Laporan Perekonomian Indonesia 2000
-
Upload
yuliandriansyah -
Category
Documents
-
view
1.406 -
download
2
description
Transcript of Laporan Perekonomian Indonesia 2000
BANK INDONESIA
LAPORANTAHUNAN 2000
LAPORANTAHUNAN
2 0 0 0BANK INDONESIA
ISSN 0522 – 2575
i
Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data
r Angka diperbaiki
* Angka sementara
** Angka sangat sementara
. . . Angka belum tersedia
- Angka tidak ada
x Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain
- - Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir
$ (dolar) Dolar Amerika Serikat
Periode laporan adalah 1 Januari 2000 sampai dengan 31 Desember 2000.
Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.
xi
Anwar NasutionDeputi Gubernur Senior
Aulia PohanDeputi Gubernur
AchwanDeputi Gubernur
Achjar IljasDeputi Gubernur
Burhanuddin AbdullahDeputi Gubernur
Syahril SabirinGubernur
Miranda S. GoeltomDeputi Gubernur
Dewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurDewan GubernurBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaPada Tanggal 31 Desember 2000
xii
GUBERNURBANK INDONESIA
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah, Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2000 tersaji
ke hadapan pembaca. Sebagaimana dalam tiap tahun sebelumnya, Laporan Tahunan Bank Indone-
sia merupakan salah satu wujud akuntabilitas Bank Indonesia dalam pelaksanaan tugas-tugasnya.
Laporan ini juga menguraikan berbagai perkembangan penting dalam perekonomian Indonesia serta
berbagai faktor yang mempengaruhinya selama tahun laporan. Di samping itu, prospek dan arah
kebijakan ke depan merupakan bagian yang penting pula dari Laporan Tahunan Bank Indonesia ini.
Laporan Tahunan Bank Indonesia untuk periode laporan tahun 2000 ini memiliki nuansa khusus
karena tahun 2000 merupakan tahun-penuh bagi Bank Indonesia bekerja berdasarkan Undang-Undang
No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Sebagaimana diketahui, Undang-undang ini telah
memberikan landasan hukum yang kuat bagi pelaksanaan tugas Bank Indonesia yang terfokus ke arah
kestabilan nilai rupiah dengan diperkuat oleh elemen independensi dan akuntabilitas secara seimbang.
Sebagai wujud dari pelaksanaan tugasnya tersebut, pada awal tahun 2000 Bank Indonesia telah
mengumumkan sasaran inflasi yang hendak dicapai dalam tahun 2000, yakni antara 3,0% sampai 5,0%,
di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Hal ini dilakukan mengingat
karakteristik inflasi di Indonesia yang juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar moneter, seperti
halnya kebijakan Pemerintah mengenai administered prices – yaitu harga barang-barang dan jasa-jasa
yang ditentukan oleh Pemerintah – dan gaji pegawai negeri maupun perkembangan di sisi penawaran.
Untuk ini Bank Indonesia telah pula mengeluarkan prakiraan mengenai dampak dari rencana kebijakan
Pemerintah tersebut selama tahun laporan.
Dari sisi operasional pencapaian sasaran inflasi tersebut, Bank Indonesia telah mengumumkan
besaran pertumbuhan uang primer yang akan dijadikan acuan dalam tahun laporan. Rencana
pertumbuhan uang primer ini dibuat dengan memperhitungkan berbagai asumsi penting yang
mempengaruhinya seperti laju pertumbuhan ekonomi, perkembangan nilai tukar, maupun
xiii
perkembangan keuangan Pemerintah. Di samping itu terdapat juga satu asumsi yang mensyaratkan
adanya kestabilan sosial politik yang sangat penting bagi pemulihan kepercayaan terhadap
perekonomian nasional. Di awal tahun berbagai asumsi ini dirasakan cukup realistis mengingat tingkat
perkembangan harga yang sangat rendah dalam tahun 1999, pertumbuhan ekonomi yang masih
memiliki ruang gerak yang lebih tinggi karena baru bertumpu pada sektor konsumsi serta tersiratnya
nuansa optimisme terhadap kondisi sosial politik sehubungan dengan terpilihnya Pemerintah yang baru.
Sementara itu laju pertumbuhan perekonomian dunia yang tinggi memberikan peluang akan
membaiknya kinerja sektor eksternal Indonesia.
Perkembangan selama tahun 2000 menunjukkan terjadinya beberapa perubahan asumsi yang
cukup signifikan. Terdapat perubahan asumsi yang menggembirakan seperti laju pertumbuhan ekonomi
yang ternyata lebih tinggi dari perkiraan awal. Namun ada juga perubahan asumsi yang kurang
menggembirakan seperti tekanan inflasi yang meningkat, nilai tukar rupiah yang melemah dan kondisi
sosial politik yang kurang menguntungkan untuk perekonomian.
Dalam kondisi ini, Bank Indonesia dituntut untuk melakukan respon kebijakan moneter yang bersifat
memaksimalkan perkembangan yang positif sementara menekan seminimal mungkin risiko yang ada.
Kita patut bersyukur bahwa dalam tahun 2000 laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai cukup tinggi,
yang ditunjang pula oleh perbaikan kinerja ekspor dan investasi. Bagi Indonesia yang sedang berusaha
memulihkan diri dari krisis, pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini menunjukkan percepatan
pemulihan yang sangat dibutuhkan dalam melangkah lebih jauh kedepan, dan oleh karenanya sangat
mahal bagi Indonesia kalau proses pemulihan ini berjalan mundur. Di samping itu tentunya merupakan
harapan kita bahwa pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi ini dapat disertai dengan "economic
cost" –dalam hal ini laju inflasi– yang minimal agar pemulihan ekonomi dapat berkesinambungan.
Pilihan yang ditempuh Bank Indonesia dalam tahun 2000 oleh karenanya merupakan pilihan
kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias). Ini berarti kebijakan moneter diarahkan guna
menyerap kelebihan likuiditas agar tidak menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,
namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis dan berlebihan. Kenaikan suku bunga
yang drastis dan berlebihan dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan proses restrukturisasi utang
dan perbankan yang sedang berjalan serta kesinambungan keuangan Pemerintah, yang pada akhirnya
dapat mengancam pemulihan perekonomian yang telah dengan susah payah kita usahakan.
Untuk itu Bank Indonesia telah berupaya semaksimal mungkin melakukan kebijakan moneter yang
mendorong kearah itu. Namun harus diakui pula bahwa dalam pelaksanannya, upaya ini menghadapi
permasalahan yang menyebabkan Bank Indonesia selaku otoritas moneter dihadapkan pada dilema.
xiv
Tekanan inflasi dan gejolak nilai tukar yang telah terasa sejak pertengahan tahun, yang menjadi dasar
asumsi sasaran inflasi, membuat Bank Indonesia harus berupaya agar tekanan tersebut tidak menjadi
persisten dan dapat menimbulkan ekspektasi inflasi yang tinggi. Namun di sisi lain harus pula diakui
bahwa upaya ini tidaklah mudah. Upaya pengetatan yang berlebihan dapat menjadi kontra produktif
terhadap pemulihan perekonomian. Disamping itu kondisi perbankan yang masih mengalami konsolidasi
menyebabkan transmisi moneter menjadi terganggu dan mengharuskan kehati-hatian yang lebih tinggi
dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
Dalam upaya pengendalian uang primer, permasalahan menjadi bertambah kompleks dengan
terjadinya penyimpangan yang diamati dalam perilaku masyarakat dalam memegang uang kartal.
Uang kartal merupakan komponen penting dari uang primer yang merupakan sasaran indikatif Bank
Indonesia yang selalu diamati dari waktu ke waktu. Selama tahun 2000, uang kartal mengalami
peningkatan yang menonjol yang menyebabkan uang primer sulit dikendalikan ke level sasaran indikatif.
Terdapat beberapa penyebab yang dapat menjelaskan tingginya uang kartal tersebut yakni kebutuhan
uang kartal yang meninggi karena pertumbuhan perekonomian yang lebih cepat, inflasi dan ekspektasi
inflasi yang tinggi, serta suku bunga riil yang rendah yang membuat daya tarik penyimpanan dana di
bank menjadi kurang menarik, dan berdekatannya beberapa hari besar menjelang akhir tahun.
Permasalahan yang dihadapi transmisi moneter sehubungan dengan belum pulihnya intermediasi
perbankan hanya merupakan salah satu saja dari permasalahan yang terkait dengan penyehatan
perbankan nasional. Terlebih dari itu, penyehatan perbankan merupakan kunci dari kebangkitan
kembali perekonomian nasional secara keseluruhan.
Dalam tahun laporan ini berbagai langkah dan upaya telah dilakukan yang pada intinya
meneruskan dan memantapkan berbagai upaya penyehatan perbankan yang dilakukan bersama-
sama dengan lembaga lainnya seperti BPPN. Perkembangan yang menggembirakan dalam
restrukturisasi kredit diharapkan dapat menjadi stimulus bagi pemulihan dunia usaha di samping
membantu penyehatan perbankan itu sendiri. Di samping itu, tuntasnya proses rekapitalisasi perbankan
nasional merupakan langkah penting dalam tahun laporan. Bank Indonesia juga telah melakukan
berbagai penyempurnaan ketentuan perbankan yang intinya diarahkan bagi peningkatan praktek
perbankan yang sehat. Langkah ini telah dibarengi pula dengan upaya pemantapan pengawasan
bank dan peningkatan mutu pengelolaan bank. Kesemuanya ini diarahkan kepada peningkatan daya
tahan bank, pada tiap skala usahanya, yang sehat sebagai modal penting bagi perekonomian yang
berkesinambungan (sustainable).
xv
Di tengah berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia di atas, masih terdapat beberapa
permasalahan yang mengganggu yang terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia di masa lalu,
khususnya dalam upaya Bank Indonesia, dan Pemerintah pada waktu itu, merespon krisis yang dihadapi.
Permasalahan BLBI sempat berlarut-larut dan mengganggu konsentrasi manajemen Bank Indonesia.
Untuk ini, penyelesaian BLBI yang telah disepakati antara Pemerintah dan Bank Indonesia diharapkan
dapat menjadi modal dasar agar masalah BLBI ini tidak terus membebani. Permasalahan lainnya yang
menonjol adalah permasalahan sekitar pelaksanaan Undang-undang No. 23 Tahun 1999 yang masih
belum dapat berjalan mulus sebagaimana diharapkan, khususnya menyangkut aspek independensi.
Menjelang akhir tahun 2000, masalah bahkan mengkristal dengan mencuatnya gagasan untuk
melakukan amandemen terhadap undang-undang yang belum berumur dua tahun ini. Munculnya
permasalahan ini telah pula menyita perhatian dan sumber daya Bank Indonesia yang tidak sedikit
selama tahun 2000.
Memandang ke tahun 2001 harus diakui bahwa permasalahan yang akan diahadapi merupakan
permasalahan yang kompleks dan saling terkait. Namun berbagai pengalaman dan pelajaran yang
dapat ditarik selama pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam tahun 2000 akan merupakan dasar yang
sangat berharga dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia di masa yang akan datang. Kesemuanya
ini dilakukan untuk melaksanakan tugas-tugas Bank Indonesia sebagai bank sentral yang tidak hanya
independen tetapi juga accountable. Untuk ini Bank Indonesia akan bekerja keras untuk mencapai
sasaran laju inflasi tahun 2001, yakni 4,0–6,0% di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan
pendapatan, yang diumumkan dalam Rapat Dewan Gubernur tanggal 9 Januari 2001. Dalam konteks
ke depan (forward looking), adalah sangat penting untuk mencapai sasaran inflasi tersebut untuk
menekan tingkat ekspektasi inflasi masyarakat.
Komitmen Bank Indonesia adalah bahwa berbagai upaya tersebut dilakukan semata-mata demi
kepentingan nasional. Dalam hal ini saya juga melihat bahwa akuntabilitas Bank Indonesia haruslah
dilihat terhadap suatu kerangka kerja yang ditempuh oleh Bank Indonesia. Ini juga berarti akuntabilitas
terhadap keseluruhan rangkaian mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan proses evaluasi.
Upaya ini telah dimulai dari penetapan sasaran inflasi yang diikuti dengan melakukan pemantauan
secara mendalam terhadap perkembangan besaran moneter, dalam hal ini uang primer, yang terkait
dengan perkembangan perekonomian. Bank Indonesia telah pula melaksanakan Rapat Dewan
Gubernur bulanan dan triwulanan yang hasilnya diumumkan kepada masyarakat. Laporan triwulanan
kami sampaikan secara periodik kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
xvi
Besar harapan kami bahwa berbagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia tersebut, termasuk
kendala dan permasalahan yang dihadapi, dapat diterima disebagai perwujudan akuntabilitas Bank
Indonesia. Tidak dapat dipungkiri masih terdapat kekurangan yang dimiliki Bank Indonesia dalam
pelaksanaan tugasnya. Sebagian kekurangan tersebut bersifat internal dan untuk ini telah dilakukan
evaluasi dan Bank Indonesia bertekad untuk terus memperbaiki diri. Namun disadari bahwa sebagian
kekurangan tersebut juga terkait dengan kondisi di luar Bank Indonesia. Oleh karena itu kami
mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat berjalan
baik. Terhadap kekurangan dan kemajuan yang diperoleh, Bank Indonesia tidak akan berhenti sampai
di situ saja dan akan berupaya terus memantapkannya. Untuk ini berbagai saran dan kritik yang
konstruktif sangatlah diharapkan agar kualitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dapat lebih
ditingkatkan di masa yang akan datang.
Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia, mengucapkan terima kasih kepada
seluruh Pimpinan dan Staf Bank Indonesia yang selama tahun 2000 ini, ditengah berbagai badai dan
cobaan, telah tetap bersabar dan bekerja secara profesional dalam mengemban amanat Undang-
undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Kepada pembaca saya harapkan kiranya Laporan
Tahunan Bank Indonesia ini dapat menjadi referensi yang berguna. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah
selalu melimpahkan ridhaNya dan memberikan kemudahan kepada kita semua dalam upaya kita
melangkah kedepan.
Jakarta, Februari 2001
BANK INDONESIA
GUBERNUR
Syahril Sabirin
Tinjauan UmumBab 1
2
Bab 1 Tinjauan Umum
M emasuki awal tahun 2000, perekonomian Indone-
sia diwarnai oleh nuansa optimisme yang cukup tinggi.
Tanda-tanda awal dari proses pemulihan ekonomi telah mulai
nampak sejak triwulan III tahun 1999. Stabilitas moneter juga
terkendali, sebagaimana tercermin dari pencapaian tingkat
inflasi yang rendah dan nilai tukar yang menguat hingga akhir
tahun 1999. Kondisi sosial-politik dan keamanan pada waktu
itu sudah membaik, dengan proses pelaksanaan pemilihan
pimpinan nasional yang dinilai berjalan lancar dan demokratis.
Berbagai perkembangan yang menggembirakan tersebut
telah memungkinkan terjadinya penurunan suku bunga lebih
lanjut hingga akhir tahun 1999 dan menggairahkan pasar
modal sehingga proses pemulihan ekonomi mendapatkan
momentumnya kembali.
Dengan sejumlah perkembangan yang positif tersebut
dan memperhatikan kondisi fundamental ekonomi terutama
tingkat penggunaan kapasitas produksi nasional yang masih
rendah serta perekonomian dunia yang kondusif, Bank Indo-
nesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai
3,0%–4,0% pada tahun 2000. Sejalan dengan itu, Bank Indone-
sia menetapkan sasaran laju inflasi di luar dampak kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan sebesar 3,0%–
5,0%. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
tersebut diprakirakan dapat menimbulkan kenaikan laju inflasi
sekitar 2,0% diatas sasaran tersebut. Untuk mencapai sasaran
inflasi tersebut, pertumbuhan uang primer ditetapkan sebesar
8,3% dari posisi target akhir tahun 1999.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2000 beberapa
indikator menunjukkan bahwa proses pemulihan ekonomi
nampak semakin menguat. Pertumbuhan ekonomi meningkat
lebih tinggi dari yang diprakirakan semula menjadi 4,8%.
Beberapa faktor seperti membaiknya permintaan domestik,
masih kompetitifnya nilai tukar rupiah, serta situasi ekonomi
dunia yang membaik, telah memungkinkan sejumlah sektor
ekonomi, termasuk sektor usaha kecil dan menengah (UKM),
meningkatkan kegiatan usaha mereka, baik untuk memenuhi
konsumsi domestik maupun ekspor. Beberapa kemajuan juga
dicapai dalam proses restrukturisasi perbankan, penjadwalan
kembali utang luar negeri pemerintah, serta penyelesaian ma-
salah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) antara Bank In-
donesia dan Pemerintah.
Namun demikian, sejumlah permasalahan mendasar dan
faktor ketidakpastian masih berlanjut dan menjadi kendala bagi
proses pemulihan ekonomi secara lebih cepat dan
berkelanjutan. Dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya yang mengalami krisis serupa, proses pemulihan ekonomi
di Indonesia juga relatif lebih lambat. Secara mikro, masih
banyaknya kendala yang membatasi percepatan investasi
swasta menimbulkan kekhawatiran akan kesinambungan
pemulihan ekonomi dalam jangka menengah. Ekspansi kredit
perbankan masih relatif terbatas meskipun secara umum kondisi
perbankan telah membaik. Kemajuan dalam proses
restrukturisasi utang perusahaan dan utang luar negeri swasta
juga belum secepat yang diharapkan. Besarnya beban
pengeluaran pemerintah, terutama untuk pembayaran bunga
utang dan subsidi, mengakibatkan terbatasnya stimulus fiskal
untuk mendorong pemulihan ekonomi dan kekhawatiran akan
kesinambungan fiskal dalam jangka menengah panjang.
Nuansa optimisme yang tinggi di awal tahun mengenai akan
terjadinya perbaikan di bidang politik, keamanan, dan hukum
di dalam negeri ternyata juga belum dapat terwujud.
Dengan berbagai permasalahan mendasar dan faktor
ketidakpastian tersebut, proses pemulihan ekonomi selama
tahun 2000 telah dibarengi dengan meningkatnya tekanan
terhadap nilai tukar rupiah dan laju inflasi. Nilai tukar rupiah
cenderung melemah dan bergejolak sejak bulan Mei 2000
sejalan dengan memanasnya kondisi politik dan keamanan
dalam negeri, di samping tekanan yang muncul dari
kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar valuta
asing. Sementara itu, tekanan terhadap laju inflasi semakin
b a b
1 Tinjauan Umum
3
Bab 1 Tinjauan Umum
meningkat sehubungan dengan relatif lambatnya sisi
penawaran dalam mengimbangi kenaikan sisi permintaan
akibat berbagai permasalahan struktural ekonomi yang masih
ada. Tekanan inflasi juga muncul sebagai dampak dari
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, serta
melemahnya nilai tukar rupiah. Berbagai perkembangan
tersebut menyebabkan inflasi melampaui sasaran yang
ditetapkan pada awal tahun.
Kondisi ekonomi dan inflasi seperti yang digambarkan
di atas telah menyebabkan perumusan dan pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam tahun 2000
menjadi lebih sulit dan dilematis. Di satu sisi, meningkatnya
tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah menuntut Bank Indonesia
untuk melakukan pengetatan di bidang moneter. Akan tetapi,
di sisi lain pengetatan moneter ini tidak dapat dilakukan secara
drastis dan berlebihan karena akan mengancam kelang-
sungan proses penyehatan perbankan dan restrukturisasi
perusahaan yang masih rentan. Kegagalan dalam bidang-
bidang tersebut pada gilirannya dapat menyebabkan
hilangnya kepercayaan publik terhadap prospek pemulihan
ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dapat menjadi pemicu
bagi kembalinya lingkaran depresiasi nilai tukar dan kenaikan
laju inflasi (depreciation–inflation spiral) seperti yang terjadi
pada puncak krisis ekonomi yang lalu.
Dalam menyikapi perkembangan inflasi, nilai tukar dan
ekonomi seperti di atas, Bank Indonesia memilih untuk menempuh
kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias), terutama
sejak Mei 2000. Artinya, kebijakan moneter tetap diarahkan untuk
menyerap kelebihan likuiditas dalam perekonomian agar tidak
menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,
namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis
dan berlebihan. Sasaran moneter yang ditetapkan pada awal
tahun perlu disesuaikan dengan perkembangan perekonomian
yang ternyata lebih cepat dari yang diasumsikan semula. Upaya
di bidang moneter ini telah dibarengi dengan kebijakan
perbankan yang tetap difokuskan pada upaya memperlancar
program penyehatan lembaga perbankan dan program
peningkatan ketahanan industri perbankan di masa depan. Di
bidang sistem pembayaran, berbagai upaya penyempurnaan
terus dilakukan untuk menciptakan sistem pembayaran nasional
yang efisien, cepat, aman dan handal guna mendukung
efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter serta mendorong
upaya penciptaan sistem perbankan yang sehat.
Ke depan, Bank Indonesia berpendapat bahwa proses
pemulihan ekonomi tahun 2001 akan tetap berlangsung. Per-
tumbuhan ekonomi diprakirakan dapat mencapai 4,5%–5,5%
dengan sumber pertumbuhan berasal dari masih relatif
baiknya kinerja ekspor dan meningkatnya investasi. Optimisme
ini didasarkan kepada asumsi akan semakin cepatnya proses
reformasi dan restrukturisasi ekonomi Indonesia di berbagai
bidang, khususnya restrukturisasi utang perusahaan dan
semakin pulihnya intermediasi perbankan. Di samping itu,
proses alokasi dan penggunaan sumber daya secara lebih
efisien diperkirakan akan terus berlanjut dengan dukungan
daya saing rupiah yang kompetitif dan perkembangan
ekonomi dunia yang diprakirakan tetap kondusif dalam tahun
2001. Secara keseluruhan, apabila kondisi sosial-politik dan
keamanan di dalam negeri semakin membaik, Bank Indone-
sia memandang kecenderungan perbaikan ekonomi dalam
negeri akan mendapatkan momentum yang lebih kuat.
Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek
makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan
harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank
Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak
kebijakan Pemerintah Pusat di bidang harga dan pendapatan
diprakirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju
inflasi sekitar 2,0%–2,5% di atas sasaran tersebut.
Untuk mencapai sasaran laju inflasi tersebut, Bank In-
donesia akan mengendalikan pertumbuhan uang primer
agar sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Dalam
hubungan ini, Bank Indonesia menetapkan sasaran per-
tumbuhan uang primer hingga akhir tahun 2001 sebesar
11,0%–12,0%. Sasaran pertumbuhan ini dihitung berdasarkan
perkembangan uang primer bulan Desember 2000, dengan
melakukan koreksi atas unsur musiman yang cukup signifikan
pada bulan tersebut.
4
Bab 1 Tinjauan Umum
Berbeda dengan tahun 1999 yang hanya didorong oleh
pengeluaran konsumsi, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
pada tahun 2000 menjadi lebih seimbang. Dengan didukung
oleh nilai tukar yang kompetitif, ekspor nonmigas menjadi
pendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kegiatan investasi
mulai meningkat. Peningkatan ini antara lain didorong oleh
mulai tersedianya pembiayaan dari sisi perbankan di samping
tetap besarnya penggunaan dana sendiri (self financing).
Tingkat penggunaan kapasitas pada beberapa sektor produksi
bahkan telah mencapai tingkat yang tinggi guna memenuhi
konsumsi dalam negeri maupun ekspor. Sementara itu,
pengeluaran konsumsi juga tetap meningkat sejalan dengan
perbaikan tingkat pendapatan pada sebagian lapisan
masyarakat, baik yang berasal dari upah/gaji maupun ekspor.
Sumbangan ekspor, investasi, dan konsumsi terhadap
pertumbuhan PDB pada tahun 2000 masing-masing mencapai
3,9%, 3,6%, dan 3,1%. Kuatnya kinerja ekspor dan peran investasi
yang meningkat dalam pembentukan PDB mengindikasikan
semakin mantapnya proses pemulihan ekonomi yang terjadi.
Di sisi penawaran, semua sektor dalam perekonomian
mencatat pertumbuhan positif. Dengan dorongan permintaan
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, sektor industri
pengolahan, sektor perdagangan dan sektor pengangkutan
menjadi motor pertumbuhan dengan sumbangan terhadap
pertumbuhan PDB masing masing sebesar 1,6%, 0,9%, dan 0,7%.
Sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat
pertumbuhan sebesar 6,2%, sementara sektor perdagangan
serta sektor pengangkutan masing-masing meningkat sebesar
5,7% dan 9,4% (Tabel 1.1).
Di sektor eksternal, kinerja neraca pembayaran pada
tahun 2000 tetap menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Perkembangan transaksi berjalan
sepanjang tahun 2000 bahkan mencatat surplus yang cukup
besar yakni mencapai $7,7 miliar (5,0% dari PDB), atau
meningkat $1,9 miliar dari tahun sebelumnya. Surplus dalam
transaksi berjalan ini tidak hanya didorong oleh membaiknya
neraca perdagangan migas, namun juga didorong oleh
membaiknya kinerja ekspor nonmigas, khususnya dari sektor
barang industri dengan komoditi utama barang elektronik
Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut, Bank Indone-
sia memandang perlu untuk sementara waktu mem-
pertahankan kebijakan moneter yang cenderung ketat
dengan mengoptimalkan berbagai instrumen moneter. Bank
Indonesia akan terus memantau perkembangan harga-harga
dan nilai tukar rupiah dengan tetap mengupayakan penca-
paian sasaran inflasi guna mendukung proses pemulihan
ekonomi yang berkesinambungan. Sementara itu, di bidang
perbankan, kebijakan Bank Indonesia akan diarahkan pada
upaya untuk memelihara hasil dari program restrukturisasi
perbankan serta untuk memperbaiki fungsi intermediasi bank,
dengan tetap mengacu kepada asas kehati-hatian dalam
pengelolaan perbankan nasional. Untuk mendukung efektivitas
pelaksanaan kebijakan moneter dan mempercepat pemu-
lihan sektor perbankan, kebijakan di bidang sistem pembaya-
ran akan diarahkan untuk mempercepat pengembangan dan
pelaksanaan sistem pembayaran nasional yang efisien, akurat,
aman, dan handal melalui peningkatan mutu pelayanan jasa
sistem pembayaran.
Evaluasi Perekonomian Indonesia tahun 2000
Kondisi Makroekonomi
Secara keseluruhan, selama tahun 2000 perekonomian In-
donesia menunjukkan pemulihan ekonomi yang semakin
kuat dengan pola pertumbuhan ekonomi yang semakin
seimbang. Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) tahun
2000 mencapai 4,8%, lebih tinggi dari prakiraan awal tahun
Bank Indonesia sebesar 3,0%–4,0%. Sejumlah kemajuan juga
dicapai dalam proses penyelesaian utang luar negeri
pemerintah, telah selesainya program rekapitalisasi
perbankan, serta telah dicapainya kesepakatan dalam
penyelesaian masalah BLBI antara Pemerintah dan Bank
Indonesia. Namun demikian, kecepatan proses pemulihan
ekonomi tersebut dibatasi dengan masih berlanjutnya
beberapa permasalahan mendasar dalam perekonomian,
terutama berkaitan dengan lambatnya restrukturisasi utang
perusahaan, belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan,
dan relatif terbatasnya stimulus fiskal bagi pertumbuhan
ekonomi.
5
Bab 1 Tinjauan Umum
Tabel 1.1Beberapa Indikator Makroekonomi
1998 1999 2000
Pertumbuhan tahunan (%)
Produk Domestik Bruto Riil –13,1 0,8* 4,8**
(a.d. tahun dasar 1993)Menurut pengeluaran
Konsumsi –7,1 4,3 3,9Pembentukan modal tetap
domestik bruto –33,0 –19,4 17,9Ekspor barang dan jasa 11,2 –31,6 16,1Impor barang dan jasa –5,3 –40,7 18,2
Menurut lapangan usahaPertanian –1,3 2,7 1,7Pertambangan dan penggalian –2,8 –2,4 2,3Industri pengolahan –11,4 3,8 6,2Listrik, gas, dan air bersih 3,0 8,3 8,8Bangunan –36,4 –0,8 6,7Perdagangan, hotel, dan restoran –18,2 0,1 5,7Pengangkutan dan komunikasi –15,1 –0,8 9,4Keuangan, persewaan,
dan jasa perusahaan –26,6 –7,5 4,7Jasa-jasa –3,8 1,9 2,2
MoneterUang Primer 63,0 35,5 23,4
M2 62,3 11,9 15,6M1 29,2 23,2 30,1Uang Kuasi 71,7 9,5 12,1
Suku Bunga (%)SBI 1 bulan 38,4 12,5 14,5PUAB overnight 33,4 12,1 11,4Deposito 1bulan 41,4 12,2 12,0Kredit modal kerja 34,7 20,7 17,7Kredit Investasi 26,2 17,8 16,9
Inflasi 77,6 2,01 9,35
Neraca PembayaranTransaksi berjalan/PDB (%) 4,2 4,1 5,0Debt service ratio (DSR) (%) 57,9 56,8 44,8Cadangan devisa setara impor
nonmigas dan cicilan pinjaman pemerintah (bulan) 5,7 6,7 6,3
Nilai Tukar rata-rata (Rp/$) 10.088 7.850 8.400
Sumber :– Badan Pusat Statistik– Bank Indonesia
ekonomi Indonesia. Dengan perkembangan tersebut, neraca
pembayaran Indonesia secara keseluruhan mengalami surplus
sebesar $5,0 miliar. Posisi cadangan devisa bruto pada akhir
Desember 2000 meningkat menjadi $29,3 miliar, atau setara
dengan 6,3 bulan nilai impor dan pembayaran cicilan
pinjaman pemerintah.
Dalam rangka mengurangi beban pembayaran utang
luar negeri pemerintah, pada tahun laporan telah dilakukan
pertemuan Paris Club II pada tanggal 12 dan 13 April 2000.
Dalam pertemuan tersebut berhasil disetujui penjadwalan
kembali pembayaran utang pokok pemerintah sebesar $5,8
miliar, yaitu pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000 s.d. 31
Maret 2002. Di samping itu, sebagai kelanjutan dari hasil
perundingan dalam kerangka London Club, pada bulan Sep-
tember 2000 telah berhasil dijadwalkan kembali pembayaran
utang pokok pinjaman komersial yang diterima dari sindikasi
bank-bank di luar negeri sebesar $340 ,0 juta.
Dalam pada itu, langkah restrukturisasi utang luar negeri
swasta juga dilakukan. Restrukturisasi utang swasta bank yang
berhasil dilakukan melalui program exchange offer (EO)
mencapai $6,3 miliar. Sementara itu, restrukturisasi utang swasta
bukan bank yang berhasil dilakukan melalui Prakarsa Jakarta
(Jakarta Initiative Task Force/JITF) sampai dengan tahun 2000
mencapai $9,4 miliar, atau 93,6% dari target sebesar $10 miliar.
Utang swasta bukan bank yang direstrukturisasi melalui JITF
terdiri dari utang luar negeri dan dalam negeri.
Di sektor fiskal, realisasi defisit operasi keuangan
pemerintah dalam tahun 2000 diperkirakan sebesar 3,2% dari
PDB, atau lebih rendah dari rencana defisit sebesar 4,8% dari
PDB. Rasio realisasi penerimaan terhadap anggaran
penerimaan mencapai 127,0%, lebih tinggi dari rasio realisasi
pengeluaran terhadap anggaran pengeluaran yang mencapai
113,6%. Defisit anggaran tahun 2000 dibiayai dari penjualan aset
program restrukturisasi perbankan dan penarikan pinjaman luar
negeri. Relatif tingginya total penerimaan pemerintah
mengurangi kebutuhan pemerintah akan penarikan pinjaman
luar negeri untuk menutup kekurangan pembiayaan anggaran.
Penarikan pinjaman luar negeri bersih hanya mencapai 62,0%
dari rencana semula. Perkembangan tersebut telah
R i n c i a n
serta sektor pertambangan dengan komoditi utama
tembaga dan nikel.
Di sisi lain, belum pulihnya arus modal swasta asing
mengakibatkan lalu lintas modal masih mengalami defisit
sebesar $4,6 miliar. Hal ini terutama berkaitan dengan belum
pulihnya kepercayaan internasional akan prospek pemulihan
6
Bab 1 Tinjauan Umum
memungkinkan Pemerintah memperbaiki struktur fiskal yang
mengarah lebih berkesinambungan dalam jangka menengah-
panjang, meskipun dengan implikasi lebih terbatasnya stimulus
fiskal untuk pemulihan ekonomi dalam jangka pendek.
Faktor utama yang menyebabkan terlampauinya
sasaran penerimaan adalah tingginya harga minyak mentah
Indonesia di pasar internasional selama tahun anggaran 2000
yang mencapai rata-rata $29,1 per barel, lebih tinggi dari
asumsi semula sebesar $20,0 per barel. Kenaikan harga migas
tersebut juga meningkatkan penerimaan pajak, khususnya
pajak penghasilan (PPh) migas yang disetorkan ke
Pemerintah. Realisasi tax ratio tahun 2000 mencapai 11,8%
dari PDB nominal, lebih tinggi dari sasaran dalam APBN tahun
2000 sebesar 11,1%. Sementara itu, realisasi tax ratio tanpa
PPh migas hampir sama dengan sasarannya, yakni sekitar
10,0% dari PDB.
Dari sisi pengeluaran, hampir 75,0% dari realisasi
pengeluaran pemerintah dialokasikan untuk pengeluaran
yang bersifat wajib seperti belanja pegawai, pembayaran
bunga utang dan subsidi. Belanja pegawai mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sebagai akibat kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji
pegawai negeri sebesar 15,0% masing-masing pada bulan
April dan Oktober 2000. Peningkatan pembayaran subsidi,
khususnya subsidi BBM, merupakan akibat kenaikan harga
minyak, depresiasi rupiah, kenaikan impor BBM, serta
penundaan pelaksanaan pengurangan subsidi. Sementara
itu, peningkatan pembayaran beban utang selain
diperuntukkan bagi pembayaran bunga utang luar negeri,
juga ditujukan untuk pembayaran bunga obligasi dalam
rangka rekapitalisasi perbankan.
Nilai Tukar dan Inflasi
Seperti telah disinggung sebelumnya, dengan masih ber-
lanjutnya beberapa permasalahan struktural dalam
perekonomian dan meningkatnya faktor ketidakpastian di
dalam negeri, proses pemulihan ekonomi selama tahun 2000
ternyata dibarengi oleh meningkatnya tekanan terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah. Selama tahun 2000, nilai tukar ru-
piah rata-rata mencapai Rp8.400 per dolar AS, lebih tinggi dari
asumsi yang dipergunakan dalam penetapan sasaran inflasi
yakni sebesar Rp7.000 per dolar AS. Tekanan terhadap nilai
tukar rupiah meningkat terutama sejak bulan April 2000 sebagai
akibat perkembangan politik dan keamanan menjelang
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000, menguatnya mata uang
dolar AS terhadap hampir semua mata uang utama dunia,
dan besarnya permintaan valuta asing untuk pembayaran
utang luar negeri. Berbagai tekanan terhadap rupiah tersebut
telah mengakibatkan kurs rupiah menjadi terlalu rendah (un-
dervalued) dan tidak sesuai dengan perkembangan fun-
damental perekonomian.
Secara umum, kecenderungan melemahnya nilai tukar
rupiah tersebut terutama disebabkan oleh menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap prospek pemulihan
ekonomi akibat berbagai faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal yang menyebabkan depresiasi rupiah terkait
dengan masih terbatasnya pasokan valuta asing di pasar
sebagai akibat dari masih rendahnya arus modal masuk swasta
dan tidak kembali sepenuhnya hasil devisa ekspor ke dalam
negeri, sementara tekanan permintaan valuta asing dari sektor
swasta khususnya dalam rangka pelunasan utang luar negeri
yang jatuh tempo. Selain itu, sentimen negatif pasar terhadap
gejolak politik dan keamanan dalam negeri juga memperburuk
tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Dari sisi eksternal, kecenderungan meningkatnya suku
bunga internasional dan gejala menguatnya dolar AS dalam
skala global serta gejolak nilai tukar regional dalam tahun 2000
telah turut memberi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Disamping itu, tingginya gejolak rupiah juga dimungkinkan
karena pelaku pasar nonresiden semakin aktif dalam
perdagangan rupiah di pasar off-shore sejalan dengan
meningkatnya internasionalisasi rupiah. Dengan likuiditas
valuta asing yang sangat terbatas menyebabkan kondisi pasar
valuta asing sangat tipis, sehingga adanya tekanan-tekanan
kecil di sisi permintaan telah menimbulkan lonjakan-lonjakan
yang tajam dalam nilai tukar. Dalam perkembangannya, reaksi
pasar cenderung bersifat asimetris, dengan kecenderungan
reaksi yang berlebihan terhadap berita negatif.
7
Bab 1 Tinjauan Umum
di dalam negeri dengan tetap mengupayakan pencapaian
sasaran laju inflasi yang menjadi tujuan Bank Indonesia guna
mendukung proses pemulihan ekonomi yang ber-
kesinambungan.
Dalam perkembangannya, laju inflasi IHK tahun 2000
mencapai 9,35% (y.o.y), lebih tinggi daripada laju inflasi pada
tahun 1999 sebesar 2,01%. Kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan selama tahun 2000 diperkirakan telah
memberikan kontribusi terhadap inflasi sebesar 3,42%, lebih
besar dari 2,0% seperti yang diperkirakan semula. Hal ini
disebabkan oleh belum teridentifikasikannya sejumlah
kebijakan di awal tahun, lebih besarnya sebagian kenaikan
tarif daripada yang diperkirakan, dan adanya perubahan pola
implementasi kebijakan. Dengan demikian, laju inflasi dalam
tahun laporan di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan tersebut diperkirakan sebesar 5,93%.
Angka laju inflasi ini masih melampaui sasaran inflasi Bank In-
donesia tahun 2000 yang ditetapkan sebesar 3,0%–5,0%.
Kebijakan dan Perkembangan Moneter
Meningkatnya tekanan terhadap inflasi dan melemahnya
nilai tukar rupiah mendorong Bank Indonesia menempuh
kebijakan moneter yang cenderung ketat terutama sejak
bulan Mei 2000. Kebijakan ini ditempuh guna mencapai laju
inflasi yang cukup rendah yang memiliki arti penting bagi
kelangsungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang
dengan tetap mempertimbangkan dampaknya secara mini-
mal terhadap proses pemulihan perbankan, penyelesaian
utang, dan pemulihan perekonomian yang sedang
berlangsung.
Pada tahun 2000, penetapan sasaran indikatif uang
primer dilakukan dengan memperhitungkan beberapa asumsi
besaran perekonomian yaitu sasaran inflasi, pertumbuhan
perekonomian, dan nilai tukar. Berkaitan dengan asumsi-asumsi
tersebut, Bank Indonesia menetapkan target pertumbuhan
uang primer tahun 2000 sebesar 8,3%. Target ini menyiratkan
adanya sikap optimis terhadap pulihnya kegiatan ekonomi
dengan tetap memperhatikan tekanan-tekanan inflasi yang
dapat timbul.
Akselerasi pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang
diprakirakan juga telah meningkatkan tekanan kenaikan harga
terutama sejak pertengahan tahun 2000. Tekanan inflasi muncul
karena dorongan permintaan agregat yang tinggi tidak
sepenuhnya dapat diimbangi dengan kenaikan sisi penawaran
agregat sebagai akibat masih adanya berbagai permasalahan
struktural dalam perekonomian. Tekanan inflasi menjadi lebih
tinggi lagi dengan adanya kebijakan pemerintah untuk
mengurangi berbagai subsidi guna mendorong pembentukan
harga berdasarkan mekanisme pasar, melemahnya nilai tukar
rupiah, serta tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat. Berbagai
perkembangan tersebut mengakibatkan kecenderungan
kenaikan harga-harga menjadi sulit diredam dengan segera
karena sifatnya yang menetap (persistent).
Adanya tekanan inflasi yang tinggi di tengah-tengah
proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan mengakibatkan
kebijakan moneter Bank Indonesia dalam pengendalian inflasi
menjadi dilematis. Di satu sisi, upaya menjaga kestabilan
moneter membutuhkan langkah-langkah pengetatan
moneter agar pembentukan ekspektasi inflasi sedapat
mungkin dibendung sejak awal. Namun di sisi lain, upaya
pengetatan moneter yang seketika dan berlebihan dapat
menumpulkan kembali insiatif-inisiatif dari dunia usaha dan
masyarakat pada umumnya untuk melakukan kegiatan usaha.
Implementasi kebijakan tersebut menjadi semakin sulit
mengingat Bank Indonesia menghadapi keterbatasan dalam
mengendalikan permintaan agregat perekonomian sehu-
bungan dengan belum normalnya transmisi kebijakan moneter
ke sektor riil. Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan
mengakibatkan adanya ekses likuiditas di perbankan,
sehingga sinyal kebijakan moneter yang cenderung ketat tidak
direspons oleh perbankan dengan peningkatan suku bunga
yang sepadan. Dalam kondisi demikian, pengendalian
permintaan agregat sebagaimana direncanakan semula
memerlukan kenaikan suku bunga yang sangat besar. Namun
langkah tersebut dikhawatirkan dapat mengancam proses
pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia selama tahun
2000 terus menerus memantau perkembangan harga-harga
8
Bab 1 Tinjauan Umum
Namun dalam pelaksanaannya, upaya Bank Indonesia
dalam menjaga uang primer selama tahun 2000 mengalami
beberapa kendala yang terutama berasal dari tidak sesuainya
asumsi-asumsi yang mendasari perhitungan target uang
primer. Dalam realisasinya PDB tumbuh lebih cepat dari yang
diprakirakan, sementara nilai tukar mengalami tekanan
depresiasi yang lebih besar daripada prakiraan awal tahun.
Perkembangan uang primer cenderung terus meningkat dan
berada di atas target indikatif yang ditetapkan awal tahun,
terutama sejak bulan Mei 2000. Peningkatan uang primer yang
sangat besar terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar
Rp25,4 triliun dari posisi akhir November 2000 sebesar Rp100,2
triliun. Dengan perkembangan tersebut, posisi uang primer
pada akhir Desember 2000 mencapai Rp125,6 triliun, atau
23,4% lebih tinggi daripada posisi akhir tahun sebelumnya.
Dilihat dari komponennya, tingginya kenaikan uang
primer disebabkan oleh kuatnya permintaan uang kartal.
Tingginya permintaan uang kartal selain disebabkan oleh
tingginya kegiatan ekonomi dalam tahun 2000 juga dikarenakan
kecenderungan menurunnya tingkat suku bunga riil deposito.
Hal ini mengingat belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan
sehingga sinyal kebijakan moneter tidak direspon secara
sepadan oleh perbankan. Di samping itu, tingginya permintaan
uang kartal juga disebabkan oleh tindakan berjaga-jaga
masyarakat seiring dengan tingginya faktor ketidakpastian
selama tahun laporan serta pengaruh faktor musiman yang
terutama terjadi pada Desember 2000 sehubungan dengan
berlangsungnya sejumlah hari raya keagamaan secara
bersamaan, berakhirnya tahun fiskal, serta lebih panjangnya hari
libur akhir tahun 2000. Berbagai faktor tersebut menyebabkan
posisi uang kartal mencapai Rp72,4 triliun atau tumbuh sebesar
24,0% pada akhir Desember 2000. Sementara itu posisi saldo
positif bank pada Bank Indonesia selama tahun 2000 tidak
mengalami perubahan yang berarti. Dari faktor yang
mempengaruhi uang primer, kenaikan uang primer ini
disebabkan oleh ekspansi tagihan bersih kepada Pemerintah
(NCG) dan operasi pasar terbuka (OPT) sepanjang tahun 2000.
Berkaitan dengan pengendalian uang primer, Bank
Indonesia menghadapi dilema khususnya dalam upaya untuk
mengembalikan posisi uang primer ke sasaran indikatif. Dilema
tersebut terkait dengan pertanyaan apakah kebijakan
moneter akan tetap mengikuti arah seperti direncanakan di
awal tahun, ataukah perlu disesuaikan kembali untuk
mendukung proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan
dengan konsekuensi mengorbankan pencapaian sasaran laju
inflasi yang telah ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, Bank
Indonesia memilih menempuh kebijakan moneter yang
diarahkan untuk menyerap kelebihan likuiditas agar tidak
menambah tekanan terhadap inflasi dan melemahnya nilai
tukar. Namun demikian upaya menstabilkan kembali laju inflasi
dan nilai tukar dilakukan dengan tetap menjaga agar
kenaikan suku bunga secara drastis dan berlebihan dapat
dihindarkan.
Dalam menjalankan kebijakan moneter, Bank Indonesia
terutama menggunakan piranti Operasi Pasar Terbuka (OPT)
dalam bentuk penjualan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan
transaksi intervensi rupiah di pasar uang. Strategi pengendalian
moneter melalui OPT tersebut juga dibarengi dengan langkah-
langkah untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah yang
berlebihan. Langkah kebijakan yang telah ditempuh antara lain
adalah operasi sterilisasi di pasar valuta asing guna menyerap
ekspansi pengeluaran rupiah pemerintah yang dibiayai dengan
dana yang berasal dari luar negeri. Di samping itu, Bank Indone-
sia juga melakukan pengawasan langsung pada sejumlah bank
guna meningkatkan kepatuhan perbankan terhadap ketentuan
kehati-hatian yang terkait dengan transaksi valuta asing, serta
monitoring terhadap rekening vostro sebagai langkah awal
menuju pembatasan transaksi rupiah oleh non-residen.
Kebijakan moneter yang cenderung ketat tercermin
dari peningkatan suku bunga SBI secara bertahap untuk
memberikan sinyal kepada pasar akan perlunya mengurangi
tekanan laju inflasi dan melemahnya nilai tukar. Setelah
sempat menurun dari 11,48% pada akhir Januari menjadi
10,88% pada bulan Mei, suku bunga SBI 1 bulan kemudian
berangsur-angsur meningkat sehingga pada akhir Desember
telah mencapai 14,53%. Namun demikian, peningkatan suku
bunga SBI tersebut tidak diikuti oleh peningkatan suku bunga
deposito secara sepadan sehubungan dengan tingginya
9
Bab 1 Tinjauan Umum
ekses likuiditas bank-bank sebagai akibat belum berjalannya
fungsi intermediasi perbankan secara normal.
Dengan perkembangan tersebut, suku bunga riil depo-
sito perbankan di tahun 2000 cenderung menunjukkan
penurunan dan mencapai 2,56% pada akhir tahun 2000.
Penurunan suku bunga deposito ini mencerminkan penurunan
opportunity cost memegang uang kartal dan selanjutnya
mendorong terjadinya proses penyesuaian portofolio (portfo-
lio adjustment) kearah aset-aset yang lebih likuid di masyarakat.
Selama tahun 2000, deposito dan tabungan di perbankan
mengalami pertumbuhan yang menurun, sementara uang giral
dan uang kartal sebaliknya menunjukkan peningkatan
pertumbuhan. Perkembangan ini dengan sendirinya ber-
pengaruh kepada meningkatnya laju pertumbuhan uang
primer dan M1 terutama pada akhir periode, sementara laju
pertumbuhan M2 mengalami penurunan.
Kebijakan dan Perkembangan Perbankan
Dalam tahun 2000, sebagai kelanjutan dari kebijakan tahun
sebelumnya, kebijakan perbankan tetap difokuskan pada upaya
memperlancar program penyehatan lembaga perbankan dan
program peningkatan ketahanan industri perbankan di masa
depan. Program penyehatan lembaga perbankan meliputi
penjaminan pemerintah bagi bank umum dan BPR, rekapitalisasi
perbankan, restrukturisasi kredit perbankan dan pemulihan fungsi
intermediasi perbankan. Sementara itu, upaya meningkatkan
ketahanan sistem perbankan difokuskan pada pengembangan
infrastruktur perbankan, peningkatan mutu pengelolaan
perbankan (good governance) serta penyempurnaan sistem
pengaturan dan pengawasan bank.
Berkaitan dengan program rekapitalisasi, Pemerintah
bersama Bank Indonesia telah menyelesaikan program reka-
pitalisasi perbankan pada 31 Oktober 2000, seiring dengan
telah selesainya rekapitalisasi enam bank umum (BNI, BRI, BTN,
Bank Niaga, Bank Bali dan Bank Danamon). Jumlah obligasi
yang diterbitkan selama tahun 2000 mencapai Rp148,6 triliun,
sehingga total obligasi pemerintah yang diterbitkan dalam
rangka program rekapitalisasi perbankan adalah sebesar
Rp430,4 triliun.
Dengan telah selesainya program rekapitalisasi, maka
diharapkan permodalan bank sudah tidak lagi menjadi
kendala bagi penyehatan perbankan dan obligasi tersebut
dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bank dengan
cara menjual atau mengagunkannya. Untuk meningkatkan
perdagangan obligasi pemerintah di pasar sekunder,
Pemerintah telah melakukan upaya untuk meningkatkan daya
tarik obligasi pemerintah, antara lain melalui program
pertukaran obligasi pemerintah (bond exchange offer). Pro-
gram ini dilakukan dengan menawarkan penukaran obligasi
rekap yang dimiliki bank (FR 001 dan 003) dengan stapled
bonds (FR 006, 007, 008 dan 009) dengan tujuan agar aktivitas
perdagangan obligasi pemerintah dapat menjadi lebih
menarik bagi investor dan membantu bank-bank rekap dalam
pemenuhan kebutuhan likuiditasnya.1)
Penyempurnaan ketentuan perbankan ditujukan untuk
meningkatkan praktek-praktek perbankan yang berdasarkan
prinsip kehati-hatian sesuai dengan standar internasional.
Penyempurnaan tersebut meliputi fit and proper test, exit
policy, BMPK, restrukturisasi kredit, penilaian aktiva produktif,
kelembagaan bank umum, pendanaan jangka pendek,
perdagangan portofolio obligasi dan bank syariah. Ketentuan
exit policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam
penanganan bank bermasalah yang lebih transparan dengan
menetapkan kriteria bank yang dikategorikan dalam
pengawasan khusus dan tindakan-tindakan korektif yang harus
diselesaikan dalam periode tertentu dan kriteria bank untuk
dialihkan menjadi Bank Dalam Penyehatan di bawah
pengawasan BPPN.
Dalam rangka pemantapan pengawasan bank, Bank
Indonesia telah menyempurnakan sistem pengawasan yang
semula terfokus pada compliance based supervision diperluas
menjadi pengawasan yang berbasis risiko (risk based supervi-
1) Stapled Bonds adalah suatu paket obligasi yang terdiri dari dua jenisobligasi. Obligasi jenis pertama (FR 006 dan 008) memberikan kuponsesuai dengan yield yang diharapkan pasar (market expected yield)yaitu sebesar 16,5%, sementara obligasi jenis kedua (FR 007 dan 009)memberikan kupon sebesar 10,0%. Meskipun demikian, rata-ratatertimbang kupon dua jenis obligasi tersebut adalah sama dengankupon obligasi rekap yang dipertukarkan yaitu sebesar 12,5%.
10
Bab 1 Tinjauan Umum
sion) dan berorientasi ke depan yang mengacu pada standar
internasional. Dalam kaitan tersebut Bank Indonesia telah
menempatkan tenaga pengawas dalam rangka On-site Su-
pervisory Presence pada beberapa bank. Sementara itu, untuk
lebih meningkatkan kemampuan tenaga pengawas bank
serta penanganan tugas pengawasan khusus (Special
Surveilance) telah dilakukan pelatihan-pelatihan dan
persiapan untuk pelaksanaan consolidated supervision.
Sementara itu, upaya peningkatan mutu pengelolaan
perbankan (good governance) dimaksudkan untuk mening-
katkan kompetensi dan integritas bankir melalui pelaksanaan
fit and proper test, wawancara terhadap calon pemilik dan
pengurus (new entry) serta penunjukan compliance director
yang bertanggung jawab atas kepatuhan bank terhadap
ketentuan kehati-hatian yang berlaku.
Dalam tahun 2000, berbagai kebijakan pokok yang
telah ditempuh di atas telah menunjukkan hasil dengan
adanya berbagai kemajuan dalam kinerja perbankan
nasional. Dengan selesainya program rekapitalisasi perbankan
pada akhir Oktober 2000, permodalan bank yang pada tahun
1999 masih negatif telah membaik hingga mencapai Rp53,5
triliun pada Desember 2000 sehingga meningkatkan capital
adequacy ratio (CAR) bank. Sementara itu penghimpunan
dana bank yang menunjukkan peningkatan sudah mulai diikuti
pula dengan peningkatan penyaluran kredit. Hingga
Desember 2000, non-performing loans (NPLs) juga telah
membaik hingga mencapai 18,8% secara gross atau 5,8%
secara netto,2) yang disebabkan oleh pengalihan kredit ber-
masalah ke BPPN, restrukturisasi kredit dan penyaluran kredit
baru. Dalam pada itu net interest margin (NIM) yang negatif
pada tahun 1999 telah membaik menjadi positif sebesar Rp22,8
triliun sejalan dengan positive spread yang didukung juga
dengan relatif stabilnya suku bunga dana. Perbaikan CAR,
peningkatan penghimpunan dana dan penyaluran kredit,
perbaikan NPLs, dan NIM yang positif diharapkan akan terus
berlanjut pada tahun 2001.
Meskipun mencatat perbaikan yang cukup berarti, per-
bankan masih menghadapi beberapa tantangan seperti be-
lum pulihnya fungsi intermediasi perbankan secara normal. Hal
ini antara lain disebabkan oleh masih tingginya faktor risiko dan
ketidakpastian serta proses restrukturisasi kredit yang belum ber-
jalan sepenuhnya. Dengan masih terbatasnya penyaluran kre-
dit, ekses likuiditas yang dialami perbankan lebih banyak dita-
namkan pada SBI, antar bank aktiva serta surat-surat berharga
lainnya. Hal ini perlu diwaspadai karena tidak dapat menjamin
kesinambungan kinerja perbankan di masa mendatang.
Berkaitan dengan restrukturisasi kredit perbankan,
berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan oleh Satgas
Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia maupun oleh BPPN.
Langkah-langkah penyempurnaan oleh Satgas Restrukturisasi
Kredit Bank Indonesia mencakup upaya untuk meningkatkan
koordinasi kelembagaan dengan BPPN dan Prakarsa Jakarta,
koordinasi internal Bank Indonesia, serta kemampuan
profesional satgas dalam proses mediasi restrukturisasi kredit.
Penyempurnaan strategi untuk mempercepat restrukturisasi
kredit juga dilakukan oleh BPPN terutama dengan penge-
lompokkan kredit berdasarkan prospek usaha dan potensi
pengembaliannya, itikad debitur, dan pemberian sanksi bagi
debitur tidak kooperatif dan insentif bagi debitur kooperatif.
Di samping itu, untuk mempercepat restrukturisasi kredit di ba-
wah Rp5 miliar, BPPN memberikan insentif dalam bentuk diskon
bunga (25,0%–50,0%), diskon denda (100,0%), dan penjualan
kredit.
Dalam perkembangannya, sampai dengan Desember
2000, jumlah kredit yang telah direstrukturisasi baik oleh bank
sendiri atau melalui fasilitasi Satgas Restrukturisasi Kredit Bank
Indonesia telah mencapai Rp59,9 triliun atau sekitar 71,0% dari
total NPLs. Sementara itu, restrukturisasi kredit oleh BPPN yang
mencapai tahap implementasi proposal dan penan-
datanganan Memorandum of Understanding (MoU) restruk-
turisasi baru sebesar 28,3% dari total kredit sebesar Rp286,3 triliun.
Sehubungan dengan itu, percepatan proses restrukturisasi kredit
khususnya yang dilakukan oleh BPPN akan menjadi salah satu
faktor pendorong pulihnya kondisi perbankan dan pesatnya
kegiatan investasi pada periode mendatang.
2) Dalam praktek internasional, NPL dihitung secara netto artinya denganmemperhitungkan penyisihan penghapusan aktiva produktif (PPAP)yang dibentuk
11
Bab 1 Tinjauan Umum
masyarakat akan uang kartal dalam jumlah dan kualitas yang
memadai. Kenaikan kebutuhan uang kartal tersebut, selain
disebabkan oleh peningkatan kegiatan ekonomi, juga untuk
kebutuhan berjaga-jaga khususnya menghadapi tanggal-
tanggal kritis di tahun 2000, dan kebutuhan untuk merayakan
hari-hari besar keagamaan.
Posisi UYD sepanjang tahun 2000 cenderung meningkat.
Posisi UYD akhir Desember 2000 mencapai Rp89,7triliun,
meningkat 23,6% dibandingkan dengan posisi UYD akhir
Desember tahun 1999 yang hanya sebesar Rp72,6 triliun.
Besarnya kenaikan UYD terutama disebabkan adanya
penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam rangka
menghadapi bulan Ramadhan, Hari Natal dan Hari Raya Idul
Fitri yang waktunya hampir bersamaan pada bulan Novem-
ber dan Desember 2000.
Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan antara uang
kertas dan uang logam sepanjang tahun 2000 tidak banyak
mengalami perubahan, dengan pangsa masing-masing jenis
uang sebesar 98,5% dan 1,5%. Sementara itu, dilihat dari
pecahannya, posisi UYD di tahun 2000 didominasi oleh
pecahan Rp100.000,00 dan Rp50.000,00 yang pangsa
keduanya mencapai 58,5% dari total UYD.
Selain menyediakan uang dalam jumlah yang cukup,
Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar kualitas uang
yang beredar di masyarakat selalu baik dengan cara
melakukan kebijakan pemusnahan uang yang sudah tidak
layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta
mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.
Sementara itu, dalam rangka menanggulangi
peningkatan uang palsu yang cukup meningkat dalam tahun
2000 ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif
dan represif. Beberapa langkah preventif antara lain dengan
mencabut dan menarik dari peredaran uang kertas yang
banyak dipalsukan yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi 1993/95
(seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri Cendra-
wasih), dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri Hamengku-
buwono IX). Di samping itu, Bank Indonesia menyebarluaskan
ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui media cetak, papan
pengumuman, serta kegiatan penataran. Hal lain dilakukan
Sementara itu, dengan dialihkannya pengelolaan kredit
likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dalam rangka kredit program
kepada Pemerintah, kebijakan perkreditan Bank Indonesia
dalam pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM)
mengalami perubahan yang mendasar. Kebijakan Bank Indo-
nesia selanjutnya diarahkan pada peningkatan bantuan teknis
kepada usaha kecil dan mikro, mendorong diversifikasi porto-
folio perbankan kearah peningkatan pangsa kredit untuk
usaha kecil dan mikro, serta memfasilitasi pengembangan
Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem
Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE).
Di kelompok lembaga keuangan lainnya, sebagai
dampak dari kondisi ekonomi yang semakin kondusif dalam
tahun laporan, kinerja perusahaan pembiayaan tampak
membaik. Sejalan dengan meningkatnya konsumsi
masyarakat, penyaluran dana perusahaan pembiayaan
menunjukkan perkembangan sedikit lebih baik daripada
tahun sebelumnya. Sementara itu, masih lambatnya proses
penyaluran kredit perbankan, telah memberikan peluang
kepada pegadaian untuk memenuhi kebutuhan
pembiayaan kepada masyarakat, khususnya untuk jangka
waktu pendek.
Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran
Sepanjang tahun 2000 Bank Indonesia masih terus melakukan
berbagai upaya penyempurnaan untuk menciptakan sistem
pembayaran nasional yang efisien, cepat, aman dan handal
guna mendukung efektifitas pelaksanaan kebijakan moneter
serta mendorong upaya penciptaan sistem perbankan yang
sehat. Secara garis besar, kebijakan sistem pembayaran terdiri
dari kebijakan pengedaran uang dan peningkatan pelayanan
jasa Bank Indonesia di bidang lalu lintas pembayaran.
Di bidang pengedaran uang, dalam lingkup pemba-
yaran tunai Bank Indonesia berusaha mencukupi kebutuhan
masyarakat terhadap uang kertas dan uang logam untuk
keperluan pembayaran serta menjaga agar uang yang
diedarkan (UYD) oleh Bank Indonesia berada dalam kondisi
layak edar. Pada tahun 2000, Bank Indonesia meningkatkan
penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan kebutuhan
12
Bab 1 Tinjauan Umum
indicator) yang dilakukan Bank Indonesia. Dari sisi eksternal,
perekonomian global diprakirakan masih mengalami
perkembangan yang positif yaitu sebesar 4,2%, atau sedikit
lebih rendah dibanding tahun 2000 sebesar 4,7%. Penurunan
pertumbuhan terutama akan terjadi di negara-negara
Amerika Utara dan sebagian negara di kawasan Eropa.
Namun berbagai negara terutama Jepang diprakirakan
mengalami pertumbuhan yang meningkat sehingga dapat
memberikan dampak positif terhadap iklim investasi dan ekspor
Indonesia melalui berbagai anak perusahaan dan perusahaan
patungan yang beroperasi di Indonesia.
Sejalan dengan kegiatan ekonomi dunia yang sedikit
menurun dan harga minyak yang masih tinggi, volume
perdagangan dunia akan tumbuh meskipun melambat. Inflasi
di negara-negara industri juga diprakirakan akan mengalami
penurunan di tahun 2001, sementara suku bunga internasional
diperkirakan relatif tetap sehingga mendorong adanya aliran
dana ke negara-negara berkembang (emerging markets)
termasuk negara-negara yang terkena krisis seiring dengan
membaiknya credit rating.
Dengan mempertimbangkan kondisi eksternal di atas
dan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8% di tahun 2000,
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2001 diprakirakan
dapat mencapai sekitar 4,5%–5,5%. Pertumbuhan moderat
tersebut sebagai kelanjutan dari proses pemulihan yang terus
berlangsung. Dari sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi
diprakirakan mencatat pertumbuhan positif di tahun 2001
dengan sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, dan
sektor bangunan akan tetap menjadi sumber pertumbuhan
ekonomi. Dari sisi permintaan, pendorong utama pertumbuhan
ekonomi diprakirakan masih akan bersumber dari kegiatan
ekspor dan investasi. Dorongan untuk meningkatkan utilisasi
kapasitas produksi ataupun penambahan kapasitas yang telah
ada untuk kebutuhan domestik maupun ekspor diperkirakan
memperoleh momentum yang lebih kuat seperti adanya suku
bunga riil yang masih relatif rendah dan fungsi intermediasi
perbankan yang diperkirakan terus membaik.
Sementara itu, seiring dengan meningkatnya investasi dan
masih relatif baiknya pertumbuhan ekspor, impor juga
dengan meningkatkan koordinasi bersama unsur-unsur terkait.
Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui koordinasi
dengan instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan
pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat
dalam pemalsuan uang Rupiah.
Di bidang lalu lintas pembayaran, kebijakan dalam ling-
kup pembayaran bukan tunai mencakup penerusan
langkah-langkah pengembangan sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS), memantapkan tindakan dalam meng-
hadapi masalah komputer tahun (MKT) 2000, penyem-
purnaan berbagai peraturan dan ketentuan lalu lintas
pembayaran dan kliring, serta peningkatan keamanan
semua komponen infrastruktur jaringan komputer Bank Indo-
nesia (BI-Net) dalam rangka implementasi RTGS dengan
melakukan audit terhadap BI-Net.
Dalam tahun laporan, transaksi menggunakan alat
pembayaran bukan tunai juga meningkat cukup tajam, baik
yang berbasis warkat maupun yang menggunakan kartu
elektronik. Sampai akhir tahun 2000, nominal kliring penyerahan
secara nasional menunjukkan peningkatan sebesar 41,7% dari
tahun 1999, sedangkan volume warkat kliring penyerahan
mengalami penurunan sebesar 7,9 %. Peningkatan nominal
kliring penyerahan yang cukup besar terjadi pada triwulan IV/
2000, terutama berkaitan dengan adanya serangkaian
perayaan hari besar keagamaan pada penghujung tahun
2000. Sementara itu, penurunan volume warkat kliring
penyerahan yang terjadi pada triwulan IV/2000 dapat menjadi
indikasi awal bahwa implementasi BI-RTGS sangat diminati oleh
kalangan perbankan nasional. Hal tersebut ditunjukkan
dengan kecenderungan beralihnya aktivitas kliring nilai besar
pada wilayah kliring Jakarta, dari Otomasi Kliring Jakarta (OKJ)
dan Sistem Kliring Elektronis Jakarta (SKEJ) ke BI-RTGS.
Prospek Ekonomi Dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Kondisi Makroekonomi
Prospek perekonomian Indonesia tahun 2001 diprakirakan akan
membaik sejalan dengan berbagai perkembangan positif baik
dari sisi eksternal maupun internal. Hal ini diindikasikan dari
hasil survey maupun Indikator Dini Ekonomi (leading economic
13
Bab 1 Tinjauan Umum
diprakirakan akan meningkat khususnya impor bahan baku dan
barang modal. Dengan perkembangan tersebut surplus transaksi
berjalan diprakirakan akan sedikit menurun menjadi sekitar 2,0%–
4,0% dari PDB. Namun, secara keseluruhan kinerja neraca
pembayaran Indonesia diharapkan masih akan tetap
terpelihara. Sementara itu, beban pembayaran utang luar
negeri diperkirakan akan mulai berkurang di tahun 2001
terutama utang luar negeri swasta sejalan dengan kemajuan
yang dicapai dalam restrukturisasi utang luar negeri swasta.
Dengan perkembangan tersebut, kondisi defisit neraca modal
diperkirakan akan semakin mengecil dibandingkan periode
tahun sebelumnya.
Nilai Tukar dan Inflasi
Faktor risiko dan ketidakpastian, khususnya akibat kondisi sosial-
politik dan keamanan yang belum membaik, masih akan
mempengaruhi perkembangan nilai tukar. Tekanan-tekanan
melemahnya nilai tukar rupiah masih akan dirasakan, namun
secara keseluruhan nilai tukar rupiah diprakirakan dapat
menguat sehingga mencapai rata-rata sekitar Rp7.750 – Rp8.250
per dolar AS pada tahun 2001. Dari sisi domestik, membaiknya
kondisi fundamental ekonomi Indonesia pada tahun 2001, baik
dari segi kinerja ekonomi maupun komitmen untuk melakukan
perbaikan struktural, diperkirakan akan meningkatkan ke-
percayaan terhadap perekonomian nasional. Di sisi lain, kondisi
politik dan keamanan dalam negeri diharapkan semakin
kondusif. Sementara itu, dari sisi eksternal, kecenderungan
melambatnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat pada
tahun 2001 diperkirakan akan mendorong penurunan suku
bunga dolar AS, yang pada gilirannya akan menghambat laju
apresiasi dolar AS secara global. Patut dikemukakan bahwa nilai
tukar rupiah secara riil (real effective exchange rate/REER)
diperkirakan akan tetap kompetitif sehingga tetap dapat
mendukung proses perbaikan struktur ekonomi dan alokasi
sumber-sumber daya ke arah yang lebih efisien.
Dengan memperhatikan kecenderungan-kecen-
derungan yang terjadi, tekanan-tekanan kenaikan harga
pada tahun 2001 diprakirakan akan tetap besar. Hal ini
disebabkan masih tingginya ekspektasi inflasi seiring dengan
meningkatnya penggunaan kapasitas produksi dan cukup
kuatnya sisi permintaan. Di sisi lain, rencana Pemerintah untuk
meningkatkan harga BBM, harga dasar gabah, cukai rokok,
gaji PNS dan UMR diprakirakan juga akan memberikan dampak
pada inflasi. Selain itu, mulai diberlakukannya otonomi daerah
pada tahun 2001 dikhawatirkan akan dapat memacu laju
inflasi, terutama apabila daerah berlomba-lomba untuk
meningkatkan pungutan, retribusi, ataupun pajak daerah. Oleh
karena itu, upaya untuk meredam tekanan-tekanan inflasi
harus dapat dilakukan secara pre-emptive tanpa meng-
ganggu proses pemulihan ekonomi nasional.
Sasaran Inflasi
Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek
makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan
harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank
Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 diluar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-
patan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak kebijakan
Pemerintah Pusat di bidang harga dan pendapatan yang
telah teridentifikasi seperti peningkatan gaji pegawai negeri
sipil (PNS), TNI dan Polri, kenaikan UMR, pengurangan subsidi
BBM, kenaikan harga dasar gabah, serta kenaikan cukai rokok,
diprakirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju
inflasi sekitar 2,0%–2,5% diatas sasaran tersebut.
Tantangan Ke depan
Gambaran mengenai prospek ekonomi, nilai tukar dan
sasaran inflasi tersebut akan sangat dipengaruhi oleh
kemajuan dalam penyelesaian berbagai permasalahan
mendasar dalam perekonomian dan perkembangan
berbagai faktor risiko dan ketidakpastian. Upaya mengatasi
berbagai faktor tersebut akan menjadi kunci keberhasilan
dalam menjamin prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik
pada tahun 2001 dan tahun-tahun mendatang. Berbagai
faktor risiko dan ketidakpastian tersebut antara lain
mencakup:
– Pertama, kemungkinan berlanjutnya ketidakpastian kondisi
politik dan keamanan dalam negeri. Berlanjutnya
14
Bab 1 Tinjauan Umum
hukum, termasuk penegakan hukum, terutama melalui
penerapan UU kepailitan maupun pembenahan secara
menyeluruh institusi yudikatif di Indonesia.
– Ketujuh, dari sisi eksternal, ketidakpastian dan risiko yang
mungkin terjadi adalah melambatnya perekonomian
Amerika Serikat sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
global secara tajam (hard landing). Melambatnya
ekonomi AS ini merupakan ancaman bagi optimisme
terhadap kinerja ekspor sebagai salah satu motor
penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2001.
Arah Kebijakan
Dengan memperhatikan prospek ekonomi di tahun 2001 dan
sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai tantangan yang
muncul, Bank Indonesia akan berupaya untuk secara konsisten
dan berhati-hati menempuh kebijakan-kebijakan di bidang
moneter, sistem pembayaran dan perbankan.
Sehubungan dengan hal tersebut, kebijakan Bank Indo-
nesia di bidang moneter tetap diarahkan pada upaya
mengendalikan tekanan inflasi dan stabilisasi nilai tukar rupiah
melalui pengendalian instrumen-instrumen moneter yang
mengacu pada sasaran uang primer. Guna mencapai sasaran
laju inflasi di atas, Bank Indonesia berkeyakinan bahwa tingkat
pertumbuhan uang primer yang sesuai dengan sasaran inflasi
serta tidak menimbulkan risiko yang berlebihan pada proses
pemulihan perbankan dan ekonomi secara keseluruhan,
adalah berada pada kisaran 11,0%-12,0%. Sasaran
pertumbuhan ini dihitung berdasarkan perkembangan uang
primer bulan Desember 2000, dengan melakukan koreksi atas
unsur musiman yang cukup signifikan pada bulan tersebut.
Pencapaian target instrumen-instrumen moneter
dimaksud tetap akan mengacu pada pelaksanaan kegiatan
OPT melalui lelang SBI. Secara umum, strategi pengelolaan
moneter tahun 2001 untuk mendukung OPT tersebut mencakup
langkah-langkah sebagai berikut :
(i) OPT melalui intervensi rupiah untuk sementara waktu akan
dioptimalkan untuk mendukung pencapaian sasaran uang
primer yang telah ditetapkan, tanpa harus menimbulkan
dampak yang berlebihan pada kenaikan suku bunga SBI.
ketidakpastian tersebut berpotensi meningkatnya coun-
try risk Indonesia, penanganan berbagai masalah ekonomi
menjadi lambat dan tidak pasti, serta mendorong kegiatan
spekulasi dalam pasar valuta asing.
– Kedua, masih lambannya proses restrukturisasi utang
perusahaan. Kondisi ini telah menyebabkan peningkatan
kegiatan ekonomi dan penyaluran kredit perbankan tidak
dapat berjalan lebih cepat, karena sebagian besar
perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi
tersebut merupakan komponen terbesar dari
perekonomian nasional.
– Ketiga, proses intermediasi perbankan yang belum berjalan
normal. Ekspansi kredit perbankan masih terbatas karena
masih tingginya faktor risiko dan ketidakpastian, banyaknya
perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi,
maupun kondisi internal perbankan. Kondisi ini sangat
membatasi sumber pembiayaan kegiatan ekonomi,
sehingga kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai oleh
dana sendiri (self-financing). Selain itu, dorongan bagi
perbankan untuk mobilisasi dana relatif rendah, sehingga
menyebabkan suku bunga deposito rendah dan
mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dananya
untuk konsumsi ataupun jenis investasi lain.
– Keempat, beban keuangan pemerintah yang masih berat,
terutama ditengarai oleh pengeluaran subsidi dan utang
pemerintah yang masih besar. Sementara kemajuan dalam
asset recovery BPPN maupun privatisasi BUMN diperkirakan
belum dapat menutupi beban keuangan pemerintah.
Dengan kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk
percepatan pemulihan ekonomi menjadi sangat terbatas.
– Kelima, kelancaran pelaksanaan otonomi daerah mulai
tahun 2001 menjadi kunci bagi keberhasilan proses
pemulihan ekonomi dan pemerataan pembangunan ke
depan. Ancaman terhadap pemulihan ekonomi dan inflasi
akan muncul apabila pengeluaran daerah menjadi tidak
terkoordinasi maupun apabila daerah berlomba-lomba
untuk meningkatkan pungutan, retribusi dan pajak daerah.
– Keenam, ketidakpastian hukum di Indonesia. Berbagai
kasus hukum masih memerlukan pembenahan sistem
15
Bab 1 Tinjauan Umum
(ii) Sterilisasi valuta asing akan tetap menjadi opsi yang
terbuka khususnya untuk menyerap kelebihan likuiditas di
pasar sebagai akibat ekspansi pengeluaran pemerintah
yang bersumber dari dana luar negeri.
(iii) Surat berharga jangka pendek pemerintah (T–Bills) dan
obligasi pemerintah yang diperkirakan akan aktif diper-
dagangkan di pasar sekunder akan digunakan sebagai
instrumen moneter yang pada waktunya akan
menggantikan SBI.
(iv) Kebijakan nilai tukar yang dapat secara langsung
mengurangi gejolak nilai tukar rupiah juga akan tetap
menjadi opsi yang terbuka dengan tetap berdasar pada
sistem nilai tukar mengambang dan sistem devisa bebas.
Sementara di bidang perbankan, kebijakan Bank In-
donesia akan diarahkan pada upaya untuk memelihara hasil
dari program restrukturisasi perbankan serta untuk
memperbaiki fungsi intermediasi bank, dengan tetap
mengacu kepada asas kehati-hatian dalam pengelolaan
perbankan nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank
Indonesia akan mengupayakan agar perbankan
meningkatkan manajemen risiko dengan mengeluarkan risk
management guideline bagi bank-bank. Sebagai syarat
dapat dilaksanakannya manajemen risiko dan pengawaan
berdasarkan risiko (risk-based supervision), perlu dilakukan
pembenahan sistem informasi di bank-bank. Sementara itu,
berkaitan dengan pemisahan fungsi pengawasan bank dari
Bank Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UU, Bank
Indonesia terus melakukan berbagai persiapan agar
pengalihan fungsi pengawasan tersebut berjalan dengan
lancar sehingga tidak mengganggu sistem perbankan.
Untuk mendukung efektivitas pelaksanaan kebijakan
moneter dan mempercepat pemulihan sektor perbankan,
kebijakan di bidang sistem pembayaran akan diarahkan
untuk mempercepat pengembangan dan pelaksanaan
sistem pembayaran nasional yang efisien, akurat, aman, dan
handal melalui peningkatan mutu pelayanan jasa sistem
pembayaran. Salah satunya diwujudkan dengan mengem-
bangkan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) yang pada
tahun 2000 telah mulai diimplementasikan. Disamping itu,
guna meningkatkan efisiensi perbankan dan mempercepat
proses kliring antar bank, pada tahun 2001 Bank Indoneisa
akan menerapkan Bulk Interbank Payment System (BIPS),
yaitu kliring khusus untuk transaksi-transaksi bulk sehingga
transaksi antar bank lainnya yang telah dilakukan melalui
kliring menjadi lebih cepat.3) Sementara itu, untuk
mengefisienkan proses pembukuan dan switching pada
bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta untuk
memberikan tambahan kemudahan dan keamanan bagi
para para nasabah penggunanya, maka Bank Indonesia
akan memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral
suassion) bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat
mengkoneksikan jaringannya satu sama lain.
Penutup
Berbagai langkah kebijakan yang telah dan akan ditempuh
Bank Indonesia tersebut merupakan perwujudan nyata dari
komitmen Bank Indonesia untuk melaksanakan dengan
sungguh-sungguh amanat UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia juga telah
menempuh berbagai langkah kebijakan di bidang mana-
jemen intern untuk memberikan dukungan yang cepat, tepat
dan handal bagi pelaksanaan tugas-tugas di bidang moneter,
perbankan, dan sistem pembayaran. Dukungan manajemen
intern yang semakin berkualitas tersebut tercermin dari
berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan dan dilaporkan
dalam Laporan Triwulanan yang telah disampaikan kepada
DPR dan dipublikasikan kepada masyarakat luas. Di samping
penyempurnaan di bidang organisasi dan pengembangan
sumber daya manusia, kebijakan yang diambil mencakup pula
peningkatan manajemen keuangan intern, pengembangan
sistem teknologi informasi, peningkatan kebijakan hukum,
peningkatan sistem pengawasan intern, pengembangan pro-
gram kehumasan, manajemen dokumen dan peningkatan
manajemen di bidang logistik.
3) Transaksi bulk adalah transaksi antar bank yang bersifat rutin denganvolume tinggi dan bernilai nominal rendah seperti transaksipembayaran gaji/upah, kartu kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihantelepon/listrik/air, dan lain-lain.
16
Bab 1 Tinjauan Umum
Suatu kemajuan berarti juga telah dicapai pada tahun
2000 dalam penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI). Dalam Rapat Kerja tanggal 10 Oktober 2000, Komisi IX
DPR RI telah meminta Pemerintah dan Bank Indonesia untuk
segera menyelesaikan masalah BLBI sebesar Rp144,5 triliun.
Kesepakatan penyelesaian BLBI tersebut dicapai pada tanggal
17 November 2000, antara lain diputuskan adanya pembagian
beban (burden sharing) keuangan antara Bank Indonesia
dengan Pemerintah. Dengan memperhitungkan kemampuan
keuangan Bank Indonesia, maka disepakati BLBI yang menjadi
beban Bank Indonesia sebesar Rp24,5 tril iun sehingga
Pemerintah tidak perlu melakukan penambahan modal Bank
Indonesia. Pembebanan tersebut dilakukan dengan penerbitan
Surat Utang Bank Indonesia (SU–BI) pada tanggal 5 Desember
2000 kepada Pemerintah dengan persyaratan yang sama
dengan Surat Utang Pemerintah (SUP) No. 1 dan No. 3. Dalam
kesepakatan tersebut, Pemerintah juga menegaskan tidak akan
menarik kembali SUP yang telah diterbitkan dalam rangka
pengalihan BLBI kepada Bank Indonesia. Dengan tercapainya
penyelesaian BLBI tersebut, kredibilitas dan kepercayaan
kepada Bank Indonesia diharapkan dapat ditingkatkan
sehingga mampu mendukung peran strategisnya dalam
pembangunan ekonomi nasional (Boks : Penyelesaian Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)).
Di samping itu, dalam tahun 2000 Bank Indonesia juga
melanjutkan langkah-langkah divestasi penyertaan Bank In-
donesia pada beberapa bank dan perusahaan sebagai
implementasi UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Langkah yang ditempuh antara lain dengan telah berhasilnya
penjualan saham di dua bank yaitu PT. Bank Niaga dan PT.
Bank Utama. Di samping itu, langkah divestasi lain yang masih
dilakukan adalah proses divestasi penyertaan Bank Indonesia
pada beberapa bank seperti Indover Bank dan PT. Bank
Danamon serta pada beberapa perusahaan seperti PT.
Askrindo, PT. Bahana dan PT. Bina Usaha Indonesia (Boks :
Divestasi Penyertaan Bank Indonesia).
Sebagaimana telah dikemukakan, pelaksanaan tugas-
tugas Bank Indonesia juga dipengaruhi oleh berbagai
perkembangan baik di bidang ekonomi maupun kondisi politik
dan keamanan dalam negeri. Salah satu perkembangan penting
yang mempengaruhi pelaksanaan tugas Bank Indonesia adalah
adanya usulan amandemen terhadap UU No. 23 tentang Bank
Indonesia (UU BI) pada akhir tahun laporan. Sebagaimana
diketahui, usulan amandemen UU BI tersebut berasal dari
Pemerintah, sementara keterlibatan Bank Indonesia dalam proses
amandemen tersebut terbatas sebagai nara sumber. Pada
prinsipnya Bank Indonesia berpendapat bahwa amandemen
tersebut belum perlu dilakukan antara lain karena UU BI tersebut
belum lama diundangkan. Berbagai komentar yang muncul atas
UU BI lebih banyak disebabkan belum tersosialisasinya UU BI
dengan baik. Dalam hubungan ini, Bank Indonesia berpendapat
bahwa tujuan tunggal yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah serta aspek-aspek independensi sebagaimana
tercantum dalam UU BI tersebut perlu tetap dipertahankan. UU BI
tersebut pada dasarnya juga telah memuat aspek akuntabilitas
seperti kinerja, pelaksanaan tugas dan wewenang, keuangan,
etika dan hukum pidana. Selain itu, masalah koordinasi antara
Bank Indonesia dengan Pemerintah juga telah secara tegas dan
jelas diatur dalam UU BI tersebut (Boks : Amandemen Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia).
Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank Indonesia
di tahun 2001 yang ditempuh Bank Indonesia pada hakikatnya
merupakan salah satu langkah dari kerangka kebijakan eko-
nomi makro secara keseluruhan. Gambaran prospek dan arah
kebijakan yang akan ditempuh Bank Indonesia di atas sudah
tentu sangat tergantung pada perkembangan politik dan
keamanan di dalam negeri serta langkah-langkah kebijakan
di bidang lain untuk mengatasi berbagai permasalahan dan
faktor risiko seperti yang telah dikemukakan di atas. Di samping
itu, beberapa aspek penting seperti perlunya koordinasi yang
lebih baik dalam pengambilan keputusan kebijakan,
pentingnya pemupukan kesatuan pandang dan kemitraan
yang lebih mendalam antara Pemerintah dan Bank Indone-
sia, serta beberapa instansi terkait lainnya, juga sangat
diperlukan agar terdapat sinergi dalam berbagai langkah
kebijakan yang ditempuh. Dengan demikian, kepercayaan
para pelaku ekonomi diharapkan semakin tumbuh dan
percepatan pemulihan ekonomi akan semakin terwujud.
17
Bab 1 Tinjauan Umum
Dalam tahun 2000, penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) merupakan permasalahan yang menuntut
perhatian dan langkah-langkah nyata dari berbagai pihak,
termasuk Bank Indonesia. Hal ini t idak saja karena
kompleksitas permasalahan yang ada, tetapi juga
mengingat implikasi keuangan terhadap APBN dan neraca
Bank Indonesia serta implikasi hukum yang mungkin terjadi
baik dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI
tersebut. Bagi Bank Indonesia, penyelesaian BLBI tersebut
merupakan bagian tidak terpisahkan dari langkah-langkah
untuk memulihkan kredibilitas dan kepercayaan terhadap
Bank Indonesia dalam menjalankan tugas-tugasnya
sebagai bank sentral yang sangat diperlukan bagi
penyehatan perbankan dan pemulihan ekonomi secara
keseluruhan.
Sebagaimana diketahui, dalam rangka memperoleh
kejelasan dan langkah-langkah penyelesaian BLBI tersebut,
DPR telah membentuk Panitia Kerja (Panja) BLBI. Dalam
laporannya tanggal 6 Maret 2000, Panja BLBI Komisi IX DPR-RI
menyebutkan bahwa BLBI merupakan kebijakan Pemerintah
dan menjadi tanggung jawab Pemerintah. Bahkan dari
tanggung jawab finansial, Pemerintah bertanggung jawab
dari kemungkinan terjadinya likuidasi, karena equity Bank In-
donesia merupakan kekayaan negara. Dalam aspek hukum
DPR merekomendasikan agar Jaksa Agung, Kapolri,
Mahkamah Agung, Menkumdang, secepatnya merumuskan
formulasi kebijaksanaan hukum secara jelas dan transparan
mengenai arah kebijaksanaan penyelesaian BLBI termasuk
pelanggaran BMPK. Pimpinan DPR juga menjanjikan untuk
menjembatani perbedaan pendapat antar Bank Indonesia
dengan Menteri Keuangan mengenai status BLBI dalam
neraca Bank Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari hasil Panja BLBI tersebut, DPR-
RI telah meminta BPK-RI untuk melakukan audit investigasi
terhadap penyaluran BLBI di Bank Indonesia dan penggunaan
BLBI di bank-bank penerima dana BLBI. Bank Indonesia
menyambut baik audit investigasi yang dilakukan oleh BPK-RI
tersebut sebagai bagian dari usaha menegakkan transparansi
dan akuntabilitas. Namun demikian, Bank Indonesia meman-
dang bahwa dalam hasil audit investigasi tersebut BPK-RI
belum memberikan penilaian yang berimbang baik dari sudut
kebijakannya maupun pelaksanaan penyaluran BLBI di
lapangan. Padahal, sebagaimana diketahui, kebijakan
penyaluran BLBI pada hakikatnya merupakan kebijakan untuk
mengatasi krisis perbankan dan perekonomian yang terjadi
yang ditempuh Pemerintah pada waktu itu. Oleh karena itu,
dalam melihat masalah BLBI, sewajarnya latar belakang
kebijakan pemerintah untuk memberikan BLBI juga diberikan
bobot yang proporsional.
Bank Indonesia juga berpendapat bahwa audit BPK-RI
tersebut terlalu menitikberatkan kepada compliance audit dan
bukan kepada policy audit. Dalam pelaksanaannya, BPK-RI
kurang mempertimbangkan bahwa Bank Indonesia pada
dasarnya hanya melaksanakan kebijakan Pemerintah dengan
pertimbangan dalam situasi krisis perbankan yang terjadi pada
saat itu diperlukan suatu tindakan dalam upaya menjaga
eksistensi perbankan Indonesia yang apabila tidak dilakukan
akan menimbulkan dampak ekonomi dan sosial yang lebih
parah. Banyak temuan yang diistilahkan penyimpangan oleh
BPK-RI hanya didasarkan kepada penerapan ketentuan/
kebijakan Bank Indonesia pada situasi kondisi normal,
sementara penyaluran BLBI adalah suatu konsekuensi yang
harus ditempuh dalam situasi krisis. Sementara itu, berkaitan
dengan penyelesaian di sisi hukum terhadap BLBI tersebut,
Bank Indonesia akan selalu mendukung proses hukum itu
dengan bersikap terbuka dan kooperatif terhadap upaya
transparansi termasuk rangkaian penyidikan oleh pihak
Kejaksaaan Agung.
Selanjutnya, dalam rangka mempercepat proses
penyelesaian BLBI tersebut, pada tanggal 10 Oktober 2000
DPR-RI telah mengadakan Rapat Kerja dengan Pemerintah
dan Bank Indonesia. Dalam Rapat kerja tersebut, Komisi IX
DPR RI telah meminta Pemerintah dan Bank Indonesia untuk
segera menyelesaikan masalah BLBI sebesar Rp144,5 triliun
Boks : Penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
18
Bab 1 Tinjauan Umum
secara tuntas dalam waktu 30 hari. Dalam rangka
penyelesaian masalah BLBI tersebut, telah dicapai
kesepakatan antara Bank Indonesia dan Pemerintah yang
tertuang dalam Pokok-Pokok Kesepakatan Pemerintah dan
Bank Indonesia Mengenai Penyelesaian BLBI tanggal 17 No-
vember 2000. Dalam kesepakatan tersebut antara lain
diputuskan adanya pembagian beban (burden sharing)
keuangan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah.
Dengan memperhitungkan kemampuan keuangan Bank In-
donesia, maka yang menjadi beban Bank Indonesia adalah
sebesar Rp 24,5 triliun. Pembebanan tersebut dilakukan
dengan cara penerbitan Surat Utang Bank Indonesia (SU-BI)
kepada Pemerintah yang persyaratannya sama dengan
persyaratan Surat Utang Pemerintah (SUP) No.1 dan No.3.
Dengan demikian, Pemerintah tidak perlu melakukan
penambahan modal Bank Indonesia. Dalam kesepakatan
tersebut di atas, Pemerintah juga menegaskan tidak akan
menarik kembali SUP yang telah diterbitkan dalam rangka
pengalihan BLBI kepada Bank Indonesia.
Penerbitan SU-BI dilakukan dengan pertimbangan
antara lain sebagai berikut:
1. Penerbitan SU-BI tidak akan mengubah perikatan-
perikatan hukum yang telah dilakukan oleh BPPN, dan
pada akhirnya, tidak mengurangi kepastian hukum bagi
upaya asset recovery di kemudian hari.
2. Penerbitan SU-BI telah mempertimbangkan dampak
moneter, khususnya peningkatan jumlah uang beredar
yang mungkin terjadi apabila penyelesaian BLBI tersebut
dilakukan dengan cara lain.
Sebagai pelaksanaan dari Pokok-Pokok Kesepakatan
tersebut, Bank Indonesia pada tanggal 5 Desember 2000
telah menerbitkan SU-BI kepada Pemerintah sebesar Rp24,5
triliun dengan persyaratan yang sama dengan SUP yang
telah dikeluarkan oleh Pemerintah (SUP 001/MK/1998 dan SU
003/MK/1999), dan telah disampaikan kepada Menteri
Keuangan dengan surat No.2/2/DGS/DKI tanggal 5
Desember 2000. Jangka waktu SU-BI tersebut adalah 18
tahun 2 bulan, dan akan berakhir pada 7 Februari 2019
(termasuk masa tenggang 3 tahun).
SU-BI sebesar Rp 24,5 triliun tersebut telah dibebankan
ke rekening Surplus/Defisit Bank Indonesia tahun 2000 sebagai
pos Luar Biasa dan disajikan di Neraca Bank Indonesia tahun
2000 sebagai Pinjaman dari Pemerintah dalam Rupiah. Perlu
diinformasikan bahwa walaupun pembebanan atas Surplus/
Defisit tahun 2000 telah dilakukan namun posisi Surplus Bank
Indonesia tampak masih positif. Konsekuensi lanjut dari
penerbitan SU-BI tersebut adalah adanya kewajiban Bank In-
donesia untuk membayar bunga dan angsuran pokok, yang
dibayarkan setiap 6 bulan sekali, masing-masing dimulai pada
1 Februari 2001 dan 1 Februari 2004.
Akhirnya, dengan tercapainya penyelesaian BLBI
tersebut, kredibilitas dan kepercayaan kepada Bank Indone-
sia diharapkan dapat ditingkatkan sehingga mampu
mendukung peran strategisnya dalam mempercepat
pemulihan ekonomi nasional.
19
Bab 1 Tinjauan Umum
Boks : Divestasi Penyertaan Bank Indonesia
Berdasarkan Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia pasal 64 ayat 2 dan pasal 77 disebutkan bahwa
Bank Indonesia hanya dapat melakukan penyertaan modal
pada badan hukum atau badan lainnya yang sangat
diperlukan dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia dan
dengan persetujuan DPR. Penyertaan yang tidak memenuhi
ketentuan dimaksud wajib dilepaskan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya Undang-undang
tersebut yaitu pada tanggal 17 Mei 2001. Sebagaimana
diketahui, penyertaan Bank Indonesia pada awalnya
dimaksudkan untuk membantu upaya penyelamatan bank,
sedangkan penyertaan pada lembaga keuangan bukan
bank (LKBB) dilakukan dalam rangka pengembangan pasar
finansial dan membantu program pemerintah dalam
pengembangan usaha kecil dan menengah.
Divestasi penyertaan Bank Indonesia dilakukan dengan
pertimbangan agar pengawasan perbankan dapat dilakukan
secara obyektif dan terhindar dari konflik kepentingan antara
Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank
dengan Bank Indonesia sebagai pemegang saham. Proses
divestasi telah dilakukan secara bertahap sejak tahun 1994
melalui berbagai cara antara lain penjualan sebagian atau
seluruh saham, tidak melakukan penambahan modal, tidak
menggunakan hak right issue dan membatasi atau mengu-
rangi pinjaman subordinasi bahkan tidak menyetujui usulan
untuk mengkonversinya menjadi penyertaan.
Berbagai langkah telah dilakukan Bank Indonesia da-
lam proses divestasi tersebut. Hal ini terlihat baik dari semakin
kecilnya prosentase penyertaan maupun keikutsertaan Bank
Indonesia pada beberapa bank dan LKBB. Langkah yang
ditempuh antara lain dengan telah berhasilnya penjualan
saham di 2 bank yaitu PT. Bank Niaga dan PT. Bank Utama
sehingga penyertaan Bank Indonesia di 11 perusahaan telah
menurun menjadi 9 perusahaan.
Langkah divestasi lainnya yang saat ini dilakukan adalah
proses divestasi Bank Indonesia pada beberapa bank seperti
Indover Bank, Bank Danamon dan beberapa Bank Beku
Kegiatan Usaha (BBKU) serta Bank Pacific (bank dalam
likuidasi). Dalam hal Indover Bank, proses penjualan saham
bank tersebut menunggu hasil kajian dari Tim Divestasi bersama
ABN Amro sebagai Financial Advisor-nya. Untuk Bank
Danamon, penjualan masih menunggu membaiknya harga
saham yang saat ini diperkirakan masih sangat rendah.
Sementara itu, divestasi pada beberapa bank BBKU dan bank
dalam likuidasi menunggu hasil dari Tim likuidasi.
Selain itu, rencana divestasi pada 3 LKBB yang ada (PT.
Askrindo, PT. Bahana, dan PT. Bina Usaha Indonesia) saat ini
tengah diproses melalui Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS) di masing-masing perusahaan untuk kemudian ditunjuk
jasa konsultan independen dalam melakukan due diligence
pada masing-masing lembaga keuangan tersebut.
Sejalan dengan berbagai langkah dalam program
divestasi di atas, maka posisi penyertaan Bank Indonesia pada
bank dan LKBB per 31 Desember 2000 adalah sebagai berikut :
Posisi Penyertaan Bank Indonesia pada Bank-bank danLKBB Per 31 Desember 2000
Penyertaan
Nominal (Rp) Persentase
1. Indover Bank Amsterdam 53.905.437.110,00 100,00
2. PT Bank Danamon (d/h PT Bank PDFCI) 10.889.285.000,00 0,003
3. PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia 9.500.000.000,00 42,22
4. PT Asuransi Kredit Indonesia 175.568.800.000,00 55,00
5. PT Bina Usaha Indonesia 2.872.000.000,00 57,44
6. PT Bank Papan Sejahtera (BBKU) 4.462.474.000,00 5,76
7. PT Bank Ficorinvest (BBKU) 5.545.750.811,00 6,42
8. PT Bank Uppindo (BBKU) 14.238.000.000,00 23,20
9. PT Bank Pacific (Bank Dalam Likuidasi) 30.600.000.000,00 51,00
No. Bank/LKBB
20
Bab 1 Tinjauan Umum
Boks : Amandemen Undang-Undang No. 23 Tahun 1999Tentang Bank Indonesia
sebagai narasumber. Dalam perkembangannya, Bank Indo-
nesia telah memberikan pandangan dan masukan kepada
Panitia Khusus DPR-RI tentang Amandemen UU BI pada
tanggal 7 Desember 2000. Pada prinsipnya Bank Indonesia
berpendapat bahwa amandemen terhadap UU BI tersebut
belum perlu dilakukan karena antara lain UU BI belum lama
diundangkan, bahkan belum seluruh ketentuan dalam UU BI
ditindaklanjuti dengan ketentuan pelaksanaan yang lebih
rendah, sehingga Bank Indonesia belum dapat menilai
kelemahan-kelemahan dari UU BI yang menyebabkan perlu
dilakukan amandemen. Bank Indonesia juga berpandangan
bahwa komentar-komentar yang muncul atas UU BI lebih
banyak disebabkan belum tersosialisasinya UU BI dengan baik.
Dalam perkembangannya, baik atas usulan dari DPR-
RI maupun tambahan usulan dari Pemerintah, materi
amandemen UU BI bertambah dalam mengevaluasi pasal-
pasal UU BI. Namun demikian, ada satu hal penting untuk
dicatat yaitu seluruh pihak yang terkait dengan
amandemen UU BI senantiasa mengemukakan akan tetap
menghormati independensi Bank Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya. Di samping itu,
tujuan Bank Indonesia yang telah ditetapkan dalam UU BI
yaitu untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai ru-
piah tidak akan diubah.
Berkaitan dengan materi amandemen UU BI tersebut,
terdapat beberapa hal penting yang menurut Bank Indone-
sia perlu disikapi secara hati-hati, yaitu mengenai tujuan,
independensi, akuntabill itas, dan koordinasi dengan
pemerintah. Seperti diketahui, dalam pasal 7 UU No.23/1999,
Bank Indonesia mempunyai tujuan tunggal (single objective),
yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Tujuan
tunggal ini perlu dipertahankan karena pertama tidak
terdapat ambiguity dalam penetapan dan pencapaian
tujuannya. Kedua, tujuan yang fokus akan lebih memperjelas
Bank Indonesia dalam mempertanggungjawabkan kinerjanya.
Walaupun dalam UU tersebut tujuan terfokus dalam mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah, dalam pelak-
sanaannya Bank Indonesia juga sudah memperhitungkan
Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-
undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(amandemen UU BI) diajukan oleh Pemerintah kepada DPR-
RI tanggal 20 November 2000. Alasan-alasan pengajuan
amandemen UU BI adalah untuk melakukan penataan
kembali lembaga-lembaga negara, termasuk Bank Indone-
sia, agar sejalan dan dapat mendukung program
pembangunan nasional yang diatur dalam Undang-Undang
No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional,
perlunya pengaturan akuntabilitas yang lebih jelas dalam UU
BI sehingga memberi peluang kepada DPR-RI dan masyarakat
luas untuk melakukan kontrol terhadap Bank Indonesia serta
untuk menjamin terlaksananya supremasi hukum atas
kemungkinan terjadinya tanggung jawab pidana di antara
rangkaian kinerja Bank Indonesia secara lebih jelas.1)
Materi amandemen UU BI yang diajukan oleh
Pemerintah pada awalnya mencakup 5 (lima) pasal, yaitu
Pasal 38 mengenai Tugas dan Wewenang Dewan Gubernur,
Pasal 43 mengenai Rapat Dewan Gubernur, Pasal 48
mengenai Pemberhentian Anggota Dewan Gubernur, Pasal
54 mengenai Hubungan dengan Pemerintah dan Pasal 75
yaitu Ketentuan Peralihan yang berkaitan dengan Dewan
Gubernur .
Atas usulan Pemerintah tersebut, fraksi-fraksi di DPR-RI
menanggapi bahwa apabila usulan Pemerintah tersebut
dimaksudkan untuk memperbaiki Bank Indonesia baik dari
kelembagaan, personil maupun akuntabilitasnya, maka
materi yang disampaikan oleh Pemerintah belum men-
cerminkan maksud tersebut. Berkenaan dengan itu, maka
diperlukan amandemen lebih menyeluruh tidak terbatas pada
materi yang telah disampaikan oleh Pemerintah.2)
Sebagaimana diketahui, usul amandemen UU BI
tersebut berasal dari Pemerintah, sementara keterlibatan Bank
Indonesia dalam proses amandemen UU BI tersebut terbatas
1) Keterangan pemerintah di hadapan Rapat Paripurna DPR-RItanggal 27 November 2000
2) Pemandangan Umum Fraksi-fraksi DPR-RI atas usulan amandemenUUBI
21
Bab 1 Tinjauan Umum
perkembangan makroekonomi. Bahkan, kestabilan nilai rupiah
tersebut merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi
yang berkelanjutan. Dengan pertimbangan ini, tambahan
kalimat "dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap
sektor riil" juga tidak diperlukan dalam amandemen terhadap
pasal 8 UU BI tersebut.
Untuk menjamin efektifitas pelaksanaan tugas dan
wewenang Bank Indonesia, aspek-aspek independensi
sebagaimana tercantum dalam pasal 4 dan 9 UU BI perlu
tetap dipertahankan. Dalam hubungan ini, keberadaan
pasal 9 dimaksudkan untuk menegaskan status independensi
Bank Indonesia baik secara kelembagaan maupun secara
fungsional dengan melarang pihak lain melakukan campur
tangan dalam pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia.
Untuk mengurangi kesan bahwa aturan dalam pasal ini
berlebihan dan kurang jelas, penyempurnaan dapat saja
dilakukan terutama mengenai pengertian campur tangan
dan kriterianya, mekanisme serta siapa yang lebih tepat
menilai ada tidaknya campur tangan tersebut. Apabila pasal
9 ini akhirnya disepakati untuk dihapus maka pasal 4 ayat
(2) dan pengaturan sanksi sebagaimana tercantum dalam
pasal 67 dan pasal 68 perlu tetap dipertahankan. Kalau tidak,
independensi tersebut akan kehilangan makna.
Independensi tanpa disertai kewajiban akuntabilitas
dan transparansi yang memadai dapat membawa bank
sentral menjadi tidak tersentuh oleh ketentuan hukum. Oleh
karena itu, UU BI telah menyeimbangkan independensi yang
dimilikinya dengan akuntabilitas yang mewajibkan Bank Indo-
nesia melakukan public accountability dan transparency. UU
BI sebagaimana tercermin di dalam beberapa pasalnya pada
dasarnya telah memuat beberapa aspek akuntabilitas seperti
kinerja, pelaksanaan tugas dan wewenang, keuangan, etika,
dan hukum pidana.
Akuntabilitas aspek kinerja (pasal 7) diwujudkan dalam
bentuk penyampaian informasi pada setiap awal tahun
kepada masyarakat mengenai hasil evaluasi pelaksanaan
kebijakan moneter setahun terakhir dan rencana kebijakan
dan sasaran-sasaran moneter tahun yang akan datang (pasal
58 ayat 1). Penyampaian informasi tersebut wajib disampaikan
pula oleh Bank Indonesia kepada DPR dan Presiden secara
tertulis (pasal 58 ayat 2). Sementara itu, akuntabilitas aspek
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia kepada
DPR secara triwulanan (pasal 58 ayat 3). Di samping itu, DPR
diberikan kewenangan pula untuk meminta BPK melakukan
pemeriksaan khusus kepada Bank Indonesia setiap saat
diperlukan (pasal 59).
Sedangkan akuntabilitas aspek keuangan dibagi dalam
aspek umum dan aspek anggaran. Aspek umum diwujudkan
dalam bentuk penyampaian laporan keuangan tahunan Bank
Indonesia kepada BPK (pasal 61), dan aspek anggaran
diwujudkan dalam bentuk penyampaian anggaran tahunan
kepada DPR (pasal 60).
Sementara itu, terkait dengan akuntabilitas moral dan
etika, UU BI menggariskan salah satu persyaratan untuk
diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur adalah memiliki
akhlak dan moral yang tinggi. Akuntabilitas moral dan etika
ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Dewan Gubernur ten-
tang Tata Tertib dan Tata Cara Penyelenggaran Tugas Dewan
Gubernur Bank Indonesia yang menyangkut prinsip-prinsip
dasar moral dan etika yang wajib ditaati Dewan Gubernur.
Adapun akuntabilitas hukum anggota Dewan Gubernur
Bank Indonesia tentu saja sebagai warga negara mereka tidak
kebal hukum. Asas equality before law juga berlaku terhadap
tindakan yang melanggar rambu-rambu hukum. Hanya saja,
dalam konteks pelaksanaan tugas, dalam UU BI memang perlu
melakukan penegasan mengenai perlindungan hukum
tersebut. Dalam hal ini, setiap kebijakan atau keputusan yang
diambil berdasarkan kewenangannya dalam rangka
melaksanakan tugas dan kewajiban menurut UU BI dan
dilakukan dengan itikad baik merupakan tanggung jawab
Bank Indonesia sebagai kelembagaan dan tidak dapat
dibebankan sebagai tanggung jawab masing-masing
anggota Dewan Gubernur atau pejabat Bank Indonesia
secara individu.
Sejalan dengan pemahaman akan perlunya koordinasi
antarkebijakan ekonomi di dalam negara khususnya antara
kebijakan moneter yang ditempuh bank sentral dengan
kebijakan fiskal dan kebijakan lainnya yang ditempuh oleh
Pemerintah, masalah koordinasi dengan pemerintah secara
tegas dan jelas telah diatur dalam UU BI. Hal ini secara khusus
diatur dalam Bab VIII dan pasal-pasal lainnya seperti pasal 43
mengenai Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang menetapkan
bahwa dalam RDG bulanan untuk menetapkan kebijakan
umum di bidang moneter dapat dihadiri oleh seorang menteri
22
Bab 1 Tinjauan Umum
atau lebih yang mewakili Pemerintah dengan hak bicara
tanpa hak suara.
Dalam praktek yang telah dilakukan selama ini,
hubungan antara Bank Indonesia dengan Pemerintah telah
berjalan dengan cukup baik. Secara khusus, Bank Indone-
sia telah menyelenggarakan rapat koordinasi dengan
Pemerintah (Menteri-menteri bidang perekonomian) yang
dilakukan secara reguler setiap bulan untuk
mengkoordinasikan berbagai kebijakan yang telah
ditempuh serta membahas permasalahan-permasalahan
yang membutuhkan langkah penyelesaian bersama lebih
lanjut. Dalam upaya lebih meningkatkan koordinasi antara
Bank Indonesia dengan pemerintah dapat lebih terjalin
dengan baik dan agar masyarakat dapat mengetahui hasil-
hasil yang telah dicapai dalam rangka koordinasi tersebut,
salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah
pengaturan mekanisme kordinasi dan penyampaian hasil
rapat kordinasi tersebut kepada publik.
Kondisi MakroekonomiBab 2
24
Bab 2 Kondisi Makroekonomib a b
2
Tabel 2.1Perkembangan PDB Riil
1998 1999* 2000**
Rincian Pertum- Kontri- Pertum- Kontri- Pertum- Kontri-
buhan busi (%) buhan busi (%) buhan busi (%)
PDB (riil) –13,1 –13,1 0,8 0,8 4,8 4,8
Menurut PengeluaranKonsumsi –7,1 –5,1 4,3 3,3 3,9 3,1-– Konsumsi Rumah
Tangga –6,2 –3,9 4,6 3,2 3,6 2,6-– Konsumsi Pemerintah –15,4 –1,1 0,7 0,0 6,5 0,5Investasi –33,0 –10,6 –19,4 –4,8 17,9 3,6Ekspor 11,2 3,1 –31,6 –11,3 16,1 3,9Impor –5,3 –1,7 –40,7 –14,3 18,2 3,8
Menurut Lapangan UsahaPertanian –1,3 –0,2 2,7 0,5 1,7 0,3Pertambangan –2,8 –0,2 –2,4 –0,2 2,3 0,2Industri Pengolahan –11,4 –2,8 3,8 1,0 6,2 1,6Listrik 3,0 0,0 8,3 0,1 8,8 0,1Bangunan –36,4 –3,0 –0,8 0,0 6,7 0,4Perdagangan –18,2 –3,1 0,1 0,0 5,7 0,9Pengangkutan –15,1 –1,1 –0,8 –0,1 9,4 0,7Lembaga Keuangan –26,6 –2,4 –7,5 –0,6 4,7 0,3Jasa-jasa –3,8 –0,3 1,9 0,2 2,2 0,2
Sumber : Badan Pusat Statistik
Kondisi Makroekonomi
Selama tahun 2000, perekonomian Indonesia menunjukkan
proses pemulihan yang semakin mantap dengan sumber
pertumbuhan yang semakin seimbang. Seluruh sektor/
kegiatan memberikan sumbangan yang positif terhadap
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB pada tahun
laporan tumbuh cukup tinggi yakni sebesar 4,8%, lebih tinggi
dari yang diprakirakan pada awal tahun yakni berkisar 3,0%–
4,0% (Tabel 2.1).
Walaupun demikian, proses pemulihan ekonomi masih
menghadapi beberapa permasalahan mendasar yang
menahan percepatan pemulihan ekonomi seperti belum
selesainya restrukturisasi perbankan, kredit, dan perusahaan
yang disertai pula dengan tingginya ketidakpastian sosial,
politik dan keamanan. Permasalahan ini pada gilirannya
masih membatasi penanaman investasi baru yang sangat
dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan. Selain itu, besarnya beban pengeluaran
pemerintah terutama untuk pembayaran utang dan subsidi
menyebabkan terbatasnya stimulus fiskal guna mempercepat
proses pemulihan.
Dari sisi permintaan, telah terjadi pergeseran motor
pertumbuhan ekonomi, dari konsumsi menjadi ekspor dan
investasi yang telah memberikan kontribusi yang positif dan
signifikan. Dari sisi penawaran, semua sektor juga telah
tumbuh positif, dengan sektor industri pengolahan menjadi
penyumbang terbesar terhadap nilai tambah per-
ekonomian.
