses evaluasi.

Upaya ini telah dimulai dari penetapan sasaran inflasi yang diikuti dengan melakukan pemantauan

secara mendalam terhadap perkembangan besaran moneter, dalam hal ini uang primer, yang terkait

dengan perkembangan perekonomian. Bank Indonesia telah pula melaksanakan Rapat Dewan

Gubernur bulanan dan triwulanan yang hasilnya diumumkan kepada masyarakat. Laporan triwulanan

kami sampaikan secara periodik kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Page 9: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

xvi

Besar harapan kami bahwa berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia tersebut, termasuk

kendala dan permasalahan yang dihadapi, dapat diterima disebagai perwujudan akuntabilitas Bank

Indonesia. Tidak dapat dipungkiri masih terdapat kekurangan yang dimiliki Bank Indonesia dalam

pelaksanaan tugasnya. Sebagian kekurangan tersebut bersifat internal dan untuk ini telah dilakukan

evaluasi dan Bank Indonesia bertekad untuk terus memperbaiki diri. Namun disadari bahwa sebagian

kekurangan tersebut juga terkait dengan kondisi di luar Bank Indonesia. Oleh karena itu kami

mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat berjalan

baik. Terhadap kekurangan dan kemajuan yang diperoleh, Bank Indonesia tidak akan berhenti sampai

di situ saja dan akan berupaya terus memantapkannya. Untuk ini berbagai saran dan kritik yang

konstruktif sangatlah diharapkan agar kualitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih

ditingkatkan di masa yang akan datang.

Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia, mengucapkan terima kasih kepada

seluruh Pimpinan dan Staf Bank Indonesia yang selama tahun 2000 ini, ditengah berbagai badai dan

cobaan, telah tetap bersabar dan bekerja secara profesional dalam mengemban amanat Undang-

undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kepada pembaca saya harapkan kiranya Laporan

Tahunan Bank Indonesia ini dapat menjadi referensi yang berguna. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah

selalu melimpahkan ridhaNya dan memberikan kemudahan kepada kita semua dalam upaya kita

melangkah kedepan.

Jakarta, Februari 2001

BANK INDONESIA

GUBERNUR

Syahril Sabirin

Page 10: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Tinjauan UmumBab 1

Page 11: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

2

Bab 1 Tinjauan Umum

M emasuki awal tahun 2000, perekonomian Indone-

sia diwarnai oleh nuansa optimisme yang cukup tinggi.

Tanda-tanda awal dari proses pemulihan ekonomi telah mulai

nampak sejak triwulan III tahun 1999. Stabilitas moneter juga

terkendali, sebagaimana tercermin dari pencapaian tingkat

inflasi yang rendah dan nilai tukar yang menguat hingga akhir

tahun 1999. Kondisi sosial-politik dan keamanan pada waktu

itu sudah membaik, dengan proses pelaksanaan pemilihan

pimpinan nasional yang dinilai berjalan lancar dan demokratis.

Berbagai perkembangan yang menggembirakan tersebut

telah memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga lebih

lanjut hingga akhir tahun 1999 dan menggairahkan pasar

modal sehingga proses pemulihan ekonomi mendapatkan

momentumnya kembali.

Dengan sejumlah perkembangan yang positif tersebut

dan memperhatikan kondisi fundamental ekonomi terutama

tingkat penggunaan kapasitas produksi nasional yang masih

rendah serta perekonomian dunia yang kondusif, Bank Indo-

nesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai

3,0%–4,0% pada tahun 2000. Sejalan dengan itu, Bank Indone-

sia menetapkan sasaran laju inflasi di luar dampak kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan sebesar 3,0%–

5,0%. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

tersebut diprakirakan dapat menimbulkan kenaikan laju inflasi

sekitar 2,0% diatas sasaran tersebut. Untuk mencapai sasaran

inflasi tersebut, pertumbuhan uang primer ditetapkan sebesar

8,3% dari posisi target akhir tahun 1999.

Dalam perkembangannya, pada tahun 2000 beberapa

indikator menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi

nampak semakin menguat. Pertumbuhan ekonomi meningkat

lebih tinggi dari yang diprakirakan semula menjadi 4,8%.

Beberapa faktor seperti membaiknya permintaan domestik,

masih kompetitifnya nilai tukar rupiah, serta situasi ekonomi

dunia yang membaik, telah memungkinkan sejumlah sektor

ekonomi, termasuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM),

meningkatkan kegiatan usaha mereka, baik untuk memenuhi

konsumsi domestik maupun ekspor. Beberapa kemajuan juga

dicapai dalam proses restrukturisasi perbankan, penjadwalan

kembali utang luar negeri pemerintah, serta penyelesaian ma-

salah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara Bank In-

donesia dan Pemerintah.

Namun demikian, sejumlah permasalahan mendasar dan

faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi kendala bagi

proses pemulihan ekonomi secara lebih cepat dan

berkelanjutan. Dibandingkan dengan negara-negara Asia

lainnya yang mengalami krisis serupa, proses pemulihan ekonomi

di Indonesia juga relatif lebih lambat. Secara mikro, masih

banyaknya kendala yang membatasi percepatan investasi

swasta menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan

pemulihan ekonomi dalam jangka menengah. Ekspansi kredit

perbankan masih relatif terbatas meskipun secara umum kondisi

perbankan telah membaik. Kemajuan dalam proses

restrukturisasi utang perusahaan dan utang luar negeri swasta

juga belum secepat yang diharapkan. Besarnya beban

pengeluaran pemerintah, terutama untuk pembayaran bunga

utang dan subsidi, mengakibatkan terbatasnya stimulus fiskal

untuk mendorong pemulihan ekonomi dan kekhawatiran akan

kesinambungan fiskal dalam jangka menengah panjang.

Nuansa optimisme yang tinggi di awal tahun mengenai akan

terjadinya perbaikan di bidang politik, keamanan, dan hukum

di dalam negeri ternyata juga belum dapat terwujud.

Dengan berbagai permasalahan mendasar dan faktor

ketidakpastian tersebut, proses pemulihan ekonomi selama

tahun 2000 telah dibarengi dengan meningkatnya tekanan

terhadap nilai tukar rupiah dan laju inflasi. Nilai tukar rupiah

cenderung melemah dan bergejolak sejak bulan Mei 2000

sejalan dengan memanasnya kondisi politik dan keamanan

dalam negeri, di samping tekanan yang muncul dari

kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar valuta

asing. Sementara itu, tekanan terhadap laju inflasi semakin

b a b

1 Tinjauan Umum

Page 12: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

3

Bab 1 Tinjauan Umum

meningkat sehubungan dengan relatif lambatnya sisi

penawaran dalam mengimbangi kenaikan sisi permintaan

akibat berbagai permasalahan struktural ekonomi yang masih

ada. Tekanan inflasi juga muncul sebagai dampak dari

kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, serta

melemahnya nilai tukar rupiah. Berbagai perkembangan

tersebut menyebabkan inflasi melampaui sasaran yang

ditetapkan pada awal tahun.

Kondisi ekonomi dan inflasi seperti yang digambarkan

di atas telah menyebabkan perumusan dan pelaksanaan

kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam tahun 2000

menjadi lebih sulit dan dilematis. Di satu sisi, meningkatnya

tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah menuntut Bank Indonesia

untuk melakukan pengetatan di bidang moneter. Akan tetapi,

di sisi lain pengetatan moneter ini tidak dapat dilakukan secara

drastis dan berlebihan karena akan mengancam kelang-

sungan proses penyehatan perbankan dan restrukturisasi

perusahaan yang masih rentan. Kegagalan dalam bidang-

bidang tersebut pada gilirannya dapat menyebabkan

hilangnya kepercayaan publik terhadap prospek pemulihan

ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dapat menjadi pemicu

bagi kembalinya lingkaran depresiasi nilai tukar dan kenaikan

laju inflasi (depreciation–inflation spiral) seperti yang terjadi

pada puncak krisis ekonomi yang lalu.

Dalam menyikapi perkembangan inflasi, nilai tukar dan

ekonomi seperti di atas, Bank Indonesia memilih untuk menempuh

kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias), terutama

sejak Mei 2000. Artinya, kebijakan moneter tetap diarahkan untuk

menyerap kelebihan likuiditas dalam perekonomian agar tidak

menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,

namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis

dan berlebihan. Sasaran moneter yang ditetapkan pada awal

tahun perlu disesuaikan dengan perkembangan perekonomian

yang ternyata lebih cepat dari yang diasumsikan semula. Upaya

di bidang moneter ini telah dibarengi dengan kebijakan

perbankan yang tetap difokuskan pada upaya memperlancar

program penyehatan lembaga perbankan dan program

peningkatan ketahanan industri perbankan di masa depan. Di

bidang sistem pembayaran, berbagai upaya penyempurnaan

terus dilakukan untuk menciptakan sistem pembayaran nasional

yang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung

efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter serta mendorong

upaya penciptaan sistem perbankan yang sehat.

Ke depan, Bank Indonesia berpendapat bahwa proses

pemulihan ekonomi tahun 2001 akan tetap berlangsung. Per-

tumbuhan ekonomi diprakirakan dapat mencapai 4,5%–5,5%

dengan sumber pertumbuhan berasal dari masih relatif

baiknya kinerja ekspor dan meningkatnya investasi. Optimisme

ini didasarkan kepada asumsi akan semakin cepatnya proses

reformasi dan restrukturisasi ekonomi Indonesia di berbagai

bidang, khususnya restrukturisasi utang perusahaan dan

semakin pulihnya intermediasi perbankan. Di samping itu,

proses alokasi dan penggunaan sumber daya secara lebih

efisien diperkirakan akan terus berlanjut dengan dukungan

daya saing rupiah yang kompetitif dan perkembangan

ekonomi dunia yang diprakirakan tetap kondusif dalam tahun

2001. Secara keseluruhan, apabila kondisi sosial-politik dan

keamanan di dalam negeri semakin membaik, Bank Indone-

sia memandang kecenderungan perbaikan ekonomi dalam

negeri akan mendapatkan momentum yang lebih kuat.

Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek

makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan

harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank

Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak

kebijakan Pemerintah Pusat di bidang harga dan pendapatan

diprakirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju

inflasi sekitar 2,0%–2,5% di atas sasaran tersebut.

Untuk mencapai sasaran laju inflasi tersebut, Bank In-

donesia akan mengendalikan pertumbuhan uang primer

agar sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Dalam

hubungan ini, Bank Indonesia menetapkan sasaran per-

tumbuhan uang primer hingga akhir tahun 2001 sebesar

11,0%–12,0%. Sasaran pertumbuhan ini dihitung berdasarkan

perkembangan uang primer bulan Desember 2000, dengan

melakukan koreksi atas unsur musiman yang cukup signifikan

pada bulan tersebut.

Page 13: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

4

Bab 1 Tinjauan Umum

Berbeda dengan tahun 1999 yang hanya didorong oleh

pengeluaran konsumsi, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi

pada tahun 2000 menjadi lebih seimbang. Dengan didukung

oleh nilai tukar yang kompetitif, ekspor nonmigas menjadi

pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kegiatan investasi

mulai meningkat. Peningkatan ini antara lain didorong oleh

mulai tersedianya pembiayaan dari sisi perbankan di samping

tetap besarnya penggunaan dana sendiri (self financing).

Tingkat penggunaan kapasitas pada beberapa sektor produksi

bahkan telah mencapai tingkat yang tinggi guna memenuhi

konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Sementara itu,

pengeluaran konsumsi juga tetap meningkat sejalan dengan

perbaikan tingkat pendapatan pada sebagian lapisan

masyarakat, baik yang berasal dari upah/gaji maupun ekspor.

Sumbangan ekspor, investasi, dan konsumsi terhadap

pertumbuhan PDB pada tahun 2000 masing-masing mencapai

3,9%, 3,6%, dan 3,1%. Kuatnya kinerja ekspor dan peran investasi

yang meningkat dalam pembentukan PDB mengindikasikan

semakin mantapnya proses pemulihan ekonomi yang terjadi.

Di sisi penawaran, semua sektor dalam perekonomian

mencatat pertumbuhan positif. Dengan dorongan permintaan

baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, sektor industri

pengolahan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan

menjadi motor pertumbuhan dengan sumbangan terhadap

pertumbuhan PDB masing masing sebesar 1,6%, 0,9%, dan 0,7%.

Sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat

pertumbuhan sebesar 6,2%, sementara sektor perdagangan

serta sektor pengangkutan masing-masing meningkat sebesar

5,7% dan 9,4% (Tabel 1.1).

Di sektor eksternal, kinerja neraca pembayaran pada

tahun 2000 tetap menunjukkan perkembangan yang

menggembirakan. Perkembangan transaksi berjalan

sepanjang tahun 2000 bahkan mencatat surplus yang cukup

besar yakni mencapai $7,7 miliar (5,0% dari PDB), atau

meningkat $1,9 miliar dari tahun sebelumnya. Surplus dalam

transaksi berjalan ini tidak hanya didorong oleh membaiknya

neraca perdagangan migas, namun juga didorong oleh

membaiknya kinerja ekspor nonmigas, khususnya dari sektor

barang industri dengan komoditi utama barang elektronik

Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, Bank Indone-

sia memandang perlu untuk sementara waktu mem-

pertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat

dengan mengoptimalkan berbagai instrumen moneter. Bank

Indonesia akan terus memantau perkembangan harga-harga

dan nilai tukar rupiah dengan tetap mengupayakan penca-

paian sasaran inflasi guna mendukung proses pemulihan

ekonomi yang berkesinambungan. Sementara itu, di bidang

perbankan, kebijakan Bank Indonesia akan diarahkan pada

upaya untuk memelihara hasil dari program restrukturisasi

perbankan serta untuk memperbaiki fungsi intermediasi bank,

dengan tetap mengacu kepada asas kehati-hatian dalam

pengelolaan perbankan nasional. Untuk mendukung efektivitas

pelaksanaan kebijakan moneter dan mempercepat pemu-

lihan sektor perbankan, kebijakan di bidang sistem pembaya-

ran akan diarahkan untuk mempercepat pengembangan dan

pelaksanaan sistem pembayaran nasional yang efisien, akurat,

aman, dan handal melalui peningkatan mutu pelayanan jasa

sistem pembayaran.

Evaluasi Perekonomian Indonesia tahun 2000

Kondisi Makroekonomi

Secara keseluruhan, selama tahun 2000 perekonomian In-

donesia menunjukkan pemulihan ekonomi yang semakin

kuat dengan pola pertumbuhan ekonomi yang semakin

seimbang. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun

2000 mencapai 4,8%, lebih tinggi dari prakiraan awal tahun

Bank Indonesia sebesar 3,0%–4,0%. Sejumlah kemajuan juga

dicapai dalam proses penyelesaian utang luar negeri

pemerintah, telah selesainya program rekapitalisasi

perbankan, serta telah dicapainya kesepakatan dalam

penyelesaian masalah BLBI antara Pemerintah dan Bank

Indonesia. Namun demikian, kecepatan proses pemulihan

ekonomi tersebut dibatasi dengan masih berlanjutnya

beberapa permasalahan mendasar dalam perekonomian,

terutama berkaitan dengan lambatnya restrukturisasi utang

perusahaan, belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan,

dan relatif terbatasnya stimulus fiskal bagi pertumbuhan

ekonomi.

Page 14: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

5

Bab 1 Tinjauan Umum

Tabel 1.1Beberapa Indikator Makroekonomi

1998 1999 2000

Pertumbuhan tahunan (%)

Produk Domestik Bruto Riil –13,1 0,8* 4,8**

(a.d. tahun dasar 1993)Menurut pengeluaran

Konsumsi –7,1 4,3 3,9Pembentukan modal tetap

domestik bruto –33,0 –19,4 17,9Ekspor barang dan jasa 11,2 –31,6 16,1Impor barang dan jasa –5,3 –40,7 18,2

Menurut lapangan usahaPertanian –1,3 2,7 1,7Pertambangan dan penggalian –2,8 –2,4 2,3Industri pengolahan –11,4 3,8 6,2Listrik, gas, dan air bersih 3,0 8,3 8,8Bangunan –36,4 –0,8 6,7Perdagangan, hotel, dan restoran –18,2 0,1 5,7Pengangkutan dan komunikasi –15,1 –0,8 9,4Keuangan, persewaan,

dan jasa perusahaan –26,6 –7,5 4,7Jasa-jasa –3,8 1,9 2,2

MoneterUang Primer 63,0 35,5 23,4

M2 62,3 11,9 15,6M1 29,2 23,2 30,1Uang Kuasi 71,7 9,5 12,1

Suku Bunga (%)SBI 1 bulan 38,4 12,5 14,5PUAB overnight 33,4 12,1 11,4Deposito 1bulan 41,4 12,2 12,0Kredit modal kerja 34,7 20,7 17,7Kredit Investasi 26,2 17,8 16,9

Inflasi 77,6 2,01 9,35

Neraca PembayaranTransaksi berjalan/PDB (%) 4,2 4,1 5,0Debt service ratio (DSR) (%) 57,9 56,8 44,8Cadangan devisa setara impor

nonmigas dan cicilan pinjaman pemerintah (bulan) 5,7 6,7 6,3

Nilai Tukar rata-rata (Rp/$) 10.088 7.850 8.400

Sumber :– Badan Pusat Statistik– Bank Indonesia

ekonomi Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, neraca

pembayaran Indonesia secara keseluruhan mengalami surplus

sebesar $5,0 miliar. Posisi cadangan devisa bruto pada akhir

Desember 2000 meningkat menjadi $29,3 miliar, atau setara

dengan 6,3 bulan nilai impor dan pembayaran cicilan

pinjaman pemerintah.

Dalam rangka mengurangi beban pembayaran utang

luar negeri pemerintah, pada tahun laporan telah dilakukan

pertemuan Paris Club II pada tanggal 12 dan 13 April 2000.

Dalam pertemuan tersebut berhasil disetujui penjadwalan

kembali pembayaran utang pokok pemerintah sebesar $5,8

miliar, yaitu pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000 s.d. 31

Maret 2002. Di samping itu, sebagai kelanjutan dari hasil

perundingan dalam kerangka London Club, pada bulan Sep-

tember 2000 telah berhasil dijadwalkan kembali pembayaran

utang pokok pinjaman komersial yang diterima dari sindikasi

bank-bank di luar negeri sebesar $340 ,0 juta.

Dalam pada itu, langkah restrukturisasi utang luar negeri

swasta juga dilakukan. Restrukturisasi utang swasta bank yang

berhasil dilakukan melalui program exchange offer (EO)

mencapai $6,3 miliar. Sementara itu, restrukturisasi utang swasta

bukan bank yang berhasil dilakukan melalui Prakarsa Jakarta

(Jakarta Initiative Task Force/JITF) sampai dengan tahun 2000

mencapai $9,4 miliar, atau 93,6% dari target sebesar $10 miliar.

Utang swasta bukan bank yang direstrukturisasi melalui JITF

terdiri dari utang luar negeri dan dalam negeri.

Di sektor fiskal, realisasi defisit operasi keuangan

pemerintah dalam tahun 2000 diperkirakan sebesar 3,2% dari

PDB, atau lebih rendah dari rencana defisit sebesar 4,8% dari

PDB. Rasio realisasi penerimaan terhadap anggaran

penerimaan mencapai 127,0%, lebih tinggi dari rasio realisasi

pengeluaran terhadap anggaran pengeluaran yang mencapai

113,6%. Defisit anggaran tahun 2000 dibiayai dari penjualan aset

program restrukturisasi perbankan dan penarikan pinjaman luar

negeri. Relatif tingginya total penerimaan pemerintah

mengurangi kebutuhan pemerintah akan penarikan pinjaman

luar negeri untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran.

Penarikan pinjaman luar negeri bersih hanya mencapai 62,0%

dari rencana semula. Perkembangan tersebut telah

R i n c i a n

serta sektor pertambangan dengan komoditi utama

tembaga dan nikel.

Di sisi lain, belum pulihnya arus modal swasta asing

mengakibatkan lalu lintas modal masih mengalami defisit

sebesar $4,6 miliar. Hal ini terutama berkaitan dengan belum

pulihnya kepercayaan internasional akan prospek pemulihan

Page 15: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

6

Bab 1 Tinjauan Umum

memungkinkan Pemerintah memperbaiki struktur fiskal yang

mengarah lebih berkesinambungan dalam jangka menengah-

panjang, meskipun dengan implikasi lebih terbatasnya stimulus

fiskal untuk pemulihan ekonomi dalam jangka pendek.

Faktor utama yang menyebabkan terlampauinya

sasaran penerimaan adalah tingginya harga minyak mentah

Indonesia di pasar internasional selama tahun anggaran 2000

yang mencapai rata-rata $29,1 per barel, lebih tinggi dari

asumsi semula sebesar $20,0 per barel. Kenaikan harga migas

tersebut juga meningkatkan penerimaan pajak, khususnya

pajak penghasilan (PPh) migas yang disetorkan ke

Pemerintah. Realisasi tax ratio tahun 2000 mencapai 11,8%

dari PDB nominal, lebih tinggi dari sasaran dalam APBN tahun

2000 sebesar 11,1%. Sementara itu, realisasi tax ratio tanpa

PPh migas hampir sama dengan sasarannya, yakni sekitar

10,0% dari PDB.

Dari sisi pengeluaran, hampir 75,0% dari realisasi

pengeluaran pemerintah dialokasikan untuk pengeluaran

yang bersifat wajib seperti belanja pegawai, pembayaran

bunga utang dan subsidi. Belanja pegawai mengalami

peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya

sebagai akibat kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji

pegawai negeri sebesar 15,0% masing-masing pada bulan

April dan Oktober 2000. Peningkatan pembayaran subsidi,

khususnya subsidi BBM, merupakan akibat kenaikan harga

minyak, depresiasi rupiah, kenaikan impor BBM, serta

penundaan pelaksanaan pengurangan subsidi. Sementara

itu, peningkatan pembayaran beban utang selain

diperuntukkan bagi pembayaran bunga utang luar negeri,

juga ditujukan untuk pembayaran bunga obligasi dalam

rangka rekapitalisasi perbankan.

Nilai Tukar dan Inflasi

Seperti telah disinggung sebelumnya, dengan masih ber-

lanjutnya beberapa permasalahan struktural dalam

perekonomian dan meningkatnya faktor ketidakpastian di

dalam negeri, proses pemulihan ekonomi selama tahun 2000

ternyata dibarengi oleh meningkatnya tekanan terhadap

inflasi dan nilai tukar rupiah. Selama tahun 2000, nilai tukar ru-

piah rata-rata mencapai Rp8.400 per dolar AS, lebih tinggi dari

asumsi yang dipergunakan dalam penetapan sasaran inflasi

yakni sebesar Rp7.000 per dolar AS. Tekanan terhadap nilai

tukar rupiah meningkat terutama sejak bulan April 2000 sebagai

akibat perkembangan politik dan keamanan menjelang

Sidang Tahunan MPR Agustus 2000, menguatnya mata uang

dolar AS terhadap hampir semua mata uang utama dunia,

dan besarnya permintaan valuta asing untuk pembayaran

utang luar negeri. Berbagai tekanan terhadap rupiah tersebut

telah mengakibatkan kurs rupiah menjadi terlalu rendah (un-

dervalued) dan tidak sesuai dengan perkembangan fun-

damental perekonomian.

Secara umum, kecenderungan melemahnya nilai tukar

rupiah tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya

kepercayaan masyarakat terhadap prospek pemulihan

ekonomi akibat berbagai faktor internal maupun eksternal.

Faktor internal yang menyebabkan depresiasi rupiah terkait

dengan masih terbatasnya pasokan valuta asing di pasar

sebagai akibat dari masih rendahnya arus modal masuk swasta

dan tidak kembali sepenuhnya hasil devisa ekspor ke dalam

negeri, sementara tekanan permintaan valuta asing dari sektor

swasta khususnya dalam rangka pelunasan utang luar negeri

yang jatuh tempo. Selain itu, sentimen negatif pasar terhadap

gejolak politik dan keamanan dalam negeri juga memperburuk

tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Dari sisi eksternal, kecenderungan meningkatnya suku

bunga internasional dan gejala menguatnya dolar AS dalam

skala global serta gejolak nilai tukar regional dalam tahun 2000

telah turut memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Disamping itu, tingginya gejolak rupiah juga dimungkinkan

karena pelaku pasar nonresiden semakin aktif dalam

perdagangan rupiah di pasar off-shore sejalan dengan

meningkatnya internasionalisasi rupiah. Dengan likuiditas

valuta asing yang sangat terbatas menyebabkan kondisi pasar

valuta asing sangat tipis, sehingga adanya tekanan-tekanan

kecil di sisi permintaan telah menimbulkan lonjakan-lonjakan

yang tajam dalam nilai tukar. Dalam perkembangannya, reaksi

pasar cenderung bersifat asimetris, dengan kecenderungan

reaksi yang berlebihan terhadap berita negatif.

Page 16: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

7

Bab 1 Tinjauan Umum

di dalam negeri dengan tetap mengupayakan pencapaian

sasaran laju inflasi yang menjadi tujuan Bank Indonesia guna

mendukung proses pemulihan ekonomi yang ber-

kesinambungan.

Dalam perkembangannya, laju inflasi IHK tahun 2000

mencapai 9,35% (y.o.y), lebih tinggi daripada laju inflasi pada

tahun 1999 sebesar 2,01%. Kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan selama tahun 2000 diperkirakan telah

memberikan kontribusi terhadap inflasi sebesar 3,42%, lebih

besar dari 2,0% seperti yang diperkirakan semula. Hal ini

disebabkan oleh belum teridentifikasikannya sejumlah

kebijakan di awal tahun, lebih besarnya sebagian kenaikan

tarif daripada yang diperkirakan, dan adanya perubahan pola

implementasi kebijakan. Dengan demikian, laju inflasi dalam

tahun laporan di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan tersebut diperkirakan sebesar 5,93%.

Angka laju inflasi ini masih melampaui sasaran inflasi Bank In-

donesia tahun 2000 yang ditetapkan sebesar 3,0%–5,0%.

Kebijakan dan Perkembangan Moneter

Meningkatnya tekanan terhadap inflasi dan melemahnya

nilai tukar rupiah mendorong Bank Indonesia menempuh

kebijakan moneter yang cenderung ketat terutama sejak

bulan Mei 2000. Kebijakan ini ditempuh guna mencapai laju

inflasi yang cukup rendah yang memiliki arti penting bagi

kelangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang

dengan tetap mempertimbangkan dampaknya secara mini-

mal terhadap proses pemulihan perbankan, penyelesaian

utang, dan pemulihan perekonomian yang sedang

berlangsung.

Pada tahun 2000, penetapan sasaran indikatif uang

primer dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi

besaran perekonomian yaitu sasaran inflasi, pertumbuhan

perekonomian, dan nilai tukar. Berkaitan dengan asumsi-asumsi

tersebut, Bank Indonesia menetapkan target pertumbuhan

uang primer tahun 2000 sebesar 8,3%. Target ini menyiratkan

adanya sikap optimis terhadap pulihnya kegiatan ekonomi

dengan tetap memperhatikan tekanan-tekanan inflasi yang

dapat timbul.

Akselerasi pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang

diprakirakan juga telah meningkatkan tekanan kenaikan harga

terutama sejak pertengahan tahun 2000. Tekanan inflasi muncul

karena dorongan permintaan agregat yang tinggi tidak

sepenuhnya dapat diimbangi dengan kenaikan sisi penawaran

agregat sebagai akibat masih adanya berbagai permasalahan

struktural dalam perekonomian. Tekanan inflasi menjadi lebih

tinggi lagi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk

mengurangi berbagai subsidi guna mendorong pembentukan

harga berdasarkan mekanisme pasar, melemahnya nilai tukar

rupiah, serta tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat. Berbagai

perkembangan tersebut mengakibatkan kecenderungan

kenaikan harga-harga menjadi sulit diredam dengan segera

karena sifatnya yang menetap (persistent).

Adanya tekanan inflasi yang tinggi di tengah-tengah

proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan mengakibatkan

kebijakan moneter Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi

menjadi dilematis. Di satu sisi, upaya menjaga kestabilan

moneter membutuhkan langkah-langkah pengetatan

moneter agar pembentukan ekspektasi inflasi sedapat

mungkin dibendung sejak awal. Namun di sisi lain, upaya

pengetatan moneter yang seketika dan berlebihan dapat

menumpulkan kembali insiatif-inisiatif dari dunia usaha dan

masyarakat pada umumnya untuk melakukan kegiatan usaha.

Implementasi kebijakan tersebut menjadi semakin sulit

mengingat Bank Indonesia menghadapi keterbatasan dalam

mengendalikan permintaan agregat perekonomian sehu-

bungan dengan belum normalnya transmisi kebijakan moneter

ke sektor riil. Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan

mengakibatkan adanya ekses likuiditas di perbankan,

sehingga sinyal kebijakan moneter yang cenderung ketat tidak

direspons oleh perbankan dengan peningkatan suku bunga

yang sepadan. Dalam kondisi demikian, pengendalian

permintaan agregat sebagaimana direncanakan semula

memerlukan kenaikan suku bunga yang sangat besar. Namun

langkah tersebut dikhawatirkan dapat mengancam proses

pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia selama tahun

2000 terus menerus memantau perkembangan harga-harga

Page 17: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

8

Bab 1 Tinjauan Umum

Namun dalam pelaksanaannya, upaya Bank Indonesia

dalam menjaga uang primer selama tahun 2000 mengalami

beberapa kendala yang terutama berasal dari tidak sesuainya

asumsi-asumsi yang mendasari perhitungan target uang

primer. Dalam realisasinya PDB tumbuh lebih cepat dari yang

diprakirakan, sementara nilai tukar mengalami tekanan

depresiasi yang lebih besar daripada prakiraan awal tahun.

Perkembangan uang primer cenderung terus meningkat dan

berada di atas target indikatif yang ditetapkan awal tahun,

terutama sejak bulan Mei 2000. Peningkatan uang primer yang

sangat besar terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar

Rp25,4 triliun dari posisi akhir November 2000 sebesar Rp100,2

triliun. Dengan perkembangan tersebut, posisi uang primer

pada akhir Desember 2000 mencapai Rp125,6 triliun, atau

23,4% lebih tinggi daripada posisi akhir tahun sebelumnya.

Dilihat dari komponennya, tingginya kenaikan uang

primer disebabkan oleh kuatnya permintaan uang kartal.

Tingginya permintaan uang kartal selain disebabkan oleh

tingginya kegiatan ekonomi dalam tahun 2000 juga dikarenakan

kecenderungan menurunnya tingkat suku bunga riil deposito.

Hal ini mengingat belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan

sehingga sinyal kebijakan moneter tidak direspon secara

sepadan oleh perbankan. Di samping itu, tingginya permintaan

uang kartal juga disebabkan oleh tindakan berjaga-jaga

masyarakat seiring dengan tingginya faktor ketidakpastian

selama tahun laporan serta pengaruh faktor musiman yang

terutama terjadi pada Desember 2000 sehubungan dengan

berlangsungnya sejumlah hari raya keagamaan secara

bersamaan, berakhirnya tahun fiskal, serta lebih panjangnya hari

libur akhir tahun 2000. Berbagai faktor tersebut menyebabkan

posisi uang kartal mencapai Rp72,4 triliun atau tumbuh sebesar

24,0% pada akhir Desember 2000. Sementara itu posisi saldo

positif bank pada Bank Indonesia selama tahun 2000 tidak

mengalami perubahan yang berarti. Dari faktor yang

mempengaruhi uang primer, kenaikan uang primer ini

disebabkan oleh ekspansi tagihan bersih kepada Pemerintah

(NCG) dan operasi pasar terbuka (OPT) sepanjang tahun 2000.

Berkaitan dengan pengendalian uang primer, Bank

Indonesia menghadapi dilema khususnya dalam upaya untuk

mengembalikan posisi uang primer ke sasaran indikatif. Dilema

tersebut terkait dengan pertanyaan apakah kebijakan

moneter akan tetap mengikuti arah seperti direncanakan di

awal tahun, ataukah perlu disesuaikan kembali untuk

mendukung proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan

dengan konsekuensi mengorbankan pencapaian sasaran laju

inflasi yang telah ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, Bank

Indonesia memilih menempuh kebijakan moneter yang

diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas agar tidak

menambah tekanan terhadap inflasi dan melemahnya nilai

tukar. Namun demikian upaya menstabilkan kembali laju inflasi

dan nilai tukar dilakukan dengan tetap menjaga agar

kenaikan suku bunga secara drastis dan berlebihan dapat

dihindarkan.

Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia

terutama menggunakan piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT)

dalam bentuk penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan

transaksi intervensi rupiah di pasar uang. Strategi pengendalian

moneter melalui OPT tersebut juga dibarengi dengan langkah-

langkah untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah yang

berlebihan. Langkah kebijakan yang telah ditempuh antara lain

adalah operasi sterilisasi di pasar valuta asing guna menyerap

ekspansi pengeluaran rupiah pemerintah yang dibiayai dengan

dana yang berasal dari luar negeri. Di samping itu, Bank Indone-

sia juga melakukan pengawasan langsung pada sejumlah bank

guna meningkatkan kepatuhan perbankan terhadap ketentuan

kehati-hatian yang terkait dengan transaksi valuta asing, serta

monitoring terhadap rekening vostro sebagai langkah awal

menuju pembatasan transaksi rupiah oleh non-residen.

Kebijakan moneter yang cenderung ketat tercermin

dari peningkatan suku bunga SBI secara bertahap untuk

memberikan sinyal kepada pasar akan perlunya mengurangi

tekanan laju inflasi dan melemahnya nilai tukar. Setelah

sempat menurun dari 11,48% pada akhir Januari menjadi

10,88% pada bulan Mei, suku bunga SBI 1 bulan kemudian

berangsur-angsur meningkat sehingga pada akhir Desember

telah mencapai 14,53%. Namun demikian, peningkatan suku

bunga SBI tersebut tidak diikuti oleh peningkatan suku bunga

deposito secara sepadan sehubungan dengan tingginya

Page 18: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

9

Bab 1 Tinjauan Umum

ekses likuiditas bank-bank sebagai akibat belum berjalannya

fungsi intermediasi perbankan secara normal.

Dengan perkembangan tersebut, suku bunga riil depo-

sito perbankan di tahun 2000 cenderung menunjukkan

penurunan dan mencapai 2,56% pada akhir tahun 2000.

Penurunan suku bunga deposito ini mencerminkan penurunan

opportunity cost memegang uang kartal dan selanjutnya

mendorong terjadinya proses penyesuaian portofolio (portfo-

lio adjustment) kearah aset-aset yang lebih likuid di masyarakat.

Selama tahun 2000, deposito dan tabungan di perbankan

mengalami pertumbuhan yang menurun, sementara uang giral

dan uang kartal sebaliknya menunjukkan peningkatan

pertumbuhan. Perkembangan ini dengan sendirinya ber-

pengaruh kepada meningkatnya laju pertumbuhan uang

primer dan M1 terutama pada akhir periode, sementara laju

pertumbuhan M2 mengalami penurunan.

Kebijakan dan Perkembangan Perbankan

Dalam tahun 2000, sebagai kelanjutan dari kebijakan tahun

sebelumnya, kebijakan perbankan tetap difokuskan pada upaya

memperlancar program penyehatan lembaga perbankan dan

program peningkatan ketahanan industri perbankan di masa

depan. Program penyehatan lembaga perbankan meliputi

penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, rekapitalisasi

perbankan, restrukturisasi kredit perbankan dan pemulihan fungsi

intermediasi perbankan. Sementara itu, upaya meningkatkan

ketahanan sistem perbankan difokuskan pada pengembangan

infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan

perbankan (good governance) serta penyempurnaan sistem

pengaturan dan pengawasan bank.

Berkaitan dengan program rekapitalisasi, Pemerintah

bersama Bank Indonesia telah menyelesaikan program reka-

pitalisasi perbankan pada 31 Oktober 2000, seiring dengan

telah selesainya rekapitalisasi enam bank umum (BNI, BRI, BTN,

Bank Niaga, Bank Bali dan Bank Danamon). Jumlah obligasi

yang diterbitkan selama tahun 2000 mencapai Rp148,6 triliun,

sehingga total obligasi pemerintah yang diterbitkan dalam

rangka program rekapitalisasi perbankan adalah sebesar

Rp430,4 triliun.

Dengan telah selesainya program rekapitalisasi, maka

diharapkan permodalan bank sudah tidak lagi menjadi

kendala bagi penyehatan perbankan dan obligasi tersebut

dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bank dengan

cara menjual atau mengagunkannya. Untuk meningkatkan

perdagangan obligasi pemerintah di pasar sekunder,

Pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan daya

tarik obligasi pemerintah, antara lain melalui program

pertukaran obligasi pemerintah (bond exchange offer). Pro-

gram ini dilakukan dengan menawarkan penukaran obligasi

rekap yang dimiliki bank (FR 001 dan 003) dengan stapled

bonds (FR 006, 007, 008 dan 009) dengan tujuan agar aktivitas

perdagangan obligasi pemerintah dapat menjadi lebih

menarik bagi investor dan membantu bank-bank rekap dalam

pemenuhan kebutuhan likuiditasnya.1)

Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk

meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan

prinsip kehati-hatian sesuai dengan standar internasional.

Penyempurnaan tersebut meliputi fit and proper test, exit

policy, BMPK, restrukturisasi kredit, penilaian aktiva produktif,

kelembagaan bank umum, pendanaan jangka pendek,

perdagangan portofolio obligasi dan bank syariah. Ketentuan

exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam

penanganan bank bermasalah yang lebih transparan dengan

menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam

pengawasan khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus

diselesaikan dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk

dialihkan menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah

pengawasan BPPN.

Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank

Indonesia telah menyempurnakan sistem pengawasan yang

semula terfokus pada compliance based supervision diperluas

menjadi pengawasan yang berbasis risiko (risk based supervi-

1) Stapled Bonds adalah suatu paket obligasi yang terdiri dari dua jenisobligasi. Obligasi jenis pertama (FR 006 dan 008) memberikan kuponsesuai dengan yield yang diharapkan pasar (market expected yield)yaitu sebesar 16,5%, sementara obligasi jenis kedua (FR 007 dan 009)memberikan kupon sebesar 10,0%. Meskipun demikian, rata-ratatertimbang kupon dua jenis obligasi tersebut adalah sama dengankupon obligasi rekap yang dipertukarkan yaitu sebesar 12,5%.

Page 19: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

10

Bab 1 Tinjauan Umum

sion) dan berorientasi ke depan yang mengacu pada standar

internasional. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia telah

menempatkan tenaga pengawas dalam rangka On-site Su-

pervisory Presence pada beberapa bank. Sementara itu, untuk

lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank

serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special

Surveilance) telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan

persiapan untuk pelaksanaan consolidated supervision.

Sementara itu, upaya peningkatan mutu pengelolaan

perbankan (good governance) dimaksudkan untuk mening-

katkan kompetensi dan integritas bankir melalui pelaksanaan

fit and proper test, wawancara terhadap calon pemilik dan

pengurus (new entry) serta penunjukan compliance director

yang bertanggung jawab atas kepatuhan bank terhadap

ketentuan kehati-hatian yang berlaku.

Dalam tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang

telah ditempuh di atas telah menunjukkan hasil dengan

adanya berbagai kemajuan dalam kinerja perbankan

nasional. Dengan selesainya program rekapitalisasi perbankan

pada akhir Oktober 2000, permodalan bank yang pada tahun

1999 masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp53,5

triliun pada Desember 2000 sehingga meningkatkan capital

adequacy ratio (CAR) bank. Sementara itu penghimpunan

dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah mulai diikuti

pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Hingga

Desember 2000, non-performing loans (NPLs) juga telah

membaik hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8%

secara netto,2) yang disebabkan oleh pengalihan kredit ber-

masalah ke BPPN, restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit

baru. Dalam pada itu net interest margin (NIM) yang negatif

pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar Rp22,8

triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga

dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR,

peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit,

perbaikan NPLs, dan NIM yang positif diharapkan akan terus

berlanjut pada tahun 2001.

Meskipun mencatat perbaikan yang cukup berarti, per-

bankan masih menghadapi beberapa tantangan seperti be-

lum pulihnya fungsi intermediasi perbankan secara normal. Hal

ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko dan

ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum ber-

jalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kre-

dit, ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak dita-

namkan pada SBI, antar bank aktiva serta surat-surat berharga

lainnya. Hal ini perlu diwaspadai karena tidak dapat menjamin

kesinambungan kinerja perbankan di masa mendatang.

Berkaitan dengan restrukturisasi kredit perbankan,

berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Satgas

Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia maupun oleh BPPN.

Langkah-langkah penyempurnaan oleh Satgas Restrukturisasi

Kredit Bank Indonesia mencakup upaya untuk meningkatkan

koordinasi kelembagaan dengan BPPN dan Prakarsa Jakarta,

koordinasi internal Bank Indonesia, serta kemampuan

profesional satgas dalam proses mediasi restrukturisasi kredit.

Penyempurnaan strategi untuk mempercepat restrukturisasi

kredit juga dilakukan oleh BPPN terutama dengan penge-

lompokkan kredit berdasarkan prospek usaha dan potensi

pengembaliannya, itikad debitur, dan pemberian sanksi bagi

debitur tidak kooperatif dan insentif bagi debitur kooperatif.

Di samping itu, untuk mempercepat restrukturisasi kredit di ba-

wah Rp5 miliar, BPPN memberikan insentif dalam bentuk diskon

bunga (25,0%–50,0%), diskon denda (100,0%), dan penjualan

kredit.

Dalam perkembangannya, sampai dengan Desember

2000, jumlah kredit yang telah direstrukturisasi baik oleh bank

sendiri atau melalui fasilitasi Satgas Restrukturisasi Kredit Bank

Indonesia telah mencapai Rp59,9 triliun atau sekitar 71,0% dari

total NPLs. Sementara itu, restrukturisasi kredit oleh BPPN yang

mencapai tahap implementasi proposal dan penan-

datanganan Memorandum of Understanding (MoU) restruk-

turisasi baru sebesar 28,3% dari total kredit sebesar Rp286,3 triliun.

Sehubungan dengan itu, percepatan proses restrukturisasi kredit

khususnya yang dilakukan oleh BPPN akan menjadi salah satu

faktor pendorong pulihnya kondisi perbankan dan pesatnya

kegiatan investasi pada periode mendatang.

2) Dalam praktek internasional, NPL dihitung secara netto artinya denganmemperhitungkan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP)yang dibentuk

Page 20: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

11

Bab 1 Tinjauan Umum

masyarakat akan uang kartal dalam jumlah dan kualitas yang

memadai. Kenaikan kebutuhan uang kartal tersebut, selain

disebabkan oleh peningkatan kegiatan ekonomi, juga untuk

kebutuhan berjaga-jaga khususnya menghadapi tanggal-

tanggal kritis di tahun 2000, dan kebutuhan untuk merayakan

hari-hari besar keagamaan.

Posisi UYD sepanjang tahun 2000 cenderung meningkat.

Posisi UYD akhir Desember 2000 mencapai Rp89,7triliun,

meningkat 23,6% dibandingkan dengan posisi UYD akhir

Desember tahun 1999 yang hanya sebesar Rp72,6 triliun.

Besarnya kenaikan UYD terutama disebabkan adanya

penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam rangka

menghadapi bulan Ramadhan, Hari Natal dan Hari Raya Idul

Fitri yang waktunya hampir bersamaan pada bulan Novem-

ber dan Desember 2000.

Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan antara uang

kertas dan uang logam sepanjang tahun 2000 tidak banyak

mengalami perubahan, dengan pangsa masing-masing jenis

uang sebesar 98,5% dan 1,5%. Sementara itu, dilihat dari

pecahannya, posisi UYD di tahun 2000 didominasi oleh

pecahan Rp100.000,00 dan Rp50.000,00 yang pangsa

keduanya mencapai 58,5% dari total UYD.

Selain menyediakan uang dalam jumlah yang cukup,

Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar kualitas uang

yang beredar di masyarakat selalu baik dengan cara

melakukan kebijakan pemusnahan uang yang sudah tidak

layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta

mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.

Sementara itu, dalam rangka menanggulangi

peningkatan uang palsu yang cukup meningkat dalam tahun

2000 ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif

dan represif. Beberapa langkah preventif antara lain dengan

mencabut dan menarik dari peredaran uang kertas yang

banyak dipalsukan yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi 1993/95

(seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri Cendra-

wasih), dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri Hamengku-

buwono IX). Di samping itu, Bank Indonesia menyebarluaskan

ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui media cetak, papan

pengumuman, serta kegiatan penataran. Hal lain dilakukan

Sementara itu, dengan dialihkannya pengelolaan kredit

likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program

kepada Pemerintah, kebijakan perkreditan Bank Indonesia

dalam pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM)

mengalami perubahan yang mendasar. Kebijakan Bank Indo-

nesia selanjutnya diarahkan pada peningkatan bantuan teknis

kepada usaha kecil dan mikro, mendorong diversifikasi porto-

folio perbankan kearah peningkatan pangsa kredit untuk

usaha kecil dan mikro, serta memfasilitasi pengembangan

Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem

Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE).

Di kelompok lembaga keuangan lainnya, sebagai

dampak dari kondisi ekonomi yang semakin kondusif dalam

tahun laporan, kinerja perusahaan pembiayaan tampak

membaik. Sejalan dengan meningkatnya konsumsi

masyarakat, penyaluran dana perusahaan pembiayaan

menunjukkan perkembangan sedikit lebih baik daripada

tahun sebelumnya. Sementara itu, masih lambatnya proses

penyaluran kredit perbankan, telah memberikan peluang

kepada pegadaian untuk memenuhi kebutuhan

pembiayaan kepada masyarakat, khususnya untuk jangka

waktu pendek.

Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran

Sepanjang tahun 2000 Bank Indonesia masih terus melakukan

berbagai upaya penyempurnaan untuk menciptakan sistem

pembayaran nasional yang efisien, cepat, aman dan handal

guna mendukung efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter

serta mendorong upaya penciptaan sistem perbankan yang

sehat. Secara garis besar, kebijakan sistem pembayaran terdiri

dari kebijakan pengedaran uang dan peningkatan pelayanan

jasa Bank Indonesia di bidang lalu lintas pembayaran.

Di bidang pengedaran uang, dalam lingkup pemba-

yaran tunai Bank Indonesia berusaha mencukupi kebutuhan

masyarakat terhadap uang kertas dan uang logam untuk

keperluan pembayaran serta menjaga agar uang yang

diedarkan (UYD) oleh Bank Indonesia berada dalam kondisi

layak edar. Pada tahun 2000, Bank Indonesia meningkatkan

penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan kebutuhan

Page 21: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

12

Bab 1 Tinjauan Umum

indicator) yang dilakukan Bank Indonesia. Dari sisi eksternal,

perekonomian global diprakirakan masih mengalami

perkembangan yang positif yaitu sebesar 4,2%, atau sedikit

lebih rendah dibanding tahun 2000 sebesar 4,7%. Penurunan

pertumbuhan terutama akan terjadi di negara-negara

Amerika Utara dan sebagian negara di kawasan Eropa.

Namun berbagai negara terutama Jepang diprakirakan

mengalami pertumbuhan yang meningkat sehingga dapat

memberikan dampak positif terhadap iklim investasi dan ekspor

Indonesia melalui berbagai anak perusahaan dan perusahaan

patungan yang beroperasi di Indonesia.

Sejalan dengan kegiatan ekonomi dunia yang sedikit

menurun dan harga minyak yang masih tinggi, volume

perdagangan dunia akan tumbuh meskipun melambat. Inflasi

di negara-negara industri juga diprakirakan akan mengalami

penurunan di tahun 2001, sementara suku bunga internasional

diperkirakan relatif tetap sehingga mendorong adanya aliran

dana ke negara-negara berkembang (emerging markets)

termasuk negara-negara yang terkena krisis seiring dengan

membaiknya credit rating.

Dengan mempertimbangkan kondisi eksternal di atas

dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8% di tahun 2000,

pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2001 diprakirakan

dapat mencapai sekitar 4,5%–5,5%. Pertumbuhan moderat

tersebut sebagai kelanjutan dari proses pemulihan yang terus

berlangsung. Dari sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi

diprakirakan mencatat pertumbuhan positif di tahun 2001

dengan sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan

sektor bangunan akan tetap menjadi sumber pertumbuhan

ekonomi. Dari sisi permintaan, pendorong utama pertumbuhan

ekonomi diprakirakan masih akan bersumber dari kegiatan

ekspor dan investasi. Dorongan untuk meningkatkan utilisasi

kapasitas produksi ataupun penambahan kapasitas yang telah

ada untuk kebutuhan domestik maupun ekspor diperkirakan

memperoleh momentum yang lebih kuat seperti adanya suku

bunga riil yang masih relatif rendah dan fungsi intermediasi

perbankan yang diperkirakan terus membaik.

Sementara itu, seiring dengan meningkatnya investasi dan

masih relatif baiknya pertumbuhan ekspor, impor juga

dengan meningkatkan koordinasi bersama unsur-unsur terkait.

Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui koordinasi

dengan instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan

pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat

dalam pemalsuan uang Rupiah.

Di bidang lalu lintas pembayaran, kebijakan dalam ling-

kup pembayaran bukan tunai mencakup penerusan

langkah-langkah pengembangan sistem Real Time Gross

Settlement (RTGS), memantapkan tindakan dalam meng-

hadapi masalah komputer tahun (MKT) 2000, penyem-

purnaan berbagai peraturan dan ketentuan lalu lintas

pembayaran dan kliring, serta peningkatan keamanan

semua komponen infrastruktur jaringan komputer Bank Indo-

nesia (BI-Net) dalam rangka implementasi RTGS dengan

melakukan audit terhadap BI-Net.

Dalam tahun laporan, transaksi menggunakan alat

pembayaran bukan tunai juga meningkat cukup tajam, baik

yang berbasis warkat maupun yang menggunakan kartu

elektronik. Sampai akhir tahun 2000, nominal kliring penyerahan

secara nasional menunjukkan peningkatan sebesar 41,7% dari

tahun 1999, sedangkan volume warkat kliring penyerahan

mengalami penurunan sebesar 7,9 %. Peningkatan nominal

kliring penyerahan yang cukup besar terjadi pada triwulan IV/

2000, terutama berkaitan dengan adanya serangkaian

perayaan hari besar keagamaan pada penghujung tahun

2000. Sementara itu, penurunan volume warkat kliring

penyerahan yang terjadi pada triwulan IV/2000 dapat menjadi

indikasi awal bahwa implementasi BI-RTGS sangat diminati oleh

kalangan perbankan nasional. Hal tersebut ditunjukkan

dengan kecenderungan beralihnya aktivitas kliring nilai besar

pada wilayah kliring Jakarta, dari Otomasi Kliring Jakarta (OKJ)

dan Sistem Kliring Elektronis Jakarta (SKEJ) ke BI-RTGS.

Prospek Ekonomi Dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Kondisi Makroekonomi

Prospek perekonomian Indonesia tahun 2001 diprakirakan akan

membaik sejalan dengan berbagai perkembangan positif baik

dari sisi eksternal maupun internal. Hal ini diindikasikan dari

hasil survey maupun Indikator Dini Ekonomi (leading economic

Page 22: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

13

Bab 1 Tinjauan Umum

diprakirakan akan meningkat khususnya impor bahan baku dan

barang modal. Dengan perkembangan tersebut surplus transaksi

berjalan diprakirakan akan sedikit menurun menjadi sekitar 2,0%–

4,0% dari PDB. Namun, secara keseluruhan kinerja neraca

pembayaran Indonesia diharapkan masih akan tetap

terpelihara. Sementara itu, beban pembayaran utang luar

negeri diperkirakan akan mulai berkurang di tahun 2001

terutama utang luar negeri swasta sejalan dengan kemajuan

yang dicapai dalam restrukturisasi utang luar negeri swasta.

Dengan perkembangan tersebut, kondisi defisit neraca modal

diperkirakan akan semakin mengecil dibandingkan periode

tahun sebelumnya.

Nilai Tukar dan Inflasi

Faktor risiko dan ketidakpastian, khususnya akibat kondisi sosial-

politik dan keamanan yang belum membaik, masih akan

mempengaruhi perkembangan nilai tukar. Tekanan-tekanan

melemahnya nilai tukar rupiah masih akan dirasakan, namun

secara keseluruhan nilai tukar rupiah diprakirakan dapat

menguat sehingga mencapai rata-rata sekitar Rp7.750 – Rp8.250

per dolar AS pada tahun 2001. Dari sisi domestik, membaiknya

kondisi fundamental ekonomi Indonesia pada tahun 2001, baik

dari segi kinerja ekonomi maupun komitmen untuk melakukan

perbaikan struktural, diperkirakan akan meningkatkan ke-

percayaan terhadap perekonomian nasional. Di sisi lain, kondisi

politik dan keamanan dalam negeri diharapkan semakin

kondusif. Sementara itu, dari sisi eksternal, kecenderungan

melambatnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat pada

tahun 2001 diperkirakan akan mendorong penurunan suku

bunga dolar AS, yang pada gilirannya akan menghambat laju

apresiasi dolar AS secara global. Patut dikemukakan bahwa nilai

tukar rupiah secara riil (real effective exchange rate/REER)

diperkirakan akan tetap kompetitif sehingga tetap dapat

mendukung proses perbaikan struktur ekonomi dan alokasi

sumber-sumber daya ke arah yang lebih efisien.

Dengan memperhatikan kecenderungan-kecen-

derungan yang terjadi, tekanan-tekanan kenaikan harga

pada tahun 2001 diprakirakan akan tetap besar. Hal ini

disebabkan masih tingginya ekspektasi inflasi seiring dengan

meningkatnya penggunaan kapasitas produksi dan cukup

kuatnya sisi permintaan. Di sisi lain, rencana Pemerintah untuk

meningkatkan harga BBM, harga dasar gabah, cukai rokok,

gaji PNS dan UMR diprakirakan juga akan memberikan dampak

pada inflasi. Selain itu, mulai diberlakukannya otonomi daerah

pada tahun 2001 dikhawatirkan akan dapat memacu laju

inflasi, terutama apabila daerah berlomba-lomba untuk

meningkatkan pungutan, retribusi, ataupun pajak daerah. Oleh

karena itu, upaya untuk meredam tekanan-tekanan inflasi

harus dapat dilakukan secara pre-emptive tanpa meng-

ganggu proses pemulihan ekonomi nasional.

Sasaran Inflasi

Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek

makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan

harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank

Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 diluar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-

patan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak kebijakan

Pemerintah Pusat di bidang harga dan pendapatan yang

telah teridentifikasi seperti peningkatan gaji pegawai negeri

sipil (PNS), TNI dan Polri, kenaikan UMR, pengurangan subsidi

BBM, kenaikan harga dasar gabah, serta kenaikan cukai rokok,

diprakirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju

inflasi sekitar 2,0%–2,5% diatas sasaran tersebut.

Tantangan Ke depan

Gambaran mengenai prospek ekonomi, nilai tukar dan

sasaran inflasi tersebut akan sangat dipengaruhi oleh

kemajuan dalam penyelesaian berbagai permasalahan

mendasar dalam perekonomian dan perkembangan

berbagai faktor risiko dan ketidakpastian. Upaya mengatasi

berbagai faktor tersebut akan menjadi kunci keberhasilan

dalam menjamin prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik

pada tahun 2001 dan tahun-tahun mendatang. Berbagai

faktor risiko dan ketidakpastian tersebut antara lain

mencakup:

– Pertama, kemungkinan berlanjutnya ketidakpastian kondisi

politik dan keamanan dalam negeri. Berlanjutnya

Page 23: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

14

Bab 1 Tinjauan Umum

hukum, termasuk penegakan hukum, terutama melalui

penerapan UU kepailitan maupun pembenahan secara

menyeluruh institusi yudikatif di Indonesia.

– Ketujuh, dari sisi eksternal, ketidakpastian dan risiko yang

mungkin terjadi adalah melambatnya perekonomian

Amerika Serikat sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi

global secara tajam (hard landing). Melambatnya

ekonomi AS ini merupakan ancaman bagi optimisme

terhadap kinerja ekspor sebagai salah satu motor

penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2001.

Arah Kebijakan

Dengan memperhatikan prospek ekonomi di tahun 2001 dan

sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai tantangan yang

muncul, Bank Indonesia akan berupaya untuk secara konsisten

dan berhati-hati menempuh kebijakan-kebijakan di bidang

moneter, sistem pembayaran dan perbankan.

Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan Bank Indo-

nesia di bidang moneter tetap diarahkan pada upaya

mengendalikan tekanan inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah

melalui pengendalian instrumen-instrumen moneter yang

mengacu pada sasaran uang primer. Guna mencapai sasaran

laju inflasi di atas, Bank Indonesia berkeyakinan bahwa tingkat

pertumbuhan uang primer yang sesuai dengan sasaran inflasi

serta tidak menimbulkan risiko yang berlebihan pada proses

pemulihan perbankan dan ekonomi secara keseluruhan,

adalah berada pada kisaran 11,0%-12,0%. Sasaran

pertumbuhan ini dihitung berdasarkan perkembangan uang

primer bulan Desember 2000, dengan melakukan koreksi atas

unsur musiman yang cukup signifikan pada bulan tersebut.

Pencapaian target instrumen-instrumen moneter

dimaksud tetap akan mengacu pada pelaksanaan kegiatan

OPT melalui lelang SBI. Secara umum, strategi pengelolaan

moneter tahun 2001 untuk mendukung OPT tersebut mencakup

langkah-langkah sebagai berikut :

(i) OPT melalui intervensi rupiah untuk sementara waktu akan

dioptimalkan untuk mendukung pencapaian sasaran uang

primer yang telah ditetapkan, tanpa harus menimbulkan

dampak yang berlebihan pada kenaikan suku bunga SBI.

ketidakpastian tersebut berpotensi meningkatnya coun-

try risk Indonesia, penanganan berbagai masalah ekonomi

menjadi lambat dan tidak pasti, serta mendorong kegiatan

spekulasi dalam pasar valuta asing.

– Kedua, masih lambannya proses restrukturisasi utang

perusahaan. Kondisi ini telah menyebabkan peningkatan

kegiatan ekonomi dan penyaluran kredit perbankan tidak

dapat berjalan lebih cepat, karena sebagian besar

perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi

tersebut merupakan komponen terbesar dari

perekonomian nasional.

– Ketiga, proses intermediasi perbankan yang belum berjalan

normal. Ekspansi kredit perbankan masih terbatas karena

masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian, banyaknya

perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi,

maupun kondisi internal perbankan. Kondisi ini sangat

membatasi sumber pembiayaan kegiatan ekonomi,

sehingga kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai oleh

dana sendiri (self-financing). Selain itu, dorongan bagi

perbankan untuk mobilisasi dana relatif rendah, sehingga

menyebabkan suku bunga deposito rendah dan

mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dananya

untuk konsumsi ataupun jenis investasi lain.

– Keempat, beban keuangan pemerintah yang masih berat,

terutama ditengarai oleh pengeluaran subsidi dan utang

pemerintah yang masih besar. Sementara kemajuan dalam

asset recovery BPPN maupun privatisasi BUMN diperkirakan

belum dapat menutupi beban keuangan pemerintah.

Dengan kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk

percepatan pemulihan ekonomi menjadi sangat terbatas.

– Kelima, kelancaran pelaksanaan otonomi daerah mulai

tahun 2001 menjadi kunci bagi keberhasilan proses

pemulihan ekonomi dan pemerataan pembangunan ke

depan. Ancaman terhadap pemulihan ekonomi dan inflasi

akan muncul apabila pengeluaran daerah menjadi tidak

terkoordinasi maupun apabila daerah berlomba-lomba

untuk meningkatkan pungutan, retribusi dan pajak daerah.

– Keenam, ketidakpastian hukum di Indonesia. Berbagai

kasus hukum masih memerlukan pembenahan sistem

Page 24: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

15

Bab 1 Tinjauan Umum

(ii) Sterilisasi valuta asing akan tetap menjadi opsi yang

terbuka khususnya untuk menyerap kelebihan likuiditas di

pasar sebagai akibat ekspansi pengeluaran pemerintah

yang bersumber dari dana luar negeri.

(iii) Surat berharga jangka pendek pemerintah (T–Bills) dan

obligasi pemerintah yang diperkirakan akan aktif diper-

dagangkan di pasar sekunder akan digunakan sebagai

instrumen moneter yang pada waktunya akan

menggantikan SBI.

(iv) Kebijakan nilai tukar yang dapat secara langsung

mengurangi gejolak nilai tukar rupiah juga akan tetap

menjadi opsi yang terbuka dengan tetap berdasar pada

sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas.

Sementara di bidang perbankan, kebijakan Bank In-

donesia akan diarahkan pada upaya untuk memelihara hasil

dari program restrukturisasi perbankan serta untuk

memperbaiki fungsi intermediasi bank, dengan tetap

mengacu kepada asas kehati-hatian dalam pengelolaan

perbankan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank

Indonesia akan mengupayakan agar perbankan

meningkatkan manajemen risiko dengan mengeluarkan risk

management guideline bagi bank-bank. Sebagai syarat

dapat dilaksanakannya manajemen risiko dan pengawaan

berdasarkan risiko (risk-based supervision), perlu dilakukan

pembenahan sistem informasi di bank-bank. Sementara itu,

berkaitan dengan pemisahan fungsi pengawasan bank dari

Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UU, Bank

Indonesia terus melakukan berbagai persiapan agar

pengalihan fungsi pengawasan tersebut berjalan dengan

lancar sehingga tidak mengganggu sistem perbankan.

Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan kebijakan

moneter dan mempercepat pemulihan sektor perbankan,

kebijakan di bidang sistem pembayaran akan diarahkan

untuk mempercepat pengembangan dan pelaksanaan

sistem pembayaran nasional yang efisien, akurat, aman, dan

handal melalui peningkatan mutu pelayanan jasa sistem

pembayaran. Salah satunya diwujudkan dengan mengem-

bangkan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) yang pada

tahun 2000 telah mulai diimplementasikan. Disamping itu,

guna meningkatkan efisiensi perbankan dan mempercepat

proses kliring antar bank, pada tahun 2001 Bank Indoneisa

akan menerapkan Bulk Interbank Payment System (BIPS),

yaitu kliring khusus untuk transaksi-transaksi bulk sehingga

transaksi antar bank lainnya yang telah dilakukan melalui

kliring menjadi lebih cepat.3) Sementara itu, untuk

mengefisienkan proses pembukuan dan switching pada

bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta untuk

memberikan tambahan kemudahan dan keamanan bagi

para para nasabah penggunanya, maka Bank Indonesia

akan memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral

suassion) bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat

mengkoneksikan jaringannya satu sama lain.

Penutup

Berbagai langkah kebijakan yang telah dan akan ditempuh

Bank Indonesia tersebut merupakan perwujudan nyata dari

komitmen Bank Indonesia untuk melaksanakan dengan

sungguh-sungguh amanat UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia juga telah

menempuh berbagai langkah kebijakan di bidang mana-

jemen intern untuk memberikan dukungan yang cepat, tepat

dan handal bagi pelaksanaan tugas-tugas di bidang moneter,

perbankan, dan sistem pembayaran. Dukungan manajemen

intern yang semakin berkualitas tersebut tercermin dari

berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan dan dilaporkan

dalam Laporan Triwulanan yang telah disampaikan kepada

DPR dan dipublikasikan kepada masyarakat luas. Di samping

penyempurnaan di bidang organisasi dan pengembangan

sumber daya manusia, kebijakan yang diambil mencakup pula

peningkatan manajemen keuangan intern, pengembangan

sistem teknologi informasi, peningkatan kebijakan hukum,

peningkatan sistem pengawasan intern, pengembangan pro-

gram kehumasan, manajemen dokumen dan peningkatan

manajemen di bidang logistik.

3) Transaksi bulk adalah transaksi antar bank yang bersifat rutin denganvolume tinggi dan bernilai nominal rendah seperti transaksipembayaran gaji/upah, kartu kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihantelepon/listrik/air, dan lain-lain.

Page 25: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

16

Bab 1 Tinjauan Umum

Suatu kemajuan berarti juga telah dicapai pada tahun

2000 dalam penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

(BLBI). Dalam Rapat Kerja tanggal 10 Oktober 2000, Komisi IX

DPR RI telah meminta Pemerintah dan Bank Indonesia untuk

segera menyelesaikan masalah BLBI sebesar Rp144,5 triliun.

Kesepakatan penyelesaian BLBI tersebut dicapai pada tanggal

17 November 2000, antara lain diputuskan adanya pembagian

beban (burden sharing) keuangan antara Bank Indonesia

dengan Pemerintah. Dengan memperhitungkan kemampuan

keuangan Bank Indonesia, maka disepakati BLBI yang menjadi

beban Bank Indonesia sebesar Rp24,5 tril iun sehingga

Pemerintah tidak perlu melakukan penambahan modal Bank

Indonesia. Pembebanan tersebut dilakukan dengan penerbitan

Surat Utang Bank Indonesia (SU–BI) pada tanggal 5 Desember

2000 kepada Pemerintah dengan persyaratan yang sama

dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) No. 1 dan No. 3. Dalam

kesepakatan tersebut, Pemerintah juga menegaskan tidak akan

menarik kembali SUP yang telah diterbitkan dalam rangka

pengalihan BLBI kepada Bank Indonesia. Dengan tercapainya

penyelesaian BLBI tersebut, kredibilitas dan kepercayaan

kepada Bank Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan

sehingga mampu mendukung peran strategisnya dalam

pembangunan ekonomi nasional (Boks : Penyelesaian Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)).

Di samping itu, dalam tahun 2000 Bank Indonesia juga

melanjutkan langkah-langkah divestasi penyertaan Bank In-

donesia pada beberapa bank dan perusahaan sebagai

implementasi UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Langkah yang ditempuh antara lain dengan telah berhasilnya

penjualan saham di dua bank yaitu PT. Bank Niaga dan PT.

Bank Utama. Di samping itu, langkah divestasi lain yang masih

dilakukan adalah proses divestasi penyertaan Bank Indonesia

pada beberapa bank seperti Indover Bank dan PT. Bank

Danamon serta pada beberapa perusahaan seperti PT.

Askrindo, PT. Bahana dan PT. Bina Usaha Indonesia (Boks :

Divestasi Penyertaan Bank Indonesia).

Sebagaimana telah dikemukakan, pelaksanaan tugas-

tugas Bank Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai

perkembangan baik di bidang ekonomi maupun kondisi politik

dan keamanan dalam negeri. Salah satu perkembangan penting

yang mempengaruhi pelaksanaan tugas Bank Indonesia adalah

adanya usulan amandemen terhadap UU No. 23 tentang Bank

Indonesia (UU BI) pada akhir tahun laporan. Sebagaimana

diketahui, usulan amandemen UU BI tersebut berasal dari

Pemerintah, sementara keterlibatan Bank Indonesia dalam proses

amandemen tersebut terbatas sebagai nara sumber. Pada

prinsipnya Bank Indonesia berpendapat bahwa amandemen

tersebut belum perlu dilakukan antara lain karena UU BI tersebut

belum lama diundangkan. Berbagai komentar yang muncul atas

UU BI lebih banyak disebabkan belum tersosialisasinya UU BI

dengan baik. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia berpendapat

bahwa tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah serta aspek-aspek independensi sebagaimana

tercantum dalam UU BI tersebut perlu tetap dipertahankan. UU BI

tersebut pada dasarnya juga telah memuat aspek akuntabilitas

seperti kinerja, pelaksanaan tugas dan wewenang, keuangan,

etika dan hukum pidana. Selain itu, masalah koordinasi antara

Bank Indonesia dengan Pemerintah juga telah secara tegas dan

jelas diatur dalam UU BI tersebut (Boks : Amandemen Undang-

Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia).

Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank Indonesia

di tahun 2001 yang ditempuh Bank Indonesia pada hakikatnya

merupakan salah satu langkah dari kerangka kebijakan eko-

nomi makro secara keseluruhan. Gambaran prospek dan arah

kebijakan yang akan ditempuh Bank Indonesia di atas sudah

tentu sangat tergantung pada perkembangan politik dan

keamanan di dalam negeri serta langkah-langkah kebijakan

di bidang lain untuk mengatasi berbagai permasalahan dan

faktor risiko seperti yang telah dikemukakan di atas. Di samping

itu, beberapa aspek penting seperti perlunya koordinasi yang

lebih baik dalam pengambilan keputusan kebijakan,

pentingnya pemupukan kesatuan pandang dan kemitraan

yang lebih mendalam antara Pemerintah dan Bank Indone-

sia, serta beberapa instansi terkait lainnya, juga sangat

diperlukan agar terdapat sinergi dalam berbagai langkah

kebijakan yang ditempuh. Dengan demikian, kepercayaan

para pelaku ekonomi diharapkan semakin tumbuh dan

percepatan pemulihan ekonomi akan semakin terwujud.

Page 26: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

17

Bab 1 Tinjauan Umum

Dalam tahun 2000, penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank

Indonesia (BLBI) merupakan permasalahan yang menuntut

perhatian dan langkah-langkah nyata dari berbagai pihak,

termasuk Bank Indonesia. Hal ini t idak saja karena

kompleksitas permasalahan yang ada, tetapi juga

mengingat implikasi keuangan terhadap APBN dan neraca

Bank Indonesia serta implikasi hukum yang mungkin terjadi

baik dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI

tersebut. Bagi Bank Indonesia, penyelesaian BLBI tersebut

merupakan bagian tidak terpisahkan dari langkah-langkah

untuk memulihkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap

Bank Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya

sebagai bank sentral yang sangat diperlukan bagi

penyehatan perbankan dan pemulihan ekonomi secara

keseluruhan.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka memperoleh

kejelasan dan langkah-langkah penyelesaian BLBI tersebut,

DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) BLBI. Dalam

laporannya tanggal 6 Maret 2000, Panja BLBI Komisi IX DPR-RI

menyebutkan bahwa BLBI merupakan kebijakan Pemerintah

dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Bahkan dari

tanggung jawab finansial, Pemerintah bertanggung jawab

dari kemungkinan terjadinya likuidasi, karena equity Bank In-

donesia merupakan kekayaan negara. Dalam aspek hukum

DPR merekomendasikan agar Jaksa Agung, Kapolri,

Mahkamah Agung, Menkumdang, secepatnya merumuskan

formulasi kebijaksanaan hukum secara jelas dan transparan

mengenai arah kebijaksanaan penyelesaian BLBI termasuk

pelanggaran BMPK. Pimpinan DPR juga menjanjikan untuk

menjembatani perbedaan pendapat antar Bank Indonesia

dengan Menteri Keuangan mengenai status BLBI dalam

neraca Bank Indonesia.

Sebagai tindak lanjut dari hasil Panja BLBI tersebut, DPR-

RI telah meminta BPK-RI untuk melakukan audit investigasi

terhadap penyaluran BLBI di Bank Indonesia dan penggunaan

BLBI di bank-bank penerima dana BLBI. Bank Indonesia

menyambut baik audit investigasi yang dilakukan oleh BPK-RI

tersebut sebagai bagian dari usaha menegakkan transparansi

dan akuntabilitas. Namun demikian, Bank Indonesia meman-

dang bahwa dalam hasil audit investigasi tersebut BPK-RI

belum memberikan penilaian yang berimbang baik dari sudut

kebijakannya maupun pelaksanaan penyaluran BLBI di

lapangan. Padahal, sebagaimana diketahui, kebijakan

penyaluran BLBI pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk

mengatasi krisis perbankan dan perekonomian yang terjadi

yang ditempuh Pemerintah pada waktu itu. Oleh karena itu,

dalam melihat masalah BLBI, sewajarnya latar belakang

kebijakan pemerintah untuk memberikan BLBI juga diberikan

bobot yang proporsional.

Bank Indonesia juga berpendapat bahwa audit BPK-RI

tersebut terlalu menitikberatkan kepada compliance audit dan

bukan kepada policy audit. Dalam pelaksanaannya, BPK-RI

kurang mempertimbangkan bahwa Bank Indonesia pada

dasarnya hanya melaksanakan kebijakan Pemerintah dengan

pertimbangan dalam situasi krisis perbankan yang terjadi pada

saat itu diperlukan suatu tindakan dalam upaya menjaga

eksistensi perbankan Indonesia yang apabila tidak dilakukan

akan menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang lebih

parah. Banyak temuan yang diistilahkan penyimpangan oleh

BPK-RI hanya didasarkan kepada penerapan ketentuan/

kebijakan Bank Indonesia pada situasi kondisi normal,

sementara penyaluran BLBI adalah suatu konsekuensi yang

harus ditempuh dalam situasi krisis. Sementara itu, berkaitan

dengan penyelesaian di sisi hukum terhadap BLBI tersebut,

Bank Indonesia akan selalu mendukung proses hukum itu

dengan bersikap terbuka dan kooperatif terhadap upaya

transparansi termasuk rangkaian penyidikan oleh pihak

Kejaksaaan Agung.

Selanjutnya, dalam rangka mempercepat proses

penyelesaian BLBI tersebut, pada tanggal 10 Oktober 2000

DPR-RI telah mengadakan Rapat Kerja dengan Pemerintah

dan Bank Indonesia. Dalam Rapat kerja tersebut, Komisi IX

DPR RI telah meminta Pemerintah dan Bank Indonesia untuk

segera menyelesaikan masalah BLBI sebesar Rp144,5 triliun

Boks : Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

Page 27: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

18

Bab 1 Tinjauan Umum

secara tuntas dalam waktu 30 hari. Dalam rangka

penyelesaian masalah BLBI tersebut, telah dicapai

kesepakatan antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang

tertuang dalam Pokok-Pokok Kesepakatan Pemerintah dan

Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian BLBI tanggal 17 No-

vember 2000. Dalam kesepakatan tersebut antara lain

diputuskan adanya pembagian beban (burden sharing)

keuangan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah.

Dengan memperhitungkan kemampuan keuangan Bank In-

donesia, maka yang menjadi beban Bank Indonesia adalah

sebesar Rp 24,5 triliun. Pembebanan tersebut dilakukan

dengan cara penerbitan Surat Utang Bank Indonesia (SU-BI)

kepada Pemerintah yang persyaratannya sama dengan

persyaratan Surat Utang Pemerintah (SUP) No.1 dan No.3.

Dengan demikian, Pemerintah tidak perlu melakukan

penambahan modal Bank Indonesia. Dalam kesepakatan

tersebut di atas, Pemerintah juga menegaskan tidak akan

menarik kembali SUP yang telah diterbitkan dalam rangka

pengalihan BLBI kepada Bank Indonesia.

Penerbitan SU-BI dilakukan dengan pertimbangan

antara lain sebagai berikut:

1. Penerbitan SU-BI tidak akan mengubah perikatan-

perikatan hukum yang telah dilakukan oleh BPPN, dan

pada akhirnya, tidak mengurangi kepastian hukum bagi

upaya asset recovery di kemudian hari.

2. Penerbitan SU-BI telah mempertimbangkan dampak

moneter, khususnya peningkatan jumlah uang beredar

yang mungkin terjadi apabila penyelesaian BLBI tersebut

dilakukan dengan cara lain.

Sebagai pelaksanaan dari Pokok-Pokok Kesepakatan

tersebut, Bank Indonesia pada tanggal 5 Desember 2000

telah menerbitkan SU-BI kepada Pemerintah sebesar Rp24,5

triliun dengan persyaratan yang sama dengan SUP yang

telah dikeluarkan oleh Pemerintah (SUP 001/MK/1998 dan SU

003/MK/1999), dan telah disampaikan kepada Menteri

Keuangan dengan surat No.2/2/DGS/DKI tanggal 5

Desember 2000. Jangka waktu SU-BI tersebut adalah 18

tahun 2 bulan, dan akan berakhir pada 7 Februari 2019

(termasuk masa tenggang 3 tahun).

SU-BI sebesar Rp 24,5 triliun tersebut telah dibebankan

ke rekening Surplus/Defisit Bank Indonesia tahun 2000 sebagai

pos Luar Biasa dan disajikan di Neraca Bank Indonesia tahun

2000 sebagai Pinjaman dari Pemerintah dalam Rupiah. Perlu

diinformasikan bahwa walaupun pembebanan atas Surplus/

Defisit tahun 2000 telah dilakukan namun posisi Surplus Bank

Indonesia tampak masih positif. Konsekuensi lanjut dari

penerbitan SU-BI tersebut adalah adanya kewajiban Bank In-

donesia untuk membayar bunga dan angsuran pokok, yang

dibayarkan setiap 6 bulan sekali, masing-masing dimulai pada

1 Februari 2001 dan 1 Februari 2004.

Akhirnya, dengan tercapainya penyelesaian BLBI

tersebut, kredibilitas dan kepercayaan kepada Bank Indone-

sia diharapkan dapat ditingkatkan sehingga mampu

mendukung peran strategisnya dalam mempercepat

pemulihan ekonomi nasional.

Page 28: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

19

Bab 1 Tinjauan Umum

Boks : Divestasi Penyertaan Bank Indonesia

Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank

Indonesia pasal 64 ayat 2 dan pasal 77 disebutkan bahwa

Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal

pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat

diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan

dengan persetujuan DPR. Penyertaan yang tidak memenuhi

ketentuan dimaksud wajib dilepaskan dalam jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang

tersebut yaitu pada tanggal 17 Mei 2001. Sebagaimana

diketahui, penyertaan Bank Indonesia pada awalnya

dimaksudkan untuk membantu upaya penyelamatan bank,

sedangkan penyertaan pada lembaga keuangan bukan

bank (LKBB) dilakukan dalam rangka pengembangan pasar

finansial dan membantu program pemerintah dalam

pengembangan usaha kecil dan menengah.

Divestasi penyertaan Bank Indonesia dilakukan dengan

pertimbangan agar pengawasan perbankan dapat dilakukan

secara obyektif dan terhindar dari konflik kepentingan antara

Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank

dengan Bank Indonesia sebagai pemegang saham. Proses

divestasi telah dilakukan secara bertahap sejak tahun 1994

melalui berbagai cara antara lain penjualan sebagian atau

seluruh saham, tidak melakukan penambahan modal, tidak

menggunakan hak right issue dan membatasi atau mengu-

rangi pinjaman subordinasi bahkan tidak menyetujui usulan

untuk mengkonversinya menjadi penyertaan.

Berbagai langkah telah dilakukan Bank Indonesia da-

lam proses divestasi tersebut. Hal ini terlihat baik dari semakin

kecilnya prosentase penyertaan maupun keikutsertaan Bank

Indonesia pada beberapa bank dan LKBB. Langkah yang

ditempuh antara lain dengan telah berhasilnya penjualan

saham di 2 bank yaitu PT. Bank Niaga dan PT. Bank Utama

sehingga penyertaan Bank Indonesia di 11 perusahaan telah

menurun menjadi 9 perusahaan.

Langkah divestasi lainnya yang saat ini dilakukan adalah

proses divestasi Bank Indonesia pada beberapa bank seperti

Indover Bank, Bank Danamon dan beberapa Bank Beku

Kegiatan Usaha (BBKU) serta Bank Pacific (bank dalam

likuidasi). Dalam hal Indover Bank, proses penjualan saham

bank tersebut menunggu hasil kajian dari Tim Divestasi bersama

ABN Amro sebagai Financial Advisor-nya. Untuk Bank

Danamon, penjualan masih menunggu membaiknya harga

saham yang saat ini diperkirakan masih sangat rendah.

Sementara itu, divestasi pada beberapa bank BBKU dan bank

dalam likuidasi menunggu hasil dari Tim likuidasi.

Selain itu, rencana divestasi pada 3 LKBB yang ada (PT.

Askrindo, PT. Bahana, dan PT. Bina Usaha Indonesia) saat ini

tengah diproses melalui Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) di masing-masing perusahaan untuk kemudian ditunjuk

jasa konsultan independen dalam melakukan due diligence

pada masing-masing lembaga keuangan tersebut.

Sejalan dengan berbagai langkah dalam program

divestasi di atas, maka posisi penyertaan Bank Indonesia pada

bank dan LKBB per 31 Desember 2000 adalah sebagai berikut :

Posisi Penyertaan Bank Indonesia pada Bank-bank danLKBB Per 31 Desember 2000

Penyertaan

Nominal (Rp) Persentase

1. Indover Bank Amsterdam 53.905.437.110,00 100,00

2. PT Bank Danamon (d/h PT Bank PDFCI) 10.889.285.000,00 0,003

3. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia 9.500.000.000,00 42,22

4. PT Asuransi Kredit Indonesia 175.568.800.000,00 55,00

5. PT Bina Usaha Indonesia 2.872.000.000,00 57,44

6. PT Bank Papan Sejahtera (BBKU) 4.462.474.000,00 5,76

7. PT Bank Ficorinvest (BBKU) 5.545.750.811,00 6,42

8. PT Bank Uppindo (BBKU) 14.238.000.000,00 23,20

9. PT Bank Pacific (Bank Dalam Likuidasi) 30.600.000.000,00 51,00

No. Bank/LKBB

Page 29: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

20

Bab 1 Tinjauan Umum

Boks : Amandemen Undang-Undang No. 23 Tahun 1999Tentang Bank Indonesia

sebagai narasumber. Dalam perkembangannya, Bank Indo-

nesia telah memberikan pandangan dan masukan kepada

Panitia Khusus DPR-RI tentang Amandemen UU BI pada

tanggal 7 Desember 2000. Pada prinsipnya Bank Indonesia

berpendapat bahwa amandemen terhadap UU BI tersebut

belum perlu dilakukan karena antara lain UU BI belum lama

diundangkan, bahkan belum seluruh ketentuan dalam UU BI

ditindaklanjuti dengan ketentuan pelaksanaan yang lebih

rendah, sehingga Bank Indonesia belum dapat menilai

kelemahan-kelemahan dari UU BI yang menyebabkan perlu

dilakukan amandemen. Bank Indonesia juga berpandangan

bahwa komentar-komentar yang muncul atas UU BI lebih

banyak disebabkan belum tersosialisasinya UU BI dengan baik.

Dalam perkembangannya, baik atas usulan dari DPR-

RI maupun tambahan usulan dari Pemerintah, materi

amandemen UU BI bertambah dalam mengevaluasi pasal-

pasal UU BI. Namun demikian, ada satu hal penting untuk

dicatat yaitu seluruh pihak yang terkait dengan

amandemen UU BI senantiasa mengemukakan akan tetap

menghormati independensi Bank Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya. Di samping itu,

tujuan Bank Indonesia yang telah ditetapkan dalam UU BI

yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai ru-

piah tidak akan diubah.

Berkaitan dengan materi amandemen UU BI tersebut,

terdapat beberapa hal penting yang menurut Bank Indone-

sia perlu disikapi secara hati-hati, yaitu mengenai tujuan,

independensi, akuntabill itas, dan koordinasi dengan

pemerintah. Seperti diketahui, dalam pasal 7 UU No.23/1999,

Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal (single objective),

yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan

tunggal ini perlu dipertahankan karena pertama tidak

terdapat ambiguity dalam penetapan dan pencapaian

tujuannya. Kedua, tujuan yang fokus akan lebih memperjelas

Bank Indonesia dalam mempertanggungjawabkan kinerjanya.

Walaupun dalam UU tersebut tujuan terfokus dalam mencapai

dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dalam pelak-

sanaannya Bank Indonesia juga sudah memperhitungkan

Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-

undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

(amandemen UU BI) diajukan oleh Pemerintah kepada DPR-

RI tanggal 20 November 2000. Alasan-alasan pengajuan

amandemen UU BI adalah untuk melakukan penataan

kembali lembaga-lembaga negara, termasuk Bank Indone-

sia, agar sejalan dan dapat mendukung program

pembangunan nasional yang diatur dalam Undang-Undang

No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional,

perlunya pengaturan akuntabilitas yang lebih jelas dalam UU

BI sehingga memberi peluang kepada DPR-RI dan masyarakat

luas untuk melakukan kontrol terhadap Bank Indonesia serta

untuk menjamin terlaksananya supremasi hukum atas

kemungkinan terjadinya tanggung jawab pidana di antara

rangkaian kinerja Bank Indonesia secara lebih jelas.1)

Materi amandemen UU BI yang diajukan oleh

Pemerintah pada awalnya mencakup 5 (lima) pasal, yaitu

Pasal 38 mengenai Tugas dan Wewenang Dewan Gubernur,

Pasal 43 mengenai Rapat Dewan Gubernur, Pasal 48

mengenai Pemberhentian Anggota Dewan Gubernur, Pasal

54 mengenai Hubungan dengan Pemerintah dan Pasal 75

yaitu Ketentuan Peralihan yang berkaitan dengan Dewan

Gubernur .

Atas usulan Pemerintah tersebut, fraksi-fraksi di DPR-RI

menanggapi bahwa apabila usulan Pemerintah tersebut

dimaksudkan untuk memperbaiki Bank Indonesia baik dari

kelembagaan, personil maupun akuntabilitasnya, maka

materi yang disampaikan oleh Pemerintah belum men-

cerminkan maksud tersebut. Berkenaan dengan itu, maka

diperlukan amandemen lebih menyeluruh tidak terbatas pada

materi yang telah disampaikan oleh Pemerintah.2)

Sebagaimana diketahui, usul amandemen UU BI

tersebut berasal dari Pemerintah, sementara keterlibatan Bank

Indonesia dalam proses amandemen UU BI tersebut terbatas

1) Keterangan pemerintah di hadapan Rapat Paripurna DPR-RItanggal 27 November 2000

2) Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR-RI atas usulan amandemenUUBI

Page 30: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

21

Bab 1 Tinjauan Umum

perkembangan makroekonomi. Bahkan, kestabilan nilai rupiah

tersebut merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi

yang berkelanjutan. Dengan pertimbangan ini, tambahan

kalimat "dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap

sektor riil" juga tidak diperlukan dalam amandemen terhadap

pasal 8 UU BI tersebut.

Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan tugas dan

wewenang Bank Indonesia, aspek-aspek independensi

sebagaimana tercantum dalam pasal 4 dan 9 UU BI perlu

tetap dipertahankan. Dalam hubungan ini, keberadaan

pasal 9 dimaksudkan untuk menegaskan status independensi

Bank Indonesia baik secara kelembagaan maupun secara

fungsional dengan melarang pihak lain melakukan campur

tangan dalam pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia.

Untuk mengurangi kesan bahwa aturan dalam pasal ini

berlebihan dan kurang jelas, penyempurnaan dapat saja

dilakukan terutama mengenai pengertian campur tangan

dan kriterianya, mekanisme serta siapa yang lebih tepat

menilai ada tidaknya campur tangan tersebut. Apabila pasal

9 ini akhirnya disepakati untuk dihapus maka pasal 4 ayat

(2) dan pengaturan sanksi sebagaimana tercantum dalam

pasal 67 dan pasal 68 perlu tetap dipertahankan. Kalau tidak,

independensi tersebut akan kehilangan makna.

Independensi tanpa disertai kewajiban akuntabilitas

dan transparansi yang memadai dapat membawa bank

sentral menjadi tidak tersentuh oleh ketentuan hukum. Oleh

karena itu, UU BI telah menyeimbangkan independensi yang

dimilikinya dengan akuntabilitas yang mewajibkan Bank Indo-

nesia melakukan public accountability dan transparency. UU

BI sebagaimana tercermin di dalam beberapa pasalnya pada

dasarnya telah memuat beberapa aspek akuntabilitas seperti

kinerja, pelaksanaan tugas dan wewenang, keuangan, etika,

dan hukum pidana.

Akuntabilitas aspek kinerja (pasal 7) diwujudkan dalam

bentuk penyampaian informasi pada setiap awal tahun

kepada masyarakat mengenai hasil evaluasi pelaksanaan

kebijakan moneter setahun terakhir dan rencana kebijakan

dan sasaran-sasaran moneter tahun yang akan datang (pasal

58 ayat 1). Penyampaian informasi tersebut wajib disampaikan

pula oleh Bank Indonesia kepada DPR dan Presiden secara

tertulis (pasal 58 ayat 2). Sementara itu, akuntabilitas aspek

pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada

DPR secara triwulanan (pasal 58 ayat 3). Di samping itu, DPR

diberikan kewenangan pula untuk meminta BPK melakukan

pemeriksaan khusus kepada Bank Indonesia setiap saat

diperlukan (pasal 59).

Sedangkan akuntabilitas aspek keuangan dibagi dalam

aspek umum dan aspek anggaran. Aspek umum diwujudkan

dalam bentuk penyampaian laporan keuangan tahunan Bank

Indonesia kepada BPK (pasal 61), dan aspek anggaran

diwujudkan dalam bentuk penyampaian anggaran tahunan

kepada DPR (pasal 60).

Sementara itu, terkait dengan akuntabilitas moral dan

etika, UU BI menggariskan salah satu persyaratan untuk

diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur adalah memiliki

akhlak dan moral yang tinggi. Akuntabilitas moral dan etika

ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Gubernur ten-

tang Tata Tertib dan Tata Cara Penyelenggaran Tugas Dewan

Gubernur Bank Indonesia yang menyangkut prinsip-prinsip

dasar moral dan etika yang wajib ditaati Dewan Gubernur.

Adapun akuntabilitas hukum anggota Dewan Gubernur

Bank Indonesia tentu saja sebagai warga negara mereka tidak

kebal hukum. Asas equality before law juga berlaku terhadap

tindakan yang melanggar rambu-rambu hukum. Hanya saja,

dalam konteks pelaksanaan tugas, dalam UU BI memang perlu

melakukan penegasan mengenai perlindungan hukum

tersebut. Dalam hal ini, setiap kebijakan atau keputusan yang

diambil berdasarkan kewenangannya dalam rangka

melaksanakan tugas dan kewajiban menurut UU BI dan

dilakukan dengan itikad baik merupakan tanggung jawab

Bank Indonesia sebagai kelembagaan dan tidak dapat

dibebankan sebagai tanggung jawab masing-masing

anggota Dewan Gubernur atau pejabat Bank Indonesia

secara individu.

Sejalan dengan pemahaman akan perlunya koordinasi

antarkebijakan ekonomi di dalam negara khususnya antara

kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dengan

kebijakan fiskal dan kebijakan lainnya yang ditempuh oleh

Pemerintah, masalah koordinasi dengan pemerintah secara

tegas dan jelas telah diatur dalam UU BI. Hal ini secara khusus

diatur dalam Bab VIII dan pasal-pasal lainnya seperti pasal 43

mengenai Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang menetapkan

bahwa dalam RDG bulanan untuk menetapkan kebijakan

umum di bidang moneter dapat dihadiri oleh seorang menteri

Page 31: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

22

Bab 1 Tinjauan Umum

atau lebih yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara

tanpa hak suara.

Dalam praktek yang telah dilakukan selama ini,

hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah telah

berjalan dengan cukup baik. Secara khusus, Bank Indone-

sia telah menyelenggarakan rapat koordinasi dengan

Pemerintah (Menteri-menteri bidang perekonomian) yang

dilakukan secara reguler setiap bulan untuk

mengkoordinasikan berbagai kebijakan yang telah

ditempuh serta membahas permasalahan-permasalahan

yang membutuhkan langkah penyelesaian bersama lebih

lanjut. Dalam upaya lebih meningkatkan koordinasi antara

Bank Indonesia dengan pemerintah dapat lebih terjalin

dengan baik dan agar masyarakat dapat mengetahui hasil-

hasil yang telah dicapai dalam rangka koordinasi tersebut,

salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah

pengaturan mekanisme kordinasi dan penyampaian hasil

rapat kordinasi tersebut kepada publik.

Page 32: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Kondisi MakroekonomiBab 2

Page 33: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

24

Bab 2 Kondisi Makroekonomib a b

2

Tabel 2.1Perkembangan PDB Riil

1998 1999* 2000**

Rincian Pertum- Kontri- Pertum- Kontri- Pertum- Kontri-

buhan busi (%) buhan busi (%) buhan busi (%)

PDB (riil) –13,1 –13,1 0,8 0,8 4,8 4,8

Menurut PengeluaranKonsumsi –7,1 –5,1 4,3 3,3 3,9 3,1-– Konsumsi Rumah

Tangga –6,2 –3,9 4,6 3,2 3,6 2,6-– Konsumsi Pemerintah –15,4 –1,1 0,7 0,0 6,5 0,5Investasi –33,0 –10,6 –19,4 –4,8 17,9 3,6Ekspor 11,2 3,1 –31,6 –11,3 16,1 3,9Impor –5,3 –1,7 –40,7 –14,3 18,2 3,8

Menurut Lapangan UsahaPertanian –1,3 –0,2 2,7 0,5 1,7 0,3Pertambangan –2,8 –0,2 –2,4 –0,2 2,3 0,2Industri Pengolahan –11,4 –2,8 3,8 1,0 6,2 1,6Listrik 3,0 0,0 8,3 0,1 8,8 0,1Bangunan –36,4 –3,0 –0,8 0,0 6,7 0,4Perdagangan –18,2 –3,1 0,1 0,0 5,7 0,9Pengangkutan –15,1 –1,1 –0,8 –0,1 9,4 0,7Lembaga Keuangan –26,6 –2,4 –7,5 –0,6 4,7 0,3Jasa-jasa –3,8 –0,3 1,9 0,2 2,2 0,2

Sumber : Badan Pusat Statistik

Kondisi Makroekonomi

Selama tahun 2000, perekonomian Indonesia menunjukkan

proses pemulihan yang semakin mantap dengan sumber

pertumbuhan yang semakin seimbang. Seluruh sektor/

kegiatan memberikan sumbangan yang positif terhadap

pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada tahun

laporan tumbuh cukup tinggi yakni sebesar 4,8%, lebih tinggi

dari yang diprakirakan pada awal tahun yakni berkisar 3,0%–

4,0% (Tabel 2.1).

Walaupun demikian, proses pemulihan ekonomi masih

menghadapi beberapa permasalahan mendasar yang

menahan percepatan pemulihan ekonomi seperti belum

selesainya restrukturisasi perbankan, kredit, dan perusahaan

yang disertai pula dengan tingginya ketidakpastian sosial,

politik dan keamanan. Permasalahan ini pada gilirannya

masih membatasi penanaman investasi baru yang sangat

dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan. Selain itu, besarnya beban pengeluaran

pemerintah terutama untuk pembayaran utang dan subsidi

menyebabkan terbatasnya stimulus fiskal guna mempercepat

proses pemulihan.

Dari sisi permintaan, telah terjadi pergeseran motor

pertumbuhan ekonomi, dari konsumsi menjadi ekspor dan

investasi yang telah memberikan kontribusi yang positif dan

signifikan. Dari sisi penawaran, semua sektor juga telah

tumbuh positif, dengan sektor industri pengolahan menjadi

penyumbang terbesar terhadap nilai tambah per-

ekonomian.

Perbaikan kondisi makroekonomi tersebut telah

mengurangi jumlah pengangguran terbuka. Jumlah perkara

dan tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan

kerjapun turut berkurang. Meskipun masih ada tekanan

inflasi, membaiknya pertumbuhan ekonomi dan adanya

kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai negeri

sipil, TNI dan Polri serta peningkatan upah minimum regional,

telah meningkatkan tingkat pendapatan riil yang diterima

pekerja.

Permintaan Agregat

Berbeda dengan pertumbuhan tahun sebelumnya, di mana

konsumsi menjadi satu-satunya kegiatan yang mencatat

pertumbuhan positif, pertumbuhan ekonomi dari sisi

pengeluaran pada tahun 2000 disumbang oleh pertumbuhan

ekspor, diikuti oleh investasi dan konsumsi. Sumbangan ekspor,

investasi, dan konsumsi terhadap pertumbuhan PDB masing-

masing mencapai 3,9%, 3,6%, dan 3,1%. Kuatnya kinerja

ekspor dan meningkatnya peran investasi mengindikasikan

semakin mantapnya proses pemulihan perekonomian yang

terjadi.

Ekspor barang dan jasa pada tahun laporan mencatat

pertumbuhan sebesar 16,1% dan memberi sumbangan pada

pertumbuhan PDB sebesar 3,9%. Pertumbuhan ini merupakan

Page 34: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

25

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

1) PBI No. 2/13/2000 tanggal 16 Mei 2000, tentang jaminan pembiayaanperdagangan internasional.

lonjakan yang besar dibandingkan dengan kontraksi yang

terjadi pada tahun sebelumnya sebesar 31,6%. Pertumbuhan

ekspor ini didukung oleh peningkatan ekspor nonmigas

khususnya ekspor sektor industri dan sektor pertambangan.

Kinerja ekspor yang tumbuh pesat tersebut terutama

disebabkan oleh tingginya permintaan dunia, masih

kompetitifnya produk ekspor Indonesia dan dukungan

kebijakan pemerintah dalam mendorong kegiatan ekspor.

Selain itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan ketentuan

mengenai jaminan pembiayaan perdagangan internasional

yang dilakukan oleh bank-bank umum.1) Seiring dengan

pertumbuhan kegiatan ekspor tersebut, pertumbuhan impor

barang dan jasa turut meningkat sebesar 18,2%. Peningkatan

impor tersebut erat kaitannya dengan tingginya pertumbuhan

investasi dan pertumbuhan sektor industri berorientasi ekspor

yang memiliki kandungan impor tinggi terutama untuk bahan

baku dan barang modal.

Penyumbang terbesar kedua dalam pembentukan PDB

dari sisi permintaan adalah investasi, yang mencatat

pertumbuhan sebesar 17,9% dan memberikan sumbangan

sebesar 3,6% terhadap PDB. Pertumbuhan investasi ini cukup

tinggi mengingat investasi masih mengalami kontraksi pada

tahun sebelumnya. Meskipun mencatat pertumbuhan yang

tinggi, nilai nominal investasi yang terjadi selama periode

laporan masih relatif terbatas dalam artian nilainya masih lebih

kecil dibandingkan dengan investasi yang terjadi pada

periode sebelum krisis. Peningkatan kinerja investasi ini

tercermin pada meningkatnya impor bahan baku dan barang

modal selama tahun laporan. Pertumbuhan investasi yang

tinggi ini memberikan sinyal proses pemulihan ekonomi telah

berada pada jalur yang tepat dan berkesinambungan. Hasil

Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga menunjukkan

adanya peningkatan kegiatan investasi sebagaimana

tercermin dari masih positifnya saldo bersih tertimbang dari

pengusaha yang melakukan investasi pada tahun 2000

dengan kecenderungan yang meningkat (Grafik 2.1). Angka

saldo bersih tertimbang yang positif ini menunjukkan lebih

banyak pengusaha yang merealisasikan rencana investasinya

pada tahun laporan.

Sumber pembiayaan kegiatan investasi tersebut

ditengarai sebagian besar bersumber dari modal sendiri (self-

financing), mengingat sumber pembiayaan yang berasal dari

kredit perbankan masih relatif terbatas. Sumber pembiayaan

self- financing tersebut antara lain berasal dari akumulasi laba

devisa hasil ekspor yang lebih banyak disimpan di luar negeri.

Hal ini antara lain terkait dengan masih tingginya faktor risiko

dan ketidakpastian di dalam negeri serta berbagai

kemudahan yang ditawarkan perbankan luar negeri dalam

pembiayaan ekspor.

Masih relatif terbatasnya pembiayaan kredit perbankan

dalam negeri antara lain disebabkan oleh masih adanya

beberapa permasalahan internal yang terkait dengan

masalah pemenuhan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan

pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).

Selain itu, beberapa permasalahan eksternal seperti

terbatasnya debitur potensial sehubungan masih banyaknya

debitur besar dalam proses restrukturisasi di BPPN dan relatif

tingginya penilaian perbankan terhadap risiko usaha juga turut

membatasi penyaluran kredit perbankan. Meskipun demikian,

penyaluran kredit oleh perbankan khususnya pada paro

0

10

20

30

40

50

60Perkiraan Investasi 1 Triwulan Kedepan

Realisasi Investasi

SBT*

I III I III I III I III I III

1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2000

Grafik 2.1Realisasi Investasi (SKDU)

* SBT (saldo tertimbang) adalah selisih anatara jawaban meningkat danmenurun dikalikan dengan bobot

Page 35: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

26

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

20

22

24

26

28

30

1995 1996 1997 1998 1999 2000*

Nisbah terhadap PDB

Investasi

Tabungan

Defisit

Surplus

kedua tahun 2000 meningkat relatif besar, dari Rp277.3 triliun

pada akhir tahun 1999 menjadi Rp320.4 triliun pada akhir tahun

2000. Pemberian kredit terutama diberikan oleh bank-bank

kelompok A --yaitu bank dengan CAR diatas 4%-- serta bank

asing dan campuran, sementara penyaluran kredit oleh bank

persero dan bank-bank dalam rekapitalisasi masih sangat

terbatas.

Berbagai permasalahan di atas menyebabkan potensi

sumber pembiayaan dari dalam negeri tidak dapat disalurkan

ke dalam bentuk investasi. Hal ini terefleksi dari masih besarnya

surplus kesenjangan tabungan-investasi (saving-investment

gap) pada tahun laporan (Grafik 2.2). Nisbah surplus kesenja-

ngan tabungan-investasi terhadap PDB meningkat dari 4,1%

menjadi 5,0% (Tabel 2.2). Kenaikan surplus ini berasal dari

kenaikan nisbah surplus kesenjangan tabungan – investasi

pada sektor swasta dari 5,1% menjadi 7,2%. Di lain pihak, sektor

pemerintah masih mencatat defisit pada nisbah kesenjangan-

tabungan investasi, yakni dari 1,0% menjadi 2,2%.2)

Peningkatan surplus kesenjangan tabungan-investasi

swasta terutama bersumber dari peningkatan tabungan

swasta yang lebih cepat dibandingkan peningkatan investasi.

Grafik 2.2Perkembangan Surplus/

Defisit Kesenjangan Tabungan Investasi

Sumber: Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)

2) Perhitungan kesenjangan tabungan-investasi untuk sektor pemerintahmenggunakan tahun kalender.

Peningkatan tabungan swasta tersebut sejalan dengan

peningkatan pendapatan yang masih lebih tinggi dari

konsumsi swasta. Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu dimana

konsumsi swasta tumbuh lebih tinggi dibandingkan

pertumbuhan pendapatan. Perkembangan ini meng-

gambarkan kondisi yang positif, terutama bila dibandingkan

tahun lalu dimana surplus yang terjadi disebabkan oleh

penurunan investasi yang lebih tajam daripada penurunan

tabungan.

Pada sektor pemerintah, peningkatan defisit berasal

dari penurunan tabungan pemerintah yang lebih besar dari

penurunan investasi pemerintah. Penurunan tabungan

pemerintah antara lain disebabkan oleh masih tingginya

pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak

Tabel 2.2Kesenjangan Tabungan Investasi

1998 1999 2000

triliun rupiah

PemerintahTabungan 48,0 62,9 36,1Investasi 49,8 74,2 64,4Defisit (–), surplus (+) –1,8 –11,3 –28,3

SwastaTabungan 236,4 222,8 342,5Investasi 193,2 166,1 249,5Defisit (–), surplus (+) 43,1 56,7 93,0

Tabungan Domestik Bruto 284,4 285,7 378,6Investasi

(a)243,0 240,3 313,9

Kesenjangan Tabungan Investasi 41,3 45,4 64,7PDB 955,8 1.110,0 1.290,7

persentase terhadap PDB

PemerintahTabungan 5,0 5,7 2,8Investasi 5,2 6,7 5,0Defisit (–), surplus (+) –0,2 –1,0 –2,2

SwastaTabungan 24,7 20,1 26,5Investasi 20,2 12,0 19,3Defisit (–), surplus (+) 4,5 5,1 7,2

Tabungan Domestik Bruto 29,8 25,7 29,3Investasi

(a)25,4 21,6 24,3

Kesenjangan Tabungan Investasi 4,3 4,1 5,0Transaksi Berjalan (dalam miliar USD) 4,1 5,8 7,7

Catatan :Rata-rata nilai tukar Rp/USD 10.088 7.850 8.400(a) Tidak termasuk perubahan stokSumber : Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)

Page 36: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

27

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Peningkatan konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi

antara lain disebabkan oleh adanya perbaikan pendapatan

masyarakat, mulai mengucurnya kredit konsumsi, dan

tingginya ekspektasi kenaikan harga yang mendorong

sebagian pelaku ekonomi untuk melakukan konsumsinya

sekarang. Rendahnya suku bunga tabungan/deposito

perbankan turut menyebabkan masih tingginya pengeluaran

konsumsi dalam tahun laporan. Peningkatan konsumsi tersebut

dicerminkan oleh sejumlah indikator konsumsi seperti

meningkatnya konsumsi semen dan penjualan kendaraan

bermotor. Konsumsi semen meningkat cukup tajam terutama

pada paro kedua tahun 2000 (Grafik 2.3). Hal ini sejalan dengan

mulai meningkatnya pertumbuhan sektor bangunan yang

cukup pesat setelah sempat mengalami kontraksi pada tahun

sebelumnya. Gambaran serupa juga terjadi pada penjualan

kendaraan bermotor yang menunjukkan kecenderungan

meningkat (Grafik 2.4). Selain menunjukkan masih mening-

katnya konsumsi masyarakat, kedua indikator tersebut

menyiratkan masih terjadinya alokasi pengeluaran yang

terkonsentrasi pada barang-barang tahan lama (durable

goods). Indikator konsumsi lainnya yaitu hasil Survey Penjualan

Eceran (SPE) juga menunjukkan peningkatan (Grafik 2.5).

Indeks penjualan eceran menunjukkan peningkatan yang

cukup tinggi sejak triwulan II/2000 setelah sempat mengalami

(BBM) akibat tertundanya pelaksanaan kenaikan harga

BBM, adanya kenaikan volume impor BBM serta mening-

katnya pembayaran bunga obligasi pemerintah. Di sisi lain,

penurunan investasi disebabkan oleh besarnya jumlah dana

yang harus dialokasikan pemerintah untuk pengeluaran

rutin yang bersifat wajib (non-discretionary) yaitu belanja

pegawai pusat dan daerah, pembayaran bunga utang,

dan subsidi.

