LAPORAN PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS STUDI KETAHANAN ...
Transcript of LAPORAN PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS STUDI KETAHANAN ...
LAPORAN
PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS
STUDI KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA TERDAMPAK COVID 19
(ZONA MERAH) DI WILAYAH BANTEN
TIM PENGUSUL
Ketua Peneliti AHMAD FARIDI, SP, MKM NIDN. 0307077101
Anggota Peneliti MOHAMMAD FURQAN, MKM NIDN. 0315097906
PROGRAM STUDI GIZI
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR HAMKA
2020
LEMBAR PENGESAHAN
PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS (PPI)
Judul Penelitian :
Studi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berdampak Covid 19 (Zona Merah) Diwilayah
Banten
Jenis Penelitian : PENELITIAN PENGEMBANGAN IPTEKS (PPI)
Ketua Peneliti : Ahmad Faridi, SP, MKM
Link Profil SIMAKIP
: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/556
Fakultas
: Ilmu – Ilmu Kesehatan
Anggota Peneliti : Mohammad Furqan, MKM
Link Profil SIMAKIP
: http://simakip.uhamka.ac.id/pengguna/show/795
Waktu Penelitian
: 6 Bulan
Luaran Penelitian :
Luaran Wajib : Jurnal Internasional Terakreditasi Scopus 4
Status Luaran Wajib : In-review
Luaran Tambahan : HAKI
Status Luaran Tambahan : Garanted
Mengetahui Jakarta, 30 Nopember 2020
Ketua Program Studi Gizi Ketua Peneliti,
(Debby Endayani, Safitri, S.Gz, MKM Ahmad Faridi, SP, MKM
NIDN. 0320049002 NIDN. 0307077101
Menyetujui,
Dekan Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan Ketua Lemlitbang UHAMKA
Ony Linda, SKM, M.Kes Prof. Dr. Suswandari, M.Pd
NIDN. 0330107403 NIDN. 0020116601
ABSTRAK
Di Indonesia, situasi ketahanan pangan masih menyisakan masalah dan tantangan besar. Dari
tahun penduduk yang mengkonsumsi energi sangat kurang (<70% AKE) juga masih tinggi yaitu
45.7 % sedangkan proporsi penduduk dengan konsumsi protein sangat kurang (<80%AKP)
adalah 36.1%. Kondisi status gizi masyarakat sebagai salah satu proxy ketahanan pangan seperti
prevalensi nasional stunting pada balita juga meningkat yakni 36.8 % di tahun 2007 menjadi 37.2
% tahun 2013. Rumah tangga yang sudah terbiasa dengan kerawanan pangan akanmenemukan
situasi yang lebih sulit saat ini dengan diperburuk oleh Covid-19 sebagai sumber daya yang lebih
sedikit untuk mematuhi rekomendasi jarak sosial. Individu yang rawan pangan juga mungkin
kurang eksibel dalam pekerjaannya untuk memungkinkan mereka memperoleh penghasilan saat
tinggal di rumah, atau mungkin berisiko lebih tinggi kehilangan pekerjaan sama sekali, sehingga
menurunkan (atau menghilangkan) penghasilan mereka. Faktor-faktor ini dapat membuat rumah
tangga rawan pangan berisiko lebih tinggi tertular Covid-19 dan rawan pangan yang lebih besar
karena efek ekonomi dari upaya mitigasi Covid-19. Tujuan penelitian ini untuk melihat
gambaran karakteristik keluarga, pola konsumsi dan ketahanan pangan sebelum dan saat covid-
19 terjadi di wilayah provinsi Banten. Metode penelitian yang digunakan dengan disain cross
sectional studi dengan jumlah responden 218 rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa ada perbedaan pola konsumsi keluarga sebelum dan saat covid-19 dengan nilai (p=0.000)
dan ada perbedaan rata-rata skor ketahanan pangan keluarga sebelum dan saat covid-19 dengan
nilai (p=0.000).Kesimpulan yang diambil bahwa kondisi pandemi covid-19 mempengaruhi pola
konsumsi dan ketahanan pangan keluarga oleh karena itu diperlukan modifikasi pola makan yang
beragam agar dapat tetap bertahan keluarga tersebut
Kata Kunci : Ketahanan_ pangan, Aksesibilitas_ pangan, Status _Gizi, Covid _19
iii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN PENGESAHAN i
SURAT KONTRAK PENELITIAN ii
ABSTRAK iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB 1. PENDAHULUAN 1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 4
BAB 3. METODE PENELITIAN 9
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 12
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN 21
BAB 6. LUARAN YANG DICAPAI 22
BAB 7. RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILARISASI 23
DAFTAR PUSTAKA 24
LAMPIRAN (Bukti Luaran)
- Artikel ilmiah (draft, status submission, atau reprint)
- HAKI, Publikasi dan Produk penelitian lainnya
iv
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Cara Pengumpulan Data Sampel 10
Tabel 2. Karakteristik Keluarga, Pola Konsumsi dan Ketahanan Pangan 14
Tabel 3. Pola konsumsi sebelum dan saat Covid-19 17
Tabel 4. Ketahananpangan keluarga sebelum dan saat Covid-19 17
v
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. State of The Art Penelitian Studi Ketahanan Pangan Rumah Tangga 7
Terdampak Covid 19 di Wilayah Propinsi Banten
Gambar 2. Roadmap Penelitian Studi Ketananan Pangan 8
Gambar 3. Kerangka Konsep Studi Ketahanan Pangan Rumah Tangga 9
Gambar 4. Alur Penelitian Studi Ketahanan Pangan Keluarga 10
vi
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan realita yang terjadi 20 tahun belakangan ini terlihat bahwa ada tren periodik
setiap 5 tahunan ledakan wabah penyakit terjadi. SARS pada tahun 2000-an, flu burung pada
2004/5, flu babi pada 2009/10, ebola pada 2014/15, dan saat ini yaitu Corona Virus Disease
tahun 2019/20 Covid-19 (Almara, 2020). Merebaknya pandemi COVID-19 turut berimplikasi
terhadap lonjakan permintaan akan bahan kebutuhan pokok. Anjuran pemerintah agar
masyarakat melakukan kegiatan bekerja, belajar dan beribadah dari rumah mendorong
masyarakat untuk melakukan pembelian sembako secara masif guna memenuhi persediaan
hingga beberapa waktu mendatang. Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis
Nasional (PIHPS) per 23 Maret 2020, beberapa komoditas bahan pokok mengalami kenaikan
harga (rata-rata harga nasional) yang signifikan dalam sebulan terakhir dan kenaikan sejak awal
tahun (year to date/ytd) antara lain gula pasir lokal 18,71% (ytd 31,2%), gula pasir kualitas
premium 10,68% (ytd 15,54%), bawang putih naik 36% (ytd), bawang merah 5,56% (ytd
4,57%), cabai rawit merah 18,11% (ytd 2,74%). Sementara itu, harga kebutuhan pokok lainnya
seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, dan minyak goreng relatif stabil.
Kondisi kerawanan pangan sering dikaitkan dengan munculnya berbagai masalah.
