Laporan pendahuluan miopi
-
Upload
irwina-angelia-silvanasari -
Category
Documents
-
view
1.348 -
download
120
description
Transcript of Laporan pendahuluan miopi
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
KLIEN DENGAN MIOPIA DI POLI MATA
RSD dr. ABDOER RAHEM SITUBONDO
Disusun guna memenuhi tugas pada Program Pendidikan Ners
Stase Keperawatan Medikal Bedah
Oleh:
Irwina Angelia Silvanasari, S.Kep
NIM 082311101052
PROGRAM PENDIDIKAN NERS
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2013
LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAHPADA KLIEN DENGAN MIOPIA
Oleh: Irwina Angelia Silvanasari, S.Kep
1. TEORI TENTANG PENYAKIT
1.1 Pengertian
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan
difokuskan di depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi.
Ini juga dapat dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar
dari suatu objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa
akomodasi. Miopia berasal dari bahasa Yunani “muopia” yang memiliki arti
menutup mata. Miopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah
populernya adalah “nearsightedness”.
Miopia adalah keadaan pada mata dimana cahaya atau benda yang jauh
letaknya jatuh atau difokuskan didepan retina. Supaya objek atau benda jauh
tersebut dapat terlihat jelas atau jatuh tepat di retina diperlukan kaca mata
minus. Miopia atau sering disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis
kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu panjang
atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung.
Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan
pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar sejajar yang datang dibiaskan
di depan retina (bintik kuning). Pada miopia, titik fokus sistem optik media
penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini dapat disebabkan sistem
optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata terlalu panjang.
Miopia adalah suatu bentuk kelainan refraksi dimana sinar-sinar sejajar yang
datang dari jarak tidak terhingga oleh mata dalam keadaan tidak
berakomodasi dibiaskan pada satu titik di depan retina.
1.2 Klasifikasi
Secara klinis dan berdasarkan kelainan patologi yang terjadi pada mata,
miopia dapat dibagi kepada dua yaitu :
a) Miopia Simpleks : Terjadinya kelainan fundus ringan. Kelainan fundus
yang ringan ini berupa kresen miopia yang ringan dan berkembang
sangat lambat. Biasanya tidak terjadi kelainan organik dan dengan
koreksi yang sesuai bisa mencapai tajam penglihatan yang normal.
Berat kelainan refraksi yang terjadi biasanya kurang dari -6D. Keadaan
ini disebut juga dengan miopia fisiologi.
b) Miopia Patologis : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia
maligna atau miopia progresif. Keadaan ini dapat ditemukan pada
semua umur dan terjadi sejak lahir. Tanda-tanda miopia maligna
adalah adanya progresifitas kelainan fundus yang khas pada
pemeriksaan oftalmoskopik. Pada anak-anak diagnosis ini sudah dapat
dibuat jika terdapat peningkatan tingkat keparahan miopia dengan
waktu yang relatif pendek. Kelainan refrasi yang terdapat pada miopia
patologik biasanya melebihi -6 D.
Miopia secara klinis dapat terbagi lima yaitu:
a) Miopia Simpleks : Miopia yang disebabkan oleh dimensi bola mata
yang terlalu panjang atau indeks bias kornea maupun lensa kristalina
yang terlalu tinggi.
b) Miopia Nokturnal : Miopia yang hanya terjadi pada saat kondisi di
sekeliling kurang cahaya. Sebenarnya, fokus titik jauh mata seseorang
bervariasi terhadap tahap pencahayaan yang ada. Miopia ini dipercaya
penyebabnya adalah pupil yang membuka terlalu lebar untuk
memasukkan lebih banyak cahaya, sehingga menimbulkan aberasi dan
menambah kondisi miopia.
c) Pseudomiopia : Diakibatkan oleh rangsangan yang berlebihan terhadap
mekanisme akomodasi sehingga terjadi kekejangan pada otot – otot
siliar yang memegang lensa kristalina. Di Indonesia, disebut dengan
miopia palsu, karena memang sifat miopia ini hanya sementara sampai
kekejangan akomodasinya dapat direlaksasikan. Untuk kasus ini, tidak
boleh buru – buru memberikan lensa koreksi.
d) Miopia Degeneratif : Disebut juga sebagai miopia degeneratif, miopia
maligna tau miopia progresif. Biasanya merupakan miopia derajat
tinggi dan tajam penglihatannya juga di bawah normal meskipun telah
mendapat koreksi. Miopia jenis ini bertambah buruk dari waktu ke
waktu.
e) Miopia Induksi : Miopia yang diakibatkan oleh pemakaian obat –
obatan, naik turunnya kadar gula darah, terjadinya sklerosis pada
nukleus lensa dan sebagainya.