Peningkatan surplus kesenjangan tabungan-investasi

tersebut mengindikasikan bahwa potensi pembiayaan dari

dalam negeri mampu berperan lebih besar dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun potensi

tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena

adanya berbagai hambatan dalam penyalurannya.

Rendahnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil tidak

terlepas dari belum berjalan sepenuhnya perkembangan

restrukturisasi kredit serta masih terbatasnya sektor usaha yang

layak untuk dibiayai. Tentunya berbagai kendala di dalam

negeri harus segera diatasi agar proses pemulihan dapat

semakin cepat. Sementara itu, sumber pembiayaan dari luar

negeri untuk peningkatan kegiatan investasi juga masih relatif

terbatas mengingat belum kondusifnya iklim usaha di dalam

negeri. Terbatasnya sumber pembiayaan luar negeri juga

tercermin dari neraca modal yang masih mengalami defisit

terutama karena lebih rendahnya aliran modal masuk bersih

sektor pemerintah.

Penyumbang terbesar ketiga dalam pembentukan PDB

adalah konsumsi yang pada tahun sebelumnya merupakan

satu-satunya kegiatan yang memberikan kontribusi positif bagi

pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Dalam periode

laporan konsumsi masih mengalami pertumbuhan yang cukup

tinggi sebesar 3,9%, dengan sumbangan sebesar 3,1%

terhadap PDB, walaupun lajunya sedikit melambat

dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi ini

didukung oleh konsumsi rumah tangga yang meningkat

sebesar 3,6%, dengan sumbangan sebesar 2,6% terhadap PDB.

Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami peningkatan

yang cukup tinggi, yaitu 6,5% meskipun sumbangannya relatif

rendah yakni sebesar 0,5%.

Grafik 2.3 Konsumsi Semen

Sumber: Asosiasi Semen Indonesia

Nov.Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei. Jul. Sep.

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

Ribu ton

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

Page 37: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

28

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

jumlah realisasi pengeluaran pemerintah yang mempengaruhi

permintaan agregat tersebut, 62,0% dalam bentuk

pengeluaran konsumsi dan sisanya sebesar 38,0% dalam

bentuk pengeluaran investasi. Sejalan dengan perkembangan

pengeluaran pemerintah tersebut, kondisi keuangan

pemerintah dalam tahun anggaran 2000 (April–Desember)

mengalami defisit sebesar 3,2% dari PDB, lebih rendah

dibandingkan prakiraan pada awal tahun sebesar 4,8% dari

PDB. Lebih rendahnya defisit tersebut terutama disebabkan

oleh lebih besarnya realisasi penerimaan migas dari yang

direncanakan semula akibat membaiknya harga minyak

dunia. Di sisi lain realisasi pengeluaran pemerintah hampir

seluruhnya sesuai dengan rencana yang ditetapkan

sebelumnya.

Penawaran Agregat

Dari sisi penawaran, proses pemulihan ekonomi juga terlihat

semakin menjanjikan. Semua sektor telah memberikan nilai

tambah yang positif pada perekonomian, dengan sektor

industri pengolahan tetap sebagai penyumbang pertum-

buhan terbesar. Namun demikian, peningkatan penawaran

ini tidak tumbuh secepat pertumbuhan permintaan

mengingat investasi pada tahun-tahun sebelumnya sempat

mengalami kontraksi. Sedangkan dalam tahun laporan,

penanaman investasi baru masih rendah dibanding masa

sebelum krisis. Di samping itu, berkurangnya tingkat

kapasitas terpasang sebagai dampak dari krisis serta

berbagai hambatan lain khususnya dari s is i

pembiayaannya turut mempengaruhi lambatnya

pertumbuhan dari output potensial. Laju pertumbuhan out-

put potensial yang lebih lambat dari laju pertumbuhan

permintaan --yang dalam beberapa tahun terakhir

dimotori oleh pertumbuhan konsumsi-- pada gilirannya

akan memberikan tekanan pada peningkatan harga

umum.

Penawaran Jangka Pendek

Dalam tahun 2000 semua sektor dalam perekonomian

mencatat pertumbuhan positif. Sektor industri pengolahan

Grafik 2.4 Penjualan Kendaraan Bermotor

Sumber: Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)

Grafik 2.5Indeks Penjualan Eceran

koreksi terhadap faktor musiman dengan berlalunya musim

libur anak sekolah.

Sementara itu, konsumsi pemerintah dalam tahun

laporan mengalami pertumbuhan sebesar 6,5%. Realisasi

pengeluaran pemerintah mencapai Rp223,9 triliun, dimana

49,0% atau Rp109,3 triliun diantaranya mempengaruhi

permintaan agregat sebagai belanja konsumsi dan investasi

pemerintah, dan 42,2% atau Rp94,5 tril iun sebagai

pembayaran transfer ke sektor swasta dalam bentuk

pembayaran subsidi dan bunga utang dalam negeri. Dari

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

5.000Non Niaga (aksis kanan)Niaga (aksis kiri)

U n i t

Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

U n i t

0

50

100

150

200

250

2 0 0 0

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Indeks

Page 38: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

29

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Grafik 2.6Perkembangan Indeks Produksi

60

80

100

120

140

160Indeks Produksi Manufaktur

Trend

Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.

Indeks

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

25

35

45

55

65

75

%

JakartaBali

1998 1999 2000

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul.

Grafik 2.7Tingkat Hunian Hotel di Jakarta dan Bali

menunjukkan peningkatan kecuali kelompok industri kayu,

rotan dan rumput-rumputan. Kelompok industri yang mencatat

pertumbuhan tertinggi secara berurutan adalah kelompok

industri barang dari logam, kelompok industri pengolahan

lainnya, dan kelompok industri makanan, minuman dan

tembakau.

Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga turut men-

catat pertumbuhan yang tinggi, yakni sebesar 5,7%. Kontribusi

terbesar pada pertumbuhan sektor ini berasal dari subsektor

perdagangan sebagaimana tercermin dari Indeks Penjualan

Eceran yang senantiasa meningkat (Grafik 2.5). Selain itu, tingkat

hunian hotel di Jakarta dan Bali juga cenderung meningkat,

sehingga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan

subsektor hotel dan subsektor restoran (Grafik 2.7).

Sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun

laporan mencatat pertumbuhan sebesar 9,4% dengan

sumbangan terbesar berasal dari subsektor angkutan jalan

raya. Momentum kebangkitan sektor ini tidak terlepas dari

adanya Hari Raya Idul Fitri yang terjadi dua kali dalam tahun

laporan serta mulai stabilnya harga suku cadang yang sempat

menjadi pemicu krisis pada sektor ini. Mulai stabilnya harga

suku cadang tercermin dari meningkatnya indeks penjualan

untuk kendaraan dan suku cadang dalam survei penjualan

eceran. Disamping itu, pertumbuhan sektor pengangkutan

juga didukung oleh peran kegiatan pariwisata yang terus

tetap menjadi motor utama pertumbuhan, diikuti oleh sektor

perdagangan dan sektor pengangkutan (Boks: Krisis dan

Struktur Perekonomian Indonesia). Sektor keuangan yang

pada tahun sebelumnya mengalami kontraksi terbesar juga

sudah mencatat pertumbuhan positif.

Sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat

pertumbuhan sebesar 6,2%. Walaupun pertumbuhan sektor ini

lebih kecil dibandingkan sektor pengangkutan, sektor listrik, dan

sektor bangunan, namun mengingat pangsa sektor industri

pengolahan yang sangat besar dalam pembentukan PDB

maka dengan pertumbuhan tersebut menyebabkan kontribusi

sektor ini menjadi yang terbesar. Pertumbuhan di sektor industri

pengolahan ini seiring dengan meningkatnya permintaan

khususnya untuk subsektor industri nonmigas. Kegiatan yang

memberikan kontribusi terbesar adalah alat angkutan, mesin

dan peralatan serta pupuk, kimia dan barang dari karet.

Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan ini sejalan

dengan meningkatnya impor bahan baku untuk proses

produksi.

Kinerja sektor industri pengolahan yang mencatat

pertumbuhan cukup tinggi tersebut sejalan dengan hasil Sur-

vey Produksi yang dilakukan Bank Indonesia terhadap sejumlah

perusahaan manufaktur yang menunjukkan adanya

peningkatan indeks produksi (Grafik 2.6). Dari 9 kelompok

industri yang disurvei, hampir seluruh kelompok industri

Page 39: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

30

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Grafik 2.9Tingkat Hunian Pusat Perbelanjaan dan Perkantoran

Ritel Kantor

50

60

70

80

90

100

1 9 9 9 2 0 0 0

Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

%

Grafik 2.8Kedatangan Wisman melalui 4 Pintu Kedatangan Utama

40

50

60

70

80

90

100

110

Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul.

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

Ribu orang

sebagian masih harus diimpor. Melimpahnya pasokan

komoditi substitusi pertanian dari luar negeri turut

menyebabkan melambatnya pertumbuhan pada subsektor

tanaman bahan makanan. Selain itu, rendahnya harga jual

produk tanaman bahan makanan, seperti beras, jagung, gula,

turut menurunkan motivasi petani untuk menggarap tanah

olahannya.

Penawaran Jangka Panjang

Sisi penawaran jangka panjang atau output potensial3) selama

tahun laporan sudah menunjukkan arah yang membaik.

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, berbagai

indikator menunjukkan adanya perkembangan positif seperti

meningkatnya investasi walaupun relatif terbatas dan

meningkatnya jumlah angkatan kerja yang menambah jumlah

input faktor produksi. Perkembangan ini pada gilirannya akan

menyebabkan peningkatan output potensial.

Namun demikian, kenaikan output potensial ini masih

lebih lambat dari kenaikan output aktual (permintaan). Masih

3) Output potensial dihitung dengan menggunakan metode Hodric-Prescott filter. Metode ini sebenarnya mengandung kelemahanterutama berkaitan dengan masalah end-point problem. Penggunaanmetode ini tetap populer terutama karena kepraktisannya. Upayauntuk mengatasinya ialah dengan memasukkan proyeksi PDB sampaidengan tahun 2003.

meningkat, yang tercermin pada peningkatan jumlah

wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia melalui 4

pintu kedatangan utama (Grafik 2.8). Beroperasinya beberapa

maskapai penerbangan baru juga turut memberikan kontribusi

bagi pertumbuhan sektor ini.

Sektor bangunan yang sempat mengalami kontraksi

paling besar pada awal krisis, sudah mulai menunjukkan

pertumbuhan yang positif, yakni sebesar 6,8%, jauh membaik

dibandingkan kontraksi sebesar 0,7% pada tahun lalu.

Peningkatan sektor ini ditandai dengan maraknya

perkembangan properti terutama pada segmen properti

komersial sejalan dengan meningkatnya kegiatan dunia

usaha. Permintaan akan ruang pusat perbelanjaan di wilayah

Jabotabek dan areal perkantoran di wilayah Jakarta

sepanjang tahun laporan menunjukkan kecenderungan yang

meningkat seperti yang tercermin dari tingginya tingkat hunian

properti komersial (Grafik 2.9).

Sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar

1,7%, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

Beberapa faktor yang menyebabkan melambatnya

pertumbuhan pada sektor pertanian ini antara lain berlalunya

masa bonanza tanaman perkebunan yang sempat terjadi

pada awal krisis, terbatasnya pendanaan untuk melakukan

ekspansi usaha, dan meningkatnya harga input produksi yang

Page 40: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

31

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Grafik 2.10Perkembangan ICOR periode 3 tahun

Grafik 2.12Kesenjangan Output

Grafik 2.11Kapasitas Terpakai

Sumber: Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Rasio

1986-1988 1989-1991 1992-1994 1995-1997 1998-2000

5,04,3

5,4

6,9

14,8

%

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.

2 0 0 0

75

80

85

90

95

100

105

110

115Aktual

Potensial

III I III I III I IIII III I III II IIII III

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Triliun Rp.

dihadapi dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia.

Permasalahan pemulihan perekonomian juga terkait dengan

masih rendahnya produktivitas dan belum pulih sepenuhnya

mata rantai proses produksi. Hal ini tercermin dari tingginya

angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada periode

1998–2000 (Grafik 2.10).4) Perlu dicermati bahwa lonjakan

angka ICOR ini merupakan konsekuensi yang wajar karena

rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode krisis tersebut.

Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan permintaan

semakin cepat. Peningkatan permintaan ini belum diantisipasi

sepenuhnya dengan melakukan investasi baru, melainkan

lebih memanfaatkan kapasitas menganggur yang tersedia

sebagaimana tercermin dari hasil Survei Produksi Bank Indo-

nesia yang memperlihatkan adanya peningkatan kapasitas

terpakai (Grafik 2.11). Tingginya permintaan aktual yang tidak

diikuti pertumbuhan output potensial dengan kecepatan

yang sama akan menyebabkan kesenjangan output

menjadi menyempit (narrowing output gap) dan pada

gilirannya akan memberikan tekanan pada peningkatan

harga-harga umum (Grafik 2.12).

ICORt2-t1 =

Σ PMTDBtt=t2-1

t1-1

PDBt1

– PDBt2

4) ICOR selama periode t2 sampai dengan t1, dihitung dengan rumus:

rendahnya minat investasi serta terbatasnya penyaluran kredit

investasi jangka panjang menyebabkan pertambahan

kapasitas terpasang menjadi relatif terbatas. Sementara itu,

sempat terbengkalainya mesin-mesin dan peralatan karena

tidak beroperasinya pabrik-pabrik, mahalnya suku cadang,

menyebabkan penyusutan nilai kapasitas terpasang menjadi

lebih cepat. Masih belum pulihnya investasi jangka panjang

secara penuh turut mempengaruhi percepatan pertumbuhan

output potensial. Kondisi sosial politik dan keamanan yang

belum kondusif turut memperberat permasalahan yang

Page 41: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

32

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Ketenagakerjaan

Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian, kondisi

ketenagakerjaan juga turut membaik yang antara lain ter-

cermin dari mulai terjadinya proses penyerapan tenaga kerja.

Tingkat pengangguran terbuka --yang merupakan perban-

dingan antara jumlah pengangguran terbuka terhadap jumlah

angkatan kerja-- mengalami penurunan, mengingat

penambahan jumlah angkatan kerja dapat diimbangi oleh

peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih cepat.

Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2000 adalah

sebesar 6,1%, menurun dibandingkan dengan pengangguran

terbuka tahun lalu sebesar 6,4% (Tabel 2.3). Indikator penting

lainnya yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang

mengukur nisbah antara jumlah angkatan kerja terhadap

penduduk usia kerja, menunjukkan peningkatan. Peningkatan

TPAK ini menggambarkan jumlah penduduk yang bersedia

secara aktif melakukan kegiatan ekonomi terhadap total

penduduk usia kerja meningkat. Selain itu, sejalan dengan

menurunnya tingkat pengangguran terbuka, jumlah perkara

yang masuk maupun tenaga kerja yang terkait dalam proses

PHK tersebut cenderung menurun (Grafik 2.13).

Namun demikian, terdapat beberapa hal yang masih

menjadi tantangan di bidang ketenagakerjaan. Meskipun

angka pengangguran menunjukkan penurunan, jumlah orang

menganggur masih mencatat angka yang cukup tinggi yaitu

5,9 juta orang. Dari sisi tingkat pendidikan, proporsi tenaga kerja

dengan latar belakang pendidikan rendah masih sangat besar,

dimana sekitar 38,0% dari tenaga kerja hanya tamatan sekolah

Sumber : Badan Pusat Statistik

SD38%

< SD24%

Universitas2%

Diploma2%SMA

18%

SMP16%

Grafik 2.14Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja

dasar (Grafik 2.14). Apabila digabungkan dengan kelompok

tenaga kerja yang tidak pernah sekolah/tidak tamat SD, maka

pangsa mereka mencapai 62,0%. Sementara itu, tenaga kerja

dengan pendidikan akademi atau lebih tinggi hanya memiliki

pangsa 4,0%.

Di samping menurunnya tingkat pengangguran, tingkat

pendapatan masyarakat juga turut meningkat. Pada tahun

2000, upah minimum regional (UMR) meningkat sebesar 25,0%

dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 2.4). Perkembangan

ini menunjukkan upaya pemerintah untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercermin dari laju

Grafik 2.13Perkembangan PHK

0

100

200

300

400

500

600

700

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45Perkara

Tenaga Kerja

1 9 9 9 2 0 0 0

I II III IV I II III IV

Kasus Ribu orang

Tabel 2.3Indikator Ketenagakerjaan

1998 1999 2000 ∆1999–2000

Juta penduduk

Penduduk usia kerja 138,5 141,1 141,3 0,15

Jumlah Angkatan Kerja 92,8 94,8 95,7 0,95

Bekerja 87,7 88,9 89,8 1,04

Pengangguran terbuka 5,1 6,0 5,9 –1,64

Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 5,5 6,4 6,1 –2,60

TPAK (%) 66,9 67,2 67,7 0,73

Sumber : Badan Pusat Statistik

Indikator

Page 42: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

33

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Tabel 2.4Perkembangan UMR dan KHM

UMR1)

KHM UMR KHM UMR/KHM

Rupiah per bulan Perubahan (%) Persen

1996 118.170 130.501 57,9 37,9 90,6

1997 125,65 134,384 6,3 3,0 93,5

1998 144.491 194,161 15,0 44,5 74,4

1999 166,917 243,667 15,5 25,5 68,5

2000 207,752 251,634 24,5 3,3 82,6

Tabel 2.5Upah/Gaji Mingguan

Upah Nominal Upah Riil

Ribu rupiah

Industri Hotel Pertam- Industri Hotel Pertam-Pengolahan bangan Pengolahan bangan

I/99 67,8 74,1 200,1 32,9 35,9 97,1

II/99 75,4 77,7 246,8 36,8 38,0 120,6

III/99 73,1 78,1 202,1 36,5 39,0 100,9

IV/99 78,1 97,4 220,2 37,6 48,7 110,1

I/00 78,7 95,8 231,1 38,4 46,8 112,8

II/00 88,0 98,0 235,7 42,5 47,3 113,9

III/00 90,1 95,1 234,9 42,6 44,9 111,0

Tahun

Sumber: Badan Pusat Statistik

T a h u n

1) UMR dihitung berdasarkan 30 hari kerja

Sumber: Departemen Tenaga Kerja

pertumbuhan UMR yang semakin tinggi (Grafik 2.15). Namun

demikian, masih terdapat perbedaan upah yang sangat tajam

baik antar daerah/kota maupun antar sektor ekonomi. Daerah

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

1.340

1.621

1.835

2.195

2.888

3.441

3.939

4.347

5.009

5.782

7.328

Rupiah

Grafik 2.15Upah Minimum Harian Regional1)

1)Tidak termasuk Batam

yang memiliki UMR paling tinggi adalah Batam, diikuti oleh

Jakarta, Jabar dan Irian Jaya, sedangkan daerah dengan UMR

terendah adalah Maluku, Jambi dan Bengkulu. Peningkatan

UMR ini juga lebih cepat dari peningkatan Kebutuhan Hidup

Minimum (KHM). Perkembangan tersebut mengakibatkan

nisbah UMR/KHM juga membaik yang mengindikasikan

adanya perbaikan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat.

Di samping kenaikan UMR, pemerintah melalui kebijakan

pendapatan, juga menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS),

TNI dan Polri. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga turut

memperbaiki pendapatan pekerja, sebagaimana tercermin

dari peningkatan upah/gaji nominal yang diterima oleh

pekerja di sektor industri pengolahan dan perhotelan

menunjukkan peningkatan. Peningkatan pendapatan yang

lebih cepat dari laju inflasi pada akhirnya menyebabkan upah/

gaji riil meningkat (Tabel 2.5).

Page 43: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

34

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

Boks : Krisis dan Struktur Perekonomian Indonesia

yang berbeda. Lebih lanjut, pengalaman negara-negara

berkembang menunjukkan, laju percepatan dari suatu proses

transformasi akan berbeda untuk masing-masing negara,

tergantung dari karakteristik perekonomian negara yang

bersangkutan. Untuk negara yang kaya sumber daya alam,

proses transformasinya cenderung lebih lambat dibandingkan

dengan negara yang perekonomiannya relatif tidak

tergantung pada sumber daya alam. Perbedaan ini karena

untuk negara-negara yang kaya sumber daya alam cen-

derung masih membutuhkan pertumbuhan yang relatif tinggi

pada sektor primer untuk mendukung percepatan per-

tumbuhan pada sektor lainnya.

Dari grafik mengenai perubahan pangsa terhadap PDB

terlihat bahwa sampai sebelum krisis, pangsa sektor primer

terlihat terus menurun, pada saat yang bersamaan sektor

sekunder dan sektor tersier terus meningkat. Pada awal tahun

1980, pangsa sektor primer masih mencapai sekitar 43% dari

PDB, dan secara konsisten turun hingga sekitar 23% pada tahun

1997. Sementara itu, pangsa sektor sekunder dan sektor tersier

naik masing-masing dari sekitar 18% dan 37% menjadi sekitar

34% dan 42%. Memasuki periode krisis, terjadi perubahan arah

dengan meningkatnya kembali pangsa sektor primer sampai

sekitar 26%. Dalam periode yang relatif singkat ini, perubahan

pola ini belum dapat ditengarai apakah bersifat permanen

atau sementara.

Proses transformasi struktural yang terjadi pada masa

sebelum krisis disatu pihak sejalan dengan pola pembangunan

yang umum dialami oleh negara berkembang. Sejak

diterapkannya deregulasi perbankan pada tahun 1983 yang

mengawali berbagai deregulasi di bidang ekonomi dan

keuangan, terlihat peningkatan yang pesat pada pangsa

sektor sekunder. Meningkatnya potensi sumber pembiayaan

dimanfaatkan dengan melakukan investasi pada sektor

industri pengolahan. Selanjutnya, dengan diberlakukannya

paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988) yang memberikan

ruang gerak lebih luas pada perbankan, pangsa sektor tersier

menunjukkan peningkatan yang pesat terutama disumbang

oleh lonjakan pangsa sektor bank dan lembaga keuangan.

Perkembangan yang amat pesat pada sektor sekunder

Berdasarkan pendekatan strukturalis, pembangunan ekonomi

merupakan suatu proses transisi dan transformasi yang berkisar

pada perubahan struktural yang menyangkut perubahan-

perubahan pada struktur dan komposisi produk nasional,

kesempatan kerja produktif, ketimpangan antarsektoral,

antardaerah, dan antar- golongan masyarakat, serta

kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.1) Lebih jauh, Simon

Kuznets –pemenang nobel bidang ekonomi pada tahun

1971— dalam penjelasannya mengenai modern economic

growth menekankan bahwa negara berkembang pada

umumnya dicirikan dengan karakteristik-karakteristk yang

pada intinya mencakup pertumbuhan dari besaran makro

ekonomi (output perkapita, populasi, dan produktivitas),

transformasi struktural dari besaran ekonomi agregat tersebut,

dan distribusi dari pertumbuhan itu sendiri.

Untuk kasus Indonesia, sejumlah indikator menunjukkan

telah terjadinya perubahan struktur perekonomian dalam

periode sebelum krisis. Hal ini tidak terlepas dari rangkaian

kebijakan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang

ditempuh Pemerintah sejak awal dekade 1980-an. Setelah

terjadinya krisis sejak pertengahan 1997, timbul pertanyaan

apakah struktur perekonomian Indonesia telah mengalami

perubahan secara signifikan. Dalam tulisan ini, pembahasan

akan lebih difokuskan kepada permasalahan sekitar

transformasi dalam perekonomian.

Dari sisi penawaran, transformasi struktural dapat

dideteksi dengan karakteristik turunnya peranan/pangsa

(share) sektor primer yang tradisional (sektor pertanian dan

sektor pertambangan). Pada saat yang bersamaan sektor

sekunder (sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air

minum, dan sektor bangunan) meningkat dan selanjutnya

diikuti oleh peningkatan sektor tersier (sektor perdagangan,

hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan telekomunikasi,

sektor bank dan lembaga keuangan, dan sektor jasa-jasa).

Dalam proses ini, pergeseran pangsa tetap harus diikuti oleh

pertumbuhan dari masing-masing sektor meskipun dengan laju

1) Sumitro Djojohadikusumo, “Dasar Teori Ekonomi Pertumuhan danEkonomi Pembangunan”, Jakarta, Juni 1994, hal 126.

Page 44: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

35

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

terutama untuk industri pengolahan dan (pada tahap

berikutnya) sektor tersier yang dimotori oleh perbankan, jauh

melebihi percepatan pertumbuhan sektor primer sehingga

pangsa sektor primer menurun secara tajam.

Permasalahan yang muncul adalah mengenai

percepatan tranformasi itu sendiri. Indonesia sebagai negara

yang kaya akan sumber daya alam --dengan mengacu pada

pengalaman negara-negara berkembang sebagaimana

telah disebutkan di muka-- seyogyanya mengalami proses

penurunan pangsa sektor primer yang tidak terlalu drastis.

Batasan mengenai kecepatan perubahan ini sendiri memang

sumir, sehingga kajian singkat ini tidak akan membahas lebih

jauh mengenai “ketepatan” dari percepatan laju perubahan

tersebut melainkan lebih menekankan pada bagaimana

proses transformasi itu terjadi, mulai dari masa pertumbuhan

tinggi (booming) hingga periode pemulihan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, proses

transformasi di Indonesia dipicu oleh perkembangan industri

manufaktur yang amat pesat. Namun, proses ini ternyata

didukung oleh perkembangan industri manufaktur yang

kurang berbasis pada sumber daya alam dimana Indonesia

memiliki keunggulan komparatif. Ekspansi usaha yang pesat

pada sektor sekunder berpusat pada proyek-proyek berskala

mega maupun sektor yang relatif kurang kompetitif namun

memberikan return tinggi. Pembiayaan kegiatan ini dilakukan

dengan melakukan pinjaman luar negeri yang pada gilirannya

dapat memberikan tekanan pada neraca pembayaran dan

memiliki potensi permasalahan dalam pelunasannya.

Grafik 1Pangsa terhadap PDB

10,0

14,0

18,0

22,0

26,0

30,0

0,0

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

% %

Industri

Listrik (aksis kanan)

Bangunan (aksis kanan)

III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV

‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97

III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV

‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

% %

30,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

PertanianPertambangan

III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV

‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97

% %

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0

45,0

36,0

37,0

38,0

39,0

40,0

41,0

42,0

43,0

44,0

Tersier (aksis kanan)Primer Sekunder

% %

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

11,0Perdagangan

Jasa-jasaPengangkutan

Bank

III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV

‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97

Page 45: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

36

Bab 2 Kondisi Makroekonomi

2) Grafik mengenai ICOR dapat dilihat pada Grafik 2.10

Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya proteksi

terhadap proyek-proyek tersebut, serta diperparah dengan

adanya distorsi-distorsi seperti mark-up nilai proyek, praktik KKN

dan lain sebagainya yang menghasilkan ekonomi biaya tinggi

dan berdiri tidak dengan fondasi yang kuat (bubbles).

Berbagai ketidakseimbangan ini pada gilirannya akan

mengalami penyesuaian.

Krisis yang terjadi --diawali dengan tekanan pada nilai

tukar sejak paro kedua 1997-- telah mengubah arah pangsa

masing-masing sektor terhadap PDB. Sektor primer yang

secara konsisten menunjukkan penurunan pangsa, sejak krisis

melonjak dengan pesat. Mengingat Indonesia sebagai suatu

negara yang kaya akan sumber daya alam dan mempunyai

latar belakang historis pertanian yang kental, sektor primer

pada saat krisis menjadi bantalan (bumper) terhadap

anjloknya pertumbuhan. Hal ini terlihat dari meningkatnya

peran sektor pertanian dan pertambangan dalam

pembentukan PDB.

Seiring dengan meningkatnya pangsa sektor primer,

sektor sekunder dan terutama sektor tersier menurun drastis,

sebagai koreksi terhadap bubbles yang terjadi sebelumnya.

Penurunan pangsa sektor sekunder memang tidak terlalu

drastis karena masih tertolong oleh peningkatan pangsa

industri makanan, minuman dan tembakau, industri pengila-

ngan minyak bumi dan gas alam cair. Namun demikian,

sebagian besar industri yang termasuk dalam sektor industri

pengolahan mengalami penurunan, terutama pangsa dari

industri semen dan industri alat angkutan, mesin dan peralatan.

Sektor tersier bahkan mengalami penurunan pangsa yang

paling dalam. Sejalan dengan yang pernah dialami oleh

negara-negara lain dimana penyesuaian terhadap bubbles

pertama-tama akan menyebabkan koreksi pada sektor

properti, sektor konstruksi di Indonesia juga mengalami kontraksi

yang amat dalam sehingga menipiskan pangsanya dalam

pembentukan PDB.

Pergeseran pangsa ini berlangsung kurang lebih 1–2

tahun dan secara perlahan arah pergerakan telah kembali

ke pola transformasi struktural yang biasa dialami oleh negara

berkembang. Patut dicermati bahwa peningkatan pangsa

sektor primer pada periode awal krisis ekonomi bukanlah suatu

fenomena distranformasi, tapi lebih merupakan dampak

penyesuaian pasar terhadap sektor sekunder dan tersier.

Secara nominal, nilai tambah sektor primer relatif tidak

bertambah semenjak krisis, sedangkan nilai tambah sektor

sekunder dan tersier merosot drastis. Hal ini tidak sejalan dengan

proses transformasi yang tidak hanya merupakan pergeseran

pangsa tetapi juga mensyaratkan pertambahan dari segi

produksinya.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa selama krisis

terganggunya proses kelangsungan proses produksi pada

sektor sekunder, khususnya industri pengolahan, merupakan

akibat dari merosotnya impor karena nilai tukar rupiah yang

melorot tajam sejak pertengahan 1997. Di sisi lain, depresiasi

nilai tukar telah menyebabkan ekspor meningkat khususnya

untuk komoditi di sektor primer. Seiring dengan surplus transaksi

berjalan yang semakin besar, kemampuan untuk melakukan

impor khususnya bahan baku dan barang modal menjadi

meningkat pula, sehingga mendorong kegiatan di sektor

industri pengolahan, baik untuk memenuhi permintaan

domestik maupun lular negeri. Mulai pulihnya konsumsi

masyarakat serta sektor industri pengolahan menandai

dimulainya periode pemulihan. Laju pertumbuhan sektor

sekunder meningkat relatif pesat, melampaui laju per-

tumbuhan di sektor primer, sehingga pangsa sektor ini kembali

meningkat.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat krisis

yang terjadi sejak 1997 yang lalu, perekonomian Indonesia tidak

mengalami perubahan struktur yang signifikan. Pergeseran

pangsa yang terjadi hanyalah merupakan shock temporer

sebagai penyesuaian terhadap landasan perekonomian In-

donesia. Sektor sekunder dan tersier akan tetap menjadi mo-

tor pertumbuhan dengan pangsa yang terus meningkat.

Pelajaran yang dapat ditarik yang terkait dengan perubahan

struktur tersebut adalah perlunya strategi pembangunan,

khususnya sektor industri, yang lebih berbasis pada sumber

daya alam sehingga proses peralihan dari sektor primer yang

tradisional ke sektor sekunder dan tersier berlangsung secara

lebih "wajar".

Page 46: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Nilai Tukar dan InflasiBab 3

Page 47: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

38

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

bersifat menetap (persistent). Secara keseluruhan, laju inflasi

tahun 2000 mencapai 9,35% (year-on-year), lebih tinggi

dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 sebesar 2,01%.

Melemahnya nilai tukar rupiah yang lebih besar dari

yang diprakirakan juga mendorong tekanan kenaikan harga

melalui kenaikan harga barang-barang impor. Selama tahun

2000, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai Rp8.400 per dolar

AS, lebih tinggi dari asumsi sebesar Rp7.000 per dolar AS yang

digunakan dalam penetapan sasaran inflasi. Tekanan

terhadap nilai tukar rupiah meningkat terutama sejak bulan

April 2000 sebagai akibat perkembangan situasi politik dan

keamanan menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000,

menguatnya mata uang dolar AS terhadap hampir semua

mata uang utama dunia, dan besarnya permintaan valuta

asing untuk pembayaran utang luar negeri. Tekanan-tekanan

terhadap rupiah telah membuat kurs rupiah menjadi terlalu

rendah terhadap nilai fundamentalnya.

Perkembangan tersebut menggambarkan eratnya

kaitan antara perkembangan sisi ekonomi maupun politik dan

keamanan dengan perkembangan inflasi dan nilai tukar.

Dalam hal ini, Bank Indonesia berperan penting dalam

memelihara kestabilan nilai rupiah dalam mendukung

kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana

disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 23 tahun 1999

tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah

mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah baik

terhadap harga barang dan jasa di dalam negeri (laju inflasi)

maupun kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap mata

uang asing (nilai tukar rupiah). Dalam melaksanakan pengen-

dalian moneter, Bank Indonesia menetapkan laju inflasi sebagai

sasaran akhir kebijakan moneter dengan mempertimbangkan

berbagai asumsi penting seperti pertumbuhan ekonomi dan

nilai tukar, termasuk juga asumsi situasi politik yang berdampak

bagi perekonomian. Dengan demikian, pelaksanaan

kebijakan moneter oleh Bank Indonesia tersebut akan

Bab 3 Moneter

b a b

3 Nilai Tukar dan Inflasi

Perkembangan nilai tukar dan inflasi sepanjang tahun 2000

sangat terkait dengan perkembangan di sisi makro-

ekonomi maupun kondisi politik dan keamanan di dalam

negeri. Proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang

diprakirakan ternyata diikuti oleh meningkatnya tekanan-

tekanan kenaikan harga terutama sejak pertengahan tahun

2000. Akselerasi kegiatan ekonomi telah memberikan

dorongan kenaikan di sisi permintaan yang cukup kuat baik

untuk konsumsi, impor maupun investasi walaupun belum

dapat diimbangi kenaikan di sisi penawaran. Sisi penawaran

masih rawan dengan berbagai permasalahan struktural

berkaitan dengan lambatnya proses restrukturisasi utang dan

perusahaan, belum pulihnya intermediasi perbankan, serta

sangat terbatasnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Iklim

berusaha juga belum membaik akibat perkembangan politik

dan keamanan di dalam negeri. Tekanan kenaikan harga

yang muncul karena berbagai permasalahan dan faktor

ketidakpastian tersebut telah menyebabkan kenaikan sisi

penawaran kurang dapat mendukung peningkatan di sisi

permintaan.

Tekanan kenaikan harga menjadi lebih besar dengan

adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai

subsidi guna mendorong pembentukan harga berdasarkan

mekanisme pasar serta kebijakan untuk meningkatkan

kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam tahun 2000,

pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penyesuaian di

bidang harga dan pendapatan yang antara lain mencakup

pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif

dasar listrik (TDL), tarif angkutan, cukai rokok, serta kenaikan

gaji PNS, TNI, dan Polri, serta upah minimum regional (UMR).

Selain itu, tekanan inflasi juga muncul dengan semakin

tingginya ekspektasi peningkatan laju inflasi di kalangan

konsumen dan produsen. Peningkatan ekspektasi ini

mengakibatkan kecenderungan kenaikan harga-harga

menjadi sulit diredam dengan segera karena cenderung

Page 48: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

39

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keuangan

secara keseluruhan.

Dalam tahun 2000, perkembangan ekonomi, nilai tukar

dan inflasi seperti yang digambarkan di atas telah

menyebabkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan

moneter oleh Bank Indonesia menjadi lebih sulit dan dilematis.

Di satu sisi, meningkatnya tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah

menuntut Bank Indonesia untuk melakukan pengetatan di

bidang moneter. Akan tetapi, di sisi lain pengetatan moneter

ini tidak dapat dilakukan secara drastis dan berlebihan karena

akan mengancam kelangsungan proses penyehatan

perbankan dan restrukturisasi perusahaan yang masih rentan.

Kegagalan dalam bidang-bidang tersebut pada gilirannya

dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik

terhadap prospek pemulihan ekonomi secara keseluruhan.

Hal ini dapat menjadi pemicu bagi kembalinya lingkaran

depresiasi nilai tukar dan kenaikan laju inflasi (depreciation -

inflation spiral) seperti yang terjadi pada puncak krisis ekonomi

yang lalu.

Dalam menyikapi perkembangan inflasi, nilai tukar dan

ekonomi seperti di atas, Bank Indonesia menempuh kebijakan

moneter yang cenderung ketat (tight bias) terutama sejak Mei

2000. Artinya, kebijakan moneter tetap diarahkan untuk

menyerap kelebihan likuiditas dalam perekonomian agar tidak

menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,

namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis

dan berlebihan.

Langkah pengetatan moneter dilakukan melalui

mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) untuk menyerap ekses

likuiditas rupiah di pasar uang agar tidak digunakan untuk

spekulasi di pasar valuta asing. Langkah pengetatan ini juga

dibantu dengan sterilisasi valuta asing yang dilakukan Bank

Indonesia untuk menyerap kembali pengeluaran rupiah dari

penerimaan luar negeri pemerintah sekaligus untuk

menambah pasokan valuta asing di pasar. Selain itu, Bank

Indonesia juga melakukan langkah-langkah yang secara

langsung dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar ru-

piah, seperti pengawasan langsung terhadap sejumlah bank

pelaku terbesar dalam transaksi valuta asing, monitoring

terhadap rekening vostro (milik nonresiden), dan melakukan

kajian yang mendalam terhadap kemungkinan pembatasan

transaksi rupiah oleh nonresiden.

Nilai Tukar

Selama tahun 2000, perkembangan nilai tukar rupiah

cenderung mengalami depresiasi disertai dengan volatilitas

yang tinggi. Secara rata-rata nilai tukar rupiah mencapai

Rp8.400 per dolar AS, melemah dibandingkan rata-rata tahun

1999 sebesar Rp7.850 per dolar AS. Nilai tukar rupiah mencapai

titik terendah sebesar Rp9.675 per dolar AS pada akhir

Desember 2000. Dengan perkembangan ini, nilai tukar rupiah

mengalami deviasi yang cukup besar terhadap nilai

fundamentalnya. Tekanan depresiasi rupiah tersebut terutama

disebabkan oleh kesenjangan antara penawaran dan

permintaan valuta asing (supply-demand imbalance), ekses

likuiditas rupiah di pasar uang, sentimen negatif terhadap

ketidakstabilan situasi politik dan keamanan di dalam negeri,

dan semakin aktifnya perdagangan rupiah oleh nonresiden

sejalan dengan meningkatnya internasionalisasi rupiah.

Kesenjangan yang terjadi antara penawaran dan

permintaan valuta asing tersebut tidak sejalan dengan

membaiknya kinerja sektor perdagangan luar negeri. Surplus

perdagangan yang cukup besar dalam tahun laporan belum

mampu meningkatkan pasokan valuta asing di pasar secara

berarti karena devisa hasil eskpor belum seluruhnya mengalir

ke dalam negeri. Demikian pula, aliran devisa masuk (capital

inflows) yang bersumber dari investasi asing belum dapat

diharapkan karena situasi di dalam negeri yang belum

kondusif. Di pihak lain, tekanan permintaan terhadap valuta

asing masih besar, terutama permintaan murni dalam rangka

pelunasan utang luar negeri swasta. Ketidakseimbangan

tersebut telah mengakibatkan kondisi pasar valuta asing

sangat tipis sehingga sangat rentan terhadap ketidakstabilan

di dalam negeri. Dalam situasi seperti itu, gejolak nilai tukar

rupiah mudah terjadi yang mencerminkan rendahnya

kepercayaan pelaku pasar untuk memegang rupiah. Dalam

tahun laporan, konflik sosial politik yang terjadi secara

berkelanjutan telah menimbulkan ketidakstabilan di dalam

Page 49: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

40

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

negeri yang pada gilirannya telah membentuk sentimen pasar

yang asimetris terhadap rupiah. Dengan perilaku yang asimetris

tersebut, pelaku pasar cenderung bereaksi secara berlebihan

terhadap berita negatif dibandingkan berita positif.

Sementara itu, sebagai akibat belum pulihnya fungsi

intermediasi perbankan dan terbatasnya outlet investasi di

pasar uang dalam negeri, kondisi likuiditas rupiah di pasar uang

dalam negeri cenderung longgar. Di pihak lain, rambu-rambu

yang mengatur lalu lintas rupiah antar negara (cross-border

transaction) masih sangat longgar sehingga mengakibatkan

ekses likuiditas rupiah di pasar uang dalam negeri (on-shore)

banyak mengalir secara bebas ke pasar uang luar negeri (off-

shore) yang pada gilirannya meningkatkan internasionalisasi

rupiah. Dalam perkembangannya, pemanfaatan rupiah di

pasar luar negeri tersebut cenderung lebih banyak digunakan

untuk kegiatan transaksi di pasar uang yang tidak didasari oleh

kegiatan ekonomi riil, termasuk transaksi derivatif untuk tujuan

spekulasi.

Menghadapi nilai tukar rupiah yang cenderung

mengalami depresiasi tersebut, Bank Indonesia telah

melakukan berbagai upaya agar rupiah tidak mengalami

depresiasi yang lebih tajam. Pertama, langkah pengetatan

moneter dilakukan melalui mekanisme operasi pasar terbuka

(OPT) untuk menyerap ekses likuiditas rupiah di pasar uang

agar tidak dipergunakan untuk spekulasi di pasar valuta asing.

Pengetatan ini juga dibantu dengan sterilisasi valuta asing yang

dilakukan Bank Indonesia untuk menyerap pengeluaran rupiah

pemerintah, sekaligus untuk menambah pasokan valuta asing

di pasar. Kedua, Bank Indonesia juga melakukan langkah-

langkah yang secara langsung dapat mengurangi tekanan

terhadap nilai tukar rupiah. Langkah ini antara lain mencakup

pengawasan langsung terhadap sejumlah bank pelaku

terbesar dalam transaksi valuta asing, monitoring terhadap

rekening vostro (milik nonresiden), dan melakukan kajian yang

mendalam terhadap kemungkinan pembatasan transaksi ru-

piah oleh nonresiden. Namun disadari bahwa upaya meredam

gejolak nilai tukar tersebut belum memberikan hasil yang opti-

mal mengingat besarnya pengaruh faktor non-ekonomi yang

kurang kondusif.

Perkembangan Nilai Tukar tahun 2000

Dalam tahun 2000, nilai tukar rupiah mengalami tekanan

depresiasi yang sangat tajam dengan volatilitas yang tinggi.

Nilai tukar rupiah melemah dari rata-rata bulan Januari Rp7.274

per dolar AS menjadi Rp9.435 per dolar AS pada bulan

Desember 2000 atau telah terdepresiasi sebesar 22,9%, dengan

titik terendah pada level Rp9.675 per dolar AS yang dicapai

pada akhir Desember 2000 (Grafik 3.1).

Terpilihnya Pemerintahan baru secara demokratis pada

akhir tahun 1999 pada awalnya telah menumbuhkan optimis-

me akan terciptanya stabilitas sosial politik di dalam negeri

sehingga pemulihan ekonomi diharapkan berjalan lebih cepat.

Hal ini diperlihatkan oleh sentimen positif pasar sehingga

mendorong penjualan valuta asing di pasar dan memperkuat

nilai tukar rupiah hingga mendekati Rp7.000 per dolar AS. Hal

ini terus berlanjut sampai awal tahun 2000. Dengan harapan

kondisi sosial politik akan stabil sepanjang tahun 2000, nilai tukar

rupiah pada awalnya diprakirakan akan stabil pada level

Rp7.000 per dolar AS.

Namun harapan tersebut ternyata tidak sesuai dengan

kenyataan. Kondisi kondusif yang tercipta pada awal tahun

tidak berlangsung lama, karena konflik sosial politik secara tidak

terduga mulai meningkat terutama sejak awal April 2000.

Pertentangan terbuka antar tokoh politik, kerusuhan sosial

berlatar belakang etnis dan SARA di beberapa daerah, serta

Grafik 3.1Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

5.000

5.500

6.000

6.500

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

7.2747.438 7.463

7.785

8.340

8.605

9.153

8.4368.631

8.915

9.352 9.435

Rp/$

Page 50: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

41

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

IDR

2 0 0 0I II III IV

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

10 per. Mov. Avg. (IDR)

Kurs (Rp/$) Premi Kurs

400

450

500

550

600

650

700

750Premi RisikoIDR/USDTrendTrend

2 0 0 0Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

ancaman disintegrasi, kembali memperburuk sentimen pasar

yang pada gilirannya mendorong terjadinya aksi beli valuta

asing. Kepercayaan pasar untuk memegang rupiah semakin

menurun setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's

menurunkan sovereign credit rating Indonesia untuk utang

jangka panjang dan jangka pendek berdenominasi valuta

asing masing-masing dari CCC+ dan C menjadi SD (selective

default). Pada saat yang bersamaan Standard & Poor's juga

menurunkan peringkat utang luar negeri Indonesia terhadap

bank-bank asing dari CCC+ menjadi D (default).

Di pihak lain, kekhawatiran terhadap melemahnya

nilai tukar rupiah lebih lanjut telah mendorong pembelian

valuta asing oleh dunia usaha, guna mengantisipasi

pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada

bulan Juni dan Juli. Hal ini pada gilirannya semakin mem-

perberat tekanan depresiasi terhadap rupiah sehingga nilai

tukar menembus level psikologis Rp8.000 per dolar AS pada

akhir bulan April 2000, yang merupakan titik terendah sejak

15 Oktober 1999.

Rendahnya kepercayaan pasar terhadap rupiah akibat

kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang kurang

kondusif terus berlanjut memasuki bulan Mei 2000 sehingga

terus memberi tekanan depresiasi terhadap rupiah.

Menghadapi nilai tukar rupiah yang depresiatif tersebut, Bank

Indonesia mulai melakukan langkah pengetatan moneter

melalui operasi pasar terbuka (OPT) untuk menyerap

kelebihan likuiditas rupiah di pasar. Suku bunga SBI mulai

meningkat untuk memberikan sinyal kepada pasar mengenai

langkah pengetatan Bank Indonesia dalam meredam

melemahnya nilai tukar rupiah. Selain itu, untuk membantu

OPT, Bank Indonesia juga melakukan sterilisasi valuta asing

guna memberikan tambahan pasokan valuta asing di pasar.

Namun, langkah-langkah yang diambil Bank Indonesia

tersebut belum memberikan hasil yang optimal karena eskalasi

konflik politik semakin meningkat. Di samping itu, secara glo-

bal mata uang dolar AS semakin menguat akibat antisipasi

pasar terhadap berlanjutnya peningkatan suku bunga di

Amerika Serikat. Akibatnya, tekanan depresiasi terhadap ru-

piah terus berlanjut dan mencapai titik tertinggi pada level

Rp8.650 per dolar AS pada bulan Mei 2000 (Grafik 3.2).

Selanjutnya, menjelang sidang tahunan MPR 2000 konflik

politik semakin tajam sehingga meningkatkan kekha watiran

terhadap stabilitas keamanan di dalam negeri. Ketidakpastian

akibat ketidakstabilan kondisi sosial politik tercermin dari

perkembangan premi swap dan premi risiko yang terus

meningkat tajam (Grafik 3.3 dan 3.4). Seiring dengan

perkembangan tersebut, volatilitas nilai tukar meningkat tajam

dan nilai tukar menembus level psikologis Rp9.000 per dolar AS

dalam bulan Juli 2000 dan mencapai titik terendah pada level

Rp9.600 per dolar AS (Grafik 3.5).

Grafik 3.2Trend Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Grafik 3.3Premi Risiko dan Nilai Tukar Tahun 2000

Page 51: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

42

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

–5,0

–3,0

–1,0

1,0

3,0

5,0

IV I II III IV

1999 2000

%

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

O/N

1 Bulan3 Bulan

6 Bulan

12 Bulan

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

%

Kekhawatiran tersebut memudar setelah sidang tahunan

MPR berjalan lancar tanpa gangguan berarti, sehingga

mendorong penjualan kembali valuta asing di pasar. Di pihak

lain, melalui operasi pasar terbuka dan sterilisasi valuta asing,

Bank Indonesia secara konsisten terus menyerap kelebihan

likuiditas rupiah dan meningkatkan pasokan valuta asing di

pasar. Kedua faktor tersebut mendorong nilai tukar rupiah

menguat hingga mendekati level Rp8.000 per dolar AS pada

bulan Agustus 2000.

Namun demikian, penguatan nilai rupiah tersebut tidak

berlangsung lama karena permintaan valuta asing oleh

korporasi kembali meningkat guna mengantisipasi pelunasan

utang luar negeri yang jatuh waktu sampai Desember 2000. Di

pihak lain, kekhawatiran terhadap ketidakstabilan situasi sosial

politik dan terganggunya stabilitas perekonomian kembali

meningkat. Silang pendapat antar tokoh politik, ancaman

disintegrasi, ketidakpastian terhadap amandemen UU Bank

Indonesia, dan aksi teror terhadap sejumlah tempat ibadah di

beberapa daerah kembali memperburuk sentimen pelaku

pasar terhadap rupiah.

Memburuknya sentimen pasar akibat gejolak faktor non-

ekonomi yang disertai dengan meningkatnya permintaan

murni valuta asing oleh dunia usaha tersebut telah membuat

pelaku pasar tidak banyak bereaksi terhadap beberapa faktor

positif seperti upgrading peringkat sovereign credit Indonesia

oleh Standard & Poor's dan terus membaiknya kegiatan

ekonomi yang didukung oleh ekspor, konsumsi dan investasi.

Respon pelaku pasar yang asimetris tersebut pada gilirannya

menyebabkan nilai tukar rupiah bergerak dalam trend yang

melemah secara persisten sampai akhir Desember 2000.

Secara rata-rata, nilai tukar rupiah pada bulan Desember

mencapai Rp9.435 per dolar AS.

Melemahnya nilai tukar rupiah secara cukup tajam

dalam tahun 2000, telah mengakibatkan rupiah mengalami

deviasi yang cukup besar terhadap nilai fundamentalnya.

Dengan mengunakan pendekatan Real Effective Exchange

Rate (REER) dan memperhatikan perkembangan nilai tukar

negara-negara pesaing, maka rata-rata nilai tukar sepanjang

tahun 2000 yang sesuai dengan keseimbangan internal dan

eksternal diprakirakan hanya mencapai Rp7.500 per dolar AS.

Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan rata-rata

nilai tukar pasar sepanjang tahun 2000 sebesar Rp8.400 per

dolar AS, maka nilai tukar rupiah mengalami deviasi dari nilai

fundamentalnya sekitar 12,0% (Grafik 3.6).

Sementara itu, bila memperhitungkan posisi per

Desember 2000, maka nilai tukar yang sesuai dengan

keseimbangan internal dan eksternal diprakirakan hanya

mencapai Rp7.600 per dolar AS. Dengan demikian, dengan

rata-rata nilai tukar pasar pada bulan Desember sebesar

Rp9.435 per dolar AS, maka nilai tukar rupiah telah mengalami

Grafik 3.4Perkembangan Premi Swap Tahun 2000

Grafik 3.5Volatilitas Nilai Tukar Tahun 2000

Page 52: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

43

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

6.500

7.000

9.500

7.500

8.000

8.500

9.000

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Devisasi

Nilai Tukar KeseimbanganFundamental

Kurs Pasar

2 0 0 0

Rp/$

Penawaran Valuta asing

Dari sisi penawaran, sumber utama pasokan valuta asing di

pasar adalah devisa hasil ekspor, sterilisasi valuta asing oleh

bank sentral, dan aliran modal masuk asing baik berupa

penanaman modal langsung (FDI), investasi portofolio, mau-

pun pinjaman luar negeri. Namun, beberapa kendala telah

menghambat terciptanya peningkatan pasokan valuta asing

tersebut sehingga kondisi pasar valuta asing domestik masih

tetap tipis.

Sepanjang tahun 2000 kinerja ekspor Indonesia

mengalami peningkatan dengan neraca perdagangan

nonmigas mencatat surplus sebesar $14,9 miliar. Sementara

itu, lalu lintas modal swasta masih mengalami defisit sebesar

$8,5 miliar karena arus modal keluar terutama untuk

pembayaran utang luar negeri swasta belum diimbangi

dengan masuknya arus modal masuk secara berarti.

Namun surplus perdagangan sektor nonmigas yang

cukup besar tersebut belum memberikan dampak apresiasi

terhadap rupiah karena tidak seluruh devisa hasil ekspor

mengalir ke dalam negeri. Eksportir masih cenderung menyim-

pan devisa hasil ekspor (DHE) di bank luar negeri karena

beberapa alasan. Pertama, kepercayaan pihak luar negeri

terhadap stabilitas sosial politik masih sangat rendah. Sebagai

akibatnya, eksportir hanya memperoleh kontrak-kontrak

perdagangan jangka pendek dan sebagai tindakan berjaga-

jaga hal ini mendorong eksportir menyimpan devisanya di luar

negeri. Selain itu, masih rendahnya kepercayaan luar negeri

terhadap kondisi perbankan di dalam negeri mendorong

eksportir membuka L/C di bank luar negeri. Kedua, dengan

menyimpan DHE di bank luar negeri, eksportir dengan mudah

dapat memperoleh fasilitas kredit valuta asing dalam rangka

pembiayaan ekspor dengan biaya yang lebih rendah, yang

pada dasarnya kemudahan ini sulit diperoleh dari bank di

dalam negeri. Hal ini mengakibatkan sebagian besar hasil

devisa ekspor dimasukkan kembali dalam rekening escrow di

bank-bank luar negeri. Di pihak lain, ongkos perolehan valuta

asing yang harus dipikul eksportir di bank-bank domestik dinilai

masih kurang kompetitif dan tidak efisien. Ketiga, kegiatan

ekspor banyak diantaranya merupakan ekspor yang dilakukan

Grafik 3.6Deviasi Kurs Pasar dari Nilai Fundamental

Indonesia Singapura Thailand

Malaysia Korea RRC45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

Indek BRER

Grafik 3.7Bilateral Real Exchange Rate

deviasi dari nilai fundamentalnya sekitar 24,0%. Sementara itu,

apabila menggunakan pendekatan Bilateral Real Exchange

Rate (BRER) , sepanjang tahun 2000 nilai tukar rupiah underva-

lued sekitar 45,0% --lebih tinggi dibandingkan Singapura, Thai-

land, Malaysia, Korea, dan Republik Rakyat Cina--, sehingga

sangat kompetitif bagi produk ekspor Indonesia (Grafik 3.7).

Terjadinya deviasi nilai tukar rupiah terhadap nilai

ekuilibrium fundamental ekonomi juga dapat dijelaskan mela-

lui fenomena speculative bubble yang terjadi di pasar valuta

asing (Boks : "Speculative Bubble" Dalam Pasar Valuta Asing).

Page 53: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

44

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Dalam pada itu, pasokan valuta asing yang berasal dari

Bank Indonesia melalui sterilisasi valuta asing hanya dapat

dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini terkait dengan

fungsi utama sterilisasi valuta asing sebagai bagian dari

pengendalian moneter Bank Indonesia dalam rangka

menyerap kelebihan likuiditas rupiah untuk mencapai target

uang primer yang ditetapkan, khususnya untuk menyerap

kembali pengeluaran rupiah dari penerimaan luar negeri

pemerintah.

Permintaan Valuta Asing

Dari sisi permintaan, tekanan depresiasi terhadap rupiah

diakibatkan oleh masih tingginya permintaan valuta asing

yang berasal dari permintaan murni untuk transaksi ekonomi,

permintaan yang bermotif spekulasi, serta yang bermotif

penyelamatan portofolio. Permintaan murni terutama untuk

memenuhi kebutuhan impor dan pelunasan utang luar negeri

swasta. Kebutuhan valuta asing untuk impor semakin

meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan produksi

berorientasi ekspor. Selain itu, valuta asing juga banyak

diperlukan beberapa badan usaha milik pemerintah khususnya

dalam rangka impor migas dan bahan pangan.

Dalam pada itu, tekanan permintaan valuta asing untuk

pelunasan utang luar negeri masih besar. Permintaan valuta

nonresiden yang melakukan kegiatan produksi di Indonesia

yang hasil produksinya kemudian diekspor ke luar negeri

sehingga cukup beralasan bagi mereka untuk menyimpan

devisa hasil eskpornya di bank luar negeri.

Arus modal asing (capital inflows) baik dalam bentuk

investasi langsung maupun portofolio belum menunjukkan

perkembangan positif. Penanaman modal berjangka panjang

masih belum dapat diharapkan karena rendahnya

kepercayaan investor asing terhadap kepastian berinvestasi

di Indonesia, khususnya yang terkait dengan jaminan

keamanan, kepastian hukum, restrukturisasi sektor dunia usaha

yang lamban, serta fluktuasi nilai tukar (risiko nilai tukar) yang

sangat tinggi. Dalam pada itu, kelengkapan instrumen dan

kedalaman pasar derivatif guna melakukan lindung nilai

(hedging) mata uang rupiah yang sangat fluktuatif masih

sangat terbatas.

Sementara itu, investasi portofolio yang pada umumnya

bersifat jangka pendek sangat sensitif terhadap ekspektasi

perubahan situasi sosial politik di dalam negeri sehingga belum

dapat menjadi sumber pasokan valuta asing yang permanen.

Di pasar modal, situasi sosial politik yang belum kondusif men-

dorong investor asing cenderung melakukan strategi perdaga-

ngan yang hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan

sesaat (hit and run). Sedangkan di pasar uang, situasi yang sama

menyebabkan investor asing kurang sensitif terhadap arah

perubahan suku bunga di dalam negeri. Dalam kondisi di mana

country risk sangat tinggi, perbedaan suku bunga dalam dan

luar negeri (meskipun masih positif) bukan merupakan

pertimbangan utama investor (Grafik 3.8). Di pihak lain,

pengalihan portofolio investor internasional dari pasar keuangan

Eropa, Jepang, dan negara-negara emerging market ke pasar

keuangan Amerika Serikat sepanjang tahun laporan semakin

meningkat, terutama dipicu oleh dua faktor. Pertama, ber-

lanjutnya peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (profit

motive). Kedua, merupakan upaya penyelamatan portofolio

karena memburuknya sentimen investor internasional terhadap

negara-negara emerging market (flight to quality motive). Kedua

faktor ini, secara tidak langsung telah menghambat aliran

investasi portofolio ke pasar keuangan Indonesia.

Grafik 3.8Kurs Rupiah dan Covered Interest Rate Parity

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

-8,0

-6,0

-4,0

-2,0

0,0

2,0

4,0

6,0

6.000

6.500

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

1 9 9 9

IDR/$%

CIP IDR/$

2 0 0 0

Page 54: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

45

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

asing untuk pelunasan utang luar negeri ini telah menimbulkan

tekanan depresiasi yang besar terhadap nilai rupiah karena

belum dapat diimbangi dengan pasokan valuta asing yang

memadai (Grafik 3.9).

Permintaan valuta asing yang bermotif spekulasi dan

penyelamatan portofolio masih tetap tinggi hampir sepanjang

tahun sehingga cenderung melemahkan nilai tukar rupiah

secara persistent. Tingginya permintaan valuta asing akibat

kedua motif tersebut masih lebih banyak dilatarbelakangi

sentimen pasar yang negatif terhadap mata uang rupiah

sehubungan dengan ketidakstabilan situasi sosial politik yang

tak kunjung reda dan lambannya implementasi agenda

restrukturisasi sektor dunia usaha yang dikhawatirkan akan

menghambat proses pemulihan ekonomi.

Tekanan depresiasi terhadap rupiah akibat motif

transaksi penyelamatan portofolio juga dipicu oleh

meningkatnya ketidakpastian dalam skala regional dan glo-

bal. Hal ini mendorong investor internasional melakukan

pengalihan portofolio ke mata uang dolar AS yang dianggap

sebagai mata uang yang paling aman (safe haven currency).

Dalam skala regional, country risk beberapa negara Asia mulai

meningkat terutama sebagai akibat ketidakstabilan situasi

politik dan lambannya proses restrukturisasi sektor swasta yang

dikhawatirkan akan menjadikan negara-negara di kawasan

Grafik 3.10 Apresiasi dolar AS Secara Global

ini rentan terhadap shock eksternal. Hal ini telah turut

menimbulkan tekanan depresiasi terhadap sejumlah mata

uang Asia.

Sementara itu, dalam skala global, mata uang dolar

AS cenderung menguat khususnya terhadap beberapa

mata uang utama dunia seperti yen dan euro (Grafik 3.10).

Menguatnya sentimen positif secara global terhadap mata

uang dolar AS dalam tahun laporan antara lain sehubungan

dengan menguatnya perekonomian Amerika Serikat secara

relatif terhadap perekonomian Eropa dan Jepang yang

berjalan sangat lamban. Selain itu, kebijakan moneter ketat

di Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1999 sampai

pertengahan tahun 2000, semakin memperlebar per-

bedaan suku bunga antara tiga kekuatan ekonomi dunia

tersebut yang pada gilirannya mendorong aliran modal ke

pasar keuangan Amerika Serikat.

Likuiditas dan Internasionalisasi Rupiah

Selain dilatarbelakangi oleh permintaan murni dan spekulasi,

meningkatnya permintaan valuta asing juga merupakan

akibat dari kondisi likuiditas rupiah di pasar uang yang sangat

longgar. Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan

terbatasnya kelengkapan instrumen investasi di pasar uang

dan pasar modal dalam negeri mengakibatkan kondisi

keuangan perbankan domestik mengalami kelebihan likuiditas

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

Bank

Non Bank

Juta $

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

1) Angka bulan November dan Desember adalah merupakan perkiraan

Grafik 3.9 Realisasi Pelunasan Utang Luar Negeri Swasta1)

95

100

105

110

115

120

125

130

135IDRPHP

I II III IV

EuroKRW

JPYTHB

2 0 0 0

Indeks

Page 55: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

46

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

negeri, sering diiringi dengan peningkatan tekanan depresiasi

terhadap rupiah. Kedua, mutasi rekening vostro (milik

nonresiden) sangat aktif dan untuk rekening vostro dengan

klasifikasi pasar valuta asing selalu menunjukkan kecen-

derungan net outflow (Grafik 3.11). Ketiga, pangsa volume

transaksi cabang bank asing di pasar domestik sangat

dominan di mana sepanjang tahun laporan selalu berada di

atas 50,0% dari total volume transaksi.

Transaksi Devisa Antar Bank

Sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang ta-

hun laporan, volume transaksi devisa antar bank meningkat

sekitar 21,6% dibanding tahun sebelumnya menjadi $349,0

miliar. Sedangkan secara rata-rata harian, volume transaksi

devisa antara bank tercatat sebesar $1,4 miliar per hari atau

telah meningkat sebesar 25,6% dibandingkan tahun

sebelumnya.

Berdasarkan jenis transaksi, transaksi swap memiliki

pangsa terbesar dari total volume transaksi, disusul oleh

transaksi spot dan forward (Grafik 3.12). Apabila dibandingkan

dengan kondisi tahun lalu, pangsa transaksi swap tahun ini

meningkat 2,5 %, transaksi spot turun 2,5 %, sedangkan pangsa

transaksi forward relatif tidak berubah. Menurunnya pangsa

transaksi spot dan meningkatnya pangsa transaksi swap pada

tahun 2000 menunjukkan bahwa meskipun secara total vo-

rupiah. Di pihak lain, rambu-rambu yang membatasi lalu lintas

rupiah antar negara masih sangat longgar. Kedua hal ini

mengakibatkan ekses likuiditas rupiah di pasar uang dalam

negeri banyak mengalir secara bebas ke pasar uang luar

negeri khususnya melalui transaksi pinjaman antar bank.

Dalam perkembangannya, pemanfaatan rupiah di

pasar uang luar negeri oleh nonresiden cenderung lebih

banyak digunakan untuk transaksi yang tidak didasari oleh

kegiatan ekonomi riil seperti ekspor/impor dan investasi,

melainkan lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi

di pasar rupiah (without underlying transaction) sehingga sering

mempengaruhi trend dan gejolak nilai tukar. Selain itu, kema-

juan dalam rekayasa instrumen derivatif semakin mening-

katkan intensitas spekulasi oleh nonresiden yang pada dasar-

nya kurang dapat tertangkap secara penuh oleh beberapa

ketentuan kehati-hatian (prudential regulation) yang di-

tetapkan Bank Indonesia (Boks : Internasionalisasi Rupiah).

Pada umumnya, nonresiden melakukan transaksi

melalui perantaraan sejumlah bank asing yang sebagian besar

merupakan market makers, sehingga mereka berperan besar

dalam proses pembentukan harga di pasar. Peran aktif

nonresiden dalam perdagangan rupiah antara lain tercermin

dari beberapa indikator. Pertama, meningkatnya permintaan

terhadap likuiditas rupiah oleh nonresiden, yang tercermin dari

peningkatan suku bunga rupiah di pasar uang antar bank luar

Grafik 3.11Rekening Vostro

7 10 15 21 24 29 1 6 11 14 19 22 27 2 5 10 13 18 24 30 2 7 10 15 20 23 28

Agustus September Oktober November

Trans. Pasar Valas Trans. Pasar ModalTransaksi Lainnya Poly. (Trans. Pasar Valas)

-6.500

-8.500

-4.500

1.500

3.500

5.500

-2.500

-500

Miliar Rp.

2 0 0 0

Grafik 3.12Komposisi Volume Transaksi

Forward0,9%

Swap62,0%

Spot37,1%

Page 56: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

47

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

asing oleh masyarakat, seiring dengan meningkatnya

kebutuhan valuta asing menjelang akhir tahun, yang disertai

dengan munculnya kembali beberapa berita negatif sehingga

turut membentuk sentimen pasar yang negatif.

Inflasi

Perkembangan harga-harga selama tahun 2000 mendapat

tekanan yang berat sejalan dengan meningkatnya kegiatan

ekonomi, adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, dan mening-

katnya ekspektasi inflasi. Berbagai faktor tersebut telah menye-

babkan laju inflasi IHK tahun 2000 mencapai 9,35% (y-o-y) jauh

lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya

sebesar 2,01%. Dampak kebijakan pemerintah di bidang harga

dan pendapatan secara kumulatif bulanan diprakirakan

memberikan sumbangan inflasi sebesar 3,19%. Sementara itu,

secara tahunan (y-o-y), dampak kebijakan pemerintah

tersebut diprakirakan memberikan sumbangan terhadap inflasi

sebesar 3,42%. Angka ini lebih tinggi dari yang semula

diprakirakan yakni sebesar 2,0%. Dengan perkembangan

tersebut, laju inflasi di luar dampak kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan diprakirakan sebesar 5,93%,

lebih tinggi dari sasaran inflasi yang ditetapkan Bank Indone-

sia pada awal tahun sebesar 3,0%–5,0%.

lume transaksi telah meningkat namun pelaku pasar lebih

bersikap hati-hati dalam mengantisipasi fluktuasi kurs.

Transaksi spot devisa antar bank dalam rupiah valuta

asing (Rp/$) mencapai 85,4% dari total transaksi devisa

sepanjang tahun 20001), dengan kecenderungan minat beli

valuta asing yang lebih besar dibandingkan minat jual. Hal

ini tercermin dari posisi transaksi spot perbankan dengan

counterpart-nya yang mengalami net-oversold sebesar

$135,3 juta. Dari total posisi transksi spot tersebut, posisi

transaksi spot dengan counterpart nasabah dalam negeri

mengalami oversold sebesar $567,4 juta atau dengan kata

lain nasabah dalam negeri cenderung memelihara long

dolar AS. Di pihak lain, posisi transaksi spot perbankan

mengalami overbought dengan counterpart luar negeri

sebesar $432,0 juta yang menunjukkan bahwa pihak luar

negeri cenderung memiliki posisi short dolar AS.

Dari perkembangan secara triwulanan, posisi dan vo-

lume transaksi valuta asing perbankan berfluktuasi seiring

dengan perkembangan nilai tukar rupiah (Grafik 3.13). Pada

Triwulan I 2000 volume transaksi harian tercatat sebesar $1.080,9

juta dengan posisi net overbought. Memasuki Triwulan II vol-

ume transaksi harian meningkat 28,8% dengan posisi

perbankan mengalami net oversold, yang mencerminkan

meningkatnya kecenderungan minat beli valuta asing akibat

meningkatnya suhu politik menjelang sidang tahunan MPR

pada bulan Agustus. Dalam periode tersebut nilai tukar rupiah

melemah cukup tajam. Volume harian transaksi kembali

menurun 5,7% pada triwulan III dengan posisi transaksi

perbankan mengalami net overbought. Hal ini menunjukkan

adanya aksi jual valuta asing oleh masyarakat ke perbankan

setelah dalam triwulan III diwarnai aksi beli. Perkembangan

tersebut sejalan dengan terjadinya penguatan nilai tukar ru-

piah dalam periode tersebut. Selanjutnya, rata-rata harian

volume transaksi valuta asing pada triwulan IV turun 3,2%

dengan posisi transaksi perbankan mengalami net-oversold.

Hal ini menunjukkan terjadinya akumulasi posisi long valuta

Grafik 3.13Rata-rata Volume Transaksi Harian dan

Posisi Transaksi Bank

I II III IV–300

–100

100

300

500

700

900

1.100

1.300

1.500

Volume Transaksi Harian Posisi Bank, Overbought (+) / Oversold (–)

2 0 0 0

Juta $

1) 14,6% merupakan transaksi spot devisa antara bank selain transaksidalam Rp/$

Page 57: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

48

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Sejalan dengan upaya menstabilkan nilai tukar rupiah,

Bank Indonesia telah menempuh berbagai upaya untuk

mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasaran yang telah

ditetapkan pada awal tahun. Namun demikian, dalam

pelaksanaannya Bank Indonesia menghadapi situasi dilematis

seperti disinggung pada awal bab ini. Di satu sisi, Bank Indone-

sia ingin melakukan kebijakan moneter yang ketat untuk

mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, dengan

konsekuensi suku bunga meningkat tajam dan proses

pemulihan ekonomi yang masih rentan dapat terhambat. Di

sisi lain, Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter

yang kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun

sasaran inflasi akan terlampaui. Dalam kondisi demikian, Bank

Indonesia menempuh kebijakan yang cenderung ketat melalui

kenaikan suku bunga secara bertahap, guna memberikan

sinyal kepada masyarakat bahwa Bank Indonesia tetap

konsisten untuk menekan laju inflasi tanpa mengganggu proses

pemulihan ekonomi secara berarti. Kebijakan ini dilakukan

dengan pertimbangan bahwa terhambatnya proses pemu-

lihan ekonomi dapat menurunkan tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap kelanjutan pemulihan ekonomi, yang

pada gilirannya akan dapat meningkatkan tekanan inflasi dan

depresiasi nilai tukar rupiah yang lebih tinggi lagi.

Perkembangan Inflasi IHK

Dalam tahun laporan, inflasi IHK tercatat sebesar 9,35% (y-o-y)

jauh lebih tinggi dibandingkan 2,01% pada tahun 1999.

Perkembangan inflasi bulanan menunjukkan bahwa tekanan

inflasi terjadi pada 10 bulan, kecuali Maret dan September

yang mencatat deflasi. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan

Desember sebesar 1,94% (m-t-m). Peningkatan tekanan harga

tertinggi terjadi pada tiga bulan terakhir tahun laporan antara

lain terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah seperti

pengurangan subsidi BBM, cukai rokok, dan toeslag angkutan

lebaran, serta adanya peningkatan permintaan masyarakat

dalam rangka menyambut hari raya keagamaan dan tahun

baru (Grafik 3.14).

Berdasarkan sumbangan kelompok barang, dalam

tahun 2000 kelompok perumahan merupakan penyumbang

Grafik 3.14Inflasi IHK

-2,0

-1,0

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

%

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

(m-t-m) Bulanan

(y-o-y) Tahunan

2 0 0 0

inflasi tertinggi yakni sebesar 2,66%. Kecenderungan ini telah

terjadi sejak tahun lalu dengan peningkatan yang lebih tajam

dalam tahun laporan. Peningkatan sumbangan inflasi

perumahan ini terutama disebabkan oleh kenaikan pada sub-

kelompok biaya tempat tinggal dan sub kelompok bahan

bakar, penerangan, dan air. Kelompok lainnya yang

memberikan sumbangan cukup besar terhadap inflasi tahun

2000 adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan

tembakau, dan kelompok transpor dan komunikasi dengan

sumbangan inflasi masing-masing sebesar 1,78% dan 1,50%.

–2,0

–1,5

–1,0

–0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

1 9 9 9 2 0 0 0

(%)

Bahan MakananMakanan Jadi

Perumahan

Sandang

Pendidikan

Kesehatan

Transpor

Grafik 3.15Sumbangan Inflasi Kelompok Barang

Page 58: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

49

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

mengendalikan inflasi menjadi dilematis karena dikhawatirkan

akan menghambat proses pemulihan ekonomi yang masih

rentan.

Pengaruh Meningkatnya Kegiatan Ekonomi

Tingginya tekanan inflasi yang terjadi terutama didorong oleh

masih kuatnya peningkatan permintaan agregat sejalan

dengan meningkatnya kegiatan perekonomian domestik.

Dalam kaitan ini, tekanan inflasi muncul karena peningkatan

permintaan tersebut tidak dapat diimbangi oleh

peningkatan penawaran agregat dalam jangka pendek

sehubungan dengan permasalahan struktural perekonomian

seperti masih terganggunya fungsi intermediasi perbankan

dan rendahnya minat investasi karena masih tingginya faktor

risiko.

Tingginya tekanan inflasi tersebut antara lain tercermin

pada perkembangan output gap yang cenderung menyem-

pit seperti ditunjukkan oleh peningkatan kapasitas terpakai

(Grafik 3.17). Sementara itu, output potensial belum mem-

perlihatkan peningkatan secara berarti antara lain terkait

dengan iklim investasi yang belum kondusif dan masih

terbatasnya sumber pembiayaan untuk kegiatan investasi

khususnya yang berasal dari sektor perbankan. Beberapa

subsektor sektor industri pengolahan yang tingkat utilisasinya

Sementara itu, kelompok yang memberikan sumbangan di

bawah 1,0% adalah masing-masing bahan makanan (0,95%),

sandang (0,78%), pendidikan, rekreasi dan olah raga (0,80%)

dan kesehatan (0,86%) (Grafik 3.15).

Laju inflasi food & energy dalam tahun laporan

mencapai 7,95% (y-o-y), dengan sumbangan terhadap inflasi

sebesar 3,84%. Inflasi food & energy tersebut jauh meningkat

dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat deflasi

sebesar 1,58% (y-o-y) dan memberikan sumbangan deflasi

sebesar 0,72%. Kenaikan laju inflasi food & energy ini antara

lain juga terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan, dan peningkatan permintaan

terutama menjelang akhir tahun bersamaan dengan

perayaan hari keagamaan (Grafik 3.16).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi

Tingginya tekanan kenaikan harga-harga pada tahun

laporan disebabkan oleh akselerasi kegiatan perekonomian

yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan di sisi

penawaran karena masih adanya berbagai permasalahan

struktural. Selain itu, tekanan inflasi juga disebabkan oleh

adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, serta tingginya

ekspektasi inflasi masyarakat yang telah terjadi sejak awal

tahun laporan. Kebijakan moneter yang dilakukan untuk

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

10

m-t-m (%)

Food & energyIHK bulanan

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

1 9 9 9Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

2 0 0 0

Grafik 3.16Inflasi Food & Energy

Grafik 3.17Output Gap dan Inflasi IHK

-15

-10

-5

0

5

10

15

-10

Output Gap1)

IHK

IHK (y-o-y), %Output Gap (%)

1) rasio terhadap output potensial

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

1997 1998 1999 2000

Page 59: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

50

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Sementara itu, perkembangan aset ekuitas yang tahun lalu

menunjukkan perkembangan positif, dalam tahun laporan

mencatat deflasi sebesar 38,49% (y-o-y) (Grafik 3.18). Hal ini

terutama akibat kecenderungan melemahnya pasar modal

secara regional dan adanya sentimen negatif pelaku pasar

sehubungan dengan ketidakstabilan politik di dalam negeri

(Boks : Inflasi Harga Aset).

Pengaruh Kebijakan pemerintah di Bidang Harga dan

Pendapatan

Dalam tahun 2000, pemerintah mengeluarkan berbagai kebi-

jakan di bidang harga dan pendapatan yang antara lain men-

cakup kenaikan harga BBM, tarif angkutan, tarif listrik, cukai

rokok dan bea masuk impor. Kebijakan di bidang pendapatan

terutama mencakup kenaikan gaji PNS, TNI dan Pollri, serta

UMR. Beberapa dari kebijakan pemerintah di bidang harga

dan pendapatan tersebut telah dapat diidentifikasikan pada

awal penetapan APBN 2000 sehingga dapat diprakirakan

dampaknya terhadap kenaikan inflasi. Namun sebagian kebi-

jakan lainnya belum dapat diidentifikasi pada saat penyusunan

sasaran inflasi di awal tahun sehingga realisasi dampaknya

terhadap inflasi belum diperhitungkan. Di samping itu, pola

implementasi kebijakan tersebut berbeda dengan implemen-

tasi kebijakan serupa pada tahun-tahun sebelumnya.

Pengaruh kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan terhadap inflasi IHK terdiri dari dampak langsung,

dampak tidak langsung, dan announcement effect dari kebi-

jakan pemerintah tersebut. Dampak langsung dihitung dengan

mengeluarkan sumbangan inflasi dari komoditas yang

mengalami kenaikan harga dari hasil perhitungan dalam

keranjang IHK. Dampak tidak langsung dihitung dengan me-

ngeluarkan sebagian sumbangan inflasi dari komoditas sub-

kelompok yang memiliki keterkaitan langsung dengan komo-

ditas yang mengalami kenaikan harga, seperti subkelompok

biaya tempat tinggal dan subkelompok barang pribadi dan

sandang lainnya. Perhitungan dampak tidak langsung tersebut

menggunakan pola dampak kenaikan TDL dan BBM terhadap

industri-industri penghasil komoditas terkait yang terjadi pada

tahun 1996. Sementara itu, announcement effect dari

Grafik 3.18Inflasi Harga Aset

–60

–40

–20

0

20

40

60

80

100

120KompositIHSGKomersialResidensial

%, (y-o-y)

1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

sudah sangat tinggi adalah subsektor industri yang berorientasi

ekspor seperti subsektor barang galian bukan logam, diikuti

oleh subsektor tekstil, pakaian jadi dan kulit serta subsektor

kimia, minyak bumi, karet dan plastik. Sementara itu, beberapa

subsektor yang tingkat utilisasinya masih rendah adalah

subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau.

Indikator lainnya yang menunjukkan tekanan harga

yang berasal dari pesatnya peningkatan kegiatan

perekonomian tercermin pada perkembangan laju inflasi

harga aset. Inflasi harga aset menunjukkan peningkatan yang

cukup tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh komposit inflasi

harga aset yang mencapai 13,0% (y-o-y). Peningkatan inflasi

harga aset ini terutama terjadi pada kelompok inflasi aset

properti. Minat masyarakat untuk membeli properti sebagai

alternatif untuk menyimpan kekayaan (store of wealth)

kembali meningkat. Pendorong utama peningkatan inflasi

harga aset properti terjadi pada kelompok inflasi aset properti

komersial yang meningkat sebesar 19,9% (y-o-y), setelah

tumbuh negatif pada tahun sebelumnya. Inflasi aset properti

residensial juga mencatat pertumbuhan yang tinggi, yakni

mencapai 12,2% (y-o-y). Peningkatan inflasi harga aset antara

lain disebabkan oleh peningkatan harga bahan bangunan

dan terbatasnya pasokan properti yang tidak mengalami

penambahan sementara permintaannya cukup besar.

Page 60: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

51

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

kebijakan pemerintah terhadap inflasi diprakirakan dengan

mengalikan persentase kenaikan gaji dan UMR terhadap

tingkat sensitivitas kenaikan gaji dan UMR terhadap IHK.

Dengan perhitungan seperti di atas, dampak kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi

IHK selama tahun 2000 secara kumulatif bulanan diprakirakan

mencapai 3,19%.2) Angka realisasi dampak kebijakan

pemerintah ini lebih tinggi dari perkiraan semula yang hanya

sekitar 2,0%. Secara kumulatif bulanan, dampak langsung

kebijakan harga memberikan dampak sebesar 1,51% yang

terutama didorong oleh kenaikan harga BBM dan Gas Elpiji

sebesar 0,59% dan cukai rokok sebesar 0,43%. Sementara itu,

kenaikan tarif angkutan dan tarif dasar listrik memberikan

dampak langsung masing-masing sebesar 0,26% dan 0,23%.

Pengaruh dampak tidak langsung yang menyertai pelaksanaan

kebijakan harga dalam tahun 2000 adalah sebesar 0,84%

dimana dampak terbesar terjadi pada Mei dan Oktober masing-

masing sebesar 0,25% dan 0,29% yang terkait dengan kenaikan

tarif angkutan dan TDL serta kenaikan BBM. Sementara itu, an-

nouncement effect kebijakan pemerintah memberikan dampak

2) Secara year on year (angka indeks Desember 2000 dibandingkan indeks1999) kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatandiperkirakan memberikan dampak sekitar 3,42%

sebesar 0,83% yang terutama terjadi pada saat pengumuman

pertama kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri serta UMR pada bulan

April. Kenaikan gaji yang terjadi dua tahap yakni April dan

Oktober memberikan dampak sebesar 0,54% (Tabel 3.1).

Lebih tingginya realisasi dampak kebijakan pemerintah

di bidang harga dan pendapatan tersebut antara lain

disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, adanya kebijakan pemerintah yang belum

diidentifikasi pada saat penyusunan perhitungan inflasi,

sehingga dampaknya tidak diperhitungkan dalam perkiraan

awal. Kebijakan tersebut antara lain kebijakan cukai rokok yang

meskipun pelaksanaannya sempat ditunda dari April menjadi

November 2000, telah menimbulkan dampak kenaikan inflasi

yang cukup besar. Selain itu, pada September terjadi kenaikan

harga gas elpiji dan tarif jasa pos.

Kedua, besarnya kenaikan yang terjadi tidak seluruhnya

sama dengan asumsi yang digunakan dalam perkiraan awal,

seperti kenaikan UMR yang diprakirakan sebesar 25,0% ternyata

dalam realisasinya bervariasi antara 15,0% s.d. 55,0%. Di

samping itu, persentase realisasi kenaikan gaji pegawai negeri

sipil, TNI dan Polri lebih tinggi dari 30,0% karena disertai dengan

kenaikan tunjangan struktural dan kenaikan gaji guru di luar

kenaikan gaji secara umum.

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Total

p e r s e n

Dampak langsung Kebijkan harga 0,36 0,32 0,09 0,38 0,36 1,51Harga BBM/Gas Elpiji 0,08 0,38 0,13 0,59

Tarif Angkutan 0,17 0,09 0,26

Tarif Dasar Listrik/PAM 0,20 0,03 0,23

Cukai Rokok 0,27 –0,04 0,20 0,43

Dampak tindak langsung kebijakan harga 0,16 0,25 0,29 0,15 0,84

Announcement Effect 0,56 0,27 0,83Gaji PNS 0,27 0,27 0,54

UMR 0,29 0,29

Total dampak kebijakan(kumulatif bulanan) 1,07 0,57 0,09 0,94 0,51 3,19Total dampak kebijakan (year on year) 3,42

Tabel 3.1Perkiraan Dampak Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan Tahun 2000

Page 61: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

52

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Ketiga, adanya perubahan pola pemberlakuan

kenaikan harga dibandingkan pola kenaikan harga yang

terjadi pada periode sebelumnya. Penundaan kenaikan harga

BBM selain jenis Premix dan Super TT dari April menjadi Oktober

2000, misalnya, tidak diperhitungkan dalam penyusunan

perkiraan awal dampak kebijakan. Meskipun pelaksanaan

kenaikannya sempat mengalami penundaan, harga-harga

telah sempat mengalami kenaikan pada April 2000. Selain itu,

kenaikan tarif angkutan tidak terjadi sekaligus untuk seluruh

moda angkutan. Kenaikan tarif angkutan dalam kota,

khususnya di Jakarta pada Mei mendahului kenaikan tarif

angkutan darat antarkota, kereta api, dan kapal pada Sep-

tember 2000. Secara keseluruhan, kenaikan tarif angkutan

mendahului kenaikan BBM. Pola kenaikan seperti ini berbeda

dengan pola pada tahun sebelumnya dimana kenaikan tarif

angkutan umumnya berlangsung serentak untuk seluruh moda

transportasi segera setelah kenaikan harga BBM. Dengan

demikian kenaikan tarif angkutan dianggap lebih merupakan

dampak tidak langsung kenaikan harga BBM dan dampak

lanjutannya terhadap kenaikan harga barang lain menjadi

berkurang. Perubahan pola ini menyebabkan dalam tahun

ini kenaikan tarif angkutan dan harga BBM berdampak lebih

besar pada harga barang-barang lainnya.

Pengaruh Melemahnya Nilai Tukar Rupiah

Faktor penting lainnya yang juga berpengaruh terhadap

tingginya tekanan inflasi dalam tahun laporan adalah nilai

tukar rupiah. Selama tahun 2000, nilai tukar rupiah rata-

rata mencapai Rp8.400 per dolar AS atau lebih tinggi dari

asumsi nilai tukar pada awal tahun sebesar Rp7.000 per

dolar AS.

Dampak nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi antara

lain tercermin pada perkembangan inflasi kelompok traded

yang terus mengalami peningkatan sejak triwulan II/2000.

Secara tahunan, indeks harga traded mencapai 7,43% (y-o-

y). Sementara itu, laju inflasi yang diukur menggunakan indeks

harga perdagangan besar (IHPB) juga menunjukkan kenaikan

harga tertinggi terjadi pada sektor ekspor yakni sebesar 34,49%

(y-o-y) (Grafik 3.19). Perkembangan tersebut sejalan dengan

Grafik 3.19Inflasi Traded dan IHPB Ekspor

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

–60

–40

–20

0

20

40

60

80

Traded y-o-y(%)

TradedIHPB EksporPoly. (Traded)Poly. (IHPB Ekspor)

Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

1999 2000

IHPB Ekspor (%)

kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah yang terjadi

sejak triwulan II tahun 2000. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian

terhadap kelompok barang traded. Dampak depresiasi nilai

tukar rupiah terhadap inflasi tercatat sangat besar pada tahun

1998, di mana inflasi kelompok traded mencapai 95,24%. Di

lain pihak, menguatnya nilai tukar rupiah pada tahun 1999

mendorong deflasi pada kelompok traded sebesar 0,56%,

sehingga merupakan salah satu penyumbang rendahnya inflasi

pada tahun tersebut. Gambaran perilaku indeks kelompok

traded ini menunjukkan pentingnya stabilisasi nilai tukar rupiah

sebagai salah satu faktor kunci dalam pengendalian inflasi di

Indonesia. (Boks: Dampak Nilai Tukar Terhadap Inflasi).

Pengaruh Ekspektasi Inflasi

Ekspektasi harga selama tahun 2000 menunjukkan

kecenderungan yang meningkat sebagaimana dicerminkan

oleh hasil survei ekspektasi konsumen (SEK) dan survei kegiatan

dunia usaha (SKDU). Survei tersebut menggambarkan

pendapat konsumen terhadap kecenderungan harga-harga

dan ekspektasi produsen terhadap perkembangan harga jual,

sewa, suku bunga dan tarif. Faktor utama yang menyebabkan

tingginya ekspektasi harga adalah adanya kebijakan

pemerintah di bidang harga (tarif dasar listrik dan peng-

hapusan BBM), belum stabilnya kondisi keamanan, sosial dan

Page 62: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

53

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

PDB, dan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,4%.

Harapan akan pulihnya kondisi politik dan keamanan dalam

negeri seiring dengan terbentuknya Pemerintahan baru

secara demokratis akan mendorong perkembangan nilai

tukar ke arah nilai keseimbangan, sehingga nilai tukar ru-

piah rata-rata pada tahun 2000 diasumsikan sebesar Rp7.000

per dollar AS.

Dalam perkembangannya, realisasi inflasi melampaui

sasaran inflasi yang telah ditetapkan untuk tahun 2000. Setelah

mengeluarkan dampak kebijakan pemerintah di bidang harga

dan pendapatan sebesar 3,42% (y-o-y) dari perhitungan laju

inflasi IHK sebesar 9,35% (y-o-y), diperoleh laju inflasi di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan adalah sebesar 5,93%. Angka laju inflasi ini

melampaui sasaran inflasi Bank Indonesia tahun 2000 yang

ditetapkan sebesar 3,0%–5,0% (y-o-y). (Grafik 3.21)

Beberapa permasalahan dihadapi Bank Indonesia

dalam mencapai sasaran inflasi dalam tahun 2000. Pertama,

perkembangan beberapa asumsi yang digunakan sebagai

dasar penetapan sasaran inflasi tidak seperti yang diprakirakan

pada awal tahun seperti perkembangan ekonomi yang

tumbuh lebih cepat dari yang diprakirakan semula. Kedua, nilai

tukar rupiah tidak menguat seperti yang diasumsikan semula

tetapi terus melemah terutama karena faktor nonekonomi.

Ketiga, meningkatnya tekanan inflasi mendorong ekspektasi

politik, dan melemahnya nilai tukar rupiah. Berbagai faktor

tersebut menimbulkan efek psikologis terhadap aktivitas

konsumen dalam permintaan dan aktivitas produsen dalam

penyesuaian harga (Grafik 3.20).

Permasalahan Pengendalian Inflasi

Pada awal tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan sasaran

inflasi yang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi dan

dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter yakni sebesar 3,0%-

5,0%. Sasaran ini belum termasuk dampak kenaikan harga-

harga yang bersumber dari kebijakan pemerintah di bidang

harga dan pendapatan (administered prices and income

policy). Bersamaan dengan penetapan sasaran tersebut, Bank

Indonesia memperkirakan bahwa dampak kebijakan

pemerintah adalah sebesar 2,0%.

Sasaran inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000

tersebut ditetapkan dengan memperhatikan prospek

ekonomi dan moneter secara keseluruhan yang dapat

diprakirakan berdasarkan data dan informasi pada awal

tahun. Nuansa optimisme mempengaruhi beberapa asumsi

yang digunakan dalam menetapkan inflasi pada waktu itu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia diasumsikan akan

mencapai sekitar 3,0%-4,0%, surplus transaksi berjalan sebesar

2,3% dari PDB, defisit anggaran pemerintah sebesar 4,8% dari

Ekspektasi Konsumen

Ekspektasi Produsen

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Net balance

1999 2 0 0 0

Des. Mar. Jun. Sep. Des.

Grafik 3.20Ekspektasi inflasi Konsumen dan Produsen

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Inflasi IHKInflasi IHK tanpa memperhitungkandampak kebijakan pemerintah di bidangharga dan pendapatan

2 0 0 0

y–t–d (%)

Grafik 3.21Sasaran Inflasi

Page 63: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

54

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

ekonomi dan pengendalian laju inflasi, sebagaimana yang

telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, fungsi intermediasi

perbankan yang belum pulih sepenuhnya telah menyebabkan

pengetatan kebijakan moneter untuk meredam tekanan inflasi

melalui sinyal kenaikan suku bunga SBI kurang ditanggapi

secara proporsional oleh perbankan. Demikian juga, proses

restrukturisasi perbankan yang belum selesai, pemulihan

ekonomi yang masih rentan, dan belum berkembangnya

pasar obligasi dalam negeri telah mempersempit atau mem-

batasi secara langsung maupun tidak langsung ruang gerak

kebijakan moneter untuk mencapai sasaran inflasi yang telah

ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, pengetatan secara

drastis dan berlebihan untuk mencapai sasaran inflasi akan

meningkatkan risiko bagi kelangsungan pemulihan perbankan

dan perekonomian yang pada gilirannya dapat mengancam

pencapaian stabilisasi nilai tukar dan sasaran inflasi itu sendiri.

inflasi yang lebih tinggi di kalangan konsumen dan produsen

sehinga menambah tekanan terhadap inflasi yang lebih besar

(gejala self-fulfilling inflation expectation). Keempat, proses

pemulihan ekonomi yang masih rentan dan adanya kendala

(bottleneck) di sisi penawaran dalam jangka pendek sehingga

tidak dapat memenuhi kenaikan sisi permintaan.

Dengan permasalahan seperti di atas, serta dengan

mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi yang masih

rentan, pelaksanaan kebijakan moneter untuk mengendalikan

inflasi perlu di lakukan secara hati-hati. Dalam kaitan ini, Bank

Indonesia telah menempuh berbagai langkah kebijakan

moneter untuk mengendalikan laju inflasi agar sesuai dengan

sasaran yang telah ditetapkan pada awal tahun. Namun

demikian, dalam pelaksanaannya Bank Indonesia mengha-

dapi sejumlah permasalahan terutama terkait dengan kondisi

kebijakan moneter yang dilematis antara pertumbuhan

Page 64: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

55

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Boks : Inflasi Harga Aset

Perkembangan luar biasa yang terjadi pada siklus kegiatan

usaha pada akhir dekade 1980-an, telah menyulitkan otoritas

moneter di beberapa negara industri untuk mengidentifikasi

tekanan inflasi. Hal ini karena tekanan inflasi tidak saja datang

dari harga barang-barang pada umumnya tetapi juga

terjadi pada harga-harga aset. Kebijakan moneter

konvensional yang hanya memperhatikan indikator

perkembangan harga seperti IHK terbukti terlambat

mengantisipasi gejolak inflasi yang muncul. Hal ini karena

cakupan inflasi yang dihitung berdasarkan kenaikan harga

barang-barang dalam basket IHK belum memperhitungkan

kenaikan harga yang terjadi di pasar aset. Keterbatasan ini

menyebabkan gejolak yang terjadi di pasar aset tidak secara

langsung dicerminkan oleh peningkatan pada indikator inflasi

IHK. Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa

meskipun IHK tidak menunjukkan peningkatan yang berarti,

namun ternyata tekanan harga di pasar properti cukup kuat,

seperti yang ditunjukkan oleh kenaikan harga tanah, rumah,

sewa ruang perkantoran maupun harga saham. Perhatian

terhadap masalah inflasi harga aset semakin meluas dan

serius semenjak munculnya fenomena bubble 1 yang dialami

oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan

Jepang.

Untuk menghitung inflasi harga aset perlu disusun

terlebih dahulu indeks harga aset yang merupakan indeks

komposit dari beberapa jenis aset. Secara teori yang dimaksud

dengan aset masyarakat untuk menyusun indeks inflasi harga

aset adalah seluruh jenis aset yang secara dominan dimiliki

oleh masyarakat. Sementara itu, jenis aset yang tidak

diperhitungkan pada umumnya antara lain yang berupa: ru-

ral asset, household durable goods, notes and coin in circula-

tion, net assets held abroad dan non-financial holdings of gov-

ernment fixed income securities. Di sejumlah negara, kelompok

aset tersebut dikeluarkan dari perhitungan karena porsinya

yang relatif kecil terhadap total kekayaan masyarakat,

memiliki elatisitas penawaran yang tinggi, dan volatilitas

harganya rendah.

Secara umum, jenis aset yang diperhitungkan dalam

pengukuran inflasi harga aset terdiri dari: aset ekuiti, aset

properti komersial, dan aset properti residensial. Aset ekuiti yaitu

kelompok aset yang menggambarkan aset perusahaan.

Namun mengingat cukup sulit untuk menghitung secara tepat

jumlah kekayaan perusahaan, aset ekuiti ini seringkali diukur

dengan indeks harga saham gabungan. Properti komersial

yaitu properti yang dimiliki dengan tujuan untuk investasi

(kecuali perumahan dan apartemen) atau kegiatan produksi,

contohnya adalah ruang kantor (office space), pertokoan

(mall, retail), hotel, kawasan industri, pergudangan dan fasilitas

rekreasi yang berkaitan dengan batasan definisi tersebut.

Properti residensial adalah properti yang digunakan untuk

perumahan atau tempat tinggal, seperti misalnya real estate,

apartemen atau tanah yang belum dibangun tetapi

direncanakan sebagai tempat hunian.

Dalam perhitungan indeks inflasi harga aset, faktor

penting lainnya adalah pembobotan untuk menyusun suatu

indeks gabungan (composite index). Pembobotan dihitung

berdasarkan pangsa ketiga jenis aset tersebut dalam portfo-

lio kekayaan masyarakat. Negara yang telah memiliki data

Standardized National Account (SNA) akan lebih mudah

menentukan berapa share dari masing-masing aset.

Pembobotan untuk suatu negara dapat berbeda dengan

negara lainnya sesuai dengan kharakteristik perekonomian

negara tersebut.

Secara umum rumus penghitungan indeks inflasi harga

aset dinotasikan sebagai berikut:

nAP (t) = Σ w (i,s)p(i,t)

i =1keterangan :

AP(t): adalah indeks harga aset pada waktu tertentu

w(i,s): adalah bobot penimbang untuk aset (i) yakni ekuiti,

properti komersial dan properti residensial untuk masa

validitas (s) tertentu.

P(i,t): adalah indeks harga aset (i) pada saat (t).1) Bubble dapat didefinisikan sebagai setiap penyimpangan harga

aset dari nilai fundamental aset tersebut.

Page 65: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

56

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

akses masyarakat terhadap sumber pembiayaan atau pasar

uang menjadi semakin mudah dan murah. Perkembangan

ini selanjutnya menyebabkan ekspansi kredit perbankan

dengan cepat tumbuh dan mendorong pertumbuhan

jumlah uang beredar di atas rata-rata sebelumnya.

Sementara itu, deregulasi perpajakan turut memberi peluang

sektor swasta untuk terus mengakumulasi hutangnya dan

sebaliknya mengurangi komponen ekuiti dalam struktur

usahanya. Terhadap utang tersebut banyak yang

dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan merger dan

akuisisi, maupun pembangunan proyek-proyek real estate

yang baru.

Ekses likuiditas di masyarakat akibat deregulasi sektor

keuangan dan perbankan tersebut memberi insentif kepada

masyarakat untuk mengubah pola konsumsi ke arah

pembelanjaan yang sebagian besar dibiayai dengan kredit

seperti pembelian barang mewah, rumah maupun jenis

barang tahan lama lainnya. Sejalan dengan meningkatnya

secara signifikan porsi pengeluaran masyarakat untuk

pembayaran bunga kredit, pola konsumsi masyarakat

berubah menjadi sangat sensitif terhadap perkembangan suku

bunga. Di samping itu, ekses likuiditas juga mengakibatkan

apresiasi terhadap nilai aset sehingga terjadi kenaikan capi-

tal gain dalam jumlah yang cukup besar yang dinikmati oleh

para pemilik aset terutama rumah tinggal dan aset komersial

lainnya. Keuntungan serupa juga terjadi pada pasar aset

finansial yang mengalami apresiasi nilai mengikuti kenaikan

nilai aset perusahaan. Wealth effect yang meningkat tersebut

terus mendorong tingkat konsumsi dan memperkuat ekspektasi

kenaikan harga aset. Kondisi terus terjadi sampai bubble di

pasar aset hilang dan perekonomian menuju pada

keseimbangannya yang baru.

Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan bahwa

inflasi harga aset dipicu oleh adanya peralihan kepemimpinan

negara (regime switching), deregulasi di sektor keuangan dan

perbankan, perubahan sistem perpajakan dan keuangan

negara, serta perubahan sistem nilai tukar yang berdampak

secara struktural terhadap perekonomian. Secara sederhana

proses terjadinya inflasi harga aset dapat digambarkan pada

diagram berikut.

Diagram : Proses Terjadinya Inflasi Harga Aset

Deregulasi keuangan

Persaingan diantara lembaga keuangan

Peningkatan kredit kepada dunia usaha dan

masyarakat/rumah tangga

Inflasi harga aset

Deregulasi sektor keuangan ditujukan untuk mengurangi

campur tangan pemerintah pada sektor keuangan dan

perbankan serta menyerahkan pengelolaan usaha pada

perbankan yang mendasarkan pada mekanisme pasar.

Penyerahan pada kekuatan pasar tersebut antara lain

menyebabkan meningkatnya persaingan antara lembaga

keuangan dalam meningkatkan pelayanannya kepada para

nasabah, seperti ditunjukkan oleh munculnya lembaga

keuangan baru, inovasi produk keuangan, dan meningkatnya

penawaran kredit oleh perbankan. Kondisi ini menyebabkan

Page 66: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

57

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Boks : Dampak Nilai Tukar Terhadap Inflasi

Dalam buku teks standar ekonomi internasional, nilai tukar

diyakini sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi inflasi

di samping variabel ekonomi lainnya. Perhatian terhadap nilai

tukar di Indonesia saat ini semakin meningkat mengingat

perkembangannya selama tahun 2000 menunjukkan volatilitas

tinggi dan disertai depresiasi yang cukup besar. Pada periode

yang hampir bersamaan dengan melemahnya nilai tukar ru-

piah tersebut, tekanan inflasi mulai meningkat sehingga

mencapai 9,35% (y-o-y) di tahun 2000, jauh lebih tinggi

dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar 2,01%.

Secara umum, inflasi didefinisikan sebagai proses

kenaikan harga-harga secara umum dan berkelanjutan

sebagai akibat adanya ketidakseimbangan dalam

perekonomian. Berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi

dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari internal dan eksternal

perekonomian. Faktor internal antara lain bencana alam,

perubahan kebijakan harga pemerintah, faktor musiman

seperti perayaan hari besar keagamaan,dan tindakan

spekulatif menimbun barang yang dapat mengganggu

ketersediaan barang. Sementara itu, faktor eksternal

dicerminkan oleh pengaruh kenaikan harga barang-barang

di luar negeri baik akibat harga komoditi tersebut meningkat

atau karena terjadinya depresiasi nilai tukar.

Jalur transmisi inflasi yang berasal dari dampak nilai tukar

secara umum dapat dikelompokkan sebagai dampak

langsung (exchange rate pass through) dan dampak tidak

langsung (indirect pass through effect) (Bagan: mekanisme

transmisi nilai tukar)

Jalur transmisi dampak langsung nilai tukar terhadap

inflasi adalah melalui barang-barang impor (imported infla-

tion). Barang-barang tersebut dapat berupa barang konsumsi,

bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai

tukar terhadap inflasi melalui impor barang konsumsi tergolong

ke dalam first direct pass through, karena harga impornya

dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di

dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki elastisitas yang

tinggi terhadap perubahan nilai tukar. Sedangkan dampak

melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke

Bagan : Mekanisme Transmisi Nilai Tukar Dalam Small ScaleEconomic Model 1)

1) Model makro dinamis untuk melakukan proyeksi inflasi Indonesia

dalam second direct pass through, karena pembentukan

harganya melalui proses produksi terlebih dahulu. Kelompok

barang ini memiliki elastisitas yang lebih rendah terhadap

perubahan nilai tukar dibandingkan kelompok barang

konsumsi. Saat ini, komposisi terbesar dari barang impor

nonmigas Indonesia adalah impor bahan baku yakni sekitar

73%. Hal ini menyebabkan tekanan inflasi yang berasal dari

dampak langsung perubahan nilai tukar sebagian besar

disumbang oleh perubahan harga impor bahan baku tersebut.

Sementara itu, jalur transmisi tidak langsung terjadi

melalui dorongan permintaan (demand pull), dimana

kenaikan harga luar negeri ataupun kenaikan mata uang

asing terhadap rupiah mengakibatkan peningkatan

penghasilan produsen eksportir dalam negeri sehingga dapat

meningkatkan permintaan mereka akan barang dan jasa di

dalam negeri. Dampak kenaikan permintaan ini pada akhirnya

akan menaikkan harga.

Keterangan:* = variabel endogenReg.Infl = Regional Country InflationUS Infl = US inflationRMB = Real Money BalanceWPI IMP = Whole Price Index ImportUIP = Uncovered Interest Rate Parity

DirectPass Through

Effect

OUTPUT

OUTPUTGAP

INFLASI

RMB S B I

U I P

WPI IMP

IndirectPass Through

EffectEXPT. INFL

OIL PRICE*

FED FUND*

US INFL

REG INFL*

TARGET INFL*

KURS

Page 67: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

58

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Di sejumlah negara maju, dampak depresiasi nilai tukar

terhadap permintaan dalam negeri adalah peningkatan

permintaan seperti diuraikan di atas. Untuk kasus Indonesia,

penelitian yang telah dilakukan2) menunjukkan bahwa

depresiasi nilai rupiah menyebabkan penurunan permintaan.

Hal ini antara lain karena struktur industri di Indonesia baik yang

berbasis ekspor maupun berbasis pasar dalam negeri memiliki

import content yang tinggi. Selain itu, struktur kredit di Indone-

sia pada periode sebelum krisis ekonomi 1997 yang memiliki

kontribusi pinjaman luar negeri sekitar 20%3) menyebabkan cost

of capital sektor industri di Indonesia sangat elastis terhadap

perubahan nilai tukar. Hal ini menyebabkan apabila terjadi

depresiasi, biaya produksi akan meningkat sehingga

penghasilan yang diterima berkurang dan pada akhirnya

menurunkan permintaan.

Selain melalui jalur transmisi tersebut di atas, tekanan

inflasi dipengaruhi pula oleh adanya ekspektasi inflasi yang

antara lain terkait dengan perkembangan nilai tukar.

Ekspektasi berkaitan erat dengan pola perilaku pelaku

ekonomi berdasarkan informasi yang dimilikinya. Jenis informasi

yang diterima akan bervariasi (asymmetric information) dan

pola perilaku merekapun berbeda-beda dalam menyikapi

mengenai suatu jenis informasi yang sama. Ekspektasi ini

terdapat di pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja

dimana masing-masing memiliki keterkaitan dan mem-

pengaruhi perkembangan harga.