Kegagalan dalam mengakses pangan yang bergizi akan menyebabkan munculnya masalah gizi
seperti kekurangan gizi pada balita (Hackett et al. 2009; Motbainor et al. 2015). Selain itu
kerawanan pangan pula terkait dengan kejadian obesitas pada wanita (Franklin et al. 2011; Pan
et al. 2012) dan kejadian penyakit kronis (Seligman et al. 2010; Gowda et al. 2012). Kerawanan
pangan juga dikaitkan sebagai perilaku seks berisiko (Vogenthaler et al. 2013), dihubungkan
dengan kecemasan dan depresi, strategi bertahan (coping strategy) berisiko serta hasil kehamilan
yang buruk pada wanita (Ivers & Cullen 2011). Kerawanan pangan bahkan dapat memiliki
dampak sosial yang lebih luas seperti gangguan perkembangan mental anak (Rose-Jacobs et al.
2008; Slopen et al. 2010).
Di Indonesia, situasi ketahanan pangan masih menyisakan masalah dan tantangan besar.
Dari tahun 1990 ke tahun 2014 terjadi pertambahan proporsi penduduk kelaparan (asupan kalori
<1400 kkal/kapita/hari) dari 17 % menjadi 17.39 % (BAPPENAS 2015). Proporsi penduduk
yang mengkonsumsi energi sangat kurang (<70% AKE) juga masih tinggi yaitu 45.7 %
2
sedangkan proporsi penduduk dengan konsumsi protein sangat kurang (<80%AKP) adalah
36.1% (Balitbangkes RI 2014). Kondisi status gizi masyarakat sebagai salah satu proxy
ketahanan pangan seperti prevalensi nasional stunting pada balita juga meningkat yakni 36.8 %
di tahun 2007 menjadi 37.2 % tahun 2013 (Balitbangkes RI 2008; 2013).
Secara konseptual ketahanan pangan (food security) merupakan isu yang sangat luas dan
kompleks yang mencakup 4 domain utama yaitu ketersediaan (availability), aksesibilitas
(accessibilty), dan pemanfaatan (utilization), serta stabilitas (stability) serta memiliki level
hierarkis yakni secara makro (global, regional, nasional), komunitas (provinsi, kabupaten), dan
level mikro (rumah tangga dan individu) (Purwaningsih 2008; Pinstrup-Andersen 2009; Jones et
al. 2013). Ketersediaan pangan pada level makro belum tentu menjamin akses pangan rumah
tangga (Sen 1981) dan tercapainya status gizi individu yang baik (Barret 2010). Pangan dapat
saja tersedia dalam jumlah yang cukup di suatu wilayah namun belum tentu dapat diakses oleh
setiap rumah tangga. Oleh karena itu rumah tangga menjadi unit yang krusial untuk memastikan
akses pangan dalam kuantitas dan kualitas yang cukup bagi setiap individu anggota rumah
tangga.
Provinsi Banten merupakan wilayah zona merah berdampak covid 19 yang telah dilakukan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sehingga akan berdampak pada rendahnya interaksi
masyarakat di wilayah tersebut. Dampak yang diakibatkan adalah semakin banyak kepala rumh
tangga yang tidak dapat bekerja yang pada akhirnya akan menurunnya daya konsumsi rumah
tangga, terutama bagi mereka yang pekerjaan sehari-harinya adalah pekerja harian (buruh), supir
angkutan umum, ojol, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Perumasan masalah dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana karakteristik sosial ekonomi rumah tangga diwilayah Banten dampak covid 19?
2. Bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga diwilayah Banten dampak covid 19?
3. Bagaimana status tingkat konsumsi energi dan protein rumah tangga diwilayah Banten
dampak covid 19?
4. Bagaimana status gizi balita yang ada di rumah tangga diwilayah Banten dampak covid 19?
3
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis ketahanan pangan rumah tangga diwilayah Banten
(Zona Merah) berdampak covid 19.
Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi rumah tangga diwilayah Banten dampak covid
19
2. Menganalisis ketahanan rumah tangga diwilayah Banten dampak covid 19 dilihat dari pilar
aksesibilitasnya
3. Menganalisis status konsumsi energi dan protein rumah tangga diwilayah Banten dampak
covid 19
4. Menganalisis status gizi balita diwilayah Banten dampak covid 19
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat memberikan informasi tentang kondisi ketahanan pangan
masyarakat berdampak covid 19
2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan sekaligus pertimbangan dalam
merumuskan kebijakan gizi dan pangan terutama pada komunitas masyarakat dengan kondisi
khusus seperti pandemi virus korona.
4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
A. Dampak Covid 19
Dampak dari terjadinya wabah Covid-19 ini bukan hanya sekadar penyakit yang
mempengaruhi kesehatan, namun juga dampak secara ekonomi. Dalam kasus ini, ketika semakin
banyak pekerja yang terinfeksi maka semakin banyak pula biaya untuk perawatan dan juga biaya
produksi yang tertanggung. Kondisi ini diperparah dengan beberapa negara yang menerapkan
kebijakan lockdown sehingga mempengaruhi impor bahan baku dan barang modal. Pada
akhirnya produksi turun, barang langka, dan harga barang meningkat. Kenaikan harga barang
yang disertai penghasilan yang menurun merupakan kondisi fatal daya beli masyarakat (Wibowo
dan Rachbini, 2020)
Dalam kondisi seperti ini, semua negara pasti akan melakukan relaksasi atau stimulus
keuangan. Perlu pengoptimalan penangan terhadap keadaan yang terjadi. Beberapa solusi yang
cocok dalam mengantisipasi situasi menghadapi wabah Covid-19 agar tidak membuat Indonesia
benar-benar merana yaitu pertama, relokasi anggaran pada sektor kesehatan, pasokan pangan dan
daya beli masyarakat. Pembiayaan dialihkan untuk pengadaan perlengkapan dan alat
penanggulangan wabah serta pembiayaan penelitian yang fokus menemukan anti virus. Relokasi
anggaran juga diberlakukan untuk menjaga ketersediaan bahan pokok kebutuhan pangan
masyarakat yang mengalami peningkatan akibat kepanikan pasar. Juga pemberian bantuan untuk
peningkatan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup. Kedua adalah stimulus
pendanaan dalam rangka peningkatan produksi dalam negeri sektor pertanian. Pada kondisi saat
ini kebutuhan akan makanan dengan giji dan nutrisi yang baik seperti sayur-sayuran dan buah-
buahan mengalami peningkatan permintaan. Selama ini Indonesia impor untuk memenuhi
permintaan terhadap komoditi ini (Wibowo dan Rachbini, 2020).
B. Konsep Ketahanan Pangan
Konsep ketahanan pangan terus mengalami perkembangan. Jika ditelusuri maka dapat
dimulai dari tahun 1943 ketika masa perang dunia II diadakan Hot Spring Conference of Food
and Agricultural oleh 44 negara di Virginia atas prakarsa presiden AS Franklin D Rosevelt
(Phillips 1981). Konsep yang dikembangkan saat itu adalah negara-negara surplus pangan perlu
membagi pangan dengan negara lain yang membutuhkan demi terpenuhinya pasokan pangan
yang aman dan cukup bagi setiap orang.