Perbaikan kondisi makroekonomi tersebut telah
mengurangi jumlah pengangguran terbuka. Jumlah perkara
dan tenaga kerja yang terkena pemutusan hubungan
kerjapun turut berkurang. Meskipun masih ada tekanan
inflasi, membaiknya pertumbuhan ekonomi dan adanya
kebijakan pemerintah untuk menaikkan gaji pegawai negeri
sipil, TNI dan Polri serta peningkatan upah minimum regional,
telah meningkatkan tingkat pendapatan riil yang diterima
pekerja.
Permintaan Agregat
Berbeda dengan pertumbuhan tahun sebelumnya, di mana
konsumsi menjadi satu-satunya kegiatan yang mencatat
pertumbuhan positif, pertumbuhan ekonomi dari sisi
pengeluaran pada tahun 2000 disumbang oleh pertumbuhan
ekspor, diikuti oleh investasi dan konsumsi. Sumbangan ekspor,
investasi, dan konsumsi terhadap pertumbuhan PDB masing-
masing mencapai 3,9%, 3,6%, dan 3,1%. Kuatnya kinerja
ekspor dan meningkatnya peran investasi mengindikasikan
semakin mantapnya proses pemulihan perekonomian yang
terjadi.
Ekspor barang dan jasa pada tahun laporan mencatat
pertumbuhan sebesar 16,1% dan memberi sumbangan pada
pertumbuhan PDB sebesar 3,9%. Pertumbuhan ini merupakan
25
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
1) PBI No. 2/13/2000 tanggal 16 Mei 2000, tentang jaminan pembiayaanperdagangan internasional.
lonjakan yang besar dibandingkan dengan kontraksi yang
terjadi pada tahun sebelumnya sebesar 31,6%. Pertumbuhan
ekspor ini didukung oleh peningkatan ekspor nonmigas
khususnya ekspor sektor industri dan sektor pertambangan.
Kinerja ekspor yang tumbuh pesat tersebut terutama
disebabkan oleh tingginya permintaan dunia, masih
kompetitifnya produk ekspor Indonesia dan dukungan
kebijakan pemerintah dalam mendorong kegiatan ekspor.
Selain itu, Bank Indonesia juga telah mengeluarkan ketentuan
mengenai jaminan pembiayaan perdagangan internasional
yang dilakukan oleh bank-bank umum.1) Seiring dengan
pertumbuhan kegiatan ekspor tersebut, pertumbuhan impor
barang dan jasa turut meningkat sebesar 18,2%. Peningkatan
impor tersebut erat kaitannya dengan tingginya pertumbuhan
investasi dan pertumbuhan sektor industri berorientasi ekspor
yang memiliki kandungan impor tinggi terutama untuk bahan
baku dan barang modal.
Penyumbang terbesar kedua dalam pembentukan PDB
dari sisi permintaan adalah investasi, yang mencatat
pertumbuhan sebesar 17,9% dan memberikan sumbangan
sebesar 3,6% terhadap PDB. Pertumbuhan investasi ini cukup
tinggi mengingat investasi masih mengalami kontraksi pada
tahun sebelumnya. Meskipun mencatat pertumbuhan yang
tinggi, nilai nominal investasi yang terjadi selama periode
laporan masih relatif terbatas dalam artian nilainya masih lebih
kecil dibandingkan dengan investasi yang terjadi pada
periode sebelum krisis. Peningkatan kinerja investasi ini
tercermin pada meningkatnya impor bahan baku dan barang
modal selama tahun laporan. Pertumbuhan investasi yang
tinggi ini memberikan sinyal proses pemulihan ekonomi telah
berada pada jalur yang tepat dan berkesinambungan. Hasil
Survey Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) juga menunjukkan
adanya peningkatan kegiatan investasi sebagaimana
tercermin dari masih positifnya saldo bersih tertimbang dari
pengusaha yang melakukan investasi pada tahun 2000
dengan kecenderungan yang meningkat (Grafik 2.1). Angka
saldo bersih tertimbang yang positif ini menunjukkan lebih
banyak pengusaha yang merealisasikan rencana investasinya
pada tahun laporan.
Sumber pembiayaan kegiatan investasi tersebut
ditengarai sebagian besar bersumber dari modal sendiri (self-
financing), mengingat sumber pembiayaan yang berasal dari
kredit perbankan masih relatif terbatas. Sumber pembiayaan
self- financing tersebut antara lain berasal dari akumulasi laba
devisa hasil ekspor yang lebih banyak disimpan di luar negeri.
Hal ini antara lain terkait dengan masih tingginya faktor risiko
dan ketidakpastian di dalam negeri serta berbagai
kemudahan yang ditawarkan perbankan luar negeri dalam
pembiayaan ekspor.
Masih relatif terbatasnya pembiayaan kredit perbankan
dalam negeri antara lain disebabkan oleh masih adanya
beberapa permasalahan internal yang terkait dengan
masalah pemenuhan Capital Adequacy Ratio (CAR) dan
pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
Selain itu, beberapa permasalahan eksternal seperti
terbatasnya debitur potensial sehubungan masih banyaknya
debitur besar dalam proses restrukturisasi di BPPN dan relatif
tingginya penilaian perbankan terhadap risiko usaha juga turut
membatasi penyaluran kredit perbankan. Meskipun demikian,
penyaluran kredit oleh perbankan khususnya pada paro
0
10
20
30
40
50
60Perkiraan Investasi 1 Triwulan Kedepan
Realisasi Investasi
SBT*
I III I III I III I III I III
1 9 9 6 1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2000
Grafik 2.1Realisasi Investasi (SKDU)
* SBT (saldo tertimbang) adalah selisih anatara jawaban meningkat danmenurun dikalikan dengan bobot
26
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
20
22
24
26
28
30
1995 1996 1997 1998 1999 2000*
Nisbah terhadap PDB
Investasi
Tabungan
Defisit
Surplus
kedua tahun 2000 meningkat relatif besar, dari Rp277.3 triliun
pada akhir tahun 1999 menjadi Rp320.4 triliun pada akhir tahun
2000. Pemberian kredit terutama diberikan oleh bank-bank
kelompok A --yaitu bank dengan CAR diatas 4%-- serta bank
asing dan campuran, sementara penyaluran kredit oleh bank
persero dan bank-bank dalam rekapitalisasi masih sangat
terbatas.
Berbagai permasalahan di atas menyebabkan potensi
sumber pembiayaan dari dalam negeri tidak dapat disalurkan
ke dalam bentuk investasi. Hal ini terefleksi dari masih besarnya
surplus kesenjangan tabungan-investasi (saving-investment
gap) pada tahun laporan (Grafik 2.2). Nisbah surplus kesenja-
ngan tabungan-investasi terhadap PDB meningkat dari 4,1%
menjadi 5,0% (Tabel 2.2). Kenaikan surplus ini berasal dari
kenaikan nisbah surplus kesenjangan tabungan – investasi
pada sektor swasta dari 5,1% menjadi 7,2%. Di lain pihak, sektor
pemerintah masih mencatat defisit pada nisbah kesenjangan-
tabungan investasi, yakni dari 1,0% menjadi 2,2%.2)
Peningkatan surplus kesenjangan tabungan-investasi
swasta terutama bersumber dari peningkatan tabungan
swasta yang lebih cepat dibandingkan peningkatan investasi.
Grafik 2.2Perkembangan Surplus/
Defisit Kesenjangan Tabungan Investasi
Sumber: Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)
2) Perhitungan kesenjangan tabungan-investasi untuk sektor pemerintahmenggunakan tahun kalender.
Peningkatan tabungan swasta tersebut sejalan dengan
peningkatan pendapatan yang masih lebih tinggi dari
konsumsi swasta. Kondisi ini berbeda dengan tahun lalu dimana
konsumsi swasta tumbuh lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan pendapatan. Perkembangan ini meng-
gambarkan kondisi yang positif, terutama bila dibandingkan
tahun lalu dimana surplus yang terjadi disebabkan oleh
penurunan investasi yang lebih tajam daripada penurunan
tabungan.
Pada sektor pemerintah, peningkatan defisit berasal
dari penurunan tabungan pemerintah yang lebih besar dari
penurunan investasi pemerintah. Penurunan tabungan
pemerintah antara lain disebabkan oleh masih tingginya
pengeluaran pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak
Tabel 2.2Kesenjangan Tabungan Investasi
1998 1999 2000
triliun rupiah
PemerintahTabungan 48,0 62,9 36,1Investasi 49,8 74,2 64,4Defisit (–), surplus (+) –1,8 –11,3 –28,3
SwastaTabungan 236,4 222,8 342,5Investasi 193,2 166,1 249,5Defisit (–), surplus (+) 43,1 56,7 93,0
Tabungan Domestik Bruto 284,4 285,7 378,6Investasi
(a)243,0 240,3 313,9
Kesenjangan Tabungan Investasi 41,3 45,4 64,7PDB 955,8 1.110,0 1.290,7
persentase terhadap PDB
PemerintahTabungan 5,0 5,7 2,8Investasi 5,2 6,7 5,0Defisit (–), surplus (+) –0,2 –1,0 –2,2
SwastaTabungan 24,7 20,1 26,5Investasi 20,2 12,0 19,3Defisit (–), surplus (+) 4,5 5,1 7,2
Tabungan Domestik Bruto 29,8 25,7 29,3Investasi
(a)25,4 21,6 24,3
Kesenjangan Tabungan Investasi 4,3 4,1 5,0Transaksi Berjalan (dalam miliar USD) 4,1 5,8 7,7
Catatan :Rata-rata nilai tukar Rp/USD 10.088 7.850 8.400(a) Tidak termasuk perubahan stokSumber : Departemen Keuangan, Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)
27
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Peningkatan konsumsi rumah tangga yang cukup tinggi
antara lain disebabkan oleh adanya perbaikan pendapatan
masyarakat, mulai mengucurnya kredit konsumsi, dan
tingginya ekspektasi kenaikan harga yang mendorong
sebagian pelaku ekonomi untuk melakukan konsumsinya
sekarang. Rendahnya suku bunga tabungan/deposito
perbankan turut menyebabkan masih tingginya pengeluaran
konsumsi dalam tahun laporan. Peningkatan konsumsi tersebut
dicerminkan oleh sejumlah indikator konsumsi seperti
meningkatnya konsumsi semen dan penjualan kendaraan
bermotor. Konsumsi semen meningkat cukup tajam terutama
pada paro kedua tahun 2000 (Grafik 2.3). Hal ini sejalan dengan
mulai meningkatnya pertumbuhan sektor bangunan yang
cukup pesat setelah sempat mengalami kontraksi pada tahun
sebelumnya. Gambaran serupa juga terjadi pada penjualan
kendaraan bermotor yang menunjukkan kecenderungan
meningkat (Grafik 2.4). Selain menunjukkan masih mening-
katnya konsumsi masyarakat, kedua indikator tersebut
menyiratkan masih terjadinya alokasi pengeluaran yang
terkonsentrasi pada barang-barang tahan lama (durable
goods). Indikator konsumsi lainnya yaitu hasil Survey Penjualan
Eceran (SPE) juga menunjukkan peningkatan (Grafik 2.5).
Indeks penjualan eceran menunjukkan peningkatan yang
cukup tinggi sejak triwulan II/2000 setelah sempat mengalami
(BBM) akibat tertundanya pelaksanaan kenaikan harga
BBM, adanya kenaikan volume impor BBM serta mening-
katnya pembayaran bunga obligasi pemerintah. Di sisi lain,
penurunan investasi disebabkan oleh besarnya jumlah dana
yang harus dialokasikan pemerintah untuk pengeluaran
rutin yang bersifat wajib (non-discretionary) yaitu belanja
pegawai pusat dan daerah, pembayaran bunga utang,
dan subsidi.
Peningkatan surplus kesenjangan tabungan-investasi
tersebut mengindikasikan bahwa potensi pembiayaan dari
dalam negeri mampu berperan lebih besar dalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun potensi
tersebut belum bisa dimanfaatkan secara optimal karena
adanya berbagai hambatan dalam penyalurannya.
Rendahnya penyaluran kredit perbankan ke sektor riil tidak
terlepas dari belum berjalan sepenuhnya perkembangan
restrukturisasi kredit serta masih terbatasnya sektor usaha yang
layak untuk dibiayai. Tentunya berbagai kendala di dalam
negeri harus segera diatasi agar proses pemulihan dapat
semakin cepat. Sementara itu, sumber pembiayaan dari luar
negeri untuk peningkatan kegiatan investasi juga masih relatif
terbatas mengingat belum kondusifnya iklim usaha di dalam
negeri. Terbatasnya sumber pembiayaan luar negeri juga
tercermin dari neraca modal yang masih mengalami defisit
terutama karena lebih rendahnya aliran modal masuk bersih
sektor pemerintah.
Penyumbang terbesar ketiga dalam pembentukan PDB
adalah konsumsi yang pada tahun sebelumnya merupakan
satu-satunya kegiatan yang memberikan kontribusi positif bagi
pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan. Dalam periode
laporan konsumsi masih mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi sebesar 3,9%, dengan sumbangan sebesar 3,1%
terhadap PDB, walaupun lajunya sedikit melambat
dibandingkan tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsi ini
didukung oleh konsumsi rumah tangga yang meningkat
sebesar 3,6%, dengan sumbangan sebesar 2,6% terhadap PDB.
Sementara itu, konsumsi pemerintah mengalami peningkatan
yang cukup tinggi, yaitu 6,5% meskipun sumbangannya relatif
rendah yakni sebesar 0,5%.
Grafik 2.3 Konsumsi Semen
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Nov.Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei. Jul. Sep.
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
Ribu ton
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
28
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
jumlah realisasi pengeluaran pemerintah yang mempengaruhi
permintaan agregat tersebut, 62,0% dalam bentuk
pengeluaran konsumsi dan sisanya sebesar 38,0% dalam
bentuk pengeluaran investasi. Sejalan dengan perkembangan
pengeluaran pemerintah tersebut, kondisi keuangan
pemerintah dalam tahun anggaran 2000 (April–Desember)
mengalami defisit sebesar 3,2% dari PDB, lebih rendah
dibandingkan prakiraan pada awal tahun sebesar 4,8% dari
PDB. Lebih rendahnya defisit tersebut terutama disebabkan
oleh lebih besarnya realisasi penerimaan migas dari yang
direncanakan semula akibat membaiknya harga minyak
dunia. Di sisi lain realisasi pengeluaran pemerintah hampir
seluruhnya sesuai dengan rencana yang ditetapkan
sebelumnya.
Penawaran Agregat
Dari sisi penawaran, proses pemulihan ekonomi juga terlihat
semakin menjanjikan. Semua sektor telah memberikan nilai
tambah yang positif pada perekonomian, dengan sektor
industri pengolahan tetap sebagai penyumbang pertum-
buhan terbesar. Namun demikian, peningkatan penawaran
ini tidak tumbuh secepat pertumbuhan permintaan
mengingat investasi pada tahun-tahun sebelumnya sempat
mengalami kontraksi. Sedangkan dalam tahun laporan,
penanaman investasi baru masih rendah dibanding masa
sebelum krisis. Di samping itu, berkurangnya tingkat
kapasitas terpasang sebagai dampak dari krisis serta
berbagai hambatan lain khususnya dari s is i
pembiayaannya turut mempengaruhi lambatnya
pertumbuhan dari output potensial. Laju pertumbuhan out-
put potensial yang lebih lambat dari laju pertumbuhan
permintaan --yang dalam beberapa tahun terakhir
dimotori oleh pertumbuhan konsumsi-- pada gilirannya
akan memberikan tekanan pada peningkatan harga
umum.
Penawaran Jangka Pendek
Dalam tahun 2000 semua sektor dalam perekonomian
mencatat pertumbuhan positif. Sektor industri pengolahan
Grafik 2.4 Penjualan Kendaraan Bermotor
Sumber: Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo)
Grafik 2.5Indeks Penjualan Eceran
koreksi terhadap faktor musiman dengan berlalunya musim
libur anak sekolah.
Sementara itu, konsumsi pemerintah dalam tahun
laporan mengalami pertumbuhan sebesar 6,5%. Realisasi
pengeluaran pemerintah mencapai Rp223,9 triliun, dimana
49,0% atau Rp109,3 triliun diantaranya mempengaruhi
permintaan agregat sebagai belanja konsumsi dan investasi
pemerintah, dan 42,2% atau Rp94,5 tril iun sebagai
pembayaran transfer ke sektor swasta dalam bentuk
pembayaran subsidi dan bunga utang dalam negeri. Dari
0
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
5.000Non Niaga (aksis kanan)Niaga (aksis kiri)
U n i t
Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
U n i t
0
50
100
150
200
250
2 0 0 0
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Indeks
29
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Grafik 2.6Perkembangan Indeks Produksi
60
80
100
120
140
160Indeks Produksi Manufaktur
Trend
Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.
Indeks
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
25
35
45
55
65
75
%
JakartaBali
1998 1999 2000
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul.
Grafik 2.7Tingkat Hunian Hotel di Jakarta dan Bali
menunjukkan peningkatan kecuali kelompok industri kayu,
rotan dan rumput-rumputan. Kelompok industri yang mencatat
pertumbuhan tertinggi secara berurutan adalah kelompok
industri barang dari logam, kelompok industri pengolahan
lainnya, dan kelompok industri makanan, minuman dan
tembakau.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran juga turut men-
catat pertumbuhan yang tinggi, yakni sebesar 5,7%. Kontribusi
terbesar pada pertumbuhan sektor ini berasal dari subsektor
perdagangan sebagaimana tercermin dari Indeks Penjualan
Eceran yang senantiasa meningkat (Grafik 2.5). Selain itu, tingkat
hunian hotel di Jakarta dan Bali juga cenderung meningkat,
sehingga memberikan kontribusi positif bagi perkembangan
subsektor hotel dan subsektor restoran (Grafik 2.7).
Sektor pengangkutan dan komunikasi pada tahun
laporan mencatat pertumbuhan sebesar 9,4% dengan
sumbangan terbesar berasal dari subsektor angkutan jalan
raya. Momentum kebangkitan sektor ini tidak terlepas dari
adanya Hari Raya Idul Fitri yang terjadi dua kali dalam tahun
laporan serta mulai stabilnya harga suku cadang yang sempat
menjadi pemicu krisis pada sektor ini. Mulai stabilnya harga
suku cadang tercermin dari meningkatnya indeks penjualan
untuk kendaraan dan suku cadang dalam survei penjualan
eceran. Disamping itu, pertumbuhan sektor pengangkutan
juga didukung oleh peran kegiatan pariwisata yang terus
tetap menjadi motor utama pertumbuhan, diikuti oleh sektor
perdagangan dan sektor pengangkutan (Boks: Krisis dan
Struktur Perekonomian Indonesia). Sektor keuangan yang
pada tahun sebelumnya mengalami kontraksi terbesar juga
sudah mencatat pertumbuhan positif.
Sektor industri pengolahan pada tahun 2000 mencatat
pertumbuhan sebesar 6,2%. Walaupun pertumbuhan sektor ini
lebih kecil dibandingkan sektor pengangkutan, sektor listrik, dan
sektor bangunan, namun mengingat pangsa sektor industri
pengolahan yang sangat besar dalam pembentukan PDB
maka dengan pertumbuhan tersebut menyebabkan kontribusi
sektor ini menjadi yang terbesar. Pertumbuhan di sektor industri
pengolahan ini seiring dengan meningkatnya permintaan
khususnya untuk subsektor industri nonmigas. Kegiatan yang
memberikan kontribusi terbesar adalah alat angkutan, mesin
dan peralatan serta pupuk, kimia dan barang dari karet.
Peningkatan kinerja sektor industri pengolahan ini sejalan
dengan meningkatnya impor bahan baku untuk proses
produksi.
Kinerja sektor industri pengolahan yang mencatat
pertumbuhan cukup tinggi tersebut sejalan dengan hasil Sur-
vey Produksi yang dilakukan Bank Indonesia terhadap sejumlah
perusahaan manufaktur yang menunjukkan adanya
peningkatan indeks produksi (Grafik 2.6). Dari 9 kelompok
industri yang disurvei, hampir seluruh kelompok industri
30
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Grafik 2.9Tingkat Hunian Pusat Perbelanjaan dan Perkantoran
Ritel Kantor
50
60
70
80
90
100
1 9 9 9 2 0 0 0
Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
%
Grafik 2.8Kedatangan Wisman melalui 4 Pintu Kedatangan Utama
40
50
60
70
80
90
100
110
Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul.
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
Ribu orang
sebagian masih harus diimpor. Melimpahnya pasokan
komoditi substitusi pertanian dari luar negeri turut
menyebabkan melambatnya pertumbuhan pada subsektor
tanaman bahan makanan. Selain itu, rendahnya harga jual
produk tanaman bahan makanan, seperti beras, jagung, gula,
turut menurunkan motivasi petani untuk menggarap tanah
olahannya.
Penawaran Jangka Panjang
Sisi penawaran jangka panjang atau output potensial3) selama
tahun laporan sudah menunjukkan arah yang membaik.
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, berbagai
indikator menunjukkan adanya perkembangan positif seperti
meningkatnya investasi walaupun relatif terbatas dan
meningkatnya jumlah angkatan kerja yang menambah jumlah
input faktor produksi. Perkembangan ini pada gilirannya akan
menyebabkan peningkatan output potensial.
Namun demikian, kenaikan output potensial ini masih
lebih lambat dari kenaikan output aktual (permintaan). Masih
3) Output potensial dihitung dengan menggunakan metode Hodric-Prescott filter. Metode ini sebenarnya mengandung kelemahanterutama berkaitan dengan masalah end-point problem. Penggunaanmetode ini tetap populer terutama karena kepraktisannya. Upayauntuk mengatasinya ialah dengan memasukkan proyeksi PDB sampaidengan tahun 2003.
meningkat, yang tercermin pada peningkatan jumlah
wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia melalui 4
pintu kedatangan utama (Grafik 2.8). Beroperasinya beberapa
maskapai penerbangan baru juga turut memberikan kontribusi
bagi pertumbuhan sektor ini.
Sektor bangunan yang sempat mengalami kontraksi
paling besar pada awal krisis, sudah mulai menunjukkan
pertumbuhan yang positif, yakni sebesar 6,8%, jauh membaik
dibandingkan kontraksi sebesar 0,7% pada tahun lalu.
Peningkatan sektor ini ditandai dengan maraknya
perkembangan properti terutama pada segmen properti
komersial sejalan dengan meningkatnya kegiatan dunia
usaha. Permintaan akan ruang pusat perbelanjaan di wilayah
Jabotabek dan areal perkantoran di wilayah Jakarta
sepanjang tahun laporan menunjukkan kecenderungan yang
meningkat seperti yang tercermin dari tingginya tingkat hunian
properti komersial (Grafik 2.9).
Sektor pertanian mengalami pertumbuhan sebesar
1,7%, sedikit lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Beberapa faktor yang menyebabkan melambatnya
pertumbuhan pada sektor pertanian ini antara lain berlalunya
masa bonanza tanaman perkebunan yang sempat terjadi
pada awal krisis, terbatasnya pendanaan untuk melakukan
ekspansi usaha, dan meningkatnya harga input produksi yang
31
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Grafik 2.10Perkembangan ICOR periode 3 tahun
Grafik 2.12Kesenjangan Output
Grafik 2.11Kapasitas Terpakai
Sumber: Badan Pusat Statistik dan Bank Indonesia (diolah)
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Rasio
1986-1988 1989-1991 1992-1994 1995-1997 1998-2000
5,04,3
5,4
6,9
14,8
%
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.
2 0 0 0
75
80
85
90
95
100
105
110
115Aktual
Potensial
III I III I III I IIII III I III II IIII III
1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
Triliun Rp.
dihadapi dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia.
Permasalahan pemulihan perekonomian juga terkait dengan
masih rendahnya produktivitas dan belum pulih sepenuhnya
mata rantai proses produksi. Hal ini tercermin dari tingginya
angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) pada periode
1998–2000 (Grafik 2.10).4) Perlu dicermati bahwa lonjakan
angka ICOR ini merupakan konsekuensi yang wajar karena
rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode krisis tersebut.
Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan permintaan
semakin cepat. Peningkatan permintaan ini belum diantisipasi
sepenuhnya dengan melakukan investasi baru, melainkan
lebih memanfaatkan kapasitas menganggur yang tersedia
sebagaimana tercermin dari hasil Survei Produksi Bank Indo-
nesia yang memperlihatkan adanya peningkatan kapasitas
terpakai (Grafik 2.11). Tingginya permintaan aktual yang tidak
diikuti pertumbuhan output potensial dengan kecepatan
yang sama akan menyebabkan kesenjangan output
menjadi menyempit (narrowing output gap) dan pada
gilirannya akan memberikan tekanan pada peningkatan
harga-harga umum (Grafik 2.12).
ICORt2-t1 =
Σ PMTDBtt=t2-1
t1-1
PDBt1
– PDBt2
4) ICOR selama periode t2 sampai dengan t1, dihitung dengan rumus:
rendahnya minat investasi serta terbatasnya penyaluran kredit
investasi jangka panjang menyebabkan pertambahan
kapasitas terpasang menjadi relatif terbatas. Sementara itu,
sempat terbengkalainya mesin-mesin dan peralatan karena
tidak beroperasinya pabrik-pabrik, mahalnya suku cadang,
menyebabkan penyusutan nilai kapasitas terpasang menjadi
lebih cepat. Masih belum pulihnya investasi jangka panjang
secara penuh turut mempengaruhi percepatan pertumbuhan
output potensial. Kondisi sosial politik dan keamanan yang
belum kondusif turut memperberat permasalahan yang
32
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Ketenagakerjaan
Seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian, kondisi
ketenagakerjaan juga turut membaik yang antara lain ter-
cermin dari mulai terjadinya proses penyerapan tenaga kerja.
Tingkat pengangguran terbuka --yang merupakan perban-
dingan antara jumlah pengangguran terbuka terhadap jumlah
angkatan kerja-- mengalami penurunan, mengingat
penambahan jumlah angkatan kerja dapat diimbangi oleh
peningkatan penyerapan tenaga kerja yang lebih cepat.
Tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2000 adalah
sebesar 6,1%, menurun dibandingkan dengan pengangguran
terbuka tahun lalu sebesar 6,4% (Tabel 2.3). Indikator penting
lainnya yaitu Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yang
mengukur nisbah antara jumlah angkatan kerja terhadap
penduduk usia kerja, menunjukkan peningkatan. Peningkatan
TPAK ini menggambarkan jumlah penduduk yang bersedia
secara aktif melakukan kegiatan ekonomi terhadap total
penduduk usia kerja meningkat. Selain itu, sejalan dengan
menurunnya tingkat pengangguran terbuka, jumlah perkara
yang masuk maupun tenaga kerja yang terkait dalam proses
PHK tersebut cenderung menurun (Grafik 2.13).
Namun demikian, terdapat beberapa hal yang masih
menjadi tantangan di bidang ketenagakerjaan. Meskipun
angka pengangguran menunjukkan penurunan, jumlah orang
menganggur masih mencatat angka yang cukup tinggi yaitu
5,9 juta orang. Dari sisi tingkat pendidikan, proporsi tenaga kerja
dengan latar belakang pendidikan rendah masih sangat besar,
dimana sekitar 38,0% dari tenaga kerja hanya tamatan sekolah
Sumber : Badan Pusat Statistik
SD38%
< SD24%
Universitas2%
Diploma2%SMA
18%
SMP16%
Grafik 2.14Latar Belakang Pendidikan Tenaga Kerja
dasar (Grafik 2.14). Apabila digabungkan dengan kelompok
tenaga kerja yang tidak pernah sekolah/tidak tamat SD, maka
pangsa mereka mencapai 62,0%. Sementara itu, tenaga kerja
dengan pendidikan akademi atau lebih tinggi hanya memiliki
pangsa 4,0%.
Di samping menurunnya tingkat pengangguran, tingkat
pendapatan masyarakat juga turut meningkat. Pada tahun
2000, upah minimum regional (UMR) meningkat sebesar 25,0%
dibandingkan tahun sebelumnya (Tabel 2.4). Perkembangan
ini menunjukkan upaya pemerintah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercermin dari laju
Grafik 2.13Perkembangan PHK
0
100
200
300
400
500
600
700
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45Perkara
Tenaga Kerja
1 9 9 9 2 0 0 0
I II III IV I II III IV
Kasus Ribu orang
Tabel 2.3Indikator Ketenagakerjaan
1998 1999 2000 ∆1999–2000
Juta penduduk
Penduduk usia kerja 138,5 141,1 141,3 0,15
Jumlah Angkatan Kerja 92,8 94,8 95,7 0,95
Bekerja 87,7 88,9 89,8 1,04
Pengangguran terbuka 5,1 6,0 5,9 –1,64
Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 5,5 6,4 6,1 –2,60
TPAK (%) 66,9 67,2 67,7 0,73
Sumber : Badan Pusat Statistik
Indikator
33
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Tabel 2.4Perkembangan UMR dan KHM
UMR1)
KHM UMR KHM UMR/KHM
Rupiah per bulan Perubahan (%) Persen
1996 118.170 130.501 57,9 37,9 90,6
1997 125,65 134,384 6,3 3,0 93,5
1998 144.491 194,161 15,0 44,5 74,4
1999 166,917 243,667 15,5 25,5 68,5
2000 207,752 251,634 24,5 3,3 82,6
Tabel 2.5Upah/Gaji Mingguan
Upah Nominal Upah Riil
Ribu rupiah
Industri Hotel Pertam- Industri Hotel Pertam-Pengolahan bangan Pengolahan bangan
I/99 67,8 74,1 200,1 32,9 35,9 97,1
II/99 75,4 77,7 246,8 36,8 38,0 120,6
III/99 73,1 78,1 202,1 36,5 39,0 100,9
IV/99 78,1 97,4 220,2 37,6 48,7 110,1
I/00 78,7 95,8 231,1 38,4 46,8 112,8
II/00 88,0 98,0 235,7 42,5 47,3 113,9
III/00 90,1 95,1 234,9 42,6 44,9 111,0
Tahun
Sumber: Badan Pusat Statistik
T a h u n
1) UMR dihitung berdasarkan 30 hari kerja
Sumber: Departemen Tenaga Kerja
pertumbuhan UMR yang semakin tinggi (Grafik 2.15). Namun
demikian, masih terdapat perbedaan upah yang sangat tajam
baik antar daerah/kota maupun antar sektor ekonomi. Daerah
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
1.340
1.621
1.835
2.195
2.888
3.441
3.939
4.347
5.009
5.782
7.328
Rupiah
Grafik 2.15Upah Minimum Harian Regional1)
1)Tidak termasuk Batam
yang memiliki UMR paling tinggi adalah Batam, diikuti oleh
Jakarta, Jabar dan Irian Jaya, sedangkan daerah dengan UMR
terendah adalah Maluku, Jambi dan Bengkulu. Peningkatan
UMR ini juga lebih cepat dari peningkatan Kebutuhan Hidup
Minimum (KHM). Perkembangan tersebut mengakibatkan
nisbah UMR/KHM juga membaik yang mengindikasikan
adanya perbaikan dalam tingkat kesejahteraan masyarakat.
Di samping kenaikan UMR, pemerintah melalui kebijakan
pendapatan, juga menaikkan gaji pegawai negeri sipil (PNS),
TNI dan Polri. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi juga turut
memperbaiki pendapatan pekerja, sebagaimana tercermin
dari peningkatan upah/gaji nominal yang diterima oleh
pekerja di sektor industri pengolahan dan perhotelan
menunjukkan peningkatan. Peningkatan pendapatan yang
lebih cepat dari laju inflasi pada akhirnya menyebabkan upah/
gaji riil meningkat (Tabel 2.5).
34
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
Boks : Krisis dan Struktur Perekonomian Indonesia
yang berbeda. Lebih lanjut, pengalaman negara-negara
berkembang menunjukkan, laju percepatan dari suatu proses
transformasi akan berbeda untuk masing-masing negara,
tergantung dari karakteristik perekonomian negara yang
bersangkutan. Untuk negara yang kaya sumber daya alam,
proses transformasinya cenderung lebih lambat dibandingkan
dengan negara yang perekonomiannya relatif tidak
tergantung pada sumber daya alam. Perbedaan ini karena
untuk negara-negara yang kaya sumber daya alam cen-
derung masih membutuhkan pertumbuhan yang relatif tinggi
pada sektor primer untuk mendukung percepatan per-
tumbuhan pada sektor lainnya.
Dari grafik mengenai perubahan pangsa terhadap PDB
terlihat bahwa sampai sebelum krisis, pangsa sektor primer
terlihat terus menurun, pada saat yang bersamaan sektor
sekunder dan sektor tersier terus meningkat. Pada awal tahun
1980, pangsa sektor primer masih mencapai sekitar 43% dari
PDB, dan secara konsisten turun hingga sekitar 23% pada tahun
1997. Sementara itu, pangsa sektor sekunder dan sektor tersier
naik masing-masing dari sekitar 18% dan 37% menjadi sekitar
34% dan 42%. Memasuki periode krisis, terjadi perubahan arah
dengan meningkatnya kembali pangsa sektor primer sampai
sekitar 26%. Dalam periode yang relatif singkat ini, perubahan
pola ini belum dapat ditengarai apakah bersifat permanen
atau sementara.
Proses transformasi struktural yang terjadi pada masa
sebelum krisis disatu pihak sejalan dengan pola pembangunan
yang umum dialami oleh negara berkembang. Sejak
diterapkannya deregulasi perbankan pada tahun 1983 yang
mengawali berbagai deregulasi di bidang ekonomi dan
keuangan, terlihat peningkatan yang pesat pada pangsa
sektor sekunder. Meningkatnya potensi sumber pembiayaan
dimanfaatkan dengan melakukan investasi pada sektor
industri pengolahan. Selanjutnya, dengan diberlakukannya
paket kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988) yang memberikan
ruang gerak lebih luas pada perbankan, pangsa sektor tersier
menunjukkan peningkatan yang pesat terutama disumbang
oleh lonjakan pangsa sektor bank dan lembaga keuangan.
Perkembangan yang amat pesat pada sektor sekunder
Berdasarkan pendekatan strukturalis, pembangunan ekonomi
merupakan suatu proses transisi dan transformasi yang berkisar
pada perubahan struktural yang menyangkut perubahan-
perubahan pada struktur dan komposisi produk nasional,
kesempatan kerja produktif, ketimpangan antarsektoral,
antardaerah, dan antar- golongan masyarakat, serta
kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.1) Lebih jauh, Simon
Kuznets –pemenang nobel bidang ekonomi pada tahun
1971— dalam penjelasannya mengenai modern economic
growth menekankan bahwa negara berkembang pada
umumnya dicirikan dengan karakteristik-karakteristk yang
pada intinya mencakup pertumbuhan dari besaran makro
ekonomi (output perkapita, populasi, dan produktivitas),
transformasi struktural dari besaran ekonomi agregat tersebut,
dan distribusi dari pertumbuhan itu sendiri.
Untuk kasus Indonesia, sejumlah indikator menunjukkan
telah terjadinya perubahan struktur perekonomian dalam
periode sebelum krisis. Hal ini tidak terlepas dari rangkaian
kebijakan liberalisasi di berbagai sektor ekonomi yang
ditempuh Pemerintah sejak awal dekade 1980-an. Setelah
terjadinya krisis sejak pertengahan 1997, timbul pertanyaan
apakah struktur perekonomian Indonesia telah mengalami
perubahan secara signifikan. Dalam tulisan ini, pembahasan
akan lebih difokuskan kepada permasalahan sekitar
transformasi dalam perekonomian.
Dari sisi penawaran, transformasi struktural dapat
dideteksi dengan karakteristik turunnya peranan/pangsa
(share) sektor primer yang tradisional (sektor pertanian dan
sektor pertambangan). Pada saat yang bersamaan sektor
sekunder (sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air
minum, dan sektor bangunan) meningkat dan selanjutnya
diikuti oleh peningkatan sektor tersier (sektor perdagangan,
hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan telekomunikasi,
sektor bank dan lembaga keuangan, dan sektor jasa-jasa).
Dalam proses ini, pergeseran pangsa tetap harus diikuti oleh
pertumbuhan dari masing-masing sektor meskipun dengan laju
1) Sumitro Djojohadikusumo, “Dasar Teori Ekonomi Pertumuhan danEkonomi Pembangunan”, Jakarta, Juni 1994, hal 126.
35
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
terutama untuk industri pengolahan dan (pada tahap
berikutnya) sektor tersier yang dimotori oleh perbankan, jauh
melebihi percepatan pertumbuhan sektor primer sehingga
pangsa sektor primer menurun secara tajam.
Permasalahan yang muncul adalah mengenai
percepatan tranformasi itu sendiri. Indonesia sebagai negara
yang kaya akan sumber daya alam --dengan mengacu pada
pengalaman negara-negara berkembang sebagaimana
telah disebutkan di muka-- seyogyanya mengalami proses
penurunan pangsa sektor primer yang tidak terlalu drastis.
Batasan mengenai kecepatan perubahan ini sendiri memang
sumir, sehingga kajian singkat ini tidak akan membahas lebih
jauh mengenai “ketepatan” dari percepatan laju perubahan
tersebut melainkan lebih menekankan pada bagaimana
proses transformasi itu terjadi, mulai dari masa pertumbuhan
tinggi (booming) hingga periode pemulihan.
Seperti telah disinggung sebelumnya, proses
transformasi di Indonesia dipicu oleh perkembangan industri
manufaktur yang amat pesat. Namun, proses ini ternyata
didukung oleh perkembangan industri manufaktur yang
kurang berbasis pada sumber daya alam dimana Indonesia
memiliki keunggulan komparatif. Ekspansi usaha yang pesat
pada sektor sekunder berpusat pada proyek-proyek berskala
mega maupun sektor yang relatif kurang kompetitif namun
memberikan return tinggi. Pembiayaan kegiatan ini dilakukan
dengan melakukan pinjaman luar negeri yang pada gilirannya
dapat memberikan tekanan pada neraca pembayaran dan
memiliki potensi permasalahan dalam pelunasannya.
Grafik 1Pangsa terhadap PDB
10,0
14,0
18,0
22,0
26,0
30,0
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
% %
Industri
Listrik (aksis kanan)
Bangunan (aksis kanan)
III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV
‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97
III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV
‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
% %
30,0
5,0
10,0
15,0
20,0
25,0
30,0
PertanianPertambangan
III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV
‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97
% %
15,0
20,0
25,0
30,0
35,0
40,0
45,0
36,0
37,0
38,0
39,0
40,0
41,0
42,0
43,0
44,0
Tersier (aksis kanan)Primer Sekunder
% %
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
11,0Perdagangan
Jasa-jasaPengangkutan
Bank
III II I IVI IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV III II I IV
‘98 ‘99 ‘00‘82 ‘83 ‘84 ‘85 ‘86 ‘87 ‘88 ‘89 ‘90 ‘91 ‘92 ‘93 ‘94 ‘95 ‘96 ‘97
36
Bab 2 Kondisi Makroekonomi
2) Grafik mengenai ICOR dapat dilihat pada Grafik 2.10
Perkembangan ini dimungkinkan karena adanya proteksi
terhadap proyek-proyek tersebut, serta diperparah dengan
adanya distorsi-distorsi seperti mark-up nilai proyek, praktik KKN
dan lain sebagainya yang menghasilkan ekonomi biaya tinggi
dan berdiri tidak dengan fondasi yang kuat (bubbles).
Berbagai ketidakseimbangan ini pada gilirannya akan
mengalami penyesuaian.
Krisis yang terjadi --diawali dengan tekanan pada nilai
tukar sejak paro kedua 1997-- telah mengubah arah pangsa
masing-masing sektor terhadap PDB. Sektor primer yang
secara konsisten menunjukkan penurunan pangsa, sejak krisis
melonjak dengan pesat. Mengingat Indonesia sebagai suatu
negara yang kaya akan sumber daya alam dan mempunyai
latar belakang historis pertanian yang kental, sektor primer
pada saat krisis menjadi bantalan (bumper) terhadap
anjloknya pertumbuhan. Hal ini terlihat dari meningkatnya
peran sektor pertanian dan pertambangan dalam
pembentukan PDB.
Seiring dengan meningkatnya pangsa sektor primer,
sektor sekunder dan terutama sektor tersier menurun drastis,
sebagai koreksi terhadap bubbles yang terjadi sebelumnya.
Penurunan pangsa sektor sekunder memang tidak terlalu
drastis karena masih tertolong oleh peningkatan pangsa
industri makanan, minuman dan tembakau, industri pengila-
ngan minyak bumi dan gas alam cair. Namun demikian,
sebagian besar industri yang termasuk dalam sektor industri
pengolahan mengalami penurunan, terutama pangsa dari
industri semen dan industri alat angkutan, mesin dan peralatan.
Sektor tersier bahkan mengalami penurunan pangsa yang
paling dalam. Sejalan dengan yang pernah dialami oleh
negara-negara lain dimana penyesuaian terhadap bubbles
pertama-tama akan menyebabkan koreksi pada sektor
properti, sektor konstruksi di Indonesia juga mengalami kontraksi
yang amat dalam sehingga menipiskan pangsanya dalam
pembentukan PDB.
Pergeseran pangsa ini berlangsung kurang lebih 1–2
tahun dan secara perlahan arah pergerakan telah kembali
ke pola transformasi struktural yang biasa dialami oleh negara
berkembang. Patut dicermati bahwa peningkatan pangsa
sektor primer pada periode awal krisis ekonomi bukanlah suatu
fenomena distranformasi, tapi lebih merupakan dampak
penyesuaian pasar terhadap sektor sekunder dan tersier.
Secara nominal, nilai tambah sektor primer relatif tidak
bertambah semenjak krisis, sedangkan nilai tambah sektor
sekunder dan tersier merosot drastis. Hal ini tidak sejalan dengan
proses transformasi yang tidak hanya merupakan pergeseran
pangsa tetapi juga mensyaratkan pertambahan dari segi
produksinya.
Lebih jauh dapat dikatakan bahwa selama krisis
terganggunya proses kelangsungan proses produksi pada
sektor sekunder, khususnya industri pengolahan, merupakan
akibat dari merosotnya impor karena nilai tukar rupiah yang
melorot tajam sejak pertengahan 1997. Di sisi lain, depresiasi
nilai tukar telah menyebabkan ekspor meningkat khususnya
untuk komoditi di sektor primer. Seiring dengan surplus transaksi
berjalan yang semakin besar, kemampuan untuk melakukan
impor khususnya bahan baku dan barang modal menjadi
meningkat pula, sehingga mendorong kegiatan di sektor
industri pengolahan, baik untuk memenuhi permintaan
domestik maupun lular negeri. Mulai pulihnya konsumsi
masyarakat serta sektor industri pengolahan menandai
dimulainya periode pemulihan. Laju pertumbuhan sektor
sekunder meningkat relatif pesat, melampaui laju per-
tumbuhan di sektor primer, sehingga pangsa sektor ini kembali
meningkat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa akibat krisis
yang terjadi sejak 1997 yang lalu, perekonomian Indonesia tidak
mengalami perubahan struktur yang signifikan. Pergeseran
pangsa yang terjadi hanyalah merupakan shock temporer
sebagai penyesuaian terhadap landasan perekonomian In-
donesia. Sektor sekunder dan tersier akan tetap menjadi mo-
tor pertumbuhan dengan pangsa yang terus meningkat.
Pelajaran yang dapat ditarik yang terkait dengan perubahan
struktur tersebut adalah perlunya strategi pembangunan,
khususnya sektor industri, yang lebih berbasis pada sumber
daya alam sehingga proses peralihan dari sektor primer yang
tradisional ke sektor sekunder dan tersier berlangsung secara
lebih "wajar".
Nilai Tukar dan InflasiBab 3
38
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
bersifat menetap (persistent). Secara keseluruhan, laju inflasi
tahun 2000 mencapai 9,35% (year-on-year), lebih tinggi
dibandingkan dengan inflasi tahun 1999 sebesar 2,01%.
Melemahnya nilai tukar rupiah yang lebih besar dari
yang diprakirakan juga mendorong tekanan kenaikan harga
melalui kenaikan harga barang-barang impor. Selama tahun
2000, nilai tukar rupiah rata-rata mencapai Rp8.400 per dolar
AS, lebih tinggi dari asumsi sebesar Rp7.000 per dolar AS yang
digunakan dalam penetapan sasaran inflasi. Tekanan
terhadap nilai tukar rupiah meningkat terutama sejak bulan
April 2000 sebagai akibat perkembangan situasi politik dan
keamanan menjelang Sidang Tahunan MPR Agustus 2000,
menguatnya mata uang dolar AS terhadap hampir semua
mata uang utama dunia, dan besarnya permintaan valuta
asing untuk pembayaran utang luar negeri. Tekanan-tekanan
terhadap rupiah telah membuat kurs rupiah menjadi terlalu
rendah terhadap nilai fundamentalnya.
Perkembangan tersebut menggambarkan eratnya
kaitan antara perkembangan sisi ekonomi maupun politik dan
keamanan dengan perkembangan inflasi dan nilai tukar.
Dalam hal ini, Bank Indonesia berperan penting dalam
memelihara kestabilan nilai rupiah dalam mendukung
kesinambungan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana
disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang No. 23 tahun 1999
tentang Bank Indonesia, tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah baik
terhadap harga barang dan jasa di dalam negeri (laju inflasi)
maupun kestabilan nilai mata uang rupiah terhadap mata
uang asing (nilai tukar rupiah). Dalam melaksanakan pengen-
dalian moneter, Bank Indonesia menetapkan laju inflasi sebagai
sasaran akhir kebijakan moneter dengan mempertimbangkan
berbagai asumsi penting seperti pertumbuhan ekonomi dan
nilai tukar, termasuk juga asumsi situasi politik yang berdampak
bagi perekonomian. Dengan demikian, pelaksanaan
kebijakan moneter oleh Bank Indonesia tersebut akan
Bab 3 Moneter
b a b
3 Nilai Tukar dan Inflasi
Perkembangan nilai tukar dan inflasi sepanjang tahun 2000
sangat terkait dengan perkembangan di sisi makro-
ekonomi maupun kondisi politik dan keamanan di dalam
negeri. Proses pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang
diprakirakan ternyata diikuti oleh meningkatnya tekanan-
tekanan kenaikan harga terutama sejak pertengahan tahun
2000. Akselerasi kegiatan ekonomi telah memberikan
dorongan kenaikan di sisi permintaan yang cukup kuat baik
untuk konsumsi, impor maupun investasi walaupun belum
dapat diimbangi kenaikan di sisi penawaran. Sisi penawaran
masih rawan dengan berbagai permasalahan struktural
berkaitan dengan lambatnya proses restrukturisasi utang dan
perusahaan, belum pulihnya intermediasi perbankan, serta
sangat terbatasnya sumber pembiayaan dari luar negeri. Iklim
berusaha juga belum membaik akibat perkembangan politik
dan keamanan di dalam negeri. Tekanan kenaikan harga
yang muncul karena berbagai permasalahan dan faktor
ketidakpastian tersebut telah menyebabkan kenaikan sisi
penawaran kurang dapat mendukung peningkatan di sisi
permintaan.
Tekanan kenaikan harga menjadi lebih besar dengan
adanya kebijakan pemerintah untuk mengurangi berbagai
subsidi guna mendorong pembentukan harga berdasarkan
mekanisme pasar serta kebijakan untuk meningkatkan
kesejahteraan pegawai negeri sipil (PNS). Dalam tahun 2000,
pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penyesuaian di
bidang harga dan pendapatan yang antara lain mencakup
pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), kenaikan tarif
dasar listrik (TDL), tarif angkutan, cukai rokok, serta kenaikan
gaji PNS, TNI, dan Polri, serta upah minimum regional (UMR).
Selain itu, tekanan inflasi juga muncul dengan semakin
tingginya ekspektasi peningkatan laju inflasi di kalangan
konsumen dan produsen. Peningkatan ekspektasi ini
mengakibatkan kecenderungan kenaikan harga-harga
menjadi sulit diredam dengan segera karena cenderung
39
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan keuangan
secara keseluruhan.
Dalam tahun 2000, perkembangan ekonomi, nilai tukar
dan inflasi seperti yang digambarkan di atas telah
menyebabkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan
moneter oleh Bank Indonesia menjadi lebih sulit dan dilematis.
Di satu sisi, meningkatnya tekanan inflasi dan nilai tukar rupiah
menuntut Bank Indonesia untuk melakukan pengetatan di
bidang moneter. Akan tetapi, di sisi lain pengetatan moneter
ini tidak dapat dilakukan secara drastis dan berlebihan karena
akan mengancam kelangsungan proses penyehatan
perbankan dan restrukturisasi perusahaan yang masih rentan.
Kegagalan dalam bidang-bidang tersebut pada gilirannya
dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan publik
terhadap prospek pemulihan ekonomi secara keseluruhan.
Hal ini dapat menjadi pemicu bagi kembalinya lingkaran
depresiasi nilai tukar dan kenaikan laju inflasi (depreciation -
inflation spiral) seperti yang terjadi pada puncak krisis ekonomi
yang lalu.
Dalam menyikapi perkembangan inflasi, nilai tukar dan
ekonomi seperti di atas, Bank Indonesia menempuh kebijakan
moneter yang cenderung ketat (tight bias) terutama sejak Mei
2000. Artinya, kebijakan moneter tetap diarahkan untuk
menyerap kelebihan likuiditas dalam perekonomian agar tidak
menambah tekanan terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah,
namun dengan menghindari kenaikan suku bunga yang drastis
dan berlebihan.
Langkah pengetatan moneter dilakukan melalui
mekanisme operasi pasar terbuka (OPT) untuk menyerap ekses
likuiditas rupiah di pasar uang agar tidak digunakan untuk
spekulasi di pasar valuta asing. Langkah pengetatan ini juga
dibantu dengan sterilisasi valuta asing yang dilakukan Bank
Indonesia untuk menyerap kembali pengeluaran rupiah dari
penerimaan luar negeri pemerintah sekaligus untuk
menambah pasokan valuta asing di pasar. Selain itu, Bank
Indonesia juga melakukan langkah-langkah yang secara
langsung dapat mengurangi tekanan terhadap nilai tukar ru-
piah, seperti pengawasan langsung terhadap sejumlah bank
pelaku terbesar dalam transaksi valuta asing, monitoring
terhadap rekening vostro (milik nonresiden), dan melakukan
kajian yang mendalam terhadap kemungkinan pembatasan
transaksi rupiah oleh nonresiden.
Nilai Tukar
Selama tahun 2000, perkembangan nilai tukar rupiah
cenderung mengalami depresiasi disertai dengan volatilitas
yang tinggi. Secara rata-rata nilai tukar rupiah mencapai
Rp8.400 per dolar AS, melemah dibandingkan rata-rata tahun
1999 sebesar Rp7.850 per dolar AS. Nilai tukar rupiah mencapai
titik terendah sebesar Rp9.675 per dolar AS pada akhir
Desember 2000. Dengan perkembangan ini, nilai tukar rupiah
mengalami deviasi yang cukup besar terhadap nilai
fundamentalnya. Tekanan depresiasi rupiah tersebut terutama
disebabkan oleh kesenjangan antara penawaran dan
permintaan valuta asing (supply-demand imbalance), ekses
likuiditas rupiah di pasar uang, sentimen negatif terhadap
ketidakstabilan situasi politik dan keamanan di dalam negeri,
dan semakin aktifnya perdagangan rupiah oleh nonresiden
sejalan dengan meningkatnya internasionalisasi rupiah.
Kesenjangan yang terjadi antara penawaran dan
permintaan valuta asing tersebut tidak sejalan dengan
membaiknya kinerja sektor perdagangan luar negeri. Surplus
perdagangan yang cukup besar dalam tahun laporan belum
mampu meningkatkan pasokan valuta asing di pasar secara
berarti karena devisa hasil eskpor belum seluruhnya mengalir
ke dalam negeri. Demikian pula, aliran devisa masuk (capital
inflows) yang bersumber dari investasi asing belum dapat
diharapkan karena situasi di dalam negeri yang belum
kondusif. Di pihak lain, tekanan permintaan terhadap valuta
asing masih besar, terutama permintaan murni dalam rangka
pelunasan utang luar negeri swasta. Ketidakseimbangan
tersebut telah mengakibatkan kondisi pasar valuta asing
sangat tipis sehingga sangat rentan terhadap ketidakstabilan
di dalam negeri. Dalam situasi seperti itu, gejolak nilai tukar
rupiah mudah terjadi yang mencerminkan rendahnya
kepercayaan pelaku pasar untuk memegang rupiah. Dalam
tahun laporan, konflik sosial politik yang terjadi secara
berkelanjutan telah menimbulkan ketidakstabilan di dalam
40
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
negeri yang pada gilirannya telah membentuk sentimen pasar
yang asimetris terhadap rupiah. Dengan perilaku yang asimetris
tersebut, pelaku pasar cenderung bereaksi secara berlebihan
terhadap berita negatif dibandingkan berita positif.
Sementara itu, sebagai akibat belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan dan terbatasnya outlet investasi di
pasar uang dalam negeri, kondisi likuiditas rupiah di pasar uang
dalam negeri cenderung longgar. Di pihak lain, rambu-rambu
yang mengatur lalu lintas rupiah antar negara (cross-border
transaction) masih sangat longgar sehingga mengakibatkan
ekses likuiditas rupiah di pasar uang dalam negeri (on-shore)
banyak mengalir secara bebas ke pasar uang luar negeri (off-
shore) yang pada gilirannya meningkatkan internasionalisasi
rupiah. Dalam perkembangannya, pemanfaatan rupiah di
pasar luar negeri tersebut cenderung lebih banyak digunakan
untuk kegiatan transaksi di pasar uang yang tidak didasari oleh
kegiatan ekonomi riil, termasuk transaksi derivatif untuk tujuan
spekulasi.
Menghadapi nilai tukar rupiah yang cenderung
mengalami depresiasi tersebut, Bank Indonesia telah
melakukan berbagai upaya agar rupiah tidak mengalami
depresiasi yang lebih tajam. Pertama, langkah pengetatan
moneter dilakukan melalui mekanisme operasi pasar terbuka
(OPT) untuk menyerap ekses likuiditas rupiah di pasar uang
agar tidak dipergunakan untuk spekulasi di pasar valuta asing.
Pengetatan ini juga dibantu dengan sterilisasi valuta asing yang
dilakukan Bank Indonesia untuk menyerap pengeluaran rupiah
pemerintah, sekaligus untuk menambah pasokan valuta asing
di pasar. Kedua, Bank Indonesia juga melakukan langkah-
langkah yang secara langsung dapat mengurangi tekanan
terhadap nilai tukar rupiah. Langkah ini antara lain mencakup
pengawasan langsung terhadap sejumlah bank pelaku
terbesar dalam transaksi valuta asing, monitoring terhadap
rekening vostro (milik nonresiden), dan melakukan kajian yang
mendalam terhadap kemungkinan pembatasan transaksi ru-
piah oleh nonresiden. Namun disadari bahwa upaya meredam
gejolak nilai tukar tersebut belum memberikan hasil yang opti-
mal mengingat besarnya pengaruh faktor non-ekonomi yang
kurang kondusif.
Perkembangan Nilai Tukar tahun 2000
Dalam tahun 2000, nilai tukar rupiah mengalami tekanan
depresiasi yang sangat tajam dengan volatilitas yang tinggi.
Nilai tukar rupiah melemah dari rata-rata bulan Januari Rp7.274
per dolar AS menjadi Rp9.435 per dolar AS pada bulan
Desember 2000 atau telah terdepresiasi sebesar 22,9%, dengan
titik terendah pada level Rp9.675 per dolar AS yang dicapai
pada akhir Desember 2000 (Grafik 3.1).
Terpilihnya Pemerintahan baru secara demokratis pada
akhir tahun 1999 pada awalnya telah menumbuhkan optimis-
me akan terciptanya stabilitas sosial politik di dalam negeri
sehingga pemulihan ekonomi diharapkan berjalan lebih cepat.
Hal ini diperlihatkan oleh sentimen positif pasar sehingga
mendorong penjualan valuta asing di pasar dan memperkuat
nilai tukar rupiah hingga mendekati Rp7.000 per dolar AS. Hal
ini terus berlanjut sampai awal tahun 2000. Dengan harapan
kondisi sosial politik akan stabil sepanjang tahun 2000, nilai tukar
rupiah pada awalnya diprakirakan akan stabil pada level
Rp7.000 per dolar AS.
Namun harapan tersebut ternyata tidak sesuai dengan
kenyataan. Kondisi kondusif yang tercipta pada awal tahun
tidak berlangsung lama, karena konflik sosial politik secara tidak
terduga mulai meningkat terutama sejak awal April 2000.
Pertentangan terbuka antar tokoh politik, kerusuhan sosial
berlatar belakang etnis dan SARA di beberapa daerah, serta
Grafik 3.1Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
5.000
5.500
6.000
6.500
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
7.2747.438 7.463
7.785
8.340
8.605
9.153
8.4368.631
8.915
9.352 9.435
Rp/$
41
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
IDR
2 0 0 0I II III IV
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
10 per. Mov. Avg. (IDR)
Kurs (Rp/$) Premi Kurs
400
450
500
550
600
650
700
750Premi RisikoIDR/USDTrendTrend
2 0 0 0Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
ancaman disintegrasi, kembali memperburuk sentimen pasar
yang pada gilirannya mendorong terjadinya aksi beli valuta
asing. Kepercayaan pasar untuk memegang rupiah semakin
menurun setelah lembaga pemeringkat Standard & Poor's
menurunkan sovereign credit rating Indonesia untuk utang
jangka panjang dan jangka pendek berdenominasi valuta
asing masing-masing dari CCC+ dan C menjadi SD (selective
default). Pada saat yang bersamaan Standard & Poor's juga
menurunkan peringkat utang luar negeri Indonesia terhadap
bank-bank asing dari CCC+ menjadi D (default).
Di pihak lain, kekhawatiran terhadap melemahnya
nilai tukar rupiah lebih lanjut telah mendorong pembelian
valuta asing oleh dunia usaha, guna mengantisipasi
pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo pada
bulan Juni dan Juli. Hal ini pada gilirannya semakin mem-
perberat tekanan depresiasi terhadap rupiah sehingga nilai
tukar menembus level psikologis Rp8.000 per dolar AS pada
akhir bulan April 2000, yang merupakan titik terendah sejak
15 Oktober 1999.
Rendahnya kepercayaan pasar terhadap rupiah akibat
kondisi politik dan keamanan dalam negeri yang kurang
kondusif terus berlanjut memasuki bulan Mei 2000 sehingga
terus memberi tekanan depresiasi terhadap rupiah.
Menghadapi nilai tukar rupiah yang depresiatif tersebut, Bank
Indonesia mulai melakukan langkah pengetatan moneter
melalui operasi pasar terbuka (OPT) untuk menyerap
kelebihan likuiditas rupiah di pasar. Suku bunga SBI mulai
meningkat untuk memberikan sinyal kepada pasar mengenai
langkah pengetatan Bank Indonesia dalam meredam
melemahnya nilai tukar rupiah. Selain itu, untuk membantu
OPT, Bank Indonesia juga melakukan sterilisasi valuta asing
guna memberikan tambahan pasokan valuta asing di pasar.
Namun, langkah-langkah yang diambil Bank Indonesia
tersebut belum memberikan hasil yang optimal karena eskalasi
konflik politik semakin meningkat. Di samping itu, secara glo-
bal mata uang dolar AS semakin menguat akibat antisipasi
pasar terhadap berlanjutnya peningkatan suku bunga di
Amerika Serikat. Akibatnya, tekanan depresiasi terhadap ru-
piah terus berlanjut dan mencapai titik tertinggi pada level
Rp8.650 per dolar AS pada bulan Mei 2000 (Grafik 3.2).
Selanjutnya, menjelang sidang tahunan MPR 2000 konflik
politik semakin tajam sehingga meningkatkan kekha watiran
terhadap stabilitas keamanan di dalam negeri. Ketidakpastian
akibat ketidakstabilan kondisi sosial politik tercermin dari
perkembangan premi swap dan premi risiko yang terus
meningkat tajam (Grafik 3.3 dan 3.4). Seiring dengan
perkembangan tersebut, volatilitas nilai tukar meningkat tajam
dan nilai tukar menembus level psikologis Rp9.000 per dolar AS
dalam bulan Juli 2000 dan mencapai titik terendah pada level
Rp9.600 per dolar AS (Grafik 3.5).
Grafik 3.2Trend Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
Grafik 3.3Premi Risiko dan Nilai Tukar Tahun 2000
42
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
–5,0
–3,0
–1,0
1,0
3,0
5,0
IV I II III IV
1999 2000
%
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
O/N
1 Bulan3 Bulan
6 Bulan
12 Bulan
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
%
Kekhawatiran tersebut memudar setelah sidang tahunan
MPR berjalan lancar tanpa gangguan berarti, sehingga
mendorong penjualan kembali valuta asing di pasar. Di pihak
lain, melalui operasi pasar terbuka dan sterilisasi valuta asing,
Bank Indonesia secara konsisten terus menyerap kelebihan
likuiditas rupiah dan meningkatkan pasokan valuta asing di
pasar. Kedua faktor tersebut mendorong nilai tukar rupiah
menguat hingga mendekati level Rp8.000 per dolar AS pada
bulan Agustus 2000.
Namun demikian, penguatan nilai rupiah tersebut tidak
berlangsung lama karena permintaan valuta asing oleh
korporasi kembali meningkat guna mengantisipasi pelunasan
utang luar negeri yang jatuh waktu sampai Desember 2000. Di
pihak lain, kekhawatiran terhadap ketidakstabilan situasi sosial
politik dan terganggunya stabilitas perekonomian kembali
meningkat. Silang pendapat antar tokoh politik, ancaman
disintegrasi, ketidakpastian terhadap amandemen UU Bank
Indonesia, dan aksi teror terhadap sejumlah tempat ibadah di
beberapa daerah kembali memperburuk sentimen pelaku
pasar terhadap rupiah.
Memburuknya sentimen pasar akibat gejolak faktor non-
ekonomi yang disertai dengan meningkatnya permintaan
murni valuta asing oleh dunia usaha tersebut telah membuat
pelaku pasar tidak banyak bereaksi terhadap beberapa faktor
positif seperti upgrading peringkat sovereign credit Indonesia
oleh Standard & Poor's dan terus membaiknya kegiatan
ekonomi yang didukung oleh ekspor, konsumsi dan investasi.
Respon pelaku pasar yang asimetris tersebut pada gilirannya
menyebabkan nilai tukar rupiah bergerak dalam trend yang
melemah secara persisten sampai akhir Desember 2000.
Secara rata-rata, nilai tukar rupiah pada bulan Desember
mencapai Rp9.435 per dolar AS.
Melemahnya nilai tukar rupiah secara cukup tajam
dalam tahun 2000, telah mengakibatkan rupiah mengalami
deviasi yang cukup besar terhadap nilai fundamentalnya.
Dengan mengunakan pendekatan Real Effective Exchange
Rate (REER) dan memperhatikan perkembangan nilai tukar
negara-negara pesaing, maka rata-rata nilai tukar sepanjang
tahun 2000 yang sesuai dengan keseimbangan internal dan
eksternal diprakirakan hanya mencapai Rp7.500 per dolar AS.
Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan rata-rata
nilai tukar pasar sepanjang tahun 2000 sebesar Rp8.400 per
dolar AS, maka nilai tukar rupiah mengalami deviasi dari nilai
fundamentalnya sekitar 12,0% (Grafik 3.6).
Sementara itu, bila memperhitungkan posisi per
Desember 2000, maka nilai tukar yang sesuai dengan
keseimbangan internal dan eksternal diprakirakan hanya
mencapai Rp7.600 per dolar AS. Dengan demikian, dengan
rata-rata nilai tukar pasar pada bulan Desember sebesar
Rp9.435 per dolar AS, maka nilai tukar rupiah telah mengalami
Grafik 3.4Perkembangan Premi Swap Tahun 2000
Grafik 3.5Volatilitas Nilai Tukar Tahun 2000
43
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
6.500
7.000
9.500
7.500
8.000
8.500
9.000
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Devisasi
Nilai Tukar KeseimbanganFundamental
Kurs Pasar
2 0 0 0
Rp/$
Penawaran Valuta asing
Dari sisi penawaran, sumber utama pasokan valuta asing di
pasar adalah devisa hasil ekspor, sterilisasi valuta asing oleh
bank sentral, dan aliran modal masuk asing baik berupa
penanaman modal langsung (FDI), investasi portofolio, mau-
pun pinjaman luar negeri. Namun, beberapa kendala telah
menghambat terciptanya peningkatan pasokan valuta asing
tersebut sehingga kondisi pasar valuta asing domestik masih
tetap tipis.
Sepanjang tahun 2000 kinerja ekspor Indonesia
mengalami peningkatan dengan neraca perdagangan
nonmigas mencatat surplus sebesar $14,9 miliar. Sementara
itu, lalu lintas modal swasta masih mengalami defisit sebesar
$8,5 miliar karena arus modal keluar terutama untuk
pembayaran utang luar negeri swasta belum diimbangi
dengan masuknya arus modal masuk secara berarti.
Namun surplus perdagangan sektor nonmigas yang
cukup besar tersebut belum memberikan dampak apresiasi
terhadap rupiah karena tidak seluruh devisa hasil ekspor
mengalir ke dalam negeri. Eksportir masih cenderung menyim-
pan devisa hasil ekspor (DHE) di bank luar negeri karena
beberapa alasan. Pertama, kepercayaan pihak luar negeri
terhadap stabilitas sosial politik masih sangat rendah. Sebagai
akibatnya, eksportir hanya memperoleh kontrak-kontrak
perdagangan jangka pendek dan sebagai tindakan berjaga-
jaga hal ini mendorong eksportir menyimpan devisanya di luar
negeri. Selain itu, masih rendahnya kepercayaan luar negeri
terhadap kondisi perbankan di dalam negeri mendorong
eksportir membuka L/C di bank luar negeri. Kedua, dengan
menyimpan DHE di bank luar negeri, eksportir dengan mudah
dapat memperoleh fasilitas kredit valuta asing dalam rangka
pembiayaan ekspor dengan biaya yang lebih rendah, yang
pada dasarnya kemudahan ini sulit diperoleh dari bank di
dalam negeri. Hal ini mengakibatkan sebagian besar hasil
devisa ekspor dimasukkan kembali dalam rekening escrow di
bank-bank luar negeri. Di pihak lain, ongkos perolehan valuta
asing yang harus dipikul eksportir di bank-bank domestik dinilai
masih kurang kompetitif dan tidak efisien. Ketiga, kegiatan
ekspor banyak diantaranya merupakan ekspor yang dilakukan
Grafik 3.6Deviasi Kurs Pasar dari Nilai Fundamental
Indonesia Singapura Thailand
Malaysia Korea RRC45
50
55
60
65
70
75
80
85
90
95
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
Indek BRER
Grafik 3.7Bilateral Real Exchange Rate
deviasi dari nilai fundamentalnya sekitar 24,0%. Sementara itu,
apabila menggunakan pendekatan Bilateral Real Exchange
Rate (BRER) , sepanjang tahun 2000 nilai tukar rupiah underva-
lued sekitar 45,0% --lebih tinggi dibandingkan Singapura, Thai-
land, Malaysia, Korea, dan Republik Rakyat Cina--, sehingga
sangat kompetitif bagi produk ekspor Indonesia (Grafik 3.7).
Terjadinya deviasi nilai tukar rupiah terhadap nilai
ekuilibrium fundamental ekonomi juga dapat dijelaskan mela-
lui fenomena speculative bubble yang terjadi di pasar valuta
asing (Boks : "Speculative Bubble" Dalam Pasar Valuta Asing).
44
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Dalam pada itu, pasokan valuta asing yang berasal dari
Bank Indonesia melalui sterilisasi valuta asing hanya dapat
dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini terkait dengan
fungsi utama sterilisasi valuta asing sebagai bagian dari
pengendalian moneter Bank Indonesia dalam rangka
menyerap kelebihan likuiditas rupiah untuk mencapai target
uang primer yang ditetapkan, khususnya untuk menyerap
kembali pengeluaran rupiah dari penerimaan luar negeri
pemerintah.
Permintaan Valuta Asing
Dari sisi permintaan, tekanan depresiasi terhadap rupiah
diakibatkan oleh masih tingginya permintaan valuta asing
yang berasal dari permintaan murni untuk transaksi ekonomi,
permintaan yang bermotif spekulasi, serta yang bermotif
penyelamatan portofolio. Permintaan murni terutama untuk
memenuhi kebutuhan impor dan pelunasan utang luar negeri
swasta. Kebutuhan valuta asing untuk impor semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan produksi
berorientasi ekspor. Selain itu, valuta asing juga banyak
diperlukan beberapa badan usaha milik pemerintah khususnya
dalam rangka impor migas dan bahan pangan.
Dalam pada itu, tekanan permintaan valuta asing untuk
pelunasan utang luar negeri masih besar. Permintaan valuta
nonresiden yang melakukan kegiatan produksi di Indonesia
yang hasil produksinya kemudian diekspor ke luar negeri
sehingga cukup beralasan bagi mereka untuk menyimpan
devisa hasil eskpornya di bank luar negeri.
Arus modal asing (capital inflows) baik dalam bentuk
investasi langsung maupun portofolio belum menunjukkan
perkembangan positif. Penanaman modal berjangka panjang
masih belum dapat diharapkan karena rendahnya
kepercayaan investor asing terhadap kepastian berinvestasi
di Indonesia, khususnya yang terkait dengan jaminan
keamanan, kepastian hukum, restrukturisasi sektor dunia usaha
yang lamban, serta fluktuasi nilai tukar (risiko nilai tukar) yang
sangat tinggi. Dalam pada itu, kelengkapan instrumen dan
kedalaman pasar derivatif guna melakukan lindung nilai
(hedging) mata uang rupiah yang sangat fluktuatif masih
sangat terbatas.
Sementara itu, investasi portofolio yang pada umumnya
bersifat jangka pendek sangat sensitif terhadap ekspektasi
perubahan situasi sosial politik di dalam negeri sehingga belum
dapat menjadi sumber pasokan valuta asing yang permanen.
Di pasar modal, situasi sosial politik yang belum kondusif men-
dorong investor asing cenderung melakukan strategi perdaga-
ngan yang hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan
sesaat (hit and run). Sedangkan di pasar uang, situasi yang sama
menyebabkan investor asing kurang sensitif terhadap arah
perubahan suku bunga di dalam negeri. Dalam kondisi di mana
country risk sangat tinggi, perbedaan suku bunga dalam dan
luar negeri (meskipun masih positif) bukan merupakan
pertimbangan utama investor (Grafik 3.8). Di pihak lain,
pengalihan portofolio investor internasional dari pasar keuangan
Eropa, Jepang, dan negara-negara emerging market ke pasar
keuangan Amerika Serikat sepanjang tahun laporan semakin
meningkat, terutama dipicu oleh dua faktor. Pertama, ber-
lanjutnya peningkatan suku bunga di Amerika Serikat (profit
motive). Kedua, merupakan upaya penyelamatan portofolio
karena memburuknya sentimen investor internasional terhadap
negara-negara emerging market (flight to quality motive). Kedua
faktor ini, secara tidak langsung telah menghambat aliran
investasi portofolio ke pasar keuangan Indonesia.
Grafik 3.8Kurs Rupiah dan Covered Interest Rate Parity
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
-8,0
-6,0
-4,0
-2,0
0,0
2,0
4,0
6,0
6.000
6.500
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
1 9 9 9
IDR/$%
CIP IDR/$
2 0 0 0
45
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
asing untuk pelunasan utang luar negeri ini telah menimbulkan
tekanan depresiasi yang besar terhadap nilai rupiah karena
belum dapat diimbangi dengan pasokan valuta asing yang
memadai (Grafik 3.9).
Permintaan valuta asing yang bermotif spekulasi dan
penyelamatan portofolio masih tetap tinggi hampir sepanjang
tahun sehingga cenderung melemahkan nilai tukar rupiah
secara persistent. Tingginya permintaan valuta asing akibat
kedua motif tersebut masih lebih banyak dilatarbelakangi
sentimen pasar yang negatif terhadap mata uang rupiah
sehubungan dengan ketidakstabilan situasi sosial politik yang
tak kunjung reda dan lambannya implementasi agenda
restrukturisasi sektor dunia usaha yang dikhawatirkan akan
menghambat proses pemulihan ekonomi.
Tekanan depresiasi terhadap rupiah akibat motif
transaksi penyelamatan portofolio juga dipicu oleh
meningkatnya ketidakpastian dalam skala regional dan glo-
bal. Hal ini mendorong investor internasional melakukan
pengalihan portofolio ke mata uang dolar AS yang dianggap
sebagai mata uang yang paling aman (safe haven currency).
Dalam skala regional, country risk beberapa negara Asia mulai
meningkat terutama sebagai akibat ketidakstabilan situasi
politik dan lambannya proses restrukturisasi sektor swasta yang
dikhawatirkan akan menjadikan negara-negara di kawasan
Grafik 3.10 Apresiasi dolar AS Secara Global
ini rentan terhadap shock eksternal. Hal ini telah turut
menimbulkan tekanan depresiasi terhadap sejumlah mata
uang Asia.
Sementara itu, dalam skala global, mata uang dolar
AS cenderung menguat khususnya terhadap beberapa
mata uang utama dunia seperti yen dan euro (Grafik 3.10).
Menguatnya sentimen positif secara global terhadap mata
uang dolar AS dalam tahun laporan antara lain sehubungan
dengan menguatnya perekonomian Amerika Serikat secara
relatif terhadap perekonomian Eropa dan Jepang yang
berjalan sangat lamban. Selain itu, kebijakan moneter ketat
di Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1999 sampai
pertengahan tahun 2000, semakin memperlebar per-
bedaan suku bunga antara tiga kekuatan ekonomi dunia
tersebut yang pada gilirannya mendorong aliran modal ke
pasar keuangan Amerika Serikat.
Likuiditas dan Internasionalisasi Rupiah
Selain dilatarbelakangi oleh permintaan murni dan spekulasi,
meningkatnya permintaan valuta asing juga merupakan
akibat dari kondisi likuiditas rupiah di pasar uang yang sangat
longgar. Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan
terbatasnya kelengkapan instrumen investasi di pasar uang
dan pasar modal dalam negeri mengakibatkan kondisi
keuangan perbankan domestik mengalami kelebihan likuiditas
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
Bank
Non Bank
Juta $
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
1) Angka bulan November dan Desember adalah merupakan perkiraan
Grafik 3.9 Realisasi Pelunasan Utang Luar Negeri Swasta1)
95
100
105
110
115
120
125
130
135IDRPHP
I II III IV
EuroKRW
JPYTHB
2 0 0 0
Indeks
46
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
negeri, sering diiringi dengan peningkatan tekanan depresiasi
terhadap rupiah. Kedua, mutasi rekening vostro (milik
nonresiden) sangat aktif dan untuk rekening vostro dengan
klasifikasi pasar valuta asing selalu menunjukkan kecen-
derungan net outflow (Grafik 3.11). Ketiga, pangsa volume
transaksi cabang bank asing di pasar domestik sangat
dominan di mana sepanjang tahun laporan selalu berada di
atas 50,0% dari total volume transaksi.
Transaksi Devisa Antar Bank
Sejalan dengan melemahnya nilai tukar rupiah sepanjang ta-
hun laporan, volume transaksi devisa antar bank meningkat
sekitar 21,6% dibanding tahun sebelumnya menjadi $349,0
miliar. Sedangkan secara rata-rata harian, volume transaksi
devisa antara bank tercatat sebesar $1,4 miliar per hari atau
telah meningkat sebesar 25,6% dibandingkan tahun
sebelumnya.
Berdasarkan jenis transaksi, transaksi swap memiliki
pangsa terbesar dari total volume transaksi, disusul oleh
transaksi spot dan forward (Grafik 3.12). Apabila dibandingkan
dengan kondisi tahun lalu, pangsa transaksi swap tahun ini
meningkat 2,5 %, transaksi spot turun 2,5 %, sedangkan pangsa
transaksi forward relatif tidak berubah. Menurunnya pangsa
transaksi spot dan meningkatnya pangsa transaksi swap pada
tahun 2000 menunjukkan bahwa meskipun secara total vo-
rupiah. Di pihak lain, rambu-rambu yang membatasi lalu lintas
rupiah antar negara masih sangat longgar. Kedua hal ini
mengakibatkan ekses likuiditas rupiah di pasar uang dalam
negeri banyak mengalir secara bebas ke pasar uang luar
negeri khususnya melalui transaksi pinjaman antar bank.
Dalam perkembangannya, pemanfaatan rupiah di
pasar uang luar negeri oleh nonresiden cenderung lebih
banyak digunakan untuk transaksi yang tidak didasari oleh
kegiatan ekonomi riil seperti ekspor/impor dan investasi,
melainkan lebih banyak digunakan untuk kegiatan spekulasi
di pasar rupiah (without underlying transaction) sehingga sering
mempengaruhi trend dan gejolak nilai tukar. Selain itu, kema-
juan dalam rekayasa instrumen derivatif semakin mening-
katkan intensitas spekulasi oleh nonresiden yang pada dasar-
nya kurang dapat tertangkap secara penuh oleh beberapa
ketentuan kehati-hatian (prudential regulation) yang di-
tetapkan Bank Indonesia (Boks : Internasionalisasi Rupiah).
Pada umumnya, nonresiden melakukan transaksi
melalui perantaraan sejumlah bank asing yang sebagian besar
merupakan market makers, sehingga mereka berperan besar
dalam proses pembentukan harga di pasar. Peran aktif
nonresiden dalam perdagangan rupiah antara lain tercermin
dari beberapa indikator. Pertama, meningkatnya permintaan
terhadap likuiditas rupiah oleh nonresiden, yang tercermin dari
peningkatan suku bunga rupiah di pasar uang antar bank luar
Grafik 3.11Rekening Vostro
7 10 15 21 24 29 1 6 11 14 19 22 27 2 5 10 13 18 24 30 2 7 10 15 20 23 28
Agustus September Oktober November
Trans. Pasar Valas Trans. Pasar ModalTransaksi Lainnya Poly. (Trans. Pasar Valas)
-6.500
-8.500
-4.500
1.500
3.500
5.500
-2.500
-500
Miliar Rp.
2 0 0 0
Grafik 3.12Komposisi Volume Transaksi
Forward0,9%
Swap62,0%
Spot37,1%
47
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
asing oleh masyarakat, seiring dengan meningkatnya
kebutuhan valuta asing menjelang akhir tahun, yang disertai
dengan munculnya kembali beberapa berita negatif sehingga
turut membentuk sentimen pasar yang negatif.
Inflasi
Perkembangan harga-harga selama tahun 2000 mendapat
tekanan yang berat sejalan dengan meningkatnya kegiatan
ekonomi, adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, dan mening-
katnya ekspektasi inflasi. Berbagai faktor tersebut telah menye-
babkan laju inflasi IHK tahun 2000 mencapai 9,35% (y-o-y) jauh
lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya
sebesar 2,01%. Dampak kebijakan pemerintah di bidang harga
dan pendapatan secara kumulatif bulanan diprakirakan
memberikan sumbangan inflasi sebesar 3,19%. Sementara itu,
secara tahunan (y-o-y), dampak kebijakan pemerintah
tersebut diprakirakan memberikan sumbangan terhadap inflasi
sebesar 3,42%. Angka ini lebih tinggi dari yang semula
diprakirakan yakni sebesar 2,0%. Dengan perkembangan
tersebut, laju inflasi di luar dampak kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan diprakirakan sebesar 5,93%,
lebih tinggi dari sasaran inflasi yang ditetapkan Bank Indone-
sia pada awal tahun sebesar 3,0%–5,0%.
lume transaksi telah meningkat namun pelaku pasar lebih
bersikap hati-hati dalam mengantisipasi fluktuasi kurs.
Transaksi spot devisa antar bank dalam rupiah valuta
asing (Rp/$) mencapai 85,4% dari total transaksi devisa
sepanjang tahun 20001), dengan kecenderungan minat beli
valuta asing yang lebih besar dibandingkan minat jual. Hal
ini tercermin dari posisi transaksi spot perbankan dengan
counterpart-nya yang mengalami net-oversold sebesar
$135,3 juta. Dari total posisi transksi spot tersebut, posisi
transaksi spot dengan counterpart nasabah dalam negeri
mengalami oversold sebesar $567,4 juta atau dengan kata
lain nasabah dalam negeri cenderung memelihara long
dolar AS. Di pihak lain, posisi transaksi spot perbankan
mengalami overbought dengan counterpart luar negeri
sebesar $432,0 juta yang menunjukkan bahwa pihak luar
negeri cenderung memiliki posisi short dolar AS.
Dari perkembangan secara triwulanan, posisi dan vo-
lume transaksi valuta asing perbankan berfluktuasi seiring
dengan perkembangan nilai tukar rupiah (Grafik 3.13). Pada
Triwulan I 2000 volume transaksi harian tercatat sebesar $1.080,9
juta dengan posisi net overbought. Memasuki Triwulan II vol-
ume transaksi harian meningkat 28,8% dengan posisi
perbankan mengalami net oversold, yang mencerminkan
meningkatnya kecenderungan minat beli valuta asing akibat
meningkatnya suhu politik menjelang sidang tahunan MPR
pada bulan Agustus. Dalam periode tersebut nilai tukar rupiah
melemah cukup tajam. Volume harian transaksi kembali
menurun 5,7% pada triwulan III dengan posisi transaksi
perbankan mengalami net overbought. Hal ini menunjukkan
adanya aksi jual valuta asing oleh masyarakat ke perbankan
setelah dalam triwulan III diwarnai aksi beli. Perkembangan
tersebut sejalan dengan terjadinya penguatan nilai tukar ru-
piah dalam periode tersebut. Selanjutnya, rata-rata harian
volume transaksi valuta asing pada triwulan IV turun 3,2%
dengan posisi transaksi perbankan mengalami net-oversold.
Hal ini menunjukkan terjadinya akumulasi posisi long valuta
Grafik 3.13Rata-rata Volume Transaksi Harian dan
Posisi Transaksi Bank
I II III IV–300
–100
100
300
500
700
900
1.100
1.300
1.500
Volume Transaksi Harian Posisi Bank, Overbought (+) / Oversold (–)
2 0 0 0
Juta $
1) 14,6% merupakan transaksi spot devisa antara bank selain transaksidalam Rp/$
48
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Sejalan dengan upaya menstabilkan nilai tukar rupiah,
Bank Indonesia telah menempuh berbagai upaya untuk
mengendalikan inflasi agar sesuai dengan sasaran yang telah
ditetapkan pada awal tahun. Namun demikian, dalam
pelaksanaannya Bank Indonesia menghadapi situasi dilematis
seperti disinggung pada awal bab ini. Di satu sisi, Bank Indone-
sia ingin melakukan kebijakan moneter yang ketat untuk
mencapai sasaran inflasi yang telah ditetapkan, dengan
konsekuensi suku bunga meningkat tajam dan proses
pemulihan ekonomi yang masih rentan dapat terhambat. Di
sisi lain, Bank Indonesia dapat menerapkan kebijakan moneter
yang kondusif terhadap pertumbuhan ekonomi, namun
sasaran inflasi akan terlampaui. Dalam kondisi demikian, Bank
Indonesia menempuh kebijakan yang cenderung ketat melalui
kenaikan suku bunga secara bertahap, guna memberikan
sinyal kepada masyarakat bahwa Bank Indonesia tetap
konsisten untuk menekan laju inflasi tanpa mengganggu proses
pemulihan ekonomi secara berarti. Kebijakan ini dilakukan
dengan pertimbangan bahwa terhambatnya proses pemu-
lihan ekonomi dapat menurunkan tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap kelanjutan pemulihan ekonomi, yang
pada gilirannya akan dapat meningkatkan tekanan inflasi dan
depresiasi nilai tukar rupiah yang lebih tinggi lagi.
Perkembangan Inflasi IHK
Dalam tahun laporan, inflasi IHK tercatat sebesar 9,35% (y-o-y)
jauh lebih tinggi dibandingkan 2,01% pada tahun 1999.
Perkembangan inflasi bulanan menunjukkan bahwa tekanan
inflasi terjadi pada 10 bulan, kecuali Maret dan September
yang mencatat deflasi. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan
Desember sebesar 1,94% (m-t-m). Peningkatan tekanan harga
tertinggi terjadi pada tiga bulan terakhir tahun laporan antara
lain terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah seperti
pengurangan subsidi BBM, cukai rokok, dan toeslag angkutan
lebaran, serta adanya peningkatan permintaan masyarakat
dalam rangka menyambut hari raya keagamaan dan tahun
baru (Grafik 3.14).
Berdasarkan sumbangan kelompok barang, dalam
tahun 2000 kelompok perumahan merupakan penyumbang
Grafik 3.14Inflasi IHK
-2,0
-1,0
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
%
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
(m-t-m) Bulanan
(y-o-y) Tahunan
2 0 0 0
inflasi tertinggi yakni sebesar 2,66%. Kecenderungan ini telah
terjadi sejak tahun lalu dengan peningkatan yang lebih tajam
dalam tahun laporan. Peningkatan sumbangan inflasi
perumahan ini terutama disebabkan oleh kenaikan pada sub-
kelompok biaya tempat tinggal dan sub kelompok bahan
bakar, penerangan, dan air. Kelompok lainnya yang
memberikan sumbangan cukup besar terhadap inflasi tahun
2000 adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan
tembakau, dan kelompok transpor dan komunikasi dengan
sumbangan inflasi masing-masing sebesar 1,78% dan 1,50%.
–2,0
–1,5
–1,0
–0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
1 9 9 9 2 0 0 0
(%)
Bahan MakananMakanan Jadi
Perumahan
Sandang
Pendidikan
Kesehatan
Transpor
Grafik 3.15Sumbangan Inflasi Kelompok Barang
49
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
mengendalikan inflasi menjadi dilematis karena dikhawatirkan
akan menghambat proses pemulihan ekonomi yang masih
rentan.
Pengaruh Meningkatnya Kegiatan Ekonomi
Tingginya tekanan inflasi yang terjadi terutama didorong oleh
masih kuatnya peningkatan permintaan agregat sejalan
dengan meningkatnya kegiatan perekonomian domestik.
Dalam kaitan ini, tekanan inflasi muncul karena peningkatan
permintaan tersebut tidak dapat diimbangi oleh
peningkatan penawaran agregat dalam jangka pendek
sehubungan dengan permasalahan struktural perekonomian
seperti masih terganggunya fungsi intermediasi perbankan
dan rendahnya minat investasi karena masih tingginya faktor
risiko.
Tingginya tekanan inflasi tersebut antara lain tercermin
pada perkembangan output gap yang cenderung menyem-
pit seperti ditunjukkan oleh peningkatan kapasitas terpakai
(Grafik 3.17). Sementara itu, output potensial belum mem-
perlihatkan peningkatan secara berarti antara lain terkait
dengan iklim investasi yang belum kondusif dan masih
terbatasnya sumber pembiayaan untuk kegiatan investasi
khususnya yang berasal dari sektor perbankan. Beberapa
subsektor sektor industri pengolahan yang tingkat utilisasinya
Sementara itu, kelompok yang memberikan sumbangan di
bawah 1,0% adalah masing-masing bahan makanan (0,95%),
sandang (0,78%), pendidikan, rekreasi dan olah raga (0,80%)
dan kesehatan (0,86%) (Grafik 3.15).
Laju inflasi food & energy dalam tahun laporan
mencapai 7,95% (y-o-y), dengan sumbangan terhadap inflasi
sebesar 3,84%. Inflasi food & energy tersebut jauh meningkat
dibandingkan tahun sebelumnya yang mencatat deflasi
sebesar 1,58% (y-o-y) dan memberikan sumbangan deflasi
sebesar 0,72%. Kenaikan laju inflasi food & energy ini antara
lain juga terkait dengan serangkaian kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan, dan peningkatan permintaan
terutama menjelang akhir tahun bersamaan dengan
perayaan hari keagamaan (Grafik 3.16).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi
Tingginya tekanan kenaikan harga-harga pada tahun
laporan disebabkan oleh akselerasi kegiatan perekonomian
yang tidak dapat diimbangi dengan peningkatan di sisi
penawaran karena masih adanya berbagai permasalahan
struktural. Selain itu, tekanan inflasi juga disebabkan oleh
adanya kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan, melemahnya nilai tukar rupiah, serta tingginya
ekspektasi inflasi masyarakat yang telah terjadi sejak awal
tahun laporan. Kebijakan moneter yang dilakukan untuk
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
m-t-m (%)
Food & energyIHK bulanan
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
1 9 9 9Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2 0 0 0
Grafik 3.16Inflasi Food & Energy
Grafik 3.17Output Gap dan Inflasi IHK
-15
-10
-5
0
5
10
15
-10
Output Gap1)
IHK
IHK (y-o-y), %Output Gap (%)
1) rasio terhadap output potensial
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1997 1998 1999 2000
50
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Sementara itu, perkembangan aset ekuitas yang tahun lalu
menunjukkan perkembangan positif, dalam tahun laporan
mencatat deflasi sebesar 38,49% (y-o-y) (Grafik 3.18). Hal ini
terutama akibat kecenderungan melemahnya pasar modal
secara regional dan adanya sentimen negatif pelaku pasar
sehubungan dengan ketidakstabilan politik di dalam negeri
(Boks : Inflasi Harga Aset).
Pengaruh Kebijakan pemerintah di Bidang Harga dan
Pendapatan
Dalam tahun 2000, pemerintah mengeluarkan berbagai kebi-
jakan di bidang harga dan pendapatan yang antara lain men-
cakup kenaikan harga BBM, tarif angkutan, tarif listrik, cukai
rokok dan bea masuk impor. Kebijakan di bidang pendapatan
terutama mencakup kenaikan gaji PNS, TNI dan Pollri, serta
UMR. Beberapa dari kebijakan pemerintah di bidang harga
dan pendapatan tersebut telah dapat diidentifikasikan pada
awal penetapan APBN 2000 sehingga dapat diprakirakan
dampaknya terhadap kenaikan inflasi. Namun sebagian kebi-
jakan lainnya belum dapat diidentifikasi pada saat penyusunan
sasaran inflasi di awal tahun sehingga realisasi dampaknya
terhadap inflasi belum diperhitungkan. Di samping itu, pola
implementasi kebijakan tersebut berbeda dengan implemen-
tasi kebijakan serupa pada tahun-tahun sebelumnya.
Pengaruh kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan terhadap inflasi IHK terdiri dari dampak langsung,
dampak tidak langsung, dan announcement effect dari kebi-
jakan pemerintah tersebut. Dampak langsung dihitung dengan
mengeluarkan sumbangan inflasi dari komoditas yang
mengalami kenaikan harga dari hasil perhitungan dalam
keranjang IHK. Dampak tidak langsung dihitung dengan me-
ngeluarkan sebagian sumbangan inflasi dari komoditas sub-
kelompok yang memiliki keterkaitan langsung dengan komo-
ditas yang mengalami kenaikan harga, seperti subkelompok
biaya tempat tinggal dan subkelompok barang pribadi dan
sandang lainnya. Perhitungan dampak tidak langsung tersebut
menggunakan pola dampak kenaikan TDL dan BBM terhadap
industri-industri penghasil komoditas terkait yang terjadi pada
tahun 1996. Sementara itu, announcement effect dari
Grafik 3.18Inflasi Harga Aset
–60
–40
–20
0
20
40
60
80
100
120KompositIHSGKomersialResidensial
%, (y-o-y)
1 9 9 7 1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
sudah sangat tinggi adalah subsektor industri yang berorientasi
ekspor seperti subsektor barang galian bukan logam, diikuti
oleh subsektor tekstil, pakaian jadi dan kulit serta subsektor
kimia, minyak bumi, karet dan plastik. Sementara itu, beberapa
subsektor yang tingkat utilisasinya masih rendah adalah
subsektor industri makanan, minuman, dan tembakau.
Indikator lainnya yang menunjukkan tekanan harga
yang berasal dari pesatnya peningkatan kegiatan
perekonomian tercermin pada perkembangan laju inflasi
harga aset. Inflasi harga aset menunjukkan peningkatan yang
cukup tinggi sebagaimana ditunjukkan oleh komposit inflasi
harga aset yang mencapai 13,0% (y-o-y). Peningkatan inflasi
harga aset ini terutama terjadi pada kelompok inflasi aset
properti. Minat masyarakat untuk membeli properti sebagai
alternatif untuk menyimpan kekayaan (store of wealth)
kembali meningkat. Pendorong utama peningkatan inflasi
harga aset properti terjadi pada kelompok inflasi aset properti
komersial yang meningkat sebesar 19,9% (y-o-y), setelah
tumbuh negatif pada tahun sebelumnya. Inflasi aset properti
residensial juga mencatat pertumbuhan yang tinggi, yakni
mencapai 12,2% (y-o-y). Peningkatan inflasi harga aset antara
lain disebabkan oleh peningkatan harga bahan bangunan
dan terbatasnya pasokan properti yang tidak mengalami
penambahan sementara permintaannya cukup besar.
51
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
kebijakan pemerintah terhadap inflasi diprakirakan dengan
mengalikan persentase kenaikan gaji dan UMR terhadap
tingkat sensitivitas kenaikan gaji dan UMR terhadap IHK.
Dengan perhitungan seperti di atas, dampak kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan terhadap inflasi
IHK selama tahun 2000 secara kumulatif bulanan diprakirakan
mencapai 3,19%.2) Angka realisasi dampak kebijakan
pemerintah ini lebih tinggi dari perkiraan semula yang hanya
sekitar 2,0%. Secara kumulatif bulanan, dampak langsung
kebijakan harga memberikan dampak sebesar 1,51% yang
terutama didorong oleh kenaikan harga BBM dan Gas Elpiji
sebesar 0,59% dan cukai rokok sebesar 0,43%. Sementara itu,
kenaikan tarif angkutan dan tarif dasar listrik memberikan
dampak langsung masing-masing sebesar 0,26% dan 0,23%.
Pengaruh dampak tidak langsung yang menyertai pelaksanaan
kebijakan harga dalam tahun 2000 adalah sebesar 0,84%
dimana dampak terbesar terjadi pada Mei dan Oktober masing-
masing sebesar 0,25% dan 0,29% yang terkait dengan kenaikan
tarif angkutan dan TDL serta kenaikan BBM. Sementara itu, an-
nouncement effect kebijakan pemerintah memberikan dampak
2) Secara year on year (angka indeks Desember 2000 dibandingkan indeks1999) kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatandiperkirakan memberikan dampak sekitar 3,42%
sebesar 0,83% yang terutama terjadi pada saat pengumuman
pertama kenaikan gaji PNS, TNI, dan Polri serta UMR pada bulan
April. Kenaikan gaji yang terjadi dua tahap yakni April dan
Oktober memberikan dampak sebesar 0,54% (Tabel 3.1).
Lebih tingginya realisasi dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan tersebut antara lain
disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, adanya kebijakan pemerintah yang belum
diidentifikasi pada saat penyusunan perhitungan inflasi,
sehingga dampaknya tidak diperhitungkan dalam perkiraan
awal. Kebijakan tersebut antara lain kebijakan cukai rokok yang
meskipun pelaksanaannya sempat ditunda dari April menjadi
November 2000, telah menimbulkan dampak kenaikan inflasi
yang cukup besar. Selain itu, pada September terjadi kenaikan
harga gas elpiji dan tarif jasa pos.
Kedua, besarnya kenaikan yang terjadi tidak seluruhnya
sama dengan asumsi yang digunakan dalam perkiraan awal,
seperti kenaikan UMR yang diprakirakan sebesar 25,0% ternyata
dalam realisasinya bervariasi antara 15,0% s.d. 55,0%. Di
samping itu, persentase realisasi kenaikan gaji pegawai negeri
sipil, TNI dan Polri lebih tinggi dari 30,0% karena disertai dengan
kenaikan tunjangan struktural dan kenaikan gaji guru di luar
kenaikan gaji secara umum.
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Total
p e r s e n
Dampak langsung Kebijkan harga 0,36 0,32 0,09 0,38 0,36 1,51Harga BBM/Gas Elpiji 0,08 0,38 0,13 0,59
Tarif Angkutan 0,17 0,09 0,26
Tarif Dasar Listrik/PAM 0,20 0,03 0,23
Cukai Rokok 0,27 –0,04 0,20 0,43
Dampak tindak langsung kebijakan harga 0,16 0,25 0,29 0,15 0,84
Announcement Effect 0,56 0,27 0,83Gaji PNS 0,27 0,27 0,54
UMR 0,29 0,29
Total dampak kebijakan(kumulatif bulanan) 1,07 0,57 0,09 0,94 0,51 3,19Total dampak kebijakan (year on year) 3,42
Tabel 3.1Perkiraan Dampak Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan Tahun 2000
52
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Ketiga, adanya perubahan pola pemberlakuan
kenaikan harga dibandingkan pola kenaikan harga yang
terjadi pada periode sebelumnya. Penundaan kenaikan harga
BBM selain jenis Premix dan Super TT dari April menjadi Oktober
2000, misalnya, tidak diperhitungkan dalam penyusunan
perkiraan awal dampak kebijakan. Meskipun pelaksanaan
kenaikannya sempat mengalami penundaan, harga-harga
telah sempat mengalami kenaikan pada April 2000. Selain itu,
kenaikan tarif angkutan tidak terjadi sekaligus untuk seluruh
moda angkutan. Kenaikan tarif angkutan dalam kota,
khususnya di Jakarta pada Mei mendahului kenaikan tarif
angkutan darat antarkota, kereta api, dan kapal pada Sep-
tember 2000. Secara keseluruhan, kenaikan tarif angkutan
mendahului kenaikan BBM. Pola kenaikan seperti ini berbeda
dengan pola pada tahun sebelumnya dimana kenaikan tarif
angkutan umumnya berlangsung serentak untuk seluruh moda
transportasi segera setelah kenaikan harga BBM. Dengan
demikian kenaikan tarif angkutan dianggap lebih merupakan
dampak tidak langsung kenaikan harga BBM dan dampak
lanjutannya terhadap kenaikan harga barang lain menjadi
berkurang. Perubahan pola ini menyebabkan dalam tahun
ini kenaikan tarif angkutan dan harga BBM berdampak lebih
besar pada harga barang-barang lainnya.
Pengaruh Melemahnya Nilai Tukar Rupiah
Faktor penting lainnya yang juga berpengaruh terhadap
tingginya tekanan inflasi dalam tahun laporan adalah nilai
tukar rupiah. Selama tahun 2000, nilai tukar rupiah rata-
rata mencapai Rp8.400 per dolar AS atau lebih tinggi dari
asumsi nilai tukar pada awal tahun sebesar Rp7.000 per
dolar AS.
Dampak nilai tukar rupiah terhadap laju inflasi antara
lain tercermin pada perkembangan inflasi kelompok traded
yang terus mengalami peningkatan sejak triwulan II/2000.
Secara tahunan, indeks harga traded mencapai 7,43% (y-o-
y). Sementara itu, laju inflasi yang diukur menggunakan indeks
harga perdagangan besar (IHPB) juga menunjukkan kenaikan
harga tertinggi terjadi pada sektor ekspor yakni sebesar 34,49%
(y-o-y) (Grafik 3.19). Perkembangan tersebut sejalan dengan
Grafik 3.19Inflasi Traded dan IHPB Ekspor
-20
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
–60
–40
–20
0
20
40
60
80
Traded y-o-y(%)
TradedIHPB EksporPoly. (Traded)Poly. (IHPB Ekspor)
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
1999 2000
IHPB Ekspor (%)
kecenderungan melemahnya nilai tukar rupiah yang terjadi
sejak triwulan II tahun 2000. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian
terhadap kelompok barang traded. Dampak depresiasi nilai
tukar rupiah terhadap inflasi tercatat sangat besar pada tahun
1998, di mana inflasi kelompok traded mencapai 95,24%. Di
lain pihak, menguatnya nilai tukar rupiah pada tahun 1999
mendorong deflasi pada kelompok traded sebesar 0,56%,
sehingga merupakan salah satu penyumbang rendahnya inflasi
pada tahun tersebut. Gambaran perilaku indeks kelompok
traded ini menunjukkan pentingnya stabilisasi nilai tukar rupiah
sebagai salah satu faktor kunci dalam pengendalian inflasi di
Indonesia. (Boks: Dampak Nilai Tukar Terhadap Inflasi).
Pengaruh Ekspektasi Inflasi
Ekspektasi harga selama tahun 2000 menunjukkan
kecenderungan yang meningkat sebagaimana dicerminkan
oleh hasil survei ekspektasi konsumen (SEK) dan survei kegiatan
dunia usaha (SKDU). Survei tersebut menggambarkan
pendapat konsumen terhadap kecenderungan harga-harga
dan ekspektasi produsen terhadap perkembangan harga jual,
sewa, suku bunga dan tarif. Faktor utama yang menyebabkan
tingginya ekspektasi harga adalah adanya kebijakan
pemerintah di bidang harga (tarif dasar listrik dan peng-
hapusan BBM), belum stabilnya kondisi keamanan, sosial dan
53
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
PDB, dan pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,4%.
Harapan akan pulihnya kondisi politik dan keamanan dalam
negeri seiring dengan terbentuknya Pemerintahan baru
secara demokratis akan mendorong perkembangan nilai
tukar ke arah nilai keseimbangan, sehingga nilai tukar ru-
piah rata-rata pada tahun 2000 diasumsikan sebesar Rp7.000
per dollar AS.
Dalam perkembangannya, realisasi inflasi melampaui
sasaran inflasi yang telah ditetapkan untuk tahun 2000. Setelah
mengeluarkan dampak kebijakan pemerintah di bidang harga
dan pendapatan sebesar 3,42% (y-o-y) dari perhitungan laju
inflasi IHK sebesar 9,35% (y-o-y), diperoleh laju inflasi di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan adalah sebesar 5,93%. Angka laju inflasi ini
melampaui sasaran inflasi Bank Indonesia tahun 2000 yang
ditetapkan sebesar 3,0%–5,0% (y-o-y). (Grafik 3.21)
Beberapa permasalahan dihadapi Bank Indonesia
dalam mencapai sasaran inflasi dalam tahun 2000. Pertama,
perkembangan beberapa asumsi yang digunakan sebagai
dasar penetapan sasaran inflasi tidak seperti yang diprakirakan
pada awal tahun seperti perkembangan ekonomi yang
tumbuh lebih cepat dari yang diprakirakan semula. Kedua, nilai
tukar rupiah tidak menguat seperti yang diasumsikan semula
tetapi terus melemah terutama karena faktor nonekonomi.
Ketiga, meningkatnya tekanan inflasi mendorong ekspektasi
politik, dan melemahnya nilai tukar rupiah. Berbagai faktor
tersebut menimbulkan efek psikologis terhadap aktivitas
konsumen dalam permintaan dan aktivitas produsen dalam
penyesuaian harga (Grafik 3.20).
Permasalahan Pengendalian Inflasi
Pada awal tahun 2000, Bank Indonesia menetapkan sasaran
inflasi yang sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi dan
dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter yakni sebesar 3,0%-
5,0%. Sasaran ini belum termasuk dampak kenaikan harga-
harga yang bersumber dari kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan (administered prices and income
policy). Bersamaan dengan penetapan sasaran tersebut, Bank
Indonesia memperkirakan bahwa dampak kebijakan
pemerintah adalah sebesar 2,0%.
Sasaran inflasi Bank Indonesia untuk tahun 2000
tersebut ditetapkan dengan memperhatikan prospek
ekonomi dan moneter secara keseluruhan yang dapat
diprakirakan berdasarkan data dan informasi pada awal
tahun. Nuansa optimisme mempengaruhi beberapa asumsi
yang digunakan dalam menetapkan inflasi pada waktu itu.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia diasumsikan akan
mencapai sekitar 3,0%-4,0%, surplus transaksi berjalan sebesar
2,3% dari PDB, defisit anggaran pemerintah sebesar 4,8% dari
Ekspektasi Konsumen
Ekspektasi Produsen
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Net balance
1999 2 0 0 0
Des. Mar. Jun. Sep. Des.
Grafik 3.20Ekspektasi inflasi Konsumen dan Produsen
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
9,0
10,0
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Inflasi IHKInflasi IHK tanpa memperhitungkandampak kebijakan pemerintah di bidangharga dan pendapatan
2 0 0 0
y–t–d (%)
Grafik 3.21Sasaran Inflasi
54
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
ekonomi dan pengendalian laju inflasi, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Selain itu, fungsi intermediasi
perbankan yang belum pulih sepenuhnya telah menyebabkan
pengetatan kebijakan moneter untuk meredam tekanan inflasi
melalui sinyal kenaikan suku bunga SBI kurang ditanggapi
secara proporsional oleh perbankan. Demikian juga, proses
restrukturisasi perbankan yang belum selesai, pemulihan
ekonomi yang masih rentan, dan belum berkembangnya
pasar obligasi dalam negeri telah mempersempit atau mem-
batasi secara langsung maupun tidak langsung ruang gerak
kebijakan moneter untuk mencapai sasaran inflasi yang telah
ditetapkan. Dalam kondisi seperti ini, pengetatan secara
drastis dan berlebihan untuk mencapai sasaran inflasi akan
meningkatkan risiko bagi kelangsungan pemulihan perbankan
dan perekonomian yang pada gilirannya dapat mengancam
pencapaian stabilisasi nilai tukar dan sasaran inflasi itu sendiri.
inflasi yang lebih tinggi di kalangan konsumen dan produsen
sehinga menambah tekanan terhadap inflasi yang lebih besar
(gejala self-fulfilling inflation expectation). Keempat, proses
pemulihan ekonomi yang masih rentan dan adanya kendala
(bottleneck) di sisi penawaran dalam jangka pendek sehingga
tidak dapat memenuhi kenaikan sisi permintaan.
Dengan permasalahan seperti di atas, serta dengan
mempertimbangkan proses pemulihan ekonomi yang masih
rentan, pelaksanaan kebijakan moneter untuk mengendalikan
inflasi perlu di lakukan secara hati-hati. Dalam kaitan ini, Bank
Indonesia telah menempuh berbagai langkah kebijakan
moneter untuk mengendalikan laju inflasi agar sesuai dengan
sasaran yang telah ditetapkan pada awal tahun. Namun
demikian, dalam pelaksanaannya Bank Indonesia mengha-
dapi sejumlah permasalahan terutama terkait dengan kondisi
kebijakan moneter yang dilematis antara pertumbuhan
55
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Boks : Inflasi Harga Aset
Perkembangan luar biasa yang terjadi pada siklus kegiatan
usaha pada akhir dekade 1980-an, telah menyulitkan otoritas
moneter di beberapa negara industri untuk mengidentifikasi
tekanan inflasi. Hal ini karena tekanan inflasi tidak saja datang
dari harga barang-barang pada umumnya tetapi juga
terjadi pada harga-harga aset. Kebijakan moneter
konvensional yang hanya memperhatikan indikator
perkembangan harga seperti IHK terbukti terlambat
mengantisipasi gejolak inflasi yang muncul. Hal ini karena
cakupan inflasi yang dihitung berdasarkan kenaikan harga
barang-barang dalam basket IHK belum memperhitungkan
kenaikan harga yang terjadi di pasar aset. Keterbatasan ini
menyebabkan gejolak yang terjadi di pasar aset tidak secara
langsung dicerminkan oleh peningkatan pada indikator inflasi
IHK. Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa
meskipun IHK tidak menunjukkan peningkatan yang berarti,
namun ternyata tekanan harga di pasar properti cukup kuat,
seperti yang ditunjukkan oleh kenaikan harga tanah, rumah,
sewa ruang perkantoran maupun harga saham. Perhatian
terhadap masalah inflasi harga aset semakin meluas dan
serius semenjak munculnya fenomena bubble 1 yang dialami
oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Eropa dan
Jepang.
Untuk menghitung inflasi harga aset perlu disusun
terlebih dahulu indeks harga aset yang merupakan indeks
komposit dari beberapa jenis aset. Secara teori yang dimaksud
dengan aset masyarakat untuk menyusun indeks inflasi harga
aset adalah seluruh jenis aset yang secara dominan dimiliki
oleh masyarakat. Sementara itu, jenis aset yang tidak
diperhitungkan pada umumnya antara lain yang berupa: ru-
ral asset, household durable goods, notes and coin in circula-
tion, net assets held abroad dan non-financial holdings of gov-
ernment fixed income securities. Di sejumlah negara, kelompok
aset tersebut dikeluarkan dari perhitungan karena porsinya
yang relatif kecil terhadap total kekayaan masyarakat,
memiliki elatisitas penawaran yang tinggi, dan volatilitas
harganya rendah.
Secara umum, jenis aset yang diperhitungkan dalam
pengukuran inflasi harga aset terdiri dari: aset ekuiti, aset
properti komersial, dan aset properti residensial. Aset ekuiti yaitu
kelompok aset yang menggambarkan aset perusahaan.