Berdasarkan model inflasi yang pernah dikembangkan,

variabel ekspektasi yang menggunakan model ekspektasi

adaptif (backward looking)4) memiliki pengaruh yang paling

besar terhadap inflasi dibandingkan bila menggunakan

variabel ekspektasi yang lain. Berdasarkan pengalaman

sebelumnya melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan

kenaikan harga-harga sehingga apabila saat ini nilai tukar

melemah kembali maka para pelaku ekonomi (misalnya

pedagang) akan berupaya menaikkan harga untuk

mempertahankan tingkat pendapatan riilnya, meskipun

barang yang dinaikan harganya tersebut tidak memiliki

keterkaitan langsung dengan nilai tukar. Sedangkan dari sisi

konsumen, melemahnya nilai tukar rupiah diantisipasi dengan

melakukan pembelian barang dan jasa yang mendorong

permintaan dan pada akhirnya menaikan harga.

Analisa mengenai ekspektasi ini semakin kompleks

apabila dikaitkan dengan kebutuhan pasar mengenai

informasi perkembangan variabel ekonomi di masa datang

sebagai bahan pengambilan keputusan saat ini. Kondisi ini

dapat digambarkan sebagai pasar yang bereaksi terhadap

kejadian dimasa datang (forward looking expectation).

Sebagai contoh harga-harga mengalami kenaikan seiring

dengan perkiraan meningkatnya ketegangan politik pada

periode mendatang yang diperkirakan dapat melemahkan

nilai tukar rupiah. Ekspektasi masyarakat terhadap

perkembangan harga-harga di Indonesia diyakini terbentuk

dari kombinasi antara backward dan forward looking expec-

tation. Oleh karena itu, penyediaan informasi secara lengkap

dan akurat sangat penting dilakukan dalam mengarahkan

ekspektasi inflasi masyarakat pada tujuan yang diinginkan.

2) lihat Fadjar Majardi, "Dampak Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Laju InflasiIndonesia," Bank Indonesia, 2000.

3) Angka rata-rata perbandingan outstanding kredit non-rupiah terhadap total kredit sejak03:1993 s.d. 06:1997

4) Backward looking expectation mengasumsikan bahwa inflasi yang terjadi pada periodesebelumnya akan terjadi kembali pada periode saat ini dan mendatang. Sedangkanforward looking expectation menggunakan informasi mengenai kejadian yang akan terjadipada periode mendatang sebagai variabel yang berpengaruh pada saat ini.

Page 68: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

59

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Indonesia secara bertahap telah melakukan liberalisasi sistem

devisa mulai tahun 1970 dan sejak tahun 1982 Indonesia

menganut sistem devisa bebas sebagaimana ditetapkan

dalam PP No.1/1982 yang selanjutnya dipertegas dengan UU

No.24/1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.

Kebijakan ini diikuti dengan liberalisasi sektor keuangan,

khususnya perbankan di tahun 1983 dan 1988. Sejalan dengan

proses liberalisasi arus modal dan perbankan serta cepatnya

proses integrasi keuangan dunia, transaksi devisa berkembang

dengan pesat dan arus modal antar negara makin meningkat

dengan peranan swasta yang makin dominan. Pembatasan-

pembatasan terhadap transaksi devisa dalam bentuk capital

control dihindari karena dikhawatirkan akan mengurangi

kepercayaan investor dan akan menghambat aliran modal

masuk ke Indonesia, serta menghambat pengembangan pasar

keuangan domestik. Terlebih Indonesia masih tergantung pada

aliran modal luar negeri dimana hingga tahun 1997 Indonesia

merupakan net importer modal untuk memenuhi saving-invest-

ment gap yang masih besar.

Proses liberalisasi arus modal dan pasar keuangan

Indonesia, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang

liberal dalam transaksi yang melibatkan pergerakan dana lintas

batas (cross border transactions) baik dalam valuta asing

maupun dalam mata uang domestik, khususnya di Asia

Tenggara. Hal ini tercermin dari rendahnya indeks capital con-

trol Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia

lainnya (Grafik 1). Relatif bebasnya transaksi cross-border telah

mendorong aktifnya pasar rupiah di luar negeri (rupiah off-shore

market). Rupiah telah menjadi komoditas yang dapat diperjual-

belikan di pasar internasional yang mengindikasikan telah

terjadinya proses internasionalisasi rupiah.

Internasionalisasi rupiah secara umum dapat diartikan

sebagai penggunaan rupiah secara internasional baik dalam

transaksi yang terkait dengan perdagangan internasional

(ekspor-impor barang/jasa), investasi dan/atau dalam transaksi

pasar keuangan. Penggunaan rupiah secara internasional

untuk kebutuhan pembayaran ekspor dan impor tercatat tidak

signifikan. Invoice ekspor dan impor lebih banyak dinyatakan

Boks : Internasionalisasi Rupiah

Singapura Indonesia Thailand Philipina Korea Malaysia

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

Indeks

0,77

0,300,35

0,60

0,45

0,61

Grafik 1Indeks Capital Control

dalam mata uang kuat dunia seperti dolar AS dan yen Jepang.

Dengan demikian, proses internasionalisasi rupiah lebih

mengarah pada penggunaan rupiah secara internasional

dalam transaksi di pasar keuangan. Salah satu indikator dari

telah terjadinya proses internasionalisasi mata uang domestik

tercermin dari besarnya pangsa transaksi nonresiden dan

pangsa lembaga keuangan asing di pasar keuangan domestik.

Pada awal gencarnya liberalisasi sektor keuangan,

terdapat kecenderungan untuk meningkatkan proses inter-

nasionalisasi rupiah. Pada masa itu, internasionalisasi rupiah

dipandang bermanfaat untuk mendorong pendalaman pasar

keuangan domestik serta mendorong arus modal masuk yang

berasal dari investasi asing. Namun dalam perkembangannya,

proses internasionalisasi rupiah memberikan peluang bagi

nonresiden melakukan kegiatan spekulasi di pasar rupiah luar

negeri, didukung dengan kemajuan rekayasa keuangan yang

berkembang pesat.

Kegiatan spekulasi rupiah-valuta asing semakin

meningkat intensitasnya di tengah kondisi sosial politik yang

kurang stabil di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan gejolak nilai

tukar rupiah yang berlebihan sehingga sangat mengganggu

efektivitas kebijakan moneter dalam rangka memelihara

kestabilan nilai rupiah, yang selanjutnya berdampak buruk

pada perekonomian secara makro.

Page 69: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

60

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Dalam hal ini nonresiden berperan besar dalam

menentukan arah perkembangan nilai tukar rupiah karena

perilaku transaksinya diikuti oleh pelaku pasar lokal (herding

behavior). Opini negatif nonresiden terhadap stabilitas sosial

politik di dalam negeri seringkali menimbulkan dampak

psikologis di pasar domestik sehingga menimbulkan sentimen

negatif terhadap rupiah. Di samping itu, bank-bank asing di

dalam negeri yang digunakan nonresiden sebagai perantara

dalam bertransaksi rupiah adalah pemain besar yang sangat

berpengaruh di pasar. Dalam perdagangan valuta asing di

pasar domestik, bank asing menguasai lebih dari 50,0% dari

keseluruhan transaksi derivatif antar bank.

Sulit untuk mengetahui dengan pasti jumlah rupiah yang

beredar di pasar rupiah luar negeri karena berada di luar

wilayah pengawasan Bank Indonesia. Namun aktivitas transaksi

rupiah nonresiden dapat diikuti dari perkembangan rekening

giro rupiah milik nonresiden (rekening vostro) yang ada di bank-

bank dalam negeri (onshore banks) yang menjadi bank-bank

koresponden nonresiden tersebut. Hal ini dimungkinkan karena

transaksi yang menimbulkan klaim rupiah yang dilakukan oleh

nonresiden di luar negeri, penyelesaian (settlement) transak-

sinya sebagian besar dilakukan antar bank di Indonesia dengan

menggunakan rekening vostro. Dengan demikian, besarnya

peran nonresiden dalam mempengaruhi arah perkembangan

nilai tukar dapat tercermin dari mutasi rekening vostro tersebut

yang ditujukan untuk keperluan transaksi valuta asing di be-

berapa bank domestik. Pengamatan terhadap perkembangan

transaksi melalui rekening vostro menunjukkan bahwa mutasi

pada vostro account cenderung aktif dan volumenya mening-

kat dalam periode nilai tukar mengalami tekanan (Grafik 2).

Kegiatan spekulasi rupiah oleh nonresiden dimungkinkan

karena mudahnya akses perolehan dana rupiah dari bank-

bank di dalam negeri yang belum diatur secara khusus. Terlebih,

adanya kecenderungan longgarnya likuiditas di pasar uang,

sementara fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya

pulih, mengakibatkan likuditas rupiah banyak berputar di pasar

uang. Dengan sarana investasi yang masih terbatas, bermain

di pasar valuta asing merupakan salah satu alternatif yang

menarik bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas.

Dengan adanya beberapa permasalahan di atas,

diperlukan kebijakan yang dapat meminimumkan kesempatan

berspekulasi mata uang rupiah oleh nonresiden antara lain

dengan membatasi akses perolehan rupiah. Apalagi penggu-

naan rupiah di luar negeri cenderung tidak berkaitan dengan

kegiatan perdagangan dan investasi, sehingga kurang memiliki

dasar yang kuat dalam mendorong kegiatan ekonomi riil.

Dalam hal ini, kebijakan untuk membatasi transaksi rupiah anta-

ra bank dengan nonresiden semakin mendesak untuk diimple-

mentasikan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian di Bank

Indonesia yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan arus

modal yang dapat meningkatkan prudential management dari

sistem keuangan seperti kebijakan pembatasan internasio-

nalisasi rupiah dapat digunakan untuk meredam volatilitas nilai

tukar rupiah.

Penelitian ini merekomendasikan perlunya (i)

memperluas cakupan ketentuan larangan pemberian kredit

kepada nonresiden, tidak hanya mencakup larangan

pemberian kredit tunai tetapi juga mencakup larangan

terhadap setiap transaksi yang menimbulkan tagihan rupiah

kepada nonresiden antara lain seperti penempatan dana ru-

piah kepada nonresiden, pembelian surat-surat berharga

dalam rupiah yang diterbitkan oleh nonresiden, serta

penyempurnaan terhadap ketentuan pembatasan transaksi

derivatif yang tidak didasari underlying transactions ; (ii)

pembatasan penggunaan rekening vostro. Kebijakan non-

internasionalisasi rupiah diperlukan untuk mempersempit

peluang perolehan dan pemanfaatan rupiah oleh nonresiden

yang dapat digunakan untuk spekulasi sehingga dapat

meredam gejolak nilai tukar.

Vostro (Triliun Rp)

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

Kurs Rp/$ Rekening Vostro

0

2

4

6

8

10

12

14

16

Kurs Rp/$

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III

1996 1997 1998 1999 2000

Grafik 2Arah Perkembangan Kurs Rp/$

dan Rekening Vostro

Page 70: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

61

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

Fluktuasi nilai tukar di pasar valuta asing sering terjadi secara

berlebihan yang tidak sejalan dengan perkembangan funda-

mental ekonomi. Tekanan deperesiasi terhadap mata uang

suatu negara dapat terjadi meskipun kondisi fundamental

ekonomi negara tersebut semakin membaik. Hal ini dapat

terjadi karena dalam sistem nilai tukar mengambang bebas,

faktor ekspektasi memegang peranan yang sangat penting

dalam keputusan yang diambil pelaku pasar --spekulator atau

investor-- yakni ekspektasi mengenai arah atau trend nilai tukar

ke depan. Fluktuasi nilai tukar yang dipengaruhi oleh ekspektasi

ini terutama terjadi ketika nilai tukar begerak dalam pola

"speculative bubble". Fluktuasi tersebut merupakan "noise"

yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel ekonomi makro.

Ketika bergerak dalam pola "speculative bubble", nilai

tukar di pasar berfluktuasi menjauh dari nilai ekuilibrium fun-

damental ekonomi karena terjadinya penggelembungan

ekspektasi secara berkelanjutan yang terkait dengan proses

yang dinamakan "self-confirming expectation" di pasar valuta

asing. Proses penggelembungan ekspektasi tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut. Pada periode 0, karena beberapa

alasan --misalnya karena kemungkinan terjadinya

ketidakstabilan politik di masa depan-- spekulator

berekspektasi bahwa rupiah akan terdepresiasi dalam periode

1. Untuk melindungi portfolionya dari kerugian nilai tukar (ex-

change rate risk) atau didasari oleh keinginan untuk meraih

keuntungan (exchange rate gain), spekulator tersebut menjual

rupiah (membeli valuta asing) sehingga mengakibatkan nilai

tukar rupiah melemah. Pada periode 1, rupiah mungkin benar-

benar terdepresiasi sehingga menjastifikasi ekspektasi

spekulator tersebut. Hal ini akan terbukti apabila terjadi aksi

jual terhadap rupiah dalam periode 1 karena adanya

ekpektasi depresiasi rupiah yang akan terjadi dalam periode

2. Apakah tidak masuk akal untuk berekspektasi bahwa akan

terjadi depresiasi dalam periode 2? Tidak, apabila terjadi aksi

jual terhadap rupiah sebagai akibat adanya ekspektasi bahwa

rupiah akan terdepresiasi dalam periode 3. Demikian pula akan

menjadi rasional bagi spekulator tersebut untuk berekspektasi

Boks : "Speculative Bubble" di Pasar Valuta Asing

terjadinya depresiasi dalam periode 3 apabila depresiasi

diperkirakan akan terjadi dalam periode 4, dan selanjutnya.

Tanpa adanya suatu periode yang diketahui dapat

menghentikan proses penggelembungan ekspektasi tersebut,

maka nilai tukar rupiah akan terus bergerak menjauhi nilai

ekulibrium fundamental ekonomi. Pada umumnya, seorang

spekulator akan merasa terikat untuk mengikuti prilaku "herd-

ing" tersebut, karena dengan mayoritas spekulator di pasar

berusaha menekan nilai tukar rupiah dalam trend yang

meningkat (up-trend), seorang spekulator akan mengalami

kerugian apabila mencoba melawan trend dengan arah yang

berlawanan (against the market trend).

Dalam prakteknya, nilai tukar di pasar tidak menyim-

pang terhadap nilai ekuilibrium fundametal ekonomi dalam

rentang waktu yang tidak terbatas (infinity). Kondisi yang sering

terjadi adalah bahwa nilai tukar menyimpang dari nilai

ekuilibrium fundamental untuk jangka waktu pendek sebelum

gelembung ekspektasi pecah. Namun sangat mungkin bahwa

gelembung ekspektasi tersebut terbentuk dan pecah secara

bergantian, yang pada gilirannya meningkatkan variabilitas

pergerakan nilai tukar. Kalangan ekonom yang sangat

percaya bahwa fenomena seperti ini penting untuk dikenali

oleh otoritas moneter berpendapat bahwa kebijakan

intervensi oleh bank sentral di pasar valuta asing dapat

mengurangi volatilitas yang berlebihan (unnecessary volatil-

ity) dalam suatu perekonomian meskipun tanpa adanya suatu

perubahan dalam kebijakan moneter.1)

Dalam sistem free float, pelaku pasar secara bebas

dapat membeli atau menjual suatu mata uang, yang didasari

atas ekspektasinya mengenai arah perkembangan nilai tukar

mata uang tersebut untuk meraih keuntungan. Apabila

spekulator berprilaku atas dasar ekspektasi mengenai arah

1) John Williamson and Marcus Miller, Targets and Indicators : A Blue-print for the International Coordination of Economic Policy, PolicyAnalyses in International Economic, No. 22 (Washington : Institutefor International Economics, September 1987)

Page 71: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

62

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) karena adanya

peningkatan dalam jumlah uang beredar maka spekulator

atau investor akan berekspektasi bahwa mata uang

domestik pada akhirnya akan kembali terapresiasi.

Bagaimana ekspektasi tersebut terbentuk, dapat dijelaskan

dengan model Dornbusch seperti dapat dilihat dalam grafik

di bawah ini (Grafik 1).

Dengan asumsi bahwa harga barang tidak banyak

berubah (sticky) dalam jangka pendek, maka peningkatan

uang beredar sebesar 10,0% akan mengakibatkan uang

beredar secara riil meningkat 10,0%. Proses penyesuaian di

pasar uang akan mengakibatkan suku bunga bergerak turun,

yang pada gilirannya akan mendorong arus modal ke luar

(capital outflow) sehingga menyebabkan nilai tukar mata

uang domestik terdepresiasi. Dengan demikian, nilai tukar

ekuilibrium, S, juga akan mengalami depresiasi sebesar 10,0%.

Namun dalam realitasnya mungkin saja nilai tukar di pasar

mengalami overshooting atau terdepresiasi lebih dari 10,0%

sehingga mencapai s.

Dalam jangka panjang, harga menjadi lebih fleksibel.

Ketika perekonomian berada dalam ekuilibrium jangka

pendek, C, nilai tukar sangat lemah (kompetitif) sehingga akan

mendorong permintaan terhadap produk dalam negeri. Di

pihak lain, pada titik C, tingkat suku bunga riil sangat rendah

sehingga dapat menstimulasi investasi dan konsumsi. Kedua

faktor tersebut akan memberi tekanan terhadap harga, yang

perkembangan nilai tukar, maka untuk meraih keuntungan

mereka akan membeli suatu mata uang pada saat nilai tukar

mata uang tersebut tinggi dan menjualnya pada saat nilai tukar

mata uang tersebut rendah (buy low sell high). Kalau demikian

halnya, apakah jenis spekulasi seperti ini dapat mengakibatkan

variabilitas nilai tukar meningkat? Belum tentu, karena

meningkatnya pembelian terhadap suatu mata uang akan

mengakibatkan nilai tukar mata uang tersebut menguat,

sebaliknya meningkatnya penjualan terhadap mata uang

tersebut akan mengakibatkan nilai tukar mata uang tersebut

melemah. Jenis spekulasi seperti ini membuat tekanan dari sisi

permintaan dan penawaran pada akhirnya menuju arah yang

convergence sampai pada suatu titik dimana nilai tukar

bergerak relatif stabil.

Dalam kenyataanya, spekulator tidak berperilaku seperti

dijelaskan di atas. Spekulator pada umumnya membentuk

ekspektasinya dengan cara melakukan ekstrapolasi terhadap

trend di masa lalu, yang sering disebut sebagai fenomena "the

bandwagon expectation". Apabila spekulator berperilaku atas

dasar fenomena tersebut maka mereka akan bergerak

mengikuti trend (jump on the bandwagon) ketika nilai tukar

mulai bergerak dalam suatu arah tertentu baik arah meningkat

(up trend) ataupun arah menurun (down-trend). Dalam kondisi

demikian, mereka dapat menciptakan situasi "speculative

bubble" seperti yang telah diuraikan di atas. Spekulator

melakukan "buy high sell low" di mana mereka menjual suatu

mata uang pada saat nilai tukar mata uang tersebut sedang

melemah oleh karena itu akan semakin mempertajam tekanan

depresiasi terhadap mata uang tersebut (sampai gelembung

ekspektasi pecah). Sebaliknya, akan membeli mata uang

tersebut pada saat nilai tukar mata uang tersebut sedang

menguat sehingga akan semakin mempertajam tekanan

apresiasi mata uang tersebut. Jenis spekulasi seperti ini pada

dasarnya akan membuat ketidakstabilan nilai tukar yang

sangat tinggi dan menciptakan gejolak di pasar valuta asing

(destabilizing).

Dalam kondisi di mana mekanisme pasar berfungsi

sebagaimana mestinya dan ekspektasi yang terbentuk didasari

oleh perkembangan fundamental ekonomi, sejumlah ekonom

berpandangan bahwa ekspektasi tersebut akan banyak

berperan menstabilkan nilai tukar. Misalnya, apabila mata uang

domestik mengalami deviasi (overshooting) dari nilai ekuilibrium

P

P’

P

0 S1 S2 s

Proportional to ∆ M Overshooting

A A’ Cp = P

Proportional to ∆ M

B

PPP : S = P/P*

Grafik 1Dornbusch Overshooting Model

Page 72: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

63

Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi

pada gilirannya mengakibatkan jumlah uang beredar secara

riil menurun. Sebagai akibatnya suku bunga secara perlahan

akan bergerak naik sehingga mengundang arus modal masuk

dan menyebabkan nilai tukar terapresiasi menuju kembali ke

nilai ekuilibrium berdasarkan PPP dan perekonomian berada

pada titik B. Setiap spekulator atau investor yang berprilaku

atas dasar ekspektasi demikian akan segera membeli mata

uang domestik sehingga nilai tukarnya akan kembali

menguat.2)

Namun demikian, sangat sulit untuk menerima realitas

bahwa ekspektasi yang terbentuk di pasar seluruhnya

merupakan hasil dari suatu pemahaman spekulator terhadap

fenomena ekonomi seperti dijelaskan di atas. Seringkali pelaku

pasar (secara umum) mengabaikan perkembangan funda-

mental ekonomi dan lebih banyak melakukan ekstrapolasi

terhadap trend. Dengan menggunakan analisa teknis (tech-

nical analysis )3) spekulator yang sering dinamakan "noise trad-

ers" dapat menggerakkan nilai tukar menyimpang jauh dari

nilai ekuilibrium fundamentalnya, dan tidak berekspektasi

bahwa nilai tukar harus kembali ke nilai ekuilibrium fundamen-

tal semula seperti yang dijelaskan berdasarkan pendekatan

overshooting di atas. Dalam satu dekade terakhir, jumlah

spekulator di pasar valuta asing dunia yang berperan sebagai

"noise traders" 4) relatif lebih besar dibandingkan investor yang

berperan sebagai fundamentalists. Hal ini semakin mem-

perjelas bahwa fenomena bandwagon expectation lebih

banyak menjelaskan pergerakan nilai tukar yang pada

dasarnya tidak dapat dijelaskan secara penuh melalui

pendekatan fundamental ekonomi.

Fenomena "the bandwagon expectation" seperti yang

dikemukakan di atas telah terjadi dalam pasar rupiah

terutama setelah Indonesia menganut sistem nilai tukar

mengambang bebas di mana analisa teknis (technical analy-

sis) sebagai perangkat untuk melakukan peramalan nilai tukar

telah digunakan dalam perdagangan rupiah. Penggunaan

analisa teknis tersebut semakin intensif digunakan seiring

dengan meningkatnya internasionalisasi rupiah. Spekulator

di pasar off-shore dan on-shore menggunakan analisa trend

dengan memperhatikan sentimen asimetris yang terbentuk

akibat ketidakstabilan kondisi sosial politik di dalam negeri.

Hal ini mengakibatkan nilai tukar rupiah telah bergerak naik

(up-trend) secara persisten sepanjang tahun 2000. Tembusnya

beberapa level psikologis seperti Rp8.000 dan Rp9.000

semakin mengundang spekulator untuk melakukan aksi jual

terhadap rupiah (jump on the bandwagon) dengan harapan

bahwa trend nilai tukar akan terus bergerak dalam trend

yang meningkat (self-confirming expectation).

Realitas tersebut di atas dapat menjelaskan mengapa

nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam dan sulit untuk kembali

ke nilai ekuilibrium fundamentalnya. Di samping itu, meskipun

nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sangat besar dan turut

menyumbang dalam menciptakan surplus neraca

perdagangan namun proses penyesuaian otomatis yang

seharusnya ditimbulkan oleh surplus tersebut tidak berjalan

sebagaimana mestinya sehingga tidak mendorong terjadinya

apresiasi rupiah. Proses penyesuaian tersebut tidak berjalan

karena devisa hasil ekspor tidak seluruhnya mengalir ke dalam

negeri untuk dapat memperkuat sisi supply di pasar. Di pihak

lain, ketidakstabilan kondisi sosial politik sepanjang tahun 2000

secara persisten telah menciptakan sentimen yang negatif

terhadap rupiah sehingga semakin membuka ruang bagi

terciptanya proses speculative bubble yang pada dasarnya

tidak dapat dijelaskan berdasarkan pendekatan fundamen-

tal ekonomi.

2) Richard E. Caves, Jeffrey A. Frankel, and Ronald W. Jones, WorldTrade and Payments (1996)

3) Technical analysis adalah studi mengenai trend pergerakan hargadengan filosofi bahwa "history repeat its'self, price move in trend,and price discount everything"

4) Noise traders adalah spekulator yang melakukan pembelian ataupenjualan suatu mata uang atau asset, atas dasar sentimen (be-liefs) yang tidak sepenuhnya konsisten dengan fundamentalekonomi

Page 73: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

MoneterBab 4

Page 74: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

65

Bab 4 Moneter

Di tengah nuansa optimisme yang cukup kuat mengenai

prospek ekonomi Indonesia tahun 2000, sebagaimana ter-

cermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 3,0%–4,0%,

nilai tukar rata-rata sebesar Rp7.000 per dolar AS, dan sasaran

inflasi (di luar dampak kenaikan harga yang disebabkan oleh

kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan)

sebesar 3,0%–5,0%, Bank Indonesia pada awal tahun laporan

menetapkan sasaran pertumbuhan uang primer sebesar 8,3%.

Namun dalam perjalanan waktu, upaya mencapai

sasaran uang primer tersebut menghadapi banyak tantangan.

Tantangan terbesar bersumber dari lebih kuatnya aktivitas

perekonomian dari yang diperkirakan semula, memburuknya

ekspektasi inflasi, dan kuatnya tekanan terhadap rupiah. Di

samping itu, pengendalian moneter juga menghadapi

kendala yang bersumber dari sisi operasional sehubungan

dengan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan

meningkatnya ketidakpastian sosial politik dalam negeri.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ekspektasi inflasi

yang memburuk, dan rupiah yang melemah tersebut

menyebabkan permintaan uang primer meningkat tajam.

Sementara itu, masih belum pulihnya fungsi intermediasi

perbankan menyebabkan sinyal kebijakan moneter Bank In-

donesia tidak direspon secara proporsional oleh perbankan,

sehingga tidak mendukung upaya penarikan uang kartal yang

beredar di masyarakat yang merupakan komponen terbesar

uang primer. Kondisi ini menjadi semakin berat seiring dengan

meningkatnya ketidakpastian sosial politik di dalam negeri

yang mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan

berjaga-jaga dengan lebih banyak memegang uang kartal.

Berbagai permasalahan tersebut menghadapkan

Bank Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, upaya

untuk meredam permintaan uang primer membutuhkan

respon kebijakan moneter yang ketat dengan konsekuensi

suku bunga meningkat tajam. Namun di sisi lain, kenaikan

suku bunga yang terlalu tinggi dikhawatirkan dapat

b a b

4 Moneter

1) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/17/DPNP/2000 tanggal 28 Juni 2000tentang Perubahan atas Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketigayang dijamin Pemerintah.

menghambat momentum pemulihan ekonomi yang sedang

berlangsung.

Di dalam situasi seperti ini, Bank Indonesia memilih

menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight

bias) yang terutama diarahkan untuk menyerap kelebihan

likuiditas di luar kebutuhan transaksi ri i l, tanpa harus

mengorbankan proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan.

Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang cenderung ketat

dilakukan dengan tetap menjaga agar kenaikan suku bunga

tidak terjadi secara drastis dan berlebihan.

Dalam upaya mengendalikan uang primer,

pengendalian moneter terutama ditempuh melalui operasi

pasar terbuka (OPT) dalam bentuk lelang SBI dan intervensi

langsung di pasar uang rupiah (Intervensi Rupiah). Selain itu,

untuk mendukung pelaksanaan OPT, Bank Indonesia dalam

beberapa kali kesempatan melakukan sterilisasi di pasar valuta

asing untuk mengurangi dampak ekspansi uang primer yang

berasal dari pengeluaran pemerintah dalam rupiah yang

dibiayai dari penerimaan luar negeri.

Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat

tercermin dari meningkatnya suku bunga SBI, baik 1 bulan dan

3 bulan, secara bertahap. Peningkatan suku bunga SBI tersebut

ternyata tidak diikuti oleh peningkatan yang seimbang pada

suku bunga deposito perbankan, meskipun telah didukung oleh

kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan marjin suku bunga

penjaminan terhadap suku bunga rata-rata deposito rupiah

peserta JIBOR—dari 100 basis point menjadi 200 basis point.1)

Dengan tingginya laju inflasi, suku bunga deposito riil mengalami

penurunan, sehingga mengurangi minat masyarakat untuk

menyimpan kembali uang kartal mereka di perbankan.

Dalam perkembangannya, sebagai akibat berbagai

faktor tersebut di atas, tingginya posisi uang kartal telah

Page 75: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

66

Bab 4 Moneter

Grafik 4.1Uang primer : Aktual dan Target

70

80

90

100

110

120

1999 2000

Target Indikatif

Aktual

Triliun Rp

Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

menyebabkan uang primer meningkat tajam sebesar 23,4%

pada akhir tahun laporan.2) Tingginya pertumbuhan uang

primer, khususnya yang terjadi pada bulan terakhir tahun

2000, terkait erat dengan kuatnya pengaruh faktor musiman

di bulan tersebut sehubungan dengan perayaan hari-hari

besar keagamaan yang berlangsung secara hampir

bersamaan, berakhirnya tahun fiskal, serta lebih panjangnya

hari libur pada akhir tahun laporan. Dalam hubungan ini pula,

peningkatan uang kartal telah mendorong kenaikan

pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1).

Sementara itu, rendahnya suku bunga deposito riil selama

tahun 2000 berdampak pada melambatnya pertumbuhan

uang beredar dalam arti luas (M2).

Uang Beredar

Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, peningkatan

uang primer, yang terlihat secara jelas sejak Mei 2000, ber-

sumber dari peningkatan uang kartal sehubungan dengan

meningkatnya aktivitas perekonomian, rendahnya suku bunga

deposito riil, tindakan berjaga-jaga oleh masyarakat, dan

sejumlah faktor musiman yang lebih tinggi dari biasanya.

Tindakan berjaga-jaga masyarakat terjadi seiring dengan

meningkatnya faktor ketidakpastian selama periode laporan.

Peningkatan uang kartal terbesar, yang berasal dari pengaruh

faktor musiman terutama terjadi selama Desember 2000, yang

tercatat sebesar Rp13,9 triliun. Peningkatan tersebut terkait

dengan berlangsungnya perayaan sejumlah hari raya

keagamaan yang hampir bersamaan, berakhirnya tahun fiskal,

serta lebih panjangnya hari libur akhir tahun 2000. Secara

keseluruhan, faktor-faktor, tersebut di atas mengakibatkan

uang kartal tumbuh sebesar 24,0% hingga mencapai posisi

Rp72,4 triliun pada akhir tahun laporan (Tabel 4.1). Peningkatan

uang kartal yang tajam inilah yang menjadi faktor utama

peningkatan uang primer hingga posisinya pada akhir tahun

Tabel 4.1Uang Primer dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

2000

Rincian I II III IV

Triliun rupiah

Uang Primer 101,8 88,9 94,6 97,1 125,6Uang kertas dan logam

yang diedarkan 72,6 59,8 64,4 65,6 89,7– di masyarakat 58,4 51,2 55,9 56,9 72,4– di perbankan 14,2 8,6 8,5 8,7 17,3

Giro bank pada Bank Indonesia 28,1 27,7 28,4 29,7 33,9Giro Sektor Swasta 1,1 1,4 1,8 1,9 2,0

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Primer 101,8 88,9 94,6 97,1 125,6

Cadangan Devisa Bersih (NIR) 114,5 129,6 113,6 116,8 124,5Aktiva Domestik Bersih (NDA) –12,7 –40,6 –19,1 –19,7 1,1

Tagihan Bersih pada Pemerintah 149,6 165,3 156,3 148,7 133,7Bantuan likuiditas 37,2 36,9 37,3 37,3 37,3Kredit Likuiditas 23,7 18,6 17,7 16,7 15,9Tagihan lainnya 1,1 1,1 1,3 1,4 1,5Operasi Pasar Uang –86,9 –107,4 –98,5 –86,8 –78,9Lainnya Bersih (NOI) –137,4 –155,2 –133,2 –137,0 –108,4

1999

laporan mencapai Rp125,6 triliun, atau tumbuh sebesar 23,4%

dari tahun sebelumnya (Grafik 4.1). Selama Desember 2000,

uang primer meningkat sebesar Rp25,4 triliun.

Sementara itu, saldo giro positif bank di Bank Indonesia

dan kas di bank (cash in vaults) yang merupakan komponen

lain dari uang primer secara umum menunjukkan

perkembangan yang relatif stabil, kecuali pada triwulan

2) Dengan menggunakan angka test date--rata-rata uang primer selama10 hari kerja (5 hari kerja terakhir di bulan tersebut dan 5 hari kerjapertama bulan berikutnya)--sesuai dengan yang tercantum dalamLetter of Intent (LOI) dengan IMF, pertumbuhan uang primer dalamtahun 2000 tercatat sedikit lebih rendah, yakni sebesar 21,4%.

Page 76: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

67

Bab 4 Moneter

terakhir tahun 2000. Peningkatan kedua komponen pada

triwulan tersebut merupakan cerminan dari langkah antisipasi

perbankan dalam menghadapi kenaikan permintaan uang

kartal di bulan Desember. Secara keseluruhan cash in vaults

dan giro positif bank di Bank Indonesia meningkat masing-

masing sebesar Rp3,1 triliun dan Rp5,8 triliun dari tahun

sebelumnya, hingga mencapai posisi Rp17,3 triliun dan Rp33,9

triliun pada akhir tahun.

Berdasarkan faktor yang mempengaruhi uang primer,

cadangan devisa bersih (net international reserves atau NIR)

terus berada di atas batas bawah (floor) yang ditetapkan.

Posisi NIR meningkat sebesar $1,4 miliar hingga mencapai

posisi $17,8 miliar pada akhir tahun 2000. Pada Desember

2000, posisi NIR lebih tinggi $3,1 miliar dibandingkan

targetnya (Grafik 4.2). Posisi NIR tersebut telah mengalami

penyesuaian ke bawah (downward adjustment) sebesar

$2,0 miliar sejak Mei 2000, sehubungan dengan mulai

diterapkannya konsep Special Data Dissemination Standard

(SDDS) dalam penghitungan NIR. Konsep baru ini hanya

memperhitungkan faktor-faktor cadangan devisa yang

bersifat siap untuk digunakan sewaktu-waktu (readily avail-

able) dan sepenuhnya dapat dikuasai oleh otoritas

moneter.

Sementara itu, posisi aktiva domestik bersih (net domes-

tic assets atau NDA) cenderung berada di bawah target

Grafik 4.2Cadangan Devisa Bersih (NIR): Aktual dan Target

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Miliar $

Target indikatif

Aktual

1999 2000

Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

yang ditetapkan, kecuali pada Desember 2000. Peningkatan

NDA pada bulan terakhir tahun laporan lebih banyak

disebabkan oleh cenderung ekspansifnya sektor keuangan

pemerintah (net claims on government atau NCG) pada

akhir tahun fiskal (Grafik 4.3). Di samping itu, kenaikan NDA

juga terkait dengan peningkatan kebutuhan masyarakat

terhadap uang kartal menjelang perayaan sejumlah hari raya

keagamaan, seperti tercermin dari turunnya posisi operasi

pasar terbuka (OPT). Kondisi tersebut mengakibatkan NDA

berada pada posisi Rp1,1 triliun pada akhir Desember 2000—

posisi positif NDA tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.

Pada Desember 2000, posisi NDA lebih tinggi Rp5,0 triliun

dibandingkan dengan targetnya.

Pada periode laporan, posisi M1 mengalami pening-

katan sebesar 30,1% hingga mencapai posisi Rp162,2 triliun

pada Desember 2000. Peningkatan tersebut selain disebabkan

oleh peningkatan uang kartal seperti telah dijelaskan

sebelumnya, juga disebabkan oleh peningkatan uang giral

sebesar Rp23,5 triliun (35,5%). Peningkatan uang giral ini sejalan

dengan meningkatnya aktivitas perekonomian dan rendahnya

suku bunga deposito riil.

Sementara itu, uang kuasi dalam tahun laporan

mengalami peningkatan sebesar 12,1% dari tahun sebe-

lumnya. Berdasarkan komponennya, tabungan mengalami

pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 24,4%, sedangkan

Grafik 4.3Aktiva Domestik Bersih (NDA): Aktual dan Target

-90

-80

-70

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

Triliun Rp

1999 2000

Aktual

Target Indikatif

Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

Page 77: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

68

Bab 4 Moneter

Grafik 4.4Pertumbuhan Giro, Tabungan dan Deposito Masyarakat

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

160

%

Deposito

Tabungan

Giro

1998 1999 2000Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.

Grafik 4.5Angka Pengganda Uang M1 dan M2

1,20

1,25

1,30

1,35

1,40

1,45

1,50

1,55

APU1

6,00

6,50

7,00

7,50

8,00

8,50

APU2

APU 1

APU 2

1998 1999 2000

Okt.Jan. Apr. Jul. Okt.Jan. Apr. Jul. Okt.Jan. Apr. Jul.

1998 1999 2000 2000

Rincian Perubahan Posisi

Triliun rupiah

M1 22,9 23,4 37,6 162,2Uang kartal 13,0 17,0 14,0 72,4

Uang giral 9,9 6,5 23,5 89,8

Uang Kuasi 198,9 45,4 63,3 584,8

Deposito dan Tabungan dalam rupiah 172,3 49,9 36,1 444,7

Simpanan dalam valuta asing 26,5 –4,5 27,2 140,2

M2 221,7 68,8 100,8 747,0Faktor-faktor yang mempengaruhi M2

Aktiva luar negeri (bersih) 73,7 –12,6 81,6 210,7

Bank Indonesia 32,3 –14,6 92,0 201,2

Bank-bank umum 41,4 2,0 –10,3 9,5

Tagihan kepada pemerintah (bersih) 17,5 425.3 123,1 520,3

Tagihan bersih pada BPPN 29,7 –29,7 0,0 0,0

Tagihan kepada sektor usaha 99,4 –299,7 42,3 294,9

Kredit dalam rupiah 51,6 –172,6 12,0 152,5

Kredit dalam valuta asing 57,7 –89,7 31,9 116,5

Tagihan lainnya –9,9 –37,4 –1,5 25,9

Lainnya (bersih) 1,4 –14,5 –146,2 –278,9

Tabel 4.2Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi M2, aktiva

luar negeri bersih (net foreign assets atau NFA) meningkat

sebesar Rp81,6 triliun, atau tumbuh sebesar 63,2%, terutama

sebagai akibat kenaikan penerimaan minyak. Namun apabila

pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah diabaikan, NFA hanya

simpanan berjangka (deposito) dan simpanan valuta asing

masing-masing meningkat sebesar 2,1% dan 24,1% (Grafik 4.4).

T ingginya pertumbuhan tabungan dan rendahnya

pertumbuhan simpanan berjangka didorong oleh adanya

perpindahan dana dari deposito ke tabungan. Perpindahan

tersebut diduga terjadi karena masyarakat cenderung

menempatkan dananya pada jenis simpanan yang relatif

mudah ditarik di tengah-tengah kondisi peningkatan aktivitas

perekonomian dan ketidakpastian sosial politik dalam negeri.

Sementara itu, peningkatan simpanan valuta asing lebih

disebabkan oleh kenaikan nilai rupiah dari simpanan valuta

asing seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dalam

denominasi dolar, simpanan valuta asing sebaliknya menun-

jukkan penurunan sebesar 8,2%.

Dengan perkembangan M1 dan uang kuasi seperti

tersebut di atas, M2 mengalami pertumbuhan sebesar 15,6%,

menjadi Rp747,0 triliun pada akhir tahun 2000. Pertumbuhan

M2 tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada

tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 11,9% (Tabel 4.2).

Namun apabila dampak depresiasi nilai tukar dihilangkan,

pertumbuhan M2 selama tahun laporan hanya mencapai

10,0%, lebih rendah daripada pertumbuhan tahun 1999 yang

tercatat sebesar 14,5%. Sementara itu, lebih rendahnya

pertumbuhan M2 daripada uang primer berdampak pada

turunnya angka pengganda uang (APU) M2 (Grafik 4.5).

Page 78: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

69

Bab 4 Moneter

meningkat sebesar 20,8%. Tagihan kepada Pemerintah (bersih)

atau net claims on government (NCG) mengalami ekspansi

sebesar 31,0% yang sebagian besar terkait dengan penerbitan

obligasi pemerintah untuk rekapitalisasi perbankan. Sementara

itu, tagihan pada sektor usaha yang mencakup pemberian

kredit rupiah, kredit valuta asing, dan tagihan lainnya

memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp42,3 triliun (16,8%).

Namun demikian, peningkatan tagihan pada sektor usaha di

atas lebih dipengaruhi oleh peningkatan nilai rupiah dari kredit

valuta asing sebesar 37,7% seiring dengan melemahnya ru-

piah. Dalam denominasi dolar, pemberian kredit valuta asing

hanya tumbuh sebesar 1,9%. Kondisi ini dan kenyataan bahwa

pemberian kredit rupiah hanya tumbuh sebesar 8,5%,

sementara dana masyarakat di perbankan tumbuh cukup

tinggi, memberi indikasi kuat bahwa fungsi intermediasi

perbankan belum sepenuhnya pulih.

Operasi Pasar Terbuka

Selama tahun laporan, strategi Operasi Pasar terbuka (OPT) di

bawah kerangka kebijakan moneter yang cenderung ketat

ditujukan pada pengendalian uang primer terutama guna

mengurangi tekanan inflasi dan juga melemahnya nilai tukar

rupiah, dengan tetap memperhatikan agar suku bunga tidak

mengalami kenaikan secara drastis dan berlebihan. Strategi

ini tercermin dari peningkatan suku bunga SBI secara bertahap.

Setelah mencapai posisi terendahnya sebesar 10,53% pada

pertengahan Mei 2000, suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1

bulan meningkat hingga mencapai posisi 14,3% pada akhir

Desember 2000. Dalam periode yang sama, suku bunga rata-

rata SBI 3 bulan dan Intervensi Rupiah juga mengalami

peningkatan, hingga masing-masing mencapai 14,31% dan

10,88% pada akhir tahun laporan (Grafik 4.6).

Pengendalian moneter melalui instrumen SBI dan

Intervensi Rupiah dalam tahun 2000 mengalami kesulitan untuk

menyerap uang primer, khususnya komponen uang kartal,

meskipun suku bunga kedua instrumen tersebut telah

mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya

ruang gerak bagi peningkatan suku bunga sebagai

konsekuensi dari kebijakan moneter yang cenderung ketat.

Grafik 4.6Perkembangan Suku Bunga Instrumen OPT

SBI 1 bulan

SBI 3 bulan

Intervensi rupiah

Des. Feb. Apr. Jun. Ags. Okt. Des.9

10

11

12

13

14

15

%

1999 2 0 0 0

Penggunaan piranti SBI dan Intervensi Rupiah di tengah-tengah

keterbatasan ruang gerak kenaikan suku bunga tersebut

menjadi semakin kurang efektif sehubungan dengan tidak

diresponnya sinyal kebijakan moneter oleh perbankan secara

proporsional. Hal ini terkait erat dengan masih belum pulihnya

fungsi intermediasi perbankan. Sebagai akibatnya, posisi OPT

pada akhir tahun tercatat sebesar Rp78,9 triliun, atau Rp7,9

triliun lebih rendah dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut

berasal dari penurunan SBI dan Intervensi Rupiah masing-

masing sebesar Rp3,0 triliun dan Rp4,9 triliun (Grafik 4.7).

Sementara itu, guna mendukung pelaksanaan OPT, Bank

10

10,5

11

11,5

12

12,5

13

13,5

14

14,5

15

%

Desember Maret Juni September Desember

1999 2 0 0 0

Posisi Suku Bunga SBI 1 bulan100

120

0

20

40

60

80

Triliun Rp.

Grafik 4.7Perkembangan SBI

Page 79: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

70

Bab 4 Moneter

Masyarakat9%

Bank Asing &Campuran

38,7%

BPD2,3%

Bank Swasta46,4%

Bank Pemerintah3,5%

Grafik 4.9Posisi Kepemilikan SBI

Indonesia dalam berbagai kesempatan melakukan sterilisasi

di pasar valuta asing untuk mengurangi dampak ekspansi uang

primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam ru-

piah yang dibiayai dengan penerimaan luar negeri.

Melemahnya nilai tukar rupiah, tingginya laju inflasi, dan

meningkatnya suku bunga luar negeri telah menimbulkan

ekspektasi kenaikan suku bunga dalam negeri di kalangan per-

bankan, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk cen-

derung meningkatkan penawaran suku bunga pada setiap

lelang SBI sejak Mei 2000. Pada waktu yang bersamaan,

tekanan permintaan uang kartal oleh masyarakat telah

meningkatkan kebutuhan likuiditas perbankan. Kondisi ini

mendorong perbankan untuk memindahkan dana mereka ke

jenis penanaman dengan jangka waktu yang lebih pendek,

seperti dari SBI 3 bulan ke SBI 1 bulan maupun ke Intervensi

Rupiah (Grafik 4.8).

Berdasarkan kepemilikannya, mayoritas SBI dimiliki oleh

kelompok bank swasta nasional (46,4%), disusul oleh kelom-

pok bank asing campuran (38,7%), bank pemerintah (3,5%),

dan BPD (2,3%) (Grafik 4.9). Dibandingkan dengan tahun se-

belumnya, kepemilikan SBI oleh bank pemerintah menun-

jukkan penurunan, sementara sebaliknya kepemilikan bank

swasta nasional meningkat. Hal ini mengindikasikan relatif

lebih tingginya kondisi likuiditas kelompok bank swasta

nasional dibandingkan kelompok-kelompok bank lainnya.

Sementara itu, guna menjaga kestabilan moneter,

khususnya di pasar uang, Bank Indonesia dalam fungsinya

sebagai lender of the last resort pada September 2000

mengeluarkan kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek (FPJP) sebagai penyempurnaan dari kebijakan

sebelumnya. Berkaitan dengan mulai dilaksanakannya sistim

Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank In-

donesia menyediakan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) bagi bank

umum peserta RTGS. Selain itu, kedua fasilitas ini juga ditujukan

untuk memperlancar sistem pembayaran serta menjaga

kelangsungan usaha bank (Boks : Fasilitas Pinjaman Jangka

Pendek dan Fasilitas Likuiditas Intrahari).

Dalam rangka mendorong perkembangan pasar uang

dan pengendalian moneter pada kelompok bank syariah,

Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan mengenai

pasar uang antar bank ,3) ketetapan GWM rupiah dan valuta

asing sebesar 5% dan 3% ,4) dan instrumen OPT,5) yang

seluruhnya berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah .

Grafik 4.8Posisi Intervensi Rupiah, SBI 1 dan 3 bulan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Triliun Rp.

SBI 1 bulan SBI 3 bulan Intervensi Rp.

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

3) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000tentang Ketentuan Pasar Uang Antar Bank bagi Bank berdasarkanPrinsip Syariah.

4) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000tentang Ketentuan GWM dalam Rupiah dan Valas bagi Bank Umumberdasarkan Prinsip Syariah.

5) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/9/PBI/2000 tentang Ketentuanmengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.

Page 80: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

71

Bab 4 Moneter

-2.000

-1.500

-500

0

500

1.000

1.500

2.000

1999

Miliar Rp.

2000

Bank Pemberi

Bank Penerima

I II III IV I II III IV

Bank Pemerintah Bank Devisa

Bank Non Devisa Bank Campuran Bank Asing

-1.000

tersebut, suku bunga tertinggi sempat meningkat sehubungan

dengan pertambahan kebutuhan dana sejumlah bank yang

mengalami kesulitan memperoleh credit line di PUAB

menjelang diberlakukannya sistim BI-RTGS. Hal-hal tersebut di

atas merupakan cerminan dari masih adanya segmentasi di

pasar uang, meski dengan skala yang lebih kecil daripada

tahun-tahun sebelumnya.

Dilihat dari pelakunya, kelompok bank swasta nasional

devisa merupakan kelompok bank dengan kecenderungan

Pasar Uang Antar Bank

Baik volume transaksi harian maupun suku bunga di pasar uang

antar bank (PUAB) menunjukkan kecenderungan peningkatan

selama tahun 2000, terutama sejak triwulan II (Tabel 4.3).

Kecenderungan ini menunjukkan adanya peningkatan

kebutuhan likuiditas jangka pendek bagi perbankan,

khususnya yang terkait dengan pelunasan pembayaran repo

obligasi yang jatuh tempo oleh sejumlah bank, serta

pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat menjelang

Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 dan pada akhir tahun.

Sekalipun cenderung meningkat, volume transaksi harian

PUAB secara keseluruhan masih lebih kecil daripada tahun

sebelumnya. Kondisi ini terutama terkait dengan menurunnya

kebutuhan dana bank-bank yang mengikuti program

rekapitalisasi, selain telah berkurangnya peserta PUAB sebagai

akibat proses merger dan dibeku-operasikannya sejumlah

bank pada tahun laporan. Sementara itu, kendati juga

cenderung meningkat sejak triwulan II tahun laporan, suku

bunga PUAB pada akhir tahun 2000 masih lebih rendah

daripada akhir tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan relatif

lebih likuid dan stabilnya kondisi pasar di tahun laporan.

Perbedaan suku bunga tertinggi dan terendah di PUAB

selama tahun 2000 masih cukup besar, meskipun cenderung

stabil kecuali pada bulan November (Grafik 4.10). Pada bulan

Tabel 4.3Suku Bunga dan Volume Transaksi Harian PUAB

Suku Bunga (%) Volume (Miliar Rp/Hari)

Pagi Sore Keselu- Pagi Sore Keselu-ruhan ruhan

Trw I /1999 39,56 37,83 38,97 3.074 2.075 5.149

Trw II /1999 29,13 28,21 28,67 2.627 2.624 5.252

Trw III /1999 13,28 13,10 13,21 1.964 1.420 3.384

Trw IV /1999 12,46 12,34 12,39 2.040 1.731 3.771

Trw I /2000 9,74 9,37 9,59 1.003 708 1.712

Trw II /2000 10,18 9,86 10,02 961 945 1,907

Trw III/ 2000 11,18 10,64 10,89 1.197 1.289 2.486

Trw IV /2000 11,64 11,21 11,43 1.340 1.470 2.810

Rincian

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.5

7

9

11

13

15

1999 2000

%

Tertinggi

Terendah

Grafik 4.10 Suku Bunga Tertinggi dan Terendah di PUAB

Grafik 4.11 Kelompok Bank dalam PUAB

Page 81: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

72

Bab 4 Moneter

sebagai pemberi pinjaman (Grafik 4.11). Kelompok bank

pemerintah yang pada awalnya banyak berlaku sebagai

peminjam di pasar PUAB, sejak September 2000 beralih menjadi

pemberi pinjaman. Hal ini berkaitan dengan membaiknya

kondisi likuiditas kelompok bank tersebut sehubungan dengan

telah diselesaikannya pelaksanaan program rekapitalisasi

perbankan. Seperti diketahui, bank-bank peserta rekap

dimungkinkan untuk menjual obligasinya di pasar sekunder

sebesar maksimum 25% dari seluruh obligasi yang mereka miliki.

Sebaliknya, kelompok bank asing sejak triwulan III cenderung

beralih dari pemberi pinjaman menjadi peminjam di PUAB.

Suku Bunga

Walaupun tingkat suku bunga PUAB dan deposito 1 bulan pada

akhir tahun 2000 lebih rendah dibandingkan tahun sebe-

lumnya, seiring dengan peningkatan suku bunga SBI sejak Mei

2000, kedua jenis suku bunga tersebut meningkat secara

bertahap meski dengan besaran yang berbeda (Grafik 4.12).

Suku bunga PUAB dan deposito 1 bulan meningkat masing-

masing sebesar 1,84% dan 1,63% hingga mencapai posisi

11,41% dan 12,0% pada akhir Desember 2000 (Tabel 4.4). Relatif

rendahnya peningkatan kedua jenis suku bunga tersebut

dibandingkan dengan peningkatan suku bunga SBI terkait de-

ngan tingginya kondisi likuiditas perbankan, yang terutama ber-

Tabel 4.4Perkembangan Suku Bunga1)

1998 1999 2000

Persen

SBI1 bulan 38,4 12,5 14,5

PUABO/N 33,4 12,1 11,4Keseluruhan 39,5 12,4 12,3

Deposito 1 Bulan 41,4 12,2 12,0 3 Bulan 49,2 12,9 13,2 6 Bulan 36,8 14,3 13,312 Bulan 28,3 22,4 12,224 Bulan 16,6 18,4 14,3

KreditModal Kerja 34,7 20,7 17,7Investasi 26,2 17,9 16,9

1) Rata-rata tertimbang dalam bulan Desember.

R i n c i a n

Grafik 4.13 Suku Bunga Nominal dan Riil

9,0

10,0

11,0

12,0

13,0

14,0

15,0

SBI 1 bulan

Deposito 1 bulan

PUAB O/N

Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

1999 2000

%

Grafik 4.12Perkembangan Berbagai Suku Bunga

sumber dari ekspansi keuangan pemerintah di tengah-tengah

belum normalnya fungsi intermediasi perbankan. Kondisi

likuiditas tersebut juga didorong oleh upaya perbankan untuk

memaksimalkan keuntungan bunga sehubungan dengan

masih tingginya spread antara suku bunga simpanan dan SBI.

Rendahnya peningkatan suku bunga simpanan, di

tengah-tengah peningkatan laju inflasi, mengakibatkan

turunnya suku bunga riil hingga posisinya mencapai 2,56%

pada akhir Desember 2000 (Grafik 4.13). Kondisi ini menye-

babkan masyarakat tidak tertarik untuk menyimpan kembali

2

4

6

8

10

12

14

Deposito Nominal

Deposito Nominal (%) Deposito Riil (%)

10,0

10,5

11,0

11,5

12,0

12,5

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

Deposito Riil

Page 82: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

73

Bab 4 Moneter

Grafik 4.15IHSG dan Nilai Perdagangan Saham

0

100

200

300

400

500

600

700

800

IHSG Nilai (Triliun Rp)

40

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500NilaiIHSG

Jan.17 5 22 5 16 2 14

Feb. Apr. Mei Jul. Ags. Okt. Nov.

2 0 0 0

Grafik 4.14Perkembangan Suku Bunga Jangka Panjang

0

10

20

30

40

50

Deposito 3 bulan

Kredit Investasi

%

Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.

2 0 0 0

Kredit Modal Kerja

termasuk pemberlakuan ketentuan fraksi harga saham yang

lebih rendah. Namun demikian, kebijakan ini tampaknya

belum memberikan kontribusi yang optimal dalam

meningkatkan kinerja pasar modal di tengah-tengah kuatnya

sentimen negatif pasar terhadap kondisi sosial politik dalam

negeri.

Aktivitas perdagangan saham di tahun 2000 ditandai

pula dengan mulai berlakunya prinsip syariah sejak Juli 2000.

Penentuan indeks saham berprinsip syariah mengacu kepada

30 saham yang kegiatan usahanya tidak bertentangan

dengan syariah Islam. Sejalan dengan pergerakan IHSG, indeks

saham dengan prinsip syariah (Jakarta Islamic Index) juga

menurun, dari 78,5 pada awal peluncuran menjadi 57,9 pada

akhir tahun 2000.

Berbeda dengan aktivitas perdagangan di pasar saham,

perdagangan di pasar obligasi korporasi mencatat sejumlah

kemajuan. Jumlah emiten meningkat dari 76 emiten dengan

nilai Rp15,9 triliun menjadi 91 emiten dengan nilai Rp22,4 triliun.

Indeks perdagangan obligasi meningkat sebesar 64,6%, dari

252,2 pada akhir tahun lalu menjadi 415,0. Meningkatnya

indeks perdagangan obligasi dibarengi dengan meningkatnya

aktivitas perdagangan harian, dari Rp4,9 miliar menjadi Rp10,7

miliar dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp18,9 miliar.

Adanya peningkatan aktivitas perdagangan harian ini

mencerminkan bertambah aktifnya sejumlah perusahaan

uang kartal mereka di perbankan. Sementara itu, suku bunga

jangka panjang, khususnya suku bunga kredit baik untuk modal

kerja maupun investasi, cenderung relatif stabil (Grafik 4.14).

Relatif stabilnya suku bunga kredit ini sekali lagi terkait erat

dengan masih belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan.

Pasar Modal

Masih tingginya ketidakstabilan sosial dan politik dalam negeri,

melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya suku bunga

SBI mendorong penurunan kinerja pasar modal di tahun 2000.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir tahun

laporan tercatat sebesar 416,3, terkoreksi sebesar 260,6 poin

(62,6%) dari posisi tahun sebelumnya (Grafik 4.15). Sejalan de-

ngan itu, nilai kapitalisasi pasar juga mengalami penurunan

sebesar 42,5%, dari Rp451,8 triliun pada akhir tahun 1999 menjadi

Rp259,6 triliun. Menurunnya IHSG dalam tahun laporan juga tidak

terlepas dari semakin kecilnya kontribusi investor asing di pasar

modal Indonesia. Posisi nilai transaksi investor asing terhadap

total perdagangan menurun, dari Rp51,7 triliun (35,0%) di tahun

1999 menjadi Rp24,8 triliun (20,2%). Meskipun mengalami

penurunan kinerja, jumlah emiten di bursa saham di tahun

laporan mencatat peningkatan, dari 321 emiten dengan nilai

Rp206,7 triliun menjadi 346 emiten dengan nilai Rp225,6 triliun.

Guna meningkatkan kinerja pasar modal dalam tahun

laporan, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan,

Page 83: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

74

Bab 4 Moneter

pemerintah di pasar sekunder sejak Februari 2000 telah

mencatat volume sebesar Rp27,9 triliun, terdiri dari transaksi

obligasi variable rate sebesar Rp16,2 triliun dan obligasi fixed

rate sebesar Rp11,7 triliun (Lihat Boks: Pengembangan Pasar

Sekunder Obligasi Pemerintah).

Selain itu, guna meningkatkan perdagangan obligasi

pemerintah di pasar sekunder, Pemerintah juga telah melun-

curkan program pertukaran obligasi (bonds exchange offer).

Program tersebut dilakukan dalam bentuk penukaran obli-

gasi yang dimiliki bank peserta rekap yang memiliki jangka

waktu 5 tahun dan dengan kupon 12,0%, dengan dua jenis

obligasi (stapled bond) masing-masing dengan kupon 16,5%

dan 10,0%.

dalam mencari alternatif sumber dana di tengah-tengah masih

belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan cenderung

meningkatnya suku bunga di pasar uang.

Sementara itu, perdagangan obligasi pemerintah di

pasar sekunder juga menunjukkan peningkatan, baik yang

bersifat outright (penjualan sebagian obligasi pemerintah yang

dimiliki bank) maupun repo (penjualan dengan perjanjian

untuk membeli kembali dalam jangka waktu tertentu). Hal ini

sejalan dengan telah diberlakukannya ketentuan yang me-

mungkinkan peningkatan jumlah maksimum obligasi

pemerintah yang dapat diperdagangkan, berturut-turut dari

10% pada Februari, 15% pada September, dan 25% pada

Desember 2000.6, 7, 8) Transaksi perdagangan obligasi

6) Peraturan Bank Indonesia, No. 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999tentang Portofolio Obligasi Pemerintah bagi Bank Umum Peserta Pro-gram Rekapitalisasi.

7) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/18/DPM/200o tanggal 19 Septem-ber 2000 tentang Peningkatan Persentase Portofolio ObligasiPemerintah yang dapat diperdagangkan bagi Bank Umum PesertaProgram Rekapitalisasi .

8) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/26/DPM/2000 tanggal 8 Desember2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007,FR0008, dan FR0009 untuk diperdagangkan di Pasar Sekunder sertaPeningkatan Persentase Portofolio Obligasi Pemerintah yang dapatdiperdagangkan bagi Bank Umum peserta Rekapitalisasi .

Page 84: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

75

Bab 4 Moneter

0

50

100

150

20

250

300

350

400

450

0

5

10

15

20

25

30

35

Invesstasi, triliun rupiah Perdagangan, triliun rupiah

Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Investasi

Perdagangan

1 9 9 9 2 0 0 0

0

50

100

150

200

250

300

350

400

450

500

Mei. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan.Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

triliun rupiah

1 9 9 9 2 0 0 0

Total Obligasi

Variable Rate

Fixed Rate

Hedge Bond

Boks : Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi Pemerintah

Perkembangan obligasi pemerintah di pasar sekunder masih

sangat terbatas walaupun Pemerintah telah meningkatkan

porsi obligasi rekapitalisasi yang dapat diperdagangkan.

Upaya untuk mendorong pasar sekunder obligasi pemerintah

melalui penerbitan stapled bonds juga belum menunjukkan

hasil yang menggembirakan. Oleh karena itu, Pemerintah dan

Bank Indonesia terus berupaya mengambil langkah-langkah

yang diperlukan agar pasar sekunder obligasi pemerintah

tersebut menjadi aktif dan berkembang.

Posisi obligasi yang telah diterbitkan oleh Pemerintah

dalam rangka program rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap)

hingga akhir Desember 2000 adalah sebesar Rp431,8 triliun, yang

terdiri dari fixed rate bond (FR) sebesar Rp179,4 triliun (41,6%),

variable rate bond (VR) sebesar Rp219,5 triliun (50,8%), dan

hedge bond sebesar Rp32,9 triliun (7,6%) (Grafik 1).

Berdasarkan komposisinya, obligasi pemerintah yang

masuk dalam portofolio perdagangan sampai dengan akhir

tahun 2000 baru mencapai Rp31,6 triliun (7,3%) –termasuk yang

diagunkan sebesar Rp12,1 triliun–, sedangkan sisanya sebesar

Rp400,2 triliun tercatat dalam portofolio investasi (Grafik 2).

Posisi portofolio perdagangan tersebut jauh lebih kecil

dibandingkan dengan portofolio obligasi rekap pemerintah

yang dapat diperdagangkan, yakni sebesar 25% dari total

obligasi rekap jenis FR dan VR.

Grafik 1Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah

Grafik 2Perkembangan Portofolio Obligasi Pemerintah

Pada awal penerbitannya, obligasi rekap lebih

didominasi oleh seri VR daripada seri FR. Hal ini didasarkan oleh

adanya prakiraan bahwa arah suku bunga mendatang akan

mengalami penurunan, sehingga penerbitan obligasi rekap

VR akan mengurangi beban pemerintah untuk membayar

bunga. Namun demikian, seiring dengan kecenderungan

kenaikan suku bunga sejak Mei 2000, Pemerintah menerbitkan

obligasi rekap seri FR yang jauh lebih besar dari seri VR dalam

rangka menyeimbangkan komposisi jenis obligasi rekap di

pasar dan mengurangi beban pembayaran kupon.

Volume perdagangan obligasi rekap yang terjadi

sebagian besar dilakukan atas dasar jual beli bersyarat Re-

purchase Agreement (repo) daripada penjualan lepas (out-

right) seperti tampak pada Tabel 1. Lebih menariknya transaksi

repo tersebut terkait dengan faktor risiko transaksi yang relatif

rendah dan berjangka pendek. Dilihat dari jenisnya, obligasi

VR mencatat volume transaksi sebesar Rp16,2 tril iun,

sedangkan obligasi FR mencapai Rp11,7 triliun. Lebih aktifnya

transaksi perdagangan obligasi VR disebabkan oleh ekspektasi

pasar terhadap kecenderungan kenaikan suku bunga. hal ini

terkait dengan dijadikannya suku bunga SBI 3 bulan sebagai

acuan kupon obligasi VR. Adapun obligasi rekap yang paling

aktif diperdagangkan adalah obligasi yang memiliki jangka

waktu yang relatif pendek (3-4 tahun), yaitu VR0001 yang jatuh

Page 85: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

76

Bab 4 Moneter

FR VR Total

Miliar rupiah

Februari - 6 6Maret - - -April - - -Mei 26 62 87Juni 7.000 1.587 8.587Juli - 86 86Agustus 1.053 2,788 3.842September 419 2.284 2.703Oktober - 798 798November 2.277 5.372 7.649Desember 922 3.227 4.149

Total Transaksi 11.696 16.210 27.906

Jenis Transaksi– Repo 13.999

50,2%– Outright 13.906

49,8%

1) Bonds Exchange Offer adalah suatu program yang menawarkanStapled Bonds untuk ditukarkan dengan obligasi rekap. StapledBonds adalah suatu paket obligasi yang terdiri dari dua jenisobligasi, dimana obligasi jenis pertama memberikan kupon yanglebih tinggi dari obligasi jenis kedua, namun rata-rata tertimbangkupon dua jenis obligasi tersebut adalah sama dengan kuponobligasi rekap yang akan dipertukarkan.

2) Pelaku pasar meliputi beberapa pihak dari kalangan bankdomestik yang besar, bank asing, perusahaan sekuritas asing,Asosiasi Fixed Income Dealer, perusahaan efek nasional.

stapled bonds, namun rata-rata tertimbang kuponnya

tetap sama dengan kupon obligasi rekap yang

dipertukarkan, sehingga beban fiskal pemerintah tidak

berubah. Sampai dengan akhir tahun laporan tercatat 14

bank telah menukarkan obligasi rekapnya senilai Rp58,5

triliun atau 90,1% dari total nilai obligasi seri FR0001 dan

FR0003. Namun demikian, sampai dengan akhir tahun

belum terdapat transaksi perdagangan stapled bonds.

2. Pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan

Undang-Undang (RUU) obligasi pemerintah untuk

memberikan dasar hukum bagi penerbitan obligasi

pemerintah dan meningkatkan kepercayaan investor. RUU

tersebut antara lain memuat jaminan pemerintah untuk

membayar kupon dan pokok obligasi yang jatuh tempo

(standing appropriation).

3. Pemerintah juga mempersiapkan penerbitan surat hutang

jangka pendek pemerintah (Treasury Bills) dan diharapkan

sudah dapat direalisasikan pada kuartal kedua tahun

2001.

4. Bank Indonesia bersama-sama dengan pelaku pasar2) se-

dang menyusun acuan aturan main perdagangan obli-

gasi secara repo, baik repo di antara pelaku pasar mau-

pun antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar.

Perdagangan obligasi pemerintah ini diperkirakan akan

meningkat pada tahun 2001 seiring dengan mulai

diberlakukannya sistem BI-RTGS. Hal ini berkaitan dengan

meningkatnya kebutuhan perbankan terhadap obligasi

pemerintah selain SBI, sebagai agunan untuk mendapatkan

FLI dan FPJP.

Dengan berbagai langkah dan fasilitas yang telah dan

sedang dipersiapkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia

tersebut, diharapkan pasar sekunder obligasi pemerintah

menjadi lebih aktif.

tempo pada 25 Juni 2002 dan VR0002 yang jatuh tempo pada

25 Februari 2003.

Sementara itu, untuk meningkatkan aktivitas

perdagangan pasar sekunder dan membantu bank-bank

rekap dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya, Pemerintah

dan Bank Indonesia mengambil berbagai langkah kebijakan

sebagai berikut:

1. Pada tanggal 30 November 2000, Pemerintah telah

menawarkan kepada bank pemilik obligasi rekap untuk

melakukan program pertukaran obligasi pemerintah atau

Bonds Exchange Offer (BEO)1) . Obligasi rekap yang dapat

ditukarkan ialah seri FR0001 jatuh tempo 15 September

2004 dan FR0003 jatuh tempo 15 Mei 2005, dengan kupon

12,0%. FR0001 ditukar dengan obligasi seri FR0006 kupon

16,5% dan seri FR0007 kupon 10,0%. FR0003 ditukar dengan

obligasi seri FR0008 kupon 16,5% dan seri FR0009 kupon

10,0%. Walaupun terdapat perbedaan tingkat kupon

Bulan

Page 86: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

77

Bab 4 Moneter

1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,Pasal 11.

2) Peraturan Bank Indonesia No. 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999tentang Fasilitas Pendanaan dalam Rangka Mengatasi KesulitanJangka Pendek.

Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas,

Bank Indonesia memberlakukan dua ketentuan yang

berkaitan dengan pemberian fasilitas pendanaan kepada

bank, yakni Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan

Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI).

Sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat

memberikan kredit kepada perbankan untuk mengatasi

kesulitan pendanaan jangka pendek.1) Pemberlakuan Pera-

turan Bank Indonesia tentang FPJP merupakan penyem-

purnaan dari ketentuan yang telah dikeluarkan sebelumnya.2)

Dalam skim FPJP, kesulitan jangka pendek didefinisikan sebagai

suatu keadaan yang dialami oleh bank umum yang

disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil

dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) sehingga

diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo negatif

rekening giro rupiah di Bank Indonesia.

Untuk lebih menjamin berjalannya fungsi lender of the

last resort dalam pemberian FPJP, Bank Indonesia

mengupayakan agar suku bunga FPJP di atas suku bunga

pasar. Oleh karena itu, suku bunga FPJP ditetapkan sebesar

suku bunga tertinggi di antara dua suku bunga berikut:

a. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB keseluruhan

jangka waktu overnight pada 1 hari kerja sebelumnya

ditambah 200 basis point; atau

b. Rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka

waktu 1 bulan pada lelang terakhir ditambah 200 basis

point.

Bank Indonesia memberikan FPJP dengan jangka waktu

1 hari kerja atau overnight, sementara itu bank dapat

menggunakan FPJP sebanyak-banyaknya 90 hari secara

berturut-turut.

Sementara itu, pemberlakuan ketentuan mengenai FLI

merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan tugas

Bank Indonesia, khususnya dalam rangka mendukung sistem

pembayaran.3 ) Pemberian FLI terutama dimaksudkan untuk

membantu bank dalam menghadapi kesulitan pendanaan

jangka waktu sangat pendek (short term liquidity mismatch)

yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya

kemacetan (gridlock) pada Sistem Bank Indonesia-Real Time

Gross Settlement (BI-RTGS). Kemacetan tersebut pada

gilirannya dapat mengganggu kelancaran sistem

pembayaran nasional serta menimbulkan ketidakstabilan

sistem keuangan dan moneter secara keseluruhan. Kesulitan

pendanaan jangka waktu sangat pendek dimaksud dapat

timbul sebagai akibat transaksi keluar (outgoing transaction)

melalui sistem BI-RTGS pada saat tertentu lebih besar

dibandingkan dengan saldo giro rupiah bank peserta di Bank

Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidaktepatan

waktu transaksi masuk (incoming transaction) atau nilai

transaksi masuk tersebut pada saat tertentu lebih kecil

daripada nilai transaksi keluar.

Penggunaan dan pelunasan FLI bank yang telah

disetujui oleh Bank Indonesia pada 1 hari sebelum transaksi (T-

1) dilakukan secara otomatis oleh sistem BI-RTGS. Pada hari

penggunaan FLI (T+0), bank dapat menggunakan FLI dari pukul

08.30 WIB sampai dengan 18.00 WIB dalam hal rekening giro

rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melaksanakan

outgoing transaction. Sementara itu, pelunasan FLI dilakukan

pada pukul 08.30 WIB sampai dengan 19.00 WIB setiap adanya

incoming transaction. Dalam hal bank tidak melunasi FLI

sampai dengan pukul 19.00 WIB pada T+0, maka nilai FLI

tersebut beralih menjadi FPJP.

Untuk menghindari terjadinya moral hazard oleh

perbankan, pemberian FPJP maupun FLI harus dijamin oleh

bank penerima kredit dengan agunan yang berkualitas tinggi

dan mudah dicairkan serta bernilai minimal sebesar jumlah

kredit yang diterima. Agunan yang dapat diterima Bank Indo-

nesia dalam rangka permohonan fasilitas tersebut adalah:

Boks : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan Fasilitas Likuiditas Intrahari

3) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,Pasal 15.

Page 87: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

78

Bab 4 Moneter

a. SBI dengan sisa jangka waktu 3 hari s.d. 30 hari dengan

nilai jual sekurang-kurangnya 100% dari fasilitas kredit

yang ditarik oleh bank;

b. Obligasi pemerintah dengan sisa jangka waktu 15 hari

dengan nilai pasar sekurang-kurangnya 115% dari fasilitas

kredit yang ditarik oleh bank;

c. Surat berharga lain yang akan ditentukan kemudian oleh

Bank Indonesia.

Agunan tersebut harus bebas dari segala bentuk

perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada

pihak lain dan atau Bank Indonesia. Selain itu, bank yang telah

memperoleh fasilitas tersebut dilarang untuk memper-

jualbelikan dan atau menjaminkan kembali surat berharga

yang dijaminkan tersebut.

Terhadap bank pengguna FLI maupun FPJP, Bank Indo-

nesia berwenang melakukan pengawasan baik sebelum

maupun sesudah periode penggunaan fasilitas dimaksud.

Selain itu, kepada bank yang akan memanfaatkan kedua

fasilitas tersebut disyaratkan memenuhi ketentuan Kecukupan

Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang berlaku dan harus

memenuhi tingkat kesehatan bank di mana dalam waktu 3

bulan terakhir sekurang-kurangnya cukup sehat.

Page 88: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Neraca PembayaranBab 5

Page 89: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

80

Bab 5 Neraca Pembayaran

dalam tahun laporan. Dalam rangka mendorong per-

tumbuhan ekspor nonmigas, Pemerintah telah mengambil

berbagai langkah kebijakan antara lain melalui penurunan tarif

pajak ekspor secara bertahap1), pengeluaran keputusan

tentang ketentuan kuota ekspor tekstil dan produk tekstil2),

D alam tahun 2000, secara keseluruhan Neraca

Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan perkemba-

ngan yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan

semakin membaiknya kinerja ekspor nonmigas dan me-

ningkatnya penerimaan ekspor migas sehubungan dengan

tingginya harga minyak di pasar internasional. Di sisi lain,

mengingat kandungan impor untuk menghasilkan barang

ekspor masih cukup tinggi, meningkatnya kinerja ekspor non-

migas telah pula memberikan dorongan terhadap mening-

katnya impor nonmigas terutama dalam bentuk bahan baku

dan penolong. Peningkatan impor tersebut juga sejalan

dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri.

Sementara itu, defisit transaksi jasa-jasa juga mengalami

peningkatan yang disebabkan oleh tingginya pembayaran

bunga utang luar negeri, meningkatnya pembayaran bagi

hasil minyak untuk kontraktor asing, serta meningkatnya biaya

transportasi yang terkait dengan kegiatan impor.

Secara keseluruhan transaksi berjalan dalam tahun

laporan tetap menunjukkan surplus bahkan lebih tinggi dari

tahun sebelumnya. Dari sisi transaksi modal, berkurangnya

pemasukan modal Pemerintah dan masih tingginya defisit

dalam lalu lintas modal swasta, telah menyebabkan transaksi

modal dalam tahun laporan masih mengalami defisit. Dengan

perkembangan tersebut, secara keseluruhan NPI dalam tahun

2000 mengalami surplus sebesar $5,0 miliar sehingga posisi

cadangan devisa pada akhir tahun 2000 mencapai $29,3 miliar

atau setara dengan 6,3 bulan kebutuhan impor dan

pembayaran utang luar negeri Pemerintah (Tabel 5.1).

Perkembangan NPI tersebut di atas tidak terlepas dari

langkah-langkah kebijakan yang telah diambil Pemerintah

b a b

5 Neraca Pembayaran

Tabel 5.1Neraca Pembayaran Indonesia

1998 1999 2000*

Miliar $

A. Transaksi Berjalan 4,1 5,8 7,71. Barang 18,4 20,6 25,1

a. Ekspor f.o.b 50,4 51,2 62,5Nonmigas 43,0 41,0 47,0Migas 7,4 10,3 15,5

Minyak 4,1 5,7 8,6LNG 3,0 4,2 6,4LPG 0,2 0,4 0,4

b. Impor f.o.b –31,9 –30,6 –37,4Nonmigas –29,1 –26,6 –32,1Migas –2,9 –4,0 –5,3

Minyak –2,6 –3,7 –5,0LNG –0,2 –0,3 –0,3

2. Jasa –14,3 –14,9 –17,4a. Nonmigas –11,4 –11,7 –12,7b. Migas –2,9 –3,2 –4,7

Minyak –1,4 –1,5 –2,3LNG –1,5 –1,7 –2,4

B. Modal di Luar Sektor Moneter –3,9 –4,6 –4,61. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) 10,0 5,4 3,8

a. Penerimaan pinjaman dan bantuan 13,7 9,4 8,3

b. Pelunasan pinjaman –3,8 –4,11) –4,51)

2. Lalu lintas modal swasta (bersih) –13,8 –9,9 –8,5a. Penanaman modal langsung –0,4 –2,7 –4,1b. Lainnya –13,5 –7,2 –4,4

C. Jumlah (A+B) 0,2 1,2 3,1

D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,1 2,1 1,9

E. Lalu-lintas Moneter –2,3 –3,3 –5,0

Catatan:1. Cadangan Devisa Bersih (NIR) 14,1 16,4 17,82. Aktiva Luar Negeri (GFA)2) 23,8 27,1 29,3 Setara impor nonmigas dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah (bulan) 5,7 6,7 6,33. Transaksi Berjalan/PDB (%) 4,2 4,1 5,0

Rincian

1) Termasuk rescheduling2) Sejak tahun 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep

cadangan devisa bruto (GFA)

1) Termasuk Keputusan Menteri Keuangan No.387/KMK.017/2000 tanggal12 September 2000 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak EksporKelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya.

2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.174/MPP/Kep/5/2000 tangal 25 Mei 2000 tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil danProduk Tekstil.

Page 90: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

81

Bab 5 Neraca Pembayaran

telah mengeluarkan kebijakan persyaratan impor kendaraan

Complete Built Up (CBU).4)

Di bidang lalu lintas modal, dalam rangka mengurangi

beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah, pada

tahun laporan telah dilakukan pertemuan Paris Club II yang

berlangsung tanggal 12 dan 13 April 2000 di Paris. Dalam

pertemuan ini berhasil disetujui penjadwalan kembali pem-

bayaran cicilan utang pokok pemerintah untuk pinjaman

yang jatuh tempo 1 April 2000 sampai dengan 31 Maret

2002, baik pinjaman lunak (Official Development Assistance

atau ODA) maupun yang tidak lunak. Di samping itu, pada

September 2000 telah berhasil dijadwalkan kembali

pembayaran utang pokok pinjaman komersial yang

diterima dari sindikasi bank-bank di luar negeri sebagai

kelanjutan dari hasil perundingan dalam kerangka London

Club dan sebagai pelaksanaan azas Comparable Treat-

ment yang dituntut oleh negara donor utang luar negeri

Pemerintah. Sementara itu, upaya restrukturisasi utang luar

negeri swasta baik melalui Jakarta Initiative Task Force (JITF)

dan program Exchange Offer, dalam tahun laporan juga

terus dilakukan.

Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan sistem

pemantauan kegiatan lalu-lintas devisa (LLD), dalam tahun

laporan Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang

mewajibkan lembaga keuangan non bank (LKNB) untuk

melaporkan kegiatan LLD yang dilakukannya sebagaimana

telah diterapkan kepada bank-bank umum.5) Dengan

berlakunya ketentuan ini, pelaksanaan pemantauan kegiatan

LLD diharapkan sudah mencakup sebagian besar kegiatan LLD

yang dilakukan oleh penduduk (Boks : Pemantauan Kegiatan

Lalu Lintas Devisa melalui Bank dan Lembaga Keuangan Non

Bank).

penyediaan pembiayaan dan penjaminan yang termasuk

pula pemberian jasa konsultasi, serta usaha lainnya dalam

rangka mendorong dan memperlancar kegiatan ekspor. Di

samping itu, Pemerintah juga mendorong perluasan pasar

tujuan ekspor, antara lain melalui penataan pengorganisasian

misi dagang dan melalui peningkatan diplomasi perdagangan

baik dalam rangka kerjasama bilateral, regional maupun mul-

tilateral melalui pemberdayaan perwakilan RI di luar negeri

terutama yang menangani bidang ekonomi. Adapun sasaran

perluasan pasar tujuan ekspor antara lain adalah Timur Tengah,

Eropa Timur, Amerika Latin dan Asia Timur.

Sementara itu, tingginya pertumbuhan impor tidak

terlepas dari berbagai kebijakan yang telah ditempuh

Pemerintah untuk melakukan upaya restrukturisasi per-

dagangan luar negeri. Dalam upaya meningkatkan kegiatan

industri di dalam negeri yang membutuhkan bahan baku

impor, Pemerintah telah menyempurnakan berbagai skim

pembiayaan dan penjaminan, serta membuka kembali akses

ke sumber-sumber perdagangan internasional. Penyem-

purnaan tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan

yang sama baik kepada eksportir yang termasuk dalam

kelompok perusahaan eksportir tertentu (PET) maupun bukan

(non-PET) antara lain dalam menggunakan fasilitas skim

pembiayaan dan penjaminan, menghapuskan batasan jenis

komoditas impor yang dapat dibiayai atau dijamin, dan

menambah jumlah bank pembuka L/C impor. Di samping itu,

dalam tahun laporan Pemerintah tetap melanjutkan

pemberian jaminan melalui Bank Indonesia atas seluruh L/C

yang dibuka oleh seluruh perbankan Indonesia dalam rangka

membuka kembali akses ke bank-bank internasional. Guna

menjamin tersedianya bahan baku/penolong bagi industri-

industri di dalam negeri, Pemerintah juga melanjutkan

pemberian fasilitas pembebasan bea masuk atas impor bahan

baku komoditas tertentu.3) Dalam tahun 2000 Pemerintah juga

3) Keputusan Menteri Keuangan No.98/KMK.05/2000 tanggal 31 Maret2000 tentang Keringanan Bea masuk Bahan Baku/Sub Komponen/Bahan Penolong untuk Pembuatan Elektronika, dan Keputusan MenteriKeuangan No.135/KMK.05/2000 tanggal 1 Mei 2000 tentang KeringanBea Masuk atas Impor Mesin/Barang dan Bahan dalam Pembangunan/Pengembangan Industri.

4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 49/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari 2000 dan Keputusan Menteri Perindustriandan Perdagangan No. 192/MPP/Kep/6/2000 tanggal 2 Juni 2000tentang peraturan mengenai persyaratan impor kendaraan bermotordalam keadaan utuh (CBU).

5) Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/23/DSM tanggal 10 November 2000tentang Pelaporan Kegiatan Lalu-Lintas Devisa oleh LembagaKeuangan Non Bank (LKNB).

Page 91: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

82

Bab 5 Neraca Pembayaran

Transaksi Berjalan

Dalam periode laporan, transaksi berjalan mencatat surplus

sebesar $7,7 miliar, meningkat 33,0% dibandingkan dengan sur-

plus dalam tahun sebelumnya sebesar $5,8 miliar. Surplus

transaksi berjalan tersebut terutama berasal dari surplus neraca

perdagangan yang mencapai $25,1 miliar (Grafik 5.1).

Kenaikan surplus neraca perdagangan yang tajam terutama

disebabkan oleh meningkatnya penerimaan dari sektor migas

sebagai akibat tingginya harga minyak di pasar internasional.

Di sisi lain, surplus neraca perdagangan di sektor nonmigas

mencapai $14,9 miliar, relatif tetap dibandingkan dengan

tahun sebelumnya (Grafik 5.2). Sementara itu, neraca jasa

mencatat defisit sebesar $17,4 miliar, lebih besar dari tahun

sebelumnya yang mencatat defisit sebesar $14,9 miliar.

Ekspor

Sebagaimana telah dikemukakan kegiatan ekspor baik migas

maupun nonmigas dalam tahun laporan mengalami

pertumbuhan yang sangat pesat. Total nilai ekspor mencapai

$62,5 miliar, meningkat 22,0% dibandingkan ekspor pada tahun

sebelumnya. Perkembangan ekspor yang cukup tinggi tersebut

telah meningkatkan peran ekspor sebagai penggerak pertum-

buhan ekonomi.

Dalam tahun laporan, ekspor nonmigas meningkat 15,0%

dari tahun sebelumnya sehingga mencapai $47 miliar,

Grafik 5.3Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas

Ekspor Non migas Ekspor Migas

0

10

20

30

40

50

1997 1998 1999 2000

Miliar $

Grafik 5.1Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan,

dan Neraca Jasa

Transaksi BerjalanNeraca JasaNeraca Perdagangan

Miliar $

1997 1998 1999 2000

–20

–10

0

10

20

30

Nilai Ekspor Bersih Non Migas Nilai Ekspor Bersih Migas

0

2

4

6

8

10

12

14

16

1997 1998 1999 2000

Miliar $

Grafik 5.2Nilai Ekspor Bersih Nonmigas dan Migas

sedangkan ekspor migas meningkat 50,5% dari tahun

sebelumnya sehingga mencapai $15,5 miliar (Grafik 5.3).

Peningkatan kinerja ekspor nonmigas, selain didorong oleh

meningkatnya permintaan dunia terutama dari negara-

negara di kawasan Amerika dan Asia, juga disebabkan oleh

adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah yang mendorong

kegiatan ekspor.

Peningkatan ekspor nonmigas terutama disumbang oleh

ekspor sektor industri dan sektor pertambangan. Sektor industri

masih memberikan kontribusi terbesar dalam struktur ekspor

Page 92: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

83

Bab 5 Neraca Pembayaran

Ekspor sektor pertanian pada tahun laporan mengalami

peningkatan sebesar $58 juta sehingga menjadi $4,2 miliar.

Beberapa komoditas utama yang memberikan kontribusi

terhadap peningkatan tersebut antara lain komoditas getah

karet dan udang yang masing-masing meningkat sebesar 5,2%

dan 5,9% dibanding tahun sebelumnya.

Ditinjau dari negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia

sebagian besar ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia

dengan pangsa mencapai 57%, diikuti kawasan Amerika dan

Eropa masing-masing mencapai 20,0% dan 19,0%. Negara

tujuan ekspor nonmigas terbesar di kawasan Asia adalah

negara ASEAN, diikuti oleh Jepang dan RRC (Grafik 5.5).

Sementara itu, pertumbuhan nilai ekspor migas yang

tinggi dalam tahun laporan, terutama disebabkan oleh me-

ningkatnya harga minyak bumi maupun gas di pasar

internasional. Dalam tahun 2000 rata-rata harga minyak bumi

Indonesia mencapai $28,6 per barrel, jauh lebih tinggi dari rata-

rata harga minyak bumi tahun sebelumnya yang tercatat $17,4

per barrel dan juga lebih tinggi dari asumsi APBN sebesar $20

per barrel. Kenaikan harga minyak bumi tersebut antara lain

Tabel 5.2Ekspor Barang Industri

1999 2000 2000*

Rincian Perubahan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)

Tekstil & Produk Tekstil -10.6 6,4 6.693 17,8- Pakaian jadi -8,5 7,3 3.702 9,8

Kerajinan tangan -72,8 -9,4 515 1,4Produk kayu 6,6 -6,3 4.239 11,3

- Kayu lapis -3,0 -14,3 1.936 5,1Produk Rotan 559,6 11,8 285 0,8Minyak Sawit 54,2 -12,4 1.199 3,2Bungkil kopra -9,1 6,5 50 0,1Produk kimia -12,5 15,5 2.065 5,5Produk logam -22,3 3,0 1.111 3,0Barang-barang listrik 19,6 70,8 5.746 15,3Semen 64,1 -3,5 138 0,4Kertas 7,0 14,1 3.017 8,0Produk karet -9,8 8,1 405 1,1Gelas dan alat dari gelas 3,9 20,7 337 0,9Alas kaki -4,0 3,7 1.575 4,2Produk plastik -8,0 27,8 1.099 2,9Mesin & pesawat mekanik 25,3 77,4 3.287 8,7Lainnya 7,5 3,6 5.874 15,6

Total 37.634 100

nonmigas Indonesia dengan pangsa yang mencapai 80,0%

dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia, diikuti oleh sektor

pertambangan dan sektor pertanian masing-masing sebesar

11,0% dan 9,0% (Grafik 5.4).

Dalam tahun 2000, total nilai ekspor barang industri

meningkat sebesar 15,0% dari tahun sebelumnya sehingga

mencapai $37,6 miliar (Tabel 5.2). Tajamnya peningkatan

ekspor barang industri tersebut terjadi pada peningkatan nilai

ekspor mesin & pesawat mekanik (77,4%), barang-barang listrik

(70,8%), kertas (14,1%) dan tekstil & produk tekstil (6,4%).

Peningkatan nilai ekspor barang industri tersebut di samping

disebabkan oleh naiknya harga kertas di pasar dunia, juga

didorong kuatnya permintaan akan barang-barang tekstil &

produk tekstil, barang-barang listrik, dan mesin & pesawat

mekanik di pasar internasional.

Sementara itu, total nilai ekspor sektor pertambangan

mencapai $5,2 miliar atau meningkat 25,3% dibanding pada

tahun sebelumnya. Di sektor ini, tembaga memberikan

sumbangan yang cukup besar dengan nilai ekspor yang

mencapai $2,1 miliar atau meningkat sebesar 47,3% dari

tahun sebelumnya. Peningkatan nilai ekspor tembaga

tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya volume

ekspor, juga sebagai akibat dari meningkatnya harga tem-

baga di pasar internasional sejalan dengan kuatnya permin-

taan dunia.

Grafik 5.4Pangsa Ekspor Non Migas

0

20

40

60

80

100

Industri Pertanian Pertambangan

1996 1997 1998 1999 2000*

%

Page 93: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

84

Bab 5 Neraca Pembayaran

Nilai Pertumbuhan Pangsa(juta $) (%) (%)

1999 2000 1999 2000 1999 2000

Barang konsumsi 1.343 2.198 –18,2 63,3 5,0 6,8Bahan baku penolong 19.398 23.392 –0,6 20,6 72,8 72,9Barang modal 5.891 6.514 –25,7 10,6 22,1 20,3

Tabel 5.3Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang

Tabel 5.4Impor Bahan Baku

1999* 2000* 2000

Rincian Pertumbuhan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)

Makanan & minuman (industri) 4,5 11,8 770,6 3,3Makanan & minuman (industri 1/2 jadi) 38,6 -8,2 605,9 2,6Bahan baku mentah untuk industri 10,8 -24,8 2.061,3 8,8Bahan baku 1/2 jadi untuk industri -13,5 25,4 9.360,3 40,0Bahan bakar & pelumas (mentah) 63,2 -36,5 7,5 0,0Bahan bakar & pelumas (1/2 jadi) –30,6 47,5 86,0 0,4Suku cadang & perleng- kapan barang modal –51,2 2,3 1.041,6 4,5Suku cadang & perleng- kapan alat angkutan –36,9 119,6 1.402,5 6,0Lainnya 49,6 31,8 8.056,1 34,4

Total -0,6 20,6 23.391,8 100,0

Grafik 5.5Pangsa Ekspor Non Migas Menurut

Negara Tujuan Tahun 2000

Lain-lain4% Amerika

20%

Asia kecuali Jepangdan ASEAN

23%

ASEAN19%

Jepang15%

Eropa19%

disebabkan oleh kepatuhan dari negara-negara anggota

OPEC terhadap kuota yang ditetapkan dan berkurangnya

pasokan minyak di pasar internasional sebagai akibat

ketidakstabilan kondisi politik di kawasan Timur Tengah.

Sementara itu, harga rata-rata ekspor baik liquefied natural

gas (LNG) maupun liquefied petroleum gas (LPG) juga

meningkat masing-masing menjadi sebesar $4,58 per MMBTU

dan $295,2 per Mton dari tahun sebelumnya yang hanya

sebesar $2,76 per MMBTU dan $197,4 per Mton.

Ditinjau dari komponennya, ekspor minyak bumi naik

sebesar 50,9%, ekspor gas alam cair (LNG) naik sebesar 54,8%,

sementara itu ekspor gas minyak cair (LPG) relatif tetap.

Meskipun nilai ekspor migas mencatat adanya pening-

katan, namun volumenya mengalami penurunan. Volume

ekspor minyak bumi, LNG, dan LPG turun masing-masing sebesar

8,5%, 6,9% dan 26,9%. Penurunan volume ekspor minyak tersebut

disebabkan oleh turunnya volume produksi minyak mentah.

Sementara itu, penurunan volume ekspor gas antara lain

disebabkan oleh berakhirnya beberapa kontrak penjualan gas

(LNG) jangka pendek dengan negara pembeli Korea.

Impor

Dalam tahun laporan, nilai impor meningkat sebesar 22,2%

setelah pada tahun sebelumnya turun sebesar 4,1%. Pening-

katan impor tersebut terjadi baik pada sektor nonmigas

maupun migas yang masing-masing naik sebesar 20,7% dan

32,5%. Peningkatan impor nonmigas tersebut sejalan dengan

mulai meningkatnya permintaan domestik. Sementara itu,

peningkatan impor migas disebabkan oleh kurang cukupnya

produksi minyak dalam negeri untuk memenuhi peningkatan

permintaan dalam negeri.

Berdasarkan kelompok barang, peningkatan nilai impor

nonmigas berasal dari semua kelompok barang, yaitu kelom-

pok barang konsumsi sebesar 63,3%, bahan baku 20,6% dan

bahan modal 10,6% (Tabel 5.3). Meskipun demikian, kelompok

bahan baku masih merupakan penyumbang terbesar terha-

dap nilai impor nonmigas secara keseluruhan, dengan pang-

Page 94: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

85

Bab 5 Neraca Pembayaran

Serikat. Pangsa impor dari negara-negara Asia, terutama

Jepang meningkat dari 9,5% menjadi 18,5% dengan nilai impor

mencapai $5,9 miliar. Pangsa impor dari RRC meningkat dari

3,9% menjadi 6,4% sehingga mencapai $2,1 miliar, dan pangsa

Amerika Serikat sedikit meningkat dari 9,5% menjadi 12,0% atau

mencapai $3,8 miliar (Grafik 5.6).

Jasa-jasa

Dalam tahun laporan, defisit neraca jasa meningkat sebesar

$2,5 miliar menjadi defisit $17,4 miliar. Semakin besarnya defisit

tersebut berasal dari meningkatnya defisit jasa-jasa migas

sebesar 46,9% dan nonmigas sebesar 8,5%. Meningkatnya

defisit jasa-jasa migas terutama terjadi pada jasa-jasa non

freight yang meningkat 49,0% menjadi $4,2 mil iar.

Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh naiknya

pembayaran bagi hasil minyak dan gas bumi untuk kontraktor,

dan meningkatnya harga komoditas tersebut di pasaran

internasional. Di sisi sektor jasa-jasa nonmigas, defisit jasa non

freight meningkat sebesar 8,7% sehingga mencapai $10,1

miliar, antara lain berasal dari meningkatnya pembayaran

bunga utang Pemerintah dan jasa transportasi. Sementara

itu, sejalan dengan meningkatnya impor nonmigas, defisit

jasa-jasa freight pada sektor jasa nonmigas meningkat

sebesar 9,4% menjadi $2,6 miliar.

Dari sisi penerimaan jasa-jasa nonmigas, penerimaan

devisa terbesar berasal dari sektor pariwisata yang dalam

tahun laporan meningkat sebesar $0,4 miliar sehingga menjadi

$4,8 miliar. Dalam tahun 2000, jumlah wisatawan asing yang

berkunjung ke Indonesia meningkat dari 4,5 juta orang menjadi

5,1 juta orang. Sebagian besar wisatawan asing yang

berkunjung ke Indonesia tersebut masuk melalui 3 pintu utama

yaitu Denpasar, Medan, Batam, dan Jakarta. Peningkatan

jumlah wisatawan tersebut menunjukkan membaiknya posisi

Indonesia sebagai negara tujuan wisata.

Lalu lintas Modal

Dalam tahun laporan, lalu lintas modal bersih masih mengalami

defisit yaitu sebesar $4,6 miliar, relatif tidak mengalami

perubahan dari tahun sebelumnya. Defisit tersebut bersumber

Tabel 5.5Impor Barang Modal

1999* 2000 2000*

Perubahan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)

Traktor & alat pertanian –75,4 125,0 27,4 0,4Alat kerajinan / perhiasan –60,4 –97,5 0,0 0,0Kontainer & kotak

penyimpanan –41,3 –37,7 25,1 0,4Reaktor nuklir & mesin

mekanik –45,0 10,0 2.346,0 36,0Generator & alat elektronika –61,8 12,1 380,7 5,8Lokomotif, kapal, pesawat 2,2 36,6 1.000,3 15,4Alat pertukangan –47,1 27,5 26,0 0,4Alat optik & ukur –32,4 59,5 400,6 6,2Mobil penumpang –69,2 601,2 64,7 1,0Lainnya 24,9 –4,7 2.243,2 34,4Total –25,7 10,6 6,514 100,0

Rincian

sa mencapai 72,9%. Peningkatan impor bahan baku terutama

terjadi pada komoditas bahan baku setengah jadi untuk in-

dustri dan impor suku cadang & perlengkapan alat angkutan,

yang masing-masing meningkat sebesar 25,4% dan 119,6% dari

tahun sebelumnya (Tabel 5.4). Kondisi ini mengindikasikan mulai

meningkatnya kegiatan produksi di dalam negeri. Di samping

itu, indikasi mulai meningkatnya kegiatan perekonomian juga

tercermin dari impor barang modal yang meningkat (Tabel 5.5).

Dilihat dari negara asal, impor Indonesia terutama

berasal dari negara-negara di kawasan Asia dan Amerika

Grafik 5.6Pangsa Impor Non Migas Menurut

Negara Asal Tahun 2000

Lain-lain8%

Amerika Serikat12%

Asia kecuali Jepangdan ASEAN

24%

ASEAN14%

Jepang18%

Eropa19%

Amerika kecualiAmerika Serikat

5%

Page 95: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

86

Bab 5 Neraca Pembayaran

dari penurunan surplus lalu lintas modal Pemerintah dan defisit

lalu lintas modal swasta.

Surplus lalu lintas modal bersih Pemerintah dalam

tahun 2000 mencapai $3,8 miliar, lebih rendah dari tahun

sebelumnya yang mencapai surplus $5,4 miliar. Turunnya

surplus tersebut terutama disebabkan oleh penurunan

bantuan program baik dari ADB, IBRD maupun Jepang

(JBIC), yang dalam tahun laporan turun sebesar 59,0%

sehingga menjadi $1,6 miliar. Di samping itu, penurunan

jumlah bantuan pangan pada tahun laporan sebesar

73,0% sehingga hanya menjadi $73 juta, juga memberikan

kontribusi terhadap turunnya surplus lalu lintas modal bersih

Pemerintah. Sementara itu, pada tahun laporan pinjaman

proyek baik dari CGI maupun non–CGI meningkat sebesar

$0,3 mil iar sehingga menjadi sebesar $2,7 mil iar.

Peningkatan tersebut terutama berasal dari pinjaman mul-

tilateral ODA yang naik sebesar $0,5 miliar sehingga

menjadi $1,5 miliar. Sementara itu pinjaman non–ODA

pada tahun laporan turun sebesar $0,3 miliar sehingga

menjadi $0,4 miliar.

Sebagaimana tahun sebelumnya, lalu lintas modal

swasta pada tahun laporan masih mengalami defisit sebesar

$8,5 miliar, meskipun turun $1,4 miliar dari tahun sebelumnya.

Turunnya defisit tersebut terutama berkaitan dengan

meningkatnya arus masuk modal swasta khususnya dalam

rangka penanaman modal asing (PMA) dan menurunnya

pembayaran hutang luar negeri swasta (outflows) terutama

dari sektor perbankan.

Sementara itu, dalam tahun laporan posisi utang luar

negeri sampai dengan akhir Oktober 2000 tercatat sebesar

$140,0 miliar atau menurun 5,5% dari posisi utang akhir tahun

1999 sebesar $148,1 miliar (Tabel 5.6).

Penurunan tersebut bersumber dari penurunan posisi

utang luar negeri swasta maupun Pemerintah. Penurunan

posisi utang swasta terjadi karena adanya pelunasan utang,

terutama oleh swasta nonbank. Sementara itu, penurunan

posisi utang Pemerintah adalah akibat dari pelunasan utang

serta dampak dari melemahnya Yen terhadap USD. Seba-

gaimana diketahui, selain dalam valuta USD peranan utang

luar negeri pemerintah dalam mata uang Yen juga cukup

signifikan.

Dilihat dari komposisi penerimaan pinjaman, posisi utang

luar negeri Pemerintah masih tetap mendominasi utang luar

negeri Indonesia, yaitu sebesar $74,8 miliar atau 53,4% dari to-

tal utang yang berjumlah $140,0 miliar. Sementara itu, jika dilihat

dari jangka waktu utang, utang luar negeri Indonesia

berjangka waktu pendek yang jatuh waktu sampai dengan

akhir Oktober 2001 diperkirakan sebesar $29,0 miliar (terdiri dari

utang Pemerintah sebesar $3,4 miliar dan utang swasta sebesar

$25,6 miliar). Dari jumlah tersebut, sebesar $22,4 miliar

merupakan utang jangka pendek yang berasal dari utang

jangka panjang yang akan jatuh tempo sampai dengan

Oktober 2001 (remaining maturity) dan sisanya sebesar $6,7

miliar merupakan utang jangka pendek sesuai loan agree-

ment yang berjangka waktu sampai dengan 1 tahun (original

maturity). Dari jumlah utang jangka pendek swasta sebesar

$25,6 miliar, sebesar $23,7 miliar (92,7%) merupakan utang

jangka pendek swasta non bank dan sisanya sebesar $1,9

miliar (7,3%) merupakan utang jangka pendek swasta bank

(Tabel 5.7).

Dilihat dari sektor ekonomi yang dibiayai, sektor jasa

keuangan dan leasing merupakan sektor yang paling besar

menyerap utang, yaitu sebesar $31,6 miliar atau 22,9% dari total

utang luar negeri Indonesia. Selanjutnya adalah industri

pengolahan sebesar $31,3 miliar (22,7%) dan sektor gabungan,

Tabel 5.6Posisi Utang Luar Negeri

2000

Mar. Jun. Sep. Okt.1)

Juta $

Pemerintah 67.315 75.862 75.292 76.487 75.405 74.800

Swasta : 83.572 72.235 68.991 67.678 65.396 65.197Bank 10.769 10.836 10.379 10.314 9.385 7.975

Non Bank 67.515 58.243 55.309 54.917 53.714 55.027

Surat Berharga 5.288 3.156 3.303 2.447 2.297 2.195

Total 150.887 148.097 144.283 144.165 140.803 139.997

1) Angka utang luar negeri tidak termasuk dana pihak III

(berdasarkan SE No.2/20/DLN/2001)

1998 1999

Page 96: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

87

Bab 5 Neraca Pembayaran

persetujuan untuk menjadwalkan kembali pembayaran

cicilan utang pokok pemerintah sebesar $5,8 miliar untuk

pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000 sampai dengan 31

Maret 2002. Berdasarkan persetujuan tersebut, pembayaran

untuk pinjaman lunak (ODA) dijadwalkan kembali dengan

masa 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dengan

tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Untuk

pinjaman bila teral non-ODA, pembayarannya dijadwalkan

kembali dengan masa 15 tahun termasuk 3 tahun masa

tenggang dengan bunga pasar. Di samping itu, jumlah

pinjaman komersial yang berhasil dijadwalkan kembali melalui

kerangka London Club adalah sebesar $340 juta dengan

jangka waktu penjadwalan 12 tahun 6 bulan dengan masa

tenggang 3 tahun.

Sementara itu, upaya restrukturisasi utang luar negeri

swasta dalam tahun laporan juga terus dilakukan. Utang

sektor swasta bank yang berhasil direstrukturisasi melalui pro-

gram Exchange Offer (EO) adalah sebesar $6,3 miliar, terdiri

dari Exchange Offer I (EO I) sebesar $ 3,0 miliar dan Ex-

change Offer II (EO II) $3,3 miliar. Sementara itu, restrukturisasi

utang swasta bukan bank yang berhasil dilakukan melalui

Jakarta Initiative Task Force (JITF) dari tahun 1998 sampai

dengan 2000 adalah sebesar $9,4 miliar, atau 93,6% dari tar-

get sebesar $10 miliar, yang terdiri dari utang luar negeri dan

dalam negeri.

Nisbah DSR, nisbah total utang terhadap ekspor, dan

total utang terhadap PDB pada tahun 2000 masing-masing

mencapai 44,8%, 198,2%, dan 84,3%, dibandingkan 56,8%,

252,1,0% dan 103,3% pada tahun 1999 (Tabel 5.8). Meskipun

relatif membaik dari tahun sebelumnya, tingginya nisbah

1 Jangka Pendek2) 3.420 1.877 12.068 11.636 29.001– Original Maturity 56 25 1.786 4.781 6.648– Remaining Maturity 3.364 1.852 10.282 6.855 22.353

2. Jangka Menengah & Panjang 3) 71.380 6.107 16.117 17.392 110.996

Total 74.800 7.982 28.185

1) Termasuk domestic securities2) Sampai dengan 1 tahun3) Lebih dari 1 tahun

Tabel 5.7Pinjaman Luar Negeri Menurut Jangka WaktuPosisi Oktober 20001)

Swasta

J u t a $

Non PMAPMAJumlah

Non BankPemerintahJangka WaktuNo. Bank

yaitu sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar $14,5 miliar (10,5%).

Apabila dibandingkan dengan posisi akhir 1999, terjadi perge-

seran dominasi sektor ekonomi, yaitu dari industri pengolahan

ke sektor jasa keuangan dan leasing.

Dilihat berdasarkan negara pemberi utang, Jepang

merupakan negara kreditor terbesar yang memberikan utang

luar negeri kepada Indonesia, yaitu sebesar $46,7 miliar atau

33,3% dari total utang luar negeri Indonesia, diikuti oleh

Amerika, Belanda, dan Jerman, masing-masing sebesar $13,0

miliar (9,3%), $8,1 miliar (5,8%), dan $8,0 miliar (5,7%). Sementara

itu, IBRD, IMF, dan ADB merupakan organisasi internasional

pemberi utang terbesar dengan masing-masing utang sebesar

$11,8 miliar (8,4%), $ 10,7 miliar (7,6%), dan $7,5 miliar (5,3%).