5
Di Indonesia, konsep ketahanan pangan tertuang dalam UU nomor 18 tahun 2012 yang
mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan
agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan
C. Dimensi Ketersediaan (Food Availability)
Menurut Fahriyah et al. (2015) informasi terkait ketersediaan pangan di suatu negara atau
wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu dapat dilihat dengan menggunakan analisis neraca
bahan makanan (NMB). Neraca Bahan Makanan memberikan informasi tentang situasi
pengadaan atau penyediaan pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pasokan dari luar,
dan stok serta penggunaan pangan untuk kebutuhan pakan, bibit, penggunaan untuk industri.
Lebih lanjut menurut Suryana (2014) aspek ketersediaan pangan salah satunya dapat dilihat dari
indikator ketersediaan energi dan protein yang dihitung dengan cara mengkonversikan jumlah
berbagai jenis pangan yang tersedia terhadap angka kandungan gizi per satuan tertentu dari
masing-masing jenis pangan tersebut.
Menurut FAO (2006) ketersediaan pangan pada tingkat global dan nasional tidak
menjamin ketahanan pangan pada level rumah tangga. Menurut Lantarsih et al. (2011) meskipun
ketahanan pangan wilayah belum menjamin terciptanya ketahanan pangan rumah tangga namun
ketahanan pangan wilayah menjadi prasyarat terwujudnya ketahanan pangan pada tingkat rumah
tangga.
D. Dimensi Aksesibilitas (Food Accessibility)
Menurut Carletto et al. (2012) yang dimaksud askes pangan merujuk pada akses terhadap
sumber daya yang memadai (hak) untuk memperoleh makanan yang bergizi. Dimensi
aksesibilitas lebih berfokus pada tingkat rumah tangga. Menurut Pinstrup-Andersen (2009)
rumah tangga disebut tahan pangan apabila memiliki kemampuan untuk memperoleh (akses)
pangan yang dibutuhkan anggota rumah tangganya. Akses pangan yang dimaksud merujuk pada
akses secara fisik, ekonomi dan secara sosial budaya. Menurut DKP (2015) pangan mungkin
tersedia secara fisik di suatu daerah, akan tetapi mungkin tidak dapat diakses oleh rumah tangga
tertentu karena terbatasnya (1) akses fisik berupa infrastruktur pasar, akses untuk mencapai pasar
dan fungsi pasar; (2) akses ekonomi yakni kemampuan keuangan untuk membeli makanan yang
6
cukup dan bergizi; dan/atau (3) akses sosial berupa modal sosial yang dapat digunakan untuk
mendapatkan mekanisme dukungan informal seperti barter, meminjam atau adanya program
dukungan sosial.
Pengukuran dan indikator aksesibilitas pangan pada tingkat rumah tangga sangat banyak.
Pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dapat dilakukan dengan berbagai cara dan
pendekatan diantaranya (1) Survei konsumsi dan pengeluaran rumah tangga seperti Household
Consumption and Expenditure Surveys (HCEs); (2) Pendekatan keragamaan konsumsi misalnya
Food Consumtion Score (FCS) dan Household Dietary Diversity Score (HDDS); (3)
Berdasarkan pendekatan adaptasi partisipatif seperti Coping Strategies Index (CSI) dan
Household Economy Approach (HEA); serta (4) Pengukuran langsung dengan berbasis
pengalaman (experience-based) seperti Household Food Security Survey Module (HFSSM),
Household Food Insecurity Access Scale (HFIAS), Household Hunger Scale (HHS), Latin
American and Caribbean Food Security Scale atau Escala Latinoamericana y del Caribe de
Seguridad Alimentaria (ELCSA) (Jones et al. 2013).
E. Determinan Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Dari hasil-hasil penelitian terdahulu, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
ketahanan pangan rumah tangga diantaranya (1) faktor sosial seperti seperti usia kepala rumah
tangga, besar keluarga, tingkat pendidikan; (2) fakor ekonomi yang menentukan akses ekonomi
seperti pekerjaan, pendapatan, pengeluaran, harga pangan; (3) faktor lingkungan seperti kondisi
wilayah, lokasi tempat tinggal, dan musim.
Usia kepala rumah tangga terkait ketahanan pangan pada rumah tangga tersebut. Usia
kepala rumah tangga di atas 60 tahun lebih berpeluang menjadi tahan pangan dibandingkan
dengan kepala rumah tangga yang lebih muda (Wiranthi 2014). Meskipun demikian hasil
penelitian Olaniyi (2014) bahwa rumah tangga dengan usia kepala rumah tangga yang lebih tua
cenderung rawan pangan dibandingkan dengan rumah tangga dengan usia yang lebih muda.
Modal sosial seperti lama tahun pendidikan suami dan istri memiliki dampak positif
terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Menurut Willows et al. (2008) semakin tinggi tingkat
pendidikan yang ditamatkan rumah tangga maka peluang agar tahan pangan juga semakin besar.
Jenis pekerjaan utama di bidang pertanian dan perikanan, kehutanan menurunkan peluang rumah
tangga menjadi tahan pangan. Kehilangan pekerjaan dapat meningkatkan risiko menjadi rawan
pangan (Olaniyi 2014).
7
Kondisi wilayah antara desa dan perkotaan juga terkait dengan kejadian rawan pangan
(Nurlatifah 2011). Tempat tinggal di daerah pedesaan menurunkan peluang menjadi tahan
pangan (Wiranthi 2014). Hasil penelitian Rosyadi dan Purnomo (2012) menemukan desa-desa
tertinggal di Kabupaten Sukoharjo memiliki ketahanan pangan yang rendah. Kinerja produksi
pangan khususnya beras telah meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, namun
peningkatan produksi belum mampu mengimbangi pertumbuhan konsumsi beras yang tumbuh
lebih tinggi dari pertumbuhan produksi padi.
Gambar 1. State of The Art Penelitian Studi Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berdampak
Covid 19 di Wilayah Propinsi Banten
• Latar Belakang
• Masalah Penelitian
• Pertanyaan Penelitian
State of art
• Kuantitatif
Metodologi• Survey
• Wawancara Peneliti
• Crossectional
• Perhitungan Ernergi
Aktivitas Riset
•pandemi covid 19
•Ketahan an pangan Rumah tagga terkait kasusu khusu
Kebaruan (novelty)
• Jurnal Internasional
• Pedoman Ketahanan Pangan Rumah Tangga
Luaran Penelitian
8
ROADMAP PENELITIAN
Berdasarkan studi pendahuluan diatas, serta beberapa penjelasan konsep yang telah dijelaskan, maka roadmap penelitian ini yang telah, sedang
dan akan dikembangkan sebagai berikut yang tertuang dalam bagan/gambar dibawah ini :
Gambar 2. Roadmap Penelitian Studi Ketananan Pangan
Studi tentang ketahanan pangan
1. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan,Kebijakan,dan Pemberdayaan Masyarakat tahun2008
2. Penggunaan pangsa pengeluaran pangansebagai indikator komposit ketahanan pangan.tahun 2007
3. Socio-economic, behavioural andenvironmental factors predicted body weightsand household food insecurity scores in theEarly Childhood Longitudinal Study-Kindergarten. tahun 2008
4. Studi Ketahanan Pangan Pada RumahtanggaMiskin dan Tidak Miskin tahun 2006
Pemerintah mengembangkan :
Peta Ketahanan dan KerentananPangan Indonesia tahun 2015.