Namun mengingat cukup sulit untuk menghitung secara tepat
jumlah kekayaan perusahaan, aset ekuiti ini seringkali diukur
dengan indeks harga saham gabungan. Properti komersial
yaitu properti yang dimiliki dengan tujuan untuk investasi
(kecuali perumahan dan apartemen) atau kegiatan produksi,
contohnya adalah ruang kantor (office space), pertokoan
(mall, retail), hotel, kawasan industri, pergudangan dan fasilitas
rekreasi yang berkaitan dengan batasan definisi tersebut.
Properti residensial adalah properti yang digunakan untuk
perumahan atau tempat tinggal, seperti misalnya real estate,
apartemen atau tanah yang belum dibangun tetapi
direncanakan sebagai tempat hunian.
Dalam perhitungan indeks inflasi harga aset, faktor
penting lainnya adalah pembobotan untuk menyusun suatu
indeks gabungan (composite index). Pembobotan dihitung
berdasarkan pangsa ketiga jenis aset tersebut dalam portfo-
lio kekayaan masyarakat. Negara yang telah memiliki data
Standardized National Account (SNA) akan lebih mudah
menentukan berapa share dari masing-masing aset.
Pembobotan untuk suatu negara dapat berbeda dengan
negara lainnya sesuai dengan kharakteristik perekonomian
negara tersebut.
Secara umum rumus penghitungan indeks inflasi harga
aset dinotasikan sebagai berikut:
nAP (t) = Σ w (i,s)p(i,t)
i =1keterangan :
AP(t): adalah indeks harga aset pada waktu tertentu
w(i,s): adalah bobot penimbang untuk aset (i) yakni ekuiti,
properti komersial dan properti residensial untuk masa
validitas (s) tertentu.
P(i,t): adalah indeks harga aset (i) pada saat (t).1) Bubble dapat didefinisikan sebagai setiap penyimpangan harga
aset dari nilai fundamental aset tersebut.
56
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
akses masyarakat terhadap sumber pembiayaan atau pasar
uang menjadi semakin mudah dan murah. Perkembangan
ini selanjutnya menyebabkan ekspansi kredit perbankan
dengan cepat tumbuh dan mendorong pertumbuhan
jumlah uang beredar di atas rata-rata sebelumnya.
Sementara itu, deregulasi perpajakan turut memberi peluang
sektor swasta untuk terus mengakumulasi hutangnya dan
sebaliknya mengurangi komponen ekuiti dalam struktur
usahanya. Terhadap utang tersebut banyak yang
dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan merger dan
akuisisi, maupun pembangunan proyek-proyek real estate
yang baru.
Ekses likuiditas di masyarakat akibat deregulasi sektor
keuangan dan perbankan tersebut memberi insentif kepada
masyarakat untuk mengubah pola konsumsi ke arah
pembelanjaan yang sebagian besar dibiayai dengan kredit
seperti pembelian barang mewah, rumah maupun jenis
barang tahan lama lainnya. Sejalan dengan meningkatnya
secara signifikan porsi pengeluaran masyarakat untuk
pembayaran bunga kredit, pola konsumsi masyarakat
berubah menjadi sangat sensitif terhadap perkembangan suku
bunga. Di samping itu, ekses likuiditas juga mengakibatkan
apresiasi terhadap nilai aset sehingga terjadi kenaikan capi-
tal gain dalam jumlah yang cukup besar yang dinikmati oleh
para pemilik aset terutama rumah tinggal dan aset komersial
lainnya. Keuntungan serupa juga terjadi pada pasar aset
finansial yang mengalami apresiasi nilai mengikuti kenaikan
nilai aset perusahaan. Wealth effect yang meningkat tersebut
terus mendorong tingkat konsumsi dan memperkuat ekspektasi
kenaikan harga aset. Kondisi terus terjadi sampai bubble di
pasar aset hilang dan perekonomian menuju pada
keseimbangannya yang baru.
Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan bahwa
inflasi harga aset dipicu oleh adanya peralihan kepemimpinan
negara (regime switching), deregulasi di sektor keuangan dan
perbankan, perubahan sistem perpajakan dan keuangan
negara, serta perubahan sistem nilai tukar yang berdampak
secara struktural terhadap perekonomian. Secara sederhana
proses terjadinya inflasi harga aset dapat digambarkan pada
diagram berikut.
Diagram : Proses Terjadinya Inflasi Harga Aset
Deregulasi keuangan
Persaingan diantara lembaga keuangan
Peningkatan kredit kepada dunia usaha dan
masyarakat/rumah tangga
Inflasi harga aset
Deregulasi sektor keuangan ditujukan untuk mengurangi
campur tangan pemerintah pada sektor keuangan dan
perbankan serta menyerahkan pengelolaan usaha pada
perbankan yang mendasarkan pada mekanisme pasar.
Penyerahan pada kekuatan pasar tersebut antara lain
menyebabkan meningkatnya persaingan antara lembaga
keuangan dalam meningkatkan pelayanannya kepada para
nasabah, seperti ditunjukkan oleh munculnya lembaga
keuangan baru, inovasi produk keuangan, dan meningkatnya
penawaran kredit oleh perbankan. Kondisi ini menyebabkan
57
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Boks : Dampak Nilai Tukar Terhadap Inflasi
Dalam buku teks standar ekonomi internasional, nilai tukar
diyakini sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi inflasi
di samping variabel ekonomi lainnya. Perhatian terhadap nilai
tukar di Indonesia saat ini semakin meningkat mengingat
perkembangannya selama tahun 2000 menunjukkan volatilitas
tinggi dan disertai depresiasi yang cukup besar. Pada periode
yang hampir bersamaan dengan melemahnya nilai tukar ru-
piah tersebut, tekanan inflasi mulai meningkat sehingga
mencapai 9,35% (y-o-y) di tahun 2000, jauh lebih tinggi
dibandingkan tahun lalu yang hanya sebesar 2,01%.
Secara umum, inflasi didefinisikan sebagai proses
kenaikan harga-harga secara umum dan berkelanjutan
sebagai akibat adanya ketidakseimbangan dalam
perekonomian. Berdasarkan faktor penyebabnya, inflasi
dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari internal dan eksternal
perekonomian. Faktor internal antara lain bencana alam,
perubahan kebijakan harga pemerintah, faktor musiman
seperti perayaan hari besar keagamaan,dan tindakan
spekulatif menimbun barang yang dapat mengganggu
ketersediaan barang. Sementara itu, faktor eksternal
dicerminkan oleh pengaruh kenaikan harga barang-barang
di luar negeri baik akibat harga komoditi tersebut meningkat
atau karena terjadinya depresiasi nilai tukar.
Jalur transmisi inflasi yang berasal dari dampak nilai tukar
secara umum dapat dikelompokkan sebagai dampak
langsung (exchange rate pass through) dan dampak tidak
langsung (indirect pass through effect) (Bagan: mekanisme
transmisi nilai tukar)
Jalur transmisi dampak langsung nilai tukar terhadap
inflasi adalah melalui barang-barang impor (imported infla-
tion). Barang-barang tersebut dapat berupa barang konsumsi,
bahan baku, dan barang modal. Dampak perubahan nilai
tukar terhadap inflasi melalui impor barang konsumsi tergolong
ke dalam first direct pass through, karena harga impornya
dapat langsung mempengaruhi harga jual produk tersebut di
dalam negeri. Kelompok barang ini memiliki elastisitas yang
tinggi terhadap perubahan nilai tukar. Sedangkan dampak
melalui impor bahan baku dan barang modal tergolong ke
Bagan : Mekanisme Transmisi Nilai Tukar Dalam Small ScaleEconomic Model 1)
1) Model makro dinamis untuk melakukan proyeksi inflasi Indonesia
dalam second direct pass through, karena pembentukan
harganya melalui proses produksi terlebih dahulu. Kelompok
barang ini memiliki elastisitas yang lebih rendah terhadap
perubahan nilai tukar dibandingkan kelompok barang
konsumsi. Saat ini, komposisi terbesar dari barang impor
nonmigas Indonesia adalah impor bahan baku yakni sekitar
73%. Hal ini menyebabkan tekanan inflasi yang berasal dari
dampak langsung perubahan nilai tukar sebagian besar
disumbang oleh perubahan harga impor bahan baku tersebut.
Sementara itu, jalur transmisi tidak langsung terjadi
melalui dorongan permintaan (demand pull), dimana
kenaikan harga luar negeri ataupun kenaikan mata uang
asing terhadap rupiah mengakibatkan peningkatan
penghasilan produsen eksportir dalam negeri sehingga dapat
meningkatkan permintaan mereka akan barang dan jasa di
dalam negeri. Dampak kenaikan permintaan ini pada akhirnya
akan menaikkan harga.
Keterangan:* = variabel endogenReg.Infl = Regional Country InflationUS Infl = US inflationRMB = Real Money BalanceWPI IMP = Whole Price Index ImportUIP = Uncovered Interest Rate Parity
DirectPass Through
Effect
OUTPUT
OUTPUTGAP
INFLASI
RMB S B I
U I P
WPI IMP
IndirectPass Through
EffectEXPT. INFL
OIL PRICE*
FED FUND*
US INFL
REG INFL*
TARGET INFL*
KURS
58
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Di sejumlah negara maju, dampak depresiasi nilai tukar
terhadap permintaan dalam negeri adalah peningkatan
permintaan seperti diuraikan di atas. Untuk kasus Indonesia,
penelitian yang telah dilakukan2) menunjukkan bahwa
depresiasi nilai rupiah menyebabkan penurunan permintaan.
Hal ini antara lain karena struktur industri di Indonesia baik yang
berbasis ekspor maupun berbasis pasar dalam negeri memiliki
import content yang tinggi. Selain itu, struktur kredit di Indone-
sia pada periode sebelum krisis ekonomi 1997 yang memiliki
kontribusi pinjaman luar negeri sekitar 20%3) menyebabkan cost
of capital sektor industri di Indonesia sangat elastis terhadap
perubahan nilai tukar. Hal ini menyebabkan apabila terjadi
depresiasi, biaya produksi akan meningkat sehingga
penghasilan yang diterima berkurang dan pada akhirnya
menurunkan permintaan.
Selain melalui jalur transmisi tersebut di atas, tekanan
inflasi dipengaruhi pula oleh adanya ekspektasi inflasi yang
antara lain terkait dengan perkembangan nilai tukar.
Ekspektasi berkaitan erat dengan pola perilaku pelaku
ekonomi berdasarkan informasi yang dimilikinya. Jenis informasi
yang diterima akan bervariasi (asymmetric information) dan
pola perilaku merekapun berbeda-beda dalam menyikapi
mengenai suatu jenis informasi yang sama. Ekspektasi ini
terdapat di pasar barang, pasar uang, dan pasar tenaga kerja
dimana masing-masing memiliki keterkaitan dan mem-
pengaruhi perkembangan harga.
Berdasarkan model inflasi yang pernah dikembangkan,
variabel ekspektasi yang menggunakan model ekspektasi
adaptif (backward looking)4) memiliki pengaruh yang paling
besar terhadap inflasi dibandingkan bila menggunakan
variabel ekspektasi yang lain. Berdasarkan pengalaman
sebelumnya melemahnya nilai tukar rupiah menyebabkan
kenaikan harga-harga sehingga apabila saat ini nilai tukar
melemah kembali maka para pelaku ekonomi (misalnya
pedagang) akan berupaya menaikkan harga untuk
mempertahankan tingkat pendapatan riilnya, meskipun
barang yang dinaikan harganya tersebut tidak memiliki
keterkaitan langsung dengan nilai tukar. Sedangkan dari sisi
konsumen, melemahnya nilai tukar rupiah diantisipasi dengan
melakukan pembelian barang dan jasa yang mendorong
permintaan dan pada akhirnya menaikan harga.
Analisa mengenai ekspektasi ini semakin kompleks
apabila dikaitkan dengan kebutuhan pasar mengenai
informasi perkembangan variabel ekonomi di masa datang
sebagai bahan pengambilan keputusan saat ini. Kondisi ini
dapat digambarkan sebagai pasar yang bereaksi terhadap
kejadian dimasa datang (forward looking expectation).
Sebagai contoh harga-harga mengalami kenaikan seiring
dengan perkiraan meningkatnya ketegangan politik pada
periode mendatang yang diperkirakan dapat melemahkan
nilai tukar rupiah. Ekspektasi masyarakat terhadap
perkembangan harga-harga di Indonesia diyakini terbentuk
dari kombinasi antara backward dan forward looking expec-
tation. Oleh karena itu, penyediaan informasi secara lengkap
dan akurat sangat penting dilakukan dalam mengarahkan
ekspektasi inflasi masyarakat pada tujuan yang diinginkan.
2) lihat Fadjar Majardi, "Dampak Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Laju InflasiIndonesia," Bank Indonesia, 2000.
3) Angka rata-rata perbandingan outstanding kredit non-rupiah terhadap total kredit sejak03:1993 s.d. 06:1997
4) Backward looking expectation mengasumsikan bahwa inflasi yang terjadi pada periodesebelumnya akan terjadi kembali pada periode saat ini dan mendatang. Sedangkanforward looking expectation menggunakan informasi mengenai kejadian yang akan terjadipada periode mendatang sebagai variabel yang berpengaruh pada saat ini.
59
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Indonesia secara bertahap telah melakukan liberalisasi sistem
devisa mulai tahun 1970 dan sejak tahun 1982 Indonesia
menganut sistem devisa bebas sebagaimana ditetapkan
dalam PP No.1/1982 yang selanjutnya dipertegas dengan UU
No.24/1999 mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar.
Kebijakan ini diikuti dengan liberalisasi sektor keuangan,
khususnya perbankan di tahun 1983 dan 1988. Sejalan dengan
proses liberalisasi arus modal dan perbankan serta cepatnya
proses integrasi keuangan dunia, transaksi devisa berkembang
dengan pesat dan arus modal antar negara makin meningkat
dengan peranan swasta yang makin dominan. Pembatasan-
pembatasan terhadap transaksi devisa dalam bentuk capital
control dihindari karena dikhawatirkan akan mengurangi
kepercayaan investor dan akan menghambat aliran modal
masuk ke Indonesia, serta menghambat pengembangan pasar
keuangan domestik. Terlebih Indonesia masih tergantung pada
aliran modal luar negeri dimana hingga tahun 1997 Indonesia
merupakan net importer modal untuk memenuhi saving-invest-
ment gap yang masih besar.
Proses liberalisasi arus modal dan pasar keuangan
Indonesia, telah menjadikan Indonesia sebagai negara yang
liberal dalam transaksi yang melibatkan pergerakan dana lintas
batas (cross border transactions) baik dalam valuta asing
maupun dalam mata uang domestik, khususnya di Asia
Tenggara. Hal ini tercermin dari rendahnya indeks capital con-
trol Indonesia dibandingkan dengan negara-negara Asia
lainnya (Grafik 1). Relatif bebasnya transaksi cross-border telah
mendorong aktifnya pasar rupiah di luar negeri (rupiah off-shore
market). Rupiah telah menjadi komoditas yang dapat diperjual-
belikan di pasar internasional yang mengindikasikan telah
terjadinya proses internasionalisasi rupiah.
Internasionalisasi rupiah secara umum dapat diartikan
sebagai penggunaan rupiah secara internasional baik dalam
transaksi yang terkait dengan perdagangan internasional
(ekspor-impor barang/jasa), investasi dan/atau dalam transaksi
pasar keuangan. Penggunaan rupiah secara internasional
untuk kebutuhan pembayaran ekspor dan impor tercatat tidak
signifikan. Invoice ekspor dan impor lebih banyak dinyatakan
Boks : Internasionalisasi Rupiah
Singapura Indonesia Thailand Philipina Korea Malaysia
0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
0,6
0,7
0,8
Indeks
0,77
0,300,35
0,60
0,45
0,61
Grafik 1Indeks Capital Control
dalam mata uang kuat dunia seperti dolar AS dan yen Jepang.
Dengan demikian, proses internasionalisasi rupiah lebih
mengarah pada penggunaan rupiah secara internasional
dalam transaksi di pasar keuangan. Salah satu indikator dari
telah terjadinya proses internasionalisasi mata uang domestik
tercermin dari besarnya pangsa transaksi nonresiden dan
pangsa lembaga keuangan asing di pasar keuangan domestik.
Pada awal gencarnya liberalisasi sektor keuangan,
terdapat kecenderungan untuk meningkatkan proses inter-
nasionalisasi rupiah. Pada masa itu, internasionalisasi rupiah
dipandang bermanfaat untuk mendorong pendalaman pasar
keuangan domestik serta mendorong arus modal masuk yang
berasal dari investasi asing. Namun dalam perkembangannya,
proses internasionalisasi rupiah memberikan peluang bagi
nonresiden melakukan kegiatan spekulasi di pasar rupiah luar
negeri, didukung dengan kemajuan rekayasa keuangan yang
berkembang pesat.
Kegiatan spekulasi rupiah-valuta asing semakin
meningkat intensitasnya di tengah kondisi sosial politik yang
kurang stabil di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan gejolak nilai
tukar rupiah yang berlebihan sehingga sangat mengganggu
efektivitas kebijakan moneter dalam rangka memelihara
kestabilan nilai rupiah, yang selanjutnya berdampak buruk
pada perekonomian secara makro.
60
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Dalam hal ini nonresiden berperan besar dalam
menentukan arah perkembangan nilai tukar rupiah karena
perilaku transaksinya diikuti oleh pelaku pasar lokal (herding
behavior). Opini negatif nonresiden terhadap stabilitas sosial
politik di dalam negeri seringkali menimbulkan dampak
psikologis di pasar domestik sehingga menimbulkan sentimen
negatif terhadap rupiah. Di samping itu, bank-bank asing di
dalam negeri yang digunakan nonresiden sebagai perantara
dalam bertransaksi rupiah adalah pemain besar yang sangat
berpengaruh di pasar. Dalam perdagangan valuta asing di
pasar domestik, bank asing menguasai lebih dari 50,0% dari
keseluruhan transaksi derivatif antar bank.
Sulit untuk mengetahui dengan pasti jumlah rupiah yang
beredar di pasar rupiah luar negeri karena berada di luar
wilayah pengawasan Bank Indonesia. Namun aktivitas transaksi
rupiah nonresiden dapat diikuti dari perkembangan rekening
giro rupiah milik nonresiden (rekening vostro) yang ada di bank-
bank dalam negeri (onshore banks) yang menjadi bank-bank
koresponden nonresiden tersebut. Hal ini dimungkinkan karena
transaksi yang menimbulkan klaim rupiah yang dilakukan oleh
nonresiden di luar negeri, penyelesaian (settlement) transak-
sinya sebagian besar dilakukan antar bank di Indonesia dengan
menggunakan rekening vostro. Dengan demikian, besarnya
peran nonresiden dalam mempengaruhi arah perkembangan
nilai tukar dapat tercermin dari mutasi rekening vostro tersebut
yang ditujukan untuk keperluan transaksi valuta asing di be-
berapa bank domestik. Pengamatan terhadap perkembangan
transaksi melalui rekening vostro menunjukkan bahwa mutasi
pada vostro account cenderung aktif dan volumenya mening-
kat dalam periode nilai tukar mengalami tekanan (Grafik 2).
Kegiatan spekulasi rupiah oleh nonresiden dimungkinkan
karena mudahnya akses perolehan dana rupiah dari bank-
bank di dalam negeri yang belum diatur secara khusus. Terlebih,
adanya kecenderungan longgarnya likuiditas di pasar uang,
sementara fungsi intermediasi perbankan belum sepenuhnya
pulih, mengakibatkan likuditas rupiah banyak berputar di pasar
uang. Dengan sarana investasi yang masih terbatas, bermain
di pasar valuta asing merupakan salah satu alternatif yang
menarik bagi bank yang mengalami kelebihan likuiditas.
Dengan adanya beberapa permasalahan di atas,
diperlukan kebijakan yang dapat meminimumkan kesempatan
berspekulasi mata uang rupiah oleh nonresiden antara lain
dengan membatasi akses perolehan rupiah. Apalagi penggu-
naan rupiah di luar negeri cenderung tidak berkaitan dengan
kegiatan perdagangan dan investasi, sehingga kurang memiliki
dasar yang kuat dalam mendorong kegiatan ekonomi riil.
Dalam hal ini, kebijakan untuk membatasi transaksi rupiah anta-
ra bank dengan nonresiden semakin mendesak untuk diimple-
mentasikan. Hal ini didukung dengan hasil penelitian di Bank
Indonesia yang menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan arus
modal yang dapat meningkatkan prudential management dari
sistem keuangan seperti kebijakan pembatasan internasio-
nalisasi rupiah dapat digunakan untuk meredam volatilitas nilai
tukar rupiah.
Penelitian ini merekomendasikan perlunya (i)
memperluas cakupan ketentuan larangan pemberian kredit
kepada nonresiden, tidak hanya mencakup larangan
pemberian kredit tunai tetapi juga mencakup larangan
terhadap setiap transaksi yang menimbulkan tagihan rupiah
kepada nonresiden antara lain seperti penempatan dana ru-
piah kepada nonresiden, pembelian surat-surat berharga
dalam rupiah yang diterbitkan oleh nonresiden, serta
penyempurnaan terhadap ketentuan pembatasan transaksi
derivatif yang tidak didasari underlying transactions ; (ii)
pembatasan penggunaan rekening vostro. Kebijakan non-
internasionalisasi rupiah diperlukan untuk mempersempit
peluang perolehan dan pemanfaatan rupiah oleh nonresiden
yang dapat digunakan untuk spekulasi sehingga dapat
meredam gejolak nilai tukar.
Vostro (Triliun Rp)
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
Kurs Rp/$ Rekening Vostro
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Kurs Rp/$
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III
1996 1997 1998 1999 2000
Grafik 2Arah Perkembangan Kurs Rp/$
dan Rekening Vostro
61
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
Fluktuasi nilai tukar di pasar valuta asing sering terjadi secara
berlebihan yang tidak sejalan dengan perkembangan funda-
mental ekonomi. Tekanan deperesiasi terhadap mata uang
suatu negara dapat terjadi meskipun kondisi fundamental
ekonomi negara tersebut semakin membaik. Hal ini dapat
terjadi karena dalam sistem nilai tukar mengambang bebas,
faktor ekspektasi memegang peranan yang sangat penting
dalam keputusan yang diambil pelaku pasar --spekulator atau
investor-- yakni ekspektasi mengenai arah atau trend nilai tukar
ke depan. Fluktuasi nilai tukar yang dipengaruhi oleh ekspektasi
ini terutama terjadi ketika nilai tukar begerak dalam pola
"speculative bubble". Fluktuasi tersebut merupakan "noise"
yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel ekonomi makro.
Ketika bergerak dalam pola "speculative bubble", nilai
tukar di pasar berfluktuasi menjauh dari nilai ekuilibrium fun-
damental ekonomi karena terjadinya penggelembungan
ekspektasi secara berkelanjutan yang terkait dengan proses
yang dinamakan "self-confirming expectation" di pasar valuta
asing. Proses penggelembungan ekspektasi tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut. Pada periode 0, karena beberapa
alasan --misalnya karena kemungkinan terjadinya
ketidakstabilan politik di masa depan-- spekulator
berekspektasi bahwa rupiah akan terdepresiasi dalam periode
1. Untuk melindungi portfolionya dari kerugian nilai tukar (ex-
change rate risk) atau didasari oleh keinginan untuk meraih
keuntungan (exchange rate gain), spekulator tersebut menjual
rupiah (membeli valuta asing) sehingga mengakibatkan nilai
tukar rupiah melemah. Pada periode 1, rupiah mungkin benar-
benar terdepresiasi sehingga menjastifikasi ekspektasi
spekulator tersebut. Hal ini akan terbukti apabila terjadi aksi
jual terhadap rupiah dalam periode 1 karena adanya
ekpektasi depresiasi rupiah yang akan terjadi dalam periode
2. Apakah tidak masuk akal untuk berekspektasi bahwa akan
terjadi depresiasi dalam periode 2? Tidak, apabila terjadi aksi
jual terhadap rupiah sebagai akibat adanya ekspektasi bahwa
rupiah akan terdepresiasi dalam periode 3. Demikian pula akan
menjadi rasional bagi spekulator tersebut untuk berekspektasi
Boks : "Speculative Bubble" di Pasar Valuta Asing
terjadinya depresiasi dalam periode 3 apabila depresiasi
diperkirakan akan terjadi dalam periode 4, dan selanjutnya.
Tanpa adanya suatu periode yang diketahui dapat
menghentikan proses penggelembungan ekspektasi tersebut,
maka nilai tukar rupiah akan terus bergerak menjauhi nilai
ekulibrium fundamental ekonomi. Pada umumnya, seorang
spekulator akan merasa terikat untuk mengikuti prilaku "herd-
ing" tersebut, karena dengan mayoritas spekulator di pasar
berusaha menekan nilai tukar rupiah dalam trend yang
meningkat (up-trend), seorang spekulator akan mengalami
kerugian apabila mencoba melawan trend dengan arah yang
berlawanan (against the market trend).
Dalam prakteknya, nilai tukar di pasar tidak menyim-
pang terhadap nilai ekuilibrium fundametal ekonomi dalam
rentang waktu yang tidak terbatas (infinity). Kondisi yang sering
terjadi adalah bahwa nilai tukar menyimpang dari nilai
ekuilibrium fundamental untuk jangka waktu pendek sebelum
gelembung ekspektasi pecah. Namun sangat mungkin bahwa
gelembung ekspektasi tersebut terbentuk dan pecah secara
bergantian, yang pada gilirannya meningkatkan variabilitas
pergerakan nilai tukar. Kalangan ekonom yang sangat
percaya bahwa fenomena seperti ini penting untuk dikenali
oleh otoritas moneter berpendapat bahwa kebijakan
intervensi oleh bank sentral di pasar valuta asing dapat
mengurangi volatilitas yang berlebihan (unnecessary volatil-
ity) dalam suatu perekonomian meskipun tanpa adanya suatu
perubahan dalam kebijakan moneter.1)
Dalam sistem free float, pelaku pasar secara bebas
dapat membeli atau menjual suatu mata uang, yang didasari
atas ekspektasinya mengenai arah perkembangan nilai tukar
mata uang tersebut untuk meraih keuntungan. Apabila
spekulator berprilaku atas dasar ekspektasi mengenai arah
1) John Williamson and Marcus Miller, Targets and Indicators : A Blue-print for the International Coordination of Economic Policy, PolicyAnalyses in International Economic, No. 22 (Washington : Institutefor International Economics, September 1987)
62
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP) karena adanya
peningkatan dalam jumlah uang beredar maka spekulator
atau investor akan berekspektasi bahwa mata uang
domestik pada akhirnya akan kembali terapresiasi.
Bagaimana ekspektasi tersebut terbentuk, dapat dijelaskan
dengan model Dornbusch seperti dapat dilihat dalam grafik
di bawah ini (Grafik 1).
Dengan asumsi bahwa harga barang tidak banyak
berubah (sticky) dalam jangka pendek, maka peningkatan
uang beredar sebesar 10,0% akan mengakibatkan uang
beredar secara riil meningkat 10,0%. Proses penyesuaian di
pasar uang akan mengakibatkan suku bunga bergerak turun,
yang pada gilirannya akan mendorong arus modal ke luar
(capital outflow) sehingga menyebabkan nilai tukar mata
uang domestik terdepresiasi. Dengan demikian, nilai tukar
ekuilibrium, S, juga akan mengalami depresiasi sebesar 10,0%.
Namun dalam realitasnya mungkin saja nilai tukar di pasar
mengalami overshooting atau terdepresiasi lebih dari 10,0%
sehingga mencapai s.
Dalam jangka panjang, harga menjadi lebih fleksibel.
Ketika perekonomian berada dalam ekuilibrium jangka
pendek, C, nilai tukar sangat lemah (kompetitif) sehingga akan
mendorong permintaan terhadap produk dalam negeri. Di
pihak lain, pada titik C, tingkat suku bunga riil sangat rendah
sehingga dapat menstimulasi investasi dan konsumsi. Kedua
faktor tersebut akan memberi tekanan terhadap harga, yang
perkembangan nilai tukar, maka untuk meraih keuntungan
mereka akan membeli suatu mata uang pada saat nilai tukar
mata uang tersebut tinggi dan menjualnya pada saat nilai tukar
mata uang tersebut rendah (buy low sell high). Kalau demikian
halnya, apakah jenis spekulasi seperti ini dapat mengakibatkan
variabilitas nilai tukar meningkat? Belum tentu, karena
meningkatnya pembelian terhadap suatu mata uang akan
mengakibatkan nilai tukar mata uang tersebut menguat,
sebaliknya meningkatnya penjualan terhadap mata uang
tersebut akan mengakibatkan nilai tukar mata uang tersebut
melemah. Jenis spekulasi seperti ini membuat tekanan dari sisi
permintaan dan penawaran pada akhirnya menuju arah yang
convergence sampai pada suatu titik dimana nilai tukar
bergerak relatif stabil.
Dalam kenyataanya, spekulator tidak berperilaku seperti
dijelaskan di atas. Spekulator pada umumnya membentuk
ekspektasinya dengan cara melakukan ekstrapolasi terhadap
trend di masa lalu, yang sering disebut sebagai fenomena "the
bandwagon expectation". Apabila spekulator berperilaku atas
dasar fenomena tersebut maka mereka akan bergerak
mengikuti trend (jump on the bandwagon) ketika nilai tukar
mulai bergerak dalam suatu arah tertentu baik arah meningkat
(up trend) ataupun arah menurun (down-trend). Dalam kondisi
demikian, mereka dapat menciptakan situasi "speculative
bubble" seperti yang telah diuraikan di atas. Spekulator
melakukan "buy high sell low" di mana mereka menjual suatu
mata uang pada saat nilai tukar mata uang tersebut sedang
melemah oleh karena itu akan semakin mempertajam tekanan
depresiasi terhadap mata uang tersebut (sampai gelembung
ekspektasi pecah). Sebaliknya, akan membeli mata uang
tersebut pada saat nilai tukar mata uang tersebut sedang
menguat sehingga akan semakin mempertajam tekanan
apresiasi mata uang tersebut. Jenis spekulasi seperti ini pada
dasarnya akan membuat ketidakstabilan nilai tukar yang
sangat tinggi dan menciptakan gejolak di pasar valuta asing
(destabilizing).
Dalam kondisi di mana mekanisme pasar berfungsi
sebagaimana mestinya dan ekspektasi yang terbentuk didasari
oleh perkembangan fundamental ekonomi, sejumlah ekonom
berpandangan bahwa ekspektasi tersebut akan banyak
berperan menstabilkan nilai tukar. Misalnya, apabila mata uang
domestik mengalami deviasi (overshooting) dari nilai ekuilibrium
P
P’
P
0 S1 S2 s
Proportional to ∆ M Overshooting
A A’ Cp = P
Proportional to ∆ M
B
PPP : S = P/P*
Grafik 1Dornbusch Overshooting Model
63
Bab 3 Nilai Tukar dan Inflasi
pada gilirannya mengakibatkan jumlah uang beredar secara
riil menurun. Sebagai akibatnya suku bunga secara perlahan
akan bergerak naik sehingga mengundang arus modal masuk
dan menyebabkan nilai tukar terapresiasi menuju kembali ke
nilai ekuilibrium berdasarkan PPP dan perekonomian berada
pada titik B. Setiap spekulator atau investor yang berprilaku
atas dasar ekspektasi demikian akan segera membeli mata
uang domestik sehingga nilai tukarnya akan kembali
menguat.2)
Namun demikian, sangat sulit untuk menerima realitas
bahwa ekspektasi yang terbentuk di pasar seluruhnya
merupakan hasil dari suatu pemahaman spekulator terhadap
fenomena ekonomi seperti dijelaskan di atas. Seringkali pelaku
pasar (secara umum) mengabaikan perkembangan funda-
mental ekonomi dan lebih banyak melakukan ekstrapolasi
terhadap trend. Dengan menggunakan analisa teknis (tech-
nical analysis )3) spekulator yang sering dinamakan "noise trad-
ers" dapat menggerakkan nilai tukar menyimpang jauh dari
nilai ekuilibrium fundamentalnya, dan tidak berekspektasi
bahwa nilai tukar harus kembali ke nilai ekuilibrium fundamen-
tal semula seperti yang dijelaskan berdasarkan pendekatan
overshooting di atas. Dalam satu dekade terakhir, jumlah
spekulator di pasar valuta asing dunia yang berperan sebagai
"noise traders" 4) relatif lebih besar dibandingkan investor yang
berperan sebagai fundamentalists. Hal ini semakin mem-
perjelas bahwa fenomena bandwagon expectation lebih
banyak menjelaskan pergerakan nilai tukar yang pada
dasarnya tidak dapat dijelaskan secara penuh melalui
pendekatan fundamental ekonomi.
Fenomena "the bandwagon expectation" seperti yang
dikemukakan di atas telah terjadi dalam pasar rupiah
terutama setelah Indonesia menganut sistem nilai tukar
mengambang bebas di mana analisa teknis (technical analy-
sis) sebagai perangkat untuk melakukan peramalan nilai tukar
telah digunakan dalam perdagangan rupiah. Penggunaan
analisa teknis tersebut semakin intensif digunakan seiring
dengan meningkatnya internasionalisasi rupiah. Spekulator
di pasar off-shore dan on-shore menggunakan analisa trend
dengan memperhatikan sentimen asimetris yang terbentuk
akibat ketidakstabilan kondisi sosial politik di dalam negeri.
Hal ini mengakibatkan nilai tukar rupiah telah bergerak naik
(up-trend) secara persisten sepanjang tahun 2000. Tembusnya
beberapa level psikologis seperti Rp8.000 dan Rp9.000
semakin mengundang spekulator untuk melakukan aksi jual
terhadap rupiah (jump on the bandwagon) dengan harapan
bahwa trend nilai tukar akan terus bergerak dalam trend
yang meningkat (self-confirming expectation).
Realitas tersebut di atas dapat menjelaskan mengapa
nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam dan sulit untuk kembali
ke nilai ekuilibrium fundamentalnya. Di samping itu, meskipun
nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sangat besar dan turut
menyumbang dalam menciptakan surplus neraca
perdagangan namun proses penyesuaian otomatis yang
seharusnya ditimbulkan oleh surplus tersebut tidak berjalan
sebagaimana mestinya sehingga tidak mendorong terjadinya
apresiasi rupiah. Proses penyesuaian tersebut tidak berjalan
karena devisa hasil ekspor tidak seluruhnya mengalir ke dalam
negeri untuk dapat memperkuat sisi supply di pasar. Di pihak
lain, ketidakstabilan kondisi sosial politik sepanjang tahun 2000
secara persisten telah menciptakan sentimen yang negatif
terhadap rupiah sehingga semakin membuka ruang bagi
terciptanya proses speculative bubble yang pada dasarnya
tidak dapat dijelaskan berdasarkan pendekatan fundamen-
tal ekonomi.
2) Richard E. Caves, Jeffrey A. Frankel, and Ronald W. Jones, WorldTrade and Payments (1996)
3) Technical analysis adalah studi mengenai trend pergerakan hargadengan filosofi bahwa "history repeat its'self, price move in trend,and price discount everything"
4) Noise traders adalah spekulator yang melakukan pembelian ataupenjualan suatu mata uang atau asset, atas dasar sentimen (be-liefs) yang tidak sepenuhnya konsisten dengan fundamentalekonomi
MoneterBab 4
65
Bab 4 Moneter
Di tengah nuansa optimisme yang cukup kuat mengenai
prospek ekonomi Indonesia tahun 2000, sebagaimana ter-
cermin dari proyeksi pertumbuhan ekonomi sebesar 3,0%–4,0%,
nilai tukar rata-rata sebesar Rp7.000 per dolar AS, dan sasaran
inflasi (di luar dampak kenaikan harga yang disebabkan oleh
kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan)
sebesar 3,0%–5,0%, Bank Indonesia pada awal tahun laporan
menetapkan sasaran pertumbuhan uang primer sebesar 8,3%.
Namun dalam perjalanan waktu, upaya mencapai
sasaran uang primer tersebut menghadapi banyak tantangan.
Tantangan terbesar bersumber dari lebih kuatnya aktivitas
perekonomian dari yang diperkirakan semula, memburuknya
ekspektasi inflasi, dan kuatnya tekanan terhadap rupiah. Di
samping itu, pengendalian moneter juga menghadapi
kendala yang bersumber dari sisi operasional sehubungan
dengan belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan
meningkatnya ketidakpastian sosial politik dalam negeri.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, ekspektasi inflasi
yang memburuk, dan rupiah yang melemah tersebut
menyebabkan permintaan uang primer meningkat tajam.
Sementara itu, masih belum pulihnya fungsi intermediasi
perbankan menyebabkan sinyal kebijakan moneter Bank In-
donesia tidak direspon secara proporsional oleh perbankan,
sehingga tidak mendukung upaya penarikan uang kartal yang
beredar di masyarakat yang merupakan komponen terbesar
uang primer. Kondisi ini menjadi semakin berat seiring dengan
meningkatnya ketidakpastian sosial politik di dalam negeri
yang mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan
berjaga-jaga dengan lebih banyak memegang uang kartal.
Berbagai permasalahan tersebut menghadapkan
Bank Indonesia pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, upaya
untuk meredam permintaan uang primer membutuhkan
respon kebijakan moneter yang ketat dengan konsekuensi
suku bunga meningkat tajam. Namun di sisi lain, kenaikan
suku bunga yang terlalu tinggi dikhawatirkan dapat
b a b
4 Moneter
1) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/17/DPNP/2000 tanggal 28 Juni 2000tentang Perubahan atas Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketigayang dijamin Pemerintah.
menghambat momentum pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung.
Di dalam situasi seperti ini, Bank Indonesia memilih
menerapkan kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight
bias) yang terutama diarahkan untuk menyerap kelebihan
likuiditas di luar kebutuhan transaksi ri i l, tanpa harus
mengorbankan proses pemulihan ekonomi yang baru berjalan.
Dalam kaitan ini, kebijakan moneter yang cenderung ketat
dilakukan dengan tetap menjaga agar kenaikan suku bunga
tidak terjadi secara drastis dan berlebihan.
Dalam upaya mengendalikan uang primer,
pengendalian moneter terutama ditempuh melalui operasi
pasar terbuka (OPT) dalam bentuk lelang SBI dan intervensi
langsung di pasar uang rupiah (Intervensi Rupiah). Selain itu,
untuk mendukung pelaksanaan OPT, Bank Indonesia dalam
beberapa kali kesempatan melakukan sterilisasi di pasar valuta
asing untuk mengurangi dampak ekspansi uang primer yang
berasal dari pengeluaran pemerintah dalam rupiah yang
dibiayai dari penerimaan luar negeri.
Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat
tercermin dari meningkatnya suku bunga SBI, baik 1 bulan dan
3 bulan, secara bertahap. Peningkatan suku bunga SBI tersebut
ternyata tidak diikuti oleh peningkatan yang seimbang pada
suku bunga deposito perbankan, meskipun telah didukung oleh
kebijakan Bank Indonesia untuk meningkatkan marjin suku bunga
penjaminan terhadap suku bunga rata-rata deposito rupiah
peserta JIBOR—dari 100 basis point menjadi 200 basis point.1)
Dengan tingginya laju inflasi, suku bunga deposito riil mengalami
penurunan, sehingga mengurangi minat masyarakat untuk
menyimpan kembali uang kartal mereka di perbankan.
Dalam perkembangannya, sebagai akibat berbagai
faktor tersebut di atas, tingginya posisi uang kartal telah
66
Bab 4 Moneter
Grafik 4.1Uang primer : Aktual dan Target
70
80
90
100
110
120
1999 2000
Target Indikatif
Aktual
Triliun Rp
Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
menyebabkan uang primer meningkat tajam sebesar 23,4%
pada akhir tahun laporan.2) Tingginya pertumbuhan uang
primer, khususnya yang terjadi pada bulan terakhir tahun
2000, terkait erat dengan kuatnya pengaruh faktor musiman
di bulan tersebut sehubungan dengan perayaan hari-hari
besar keagamaan yang berlangsung secara hampir
bersamaan, berakhirnya tahun fiskal, serta lebih panjangnya
hari libur pada akhir tahun laporan. Dalam hubungan ini pula,
peningkatan uang kartal telah mendorong kenaikan
pertumbuhan uang beredar dalam arti sempit (M1).
Sementara itu, rendahnya suku bunga deposito riil selama
tahun 2000 berdampak pada melambatnya pertumbuhan
uang beredar dalam arti luas (M2).
Uang Beredar
Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, peningkatan
uang primer, yang terlihat secara jelas sejak Mei 2000, ber-
sumber dari peningkatan uang kartal sehubungan dengan
meningkatnya aktivitas perekonomian, rendahnya suku bunga
deposito riil, tindakan berjaga-jaga oleh masyarakat, dan
sejumlah faktor musiman yang lebih tinggi dari biasanya.
Tindakan berjaga-jaga masyarakat terjadi seiring dengan
meningkatnya faktor ketidakpastian selama periode laporan.
Peningkatan uang kartal terbesar, yang berasal dari pengaruh
faktor musiman terutama terjadi selama Desember 2000, yang
tercatat sebesar Rp13,9 triliun. Peningkatan tersebut terkait
dengan berlangsungnya perayaan sejumlah hari raya
keagamaan yang hampir bersamaan, berakhirnya tahun fiskal,
serta lebih panjangnya hari libur akhir tahun 2000. Secara
keseluruhan, faktor-faktor, tersebut di atas mengakibatkan
uang kartal tumbuh sebesar 24,0% hingga mencapai posisi
Rp72,4 triliun pada akhir tahun laporan (Tabel 4.1). Peningkatan
uang kartal yang tajam inilah yang menjadi faktor utama
peningkatan uang primer hingga posisinya pada akhir tahun
Tabel 4.1Uang Primer dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
2000
Rincian I II III IV
Triliun rupiah
Uang Primer 101,8 88,9 94,6 97,1 125,6Uang kertas dan logam
yang diedarkan 72,6 59,8 64,4 65,6 89,7– di masyarakat 58,4 51,2 55,9 56,9 72,4– di perbankan 14,2 8,6 8,5 8,7 17,3
Giro bank pada Bank Indonesia 28,1 27,7 28,4 29,7 33,9Giro Sektor Swasta 1,1 1,4 1,8 1,9 2,0
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Uang Primer 101,8 88,9 94,6 97,1 125,6
Cadangan Devisa Bersih (NIR) 114,5 129,6 113,6 116,8 124,5Aktiva Domestik Bersih (NDA) –12,7 –40,6 –19,1 –19,7 1,1
Tagihan Bersih pada Pemerintah 149,6 165,3 156,3 148,7 133,7Bantuan likuiditas 37,2 36,9 37,3 37,3 37,3Kredit Likuiditas 23,7 18,6 17,7 16,7 15,9Tagihan lainnya 1,1 1,1 1,3 1,4 1,5Operasi Pasar Uang –86,9 –107,4 –98,5 –86,8 –78,9Lainnya Bersih (NOI) –137,4 –155,2 –133,2 –137,0 –108,4
1999
laporan mencapai Rp125,6 triliun, atau tumbuh sebesar 23,4%
dari tahun sebelumnya (Grafik 4.1). Selama Desember 2000,
uang primer meningkat sebesar Rp25,4 triliun.
Sementara itu, saldo giro positif bank di Bank Indonesia
dan kas di bank (cash in vaults) yang merupakan komponen
lain dari uang primer secara umum menunjukkan
perkembangan yang relatif stabil, kecuali pada triwulan
2) Dengan menggunakan angka test date--rata-rata uang primer selama10 hari kerja (5 hari kerja terakhir di bulan tersebut dan 5 hari kerjapertama bulan berikutnya)--sesuai dengan yang tercantum dalamLetter of Intent (LOI) dengan IMF, pertumbuhan uang primer dalamtahun 2000 tercatat sedikit lebih rendah, yakni sebesar 21,4%.
67
Bab 4 Moneter
terakhir tahun 2000. Peningkatan kedua komponen pada
triwulan tersebut merupakan cerminan dari langkah antisipasi
perbankan dalam menghadapi kenaikan permintaan uang
kartal di bulan Desember. Secara keseluruhan cash in vaults
dan giro positif bank di Bank Indonesia meningkat masing-
masing sebesar Rp3,1 triliun dan Rp5,8 triliun dari tahun
sebelumnya, hingga mencapai posisi Rp17,3 triliun dan Rp33,9
triliun pada akhir tahun.
Berdasarkan faktor yang mempengaruhi uang primer,
cadangan devisa bersih (net international reserves atau NIR)
terus berada di atas batas bawah (floor) yang ditetapkan.
Posisi NIR meningkat sebesar $1,4 miliar hingga mencapai
posisi $17,8 miliar pada akhir tahun 2000. Pada Desember
2000, posisi NIR lebih tinggi $3,1 miliar dibandingkan
targetnya (Grafik 4.2). Posisi NIR tersebut telah mengalami
penyesuaian ke bawah (downward adjustment) sebesar
$2,0 miliar sejak Mei 2000, sehubungan dengan mulai
diterapkannya konsep Special Data Dissemination Standard
(SDDS) dalam penghitungan NIR. Konsep baru ini hanya
memperhitungkan faktor-faktor cadangan devisa yang
bersifat siap untuk digunakan sewaktu-waktu (readily avail-
able) dan sepenuhnya dapat dikuasai oleh otoritas
moneter.
Sementara itu, posisi aktiva domestik bersih (net domes-
tic assets atau NDA) cenderung berada di bawah target
Grafik 4.2Cadangan Devisa Bersih (NIR): Aktual dan Target
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Miliar $
Target indikatif
Aktual
1999 2000
Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
yang ditetapkan, kecuali pada Desember 2000. Peningkatan
NDA pada bulan terakhir tahun laporan lebih banyak
disebabkan oleh cenderung ekspansifnya sektor keuangan
pemerintah (net claims on government atau NCG) pada
akhir tahun fiskal (Grafik 4.3). Di samping itu, kenaikan NDA
juga terkait dengan peningkatan kebutuhan masyarakat
terhadap uang kartal menjelang perayaan sejumlah hari raya
keagamaan, seperti tercermin dari turunnya posisi operasi
pasar terbuka (OPT). Kondisi tersebut mengakibatkan NDA
berada pada posisi Rp1,1 triliun pada akhir Desember 2000—
posisi positif NDA tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Pada Desember 2000, posisi NDA lebih tinggi Rp5,0 triliun
dibandingkan dengan targetnya.
Pada periode laporan, posisi M1 mengalami pening-
katan sebesar 30,1% hingga mencapai posisi Rp162,2 triliun
pada Desember 2000. Peningkatan tersebut selain disebabkan
oleh peningkatan uang kartal seperti telah dijelaskan
sebelumnya, juga disebabkan oleh peningkatan uang giral
sebesar Rp23,5 triliun (35,5%). Peningkatan uang giral ini sejalan
dengan meningkatnya aktivitas perekonomian dan rendahnya
suku bunga deposito riil.
Sementara itu, uang kuasi dalam tahun laporan
mengalami peningkatan sebesar 12,1% dari tahun sebe-
lumnya. Berdasarkan komponennya, tabungan mengalami
pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar 24,4%, sedangkan
Grafik 4.3Aktiva Domestik Bersih (NDA): Aktual dan Target
-90
-80
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
Triliun Rp
1999 2000
Aktual
Target Indikatif
Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
68
Bab 4 Moneter
Grafik 4.4Pertumbuhan Giro, Tabungan dan Deposito Masyarakat
-20
0
20
40
60
80
100
120
140
160
%
Deposito
Tabungan
Giro
1998 1999 2000Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
Grafik 4.5Angka Pengganda Uang M1 dan M2
1,20
1,25
1,30
1,35
1,40
1,45
1,50
1,55
APU1
6,00
6,50
7,00
7,50
8,00
8,50
APU2
APU 1
APU 2
1998 1999 2000
Okt.Jan. Apr. Jul. Okt.Jan. Apr. Jul. Okt.Jan. Apr. Jul.
1998 1999 2000 2000
Rincian Perubahan Posisi
Triliun rupiah
M1 22,9 23,4 37,6 162,2Uang kartal 13,0 17,0 14,0 72,4
Uang giral 9,9 6,5 23,5 89,8
Uang Kuasi 198,9 45,4 63,3 584,8
Deposito dan Tabungan dalam rupiah 172,3 49,9 36,1 444,7
Simpanan dalam valuta asing 26,5 –4,5 27,2 140,2
M2 221,7 68,8 100,8 747,0Faktor-faktor yang mempengaruhi M2
Aktiva luar negeri (bersih) 73,7 –12,6 81,6 210,7
Bank Indonesia 32,3 –14,6 92,0 201,2
Bank-bank umum 41,4 2,0 –10,3 9,5
Tagihan kepada pemerintah (bersih) 17,5 425.3 123,1 520,3
Tagihan bersih pada BPPN 29,7 –29,7 0,0 0,0
Tagihan kepada sektor usaha 99,4 –299,7 42,3 294,9
Kredit dalam rupiah 51,6 –172,6 12,0 152,5
Kredit dalam valuta asing 57,7 –89,7 31,9 116,5
Tagihan lainnya –9,9 –37,4 –1,5 25,9
Lainnya (bersih) 1,4 –14,5 –146,2 –278,9
Tabel 4.2Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi M2, aktiva
luar negeri bersih (net foreign assets atau NFA) meningkat
sebesar Rp81,6 triliun, atau tumbuh sebesar 63,2%, terutama
sebagai akibat kenaikan penerimaan minyak. Namun apabila
pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah diabaikan, NFA hanya
simpanan berjangka (deposito) dan simpanan valuta asing
masing-masing meningkat sebesar 2,1% dan 24,1% (Grafik 4.4).
T ingginya pertumbuhan tabungan dan rendahnya
pertumbuhan simpanan berjangka didorong oleh adanya
perpindahan dana dari deposito ke tabungan. Perpindahan
tersebut diduga terjadi karena masyarakat cenderung
menempatkan dananya pada jenis simpanan yang relatif
mudah ditarik di tengah-tengah kondisi peningkatan aktivitas
perekonomian dan ketidakpastian sosial politik dalam negeri.
Sementara itu, peningkatan simpanan valuta asing lebih
disebabkan oleh kenaikan nilai rupiah dari simpanan valuta
asing seiring dengan melemahnya nilai tukar rupiah. Dalam
denominasi dolar, simpanan valuta asing sebaliknya menun-
jukkan penurunan sebesar 8,2%.
Dengan perkembangan M1 dan uang kuasi seperti
tersebut di atas, M2 mengalami pertumbuhan sebesar 15,6%,
menjadi Rp747,0 triliun pada akhir tahun 2000. Pertumbuhan
M2 tersebut lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan pada
tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 11,9% (Tabel 4.2).
Namun apabila dampak depresiasi nilai tukar dihilangkan,
pertumbuhan M2 selama tahun laporan hanya mencapai
10,0%, lebih rendah daripada pertumbuhan tahun 1999 yang
tercatat sebesar 14,5%. Sementara itu, lebih rendahnya
pertumbuhan M2 daripada uang primer berdampak pada
turunnya angka pengganda uang (APU) M2 (Grafik 4.5).
69
Bab 4 Moneter
meningkat sebesar 20,8%. Tagihan kepada Pemerintah (bersih)
atau net claims on government (NCG) mengalami ekspansi
sebesar 31,0% yang sebagian besar terkait dengan penerbitan
obligasi pemerintah untuk rekapitalisasi perbankan. Sementara
itu, tagihan pada sektor usaha yang mencakup pemberian
kredit rupiah, kredit valuta asing, dan tagihan lainnya
memberikan pengaruh ekspansif sebesar Rp42,3 triliun (16,8%).
Namun demikian, peningkatan tagihan pada sektor usaha di
atas lebih dipengaruhi oleh peningkatan nilai rupiah dari kredit
valuta asing sebesar 37,7% seiring dengan melemahnya ru-
piah. Dalam denominasi dolar, pemberian kredit valuta asing
hanya tumbuh sebesar 1,9%. Kondisi ini dan kenyataan bahwa
pemberian kredit rupiah hanya tumbuh sebesar 8,5%,
sementara dana masyarakat di perbankan tumbuh cukup
tinggi, memberi indikasi kuat bahwa fungsi intermediasi
perbankan belum sepenuhnya pulih.
Operasi Pasar Terbuka
Selama tahun laporan, strategi Operasi Pasar terbuka (OPT) di
bawah kerangka kebijakan moneter yang cenderung ketat
ditujukan pada pengendalian uang primer terutama guna
mengurangi tekanan inflasi dan juga melemahnya nilai tukar
rupiah, dengan tetap memperhatikan agar suku bunga tidak
mengalami kenaikan secara drastis dan berlebihan. Strategi
ini tercermin dari peningkatan suku bunga SBI secara bertahap.
Setelah mencapai posisi terendahnya sebesar 10,53% pada
pertengahan Mei 2000, suku bunga rata-rata tertimbang SBI 1
bulan meningkat hingga mencapai posisi 14,3% pada akhir
Desember 2000. Dalam periode yang sama, suku bunga rata-
rata SBI 3 bulan dan Intervensi Rupiah juga mengalami
peningkatan, hingga masing-masing mencapai 14,31% dan
10,88% pada akhir tahun laporan (Grafik 4.6).
Pengendalian moneter melalui instrumen SBI dan
Intervensi Rupiah dalam tahun 2000 mengalami kesulitan untuk
menyerap uang primer, khususnya komponen uang kartal,
meskipun suku bunga kedua instrumen tersebut telah
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya
ruang gerak bagi peningkatan suku bunga sebagai
konsekuensi dari kebijakan moneter yang cenderung ketat.
Grafik 4.6Perkembangan Suku Bunga Instrumen OPT
SBI 1 bulan
SBI 3 bulan
Intervensi rupiah
Des. Feb. Apr. Jun. Ags. Okt. Des.9
10
11
12
13
14
15
%
1999 2 0 0 0
Penggunaan piranti SBI dan Intervensi Rupiah di tengah-tengah
keterbatasan ruang gerak kenaikan suku bunga tersebut
menjadi semakin kurang efektif sehubungan dengan tidak
diresponnya sinyal kebijakan moneter oleh perbankan secara
proporsional. Hal ini terkait erat dengan masih belum pulihnya
fungsi intermediasi perbankan. Sebagai akibatnya, posisi OPT
pada akhir tahun tercatat sebesar Rp78,9 triliun, atau Rp7,9
triliun lebih rendah dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut
berasal dari penurunan SBI dan Intervensi Rupiah masing-
masing sebesar Rp3,0 triliun dan Rp4,9 triliun (Grafik 4.7).
Sementara itu, guna mendukung pelaksanaan OPT, Bank
10
10,5
11
11,5
12
12,5
13
13,5
14
14,5
15
%
Desember Maret Juni September Desember
1999 2 0 0 0
Posisi Suku Bunga SBI 1 bulan100
120
0
20
40
60
80
Triliun Rp.
Grafik 4.7Perkembangan SBI
70
Bab 4 Moneter
Masyarakat9%
Bank Asing &Campuran
38,7%
BPD2,3%
Bank Swasta46,4%
Bank Pemerintah3,5%
Grafik 4.9Posisi Kepemilikan SBI
Indonesia dalam berbagai kesempatan melakukan sterilisasi
di pasar valuta asing untuk mengurangi dampak ekspansi uang
primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam ru-
piah yang dibiayai dengan penerimaan luar negeri.
Melemahnya nilai tukar rupiah, tingginya laju inflasi, dan
meningkatnya suku bunga luar negeri telah menimbulkan
ekspektasi kenaikan suku bunga dalam negeri di kalangan per-
bankan, yang pada gilirannya mendorong mereka untuk cen-
derung meningkatkan penawaran suku bunga pada setiap
lelang SBI sejak Mei 2000. Pada waktu yang bersamaan,
tekanan permintaan uang kartal oleh masyarakat telah
meningkatkan kebutuhan likuiditas perbankan. Kondisi ini
mendorong perbankan untuk memindahkan dana mereka ke
jenis penanaman dengan jangka waktu yang lebih pendek,
seperti dari SBI 3 bulan ke SBI 1 bulan maupun ke Intervensi
Rupiah (Grafik 4.8).
Berdasarkan kepemilikannya, mayoritas SBI dimiliki oleh
kelompok bank swasta nasional (46,4%), disusul oleh kelom-
pok bank asing campuran (38,7%), bank pemerintah (3,5%),
dan BPD (2,3%) (Grafik 4.9). Dibandingkan dengan tahun se-
belumnya, kepemilikan SBI oleh bank pemerintah menun-
jukkan penurunan, sementara sebaliknya kepemilikan bank
swasta nasional meningkat. Hal ini mengindikasikan relatif
lebih tingginya kondisi likuiditas kelompok bank swasta
nasional dibandingkan kelompok-kelompok bank lainnya.
Sementara itu, guna menjaga kestabilan moneter,
khususnya di pasar uang, Bank Indonesia dalam fungsinya
sebagai lender of the last resort pada September 2000
mengeluarkan kebijakan pemberian Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek (FPJP) sebagai penyempurnaan dari kebijakan
sebelumnya. Berkaitan dengan mulai dilaksanakannya sistim
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank In-
donesia menyediakan Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI) bagi bank
umum peserta RTGS. Selain itu, kedua fasilitas ini juga ditujukan
untuk memperlancar sistem pembayaran serta menjaga
kelangsungan usaha bank (Boks : Fasilitas Pinjaman Jangka
Pendek dan Fasilitas Likuiditas Intrahari).
Dalam rangka mendorong perkembangan pasar uang
dan pengendalian moneter pada kelompok bank syariah,
Bank Indonesia telah mengeluarkan ketentuan mengenai
pasar uang antar bank ,3) ketetapan GWM rupiah dan valuta
asing sebesar 5% dan 3% ,4) dan instrumen OPT,5) yang
seluruhnya berlaku bagi bank berdasarkan prinsip syariah .
Grafik 4.8Posisi Intervensi Rupiah, SBI 1 dan 3 bulan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Triliun Rp.
SBI 1 bulan SBI 3 bulan Intervensi Rp.
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
3) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/8/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000tentang Ketentuan Pasar Uang Antar Bank bagi Bank berdasarkanPrinsip Syariah.
4) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/7/PBI/2000 tanggal 23 Februari 2000tentang Ketentuan GWM dalam Rupiah dan Valas bagi Bank Umumberdasarkan Prinsip Syariah.
5) Peraturan Bank Indonesia, No. 2/9/PBI/2000 tentang Ketentuanmengenai Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
71
Bab 4 Moneter
-2.000
-1.500
-500
0
500
1.000
1.500
2.000
1999
Miliar Rp.
2000
Bank Pemberi
Bank Penerima
I II III IV I II III IV
Bank Pemerintah Bank Devisa
Bank Non Devisa Bank Campuran Bank Asing
-1.000
tersebut, suku bunga tertinggi sempat meningkat sehubungan
dengan pertambahan kebutuhan dana sejumlah bank yang
mengalami kesulitan memperoleh credit line di PUAB
menjelang diberlakukannya sistim BI-RTGS. Hal-hal tersebut di
atas merupakan cerminan dari masih adanya segmentasi di
pasar uang, meski dengan skala yang lebih kecil daripada
tahun-tahun sebelumnya.
Dilihat dari pelakunya, kelompok bank swasta nasional
devisa merupakan kelompok bank dengan kecenderungan
Pasar Uang Antar Bank
Baik volume transaksi harian maupun suku bunga di pasar uang
antar bank (PUAB) menunjukkan kecenderungan peningkatan
selama tahun 2000, terutama sejak triwulan II (Tabel 4.3).
Kecenderungan ini menunjukkan adanya peningkatan
kebutuhan likuiditas jangka pendek bagi perbankan,
khususnya yang terkait dengan pelunasan pembayaran repo
obligasi yang jatuh tempo oleh sejumlah bank, serta
pemenuhan kebutuhan uang kartal masyarakat menjelang
Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 dan pada akhir tahun.
Sekalipun cenderung meningkat, volume transaksi harian
PUAB secara keseluruhan masih lebih kecil daripada tahun
sebelumnya. Kondisi ini terutama terkait dengan menurunnya
kebutuhan dana bank-bank yang mengikuti program
rekapitalisasi, selain telah berkurangnya peserta PUAB sebagai
akibat proses merger dan dibeku-operasikannya sejumlah
bank pada tahun laporan. Sementara itu, kendati juga
cenderung meningkat sejak triwulan II tahun laporan, suku
bunga PUAB pada akhir tahun 2000 masih lebih rendah
daripada akhir tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan relatif
lebih likuid dan stabilnya kondisi pasar di tahun laporan.
Perbedaan suku bunga tertinggi dan terendah di PUAB
selama tahun 2000 masih cukup besar, meskipun cenderung
stabil kecuali pada bulan November (Grafik 4.10). Pada bulan
Tabel 4.3Suku Bunga dan Volume Transaksi Harian PUAB
Suku Bunga (%) Volume (Miliar Rp/Hari)
Pagi Sore Keselu- Pagi Sore Keselu-ruhan ruhan
Trw I /1999 39,56 37,83 38,97 3.074 2.075 5.149
Trw II /1999 29,13 28,21 28,67 2.627 2.624 5.252
Trw III /1999 13,28 13,10 13,21 1.964 1.420 3.384
Trw IV /1999 12,46 12,34 12,39 2.040 1.731 3.771
Trw I /2000 9,74 9,37 9,59 1.003 708 1.712
Trw II /2000 10,18 9,86 10,02 961 945 1,907
Trw III/ 2000 11,18 10,64 10,89 1.197 1.289 2.486
Trw IV /2000 11,64 11,21 11,43 1.340 1.470 2.810
Rincian
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.5
7
9
11
13
15
1999 2000
%
Tertinggi
Terendah
Grafik 4.10 Suku Bunga Tertinggi dan Terendah di PUAB
Grafik 4.11 Kelompok Bank dalam PUAB
72
Bab 4 Moneter
sebagai pemberi pinjaman (Grafik 4.11). Kelompok bank
pemerintah yang pada awalnya banyak berlaku sebagai
peminjam di pasar PUAB, sejak September 2000 beralih menjadi
pemberi pinjaman. Hal ini berkaitan dengan membaiknya
kondisi likuiditas kelompok bank tersebut sehubungan dengan
telah diselesaikannya pelaksanaan program rekapitalisasi
perbankan. Seperti diketahui, bank-bank peserta rekap
dimungkinkan untuk menjual obligasinya di pasar sekunder
sebesar maksimum 25% dari seluruh obligasi yang mereka miliki.
Sebaliknya, kelompok bank asing sejak triwulan III cenderung
beralih dari pemberi pinjaman menjadi peminjam di PUAB.
Suku Bunga
Walaupun tingkat suku bunga PUAB dan deposito 1 bulan pada
akhir tahun 2000 lebih rendah dibandingkan tahun sebe-
lumnya, seiring dengan peningkatan suku bunga SBI sejak Mei
2000, kedua jenis suku bunga tersebut meningkat secara
bertahap meski dengan besaran yang berbeda (Grafik 4.12).
Suku bunga PUAB dan deposito 1 bulan meningkat masing-
masing sebesar 1,84% dan 1,63% hingga mencapai posisi
11,41% dan 12,0% pada akhir Desember 2000 (Tabel 4.4). Relatif
rendahnya peningkatan kedua jenis suku bunga tersebut
dibandingkan dengan peningkatan suku bunga SBI terkait de-
ngan tingginya kondisi likuiditas perbankan, yang terutama ber-
Tabel 4.4Perkembangan Suku Bunga1)
1998 1999 2000
Persen
SBI1 bulan 38,4 12,5 14,5
PUABO/N 33,4 12,1 11,4Keseluruhan 39,5 12,4 12,3
Deposito 1 Bulan 41,4 12,2 12,0 3 Bulan 49,2 12,9 13,2 6 Bulan 36,8 14,3 13,312 Bulan 28,3 22,4 12,224 Bulan 16,6 18,4 14,3
KreditModal Kerja 34,7 20,7 17,7Investasi 26,2 17,9 16,9
1) Rata-rata tertimbang dalam bulan Desember.
R i n c i a n
Grafik 4.13 Suku Bunga Nominal dan Riil
9,0
10,0
11,0
12,0
13,0
14,0
15,0
SBI 1 bulan
Deposito 1 bulan
PUAB O/N
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
1999 2000
%
Grafik 4.12Perkembangan Berbagai Suku Bunga
sumber dari ekspansi keuangan pemerintah di tengah-tengah
belum normalnya fungsi intermediasi perbankan. Kondisi
likuiditas tersebut juga didorong oleh upaya perbankan untuk
memaksimalkan keuntungan bunga sehubungan dengan
masih tingginya spread antara suku bunga simpanan dan SBI.
Rendahnya peningkatan suku bunga simpanan, di
tengah-tengah peningkatan laju inflasi, mengakibatkan
turunnya suku bunga riil hingga posisinya mencapai 2,56%
pada akhir Desember 2000 (Grafik 4.13). Kondisi ini menye-
babkan masyarakat tidak tertarik untuk menyimpan kembali
2
4
6
8
10
12
14
Deposito Nominal
Deposito Nominal (%) Deposito Riil (%)
10,0
10,5
11,0
11,5
12,0
12,5
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
Deposito Riil
73
Bab 4 Moneter
Grafik 4.15IHSG dan Nilai Perdagangan Saham
0
100
200
300
400
500
600
700
800
IHSG Nilai (Triliun Rp)
40
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500NilaiIHSG
Jan.17 5 22 5 16 2 14
Feb. Apr. Mei Jul. Ags. Okt. Nov.
2 0 0 0
Grafik 4.14Perkembangan Suku Bunga Jangka Panjang
0
10
20
30
40
50
Deposito 3 bulan
Kredit Investasi
%
Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.
2 0 0 0
Kredit Modal Kerja
termasuk pemberlakuan ketentuan fraksi harga saham yang
lebih rendah. Namun demikian, kebijakan ini tampaknya
belum memberikan kontribusi yang optimal dalam
meningkatkan kinerja pasar modal di tengah-tengah kuatnya
sentimen negatif pasar terhadap kondisi sosial politik dalam
negeri.
Aktivitas perdagangan saham di tahun 2000 ditandai
pula dengan mulai berlakunya prinsip syariah sejak Juli 2000.
Penentuan indeks saham berprinsip syariah mengacu kepada
30 saham yang kegiatan usahanya tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Sejalan dengan pergerakan IHSG, indeks
saham dengan prinsip syariah (Jakarta Islamic Index) juga
menurun, dari 78,5 pada awal peluncuran menjadi 57,9 pada
akhir tahun 2000.
Berbeda dengan aktivitas perdagangan di pasar saham,
perdagangan di pasar obligasi korporasi mencatat sejumlah
kemajuan. Jumlah emiten meningkat dari 76 emiten dengan
nilai Rp15,9 triliun menjadi 91 emiten dengan nilai Rp22,4 triliun.
Indeks perdagangan obligasi meningkat sebesar 64,6%, dari
252,2 pada akhir tahun lalu menjadi 415,0. Meningkatnya
indeks perdagangan obligasi dibarengi dengan meningkatnya
aktivitas perdagangan harian, dari Rp4,9 miliar menjadi Rp10,7
miliar dengan nilai kapitalisasi pasar sebesar Rp18,9 miliar.
Adanya peningkatan aktivitas perdagangan harian ini
mencerminkan bertambah aktifnya sejumlah perusahaan
uang kartal mereka di perbankan. Sementara itu, suku bunga
jangka panjang, khususnya suku bunga kredit baik untuk modal
kerja maupun investasi, cenderung relatif stabil (Grafik 4.14).
Relatif stabilnya suku bunga kredit ini sekali lagi terkait erat
dengan masih belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan.
Pasar Modal
Masih tingginya ketidakstabilan sosial dan politik dalam negeri,
melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya suku bunga
SBI mendorong penurunan kinerja pasar modal di tahun 2000.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada akhir tahun
laporan tercatat sebesar 416,3, terkoreksi sebesar 260,6 poin
(62,6%) dari posisi tahun sebelumnya (Grafik 4.15). Sejalan de-
ngan itu, nilai kapitalisasi pasar juga mengalami penurunan
sebesar 42,5%, dari Rp451,8 triliun pada akhir tahun 1999 menjadi
Rp259,6 triliun. Menurunnya IHSG dalam tahun laporan juga tidak
terlepas dari semakin kecilnya kontribusi investor asing di pasar
modal Indonesia. Posisi nilai transaksi investor asing terhadap
total perdagangan menurun, dari Rp51,7 triliun (35,0%) di tahun
1999 menjadi Rp24,8 triliun (20,2%). Meskipun mengalami
penurunan kinerja, jumlah emiten di bursa saham di tahun
laporan mencatat peningkatan, dari 321 emiten dengan nilai
Rp206,7 triliun menjadi 346 emiten dengan nilai Rp225,6 triliun.
Guna meningkatkan kinerja pasar modal dalam tahun
laporan, pemerintah telah mengambil sejumlah kebijakan,
74
Bab 4 Moneter
pemerintah di pasar sekunder sejak Februari 2000 telah
mencatat volume sebesar Rp27,9 triliun, terdiri dari transaksi
obligasi variable rate sebesar Rp16,2 triliun dan obligasi fixed
rate sebesar Rp11,7 triliun (Lihat Boks: Pengembangan Pasar
Sekunder Obligasi Pemerintah).
Selain itu, guna meningkatkan perdagangan obligasi
pemerintah di pasar sekunder, Pemerintah juga telah melun-
curkan program pertukaran obligasi (bonds exchange offer).
Program tersebut dilakukan dalam bentuk penukaran obli-
gasi yang dimiliki bank peserta rekap yang memiliki jangka
waktu 5 tahun dan dengan kupon 12,0%, dengan dua jenis
obligasi (stapled bond) masing-masing dengan kupon 16,5%
dan 10,0%.
dalam mencari alternatif sumber dana di tengah-tengah masih
belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan cenderung
meningkatnya suku bunga di pasar uang.
Sementara itu, perdagangan obligasi pemerintah di
pasar sekunder juga menunjukkan peningkatan, baik yang
bersifat outright (penjualan sebagian obligasi pemerintah yang
dimiliki bank) maupun repo (penjualan dengan perjanjian
untuk membeli kembali dalam jangka waktu tertentu). Hal ini
sejalan dengan telah diberlakukannya ketentuan yang me-
mungkinkan peningkatan jumlah maksimum obligasi
pemerintah yang dapat diperdagangkan, berturut-turut dari
10% pada Februari, 15% pada September, dan 25% pada
Desember 2000.6, 7, 8) Transaksi perdagangan obligasi
6) Peraturan Bank Indonesia, No. 1/10/PBI/1999 tanggal 3 Desember 1999tentang Portofolio Obligasi Pemerintah bagi Bank Umum Peserta Pro-gram Rekapitalisasi.
7) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/18/DPM/200o tanggal 19 Septem-ber 2000 tentang Peningkatan Persentase Portofolio ObligasiPemerintah yang dapat diperdagangkan bagi Bank Umum PesertaProgram Rekapitalisasi .
8) Surat Edaran Bank Indonesia, No.2/26/DPM/2000 tanggal 8 Desember2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007,FR0008, dan FR0009 untuk diperdagangkan di Pasar Sekunder sertaPeningkatan Persentase Portofolio Obligasi Pemerintah yang dapatdiperdagangkan bagi Bank Umum peserta Rekapitalisasi .
75
Bab 4 Moneter
0
50
100
150
20
250
300
350
400
450
0
5
10
15
20
25
30
35
Invesstasi, triliun rupiah Perdagangan, triliun rupiah
Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Investasi
Perdagangan
1 9 9 9 2 0 0 0
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Mei. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des. Jan.Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
triliun rupiah
1 9 9 9 2 0 0 0
Total Obligasi
Variable Rate
Fixed Rate
Hedge Bond
Boks : Pengembangan Pasar Sekunder Obligasi Pemerintah
Perkembangan obligasi pemerintah di pasar sekunder masih
sangat terbatas walaupun Pemerintah telah meningkatkan
porsi obligasi rekapitalisasi yang dapat diperdagangkan.
Upaya untuk mendorong pasar sekunder obligasi pemerintah
melalui penerbitan stapled bonds juga belum menunjukkan
hasil yang menggembirakan. Oleh karena itu, Pemerintah dan
Bank Indonesia terus berupaya mengambil langkah-langkah
yang diperlukan agar pasar sekunder obligasi pemerintah
tersebut menjadi aktif dan berkembang.
Posisi obligasi yang telah diterbitkan oleh Pemerintah
dalam rangka program rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap)
hingga akhir Desember 2000 adalah sebesar Rp431,8 triliun, yang
terdiri dari fixed rate bond (FR) sebesar Rp179,4 triliun (41,6%),
variable rate bond (VR) sebesar Rp219,5 triliun (50,8%), dan
hedge bond sebesar Rp32,9 triliun (7,6%) (Grafik 1).
Berdasarkan komposisinya, obligasi pemerintah yang
masuk dalam portofolio perdagangan sampai dengan akhir
tahun 2000 baru mencapai Rp31,6 triliun (7,3%) –termasuk yang
diagunkan sebesar Rp12,1 triliun–, sedangkan sisanya sebesar
Rp400,2 triliun tercatat dalam portofolio investasi (Grafik 2).
Posisi portofolio perdagangan tersebut jauh lebih kecil
dibandingkan dengan portofolio obligasi rekap pemerintah
yang dapat diperdagangkan, yakni sebesar 25% dari total
obligasi rekap jenis FR dan VR.
Grafik 1Perkembangan Posisi Obligasi Pemerintah
Grafik 2Perkembangan Portofolio Obligasi Pemerintah
Pada awal penerbitannya, obligasi rekap lebih
didominasi oleh seri VR daripada seri FR. Hal ini didasarkan oleh
adanya prakiraan bahwa arah suku bunga mendatang akan
mengalami penurunan, sehingga penerbitan obligasi rekap
VR akan mengurangi beban pemerintah untuk membayar
bunga. Namun demikian, seiring dengan kecenderungan
kenaikan suku bunga sejak Mei 2000, Pemerintah menerbitkan
obligasi rekap seri FR yang jauh lebih besar dari seri VR dalam
rangka menyeimbangkan komposisi jenis obligasi rekap di
pasar dan mengurangi beban pembayaran kupon.
Volume perdagangan obligasi rekap yang terjadi
sebagian besar dilakukan atas dasar jual beli bersyarat Re-
purchase Agreement (repo) daripada penjualan lepas (out-
right) seperti tampak pada Tabel 1. Lebih menariknya transaksi
repo tersebut terkait dengan faktor risiko transaksi yang relatif
rendah dan berjangka pendek. Dilihat dari jenisnya, obligasi
VR mencatat volume transaksi sebesar Rp16,2 tril iun,
sedangkan obligasi FR mencapai Rp11,7 triliun. Lebih aktifnya
transaksi perdagangan obligasi VR disebabkan oleh ekspektasi
pasar terhadap kecenderungan kenaikan suku bunga. hal ini
terkait dengan dijadikannya suku bunga SBI 3 bulan sebagai
acuan kupon obligasi VR. Adapun obligasi rekap yang paling
aktif diperdagangkan adalah obligasi yang memiliki jangka
waktu yang relatif pendek (3-4 tahun), yaitu VR0001 yang jatuh
76
Bab 4 Moneter
FR VR Total
Miliar rupiah
Februari - 6 6Maret - - -April - - -Mei 26 62 87Juni 7.000 1.587 8.587Juli - 86 86Agustus 1.053 2,788 3.842September 419 2.284 2.703Oktober - 798 798November 2.277 5.372 7.649Desember 922 3.227 4.149
Total Transaksi 11.696 16.210 27.906
Jenis Transaksi– Repo 13.999
50,2%– Outright 13.906
49,8%
1) Bonds Exchange Offer adalah suatu program yang menawarkanStapled Bonds untuk ditukarkan dengan obligasi rekap. StapledBonds adalah suatu paket obligasi yang terdiri dari dua jenisobligasi, dimana obligasi jenis pertama memberikan kupon yanglebih tinggi dari obligasi jenis kedua, namun rata-rata tertimbangkupon dua jenis obligasi tersebut adalah sama dengan kuponobligasi rekap yang akan dipertukarkan.
2) Pelaku pasar meliputi beberapa pihak dari kalangan bankdomestik yang besar, bank asing, perusahaan sekuritas asing,Asosiasi Fixed Income Dealer, perusahaan efek nasional.
stapled bonds, namun rata-rata tertimbang kuponnya
tetap sama dengan kupon obligasi rekap yang
dipertukarkan, sehingga beban fiskal pemerintah tidak
berubah. Sampai dengan akhir tahun laporan tercatat 14
bank telah menukarkan obligasi rekapnya senilai Rp58,5
triliun atau 90,1% dari total nilai obligasi seri FR0001 dan
FR0003. Namun demikian, sampai dengan akhir tahun
belum terdapat transaksi perdagangan stapled bonds.
2. Pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan
Undang-Undang (RUU) obligasi pemerintah untuk
memberikan dasar hukum bagi penerbitan obligasi
pemerintah dan meningkatkan kepercayaan investor. RUU
tersebut antara lain memuat jaminan pemerintah untuk
membayar kupon dan pokok obligasi yang jatuh tempo
(standing appropriation).
3. Pemerintah juga mempersiapkan penerbitan surat hutang
jangka pendek pemerintah (Treasury Bills) dan diharapkan
sudah dapat direalisasikan pada kuartal kedua tahun
2001.
4. Bank Indonesia bersama-sama dengan pelaku pasar2) se-
dang menyusun acuan aturan main perdagangan obli-
gasi secara repo, baik repo di antara pelaku pasar mau-
pun antara Bank Indonesia dengan para pelaku pasar.
Perdagangan obligasi pemerintah ini diperkirakan akan
meningkat pada tahun 2001 seiring dengan mulai
diberlakukannya sistem BI-RTGS. Hal ini berkaitan dengan
meningkatnya kebutuhan perbankan terhadap obligasi
pemerintah selain SBI, sebagai agunan untuk mendapatkan
FLI dan FPJP.
Dengan berbagai langkah dan fasilitas yang telah dan
sedang dipersiapkan oleh Pemerintah dan Bank Indonesia
tersebut, diharapkan pasar sekunder obligasi pemerintah
menjadi lebih aktif.
tempo pada 25 Juni 2002 dan VR0002 yang jatuh tempo pada
25 Februari 2003.
Sementara itu, untuk meningkatkan aktivitas
perdagangan pasar sekunder dan membantu bank-bank
rekap dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya, Pemerintah
dan Bank Indonesia mengambil berbagai langkah kebijakan
sebagai berikut:
1. Pada tanggal 30 November 2000, Pemerintah telah
menawarkan kepada bank pemilik obligasi rekap untuk
melakukan program pertukaran obligasi pemerintah atau
Bonds Exchange Offer (BEO)1) . Obligasi rekap yang dapat
ditukarkan ialah seri FR0001 jatuh tempo 15 September
2004 dan FR0003 jatuh tempo 15 Mei 2005, dengan kupon
12,0%. FR0001 ditukar dengan obligasi seri FR0006 kupon
16,5% dan seri FR0007 kupon 10,0%. FR0003 ditukar dengan
obligasi seri FR0008 kupon 16,5% dan seri FR0009 kupon
10,0%. Walaupun terdapat perbedaan tingkat kupon
Bulan
77
Bab 4 Moneter
1) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,Pasal 11.
2) Peraturan Bank Indonesia No. 1/1/PBI/1999 tanggal 18 Mei 1999tentang Fasilitas Pendanaan dalam Rangka Mengatasi KesulitanJangka Pendek.
Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas,
Bank Indonesia memberlakukan dua ketentuan yang
berkaitan dengan pemberian fasilitas pendanaan kepada
bank, yakni Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan
Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI).
Sebagai lender of the last resort, Bank Indonesia dapat
memberikan kredit kepada perbankan untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek.1) Pemberlakuan Pera-
turan Bank Indonesia tentang FPJP merupakan penyem-
purnaan dari ketentuan yang telah dikeluarkan sebelumnya.2)
Dalam skim FPJP, kesulitan jangka pendek didefinisikan sebagai
suatu keadaan yang dialami oleh bank umum yang
disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar (mismatch) sehingga
diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya saldo negatif
rekening giro rupiah di Bank Indonesia.
Untuk lebih menjamin berjalannya fungsi lender of the
last resort dalam pemberian FPJP, Bank Indonesia
mengupayakan agar suku bunga FPJP di atas suku bunga
pasar. Oleh karena itu, suku bunga FPJP ditetapkan sebesar
suku bunga tertinggi di antara dua suku bunga berikut:
a. Rata-rata tertimbang suku bunga PUAB keseluruhan
jangka waktu overnight pada 1 hari kerja sebelumnya
ditambah 200 basis point; atau
b. Rata-rata tertimbang tingkat diskonto SBI jangka
waktu 1 bulan pada lelang terakhir ditambah 200 basis
point.
Bank Indonesia memberikan FPJP dengan jangka waktu
1 hari kerja atau overnight, sementara itu bank dapat
menggunakan FPJP sebanyak-banyaknya 90 hari secara
berturut-turut.
Sementara itu, pemberlakuan ketentuan mengenai FLI
merupakan salah satu perwujudan dari pelaksanaan tugas
Bank Indonesia, khususnya dalam rangka mendukung sistem
pembayaran.3 ) Pemberian FLI terutama dimaksudkan untuk
membantu bank dalam menghadapi kesulitan pendanaan
jangka waktu sangat pendek (short term liquidity mismatch)
yang dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadinya
kemacetan (gridlock) pada Sistem Bank Indonesia-Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS). Kemacetan tersebut pada
gilirannya dapat mengganggu kelancaran sistem
pembayaran nasional serta menimbulkan ketidakstabilan
sistem keuangan dan moneter secara keseluruhan. Kesulitan
pendanaan jangka waktu sangat pendek dimaksud dapat
timbul sebagai akibat transaksi keluar (outgoing transaction)
melalui sistem BI-RTGS pada saat tertentu lebih besar
dibandingkan dengan saldo giro rupiah bank peserta di Bank
Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidaktepatan
waktu transaksi masuk (incoming transaction) atau nilai
transaksi masuk tersebut pada saat tertentu lebih kecil
daripada nilai transaksi keluar.
Penggunaan dan pelunasan FLI bank yang telah
disetujui oleh Bank Indonesia pada 1 hari sebelum transaksi (T-
1) dilakukan secara otomatis oleh sistem BI-RTGS. Pada hari
penggunaan FLI (T+0), bank dapat menggunakan FLI dari pukul
08.30 WIB sampai dengan 18.00 WIB dalam hal rekening giro
rupiah di Bank Indonesia tidak mencukupi untuk melaksanakan
outgoing transaction. Sementara itu, pelunasan FLI dilakukan
pada pukul 08.30 WIB sampai dengan 19.00 WIB setiap adanya
incoming transaction. Dalam hal bank tidak melunasi FLI
sampai dengan pukul 19.00 WIB pada T+0, maka nilai FLI
tersebut beralih menjadi FPJP.
Untuk menghindari terjadinya moral hazard oleh
perbankan, pemberian FPJP maupun FLI harus dijamin oleh
bank penerima kredit dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan serta bernilai minimal sebesar jumlah
kredit yang diterima. Agunan yang dapat diterima Bank Indo-
nesia dalam rangka permohonan fasilitas tersebut adalah:
Boks : Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dan Fasilitas Likuiditas Intrahari
3) Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,Pasal 15.
78
Bab 4 Moneter
a. SBI dengan sisa jangka waktu 3 hari s.d. 30 hari dengan
nilai jual sekurang-kurangnya 100% dari fasilitas kredit
yang ditarik oleh bank;
b. Obligasi pemerintah dengan sisa jangka waktu 15 hari
dengan nilai pasar sekurang-kurangnya 115% dari fasilitas
kredit yang ditarik oleh bank;
c. Surat berharga lain yang akan ditentukan kemudian oleh
Bank Indonesia.
Agunan tersebut harus bebas dari segala bentuk
perikatan, sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada
pihak lain dan atau Bank Indonesia. Selain itu, bank yang telah
memperoleh fasilitas tersebut dilarang untuk memper-
jualbelikan dan atau menjaminkan kembali surat berharga
yang dijaminkan tersebut.
Terhadap bank pengguna FLI maupun FPJP, Bank Indo-
nesia berwenang melakukan pengawasan baik sebelum
maupun sesudah periode penggunaan fasilitas dimaksud.
Selain itu, kepada bank yang akan memanfaatkan kedua
fasilitas tersebut disyaratkan memenuhi ketentuan Kecukupan
Penyediaan Modal Minimum (KPMM) yang berlaku dan harus
memenuhi tingkat kesehatan bank di mana dalam waktu 3
bulan terakhir sekurang-kurangnya cukup sehat.
Neraca PembayaranBab 5
80
Bab 5 Neraca Pembayaran
dalam tahun laporan. Dalam rangka mendorong per-
tumbuhan ekspor nonmigas, Pemerintah telah mengambil
berbagai langkah kebijakan antara lain melalui penurunan tarif
pajak ekspor secara bertahap1), pengeluaran keputusan
tentang ketentuan kuota ekspor tekstil dan produk tekstil2),
D alam tahun 2000, secara keseluruhan Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) menunjukkan perkemba-
ngan yang cukup menggembirakan. Hal ini ditandai dengan
semakin membaiknya kinerja ekspor nonmigas dan me-
ningkatnya penerimaan ekspor migas sehubungan dengan
tingginya harga minyak di pasar internasional. Di sisi lain,
mengingat kandungan impor untuk menghasilkan barang
ekspor masih cukup tinggi, meningkatnya kinerja ekspor non-
migas telah pula memberikan dorongan terhadap mening-
katnya impor nonmigas terutama dalam bentuk bahan baku
dan penolong. Peningkatan impor tersebut juga sejalan
dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di dalam negeri.
Sementara itu, defisit transaksi jasa-jasa juga mengalami
peningkatan yang disebabkan oleh tingginya pembayaran
bunga utang luar negeri, meningkatnya pembayaran bagi
hasil minyak untuk kontraktor asing, serta meningkatnya biaya
transportasi yang terkait dengan kegiatan impor.
Secara keseluruhan transaksi berjalan dalam tahun
laporan tetap menunjukkan surplus bahkan lebih tinggi dari
tahun sebelumnya. Dari sisi transaksi modal, berkurangnya
pemasukan modal Pemerintah dan masih tingginya defisit
dalam lalu lintas modal swasta, telah menyebabkan transaksi
modal dalam tahun laporan masih mengalami defisit. Dengan
perkembangan tersebut, secara keseluruhan NPI dalam tahun
2000 mengalami surplus sebesar $5,0 miliar sehingga posisi
cadangan devisa pada akhir tahun 2000 mencapai $29,3 miliar
atau setara dengan 6,3 bulan kebutuhan impor dan
pembayaran utang luar negeri Pemerintah (Tabel 5.1).
Perkembangan NPI tersebut di atas tidak terlepas dari
langkah-langkah kebijakan yang telah diambil Pemerintah
b a b
5 Neraca Pembayaran
Tabel 5.1Neraca Pembayaran Indonesia
1998 1999 2000*
Miliar $
A. Transaksi Berjalan 4,1 5,8 7,71. Barang 18,4 20,6 25,1
a. Ekspor f.o.b 50,4 51,2 62,5Nonmigas 43,0 41,0 47,0Migas 7,4 10,3 15,5
Minyak 4,1 5,7 8,6LNG 3,0 4,2 6,4LPG 0,2 0,4 0,4
b. Impor f.o.b –31,9 –30,6 –37,4Nonmigas –29,1 –26,6 –32,1Migas –2,9 –4,0 –5,3
Minyak –2,6 –3,7 –5,0LNG –0,2 –0,3 –0,3
2. Jasa –14,3 –14,9 –17,4a. Nonmigas –11,4 –11,7 –12,7b. Migas –2,9 –3,2 –4,7
Minyak –1,4 –1,5 –2,3LNG –1,5 –1,7 –2,4
B. Modal di Luar Sektor Moneter –3,9 –4,6 –4,61. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) 10,0 5,4 3,8
a. Penerimaan pinjaman dan bantuan 13,7 9,4 8,3
b. Pelunasan pinjaman –3,8 –4,11) –4,51)
2. Lalu lintas modal swasta (bersih) –13,8 –9,9 –8,5a. Penanaman modal langsung –0,4 –2,7 –4,1b. Lainnya –13,5 –7,2 –4,4
C. Jumlah (A+B) 0,2 1,2 3,1
D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,1 2,1 1,9
E. Lalu-lintas Moneter –2,3 –3,3 –5,0
Catatan:1. Cadangan Devisa Bersih (NIR) 14,1 16,4 17,82. Aktiva Luar Negeri (GFA)2) 23,8 27,1 29,3 Setara impor nonmigas dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah (bulan) 5,7 6,7 6,33. Transaksi Berjalan/PDB (%) 4,2 4,1 5,0
Rincian
1) Termasuk rescheduling2) Sejak tahun 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep
cadangan devisa bruto (GFA)
1) Termasuk Keputusan Menteri Keuangan No.387/KMK.017/2000 tanggal12 September 2000 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak EksporKelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya.
2) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.174/MPP/Kep/5/2000 tangal 25 Mei 2000 tentang Ketentuan Kuota Ekspor Tekstil danProduk Tekstil.
81
Bab 5 Neraca Pembayaran
telah mengeluarkan kebijakan persyaratan impor kendaraan
Complete Built Up (CBU).4)
Di bidang lalu lintas modal, dalam rangka mengurangi
beban pembayaran utang luar negeri Pemerintah, pada
tahun laporan telah dilakukan pertemuan Paris Club II yang
berlangsung tanggal 12 dan 13 April 2000 di Paris. Dalam
pertemuan ini berhasil disetujui penjadwalan kembali pem-
bayaran cicilan utang pokok pemerintah untuk pinjaman
yang jatuh tempo 1 April 2000 sampai dengan 31 Maret
2002, baik pinjaman lunak (Official Development Assistance
atau ODA) maupun yang tidak lunak. Di samping itu, pada
September 2000 telah berhasil dijadwalkan kembali
pembayaran utang pokok pinjaman komersial yang
diterima dari sindikasi bank-bank di luar negeri sebagai
kelanjutan dari hasil perundingan dalam kerangka London
Club dan sebagai pelaksanaan azas Comparable Treat-
ment yang dituntut oleh negara donor utang luar negeri
Pemerintah. Sementara itu, upaya restrukturisasi utang luar
negeri swasta baik melalui Jakarta Initiative Task Force (JITF)
dan program Exchange Offer, dalam tahun laporan juga
terus dilakukan.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan sistem
pemantauan kegiatan lalu-lintas devisa (LLD), dalam tahun
laporan Bank Indonesia mengeluarkan peraturan yang
mewajibkan lembaga keuangan non bank (LKNB) untuk
melaporkan kegiatan LLD yang dilakukannya sebagaimana
telah diterapkan kepada bank-bank umum.5) Dengan
berlakunya ketentuan ini, pelaksanaan pemantauan kegiatan
LLD diharapkan sudah mencakup sebagian besar kegiatan LLD
yang dilakukan oleh penduduk (Boks : Pemantauan Kegiatan
Lalu Lintas Devisa melalui Bank dan Lembaga Keuangan Non
Bank).
penyediaan pembiayaan dan penjaminan yang termasuk
pula pemberian jasa konsultasi, serta usaha lainnya dalam
rangka mendorong dan memperlancar kegiatan ekspor. Di
samping itu, Pemerintah juga mendorong perluasan pasar
tujuan ekspor, antara lain melalui penataan pengorganisasian
misi dagang dan melalui peningkatan diplomasi perdagangan
baik dalam rangka kerjasama bilateral, regional maupun mul-
tilateral melalui pemberdayaan perwakilan RI di luar negeri
terutama yang menangani bidang ekonomi. Adapun sasaran
perluasan pasar tujuan ekspor antara lain adalah Timur Tengah,
Eropa Timur, Amerika Latin dan Asia Timur.
Sementara itu, tingginya pertumbuhan impor tidak
terlepas dari berbagai kebijakan yang telah ditempuh
Pemerintah untuk melakukan upaya restrukturisasi per-
dagangan luar negeri. Dalam upaya meningkatkan kegiatan
industri di dalam negeri yang membutuhkan bahan baku
impor, Pemerintah telah menyempurnakan berbagai skim
pembiayaan dan penjaminan, serta membuka kembali akses
ke sumber-sumber perdagangan internasional. Penyem-
purnaan tersebut dilakukan dengan memberikan kesempatan
yang sama baik kepada eksportir yang termasuk dalam
kelompok perusahaan eksportir tertentu (PET) maupun bukan
(non-PET) antara lain dalam menggunakan fasilitas skim
pembiayaan dan penjaminan, menghapuskan batasan jenis
komoditas impor yang dapat dibiayai atau dijamin, dan
menambah jumlah bank pembuka L/C impor. Di samping itu,
dalam tahun laporan Pemerintah tetap melanjutkan
pemberian jaminan melalui Bank Indonesia atas seluruh L/C
yang dibuka oleh seluruh perbankan Indonesia dalam rangka
membuka kembali akses ke bank-bank internasional. Guna
menjamin tersedianya bahan baku/penolong bagi industri-
industri di dalam negeri, Pemerintah juga melanjutkan
pemberian fasilitas pembebasan bea masuk atas impor bahan
baku komoditas tertentu.3) Dalam tahun 2000 Pemerintah juga
3) Keputusan Menteri Keuangan No.98/KMK.05/2000 tanggal 31 Maret2000 tentang Keringanan Bea masuk Bahan Baku/Sub Komponen/Bahan Penolong untuk Pembuatan Elektronika, dan Keputusan MenteriKeuangan No.135/KMK.05/2000 tanggal 1 Mei 2000 tentang KeringanBea Masuk atas Impor Mesin/Barang dan Bahan dalam Pembangunan/Pengembangan Industri.
4) Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 49/MPP/Kep/2/2000 tanggal 25 Februari 2000 dan Keputusan Menteri Perindustriandan Perdagangan No. 192/MPP/Kep/6/2000 tanggal 2 Juni 2000tentang peraturan mengenai persyaratan impor kendaraan bermotordalam keadaan utuh (CBU).
5) Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/23/DSM tanggal 10 November 2000tentang Pelaporan Kegiatan Lalu-Lintas Devisa oleh LembagaKeuangan Non Bank (LKNB).
82
Bab 5 Neraca Pembayaran
Transaksi Berjalan
Dalam periode laporan, transaksi berjalan mencatat surplus
sebesar $7,7 miliar, meningkat 33,0% dibandingkan dengan sur-
plus dalam tahun sebelumnya sebesar $5,8 miliar. Surplus
transaksi berjalan tersebut terutama berasal dari surplus neraca
perdagangan yang mencapai $25,1 miliar (Grafik 5.1).
Kenaikan surplus neraca perdagangan yang tajam terutama
disebabkan oleh meningkatnya penerimaan dari sektor migas
sebagai akibat tingginya harga minyak di pasar internasional.
Di sisi lain, surplus neraca perdagangan di sektor nonmigas
mencapai $14,9 miliar, relatif tetap dibandingkan dengan
tahun sebelumnya (Grafik 5.2). Sementara itu, neraca jasa
mencatat defisit sebesar $17,4 miliar, lebih besar dari tahun
sebelumnya yang mencatat defisit sebesar $14,9 miliar.
Ekspor
Sebagaimana telah dikemukakan kegiatan ekspor baik migas
maupun nonmigas dalam tahun laporan mengalami
pertumbuhan yang sangat pesat. Total nilai ekspor mencapai
$62,5 miliar, meningkat 22,0% dibandingkan ekspor pada tahun
sebelumnya. Perkembangan ekspor yang cukup tinggi tersebut
telah meningkatkan peran ekspor sebagai penggerak pertum-
buhan ekonomi.
Dalam tahun laporan, ekspor nonmigas meningkat 15,0%
dari tahun sebelumnya sehingga mencapai $47 miliar,
Grafik 5.3Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas
Ekspor Non migas Ekspor Migas
0
10
20
30
40
50
1997 1998 1999 2000
Miliar $
Grafik 5.1Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan,
dan Neraca Jasa
Transaksi BerjalanNeraca JasaNeraca Perdagangan
Miliar $
1997 1998 1999 2000
–20
–10
0
10
20
30
Nilai Ekspor Bersih Non Migas Nilai Ekspor Bersih Migas
0
2
4
6
8
10
12
14
16
1997 1998 1999 2000
Miliar $
Grafik 5.2Nilai Ekspor Bersih Nonmigas dan Migas
sedangkan ekspor migas meningkat 50,5% dari tahun
sebelumnya sehingga mencapai $15,5 miliar (Grafik 5.3).
Peningkatan kinerja ekspor nonmigas, selain didorong oleh
meningkatnya permintaan dunia terutama dari negara-
negara di kawasan Amerika dan Asia, juga disebabkan oleh
adanya kebijakan-kebijakan Pemerintah yang mendorong
kegiatan ekspor.
Peningkatan ekspor nonmigas terutama disumbang oleh
ekspor sektor industri dan sektor pertambangan. Sektor industri
masih memberikan kontribusi terbesar dalam struktur ekspor
83
Bab 5 Neraca Pembayaran
Ekspor sektor pertanian pada tahun laporan mengalami
peningkatan sebesar $58 juta sehingga menjadi $4,2 miliar.
Beberapa komoditas utama yang memberikan kontribusi
terhadap peningkatan tersebut antara lain komoditas getah
karet dan udang yang masing-masing meningkat sebesar 5,2%
dan 5,9% dibanding tahun sebelumnya.
Ditinjau dari negara tujuan, ekspor nonmigas Indonesia
sebagian besar ditujukan ke negara-negara di kawasan Asia
dengan pangsa mencapai 57%, diikuti kawasan Amerika dan
Eropa masing-masing mencapai 20,0% dan 19,0%. Negara
tujuan ekspor nonmigas terbesar di kawasan Asia adalah
negara ASEAN, diikuti oleh Jepang dan RRC (Grafik 5.5).
Sementara itu, pertumbuhan nilai ekspor migas yang
tinggi dalam tahun laporan, terutama disebabkan oleh me-
ningkatnya harga minyak bumi maupun gas di pasar
internasional. Dalam tahun 2000 rata-rata harga minyak bumi
Indonesia mencapai $28,6 per barrel, jauh lebih tinggi dari rata-
rata harga minyak bumi tahun sebelumnya yang tercatat $17,4
per barrel dan juga lebih tinggi dari asumsi APBN sebesar $20
per barrel. Kenaikan harga minyak bumi tersebut antara lain
Tabel 5.2Ekspor Barang Industri
1999 2000 2000*
Rincian Perubahan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)
Tekstil & Produk Tekstil -10.6 6,4 6.693 17,8- Pakaian jadi -8,5 7,3 3.702 9,8
Kerajinan tangan -72,8 -9,4 515 1,4Produk kayu 6,6 -6,3 4.239 11,3
- Kayu lapis -3,0 -14,3 1.936 5,1Produk Rotan 559,6 11,8 285 0,8Minyak Sawit 54,2 -12,4 1.199 3,2Bungkil kopra -9,1 6,5 50 0,1Produk kimia -12,5 15,5 2.065 5,5Produk logam -22,3 3,0 1.111 3,0Barang-barang listrik 19,6 70,8 5.746 15,3Semen 64,1 -3,5 138 0,4Kertas 7,0 14,1 3.017 8,0Produk karet -9,8 8,1 405 1,1Gelas dan alat dari gelas 3,9 20,7 337 0,9Alas kaki -4,0 3,7 1.575 4,2Produk plastik -8,0 27,8 1.099 2,9Mesin & pesawat mekanik 25,3 77,4 3.287 8,7Lainnya 7,5 3,6 5.874 15,6
Total 37.634 100
nonmigas Indonesia dengan pangsa yang mencapai 80,0%
dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia, diikuti oleh sektor
pertambangan dan sektor pertanian masing-masing sebesar
11,0% dan 9,0% (Grafik 5.4).
Dalam tahun 2000, total nilai ekspor barang industri
meningkat sebesar 15,0% dari tahun sebelumnya sehingga
mencapai $37,6 miliar (Tabel 5.2). Tajamnya peningkatan
ekspor barang industri tersebut terjadi pada peningkatan nilai
ekspor mesin & pesawat mekanik (77,4%), barang-barang listrik
(70,8%), kertas (14,1%) dan tekstil & produk tekstil (6,4%).
Peningkatan nilai ekspor barang industri tersebut di samping
disebabkan oleh naiknya harga kertas di pasar dunia, juga
didorong kuatnya permintaan akan barang-barang tekstil &
produk tekstil, barang-barang listrik, dan mesin & pesawat
mekanik di pasar internasional.
Sementara itu, total nilai ekspor sektor pertambangan
mencapai $5,2 miliar atau meningkat 25,3% dibanding pada
tahun sebelumnya. Di sektor ini, tembaga memberikan
sumbangan yang cukup besar dengan nilai ekspor yang
mencapai $2,1 miliar atau meningkat sebesar 47,3% dari
tahun sebelumnya. Peningkatan nilai ekspor tembaga
tersebut selain disebabkan oleh meningkatnya volume
ekspor, juga sebagai akibat dari meningkatnya harga tem-
baga di pasar internasional sejalan dengan kuatnya permin-
taan dunia.
Grafik 5.4Pangsa Ekspor Non Migas
0
20
40
60
80
100
Industri Pertanian Pertambangan
1996 1997 1998 1999 2000*
%
84
Bab 5 Neraca Pembayaran
Nilai Pertumbuhan Pangsa(juta $) (%) (%)
1999 2000 1999 2000 1999 2000
Barang konsumsi 1.343 2.198 –18,2 63,3 5,0 6,8Bahan baku penolong 19.398 23.392 –0,6 20,6 72,8 72,9Barang modal 5.891 6.514 –25,7 10,6 22,1 20,3
Tabel 5.3Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang
Tabel 5.4Impor Bahan Baku
1999* 2000* 2000
Rincian Pertumbuhan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)
Makanan & minuman (industri) 4,5 11,8 770,6 3,3Makanan & minuman (industri 1/2 jadi) 38,6 -8,2 605,9 2,6Bahan baku mentah untuk industri 10,8 -24,8 2.061,3 8,8Bahan baku 1/2 jadi untuk industri -13,5 25,4 9.360,3 40,0Bahan bakar & pelumas (mentah) 63,2 -36,5 7,5 0,0Bahan bakar & pelumas (1/2 jadi) –30,6 47,5 86,0 0,4Suku cadang & perleng- kapan barang modal –51,2 2,3 1.041,6 4,5Suku cadang & perleng- kapan alat angkutan –36,9 119,6 1.402,5 6,0Lainnya 49,6 31,8 8.056,1 34,4
Total -0,6 20,6 23.391,8 100,0
Grafik 5.5Pangsa Ekspor Non Migas Menurut
Negara Tujuan Tahun 2000
Lain-lain4% Amerika
20%
Asia kecuali Jepangdan ASEAN
23%
ASEAN19%
Jepang15%
Eropa19%
disebabkan oleh kepatuhan dari negara-negara anggota
OPEC terhadap kuota yang ditetapkan dan berkurangnya
pasokan minyak di pasar internasional sebagai akibat
ketidakstabilan kondisi politik di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, harga rata-rata ekspor baik liquefied natural
gas (LNG) maupun liquefied petroleum gas (LPG) juga
meningkat masing-masing menjadi sebesar $4,58 per MMBTU
dan $295,2 per Mton dari tahun sebelumnya yang hanya
sebesar $2,76 per MMBTU dan $197,4 per Mton.
Ditinjau dari komponennya, ekspor minyak bumi naik
sebesar 50,9%, ekspor gas alam cair (LNG) naik sebesar 54,8%,
sementara itu ekspor gas minyak cair (LPG) relatif tetap.
Meskipun nilai ekspor migas mencatat adanya pening-
katan, namun volumenya mengalami penurunan. Volume
ekspor minyak bumi, LNG, dan LPG turun masing-masing sebesar
8,5%, 6,9% dan 26,9%. Penurunan volume ekspor minyak tersebut
disebabkan oleh turunnya volume produksi minyak mentah.
Sementara itu, penurunan volume ekspor gas antara lain
disebabkan oleh berakhirnya beberapa kontrak penjualan gas
(LNG) jangka pendek dengan negara pembeli Korea.
Impor
Dalam tahun laporan, nilai impor meningkat sebesar 22,2%
setelah pada tahun sebelumnya turun sebesar 4,1%. Pening-
katan impor tersebut terjadi baik pada sektor nonmigas
maupun migas yang masing-masing naik sebesar 20,7% dan
32,5%. Peningkatan impor nonmigas tersebut sejalan dengan
mulai meningkatnya permintaan domestik. Sementara itu,
peningkatan impor migas disebabkan oleh kurang cukupnya
produksi minyak dalam negeri untuk memenuhi peningkatan
permintaan dalam negeri.
Berdasarkan kelompok barang, peningkatan nilai impor
nonmigas berasal dari semua kelompok barang, yaitu kelom-
pok barang konsumsi sebesar 63,3%, bahan baku 20,6% dan
bahan modal 10,6% (Tabel 5.3). Meskipun demikian, kelompok
bahan baku masih merupakan penyumbang terbesar terha-
dap nilai impor nonmigas secara keseluruhan, dengan pang-
85
Bab 5 Neraca Pembayaran
Serikat. Pangsa impor dari negara-negara Asia, terutama
Jepang meningkat dari 9,5% menjadi 18,5% dengan nilai impor
mencapai $5,9 miliar. Pangsa impor dari RRC meningkat dari
3,9% menjadi 6,4% sehingga mencapai $2,1 miliar, dan pangsa
Amerika Serikat sedikit meningkat dari 9,5% menjadi 12,0% atau
mencapai $3,8 miliar (Grafik 5.6).
Jasa-jasa
Dalam tahun laporan, defisit neraca jasa meningkat sebesar
$2,5 miliar menjadi defisit $17,4 miliar. Semakin besarnya defisit
tersebut berasal dari meningkatnya defisit jasa-jasa migas
sebesar 46,9% dan nonmigas sebesar 8,5%. Meningkatnya
defisit jasa-jasa migas terutama terjadi pada jasa-jasa non
freight yang meningkat 49,0% menjadi $4,2 mil iar.
Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh naiknya
pembayaran bagi hasil minyak dan gas bumi untuk kontraktor,
dan meningkatnya harga komoditas tersebut di pasaran
internasional. Di sisi sektor jasa-jasa nonmigas, defisit jasa non
freight meningkat sebesar 8,7% sehingga mencapai $10,1
miliar, antara lain berasal dari meningkatnya pembayaran
bunga utang Pemerintah dan jasa transportasi. Sementara
itu, sejalan dengan meningkatnya impor nonmigas, defisit
jasa-jasa freight pada sektor jasa nonmigas meningkat
sebesar 9,4% menjadi $2,6 miliar.
Dari sisi penerimaan jasa-jasa nonmigas, penerimaan
devisa terbesar berasal dari sektor pariwisata yang dalam
tahun laporan meningkat sebesar $0,4 miliar sehingga menjadi
$4,8 miliar. Dalam tahun 2000, jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia meningkat dari 4,5 juta orang menjadi
5,1 juta orang. Sebagian besar wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia tersebut masuk melalui 3 pintu utama
yaitu Denpasar, Medan, Batam, dan Jakarta. Peningkatan
jumlah wisatawan tersebut menunjukkan membaiknya posisi
Indonesia sebagai negara tujuan wisata.
Lalu lintas Modal
Dalam tahun laporan, lalu lintas modal bersih masih mengalami
defisit yaitu sebesar $4,6 miliar, relatif tidak mengalami
perubahan dari tahun sebelumnya. Defisit tersebut bersumber
Tabel 5.5Impor Barang Modal
1999* 2000 2000*
Perubahan Nilai Pangsa(%) (juta $) (%)
Traktor & alat pertanian –75,4 125,0 27,4 0,4Alat kerajinan / perhiasan –60,4 –97,5 0,0 0,0Kontainer & kotak
penyimpanan –41,3 –37,7 25,1 0,4Reaktor nuklir & mesin
mekanik –45,0 10,0 2.346,0 36,0Generator & alat elektronika –61,8 12,1 380,7 5,8Lokomotif, kapal, pesawat 2,2 36,6 1.000,3 15,4Alat pertukangan –47,1 27,5 26,0 0,4Alat optik & ukur –32,4 59,5 400,6 6,2Mobil penumpang –69,2 601,2 64,7 1,0Lainnya 24,9 –4,7 2.243,2 34,4Total –25,7 10,6 6,514 100,0
Rincian
sa mencapai 72,9%. Peningkatan impor bahan baku terutama
terjadi pada komoditas bahan baku setengah jadi untuk in-
dustri dan impor suku cadang & perlengkapan alat angkutan,
yang masing-masing meningkat sebesar 25,4% dan 119,6% dari
tahun sebelumnya (Tabel 5.4). Kondisi ini mengindikasikan mulai
meningkatnya kegiatan produksi di dalam negeri. Di samping
itu, indikasi mulai meningkatnya kegiatan perekonomian juga
tercermin dari impor barang modal yang meningkat (Tabel 5.5).