Meskipun demikian, jika dilihat dari mata uang yang

digunakan, utang luar negeri Indonesia masih didominasi oleh

utang dalam valuta USD, yaitu sebesar $89,2 miliar atau 63,7%,

diikuti utang dalam valuta JPY, SDR dan DEM masing-masing

tercatat sebesar $30,6 miliar (21,8%), $10,8 miliar (7,7%) dan

$2,5 miliar (1,8%).

Dalam tahun laporan, jumlah utang luar negeri

pemerintah yang jatuh tempo mencapai $4,5 miliar. Dari

jumlah tersebut, yang merupakan pelunasan sebesar $2 miliar,

sedangkan sisanya sebesar $2,5 miliar telah berhasil di–

restrukturisasi melalui pertemuan Paris Club I dan II. Dapat

ditambahkan bahwa pada tanggal 12–13 April 2000, telah

dilakukan pertemuan Paris Club II yang berhasil mencapai

Tabel 5.8Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia

1997 1998 1999 2000*Indikator

Persen

DSR 44,5 57,9 56,8 44,8

Posisi Utang/Ekspor 207,3 261,8 252,1 198,2

Posisi Utang/PDB 62,2 146,3 103,3 84,3

Page 97: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

88

Bab 5 Neraca Pembayaran

tersebut mencerminkan masih cukup tingginya beban utang

sekaligus ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap

utang luar negeri.

Cadangan Devisa

Dengan surplus neraca pembayaran yang mencapai $5 miliar,

pada akhir tahun laporan cadangan devisa mencapai $29,3

miliar atau setara dengan 6 bulan impor dan pembayaran

utang luar negeri pemerintah. Dapat ditambahkan bahwa

sejak Mei 2000, pencatatan angka cadangan devisa Indone-

sia menggunakan konsep International Reserves and Foreign

Currency Liquidity /IRFCL (Boks : Konsep Baru Cadangan

Devisa) menggantikan konsep aktiva luar negeri bruto (Gross

Foreign Assets/GFA).

Miliar $

0

5

10

15

20

25

30

1997 1998 1998 20001)

Grafik 5.7Cadangan Devisa

1) Sejak tahun 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep cadangan devisabruto (GFA)

Page 98: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

89

Bab 5 Neraca Pembayaran

Pada akhir Mei 2000, sesuai dengan kesepakatan dalam Let-

ter of Intent (Lol) tanggal 20 Januari 2000, Bank Indonesia mulai

mengumumkan angka cadangan devisa dengan

menggunakan konsep International Reserves and Foreign Cur-

rency Liquidity (IRFCL) yang memiliki kesamaan standar

pelaporan secara internasional. Konsep baru tersebut

menggantikan konsep lama yang dikenal dengan istilah aktiva

luar negeri bruto atau Gross Foreign Assets (GFA) yang

diperkenalkan pada Januari 1998. Konsep IRFCL, seperti halnya

GFA, dibuat dengan berdasarkan Balance of Payment Manual

ke-5 (BPM5) dan program Special Data Dissemination Stan-

dard (SDDS) IMF.

Menurut BPM5, yang dijadikan referensi utama untuk

SDDS, cadangan devisa atau international reserves (disebut

pula reserve assets atau official reserve assets) harus memenuhi

empat prinsip utama. Pertama, cadangan devisa harus

bersifat likuid atau tersedia setiap waktu (readily available)

dalam jangka waktu pendek (setahun) dan dapat dikuasai

(controllable) oleh otoritas moneter yang dalam hal ini adalah

Bank Indonesia. Kedua, cadangan devisa hanya

memperhitungkan aktiva luar negeri bruto, bukan aktiva luar

negeri neto. Dengan kata lain, kewajiban luar negeri otoritas

moneter tidak menjadi faktor pengurang cadangan devisa.

Ketiga, aktiva luar negeri adalah tagihan otoritas moneter

kepada bukan-penduduk (non-residents). Keempat, jenis

aktiva luar negeri tidak hanya mencakup aktiva dengan

valuta asing, namun juga emas, special drawing rights (SDRs),

simpanan pokok di IMF, dan tagihan lainnya.

Sejalan dengan perubahan konsep cadangan devisa,

konsep gross reserves pada Net International Reserves (NIR)

yang pertama kali diperkenalkan pada Januari 1998

mengalami perubahan. Seperti halnya pada international re-

serves perubahan tersebut mencakup pengelompokan

kembali jenis aktiva yang sesuai dengan konsep IRFCL yang

hanya memperhitungkan aktiva yang "readily available".

Tabel 1 : Net International Reserves

30 April 2000 (juta $)

Konsep Baru Konsep Lama

I. International Reserves 26.941,2 29.477,8a. Official Reserve Assets 26.941,2 28.443,8b. Other Foreign Currency Assets 0,0 1.034,0

II. Gross Foreign Liabilities (IMF) 10.451,9 10.451,9III. Reserve against FCD’s 755,2 755,2IV. Net International Reserves 15.734,1 18.270,7

Aktiva-aktiva yang tidak lagi diperhitungkan tersebut antara

lain adalah wesel ekspor dan sebagian simpanan emas dalam

bentuk koin-koin (commemorative coins). Dengan adanya

perubahan tersebut maka posisi NIR berubah sebagaimana

dapat dilihat dalam Tabel 1.

Perlu dikemukakan bahwa meskipun mempunyai

komponen yang sama dengan international reserves, gross

reserves dengan konsep NIR menggunakan kurs yang berbeda

dengan international reserves dengan konsep IRFCL. Untuk

menghitung gross reserves dengan konsep NIR digunakan kurs

tetap antar-valuta asing, sedangkan untuk international re-

serves dengan konsep IRFCL dipakai kurs berlaku antar-valuta

asing yang berlaku saat tanggal pelaporan.

Posisi NIR tersebut, yang telah dikonversi ke dalam Ru-

piah dengan menggunakan kurs tetap Rp/$ sesuai dengan

Lol, dipublikasikan melalui siaran pers yang dibuat oleh Bank

Indonesia setiap minggu. Selain NIR, siaran pers tersebut juga

memuat posisi international reserves (official reserve assets)

secara mingguan. Sementara itu publikasi IRFCL yang

lengkap (international reserves dan FCL lainnya) akan

dilakukan secara rutin setiap akhir bulan untuk data akhir

bulan sebelumnya. Publikasi tersebut dapat dilihat dalam

website dengan alamat http://www.imf.org/country/idn dan

http://www.sdds.or.id.

Boks : Konsep Baru Cadangan Devisa

R i n c i a n

Page 99: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

90

Bab 5 Neraca Pembayaran

Boks : Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Melalui Bank danLembaga Keuangan Non Bank (LKNB)

Dalam rangka mewujudkan sistem pemantauan kegiatan lalu

lintas devisa (LLD) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-

undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan

Sistem Nilai Tukar, pada tahun 1999 Bank Indonesia telah

mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.1/9/DSM/PBI/1999

tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan

Lembaga Keuangan Non Bank.

Sebagai pelaksaan dari peraturan tersebut di atas, Bank

Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia No.1/9/DSM

tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu

Lintas Devisa oleh Bank, mewajibkan semua bank umum yang

melakukan kegiatan lalu lintas devisa untuk menyampaikan

laporan kegiatan devisanya kepada Bank Indonesia secara

bulanan. Ketentuan ini mulai berlaku untuk kegiatan LLD yang

dilakukan pada bulan Maret 2000 yang laporannya

disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bulan April 2000.

Adapun pertimbangan utama ditetapkannya bank sebagai

prioritas pertama dalam pelaporan LLD adalah karena

sebagian besar kegiatan lalu lintas devisa dilakukan melalui

bank. Hingga saat ini seluruh bank yang melakukan kegiatan

lalu lintas devisa telah melaporkan kegiatan lalu-lintas

devisanya kepada Bank Indonesia.

Mengingat sistem pemantauan kegiatan LLD

merupakan hal baru, dalam pelaksanaannya masih

menghadapi beberapa kendala seperti penyiapan sistem

onlline internal bank, kurangnya pemahaman atas ketentuan

pelaporan, adanya kesulitan dalam memperoleh data dari

nasabah khususnya untuk transfer masuk (incoming transfer)

dan ketentuan pelaporan yang belum sempurna. Kendala-

kendala tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi akurasi

pelaporannya, sehingga untuk sementara data yang

diperoleh dari laporan LLD bank tersebut masih belum dapat

dipublikasikan. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut,

Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya antara lain

dengan membentuk Working Group yang dimaksudkan

sebagai sarana bagi bank untuk membahas permasalahan-

permasalahan pelaporan LLD secara bersama, membentuk

Help Desk, dan memberikan umpan balik (feed back) kepada

bank pelapor. Di samping itu, ketentuan pelaporan LLD juga

telah disempurnakan yaitu dengan dikeluarkannya Surat

Edaran Bank Indonesia No.2/28/DSM tanggal 21 Desember

2000 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank.

Ketentuan ini mulai berlaku untuk kegiatan LLD periode

Februari 2001 yang laporannya disampaikan dalam bulan

Maret 2001. Dengan berbagai upaya tersebut, sistem peman-

tauan kegiatan LLD bank diharapkan akan semakin baik.

Di samping menyempurnakan ketentuan pelaporan LLD

bank, dalam tahun laporan Bank Indonesia juga

mengeluarkan Surat Edaran No.2/23/DSM tanggal 10 Novem-

ber 2000 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh

Lembaga Keuangan Non Bank yang merupakan kelanjutan

pelaksanaan dari PBI Keuangan Non Bank yang merupakan

kelanjutan pelaksanaan dari PBI No.1/9/PBI/1999 tersebut di

atas. Berdasarkan surat edaran ini, Lembaga Keuangan Non

Bank (LKNB) yang melakukan kegiatan LLD diwajibkan untuk

menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang

mencakup :

1. Kegiatan LLD yang dilakukan tidak melalui bank di dalam

negeri yaitu kegiatan LLD yang dilakukan melalui rekening

giro LKNB pada bank di luar negeri (Overseas Curent Ac-

count), rekening antar perusahaan/kantor (Inter Com-

pany/Office Account), dan sarana-sarana lainnya secara

bulanan; dan atau

2. Posisi tagihan (Claims) dan kewajiban LKNB kepada bukan

penduduk akhir semester.

Kewajiban pelaporan kegiatan LLD oleh LKNB tersebut

mulai berlaku untuk kegiatan LLD bulan Januari tahun 2001

yang penyampaian laporannya kepada Bank Indonesia

dilakukan dalam bulan Februari tahun 2001. Dengan telah

diberlakukannya pelaporan LLD baik kepada bank maupun

LKNB, sistem pelaporan LLD diharapkan telah mencakup

sebagian besar kegiatan LLD yang dilakukan oleh penduduk.

Page 100: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

91

Bab 5 Neraca Pembayaran

No. Keterangan Ketentuan

1. LKNB pelapor Seluruh perusahaan LKNB yang berbadanhukum Indonesia termasuk kantor cabangLKNB asing yang berkedudukan di Indonesia.

2. Cakupan Laporan :

– Laporan Transaksi Transaksi (penerimaan dan ataupembayaran) yang dilakukan tidak melaluibank dalam negeri.

– Laporan Posisi Posisi awal, mutasi, dan posisi akhir

– Laporan Koreksi Laporan pengganti dari laporan kegiatanLLD yang telah disampaikan sebelumnyakarena adanya ketidaklengkapan dan ataukesalahan.

3. Periode Laporan :

– Laporan Transaksi Bulanan

– Laporan Posisi Semesteran

4. Masa penyampaian laporan Paling lambat pada tanggal 15 bulanberikutnya setelah berakhirnya periodelaporan.

5. Cara penyampaian laporan Surat atau faksimili

6. Sanksi :

- Terlambat melapor Denda Rp. 1.000.000 per hariketerlambatan.

- Tidak menyampaikan laporan Denda Rp. 20.000.000 + dendaketerlambatan.

- Laporan tidak lengkap dan atau Denda Rp. 50.000 per data yang tidak tidak benar lengkap dan atau tidak benar dengan

maksimum denda Rp. 20.000.000.

- Tidak menyampaikan laporan Dapat direkomendaikan kepada instansi selama 6 periode berturut-turut yang berwenang untuk mencabut ijin atau paling lama 6 bulan usahanya.

Ikhtisar Ketentuan Pelaporan Kegiatan LLD oleh LKNB

Page 101: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Keuangan PemerintahBab 6

Page 102: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

93

Tahun anggaran 2000 merupakan tahun konsolidasi dan

transisi bagi pemerintah guna menuju kondisi fiskal yang

lebih sehat dan berkesinambungan (sustainable). Beberapa

kemajuan mulai terlihat dalam tahun ini, seperti mulai

meningkatnya kemampuan Pemerintah dalam menggali

sumber-sumber penerimaan dalam negeri, lebih tajamnya

prioritas pengeluaran, dan mulai berkurangnya keter-

gantungan Pemerintah terhadap sumber-sumber pem-

biayaan luar negeri.

Secara umum, sasaran strategis kebijakan fiskal dalam

tahun anggaran 2000 –yang berlangsung selama sembilan

bulan sejak 1 April 2000 sampai dengan 31 Desember 2000–

meliputi 6 hal yaitu :

i. Mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability)

melalui penurunan nisbah defisit APBN terhadap PDB dan

pengurangan nisbah utang luar negeri terhadap PDB

dengan memperbesar pembiayaan yang berasal dari

dalam negeri;

ii. Menciptakan stimulus fiskal melalui penajaman prioritas

alokasi anggaran pembangunan bagi program-program

pemberdayaan masyarakat golongan ekonomi lemah;

iii. Mendukung program penyehatan sektor perbankan

dengan penyediaan alokasi anggaran untuk pemenuhan

kewajiban pembayaran bunga utang dalam negeri dalam

rangka rekapitalisasi perbankan;

iv. Mengurangi subsidi secara bertahap yang dilakukan

secara selektif baik sasaran maupun komoditasnya;

v. Memperbaiki kesejahteraan aparat sektor publik;

vi. Memperkuat persiapan pelaksanaan desentralisasi dan

perwujudan otonomi daerah.

Beberapa sasaran strategis tersebut telah dilaksanakan,

seperti program rekapitalisasi perbankan, pengurangan subsidi

BBM –meskipun sempat tertunda menjadi bulan Oktober 2000,

peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil/TNI/Polri, dan

peraturan perundangan dalam rangka implementasi otonomi

daerah dan desentralisasi fiskal. Beberapa program lainnya

dihadapkan pada beberapa masalah dalam implemen-

tasinya, sehingga harus ditunda pelaksanaannya seperti

pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak

penjualan barang mewah (PPnBM) pada kawasan otorita

pulau Batam dan privatisasi beberapa BUMN. Meskipun

demikian, secara umum pelaksanaan APBN tahun 2000

menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibandingkan

dengan sasaran yang ditetapkan dalam APBN.

Realisasi anggaran secara total —baik penerimaan

maupun pengeluaran— melampaui sasaran yang ditetapkan,

dengan pencapaian yang lebih tinggi dari sisi penerimaan.

Faktor utama yang menyebabkan terlampauinya sasaran

penerimaan adalah tingginya harga minyak mentah Indone-

sia di pasar internasional yang mencapai rata-rata $29,1 per

barel selama tahun anggaran 2000 (Tabel 6.1), dan diikuti pula

oleh tingginya harga gas di pasar internasional. Di sisi lain, faktor

tingginya harga minyak telah meningkatkan jumlah

pengeluaran pemerintah melalui peningkatan beban subsidi

BBM, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dari peningkatan

penerimaan migas. Kenaikan harga migas juga cukup

signifikan dalam menaikkan penerimaan pajak khususnya

pajak penghasilan (PPh) migas yang disetorkan ke Pemerintah

sehingga realisasi tax ratio tahun 2000 mencapai 11,8% dari

Asumsi

b a b

6 Keuangan Pemerintah

Tabel 6.1Asumsi Dasar Penyusunan APBN 2000

2000

PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 910,4 937,4

Pertumbuhan ekonomi (%) 3,8 4,5

Laju inflasi (%) 4,8 7,0

Harga minyak mentah ($ per barel) 20,0 29,1

Produksi minyak (juta barel per hari) 1,46 1,41

Nilai tukar (Rp/$) 7.000 8.292

1) APBN–Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber: Departemen Keuangan

APBN APBN-P1)

Page 103: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

94

PDB nominal, lebih tinggi dari sasaran dalam APBN tahun 2000

sebesar 11,1% (Tabel 6.2).

Di sisi pengeluaran, sesuai rencana anggaran, sebagian

besar dari realisasi pengeluaran pemerintah dialokasikan

untuk pengeluaran yang bersifat wajib (non-discretionary),

yaitu belanja pegawai pusat dan daerah, pembayaran

bunga utang, dan subsidi. Belanja pegawai mengalami

peningkatan dibandingkan tahun lalu karena kebijakan

kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri melalui pemberian tunjangan

perbaikan penghasilan (TPP) masing-masing sebesar Rp64.750

dan Rp65.000 untuk setiap pegawai per April dan Oktober

2000. Pembayaran bunga utang juga meningkat

dibandingkan tahun lalu karena peningkatan posisi utang

dalam negeri (obligasi) dan melemahnya nilai tukar rupiah.

Sementara itu, tingginya alokasi dana untuk pembayaran

subsidi, selain karena faktor harga minyak dan nilai tukar, juga

disebabkan oleh tertundanya kenaikan harga BBM dari

rencana pada April menjadi Oktober 2000, serta adanya

kenaikan impor BBM akibat gangguan produksi kilang minyak

di dalam negeri.

Tabel 6.2Perkiraan Realisasi Operasi Keuangan Pemerintah Tahun 2000

1999/001)R i n c i a n

2 0 0 0APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB % thd. APBN

A. Total Penerimaan 188,5 16,5 152,9 16,8 194,1 20,7 127,0 Migas dan Non Migas 188,5 16,5 152,9 16,8 194,1 20,7 127,0 Migas 42,7 3,7 33,2 3,6 59,6 6,4 179,4 Pajak 128,6 11,3 101,4 11,1 111,1 11,8 109,5 Bukan Pajak 17,2 1,5 18,2 2,0 23,5 2,5 128,7

B. Total Pengeluaran 206,4 18,1 197,0 21,6 223,9 23,9 113,6 Pengeluaran Operasional 155,1 13,6 156,1 17,2 182,4 19,5 116,8 Belanja Pegawai 32,1 2,8 30,7 3,4 30,0 3,2 97,7 Belanja Barang 10,0 0,9 9,4 1,0 9,0 1,0 95,8 Belanja Rutin Daerah 17,3 1,5 18,1 2,0 17,6 1,9 97,1 Pembayaran Bunga Utang 42,8 3,8 54,6 6,0 53,3 5,7 97,6 – Utang Dalam Negeri 22,2 1,9 38,0 4,2 34,8 3,7 91,5 – Utang Luar Negeri 20,6 1,8 16,6 1,8 18,6 2,0 Subsidi 47,0 4,1 30,8 3,4 59,7 6,4 193,7

– Subsidi BBM 35,8 3,1 22,5 2,5 51,1 5,5 227,7 – Subsidi Non BBM 11,2 1,0 8,4 0,9 8,6 0,9 102,7 Pengeluaran Rutin Lainnya 5,8 0,5 12,5 1,4 12,7 1,4 102,0

Pengeluaran Pembangunan 51,3 4,5 40,9 4,5 41,5 4,4 101,5 – Pembiayaan Pembangunan Rupiah 28,1 2,5 24,9 2,7 24,9 2,7 100,2 – Pembiayaan Proyek 23,2 2,0 16,0 1,8 16,6 1,8 103,6

C. Perbedaan Statistik 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 –D. Surplus/Defisit Di luar Pembayaran Bunga 25,1 2,2 10,5 1,2 23,6 2,5 224,7E. Surplus/Defisit Anggaran (17,7) (1,6) (44,1) (4,8) (29,8) (3,2) 67,4

Pembiayaan bersih 17,7 1,6 44,1 4,8 29,8 3,2 67,4A. Perbankan Dalam Negeri (14,8) (1,3) – – (0,8) (0,1) –B. Non Perbankan Dalam Negeri 16,6 1,5 25,4 2,8 18,9 2,0 74,4 – Privatisasi 3,7 0,3 6,5 0,7 – – – – Penjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan 12,9 1,1 18,9 2,1 18,9 2,0 100,0 – Penjualan Obligasi – – – – – – –C. Pembiayaan Luar Negeri Bersih 15,9 1,4 18,7 2,1 11,6 1,2 62,0 – Penarikan Pinjaman Luar Negeri 36,2 3,2 27,3 3,0 19,7 2,1 72,0 – Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (20,3) (1,8) (8,6) (0,9) (8,1) (0,9) 93,8

1 ) Realisasi s.d. 31 Maret 20002 ) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003 ) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber : Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia

Page 104: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

95

- 10 20 30 40 50 60 70

Penerimaan Migas

PPh Migas

PPh Non Migas

PPN

Cukai

Penerimaan Bukan Pajak

Sisa Realisasi APBN 2000

APBN 2000

115,7%

127,5%

90,8%

116,7%

103,5%

179,4%

174,1%

Triliun Rp

Pendapatan BukanPajak12%

Sisa5,9%

Cukai5,5%

PPN16,2%

Penerimaan Migas30,7%

PPh Migas9%PPh Non Migas

20,7% Total PPh29,7%

Dalam kaitannya dengan moneter, operasi keuangan

pemerintah dalam 8 bulan pertama tahun anggaran terus

mengalami kontraksi neto terhadap jumlah uang beredar.

Kontraksi tersebut disebabkan oleh lebih besarnya jumlah

penerimaan rupiah terutama dari pajak dan penjualan aset

program restrukturisasi perbankan dibandingkan berbagai

pengeluaran rupiah pemerintah. Ekspansi neto dalam

jumlah besar baru terjadi pada bulan terakhir tahun

anggaran, setelah direalisasikannya secara penuh

pengeluaran subsidi dan pengeluaran pembangunan.

Di sisi neraca pembayaran, operasi keuangan pemerin-

tah menciptakan aliran modal masuk bersih (net-inflows) yang

cukup signifikan, karena tingginya penerimaan migas pemerin-

tah. Tingginya penerimaan migas tersebut telah mengurangi ke-

perluan pemerintah untuk melakukan penarikan pinjaman luar

negeri untuk menutup kekurangan pembiayaan. Penarikan

pinjaman luar negeri mencapai 72,0% dari rencana semula.

Penerimaan1)

Total penerimaan negara dan hibah selama tahun anggaran

2000 diperkirakan mencapai Rp194,1 triliun, atau 27,0% di atas

sasaran yang ditetapkan. Sumber terbesar penerimaan

tersebut berasal dari kelompok penerimaan perpajakan yang

menyumbang 57,2% dari total penerimaan negara dan hibah

dengan angka pencapaian 109,5% dari sasaran. Terlam-

pauinya sasaran penerimaan perpajakan tersebut terjadi pada

hampir seluruh komponen perpajakan, kecuali PPh nonmigas,

pajak lainnya, dan pajak ekspor. Sumber terbesar kedua

adalah kelompok penerimaan migas yang menyumbang

30,7% dari total penerimaan negara dan hibah dengan angka

pencapaian 179,4% dari sasaran, sedangkan sisanya berasal

dari kelompok penerimaan negara bukan pajak dengan

angka pencapaian 128,7% dari sasaran.

Jika komponen-komponen penting pada ketiga kelom-

pok besar penerimaan negara dan hibah tersebut dilihat seca-

1) Perkiraan realisasi, untuk periode April s.d. Desember 2000, sesuai NotaKeuangan dan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesiatentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentangAPBN Tahun Anggaran 2000.

Grafik 6.1Komposisi Penerimaan Pemerintah

Grafik 6.2Pencapaian Target Anggaran Penerimaan

ra individual, maka penerimaan terbesar berasal dari

penerimaan migas yang menyumbang 30,7% dari total pene-

rimaan negara dan hibah, diikuti oleh PPh 29,7%, dan PPN 16,2

%. Kontribusi PPh tersebut terdiri dari PPh migas (9,0%) dan PPh

nonmigas (20,7 %) (Grafik 6.1). Dilihat dari pencapaian target

anggaran penerimaan, pencapaian tertinggi berasal dari

penerimaan migas yaitu 179,4%, diikuti oleh pajak

pertambahan nilai (116,7 %) dan pajak penghasilan (106,3%)

(Grafik 6.2).

Khusus untuk PPh, realisasi PPh nonmigas hanya

mencapai 90,8% dari sasarannya, sedangkan PPh migas

Page 105: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

96

Belanja Pegawai

Subsidi

Pembayaran Bunga Utang

Pengeluaran Pembangunan

Sisa

- 10 20 30 40 50 60 70

97,1%

103,0%

97,6%

193,7%

97,5%

Triliun Rp

Realisasi APBN 2000

APBN 2000

mencapai 174,1%, yang mencerminkan signifikannya kontribusi

PPh migas dalam pencapaian sasaran PPh secara keseluruhan.

Tidak tercapainya sasaran PPh nonmigas antara lain

disebabkan oleh lebih rendahnya suku bunga deposito

dibandingkan tahun sebelumnya dan diberlakukannya

kebijakan pemberian fasilitas pembebasan pajak (tax exemp-

tion) di kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET).

Dua komponen lainnya yang diperkirakan tidak

mencapai sasaran, adalah komponen penerimaan yang

relatif kecil pangsanya terhadap total penerimaan, yaitu

pajak lainnya dan pajak ekspor. Penerimaan pajak lainnya

sebagian besar berasal dari pungutan bea meterai. Jenis

penerimaan ini meskipun meningkat menjadi hampir dua kali

lipat dari tahun sebelumnya, namun masih lebih rendah dari

sasaran yang ditetapkan karena masih relatif rendahnya

transaksi usaha/bisnis yang menggunakan meterai.2)

Sementara itu, tidak tercapainya pajak ekspor antara lain

karena adanya penurunan tarif pajak ekspor guna

mendorong ekspor komoditas tertentu, terutama CPO dan

produk turunannya.3)

Pengeluaran

Total pengeluaran pemerintah selama tahun anggaran 2000

diperkirakan mencapai Rp223,9 triliun, atau 13,6% di atas

sasaran yang ditetapkan. Sesuai dengan rencana anggaran,

sebagian besar, atau lebih kurang 81,5% dari realisasi

pengeluaran, didominasi oleh pengeluaran operasional

dengan angka pencapaian terhadap sasaran sebesar

116,8%, sedangkan sisanya (18,5%) untuk pengeluaran

pembangunan dengan angka pencapaian terhadap

sasaran sebesar 101,5%. Pelampauan realisasi pengeluaran

operasional dari sasaran hampir sepenuhnya berasal dari

pembayaran subsidi khususnya subsidi BBM yang meningkat

Subsidi26,7%

S i s a10,2% Belanja

Pegawai 21,3%

PengeluaranPembangunan

18,0%

PembayaranBunga23,8%

Grafik 6.4Pencapaian Target Anggaran Pengeluaran

menjadi lebih dari dua kali rencana semula. Peningkatan

subsidi BBM ini terjadi karena adanya kenaikan harga minyak,

depresiasi rupiah, kenaikan impor BBM akibat gangguan

produksi kilang minyak di dalam negeri, dan diundurkannya

kenaikan harga BBM di dalam negeri yang semula

direncanakan mulai awal April 2000.

Pengeluaran terbesar adalah untuk pembayaran subsidi

sebesar 26,7% dari total pengeluaran, diikuti oleh bunga utang

dalam dan luar negeri (23,8%), dan belanja pegawai pusat

dan daerah (21,3%) (Grafik 6.3). Dilihat dari pencapaian

sasaran, seluruh pos-pos penting pengeluaran berada pada

angka pencapaian antara 97,0% – 103,0 %, kecuali subsidi yang

2) Upaya untuk mencapai sasaran yang ditetapkan telah dilakukan olehpemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24tanggal 20 April 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai danBesarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan BeaMeterai

3) Keputusan Menteri Keuangan No. 387 tanggal 12 September 2000tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, CPO, danProduk Turunannya

Grafik 6.3Komposisi Pengeluaran Pemerintah

Page 106: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

97

dengan realisasi defisit yang terjadi, maka terdapat sisa lebih

pembiayaan anggaran (SILPA) sebesar Rp0,8 triliun atau 0,1%

dari PDB yang akan menambah rekening bersih pemerintah

di sistem moneter.

Dilihat dari pencapaian sasaran, penjualan aset pro-

gram restrukturisasi perbankan mencapai 100,0%,

sedangkan penarikan pinjaman luar negeri bersih hanya

62,0%. Nihilnya hasil privatisasi BUMN antara lain disebabkan

oleh beberapa hal yaitu (i) kondisi pasar modal domestik

dan internasional yang kurang kondusif untuk melakukan

IPO (Initial Public Offering), (ii) faktor country risk yang masih

tinggi, dan (iii) masih belum selesainya restrukturisasi BUMN

yang akan diprivatisasi.

Dengan perkembangan pembiayaan di atas, maka

rasio pembiayaan dalam negeri terhadap PDB meningkat

menjadi 2,0%, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya

2 0 0 0

APBNc) Realisasid)

P e r s e n

1. Tax Ratio 10,7 11,3 11,1 11,82. Tax Ratio Di Luar PPh Migas 9,7 9,9 10,0 10,03. Penerimaan Pajak Domestik1)/ Penerimaan Pajak 84,3 83,8 84,3 78,5

Penerimaan Pajak Domestik1)/ PDB 9,1 9,5 9,4 9,34. Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2)/ Penerimaan Pajak 15,7 16,2 15,7 21,5

Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2)/ PDB 1,7 1,8 1,8 2,65. Buoyancy3) 0,8 1,64 n.a. 1,586. Penerimaan Migas/ Total Penerimaan 19,5 22,7 21,7 30,7

Penerimaan Migas/PDB 2,9 3,7 3,6 6,47. Konsumsi Pemerintah/PDB 4,6 5,6 7,6 7,28. Pembentukan Modal Domestik Bruto /PDB 5,1 4,5 4,5 4,49. Transfer Payment4)/PDB 3,4 6,1 7,6 10,1

10. Pengeluaran Non–discretionary5)/PDB 10,0 12,2 14,7 17,111. Pengeluaran Non–discretionary5)/Penerimaan Pajak 92,7 108,3 132,3 144,612. Surplus (+)/Defisit (–) Terhadap PDB –1,5 –1,6 –4,8 –3,213. Surplus (+)/Defisit (–) Di Luar Pembayaran Bunga Terhadap PDB 1,6 2,2 1,2 2,514. Outstanding Utang Publik6)/PDB 93,4 100,5 - 106,915. Outstanding Utang Pemerintah/PDB 85,0 94,2 - 100,716. Outstanding Utang Luar Negeri Pemerintah/PDB 64,0 49,9 - 49,917. Outstanding Utang Domestik Pemerintah7)/PDB 20,9 44,3 - 50,818. Pembiayaan Dalam Negeri8)/PDB 0,2 1,5 2,8 2,0

1998/99a) 1999/00b)

R i n c i a n

mencapai 193,7% dari sasaran (Grafik 6.4). Tingginya alokasi

dana untuk subsidi menyebabkan jumlah pengeluaran yang

bersifat wajib (non-discretionary) meningkat menjadi 17,1% dari

PDB, dibandingkan 12,2% pada tahun lalu.

Pembiayaan

Dengan lebih tingginya angka pencapaian sasaran

penerimaan pemerintah dari angka pencapaian sasaran

pengeluaran, maka operasi keuangan pemerintah pada

tahun 2000 diperkirakan mengalami defisit Rp29,8 triliun atau

3,2% dari PDB, lebih rendah dari rencana defisit sebesar Rp44,1

triliun atau 4,8% dari PDB (Tabel 6.2). Defisit tersebut ditutup

dengan dua sumber pembiayaan, yaitu penjualan aset pro-

gram restrukturisasi perbankan (61,9%) dan penarikan pinjaman

luar negeri bersih (38,1%), sedangkan hasil privatisasi masih nihil.

Dengan lebih besarnya sumber pembiayaan dibandingkan

Catatan :

1) Terdiri dari seluruh penerimaan pajak minus penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2) Terdiri dari penerimaan PPh Migas, Bea masuk dan Pajak Ekspor3) Dihitung dengan formula pertumbuhan seluruh penerimaan pajak dibagi pertumbuhan PDB4) Terdiri dari pengeluaran untuk Subsidi dan Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri5) Terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Rutin Daerah, Bunga Utang dan pengeluaran untuk

Subsidi6) Termasuk di dalamnya adalah Utang Luar Negeri Pemerintah, BUMN dan Bank Milik

Pemerintah dan Utang Dalam Negeri Pemerintah

Tabel 6.3Nisbah-nisbah Penting

7) Terdiri dari obligasi pemerintah yang dikeluarkan untuk rekapitalisasi perbankan,BLBI dan dalam rangka penjaminan

8) Terdiri dari Privatisasi BUMN dan Asset Recovery

a) APBN setelah diaudit (PAN)b) Realisasi s.d. 31 Maret 2000c) APBN yang disahkan pada 2 Maret 2000d) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)

Sumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia

Page 107: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

98

yang tercatat 1,5% dari PDB (Tabel 6.3). Sementara itu,

meskipun dalam tahun 2000 terjadi penarikan pinjaman luar

negeri bersih, namun tidak mengubah rasio posisi utang luar

negeri terhadap PDB yaitu 49,9%. Secara keseluruhan, utang

pemerintah meningkat menjadi 100,7% dari PDB yang

disebabkan oleh peningkatan utang domestik sehubungan

dengan penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka pro-

gram rekapitalisasi perbankan.

Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap

Permintaan Agregat dan Moneter

Dalam tahun 2000, Pemerintah telah melakukan pengeluaran

sebesar Rp223,9 triliun, dimana 48,8% atau Rp109,3 triliun

diantaranya secara langsung mempengaruhi permintaan

agregat sebagai belanja konsumsi dan investasi pemerintah,

dan 42,2% atau Rp94,5 triliun sebagai pembayaran transfer ke

sektor swasta dalam bentuk pembayaran subsidi dan

pembayaran bunga utang dalam negeri. Dari jumlah yang

secara langsung mempengaruhi permintaan agregat tersebut,

sebesar Rp67,8 triliun atau 62,0% dalam bentuk pengeluaran

konsumsi dan sisanya Rp41,5 triliun atau 38,0% dalam bentuk

pengeluaran investasi (Tabel 6.4).

Dari sisi moneter, transaksi keuangan pemerintah selama

tahun 2000 memberikan net ekspansi rupiah sebesar Rp39,8 triliun

2000

APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB

A. Konsumsi Pemerintah 64,4 5,6 69,1 7,6 67,8 7,2Belanja Pegawai DN 31,5 2,8 29,9 3,3 29,2 3,1Belanja Barang DN 9,8 0,9 8,7 1,0 8,3 0,9Belanja Rutin Daerah 17,3 1,5 18,1 2,0 17,6 1,9Pengeluaran Rutin Lainnya 5,8 0,5 12,5 1,4 12,7 1,4

B. Pembentukan modal domestik bruto 51,3 4,5 40,9 4,5 41,5 4,4Pembiayaan Dalam Rupiah 28,1 2,5 24,9 2,7 24,9 2,7Bantuan Proyek 23,2 2,0 16,0 1,8 16,6 1,8

C. Jumlah (A + B) 115,7 10,1 110,0 12,1 109,3 11,7

1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia

Rincian 1999/001)

Tabel. 6.4Perkiraan Dampak Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor RiilApril s.d. Desember 2000

2000APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB

A.Penerimaan RupiahPajak Migas 15,8 1,4 10,0 1,1 17,5 1,9Pajak Nonmigas dan Bukan Pajak 129,9 11,4 109,6 12,0 116,8 12,5Privatisasi 3,7 0,3 6,5 0,7 0,0 0,0Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan 12,9 1,1 18,9 2,1 18,9 2,0Jumlah Penerimaan 162,3 14,2 145,1 15,9 153,2 16,3

B. Pengeluaran RupiahOperasional –133,7 –11,7 –138,0 –15,2 –162,3 –17,3 Belanja Pegawai dan

Rutin Daerah –48,8 –4,3 –48,0 –5,3 –46,8 –5,0 Subsidi –47,0 –4,1 –30,8 –3,4 –59,7 –6,4 Bunga Utang DN –22,2 –1,9 –38,0 –4,2 –34,8 –3,7 Pengeluaran Rutin Lainnya –15,6 –1,4 –21,1 –2,3 –21,0 –2,2Investasi –36,2 –3,2 –30,5 –3,3 –30,7 –3,3Jumlah Pengeluaran –169,9 –14,9 –168,4 –18,5 –193,0 –20,6

C.Perbedaan Statistik 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Dampak Rupiah (A-B+C)4) –7,3 –0,6 –23,4 –2,6 –39,8 –4,2

1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada tanggal 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)4) Tanda negatif (-) berarti ekspansi, positif (+) berarti kontraksiSumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia

Rincian 1999/001)

Tabel. 6.5Perkiraan Dampak Rupiah Keuangan PemerintahApril s.d. Desember 2000

Grafik 6.5Penarikan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah

0

50

100

150

200

250

300

350

Pinjaman ProyekPinjaman Program

Juta $

Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt.* Nov.* Des.*

2 0 0 0Sumber : Bank Indonersia

(Tabel 6.5). Ekspansi terbesar adalah untuk pembayaran subsidi,

belanja pegawai, dan bunga obligasi. Sementara itu, aliran

kontraksi rupiah ke sistem moneter sebagian besar berasal dari

Page 108: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

99

Pembangunan Nasional (PROPENAS), juga merupakan tahun

pertama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal

(Tabel 6.7).

Strategi umum kebijakan fiskal yang akan ditempuh

pada tahun anggaran 2001 adalah :

i. Mengoptimalkan penerimaan dalam negeri baik

penerimaan pajak maupun bukan pajak;

ii. Mengendalikan dan meningkatkan efisiensi pengeluaran

negara;

iii. Mengurangi subsidi;

iv. Menerapkan pembagian dana perimbangan;

v. Mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber

pembiayaan luar negeri.

Operasi keuangan pemerintah pada tahun 2001

tersebut direncanakan akan mengalami defisit sebesar

Rp52,5 triliun atau 3,7% dari PDB, yang secara persentase

menurun dibandingkan rencana defisit pada APBN tahun

sebelumnya yang tercatat Rp44,1 triliun atau 4,8% dari PDB

(Tabel 6.8). Penurunan defisit tersebut akan dicapai dengan

meningkatkan penerimaan negara dan hibah terutama

melalui upaya penghimpunan penerimaan perpajakan

yang lebih besar dari tahun sebelumnya —yang tercermin

dari peningkatan tax ratio dari 11,1% menjadi 12,6% dari PDB

— dan dengan lebih mengefisienkan pengeluaran. Di sisi

pembiayaan, sumber dana untuk menutup defisit terutama

akan berasal dari dalam negeri, yaitu dari hasil privatisasi

dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan (2,4%

dari PDB), sedangkan kekurangannya masih akan ditutup

penerimaan pajak dan sisanya dari penjualan aset program

restrukturisasi perbankan.

Dari sisi neraca pembayaran, tingginya penerimaan

migas dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah yang

lebih besar baik dari pembayaran kewajiban luar negeri (debt

service payments) maupun impor bantuan proyek telah

menciptakan aliran modal masuk bersih (net capital inflows)

yang menambah cadangan devisa di sistem moneter setara

dengan Rp40,6 triliun (Tabel 6.6). Dilihat dari kontribusinya,

aliran terbesar bersumber dari penerimaan migas, sedangkan

peranan utang luar negeri terlihat berkurang. Penarikan

pinjaman lebih banyak dalam bentuk pinjaman proyek,

sedangkan pinjaman program relatif sangat kecil (Grafik 6.5).

APBN 2001

APBN 2001 memiliki arti strategis dalam pengelolaan keuangan

negara, karena disamping merupakan Rencana Pemba-

ngunan Tahunan (Repeta) pertama dari pelaksanaan Program

Tabel. 6.6Perkiraan Dampak Valas Keuangan PemerintahApril s.d. Desember 2000

2 0 0 0R i n c i a n APBN2) Realisasi3)

Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB

A. Transaksi Berjalan 6,2 0,5 4,6 0,5 28,8 3,1Neraca Barang 27,4 2,4 22,0 2,4 48,1 5,1 Ekspor Migas 42,7 3,7 33,2 3,6 59,6 6,4 Impor Bantuan Proyek -15,1 -1,3 -10,4 -1,1 -10,8 -1,2 Belanja Barang LN -0,2 0,0 -0,8 -0,1 -0,7 -0,1

Neraca Jasa -21,3 -1,9 -17,4 -1,9 -19,4 -2,1 Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -20,6 -1,8 -16,6 -1,8 -18,6 -2,0 Belanja Pegawai LN -0,6 -0,1 -0,8 -0,1 -0,8 -0,1

B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 16,0 1,4 18,7 2,1 11,8 1,3Penarikan Utang Luar Negeri dan Hibah 36,3 3,2 27,3 3,0 19,9 2,1Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Pemerintah -20,3 -1,8 -8,6 -0,9 -8,1 -0,9

C. Dampak Valas (A+B)4) 22,2 1,9 23,4 2,6 40,6 4,3

1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)4) Tanda negatif (-) berarti outflows, positif (+) berarti inflowsSumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia

1999/001)

Tabel. 6.7Asumsi Dasar Penyusunan APBN 2001

APBN APBN20001) 2001

PDB a.d. harga berlaku (trilliun rupiah) 910,4 1.425,0

Pertumbuhan ekonomi (%) 3,8 5,0

Laju inflasi (%) 4,8 7,2

Harga minyak mentah ($ per barel) 20,0 24,0

Produksi minyak (juta barel per hari) 1,46 1,46

Nilai tukar(Rp/$) 7.000 7.800

1) Periode April s.d. DesemberSumber : Departemen Keuangan

A s u m s i

Page 109: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

100

A.Pendapatan Negara dan Hibah 152,9 16,8 263,2 18,5I. Penerimaan Dalam Negeri 152,9 16,8 263,2 18,5

1. Penerimaan Pajak 101,4 11,1 179,9 12,6a. Pajak Dalam Negeri 95,5 10,5 169,5 11,9

i. Pajak penghasilan 54,2 6,0 96,3 6,81. Migas 10,0 1,1 20,8 1,52. Non Migas 44,2 4,9 75,5 5,3

ii. Pajak pertambahan nilai 27,0 3,0 48,9 3,4iii. Cukai 10,3 1,1 17,1 1,2iv. Pajak lainnya 4,0 0,4 7,3 0,5

b. Pajak Perdagangan Internasional 5,9 0,6 10,4 0,72. Penerimaan Bukan Pajak

(SDA Migas) 51,5 5,7 83,3 5,8a. Penerimaan SDA 40,1 4,4 64,5 4,5

i. Migas 33,2 3,6 59,7 4,2ii. Non Migas 6,9 0,8 4,7 0,3

b. Bagian Laba BUMN 5,3 0,6 10,5 0,7c. PNBP Lainnya 6,1 0,7 8,4 0,6

II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0

B. Belanja Negara 197,0 21,6 315,8 22,2I. Belanja Pemerintah Pusat 163,5 18,0 234,1 16,4

1. Pengeluaran Rutin 137,3 15,1 190,1 13,3a. Belanja Pegawai 30,7 3,4 40,0 2,8b. Belanja Barang 9,4 1,0 9,7 0,7c. Pembayaran Bunga Utang 54,6 6,0 76,5 5,4

i. Utang Dalam Negeri 38,0 4,2 53,5 3,8ii. Utang Luar Negeri 16,6 1,8 23,1 1,6

d. Subsidi 30,8 3,4 54,0 3,8i. Subsidi BBM 22,5 2,5 41,3 2,9ii. Subsidi non BBM 8,4 0,9 12,6 0,9

e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,7 1,3 9,9 0,72. Pengeluaran Pembangunan 26,2 2,9 44,0 3,1

a. Pembiayaan pembangunan rupiah 10,2 1,1 21,7 1,5b. Pembiayaan proyek 16,0 1,8 22,3 1,6

II. Dana Perimbangan 33,5 3,7 81,7 5,7

C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Surplus/Defisit di luar Pembayaran Bunga 10,5 1,2 24,0 1,7

E. Surplus/Defisit (44,1) (4,8) (52,5) (3,7)

F. Pembiayaan 44,1 4,8 52,5 3,7I. Pembiayaan Dalam Negeri 25,4 2,8 33,5 2,4

1. Perbankan dalam negeri 0,0 0,0 0,0 0,0a. Sisa Lebih Pembiayaan

Anggaran (SILPA) 0,0 0,0 0,0 0,0b. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankan 0,0 0,0 0,0 0,0

2. Non-Perbankan dalam negeri 25.4 2,8 33,5 2,4a. Privatisasi 6,5 0,7 6,5 0,5b. Penjualan aset program

restrukturisasi perbankan 18,9 2,1 27,0 1,9II. Pembiayaan Luar Negeri (Netto) 18,7 2,1 19,0 1,3

1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) 27,3 3,0 36,0 2,5

a. Pinjaman Program 11,3 1,2 13,7 1,0b. Pinjaman Proyek 16,0 1,8 22,3 1,6

2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (8,6) (0,9) (17,0) (1,2)

1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

Rincian

Tabel. 6.8Operasi Keuangan Pemerintah APBN 2000 dan 2001

APBN 20001) APBN 20012)

Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB

A. Penerimaan rupiahMigas 10,0 1,1 20,8 1,5Non Migas 109,6 12,0 182,7 12,8Privatisasi 6,5 0,7 6,5 0,5Penjualan Aset Program Restruktrukturisasi Perbankan 18,9 2,1 27,0 1,9Jumlah Penerimaan 145,1 15,9 237,0 16,6

B. Pengeluaran rupiahOperasional -119,8 -13,2 -164,8 -11,6

Belanja Pegawai -29,9 -3,3 -38,7 -2,7Subsidi -30,8 -3,4 -54,0 -3,8Bunga Utang DN -38,0 -4,2 -53,5 -3,8Pengeluaran Rutin Lainnya -20,4 -2,2 -18,7 -1,3

Investasi -15,8 -1,7 -29,5 -2,1Dana Perimbangan -33,5 -3,7 -81,7 -5,7Jumlah Pengeluaran -168,4 -18,5 -276,0 -19,4

C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0

D. Dampak Rupiah -23,4 -2,6 -39,0 -2,7

1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

Tabel 6.9Dampak Rupiah APBN 2000 dan 2001

R i n c i a n

dengan penarikan pinjaman luar negeri bersih sebesar 1,3%

dari PDB.

Upaya untuk meningkatkan penerimaan baik dari pajak

maupun bukan pajak akan memberikan kontraksi rupiah yang

cukup besar. Meskipun demikian, operasi keuangan peme-

rintah tetap akan berdampak ekspansif terhadap uang bere-

dar (Tabel 6.9). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah

pengeluaran rupiah dari 18,5% dari PDB menjadi 19,4% dari

PDB. Sebagian besar (82,6%) dari pengeluaran tersebut meru-

pakan jenis-jenis pengeluaran yang tidak dapat dihindarkan,

yaitu gaji pegawai pemerintah pusat, subsidi, bunga obligasi,

dan dana perimbangan untuk daerah. Secara keseluruhan,

APBN tahun 2001 diperkirakan akan memberikan dampak

ekspansi neto terhadap uang beredar sebesar 2,7% dari PDB.

Dampak ekspansi neto transaksi rupiah pemerintah

tersebut akan mempunyai implikasi pada pelaksanaan

kebijakan moneter Bank Indonesia. Pada prinsipnya ekspansi

fiskal tersebut harus diserap kembali dalam rangka mencapai

sasaran uang primer dan menekan laju inflasi. Penyerapan ini

dilakukan dengan mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT)

APBN 20001) APBN 20012)

Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB

Page 110: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

101

APBN 20001) APBN 20011)

Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB

A. Transaksi Berjalan 4,6 0,5 20,0 1,4Neraca Barang 22,0 2,4 44,3 3,1

Ekspor Migas 33,2 3,6 59,7 4,2Impor Bantuan Proyek –10,4 –1,1 –14,5 –1,0Lainnya –0,8 –0,1 –1,0 –0,1

Neraca Jasa –17,4 –1,9 –24,3 –1,7Pembayaran Bunga

Pinjaman Luar Negeri –16,6 –1,8 –23,1 –1,6Lainnya –0,8 –0,1 –1,2 –0,1

B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 18,7 2,1 19,0 1,3Penarikan Pinjaman Luar Negeri 27,3 3,0 36,0 2,5Pembayaran Cicilan Pokok

Utang Luar Negeri Pemerintah –8,6 –0,9 –17,0 –1,2

C. Dampak Valas 23,4 2,6 39,0 2,7

1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

RincianAPBN 20001) APBN 20012)

Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB

I. Konsumsi Pemerintah 69,1 7,6 96,3 6,8Belanja pegawai DN 29,9 3,3 38,7 2,7

Belanja barang DN 8,7 1,0 8,7 0,6

Belanja rutin daerah 18,1 2,0 38,9 2,7

Pengeluaran rutin lainnya 12,5 1,4 9,9 0,7

II. Pembentukan modal domestik bruto 40,9 4,5 86,8 6,1

Pembiayaan dalam rupiah 24,9 2,7 64,5 4,5

Bantuan proyek 16,0 1,8 22,3 1,6

III. Jumlah I + II 110,0 12,1 183,1 12,8

1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)

Rincian

sebagai instrumen utama dalam pengendalian moneter di

Bank Indonesia. Selain itu, ekspansi fiskal tersebut dapat pula

diserap kembali melalui sterilisasi valuta asing (valas) oleh Bank

Indonesia yang dilakukan sesuai kebutuhan. Hal ini

dimungkinkan dengan adanya potensi aliran modal masuk

neto transaksi valas pemerintah ke Bank Indonesia, terutama

dari penerimaan migas dan penarikan pinjaman luar negeri

bersih masing-masing sebesar 4,2% dan 1,3% dari PDB (Tabel

6.10). Penarikan pinjaman itu sendiri akan lebih rendah dari

tahun lalu, yang menunjukkan upaya konkrit pemerintah untuk

menurunkan rasio utang luar negeri dalam beberapa tahun

ke depan.

Dalam kaitannya dengan sektor riil, kontribusi operasi

keuangan pemerintah terhadap pembentukan permintaan

Tabel. 6.10Dampak Valas APBN 2000 dan 2001

Tabel. 6.11Dampak APBN 2000 dan 2001 Terhadap Sektor Riil

agregat diperkirakan sebesar 12,8% dari PDB nominal, sedikit

meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12,1%

(Tabel 6.11). Alokasi anggaran untuk beberapa pos di sisi

pengeluaran konsumsi –dalam persentase terhadap PDB--

terlihat mengalami penurunan, terutama karena pengalihan

anggaran dan wewenang dari yang semula berada pada

pemerintah pusat menjadi berada pada pemerintah daerah.

Khusus untuk dana perimbangan, hampir seluruhnya (99,0%)

bersifat umum (block grant), dimana kewenangan peman-

faatannya sepenuhnya berada pada pemerintah daerah.

Sementara itu, sektor pemerintah juga akan berperan dalam

meningkatkan konsumsi sektor swasta melalui transfer payment

subsidi dan pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar

7,6% dari PDB.

Page 111: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

102

memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk

memungut sendiri pajak potensial yang dimilikinya. Meskipun

demikian, pengaruh revisi undang-undang ini terhadap PAD

– dalam jangka pendek – diperkirakan belum akan signifikan.

Hal ini disebabkan karena jenis pajak dan retribusi yang dapat

dipungut dan dimiliki sendiri oleh daerah hanyalah pajak yang

nilainya kecil, dan diperlukan waktu yang cukup panjang untuk

melakukan studi dan evaluasi tentang jenis retribusi dan pajak

yang layak untuk dipungut. Dengan demikian, Dana

Perimbangan akan mempunyai peran yang sangat vital bagi

daerah sebagai sumber utama penerimaan daerah, paling

tidak dalam jangka pendek.

Dari sisi pemerintah pusat, ketergantungan daerah

terhadap Dana Perimbangan – Dana Bagi Hasil (DBH), Dana

Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK)–

dihadapkan pada masalah pendistribusian dana tersebut

yang minimal harus dapat mendukung operasional

pelaksanaan fungsi pelayanan kepada masyarakat. DBH yang

merupakan bagian dari daerah atas penerimaan dari Pajak

Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam

hanya akan cenderung menguntungkan segelintir daerah

yang “beruntung” memiliki potensi sumber daya alam yang

besar yang berpotensi untuk meningkatkan ketimpangan

pendapatan antar daerah. Distribusi yang tidak merata

tersebut juga akan dapat menyebabkan daerah mengalami

kekurangan dana untuk membiayai pelimpahan fungsi dan

tugas yang diterimanya (fiscal gap). Untuk meminimalkan

dampak negatif tersebut, UU No.25/1999 telah

mengamanatkan adanya alokasi dana yang cukup besar

(minimal 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan

dalam APBN) dalam bentuk DAU. Permasalahan yang

kemudian muncul adalah bagaimana menciptakan formula

pembagian DAU yang adil bagi daerah-daerah di tengah

realitas kemajemukan potensi perekonomian dan jenis

kebutuhan yang sangat besar.

Dari berbagai mekanisme pembagian DBH dan DAU

tersebut, tidak terdapat jaminan bagi tidak terjadinya fiscal

Sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No IV tahun

2000, otonomi daerah diimplementasikan pada awal Januari

2001. Implementasi otonomi daerah tersebut didasarkan

pada UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No

25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat

dan Daerah serta berbagai peraturan pendukungnya yang

mengatur pelimpahan kewenangan pemerintah pusat

kepada pemerintah daerah (Dati II) serta penyerahan sumber

keuangan yang menyertainya. Sejalan dengan pelaksanaan

kedua UU tersebut, pemerintah daerah diharapkan akan

dapat lebih mengembangkan segenap potensi ekonomi

yang ada di daerahnya yang pada gilirannya akan dapat

memicu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah.

Namun, keinginan tersebut dihadapkan pada adanya

keanekaragaman potensi perekonomian (fiscal capacity)

dan jenis kebutuhan (fiscal needs) di daerah yang berpotensi

untuk menghambat kesuksesan pelaksanaan otonomi

daerah.

Pelimpahan wewenang serta fungsi kepada

pemerintah daerah, mempunyai dampak yang signifikan

terhadap struktur dan besarnya pengeluaran pemerintah

daerah dan penerimaan daerah. Studi yang dilakukan oleh

World Bank (2000) memperkirakan bahwa pengeluaran

daerah akan meningkat lebih dari 50% dibandingkan kondisi

sekarang. Peningkatan tersebut akan mendorong pening-

katan pangsa pengeluaran pemerintah daerah terhadap

keseluruhan pengeluaran pemerintah menjadi sekitar 40%. Hal

tersebut tentu saja menimbulkan konsekuensi pada adanya

peningkatan kebutuhan penerimaan daerah dalam jumlah

yang memadai.

Guna mengantisipasi hal tersebut, UU No.25/1999 telah

menetapkan berbagai sumber penerimaan daerah yang

terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan,

Pinjaman Daerah dan Lain-lain Penerimaan yang sah.

Kebijakan lain yang dikeluarkan dalam rangka mendorong

peningkatan PAD adalah revisi dari UU No. 18/1997 yang

mengatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut

oleh pemerintah daerah. Revisi undang-undang tersebut telah

Boks : Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pengendalian Moneter

Page 112: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 6 Keuangan Pemerintah

103

gap di daerah serta tidak meningkatnya kesenjangan fiskal

antar daerah. Untuk menutupi fiscal gap, pemerintah daerah

dapat melakukan pinjaman daerah sebagaimana diatur

dalam UU No. 25/1999 yang antara lain berupa pinjaman

kepada pemerintah pusat. Pinjaman daerah kepada

Pemerintah pusat berpotensi untuk meningkatkan defisit APBN

yang pada gilirannya akan membahayakan kesinambungan

fiskal (fiscal sustainability). Guna menghindari hal tersebut, baik

Pemerintah pusat maupun daerah harus melaksanakan

kebijakan fiskal yang berhati-hati sehingga fungsi stimulus fiskal

dari pengeluaran pemerintah tetap dapat dilakukan namun

dengan cara yang seefisien mungkin.

Berbagai dinamika pelaksanaan otonomi daerah

tersebut diperkirakan akan menimbulkan beberapa implikasi

moneter. Implikasi tersebut dapat dilihat dari dua hal, pertama,

berkaitan dengan pengaruh otonomi daerah terhadap laju

inflasi. Kedua, berkaitan dengan dampak dari pelimpahan

dana dan kewenangan pengelolaannya kepada daerah

terhadap teknis pengelolaan kebijakan moneter.

Dilihat dari aspek pertama, upaya fiscal adjustment baik

di sisi penerimaan maupun pengeluaran yang dilakukan

Pemerintah Daerah dalam menyikapi kondisi keuangannya,

akan sangat berpengaruh pada perkembangan laju inflasi.

Komposisi dari fiscal adjustment yang terdiri dari peningkatan

pajak daerah – sebagai upaya peningkatan PAD – dengan

komposisi pengeluaran yang terutama didominasi oleh

pengeluaran yang bersifat wajib (non-discretionary spending)

– sebagian besar terdiri dari pengeluaran noninvestasi – akan

menambah tekanan pada laju inflasi. Di sisi lain, fiscal adjust-

ment yang dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran

rutin Pemerintah Daerah dengan tanpa harus mengurangi

pengeluaran investasi dan tanpa meningkatkan pajak secara

berlebihan akan mengurangi tekanan pada laju inflasi. Oleh

karena itu, perlu dihindarkan adanya upaya pengenaan pajak

daerah secara berlebihan serta alokasi pengeluaran

pemerintah daerah yang terpusat pada kegiatan-kegiatan

yang dapat memicu laju inflasi.

Dilihat dari aspek kedua, aspek moneter dari

implementasi otonomi daerah menjadi sangat relevan

mengingat besarnya jumlah dana yang dialokasikan bagi

daerah. Penyaluran dana perimbangan akan mengandung

potensi over liquidity – yang dapat memicu ketidakstabilan

nilai tukar — jika dana perimbangan yang disalurkan oleh

pemerintah pusat tidak segera digunakan oleh Pemerintah

Daerah untuk membiayai pengeluarannya. Lebih lanjut,

kemungkinan adanya perubahan pola pengeluaran fiskal (fis-

cal spending behavior) juga akan menambah kompleksitas

dari operasi pengendalian moneter (OPT) karena pola

pengeluaran pemerintah yang selama ini digunakan sebagai

salah satu komponen perhitungan perkiraan kebutuhan

likuiditas di pasar akan menjadi tidak akurat lagi.

Hal lain yang perlu diwaspadai adalah dimungkin-

kannya daerah yang mengalami defisit untuk melakukan pinja-

man daerah sebagai tambahan sumber pembiayaan. Jika

pinjaman tersebut berasal dari dalam negeri dan tidak diken-

dalikan secara baik, maka pinjaman daerah juga dapat

menciptakan crowding out karena dapat menyebabkan ber-

kurangnya alokasi dana (kredit) untuk sektor swasta, yang

pada gilirannya akan menaikkan suku bunga dan menurunkan

investasi. Jika pinjaman tersebut berasal dari luar negeri, maka

pada saat pembayarannya kembali dapat menimbulkan te-

kanan terhadap neraca pembayaran, sehingga pada

gilirannya memberikan tekanan terhadap nilai tukar. Kedua

permasalahan ini pada gilirannya akan memberikan tekanan

pada inflasi.

Guna mengurangi berbagai kemungkinan dampak

negatif pelaksanaan otonomi daerah terhadap pelaksanaan

operasi pengendalian moneter, diperlukan adanya koordinasi

yang erat antara Bank Indonesia dengan Pemerintah, baik

Pusat maupun Daerah. Koordinasi tersebut terutama berupa

penyampaian data penerimaan dan pengeluaran aktual

secara akurat dan tepat waktu, serta data perkiraan realisasi

mingguan, bulanan hingga tahunan (fiscal programming).

Ketersediaan data-data yang akurat tersebut akan sangat

membantu kegiatan evaluasi dan akurasi perkiraan kebutuhan

likuiditas pasar oleh Bank Indonesia, sehingga diharapkan akan

dapat pula meningkatkan kinerja operasi pengendalian

moneter. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan pula adanya

ketentuan bagi Pemerintah Daerah untuk membuka rekening

di Kantor Bank Indonesia (KBI) yang difungsikan sebagai kas

daerah. Dengan digunakannya KBI sebagai kas daerah

dampak moneter yang bersifat negatif dari implementasi

otonomi daerah akan dapat diminimalkan dan dideteksi

secara dini.

Page 113: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Perbankan dan Lembaga Keuangan LainBab 7

Page 114: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

105

menyebabkan penyaluran kredit perbankan belum optimal,

meskipun telah mulai mengalami peningkatan khususnya

dalam paro kedua tahun 2000. Perbankan pada umumnya

mengalami kelebihan likuiditas sehingga mobilisasi dana dari

masyarakat lebih banyak ditanamkan dalam bentuk pinjaman

antarbank dan SBI.

Perbankan

Kebijakan perbankan pada tahun 2000 tetap difokuskan pada

berbagai upaya untuk mempercepat penyelesaian

restrukturisasi perbankan. Disamping memperpanjang program

penjaminan pemerintah, upaya mempercepat restrukturisasi

perbankan dilakukan dengan menyelesaikan program

rekapitalisasi bank umum dan mempercepat restrukturisasi

kredit bermasalah. Berbagai langkah ini diharapkan dapat

mendorong perbankan untuk segera keluar dari krisis dan

dapat berfungsi normal kembali sebagai lembaga intermediasi

keuangan bagi sektor riil. Untuk mendukung pengembangan

industri yang lebih tangguh di masa depan, berbagai upaya

tersebut disertai pula dengan langkah-langkah peningkatan

ketahanan sistem perbankan dengan perbaikan infrastruktur

perbankan, penyempurnaan ketentuan dan pemantapan

pengawasan, dan peningkatan mutu pengelolaan perbankan

(good corporate governance).

Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh telah

memberikan hasil positif terhadap kinerja perbankan. Hal ini

tercermin dari peningkatan total aset, dana pihak ketiga,

penyaluran kredit baru, kualitas kredit, permodalan, serta

profitabilitas perbankan. Proses rekapitalisasi bank telah dapat

diselesaikan dalam tahun laporan melalui penerbitan obligasi

pemerintah sehingga telah ikut meningkatkan total aset dan

modal perbankan. Seiring dengan telah selesainya proses

rekapitalisasi dan masih berjalannya program penjaminan

pemerintah, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan

tetap terpelihara sehingga memungkinkan perbankan untuk

K inerja perbankan dan lembaga keuangan lainnya selama

tahun 2000 telah menunjukkan perbaikan seiring dengan

membaiknya perekonomian nasional serta sebagai hasil dari

berbagai langkah restrukturisasi menyeluruh yang dilakukan

Pemerintah dan Bank Indonesia. Perbaikan kinerja perbankan

antara lain tercermin dari meningkatnya penghimpunan dana,

pemberian kredit baru walaupun masih relatif kecil,

permodalan, profitabilitas bank, serta menurunnya kredit

bermasalah. Sejalan dengan membaiknya kinerja perbankan

kinerja perusahaan pembiayaan juga mengalami perbaikan

seperti tercermin pada peningkatan sumber dana dan

kegiatan usahanya dalam tahun laporan. Sementara itu,

peluang perusahaan pegadaian untuk meningkatkan

penyaluran dananya seperti tercermin dari peningkatan

omzet usahanya juga menjadi lebih besar dengan masih

belum besarnya penyaluran kredit perbankan.

Namun demikian, secara umum fungsi intermediasi

keuangan dari industri perbankan dan lembaga keuangan

lainnya belum sepenuhnya berjalan normal dalam mendukung

pemulihan ekonomi nasional. Hal ini tidak terlepas dari

permasalahan yang masih dihadapi baik oleh sektor riil

maupun oleh perbankan itu sendiri, disamping masih besarnya

faktor risiko dan ketidakpastian berkaitan dengan kondisi politik

dan keamanan dalam negeri. Di sektor riil, proses restrukturisasi

kredit, utang luar negeri dan perusahaan secara keseluruhan

masih berjalan lambat. Kondisi ini telah menyebabkan

peningkatan kegiatan sektor riil tidak dapat berjalan lebih

cepat, karena sebagian besar perusahaan yang masih dalam

proses restrukturisasi tersebut merupakan komponen terbesar

dari perekonomian nasional. Dari sisi perbankan, belum

pulihnya fungsi intermediasi tidak terlepas dari masih tingginya

ketidakpastian di tengah situasi sosial politik yang belum stabil

dan masih berlangsungnya proses konsolidasi internal

perbankan dalam rangka memenuhi berbagai ketentuan

prudensial Bank Indonesia. Perkembangan tersebut telah

b a b

7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

Page 115: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

106

meningkatkan dana pihak ketiga yang dapat dimobilisasi dari

masyarakat. Perbankan juga telah mulai menyalurkan kredit

baru kepada dunia usaha, meskipun dengan pertumbuhan

yang masih relatif rendah. Peningkatan kredit tersebut, yang

disertai pula dengan kemajuan yang dicapai dalam

restrukturisasi kredit bermasalah, pada gilirannya menjadi salah

satu faktor penyebab membaiknya kualitas kredit perbankan.

Hasil akhir kinerja perbankan yang membaik ditunjukkan oleh

meningkatnya profitabilitas, seperti tercermin dari peningkatan

Net Interest Margin (NIM).

Meskipun secara keseluruhan kinerja industri perbankan

membaik, sejumlah bank tercatat masih menghadapi

permasalahan dalam hal Capital Adequacy Ratio (CAR) dan

Non Performing Loans (NPLs). Sebagai akibat memburuknya

kualitas aktiva produktif, masih terdapat beberapa bank yang

mempunyai CAR di bawah batas minimum sebesar 4,0%. Di

samping itu, meskipun NPLs secara keseluruhan menurun

menjadi 23,9%, sejumlah bank tercatat masih mempunyai NPLs

di atas batas 35,0%. Kondisi yang dialami oleh beberapa bank

ini akan merupakan tantangan bagi upaya restrukturisasi

perbankan lebih lanjut, mengingat pada akhir tahun 2001

bank-bank dipersyaratkan untuk mencapai CAR sekurang-

kurangnya 8,0% dan tingkat NPLs maksimal sebesar 5,0%.

Kebijakan Perbankan

Seperti disinggung di atas, sebagai bagian dari upaya untuk

mendukung program pemulihan perekonomian nasional,

kebijakan perbankan pada tahun laporan tetap difokuskan

pada kesinambungan upaya untuk mempercepat pelak-

sanaan program restrukturisasi perbankan. Hal ini dilakukan

melalui (i) program penyehatan lembaga perbankan, dengan

memperpanjang program penjaminan pemerintah,

menyelesaikan program rekapitalisasi bank umum, melanjutkan

restrukturisasi kredit, dan memulihkan fungsi intermediasi; serta

(ii) upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan, dengan

perbaikan infrastruktur perbankan, penyempurnaan ketentuan

dan pemantapan pengawasan, dan peningkatan mutu

pengelolaan perbankan (good corporate governance). Dalam

memutuskan kebijakan perbankan yang ditempuh pada tahun

laporan, Bank Indonesia juga tetap mempertimbangkan dan

memenuhi berbagai kesepakatan yang telah dibuat dengan

lembaga keuangan internasional antara lain International Mon-

etary Fund (IMF) yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI), World

Bank dan Asian Development Bank.

Program Penyehatan Perbankan

Dalam rangka penyehatan perbankan, kebijakan yang

ditempuh pada tahun laporan diarahkan untuk mem-

perpanjang program penjaminan pemerintah dan

melakukan pengkajian dalam rangka pembentukan lem-

baga penjamin simpanan, menyelesaikan program reka-

pitalisasi perbankan, melanjutkan proses restrukturisasi kredit,

serta memulihkan fungsi intermediasi.

Program Penjaminan

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap

sistem perbankan, Pemerintah telah memperpanjang periode

program penjaminan sampai dengan 31 Januari 2001 dan

dapat diperpanjang dengan sendirinya untuk jangka waktu

enam bulan berikutnya apabila sebelumnya tidak dinyatakan

berakhir.1) Keputusan Menteri Keuangan ini juga sekaligus

mengalihkan proses administratif penjaminan yang

sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia kepada

Departemen Keuangan dan Badan Penyehatan Perbankan

Nasional (BPPN).

Sebagaimana diketahui, program penjaminan

pemerintah yang bersifat menyeluruh (blanket guarantee)

tersebut hanya diberlakukan sampai dengan terbentuknya

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kajian tentang ke-

mungkinan dihapuskannya program blanket guarantee

secara bertahap telah mulai dilakukan pada tahun laporan

agar perbankan dapat menyesuaikan diri dengan rencana

pembentukan LPS yang baru.

Sementara itu, sesuai Memorandum of Understanding

(MoU) antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri

1) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 179/KMK.017/2000 Tanggal26 Mei 2000 tentang Syarat, Tatacara dan Ketentuan PelaksanaanJaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum

Page 116: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

107

Keuangan tanggal 3 Mei 2000, pelaksanaan program

penjaminan yang terkait dengan trade finance dan interbank

debt exchange offer masih dilaksanakan oleh Bank Indone-

sia. Sehubungan dengan pelaksanaan penjaminan tersebut,

selama tahun laporan telah dilakukan pembayaran pokok

dan bunga atas interbank debt exchange offer sebesar $495,9

juta yang merupakan bagian dari penerbitan obligasi

pemerintah kepada Bank Indonesia dalam rangka program

penjaminan sebesar Rp53,8 triliun yang telah diterbitkan tahun

1999.

Selain itu, sebagai kelanjutan pelaksanaan penjaminan

Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pada tahun laporan sedang

disusun MoU antara Departemen Keuangan dan Bank Indo-

nesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas pihak mana

yang melaksanakan penjaminan BPR, sehubungan dengan

telah dialihkannya pelaksanaan penjaminan bank umum ke

BPPN. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diusulkan pula

penyempurnaan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1999,

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi

Bank. Dengan penyempurnaan peraturan ini, BPR di waktu

mendatang diharapkan tidak perlu menanggung biaya

likuidasi, yaitu pembayaran seluruh kewajiban BPR.

Program Rekapitalisasi Bank Umum

Pada tahun laporan Pemerintah bersama Bank Indonesia telah

menyelesaikan program rekapitalisasi perbankan pada 31

Oktober 2000. Sebagai kelanjutan dari program rekapitalisasi

sebelumnya, selama tahun 2000 telah dilaksanakan

rekapitalisasi terhadap enam bank umum yaitu Bank Niaga,

Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank Take Over)

dan penerbitan obligasi tahap II bagi BNI, BRI dan BTN. Obligasi

yang diterbitkan selama tahun laporan berjumlah Rp148,6

triliun, sehingga jumlah obligasi pemerintah yang diterbitkan

dalam program rekapitalisasi bank-bank umum nasional

menjadi sebesar Rp430,4 triliun (Tabel 7.1).

Setelah memperhitungkan beberapa penyesuaian,

posisi obligasi pemerintah pada akhir tahun laporan menjadi

sebesar Rp431,8 triliun. Penyesuaian itu terkait dengan (i) buy

back sebesar Rp6,9 triliun karena kelebihan Penyertaan Modal

Kelompok Bank

Tabel 7.1Rincian Nominal Penerbitan Obligasi Pemerintah UntukProgram Rekapitalisasi (Posisi 31 Desember 2000)

Jumlah Nominal Obligasi TotalBank (Triliun Rp) (Triliun Rp)

Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond

Bank BUMN 4 114,9 131,2 36,8 282,9

BTO 14 33,9 75,4 - 109,3

Bank Rekap 7 18,0 18,9 - 36,9

BPD 12 0,4 0,8 - 1,2

Total 37 167,2 226,4 36,8 430,4

Pemerintah akibat penambahan modal bank rekap hasil right

issue atau Initial Public Offering yang melebihi prakiraan; (ii)

konversi hedge bond menjadi fixed rate bond dan; (iii)

penyesuaian nilai hedge bond berdasarkan nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS.

Dengan telah selesainya program rekapitalisasi tersebut,

permodalan bank diharapkan tidak lagi menjadi kendala bagi

penyehatan perbankan. Di samping itu, obligasi rekap tersebut

dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bank baik

dengan cara menjual maupun mengagunkan obligasi yang

dimiliki.

Namun demikian, penjualan dan pengagunan obligasi

tersebut masih menghadapi kendala terutama sehubungan

dengan belum likuidnya pasar sekunder obligasi. Dalam

kondisi demikian, harga obligasi menjadi di bawah nilai

nominalnya. Kurang menariknya obligasi pemerintah juga

disebabkan oleh suku bunga domestik yang fluktuatif

mengingat sebagian obligasi dalam bentuk fixed rate. Untuk

meningkatkan daya tarik obligasi, bank harus memberikan

diskonto yang tinggi yang pada gilirannya dapat

mempengaruhi permodalan bank. Untuk mengatasi hal ini,

BI dan Pemerintah mengupayakan terciptanya iklim yang

kondusif bagi pengembangan pasar sekunder. Dilihat dari

komposisi portofolio, pada akhir tahun laporan, jumlah obligasi

dalam portofolio perdagangan tercatat Rp19,5 triliun atau

4,5% dari total obligasi rekapitalisasi meskipun sebenarnya

bank dimungkinkan untuk memperdagangkan sampai

dengan 25,0% dari total posisi obligasi Pemerintah yang

Page 117: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

108

dimilikinya .2) Sementara itu, jumlah portofolio obligasi

Pemerintah yang diagunkan adalah Rp12,1 triliun atau 2,8% dari

total posisi obligasi. Usaha meningkatkan likuiditas pasar

sekunder obligasi rekapitalisasi masih harus dilakukan untuk

meningkatkan likuiditas bank rekapitalisasi yang pada akhirnya

akan mempercepat pemulihan intermediasi perbankan.

Program Restrukturisasi Kredit dan Pemulihan Fungsi

Intermediasi

Program restrukturisasi kredit bermasalah yang berada dalam

portofolio bank dilakukan baik oleh bank sendiri maupun

melalui mediasi dari Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit (Satgas)

yang dibentuk Bank Indonesia. Sementara itu, BPPN melakukan

restrukturisasi atas kredit bermasalah yang ditransfer dari bank-

bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank-bank

peserta program rekapitalisasi. Di sisi lain, restrukturisasi ter-

hadap utang luar negeri perusahaan swasta nonbank

dilakukan melalui mediasi Prakarsa Jakarta.

Restrukturisasi kredit tersebut pada prinsipnya bertujuan

membantu pemulihan usaha debitur sehingga mampu kembali

menjalankan aktivitas usahanya. Untuk kredit yang masih

berada pada portofolio bank, keberhasilan restrukturisasi kredit

tersebut diharapkan mendorong debitur dapat kembali

memenuhi kewajibannya kepada bank, yang pada gilirannya

akan memperbaiki kualitas portofolio kredit bank. Sementara

untuk kredit yang berhasil direstukturisasi oleh BPPN akan

ditransfer kembali kepada perbankan, yang selanjutnya akan

mendorong kembali penyaluran kredit oleh perbankan. Kunci

keberhasilan dari proses restrukturisasi kredit tersebut terletak

pada negosiasi antara kreditur dan debitur. Dalam kaitan ini,

walaupun berbagai langkah strategis dan penyempurnaan

telah dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait di atas, namun

masih terdapat permasalahan teknis dalam upaya mem-

pertemukan kepentingan debitur dan kreditur, terutama dalam

menerapkan hair cut pokok pinjaman pada kredit sindikasi yang

melibatkan bank asing, bank BUMN dan Bank Umum Swasta

Nasional (BUSN). Kendala lain yang masih muncul dalam

pelaksanaan program restrukturisasi kredit adalah masih belum

stabilnya nilai tukar rupiah dan pengenaan pajak terhadap

debitur yang memperoleh hair cut pokok pinjaman.

Dalam rangka optimalisasi proses restrukturisasi kredit

pada perbankan, langkah-langkah penyempurnaan telah

dilakukan Satgas dengan upaya baik yang bersifat eksternal

maupun internal. Upaya eksternal dilakukan dengan

meningkatkan koordinasi dengan BPPN dan Prakarsa

Jakarta. Sementara itu, upaya internal difokuskan pada

peningkatan kemampuan profesional Satgas dalam proses

mediasi restrukturisasi dalam bentuk penyiapan manual due

diligence, proyeksi finansial serta penggunaan model yang

diperlukan.

Sementara itu, strategi restrukturisasi yang dilakukan BPPN

untuk melanjutkan restrukturisasi kredit antara lain berupa:3)

a) pengelompokan utang perusahaan berdasarkan besaran

utang, prospek usaha dan potensi pengembalian, itikad

debitur dan bagian kepemilikan BPPN terhadap kreditur lain;

b) pengelompokan proses restrukturisasi utang per grup

peminjam (one obligor); c) restrukturisasi utang berskala besar

dengan menggunakan konsultan keuangan dan hukum; d)

pengalihan restrukturisasi kredit berskala menengah, kecil dan

ritel kepada beberapa bank (outsourcing); e) penyelesaian

secara hukum (litigasi) bagi debitur yang tidak beritikad baik;

dan f) peningkatan kerja sama dengan lembaga yang terkait

dengan restrukturisasi kredit. Di samping itu, untuk

mempercepat restrukturisasi kredit di bawah Rp5 miliar BPPN

melakukan penjualan kredit dan pemberian insentif berupa

diskon bunga (25,0% s.d. 50,0%) dan diskon denda (100,0%) 4).

Sampai dengan akhir tahun 2000, kredit bermasalah di

luar BPPN yang sudah direstrukturisasi baik oleh bank sendiri

maupun melalui mediasi Satgas dan telah memasuki tahap

2) Surat Edaran No. 2/26/DPM Tanggal 8 Desember 2000 tentangPenetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder Serta PeningkatanPersentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang DapatDiperdagangkan.

3) Rencana Strategis BPPN Periode 1999 – 20044) Untuk debitur dengan pokok pinjaman di bawah Rp5 miliar yang

mempunyai kemauan dan kemampuan menyelesaikan kewajibannya(sumber : Laporan Bulanan BPPN).

Page 118: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

109

meningkatkan sistem pengawasan dan sumber daya manusia

(SDM) BPR.

Dalam rangka pengembangan infrastruktur BPR, Bank

Indonesia bekerjasama dengan konsultan Gesellschaft fur

Technische Zusammenarbeit GmbH (GTZ) melakukan peng-

kajian terhadap : (i) pembentukan LPS BPR; (ii) pemberdayaan

asosiasi BPR untuk dapat bertindak sebagai pengawas, kon-

sultan dan penyelenggara pelatihan bagi BPR anggotanya,

dan (iii) pembentukan Lembaga Penyangga Dana yang

dapat berfungsi untuk mengatasi permasalahan likuiditas BPR,

(iv) Baseline Survey mengenai pandangan masyarakat ter-

hadap BPR, permasalahan yang dihadapi BPR dan kebutuhan

pelatihan BPR. Untuk mendukung tercapainya proyek tersebut

telah dibentuk working group yang beranggotakan Bank In-

donesia, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri,

Departemen Koperasi dan konsultan GTZ.

Sementara itu, untuk lebih memberdayakan dan

meningkatkan sistem pengawasan BPR, Bank Indonesia telah

berupaya untuk meningkatkan law enforcement, mening-

katkan kualitas pengawas melalui studi banding, kursus, semi-

nar, serta mengintensifkan pemeriksaan BPR dengan

menggunakan tenaga Kantor Akuntan Publik. Bank Indonesia

juga mendapat bantuan teknis dalam bentuk kerja sama

dengan GTZ, United States Agency for International Develop-

ment (USAID) dan Institut Bankir Indonesia (IBI) untuk: (i)

pendidikan dan pelatihan BPR dengan sertifikasi; (ii)

penyempurnaan sistem dan prosedur operasional BPR yang

terintegrasi dalam sistem pengawasan Bank Indonesia, (iii) studi

banding pada BPR yang berhasil, dan (iv) penyusunan konsep

rekapitalisasi BPR di Jawa Barat.

Pengembangan Perbankan Syariah

Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Indonesia

mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan

bank syariah di Indonesia. Dalam tahun laporan, kebijakan

pengembangan bank syariah dilaksanakan melalui

penyempurnaan ketentuan, pengembangan piranti

moneter dan pasar keuangan syariah serta sosialisasi dan

pengembangan SDM perbankan syariah.

implementasi tercatat sebanyak 20.430 debitur dengan jumlah

Rp59,9 triliun atau 71,4% dari total NPLs. Sementara itu, BPPN

telah berhasil merestrukturisasi kredit sehingga mencapai tahap

penandatanganan MoU dan implementasi proposal re-

strukturisasi sebesar Rp80,9 triliun atau 28,3% dari total kredit

perbankan yang dikelolanya sebesar Rp286,3 triliun.

Peningkatan Ketahanan Sistem Perbankan

Dalam tahun laporan, terdapat beberapa kemajuan yang

berarti dalam upaya untuk meningkatkan ketahanan sistem

perbankan. Hal ini ditandai dengan adanya (i) perbaikan

infrastruktur perbankan yang antara lain tercermin dari

pengembangan BPR dan perbankan syariah, serta telah

dimulainya pengkajian pembentukan LPS sebagai pengganti

program penjaminan pemerintah; (ii) penyempurnaan

berbagai ketentuan dan sistem pengawasan bank yang telah

mempertimbangkan standar Bank for International Settlements

(BIS) dan komitmen dalam LoI; serta (iii) peningkatan mutu

pengelolaan bank (good corporate governance) dengan

telah dilakukannya fit and proper test, proses seleksi yang lebih

ketat terhadap calon pengurus baru di bidang perbankan,

penunjukan direktur kepatuhan, dan penyerahan kasus hasil

investigasi tindak pidana di bidang perbankan kepada

lembaga penegak hukum.

Perbaikan Infrastruktur Perbankan

Pengembangan infrastruktur perbankan selama tahun laporan

tetap difokuskan pada pengembangan BPR dan bank syariah

serta persiapan awal pembentukan LPS. Kebijakan ini tidak

terlepas dari fakta bahwa selama periode krisis, BPR dan bank

syariah relatif lebih tahan dari fluktuasi nilai tukar dan suku bunga,

sehingga pengembangan BPR dan perbankan syariah dilakukan

untuk menjaga ketahanan sistem perbankan. Upaya ini

dilakukan melalui perlindungan dana nasabah kecil sekaligus

menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.

Pengembangan BPR

Beberapa upaya telah dan terus dilakukan oleh Pemerintah

dan Bank Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur BPR,

Page 119: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

110

Penyempurnaan ketentuan perbankan syariah

mencakup penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi

Perbankan Syariah (PSAKS) dan pedoman teknis dalam

bentuk Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia

(PAPSI). PSAKS telah selesai dibahas oleh Tim yang anggota-

nya berasal dari Bank Indonesia, Bank Muamalat Indonesia

dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam rangka penyu-

sunan ketentuan CAR dan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) bank

syariah, pada Oktober 2000 telah dilakukan survei dan simulasi

penerapan konsep CAR dan KAP yang hasilnya diharapkan

dapat dijadikan masukan bagi Bank Indonesia.

Dalam pengembangan piranti moneter, telah dilakukan

pengkajian terhadap keikutsertaan bank syariah dalam

Reksadana Syariah dengan tujuan menjajaki kemungkinan

penanaman dana bank syariah dalam bentuk Reksadana

Syariah dan sekaligus sebagai surat berharga yang dapat

dijadikan agunan dalam mendapatkan fasilitas jangka pendek

dari Bank Indonesia apabila bank mengalami kesulitan likuiditas.

Untuk lebih memperkenalkan kegiatan usaha perbankan

syariah, Bank Indonesia terus melakukan sosialisasi perbankan

syariah secara intensif di berbagai daerah melalui kerja sama

dengan Majelis Ulama setempat. Di samping itu, Bank Indone-

sia telah melakukan penelitian tentang potensi, preferensi dan

perilaku konsumen terhadap bank syariah di Pulau Jawa, untuk

mendapatkan data mengenai peta pengembangan bank

syariah yang potensial.

Dalam rangka pengembangan SDM, Bank Indonesia te-

lah melaksanakan pelatihan dasar perbankan syariah dengan

peserta pelatihan berasal dari perbankan, universitas, pesantren

dan intern Bank Indonesia. Pelatihan tersebut bertujuan untuk

meningkatkan pemahaman dan ketrampilan para bankir, para

akademisi dan pengurus pesantren serta jajaran pengawas bank

di Bank Indonesia serta untuk meningkatkan pengetahuan

tentang bank syariah, sehingga diharapkan peserta pelatihan

dapat mensosialisasikan bank syariah kepada masyarakat luas.

Lembaga Penjamin Simpanan

Dalam tahun laporan, kajian dalam rangka pembentukan LPS

yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia telah dimulai

untuk pada waktunya nanti diberlakukan sebagai pengganti

program penjaminan Pemerintah. Sebagaimana diketahui,

pada tahun 1999 pemerintah telah membentuk suatu work-

ing group, dimana Bank Indonesia sebagai salah satu

anggotanya, untuk mengkaji dan mempersiapkan pendirian

LPS tersebut sebagaimana diatur dalam UU Perbankan. Kajian

ini mencakup prasyarat pendirian LPS, jenis simpanan yang

dijamin, batas maksimum yang dijamin, keanggotaan, premi

penjaminan, kelembagaan, dan kepemilikan. Dalam

hubungan ini, Bank Indonesia telah menyampaikan masukan-

masukan kepada working group tersebut. Untuk itu, Bank In-

donesia membuat proyek penelitian bersama dengan

perguruan tinggi mengenai berbagai aspek dalam pendirian

LPS bank umum termasuk dengan mengamati praktek yang

terjadi di beberapa negara lain. Bank Indonesia bekerjasama

dengan konsultan GTZ juga melakukan pengkajian tentang

LPS untuk BPR. Dengan memperhatikan perkembangan

perbankan nasional, LPS diharapkan dapat direalisasikan

selambat-lambatnya tahun 2004.

Penyempurnaan Ketentuan dan Pemantapan Penga-

wasan Bank

Sebagai upaya memantapkan ketahanan industri perbankan,

pada tahun laporan Bank Indonesia telah menyempurnakan

beberapa ketentuan perbankan dan lebih memantapkan

sistem pengawasan bank. Penyempurnaan ketentuan

perbankan antara lain mencakup ketentuan mengenai fit and

proper test, penetapan status bank, exit policy, Batas

Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), restrukturisasi kredit,

penilaian aktiva produktif, pendanaan jangka pendek,

perdagangan portofolio obligasi pemerintah, bank syariah,

laporan bulanan bank, fasilitas likuiditas intrahari dan

kelembagaan bank umum. Sementara itu, sesuai dengan LoI,

pemantapan sistem pengawasan bank dilakukan dengan

perubahan paradigma pengawasan menjadi berorientasi ke

depan (forward looking), dengan berdasarkan pada penga-

wasan berbasis risiko (risk based supervision) yang mengacu

pada standar internasional dengan 25 Basel Core Principles

for Effective Banking Supervision.

Page 120: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

111

restrukturisasi kredit12) dan exit policy.13 ) Ketentuan exit

policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam

penanganan bank bermasalah yang lebih transparan

dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan

dalam pengawasan khusus (special surveillance) dan

tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan dalam

periode tertentu dan kriteria bank untuk ditransfer menjadi

Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.

Penyempurnaan terhadap ketentuan restrukturisasi kredit

dan BMPK serta penilaian aktiva produktif juga dilakukan

untuk memperlancar restrukturisasi kredit. Penyempurnaan

ini pada dasarnya memberikan kelonggaran per-

panjangan batas waktu penyelesaian pelampauan BMPK

kepada perusahaan yang mengikuti program restruk-

turisasi kredit melalui lembaga resmi. Di samping itu, dalam

perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)

aktiva produktif kualitas Lancar dinilai berdasarkan nilai

buku, sedangkan aktiva produktif dengan kualitas

nonlancar dinilai berdasarkan nilai buku setelah dikurangi

Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Selain

itu, menyangkut rahasia bank telah dipertegas batasan

kerahasiaan bank yang tidak berlaku untuk keperluan

perpajakan; penyelesaian piutang bank yang sudah

diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara (BPULN) atau Panitia Urusan Piutang Negara; dan,

kepentingan peradilan dalam perkara pidana; sepanjang

terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis dari

Penyempurnaan Ketentuan Perbankan

Selama tahun laporan Bank Indonesia telah mengeluarkan

beberapa ketentuan yang ruang lingkupnya meliputi: (i) sistem

pengawasan; (ii) peningkatan mutu pengelolaan perbankan

(good corporate governance); (iii) prinsip kehati-hatian (pru-

dential banking); (iv) likuiditas perbankan; serta, (v) penjaminan

pemerintah.

(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup sistem

pengawasan mencakup persyaratan dan tata cara

pemeriksaan bank ,5) laporan bulanan bank umum

(LBU) ,6) dan bank umum .7) Ketentuan LBU merupakan

penyempurnaan pelaporan bank umum kepada Bank

Indonesia sehubungan dengan diberlakukannya

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 31 dan

penyesuaian dengan kemajuan teknologi informasi. Hal-

hal yang diatur antara lain jenis laporan yang disam-

paikan; periode dan prosedur, untuk penyampaian dan

koreksi laporan; serta, sanksi.

(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup peningkatan

mutu pengelolaan perbankan mencakup rincian

penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper

test) ,8) dan penyempurnaan tata cara penentuan hasil

penilaian kemampuan dan kepatutan.9) Penyempurnaan

ketentuan fit and proper test berkaitan dengan hal-hal:

(i) transparansi proses penilaian; (ii) jangka waktu

pengenaan sanksi, (ii i) kriteria penentuan faktor

materialitas kerugian yang dialami bank; serta (iv)

penilaian setelah masa pengenaan sanksi terlampaui.

(iii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup prinsip kehati-

hatian mencakup penyediaan dana bank,10 ) rahasia

bank,11) beberapa ketentuan untuk memperlancar

5) Peraturan Bank Indonesia No.2/6/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000tentang Persyaratan dan Tatacara Pemeriksaan Bank.

6) Peraturan Bank Indonesia No.2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000tentang Laporan Bulanan Bank Umum.

7) Peraturan Bank Indonesia No.2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000tentang Bank Umum.

8) Peraturan Bank Indonesia No.2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).

9) Peraturan Bank Indonesia No.2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).

10) Peraturan Bank Indonesia No.2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000tentang Penyediaan Dana Bank Yang Dijamin Oleh Bank Lain.

11) Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin TertulisMembuka Rahasia Bank.

12) Peraturan Bank Indonesia No.2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;Peraturan Bank Indonesia No.2/16/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas MaksimumPemberian Kredit Bank Umum; dan, Surat Edaran Bank Indonesia No.2/12/DPNP tanggal 12 Juni 2000 tentang Penilaian Aktiva Produktif DalamPerhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko.

13) Peraturan Bank Indonesia No.2/11/PBI/2000 tanggal 31 Maret 2000tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada BPPN.

Page 121: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

112

Pimpinan Bank Indonesia. Namun, perintah atau izin tertulis

tersebut tidak diperlukan dalam rangka kepentingan

peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan

nasabahnya; tukar menukar informasi antarbank;

permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah

penyimpan yang dibuat secara tertulis; dan, permintaan

ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah

meninggal dunia.

(iv) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup likuiditas bank

mencakup penetapan obligasi pemerintah untuk

diperdagangkan di pasar sekunder dan persentase

obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan serta

penatausahaannya,14) fasilitas pendanaan jangka

pendek (FPJP) dan fasilitas likuiditas intrahari (FLI).

Ketentuan FPJP memungkinkan Bank Indonesia untuk

memberikan fasilitas pendanaan kepada bank yang

mengalami kesulitan likuiditas pendanaan jangka pendek

dan tidak mengalami kesulitan struktural. Sementara

ketentuan FLI bertujuan meminimalkan kemungkinan

terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran

(gridlock) karena bank mengalami kesulitan pendanaan

dalam waktu yang sangat pendek.

(v) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah, ketentuan

yang dikeluarkan mencakup penjaminan interbank debt

exchange offer dan trade finance.15)

Pemantapan Sistem Pengawasan Bank

Sebagai bagian dan dalam rangka memenuhi kesepakatan

Pemerintah Indonesia dengan IMF yang tertuang dalam LoI,

Bank Indonesia telah menyusun rencana induk (Master Plan)

perbankan yang berisi program pokok pemantapan efektivitas

pengawasan langsung (pemeriksaan bank) maupun tidak

langsung. Program pokok tersebut antara lain mencakup pro-

gram pengawasan intensif (special surveillance) dan On-Site

Supervisory Presence (OSP) di beberapa bank yang secara

sistemik memiliki pengaruh yang cukup besar bagi per-

ekonomian. Sebagian besar dari pokok program rencana

induk tersebut telah dilaksanakan dalam tahun laporan.

Sesuai kesepakatan di atas, Bank Indonesia perlu segera

menyesuaikan standar pengawasan bank sesuai dengan

standar internasional pengawasan bank sebagaimana dimuat

dalam 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervi-

sion. Untuk itu, Bank Indonesia telah menyusun suatu Detailed

Action Plan (DAP) yang memuat langkah-langkah pokok

dalam kerangka pengaturan dan pengawasan bank untuk

memastikan pemenuhan Bank Indonesia terhadap standar

internasional di bidang pengawasan bank dalam 2 tahun ke

depan yakni sampai tahun 2002.

Beberapa kegiatan pokok dalam DAP tersebut, antara

lain meliputi implementasi (i) persyaratan/ketentuan dalam

pemberian izin untuk pendirian bank, pemilik dan pengurus

bank; (ii) koordinasi antar otoritas pengawas di sektor

keuangan; (iii) perluasan cakupan pemeriksaan yang bukan

hanya pada segi operasional bank tetapi juga meliputi

kebijakan, prosedur dan pengawasan intern; (iv) pengawasan

yang berdasarkan risiko; (v) pengawasan bank secara

konsolidasi dengan perusahaan afiliasi; dan (vi) perhitungan

CAR dengan memasukkan unsur market risk.

Bank Indonesia telah menyelesaikan dokumen DAP

tersebut sesuai batas waktu yang ditetapkan. Lebih jauh, Bank

Indonesia telah mensinergikan antara kegiatan-kegiatan

dalam rencana induk (Master Plan) pengawasan dengan

kegiatan serupa yang dimuat dalam DAP untuk menghasilkan

produk berupa Master Dokumen Pengawasan Bank (MDPB) –

Bank Indonesia. MDPB tersebut selanjutnya akan menjadi

acuan bagi Bank Indonesia. Untuk memastikan efektivitasnya,

maka penyusunan MDPB mendapatkan prioritas dan

komitmen khusus.

14 Surat Edaran Bank Indonesia No.2/14/DPNP tanggal 27 Juni 2000 tentangPenetapan Obligasi Pemerintah seri FR0002 Untuk Diperdagangkan diPasar Sekunder; Surat Edaran Bank Indonesia No.2/16/DPNP tanggal25 Juli 2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004dan FR0005 Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder; Surat EdaranBank Indonesia No.2/18/DPM tanggal 19 September 2000 tentangPeningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang DapatDiperdagangkan Bagi Bank Umum Peserta Program RekapitalisasiPerbankan

15 Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 tentangJaminan Pinjaman Luar Negeri Antarbank; dan, Peraturan Bank Indo-nesia No.2/13/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 tentang JaminanPembiayaan Perdagangan Internasional.

Page 122: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

113

Selanjutnya, dalam rangka lebih memantapkan fungsi

pengawasan bank, pelaksanaan pengawasan bank tidak

hanya difokuskan pada pengawasan berdasarkan kepatuhan

terhadap ketentuan kehati-hatian (compliance supervision)

tetapi juga diarahkan pada pengawasan berdasarkan risiko

yang dihadapi (risk based supervision). Dalam kaitan tersebut,

Bank Indonesia telah menempatkan tenaga OSP pada

beberapa bank yang dinilai penting bagi perekonomian.

Hingga saat ini telah ditempatkan beberapa tenaga OSP pada

4 bank BUMN dan 5 bank swasta nasional. Untuk lebih

memantapkan kemampuan tenaga OSP, telah dilakukan pula

pelatihan dengan Technical Assistance (TA) dari IMF. Selain itu,

telah ditempatkan dua orang TA IMF dalam rangka

meningkatkan fungsi pengawasan bank termasuk membantu

penanganan tugas Special Surveillance, yaitu pengawasan

secara intensif terhadap bank yang memiliki CAR di bawah

4,0% dan atau NPLs di atas 35,0%.

Dengan telah dan mulai diterapkannya master plan, OSP

dan DAP yang juga meliputi 25 BIS Core Principles, maka

komitmen Bank Indonesia dalam LoI pada tahun 2000 telah

terpenuhi.

Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (good cor-

porate governance)

Peningkatan mutu pengelolaan perbankan merupakan salah

satu upaya dalam rangka memantapkan ketahanan sistem

perbankan, yaitu melalui pelaksanaan fit and proper test pada

pemilik dan pengurus bank, wawancara bagi calon pemilik

dan pengurus bank, penunjukkan direktur kepatuhan, dan

investigasi tindak pidana di bidang perbankan.

Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper

Penilaian fit and proper dilakukan terhadap pemilik dan

pengurus bank secara berkala dan berkesinambungan melalui

penelitian administrasi yang berkaitan dengan penilaian kinerja

masa lalu (track record). Sejak tahun 1999 sampai dengan

periode laporan telah dilakukan penilaian fit and proper

terhadap 1.077 orang yang terdiri dari 93 orang pemilik dan

984 orang pengurus. Jumlah tersebut berasal dari 3 bank BUMN

(84 orang), 74 bank kategori A (700 orang), 2 bank swasta

peserta program rekapitalisasi (27 orang), 1 BTO (6 orang) dan

25 BPD (260 orang). Dari penilaian tersebut sebanyak 631

orang pengurus dinyatakan Lulus, 76 orang pemilik dan 243

orang pengurus Lulus Bersyarat dan sebanyak 17 orang pemilik

dan 110 orang pengurus dinyatakan Tidak Lulus.

Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank

Wawancara dilakukan untuk mengetahui integritas dan

kompetensi calon pengurus baru dan integritas calon pemilik

bank. Sampai dengan akhir periode laporan, Bank Indonesia

telah melakukan wawancara terhadap 562 calon pengurus

dan pemilik yang diajukan oleh 153 bank. Dari wawancara

tersebut, 507 calon dinyatakan lulus fit and proper test.

Direktur Kepatuhan (Compliance Director)

Penunjukan Direktur Kepatuhan merupakan bagian penting

dari sistem pencegahan internal oleh manajemen bank. Fungsi

Direktur Kepatuhan adalah untuk secara aktif mengambil

berbagai langkah guna mencegah manajemen bank

menetapkan kebijakan dan/atau mengambil keputusan yang

di dalamnya mengandung unsur-unsur ketidakpatuhan,

penyimpangan atau bahkan pelanggaran terhadap

ketentuan kehati-hatian (prudential regulation). Sampai

dengan Desember 2000, 161 bank telah mengajukan 216

orang calon Direktur Kepatuhan. Hasil penilaian atas

pencalonan tersebut, sebanyak 156 orang calon telah disetujui,

30 orang calon ditolak, 14 orang calon sedang dalam proses

penilaian, sedangkan 16 orang calon mengundurkan diri atau

membatalkan pencalonannya.

Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan

Dalam melakukan investigasi tindak pidana di bidang

perbankan, Bank Indonesia, dalam hal ini Unit Khusus Investigasi

Perbankan (UKIP) terus meningkatkan koordinasi dengan

Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung dalam

membahas kasus-kasus tindak pidana di perbankan. Dalam

pembahasan bersama tersebut, BPPN juga diikutsertakan

sebagai nara sumber. Sampai dengan Desember 2000, UKIP

Page 123: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

114

laporan sebelumnya. Penurunan tersebut juga sejalan dengan

pelaksanaan program restrukturisasi perbankan.

Perkembangan BPR

Dalam tahun laporan, jumlah BPR menurun sebanyak 8 BPR

sehingga menjadi 7.764 BPR sebagai akibat pencabutan izin

usaha 10 BPR dan pendirian 2 BPR baru. Selain itu, dalam tahun

laporan juga dilakukan pembekuan kegiatan usaha tertentu

terhadap 96 BPR. Adapun BPR yang beroperasi dengan prinsip

syariah tercatat sejumlah 79 BPR. Sementara itu, kegiatan

usaha BPR menunjukkan peningkatan yang tercermin dari

perkembangan total aset, penyaluran kredit dan pendanaan

(Tabel 7.4). Sejalan dengan perkembangan tersebut, dalam

telah menyerahkan kasus dugaan tindak pidana di bidang

perbankan yang terjadi pada 19 bank termasuk 3 BPR kepada

lembaga penegak hukum.

Kelembagaan

Perkembangan Bank Umum

Pada akhir tahun laporan jumlah bank yang beroperasi

menjadi 151 bank, turun sebanyak 13 bank dari 164 bank pada

tahun laporan sebelumnya (Tabel 7.2). Penurunan ini

disebabkan adanya merger 9 bank take over (BTO) menjadi

Bank Danamon, pembekuan kegiatan usaha 3 BUSN dan

merger 2 bank campuran (Tabel 7.3)

Sejalan dengan penggabungan dan pembekuan

kegiatan usaha tersebut, jumlah kantor bank umum yang

beroperasi menurun dari 7.113 kantor menjadi 6.509 kantor.

Dengan penggabungan tersebut maka jumlah kantor

kelompok BTO atau BUSN Devisa mengalami penurunan

menjadi 3.302 kantor dibandingkan 3.798 kantor pada tahun

Kelompok Bank

Tabel 7.2Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank

Posisi Pertumbuhan Pangsa 1)

(%) (%)

1998 1999 2000 1999 2000 2000

I. Bank UmumJumlah Bank 208 164 151 –21,2 –7,9 100,0

Jumlah Kantor 2) 7.661 7.113 6.509 –7,2 –8,5 100,0Bank BUMN

Jumlah Bank 7 5 5 –28,6 0,0 3,3Jumlah Kantor 1.875 1.853 1.736 –1,2 –6,3 26,7

BPDJumlah Bank 27 27 26 0,0 –3,7 17,2Jumlah Kantor 822 825 826 0,4 0,1 12,7

BUSN DevisaJumlah Bank 71 47 38 –33,8 –19,1 25,2

Jumlah Kantor 4.157 3.798 3.302 –8,6 –13,1 50,7BUSN Nondevisa

Jumlah Bank 59 45 43 –23,7 –4,4 28,5Jumlah Kantor 701 533 535 –24.0 0,4 8,2

Bank CampuranJumlah Bank 34 30 29 –11,8 –3,3 19,2Jumlah Kantor 65 57 57 –12,3 0,0 0,9

Bank Asing Jumlah Bank 10 10 10 0,0 0,0 6,6 Jumlah Kantor 41 47 53 14,6 12,8 0,8

II. BPR 7.607 7.772 7.764 2,17 –0,10BKD 5.345 5.345 5.345 0,00 0,0NonBKD 2.262 2.427 2.419 7,29 –0,33

1) Pangsa terhadap seluruh bank umum2) Tidak termasuk BRI Unit Desa

Tabel 7.3Daftar Bank Merger, Bank Beku Kegiatan Usaha Tahun 2000

Bank Merger Bank Beku Kegiatan Usaha30 Juni 2000 ke Danamon 20 Oktober 2000

1. Bank Tiara Asia 1. Bank Prasida Utama2. Bank Nusa Nasional 2. Bank Ratu3. Bank Tamara4. Bank Rama5. Bank Pos Nusantara6. Bank Duta7. Bank Risjad Salim Internasional8. Bank Jaya Internasional

20 Desember 19991)

1. Bank PDFCI

24 Desember 19991)

1. Hanvit 2)

1) Merger tahun 1999, pelaksanaan tahun 20002) Merger 2 bank campuran :

– Korea Commercial Surya– Hanil Tamara Bank

28 Januari 2000

1. Bank Putera Multikarsa

Tabel 7.4Perkembangan Usaha BPR

1997 1998 1999 20001)

Miliar rupiah

Volume Usaha 2.994 2.981 3.702 4.018

Dana Pihak Ketiga 1.601 1.527 2.054 2.332

Kredit 2.288 1.986 2.593 2.875

Modal Disetor 623 706 778 812

Laba (Rugi) Tahun Berjalan 30 (42) (16) (11)

1) Angka proyeksi

Uraian

Page 124: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

115

tahun laporan BPR dapat memperkecil rugi usaha dari Rp16,0

miliar menjadi Rp11,0 miliar. Walaupun kinerja BPR telah

membaik namun BPR belum dapat menyaingi bank umum

yang melakukan penetrasi pasar pada segmen yang sama.

Dalam upaya mengurangi persaingan antara bank umum dan

BPR di pasar yang sebenarnya diarahkan untuk BPR tersebut,

perbaikan infrastruktur bagi BPR masih memerlukan ketegasan

sikap Pemerintah

Perkembangan Bank Syariah

Sejalan dengan kebijakan pengembangan bank syariah,

jumlah kantor cabang bank umum yang beroperasi dengan

prinsip syariah meningkat sebanyak 37 sehingga menjadi 119

kantor bank. Kantor cabang tersebut terdiri dari 27 kantor

cabang Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri,

10 Kantor Cabang Syariah (KCS) dari 3 bank umum

konvensional yaitu Bank IFI, Bank BNI dan Bank Jabar, serta 79

BPR syariah.