Pengembangan di Luar negeri :
Selecting Interventions for FoodSecurity in Remote IndigenousCommunities. tahun 2013
Penelitian dikembangkan terkaitdengan ketahanan pangan padatingkat rumah tangga dengankejadian khusus (pandemi,kerusahan, gempa dan bencana) padatahun 2020-2024
9
BAB 3. METODE PENELITIAN
A. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3. Kerangka Konsep Studi Ketahanan Pangan Rumah Tangga
B. Disain Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kuantitatif analitik dengan menggunakan desain cross sectional
yakni pengamatan variabel independen (faktor risiko) dan variabel dependen (efek) dilakukan
secara simultan pada satu waktu (Ghazali et al. 2011).
C. Lokasi Penelitan
Penelitian ini dilaksanakan di 4 kabupaten /kota Provinsi Banten pada bulan Juni-Agustus 2020 .
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam peneltian ini adalah seluruh rumah tangga yang ada di provinsi Banten
berdampak covid 19 dan sampelnya diambil dari 4 kabupaten/kota (Pandeglang, Lebak,
Tangerang dan Serang).
10
E. Alur Penelitian
Gambar 4. Alur Penelitian Studi Ketahanan Pangan Keluarga
F. Instrumen dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan responden atau informan dengan menggunakan kuesioner
sedangkan data sekunder diperoleh dari pencarian internet dan data pemerintah setempat.
Tabel 1. Cara Pengumpulan Data Sampel
Aspek Jenis Data Cara Pengumpulan
Karakteristik Sosial Ekonomi
Rumah Tangga
a. Ukuran rumah tangga
b. Pendidikan
c. Pekerjaan rumah tangga
d. Pendapatan
e. Pengeluaran
f. Akses fisik ke pasar
terdekat (jarak, waktu,
moda transportasi)
Wawancara menggunakan
kuesioner (sampel : Isteri
atau Suami)
Ketahanan Pangan Rumah
Tangga
a. Pengalaman kerawanan
yang dialami
b. Frekuensi kerawanan
Wawancara menggunakan
kuesioner HFIAS
(Responden: kepala rumah
tangga atau orang yang
bertanggungjawab
menyiapkan makanan untuk
keluarga)
Konsumsi Rumah Tangga
a. Tingkat Kecukupan
Energi (TKE)
b. Tingkat Kecukupan
Wawancara dengan
kuesioner household 24 h-
recall sebanyak 2 hari
11
Protein (TKP)
(Responden: ibu rumah
tangga).
Status Gizi Balita
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Berat Badan
d. Tinggi badan/panjang
badan
Wawancara dan pengukuran
antropometri dengan
menggunakan timbangan,
pengukur panjang badan atau
microtoice (Responden: ibu
dan balita)
G. Manajemen dan Analisis Data
Analisis univariat dilakukan dengan distribusi frekuensi terhadap data kategorik seperti
besar keluarga, pendidikan rumah tangga, pekerjaan orang tua, status ketahanan pangan, tingkat
kecukupan energi dan protein, serta status gizi balita, sedangkan data numerik seperti total
pendapatan rumah tangga, jarak dan waktu tempuh dari rumah ke pasar dilakukan dengan
menghitung rata-rata serta standar deviasi. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara dua variabel dengan menggunakan uji chi-square. Variabel yang berhubungan
pada analisis bivariat dilanjutkan dengan analis multivariat. Analisis multivariat menggunakan
regresi logistik untuk mengukur pengaruh variabel dependen terhadap variabel independen
setelah mengontrol pengaruh dari variabel independen lainnya. Model persamaan regresi logistik
untuk memprediksi peluang variabel dependen adalah sebagai berikut:
Dimana:
p = peluang terjadinya variabel dependen
e = bilangan natural (2.7)
y = konstanta + a1x1 + a2x2 + ... + aixi
a = nilai koefisien tiap variabel independen
x = nilai variabel independen
12
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. HASIL
Jumlah rumah tangga dalam penelitian adalah 218 rumah tangga yang tersebar pada 4
kabupaten (Pandeglang, Serang, Tangerang dan Lebak). Data hasil penelitian menunjukkan
bahwa kepala rumah tangga sebagian besar berumur antara 26-35 tahun (64,2%) dengan sebaran
per kabupaten berturut-turut dari yang terbesar hingga terkecil yakni kabupaten tangerang
(27,9%), kabupaten lebak dan serang masing-masing (25%) serta kabupaten pandeglang
(22,1%), untuk tingkat pendidikan adalah SMA (47,2%) dengan sebaran per kabupaten
tangerang (27,2%), pandeglang dan serang masing-masing (25,2%) dan kabupaten lebak
(22,3%), sedangkan pekerjaan sebagai karyawan swasta (35,8%) dengan sebaran kabupaten
tangerang dan pandeglang masing-masing (25,6%), kabupaten lebak dan serang masing-masing
(24,4%) , untuk tingkat penghasilan >UMR (67%) dengan sebaran kabupaten serang (27,4%),
kabupaten tangerang (25,3%), kabupaten pandeglang (24,7%) dan kabupaten lebak (22,6%)
sedangkan untuk ibu sebagian besar berumur 26-35 tahun (93,6%) dengan sebaran kabupaten
serang (27%), kabupaten pandeglang dan tangerang masing-masing (24,5%) kabupaten lebak
(24%),untuk tingkat pendidikan SMA (45,9%) dengan sebaran kabupaten tangerang (28%),
kabupaten pandeglang (26%), di kabupaten serang dan lebak masing-masing (23%). Jumlah
anggota rumah tangga sebagian besar <5 orang (91,3%) dengan sebaran kabupaten pandeglang
(26,1%) dan kabupaten lebak, serang dan tangerang masing-masing (24,6%). Untuk jarak rumah
ke akses pasar sebagian besar <2 km (76,6%) dengan sebaran kabupaten pandeglang, serang dan
lebak masing-masing (25,1%) dan kabupaten tangerang (24,6%) , untuk alat transportasi yang
digunakan ke akses pasar adalah motor (65,1%) dengan sebaran kabupaten tangerang (31,7%),
kabupaten pandeglang (26,8%), kabupaten serang (22,5%) dan kabupaten lebak (19%), waktu
tempuh yang diperlukan ke akses pasar adalah <11,8 menit (65,1%) dengan sebaran kabupaten
tangerang (28,2%), kabupaten serang (26,9%), kabupaten pandeglang (23,7%) dan kabupaten
lebak (21,2%). (Tabel 1)
Frekwensi makan rumah tangga sebelum covid-19 sebagian besar > 3 kali (89,4%)
namun terjadi penurunan frekwensi makan rumah tangga saat covid-19 <3 kali (81,2%).