Dilihat dari negara asal, impor Indonesia terutama
berasal dari negara-negara di kawasan Asia dan Amerika
Grafik 5.6Pangsa Impor Non Migas Menurut
Negara Asal Tahun 2000
Lain-lain8%
Amerika Serikat12%
Asia kecuali Jepangdan ASEAN
24%
ASEAN14%
Jepang18%
Eropa19%
Amerika kecualiAmerika Serikat
5%
86
Bab 5 Neraca Pembayaran
dari penurunan surplus lalu lintas modal Pemerintah dan defisit
lalu lintas modal swasta.
Surplus lalu lintas modal bersih Pemerintah dalam
tahun 2000 mencapai $3,8 miliar, lebih rendah dari tahun
sebelumnya yang mencapai surplus $5,4 miliar. Turunnya
surplus tersebut terutama disebabkan oleh penurunan
bantuan program baik dari ADB, IBRD maupun Jepang
(JBIC), yang dalam tahun laporan turun sebesar 59,0%
sehingga menjadi $1,6 miliar. Di samping itu, penurunan
jumlah bantuan pangan pada tahun laporan sebesar
73,0% sehingga hanya menjadi $73 juta, juga memberikan
kontribusi terhadap turunnya surplus lalu lintas modal bersih
Pemerintah. Sementara itu, pada tahun laporan pinjaman
proyek baik dari CGI maupun non–CGI meningkat sebesar
$0,3 mil iar sehingga menjadi sebesar $2,7 mil iar.
Peningkatan tersebut terutama berasal dari pinjaman mul-
tilateral ODA yang naik sebesar $0,5 miliar sehingga
menjadi $1,5 miliar. Sementara itu pinjaman non–ODA
pada tahun laporan turun sebesar $0,3 miliar sehingga
menjadi $0,4 miliar.
Sebagaimana tahun sebelumnya, lalu lintas modal
swasta pada tahun laporan masih mengalami defisit sebesar
$8,5 miliar, meskipun turun $1,4 miliar dari tahun sebelumnya.
Turunnya defisit tersebut terutama berkaitan dengan
meningkatnya arus masuk modal swasta khususnya dalam
rangka penanaman modal asing (PMA) dan menurunnya
pembayaran hutang luar negeri swasta (outflows) terutama
dari sektor perbankan.
Sementara itu, dalam tahun laporan posisi utang luar
negeri sampai dengan akhir Oktober 2000 tercatat sebesar
$140,0 miliar atau menurun 5,5% dari posisi utang akhir tahun
1999 sebesar $148,1 miliar (Tabel 5.6).
Penurunan tersebut bersumber dari penurunan posisi
utang luar negeri swasta maupun Pemerintah. Penurunan
posisi utang swasta terjadi karena adanya pelunasan utang,
terutama oleh swasta nonbank. Sementara itu, penurunan
posisi utang Pemerintah adalah akibat dari pelunasan utang
serta dampak dari melemahnya Yen terhadap USD. Seba-
gaimana diketahui, selain dalam valuta USD peranan utang
luar negeri pemerintah dalam mata uang Yen juga cukup
signifikan.
Dilihat dari komposisi penerimaan pinjaman, posisi utang
luar negeri Pemerintah masih tetap mendominasi utang luar
negeri Indonesia, yaitu sebesar $74,8 miliar atau 53,4% dari to-
tal utang yang berjumlah $140,0 miliar. Sementara itu, jika dilihat
dari jangka waktu utang, utang luar negeri Indonesia
berjangka waktu pendek yang jatuh waktu sampai dengan
akhir Oktober 2001 diperkirakan sebesar $29,0 miliar (terdiri dari
utang Pemerintah sebesar $3,4 miliar dan utang swasta sebesar
$25,6 miliar). Dari jumlah tersebut, sebesar $22,4 miliar
merupakan utang jangka pendek yang berasal dari utang
jangka panjang yang akan jatuh tempo sampai dengan
Oktober 2001 (remaining maturity) dan sisanya sebesar $6,7
miliar merupakan utang jangka pendek sesuai loan agree-
ment yang berjangka waktu sampai dengan 1 tahun (original
maturity). Dari jumlah utang jangka pendek swasta sebesar
$25,6 miliar, sebesar $23,7 miliar (92,7%) merupakan utang
jangka pendek swasta non bank dan sisanya sebesar $1,9
miliar (7,3%) merupakan utang jangka pendek swasta bank
(Tabel 5.7).
Dilihat dari sektor ekonomi yang dibiayai, sektor jasa
keuangan dan leasing merupakan sektor yang paling besar
menyerap utang, yaitu sebesar $31,6 miliar atau 22,9% dari total
utang luar negeri Indonesia. Selanjutnya adalah industri
pengolahan sebesar $31,3 miliar (22,7%) dan sektor gabungan,
Tabel 5.6Posisi Utang Luar Negeri
2000
Mar. Jun. Sep. Okt.1)
Juta $
Pemerintah 67.315 75.862 75.292 76.487 75.405 74.800
Swasta : 83.572 72.235 68.991 67.678 65.396 65.197Bank 10.769 10.836 10.379 10.314 9.385 7.975
Non Bank 67.515 58.243 55.309 54.917 53.714 55.027
Surat Berharga 5.288 3.156 3.303 2.447 2.297 2.195
Total 150.887 148.097 144.283 144.165 140.803 139.997
1) Angka utang luar negeri tidak termasuk dana pihak III
(berdasarkan SE No.2/20/DLN/2001)
1998 1999
87
Bab 5 Neraca Pembayaran
persetujuan untuk menjadwalkan kembali pembayaran
cicilan utang pokok pemerintah sebesar $5,8 miliar untuk
pinjaman yang jatuh tempo 1 April 2000 sampai dengan 31
Maret 2002. Berdasarkan persetujuan tersebut, pembayaran
untuk pinjaman lunak (ODA) dijadwalkan kembali dengan
masa 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dengan
tingkat bunga yang berlaku bagi pinjaman lunak. Untuk
pinjaman bila teral non-ODA, pembayarannya dijadwalkan
kembali dengan masa 15 tahun termasuk 3 tahun masa
tenggang dengan bunga pasar. Di samping itu, jumlah
pinjaman komersial yang berhasil dijadwalkan kembali melalui
kerangka London Club adalah sebesar $340 juta dengan
jangka waktu penjadwalan 12 tahun 6 bulan dengan masa
tenggang 3 tahun.
Sementara itu, upaya restrukturisasi utang luar negeri
swasta dalam tahun laporan juga terus dilakukan. Utang
sektor swasta bank yang berhasil direstrukturisasi melalui pro-
gram Exchange Offer (EO) adalah sebesar $6,3 miliar, terdiri
dari Exchange Offer I (EO I) sebesar $ 3,0 miliar dan Ex-
change Offer II (EO II) $3,3 miliar. Sementara itu, restrukturisasi
utang swasta bukan bank yang berhasil dilakukan melalui
Jakarta Initiative Task Force (JITF) dari tahun 1998 sampai
dengan 2000 adalah sebesar $9,4 miliar, atau 93,6% dari tar-
get sebesar $10 miliar, yang terdiri dari utang luar negeri dan
dalam negeri.
Nisbah DSR, nisbah total utang terhadap ekspor, dan
total utang terhadap PDB pada tahun 2000 masing-masing
mencapai 44,8%, 198,2%, dan 84,3%, dibandingkan 56,8%,
252,1,0% dan 103,3% pada tahun 1999 (Tabel 5.8). Meskipun
relatif membaik dari tahun sebelumnya, tingginya nisbah
1 Jangka Pendek2) 3.420 1.877 12.068 11.636 29.001– Original Maturity 56 25 1.786 4.781 6.648– Remaining Maturity 3.364 1.852 10.282 6.855 22.353
2. Jangka Menengah & Panjang 3) 71.380 6.107 16.117 17.392 110.996
Total 74.800 7.982 28.185
1) Termasuk domestic securities2) Sampai dengan 1 tahun3) Lebih dari 1 tahun
Tabel 5.7Pinjaman Luar Negeri Menurut Jangka WaktuPosisi Oktober 20001)
Swasta
J u t a $
Non PMAPMAJumlah
Non BankPemerintahJangka WaktuNo. Bank
yaitu sektor listrik, gas, dan air bersih sebesar $14,5 miliar (10,5%).
Apabila dibandingkan dengan posisi akhir 1999, terjadi perge-
seran dominasi sektor ekonomi, yaitu dari industri pengolahan
ke sektor jasa keuangan dan leasing.
Dilihat berdasarkan negara pemberi utang, Jepang
merupakan negara kreditor terbesar yang memberikan utang
luar negeri kepada Indonesia, yaitu sebesar $46,7 miliar atau
33,3% dari total utang luar negeri Indonesia, diikuti oleh
Amerika, Belanda, dan Jerman, masing-masing sebesar $13,0
miliar (9,3%), $8,1 miliar (5,8%), dan $8,0 miliar (5,7%). Sementara
itu, IBRD, IMF, dan ADB merupakan organisasi internasional
pemberi utang terbesar dengan masing-masing utang sebesar
$11,8 miliar (8,4%), $ 10,7 miliar (7,6%), dan $7,5 miliar (5,3%).
Meskipun demikian, jika dilihat dari mata uang yang
digunakan, utang luar negeri Indonesia masih didominasi oleh
utang dalam valuta USD, yaitu sebesar $89,2 miliar atau 63,7%,
diikuti utang dalam valuta JPY, SDR dan DEM masing-masing
tercatat sebesar $30,6 miliar (21,8%), $10,8 miliar (7,7%) dan
$2,5 miliar (1,8%).
Dalam tahun laporan, jumlah utang luar negeri
pemerintah yang jatuh tempo mencapai $4,5 miliar. Dari
jumlah tersebut, yang merupakan pelunasan sebesar $2 miliar,
sedangkan sisanya sebesar $2,5 miliar telah berhasil di–
restrukturisasi melalui pertemuan Paris Club I dan II. Dapat
ditambahkan bahwa pada tanggal 12–13 April 2000, telah
dilakukan pertemuan Paris Club II yang berhasil mencapai
Tabel 5.8Indikator Beban Utang Luar Negeri Indonesia
1997 1998 1999 2000*Indikator
Persen
DSR 44,5 57,9 56,8 44,8
Posisi Utang/Ekspor 207,3 261,8 252,1 198,2
Posisi Utang/PDB 62,2 146,3 103,3 84,3
88
Bab 5 Neraca Pembayaran
tersebut mencerminkan masih cukup tingginya beban utang
sekaligus ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap
utang luar negeri.
Cadangan Devisa
Dengan surplus neraca pembayaran yang mencapai $5 miliar,
pada akhir tahun laporan cadangan devisa mencapai $29,3
miliar atau setara dengan 6 bulan impor dan pembayaran
utang luar negeri pemerintah. Dapat ditambahkan bahwa
sejak Mei 2000, pencatatan angka cadangan devisa Indone-
sia menggunakan konsep International Reserves and Foreign
Currency Liquidity /IRFCL (Boks : Konsep Baru Cadangan
Devisa) menggantikan konsep aktiva luar negeri bruto (Gross
Foreign Assets/GFA).
Miliar $
0
5
10
15
20
25
30
1997 1998 1998 20001)
Grafik 5.7Cadangan Devisa
1) Sejak tahun 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep cadangan devisabruto (GFA)
89
Bab 5 Neraca Pembayaran
Pada akhir Mei 2000, sesuai dengan kesepakatan dalam Let-
ter of Intent (Lol) tanggal 20 Januari 2000, Bank Indonesia mulai
mengumumkan angka cadangan devisa dengan
menggunakan konsep International Reserves and Foreign Cur-
rency Liquidity (IRFCL) yang memiliki kesamaan standar
pelaporan secara internasional. Konsep baru tersebut
menggantikan konsep lama yang dikenal dengan istilah aktiva
luar negeri bruto atau Gross Foreign Assets (GFA) yang
diperkenalkan pada Januari 1998. Konsep IRFCL, seperti halnya
GFA, dibuat dengan berdasarkan Balance of Payment Manual
ke-5 (BPM5) dan program Special Data Dissemination Stan-
dard (SDDS) IMF.
Menurut BPM5, yang dijadikan referensi utama untuk
SDDS, cadangan devisa atau international reserves (disebut
pula reserve assets atau official reserve assets) harus memenuhi
empat prinsip utama. Pertama, cadangan devisa harus
bersifat likuid atau tersedia setiap waktu (readily available)
dalam jangka waktu pendek (setahun) dan dapat dikuasai
(controllable) oleh otoritas moneter yang dalam hal ini adalah
Bank Indonesia. Kedua, cadangan devisa hanya
memperhitungkan aktiva luar negeri bruto, bukan aktiva luar
negeri neto. Dengan kata lain, kewajiban luar negeri otoritas
moneter tidak menjadi faktor pengurang cadangan devisa.
Ketiga, aktiva luar negeri adalah tagihan otoritas moneter
kepada bukan-penduduk (non-residents). Keempat, jenis
aktiva luar negeri tidak hanya mencakup aktiva dengan
valuta asing, namun juga emas, special drawing rights (SDRs),
simpanan pokok di IMF, dan tagihan lainnya.
Sejalan dengan perubahan konsep cadangan devisa,
konsep gross reserves pada Net International Reserves (NIR)
yang pertama kali diperkenalkan pada Januari 1998
mengalami perubahan. Seperti halnya pada international re-
serves perubahan tersebut mencakup pengelompokan
kembali jenis aktiva yang sesuai dengan konsep IRFCL yang
hanya memperhitungkan aktiva yang "readily available".
Tabel 1 : Net International Reserves
30 April 2000 (juta $)
Konsep Baru Konsep Lama
I. International Reserves 26.941,2 29.477,8a. Official Reserve Assets 26.941,2 28.443,8b. Other Foreign Currency Assets 0,0 1.034,0
II. Gross Foreign Liabilities (IMF) 10.451,9 10.451,9III. Reserve against FCD’s 755,2 755,2IV. Net International Reserves 15.734,1 18.270,7
Aktiva-aktiva yang tidak lagi diperhitungkan tersebut antara
lain adalah wesel ekspor dan sebagian simpanan emas dalam
bentuk koin-koin (commemorative coins). Dengan adanya
perubahan tersebut maka posisi NIR berubah sebagaimana
dapat dilihat dalam Tabel 1.
Perlu dikemukakan bahwa meskipun mempunyai
komponen yang sama dengan international reserves, gross
reserves dengan konsep NIR menggunakan kurs yang berbeda
dengan international reserves dengan konsep IRFCL. Untuk
menghitung gross reserves dengan konsep NIR digunakan kurs
tetap antar-valuta asing, sedangkan untuk international re-
serves dengan konsep IRFCL dipakai kurs berlaku antar-valuta
asing yang berlaku saat tanggal pelaporan.
Posisi NIR tersebut, yang telah dikonversi ke dalam Ru-
piah dengan menggunakan kurs tetap Rp/$ sesuai dengan
Lol, dipublikasikan melalui siaran pers yang dibuat oleh Bank
Indonesia setiap minggu. Selain NIR, siaran pers tersebut juga
memuat posisi international reserves (official reserve assets)
secara mingguan. Sementara itu publikasi IRFCL yang
lengkap (international reserves dan FCL lainnya) akan
dilakukan secara rutin setiap akhir bulan untuk data akhir
bulan sebelumnya. Publikasi tersebut dapat dilihat dalam
website dengan alamat http://www.imf.org/country/idn dan
http://www.sdds.or.id.
Boks : Konsep Baru Cadangan Devisa
R i n c i a n
90
Bab 5 Neraca Pembayaran
Boks : Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Melalui Bank danLembaga Keuangan Non Bank (LKNB)
Dalam rangka mewujudkan sistem pemantauan kegiatan lalu
lintas devisa (LLD) sebagaimana diamanatkan oleh Undang-
undang No. 24 tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar, pada tahun 1999 Bank Indonesia telah
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No.1/9/DSM/PBI/1999
tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan
Lembaga Keuangan Non Bank.
Sebagai pelaksaan dari peraturan tersebut di atas, Bank
Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia No.1/9/DSM
tanggal 28 Desember 1999 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa oleh Bank, mewajibkan semua bank umum yang
melakukan kegiatan lalu lintas devisa untuk menyampaikan
laporan kegiatan devisanya kepada Bank Indonesia secara
bulanan. Ketentuan ini mulai berlaku untuk kegiatan LLD yang
dilakukan pada bulan Maret 2000 yang laporannya
disampaikan kepada Bank Indonesia dalam bulan April 2000.
Adapun pertimbangan utama ditetapkannya bank sebagai
prioritas pertama dalam pelaporan LLD adalah karena
sebagian besar kegiatan lalu lintas devisa dilakukan melalui
bank. Hingga saat ini seluruh bank yang melakukan kegiatan
lalu lintas devisa telah melaporkan kegiatan lalu-lintas
devisanya kepada Bank Indonesia.
Mengingat sistem pemantauan kegiatan LLD
merupakan hal baru, dalam pelaksanaannya masih
menghadapi beberapa kendala seperti penyiapan sistem
onlline internal bank, kurangnya pemahaman atas ketentuan
pelaporan, adanya kesulitan dalam memperoleh data dari
nasabah khususnya untuk transfer masuk (incoming transfer)
dan ketentuan pelaporan yang belum sempurna. Kendala-
kendala tersebut dikhawatirkan dapat mempengaruhi akurasi
pelaporannya, sehingga untuk sementara data yang
diperoleh dari laporan LLD bank tersebut masih belum dapat
dipublikasikan. Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut,
Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya antara lain
dengan membentuk Working Group yang dimaksudkan
sebagai sarana bagi bank untuk membahas permasalahan-
permasalahan pelaporan LLD secara bersama, membentuk
Help Desk, dan memberikan umpan balik (feed back) kepada
bank pelapor. Di samping itu, ketentuan pelaporan LLD juga
telah disempurnakan yaitu dengan dikeluarkannya Surat
Edaran Bank Indonesia No.2/28/DSM tanggal 21 Desember
2000 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Oleh Bank.
Ketentuan ini mulai berlaku untuk kegiatan LLD periode
Februari 2001 yang laporannya disampaikan dalam bulan
Maret 2001. Dengan berbagai upaya tersebut, sistem peman-
tauan kegiatan LLD bank diharapkan akan semakin baik.
Di samping menyempurnakan ketentuan pelaporan LLD
bank, dalam tahun laporan Bank Indonesia juga
mengeluarkan Surat Edaran No.2/23/DSM tanggal 10 Novem-
ber 2000 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh
Lembaga Keuangan Non Bank yang merupakan kelanjutan
pelaksanaan dari PBI Keuangan Non Bank yang merupakan
kelanjutan pelaksanaan dari PBI No.1/9/PBI/1999 tersebut di
atas. Berdasarkan surat edaran ini, Lembaga Keuangan Non
Bank (LKNB) yang melakukan kegiatan LLD diwajibkan untuk
menyampaikan laporan kepada Bank Indonesia yang
mencakup :
1. Kegiatan LLD yang dilakukan tidak melalui bank di dalam
negeri yaitu kegiatan LLD yang dilakukan melalui rekening
giro LKNB pada bank di luar negeri (Overseas Curent Ac-
count), rekening antar perusahaan/kantor (Inter Com-
pany/Office Account), dan sarana-sarana lainnya secara
bulanan; dan atau
2. Posisi tagihan (Claims) dan kewajiban LKNB kepada bukan
penduduk akhir semester.
Kewajiban pelaporan kegiatan LLD oleh LKNB tersebut
mulai berlaku untuk kegiatan LLD bulan Januari tahun 2001
yang penyampaian laporannya kepada Bank Indonesia
dilakukan dalam bulan Februari tahun 2001. Dengan telah
diberlakukannya pelaporan LLD baik kepada bank maupun
LKNB, sistem pelaporan LLD diharapkan telah mencakup
sebagian besar kegiatan LLD yang dilakukan oleh penduduk.
91
Bab 5 Neraca Pembayaran
No. Keterangan Ketentuan
1. LKNB pelapor Seluruh perusahaan LKNB yang berbadanhukum Indonesia termasuk kantor cabangLKNB asing yang berkedudukan di Indonesia.
2. Cakupan Laporan :
– Laporan Transaksi Transaksi (penerimaan dan ataupembayaran) yang dilakukan tidak melaluibank dalam negeri.
– Laporan Posisi Posisi awal, mutasi, dan posisi akhir
– Laporan Koreksi Laporan pengganti dari laporan kegiatanLLD yang telah disampaikan sebelumnyakarena adanya ketidaklengkapan dan ataukesalahan.
3. Periode Laporan :
– Laporan Transaksi Bulanan
– Laporan Posisi Semesteran
4. Masa penyampaian laporan Paling lambat pada tanggal 15 bulanberikutnya setelah berakhirnya periodelaporan.
5. Cara penyampaian laporan Surat atau faksimili
6. Sanksi :
- Terlambat melapor Denda Rp. 1.000.000 per hariketerlambatan.
- Tidak menyampaikan laporan Denda Rp. 20.000.000 + dendaketerlambatan.
- Laporan tidak lengkap dan atau Denda Rp. 50.000 per data yang tidak tidak benar lengkap dan atau tidak benar dengan
maksimum denda Rp. 20.000.000.
- Tidak menyampaikan laporan Dapat direkomendaikan kepada instansi selama 6 periode berturut-turut yang berwenang untuk mencabut ijin atau paling lama 6 bulan usahanya.
Ikhtisar Ketentuan Pelaporan Kegiatan LLD oleh LKNB
Keuangan PemerintahBab 6
Bab 6 Keuangan Pemerintah
93
Tahun anggaran 2000 merupakan tahun konsolidasi dan
transisi bagi pemerintah guna menuju kondisi fiskal yang
lebih sehat dan berkesinambungan (sustainable). Beberapa
kemajuan mulai terlihat dalam tahun ini, seperti mulai
meningkatnya kemampuan Pemerintah dalam menggali
sumber-sumber penerimaan dalam negeri, lebih tajamnya
prioritas pengeluaran, dan mulai berkurangnya keter-
gantungan Pemerintah terhadap sumber-sumber pem-
biayaan luar negeri.
Secara umum, sasaran strategis kebijakan fiskal dalam
tahun anggaran 2000 –yang berlangsung selama sembilan
bulan sejak 1 April 2000 sampai dengan 31 Desember 2000–
meliputi 6 hal yaitu :
i. Mewujudkan kesinambungan fiskal (fiscal sustainability)
melalui penurunan nisbah defisit APBN terhadap PDB dan
pengurangan nisbah utang luar negeri terhadap PDB
dengan memperbesar pembiayaan yang berasal dari
dalam negeri;
ii. Menciptakan stimulus fiskal melalui penajaman prioritas
alokasi anggaran pembangunan bagi program-program
pemberdayaan masyarakat golongan ekonomi lemah;
iii. Mendukung program penyehatan sektor perbankan
dengan penyediaan alokasi anggaran untuk pemenuhan
kewajiban pembayaran bunga utang dalam negeri dalam
rangka rekapitalisasi perbankan;
iv. Mengurangi subsidi secara bertahap yang dilakukan
secara selektif baik sasaran maupun komoditasnya;
v. Memperbaiki kesejahteraan aparat sektor publik;
vi. Memperkuat persiapan pelaksanaan desentralisasi dan
perwujudan otonomi daerah.
Beberapa sasaran strategis tersebut telah dilaksanakan,
seperti program rekapitalisasi perbankan, pengurangan subsidi
BBM –meskipun sempat tertunda menjadi bulan Oktober 2000,
peningkatan kesejahteraan pegawai negeri sipil/TNI/Polri, dan
peraturan perundangan dalam rangka implementasi otonomi
daerah dan desentralisasi fiskal. Beberapa program lainnya
dihadapkan pada beberapa masalah dalam implemen-
tasinya, sehingga harus ditunda pelaksanaannya seperti
pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak
penjualan barang mewah (PPnBM) pada kawasan otorita
pulau Batam dan privatisasi beberapa BUMN. Meskipun
demikian, secara umum pelaksanaan APBN tahun 2000
menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibandingkan
dengan sasaran yang ditetapkan dalam APBN.
Realisasi anggaran secara total —baik penerimaan
maupun pengeluaran— melampaui sasaran yang ditetapkan,
dengan pencapaian yang lebih tinggi dari sisi penerimaan.
Faktor utama yang menyebabkan terlampauinya sasaran
penerimaan adalah tingginya harga minyak mentah Indone-
sia di pasar internasional yang mencapai rata-rata $29,1 per
barel selama tahun anggaran 2000 (Tabel 6.1), dan diikuti pula
oleh tingginya harga gas di pasar internasional. Di sisi lain, faktor
tingginya harga minyak telah meningkatkan jumlah
pengeluaran pemerintah melalui peningkatan beban subsidi
BBM, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil dari peningkatan
penerimaan migas. Kenaikan harga migas juga cukup
signifikan dalam menaikkan penerimaan pajak khususnya
pajak penghasilan (PPh) migas yang disetorkan ke Pemerintah
sehingga realisasi tax ratio tahun 2000 mencapai 11,8% dari
Asumsi
b a b
6 Keuangan Pemerintah
Tabel 6.1Asumsi Dasar Penyusunan APBN 2000
2000
PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 910,4 937,4
Pertumbuhan ekonomi (%) 3,8 4,5
Laju inflasi (%) 4,8 7,0
Harga minyak mentah ($ per barel) 20,0 29,1
Produksi minyak (juta barel per hari) 1,46 1,41
Nilai tukar (Rp/$) 7.000 8.292
1) APBN–Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber: Departemen Keuangan
APBN APBN-P1)
Bab 6 Keuangan Pemerintah
94
PDB nominal, lebih tinggi dari sasaran dalam APBN tahun 2000
sebesar 11,1% (Tabel 6.2).
Di sisi pengeluaran, sesuai rencana anggaran, sebagian
besar dari realisasi pengeluaran pemerintah dialokasikan
untuk pengeluaran yang bersifat wajib (non-discretionary),
yaitu belanja pegawai pusat dan daerah, pembayaran
bunga utang, dan subsidi. Belanja pegawai mengalami
peningkatan dibandingkan tahun lalu karena kebijakan
kenaikan gaji PNS dan TNI/Polri melalui pemberian tunjangan
perbaikan penghasilan (TPP) masing-masing sebesar Rp64.750
dan Rp65.000 untuk setiap pegawai per April dan Oktober
2000. Pembayaran bunga utang juga meningkat
dibandingkan tahun lalu karena peningkatan posisi utang
dalam negeri (obligasi) dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Sementara itu, tingginya alokasi dana untuk pembayaran
subsidi, selain karena faktor harga minyak dan nilai tukar, juga
disebabkan oleh tertundanya kenaikan harga BBM dari
rencana pada April menjadi Oktober 2000, serta adanya
kenaikan impor BBM akibat gangguan produksi kilang minyak
di dalam negeri.
Tabel 6.2Perkiraan Realisasi Operasi Keuangan Pemerintah Tahun 2000
1999/001)R i n c i a n
2 0 0 0APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB % thd. APBN
A. Total Penerimaan 188,5 16,5 152,9 16,8 194,1 20,7 127,0 Migas dan Non Migas 188,5 16,5 152,9 16,8 194,1 20,7 127,0 Migas 42,7 3,7 33,2 3,6 59,6 6,4 179,4 Pajak 128,6 11,3 101,4 11,1 111,1 11,8 109,5 Bukan Pajak 17,2 1,5 18,2 2,0 23,5 2,5 128,7
B. Total Pengeluaran 206,4 18,1 197,0 21,6 223,9 23,9 113,6 Pengeluaran Operasional 155,1 13,6 156,1 17,2 182,4 19,5 116,8 Belanja Pegawai 32,1 2,8 30,7 3,4 30,0 3,2 97,7 Belanja Barang 10,0 0,9 9,4 1,0 9,0 1,0 95,8 Belanja Rutin Daerah 17,3 1,5 18,1 2,0 17,6 1,9 97,1 Pembayaran Bunga Utang 42,8 3,8 54,6 6,0 53,3 5,7 97,6 – Utang Dalam Negeri 22,2 1,9 38,0 4,2 34,8 3,7 91,5 – Utang Luar Negeri 20,6 1,8 16,6 1,8 18,6 2,0 Subsidi 47,0 4,1 30,8 3,4 59,7 6,4 193,7
– Subsidi BBM 35,8 3,1 22,5 2,5 51,1 5,5 227,7 – Subsidi Non BBM 11,2 1,0 8,4 0,9 8,6 0,9 102,7 Pengeluaran Rutin Lainnya 5,8 0,5 12,5 1,4 12,7 1,4 102,0
Pengeluaran Pembangunan 51,3 4,5 40,9 4,5 41,5 4,4 101,5 – Pembiayaan Pembangunan Rupiah 28,1 2,5 24,9 2,7 24,9 2,7 100,2 – Pembiayaan Proyek 23,2 2,0 16,0 1,8 16,6 1,8 103,6
C. Perbedaan Statistik 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 –D. Surplus/Defisit Di luar Pembayaran Bunga 25,1 2,2 10,5 1,2 23,6 2,5 224,7E. Surplus/Defisit Anggaran (17,7) (1,6) (44,1) (4,8) (29,8) (3,2) 67,4
Pembiayaan bersih 17,7 1,6 44,1 4,8 29,8 3,2 67,4A. Perbankan Dalam Negeri (14,8) (1,3) – – (0,8) (0,1) –B. Non Perbankan Dalam Negeri 16,6 1,5 25,4 2,8 18,9 2,0 74,4 – Privatisasi 3,7 0,3 6,5 0,7 – – – – Penjualan Aset Prog. Restrukt. Perbankan 12,9 1,1 18,9 2,1 18,9 2,0 100,0 – Penjualan Obligasi – – – – – – –C. Pembiayaan Luar Negeri Bersih 15,9 1,4 18,7 2,1 11,6 1,2 62,0 – Penarikan Pinjaman Luar Negeri 36,2 3,2 27,3 3,0 19,7 2,1 72,0 – Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (20,3) (1,8) (8,6) (0,9) (8,1) (0,9) 93,8
1 ) Realisasi s.d. 31 Maret 20002 ) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003 ) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber : Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia
Bab 6 Keuangan Pemerintah
95
- 10 20 30 40 50 60 70
Penerimaan Migas
PPh Migas
PPh Non Migas
PPN
Cukai
Penerimaan Bukan Pajak
Sisa Realisasi APBN 2000
APBN 2000
115,7%
127,5%
90,8%
116,7%
103,5%
179,4%
174,1%
Triliun Rp
Pendapatan BukanPajak12%
Sisa5,9%
Cukai5,5%
PPN16,2%
Penerimaan Migas30,7%
PPh Migas9%PPh Non Migas
20,7% Total PPh29,7%
Dalam kaitannya dengan moneter, operasi keuangan
pemerintah dalam 8 bulan pertama tahun anggaran terus
mengalami kontraksi neto terhadap jumlah uang beredar.
Kontraksi tersebut disebabkan oleh lebih besarnya jumlah
penerimaan rupiah terutama dari pajak dan penjualan aset
program restrukturisasi perbankan dibandingkan berbagai
pengeluaran rupiah pemerintah. Ekspansi neto dalam
jumlah besar baru terjadi pada bulan terakhir tahun
anggaran, setelah direalisasikannya secara penuh
pengeluaran subsidi dan pengeluaran pembangunan.
Di sisi neraca pembayaran, operasi keuangan pemerin-
tah menciptakan aliran modal masuk bersih (net-inflows) yang
cukup signifikan, karena tingginya penerimaan migas pemerin-
tah. Tingginya penerimaan migas tersebut telah mengurangi ke-
perluan pemerintah untuk melakukan penarikan pinjaman luar
negeri untuk menutup kekurangan pembiayaan. Penarikan
pinjaman luar negeri mencapai 72,0% dari rencana semula.
Penerimaan1)
Total penerimaan negara dan hibah selama tahun anggaran
2000 diperkirakan mencapai Rp194,1 triliun, atau 27,0% di atas
sasaran yang ditetapkan. Sumber terbesar penerimaan
tersebut berasal dari kelompok penerimaan perpajakan yang
menyumbang 57,2% dari total penerimaan negara dan hibah
dengan angka pencapaian 109,5% dari sasaran. Terlam-
pauinya sasaran penerimaan perpajakan tersebut terjadi pada
hampir seluruh komponen perpajakan, kecuali PPh nonmigas,
pajak lainnya, dan pajak ekspor. Sumber terbesar kedua
adalah kelompok penerimaan migas yang menyumbang
30,7% dari total penerimaan negara dan hibah dengan angka
pencapaian 179,4% dari sasaran, sedangkan sisanya berasal
dari kelompok penerimaan negara bukan pajak dengan
angka pencapaian 128,7% dari sasaran.
Jika komponen-komponen penting pada ketiga kelom-
pok besar penerimaan negara dan hibah tersebut dilihat seca-
1) Perkiraan realisasi, untuk periode April s.d. Desember 2000, sesuai NotaKeuangan dan Rancangan Undang-Undang Republik Indonesiatentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentangAPBN Tahun Anggaran 2000.
Grafik 6.1Komposisi Penerimaan Pemerintah
Grafik 6.2Pencapaian Target Anggaran Penerimaan
ra individual, maka penerimaan terbesar berasal dari
penerimaan migas yang menyumbang 30,7% dari total pene-
rimaan negara dan hibah, diikuti oleh PPh 29,7%, dan PPN 16,2
%. Kontribusi PPh tersebut terdiri dari PPh migas (9,0%) dan PPh
nonmigas (20,7 %) (Grafik 6.1). Dilihat dari pencapaian target
anggaran penerimaan, pencapaian tertinggi berasal dari
penerimaan migas yaitu 179,4%, diikuti oleh pajak
pertambahan nilai (116,7 %) dan pajak penghasilan (106,3%)
(Grafik 6.2).
Khusus untuk PPh, realisasi PPh nonmigas hanya
mencapai 90,8% dari sasarannya, sedangkan PPh migas
Bab 6 Keuangan Pemerintah
96
Belanja Pegawai
Subsidi
Pembayaran Bunga Utang
Pengeluaran Pembangunan
Sisa
- 10 20 30 40 50 60 70
97,1%
103,0%
97,6%
193,7%
97,5%
Triliun Rp
Realisasi APBN 2000
APBN 2000
mencapai 174,1%, yang mencerminkan signifikannya kontribusi
PPh migas dalam pencapaian sasaran PPh secara keseluruhan.
Tidak tercapainya sasaran PPh nonmigas antara lain
disebabkan oleh lebih rendahnya suku bunga deposito
dibandingkan tahun sebelumnya dan diberlakukannya
kebijakan pemberian fasilitas pembebasan pajak (tax exemp-
tion) di kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET).
Dua komponen lainnya yang diperkirakan tidak
mencapai sasaran, adalah komponen penerimaan yang
relatif kecil pangsanya terhadap total penerimaan, yaitu
pajak lainnya dan pajak ekspor. Penerimaan pajak lainnya
sebagian besar berasal dari pungutan bea meterai. Jenis
penerimaan ini meskipun meningkat menjadi hampir dua kali
lipat dari tahun sebelumnya, namun masih lebih rendah dari
sasaran yang ditetapkan karena masih relatif rendahnya
transaksi usaha/bisnis yang menggunakan meterai.2)
Sementara itu, tidak tercapainya pajak ekspor antara lain
karena adanya penurunan tarif pajak ekspor guna
mendorong ekspor komoditas tertentu, terutama CPO dan
produk turunannya.3)
Pengeluaran
Total pengeluaran pemerintah selama tahun anggaran 2000
diperkirakan mencapai Rp223,9 triliun, atau 13,6% di atas
sasaran yang ditetapkan. Sesuai dengan rencana anggaran,
sebagian besar, atau lebih kurang 81,5% dari realisasi
pengeluaran, didominasi oleh pengeluaran operasional
dengan angka pencapaian terhadap sasaran sebesar
116,8%, sedangkan sisanya (18,5%) untuk pengeluaran
pembangunan dengan angka pencapaian terhadap
sasaran sebesar 101,5%. Pelampauan realisasi pengeluaran
operasional dari sasaran hampir sepenuhnya berasal dari
pembayaran subsidi khususnya subsidi BBM yang meningkat
Subsidi26,7%
S i s a10,2% Belanja
Pegawai 21,3%
PengeluaranPembangunan
18,0%
PembayaranBunga23,8%
Grafik 6.4Pencapaian Target Anggaran Pengeluaran
menjadi lebih dari dua kali rencana semula. Peningkatan
subsidi BBM ini terjadi karena adanya kenaikan harga minyak,
depresiasi rupiah, kenaikan impor BBM akibat gangguan
produksi kilang minyak di dalam negeri, dan diundurkannya
kenaikan harga BBM di dalam negeri yang semula
direncanakan mulai awal April 2000.
Pengeluaran terbesar adalah untuk pembayaran subsidi
sebesar 26,7% dari total pengeluaran, diikuti oleh bunga utang
dalam dan luar negeri (23,8%), dan belanja pegawai pusat
dan daerah (21,3%) (Grafik 6.3). Dilihat dari pencapaian
sasaran, seluruh pos-pos penting pengeluaran berada pada
angka pencapaian antara 97,0% – 103,0 %, kecuali subsidi yang
2) Upaya untuk mencapai sasaran yang ditetapkan telah dilakukan olehpemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 24tanggal 20 April 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai danBesarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan BeaMeterai
3) Keputusan Menteri Keuangan No. 387 tanggal 12 September 2000tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor Kelapa Sawit, CPO, danProduk Turunannya
Grafik 6.3Komposisi Pengeluaran Pemerintah
Bab 6 Keuangan Pemerintah
97
dengan realisasi defisit yang terjadi, maka terdapat sisa lebih
pembiayaan anggaran (SILPA) sebesar Rp0,8 triliun atau 0,1%
dari PDB yang akan menambah rekening bersih pemerintah
di sistem moneter.
Dilihat dari pencapaian sasaran, penjualan aset pro-
gram restrukturisasi perbankan mencapai 100,0%,
sedangkan penarikan pinjaman luar negeri bersih hanya
62,0%. Nihilnya hasil privatisasi BUMN antara lain disebabkan
oleh beberapa hal yaitu (i) kondisi pasar modal domestik
dan internasional yang kurang kondusif untuk melakukan
IPO (Initial Public Offering), (ii) faktor country risk yang masih
tinggi, dan (iii) masih belum selesainya restrukturisasi BUMN
yang akan diprivatisasi.
Dengan perkembangan pembiayaan di atas, maka
rasio pembiayaan dalam negeri terhadap PDB meningkat
menjadi 2,0%, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya
2 0 0 0
APBNc) Realisasid)
P e r s e n
1. Tax Ratio 10,7 11,3 11,1 11,82. Tax Ratio Di Luar PPh Migas 9,7 9,9 10,0 10,03. Penerimaan Pajak Domestik1)/ Penerimaan Pajak 84,3 83,8 84,3 78,5
Penerimaan Pajak Domestik1)/ PDB 9,1 9,5 9,4 9,34. Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2)/ Penerimaan Pajak 15,7 16,2 15,7 21,5
Penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2)/ PDB 1,7 1,8 1,8 2,65. Buoyancy3) 0,8 1,64 n.a. 1,586. Penerimaan Migas/ Total Penerimaan 19,5 22,7 21,7 30,7
Penerimaan Migas/PDB 2,9 3,7 3,6 6,47. Konsumsi Pemerintah/PDB 4,6 5,6 7,6 7,28. Pembentukan Modal Domestik Bruto /PDB 5,1 4,5 4,5 4,49. Transfer Payment4)/PDB 3,4 6,1 7,6 10,1
10. Pengeluaran Non–discretionary5)/PDB 10,0 12,2 14,7 17,111. Pengeluaran Non–discretionary5)/Penerimaan Pajak 92,7 108,3 132,3 144,612. Surplus (+)/Defisit (–) Terhadap PDB –1,5 –1,6 –4,8 –3,213. Surplus (+)/Defisit (–) Di Luar Pembayaran Bunga Terhadap PDB 1,6 2,2 1,2 2,514. Outstanding Utang Publik6)/PDB 93,4 100,5 - 106,915. Outstanding Utang Pemerintah/PDB 85,0 94,2 - 100,716. Outstanding Utang Luar Negeri Pemerintah/PDB 64,0 49,9 - 49,917. Outstanding Utang Domestik Pemerintah7)/PDB 20,9 44,3 - 50,818. Pembiayaan Dalam Negeri8)/PDB 0,2 1,5 2,8 2,0
1998/99a) 1999/00b)
R i n c i a n
mencapai 193,7% dari sasaran (Grafik 6.4). Tingginya alokasi
dana untuk subsidi menyebabkan jumlah pengeluaran yang
bersifat wajib (non-discretionary) meningkat menjadi 17,1% dari
PDB, dibandingkan 12,2% pada tahun lalu.
Pembiayaan
Dengan lebih tingginya angka pencapaian sasaran
penerimaan pemerintah dari angka pencapaian sasaran
pengeluaran, maka operasi keuangan pemerintah pada
tahun 2000 diperkirakan mengalami defisit Rp29,8 triliun atau
3,2% dari PDB, lebih rendah dari rencana defisit sebesar Rp44,1
triliun atau 4,8% dari PDB (Tabel 6.2). Defisit tersebut ditutup
dengan dua sumber pembiayaan, yaitu penjualan aset pro-
gram restrukturisasi perbankan (61,9%) dan penarikan pinjaman
luar negeri bersih (38,1%), sedangkan hasil privatisasi masih nihil.
Dengan lebih besarnya sumber pembiayaan dibandingkan
Catatan :
1) Terdiri dari seluruh penerimaan pajak minus penerimaan Pajak Perdagangan Internasional2) Terdiri dari penerimaan PPh Migas, Bea masuk dan Pajak Ekspor3) Dihitung dengan formula pertumbuhan seluruh penerimaan pajak dibagi pertumbuhan PDB4) Terdiri dari pengeluaran untuk Subsidi dan Pembayaran Bunga Utang Dalam Negeri5) Terdiri dari Belanja Pegawai, Belanja Rutin Daerah, Bunga Utang dan pengeluaran untuk
Subsidi6) Termasuk di dalamnya adalah Utang Luar Negeri Pemerintah, BUMN dan Bank Milik
Pemerintah dan Utang Dalam Negeri Pemerintah
Tabel 6.3Nisbah-nisbah Penting
7) Terdiri dari obligasi pemerintah yang dikeluarkan untuk rekapitalisasi perbankan,BLBI dan dalam rangka penjaminan
8) Terdiri dari Privatisasi BUMN dan Asset Recovery
a) APBN setelah diaudit (PAN)b) Realisasi s.d. 31 Maret 2000c) APBN yang disahkan pada 2 Maret 2000d) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)
Sumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia
Bab 6 Keuangan Pemerintah
98
yang tercatat 1,5% dari PDB (Tabel 6.3). Sementara itu,
meskipun dalam tahun 2000 terjadi penarikan pinjaman luar
negeri bersih, namun tidak mengubah rasio posisi utang luar
negeri terhadap PDB yaitu 49,9%. Secara keseluruhan, utang
pemerintah meningkat menjadi 100,7% dari PDB yang
disebabkan oleh peningkatan utang domestik sehubungan
dengan penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka pro-
gram rekapitalisasi perbankan.
Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap
Permintaan Agregat dan Moneter
Dalam tahun 2000, Pemerintah telah melakukan pengeluaran
sebesar Rp223,9 triliun, dimana 48,8% atau Rp109,3 triliun
diantaranya secara langsung mempengaruhi permintaan
agregat sebagai belanja konsumsi dan investasi pemerintah,
dan 42,2% atau Rp94,5 triliun sebagai pembayaran transfer ke
sektor swasta dalam bentuk pembayaran subsidi dan
pembayaran bunga utang dalam negeri. Dari jumlah yang
secara langsung mempengaruhi permintaan agregat tersebut,
sebesar Rp67,8 triliun atau 62,0% dalam bentuk pengeluaran
konsumsi dan sisanya Rp41,5 triliun atau 38,0% dalam bentuk
pengeluaran investasi (Tabel 6.4).
Dari sisi moneter, transaksi keuangan pemerintah selama
tahun 2000 memberikan net ekspansi rupiah sebesar Rp39,8 triliun
2000
APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB
A. Konsumsi Pemerintah 64,4 5,6 69,1 7,6 67,8 7,2Belanja Pegawai DN 31,5 2,8 29,9 3,3 29,2 3,1Belanja Barang DN 9,8 0,9 8,7 1,0 8,3 0,9Belanja Rutin Daerah 17,3 1,5 18,1 2,0 17,6 1,9Pengeluaran Rutin Lainnya 5,8 0,5 12,5 1,4 12,7 1,4
B. Pembentukan modal domestik bruto 51,3 4,5 40,9 4,5 41,5 4,4Pembiayaan Dalam Rupiah 28,1 2,5 24,9 2,7 24,9 2,7Bantuan Proyek 23,2 2,0 16,0 1,8 16,6 1,8
C. Jumlah (A + B) 115,7 10,1 110,0 12,1 109,3 11,7
1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)Sumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia
Rincian 1999/001)
Tabel. 6.4Perkiraan Dampak Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor RiilApril s.d. Desember 2000
2000APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB
A.Penerimaan RupiahPajak Migas 15,8 1,4 10,0 1,1 17,5 1,9Pajak Nonmigas dan Bukan Pajak 129,9 11,4 109,6 12,0 116,8 12,5Privatisasi 3,7 0,3 6,5 0,7 0,0 0,0Penjualan Aset Program Restrukturisasi Perbankan 12,9 1,1 18,9 2,1 18,9 2,0Jumlah Penerimaan 162,3 14,2 145,1 15,9 153,2 16,3
B. Pengeluaran RupiahOperasional –133,7 –11,7 –138,0 –15,2 –162,3 –17,3 Belanja Pegawai dan
Rutin Daerah –48,8 –4,3 –48,0 –5,3 –46,8 –5,0 Subsidi –47,0 –4,1 –30,8 –3,4 –59,7 –6,4 Bunga Utang DN –22,2 –1,9 –38,0 –4,2 –34,8 –3,7 Pengeluaran Rutin Lainnya –15,6 –1,4 –21,1 –2,3 –21,0 –2,2Investasi –36,2 –3,2 –30,5 –3,3 –30,7 –3,3Jumlah Pengeluaran –169,9 –14,9 –168,4 –18,5 –193,0 –20,6
C.Perbedaan Statistik 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Dampak Rupiah (A-B+C)4) –7,3 –0,6 –23,4 –2,6 –39,8 –4,2
1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada tanggal 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)4) Tanda negatif (-) berarti ekspansi, positif (+) berarti kontraksiSumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia
Rincian 1999/001)
Tabel. 6.5Perkiraan Dampak Rupiah Keuangan PemerintahApril s.d. Desember 2000
Grafik 6.5Penarikan Pinjaman Luar Negeri Pemerintah
0
50
100
150
200
250
300
350
Pinjaman ProyekPinjaman Program
Juta $
Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt.* Nov.* Des.*
2 0 0 0Sumber : Bank Indonersia
(Tabel 6.5). Ekspansi terbesar adalah untuk pembayaran subsidi,
belanja pegawai, dan bunga obligasi. Sementara itu, aliran
kontraksi rupiah ke sistem moneter sebagian besar berasal dari
Bab 6 Keuangan Pemerintah
99
Pembangunan Nasional (PROPENAS), juga merupakan tahun
pertama pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal
(Tabel 6.7).
Strategi umum kebijakan fiskal yang akan ditempuh
pada tahun anggaran 2001 adalah :
i. Mengoptimalkan penerimaan dalam negeri baik
penerimaan pajak maupun bukan pajak;
ii. Mengendalikan dan meningkatkan efisiensi pengeluaran
negara;
iii. Mengurangi subsidi;
iv. Menerapkan pembagian dana perimbangan;
v. Mengurangi ketergantungan pada sumber-sumber
pembiayaan luar negeri.
Operasi keuangan pemerintah pada tahun 2001
tersebut direncanakan akan mengalami defisit sebesar
Rp52,5 triliun atau 3,7% dari PDB, yang secara persentase
menurun dibandingkan rencana defisit pada APBN tahun
sebelumnya yang tercatat Rp44,1 triliun atau 4,8% dari PDB
(Tabel 6.8). Penurunan defisit tersebut akan dicapai dengan
meningkatkan penerimaan negara dan hibah terutama
melalui upaya penghimpunan penerimaan perpajakan
yang lebih besar dari tahun sebelumnya —yang tercermin
dari peningkatan tax ratio dari 11,1% menjadi 12,6% dari PDB
— dan dengan lebih mengefisienkan pengeluaran. Di sisi
pembiayaan, sumber dana untuk menutup defisit terutama
akan berasal dari dalam negeri, yaitu dari hasil privatisasi
dan penjualan aset program restrukturisasi perbankan (2,4%
dari PDB), sedangkan kekurangannya masih akan ditutup
penerimaan pajak dan sisanya dari penjualan aset program
restrukturisasi perbankan.
Dari sisi neraca pembayaran, tingginya penerimaan
migas dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah yang
lebih besar baik dari pembayaran kewajiban luar negeri (debt
service payments) maupun impor bantuan proyek telah
menciptakan aliran modal masuk bersih (net capital inflows)
yang menambah cadangan devisa di sistem moneter setara
dengan Rp40,6 triliun (Tabel 6.6). Dilihat dari kontribusinya,
aliran terbesar bersumber dari penerimaan migas, sedangkan
peranan utang luar negeri terlihat berkurang. Penarikan
pinjaman lebih banyak dalam bentuk pinjaman proyek,
sedangkan pinjaman program relatif sangat kecil (Grafik 6.5).
APBN 2001
APBN 2001 memiliki arti strategis dalam pengelolaan keuangan
negara, karena disamping merupakan Rencana Pemba-
ngunan Tahunan (Repeta) pertama dari pelaksanaan Program
Tabel. 6.6Perkiraan Dampak Valas Keuangan PemerintahApril s.d. Desember 2000
2 0 0 0R i n c i a n APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB
A. Transaksi Berjalan 6,2 0,5 4,6 0,5 28,8 3,1Neraca Barang 27,4 2,4 22,0 2,4 48,1 5,1 Ekspor Migas 42,7 3,7 33,2 3,6 59,6 6,4 Impor Bantuan Proyek -15,1 -1,3 -10,4 -1,1 -10,8 -1,2 Belanja Barang LN -0,2 0,0 -0,8 -0,1 -0,7 -0,1
Neraca Jasa -21,3 -1,9 -17,4 -1,9 -19,4 -2,1 Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -20,6 -1,8 -16,6 -1,8 -18,6 -2,0 Belanja Pegawai LN -0,6 -0,1 -0,8 -0,1 -0,8 -0,1
B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 16,0 1,4 18,7 2,1 11,8 1,3Penarikan Utang Luar Negeri dan Hibah 36,3 3,2 27,3 3,0 19,9 2,1Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri Pemerintah -20,3 -1,8 -8,6 -0,9 -8,1 -0,9
C. Dampak Valas (A+B)4) 22,2 1,9 23,4 2,6 40,6 4,3
1) Realisasi s.d. 31 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20003) APBN-Perubahan (Perkiraan Realisasi)4) Tanda negatif (-) berarti outflows, positif (+) berarti inflowsSumber: Departemen Keuangan (diolah) dan Bank Indonesia
1999/001)
Tabel. 6.7Asumsi Dasar Penyusunan APBN 2001
APBN APBN20001) 2001
PDB a.d. harga berlaku (trilliun rupiah) 910,4 1.425,0
Pertumbuhan ekonomi (%) 3,8 5,0
Laju inflasi (%) 4,8 7,2
Harga minyak mentah ($ per barel) 20,0 24,0
Produksi minyak (juta barel per hari) 1,46 1,46
Nilai tukar(Rp/$) 7.000 7.800
1) Periode April s.d. DesemberSumber : Departemen Keuangan
A s u m s i
Bab 6 Keuangan Pemerintah
100
A.Pendapatan Negara dan Hibah 152,9 16,8 263,2 18,5I. Penerimaan Dalam Negeri 152,9 16,8 263,2 18,5
1. Penerimaan Pajak 101,4 11,1 179,9 12,6a. Pajak Dalam Negeri 95,5 10,5 169,5 11,9
i. Pajak penghasilan 54,2 6,0 96,3 6,81. Migas 10,0 1,1 20,8 1,52. Non Migas 44,2 4,9 75,5 5,3
ii. Pajak pertambahan nilai 27,0 3,0 48,9 3,4iii. Cukai 10,3 1,1 17,1 1,2iv. Pajak lainnya 4,0 0,4 7,3 0,5
b. Pajak Perdagangan Internasional 5,9 0,6 10,4 0,72. Penerimaan Bukan Pajak
(SDA Migas) 51,5 5,7 83,3 5,8a. Penerimaan SDA 40,1 4,4 64,5 4,5
i. Migas 33,2 3,6 59,7 4,2ii. Non Migas 6,9 0,8 4,7 0,3
b. Bagian Laba BUMN 5,3 0,6 10,5 0,7c. PNBP Lainnya 6,1 0,7 8,4 0,6
II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0
B. Belanja Negara 197,0 21,6 315,8 22,2I. Belanja Pemerintah Pusat 163,5 18,0 234,1 16,4
1. Pengeluaran Rutin 137,3 15,1 190,1 13,3a. Belanja Pegawai 30,7 3,4 40,0 2,8b. Belanja Barang 9,4 1,0 9,7 0,7c. Pembayaran Bunga Utang 54,6 6,0 76,5 5,4
i. Utang Dalam Negeri 38,0 4,2 53,5 3,8ii. Utang Luar Negeri 16,6 1,8 23,1 1,6
d. Subsidi 30,8 3,4 54,0 3,8i. Subsidi BBM 22,5 2,5 41,3 2,9ii. Subsidi non BBM 8,4 0,9 12,6 0,9
e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,7 1,3 9,9 0,72. Pengeluaran Pembangunan 26,2 2,9 44,0 3,1
a. Pembiayaan pembangunan rupiah 10,2 1,1 21,7 1,5b. Pembiayaan proyek 16,0 1,8 22,3 1,6
II. Dana Perimbangan 33,5 3,7 81,7 5,7
C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Surplus/Defisit di luar Pembayaran Bunga 10,5 1,2 24,0 1,7
E. Surplus/Defisit (44,1) (4,8) (52,5) (3,7)
F. Pembiayaan 44,1 4,8 52,5 3,7I. Pembiayaan Dalam Negeri 25,4 2,8 33,5 2,4
1. Perbankan dalam negeri 0,0 0,0 0,0 0,0a. Sisa Lebih Pembiayaan
Anggaran (SILPA) 0,0 0,0 0,0 0,0b. Kredit/Pinjaman Sektor Perbankan 0,0 0,0 0,0 0,0
2. Non-Perbankan dalam negeri 25.4 2,8 33,5 2,4a. Privatisasi 6,5 0,7 6,5 0,5b. Penjualan aset program
restrukturisasi perbankan 18,9 2,1 27,0 1,9II. Pembiayaan Luar Negeri (Netto) 18,7 2,1 19,0 1,3
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) 27,3 3,0 36,0 2,5
a. Pinjaman Program 11,3 1,2 13,7 1,0b. Pinjaman Proyek 16,0 1,8 22,3 1,6
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang Luar Negeri (8,6) (0,9) (17,0) (1,2)
1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)
Rincian
Tabel. 6.8Operasi Keuangan Pemerintah APBN 2000 dan 2001
APBN 20001) APBN 20012)
Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB
A. Penerimaan rupiahMigas 10,0 1,1 20,8 1,5Non Migas 109,6 12,0 182,7 12,8Privatisasi 6,5 0,7 6,5 0,5Penjualan Aset Program Restruktrukturisasi Perbankan 18,9 2,1 27,0 1,9Jumlah Penerimaan 145,1 15,9 237,0 16,6
B. Pengeluaran rupiahOperasional -119,8 -13,2 -164,8 -11,6
Belanja Pegawai -29,9 -3,3 -38,7 -2,7Subsidi -30,8 -3,4 -54,0 -3,8Bunga Utang DN -38,0 -4,2 -53,5 -3,8Pengeluaran Rutin Lainnya -20,4 -2,2 -18,7 -1,3
Investasi -15,8 -1,7 -29,5 -2,1Dana Perimbangan -33,5 -3,7 -81,7 -5,7Jumlah Pengeluaran -168,4 -18,5 -276,0 -19,4
C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Dampak Rupiah -23,4 -2,6 -39,0 -2,7
1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 6.9Dampak Rupiah APBN 2000 dan 2001
R i n c i a n
dengan penarikan pinjaman luar negeri bersih sebesar 1,3%
dari PDB.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan baik dari pajak
maupun bukan pajak akan memberikan kontraksi rupiah yang
cukup besar. Meskipun demikian, operasi keuangan peme-
rintah tetap akan berdampak ekspansif terhadap uang bere-
dar (Tabel 6.9). Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah
pengeluaran rupiah dari 18,5% dari PDB menjadi 19,4% dari
PDB. Sebagian besar (82,6%) dari pengeluaran tersebut meru-
pakan jenis-jenis pengeluaran yang tidak dapat dihindarkan,
yaitu gaji pegawai pemerintah pusat, subsidi, bunga obligasi,
dan dana perimbangan untuk daerah. Secara keseluruhan,
APBN tahun 2001 diperkirakan akan memberikan dampak
ekspansi neto terhadap uang beredar sebesar 2,7% dari PDB.
Dampak ekspansi neto transaksi rupiah pemerintah
tersebut akan mempunyai implikasi pada pelaksanaan
kebijakan moneter Bank Indonesia. Pada prinsipnya ekspansi
fiskal tersebut harus diserap kembali dalam rangka mencapai
sasaran uang primer dan menekan laju inflasi. Penyerapan ini
dilakukan dengan mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT)
APBN 20001) APBN 20012)
Triliun Rp % thd.PDB Triliun Rp % thd.PDB
Bab 6 Keuangan Pemerintah
101
APBN 20001) APBN 20011)
Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB
A. Transaksi Berjalan 4,6 0,5 20,0 1,4Neraca Barang 22,0 2,4 44,3 3,1
Ekspor Migas 33,2 3,6 59,7 4,2Impor Bantuan Proyek –10,4 –1,1 –14,5 –1,0Lainnya –0,8 –0,1 –1,0 –0,1
Neraca Jasa –17,4 –1,9 –24,3 –1,7Pembayaran Bunga
Pinjaman Luar Negeri –16,6 –1,8 –23,1 –1,6Lainnya –0,8 –0,1 –1,2 –0,1
B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 18,7 2,1 19,0 1,3Penarikan Pinjaman Luar Negeri 27,3 3,0 36,0 2,5Pembayaran Cicilan Pokok
Utang Luar Negeri Pemerintah –8,6 –0,9 –17,0 –1,2
C. Dampak Valas 23,4 2,6 39,0 2,7
1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)
RincianAPBN 20001) APBN 20012)
Triliun Rp % thd. PDB Triliun Rp % thd. PDB
I. Konsumsi Pemerintah 69,1 7,6 96,3 6,8Belanja pegawai DN 29,9 3,3 38,7 2,7
Belanja barang DN 8,7 1,0 8,7 0,6
Belanja rutin daerah 18,1 2,0 38,9 2,7
Pengeluaran rutin lainnya 12,5 1,4 9,9 0,7
II. Pembentukan modal domestik bruto 40,9 4,5 86,8 6,1
Pembiayaan dalam rupiah 24,9 2,7 64,5 4,5
Bantuan proyek 16,0 1,8 22,3 1,6
III. Jumlah I + II 110,0 12,1 183,1 12,8
1) APBN yang disahkan pada 2 Maret 20002) APBN yang disahkan pada 5 Desember 2000Sumber: Departemen Keuangan (diolah)
Rincian
sebagai instrumen utama dalam pengendalian moneter di
Bank Indonesia. Selain itu, ekspansi fiskal tersebut dapat pula
diserap kembali melalui sterilisasi valuta asing (valas) oleh Bank
Indonesia yang dilakukan sesuai kebutuhan. Hal ini
dimungkinkan dengan adanya potensi aliran modal masuk
neto transaksi valas pemerintah ke Bank Indonesia, terutama
dari penerimaan migas dan penarikan pinjaman luar negeri
bersih masing-masing sebesar 4,2% dan 1,3% dari PDB (Tabel
6.10). Penarikan pinjaman itu sendiri akan lebih rendah dari
tahun lalu, yang menunjukkan upaya konkrit pemerintah untuk
menurunkan rasio utang luar negeri dalam beberapa tahun
ke depan.
Dalam kaitannya dengan sektor riil, kontribusi operasi
keuangan pemerintah terhadap pembentukan permintaan
Tabel. 6.10Dampak Valas APBN 2000 dan 2001
Tabel. 6.11Dampak APBN 2000 dan 2001 Terhadap Sektor Riil
agregat diperkirakan sebesar 12,8% dari PDB nominal, sedikit
meningkat dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 12,1%
(Tabel 6.11). Alokasi anggaran untuk beberapa pos di sisi
pengeluaran konsumsi –dalam persentase terhadap PDB--
terlihat mengalami penurunan, terutama karena pengalihan
anggaran dan wewenang dari yang semula berada pada
pemerintah pusat menjadi berada pada pemerintah daerah.
Khusus untuk dana perimbangan, hampir seluruhnya (99,0%)
bersifat umum (block grant), dimana kewenangan peman-
faatannya sepenuhnya berada pada pemerintah daerah.
Sementara itu, sektor pemerintah juga akan berperan dalam
meningkatkan konsumsi sektor swasta melalui transfer payment
subsidi dan pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar
7,6% dari PDB.
Bab 6 Keuangan Pemerintah
102
memberikan wewenang yang besar kepada daerah untuk
memungut sendiri pajak potensial yang dimilikinya. Meskipun
demikian, pengaruh revisi undang-undang ini terhadap PAD
– dalam jangka pendek – diperkirakan belum akan signifikan.
Hal ini disebabkan karena jenis pajak dan retribusi yang dapat
dipungut dan dimiliki sendiri oleh daerah hanyalah pajak yang
nilainya kecil, dan diperlukan waktu yang cukup panjang untuk
melakukan studi dan evaluasi tentang jenis retribusi dan pajak
yang layak untuk dipungut. Dengan demikian, Dana
Perimbangan akan mempunyai peran yang sangat vital bagi
daerah sebagai sumber utama penerimaan daerah, paling
tidak dalam jangka pendek.
Dari sisi pemerintah pusat, ketergantungan daerah
terhadap Dana Perimbangan – Dana Bagi Hasil (DBH), Dana
Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK)–
dihadapkan pada masalah pendistribusian dana tersebut
yang minimal harus dapat mendukung operasional
pelaksanaan fungsi pelayanan kepada masyarakat. DBH yang
merupakan bagian dari daerah atas penerimaan dari Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB), dan penerimaan dari sumber daya alam
hanya akan cenderung menguntungkan segelintir daerah
yang “beruntung” memiliki potensi sumber daya alam yang
besar yang berpotensi untuk meningkatkan ketimpangan
pendapatan antar daerah. Distribusi yang tidak merata
tersebut juga akan dapat menyebabkan daerah mengalami
kekurangan dana untuk membiayai pelimpahan fungsi dan
tugas yang diterimanya (fiscal gap). Untuk meminimalkan
dampak negatif tersebut, UU No.25/1999 telah
mengamanatkan adanya alokasi dana yang cukup besar
(minimal 25% dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan
dalam APBN) dalam bentuk DAU. Permasalahan yang
kemudian muncul adalah bagaimana menciptakan formula
pembagian DAU yang adil bagi daerah-daerah di tengah
realitas kemajemukan potensi perekonomian dan jenis
kebutuhan yang sangat besar.
Dari berbagai mekanisme pembagian DBH dan DAU
tersebut, tidak terdapat jaminan bagi tidak terjadinya fiscal
Sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR No IV tahun
2000, otonomi daerah diimplementasikan pada awal Januari
2001. Implementasi otonomi daerah tersebut didasarkan
pada UU No 22/1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No
25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat
dan Daerah serta berbagai peraturan pendukungnya yang
mengatur pelimpahan kewenangan pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah (Dati II) serta penyerahan sumber
keuangan yang menyertainya. Sejalan dengan pelaksanaan
kedua UU tersebut, pemerintah daerah diharapkan akan
dapat lebih mengembangkan segenap potensi ekonomi
yang ada di daerahnya yang pada gilirannya akan dapat
memicu peningkatan aktivitas perekonomian di daerah.
Namun, keinginan tersebut dihadapkan pada adanya
keanekaragaman potensi perekonomian (fiscal capacity)
dan jenis kebutuhan (fiscal needs) di daerah yang berpotensi
untuk menghambat kesuksesan pelaksanaan otonomi
daerah.
Pelimpahan wewenang serta fungsi kepada
pemerintah daerah, mempunyai dampak yang signifikan
terhadap struktur dan besarnya pengeluaran pemerintah
daerah dan penerimaan daerah. Studi yang dilakukan oleh
World Bank (2000) memperkirakan bahwa pengeluaran
daerah akan meningkat lebih dari 50% dibandingkan kondisi
sekarang. Peningkatan tersebut akan mendorong pening-
katan pangsa pengeluaran pemerintah daerah terhadap
keseluruhan pengeluaran pemerintah menjadi sekitar 40%. Hal
tersebut tentu saja menimbulkan konsekuensi pada adanya
peningkatan kebutuhan penerimaan daerah dalam jumlah
yang memadai.
Guna mengantisipasi hal tersebut, UU No.25/1999 telah
menetapkan berbagai sumber penerimaan daerah yang
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah dan Lain-lain Penerimaan yang sah.
Kebijakan lain yang dikeluarkan dalam rangka mendorong
peningkatan PAD adalah revisi dari UU No. 18/1997 yang
mengatur jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut
oleh pemerintah daerah. Revisi undang-undang tersebut telah
Boks : Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Pengendalian Moneter
Bab 6 Keuangan Pemerintah
103
gap di daerah serta tidak meningkatnya kesenjangan fiskal
antar daerah. Untuk menutupi fiscal gap, pemerintah daerah
dapat melakukan pinjaman daerah sebagaimana diatur
dalam UU No. 25/1999 yang antara lain berupa pinjaman
kepada pemerintah pusat. Pinjaman daerah kepada
Pemerintah pusat berpotensi untuk meningkatkan defisit APBN
yang pada gilirannya akan membahayakan kesinambungan
fiskal (fiscal sustainability). Guna menghindari hal tersebut, baik
Pemerintah pusat maupun daerah harus melaksanakan
kebijakan fiskal yang berhati-hati sehingga fungsi stimulus fiskal
dari pengeluaran pemerintah tetap dapat dilakukan namun
dengan cara yang seefisien mungkin.
Berbagai dinamika pelaksanaan otonomi daerah
tersebut diperkirakan akan menimbulkan beberapa implikasi
moneter. Implikasi tersebut dapat dilihat dari dua hal, pertama,
berkaitan dengan pengaruh otonomi daerah terhadap laju
inflasi. Kedua, berkaitan dengan dampak dari pelimpahan
dana dan kewenangan pengelolaannya kepada daerah
terhadap teknis pengelolaan kebijakan moneter.
Dilihat dari aspek pertama, upaya fiscal adjustment baik
di sisi penerimaan maupun pengeluaran yang dilakukan
Pemerintah Daerah dalam menyikapi kondisi keuangannya,
akan sangat berpengaruh pada perkembangan laju inflasi.
Komposisi dari fiscal adjustment yang terdiri dari peningkatan
pajak daerah – sebagai upaya peningkatan PAD – dengan
komposisi pengeluaran yang terutama didominasi oleh
pengeluaran yang bersifat wajib (non-discretionary spending)
– sebagian besar terdiri dari pengeluaran noninvestasi – akan
menambah tekanan pada laju inflasi. Di sisi lain, fiscal adjust-
ment yang dilakukan dengan mengefisienkan pengeluaran
rutin Pemerintah Daerah dengan tanpa harus mengurangi
pengeluaran investasi dan tanpa meningkatkan pajak secara
berlebihan akan mengurangi tekanan pada laju inflasi. Oleh
karena itu, perlu dihindarkan adanya upaya pengenaan pajak
daerah secara berlebihan serta alokasi pengeluaran
pemerintah daerah yang terpusat pada kegiatan-kegiatan
yang dapat memicu laju inflasi.
Dilihat dari aspek kedua, aspek moneter dari
implementasi otonomi daerah menjadi sangat relevan
mengingat besarnya jumlah dana yang dialokasikan bagi
daerah. Penyaluran dana perimbangan akan mengandung
potensi over liquidity – yang dapat memicu ketidakstabilan
nilai tukar — jika dana perimbangan yang disalurkan oleh
pemerintah pusat tidak segera digunakan oleh Pemerintah
Daerah untuk membiayai pengeluarannya. Lebih lanjut,
kemungkinan adanya perubahan pola pengeluaran fiskal (fis-
cal spending behavior) juga akan menambah kompleksitas
dari operasi pengendalian moneter (OPT) karena pola
pengeluaran pemerintah yang selama ini digunakan sebagai
salah satu komponen perhitungan perkiraan kebutuhan
likuiditas di pasar akan menjadi tidak akurat lagi.
Hal lain yang perlu diwaspadai adalah dimungkin-
kannya daerah yang mengalami defisit untuk melakukan pinja-
man daerah sebagai tambahan sumber pembiayaan. Jika
pinjaman tersebut berasal dari dalam negeri dan tidak diken-
dalikan secara baik, maka pinjaman daerah juga dapat
menciptakan crowding out karena dapat menyebabkan ber-
kurangnya alokasi dana (kredit) untuk sektor swasta, yang
pada gilirannya akan menaikkan suku bunga dan menurunkan
investasi. Jika pinjaman tersebut berasal dari luar negeri, maka
pada saat pembayarannya kembali dapat menimbulkan te-
kanan terhadap neraca pembayaran, sehingga pada
gilirannya memberikan tekanan terhadap nilai tukar. Kedua
permasalahan ini pada gilirannya akan memberikan tekanan
pada inflasi.
Guna mengurangi berbagai kemungkinan dampak
negatif pelaksanaan otonomi daerah terhadap pelaksanaan
operasi pengendalian moneter, diperlukan adanya koordinasi
yang erat antara Bank Indonesia dengan Pemerintah, baik
Pusat maupun Daerah. Koordinasi tersebut terutama berupa
penyampaian data penerimaan dan pengeluaran aktual
secara akurat dan tepat waktu, serta data perkiraan realisasi
mingguan, bulanan hingga tahunan (fiscal programming).
Ketersediaan data-data yang akurat tersebut akan sangat
membantu kegiatan evaluasi dan akurasi perkiraan kebutuhan
likuiditas pasar oleh Bank Indonesia, sehingga diharapkan akan
dapat pula meningkatkan kinerja operasi pengendalian
moneter. Lebih lanjut, perlu dipertimbangkan pula adanya
ketentuan bagi Pemerintah Daerah untuk membuka rekening
di Kantor Bank Indonesia (KBI) yang difungsikan sebagai kas
daerah. Dengan digunakannya KBI sebagai kas daerah
dampak moneter yang bersifat negatif dari implementasi
otonomi daerah akan dapat diminimalkan dan dideteksi
secara dini.
Perbankan dan Lembaga Keuangan LainBab 7
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
105
menyebabkan penyaluran kredit perbankan belum optimal,
meskipun telah mulai mengalami peningkatan khususnya
dalam paro kedua tahun 2000. Perbankan pada umumnya
mengalami kelebihan likuiditas sehingga mobilisasi dana dari
masyarakat lebih banyak ditanamkan dalam bentuk pinjaman
antarbank dan SBI.
Perbankan
Kebijakan perbankan pada tahun 2000 tetap difokuskan pada
berbagai upaya untuk mempercepat penyelesaian
restrukturisasi perbankan. Disamping memperpanjang program
penjaminan pemerintah, upaya mempercepat restrukturisasi
perbankan dilakukan dengan menyelesaikan program
rekapitalisasi bank umum dan mempercepat restrukturisasi
kredit bermasalah. Berbagai langkah ini diharapkan dapat
mendorong perbankan untuk segera keluar dari krisis dan
dapat berfungsi normal kembali sebagai lembaga intermediasi
keuangan bagi sektor riil. Untuk mendukung pengembangan
industri yang lebih tangguh di masa depan, berbagai upaya
tersebut disertai pula dengan langkah-langkah peningkatan
ketahanan sistem perbankan dengan perbaikan infrastruktur
perbankan, penyempurnaan ketentuan dan pemantapan
pengawasan, dan peningkatan mutu pengelolaan perbankan
(good corporate governance).
Berbagai langkah kebijakan yang ditempuh telah
memberikan hasil positif terhadap kinerja perbankan. Hal ini
tercermin dari peningkatan total aset, dana pihak ketiga,
penyaluran kredit baru, kualitas kredit, permodalan, serta
profitabilitas perbankan. Proses rekapitalisasi bank telah dapat
diselesaikan dalam tahun laporan melalui penerbitan obligasi
pemerintah sehingga telah ikut meningkatkan total aset dan
modal perbankan. Seiring dengan telah selesainya proses
rekapitalisasi dan masih berjalannya program penjaminan
pemerintah, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
tetap terpelihara sehingga memungkinkan perbankan untuk
K inerja perbankan dan lembaga keuangan lainnya selama
tahun 2000 telah menunjukkan perbaikan seiring dengan
membaiknya perekonomian nasional serta sebagai hasil dari
berbagai langkah restrukturisasi menyeluruh yang dilakukan
Pemerintah dan Bank Indonesia. Perbaikan kinerja perbankan
antara lain tercermin dari meningkatnya penghimpunan dana,
pemberian kredit baru walaupun masih relatif kecil,
permodalan, profitabilitas bank, serta menurunnya kredit
bermasalah. Sejalan dengan membaiknya kinerja perbankan
kinerja perusahaan pembiayaan juga mengalami perbaikan
seperti tercermin pada peningkatan sumber dana dan
kegiatan usahanya dalam tahun laporan. Sementara itu,
peluang perusahaan pegadaian untuk meningkatkan
penyaluran dananya seperti tercermin dari peningkatan
omzet usahanya juga menjadi lebih besar dengan masih
belum besarnya penyaluran kredit perbankan.
Namun demikian, secara umum fungsi intermediasi
keuangan dari industri perbankan dan lembaga keuangan
lainnya belum sepenuhnya berjalan normal dalam mendukung
pemulihan ekonomi nasional. Hal ini tidak terlepas dari
permasalahan yang masih dihadapi baik oleh sektor riil
maupun oleh perbankan itu sendiri, disamping masih besarnya
faktor risiko dan ketidakpastian berkaitan dengan kondisi politik
dan keamanan dalam negeri. Di sektor riil, proses restrukturisasi
kredit, utang luar negeri dan perusahaan secara keseluruhan
masih berjalan lambat. Kondisi ini telah menyebabkan
peningkatan kegiatan sektor riil tidak dapat berjalan lebih
cepat, karena sebagian besar perusahaan yang masih dalam
proses restrukturisasi tersebut merupakan komponen terbesar
dari perekonomian nasional. Dari sisi perbankan, belum
pulihnya fungsi intermediasi tidak terlepas dari masih tingginya
ketidakpastian di tengah situasi sosial politik yang belum stabil
dan masih berlangsungnya proses konsolidasi internal
perbankan dalam rangka memenuhi berbagai ketentuan
prudensial Bank Indonesia. Perkembangan tersebut telah
b a b
7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
106
meningkatkan dana pihak ketiga yang dapat dimobilisasi dari
masyarakat. Perbankan juga telah mulai menyalurkan kredit
baru kepada dunia usaha, meskipun dengan pertumbuhan
yang masih relatif rendah. Peningkatan kredit tersebut, yang
disertai pula dengan kemajuan yang dicapai dalam
restrukturisasi kredit bermasalah, pada gilirannya menjadi salah
satu faktor penyebab membaiknya kualitas kredit perbankan.
Hasil akhir kinerja perbankan yang membaik ditunjukkan oleh
meningkatnya profitabilitas, seperti tercermin dari peningkatan
Net Interest Margin (NIM).
Meskipun secara keseluruhan kinerja industri perbankan
membaik, sejumlah bank tercatat masih menghadapi
permasalahan dalam hal Capital Adequacy Ratio (CAR) dan
Non Performing Loans (NPLs). Sebagai akibat memburuknya
kualitas aktiva produktif, masih terdapat beberapa bank yang
mempunyai CAR di bawah batas minimum sebesar 4,0%. Di
samping itu, meskipun NPLs secara keseluruhan menurun
menjadi 23,9%, sejumlah bank tercatat masih mempunyai NPLs
di atas batas 35,0%. Kondisi yang dialami oleh beberapa bank
ini akan merupakan tantangan bagi upaya restrukturisasi
perbankan lebih lanjut, mengingat pada akhir tahun 2001
bank-bank dipersyaratkan untuk mencapai CAR sekurang-
kurangnya 8,0% dan tingkat NPLs maksimal sebesar 5,0%.
Kebijakan Perbankan
Seperti disinggung di atas, sebagai bagian dari upaya untuk
mendukung program pemulihan perekonomian nasional,
kebijakan perbankan pada tahun laporan tetap difokuskan
pada kesinambungan upaya untuk mempercepat pelak-
sanaan program restrukturisasi perbankan. Hal ini dilakukan
melalui (i) program penyehatan lembaga perbankan, dengan
memperpanjang program penjaminan pemerintah,
menyelesaikan program rekapitalisasi bank umum, melanjutkan
restrukturisasi kredit, dan memulihkan fungsi intermediasi; serta
(ii) upaya meningkatkan ketahanan sistem perbankan, dengan
perbaikan infrastruktur perbankan, penyempurnaan ketentuan
dan pemantapan pengawasan, dan peningkatan mutu
pengelolaan perbankan (good corporate governance). Dalam
memutuskan kebijakan perbankan yang ditempuh pada tahun
laporan, Bank Indonesia juga tetap mempertimbangkan dan
memenuhi berbagai kesepakatan yang telah dibuat dengan
lembaga keuangan internasional antara lain International Mon-
etary Fund (IMF) yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI), World
Bank dan Asian Development Bank.
Program Penyehatan Perbankan
Dalam rangka penyehatan perbankan, kebijakan yang
ditempuh pada tahun laporan diarahkan untuk mem-
perpanjang program penjaminan pemerintah dan
melakukan pengkajian dalam rangka pembentukan lem-
baga penjamin simpanan, menyelesaikan program reka-
pitalisasi perbankan, melanjutkan proses restrukturisasi kredit,
serta memulihkan fungsi intermediasi.
Program Penjaminan
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
sistem perbankan, Pemerintah telah memperpanjang periode
program penjaminan sampai dengan 31 Januari 2001 dan
dapat diperpanjang dengan sendirinya untuk jangka waktu
enam bulan berikutnya apabila sebelumnya tidak dinyatakan
berakhir.1) Keputusan Menteri Keuangan ini juga sekaligus
mengalihkan proses administratif penjaminan yang
sebelumnya dilakukan oleh Bank Indonesia kepada
Departemen Keuangan dan Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN).
Sebagaimana diketahui, program penjaminan
pemerintah yang bersifat menyeluruh (blanket guarantee)
tersebut hanya diberlakukan sampai dengan terbentuknya
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kajian tentang ke-
mungkinan dihapuskannya program blanket guarantee
secara bertahap telah mulai dilakukan pada tahun laporan
agar perbankan dapat menyesuaikan diri dengan rencana
pembentukan LPS yang baru.
Sementara itu, sesuai Memorandum of Understanding
(MoU) antara Gubernur Bank Indonesia dan Menteri
1) Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 179/KMK.017/2000 Tanggal26 Mei 2000 tentang Syarat, Tatacara dan Ketentuan PelaksanaanJaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
107
Keuangan tanggal 3 Mei 2000, pelaksanaan program
penjaminan yang terkait dengan trade finance dan interbank
debt exchange offer masih dilaksanakan oleh Bank Indone-
sia. Sehubungan dengan pelaksanaan penjaminan tersebut,
selama tahun laporan telah dilakukan pembayaran pokok
dan bunga atas interbank debt exchange offer sebesar $495,9
juta yang merupakan bagian dari penerbitan obligasi
pemerintah kepada Bank Indonesia dalam rangka program
penjaminan sebesar Rp53,8 triliun yang telah diterbitkan tahun
1999.
Selain itu, sebagai kelanjutan pelaksanaan penjaminan
Bank Perkreditan Rakyat (BPR), pada tahun laporan sedang
disusun MoU antara Departemen Keuangan dan Bank Indo-
nesia. Hal ini dimaksudkan untuk mempertegas pihak mana
yang melaksanakan penjaminan BPR, sehubungan dengan
telah dialihkannya pelaksanaan penjaminan bank umum ke
BPPN. Sehubungan dengan hal tersebut, telah diusulkan pula
penyempurnaan Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1999,
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran dan Likuidasi
Bank. Dengan penyempurnaan peraturan ini, BPR di waktu
mendatang diharapkan tidak perlu menanggung biaya
likuidasi, yaitu pembayaran seluruh kewajiban BPR.
Program Rekapitalisasi Bank Umum
Pada tahun laporan Pemerintah bersama Bank Indonesia telah
menyelesaikan program rekapitalisasi perbankan pada 31
Oktober 2000. Sebagai kelanjutan dari program rekapitalisasi
sebelumnya, selama tahun 2000 telah dilaksanakan
rekapitalisasi terhadap enam bank umum yaitu Bank Niaga,
Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank Take Over)
dan penerbitan obligasi tahap II bagi BNI, BRI dan BTN. Obligasi
yang diterbitkan selama tahun laporan berjumlah Rp148,6
triliun, sehingga jumlah obligasi pemerintah yang diterbitkan
dalam program rekapitalisasi bank-bank umum nasional
menjadi sebesar Rp430,4 triliun (Tabel 7.1).
Setelah memperhitungkan beberapa penyesuaian,
posisi obligasi pemerintah pada akhir tahun laporan menjadi
sebesar Rp431,8 triliun. Penyesuaian itu terkait dengan (i) buy
back sebesar Rp6,9 triliun karena kelebihan Penyertaan Modal
Kelompok Bank
Tabel 7.1Rincian Nominal Penerbitan Obligasi Pemerintah UntukProgram Rekapitalisasi (Posisi 31 Desember 2000)
Jumlah Nominal Obligasi TotalBank (Triliun Rp) (Triliun Rp)
Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond
Bank BUMN 4 114,9 131,2 36,8 282,9
BTO 14 33,9 75,4 - 109,3
Bank Rekap 7 18,0 18,9 - 36,9
BPD 12 0,4 0,8 - 1,2
Total 37 167,2 226,4 36,8 430,4
Pemerintah akibat penambahan modal bank rekap hasil right
issue atau Initial Public Offering yang melebihi prakiraan; (ii)
konversi hedge bond menjadi fixed rate bond dan; (iii)
penyesuaian nilai hedge bond berdasarkan nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS.
Dengan telah selesainya program rekapitalisasi tersebut,
permodalan bank diharapkan tidak lagi menjadi kendala bagi
penyehatan perbankan. Di samping itu, obligasi rekap tersebut
dapat menjadi salah satu sumber pendanaan bank baik
dengan cara menjual maupun mengagunkan obligasi yang
dimiliki.
Namun demikian, penjualan dan pengagunan obligasi
tersebut masih menghadapi kendala terutama sehubungan
dengan belum likuidnya pasar sekunder obligasi. Dalam
kondisi demikian, harga obligasi menjadi di bawah nilai
nominalnya. Kurang menariknya obligasi pemerintah juga
disebabkan oleh suku bunga domestik yang fluktuatif
mengingat sebagian obligasi dalam bentuk fixed rate. Untuk
meningkatkan daya tarik obligasi, bank harus memberikan
diskonto yang tinggi yang pada gilirannya dapat
mempengaruhi permodalan bank. Untuk mengatasi hal ini,
BI dan Pemerintah mengupayakan terciptanya iklim yang
kondusif bagi pengembangan pasar sekunder. Dilihat dari
komposisi portofolio, pada akhir tahun laporan, jumlah obligasi
dalam portofolio perdagangan tercatat Rp19,5 triliun atau
4,5% dari total obligasi rekapitalisasi meskipun sebenarnya
bank dimungkinkan untuk memperdagangkan sampai
dengan 25,0% dari total posisi obligasi Pemerintah yang
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
108
dimilikinya .2) Sementara itu, jumlah portofolio obligasi
Pemerintah yang diagunkan adalah Rp12,1 triliun atau 2,8% dari
total posisi obligasi. Usaha meningkatkan likuiditas pasar
sekunder obligasi rekapitalisasi masih harus dilakukan untuk
meningkatkan likuiditas bank rekapitalisasi yang pada akhirnya
akan mempercepat pemulihan intermediasi perbankan.
Program Restrukturisasi Kredit dan Pemulihan Fungsi
Intermediasi
Program restrukturisasi kredit bermasalah yang berada dalam
portofolio bank dilakukan baik oleh bank sendiri maupun
melalui mediasi dari Satuan Tugas Restrukturisasi Kredit (Satgas)
yang dibentuk Bank Indonesia. Sementara itu, BPPN melakukan
restrukturisasi atas kredit bermasalah yang ditransfer dari bank-
bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank-bank
peserta program rekapitalisasi. Di sisi lain, restrukturisasi ter-
hadap utang luar negeri perusahaan swasta nonbank
dilakukan melalui mediasi Prakarsa Jakarta.
Restrukturisasi kredit tersebut pada prinsipnya bertujuan
membantu pemulihan usaha debitur sehingga mampu kembali
menjalankan aktivitas usahanya. Untuk kredit yang masih
berada pada portofolio bank, keberhasilan restrukturisasi kredit
tersebut diharapkan mendorong debitur dapat kembali
memenuhi kewajibannya kepada bank, yang pada gilirannya
akan memperbaiki kualitas portofolio kredit bank. Sementara
untuk kredit yang berhasil direstukturisasi oleh BPPN akan
ditransfer kembali kepada perbankan, yang selanjutnya akan
mendorong kembali penyaluran kredit oleh perbankan. Kunci
keberhasilan dari proses restrukturisasi kredit tersebut terletak
pada negosiasi antara kreditur dan debitur. Dalam kaitan ini,
walaupun berbagai langkah strategis dan penyempurnaan
telah dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait di atas, namun
masih terdapat permasalahan teknis dalam upaya mem-
pertemukan kepentingan debitur dan kreditur, terutama dalam
menerapkan hair cut pokok pinjaman pada kredit sindikasi yang
melibatkan bank asing, bank BUMN dan Bank Umum Swasta
Nasional (BUSN). Kendala lain yang masih muncul dalam
pelaksanaan program restrukturisasi kredit adalah masih belum
stabilnya nilai tukar rupiah dan pengenaan pajak terhadap
debitur yang memperoleh hair cut pokok pinjaman.
Dalam rangka optimalisasi proses restrukturisasi kredit
pada perbankan, langkah-langkah penyempurnaan telah
dilakukan Satgas dengan upaya baik yang bersifat eksternal
maupun internal. Upaya eksternal dilakukan dengan
meningkatkan koordinasi dengan BPPN dan Prakarsa
Jakarta. Sementara itu, upaya internal difokuskan pada
peningkatan kemampuan profesional Satgas dalam proses
mediasi restrukturisasi dalam bentuk penyiapan manual due
diligence, proyeksi finansial serta penggunaan model yang
diperlukan.
Sementara itu, strategi restrukturisasi yang dilakukan BPPN
untuk melanjutkan restrukturisasi kredit antara lain berupa:3)
a) pengelompokan utang perusahaan berdasarkan besaran
utang, prospek usaha dan potensi pengembalian, itikad
debitur dan bagian kepemilikan BPPN terhadap kreditur lain;
b) pengelompokan proses restrukturisasi utang per grup
peminjam (one obligor); c) restrukturisasi utang berskala besar
dengan menggunakan konsultan keuangan dan hukum; d)
pengalihan restrukturisasi kredit berskala menengah, kecil dan
ritel kepada beberapa bank (outsourcing); e) penyelesaian
secara hukum (litigasi) bagi debitur yang tidak beritikad baik;
dan f) peningkatan kerja sama dengan lembaga yang terkait
dengan restrukturisasi kredit. Di samping itu, untuk
mempercepat restrukturisasi kredit di bawah Rp5 miliar BPPN
melakukan penjualan kredit dan pemberian insentif berupa
diskon bunga (25,0% s.d. 50,0%) dan diskon denda (100,0%) 4).
Sampai dengan akhir tahun 2000, kredit bermasalah di
luar BPPN yang sudah direstrukturisasi baik oleh bank sendiri
maupun melalui mediasi Satgas dan telah memasuki tahap
2) Surat Edaran No. 2/26/DPM Tanggal 8 Desember 2000 tentangPenetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0006, FR0007, FR0008, FR0009Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder Serta PeningkatanPersentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang DapatDiperdagangkan.
3) Rencana Strategis BPPN Periode 1999 – 20044) Untuk debitur dengan pokok pinjaman di bawah Rp5 miliar yang
mempunyai kemauan dan kemampuan menyelesaikan kewajibannya(sumber : Laporan Bulanan BPPN).
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
109
meningkatkan sistem pengawasan dan sumber daya manusia
(SDM) BPR.
Dalam rangka pengembangan infrastruktur BPR, Bank
Indonesia bekerjasama dengan konsultan Gesellschaft fur
Technische Zusammenarbeit GmbH (GTZ) melakukan peng-
kajian terhadap : (i) pembentukan LPS BPR; (ii) pemberdayaan
asosiasi BPR untuk dapat bertindak sebagai pengawas, kon-
sultan dan penyelenggara pelatihan bagi BPR anggotanya,
dan (iii) pembentukan Lembaga Penyangga Dana yang
dapat berfungsi untuk mengatasi permasalahan likuiditas BPR,
(iv) Baseline Survey mengenai pandangan masyarakat ter-
hadap BPR, permasalahan yang dihadapi BPR dan kebutuhan
pelatihan BPR. Untuk mendukung tercapainya proyek tersebut
telah dibentuk working group yang beranggotakan Bank In-
donesia, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri,
Departemen Koperasi dan konsultan GTZ.
Sementara itu, untuk lebih memberdayakan dan
meningkatkan sistem pengawasan BPR, Bank Indonesia telah
berupaya untuk meningkatkan law enforcement, mening-
katkan kualitas pengawas melalui studi banding, kursus, semi-
nar, serta mengintensifkan pemeriksaan BPR dengan
menggunakan tenaga Kantor Akuntan Publik. Bank Indonesia
juga mendapat bantuan teknis dalam bentuk kerja sama
dengan GTZ, United States Agency for International Develop-
ment (USAID) dan Institut Bankir Indonesia (IBI) untuk: (i)
pendidikan dan pelatihan BPR dengan sertifikasi; (ii)
penyempurnaan sistem dan prosedur operasional BPR yang
terintegrasi dalam sistem pengawasan Bank Indonesia, (iii) studi
banding pada BPR yang berhasil, dan (iv) penyusunan konsep
rekapitalisasi BPR di Jawa Barat.
Pengembangan Perbankan Syariah
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, Bank Indonesia
mempunyai komitmen yang tinggi dalam mengembangkan
bank syariah di Indonesia. Dalam tahun laporan, kebijakan
pengembangan bank syariah dilaksanakan melalui
penyempurnaan ketentuan, pengembangan piranti
moneter dan pasar keuangan syariah serta sosialisasi dan
pengembangan SDM perbankan syariah.
implementasi tercatat sebanyak 20.430 debitur dengan jumlah
Rp59,9 triliun atau 71,4% dari total NPLs. Sementara itu, BPPN
telah berhasil merestrukturisasi kredit sehingga mencapai tahap
penandatanganan MoU dan implementasi proposal re-
strukturisasi sebesar Rp80,9 triliun atau 28,3% dari total kredit
perbankan yang dikelolanya sebesar Rp286,3 triliun.
Peningkatan Ketahanan Sistem Perbankan
Dalam tahun laporan, terdapat beberapa kemajuan yang
berarti dalam upaya untuk meningkatkan ketahanan sistem
perbankan. Hal ini ditandai dengan adanya (i) perbaikan
infrastruktur perbankan yang antara lain tercermin dari
pengembangan BPR dan perbankan syariah, serta telah
dimulainya pengkajian pembentukan LPS sebagai pengganti
program penjaminan pemerintah; (ii) penyempurnaan
berbagai ketentuan dan sistem pengawasan bank yang telah
mempertimbangkan standar Bank for International Settlements
(BIS) dan komitmen dalam LoI; serta (iii) peningkatan mutu
pengelolaan bank (good corporate governance) dengan
telah dilakukannya fit and proper test, proses seleksi yang lebih
ketat terhadap calon pengurus baru di bidang perbankan,
penunjukan direktur kepatuhan, dan penyerahan kasus hasil
investigasi tindak pidana di bidang perbankan kepada
lembaga penegak hukum.
Perbaikan Infrastruktur Perbankan
Pengembangan infrastruktur perbankan selama tahun laporan
tetap difokuskan pada pengembangan BPR dan bank syariah
serta persiapan awal pembentukan LPS. Kebijakan ini tidak
terlepas dari fakta bahwa selama periode krisis, BPR dan bank
syariah relatif lebih tahan dari fluktuasi nilai tukar dan suku bunga,
sehingga pengembangan BPR dan perbankan syariah dilakukan
untuk menjaga ketahanan sistem perbankan. Upaya ini
dilakukan melalui perlindungan dana nasabah kecil sekaligus
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.
Pengembangan BPR
Beberapa upaya telah dan terus dilakukan oleh Pemerintah
dan Bank Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur BPR,
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
110
Penyempurnaan ketentuan perbankan syariah
mencakup penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi
Perbankan Syariah (PSAKS) dan pedoman teknis dalam
bentuk Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
(PAPSI). PSAKS telah selesai dibahas oleh Tim yang anggota-
nya berasal dari Bank Indonesia, Bank Muamalat Indonesia
dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam rangka penyu-
sunan ketentuan CAR dan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) bank
syariah, pada Oktober 2000 telah dilakukan survei dan simulasi
penerapan konsep CAR dan KAP yang hasilnya diharapkan
dapat dijadikan masukan bagi Bank Indonesia.
Dalam pengembangan piranti moneter, telah dilakukan
pengkajian terhadap keikutsertaan bank syariah dalam
Reksadana Syariah dengan tujuan menjajaki kemungkinan
penanaman dana bank syariah dalam bentuk Reksadana
Syariah dan sekaligus sebagai surat berharga yang dapat
dijadikan agunan dalam mendapatkan fasilitas jangka pendek
dari Bank Indonesia apabila bank mengalami kesulitan likuiditas.
Untuk lebih memperkenalkan kegiatan usaha perbankan
syariah, Bank Indonesia terus melakukan sosialisasi perbankan
syariah secara intensif di berbagai daerah melalui kerja sama
dengan Majelis Ulama setempat. Di samping itu, Bank Indone-
sia telah melakukan penelitian tentang potensi, preferensi dan
perilaku konsumen terhadap bank syariah di Pulau Jawa, untuk
mendapatkan data mengenai peta pengembangan bank
syariah yang potensial.
Dalam rangka pengembangan SDM, Bank Indonesia te-
lah melaksanakan pelatihan dasar perbankan syariah dengan
peserta pelatihan berasal dari perbankan, universitas, pesantren
dan intern Bank Indonesia. Pelatihan tersebut bertujuan untuk
meningkatkan pemahaman dan ketrampilan para bankir, para
akademisi dan pengurus pesantren serta jajaran pengawas bank
di Bank Indonesia serta untuk meningkatkan pengetahuan
tentang bank syariah, sehingga diharapkan peserta pelatihan
dapat mensosialisasikan bank syariah kepada masyarakat luas.
Lembaga Penjamin Simpanan
Dalam tahun laporan, kajian dalam rangka pembentukan LPS
yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia telah dimulai
untuk pada waktunya nanti diberlakukan sebagai pengganti
program penjaminan Pemerintah. Sebagaimana diketahui,
pada tahun 1999 pemerintah telah membentuk suatu work-
ing group, dimana Bank Indonesia sebagai salah satu
anggotanya, untuk mengkaji dan mempersiapkan pendirian
LPS tersebut sebagaimana diatur dalam UU Perbankan. Kajian
ini mencakup prasyarat pendirian LPS, jenis simpanan yang
dijamin, batas maksimum yang dijamin, keanggotaan, premi
penjaminan, kelembagaan, dan kepemilikan. Dalam
hubungan ini, Bank Indonesia telah menyampaikan masukan-
masukan kepada working group tersebut. Untuk itu, Bank In-
donesia membuat proyek penelitian bersama dengan
perguruan tinggi mengenai berbagai aspek dalam pendirian
LPS bank umum termasuk dengan mengamati praktek yang
terjadi di beberapa negara lain. Bank Indonesia bekerjasama
dengan konsultan GTZ juga melakukan pengkajian tentang
LPS untuk BPR. Dengan memperhatikan perkembangan
perbankan nasional, LPS diharapkan dapat direalisasikan
selambat-lambatnya tahun 2004.
Penyempurnaan Ketentuan dan Pemantapan Penga-
wasan Bank
Sebagai upaya memantapkan ketahanan industri perbankan,
pada tahun laporan Bank Indonesia telah menyempurnakan
beberapa ketentuan perbankan dan lebih memantapkan
sistem pengawasan bank. Penyempurnaan ketentuan
perbankan antara lain mencakup ketentuan mengenai fit and
proper test, penetapan status bank, exit policy, Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), restrukturisasi kredit,
penilaian aktiva produktif, pendanaan jangka pendek,
perdagangan portofolio obligasi pemerintah, bank syariah,
laporan bulanan bank, fasilitas likuiditas intrahari dan
kelembagaan bank umum. Sementara itu, sesuai dengan LoI,
pemantapan sistem pengawasan bank dilakukan dengan
perubahan paradigma pengawasan menjadi berorientasi ke
depan (forward looking), dengan berdasarkan pada penga-
wasan berbasis risiko (risk based supervision) yang mengacu
pada standar internasional dengan 25 Basel Core Principles
for Effective Banking Supervision.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
111
restrukturisasi kredit12) dan exit policy.13 ) Ketentuan exit
policy merupakan penyempurnaan kebijakan dalam
penanganan bank bermasalah yang lebih transparan
dengan menetapkan kriteria bank yang dikategorikan
dalam pengawasan khusus (special surveillance) dan
tindakan-tindakan korektif yang harus diselesaikan dalam
periode tertentu dan kriteria bank untuk ditransfer menjadi
Bank Dalam Penyehatan di bawah pengawasan BPPN.
Penyempurnaan terhadap ketentuan restrukturisasi kredit
dan BMPK serta penilaian aktiva produktif juga dilakukan
untuk memperlancar restrukturisasi kredit. Penyempurnaan
ini pada dasarnya memberikan kelonggaran per-
panjangan batas waktu penyelesaian pelampauan BMPK
kepada perusahaan yang mengikuti program restruk-
turisasi kredit melalui lembaga resmi. Di samping itu, dalam
perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR)
aktiva produktif kualitas Lancar dinilai berdasarkan nilai
buku, sedangkan aktiva produktif dengan kualitas
nonlancar dinilai berdasarkan nilai buku setelah dikurangi
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP). Selain
itu, menyangkut rahasia bank telah dipertegas batasan
kerahasiaan bank yang tidak berlaku untuk keperluan
perpajakan; penyelesaian piutang bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang
Negara (BPULN) atau Panitia Urusan Piutang Negara; dan,
kepentingan peradilan dalam perkara pidana; sepanjang
terlebih dahulu memperoleh perintah atau izin tertulis dari
Penyempurnaan Ketentuan Perbankan
Selama tahun laporan Bank Indonesia telah mengeluarkan
beberapa ketentuan yang ruang lingkupnya meliputi: (i) sistem
pengawasan; (ii) peningkatan mutu pengelolaan perbankan
(good corporate governance); (iii) prinsip kehati-hatian (pru-
dential banking); (iv) likuiditas perbankan; serta, (v) penjaminan
pemerintah.
(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup sistem
pengawasan mencakup persyaratan dan tata cara
pemeriksaan bank ,5) laporan bulanan bank umum
(LBU) ,6) dan bank umum .7) Ketentuan LBU merupakan
penyempurnaan pelaporan bank umum kepada Bank
Indonesia sehubungan dengan diberlakukannya
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 31 dan
penyesuaian dengan kemajuan teknologi informasi. Hal-
hal yang diatur antara lain jenis laporan yang disam-
paikan; periode dan prosedur, untuk penyampaian dan
koreksi laporan; serta, sanksi.
(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup peningkatan
mutu pengelolaan perbankan mencakup rincian
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper
test) ,8) dan penyempurnaan tata cara penentuan hasil
penilaian kemampuan dan kepatutan.9) Penyempurnaan
ketentuan fit and proper test berkaitan dengan hal-hal:
(i) transparansi proses penilaian; (ii) jangka waktu
pengenaan sanksi, (ii i) kriteria penentuan faktor
materialitas kerugian yang dialami bank; serta (iv)
penilaian setelah masa pengenaan sanksi terlampaui.
(iii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup prinsip kehati-
hatian mencakup penyediaan dana bank,10 ) rahasia
bank,11) beberapa ketentuan untuk memperlancar
5) Peraturan Bank Indonesia No.2/6/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000tentang Persyaratan dan Tatacara Pemeriksaan Bank.
6) Peraturan Bank Indonesia No.2/21/PBI/2000 tanggal 19 September 2000tentang Laporan Bulanan Bank Umum.
7) Peraturan Bank Indonesia No.2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000tentang Bank Umum.
8) Peraturan Bank Indonesia No.2/1/PBI/2000 tanggal 14 Januari 2000tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
9) Peraturan Bank Indonesia No.2/23/PBI/2000 tanggal 6 November 2000tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test).
10) Peraturan Bank Indonesia No.2/5/PBI/2000 tanggal 21 Februari 2000tentang Penyediaan Dana Bank Yang Dijamin Oleh Bank Lain.
11) Peraturan Bank Indonesia No.2/19/PBI/2000 tanggal 7 September 2000tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin TertulisMembuka Rahasia Bank.
12) Peraturan Bank Indonesia No.2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit;Peraturan Bank Indonesia No.2/16/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.31/177/KEP/DIR tanggal 31 Desember 1998 tentang Batas MaksimumPemberian Kredit Bank Umum; dan, Surat Edaran Bank Indonesia No.2/12/DPNP tanggal 12 Juni 2000 tentang Penilaian Aktiva Produktif DalamPerhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko.
13) Peraturan Bank Indonesia No.2/11/PBI/2000 tanggal 31 Maret 2000tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank Kepada BPPN.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
112
Pimpinan Bank Indonesia. Namun, perintah atau izin tertulis
tersebut tidak diperlukan dalam rangka kepentingan
peradilan dalam perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya; tukar menukar informasi antarbank;
permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis; dan, permintaan
ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yang telah
meninggal dunia.
(iv) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup likuiditas bank
mencakup penetapan obligasi pemerintah untuk
diperdagangkan di pasar sekunder dan persentase
obligasi pemerintah yang dapat diperdagangkan serta
penatausahaannya,14) fasilitas pendanaan jangka
pendek (FPJP) dan fasilitas likuiditas intrahari (FLI).
Ketentuan FPJP memungkinkan Bank Indonesia untuk
memberikan fasilitas pendanaan kepada bank yang
mengalami kesulitan likuiditas pendanaan jangka pendek
dan tidak mengalami kesulitan struktural. Sementara
ketentuan FLI bertujuan meminimalkan kemungkinan
terjadinya kemacetan dalam sistem pembayaran
(gridlock) karena bank mengalami kesulitan pendanaan
dalam waktu yang sangat pendek.
(v) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah, ketentuan
yang dikeluarkan mencakup penjaminan interbank debt
exchange offer dan trade finance.15)
Pemantapan Sistem Pengawasan Bank
Sebagai bagian dan dalam rangka memenuhi kesepakatan
Pemerintah Indonesia dengan IMF yang tertuang dalam LoI,
Bank Indonesia telah menyusun rencana induk (Master Plan)
perbankan yang berisi program pokok pemantapan efektivitas
pengawasan langsung (pemeriksaan bank) maupun tidak
langsung. Program pokok tersebut antara lain mencakup pro-
gram pengawasan intensif (special surveillance) dan On-Site
Supervisory Presence (OSP) di beberapa bank yang secara
sistemik memiliki pengaruh yang cukup besar bagi per-
ekonomian. Sebagian besar dari pokok program rencana
induk tersebut telah dilaksanakan dalam tahun laporan.
Sesuai kesepakatan di atas, Bank Indonesia perlu segera
menyesuaikan standar pengawasan bank sesuai dengan
standar internasional pengawasan bank sebagaimana dimuat
dalam 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervi-
sion. Untuk itu, Bank Indonesia telah menyusun suatu Detailed
Action Plan (DAP) yang memuat langkah-langkah pokok
dalam kerangka pengaturan dan pengawasan bank untuk
memastikan pemenuhan Bank Indonesia terhadap standar
internasional di bidang pengawasan bank dalam 2 tahun ke
depan yakni sampai tahun 2002.
Beberapa kegiatan pokok dalam DAP tersebut, antara
lain meliputi implementasi (i) persyaratan/ketentuan dalam
pemberian izin untuk pendirian bank, pemilik dan pengurus
bank; (ii) koordinasi antar otoritas pengawas di sektor
keuangan; (iii) perluasan cakupan pemeriksaan yang bukan
hanya pada segi operasional bank tetapi juga meliputi
kebijakan, prosedur dan pengawasan intern; (iv) pengawasan
yang berdasarkan risiko; (v) pengawasan bank secara
konsolidasi dengan perusahaan afiliasi; dan (vi) perhitungan
CAR dengan memasukkan unsur market risk.
Bank Indonesia telah menyelesaikan dokumen DAP
tersebut sesuai batas waktu yang ditetapkan. Lebih jauh, Bank
Indonesia telah mensinergikan antara kegiatan-kegiatan
dalam rencana induk (Master Plan) pengawasan dengan
kegiatan serupa yang dimuat dalam DAP untuk menghasilkan
produk berupa Master Dokumen Pengawasan Bank (MDPB) –
Bank Indonesia. MDPB tersebut selanjutnya akan menjadi
acuan bagi Bank Indonesia. Untuk memastikan efektivitasnya,
maka penyusunan MDPB mendapatkan prioritas dan
komitmen khusus.
14 Surat Edaran Bank Indonesia No.2/14/DPNP tanggal 27 Juni 2000 tentangPenetapan Obligasi Pemerintah seri FR0002 Untuk Diperdagangkan diPasar Sekunder; Surat Edaran Bank Indonesia No.2/16/DPNP tanggal25 Juli 2000 tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, FR0004dan FR0005 Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder; Surat EdaranBank Indonesia No.2/18/DPM tanggal 19 September 2000 tentangPeningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang DapatDiperdagangkan Bagi Bank Umum Peserta Program RekapitalisasiPerbankan
15 Peraturan Bank Indonesia No.2/12/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 tentangJaminan Pinjaman Luar Negeri Antarbank; dan, Peraturan Bank Indo-nesia No.2/13/PBI/2000 tanggal 16 Mei 2000 tentang JaminanPembiayaan Perdagangan Internasional.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
113
Selanjutnya, dalam rangka lebih memantapkan fungsi
pengawasan bank, pelaksanaan pengawasan bank tidak
hanya difokuskan pada pengawasan berdasarkan kepatuhan
terhadap ketentuan kehati-hatian (compliance supervision)
tetapi juga diarahkan pada pengawasan berdasarkan risiko
yang dihadapi (risk based supervision). Dalam kaitan tersebut,
Bank Indonesia telah menempatkan tenaga OSP pada
beberapa bank yang dinilai penting bagi perekonomian.
Hingga saat ini telah ditempatkan beberapa tenaga OSP pada
4 bank BUMN dan 5 bank swasta nasional. Untuk lebih
memantapkan kemampuan tenaga OSP, telah dilakukan pula
pelatihan dengan Technical Assistance (TA) dari IMF. Selain itu,
telah ditempatkan dua orang TA IMF dalam rangka
meningkatkan fungsi pengawasan bank termasuk membantu
penanganan tugas Special Surveillance, yaitu pengawasan
secara intensif terhadap bank yang memiliki CAR di bawah
4,0% dan atau NPLs di atas 35,0%.
Dengan telah dan mulai diterapkannya master plan, OSP
dan DAP yang juga meliputi 25 BIS Core Principles, maka
komitmen Bank Indonesia dalam LoI pada tahun 2000 telah
terpenuhi.
Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (good cor-
porate governance)
Peningkatan mutu pengelolaan perbankan merupakan salah
satu upaya dalam rangka memantapkan ketahanan sistem
perbankan, yaitu melalui pelaksanaan fit and proper test pada
pemilik dan pengurus bank, wawancara bagi calon pemilik
dan pengurus bank, penunjukkan direktur kepatuhan, dan
investigasi tindak pidana di bidang perbankan.
Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper
Penilaian fit and proper dilakukan terhadap pemilik dan
pengurus bank secara berkala dan berkesinambungan melalui
penelitian administrasi yang berkaitan dengan penilaian kinerja
masa lalu (track record). Sejak tahun 1999 sampai dengan
periode laporan telah dilakukan penilaian fit and proper
terhadap 1.077 orang yang terdiri dari 93 orang pemilik dan
984 orang pengurus. Jumlah tersebut berasal dari 3 bank BUMN
(84 orang), 74 bank kategori A (700 orang), 2 bank swasta
peserta program rekapitalisasi (27 orang), 1 BTO (6 orang) dan
25 BPD (260 orang). Dari penilaian tersebut sebanyak 631
orang pengurus dinyatakan Lulus, 76 orang pemilik dan 243
orang pengurus Lulus Bersyarat dan sebanyak 17 orang pemilik
dan 110 orang pengurus dinyatakan Tidak Lulus.
Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank
Wawancara dilakukan untuk mengetahui integritas dan
kompetensi calon pengurus baru dan integritas calon pemilik
bank. Sampai dengan akhir periode laporan, Bank Indonesia
telah melakukan wawancara terhadap 562 calon pengurus
dan pemilik yang diajukan oleh 153 bank. Dari wawancara
tersebut, 507 calon dinyatakan lulus fit and proper test.
Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
Penunjukan Direktur Kepatuhan merupakan bagian penting
dari sistem pencegahan internal oleh manajemen bank. Fungsi
Direktur Kepatuhan adalah untuk secara aktif mengambil
berbagai langkah guna mencegah manajemen bank
menetapkan kebijakan dan/atau mengambil keputusan yang
di dalamnya mengandung unsur-unsur ketidakpatuhan,
penyimpangan atau bahkan pelanggaran terhadap
ketentuan kehati-hatian (prudential regulation). Sampai
dengan Desember 2000, 161 bank telah mengajukan 216
orang calon Direktur Kepatuhan. Hasil penilaian atas
pencalonan tersebut, sebanyak 156 orang calon telah disetujui,
30 orang calon ditolak, 14 orang calon sedang dalam proses
penilaian, sedangkan 16 orang calon mengundurkan diri atau
membatalkan pencalonannya.
Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Dalam melakukan investigasi tindak pidana di bidang
perbankan, Bank Indonesia, dalam hal ini Unit Khusus Investigasi
Perbankan (UKIP) terus meningkatkan koordinasi dengan
Kepolisian Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung dalam
membahas kasus-kasus tindak pidana di perbankan. Dalam
pembahasan bersama tersebut, BPPN juga diikutsertakan
sebagai nara sumber. Sampai dengan Desember 2000, UKIP
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
114
laporan sebelumnya. Penurunan tersebut juga sejalan dengan
pelaksanaan program restrukturisasi perbankan.
Perkembangan BPR
Dalam tahun laporan, jumlah BPR menurun sebanyak 8 BPR
sehingga menjadi 7.764 BPR sebagai akibat pencabutan izin
usaha 10 BPR dan pendirian 2 BPR baru. Selain itu, dalam tahun
laporan juga dilakukan pembekuan kegiatan usaha tertentu
terhadap 96 BPR. Adapun BPR yang beroperasi dengan prinsip
syariah tercatat sejumlah 79 BPR. Sementara itu, kegiatan
usaha BPR menunjukkan peningkatan yang tercermin dari
perkembangan total aset, penyaluran kredit dan pendanaan
(Tabel 7.4). Sejalan dengan perkembangan tersebut, dalam
telah menyerahkan kasus dugaan tindak pidana di bidang
perbankan yang terjadi pada 19 bank termasuk 3 BPR kepada
lembaga penegak hukum.
Kelembagaan
Perkembangan Bank Umum
Pada akhir tahun laporan jumlah bank yang beroperasi
menjadi 151 bank, turun sebanyak 13 bank dari 164 bank pada
tahun laporan sebelumnya (Tabel 7.2). Penurunan ini
disebabkan adanya merger 9 bank take over (BTO) menjadi
Bank Danamon, pembekuan kegiatan usaha 3 BUSN dan
merger 2 bank campuran (Tabel 7.3)
Sejalan dengan penggabungan dan pembekuan
kegiatan usaha tersebut, jumlah kantor bank umum yang
beroperasi menurun dari 7.113 kantor menjadi 6.509 kantor.
Dengan penggabungan tersebut maka jumlah kantor
kelompok BTO atau BUSN Devisa mengalami penurunan
menjadi 3.302 kantor dibandingkan 3.798 kantor pada tahun
Kelompok Bank
Tabel 7.2Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor Bank
Posisi Pertumbuhan Pangsa 1)
(%) (%)
1998 1999 2000 1999 2000 2000
I. Bank UmumJumlah Bank 208 164 151 –21,2 –7,9 100,0
Jumlah Kantor 2) 7.661 7.113 6.509 –7,2 –8,5 100,0Bank BUMN
Jumlah Bank 7 5 5 –28,6 0,0 3,3Jumlah Kantor 1.875 1.853 1.736 –1,2 –6,3 26,7
BPDJumlah Bank 27 27 26 0,0 –3,7 17,2Jumlah Kantor 822 825 826 0,4 0,1 12,7
BUSN DevisaJumlah Bank 71 47 38 –33,8 –19,1 25,2
Jumlah Kantor 4.157 3.798 3.302 –8,6 –13,1 50,7BUSN Nondevisa
Jumlah Bank 59 45 43 –23,7 –4,4 28,5Jumlah Kantor 701 533 535 –24.0 0,4 8,2
Bank CampuranJumlah Bank 34 30 29 –11,8 –3,3 19,2Jumlah Kantor 65 57 57 –12,3 0,0 0,9
Bank Asing Jumlah Bank 10 10 10 0,0 0,0 6,6 Jumlah Kantor 41 47 53 14,6 12,8 0,8
II. BPR 7.607 7.772 7.764 2,17 –0,10BKD 5.345 5.345 5.345 0,00 0,0NonBKD 2.262 2.427 2.419 7,29 –0,33
1) Pangsa terhadap seluruh bank umum2) Tidak termasuk BRI Unit Desa
Tabel 7.3Daftar Bank Merger, Bank Beku Kegiatan Usaha Tahun 2000
Bank Merger Bank Beku Kegiatan Usaha30 Juni 2000 ke Danamon 20 Oktober 2000
1. Bank Tiara Asia 1. Bank Prasida Utama2. Bank Nusa Nasional 2. Bank Ratu3. Bank Tamara4. Bank Rama5. Bank Pos Nusantara6. Bank Duta7. Bank Risjad Salim Internasional8. Bank Jaya Internasional
20 Desember 19991)
1. Bank PDFCI
24 Desember 19991)
1. Hanvit 2)
1) Merger tahun 1999, pelaksanaan tahun 20002) Merger 2 bank campuran :
– Korea Commercial Surya– Hanil Tamara Bank
28 Januari 2000
1. Bank Putera Multikarsa
Tabel 7.4Perkembangan Usaha BPR
1997 1998 1999 20001)
Miliar rupiah
Volume Usaha 2.994 2.981 3.702 4.018
Dana Pihak Ketiga 1.601 1.527 2.054 2.332
Kredit 2.288 1.986 2.593 2.875
Modal Disetor 623 706 778 812
Laba (Rugi) Tahun Berjalan 30 (42) (16) (11)
1) Angka proyeksi
Uraian
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
115
tahun laporan BPR dapat memperkecil rugi usaha dari Rp16,0
miliar menjadi Rp11,0 miliar. Walaupun kinerja BPR telah
membaik namun BPR belum dapat menyaingi bank umum
yang melakukan penetrasi pasar pada segmen yang sama.
Dalam upaya mengurangi persaingan antara bank umum dan
BPR di pasar yang sebenarnya diarahkan untuk BPR tersebut,
perbaikan infrastruktur bagi BPR masih memerlukan ketegasan
sikap Pemerintah
Perkembangan Bank Syariah
Sejalan dengan kebijakan pengembangan bank syariah,
jumlah kantor cabang bank umum yang beroperasi dengan
prinsip syariah meningkat sebanyak 37 sehingga menjadi 119
kantor bank. Kantor cabang tersebut terdiri dari 27 kantor
cabang Bank Muamalat Indonesia dan Bank Syariah Mandiri,
10 Kantor Cabang Syariah (KCS) dari 3 bank umum
konvensional yaitu Bank IFI, Bank BNI dan Bank Jabar, serta 79
BPR syariah.
Pada akhir tahun 2000, pangsa pasar bank syariah masih
sangat kecil yaitu hanya sebesar Rp1,71 triliun atau 0,2% dari
total aset perbankan, sehingga kemampuan melakukan
penetrasi pasar sangat terbatas. Hal tersebut antara lain
disebabkan adanya keterbatasan jumlah bank dan jaringan,
SDM yang memahami prinsip syariah maupun pemahaman
masyarakat terhadap bank syariah.
Kegiatan Usaha Bank Umum
Secara umum, beberapa indikator kinerja perbankan pada
tahun 2000 menunjukkan perbaikan, seperti tercermin dari
meningkatnya total aset, penghimpunan dana, pemberian
kredit, kualitas aktiva produktif, permodalan, dan profitabilitas
bank (Tabel 7.5). Perbaikan kinerja perbankan tersebut tidak
terlepas dari berbagai langkah kebijakan yang telah ditempuh
dalam rangka restrukturisasi perbankan nasional, serta
didukung pula oleh perbaikan kondisi makroekonomi secara
keseluruhan.
Walaupun demikian, dalam hal penyaluran kredit,
perbankan masih melihat tingginya risiko dunia usaha akibat
pengalaman terpuruknya sektor korporasi selama masa krisis
Tabel 7.5Indikator Perbankan
Indikator Perbankan 1998 1999 2000
Total Aset 895,5 1.006,7 1.030,5
Dana Pihak Ketiga 625,4 617,6 699,1
Kredit 545,5 277,3 320,4
Kualitas Aktiva Produktif :Lancar 408,2 607,2 591,2Dalam Perhatian Khusus 48,2 25,2 21,3Kurang Lancar 57,5 28,1 32,3Diragukan 83,7 35,4 16,9Macet 135,5 28,5 29,3
NPLs - gross (%) 48,6 32,8 18,8
NPLs - net (%) 34,7 7,3 5,8
Modal -129,8 -41,2 53,5
Laba (Rugi) -178,6 -91,7 10,5
Net Interest Margin -73,0 -38,6 22,8
Triliun rupiah
yang memberikan dampak negatif pada kinerja perbankan
nasional. Terbatasnya alternatif penempatan dana
menyebabkan perbankan cenderung untuk memilih alternatif
penanaman berjangka waktu pendek dengan risiko rendah
seperti SBI dan antarbank. Fenomena ini menyebabkan
perbankan cenderung terus mempertahankan marjin
keuntungannya melalui penetapan suku bunga simpanannya
di bawah suku bunga SBI. Kondisi ini yang menyebabkan
peningkatan suku bunga SBI tidak diikuti oleh kenaikan suku
bunga simpanan secara proporsional (Boks : Sensitivitas Suku
Bunga Deposito).
Total Aset
Dalam tahun laporan, total aset perbankan meningkat sebesar
2,4% dibanding Desember 1999 sehingga menjadi Rp1.030,5
triliun. Sebagian besar aset perbankan berupa obligasi
pemerintah yang dimiliki oleh bank-bank peserta program
rekapitalisasi. Pada akhir tahun 2000, portofolio obligasi
pemerintah di bank-bank mencapai Rp431,8 triliun atau 41,9%
dari total aset dan SBI sebesar Rp59,8 triliun atau 5,8% dari to-
tal aset. Sementara itu, portofolio kredit sebesar Rp320,4 triliun
atau 31,1% dari total aset (Grafik 7.1). Hal ini menunjukkan
bahwa bank-bank mempunyai kelebihan dana yang sebagian
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
116
27.
48. 48.
60.
27. 31.
0,0
20,0
40,0
60,0
80,0
100,0
120,0
Des-98 Des-99 Des-00
Kredit SBI Surat-surat BerhargaObligasi Antarbank aktiva Penyertaan
(%)
Grafik 7.1Komposisi Aset Perbankan
16) Dana pihak ketiga perbankan berbeda dengan konsep yang ada dibab moneter. Dalam konsep perbankan, dana pihak ketigamencakup dana milik non residen dan pemerintah.
Jenis Simpanan
Tabel 7.6Perkembangan Dana Pihak Ketiga
Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)
1998 19991) 2000 1999 2000 2000
Giro 99,8 111,8 161,5 12,1 44,4 23,10
Rupiah 57,4 68,5 103,6 19,3 51,3 14,82
Valuta Asing 42,4 43,4 57,9 2,3 33,4 8,28
Deposito Berjangka 456,9 382,8 384,7 (16,2) 0,5 55,03
Rupiah 300,4 301,4 296,7 0,3 (1,6) 42,44
Valuta Asing 156,5 81,4 88,0 (48,0) 8,1 12,59
Tabungan 68,7 123,0 152,9 79,0 24,4 21,88
Rupiah 68,7 123,0 152,9 79,0 24,4 21,88
Valuta Asing – – – – – –
Total 625,4 617,6 699,1 (1,2) 13,2 100,00Rupiah 426,5 492,9 553 15,6 12,2 79,13
Valuta Asing 198,9 124,8 145,9 (37,3) 16,9 20,87
1) Tidak termasuk simpanan antarbank
rintah dan proses rekapitalisasi. Dana pihak ketiga dalam valuta
asing meningkat 16,9%, namun apabila pengaruh nilai tukar
diabaikan dana pihak ketiga dalam valuta asing tersebut justru
turun sebesar 12,9%.
Dilihat dari komposisinya, deposito masih mendominasi
dana pihak ketiga dengan pangsa sebesar 55,0%. Sementara
itu, giro dan tabungan masing-masing memiliki pangsa sebesar
23,1% dan 21,9%. Dibandingkan tahun sebelumnya giro dan
tabungan mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar
44,3% dan 24,3%. Sementara deposito hanya mengalami
kenaikan sebesar 0,5% dengan memperhitungkan depresiasi
nilai tukar rupiah. Apabila dihilangkan pengaruh depresiasi
tersebut, deposito justru mengalami penurunan sebesar 5,4%
dibanding tahun sebelumnya. Penurunan deposito tersebut
menunjukkan terjadinya perubahan minat penanaman dana
masyarakat dari deposito ke dalam bentuk giro dan tabungan.
Hal ini antara lain disebabkan oleh relatif kecilnya perbedaan
antara suku bunga deposito dan tabungan yang ditawarkan
oleh bank, sementara di sisi lain giro dan tabungan
menawarkan fleksibilitas yang diperlukan dalam kondisi
tingginya ketidakpastian sosial politik.
dapat disalurkan dalam bentuk kredit. Selain itu persentase
total kredit perbankan sebesar 31,1% masih jauh di bawah posisi
sebelum krisis yang mencapai di atas 70,0%. Hal ini
menunjukkan masih belum pulihnya fungsi intermediasi
perbankan yang bertumpu pada penyaluran kredit. Di
samping itu, masih besarnya porsi obligasi pemerintah
menunjukkan bahwa upaya untuk melakukan penjualan
sebagian obligasi pemerintah yang dimiliki dan peng-
ambilalihan (refinancing) kredit yang telah direstrukturisasi BPPN
oleh perbankan belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
Penghimpunan Dana
Selama tahun 2000, dana pihak ketiga16) yang berhasil
dihimpun perbankan mengalami peningkatan sebesar 13,2%
sehingga menjadi Rp699,1 triliun (Tabel 7.6) . Peningkatan ini
meliputi seluruh jenis simpanan rupiah dan valuta asing,
terkecuali deposito rupiah yang menurun 1,6%. Faktor utama
penyebab meningkatnya dana pihak ketiga antara lain
adalah karena masih terjaganya kepercayaan masyarakat
seiring dengan dilanjutkannya program penjaminan peme-
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
117
Kredit Perbankan
Selama periode laporan, posisi kredit perbankan meningkat
sebesar 15,5% sehingga menjadi Rp320,4 triliun dibanding tahun
sebelumnya (Tabel 7.7). Peningkatan tersebut berasal dari
kredit rupiah dan kredit valuta asing yang masing-masing naik
sebesar Rp18,9 triliun (11,9%) dan Rp24,2 triliun (20,5%). Apabila
pengaruh nilai tukar dihilangkan, kredit dalam valuta asing
menjadi turun sebesar 10,8%, sehingga posisi kredit dalam
tahun laporan hanya meningkat sebesar 2,2%.
Peningkatan kredit rupiah antara lain disebabkan
adanya penyaluran kredit baru dan penjualan kembali kredit
yang telah direstrukturisasi oleh BPPN ke sektor perbankan.
Selama paro kedua tahun laporan, kredit baru yang telah
disalurkan sebesar Rp26,5 triliun17) . Sementara itu, jumlah kredit
yang telah direstrukturisasi, baik oleh bank sendiri atau melalui
fasilitasi Satgas sampai dengan Desember 2000 tercatat
sebesar Rp59,9 triliun atau 71,0% dari total NPLs yang terdiri atas
20.430 debitur. Berdasarkan Laporan Bulanan BPPN tanggal 2
Januari 2001, dari Rp286,3 triliun kredit perbankan yang telah
dialihkan dan dikelola BPPN, tercatat sejumlah Rp80,9 triliun
telah berhasil direstrukturisasi. Dapat diinformasikan bahwa
selama tahun laporan masih terdapat pengalihan kredit ke
BPPN sehubungan program rekapitalisasi, khususnya untuk
bank BUMN.
Masih rendahnya pertumbuhan kredit selama tahun
2000 disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, debitur
potensial masih terbatas sehubungan masih banyaknya
debitur berskala besar dalam proses restrukturisasi di BPPN.
Sebagian dari penyaluran kredit baru hanya diberikan dalam
bentuk kredit menengah dan kredit kecil dengan tujuan
konsumsi. Kedua, perbankan menilai bahwa risiko usaha masih
tinggi, meskipun terdapat permohonan kredit oleh nasabah
baru. Ketiga, para debitur belum melakukan penarikan atas
komitmen kredit secara optimal karena belum didukung oleh
iklim usaha yang kondusif. Keempat, beberapa bank
rekapitalisasi yang masih mengalami masalah likuiditas
Jenis Kredit
Tabel 7.7Perkembangan Kredit Perbankan
Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)
1998 1999 2000 1999 2000 2000
Menurut Sektor Ekonomi 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,5 100,0 Pertanian 34,9 26,1 19,9 (25,2) (23,8) 6,2 Pertambangan 7,9 5,4 5,3 (31,6) (1,9) 1,7
Perindustrian 195,8 97,9 109,7 (50,0) 12,1 34,2Listrik 23,6 20,0 5,1 (15,3) (74,5) 1,6Konstruksi 41,5 13,3 7,2 (68,0) (45,9) 2,2Perdagangan 96,1 45,2 46,0 (53,0) 1,8 14,4Pengangkutan 17,6 12,4 7,3 (29,5) (41,1) 2,3Jenis Dunia Usaha 88,6 26,4 26,4 (70,2) -- 8,2Jasa Sosial 8,3 3,3 2,9 (60,2) (12,1) 0,9Lain-lain 31,0 27,3 90,6 (11,9) 231,9 28,3
Menurut Kelompok Bank 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,6 100,0 Bank BUMN 279,4 152,1 142,8 (45,6) (6,1) 44,6
BUSN Devisa 179,5 56,5 79,4 (68,5) 40,5 24,8BUSN Non Devisa 7,0 5,0 10,6 (28,6) 112,0 3,3BPD 12,8 13,6 11,5 6,4 (15,3) 3,6Bank Campuran 37,5 22,5 29,3 (40,0) 30,0 9,1Bank Asing 29,3 27,6 46,8 (5,9) 69,6 14,6
Menurut Denominasi 545,4 277,3 320,4 (49,2) 15,5 100,0Rupiah 315,3 159,1 178,0 (49,5 11,9 55,6Valuta asing 230,2 118,2 142,4 (48,7) 20,5 44,4
17) Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID) yang didukung hasilsurvei terhadap sejumlah bank.
menghadapi kesulitan untuk menjual obligasi yang dimilikinya
karena belum berkembangnya pasar sekunder obligasi
pemerintah. Kelima, beberapa bank masih menghadapi
masalah yang terkait dengan pemenuhan CAR dan pelang-
garan BMPK.
Kualitas Aktiva Produktif
Dalam tahun laporan, kualitas aktiva produktif perbankan
yang terdiri dari kredit, surat berharga, obligasi pemerintah,
penanaman antarbank, dan penyertaan mengalami sedikit
perbaikan. Pada akhir tahun 2000, besarnya aktiva produktif
bermasalah yang dimiliki perbankan tercatat sebesar 11,3%
dari total aktiva, menurun dari 12,7% pada periode
sebelumnya (Tabel 7.8). Hal ini berkaitan dengan kemajuan
proses restrukturisasi kredit dan tambahan penerbitan obligasi
pemerintah dalam tahap akhir proses rekapitalisasi
perbankan.
Sejalan dengan kemajuan proses restrukturisasi kredit,
rasio NPLs tanpa memperhitungkan PPAP yang dibentuk (Gross
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
118
pemberian kredit baru dan pengalihan kredit yang telah
direstrukturisasi dari BPPN ke perbankan.
Pembiayaan Usaha Kecil
Sejak diberlakukannya pasal 74 UU No. 23 tahun 1999, kebijakan
perkreditan Bank Indonesia dalam pengembangan usaha kecil
dan menengah (UKM) mengalami perubahan yang mendasar.
Bank Indonesia tidak lagi memberikan bantuan keuangan
Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada dunia usaha
termasuk UKM dan sumber pembiayaan untuk usaha kecil
selanjutnya berasal dari Pemerintah dan perbankan. Adapun
kebijakan pengembangan usaha kecil Bank Indonesia
selanjutnya meliputi :
(i) peningkatan bantuan teknis kepada usaha kecil dan
mikro melalui kegiatan penelitian, pelatihan dan sosialisasi;
(ii) kebijakan di bidang perbankan dengan : a) mendorong
perbankan untuk menyalurkan kredit ke usaha kecil, b)
mendorong perbankan untuk melakukan diversifikasi
portofolio kredit melalui peningkatan pangsa kredit
kepada usaha kecil dan mikro, c) mendorong perbankan
untuk melakukan pemberian kredit dengan bunga pasar,
dan d) pengembangan kelembagaan perbankan antara
lain pengembangan BPR dan bank yang beroperasi
dengan prinsip syariah.
(iii) memfasilitasi sistem informasi usaha kecil melalui Sistem
Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem
Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE) (Boks : SIB
dan SIABE).
Untuk kesinambungan pembiayaan kredit program,
Bank Indonesia telah melaksanakan kebijakan-kebijakan
melalui mekanisme:
(i) Pembelian Surat Utang Pemerintah (SUP) sesuai dengan
Keppres No. 176 tahun 1999 tanggal 28 Desember 2000.
SUP tersebut dibeli oleh Bank Indonesia dengan nilai
maksimum Rp10,0 triliun dan dapat dicairkan secara
bertahap berdasarkan jumlah KLBI yang akan jatuh tempo
pada tahun 2000-2001. Sampai dengan periode
Desember 2000, SUP yang dapat dicairkan adalah sebesar
Rp2,4 triliun dan sudah dicairkan oleh Pemerintah adalah
Tabel 7.8Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif
Posisi PangsaKategori Kualitas (triliun rupiah) (%)
1998 1999 2000 1999 2000
Lancar 408,2 607,2 591,2 83,8 85,5Dalam Perhatian Khusus 48,2 25,2 21,3 3,5 3,1Kurang Lancar 57,5 28,1 32,3 3,9 4,7Diragukan 83,7 35,4 16,9 4,9 2,4Macet 135,5 28,5 29,3 3,9 4,2
Total 733,1 724,5 691,1 100,0 100,0
% dari total kredit
0
10
20
30
40
50
60
Des Mar Juni Sep Des Mar Jun Sep Des
1 9 9 8 2 0 0 01 9 9 9
NPLs), turun dari 32,8% pada posisi Desember 1999 menjadi
18,8% pada akhir tahun laporan (Grafik 7.2). Sementara itu,
apabila NPLs memperhitungkan PPAP yang dibentuk (Net NPLs)
nilainya menjadi sebesar 5,8% pada akhir tahun laporan.
Secara nominal perkembangan NPLs juga turun dari Rp91,1
triliun pada Desember 1999 menjadi Rp83,9 triliun pada akhir
tahun laporan. Perbaikan tersebut antara lain dipengaruhi
adanya ekspansi kredit baru yang menambah jumlah kredit
yang tergolong Lancar dan adanya pengalihan kredit macet
ke BPPN. Beberapa upaya yang perlu dilakukan untuk
mencapai target 5,0% NPLs pada tahun 2001, di antaranya
adalah percepatan restrukturisasi kredit, peningkatan
Grafik 7.2Perkembangan NPLs
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
119
Rp850 miliar, sehingga dana yang masih dapat dicairkan
sejumlah Rp1,5 triliun.
(ii) Mekanisme relending, yakni pengelolaan dana angsuran
KLBI oleh BUMN koordinator sampai dengan KLBI dimaksud
jatuh tempo dengan menyalurkan kembali angsuran KLBI
tersebut kepada perbankan melalui skim-skim kredit pro-
gram yang ada. Sampai dengan periode Desember 2000,
dana angsuran yang siap disalurkan kembali oleh 3 BUMN
koordinator yaitu PT Permodalan Nasional Madani (PNM),
BRI dan BTN sebesar Rp1,5 triliun
(iii) Penyediaan KLBI untuk proyek-proyek yang sudah
memperoleh komitmen pembiayaan dari Bank Indone-
sia sebelum adanya pengalihan KLBI.
Dari hal-hal di atas tercermin bahwa Bank Indonesia
masih tetap memiliki komitmen yang tinggi dalam mendukung
pengembangan usaha kecil baik melalui SUP dan relending
maupun melalui pemberian bantuan teknis. Namun demikian,
dalam beberapa hal pelaksanaannya masih mengalami
berbagai kendala, khususnya pemanfaatan dana tersebut
oleh perbankan yang belum optimal. Dana yang belum
dimanfaatkan dari SUP dan relending masing-masing sebesar
Rp1,5 triliun sehingga jumlah totalnya menjadi sebesar Rp3,0
triliun. Dalam upaya untuk mengatasi kendala tersebut , Bank
Indonesia telah melakukan koordinasi dengan BUMN
koordinator dan instansi terkait. Koordinasi tersebut akan terus
dilanjutkan pada tahun mendatang. Selain itu, dalam rangka
mendukung pengembangan usaha kecil tersebut, Bank Indo-
nesia akan melakukan kajian dan evaluasi terhadap
pelaksanaan relending oleh BUMN koordinator. Dalam pada
itu, sebagai pengganti skim Kredit Usaha Tani (KUT) , Pemerintah
telah menerbitkan skim Kredit Ketahanan Pangan (KKP) yang
pendanaan dan risiko kreditnya ada pada bank, sedangkan
Pemerintah memberikan subsidi bunga.
Dalam rangka mendorong pengembangan usaha kecil
Bank Indonesia melaksanakan beberapa kegiatan penelitian.
Kegiatan tersebut antara lain melakukan penelitian mengenai
Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) khusus
pembiayaan kelapa sawit, penelitian mengenai pengalihan
bantuan teknis, dan penelitian mengenai studi tunggakan
Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya
Masyarakat (PHBK) serta penelitian mengenai pelaksanaan
peraturan kredit usaha kecil. Penelitian evaluasi efektivitas KKPA
yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan
KKPA kelapa sawit, memberikan kesimpulan bahwa program
KKPA mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan petani
dan penyerapan tenaga kerja meskipun masih perlu untuk
ditingkatkan lagi. Dari hasil penelitian, bank responden yang
terlibat dalam penyaluran KKPA telah melaksanakan tugas dan
kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sementara itu, penelitian mengenai pengalihan bantuan
teknis bertujuan untuk mengetahui kemungkinan lembaga yang
dapat menggantikan fungsi Bank Indonesia dalam bantuan
teknis. Hasil penelitian tersebut merekomendasikan : (i) bantuan
teknis tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia, (ii) penggabungan
aktivitas dari lembaga yang memungkinkan seperti BPD dan PT
PNM, (iii) bantuan teknis selanjutnya dilakukan oleh lembaga baru.
Selanjutnya, penelitian mengenai studi tunggakan kredit
PHBK ditujukan untuk mengetahui hal-hal yang menyebabkan
peningkatan tunggakan kredit PHBK, yakni proses
pembentukan kelompok yang kurang baik, persepsi anggota
kelompok yang salah, seleksi anggota kurang ketat, rendahnya
partisipasi kelompok, menurunnya kegiatan ekonomi dan
musibah/bencana alam. Faktor-faktor yang mempengaruhi
tunggakan kredit PHBK secara uji statistik meliputi jumlah
tenaga kerja yang menerima pelatihan, jumlah kelompok yang
dilayani, motivasi bank dalam kegiatan PHBK, dan kegiatan
penelitian (investigasi) kepada kelompok sebelum menerima
kredit. Variabel tabungan beku18) dan kondisi moneter secara
relatif tidak mempengaruhi tunggakan PHBK.
Selain melakukan penelitian di atas, Bank Indonesia juga
aktif mensosialisasikan pentingnya pemberian kredit usaha
mikro, kecil dan menengah yang bertujuan untuk mendorong
peningkatan pemberian kredit Usaha Kecil dan Menengah
(UKM). Dalam bidang bantuan teknis, dilaksanakan kegiatan
pelatihan Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM) dan
18) Tabungan beku adalah tabungan yang diblokir untuk digunakansebagai agunan kredit.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
120
sosialisasi lending model dari berbagai komoditi unggulan yang
dapat dikembangkan oleh usaha kecil.
Selanjutnya untuk mengkaji pelaksanaan peraturan
kredit usaha kecil (KUK), telah dilakukan penelitian kepada
bank-bank responden dengan hasil sebagai berikut :
(i) penyaluran KUK dinilai menguntungkan karena tingkat
kemacetan relatif kecil, penyebaran risiko, marjin
keuntungan lebih besar, tidak rentan terhadap
perubahan suku bunga dan ketaatan dalam pemba-
yaran kewajiban,
(ii) ketentuan KUK dianggap masih relevan namun perlu
penyesuaian-penyesuaian antara lain keringanan denda
penalti dan persentase KUK disesuaikan dengan
kemampuan atau karakteristik bank masing-masing, serta
plafon KUK diusulkan untuk dinaikkan sampai dengan
Rp500 juta,
(iii) faktor-faktor internal yang mempengaruhi dalam
pemberian KUK meliputi : penyederhanaan prosedur
pemberian KUK, luas jaringan kantor dan pendelegasian
wewenang memutus kredit. Sementara itu dari sisi
eksternal antara lain : kebijakan pemerintah dalam
pengembangan UKM, jumlah usaha kecil dan ketentuan
KUK dari Bank Indonesia. Dalam pada itu, faktor-faktor
yang menghambat dalam pemberian KUK adalah
persyaratan izin usaha/ NPWP dan adanya agunan
tambahan.
Dari hasil penelitian KUK tersebut, dilakukan penyem-
purnaan KUK dimana pemberian KUK tidak lagi merupakan
kewajiban bagi perbankan namun lebih bersifat anjuran.
Sementara itu, pemberian KUK oleh perbankan pada
tahun laporan telah mengalami peningkatan, yaitu tumbuh
sebesar 52,8% sehingga menjadi Rp56,9 triliun (Tabel 7.9).
Dengan perkembangan tersebut, sampai akhir tahun 2000
rasio penyaluran KUK meningkat dari 7,1% menjadi 7,7% dari
total kredit yang disalurkan.
Permodalan
Sejalan dengan telah diselesaikannya program rekapitalisasi,
permodalan bank meningkat sangat signifikan, dari negatif
Rp41,2 triliun pada Desember 1999 menjadi positif Rp53,5 triliun
di akhir tahun laporan, dengan kepemilikan mayoritas modal
perbankan oleh pemerintah (Grafik 7.3. dan Boks : Kepemilikan
Tabel 7.9Perkembangan Kredit Usaha Kecil
Posisi Pertumbuhan Pangsa(Triliun rupiah) (%) (%)
1998 1999 2000 1999 2000 2000
Menurut Jenis Penggunaan 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Modal Kerja 17,6 15,7 22,5 (10,8) 43,4 39,6
Investasi 8,3 5,4 7,5 (34,9) 39,4 13,2
Konsumsi 19,7 16,1 26,8 (18,3) 66,6 47,2
Menurut Sektor Ekonomi 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Pertanian 7,6 7,7 9,3 1,3 20,5 16,3
Perindustrian 1,8 1,1 1,7 (38,9) 55,2 3,0
Perdagangan, Restoran &
Hotel 10,7 8,8 10,3 (17,8) 17,3 18,2
Jasa–jasa 5,6 3,4 4,7 (39,3) 37,9 8,2
Lain–lain 19,9 16,2 30,9 (18,6) 90,5 54,3
Menurut Kelompok Bank 45,6 37,2 56,9 (18,4) 52,8 100,0Bank BUMN 27,3 25,4 30,8 (7,0) 21,1 54,1
BUSN Devisa 12,9 5,9 12,3 (54,3) 108,9 21,7
BUSN Non Devisa 1,9 1,8 5,1 (5,3) 180,8 8,9
B P D 3,4 4,1 8,7 20,6 111,0 15,2
Bank Campuran dan Asing 0,1 0,07 0,1 (30,0) 0,4 0,1
Penyebaran KUK
Grafik 7.3Perkembangan Permodalan Bank
Triliun Rp
–320
–280
–240
–200
–160
–120
–80
–40
0
40
80
IV I II III IV I II III IV
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
Bank Kategori ABank RekapitalisasiBTOBank BUMNBPDBank CampuranBank AsingSeluruh Bank
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
121
-80
-60
-40
-20
0
20
40
Triliun Rp
Des Feb Apr Jun Ags Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des
1999 2000
–200
–175
–150
–125
–100
–75
–50
–25
0
25
50
Triliun Rp
Laba/Rugi OperasionalLaba/Rugi Nonoperasional
Laba Rugi Sebelum Pajak
IV I II III IV I II III IV
1 9 9 8 1 9 9 9 2 0 0 0
Pemerintah di Perbankan Nasional). Selain faktor rekapitalisasi
perbankan, peningkatan modal bank juga disebabkan oleh
peningkatan laba.
Dilihat dari kelompok bank, sejak akhir triwulan kedua
tahun laporan modal semua kelompok bank tercatat sudah
positif. Modal terbesar dimiliki oleh kelompok bank BUMN
sebesar Rp21,3 triliun, sedangkan modal terkecil dimiliki oleh
bank asing yaitu sebesar Rp0,7 triliun. Namun demikian, dalam
tahun laporan masih terdapat beberapa bank yang
mempunyai CAR di bawah 4%, yang terdiri dari sebuah bank
besar dan beberapa bank kecil serta BPD. Hal ini sebagai akibat
masih rendahnya pemberian kredit sehingga tidak dapat
menutup biaya operasi bank-bank tersebut. Usaha peningkatan
permodalan bank, terutama yang masih di bawah ketentuan
minimum terus dilakukan di antaranya dengan meminta para
pemilik bank untuk menambah modal disetor maupun dengan
melakukan merger. Selanjutnya, dalam rangka pemantauan
CAR terhadap beberapa faktor yang mempengaruhinya, Bank
Indonesia melakukan kajian stress test (Boks : Stress Test CAR
Perbankan terhadap Perubahan Suku Bunga dan Nilai Tukar).
Profitabilitas
Dalam tahun laporan, kegiatan perbankan sudah
menunjukkan perbaikan yang tercermin pada peningkatan
laba usaha. Laba yang berhasil diperoleh perbankan
mencapai Rp10,5 triliun. Hal ini merupakan suatu kemajuan
yang jauh lebih baik dibandingkan dengan tahun 1999 yang
mengalami kerugian kumulatif sebelum pajak sebesar Rp91,7
triliun (Grafik 7.4). Laba tersebut terutama berasal dari laba
nonoperasional sebesar Rp11,2 triliun, sementara laba
operasional masih tercatat negatif Rp0,7 triliun. Laba
nonoperasional terutama berasal dari keuntungan selisih kurs
akibat melemahnya nilai tukar dan adanya koreksi PPAP
berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh dari kredit
yang telah dihapusbukukan.
Meskipun laba operasional negatif, namun pendapatan
bunga perbankan yang tercermin dari NIM masih mengalami
peningkatan yang cukup berarti dari negatif Rp38,6 triliun
menjadi positif Rp22,8 triliun (Grafik 7.5). Sejak triwulan II tahun
laporan, seluruh kelompok bank telah berhasil mencapai NIM
yang positif. Positifnya NIM perbankan sejalan dengan posi-
tive spread yang sudah dicapai bank sejak pertengahan tahun
1999 dan adanya tambahan pendapatan dari bunga obligasi
pemerintah. NIM ini diharapkan akan terus meningkat sejalan
dengan peningkatan fungsi intermediasi perbankan.
Lembaga Keuangan Lainnya
Membaiknya kondisi ekonomi dalam tahun laporan telah
memberikan pengaruh positif terhadap kinerja lembaga
Grafik 7.4Perkembangan Laba/Rugi Perbankan
Grafik 7.5Perkembangan Net Interest Margin
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
122
keuangan lainnya. Sejalan dengan membaiknya kinerja
perbankan, sumber dana perusahaan pembiayaan yang
berasal dari perbankan meningkat sehingga memberikan
kemampuan untuk meningkatkan nilai kegiatan usahanya.
Sementara itu, proses penyaluran kredit perbankan yang
belum sepenuhnya pulih sebagaimana sebelum krisis, telah
memberikan peluang kepada perusahaan pegadaian untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan kepada masyarakat
menengah kebawah, khususnya kredit yang berjangka waktu
pendek.
Perusahaan Pembiayaan
Secara umum, kinerja perusahaan pembiayaan dalam tahun
2000 mengalami perbaikan dibanding dengan periode
sebelumnya. Hal ini tercermin dari meningkatnya total nilai
kegiatan usaha yang sampai dengan Oktober 2000 naik
sebesar 17,5% dibanding tahun sebelumnya. Dalam tahun
laporan jumlah perusahaan yang masih memiliki izin usaha
masih sama dengan tahun sebelumnya yaitu sebanyak 245
perusahaan. Sementara itu, dalam upaya mengembangkan
perusahaan pembiayaan, pemerintah telah mengeluarkan
surat keputusan mengenai perusahaan pembiayaan
(multifinance) yang mengatur mengenai pemberian izin bagi
pendirian perusahaan pembiayaan baru.19)
Dalam periode laporan, seluruh jenis kegiatan usaha
perusahaan pembiayaan mengalami peningkatan kecuali
pembiayaan anjak piutang yang menurun sebesar 16,8%.
Peningkatan terbesar terjadi pada pembiayaan konsumen yaitu
naik sebesar 64,5%. Dilihat dari komposisinya, kegiatan usaha
perusahaan pembiayaan masih didominasi oleh sewa guna
usaha, yaitu mencapai 50,1% dari total pembiayaan. Pangsa
kegiatan usaha lainnya adalah pembiayaan konsumen sebesar
27,3%, anjak piutang 20,5%, dan kartu kredit sebesar 1,5%.
Dilihat dari sumber dana, dalam tahun 2000 dana yang
dihimpun perusahaan pembiayaan meningkat sebesar Rp3,9
triliun atau naik 12,9% (Tabel 7.11). Sumber utama pendanaan
perusahaan pembiayaan berasal dari pinjaman bank dalam
19) Keputusan Menteri Keuangan No. 448/KMK.017/2000 tanggal 27Oktober 2000, tentang Perusahaan Pembiayaan.
negeri. Seiring dengan membaiknya kondisi perbankan dan
mulai meningkatnya konsumsi masyarakat khususnya untuk
pembelian kendaraan bermotor, pinjaman yang diperoleh
perusahaan pembiayaan dari bank dalam negeri meningkat
sebesar 4,2% sehingga menjadi Rp11,2 triliun.
Dalam tahun 2000 sebagian besar dana perusahaan
pembiayaan disalurkan dalam bentuk pembiayaan, yaitu
sebesar 76,4% dari seluruh total dana atau sebesar Rp26,1 triliun
(Tabel 7.10). Sejalan dengan membaiknya ekonomi nasional,
kegiatan pembiayaan yang dilakukan perusahaan ini
meningkat sebesar 17,5% dibandingkan tahun sebelumnya
sehingga menjadi Rp26,1 triliun. Beberapa bentuk usaha
pembiayaan yang ditengarai mulai berkembang dalam tahun
2000 antara lain adalah sewa guna usaha (bidang
pertambangan, kehutanan, pertanian), dan pembiayaan
konsumen seperti untuk pembelian kendaraan yang disalurkan
bank melalu sistem chanelling kepada perusahaan
pembiayaan. Sementara itu, simpanan pada bank yang
dimiliki perusahaan pembiayaan mengalami penurunan
sebesar 16,0%. Terjadinya shifting penyaluran dana dari
simpanan di bank mengindikasikan mulai menariknya aktivitas
kegiatan usaha dibanding penanaman di bank.
Tabel 7.10
Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan
Posisi Pertumbuhan
Rincian (Triliun rupiah) (%)
1998 1999 20001) 1999 2000
Sumber dana 43,6 30,2 34,1 0,0 12,9Pinjaman bank dalam negeri 14,4 10,7 11,2 –25,2 4,2Pinjaman bank luar negeri 16,4 8,6 7,9 –47,7 –7,3Pinjaman diterima lainnya d.n. 3,0 3,7 4,2 25,3 11,9Pinjaman diterima lainnya l.n. 2,7 2,3 4,0 –17,6 76,7Modal 2) 1,3 (1,3) (0,8) –202,7 37,5Lain-lain 5,9 6,3 7,7 7,7 22,5
Penggunaan dana 43,6 30,2 34,1 –30,7 12,9Pembiayaan 29,5 22,2 26,1 –24,9 17,5Simpanan pada bank 6,0 5,1 4,3 –15,1 –16,0Penyertaan 0,3 0,1 0,9 –63,3 822,7Lain-lain 7,8 2,8 2,9 –63,9 2,1
1) Oktober2) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi tahun berjalan
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
123
Dalam tahun laporan, kualitas aktiva produktif yang
terdiri dari sewa guna usaha, anjak piutang, kartu kredit, pem-
biayaan konsumen, surat berharga, dan penyertaan menun-
jukkan sedikit perbaikan. Sampai dengan Oktober 2000,
pangsa aktiva produktif yang bermasalah, yaitu kategori dira-
gukan dan macet, menurun sebesar 1,6% dari tahun sebelum-
nya sehingga menjadi 32,2% (Grafik 7.6). Dilihat dari jenis
pembiayaan yang diberikan dalam tahun laporan, kualitas
aktiva terburuk terjadi pada pembiayaan anjak piutang yaitu
dengan pangsa kategori macet mencapai 67,3%. Sedangkan
aktiva produktif yang terbaik adalah pembiayaan konsumen
dengan porsi hanya sebesar 4,5% (Tabel 7.12).
Pegadaian
Dalam tahun 2000 kinerja perusahaaan umum pegadaian
menunjukkan perkembangan yang lebih baik dibanding
tahun sebelumnya. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan
jangkauan pelayanan yang didorong pula oleh belum pulih
sepenuhnya kondisi perbankan nasional. Dalam konteks
peningkatan pelayanan, perusahaan pegadaian mampu
menambah cabang dari 650 unit menjadi 700 unit yang
tersebar di seluruh Indonesia. Kondisi perbankan nasional yang
masih menjalani proses penyehatan dan sangat berhati-hati
dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat, membuat
pegadaian masih menjadi alternatif untuk mendapatkan
pinjaman dengan cepat dan mudah, khususnya bagi
Tabel 7.12Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif
1998 1999 2000
L D M L D M L D M
Pembiayaan
Sewa Guna
Usaha 72,8 15,2 12,0 70,3 10,3 19,4 69,2 11,9 18,9
Anjak Piutang 67,1 5,6 27,2 36,3 5,2 58,5 28,5 4,2 67,3
Kartu Kredit 59,5 37,9 2,6 31,4 3,8 64,7 52,9 1,6 45,4
Pembiayaan
Konsumen 92,6 2,9 4,6 90,9 2,4 6,7 93,7 1,9 4,5
Surat Berharga
yang dimilki 85,2 5,6 9,2 88,5 2,4 9,0 87,3 0,2 12,5
Penyertaan 61,4 0,0 38,6 97,8 0,0 2,2 97,5 0,0 2,5
L = LancarD = Diragukan
M = Macet
Grafik 7.6Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif
%
1998 200019990
20
60
80
40
Lancar Diragukan Macet
Tabel 7.11Perkembangan Perusahaan Pembiayaan
Posisi Pertumbuhan
Rincian (Triliun rupiah) (%)
1998 1999 20001) 1999 2000
Jumlah perusahaan2) 245 245 245
Nilai kegiatan usaha 29,5 22,2 26,1 –24,8 17,5
Sewa guna usaha 15,6 10,9 13,1 –29,9 19,5
Pembiayaan anjak piutang 8,0 6,4 5,3 –19,9 –16,8
Pembiayaan kartu kredit 0,4 0,3 0,4 –15,9 14,2
Pembiayaan konsumen 5,2 4,3 7,1 –16,9 64,5
Lainnya 0,3 0,2 0,2 –33,3 –9,0
Posisi pinjaman 36,4 25,2 27,2 –30,7 7,9
Dalam negeri 17,3 14,4 15,3 –16,9 6,2
– Bank 14,4 10,7 11,2 –25,5 4,2
– Bukan Bank 3,0 3,7 4,2 25,2 11,9
Luar Negeri 19,1 10,8 11,9 –43,4 10,2
1) Oktober2) Satuan
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
124
masyarakat kecil dan menengah. Secara umum, pinjaman
yang dimanfaatkan dari pegadaian adalah pinjaman
dengan jangka waktu pendek.
Peningkatan aktivitas usaha pegadaian tercermin dari
omzet kegiatan usaha atau pinjaman yang diberikan, jumlah
nasabah, dan penurunan kredit yang tidak dilunasi. Sampai
dengan Desember 2000, omzet usaha pegadaian meningkat
sebesar 31,0% dibandingkan posisi yang sama pada tahun
sebelumnya sehingga menjadi Rp4,2 triliun (Tabel 7.13). Namun
demikian, pendapatan utama usaha pegadaian mengalami
penurunan sebesar 13,2% sehingga menjadi Rp370,1 miliar.
Jasa sewa modal mengalami penurunan sebesar 14,7%
dibanding tahun sebelumnya. Penurunan sewa modal terjadi
karena adanya penurunan tarif sewa modal yang berlaku
mengikuti penurunan bunga bank. Walaupun demikian, jasa
sewa modal memberikan kontribusi terbesar pada
pendapatan usaha yang mencapai 92,4%.
Dari jumlah nasabah, dalam tahun laporan terjadi per-
tumbuhan sebesar 4,5% sehingga mencapai 12,9 juta
nasabah. Dominasi terbesar nasabah pegadaian adalah
nasabah dengan kategori A (nasabah kredit dengan plafon
Rp5.000–Rp40.000) yaitu sekitar 37,1%. Sebagian besar kredit
pegadaian disalurkan kepada masyarakat menengah ke
bawah dengan profesi karyawan industri, nelayan, petani,
dan pedagang.
Sementara itu, kredit yang tidak dilunasi oleh nasabah
pegadaian sebagaimana tercermin dari nilai barang
lelang, turun sebesar 57,6 % menjadi Rp38,9 miliar pada akhir
tahun (Tabel 7.13). Hal ini disebabkan sebagian besar
barang yang dijadikan jaminan kembali ditebus oleh para
debitur.
Tabel 7.13Perkembangan Kinerja Pegadaian
1998 1999 2000*)
Juta rupiah
Omset 2.008.187 3.229.280 4.230.778Pendapatan Usaha : 341.040 426.338 370.100
Sewa Modal 319.520 401.030 341.933Jasa Taksiran 27 18 13Jasa Titipan 43 7 9Pendapatan Penyimpanan dan Asuransi 21.450 25.283 28.145
Posisi PasivaKewajiban Jangka Pendek 401.552 197.424 342.850 Utang Bank 387.487 180.340 312.083 Lainnya 14.065 17.084 30.767Utang Obligasi 264.600 399.600 549.600Utang Jangka Panjang 100.000 100.000 100.000Ekuitas 371.273 407.666 450.397
Nilai Barang Lelang 21.869 91.712 38.943Jumlah Nasabah 2) 10.277.584 12.427.554 12.982.306
1) Data Desember 2000 sebelum audit
2) Orang
Rincian
Dari sisi sumber dana, sebagian besar pendanaan
pegadaian dibiayai dari penerbitan obligasi dan modal,
masing-masing sebesar 38,1% dan 31,2% dari total dana. Pada
Maret 2000, pegadaian mengalihkan pinjaman obligasi
sebesar Rp99 miliar menjadi pinjaman jangka pendek, dan
melunasi pinjaman kepada Bank Indonesia sebesar Rp90 miliar.
Pengalihan ini dilakukan karena obligasi III dengan nominal
Rp100 miliar akan jatuh tempo pada tahun 2001. Sedangkan
pelunasan utang kepada Bank Indonesia dilakukan
sehubungan dengan dikeluarkannya UU No. 23 tahun 1999
yang melarang Bank Indonesia menyalurkan kredit program.
Selanjutnya pada tanggal 27 Juni 2000, pegadaian melakukan
Emisi Obligasi ke-VII sebesar Rp150 miliar guna menambah
modal kerja.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
125
Suku Bunga (%)
8,0
12,0
16,0
20,0
24,0
28,0
32,0
Mei
Penjaminan 1 BulanSBI 1 BulanRata-Rata Deposito 1Bulan
Jul. Sep. Okt. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
1 9 9 9 2 0 0 0
Boks : Sensitivitas Suku Bunga Deposito
bunga SBI dan suku bunga penjaminan terhadap suku bunga
deposito secara grafis.
Pada periode I, perubahan suku bunga SBI atau suku
bunga penjaminan berpengaruh cukup signifikan terhadap
suku bunga deposito. Sedangkan pada periode II, perubahan
suku bunga SBI atau suku bunga penjaminan deposito tidak
terlalu banyak berpengaruh terhadap suku bunga deposito.
Hasil simulasi perhitungan elastisitas pada dua periode
pengamatan menghasilkan elastisitas yang berbeda
(Tabel 1).
Elastisitas suku bunga deposito terhadap suku bunga
SBI berbeda ketika bunga SBI turun dan ketika bunga SBI naik.
Pada saat suku bunga SBI turun (periode I), respon suku bunga
deposito sangat tinggi yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya
sebesar 0,88. Hal ini berarti setiap penurunan suku bunga SBI
sebesar 1% akan diikuti oleh penurunan suku bunga deposito
sebesar 0,88%. Sebaliknya, pada saat suku bunga SBI naik
(periode II), respon perubahan suku bunga deposito menjadi
sangat kecil yang tercermin dari nilai elastisitas 0,09. Hal ini
berarti setiap kenaikan suku bunga SBI sebesar 1% hanya akan
diikuti oleh kenaikan suku bunga deposito sebesar 0,09%.
Tingkat elastisitas yang rendah ini menyebabkan spread antara
suku bunga SBI dan suku bunga deposito semakin besar,
apabila suku bunga SBI terus naik.
Elastisitas suku bunga deposito terhadap perubahan
pada suku bunga penjaminan deposito hampir sama dengan
elastisitasnya terhadap suku bunga SBI di atas. Pada saat suku
bunga penjaminan deposito turun (periode I) suku bunga
Periode I Periode IIMei 1999 – Juni 2000 Juni 2000 – Oktober 2000
SBI 1 bulan turun 1% naik 1%Deposito 1 bulan turun 0,88% naik 0,09%Penjaminan Depo 1 bulan turun 1% naik 1%Deposito 1 bulan turun 0,67% naik 0,48%
Tabel 1.Elastisitas Suku Bunga Deposito
Grafik 1.Suku Bunga Penjaminan Deposito, SBI dan Deposito
Belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan menyebabkan
suku bunga SBI dan penjaminan deposito menjadi kurang
efektif dalam mempengaruhi suku bunga perbankan.
Kenaikan suku bunga SBI dan kenaikan suku bunga
penjaminan deposito tidak diikuti secara proporsional oleh
kenaikan suku bunga deposito. Respon suku bunga deposito
terhadap kenaikan suku bunga tersebut bersifat asimetri.
Artinya, walaupun terjadi kenaikan suku bunga SBI dan suku
bunga penjaminan deposito, namun suku bunga deposito
perbankan relatif tidak berubah. Sebaliknya, ketika suku bunga
SBI turun, suku bunga SBI baru digunakan sebagai patokan
dalam penentuan suku bunga deposito (Grafik 1).
Untuk mengetahui pengaruh perubahan suku bunga
SBI dan penjaminan deposito terhadap suku bunga deposito
dilakukan analisis sensitivitas dengan pendekatan elastisitas.
Analisis sensitivitas suku bunga deposito 1 bulan dilakukan
masing-masing terhadap perubahan suku bunga SBI 1 bulan
dan terhadap suku bunga penjaminan deposito 1 bulan. Data
yang digunakan adalah data series mingguan, minggu IV Mei
1999 sampai dengan minggu IV Desember 2000. Data series
tersebut dibagi dalam 2 periode pengamatan: periode I yaitu
minggu IV Mei 1999 – minggu II Juni 2000; dan periode II yaitu
minggu III Juni 2000 - minggu IV Desember 2000). Pembagian
periode didasarkan besarnya pengaruh perubahan suku
○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
126
Penjaminan 1 BulanSBI 1 Bulan Rata-Rata Depo 1 Bulan
Juni Juli Agustus September Oktober November
2 0 0 0
9,0
10,0
11,0
12,0
13,0
14,0
15,0
Suku Bunga (%)
Grafik 2. Suku Bunga pada Periode I
deposito memiliki elastisitas sebesar 0,67. Hal ini berarti, setiap
1% penurunan suku bunga penjaminan deposito akan diikuti
oleh penurunan suku bunga deposito sebesar 0,67%.
Sebaliknya, pada saat suku bunga penjaminan deposito
meningkat (periode II), elastisitas suku bunga deposito 0,48. Hal
ini berarti, setiap 1% kenaikan suku bunga penjaminan deposito,
maka perbankan akan menaikkan suku bunga deposito
sebesar 0,48%.
Pada periode suku bunga SBI turun, perbankan benar-
benar menggunakan SBI sebagai patokan dalam pembentukan
suku bunga dananya, mengingat bunga SBI merupakan salah
satu sumber utama penerimaan perbankan dalam kondisi belum
normalnya fungsi intermediasi perbankan, sedangkan suku
bunga penjaminan dijadikan sebagai batas atas.
Perubahan perilaku perbankan dalam penentuan suku
bunga depositonya dapat dilihat dari perbedaan Grafik 2 dan
3. Sebelum minggu ke II Juni 2000, suku bunga SBI selalu berada
di bawah suku bunga penjaminan (Grafik 2). Namun sejak suku
bunga SBI terus mengalami kenaikan, kondisi yang terjadi
adalah sebaliknya yaitu suku bunga SBI menjadi lebih besar
dari suku bunga penjaminan (Grafik 3). Hal ini antara lain
disebabkan penentuan suku bunga penjaminan didasarkan
pada pergerakan suku bunga deposito anggota JIBOR + 200
bps. Sedangkan suku bunga SBI ditentukan atas dasar
keputusan lelang dari bidding yang dilakukan perbankan
secara keseluruhan.
Sementara itu, penentuan suku bunga deposito
ditentukan berdasarkan kebutuhan likuiditas dan pendanaan
perbankan. Suku bunga penjaminan hanya dijadikan batas
atas bagi perbankan apabila diperlukan. Oleh karena itu,
pada saat suku bunga SBI naik, suku bunga deposito (termasuk
suku bunga deposito anggota JIBOR) cenderung tetap. Hal
ini mengakibatkan kenaikan suku bunga SBI lebih cepat dari
kenaikan suku bunga penjaminan.
Grafik 3. Suku Bunga pada Periode II
9,0
12,0
15,0
18,0
21,0
24,0
27,0
30,0
Suku Bunga (%)
Mei
1 9 9 9Jul. Sep.
Penjaminan 1 BulanSBI 1 BulanRata-Rata Depo 1 Bulan
Nov. Jan. Mar. Mei
2 0 0 0
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
127
Dengan telah diberlakukannya UU No.23 tahun 1999, Bank In-
donesia tidak dapat memberikan kredit likuiditas dalam rangka
kredit program untuk mengembangkan usaha kecil dan
menengah (UKM). Namun Bank Indonesia tetap
memperhatikan perkembangan UKM mengingat peranan
sektor ini sangat penting dalam perekonomian khususnya
dalam penyerapan tenaga kerja. Disamping itu pengalaman
Bank Indonesia dalam mengembangkan UKM serta
pengembangan yang telah dilakukan merupakan modal
yang sangat berharga dalam melanjutkan komitmen Bank
Indonesia.
Salah satu perwujudan dari pelaksanaan kebijakan
pengembangan UKM Bank Indonesia adalah dengan
pemberian informasi berkenaan dengan kondisi dan potensi
usaha kecil pada semua sektor ekonomi di wilayah Indonesia.
Hal ini antara lain dilakukan dengan memasyarakatkan hasil
Baseline Economic Survey (BLS) yang selama ini telah dilakukan
bersama beberapa Lembaga Penelitian Perguruan Tinggi, di
hampir seluruh propinsi di Indonesia. Hasil BLS tersebut
disosialisasikan melalui SIB.
SIB adalah sistem informasi yang dirancang berdasarkan
hasil studi BLS dan dikembangkan untuk memasyarakatkan
informasi hasil studi tersebut. SIB menyajikan informasi yang
mencakup identifikasi usaha kecil yang potensial pada semua
sektor ekonomi di suatu daerah beserta infor masi pen-
dukungnya. SIB juga memberikan manfaat bagi pemerintah
maupun swasta khususnya kalangan perbankan dalam rangka
pengembangan dan pembinaan usaha kecil, pembinaan pro-
gram kemitraan terpadu serta promosi investasi pada berbagai
sektor usaha di suatu daerah. Sebagai upaya lebih memberikan
nilai tambah dan manfaat yang lebih besar, laporan hasil
penelitian BLS tersebut dimasukkan dalam sistem informasi
elektronik internet yang dapat diakses secara mudah oleh pihak-
pihak yang memerlukannya. SIB dapat diakses melalui website
Bank Indonesia http://www.bi.go.id atau ke http :// sib.bi.go.id.
Secara garis besar, informasi yang disajikan dalam SIB
meliputi : (i) Daftar Skala Prioritas, yakni daftar komoditi/ sektor
usaha pada tingkat Kecamatan di suatu Kabupaten/ Propinsi
berdasarkan potensi pengembangannya yang meliputi 7
aspek yakni pemasaran, wirausaha, teknik produksi,
pertumbuhan/ keterkaitan sektoral, prasarana darah dan
kebijakan pemerintah yang mendukung, (ii) Daftar Komoditi
Prioritas Kemitraan Terpadu, yakni daftar komoditi/ sektor usaha
yang berada dalam kategori Sangat Potensial dan Potensial
pada tingkat Kecamatan di suatu Kabupaten/Propinsi beserta
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Selain SIB, Bank Indonesia juga mengembangkan SIABE
yakni sistem informasi yang dirancang untuk membantu
pengguna dalam mendapatkan informasi yang lengkap
tentang produk-produk agroindustri yang telah diekspor ke
berbagai negara tujuan. Informasi yang dapat diperoleh dari
SIABE adalah daerah asal komoditi, teknologi pengolahan,
daftar eksportir, pasar ekspor dan standar mutu produk.
Dengan adanya SIABE ini diharapkan iklim investasi di bidang
pertanian dan agroindustri semakin membaik dan proses
pengambilan keputusan baik di perbankan maupun instansi
yang terkait untuk menentukan kebijakan investasi di bidang
agroindustri menjadi semakin mudah, cepat dan akurat.
Untuk tahap awal SIABE baru mencakup 11 komoditi
agroindustri yaitu teh, coklat, jambu mete, kelapa sawit, kopi,
ikan, udang, kulit hewan, ubi kayu, ukiran kayu dan kayu manis
(cassiavera). SIABE baru meliputi 3 propinsi yakni Sumatera
Barat, Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan yang selanjutnya
akan dikembangkan untuk seluruh propinsi di Indonesia. SIABE
dapat diakses melalui website Bank Indonesia http://
www.bi.go.id atau ke http ://siabe.bi.go.id.
Boks : Sistem Informasi Baseline Economic Survey (SIB) dan Sistem InformasiAgroindustri Berorientasi Ekspor (SIABE)
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
128
Boks : Stress Test CAR Perbankan terhadap Perubahan Suku Bungadan Nilai Tukar
Dalam upaya memonitor sensitivitas Capital Adequacy Ratio
(CAR) terhadap faktor-faktor yang mengakibatkan kerugian
bank, Bank Indonesia telah melakukan stress test1) terhadap
beberapa bank yang secara sistemik sangat penting bagi
perekonomian Indonesia. Faktor-faktor yang dianggap sangat
berpengaruh terhadap kerugian bank meliputi perubahan
suku bunga dan nilai tukar. Stress test ini juga menjadi salah
satu rekomendasi dari komite pengawasan bank di BIS dalam
menerapkan manajemen risiko di perbankan.
Stress test atas pengaruh fluktuasi nilai tukar terhadap
CAR bank dilakukan dengan mempertimbangkan Net Open
Position (NOP) untuk setiap posisi mata uang dan beberapa
skenario depresiasi nilai tukar rupiah terhadap setiap mata uang
dimaksud. Dalam praktek biasanya digunakan kondisi paling
buruk (worst case scenario) dan penurunan nilai tukar
didasarkan pada skenario tertentu (hypothetical scenario). Dari
hasil stress test nilai tukar ini akan diperoleh informasi tentang
sensitivitas CAR bank terhadap berbagai kemungkinan
penurunan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing sebagai
bahan informasi bagi Bank Indonesia sebagai regulator
maupun bank itu sendiri. Informasi ini dapat digunakan dalam
pengambilan kebijakan moneter yang berkaitan dengan
kondisi perbankan di Indonesia. Apabila berbagai skenario
dimaksud berpengaruh cukup signifikan terhadap penurunan
CAR, maka diharapkan bank akan menurunkan posisi NOP-nya.
Berbeda dengan stress test penurunan nilai tukar, stress
test kenaikan suku bunga menggunakan informasi sumber dan
penempatan dana yang sensitif terhadap perubahan suku
bunga. Ketidaksesuaian jangka waktu (maturity) dan tingkat
suku bunga dari sumber dan penempatan dana apabila terjadi
perubahan suku bunga, akan menimbulkan risiko kerugian bagi
bank. Setiap posisi sumber dan penempatan dana tersebut
dikelompokkan menjadi beberapa time band yakni
berdasarkan jatuh temponya apabila bunga tetap, dan
Hasil Stress Test Sensitivitas Nilai Tukar & Suku Bungaterhadap CAR
1) Stress test adalah pengujian pengaruh volatilitas faktor-faktor sukubunga dan nilai tukar terhadap CAR perbankan denganmenggunakan skenario tertentu.
Nilai Tukar Rupiah CAR CAR CAR CAR CARTurun & Suku Turun Turun Turun Turun NaikBunga Naik 0 s.d.1% 1 s.d. 2% 2 s.d. 5% > 5%
Rp 1.000 & 1% 4 3 0 1 19Rp 2.000 & 2% 1 3 3 1 19Rp 3.000 & 1% 0 3 3 1 20Rp 4.000 & 4% 0 3 2 3 19Rp 5.000 & 5% 0 1 4 3 19
*) Kurs awal sebesar Rp9.530 (November 2000) dan suku bunga awal sebesar11,25% (rata-rata suku bunga deposito 1 bulan pada November 2000)
2) Posisi penempatan dana (sisi aktiva) lebih besar dari posisi sumberdana (sisi pasiva) pada neraca bank.
3) Posisi sumber dana (sisi pasiva) lebih besar dari posisi penempatandana (sisi aktiva) pada neraca bank.
berdasarkan waktu perubahan suku bunga (repricing date)
apabila tingkat bunganya mengambang (floating). Dengan
demikian akan diperoleh posisi long2) dan short3) untuk setiap
time band. Kenaikan suku bunga akan menyebabkan
keuntungan bagi bank yang mempunyai posisi long, dan
kerugian bagi bank yang mempunyai posisi short. Berkaitan
dengan pengaruh nilai tukar, bank yang memiliki posisi long,
akan memperoleh keuntungan. Sebaliknya pada bank yang
dalam keadaan short akan mengalami kerugian.
Stress test yang dilakukan mengasumsikan bahwa ru-
piah akan terdepresiasi terhadap dolar AS dan suku bunga naik
pada waktu yang bersamaan, sementara variabel-variabel lain
diasumsikan tidak mengalami perubahan. Pengujian sensitivitas
ini menggunakan sampel 27 bank yang mewakili bank BUMN,
BTO, bank rekapitalisasi dan bank umum lainnya. Hasil
pengujian dapat dilihat dalam Tabel.
Dari hasil pengujian tersebut terlihat bahwa dampak
depresiasi rupiah dan kenaikan suku bunga yang terjadi secara
bersamaan akan berbeda antara satu bank dengan bank lain
karena tergantung pada beberapa faktor, antara lain posisi
long atau short. Sebagai akibatnya CAR bank dapat naik atau
turun. Oleh karenanya informasi dari stress test ini sangat
membantu pengelolaan likuiditas bank.
Bab 7 Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
129
Boks : Kepemilikan Pemerintah di Perbankan Nasional
Sebagai tindak lanjut dari program restrukturisasi perbankan,
seluruh proses rekapitalisasi perbankan melalui penerbitan
obligasi pemerintah yang dimulai sejak Mei 1999 akhirnya telah
berhasil diselesaikan pada Oktober 2000. Khusus sepanjang tahun
laporan, telah dilaksanakan rekapitalisasi 6 bank umum, yaitu
Bank Niaga, Bank Bali, Bank Danamon (merger dengan 8 Bank
Take Over) serta penerbitan obligasi tahap 2 bagi BNI, BRI dan
BTN. Obligasi yang telah diterbitkan selama tahun laporan
berjumlah Rp148,6 triliun, sehingga sampai dengan akhir tahun
2000, total obligasi yang telah diterbitkan dalam rangka program
rekapitalisasi bank-bank umum nasional sebesar Rp430,4 triliun.
Sebagai konsekuensi dari hasil rekapitalisasi, kepemilikan
pemerintah di perbankan nasional pada posisi akhir tahun 2000
mencapai 95,1% dari total permodalan perbankan nasional
dengan CAR perbankan setelah direkapitalisasi mencapai 12,7%
(lihat grafik). Kepemilikan pemerintah di bank-bank rekapitalisasi
hanya bersifat sementara dan akan dilakukan divestasi secara
berkala. Kepemilikan pemerintah dalam proses rekapitalisasi
perbankan ini mempunyai dampak positif terhadap arah
penyebaran kepemilikan perbankan di masa mendatang.
Melalui rencana divestasi, diharapkan akan tercipta kepemilikan
yang lebih merata. Pada gilirannya, hal ini akan memperkuat
independensi pengurus bank, suatu elemen yang sangat
penting dalam pengelolaan bank yang sehat. Pengalaman
masa lalu menunjukkan konsentrasi kepemilikan bank oleh grup
akan menganggu independensi pengelolaan bank.
Secara umum divestasi direncanakan paling lambat lima
tahun setelah dilakukan rekapitalisasi perbankan, sehingga
diharapkan akan selesai dilakukan pada akhir tahun 2004.
Divestasi kepemilikan pemerintah terhadap BCA dan Bank
Niaga direncanakan akan dilakukan pada kuartal pertama
tahun 2001. Rencana divestasi tersebut akan dapat dilakukan
sesuai dengan target apabila situasi perekonomian sudah
sepenuhnya pulih kembali. Pulihnya perekonomian akan
mendorong perbaikan kondisi bank yang pada akhirnya akan
meningkatkan harga saham bank. Selama ini pemerintah
melihat bahwa penawaran harga dari calon investor tidak sesuai
dengan harapan pemerintah, sehingga rencana divestasi
dimaksud belum dapat terlaksana sesuai dengan yang
direncanakan semula.
Kepemilikan Pemerintah
12%
Des.‘97
4%
–4%
–12%
–20%
–28%
–36%
–44%
–52%
–60%
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20%
8%
4%
2004
2001Sep.’00
Nov.’00
Des.’00
Jun.’00
Sep.’97Jun.’97
Sep.’98
Des.‘99
Mar.’00
Nov.’99
Ags.’99
Jul.’99
Jun.’99
Mar.’99
Des.’98
Jun.’98
Ca
pita
l Ad
eq
ua
cy R
atio
Rencana Aktual
Evolusi CAR dan Kepemilikan Pemerintah di Perbankan
Sistem Pembayaran NasionalBab 8
131
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
S eperti telah diamanatkan dalam Undang-Undang
No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indone-
sia diberi wewenang untuk mengatur dan menjaga sistem
pembayaran guna menciptakan sistem pembayaran nasional
yang efisien, cepat, aman dan handal. Sehubungan dengan
hal tersebut, Bank Indonesia terus menempuh berbagai
kebijakan di bidang sistem pembayaran, baik yang berkaitan
dengan alat pembayaran tunai (kartal) maupun lalu lintas
pembayaran bukan tunai (giral).
Dalam tahun 2000, kebijakan Bank Indonesia di bidang
pembayaran tunai mencakup langkah untuk mencabut dan
menarik uang kertas yang banyak dipalsukan, serta
mengeluarkan uang kertas emisi baru dengan desain dan
ukuran yang sesuai dengan standar Bank Indonesia.
Sementara itu, dalam bidang lalu lintas pembayaran bukan
tunai, Bank Indonesia telah mengeluarkan beberapa
ketentuan penyempurnaan mengenai kliring antara lain
mengenai pemberian wewenang yang lebih besar terhadap
penyelenggara kliring. Langkah besar yang telah diambil Bank
Indonesia dalam bidang lalu lintas pembayaran bukan tunai
dalam tahun 2000 adalah implementasi sistem Real Time Gross
Settlement (RTGS).
Kebijakan Sistem Pembayaran dalam tahun 2000
Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
sistem pembayaran nasional, berbagai kebijakan telah
dikeluarkan baik dalam lingkup pembayaran tunai maupun
bukan tunai. Kebijakan dalam lingkup pembayaran tunai
antara lain menyediakan dan mengeluarkan uang kertas baru
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, serta penang-
gulangan uang palsu yang ditemukan pada beberapa
daerah. (Boks : Proses Pembuatan Uang Rupiah dan Boks :
Uang Palsu "Permasalahan dan Penanggulangannya").
Kebijakan dalam lingkup pembayaran bukan tunai mencakup
penerusan langkah-langkah pengembangan sistem RTGS dan
pemantapan tindakan dalam menghadapi kemungkinan
terjadinya Masalah Komputer Tahun 2000 (MKT2000)
sehubungan dengan pergantian tahun 1999 ke tahun 2000. Di
samping itu, penyempurnaan berbagai peraturan dan
ketentuan lalu lintas pembayaran dan kliring, serta audit
terhadap jaringan komputer Bank Indonesia (BI-Net) untuk
mengantisipasi keamanan jaringan/sistem diseluruh kantor
Bank Indonesia dalam rangka implementasi sistem RTGS juga
dilakukan.
Pada tahun 2000, Bank Indonesia meningkatkan
penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan kebutuhan
masyarakat akan uang kartal. Kenaikan kebutuhan uang kartal
tersebut, selain disebabkan oleh peningkatan kegiatan
ekonomi, juga diakibatkan oleh adanya kekhawatiran
masyarakat dalam menghadapi tanggal-tanggal kritis di awal
tahun 2000 yang berkaitan dengan MKT2000. Di samping itu,
dalam rangka standardisasi ukuran uang kertas rupiah dan
peningkatan pengamanannya, Bank Indonesia telah
menerbitkan emisi baru uang kertas pecahan Rp1.000,00
dengan desain yang baru serta ukuran lebar yang sama
dengan uang kertas pecahan Rp100.000,00. Selain itu, dalam
rangka memperlancar pendistribusian uang kertas baru
tersebut, telah diaktifkan kembali kegiatan kas keliling untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat yang akan merayakan hari-
hari besar keagamaan dan tahun baru.
Sementara itu, dalam rangka menanggulangi
keberadaan uang palsu yang cukup meningkat dalam tahun
2000 ini, Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif
dan represif. Langkah preventif yang dilakukan antara lain
dengan mencabut dan menarik dari peredaran uang kertas
yang banyak dipalsukan, yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi
1993/95 (seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri
Cendrawasih), dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri
Hamengkubuwono IX). Langkah preventif lainnya adalah
dengan menyempurnakan desain serta meningkatkan
b a b
8 Sistem Pembayaran Nasional
132
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
penggunaan unsur-unsur pengamanan pada pencetakan
uang rupiah yang baru. Di samping itu, Bank Indonesia juga
menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui media
cetak, papan pengumuman, serta kegiatan penataran. Hal
lain dilakukan dengan meningkatkan koordinasi bersama
unsur-unsur terkait yang tergabung dalam Badan Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (BOTASUPAL) yaitu Kepolisian,
Kejaksaan Agung, Peruri, Ditjen Bea Cukai, dan Ditjen Imigrasi.
Sementara itu, upaya represif dilakukan melalui koordinasi
dengan instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan
pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang
terlibat dalam pemalsuan uang Rupiah.
Berkenaan dengan sistem pembayaran bukan tunai,
khususnya yang menyangkut kliring, telah pula dilakukan sejum-
lah penyempurnaan. Bagi penyelenggara kliring bukan-Bank
Indonesia diberikan wewenang yang lebih besar untuk memu-
tuskan suatu permasalahan yang terjadi dalam kegiatan kliring
di wilayahnya seperti pemberian persetujuan kepada calon
peserta dan penyelesaian dispute antar peserta kliring. Di-
samping itu, dalam rangka mengurangi pemberian subsidi ke-
pada perbankan, khusus untuk penyelenggara kliring lokal non-
Bank Indonesia yang jumlah perputaran warkat per hari di wila-
yah kliring tersebut telah mencapai 1.000 warkat atau lebih da-
lam waktu 6 bulan berturut-turut, penyelenggara kliring tersebut
dapat mengenakan biaya kepada setiap peserta kliring yang
besarnya sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.
Satu kemajuan penting dan mendasar dalam per-
kembangan sistem pembayaran bukan tunai di Indonesia
adalah mulai diterapkannya sistem RTGS pada November
2000 oleh Bank Indonesia untuk semua bank yang beroperasi
di Jakarta. Sebagaimana diketahui, sistem RTGS merupakan
sistem yang memproses penyelesaian akhir transaksi (settle-
ment) pembayaran antarbank yang dilakukan per transaksi
dan bersifat real time (electronically processed) di mana
rekening bank peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali
dalam sehari sesuai dengan perintah dan penerimaan
pembayaran. Berbagai jenis transaksi pembayaran yang
dilakukan bank dapat dijalankan melalui Sistem BI-RTGS,
seperti transaksi-transaksi antar bank dalam rangka Pasar
Uang Antar Bank (PUAB), transaksi rupiah dalam rangka jual
beli mata uang asing (foreign exchange), transaksi yang
berkaitan dengan rekening pemerintah dan transaksi setoran/
penarikan tunai di Bank Indonesia, serta transaksi-transaksi
antarnasabah. Dengan diterapkannya sistem tersebut, Bank
Indonesia menjadi bank sentral keempat di kawasan ASEAN
yang mengoperasikan sistem RTGS, setelah Singapura, Ma-
laysia, dan Thailand.
Ada beberapa manfaat yang diperoleh masyarakat dan
sistem perekonomian dalam menggunakan sistem BI-RTGS ini.
Bagi masyarakat sistem ini di samping memberikan kecepatan
dan ketepatan waktu, juga dapat memberikan kepastian dari
pengiriman maupun penerimaan dana sehingga
memudahkan perencanaan kegiatan ekonomi. Bagi Bank In-
donesia sistem ini bermanfaat dalam menurunkan risiko sistem
pembayaran, dan mengurangi tindakan spekulasi bank-bank.
Di samping itu sistem RTGS juga menjadi sumber informasi yang
akurat dalam pengawasan bank-bank dan pengendalian
moneter.
Dalam rangka penerapan sistem BI-RTGS tersebut, Bank
Indonesia telah mengambil langkah-langkah persiapan baik
intern maupun ekstern sehingga implementasinya dapat
berjalan lancar. Dari sisi intern, Bank Indonesia melakukan
persiapan organisasi dan personil, peralatan dan infrastruktur
sistem BI-RTGS baik di main site maupun di Disaster Recovery
Centre (DRC), dan seluruh perangkat aturannya. Di sisi ekstern,
Bank Indonesia secara terus menerus mengadakan pertemuan
dengan seluruh bank, baik untuk keperluan pelatihan teknis,
diskusi atas solusi teknis dan non teknis, serta sosialisasi berbagai
ketentuan terkait termasuk ketentuan antarbank dalam rangka
RTGS (Interbank Bye-Laws). Bank Indonesia juga secara kontinyu
memonitor persiapan manajemen bank pelaksana serta komite
internal bank untuk mengimplementasikan sistem RTGS. Di
samping itu, untuk memantau kesiapan dan keamanan semua
komponen infrastruktur jaringan komputer Bank Indonesia (BI-
Net) dalam rangka implementasi sistem RTGS, telah dilakukan
audit terhadap keseluruhan infrastruktur BI-Net yang dilakukan
oleh auditor internasional yang telah memiliki pengalaman
dalam bidang tersebut.
133
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Perkembangan Alat-alat Pembayaran
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan ekonomi dalam tahun
2000, perkembangan alat-alat pembayaran tunai maupun
bukan tunai juga menunjukkan peningkatan dibanding tahun
sebelumnya. Di samping itu, berdekatannya hari-hari keaga-
maan dan tahun baru juga menjadi faktor penyebab mening-
katnya penggunaan kedua alat pembayaran tersebut di atas.
Alat Pembayaran Tunai
Posisi UYD (Uang Kartal Yang Diedarkan) sepanjang tahun 2000
cenderung meningkat. Posisi UYD akhir Desember 2000
mencapai Rp89,7 triliun atau meningkat 23,6% dibandingkan
dengan posisi UYD akhir Desember tahun 1999 yang hanya
sebesar Rp72,6 triliun (Tabel 8.1). Sementara itu, rata-rata posisi
UYD akhir bulan pada tahun 2000 mencapai Rp65,0 triliun atau
naik 21,1% dibandingkan rata-rata posisi UYD akhir bulan pada
tahun 1999 sebesar Rp53,6 triliun.
Kenaikan UYD ini secara umum dipengaruhi oleh
tingginya permintaan masyarakat terhadap uang kartal untuk
memenuhi kebutuhan yang terus meningkat seiring dengan
perkembangan berbagai indikator ekonomi nasional. Ditinjau
dari besarnya kenaikan UYD, kenaikan yang cukup drastis
Tabel 8.1Perkembangan Uang Kartal yang Diedarkan Per Pecahan
1998 1999 2000 2)
Miliar Rupiah
UYD1) 48.329 72.560 89.705Uang Kertas 47.435 71.480 88.370
100.000 – 5.526 6.83250.000 18.941 36.909 45.63020.000 13.643 16.560 20.47210.000 9.566 7.389 9.1355.000 3.311 2.757 3.4081.000 1.232 1.620 2.003
<1.000 742 720 890
Uang Logam 894 1.080 1.3351.000 101 130 161
500 99 153 189100 497 587 725
50 143 151 18725 42 43 53
<25 12 16 20
1) Uang kartal di luar BI2) Estimasi UYD per pecahan tanggal 30 Desember 2000
R i n c i a n
Grafik 8.1Perkembangan Jumlah Uang yang Dimusnahkan (PTTB)
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Triliun rupiah
1999
2000
terjadi dari bulan November ke Desember 2000 yaitu sebesar
32,3%. Hal ini disebabkan adanya penarikan yang cukup besar
dari masyarakat dalam rangka menghadapi bulan
Ramadhan, Hari Natal dan Hari Raya Idul Fitri yang waktunya
hampir bersamaan.
Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan antara uang
kertas dan uang logam sepanjang tahun 2000 tidak banyak
mengalami perubahan, dengan pangsa masing-masing jenis
uang sebesar 98,5% untuk uang kertas dan 1,5% untuk uang
logam.
Selain menyediakan uang dalam jumlah yang cukup,
Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar kualitas uang
yang beredar di masyarakat tetap baik. Hal ini dilakukan
dengan cara menarik dan memusnahkan uang yang tidak
layak edar, atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB),
serta mengganti uang yang ditarik/dimusnahkan tersebut.
Jumlah rata–rata PTTB periode Januari s.d. Desember 2000
sebesar Rp5,6 trilliun atau naik 38,5% dibandingkan rata-rata
PTTB pada tahun 1999 yang mencapai Rp4,0 triliun (Grafik
8.1). Kenaikan ini terutama disebabkan oleh meningkatnya
kegiatan PTTB karena adanya jenis uang kertas yang dicabut
dari peredaran yaitu pecahan Rp50.000,00 emisi 1993/1995
(seri Soeharto), pecahan Rp20.000,00 emisi 1992 (seri
134
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Grafik 8.3 Perkembangan Posisi Kas
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Triliun rupiah
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1998
1999
2000
Grafik 8.2Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar
0
5
10
15
20
25
30Aliran Uang Masuk
Aliran Uang Keluar
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0
Triliun rupiah
Cendrawasih) dan pecahan Rp10.000,00 emisi 1992 (seri
Hamengkubuwono IX).
Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar dan Posisi Kas
Aliran uang masuk (inflow) dari masyarakat kembali ke Bank
Indonesia secara nasional cenderung berfluktuasi. Rata-rata
inflow bulanan pada tahun 2000 adalah sebesar Rp12,3 triliun
atau naik 22,8% dibandingkan dengan rata-rata bulanan in-
flow pada tahun 1999 yang mencapai Rp10,0 triliun (Grafik
8.2). Sementara itu, rata-rata bulanan aliran uang keluar
(outflow) dari Bank Indonesia ke masyarakat pada periode
Januari s.d. Desember 2000 mencapai Rp13,7 triliun atau
meningkat 12,7% dibandingkan rata-rata bulanan outflow
tahun 1999 yang mencapai Rp12,1 triliun.
Berdasarkan perkembangan inflow – outflow di atas,
secara nasional pada tahun 2000 terjadi net outflow sebesar
Rp17,0 triliun. Jumlah ini merupakan tambahan uang yang
diedarkan oleh Bank Indonesia selama tahun 2000 untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat. Sementara itu, bila dilihat
dari karakteristik Kantor Bank Indonesia (KBI), hampir seluruh
KBI di luar Jawa mengalami net outflow, sedangkan KBI di Jawa
kecuali Jakarta mengalami net inflow. Hal ini terutama
disebabkan aktivitas pengeluaran/belanja masyarakat Indo-
nesia sebagian besar terjadi di Jawa.
Posisi kas Bank Indonesia pada akhir tahun 2000 sebesar
Rp27,7 triliun atau turun 51,3% dibandingkan dengan posisi
kas pada akhir tahun 1999 yang tercatat Rp56,9 triliun (Grafik
8.3). Penurunan posisi kas ini terutama disebabkan oleh
meningkatnya jumlah uang yang dimusnahkan (PTTB)
sebagai akibat dari kebijakan pencabutan beberapa jenis
pecahan serta dipengaruhi oleh meningkatnya penarikan
uang kartal oleh masyarakat terutama menjelang akhir tahun.
Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu
Dari data statistik penemuan uang palsu yang berasal dari
laporan bank-bank, POLRI dan BI, dari tahun 1994 s.d. Novem-
ber 2000, jumlah uang palsu yang ditemukan sebesar 989.621
bilyet atau senilai Rp32,6 miliar (Tabel 8.2). Dari jumlah tersebut,
penemuan terbesar adalah untuk pecahan Rp50.000,00 yaitu
495.330 bilyet (50%), diikuti pecahan Rp20.000,00 sebanyak
287.891 bilyet (29,1%). Untuk periode Januari s.d November 2000
jumlah temuan uang palsu meningkat 48,8% dibandingkan
dengan jumlah temuan uang palsu dalam tahun 1999 yaitu
dari 215.950 bilyet menjadi 317.124 bilyet (88,0% diantaranya
adalah pecahan Rp50.000,00).
Dari jumlah uang palsu yang ditemukan menunjukkan
bahwa sebagian besar adalah uang palsu yang belum sempat
135
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Periode
Tabel 8.2Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per PecahanTahun 1994 – 2000
Jenis Pecahan
Bilyet
50.000 20.000 10.000 5.000 Jumlah
1994 14 2.340 1.925 624 4.903
1995 74 5.349 7.224 403 13.050
1996 128 5.379 9.904 2.537 17.948
1997 16.392 139.938 82.274 234 238.838
1998 107.520 9.758 59.633 754 177.665
1999 89.137 100.536 26.053 224 215.950
20001) 282.065 24.591 12.766 1.845 321.267
Jumlah 495.330 287.891 199.779 6.621 989.621
1) Data sampai dengan November 2000
Tabel 8.3Pangsa Penemuan Uang Palsu Menurut Sumber Laporan
POLRI Bank-Bank
P e r s e n
1998 84,4 15,6
1999 80,4 19,6
20001) 83,7 16,3
1) Data sampai dengan November 2000
Periode
Rincian
Tabel 8.4Nisbah Uang Palsu Terhadap UYD
P e c a h a n
Bilyet
50.000 20.000 10.000 5.000
1994 0,000000 0,000007 0,000003 0,000002
1995 0,000001 0,000014 0,000009 0,000001
1996 0,000001 0,000011 0,000014 0,000008
1997 0,000097 0,000250 0,000092 0,000000
1998 0,000284 0,000014 0,000062 0,000001
1999 0,000124 0,000123 0,000035 0,000000
20001) 0,000641 0,000041 0,000025 0,000004
1) Data sampai dengan November 2000
(BOTASUPAL). Bank Indonesia juga senantiasa meningkatkan
security features (tanda pengaman) pada setiap uang kertas
yang akan diterbitkan dan meningkatkan sosialisasi mengenai
keaslian uang rupiah kepada masyarakat. Selama tahun 2000
telah dilakukan 55 kali penyuluhan, yang diikuti oleh siswa
sekolah, guru-guru dan tokoh masyarakat. Selain upaya yang
bersifat preventif tersebut, Bank Indonesia menerapkan upaya
represif dengan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan
instansi terkait dalam melakukan penangkapan dan
pemrosesan ke pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat
dalam pemalsuan uang rupiah.
Alat Pembayaran Bukan Tunai
Seperti alat pembayaran tunai, dalam tahun laporan transaksi
menggunakan alat pembayaran bukan tunai juga meningkat
cukup tajam baik yang berbasis warkat maupun yang
menggunakan kartu elektronik. Perkembangan tersebut
sejalan dengan semakin maraknya kegiatan ekonomi selama
tahun laporan.
Alat Pembayaran Bukan Tunai Berbasis Warkat
Sampai akhir tahun 2000, nominal kliring penyerahan secara
nasional menunjukkan peningkatan sebesar 41,7% dibanding
beredar di masyarakat, yang merupakan hasil penangkapan
petugas POLRI. Data dari Januari s.d. November 2000
menunjukkan bahwa 83,7% uang palsu yang ditemukan
adalah berasal dari Kepolisian sedangkan sisanya (16,3%)
berasal dari laporan bank-bank (Tabel 8.3).
Secara umum jumlah uang palsu yang ditemukan
cenderung meningkat. Apabila dibandingkan dengan uang
kartal yang diedarkan (UYD), berkisar antara 0 – 641 lembar
per satu juta lembar UYD (Tabel 8.4). Untuk itu, Bank Indonesia
tetap meningkatkan kerja sama dengan instansi terkait dalam
upaya memberantas peredaran uang palsu tersebut, antara
lain dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu
136
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
tahun 1999, dari Rp5.156 triliun menjadi Rp 7.304 triliun. Secara
umum hal ini didorong oleh meningkatnya kegiatan ekonomi
dalam tahun 2000 dibandingkan dengan tahun 1999.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, rangkaian
perayaan hari-hari besar keagamaan pada triwulan IV/2000,
yang biasanya mendorong peningkatan volume warkat dan
nominal kliring penyerahan, tahun ini tidak menunjukkan
perilaku yang sama. Pada triwulan tersebut nominal perpu-
taran kliring penyerahan justru menurun dibandingkan dengan
triwulan sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan volume
warkat kliring penyerahan pada tahun 2000 turun 7,9 % dari
78.090 ribu lembar pada tahun 1999 menjadi 73.707 ribu lembar
(Tabel 8.5). Hal ini merupakan indikasi bahwa setelmen melalui
sistem BI-RTGS (diimplementasikan pada tanggal 17 Novem-
Tabel 8.5Perkembangan Perputaran dan Penolakan KliringSecara Nasional
2000
I II III IV2)
Penyerahan
Nominal (Triliun Rp) 6.760 5.755 5.156 1.711 1.939 2.007 1.648
Lembar (ribu) 111.270 87.324 78.090 18.425 18.950 18.378 17.954
Penolakan1)
Nominal (Triliun Rp) 20,3 24,9 12,3 3,1 2,9 3,8 4,2
Lembar (ribu) 1.944 1.247 852 203 225 227 237
1) Terdiri atas : Cek kosong, BG Kosong dan Alasan Lain2) s.d. akhir bulan Desember 2000 (minggu ke-4 libur Natal, Idul Fitri dan tahun baru)
Warkat Kliring 1997 1998 1999
Tabel 8.6Perkembangan Perputaran dan Penolakan KliringMenurut Wilayah
1997 1998 1999 20003)
Jakarta Luar Jakarta Luar Jakarta Luar Jakarta LuarJakarta Jakarta Jakarta Jakarta
PenyerahanNominal (triliun Rp) 6.120 640 4.659 1.095 4.144 1.012 6.222 1.082Lembar (ribu) 55.273 55.997 41.531 45.793 38.805 41.285 35.650 38.057
Penolakan1)
Nominal (triliun Rp) 43 5 21 2 8 5 9 5Lembar (ribu) 1.548 396 803 245 458 394 496 395
PUAB2)
Nominal (triliun Rp) 6.244 6.641 2.250Lembar (ribu) 492 442 177
1) Terdiri atas : Cek kosong, BG Kosong dan Alasan Lain2) Sejak tanggal 19 Agustus 1999 pencatatan PUAB kliring dimasukkan dalam Nilai
Kliring Nominal Besar3) Sampai dengan akhir Desember 2000 (minggu ke-4 libur Natal, Idul Fitri
dan Tahun Baru)
Warkat Kliring
Grafik 8.4Perkembangan Transaksi BI-RTGS
-
50
100
150
200
Aktivitas Kliring Nilai Besar sebelum BI-RTGS
RTGS
Aktivitas Kliring Nilai Besar setelah BI-RTGS
17 21 23 27 29 01 06 07 11 13 15 19 21November 2000 Desember 2000
Triliun Rp
Aktivitas Kliring Nilai Besar sebelum BI-RTGS
RTGS
Aktivitas Kliring Nilai Besar setelah BI-RTGS
-
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
17 20 21 22 23 24 27 28 29 30 01 04 05 06 07 08 11 12 13 14 15 18 19 20 21 22
November 2000 Desember 2000
Transaksi
ber 2000) yang memiliki risiko kegagalan bayar kecil, sangat
diminati oleh kalangan perbankan nasional. Hal tersebut
ditunjukkan dengan kecenderungan beralihnya aktivitas kliring
nilai besar pada wilayah kliring Jakarta dari Otomasi Kliring
Jakarta (OKJ) dan Sistem Kliring Elektronik Jakarta (SKEJ) ke
Sistem BI-RTGS (Grafik 8.4). Namun mengingat implementasi
Sistem BI-RTGS masih sangat baru, kelanjutan dari kecen-
derungan ini masih harus terus dicermati.
Apabila dilihat berdasarkan wilayah kliring, Jakarta
masih merupakan penyumbang terbesar dalam nominal
kliring penyerahan secara nasional (Tabel 8.6). Hal tersebut
137
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
pada tahun 2000 menunjukkan perbandingan yang relatif
tetap, yaitu 48,0% bagi wilayah Jakarta dan 52,0% untuk
wilayah luar Jakarta.
Dalam pada itu, kliring retur yang dipresentasikan oleh cek
dan bilyet giro kosong, menunjukkan kecenderungan pergerakan
yang searah dengan kliring penyerahan. Volume cek dan bilyet
giro kosong naik dari 852 ribu lembar pada awal periode laporan
menjadi 891 ribu lembar pada akhir Desember 2000, sedangkan
nominal cek dan bilyet giro kosong naik dari Rp 12,3 triliun menjadi
Rp. 14,0 triliun.
Dalam tahun 2000, jumlah bank peserta kliring turun
dari 2.178 kantor bank pada akhir 1999 menjadi hanya 1.973
kantor bank pada akhir tahun laporan (Grafik 8.5).
Penurunan terbesar terjadi di Jakarta yaitu sebesar 12,5 %
atau dari 681 kantor bank menjadi 596 kantor bank,
sedangkan luar Jakarta dari 1.497 kantor bank menjadi
1.377 kantor bank.
Sementara itu, bila dilihat dari penggunaan jenis warkat
dalam kliring, sampai akhir periode laporan warkat berjenis
debet (cek, bilyet giro, nota debet, dan warkat debet lainnya)
masih mendominasi dengan pangsa 54,6% (Grafik 8.6),
sedangkan warkat kredit hanya memiliki pangsa 45,4%. Dari
persentase warkat debit tersebut, bilyet giro masih merupakan
warkat kliring yang paling banyak digunakan (48,2%), diikuti
oleh cek (6,1%). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa
Tabel 8.7Pertumbuhan Nominal Transaksi Alat PembayaranBukan Tunai Elektronis
Jumlah 1) % Pertumbuhan dibanding
2000 1999 1998
Kartu Kredit 13.639 31.65 176.16
Kartu Debet 4.663 45.17 80.75
Kartu Smart 0.001 (99.65) (99.97)
ATM 153.590 79.86 650.62
EFT/POS 0.898 7.99 95.28
1) Jumlah dalam triliun rupiah
P i r a n t i
Grafik 8.6Pangsa Penggunaan Warkat dalam Kliring
(Wilayah Kliring Jakarta)
Warkat Kredit45,45%
Warkat Debet54,55%
Cek6,10%
Nota Debet 0,23%
Lainnya 0,01%
Bilyet Giro 48,21%
Des.Okt. Nov.Ags. Sep.Jun. Jul.MeiApr.Mar.Feb.
Jakarta Luar Jakarta
-
200
400
600
800
1.000
1.200
1.400
1.600
U n i t
Des. Jan.
1999 2 0 0 0
terlihat dari pangsa nominal kliring Jakarta terhadap kliring
secara nasional yang mencapai 85,2%. Wilayah kliring di luar
Jakarta cenderung mengalami penurunan nominal kliring
yang ditunjukkan dengan terjadinya penurunan pangsa dari
19,6% pada 1999 menjadi hanya 14,8%. Sementara itu,
pangsa volume warkat kliring berdasarkan wilayah kliring
Grafik 8.5Perkembangan Kantor Bank Peserta Kliring
(Peserta Langsung)
138
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
penggunaan jenis warkat kliring yang lain (seperti Nota Debet,
WBUT, SBPT) sangat jarang digunakan.
Alat Pembayaran Bukan Tunai Elektronis / Berbasis Kartu
Perkembangan alat pembayaran bukan tunai elektronis/ber–
basis kartu pada tahun laporan tumbuh sejalan dengan aktivitas
perekonomian yang direfleksikan oleh perkembangan uang
beredar dan aktivitas kliring. Hampir seluruh alat pembayaran
bukan tunai elektronis berbasis kartu ini memiliki kecenderungan
peningkatan pada akhir periode laporan, kecuali kartu Smart
(Tabel 8.7 dan Tabel 8.8). Nilai transaksi alat pembayaran bukan
tunai elektronis (diluar kartu Smart) tahun 2000 meningkat sebesar
41,2% dibanding tahun 1999. Perkembangan ini juga me–
nunjukkan makin meningkatnya penerimaan masyarakat ter–
hadap keberadaan alat pembayaran bukan tunai elektronis ini.
Rencana pengembangan sistem pembayaran nasional
Peningkatan Pelayanan Kas di Kantor Pusat
Dalam rangka efisiensi dan meningkatkan pelayanan kepada
perbankan serta memudahkan koordinasinya, Bank Indone-
sia akan memindahkan Bagian Pengedaran, Kas Kota dan Kas
Thamrin ke Gedung C, Bank Indonesia Thamrin. Untuk
mendukung pelaksanaan operasional perkasan di Kantor
Pusat, pemindahan tersebut sekaligus dilakukan bersamaan
dengan implementasi Otomasi Administrasi Perkasan (OAP)
Kantor Pusat. Dengan adanya implementasi tersebut, maka
seluruh transaksi perkasan di Kantor Pusat akan dilaksanakan
secara on-line.
Penyempurnaan Surat Edaran Penyetoran dan
Pembayaran
Sehubungan dengan semakin meningkatnya aktivitas bank
umum yang berdampak pada semakin meningkatnya tugas-
tugas pengelolaan uang kartal, maka dipandang perlu untuk
menyempurnakan ketentuan tentang pengambilan dan
penyetoran uang kartal oleh bank umum di Bank Indonesia
dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI). Dengan penyem-
purnaan ketentuan tersebut, kegiatan pengambilan dan
penyetoran uang kartal di Bank Indonesia yang selama ini
dilakukan oleh bank umum, nantinya dimungkinkan dapat
Tabel 8.8Perkembangan Alat Pembayaran Bukan Tunai Elektronis
1998 19992 0 0 0
I II III IV
I. Kartu KreditJumlah Pemegang (orang) 2.028.442 2.043 2.070.147 2.171.667 2.368.370 2.622.604Jumlah Transaksi (ribu) 15.395 29.578 8.081 8.665 9.784 10.770Volume Transaksi (triliun Rp) 4,9 10,4 3,0 3,2 3,6 3,9
II. Kartu DebetJumlah Pemegang (orang) 5.374.376 12.110.970 12.327.766 12.448.780 12.824.485 13.103.676Jumlah Transaksi (ribu) 11.935 16.002 3.819 4.393 5.321 5.850Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 3,2 0,8 1,1 1,3 1,5
III. Kartu SmartJumlah Pemegang (orang) 83.190 29.918 25.750 25.396 25.279 25.075Jumlah Transaksi (ribu) 4.171 62 0,4 0,2 0,1 0,2Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 0,2 0,0 0,0 0,0 0,0
IV. ATMJumlah Mesin (unit) 5.985 6.012 6.119 6.227 6.433 6.767Jumlah Pemegang (orang) 13.169.663 16.195.251 13.989.452 17.278.118 17.859.821 18.786.094Jumlah Transaksi (ribu) 171.802 408.766 100.087 113.601 126.751 130.732Volume Transaksi (triliun Rp) 20,5 85,4 29,6 34,9 41,6 47,4
V. EFT/POSJumlah Mesin (unit) 4.213 5.089 5.523 5.793 6.599 7.005Jumlah Pemegang (orang) 46.652 53.322 51.564 54.527 57.701 61.934Jumlah Transaksi (ribu) 1.936 2.952 634 671 664 715Volume Transaksi (triliun Rp) 0,5 0,8 0,2 0,2 0,2 0,2
139
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
diserahkan kepada perusahaan jasa pihak ketiga yang
melakukan kegiatan pengambilan, penyetoran dan
penukaran uang sepanjang perusahaan jasa pihak ketiga
tersebut mendapatkan kuasa dari bank pemegang rekening
di Bank Indonesia.
Pengembangan Sistem Informasi Pengedaran Uang
Untuk mendukung kegiatan-kegiatan di bidang pengedaran
uang, seperti penyusunan rencana cetak, penyediaan stok
uang dan kertas uang, sistem distribusi uang kertas/uang
logam dan lain sebagainya, pada pertengahan tahun 2001
akan diterapkan Sistem Informasi Pengedaran Uang (SIPU).
Sistem ini merupakan database khusus yang terpisah dari
sistem OAP yang selama ini diterapkan di Satuan Kerja Kas
Bank Indonesia. Dengan penerapan SIPU tersebut, maka
penyediaan informasi yang berkaitan dengan bidang
perkasan menjadi semakin cepat dan up to date.
Standardisasi Uang Kertas
Salah satu aspek yang menjadi pertimbangan dalam
pencetakan uang adalah agar uang tersebut mudah dan
nyaman digunakan. Dalam arti yang lebih luas, secara fisik
uang yang dicetak tidak akan menimbulkan kesulitan bagi
pengguna baik masyarakat umum maupun perbankan. Oleh
karena itu, untuk memudahkan masyarakat pengguna uang
rupiah, salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
menyeragamkan ukuran lebar dari setiap pecahan uang
kertas yang akan diterbitkan disertai peningkatan security fea-
tures sebagaimana yang sudah dilakukan terhadap beberapa
pecahan uang kertas emisi baru. Dengan demikian di masa
yang akan datang, untuk mengetahui perbedaan pecahan
uang kertas secara sepintas dapat dilihat dari ukuran
panjangnya saja.
Pengembangan RTGS
Sebagai kelanjutan dari program RTGS tahap pertama
yang telah diimplementasikan pada November 2000,
penerapan Sistem BI-RTGS sebagai suatu mekanisme
setelmen transaksi nilai besar/urgent akan diimplemen-
tasikan di 12 Kantor Bank Indonesia. Pengintegrasian
sistem BI-RTGS di kantor pusat dan kantor cabang Bank
Indonesia ini akan menghapus rekening giro bank yang
ada di kantor-kantor Bank Indonesia sehingga hanya ada
satu rekening giro bank di kantor pusat Bank Indonesia
(centralized settlement account).
Penggabungan rekening ini menguntungkan bagi Bank
Indonesia maupun bank peserta. Penggabungan rekening
tersebut memudahkan Bank Indonesia dalam memantau
ketaatan bank dalam memenuhi kebutuhan Giro Wajib Mini-
mum (GWM). Selain itu, Bank Indonesia dapat memantau
likuiditas bank, sehingga dapat dipakai sebagai early warn-
ing system bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas.
Bagi bank peserta, penggabungan rekening ini memudahkan
mereka untuk melakukan pengawasan terhadap posisi
likuiditasnya sehingga bank dapat mengelola dananya secara
efektif dan efisien.
Selanjutnya, untuk terus menurunkan risiko yang
terkandung dalam sistem kliring, maka ketentuan "Cap"
(pembatasan nilai transaksi) maksimum atas warkat transfer
melalui kliring akan segera diberlakukan pada awal tahun
2001. Dengan diberlakukannya "Cap" tersebut, maka transaksi
mulai Rp1 miliar ke atas harus melalui sistem BI-RTGS,
sedangkan transaksi dengan nilai dibawah Rp 1 miliar akan
diselesaikan melalui sistem kliring.
Di samping itu, untuk menurunkan risiko setelmen di
pasar uang dan pasar modal, akan dilakukan pengem-
bangan Delivery Versus Payment (DVP) tahap pertama. Dari
pengembangan ini akan tercipta suatu integrasi sistem
setelmen antara sisi pembayaran (payment leg) melalui
sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas (delivery leg)
melalui sistem setelmen sekuritas
Penyempurnaan aktivitas kliring
Dalam rangka mengurangi risiko pembayaran antarbank,
serta untuk meningkatkan efisiensi dan pengawasan dalam
pelaksanaan kliring maka sejumlah penyempur naan
direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2001.
Penyempurnaan tersebut meliputi :
140
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Upgrade sistem Otomasi Kliring Medan (OKM)
Upgrade akan dilakukan terhadap mesin reader/sorter (R/S) pada
KBI Medan yang belum berbasis image menjadi berbasis image
pada akhir 2001. Penyempurnaan ini dilakukan untuk meng-
antisipasi peningkatan volume kliring di wilayah kliring Medan.
Penerapan Otomasi Kliring Bandung (OKB)
Sampai saat ini volume warkat pada wilayah kliring Bandung
sudah sedemikian tingginya untuk tetap dilayani dengan sistem
kliring Semi Otomasi Kliring Lokal (SOKL). Sehubungan dengan
hal tersebut, perlu dilakukan otomasi kliring guna mengatasi
permasalahan yang timbul bila terjadi peningkatan volume
klring di kemudian hari. Selain itu penerapan OKB juga ditujukan
agar pemrosesan warkat dapat menjadi lebih cepat dan
efisien serta merupakan antisipasi terhadap pengembangan
sistem pembayaran di masa mendatang.
Pengembangan sarana back up data image warkat
kliring (CD Burner) di Jakarta, Bandung dan Surabaya
Untuk mengatasi keterbatasan sistem (baik hardware maupun
software) guna menyimpan data image dalam jangka waktu
yang panjang (saat ini jangka waktu maksimum 30 hari), serta
untuk mengantisipasi kemungkinan permintaan data dan
informasi kliring yang terjadi setelah melampaui 30 hari,
diperlukan suatu media penyimpan yang mampu
mengoptimalkan penggunaan teknologi image yang sekaligus
meningkatkan kualitas informasi yang dihasilkan, tanpa
meninggalkan aspek efisiensi biaya. Untuk maksud tersebut,
CD Burner diharapkan dapat diimplementasikan pada KBI
penyelenggara kliring yang menggunakan basis image.
Pengembangan Bulk Interbank Payment System (BIPS)
Pembayaran bulk adalah pembayaran-pembayaran antar
bank yang bersifat rutin dengan volume tinggi dan bernilai
nominal rendah seperti transaksi pembayaran gaji/upah, kartu
kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihan telepon/listrik/air, dan
lain-lain. Pada saat ini sudah banyak bank yang memiliki produk
pembayaran bulk yang memungkinkan masyarakat atau
perusahaan untuk melakukan pembayaran telepon/listrik/air,
gaji/upah, kartu kredit, dan lain-lain secara autodebet.
Perkembangan ini dapat mengurangi efisiensi perbankan
karena mereka harus menyediakan SDM, investasi mesin dan
biaya pencetakan warkat.
Di sisi Bank Indonesia melonjaknya volume warkat-warkat
kliring pada hari pembayaran transaksi bulk menyebabkan
tekanan yang cukup berat pada proses warkat kliring di mesin
reader sorter yang pada akhirnya dapat memperlambat
setelmen hasil kliring perbankan. Pada tahun 2001, Bank Indo-
nesia diharapkan dapat mengimplementasikan kliring khusus
untuk transaksi-transaksi bulk sehingga transaksi antar bank
lainnya yang telah dilakukan melalui kliring saat ini menjadi
lebih efisien.
Implementasi Back End Switch.
Untuk mengefisienkan proses pembukuan dan switching pada
bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta untuk
memberikan tambahan kemudahan dan keamanan bagi
para nasabah penggunanya, maka Bank Indonesia akan
memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral suassion)
bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat menghubungkan
jaringannya satu sama lain.
141
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Boks : Proses Pembuatan Uang Rupiah
Berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia merupakan satu-
satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan uang ru-
piah. Sejalan dengan tugas dimaksud, Bank Indonesia harus dapat
menjamin tersedianya uang yang cukup dalam berbagai pecahan,
kapan dan dimanapun diperlukan dengan kualitas baik serta kondisi
layak edar. Untuk dapat mencapai hal tersebut, dalam setiap
penerbitan uang baru diupayakan agar uang yang diterbitkan
harus dapat mempermudah kelancaran transaksi pembayaran
tunai serta dapat diterima dan dipercaya oleh masyarakat.
Dasar pertimbangan yang digunakan dalam penerbitan
uang baru antara lain :
(1) Menyederhanakan satuan hitung dan untuk memperlancar
transaksi pembayaran tunai dengan melakukan
penyederhanaan atau menata kembali pecahan-pecahan
yang ada.
(2) Melakukan penyesuaian terhadap perkembangan ekonomi
seperti tingkat inflasi dan perubahan nilai tukar.
(3) Melakukan perubahan-perubahan pada uang untuk
meningkatkan kualitas dan efisiensi pengadaan, seperti
penggantian unsur pengaman (security features) dan
antisipasi terhadap kemungkinan pemalsuan terhadap uang
yang sudah beredar cukup lama.
(4) Memperingati suatu kejadian tertentu yang bersifat monumen-
tal dalam bentuk uang peringatan.
Dalam menerbitkan uang baru diupayakan agar fisik uang
tersebut memiliki karakteristik :
(1) Mudah dan nyaman digunakan (user friendly)
Bertujuan agar uang tersebut tidak akan menimbulkan
kesulitan bagi pengguna baik masyarakat umum maupun
para kasir dan pengguna uang lainnya serta memiliki aspek
kepraktisan dan kemudahan.