Pada akhir tahun 2000, pangsa pasar bank syariah masih

sangat kecil yaitu hanya sebesar Rp1,71 triliun atau 0,2% dari

total aset perbankan, sehingga kemampuan melakukan

penetrasi pasar sangat terbatas. Hal tersebut antara lain

disebabkan adanya keterbatasan jumlah bank dan jaringan,

SDM yang memahami prinsip syariah maupun pemahaman

masyarakat terhadap bank syariah.

Kegiatan Usaha Bank Umum

Secara umum, beberapa indikator kinerja perbankan pada

tahun 2000 menunjukkan perbaikan, seperti tercermin dari

meningkatnya total aset, penghimpunan dana, pemberian

kredit, kualitas aktiva produktif, permodalan, dan profitabilitas

bank (Tabel 7.5). Perbaikan kinerja perbankan tersebut tidak

terlepas dari berbagai langkah kebijakan yang telah ditempuh

dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional, serta

didukung pula oleh perbaikan kondisi makroekonomi secara

keseluruhan.

Walaupun demikian, dalam hal penyaluran kredit,

perbankan masih melihat tingginya risiko dunia usaha akibat

pengalaman terpuruknya sektor korporasi selama masa krisis

Tabel 7.5Indikator Perbankan

Indikator Perbankan 1998 1999 2000

Total Aset 895,5 1.006,7 1.030,5

Dana Pihak Ketiga 625,4 617,6 699,1

Kredit 545,5 277,3 320,4

Kualitas Aktiva Produktif :Lancar 408,2 607,2 591,2Dalam Perhatian Khusus 48,2 25,2 21,3Kurang Lancar 57,5 28,1 32,3Diragukan 83,7 35,4 16,9Macet 135,5 28,5 29,3

NPLs - gross (%) 48,6 32,8 18,8

NPLs - net (%) 34,7 7,3 5,8

Modal -129,8 -41,2 53,5

Laba (Rugi) -178,6 -91,7 10,5

Net Interest Margin -73,0 -38,6 22,8

Triliun rupiah

yang memberikan dampak negatif pada kinerja perbankan

nasional. Terbatasnya alternatif penempatan dana

menyebabkan perbankan cenderung untuk memilih alternatif

penanaman berjangka waktu pendek dengan risiko rendah

seperti SBI dan antarbank. Fenomena ini menyebabkan

perbankan cenderung terus mempertahankan marjin

keuntungannya melalui penetapan suku bunga simpanannya

di bawah suku bunga SBI. Kondisi ini yang menyebabkan

peningkatan suku bunga SBI tidak diikuti oleh kenaikan suku

bunga simpanan secara proporsional (Boks : Sensitivitas Suku

Bunga Deposito).

Total Aset

Dalam tahun laporan, total aset perbankan meningkat sebesar

2,4% dibanding Desember 1999 sehingga menjadi Rp1.030,5

triliun. Sebagian besar aset perbankan berupa obligasi

pemerintah yang dimiliki oleh bank-bank peserta program

rekapitalisasi. Pada akhir tahun 2000, portofolio obligasi

pemerintah di bank-bank mencapai Rp431,8 triliun atau 41,9%

dari total aset dan SBI sebesar Rp59,8 triliun atau 5,8% dari to-

tal aset. Sementara itu, portofolio kredit sebesar Rp320,4 triliun

atau 31,1% dari total aset (Grafik 7.1). Hal ini menunjukkan

bahwa bank-bank mempunyai kelebihan dana yang sebagian

Page 125: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

116

27.

48. 48.

60.

27. 31.

0,0

20,0

40,0

60,0

80,0

100,0

120,0

Des-98 Des-99 Des-00

Kredit SBI Surat-surat BerhargaObligasi Antarbank aktiva Penyertaan

(%)

Grafik 7.1Komposisi Aset Perbankan

16) Dana pihak ketiga perbankan berbeda dengan konsep yang ada dibab moneter. Dalam konsep perbankan, dana pihak ketigamencakup dana milik non residen dan pemerintah.

Jenis Simpanan

Tabel 7.6Perkembangan Dana Pihak Ketiga

Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)

1998 19991) 2000 1999 2000 2000

Giro 99,8 111,8 161,5 12,1 44,4 23,10

Rupiah 57,4 68,5 103,6 19,3 51,3 14,82

Valuta Asing 42,4 43,4 57,9 2,3 33,4 8,28

Deposito Berjangka 456,9 382,8 384,7 (16,2) 0,5 55,03

Rupiah 300,4 301,4 296,7 0,3 (1,6) 42,44

Valuta Asing 156,5 81,4 88,0 (48,0) 8,1 12,59

Tabungan 68,7 123,0 152,9 79,0 24,4 21,88

Rupiah 68,7 123,0 152,9 79,0 24,4 21,88

Valuta Asing – – – – – –

Total 625,4 617,6 699,1 (1,2) 13,2 100,00Rupiah 426,5 492,9 553 15,6 12,2 79,13

Valuta Asing 198,9 124,8 145,9 (37,3) 16,9 20,87

1) Tidak termasuk simpanan antarbank

rintah dan proses rekapitalisasi. Dana pihak ketiga dalam valuta

asing meningkat 16,9%, namun apabila pengaruh nilai tukar

diabaikan dana pihak ketiga dalam valuta asing tersebut justru

turun sebesar 12,9%.

Dilihat dari komposisinya, deposito masih mendominasi

dana pihak ketiga dengan pangsa sebesar 55,0%. Sementara

itu, giro dan tabungan masing-masing memiliki pangsa sebesar

23,1% dan 21,9%. Dibandingkan tahun sebelumnya giro dan

tabungan mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar

44,3% dan 24,3%. Sementara deposito hanya mengalami

kenaikan sebesar 0,5% dengan memperhitungkan depresiasi

nilai tukar rupiah. Apabila dihilangkan pengaruh depresiasi

tersebut, deposito justru mengalami penurunan sebesar 5,4%

dibanding tahun sebelumnya. Penurunan deposito tersebut

menunjukkan terjadinya perubahan minat penanaman dana

masyarakat dari deposito ke dalam bentuk giro dan tabungan.

Hal ini antara lain disebabkan oleh relatif kecilnya perbedaan

antara suku bunga deposito dan tabungan yang ditawarkan

oleh bank, sementara di sisi lain giro dan tabungan

menawarkan fleksibilitas yang diperlukan dalam kondisi

tingginya ketidakpastian sosial politik.

dapat disalurkan dalam bentuk kredit. Selain itu persentase

total kredit perbankan sebesar 31,1% masih jauh di bawah posisi

sebelum krisis yang mencapai di atas 70,0%. Hal ini

menunjukkan masih belum pulihnya fungsi intermediasi

perbankan yang bertumpu pada penyaluran kredit. Di

samping itu, masih besarnya porsi obligasi pemerintah

menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan penjualan

sebagian obligasi pemerintah yang dimiliki dan peng-

ambilalihan (refinancing) kredit yang telah direstrukturisasi BPPN

oleh perbankan belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

Penghimpunan Dana

Selama tahun 2000, dana pihak ketiga16) yang berhasil

dihimpun perbankan mengalami peningkatan sebesar 13,2%

sehingga menjadi Rp699,1 triliun (Tabel 7.6) . Peningkatan ini

meliputi seluruh jenis simpanan rupiah dan valuta asing,

terkecuali deposito rupiah yang menurun 1,6%. Faktor utama

penyebab meningkatnya dana pihak ketiga antara lain

adalah karena masih terjaganya kepercayaan masyarakat

seiring dengan dilanjutkannya program penjaminan peme-

Page 126: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

117

Kredit Perbankan

Selama periode laporan, posisi kredit perbankan meningkat

sebesar 15,5% sehingga menjadi Rp320,4 triliun dibanding tahun

sebelumnya (Tabel 7.7). Peningkatan tersebut berasal dari

kredit rupiah dan kredit valuta asing yang masing-masing naik

sebesar Rp18,9 triliun (11,9%) dan Rp24,2 triliun (20,5%). Apabila

pengaruh nilai tukar dihilangkan, kredit dalam valuta asing

menjadi turun sebesar 10,8%, sehingga posisi kredit dalam

tahun laporan hanya meningkat sebesar 2,2%.

Peningkatan kredit rupiah antara lain disebabkan

adanya penyaluran kredit baru dan penjualan kembali kredit

yang telah direstrukturisasi oleh BPPN ke sektor perbankan.

Selama paro kedua tahun laporan, kredit baru yang telah

disalurkan sebesar Rp26,5 triliun17) . Sementara itu, jumlah kredit

yang telah direstrukturisasi, baik oleh bank sendiri atau melalui

fasilitasi Satgas sampai dengan Desember 2000 tercatat

sebesar Rp59,9 triliun atau 71,0% dari total NPLs yang terdiri atas

20.430 debitur. Berdasarkan Laporan Bulanan BPPN tanggal 2

Januari 2001, dari Rp286,3 triliun kredit perbankan yang telah

dialihkan dan dikelola BPPN, tercatat sejumlah Rp80,9 triliun

telah berhasil direstrukturisasi. Dapat diinformasikan bahwa

selama tahun laporan masih terdapat pengalihan kredit ke

BPPN sehubungan program rekapitalisasi, khususnya untuk

bank BUMN.

Masih rendahnya pertumbuhan kredit selama tahun

2000 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, debitur

potensial masih terbatas sehubungan masih banyaknya

debitur berskala besar dalam proses restrukturisasi di BPPN.

Sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam

bentuk kredit menengah dan kredit kecil dengan tujuan

konsumsi. Kedua, perbankan menilai bahwa risiko usaha masih

tinggi, meskipun terdapat permohonan kredit oleh nasabah

baru. Ketiga, para debitur belum melakukan penarikan atas

komitmen kredit secara optimal karena belum didukung oleh

iklim usaha yang kondusif. Keempat, beberapa bank

rekapitalisasi yang masih mengalami masalah likuiditas

Jenis Kredit

Tabel 7.7Perkembangan Kredit Perbankan

Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)

1998 1999 2000 1999 2000 2000

Menurut Sektor Ekonomi 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,5 100,0 Pertanian 34,9 26,1 19,9 (25,2) (23,8) 6,2 Pertambangan 7,9 5,4 5,3 (31,6) (1,9) 1,7

Perindustrian 195,8 97,9 109,7 (50,0) 12,1 34,2Listrik 23,6 20,0 5,1 (15,3) (74,5) 1,6Konstruksi 41,5 13,3 7,2 (68,0) (45,9) 2,2Perdagangan 96,1 45,2 46,0 (53,0) 1,8 14,4Pengangkutan 17,6 12,4 7,3 (29,5) (41,1) 2,3Jenis Dunia Usaha 88,6 26,4 26,4 (70,2) -- 8,2Jasa Sosial 8,3 3,3 2,9 (60,2) (12,1) 0,9Lain-lain 31,0 27,3 90,6 (11,9) 231,9 28,3

Menurut Kelompok Bank 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,6 100,0 Bank BUMN 279,4 152,1 142,8 (45,6) (6,1) 44,6

BUSN Devisa 179,5 56,5 79,4 (68,5) 40,5 24,8BUSN Non Devisa 7,0 5,0 10,6 (28,6) 112,0 3,3BPD 12,8 13,6 11,5 6,4 (15,3) 3,6Bank Campuran 37,5 22,5 29,3 (40,0) 30,0 9,1Bank Asing 29,3 27,6 46,8 (5,9) 69,6 14,6

Menurut Denominasi 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,5 100,0Rupiah 315,3 159,1 178,0 (49,5 11,9 55,6Valuta asing 230,2 118,2 142,4 (48,7) 20,5 44,4

17) Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID) yang didukung hasilsurvei terhadap sejumlah bank.

menghadapi kesulitan untuk menjual obligasi yang dimilikinya

karena belum berkembangnya pasar sekunder obligasi

pemerintah. Kelima, beberapa bank masih menghadapi

masalah yang terkait dengan pemenuhan CAR dan pelang-

garan BMPK.

Kualitas Aktiva Produktif

Dalam tahun laporan, kualitas aktiva produktif perbankan

yang terdiri dari kredit, surat berharga, obligasi pemerintah,

penanaman antarbank, dan penyertaan mengalami sedikit

perbaikan. Pada akhir tahun 2000, besarnya aktiva produktif

bermasalah yang dimiliki perbankan tercatat sebesar 11,3%

dari total aktiva, menurun dari 12,7% pada periode

sebelumnya (Tabel 7.8). Hal ini berkaitan dengan kemajuan

proses restrukturisasi kredit dan tambahan penerbitan obligasi

pemerintah dalam tahap akhir proses rekapitalisasi

perbankan.

Sejalan dengan kemajuan proses restrukturisasi kredit,

rasio NPLs tanpa memperhitungkan PPAP yang dibentuk (Gross

Page 127: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

118

pemberian kredit baru dan pengalihan kredit yang telah

direstrukturisasi dari BPPN ke perbankan.

Pembiayaan Usaha Kecil

Sejak diberlakukannya pasal 74 UU No. 23 tahun 1999, kebijakan

perkreditan Bank Indonesia dalam pengembangan usaha kecil

dan menengah (UKM) mengalami perubahan yang mendasar.

Bank Indonesia tidak lagi memberikan bantuan keuangan

Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada dunia usaha

termasuk UKM dan sumber pembiayaan untuk usaha kecil

selanjutnya berasal dari Pemerintah dan perbankan. Adapun

kebijakan pengembangan usaha kecil Bank Indonesia

selanjutnya meliputi :

(i) peningkatan bantuan teknis kepada usaha kecil dan

mikro melalui kegiatan penelitian, pelatihan dan sosialisasi;

(ii) kebijakan di bidang perbankan dengan : a) mendorong

perbankan untuk menyalurkan kredit ke usaha kecil, b)

mendorong perbankan untuk melakukan diversifikasi

portofolio kredit melalui peningkatan pangsa kredit

kepada usaha kecil dan mikro, c) mendorong perbankan

untuk melakukan pemberian kredit dengan bunga pasar,

dan d) pengembangan kelembagaan perbankan antara

lain pengembangan BPR dan bank yang beroperasi

dengan prinsip syariah.

(iii) memfasilitasi sistem informasi usaha kecil melalui Sistem

Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem

Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE) (Boks : SIB

dan SIABE).

Untuk kesinambungan pembiayaan kredit program,

Bank Indonesia telah melaksanakan kebijakan-kebijakan

melalui mekanisme:

(i) Pembelian Surat Utang Pemerintah (SUP) sesuai dengan

Keppres No. 176 tahun 1999 tanggal 28 Desember 2000.

SUP tersebut dibeli oleh Bank Indonesia dengan nilai

maksimum Rp10,0 triliun dan dapat dicairkan secara

bertahap berdasarkan jumlah KLBI yang akan jatuh tempo

pada tahun 2000-2001. Sampai dengan periode

Desember 2000, SUP yang dapat dicairkan adalah sebesar

Rp2,4 triliun dan sudah dicairkan oleh Pemerintah adalah

Tabel 7.8Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif

Posisi PangsaKategori Kualitas (triliun rupiah) (%)

1998 1999 2000 1999 2000

Lancar 408,2 607,2 591,2 83,8 85,5Dalam Perhatian Khusus 48,2 25,2 21,3 3,5 3,1Kurang Lancar 57,5 28,1 32,3 3,9 4,7Diragukan 83,7 35,4 16,9 4,9 2,4Macet 135,5 28,5 29,3 3,9 4,2

Total 733,1 724,5 691,1 100,0 100,0

% dari total kredit

0

10

20

30

40

50

60

Des Mar Juni Sep Des Mar Jun Sep Des

1 9 9 8 2 0 0 01 9 9 9

NPLs), turun dari 32,8% pada posisi Desember 1999 menjadi

18,8% pada akhir tahun laporan (Grafik 7.2). Sementara itu,

apabila NPLs memperhitungkan PPAP yang dibentuk (Net NPLs)

nilainya menjadi sebesar 5,8% pada akhir tahun laporan.

Secara nominal perkembangan NPLs juga turun dari Rp91,1

triliun pada Desember 1999 menjadi Rp83,9 triliun pada akhir

tahun laporan. Perbaikan tersebut antara lain dipengaruhi

adanya ekspansi kredit baru yang menambah jumlah kredit

yang tergolong Lancar dan adanya pengalihan kredit macet

ke BPPN. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk

mencapai target 5,0% NPLs pada tahun 2001, di antaranya

adalah percepatan restrukturisasi kredit, peningkatan

Grafik 7.2Perkembangan NPLs

Page 128: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

119

Rp850 miliar, sehingga dana yang masih dapat dicairkan

sejumlah Rp1,5 triliun.

(ii) Mekanisme relending, yakni pengelolaan dana angsuran

KLBI oleh BUMN koordinator sampai dengan KLBI dimaksud

jatuh tempo dengan menyalurkan kembali angsuran KLBI

tersebut kepada perbankan melalui skim-skim kredit pro-

gram yang ada. Sampai dengan periode Desember 2000,

dana angsuran yang siap disalurkan kembali oleh 3 BUMN

koordinator yaitu PT Permodalan Nasional Madani (PNM),

BRI dan BTN sebesar Rp1,5 triliun

(iii) Penyediaan KLBI untuk proyek-proyek yang sudah

memperoleh komitmen pembiayaan dari Bank Indone-

sia sebelum adanya pengalihan KLBI.

Dari hal-hal di atas tercermin bahwa Bank Indonesia

masih tetap memiliki komitmen yang tinggi dalam mendukung

pengembangan usaha kecil baik melalui SUP dan relending

maupun melalui pemberian bantuan teknis. Namun demikian,

dalam beberapa hal pelaksanaannya masih mengalami

berbagai kendala, khususnya pemanfaatan dana tersebut

oleh perbankan yang belum optimal. Dana yang belum

dimanfaatkan dari SUP dan relending masing-masing sebesar

Rp1,5 triliun sehingga jumlah totalnya menjadi sebesar Rp3,0

triliun. Dalam upaya untuk mengatasi kendala tersebut , Bank

Indonesia telah melakukan koordinasi dengan BUMN

koordinator dan instansi terkait. Koordinasi tersebut akan terus

dilanjutkan pada tahun mendatang. Selain itu, dalam rangka

mendukung pengembangan usaha kecil tersebut, Bank Indo-

nesia akan melakukan kajian dan evaluasi terhadap

pelaksanaan relending oleh BUMN koordinator. Dalam pada

itu, sebagai pengganti skim Kredit Usaha Tani (KUT) , Pemerintah

telah menerbitkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang

pendanaan dan risiko kreditnya ada pada bank, sedangkan

Pemerintah memberikan subsidi bunga.

Dalam rangka mendorong pengembangan usaha kecil

Bank Indonesia melaksanakan beberapa kegiatan penelitian.

Kegiatan tersebut antara lain melakukan penelitian mengenai

Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) khusus

pembiayaan kelapa sawit, penelitian mengenai pengalihan

bantuan teknis, dan penelitian mengenai studi tunggakan

Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya

Masyarakat (PHBK) serta penelitian mengenai pelaksanaan

peraturan kredit usaha kecil. Penelitian evaluasi efektivitas KKPA

yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan

KKPA kelapa sawit, memberikan kesimpulan bahwa program

KKPA mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan petani

dan penyerapan tenaga kerja meskipun masih perlu untuk

ditingkatkan lagi. Dari hasil penelitian, bank responden yang

terlibat dalam penyaluran KKPA telah melaksanakan tugas dan

kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, penelitian mengenai pengalihan bantuan

teknis bertujuan untuk mengetahui kemungkinan lembaga yang

dapat menggantikan fungsi Bank Indonesia dalam bantuan

teknis. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan : (i) bantuan

teknis tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia, (ii) penggabungan

aktivitas dari lembaga yang memungkinkan seperti BPD dan PT

PNM, (iii) bantuan teknis selanjutnya dilakukan oleh lembaga baru.

Selanjutnya, penelitian mengenai studi tunggakan kredit

PHBK ditujukan untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan

peningkatan tunggakan kredit PHBK, yakni proses

pembentukan kelompok yang kurang baik, persepsi anggota

kelompok yang salah, seleksi anggota kurang ketat, rendahnya

partisipasi kelompok, menurunnya kegiatan ekonomi dan

musibah/bencana alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi

tunggakan kredit PHBK secara uji statistik meliputi jumlah

tenaga kerja yang menerima pelatihan, jumlah kelompok yang

dilayani, motivasi bank dalam kegiatan PHBK, dan kegiatan

penelitian (investigasi) kepada kelompok sebelum menerima

kredit. Variabel tabungan beku18) dan kondisi moneter secara

relatif tidak mempengaruhi tunggakan PHBK.

Selain melakukan penelitian di atas, Bank Indonesia juga

aktif mensosialisasikan pentingnya pemberian kredit usaha

mikro, kecil dan menengah yang bertujuan untuk mendorong

peningkatan pemberian kredit Usaha Kecil dan Menengah

(UKM). Dalam bidang bantuan teknis, dilaksanakan kegiatan

pelatihan Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM) dan

18) Tabungan beku adalah tabungan yang diblokir untuk digunakansebagai agunan kredit.

Page 129: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

120

sosialisasi lending model dari berbagai komoditi unggulan yang

dapat dikembangkan oleh usaha kecil.

Selanjutnya untuk mengkaji pelaksanaan peraturan

kredit usaha kecil (KUK), telah dilakukan penelitian kepada

bank-bank responden dengan hasil sebagai berikut :

(i) penyaluran KUK dinilai menguntungkan karena tingkat

kemacetan relatif kecil, penyebaran risiko, marjin

keuntungan lebih besar, tidak rentan terhadap

perubahan suku bunga dan ketaatan dalam pemba-

yaran kewajiban,

(ii) ketentuan KUK dianggap masih relevan namun perlu

penyesuaian-penyesuaian antara lain keringanan denda

penalti dan persentase KUK disesuaikan dengan

kemampuan atau karakteristik bank masing-masing, serta

plafon KUK diusulkan untuk dinaikkan sampai dengan

Rp500 juta,

(iii) faktor-faktor internal yang mempengaruhi dalam

pemberian KUK meliputi : penyederhanaan prosedur

pemberian KUK, luas jaringan kantor dan pendelegasian

wewenang memutus kredit. Sementara itu dari sisi

eksternal antara lain : kebijakan pemerintah dalam

pengembangan UKM, jumlah usaha kecil dan ketentuan

KUK dari Bank Indonesia. Dalam pada itu, faktor-faktor

yang menghambat dalam pemberian KUK adalah

persyaratan izin usaha/ NPWP dan adanya agunan

tambahan.

Dari hasil penelitian KUK tersebut, dilakukan penyem-

purnaan KUK dimana pemberian KUK tidak lagi merupakan

kewajiban bagi perbankan namun lebih bersifat anjuran.

Sementara itu, pemberian KUK oleh perbankan pada

tahun laporan telah mengalami peningkatan, yaitu tumbuh

sebesar 52,8% sehingga menjadi Rp56,9 triliun (Tabel 7.9).

Dengan perkembangan tersebut, sampai akhir tahun 2000

rasio penyaluran KUK meningkat dari 7,1% menjadi 7,7% dari

total kredit yang disalurkan.

Permodalan

Sejalan dengan telah diselesaikannya program rekapitalisasi,

permodalan bank meningkat sangat signifikan, dari negatif

Rp41,2 triliun pada Desember 1999 menjadi positif Rp53,5 triliun

di akhir tahun laporan, dengan kepemilikan mayoritas modal

perbankan oleh pemerintah (Grafik 7.3. dan Boks : Kepemilikan

Tabel 7.9Perkembangan Kredit Usaha Kecil

Posisi Pertumbuhan Pangsa(Triliun rupiah) (%) (%)

1998 1999 2000 1999 2000 2000

Menurut Jenis Penggunaan 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Modal Kerja 17,6 15,7 22,5 (10,8) 43,4 39,6

Investasi 8,3 5,4 7,5 (34,9) 39,4 13,2

Konsumsi 19,7 16,1 26,8 (18,3) 66,6 47,2

Menurut Sektor Ekonomi 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Pertanian 7,6 7,7 9,3 1,3 20,5 16,3

Perindustrian 1,8 1,1 1,7 (38,9) 55,2 3,0

Perdagangan, Restoran &

Hotel 10,7 8,8 10,3 (17,8) 17,3 18,2

Jasa–jasa 5,6 3,4 4,7 (39,3) 37,9 8,2

Lain–lain 19,9 16,2 30,9 (18,6) 90,5 54,3

Menurut Kelompok Bank 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Bank BUMN 27,3 25,4 30,8 (7,0) 21,1 54,1

BUSN Devisa 12,9 5,9 12,3 (54,3) 108,9 21,7

BUSN Non Devisa 1,9 1,8 5,1 (5,3) 180,8 8,9

B P D 3,4 4,1 8,7 20,6 111,0 15,2

Bank Campuran dan Asing 0,1 0,07 0,1 (30,0) 0,4 0,1

Penyebaran KUK

Grafik 7.3Perkembangan Permodalan Bank

Triliun Rp

–320

–280

–240

–200

–160

–120

–80

–40

0

40

80

IV I II III IV I II III IV

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

Bank Kategori ABank RekapitalisasiBTOBank BUMNBPDBank CampuranBank AsingSeluruh Bank

Page 130: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

121

-80

-60

-40

-20

0

20

40

Triliun Rp

Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des

1999 2000

–200

–175

–150

–125

–100

–75

–50

–25

0

25

50

Triliun Rp

Laba/Rugi OperasionalLaba/Rugi Nonoperasional

Laba Rugi Sebelum Pajak

IV I II III IV I II III IV

1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0

Pemerintah di Perbankan Nasional). Selain faktor rekapitalisasi

perbankan, peningkatan modal bank juga disebabkan oleh

peningkatan laba.

Dilihat dari kelompok bank, sejak akhir triwulan kedua

tahun laporan modal semua kelompok bank tercatat sudah

positif. Modal terbesar dimiliki oleh kelompok bank BUMN

sebesar Rp21,3 triliun, sedangkan modal terkecil dimiliki oleh

bank asing yaitu sebesar Rp0,7 triliun. Namun demikian, dalam

tahun laporan masih terdapat beberapa bank yang

mempunyai CAR di bawah 4%, yang terdiri dari sebuah bank

besar dan beberapa bank kecil serta BPD. Hal ini sebagai akibat

masih rendahnya pemberian kredit sehingga tidak dapat

menutup biaya operasi bank-bank tersebut. Usaha peningkatan

permodalan bank, terutama yang masih di bawah ketentuan

minimum terus dilakukan di antaranya dengan meminta para

pemilik bank untuk menambah modal disetor maupun dengan

melakukan merger. Selanjutnya, dalam rangka pemantauan

CAR terhadap beberapa faktor yang mempengaruhinya, Bank

Indonesia melakukan kajian stress test (Boks : Stress Test CAR

Perbankan terhadap Perubahan Suku Bunga dan Nilai Tukar).

Profitabilitas

Dalam tahun laporan, kegiatan perbankan sudah

menunjukkan perbaikan yang tercermin pada peningkatan

laba usaha. Laba yang berhasil diperoleh perbankan

mencapai Rp10,5 triliun. Hal ini merupakan suatu kemajuan

yang jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1999 yang

mengalami kerugian kumulatif sebelum pajak sebesar Rp91,7

triliun (Grafik 7.4). Laba tersebut terutama berasal dari laba

nonoperasional sebesar Rp11,2 triliun, sementara laba

operasional masih tercatat negatif Rp0,7 triliun. Laba

nonoperasional terutama berasal dari keuntungan selisih kurs

akibat melemahnya nilai tukar dan adanya koreksi PPAP

berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dari kredit

yang telah dihapusbukukan.

Meskipun laba operasional negatif, namun pendapatan

bunga perbankan yang tercermin dari NIM masih mengalami

peningkatan yang cukup berarti dari negatif Rp38,6 triliun

menjadi positif Rp22,8 triliun (Grafik 7.5). Sejak triwulan II tahun

laporan, seluruh kelompok bank telah berhasil mencapai NIM

yang positif. Positifnya NIM perbankan sejalan dengan posi-

tive spread yang sudah dicapai bank sejak pertengahan tahun

1999 dan adanya tambahan pendapatan dari bunga obligasi

pemerintah. NIM ini diharapkan akan terus meningkat sejalan

dengan peningkatan fungsi intermediasi perbankan.

Lembaga Keuangan Lainnya

Membaiknya kondisi ekonomi dalam tahun laporan telah

memberikan pengaruh positif terhadap kinerja lembaga

Grafik 7.4Perkembangan Laba/Rugi Perbankan

Grafik 7.5Perkembangan Net Interest Margin

Page 131: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

122

keuangan lainnya. Sejalan dengan membaiknya kinerja

perbankan, sumber dana perusahaan pembiayaan yang

berasal dari perbankan meningkat sehingga memberikan

kemampuan untuk meningkatkan nilai kegiatan usahanya.

Sementara itu, proses penyaluran kredit perbankan yang

belum sepenuhnya pulih sebagaimana sebelum krisis, telah

memberikan peluang kepada perusahaan pegadaian untuk

memenuhi kebutuhan pembiayaan kepada masyarakat

menengah kebawah, khususnya kredit yang berjangka waktu

pendek.

Perusahaan Pembiayaan

Secara umum, kinerja perusahaan pembiayaan dalam tahun

2000 mengalami perbaikan dibanding dengan periode

sebelumnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya total nilai

kegiatan usaha yang sampai dengan Oktober 2000 naik

sebesar 17,5% dibanding tahun sebelumnya. Dalam tahun

laporan jumlah perusahaan yang masih memiliki izin usaha

masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 245

perusahaan. Sementara itu, dalam upaya mengembangkan

perusahaan pembiayaan, pemerintah telah mengeluarkan

surat keputusan mengenai perusahaan pembiayaan

(multifinance) yang mengatur mengenai pemberian izin bagi

pendirian perusahaan pembiayaan baru.19)

Dalam periode laporan, seluruh jenis kegiatan usaha

perusahaan pembiayaan mengalami peningkatan kecuali

pembiayaan anjak piutang yang menurun sebesar 16,8%.

Peningkatan terbesar terjadi pada pembiayaan konsumen yaitu

naik sebesar 64,5%. Dilihat dari komposisinya, kegiatan usaha

perusahaan pembiayaan masih didominasi oleh sewa guna

usaha, yaitu mencapai 50,1% dari total pembiayaan. Pangsa

kegiatan usaha lainnya adalah pembiayaan konsumen sebesar

27,3%, anjak piutang 20,5%, dan kartu kredit sebesar 1,5%.

Dilihat dari sumber dana, dalam tahun 2000 dana yang

dihimpun perusahaan pembiayaan meningkat sebesar Rp3,9

triliun atau naik 12,9% (Tabel 7.11). Sumber utama pendanaan

perusahaan pembiayaan berasal dari pinjaman bank dalam

19) Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 tanggal 27Oktober 2000, tentang Perusahaan Pembiayaan.

negeri. Seiring dengan membaiknya kondisi perbankan dan

mulai meningkatnya konsumsi masyarakat khususnya untuk

pembelian kendaraan bermotor, pinjaman yang diperoleh

perusahaan pembiayaan dari bank dalam negeri meningkat

sebesar 4,2% sehingga menjadi Rp11,2 triliun.

Dalam tahun 2000 sebagian besar dana perusahaan

pembiayaan disalurkan dalam bentuk pembiayaan, yaitu

sebesar 76,4% dari seluruh total dana atau sebesar Rp26,1 triliun

(Tabel 7.10). Sejalan dengan membaiknya ekonomi nasional,

kegiatan pembiayaan yang dilakukan perusahaan ini

meningkat sebesar 17,5% dibandingkan tahun sebelumnya

sehingga menjadi Rp26,1 triliun. Beberapa bentuk usaha

pembiayaan yang ditengarai mulai berkembang dalam tahun

2000 antara lain adalah sewa guna usaha (bidang

pertambangan, kehutanan, pertanian), dan pembiayaan

konsumen seperti untuk pembelian kendaraan yang disalurkan

bank melalu sistem chanelling kepada perusahaan

pembiayaan. Sementara itu, simpanan pada bank yang

dimiliki perusahaan pembiayaan mengalami penurunan

sebesar 16,0%. Terjadinya shifting penyaluran dana dari

simpanan di bank mengindikasikan mulai menariknya aktivitas

kegiatan usaha dibanding penanaman di bank.

Tabel 7.10

Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan

Posisi Pertumbuhan

Rincian (Triliun rupiah) (%)

1998 1999 20001) 1999 2000

Sumber dana 43,6 30,2 34,1 0,0 12,9Pinjaman bank dalam negeri 14,4 10,7 11,2 –25,2 4,2Pinjaman bank luar negeri 16,4 8,6 7,9 –47,7 –7,3Pinjaman diterima lainnya d.n. 3,0 3,7 4,2 25,3 11,9Pinjaman diterima lainnya l.n. 2,7 2,3 4,0 –17,6 76,7Modal 2) 1,3 (1,3) (0,8) –202,7 37,5Lain-lain 5,9 6,3 7,7 7,7 22,5

Penggunaan dana 43,6 30,2 34,1 –30,7 12,9Pembiayaan 29,5 22,2 26,1 –24,9 17,5Simpanan pada bank 6,0 5,1 4,3 –15,1 –16,0Penyertaan 0,3 0,1 0,9 –63,3 822,7Lain-lain 7,8 2,8 2,9 –63,9 2,1

1) Oktober2) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi tahun berjalan

Page 132: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

123

Dalam tahun laporan, kualitas aktiva produktif yang

terdiri dari sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, pem-

biayaan konsumen, surat berharga, dan penyertaan menun-

jukkan sedikit perbaikan. Sampai dengan Oktober 2000,

pangsa aktiva produktif yang bermasalah, yaitu kategori dira-

gukan dan macet, menurun sebesar 1,6% dari tahun sebelum-

nya sehingga menjadi 32,2% (Grafik 7.6). Dilihat dari jenis

pembiayaan yang diberikan dalam tahun laporan, kualitas

aktiva terburuk terjadi pada pembiayaan anjak piutang yaitu

dengan pangsa kategori macet mencapai 67,3%. Sedangkan

aktiva produktif yang terbaik adalah pembiayaan konsumen

dengan porsi hanya sebesar 4,5% (Tabel 7.12).

Pegadaian

Dalam tahun 2000 kinerja perusahaaan umum pegadaian

menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibanding

tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan

jangkauan pelayanan yang didorong pula oleh belum pulih

sepenuhnya kondisi perbankan nasional. Dalam konteks

peningkatan pelayanan, perusahaan pegadaian mampu

menambah cabang dari 650 unit menjadi 700 unit yang

tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi perbankan nasional yang

masih menjalani proses penyehatan dan sangat berhati-hati

dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, membuat

pegadaian masih menjadi alternatif untuk mendapatkan

pinjaman dengan cepat dan mudah, khususnya bagi

Tabel 7.12Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif

1998 1999 2000

L D M L D M L D M

Pembiayaan

Sewa Guna

Usaha 72,8 15,2 12,0 70,3 10,3 19,4 69,2 11,9 18,9

Anjak Piutang 67,1 5,6 27,2 36,3 5,2 58,5 28,5 4,2 67,3

Kartu Kredit 59,5 37,9 2,6 31,4 3,8 64,7 52,9 1,6 45,4

Pembiayaan

Konsumen 92,6 2,9 4,6 90,9 2,4 6,7 93,7 1,9 4,5

Surat Berharga

yang dimilki 85,2 5,6 9,2 88,5 2,4 9,0 87,3 0,2 12,5

Penyertaan 61,4 0,0 38,6 97,8 0,0 2,2 97,5 0,0 2,5

L = LancarD = Diragukan

M = Macet

Grafik 7.6Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif

%

1998 200019990

20

60

80

40

Lancar Diragukan Macet

Tabel 7.11Perkembangan Perusahaan Pembiayaan

Posisi Pertumbuhan

Rincian (Triliun rupiah) (%)

1998 1999 20001) 1999 2000

Jumlah perusahaan2) 245 245 245

Nilai kegiatan usaha 29,5 22,2 26,1 –24,8 17,5

Sewa guna usaha 15,6 10,9 13,1 –29,9 19,5

Pembiayaan anjak piutang 8,0 6,4 5,3 –19,9 –16,8

Pembiayaan kartu kredit 0,4 0,3 0,4 –15,9 14,2

Pembiayaan konsumen 5,2 4,3 7,1 –16,9 64,5

Lainnya 0,3 0,2 0,2 –33,3 –9,0

Posisi pinjaman 36,4 25,2 27,2 –30,7 7,9

Dalam negeri 17,3 14,4 15,3 –16,9 6,2

– Bank 14,4 10,7 11,2 –25,5 4,2

– Bukan Bank 3,0 3,7 4,2 25,2 11,9

Luar Negeri 19,1 10,8 11,9 –43,4 10,2

1) Oktober2) Satuan

Page 133: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

124

masyarakat kecil dan menengah. Secara umum, pinjaman

yang dimanfaatkan dari pegadaian adalah pinjaman

dengan jangka waktu pendek.

Peningkatan aktivitas usaha pegadaian tercermin dari

omzet kegiatan usaha atau pinjaman yang diberikan, jumlah

nasabah, dan penurunan kredit yang tidak dilunasi. Sampai

dengan Desember 2000, omzet usaha pegadaian meningkat

sebesar 31,0% dibandingkan posisi yang sama pada tahun

sebelumnya sehingga menjadi Rp4,2 triliun (Tabel 7.13). Namun

demikian, pendapatan utama usaha pegadaian mengalami

penurunan sebesar 13,2% sehingga menjadi Rp370,1 miliar.

Jasa sewa modal mengalami penurunan sebesar 14,7%

dibanding tahun sebelumnya. Penurunan sewa modal terjadi

karena adanya penurunan tarif sewa modal yang berlaku

mengikuti penurunan bunga bank. Walaupun demikian, jasa

sewa modal memberikan kontribusi terbesar pada

pendapatan usaha yang mencapai 92,4%.

Dari jumlah nasabah, dalam tahun laporan terjadi per-

tumbuhan sebesar 4,5% sehingga mencapai 12,9 juta

nasabah. Dominasi terbesar nasabah pegadaian adalah

nasabah dengan kategori A (nasabah kredit dengan plafon

Rp5.000–Rp40.000) yaitu sekitar 37,1%. Sebagian besar kredit

pegadaian disalurkan kepada masyarakat menengah ke

bawah dengan profesi karyawan industri, nelayan, petani,

dan pedagang.

Sementara itu, kredit yang tidak dilunasi oleh nasabah

pegadaian sebagaimana tercermin dari nilai barang

lelang, turun sebesar 57,6 % menjadi Rp38,9 miliar pada akhir

tahun (Tabel 7.13). Hal ini disebabkan sebagian besar

barang yang dijadikan jaminan kembali ditebus oleh para

debitur.

Tabel 7.13Perkembangan Kinerja Pegadaian

1998 1999 2000*)

Juta rupiah

Omset 2.008.187 3.229.280 4.230.778Pendapatan Usaha : 341.040 426.338 370.100

Sewa Modal 319.520 401.030 341.933Jasa Taksiran 27 18 13Jasa Titipan 43 7 9Pendapatan Penyimpanan dan Asuransi 21.450 25.283 28.145

Posisi PasivaKewajiban Jangka Pendek 401.552 197.424 342.850 Utang Bank 387.487 180.340 312.083 Lainnya 14.065 17.084 30.767Utang Obligasi 264.600 399.600 549.600Utang Jangka Panjang 100.000 100.000 100.000Ekuitas 371.273 407.666 450.397

Nilai Barang Lelang 21.869 91.712 38.943Jumlah Nasabah 2) 10.277.584 12.427.554 12.982.306

1) Data Desember 2000 sebelum audit

2) Orang

Rincian

Dari sisi sumber dana, sebagian besar pendanaan

pegadaian dibiayai dari penerbitan obligasi dan modal,

masing-masing sebesar 38,1% dan 31,2% dari total dana. Pada

Maret 2000, pegadaian mengalihkan pinjaman obligasi

sebesar Rp99 miliar menjadi pinjaman jangka pendek, dan

melunasi pinjaman kepada Bank Indonesia sebesar Rp90 miliar.

Pengalihan ini dilakukan karena obligasi III dengan nominal

Rp100 miliar akan jatuh tempo pada tahun 2001. Sedangkan

pelunasan utang kepada Bank Indonesia dilakukan

sehubungan dengan dikeluarkannya UU No. 23 tahun 1999

yang melarang Bank Indonesia menyalurkan kredit program.

Selanjutnya pada tanggal 27 Juni 2000, pegadaian melakukan

Emisi Obligasi ke-VII sebesar Rp150 miliar guna menambah

modal kerja.

Page 134: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

125

Suku Bunga (%)

8,0

12,0

16,0

20,0

24,0

28,0

32,0

Mei

Penjaminan 1 BulanSBI 1 BulanRata-Rata Deposito 1Bulan

Jul. Sep. Okt. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.

1 9 9 9 2 0 0 0

Boks : Sensitivitas Suku Bunga Deposito

bunga SBI dan suku bunga penjaminan terhadap suku bunga

deposito secara grafis.

Pada periode I, perubahan suku bunga SBI atau suku

bunga penjaminan berpengaruh cukup signifikan terhadap

suku bunga deposito. Sedangkan pada periode II, perubahan

suku bunga SBI atau suku bunga penjaminan deposito tidak

terlalu banyak berpengaruh terhadap suku bunga deposito.

Hasil simulasi perhitungan elastisitas pada dua periode

pengamatan menghasilkan elastisitas yang berbeda

(Tabel 1).

Elastisitas suku bunga deposito terhadap suku bunga

SBI berbeda ketika bunga SBI turun dan ketika bunga SBI naik.

Pada saat suku bunga SBI turun (periode I), respon suku bunga

deposito sangat tinggi yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya

sebesar 0,88. Hal ini berarti setiap penurunan suku bunga SBI

sebesar 1% akan diikuti oleh penurunan suku bunga deposito

sebesar 0,88%. Sebaliknya, pada saat suku bunga SBI naik

(periode II), respon perubahan suku bunga deposito menjadi

sangat kecil yang tercermin dari nilai elastisitas 0,09. Hal ini

berarti setiap kenaikan suku bunga SBI sebesar 1% hanya akan

diikuti oleh kenaikan suku bunga deposito sebesar 0,09%.

Tingkat elastisitas yang rendah ini menyebabkan spread antara

suku bunga SBI dan suku bunga deposito semakin besar,

apabila suku bunga SBI terus naik.

Elastisitas suku bunga deposito terhadap perubahan

pada suku bunga penjaminan deposito hampir sama dengan

elastisitasnya terhadap suku bunga SBI di atas. Pada saat suku

bunga penjaminan deposito turun (periode I) suku bunga

Periode I Periode IIMei 1999 – Juni 2000 Juni 2000 – Oktober 2000

SBI 1 bulan turun 1% naik 1%Deposito 1 bulan turun 0,88% naik 0,09%Penjaminan Depo 1 bulan turun 1% naik 1%Deposito 1 bulan turun 0,67% naik 0,48%

Tabel 1.Elastisitas Suku Bunga Deposito

Grafik 1.Suku Bunga Penjaminan Deposito, SBI dan Deposito

Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan menyebabkan

suku bunga SBI dan penjaminan deposito menjadi kurang

efektif dalam mempengaruhi suku bunga perbankan.

Kenaikan suku bunga SBI dan kenaikan suku bunga

penjaminan deposito tidak diikuti secara proporsional oleh

kenaikan suku bunga deposito. Respon suku bunga deposito

terhadap kenaikan suku bunga tersebut bersifat asimetri.

Artinya, walaupun terjadi kenaikan suku bunga SBI dan suku

bunga penjaminan deposito, namun suku bunga deposito

perbankan relatif tidak berubah. Sebaliknya, ketika suku bunga

SBI turun, suku bunga SBI baru digunakan sebagai patokan

dalam penentuan suku bunga deposito (Grafik 1).

Untuk mengetahui pengaruh perubahan suku bunga

SBI dan penjaminan deposito terhadap suku bunga deposito

dilakukan analisis sensitivitas dengan pendekatan elastisitas.

Analisis sensitivitas suku bunga deposito 1 bulan dilakukan

masing-masing terhadap perubahan suku bunga SBI 1 bulan

dan terhadap suku bunga penjaminan deposito 1 bulan. Data

yang digunakan adalah data series mingguan, minggu IV Mei

1999 sampai dengan minggu IV Desember 2000. Data series

tersebut dibagi dalam 2 periode pengamatan: periode I yaitu

minggu IV Mei 1999 – minggu II Juni 2000; dan periode II yaitu

minggu III Juni 2000 - minggu IV Desember 2000). Pembagian

periode didasarkan besarnya pengaruh perubahan suku

○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○

Page 135: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

126

Penjaminan 1 BulanSBI 1 Bulan Rata-Rata Depo 1 Bulan

Juni Juli Agustus September Oktober November

2 0 0 0

9,0

10,0

11,0

12,0

13,0

14,0

15,0

Suku Bunga (%)

Grafik 2. Suku Bunga pada Periode I

deposito memiliki elastisitas sebesar 0,67. Hal ini berarti, setiap

1% penurunan suku bunga penjaminan deposito akan diikuti

oleh penurunan suku bunga deposito sebesar 0,67%.

Sebaliknya, pada saat suku bunga penjaminan deposito

meningkat (periode II), elastisitas suku bunga deposito 0,48. Hal

ini berarti, setiap 1% kenaikan suku bunga penjaminan deposito,

maka perbankan akan menaikkan suku bunga deposito

sebesar 0,48%.

Pada periode suku bunga SBI turun, perbankan benar-

benar menggunakan SBI sebagai patokan dalam pembentukan

suku bunga dananya, mengingat bunga SBI merupakan salah

satu sumber utama penerimaan perbankan dalam kondisi belum

normalnya fungsi intermediasi perbankan, sedangkan suku

bunga penjaminan dijadikan sebagai batas atas.

Perubahan perilaku perbankan dalam penentuan suku

bunga depositonya dapat dilihat dari perbedaan Grafik 2 dan

3. Sebelum minggu ke II Juni 2000, suku bunga SBI selalu berada

di bawah suku bunga penjaminan (Grafik 2). Namun sejak suku

bunga SBI terus mengalami kenaikan, kondisi yang terjadi

adalah sebaliknya yaitu suku bunga SBI menjadi lebih besar

dari suku bunga penjaminan (Grafik 3). Hal ini antara lain

disebabkan penentuan suku bunga penjaminan didasarkan

pada pergerakan suku bunga deposito anggota JIBOR + 200

bps. Sedangkan suku bunga SBI ditentukan atas dasar

keputusan lelang dari bidding yang dilakukan perbankan

secara keseluruhan.

Sementara itu, penentuan suku bunga deposito

ditentukan berdasarkan kebutuhan likuiditas dan pendanaan

perbankan. Suku bunga penjaminan hanya dijadikan batas

atas bagi perbankan apabila diperlukan. Oleh karena itu,

pada saat suku bunga SBI naik, suku bunga deposito (termasuk

suku bunga deposito anggota JIBOR) cenderung tetap. Hal

ini mengakibatkan kenaikan suku bunga SBI lebih cepat dari

kenaikan suku bunga penjaminan.

Grafik 3. Suku Bunga pada Periode II

9,0

12,0

15,0

18,0

21,0

24,0

27,0

30,0

Suku Bunga (%)

Mei

1 9 9 9Jul. Sep.

Penjaminan 1 BulanSBI 1 BulanRata-Rata Depo 1 Bulan

Nov. Jan. Mar. Mei

2 0 0 0

Page 136: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

127

Dengan telah diberlakukannya UU No.23 tahun 1999, Bank In-

donesia tidak dapat memberikan kredit likuiditas dalam rangka

kredit program untuk mengembangkan usaha kecil dan

menengah (UKM). Namun Bank Indonesia tetap

memperhatikan perkembangan UKM mengingat peranan

sektor ini sangat penting dalam perekonomian khususnya

dalam penyerapan tenaga kerja. Disamping itu pengalaman

Bank Indonesia dalam mengembangkan UKM serta

pengembangan yang telah dilakukan merupakan modal

yang sangat berharga dalam melanjutkan komitmen Bank

Indonesia.

Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kebijakan

pengembangan UKM Bank Indonesia adalah dengan

pemberian informasi berkenaan dengan kondisi dan potensi

usaha kecil pada semua sektor ekonomi di wilayah Indonesia.

Hal ini antara lain dilakukan dengan memasyarakatkan hasil

Baseline Economic Survey (BLS) yang selama ini telah dilakukan

bersama beberapa Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi, di

hampir seluruh propinsi di Indonesia. Hasil BLS tersebut

disosialisasikan melalui SIB.

SIB adalah sistem informasi yang dirancang berdasarkan

hasil studi BLS dan dikembangkan untuk memasyarakatkan

informasi hasil studi tersebut. SIB menyajikan informasi yang

mencakup identifikasi usaha kecil yang potensial pada semua

sektor ekonomi di suatu daerah beserta infor masi pen-

dukungnya. SIB juga memberikan manfaat bagi pemerintah

maupun swasta khususnya kalangan perbankan dalam rangka

pengembangan dan pembinaan usaha kecil, pembinaan pro-

gram kemitraan terpadu serta promosi investasi pada berbagai

sektor usaha di suatu daerah. Sebagai upaya lebih memberikan

nilai tambah dan manfaat yang lebih besar, laporan hasil

penelitian BLS tersebut dimasukkan dalam sistem informasi

elektronik internet yang dapat diakses secara mudah oleh pihak-

pihak yang memerlukannya. SIB dapat diakses melalui website

Bank Indonesia http://www.bi.go.id atau ke http :// sib.bi.go.id.

Secara garis besar, informasi yang disajikan dalam SIB

meliputi : (i) Daftar Skala Prioritas, yakni daftar komoditi/ sektor

usaha pada tingkat Kecamatan di suatu Kabupaten/ Propinsi

berdasarkan potensi pengembangannya yang meliputi 7

aspek yakni pemasaran, wirausaha, teknik produksi,

pertumbuhan/ keterkaitan sektoral, prasarana darah dan

kebijakan pemerintah yang mendukung, (ii) Daftar Komoditi

Prioritas Kemitraan Terpadu, yakni daftar komoditi/ sektor usaha

yang berada dalam kategori Sangat Potensial dan Potensial

pada tingkat Kecamatan di suatu Kabupaten/Propinsi beserta

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

Selain SIB, Bank Indonesia juga mengembangkan SIABE

yakni sistem informasi yang dirancang untuk membantu

pengguna dalam mendapatkan informasi yang lengkap

tentang produk-produk agroindustri yang telah diekspor ke

berbagai negara tujuan. Informasi yang dapat diperoleh dari

SIABE adalah daerah asal komoditi, teknologi pengolahan,

daftar eksportir, pasar ekspor dan standar mutu produk.

Dengan adanya SIABE ini diharapkan iklim investasi di bidang

pertanian dan agroindustri semakin membaik dan proses

pengambilan keputusan baik di perbankan maupun instansi

yang terkait untuk menentukan kebijakan investasi di bidang

agroindustri menjadi semakin mudah, cepat dan akurat.

Untuk tahap awal SIABE baru mencakup 11 komoditi

agroindustri yaitu teh, coklat, jambu mete, kelapa sawit, kopi,

ikan, udang, kulit hewan, ubi kayu, ukiran kayu dan kayu manis

(cassiavera). SIABE baru meliputi 3 propinsi yakni Sumatera

Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan yang selanjutnya

akan dikembangkan untuk seluruh propinsi di Indonesia. SIABE

dapat diakses melalui website Bank Indonesia http://

www.bi.go.id atau ke http ://siabe.bi.go.id.

Boks : Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem InformasiAgroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE)

Page 137: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

128

Boks : Stress Test CAR Perbankan terhadap Perubahan Suku Bungadan Nilai Tukar

Dalam upaya memonitor sensitivitas Capital Adequacy Ratio

(CAR) terhadap faktor-faktor yang mengakibatkan kerugian

bank, Bank Indonesia telah melakukan stress test1) terhadap

beberapa bank yang secara sistemik sangat penting bagi

perekonomian Indonesia. Faktor-faktor yang dianggap sangat

berpengaruh terhadap kerugian bank meliputi perubahan

suku bunga dan nilai tukar. Stress test ini juga menjadi salah

satu rekomendasi dari komite pengawasan bank di BIS dalam

menerapkan manajemen risiko di perbankan.

Stress test atas pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap

CAR bank dilakukan dengan mempertimbangkan Net Open

Position (NOP) untuk setiap posisi mata uang dan beberapa

skenario depresiasi nilai tukar rupiah terhadap setiap mata uang

dimaksud. Dalam praktek biasanya digunakan kondisi paling

buruk (worst case scenario) dan penurunan nilai tukar

didasarkan pada skenario tertentu (hypothetical scenario). Dari

hasil stress test nilai tukar ini akan diperoleh informasi tentang

sensitivitas CAR bank terhadap berbagai kemungkinan

penurunan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing sebagai

bahan informasi bagi Bank Indonesia sebagai regulator

maupun bank itu sendiri. Informasi ini dapat digunakan dalam

pengambilan kebijakan moneter yang berkaitan dengan

kondisi perbankan di Indonesia. Apabila berbagai skenario

dimaksud berpengaruh cukup signifikan terhadap penurunan

CAR, maka diharapkan bank akan menurunkan posisi NOP-nya.

Berbeda dengan stress test penurunan nilai tukar, stress

test kenaikan suku bunga menggunakan informasi sumber dan

penempatan dana yang sensitif terhadap perubahan suku

bunga. Ketidaksesuaian jangka waktu (maturity) dan tingkat

suku bunga dari sumber dan penempatan dana apabila terjadi

perubahan suku bunga, akan menimbulkan risiko kerugian bagi

bank. Setiap posisi sumber dan penempatan dana tersebut

dikelompokkan menjadi beberapa time band yakni

berdasarkan jatuh temponya apabila bunga tetap, dan

Hasil Stress Test Sensitivitas Nilai Tukar & Suku Bungaterhadap CAR

1) Stress test adalah pengujian pengaruh volatilitas faktor-faktor sukubunga dan nilai tukar terhadap CAR perbankan denganmenggunakan skenario tertentu.

Nilai Tukar Rupiah CAR CAR CAR CAR CARTurun & Suku Turun Turun Turun Turun NaikBunga Naik 0 s.d.1% 1 s.d. 2% 2 s.d. 5% > 5%

Rp 1.000 & 1% 4 3 0 1 19Rp 2.000 & 2% 1 3 3 1 19Rp 3.000 & 1% 0 3 3 1 20Rp 4.000 & 4% 0 3 2 3 19Rp 5.000 & 5% 0 1 4 3 19

*) Kurs awal sebesar Rp9.530 (November 2000) dan suku bunga awal sebesar11,25% (rata-rata suku bunga deposito 1 bulan pada November 2000)

2) Posisi penempatan dana (sisi aktiva) lebih besar dari posisi sumberdana (sisi pasiva) pada neraca bank.

3) Posisi sumber dana (sisi pasiva) lebih besar dari posisi penempatandana (sisi aktiva) pada neraca bank.

berdasarkan waktu perubahan suku bunga (repricing date)

apabila tingkat bunganya mengambang (floating). Dengan

demikian akan diperoleh posisi long2) dan short3) untuk setiap

time band. Kenaikan suku bunga akan menyebabkan

keuntungan bagi bank yang mempunyai posisi long, dan

kerugian bagi bank yang mempunyai posisi short. Berkaitan

dengan pengaruh nilai tukar, bank yang memiliki posisi long,

akan memperoleh keuntungan. Sebaliknya pada bank yang

dalam keadaan short akan mengalami kerugian.

Stress test yang dilakukan mengasumsikan bahwa ru-

piah akan terdepresiasi terhadap dolar AS dan suku bunga naik

pada waktu yang bersamaan, sementara variabel-variabel lain

diasumsikan tidak mengalami perubahan. Pengujian sensitivitas

ini menggunakan sampel 27 bank yang mewakili bank BUMN,

BTO, bank rekapitalisasi dan bank umum lainnya. Hasil

pengujian dapat dilihat dalam Tabel.

Dari hasil pengujian tersebut terlihat bahwa dampak

depresiasi rupiah dan kenaikan suku bunga yang terjadi secara

bersamaan akan berbeda antara satu bank dengan bank lain

karena tergantung pada beberapa faktor, antara lain posisi

long atau short. Sebagai akibatnya CAR bank dapat naik atau

turun. Oleh karenanya informasi dari stress test ini sangat

membantu pengelolaan likuiditas bank.

Page 138: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain

129

Boks : Kepemilikan Pemerintah di Perbankan Nasional

Sebagai tindak lanjut dari program restrukturisasi perbankan,

seluruh proses rekapitalisasi perbankan melalui penerbitan

obligasi pemerintah yang dimulai sejak Mei 1999 akhirnya telah

berhasil diselesaikan pada Oktober 2000. Khusus sepanjang tahun

laporan, telah dilaksanakan rekapitalisasi 6 bank umum, yaitu

Bank Niaga, Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank

Take Over) serta penerbitan obligasi tahap 2 bagi BNI, BRI dan

BTN. Obligasi yang telah diterbitkan selama tahun laporan

berjumlah Rp148,6 triliun, sehingga sampai dengan akhir tahun

2000, total obligasi yang telah diterbitkan dalam rangka program

rekapitalisasi bank-bank umum nasional sebesar Rp430,4 triliun.

Sebagai konsekuensi dari hasil rekapitalisasi, kepemilikan

pemerintah di perbankan nasional pada posisi akhir tahun 2000

mencapai 95,1% dari total permodalan perbankan nasional

dengan CAR perbankan setelah direkapitalisasi mencapai 12,7%

(lihat grafik). Kepemilikan pemerintah di bank-bank rekapitalisasi

hanya bersifat sementara dan akan dilakukan divestasi secara

berkala. Kepemilikan pemerintah dalam proses rekapitalisasi

perbankan ini mempunyai dampak positif terhadap arah

penyebaran kepemilikan perbankan di masa mendatang.

Melalui rencana divestasi, diharapkan akan tercipta kepemilikan

yang lebih merata. Pada gilirannya, hal ini akan memperkuat

independensi pengurus bank, suatu elemen yang sangat

penting dalam pengelolaan bank yang sehat. Pengalaman

masa lalu menunjukkan konsentrasi kepemilikan bank oleh grup

akan menganggu independensi pengelolaan bank.

Secara umum divestasi direncanakan paling lambat lima

tahun setelah dilakukan rekapitalisasi perbankan, sehingga

diharapkan akan selesai dilakukan pada akhir tahun 2004.

Divestasi kepemilikan pemerintah terhadap BCA dan Bank

Niaga direncanakan akan dilakukan pada kuartal pertama

tahun 2001. Rencana divestasi tersebut akan dapat dilakukan

sesuai dengan target apabila situasi perekonomian sudah

sepenuhnya pulih kembali. Pulihnya perekonomian akan

mendorong perbaikan kondisi bank yang pada akhirnya akan

meningkatkan harga saham bank. Selama ini pemerintah

melihat bahwa penawaran harga dari calon investor tidak sesuai

dengan harapan pemerintah, sehingga rencana divestasi

dimaksud belum dapat terlaksana sesuai dengan yang

direncanakan semula.

Kepemilikan Pemerintah

12%

Des.‘97

4%

–4%

–12%

–20%

–28%

–36%

–44%

–52%

–60%

100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20%

8%

4%

2004

2001Sep.’00

Nov.’00

Des.’00

Jun.’00

Sep.’97Jun.’97

Sep.’98

Des.‘99

Mar.’00

Nov.’99

Ags.’99

Jul.’99

Jun.’99

Mar.’99

Des.’98

Jun.’98

Ca

pita

l Ad

eq

ua

cy R

atio

Rencana Aktual

Evolusi CAR dan Kepemilikan Pemerintah di Perbankan

Page 139: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Sistem Pembayaran NasionalBab 8

Page 140: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

131

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

S eperti telah diamanatkan dalam Undang-Undang

No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indone-

sia diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga sistem

pembayaran guna menciptakan sistem pembayaran nasional

yang efisien, cepat, aman dan handal. Sehubungan dengan

hal tersebut, Bank Indonesia terus menempuh berbagai

kebijakan di bidang sistem pembayaran, baik yang berkaitan

dengan alat pembayaran tunai (kartal) maupun lalu lintas

pembayaran bukan tunai (giral).

Dalam tahun 2000, kebijakan Bank Indonesia di bidang

pembayaran tunai mencakup langkah untuk mencabut dan

menarik uang kertas yang banyak dipalsukan, serta

mengeluarkan uang kertas emisi baru dengan desain dan

ukuran yang sesuai dengan standar Bank Indonesia.

Sementara itu, dalam bidang lalu lintas pembayaran bukan

tunai, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa

ketentuan penyempurnaan mengenai kliring antara lain

mengenai pemberian wewenang yang lebih besar terhadap

penyelenggara kliring. Langkah besar yang telah diambil Bank

Indonesia dalam bidang lalu lintas pembayaran bukan tunai

dalam tahun 2000 adalah implementasi sistem Real Time Gross

Settlement (RTGS).

Kebijakan Sistem Pembayaran dalam tahun 2000

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap

sistem pembayaran nasional, berbagai kebijakan telah

dikeluarkan baik dalam lingkup pembayaran tunai maupun

bukan tunai. Kebijakan dalam lingkup pembayaran tunai

antara lain menyediakan dan mengeluarkan uang kertas baru

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta penang-

gulangan uang palsu yang ditemukan pada beberapa

daerah. (Boks : Proses Pembuatan Uang Rupiah dan Boks :

Uang Palsu "Permasalahan dan Penanggulangannya").

Kebijakan dalam lingkup pembayaran bukan tunai mencakup

penerusan langkah-langkah pengembangan sistem RTGS dan

pemantapan tindakan dalam menghadapi kemungkinan

terjadinya Masalah Komputer Tahun 2000 (MKT2000)

sehubungan dengan pergantian tahun 1999 ke tahun 2000. Di

samping itu, penyempurnaan berbagai peraturan dan

ketentuan lalu lintas pembayaran dan kliring, serta audit

terhadap jaringan komputer Bank Indonesia (BI-Net) untuk

mengantisipasi keamanan jaringan/sistem diseluruh kantor

Bank Indonesia dalam rangka implementasi sistem RTGS juga

dilakukan.

Pada tahun 2000, Bank Indonesia meningkatkan

penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan kebutuhan

masyarakat akan uang kartal. Kenaikan kebutuhan uang kartal

tersebut, selain disebabkan oleh peningkatan kegiatan

ekonomi, juga diakibatkan oleh adanya kekhawatiran

masyarakat dalam menghadapi tanggal-tanggal kritis di awal

tahun 2000 yang berkaitan dengan MKT2000. Di samping itu,

dalam rangka standardisasi ukuran uang kertas rupiah dan

peningkatan pengamanannya, Bank Indonesia telah

menerbitkan emisi baru uang kertas pecahan Rp1.000,00

dengan desain yang baru serta ukuran lebar yang sama

dengan uang kertas pecahan Rp100.000,00. Selain itu, dalam

rangka memperlancar pendistribusian uang kertas baru

tersebut, telah diaktifkan kembali kegiatan kas keliling untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan merayakan hari-

hari besar keagamaan dan tahun baru.

Sementara itu, dalam rangka menanggulangi

keberadaan uang palsu yang cukup meningkat dalam tahun

2000 ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif

dan represif. Langkah preventif yang dilakukan antara lain

dengan mencabut dan menarik dari peredaran uang kertas

yang banyak dipalsukan, yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi

1993/95 (seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri

Cendrawasih), dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri

Hamengkubuwono IX). Langkah preventif lainnya adalah

dengan menyempurnakan desain serta meningkatkan

b a b

8 Sistem Pembayaran Nasional

Page 141: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

132

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

penggunaan unsur-unsur pengamanan pada pencetakan

uang rupiah yang baru. Di samping itu, Bank Indonesia juga

menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui media

cetak, papan pengumuman, serta kegiatan penataran. Hal

lain dilakukan dengan meningkatkan koordinasi bersama

unsur-unsur terkait yang tergabung dalam Badan Koordinasi

Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) yaitu Kepolisian,

Kejaksaan Agung, Peruri, Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Imigrasi.

Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui koordinasi

dengan instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan

pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang

terlibat dalam pemalsuan uang Rupiah.

Berkenaan dengan sistem pembayaran bukan tunai,

khususnya yang menyangkut kliring, telah pula dilakukan sejum-

lah penyempurnaan. Bagi penyelenggara kliring bukan-Bank

Indonesia diberikan wewenang yang lebih besar untuk memu-

tuskan suatu permasalahan yang terjadi dalam kegiatan kliring

di wilayahnya seperti pemberian persetujuan kepada calon

peserta dan penyelesaian dispute antar peserta kliring. Di-

samping itu, dalam rangka mengurangi pemberian subsidi ke-

pada perbankan, khusus untuk penyelenggara kliring lokal non-

Bank Indonesia yang jumlah perputaran warkat per hari di wila-

yah kliring tersebut telah mencapai 1.000 warkat atau lebih da-

lam waktu 6 bulan berturut-turut, penyelenggara kliring tersebut

dapat mengenakan biaya kepada setiap peserta kliring yang

besarnya sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Satu kemajuan penting dan mendasar dalam per-

kembangan sistem pembayaran bukan tunai di Indonesia

adalah mulai diterapkannya sistem RTGS pada November

2000 oleh Bank Indonesia untuk semua bank yang beroperasi

di Jakarta. Sebagaimana diketahui, sistem RTGS merupakan

sistem yang memproses penyelesaian akhir transaksi (settle-

ment) pembayaran antarbank yang dilakukan per transaksi

dan bersifat real time (electronically processed) di mana

rekening bank peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali

dalam sehari sesuai dengan perintah dan penerimaan

pembayaran. Berbagai jenis transaksi pembayaran yang

dilakukan bank dapat dijalankan melalui Sistem BI-RTGS,

seperti transaksi-transaksi antar bank dalam rangka Pasar

Uang Antar Bank (PUAB), transaksi rupiah dalam rangka jual

beli mata uang asing (foreign exchange), transaksi yang

berkaitan dengan rekening pemerintah dan transaksi setoran/

penarikan tunai di Bank Indonesia, serta transaksi-transaksi

antarnasabah. Dengan diterapkannya sistem tersebut, Bank

Indonesia menjadi bank sentral keempat di kawasan ASEAN

yang mengoperasikan sistem RTGS, setelah Singapura, Ma-

laysia, dan Thailand.

Ada beberapa manfaat yang diperoleh masyarakat dan

sistem perekonomian dalam menggunakan sistem BI-RTGS ini.

Bagi masyarakat sistem ini di samping memberikan kecepatan

dan ketepatan waktu, juga dapat memberikan kepastian dari

pengiriman maupun penerimaan dana sehingga

memudahkan perencanaan kegiatan ekonomi. Bagi Bank In-

donesia sistem ini bermanfaat dalam menurunkan risiko sistem

pembayaran, dan mengurangi tindakan spekulasi bank-bank.

Di samping itu sistem RTGS juga menjadi sumber informasi yang

akurat dalam pengawasan bank-bank dan pengendalian

moneter.

Dalam rangka penerapan sistem BI-RTGS tersebut, Bank

Indonesia telah mengambil langkah-langkah persiapan baik

intern maupun ekstern sehingga implementasinya dapat

berjalan lancar. Dari sisi intern, Bank Indonesia melakukan

persiapan organisasi dan personil, peralatan dan infrastruktur

sistem BI-RTGS baik di main site maupun di Disaster Recovery

Centre (DRC), dan seluruh perangkat aturannya. Di sisi ekstern,

Bank Indonesia secara terus menerus mengadakan pertemuan

dengan seluruh bank, baik untuk keperluan pelatihan teknis,

diskusi atas solusi teknis dan non teknis, serta sosialisasi berbagai

ketentuan terkait termasuk ketentuan antarbank dalam rangka

RTGS (Interbank Bye-Laws). Bank Indonesia juga secara kontinyu

memonitor persiapan manajemen bank pelaksana serta komite

internal bank untuk mengimplementasikan sistem RTGS. Di

samping itu, untuk memantau kesiapan dan keamanan semua

komponen infrastruktur jaringan komputer Bank Indonesia (BI-

Net) dalam rangka implementasi sistem RTGS, telah dilakukan

audit terhadap keseluruhan infrastruktur BI-Net yang dilakukan

oleh auditor internasional yang telah memiliki pengalaman

dalam bidang tersebut.

Page 142: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

133

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Perkembangan Alat-alat Pembayaran

Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dalam tahun

2000, perkembangan alat-alat pembayaran tunai maupun

bukan tunai juga menunjukkan peningkatan dibanding tahun

sebelumnya. Di samping itu, berdekatannya hari-hari keaga-

maan dan tahun baru juga menjadi faktor penyebab mening-

katnya penggunaan kedua alat pembayaran tersebut di atas.

Alat Pembayaran Tunai

Posisi UYD (Uang Kartal Yang Diedarkan) sepanjang tahun 2000

cenderung meningkat. Posisi UYD akhir Desember 2000

mencapai Rp89,7 triliun atau meningkat 23,6% dibandingkan

dengan posisi UYD akhir Desember tahun 1999 yang hanya

sebesar Rp72,6 triliun (Tabel 8.1). Sementara itu, rata-rata posisi

UYD akhir bulan pada tahun 2000 mencapai Rp65,0 triliun atau

naik 21,1% dibandingkan rata-rata posisi UYD akhir bulan pada

tahun 1999 sebesar Rp53,6 triliun.

Kenaikan UYD ini secara umum dipengaruhi oleh

tingginya permintaan masyarakat terhadap uang kartal untuk

memenuhi kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan

perkembangan berbagai indikator ekonomi nasional. Ditinjau

dari besarnya kenaikan UYD, kenaikan yang cukup drastis

Tabel 8.1Perkembangan Uang Kartal yang Diedarkan Per Pecahan

1998 1999 2000 2)

Miliar Rupiah

UYD1) 48.329 72.560 89.705Uang Kertas 47.435 71.480 88.370

100.000 – 5.526 6.83250.000 18.941 36.909 45.63020.000 13.643 16.560 20.47210.000 9.566 7.389 9.1355.000 3.311 2.757 3.4081.000 1.232 1.620 2.003

<1.000 742 720 890

Uang Logam 894 1.080 1.3351.000 101 130 161

500 99 153 189100 497 587 725

50 143 151 18725 42 43 53

<25 12 16 20

1) Uang kartal di luar BI2) Estimasi UYD per pecahan tanggal 30 Desember 2000

R i n c i a n

Grafik 8.1Perkembangan Jumlah Uang yang Dimusnahkan (PTTB)

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

Triliun rupiah

1999

2000

terjadi dari bulan November ke Desember 2000 yaitu sebesar

32,3%. Hal ini disebabkan adanya penarikan yang cukup besar

dari masyarakat dalam rangka menghadapi bulan

Ramadhan, Hari Natal dan Hari Raya Idul Fitri yang waktunya

hampir bersamaan.

Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan antara uang

kertas dan uang logam sepanjang tahun 2000 tidak banyak

mengalami perubahan, dengan pangsa masing-masing jenis

uang sebesar 98,5% untuk uang kertas dan 1,5% untuk uang

logam.

Selain menyediakan uang dalam jumlah yang cukup,

Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar kualitas uang

yang beredar di masyarakat tetap baik. Hal ini dilakukan

dengan cara menarik dan memusnahkan uang yang tidak

layak edar, atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB),

serta mengganti uang yang ditarik/dimusnahkan tersebut.

Jumlah rata–rata PTTB periode Januari s.d. Desember 2000

sebesar Rp5,6 trilliun atau naik 38,5% dibandingkan rata-rata

PTTB pada tahun 1999 yang mencapai Rp4,0 triliun (Grafik

8.1). Kenaikan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya

kegiatan PTTB karena adanya jenis uang kertas yang dicabut

dari peredaran yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi 1993/1995

(seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri

Page 143: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

134

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Grafik 8.3 Perkembangan Posisi Kas

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Triliun rupiah

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1998

1999

2000

Grafik 8.2Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar

0

5

10

15

20

25

30Aliran Uang Masuk

Aliran Uang Keluar

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

2 0 0 0

Triliun rupiah

Cendrawasih) dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri

Hamengkubuwono IX).

Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar dan Posisi Kas

Aliran uang masuk (inflow) dari masyarakat kembali ke Bank

Indonesia secara nasional cenderung berfluktuasi. Rata-rata

inflow bulanan pada tahun 2000 adalah sebesar Rp12,3 triliun

atau naik 22,8% dibandingkan dengan rata-rata bulanan in-

flow pada tahun 1999 yang mencapai Rp10,0 triliun (Grafik

8.2). Sementara itu, rata-rata bulanan aliran uang keluar

(outflow) dari Bank Indonesia ke masyarakat pada periode

Januari s.d. Desember 2000 mencapai Rp13,7 triliun atau

meningkat 12,7% dibandingkan rata-rata bulanan outflow

tahun 1999 yang mencapai Rp12,1 triliun.

Berdasarkan perkembangan inflow – outflow di atas,

secara nasional pada tahun 2000 terjadi net outflow sebesar

Rp17,0 triliun. Jumlah ini merupakan tambahan uang yang

diedarkan oleh Bank Indonesia selama tahun 2000 untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, bila dilihat

dari karakteristik Kantor Bank Indonesia (KBI), hampir seluruh

KBI di luar Jawa mengalami net outflow, sedangkan KBI di Jawa

kecuali Jakarta mengalami net inflow. Hal ini terutama

disebabkan aktivitas pengeluaran/belanja masyarakat Indo-

nesia sebagian besar terjadi di Jawa.

Posisi kas Bank Indonesia pada akhir tahun 2000 sebesar

Rp27,7 triliun atau turun 51,3% dibandingkan dengan posisi

kas pada akhir tahun 1999 yang tercatat Rp56,9 triliun (Grafik

8.3). Penurunan posisi kas ini terutama disebabkan oleh

meningkatnya jumlah uang yang dimusnahkan (PTTB)

sebagai akibat dari kebijakan pencabutan beberapa jenis

pecahan serta dipengaruhi oleh meningkatnya penarikan

uang kartal oleh masyarakat terutama menjelang akhir tahun.

Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu

Dari data statistik penemuan uang palsu yang berasal dari

laporan bank-bank, POLRI dan BI, dari tahun 1994 s.d. Novem-

ber 2000, jumlah uang palsu yang ditemukan sebesar 989.621

bilyet atau senilai Rp32,6 miliar (Tabel 8.2). Dari jumlah tersebut,

penemuan terbesar adalah untuk pecahan Rp50.000,00 yaitu

495.330 bilyet (50%), diikuti pecahan Rp20.000,00 sebanyak

287.891 bilyet (29,1%). Untuk periode Januari s.d November 2000

jumlah temuan uang palsu meningkat 48,8% dibandingkan

dengan jumlah temuan uang palsu dalam tahun 1999 yaitu

dari 215.950 bilyet menjadi 317.124 bilyet (88,0% diantaranya

adalah pecahan Rp50.000,00).

Dari jumlah uang palsu yang ditemukan menunjukkan

bahwa sebagian besar adalah uang palsu yang belum sempat

Page 144: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

135

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Periode

Tabel 8.2Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per PecahanTahun 1994 – 2000

Jenis Pecahan

Bilyet

50.000 20.000 10.000 5.000 Jumlah

1994 14 2.340 1.925 624 4.903

1995 74 5.349 7.224 403 13.050

1996 128 5.379 9.904 2.537 17.948

1997 16.392 139.938 82.274 234 238.838

1998 107.520 9.758 59.633 754 177.665

1999 89.137 100.536 26.053 224 215.950

20001) 282.065 24.591 12.766 1.845 321.267

Jumlah 495.330 287.891 199.779 6.621 989.621

1) Data sampai dengan November 2000

Tabel 8.3Pangsa Penemuan Uang Palsu Menurut Sumber Laporan

POLRI Bank-Bank

P e r s e n

1998 84,4 15,6

1999 80,4 19,6

20001) 83,7 16,3

1) Data sampai dengan November 2000

Periode

Rincian

Tabel 8.4Nisbah Uang Palsu Terhadap UYD

P e c a h a n

Bilyet

50.000 20.000 10.000 5.000

1994 0,000000 0,000007 0,000003 0,000002

1995 0,000001 0,000014 0,000009 0,000001

1996 0,000001 0,000011 0,000014 0,000008

1997 0,000097 0,000250 0,000092 0,000000

1998 0,000284 0,000014 0,000062 0,000001

1999 0,000124 0,000123 0,000035 0,000000

20001) 0,000641 0,000041 0,000025 0,000004

1) Data sampai dengan November 2000

(BOTASUPAL). Bank Indonesia juga senantiasa meningkatkan

security features (tanda pengaman) pada setiap uang kertas

yang akan diterbitkan dan meningkatkan sosialisasi mengenai

keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Selama tahun 2000

telah dilakukan 55 kali penyuluhan, yang diikuti oleh siswa

sekolah, guru-guru dan tokoh masyarakat. Selain upaya yang

bersifat preventif tersebut, Bank Indonesia menerapkan upaya

represif dengan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan

instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan

pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat

dalam pemalsuan uang rupiah.

Alat Pembayaran Bukan Tunai

Seperti alat pembayaran tunai, dalam tahun laporan transaksi

menggunakan alat pembayaran bukan tunai juga meningkat

cukup tajam baik yang berbasis warkat maupun yang

menggunakan kartu elektronik. Perkembangan tersebut

sejalan dengan semakin maraknya kegiatan ekonomi selama

tahun laporan.

Alat Pembayaran Bukan Tunai Berbasis Warkat

Sampai akhir tahun 2000, nominal kliring penyerahan secara

nasional menunjukkan peningkatan sebesar 41,7% dibanding

beredar di masyarakat, yang merupakan hasil penangkapan

petugas POLRI. Data dari Januari s.d. November 2000

menunjukkan bahwa 83,7% uang palsu yang ditemukan

adalah berasal dari Kepolisian sedangkan sisanya (16,3%)

berasal dari laporan bank-bank (Tabel 8.3).

Secara umum jumlah uang palsu yang ditemukan

cenderung meningkat. Apabila dibandingkan dengan uang

kartal yang diedarkan (UYD), berkisar antara 0 – 641 lembar

per satu juta lembar UYD (Tabel 8.4). Untuk itu, Bank Indonesia

tetap meningkatkan kerja sama dengan instansi terkait dalam

upaya memberantas peredaran uang palsu tersebut, antara

lain dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu

Page 145: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

136

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

tahun 1999, dari Rp5.156 triliun menjadi Rp 7.304 triliun. Secara

umum hal ini didorong oleh meningkatnya kegiatan ekonomi

dalam tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1999.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rangkaian

perayaan hari-hari besar keagamaan pada triwulan IV/2000,

yang biasanya mendorong peningkatan volume warkat dan

nominal kliring penyerahan, tahun ini tidak menunjukkan

perilaku yang sama. Pada triwulan tersebut nominal perpu-

taran kliring penyerahan justru menurun dibandingkan dengan

triwulan sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan volume

warkat kliring penyerahan pada tahun 2000 turun 7,9 % dari

78.090 ribu lembar pada tahun 1999 menjadi 73.707 ribu lembar

(Tabel 8.5). Hal ini merupakan indikasi bahwa setelmen melalui

sistem BI-RTGS (diimplementasikan pada tanggal 17 Novem-

Tabel 8.5Perkembangan Perputaran dan Penolakan KliringSecara Nasional

2000

I II III IV2)

Penyerahan

Nominal (Triliun Rp) 6.760 5.755 5.156 1.711 1.939 2.007 1.648

Lembar (ribu) 111.270 87.324 78.090 18.425 18.950 18.378 17.954

Penolakan1)

Nominal (Triliun Rp) 20,3 24,9 12,3 3,1 2,9 3,8 4,2

Lembar (ribu) 1.944 1.247 852 203 225 227 237

1) Terdiri atas : Cek kosong, BG Kosong dan Alasan Lain2) s.d. akhir bulan Desember 2000 (minggu ke-4 libur Natal, Idul Fitri dan tahun baru)

Warkat Kliring 1997 1998 1999

Tabel 8.6Perkembangan Perputaran dan Penolakan KliringMenurut Wilayah

1997 1998 1999 20003)

Jakarta Luar Jakarta Luar Jakarta Luar Jakarta LuarJakarta Jakarta Jakarta Jakarta

PenyerahanNominal (triliun Rp) 6.120 640 4.659 1.095 4.144 1.012 6.222 1.082Lembar (ribu) 55.273 55.997 41.531 45.793 38.805 41.285 35.650 38.057

Penolakan1)

Nominal (triliun Rp) 43 5 21 2 8 5 9 5Lembar (ribu) 1.548 396 803 245 458 394 496 395

PUAB2)

Nominal (triliun Rp) 6.244 6.641 2.250Lembar (ribu) 492 442 177

1) Terdiri atas : Cek kosong, BG Kosong dan Alasan Lain2) Sejak tanggal 19 Agustus 1999 pencatatan PUAB kliring dimasukkan dalam Nilai

Kliring Nominal Besar3) Sampai dengan akhir Desember 2000 (minggu ke-4 libur Natal, Idul Fitri

dan Tahun Baru)

Warkat Kliring

Grafik 8.4Perkembangan Transaksi BI-RTGS

-

50

100

150

200

Aktivitas Kliring Nilai Besar sebelum BI-RTGS

RTGS

Aktivitas Kliring Nilai Besar setelah BI-RTGS

17 21 23 27 29 01 06 07 11 13 15 19 21November 2000 Desember 2000

Triliun Rp

Aktivitas Kliring Nilai Besar sebelum BI-RTGS

RTGS

Aktivitas Kliring Nilai Besar setelah BI-RTGS

-

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

17 20 21 22 23 24 27 28 29 30 01 04 05 06 07 08 11 12 13 14 15 18 19 20 21 22

November 2000 Desember 2000

Transaksi

ber 2000) yang memiliki risiko kegagalan bayar kecil, sangat

diminati oleh kalangan perbankan nasional. Hal tersebut

ditunjukkan dengan kecenderungan beralihnya aktivitas kliring

nilai besar pada wilayah kliring Jakarta dari Otomasi Kliring

Jakarta (OKJ) dan Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ) ke

Sistem BI-RTGS (Grafik 8.4). Namun mengingat implementasi

Sistem BI-RTGS masih sangat baru, kelanjutan dari kecen-

derungan ini masih harus terus dicermati.

Apabila dilihat berdasarkan wilayah kliring, Jakarta

masih merupakan penyumbang terbesar dalam nominal

kliring penyerahan secara nasional (Tabel 8.6). Hal tersebut

Page 146: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

137

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

pada tahun 2000 menunjukkan perbandingan yang relatif

tetap, yaitu 48,0% bagi wilayah Jakarta dan 52,0% untuk

wilayah luar Jakarta.

Dalam pada itu, kliring retur yang dipresentasikan oleh cek

dan bilyet giro kosong, menunjukkan kecenderungan pergerakan

yang searah dengan kliring penyerahan. Volume cek dan bilyet

giro kosong naik dari 852 ribu lembar pada awal periode laporan

menjadi 891 ribu lembar pada akhir Desember 2000, sedangkan

nominal cek dan bilyet giro kosong naik dari Rp 12,3 triliun menjadi

Rp. 14,0 triliun.

Dalam tahun 2000, jumlah bank peserta kliring turun

dari 2.178 kantor bank pada akhir 1999 menjadi hanya 1.973

kantor bank pada akhir tahun laporan (Grafik 8.5).

Penurunan terbesar terjadi di Jakarta yaitu sebesar 12,5 %

atau dari 681 kantor bank menjadi 596 kantor bank,

sedangkan luar Jakarta dari 1.497 kantor bank menjadi

1.377 kantor bank.

Sementara itu, bila dilihat dari penggunaan jenis warkat

dalam kliring, sampai akhir periode laporan warkat berjenis

debet (cek, bilyet giro, nota debet, dan warkat debet lainnya)

masih mendominasi dengan pangsa 54,6% (Grafik 8.6),

sedangkan warkat kredit hanya memiliki pangsa 45,4%. Dari

persentase warkat debit tersebut, bilyet giro masih merupakan

warkat kliring yang paling banyak digunakan (48,2%), diikuti

oleh cek (6,1%). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa

Tabel 8.7Pertumbuhan Nominal Transaksi Alat PembayaranBukan Tunai Elektronis

Jumlah 1) % Pertumbuhan dibanding

2000 1999 1998

Kartu Kredit 13.639 31.65 176.16

Kartu Debet 4.663 45.17 80.75

Kartu Smart 0.001 (99.65) (99.97)

ATM 153.590 79.86 650.62

EFT/POS 0.898 7.99 95.28

1) Jumlah dalam triliun rupiah

P i r a n t i

Grafik 8.6Pangsa Penggunaan Warkat dalam Kliring

(Wilayah Kliring Jakarta)

Warkat Kredit45,45%

Warkat Debet54,55%

Cek6,10%

Nota Debet 0,23%

Lainnya 0,01%

Bilyet Giro 48,21%

Des.Okt. Nov.Ags. Sep.Jun. Jul.MeiApr.Mar.Feb.

Jakarta Luar Jakarta

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

U n i t

Des. Jan.

1999 2 0 0 0

terlihat dari pangsa nominal kliring Jakarta terhadap kliring

secara nasional yang mencapai 85,2%. Wilayah kliring di luar

Jakarta cenderung mengalami penurunan nominal kliring

yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan pangsa dari

19,6% pada 1999 menjadi hanya 14,8%. Sementara itu,

pangsa volume warkat kliring berdasarkan wilayah kliring

Grafik 8.5Perkembangan Kantor Bank Peserta Kliring

(Peserta Langsung)

Page 147: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

138

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

penggunaan jenis warkat kliring yang lain (seperti Nota Debet,

WBUT, SBPT) sangat jarang digunakan.

Alat Pembayaran Bukan Tunai Elektronis / Berbasis Kartu

Perkembangan alat pembayaran bukan tunai elektronis/ber–

basis kartu pada tahun laporan tumbuh sejalan dengan aktivitas

perekonomian yang direfleksikan oleh perkembangan uang

beredar dan aktivitas kliring. Hampir seluruh alat pembayaran

bukan tunai elektronis berbasis kartu ini memiliki kecenderungan

peningkatan pada akhir periode laporan, kecuali kartu Smart

(Tabel 8.7 dan Tabel 8.8). Nilai transaksi alat pembayaran bukan

tunai elektronis (diluar kartu Smart) tahun 2000 meningkat sebesar

41,2% dibanding tahun 1999. Perkembangan ini juga me–

nunjukkan makin meningkatnya penerimaan masyarakat ter–

hadap keberadaan alat pembayaran bukan tunai elektronis ini.

Rencana pengembangan sistem pembayaran nasional

Peningkatan Pelayanan Kas di Kantor Pusat

Dalam rangka efisiensi dan meningkatkan pelayanan kepada

perbankan serta memudahkan koordinasinya, Bank Indone-

sia akan memindahkan Bagian Pengedaran, Kas Kota dan Kas

Thamrin ke Gedung C, Bank Indonesia Thamrin. Untuk

mendukung pelaksanaan operasional perkasan di Kantor

Pusat, pemindahan tersebut sekaligus dilakukan bersamaan

dengan implementasi Otomasi Administrasi Perkasan (OAP)

Kantor Pusat. Dengan adanya implementasi tersebut, maka

seluruh transaksi perkasan di Kantor Pusat akan dilaksanakan

secara on-line.

Penyempurnaan Surat Edaran Penyetoran dan

Pembayaran

Sehubungan dengan semakin meningkatnya aktivitas bank

umum yang berdampak pada semakin meningkatnya tugas-

tugas pengelolaan uang kartal, maka dipandang perlu untuk

menyempurnakan ketentuan tentang pengambilan dan

penyetoran uang kartal oleh bank umum di Bank Indonesia

dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dengan penyem-

purnaan ketentuan tersebut, kegiatan pengambilan dan

penyetoran uang kartal di Bank Indonesia yang selama ini

dilakukan oleh bank umum, nantinya dimungkinkan dapat

Tabel 8.8Perkembangan Alat Pembayaran Bukan Tunai Elektronis

1998 19992 0 0 0

I II III IV

I. Kartu KreditJumlah Pemegang (orang) 2.028.442 2.043 2.070.147 2.171.667 2.368.370 2.622.604Jumlah Transaksi (ribu) 15.395 29.578 8.081 8.665 9.784 10.770Volume Transaksi (triliun Rp) 4,9 10,4 3,0 3,2 3,6 3,9

II. Kartu DebetJumlah Pemegang (orang) 5.374.376 12.110.970 12.327.766 12.448.780 12.824.485 13.103.676Jumlah Transaksi (ribu) 11.935 16.002 3.819 4.393 5.321 5.850Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 3,2 0,8 1,1 1,3 1,5

III. Kartu SmartJumlah Pemegang (orang) 83.190 29.918 25.750 25.396 25.279 25.075Jumlah Transaksi (ribu) 4.171 62 0,4 0,2 0,1 0,2Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0

IV. ATMJumlah Mesin (unit) 5.985 6.012 6.119 6.227 6.433 6.767Jumlah Pemegang (orang) 13.169.663 16.195.251 13.989.452 17.278.118 17.859.821 18.786.094Jumlah Transaksi (ribu) 171.802 408.766 100.087 113.601 126.751 130.732Volume Transaksi (triliun Rp) 20,5 85,4 29,6 34,9 41,6 47,4

V. EFT/POSJumlah Mesin (unit) 4.213 5.089 5.523 5.793 6.599 7.005Jumlah Pemegang (orang) 46.652 53.322 51.564 54.527 57.701 61.934Jumlah Transaksi (ribu) 1.936 2.952 634 671 664 715Volume Transaksi (triliun Rp) 0,5 0,8 0,2 0,2 0,2 0,2

Page 148: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

139

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

diserahkan kepada perusahaan jasa pihak ketiga yang

melakukan kegiatan pengambilan, penyetoran dan

penukaran uang sepanjang perusahaan jasa pihak ketiga

tersebut mendapatkan kuasa dari bank pemegang rekening

di Bank Indonesia.

Pengembangan Sistem Informasi Pengedaran Uang

Untuk mendukung kegiatan-kegiatan di bidang pengedaran

uang, seperti penyusunan rencana cetak, penyediaan stok

uang dan kertas uang, sistem distribusi uang kertas/uang

logam dan lain sebagainya, pada pertengahan tahun 2001

akan diterapkan Sistem Informasi Pengedaran Uang (SIPU).

Sistem ini merupakan database khusus yang terpisah dari

sistem OAP yang selama ini diterapkan di Satuan Kerja Kas

Bank Indonesia. Dengan penerapan SIPU tersebut, maka

penyediaan informasi yang berkaitan dengan bidang

perkasan menjadi semakin cepat dan up to date.

Standardisasi Uang Kertas

Salah satu aspek yang menjadi pertimbangan dalam

pencetakan uang adalah agar uang tersebut mudah dan

nyaman digunakan. Dalam arti yang lebih luas, secara fisik

uang yang dicetak tidak akan menimbulkan kesulitan bagi

pengguna baik masyarakat umum maupun perbankan. Oleh

karena itu, untuk memudahkan masyarakat pengguna uang

rupiah, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan

menyeragamkan ukuran lebar dari setiap pecahan uang

kertas yang akan diterbitkan disertai peningkatan security fea-

tures sebagaimana yang sudah dilakukan terhadap beberapa

pecahan uang kertas emisi baru. Dengan demikian di masa

yang akan datang, untuk mengetahui perbedaan pecahan

uang kertas secara sepintas dapat dilihat dari ukuran

panjangnya saja.

Pengembangan RTGS

Sebagai kelanjutan dari program RTGS tahap pertama

yang telah diimplementasikan pada November 2000,

penerapan Sistem BI-RTGS sebagai suatu mekanisme

setelmen transaksi nilai besar/urgent akan diimplemen-

tasikan di 12 Kantor Bank Indonesia. Pengintegrasian

sistem BI-RTGS di kantor pusat dan kantor cabang Bank

Indonesia ini akan menghapus rekening giro bank yang

ada di kantor-kantor Bank Indonesia sehingga hanya ada

satu rekening giro bank di kantor pusat Bank Indonesia

(centralized settlement account).

Penggabungan rekening ini menguntungkan bagi Bank

Indonesia maupun bank peserta. Penggabungan rekening

tersebut memudahkan Bank Indonesia dalam memantau

ketaatan bank dalam memenuhi kebutuhan Giro Wajib Mini-

mum (GWM). Selain itu, Bank Indonesia dapat memantau

likuiditas bank, sehingga dapat dipakai sebagai early warn-

ing system bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.

Bagi bank peserta, penggabungan rekening ini memudahkan

mereka untuk melakukan pengawasan terhadap posisi

likuiditasnya sehingga bank dapat mengelola dananya secara

efektif dan efisien.

Selanjutnya, untuk terus menurunkan risiko yang

terkandung dalam sistem kliring, maka ketentuan "Cap"

(pembatasan nilai transaksi) maksimum atas warkat transfer

melalui kliring akan segera diberlakukan pada awal tahun

2001. Dengan diberlakukannya "Cap" tersebut, maka transaksi

mulai Rp1 miliar ke atas harus melalui sistem BI-RTGS,

sedangkan transaksi dengan nilai dibawah Rp 1 miliar akan

diselesaikan melalui sistem kliring.

Di samping itu, untuk menurunkan risiko setelmen di

pasar uang dan pasar modal, akan dilakukan pengem-

bangan Delivery Versus Payment (DVP) tahap pertama. Dari

pengembangan ini akan tercipta suatu integrasi sistem

setelmen antara sisi pembayaran (payment leg) melalui

sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas (delivery leg)

melalui sistem setelmen sekuritas

Penyempurnaan aktivitas kliring

Dalam rangka mengurangi risiko pembayaran antarbank,

serta untuk meningkatkan efisiensi dan pengawasan dalam

pelaksanaan kliring maka sejumlah penyempur naan

direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2001.

Penyempurnaan tersebut meliputi :

Page 149: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

140

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Upgrade sistem Otomasi Kliring Medan (OKM)

Upgrade akan dilakukan terhadap mesin reader/sorter (R/S) pada

KBI Medan yang belum berbasis image menjadi berbasis image

pada akhir 2001. Penyempurnaan ini dilakukan untuk meng-

antisipasi peningkatan volume kliring di wilayah kliring Medan.

Penerapan Otomasi Kliring Bandung (OKB)

Sampai saat ini volume warkat pada wilayah kliring Bandung

sudah sedemikian tingginya untuk tetap dilayani dengan sistem

kliring Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL). Sehubungan dengan

hal tersebut, perlu dilakukan otomasi kliring guna mengatasi

permasalahan yang timbul bila terjadi peningkatan volume

klring di kemudian hari. Selain itu penerapan OKB juga ditujukan

agar pemrosesan warkat dapat menjadi lebih cepat dan

efisien serta merupakan antisipasi terhadap pengembangan

sistem pembayaran di masa mendatang.

Pengembangan sarana back up data image warkat

kliring (CD Burner) di Jakarta, Bandung dan Surabaya

Untuk mengatasi keterbatasan sistem (baik hardware maupun

software) guna menyimpan data image dalam jangka waktu

yang panjang (saat ini jangka waktu maksimum 30 hari), serta

untuk mengantisipasi kemungkinan permintaan data dan

informasi kliring yang terjadi setelah melampaui 30 hari,

diperlukan suatu media penyimpan yang mampu

mengoptimalkan penggunaan teknologi image yang sekaligus

meningkatkan kualitas informasi yang dihasilkan, tanpa

meninggalkan aspek efisiensi biaya. Untuk maksud tersebut,

CD Burner diharapkan dapat diimplementasikan pada KBI

penyelenggara kliring yang menggunakan basis image.

Pengembangan Bulk Interbank Payment System (BIPS)

Pembayaran bulk adalah pembayaran-pembayaran antar

bank yang bersifat rutin dengan volume tinggi dan bernilai

nominal rendah seperti transaksi pembayaran gaji/upah, kartu

kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihan telepon/listrik/air, dan

lain-lain. Pada saat ini sudah banyak bank yang memiliki produk

pembayaran bulk yang memungkinkan masyarakat atau

perusahaan untuk melakukan pembayaran telepon/listrik/air,

gaji/upah, kartu kredit, dan lain-lain secara autodebet.

Perkembangan ini dapat mengurangi efisiensi perbankan

karena mereka harus menyediakan SDM, investasi mesin dan

biaya pencetakan warkat.

Di sisi Bank Indonesia melonjaknya volume warkat-warkat

kliring pada hari pembayaran transaksi bulk menyebabkan

tekanan yang cukup berat pada proses warkat kliring di mesin

reader sorter yang pada akhirnya dapat memperlambat

setelmen hasil kliring perbankan. Pada tahun 2001, Bank Indo-

nesia diharapkan dapat mengimplementasikan kliring khusus

untuk transaksi-transaksi bulk sehingga transaksi antar bank

lainnya yang telah dilakukan melalui kliring saat ini menjadi

lebih efisien.

Implementasi Back End Switch.

Untuk mengefisienkan proses pembukuan dan switching pada

bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta untuk

memberikan tambahan kemudahan dan keamanan bagi

para nasabah penggunanya, maka Bank Indonesia akan

memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral suassion)

bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat menghubungkan

jaringannya satu sama lain.

Page 150: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

141

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Boks : Proses Pembuatan Uang Rupiah

Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia merupakan satu-

satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan uang ru-

piah. Sejalan dengan tugas dimaksud, Bank Indonesia harus dapat

menjamin tersedianya uang yang cukup dalam berbagai pecahan,

kapan dan dimanapun diperlukan dengan kualitas baik serta kondisi

layak edar. Untuk dapat mencapai hal tersebut, dalam setiap

penerbitan uang baru diupayakan agar uang yang diterbitkan

harus dapat mempermudah kelancaran transaksi pembayaran

tunai serta dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat.

Dasar pertimbangan yang digunakan dalam penerbitan

uang baru antara lain :

(1) Menyederhanakan satuan hitung dan untuk memperlancar

transaksi pembayaran tunai dengan melakukan

penyederhanaan atau menata kembali pecahan-pecahan

yang ada.

(2) Melakukan penyesuaian terhadap perkembangan ekonomi

seperti tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar.

(3) Melakukan perubahan-perubahan pada uang untuk

meningkatkan kualitas dan efisiensi pengadaan, seperti

penggantian unsur pengaman (security features) dan

antisipasi terhadap kemungkinan pemalsuan terhadap uang

yang sudah beredar cukup lama.

(4) Memperingati suatu kejadian tertentu yang bersifat monumen-

tal dalam bentuk uang peringatan.

Dalam menerbitkan uang baru diupayakan agar fisik uang

tersebut memiliki karakteristik :

(1) Mudah dan nyaman digunakan (user friendly)

Bertujuan agar uang tersebut tidak akan menimbulkan

kesulitan bagi pengguna baik masyarakat umum maupun

para kasir dan pengguna uang lainnya serta memiliki aspek

kepraktisan dan kemudahan.

(2) Tahan lama (durable)

Diupayakan agar uang baru tersebut memiliki kualitas baik

dan memungkinkan masa edar relatif lama sesuai dengan

jenis dan besarnya pecahan, dengan memperhatikan :

(a) Bahan uang yang digunakan berkualitas, sehingga kertas

uang tidak mudah lusuh, relatif tahan terhadap iklim

panas dan kelembaban, unsur pengaman tetap terjaga,

sedangkan untuk logam uang tidak mudah luntur dan

rusak dalam peredaran.

(b) Proses cetak uang dapat menghasilkan hasil cetak yang

baik sesuai dengan standar yang diinginkan.

(3) Mudah dikenali (easily recognizable)

Agar masing-masing jenis dan pecahan mudah dikenali

dengan cepat oleh masyarakat termasuk penyandang tuna

netra, maka warna, gambar desain dan ukuran untuk masing-

masing pecahan dibuat dengan perbedaan yang jelas,

khususnya uang logam.

(4) Sulit dipalsukan (secure against counterfeiting)

Untuk menghindari pemalsuan, maka dalam menerbitkan

uang baru diperlukan suatu perpaduan gambar desain uang,

unsur pengaman (security features) dan proses cetak dengan

menggunakan teknologi yang canggih.

Agar dapat menerbitkan uang baru dalam jumlah yang

cukup, maka dalam memperhitungkan jumlah uang yang dicetak

harus memperhatikan faktor-faktor pertumbuhan UYD yang

mempertimbangkan variabel-variabel ekonomi seperti pertumbuhan

ekonomi, laju inflasi, suku bunga dan kurs; serta penggantian uang

lusuh yang telah dimusnahkan dan persediaan uang tunai di seluruh

satuan kerja kas. Penerbitan uang (emisi) baru tersebut harus

didasarkan pada suatu penelitian yang komprehensif dan

perencanaan yang matang agar uang yang diterbitkan tersebut

memiliki kualitas yang baik dan memenuhi karakteristik di atas dengan

biaya yang dikeluarkan wajar dibandingkan mutu dan jumlah yang

dicetak. Untuk dapat mencapai hal tersebut, maka keputusan

menerbitkan uang biasanya dikeluarkan jauh sebelum penerbitan

dilakukan, yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut :

(1) Tahap Persiapan

(a) Penetapan desain uang

– Pemilihan gambar desain uang yaitu gambar

utama dan gambar lain sebagai pendukung yang

umumnya bersifat nasionalistik seperti flora, fauna,

kesenian, pemandangan alam, kebudayaan dan

pahlawan nasional. Dalam tahap ini, ditetapkan

juga pemilihan terhadap gambar tanda air (water-

mark).

Page 151: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

142

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

– Pemilihan warna berupa warna dominan untuk

memudahkan masyarakat membedakan suatu

pecahan. Warna uang merupakan salah satu unsur

pengaman uang, sehingga dalam pewarnaan uang

di beberapa bagian dibuat gradasi warna tertentu

agar sulit dipalsukan.

– Ukuran uang yang mempertimbangkan masalah

kepraktisan dan kemudahan bagi pengguna;

memungkinkan dioperasikan dalam mesin/alat kas

(mesin sortasi uang, mesin hitung uang dan kemasan

uang) dan ATM serta digunakan dalam vending ma-

chines; dan membantu masyarakat membedakan

pecahan uang berdasarkan ukuran uang yang

berbeda.

– Teks pada uang dalam bentuk huruf dan angka

dibuat kasat mata dan tidak kasat mata.

(b) Pemilihan unsur pengaman (security features)

Merupakan salah satu aspek yang penting untuk

mencegah upaya pemalsuan, dengan memper-

timbangkan :

– Diperlukan unsur pengaman yang lebih baik dan

semakin kompleks untuk pecahan besar.

– Didasarkan pada hasil observasi atau penelitian,

khusus pecahan besar diterapkan satu atau

beberapa unsur pengaman yang canggih agar

upaya pemalsuan tidak sempurna.

– Perkembangan ciri-ciri uang palsu dan teknologi cetak

yang digunakan seperti electronic scanners, color

management software dan sophisticated printers.

(c) Rencana penempatan unsur pengaman

Perlu dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan

pihak pencetak uang dan pabrikan mesin sortasi untuk

menetapkan letak :

– Overt security features yang mudah diketahui

maupun dideteksi oleh masyarakat awam, kasir

perbankan dan pengguna lainnya.

– Covert security features agar dapat dideteksi oleh sen-

sor yang terletak pada posisi-posisi tertentu dalam sortasi

uang. Apabila unsur pengaman yang dipilih

mengakibatkan penambahan sensor maupun

penyesuaian, diusahakan dengan biaya seminimal

mungkin.

(d) Persiapan untuk pencetakan

– Setelah rencana gambar desain uang dan unsur

pengaman telah ditetapkan, Bank Indonesia

meminta perusahaan pencetak uang membuat

usulan gambar uang yang sebenarnya dan apabila

sesuai akan disampaikan kepada Dewan Gubernur

untuk mendapat persetujuan.

– Berdasarkan persetujuan Dewan Gubernur

tersebut, dibuat master dies dan plat cetak oleh

perusahaan pencetak uang serta dilakukan

pengadaan bahan uang sesuai dengan spesifikasi

yang ditetapkan.

– Perusahaan pencetak uang membuat contoh uang

dalam bentuk beberapa lembar besar dan single

note pada bahan uang baru yang apabila sesuai

disampaikan kepada Dewan Gubernur untuk

mendapat persetujuan. Berdasarkan persetujuan

tersebut, perusahaan pencetak uang melakukan

pencetakan yang baru sesuai dengan

penempatan cetak yang ditetapkan oleh Bank In-

donesia.

(2) Tahap Produksi (Pencetakan) Uang

(a) Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 Tahun

2000 pencetakan uang rupiah dilakukan oleh Perum

Peruri, kecuali apabila Perum Peruri menyatakan

ketidaksanggupan untuk melaksanakan pencetakan

uang dimaksud, maka pencetakan uang dilakukan di

tempat lain.

(b) Persyaratan yang menetapkan hasil cetak harus memiliki

kualitas yang baik dan memenuhi spesifikasi yang

ditetapkan.

Pada tahap ini, hasil cetak yang diterima dari Perum Peruri

harus sesuai dengan jadwal penyerahan Hasil Cetak Sem-

purna (HCS) yang telah disepakati antara Bank Indonesia dan

Perum Peruri. Namun tidak tertutup kemungkinan adanya Hasil

Cetak Tidak Sempurna (HCTS) yang selanjutnya akan

dimusnahkan oleh Bank Indonesia.

(3) Tahap Kampanye dan Penerbitan Uang (Emisi) Baru

Kampanye dilakukan secara efektif beberapa waktu sebelum

penerbitan uang agar masyarakat memahami dan akan

mengenali ciri-ciri uang baru melalui press release, brosur, leaf-

let, media cetak, radio, TV, dll.