Klasifikasi miopia berdasarkan ukuran dioptri lensa yang dibutuhkan
untuk mengkoreksikannya, yaitu:
1. Ringan : lensa koreksinya 0,25 s/d 3,00 Dioptri
2. Sedang : lensa koreksinya 3,25 s/d 6,00 Dioptri.
3. Berat :lensa koreksinya > 6,00 Dioptri.
Klasifikasi miopia berdasarkan umur adalah
1. Kongenital : sejak lahir dan menetap pada masa anak-anak.
2. Miopia onset anak-anak : di bawah umur 20 tahun.
3. Miopia onset awal dewasa : di antara umur 20 sampai 40 tahun.
4. Miopia onset dewasa : di atas umur 40 tahun (> 40 tahun).
1.3 Patofisiologi
Miopia dapat terjadi karena ukuran sumbu bola mata yang relatif
panjang dan disebut sebagai miopia aksial. Dapat juga karena indeks bias
media refraktif yang tinggi atau akibat indeks refraksi kornea dan lensa yang
terlalu kuat. Dalam hal ini disebut sebagai miopia refraktif. Miopia
degeneratif atau miopia maligna biasanya apabila miopia lebih dari -6
dioptri(D) disertai kelainan pada fundus okuli dan pada panjangnya bola mata
sampai terbentuk stafiloma postikum yang terletak pada bagian temporal
papil disertai dengan atrofi korioretina. Atrofi retina terjadi kemudian setelah
terjadinya atrofi sklera dan kadang-kadang terjadi ruptur membran Bruch
yang dapat menimbulkan rangsangan untuk terjadinya neovaskularisasi
subretina. Pada miopia dapat terjadi bercak Fuch berupa hiperplasi pigmen
epitel dan perdarahan, atropi lapis sensoris retina luar dan dewasa akan
terjadi degenerasi papil saraf optik.
Terjadinya perpanjangan sumbu yang berlebihan pada miopia patologi
masih belum diketahui. Sama halnya terhadap hubungan antara elongasia dan
komplikasi penyakit ini, seperti degenerasi chorioretina, ablasio retina dan
glaukoma. Columbre melakukan penelitian tentang penilaian perkembangan
mata anak ayam yang di dalam pertumbuhan normalnya, tekanan intraokular
meluas ke rongga mata dimana sklera berfungsi sebagai penahannya. Jika
kekuatan yang berlawanan ini merupakan penentu pertumbuhan okular
postnatal pada mata manusia, dan tidak ada bukti yang menentangnya maka
dapat pula disimpulkan dua mekanisme patogenesis terhadap elongasi
berlebihan pada miopia.
Abnormalitas mesodermal sklera secara kualitas maupun kuantitas
dapat mengakibatkan elongasi sumbu mata. Percobaan Columbre dapat
membuktikan hal ini, dimana pembuangan sebagian masenkim sklera dari
perkembangan ayam menyebabkan ektasia daerah ini, karena perubahan
tekanan dinding okular. Dalam keadaan normal sklera posterior merupakan
jaringan terakhir yang berkembang. Keterlambatan pertumbuhan strategis ini
menyebabkan kongenital ektasia pada area ini.
Sklera normal terdiri dari pita luas padat dari kumpulan serat kolagen,
hal ini terintegrasi baik, terjalin bebas, ukuran bervariasi tergantung pada
lokasinya. Kumpulan serat terkecil terlihat menuju sklera bagian dalam dan
pada zona ora ekuatorial. Bidang sklera anterior merupakan area potong
lintang yang kurang dapat diperluas perunitnya dari pada bidang lain. Pada
test bidang ini ditekan sampai 7,5 g/mm2.
Tekanan intraokular equivalen 100 mmHg, pada batas terendah dari
stress ekstensi pada sklera posterior ditemukan empat kali daripada bidang
anterior dan equator. Pada batas lebih tinggi sklera posterior kira-kira dua
kali lebih diperluas.Perbedaan tekanan diantara bidang sklera normal tampak
berhubungan dengan hilangnya luasnya serat sudut jala yang terlihat pada
sklera posterior. Struktur serat kolagen abnormal terlihat pada kulit pasien
dengan Ehlers-Danlos yang merupakan penyakit kalogen sistematik yang
berhubungan dengan miopia.