Konsumsi makanan pokok (nasi atau roti atau mie) sebelum covid-19 >3 kali (86,7%) namun
terjadi perubahan pola konsumsi makanan pokok (nasi atau roti atau mie) saat < 3 kali (89%),
untuk konsumsi protein (hewani dan nabati) sebelum covid-19 >3 kali (71,1% dan 70,2%)
13
namun terjadi perubahan pola konsumsi protein (hewani dan nabati) saat covid-19 < 3 kali (
84,4% dan 78%), untuk pola konsumsi sayur dan buah sebelum covid-19 >3 kali (86,7% dan
78,4%) namun terjadi perubahan pola konsumsi sayur dan buah < 3 kali (81,2% dan 77,1%).) hal
ini terlihat di tabel 2.
Gambaran ketahanan pangan rumah tangga sebelum covid-19 tahan pangan (49,5%)
namun saat covid-19 ketahanan pangan rumah tangga berubah menjadi tidak tahan pangan
tingkat berat (100%). (table 3)
14
Tabel 2. Karakteristik Keluarga, Pola Konsumsi dan Ketahanan Pangan
Karakteristik Keluarga Total
Keseluruhan
(n=218)
Pandeglang (n=53) Lebak (n=53) Serang (n=58) Tangerang (n=54)
�̅�±s / n(%) �̅�±s n(%) �̅�±s n(%) �̅�±s n(%) �̅�±s n(%)
Umur Ayah (tahun)
26-35 36-45
46-55
34.6±4.6
140 (64.2) 74 (33.9)
4 (1.8)
34.7±4.4
31 (22.1) 21 (28.4)
1 (25)
34.98±3.7
35(25) 17 (23)
1 (25)
34.78±5.0
35 (25) 22 (29.7)
1 (25)
33.85±5.1
39(27.9) 14 (18.9)
1 (25)
Umur Ibu (tahun)
< 25
26-35
36-45
30.2±2.8
7 (3.2)
204 (93.6)
7 (3.2)
30.9±3.0
1 (14.3)
50 (24.5)
2 (28.6)
29.75±2.6
3 (42.3)
49 (24)
1 (14.3)
30.45±2.5
1 (14.3)
55 (27)
2 (28.6)
29.7±2.9
2 (28.6)
50 (24.5)
2 (28.6)
Pendidikan Ayah SD
SMP
SMA
PT
28 (12.8)
58 (26.6)
103 (47.2)
29 (13.3)
5 (17.9)
16 (27.6)
26 (25.2)
6 (20.7)
9 (32.1)
14 (24.1)
23 (22.3)
7 (24.1)
8 (28.6)
15 (25.9)
26 (25.2)
9 (31)
6 (21.4)
13 (22.4)
28 (27.2)
7 (24.1)
Pendidikan Ibu SD
SMP
SMA
PT
25 (11.5)
83 (38.1)
100 (45.9)
10 (4.6)
7 (28)
17 (20.5)
26 (26)
3 (30)
4 (16)
25 (30.1)
23 (23)
1 (10)
8 (32)
24 (28.9)
23 (23)
3 (30)
6 (24)
17 (20.5)
28 (28)
3 (30)
Pekerjaan Kepala
Keluarga
Buruh
PNS/TNI/POLRI Petani/nelayan
KaryawanSwasta
Ojek (ol/pangkalan)
Supir
37 (17)
12 (5.5) 26 (11.9)
78 (35.8)
32 (14.7)
33 (15.1)
7 (18.9)
3 (25) 4 (15.4)
20 (25.6)
8 (25)
11 (33.3)
9 (24.3)
4 (33.3) 9 (34.6)
19 (24.4)
4 (12.5)
8 (24.4)
9 (24.3)
3 (25) 8 (30.8)
19 (24.4)
10 (31.2)
9 (27.3)
12 (32.4)
2 (16.7) 5 (19.2)
20 (25.6)
10 (31.2)
5 (15.2)
Penghasilan (jt)
< UMR
≥ UMR
3.58±1.6
72 (33)
146 (67)
3.65±1.6
17 (23.6)
36 (24.7)
3.71±1.9
20 (27.8)
33 (22.6)
3.63±1.5
18 (25)
40 (27.4)
3.37±1.4
17 (23.6)
37 (25.3)
Jumlah Anggota Keluarga
(orang)
<5
5-6
199 (91.3)
19 (8.7)
52 (26.1)
1 (5.3)
49 (24.6)
4 (21.2)
49 (24.6)
9 (47.4)
49 (24.6)
5 (26.3)
Jarak Rumah ke pasar
(km)
<2
2-5
>5
167 (76.6)
38 (17.4)
13 (6)
42 (25.1)
11 (28.9)
0
42 (25.1)
11 (28.9)
0
42 (25.1)
10 (26.1)
6 (46.2)
41 (24.6)
6 (15.8)
7 (53.8)
Transportasi ke pasar Sepeda
Motor
Mobil Angkutan umum (ol/biasa)
20 (9.2)
142 (65.1)
12 (5.5) 44 (20.2)
3 (15)
38 (26.8)
4 (33.3) 8 (18.2)
4 (20)
27 (19)
3 (25) 19 (43.2
10 (50)
32 (22.5)
3 (25) 13 (29.5)
3 (15)
45 (31.7)
2 (16.7) 4 (9.1)
15
Waktu tempuh kepasar
(menit)
≤11.8
>11.8
11.8±3.5
156 (71.6)
62 (28.4)
37 (23.7)
16 (25.8)
33 (21.2)
20 (32.3)
42 (26.9)
16 (25.8)
44 (28.2)
10 (16.1)
Pola konsumsi
Frekuensi Makan
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali
<3 kali ≥3 kali
23 (10.6)
195 (89.4)
177 (81.2) 41 (18.8)
2 (8.7)
51 26.2)
45 (25.4) 8 (19.5)
6 (26.1)
47 (24.1)
34 (19.20 19 (46.3)
6 (26.1)
52 (26.7)
49 (27.7) 9 (22)
9 (39.1)
45 (23.1)
49 (27.7) 5 (12.2)
Konsumsi makanan pokok
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali
<3 kali
≥3 kali
29 (13.3)
189 (86.7)
194 (89)
24 (11)
6 (20.7)
47 (24.9)
45 (23.2)
8 (33.3)
6 (20.7)
47 (24.9)
52 (26.8)
1 (4.2)
9 (31)
49 (25.9)
51 (26.3)
7 (29.2)
8 (27.6)
46 (24.3)
46 (23.7)
8 (33.3)
Konsumsi protein hewani
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali
<3 kali
≥3 kali
63 (28.9)
155 (71.1)
184 (84.4)
34 (15.6)
12 (19)
41 (26.5)
45 (24.5)
8 (23.5)
17 (27)
36 (23.2)
41 (22.3)
12 (35.3)
22 (34.9)
36 (23.2)
49 (26.6)
9 (26.5)
12 (19)
42 (27.1)
49 (26.6)
5 (14.7)
Konsumsi protein nabati
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali <3 kali
≥3 kali
65 (29.8)
153 (70.2) 170 (78)
48 (22)
12 (18.5)
41 (26.8) 41 (24.1)
12 (25)
18 (27.7)
35 (22.9) 38 (22.4)
15 (31.2)
22 (33.8)
36 (23.5) 46 (27.1)
12 (25)
13 (20)
41 (26.3) 45 (26.5)
9 (18.8)
Konsumsi sayuran
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali
<3 kali
≥3 kali
29 (13.3)
189 (86.7)
177 (81.2)
41 (18.8)
6 (20.7)
47 (24.9)
44 (24.9)
9 (22)
6 (20.7)
47 (24.9)
38 (21.5)
15 (36.6)
9 (31)
49 (25.9)
47 (26.6)
11 (26.8)
8 (27.6)
46 (24.3)
48 (27.1)
6 (14.6)
Konsumsi buah