Page 152: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

143

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

Satuan Kerja

Proses Penerbitan Uang Baru Secara garis Besar

Peruri Bank IndonesiaPimpinan

Masukan

Catatan UsulanPenerbitan Uang Baru

Catatan UsulanPenerbitan Uang Baru

= ArsipAAsumsi : Usulan langsungdisetujui

Keterangan

ASurat permintaanuntuk membuat

desain uang

Surat permintaanuntuk membuat

desain uang

Desain uang dantanda terima

Desain uang dantanda terima

Tanda terima

Desain DesainCatatan

Catatan Permintaanpersetujuan desain

Desain

Catatan

A

Proof cetak2 set

Catatan

Proof cetak

Proof cetak 2 setdan tanda terima

Proof cetak 2 setdan tanda terima

Tanda terimaCatatan Persetujuan

proof cetak 2 set

Proof cetak2 set

Catatan

CETAK MASSAL A

Asumsi : Desain yang diajukanoleh Peruri layak untuk diajukankepada pimpinan Bank Indonesia

Asumsi : Pimpinan langsungsetuju terhadap desain yangdiajukan

Asumsi proof cetak yangdiajukan oleh Peruri layakuntuk diajukan kepadapimpinan Bank Indonesia

Asumsi : Pimpinan langsungsetuju terhadap proof cetak yangdiajukan

1 set proof cetak diserahkankepada Peruri disertai tandaterima dan 1 set proof cetaklainnya disimpan oleh SatuanKerja

Page 153: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

144

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

a. Memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui

media elektronik, penataran kepada kasir, guru,

penyebaran pengumuman, brosur dan leaflet.

b. Meningkatkan unsur pengaman (security features) pada

uang baru yang meliputi bahan uang, disain, warna dan

teknik cetak uang.

c. Meningkatkan kerja sama dengan instansi terkait yaitu

BOTASUPAL (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang

Palsu).

d. Meningkatkan kerjasama internasional.

e. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai

pihak-pihak yang harus dihubungi (Bank Indonesia/

Perbankan/Kepolisian) apabila menemukan uang palsu.

Selain upaya preventif sebagaimana tersebut di atas,

maka tindakan represif yang dilakukan lebih banyak terkait

dengan instansi lain yang berwenang untuk memberikan

sanksi, antara lain pihak Kepolisian Republik Indonesia.

Berdasarkan laporan dari bank-bank dan kepolisian,

penemuan uang palsu pada dua tahun terakhir mengalami

peningkatan, yaitu tahun 1999 meningkat 21,6% dibandingkan

tahun 1998 dan pada tahun 2000 (periode Januari s.d. No-

vember) meningkat 48,8% dibandingkan tahun 1999. Selama

periode Januari s.d. November 2000, jumlah uang palsu yang

beredar di masyarakat sebanyak 321.267 lembar atau sebesar

0,0004% dibandingkan dengan jumlah uang yang diedarkan.

Dari jumlah tersebut sebesar 16,3% merupakan uang palsu

yang berasal dari temuan bank-bank (sudah beredar di

masyarakat) dan 83,7% merupakan hasil temuan pihak

Kepolisian (belum beredar di masyarakat).

Pemalsuan uang yang ada saat ini dapat dideteksi dari

teknik pencetakan dan bahan yang digunakan. Teknik

pencetakan uang palsu yang banyak digunakan atau 64,2%

menggunakan offset, sedangkan sisanya sebesar 35,8%

menggunakan color printer. Bahan baku yang digunakan dalam

pembuatan uang kertas palsu akhir-akhir ini adalah kertas sekuritas

berserat kapas yang umumnya digunakan untuk pembuatan

surat berharga seperti ijasah dan piagam. Perbedaan kertas

tersebut dengan bahan kertas uang asli yaitu tidak memendar di

bawah lampu ultra violet.

Boks : Uang Palsu "Permasalahan dan Penanggulangannya"

Uang palsu merupakan suatu permasalahan yang dihadapi

oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.

Dalam segala kegiatan transaksi ekonomi di suatu negara,

keberadaan uang palsu adalah hal yang sulit dihindari

karena uang memiliki fungsi yang sangat strategis dalam

kelangsungan hidup manusia, pemerintahan dan/atau

negara. Unsur strategis tersebut karena selain digunakan

sebagai alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,

uang juga dapat dijadikan sebagai alat politik untuk

menjatuhkan perekonomian suatu negara. Agar keber-

adaan uang di suatu negara sesuai dengan fungsi dan

tujuannya, maka upaya pencegahan terhadap keber-

adaan uang palsu dilakukan baik secara preventif maupun

represif.

Beberapa tahun terakhir, terutama sejak Indonesia

mengalami krisis moneter pada pertengahan tahun 1997

yang berlanjut menjadi krisis ekonomi, tindak pemalsuan

uang rupiah menjadi topik yang menarik dalam

pemberitaan di berbagai media massa. Salah satu faktor

yang menyebabkan masih beredarnya uang palsu saat ini,

antara lain :

a. Sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui

secara jelas mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah,

sehingga masyarakat sulit membedakan antara uang

asli dan uang palsu.

b. Jumlah setoran nasabah yang besar, mengakibatkan

bank-bank mangalami kesulitan dalam melakukan sortir

terhadap uang yang masuk, sehingga memungkinkan

masuknya uang palsu ke dalam sistem perbankan.

c. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemalsuan

uang karena keterbatasan informasi, keengganan untuk

melaporkan uang palsu sehingga uang palsu tersebut

beredar kembali di masyarakat.

Dalam rangka mengantisipasi tindak pidana

pemalsuan uang rupiah, Bank Indonesia sebagai lembaga

yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan dan

mengedarkan uang rupiah senantiasa melakukan upaya-

upaya penanggulangan yang bersifat preventif sebagai

berikut :

Page 154: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

145

Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional

T indakan pemalsuan uang merupakan tindak

pidana dan pihak yang berwenang menindak sesuai

ketentuan hukum pidana adalah Kepolisian Republik

Indonesia. Dalam hal ini sesuai dengan cakupan tugas,

wewenang dan tanggung jawab, Bank Indonesia lebih

banyak berperan mengambil langkah-langkah preventif

yang sifatnya lebih banyak membantu pihak berwenang.

Berdasarkan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh

masing-masing pihak tersebut, maka dalam pengertian yang

lebih luas upaya penanggulangan uang palsu tidak semata-

mata menjadi tanggung jawab Bank Indonesia maupun

Kepolisian, melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak

termasuk pihak-pihak yang berkepentingan baik perbankan

maupun masyarakat pada umumnya.

Page 155: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Perekonomian Dunia dan Kerja Sama InternasionalBab 9

Page 156: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

147

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Tabel 9.1Beberapa Indikator Ekonomi Dunia

R i n c i a n 1998 1999 20001)

Pertumbuhan Ekonomi (%)Dunia 2,6 3,4 4,7Negara-negara industri 2,4 3,2 4,2Negara-negara berkembang 3,5 3,8 5,6Negara-negara dalam transisi –0,8 2,4 4,9

Laju Inflasi (%)Negara-negara industri 1,5 1,4 2,3Negara-negara berkembang 10,1 6,6 6,2

Volume Perdagangan Dunia(% pertumbuhan) 4,3 5,1 10,0

Harga Perdagangan Dunia(% perubahan)

Barang Manufaktur –1,2 –1,2 –5,3Komoditas primer nonmigas –14,7 –7,1 3,2Minyak bumi –32,1 37,5 47,5

Nilai Tukar UtamaYen/USD 130,9 113,7 107,8USD/EURO – 1,0660 0,9238

Suku Bunga Negara Industri(rata-rata %)

Jangka pendek 4,0 3,5 4,5Jangka panjang 4,5 4,7 5,0

1) Angka PerkiraanSumber : IMF, World Economic Outlook, Oktober 2000,

Bloomberg, dan publikasi eksternal

Eropa dan Amerika Latin, serta berlanjutnya pemulihan

ekonomi di beberapa negara Asia. Ekspansi perekonomian

Amerika Serikat masih didorong oleh permintaan domestik

yang sangat kuat. Sebagai lokomotif perekonomian global,

berlanjutnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat telah

memberikan dampak positif terhadap kinerja ekspor negara-

negara di berbagai kawasan, khususnya kawasan Eropa,

Asia, dan Amerika Latin.

Di pihak lain, meningkatnya ekspansi perekonomian

dunia telah disertai dengan menguatnya tekanan inflasi

khususnya di negara-negara industri. Kuatnya tekanan inflasi

tidak hanya berasal dari sisi permintaan tetapi juga berasal

dari sisi penawaran. Dari sisi penawaran, tekanan inflasi

terutama disebabkan oleh naiknya biaya produksi akibat

kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar

beberapa mata uang dunia. Kenaikan harga minyak juga

berimplikasi luas terhadap peningkatan biaya hidup

masyarakat sehingga mendorong maraknya tuntutan

kenaikan upah di beberapa negara. Hal ini pada gilirannya

menambah tekanan inflasi dan semakin mempersulit

pencapaian sasaran inflasi khususnya bagi negara-negara

pengimpor minyak. Guna meredam menguatnya tekanan

inflasi tersebut, sampai akhir paro pertama tahun 2000,

beberapa negara industri maju masih melanjutkan kebijakan

moneter yang cenderung ketat (tight bias). Namun sejak

triwulan IV/2000, dengan indikasi mulai melambatnya kegiatan

ekonomi dan kecenderungan menurunnya harga minyak,

stance kebijakan moneter di beberapa negara menjadi

cenderung netral (neutral bias).

Pesatnya ekspansi perekonomian dan berlanjutnya

peningkatan suku bunga di Amerika Serikat telah

mengakibatkan nilai tukar dolar AS menguat secara global

khususnya terhadap mata uang euro dan yen. Untuk mena-

han tekanan apresiasi dolar AS yang sangat kuat tersebut

khususnya terhadap mata uang euro, dalam triwulan III/2000,

b a b

9 Perekonomian Dunia dan Kerja SamaInternasional

Perekonomian Dunia

Perkembangan ekonomi dunia dalam tahun laporan ditandai

dengan meningkatnya ekspansi perekonomian di berbagai

kawasan, sebagai kelanjutan dari ekspansi ekonomi tahun

sebelumnya. Berlanjutnya ekspansi perekonomian dunia

tersebut telah diiringi dengan meningkatnya volume

perdagangan dunia, meningkatnya tekanan inflasi di

beberapa negara industri maju, menguatnya mata uang dolar

AS terhadap mata uang utama (meskipun melemah kembali

pada akhir tahun), serta kecenderungan melemahnya harga

saham dunia (Tabel 9.1).

Ekspansi perekonomian dunia pada tahun laporan

terutama ditopang oleh pesatnya ekspansi perekonomian di

Amerika Serikat, membaiknya perekonomian di kawasan

Page 157: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

148

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

swasta belum sepenuhnya berjalan baik sehingga kawasan

ini masih sangat rentan terhadap shock eksternal.

Amerika Serikat

Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat

diperkirakan mencapai 5,0%, lebih tinggi dari pertumbuhan

tahun 1999 sebesar 4,2%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2000

secara umum masih ditopang oleh kuatnya permintaan

domestik terutama konsumsi dan investasi swasta. Guna

meredam tingginya ekspansi permintaan domestik dan

mencapai soft landing perekonomian, sejak pertengahan

tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000 Federal

Reserve menerapkan kebijakan moneter pre-emptive yang

cenderung ketat (Grafik 9.2). Kebijakan moneter pre-emptive

yang dijalankan Federal Reserve ditengarai telah turut

mempertahankan kesinambungan ekspansi perekonomian

Amerika Serikat dalam 8 tahun terakhir tanpa disertai tekanan

inflasi yang berarti (non-inflationary expansion).

Namun demikian, sejak Triwulan IV/2000, beberapa data

ekonomi mulai menunjukkan indikasi perlambatan permintaan

domestik yang cukup tajam, lebih dari yang diperkirakan

sebelumnya. Kegiatan investasi dan konsumsi mulai melemah,

bersamaan dengan menurunnya tingkat kepercayaan dunia

usaha dan konsumen terhadap prospek perekonomian di masa

depan. Melemahnya kegiatan investasi antara lain tercermin

beberapa bank sentral negara G-7 melakukan intevensi

bersama, namun belum memberikan hasil yang optimal.

Intervensi tersebut berjalan efektif pada triwulan IV/2000, seiring

dengan munculnya indikasi perlambatan ekspansi per-

ekonomian Amerika Serikat.

Sementara itu, pada paro pertama tahun laporan,

perkembangan pasar modal dunia ditandai dengan

meningkatnya harga saham-saham berbasis teknologi

informasi. Namun, pada paro kedua, harga saham-saham

tersebut kembali jatuh sebagai akibat respon pasar terhadap

kemungkinan melemahnya permintaan terhadap produk

teknolgi informasi sehubungan dengan indikasi melambatnya

ekspansi perekonomian global.

Meskipun secara umum kondisi perekonomian dunia

membaik, beberapa faktor risiko dan ketidakpastian masih

membayangi kesinambungan ekspansi perekonomian di

berbagai kawasan. Dalam kelompok negara-negara industri

maju, kesenjangan kinerja ekonomi di tiga kekuatan ekonomi

dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang masih

lebar (Grafik 9.1). Perekonomian Amerika Serikat mengalami

akselerasi pertumbuhan yang pesat. Di pihak lain ekspansi

perekonomian Eropa Barat masih relatif lambat. Sementara

itu, kondisi perekonomian Jepang masih rentan, meskipun

mulai membaik. Dalam kelompok negara-negara emerging

market khususnya di kawasan Asia, proses restrukturisasi sektor

Grafik 9.1Pertumbuhan Ekonomi G-3

1999 – 2000

4,5

5,0

5,5

6,0

6,5

7,0

Fed Fund Target

Fed Fund Effective Rate

30/4 28/5 30/6 30/7 31/8 30/9 29/10 30/11 31/12 31/1 29/2 31/3 28/4 31/5 30/6 31/7 31/8 30/9 31/10 30/11 30/12

1999 2000

%

ASEuroJepang

-2,0

-1,0

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

I II III IV I II III IV

1 9 9 9 2 0 0 0

%

Grafik 9.2Fed Fund Rate

Page 158: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

149

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Eropa Barat

Pada tahun laporan, ekspansi perekonomian Eropa Barat

khususnya negara-negara yang tergabung dalam zona Euro

juga menunjukkan peningkatan, walaupun pada tingkat yang

moderat. Dalam tahun 2000, perekonomian Euro diperkirakan

tumbuh 3,4%, setelah tahun 1999 hanya tumbuh 2,3%. Ekspansi

perekonomian pada tahun 2000 terutama disumbang oleh

membaiknya kinerja sektor eksternal. Kinerja ekspor negara-

negara di kawasan ini semakin membaik seiring dengan

meningkatnya permintaan impor dari pasar Amerika Serikat

dan Asia. Selain akibat meningkatnya permintaan impor,

membaiknya kinerja ekspor didukung pula oleh nilai tukar euro

yang sangat kompetitif. Sejak diluncurkannya pada awal

Januari 1999, nilai mata uang Euro telah melemah sebesar

26,0%. Di pihak lain, melemahnya nilai tukar euro dan

meningkatnya harga minyak yang persisten mengakibatkan

harga impor meningkat sehingga memberi tekanan yang

sangat besar terhadap inflasi. Pada tahun 2000, laju inflasi

mencapai 2,8% menembus batas atas yang ditetapkan Bank

Sentral Eropa.

Dalam tahun 2000 harga minyak yang melonjak dan nilai

tukar euro yang melemah merupakan dua faktor ancaman

yang serius bagi kesinambungan ekspansi perekonomian zona

Euro karena kombinasi kedua faktor tersebut menimbulkan

permasalahan yang berdimensi luas. Pertama, kedua faktor

tersebut menimbulkan lingkaran harga-upah (wage-price spi-

ral). Meningkatnya biaya hidup akibat peningkatan harga

minyak dan melemahnya nilai tukar euro telah mendorong

serikat buruh di beberapa negara mengajukan tuntutan

peningkatan upah, yang pada gilirannya memberi tekanan

terhadap inflasi. Kedua, perkembangan kedua faktor tersebut

memperburuk consumer confidence yang berdampak

kontraksi terhadap kegiatan konsumsi. Ketiga, kedua faktor

tersebut mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang hanya

mengandalkan pasarnya ke pasar domestik mulai mengurangi

kegiatan produksi karena meningkatnya ongkos produksi dan

mulai melemahnya permintaan.

Mencermati perkembangan tersebut, Bank Sentral Eropa

telah melakukan kebijakan moneter yang cenderung ketat.

dari menurunnya tingkat pesanan kalangan produsen terhadap

barang-barang tahan lama (durable), yang kemudian diiringi

dengan menurunnya output industri manufaktur. Sementara itu,

melemahnya konsumsi tercermin dari merosotnya tingkat

kepercayaan konsumen dan angka penjualan pada tingkat re-

tail. Dari pasar tenaga kerja, melemahnya kegiatan ekonomi

ditandai oleh peningkatan klaim ter hadap tunjangan

pengangguran secara persistent. Sejumlah perusahaan mulai

mengalami penurunan credit rating karena dihadapkan dengan

utang macet.

Pada tahun laporan, laju inflasi di Amerika Serikat

mencapai 3,4%. Rendahnya tingkat laju inflasi dalam kondisi

perekonomian yang tumbuh pesat merupakan dampak dari

terjadinya peningkatan produktivitas perekonomian, seiring

dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dan

telekomunikasi dalam skala luas (Boks : "The New Economy"

dan Kebijakan Moneter Federal Reserve). Kemungkinan

melambatnya ekspansi perekonomian dan melemahnya

tekanan inflasi yang didukung oleh produktivitas

perekonomian yang terus meningkat, telah menjadi dasar

bagi Federal Reserve untuk merubah stance kebijakan

moneter dari tight bias ke neutral bias terutama sejak

pertengahan tahun 2000. Perubahan stance kebijakan

tersebut mengakhiri siklus kebijakan moneter ketat yang telah

diberlakukan sejak paro kedua tahun 1999 dengan

meningkatkan target suku bunga Fed fund dari 4,8% menjadi

6,5%.

Pada tahun 2001, kebijakan moneter Federal Reserve

diperkirakan akan semakin longgar guna menghindari

kontraksi perekonomian yang sangat dalam (hard landing).

Namun, kemampuan perekonomian untuk menghindari

terjadinya hard landing tersebut juga akan tergantung dari

sejauh mana beberapa ketimpangan fundamental dapat

teratasi terutama defisit transaksi berjalan dan defisit

keuangan sektor swasta yang semakin membesar. Dalam

pada itu, pasar keuangan telah mengantisipasi kemungkinan

melemahnya kegiatan ekonomi tersebut seperti tercermin

dari jatuhnya harga saham dan menurunnya yield obligasi

jangka panjang.

Page 159: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

150

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

perekonomian Jepang tahun 2000 diperkirakan tumbuh

sebesar 1,9%.

Asia Non–Jepang

Pada tahun 2000, sejumlah negara di Asia masih mengalami

laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Grafik 9.3). Seiring

dengan berlanjutnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat,

sektor ekspor –baik produk elektronik maupun nonelektronik

masih menjadi penggerak utama ekspansi perekonomian

negara-negara Asia tersebut. Dalam tahun laporan, Republik

Rakyat Cina, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Taiwan,

dan Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi antara 7,0%

sampai dengan 10,0%. Pada fase awal pemulihan ekonomi

tahun 1998/1999, pesatnya pertumbuhan ekspor telah

mendorong peningkatan investasi dan konsumsi dan hal ini

masih berdampak ekspansif sampai tahun 2000.

Meskipun pada tahun 2000 suku bunga internasional

cenderung meningkat, beberapa negara Asia masih tetap

mempertahankan suku bunga yang rendah, kecuali Hong

Kong yang menganut Currency Board System, dan negara-

negara Asia yang mengalami tekanan depresiasi mata uang

yang sangat kuat. Thailand, Singapura, dan Malaysia masih

tetap mempertahankan suku bunga rendah. Bahkan tingkat

suku bunga di Thailand (1,5%) merupakan yang terendah di

Grafik 9.3Pertumbuhan PDB Asia

1997 – 2000

–20,0

–15,0

–10,0

–5,0

0,0

5,0

10,0

15,0

1 9 9 7 1 9 9 8 2 0 0 01 9 9 9I II III IV I II III IV I II III IV I II III

ThailandPhilipinaKoreaSingapuraMalaysiaIndonesia

%

Guna meredam tekanan depresiasi terhadap euro, patokan

tingkat suku bunga (refinancing rate) ditingkatkan dari 3,0%

menjadi 4,75%. Selain itu, negara-negara G-7 juga telah

melakukan intervensi bersama di pasar valuta asing. Sampai

triwulan III/2000, intervensi bersama yang dilakukan negara-

negara G-7 belum berhasil mengangkat nilai tukar euro.

Intervensi bersama tersebut, baru memberikan dampak positif

sejak November 2000 sehingga berhasil memperkuat nilai tukar

euro mencapai level di atas 0.90. Kecenderungan menguatnya

nilai tukar euro dan menurunnya harga minyak pada akhir

tahun telah mengurangi tekanan bagi Bank Sentral Eropa untuk

menaikkan kembali suku bunga. Sampai akhir tahun 2000,

patokan suku bunga jangka pendek dipertahankan pada

tingkat 4,75%.

Jepang

Sementara itu, perekonomian Jepang masih mengalami

ekspansi yang sangat lambat dan rentan. Sumber utama

penghambat ekspansi perekonomian adalah lambatnya

restrukturisasi sektor korporasi dan perbankan dalam skala luas

sehingga menimbulkan credit crunch dalam perekonomian.

Beberapa perusahaan besar mulai terancam bangkrut dan

tingginya kredit macet terus memperburuk neraca perbankan

sehingga memperlambat proses restrukturisasi sektor

keuangan. Pada gilirannya hal ini membatasi kemampuan

bank untuk menyalurkan kredit ke dunia usaha meskipun suku

bunga masih dipertahankan rendah (terendah di dunia).

Ekspansi perekonomian Jepang pada akhir tahun 2000

semakin melambat karena kinerja ekspor sebagai penopang

utama perekonomian mulai menurun khususnya ekspor untuk

tujuan pasar Amerika Serikat. Hal ini mengakibatkan surplus

perdagangan mulai mengecil. Sektor fiskal yang pada awal

tahun 2000 menjadi penggerak roda perekonomian, sejak

Triwulan II mulai kehilangan momentum. Kemampuan sektor

fiskal untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi

semakin tidak dapat diharapkan (unsustainable) karena

sumber pembiayaan fiskal melalui penerbitan utang (obligasi)

pemerintah telah mencapai 130,0 % dari PDB (tertinggi di

antara negara-negara industri maju). Secara keseluruhan

Page 160: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

151

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

dunia setelah Jepang. Suku bunga yang rendah masih

diperlukan guna memelihara momentum pemulihan ekonomi

dan restrukturisasi sektor perbankan dan korporasi. Di pihak lain,

tingkat suku bunga di Indonesia dan Filipina cenderung

meningkat sebagai akibat tekanan depresiasi yang kuat

terhadap mata uang domestik terutama sehubungan dengan

meningkatnya gejolak sosial politik.

Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi beberapa

negara Asia dalam dua tahun terakhir, reformasi struktural di

kawasan ini belum sepenuhnya berjalan baik. Apabila hal ini

tidak dicermati akan mengakibatkan perekonomian di

kawasan ini sangat rentan terhadap shock eksternal. Reformasi

struktural tersebut terutama menyangkut restrukturisasi neraca

dunia usaha. Di sejumlah negara Asia, upaya untuk mem-

perbaiki neraca dunia usaha seolah tertutup oleh kisah

suksesnya kebangkitan perekonomian negara-negara tersebut

dari krisis. Akibat lambannya proses restrukturisasi sektor

korporasi dan perbankan, kualitas aset pada kedua sektor

tersebut belum membaik. Tingkat non performing loans tidak

mengalami penurunan yang berarti, Bahkan hal ini di

beberapa negara menjadi penghambat utama berfungsinya

intermediasi perbankan. Dengan prakiraan melambatnya

pertumbuhan ekonomi Asia pada tahun 2001, maka

tantangan untuk melanjutkan upaya restrukturisasi sektor

swasta diperkirakan akan semakin berat.

Amerika Latin

Kondisi perekonomian di negara-negara Amerika Latin juga

semakin membaik, terutama ditopang oleh membaiknya

kinerja ekspor dan konsumsi swasta. Meksiko merupakan

negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi terpesat yang

diperkirakan mencapai 7,0 % pada tahun 2000, lebih tinggi

dari 3,5% yang dicapai pada tahun 1999. Kesinambungan

ekspansi perekonomian negara ini sejak krisis ekonomi tahun

1994 ditopang oleh kebijakan moneter yang berhati-hati,

pendapatan dari meningkatnya harga minyak, berlanjutnya

ekspansi ekonomi di Amerika Serikat (sebagai tujuan ekspor

utama), serta konsumsi dan investasi yang terus ekspansif.

Untuk mencegah agar suhu perekonomian tidak memanas,

kebijakan moneter dan fiskal mulai diperketat terutama sejak

paro kedua tahun 2000. Pada tahun 2000, perekonomian Brasil

diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 4,0 %, setelah

tumbuh 1,0% pada tahun 1999. Dari sisi penawaran, kinerja

perekonomian terutama dipacu oleh pesatnya pertumbuhan

sektor manufaktur. Sedangkan dari sisi permintaan, sumbangan

utama berasal dari konsumsi sebagai akibat kebijakan fiskal

yang sangat ekspansif. Perekonomian Cile yang pada tahun

1999 mengalami kontraksi sebesar 1,1%, pada tahun 2000

diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 5,5%. Sektor

ekspor menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi.

Peningkatan ekspor terutama disebabkan oleh peningkatan

produksi dan harga tembaga di pasar internasional yang

merupakan komoditas andalan Cile.

Negara besar di Amerika Latin lainnya, Argentina, pada

tahun laporan mengalami perkembangan ekonomi yang

stagnan. Pada tahun 2000, perekonomian Argentina

diperkirakan hanya mengalami ekspansi sebesar 0,5%, mes-

kipun lebih baik dibandingkan dengan kinerja tahun 1999 yang

mengalami kontraksi sebesar 3,3%. Lambannya proses

pemulihan ekonomi mengakibatkan penerimaan pemerintah

tidak dapat meningkat secara pesat. Hal ini mengakibatkan

defisit anggaran semakin membengkak sehingga pada tahun

2000 mencapai $1,5 miliar dibandingkan dengan defisit sebesar

$1,05 miliar pada tahun 1999. Di pihak lain, negara ini dihadap-

kan dengan tingginya utang luar negeri. Kedua hal ini

menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan terjerumusnya

negara ini ke dalam perangkap utang (debt trap) sehingga

menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Paket bantuan IMF

sebesar $39,7 miliar untuk sementara dapat meredam gejolak

di pasar keuangan tersebut, meskipun masih banyak yang

mempertanyakan tentang kemampuan negara ini untuk

membiayai defisit fiskal dan utang luar negerinya yang sangat

tinggi dalam beberapa tahun ke depan.

Afrika dan Timur Tengah

Di beberapa negara kawasan Afrika dan Timur Tengah,

perkembangan ekonomi pada tahun 2000 banyak ditopang

oleh faktor eksternal termasuk meningkatnya harga komoditas

Page 161: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

152

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

terutama minyak. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat

menguatnya harga minyak secara persistent sepanjang tahun

1999 dan 2000 telah meningkatkan kepercayaan konsumen

dan dunia usaha yang pada gilirannya mendorong kegiatan

investasi dan konsumsi. Selain itu, membaiknya kondisi

perekonomian beberapa negara di dua kawasan ini juga tidak

terlepas dari keberhasilan langkah-langkah restrukturisasi

perekonomian yang mulai diimplementasikan sejak beberapa

tahun sebelumnya, meskipun belum dilakukan dalam skala

yang luas.

Pada tahun 2000, perekonomian Afrika Selatan

diperkirakan tumbuh 3,0%, setelah mengalami pertumbuhan

sebesar 1,2% pada tahun 1999. Sebagai kekuatan ekonomi

terbesar di kawasan Afrika, membaiknya kondisi

perekonomian di negara ini telah memberikan dampak positif

terhadap perekonomian negara-negara lainnya di kawasan

Afrika. Meskipun demikian, sejumlah negara Afrika yang

kurang memiliki sumber daya alam masih tetap dihadapkan

pada tantangan untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakatnya. Sementara itu, negara-negara di kawasan

Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Mesir, Iran, dan Kuwait,

diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang

bervariasi antara 3,0% sampai dengan 5,0% terutama

disumbang oleh meningkatnya penerimaan dari ekspor

minyak. Dengan melihat struktur perekonomian sebagian

besar negara di dua kawasan ini, kinerja perekonomian di

kawasan Afrika dan Timur Tengah dalam tahun-tahun

mendatang dikhawatirkan masih sangat rentan terhadap

perkembangan harga komoditas internasional yang

cenderung fluktuatif.

Pasar Valuta Asing

Di pasar valuta asing, pada tahun 2000 nilai tukar dolar AS

menguat secara global (Grafik 9.4). Nilai tukar dolar AS

menguat terhadap mata uang utama seperti yen dan euro

terutama dipicu oleh terjadinya pemindahan modal khususnya

yang berbentuk portofolio dari pasar keuangan Jepang dan

Euro ke pasar keuangan Amerika Serikat. Pemindahan modal

portofolio tersebut merupakan respon investor internasional

JPY KRW SGD THB PHP IDR

90,0

95,0

100,0

105,0

110,0

115,0

120,0

125,0

130,0

135,0

140,0

2 0 0 0I II III IV

Indeks

Grafik 9.4Indeks Nilai Tukar Nominal AsiaTahun 2000 (3 Jan 2000 = 100)

terhadap melebarnya kesenjangan kinerja ekonomi antara

Amerika Serikat, dengan Jepang dan Euro, serta semakin

melebarnya perbedaan suku bunga antara dolar AS dengan

yen dan euro. Namun demikian, menjelang akhir tahun 2000

nilai tukar dolar AS kembali melemah terhadap mata uang

euro setelah terdapat sinyal bahwa ekspansi perekonomian

Amerika Serikat akan melambat yang pada gilirannya akan

mempersempit kesenjangan kinerja ekonomi antara Amerika

Serikat dan zona Euro.

Sementara itu, terhadap yen, nilai tukar dolar AS tetap

menguat sampai akhir tahun karena meningkatnya sentimen

negatif terhadap lambannya pemulihan ekonomi di Jepang

serta memanasnya suhu politik. Sejalan dengan melemahnya

mata uang yen, beberapa mata uang Asia mengalami

depresiasi yang cukup tajam. Selain dilatarbelakangi oleh

menguatnya nilai tukar US dollar secara global, faktor internal

terutama gejolak sosial politik yang berkepanjangan di

beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan

Taiwan menimbulkan sentimen negatif terhadap mata uang

negara-negara tersebut.

Pasar Modal

Di pasar modal, harga saham dunia secara umum cenderung

menurun (Grafik 9.5). Harga saham-saham perusahaan yang

Page 162: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

153

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

100

120

140

160

180

200

220

240

2 0 0 0

1Jan.

26Feb.

23Mar.

18Jun.

13 10 12Des.

28Jan.

24Mar.

19Mei

14Jul.

8Sep.

3Nov.

29Des.

Nasdaq

Dow Jones

Nikkei

Dax Germany

Ags.

Indeks

1 9 9 9

Indonesia di samping mendapat manfaat bantuan dari

negara sahabat maupun lembaga internasional dalam

membantu proses pemulihan ekonomi, namun juga aktif

terlibat dalam diskusi dan kajian-kajian yang dilakukan di fora

internasional tersebut.

Isu kerja sama di bidang moneter, keuangan dan

perbankan masih banyak mengarah pada pengembangan

arsitektur keuangan internasional sebagai tema sentral.

Pengembangan arsitektur keuangan internasional di tahun

laporan mulai bergeser dari isu konseptual ke isu yang lebih

konkret serta kemungkinan pelaksanaannya. Sejumlah pilot

project telah diluncurkan di tahun 2000, antara lain

pembentukan expert group, komitmen penerapan interna-

tional standards and codes, penyusunan pedoman praktek

keuangan yang berhati-hati dan kajian atas penerapan stand-

still sebagai cara untuk meningkatkan keterlibatan sektor

swasta dalam penanganan krisis.

Fokus kerja sama di bidang pembangunan meliputi

pengentasan kemiskinan dan penyediaan fasilitas pinjaman.

Selama tahun laporan, Bank Dunia aktif menggerakkan part-

nership dan sumber-sumber lain untuk meningkatkan

kapasitasnya dalam membantu negara-negara miskin.

Sementara itu, Bank Pembangunan Asia memfasilitasi

komitmen negara-negara anggota untuk memberikan

pinjaman bagi sektor sosial dengan meningkatkan pendanaan

Asian Development Fund.

Kerja sama di tingkat regional mengartikulasikan

komitmen untuk melakukan reformasi sistem keuangan

internasional dan proses pemulihan ekonomi dan penciptaan

kemampuan untuk menyediakan bantuan likuiditas jangka

pendek kepada negara anggota. Forum APEC menyepakati

bahwa negara anggota akan berupaya untuk membangun

pondasi yang kuat untuk mendorong pembangunan yang

berkelanjutan dan liberalisasi perdagangan dan investasi.

Sementara itu, forum ASEAN menyepakati perluasan ASEAN

Swap Arrangement (ASA) yang merupakan fasilitas

penyediaan bantuan likuiditas devisa jangka pendek kepada

negara-negara anggota, penyediaan fasilitas Bilateral Swap

Arrangement (BSA) bersama Cina, Jepang dan Korea Selatan

Grafik 9.5Perkembangan Indeks Saham Dunia

Jan. 1999 – Des. 2000 (1 Jan. 1999 = 100)

bergerak di sektor teknologi informasi dan telekomunikasi (IT),

yang pada awal tahun meningkat tajam, sejak paro kedua

tahun 2000 mulai berjatuhan, seperti tercermin dari fluktuasi

tajam pada indeks Nasdaq. Menurunnya harga saham di

Amerika Serikat pada paro kedua tahun laporan terutama

dipicu oleh meningkatnya harga minyak, tingginya suku

bunga, dan ekspektasi penurunan perolehan keuntungan

akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Anjloknya

indeks Nasdaq telah menjalar ke pasar saham Asia khususnya

di negara-negara penghasil produk IT seperti Korea Selatan,

Taiwan, dan Singapura. Sementara itu, harga saham di Jepang

juga menurun tajam, dipicu oleh memburuknya sentimen in-

vestor internasional terhadap prospek pemulihan ekonomi

Jepang yang diiringi dengan bangkrutnya beberapa

perusahaan besar serta gejolak politik khususnya menjelang

akhir tahun.

Kerja Sama Internasional

Kerja sama di bidang ekonomi selama tahun laporan

memfokuskan agendanya pada upaya mencegah ter-

ulangnya kembali krisis ekonomi, mendorong proses

pemulihan ekonomi di berbagai negara, serta meningkatkan

kapasitas lembaga internasional dalam mempercepat

negara anggota keluar dari krisis. Dalam kerja sama tersebut,

Page 163: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

154

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Kerja Sama di Bidang Moneter, Keuangan, dan Per-

bankan

International Monetary Fund (IMF)

Selama tahun 2000 isu-isu yang dibahas oleh IMF meliputi: (i)

upaya memperkuat sistem keuangan internasional yang

mencakup peran IMF di masa yang akan datang; (ii) review

terhadap fasilitas pendanaan IMF; (iii) peningkatan surveillance

dan transparansi di sektor keuangan serta keterlibatan sektor

swasta dalam mengatasi krisis; (iv) pembentukan independent

evaluation office; dan (v) poverty reduction growth facility.

Dalam rangka memperkuat sistem keuangan

internasional, IMF dan komunitas internasional berupaya untuk

mengurangi kerentanan dan menghindari krisis, serta

mengurangi efek penularan pada saat terjadi krisis. IMF

memegang peranan sentral dalam mempersatukan usaha

untuk memperkuat sistem keuangan internasional dengan cara

tetap bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional

lain dan mendorong kestabilan makroekonomi dan keuangan

internasional serta pertumbuhan dari negara-negara anggota.

Berkenaan dengan fasilitas pembiayaan, IMF telah

melakukan pengkajian terhadap fasilitas dan kebijakan yang

menyangkut aspek fasilitas IMF. Pengkajian terhadap fasilitas

IMF meliputi kaji ulang atas periode repurchase dan tingkat

pembebanan Stand-By Arrangement (SBA) dan Extended

Fund Facilities (EFF), penggunaan Contingent Credit Lines

(CCL) dan pelaksanaan post program monitoring. Sedangkan

pengkajian terhadap kebijakan meliputi jangka waktu dan

struktur harga dari fasilitas IMF. Hal tersebut diharapkan dapat

mendorong negara anggota untuk mempercepat pelunasan

pinjamannya dan menghindari penggunaan fasilitas SBA dan

EFF yang berkepanjangan.

Upaya meningkatkan surveillance dan transparansi di

sektor keuangan diperlukan untuk mengidentifikasi kerentanan

dan mengantisipasi ancaman bagi kestabilan keuangan

negara anggota. Upaya meningkatkan surveillance didukung

oleh ketersediaan data serta penggunaan standar dan

penilaian yang berlaku internasional. Sedangkan upaya untuk

meningkatkan transparansi dilakukan dengan menerapkan

kebijakan umum dari Article IV Consultation.

Berkaitan dengan perlunya restrukturisasi utang atau pe-

ngurangan utang, Komite setuju bahwa program bantuan IMF

harus ditekankan pada medium-term sustainability dan

menjaga keseimbangan antara kontribusi private external

creditors dan official external creditors dalam hal pembiayaan

yang berasal dari lembaga keuangan internasional. Dalam

rangka surveillance, IMF telah melakukan penyesuaian melalui

perubahan-perubahan perekonomian global dan memper-

kuat beberapa area kunci seperti masalah sektor keuangan,

utang luar negeri dan perkembangan neraca modal. Di sam-

ping itu, IMF juga meningkatkan perhatian pada masalah ting-

kat kerawanan keuangan, dan mendukung analisa tingkat ke-

rawanan tersebut dalam surveillance-nya dengan cara: (i)

mendorong perkembangan lebih lanjut dan integrasi indikator

tingkat kerawanan keuangan suatu negara dalam IMF surveil-

lance; (ii) bersama-sama dengan Bank Dunia menyelesaikan

guidelines mengenai sovereign debt management; dan (iii)

meminta Dewan Eksekutif IMF untuk mengupayakan lebih lanut

mengenai bagaimana memasukkan kebijakan official reserves

ke dalam surveillance dan memberikan bantuan teknis. Se-

dangkan upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penge-

lolaan dan pencegahan krisis disepakati untuk sebanyak

mungkin menggunakan pendekatan sukarela dan market-

oriented solution.

Selanjutnya untuk meningkatkan budaya belajar di IMF,

memperkuat kredibilitas eksternal bagi IMF, meningkatkan

pemahaman terhadap lingkup kerja IMF di seluruh negara

anggota, serta mendukung kepemimpinan dan tanggung

jawab Dewan Eksekutif, IMF menyetujui upaya untuk

membentuk Independent Evaluation Office (EVO) yang

diharapkan akan beroperasi sebelum PertemuanInternational

Monetary Financial Committee (IMFC) pada Spring 2001.

Dalam upaya memperkuat sistem keuangan

internasional, IMF telah melakukan evaluasi dan pengem-

bangan program pengentasan kemiskinan dan pengurangan

beban utang negara miskin. Selama tahun 2000, IMF telah

mengembangkan country-owned poverty reduction strategies

yang mengaitkan pemberian debt relief yang merupakan

acuan bagi IMF dan Bank Dunia dalam memberikan

Page 164: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

155

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

concessional lending. Dalam kerangka Highly Indebted Poor

Countries (HIPC) Initiative, IMF dan Bank Dunia mengusahakan

agar 20 negara mencapai decision point pada akhir tahun

2000 dan berusaha menjaga agar debt relief senantiasa

tersedia untuk menunjang pertumbuhan dan pengentasan

kemiskinan. Dalam perkembangannya lima negara di

antaranya telah mencapai decision point.

Selanjutnya dalam rangka program bantuan IMF,

Pemerintah Indonesia selama tahun 2000 telah menan-

datangani tiga Letter of Intent (LoI) dan Memorandum of Eco-

nomic and Financial Policies (MEFP), yaitu pada 20 Januari, 17

Mei, dan 7 September.

Pada Januari 2000, pemerintah telah meminta IMF

untuk memberikan New Extended Fund Facility yang

menggantikan dan membatalkan Extended Fund Facility

lama yang disetujui pada 25 Agustus 1998. Dengan

disetujuinya permintaan tersebut, nilai EFF yang tersedia bagi

Pemerintah Indonesia meningkat dari SDR9.052.240.000

menjadi SDR11.104.820.000. Selama Januari sampai dengan

Desember 2000, Indonesia telah melakukan pembelian EFF

sebesar SDR851.150.000, sehingga jumlah pembelian SBA dan

EFF yang telah dilakukan sampai dengan Desember 2000

adalah sebesar SDR8.317.970.000. Nilai EFF yang masih tersedia

sampai dengan November 2002 adalah sebesar

SDR2.786.850.000.

G – 20

Dalam periode laporan isu-isu pembahasan G-20 meliputi

globalisasi, dan upaya mengurangi tingkat kerawanan sistem

keuangan global.

Negara G-20, menegaskan keyakinannya bahwa

integrasi ekonomi dapat terus menjadi kekuatan yang besar

dalam memberi kontribusi pada perbaikan kehidupan dengan

memberikan akses pada modal, barang dan pengetahuan.

Namun globalisasi juga dapat menimbulkan kesulitan ekonomi

dan dislokasi sosial. Dalam hal ini, pemerintah memainkan

peran penting dalam memformulasikan dan meng-

implementasikan kebijakan untuk meminimalisasi risiko yang

timbul akibat globalisasi.

Upaya mengurangi t ingkat kerawanan sistem

keuangan dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan

yang tepat dalam hal: (i) pemilihan sistem nilai tukar; (ii)

manajemen utang luar negeri, (iii) pendekatan yang lebih

sistematis atas keterl ibatan sektor swasta dalam

pencegahan krisis pengembangan; dan (iv) implementasi

standar and code.

Pemilihan sistem nilai tukar harus dilengkapi dengan

kebijakan makroekonomi yang tepat dan sistem keuangan

yang kuat, dan pilihan tersebut tidak selalu dapat diterapkan

dengan hasil yang sama di setiap negara. Kecenderungan di

banyak negara adalah menerapkan sistem nilai tukar yang

kondusif (mengarah pada sisten nilai tukar mengambang) bagi

stabilitas sistem keuangan. Disepakati bahwa apapun sistem

yang diterapkan, suatu negara harus menghindari intervensi

yang ditujukan untuk mempertahankan suatu level nilai tukar

yang tidak sustainable.

Kebijakan manajemen utang luar negeri secara berhati-

hati memerlukan keseimbangan yang tepat antara minimisasi

biaya dengan meningkatnya risiko likuiditas, kehati-hatian agar

terhindar dari penggunaan utang jangka pendek yang

berlebihan serta currency mismatch, dan pengembangan

pasar utang jangka panjang yang efisien dan likuid untuk surat

berharga pemerintah. Terkait dengan manajemen utang luar

negeri, negara-negara G-20 mendukung upaya yang tengah

dilakukan IMF dalam menyusun guidelines for public debt

management dan debt-reserve related indicator.

Dalam hal keterlibatan sektor swasta untuk

menyelesaikan dan mencegah krisis ekonomi diperlukan

kerangka pelaksanaan keterlibatan sektor swasta melalui

penciptaan pasar uang dan modal yang lebih stabil dan efisien

yang diterapkan secara fleksibel. Upaya lain dalam melibatkan

sektor swasta dilakukan dengan meningkatkan dialog antara

pemerintah dengan sektor swasta dan mengembangkan

prinsip equal treatment di antara kreditur.

Dalam hal penerapan international standard and codes

(codes), disepakati bahwa: (i) negara G20 perlu mengar-

tikulasikan komitmen mereka dalam menerapkan codes, (ii)

sektor pemerintah perlu terus melanjutkan dialog dengan

Page 165: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

156

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

sektor swasta untuk mendapatkan pandangan mereka

mengenai prioritas yang harus dilakukan oleh negara maupun

masyarakat internasional dalam penerapan codes, (iii) IMF

bertanggung jawab melakukan surveillance mengenai

perkembangan penerapan codes di negara anggota, dan

(iv) Pemerintah dan masyarakat internasional harus bekerja

sama untuk menjamin tersedianya sumber daya manusia dan

keuangan bagi negara-negara untuk mengimplementasi

codes.

Manila Framework

Selama tahun 2000, isu-isu yang dibahas di Manila Framework

meliputi: (i) restrukturisasi sektor keuangan; dan (ii) kecukupan

jumlah cadangan devisa.

Sehubungan dengan restrukturisasi sektor keuangan

kemajuan pesat dicapai Malaysia dan diikuti Korea,

sebagaimana terlihat dari berbagai indikator seperti

menurunnya Non Performing Loans (NPLs), dan kemajuan dalam

restrukturisasi perusahaan, serta penjualan aset. Sementara itu,

Indonesia belum banyak menunjukkan kemajuan yang berarti

dalam restrukturisasi sektor keuangan. IMF, Bank Dunia maupun

Asian Development Bank (ADB) berpendapat bahwa

restrukturisasi sektor keuangan tidak akan berhasil tanpa disertai

keberhasilan restrukturisasi sektor korporat.

Berkenaan dengan isu kecukupan jumlah cadangan

devisa yang dapat menunjang stabilitas perekonomian dan

sekaligus menghindari terjadinya krisis, forum Manila Framework

berpendapat bahwa jumlah cadangan devisa yang

dianggap cukup untuk satu negara berbeda dengan negara

lain, tergantung pada sistem nilai tukar yang diterapkan, jumlah

kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo, dan kesehatan

sistem keuangan di negara yang bersangkutan.

Dalam sidang Manila Framework yang akan datang, fo-

rum sepakat untuk membahas kembali rencana pembentukan

kerja sama keuangan yang pernah dilontarkan pada sidang

Manila Framework pertama di Manila pada November 1997.

Dalam hal ini Indonesia termasuk negara yang diminta untuk

memberikan sumbangan pikiran dalam mempersiapkan back-

ground paper.

Kerja Sama Bank Sentral

Dalam periode laporan, kerja sama dengan bank sentral lain

terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Kerja sama tersebut

dilakukan melalui forum Executive Meeting of East Asia Pacific

Central Bank (EMEAP), South East Asia, New Zealand and Aus-

tralia Central Bank (SEANZA), dan South East Asia Central Bank

(SEACEN).

Forum EMEAP tahun 2000 menekankan fokusnya pada

tiga isu, yaitu: (i) keterlibatan sektor swasta; (ii) highly leverage

institutions (HLI); dan (iii) aliran modal. Dalam hal meningkatkan

keterlibatan sektor swasta, negara-negara EMEAP masih

terbagi dalam dua pendapat yang bebeda. Sebagian negara

anggota EMEAP menyetujui pendekatan secara kasus per

kasus dan sebagian anggota lainnya menyetujui penerapan

common framework. Dalam rangka mengatasi dampak

negatif HLI terhadap sistem keuangan internasional, Working

Group HLI merekomendasikan agar memperkuat praktek-

praktek manajemen risiko HLI dan counterpart-nya,

meningkatkan public disclosure, dan membangun infrastruktur

pasar keuangan.

Dalam pembahasan mengenai aliran modal, terdapat

pandangan umum bahwa beberapa negara mengalami

instabilitas ekonomi sebagai akibat dari sudden reversal capi-

tal flows saat terjadi krisis nilai tukar di Asia. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, beberapa negara menerapkan capi-

tal controls dalam bentuk market-based restriction. Dalam hal

sistem nilai tukar, sistem yang dipilih harus sesuai dengan kondisi

ekonomi negara dan diterapkan bersama dengan kebijakan

makro ekonomi yang konsisten. Sementara itu untuk

memperkuat sistem keuangan negara tersebut, diperlukan

upaya memperkuat prudential regulation dan meningkatkan

efisiensi sistem keuangan, serta memperkuat hubungan kerja

sama dalam rangka mencapai pertumbuhan yang stabil dan

mencegah terulangnya krisis.

SEACEN yang merupakan lembaga yang menangani

Riset dan Training bagi bank sentral di Asia Tenggara, di tahun

2000 telah beberapa kali melakukan pertemuan. Di antara

pertemuan tersebut adalah mengadakan dialog internasional

mengenai isu capital flows, sebagai tindak lanjut atas

Page 166: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

157

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

kesepakatan Gubernur-Gubernur Bank Sentral SEACEN. Bank

sentral dan otoritas moneter anggota SEACEN bersepakat kuat

untuk mendukung upaya internasional dalam rangka

meningkatkan stabilitas arus modal dengan membentuk

SEACEN Expert Group (SEG) on Capital Flows. Adapun tujuan

SEG tersebut adalah: (i) menyusun proposal yang konkret dan

praktis agar anggota SEG dapat melaksanakannya secara

individu maupun kolektif untuk pengendalian arus modal yang

lebih baik; (ii) menetapkan isu-isu yang terkait dengan anggota

SEG dalam fora internasional.

Simposium dalam forum SEANZA membahas inde-

pendensi bank sentral yang meliputi pengalaman Bank of

England (BoE) dalam menerapkan prinsip kemandirian bank

sentral khususnya setelah pemberlakuan undang-undang BoE

yang baru pada tahun 1998. BoE menekankan bahwa

independensi harus ditopang oleh pejabat yang memiliki

integritas, obyektivitas, dan kompetensi. Dalam kesempatan

tersebut delegasi Bank Indonesia mengemukakan bahwa

pengalaman di Indonesia selama sekitar 15 bulan sejak

pemberlakuan UU No. 23/1999 menunjukkan perlunya waktu

untuk penyesuaian bagi semua pihak baik pemerintah,

parlemen, dunia usaha, dan masyarakat agar prinsip-prinsip

independensi yang tertuang dalam undang-undang tersebut

dapat diterapkan secara konsisten, terutama dalam kondisi

perubahan format politik maupun pemerintahan yang sangat

cepat. Pandangan tersebut memperoleh tanggapan positif

dan moral support dari Gubernur BoE dan para pimpinan

delegasi bank sentral lainnya.

Kerja Sama di Bidang Pembangunan

Bank Dunia

Pertemuan Bank Dunia dalam tahun 2000 membahas topik-

topik utama sebagai berikut: (i) intensifikasi usaha dalam

menanggulangi HIV/AIDS; (ii) pengurangan kemiskinan dan

global public goods; (iii) comprehensive development frame-

work (CDF); dan (iv) memperbarui kapasitas keuangan IBRD.

Komite Pembangunan menyerukan perlunya tindakan

intensif secara internasional untuk mencegah epidemi HIV/AIDS

dan memberikan perawatan kepada penderitanya.

Meluasnya wabah dikhawatirkan dapat berpengaruh pada

melemahnya proses pertumbuhan ekonomi, human capital,

dan produktivitas tenaga kerja.

Dalam rangka pengentasan kemiskinan Bank Dunia

terlibat dalam penyediaan global public goods. Keterlibatan

tersebut diperlukan karena: (i) memberikan nilai tambah terha-

dap tujuan pengembangan Bank Dunia; (ii) menggerakkan

sumber-sumber lainnya dan meningkatkan partnership; (iii)

memberikan keunggulan komparatif bagi Bank Dunia; dan

(iv) memerlukan aksi global. Sedangkan keterlibatan Bank

Dunia dalam public goods tersebut diwujudkan dalam

bentuk meningkatkan kerja sama dengan lembaga interna-

sional, memfasilitasi aliran dari barang, jasa dan faktor pro-

duksi secara internasional, memperbesar manfaat globa-

lisasi dan mencegah masalah ekonomi dan sosial, menjaga

dan melindungi lingkungan, serta mengembangkan

pengetahuan yang terkait dengan pembangunan.

Sementara itu dalam rangka pengurangan beban

utang negara miskin, selama tahun laporan terdapat lima

negara yaitu Bolivia, Mauritania, Mozambique, Tanzania dan

Uganda yang telah mencapai decision point dengan total

penghapusan utang luar negeri dalam kerangka Prakarsa HIPC

sebesar lebih dari $14,0 miliar. Selanjutnya di tahun yang sama

IMF dan Bank Dunia mempertimbangkan 15 negara tambahan

untuk mendapatkan pengurangan beban utang luar negeri.

Dalam rangka pengembangan dan persiapan

terhadap strategi pengurangan kemiskinan yang lebih

komprehensif bagi negara-negara berpendapatan rendah.

Komite Pembangunan mendorong IMF dan Bank Dunia untuk

mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk

mendukung program pengentasan kemiskinan dengan

melanjutkan kerja sama dengan negara-negara anggota.

Sehubungan dengan hal tersebut negara maju perlu

meningkatkan akses pasar bagi produk-produk ekspor negara

berkembang dan memberikan perhatian terhadap potensi

integrasi regional untuk membantu negara berkembang

meningkatkan pangsanya di pasar dunia. Ekspansi

perdagangan yang terintegrasi diperlukan dalam kerangka

pembangunan yang menyeluruh (comprehensive develop-

Page 167: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

158

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

ment framework) yang mencakup reformasi, investasi

kelembagaan, infrastruktur dan program sosial.

Tinjauan atas laporan Bank Dunia mengenai kapasitas

keuangan IBRD menunjukkan terjadinya peningkatan per-

mintaan bantuan Bank Dunia. Terbatasnya kapasitas

keuangan Bank Dunia dikhawatirkan akan membatasi

pemenuhan permintaan tersebut. Dalam kaitan ini, Dewan

Eksekutif meminta untuk melakukan kajian kemungkinan

meningkatkan kapasitas keuangan Bank Dunia.

Bank Pembangunan Asia (ADB)

Kerja sama negara-negara Asia melalui ADB telah

menghasilkan beberapa komitmen, di antaranya yaitu: (i)

dalam era globalisasi, negara emerging market harus secara

kontinyu mencari cara untuk mempercepat pembangunan

ekonominya, melalui pendekatan participating dalam

pengentasan kemiskinan menjangkau secara luas kelas

masyarakat yang berbeda. (ii) dalam rangka mengimbangi

peningkatan pemberian pinjaman untuk sektor sosial khususnya

dalam pengentasan kemiskinan, negara anggota mendukung

penambahan Asian Development Fund (ADF). Berkaitan

dengan komitmen ADB untuk menyediakan pinjaman jangka

panjang, dalam tahun 2000 Indonesia telah menerima

pinjaman sebesar $564,7 juta.

Kerja Sama Regional

Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)

Dalam tahun laporan, berbagai pertemuan telah

diselenggarakan dalam kerangka APEC. Pertemuan tersebut

mendiskusikan kerja sama antarnegara anggota di berbagai

sektor ekonomi. Adapun rangkaian pertemuan tersebut

meliputi pertemuan tingkat menteri, tingkat Kepala

Pemerintahan, dan pertemuan para Menteri Keuangan.

Pertemuan tingkat menteri membahas tema pokok

APEC 2000, yaitu: (i) Building Stronger Foundation; (ii) Creating

New Opportunities; dan (iii) Making APEC Matter More.

Berkenaan dengan tema Building Stronger Foundation, APEC

telah mencapai kemajuan-kemajuan dalam mendorong

liberalisasi perdagangan dan investasi, seperti penyebaran

informasi melalui website, perluasan Collective Action Plan da-

lam bentuk paperless trading yang terkait dengan prosedur

perpajakan dan upaya-upaya implementasi kesepakatan WTO

melalui peningkatan capacity building.

Pertemuan tingkat Menteri Keuangan juga telah

melakukan kerja sama dalam rangka memperkuat sistem

keuangan negara anggota APEC melalui reformasi interna-

tional financial architecture. Berbagai langkah konkret telah

dilakukan guna mengidentifikasikan berbagai sumber keren-

tanan, meningkatkan elastisitas pasar domestik dan inter-

nasional, serta memperbaiki fungsi sistem secara keseluruhan.

Adapun langkah-langkah konkret tersebut antara lain meliputi

upaya menerapkan international standard and codes di

kawasan APEC maupun upaya meningkatkan kegiatan sur-

veillance sebagai unsur penting dalam mendorong penguatan

ekonomi domestik dan internasional. Dalam rangka

memperkuat sistem keuangan tersebut, APEC telah

menyambut baik upaya mengembangkan keterlibatan sektor

swasta dalam mengatasi krisis, upaya memodifikasi fasilitas

pinjaman IMF, kerja sama keuangan di tingkat regional sebagai

pelengkap pinjaman IMF, maupun upaya mengurangi

kerentanan suatu negara terhadap krisis sesuai hasil pertemuan

G-20.

Berkaitan dengan international standard and codes,

APEC telah mendukung key standard yang diidentifikasikan

oleh Financial Stability Forum (FSF) dan mendukung upaya ne-

gara anggota APEC dalam menerapkan codes sebagai prio-

ritas utama. Dalam hal ini, APEC telah mancapai kemajuan-

kemajuan dalam mengembangkan internasional standard,

codes dan best practice guidelines dalam cakupan-cakupan

yang luas yang akan membantu upaya meningkatkan

kerangka hukum, kelembagaan dan pengaturan di pere-

konomian negara APEC. Implementasi rekomendasi FSF pada

HLI, capital flows dan Offshore Financial Center (OFC) akan

membantu mengurangi risiko cross-border capital flows dan

mendorong international financial stability.

Sementara itu, untuk memperkuat sistem keuangan di

kawasan APEC, ekonomi anggota APEC telah mengem-

bangkan berbagai inisiatif antara lain meliputi Voluntary Ac-

Page 168: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

159

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

tion Plan for Freer and More Stable Capital Flows, studi menge-

nai Bank Failure Management, pengembangan kemampuan

regulator keuangan dan sistem pengawasan, meningkatkan

corporate governance, social safety nets, kerangka legal dan

pengaturan untuk melawan kejahatan keuangan, kajian

terhadap Credit Rating Agencies serta inisiatif yang terkait

dengan transaksi keuangan secara elektronis.

Berkaitan dengan Voluntary Action Plan (VAP), ekonomi

APEC menyatakan pentingnya APEC memfokuskan upaya

memperkuat dan meningkatkan kredibilitas kebijakan untuk

meminimalkan risiko dan memanfaatkan keuntungan dalam

pasar modal internasional. Sementara dalam liberalisasi capi-

tal account, ditekankan pula pentingnya upaya memperkuat

sistem keuangan dan kerangka manajemen risiko yang efektif.

Sehubungan dengan Policy Dialogue Process, Voluntary Ac-

tion Plan Group Meeting, secara prinsip telah menyetujui Basel

Committee’s Core Principle for Effective Banking Supervision

sebagai topik yang akan dibahas tahun 2001. Policy Dialogue

Process merupakan salah satu komponen VAP Initiative Bagian

II sebagai upaya yang melibatkan negara anggota APEC

dalam tukar menukar pandangan mengenai isu kebijakan

dalam menerapkan standar internasional guna memperkuat

pasar keuangan di kawasan APEC.

Dalam rangka memperkuat pasar keuangan domestik,

studi mengenai Bank Failure Management akan memfokuskan

pada upaya pengelolaan bank yang mengalami krisis maupun

respon kebijakan yang diperlukan untuk mencegah systemic

failure. Sementara berkaitan dengan upaya Credit Rating

Agency yang efisien dan terpercaya, negara anggota APEC

dapat memainkan peranan aktif dengan meningkatkan

kualitas dan meningkatkan corporate governance.

Dalam upaya mengurangi dampak krisis dan mencegah

terjadinya krisis, APEC telah melakukan kajian terhadap

penerapan social safety net di negara anggota APEC yang

meliputi: (i) kebutuhan perencanaan safety net pre-crisis yang

cukup; (ii) akurasi informasi mengenai negara yang rentan dan

miskin; serta (iii) kebutuhan untuk mempunyai instrumen yang

luas untuk menjamin cakupan dan pencapaian target.

Pelaksanaan program tersebut perlu dikoordinasikan di antara

lembaga Pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih dan

menimbulkan beban administrasi.

ASEAN

Dalam tahun 2000, kerja sama bank sentral ASEAN mencapai

kesepakatan bahwa negara anggota ASEAN tetap

menginginkan agar ASEAN Central Bank Forum (ACBF)

dipertahankan seperti yang ada saat ini tanpa meng-

ikutsertakan Sekretariat ASEAN dalam dialog. Dalam hal ini

menyepakati ACBF sebagai forum pertukaran informasi

antarbank sentral.

Dalam periode laporan, negara anggota ASEAN telah

menyetujui untuk memodifikasi Asean Swap Arrangement

(ASA). Tujuan dari New ASA tersebut adalah menyediakan

bantuan likuiditas devisa jangka pendek kepada negara

anggota yang mengalami kesulitan neraca pembayaan dan

meningkatkan kerja sama keuangan di antara negara-negara

ASEAN. Dalam kaitan ini, Working Group on ASA yang dipimpin

oleh Bank Indonesia telah menyepakati ketentuan ASA sebagai

berikut: (i) negara yang berpartisipasi dalam ASA meningkat

dari 5 negara menjadi seluruh negara ASEAN (10 negara); (ii)

jatuh tempo dan perpanjangan ASA yang lebih fleksibel, namun

tidak boleh melebihi 6 bulan; (iii) cooling off period pengajuan

permintaan penarikan fasilitias ditingkatkan dari 1 bulan menjadi

6 bulan; (iv) total fasiltias ASA ditingkatkan dari $200 juta menjadi

$1 miliar, dengan kontribusi dibagi menjadi 2 group, yaitu group

I (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Brunei

Darussalam) dengan kontribusi total $900 juta, atau masing-

masing $150 juta, serta group II dengan kontribusi total

disepakati sebesar $100 juta yang bersumber dari Kamboja ($17

juta), Laos ($5 juta), Vietnam ($50 juta), dan Myanmar ($428

juta); (v) prakondisi New ASA yaitu negara tersebut berada

dalam program IMF atau cadangan devisanya menurun tajam

dan hanya mencakup kebutuhan impor kurang dari 3 bulan;

dan (vi) mata uang yang digunakan adalah dolar AS, yen, dan

euro; suku bunga yang digunakan yaitu LIBOR, Euro Yen, dan

Euro LIBOR. Dengan ASA yang berlaku telah berakhir 4 Agustus

2000, maka anggota ASA menyepakati bahwa Malaysia akan

bertindak sebagai agent bank.

Page 169: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

160

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

Sementara itu, kerja sama ASEAN + 3 telah pula

menyepakati untuk menyediakan fasilitas bilateral swap dan

repurchase agrement (BSA) di antara negara-negara ASEAN

dengan Jepang, Cina, dan Korea Selatan. BSA tersebut

bertujuan untuk memberikan bantuan keuangan jangka

pendek dalam bentuk swap kepada negara yang ikut serta

dalam Chiang Mai Initiative untuk mendukung neraca

pembayaran. Swap tersebut merupakan tambahan atas

fasilitas keuangan internasional yang ada, termasuk bantuan

IMF dan ASA. Secara garis besar, pokok-pokok dari BSA adalah:

(i) BSA tidak terkait dengan ASA, fasilitas yang mandiri, dan

dapat dilaksanakan secara paralel dengan ASA; (ii) fasilitas

BSA dapat digunakan oleh seluruh negara tanpa ada

keterkaitan dengan IMF; (iii) suku bunga adalah LIBOR+150

basis point (bp) untuk penarikan dan perpanjangan pertama

dan bertambah sebesar 50 bp pada setiap dua periode

perpanjangan. Fasilitas BSA tersebut belum dapat direalisasikan

mengingat masih terdapat beberapa masalah yang belum

disepakati, antara lain masalah jaminan pemerintah untuk

fasilitas BSA yang diberikan dan belum jelasnya maksimum to-

tal fasilitas dimaksud.

Kerja sama ASEAN lainnya yang telah dicapai adalah

pembentukan working group on ASEAN Currency and ex-

change Rate Regime. Pembentukan working group tersebut

merupakan kelanjutan dari ide pembentukan ASEAN com-

mon currency and exchange rate yang pernah dikemukakan

di ASEAN Summit tahun 1998 di Hanoi di bawah Hanoi Plan on

Action. Malaysia sebagai ketua dari working group tersebut

selama periode laporan telah menyampaikan Terms of Ref-

erence untuk mengkaji manfaat dan kerugian dari pem-

bentukan ASEAN common currency kepada seluruh negara

anggota ASEAN. Proyek ASEAN tersebut memperoleh bantuan

teknis dari IMF dan bertujuan untuk: (i) meningkatkan stabilitas

keuangan dan sosial, khususnya pada tingkat regional; (ii)

mencegah terjadinya krisis keuangan di masa yang akan

datang, dan (iii) meningkatkan kerja sama keuangan regional.

Page 170: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

161

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

6,0

5,0

4,0

3,0

2,0

1,0

0,0

–1,0

–2.0

Mar.1990

Sep.1991

Mar.1993

Sep.1994

Mar.1996

Sep.1997

Mar.1999

Sep.1990

%

Boks : “The New Economy” dan Kebijakan Moneter Federal Reserve

Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat yang

disertai dengan peningkatan pertumbuhan produktivitas

secara berkesinambungan dalam 8 tahun terakhir

menunjukkan bahwa perubahan fundamental tengah

berlangsung dalam perekonomian Amerika Serikat (Grafik 1.2).

Banyak pengamat ekonomi yang berpandangan sama

bahwa pesatnya pertumbuhan produktivitas tersebut dipicu

oleh kemajuan pesat di bidang teknologi komputer dan

informasi (IT) dan pemanfaatan teknologi ini dalam berbagai

sektor ekonomi sehingga melahirkan fenomena yang disebut

“the new economy”.

Peningkatan produktivitas dapat dikaitkan dengan

pemanfaatan teknologi komputer dan informasi melalui tiga

jalur :

♦ Peningkatan produktivitas (direct productivity gain)

dalam industri yang memproduksi barang-barang

teknologi informasi berdampak luas terhadap

peningkatan produktivitas pada seluruh sektor

perekonomian. Meningkatnya produktivitas dalam sektor

ini telah mendorong harga komputer dan berbagai

produk yang terkait dengan komputer turun tajam. Hal

ini pada gilirannya mendorong industri lainnya secara

intensif menggunakan produk komputer.

♦ Terjadinya capital deepening di pasar keuangan yang

pada gilirannya meningkatkan rasio modal terhadap

jumlah tenaga kerja di berbagai industri. Dengan

meningkatkan investasi dalam perangkat komputer dan

teknologi informasi produktivitas tenaga kerja meningkat.

Pemanfaatan perangkat komputer telah membantu

dalam menciptakan cara-cara berproduksi yang lebih

efisien, cepat, dengan input seminimal mungkin.

♦ Spillover effect terjadi ketika keuntungan yang diraih

produsen dari suatu investasi meningkat. Hal ini pada

gilirannya mendorong produsen lainnya melakukan

investasi yang sama. Spillover effect menjadi intensif

dengan meningkatnya investasi dalam teknologi informasi.

Keuntungan yang diraih atas investasi dalam “internet ca-

pable computer” meningkat ketika semakin banyak

konsumen dan korporasi yang menggunakan jasa internet.

Beberapa penelitian memberikan indikasi besarnya

sumbangan pemanfaatan teknologi informasi terhadap

peningktan produktivitas. Satu persen laju pertumbuhan

produktivitas di Amerika Serikat, sekitar 44% sampai dengan

73% disumbang oleh pemanfaatan teknologi informasi.1)

Beberapa perekonomian negara industri lainnya termasuk

Grafik 2.Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat1992–2000

Grafik 1.Pertumbuhan Produktivitas Amerika Serikat1992–2000

1 Penelitian dilakukan oleh Dale Jorgenson and Kevin Stiroh; “Rais-ing the Speed Limit: U.S. Economic Growth in the Information Age”(periode 1990-1998), Steven D. Oliner and Daniel E. Sichel; “TheResurgence of Growth in the Late 1990s” (periode 1990-1999), danKarl Whelan; “Computers, Obsolescence, and Productivity”(periode 1974-1998).

%

6,5

6,0

5,5

5,0

4,5

4,0

3,5

3,0

2,5

2,0

1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000

Page 171: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

162

Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional

2 Dalam konsep perhitungan “Sollow Growth Model” , TFP adalahresidual yang mencerminkan spillover effect .

negara-negara industri baru di Asia mengalami pertumbuhan

produktivitas yang tinggi terutama melalui capital deepening

dan sumbangan total factor productivity (TFP)2 . Negara-

negara tersebut melakukan investasi sekurang-kurangnya 5,0%

dari PDB dalam perangkat teknologi informasi.

Besarnya investasi dalam produk IT di Amerika Serikat

telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktural

perekonomian sehingga meningkatkan produktivitas secara

persisten. Sebagai akibatnya, output potensial perekonomian

terus meningkat. Sampai pertengahan tahun 1990-an, output

potensial perekonomian Amerika Serikat hanya sekitar 2,5%.

Pada tahun 2000, hitungan beberapa ekonom memperkirakan

ouput potensial Amerika Serikat telah mencapai 3,5% sampai

dengan 4,0%. Hal ini mengakibatkan output gap perekonomian

tidak memberi tekanan inflasi meskipun permintaan domestik

tumbuh pesat. Rendahnya tekanan inflasi juga dapat dijelaskan

dari sudut pandang mikro. Dengan semakin meningkatnya

kegiatan ekonomi, permintaan terhadap tenaga kerja semakin

meningkat sehingga mengakibatkan kondisi pasar tenaga kerja

menjadi ketat. Hal ini pada gilirannya menumbulkan tekanan

peningkatan tingkat upah. Meskipun demikian, dengan

meningkatnya produktivitas, tekanan kenaikkan upah tersebut

dapat di-offset dengan penurunan ongkos produksi per unit,

sehingga tidak ada alasan bagi kalangan produsen untuk

menaikkan harga produk.

Terjadinya perubahan struktural dalam perekonomian

tersebut merupakan salah satu penyebab mengapa

beberapa indikator ekonomi seperti angka NAIRU yang dalam

dekade lalu sering digunakan oleh Federal Reserve dalam

memformulasikan kebijakan moneternya, dalam beberapa

tahun terakhir ini kurang reliable. Misalnya, pesatnya

pertumbuhan ekonomi telah menyerap banyak tenaga kerja

sehingga menurunkan tingkat pengangguran. Hitungan angka

NAIRU (Non-accelerating inflation rate of unemployment) yang

sering digunakan ekonom untuk mengukur tingkat

pengangguran terendah yang tidak akan memicu kenaikkan

harga telah turun menjadi 5,0 persen. Meskipun tingkat

pengangguran pada tahun 2000 turun mencapai 3.9 persen

—terendah dalam 30 tahun terakhir—, hal itu tidak

menimbulkan tekanan inflasi. Dengan alasan tersebut, dalam

beberapa tahun terakhir formulasi kebijakan moneter lebih

banyak didasarkan pada information variable yang diperoleh

dari sektor riil khususnya berbagai leading indicators yang akan

memberikan arah kegiatan ekonomi ke depan. Indikator-

indikator ekonomi tersebut antara lain factory order di industri

hulu, consumer and business confidence, weekly jobless claim,

business inventory, productivity index, dan lain-lain. Selain itu,

Federal Reserve juga sangat memperhatikan indikator di pasar

modal khususnya perkembangan harga saham karena

besarnya wealth effect perkembangan harga saham

terhadap konsumsi swasta. Tersedianya berbagai leading in-

dicators seperti di atas sangat membantu Federal Reserve

dalam menjalankan kebijakan moneter yang pre-emptive.

Secara singkat, lahirnya “the new economy” dalam

perekonomian Amerika Serikat dan langkah pre-emptive

dalam kebijakan moneter Federal Reserve dapat menjelaskan

mengapa perekonomian negara adikuasa ini mengalami

pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkesinambungan

dalam delapan tahun terakhir tanpa disertai dengan tekanan

inflasi yang cukup berarti (non-inflationary expansion) .

Page 172: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001Bab 10

Page 173: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

164

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Selain itu, implementasi otonomi daerah pada tahun 2001

memiliki potensi yang dikhawatirkan dapat memacu laju inflasi,

terutama apabila daerah berlomba-lomba untuk mening-

katkan pungutan, restribusi, ataupun pajak daerah.

Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek

makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan

harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank

Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar

dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan

pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, kebijakan

pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang

diperkirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju

inflasi sekitar 2,0%–2,5% di atas target tersebut. Untuk mencapai

sasaran laju inflasi tersebut, Bank Indonesia akan mengen-

dalikan pertumbuhan uang primer agar sesuai dengan

kebutuhan riil perekonomian. Dalam hubungan ini, Bank Indo-

nesia memutuskan bahwa sasaran pertumbuhan uang primer

pada akhir tahun 2001 sebesar 11,0%–12,0%.

Dengan prakiraan masih besarnya tekanan terhadap

inflasi dan nilai tukar rupiah, kebijakan moneter yang

cenderung ketat dalam tahun 2001 dipandang masih perlu,

setidaknya sampai dengan semester pertama 2001. Apabila

tekanan terhadap inflasi mulai mereda dan fungsi intermediasi

perbankan semakin membaik, ruang gerak bagi kebijakan

moneter yang relatif longgar akan lebih luas. Sementara itu,

nilai tukar tetap diupayakan agar tidak terlalu bergejolak.

Upaya pemeliharaan kestabilan nilai tukar rupiah melalui

sterilisasi terhadap dampak ekspansif pengeluaran pemerintah

yang bersumber dari dana luar negeri tetap perlu dilakukan.

Kebijakan lain yang secara langsung dapat mengurangi

gejolak nilai tukar rupiah harus menjadi opsi yang tetap

terbuka, antara lain monitoring dan pengaturan transaksi

devisa, serta pembatasan internasionalisasi rupiah.

Prospek pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan

pencapaian sasaran inflasi tahun 2001 tersebut akan

P rospek pemulihan perekonomian Indonesia tahun 2001

diprakirakan tetap membaik. Dengan melihat semakin

kuatnya proses pemulihan yang tengah berlangsung dan

asumsi terkendalinya berbagai faktor risiko dan ketidak pastian

di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi tahun 2001

diprakirakan dapat mencapai 4,5% – 5,5%. Pertumbuhan

tersebut didorong oleh masih cukup baiknya kinerja ekspor,

meningkatnya kegiatan investasi dan masih cukup kuatnya

konsumsi. Dari sisi internal, berbagai permasalahan penting,

seperti upaya restrukturisasi perbankan dan utang perusahaan

diprakirakan secara berangsur akan menunjukkan per-

kembangan yang semakin membaik. Sementara dari sisi

eksternal, kondisi perekonomian global yang tercermin dari

pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, serta harga minyak,

diprakirakan masih kondusif terhadap perkembangan

perdagangan luar negeri maupun arus modal Indonesia.

Walaupun demikian, beberapa faktor risiko dan

ketidakpastian diperkirakan masih mempengaruhi per-

kembangan nilai tukar tahun 2001. Tekanan-tekanan mele-

mahnya nilai tukar rupiah masih akan dirasakan, meskipun

secara keseluruhan nilai tukar rupiah diprakirakan dapat

menguat hingga mencapai rata-rata sekitar Rp7.750-Rp8.250

per dolar AS pada tahun 2001. Prakiraan membaiknya nilai

tukar ini disebabkan oleh membaiknya kondisi fundamental

ekonomi Indonesia pada tahun 2001 dan menurunnya laju

apresiasi dolar AS secara global akibat melambatnya ekspansi

perekonomian Amerika Serikat.

Dengan memperhatikan kecenderungan-kecende-

rungan yang terjadi, tekanan-tekanan inflasi pada tahun 2001

diprakirakan relatif masih tinggi. Hal ini disebabkan masih

tingginya ekspektasi inflasi, meningkatnya penggunaan

kapasitas produksi dan cukup kuatnya sisi permintaan. Di

samping itu, rencana Pemerintah untuk meningkatkan harga

BBM, harga dasar gabah, cukai rokok, gaji PNS dan UMR

diprakirakan juga akan memberikan dampak pada inflasi.

b a b

10 Prospek Ekonomi dan Arah KebijakanTahun 2001

Page 174: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

165

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

bersumber dari meningkatnya biaya energi serta mulai

berkurangnya dampak bawaan dari pesatnya pertumbuhan

ekonomi pada dua tahun terakhir.

Penurunan pertumbuhan terutama akan terjadi di

kawasan Amerika Utara dan sebagian kawasan Eropa yang

antara lain disebabkan oleh mulai menurunnya konsumsi

masyarakat, terutama konsumsi barang-barang tahan lama.

Di sisi lain, perekonomian Jepang diprakirakan akan mulai

membaik menyusul keberhasilan upaya restrukturisasi sektor

perbankan Jepang serta penggabungan usaha (merger).

Kondisi ini diprakirakan akan memberikan pengaruh positif

terhadap iklim investasi dan ekspor Indonesia melalui berbagai

anak perusahaan dan perusahaan patungan Jepang yang

beroperasi di Indonesia.

Perekonomian negara-negara maju pada tahun 2001

diproyeksikan akan tumbuh sebesar 3,2% atau lebih rendah

dari tahun 2000 sebesar 4,2%. Perlambatan pertumbuhan

ekonomi tersebut terutama terjadi di Amerika Serikat, yaitu dari

5,2% tahun 2000 menjadi menjadi 3,2% tahun 2001. Per-

lambatan pertumbuhan ekonomi diprakirakan juga akan

berlangsung di kawasan Uni Eropa, yaitu dari 3,5% pada tahun

2000 menjadi 3,4% pada tahun 2001. Sementara itu, ekonomi

Jepang diprakirakan akan mulai membaik pada 2001 dengan

mencatat pertumbuhan sebesar 1,8%, terutama terkait

dengan kemajuan yang dicapai atas restrukturisasi perusahaan

dan perbankan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara

maju tersebut akan berdampak pada melambatnya kinerja

ekonomi negara-negara berkembang, terutama beberapa

negara Asia. Seperti diketahui, ekonomi negara Asia pada

tahun 2000 sangat terbantu oleh kinerja ekspor, khususnya

ekspor barang elektronika, ke berbagai negara maju, termasuk

ke kawasan Amerika Utara. Dengan prospek seperti di atas,

perkembangan ekonomi di berbagai negara yang menjadi

mitra dagang Indonesia secara keseluruhan diprakirakan juga

akan sedikit melambat.

Inflasi dan suku bunga internasional

Dengan prakiraan turunnya harga minyak dan melemahnya

permintaan agregat, inflasi dunia diprakirakan sedikit menurun

tergantung pada kemajuan dalam menangani berbagai

permasalahan mendasar serta upaya meminimalkan berbagai

risiko dan ketidakpastian di dalam negeri. Berbagai per-

masalahan tersebut antara lain menyangkut keberhasilan

proses restrukturisasi utang perusahaan, pemulihan intermediasi

perbankan, terkendalinya peningkatan beban keuangan

pemerintah, dan kelancaran pelaksanaan otonomi daerah.

Berbagai faktor non ekonomi khususnya faktor sosial politik,

keamanan, dan ketidakpastian hukum juga dapat menjadi

kendala yang signifikan dalam proses pemulihan ekonomi dan

perbankan maupun dalam stabilisasi nilai tukar rupiah dan

pencapaian sasaran inflasi.

Prospek Ekonomi Global

Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia

Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 diprakirakan akan men-

capai 4,2%, sedikit lebih rendah dibanding tahun 2000 sebesar

4,7%. Sejalan dengan kegiatan ekonomi dunia yang cenderung

turun, pertumbuhan volume perdagangan dunia secara

tertimbang diprakirakan akan berkisar 7,8% atau menurun bila

dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 10,0% (Tabel 10.1).

Faktor utama yang memberikan kontribusi positif

terhadap pertumbuhan tahun 2001 adalah naiknya

produktivitas masyarakat sebagai dampak penggunaan

teknologi yang lebih maju. Sementara itu, faktor negatif

Tabel 10.1Pertumbuhan Ekonomi Dan Volume Perdagangan Dunia

1999 20001) 20011)

Pertumbuhan ekonomi (%)Dunia 3,4 4,7 4,2Negara-negara industri 3,2 4,2 3,2Negara-negara berkembang 3,8 5,6 5,7Negara-negara transisi 2,4 4,9 4,1

Amerika Serikat 4,2 5,2 3,2Jepang 0,2 1,4 1,8Jerman 1,6 2,9 3,3Inggris 1,4 3,1 3,0Perancis 1,6 2,9 3,3RRC 7,1 7,5 7,3Korea Selatan 10,7 8,8 6,5Singapura 5,4 7,9 5,9

Volume Perdagangan Dunia (%) 5,1 10,0 7,8

1) Angka perkiraanSumber : World Economic Outlook, Oktober 2000

Page 175: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

166

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

cenderung tinggi sementara harga produk pertanian

cenderung rendah. Namun demikian, dalam jangka relatif

pendek harga-harga komoditi diprakirakan kembali bergerak

dalam satu arah sejalan dengan mulai turunnya harga minyak

serta sedikit meningkatnya harga komoditi pertanian. Pada

tahun 2001, harga minyak diprakirakan turun sebesar 11,0%-

13,0% di 2001(Grafik 10.1), sementara harga komoditi logam

dan mineral diprakirakan naik sebesar 1,5% . Sementara itu,

harga komoditi pertanian diprakirakan mampu meningkat

hingga 4,0%.

Dengan adanya kesepakatan mekanisme penetapan

harga dan kuota minyak OPEC tanggal 1 Oktober 2000, harga

minyak diprakirakan akan berangsur turun sebesar $3.0-$4.0

per barrel. Sebagaimana diketahui, berdasarkan mekanisme

penentuan harga baru tersebut, anggota OPEC diper-

kenankan untuk meningkatkan produksi minyak apabila

keranjang harga minyak OPEC melebihi batas atas kisaran

harga yang disepakati selama 20 hari berturut-turut. Sebaliknya

apabila harga minyak lebih rendah dari batas bawah kisaran

harga, maka kuota produksi dapat dikurangi kembali. Dengan

pertimbangan tersebut di atas serta adanya akumulasi

persediaan minyak dunia akibat kebutuhan musim dingin yang

lebih rendah dari yang diprakirakan maka harga minyak rata-

rata tahun 2001 diprakirakan akan berkisar $24,0-$25,0 per

barrel.

Grafik 10.1Perkembangan Harga Minyak Mentah

$/barrel

5

10

15

20

25

30

35

40MinasBasketVenezuelan Crude

1996 1997 1998 1999 2000

Batas atas

Batas bawah

pada 2001. Perkembangan ini terjadi baik di negara-negara

maju maupun di negara yang sedang berkembang. Laju inflasi

Amerika Serikat diprakirakan turun menjadi 2,6%. Sementara

itu, Jepang diprakirakan mengalami inflasi 0,5% setelah

sebelumnya mencatat deflasi. Laju inflasi di negara ber-

kembang diprakirakan turun menjadi 5,2% lebih rendah

dibandingkan laju inflasi sebesar 6,2% ditahun sebelumnya.

Sementara laju inflasi di negara-negara transisi diprakirakan

akan mencapai 12,5% (Tabel 10.2).

Relatif stabilnya inflasi akan mendorong negara maju

untuk melakukan kebijakan suku bunga yang relatif tetap atau

cenderung turun. Khusus Amerika Serikat, hal tersebut sejalan

dengan prakiraan masyarakat umum bahwa kebijakan pe-

ngetatan dari bank sentral AS (Federal Reserve) telah berakhir

guna menjaga agar melambatnya ekspansi perekonomian

tahun 2001 tidak mengakibatkan terjadinya resesi yang parah.

Perkembangan suku bunga internasional yang relatif tetap

serta membaiknya perkembangan ekonomi di kawasan Asia

yang terkena krisis diprakirakan akan mendorong terjadinya

realokasi dana oleh investor ke pasar Asia. Sejalan dengan

hal tersebut, akses negara-negara yang terkena krisis ke pasar

internasional diprakirakan juga akan membaik seiring dengan

adanya revisi credit rating ke tingkat yang lebih baik.

Harga komoditas internasional

Harga komoditas internasional bergerak dalam arah yang

beragam setelah krisis Asia 1999. Harga komoditi minyak masih

Tabel 10.2Perkembangan Inflasi Dan Suku Bunga Internasional

1999 20001) 20011)

Inflasi (%)Negara-negara industri 1,4 2,3 2,1Negara-negara berkembang 6,6 6,2 5,2Negara-negara transisi 43,8 18,3 12,5

Sukubunga jangka pendek (%)Amerika Serikat 4,8 6,1 6,7Jepang 0,0 0,2 0,5Uni Eropa 2,9 4,4 5,1

1) Angka perkiraan

Sumber : World Economic Outlook, Oktober 2000

Page 176: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

167

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

30

40

50

60

70

80

90

100

110

120

130 TimahAluminiumRata-rataEmasTembaga

4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2

Angka estimasi s.d. 2002

‘00 ‘01 ‘02‘98 ‘99

Indeks

Grafik 10.4Leading Indikator Ekonomi

Secara umum, perkembangan harga-harga produk

ekspor nonmigas Indonesia tahun 2001 di pasaran internasional

diprakirakan relatif stabil bahkan cenderung naik sehingga

memberikan insentif positif bagi para pengusaha untuk

mendorong ekspor (Grafik 10.2). Harga ekspor komoditi

pertambangan diprakirakan meningkat seiring dengan

peningkatan permintaan terutama terkait dengan relatif

pesatnya perkembangan industri manufaktur Republik Rakyat

Cina dan perkembangan industri semikonduktor di Amerika

Serikat serta menurunnya persediaan komoditi tambang dunia.

Harga beberapa produk tambang seperti nikel dan aluminium

diprakirakan akan terkoreksi turun akibat meningkatnya

penggunaan produk hasil daur ulang. Sementara itu, harga-

harga komoditi utama ekspor pertanian seperti karet, kopi, teh

dan coklat – meskipun sedikit meningkat -- diprakirakan masih

cenderung tertahan di tingkat harga yang relatif rendah akibat

terus meningkatnya produksi dan jumlah persediaan (Grafik

10.3).

Prospek Ekonomi Indonesia

Prospek perekonomian Indonesia tahun 2001 diprakirakan terus

membaik sebagaimana tercermin dari indeks komposit Lead-

ing Indikator Ekonomi (LIE) yang masih cukup tinggi (Grafik 10.3).

Setelah tumbuh 4,8% pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi

tahun 2001 diprakirakan berkisar 4,5%-5,5%. Pertumbuhan

moderat tersebut sebagai kelanjutan dari proses pemulihan

yang terus berlangsung. Dari sisi permintaan, pendorong utama

pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih akan bersumber

dari kegiatan ekspor dan investasi. Sementara itu dari sisi

penawaran, sumber pertumbuhan akan berasal dari sektor

industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor

bangunan.

Seiring dengan adanya perbaikan ekonomi yang

berkelanjutan di semua sektor, kesenjangan output (output

gap) akan semakin menyempit. Menyempitnya kesenjangan

output ini akan mendorong perusahaan untuk melakukan

Grafik 10.2Indeks Harga Komoditas Mineral Dunia

Growth Y-o-Y (kiri)

LIE Komposit (kanan)

–20,0

–15,0

–10,0

–5,0

0

5,0

10,0

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

1,4

1 5 9 1 5 9 1 5 9 1

1998 1999 2000 2001

% Indeks

Grafik 10.3Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia

‘00 ‘01 ‘02

4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2

I n d e k s

0

50

100

150

200

250

300KaretPalm oilKopiKayu lapisTehRata-rata

‘98 ‘99

Angka estimasi s.d. 2002

Page 177: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

168

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Tabel 10.3Pertumbuhan Dari Sisi Permintaan

T a h u n

2000** 20011)

AsumsiVolume perdagangan dunia (%) 11,5 9,2Harga minyak ($/barrel ) 25 25LIBOR 3 bulan (%) 6,5 6,5Yen/$ 105 105Rp/$ 8.400 8.000Defisit fiskal (% thd PDB) 6,5 3,5

Proyeksi (% pertumbuhan tahunan)PDB riil 4,8 4,5 –5,5Konsumsi 3,9 3,0–5,0Investasi 17,9 10,0 –12,0Ekspor barang dan jasa 16,1 8,5–10,5Impor barang dan jasa 18,2 11,0–13,0

1) Angka proyeksi

R i n c i a n

barang dan jasa dan impor barang dan jasa dalam PDB

diprakirakan masing-masing tumbuh dalam kisaran 8,5%–10,5%

dan 11,0%–13,0% (Tabel 10.3).

Dari sisi neraca pembayaran, prospek ekspor dan impor

tahun 2001 juga tercermin pada surplus transaksi berjalan yang

diprakirakan akan mengalami penurunan, yaitu menjadi 2,0%-

4,0% terhadap total PDB (Tabel 10.4). Sementara itu, arus modal

ke luar negeri diprakirakan semakin berkurang dan

penanaman modal asing diprakirakan mulai tumbuh secara

signifikan. Hal ini secara umum mencerminkan mulai

investasi baru guna memenuhi permintaan yang meningkat.

Berdasarkan optimisme pertumbuhan investasi tersebut, arah

pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke

depan diprakirakan masih meningkat. Di samping itu, permin-

taan ekspor juga diprakirakan masih tumbuh dengan cukup

kuat, walaupun tidak sekuat pertumbuhan ekspor tahun 2000.

Permintaan

Dari sisi permintaan, pertumbuhan perekonomian Indonesia

pada tahun 2001 diprakirakan masih ekspansif dengan sumber

pertumbuhan berasal dari kegiatan ekspor, investasi, dan

konsumsi. Sumbangan dari ketiga komponen tersebut

terhadap pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan semakin

seimbang.

Pertumbuhan ekspor tahun 2001 diprakirakan masih

cukup tinggi meskipun cenderung lebih rendah dibandingkan

dengan tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh

melemahnya permintaan barang ekspor seiring dengan

melambatnya pertumbuhan beberapa negara mitra dagang

utama di kawasan Eropa dan Amerika. Sementara itu,

perkembangan harga-harga beberapa komoditi ekspor non

migas di pasaran dunia, terutama komoditi mineral serta

produk manufaktur, masih menunjukkan perkembangan yang

stabil bahkan cenderung meningkat. Hal tersebut diprakirakan

akan mampu menjadi insentif bagi pengusaha untuk lebih

mendorong kegiatan ekspor.

Ekspor produk manufaktur, seperti kayu lapis tekstil, gar-

ment, pulp, dan barang-barang elektronik serta komoditi

pertambangan, seperti nikel, tembaga, aluminium dan besi

baja diprakirakan memberikan kontribusi yang cukup signifikan

terhadap keseluruhan produk ekspor Indonesia. Sedangkan

komoditi pertanian diprakirakan akan memberikan kontribusi

yang terbatas. Seiring dengan meningkatnya investasi dan

masih relatif baiknya pertumbuhan ekspor, impor juga

diprakirakan meningkat khususnya impor bahan baku dan

barang modal. Namun, mengingat base yang sudah tinggi,

pertumbuhan impor barang dan jasa cenderung akan lebih

kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang base–nya rendah.

Secara keseluruhan, pertumbuhan pengeluaran ekspor

2000** 20011)

Miliar $

Transaksi Berjalan 7,7 4,7

Ekspor (f.o.b) 62,5 65,2Ekspor migas 15,5 13,7Ekspor nonmigas 47,0 51,5

Impor (f.o.b) –37.4 –41,4Impor migas –5,3 –4,6Impor nonmigas –32,1 –36,7

Jasa-jasa (bersih) –17.4 –19.0Surplus transaksi berjalan (% thd PDB) 5.0 2,0 - 4,0

Neraca Modal –4.6 –1.3

Cadangan DevisaNominal 29.3 32.7Bulan impor dan utang LN pemerintah 6.3 6.1

1) Angka proyeksi

Tabel 10.4Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia

R i n c i a n

Page 178: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

169

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

membaiknya kepercayaan luar negeri terhadap prospek

pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. Dengan beban

pembayaran utang luar negeri yang diprakirakan semakin

menurun, kondisi neraca modal diprakirakan mencatat defisit

yang semakin mengecil.

Pertumbuhan investasi tahun 2001, terutama investasi

swasta diprakirakan akan cukup tinggi terutama karena

prospek dunia usaha yang membaik, adanya dorongan untuk

meningkatkan kapasitas produksi khususnya industri yang

berorientasi ekspor, serta mulai tersedianya pembiayaan

investasi dari perbankan. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)

triwulan IV/2000 menunjukkan kegiatan usaha di triwulan I/

2001 masih akan mengalami peningkatan pada hampir

seluruh sektor ekonomi, kecuali pada sektor pertanian dan

pertambangan (Grafik 10.5). Kegiatan usaha di tahun 2001

diprakirakan terus membaik seiiring dengan positifnya saldo

bersih tertimbang (SBT) sejak triwulan III/1999. Dari sisi rencana

investasi, diprakirakan akan terjadi peningkatan rencana

investasi di triwulan I/2001 (Grafik 10.6). Investasi di tahun 2001

juga diprakirakan terus membaik yang mana hal tersebut

tercermin dari kecenderungan yang meningkat dari jumlah

responden yang melakukan investasi sejak awal tahun 1999.

Persetujuan investasi pada bulan Juli 2000 juga

mengalami peningkatan, terutama pada investasi asing (PMA)

Grafik 10.5SKDU Kegiatan Usaha

Grafik 10.6SKDU Investasi

(Grafik 10.7). Sementara itu, implementasi investasi baik PMDN

maupun PMA sampai dengan bulan Juli 2000 sedikit

mengalami peningkatan (Grafik 10.8). Tahun 2001 diprakirakan

akan terjadi peningkatan baik dari persetujuan investasi

maupun dari realisasi investasi seiring dengan membaiknya

kondisi di bidang keamanan dan politik di dalam negeri .

Sementara itu, sumber pembiayaan investasi - yang

menjadi kendala utama untuk meningkatkan kapasitas

produksi pada tahun 2000 - diprakirakan dapat dipenuhi baik

dari pembiayaan sendiri yang berasal dari penyisihan laba dan

Grafik 10.7Persetujuan Investasi

10.000

20.000

30.000

40.000

50.000

60.000

Miliar Rp

Jan.

1999 2000

- -

500

1.000

1.500

2.000

2.500

3.000

3.500

4.000

4.500

Dalam Negeri (Kiri)

Asing (Kanan)

Juta $

Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul.-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

Perkiraan

Saldo Bersih Tertimbang (%)

I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

1996 1997 1998 1999 2000

I

2001

II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV

1996 1997 1998 1999 2000

I

2001

Jumlah responden (%)

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

Perkiraan

Page 179: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

170

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Grafik 10.9SEK Kondisi Keuangan

masih rendah. Selain pada perusahaan atau industri yang

berskala besar, pertumbuhan investasi diprakirakan akan

didukung pula oleh sektor usaha menengah seiring dengan

tersedianya kembali dana untuk ekspansi usaha. Dengan

ditunjang oleh investasi pemerintah pada sektor-sektor

produktif serta perbaikan berbagai sarana dan prasarana

masyarakat, investasi secara keseluruhan diprakirakan

mampu tumbuh sebesar 10,0%–12,0% pada tahun 2001.

Pertumbuhan investasi ini cenderung lebih rendah

dibandingkan tahun sebelumnya karena base-nya yang lebih

tinggi.

Sumber permintaan dalam negeri yang lain yakni

konsumsi diprakirakan masih akan mengalami pertumbuhan

yang relatif sama dengan tahun sebelumnya, yaitu berkisar

3,0%– 5,0%. Dengan pertumbuhan sebesar ini konsumsi masih

tetap memainkan peranan penting dalam pembentukan PDB.

Hasil Survey Ekspektasi Konsumen (SEK) bulan Desember 2000

menunjukkan bahwa secara umum kondisi keuangan

masyarakat untuk 6–12 bulan berikutnya relatif membaik (Grafik

10.9). Dengan masih positifnya harapan masyarakat akan

kondisi keuangannya di tahun 2001, maka konsumsi

diprakirakan terus meningkat. Namun demikian, relatif

rendahnya pertumbuhan konsumsi dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menyebabkan

Grafik 10.8Implementasi Investasi

80.000

130.000

180.000

230.000

280.000

330.000

380.000

35.000

40.000

45.000

50.000

55.000

60.000

65.000

70.000

75.000

Juta $Miliar Rp

Jan.

1996

Jun. Sep. Apr. Sep. Feb. Jul. Des. Mei Okt. Mar.

PMDN (kiri)

PMA (kanan)

1997 1998 1999 2000

akumulasi depresiasi aktiva tetap maupun dari penerbitan surat

utang dan pemberian kredit perbankan. Dari sumber dalam

negeri, realisasi kredit baru sektor perbankan pada tahun 2001

diprakirakan meningkat cukup signifikan seiring dengan

kemajuan proses restrukturisasi kredit BPPN dan penyelesaian

masalah utang perusahaan. Sampai dengan akhir tahun 2000,

jumlah kredit yang telah berhasil direstrukturisasi oleh BPPN dan

siap dijual ke perbankan tercatat sebesar Rp80,9 triliun.

Dari sumber luar negeri, sedikit melambatnya

pertumbuhan Amerika Serikat dan Eropa diprakirakan akan

mendorong investor untuk melakukan realokasi dana sehingga

membuka kemungkinan masuknya arus modal ke Indonesia

sejalan dengan membaiknya faktor non ekonomi di dalam

negeri. Namun demikian arus realokasi dana ini diprakirakan

tidak terlalu besar mengingat perbaikan ekonomi di kawasan

yang terkena krisis belum sepenuhnya pulih seperti semula.

Investasi dalam bentuk ekspansi atau pembangunan

pabrik baru diprakirakan terus berlangsung untuk industri-

industri yang berorientasi ekpor yang mana kapasitas

terpakainya sudah relatif tinggi, misalnya industri bahan galian

bukan logam, industri tekstil dan pakaian jadi. Investasi tahun

2001 diprakirakan sebagian besar dalam bentuk bangunan.

Sementara itu, investasi pada sektor industri pengolahan

diprakirakan masih belum cukup berarti mengingat rata-rata

kapasitas terpakai pada sektor industri ini diprakirakan relatif

-

5

10

15

20

25

30

35

Saldo Bersih (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

2 0 0 0

Page 180: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

171

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

pangsa konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional

menjadi semakin menurun (Grafik 10.10).

Sumber peningkatan pertumbuhan konsumsi diprakirakan

berasal dari relatif meningkatnya pendapatan riil masyarakat

seiring dengan prakiraan membaiknya perekonomian tahun

2001. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah untuk

meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan gaji

pegawai negeri (income policy) dan upah minimum regional

(UMR) diprakirakan juga memberikan pengaruh positif.

Sementara itu, perkembangan suku bunga diprakirakan masih

dalam kisaran yang wajar sehingga dapat mengurangi kendala

dari sisi pembiayaan. Hal ini diharapkan mampu memberikan

dorongan tambahan bagi kegiatan konsumsi rumah tangga.

Berdasarkan perkembangan tersebut konsumsi rumah tangga

tahun 2001 diprakirakan tumbuh sebesar 2,0% - 4,0%.

Konsumsi pemerintah diprakirakan juga tumbuh cukup

tinggi seiring dengan peningkatan alokasi anggaran belanja

rutin pemerintah dalam RAPBN 2001. Di samping itu, besarnya

alokasi anggaran belanja pemerintah untuk kegiatan konsumsi

diprakirakan memberikan kontribusi yang signifikan.

Penawaran

Dari sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi diprakirakan

mencatat pertumbuhan positif pada tahun 2001 dengan sektor

industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor

bangunan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi (Tabel 10.5).

Secara umum, peningkatan produksi tahun 2001 terkait

dengan adanya kenaikan permintaan domestik dan eksternal.

Sektor ekonomi yang akan menikmati kenaikan permintaan

domestik antara lain adalah sektor bangunan dan

perdagangan. Sementara itu, peningkatan produksi sektor

pertambangan akan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi

permintaan ekspor.

Sektor pertanian tahun 2001 diprakirakan sedikit

membaik dibanding tahun 2000. Hal ini didorong oleh

perubahan musim ke arah yang lebih bersahabat dengan

petani. Selain itu, subsidi bunga kredit program, termasuk

Kredit Ketahanan Pangan (KKP), diprakirakan ikut

mendorong penambahan output di sektor pertanian.

Sumbangan utama pertumbuhan positif tersebut dipra-

kirakan berasal dari sub sektor perikanan dan sub sektor tana-

man bahan makanan.

Sektor pertambangan tahun 2001 diprakirakan tumbuh

3,0%–4,0%. Produksi barang-barang pertambangan

diprakirakan sedikit meningkat terutama untuk kebutuhan

ekspor bagi negara-negara industri. Kenaikan harga komoditi

logam dan mineral di pasar internasional akan semakin

mendorong kegiatan penambangan dalam negeri.

Kecenderungan produksi tembaga yang meningkat selama

0

10

20

30

40

50

60

70

80

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001

Konsumsi swastaInvestasiEkspor

%

Grafik 10.10Perkembangan Pangsa Konsumsi Terhadap Total PDB

Tabel 10.5Pertumbuhan Sektoral

S e k t o rTahun (% y-o-y)

2000** 20011)

Pertanian 1,7 1,0–2,0Pertambangan 2,3 3,0–4,0Industri Pengolahan 6,2 5,5–6,5Listrik 8,8 7,5–8,5Bangunan 6,8 9,0–10,0Perdagangan 5,7 6,5–7,5Pengangkutan 9,4 6,5–7,5Keuangan 4,7 5,5–6,5Jasa 2,2 3,0–4,0

T o t a l 4,8 4,5–5,5

1) Angka sementara2) Angka proyeksi

Page 181: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

172

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

tahun 2000 diprakirakan terus berlangsung seiiring dengan

kecenderungan peningkatan harga tembaga di pasar

internasional. Sementara itu, produksi minyak di dalam negeri

juga berkecenderungan meningkat setelah adanya

kesepakatan anggota OPEC untuk menaikkan produksinya

karena harga minyak dunia yang sudah terlalu tinggi.

Sektor industri pengolahan tahun 2001 diprakirakan

tumbuh antara 5,5%–6,5%. Beberapa indikator menunjukkan

adanya kecenderungan peningkatan, antara lain produksi

semen, produksi kendaraan bermotor, dan masih tersedianya

lahan industri di kawasan Jabotabek. Meningkatnya produksi

semen berkaitan dengan mulai pulihnya sektor properti

residensial, yang mana para pengembang sudah mulai

gencar memasarkan penjualan rumah baru. Produksi semen

tahun 2001 diprakirakan sedikit meningkat atau relatif sama

dibandingkan dengan tahun 2000 mengingat masih relatif

tingginya permintaan akan tempat tinggal. Begitu pula

dengan produksi sepeda motor dan mobil yang menunjukkan

kecenderungan yang meningkat. Produksi sepeda motor

diprakirakan masih terus meningkat karena tingginya

permintaan kendaraan roda dua, meskipun akhir-akhir ini pasar

sepeda motor dibanjiri oleh impor dari Cina. Peningkatan

permintaan ini nampaknya akan dapat dipenuhi mengingat

produksi sepeda motor masih jauh di bawah level sebelum krisis.

Begitu pula dengan produksi mobil sedan dan van yang

diprakirakan masih akan terus meningkat mengingat masih

relatif tingginya permintaan dalam negeri. Tingginya

permintaan terhadap kendaraan bermotor tercermin dari

kecenderungan penjualan yang meningkat.

Sektor listrik diprakirakan tumbuh 7,5%–8,5% pada tahun

2001. Peningkatan penjualan listrik selama periode Januari 1998

s.d November 2000 mempunyai kecenderungan yang positif

dan relatif stabil, yaitu rata-rata tumbuh 11,0% per tahun.

Peningkatan tersebut diharapkan berlanjut terus seiring dengan

meningkatnya konsumsi listrik, terutama pada sektor industri

dan rumah tangga. Namun, salah satu kendala yang perlu

diwaspadai adalah kemampuan PLN untuk meningkatkan

kapasitas pasokan listrik karena berbagai permasalahan yang

sedang dihadapinya, khususnya beban utang luar negeri.

Sementara itu, penyediaan tambahan kapasitas oleh

perusahaan listrik swasta juga masih menghadapi

permasalahan terutama perjanjian kontrak dengan

Pemerintah.

Sektor bangunan diprakirakan tumbuh antara 9,0%–

10,0% selama tahun 2001, naik cukup signifikan dibanding

tahun 2000. Peningkatan pada sektor ini didukung oleh

beberapa indikator, antara lain meningkatnya konsumsi semen,

penjualan rumah, dan rencana penerusan kembali proyek

pembangunan yang sempat tertunda akibat krisis ekonomi.

Peningkatan konsumsi semen yang cukup signifikan selama

tahun 2000 diprakirakan akan tetap berlanjut seiring dengan

mulai pulihnya sektor properti residensial dan maraknya

penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR). Peningkatan daya

beli masyarakat dan mulai gencarnya penyaluran KPR oleh

perbankan menyebabkan permintaan akan tempat tinggal

meningkat. Sementara itu, adanya rencana pembangunan

kembali infrastruktur yang tertunda, yaitu Jakarta Outer Ring

Road, double track rel KA Jakarta – Surabaya, pelabuhan

Tanjung Perak Surabaya, dan perencanaan rel KA trans

Sumatra, memberikan kontribusi yang cukup signifikan

terhadap pertumbuhan sektor bangunan.

Sektor perdagangan diprakirakan tumbuh sebesar 6,5%–

7,5% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun

sebelumnya, yaitu 5,7%. Salah satu indikator maraknya sektor

ini adalah penjualan kendaraan bermotor yang meningkat

sampai 200% selama sebelas bulan pertama tahun 2000.