Vogt awalnya memperluas konsep bahwa miopia adalah hasil
ketidakharmonian pertumbuhan jaringan mata dimana pertumbuhan retina
yang berlebihan dengan bersamaan ketinggian perkembangan baik koroid
maupun sklera menghasilkan peregangan pasif jaringan. Meski alasan Vogt
pada umumnya tidak dapat diterima, telah diteliti ulang dalam hubungannya
dengan miopia bahwa pertumbuhan koroid dan pembentukan sklera dibawah
pengaruh epitel pigmen retina. Pandangan baru ini menyatakan bahwa epitel
pigmen abnormal menginduksi pembentukan koroid dan sklera subnormal.
Hal ini yang mungkin menimbulkan defek ektodermal–mesodermal umum
pada segmen posterior terutama zona oraekuatorial atau satu yang terlokalisir
pada daerah tertentu dari posterior mata, dimana dapat dilihat pada miopia
patologis (tipe stafiloma posterior).
Meningkatnya suatu kekuatan yang luas terhadap tekanan intraokular
basal. Contoh klasik miopia skunder terhadap peningkatan tekanan basal
terlihat pada glaukoma juvenil dimana bahwa peningkatan tekanan berperan
besar pada peningkatan pemanjangan sumbu bola mata.
Secara anatomi dan fisiologi, sklera memberikan berbagai respons
terhadap induksi deformasi. Secara konstan sklera mengalami perubahan
pada stres. Kedipan kelopak mata yang sederhana dapat meningkatkan
tekanan intraokular 10 mmHg, sama juga seperti konvergensi kuat dan
pandangan ke lateral. Pada valsava manuver dapat meningkatkan tekanan
intraokular 60 mmHg. Juga pada penutupan paksa kelopak mata meningkat
sampai 70-110 mmHg. Gosokan paksa pada mata merupakan kebiasaan jelek
yang sangat sering diantara mata miopia, sehingga dapat meningkatkan
tekanan intraokular.
Untuk melihat sesuatu objek dengan jelas, mata perlu berakomodasi.
Akomodasi berlaku apabila kita melihat objek dalam jarak jauh atau terlalu
dekat. Menurut Dr. Hemlholtz, otot siliari mata melakukan akomodasi mata.
Teori Helmholtz mengatakan akomodasi adalah akibat daripada ekspansi dan
kontraksi lensa, hasil daripada kontraksi otot siliari. Teori Helmholtz
merupakan teori yang sekarang sering digunakan oleh dokter.
Menurut Dr. Bates, dua otot oblik mata yang melakukan akomodasi
mata dengan mengkompresi bola mata di tengah hingga memanjangkan mata
secara melintang. Dr. Bates telah melakukan eksperimen pada kelinci, Dr.
Bates memotong dua otot oblik dan mendapati mata kelinci tersebut tidak
bisa berakomodasi. Dr. Bates juga menginjeksi obat paralisis pada otot oblik
kelinci, mata tidak dapat berakomodasi. Apabila obat disingkirkan daripada
otot oblik, mata kelinci dapat berakomodasi kembali.
Akibat daripada kelelahan mata menyebabkan kelelahan pada otot
mata.Otot mata berhubungan dengan bola mata hingga menyebabkan bentuk
mata menjadi tidak normal.Kejadian ini adalah akibat akomodasi yang tidak
efektif hasil dari otot mata yang lemah dan tidak stabil. Pada mata miopia,
bola mata terfiksasi pada posisi memanjang menyulitkan untuk melihat objek
jauh.
1.4 Tanda dan Gejala
Penglihatan kabur atau mata berkedip ketika mata mencoba melihat
suatu objek dengan jarak jauh (anak-anak sering tidak dapat membaca tulisan
di papan tulis tetapi mereka dapat dengan mudah membaca tulisan dalam
sebuah buku. Penglihatan untuk jauh kabur, sedangkan untuk dekat jelas. Jika
derajat miopianya terlalu tinggi, sehingga letak pungtum remotum kedua
mata terlalu dekat, maka kedua mata selalu harus melihat dalam posisi
kovergensi, dan hal ini mungkin menimbulkan keluhan (astenovergen).
Mungkin juga posisi konvergensi itu menetap, sehingga terjadi strabismus
konvergen (estropia). Apabila terdapat miopia pada satu mata jauh lebih
tinggi dari mata yang lain dapat terjadi ambliopia pada mata yang miopianya
lebih tinggi. Mata ambliopia akan bergulir ke temporal yang disebut
strabismus divergen (eksotropia).