(2) Tahan lama (durable)
Diupayakan agar uang baru tersebut memiliki kualitas baik
dan memungkinkan masa edar relatif lama sesuai dengan
jenis dan besarnya pecahan, dengan memperhatikan :
(a) Bahan uang yang digunakan berkualitas, sehingga kertas
uang tidak mudah lusuh, relatif tahan terhadap iklim
panas dan kelembaban, unsur pengaman tetap terjaga,
sedangkan untuk logam uang tidak mudah luntur dan
rusak dalam peredaran.
(b) Proses cetak uang dapat menghasilkan hasil cetak yang
baik sesuai dengan standar yang diinginkan.
(3) Mudah dikenali (easily recognizable)
Agar masing-masing jenis dan pecahan mudah dikenali
dengan cepat oleh masyarakat termasuk penyandang tuna
netra, maka warna, gambar desain dan ukuran untuk masing-
masing pecahan dibuat dengan perbedaan yang jelas,
khususnya uang logam.
(4) Sulit dipalsukan (secure against counterfeiting)
Untuk menghindari pemalsuan, maka dalam menerbitkan
uang baru diperlukan suatu perpaduan gambar desain uang,
unsur pengaman (security features) dan proses cetak dengan
menggunakan teknologi yang canggih.
Agar dapat menerbitkan uang baru dalam jumlah yang
cukup, maka dalam memperhitungkan jumlah uang yang dicetak
harus memperhatikan faktor-faktor pertumbuhan UYD yang
mempertimbangkan variabel-variabel ekonomi seperti pertumbuhan
ekonomi, laju inflasi, suku bunga dan kurs; serta penggantian uang
lusuh yang telah dimusnahkan dan persediaan uang tunai di seluruh
satuan kerja kas. Penerbitan uang (emisi) baru tersebut harus
didasarkan pada suatu penelitian yang komprehensif dan
perencanaan yang matang agar uang yang diterbitkan tersebut
memiliki kualitas yang baik dan memenuhi karakteristik di atas dengan
biaya yang dikeluarkan wajar dibandingkan mutu dan jumlah yang
dicetak. Untuk dapat mencapai hal tersebut, maka keputusan
menerbitkan uang biasanya dikeluarkan jauh sebelum penerbitan
dilakukan, yang meliputi langkah-langkah sebagai berikut :
(1) Tahap Persiapan
(a) Penetapan desain uang
– Pemilihan gambar desain uang yaitu gambar
utama dan gambar lain sebagai pendukung yang
umumnya bersifat nasionalistik seperti flora, fauna,
kesenian, pemandangan alam, kebudayaan dan
pahlawan nasional. Dalam tahap ini, ditetapkan
juga pemilihan terhadap gambar tanda air (water-
mark).
142
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
– Pemilihan warna berupa warna dominan untuk
memudahkan masyarakat membedakan suatu
pecahan. Warna uang merupakan salah satu unsur
pengaman uang, sehingga dalam pewarnaan uang
di beberapa bagian dibuat gradasi warna tertentu
agar sulit dipalsukan.
– Ukuran uang yang mempertimbangkan masalah
kepraktisan dan kemudahan bagi pengguna;
memungkinkan dioperasikan dalam mesin/alat kas
(mesin sortasi uang, mesin hitung uang dan kemasan
uang) dan ATM serta digunakan dalam vending ma-
chines; dan membantu masyarakat membedakan
pecahan uang berdasarkan ukuran uang yang
berbeda.
– Teks pada uang dalam bentuk huruf dan angka
dibuat kasat mata dan tidak kasat mata.
(b) Pemilihan unsur pengaman (security features)
Merupakan salah satu aspek yang penting untuk
mencegah upaya pemalsuan, dengan memper-
timbangkan :
– Diperlukan unsur pengaman yang lebih baik dan
semakin kompleks untuk pecahan besar.
– Didasarkan pada hasil observasi atau penelitian,
khusus pecahan besar diterapkan satu atau
beberapa unsur pengaman yang canggih agar
upaya pemalsuan tidak sempurna.
– Perkembangan ciri-ciri uang palsu dan teknologi cetak
yang digunakan seperti electronic scanners, color
management software dan sophisticated printers.
(c) Rencana penempatan unsur pengaman
Perlu dilakukan pembahasan terlebih dahulu dengan
pihak pencetak uang dan pabrikan mesin sortasi untuk
menetapkan letak :
– Overt security features yang mudah diketahui
maupun dideteksi oleh masyarakat awam, kasir
perbankan dan pengguna lainnya.
– Covert security features agar dapat dideteksi oleh sen-
sor yang terletak pada posisi-posisi tertentu dalam sortasi
uang. Apabila unsur pengaman yang dipilih
mengakibatkan penambahan sensor maupun
penyesuaian, diusahakan dengan biaya seminimal
mungkin.
(d) Persiapan untuk pencetakan
– Setelah rencana gambar desain uang dan unsur
pengaman telah ditetapkan, Bank Indonesia
meminta perusahaan pencetak uang membuat
usulan gambar uang yang sebenarnya dan apabila
sesuai akan disampaikan kepada Dewan Gubernur
untuk mendapat persetujuan.
– Berdasarkan persetujuan Dewan Gubernur
tersebut, dibuat master dies dan plat cetak oleh
perusahaan pencetak uang serta dilakukan
pengadaan bahan uang sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan.
– Perusahaan pencetak uang membuat contoh uang
dalam bentuk beberapa lembar besar dan single
note pada bahan uang baru yang apabila sesuai
disampaikan kepada Dewan Gubernur untuk
mendapat persetujuan. Berdasarkan persetujuan
tersebut, perusahaan pencetak uang melakukan
pencetakan yang baru sesuai dengan
penempatan cetak yang ditetapkan oleh Bank In-
donesia.
(2) Tahap Produksi (Pencetakan) Uang
(a) Sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia No.34 Tahun
2000 pencetakan uang rupiah dilakukan oleh Perum
Peruri, kecuali apabila Perum Peruri menyatakan
ketidaksanggupan untuk melaksanakan pencetakan
uang dimaksud, maka pencetakan uang dilakukan di
tempat lain.
(b) Persyaratan yang menetapkan hasil cetak harus memiliki
kualitas yang baik dan memenuhi spesifikasi yang
ditetapkan.
Pada tahap ini, hasil cetak yang diterima dari Perum Peruri
harus sesuai dengan jadwal penyerahan Hasil Cetak Sem-
purna (HCS) yang telah disepakati antara Bank Indonesia dan
Perum Peruri. Namun tidak tertutup kemungkinan adanya Hasil
Cetak Tidak Sempurna (HCTS) yang selanjutnya akan
dimusnahkan oleh Bank Indonesia.
(3) Tahap Kampanye dan Penerbitan Uang (Emisi) Baru
Kampanye dilakukan secara efektif beberapa waktu sebelum
penerbitan uang agar masyarakat memahami dan akan
mengenali ciri-ciri uang baru melalui press release, brosur, leaf-
let, media cetak, radio, TV, dll.
143
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
Satuan Kerja
Proses Penerbitan Uang Baru Secara garis Besar
Peruri Bank IndonesiaPimpinan
Masukan
Catatan UsulanPenerbitan Uang Baru
Catatan UsulanPenerbitan Uang Baru
= ArsipAAsumsi : Usulan langsungdisetujui
Keterangan
ASurat permintaanuntuk membuat
desain uang
Surat permintaanuntuk membuat
desain uang
Desain uang dantanda terima
Desain uang dantanda terima
Tanda terima
Desain DesainCatatan
Catatan Permintaanpersetujuan desain
Desain
Catatan
A
Proof cetak2 set
Catatan
Proof cetak
Proof cetak 2 setdan tanda terima
Proof cetak 2 setdan tanda terima
Tanda terimaCatatan Persetujuan
proof cetak 2 set
Proof cetak2 set
Catatan
CETAK MASSAL A
Asumsi : Desain yang diajukanoleh Peruri layak untuk diajukankepada pimpinan Bank Indonesia
Asumsi : Pimpinan langsungsetuju terhadap desain yangdiajukan
Asumsi proof cetak yangdiajukan oleh Peruri layakuntuk diajukan kepadapimpinan Bank Indonesia
Asumsi : Pimpinan langsungsetuju terhadap proof cetak yangdiajukan
1 set proof cetak diserahkankepada Peruri disertai tandaterima dan 1 set proof cetaklainnya disimpan oleh SatuanKerja
144
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
a. Memasyarakatkan ciri-ciri keaslian uang rupiah melalui
media elektronik, penataran kepada kasir, guru,
penyebaran pengumuman, brosur dan leaflet.
b. Meningkatkan unsur pengaman (security features) pada
uang baru yang meliputi bahan uang, disain, warna dan
teknik cetak uang.
c. Meningkatkan kerja sama dengan instansi terkait yaitu
BOTASUPAL (Badan Koordinasi Pemberantasan Uang
Palsu).
d. Meningkatkan kerjasama internasional.
e. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai
pihak-pihak yang harus dihubungi (Bank Indonesia/
Perbankan/Kepolisian) apabila menemukan uang palsu.
Selain upaya preventif sebagaimana tersebut di atas,
maka tindakan represif yang dilakukan lebih banyak terkait
dengan instansi lain yang berwenang untuk memberikan
sanksi, antara lain pihak Kepolisian Republik Indonesia.
Berdasarkan laporan dari bank-bank dan kepolisian,
penemuan uang palsu pada dua tahun terakhir mengalami
peningkatan, yaitu tahun 1999 meningkat 21,6% dibandingkan
tahun 1998 dan pada tahun 2000 (periode Januari s.d. No-
vember) meningkat 48,8% dibandingkan tahun 1999. Selama
periode Januari s.d. November 2000, jumlah uang palsu yang
beredar di masyarakat sebanyak 321.267 lembar atau sebesar
0,0004% dibandingkan dengan jumlah uang yang diedarkan.
Dari jumlah tersebut sebesar 16,3% merupakan uang palsu
yang berasal dari temuan bank-bank (sudah beredar di
masyarakat) dan 83,7% merupakan hasil temuan pihak
Kepolisian (belum beredar di masyarakat).
Pemalsuan uang yang ada saat ini dapat dideteksi dari
teknik pencetakan dan bahan yang digunakan. Teknik
pencetakan uang palsu yang banyak digunakan atau 64,2%
menggunakan offset, sedangkan sisanya sebesar 35,8%
menggunakan color printer. Bahan baku yang digunakan dalam
pembuatan uang kertas palsu akhir-akhir ini adalah kertas sekuritas
berserat kapas yang umumnya digunakan untuk pembuatan
surat berharga seperti ijasah dan piagam. Perbedaan kertas
tersebut dengan bahan kertas uang asli yaitu tidak memendar di
bawah lampu ultra violet.
Boks : Uang Palsu "Permasalahan dan Penanggulangannya"
Uang palsu merupakan suatu permasalahan yang dihadapi
oleh hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia.
Dalam segala kegiatan transaksi ekonomi di suatu negara,
keberadaan uang palsu adalah hal yang sulit dihindari
karena uang memiliki fungsi yang sangat strategis dalam
kelangsungan hidup manusia, pemerintahan dan/atau
negara. Unsur strategis tersebut karena selain digunakan
sebagai alat transaksi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
uang juga dapat dijadikan sebagai alat politik untuk
menjatuhkan perekonomian suatu negara. Agar keber-
adaan uang di suatu negara sesuai dengan fungsi dan
tujuannya, maka upaya pencegahan terhadap keber-
adaan uang palsu dilakukan baik secara preventif maupun
represif.
Beberapa tahun terakhir, terutama sejak Indonesia
mengalami krisis moneter pada pertengahan tahun 1997
yang berlanjut menjadi krisis ekonomi, tindak pemalsuan
uang rupiah menjadi topik yang menarik dalam
pemberitaan di berbagai media massa. Salah satu faktor
yang menyebabkan masih beredarnya uang palsu saat ini,
antara lain :
a. Sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui
secara jelas mengenai ciri-ciri keaslian uang rupiah,
sehingga masyarakat sulit membedakan antara uang
asli dan uang palsu.
b. Jumlah setoran nasabah yang besar, mengakibatkan
bank-bank mangalami kesulitan dalam melakukan sortir
terhadap uang yang masuk, sehingga memungkinkan
masuknya uang palsu ke dalam sistem perbankan.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pemalsuan
uang karena keterbatasan informasi, keengganan untuk
melaporkan uang palsu sehingga uang palsu tersebut
beredar kembali di masyarakat.
Dalam rangka mengantisipasi tindak pidana
pemalsuan uang rupiah, Bank Indonesia sebagai lembaga
yang memiliki kewenangan dalam mengeluarkan dan
mengedarkan uang rupiah senantiasa melakukan upaya-
upaya penanggulangan yang bersifat preventif sebagai
berikut :
145
Bab 8 Sistem Pembayaran Nasional
T indakan pemalsuan uang merupakan tindak
pidana dan pihak yang berwenang menindak sesuai
ketentuan hukum pidana adalah Kepolisian Republik
Indonesia. Dalam hal ini sesuai dengan cakupan tugas,
wewenang dan tanggung jawab, Bank Indonesia lebih
banyak berperan mengambil langkah-langkah preventif
yang sifatnya lebih banyak membantu pihak berwenang.
Berdasarkan tugas dan kewenangan yang dimiliki oleh
masing-masing pihak tersebut, maka dalam pengertian yang
lebih luas upaya penanggulangan uang palsu tidak semata-
mata menjadi tanggung jawab Bank Indonesia maupun
Kepolisian, melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak
termasuk pihak-pihak yang berkepentingan baik perbankan
maupun masyarakat pada umumnya.
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama InternasionalBab 9
147
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Tabel 9.1Beberapa Indikator Ekonomi Dunia
R i n c i a n 1998 1999 20001)
Pertumbuhan Ekonomi (%)Dunia 2,6 3,4 4,7Negara-negara industri 2,4 3,2 4,2Negara-negara berkembang 3,5 3,8 5,6Negara-negara dalam transisi –0,8 2,4 4,9
Laju Inflasi (%)Negara-negara industri 1,5 1,4 2,3Negara-negara berkembang 10,1 6,6 6,2
Volume Perdagangan Dunia(% pertumbuhan) 4,3 5,1 10,0
Harga Perdagangan Dunia(% perubahan)
Barang Manufaktur –1,2 –1,2 –5,3Komoditas primer nonmigas –14,7 –7,1 3,2Minyak bumi –32,1 37,5 47,5
Nilai Tukar UtamaYen/USD 130,9 113,7 107,8USD/EURO – 1,0660 0,9238
Suku Bunga Negara Industri(rata-rata %)
Jangka pendek 4,0 3,5 4,5Jangka panjang 4,5 4,7 5,0
1) Angka PerkiraanSumber : IMF, World Economic Outlook, Oktober 2000,
Bloomberg, dan publikasi eksternal
Eropa dan Amerika Latin, serta berlanjutnya pemulihan
ekonomi di beberapa negara Asia. Ekspansi perekonomian
Amerika Serikat masih didorong oleh permintaan domestik
yang sangat kuat. Sebagai lokomotif perekonomian global,
berlanjutnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat telah
memberikan dampak positif terhadap kinerja ekspor negara-
negara di berbagai kawasan, khususnya kawasan Eropa,
Asia, dan Amerika Latin.
Di pihak lain, meningkatnya ekspansi perekonomian
dunia telah disertai dengan menguatnya tekanan inflasi
khususnya di negara-negara industri. Kuatnya tekanan inflasi
tidak hanya berasal dari sisi permintaan tetapi juga berasal
dari sisi penawaran. Dari sisi penawaran, tekanan inflasi
terutama disebabkan oleh naiknya biaya produksi akibat
kenaikan harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar
beberapa mata uang dunia. Kenaikan harga minyak juga
berimplikasi luas terhadap peningkatan biaya hidup
masyarakat sehingga mendorong maraknya tuntutan
kenaikan upah di beberapa negara. Hal ini pada gilirannya
menambah tekanan inflasi dan semakin mempersulit
pencapaian sasaran inflasi khususnya bagi negara-negara
pengimpor minyak. Guna meredam menguatnya tekanan
inflasi tersebut, sampai akhir paro pertama tahun 2000,
beberapa negara industri maju masih melanjutkan kebijakan
moneter yang cenderung ketat (tight bias). Namun sejak
triwulan IV/2000, dengan indikasi mulai melambatnya kegiatan
ekonomi dan kecenderungan menurunnya harga minyak,
stance kebijakan moneter di beberapa negara menjadi
cenderung netral (neutral bias).
Pesatnya ekspansi perekonomian dan berlanjutnya
peningkatan suku bunga di Amerika Serikat telah
mengakibatkan nilai tukar dolar AS menguat secara global
khususnya terhadap mata uang euro dan yen. Untuk mena-
han tekanan apresiasi dolar AS yang sangat kuat tersebut
khususnya terhadap mata uang euro, dalam triwulan III/2000,
b a b
9 Perekonomian Dunia dan Kerja SamaInternasional
Perekonomian Dunia
Perkembangan ekonomi dunia dalam tahun laporan ditandai
dengan meningkatnya ekspansi perekonomian di berbagai
kawasan, sebagai kelanjutan dari ekspansi ekonomi tahun
sebelumnya. Berlanjutnya ekspansi perekonomian dunia
tersebut telah diiringi dengan meningkatnya volume
perdagangan dunia, meningkatnya tekanan inflasi di
beberapa negara industri maju, menguatnya mata uang dolar
AS terhadap mata uang utama (meskipun melemah kembali
pada akhir tahun), serta kecenderungan melemahnya harga
saham dunia (Tabel 9.1).
Ekspansi perekonomian dunia pada tahun laporan
terutama ditopang oleh pesatnya ekspansi perekonomian di
Amerika Serikat, membaiknya perekonomian di kawasan
148
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
swasta belum sepenuhnya berjalan baik sehingga kawasan
ini masih sangat rentan terhadap shock eksternal.
Amerika Serikat
Pada tahun laporan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat
diperkirakan mencapai 5,0%, lebih tinggi dari pertumbuhan
tahun 1999 sebesar 4,2%. Pertumbuhan ekonomi tahun 2000
secara umum masih ditopang oleh kuatnya permintaan
domestik terutama konsumsi dan investasi swasta. Guna
meredam tingginya ekspansi permintaan domestik dan
mencapai soft landing perekonomian, sejak pertengahan
tahun 1999 sampai dengan pertengahan tahun 2000 Federal
Reserve menerapkan kebijakan moneter pre-emptive yang
cenderung ketat (Grafik 9.2). Kebijakan moneter pre-emptive
yang dijalankan Federal Reserve ditengarai telah turut
mempertahankan kesinambungan ekspansi perekonomian
Amerika Serikat dalam 8 tahun terakhir tanpa disertai tekanan
inflasi yang berarti (non-inflationary expansion).
Namun demikian, sejak Triwulan IV/2000, beberapa data
ekonomi mulai menunjukkan indikasi perlambatan permintaan
domestik yang cukup tajam, lebih dari yang diperkirakan
sebelumnya. Kegiatan investasi dan konsumsi mulai melemah,
bersamaan dengan menurunnya tingkat kepercayaan dunia
usaha dan konsumen terhadap prospek perekonomian di masa
depan. Melemahnya kegiatan investasi antara lain tercermin
beberapa bank sentral negara G-7 melakukan intevensi
bersama, namun belum memberikan hasil yang optimal.
Intervensi tersebut berjalan efektif pada triwulan IV/2000, seiring
dengan munculnya indikasi perlambatan ekspansi per-
ekonomian Amerika Serikat.
Sementara itu, pada paro pertama tahun laporan,
perkembangan pasar modal dunia ditandai dengan
meningkatnya harga saham-saham berbasis teknologi
informasi. Namun, pada paro kedua, harga saham-saham
tersebut kembali jatuh sebagai akibat respon pasar terhadap
kemungkinan melemahnya permintaan terhadap produk
teknolgi informasi sehubungan dengan indikasi melambatnya
ekspansi perekonomian global.
Meskipun secara umum kondisi perekonomian dunia
membaik, beberapa faktor risiko dan ketidakpastian masih
membayangi kesinambungan ekspansi perekonomian di
berbagai kawasan. Dalam kelompok negara-negara industri
maju, kesenjangan kinerja ekonomi di tiga kekuatan ekonomi
dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang masih
lebar (Grafik 9.1). Perekonomian Amerika Serikat mengalami
akselerasi pertumbuhan yang pesat. Di pihak lain ekspansi
perekonomian Eropa Barat masih relatif lambat. Sementara
itu, kondisi perekonomian Jepang masih rentan, meskipun
mulai membaik. Dalam kelompok negara-negara emerging
market khususnya di kawasan Asia, proses restrukturisasi sektor
Grafik 9.1Pertumbuhan Ekonomi G-3
1999 – 2000
4,5
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
Fed Fund Target
Fed Fund Effective Rate
30/4 28/5 30/6 30/7 31/8 30/9 29/10 30/11 31/12 31/1 29/2 31/3 28/4 31/5 30/6 31/7 31/8 30/9 31/10 30/11 30/12
1999 2000
%
ASEuroJepang
-2,0
-1,0
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
I II III IV I II III IV
1 9 9 9 2 0 0 0
%
Grafik 9.2Fed Fund Rate
149
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Eropa Barat
Pada tahun laporan, ekspansi perekonomian Eropa Barat
khususnya negara-negara yang tergabung dalam zona Euro
juga menunjukkan peningkatan, walaupun pada tingkat yang
moderat. Dalam tahun 2000, perekonomian Euro diperkirakan
tumbuh 3,4%, setelah tahun 1999 hanya tumbuh 2,3%. Ekspansi
perekonomian pada tahun 2000 terutama disumbang oleh
membaiknya kinerja sektor eksternal. Kinerja ekspor negara-
negara di kawasan ini semakin membaik seiring dengan
meningkatnya permintaan impor dari pasar Amerika Serikat
dan Asia. Selain akibat meningkatnya permintaan impor,
membaiknya kinerja ekspor didukung pula oleh nilai tukar euro
yang sangat kompetitif. Sejak diluncurkannya pada awal
Januari 1999, nilai mata uang Euro telah melemah sebesar
26,0%. Di pihak lain, melemahnya nilai tukar euro dan
meningkatnya harga minyak yang persisten mengakibatkan
harga impor meningkat sehingga memberi tekanan yang
sangat besar terhadap inflasi. Pada tahun 2000, laju inflasi
mencapai 2,8% menembus batas atas yang ditetapkan Bank
Sentral Eropa.
Dalam tahun 2000 harga minyak yang melonjak dan nilai
tukar euro yang melemah merupakan dua faktor ancaman
yang serius bagi kesinambungan ekspansi perekonomian zona
Euro karena kombinasi kedua faktor tersebut menimbulkan
permasalahan yang berdimensi luas. Pertama, kedua faktor
tersebut menimbulkan lingkaran harga-upah (wage-price spi-
ral). Meningkatnya biaya hidup akibat peningkatan harga
minyak dan melemahnya nilai tukar euro telah mendorong
serikat buruh di beberapa negara mengajukan tuntutan
peningkatan upah, yang pada gilirannya memberi tekanan
terhadap inflasi. Kedua, perkembangan kedua faktor tersebut
memperburuk consumer confidence yang berdampak
kontraksi terhadap kegiatan konsumsi. Ketiga, kedua faktor
tersebut mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang hanya
mengandalkan pasarnya ke pasar domestik mulai mengurangi
kegiatan produksi karena meningkatnya ongkos produksi dan
mulai melemahnya permintaan.
Mencermati perkembangan tersebut, Bank Sentral Eropa
telah melakukan kebijakan moneter yang cenderung ketat.
dari menurunnya tingkat pesanan kalangan produsen terhadap
barang-barang tahan lama (durable), yang kemudian diiringi
dengan menurunnya output industri manufaktur. Sementara itu,
melemahnya konsumsi tercermin dari merosotnya tingkat
kepercayaan konsumen dan angka penjualan pada tingkat re-
tail. Dari pasar tenaga kerja, melemahnya kegiatan ekonomi
ditandai oleh peningkatan klaim ter hadap tunjangan
pengangguran secara persistent. Sejumlah perusahaan mulai
mengalami penurunan credit rating karena dihadapkan dengan
utang macet.
Pada tahun laporan, laju inflasi di Amerika Serikat
mencapai 3,4%. Rendahnya tingkat laju inflasi dalam kondisi
perekonomian yang tumbuh pesat merupakan dampak dari
terjadinya peningkatan produktivitas perekonomian, seiring
dengan meningkatnya pemanfaatan teknologi informasi dan
telekomunikasi dalam skala luas (Boks : "The New Economy"
dan Kebijakan Moneter Federal Reserve). Kemungkinan
melambatnya ekspansi perekonomian dan melemahnya
tekanan inflasi yang didukung oleh produktivitas
perekonomian yang terus meningkat, telah menjadi dasar
bagi Federal Reserve untuk merubah stance kebijakan
moneter dari tight bias ke neutral bias terutama sejak
pertengahan tahun 2000. Perubahan stance kebijakan
tersebut mengakhiri siklus kebijakan moneter ketat yang telah
diberlakukan sejak paro kedua tahun 1999 dengan
meningkatkan target suku bunga Fed fund dari 4,8% menjadi
6,5%.
Pada tahun 2001, kebijakan moneter Federal Reserve
diperkirakan akan semakin longgar guna menghindari
kontraksi perekonomian yang sangat dalam (hard landing).
Namun, kemampuan perekonomian untuk menghindari
terjadinya hard landing tersebut juga akan tergantung dari
sejauh mana beberapa ketimpangan fundamental dapat
teratasi terutama defisit transaksi berjalan dan defisit
keuangan sektor swasta yang semakin membesar. Dalam
pada itu, pasar keuangan telah mengantisipasi kemungkinan
melemahnya kegiatan ekonomi tersebut seperti tercermin
dari jatuhnya harga saham dan menurunnya yield obligasi
jangka panjang.
150
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
perekonomian Jepang tahun 2000 diperkirakan tumbuh
sebesar 1,9%.
Asia Non–Jepang
Pada tahun 2000, sejumlah negara di Asia masih mengalami
laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (Grafik 9.3). Seiring
dengan berlanjutnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat,
sektor ekspor –baik produk elektronik maupun nonelektronik
masih menjadi penggerak utama ekspansi perekonomian
negara-negara Asia tersebut. Dalam tahun laporan, Republik
Rakyat Cina, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Taiwan,
dan Malaysia mengalami pertumbuhan ekonomi antara 7,0%
sampai dengan 10,0%. Pada fase awal pemulihan ekonomi
tahun 1998/1999, pesatnya pertumbuhan ekspor telah
mendorong peningkatan investasi dan konsumsi dan hal ini
masih berdampak ekspansif sampai tahun 2000.
Meskipun pada tahun 2000 suku bunga internasional
cenderung meningkat, beberapa negara Asia masih tetap
mempertahankan suku bunga yang rendah, kecuali Hong
Kong yang menganut Currency Board System, dan negara-
negara Asia yang mengalami tekanan depresiasi mata uang
yang sangat kuat. Thailand, Singapura, dan Malaysia masih
tetap mempertahankan suku bunga rendah. Bahkan tingkat
suku bunga di Thailand (1,5%) merupakan yang terendah di
Grafik 9.3Pertumbuhan PDB Asia
1997 – 2000
–20,0
–15,0
–10,0
–5,0
0,0
5,0
10,0
15,0
1 9 9 7 1 9 9 8 2 0 0 01 9 9 9I II III IV I II III IV I II III IV I II III
ThailandPhilipinaKoreaSingapuraMalaysiaIndonesia
%
Guna meredam tekanan depresiasi terhadap euro, patokan
tingkat suku bunga (refinancing rate) ditingkatkan dari 3,0%
menjadi 4,75%. Selain itu, negara-negara G-7 juga telah
melakukan intervensi bersama di pasar valuta asing. Sampai
triwulan III/2000, intervensi bersama yang dilakukan negara-
negara G-7 belum berhasil mengangkat nilai tukar euro.
Intervensi bersama tersebut, baru memberikan dampak positif
sejak November 2000 sehingga berhasil memperkuat nilai tukar
euro mencapai level di atas 0.90. Kecenderungan menguatnya
nilai tukar euro dan menurunnya harga minyak pada akhir
tahun telah mengurangi tekanan bagi Bank Sentral Eropa untuk
menaikkan kembali suku bunga. Sampai akhir tahun 2000,
patokan suku bunga jangka pendek dipertahankan pada
tingkat 4,75%.
Jepang
Sementara itu, perekonomian Jepang masih mengalami
ekspansi yang sangat lambat dan rentan. Sumber utama
penghambat ekspansi perekonomian adalah lambatnya
restrukturisasi sektor korporasi dan perbankan dalam skala luas
sehingga menimbulkan credit crunch dalam perekonomian.
Beberapa perusahaan besar mulai terancam bangkrut dan
tingginya kredit macet terus memperburuk neraca perbankan
sehingga memperlambat proses restrukturisasi sektor
keuangan. Pada gilirannya hal ini membatasi kemampuan
bank untuk menyalurkan kredit ke dunia usaha meskipun suku
bunga masih dipertahankan rendah (terendah di dunia).
Ekspansi perekonomian Jepang pada akhir tahun 2000
semakin melambat karena kinerja ekspor sebagai penopang
utama perekonomian mulai menurun khususnya ekspor untuk
tujuan pasar Amerika Serikat. Hal ini mengakibatkan surplus
perdagangan mulai mengecil. Sektor fiskal yang pada awal
tahun 2000 menjadi penggerak roda perekonomian, sejak
Triwulan II mulai kehilangan momentum. Kemampuan sektor
fiskal untuk menjadi penopang pertumbuhan ekonomi
semakin tidak dapat diharapkan (unsustainable) karena
sumber pembiayaan fiskal melalui penerbitan utang (obligasi)
pemerintah telah mencapai 130,0 % dari PDB (tertinggi di
antara negara-negara industri maju). Secara keseluruhan
151
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
dunia setelah Jepang. Suku bunga yang rendah masih
diperlukan guna memelihara momentum pemulihan ekonomi
dan restrukturisasi sektor perbankan dan korporasi. Di pihak lain,
tingkat suku bunga di Indonesia dan Filipina cenderung
meningkat sebagai akibat tekanan depresiasi yang kuat
terhadap mata uang domestik terutama sehubungan dengan
meningkatnya gejolak sosial politik.
Di tengah pesatnya pertumbuhan ekonomi beberapa
negara Asia dalam dua tahun terakhir, reformasi struktural di
kawasan ini belum sepenuhnya berjalan baik. Apabila hal ini
tidak dicermati akan mengakibatkan perekonomian di
kawasan ini sangat rentan terhadap shock eksternal. Reformasi
struktural tersebut terutama menyangkut restrukturisasi neraca
dunia usaha. Di sejumlah negara Asia, upaya untuk mem-
perbaiki neraca dunia usaha seolah tertutup oleh kisah
suksesnya kebangkitan perekonomian negara-negara tersebut
dari krisis. Akibat lambannya proses restrukturisasi sektor
korporasi dan perbankan, kualitas aset pada kedua sektor
tersebut belum membaik. Tingkat non performing loans tidak
mengalami penurunan yang berarti, Bahkan hal ini di
beberapa negara menjadi penghambat utama berfungsinya
intermediasi perbankan. Dengan prakiraan melambatnya
pertumbuhan ekonomi Asia pada tahun 2001, maka
tantangan untuk melanjutkan upaya restrukturisasi sektor
swasta diperkirakan akan semakin berat.
Amerika Latin
Kondisi perekonomian di negara-negara Amerika Latin juga
semakin membaik, terutama ditopang oleh membaiknya
kinerja ekspor dan konsumsi swasta. Meksiko merupakan
negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi terpesat yang
diperkirakan mencapai 7,0 % pada tahun 2000, lebih tinggi
dari 3,5% yang dicapai pada tahun 1999. Kesinambungan
ekspansi perekonomian negara ini sejak krisis ekonomi tahun
1994 ditopang oleh kebijakan moneter yang berhati-hati,
pendapatan dari meningkatnya harga minyak, berlanjutnya
ekspansi ekonomi di Amerika Serikat (sebagai tujuan ekspor
utama), serta konsumsi dan investasi yang terus ekspansif.
Untuk mencegah agar suhu perekonomian tidak memanas,
kebijakan moneter dan fiskal mulai diperketat terutama sejak
paro kedua tahun 2000. Pada tahun 2000, perekonomian Brasil
diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 4,0 %, setelah
tumbuh 1,0% pada tahun 1999. Dari sisi penawaran, kinerja
perekonomian terutama dipacu oleh pesatnya pertumbuhan
sektor manufaktur. Sedangkan dari sisi permintaan, sumbangan
utama berasal dari konsumsi sebagai akibat kebijakan fiskal
yang sangat ekspansif. Perekonomian Cile yang pada tahun
1999 mengalami kontraksi sebesar 1,1%, pada tahun 2000
diperkirakan mencatat pertumbuhan sebesar 5,5%. Sektor
ekspor menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan ekspor terutama disebabkan oleh peningkatan
produksi dan harga tembaga di pasar internasional yang
merupakan komoditas andalan Cile.
Negara besar di Amerika Latin lainnya, Argentina, pada
tahun laporan mengalami perkembangan ekonomi yang
stagnan. Pada tahun 2000, perekonomian Argentina
diperkirakan hanya mengalami ekspansi sebesar 0,5%, mes-
kipun lebih baik dibandingkan dengan kinerja tahun 1999 yang
mengalami kontraksi sebesar 3,3%. Lambannya proses
pemulihan ekonomi mengakibatkan penerimaan pemerintah
tidak dapat meningkat secara pesat. Hal ini mengakibatkan
defisit anggaran semakin membengkak sehingga pada tahun
2000 mencapai $1,5 miliar dibandingkan dengan defisit sebesar
$1,05 miliar pada tahun 1999. Di pihak lain, negara ini dihadap-
kan dengan tingginya utang luar negeri. Kedua hal ini
menimbulkan spekulasi terhadap kemungkinan terjerumusnya
negara ini ke dalam perangkap utang (debt trap) sehingga
menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Paket bantuan IMF
sebesar $39,7 miliar untuk sementara dapat meredam gejolak
di pasar keuangan tersebut, meskipun masih banyak yang
mempertanyakan tentang kemampuan negara ini untuk
membiayai defisit fiskal dan utang luar negerinya yang sangat
tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Afrika dan Timur Tengah
Di beberapa negara kawasan Afrika dan Timur Tengah,
perkembangan ekonomi pada tahun 2000 banyak ditopang
oleh faktor eksternal termasuk meningkatnya harga komoditas
152
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
terutama minyak. Meningkatnya pendapatan sebagai akibat
menguatnya harga minyak secara persistent sepanjang tahun
1999 dan 2000 telah meningkatkan kepercayaan konsumen
dan dunia usaha yang pada gilirannya mendorong kegiatan
investasi dan konsumsi. Selain itu, membaiknya kondisi
perekonomian beberapa negara di dua kawasan ini juga tidak
terlepas dari keberhasilan langkah-langkah restrukturisasi
perekonomian yang mulai diimplementasikan sejak beberapa
tahun sebelumnya, meskipun belum dilakukan dalam skala
yang luas.
Pada tahun 2000, perekonomian Afrika Selatan
diperkirakan tumbuh 3,0%, setelah mengalami pertumbuhan
sebesar 1,2% pada tahun 1999. Sebagai kekuatan ekonomi
terbesar di kawasan Afrika, membaiknya kondisi
perekonomian di negara ini telah memberikan dampak positif
terhadap perekonomian negara-negara lainnya di kawasan
Afrika. Meskipun demikian, sejumlah negara Afrika yang
kurang memiliki sumber daya alam masih tetap dihadapkan
pada tantangan untuk meningkatkan taraf hidup
masyarakatnya. Sementara itu, negara-negara di kawasan
Timur Tengah, seperti Saudi Arabia, Mesir, Iran, dan Kuwait,
diperkirakan akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang
bervariasi antara 3,0% sampai dengan 5,0% terutama
disumbang oleh meningkatnya penerimaan dari ekspor
minyak. Dengan melihat struktur perekonomian sebagian
besar negara di dua kawasan ini, kinerja perekonomian di
kawasan Afrika dan Timur Tengah dalam tahun-tahun
mendatang dikhawatirkan masih sangat rentan terhadap
perkembangan harga komoditas internasional yang
cenderung fluktuatif.
Pasar Valuta Asing
Di pasar valuta asing, pada tahun 2000 nilai tukar dolar AS
menguat secara global (Grafik 9.4). Nilai tukar dolar AS
menguat terhadap mata uang utama seperti yen dan euro
terutama dipicu oleh terjadinya pemindahan modal khususnya
yang berbentuk portofolio dari pasar keuangan Jepang dan
Euro ke pasar keuangan Amerika Serikat. Pemindahan modal
portofolio tersebut merupakan respon investor internasional
JPY KRW SGD THB PHP IDR
90,0
95,0
100,0
105,0
110,0
115,0
120,0
125,0
130,0
135,0
140,0
2 0 0 0I II III IV
Indeks
Grafik 9.4Indeks Nilai Tukar Nominal AsiaTahun 2000 (3 Jan 2000 = 100)
terhadap melebarnya kesenjangan kinerja ekonomi antara
Amerika Serikat, dengan Jepang dan Euro, serta semakin
melebarnya perbedaan suku bunga antara dolar AS dengan
yen dan euro. Namun demikian, menjelang akhir tahun 2000
nilai tukar dolar AS kembali melemah terhadap mata uang
euro setelah terdapat sinyal bahwa ekspansi perekonomian
Amerika Serikat akan melambat yang pada gilirannya akan
mempersempit kesenjangan kinerja ekonomi antara Amerika
Serikat dan zona Euro.
Sementara itu, terhadap yen, nilai tukar dolar AS tetap
menguat sampai akhir tahun karena meningkatnya sentimen
negatif terhadap lambannya pemulihan ekonomi di Jepang
serta memanasnya suhu politik. Sejalan dengan melemahnya
mata uang yen, beberapa mata uang Asia mengalami
depresiasi yang cukup tajam. Selain dilatarbelakangi oleh
menguatnya nilai tukar US dollar secara global, faktor internal
terutama gejolak sosial politik yang berkepanjangan di
beberapa negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, dan
Taiwan menimbulkan sentimen negatif terhadap mata uang
negara-negara tersebut.
Pasar Modal
Di pasar modal, harga saham dunia secara umum cenderung
menurun (Grafik 9.5). Harga saham-saham perusahaan yang
153
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
100
120
140
160
180
200
220
240
2 0 0 0
1Jan.
26Feb.
23Mar.
18Jun.
13 10 12Des.
28Jan.
24Mar.
19Mei
14Jul.
8Sep.
3Nov.
29Des.
Nasdaq
Dow Jones
Nikkei
Dax Germany
Ags.
Indeks
1 9 9 9
Indonesia di samping mendapat manfaat bantuan dari
negara sahabat maupun lembaga internasional dalam
membantu proses pemulihan ekonomi, namun juga aktif
terlibat dalam diskusi dan kajian-kajian yang dilakukan di fora
internasional tersebut.
Isu kerja sama di bidang moneter, keuangan dan
perbankan masih banyak mengarah pada pengembangan
arsitektur keuangan internasional sebagai tema sentral.
Pengembangan arsitektur keuangan internasional di tahun
laporan mulai bergeser dari isu konseptual ke isu yang lebih
konkret serta kemungkinan pelaksanaannya. Sejumlah pilot
project telah diluncurkan di tahun 2000, antara lain
pembentukan expert group, komitmen penerapan interna-
tional standards and codes, penyusunan pedoman praktek
keuangan yang berhati-hati dan kajian atas penerapan stand-
still sebagai cara untuk meningkatkan keterlibatan sektor
swasta dalam penanganan krisis.
Fokus kerja sama di bidang pembangunan meliputi
pengentasan kemiskinan dan penyediaan fasilitas pinjaman.
Selama tahun laporan, Bank Dunia aktif menggerakkan part-
nership dan sumber-sumber lain untuk meningkatkan
kapasitasnya dalam membantu negara-negara miskin.
Sementara itu, Bank Pembangunan Asia memfasilitasi
komitmen negara-negara anggota untuk memberikan
pinjaman bagi sektor sosial dengan meningkatkan pendanaan
Asian Development Fund.
Kerja sama di tingkat regional mengartikulasikan
komitmen untuk melakukan reformasi sistem keuangan
internasional dan proses pemulihan ekonomi dan penciptaan
kemampuan untuk menyediakan bantuan likuiditas jangka
pendek kepada negara anggota. Forum APEC menyepakati
bahwa negara anggota akan berupaya untuk membangun
pondasi yang kuat untuk mendorong pembangunan yang
berkelanjutan dan liberalisasi perdagangan dan investasi.
Sementara itu, forum ASEAN menyepakati perluasan ASEAN
Swap Arrangement (ASA) yang merupakan fasilitas
penyediaan bantuan likuiditas devisa jangka pendek kepada
negara-negara anggota, penyediaan fasilitas Bilateral Swap
Arrangement (BSA) bersama Cina, Jepang dan Korea Selatan
Grafik 9.5Perkembangan Indeks Saham Dunia
Jan. 1999 – Des. 2000 (1 Jan. 1999 = 100)
bergerak di sektor teknologi informasi dan telekomunikasi (IT),
yang pada awal tahun meningkat tajam, sejak paro kedua
tahun 2000 mulai berjatuhan, seperti tercermin dari fluktuasi
tajam pada indeks Nasdaq. Menurunnya harga saham di
Amerika Serikat pada paro kedua tahun laporan terutama
dipicu oleh meningkatnya harga minyak, tingginya suku
bunga, dan ekspektasi penurunan perolehan keuntungan
akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Anjloknya
indeks Nasdaq telah menjalar ke pasar saham Asia khususnya
di negara-negara penghasil produk IT seperti Korea Selatan,
Taiwan, dan Singapura. Sementara itu, harga saham di Jepang
juga menurun tajam, dipicu oleh memburuknya sentimen in-
vestor internasional terhadap prospek pemulihan ekonomi
Jepang yang diiringi dengan bangkrutnya beberapa
perusahaan besar serta gejolak politik khususnya menjelang
akhir tahun.
Kerja Sama Internasional
Kerja sama di bidang ekonomi selama tahun laporan
memfokuskan agendanya pada upaya mencegah ter-
ulangnya kembali krisis ekonomi, mendorong proses
pemulihan ekonomi di berbagai negara, serta meningkatkan
kapasitas lembaga internasional dalam mempercepat
negara anggota keluar dari krisis. Dalam kerja sama tersebut,
154
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Kerja Sama di Bidang Moneter, Keuangan, dan Per-
bankan
International Monetary Fund (IMF)
Selama tahun 2000 isu-isu yang dibahas oleh IMF meliputi: (i)
upaya memperkuat sistem keuangan internasional yang
mencakup peran IMF di masa yang akan datang; (ii) review
terhadap fasilitas pendanaan IMF; (iii) peningkatan surveillance
dan transparansi di sektor keuangan serta keterlibatan sektor
swasta dalam mengatasi krisis; (iv) pembentukan independent
evaluation office; dan (v) poverty reduction growth facility.
Dalam rangka memperkuat sistem keuangan
internasional, IMF dan komunitas internasional berupaya untuk
mengurangi kerentanan dan menghindari krisis, serta
mengurangi efek penularan pada saat terjadi krisis. IMF
memegang peranan sentral dalam mempersatukan usaha
untuk memperkuat sistem keuangan internasional dengan cara
tetap bekerjasama dengan lembaga-lembaga internasional
lain dan mendorong kestabilan makroekonomi dan keuangan
internasional serta pertumbuhan dari negara-negara anggota.
Berkenaan dengan fasilitas pembiayaan, IMF telah
melakukan pengkajian terhadap fasilitas dan kebijakan yang
menyangkut aspek fasilitas IMF. Pengkajian terhadap fasilitas
IMF meliputi kaji ulang atas periode repurchase dan tingkat
pembebanan Stand-By Arrangement (SBA) dan Extended
Fund Facilities (EFF), penggunaan Contingent Credit Lines
(CCL) dan pelaksanaan post program monitoring. Sedangkan
pengkajian terhadap kebijakan meliputi jangka waktu dan
struktur harga dari fasilitas IMF. Hal tersebut diharapkan dapat
mendorong negara anggota untuk mempercepat pelunasan
pinjamannya dan menghindari penggunaan fasilitas SBA dan
EFF yang berkepanjangan.
Upaya meningkatkan surveillance dan transparansi di
sektor keuangan diperlukan untuk mengidentifikasi kerentanan
dan mengantisipasi ancaman bagi kestabilan keuangan
negara anggota. Upaya meningkatkan surveillance didukung
oleh ketersediaan data serta penggunaan standar dan
penilaian yang berlaku internasional. Sedangkan upaya untuk
meningkatkan transparansi dilakukan dengan menerapkan
kebijakan umum dari Article IV Consultation.
Berkaitan dengan perlunya restrukturisasi utang atau pe-
ngurangan utang, Komite setuju bahwa program bantuan IMF
harus ditekankan pada medium-term sustainability dan
menjaga keseimbangan antara kontribusi private external
creditors dan official external creditors dalam hal pembiayaan
yang berasal dari lembaga keuangan internasional. Dalam
rangka surveillance, IMF telah melakukan penyesuaian melalui
perubahan-perubahan perekonomian global dan memper-
kuat beberapa area kunci seperti masalah sektor keuangan,
utang luar negeri dan perkembangan neraca modal. Di sam-
ping itu, IMF juga meningkatkan perhatian pada masalah ting-
kat kerawanan keuangan, dan mendukung analisa tingkat ke-
rawanan tersebut dalam surveillance-nya dengan cara: (i)
mendorong perkembangan lebih lanjut dan integrasi indikator
tingkat kerawanan keuangan suatu negara dalam IMF surveil-
lance; (ii) bersama-sama dengan Bank Dunia menyelesaikan
guidelines mengenai sovereign debt management; dan (iii)
meminta Dewan Eksekutif IMF untuk mengupayakan lebih lanut
mengenai bagaimana memasukkan kebijakan official reserves
ke dalam surveillance dan memberikan bantuan teknis. Se-
dangkan upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam penge-
lolaan dan pencegahan krisis disepakati untuk sebanyak
mungkin menggunakan pendekatan sukarela dan market-
oriented solution.
Selanjutnya untuk meningkatkan budaya belajar di IMF,
memperkuat kredibilitas eksternal bagi IMF, meningkatkan
pemahaman terhadap lingkup kerja IMF di seluruh negara
anggota, serta mendukung kepemimpinan dan tanggung
jawab Dewan Eksekutif, IMF menyetujui upaya untuk
membentuk Independent Evaluation Office (EVO) yang
diharapkan akan beroperasi sebelum PertemuanInternational
Monetary Financial Committee (IMFC) pada Spring 2001.
Dalam upaya memperkuat sistem keuangan
internasional, IMF telah melakukan evaluasi dan pengem-
bangan program pengentasan kemiskinan dan pengurangan
beban utang negara miskin. Selama tahun 2000, IMF telah
mengembangkan country-owned poverty reduction strategies
yang mengaitkan pemberian debt relief yang merupakan
acuan bagi IMF dan Bank Dunia dalam memberikan
155
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
concessional lending. Dalam kerangka Highly Indebted Poor
Countries (HIPC) Initiative, IMF dan Bank Dunia mengusahakan
agar 20 negara mencapai decision point pada akhir tahun
2000 dan berusaha menjaga agar debt relief senantiasa
tersedia untuk menunjang pertumbuhan dan pengentasan
kemiskinan. Dalam perkembangannya lima negara di
antaranya telah mencapai decision point.
Selanjutnya dalam rangka program bantuan IMF,
Pemerintah Indonesia selama tahun 2000 telah menan-
datangani tiga Letter of Intent (LoI) dan Memorandum of Eco-
nomic and Financial Policies (MEFP), yaitu pada 20 Januari, 17
Mei, dan 7 September.
Pada Januari 2000, pemerintah telah meminta IMF
untuk memberikan New Extended Fund Facility yang
menggantikan dan membatalkan Extended Fund Facility
lama yang disetujui pada 25 Agustus 1998. Dengan
disetujuinya permintaan tersebut, nilai EFF yang tersedia bagi
Pemerintah Indonesia meningkat dari SDR9.052.240.000
menjadi SDR11.104.820.000. Selama Januari sampai dengan
Desember 2000, Indonesia telah melakukan pembelian EFF
sebesar SDR851.150.000, sehingga jumlah pembelian SBA dan
EFF yang telah dilakukan sampai dengan Desember 2000
adalah sebesar SDR8.317.970.000. Nilai EFF yang masih tersedia
sampai dengan November 2002 adalah sebesar
SDR2.786.850.000.
G – 20
Dalam periode laporan isu-isu pembahasan G-20 meliputi
globalisasi, dan upaya mengurangi tingkat kerawanan sistem
keuangan global.
Negara G-20, menegaskan keyakinannya bahwa
integrasi ekonomi dapat terus menjadi kekuatan yang besar
dalam memberi kontribusi pada perbaikan kehidupan dengan
memberikan akses pada modal, barang dan pengetahuan.
Namun globalisasi juga dapat menimbulkan kesulitan ekonomi
dan dislokasi sosial. Dalam hal ini, pemerintah memainkan
peran penting dalam memformulasikan dan meng-
implementasikan kebijakan untuk meminimalisasi risiko yang
timbul akibat globalisasi.
Upaya mengurangi t ingkat kerawanan sistem
keuangan dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan
yang tepat dalam hal: (i) pemilihan sistem nilai tukar; (ii)
manajemen utang luar negeri, (iii) pendekatan yang lebih
sistematis atas keterl ibatan sektor swasta dalam
pencegahan krisis pengembangan; dan (iv) implementasi
standar and code.
Pemilihan sistem nilai tukar harus dilengkapi dengan
kebijakan makroekonomi yang tepat dan sistem keuangan
yang kuat, dan pilihan tersebut tidak selalu dapat diterapkan
dengan hasil yang sama di setiap negara. Kecenderungan di
banyak negara adalah menerapkan sistem nilai tukar yang
kondusif (mengarah pada sisten nilai tukar mengambang) bagi
stabilitas sistem keuangan. Disepakati bahwa apapun sistem
yang diterapkan, suatu negara harus menghindari intervensi
yang ditujukan untuk mempertahankan suatu level nilai tukar
yang tidak sustainable.
Kebijakan manajemen utang luar negeri secara berhati-
hati memerlukan keseimbangan yang tepat antara minimisasi
biaya dengan meningkatnya risiko likuiditas, kehati-hatian agar
terhindar dari penggunaan utang jangka pendek yang
berlebihan serta currency mismatch, dan pengembangan
pasar utang jangka panjang yang efisien dan likuid untuk surat
berharga pemerintah. Terkait dengan manajemen utang luar
negeri, negara-negara G-20 mendukung upaya yang tengah
dilakukan IMF dalam menyusun guidelines for public debt
management dan debt-reserve related indicator.
Dalam hal keterlibatan sektor swasta untuk
menyelesaikan dan mencegah krisis ekonomi diperlukan
kerangka pelaksanaan keterlibatan sektor swasta melalui
penciptaan pasar uang dan modal yang lebih stabil dan efisien
yang diterapkan secara fleksibel. Upaya lain dalam melibatkan
sektor swasta dilakukan dengan meningkatkan dialog antara
pemerintah dengan sektor swasta dan mengembangkan
prinsip equal treatment di antara kreditur.
Dalam hal penerapan international standard and codes
(codes), disepakati bahwa: (i) negara G20 perlu mengar-
tikulasikan komitmen mereka dalam menerapkan codes, (ii)
sektor pemerintah perlu terus melanjutkan dialog dengan
156
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
sektor swasta untuk mendapatkan pandangan mereka
mengenai prioritas yang harus dilakukan oleh negara maupun
masyarakat internasional dalam penerapan codes, (iii) IMF
bertanggung jawab melakukan surveillance mengenai
perkembangan penerapan codes di negara anggota, dan
(iv) Pemerintah dan masyarakat internasional harus bekerja
sama untuk menjamin tersedianya sumber daya manusia dan
keuangan bagi negara-negara untuk mengimplementasi
codes.
Manila Framework
Selama tahun 2000, isu-isu yang dibahas di Manila Framework
meliputi: (i) restrukturisasi sektor keuangan; dan (ii) kecukupan
jumlah cadangan devisa.
Sehubungan dengan restrukturisasi sektor keuangan
kemajuan pesat dicapai Malaysia dan diikuti Korea,
sebagaimana terlihat dari berbagai indikator seperti
menurunnya Non Performing Loans (NPLs), dan kemajuan dalam
restrukturisasi perusahaan, serta penjualan aset. Sementara itu,
Indonesia belum banyak menunjukkan kemajuan yang berarti
dalam restrukturisasi sektor keuangan. IMF, Bank Dunia maupun
Asian Development Bank (ADB) berpendapat bahwa
restrukturisasi sektor keuangan tidak akan berhasil tanpa disertai
keberhasilan restrukturisasi sektor korporat.
Berkenaan dengan isu kecukupan jumlah cadangan
devisa yang dapat menunjang stabilitas perekonomian dan
sekaligus menghindari terjadinya krisis, forum Manila Framework
berpendapat bahwa jumlah cadangan devisa yang
dianggap cukup untuk satu negara berbeda dengan negara
lain, tergantung pada sistem nilai tukar yang diterapkan, jumlah
kewajiban jangka pendek yang jatuh tempo, dan kesehatan
sistem keuangan di negara yang bersangkutan.
Dalam sidang Manila Framework yang akan datang, fo-
rum sepakat untuk membahas kembali rencana pembentukan
kerja sama keuangan yang pernah dilontarkan pada sidang
Manila Framework pertama di Manila pada November 1997.
Dalam hal ini Indonesia termasuk negara yang diminta untuk
memberikan sumbangan pikiran dalam mempersiapkan back-
ground paper.
Kerja Sama Bank Sentral
Dalam periode laporan, kerja sama dengan bank sentral lain
terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Kerja sama tersebut
dilakukan melalui forum Executive Meeting of East Asia Pacific
Central Bank (EMEAP), South East Asia, New Zealand and Aus-
tralia Central Bank (SEANZA), dan South East Asia Central Bank
(SEACEN).
Forum EMEAP tahun 2000 menekankan fokusnya pada
tiga isu, yaitu: (i) keterlibatan sektor swasta; (ii) highly leverage
institutions (HLI); dan (iii) aliran modal. Dalam hal meningkatkan
keterlibatan sektor swasta, negara-negara EMEAP masih
terbagi dalam dua pendapat yang bebeda. Sebagian negara
anggota EMEAP menyetujui pendekatan secara kasus per
kasus dan sebagian anggota lainnya menyetujui penerapan
common framework. Dalam rangka mengatasi dampak
negatif HLI terhadap sistem keuangan internasional, Working
Group HLI merekomendasikan agar memperkuat praktek-
praktek manajemen risiko HLI dan counterpart-nya,
meningkatkan public disclosure, dan membangun infrastruktur
pasar keuangan.
Dalam pembahasan mengenai aliran modal, terdapat
pandangan umum bahwa beberapa negara mengalami
instabilitas ekonomi sebagai akibat dari sudden reversal capi-
tal flows saat terjadi krisis nilai tukar di Asia. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, beberapa negara menerapkan capi-
tal controls dalam bentuk market-based restriction. Dalam hal
sistem nilai tukar, sistem yang dipilih harus sesuai dengan kondisi
ekonomi negara dan diterapkan bersama dengan kebijakan
makro ekonomi yang konsisten. Sementara itu untuk
memperkuat sistem keuangan negara tersebut, diperlukan
upaya memperkuat prudential regulation dan meningkatkan
efisiensi sistem keuangan, serta memperkuat hubungan kerja
sama dalam rangka mencapai pertumbuhan yang stabil dan
mencegah terulangnya krisis.
SEACEN yang merupakan lembaga yang menangani
Riset dan Training bagi bank sentral di Asia Tenggara, di tahun
2000 telah beberapa kali melakukan pertemuan. Di antara
pertemuan tersebut adalah mengadakan dialog internasional
mengenai isu capital flows, sebagai tindak lanjut atas
157
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
kesepakatan Gubernur-Gubernur Bank Sentral SEACEN. Bank
sentral dan otoritas moneter anggota SEACEN bersepakat kuat
untuk mendukung upaya internasional dalam rangka
meningkatkan stabilitas arus modal dengan membentuk
SEACEN Expert Group (SEG) on Capital Flows. Adapun tujuan
SEG tersebut adalah: (i) menyusun proposal yang konkret dan
praktis agar anggota SEG dapat melaksanakannya secara
individu maupun kolektif untuk pengendalian arus modal yang
lebih baik; (ii) menetapkan isu-isu yang terkait dengan anggota
SEG dalam fora internasional.
Simposium dalam forum SEANZA membahas inde-
pendensi bank sentral yang meliputi pengalaman Bank of
England (BoE) dalam menerapkan prinsip kemandirian bank
sentral khususnya setelah pemberlakuan undang-undang BoE
yang baru pada tahun 1998. BoE menekankan bahwa
independensi harus ditopang oleh pejabat yang memiliki
integritas, obyektivitas, dan kompetensi. Dalam kesempatan
tersebut delegasi Bank Indonesia mengemukakan bahwa
pengalaman di Indonesia selama sekitar 15 bulan sejak
pemberlakuan UU No. 23/1999 menunjukkan perlunya waktu
untuk penyesuaian bagi semua pihak baik pemerintah,
parlemen, dunia usaha, dan masyarakat agar prinsip-prinsip
independensi yang tertuang dalam undang-undang tersebut
dapat diterapkan secara konsisten, terutama dalam kondisi
perubahan format politik maupun pemerintahan yang sangat
cepat. Pandangan tersebut memperoleh tanggapan positif
dan moral support dari Gubernur BoE dan para pimpinan
delegasi bank sentral lainnya.
Kerja Sama di Bidang Pembangunan
Bank Dunia
Pertemuan Bank Dunia dalam tahun 2000 membahas topik-
topik utama sebagai berikut: (i) intensifikasi usaha dalam
menanggulangi HIV/AIDS; (ii) pengurangan kemiskinan dan
global public goods; (iii) comprehensive development frame-
work (CDF); dan (iv) memperbarui kapasitas keuangan IBRD.
Komite Pembangunan menyerukan perlunya tindakan
intensif secara internasional untuk mencegah epidemi HIV/AIDS
dan memberikan perawatan kepada penderitanya.
Meluasnya wabah dikhawatirkan dapat berpengaruh pada
melemahnya proses pertumbuhan ekonomi, human capital,
dan produktivitas tenaga kerja.
Dalam rangka pengentasan kemiskinan Bank Dunia
terlibat dalam penyediaan global public goods. Keterlibatan
tersebut diperlukan karena: (i) memberikan nilai tambah terha-
dap tujuan pengembangan Bank Dunia; (ii) menggerakkan
sumber-sumber lainnya dan meningkatkan partnership; (iii)
memberikan keunggulan komparatif bagi Bank Dunia; dan
(iv) memerlukan aksi global. Sedangkan keterlibatan Bank
Dunia dalam public goods tersebut diwujudkan dalam
bentuk meningkatkan kerja sama dengan lembaga interna-
sional, memfasilitasi aliran dari barang, jasa dan faktor pro-
duksi secara internasional, memperbesar manfaat globa-
lisasi dan mencegah masalah ekonomi dan sosial, menjaga
dan melindungi lingkungan, serta mengembangkan
pengetahuan yang terkait dengan pembangunan.
Sementara itu dalam rangka pengurangan beban
utang negara miskin, selama tahun laporan terdapat lima
negara yaitu Bolivia, Mauritania, Mozambique, Tanzania dan
Uganda yang telah mencapai decision point dengan total
penghapusan utang luar negeri dalam kerangka Prakarsa HIPC
sebesar lebih dari $14,0 miliar. Selanjutnya di tahun yang sama
IMF dan Bank Dunia mempertimbangkan 15 negara tambahan
untuk mendapatkan pengurangan beban utang luar negeri.
Dalam rangka pengembangan dan persiapan
terhadap strategi pengurangan kemiskinan yang lebih
komprehensif bagi negara-negara berpendapatan rendah.
Komite Pembangunan mendorong IMF dan Bank Dunia untuk
mengalokasikan sumber daya yang memadai untuk
mendukung program pengentasan kemiskinan dengan
melanjutkan kerja sama dengan negara-negara anggota.
Sehubungan dengan hal tersebut negara maju perlu
meningkatkan akses pasar bagi produk-produk ekspor negara
berkembang dan memberikan perhatian terhadap potensi
integrasi regional untuk membantu negara berkembang
meningkatkan pangsanya di pasar dunia. Ekspansi
perdagangan yang terintegrasi diperlukan dalam kerangka
pembangunan yang menyeluruh (comprehensive develop-
158
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
ment framework) yang mencakup reformasi, investasi
kelembagaan, infrastruktur dan program sosial.
Tinjauan atas laporan Bank Dunia mengenai kapasitas
keuangan IBRD menunjukkan terjadinya peningkatan per-
mintaan bantuan Bank Dunia. Terbatasnya kapasitas
keuangan Bank Dunia dikhawatirkan akan membatasi
pemenuhan permintaan tersebut. Dalam kaitan ini, Dewan
Eksekutif meminta untuk melakukan kajian kemungkinan
meningkatkan kapasitas keuangan Bank Dunia.
Bank Pembangunan Asia (ADB)
Kerja sama negara-negara Asia melalui ADB telah
menghasilkan beberapa komitmen, di antaranya yaitu: (i)
dalam era globalisasi, negara emerging market harus secara
kontinyu mencari cara untuk mempercepat pembangunan
ekonominya, melalui pendekatan participating dalam
pengentasan kemiskinan menjangkau secara luas kelas
masyarakat yang berbeda. (ii) dalam rangka mengimbangi
peningkatan pemberian pinjaman untuk sektor sosial khususnya
dalam pengentasan kemiskinan, negara anggota mendukung
penambahan Asian Development Fund (ADF). Berkaitan
dengan komitmen ADB untuk menyediakan pinjaman jangka
panjang, dalam tahun 2000 Indonesia telah menerima
pinjaman sebesar $564,7 juta.
Kerja Sama Regional
Asia Pacific Economic Cooperation (APEC)
Dalam tahun laporan, berbagai pertemuan telah
diselenggarakan dalam kerangka APEC. Pertemuan tersebut
mendiskusikan kerja sama antarnegara anggota di berbagai
sektor ekonomi. Adapun rangkaian pertemuan tersebut
meliputi pertemuan tingkat menteri, tingkat Kepala
Pemerintahan, dan pertemuan para Menteri Keuangan.
Pertemuan tingkat menteri membahas tema pokok
APEC 2000, yaitu: (i) Building Stronger Foundation; (ii) Creating
New Opportunities; dan (iii) Making APEC Matter More.
Berkenaan dengan tema Building Stronger Foundation, APEC
telah mencapai kemajuan-kemajuan dalam mendorong
liberalisasi perdagangan dan investasi, seperti penyebaran
informasi melalui website, perluasan Collective Action Plan da-
lam bentuk paperless trading yang terkait dengan prosedur
perpajakan dan upaya-upaya implementasi kesepakatan WTO
melalui peningkatan capacity building.
Pertemuan tingkat Menteri Keuangan juga telah
melakukan kerja sama dalam rangka memperkuat sistem
keuangan negara anggota APEC melalui reformasi interna-
tional financial architecture. Berbagai langkah konkret telah
dilakukan guna mengidentifikasikan berbagai sumber keren-
tanan, meningkatkan elastisitas pasar domestik dan inter-
nasional, serta memperbaiki fungsi sistem secara keseluruhan.
Adapun langkah-langkah konkret tersebut antara lain meliputi
upaya menerapkan international standard and codes di
kawasan APEC maupun upaya meningkatkan kegiatan sur-
veillance sebagai unsur penting dalam mendorong penguatan
ekonomi domestik dan internasional. Dalam rangka
memperkuat sistem keuangan tersebut, APEC telah
menyambut baik upaya mengembangkan keterlibatan sektor
swasta dalam mengatasi krisis, upaya memodifikasi fasilitas
pinjaman IMF, kerja sama keuangan di tingkat regional sebagai
pelengkap pinjaman IMF, maupun upaya mengurangi
kerentanan suatu negara terhadap krisis sesuai hasil pertemuan
G-20.
Berkaitan dengan international standard and codes,
APEC telah mendukung key standard yang diidentifikasikan
oleh Financial Stability Forum (FSF) dan mendukung upaya ne-
gara anggota APEC dalam menerapkan codes sebagai prio-
ritas utama. Dalam hal ini, APEC telah mancapai kemajuan-
kemajuan dalam mengembangkan internasional standard,
codes dan best practice guidelines dalam cakupan-cakupan
yang luas yang akan membantu upaya meningkatkan
kerangka hukum, kelembagaan dan pengaturan di pere-
konomian negara APEC. Implementasi rekomendasi FSF pada
HLI, capital flows dan Offshore Financial Center (OFC) akan
membantu mengurangi risiko cross-border capital flows dan
mendorong international financial stability.
Sementara itu, untuk memperkuat sistem keuangan di
kawasan APEC, ekonomi anggota APEC telah mengem-
bangkan berbagai inisiatif antara lain meliputi Voluntary Ac-
159
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
tion Plan for Freer and More Stable Capital Flows, studi menge-
nai Bank Failure Management, pengembangan kemampuan
regulator keuangan dan sistem pengawasan, meningkatkan
corporate governance, social safety nets, kerangka legal dan
pengaturan untuk melawan kejahatan keuangan, kajian
terhadap Credit Rating Agencies serta inisiatif yang terkait
dengan transaksi keuangan secara elektronis.
Berkaitan dengan Voluntary Action Plan (VAP), ekonomi
APEC menyatakan pentingnya APEC memfokuskan upaya
memperkuat dan meningkatkan kredibilitas kebijakan untuk
meminimalkan risiko dan memanfaatkan keuntungan dalam
pasar modal internasional. Sementara dalam liberalisasi capi-
tal account, ditekankan pula pentingnya upaya memperkuat
sistem keuangan dan kerangka manajemen risiko yang efektif.
Sehubungan dengan Policy Dialogue Process, Voluntary Ac-
tion Plan Group Meeting, secara prinsip telah menyetujui Basel
Committee’s Core Principle for Effective Banking Supervision
sebagai topik yang akan dibahas tahun 2001. Policy Dialogue
Process merupakan salah satu komponen VAP Initiative Bagian
II sebagai upaya yang melibatkan negara anggota APEC
dalam tukar menukar pandangan mengenai isu kebijakan
dalam menerapkan standar internasional guna memperkuat
pasar keuangan di kawasan APEC.
Dalam rangka memperkuat pasar keuangan domestik,
studi mengenai Bank Failure Management akan memfokuskan
pada upaya pengelolaan bank yang mengalami krisis maupun
respon kebijakan yang diperlukan untuk mencegah systemic
failure. Sementara berkaitan dengan upaya Credit Rating
Agency yang efisien dan terpercaya, negara anggota APEC
dapat memainkan peranan aktif dengan meningkatkan
kualitas dan meningkatkan corporate governance.
Dalam upaya mengurangi dampak krisis dan mencegah
terjadinya krisis, APEC telah melakukan kajian terhadap
penerapan social safety net di negara anggota APEC yang
meliputi: (i) kebutuhan perencanaan safety net pre-crisis yang
cukup; (ii) akurasi informasi mengenai negara yang rentan dan
miskin; serta (iii) kebutuhan untuk mempunyai instrumen yang
luas untuk menjamin cakupan dan pencapaian target.
Pelaksanaan program tersebut perlu dikoordinasikan di antara
lembaga Pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih dan
menimbulkan beban administrasi.
ASEAN
Dalam tahun 2000, kerja sama bank sentral ASEAN mencapai
kesepakatan bahwa negara anggota ASEAN tetap
menginginkan agar ASEAN Central Bank Forum (ACBF)
dipertahankan seperti yang ada saat ini tanpa meng-
ikutsertakan Sekretariat ASEAN dalam dialog. Dalam hal ini
menyepakati ACBF sebagai forum pertukaran informasi
antarbank sentral.
Dalam periode laporan, negara anggota ASEAN telah
menyetujui untuk memodifikasi Asean Swap Arrangement
(ASA). Tujuan dari New ASA tersebut adalah menyediakan
bantuan likuiditas devisa jangka pendek kepada negara
anggota yang mengalami kesulitan neraca pembayaan dan
meningkatkan kerja sama keuangan di antara negara-negara
ASEAN. Dalam kaitan ini, Working Group on ASA yang dipimpin
oleh Bank Indonesia telah menyepakati ketentuan ASA sebagai
berikut: (i) negara yang berpartisipasi dalam ASA meningkat
dari 5 negara menjadi seluruh negara ASEAN (10 negara); (ii)
jatuh tempo dan perpanjangan ASA yang lebih fleksibel, namun
tidak boleh melebihi 6 bulan; (iii) cooling off period pengajuan
permintaan penarikan fasilitias ditingkatkan dari 1 bulan menjadi
6 bulan; (iv) total fasiltias ASA ditingkatkan dari $200 juta menjadi
$1 miliar, dengan kontribusi dibagi menjadi 2 group, yaitu group
I (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Brunei
Darussalam) dengan kontribusi total $900 juta, atau masing-
masing $150 juta, serta group II dengan kontribusi total
disepakati sebesar $100 juta yang bersumber dari Kamboja ($17
juta), Laos ($5 juta), Vietnam ($50 juta), dan Myanmar ($428
juta); (v) prakondisi New ASA yaitu negara tersebut berada
dalam program IMF atau cadangan devisanya menurun tajam
dan hanya mencakup kebutuhan impor kurang dari 3 bulan;
dan (vi) mata uang yang digunakan adalah dolar AS, yen, dan
euro; suku bunga yang digunakan yaitu LIBOR, Euro Yen, dan
Euro LIBOR. Dengan ASA yang berlaku telah berakhir 4 Agustus
2000, maka anggota ASA menyepakati bahwa Malaysia akan
bertindak sebagai agent bank.
160
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
Sementara itu, kerja sama ASEAN + 3 telah pula
menyepakati untuk menyediakan fasilitas bilateral swap dan
repurchase agrement (BSA) di antara negara-negara ASEAN
dengan Jepang, Cina, dan Korea Selatan. BSA tersebut
bertujuan untuk memberikan bantuan keuangan jangka
pendek dalam bentuk swap kepada negara yang ikut serta
dalam Chiang Mai Initiative untuk mendukung neraca
pembayaran. Swap tersebut merupakan tambahan atas
fasilitas keuangan internasional yang ada, termasuk bantuan
IMF dan ASA. Secara garis besar, pokok-pokok dari BSA adalah:
(i) BSA tidak terkait dengan ASA, fasilitas yang mandiri, dan
dapat dilaksanakan secara paralel dengan ASA; (ii) fasilitas
BSA dapat digunakan oleh seluruh negara tanpa ada
keterkaitan dengan IMF; (iii) suku bunga adalah LIBOR+150
basis point (bp) untuk penarikan dan perpanjangan pertama
dan bertambah sebesar 50 bp pada setiap dua periode
perpanjangan. Fasilitas BSA tersebut belum dapat direalisasikan
mengingat masih terdapat beberapa masalah yang belum
disepakati, antara lain masalah jaminan pemerintah untuk
fasilitas BSA yang diberikan dan belum jelasnya maksimum to-
tal fasilitas dimaksud.
Kerja sama ASEAN lainnya yang telah dicapai adalah
pembentukan working group on ASEAN Currency and ex-
change Rate Regime. Pembentukan working group tersebut
merupakan kelanjutan dari ide pembentukan ASEAN com-
mon currency and exchange rate yang pernah dikemukakan
di ASEAN Summit tahun 1998 di Hanoi di bawah Hanoi Plan on
Action. Malaysia sebagai ketua dari working group tersebut
selama periode laporan telah menyampaikan Terms of Ref-
erence untuk mengkaji manfaat dan kerugian dari pem-
bentukan ASEAN common currency kepada seluruh negara
anggota ASEAN. Proyek ASEAN tersebut memperoleh bantuan
teknis dari IMF dan bertujuan untuk: (i) meningkatkan stabilitas
keuangan dan sosial, khususnya pada tingkat regional; (ii)
mencegah terjadinya krisis keuangan di masa yang akan
datang, dan (iii) meningkatkan kerja sama keuangan regional.
161
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
6,0
5,0
4,0
3,0
2,0
1,0
0,0
–1,0
–2.0
Mar.1990
Sep.1991
Mar.1993
Sep.1994
Mar.1996
Sep.1997
Mar.1999
Sep.1990
%
Boks : “The New Economy” dan Kebijakan Moneter Federal Reserve
Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat yang
disertai dengan peningkatan pertumbuhan produktivitas
secara berkesinambungan dalam 8 tahun terakhir
menunjukkan bahwa perubahan fundamental tengah
berlangsung dalam perekonomian Amerika Serikat (Grafik 1.2).
Banyak pengamat ekonomi yang berpandangan sama
bahwa pesatnya pertumbuhan produktivitas tersebut dipicu
oleh kemajuan pesat di bidang teknologi komputer dan
informasi (IT) dan pemanfaatan teknologi ini dalam berbagai
sektor ekonomi sehingga melahirkan fenomena yang disebut
“the new economy”.
Peningkatan produktivitas dapat dikaitkan dengan
pemanfaatan teknologi komputer dan informasi melalui tiga
jalur :
♦ Peningkatan produktivitas (direct productivity gain)
dalam industri yang memproduksi barang-barang
teknologi informasi berdampak luas terhadap
peningkatan produktivitas pada seluruh sektor
perekonomian. Meningkatnya produktivitas dalam sektor
ini telah mendorong harga komputer dan berbagai
produk yang terkait dengan komputer turun tajam. Hal
ini pada gilirannya mendorong industri lainnya secara
intensif menggunakan produk komputer.
♦ Terjadinya capital deepening di pasar keuangan yang
pada gilirannya meningkatkan rasio modal terhadap
jumlah tenaga kerja di berbagai industri. Dengan
meningkatkan investasi dalam perangkat komputer dan
teknologi informasi produktivitas tenaga kerja meningkat.
Pemanfaatan perangkat komputer telah membantu
dalam menciptakan cara-cara berproduksi yang lebih
efisien, cepat, dengan input seminimal mungkin.
♦ Spillover effect terjadi ketika keuntungan yang diraih
produsen dari suatu investasi meningkat. Hal ini pada
gilirannya mendorong produsen lainnya melakukan
investasi yang sama. Spillover effect menjadi intensif
dengan meningkatnya investasi dalam teknologi informasi.
Keuntungan yang diraih atas investasi dalam “internet ca-
pable computer” meningkat ketika semakin banyak
konsumen dan korporasi yang menggunakan jasa internet.
Beberapa penelitian memberikan indikasi besarnya
sumbangan pemanfaatan teknologi informasi terhadap
peningktan produktivitas. Satu persen laju pertumbuhan
produktivitas di Amerika Serikat, sekitar 44% sampai dengan
73% disumbang oleh pemanfaatan teknologi informasi.1)
Beberapa perekonomian negara industri lainnya termasuk
Grafik 2.Pertumbuhan Ekonomi Amerika Serikat1992–2000
Grafik 1.Pertumbuhan Produktivitas Amerika Serikat1992–2000
1 Penelitian dilakukan oleh Dale Jorgenson and Kevin Stiroh; “Rais-ing the Speed Limit: U.S. Economic Growth in the Information Age”(periode 1990-1998), Steven D. Oliner and Daniel E. Sichel; “TheResurgence of Growth in the Late 1990s” (periode 1990-1999), danKarl Whelan; “Computers, Obsolescence, and Productivity”(periode 1974-1998).
%
6,5
6,0
5,5
5,0
4,5
4,0
3,5
3,0
2,5
2,0
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000
162
Bab 9 Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
2 Dalam konsep perhitungan “Sollow Growth Model” , TFP adalahresidual yang mencerminkan spillover effect .
negara-negara industri baru di Asia mengalami pertumbuhan
produktivitas yang tinggi terutama melalui capital deepening
dan sumbangan total factor productivity (TFP)2 . Negara-
negara tersebut melakukan investasi sekurang-kurangnya 5,0%
dari PDB dalam perangkat teknologi informasi.
Besarnya investasi dalam produk IT di Amerika Serikat
telah mengakibatkan terjadinya perubahan struktural
perekonomian sehingga meningkatkan produktivitas secara
persisten. Sebagai akibatnya, output potensial perekonomian
terus meningkat. Sampai pertengahan tahun 1990-an, output
potensial perekonomian Amerika Serikat hanya sekitar 2,5%.
Pada tahun 2000, hitungan beberapa ekonom memperkirakan
ouput potensial Amerika Serikat telah mencapai 3,5% sampai
dengan 4,0%. Hal ini mengakibatkan output gap perekonomian
tidak memberi tekanan inflasi meskipun permintaan domestik
tumbuh pesat. Rendahnya tekanan inflasi juga dapat dijelaskan
dari sudut pandang mikro. Dengan semakin meningkatnya
kegiatan ekonomi, permintaan terhadap tenaga kerja semakin
meningkat sehingga mengakibatkan kondisi pasar tenaga kerja
menjadi ketat. Hal ini pada gilirannya menumbulkan tekanan
peningkatan tingkat upah. Meskipun demikian, dengan
meningkatnya produktivitas, tekanan kenaikkan upah tersebut
dapat di-offset dengan penurunan ongkos produksi per unit,
sehingga tidak ada alasan bagi kalangan produsen untuk
menaikkan harga produk.
Terjadinya perubahan struktural dalam perekonomian
tersebut merupakan salah satu penyebab mengapa
beberapa indikator ekonomi seperti angka NAIRU yang dalam
dekade lalu sering digunakan oleh Federal Reserve dalam
memformulasikan kebijakan moneternya, dalam beberapa
tahun terakhir ini kurang reliable. Misalnya, pesatnya
pertumbuhan ekonomi telah menyerap banyak tenaga kerja
sehingga menurunkan tingkat pengangguran. Hitungan angka
NAIRU (Non-accelerating inflation rate of unemployment) yang
sering digunakan ekonom untuk mengukur tingkat
pengangguran terendah yang tidak akan memicu kenaikkan
harga telah turun menjadi 5,0 persen. Meskipun tingkat
pengangguran pada tahun 2000 turun mencapai 3.9 persen
—terendah dalam 30 tahun terakhir—, hal itu tidak
menimbulkan tekanan inflasi. Dengan alasan tersebut, dalam
beberapa tahun terakhir formulasi kebijakan moneter lebih
banyak didasarkan pada information variable yang diperoleh
dari sektor riil khususnya berbagai leading indicators yang akan
memberikan arah kegiatan ekonomi ke depan. Indikator-
indikator ekonomi tersebut antara lain factory order di industri
hulu, consumer and business confidence, weekly jobless claim,
business inventory, productivity index, dan lain-lain. Selain itu,
Federal Reserve juga sangat memperhatikan indikator di pasar
modal khususnya perkembangan harga saham karena
besarnya wealth effect perkembangan harga saham
terhadap konsumsi swasta. Tersedianya berbagai leading in-
dicators seperti di atas sangat membantu Federal Reserve
dalam menjalankan kebijakan moneter yang pre-emptive.
Secara singkat, lahirnya “the new economy” dalam
perekonomian Amerika Serikat dan langkah pre-emptive
dalam kebijakan moneter Federal Reserve dapat menjelaskan
mengapa perekonomian negara adikuasa ini mengalami
pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkesinambungan
dalam delapan tahun terakhir tanpa disertai dengan tekanan
inflasi yang cukup berarti (non-inflationary expansion) .
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001Bab 10
164
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Selain itu, implementasi otonomi daerah pada tahun 2001
memiliki potensi yang dikhawatirkan dapat memacu laju inflasi,
terutama apabila daerah berlomba-lomba untuk mening-
katkan pungutan, restribusi, ataupun pajak daerah.
Dengan memperhatikan perkembangan dan prospek
makroekonomi serta mempertimbangkan perkembangan
harga yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank
Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang
diperkirakan dapat menimbulkan tambahan kenaikan laju
inflasi sekitar 2,0%–2,5% di atas target tersebut. Untuk mencapai
sasaran laju inflasi tersebut, Bank Indonesia akan mengen-
dalikan pertumbuhan uang primer agar sesuai dengan
kebutuhan riil perekonomian. Dalam hubungan ini, Bank Indo-
nesia memutuskan bahwa sasaran pertumbuhan uang primer
pada akhir tahun 2001 sebesar 11,0%–12,0%.
Dengan prakiraan masih besarnya tekanan terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah, kebijakan moneter yang
cenderung ketat dalam tahun 2001 dipandang masih perlu,
setidaknya sampai dengan semester pertama 2001. Apabila
tekanan terhadap inflasi mulai mereda dan fungsi intermediasi
perbankan semakin membaik, ruang gerak bagi kebijakan
moneter yang relatif longgar akan lebih luas. Sementara itu,
nilai tukar tetap diupayakan agar tidak terlalu bergejolak.
Upaya pemeliharaan kestabilan nilai tukar rupiah melalui
sterilisasi terhadap dampak ekspansif pengeluaran pemerintah
yang bersumber dari dana luar negeri tetap perlu dilakukan.
Kebijakan lain yang secara langsung dapat mengurangi
gejolak nilai tukar rupiah harus menjadi opsi yang tetap
terbuka, antara lain monitoring dan pengaturan transaksi
devisa, serta pembatasan internasionalisasi rupiah.
Prospek pertumbuhan ekonomi dan keberhasilan
pencapaian sasaran inflasi tahun 2001 tersebut akan
P rospek pemulihan perekonomian Indonesia tahun 2001
diprakirakan tetap membaik. Dengan melihat semakin
kuatnya proses pemulihan yang tengah berlangsung dan
asumsi terkendalinya berbagai faktor risiko dan ketidak pastian
di dalam negeri, pertumbuhan ekonomi tahun 2001
diprakirakan dapat mencapai 4,5% – 5,5%. Pertumbuhan
tersebut didorong oleh masih cukup baiknya kinerja ekspor,
meningkatnya kegiatan investasi dan masih cukup kuatnya
konsumsi. Dari sisi internal, berbagai permasalahan penting,
seperti upaya restrukturisasi perbankan dan utang perusahaan
diprakirakan secara berangsur akan menunjukkan per-
kembangan yang semakin membaik. Sementara dari sisi
eksternal, kondisi perekonomian global yang tercermin dari
pertumbuhan ekonomi, inflasi, suku bunga, serta harga minyak,
diprakirakan masih kondusif terhadap perkembangan
perdagangan luar negeri maupun arus modal Indonesia.
Walaupun demikian, beberapa faktor risiko dan
ketidakpastian diperkirakan masih mempengaruhi per-
kembangan nilai tukar tahun 2001. Tekanan-tekanan mele-
mahnya nilai tukar rupiah masih akan dirasakan, meskipun
secara keseluruhan nilai tukar rupiah diprakirakan dapat
menguat hingga mencapai rata-rata sekitar Rp7.750-Rp8.250
per dolar AS pada tahun 2001. Prakiraan membaiknya nilai
tukar ini disebabkan oleh membaiknya kondisi fundamental
ekonomi Indonesia pada tahun 2001 dan menurunnya laju
apresiasi dolar AS secara global akibat melambatnya ekspansi
perekonomian Amerika Serikat.
Dengan memperhatikan kecenderungan-kecende-
rungan yang terjadi, tekanan-tekanan inflasi pada tahun 2001
diprakirakan relatif masih tinggi. Hal ini disebabkan masih
tingginya ekspektasi inflasi, meningkatnya penggunaan
kapasitas produksi dan cukup kuatnya sisi permintaan. Di
samping itu, rencana Pemerintah untuk meningkatkan harga
BBM, harga dasar gabah, cukai rokok, gaji PNS dan UMR
diprakirakan juga akan memberikan dampak pada inflasi.
b a b
10 Prospek Ekonomi dan Arah KebijakanTahun 2001
165
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
bersumber dari meningkatnya biaya energi serta mulai
berkurangnya dampak bawaan dari pesatnya pertumbuhan
ekonomi pada dua tahun terakhir.
Penurunan pertumbuhan terutama akan terjadi di
kawasan Amerika Utara dan sebagian kawasan Eropa yang
antara lain disebabkan oleh mulai menurunnya konsumsi
masyarakat, terutama konsumsi barang-barang tahan lama.
Di sisi lain, perekonomian Jepang diprakirakan akan mulai
membaik menyusul keberhasilan upaya restrukturisasi sektor
perbankan Jepang serta penggabungan usaha (merger).
Kondisi ini diprakirakan akan memberikan pengaruh positif
terhadap iklim investasi dan ekspor Indonesia melalui berbagai
anak perusahaan dan perusahaan patungan Jepang yang
beroperasi di Indonesia.
Perekonomian negara-negara maju pada tahun 2001
diproyeksikan akan tumbuh sebesar 3,2% atau lebih rendah
dari tahun 2000 sebesar 4,2%. Perlambatan pertumbuhan
ekonomi tersebut terutama terjadi di Amerika Serikat, yaitu dari
5,2% tahun 2000 menjadi menjadi 3,2% tahun 2001. Per-
lambatan pertumbuhan ekonomi diprakirakan juga akan
berlangsung di kawasan Uni Eropa, yaitu dari 3,5% pada tahun
2000 menjadi 3,4% pada tahun 2001. Sementara itu, ekonomi
Jepang diprakirakan akan mulai membaik pada 2001 dengan
mencatat pertumbuhan sebesar 1,8%, terutama terkait
dengan kemajuan yang dicapai atas restrukturisasi perusahaan
dan perbankan. Melambatnya pertumbuhan ekonomi negara
maju tersebut akan berdampak pada melambatnya kinerja
ekonomi negara-negara berkembang, terutama beberapa
negara Asia. Seperti diketahui, ekonomi negara Asia pada
tahun 2000 sangat terbantu oleh kinerja ekspor, khususnya
ekspor barang elektronika, ke berbagai negara maju, termasuk
ke kawasan Amerika Utara. Dengan prospek seperti di atas,
perkembangan ekonomi di berbagai negara yang menjadi
mitra dagang Indonesia secara keseluruhan diprakirakan juga
akan sedikit melambat.
Inflasi dan suku bunga internasional
Dengan prakiraan turunnya harga minyak dan melemahnya
permintaan agregat, inflasi dunia diprakirakan sedikit menurun
tergantung pada kemajuan dalam menangani berbagai
permasalahan mendasar serta upaya meminimalkan berbagai
risiko dan ketidakpastian di dalam negeri. Berbagai per-
masalahan tersebut antara lain menyangkut keberhasilan
proses restrukturisasi utang perusahaan, pemulihan intermediasi
perbankan, terkendalinya peningkatan beban keuangan
pemerintah, dan kelancaran pelaksanaan otonomi daerah.
Berbagai faktor non ekonomi khususnya faktor sosial politik,
keamanan, dan ketidakpastian hukum juga dapat menjadi
kendala yang signifikan dalam proses pemulihan ekonomi dan
perbankan maupun dalam stabilisasi nilai tukar rupiah dan
pencapaian sasaran inflasi.
Prospek Ekonomi Global
Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan dunia
Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 diprakirakan akan men-
capai 4,2%, sedikit lebih rendah dibanding tahun 2000 sebesar
4,7%. Sejalan dengan kegiatan ekonomi dunia yang cenderung
turun, pertumbuhan volume perdagangan dunia secara
tertimbang diprakirakan akan berkisar 7,8% atau menurun bila
dibandingkan dengan tahun 2000 sebesar 10,0% (Tabel 10.1).
Faktor utama yang memberikan kontribusi positif
terhadap pertumbuhan tahun 2001 adalah naiknya
produktivitas masyarakat sebagai dampak penggunaan
teknologi yang lebih maju. Sementara itu, faktor negatif
Tabel 10.1Pertumbuhan Ekonomi Dan Volume Perdagangan Dunia
1999 20001) 20011)
Pertumbuhan ekonomi (%)Dunia 3,4 4,7 4,2Negara-negara industri 3,2 4,2 3,2Negara-negara berkembang 3,8 5,6 5,7Negara-negara transisi 2,4 4,9 4,1
Amerika Serikat 4,2 5,2 3,2Jepang 0,2 1,4 1,8Jerman 1,6 2,9 3,3Inggris 1,4 3,1 3,0Perancis 1,6 2,9 3,3RRC 7,1 7,5 7,3Korea Selatan 10,7 8,8 6,5Singapura 5,4 7,9 5,9
Volume Perdagangan Dunia (%) 5,1 10,0 7,8
1) Angka perkiraanSumber : World Economic Outlook, Oktober 2000
166
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
cenderung tinggi sementara harga produk pertanian
cenderung rendah. Namun demikian, dalam jangka relatif
pendek harga-harga komoditi diprakirakan kembali bergerak
dalam satu arah sejalan dengan mulai turunnya harga minyak
serta sedikit meningkatnya harga komoditi pertanian. Pada
tahun 2001, harga minyak diprakirakan turun sebesar 11,0%-
13,0% di 2001(Grafik 10.1), sementara harga komoditi logam
dan mineral diprakirakan naik sebesar 1,5% . Sementara itu,
harga komoditi pertanian diprakirakan mampu meningkat
hingga 4,0%.
Dengan adanya kesepakatan mekanisme penetapan
harga dan kuota minyak OPEC tanggal 1 Oktober 2000, harga
minyak diprakirakan akan berangsur turun sebesar $3.0-$4.0
per barrel. Sebagaimana diketahui, berdasarkan mekanisme
penentuan harga baru tersebut, anggota OPEC diper-
kenankan untuk meningkatkan produksi minyak apabila
keranjang harga minyak OPEC melebihi batas atas kisaran
harga yang disepakati selama 20 hari berturut-turut. Sebaliknya
apabila harga minyak lebih rendah dari batas bawah kisaran
harga, maka kuota produksi dapat dikurangi kembali. Dengan
pertimbangan tersebut di atas serta adanya akumulasi
persediaan minyak dunia akibat kebutuhan musim dingin yang
lebih rendah dari yang diprakirakan maka harga minyak rata-
rata tahun 2001 diprakirakan akan berkisar $24,0-$25,0 per
barrel.
Grafik 10.1Perkembangan Harga Minyak Mentah
$/barrel
5
10
15
20
25
30
35
40MinasBasketVenezuelan Crude
1996 1997 1998 1999 2000
Batas atas
Batas bawah
pada 2001. Perkembangan ini terjadi baik di negara-negara
maju maupun di negara yang sedang berkembang. Laju inflasi
Amerika Serikat diprakirakan turun menjadi 2,6%. Sementara
itu, Jepang diprakirakan mengalami inflasi 0,5% setelah
sebelumnya mencatat deflasi. Laju inflasi di negara ber-
kembang diprakirakan turun menjadi 5,2% lebih rendah
dibandingkan laju inflasi sebesar 6,2% ditahun sebelumnya.
Sementara laju inflasi di negara-negara transisi diprakirakan
akan mencapai 12,5% (Tabel 10.2).
Relatif stabilnya inflasi akan mendorong negara maju
untuk melakukan kebijakan suku bunga yang relatif tetap atau
cenderung turun. Khusus Amerika Serikat, hal tersebut sejalan
dengan prakiraan masyarakat umum bahwa kebijakan pe-
ngetatan dari bank sentral AS (Federal Reserve) telah berakhir
guna menjaga agar melambatnya ekspansi perekonomian
tahun 2001 tidak mengakibatkan terjadinya resesi yang parah.
Perkembangan suku bunga internasional yang relatif tetap
serta membaiknya perkembangan ekonomi di kawasan Asia
yang terkena krisis diprakirakan akan mendorong terjadinya
realokasi dana oleh investor ke pasar Asia. Sejalan dengan
hal tersebut, akses negara-negara yang terkena krisis ke pasar
internasional diprakirakan juga akan membaik seiring dengan
adanya revisi credit rating ke tingkat yang lebih baik.
Harga komoditas internasional
Harga komoditas internasional bergerak dalam arah yang
beragam setelah krisis Asia 1999. Harga komoditi minyak masih
Tabel 10.2Perkembangan Inflasi Dan Suku Bunga Internasional
1999 20001) 20011)
Inflasi (%)Negara-negara industri 1,4 2,3 2,1Negara-negara berkembang 6,6 6,2 5,2Negara-negara transisi 43,8 18,3 12,5
Sukubunga jangka pendek (%)Amerika Serikat 4,8 6,1 6,7Jepang 0,0 0,2 0,5Uni Eropa 2,9 4,4 5,1
1) Angka perkiraan
Sumber : World Economic Outlook, Oktober 2000
167
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
30
40
50
60
70
80
90
100
110
120
130 TimahAluminiumRata-rataEmasTembaga
4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2
Angka estimasi s.d. 2002
‘00 ‘01 ‘02‘98 ‘99
Indeks
Grafik 10.4Leading Indikator Ekonomi
Secara umum, perkembangan harga-harga produk
ekspor nonmigas Indonesia tahun 2001 di pasaran internasional
diprakirakan relatif stabil bahkan cenderung naik sehingga
memberikan insentif positif bagi para pengusaha untuk
mendorong ekspor (Grafik 10.2). Harga ekspor komoditi
pertambangan diprakirakan meningkat seiring dengan
peningkatan permintaan terutama terkait dengan relatif
pesatnya perkembangan industri manufaktur Republik Rakyat
Cina dan perkembangan industri semikonduktor di Amerika
Serikat serta menurunnya persediaan komoditi tambang dunia.
Harga beberapa produk tambang seperti nikel dan aluminium
diprakirakan akan terkoreksi turun akibat meningkatnya
penggunaan produk hasil daur ulang. Sementara itu, harga-
harga komoditi utama ekspor pertanian seperti karet, kopi, teh
dan coklat – meskipun sedikit meningkat -- diprakirakan masih
cenderung tertahan di tingkat harga yang relatif rendah akibat
terus meningkatnya produksi dan jumlah persediaan (Grafik
10.3).
Prospek Ekonomi Indonesia
Prospek perekonomian Indonesia tahun 2001 diprakirakan terus
membaik sebagaimana tercermin dari indeks komposit Lead-
ing Indikator Ekonomi (LIE) yang masih cukup tinggi (Grafik 10.3).
Setelah tumbuh 4,8% pada tahun 2000, pertumbuhan ekonomi
tahun 2001 diprakirakan berkisar 4,5%-5,5%. Pertumbuhan
moderat tersebut sebagai kelanjutan dari proses pemulihan
yang terus berlangsung. Dari sisi permintaan, pendorong utama
pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih akan bersumber
dari kegiatan ekspor dan investasi. Sementara itu dari sisi
penawaran, sumber pertumbuhan akan berasal dari sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor
bangunan.
Seiring dengan adanya perbaikan ekonomi yang
berkelanjutan di semua sektor, kesenjangan output (output
gap) akan semakin menyempit. Menyempitnya kesenjangan
output ini akan mendorong perusahaan untuk melakukan
Grafik 10.2Indeks Harga Komoditas Mineral Dunia
Growth Y-o-Y (kiri)
LIE Komposit (kanan)
–20,0
–15,0
–10,0
–5,0
0
5,0
10,0
0,0
0,2
0,4
0,6
0,8
1,0
1,2
1,4
1 5 9 1 5 9 1 5 9 1
1998 1999 2000 2001
% Indeks
Grafik 10.3Indeks Harga Komoditas Pertanian Dunia
‘00 ‘01 ‘02
4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2
I n d e k s
0
50
100
150
200
250
300KaretPalm oilKopiKayu lapisTehRata-rata
‘98 ‘99
Angka estimasi s.d. 2002
168
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Tabel 10.3Pertumbuhan Dari Sisi Permintaan
T a h u n
2000** 20011)
AsumsiVolume perdagangan dunia (%) 11,5 9,2Harga minyak ($/barrel ) 25 25LIBOR 3 bulan (%) 6,5 6,5Yen/$ 105 105Rp/$ 8.400 8.000Defisit fiskal (% thd PDB) 6,5 3,5
Proyeksi (% pertumbuhan tahunan)PDB riil 4,8 4,5 –5,5Konsumsi 3,9 3,0–5,0Investasi 17,9 10,0 –12,0Ekspor barang dan jasa 16,1 8,5–10,5Impor barang dan jasa 18,2 11,0–13,0
1) Angka proyeksi
R i n c i a n
barang dan jasa dan impor barang dan jasa dalam PDB
diprakirakan masing-masing tumbuh dalam kisaran 8,5%–10,5%
dan 11,0%–13,0% (Tabel 10.3).
Dari sisi neraca pembayaran, prospek ekspor dan impor
tahun 2001 juga tercermin pada surplus transaksi berjalan yang
diprakirakan akan mengalami penurunan, yaitu menjadi 2,0%-
4,0% terhadap total PDB (Tabel 10.4). Sementara itu, arus modal
ke luar negeri diprakirakan semakin berkurang dan
penanaman modal asing diprakirakan mulai tumbuh secara
signifikan. Hal ini secara umum mencerminkan mulai
investasi baru guna memenuhi permintaan yang meningkat.
Berdasarkan optimisme pertumbuhan investasi tersebut, arah
pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun ke
depan diprakirakan masih meningkat. Di samping itu, permin-
taan ekspor juga diprakirakan masih tumbuh dengan cukup
kuat, walaupun tidak sekuat pertumbuhan ekspor tahun 2000.
Permintaan
Dari sisi permintaan, pertumbuhan perekonomian Indonesia
pada tahun 2001 diprakirakan masih ekspansif dengan sumber
pertumbuhan berasal dari kegiatan ekspor, investasi, dan
konsumsi. Sumbangan dari ketiga komponen tersebut
terhadap pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan semakin
seimbang.
Pertumbuhan ekspor tahun 2001 diprakirakan masih
cukup tinggi meskipun cenderung lebih rendah dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Hal ini terutama disebabkan oleh
melemahnya permintaan barang ekspor seiring dengan
melambatnya pertumbuhan beberapa negara mitra dagang
utama di kawasan Eropa dan Amerika. Sementara itu,
perkembangan harga-harga beberapa komoditi ekspor non
migas di pasaran dunia, terutama komoditi mineral serta
produk manufaktur, masih menunjukkan perkembangan yang
stabil bahkan cenderung meningkat. Hal tersebut diprakirakan
akan mampu menjadi insentif bagi pengusaha untuk lebih
mendorong kegiatan ekspor.
Ekspor produk manufaktur, seperti kayu lapis tekstil, gar-
ment, pulp, dan barang-barang elektronik serta komoditi
pertambangan, seperti nikel, tembaga, aluminium dan besi
baja diprakirakan memberikan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap keseluruhan produk ekspor Indonesia. Sedangkan
komoditi pertanian diprakirakan akan memberikan kontribusi
yang terbatas. Seiring dengan meningkatnya investasi dan
masih relatif baiknya pertumbuhan ekspor, impor juga
diprakirakan meningkat khususnya impor bahan baku dan
barang modal. Namun, mengingat base yang sudah tinggi,
pertumbuhan impor barang dan jasa cenderung akan lebih
kecil dibandingkan tahun sebelumnya yang base–nya rendah.
Secara keseluruhan, pertumbuhan pengeluaran ekspor
2000** 20011)
Miliar $
Transaksi Berjalan 7,7 4,7
Ekspor (f.o.b) 62,5 65,2Ekspor migas 15,5 13,7Ekspor nonmigas 47,0 51,5
Impor (f.o.b) –37.4 –41,4Impor migas –5,3 –4,6Impor nonmigas –32,1 –36,7
Jasa-jasa (bersih) –17.4 –19.0Surplus transaksi berjalan (% thd PDB) 5.0 2,0 - 4,0
Neraca Modal –4.6 –1.3
Cadangan DevisaNominal 29.3 32.7Bulan impor dan utang LN pemerintah 6.3 6.1
1) Angka proyeksi
Tabel 10.4Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia
R i n c i a n
169
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
membaiknya kepercayaan luar negeri terhadap prospek
pemulihan ekonomi yang sedang berjalan. Dengan beban
pembayaran utang luar negeri yang diprakirakan semakin
menurun, kondisi neraca modal diprakirakan mencatat defisit
yang semakin mengecil.
Pertumbuhan investasi tahun 2001, terutama investasi
swasta diprakirakan akan cukup tinggi terutama karena
prospek dunia usaha yang membaik, adanya dorongan untuk
meningkatkan kapasitas produksi khususnya industri yang
berorientasi ekspor, serta mulai tersedianya pembiayaan
investasi dari perbankan. Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU)
triwulan IV/2000 menunjukkan kegiatan usaha di triwulan I/
2001 masih akan mengalami peningkatan pada hampir
seluruh sektor ekonomi, kecuali pada sektor pertanian dan
pertambangan (Grafik 10.5). Kegiatan usaha di tahun 2001
diprakirakan terus membaik seiiring dengan positifnya saldo
bersih tertimbang (SBT) sejak triwulan III/1999. Dari sisi rencana
investasi, diprakirakan akan terjadi peningkatan rencana
investasi di triwulan I/2001 (Grafik 10.6). Investasi di tahun 2001
juga diprakirakan terus membaik yang mana hal tersebut
tercermin dari kecenderungan yang meningkat dari jumlah
responden yang melakukan investasi sejak awal tahun 1999.
Persetujuan investasi pada bulan Juli 2000 juga
mengalami peningkatan, terutama pada investasi asing (PMA)
Grafik 10.5SKDU Kegiatan Usaha
Grafik 10.6SKDU Investasi
(Grafik 10.7). Sementara itu, implementasi investasi baik PMDN
maupun PMA sampai dengan bulan Juli 2000 sedikit
mengalami peningkatan (Grafik 10.8). Tahun 2001 diprakirakan
akan terjadi peningkatan baik dari persetujuan investasi
maupun dari realisasi investasi seiring dengan membaiknya
kondisi di bidang keamanan dan politik di dalam negeri .
Sementara itu, sumber pembiayaan investasi - yang
menjadi kendala utama untuk meningkatkan kapasitas
produksi pada tahun 2000 - diprakirakan dapat dipenuhi baik
dari pembiayaan sendiri yang berasal dari penyisihan laba dan
Grafik 10.7Persetujuan Investasi
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
Miliar Rp
Jan.
1999 2000
- -
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
Dalam Negeri (Kiri)
Asing (Kanan)
Juta $
Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul.-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
Perkiraan
Saldo Bersih Tertimbang (%)
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1996 1997 1998 1999 2000
I
2001
II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
1996 1997 1998 1999 2000
I
2001
Jumlah responden (%)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Perkiraan
170
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Grafik 10.9SEK Kondisi Keuangan
masih rendah. Selain pada perusahaan atau industri yang
berskala besar, pertumbuhan investasi diprakirakan akan
didukung pula oleh sektor usaha menengah seiring dengan
tersedianya kembali dana untuk ekspansi usaha. Dengan
ditunjang oleh investasi pemerintah pada sektor-sektor
produktif serta perbaikan berbagai sarana dan prasarana
masyarakat, investasi secara keseluruhan diprakirakan
mampu tumbuh sebesar 10,0%–12,0% pada tahun 2001.
Pertumbuhan investasi ini cenderung lebih rendah
dibandingkan tahun sebelumnya karena base-nya yang lebih
tinggi.
Sumber permintaan dalam negeri yang lain yakni
konsumsi diprakirakan masih akan mengalami pertumbuhan
yang relatif sama dengan tahun sebelumnya, yaitu berkisar
3,0%– 5,0%. Dengan pertumbuhan sebesar ini konsumsi masih
tetap memainkan peranan penting dalam pembentukan PDB.
Hasil Survey Ekspektasi Konsumen (SEK) bulan Desember 2000
menunjukkan bahwa secara umum kondisi keuangan
masyarakat untuk 6–12 bulan berikutnya relatif membaik (Grafik
10.9). Dengan masih positifnya harapan masyarakat akan
kondisi keuangannya di tahun 2001, maka konsumsi
diprakirakan terus meningkat. Namun demikian, relatif
rendahnya pertumbuhan konsumsi dibandingkan dengan
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menyebabkan
Grafik 10.8Implementasi Investasi
80.000
130.000
180.000
230.000
280.000
330.000
380.000
35.000
40.000
45.000
50.000
55.000
60.000
65.000
70.000
75.000
Juta $Miliar Rp
Jan.
1996
Jun. Sep. Apr. Sep. Feb. Jul. Des. Mei Okt. Mar.
PMDN (kiri)
PMA (kanan)
1997 1998 1999 2000
akumulasi depresiasi aktiva tetap maupun dari penerbitan surat
utang dan pemberian kredit perbankan. Dari sumber dalam
negeri, realisasi kredit baru sektor perbankan pada tahun 2001
diprakirakan meningkat cukup signifikan seiring dengan
kemajuan proses restrukturisasi kredit BPPN dan penyelesaian
masalah utang perusahaan. Sampai dengan akhir tahun 2000,
jumlah kredit yang telah berhasil direstrukturisasi oleh BPPN dan
siap dijual ke perbankan tercatat sebesar Rp80,9 triliun.
Dari sumber luar negeri, sedikit melambatnya
pertumbuhan Amerika Serikat dan Eropa diprakirakan akan
mendorong investor untuk melakukan realokasi dana sehingga
membuka kemungkinan masuknya arus modal ke Indonesia
sejalan dengan membaiknya faktor non ekonomi di dalam
negeri. Namun demikian arus realokasi dana ini diprakirakan
tidak terlalu besar mengingat perbaikan ekonomi di kawasan
yang terkena krisis belum sepenuhnya pulih seperti semula.
Investasi dalam bentuk ekspansi atau pembangunan
pabrik baru diprakirakan terus berlangsung untuk industri-
industri yang berorientasi ekpor yang mana kapasitas
terpakainya sudah relatif tinggi, misalnya industri bahan galian
bukan logam, industri tekstil dan pakaian jadi. Investasi tahun
2001 diprakirakan sebagian besar dalam bentuk bangunan.
Sementara itu, investasi pada sektor industri pengolahan
diprakirakan masih belum cukup berarti mengingat rata-rata
kapasitas terpakai pada sektor industri ini diprakirakan relatif
-
5
10
15
20
25
30
35
Saldo Bersih (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 0 0 0
171
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
pangsa konsumsi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional
menjadi semakin menurun (Grafik 10.10).
Sumber peningkatan pertumbuhan konsumsi diprakirakan
berasal dari relatif meningkatnya pendapatan riil masyarakat
seiring dengan prakiraan membaiknya perekonomian tahun
2001. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan daya beli masyarakat melalui peningkatan gaji
pegawai negeri (income policy) dan upah minimum regional
(UMR) diprakirakan juga memberikan pengaruh positif.
Sementara itu, perkembangan suku bunga diprakirakan masih
dalam kisaran yang wajar sehingga dapat mengurangi kendala
dari sisi pembiayaan. Hal ini diharapkan mampu memberikan
dorongan tambahan bagi kegiatan konsumsi rumah tangga.
Berdasarkan perkembangan tersebut konsumsi rumah tangga
tahun 2001 diprakirakan tumbuh sebesar 2,0% - 4,0%.
Konsumsi pemerintah diprakirakan juga tumbuh cukup
tinggi seiring dengan peningkatan alokasi anggaran belanja
rutin pemerintah dalam RAPBN 2001. Di samping itu, besarnya
alokasi anggaran belanja pemerintah untuk kegiatan konsumsi
diprakirakan memberikan kontribusi yang signifikan.
Penawaran
Dari sisi penawaran, seluruh sektor ekonomi diprakirakan
mencatat pertumbuhan positif pada tahun 2001 dengan sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, dan sektor
bangunan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi (Tabel 10.5).
Secara umum, peningkatan produksi tahun 2001 terkait
dengan adanya kenaikan permintaan domestik dan eksternal.
Sektor ekonomi yang akan menikmati kenaikan permintaan
domestik antara lain adalah sektor bangunan dan
perdagangan. Sementara itu, peningkatan produksi sektor
pertambangan akan lebih banyak diarahkan untuk memenuhi
permintaan ekspor.
Sektor pertanian tahun 2001 diprakirakan sedikit
membaik dibanding tahun 2000. Hal ini didorong oleh
perubahan musim ke arah yang lebih bersahabat dengan
petani. Selain itu, subsidi bunga kredit program, termasuk
Kredit Ketahanan Pangan (KKP), diprakirakan ikut
mendorong penambahan output di sektor pertanian.
Sumbangan utama pertumbuhan positif tersebut dipra-
kirakan berasal dari sub sektor perikanan dan sub sektor tana-
man bahan makanan.
Sektor pertambangan tahun 2001 diprakirakan tumbuh
3,0%–4,0%. Produksi barang-barang pertambangan
diprakirakan sedikit meningkat terutama untuk kebutuhan
ekspor bagi negara-negara industri. Kenaikan harga komoditi
logam dan mineral di pasar internasional akan semakin
mendorong kegiatan penambangan dalam negeri.