Peningkatan penjualan tersebut diprakirakan terus meningkat

seiring dengan tingginya permintaan dan meningkatnya daya

beli masyarakat. Momentum peningkatan aktivitas perda-

gangan yang tercermin dari peningkatan indeks penjualan

eceran pada tahun 2000 – yang dimotori oleh penjualan

pakaian dan perlengkapan dan penjualan kendaraan

bermotor dan suku cadang – diprakirakan juga terus

berlangsung. Dalam pada itu, tingkat hunian dan pasokan

perkantoran serta tingkat hunian hotel di kawasan Jakarta

diprakirakan sedikit meningkat pada tahun 2001 seiring dengan

semakin mantapnya laju pertumbuhan ekonomi dan

membaiknya situasi politik keamanan dalam negeri.

Page 182: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

173

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

dana pemerintahan daerah akan lebih difokuskan pada

peningkatan pelayanan publik. Selain itu, penjualan listrik untuk

kepentingan publik dan sosial menunjukkan kecenderungan

meningkat. Sebagai gambaran, sampai dengan bulan No-

vember 2000 penjualan listrik pada sektor publik dan sosial

mengalami peningkatan masing-masing 55,65% dan 11,76%

dibandingkan pada periode yang sama tahun 1999.

Pertumbuhan penjualan listrik kepada sektor publik relatif stabil,

sementara penjualan listrik untuk keperluan sosial yang semula

menurun cukup signifikan sudah kembali pada level sebelum

krisis.

Prospek Nilai Tukar

Faktor risiko dan ketidakpastian, khususnya kondisi politik dan

keamanan dalam negeri, diprakirakan masih sangat

mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah selama tahun

2001, khususnya pada paro pertama tahun 2001. Pada paro

kedua tahun 2001 nilai tukar rupiah diprakirakan cenderung

menguat sejalan dengan membaiknya kondisi berbagai faktor,

baik domestik maupun internasional. Secara keseluruhan,

dengan pergerakan yang cenderung menguat pada paro

kedua tahun 2001, rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2001

diprakirakan akan mencapai Rp7.750 - Rp8.250 per US dollar,

menguat dibandingkan dengan rata-rata sebesar Rp8.400

pada tahun 2000 (Grafik 10.11). Sebagai catatan, nilai tukar

Sektor pengangkutan tahun 2001 diprakirakan tumbuh

sebesar 6,5%–7,5%. Pertumbuhan ini sejalan dengan maraknya

kegiatan di sektor perdagangan dan sektor industri pengola-

han yang membutuhkan sarana transportasi yang lebih

banyak. Selain itu, pertumbuhan tersebut juga didorong oleh

maraknya mobilitas penduduk seiring dengan makin kondu-

sifnya iklim berusaha dan kondisi ekonomi tahun 2001. Namun

demikian, pertumbuhan di sektor ini tidak setinggi tahun sebe-

lumnya karena adanya dua kali hari raya Idul Fitri di tahun 2000.

Sektor keuangan diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi

dibandingkan dengan tahun 2000, sejalan dengan

membaiknya profitabilitas perbankan yang tercermin dari

peningkatan net interest margin (NIM) dan menurunnya non

performing loans (NPL). Membaiknya kondisi perbankan ini

disebabkan oleh meningkatnya portofolio kredit perbankan

seiring dengan langkah perbankan yang mulai membeli

kembali kredit yang telah direstrukturisasi BPPN dan

meningkatnya penyaluran kredit baru. Sampai dengan akhir

Desember 2000, jumlah kredit yang telah direstrukturisasi oleh

BPPN dan siap dijual ke perbankan di tahun 2001 berjumlah

Rp80,9 triliun. Sementara potensi penyaluran kredit baru dapat

berasal dari kelebihan likuditas perbankan yang ditanamkan

dalam SBI maupun dari hasil penjualan obligasi pemerintah

yang dapat diperdagangkan. Sektor yang paling dominan

untuk pengucuran kredit tahun 2001 diprakirakan masih pada

sektor perdagangan, hotel dan restoran dan pada sektor

industri pengolahan. Sementara itu, permintaan terhadap

kredit diprakirakan juga menunjukkan kecenderungan

meningkat. Sebagai gambaran, hasil survey kredit perbankan

triwulan IV/2000 menunjukkan bahwa secara netto 75,0%

responden memperkirakan adanya peningkatan permintaan

kredit baru untuk triwulan I/2001. Meningkatnya permintaan

kredit baru ini selain disebabkan oleh membaiknya prospek

usaha, sebagian juga didorong oleh relatif moderatnya tingkat

suku bunga riil.

Sektor jasa-jasa diprakirakan tumbuh sebesar 3,0%–4,0%

pada tahun 2001. Pertumbuhan tersebut antara lain didukung

oleh pertumbuhan sektor jasa pemerintah seiring dengan

diimplementasikannya otonomi daerah yang mana alokasi

Grafik 10.11Trend Pergerakan Nilai Tukar Dan Premi Risiko

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Kurs (Rp/$)

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.

Skenario OptimisSkenario PesimisPremi Risiko

2000 2001

300

350

400

450

500

550

600

650

700

750

Indeks

6.000

7.000

8.000

9.000

10.000

Page 183: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

174

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

negeri dapat mendorong pergerakan nilai tukar rupiah ke arah

yang lebih pesimis.

Sementara itu, dari sisi eksternal, kecenderungan

melambatnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat pada

tahun 2001 diprakirakan akan mendorong penurunan suku

bunga, yang pada gilirannya akan mulai menghambat laju

apresiasi dollar AS secara global. Aliran modal ke negara-

negara emerging market di Asia termasuk Indonesia akan

mulai meningkat meskipun masih disertai kewaspadaan inves-

tor internasional terhadap tingginya risiko berinvestasi di

negara-negara emerging market.

Prospek Inflasi

Tekanan inflasi tahun 2001 diprakirakan masih cukup tinggi,

sehingga perlu untuk terus diwaspadai. Secara umum

tekanan inflasi berasal dari faktor fundamental dan non fun-

damental. Faktor fundamental yang merupakan hasil interaksi

dalam perekonomian diantaranya adalah (1) ekspektasi

inflasi, (2) perkembangan tingkat permintaan masyarakat

yang tercermin pada pergerakan kesenjangan output, dan

(3) pengaruh langsung dari pergerakan nilai tukar (pass

through effect) yang berasal dari perkembangan harga

dunia dan perkembangan nilai tukar rupiah. Sementara itu,

faktor non fundamental terutama berasal dari kebijakan

pemerintah dan faktor alam serta masalah yang terkait

dengan distribusi.

Dari faktor fundamental, tekanan yang cukup tinggi

terutama berasal dari meningkatnya ekspektasi inflasi dan

meningkatnya tekanan permintaan. Tekanan permintaan

diprakirakan bersumber dari relatif kuatnya konsumsi

pemerintah, tingkat investasi, dan kegiatan ekspor yang

ketiganya berpengaruh kepada menyempitnya kesenjangan

output. Di samping itu, akselerasi peningkatan kapasitas

produksi yang levelnya sudah mendekati tingkat potensialnya,

memberikan tekanan yang lebih besar terhadap inflasi.

Pergerakan kesenjangan output yang semakin menyempit

tersebut sejalan dengan pergerakan Leading Indikator Inflasi

(LII) yang masih tetap menunjukkan upward trend sampai

pertengahan tahun 2001 (Grafik 10.12). Pergerakan LII yang

rupiah rata-rata Rp7.750 per dolar masih mungkin tercapai

apabila tidak ada gangguan pada faktor-faktor non ekonomi

sehingga premi risiko kembali pada tingkat terbaik seperti pada

Maret 2000.

Perkembangan premi risiko pada tahun 2001 diprakira-

kan masih akan mempengaruhi arah perkembangan nilai tukar

rupiah. Secara keseluruhan, premi risiko pada tahun 2001

diprakirakan akan membaik dibandingkan dengan tahun se-

belumnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, premi

risiko diprakirakan akan meningkat kembali menjelang Sidang

Tahunan MPR Agustus 2001. Selanjutnya, dengan kondisi politik

dan keamanan dalam negeri yang diharapkan semakin mem-

baik, secara bertahap keterkaitan antara premi risiko dan kurs

rupiah diharapkan semakin berkurang, sehingga arah perkem-

bangan nilai tukar rupiah akan menjadi searah dengan per-

kembangan fundamental ekonomi yang semakin membaik.

Dari sisi domestik, membaiknya kondisi fundamental

ekonomi Indonesia pada tahun 2001 diprakirakan akan mulai

meningkatkan kepercayaan pasar terhadap mata uang ru-

piah. Selanjutnya, dengan membaiknya kepercayaan

terhadap perekonomian nasional, aliran devisa masuk yang

bersumber dari transaksi perdagangan internasional dan

transaksi modal diprakirakan akan mulai meningkat. Hal ini

seiring dengan kemajuan yang dicapai dalam proses

restrukturisasi utang luar swasta yang diharapkan akan

mengurangi permintaan valuta asing di pasar oleh perusahaan

serta meningkatnya pasokan valuta asing yang berasal dari

devisa ekspor dan mulai masuknya aliran dana ke Indonesia.

Dengan adanya perkembangan tersebut, kesenjangan antara

permintaan dan pasokan valuta asing diprakirakan akan

semakin menurun.

Di sisi lain, kondisi politik dan keamanan dalam negeri

diharapkan akan semakin stabil setelah Sidang Tahunan

Agustus 2001. Namun demikian, hal ini perlu terus diwaspadai

mengingat kepercayaan pasar terhadap perekonomian

nasional dapat kembali menurun dan mendorong permintaan

valuta asing yang bersifat spekulatif atau penyelamatan aset

dalam periode dimana eskalasi gejolak faktor non ekonomi

dirasakan meningkat. Gejolak politik dan keamanan dalam

Page 184: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

175

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

ketidakpastian di dalam negeri meningkat. Depresiasi nilai

tukar memiliki elastisitas yang cukup tinggi terhadap

perkembangan harga-harga, terutama untuk barang-

barang dalam kelompok traded. Kelompok traded memiliki

kontribusi yang besar dalam perhitungan indeks harga

konsumen dengan bobot sekitar 60,0%, sehingga pergerakan

kelompok barang ini secara signifikan dapat menentukan

arah pergerakan laju inflasi.

Sementara itu, dari faktor non fundamental, tekanan

inflasi yang cukup besar berasal dari kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan. Kebijakan pemerintah

tersebut masih terus berlangsung dalam tahun 2001 dan tahun-

tahun selanjutnya seiring dengan rencana pemerintah untuk

mengurangi anggaran subsidi dalam APBN. Untuk tahun 2001

rencana kebijakan pemerintah yang telah teridentifikasi

adalah kenaikan harga BBM, kenaikan harga dasar gabah,

kenaikan cukai rokok, kenaikan gaji pegawai negeri sipil

melalui perubahan struktur gaji, dan kenaikan upah minimum

regional. Rencana kenaikan tarif listrik sementara ini masih

dalam tahap pengkajian, namun demikian pemerintah belum

berencana mengurangi subsidi di sektor ini dalam APBN tahun

2001. Secara keseluruhan, dampak kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan yang telah teridentifikasi saat

ini terhadap kenaikan inflasi dalam tahun 2001 diprakirakan

Grafik 10.12 Leading Indikator Inflasi

meningkat tersebut diprakirakan masih akan berlanjut pada

tahun 2001.

Sementara dari hasil Survey Ekspektasi Konsumen (SEK)

periode Desember 2000 terlihat bahwa dalam 6 s.d. 12 bulan

berikutnya harga-harga secara umum diprakirakan masih

akan meningkat (Grafik 10.13). Peningkatan ini terutama terjadi

pada harga rumah dan bahan bangunan, bahan makanan,

serta biaya transportasi dan komunikasi.

Tekanan inflasi dari sisi eksternal diprakirakan tidak

signifikan. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 yang

diprakirakan akan sedikit melambat berimplikasi terhadap

perkembangan inflasi dunia yang tidak akan menunjukkan

peningkatan yang berarti. Sementara itu, perkembangan

nilai tukar tahun 2001 diprakirakan akan menguat seiring

dengan membaiknya perkembangan perekonomian serta

kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Menguatnya

nilai tukar rupiah ini akan memberikan dampak deflasi

terhadap perkembangan harga. Namun mengingat harga

tidak terlalu fleksibel untuk turun (downward rigidity),

dampak deflasi dari menguatnya nilai rupiah tersebut

diprakirakan relatif kecil.

Walaupun demikian, pergerakan nilai tukar di tahun

2001 perlu terus diwaspadai, karena pergerakannya dapat

berubah ke arah yang melemah apabila faktor risiko dan

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

1998 1999 2000 2001

0.8

0.9

1

1.1

1.2

1.3

1.4

Inflasi (y-o-y)LII + 8 bln

1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5

Grafik 10.13 SEK Harga-Harga (saldo bersih)

-

10

20

30

40

50

60

70

80

90

Persen

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

2 0 0 0

Page 185: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

176

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

sangat tinggi pada tahun 1998. Pada tahun 2001 volatilitas

kelompok bahan makanan tersebut diprakirakan akan kembali

normal dengan kecenderungan harga yang meningkat.

Indikasi masih tingginya tekanan inflasi di tahun 2001 juga

sejalan dengan prakiraan inflasi dari berbagai lembaga riset

ekonomi. Angka inflasi tahun 2001 yang diproyeksi oleh

lembaga-lembaga riset nasional secara rata-rata adalah

sekitar 7,9%. Sementara rata-rata inflasi yang diproyeksikan oleh

lembaga-lembaga riset internasional terlihat lebih optimis, yaitu

sekitar 7,1%.

Sasaran Inflasi

Dengan memperhatikan relatif tingginya prakiraan inflasi dari

berbagai lembaga di atas serta besarnya sumber-sumber

tekanan inflasi ditahun 2001, Bank Indonesia memandang

bahwa tekanan inflasi tersebut perlu dikendalikan. Melihat

perkembangan dan prospek makroekonomi serta

mempertimbangkan perkembangan harga yang dapat

dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank Indonesia

menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar dampak

kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan

sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, kebijakan pemerintah di

bidang harga dan pendapatan diprakirakan dapat

menimbulkan tambahan kenaikan laju inflasi sekitar 2,0%–2,5%

di atas target tersebut.

Dalam perjalanannya, berbagai gejolak yang berada

di luar kendali kebijakan moneter kemungkinan dapat terjadi,

termasuk gejolak-gejolak yang berasal dari sisi penawaran dan

fluktuasi nilai tukar yang disebabkan faktor non fundamental.

Respon kebijakan moneter terhadap gejolak-gejolak tersebut

dapat menimbulkan biaya yang sangat mahal, karena akan

memerlukan pengetatan moneter yang berlebihan sehingga

dapat berdampak pada lambatnya proses pemulihan

ekonomi. Oleh sebab itu, sejumlah perkecualian perlu

dikemukakan yang memungkinkan dapat terlampauinya

sasaran inflasi yang akan dicapai, yaitu meliputi:

– adanya kebijakan inflatoir dari pemerintah --baik pusat

maupun daerah-- yang sebelumnya tidak teridentifikasi

dan terhitung dampaknya dalam prakiraan inflasi,

Tabel 10.6Prakiraan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Laju InflasiDalam Tahun 2001

Kebijakan Koefisien Kenaikan DampakPemerintah Dampak Hara/tarif Inflasi

Di bidang harga : 2,09Tarif Listrik 0.013 - -BBM 0,075 20 1,49 AprilBeras 0,024 - -Gabah 0,045 7 0,32 JanuariHPS 0,028 - -Cukai Rokok 0,037 5 0,18 AgustusTarif PAM 0,005 20 0,10 Januari

Di bidang Pendapatan 0,37Gaji PNS - 30 0,20UMR 0,012 15 0,17 Sepanjang tahun

Lain-lain :Otonomi Daerah - - - Sepanjang tahun

T o t a l 2,47

Pemberlakuan

mencapai sekitar 2,5% (Tabel 10.6).

Rencana diberlakukannya otonomi daerah pada 2001

diprakirakan memiliki potensi yang dapat memacu laju inflasi

terutama di daerah-daerah. Dari sisi permintaan indikasi ini

muncul dari prakiraan perilaku pembelanjaan dari daerah yang

akan cenderung ekspansif. Sementara itu, sisi penawaran

tekanan kenaikan harga diprakirakan dapat bersumber dari

peningkatan pungutan, retribusi, dan pajak daerah dalam upa-

ya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di masing-masing

wilayah. Namun demikian, sampai saat ini masih terlalu sulit

untuk memperkirakan seberapa besar pelaksanaan otonomi

daerah tersebut akan berdampak pada inflasi tahun 2001.

Faktor non fundamental lainnya berasal dari volatilitas

pergerakan harga barang-barang yang terutama tergolong ke

dalam kelompok bahan makanan. Pergerakan harga kelompok

barang ini memiliki andil yang besar dalam pergerakan laju inflasi

nasional berkaitan dengan bobotnya yang besar dalam

perhitungan indeks harga konsumen. Secara historis, volatilitas

harga kelompok bahan makanan memiliki kecenderungan

yang inflatoir. Namun dalam tahun 1999 dan 2000 terdapat

pengecualian dimana gejolak harga yang terjadi dalam

periode tersebut masing-masing memberikan dampak deflasi

dan inflasi yang rendah. Hal ini terjadi akibat melimpahnya

pasokan bahan makanan dan adanya koreksi harga yang

dialami dalam tahun tersebut menyusul kenaikan harga yang

Page 186: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

177

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

sehingga menyebabkan suku bunga deposito rendah dan

mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dananya

untuk konsumsi ataupun jenis investasi lain.

– Keempat, beban keuangan pemerintah yang masih cukup

berat, terutama ditandai oleh pengeluaran untuk subsidi

dan utang pemerintah yang masih besar. Sementara itu,

kemajuan dalam asset recovery BPPN maupun privatisasi

BUMN diperkirakan belum dapat menutupi beban

keuangan pemerintah. Di sisi lain ada tuntutan untuk

mengurangi pinjaman luar negeri agar fiscal sustainability

dalam jangka menengah-panjang dapat terjaga.

Dengan kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk

percepatan pemulihan ekonomi, masih relatif terbatas

dalam jangka pendek ini.

– Kelima, kelancaran pelaksanaan otonomi daerah mulai

tahun 2001 menjadi kunci bagi keberhasilan proses

pemulihan ekonomi dan pemerataan pembangunan ke

depan. Ancaman terhadap pemulihan ekonomi dan inflasi

akan muncul apabila pengeluaran daerah menjadi tidak

terkoordinasi maupun apabila daerah berlomba-lomba

untuk meningkatkan pungutan, retribusi dan pajak daerah.

– Keenam, ketidakpastian hukum di Indonesia. Berbagai

kasus hukum ini memerlukan pembenahan sistem hukum

di Indonesia, termasuk penegakan hukum, terutama

melalui penerapan UU kepailitan maupun pembenahan

secara menyeluruh institusi yudikatif di Indonesia.

– Ketujuh, dari sisi eksternal, ketidakpastian dan risiko yang

mungkin terjadi adalah melambatnya perekonomian

Amerika Serikat sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi

global. Melambatnya ekonomi AS ini merupakan ancaman

bagi optimisme terhadap kinerja ekspor sebagai salah satu

motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun

2001.

Arah Kebijakan

Dengan memperhatikan sasaran inflasi sebesar 4,0%–6,0%

dalam tahun 2001 dan untuk terus mengupayakan stabilisasi

nilai tukar rupiah, Bank indonesia akan menempuh kebijakan

moneter yang cenderung ketat. Dalam pelaksanaannya,

– fluktuasi nilai tukar yang tidak terkait dengan fundamental

perekonomian dan kebijakan moneter domestik,

– terjadinya gangguan keamanan dan bencana alam yang

dapat menyebabkan perubahan secara drastis produksi

dan distribusi bahan makanan yang berdampak pada

harga bahan makanan pokok.

Tantangan ke depan

Gambaran mengenai prospek ekonomi makro, termasuk

inflasi dan nilai tukar rupiah, pada tahun 2001 akan sangat

dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor risiko dan

ketidakpastian yang masih membayangi perekonomian

nasional. Oleh sebab itu, upaya mengatasi berbagai faktor

tersebut akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjamin

prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik pada tahun 2001

dan tahun-tahun mendatang. Berbagai faktor risiko dan

ketidakpastian tersebut adalah sebagai berikut.

– Pertama, kemungkinan berlanjutnya ketidakpastian kondisi

politik dan keamanan dalam negeri. Akibat dari berlan-

jutnya ketidakpastian tersebut masih akan mendorong

tingginya country risk Indonesia, penanganan berbagai

masalah ekonomi menjadi lambat dan tidak pasti, serta

mendorong kegiatan spekulasi dalam pasar valuta asing.

– Kedua, belum selesainya proses restrukturisasi utang

perusahaan. Kondisi ini telah menyebabkan peningkatan

kegiatan ekonomi dan penyaluran kredit perbankan

belum sepenuhnya pulih, karena sebagian besar

perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi

tersebut merupakan komponen terbesar dari

perekonomian nasional.

– Ketiga, fungsi intermediasi perbankan yang belum

sepenuhnya kembali normal. Ekspansi kredit perbankan

masih terbatas karena masih tingginya faktor risiko dan

ketidakpastian, banyaknya perusahaan yang masih dalam

proses restrukturisasi, maupun kondisi internal perbankan.

Kondisi ini sangat membatasi sumber pembiayaan kegiatan

ekonomi, sehingga kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai

oleh dana sendiri (self-financing). Sementara itu, dorongan

bagi perbankan untuk mobilisasi dana relatif rendah,

Page 187: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

178

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

kebijakan moneter akan dilakukan secara sangat hati-hati

mengingat belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan

masih rentannya proses pemulihan ekonomi. Sampai

pertengahan tahun 2001 inflasi dan nilai tukar diprakirakan

masih mengalami tekanan yang relatif tinggi sehingga

kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk sementara

waktu masih perlu dipertahankan. Apabila tekanan terhadap

inflasi dan nilai tukar rupiah mulai menguat, kebijakan moneter

yang relatif lebih longgar dapat dilakukan.

Dengan arah kebijakan moneter tersebut, Bank Indo-

nesia perlu menetapkan sasaran-sasaran moneter khususnya

uang primer dengan pertumbuhan 11,0%–12,0% pada tahun

2001. Sasaran uang primer ini dihitung berdasarkan asumsi

pertumbuhan ekonomi 5,0%, inflasi 4,0%–6,0%, dan nilai tukar

rupiah rata-rata Rp8.000 per US dolar. Sasaran uang primer

sebesar 11,0%–12,0% ini diprakirakan cukup konsisten dengan

pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan, tanpa harus

menimbulkan risiko yang berlebihan terhadap proses

pemulihan perbankan dan perekonomian nasional. Sebagai

catatan, sasaran uang primer tersebut perlu disesuaikan,

terutama apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan

perkembangan nilai tukar rupiah yang tidak sesuai dengan

asumsi-asumsi tersebut, ataupun terjadi perkembangan

inflasi yang lebih disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali

Bank Indonesia seperti dijelaskan di atas. Dengan

pertumbuhan uang primer sebesar itu, l ikuiditas

perekonomian (M2) diprakirakan akan tumbuh sebesar 9,0%–

11,0% dan kredit akan tumbuh sekitar 14,0%–16,0% sehingga

mampu mendukung proses pemulihan ekonomi.

Dalam operasi kebijakan moneter, upaya pencapaian

sasaran moneter di atas dilakukan melalui Operasi Pasar

Terbuka (OPT) dalam bentuk lelang SBI sebagai instrumen

utama. Akan tetapi, optimalisasi penggunaan berbagai

instrumen moneter lain yang tersedia perlu dilakukan dengan

strategi yang lebih baik. Di satu sisi, hal ini diperlukan dalam

rangka meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran-

sasaran moneter tersebut. Di sisi lain, langkah tersebut perlu

dilakukan agar implementasi kebijakan moneter tidak

menimbulkan dampak yang berlebihan terhadap kenaikan

suku bunga sehingga tetap dapat memberikan iklim yang

kondusif terhadap pemulihan perbankan dan perekono-

mian.

Pada prinsipnya strategi pengelolaan moneter untuk

mendukung OPT tersebut perlu mencakup langkah-langkah

sebagai berikut:

– Pertama, OPT melalui intervensi rupiah untuk sementara

waktu akan dioptimalkan untuk mendukung pencapaian

sasaran uang primer yang telah ditetapkan, tanpa harus

menimbulkan dampak yang berlebihan pada kenaikan

suku bunga SBI. Upaya ini sekaligus untuk memperbaiki

struktur suku bunga antara suku bunga SBI, suku bunga

intervensi rupiah, dan suku bunga PUAB yang kondusif bagi

pelaksanaan kebijakan moneter.

– Kedua, sterilisasi valas akan tetap menjadi opsi yang

terbuka khususnya untuk menyerap ekspansi pengeluaran

pemerintah yang bersumber dari dana luar negeri. Dengan

demikian, beban OPT dalam pencapaian sasaran moneter

dapat dikurangi sehingga kenaikan suku bunga SBI yang

berlebihan dapat dihindari. Upaya ini sekaligus untuk

mendorong penguatan nilai tukar rupiah ke arah tingkat

yang lebih sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi.

– Ketiga, obligasi pemerintah yang diperkirakan akan mulai

aktif diperdagangkan di pasar sekunder dapat digunakan

sebagai alternatif instrumen moneter terutama mengingat

besarnya biaya OPT yang harus ditanggung oleh Bank In-

donesia jika menggunakan SBI. Dengan cukup tingginya

yield staple bonds dan obligasi pemerintah jangka pendek

yang akan dikeluarkan, diperkirakan masih akan meng-

untungkan bagi Bank Indonesia untuk mempunyai portfo-

lio kedua jenis obligasi pemerintah tersebut sebagai

instrumen pengendalian moneter. (Boks : Obligasi

Pemerintah Sebagai Alternatif Instrumen Kebijakan

Moneter)

Strategi pengelolaan moneter tersebut perlu terus

didukung oleh kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai

tukar mengambang dan sistem devisa bebas. Namun disadari

bahwa strategi pengelolaan moneter tersebut akan kurang

efektif untuk mengatasi tekanan inflasi dan gejolak nilai tukar

Page 188: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

179

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

fungsi intermediasi perbankan, diharapkan efektivitas

kebijakan moneter di dalam mempengaruhi sektor riil semakin

meningkat.

Berbagai upaya peningkatan pengawasan dan

penyempurnaan ketentuan yang mengacu pada standar

internasional terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indo-

nesia juga mengupayakan agar perbankan meningkatkan

manajemen risiko dengan mengeluarkan risk management

guideline bagi bank-bank, yang kemudian akan dilanjutkan

dengan penerapan pengawan bank berdasarkan risiko (risk-

based supervision) oleh Bank Indonesia. Sementara itu, ke

depan sistem pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indone-

sia menggunakan pendekatan yang memfokuskan pada core

bank yang secara sistemik sangat berpengaruh pada

perekonomian (systemically important banks). Berkaitan

dengan pemisahan pengawasan bank kepada lembaga

pengawas yang baru (Lembaga Pengawas Jasa Keuangan),

Bank Indonesia terus melakukan berbagai persiapan agar

pengalihan fungsi pengawasan tersebut berjalan dengan

lancar sehingga tidak mengganggu sistem perbankan. Di

samping itu, persiapan juga dilakukan agar aliran data dan

informasi perbankan yang diperlukan bagi formulasi kebijakan

moneter tidak mengalami hambatan.

Di samping itu, dalam rangka menciptakan perbankan

yang sehat dan menyesuaikan dengan ketentuan perbankan

international, perbankan diarahkan untuk memenuhi CAR mini-

mum sebesar 8,0% dan non performing loans maksimum

sebesar 5,0% pada akhir tahun 2001. Dalam hal pemenuhan

modal minimum, kebijakan yang akan diambil antara lain

mengupayakan penyetoran modal oleh para pemegang

saham, penggabungan bank melalui merger, mencari inves-

tor baru baik domestik maupun asing, dan penerapan exit

policy. Dalam hal pemenuhan target NPL, kebijakan yang

akan ditempuh adalah: (1) mewajibkan bank-bank untuk

melakukan penghapusbukuan (write-off) atas portofolio NPL

setelah jangka waktu tertentu, (2) mengatasi kendala-kendala

yang menghambat restrukturisasi yang dilakukan oleh

perbankan maupun yang difasilitasi oleh Satuan Tugas

Restrukturisasi Kredit dan oleh Prakarsa Jakarta.

rupiah yang bersumber dari faktor-faktor di luar kendali Bank

Indonesia. Oleh karena itu, berbagai langkah yang dapat

secara langsung mengurangi gejolak nilai tukar rupiah perlu

tetap menjadi opsi yang terbuka. Dalam hubungan ini, upaya

memelihara kestabilan nilai tukar rupiah dapat ditempuh

melalui sterilisasi di pasar valuta asing secara selektif, sebagai

bagian dari instrumen pengendalian moneter. Seperti

dikemukakan di atas, kebijakan ini terutama ditujukan untuk

menyerap kembali ekspansi moneter yang ditimbulkan oleh

kenaikan pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari sumber

dana luar negeri. Selain dengan instrumen yang konvensional

seperti intervensi, beberapa alternatif yang nonkonvensional

perlu dilakukan, seperti pengawasan langsung di bank-bank

yang diperkirakan melakukan spekulasi valuta asing dan

penyempurnaan pengaturan di bidang lalu lintas devisa

termasuk pembatasan internasionalisasi rupiah.

Implementasi kebijakan moneter tersebut memerlukan

dukungan yang optimal dari perbankan agar transmisi

kebijakan moneter ke sektor riil berjalan efektif. Salah satu

tantangan utama dari kebijakan moneter dan perbankan

tahun 2001 adalah bagaimana mengatasi permasalahan

credit crunch pada perbankan. Untuk itu, berbagai langkah

akan ditempuh oleh Bank Indonesia untuk segera memulihkan

fungsi intermediasi perbankan. Di sisi makro, Bank Indonesia

memandang kebijakan moneter yang kondusif bagi proses

restrukturisasi perbankan dan perusahaan yang tercermin dari

kestabilan suku bunga dan nilai tukar masih tetap diperlukan.

Di sisi mikro, karena credit crunch yang terjadi lebih banyak

disebabkan oleh non-price rationing seperti masih tingginya

credit risk yang dirasakan oleh perbankan, kurangnya informasi

mengenai nasabah yang layak memperoleh kredit maka

berbagai usaha akan dilakukan oleh Bank Indonesia dengan

bekerja sama dengan institusi terkait. Bank Indonesia akan

melakukan penyempurnaan berbagai ketentuan untuk

mengurangi kendala bank dalam memberikan kredit dan

meningkatkan ketentuan untuk meningkatkan ketahanan

industri perbankan terhadap perubahan kondisi makro.

Sementara itu, restrukturisasi kredit untuk menurunkan non-per-

forming loans tetap menjadi prioritas utama. Dengan pulihnya

Page 189: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

180

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Sementara itu, pengembangan bank syariah dalam

tahun 2001 akan difokuskan pada kebijakan pembukaan loket

untuk pelayanan bank syariah di kantor cabang bank

konvensional. Fasilitas ini hanya diberikan kepada kantor

cabang bank yang akan dikonversi menjadi kantor cabang

syariah. Perluasan jaringan bank syariah tersebut akan dipandu

oleh hasil penelitian terhadap potensi, preferensi, dan perilaku

masyarakat terhadap bank syariah.

Untuk mendukung efektivitas kebijakan moneter,

kebijakan Bank Indonesia dalam meningkatkan kelancaran

sistem pembayaran terus dilakukan. Sebagai kelanjutan dari

program Real Time Gross Settlement (RTGS) tahap pertama yang

telah diimplementasikan pada bulan November 2000, sistem

setelmen transaksi nilai besar/bulk tersebut akan

diimplementasikan di 12 Kantor Bank Indonesia. Pengintegrasian

sistem RTGS di kantor pusat dan kantor Bank Indonesia ini akan

menghapus rekening giro bank yang ada di kantor Bank Indo-

nesia sehingga hanya ada satu rekening giro bank di kantor

pusat Bank Indonesia (centralized settlement account).

Penggabungan rekening ini menguntungkan bagi Bank Indo-

nesia maupun bank peserta. Penggabungan rekening tersebut

memudahkan Bank Indonesia dalam memantau ketaatan bank

dalam memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM). Selain

itu, Bank Indonesia dapat memantau likuiditas bank, sehingga

dapat dipakai sebagai early warning system bagi bank-bank

yang mengalami kesulitan likuiditas. Sedangkan bagi bank

peserta, penggabungan rekening ini memudahkan mereka

untuk melakukan pengawasan terhadap posisi likuiditasnya

sehingga bank dapat mengelola dananya secara efektif dan

efisien. Di samping itu, untuk menurunkan risiko settlement di

perusahaan sekuritas, akan dilakukan pengembangan Delivery

Versus Payment (DVP) tahap pertama. Dari pengembangan ini

akan tercipta suatu integrasi sistem setelmen antara pasar uang

dan pasar modal.

Di samping itu, guna meningkatkan efisiensi perbankan

dan mempercepat proses kliring antar bank, pada tahun 2001

Bank Indonesia akan menerapkan Bulk Interbank Payment Sys-

tem (BIPS), yaitu kliring khusus untuk transaksi-transaksi bulk

sehingga transaksi antar bank lainnya yang telah dilakukan

melalui kliring menjadi lebih cepat. Transaksi bulk adalah

transaksi antar bank yang bersifat rutin dengan volume tinggi

dan bernilai nominal rendah seperti transaksi pembayaran gaji/

upah, kartu kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihan telepon/

listrik/air, dan lain-lain.

Untuk mengefisienkan proses pembukuan dan switch-

ing pada bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta

untuk memberikan tambahan kemudahan dan keamanan

bagi para para nasabah penggunanya, maka Bank Indone-

sia akan memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral

suasion) bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat

mengkoneksikan jaringannya satu sama lain.

Efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter juga sangat

dipengaruhi oleh koordinasi dengan kebijakan fiskal. Besarnya

pengeluaran pemerintah memerlukan koordinasi mengenai

waktu dan mekanisme pelaksanaannya agar dampaknya ter-

hadap kebijakan moneter dapat diantisipasi dan dilakukan

langkah yang diperlukan dalam pemeliharaan likuditas per-

ekonomian. Oleh sebab itu, ke depan koordinasi kebijakan

moneter dan fiskal perlu ditingkatkan dan dilakukan secara

rutin.

Berkaitan dengan kebijakan di bidang utang luar negeri,

dalam beberapa tahun mendatang utang luar negeri

diperkirakan masih diperlukan mengingat tingkat kebutuhan

investasi khususnya sektor swasta masih sangat tinggi,

sementara sumber dana domestik masih sangat terbatas

sehubungan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang

berlangsung. Untuk utang luar negeri pemerintah, dengan

telah dipersiapkan UU tentang Pinjaman Luar Negeri oleh

Pemerintah, diharapkan kebijakan maupun pengelolaan

utang luar negeri di masa mendatang hanya melalui satu pintu

(one gate policy), sehingga terdapat kejelasan peran masing-

masing instansi pemerintah. Dengan demikian, mekanisme dan

prosedur dalam pengelolaan utang luar negeri akan lebih

transparan. Sementara itu, utang luar negeri komersial

diprakirakan masih dihadapkan pada masalah kepercayaan

internasional terhadap kondisi ekonomi dan politik dalam

negeri sehingga pencarian pinjaman langsung melalui pasar

uang dan modal masih relatif sulit dilakukan. Oleh sebab itu,

Page 190: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

181

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

kedepan perlu upaya-upaya terobosan melalui instrumen-

instrumen baru di pasar uang/modal. Sementara itu, dalam

rangka mendorong ekspor, kebijakan berupa Trade Mainte-

nance Facility (TMF) masih tetap akan dilanjutkan mengingat

kepercayaan internasional terhadap bank-bank nasional

belum sepenuhnya pulih.

Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank Indonesia

yang ditujukan untuk menciptakan kestabilan inflasi dan nilai

tukar rupiah pada dasarnya merupakan salah satu langkah

dari kerangka kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan.

Langkah-langkah kebijakan di bidang lain, khususnya untuk

mengatasi berbagai faktor risiko dan ketidakpastian seperti

diuraikan sebelumnya, sangat menentukan dalam upaya

mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Oleh

karena itu, Bank Indonesia perlu terus menjalin kerjasama

dengan instansi-instansi terkait guna mengatasi permasalahan

yang mungkin timbul dan mewujudkan pemulihan ekonomi

Indonesia yang diinginkan bersama.

Page 191: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

182

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Boks : Kajian Tentang Sasaran Inflasi Jangka Menengah

Pada setiap awal tahun Bank Indonesia menetapkan dan

mengumumkan sasaran inflasi untuk dicapai dalam rentang

waktu tertentu. Penetapan sasaran inflasi tersebut merupakan

bagian dari kerangka kerja kebijakan moneter dengan sasaran

tunggal inflasi. Kerangka kerja kebijakan ditandai oleh

manajemen operasi kebijakan moneter yang berorientasi ke

depan (forward looking). Artinya, kebijakan moneter yang

ditempuh bukan merupakan respon terhadap inflasi yang

sudah terjadi melainkan bertujuan agar tekanan inflasi yang

akan terjadi dapat diantisipasi sehingga mengarah pada

sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penetapan

suatu kebijakan moneter dilakukan setelah memperhitungkan

berbagai potensi penyebab inflasi di masa mendatang.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter yang

bersifat forward looking menghadapi sejumlah keterbatasan

yang antara lain terkait dengan sulitnya memprakirakan

sumber-sumber gangguan yang potensial dalam memberikan

tekanan terhadap inflasi karena besarnya faktor

ketidakpastian. Kebijakan moneter juga memiliki keterbatasan

dalam mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari

kebijakan pemerintah di bidang harga, yang diprakirakan

masih cukup besar hingga tiga tahun mendatang. Oleh karena

itu pencapaian sasaran inflasi yang cukup rendah belum

dimungkinkan dalam waktu yang singkat.

Di samping itu, kebijakan moneter diyakini tidak dapat

dengan seketika mempengaruhi kegiatan ekonomi. Ada

waktu tunda mulai dari suatu kebijakan ditempuh hingga

pengaruhnya pada kegiatan ekonomi riil dirasakan secara

penuh. Efek tunda ini dipengaruhi oleh bagaimana jalur dan

mekanisme yang dilalui suatu kebijakan moneter dalam

mentransmisikan pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi

di sektor riil. Mekanisme transmisi ini pada dasarnya masih sulit

diketahui secara pasti terutama dalam situasi masih

terdapatnya berbagai hambatan struktural perekonomian,

seperti fungsi intermediasi perbankan yang masih terganggu.

Lamanya efek tunda kebijakan moneter juga bervariasi

tergantung pada arah kebijakan yang sedang ditempuh,

apakah pengetatan atau pelonggaran likuiditas

perekonomian. Oleh karena itu, seberapa lama efek tunda

kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap inflasi pada

dasarnya sulit diprediksi secara tepat. Penelitian yang pernah

dilakukan Bank Indonesia menunjukkan adanya efek tunda

kebijakan moneter dalam mempengaruhi sektor riil dan laju

inflasi.

Adanya keterbatasan kebijakan moneter tersebut

membawa implikasi perlunya jangka waktu pencapaian

sasaran melebihi satu tahun untuk memberikan ruang gerak

bagi kebijakan moneter. Oleh karena itu, di samping

menetapkan sasaran jangka pendek, ke depan Bank Indo-

nesia juga perlu menetapkan sasaran inflasi jangka menengah

untuk dicapai secara bertahap sebagai komitmen Bank In-

donesia untuk tetap mencapai dan memelihara laju inflasi

yang rendah. Sasaran inflasi jangka menengah tersebut

diharapkan menjadi acuan ekspektasi masyarakat terhadap

inflasi.

Selain dipengaruhi oleh prakiraan lamanya efek tunda

kebijakan moneter, jangka waktu pencapaian ini juga

tergantung pada seberapa rendah sasaran akhir inflasi yang

ingin dicapai dan seberapa besar pengorbanan gejolak out-

put yang dapat ditolerir untuk mencapai sasaran tersebut.

Kriteria pemilihan kombinasi sasaran inflasi dan jangka waktu

pencapaian yang optimal didasarkan pada total fluktuasi

inflasi dan fluktuasi output terendah yang akan terjadi selama

jangka waktu pencapaian suatu sasaran inflasi. Total fluktuasi

Total loss (%)

Target 6 tahun

Target 3 tahun

Target 5 tahun

3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7

Level target akhir (%)

0,300,330,330,320,33

1

0,9

0,8

0,7

0,6

0,5

0,4

0,3

0,2

0,1

0

Target 4 tahun

Grafik Optimal Path dari Inflasi

Page 192: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

183

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

inflasi dan fluktuasi output yang bersifat trade-off ini biasa

disebut sebagai total social loss (total kerugian sosial).

Kombinasi level sasaran dan horison waktu

pencapaian yang optimal dihasilkan melalui suatu simulasi

dengan menggunakan model makroekonomi skala kecil

yang dilengkapi dengan suatu rule kebijakan moneter untuk

merespon prakiraan inflasi. Grafik optimal path dari inflasi

menunjukkan prakiraan besarnya kerugian sosial yang terjadi

untuk beberapa alternatif sasaran akhir dan jangka waktu

pencapaiannya. Total kerugian sosial yang terendah

diperkirakan dapat terjadi melalui pencapaian sasaran inflasi

5,0%-6,0% dalam tiga tahun ke depan. Kerugian sosial yang

cukup rendah juga diperkirakan dapat terjadi melalui

pencapaian sasaran inflasi 4,5%-5,5% dalam empat tahun ke

depan atau 4,0%-4,5% dalam lima tahun yang akan datang.

Mengacu pada hasil penelitian tersebut, inflasi IHK yang

dapat dijadikan sasaran jangka menengah adalah sebesar

4,0%-6,0% untuk diupayakan pencapaiannya dalam lima

tahun ke depan. Inflasi jangka menengah yang relatif rendah

tersebut diperkirakan dapat dicapai dalam jangka waktu

tersebut terutama karena kenaikan-kenaikan harga melalui

kebijakan pemerintah diperkirakan telah berkurang secara

signifikan mulai tahun 2004. Kondisi ini didukung pula oleh

tekanan harga dari sisi permintaan yang diperkirakan sudah

lebih terkendali pada periode tersebut seiring dengan

membaiknya iklim investasi sehingga kapasitas produksi

diprakirakan terus meningkat dan semakin stabilnya nilai tukar.

Di sisi lain proses disinflasi tersebut diperkirakan tidak membawa

dampak negatif pada pertumbuhan perekonomian dalam

jangka menengah.

Page 193: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

184

Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001

Boks : Obligasi Pemerintah Sebagai Alternatif Instrumen Kebijakan Moneter

bungan fiskal; (ii) bank sentral akan tergantung pada

kesinambungan supply surat berharga pemerintah,

sehingga diperlukan komitmen pemerintah; (iii) mengaki-

batkan manajemen moneter kurang terpisah dari

manajemen fiskal; dan, (iv) obligasi tidak dapat dijadikan

benchmark suku bunga jangka pendek.

Penggunaan obligasi sebagai alternatif instrumen OPT

mensyaratkan adanya persediaan awal obligasi yang harus

dimiliki oleh Bank Indonesia. Persediaan obligasi tersebut dapat

dipupuk dari berbagai sumber: (1) pembelian obligasi rekap

jenis Variable Rate Bond (VRB) dan Fixed Rate Bond (FRB) di

pasar sekunder; (2) konversi pembayaran bunga obligasi yang

dimiliki Bank Indonesia (obligasi indeksasi dan obligasi VRB kredit

program) menjadi obligasi; (3) konversi pokok obligasi indeksasi

dalam rangka program penjaminan.

Namun, saat ini Bank Indonesia menghadapi kendala

dalam memupuk persediaan obligasi. Stance kebijakan

moneter yang cenderung ketat menjadi kendala dalam

melakukan pembelian obligasi rekap di pasar sekunder. Hal

ini disebabkan pembelian obligasi rekap akan mengakibatkan

ekspansi moneter. Disamping itu, kendala lain adalah

persyaratan dalam obligasi indeksasi yang tidak dapat

dipindahtangankan dan diperdagangkan serta tatacara

pembayaran obligasi indeksasi. Untuk mengatasi kendala

tersebut, diperlukan kesepakatan antara Bank Indonesia dan

Pemerintah untuk mengubah terms and conditions obligasi

indeksasi dan obligasi kredit program yang dimiliki Bank Indo-

nesia, mengingat perubahan tersebut akan mempengaruhi

beban fiskal pemerintah.

Dengan mengatasi kendala-kendala dalam

memupuk persediaan obligasi dan dengan memiliki strategi

OPT yang menggunakan obligasi sebagai instrumen fine tun-

ing di pasar repo1) dan transaksi outright2) melalui lelang, di

masa yang akan datang diharapkan obligasi pemerintah

dapat dijadikan salah satu instrumen kebijakan moneter.

Instrumen moneter utama dalam pelaksanaan kebijakan

moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) adalah SBI dan

Intervensi Rupiah. Penggunaan SBI sebagai instrumen moneter

disebabkan oleh tidak tersedianya surat-surat berharga

pemerintah seperti obligasi. Namun di sisi lain, Bank Indonesia

memerlukan instrumen untuk melakukan kontraksi moneter

guna menyerap ekses likuiditas yang meningkat tajam akibat

krisis. Sebagai konsekuensi penggunaan SBI, Bank Indonesia

harus menanggung biaya diskonto SBI yang cukup besar. Biaya

yang besar tersebut dapat menimbulkan masalah terhadap

kelangsungan pelaksanaan kebijakan moneter. Untuk itu,

diperlukan instrumen alternatif untuk mengatasinya. Obligasi

yang telah diterbitkan pemerintah baik dalam rangka

rekapitalisasi perbankan maupun obligasi dalam rangka

penyehatan perbankan kepada Bank Indonesia dapat

dijadikan instrumen moneter, sepanjang pasar sekunder

obligasi pemerintah telah likuid.

Sementara itu, mayoritas bank sentral di dunia,

dalam melaksanakan kebijakan moneter melalui OPT

menggunakan surat berharga pemerintah, misalnya

obligasi pemerintah. Penggunaan obligasi pemerintah

memiliki baik keunggulan maupun kelemahan.

Keunggulan obligasi pemerintah mencakup bahwa

obligasi pemerintah dapat: (i) diterbitkan dalam jumlah

besar dengan jangka waktu yang beragam; (ii) memiliki

potensi mendorong pengembangan pasar keuangan; (iii)

menghasilkan yield curve yang dapat digunakan sebagai

reference suku bunga jangka menengah panjang dan

ekspekstasi; dan dari sisi bank sentral, (iv) akan mengurangi

biaya pelaksanaan operasi moneter yang pada gilirannya

akan berdampak positif pada kredibilitas dan efektifitas

kebijakan moneter. Di lain pihak, penggunaan obligasi

pemerintah memiliki beberapa kelemahan: (i)

ketergantungan pada kredibilitas pemerintah, sehingga

pemerintah harus menjaga kredibilitas dan kesinam-

1) Repurchase Agreement adalah jual beli bersyarat untuk membeliatau menjual kembali.

2) Outright adalah jual beli lepas tanpa kewajiban untuk membeliatau menjual kembali.

Page 194: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

Lampiran

Page 195: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

186

Lampiran A

BANK INDONESIA

Kantor Pusat

Kantor-Kantor Perwakilan

Jakarta

LondonNew YorkSingapura

Tokyo

Kantor-Kantor Bank Indonesia

Ambon, Balikpapan,Banda Aceh, Bandar Lampung,

Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon,Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,

Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru,

Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,

Ternate, Yogyakarta

Page 196: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

187

Lampiran B

Gubernur

Syahril Sabirin

Dewan Gubernur Bank Indonesia

pada tanggal 31 Desember 2000

Deputi Gubernur Senior

Anwar Nasution

Deputi Gubernur

Miranda S. Goeltom

Aulia Pohan

Achwan

Achjar Iljas

Burhanuddin Abdullah

Page 197: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

188

Lampiran C.1

Selama tahun laporan, Bank Indonesia telah mela-

kukan beberapa penyempurnaan organisasi dan pengem-

bangan sumber daya manusia (SDM). Penyempurnaan

organisasi yang telah dilakukan yaitu meliputi beberapa

satuan kerja sesuai dengan perubahan yang terjadi, seperti

perubahan teknologi, penajaman tugas, serta perubahan

beban tugas. Dalam rangka meningkatkan kualitas maupun

kuantitas penelitian bidang tugas utama Bank Indonesia

yaitu pengendalian moneter, perbankan dan sistem

pembayaran, telah dibentuk Pusat Pendidikan dan Studi

Kebanksentralan (PPSK).

Di samping itu, guna lebih meningkatkan kelancaran

pembayaran nasional maka pada Mei 2000 telah dibentuk

satuan kerja yang menangani Real Time Gross Settlement

(RTGS). Dengan sistem ini, Bank Indonesia mampu menye-

diakan sarana yang dapat meningkatkan dan memper-

lancar sistem pembayaran nasional. Hal ini berdampak

kepada peningkatan pelayanan perbankan kepada

nasabahnya, khususnya untuk transaksi pembayaran

nontunai dalam jumlah besar.

Dalam rangka mempersiapkan pengalihan tugas

pengawasan bank kepada lembaga independen sesuai

amanat dalam pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999

tentang Bank Indonesia, telah disiapkan draft penanganan

SDM perbankan. Untuk mengantisipasi trend perkembangan

perbankan nasional dari bank konvensional menjadi bank

syariah maka telah disusun pula konsep organisasi penge-

lolaan bank syariah yang lebih terfokus.

Sejalan dengan program Pemerintah untuk meng-

implementasikan konsep Otonomi Daerah, telah dilakukan

berbagai diskusi dan seminar dengan stakeholders mengenai

implikasi Otonomi Daerah terhadap keuangan dan

perbankan daerah dalam rangka menyesuaikan tugas Bank

Indonesia bidang moneter yang akan dilaksanakan oleh

Kantor Bank Indonesia (KBI).

Guna meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas

Dewan Gubernur Bank Indonesia, telah dibentuk Staf Ahli

Dewan Gubernur dengan tugas memberikan saran/masukan

kepada Dewan Gubernur mengenai hal-hal strategis yang

berkaitan dengan pelaksanaan tugas Dewan Gubernur Bank

Indonesia. Di samping itu telah disusun pula Kode Etik Dewan

Gubernur Bank Indonesia yang akan menjadi pedoman bagi

anggota Dewan Gubernur dalam pelaksanaan tugasnya.

Mengingat tuntutan stakeholder agar SDM Bank Indo-

nesia lebih profesional dan berintegritas tinggi program

penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia

(MSDM) terus dilakukan. Sistem MSDM yang sangat

mendesak dan telah mencapai tahap finalisasi produk

hukum adalah Manajemen Jalur Karir Pegawai Bank Indone-

sia dan ketentuan disiplin pegawai.

Manajemen jalur karir ini bertujuan untuk memberikan

kejelasan bagi organisasi dalam menyusun perencanaan

Organisasi dan Sumber Daya Manusia

Page 198: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

189

Jumlah Pegawai

SDM Bank Indonesia dan memberikan gambaran kepada

pegawai mengenai karirnya di masa depan. Manajemen

jalur karir ini juga diharapkan akan mampu mewujudkan

prinsip man to job fit.

Guna mempersiapkan calon pimpinan Bank Indonesia

yang handal di masa depan, saat ini juga telah disusun

sistem Rencana Suksesi Bank Indonesia (RESBI). Sistem ini akan

menyediakan pola yang jelas bagi Bank Indonesia dalam

mencetak pimpinan yang dapat memenuhi harapan semua

pihak (stakeholders).

Di bidang Sistem Informasi Sumber Daya Manusia

(SIMASDAM) telah dilakukan penyempurnaan yang

berkaitan dengan akurasi data dan informasi untuk mem-

peroleh data yang lengkap, akurat, terkini dan utuh guna

menunjang pengambilan keputusan oleh Dewan

Gubernur.

Akhir Kantor Kantor Kantor

No. Tahun Anggaran Pusat Bank Indonesia Perwakilan Jumlah

di Daerah

1. 1997/1998 3.341 2.882 671) 6.290

2. 1998/1999 3.299 2.852 21 6.172

3. 1999/2000 3.068 2.601 17 5.686

4. 20002) 3.056 2.498 17 5.571

1) Termasuk petugas belajar jangka panjang.2) Data per 31 Desember 2000

Page 199: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

190

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono

Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : Ny. Ratnawati Priyono

Direktorat Pengelolaan Moneter : Tarmiden Sitorus (pejabat sementara)

Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada

Direktorat Luar Negeri : Nana Supriana

Biro Kredit : Abdul Azis

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : Djoko Sarwono

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : Imam Sukarno

Direktorat Pengawasan Bank 1 : Ny. Siti Ch. Fadjriah S.

Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Nelson Tobing (pejabat sementara)

Direktorat Pengawasan Bank 2 : R. Maulana Ibrahim

Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Ardhayadi M.

Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam

Direktorat Pengedaran Uang : Adi Putra Hasan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Harmain Salim (pejabat sementara)

Direktorat Logistik dan Pengamanan : M. Ashadhi

Direktorat Teknologi Informasi : Octo R. Nasution

Direktorat Sumber Daya Manusia : Baridjussalam Hadi

Direktorat Keuangan Intern : Bun Bunan E.J. Hutapea

Direktorat Hukum : R. Moh. Sis. Abadi S.

Direktorat Pengawasan Intern : Bachri Ansjori

Biro Gubernur : Halim Alamsyah S.

Biro Sekretariat : Nn. Roswita Roza

Unit Khusus Investigasi Perbankan : Bambang Setijoprodjo

Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Bambang S. Wahyudi

Perwakilan Singapura : Kemas A. Sjarifuddin

Perwakilan Tokyo : Djakaria

Perwakilan London : Maman H. Somantri

Perwakilan New York : Aslim Tajuddin

Kantor Pusat

Kantor Perwakilan

Page 200: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

191

Kelas I

Kantor Bank Indonesia Bandung : Maskan IskandarKantor Bank Indonesia Medan : S. Budi RochadiKantor Bank Indonesia Semarang : Azis SanuriKantor Bank Indonesia Surabaya : Wiwiek Sudibyo

Kelas II

Kantor Bank Indonesia Bandar Lampung : ImrandaniKantor Bank Indonesia Banjarmasin : SuryantoKantor Bank Indonesia Denpasar : Ilham IkhsanKantor Bank Indonesia Manado : M. Djaelani S.Kantor Bank Indonesia Padang : Aris AnwariKantor Bank Indonesia Palembang : Langka ArdimudinarKantor Bank Indonesia Makassar : Tjarlis GafarKantor Bank Indonesia Yogyakarta : Ny. Hirawati Suherman

Kelas III

Kantor Bank Indonesia Ambon : M. Yusuf Oesep W.Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir KatinKantor Bank Indonesia Cirebon : DjatiwalujoKantor Bank Indonesia Jambi : Ade N. RachmanaKantor Bank Indonesia Jayapura : Norman JohnKantor Bank Indonesia Malang : M. Zaeni Aboe AminKantor Bank Indonesia Mataram : Satria MulyaKantor Bank Indonesia Pekan Baru : C.Y. BoestalKantor Bank Indonesia Pontianak : Amin SisworoKantor Bank Indonesia Samarinda : Sarman Bona SihotangKantor Bank Indonesia Solo : Suwondo

Kantor Bank Indonesia

Page 201: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

192

Kelas IV

Kantor Bank Indonesia Balikpapan : Erman KurnandiKantor Bank Indonesia Kupang : Budiman UsmanKantor Bank Indonesia Jember : SunaryoKantor Bank Indonesia Kediri : Budhi SantosoKantor Bank Indonesia Purwokerto : SumarnoKantor Bank Indonesia Tasikmalaya : SunarkoKantor Bank Indonesia Palangkaraya : MoenandarKantor Bank Indonesia Bengkulu : Cheppy SumawijayaKantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad DakhlanKantor Bank Indonesia Palu : Moch. Zaenal Alim

Kelas V

Kantor Bank Indonesia Batam : Bistok W. RitongaKantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin EffendiKantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fauzi AbubakarKantor Bank Indonesia Ternate : Tri Selo

Kantor Bank Indonesia

Page 202: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

DEWAN GUBERNUR

DKM

Tim

IDWB1

KasT

Pd

PAPU

KasK

PrKeu

LKeu

GE

OPU

PPU

PTPU

Admp

AkR

DR

APD

PTD

Admv

SMon

SNP

SRKP

PDIE

Adms

APLN

PLN

EXIM

KEPI

PAdk

Tim

AkDv

KlJ

PrOS

PgKP

PPbP

DSM DPM DPD DLN BKr DPIP DPwB1 DPwB2 DASP DLP DTI DSDM DKIDPBPR DPU

Tim

IDWB2

Tim Tim

IDBPR

Mdn

Bna

Lsm

Sbg

Pdg

Pbr

Jb

Bn

Btm

Bd

Pg

Bdl

Cn

Tsm

Sm

Yk

Slo

Pwt

Sb

Dpr

Ml

Mtr

Kpa

Kd

Jr

Bjm Mks

Mo

Kdi

Ab

Jap

Pal

Tt

APK

SPPK

SSR

SEI

PRAd

SEM

PSPN

BSk

Ars

ProTim

IDMB1

DPmB1 DPmB2

IDMB2

DPI

Tim

BGub

Tim

AdPI

DHk

Tim

NY Lnd Tky Sn

Ang

PmTI

PDE

PPTI

PgL-I

PgL-II

PgJ

Pam

PrLJ

DPNP

UKIP

PNPB

Tim

IDPnP

DtB

Prz

Tim

IDPiP

Deputi Gubernur Senior

Deputi-Deputi Gubernur

Gubernur

Ptk

Bpp

Plk

Smr

PTR

PPSK

PPr

Kel.

STRUKTUR ORGANISASI BANK INDONESIA

Lampiran C.2

193

Page 203: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

194

I.

II.

III.

IV.

V.

VI.

VII.

DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER DKM1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan APK2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan SPPK3. Bagian Studi Ekonomi Makro SEM4. Bagian Studi Sektor Riil SSR5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional SEI6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi PRAd

DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER DSM1. Bagian Statistik Moneter SMon2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran SNP3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah SRKP4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter PDIE5. Bagian Administrasi Adms

DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER DPM1. Bagian Operasi Pasar Uang OPU2. Bagian Pengembangan Pasar Uang PPU3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang PTPU4. Bagian Administrasi Admp

DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA DPD1. Dealing Room DR2. Bagian Analisis Pengelolaan Devisa APD3. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa PTD4. Bagian Administrasi Amdv

DIREKTORAT LUAR NEGERI DLN1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri APLN2. Bagian Pinjaman Luar Negeri PLN3. Bagian Ekspor Impor EXIM4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional KEPI5. Bagian Administrasi Adml

BIRO KREDIT BKr1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit PAdk2. Tim Penelitian dan Pengembangan -

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN DPNP1. Tim-tim -

a. Tim Pengaturan Bankb. Tim Pengembangan Pengawasan Bank

2. Biro Penelitian Perbankan PNPB3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian dan Pengaturan Perbankan IDPnP

1) SE No.2/27/INTERN tgl. 7 Juli 2000

Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia1)

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

Page 204: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

195

DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN DPIP1. Tim-tim -

a. Tim Bank Dalam Likuidasib. Tim Penjaminan

2. Bagian Data Perbankan DtB3. Bagian Perizinan Prz4. Bagian Informasi dan Dokumentasi Perizinan dan Informasi Perbankan IDPiP

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 1 DPwB11. Tim-tim Pengawas -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1 IDPWB1

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 1 DPmB11. Tim-tim Pemeriksa -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1 IDMB1

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 2 DPwB21. Tim-tim Pengawas -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2 IDWB2

DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 2 DPmB21. Tim-tim Pemeriksa -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2 IDMB2

DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DPBPR1. Tim-tim -

a. Tim Pengawasb. Tim Pemeriksa

2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR IDBPR

DIREKTORAT PENGEDARAN UANG DPU1. Bagian Kas Thamrin KasT2. Bagian Pengedaran Pd3. Bagian Perencanaan, Pembinaan dan Administrasi Pengedaran Uang PAPU4. Bagian Kas Kota KasK

DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran PSPN2. Bagian Akunting Rupiah AkR3. Bagian Akunting Devisa AkDv4. Bagian Kliring Jakarta KlJ5. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah PTR

DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN DLP1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa PrlJ2. Bagian Pengelolaan Logistik I PgL-I3. Bagian Pengelolaan Logistik II PgL-II4. Bagian Pengelolaan Jasa PgJ5. Bagian Pengamanan Pam

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

VIII.

IX.

X.

XI.

XII.

XIII.

XIV.

XV.

XVI.

Page 205: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

196

DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI DTI1. Bagian Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi PPTI2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi PmTI3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis PDE

DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DSDM1. Biro Perencanaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia PrOS2. Bagian Pengembangan Karir Pegawai PgKP3. Bagian Penerimaan dan Pembinaan Pegawai PPbP

DIREKTORAT KEUANGAN INTERN DKI1. Bagian Perencanaan Keuangan PrKeu2. Bagian Laporan Keuangan LKeu3. Bagian Gaji dan Emolumen GE4. Bagian Anggaran Ang

DIREKTORAT HUKUM DHk1. Tim-tim -

a. Tim Penasehat Hukumb. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukumc. Tim Enquiry Point

BIRO SEKRETARIAT BSk1. Bagian Protokol Pro2. Bagian Arsip Ars

DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN DPI1. Tim-tim -

a. Tim Pengembangan Pengawasan Internb. Tim Analisis Ketentuanc. Tim Pengawasan Intern

2. Bagian Administrasi dan Informasi AdPI

BIRO GUBERNUR BGub1. Tim-tim -

a. Perencanaan dan Pemantauanb. Tim Hubungan Masyarakatc. Staf Gubernur

UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN UKIP1. Tim-tim Investigasi -

PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN PPSK1. Kelompok Pengembangan dan Monitoring Program -2. Kelompok Peneliti -3. Bagian Pelaksanaan Program PPr

No. Nama Satuan Kerja Singkatan

XVII.

XVIII.

XIX.

XX.

XXI.

XXII.

XXIII.

XXIV.

XXV.

Page 206: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

197

Nama Satuan Kerja Singkatan

Kantor Perwakilan Bank Indonesia1. New York NY2. London Lnd3. Tokyo Tky4. Singapore Sn

Kantor Bank Indonesia1. Ambon Ab2. Balikpapan Bpp3. Banda Aceh Bna4. Bandar Lampung Bdl5. Bandung Bd6. Banjarmasin Bjm7. Batam Btm8. Bengkulu Bn9. Cirebon Cn10. Denpasar Dpr11. Jayapura Jap12. Jambi Jb13. Jember Jr14. Kediri Kd15. Kendari Kdi16. Kupang Kpa17. Lhokseumawe Lsm18. Makassar Mks19. Malang Ml20. Mataram Mtr21. Medan Mdn22. Menado Mo23. Padang Pdg24. Palangkaraya Plk25. Palembang Pg26. Palu Pal27. Pekanbaru Pbr28. Pontianak Ptk29. Purwokerto Pwt30. Samarinda Smr31. Semarang Sm32. Sibolga Sbg33. Solo Slo34. Surabaya Sb35. Tasikmalaya Tsm36. Ternate Tt37. Yogyakarta Yk

Page 207: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

198

Lampiran D.1

Neraca Bank Indonesiaper 31 Desember 20001)

(Miliar Rupiah)

Pasiva

KEWAJIBAN1. Uang dalam peredaran 89.704

2. Giro

A. Pemerintah 91.298

– Dalam rupiah 61.677

– Dalam valuta asing 29.621

B. Bank 41.313

– Dalam rupiah 33.677

– Dalam valuta asing 7.636

C. Pihak swasta lainnya 6.485

– Dalam rupiah 6.283

– Dalam valuta asing 202

D. Lembaga keu. internasional 105.135

– Dalam rupiah 105.135

– Dalam valuta asing 0

3. Surat berharga yang diterbitkan 78.673

A. Dalam rupiah 78.673

B. Dalam valuta asing 0

4. Pinjaman dari pemerintah 27.531

A. Dalam rupiah 336

B. Dalam valuta asing 2.165

C. Surat utang Bank Indonesia 25.030

5. Pinjaman luar negeri 18.990

6. Kewajiban lain-lain 1.299

JUMLAH KEWAJIBAN 460.429

EKUITAS1. Modal 2.606

2. Cadangan umum 6.431

3. Cadangan tujuan 2.756

4. Hasil revaluasi aktiva tetap 4.767

5. Hasil revaluasi kurs dan SSB 79.954

6. Hasil indeksasi SUP 18.818

7. Hasil indeksasi SUBI (476)

8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya 1.773

9. Surplus (defisit) tahun berjalan 2.547

JUMLAH EKUITAS 119.175

JUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS 579.604

Aktiva

1. Emas 8.170

2. Uang asing 794

3. Hak tarik khusus 306

4. Giro 5.151

A. Bank Sentral 2.950

B. Bank Koresponden 2.201

5. Deposito pada Bank Koresponden 61.538

6. Surat berharga 217.662

A. Dalam rupiah 0

B. Dalam valuta asing 217.662

7. Tagihan

A. Kepada pemerintah 279.185

– Dalam rupiah 279.061

– Dalam valuta asing 124

B. Kepada bank 20.532

– Dalam rupiah 18.803

– Dalam valuta asing 1.729

C. Kepada lainnya 7.279

– Dalam rupiah 7.279

– Dalam valuta asing 0

8. Penyisihan kerugian aktiva (27.383)

9. Penyertaan 0

10. Aktiva lain-lain 6.369

JUMLAH AKTIVA 579.604

1) Belum diaudit. Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun 2000 yang lengkap telah disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia pada tanggal 31 Januari 2001 dalam rangka memnuhi pasal 61 UU No.23 tahun 1999

Page 208: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

199

PENERIMAAN

1. Pengelolaan Moneter 46.907

A. Pengelolaan Devisa 35.443

B. Kegiatan Pasar Uang 52

C. Pemberian Kredit dan Pembiayaan 11.412

2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran 39

3. Pengaturan Perbankan 33

4. Lainnya 3.093

A. Penerimaan Lainnya 162

B. Pemulihan Penyisihan Aktiva 2.931

Jumlah Penerimaan 50.072

PENGELUARAN

1. Biaya Pengendalian Moneter (19.681)

A. Beban Perumusan dan Pelaksanaan

Kebijakan Moneter (11.890)

B. Beban Pengelolaan Devisa (7.791)

2. Beban Sistem Pembayaran (721)

A. Beban Pengedaran Uang (696)

B. Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran (25)

3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank (132)

4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (2.436)

A. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (2.253)

B. Beban Penyusutan Aktiva Tetap (183)

Jumlah Pengeluaran (22.970)

Surplus (Defisit) Sebelum Pos Luar Biasa 27.102

Saldo Surplus penyesuaian Due Dilligence Neraca Awal –

Beban karena Pos Luar Biasa (24.554)

SURPLUS (DEFISIT) 2.547

Lampiran D.2

Laporan Surplus DefisitPeriode 1 Januari – 31 Desember 2000

(Miliar Rupiah)

Page 209: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

200

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai

penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).

Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut dilakukan

terhadap pemegang saham pengendali, pengurus, dan

pejabat eksekutif bank. Dijelaskan juga bahwa penilaian

tersebut dilakukan secara berkala atau setiap waktu

apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia.

Pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai

perhitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor

dan bea balik nama kendaraan bermotor tahun 2000.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai kebijakan

restrukturisasi dan penyelesaian pinjaman bagi debitur di

BPPN.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

penatausahaan dan perdagangan obligasi pemerintah.

Beberapa hal yang diatur dalam ketentuan tersebut antara

lain fungsi Bank Indonesia dalam kaitan tersebut,

pencatatan kepemilikan, kliring, setelmen obligasi, tata cara

perdagangan, pengawasan dan pelaporan.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia

(KLBI) dalam rangka kredit program. Di dalam ketentuan

tersebut diatur bahwa pengelolaan KLBI dalam rangka

kredit program (KLBI) dialihkan kepada Badan Usaha Milik

Negara (BUMN) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah, yaitu:

2000Januari

14

14

20

21

Februari

1

PBI No. 2/1/2000

SK Mendagri No.1 tahun

2000

Kep. Menko Ekuin No. Kep.

01.A/M.EKUIN/01/2000

PBI No.2/2/2000

PBI No. 2/3/2000

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Lampiran E

BERBAGAI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN PENTINGDI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN TAHUN 2000

Page 210: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

201

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero);

2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);

3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/

1999 tentang Penyelenggaraan Klir ing Lokal dan

Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas

Hasil Klir ing Lokal. Bahwa dengan telah diberikannya

kesempatan bagi bank konvensional untuk membuka kantor

cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah maka diperlukan pengaturan tambahan yang

berkaitan dengan keikutsertaan bank tersebut dalam kliring

lokal.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan

upah minimum regional pada 26 (dua puluh enam) propinsi

di Indonesia dan upah minimum sektoral regional di 20 (dua

puluh) propinsi di Indonesia.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai penye-

diaan dana oleh bank yang dijamin bank lain. Penyediaan

Dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah

penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta

asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan

dana antarbank, termasuk komitmen dan kontinjensi.

Selanjutnya juga diatur bahwa Bagian Penyediaan Dana

kepada pihak terkait untuk setiap peminjam atau kelompok

peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan

dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan

jumlah setinggi-tingginya sebesar 90% (sembilan puluh

perseratus) dari Modal Bank. Bagian Penyediaan Dana

kepada pihak tidak terkait untuk setiap peminjam atau

kelompok peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak

diperhitungkan dalam ketentuan Batas Maksimum Pem-

11

18

21

PBI No. 2/4/2000

SK Menaker No.Kep-20/

Men/2000

PBI No. 2/5/2000

Page 211: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

202

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

21

23

23

berian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar :

a. 70% (tujuh puluh perseratus) dari Modal Bank sampai

dengan akhir tahun 2001;

b. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank

selama tahun 2002;

c. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank sejak

tanggal 1 Januari 2003.

Bank lain yang menjamin Penyediaan Dana wajib

memenuhi persyaratan memiliki :

a. peringkat investasi; dan

b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua

ratus) besar dunia.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

persyaratan dan tata cara pemeriksaan bank.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai Giro

Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah dan valuta asing bagi

bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah. Bahwa dengan telah berkembangnya sistem

perbankan berdasarkan prinsip syariah, kewajiban

pemeliharaan GWM perlu diberlakukan pula bagi bank

umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah. GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima

perseratus) dari dana pihak ketiga (DPK) bank dalam ru-

piah. Sedangkan GWM dalam valuta asing ditetapkan

sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK Bank dalam valuta

asing. Pemenuhan persentase GWM dilakukan secara

harian pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai perubahan

tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang

berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di

bidang Pertambangan Umum.

PBI No. 2/6/2000

PBI No. 2/7/2000

PP No.13 Tahun 2000

Page 212: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

203

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai pasar

uang antar bank berdasarkan prinsip syariah.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia. Dengan berkembangnya bank

yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah dan dalam rangka pelaksanaan pengendalian

moneter, maka perlu diciptakan piranti moneter yang

sesuai dengan prinsip syariah dalam bentuk Sertifikat

Wadiah Bank Indonesia.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai persyaratan

impor kendaraan bermotor dalam keadaan utuh (CBU).

Pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai pemben-

tukan Tim Penanggulangan Masalah Utang-Utang Perusa-

haan Swasta Indonesia.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemben-

tukan Tim Monitoring Bank Umum Peserta Rekapitalisasi.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan

harga patokan ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit,

dan produk turunannya.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai

pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Di dalam ketentuan tersebut diatur bahwa hasil PBB dibagi

untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan

sebagai berikut:

a) 10% untuk Pemerintah Pusat;

b) 90% untuk Daerah.

PBI No. 2/8/2000

PBI No. 2/9/2000

Kep. Memperindag No.49/

MPP/Kep/2/2000

Keppres No. 32 tahun 2000

Keputusan Menkeu No.51/

KMK.017/2000

Surat Dirjen Perdagangan

Luar Negeri N0.25/DJPLN/

II/2000

PP No.16 Tahun 2000

23

23

25

26

28

29

Maret

10

Page 213: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

204

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Jumlah 90% yang merupakan bagian Daerah diperinci

sebagai berikut:

a) 16,2% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;

b) 64,8% untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;

c) 9% untuk Biaya Pemungutan.

Pengesahan UU No.2 tahun 2000 tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2000.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan

upah minimum regional Propinsi Kalimantan Timur.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan

upah minimum regional Propinsi Sulawesi Tengah

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999

tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum

Peserta Program Rekapitalisasi.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan

tarif cukai dan harga dasar hasil tembakau.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai keringanan

bea masuk bahan baku/subkomponen/bahan penolong

untuk pembuatan elektronika.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

penetapan status bank dan penyerahan bank kepada

Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini, diantaranya mengatur

tentang penetapan Bank Dalam Pengawasan Khusus (Spe-

cial Surveillance), penetapan Bank dengan Status Bank

Dalam Penyehatan (BDP) dan penyerahannya kepada

BPPN, penetapan bank dengan Status Bank Beku Kegiatan

21

21

21

29

29

31

31

UU No. 2 tahun 2000

Kep. Menaker No.Kep.35/

MEN/2000

Kep. Menaker No.Kep.37/

MEN/2000

PBI No. 2/10/2000

Kep. Menkeu No.89/KMK.

05/2000

Kep. Menkeu No.98/KMK.

05/2000

PBI No. 2/11/2000

Page 214: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

205

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Usaha (BBKU) dan penyerahannya kepada BPPN, serta

pengaturan kriteria dan prosedur penetapan bank yang

tidak ikut serta dalam program penjaminan pemerintah. PBI

dimaksud juga mengatur penyerahan bank kepada BPPN

oleh karena sebab lainnya, yaitu apabila bank memiliki

aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan melalui

pengalihan kepada BPPN dan terdapat kesepakatan

antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang saham untuk

mengalihkan aktiva produktif bermasalah tersebut.

Secara lebih rinci, PBI tersebut antara lain menetapkan

bahwa suatu bank masuk kelompok Bank Dalam

Pengawasan Khusus (special surveillance) apabila atas

dasar penilaian Bank Indonesia suatu bank mengalami

kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya

yang tercermin antara lain pada Rasio Kewajiban

Penyediaan Modal Minimum (CAR) kurang dari 4% dan/atau

non performing loan (NPL) lebih besar dari atau sama

dengan 35% dari total kredit. Adapun jangka waktu

pengawasan khusus (special surveillance) adalah 6 (enam)

bulan untuk bank go public dan 3 (tiga) bulan untuk bank

non-go public. Sementara itu, penetapan bank dengan sta-

tus BDP dan penyerahannya ke BPPN didasarkan pada

kriteria apabila jangka waktu pengawasan khusus (special

surveillance) telah terlampaui dan CAR kurang dari 4%

namun dinilai bank yang bersangkutan dapat memenuhi

persyaratan, diantaranya CAR dapat ditingkatkan menjadi

8% pada akhir 2001, dapat menyelesaikan pelampauan dan

atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit

(BMPK), dan dapat menurunkan NPL menjadi 5% dari total

kredit pada akhir 2001. Jangka waktu penanganan oleh

BPPN bagi bank dengan status BDP tersebut adalah 18

bulan. Sedangkan penyerahan suatu bank dengan status

BBKU kepada BPPN didasarkan atas 2 (dua) kriteria, yaitu

walaupun jangka waktu pengawasan khusus (special surveil-

Page 215: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

206

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

lance) belum terlampaui, namun bank tersebut memiliki

CAR kurang dari 2% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan

menjadi 8% per akhir 2001 atau Giro Wajib Minimum (GWM)

dalam rupiah lebih kecil dari 0% dan tidak dapat diselesaikan;

dan kriteria kedua adalah bahwa jangka waktu pengawasan

khusus sudah terlampaui dan CAR lebih kecil dari 4%, kondisi

bank tidak mengalami perbaikan dan tidak memenuhi

persyaratan BDP. Jangka waktu penanganan BBKU oleh BPPN

adalah 2 (dua) tahun.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

ketiga atas PP No.17 tahun 1999 tentang Badan Penye-

hatan Perbankan Nasional.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan

perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

tarif bea meterai dan besarnya batas pengenaan harga

nominal yang dikenakan bea meterai.

Pengesahan UU No.3 tahun 2000 tentang perubahan atas

UU No.7 tahun 1999 tentang Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000.

Bank Indonesia (BI) bersama Badan Penyehatan

Perbankan Nasional (BPPN) telah mengakhiri status BDP-

BTO PT Bank Central Asia, Tbk (BCA). BCA dimasukkan ke

dalam program penyehatan BPPN pada Mei 1998 sebagai

Bank Take Over. Selama proses penyehatan di bawah

BPPN, BCA telah dapat mengembalikan kinerjanya dari

posisi rugi yang sangat besar menjadi laba.

Pemerintah yang diwakili BPPN sebagai pemegang

mayoritas BCA akan melanjutkan langkah berikutnya, yaitu

PP No. 18 tahun 2000

PP No. 20 tahun 2000

PP No. 24 tahun 2000

UU No. 3 tahun 2000

31

April

7

24

26

27

Page 216: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

207

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

program divestasi atas saham Pemerintah di BCA. Proses

divestasi tersebut, saat ini sedang berlangsung melalui Initial

Public Offering (IPO) BCA.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai keringanan

bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan dalam

rangka pembangunan/pengembangan industri/industri

jasa.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi

sebagai daerah otonom.

Bank Indonesia mulai Mei 2000 akan menyajikan data

cadangan devisa per 30 April 2000 dengan menggunakan

konsep terakhir dari Special Data Dissemination Standards,

yaitu yang disebut International Reserve and Foreign Cur-

rency Liquidity (IRFCL). Standar ini dipergunakan oleh

negara-negara anggota IMF, yang dipelopori oleh negara-

negara G7. Konsep baru ini mengubah cara perhitungan

cadangan devisa dari konsep yang selama ini digunakan,

yaitu Gross Foreign Assets (GFA).

Perbedaan antara konsep IRFCL dan GFA terletak pada

klasifikasi aset dan nilai konversi terhadap mata uang lain

(cross rate) yang digunakan. Aset yang tercakup dalam

konsep IRFCL diklasifikasikan sebagai aset yang likuid

(sampai dengan satu tahun) dan mudah diperdagangkan.

Cross rate yang dipergunakan, yang semula atas dasar kurs

tanggal 31 Maret 1998 dalam perhitungan Net International

Reserves (NIR), pada konsep yang baru diubah menjadi atas

dasar kurs pasar (current market rate). Kedua perubahan

mendasar ini akan menyebabkan angka cadangan devisa

bersih (NIR) Indonesia menjadi lebih rendah dibandingkan

dengan data yang dipublikasikan selama ini.

Kep. Menkeu No.135/KMK.

05/2000

PP No. 25 tahun 2000

Siaran Pers BI No. 2/79/

BGub/Humas

Mei

1

6

15

Page 217: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

208

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

16

16

25

26

30

Juni

2

PBI No. 2/12/2000

PBI No.2/13/2000

Kep. Menperindag

No. 174/MPP/KEP/5/2000

Keputusan Menkeu

No.179/KMK.017/2000

Keputusan Menkeu

No.187/KMK.01/2000

Kep. Menperindag

No.192/MPP/KEP/6/2000

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

jaminan pinjaman luar negeri antar bank. Jaminan Bank

Indonesia diberikan kepada kreditur dalam hal bank tidak

dapat memenuhi kewajibannya maksimal sebesar pokok

dan bunga Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya-

biaya lain sebagaimana diatur dalam Master Loan Agree-

ment (MLA). Jaminan Bank Indonesia berlaku sesuai

dengan jangka waktu angsuran Pinjaman Luar Negeri Antar

Bank yaitu 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat), 5 (lima) dan

6 (enam) tahun sejak pinjaman dipertukarkan menjadi

pinjaman baru.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

jaminan pembiayaan perdagangan internasional. Dalam

rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional

khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indo-

nesia untuk dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter

of Guaranty untuk menjamin pembiayaan perdagangan

internasional yang dilakukan oleh bank.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai ketentuan

kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

persyaratan, tata cara dan ketentuan pelaksanaan

jaminan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran

bank umum.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

perubahan klasifikasi dan penurunan tarif bea masuk atas

impor beberapa produk tertentu.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

perubahan Kep. Memperindag No.230/MPP/KEP/7/1997

Page 218: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

209

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

PP No. 34 tahun 2000

PBI No.2/14/2000

PBI No.2/15/2000

tentang barang yang diatur tata niaga impornya

sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Kep. Memperindag No.50/MPP/KEP/2/1999 mengenai per-

ubahan ketentuan impor kendaraan bermotor dalam

keadaan utuh (CBU).

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia

(PERURI).

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan kedua atas PBI No.1/3/PBI/1999 tentang

Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir

Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan SK Dir.BI No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 Novem-

ber 1998 tentang Restrukturisasi Kredit.

Penyelesaian pelampauan BMPK yang semula harus

diselesaikan oleh perbankan dalam waktu 9 bulan sejak

Desember 1998, diperpanjang menjadi selambat-

lambatnya pada akhir Mei 2001. Sedangkan untuk kredit

yang direstrukturisasi melalui mediasi lembaga resmi seperti

Prakarsa Jakarta dan/atau Satgas Restrukturisasi Bank Indo-

nesia, batas waktu penyelesaiannya diperpanjang

selambat-lambatnya pada akhir Desember 2002. Sebagai

komponen perhitungan CAR, Bank Indonesia dalam

perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk

Aktiva Produktif yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus

(DPK), Kurang Lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M)

dilakukan dengan memperhitungkan Penyisihan

Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang telah dibentuk

(Nilai Buku). Semula perhitungan ATMR tidak

7

9

12

Page 219: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

210

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

12

26

26

28

30

memperhitungkan PPAP yang telah dibentuk. Perubahan

ketentuan ini mengikuti standar yang telah diberlakukan

Bank for International Settlement (BIS) yang menerapkan

penggunaan nilai buku Aktiva Produktif dalam perhitungan

ATMR.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

perubahan SK Dir.BI No.31/177/KEP/DIR tanggal 31

Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit

Bank Umum.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

upah minimum regional Propinsi DKI Jakarta yaitu yang

semula Rp286.000 menjadi Rp344.257

Penundaan berlakunya PP no.39 tahun 1998 tentang

perlakuan wajib pajak pertambahan nilai dan pajak atas

barang mewah di kawasan berikat (bonded zone) daerah

industri Pulau Batam

Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perubahan atas

marjin suku bunga simpanan pihak ketiga yang dijamin

pemerintah. Ditetapkan bahwa marjin suku bunga

simpanan pihak ketiga dalam rangka rupiah dan valas yang

dijamin pemerintah, yaitu:

1. marjin suku bunga simpanan pihak ketiga dalam Rupiah

sebesar 200 (dua ratus) basis point.

2. marjin suku bunga simpanan pihak ketiga dalam valas

sebesar 100 (seratus) basis point.

Bank Indonesia secara bertahap akan menarik uang

pecahan Rp50.000,00 seri Soeharto. Namun demikian uang

pecahan Rp50.000,00 seri Soeharto masih tetap berlaku

sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Uang

Rp50.000,00 seri Soeharto sudah diedarkan Bank Indonesia

PBI No.2/16/2000

SK Menaker No.KEP-185/

MEN/2000

PP No.45 tahun 2000

SE BI No.2/17/DPNP

Siaran Pers BI No. 2/ 109 /

BGub/Humas

Page 220: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

211

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

30

Juli

20

20

Agustus

4

sejak 1993 dan sebagai pengganti dari seri tersebut, Bank In-

donesia sejak 1999 telah mengeluarkan uang Rp50.000,00 seri

W.R. Soepratman. Penarikan bertahap oleh Bank Indonesia

dilakukan dengan tidak mengedarkan kembali seri Soeharto

yang masuk ke Bank Indonesia dan menggantinya dengan

seri W.R. Soepratman.

Sebagai kelanjutan dari program transformasi Bank Indone-

sia, maka mulai 3 Juli 2000, Bank Indonesia membentuk

sebuah badan penelitian yang disebut Pusat Pendidikan dan

Studi Kebanksentralan. Badan yang disingkat PPSK ini akan

lebih memfokuskan pada pengembangan kemampuan

sumber daya manusia di Bank Indonesia dan pelaksanaan

penelitian di bidang keilmuan yang terkait dengan

pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Jika selama ini seluruh

riset yang dilaksanakan Bank Indonesia lebih terfokus pada

penentuan dan pelaksanaan kebijakan, maka PPSK

mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan keahlian

dalam bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

pengeluaran dan pengedaran serta pencabutan dan

penarikan uang rupiah. Beberapa hal yang diatur dalam

ketentuan tersebut antara lain tentang pengeluaran uang,

pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang dari

peredaran dan lain-lain.

Pencabutan dan penarikan dari peredaran uang kertas

pecahan Rp10.000,00 Tahun Emisi 1992, Rp20.000,00 Tahun

Emisi 1992 dan 1995, Rp50.000,00 Tahun Emisi 1993 dan 1995,

serta Rp50.000,00 Plastik Tahun Emisi 1993.

Perhitungan anggaran negara tahun anggaran 1998/1999.

SE No.2/24/Intern

PBI No.2/17/2000

PBI No.2/18/2000

UU No.22 tahun 2000

Page 221: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

212

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

persyaratan dan tata cara pemberian perintah atau izin

tertulis membuka rahasia bank. Ketentuan ini antara lain

mengatur ketentuan bahwa bank wajib merahasiakan

segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan

mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah

tidak berlaku bagi:

1. kepentingan perpajakan;

2. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan

kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/

Panitia Urusan Piutang Negara;

3. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;

4. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara

Bank dengan Nasabahnya;

5. tukar menukar informasi antar Bank;

6. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah

Penyimpan yang dibuat secara tertulis;

7. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah

Penyimpan yang telah meninggal dunia.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan

Kep. Menkeu No.891/KMK.05/2000 tentang penetapan tarif

cukai dan harga dasar hasil tembakau.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan

besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk

turunannya. Dalam keputusan tersebut antara lain

ditetapkan tarif pajak ekspor CPO sebesar 5%.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai fasilitas

pendanaan jangka pendek bagi bank umum. Untuk

mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, Bank Indo-

nesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan

September

7

11

12

12

PBI No.2/19/2000

SK Menkeu No.378/KMK.

05/2000

SK Menkeu No.387/KMK.

017/2000

PBI No.2/20/2000

Page 222: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

213

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

15

18

19

kredit kepada bank umum yang dijamin dengan agunan

berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.

Bank Indonesia terhitung sejak tanggal 14 September 2000

sampai adanya pemberitahuan lebih lanjut menghentikan

sementara PT Bank Hanvit Indonesia sebagai peserta kliring

lokal sehubungan dengan penutupan kantor bank tersebut

akibat ledakan bom di area parkir Gedung Bursa Efek

Jakarta (Gedung BEJ) pada 13 September 2000.

Penghentian sementara tersebut merupakan jawaban Bank

Indonesia atas surat PT Bank Hanvit Indonesia kepada Bank

Indonesia. Dalam surat dimaksud pimpinan bank

bersangkutan menyampaikan pemberitahuan bahwa

kantor PT Bank Hanvit Indonesia yang terletak di Gedung

BEJ tidak dapat melakukan kegiatan perbankan

sebagaimana mestinya, sehingga ditutup untuk umum serta

tidak dapat mengikuti kegiatan klir ing sampai ada

pemberitahuan lebih lanjut. Penutupan kantor ini dilakukan

menyusul kejadian ledakan bom yang mengakibatkan

seluruh aktivitas di Gedung BEJ ditutup untuk umum oleh

pihak pengelola gedung.

Bank Indonesia terhitung sejak kegiatan Kliring Penyerahan

Nominal Besar pada hari Jumat, 15 September 2000 telah

mengikutsertakan kembali PT Bank Hanvit Indonesia dalam

Kliring Lokal Jakarta. Sehubungan dengan hal itu, sejak

tanggal dimaksud maka warkat-warkat kliring yang berasal

dan ditujukan kepada PT Bank Hanvit Indonesia dapat

kembali diperhitungkan dalam Kliring Lokal Jakarta.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

laporan bulanan bank umum. Dalam rangka penyusunan

laporan dan informasi dalam penetapan kebijakan bidang

moneter, sistem pembayaran, dan perbankan serta untuk

keperluan pemantauan keadaan bank secara benar,

Siaran Pers BI No. 2/159/

BGub/Humas

Siaran Pers BI No.2/161/

BGub/Humas

PBI No.2/21/2000

Page 223: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

214

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

19

28

Oktober

2

2

SE BI No.2/18/DPM

Siaran Pers BI No. 2/170/

BGub/Humas

PBI No.2/22/2000

SK Menkeu No.414/KMK.

04/2000

diperlukan informasi keadaan keuangan, dan kegiatan

usaha bank secara individual yang lebih lengkap termasuk

kegiatan usaha bank yang dilakukan di luar negeri.

Surat edaran Bank Indonesia mengenai peningkatan

persentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat

diperdagangkan bagi bank umum peserta program

rekapitalisasi perbankan. Jumlah persentase obligasi yang

dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-

tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) ditingkatkan

menjadi setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas

perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang

dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari

pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi

Bank Umum.

Bank Indonesia atas nama Pemerintah RI telah

menandatangani perjanjian perpanjangan jangka waktu

(rescheduling) pembayaran pokok dua pinjaman siaga

yang diterima Pemerintah RI dari sindikasi bank-bank di luar

negeri pada tahun 1994 dan 1995. Total kewajiban yang

direstrukturisasi adalah sebesar $340 juta, yang terdiri atas

kewajiban pinjaman siaga tahun 1994 sebesar $140 juta dan

kewajiban pinjaman siaga tahun 1995 sebesar $200 juta.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kewajiban

pelaporan utang luar negeri. Bank, Badan Usaha Bukan Bank

dan perorangan yang mempunyai utang luar negeri (ULN)

wajib menyampaikan laporan setiap ULN kepada Bank Indone-

sia secara lengkap, benar, dan tepat waktu secara berkala

sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pene-

tapan uang kertas, uang logam serta bahan baku untuk

Page 224: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

215

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

20

27

November

6

10

10

16

17

pembuatan uang kertas dan uang logam, sebagai barang

kena pajak yang bersifat strategis untuk keperluan

pembangunan nasional.

Terhitung sejak 20 Oktober 2000 Bank Indonesia

membekukan kegiatan usaha (BBKU) PT Bank Ratu dan PT

Bank Prasidha Utama dan selanjutnya diserahkan kepada

BPPN untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai peru-

sahaan pembiayaan. Dijelaskan bahwa perusahaan

pembiayaan melakukan kegiatan usaha:

– Sewa Guna Usaha

– Anjak Piutang

– Usaha Kartu Kredit

– Pembiayaan Konsumen

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test).

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penge-

lolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam

pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Surat edaran Bank Indonesia mengenai pelaporan kegiatan

lalu lintas devisa oleh Lembaga Keuangan Non Bank.

Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai

penetapan harga patokan ekspor kelapa sawit, minyak

kelapa sawit, dan produk turunannya.

Sebagai pertanggungjawaban moral dari Pimpinan Bank

Indonesia yang diharapkan dapat membantu penyelesaian

SK DGS BI No.2/24/KEP.

DGS/2000 dan No.2/25/

KEP. DGS/2000

SK Menkeu No.448/KMK.

04/2000

PBI No.2/23/2000

PP No. 106 tahun 2000

SE BI No.2/23/DSM

Surat Dirjen Perdagangan

Luar Negeri No.280/

DJPLN/XI/2000

Siaran Pers BI No. 2/201/

BGub/Humas

Page 225: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

216

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

17

17

sebaik-baiknya terhadap kasus BLBI, dengan segala

kesadaran dan tanpa tekanan dari pihak manapun, Deputi

Gubernur Senior, Anwar Nasution dan sebagian Deputi

Gubernur yaitu Miranda S. Goeltom, Dono Iskandar

Djojosubroto, Achwan, dan Burhanuddin Abdullah, meng-

ajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia.

Surat edaran Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia Real

Time Gross Settlement (RTGS). Sistem Bank Indonesia Real

Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) adalah suatu sistem

transfer dana elektronik antar bank dalam mata uang ru-

piah yang penyelesaiannya dilakukan per transaksi secara

individual.

Surat edaran Bank Indonesia mengenai biaya dalam

penggunaan Sistem Bank Indonesia RTGS. Jenis biaya

dalam penggunaan sistem BI-RTGS terdiri dari :

– Biaya transaksi;

– Biaya perpanjangan Jam Operasional.

Besarnya biaya transaksi adalah sebagai berikut :

– biaya single credit transaction sebesar Rp10.000

(sepuluh ribu rupiah) per transaksi;

– biaya multiple credit transaction sebesar Rp50.000 (lima

puluh ribu rupiah) per transaksi;

– biaya pengiriman administrative message sebesar

Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) per administrative

message.

Besarnya biaya perpanjangan Jam Operasional adalah

Rp5.000.000 (lima juta rupiah) untuk 30 (tiga puluh) menit

pertama dan Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk 30

(tiga puluh) menit kedua, dan dikenakan kepada Peserta

yang mengajukan perpanjangan Jam Operasional.

SE BI No.2/24/DASP

SE BI No. 2/25/DASP

Page 226: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

217

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

17

17

23

Desember

8

SE BI No. 2/25/DASP

PBI No.2/25/2000

SE BI No.2/26/DPM

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai

hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan

pihak ekstern.

Seluruh pimpinan bank sentral dan otoritas moneter negara-

negara ASEAN serta Menteri Keuangan Brunei Darussalam

pada 17 November 2000 sepakat untuk meningkatkan

jumlah fasilitas short-term liquidity support dari $200 juta

menjadi $1 milyar yang diperuntukkan bagi anggotanya

yang mengalami kesulitan neraca pembayaran jangka

pendek. Negara-negara anggota dimaksud adalah Indo-

nesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Laos,

Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.

Dengan tersedianya fasilitas tersebut yang dikenal dengan

istilah ASEAN Swap Arrangements (ASA), negara-negara

ASEAN akan memiliki akses untuk mendapat bantuan

likuiditas jangka pendek (maksimal 6 bulan) dengan suku

bunga yang rendah.

Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan

Rp1.000,00 Tahun Emisi 2000.

Surat edaran Bank Indonesia mengenai peningkatan

persentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat

diperdagangkan bagi bank umum peserta program

rekapitalisasi perbankan. Jumlah persentase obligasi yang

dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-

tingginya sebesar 15% (lima belas perseratus) ditingkatkan

menjadi setinggi-tingginya sebesar 25% (dua puluh lima

perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang

dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari

Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi

Bank Umum.

Page 227: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

218

Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan

13

15

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai fasilitas

likuiditas intrahari bagi bank umum. Fasilitas Likuiditas

Intrahari (FLI) adalah fasilitas pendanaan selama jam

operasional Sistem BI-RTGS berupa suatu nilai maksimum

tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank

Peserta guna mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka

Sangat Pendek dalam rangka mendukung kelancaran

sistem pembayaran nasional.

Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai bank

umum. Beberapa ketentuan yang diatur dalam ketentuan

tersebut antara lain mengenai perizinan, modal,

kepemilikan, kepengurusan bank dan lain-lain.

PBI No.2/26/2000

PBI No.2/27/2000

Page 228: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

219

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

1.

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

KPMM

– Perhitungan

– Modal

Modal/ATMR x 100

– Modal inti adalah

modal disetor,

modal sumbangan,

laba setelah pajak

dan cadangan

yang dibentuk dari

laba setelah pajak.

– Modal pelengkap

adalah modal

pinjaman, pinjaman

subordinasi dan

cadangan yang

dibentuk dari

cadangan revaluasi

aktiva tetap dan

cadangan umum

penyisihan

Modal/ATMR x100%

– Modal inti adalah

modal disetor, agio

saham, modal

sumbangan,

cadangan umum,

cadangan tujuan,

laba tahun-tahun

lalu setelah pajak,

laba tahun berjalan

setelah pajak (50%),

dikurangi dengan

rugi tahun berjalan

dan goodwill.

– Modal pelengkap

cadangan revaluasi

aktiva tetap,

cadangan umum

penyisihan

penghapusan aktiva

produktif (maksimum

1,25% dari ATMR),

modal pinjaman

dan pinjaman

SK DIR BI No.

26/20/KEP/DIR

tanggal 29 Mei 1993

Modal/ATMR x 100

– Modal inti adalah

modal disetor,

modal sumbangan,

laba setelah pajak

dan cadangan

yang dibentuk dari

laba setelah pajak.

– Modal pelengkap

adalah modal

pinjaman, pinjaman

subordinasi dan

cadangan yang

dibentuk dari

cadangan revaluasi

aktiva tetap dan

cadangan umum

penyisihan

SK DIR BI No.

26/20/KEP/DIR

tanggal 29 Mei 1993

dan SK DIR BI No. 31/

146/KEP/DIR

tanggal 12 November

1998

Modal/ATMR x100%

– Modal inti adalah

modal disetor, agio

saham, modal

sumbangan,

cadangan umum,

cadangan tujuan,

laba ditahan

setelah pajak, laba

tahun-tahun lalu

setelah pajak, laba

tahun berjalan

setelah pajak (50%),

dikurangi dengan

rugi tahun berjalan

dan goodwill.

– Modal pelengkap

adalah cadangan

revaluasi aktiva

tetap, cadangan

umum penyisihan

penghapusan

aktiva produktif

(maksimum 1,25%

dari ATMR), modal

pinjaman dan

IKHTISAR PERBANDINGAN KETENTUAN KEHATI-HATIAN(KPMM, KAP, PPAP, BMPK, DAN PDN)

Lampiran F

Page 229: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

220

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

2. KAP

– Aset yang dinilai

– Penggolongan

kualitas

– Dasar penilaian

penghapusan aktiva

produktif maksimum

sebesar 125% dari

jumlah ATMR.

SK DIR BI No.

26/22/KEP/DIR

tanggal 29 Mei 1993

Aktiva produktif

adalah penanaman

bank dalam bentuk

kredit, surat berharga,

penyertaan dan

penanaman lainnya,

yang dimaksudkan

untuk memperoleh

penghasilan.

– Lancar, Kurang

Lancar, Diragukan

dan Macet

– keadaan

pembayaran pokok

atau angsuran

pokok dan bunga

kredit serta tingkat

kemungkinan

diterimanya kembali

subordinasi

(maksimum 50% dari

jumlah modal inti).

– Jumlah modal

pelengkap yang

diperhitungkan

maksimum 100% dari

jumlah modal inti.

SK DIR BI No.

30/267/KEP/DIR

tanggal 27 Februari

1998

Aktiva produktif

adalah penanaman

bank dalam bentuk

kredit dan surat

berharga.

– Lancar, Dalam

Perhatian Khusus,

Kurang Lancar,

Diragukan dan

Macet

– untuk kredit

didasarkan pada

ketepatan

pembayaran

kembali pokok dan

bunga serta

kemampuan

penghapusan aktiva

produktif maksimum

sebesar 125% dari

jumlah ATMR.

pinjaman

subordinasi

(maksimum 50% dari

jumlah modal inti).

– Jumlah modal

pelengkap yang

diperhitungkan

maksimum 100% dari

jumlah modal inti.

Page 230: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

221

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

3.

4.

5.

PPAP

BMPK

– Pelampauan BMPK

PDN

– Pemeliharaan Posisi

dana yang

ditanamkan dalam

surat-surat berharga

atau penanaman

lainnya.

– Cadangan khusus

sekurang-kurangnya :

– 5% dari AP yang

tergolong DPK,

– 15% dari AP yang

tergolong KL,

– 50% dari AP yang

tergolong D,

– 100% dari AP yang

tergolong M

masing-masing setelah

dikurangi agunan tunai.

– PDN per mata uang

maksimum 25%

– Pelampauan BMPK

yang terjadi karena

perubahan nilai

tukar dan / atau

penurunan .............

– Pelampauan BMPK

yang terjadi karena

gejolak nilai tukar

dan atas

penurunan ..............

peminjam yang

ditinjau dari

keadaan usaha

yang bersangkutan.

– untuk surat berharga

didasarkan pada

tingkat kemungkinan

diterimanya kembali

dana yang

ditanamkan.

– Cadangan khusus

sekurang-kurangnya:

a. untuk kredit

– 5% dari AP yang

tergolong DPK,

– 15% dari AP yang

tergolong KL,

– 50% dari AP yang

tergolong D,

– 100% dari AP yang

tergolong M

masing masing setelah

dikurangi agunan

tunai

b. untuk surat

berharga : 100% dari

surat berharga yang

tergolong macet.