Sebelum Covid-19
Saat Covid-19
<3 kali
≥3 kali
<3 kali
≥3 kali
47 (21.6)
171 (78.4)
168 (77.1)
50 (22.9)
9 (19.1)
44 (25.7) 41
(24.4)
12 (24)
15 (31.9)
38 (22.2)
37 (22)
16 (32)
11 (23.4)
47 (27.5)
46 (27.4)
12 (24)
12 (25.5)
42 (24.6)
44 (26.2)
10 (20)
Ketahanan Pangan
Sebelum Covid-19
Tahan pangan Tidak tahan pangan tk ringan
Tidak tahan pangan tk
sedang
4.8±5.3
108 (49.5) 21 (9.6)
60 (27.5)
29 (13.3)
3.9±4.9
29 (26.9) 7 (33.3)
13 (21.7)
4 (13.8)
5.1±5.4
25 (23.1) 4 (19)
16 (26.7)
8 (27.6)
5.2±5.4
27 (25) 6 (28.6)
16 (26.7)
9 (31)
4.9±5.5
27 (25) 4 (19)
15 (25)
8 (27.6)
16
Saat Covid-19 Tidak tahan pangan tk berat
Tidak tahan pangan tk berat
19.7±4.3
218 (100)
19.7±4.4
53 (24.3)
19.5±4.1
53 (24.3)
20.3±4.4
58 (26.6)
19.5±4.2
54 (24.8)
17
Tabel 3.Pola konsumsi sebelum dan saat Covid-19
Sebelum Covid-19 Saat Covid-19 p*
<3 kali ≥3 kali
Frekuensi Makan <3 kali
≥3 kali
23 (100)
154 (79)
0 (0)
41 (21)
0.000
Makanan pokok <3 kali
≥3 kali
27 (93.1)
167 (88.4)
2 (6.9)
22 (11.6)
0.000
Protein Hewani <3 kali
≥3 kali
61 (96.8)
123 (79.4)
2 (3.2)
32 (20.6)
0.000
Protein Nabati <3 kali
≥3 kali
63 (96.9)
107 (69.9)
2 (3.1)
46 (30.1)
0.000
Sayur <3 kali
≥3 kali
28 (96.6)
149 (78.8)
1 (3.4)
40 (21.2)
0.000
Buah <3 kali
≥3 kali
46 (97.9)
122 (71.3)
1 (2.1)
49 (28.7)
0.000
*Uji Mc Nemar (α=5%)
Pola konsumsi pada penelitian ini dilihat dari frekwensi makan sebelum dan saat covid-19,
berdasarkan uji McNemar terdapat perbedaan (p=0,000) saat covid-19 terjadi perubahan
frekwensi makan <3 kali (79%), untuk makanan pokok yang dikonsumsi terdapat perbedaan
(p=0,000) saat covid-19 terjadi perubahan makanan pokok (nasi atau roti atau mie) yang
sebelumnya >3 kali tetapi saat covid-19 terjadi perubahan menjadi <3 kali (88,4%), terdapat
perbedaan konsumsi protein (hewani dan nabati) (p=0,000) saat covid-19 yakni terjadi perubahan
yang awalnya >3 kali menjadi <3 kali (79,4% dan 69,9%), serta konsumsi sayur dan buah
terdapat perbedaan (p=0,000) yakni terjadi perubahan pola konsumsi terhadap sayur dan buah
saat covid-19 menjadi <3 kali (78,8% dan 71,3%).
Tabel 4. Ketahananpangan keluarga sebelum dan saat Covid-19
Skor Ketahanan
pangan keluarga
�̅�±s CI 95% p*
Sebelum Covid-19 4.819 ± 5.3 -15.495 – -14.431 0.000
Saat Covid-19 19.775 ± 4.3 *Uji t berpasangan (α=5%)
Terdapat perbedaan rata2 skor ketahanan pangan keluarga sebelum dan saat covid-19 (p=0,000),
hal ini terlihat sebelum terjadi covid-19 keluarga tahan pangan (49,5%) berubah saat covid-19
keluarga tidak tahan pangan tingkat berat (100%).
18
B. PEMBAHASAN
Karakteristik kepala keluarga dalam penelitian ini secara keseluruhan berumur antara 26-35
tahun (64,2%) dengan tingkat pendidikan SMA bekerja sebagai karyawan swasta dengan tingkat
penghasilan > UMR. Awan et al. (2011) menyatakan pendidikan dapat meningkatkan
pendapatan sehingga pada akhirnya mengurangi kemiskinan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
yang ditamatkan maka tingkat kemiskinan semakin rendah). Menurut Putri dan Setiawina
(2013) faktor pendidikan dan jenis pekerjaan berpengaruh signifikan terhadap pendapatan rumah
tangga miskin. Sedangkan untuk ibu umur antara 26-35 tahun ((93,6%) dengan tingkat
pendidikan SMA dengan jumlah anggota rumah tangga < 5 orang. Untuk jarak rumah ke akses
pasar sebagian besar <2 km (76,6%), untuk alat transportasi yang digunakan ke akses pasar
sebagian besar menggunakan motor (65,1%) dengan waktu waktu tempuh yang diperlukan ke
akses pasar adalah <11,8 menit (65,1%).
Pasar merupakan sarana transaksi ekonomi sekaligus sarana untuk mengakses kebutuhan
pangan maupun non pangan bagi masyarakat. Menurut R Adiguno dan L Sihombing, (2014)
apabila jarak antara rumah ke pasar terdekat berkisar 1-2 km dengan menggunakan sepeda motor
maka akses fisik rumah tangga tersebut terhadap pangan tergolong sedang sedangkan apabila
waktu tempuh nya kurang dari 30 menit maka akses fisik rumah tangga terhadap pangan
tergolong tinggi. Menurut Subiyanto (2015) indikator untuk menilai akses fisik terhadap pangan
meliputi ketersediaan pangan, jalan desa yang dapat dilalui kendaraan roda empat dan ketiadaan
pasar dan jarak pasar lebih dari 3 km, keberadaan supermarket atau pasar dengan jarak yang
lebih dekat terkait dengan pilihan tempat berbelanja.
Sebagai Darurat Kesehatan Masyarakat Masalah Internasional, COVID-19 telah menyebar
dengan cepat dari Wuhan, Hubei ke bagian lain Cina dan negara-negara di seluruh dunia
termasuk Indonesia. Pandemi ini sangat membebani tantangan pada sistem kesehatan, ekonomi,
dan pasokan makanan secara global dan local.