Kecenderungan produksi tembaga yang meningkat selama
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001
Konsumsi swastaInvestasiEkspor
%
Grafik 10.10Perkembangan Pangsa Konsumsi Terhadap Total PDB
Tabel 10.5Pertumbuhan Sektoral
S e k t o rTahun (% y-o-y)
2000** 20011)
Pertanian 1,7 1,0–2,0Pertambangan 2,3 3,0–4,0Industri Pengolahan 6,2 5,5–6,5Listrik 8,8 7,5–8,5Bangunan 6,8 9,0–10,0Perdagangan 5,7 6,5–7,5Pengangkutan 9,4 6,5–7,5Keuangan 4,7 5,5–6,5Jasa 2,2 3,0–4,0
T o t a l 4,8 4,5–5,5
1) Angka sementara2) Angka proyeksi
172
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
tahun 2000 diprakirakan terus berlangsung seiiring dengan
kecenderungan peningkatan harga tembaga di pasar
internasional. Sementara itu, produksi minyak di dalam negeri
juga berkecenderungan meningkat setelah adanya
kesepakatan anggota OPEC untuk menaikkan produksinya
karena harga minyak dunia yang sudah terlalu tinggi.
Sektor industri pengolahan tahun 2001 diprakirakan
tumbuh antara 5,5%–6,5%. Beberapa indikator menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan, antara lain produksi
semen, produksi kendaraan bermotor, dan masih tersedianya
lahan industri di kawasan Jabotabek. Meningkatnya produksi
semen berkaitan dengan mulai pulihnya sektor properti
residensial, yang mana para pengembang sudah mulai
gencar memasarkan penjualan rumah baru. Produksi semen
tahun 2001 diprakirakan sedikit meningkat atau relatif sama
dibandingkan dengan tahun 2000 mengingat masih relatif
tingginya permintaan akan tempat tinggal. Begitu pula
dengan produksi sepeda motor dan mobil yang menunjukkan
kecenderungan yang meningkat. Produksi sepeda motor
diprakirakan masih terus meningkat karena tingginya
permintaan kendaraan roda dua, meskipun akhir-akhir ini pasar
sepeda motor dibanjiri oleh impor dari Cina. Peningkatan
permintaan ini nampaknya akan dapat dipenuhi mengingat
produksi sepeda motor masih jauh di bawah level sebelum krisis.
Begitu pula dengan produksi mobil sedan dan van yang
diprakirakan masih akan terus meningkat mengingat masih
relatif tingginya permintaan dalam negeri. Tingginya
permintaan terhadap kendaraan bermotor tercermin dari
kecenderungan penjualan yang meningkat.
Sektor listrik diprakirakan tumbuh 7,5%–8,5% pada tahun
2001. Peningkatan penjualan listrik selama periode Januari 1998
s.d November 2000 mempunyai kecenderungan yang positif
dan relatif stabil, yaitu rata-rata tumbuh 11,0% per tahun.
Peningkatan tersebut diharapkan berlanjut terus seiring dengan
meningkatnya konsumsi listrik, terutama pada sektor industri
dan rumah tangga. Namun, salah satu kendala yang perlu
diwaspadai adalah kemampuan PLN untuk meningkatkan
kapasitas pasokan listrik karena berbagai permasalahan yang
sedang dihadapinya, khususnya beban utang luar negeri.
Sementara itu, penyediaan tambahan kapasitas oleh
perusahaan listrik swasta juga masih menghadapi
permasalahan terutama perjanjian kontrak dengan
Pemerintah.
Sektor bangunan diprakirakan tumbuh antara 9,0%–
10,0% selama tahun 2001, naik cukup signifikan dibanding
tahun 2000. Peningkatan pada sektor ini didukung oleh
beberapa indikator, antara lain meningkatnya konsumsi semen,
penjualan rumah, dan rencana penerusan kembali proyek
pembangunan yang sempat tertunda akibat krisis ekonomi.
Peningkatan konsumsi semen yang cukup signifikan selama
tahun 2000 diprakirakan akan tetap berlanjut seiring dengan
mulai pulihnya sektor properti residensial dan maraknya
penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR). Peningkatan daya
beli masyarakat dan mulai gencarnya penyaluran KPR oleh
perbankan menyebabkan permintaan akan tempat tinggal
meningkat. Sementara itu, adanya rencana pembangunan
kembali infrastruktur yang tertunda, yaitu Jakarta Outer Ring
Road, double track rel KA Jakarta – Surabaya, pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya, dan perencanaan rel KA trans
Sumatra, memberikan kontribusi yang cukup signifikan
terhadap pertumbuhan sektor bangunan.
Sektor perdagangan diprakirakan tumbuh sebesar 6,5%–
7,5% lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
sebelumnya, yaitu 5,7%. Salah satu indikator maraknya sektor
ini adalah penjualan kendaraan bermotor yang meningkat
sampai 200% selama sebelas bulan pertama tahun 2000.
Peningkatan penjualan tersebut diprakirakan terus meningkat
seiring dengan tingginya permintaan dan meningkatnya daya
beli masyarakat. Momentum peningkatan aktivitas perda-
gangan yang tercermin dari peningkatan indeks penjualan
eceran pada tahun 2000 – yang dimotori oleh penjualan
pakaian dan perlengkapan dan penjualan kendaraan
bermotor dan suku cadang – diprakirakan juga terus
berlangsung. Dalam pada itu, tingkat hunian dan pasokan
perkantoran serta tingkat hunian hotel di kawasan Jakarta
diprakirakan sedikit meningkat pada tahun 2001 seiring dengan
semakin mantapnya laju pertumbuhan ekonomi dan
membaiknya situasi politik keamanan dalam negeri.
173
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
dana pemerintahan daerah akan lebih difokuskan pada
peningkatan pelayanan publik. Selain itu, penjualan listrik untuk
kepentingan publik dan sosial menunjukkan kecenderungan
meningkat. Sebagai gambaran, sampai dengan bulan No-
vember 2000 penjualan listrik pada sektor publik dan sosial
mengalami peningkatan masing-masing 55,65% dan 11,76%
dibandingkan pada periode yang sama tahun 1999.
Pertumbuhan penjualan listrik kepada sektor publik relatif stabil,
sementara penjualan listrik untuk keperluan sosial yang semula
menurun cukup signifikan sudah kembali pada level sebelum
krisis.
Prospek Nilai Tukar
Faktor risiko dan ketidakpastian, khususnya kondisi politik dan
keamanan dalam negeri, diprakirakan masih sangat
mempengaruhi perkembangan nilai tukar rupiah selama tahun
2001, khususnya pada paro pertama tahun 2001. Pada paro
kedua tahun 2001 nilai tukar rupiah diprakirakan cenderung
menguat sejalan dengan membaiknya kondisi berbagai faktor,
baik domestik maupun internasional. Secara keseluruhan,
dengan pergerakan yang cenderung menguat pada paro
kedua tahun 2001, rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun 2001
diprakirakan akan mencapai Rp7.750 - Rp8.250 per US dollar,
menguat dibandingkan dengan rata-rata sebesar Rp8.400
pada tahun 2000 (Grafik 10.11). Sebagai catatan, nilai tukar
Sektor pengangkutan tahun 2001 diprakirakan tumbuh
sebesar 6,5%–7,5%. Pertumbuhan ini sejalan dengan maraknya
kegiatan di sektor perdagangan dan sektor industri pengola-
han yang membutuhkan sarana transportasi yang lebih
banyak. Selain itu, pertumbuhan tersebut juga didorong oleh
maraknya mobilitas penduduk seiring dengan makin kondu-
sifnya iklim berusaha dan kondisi ekonomi tahun 2001. Namun
demikian, pertumbuhan di sektor ini tidak setinggi tahun sebe-
lumnya karena adanya dua kali hari raya Idul Fitri di tahun 2000.
Sektor keuangan diprakirakan akan tumbuh lebih tinggi
dibandingkan dengan tahun 2000, sejalan dengan
membaiknya profitabilitas perbankan yang tercermin dari
peningkatan net interest margin (NIM) dan menurunnya non
performing loans (NPL). Membaiknya kondisi perbankan ini
disebabkan oleh meningkatnya portofolio kredit perbankan
seiring dengan langkah perbankan yang mulai membeli
kembali kredit yang telah direstrukturisasi BPPN dan
meningkatnya penyaluran kredit baru. Sampai dengan akhir
Desember 2000, jumlah kredit yang telah direstrukturisasi oleh
BPPN dan siap dijual ke perbankan di tahun 2001 berjumlah
Rp80,9 triliun. Sementara potensi penyaluran kredit baru dapat
berasal dari kelebihan likuditas perbankan yang ditanamkan
dalam SBI maupun dari hasil penjualan obligasi pemerintah
yang dapat diperdagangkan. Sektor yang paling dominan
untuk pengucuran kredit tahun 2001 diprakirakan masih pada
sektor perdagangan, hotel dan restoran dan pada sektor
industri pengolahan. Sementara itu, permintaan terhadap
kredit diprakirakan juga menunjukkan kecenderungan
meningkat. Sebagai gambaran, hasil survey kredit perbankan
triwulan IV/2000 menunjukkan bahwa secara netto 75,0%
responden memperkirakan adanya peningkatan permintaan
kredit baru untuk triwulan I/2001. Meningkatnya permintaan
kredit baru ini selain disebabkan oleh membaiknya prospek
usaha, sebagian juga didorong oleh relatif moderatnya tingkat
suku bunga riil.
Sektor jasa-jasa diprakirakan tumbuh sebesar 3,0%–4,0%
pada tahun 2001. Pertumbuhan tersebut antara lain didukung
oleh pertumbuhan sektor jasa pemerintah seiring dengan
diimplementasikannya otonomi daerah yang mana alokasi
Grafik 10.11Trend Pergerakan Nilai Tukar Dan Premi Risiko
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Kurs (Rp/$)
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Skenario OptimisSkenario PesimisPremi Risiko
2000 2001
300
350
400
450
500
550
600
650
700
750
Indeks
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
174
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
negeri dapat mendorong pergerakan nilai tukar rupiah ke arah
yang lebih pesimis.
Sementara itu, dari sisi eksternal, kecenderungan
melambatnya ekspansi perekonomian Amerika Serikat pada
tahun 2001 diprakirakan akan mendorong penurunan suku
bunga, yang pada gilirannya akan mulai menghambat laju
apresiasi dollar AS secara global. Aliran modal ke negara-
negara emerging market di Asia termasuk Indonesia akan
mulai meningkat meskipun masih disertai kewaspadaan inves-
tor internasional terhadap tingginya risiko berinvestasi di
negara-negara emerging market.
Prospek Inflasi
Tekanan inflasi tahun 2001 diprakirakan masih cukup tinggi,
sehingga perlu untuk terus diwaspadai. Secara umum
tekanan inflasi berasal dari faktor fundamental dan non fun-
damental. Faktor fundamental yang merupakan hasil interaksi
dalam perekonomian diantaranya adalah (1) ekspektasi
inflasi, (2) perkembangan tingkat permintaan masyarakat
yang tercermin pada pergerakan kesenjangan output, dan
(3) pengaruh langsung dari pergerakan nilai tukar (pass
through effect) yang berasal dari perkembangan harga
dunia dan perkembangan nilai tukar rupiah. Sementara itu,
faktor non fundamental terutama berasal dari kebijakan
pemerintah dan faktor alam serta masalah yang terkait
dengan distribusi.
Dari faktor fundamental, tekanan yang cukup tinggi
terutama berasal dari meningkatnya ekspektasi inflasi dan
meningkatnya tekanan permintaan. Tekanan permintaan
diprakirakan bersumber dari relatif kuatnya konsumsi
pemerintah, tingkat investasi, dan kegiatan ekspor yang
ketiganya berpengaruh kepada menyempitnya kesenjangan
output. Di samping itu, akselerasi peningkatan kapasitas
produksi yang levelnya sudah mendekati tingkat potensialnya,
memberikan tekanan yang lebih besar terhadap inflasi.
Pergerakan kesenjangan output yang semakin menyempit
tersebut sejalan dengan pergerakan Leading Indikator Inflasi
(LII) yang masih tetap menunjukkan upward trend sampai
pertengahan tahun 2001 (Grafik 10.12). Pergerakan LII yang
rupiah rata-rata Rp7.750 per dolar masih mungkin tercapai
apabila tidak ada gangguan pada faktor-faktor non ekonomi
sehingga premi risiko kembali pada tingkat terbaik seperti pada
Maret 2000.
Perkembangan premi risiko pada tahun 2001 diprakira-
kan masih akan mempengaruhi arah perkembangan nilai tukar
rupiah. Secara keseluruhan, premi risiko pada tahun 2001
diprakirakan akan membaik dibandingkan dengan tahun se-
belumnya. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, premi
risiko diprakirakan akan meningkat kembali menjelang Sidang
Tahunan MPR Agustus 2001. Selanjutnya, dengan kondisi politik
dan keamanan dalam negeri yang diharapkan semakin mem-
baik, secara bertahap keterkaitan antara premi risiko dan kurs
rupiah diharapkan semakin berkurang, sehingga arah perkem-
bangan nilai tukar rupiah akan menjadi searah dengan per-
kembangan fundamental ekonomi yang semakin membaik.
Dari sisi domestik, membaiknya kondisi fundamental
ekonomi Indonesia pada tahun 2001 diprakirakan akan mulai
meningkatkan kepercayaan pasar terhadap mata uang ru-
piah. Selanjutnya, dengan membaiknya kepercayaan
terhadap perekonomian nasional, aliran devisa masuk yang
bersumber dari transaksi perdagangan internasional dan
transaksi modal diprakirakan akan mulai meningkat. Hal ini
seiring dengan kemajuan yang dicapai dalam proses
restrukturisasi utang luar swasta yang diharapkan akan
mengurangi permintaan valuta asing di pasar oleh perusahaan
serta meningkatnya pasokan valuta asing yang berasal dari
devisa ekspor dan mulai masuknya aliran dana ke Indonesia.
Dengan adanya perkembangan tersebut, kesenjangan antara
permintaan dan pasokan valuta asing diprakirakan akan
semakin menurun.
Di sisi lain, kondisi politik dan keamanan dalam negeri
diharapkan akan semakin stabil setelah Sidang Tahunan
Agustus 2001. Namun demikian, hal ini perlu terus diwaspadai
mengingat kepercayaan pasar terhadap perekonomian
nasional dapat kembali menurun dan mendorong permintaan
valuta asing yang bersifat spekulatif atau penyelamatan aset
dalam periode dimana eskalasi gejolak faktor non ekonomi
dirasakan meningkat. Gejolak politik dan keamanan dalam
175
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
ketidakpastian di dalam negeri meningkat. Depresiasi nilai
tukar memiliki elastisitas yang cukup tinggi terhadap
perkembangan harga-harga, terutama untuk barang-
barang dalam kelompok traded. Kelompok traded memiliki
kontribusi yang besar dalam perhitungan indeks harga
konsumen dengan bobot sekitar 60,0%, sehingga pergerakan
kelompok barang ini secara signifikan dapat menentukan
arah pergerakan laju inflasi.
Sementara itu, dari faktor non fundamental, tekanan
inflasi yang cukup besar berasal dari kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan. Kebijakan pemerintah
tersebut masih terus berlangsung dalam tahun 2001 dan tahun-
tahun selanjutnya seiring dengan rencana pemerintah untuk
mengurangi anggaran subsidi dalam APBN. Untuk tahun 2001
rencana kebijakan pemerintah yang telah teridentifikasi
adalah kenaikan harga BBM, kenaikan harga dasar gabah,
kenaikan cukai rokok, kenaikan gaji pegawai negeri sipil
melalui perubahan struktur gaji, dan kenaikan upah minimum
regional. Rencana kenaikan tarif listrik sementara ini masih
dalam tahap pengkajian, namun demikian pemerintah belum
berencana mengurangi subsidi di sektor ini dalam APBN tahun
2001. Secara keseluruhan, dampak kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan yang telah teridentifikasi saat
ini terhadap kenaikan inflasi dalam tahun 2001 diprakirakan
Grafik 10.12 Leading Indikator Inflasi
meningkat tersebut diprakirakan masih akan berlanjut pada
tahun 2001.
Sementara dari hasil Survey Ekspektasi Konsumen (SEK)
periode Desember 2000 terlihat bahwa dalam 6 s.d. 12 bulan
berikutnya harga-harga secara umum diprakirakan masih
akan meningkat (Grafik 10.13). Peningkatan ini terutama terjadi
pada harga rumah dan bahan bangunan, bahan makanan,
serta biaya transportasi dan komunikasi.
Tekanan inflasi dari sisi eksternal diprakirakan tidak
signifikan. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2001 yang
diprakirakan akan sedikit melambat berimplikasi terhadap
perkembangan inflasi dunia yang tidak akan menunjukkan
peningkatan yang berarti. Sementara itu, perkembangan
nilai tukar tahun 2001 diprakirakan akan menguat seiring
dengan membaiknya perkembangan perekonomian serta
kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Menguatnya
nilai tukar rupiah ini akan memberikan dampak deflasi
terhadap perkembangan harga. Namun mengingat harga
tidak terlalu fleksibel untuk turun (downward rigidity),
dampak deflasi dari menguatnya nilai rupiah tersebut
diprakirakan relatif kecil.
Walaupun demikian, pergerakan nilai tukar di tahun
2001 perlu terus diwaspadai, karena pergerakannya dapat
berubah ke arah yang melemah apabila faktor risiko dan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
1998 1999 2000 2001
0.8
0.9
1
1.1
1.2
1.3
1.4
Inflasi (y-o-y)LII + 8 bln
1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5
Grafik 10.13 SEK Harga-Harga (saldo bersih)
-
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Persen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
2 0 0 0
176
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
sangat tinggi pada tahun 1998. Pada tahun 2001 volatilitas
kelompok bahan makanan tersebut diprakirakan akan kembali
normal dengan kecenderungan harga yang meningkat.
Indikasi masih tingginya tekanan inflasi di tahun 2001 juga
sejalan dengan prakiraan inflasi dari berbagai lembaga riset
ekonomi. Angka inflasi tahun 2001 yang diproyeksi oleh
lembaga-lembaga riset nasional secara rata-rata adalah
sekitar 7,9%. Sementara rata-rata inflasi yang diproyeksikan oleh
lembaga-lembaga riset internasional terlihat lebih optimis, yaitu
sekitar 7,1%.
Sasaran Inflasi
Dengan memperhatikan relatif tingginya prakiraan inflasi dari
berbagai lembaga di atas serta besarnya sumber-sumber
tekanan inflasi ditahun 2001, Bank Indonesia memandang
bahwa tekanan inflasi tersebut perlu dikendalikan. Melihat
perkembangan dan prospek makroekonomi serta
mempertimbangkan perkembangan harga yang dapat
dipengaruhi oleh kebijakan moneter, Bank Indonesia
menetapkan sasaran laju inflasi tahun 2001 di luar dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan diprakirakan dapat
menimbulkan tambahan kenaikan laju inflasi sekitar 2,0%–2,5%
di atas target tersebut.
Dalam perjalanannya, berbagai gejolak yang berada
di luar kendali kebijakan moneter kemungkinan dapat terjadi,
termasuk gejolak-gejolak yang berasal dari sisi penawaran dan
fluktuasi nilai tukar yang disebabkan faktor non fundamental.
Respon kebijakan moneter terhadap gejolak-gejolak tersebut
dapat menimbulkan biaya yang sangat mahal, karena akan
memerlukan pengetatan moneter yang berlebihan sehingga
dapat berdampak pada lambatnya proses pemulihan
ekonomi. Oleh sebab itu, sejumlah perkecualian perlu
dikemukakan yang memungkinkan dapat terlampauinya
sasaran inflasi yang akan dicapai, yaitu meliputi:
– adanya kebijakan inflatoir dari pemerintah --baik pusat
maupun daerah-- yang sebelumnya tidak teridentifikasi
dan terhitung dampaknya dalam prakiraan inflasi,
Tabel 10.6Prakiraan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Laju InflasiDalam Tahun 2001
Kebijakan Koefisien Kenaikan DampakPemerintah Dampak Hara/tarif Inflasi
Di bidang harga : 2,09Tarif Listrik 0.013 - -BBM 0,075 20 1,49 AprilBeras 0,024 - -Gabah 0,045 7 0,32 JanuariHPS 0,028 - -Cukai Rokok 0,037 5 0,18 AgustusTarif PAM 0,005 20 0,10 Januari
Di bidang Pendapatan 0,37Gaji PNS - 30 0,20UMR 0,012 15 0,17 Sepanjang tahun
Lain-lain :Otonomi Daerah - - - Sepanjang tahun
T o t a l 2,47
Pemberlakuan
mencapai sekitar 2,5% (Tabel 10.6).
Rencana diberlakukannya otonomi daerah pada 2001
diprakirakan memiliki potensi yang dapat memacu laju inflasi
terutama di daerah-daerah. Dari sisi permintaan indikasi ini
muncul dari prakiraan perilaku pembelanjaan dari daerah yang
akan cenderung ekspansif. Sementara itu, sisi penawaran
tekanan kenaikan harga diprakirakan dapat bersumber dari
peningkatan pungutan, retribusi, dan pajak daerah dalam upa-
ya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di masing-masing
wilayah. Namun demikian, sampai saat ini masih terlalu sulit
untuk memperkirakan seberapa besar pelaksanaan otonomi
daerah tersebut akan berdampak pada inflasi tahun 2001.
Faktor non fundamental lainnya berasal dari volatilitas
pergerakan harga barang-barang yang terutama tergolong ke
dalam kelompok bahan makanan. Pergerakan harga kelompok
barang ini memiliki andil yang besar dalam pergerakan laju inflasi
nasional berkaitan dengan bobotnya yang besar dalam
perhitungan indeks harga konsumen. Secara historis, volatilitas
harga kelompok bahan makanan memiliki kecenderungan
yang inflatoir. Namun dalam tahun 1999 dan 2000 terdapat
pengecualian dimana gejolak harga yang terjadi dalam
periode tersebut masing-masing memberikan dampak deflasi
dan inflasi yang rendah. Hal ini terjadi akibat melimpahnya
pasokan bahan makanan dan adanya koreksi harga yang
dialami dalam tahun tersebut menyusul kenaikan harga yang
177
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
sehingga menyebabkan suku bunga deposito rendah dan
mendorong masyarakat untuk memanfaatkan dananya
untuk konsumsi ataupun jenis investasi lain.
– Keempat, beban keuangan pemerintah yang masih cukup
berat, terutama ditandai oleh pengeluaran untuk subsidi
dan utang pemerintah yang masih besar. Sementara itu,
kemajuan dalam asset recovery BPPN maupun privatisasi
BUMN diperkirakan belum dapat menutupi beban
keuangan pemerintah. Di sisi lain ada tuntutan untuk
mengurangi pinjaman luar negeri agar fiscal sustainability
dalam jangka menengah-panjang dapat terjaga.
Dengan kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk
percepatan pemulihan ekonomi, masih relatif terbatas
dalam jangka pendek ini.
– Kelima, kelancaran pelaksanaan otonomi daerah mulai
tahun 2001 menjadi kunci bagi keberhasilan proses
pemulihan ekonomi dan pemerataan pembangunan ke
depan. Ancaman terhadap pemulihan ekonomi dan inflasi
akan muncul apabila pengeluaran daerah menjadi tidak
terkoordinasi maupun apabila daerah berlomba-lomba
untuk meningkatkan pungutan, retribusi dan pajak daerah.
– Keenam, ketidakpastian hukum di Indonesia. Berbagai
kasus hukum ini memerlukan pembenahan sistem hukum
di Indonesia, termasuk penegakan hukum, terutama
melalui penerapan UU kepailitan maupun pembenahan
secara menyeluruh institusi yudikatif di Indonesia.
– Ketujuh, dari sisi eksternal, ketidakpastian dan risiko yang
mungkin terjadi adalah melambatnya perekonomian
Amerika Serikat sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi
global. Melambatnya ekonomi AS ini merupakan ancaman
bagi optimisme terhadap kinerja ekspor sebagai salah satu
motor penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun
2001.
Arah Kebijakan
Dengan memperhatikan sasaran inflasi sebesar 4,0%–6,0%
dalam tahun 2001 dan untuk terus mengupayakan stabilisasi
nilai tukar rupiah, Bank indonesia akan menempuh kebijakan
moneter yang cenderung ketat. Dalam pelaksanaannya,
– fluktuasi nilai tukar yang tidak terkait dengan fundamental
perekonomian dan kebijakan moneter domestik,
– terjadinya gangguan keamanan dan bencana alam yang
dapat menyebabkan perubahan secara drastis produksi
dan distribusi bahan makanan yang berdampak pada
harga bahan makanan pokok.
Tantangan ke depan
Gambaran mengenai prospek ekonomi makro, termasuk
inflasi dan nilai tukar rupiah, pada tahun 2001 akan sangat
dipengaruhi oleh perkembangan berbagai faktor risiko dan
ketidakpastian yang masih membayangi perekonomian
nasional. Oleh sebab itu, upaya mengatasi berbagai faktor
tersebut akan menjadi kunci keberhasilan dalam menjamin
prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik pada tahun 2001
dan tahun-tahun mendatang. Berbagai faktor risiko dan
ketidakpastian tersebut adalah sebagai berikut.
– Pertama, kemungkinan berlanjutnya ketidakpastian kondisi
politik dan keamanan dalam negeri. Akibat dari berlan-
jutnya ketidakpastian tersebut masih akan mendorong
tingginya country risk Indonesia, penanganan berbagai
masalah ekonomi menjadi lambat dan tidak pasti, serta
mendorong kegiatan spekulasi dalam pasar valuta asing.
– Kedua, belum selesainya proses restrukturisasi utang
perusahaan. Kondisi ini telah menyebabkan peningkatan
kegiatan ekonomi dan penyaluran kredit perbankan
belum sepenuhnya pulih, karena sebagian besar
perusahaan yang masih dalam proses restrukturisasi
tersebut merupakan komponen terbesar dari
perekonomian nasional.
– Ketiga, fungsi intermediasi perbankan yang belum
sepenuhnya kembali normal. Ekspansi kredit perbankan
masih terbatas karena masih tingginya faktor risiko dan
ketidakpastian, banyaknya perusahaan yang masih dalam
proses restrukturisasi, maupun kondisi internal perbankan.
Kondisi ini sangat membatasi sumber pembiayaan kegiatan
ekonomi, sehingga kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai
oleh dana sendiri (self-financing). Sementara itu, dorongan
bagi perbankan untuk mobilisasi dana relatif rendah,
178
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
kebijakan moneter akan dilakukan secara sangat hati-hati
mengingat belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan dan
masih rentannya proses pemulihan ekonomi. Sampai
pertengahan tahun 2001 inflasi dan nilai tukar diprakirakan
masih mengalami tekanan yang relatif tinggi sehingga
kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk sementara
waktu masih perlu dipertahankan. Apabila tekanan terhadap
inflasi dan nilai tukar rupiah mulai menguat, kebijakan moneter
yang relatif lebih longgar dapat dilakukan.
Dengan arah kebijakan moneter tersebut, Bank Indo-
nesia perlu menetapkan sasaran-sasaran moneter khususnya
uang primer dengan pertumbuhan 11,0%–12,0% pada tahun
2001. Sasaran uang primer ini dihitung berdasarkan asumsi
pertumbuhan ekonomi 5,0%, inflasi 4,0%–6,0%, dan nilai tukar
rupiah rata-rata Rp8.000 per US dolar. Sasaran uang primer
sebesar 11,0%–12,0% ini diprakirakan cukup konsisten dengan
pencapaian sasaran inflasi yang ditetapkan, tanpa harus
menimbulkan risiko yang berlebihan terhadap proses
pemulihan perbankan dan perekonomian nasional. Sebagai
catatan, sasaran uang primer tersebut perlu disesuaikan,
terutama apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan nilai tukar rupiah yang tidak sesuai dengan
asumsi-asumsi tersebut, ataupun terjadi perkembangan
inflasi yang lebih disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali
Bank Indonesia seperti dijelaskan di atas. Dengan
pertumbuhan uang primer sebesar itu, l ikuiditas
perekonomian (M2) diprakirakan akan tumbuh sebesar 9,0%–
11,0% dan kredit akan tumbuh sekitar 14,0%–16,0% sehingga
mampu mendukung proses pemulihan ekonomi.
Dalam operasi kebijakan moneter, upaya pencapaian
sasaran moneter di atas dilakukan melalui Operasi Pasar
Terbuka (OPT) dalam bentuk lelang SBI sebagai instrumen
utama. Akan tetapi, optimalisasi penggunaan berbagai
instrumen moneter lain yang tersedia perlu dilakukan dengan
strategi yang lebih baik. Di satu sisi, hal ini diperlukan dalam
rangka meningkatkan efektivitas pencapaian sasaran-
sasaran moneter tersebut. Di sisi lain, langkah tersebut perlu
dilakukan agar implementasi kebijakan moneter tidak
menimbulkan dampak yang berlebihan terhadap kenaikan
suku bunga sehingga tetap dapat memberikan iklim yang
kondusif terhadap pemulihan perbankan dan perekono-
mian.
Pada prinsipnya strategi pengelolaan moneter untuk
mendukung OPT tersebut perlu mencakup langkah-langkah
sebagai berikut:
– Pertama, OPT melalui intervensi rupiah untuk sementara
waktu akan dioptimalkan untuk mendukung pencapaian
sasaran uang primer yang telah ditetapkan, tanpa harus
menimbulkan dampak yang berlebihan pada kenaikan
suku bunga SBI. Upaya ini sekaligus untuk memperbaiki
struktur suku bunga antara suku bunga SBI, suku bunga
intervensi rupiah, dan suku bunga PUAB yang kondusif bagi
pelaksanaan kebijakan moneter.
– Kedua, sterilisasi valas akan tetap menjadi opsi yang
terbuka khususnya untuk menyerap ekspansi pengeluaran
pemerintah yang bersumber dari dana luar negeri. Dengan
demikian, beban OPT dalam pencapaian sasaran moneter
dapat dikurangi sehingga kenaikan suku bunga SBI yang
berlebihan dapat dihindari. Upaya ini sekaligus untuk
mendorong penguatan nilai tukar rupiah ke arah tingkat
yang lebih sesuai dengan kondisi fundamental ekonomi.
– Ketiga, obligasi pemerintah yang diperkirakan akan mulai
aktif diperdagangkan di pasar sekunder dapat digunakan
sebagai alternatif instrumen moneter terutama mengingat
besarnya biaya OPT yang harus ditanggung oleh Bank In-
donesia jika menggunakan SBI. Dengan cukup tingginya
yield staple bonds dan obligasi pemerintah jangka pendek
yang akan dikeluarkan, diperkirakan masih akan meng-
untungkan bagi Bank Indonesia untuk mempunyai portfo-
lio kedua jenis obligasi pemerintah tersebut sebagai
instrumen pengendalian moneter. (Boks : Obligasi
Pemerintah Sebagai Alternatif Instrumen Kebijakan
Moneter)
Strategi pengelolaan moneter tersebut perlu terus
didukung oleh kebijakan nilai tukar berdasarkan sistem nilai
tukar mengambang dan sistem devisa bebas. Namun disadari
bahwa strategi pengelolaan moneter tersebut akan kurang
efektif untuk mengatasi tekanan inflasi dan gejolak nilai tukar
179
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
fungsi intermediasi perbankan, diharapkan efektivitas
kebijakan moneter di dalam mempengaruhi sektor riil semakin
meningkat.
Berbagai upaya peningkatan pengawasan dan
penyempurnaan ketentuan yang mengacu pada standar
internasional terus dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indo-
nesia juga mengupayakan agar perbankan meningkatkan
manajemen risiko dengan mengeluarkan risk management
guideline bagi bank-bank, yang kemudian akan dilanjutkan
dengan penerapan pengawan bank berdasarkan risiko (risk-
based supervision) oleh Bank Indonesia. Sementara itu, ke
depan sistem pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indone-
sia menggunakan pendekatan yang memfokuskan pada core
bank yang secara sistemik sangat berpengaruh pada
perekonomian (systemically important banks). Berkaitan
dengan pemisahan pengawasan bank kepada lembaga
pengawas yang baru (Lembaga Pengawas Jasa Keuangan),
Bank Indonesia terus melakukan berbagai persiapan agar
pengalihan fungsi pengawasan tersebut berjalan dengan
lancar sehingga tidak mengganggu sistem perbankan. Di
samping itu, persiapan juga dilakukan agar aliran data dan
informasi perbankan yang diperlukan bagi formulasi kebijakan
moneter tidak mengalami hambatan.
Di samping itu, dalam rangka menciptakan perbankan
yang sehat dan menyesuaikan dengan ketentuan perbankan
international, perbankan diarahkan untuk memenuhi CAR mini-
mum sebesar 8,0% dan non performing loans maksimum
sebesar 5,0% pada akhir tahun 2001. Dalam hal pemenuhan
modal minimum, kebijakan yang akan diambil antara lain
mengupayakan penyetoran modal oleh para pemegang
saham, penggabungan bank melalui merger, mencari inves-
tor baru baik domestik maupun asing, dan penerapan exit
policy. Dalam hal pemenuhan target NPL, kebijakan yang
akan ditempuh adalah: (1) mewajibkan bank-bank untuk
melakukan penghapusbukuan (write-off) atas portofolio NPL
setelah jangka waktu tertentu, (2) mengatasi kendala-kendala
yang menghambat restrukturisasi yang dilakukan oleh
perbankan maupun yang difasilitasi oleh Satuan Tugas
Restrukturisasi Kredit dan oleh Prakarsa Jakarta.
rupiah yang bersumber dari faktor-faktor di luar kendali Bank
Indonesia. Oleh karena itu, berbagai langkah yang dapat
secara langsung mengurangi gejolak nilai tukar rupiah perlu
tetap menjadi opsi yang terbuka. Dalam hubungan ini, upaya
memelihara kestabilan nilai tukar rupiah dapat ditempuh
melalui sterilisasi di pasar valuta asing secara selektif, sebagai
bagian dari instrumen pengendalian moneter. Seperti
dikemukakan di atas, kebijakan ini terutama ditujukan untuk
menyerap kembali ekspansi moneter yang ditimbulkan oleh
kenaikan pengeluaran pemerintah yang dibiayai dari sumber
dana luar negeri. Selain dengan instrumen yang konvensional
seperti intervensi, beberapa alternatif yang nonkonvensional
perlu dilakukan, seperti pengawasan langsung di bank-bank
yang diperkirakan melakukan spekulasi valuta asing dan
penyempurnaan pengaturan di bidang lalu lintas devisa
termasuk pembatasan internasionalisasi rupiah.
Implementasi kebijakan moneter tersebut memerlukan
dukungan yang optimal dari perbankan agar transmisi
kebijakan moneter ke sektor riil berjalan efektif. Salah satu
tantangan utama dari kebijakan moneter dan perbankan
tahun 2001 adalah bagaimana mengatasi permasalahan
credit crunch pada perbankan. Untuk itu, berbagai langkah
akan ditempuh oleh Bank Indonesia untuk segera memulihkan
fungsi intermediasi perbankan. Di sisi makro, Bank Indonesia
memandang kebijakan moneter yang kondusif bagi proses
restrukturisasi perbankan dan perusahaan yang tercermin dari
kestabilan suku bunga dan nilai tukar masih tetap diperlukan.
Di sisi mikro, karena credit crunch yang terjadi lebih banyak
disebabkan oleh non-price rationing seperti masih tingginya
credit risk yang dirasakan oleh perbankan, kurangnya informasi
mengenai nasabah yang layak memperoleh kredit maka
berbagai usaha akan dilakukan oleh Bank Indonesia dengan
bekerja sama dengan institusi terkait. Bank Indonesia akan
melakukan penyempurnaan berbagai ketentuan untuk
mengurangi kendala bank dalam memberikan kredit dan
meningkatkan ketentuan untuk meningkatkan ketahanan
industri perbankan terhadap perubahan kondisi makro.
Sementara itu, restrukturisasi kredit untuk menurunkan non-per-
forming loans tetap menjadi prioritas utama. Dengan pulihnya
180
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Sementara itu, pengembangan bank syariah dalam
tahun 2001 akan difokuskan pada kebijakan pembukaan loket
untuk pelayanan bank syariah di kantor cabang bank
konvensional. Fasilitas ini hanya diberikan kepada kantor
cabang bank yang akan dikonversi menjadi kantor cabang
syariah. Perluasan jaringan bank syariah tersebut akan dipandu
oleh hasil penelitian terhadap potensi, preferensi, dan perilaku
masyarakat terhadap bank syariah.
Untuk mendukung efektivitas kebijakan moneter,
kebijakan Bank Indonesia dalam meningkatkan kelancaran
sistem pembayaran terus dilakukan. Sebagai kelanjutan dari
program Real Time Gross Settlement (RTGS) tahap pertama yang
telah diimplementasikan pada bulan November 2000, sistem
setelmen transaksi nilai besar/bulk tersebut akan
diimplementasikan di 12 Kantor Bank Indonesia. Pengintegrasian
sistem RTGS di kantor pusat dan kantor Bank Indonesia ini akan
menghapus rekening giro bank yang ada di kantor Bank Indo-
nesia sehingga hanya ada satu rekening giro bank di kantor
pusat Bank Indonesia (centralized settlement account).
Penggabungan rekening ini menguntungkan bagi Bank Indo-
nesia maupun bank peserta. Penggabungan rekening tersebut
memudahkan Bank Indonesia dalam memantau ketaatan bank
dalam memenuhi kebutuhan Giro Wajib Minimum (GWM). Selain
itu, Bank Indonesia dapat memantau likuiditas bank, sehingga
dapat dipakai sebagai early warning system bagi bank-bank
yang mengalami kesulitan likuiditas. Sedangkan bagi bank
peserta, penggabungan rekening ini memudahkan mereka
untuk melakukan pengawasan terhadap posisi likuiditasnya
sehingga bank dapat mengelola dananya secara efektif dan
efisien. Di samping itu, untuk menurunkan risiko settlement di
perusahaan sekuritas, akan dilakukan pengembangan Delivery
Versus Payment (DVP) tahap pertama. Dari pengembangan ini
akan tercipta suatu integrasi sistem setelmen antara pasar uang
dan pasar modal.
Di samping itu, guna meningkatkan efisiensi perbankan
dan mempercepat proses kliring antar bank, pada tahun 2001
Bank Indonesia akan menerapkan Bulk Interbank Payment Sys-
tem (BIPS), yaitu kliring khusus untuk transaksi-transaksi bulk
sehingga transaksi antar bank lainnya yang telah dilakukan
melalui kliring menjadi lebih cepat. Transaksi bulk adalah
transaksi antar bank yang bersifat rutin dengan volume tinggi
dan bernilai nominal rendah seperti transaksi pembayaran gaji/
upah, kartu kredit, asuransi, angsuran kredit, tagihan telepon/
listrik/air, dan lain-lain.
Untuk mengefisienkan proses pembukuan dan switch-
ing pada bank-bank penyelenggara ATM di Indonesia, serta
untuk memberikan tambahan kemudahan dan keamanan
bagi para para nasabah penggunanya, maka Bank Indone-
sia akan memfasilitasi dan mendorong (dalam bentuk moral
suasion) bank-bank penyelenggara ATM untuk dapat
mengkoneksikan jaringannya satu sama lain.
Efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter juga sangat
dipengaruhi oleh koordinasi dengan kebijakan fiskal. Besarnya
pengeluaran pemerintah memerlukan koordinasi mengenai
waktu dan mekanisme pelaksanaannya agar dampaknya ter-
hadap kebijakan moneter dapat diantisipasi dan dilakukan
langkah yang diperlukan dalam pemeliharaan likuditas per-
ekonomian. Oleh sebab itu, ke depan koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal perlu ditingkatkan dan dilakukan secara
rutin.
Berkaitan dengan kebijakan di bidang utang luar negeri,
dalam beberapa tahun mendatang utang luar negeri
diperkirakan masih diperlukan mengingat tingkat kebutuhan
investasi khususnya sektor swasta masih sangat tinggi,
sementara sumber dana domestik masih sangat terbatas
sehubungan dengan proses pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung. Untuk utang luar negeri pemerintah, dengan
telah dipersiapkan UU tentang Pinjaman Luar Negeri oleh
Pemerintah, diharapkan kebijakan maupun pengelolaan
utang luar negeri di masa mendatang hanya melalui satu pintu
(one gate policy), sehingga terdapat kejelasan peran masing-
masing instansi pemerintah. Dengan demikian, mekanisme dan
prosedur dalam pengelolaan utang luar negeri akan lebih
transparan. Sementara itu, utang luar negeri komersial
diprakirakan masih dihadapkan pada masalah kepercayaan
internasional terhadap kondisi ekonomi dan politik dalam
negeri sehingga pencarian pinjaman langsung melalui pasar
uang dan modal masih relatif sulit dilakukan. Oleh sebab itu,
181
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
kedepan perlu upaya-upaya terobosan melalui instrumen-
instrumen baru di pasar uang/modal. Sementara itu, dalam
rangka mendorong ekspor, kebijakan berupa Trade Mainte-
nance Facility (TMF) masih tetap akan dilanjutkan mengingat
kepercayaan internasional terhadap bank-bank nasional
belum sepenuhnya pulih.
Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank Indonesia
yang ditujukan untuk menciptakan kestabilan inflasi dan nilai
tukar rupiah pada dasarnya merupakan salah satu langkah
dari kerangka kebijakan ekonomi makro secara keseluruhan.
Langkah-langkah kebijakan di bidang lain, khususnya untuk
mengatasi berbagai faktor risiko dan ketidakpastian seperti
diuraikan sebelumnya, sangat menentukan dalam upaya
mempercepat proses pemulihan ekonomi nasional. Oleh
karena itu, Bank Indonesia perlu terus menjalin kerjasama
dengan instansi-instansi terkait guna mengatasi permasalahan
yang mungkin timbul dan mewujudkan pemulihan ekonomi
Indonesia yang diinginkan bersama.
182
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Boks : Kajian Tentang Sasaran Inflasi Jangka Menengah
Pada setiap awal tahun Bank Indonesia menetapkan dan
mengumumkan sasaran inflasi untuk dicapai dalam rentang
waktu tertentu. Penetapan sasaran inflasi tersebut merupakan
bagian dari kerangka kerja kebijakan moneter dengan sasaran
tunggal inflasi. Kerangka kerja kebijakan ditandai oleh
manajemen operasi kebijakan moneter yang berorientasi ke
depan (forward looking). Artinya, kebijakan moneter yang
ditempuh bukan merupakan respon terhadap inflasi yang
sudah terjadi melainkan bertujuan agar tekanan inflasi yang
akan terjadi dapat diantisipasi sehingga mengarah pada
sasaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penetapan
suatu kebijakan moneter dilakukan setelah memperhitungkan
berbagai potensi penyebab inflasi di masa mendatang.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan moneter yang
bersifat forward looking menghadapi sejumlah keterbatasan
yang antara lain terkait dengan sulitnya memprakirakan
sumber-sumber gangguan yang potensial dalam memberikan
tekanan terhadap inflasi karena besarnya faktor
ketidakpastian. Kebijakan moneter juga memiliki keterbatasan
dalam mengendalikan tekanan inflasi yang berasal dari
kebijakan pemerintah di bidang harga, yang diprakirakan
masih cukup besar hingga tiga tahun mendatang. Oleh karena
itu pencapaian sasaran inflasi yang cukup rendah belum
dimungkinkan dalam waktu yang singkat.
Di samping itu, kebijakan moneter diyakini tidak dapat
dengan seketika mempengaruhi kegiatan ekonomi. Ada
waktu tunda mulai dari suatu kebijakan ditempuh hingga
pengaruhnya pada kegiatan ekonomi riil dirasakan secara
penuh. Efek tunda ini dipengaruhi oleh bagaimana jalur dan
mekanisme yang dilalui suatu kebijakan moneter dalam
mentransmisikan pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi
di sektor riil. Mekanisme transmisi ini pada dasarnya masih sulit
diketahui secara pasti terutama dalam situasi masih
terdapatnya berbagai hambatan struktural perekonomian,
seperti fungsi intermediasi perbankan yang masih terganggu.
Lamanya efek tunda kebijakan moneter juga bervariasi
tergantung pada arah kebijakan yang sedang ditempuh,
apakah pengetatan atau pelonggaran likuiditas
perekonomian. Oleh karena itu, seberapa lama efek tunda
kebijakan moneter Bank Indonesia terhadap inflasi pada
dasarnya sulit diprediksi secara tepat. Penelitian yang pernah
dilakukan Bank Indonesia menunjukkan adanya efek tunda
kebijakan moneter dalam mempengaruhi sektor riil dan laju
inflasi.
Adanya keterbatasan kebijakan moneter tersebut
membawa implikasi perlunya jangka waktu pencapaian
sasaran melebihi satu tahun untuk memberikan ruang gerak
bagi kebijakan moneter. Oleh karena itu, di samping
menetapkan sasaran jangka pendek, ke depan Bank Indo-
nesia juga perlu menetapkan sasaran inflasi jangka menengah
untuk dicapai secara bertahap sebagai komitmen Bank In-
donesia untuk tetap mencapai dan memelihara laju inflasi
yang rendah. Sasaran inflasi jangka menengah tersebut
diharapkan menjadi acuan ekspektasi masyarakat terhadap
inflasi.
Selain dipengaruhi oleh prakiraan lamanya efek tunda
kebijakan moneter, jangka waktu pencapaian ini juga
tergantung pada seberapa rendah sasaran akhir inflasi yang
ingin dicapai dan seberapa besar pengorbanan gejolak out-
put yang dapat ditolerir untuk mencapai sasaran tersebut.
Kriteria pemilihan kombinasi sasaran inflasi dan jangka waktu
pencapaian yang optimal didasarkan pada total fluktuasi
inflasi dan fluktuasi output terendah yang akan terjadi selama
jangka waktu pencapaian suatu sasaran inflasi. Total fluktuasi
Total loss (%)
Target 6 tahun
Target 3 tahun
Target 5 tahun
3 3,5 4 4,5 5 5,5 6 6,5 7
Level target akhir (%)
0,300,330,330,320,33
1
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
0,4
0,3
0,2
0,1
0
Target 4 tahun
Grafik Optimal Path dari Inflasi
183
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
inflasi dan fluktuasi output yang bersifat trade-off ini biasa
disebut sebagai total social loss (total kerugian sosial).
Kombinasi level sasaran dan horison waktu
pencapaian yang optimal dihasilkan melalui suatu simulasi
dengan menggunakan model makroekonomi skala kecil
yang dilengkapi dengan suatu rule kebijakan moneter untuk
merespon prakiraan inflasi. Grafik optimal path dari inflasi
menunjukkan prakiraan besarnya kerugian sosial yang terjadi
untuk beberapa alternatif sasaran akhir dan jangka waktu
pencapaiannya. Total kerugian sosial yang terendah
diperkirakan dapat terjadi melalui pencapaian sasaran inflasi
5,0%-6,0% dalam tiga tahun ke depan. Kerugian sosial yang
cukup rendah juga diperkirakan dapat terjadi melalui
pencapaian sasaran inflasi 4,5%-5,5% dalam empat tahun ke
depan atau 4,0%-4,5% dalam lima tahun yang akan datang.
Mengacu pada hasil penelitian tersebut, inflasi IHK yang
dapat dijadikan sasaran jangka menengah adalah sebesar
4,0%-6,0% untuk diupayakan pencapaiannya dalam lima
tahun ke depan. Inflasi jangka menengah yang relatif rendah
tersebut diperkirakan dapat dicapai dalam jangka waktu
tersebut terutama karena kenaikan-kenaikan harga melalui
kebijakan pemerintah diperkirakan telah berkurang secara
signifikan mulai tahun 2004. Kondisi ini didukung pula oleh
tekanan harga dari sisi permintaan yang diperkirakan sudah
lebih terkendali pada periode tersebut seiring dengan
membaiknya iklim investasi sehingga kapasitas produksi
diprakirakan terus meningkat dan semakin stabilnya nilai tukar.
Di sisi lain proses disinflasi tersebut diperkirakan tidak membawa
dampak negatif pada pertumbuhan perekonomian dalam
jangka menengah.
184
Bab 10 Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2001
Boks : Obligasi Pemerintah Sebagai Alternatif Instrumen Kebijakan Moneter
bungan fiskal; (ii) bank sentral akan tergantung pada
kesinambungan supply surat berharga pemerintah,
sehingga diperlukan komitmen pemerintah; (iii) mengaki-
batkan manajemen moneter kurang terpisah dari
manajemen fiskal; dan, (iv) obligasi tidak dapat dijadikan
benchmark suku bunga jangka pendek.
Penggunaan obligasi sebagai alternatif instrumen OPT
mensyaratkan adanya persediaan awal obligasi yang harus
dimiliki oleh Bank Indonesia. Persediaan obligasi tersebut dapat
dipupuk dari berbagai sumber: (1) pembelian obligasi rekap
jenis Variable Rate Bond (VRB) dan Fixed Rate Bond (FRB) di
pasar sekunder; (2) konversi pembayaran bunga obligasi yang
dimiliki Bank Indonesia (obligasi indeksasi dan obligasi VRB kredit
program) menjadi obligasi; (3) konversi pokok obligasi indeksasi
dalam rangka program penjaminan.
Namun, saat ini Bank Indonesia menghadapi kendala
dalam memupuk persediaan obligasi. Stance kebijakan
moneter yang cenderung ketat menjadi kendala dalam
melakukan pembelian obligasi rekap di pasar sekunder. Hal
ini disebabkan pembelian obligasi rekap akan mengakibatkan
ekspansi moneter. Disamping itu, kendala lain adalah
persyaratan dalam obligasi indeksasi yang tidak dapat
dipindahtangankan dan diperdagangkan serta tatacara
pembayaran obligasi indeksasi. Untuk mengatasi kendala
tersebut, diperlukan kesepakatan antara Bank Indonesia dan
Pemerintah untuk mengubah terms and conditions obligasi
indeksasi dan obligasi kredit program yang dimiliki Bank Indo-
nesia, mengingat perubahan tersebut akan mempengaruhi
beban fiskal pemerintah.
Dengan mengatasi kendala-kendala dalam
memupuk persediaan obligasi dan dengan memiliki strategi
OPT yang menggunakan obligasi sebagai instrumen fine tun-
ing di pasar repo1) dan transaksi outright2) melalui lelang, di
masa yang akan datang diharapkan obligasi pemerintah
dapat dijadikan salah satu instrumen kebijakan moneter.
Instrumen moneter utama dalam pelaksanaan kebijakan
moneter melalui operasi pasar terbuka (OPT) adalah SBI dan
Intervensi Rupiah. Penggunaan SBI sebagai instrumen moneter
disebabkan oleh tidak tersedianya surat-surat berharga
pemerintah seperti obligasi. Namun di sisi lain, Bank Indonesia
memerlukan instrumen untuk melakukan kontraksi moneter
guna menyerap ekses likuiditas yang meningkat tajam akibat
krisis. Sebagai konsekuensi penggunaan SBI, Bank Indonesia
harus menanggung biaya diskonto SBI yang cukup besar. Biaya
yang besar tersebut dapat menimbulkan masalah terhadap
kelangsungan pelaksanaan kebijakan moneter. Untuk itu,
diperlukan instrumen alternatif untuk mengatasinya. Obligasi
yang telah diterbitkan pemerintah baik dalam rangka
rekapitalisasi perbankan maupun obligasi dalam rangka
penyehatan perbankan kepada Bank Indonesia dapat
dijadikan instrumen moneter, sepanjang pasar sekunder
obligasi pemerintah telah likuid.
Sementara itu, mayoritas bank sentral di dunia,
dalam melaksanakan kebijakan moneter melalui OPT
menggunakan surat berharga pemerintah, misalnya
obligasi pemerintah. Penggunaan obligasi pemerintah
memiliki baik keunggulan maupun kelemahan.
Keunggulan obligasi pemerintah mencakup bahwa
obligasi pemerintah dapat: (i) diterbitkan dalam jumlah
besar dengan jangka waktu yang beragam; (ii) memiliki
potensi mendorong pengembangan pasar keuangan; (iii)
menghasilkan yield curve yang dapat digunakan sebagai
reference suku bunga jangka menengah panjang dan
ekspekstasi; dan dari sisi bank sentral, (iv) akan mengurangi
biaya pelaksanaan operasi moneter yang pada gilirannya
akan berdampak positif pada kredibilitas dan efektifitas
kebijakan moneter. Di lain pihak, penggunaan obligasi
pemerintah memiliki beberapa kelemahan: (i)
ketergantungan pada kredibilitas pemerintah, sehingga
pemerintah harus menjaga kredibilitas dan kesinam-
1) Repurchase Agreement adalah jual beli bersyarat untuk membeliatau menjual kembali.
2) Outright adalah jual beli lepas tanpa kewajiban untuk membeliatau menjual kembali.
Lampiran
186
Lampiran A
BANK INDONESIA
Kantor Pusat
Kantor-Kantor Perwakilan
Jakarta
LondonNew YorkSingapura
Tokyo
Kantor-Kantor Bank Indonesia
Ambon, Balikpapan,Banda Aceh, Bandar Lampung,
Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon,Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,
Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu, Pekanbaru,
Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,
Ternate, Yogyakarta
187
Lampiran B
Gubernur
Syahril Sabirin
Dewan Gubernur Bank Indonesia
pada tanggal 31 Desember 2000
Deputi Gubernur Senior
Anwar Nasution
Deputi Gubernur
Miranda S. Goeltom
Aulia Pohan
Achwan
Achjar Iljas
Burhanuddin Abdullah
188
Lampiran C.1
Selama tahun laporan, Bank Indonesia telah mela-
kukan beberapa penyempurnaan organisasi dan pengem-
bangan sumber daya manusia (SDM). Penyempurnaan
organisasi yang telah dilakukan yaitu meliputi beberapa
satuan kerja sesuai dengan perubahan yang terjadi, seperti
perubahan teknologi, penajaman tugas, serta perubahan
beban tugas. Dalam rangka meningkatkan kualitas maupun
kuantitas penelitian bidang tugas utama Bank Indonesia
yaitu pengendalian moneter, perbankan dan sistem
pembayaran, telah dibentuk Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK).
Di samping itu, guna lebih meningkatkan kelancaran
pembayaran nasional maka pada Mei 2000 telah dibentuk
satuan kerja yang menangani Real Time Gross Settlement
(RTGS). Dengan sistem ini, Bank Indonesia mampu menye-
diakan sarana yang dapat meningkatkan dan memper-
lancar sistem pembayaran nasional. Hal ini berdampak
kepada peningkatan pelayanan perbankan kepada
nasabahnya, khususnya untuk transaksi pembayaran
nontunai dalam jumlah besar.
Dalam rangka mempersiapkan pengalihan tugas
pengawasan bank kepada lembaga independen sesuai
amanat dalam pasal 34 Undang-Undang No. 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia, telah disiapkan draft penanganan
SDM perbankan. Untuk mengantisipasi trend perkembangan
perbankan nasional dari bank konvensional menjadi bank
syariah maka telah disusun pula konsep organisasi penge-
lolaan bank syariah yang lebih terfokus.
Sejalan dengan program Pemerintah untuk meng-
implementasikan konsep Otonomi Daerah, telah dilakukan
berbagai diskusi dan seminar dengan stakeholders mengenai
implikasi Otonomi Daerah terhadap keuangan dan
perbankan daerah dalam rangka menyesuaikan tugas Bank
Indonesia bidang moneter yang akan dilaksanakan oleh
Kantor Bank Indonesia (KBI).
Guna meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas
Dewan Gubernur Bank Indonesia, telah dibentuk Staf Ahli
Dewan Gubernur dengan tugas memberikan saran/masukan
kepada Dewan Gubernur mengenai hal-hal strategis yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas Dewan Gubernur Bank
Indonesia. Di samping itu telah disusun pula Kode Etik Dewan
Gubernur Bank Indonesia yang akan menjadi pedoman bagi
anggota Dewan Gubernur dalam pelaksanaan tugasnya.
Mengingat tuntutan stakeholder agar SDM Bank Indo-
nesia lebih profesional dan berintegritas tinggi program
penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia
(MSDM) terus dilakukan. Sistem MSDM yang sangat
mendesak dan telah mencapai tahap finalisasi produk
hukum adalah Manajemen Jalur Karir Pegawai Bank Indone-
sia dan ketentuan disiplin pegawai.
Manajemen jalur karir ini bertujuan untuk memberikan
kejelasan bagi organisasi dalam menyusun perencanaan
Organisasi dan Sumber Daya Manusia
189
Jumlah Pegawai
SDM Bank Indonesia dan memberikan gambaran kepada
pegawai mengenai karirnya di masa depan. Manajemen
jalur karir ini juga diharapkan akan mampu mewujudkan
prinsip man to job fit.
Guna mempersiapkan calon pimpinan Bank Indonesia
yang handal di masa depan, saat ini juga telah disusun
sistem Rencana Suksesi Bank Indonesia (RESBI). Sistem ini akan
menyediakan pola yang jelas bagi Bank Indonesia dalam
mencetak pimpinan yang dapat memenuhi harapan semua
pihak (stakeholders).
Di bidang Sistem Informasi Sumber Daya Manusia
(SIMASDAM) telah dilakukan penyempurnaan yang
berkaitan dengan akurasi data dan informasi untuk mem-
peroleh data yang lengkap, akurat, terkini dan utuh guna
menunjang pengambilan keputusan oleh Dewan
Gubernur.
Akhir Kantor Kantor Kantor
No. Tahun Anggaran Pusat Bank Indonesia Perwakilan Jumlah
di Daerah
1. 1997/1998 3.341 2.882 671) 6.290
2. 1998/1999 3.299 2.852 21 6.172
3. 1999/2000 3.068 2.601 17 5.686
4. 20002) 3.056 2.498 17 5.571
1) Termasuk petugas belajar jangka panjang.2) Data per 31 Desember 2000
190
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : Ny. Ratnawati Priyono
Direktorat Pengelolaan Moneter : Tarmiden Sitorus (pejabat sementara)
Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada
Direktorat Luar Negeri : Nana Supriana
Biro Kredit : Abdul Azis
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : Djoko Sarwono
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : Imam Sukarno
Direktorat Pengawasan Bank 1 : Ny. Siti Ch. Fadjriah S.
Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Nelson Tobing (pejabat sementara)
Direktorat Pengawasan Bank 2 : R. Maulana Ibrahim
Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Ardhayadi M.
Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam
Direktorat Pengedaran Uang : Adi Putra Hasan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Harmain Salim (pejabat sementara)
Direktorat Logistik dan Pengamanan : M. Ashadhi
Direktorat Teknologi Informasi : Octo R. Nasution
Direktorat Sumber Daya Manusia : Baridjussalam Hadi
Direktorat Keuangan Intern : Bun Bunan E.J. Hutapea
Direktorat Hukum : R. Moh. Sis. Abadi S.
Direktorat Pengawasan Intern : Bachri Ansjori
Biro Gubernur : Halim Alamsyah S.
Biro Sekretariat : Nn. Roswita Roza
Unit Khusus Investigasi Perbankan : Bambang Setijoprodjo
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Bambang S. Wahyudi
Perwakilan Singapura : Kemas A. Sjarifuddin
Perwakilan Tokyo : Djakaria
Perwakilan London : Maman H. Somantri
Perwakilan New York : Aslim Tajuddin
Kantor Pusat
Kantor Perwakilan
191
Kelas I
Kantor Bank Indonesia Bandung : Maskan IskandarKantor Bank Indonesia Medan : S. Budi RochadiKantor Bank Indonesia Semarang : Azis SanuriKantor Bank Indonesia Surabaya : Wiwiek Sudibyo
Kelas II
Kantor Bank Indonesia Bandar Lampung : ImrandaniKantor Bank Indonesia Banjarmasin : SuryantoKantor Bank Indonesia Denpasar : Ilham IkhsanKantor Bank Indonesia Manado : M. Djaelani S.Kantor Bank Indonesia Padang : Aris AnwariKantor Bank Indonesia Palembang : Langka ArdimudinarKantor Bank Indonesia Makassar : Tjarlis GafarKantor Bank Indonesia Yogyakarta : Ny. Hirawati Suherman
Kelas III
Kantor Bank Indonesia Ambon : M. Yusuf Oesep W.Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir KatinKantor Bank Indonesia Cirebon : DjatiwalujoKantor Bank Indonesia Jambi : Ade N. RachmanaKantor Bank Indonesia Jayapura : Norman JohnKantor Bank Indonesia Malang : M. Zaeni Aboe AminKantor Bank Indonesia Mataram : Satria MulyaKantor Bank Indonesia Pekan Baru : C.Y. BoestalKantor Bank Indonesia Pontianak : Amin SisworoKantor Bank Indonesia Samarinda : Sarman Bona SihotangKantor Bank Indonesia Solo : Suwondo
Kantor Bank Indonesia
192
Kelas IV
Kantor Bank Indonesia Balikpapan : Erman KurnandiKantor Bank Indonesia Kupang : Budiman UsmanKantor Bank Indonesia Jember : SunaryoKantor Bank Indonesia Kediri : Budhi SantosoKantor Bank Indonesia Purwokerto : SumarnoKantor Bank Indonesia Tasikmalaya : SunarkoKantor Bank Indonesia Palangkaraya : MoenandarKantor Bank Indonesia Bengkulu : Cheppy SumawijayaKantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad DakhlanKantor Bank Indonesia Palu : Moch. Zaenal Alim
Kelas V
Kantor Bank Indonesia Batam : Bistok W. RitongaKantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin EffendiKantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fauzi AbubakarKantor Bank Indonesia Ternate : Tri Selo
Kantor Bank Indonesia
DEWAN GUBERNUR
DKM
Tim
IDWB1
KasT
Pd
PAPU
KasK
PrKeu
LKeu
GE
OPU
PPU
PTPU
Admp
AkR
DR
APD
PTD
Admv
SMon
SNP
SRKP
PDIE
Adms
APLN
PLN
EXIM
KEPI
PAdk
Tim
AkDv
KlJ
PrOS
PgKP
PPbP
DSM DPM DPD DLN BKr DPIP DPwB1 DPwB2 DASP DLP DTI DSDM DKIDPBPR DPU
Tim
IDWB2
Tim Tim
IDBPR
Mdn
Bna
Lsm
Sbg
Pdg
Pbr
Jb
Bn
Btm
Bd
Pg
Bdl
Cn
Tsm
Sm
Yk
Slo
Pwt
Sb
Dpr
Ml
Mtr
Kpa
Kd
Jr
Bjm Mks
Mo
Kdi
Ab
Jap
Pal
Tt
APK
SPPK
SSR
SEI
PRAd
SEM
PSPN
BSk
Ars
ProTim
IDMB1
DPmB1 DPmB2
IDMB2
DPI
Tim
BGub
Tim
AdPI
DHk
Tim
NY Lnd Tky Sn
Ang
PmTI
PDE
PPTI
PgL-I
PgL-II
PgJ
Pam
PrLJ
DPNP
UKIP
PNPB
Tim
IDPnP
DtB
Prz
Tim
IDPiP
Deputi Gubernur Senior
Deputi-Deputi Gubernur
Gubernur
Ptk
Bpp
Plk
Smr
PTR
PPSK
PPr
Kel.
STRUKTUR ORGANISASI BANK INDONESIA
Lampiran C.2
193
194
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER DKM1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan APK2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan SPPK3. Bagian Studi Ekonomi Makro SEM4. Bagian Studi Sektor Riil SSR5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional SEI6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi PRAd
DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER DSM1. Bagian Statistik Moneter SMon2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran SNP3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah SRKP4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter PDIE5. Bagian Administrasi Adms
DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER DPM1. Bagian Operasi Pasar Uang OPU2. Bagian Pengembangan Pasar Uang PPU3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang PTPU4. Bagian Administrasi Admp
DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA DPD1. Dealing Room DR2. Bagian Analisis Pengelolaan Devisa APD3. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa PTD4. Bagian Administrasi Amdv
DIREKTORAT LUAR NEGERI DLN1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri APLN2. Bagian Pinjaman Luar Negeri PLN3. Bagian Ekspor Impor EXIM4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional KEPI5. Bagian Administrasi Adml
BIRO KREDIT BKr1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit PAdk2. Tim Penelitian dan Pengembangan -
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN DPNP1. Tim-tim -
a. Tim Pengaturan Bankb. Tim Pengembangan Pengawasan Bank
2. Biro Penelitian Perbankan PNPB3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian dan Pengaturan Perbankan IDPnP
1) SE No.2/27/INTERN tgl. 7 Juli 2000
Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia1)
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
195
DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN DPIP1. Tim-tim -
a. Tim Bank Dalam Likuidasib. Tim Penjaminan
2. Bagian Data Perbankan DtB3. Bagian Perizinan Prz4. Bagian Informasi dan Dokumentasi Perizinan dan Informasi Perbankan IDPiP
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 1 DPwB11. Tim-tim Pengawas -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1 IDPWB1
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 1 DPmB11. Tim-tim Pemeriksa -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1 IDMB1
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 2 DPwB21. Tim-tim Pengawas -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2 IDWB2
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 2 DPmB21. Tim-tim Pemeriksa -2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2 IDMB2
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DPBPR1. Tim-tim -
a. Tim Pengawasb. Tim Pemeriksa
2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR IDBPR
DIREKTORAT PENGEDARAN UANG DPU1. Bagian Kas Thamrin KasT2. Bagian Pengedaran Pd3. Bagian Perencanaan, Pembinaan dan Administrasi Pengedaran Uang PAPU4. Bagian Kas Kota KasK
DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran PSPN2. Bagian Akunting Rupiah AkR3. Bagian Akunting Devisa AkDv4. Bagian Kliring Jakarta KlJ5. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah PTR
DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN DLP1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa PrlJ2. Bagian Pengelolaan Logistik I PgL-I3. Bagian Pengelolaan Logistik II PgL-II4. Bagian Pengelolaan Jasa PgJ5. Bagian Pengamanan Pam
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
XVI.
196
DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI DTI1. Bagian Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi PPTI2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi PmTI3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis PDE
DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DSDM1. Biro Perencanaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia PrOS2. Bagian Pengembangan Karir Pegawai PgKP3. Bagian Penerimaan dan Pembinaan Pegawai PPbP
DIREKTORAT KEUANGAN INTERN DKI1. Bagian Perencanaan Keuangan PrKeu2. Bagian Laporan Keuangan LKeu3. Bagian Gaji dan Emolumen GE4. Bagian Anggaran Ang
DIREKTORAT HUKUM DHk1. Tim-tim -
a. Tim Penasehat Hukumb. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukumc. Tim Enquiry Point
BIRO SEKRETARIAT BSk1. Bagian Protokol Pro2. Bagian Arsip Ars
DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN DPI1. Tim-tim -
a. Tim Pengembangan Pengawasan Internb. Tim Analisis Ketentuanc. Tim Pengawasan Intern
2. Bagian Administrasi dan Informasi AdPI
BIRO GUBERNUR BGub1. Tim-tim -
a. Perencanaan dan Pemantauanb. Tim Hubungan Masyarakatc. Staf Gubernur
UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN UKIP1. Tim-tim Investigasi -
PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN PPSK1. Kelompok Pengembangan dan Monitoring Program -2. Kelompok Peneliti -3. Bagian Pelaksanaan Program PPr
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
XVII.
XVIII.
XIX.
XX.
XXI.
XXII.
XXIII.
XXIV.
XXV.
197
Nama Satuan Kerja Singkatan
Kantor Perwakilan Bank Indonesia1. New York NY2. London Lnd3. Tokyo Tky4. Singapore Sn
Kantor Bank Indonesia1. Ambon Ab2. Balikpapan Bpp3. Banda Aceh Bna4. Bandar Lampung Bdl5. Bandung Bd6. Banjarmasin Bjm7. Batam Btm8. Bengkulu Bn9. Cirebon Cn10. Denpasar Dpr11. Jayapura Jap12. Jambi Jb13. Jember Jr14. Kediri Kd15. Kendari Kdi16. Kupang Kpa17. Lhokseumawe Lsm18. Makassar Mks19. Malang Ml20. Mataram Mtr21. Medan Mdn22. Menado Mo23. Padang Pdg24. Palangkaraya Plk25. Palembang Pg26. Palu Pal27. Pekanbaru Pbr28. Pontianak Ptk29. Purwokerto Pwt30. Samarinda Smr31. Semarang Sm32. Sibolga Sbg33. Solo Slo34. Surabaya Sb35. Tasikmalaya Tsm36. Ternate Tt37. Yogyakarta Yk
198
Lampiran D.1
Neraca Bank Indonesiaper 31 Desember 20001)
(Miliar Rupiah)
Pasiva
KEWAJIBAN1. Uang dalam peredaran 89.704
2. Giro
A. Pemerintah 91.298
– Dalam rupiah 61.677
– Dalam valuta asing 29.621
B. Bank 41.313
– Dalam rupiah 33.677
– Dalam valuta asing 7.636
C. Pihak swasta lainnya 6.485
– Dalam rupiah 6.283
– Dalam valuta asing 202
D. Lembaga keu. internasional 105.135
– Dalam rupiah 105.135
– Dalam valuta asing 0
3. Surat berharga yang diterbitkan 78.673
A. Dalam rupiah 78.673
B. Dalam valuta asing 0
4. Pinjaman dari pemerintah 27.531
A. Dalam rupiah 336
B. Dalam valuta asing 2.165
C. Surat utang Bank Indonesia 25.030
5. Pinjaman luar negeri 18.990
6. Kewajiban lain-lain 1.299
JUMLAH KEWAJIBAN 460.429
EKUITAS1. Modal 2.606
2. Cadangan umum 6.431
3. Cadangan tujuan 2.756
4. Hasil revaluasi aktiva tetap 4.767
5. Hasil revaluasi kurs dan SSB 79.954
6. Hasil indeksasi SUP 18.818
7. Hasil indeksasi SUBI (476)
8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya 1.773
9. Surplus (defisit) tahun berjalan 2.547
JUMLAH EKUITAS 119.175
JUMLAH KEWAJIBAN DAN EKUITAS 579.604
Aktiva
1. Emas 8.170
2. Uang asing 794
3. Hak tarik khusus 306
4. Giro 5.151
A. Bank Sentral 2.950
B. Bank Koresponden 2.201
5. Deposito pada Bank Koresponden 61.538
6. Surat berharga 217.662
A. Dalam rupiah 0
B. Dalam valuta asing 217.662
7. Tagihan
A. Kepada pemerintah 279.185
– Dalam rupiah 279.061
– Dalam valuta asing 124
B. Kepada bank 20.532
– Dalam rupiah 18.803
– Dalam valuta asing 1.729
C. Kepada lainnya 7.279
– Dalam rupiah 7.279
– Dalam valuta asing 0
8. Penyisihan kerugian aktiva (27.383)
9. Penyertaan 0
10. Aktiva lain-lain 6.369
JUMLAH AKTIVA 579.604
1) Belum diaudit. Laporan Keuangan Bank Indonesia Tahun 2000 yang lengkap telah disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat RepublikIndonesia pada tanggal 31 Januari 2001 dalam rangka memnuhi pasal 61 UU No.23 tahun 1999
199
PENERIMAAN
1. Pengelolaan Moneter 46.907
A. Pengelolaan Devisa 35.443
B. Kegiatan Pasar Uang 52
C. Pemberian Kredit dan Pembiayaan 11.412
2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran 39
3. Pengaturan Perbankan 33
4. Lainnya 3.093
A. Penerimaan Lainnya 162
B. Pemulihan Penyisihan Aktiva 2.931
Jumlah Penerimaan 50.072
PENGELUARAN
1. Biaya Pengendalian Moneter (19.681)
A. Beban Perumusan dan Pelaksanaan
Kebijakan Moneter (11.890)
B. Beban Pengelolaan Devisa (7.791)
2. Beban Sistem Pembayaran (721)
A. Beban Pengedaran Uang (696)
B. Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran (25)
3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank (132)
4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (2.436)
A. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (2.253)
B. Beban Penyusutan Aktiva Tetap (183)
Jumlah Pengeluaran (22.970)
Surplus (Defisit) Sebelum Pos Luar Biasa 27.102
Saldo Surplus penyesuaian Due Dilligence Neraca Awal –
Beban karena Pos Luar Biasa (24.554)
SURPLUS (DEFISIT) 2.547
Lampiran D.2
Laporan Surplus DefisitPeriode 1 Januari – 31 Desember 2000
(Miliar Rupiah)
200
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Bank Indonesia mengeluarkan peraturan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test).
Penilaian kemampuan dan kepatutan tersebut dilakukan
terhadap pemegang saham pengendali, pengurus, dan
pejabat eksekutif bank. Dijelaskan juga bahwa penilaian
tersebut dilakukan secara berkala atau setiap waktu
apabila dianggap perlu oleh Bank Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai
perhitungan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor
dan bea balik nama kendaraan bermotor tahun 2000.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai kebijakan
restrukturisasi dan penyelesaian pinjaman bagi debitur di
BPPN.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
penatausahaan dan perdagangan obligasi pemerintah.
Beberapa hal yang diatur dalam ketentuan tersebut antara
lain fungsi Bank Indonesia dalam kaitan tersebut,
pencatatan kepemilikan, kliring, setelmen obligasi, tata cara
perdagangan, pengawasan dan pelaporan.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
pengalihan pengelolaan Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI) dalam rangka kredit program. Di dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa pengelolaan KLBI dalam rangka
kredit program (KLBI) dialihkan kepada Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) yang telah ditunjuk oleh Pemerintah, yaitu:
2000Januari
14
14
20
21
Februari
1
PBI No. 2/1/2000
SK Mendagri No.1 tahun
2000
Kep. Menko Ekuin No. Kep.
01.A/M.EKUIN/01/2000
PBI No.2/2/2000
PBI No. 2/3/2000
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Lampiran E
BERBAGAI KETENTUAN DAN KEBIJAKAN PENTINGDI BIDANG EKONOMI DAN KEUANGAN TAHUN 2000
201
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
1. PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero);
2. PT. Bank Tabungan Negara (Persero);
3. PT. Permodalan Nasional Madani (Persero).
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/3/PBI/
1999 tentang Penyelenggaraan Klir ing Lokal dan
Penyelesaian Akhir Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas
Hasil Klir ing Lokal. Bahwa dengan telah diberikannya
kesempatan bagi bank konvensional untuk membuka kantor
cabang yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah maka diperlukan pengaturan tambahan yang
berkaitan dengan keikutsertaan bank tersebut dalam kliring
lokal.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan
upah minimum regional pada 26 (dua puluh enam) propinsi
di Indonesia dan upah minimum sektoral regional di 20 (dua
puluh) propinsi di Indonesia.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai penye-
diaan dana oleh bank yang dijamin bank lain. Penyediaan
Dana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah
penanaman dana bank baik dalam rupiah maupun valuta
asing, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan
dana antarbank, termasuk komitmen dan kontinjensi.
Selanjutnya juga diatur bahwa Bagian Penyediaan Dana
kepada pihak terkait untuk setiap peminjam atau kelompok
peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak diperhitungkan
dalam ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit dengan
jumlah setinggi-tingginya sebesar 90% (sembilan puluh
perseratus) dari Modal Bank. Bagian Penyediaan Dana
kepada pihak tidak terkait untuk setiap peminjam atau
kelompok peminjam yang dijamin oleh bank lain tidak
diperhitungkan dalam ketentuan Batas Maksimum Pem-
11
18
21
PBI No. 2/4/2000
SK Menaker No.Kep-20/
Men/2000
PBI No. 2/5/2000
202
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
21
23
23
berian Kredit dengan jumlah setinggi-tingginya sebesar :
a. 70% (tujuh puluh perseratus) dari Modal Bank sampai
dengan akhir tahun 2001;
b. 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari Modal Bank
selama tahun 2002;
c. 80% (delapan puluh perseratus) dari Modal Bank sejak
tanggal 1 Januari 2003.
Bank lain yang menjamin Penyediaan Dana wajib
memenuhi persyaratan memiliki :
a. peringkat investasi; dan
b. total aset yang termasuk dalam peringkat 200 (dua
ratus) besar dunia.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
persyaratan dan tata cara pemeriksaan bank.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai Giro
Wajib Minimum (GWM) dalam rupiah dan valuta asing bagi
bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah. Bahwa dengan telah berkembangnya sistem
perbankan berdasarkan prinsip syariah, kewajiban
pemeliharaan GWM perlu diberlakukan pula bagi bank
umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah. GWM dalam rupiah ditetapkan sebesar 5% (lima
perseratus) dari dana pihak ketiga (DPK) bank dalam ru-
piah. Sedangkan GWM dalam valuta asing ditetapkan
sebesar 3% (tiga perseratus) dari DPK Bank dalam valuta
asing. Pemenuhan persentase GWM dilakukan secara
harian pada saat Bank Indonesia menutup sistem akunting.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai perubahan
tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang
berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di
bidang Pertambangan Umum.
PBI No. 2/6/2000
PBI No. 2/7/2000
PP No.13 Tahun 2000
203
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai pasar
uang antar bank berdasarkan prinsip syariah.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia. Dengan berkembangnya bank
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah dan dalam rangka pelaksanaan pengendalian
moneter, maka perlu diciptakan piranti moneter yang
sesuai dengan prinsip syariah dalam bentuk Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai persyaratan
impor kendaraan bermotor dalam keadaan utuh (CBU).
Pemerintah mengeluarkan keputusan mengenai pemben-
tukan Tim Penanggulangan Masalah Utang-Utang Perusa-
haan Swasta Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemben-
tukan Tim Monitoring Bank Umum Peserta Rekapitalisasi.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan
harga patokan ekspor kelapa sawit, minyak kelapa sawit,
dan produk turunannya.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai
pembagian hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Di dalam ketentuan tersebut diatur bahwa hasil PBB dibagi
untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan perimbangan
sebagai berikut:
a) 10% untuk Pemerintah Pusat;
b) 90% untuk Daerah.
PBI No. 2/8/2000
PBI No. 2/9/2000
Kep. Memperindag No.49/
MPP/Kep/2/2000
Keppres No. 32 tahun 2000
Keputusan Menkeu No.51/
KMK.017/2000
Surat Dirjen Perdagangan
Luar Negeri N0.25/DJPLN/
II/2000
PP No.16 Tahun 2000
23
23
25
26
28
29
Maret
10
204
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Jumlah 90% yang merupakan bagian Daerah diperinci
sebagai berikut:
a) 16,2% untuk Daerah Propinsi yang bersangkutan;
b) 64,8% untuk Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan;
c) 9% untuk Biaya Pemungutan.
Pengesahan UU No.2 tahun 2000 tentang Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2000.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan
upah minimum regional Propinsi Kalimantan Timur.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan
upah minimum regional Propinsi Sulawesi Tengah
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1/10/PBI/1999
tentang Portofolio Obligasi Pemerintah Bagi Bank Umum
Peserta Program Rekapitalisasi.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan
tarif cukai dan harga dasar hasil tembakau.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai keringanan
bea masuk bahan baku/subkomponen/bahan penolong
untuk pembuatan elektronika.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
penetapan status bank dan penyerahan bank kepada
Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini, diantaranya mengatur
tentang penetapan Bank Dalam Pengawasan Khusus (Spe-
cial Surveillance), penetapan Bank dengan Status Bank
Dalam Penyehatan (BDP) dan penyerahannya kepada
BPPN, penetapan bank dengan Status Bank Beku Kegiatan
21
21
21
29
29
31
31
UU No. 2 tahun 2000
Kep. Menaker No.Kep.35/
MEN/2000
Kep. Menaker No.Kep.37/
MEN/2000
PBI No. 2/10/2000
Kep. Menkeu No.89/KMK.
05/2000
Kep. Menkeu No.98/KMK.
05/2000
PBI No. 2/11/2000
205
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Usaha (BBKU) dan penyerahannya kepada BPPN, serta
pengaturan kriteria dan prosedur penetapan bank yang
tidak ikut serta dalam program penjaminan pemerintah. PBI
dimaksud juga mengatur penyerahan bank kepada BPPN
oleh karena sebab lainnya, yaitu apabila bank memiliki
aktiva produktif bermasalah yang akan diselesaikan melalui
pengalihan kepada BPPN dan terdapat kesepakatan
antara Bank Indonesia, BPPN dan pemegang saham untuk
mengalihkan aktiva produktif bermasalah tersebut.
Secara lebih rinci, PBI tersebut antara lain menetapkan
bahwa suatu bank masuk kelompok Bank Dalam
Pengawasan Khusus (special surveillance) apabila atas
dasar penilaian Bank Indonesia suatu bank mengalami
kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya
yang tercermin antara lain pada Rasio Kewajiban
Penyediaan Modal Minimum (CAR) kurang dari 4% dan/atau
non performing loan (NPL) lebih besar dari atau sama
dengan 35% dari total kredit. Adapun jangka waktu
pengawasan khusus (special surveillance) adalah 6 (enam)
bulan untuk bank go public dan 3 (tiga) bulan untuk bank
non-go public. Sementara itu, penetapan bank dengan sta-
tus BDP dan penyerahannya ke BPPN didasarkan pada
kriteria apabila jangka waktu pengawasan khusus (special
surveillance) telah terlampaui dan CAR kurang dari 4%
namun dinilai bank yang bersangkutan dapat memenuhi
persyaratan, diantaranya CAR dapat ditingkatkan menjadi
8% pada akhir 2001, dapat menyelesaikan pelampauan dan
atau pelanggaran Batas Maksimum Pemberian Kredit
(BMPK), dan dapat menurunkan NPL menjadi 5% dari total
kredit pada akhir 2001. Jangka waktu penanganan oleh
BPPN bagi bank dengan status BDP tersebut adalah 18
bulan. Sedangkan penyerahan suatu bank dengan status
BBKU kepada BPPN didasarkan atas 2 (dua) kriteria, yaitu
walaupun jangka waktu pengawasan khusus (special surveil-
206
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
lance) belum terlampaui, namun bank tersebut memiliki
CAR kurang dari 2% dan dinilai tidak dapat ditingkatkan
menjadi 8% per akhir 2001 atau Giro Wajib Minimum (GWM)
dalam rupiah lebih kecil dari 0% dan tidak dapat diselesaikan;
dan kriteria kedua adalah bahwa jangka waktu pengawasan
khusus sudah terlampaui dan CAR lebih kecil dari 4%, kondisi
bank tidak mengalami perbaikan dan tidak memenuhi
persyaratan BDP. Jangka waktu penanganan BBKU oleh BPPN
adalah 2 (dua) tahun.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
ketiga atas PP No.17 tahun 1999 tentang Badan Penye-
hatan Perbankan Nasional.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan
perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
tarif bea meterai dan besarnya batas pengenaan harga
nominal yang dikenakan bea meterai.
Pengesahan UU No.3 tahun 2000 tentang perubahan atas
UU No.7 tahun 1999 tentang Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara Tahun Anggaran 1999/2000.
Bank Indonesia (BI) bersama Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) telah mengakhiri status BDP-
BTO PT Bank Central Asia, Tbk (BCA). BCA dimasukkan ke
dalam program penyehatan BPPN pada Mei 1998 sebagai
Bank Take Over. Selama proses penyehatan di bawah
BPPN, BCA telah dapat mengembalikan kinerjanya dari
posisi rugi yang sangat besar menjadi laba.
Pemerintah yang diwakili BPPN sebagai pemegang
mayoritas BCA akan melanjutkan langkah berikutnya, yaitu
PP No. 18 tahun 2000
PP No. 20 tahun 2000
PP No. 24 tahun 2000
UU No. 3 tahun 2000
31
April
7
24
26
27
207
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
program divestasi atas saham Pemerintah di BCA. Proses
divestasi tersebut, saat ini sedang berlangsung melalui Initial
Public Offering (IPO) BCA.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai keringanan
bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan dalam
rangka pembangunan/pengembangan industri/industri
jasa.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi
sebagai daerah otonom.
Bank Indonesia mulai Mei 2000 akan menyajikan data
cadangan devisa per 30 April 2000 dengan menggunakan
konsep terakhir dari Special Data Dissemination Standards,
yaitu yang disebut International Reserve and Foreign Cur-
rency Liquidity (IRFCL). Standar ini dipergunakan oleh
negara-negara anggota IMF, yang dipelopori oleh negara-
negara G7. Konsep baru ini mengubah cara perhitungan
cadangan devisa dari konsep yang selama ini digunakan,
yaitu Gross Foreign Assets (GFA).
Perbedaan antara konsep IRFCL dan GFA terletak pada
klasifikasi aset dan nilai konversi terhadap mata uang lain
(cross rate) yang digunakan. Aset yang tercakup dalam
konsep IRFCL diklasifikasikan sebagai aset yang likuid
(sampai dengan satu tahun) dan mudah diperdagangkan.
Cross rate yang dipergunakan, yang semula atas dasar kurs
tanggal 31 Maret 1998 dalam perhitungan Net International
Reserves (NIR), pada konsep yang baru diubah menjadi atas
dasar kurs pasar (current market rate). Kedua perubahan
mendasar ini akan menyebabkan angka cadangan devisa
bersih (NIR) Indonesia menjadi lebih rendah dibandingkan
dengan data yang dipublikasikan selama ini.
Kep. Menkeu No.135/KMK.
05/2000
PP No. 25 tahun 2000
Siaran Pers BI No. 2/79/
BGub/Humas
Mei
1
6
15
208
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
16
16
25
26
30
Juni
2
PBI No. 2/12/2000
PBI No.2/13/2000
Kep. Menperindag
No. 174/MPP/KEP/5/2000
Keputusan Menkeu
No.179/KMK.017/2000
Keputusan Menkeu
No.187/KMK.01/2000
Kep. Menperindag
No.192/MPP/KEP/6/2000
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
jaminan pinjaman luar negeri antar bank. Jaminan Bank
Indonesia diberikan kepada kreditur dalam hal bank tidak
dapat memenuhi kewajibannya maksimal sebesar pokok
dan bunga Pinjaman Luar Negeri Antar Bank serta biaya-
biaya lain sebagaimana diatur dalam Master Loan Agree-
ment (MLA). Jaminan Bank Indonesia berlaku sesuai
dengan jangka waktu angsuran Pinjaman Luar Negeri Antar
Bank yaitu 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat), 5 (lima) dan
6 (enam) tahun sejak pinjaman dipertukarkan menjadi
pinjaman baru.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
jaminan pembiayaan perdagangan internasional. Dalam
rangka meningkatkan kegiatan ekonomi nasional
khususnya kegiatan perdagangan internasional, Bank Indo-
nesia untuk dan atas nama Pemerintah menerbitkan Letter
of Guaranty untuk menjamin pembiayaan perdagangan
internasional yang dilakukan oleh bank.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai ketentuan
kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
persyaratan, tata cara dan ketentuan pelaksanaan
jaminan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran
bank umum.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
perubahan klasifikasi dan penurunan tarif bea masuk atas
impor beberapa produk tertentu.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
perubahan Kep. Memperindag No.230/MPP/KEP/7/1997
209
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
PP No. 34 tahun 2000
PBI No.2/14/2000
PBI No.2/15/2000
tentang barang yang diatur tata niaga impornya
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan
Kep. Memperindag No.50/MPP/KEP/2/1999 mengenai per-
ubahan ketentuan impor kendaraan bermotor dalam
keadaan utuh (CBU).
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
(PERURI).
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan kedua atas PBI No.1/3/PBI/1999 tentang
Penyelenggaraan Kliring Lokal dan Penyelesaian Akhir
Transaksi Pembayaran Antar Bank Atas Hasil Kliring Lokal.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan SK Dir.BI No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 Novem-
ber 1998 tentang Restrukturisasi Kredit.
Penyelesaian pelampauan BMPK yang semula harus
diselesaikan oleh perbankan dalam waktu 9 bulan sejak
Desember 1998, diperpanjang menjadi selambat-
lambatnya pada akhir Mei 2001. Sedangkan untuk kredit
yang direstrukturisasi melalui mediasi lembaga resmi seperti
Prakarsa Jakarta dan/atau Satgas Restrukturisasi Bank Indo-
nesia, batas waktu penyelesaiannya diperpanjang
selambat-lambatnya pada akhir Desember 2002. Sebagai
komponen perhitungan CAR, Bank Indonesia dalam
perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Resiko (ATMR) untuk
Aktiva Produktif yang digolongkan Dalam Perhatian Khusus
(DPK), Kurang Lancar (KL), Diragukan (D), dan Macet (M)
dilakukan dengan memperhitungkan Penyisihan
Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang telah dibentuk
(Nilai Buku). Semula perhitungan ATMR tidak
7
9
12
210
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
12
26
26
28
30
memperhitungkan PPAP yang telah dibentuk. Perubahan
ketentuan ini mengikuti standar yang telah diberlakukan
Bank for International Settlement (BIS) yang menerapkan
penggunaan nilai buku Aktiva Produktif dalam perhitungan
ATMR.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan SK Dir.BI No.31/177/KEP/DIR tanggal 31
Desember 1998 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit
Bank Umum.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
upah minimum regional Propinsi DKI Jakarta yaitu yang
semula Rp286.000 menjadi Rp344.257
Penundaan berlakunya PP no.39 tahun 1998 tentang
perlakuan wajib pajak pertambahan nilai dan pajak atas
barang mewah di kawasan berikat (bonded zone) daerah
industri Pulau Batam
Surat Edaran Bank Indonesia mengenai perubahan atas
marjin suku bunga simpanan pihak ketiga yang dijamin
pemerintah. Ditetapkan bahwa marjin suku bunga
simpanan pihak ketiga dalam rangka rupiah dan valas yang
dijamin pemerintah, yaitu:
1. marjin suku bunga simpanan pihak ketiga dalam Rupiah
sebesar 200 (dua ratus) basis point.
2. marjin suku bunga simpanan pihak ketiga dalam valas
sebesar 100 (seratus) basis point.
Bank Indonesia secara bertahap akan menarik uang
pecahan Rp50.000,00 seri Soeharto. Namun demikian uang
pecahan Rp50.000,00 seri Soeharto masih tetap berlaku
sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Uang
Rp50.000,00 seri Soeharto sudah diedarkan Bank Indonesia
PBI No.2/16/2000
SK Menaker No.KEP-185/
MEN/2000
PP No.45 tahun 2000
SE BI No.2/17/DPNP
Siaran Pers BI No. 2/ 109 /
BGub/Humas
211
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
30
Juli
20
20
Agustus
4
sejak 1993 dan sebagai pengganti dari seri tersebut, Bank In-
donesia sejak 1999 telah mengeluarkan uang Rp50.000,00 seri
W.R. Soepratman. Penarikan bertahap oleh Bank Indonesia
dilakukan dengan tidak mengedarkan kembali seri Soeharto
yang masuk ke Bank Indonesia dan menggantinya dengan
seri W.R. Soepratman.
Sebagai kelanjutan dari program transformasi Bank Indone-
sia, maka mulai 3 Juli 2000, Bank Indonesia membentuk
sebuah badan penelitian yang disebut Pusat Pendidikan dan
Studi Kebanksentralan. Badan yang disingkat PPSK ini akan
lebih memfokuskan pada pengembangan kemampuan
sumber daya manusia di Bank Indonesia dan pelaksanaan
penelitian di bidang keilmuan yang terkait dengan
pelaksanaan tugas Bank Indonesia. Jika selama ini seluruh
riset yang dilaksanakan Bank Indonesia lebih terfokus pada
penentuan dan pelaksanaan kebijakan, maka PPSK
mempunyai tujuan untuk lebih meningkatkan keahlian
dalam bidang moneter, perbankan dan sistem pembayaran.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
pengeluaran dan pengedaran serta pencabutan dan
penarikan uang rupiah. Beberapa hal yang diatur dalam
ketentuan tersebut antara lain tentang pengeluaran uang,
pengedaran uang, pencabutan dan penarikan uang dari
peredaran dan lain-lain.
Pencabutan dan penarikan dari peredaran uang kertas
pecahan Rp10.000,00 Tahun Emisi 1992, Rp20.000,00 Tahun
Emisi 1992 dan 1995, Rp50.000,00 Tahun Emisi 1993 dan 1995,
serta Rp50.000,00 Plastik Tahun Emisi 1993.
Perhitungan anggaran negara tahun anggaran 1998/1999.
SE No.2/24/Intern
PBI No.2/17/2000
PBI No.2/18/2000
UU No.22 tahun 2000
212
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
persyaratan dan tata cara pemberian perintah atau izin
tertulis membuka rahasia bank. Ketentuan ini antara lain
mengatur ketentuan bahwa bank wajib merahasiakan
segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan
mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan Nasabah
tidak berlaku bagi:
1. kepentingan perpajakan;
2. penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/
Panitia Urusan Piutang Negara;
3. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
4. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara
Bank dengan Nasabahnya;
5. tukar menukar informasi antar Bank;
6. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah
Penyimpan yang dibuat secara tertulis;
7. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah
Penyimpan yang telah meninggal dunia.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
Kep. Menkeu No.891/KMK.05/2000 tentang penetapan tarif
cukai dan harga dasar hasil tembakau.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan
besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk
turunannya. Dalam keputusan tersebut antara lain
ditetapkan tarif pajak ekspor CPO sebesar 5%.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai fasilitas
pendanaan jangka pendek bagi bank umum. Untuk
mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek, Bank Indo-
nesia sebagai lender of the last resort dapat memberikan
September
7
11
12
12
PBI No.2/19/2000
SK Menkeu No.378/KMK.
05/2000
SK Menkeu No.387/KMK.
017/2000
PBI No.2/20/2000
213
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
15
18
19
kredit kepada bank umum yang dijamin dengan agunan
berkualitas tinggi dan mudah dicairkan.
Bank Indonesia terhitung sejak tanggal 14 September 2000
sampai adanya pemberitahuan lebih lanjut menghentikan
sementara PT Bank Hanvit Indonesia sebagai peserta kliring
lokal sehubungan dengan penutupan kantor bank tersebut
akibat ledakan bom di area parkir Gedung Bursa Efek
Jakarta (Gedung BEJ) pada 13 September 2000.
Penghentian sementara tersebut merupakan jawaban Bank
Indonesia atas surat PT Bank Hanvit Indonesia kepada Bank
Indonesia. Dalam surat dimaksud pimpinan bank
bersangkutan menyampaikan pemberitahuan bahwa
kantor PT Bank Hanvit Indonesia yang terletak di Gedung
BEJ tidak dapat melakukan kegiatan perbankan
sebagaimana mestinya, sehingga ditutup untuk umum serta
tidak dapat mengikuti kegiatan klir ing sampai ada
pemberitahuan lebih lanjut. Penutupan kantor ini dilakukan
menyusul kejadian ledakan bom yang mengakibatkan
seluruh aktivitas di Gedung BEJ ditutup untuk umum oleh
pihak pengelola gedung.
Bank Indonesia terhitung sejak kegiatan Kliring Penyerahan
Nominal Besar pada hari Jumat, 15 September 2000 telah
mengikutsertakan kembali PT Bank Hanvit Indonesia dalam
Kliring Lokal Jakarta. Sehubungan dengan hal itu, sejak
tanggal dimaksud maka warkat-warkat kliring yang berasal
dan ditujukan kepada PT Bank Hanvit Indonesia dapat
kembali diperhitungkan dalam Kliring Lokal Jakarta.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
laporan bulanan bank umum. Dalam rangka penyusunan
laporan dan informasi dalam penetapan kebijakan bidang
moneter, sistem pembayaran, dan perbankan serta untuk
keperluan pemantauan keadaan bank secara benar,
Siaran Pers BI No. 2/159/
BGub/Humas
Siaran Pers BI No.2/161/
BGub/Humas
PBI No.2/21/2000
214
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
19
28
Oktober
2
2
SE BI No.2/18/DPM
Siaran Pers BI No. 2/170/
BGub/Humas
PBI No.2/22/2000
SK Menkeu No.414/KMK.
04/2000
diperlukan informasi keadaan keuangan, dan kegiatan
usaha bank secara individual yang lebih lengkap termasuk
kegiatan usaha bank yang dilakukan di luar negeri.
Surat edaran Bank Indonesia mengenai peningkatan
persentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat
diperdagangkan bagi bank umum peserta program
rekapitalisasi perbankan. Jumlah persentase obligasi yang
dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-
tingginya sebesar 10% (sepuluh perseratus) ditingkatkan
menjadi setinggi-tingginya sebesar 15% (lima belas
perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang
dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari
pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi
Bank Umum.
Bank Indonesia atas nama Pemerintah RI telah
menandatangani perjanjian perpanjangan jangka waktu
(rescheduling) pembayaran pokok dua pinjaman siaga
yang diterima Pemerintah RI dari sindikasi bank-bank di luar
negeri pada tahun 1994 dan 1995. Total kewajiban yang
direstrukturisasi adalah sebesar $340 juta, yang terdiri atas
kewajiban pinjaman siaga tahun 1994 sebesar $140 juta dan
kewajiban pinjaman siaga tahun 1995 sebesar $200 juta.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai kewajiban
pelaporan utang luar negeri. Bank, Badan Usaha Bukan Bank
dan perorangan yang mempunyai utang luar negeri (ULN)
wajib menyampaikan laporan setiap ULN kepada Bank Indone-
sia secara lengkap, benar, dan tepat waktu secara berkala
sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pene-
tapan uang kertas, uang logam serta bahan baku untuk
215
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
20
27
November
6
10
10
16
17
pembuatan uang kertas dan uang logam, sebagai barang
kena pajak yang bersifat strategis untuk keperluan
pembangunan nasional.
Terhitung sejak 20 Oktober 2000 Bank Indonesia
membekukan kegiatan usaha (BBKU) PT Bank Ratu dan PT
Bank Prasidha Utama dan selanjutnya diserahkan kepada
BPPN untuk ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai peru-
sahaan pembiayaan. Dijelaskan bahwa perusahaan
pembiayaan melakukan kegiatan usaha:
– Sewa Guna Usaha
– Anjak Piutang
– Usaha Kartu Kredit
– Pembiayaan Konsumen
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
penilaian kemampuan dan kepatutan (Fit and Proper Test).
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penge-
lolaan dan pertanggungjawaban keuangan dalam
pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Surat edaran Bank Indonesia mengenai pelaporan kegiatan
lalu lintas devisa oleh Lembaga Keuangan Non Bank.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai
penetapan harga patokan ekspor kelapa sawit, minyak
kelapa sawit, dan produk turunannya.
Sebagai pertanggungjawaban moral dari Pimpinan Bank
Indonesia yang diharapkan dapat membantu penyelesaian
SK DGS BI No.2/24/KEP.
DGS/2000 dan No.2/25/
KEP. DGS/2000
SK Menkeu No.448/KMK.
04/2000
PBI No.2/23/2000
PP No. 106 tahun 2000
SE BI No.2/23/DSM
Surat Dirjen Perdagangan
Luar Negeri No.280/
DJPLN/XI/2000
Siaran Pers BI No. 2/201/
BGub/Humas
216
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
17
17
sebaik-baiknya terhadap kasus BLBI, dengan segala
kesadaran dan tanpa tekanan dari pihak manapun, Deputi
Gubernur Senior, Anwar Nasution dan sebagian Deputi
Gubernur yaitu Miranda S. Goeltom, Dono Iskandar
Djojosubroto, Achwan, dan Burhanuddin Abdullah, meng-
ajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia.
Surat edaran Bank Indonesia mengenai Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (RTGS). Sistem Bank Indonesia Real
Time Gross Settlement (Sistem BI-RTGS) adalah suatu sistem
transfer dana elektronik antar bank dalam mata uang ru-
piah yang penyelesaiannya dilakukan per transaksi secara
individual.
Surat edaran Bank Indonesia mengenai biaya dalam
penggunaan Sistem Bank Indonesia RTGS. Jenis biaya
dalam penggunaan sistem BI-RTGS terdiri dari :
– Biaya transaksi;
– Biaya perpanjangan Jam Operasional.
Besarnya biaya transaksi adalah sebagai berikut :
– biaya single credit transaction sebesar Rp10.000
(sepuluh ribu rupiah) per transaksi;
– biaya multiple credit transaction sebesar Rp50.000 (lima
puluh ribu rupiah) per transaksi;
– biaya pengiriman administrative message sebesar
Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) per administrative
message.
Besarnya biaya perpanjangan Jam Operasional adalah
Rp5.000.000 (lima juta rupiah) untuk 30 (tiga puluh) menit
pertama dan Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) untuk 30
(tiga puluh) menit kedua, dan dikenakan kepada Peserta
yang mengajukan perpanjangan Jam Operasional.
SE BI No.2/24/DASP
SE BI No. 2/25/DASP
217
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
17
17
23
Desember
8
SE BI No. 2/25/DASP
PBI No.2/25/2000
SE BI No.2/26/DPM
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
hubungan rekening giro antara Bank Indonesia dengan
pihak ekstern.
Seluruh pimpinan bank sentral dan otoritas moneter negara-
negara ASEAN serta Menteri Keuangan Brunei Darussalam
pada 17 November 2000 sepakat untuk meningkatkan
jumlah fasilitas short-term liquidity support dari $200 juta
menjadi $1 milyar yang diperuntukkan bagi anggotanya
yang mengalami kesulitan neraca pembayaran jangka
pendek. Negara-negara anggota dimaksud adalah Indo-
nesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei, Laos,
Kamboja, Vietnam, dan Myanmar.
Dengan tersedianya fasilitas tersebut yang dikenal dengan
istilah ASEAN Swap Arrangements (ASA), negara-negara
ASEAN akan memiliki akses untuk mendapat bantuan
likuiditas jangka pendek (maksimal 6 bulan) dengan suku
bunga yang rendah.
Pengeluaran dan Pengedaran Uang Rupiah Pecahan
Rp1.000,00 Tahun Emisi 2000.
Surat edaran Bank Indonesia mengenai peningkatan
persentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat
diperdagangkan bagi bank umum peserta program
rekapitalisasi perbankan. Jumlah persentase obligasi yang
dapat diperdagangkan yang semula ditetapkan setinggi-
tingginya sebesar 15% (lima belas perseratus) ditingkatkan
menjadi setinggi-tingginya sebesar 25% (dua puluh lima
perseratus) dari nilai keseluruhan Obligasi Pemerintah yang
dibeli pada saat Bank menerima penyertaan tunai dari
Pemerintah sehubungan dengan Program Rekapitalisasi
Bank Umum.
218
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
13
15
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai fasilitas
likuiditas intrahari bagi bank umum. Fasilitas Likuiditas
Intrahari (FLI) adalah fasilitas pendanaan selama jam
operasional Sistem BI-RTGS berupa suatu nilai maksimum
tertentu yang disediakan oleh Bank Indonesia untuk Bank
Peserta guna mengatasi Kesulitan Pendanaan Jangka
Sangat Pendek dalam rangka mendukung kelancaran
sistem pembayaran nasional.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai bank
umum. Beberapa ketentuan yang diatur dalam ketentuan
tersebut antara lain mengenai perizinan, modal,
kepemilikan, kepengurusan bank dan lain-lain.
PBI No.2/26/2000
PBI No.2/27/2000
219
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
1.
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
KPMM
– Perhitungan
– Modal
Modal/ATMR x 100
– Modal inti adalah
modal disetor,
modal sumbangan,
laba setelah pajak
dan cadangan
yang dibentuk dari
laba setelah pajak.
– Modal pelengkap
adalah modal
pinjaman, pinjaman
subordinasi dan
cadangan yang
dibentuk dari
cadangan revaluasi
aktiva tetap dan
cadangan umum
penyisihan
Modal/ATMR x100%
– Modal inti adalah
modal disetor, agio
saham, modal
sumbangan,
cadangan umum,
cadangan tujuan,
laba tahun-tahun
lalu setelah pajak,
laba tahun berjalan
setelah pajak (50%),
dikurangi dengan
rugi tahun berjalan
dan goodwill.
– Modal pelengkap
cadangan revaluasi
aktiva tetap,
cadangan umum
penyisihan
penghapusan aktiva
produktif (maksimum
1,25% dari ATMR),
modal pinjaman
dan pinjaman
SK DIR BI No.
26/20/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1993
Modal/ATMR x 100
– Modal inti adalah
modal disetor,
modal sumbangan,
laba setelah pajak
dan cadangan
yang dibentuk dari
laba setelah pajak.
– Modal pelengkap
adalah modal
pinjaman, pinjaman
subordinasi dan
cadangan yang
dibentuk dari
cadangan revaluasi
aktiva tetap dan
cadangan umum
penyisihan
SK DIR BI No.
26/20/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1993
dan SK DIR BI No. 31/
146/KEP/DIR
tanggal 12 November
1998
Modal/ATMR x100%
– Modal inti adalah
modal disetor, agio
saham, modal
sumbangan,
cadangan umum,
cadangan tujuan,
laba ditahan
setelah pajak, laba
tahun-tahun lalu
setelah pajak, laba
tahun berjalan
setelah pajak (50%),
dikurangi dengan
rugi tahun berjalan
dan goodwill.
– Modal pelengkap
adalah cadangan
revaluasi aktiva
tetap, cadangan
umum penyisihan
penghapusan
aktiva produktif
(maksimum 1,25%
dari ATMR), modal
pinjaman dan
IKHTISAR PERBANDINGAN KETENTUAN KEHATI-HATIAN(KPMM, KAP, PPAP, BMPK, DAN PDN)
Lampiran F
220
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
2. KAP
– Aset yang dinilai
– Penggolongan
kualitas
– Dasar penilaian
penghapusan aktiva
produktif maksimum
sebesar 125% dari
jumlah ATMR.
SK DIR BI No.
26/22/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1993
Aktiva produktif
adalah penanaman
bank dalam bentuk
kredit, surat berharga,
penyertaan dan
penanaman lainnya,
yang dimaksudkan
untuk memperoleh
penghasilan.
– Lancar, Kurang
Lancar, Diragukan
dan Macet
– keadaan
pembayaran pokok
atau angsuran
pokok dan bunga
kredit serta tingkat
kemungkinan
diterimanya kembali
subordinasi
(maksimum 50% dari
jumlah modal inti).
– Jumlah modal
pelengkap yang
diperhitungkan
maksimum 100% dari
jumlah modal inti.
SK DIR BI No.
30/267/KEP/DIR
tanggal 27 Februari
1998
Aktiva produktif
adalah penanaman
bank dalam bentuk
kredit dan surat
berharga.
– Lancar, Dalam
Perhatian Khusus,
Kurang Lancar,
Diragukan dan
Macet
– untuk kredit
didasarkan pada
ketepatan
pembayaran
kembali pokok dan
bunga serta
kemampuan
penghapusan aktiva
produktif maksimum
sebesar 125% dari
jumlah ATMR.
pinjaman
subordinasi
(maksimum 50% dari
jumlah modal inti).
– Jumlah modal
pelengkap yang
diperhitungkan
maksimum 100% dari
jumlah modal inti.
221
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
3.
4.
5.
PPAP
BMPK
– Pelampauan BMPK
PDN
– Pemeliharaan Posisi
dana yang
ditanamkan dalam
surat-surat berharga
atau penanaman
lainnya.
– Cadangan khusus
sekurang-kurangnya :
– 5% dari AP yang
tergolong DPK,
– 15% dari AP yang
tergolong KL,
– 50% dari AP yang
tergolong D,
– 100% dari AP yang
tergolong M
masing-masing setelah
dikurangi agunan tunai.
– PDN per mata uang
maksimum 25%
– Pelampauan BMPK
yang terjadi karena
perubahan nilai
tukar dan / atau
penurunan .............
– Pelampauan BMPK
yang terjadi karena
gejolak nilai tukar
dan atas
penurunan ..............
peminjam yang
ditinjau dari
keadaan usaha
yang bersangkutan.
– untuk surat berharga
didasarkan pada
tingkat kemungkinan
diterimanya kembali
dana yang
ditanamkan.
– Cadangan khusus
sekurang-kurangnya:
a. untuk kredit
– 5% dari AP yang
tergolong DPK,
– 15% dari AP yang
tergolong KL,
– 50% dari AP yang
tergolong D,
– 100% dari AP yang
tergolong M
masing masing setelah
dikurangi agunan
tunai
b. untuk surat
berharga : 100% dari
surat berharga yang
tergolong macet.