– PDN per mata uang

maksimum 25% dari

modal bank

Page 231: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

222

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru

Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi

– PDN untuk rekening

administratif

maksimum 20%

– PDN keseluruhan

maksimum 20%

– PDN untuk rekening

administratif

maksimum 20% dari

modal bank

– PDN keseluruhan

maksimum 20% dari

modal bank

Page 232: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

223

Lampiran G

Tabel Statistik

1. Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan .................................................................................. 225

2. Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha ..................................................................................... 226

3. Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto ............................................................. 227

4. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian ............................................................................................ 228

5. Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata Padi serta Palawija.......................................................... 229

6. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertambangan dan Penggalian .................................................... 230

7. Produksi Tenaga Listrik ..................................................................................................................................... 230

8. Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi .................................................................. 231

9. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor ................... 232

10. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I 233

11. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor .................................. 234

12. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I ............. 235

13. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal ....................... 236

14. Indeks Harga Konsumen Indonesia ............................................................................................................... 237

15. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia .............................................................................................. 238

16. Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota ........................................................................................................... 239

17. Neraca Pembayaran Indonesia .................................................................................................................... 240

18. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas .................................................................................................. 241

19. Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas ........................................................................................... 242

20. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan .......................................................................................... 243

21. Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal (FOB) ..................................................................................... 244

22. Ekspor Migas ..................................................................................................................................................... 245

23. Uang Beredar ................................................................................................................................................... 246

24. Perkembangan Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ......................................... 247

25. Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank ................................ 248

26. Pasar Uang Antarbank di Jakarta ................................................................................................................. 249

27. Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank ..................................................... 250

28. Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ............................................................ 251

29. Tingkat Diskonto SBI .......................................................................................................................................... 252

30. Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara Bank Indonesia dan Bank-bank .......................... 253

31. Penerimaan Pemerintah ................................................................................................................................. 254

32. Pengeluaran Pemerintah ................................................................................................................................ 255

33. Penghimpunan Dana oleh Bank Umum ....................................................................................................... 256

34. Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Kelompok Bank ............................. 257

35. Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Jangka Waktu .............. 258

36. Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum menurut Golongan Pemilik ........................................ 259

Page 233: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

224

37. Sertifikat Deposito ............................................................................................................................................ 260

38. Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum ............................................................................................... 261

39. Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank .................................................................................. 262

40. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Sektor Ekonomi ...................................... 263

41. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 264

42. Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi ... 265

43. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI ............................................................. 266

44. Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2000 .................................. 266

45. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI ............................................................ 267

46. Pertumbuhan Ekonomi Dunia ........................................................................................................................ 268

47. Inflasi Dunia ....................................................................................................................................................... 269

48. Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar ...................................................................................................................... 270

49. Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia .......................................................... 270

50. Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang ............................................... 271

Page 234: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

225

Tabel 1Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan

(miliar rupiah)

Jenis penggunaan 1996 1997 1998 1999* 2000**

Pengeluaran konsumsiRumah tanggaPemerintah

Pembentukan modal tetap domestik brutoPerubahan stok 2)

Ekspor barang dan jasadikurangi Impor barang dan jasaProduk Domestik BrutoPendapatan neto terhadap luar negeri dari faktor produksiProduk Nasional Brutodikurangi Pajak tidak langsung netodikurangi PenyusutanPendapatan Nasional

Pengeluaran konsumsiRumah tanggaPemerintah

Pembentukan modal tetap domestik brutoPerubahan stok 1)

Ekspor barang dan jasadikurangi Impor barang dan jasaProduk Domestik BrutoPendapatan neto terhadap luar negeri dari faktor produksiProduk Nasional Brutodikurangi Pajak tidak langsung netodikurangi PenyusutanPendapatan Nasional

Memorandum item:

Produk Domestik Bruto per kapitadalam ribu rupiahdalam $

Produk Nasional Bruto per kapitadalam ribu rupiahdalam $

Pendapatan Nasional per kapitadalam ribu rupiahdalam $

Harga konstan 1993

Harga berlaku

288.697,6257.016,2

31.681,4128.698,6

5.873,1112.391,4121.862,8413.797,9

–12.486,8401.311,1

22.469,620.689,9

358.151,6

299.084,5272.070,2

27.014,375.467,9–8.571,992.123,678.546,4

379.557,7

–22.145,1357.412,6

6.112,618.978,0

332.322,0

308.816,9277.116,1

31.700,8139.725,6

3.341,7121.157,9139.796,1433.246,0

–15.462,9417.783,1

26.100,121.662,4

370.020,6

286.850,6260.022,7

26.827,993.604,7–6.386,9

134.707,2132.400,7376.374,9

–27.965,4348.409,5

1.858,918.818,8

327.731,8

310.725,2281.957,4

28.767,888.984,5

–16.138,3106.917,5

92.822,6397.666,3

–24.592,7373.073,6–11.666,119.883,3

364.856,4

1) ResidualSumber : Badan Pusat Statistik

372.393,6332.094,4

40.299,2157.652,7

5.800,4137.533,3140.812,0532.568,0

–14.272,2518.295,8

28.918,926.628,4

462.748,5

2.142,11.177

2.077,41.145

1.854,01.023

430.122,7387.170,7

42.952,0177.686,1

21.615,1174.871,3176.599,8627.695,4

–18.355,0609.340,4

37.828,731.384,8

540.126,9

2.212,5118

2.133,51.086

1.889,6962

702.239,5647.823,6

54.415,9243.043,4–82.716,1506.244,8413.058,1955.753,5

–53.893,7901.859,8

6.480,547.787,7

847.591,6

1.896,0491

1.755,1463

1.651,0436

885.814,6813.183,3

72.631,3240.322,2

–105.063,3390.560,1301.654,1

1.109.979,5

–78.896,71.031.082,8

17.950,155.498,9

957.633,8

1.894,7703,0

1.784,1653,0

1.658,9606,5

958.776,8867.997,1

90.779,7313.915,2–83.319,2497.518,9396.207,5

1.290.684,2

–89.256,41.201.427,8

–37.820,364.534,3

1.174.713,8

1.954,6782,5

1.833,7728,4

1.793,4712,2

Page 235: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

226

Tabel 2Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha

(miliar rupiah)

Pertanian, peternakan,

kehutanan, dan perikanan

Tanaman bahan makanan

Tanaman perkebunan

Peternakan

Kehutanan

Perikanan

Pertambangan dan penggalian

Minyak dan gas bumi

Pertambangan tanpa migas

Penggalian

Industri pengolahan

Industri migas

Pengilangan minyak bumi

Gas alam cair

Industri tanpa migas

Listrik, gas, dan air bersih

Bangunan

Perdagangan, hotel, dan restoran

Perdagangan besar dan eceran

Hotel dan restoran

Pengangkutan dan komunikasi

Pengangkutan

Komunikasi

Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan

Bank 1)

Sewa bangunan dan jasa perusahaan

Jasa-jasa

Pemerintahan umum

Swasta

PRODUK DOMESTIK BRUTO

Nonmigas

Migas

Lapangan usahaHarga konstan 1993 Harga berlaku

63.827,8 64.468,0 63.609,5 65.339,1 66.431,5 88.791,8 101.009,4 172.827,6 216.913,6 218.397,6

33.647,0 32.688,4 33.350,4 33.970,4 34.302,3 47.622,1 52.189,4 91.346,0 115.134,9 110.640,6

10.354,9 10.496,6 10.501,8 10.740,6 10.908,8 14.434,6 16.447,3 33.289,6 36.691,7 34.784,5

7.133,3 7.483,1 6.439,7 6.869,2 7.059,5 9.523,8 11.688,2 15.743,6 23.939,4 27.507,3

6.444,1 7.189,8 6.580,7 6.299,0 6.410,8 8.170,5 9.806,5 11.700,5 13.839,7 15.077,7

6.248,5 6.610,1 6.736,9 7.459,9 7.750,1 9.040,8 10.878,0 20.747,9 27.307,9 30.387,5

37.739,4 38.538,2 37.474,0 36.571,8 37.423,2 46.088,1 55.561,9 120.328,5 109.974,2 166.563,1

24.062,8 23.919,8 23.340,1 22.136,8 22.230,1 28.118,3 34.036,7 74.883,7 71.847,2 123.409,8

7.267,6 7.645,6 9.678,0 10.018,1 10.482,0 9.097,8 11.192,4 35.459,9 27.668,6 31.384,9

6.408,9 6.972,8 4.455,9 4.416,9 4.711,1 8.872,0 10.332,8 9.984,9 10.458,2 11.768,4

102.259,7 107.629,7 95.320,6 98.949,4 105.085,1 136.425,9 168.178,0 238.897,1 287.702,7 336.053,2

10.863,9 10.650,3 11.042,2 11.688,1 11.571,9 14.194,3 15.621,9 33.172,4 34.541,7 49.932,2

6.291,5 5.925,5 6.310,0 6.606,6 7.068,7 8.340,1 8.116,1 15.092,2 16.216,5 21.823,8

4.572,4 4.724,8 4.732,3 5.081,5 4.503,2 5.854,2 7.505,8 18.080,2 18.325,2 28.108,4

91.395,8 96.979,4 84.278,4 87.261,3 93.513,2 122.231,6 152.556,1 205.724,7 253.161,0 286.121,0

4.876,8 5.479,9 5.646,1 6.112,9 6.649,5 6.892,6 7.832,4 11.283,1 13.429,0 15.072,4

32.923,7 35.346,4 22.465,3 22.825,5 23.788,7 42.024,8 46.678,8 61.761,6 74.496,4 92.175,9

69.475,0 73.523,8 60.130,7 60.195,1 63.621,2 87.137,2 99.581,9 146.740,1 176.663,7 196.049,5

55.513,5 58.842,3 47.845,9 47.694,2 50.456,7 69.375,4 77.543,3 116.688,5 141.098,4 156.323,8

13.961,5 14.681,6 12.284,8 12.500,9 13.164,5 17.761,9 22.038,6 30.051,6 35.564,9 39.725,7

29.701,1 31.782,5 26.975,1 26.772,1 29.284,0 34.926,3 38.530,9 51.937,2 55.189,6 64.550,1

24.444,6 25.609,1 20.503,8 19.737,6 21.430,5 29.246,4 31.497,6 41.837,2 42.735,7 49.336,7

5.256,5 6.173,4 6.471,3 7.034,5 7.853,5 5.679,9 7.033,3 10.100,0 12.453,9 15.213,4

36.384,2 38.543,0 28.278,7 26.147,8 27.373,4 43.981,9 54.360,3 69.891,7 70.641,9 80.047,2

18.886,9 19.956,0 13.173,0 11.765,0 12.403,1 21.853,6 25.205,2 31.710,2 30.529,1 34.901,1

17.497,3 18.587,0 15.105,7 14.382,8 14.970,3 22.128,3 29.155,1 38.181,5 40.112,8 45.146,1

36.610,2 37.934,5 36.475,0 37.184,0 38.009,6 46.299,4 55.962,0 82.102,5 104.968,7 121.775,3

23.338,4 23.616,5 21.887,5 22.250,6 22.555,1 29.752,9 32.127,9 40.641,0 56.745,0 69.460,2

13.271,7 14.318,0 14.587,5 14.933,4 15.454,5 16.546,5 23.834,1 41.445,8 48.223,7 52.315,1

413.797,9 433.245,9 376.374,9 379.557,7 397.666,3 532.568,1 627.695,6 989.611,6 1.109.979,5 1.290.684,2

378.871,2 398.675,8 341.992,5 345.732,8 363.864,2 490.255,5 578.037,0 881.555,5 1.003.590,7 1.117.342,3

34.926,7 34.570,1 34.382,4 33.824,9 33.802,1 42.312,6 49.658,6 108.056,1 106.388,8 173.342,0

1996 1997 1998 1999* 2000** 1996 1997 1998 1999* 2000**

1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuanganSumber : Badan Pusat Statistik

Page 236: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

227

1. Ekspor barang dan jasa

atas dasar harga berlaku

2. Ekspor barang dan jasa

atas dasar harga konstan

3. Deflator ekspor [(1 : 2) x 100]

4. Impor barang dan jasa

atas dasar harga berlaku

5. Impor barang dan jasa

atas dasar harga konstan

6. Deflator impor [(4 : 5) x 100]

7. Indeks nilai tukar dagang [(3 : 6) x 100]

8. Perubahan indeks

nilai tukar dagang (%)

9. Kapasitas impor riil dari ekspor

(1 : 6) x 100

10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 – 2)

11. Perubahan nilai tukar dagang (%)

12. PDB atas dasar harga konstan 1993

13. Perubahan PDB atas dasar

harga konstan (%)

14. Pendapatan Domestik Bruto

(PnDB) (10 + 12)

15. Pertumbuhan PnDB (%)

Tabel 3Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto

(miliar rupiah)

Rincian 1996 1997 1998 1999* 2000**

137.533,3

112.391,4

122,4

140.812,0

121.862,8

115,5

105,9

2,0

119.025,3

6.633,9

64.2

413.797,9

7,8

–407.164,0

7,2

506.244,8

134.707,2

375,8

413.058,1

132.400,7

312,0

120,5

5,4

162.270,6

27.563,4

59,6

376.374,9

–13,1

–348.811,5

–16,1

174.871,3

121.157,9

144,3

176.599,8

139.796,1

126,3

114,3

7,9

138.427,8

17.269,9

160.3

433.245,9

4,7

–415.976,0

2,2

390.560,1

92.123,6

424,0

301.654,1

78.546,4

384,0

110,4

–8,4

101.696,2

9.572,6

–65,3

379.557,7

0,8

–369.985,1

6,1

497.518,9

106.917,5

465,3

396.207,5

92.822,6

426,8

109,0

–1,2

116.557,6

9.640,1

0,7

397.666,3

4,8

–388.026,2

4,9

1) Data sampai dengan Triwulan III/2000Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)

Page 237: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

228

Tanaman panganBeras 33.217 32.095 32.004 33.063 32.953Jagung 9.307 8.771 10.059 9.204 9.156Ubi kayu 17.002 15.134 14.728 16.459 15.317Ubi jalar 2.018 1.847 1.928 1.666 1.631Kacang tanah 738 688 691 660 710Kacang kedelai 1.517 1.357 1.306 1.383 1.046Kacang hijau 301 262 303 265 269

Tanaman perkebunanKaret 1.574 1.553 1.662 1.715 1.752

Rakyat 1.193 1.175 1.243 1.295 1.324Perkebunan 381 378 419 420 428

Kopra 2.761 2.704 2.778 2.789 2.778Minyak sawit 4.899 5.380 5.640 5.989 6.257Inti sawit 1.085 1.229 1.284 1.370 1.433T e b u 2.094 2.192 1.488 1.489 1.841T e h 169 154 167 162 151

Rakyat 34 33 34 34 29Perkebunan 135 121 133 128 122

K o p i 459 428 515 511 511Rakyat 436 396 470 466 466Perkebunan 23 32 45 45 45

Tembakau 151 210 105 105 105Rakyat 148 206 102 102 102Perkebunan 3 3 2 2 2

Cengkeh 60 59 67 68 68Kakao 374 330 449 461 471

KehutananKayu bulat2) 26.069 29.920 18.728 ... ...

PeternakanDaging 1.632 1.559 1.490 ... ...Telur 780 761 579 ... ...Susu (juta liter) 441 424 434 ... ...

PerikananLaut 3.503 3.482 3.616 ... ...Darat 1.017 1.099 1.145 ... ...

1) Angka prakiraan Triwulanan III/20002) Tahun fiskal dalam ribu meter kubikSumber : – Departemen Pertanian

– Departemen Kehutanan dan Perkebunan

Tabel 4Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian

(ribu ton)

Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)

Page 238: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

229

Produksi (ribu ton)

Padi 2) 51.102 49.377 49.237 50.866 50.696

Jagung (pipilan) 9.307 8.771 10.059 9.204 9.156

Ubi kayu 17.002 15.134 14.728 16.459 15.317

Ubi jalar 2.018 1.847 1.928 1.666 1.631

Kacang tanah 738 688 691 660 710

Kacang kedelai 1.517 1.357 1.306 1.383 1.046

Kacang hijau 301 262 303 265 269

Luas panen (ribu hektar)

Padi 2) 11.570 11.141 11.730 11.963 11.608

Jagung (pipilan) 3.744 3.335 3.834 3.456 3.374

Ubi kayu 1.415 1.243 1.205 1.350 1.261

Ubi jalar 212 195 201 172 171

Kacang tanah 689 628 650 625 673

Kacang kedelai 1.279 1.119 1.091 1.151 860

Kacang hijau 331 294 338 298 302

Produksi rata-rata (kuintal/hektar)

Padi 2) 51,1 44,3 41,9 42,5 43,7

Jagung (pipilan) 24,9 26,1 26,5 26,6 27,1

Ubi kayu 120,2 121,7 122,0 121,9 121,5

Ubi jalar 95,3 94,5 97,0 96,7 95,7

Kacang tanah 10,7 11,0 10,6 10,6 10,5

Kacang kedelai 11,9 12,1 11,9 12,0 12,2

Kacang hijau 9,1 8,9 9,0 8,9 8,9

Tabel 5Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata

Padi serta Palawija

Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)

1) Data sampai dengan September 20002) Gabah kering gilingSumber : Departemen Pertanian

Page 239: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

230

Tabel 6Hasil Beberapa Jenis Produk

Sektor Pertambangan dan Penggalian

Rincian Satuan 1996 1997 1998 1999 20001)

Minyak mentah juta barel 582,7 576,9 568,8 545,7 386,7

Gas bumi miliar kaki kubik 3.164,0 3.165,7 2.978,7 3.063,4 2.138,4

Bijih timah ribu ton 51,0 55,2 54,0 47,8 36,7

Batu bara ribu ton 50.332,0 54.608,4 60.321,0 64.602,1 35.638,4

Tembaga (konsentrat) ribu ton 1.758,9 1.817,9 2.640,0 2.645,2 2.270,5

Nikel

Nikel bijih ribu ton 3.426,9 2.829,9 3.233,4 3.235,3 1.881,8

Fero Nikel (ingot) ribu ton 46,7 48,7 41,5 44,1 34,9

Fero Nikel (kandungan Ni) ribu ton 9,6 10,0 8,5 9,4 7,9

Nikel matte ribu ton 43,5 33,7 35.7 45,9 43,9

Bauksit ribu ton 842,0 808,7 1.055,6 1.116,3 885,0

Pasir Besi ribu ton 425,1 487,4 560,5 562,3 342,1

Emas kilogram 83.564,1 89.978,7 124.018,7 129.032,1 74.290,6

Perak kilogram 255.404,0 279.160,5 348.973,8 292.331,0 114.245,0

Tabel 7Produksi Tenaga Listrik

(juta KWJ) 1)

Tahun PLN Di luar PLN Jumlah

1995/96 59.830 1.281 61.111

1996/97 67.356 1.649 69.005

1997/98 68.975 1.870 70.845

1998 74.585 2.832 77.417

1999 78.350 3.990 82.340

2000 ... ... ...

1) Hanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui PLNSumber : PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)

1) Data sampai dengan September 2000Sumber : Departemen Pertambangan dan Energi

Page 240: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

231

Tabel 8Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi

(dalam rupiah)

Rincian 1996 1997 1998 1999 2000

5.7007.0005.3337.2679.6675.0005.8505.0005.3337.7006.9585.1004.3335.6835.8834.8334.7676.1005.8336.5005.5336.4675.1675.0004.9335.3336.0007.500

5.7825.921

15,43

8.8338.4676.667

10.00014.1675.7676.5335.7776.400

11.4757.6676.1676.4837.1506.3436.0006.133

–7.6009.5006.6677.7676.2006.7676.6677.0006.000

10.500

7.3287.581

26,74

1) Tidak termasuk Batam2) Termasuk Batam3) Perubahan tidak termasuk BatamSumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

D.I. AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauBatamJambiSumatera SelatanBengkuluLampungDKI JakartaJawa BaratJawa TengahD.I. YogyakartaJawa TimurBaliNusa Tenggara BaratNusa Tenggara TimurTimor TimurKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan TimurSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi TenggaraMalukuIrian Jaya

Rata-rata 1)

Rata-rata 2)

Perubahan (%)3)

3.8504.6003.6004.6007.3503.6003.8503.8503.8505.2004.6633.4003.2003.7404.2503.2503.2004.2003.8004.1503.8004.6003.6003.2003.4003.6504.1005.150

3.9394.061

10,38

4.2705.0303.9705.0507.8303.9804.2504.2504.2005.7505.1203.7703.5504.1504.7203.6003.5504.6004.2204.6004.1705.1003.9303.5503.7504.0304.5305.670

4.3474.471

10,35

4.9005.8004.5675.8009.0004.5835.1834.8834.8336.6175.8924.3334.0834.7675.4174.1334.0835.2834.8505.2834.8005.8674.5174.0834.3174.6335.2176.517

5.0095.151

15,24

Page 241: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

232

Sektor 1996 1997 1998 1999 20002)

Tabel 9Rencana Penanaman Modal Dalam Negeriyang Disetujui Pemerintah menurut Sektor

(miliar rupiah)

Pertanian, kehutanan, dan perikanan

Pertanian

Kehutanan

Perikanan

Pertambangan

Industri

Makanan

Tekstil

Kayu

Kertas

Kimia dan farmasi

Mineral bukan logam

Logam dasar

Barang-barang logam

Lain-lain

Konstruksi

Perhotelan

Pengangkutan

Perumahan dan perkantoran

Jasa lainnya

Jumlah

88.020,7

70.944,4

6.608,7

10.467,6

5.974,4

580.991,0

153.704,9

56.017,6

19.342,0

101.120,1

122.656,5

63.561,2

33.437,8

30.024,3

1.126,6

9.569,2

32.676,8

26.151,8

37.540,0

28.715,4

809.639,3

1.711

1.094

301

316

172

6.561

990

1.358

816

423

1.350

436

211

873

104

170

717

1.004

369

387

11.091

Jumlah 1)

1968 s.d. 2000

Nilai Proyek

2.408,3

1.614,8

749,3

44,2

174,0

46.747,5

12.729,9

2.561,5

1.229,0

20.244,1

2.480,9

70,4

6.354,2

1.070,7

6,8

395,1

1.379,9

225,3

995,5

1.226,3

53.551,9

16.072,1

15.284,4

45,6

742,1

460,1

59.217,7

13.748,3

3.365,8

1.128,9

12.763,9

13.392,7

7.964,8

4.460,7

2.375,9

16,7

1.550,0

5.019,3

3.065,0

9.425,7

5.905,3

100.715,2

14.807,7

13.737,5

165,5

904.7

126,3

79.334,3

13.048,6

6.831,3

762,2

11.841,9

22.497,2

11.638,7

8.021,5

4.683,9

9,0

877,0

2.587,9

4.649,4

4.300,5

13.189,8

119.872,9

5.315,1

4.757,9

542,9

14,3

116,3

44.908,0

6.711,8

1.137,6

1.971,9

12.754,1

15.583,2

3.469,0

1.786,3

960,9

533,2

1.992,0

1.150,4

3.260,5

1.547,5

2.459,5

60.749,3

1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1968 s.d. Desember 2000

2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

3.559,4

2.816,0

9,1

734.3

34,1

11.516,8

3.963,9

1.683,4

145,3

1.598,3

2.476,4

553,1

187,7

908,7

...

449,1

29,2

629,5

292,6

985,8

17.496,5

Page 242: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

233

Daerah tingkat I 1996 1997 1998 1999 20002)

Jawa dan MaduraDKI JakartaJawa BaratJawa TengahDI YogyakartaJawa Timur

SumateraDI AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampung

KalimantanKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur

SulawesiSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi Tenggara

Nusa TenggaraNusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur

BaliTimor TimurMalukuIrian JayaJumlah

401.423,971.339,3

221.414,436.884,6

2.053,469.732,2

239.389,29.435,6

15.841,590.401,761.807,628.618,319.123,8

3.013,611.147,1

77.561,520.110,620.243,012.899,424.308,5

39.054,46.062,46.389,2

22.443,04.159,8

5.237,32.821,12.416,2

10.979,23.359,4

7.688,724.945,9

809.639,5

Tabel 10Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(miliar rupiah)

Jumlah 1)

1968 s.d. 2000

Nilai Proyek

7.4191.8413.434

758127

1.259

1.677135356137470

90251

58180

845253145166281

4759174

26842

1317853

3168

13387

11.091

22.126,81.260,5

18.393,9849,6

34,61.588,2

14.746,394,2

1.079,4597,6

9.091,53.001,7

149,3121,4611,2

5.359,5222,6

3.561,4410,5

1.165,0

1.795,851,8

543,9696,2503,9

35,214,920,3

1.002,747,820,0

8.416,053.550,1

63.680,88.553,5

37.423,55.764,2

235,611.704,0

33.561,71.114,13.395,5

522,611.862,4

9.793,55.391,4

630,7851,5

13.935,73.825,91.688,04.300,14.121,7

3.849,9277,8725,5

1.880,0966,6

1.222,5352,5870,0

850,7–

1.060,01.711,6

119.872,9

43.772,314.395,519.213,53.366,9

222,56.573,9

24.033,61.474,82.364,03.066,78.854,8

925,55.024,1

404,71.919,0

18.432,49.316,42.182,92.709,94.223,2

6.272,9326,1

2.636,82.597,5

712,5

244,60,7

243,9

561,3450,0282,6

6.665,5100.715,2

18.871,54.289,78.117,12.574,9

6,03.883,8

10.669,41.297,31.101,5

336,84.925,11.429,4

882,74,0

692,6

11.966,6416,9

9.093,4640,6

1.815,7

13.022,91.132,4

630,711.168,7

91,1

1.288,5638,5650,5

804,62.802,6

44,51.278,7

60.749,3

9.450,01.262,45.673,51.066,8

86,81.360,5

5.175,2889,3326,8482,3

2.333,2832,5

10,0108,0193,1

974,79,1

526,071,3

368,3

1.811,158,011,3

1.574,9166,9

51,450,0

1,4

34,1–––

17.496,5

1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1968 s.d. Desember 2000

2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

Page 243: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

234

Jumlah 1)

1967 s.d. 2000

Nilai Proyek

Tabel 11Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(juta $)

8.063,6

6.686,6

653,1

723,9

9.925,3

146.967,6

7.276,6

7.730,4

2.369,2

24.809,8

68.478, 9

7.068,8

9.786,2

18.801,2

646,5

2.049,0

11.327,4

13.529,6

12.697,6

23.922,4

228.482,5

380,0

240,0

28,0

112,0

207,0

4.376,0

352,0

800,0

391,0

130,0

928,0

166,0

136,0

1.337,0

136,0

376,0

331,0

279,0

221,0

2.278,0

8.448,0

Pertanian, kehutanan, dan perikanan

Pertanian

Kehutanan

Perikanan

Pertambangan

Industri

Makanan

Tekstil

Kayu

Kertas

Kimia dan farmasi

Mineral bukan logam

Logam dasar

Barang-barang logam

Lain-lain

Konstruksi

Perhotelan

Pengangkutan

Perumahan dan perkantoran

Jasa lainnya

Jumlah

Sektor 1996 1997 1998 1999 20002)

1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000

2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

482,4

412,7

69,7

14,2

6.929,2

680,9

240,2

113,2

1.411,8

3.268,2

110,4

501,3

593,0

10,2

153,4

228,6

102,7

171,1

2.800,2

10.881,8

1.521,5

1.306,2

135,5

79,8

1.696,7

16.072,2

691,4

514,6

101,1

2.907,3

7.404,6

789,8

650,9

2.938,6

73,9

296,8

1.716,5

694,6

3.000,3

4.932,8

29.931,4

998,2

965,2

33,0

0,3

8.388,2

342,0

216,9

70,8

40,8

6.178,8

237,1

394,4

890,5

16,9

197,8

451,1

79,0

1.270,9

2.177,6

13.563,1

463,7

436,6

27,1

1,6

23.017,3

572,8

372,6

69,7

5.353,3

12.376,4

1.457,3

357,0

2.331,7

126,5

306,8

462,6

5.900,0

1.397,6

2.282,9

33.832,5

152,2

131,9

5,0

15,3

2,2

5.179,6

190,4

286,8

106,0

71,0

3.176,0

8,2

794,1

544,0

3,1

87,8

29,4

138,1

104,6

393,1

6.087,0

Page 244: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

235

Daerah tingkat I 1996 1997 1998 1999 20002)

Tabel 12Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(juta $)

Jawa dan MaduraDKI JakartaJawa BaratJawa TengahDI YogyakartaJawa Timur

SumateraDI AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampung

KalimantanKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur

SulawesiSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi Tenggara

Nusa TenggaraNusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur

BaliTimor TimurMalukuIrian JayaJumlah

144.536,634.897,164.993,213.837,6

309,930.498,8

49.753,12.549,59.978,01.036,2

24.801,84.407,85.147,4

258,11.574,3

11.513,71.225,6

547,43.279,06.461,7

8.916,01.117,9

172,27.373,8

252,1

3.936,83.774,3

162,5

3.381,745,2

395,56.003,9

228.482,5

6,3452,7542,646

26745

633

1,06144

20352

60719612352

26773554990

17068216021

775918

4412

2857

8.448

Jumlah 1)

1967 s.d. 2000

Nilai Proyek

1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000

Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

2.635,9783,8

1.498,269,710,5

273,7

7.652,651,8

102,7344,9

6.956,942,039,718,496,2

226,8102,0

50,330,344,2

141,824,12,7

12,5102,5

15,013,61,4

193,8–

1,723,2

10.890,8

20.535,06.136,17.973,32.195,7

14,34.215,6

11.163,9771,9

3.514,67,1

6.743,0–

73,2–␣

54,1

1.056,128,26,0

438,7583,2

426,0358,8

5,558,33,5

14,50,6

14,0

114,7–␣

17,8504,4

33.832,5

17.908,44.403,97.760,13.273,7

69,02.401,7

4.297,6525,8614,7

79,31.664,5

9,01.292,3

64,247,8

2.876,6547,1140,2

19,22.170,1

2.552,672,310.0

2.467,52,8

1.385,01.316,2

68,8

380,02,84,9

523,529.931,4

10.840,41.700,15.504,13.066,7

6,0563,5

1.415,76,2

229,6175,8537,1201,9129,3

37,798,1

722,7251,2

0,473,4

397,7

192,7157,4

6,927,80,6

57,234,622,6

308,512,4

4,98,6

13.563,1

5.576,9627,2

1.835,62.989,0

1,2123,9

335,50,6

124,814,0

146,234,56,5

–8,9

54,7–

10,73,1

40,9

42,83,60,3

34,64,3

5,40,45,0

33,1–

0,138,5

6.087,0

Page 245: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

236

Jumlah 1)

1967 s.d. 2000

Nilai ProyekNegara asal 1996 1997 1998 1999 20002)

Tabel 13Rencana Penanaman Modal Asing

yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal(juta $)

Eropa

Belanda

Belgia

Inggris

Jerman

Perancis

Swiss

Lainnya

Amerika

Amerika Serikat

Kanada

Lainnya

Asia

Hong Kong

Jepang

Korea Selatan

Malaysia

Filipina

Singapura

Taiwan

Thailand

Lainnya

Australia

Afrika

Gabungan negara

Jumlah

41.250,8

6.228,8

367,3

21.163,5

8.329,1

1.219,8

1.083,1

2.859,2

11.642,4

10.449,2

156,7

1.036,5

110.509,6

14.594,4

36.586,1

9.490,0

7.035,3

165,2

19.190,2

16.100,7

1.781,8

5.565,9

9.501,0

1.440,1

54.138,6

228.482,5

1.254

267

50

390

192

107

74

174

550

397

109

44

5.103

404

1.179

936

366

26

1.094

809

38

251

456

47

1.038

8.448

1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000

2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal

730,2

48,7

9,8

507,0

87,1

22,7

42,1

12,8

144,2

136,7

3,2

4,3

6.486,1

76,9

644,3

263,0

186,1

4,9

731,1

1.489,3

8,4

3.082,1

2.458,5

65,6

1.006,0

10.890,6

5.233,4

1.329,5

39,5

3.390,6

164,9

70,8

160,1

78,0

754,5

642,1

35,8

76,6

18.371,3

1.105,6

7.655,3

1.231,4

1.393,3

3,1

3.131,0

534,6

1.610,6

1.706,4

515,7

5,7

5.050,8

29.931,4

11.740,2

319,5

16,5

5.473,6

4.467,8

456,6

73,5

932,7

1.112,8

1.017,7

6,2

88,9

15.169,6

251,0

5.421,3

1.409,9

2.289,3

2.298,6

3.419,4

19,1

61,0

187,5

93,5

5.528,9

33.832,5

5.311,0

411,8

11,5

4.745,3

71,0

7,5

35,1

28,8

699,6

568,3

8,1

123,2

4.673,8

549,1

1.330,7

202,4

1.060,2

62,5

1.267,4

165,4

2,8

33,3

85,1

75,2

2.718,4

13.563,1

3.250,2

31,8

0,2

3.091,4

14,7

56,7

34,5

20,9

100,6

92,6

1,8

6,2

2.095,0

103,5

1.274,1

151,1

119,2

6,1

241,8

35,6

2,6

161,0

44,2

115,5

481,5

6.087,0

Page 246: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

237

19942) 156,97 – 178,57 147,53 161,69 – – 163,17 9,241995 179,14 – 188,93 157,42 173,33 – – 177,83 8,641996 189,99 – 198,00 166,76 190,72 – – 189,62 6,471997 227,88 – 210,36 179,96 206,72 – – 211,62 11,051998 77,63

Januari–Maret 166,71 142,23 128,61 161,39 155,88 134,74 119,74 142,15 27,11April–Juni 3) 196,39 167,92 139,17 195,29 171,97 140,84 150,38 163,89 15,29Juli–September 261,00 207,21 155,92 225,22 204,49 162,17 163,18 196,23 19,73Oktober–Desember 263,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23

1999 2,01Januari 281,09 213,80 160,62 232,11 214,07 161,40 164,95 204,54 2,97Februari 287,60 216,87 162,06 234,23 214,12 161,89 164,29 207,12 1,26Maret 281,65 216,34 162,92 234,71 215,80 162,05 169,16 206,75 –0,18April 275,09 215,52 164,04 233,58 216,57 162,04 169,07 205,34 –0,68Mei 271,38 215,20 164,91 231,18 217,60 162,59 170,06 204,76 –0,28Juni 268,25 215,16 165,34 228,32 218,22 163,06 170,23 204,07 –0,34Juli 258,96 214,87 166,06 224,69 219,48 163,87 169,94 201,93 –1,05Agustus 248,54 215,33 165,87 226,56 220,98 166,48 169,68 200,05 –0,93September 239,06 216,26 166,12 229,63 220,00 169,52 169,94 198,68 –0,68Oktober 4) 237,24 216,13 166,45 232,23 220,06 170,17 171,31 198,79 0,06November 240,00 216,51 165,93 228,38 219,97 170,42 171,56 199,00 0,25Desember 249,54 219,20 166,77 233,21 220,37 170,44 172,20 202,45 1,73

2000Januari 256,85 220,00 167,56 237,47 220,87 170,43 173,68 205,12 3,26Februari 256,00 220,17 168,34 239,79 221,85 170,23 173,45 205,27 0,07Maret 250,16 219,97 169,05 240,09 222,43 171,83 174,01 204,34 –0,45April 246,16 225,28 171,03 240,50 224,87 173,50 176,83 205,48 0,56Mei 246,08 225,07 174,18 242,55 225,76 174,91 181,19 207,21 0,84Juni 246,47 227,25 174,87 244,54 226,50 175,41 182,54 208,24 0,50Juli 251,39 229,45 176,06 248,54 229,42 178,51 183,37 210,91 1,28Agustus 246,68 231,43 176,71 247,01 230,43 195,70 184,69 211,99 0,51September 240,76 232,73 177,93 247,12 236,19 198,02 186,65 211,87 –0,06Oktober 241,37 237,42 180,60 248,68 238,16 199,24 191,19 214,33 1,16November 246,97 241,62 182,93 249,95 240,47 199,50 191,78 217,15 1,32Desember 259,59 243,49 183,61 256,98 241,46 200,28 194,00 222,10 1,94

Catatan :1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang & Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)Sumber : Badan Pusat Statistik

Tabel 14Indeks Harga Konsumen Indonesia

Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor PerubahanMakanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks

Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi UmumRokok danTembakau

Page 247: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

238

Pertanian

Pertambangan dan penggalian

Industri

Impor

Ekspor

Migas

Nonmigas

Indeks umum

Tabel 15Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)

1) Angka Tahunan merupakan rata-rata indeks selama satu tahun yang bersangkutan2) Tahun 1996 – 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)

Tahun 1999 – 2000. perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)Sampai dengan bulan Oktober 2000

Sumber : Badan Pusat Statistik

11,95

10,28

3,73

9,34

25,96

10,70

71,35

12,42

399

296

265

243

203

173

306

258

445

318

275

260

238

204

353

282

750

396

455

598

592

474

994

568

410

214

268

289

366

355

370

314

459

236

278

316

461

393

634

353

Perubahan 2000

Kelompok 1996 1997 1998 1999 2000 2) terhadap 1999

(%)

Page 248: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

239

LhokseumaweBanda AcehPadang SidempuanSibolgaPematang SiantarMedanPadangPekanbaruBatamJambiPalembangBengkuluBandar LampungJakartaTasikmalayaSerang/CilegonBandungCirebonPurwokertoSurakartaSemarangTegalYogyakartaJemberKediriMalangSurabayaDenpasarMataramKupangDiliPontianakSampitPalangkarayaBanjarmasinBalikpapanSamarindaManadoPaluMakasarKendariTernateAmbonJayapura

Inflasi Nasional

Tabel 16Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota

(persen)

Kota 1996 1997 1998 1) 1999 2) 2000

Keterangan :

1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok

2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompok

3) Sampai dengan September 1999

Sumber : Badan Pusat Statistik

8,7310,57

3,956,954,675,90

10,9910,34

9,008,408,498,21

10,1810,29

4,577,038,526,52

10,027,898,737,857,32

10,357,05

10,6210,46

9,815,19

10,62–

8,3411,87

8,577,57

10,6711,9111,41

8,119,73

11,2514,51

8,5210,23

9,35

–9,90

–––

13,1010,7211,05

–9,89

13,589,219,70

11,70––

9,95–––

10,88–

12,72–––

9,119,758,667,719,79

12,29–

13,0312,98

–10,9313,669,708,208,42

–7,99

10,35

11,05

–6,66

–––

8,707,324,32

–5,006,145,186,097,25

––

6,54–––

4,37–

3,05–––

6,683,146,335,047,305,75

–3,225,71

–4,053,986,334,565,16

–6,126,78

6,47

79,6679,0185,7285,0180,2383,8187,2075,8652,8972,3189,1884,1085,2274,4273,5565,4372,5962,2380,9366,3867,1967,7377,4684,9577,0893,1695,2175,1190,5062,5872,3678,8575,9474,6574,4375,1068,3174,2495,1880,8697,7972,9875,8261,83

77,63

6,615,57

–0,141,65

–0,541,684,234,35

–0,280,49

–1,010,473,341,771,58

–0,044,294,750,990,461,511,112,513,16

–0,641,490,244,390,59

10,655,86 3)

4,49–4,98–0,131,473,013,697,413,581,641,290,388,263,49

2,01

Page 249: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

240

Tabel 17Neraca Pembayaran Indonesia 1)

(juta $)

Rincian 1997 1998 1999 2000*

A. Neraca Barang dan Jasa1. Barang dagangan ekspor f.o.b.

Barang dagangan impor f.o.b.2. Ongkos pengangkutan dan asuransi

berhubungan dengan impor3. Ongkos pengangkutan lainnya4. Perjalanan luar negeri5. Jasa modal

5.1. Jasa modal dari sektorminyak bumi dan LNG

5.2. Jasa modal dan penanamanmodal langsung dan lainnya

6. Pemerintah, tidak termasuk bagian lain7. Jasa lain-lain

Neraca Barang (1)

Neraca Jasa (2 s.d. 7)

B. Hibah8. Swasta9. Pemerintah

C. Transaksi Berjalan (A + B)

D. Lalu-lintas ModalD.1. Di luar sektor moneter10. Penanaman modal langsung dan lalu

lintas modal jangka panjang lainnya10.1. Penanaman modal langsung10.2. Obligasi

a. Pemerintahb. Swasta

10.3. Lalu lintas modal jangkapanjang lainnya

a. Pemerintahb. Swasta

11. Lalu lintas modal jangka pendek11.1. Pemerintah11.2. Swasta

D.2. Sektor moneter12. Emas moneter13. Special Drawing Rights14. Hubungan dengan IMF15. Valuta asing16. Lain-lain

E. Selisih perhitungan (antara C dan D)

–5.00156.297

–46.223

–5.084–934

4.236–8.946

–2.614

–6.332–244

–4.103

10.074

–15.075

309–␣ –

309

–4.692

6.3432.233

4.4784.677

– –– ––␣ –

–1992.571

–2.770–2.245

0–2.2454.110

219–524273

4.1420

–1.651

7.06862.510

–37.423

–3.050–1.1161.568

–12.144

–3.224

–8.920–110

–3.166

25.087

–18.019

626– –

626

7.694

–9.625–4.638

531–4.056

– –– –– –

4.5873.830

757–5.169

0–5.169–4.987

53206

–190–5.056

0

1.931

4.97851.242

–30.598

–2.719–955

2.000–11.029

–2.033

–8.997–91

–2.872

20.644

–15.666

805– –

804

5.783

–7.863–4.571

139–2.745

– –– ––␣ –

2.8845.352

–2.468–4.710

0–4.710–3.292

–9156

0–3.439

0

2.080

3.58950.371

–31.942

–3.337–852

2.154–9.955

–1.766

–8.189–78

–2.773

18.429

–14.841

508–␣ –

508

4.097

–6.219–3.875

4.354–356

– –– ––␣ –

2.9319.970

–7.039–6.450

0–6.4502)

–2.3446

1320

–2.4820

2.122

1) – Penyajian baku (standard presentation) menurut IMF– Positif berarti defisit dan negatif berarti surplus– Sebelum tahun 1998 menggunakan konsep cadangan devisa resmi– Sejak tahun 2000 menggunakan konsep Internasional Reserves & Foreign Currency Liquidity (IRFCL)

2) Angka dikoreksi

Page 250: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

241

Tabel 18Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Komoditas

(juta $)

Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)

1) Angka proyeksi

Total Ekspor

PertanianKayuGetah karetKopiTehLadaTembakauTapiokaHewan dan hasilnya

– UdangKulitLain-lain

MineralTimahTembagaNikelAluminiumBatu BaraLain-lain

IndustriTekstil & produk tekstil

– Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu

– Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & psw. mekanikLainnya

40.987

4.17986

854465102183108

231.574

88674

710

4.130242

1.441219138

1.665425

32.6786.2913.450

5694.5262.259

2551.369

471.8351.0783.365

1432.645

374279

1.519860

1.8535.670

44.577

5.16664

1.50558315216512423

1.7891.047

56706

4.353277

1.548233280

1.638377

35.0577.6144.1861.0315.7043.482

2041.662

861.7461.1403.264

371.957

406272

2.219787

1.4155.515

38.021

5.16658

1.894598106

998249

1.682994

33566

3.640310

1.397374320

1.058182

29.2155.8693.187

5265.3783.544

3241.017

1061.241

9533.593

181.369

336211

2.049590

1.1084.527

42.951

5.09153

1.006602169195139

211.7791.041

721.056

4.703260

1.792165202

1.669614

33.1577.0343.7692.0894.2452.328

39888

512.0981.3872.813

872.471

415269

1.583935

1.4785.275

47.045

4.23792

899334108229

8411

1.555938

89835

5.174243

2.124412274

1.619502

37.6346.6933.702

5154.2391.936

2851.199

502.0651.1115.746

1383.017

405337

1.5751.0993.2875.874

Page 251: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

242

Tabel 19Volume Ekspor Nonmigas Menurut Komoditas

(ribu ton)

Rincian 1996 1997 1998 1999 2000 1)

Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)

1) Angka proyeksi

Total Ekspor

PertanianKayuGetah karetKopiTehLadaTembakauTapiokaHewan dan hasilnya

UdangKulitLain-lain

MineralTimahTembagaNikelAluminiumBatu BaraLain-lain

IndustriTekstil & produk tekstil

Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu

Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & pesawat mekanikLain-lain

138.260

4.757643

1.498372

983930

410606134

01.061

110.18156

1.6061.952

69029.84276.035

23.322967259124

6.7485.147

921.873

9762.559

902317303

2.427134597199481

834.540

100,0

3,40,51,10,30,10,00,00,30,40,10,00,8

79.70,01,21,40,5

21,655.0

16,90,70,20,14.93,70,11,40,71,90,70,20,21,80,10,40,10,30,13,3

251.845

4.731708

1.483356

963356

244704141

11.050

217.01850

1.9322.2241.081

45.822165.909

30.0961.369

318183

6.9145.087

523.2451.0904.2061.090

356794

3.768167643193720114

5.192

100,0

1,90,30,60,10,00,00,00,10,30,10,00,4

86,20,00,80,90,4

18,265,9

12,00,50,10,12,72,00,01,30,41,70,40,10,31,50,10,30,10,30,02,1

199.771

5.936489

1.584411113

45114211949165

132.007

154.22649

2.9461.4091.076

52.41196.335

39.6091.635

414223

7.3025.157

141.700

9846.8833.391

3813.7365.585

203957173

1.244763

4.435

100,0

3,00,20,80,20,10,00,10,10,50,10,01,0

77,20,01,50,70,5

26,248,2

19,80,80,20,13,72,60,00,90,53,41,70,21,92,80,10,50,10,60,42,2

175.610

5.395679

1.5443621073578

30081916438

1.433

116.80947

2.2612.0081.125

53.89957.469

49.3071.525

333196

6.7914.302

1143.600

9835.3783.191

4377.3839.048

2091.555

1651.045

1667.156

100,0

3,10,40,90,20,10,00,00,20,50,10,00,8

66,50,01,31,10,6

30,732,7

28,10,90,20,13,92,40,12,00,63,11,80,24,25,20,10,90,10,60,14,1

153.916

4.321650

1.392360104

6132

152600133

10958

108.96949

2.8492.0851.375

59.54943.063

40.6371.531

315192

6.3223.795

1243.9121.0785.2131.456

6287.3564.932

211940153

1.090258

5.241

100,0

2,80,40,90,20,10,00,00,10,40,10,00,6

70,80,01,91,40,9

38,728,0

26,41,00,20,14,12,50,12,50,73,40,90,44,83,20,10,60,10,70,23,4

Rincian

Page 252: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

243

Tabel 20Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan

(juta $)

1996 1997 1998 1999 2000 1)

Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)Benua/negara

Afrika

AmerikaAmerika SerikatAmerika LatinKanadaLain-lain

AsiaASEAN

Brunei DarussalamMalaysiaFilipinaSingapuraThailand

Hong KongIndiaIrakJepangKorea SelatanMyanmarPakistanRRCSaudi ArabiaTaiwanLain-lain

Australia & OceaniaEropa

MEEBelandaBelgia dan LuxemburgInggrisItaliaJermanPerancisLain-lain

Bekas Uni SovietEropa Timur Lain-lainLain-lain

Jumlah

1) Angka proyeksi

2,1

18,214,9

1,11,01,3

57,820,3

0,13,21,4

13,52,14,71,80,1

13,92,70,40,43,11,13,06,3

2,119,817,4

3,51,82,61,73,41,33,20,20,71,5

100,0

904

7.8156.383

459409564

24.8318.723

431.358

6085.798

9162.037

78245

5.9641.166

175152

1.320476

1.2882.702

9108.4917.4741.488

7731.120

7291.458

5451.360

67310640

42.951

1.032

7.6796.297

429346607

23.5737.982

261.388

6464.998

9231.400

80763

5.7911.287

101151

1.486428

1.2342.846

1.0587.6456.7441.464

6871.175

6051.217

5061.090

49232621

40.987

2,5

18,715,4

1,00,81,5

57,519,5

0,13,41,6

12,22,33,42,00,2

14,13,10,20,43,61,03,06,9

2,618,716,5

3,61,72,91,53,01,22,70,10,61,5

100,0

1.049

9.5048.055

590405454

26.5019.110

221.747

7935.683

8651.4631.005

877.0921.587

66143

1.746505

1.3812.318

1.0308.9618.3111.776

8551.487

6741.356

6661.496

77205368

47.045

2,2

20,217,1

1,30,91,0

56,319,4

0,03,71,7

12,11,83,12,10,2

15,13,40,10,33,71,12,94,9

2,219,017,7

3,81,83,21,42,91,43,20,20,40,8

100,0

622

7.5856.259

742365219

21.5535.970

291.061

5353.714

6301.568

4481

7.1291.348

80124965505

1.0562.357

5917.6716.7951.555

6201.138

5581.415

541968129224522

38.021

1,6

19,916,5

2,01,00,6

56,715,7

0,12,81,49,81,74,11,20,0

18,73,50,20,32,51,32,86,2

1,620,217,9

4,11,63,01,53,71,42,50,30,61,4

100,0

777

8.2866.701

875397314

25.3507.723

471.343

7344.913

6862.053

59719

7.0151.297

159170

1.387627

1.3302.975

7839.3798.4081.825

8041.263

6361.502

5271.851

120196656

44.576

1,7

18,615,0

2,00,90,7

56,917,3

0,13,01,6

11,01,54,61,30,0

15,72,90,40,43,11,43,06,7

1,821,018,9

4,11,82,81,43,41,24,20,30,41,5

100,0

Page 253: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

244

Tabel 21Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal (FOB)

(juta $)

1996 1997 1998 1999 20001)

Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)

Afrika

AmerikaAmerika SerikatAmerika LatinKanadaLain-lain

AsiaASEAN

Brunei Darussalam

MalaysiaFilipinaSingapuraThailand

Hong KongIndiaIrakJepangKorea SelatanMyanmarPakistanRRCSaudi ArabiaTaiwanLain-lain

Australia & Oceania

EropaMEE

BelandaBelgia dan LuxemburgInggrisItaliaJermanPerancisLain-lain

Bekas Uni SovietEropa Timur Lain-lain 2)

Lain-lain

Jumlah

Benua/negara

1) Angka proyeksi2) Terdiri dari Ceko, Slovakia, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, dan bekas Yugoslavia

0,9

17,810,72,11,83,2

50,07,40,01,40,23,32,50,51,90,0

18,55,00,10,32,90,53,59,4

5,3

25,917,2

1,10,82,42,76,62,21,40,70,37,8

100,0

372

7.1034.280

818724

1.281

19.9412.940

2562

781.319

979215752

17.3752.009

33110

1.137217

1.4063.745

2.112

10.3426.846

434331960

1.0762.624

859562272129129

39.870

1,0

17,811,5

1,81,33,1

49,48,40,01,50,34,32,30,61,50,0

18,14,8

00,12,80,33,39,4

5,3

26,518,5

1,10,72,62,25,84,71,40,80,36,9

100,0

422

7.3744.765

733609

1.267

20.4953.494

4619108

1.788974269630

37.5171.973

1942

1.167115

1.3603.907

2.181

10.9747.686

474292

1.082931

2.4101.929

570312124

2.853

41.447

362

5.2853.150

420422

1.294

14.3542.396

2344

711.195

785236256

34.2021.228

10128887105882

4.022

1.614

7.4724.938

316232779476

2.399513224151

682.316

29.087

1,2

18,210,81,41,54,4

49,38,20,01,20,24,12,70,80,90,0

14,44,20,00,43,00,43,0

13,8

5,5

25,717,0

1,10,82,71,68,21,80,80,50,28,0

100,0

1,7

18,79,51,91,45,9

51,910,2

0,01,60,25,43,10,80,90,09,54,00,10,43,90,52,6

19,0

7,6

20,211,4

1,20,51,90,94,61,21,00,40,28,3

100,0

449

4.9732.541

507360

1.566

13.8102.730

1424

481.433

824212231

02.5411.064

1798

1.039120695

5.062

2.021

5.3783.027

314143500232

1.232328277102

442.204

26.632

1,4

16,712,02,12,20,4

56,313,9

0,02,40,47,43,81,31,70,0

18,56,50,10,26,40,94,71,9

6,8

18,814,2

1,61,12,41,24,51,91,40,90,23,6

100,0

452

5.3633.847

661719135

18.0614.474

2766133

2.3661.207

433551

15.9282.102

2461

2.069297

1.507614

2.175

6.0494.553

525365784394

1.446597441282

581.155

32.099

Page 254: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

245

Tabel 22Ekspor Migas 1)

Negara 1996 1997 1998 1999 2000

Nilai Ekspor 2)

Minyak Bumi 3) 7.222 6.771 4.141 5.680 8.631

Gas

– LNG 4.400 4.432 3.046 4.207 6.426

_ LPG 545 518 233 369 409

Total 12.167 11.721 7.420 10.256 15.466

Volume Ekspor

Minyak Bumi (juta barrel) 362 362 340 336 307

Gas

– LNG (juta MBTU)4) 1.357 1.387 1.384 1.511 1.406

– LPG (juta MT)5) 2.672 2.233 1.620 1.865 1.362

1) Nilai f.o.b. sistem klasifikasi barang berubah menjadi HS (Harmonized Commodity Description and Coding System) sehingga beberapabarang ekspor mengalami pergeseran dalam pengelompokannya

2) Juta $3) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak4) MBTU : Mille British Thermal Unit5) MT : Metric Tonnes

Page 255: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

246

M1 1) Uang kuasi 2) M2 3)

Akhir periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)

(%) (%) Tahunan Triwulanan

Tabel 23Uang Beredar

(miliar rupiah)

1996 64.089 22,2 224.543 77,8 288.632 29,6 11,0

1996/97 63.565 21,6 231.016 78,4 294.581 26,7 2,1

1997 78.343 22,0 277.300 78,0 355.643 23,2 8,1

1997/98 98.270 21,8 351.554 78,2 449.824 52,7 26,5

1998r 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62.3 4,9

1998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5

1999

Maret 4) 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5

Juni 105.964 17,2 509.447 82,8 615.411 8,8 2,0

September 118.124 18,1 534.165 81,9 652.289 18,5 6,0

Desember 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 –0,9

2000

Januari 122.417 18,8 528.180 81,2 650.597 9,1

Februari 122.160 18,7 531.174 81,3 653.334 8,4

Maret 124.663 19,0 531.788 81,0 656.451 8,8 1,6

April 127.367 19,1 538.284 80,9 665.651 8,6

Mei 130.225 19,1 553.252 80,9 683.477 8,8

Juni 133.832 19,6 550.503 80,4 684.335 11,2 4,2

Juli 135.739 19,7 554.196 80,3 689.935 10,0

Agustus 136.530 19,9 549.072 80,1 685.602 7,7

September 135.431 19,7 551.024 80,3 686.455 5,2 0,3

Oktober 138.885 19,6 568.562 80,4 707.447 12,5

November 141.204 19,6 579.058 80,4 720.262 12,7

Desember 162.185 21,7 584.842 78,3 747.027 15,6 8,8

1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing, serta giro valuta asing milik penduduk3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan ( 7 bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)

Page 256: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

247

Uang Beredar :

M2

M1

Kartal

Giral

Kuasi 1)

Faktor-faktor yang mempengaruhi :

Aktiva luar negeri bersih

Tagihan kepada pemerintah bersih

Tagihan bersih pada BPPN

Tagihan kepada sektor swasta

Tagihan kepada lembaga/

perusahaan pemerintah

Tagihan kepada perusahaan

swasta dan perorangan

Aktiva lainnya bersih

1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk

Tabel 24Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

(miliar rupiah)

2000Rincian 1996 1997 1998r 1999r 2000

I II III IV

10.246

30

–7.156

7.186

10.216

8.846

61.903

0

1.591

–3.192

4.784

–62.094

27.884

9.169

4.634

4.535

18.715

43.961

38.509

0

14.973

3.541

11.431

–69.559

2.120

1.599

1.013

586

521

–4.247

23.893

0

89

–257

346

–17.615

60.572

26.754

15.526

11.228

33.818

33.076

–1.245

0

25.694

–4.598

30.291

3.047

67.011

14.254

5.755

8.317

52.757

17.344

–16.486

0

137.062

5.031

132.031

–70.909

65.994

11.412

1.680

9.732

54.582

18.015

–2.757

0

56.394

4.626

51.768

–5.658

221.738

22.854

12.970

9.884

198.884

73.692

17.513

29.693

99.421

6.389

93.032

31.112

68.824

23.436

16.959

6.477

45.388

–12.580

425.287

–29.693

–299.689

–8.139

–291.550

–44.194

100.822

37.552

14.017

23.535

63.270

81.636

123.060

0

42.347

–4.506

46.852

–146.221

Page 257: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

248

Bank Persero

1 bulan 14,40 5,67 19,74 7,31 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05

3 bulan 14,58 6,32 19,88 7,41 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33

6 bulan 16,14 6,76 15,66 7,49 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42

12 bulan 16,05 7,23 15,19 7,81 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48

24 bulan 14,50 7,79 15,32 7,23 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32

Bank Swasta Nasional

1 bulan 16,96 6,86 27,68 8,77 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05

3 bulan 17,56 6,85 27,76 8,40 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20

6 bulan 17,42 7,73 19,17 7,81 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16

12 bulan 17,26 8,01 17,43 7,99 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50

24 bulan 17,26 6,88 16,79 7,76 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22

Bank Pemerintah Daerah

1 bulan 14,93 6,73 21,10 6,23 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39

3 bulan 15,64 6,73 20,62 6,76 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92

6 bulan 15,01 7,48 14,16 7,15 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94

12 bulan 16,27 7,36 16,65 7,20 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43

24 bulan 15,24 – 14,58 – 14,03 – 13,73 – 13,44

Bank Asing & Campuran

1 bulan 13,53 4,95 17,70 5,19 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73

3 bulan 13,77 5,14 18,03 5,99 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21

6 bulan 15,60 5,05 13,99 5,71 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13

12 bulan 15,95 5,36 13,64 5,92 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51

24 bulan 16,58 7,03 15,48 3,57 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00

Bank Umum

1 bulan 16,43 6,50 25,39 7,97 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96

3 bulan 17,03 6,67 23,92 7,77 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24

6 bulan 16,78 7,17 16,96 7,53 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31

12 bulan 16,70 7,50 15,92 7,73 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17

24 bulan 15,14 7,17 15,46 6,47 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32

Tabel 25Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)

(persen per tahun)

Jangka waktuRupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas

Desember 1996 Desember 1997 Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

6,37

6,59

6,17

6,24

10,23

6,07

6,43

6,23

11,39

8,14

4,97

4,56

5,13

5,05

4,61

4,81

4,12

5,09

6,05

5,94

6,11

5,72

7,86

9,47

Page 258: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

249

1996 Januari – Desember 477.564 13,961997 Januari – Desember 784.368 26,981998 Januari – Desember 2.104.924 64,08

1996 Januari–Maret 62.559 12,83April–Juni 123.832 14,61Juli–September 148.358 14,75Oktober–Desember 142.815 13,63

1997 Januari–Maret 138.121 12,08April–Juni 157.529 13,45Juli-September 210.670 42,70Oktober-Desember 278.048 39,68

1998 Januari-Maret 526.347 57,36April–Juni 500.713 66,38Juli–September 625.331 74.13Oktober–Desember 452.533 54,68

1999Januari-Maret 173.045 39,57April- Juni 160.470 29,70Juli-September 127.906 13,44Oktober-Desember 133.941 12,43

20001)

Januari 1.314 9,19Februari 1.978 9,56Maret 1.843 9,75Januari–Maret 1.712 9,50April 1.665 9,64Mei 1.957 9,83Juni 2.099 10,63April–Juni 1.907 10,03Juli 1.879 10,90Agustus 2.626 10,90September 2.953 10,88Juli–September 2.486 10,89Oktober 2.991 10,87November 2.502 11,22Desember 2.936 12,20Oktober–Desember 2.810 11,43

Tabel 26Pasar Uang Antarbank di Jakarta

Nilai transaksi Suku bunga rata-rata tertimbang

(miliar rupiah) (persen per tahun)Akhir periode

1) Angka rata-rata harian

Page 259: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

250

Tabel 27Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)

(persen per tahun)

1997 1998 1999 2000

Maret Maret Desember Desember Maret Juni September Desember

Bank Persero1 bulan 9,14 18,05 43,95 37,96 10,59 10,23 11,48 12,04

3 bulan 14,98 23,71 55,30 36,94 11,81 10,67 11,86 12,95

6 bulan 13,69 23,42 32,18 28,13 11,56 11,51 11,55 11,62

12 bulan 15,59 14,21 23,86 23,60 15,36 13,93 11,68 11,66

24 bulan 13,79 14,01 12,90 14,22 – – – 11,50

Bank Swasta Nasional1 bulan 16,08 29,41 44,26 38,77 11,34 11,20 12,29 12,59

3 bulan 16,43 30,29 48,62 39,53 11,36 11,09 11,51 11,81

6 bulan 16,35 22,11 38,35 32,62 10,28 11,74 12,13 13,24

12 bulan 15,74 15,63 49,89 52,40 16,02 10,44 10,40 12,12

24 bulan 17,52 17,47 15,93 30,00 – – – –

Bank Pemerintah Daerah1 bulan 13,97 22,49 40,49 31,90 11,52 10,33 12,32 11,26

3 bulan 16,98 20,85 52,57 35,48 12,62 12,10 13,40 13,88

6 bulan 14,85 15,71 22,00 26,26 12,00 12,00 12,00 12,00

12 bulan 18,09 18,04 21,20 25,21 12,50 12,10 12,08 13,81

24 bulan – 13,86 14,50 14,50 – – – –

Bank Asing & Campuran1 bulan 14,00 13,02 58,46 48,41 – – 9,07 9,43

3 bulan 12,00 20,41 39,91 34,00 9,54 10,25 9,26 9,70

6 bulan 13,23 19,08 – 35,50 – – 7,98 8,28

12 bulan 12,85 – – – 12,00 12,00 7,98 7,90

24 bulan – – – – – – – –

Seluruh Bank1 bulan 14,72 28,80 45,94 39,57 11,31 11,15 12,13 12,47

3 bulan 16,34 27,56 49,99 38,68 11,31 11,07 11,49 11,83

6 bulan 15,81 22,40 35,50 30,89 10,87 11,68 11,91 12,00

12 bulan 15,68 15,58 41,51 28,77 14,41 12,41 10,97 12,11

24 bulan 15,29 16,95 14,56 14,53 – – – 11,50

Jangka waktu

1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode

Page 260: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

251

Tabel 28Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)

(miliar rupiah)

Periode Penerbitan Pelunasan Posisi 1)

Januari–Desember 1996 157.948 151.250 18.553

Januari–Desember 1997 176.452 187.969 7.034

Januari–Desember 1998 735.844 700.182 42.765

Januari–Desember 1999 711.542 691.408 62.899

2000Januari 70.066 51.049 82.066Februari 73.289 66.655 88.700Maret 94.621 95.451 87.870April 81.000 79.490 94.380Mei 78.024 78.524 93.880Juni 79.525 94.278 79.127Juli 69.324 68.080 80.371Agustus 99.654 96.515 83.510September 65.213 70.847 77.875Oktober 85.422 83.720 79.578November 95.524 97.660 77.442Desember 37.282 54.943 59.781

Keterangan :Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1988 Penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)1) Posisi akhir bulan.

Page 261: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

252

Tabel 29Tingkat Diskonto SBI 1)

(persen per tahun)

Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari

1996Maret 12,86 13,16 13,98 – – –Juni 12,75 13,13 13,75 – – –September 12,75 13,00 13,75 – – –Desember 11,72 11,94 12,88 13,75 13,90 14,17

1997Maret 7,61 8,70 11,07 11,88 – –Juni 7,29 8,50 10,50 11,25 12,0 12,50September 18,35 20,06 22,00 – – –Desember 16,00 18,00 20,00 – – –

1998Maret 29,24 – 27,75 – – –Juni – 52,81 58,00 – – –September – – 68,76 – – –Desember – – 38,44 39,00 – –

1999Maret – – 37,84 38,00 – –Juni – – 22,05 23,75 – –September – – 13,02 13,25 – –Desember – – 12,51 12,75 – –

2000Januari – – 11,48 11,50 – –Februari – – 11,13 11,13 – –Maret – – 11,03 11,00 – –April – – 11,00 11,00 – –Mei – – 11,08 11,00 – –Juni – – 11,74 11,09 – –Juli – – 13,53 13,04 – –Agustus – – 13,53 13,29 – –September – – 13,62 13,32 – –Oktober – – 13,74 13,56 – –November – – 14,15 13,83 – –Desember – – 14,53 14,31 – –

1) Rata-rata tertimbang

Page 262: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

253

Tabel 30Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara

Bank Indonesia dan Bank-bank(miliar rupiah)

Periode Pembelian Pelunasan Posisi

1996Januari–Maret 21.364 22.988 2.580April–Juni 54.044 55.407 1.218Juli–September 20.511 20.390 1.339Oktober–Desember 25.605 26.773 171

1997Januari–Maret 15.954 13.455 2.670April–Juni 18.937 19.480 2.126Juli–September 50.131 52.237 21Oktober–Desember 94.934 91.499 3.455

1998Januari–Maret 257.109 256.474 4.090April–Juni 42.929 46.873 146Juli–September 24.136 24.057 227Oktober–Desember 1.342 550 1.018

1999Januari–Maret 1.018 1.018 1.018April–Juni 0 0 1.018Juli–September 0 0 1.018Oktober–Desember 644 1.662 0

2000Januari 0 0 0Februari 0 0 0Maret 0 0 0April 0 0 0Mei 0 0 0Juni 0 0 0Juli 0 0 0Agustus 0 0 0September 0 0 0Oktober 0 0 0November 0 0 0Desember 0 0 0

Page 263: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

254

296.727

59.738

45.945

13.793

236.989

96.287

20.837

75.450

48.853

9.975

17.100

397

5.642

1.638

57.097

296.727

6.500

27.000

Penerimaan migas dan nonmigas

Penerimaan minyak bumi dan

gas alam

Minyak bumi 3)

Gas alam 4)

Penerimaan nonmigas

Pajak Penghasilan

a. Migas

b. Nonmigas

Pajak Pertambahan Nilai Barang

dan Jasa dan Pajak Penjualan

atas Barang Mewah

Bea masuk

Cukai

Pajak ekspor

Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak lainnya

Penerimaan bukan pajak & LBM 5)

Penerimaan Lainnya Bersih 6)

Jumlah Penerimaan Dalam Negeri

Hibah

Catatan :

Privatisasi

Asset recovery

87.630

20.137

14.783

5.354

67.493

27.062

20.351

2.579

4.263

81

2.413

591

10.153

87.630

205.043

58.482

38.024

20.458

146.561

59.683

33.087

4.177

10.381

848

4.071

568

33.746

205.043

51

3.727

12.886

112.276

30.559

22.264

8.295

81.717

34.388

25.199

2.999

5.101

129

2.641

478

10.782

112.276

158.042

41.368

25.957

15.411

116.674

55.944

27.803

2.306

7.733

4.630

3.565

413

14.280

158.042

62

1.634

178.297

33.320

25.311

7.918

145.067

54.225

10.036

44.189

27.002

4.976

10.272

923

2.901

1.139

43.630

178.297

6.500

18.900

212.835

59.618

44.892

14.726

153.216

57.615

17.471

40.144

31.525

6.116

10.632

338

3.824

1.014

42.152

212.834

18.900

p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)*) Realisasi sampai dengan 31 Maret 20001) APBN (April – Desember 2000)2) APBN-p3) Sebelum TA 2000 termasuk PPh minyak bumi4) Sebelum TA 2000 termasuk PPh gas alam5) Termasuk privatisasi dan asset recovery6) Selisih yang belum diperhitungkan

Sumber : Departemen Keuangan

Tabel 31Penerimaan Pemerintah

(miliar rupiah)

2000Rincian 1996/97p 1997/98p 1998/99p 1999/00* 2001

APBN1) Realisasi 2) APBN

Page 264: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

255

Pengeluaran operasionalBelanja pegawai

Gaji dan pensiunTunjangan berasBiaya makan/lauk paukLain-lain belanja pegawai dalam negeriBelanja pegawai luar negeri

Belanja barangBelanja barang dalam negeriBelanja barang luar negeri

Subsidi daerah otonom3)

Belanja pegawaiBelanja non-pegawai

BungaUtang dalam negeri 4)

Utang luar negeriSubsidi

Subsidi BBMSubsidi non BBM5)

Lain-lain termasuk Departemen Hankam

Pengeluaran investasiDepartemen/lembagaPembiayaan bagi daerah

Inpres pembangunan DesaInpres pembangunan Dati IIInpres pembangunan Dati IInpres daerah dengan dana PBBInpres sekolah dasarInpres kesehatanInpres program makanan tambahan anak sekolahInpres desa tertinggalProgram JPS 7)

Dana JPS dan pemberdayaan masyarakat 8)

Dana JPS dan penanggulangan kemiskinan 9)

Lain-lain pembangunan 10 )

Cadangan anggaran pembangunanBantuan proyek

J u m l a h

Tabel 32Pengeluaran Pemerintah

(miliar rupiah)

2000Rincian 1996/97p 1997/98p 1998/99p 1999/00* 2001

APBN1) Realisasi 2) APBN 11)

47.45514.45513.004

768101479103

8.1097.825

2849.3588.874

4846.610

–6.6101.6021.416

1867.321

34.76711.1608.869

4582.9411.3942.396

592564

–524

–––

2.838–

11.900

82.222

72.55317.26913.698

7881.174

671938

8.9998.242

75711.06110.520

54110.818

–10.81821.121

9.81411.307

3.285

36.75011.160

9.864467

3.4401.6082.352

658592

263484

–––

1.340–

14.386

109.303

118.44423.21618.657

1.2451.5471.073

6959.8628.888

97413.07412.408

66632.864

8.38524.48035.78628.607

7.1793.642

54.22512.15013.575

4743.8281.7323.703

591814

409218

1.807––

2.318–

26.181

172.669

168.86132.10626.427

1.8822.1161.040

6409.9719.791

18017.34116.568

77342.84622.23120.61560.76840.92319.845

5.829

51.31611.26212.661

8074.1862.3823.608

––

–––

1.679–

4.161–

23.232

220.177

182.39129.99024.868

1.5281.7401.047

8069.0478.339

70817.59316.588

1.00553.32937.77018.55959.72651.135

8.59012.706

41.5167.007

16.301670

6.6023.2993.542

––

––––

2.1881.608

–16.600

223.907

156.14230.68225.761

1.5271.5851.014

7959.4418.676

76518.11417.363

75154.62337.99816.62530.82822.462

8.36612.454 6)

40.8887.494

15.409670

6.0403.2813.593

––

––––

2.8251.956

–16.030

197.030

190.91839.96933.658

1.5862.1141.3711.2409.6898.735

954– 12)

––

76.55053.46023.09053.95241.30412.64810.759 13)

43.16216.368

– 12)

––––––

–––––

4.530–

22.265

234.080

p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)*) Realisasi sampai dengan 31 Maret 20001) APBN (April – Desember 2000)2) APBN-p3) Berubah menjadi Dana Rutin Daerah sejak TA. 1999/20004) Utang dalam negeri untuk pembayaran bunga program restrukturisasi perbankan5) Termasuk subsidi pupuk, subsidi pangan, subsidi bunga kredit program, dan subsidi lainnya6) Termasuk cadangan untuk bunga obligasi program restrukturisasi perbankan Rp4.366,5 miliar dan dana reboisasi Rp4.744,8 miliar7) Berlaku sejak TA. 1998/998) Berlaku sejak TA 1999/20009) Berlaku sejak TA 2000

10) Termasuk PMP11) APBN12) Sejak TA 2001 menjadi bagian dari dana perimbangan13) Termasuk dana kontinjensi desentralisasi Rp6.092,3 miliar

Sumber : Departemen Keuangan (diolah)

Page 265: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

256

Tabel 33Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)

(miliar rupiah)

G i r o Deposito

Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-rupiah valas jumlah rupiah2) valas jumlah

1996

1996/97

1997

1997/98

1998

1999

Maret

Juni

September

Desember

2000

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

44.817 12.675 57.492 119.165 43.496 162.661 61.565 281.718

42.628 14.375 57.003 119.283 44.374 163.657 66.321 286.981

53.103 30.125 83.228 125.743 80.652 206.395 67.990 357.613

64.074 44.629 108.703 177.954 94.106 272.060 72.173 452.936

58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.524

60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.499

63.056 38.835 101.891 325.746 91.950 417.696 89.088 608.675

71.250 52.357 123.607 301.469 104.389 405.858 117.802 647.267

68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.618

72.629 46.213 118.842 301.020 88.050 389.070 129.857 637.769

73.573 45.781 119.354 304.216 86.802 391.018 132.705 643.074

75.847 46.078 121.925 301.087 86.670 387.757 135.801 645.483

75.277 48.796 124.073 302.905 87.210 390.115 138.434 652.622

76.604 54.777 131.381 301.908 91.187 393.095 143.374 667.850

84.262 49.805 134.067 289.385 87.737 377.122 146.662 657.851

87.511 54.114 141.625 283.019 88.528 371.547 149.162 662.334

90.820 51.428 142.248 286.510 81.223 367.733 148.066 658.047

94.576 56.820 151.396 286.843 83.942 370.785 148.665 670.846

100.953 58.996 159.949 293.163 90.004 383.167 149.618 692.735

102.182 69.959 172.141 296.284 93.150 389.435 152.937 714.513

104.538 70.970 175.508 296.884 93.658 390.542 154.329 720.379

Tabungan JumlahAkhir periode

1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito

Page 266: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

257

Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h

Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah

15.536 2.836 18.372 21.620 5.601 27.221 4.375 2 4.377 3.286 4.236 7.522 44.817 12.675 57.49214.111 3.024 17.135 21.873 6.764 28.637 3.287 2 3.289 3.357 4.585 7.942 42.628 14.375 57.00317.492 7.125 24.617 24.301 12.693 36.994 4.014 7 4.021 7.296 10.300 17.596 53.103 30.125 83.22820.595 9.638 30.233 28.663 14.812 43.475 2.738 12 2.750 12.078 20.167 32.245 64.074 44.629 108.70324.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418

28,271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.24626.620 9.506 36.126 23.785 12.804 36.589 5.471 12 5.483 7.180 16.513 23.693 63.056 38.835 101.89129.295 12.616 41.911 27.438 18.402 45.840 6.262 12 6.274 8.255 21.327 29.582 71.250 52.537 123.60725.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566

25.713 11.898 37.611 29.539 15.066 44.605 7.297 23 7.320 10.080 19.226 29.306 72.629 46.213 118.84226.112 11.823 37.935 30.230 14.690 44.920 6.882 14 6.896 10.349 19.254 29.603 73.573 45.781 119.35428.859 12.539 41.398 32.432 14.695 47.127 5.412 16 5.428 9.144 18.828 27.972 75.847 46.078 121.92526.375 12.625 39.000 32.443 15.040 47.483 6.895 20 6.915 9.564 21.111 30.675 75.277 48.796 124.07326.178 15.544 41.722 33.205 16.303 49.508 7.083 16 7.099 10.138 22.914 33.052 76.604 54.777 131.38133.858 9.696 43.554 33.056 16.768 49.824 8.123 20 8.143 9.225 23.321 32.546 84.262 49.805 134.06736.469 11.904 48.373 32.986 17.713 50.699 8.707 21 8.728 9.349 24.476 33.825 87.511 54.114 141.62539.521 11.900 51.421 32.696 16.539 49.235 9.691 18 9.709 8.912 22.971 31.883 90.820 51.428 142.24840.390 14.888 55.278 33.638 17.963 51.601 10.277 23 10.300 10.270 23.946 34.216 94.576 56.820 151.39643.226 15.545 58.771 35.408 18.284 53.692 11.050 22 11.072 11.269 25.144 36.413 100.953 58.996 159.94942.838 26.121 68.959 36.062 18.430 54.492 11.211 24 11.235 12.071 25.384 37.455 102.182 69.959 172.14149.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.824 10.404 27.695 38.099 104.538 70.970 175.508

Tabel 34Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Kelompok Bank(miliar rupiah)

19961996/9719971997/981998

1999MaretJuniSeptemberDesember

2000JanuariFebruariMaretAprilMeiJuniJuliAgustusSeptemberOktoberNovemberDesember

Akhir periode

Page 267: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

258

Tabel 35Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum

menurut Jangka Waktu(miliar rupiah)

1996

1996/97

1997

1997/98

1998

1998/99

Maret

Juni

September

Desember

2000

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah

1.214 25.255 40.598 32.932 50.511 12.151 162.661

1.334 27.711 42.190 33.251 47.441 11.730 163.657

359 25.377 28.664 34.637 88.987 28.371 206.395

2.140 28.937 27.841 30.101 138.596 44.445 272.060

610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798

502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799

430 18.990 22.291 49.632 284.152 42.202 417.696

501 20.056 35.305 41.479 268.885 39.632 405.858

436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071

644 13.455 32.869 47.022 249.597 45.483 389.070

652 13.410 33.231 48.547 247.841 47.337 391.018

628 12.992 45.123 55.711 231.854 41.449 387.757

532 9.850 47.031 55.345 232.913 44.444 390.115

560 10.329 44.221 54.553 234.721 48.711 393.095

666 9.217 42.666 52.589 230.451 41.534 377.123

460 8.660 42.920 53.262 218.558 47.687 371.547

4.855 7.827 41.767 57.392 212.207 43.685 367.733

6.836 7.719 35.941 59.614 204.986 55.689 370.785

11.160 7.848 30.485 65.770 208.769 59.135 383.167

12.932 7.231 26.163 66.026 217.825 59.258 389.435

14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542

1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu

Page 268: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

259

Tabel 36Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum

menurut Golongan Pemilik(miliar rupiah)

Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah

pemerintah sosial

Akhir periodeJumlah

Bukan

penduduk

P e n d u d u k

1996

1996/97

1997

1997/98

1998

1999

Maret

Juni

September

Desember

2000

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

3.990 2.134 4.933 6.131 26.792 10.684 341 46.617 17.359 118.981 184 119.165

4.079 1.991 5.480 5.836 26.117 10.923 322 47.668 16.581 118.997 286 119.283

5.363 1.786 6.323 6.540 26.512 12.784 282 56.856 9.031 125.477 266 125.743

6.124 1.882 6.845 11.470 35.877 13.344 420 94.053 7.500 177.515 439 177.954

8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016

8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022

9.600 4.578 8.936 18.483 52.347 21.128 832 197.883 11.223 325.010 736 325.746

10.344 4.208 10.975 17.524 51.329 22.709 774 172.889 10.078 300.830 639 301.469

11.268 4.713 11.916 20.463 46.882 20.187 952 173.786 10.167 300.334 1.097 301.431

11.519 5.608 9.905 21.904 46.580 20.014 715 173.063 10.756 300.064 956 301.020

12.702 4.986 11.646 24.790 48.669 19.798 692 169.654 10.649 303.586 630 304.216

12.455 3.863 10.844 22.616 48.714 22.328 619 169.245 9.600 300.284 803 301.087

12.567 4.577 11.409 25.230 48.582 21.996 777 166.587 10.352 302.077 828 302.905

12.056 3.898 12.846 25.769 49.049 19.844 815 166.334 10.462 301.073 835 301.908

7.595 4.023 12.012 23.603 48.048 19.434 604 162.654 10.599 288.572 813 289.385

4.816 3.482 12.966 22.661 45.995 18.847 575 161.637 11.277 282.256 763 283.019

4.311 4.544 13.975 22.232 47.466 18.929 606 162.648 10.393 285.104 1.406 286.510

4.206 4.846 24.420 19.843 41.948 21.207 1.041 162.539 4.579 284.628 2.215 286.843

4.602 6.832 25.549 19.323 41.950 21.291 1.711 163.952 6.583 291.792 1.371 293.163

4.112 6.536 25.221 18.462 42.453 22.255 1.143 167.666 6.523 294.372 1.912 296.284

4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.273 295.225 1.659 296.884

Page 269: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

260

Tabel 37Sertifikat Deposito

(miliar rupiah)

Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah

1996 4.320 11.061 15.381

1996/97 3.205 11.113 14.318

1997 777 5.894 6.671

1997/98 493 3.409 3.902

1998 1.792 5.004 6.796

1999

Maret 829 2.825 3.654

Juni 1.054 2.696 3.750

September 801 1.751 2.552

Desember 491 2.156 2.647

2000

Januari 460 1.977 2.437

Februari 288 2.352 2.640

Maret 279 2.715 2.994

April 270 2.954 3.224

Mei 261 2.931 3.192

Juni 245 3.017 3.262

Juli 259 2.912 3.171

Agustus 306 3.352 3.658

September 360 3.434 3.794

Oktober 405 3.158 3.563

November 456 3.218 3.674

Desember 410 3.215 3.625

Page 270: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

261

1996 38.044 55.858 216 131 15.324 5.577 53.584 61.5661996/97 38.767 60.521 238 140 15.522 5.661 54.527 66.3221997 42.872 62.765 274 173 17.295 5.052 60.441 67.9901997/98 43.232 66.653 271 220 19.102 5.300 62.605 72.1731998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.308

1999Maret 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.453Juni 46.853 82.306 139 1.378 18.231 5.404 65.223 89.088September 107.916 110.184 141 972 18.242 6.646 126.299 117.802Desember 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.981

2000Januari 49.602 122.521 161 850 17.593 6.486 67.356 129.857Februari 64.047 125.370 166 824 17.451 6.511 81.664 132.705Maret 47.607 127.821 196 1532 17.755 6.448 65.558 135.801April 48.700 130.969 195 756 17.173 6.709 66.068 138.434Mei 48.906 135.857 185 716 17.270 6.801 66.361 143.374Juni 49.442 138.732 191 1065 16.825 6.865 66.458 146.662Juli 49.233 141.221 198 869 16.957 7.072 66.388 149.162Agustus 51.020 140.638 198 702 16.195 6.726 67.413 148.066September 80.913 146.300 302 1290 748 1.075 81.963 148.665Oktober 64.791 147.746 230 929 975 944 65.996 149.619November 65.392 151.111 429 741 1.315 1.086 67.136 152.938Desember 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328

Tabel 38Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum

Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)

Tabungan yangpenarikannya dapat

dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode

Page 271: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

262

Tabel 39Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank 1)

(persen)

Bank Bank Bank Bank Asing & Bank Umum

Pemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran

Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal InvestasiKerja Kerja Kerja Kerja Kerja

16,88

20,41

29,03

28,28

27,03

23,51

21,61

21,14

21,12

20,36

20,23

19,64

18,99

19,69

18,54

18,62

18,67

18,66

18,40

15,02

16,12

22,35

22,49

21,45

19,21

17,48

17,31

17,26

16,48

16,34

16,22

15,79

15,40

15,34

16,19

16,47

16,67

16,53

20,48

23,04

30,20

26,57

24,35

21,47

21,81

21,42

20,97

20,23

20,22

19,54

19,42

19,47

19,62

21,58

21,31

21,35

21,11

15,26

15,49

15,83

15,54

14,89

14,38

13,43

11,75

11,65

11,64

11,62

19,31

18,98

18,91

17,72

18,00

18,04

18,05

18,11

20,24

28,22

38,70

36,47

32,42

23,22

19,57

18,94

18,11

17,62

17,60

17,55

17,65

17,63

17,56

17,88

17,70

17,60

17,55

19,69

27,31

40,32

39,96

32,06

24,24

20,61

20,27

18,76

18,28

17,99

17,78

17,85

17,59

17,54

18,00

17,70

17,64

17,59

17,07

26,76

42,89

40,84

29,41

19,82

18,28

17,24

16,84

16,37

16,19

15,79

15,96

16,29

16,25

15,32

15,32

15,41

15,42

19,59

25,22

35,53

40,25

33,49

26,28

22,70

18,43

17,32

16,81

15,96

15,96

15,20

15,20

15,20

14,88

15,02

15,31

15,49

19,04

25,40

34,75

33,12

28,84

23,07

20,68

20,08

19,75

18,93

18,83

18,42

18,14

18,01

17,93

17,99

17,90

17,84

17,65

16,36

18,94

26,23

26,10

22,75

19,73

17,80

17,43

17,14

16,46

16,30

16,54

16,21

15,86

15,79

16,62

16,78

16,94

16,86

Akhir Periode

1) Rata-rata tertimbang

1996

1997

1998

1999

Maret

Juni

September

Desember

2000

Januari

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

Page 272: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

263

Rincian 1996 1997 1998 1999

Kredit dalam rupiah 234.490

Pertanian 15.158

Pertambangan 716

Perindustrian 51.984

Perdagangan 55.763

Jasa-jasa 78.391

Lain-lain 32.478

Kredit dalam valuta asing 58.431

Pertanian 2.472

Pertambangan 977

Perindustrian 26.866

Perdagangan 14.823

Jasa-jasa 13.265

Lain-lain 28

Jumlah 292.921

Pertanian 17.630

Pertambangan 1.693

Perindustrian 78.850

Perdagangan 70.586

Jasa-jasa 91.656

Lain-lain 32.506

Tabel 40Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing

menurut Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek

2000

Mar. Jun. Sep. Des.

261.534

20.340

2.769

56.123

57.471

85.598

39.233

116.600

5.662

2.547

55.556

24.793

27.971

71

378.134

26.002

5.316

111.679

82.264

113.569

39.304

313.118

29.430

2.729

85.594

59.830

101.129

34.406

174.308

9.878

3.180

86.074

36.534

37.995

647

487.426

39.308

5.909

171.668

96.364

139.124

35.053

140.527

21.139

879

35.561

29.687

26.332

26.929

84.606

2.638

2.818

48.698

13.601

16.829

22

225.133

23.777

3.697

84.259

43.288

43.161

26.951

130.875

21.959

912

29.723

26.222

24.092

27.967

92.360

2.718

4.058

52.908

15.056

17.458

162

223.235

24.677

4.970

82.631

41.278

41.550

28.129

134.654

20.066

1.050

29.715

29.160

24.000

30.663

105.481

3.266

4.466

60.311

17.548

19.776

114

240.135

23.332

5.516

90.026

46.708

43.776

30.777

139.763

16.134

2.788

29.411

28.610

24.121

38.699

109.231

4.703

3.502

65.484

12.805

20.327

2.410

248.994

20.837

6.290

94.895

41.415

44.448

41.109

152.482

15.028

2.879

35.697

30.601

23.784

44.493

116.518

4.475

3.801

71.085

13.498

20.532

3.127

269.000

19.503

6.680

106.782

44.099

44.316

47.620

Page 273: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

264

Tabel 41Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

Kredit modal kerja 222.478

Pertanian 5.893

Pertambangan 1.288

Perindustrian 54.602

Perdagangan 58.695

Jasa-jasa 69.494

Lain-lain 32.506

Kredit investasi 70.443

Pertanian 11.737

Pertambangan 405

Perindustrian 24.248

Perdagangan 11.891

Jasa-jasa 22.162

Lain-lain 0

Jumlah 292.921

Pertanian 17.630

Pertambangan 1.693

Perindustrian 78.850

Perdagangan 70.586

Jasa-jasa 91.656

Lain-lain 32.506

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek

2000

Mar. Jun. Sep. Des.Rincian 1996 1997 1998 1999

277.399

11.373

3.995

76.585

64.336

81.806

39.304

100.735

14.629

1.321

35.094

17.928

31.763

0

378.134

26.002

5.316

111.679

82.264

113.569

39.304

345.962

22.058

3.880

121.867

72.065

91.039

35.053

141.464

17.250

2.029

49.801

24.299

48.085

0

487.426

39.308

5.909

171.668

96.364

139.124

35.053

167.442

12.162

2.368

61.278

36.181

28.502

26.951

57.691

11.615

1.329

22.981

7.107

14.659

0

225.133

23.777

3.697

84.259

43.288

43.161

26.951

165.712 180.893 18.4381 203.724

13.129 11.014 9.211 8.693

2.649 3.101 3.158 3.796

60.445 68.913 72.577 80.572

33.861 38.943 34.131 36.318

27.499 28.145 24.195 26.725

28.129 30.777 41.109 47.620

57.523 59.242 64.613 65.276

11.548 12.318 11.626 10.810

2.321 2.415 3.132 2.884

22.186 21.113 22.318 26.210

7.417 7.765 7.284 7.781

14.051 15.631 20.253 17.591

0 0 0 0

223.235 240.135 248.994 269.000

24.677 23.332 20.837 19.503

4.970 5.516 6.290 6.680

82.631 90.026 94.895 106.782

41.278 46.708 41.415 44.099

41.550 43.776 44.448 44.316

28.129 30.777 41.109 47.620

Page 274: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

265

Tabel 42Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)

(miliar rupiah)

1. Bank PerseroPertanian

Pertambangan

Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Lain-lain

2. Bank Swasta NasionalPertanian

Pertambangan

Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Lain-lain

3. Bank Pemerintah DaerahPertanian

Pertambangan

Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Lain-lain

4. Bank Asing dan CampuranPertanian

Pertambangan

Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Lain-lain

5. Jumlah (1 s.d. 4)Pertanian

Pertambangan

Perindustrian

Perdagangan

Jasa-jasa

Lain-lain

1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek

2000

Mar. Jun. Sep. Des.Rincian 1996 1997 1998 1999

108.92512.111

921

33.562

22.887

25.510

13.934

149.9554.912

388

29.638

41.752

58.841

14.424

6.457229

14

375

1.100

2.170

2.569

27.584378

370

15.275

4.847

5.135

1.579

292.92117.630

1.693

78.850

70.586

91.656

32.506

153.26614.279

1.939

46.868

32.970

39.421

17.789

168.72310.185

2.500

35.592

40.513

63.716

16.217

7.539267

21

429

1.206

2.386

3.230

48.6061.271

856

28.790

7.575

8.046

2.068

378.13426.002

5.316

111.679

82.264

113.569

39.304

220.74717.012

1.989

84.510

43.601

55.792

17.843

193.36120.272

2.414

45.416

40.687

72.058

12.514

6.570354

19

409

1.053

1.820

2.915

66.7481.670

1.487

41.333

11.023

9.454

1.781

487.42639.308

5.909

171.668

96.364

139.124

35.053

112.288 102.364 100.941 98.630 102.06115.516 15.675 15.189 12.903 11.209

1.360 2.315 2.539 2.586 2.522

38.489 33.075 31.101 29.839 34.878

21.958 17.870 17.912 16.056 16.431

19.945 18.421 18.548 18.683 16.370

15.020 15.008 15.652 18.563 20.651

56.012 60.562 68.823 73.603 82.4255.740 6.300 5.305 4.906 4.987

371 405 426 782 863

14.421 16.432 19.756 19.948 22.914

13.307 15.140 19.963 19.833 21.656

15.605 15.058 15.364 15.836 17.500

6.568 7.227 8.009 12.298 14.505

6.793 7.344 8.600 9.296 10.106853 964 954 514 527

18 17 14 67 65

190 201 209 236 249

816 869 1.018 1.126 1.182

1.376 1.255 1.282 1.410 1.260

3.540 4.038 5.123 5.943 6.823

50.040 52.965 61.771 67.465 74.4081.668 1.738 1.884 2.514 2.780

1.948 2.233 2.537 2.855 3.230

31.159 32.923 38.960 44.872 48.741

7.207 7.399 7.815 4.400 4.830

6.235 6.816 8.582 8.519 9.186

1.823 1.856 1.993 4.305 5.641

225.133 223.235 240.135 248.994 269.00023.777 24.677 23.332 20.837 19.503

3.697 4.970 5.516 6.290 6.680

84.259 82.631 90.026 94.895 106.782

43.288 41.278 46.708 41.415 44.099

43.161 41.550 43.776 44.448 44.316

26.951 28.129 30.777 41.109 47.620

Page 275: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

266

Tabel 44Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2000

(persen)

Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total

Jakarta 34 47 12 4 2 1 100

Bandung 39 36 18 5 2 1 100

Semarang 27 45 21 5 1 0 100

Surabaya 28 54 11 5 2 1 100

Medan 30 51 12 5 2 1 100

Padang 39 34 18 6 2 1 100

Makassar 33 43 17 5 2 1 100

Banjarmasin 32 48 13 4 2 1 100

Kantor

Tabel 43Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI

(triliun rupiah)

1996 1997 1998 1999 2000

Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Jakarta 13,3 24,1 18,7 32,2 24,2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4

Bandung 11,8 7,0 14,1 9,1 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4

Semarang 9,9 5,1 11,8 6,9 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1

Surabaya 11,4 10,3 13,9 13,3 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6

Medan 4,5 4,6 6,9 7,7 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9

Padang 3,1 4,1 4,2 5,6 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1

Makassar 3,7 4,1 4,7 5,4 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4

Banjarmasin 2,9 3,9 3,6 4,9 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2

Jumlah 57,2 63,2 77,7 85,0 102,7 117,5 120,4 145,4 147,7 164,1

Page 276: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

267

Kantor

Tabel 45Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI

(miliar rupiah)

1996 1997 1998 1999 2000

Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar

Jakarta 13,5 94,9 14,4 79,5 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5

Bandung 14,5 8,6 17,3 8,7 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0

Semarang 22,5 8,8 23,2 7,4 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,5

Surabaya 3,9 10,4 2,9 15,9 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5

Medan 1,4 6,5 2,0 7,4 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,2

Padang 0,6 4,3 0,7 7,3 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,4

Makassar 1,3 4,9 1,0 7,4 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9

Banjarmasin 1,0 4,6 0,7 6,1 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,6

Jumlah 58,7 143,0 62,2 139,7 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,7

Page 277: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

268

Tabel 46Pertumbuhan Ekonomi Dunia

(persen)

Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000*

Dunia 4,1 4,1 2,6 3,4 4,7

Negara Industri/Maju 3,2 3,4 2,4 3,2 4,27 Negara Industri Utama 3,0 3,2 2,5 2,9 3,9

Amerika Serikat 3,6 4,4 4,4 4,2 5,2Jepang 5,0 1,6 –2,5 0,2 1,4 1)

Jerman 0,8 1,4 2,1 1,6 2,9Perancis 1,1 2,0 3,2 2,9 3,5Italia 1,1 1,8 1,5 1,4 3,1Inggris 2,6 3,5 2,6 2,1 3,11)

Kanada 1,5 4,4 3,3 4,5 4,7Lain-lain 3,7 4,2 2,0 4,7 5,1

Negara Berkembang 6,5 5,7 3,5 3,8 5,6Afrika 5,7 2,8 3,1 2,2 3,4Timur Tengah dan Eropa 4,5 5,1 3,1 0,8 4,7Amerika Latin 3,6 5,4 2,2 0,3 4,3Asia 8,3 6,5 4,1 5,9 6,7

NIEs Asia 6,2 5,8 –2,3 7,8 7,9RRC 9,6 8,8 7,8 6,6 8,0Indonesia 7,8 4,7 –13,2 0,2 4,5Singapura 7,5 9,0 0,3 4,5 9,9Malaysia 8,6 7,7 –6,7 2,4 5,9Thailand 5,5 –1,3 –9,4 4,0 4,3Filipina 5,8 5,2 –0,5 2,2 3,9Vietnam 9,3 8,2 3,5 3,5 –

Negara-negara Transisi 2) –0,5 1,6 –0,8 2,4 4,9Eropa Tengah dan Timur 1,7 2,1 2,0 1,3 3,1Rusia –3,4 0,9 –4,9 3,2 7,0Transcaucasus dan Asia Tengah 1,3 2,6 2,5 4,6 5,3

1) Bloomberg, January 20002) Tidak termasuk Belarusia dan UkrainaSumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000

– Bank Indonesia

Page 278: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

269

Tabel 47Inflasi Dunia

(persen)

Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *

Dunia 4,3 4,2 2,5 3,0 –Negara Industri/Maju 2,4 2,1 1,5 1,4 2,3

7 Negara Industri Utama 2,2 2,0 1,3 1,4 2,2Amerika Serikat 2,9 2,3 1,6 2,2 3,2Jepang 0,1 1,7 0,6 –0,3 -0,2Jerman 1,2 1,5 0,6 0,7 1,7Perancis 2,1 1,3 0,7 0,6 1,5Italia 3,9 1,7 1,7 1,7 2,5Inggris 3,0 2,8 2,7 2,3 2,0Kanada 1,6 1,4 1,0 1,7 2,3

Lain-lain 3,2 2,4 2,5 1,3 2,4

Negara Berkembang 14,6 9,2 10,3 6,6 6,2Afrika 25,9 11,1 8,7 11,8 12,7Timur Tengah dan Eropa 24,2 23,1 23,6 20,4 17,4Amerika Latin 22,4 13,2 10,6 9,3 8,9Asia 8,2 4,8 8,0 2,4 2,4

NIEs Asia 4,3 3,4 4,4 0,3 2,2RRC 8,4 2,8 –0,8 –1,5 1,5Indonesia 6,5 11,1 77,6 2,01 9,4Singapura 1,4 2,0 –0,3 0,2 2,01)

Malaysia 3,5 2,7 5,3 3,0 1,4Thailand 5,9 5,6 8,1 0,5 1,3Filipina 8,4 6,0 9,7 8,5 6,6Vietnam 5,8 3,2 7,7 7,6 –

Negara-negara Transisi 40,6 28,2 20,9 43,8 18,3Eropa Tengah dan Timur 32,0 36,7 17,8 20,6 18,8Rusia 47,8 14,7 27,7 85,9 18,6Transcaucasus dan Asia Tengah 64,1 36,5 15,3 15,4 14,8

1) NovemberSumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000

– Bank Indonesia– BPS– The Economist

Page 279: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

270

Tabel 48Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar

Rincian 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *

Suku Bunga di Negara-negara IndustriJangka Pendek 4,10 4,00 4,00 3,80 –

Jangka Panjang 6,10 5,40 4,50 5,30 –

Nilai TukarYen/USD 108,78 120,99 130,91 113,9 107,9

DM/USD 1,50 1,73 1,76 1,84 2,13

USD/GBP 1,56 1,64 1,66 1,62 1,50

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000– IMF, International Financial Statistics, December 2000

Tabel 49Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia

(persen)

Rincian 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *

Volume perdagangan barang 5,8 10,0 4,1 5,2 10,4

Harga

Barang-barang Industri –3,1 –7,8 –1,2 –1,2 –5,3

Komoditas Primer Nonmigas –1,2 –3,2 –14,7 –7,1 3,2

Minyak 18,4 –5,4 –32,1 37,5 47,5

Sumber : IMF, World Economic Outlook, October 2000

Page 280: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

271

Tabel 50Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang

(persen PDB)

Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000

7 Negara Industri Utama

Amerika Serikat –1,6 –1,7 –2,5 –3,6 –4,2

Jepang 1,4 2,2 3,2 2,5 2,6

Jerman –0,3 –0,1 –0,2 –0,9 –0,2

Perancis 1,3 2,8 2,7 2,7 3,4

Italia 3,2 2,8 1,7 0,7 1,0

Inggris –0,1 0,8 – –1,2 –1,5

Kanada 0,6 –1,6 –1,8 –0,4 1,4

Negara Berkembang

RRC 0,9 3,8 3,4 1,3 1,2

Indonesia –3,5 –2,3 4,3 4,0 5,5

Singapura 15,9 15,7 20,9 21,1 21,9

Malaysia –4,9 –5,1 12,9 11,7 10,2

Thailand –7,9 –2,0 12,8 8,8 7,2

Filipina –4,7 –5,3 2,0 2,2 10,1

Sumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000– The Economist, Januari 2001

Page 281: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

272

Lampiran H

Specimen Pecahan Uang Kartalyang Diterbitkan Pada Tahun 2000

Pecahan Rp 1000

Bayang-bayang angka "1000" danlogo "BI" (Embossed- Latent Image)

Tulisan mikro "BI"Benangpengaman

Bayang-bayang logo"BI" ( Latent Image)

Rectoverso

Benang pengaman Tulisan mikro "BANK INDONESIA"

Rectoverso

Nomor Seri

Tulisan mikro "BANK INDONESIA"

Tulisan mikro "BI"

Angka nominal

GarudaPancasila

Nomor Seri

Gambar utama terasakasar bila diraba

Tulisan nominalterasa kasar

bila diraba

Angka nominalterasa kasar

bila diraba

Angka nominalterasa kasarbila diraba

Tanda airCut Nyak Meutia

Tanda airCut Nyak Meutia

Cetak Intaglio

Page 282: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

273

Lampiran I

Daftar Singkatan

ACBF ASEAN Central Bank Forum

ADB Asian Development Bank

ADF Asian Development Fund

Ags Agustus

AP aktiva produktif

APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APEC Asia-Pacific Economic Cooperation

Apr April

APU angka pengganda uang

AS Amerika Serikat

ASA ASEAN Swap Arrangements

ASEAN Association of South-east Asian Nations

ATM automated teller machine

ATMR Aktiva Tertimbang Menurut Risiko

BBKU bank beku kegiatan usaha

BBM bahan bakar minyak

BCA Bank Central Asia

BDP bank dalam penyehatan

BEJ Bursa Efek Jakarta

BGub Biro Gubernur

BI Bank Indonesia

BI-LINE Bank Indonesia Layanan Informasi dan Transaksi secara Elektronis

BIPS Bulk Interbank Payment System

BIS Bank For International Settlement

BKD Badan Kredit Desa

BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

BLS Baseline Economic Survey

BMPK batas maksimum pemberian kredit

BNI Bank Negara Indonesia

BOE Bank of England

BOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu

bp basis point

BPD Bank Pembangunan Daerah

BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

BPM Balance of Payment Manual

Page 283: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

274

BPPN Badan Penyehatan Perbankan Nasional

BPR Bank Perkreditan Rakyat

BPS Badan Pusat Statistik

BUPLN Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara

BRI Bank Rakyat Indonesia

BSA Bilateral Swap Arrangement

BTN Bank Tabungan Negara

BTO bank take over

BUMN Badan Usaha Milik Negara

BUSN Bank Umum Swasta Nasional

CAR capital adequacy ratio

CBU Completely Built Up

CCL Contingent Credit Lines

CCCN Custome Cooperation Council Numencelature

CDF comprehensive development framework

CGI Consultative Group for Indonesia

CPO crude palm oil

D diragukan

D default

DAK dana alokasi khusus

DAP Detailed Action Plan

DASP Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Dati Daerah Tingkat

DAU dana alokasi umum

DBH dana bagi hasil

DHE devisa hasil ekspor

DEM Deutchmark

Depo Deposito

Des Desember

DGS Deputi Gubernur Senior

DI Daerah Istimewa

Dir Direktur

DJPLN Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri

DKI Daerah Khusus Ibukota

DLN Direktorat Luar Negeri

DN dalam negeri

DPK dalam perhatian khusus

DPK dana pihak ketiga

Page 284: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

275

DPM Direktorat Pengelolaan Moneter

DPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DRC Disaster Recovery Centre

DSM Direktorat Statistik Moneter

DSR debt service ratio

DVP Delivery Versus Payment

EFT electronic fund transfer

EFF Extended Fund Facility

Ekuin ekonomi, keuangan, dan industri

EMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central Bankers

EO Exchange Offer

EVO Independent Evaluation Office

FCL foreign currency liquidity

FDI Foreign Direct Investment

Feb Februari

FLI Fasilitas Likuiditas Intrahari

f o b free on board

FSF Financial Stability Forum

Gaikindo Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia

GBI Gubernur Bank Indonesia

GBP Great Britain Poundsterling

GDP gross domestic product

GDDS Global Data Dissemination Standard

GFA gross foreign assets

GTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH

GWM Giro Wajib Minimum

HCS hasil cetak sempurna

HCTS hasil cetak tidak sempurna

HPS harga patokan semen

HIPC Highly Indebted Poor Countries

HLI Highly Leverage Institutions

HS Harmonized System

Humas hubungan masyarakat

IBI Institut Bankir Indonesia

IBRD International Bank for Reconstruction and Development

ICOR Incremental Capital Output Ratio

IAI Ikatan Akuntan Indonesia

Page 285: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

276

IHK indeks harga konsumen

IHPB indeks harga perdagangan besar

IHSG indeks harga saham gabungan

IMF International Monetary Fund

IMFC International Monetary Financial Committee

Infl inflasi

IPO Initial Public Offering

IRFCL International Reserve and Foreign Currency Liquidity

IT teknologi informasi dan telekomunikasi

Jan Januari

JBIC Japan Bank for International Cooperation

JIBOR Jakarta interbank offered rate

JITF Jakarta Initiative Task Force

JPY Japan Yen

Jul Juli

Jun Juni

KA Kereta Api

KAP kualitas aktiva produktif

KAPET Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

KBI Kantor Bank Indonesia

KCS Kantor Cabang Syariah

Kep keputusan

Keppres Keputusan Presiden

KHM kebutuhan hidup minimum

KKBI Koordinator Kantor Bank Indonesia

KKP Kredit Ketahanan Pangan

KKPA Kredit Koperasi Primer untuk Anggota

KKSK Komite Kebijakan Sektor Keuangan

KLBI Kredit Likuiditas Bank Indonesia

KL kurang lancar

KMK Keputusan Menteri Keuangan

KMK kredit modal kerja

KPMM kewajiban penyediaan modal minimum

KPR Kredit Pemilikan Rumah

KRW Korean Won

KUK Kredit Usaha Kecil

KUT Kredit Usaha Tani

L/C Letter of Credit

Page 286: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

277

LIBOR London Inter Bank Offered Rate

LIE Leading Indikator Ekonomi

LKNB lembaga keuangan nonbank

LLD lalu lintas devisa

LN luar negeri

LNG liquefied natural gas

LoI Letter of Intent

LPG liquefied petroleum gas

LPS Lembaga Penjamin Simpanan

M macet

Mar Maret

MDPB Master Dokumen Pengawasan Bank

MEE Masyarakat Ekonomi Eropa

MEFP Memorandum of Economic and Financial Policies

MEN Menteri

Menaker menteri tenaga kerja

Mendagri menteri dalam negeri

Menkeu menteri keuangan

Menko menteri koordinator

Menperindag menteri perindustrian dan perdagangan

Migas minyak dan gas

MKT masalah komputer tahun

MLA Master Loan Agreement

MMBTU mille mille British thermal unit

MoU Memorandum of Understanding

MPP Menteri Perindustrian dan Perdagangan

MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat

MSDM Manajemen Sumber Daya Manusia

m t m month to month

NAIRU Non-accelerating inflation rate of unemployment

NCG net claims on government

NDA net domestic assets

MDPB Master Dokumen Pengawasan Bank

NFA net foreign assets

NIM net interest margin

NIR net international reserve

No nomor

NOI net other items

Page 287: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

278

Nov November

NPI Neraca Pembayaran Indonesia

NPLs non performing loans

NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak

OAP Otomasi Administrasi Perkasan

ODA Official Development Assistance

OFC Offshore Financial Center

OKB Otomasi Kliring Bandung

OKJ Otomasi Kliring Jakarta

Okt Oktober

O/N overnight

OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries

OPT operasi pasar terbuka

OSP on-site supervisory presence

PAD Pendapatan Asli Daerah

PAM Perusahaan Air Minum

PAN perhitungan anggaran negara

PAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia

PBB pajak bumi dan bangunan

PBI Peraturan Bank Indonesia

PDB produk domestik bruto

PDG Peraturan Dewan Gubernur

PDN Posisi Devisa Neto

PET perusahaan eksportir tertentu

PHBK Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat

PHK pemutusan hubungan kerja

PHP Philipine Peso

Peruri Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia

PLN Perusahaan Listrik Negara

PMA penanaman modal asing

PMTDB Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto

PMDN penanaman modal dalam negeri

PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak

PnDB Pendapatan Domestik Bruto

PNM Permodalan Nasional Madani

PNS pegawai negeri sipil

Polri Polisi Republik Indonesia

PP Peraturan Pemerintah

Page 288: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

279

PPP Purchasing Power Parity

PPAP penyisihan penghapusan aktiva produktif

PPh pajak penghasilan

PPN pajak pertambahan nilai

PPSK Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan

PROPENAS Program Pembangunan Nasional

PSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan Syariah

PT Perseroan Terbatas

PTTB pemberian tanda tidak berharga

PUAB pasar uang antar bank

PUKM Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro

RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

REER real effective exchange rate

Repeta Rencana Pembangunan Tahunan

RESBI Rencana Suksesi Bank Indonesia

RI Republik Indonesia

RMB Real Money Balance

Rp Rupiah

RRC Republik Rakyat Cina

R/S reader / sorter

RTGS Real Time Gross Settlement

RUU Rancangan Undang-Undang

SARA suku agama ras aliran

SBA Stand By Arrangement

SBI Sertifikat Bank Indonesia

SBPU Surat Berharga Pasar Uang

SBPT Surat Bukti Penerimaan Transfer

s.d sampai dengan

SD selective default

SDA sumber daya alam

SDDS Special Data Dissemination Standard

SDM sumber daya manusia

SDR Special Drawing Rights

SE Surat Edaran

SEACEN South East Asia Central Bank

SEANZA South East Asia, New Zealand, and Australia Central Bank

SEG SEACEN Expert Group

SEK Survey Ekspektasi Konsumen

Page 289: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

280

Sep September

SGD Singapore Dollar

SIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor

SIB Sistem Informasi Baseline Economic Survey

SID Sistem Informasi Debitur

SI Gap Saving Investment Gap

SILPA sisa lebih pembiayaan anggaran

SIMASDAM Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia

SIPU Sistem Informasi Pengedaran Uang

SK Surat Keputusan

SKDU Survey Kegiatan Dunia Usaha

SKEJ Sistem Kliring Elektronik Jakarta

SNA Standardized National Account

SOKL semi otomasi kliring lokal

SOR Stop Out Rate

SPE survey penjualan eceran

SU-BI surat utang – Bank Indonesia

SUP Surat Utang Pemerintah

TA technical assistance

TAP Ketetapan

TDL tarif dasar listrik

TFP total factor productivity

THB Thailand Bath

thd terhadap

TMF Trade Maintenance Facility

TNI Tentara Nasional Indonesia

TPAK tingkat partisipasi angkatan kerja

TPP Tunjangan Perbaikan Penghasilan

Trw triwulan

TV Televisi

UIP Uncovered Interest Rate Parity

UKIP Unit Khusus Investigasi Perbankan

UKM usaha kecil dan menengah

ULN utang luar negeri

UMR upah minimum regional

US United States

USAID United States Agencies for International Development

USD United States Dollar

Page 290: Laporan Perekonomian Indonesia 2000

281

UU Undang-Undang

UYD uang yang diedarkan

Valas valuta asing

VAP Voluntary Action Plan

WB World Bank

WBUT Wesel bank untuk Transfer

WPI Wholesale Price Index

WTO World Trade Organization

Y o Y year on year