Penelitian yang dilakukan ini melihat keadaan pola makan dan ketahanan pangan sebelum
dan saat covid-19, hal ini sedikit berbeda dengan studi penelitian yang dilakukan di penduduk
China selama periode pandemi COVID-19. Studi kami menunjukkan keragaman pola makan
yang baik secara keseluruhan dalam sampel penelitian, meskipun ada penurunan keragaman di
tempat-tempat di mana lebih banyak kasus COVID-19 dikonfirmasi. Sepengetahuan kami, ini
19
juga merupakan studi pertama yang mengeksplorasi faktor-faktor potensial yang terkait dengan
keragaman makanan dalam suatu pandemi. Kami menemukan keragaman makanan tidak
bervariasi di berbagai pendekatan untuk mendapatkan atau membeli makanan, yang memberikan
bukti mendukung bahwa layanan pemesanan dan pengiriman makanan online dapat mencapai
keragaman makanan yang serupa seperti yang dilakukan oleh toko bahan makanan dan
penyimpanan di rumah. Selain itu, beberapa perilaku diet tertentu diidentifikasi selama wabah
COVID-19 dan mereka berkontribusi pada peluang yang lebih tinggi untuk keragaman makanan
yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian terkait dengan pola makan yang dialami rumah tangga
sebelum dan saat covid-19 di wilayah Banten ini mengalami perubahan yang awalnya makan ≥3
kali sehari menjadi <3 kali sehari bahkan ada yang hanya makan 2 kali saja sehari, hal ini sesuai
dengan penelitian lain bahwa pola makan yang terganggu, ditemukan di dua pertiga rumah
tangga responden dengan kerawanan pangan, dikaitkan dengan penurunan fungsi kekebalan dan
dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional. Sementara dampak langsung
terjadinya pandemic ini, adalah penutupan berbagai restoran dan pembatasan penjual, yang
mewakili sebagian kecil dari total ekonomi pangan di perkotaan, dampak pada pasar wilayah
pedesaan bisa jauh lebih besar Selain itu, dampak tidak langsung karena pengangguran dan
penurunan pendapatan pekerja upahan harian dan pekerja industri dengan pengurangan jumlah
karyawan karena pemutusan hubungan kerja. Hal yang memperparah dengan kondisi ini adalah
masalah harga makanan. Pembatasan pada mekanisme untuk produksi dan pengiriman dapat
menaikkan biaya, sementara ketakutan akan kekurangan dapat mendorong penimbunan
spekulatif . Hilangnya pendapatan rumah tangga membuat keluarga rentan terkena lonjakan
harga dan kekurangan pangan serta mengurangi konsumsi makannya, sementara produktivitas
pertanian yang rendah dan jeda dalam sistem ekspor-impor pangan mengganggu pasar pangan
lokal dan usaha kecil.
Kondisi ketahanan pangan keluarga sebelum dan saat covid-19 dalam penelitian ini
mengalami perbedaan yang signifikan dari keluarga yang tahan pangan menjadi keluarga yang
tidak tahan pangan tingkat berat. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Niles
(2020) bahwa mayoritas rumah tangga yang selalu rawan pangan dan hampir sepertiga dari
rumah tangga rawan pangan baru diklasifikasikan sebagai memiliki ketahanan pangan yang
sangat rendah, ditandai dengan gangguan makan dan memotong makanan atau kelaparan. Dua
pertiga dari rumah tangga responden dengan rawan pangan selama COVID-19 sudah makan
20
lebih sedikit untuk memperpanjang makanan yang dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tantangan untuk semua dimensi ketahanan pangan, termasuk akses ekonomi dan fisik,
ketersediaan, pemanfaatan, dan stabilitas, dan mungkin memiliki dampak kesehatan potensial
yang mendalam.
Apabila proporsi rumah tangga rawan pangan dijumlahkan maka didapatkan sebanyak
68.4% rumah tangga tergolong rawan pangan. Hasil ini hampir sama dengan hasil penelitian
Kirkpatrick dan Tarasuk (2010) yang mengukur kerawanan pangan pada rumah tangga
berpenghasilan rendah menemukan proporsi rumah tangga rawan pangan sebesar 65.3%.
Demikian pula dengan hasil penelitian Huet et al. (2012) pada komunitas masyarakat Inuit di
kutub utara Kanada menunjukan prevalensi kerawanan pangan yang hampir sama yaitu 62.6%.
Lebih lanjut apabila dibandingkan dengan hasil penelitian Sari dan Andrias (2013) yang
mengukur ketahanan pangan rumah tangga nelayan perkotaan di Surabaya maka hasil penelitian
ini lebih rendah yakni proporsi rumah tangga nelayan yang rawan pangan adalah 88%. Demikian
halnya juga dengan penelitian Sukiyono et al. (2008) pada rumah tangga nelayan di Kabupaten
Muko-Muko yang mendapatkan proporsi rumah tangga rawan pangan sebesar 81.1%.
21
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Karakteristik kepala keluarga dengan kisaran usia 26-35 tahun, dengan tingkat
pendidikan SMA bekerja disektor karyawan swasta yang berpendapatan >UMR. Jumlah anggota
keluarga <5 orang dengan akses rumah ke pasar sebagian besar <2 km dengan kendaraan yang
digunakan motor dengan waktu tempuh rata-rata adalah <11,8 menit. Ada perbedaan signifikan
sebelum dan saat covid-19 pada pola konsumsi yang dilihat dari frekwensi makan, konsumsi
makanan pokok, protein (hewani dan nabati) serta buah dan sayur. Sedangkan untuk ketahanan
pangan keluarga terdapat perbedaan rata2 skor ketahanan pangan keluarga sebelum dan saat
covid-19 yang awalnya tahan pangan menjadi tidak tahan pangan tingkat berat. Penelitian lebih
lanjut diperlukan untuk melihat status gizi balita yang ada dalam keluarga saat kondisi covid-19.
B. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan ketahanan pangan pada tingkat
keluarga dari masyarakat golongan menengah keatas dan golongan menengah ke bawah.
22
BAB 6. LUARAN YANG DICAPAI
Jurnal
IDENTITAS JURNAL 1. Nama Jurnal Malaysian Journal of Public Health Medice
2. Website Jurnal http://mjphm.org/index.php/mjphm
3. Status Makalah Review
4. Jenis Jurnal Scopus_4
5. Tanggal submit 26 September 2020
6. Bukti Schreen Soot
23
IDENTITAS HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL Nama Karya Karya Ilmiah
Jenis HAKI Hak Cipta
Status HAKI Garanted
24
BAB 7. RENCANA TINDAK LANJUT DAN PROYEKSI HILIRISASI
Hasil Penelitian Bahwa dalam kondisi pandemic covid 19 ini kondisi
ketahanan pangan keluarga terdampak penutupan
akses atau dikenal PSBB menyebabkan daya beli
masyarakat terhadap pangan semakin menurun
sehingga akan berdampak pada ketersediaan pangan
di tingkat rumah tangga sehingga dapat berakibat
pada pengurangan jumlah atau frekwensi makan
dalam keluarga yang akhirnya berakibat pada
semakin rendahnya status gizi keluarga terutama
pada anak balita
Rencana tindak lanjut & proyeksinya Rencana tindak lanjut dari hasil penelitian ini adalah
untuk membuat kebijakan kepada pemerintah
setempat terutama yang terdampak covid-19 untuk
diberikan bantuan pangan yang cukup, dilakukan
pemeriksaan dalam keluarga yakni balita untuk tetap
terjaga dengan baik status gizinya. Perlu dilakukan
bantuan penambahan modal usaha bagi keluarga
yang terkena PHK akibat covid-19 ini agar tetap
dapat memberikan sumber bahan makanan yang
baik dan bergizi.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Almara Dwi Putra S (2020). Covid-19 dan Solusi Atasi Dampak Krisis Ekonomi.