– PDN per mata uang
maksimum 25% dari
modal bank
222
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
No. Keterangan Ketentuan Lama Ketentuan Baru
Tertulis Koreksi Tertulis Koreksi
– PDN untuk rekening
administratif
maksimum 20%
– PDN keseluruhan
maksimum 20%
– PDN untuk rekening
administratif
maksimum 20% dari
modal bank
– PDN keseluruhan
maksimum 20% dari
modal bank
223
Lampiran G
Tabel Statistik
1. Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan .................................................................................. 225
2. Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha ..................................................................................... 226
3. Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto ............................................................. 227
4. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian ............................................................................................ 228
5. Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata Padi serta Palawija.......................................................... 229
6. Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertambangan dan Penggalian .................................................... 230
7. Produksi Tenaga Listrik ..................................................................................................................................... 230
8. Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi .................................................................. 231
9. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor ................... 232
10. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I 233
11. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor .................................. 234
12. Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I ............. 235
13. Rencana Penanaman Modal Asing yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal ....................... 236
14. Indeks Harga Konsumen Indonesia ............................................................................................................... 237
15. Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia .............................................................................................. 238
16. Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota ........................................................................................................... 239
17. Neraca Pembayaran Indonesia .................................................................................................................... 240
18. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas .................................................................................................. 241
19. Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas ........................................................................................... 242
20. Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan .......................................................................................... 243
21. Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal (FOB) ..................................................................................... 244
22. Ekspor Migas ..................................................................................................................................................... 245
23. Uang Beredar ................................................................................................................................................... 246
24. Perkembangan Uang Beredar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya ......................................... 247
25. Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank ................................ 248
26. Pasar Uang Antarbank di Jakarta ................................................................................................................. 249
27. Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank ..................................................... 250
28. Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ............................................................ 251
29. Tingkat Diskonto SBI .......................................................................................................................................... 252
30. Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara Bank Indonesia dan Bank-bank .......................... 253
31. Penerimaan Pemerintah ................................................................................................................................. 254
32. Pengeluaran Pemerintah ................................................................................................................................ 255
33. Penghimpunan Dana oleh Bank Umum ....................................................................................................... 256
34. Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Kelompok Bank ............................. 257
35. Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum menurut Jangka Waktu .............. 258
36. Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum menurut Golongan Pemilik ........................................ 259
224
37. Sertifikat Deposito ............................................................................................................................................ 260
38. Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum ............................................................................................... 261
39. Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank .................................................................................. 262
40. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Sektor Ekonomi ...................................... 263
41. Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 264
42. Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi ... 265
43. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI ............................................................. 266
44. Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2000 .................................. 266
45. Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI ............................................................ 267
46. Pertumbuhan Ekonomi Dunia ........................................................................................................................ 268
47. Inflasi Dunia ....................................................................................................................................................... 269
48. Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar ...................................................................................................................... 270
49. Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia .......................................................... 270
50. Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang ............................................... 271
225
Tabel 1Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan
(miliar rupiah)
Jenis penggunaan 1996 1997 1998 1999* 2000**
Pengeluaran konsumsiRumah tanggaPemerintah
Pembentukan modal tetap domestik brutoPerubahan stok 2)
Ekspor barang dan jasadikurangi Impor barang dan jasaProduk Domestik BrutoPendapatan neto terhadap luar negeri dari faktor produksiProduk Nasional Brutodikurangi Pajak tidak langsung netodikurangi PenyusutanPendapatan Nasional
Pengeluaran konsumsiRumah tanggaPemerintah
Pembentukan modal tetap domestik brutoPerubahan stok 1)
Ekspor barang dan jasadikurangi Impor barang dan jasaProduk Domestik BrutoPendapatan neto terhadap luar negeri dari faktor produksiProduk Nasional Brutodikurangi Pajak tidak langsung netodikurangi PenyusutanPendapatan Nasional
Memorandum item:
Produk Domestik Bruto per kapitadalam ribu rupiahdalam $
Produk Nasional Bruto per kapitadalam ribu rupiahdalam $
Pendapatan Nasional per kapitadalam ribu rupiahdalam $
Harga konstan 1993
Harga berlaku
288.697,6257.016,2
31.681,4128.698,6
5.873,1112.391,4121.862,8413.797,9
–12.486,8401.311,1
22.469,620.689,9
358.151,6
299.084,5272.070,2
27.014,375.467,9–8.571,992.123,678.546,4
379.557,7
–22.145,1357.412,6
6.112,618.978,0
332.322,0
308.816,9277.116,1
31.700,8139.725,6
3.341,7121.157,9139.796,1433.246,0
–15.462,9417.783,1
26.100,121.662,4
370.020,6
286.850,6260.022,7
26.827,993.604,7–6.386,9
134.707,2132.400,7376.374,9
–27.965,4348.409,5
1.858,918.818,8
327.731,8
310.725,2281.957,4
28.767,888.984,5
–16.138,3106.917,5
92.822,6397.666,3
–24.592,7373.073,6–11.666,119.883,3
364.856,4
1) ResidualSumber : Badan Pusat Statistik
372.393,6332.094,4
40.299,2157.652,7
5.800,4137.533,3140.812,0532.568,0
–14.272,2518.295,8
28.918,926.628,4
462.748,5
2.142,11.177
2.077,41.145
1.854,01.023
430.122,7387.170,7
42.952,0177.686,1
21.615,1174.871,3176.599,8627.695,4
–18.355,0609.340,4
37.828,731.384,8
540.126,9
2.212,5118
2.133,51.086
1.889,6962
702.239,5647.823,6
54.415,9243.043,4–82.716,1506.244,8413.058,1955.753,5
–53.893,7901.859,8
6.480,547.787,7
847.591,6
1.896,0491
1.755,1463
1.651,0436
885.814,6813.183,3
72.631,3240.322,2
–105.063,3390.560,1301.654,1
1.109.979,5
–78.896,71.031.082,8
17.950,155.498,9
957.633,8
1.894,7703,0
1.784,1653,0
1.658,9606,5
958.776,8867.997,1
90.779,7313.915,2–83.319,2497.518,9396.207,5
1.290.684,2
–89.256,41.201.427,8
–37.820,364.534,3
1.174.713,8
1.954,6782,5
1.833,7728,4
1.793,4712,2
226
Tabel 2Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha
(miliar rupiah)
Pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan
Tanaman bahan makanan
Tanaman perkebunan
Peternakan
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan dan penggalian
Minyak dan gas bumi
Pertambangan tanpa migas
Penggalian
Industri pengolahan
Industri migas
Pengilangan minyak bumi
Gas alam cair
Industri tanpa migas
Listrik, gas, dan air bersih
Bangunan
Perdagangan, hotel, dan restoran
Perdagangan besar dan eceran
Hotel dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Pengangkutan
Komunikasi
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
Bank 1)
Sewa bangunan dan jasa perusahaan
Jasa-jasa
Pemerintahan umum
Swasta
PRODUK DOMESTIK BRUTO
Nonmigas
Migas
Lapangan usahaHarga konstan 1993 Harga berlaku
63.827,8 64.468,0 63.609,5 65.339,1 66.431,5 88.791,8 101.009,4 172.827,6 216.913,6 218.397,6
33.647,0 32.688,4 33.350,4 33.970,4 34.302,3 47.622,1 52.189,4 91.346,0 115.134,9 110.640,6
10.354,9 10.496,6 10.501,8 10.740,6 10.908,8 14.434,6 16.447,3 33.289,6 36.691,7 34.784,5
7.133,3 7.483,1 6.439,7 6.869,2 7.059,5 9.523,8 11.688,2 15.743,6 23.939,4 27.507,3
6.444,1 7.189,8 6.580,7 6.299,0 6.410,8 8.170,5 9.806,5 11.700,5 13.839,7 15.077,7
6.248,5 6.610,1 6.736,9 7.459,9 7.750,1 9.040,8 10.878,0 20.747,9 27.307,9 30.387,5
37.739,4 38.538,2 37.474,0 36.571,8 37.423,2 46.088,1 55.561,9 120.328,5 109.974,2 166.563,1
24.062,8 23.919,8 23.340,1 22.136,8 22.230,1 28.118,3 34.036,7 74.883,7 71.847,2 123.409,8
7.267,6 7.645,6 9.678,0 10.018,1 10.482,0 9.097,8 11.192,4 35.459,9 27.668,6 31.384,9
6.408,9 6.972,8 4.455,9 4.416,9 4.711,1 8.872,0 10.332,8 9.984,9 10.458,2 11.768,4
102.259,7 107.629,7 95.320,6 98.949,4 105.085,1 136.425,9 168.178,0 238.897,1 287.702,7 336.053,2
10.863,9 10.650,3 11.042,2 11.688,1 11.571,9 14.194,3 15.621,9 33.172,4 34.541,7 49.932,2
6.291,5 5.925,5 6.310,0 6.606,6 7.068,7 8.340,1 8.116,1 15.092,2 16.216,5 21.823,8
4.572,4 4.724,8 4.732,3 5.081,5 4.503,2 5.854,2 7.505,8 18.080,2 18.325,2 28.108,4
91.395,8 96.979,4 84.278,4 87.261,3 93.513,2 122.231,6 152.556,1 205.724,7 253.161,0 286.121,0
4.876,8 5.479,9 5.646,1 6.112,9 6.649,5 6.892,6 7.832,4 11.283,1 13.429,0 15.072,4
32.923,7 35.346,4 22.465,3 22.825,5 23.788,7 42.024,8 46.678,8 61.761,6 74.496,4 92.175,9
69.475,0 73.523,8 60.130,7 60.195,1 63.621,2 87.137,2 99.581,9 146.740,1 176.663,7 196.049,5
55.513,5 58.842,3 47.845,9 47.694,2 50.456,7 69.375,4 77.543,3 116.688,5 141.098,4 156.323,8
13.961,5 14.681,6 12.284,8 12.500,9 13.164,5 17.761,9 22.038,6 30.051,6 35.564,9 39.725,7
29.701,1 31.782,5 26.975,1 26.772,1 29.284,0 34.926,3 38.530,9 51.937,2 55.189,6 64.550,1
24.444,6 25.609,1 20.503,8 19.737,6 21.430,5 29.246,4 31.497,6 41.837,2 42.735,7 49.336,7
5.256,5 6.173,4 6.471,3 7.034,5 7.853,5 5.679,9 7.033,3 10.100,0 12.453,9 15.213,4
36.384,2 38.543,0 28.278,7 26.147,8 27.373,4 43.981,9 54.360,3 69.891,7 70.641,9 80.047,2
18.886,9 19.956,0 13.173,0 11.765,0 12.403,1 21.853,6 25.205,2 31.710,2 30.529,1 34.901,1
17.497,3 18.587,0 15.105,7 14.382,8 14.970,3 22.128,3 29.155,1 38.181,5 40.112,8 45.146,1
36.610,2 37.934,5 36.475,0 37.184,0 38.009,6 46.299,4 55.962,0 82.102,5 104.968,7 121.775,3
23.338,4 23.616,5 21.887,5 22.250,6 22.555,1 29.752,9 32.127,9 40.641,0 56.745,0 69.460,2
13.271,7 14.318,0 14.587,5 14.933,4 15.454,5 16.546,5 23.834,1 41.445,8 48.223,7 52.315,1
413.797,9 433.245,9 376.374,9 379.557,7 397.666,3 532.568,1 627.695,6 989.611,6 1.109.979,5 1.290.684,2
378.871,2 398.675,8 341.992,5 345.732,8 363.864,2 490.255,5 578.037,0 881.555,5 1.003.590,7 1.117.342,3
34.926,7 34.570,1 34.382,4 33.824,9 33.802,1 42.312,6 49.658,6 108.056,1 106.388,8 173.342,0
1996 1997 1998 1999* 2000** 1996 1997 1998 1999* 2000**
1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuanganSumber : Badan Pusat Statistik
227
1. Ekspor barang dan jasa
atas dasar harga berlaku
2. Ekspor barang dan jasa
atas dasar harga konstan
3. Deflator ekspor [(1 : 2) x 100]
4. Impor barang dan jasa
atas dasar harga berlaku
5. Impor barang dan jasa
atas dasar harga konstan
6. Deflator impor [(4 : 5) x 100]
7. Indeks nilai tukar dagang [(3 : 6) x 100]
8. Perubahan indeks
nilai tukar dagang (%)
9. Kapasitas impor riil dari ekspor
(1 : 6) x 100
10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 – 2)
11. Perubahan nilai tukar dagang (%)
12. PDB atas dasar harga konstan 1993
13. Perubahan PDB atas dasar
harga konstan (%)
14. Pendapatan Domestik Bruto
(PnDB) (10 + 12)
15. Pertumbuhan PnDB (%)
Tabel 3Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto
(miliar rupiah)
Rincian 1996 1997 1998 1999* 2000**
137.533,3
112.391,4
122,4
140.812,0
121.862,8
115,5
105,9
2,0
119.025,3
6.633,9
64.2
413.797,9
7,8
–407.164,0
7,2
506.244,8
134.707,2
375,8
413.058,1
132.400,7
312,0
120,5
5,4
162.270,6
27.563,4
59,6
376.374,9
–13,1
–348.811,5
–16,1
174.871,3
121.157,9
144,3
176.599,8
139.796,1
126,3
114,3
7,9
138.427,8
17.269,9
160.3
433.245,9
4,7
–415.976,0
2,2
390.560,1
92.123,6
424,0
301.654,1
78.546,4
384,0
110,4
–8,4
101.696,2
9.572,6
–65,3
379.557,7
0,8
–369.985,1
6,1
497.518,9
106.917,5
465,3
396.207,5
92.822,6
426,8
109,0
–1,2
116.557,6
9.640,1
0,7
397.666,3
4,8
–388.026,2
4,9
1) Data sampai dengan Triwulan III/2000Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
228
Tanaman panganBeras 33.217 32.095 32.004 33.063 32.953Jagung 9.307 8.771 10.059 9.204 9.156Ubi kayu 17.002 15.134 14.728 16.459 15.317Ubi jalar 2.018 1.847 1.928 1.666 1.631Kacang tanah 738 688 691 660 710Kacang kedelai 1.517 1.357 1.306 1.383 1.046Kacang hijau 301 262 303 265 269
Tanaman perkebunanKaret 1.574 1.553 1.662 1.715 1.752
Rakyat 1.193 1.175 1.243 1.295 1.324Perkebunan 381 378 419 420 428
Kopra 2.761 2.704 2.778 2.789 2.778Minyak sawit 4.899 5.380 5.640 5.989 6.257Inti sawit 1.085 1.229 1.284 1.370 1.433T e b u 2.094 2.192 1.488 1.489 1.841T e h 169 154 167 162 151
Rakyat 34 33 34 34 29Perkebunan 135 121 133 128 122
K o p i 459 428 515 511 511Rakyat 436 396 470 466 466Perkebunan 23 32 45 45 45
Tembakau 151 210 105 105 105Rakyat 148 206 102 102 102Perkebunan 3 3 2 2 2
Cengkeh 60 59 67 68 68Kakao 374 330 449 461 471
KehutananKayu bulat2) 26.069 29.920 18.728 ... ...
PeternakanDaging 1.632 1.559 1.490 ... ...Telur 780 761 579 ... ...Susu (juta liter) 441 424 434 ... ...
PerikananLaut 3.503 3.482 3.616 ... ...Darat 1.017 1.099 1.145 ... ...
1) Angka prakiraan Triwulanan III/20002) Tahun fiskal dalam ribu meter kubikSumber : – Departemen Pertanian
– Departemen Kehutanan dan Perkebunan
Tabel 4Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian
(ribu ton)
Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)
229
Produksi (ribu ton)
Padi 2) 51.102 49.377 49.237 50.866 50.696
Jagung (pipilan) 9.307 8.771 10.059 9.204 9.156
Ubi kayu 17.002 15.134 14.728 16.459 15.317
Ubi jalar 2.018 1.847 1.928 1.666 1.631
Kacang tanah 738 688 691 660 710
Kacang kedelai 1.517 1.357 1.306 1.383 1.046
Kacang hijau 301 262 303 265 269
Luas panen (ribu hektar)
Padi 2) 11.570 11.141 11.730 11.963 11.608
Jagung (pipilan) 3.744 3.335 3.834 3.456 3.374
Ubi kayu 1.415 1.243 1.205 1.350 1.261
Ubi jalar 212 195 201 172 171
Kacang tanah 689 628 650 625 673
Kacang kedelai 1.279 1.119 1.091 1.151 860
Kacang hijau 331 294 338 298 302
Produksi rata-rata (kuintal/hektar)
Padi 2) 51,1 44,3 41,9 42,5 43,7
Jagung (pipilan) 24,9 26,1 26,5 26,6 27,1
Ubi kayu 120,2 121,7 122,0 121,9 121,5
Ubi jalar 95,3 94,5 97,0 96,7 95,7
Kacang tanah 10,7 11,0 10,6 10,6 10,5
Kacang kedelai 11,9 12,1 11,9 12,0 12,2
Kacang hijau 9,1 8,9 9,0 8,9 8,9
Tabel 5Produksi, Luas Panen, dan Produksi Rata-rata
Padi serta Palawija
Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)
1) Data sampai dengan September 20002) Gabah kering gilingSumber : Departemen Pertanian
230
Tabel 6Hasil Beberapa Jenis Produk
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Rincian Satuan 1996 1997 1998 1999 20001)
Minyak mentah juta barel 582,7 576,9 568,8 545,7 386,7
Gas bumi miliar kaki kubik 3.164,0 3.165,7 2.978,7 3.063,4 2.138,4
Bijih timah ribu ton 51,0 55,2 54,0 47,8 36,7
Batu bara ribu ton 50.332,0 54.608,4 60.321,0 64.602,1 35.638,4
Tembaga (konsentrat) ribu ton 1.758,9 1.817,9 2.640,0 2.645,2 2.270,5
Nikel
Nikel bijih ribu ton 3.426,9 2.829,9 3.233,4 3.235,3 1.881,8
Fero Nikel (ingot) ribu ton 46,7 48,7 41,5 44,1 34,9
Fero Nikel (kandungan Ni) ribu ton 9,6 10,0 8,5 9,4 7,9
Nikel matte ribu ton 43,5 33,7 35.7 45,9 43,9
Bauksit ribu ton 842,0 808,7 1.055,6 1.116,3 885,0
Pasir Besi ribu ton 425,1 487,4 560,5 562,3 342,1
Emas kilogram 83.564,1 89.978,7 124.018,7 129.032,1 74.290,6
Perak kilogram 255.404,0 279.160,5 348.973,8 292.331,0 114.245,0
Tabel 7Produksi Tenaga Listrik
(juta KWJ) 1)
Tahun PLN Di luar PLN Jumlah
1995/96 59.830 1.281 61.111
1996/97 67.356 1.649 69.005
1997/98 68.975 1.870 70.845
1998 74.585 2.832 77.417
1999 78.350 3.990 82.340
2000 ... ... ...
1) Hanya yang disalurkan kepada masyarakat melalui PLNSumber : PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
1) Data sampai dengan September 2000Sumber : Departemen Pertambangan dan Energi
231
Tabel 8Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi
(dalam rupiah)
Rincian 1996 1997 1998 1999 2000
5.7007.0005.3337.2679.6675.0005.8505.0005.3337.7006.9585.1004.3335.6835.8834.8334.7676.1005.8336.5005.5336.4675.1675.0004.9335.3336.0007.500
5.7825.921
15,43
8.8338.4676.667
10.00014.1675.7676.5335.7776.400
11.4757.6676.1676.4837.1506.3436.0006.133
–7.6009.5006.6677.7676.2006.7676.6677.0006.000
10.500
7.3287.581
26,74
1) Tidak termasuk Batam2) Termasuk Batam3) Perubahan tidak termasuk BatamSumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
D.I. AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauBatamJambiSumatera SelatanBengkuluLampungDKI JakartaJawa BaratJawa TengahD.I. YogyakartaJawa TimurBaliNusa Tenggara BaratNusa Tenggara TimurTimor TimurKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan TimurSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi TenggaraMalukuIrian Jaya
Rata-rata 1)
Rata-rata 2)
Perubahan (%)3)
3.8504.6003.6004.6007.3503.6003.8503.8503.8505.2004.6633.4003.2003.7404.2503.2503.2004.2003.8004.1503.8004.6003.6003.2003.4003.6504.1005.150
3.9394.061
10,38
4.2705.0303.9705.0507.8303.9804.2504.2504.2005.7505.1203.7703.5504.1504.7203.6003.5504.6004.2204.6004.1705.1003.9303.5503.7504.0304.5305.670
4.3474.471
10,35
4.9005.8004.5675.8009.0004.5835.1834.8834.8336.6175.8924.3334.0834.7675.4174.1334.0835.2834.8505.2834.8005.8674.5174.0834.3174.6335.2176.517
5.0095.151
15,24
232
Sektor 1996 1997 1998 1999 20002)
Tabel 9Rencana Penanaman Modal Dalam Negeriyang Disetujui Pemerintah menurut Sektor
(miliar rupiah)
Pertanian, kehutanan, dan perikanan
Pertanian
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Industri
Makanan
Tekstil
Kayu
Kertas
Kimia dan farmasi
Mineral bukan logam
Logam dasar
Barang-barang logam
Lain-lain
Konstruksi
Perhotelan
Pengangkutan
Perumahan dan perkantoran
Jasa lainnya
Jumlah
88.020,7
70.944,4
6.608,7
10.467,6
5.974,4
580.991,0
153.704,9
56.017,6
19.342,0
101.120,1
122.656,5
63.561,2
33.437,8
30.024,3
1.126,6
9.569,2
32.676,8
26.151,8
37.540,0
28.715,4
809.639,3
1.711
1.094
301
316
172
6.561
990
1.358
816
423
1.350
436
211
873
104
170
717
1.004
369
387
11.091
Jumlah 1)
1968 s.d. 2000
Nilai Proyek
2.408,3
1.614,8
749,3
44,2
174,0
46.747,5
12.729,9
2.561,5
1.229,0
20.244,1
2.480,9
70,4
6.354,2
1.070,7
6,8
395,1
1.379,9
225,3
995,5
1.226,3
53.551,9
16.072,1
15.284,4
45,6
742,1
460,1
59.217,7
13.748,3
3.365,8
1.128,9
12.763,9
13.392,7
7.964,8
4.460,7
2.375,9
16,7
1.550,0
5.019,3
3.065,0
9.425,7
5.905,3
100.715,2
14.807,7
13.737,5
165,5
904.7
126,3
79.334,3
13.048,6
6.831,3
762,2
11.841,9
22.497,2
11.638,7
8.021,5
4.683,9
9,0
877,0
2.587,9
4.649,4
4.300,5
13.189,8
119.872,9
5.315,1
4.757,9
542,9
14,3
116,3
44.908,0
6.711,8
1.137,6
1.971,9
12.754,1
15.583,2
3.469,0
1.786,3
960,9
533,2
1.992,0
1.150,4
3.260,5
1.547,5
2.459,5
60.749,3
1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1968 s.d. Desember 2000
2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
3.559,4
2.816,0
9,1
734.3
34,1
11.516,8
3.963,9
1.683,4
145,3
1.598,3
2.476,4
553,1
187,7
908,7
...
449,1
29,2
629,5
292,6
985,8
17.496,5
233
Daerah tingkat I 1996 1997 1998 1999 20002)
Jawa dan MaduraDKI JakartaJawa BaratJawa TengahDI YogyakartaJawa Timur
SumateraDI AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampung
KalimantanKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
SulawesiSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi Tenggara
Nusa TenggaraNusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
BaliTimor TimurMalukuIrian JayaJumlah
401.423,971.339,3
221.414,436.884,6
2.053,469.732,2
239.389,29.435,6
15.841,590.401,761.807,628.618,319.123,8
3.013,611.147,1
77.561,520.110,620.243,012.899,424.308,5
39.054,46.062,46.389,2
22.443,04.159,8
5.237,32.821,12.416,2
10.979,23.359,4
7.688,724.945,9
809.639,5
Tabel 10Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(miliar rupiah)
Jumlah 1)
1968 s.d. 2000
Nilai Proyek
7.4191.8413.434
758127
1.259
1.677135356137470
90251
58180
845253145166281
4759174
26842
1317853
3168
13387
11.091
22.126,81.260,5
18.393,9849,6
34,61.588,2
14.746,394,2
1.079,4597,6
9.091,53.001,7
149,3121,4611,2
5.359,5222,6
3.561,4410,5
1.165,0
1.795,851,8
543,9696,2503,9
35,214,920,3
1.002,747,820,0
8.416,053.550,1
63.680,88.553,5
37.423,55.764,2
235,611.704,0
33.561,71.114,13.395,5
522,611.862,4
9.793,55.391,4
630,7851,5
13.935,73.825,91.688,04.300,14.121,7
3.849,9277,8725,5
1.880,0966,6
1.222,5352,5870,0
850,7–
1.060,01.711,6
119.872,9
43.772,314.395,519.213,53.366,9
222,56.573,9
24.033,61.474,82.364,03.066,78.854,8
925,55.024,1
404,71.919,0
18.432,49.316,42.182,92.709,94.223,2
6.272,9326,1
2.636,82.597,5
712,5
244,60,7
243,9
561,3450,0282,6
6.665,5100.715,2
18.871,54.289,78.117,12.574,9
6,03.883,8
10.669,41.297,31.101,5
336,84.925,11.429,4
882,74,0
692,6
11.966,6416,9
9.093,4640,6
1.815,7
13.022,91.132,4
630,711.168,7
91,1
1.288,5638,5650,5
804,62.802,6
44,51.278,7
60.749,3
9.450,01.262,45.673,51.066,8
86,81.360,5
5.175,2889,3326,8482,3
2.333,2832,5
10,0108,0193,1
974,79,1
526,071,3
368,3
1.811,158,011,3
1.574,9166,9
51,450,0
1,4
34,1–––
17.496,5
1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1968 s.d. Desember 2000
2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
234
Jumlah 1)
1967 s.d. 2000
Nilai Proyek
Tabel 11Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor(juta $)
8.063,6
6.686,6
653,1
723,9
9.925,3
146.967,6
7.276,6
7.730,4
2.369,2
24.809,8
68.478, 9
7.068,8
9.786,2
18.801,2
646,5
2.049,0
11.327,4
13.529,6
12.697,6
23.922,4
228.482,5
380,0
240,0
28,0
112,0
207,0
4.376,0
352,0
800,0
391,0
130,0
928,0
166,0
136,0
1.337,0
136,0
376,0
331,0
279,0
221,0
2.278,0
8.448,0
Pertanian, kehutanan, dan perikanan
Pertanian
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Industri
Makanan
Tekstil
Kayu
Kertas
Kimia dan farmasi
Mineral bukan logam
Logam dasar
Barang-barang logam
Lain-lain
Konstruksi
Perhotelan
Pengangkutan
Perumahan dan perkantoran
Jasa lainnya
Jumlah
Sektor 1996 1997 1998 1999 20002)
1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000
2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
482,4
412,7
–
69,7
14,2
6.929,2
680,9
240,2
113,2
1.411,8
3.268,2
110,4
501,3
593,0
10,2
153,4
228,6
102,7
171,1
2.800,2
10.881,8
1.521,5
1.306,2
135,5
79,8
1.696,7
16.072,2
691,4
514,6
101,1
2.907,3
7.404,6
789,8
650,9
2.938,6
73,9
296,8
1.716,5
694,6
3.000,3
4.932,8
29.931,4
998,2
965,2
–
33,0
0,3
8.388,2
342,0
216,9
70,8
40,8
6.178,8
237,1
394,4
890,5
16,9
197,8
451,1
79,0
1.270,9
2.177,6
13.563,1
463,7
436,6
–
27,1
1,6
23.017,3
572,8
372,6
69,7
5.353,3
12.376,4
1.457,3
357,0
2.331,7
126,5
306,8
462,6
5.900,0
1.397,6
2.282,9
33.832,5
152,2
131,9
5,0
15,3
2,2
5.179,6
190,4
286,8
106,0
71,0
3.176,0
8,2
794,1
544,0
3,1
87,8
29,4
138,1
104,6
393,1
6.087,0
235
Daerah tingkat I 1996 1997 1998 1999 20002)
Tabel 12Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I(juta $)
Jawa dan MaduraDKI JakartaJawa BaratJawa TengahDI YogyakartaJawa Timur
SumateraDI AcehSumatera UtaraSumatera BaratRiauJambiSumatera SelatanBengkuluLampung
KalimantanKalimantan BaratKalimantan TengahKalimantan SelatanKalimantan Timur
SulawesiSulawesi UtaraSulawesi TengahSulawesi SelatanSulawesi Tenggara
Nusa TenggaraNusa Tenggara BaratNusa Tenggara Timur
BaliTimor TimurMalukuIrian JayaJumlah
144.536,634.897,164.993,213.837,6
309,930.498,8
49.753,12.549,59.978,01.036,2
24.801,84.407,85.147,4
258,11.574,3
11.513,71.225,6
547,43.279,06.461,7
8.916,01.117,9
172,27.373,8
252,1
3.936,83.774,3
162,5
3.381,745,2
395,56.003,9
228.482,5
6,3452,7542,646
26745
633
1,06144
20352
60719612352
26773554990
17068216021
775918
4412
2857
8.448
Jumlah 1)
1967 s.d. 2000
Nilai Proyek
1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
2.635,9783,8
1.498,269,710,5
273,7
7.652,651,8
102,7344,9
6.956,942,039,718,496,2
226,8102,0
50,330,344,2
141,824,12,7
12,5102,5
15,013,61,4
193,8–
1,723,2
10.890,8
20.535,06.136,17.973,32.195,7
14,34.215,6
11.163,9771,9
3.514,67,1
6.743,0–
73,2–␣
54,1
1.056,128,26,0
438,7583,2
426,0358,8
5,558,33,5
14,50,6
14,0
114,7–␣
17,8504,4
33.832,5
17.908,44.403,97.760,13.273,7
69,02.401,7
4.297,6525,8614,7
79,31.664,5
9,01.292,3
64,247,8
2.876,6547,1140,2
19,22.170,1
2.552,672,310.0
2.467,52,8
1.385,01.316,2
68,8
380,02,84,9
523,529.931,4
10.840,41.700,15.504,13.066,7
6,0563,5
1.415,76,2
229,6175,8537,1201,9129,3
37,798,1
722,7251,2
0,473,4
397,7
192,7157,4
6,927,80,6
57,234,622,6
308,512,4
4,98,6
13.563,1
5.576,9627,2
1.835,62.989,0
1,2123,9
335,50,6
124,814,0
146,234,56,5
–8,9
54,7–
10,73,1
40,9
42,83,60,3
34,64,3
5,40,45,0
33,1–
0,138,5
6.087,0
236
Jumlah 1)
1967 s.d. 2000
Nilai ProyekNegara asal 1996 1997 1998 1999 20002)
Tabel 13Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal(juta $)
Eropa
Belanda
Belgia
Inggris
Jerman
Perancis
Swiss
Lainnya
Amerika
Amerika Serikat
Kanada
Lainnya
Asia
Hong Kong
Jepang
Korea Selatan
Malaysia
Filipina
Singapura
Taiwan
Thailand
Lainnya
Australia
Afrika
Gabungan negara
Jumlah
41.250,8
6.228,8
367,3
21.163,5
8.329,1
1.219,8
1.083,1
2.859,2
11.642,4
10.449,2
156,7
1.036,5
110.509,6
14.594,4
36.586,1
9.490,0
7.035,3
165,2
19.190,2
16.100,7
1.781,8
5.565,9
9.501,0
1.440,1
54.138,6
228.482,5
1.254
267
50
390
192
107
74
174
550
397
109
44
5.103
404
1.179
936
366
26
1.094
809
38
251
456
47
1.038
8.448
1) Setelah diperhitungkan proyek-proyek yang dibatalkan dan beralih statusPenjumlahan sejak Juli 1967 s.d. Desember 2000
2) Data per akhir Juli 2000Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
730,2
48,7
9,8
507,0
87,1
22,7
42,1
12,8
144,2
136,7
3,2
4,3
6.486,1
76,9
644,3
263,0
186,1
4,9
731,1
1.489,3
8,4
3.082,1
2.458,5
65,6
1.006,0
10.890,6
5.233,4
1.329,5
39,5
3.390,6
164,9
70,8
160,1
78,0
754,5
642,1
35,8
76,6
18.371,3
1.105,6
7.655,3
1.231,4
1.393,3
3,1
3.131,0
534,6
1.610,6
1.706,4
515,7
5,7
5.050,8
29.931,4
11.740,2
319,5
16,5
5.473,6
4.467,8
456,6
73,5
932,7
1.112,8
1.017,7
6,2
88,9
15.169,6
251,0
5.421,3
1.409,9
2.289,3
–
2.298,6
3.419,4
19,1
61,0
187,5
93,5
5.528,9
33.832,5
5.311,0
411,8
11,5
4.745,3
71,0
7,5
35,1
28,8
699,6
568,3
8,1
123,2
4.673,8
549,1
1.330,7
202,4
1.060,2
62,5
1.267,4
165,4
2,8
33,3
85,1
75,2
2.718,4
13.563,1
3.250,2
31,8
0,2
3.091,4
14,7
56,7
34,5
20,9
100,6
92,6
1,8
6,2
2.095,0
103,5
1.274,1
151,1
119,2
6,1
241,8
35,6
2,6
161,0
44,2
115,5
481,5
6.087,0
237
19942) 156,97 – 178,57 147,53 161,69 – – 163,17 9,241995 179,14 – 188,93 157,42 173,33 – – 177,83 8,641996 189,99 – 198,00 166,76 190,72 – – 189,62 6,471997 227,88 – 210,36 179,96 206,72 – – 211,62 11,051998 77,63
Januari–Maret 166,71 142,23 128,61 161,39 155,88 134,74 119,74 142,15 27,11April–Juni 3) 196,39 167,92 139,17 195,29 171,97 140,84 150,38 163,89 15,29Juli–September 261,00 207,21 155,92 225,22 204,49 162,17 163,18 196,23 19,73Oktober–Desember 263,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23
1999 2,01Januari 281,09 213,80 160,62 232,11 214,07 161,40 164,95 204,54 2,97Februari 287,60 216,87 162,06 234,23 214,12 161,89 164,29 207,12 1,26Maret 281,65 216,34 162,92 234,71 215,80 162,05 169,16 206,75 –0,18April 275,09 215,52 164,04 233,58 216,57 162,04 169,07 205,34 –0,68Mei 271,38 215,20 164,91 231,18 217,60 162,59 170,06 204,76 –0,28Juni 268,25 215,16 165,34 228,32 218,22 163,06 170,23 204,07 –0,34Juli 258,96 214,87 166,06 224,69 219,48 163,87 169,94 201,93 –1,05Agustus 248,54 215,33 165,87 226,56 220,98 166,48 169,68 200,05 –0,93September 239,06 216,26 166,12 229,63 220,00 169,52 169,94 198,68 –0,68Oktober 4) 237,24 216,13 166,45 232,23 220,06 170,17 171,31 198,79 0,06November 240,00 216,51 165,93 228,38 219,97 170,42 171,56 199,00 0,25Desember 249,54 219,20 166,77 233,21 220,37 170,44 172,20 202,45 1,73
2000Januari 256,85 220,00 167,56 237,47 220,87 170,43 173,68 205,12 3,26Februari 256,00 220,17 168,34 239,79 221,85 170,23 173,45 205,27 0,07Maret 250,16 219,97 169,05 240,09 222,43 171,83 174,01 204,34 –0,45April 246,16 225,28 171,03 240,50 224,87 173,50 176,83 205,48 0,56Mei 246,08 225,07 174,18 242,55 225,76 174,91 181,19 207,21 0,84Juni 246,47 227,25 174,87 244,54 226,50 175,41 182,54 208,24 0,50Juli 251,39 229,45 176,06 248,54 229,42 178,51 183,37 210,91 1,28Agustus 246,68 231,43 176,71 247,01 230,43 195,70 184,69 211,99 0,51September 240,76 232,73 177,93 247,12 236,19 198,02 186,65 211,87 –0,06Oktober 241,37 237,42 180,60 248,68 238,16 199,24 191,19 214,33 1,16November 246,97 241,62 182,93 249,95 240,47 199,50 191,78 217,15 1,32Desember 259,59 243,49 183,61 256,98 241,46 200,28 194,00 222,10 1,94
Catatan :1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang & Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)Sumber : Badan Pusat Statistik
Tabel 14Indeks Harga Konsumen Indonesia
Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor PerubahanMakanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks
Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi UmumRokok danTembakau
238
Pertanian
Pertambangan dan penggalian
Industri
Impor
Ekspor
Migas
Nonmigas
Indeks umum
Tabel 15Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)
1) Angka Tahunan merupakan rata-rata indeks selama satu tahun yang bersangkutan2) Tahun 1996 – 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)
Tahun 1999 – 2000. perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)Sampai dengan bulan Oktober 2000
Sumber : Badan Pusat Statistik
11,95
10,28
3,73
9,34
25,96
10,70
71,35
12,42
399
296
265
243
203
173
306
258
445
318
275
260
238
204
353
282
750
396
455
598
592
474
994
568
410
214
268
289
366
355
370
314
459
236
278
316
461
393
634
353
Perubahan 2000
Kelompok 1996 1997 1998 1999 2000 2) terhadap 1999
(%)
239
LhokseumaweBanda AcehPadang SidempuanSibolgaPematang SiantarMedanPadangPekanbaruBatamJambiPalembangBengkuluBandar LampungJakartaTasikmalayaSerang/CilegonBandungCirebonPurwokertoSurakartaSemarangTegalYogyakartaJemberKediriMalangSurabayaDenpasarMataramKupangDiliPontianakSampitPalangkarayaBanjarmasinBalikpapanSamarindaManadoPaluMakasarKendariTernateAmbonJayapura
Inflasi Nasional
Tabel 16Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota
(persen)
Kota 1996 1997 1998 1) 1999 2) 2000
Keterangan :
1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok
2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompok
3) Sampai dengan September 1999
Sumber : Badan Pusat Statistik
8,7310,57
3,956,954,675,90
10,9910,34
9,008,408,498,21
10,1810,29
4,577,038,526,52
10,027,898,737,857,32
10,357,05
10,6210,46
9,815,19
10,62–
8,3411,87
8,577,57
10,6711,9111,41
8,119,73
11,2514,51
8,5210,23
9,35
–9,90
–––
13,1010,7211,05
–9,89
13,589,219,70
11,70––
9,95–––
10,88–
12,72–––
9,119,758,667,719,79
12,29–
13,0312,98
–10,9313,669,708,208,42
–7,99
10,35
11,05
–6,66
–––
8,707,324,32
–5,006,145,186,097,25
––
6,54–––
4,37–
3,05–––
6,683,146,335,047,305,75
–3,225,71
–4,053,986,334,565,16
–6,126,78
6,47
79,6679,0185,7285,0180,2383,8187,2075,8652,8972,3189,1884,1085,2274,4273,5565,4372,5962,2380,9366,3867,1967,7377,4684,9577,0893,1695,2175,1190,5062,5872,3678,8575,9474,6574,4375,1068,3174,2495,1880,8697,7972,9875,8261,83
77,63
6,615,57
–0,141,65
–0,541,684,234,35
–0,280,49
–1,010,473,341,771,58
–0,044,294,750,990,461,511,112,513,16
–0,641,490,244,390,59
10,655,86 3)
4,49–4,98–0,131,473,013,697,413,581,641,290,388,263,49
2,01
240
Tabel 17Neraca Pembayaran Indonesia 1)
(juta $)
Rincian 1997 1998 1999 2000*
A. Neraca Barang dan Jasa1. Barang dagangan ekspor f.o.b.
Barang dagangan impor f.o.b.2. Ongkos pengangkutan dan asuransi
berhubungan dengan impor3. Ongkos pengangkutan lainnya4. Perjalanan luar negeri5. Jasa modal
5.1. Jasa modal dari sektorminyak bumi dan LNG
5.2. Jasa modal dan penanamanmodal langsung dan lainnya
6. Pemerintah, tidak termasuk bagian lain7. Jasa lain-lain
Neraca Barang (1)
Neraca Jasa (2 s.d. 7)
B. Hibah8. Swasta9. Pemerintah
C. Transaksi Berjalan (A + B)
D. Lalu-lintas ModalD.1. Di luar sektor moneter10. Penanaman modal langsung dan lalu
lintas modal jangka panjang lainnya10.1. Penanaman modal langsung10.2. Obligasi
a. Pemerintahb. Swasta
10.3. Lalu lintas modal jangkapanjang lainnya
a. Pemerintahb. Swasta
11. Lalu lintas modal jangka pendek11.1. Pemerintah11.2. Swasta
D.2. Sektor moneter12. Emas moneter13. Special Drawing Rights14. Hubungan dengan IMF15. Valuta asing16. Lain-lain
E. Selisih perhitungan (antara C dan D)
–5.00156.297
–46.223
–5.084–934
4.236–8.946
–2.614
–6.332–244
–4.103
10.074
–15.075
309–␣ –
309
–4.692
6.3432.233
4.4784.677
– –– ––␣ –
–1992.571
–2.770–2.245
0–2.2454.110
219–524273
4.1420
–1.651
7.06862.510
–37.423
–3.050–1.1161.568
–12.144
–3.224
–8.920–110
–3.166
25.087
–18.019
626– –
626
7.694
–9.625–4.638
531–4.056
– –– –– –
4.5873.830
757–5.169
0–5.169–4.987
53206
–190–5.056
0
1.931
4.97851.242
–30.598
–2.719–955
2.000–11.029
–2.033
–8.997–91
–2.872
20.644
–15.666
805– –
804
5.783
–7.863–4.571
139–2.745
– –– ––␣ –
2.8845.352
–2.468–4.710
0–4.710–3.292
–9156
0–3.439
0
2.080
3.58950.371
–31.942
–3.337–852
2.154–9.955
–1.766
–8.189–78
–2.773
18.429
–14.841
508–␣ –
508
4.097
–6.219–3.875
4.354–356
– –– ––␣ –
2.9319.970
–7.039–6.450
0–6.4502)
–2.3446
1320
–2.4820
2.122
1) – Penyajian baku (standard presentation) menurut IMF– Positif berarti defisit dan negatif berarti surplus– Sebelum tahun 1998 menggunakan konsep cadangan devisa resmi– Sejak tahun 2000 menggunakan konsep Internasional Reserves & Foreign Currency Liquidity (IRFCL)
2) Angka dikoreksi
241
Tabel 18Nilai Ekspor Nonmigas Menurut Komoditas
(juta $)
Rincian 1996 1997 1998 1999 20001)
1) Angka proyeksi
Total Ekspor
PertanianKayuGetah karetKopiTehLadaTembakauTapiokaHewan dan hasilnya
– UdangKulitLain-lain
MineralTimahTembagaNikelAluminiumBatu BaraLain-lain
IndustriTekstil & produk tekstil
– Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu
– Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & psw. mekanikLainnya
40.987
4.17986
854465102183108
231.574
88674
710
4.130242
1.441219138
1.665425
32.6786.2913.450
5694.5262.259
2551.369
471.8351.0783.365
1432.645
374279
1.519860
1.8535.670
44.577
5.16664
1.50558315216512423
1.7891.047
56706
4.353277
1.548233280
1.638377
35.0577.6144.1861.0315.7043.482
2041.662
861.7461.1403.264
371.957
406272
2.219787
1.4155.515
38.021
5.16658
1.894598106
998249
1.682994
33566
3.640310
1.397374320
1.058182
29.2155.8693.187
5265.3783.544
3241.017
1061.241
9533.593
181.369
336211
2.049590
1.1084.527
42.951
5.09153
1.006602169195139
211.7791.041
721.056
4.703260
1.792165202
1.669614
33.1577.0343.7692.0894.2452.328
39888
512.0981.3872.813
872.471
415269
1.583935
1.4785.275
47.045
4.23792
899334108229
8411
1.555938
89835
5.174243
2.124412274
1.619502
37.6346.6933.702
5154.2391.936
2851.199
502.0651.1115.746
1383.017
405337
1.5751.0993.2875.874
242
Tabel 19Volume Ekspor Nonmigas Menurut Komoditas
(ribu ton)
Rincian 1996 1997 1998 1999 2000 1)
Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)
1) Angka proyeksi
Total Ekspor
PertanianKayuGetah karetKopiTehLadaTembakauTapiokaHewan dan hasilnya
UdangKulitLain-lain
MineralTimahTembagaNikelAluminiumBatu BaraLain-lain
IndustriTekstil & produk tekstil
Pakaian jadiKerajinan tanganProduk kayu
Kayu lapisProduk rotanMinyak sawitBungkil kopraProduk kimiaProduk logamBarang-barang listrikSemenKertasProduk karetGelas dan alat dari gelasAlas kakiProduk plastikMesin & pesawat mekanikLain-lain
138.260
4.757643
1.498372
983930
410606134
01.061
110.18156
1.6061.952
69029.84276.035
23.322967259124
6.7485.147
921.873
9762.559
902317303
2.427134597199481
834.540
100,0
3,40,51,10,30,10,00,00,30,40,10,00,8
79.70,01,21,40,5
21,655.0
16,90,70,20,14.93,70,11,40,71,90,70,20,21,80,10,40,10,30,13,3
251.845
4.731708
1.483356
963356
244704141
11.050
217.01850
1.9322.2241.081
45.822165.909
30.0961.369
318183
6.9145.087
523.2451.0904.2061.090
356794
3.768167643193720114
5.192
100,0
1,90,30,60,10,00,00,00,10,30,10,00,4
86,20,00,80,90,4
18,265,9
12,00,50,10,12,72,00,01,30,41,70,40,10,31,50,10,30,10,30,02,1
199.771
5.936489
1.584411113
45114211949165
132.007
154.22649
2.9461.4091.076
52.41196.335
39.6091.635
414223
7.3025.157
141.700
9846.8833.391
3813.7365.585
203957173
1.244763
4.435
100,0
3,00,20,80,20,10,00,10,10,50,10,01,0
77,20,01,50,70,5
26,248,2
19,80,80,20,13,72,60,00,90,53,41,70,21,92,80,10,50,10,60,42,2
175.610
5.395679
1.5443621073578
30081916438
1.433
116.80947
2.2612.0081.125
53.89957.469
49.3071.525
333196
6.7914.302
1143.600
9835.3783.191
4377.3839.048
2091.555
1651.045
1667.156
100,0
3,10,40,90,20,10,00,00,20,50,10,00,8
66,50,01,31,10,6
30,732,7
28,10,90,20,13,92,40,12,00,63,11,80,24,25,20,10,90,10,60,14,1
153.916
4.321650
1.392360104
6132
152600133
10958
108.96949
2.8492.0851.375
59.54943.063
40.6371.531
315192
6.3223.795
1243.9121.0785.2131.456
6287.3564.932
211940153
1.090258
5.241
100,0
2,80,40,90,20,10,00,00,10,40,10,00,6
70,80,01,91,40,9
38,728,0
26,41,00,20,14,12,50,12,50,73,40,90,44,83,20,10,60,10,70,23,4
Rincian
243
Tabel 20Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan
(juta $)
1996 1997 1998 1999 2000 1)
Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)Benua/negara
Afrika
AmerikaAmerika SerikatAmerika LatinKanadaLain-lain
AsiaASEAN
Brunei DarussalamMalaysiaFilipinaSingapuraThailand
Hong KongIndiaIrakJepangKorea SelatanMyanmarPakistanRRCSaudi ArabiaTaiwanLain-lain
Australia & OceaniaEropa
MEEBelandaBelgia dan LuxemburgInggrisItaliaJermanPerancisLain-lain
Bekas Uni SovietEropa Timur Lain-lainLain-lain
Jumlah
1) Angka proyeksi
2,1
18,214,9
1,11,01,3
57,820,3
0,13,21,4
13,52,14,71,80,1
13,92,70,40,43,11,13,06,3
2,119,817,4
3,51,82,61,73,41,33,20,20,71,5
100,0
904
7.8156.383
459409564
24.8318.723
431.358
6085.798
9162.037
78245
5.9641.166
175152
1.320476
1.2882.702
9108.4917.4741.488
7731.120
7291.458
5451.360
67310640
42.951
1.032
7.6796.297
429346607
23.5737.982
261.388
6464.998
9231.400
80763
5.7911.287
101151
1.486428
1.2342.846
1.0587.6456.7441.464
6871.175
6051.217
5061.090
49232621
40.987
2,5
18,715,4
1,00,81,5
57,519,5
0,13,41,6
12,22,33,42,00,2
14,13,10,20,43,61,03,06,9
2,618,716,5
3,61,72,91,53,01,22,70,10,61,5
100,0
1.049
9.5048.055
590405454
26.5019.110
221.747
7935.683
8651.4631.005
877.0921.587
66143
1.746505
1.3812.318
1.0308.9618.3111.776
8551.487
6741.356
6661.496
77205368
47.045
2,2
20,217,1
1,30,91,0
56,319,4
0,03,71,7
12,11,83,12,10,2
15,13,40,10,33,71,12,94,9
2,219,017,7
3,81,83,21,42,91,43,20,20,40,8
100,0
622
7.5856.259
742365219
21.5535.970
291.061
5353.714
6301.568
4481
7.1291.348
80124965505
1.0562.357
5917.6716.7951.555
6201.138
5581.415
541968129224522
38.021
1,6
19,916,5
2,01,00,6
56,715,7
0,12,81,49,81,74,11,20,0
18,73,50,20,32,51,32,86,2
1,620,217,9
4,11,63,01,53,71,42,50,30,61,4
100,0
777
8.2866.701
875397314
25.3507.723
471.343
7344.913
6862.053
59719
7.0151.297
159170
1.387627
1.3302.975
7839.3798.4081.825
8041.263
6361.502
5271.851
120196656
44.576
1,7
18,615,0
2,00,90,7
56,917,3
0,13,01,6
11,01,54,61,30,0
15,72,90,40,43,11,43,06,7
1,821,018,9
4,11,82,81,43,41,24,20,30,41,5
100,0
244
Tabel 21Nilai Impor Nonmigas Menurut Negara Asal (FOB)
(juta $)
1996 1997 1998 1999 20001)
Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)
Afrika
AmerikaAmerika SerikatAmerika LatinKanadaLain-lain
AsiaASEAN
Brunei Darussalam
MalaysiaFilipinaSingapuraThailand
Hong KongIndiaIrakJepangKorea SelatanMyanmarPakistanRRCSaudi ArabiaTaiwanLain-lain
Australia & Oceania
EropaMEE
BelandaBelgia dan LuxemburgInggrisItaliaJermanPerancisLain-lain
Bekas Uni SovietEropa Timur Lain-lain 2)
Lain-lain
Jumlah
Benua/negara
1) Angka proyeksi2) Terdiri dari Ceko, Slovakia, Jerman Timur, Hongaria, Polandia, Rumania, Bulgaria, dan bekas Yugoslavia
0,9
17,810,72,11,83,2
50,07,40,01,40,23,32,50,51,90,0
18,55,00,10,32,90,53,59,4
5,3
25,917,2
1,10,82,42,76,62,21,40,70,37,8
100,0
372
7.1034.280
818724
1.281
19.9412.940
2562
781.319
979215752
17.3752.009
33110
1.137217
1.4063.745
2.112
10.3426.846
434331960
1.0762.624
859562272129129
39.870
1,0
17,811,5
1,81,33,1
49,48,40,01,50,34,32,30,61,50,0
18,14,8
00,12,80,33,39,4
5,3
26,518,5
1,10,72,62,25,84,71,40,80,36,9
100,0
422
7.3744.765
733609
1.267
20.4953.494
4619108
1.788974269630
37.5171.973
1942
1.167115
1.3603.907
2.181
10.9747.686
474292
1.082931
2.4101.929
570312124
2.853
41.447
362
5.2853.150
420422
1.294
14.3542.396
2344
711.195
785236256
34.2021.228
10128887105882
4.022
1.614
7.4724.938
316232779476
2.399513224151
682.316
29.087
1,2
18,210,81,41,54,4
49,38,20,01,20,24,12,70,80,90,0
14,44,20,00,43,00,43,0
13,8
5,5
25,717,0
1,10,82,71,68,21,80,80,50,28,0
100,0
1,7
18,79,51,91,45,9
51,910,2
0,01,60,25,43,10,80,90,09,54,00,10,43,90,52,6
19,0
7,6
20,211,4
1,20,51,90,94,61,21,00,40,28,3
100,0
449
4.9732.541
507360
1.566
13.8102.730
1424
481.433
824212231
02.5411.064
1798
1.039120695
5.062
2.021
5.3783.027
314143500232
1.232328277102
442.204
26.632
1,4
16,712,02,12,20,4
56,313,9
0,02,40,47,43,81,31,70,0
18,56,50,10,26,40,94,71,9
6,8
18,814,2
1,61,12,41,24,51,91,40,90,23,6
100,0
452
5.3633.847
661719135
18.0614.474
2766133
2.3661.207
433551
15.9282.102
2461
2.069297
1.507614
2.175
6.0494.553
525365784394
1.446597441282
581.155
32.099
245
Tabel 22Ekspor Migas 1)
Negara 1996 1997 1998 1999 2000
Nilai Ekspor 2)
Minyak Bumi 3) 7.222 6.771 4.141 5.680 8.631
Gas
– LNG 4.400 4.432 3.046 4.207 6.426
_ LPG 545 518 233 369 409
Total 12.167 11.721 7.420 10.256 15.466
Volume Ekspor
Minyak Bumi (juta barrel) 362 362 340 336 307
Gas
– LNG (juta MBTU)4) 1.357 1.387 1.384 1.511 1.406
– LPG (juta MT)5) 2.672 2.233 1.620 1.865 1.362
1) Nilai f.o.b. sistem klasifikasi barang berubah menjadi HS (Harmonized Commodity Description and Coding System) sehingga beberapabarang ekspor mengalami pergeseran dalam pengelompokannya
2) Juta $3) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak4) MBTU : Mille British Thermal Unit5) MT : Metric Tonnes
246
M1 1) Uang kuasi 2) M2 3)
Akhir periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)
(%) (%) Tahunan Triwulanan
Tabel 23Uang Beredar
(miliar rupiah)
1996 64.089 22,2 224.543 77,8 288.632 29,6 11,0
1996/97 63.565 21,6 231.016 78,4 294.581 26,7 2,1
1997 78.343 22,0 277.300 78,0 355.643 23,2 8,1
1997/98 98.270 21,8 351.554 78,2 449.824 52,7 26,5
1998r 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62.3 4,9
1998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5
1999
Maret 4) 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5
Juni 105.964 17,2 509.447 82,8 615.411 8,8 2,0
September 118.124 18,1 534.165 81,9 652.289 18,5 6,0
Desember 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 –0,9
2000
Januari 122.417 18,8 528.180 81,2 650.597 9,1
Februari 122.160 18,7 531.174 81,3 653.334 8,4
Maret 124.663 19,0 531.788 81,0 656.451 8,8 1,6
April 127.367 19,1 538.284 80,9 665.651 8,6
Mei 130.225 19,1 553.252 80,9 683.477 8,8
Juni 133.832 19,6 550.503 80,4 684.335 11,2 4,2
Juli 135.739 19,7 554.196 80,3 689.935 10,0
Agustus 136.530 19,9 549.072 80,1 685.602 7,7
September 135.431 19,7 551.024 80,3 686.455 5,2 0,3
Oktober 138.885 19,6 568.562 80,4 707.447 12,5
November 141.204 19,6 579.058 80,4 720.262 12,7
Desember 162.185 21,7 584.842 78,3 747.027 15,6 8,8
1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing, serta giro valuta asing milik penduduk3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan ( 7 bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)
247
Uang Beredar :
M2
M1
Kartal
Giral
Kuasi 1)
Faktor-faktor yang mempengaruhi :
Aktiva luar negeri bersih
Tagihan kepada pemerintah bersih
Tagihan bersih pada BPPN
Tagihan kepada sektor swasta
Tagihan kepada lembaga/
perusahaan pemerintah
Tagihan kepada perusahaan
swasta dan perorangan
Aktiva lainnya bersih
1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk
Tabel 24Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(miliar rupiah)
2000Rincian 1996 1997 1998r 1999r 2000
I II III IV
10.246
30
–7.156
7.186
10.216
8.846
61.903
0
1.591
–3.192
4.784
–62.094
27.884
9.169
4.634
4.535
18.715
43.961
38.509
0
14.973
3.541
11.431
–69.559
2.120
1.599
1.013
586
521
–4.247
23.893
0
89
–257
346
–17.615
60.572
26.754
15.526
11.228
33.818
33.076
–1.245
0
25.694
–4.598
30.291
3.047
67.011
14.254
5.755
8.317
52.757
17.344
–16.486
0
137.062
5.031
132.031
–70.909
65.994
11.412
1.680
9.732
54.582
18.015
–2.757
0
56.394
4.626
51.768
–5.658
221.738
22.854
12.970
9.884
198.884
73.692
17.513
29.693
99.421
6.389
93.032
31.112
68.824
23.436
16.959
6.477
45.388
–12.580
425.287
–29.693
–299.689
–8.139
–291.550
–44.194
100.822
37.552
14.017
23.535
63.270
81.636
123.060
0
42.347
–4.506
46.852
–146.221
248
Bank Persero
1 bulan 14,40 5,67 19,74 7,31 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05
3 bulan 14,58 6,32 19,88 7,41 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33
6 bulan 16,14 6,76 15,66 7,49 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42
12 bulan 16,05 7,23 15,19 7,81 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48
24 bulan 14,50 7,79 15,32 7,23 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32
Bank Swasta Nasional
1 bulan 16,96 6,86 27,68 8,77 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05
3 bulan 17,56 6,85 27,76 8,40 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20
6 bulan 17,42 7,73 19,17 7,81 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16
12 bulan 17,26 8,01 17,43 7,99 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50
24 bulan 17,26 6,88 16,79 7,76 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22
Bank Pemerintah Daerah
1 bulan 14,93 6,73 21,10 6,23 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39
3 bulan 15,64 6,73 20,62 6,76 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92
6 bulan 15,01 7,48 14,16 7,15 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94
12 bulan 16,27 7,36 16,65 7,20 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43
24 bulan 15,24 – 14,58 – 14,03 – 13,73 – 13,44
Bank Asing & Campuran
1 bulan 13,53 4,95 17,70 5,19 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73
3 bulan 13,77 5,14 18,03 5,99 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21
6 bulan 15,60 5,05 13,99 5,71 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13
12 bulan 15,95 5,36 13,64 5,92 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51
24 bulan 16,58 7,03 15,48 3,57 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00
Bank Umum
1 bulan 16,43 6,50 25,39 7,97 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96
3 bulan 17,03 6,67 23,92 7,77 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24
6 bulan 16,78 7,17 16,96 7,53 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31
12 bulan 16,70 7,50 15,92 7,73 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17
24 bulan 15,14 7,17 15,46 6,47 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32
Tabel 25Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)
(persen per tahun)
Jangka waktuRupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas
Desember 1996 Desember 1997 Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
6,37
6,59
6,17
6,24
10,23
6,07
6,43
6,23
11,39
8,14
4,97
4,56
5,13
5,05
–
4,61
4,81
4,12
5,09
6,05
5,94
6,11
5,72
7,86
9,47
249
1996 Januari – Desember 477.564 13,961997 Januari – Desember 784.368 26,981998 Januari – Desember 2.104.924 64,08
1996 Januari–Maret 62.559 12,83April–Juni 123.832 14,61Juli–September 148.358 14,75Oktober–Desember 142.815 13,63
1997 Januari–Maret 138.121 12,08April–Juni 157.529 13,45Juli-September 210.670 42,70Oktober-Desember 278.048 39,68
1998 Januari-Maret 526.347 57,36April–Juni 500.713 66,38Juli–September 625.331 74.13Oktober–Desember 452.533 54,68
1999Januari-Maret 173.045 39,57April- Juni 160.470 29,70Juli-September 127.906 13,44Oktober-Desember 133.941 12,43
20001)
Januari 1.314 9,19Februari 1.978 9,56Maret 1.843 9,75Januari–Maret 1.712 9,50April 1.665 9,64Mei 1.957 9,83Juni 2.099 10,63April–Juni 1.907 10,03Juli 1.879 10,90Agustus 2.626 10,90September 2.953 10,88Juli–September 2.486 10,89Oktober 2.991 10,87November 2.502 11,22Desember 2.936 12,20Oktober–Desember 2.810 11,43
Tabel 26Pasar Uang Antarbank di Jakarta
Nilai transaksi Suku bunga rata-rata tertimbang
(miliar rupiah) (persen per tahun)Akhir periode
1) Angka rata-rata harian
250
Tabel 27Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)
(persen per tahun)
1997 1998 1999 2000
Maret Maret Desember Desember Maret Juni September Desember
Bank Persero1 bulan 9,14 18,05 43,95 37,96 10,59 10,23 11,48 12,04
3 bulan 14,98 23,71 55,30 36,94 11,81 10,67 11,86 12,95
6 bulan 13,69 23,42 32,18 28,13 11,56 11,51 11,55 11,62
12 bulan 15,59 14,21 23,86 23,60 15,36 13,93 11,68 11,66
24 bulan 13,79 14,01 12,90 14,22 – – – 11,50
Bank Swasta Nasional1 bulan 16,08 29,41 44,26 38,77 11,34 11,20 12,29 12,59
3 bulan 16,43 30,29 48,62 39,53 11,36 11,09 11,51 11,81
6 bulan 16,35 22,11 38,35 32,62 10,28 11,74 12,13 13,24
12 bulan 15,74 15,63 49,89 52,40 16,02 10,44 10,40 12,12
24 bulan 17,52 17,47 15,93 30,00 – – – –
Bank Pemerintah Daerah1 bulan 13,97 22,49 40,49 31,90 11,52 10,33 12,32 11,26
3 bulan 16,98 20,85 52,57 35,48 12,62 12,10 13,40 13,88
6 bulan 14,85 15,71 22,00 26,26 12,00 12,00 12,00 12,00
12 bulan 18,09 18,04 21,20 25,21 12,50 12,10 12,08 13,81
24 bulan – 13,86 14,50 14,50 – – – –
Bank Asing & Campuran1 bulan 14,00 13,02 58,46 48,41 – – 9,07 9,43
3 bulan 12,00 20,41 39,91 34,00 9,54 10,25 9,26 9,70
6 bulan 13,23 19,08 – 35,50 – – 7,98 8,28
12 bulan 12,85 – – – 12,00 12,00 7,98 7,90
24 bulan – – – – – – – –
Seluruh Bank1 bulan 14,72 28,80 45,94 39,57 11,31 11,15 12,13 12,47
3 bulan 16,34 27,56 49,99 38,68 11,31 11,07 11,49 11,83
6 bulan 15,81 22,40 35,50 30,89 10,87 11,68 11,91 12,00
12 bulan 15,68 15,58 41,51 28,77 14,41 12,41 10,97 12,11
24 bulan 15,29 16,95 14,56 14,53 – – – 11,50
Jangka waktu
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
251
Tabel 28Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
(miliar rupiah)
Periode Penerbitan Pelunasan Posisi 1)
Januari–Desember 1996 157.948 151.250 18.553
Januari–Desember 1997 176.452 187.969 7.034
Januari–Desember 1998 735.844 700.182 42.765
Januari–Desember 1999 711.542 691.408 62.899
2000Januari 70.066 51.049 82.066Februari 73.289 66.655 88.700Maret 94.621 95.451 87.870April 81.000 79.490 94.380Mei 78.024 78.524 93.880Juni 79.525 94.278 79.127Juli 69.324 68.080 80.371Agustus 99.654 96.515 83.510September 65.213 70.847 77.875Oktober 85.422 83.720 79.578November 95.524 97.660 77.442Desember 37.282 54.943 59.781
Keterangan :Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1988 Penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)1) Posisi akhir bulan.
252
Tabel 29Tingkat Diskonto SBI 1)
(persen per tahun)
Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari
1996Maret 12,86 13,16 13,98 – – –Juni 12,75 13,13 13,75 – – –September 12,75 13,00 13,75 – – –Desember 11,72 11,94 12,88 13,75 13,90 14,17
1997Maret 7,61 8,70 11,07 11,88 – –Juni 7,29 8,50 10,50 11,25 12,0 12,50September 18,35 20,06 22,00 – – –Desember 16,00 18,00 20,00 – – –
1998Maret 29,24 – 27,75 – – –Juni – 52,81 58,00 – – –September – – 68,76 – – –Desember – – 38,44 39,00 – –
1999Maret – – 37,84 38,00 – –Juni – – 22,05 23,75 – –September – – 13,02 13,25 – –Desember – – 12,51 12,75 – –
2000Januari – – 11,48 11,50 – –Februari – – 11,13 11,13 – –Maret – – 11,03 11,00 – –April – – 11,00 11,00 – –Mei – – 11,08 11,00 – –Juni – – 11,74 11,09 – –Juli – – 13,53 13,04 – –Agustus – – 13,53 13,29 – –September – – 13,62 13,32 – –Oktober – – 13,74 13,56 – –November – – 14,15 13,83 – –Desember – – 14,53 14,31 – –
1) Rata-rata tertimbang
253
Tabel 30Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara
Bank Indonesia dan Bank-bank(miliar rupiah)
Periode Pembelian Pelunasan Posisi
1996Januari–Maret 21.364 22.988 2.580April–Juni 54.044 55.407 1.218Juli–September 20.511 20.390 1.339Oktober–Desember 25.605 26.773 171
1997Januari–Maret 15.954 13.455 2.670April–Juni 18.937 19.480 2.126Juli–September 50.131 52.237 21Oktober–Desember 94.934 91.499 3.455
1998Januari–Maret 257.109 256.474 4.090April–Juni 42.929 46.873 146Juli–September 24.136 24.057 227Oktober–Desember 1.342 550 1.018
1999Januari–Maret 1.018 1.018 1.018April–Juni 0 0 1.018Juli–September 0 0 1.018Oktober–Desember 644 1.662 0
2000Januari 0 0 0Februari 0 0 0Maret 0 0 0April 0 0 0Mei 0 0 0Juni 0 0 0Juli 0 0 0Agustus 0 0 0September 0 0 0Oktober 0 0 0November 0 0 0Desember 0 0 0
254
296.727
59.738
45.945
13.793
236.989
96.287
20.837
75.450
48.853
9.975
17.100
397
5.642
1.638
57.097
–
296.727
–
6.500
27.000
Penerimaan migas dan nonmigas
Penerimaan minyak bumi dan
gas alam
Minyak bumi 3)
Gas alam 4)
Penerimaan nonmigas
Pajak Penghasilan
a. Migas
b. Nonmigas
Pajak Pertambahan Nilai Barang
dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah
Bea masuk
Cukai
Pajak ekspor
Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak lainnya
Penerimaan bukan pajak & LBM 5)
Penerimaan Lainnya Bersih 6)
Jumlah Penerimaan Dalam Negeri
Hibah
Catatan :
Privatisasi
Asset recovery
87.630
20.137
14.783
5.354
67.493
27.062
20.351
2.579
4.263
81
2.413
591
10.153
–
87.630
–
–
–
205.043
58.482
38.024
20.458
146.561
59.683
33.087
4.177
10.381
848
4.071
568
33.746
–
205.043
51
3.727
12.886
112.276
30.559
22.264
8.295
81.717
34.388
25.199
2.999
5.101
129
2.641
478
10.782
–
112.276
–
–
–
158.042
41.368
25.957
15.411
116.674
55.944
27.803
2.306
7.733
4.630
3.565
413
14.280
–
158.042
62
1.634
–
178.297
33.320
25.311
7.918
145.067
54.225
10.036
44.189
27.002
4.976
10.272
923
2.901
1.139
43.630
–
178.297
–
6.500
18.900
212.835
59.618
44.892
14.726
153.216
57.615
17.471
40.144
31.525
6.116
10.632
338
3.824
1.014
42.152
–
212.834
–
–
18.900
p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)*) Realisasi sampai dengan 31 Maret 20001) APBN (April – Desember 2000)2) APBN-p3) Sebelum TA 2000 termasuk PPh minyak bumi4) Sebelum TA 2000 termasuk PPh gas alam5) Termasuk privatisasi dan asset recovery6) Selisih yang belum diperhitungkan
Sumber : Departemen Keuangan
Tabel 31Penerimaan Pemerintah
(miliar rupiah)
2000Rincian 1996/97p 1997/98p 1998/99p 1999/00* 2001
APBN1) Realisasi 2) APBN
255
Pengeluaran operasionalBelanja pegawai
Gaji dan pensiunTunjangan berasBiaya makan/lauk paukLain-lain belanja pegawai dalam negeriBelanja pegawai luar negeri
Belanja barangBelanja barang dalam negeriBelanja barang luar negeri
Subsidi daerah otonom3)
Belanja pegawaiBelanja non-pegawai
BungaUtang dalam negeri 4)
Utang luar negeriSubsidi
Subsidi BBMSubsidi non BBM5)
Lain-lain termasuk Departemen Hankam
Pengeluaran investasiDepartemen/lembagaPembiayaan bagi daerah
Inpres pembangunan DesaInpres pembangunan Dati IIInpres pembangunan Dati IInpres daerah dengan dana PBBInpres sekolah dasarInpres kesehatanInpres program makanan tambahan anak sekolahInpres desa tertinggalProgram JPS 7)
Dana JPS dan pemberdayaan masyarakat 8)
Dana JPS dan penanggulangan kemiskinan 9)
Lain-lain pembangunan 10 )
Cadangan anggaran pembangunanBantuan proyek
J u m l a h
Tabel 32Pengeluaran Pemerintah
(miliar rupiah)
2000Rincian 1996/97p 1997/98p 1998/99p 1999/00* 2001
APBN1) Realisasi 2) APBN 11)
47.45514.45513.004
768101479103
8.1097.825
2849.3588.874
4846.610
–6.6101.6021.416
1867.321
34.76711.1608.869
4582.9411.3942.396
592564
–524
–––
2.838–
11.900
82.222
72.55317.26913.698
7881.174
671938
8.9998.242
75711.06110.520
54110.818
–10.81821.121
9.81411.307
3.285
36.75011.160
9.864467
3.4401.6082.352
658592
263484
–––
1.340–
14.386
109.303
118.44423.21618.657
1.2451.5471.073
6959.8628.888
97413.07412.408
66632.864
8.38524.48035.78628.607
7.1793.642
54.22512.15013.575
4743.8281.7323.703
591814
409218
1.807––
2.318–
26.181
172.669
168.86132.10626.427
1.8822.1161.040
6409.9719.791
18017.34116.568
77342.84622.23120.61560.76840.92319.845
5.829
51.31611.26212.661
8074.1862.3823.608
––
–––
1.679–
4.161–
23.232
220.177
182.39129.99024.868
1.5281.7401.047
8069.0478.339
70817.59316.588
1.00553.32937.77018.55959.72651.135
8.59012.706
41.5167.007
16.301670
6.6023.2993.542
––
––––
2.1881.608
–16.600
223.907
156.14230.68225.761
1.5271.5851.014
7959.4418.676
76518.11417.363
75154.62337.99816.62530.82822.462
8.36612.454 6)
40.8887.494
15.409670
6.0403.2813.593
––
––––
2.8251.956
–16.030
197.030
190.91839.96933.658
1.5862.1141.3711.2409.6898.735
954– 12)
––
76.55053.46023.09053.95241.30412.64810.759 13)
43.16216.368
– 12)
––––––
–––––
4.530–
22.265
234.080
p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)*) Realisasi sampai dengan 31 Maret 20001) APBN (April – Desember 2000)2) APBN-p3) Berubah menjadi Dana Rutin Daerah sejak TA. 1999/20004) Utang dalam negeri untuk pembayaran bunga program restrukturisasi perbankan5) Termasuk subsidi pupuk, subsidi pangan, subsidi bunga kredit program, dan subsidi lainnya6) Termasuk cadangan untuk bunga obligasi program restrukturisasi perbankan Rp4.366,5 miliar dan dana reboisasi Rp4.744,8 miliar7) Berlaku sejak TA. 1998/998) Berlaku sejak TA 1999/20009) Berlaku sejak TA 2000
10) Termasuk PMP11) APBN12) Sejak TA 2001 menjadi bagian dari dana perimbangan13) Termasuk dana kontinjensi desentralisasi Rp6.092,3 miliar
Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
256
Tabel 33Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)
(miliar rupiah)
G i r o Deposito
Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-rupiah valas jumlah rupiah2) valas jumlah
1996
1996/97
1997
1997/98
1998
1999
Maret
Juni
September
Desember
2000
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
44.817 12.675 57.492 119.165 43.496 162.661 61.565 281.718
42.628 14.375 57.003 119.283 44.374 163.657 66.321 286.981
53.103 30.125 83.228 125.743 80.652 206.395 67.990 357.613
64.074 44.629 108.703 177.954 94.106 272.060 72.173 452.936
58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.524
60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.499
63.056 38.835 101.891 325.746 91.950 417.696 89.088 608.675
71.250 52.357 123.607 301.469 104.389 405.858 117.802 647.267
68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.618
72.629 46.213 118.842 301.020 88.050 389.070 129.857 637.769
73.573 45.781 119.354 304.216 86.802 391.018 132.705 643.074
75.847 46.078 121.925 301.087 86.670 387.757 135.801 645.483
75.277 48.796 124.073 302.905 87.210 390.115 138.434 652.622
76.604 54.777 131.381 301.908 91.187 393.095 143.374 667.850
84.262 49.805 134.067 289.385 87.737 377.122 146.662 657.851
87.511 54.114 141.625 283.019 88.528 371.547 149.162 662.334
90.820 51.428 142.248 286.510 81.223 367.733 148.066 658.047
94.576 56.820 151.396 286.843 83.942 370.785 148.665 670.846
100.953 58.996 159.949 293.163 90.004 383.167 149.618 692.735
102.182 69.959 172.141 296.284 93.150 389.435 152.937 714.513
104.538 70.970 175.508 296.884 93.658 390.542 154.329 720.379
Tabungan JumlahAkhir periode
1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito
257
Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h
Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah
15.536 2.836 18.372 21.620 5.601 27.221 4.375 2 4.377 3.286 4.236 7.522 44.817 12.675 57.49214.111 3.024 17.135 21.873 6.764 28.637 3.287 2 3.289 3.357 4.585 7.942 42.628 14.375 57.00317.492 7.125 24.617 24.301 12.693 36.994 4.014 7 4.021 7.296 10.300 17.596 53.103 30.125 83.22820.595 9.638 30.233 28.663 14.812 43.475 2.738 12 2.750 12.078 20.167 32.245 64.074 44.629 108.70324.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418
28,271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.24626.620 9.506 36.126 23.785 12.804 36.589 5.471 12 5.483 7.180 16.513 23.693 63.056 38.835 101.89129.295 12.616 41.911 27.438 18.402 45.840 6.262 12 6.274 8.255 21.327 29.582 71.250 52.537 123.60725.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566
25.713 11.898 37.611 29.539 15.066 44.605 7.297 23 7.320 10.080 19.226 29.306 72.629 46.213 118.84226.112 11.823 37.935 30.230 14.690 44.920 6.882 14 6.896 10.349 19.254 29.603 73.573 45.781 119.35428.859 12.539 41.398 32.432 14.695 47.127 5.412 16 5.428 9.144 18.828 27.972 75.847 46.078 121.92526.375 12.625 39.000 32.443 15.040 47.483 6.895 20 6.915 9.564 21.111 30.675 75.277 48.796 124.07326.178 15.544 41.722 33.205 16.303 49.508 7.083 16 7.099 10.138 22.914 33.052 76.604 54.777 131.38133.858 9.696 43.554 33.056 16.768 49.824 8.123 20 8.143 9.225 23.321 32.546 84.262 49.805 134.06736.469 11.904 48.373 32.986 17.713 50.699 8.707 21 8.728 9.349 24.476 33.825 87.511 54.114 141.62539.521 11.900 51.421 32.696 16.539 49.235 9.691 18 9.709 8.912 22.971 31.883 90.820 51.428 142.24840.390 14.888 55.278 33.638 17.963 51.601 10.277 23 10.300 10.270 23.946 34.216 94.576 56.820 151.39643.226 15.545 58.771 35.408 18.284 53.692 11.050 22 11.072 11.269 25.144 36.413 100.953 58.996 159.94942.838 26.121 68.959 36.062 18.430 54.492 11.211 24 11.235 12.071 25.384 37.455 102.182 69.959 172.14149.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.824 10.404 27.695 38.099 104.538 70.970 175.508
Tabel 34Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Kelompok Bank(miliar rupiah)
19961996/9719971997/981998
1999MaretJuniSeptemberDesember
2000JanuariFebruariMaretAprilMeiJuniJuliAgustusSeptemberOktoberNovemberDesember
Akhir periode
258
Tabel 35Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Jangka Waktu(miliar rupiah)
1996
1996/97
1997
1997/98
1998
1998/99
Maret
Juni
September
Desember
2000
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah
1.214 25.255 40.598 32.932 50.511 12.151 162.661
1.334 27.711 42.190 33.251 47.441 11.730 163.657
359 25.377 28.664 34.637 88.987 28.371 206.395
2.140 28.937 27.841 30.101 138.596 44.445 272.060
610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798
502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799
430 18.990 22.291 49.632 284.152 42.202 417.696
501 20.056 35.305 41.479 268.885 39.632 405.858
436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071
644 13.455 32.869 47.022 249.597 45.483 389.070
652 13.410 33.231 48.547 247.841 47.337 391.018
628 12.992 45.123 55.711 231.854 41.449 387.757
532 9.850 47.031 55.345 232.913 44.444 390.115
560 10.329 44.221 54.553 234.721 48.711 393.095
666 9.217 42.666 52.589 230.451 41.534 377.123
460 8.660 42.920 53.262 218.558 47.687 371.547
4.855 7.827 41.767 57.392 212.207 43.685 367.733
6.836 7.719 35.941 59.614 204.986 55.689 370.785
11.160 7.848 30.485 65.770 208.769 59.135 383.167
12.932 7.231 26.163 66.026 217.825 59.258 389.435
14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542
1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
259
Tabel 36Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum
menurut Golongan Pemilik(miliar rupiah)
Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah
pemerintah sosial
Akhir periodeJumlah
Bukan
penduduk
P e n d u d u k
1996
1996/97
1997
1997/98
1998
1999
Maret
Juni
September
Desember
2000
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
3.990 2.134 4.933 6.131 26.792 10.684 341 46.617 17.359 118.981 184 119.165
4.079 1.991 5.480 5.836 26.117 10.923 322 47.668 16.581 118.997 286 119.283
5.363 1.786 6.323 6.540 26.512 12.784 282 56.856 9.031 125.477 266 125.743
6.124 1.882 6.845 11.470 35.877 13.344 420 94.053 7.500 177.515 439 177.954
8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016
8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022
9.600 4.578 8.936 18.483 52.347 21.128 832 197.883 11.223 325.010 736 325.746
10.344 4.208 10.975 17.524 51.329 22.709 774 172.889 10.078 300.830 639 301.469
11.268 4.713 11.916 20.463 46.882 20.187 952 173.786 10.167 300.334 1.097 301.431
11.519 5.608 9.905 21.904 46.580 20.014 715 173.063 10.756 300.064 956 301.020
12.702 4.986 11.646 24.790 48.669 19.798 692 169.654 10.649 303.586 630 304.216
12.455 3.863 10.844 22.616 48.714 22.328 619 169.245 9.600 300.284 803 301.087
12.567 4.577 11.409 25.230 48.582 21.996 777 166.587 10.352 302.077 828 302.905
12.056 3.898 12.846 25.769 49.049 19.844 815 166.334 10.462 301.073 835 301.908
7.595 4.023 12.012 23.603 48.048 19.434 604 162.654 10.599 288.572 813 289.385
4.816 3.482 12.966 22.661 45.995 18.847 575 161.637 11.277 282.256 763 283.019
4.311 4.544 13.975 22.232 47.466 18.929 606 162.648 10.393 285.104 1.406 286.510
4.206 4.846 24.420 19.843 41.948 21.207 1.041 162.539 4.579 284.628 2.215 286.843
4.602 6.832 25.549 19.323 41.950 21.291 1.711 163.952 6.583 291.792 1.371 293.163
4.112 6.536 25.221 18.462 42.453 22.255 1.143 167.666 6.523 294.372 1.912 296.284
4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.273 295.225 1.659 296.884
260
Tabel 37Sertifikat Deposito
(miliar rupiah)
Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah
1996 4.320 11.061 15.381
1996/97 3.205 11.113 14.318
1997 777 5.894 6.671
1997/98 493 3.409 3.902
1998 1.792 5.004 6.796
1999
Maret 829 2.825 3.654
Juni 1.054 2.696 3.750
September 801 1.751 2.552
Desember 491 2.156 2.647
2000
Januari 460 1.977 2.437
Februari 288 2.352 2.640
Maret 279 2.715 2.994
April 270 2.954 3.224
Mei 261 2.931 3.192
Juni 245 3.017 3.262
Juli 259 2.912 3.171
Agustus 306 3.352 3.658
September 360 3.434 3.794
Oktober 405 3.158 3.563
November 456 3.218 3.674
Desember 410 3.215 3.625
261
1996 38.044 55.858 216 131 15.324 5.577 53.584 61.5661996/97 38.767 60.521 238 140 15.522 5.661 54.527 66.3221997 42.872 62.765 274 173 17.295 5.052 60.441 67.9901997/98 43.232 66.653 271 220 19.102 5.300 62.605 72.1731998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.308
1999Maret 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.453Juni 46.853 82.306 139 1.378 18.231 5.404 65.223 89.088September 107.916 110.184 141 972 18.242 6.646 126.299 117.802Desember 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.981
2000Januari 49.602 122.521 161 850 17.593 6.486 67.356 129.857Februari 64.047 125.370 166 824 17.451 6.511 81.664 132.705Maret 47.607 127.821 196 1532 17.755 6.448 65.558 135.801April 48.700 130.969 195 756 17.173 6.709 66.068 138.434Mei 48.906 135.857 185 716 17.270 6.801 66.361 143.374Juni 49.442 138.732 191 1065 16.825 6.865 66.458 146.662Juli 49.233 141.221 198 869 16.957 7.072 66.388 149.162Agustus 51.020 140.638 198 702 16.195 6.726 67.413 148.066September 80.913 146.300 302 1290 748 1.075 81.963 148.665Oktober 64.791 147.746 230 929 975 944 65.996 149.619November 65.392 151.111 429 741 1.315 1.086 67.136 152.938Desember 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328
Tabel 38Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum
Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)
Tabungan yangpenarikannya dapat
dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode
262
Tabel 39Suku Bunga Kredit Rupiah Menurut Kelompok Bank 1)
(persen)
Bank Bank Bank Bank Asing & Bank Umum
Pemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran
Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal InvestasiKerja Kerja Kerja Kerja Kerja
16,88
20,41
29,03
28,28
27,03
23,51
21,61
21,14
21,12
20,36
20,23
19,64
18,99
19,69
18,54
18,62
18,67
18,66
18,40
15,02
16,12
22,35
22,49
21,45
19,21
17,48
17,31
17,26
16,48
16,34
16,22
15,79
15,40
15,34
16,19
16,47
16,67
16,53
20,48
23,04
30,20
26,57
24,35
21,47
21,81
21,42
20,97
20,23
20,22
19,54
19,42
19,47
19,62
21,58
21,31
21,35
21,11
15,26
15,49
15,83
15,54
14,89
14,38
13,43
11,75
11,65
11,64
11,62
19,31
18,98
18,91
17,72
18,00
18,04
18,05
18,11
20,24
28,22
38,70
36,47
32,42
23,22
19,57
18,94
18,11
17,62
17,60
17,55
17,65
17,63
17,56
17,88
17,70
17,60
17,55
19,69
27,31
40,32
39,96
32,06
24,24
20,61
20,27
18,76
18,28
17,99
17,78
17,85
17,59
17,54
18,00
17,70
17,64
17,59
17,07
26,76
42,89
40,84
29,41
19,82
18,28
17,24
16,84
16,37
16,19
15,79
15,96
16,29
16,25
15,32
15,32
15,41
15,42
19,59
25,22
35,53
40,25
33,49
26,28
22,70
18,43
17,32
16,81
15,96
15,96
15,20
15,20
15,20
14,88
15,02
15,31
15,49
19,04
25,40
34,75
33,12
28,84
23,07
20,68
20,08
19,75
18,93
18,83
18,42
18,14
18,01
17,93
17,99
17,90
17,84
17,65
16,36
18,94
26,23
26,10
22,75
19,73
17,80
17,43
17,14
16,46
16,30
16,54
16,21
15,86
15,79
16,62
16,78
16,94
16,86
Akhir Periode
1) Rata-rata tertimbang
1996
1997
1998
1999
Maret
Juni
September
Desember
2000
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
263
Rincian 1996 1997 1998 1999
Kredit dalam rupiah 234.490
Pertanian 15.158
Pertambangan 716
Perindustrian 51.984
Perdagangan 55.763
Jasa-jasa 78.391
Lain-lain 32.478
Kredit dalam valuta asing 58.431
Pertanian 2.472
Pertambangan 977
Perindustrian 26.866
Perdagangan 14.823
Jasa-jasa 13.265
Lain-lain 28
Jumlah 292.921
Pertanian 17.630
Pertambangan 1.693
Perindustrian 78.850
Perdagangan 70.586
Jasa-jasa 91.656
Lain-lain 32.506
Tabel 40Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
menurut Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek
2000
Mar. Jun. Sep. Des.
261.534
20.340
2.769
56.123
57.471
85.598
39.233
116.600
5.662
2.547
55.556
24.793
27.971
71
378.134
26.002
5.316
111.679
82.264
113.569
39.304
313.118
29.430
2.729
85.594
59.830
101.129
34.406
174.308
9.878
3.180
86.074
36.534
37.995
647
487.426
39.308
5.909
171.668
96.364
139.124
35.053
140.527
21.139
879
35.561
29.687
26.332
26.929
84.606
2.638
2.818
48.698
13.601
16.829
22
225.133
23.777
3.697
84.259
43.288
43.161
26.951
130.875
21.959
912
29.723
26.222
24.092
27.967
92.360
2.718
4.058
52.908
15.056
17.458
162
223.235
24.677
4.970
82.631
41.278
41.550
28.129
134.654
20.066
1.050
29.715
29.160
24.000
30.663
105.481
3.266
4.466
60.311
17.548
19.776
114
240.135
23.332
5.516
90.026
46.708
43.776
30.777
139.763
16.134
2.788
29.411
28.610
24.121
38.699
109.231
4.703
3.502
65.484
12.805
20.327
2.410
248.994
20.837
6.290
94.895
41.415
44.448
41.109
152.482
15.028
2.879
35.697
30.601
23.784
44.493
116.518
4.475
3.801
71.085
13.498
20.532
3.127
269.000
19.503
6.680
106.782
44.099
44.316
47.620
264
Tabel 41Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
Kredit modal kerja 222.478
Pertanian 5.893
Pertambangan 1.288
Perindustrian 54.602
Perdagangan 58.695
Jasa-jasa 69.494
Lain-lain 32.506
Kredit investasi 70.443
Pertanian 11.737
Pertambangan 405
Perindustrian 24.248
Perdagangan 11.891
Jasa-jasa 22.162
Lain-lain 0
Jumlah 292.921
Pertanian 17.630
Pertambangan 1.693
Perindustrian 78.850
Perdagangan 70.586
Jasa-jasa 91.656
Lain-lain 32.506
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek
2000
Mar. Jun. Sep. Des.Rincian 1996 1997 1998 1999
277.399
11.373
3.995
76.585
64.336
81.806
39.304
100.735
14.629
1.321
35.094
17.928
31.763
0
378.134
26.002
5.316
111.679
82.264
113.569
39.304
345.962
22.058
3.880
121.867
72.065
91.039
35.053
141.464
17.250
2.029
49.801
24.299
48.085
0
487.426
39.308
5.909
171.668
96.364
139.124
35.053
167.442
12.162
2.368
61.278
36.181
28.502
26.951
57.691
11.615
1.329
22.981
7.107
14.659
0
225.133
23.777
3.697
84.259
43.288
43.161
26.951
165.712 180.893 18.4381 203.724
13.129 11.014 9.211 8.693
2.649 3.101 3.158 3.796
60.445 68.913 72.577 80.572
33.861 38.943 34.131 36.318
27.499 28.145 24.195 26.725
28.129 30.777 41.109 47.620
57.523 59.242 64.613 65.276
11.548 12.318 11.626 10.810
2.321 2.415 3.132 2.884
22.186 21.113 22.318 26.210
7.417 7.765 7.284 7.781
14.051 15.631 20.253 17.591
0 0 0 0
223.235 240.135 248.994 269.000
24.677 23.332 20.837 19.503
4.970 5.516 6.290 6.680
82.631 90.026 94.895 106.782
41.278 46.708 41.415 44.099
41.550 43.776 44.448 44.316
28.129 30.777 41.109 47.620
265
Tabel 42Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asingmenurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
1. Bank PerseroPertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
2. Bank Swasta NasionalPertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
3. Bank Pemerintah DaerahPertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
4. Bank Asing dan CampuranPertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
5. Jumlah (1 s.d. 4)Pertanian
Pertambangan
Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Lain-lain
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjamaninvestasi dalam rangka bantuan proyek
2000
Mar. Jun. Sep. Des.Rincian 1996 1997 1998 1999
108.92512.111
921
33.562
22.887
25.510
13.934
149.9554.912
388
29.638
41.752
58.841
14.424
6.457229
14
375
1.100
2.170
2.569
27.584378
370
15.275
4.847
5.135
1.579
292.92117.630
1.693
78.850
70.586
91.656
32.506
153.26614.279
1.939
46.868
32.970
39.421
17.789
168.72310.185
2.500
35.592
40.513
63.716
16.217
7.539267
21
429
1.206
2.386
3.230
48.6061.271
856
28.790
7.575
8.046
2.068
378.13426.002
5.316
111.679
82.264
113.569
39.304
220.74717.012
1.989
84.510
43.601
55.792
17.843
193.36120.272
2.414
45.416
40.687
72.058
12.514
6.570354
19
409
1.053
1.820
2.915
66.7481.670
1.487
41.333
11.023
9.454
1.781
487.42639.308
5.909
171.668
96.364
139.124
35.053
112.288 102.364 100.941 98.630 102.06115.516 15.675 15.189 12.903 11.209
1.360 2.315 2.539 2.586 2.522
38.489 33.075 31.101 29.839 34.878
21.958 17.870 17.912 16.056 16.431
19.945 18.421 18.548 18.683 16.370
15.020 15.008 15.652 18.563 20.651
56.012 60.562 68.823 73.603 82.4255.740 6.300 5.305 4.906 4.987
371 405 426 782 863
14.421 16.432 19.756 19.948 22.914
13.307 15.140 19.963 19.833 21.656
15.605 15.058 15.364 15.836 17.500
6.568 7.227 8.009 12.298 14.505
6.793 7.344 8.600 9.296 10.106853 964 954 514 527
18 17 14 67 65
190 201 209 236 249
816 869 1.018 1.126 1.182
1.376 1.255 1.282 1.410 1.260
3.540 4.038 5.123 5.943 6.823
50.040 52.965 61.771 67.465 74.4081.668 1.738 1.884 2.514 2.780
1.948 2.233 2.537 2.855 3.230
31.159 32.923 38.960 44.872 48.741
7.207 7.399 7.815 4.400 4.830
6.235 6.816 8.582 8.519 9.186
1.823 1.856 1.993 4.305 5.641
225.133 223.235 240.135 248.994 269.00023.777 24.677 23.332 20.837 19.503
3.697 4.970 5.516 6.290 6.680
84.259 82.631 90.026 94.895 106.782
43.288 41.278 46.708 41.415 44.099
43.161 41.550 43.776 44.448 44.316
26.951 28.129 30.777 41.109 47.620
266
Tabel 44Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2000
(persen)
Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total
Jakarta 34 47 12 4 2 1 100
Bandung 39 36 18 5 2 1 100
Semarang 27 45 21 5 1 0 100
Surabaya 28 54 11 5 2 1 100
Medan 30 51 12 5 2 1 100
Padang 39 34 18 6 2 1 100
Makassar 33 43 17 5 2 1 100
Banjarmasin 32 48 13 4 2 1 100
Kantor
Tabel 43Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI
(triliun rupiah)
1996 1997 1998 1999 2000
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Jakarta 13,3 24,1 18,7 32,2 24,2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4
Bandung 11,8 7,0 14,1 9,1 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4
Semarang 9,9 5,1 11,8 6,9 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1
Surabaya 11,4 10,3 13,9 13,3 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6
Medan 4,5 4,6 6,9 7,7 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9
Padang 3,1 4,1 4,2 5,6 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1
Makassar 3,7 4,1 4,7 5,4 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4
Banjarmasin 2,9 3,9 3,6 4,9 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2
Jumlah 57,2 63,2 77,7 85,0 102,7 117,5 120,4 145,4 147,7 164,1
267
Kantor
Tabel 45Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI
(miliar rupiah)
1996 1997 1998 1999 2000
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Jakarta 13,5 94,9 14,4 79,5 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5
Bandung 14,5 8,6 17,3 8,7 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0
Semarang 22,5 8,8 23,2 7,4 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,5
Surabaya 3,9 10,4 2,9 15,9 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5
Medan 1,4 6,5 2,0 7,4 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,2
Padang 0,6 4,3 0,7 7,3 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,4
Makassar 1,3 4,9 1,0 7,4 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9
Banjarmasin 1,0 4,6 0,7 6,1 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,6
Jumlah 58,7 143,0 62,2 139,7 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,7
268
Tabel 46Pertumbuhan Ekonomi Dunia
(persen)
Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000*
Dunia 4,1 4,1 2,6 3,4 4,7
Negara Industri/Maju 3,2 3,4 2,4 3,2 4,27 Negara Industri Utama 3,0 3,2 2,5 2,9 3,9
Amerika Serikat 3,6 4,4 4,4 4,2 5,2Jepang 5,0 1,6 –2,5 0,2 1,4 1)
Jerman 0,8 1,4 2,1 1,6 2,9Perancis 1,1 2,0 3,2 2,9 3,5Italia 1,1 1,8 1,5 1,4 3,1Inggris 2,6 3,5 2,6 2,1 3,11)
Kanada 1,5 4,4 3,3 4,5 4,7Lain-lain 3,7 4,2 2,0 4,7 5,1
Negara Berkembang 6,5 5,7 3,5 3,8 5,6Afrika 5,7 2,8 3,1 2,2 3,4Timur Tengah dan Eropa 4,5 5,1 3,1 0,8 4,7Amerika Latin 3,6 5,4 2,2 0,3 4,3Asia 8,3 6,5 4,1 5,9 6,7
NIEs Asia 6,2 5,8 –2,3 7,8 7,9RRC 9,6 8,8 7,8 6,6 8,0Indonesia 7,8 4,7 –13,2 0,2 4,5Singapura 7,5 9,0 0,3 4,5 9,9Malaysia 8,6 7,7 –6,7 2,4 5,9Thailand 5,5 –1,3 –9,4 4,0 4,3Filipina 5,8 5,2 –0,5 2,2 3,9Vietnam 9,3 8,2 3,5 3,5 –
Negara-negara Transisi 2) –0,5 1,6 –0,8 2,4 4,9Eropa Tengah dan Timur 1,7 2,1 2,0 1,3 3,1Rusia –3,4 0,9 –4,9 3,2 7,0Transcaucasus dan Asia Tengah 1,3 2,6 2,5 4,6 5,3
1) Bloomberg, January 20002) Tidak termasuk Belarusia dan UkrainaSumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000
– Bank Indonesia
269
Tabel 47Inflasi Dunia
(persen)
Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *
Dunia 4,3 4,2 2,5 3,0 –Negara Industri/Maju 2,4 2,1 1,5 1,4 2,3
7 Negara Industri Utama 2,2 2,0 1,3 1,4 2,2Amerika Serikat 2,9 2,3 1,6 2,2 3,2Jepang 0,1 1,7 0,6 –0,3 -0,2Jerman 1,2 1,5 0,6 0,7 1,7Perancis 2,1 1,3 0,7 0,6 1,5Italia 3,9 1,7 1,7 1,7 2,5Inggris 3,0 2,8 2,7 2,3 2,0Kanada 1,6 1,4 1,0 1,7 2,3
Lain-lain 3,2 2,4 2,5 1,3 2,4
Negara Berkembang 14,6 9,2 10,3 6,6 6,2Afrika 25,9 11,1 8,7 11,8 12,7Timur Tengah dan Eropa 24,2 23,1 23,6 20,4 17,4Amerika Latin 22,4 13,2 10,6 9,3 8,9Asia 8,2 4,8 8,0 2,4 2,4
NIEs Asia 4,3 3,4 4,4 0,3 2,2RRC 8,4 2,8 –0,8 –1,5 1,5Indonesia 6,5 11,1 77,6 2,01 9,4Singapura 1,4 2,0 –0,3 0,2 2,01)
Malaysia 3,5 2,7 5,3 3,0 1,4Thailand 5,9 5,6 8,1 0,5 1,3Filipina 8,4 6,0 9,7 8,5 6,6Vietnam 5,8 3,2 7,7 7,6 –
Negara-negara Transisi 40,6 28,2 20,9 43,8 18,3Eropa Tengah dan Timur 32,0 36,7 17,8 20,6 18,8Rusia 47,8 14,7 27,7 85,9 18,6Transcaucasus dan Asia Tengah 64,1 36,5 15,3 15,4 14,8
1) NovemberSumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000
– Bank Indonesia– BPS– The Economist
270
Tabel 48Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar
Rincian 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *
Suku Bunga di Negara-negara IndustriJangka Pendek 4,10 4,00 4,00 3,80 –
Jangka Panjang 6,10 5,40 4,50 5,30 –
Nilai TukarYen/USD 108,78 120,99 130,91 113,9 107,9
DM/USD 1,50 1,73 1,76 1,84 2,13
USD/GBP 1,56 1,64 1,66 1,62 1,50
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000– IMF, International Financial Statistics, December 2000
Tabel 49Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia
(persen)
Rincian 1996r 1997r 1998r 1999r 2000 *
Volume perdagangan barang 5,8 10,0 4,1 5,2 10,4
Harga
Barang-barang Industri –3,1 –7,8 –1,2 –1,2 –5,3
Komoditas Primer Nonmigas –1,2 –3,2 –14,7 –7,1 3,2
Minyak 18,4 –5,4 –32,1 37,5 47,5
Sumber : IMF, World Economic Outlook, October 2000
271
Tabel 50Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang
(persen PDB)
Negara 1996r 1997r 1998r 1999r 2000
7 Negara Industri Utama
Amerika Serikat –1,6 –1,7 –2,5 –3,6 –4,2
Jepang 1,4 2,2 3,2 2,5 2,6
Jerman –0,3 –0,1 –0,2 –0,9 –0,2
Perancis 1,3 2,8 2,7 2,7 3,4
Italia 3,2 2,8 1,7 0,7 1,0
Inggris –0,1 0,8 – –1,2 –1,5
Kanada 0,6 –1,6 –1,8 –0,4 1,4
Negara Berkembang
RRC 0,9 3,8 3,4 1,3 1,2
Indonesia –3,5 –2,3 4,3 4,0 5,5
Singapura 15,9 15,7 20,9 21,1 21,9
Malaysia –4,9 –5,1 12,9 11,7 10,2
Thailand –7,9 –2,0 12,8 8,8 7,2
Filipina –4,7 –5,3 2,0 2,2 10,1
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, October 2000– The Economist, Januari 2001
272
Lampiran H
Specimen Pecahan Uang Kartalyang Diterbitkan Pada Tahun 2000
Pecahan Rp 1000
Bayang-bayang angka "1000" danlogo "BI" (Embossed- Latent Image)
Tulisan mikro "BI"Benangpengaman
Bayang-bayang logo"BI" ( Latent Image)
Rectoverso
Benang pengaman Tulisan mikro "BANK INDONESIA"
Rectoverso
Nomor Seri
Tulisan mikro "BANK INDONESIA"
Tulisan mikro "BI"
Angka nominal
GarudaPancasila
Nomor Seri
Gambar utama terasakasar bila diraba
Tulisan nominalterasa kasar
bila diraba
Angka nominalterasa kasar
bila diraba
Angka nominalterasa kasarbila diraba
Tanda airCut Nyak Meutia
Tanda airCut Nyak Meutia
Cetak Intaglio
273
Lampiran I
Daftar Singkatan
ACBF ASEAN Central Bank Forum
ADB Asian Development Bank
ADF Asian Development Fund
Ags Agustus
AP aktiva produktif
APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APEC Asia-Pacific Economic Cooperation
Apr April
APU angka pengganda uang
AS Amerika Serikat
ASA ASEAN Swap Arrangements
ASEAN Association of South-east Asian Nations
ATM automated teller machine
ATMR Aktiva Tertimbang Menurut Risiko
BBKU bank beku kegiatan usaha
BBM bahan bakar minyak
BCA Bank Central Asia
BDP bank dalam penyehatan
BEJ Bursa Efek Jakarta
BGub Biro Gubernur
BI Bank Indonesia
BI-LINE Bank Indonesia Layanan Informasi dan Transaksi secara Elektronis
BIPS Bulk Interbank Payment System
BIS Bank For International Settlement
BKD Badan Kredit Desa
BLBI Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
BLS Baseline Economic Survey
BMPK batas maksimum pemberian kredit
BNI Bank Negara Indonesia
BOE Bank of England
BOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu
bp basis point
BPD Bank Pembangunan Daerah
BPHTB Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
BPM Balance of Payment Manual
274
BPPN Badan Penyehatan Perbankan Nasional
BPR Bank Perkreditan Rakyat
BPS Badan Pusat Statistik
BUPLN Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
BRI Bank Rakyat Indonesia
BSA Bilateral Swap Arrangement
BTN Bank Tabungan Negara
BTO bank take over
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BUSN Bank Umum Swasta Nasional
CAR capital adequacy ratio
CBU Completely Built Up
CCL Contingent Credit Lines
CCCN Custome Cooperation Council Numencelature
CDF comprehensive development framework
CGI Consultative Group for Indonesia
CPO crude palm oil
D diragukan
D default
DAK dana alokasi khusus
DAP Detailed Action Plan
DASP Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Dati Daerah Tingkat
DAU dana alokasi umum
DBH dana bagi hasil
DHE devisa hasil ekspor
DEM Deutchmark
Depo Deposito
Des Desember
DGS Deputi Gubernur Senior
DI Daerah Istimewa
Dir Direktur
DJPLN Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri
DKI Daerah Khusus Ibukota
DLN Direktorat Luar Negeri
DN dalam negeri
DPK dalam perhatian khusus
DPK dana pihak ketiga
275
DPM Direktorat Pengelolaan Moneter
DPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DRC Disaster Recovery Centre
DSM Direktorat Statistik Moneter
DSR debt service ratio
DVP Delivery Versus Payment
EFT electronic fund transfer
EFF Extended Fund Facility
Ekuin ekonomi, keuangan, dan industri
EMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central Bankers
EO Exchange Offer
EVO Independent Evaluation Office
FCL foreign currency liquidity
FDI Foreign Direct Investment
Feb Februari
FLI Fasilitas Likuiditas Intrahari
f o b free on board
FSF Financial Stability Forum
Gaikindo Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
GBI Gubernur Bank Indonesia
GBP Great Britain Poundsterling
GDP gross domestic product
GDDS Global Data Dissemination Standard
GFA gross foreign assets
GTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH
GWM Giro Wajib Minimum
HCS hasil cetak sempurna
HCTS hasil cetak tidak sempurna
HPS harga patokan semen
HIPC Highly Indebted Poor Countries
HLI Highly Leverage Institutions
HS Harmonized System
Humas hubungan masyarakat
IBI Institut Bankir Indonesia
IBRD International Bank for Reconstruction and Development
ICOR Incremental Capital Output Ratio
IAI Ikatan Akuntan Indonesia
276
IHK indeks harga konsumen
IHPB indeks harga perdagangan besar
IHSG indeks harga saham gabungan
IMF International Monetary Fund
IMFC International Monetary Financial Committee
Infl inflasi
IPO Initial Public Offering
IRFCL International Reserve and Foreign Currency Liquidity
IT teknologi informasi dan telekomunikasi
Jan Januari
JBIC Japan Bank for International Cooperation
JIBOR Jakarta interbank offered rate
JITF Jakarta Initiative Task Force
JPY Japan Yen
Jul Juli
Jun Juni
KA Kereta Api
KAP kualitas aktiva produktif
KAPET Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu
KBI Kantor Bank Indonesia
KCS Kantor Cabang Syariah
Kep keputusan
Keppres Keputusan Presiden
KHM kebutuhan hidup minimum
KKBI Koordinator Kantor Bank Indonesia
KKP Kredit Ketahanan Pangan
KKPA Kredit Koperasi Primer untuk Anggota
KKSK Komite Kebijakan Sektor Keuangan
KLBI Kredit Likuiditas Bank Indonesia
KL kurang lancar
KMK Keputusan Menteri Keuangan
KMK kredit modal kerja
KPMM kewajiban penyediaan modal minimum
KPR Kredit Pemilikan Rumah
KRW Korean Won
KUK Kredit Usaha Kecil
KUT Kredit Usaha Tani
L/C Letter of Credit
277
LIBOR London Inter Bank Offered Rate
LIE Leading Indikator Ekonomi
LKNB lembaga keuangan nonbank
LLD lalu lintas devisa
LN luar negeri
LNG liquefied natural gas
LoI Letter of Intent
LPG liquefied petroleum gas
LPS Lembaga Penjamin Simpanan
M macet
Mar Maret
MDPB Master Dokumen Pengawasan Bank
MEE Masyarakat Ekonomi Eropa
MEFP Memorandum of Economic and Financial Policies
MEN Menteri
Menaker menteri tenaga kerja
Mendagri menteri dalam negeri
Menkeu menteri keuangan
Menko menteri koordinator
Menperindag menteri perindustrian dan perdagangan
Migas minyak dan gas
MKT masalah komputer tahun
MLA Master Loan Agreement
MMBTU mille mille British thermal unit
MoU Memorandum of Understanding
MPP Menteri Perindustrian dan Perdagangan
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
MSDM Manajemen Sumber Daya Manusia
m t m month to month
NAIRU Non-accelerating inflation rate of unemployment
NCG net claims on government
NDA net domestic assets
MDPB Master Dokumen Pengawasan Bank
NFA net foreign assets
NIM net interest margin
NIR net international reserve
No nomor
NOI net other items
278
Nov November
NPI Neraca Pembayaran Indonesia
NPLs non performing loans
NPWP Nomor Pokok Wajib Pajak
OAP Otomasi Administrasi Perkasan
ODA Official Development Assistance
OFC Offshore Financial Center
OKB Otomasi Kliring Bandung
OKJ Otomasi Kliring Jakarta
Okt Oktober
O/N overnight
OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries
OPT operasi pasar terbuka
OSP on-site supervisory presence
PAD Pendapatan Asli Daerah
PAM Perusahaan Air Minum
PAN perhitungan anggaran negara
PAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
PBB pajak bumi dan bangunan
PBI Peraturan Bank Indonesia
PDB produk domestik bruto
PDG Peraturan Dewan Gubernur
PDN Posisi Devisa Neto
PET perusahaan eksportir tertentu
PHBK Pengembangan Hubungan Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat
PHK pemutusan hubungan kerja
PHP Philipine Peso
Peruri Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMA penanaman modal asing
PMTDB Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
PMDN penanaman modal dalam negeri
PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak
PnDB Pendapatan Domestik Bruto
PNM Permodalan Nasional Madani
PNS pegawai negeri sipil
Polri Polisi Republik Indonesia
PP Peraturan Pemerintah
279
PPP Purchasing Power Parity
PPAP penyisihan penghapusan aktiva produktif
PPh pajak penghasilan
PPN pajak pertambahan nilai
PPSK Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
PROPENAS Program Pembangunan Nasional
PSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan Syariah
PT Perseroan Terbatas
PTTB pemberian tanda tidak berharga
PUAB pasar uang antar bank
PUKM Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro
RAPBN Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
REER real effective exchange rate
Repeta Rencana Pembangunan Tahunan
RESBI Rencana Suksesi Bank Indonesia
RI Republik Indonesia
RMB Real Money Balance
Rp Rupiah
RRC Republik Rakyat Cina
R/S reader / sorter
RTGS Real Time Gross Settlement
RUU Rancangan Undang-Undang
SARA suku agama ras aliran
SBA Stand By Arrangement
SBI Sertifikat Bank Indonesia
SBPU Surat Berharga Pasar Uang
SBPT Surat Bukti Penerimaan Transfer
s.d sampai dengan
SD selective default
SDA sumber daya alam
SDDS Special Data Dissemination Standard
SDM sumber daya manusia
SDR Special Drawing Rights
SE Surat Edaran
SEACEN South East Asia Central Bank
SEANZA South East Asia, New Zealand, and Australia Central Bank
SEG SEACEN Expert Group
SEK Survey Ekspektasi Konsumen
280
Sep September
SGD Singapore Dollar
SIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor
SIB Sistem Informasi Baseline Economic Survey
SID Sistem Informasi Debitur
SI Gap Saving Investment Gap
SILPA sisa lebih pembiayaan anggaran
SIMASDAM Sistem Informasi Manajemen Sumber Daya Manusia
SIPU Sistem Informasi Pengedaran Uang
SK Surat Keputusan
SKDU Survey Kegiatan Dunia Usaha
SKEJ Sistem Kliring Elektronik Jakarta
SNA Standardized National Account
SOKL semi otomasi kliring lokal
SOR Stop Out Rate
SPE survey penjualan eceran
SU-BI surat utang – Bank Indonesia
SUP Surat Utang Pemerintah
TA technical assistance
TAP Ketetapan
TDL tarif dasar listrik
TFP total factor productivity
THB Thailand Bath
thd terhadap
TMF Trade Maintenance Facility
TNI Tentara Nasional Indonesia
TPAK tingkat partisipasi angkatan kerja
TPP Tunjangan Perbaikan Penghasilan
Trw triwulan
TV Televisi
UIP Uncovered Interest Rate Parity
UKIP Unit Khusus Investigasi Perbankan
UKM usaha kecil dan menengah
ULN utang luar negeri
UMR upah minimum regional
US United States
USAID United States Agencies for International Development
USD United States Dollar
281
UU Undang-Undang
UYD uang yang diedarkan
Valas valuta asing
VAP Voluntary Action Plan
WB World Bank
WBUT Wesel bank untuk Transfer
WPI Wholesale Price Index
WTO World Trade Organization
Y o Y year on year