Tagar.id Untuk Indonesia
2. [Balitbangkes RI] Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.
2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
3. [Balitbangkes RI]. 2013. Riset Kesehatan Dasar- Riskesdas 2013. Jakarta (ID): Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
4. [Balitbangkes RI]. 2014. Buku Studi Diet Total: Survei Konsumsi Makanan Individu
Indonesia 2014. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
5. Barrett CB. 2010. Measuring Food Insecurity. Science. 327(5967):825-828.
6. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2015. Laporan Pencapaian
Tujuan Milenium di Indonesia 2014. Jakarta (ID): Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS).
7. Carletto C, Zezza A, Banerjee R. 2012. Towards better measurement of household food
security: Harmonizing indicators and the role of household surveys. Global Food
Security. 2(1):30-40.
8. [DKP] Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, dan World Food Programme
(WFP). 2015. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia 2015. Jakarta (ID):
Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian, dan World Food Programme (WFP).
9. Dradjad Wibowo dan Didik J Rachbini (2020). Guncangan (Shock) Yang Terjadi Akibat
COVID-19 Tidak Hanya Dari Sisi Konsumsi (Demand) Tetapi Juga Produksi (Supply).
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF)
10. Franklin B, Jones A, Love D, Puckett S, Macklin J, White-Means S. 2011. Exploring
Mediators of Food Insecurity and Obesity: A Review of Recent Literature. J Community
Health. 37(1):253-264.
11. FAO. 2006. Food Security. [Policy Brief] Rome (IT): Food and Agriculture Organization
(FAO).
12. Ghazali MV, Sastromiharjo S, Soedjarwo SR, Soelaryo T, Pramulyo HS. 2011. Dasar-
Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Ke-4. Sastroasmoro S, Ismael S, editor.
Jakarta (ID): Sagung Seto.
26
13. Gowda C, Hadley C, Aiello AE. 2012. The Association Between Food Insecurity and
Inflammation in the US Adult Population. Am J Public Health. 102(8):1579-1586.
14. Hackett M, Melgar-Quiñonez H, Álvarez MC. 2009. Household food insecurity
associated with stunting and underweight among preschool children in Antioquia,
Colombia. Rev Panam Salud Públ. 25:506-510.
15. Ivers L C and Cullen K A. 2011. Food insecurity: special considerations for women. Am
J Clin Nutr. 94(6):1740S-1744S.
16. Jones AD, Ngure FM, Pelto G, Young SL. 2013. What Are We Assessing When We
Measure Food Security? A Compendium and Review of Current Metrics. Adv. Nutr.
4(5):481-505
17. Lantarsih R, dkk (2011). National Food Security System: Contribution of Energy
Availability and Consumption, and Optimizing Rice Distribution. Analisis Kebijakan
Pertanian. Volume 9 No. 1, Maret 2011 : 33-51
18. Motbainor A, Worku A, Kumie A. 2015. Stunting is associated with food diversity while
wasting with food insecurity among underfive children in East and West Gojjam Zones
of Amhara Region, Ethiopia. PLoS One. 10(8):1-14
19. Nurlatifah. 2011. Determinan Ketahanan Pangan Regional dan Rumah Tangga di
Provinsi Jawa Timur. [Tesis] Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
20. Olaniyi OA. 2014. Assessment of households food access and food insecurity in urban
Nigeria: A case study of Lagos Metropolis. Global Journal of Human-Social Science
Research. 14(1):21-30.
21. Pan L, Sherry B, Njai R, Blanck HM. 2012. Food Insecurity Is Associated with Obesity
among US Adults in 12 States. J Acad Nutr Diet. 112(9):1403-1409. doi:
10.1016/j.jand.2012.06.011.
22. Phillips RW. 1981. FAO: Its Orginis, Formation and evolution. Rome (IT): Food and
Agricultural of United Nations.
23. Pinstrup-Andersen P. 2009. Food Security: Definition and Measurement. Food Sec.
1(1):5-7.
24. Purwaningsih Y. 2008. Ketahanan Pangan: Situasi, Permasalahan, Kebijakan,dan
Pemberdayaan Masyarakat. JEP. 9(1):1-27.
25. Rose-Jacobs R, Black MM, Casey PH, Cook JT, Cutts DB, Chilton M, Frank DA. 2008.
Household food insecurity: associations with at-risk infant and toddler development.
Pediatrics. 121(1):65-72.
27
26. Rosyadi I, Purnomo D. 2012. Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Di Desa
Tertinggal. JEP. 13(2):303-315.
27. Seligman HK, Laraia BA, Kushel MB. 2010. Food Insecurity Is Associated with Chronic
Disease among Low-Income NHANES Participants. J Nutr. 140(2):304-310.
28. Sen A. 1981. Poverty and Famines: An Essay on Entitlement and Deprivation. New York
(US): Oxford University Press.
29. Slopen N, Fitzmaurice G, Williams DR, Gilman SE. 2010. Poverty, Food Insecurity, and
the Behavior for Childhood Internalizing and Externalizing Disorders. J Am Acad Child
Psy. 49(5):444-452. doi: 10.1016/j.jaac.2010.01.018.
30. Suryana A. 2014. Menuju ketahanan pangan Indonesia berkelanjutan 2025: Tantangan
dan penanganannya. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 32(2): 123-135.
31. Vogenthaler NS, Kushel MB, Hadley C, Frongillo EA, Riley ED, Bangsberg DR, Weiser
SD. 2013. Food Insecurity and Risky Sexual Behaviors Among Homeless and Marginally
Housed HIV-Infected Individuals in San Francisco. AIDS Behav. 17(5):1688-1693.
doi:10.1007/s10461-012-0355-
32. Willows ND, Veugelers P , Raine K, Kuhle S. 2008. Prevalence and sociodemographic
risk factors related to household food security in Aboriginal peoples in Canada. Public
Health Nutr. 12(8):1150:1156. doi:10.1017/S1368980008004345.
33. Wiranthi PE. 2014. Determinants of Household Food Security: A Comparative Analysis
of Eastern and Non-Eastern Indonesia. [Thesis] Bogor (ID): Graduate School, Bogor
Agricultural University.
34. Budiwinarto, K. (2011). Penerapan model Almost Ideal Demand System ( AIDS ) pada
pola konsumsi pangan rumah tangga nelayan di Kecamatan Tambak Kabupaten
Banyumas. Smooting, 6(1), 27–39. doi:http://dx.doi.org/10.2311/.v6i1.877.
35. Wahyuni, D., Purnastuti, L., & Mustofa. (2016). Analisis elastisitas tiga bahan pangan
sumber protein hewani di Indonesia. Jurnal Economia, 12(1), 43–53.
doi:http://dx.doi.org/10.21831/economia.v12i1.9544