Pasien dengan miopia akan memberikan keluhan sakit kepala, sering
disertai dengan juling dan celah kelopak yang sempit. Seseorang penderita
miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah
aberasi sferis atau untuk mendapatkan efek pinhole (lubang kecil). Pasien
miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dilihat jelas)
yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang
akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi.bila kedudukan mata ini
menetap, maka penderita akan terlihat juling kedalam atau esoptropia.
Gejala-gejala miopia juga terdiri dari:
1) Gejala subjektif :
a. Kabur bila melihat jauh
b. Membaca atau melihat benda kecil harus dari jarak dekat
c. Lekas lelah bila membaca ( karena konvergensi yang tidak sesuai
dengan akomodasi )
d. Astenovergens
2) Gejala objektif :
a) Miopia simpleks
Pada segmen anterior ditemukan bilik mata yang dalam dan pupil yang
relative lebar. Kadang-kadang ditemukan bola mata yang agak
menonjol. Pada segmen posterior biasanya terdapat gambaran yang
normal atau dapat disertai kresen miopia (myopic cresent) yang ringan
di sekitar papil saraf optik.
b) Miopia patologik
1) Gambaran pada segmen anterior serupa dengan miopia simpleks.
2) Gambaran yang ditemukan pada segmen posterior berupa
kelainan-kelainan pada:
Badan kaca : dapat ditemukan kekeruhan berupa pendarahan atau
degenarasi yang terlihat sebagai floaters, atau benda-benda yang
mengapung dalam badan kaca. Kadang-kadang ditemukan ablasi
badan kaca yang dianggap belum jelas hubungannya dengan
keadaan miopia.
Papil saraf optic : terlihat pigmentasi peripapil, kresen miopia,
papil terlihat lebih pucat yang meluas terutama ke bagian
temporal. Kresen miopia dapat ke seluruh lingkaran papil
sehingga seluruh papil dikelilingi oleh daerah koroid yang atrofi
dan pigmentasi yang tidak teratur
Makula: Berupa pigmentasi di daerah retina, kadang-kadang
ditemukan pendarahan subretina pada daerah macula.
Retina bagian perifer: Berupa degenersi kista retina bagian perifer
Seluruh lapisan fundus yang tersebar luas berupa penipisan koroid
dan retina. Akibat penipisan ini maka bayangan koroid tampak
lebih jelas dan disebut sebagai fundus tigroid.
1.5 Kemungkinan komplikasi yang muncul
Komplikasi miopia, yaitu:
a) Ablasio retina
Resiko untuk terjadinya ablasio retina pada 0 sampai (- 4,75) D
sekitar1/6662.Sedangkan pada (- 5) sampai (-9,75) D risiko meningkat
menjadi 1/1335.Lebih dari (-10) D risiko ini enjadi 1/148. Dengan kata
lain penambahan faktor risiko pada miopia lebih rendah tiga kali
sedangkan miopia tinggi meningkat menjadi 300 kali (Sidarta, 2003).
b) Vitreal Liquefaction dan Detachment
Badan vitreus yang berada di antara lensa dan retina mengandung 98%
air dan 2% serat kolagen yang seiring pertumbuhan usia akan mencair
secara perlahan-lahan, namun proses ini akan meningkat pada
penderita miopia tinggi. Halini berhubungan dengan hilangnya struktur
normal kolagen. Pada tahap awal, penderita akan melihat bayangan-
bayangan kecil (floaters). Pada keadaan lanjut, dapat terjadi kolaps
badan viterus sehingga kehilangan kontak dengan retina. Keadaan ini
nantinya akan menimbulkan risiko untuk terlepasnya retina dan
menyebabkan kerusakan retina. Vitreus detachment pada miopia tinggi
terjadi karena luasnya volume yang harus diisi akibat memanjangnya
bola mata.
c) Miopik makulopati
Dapat terjadi penipisan koroid dan retina serta hilangnya pembuluh
darah kapiler pada mata yang berakibat atrofi sel-sel retina sehingga
lapangan pandang berkurang. Dapat juga terjadi perdarahan retina dan
koroid yang bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pandang.
Miopi vaskular koroid atau degenerasi makular miopia juga
merupakan konsekuensi dari degenerasi makular normal dan ini
disebabkan oleh pembuluh darah yang abnormal yang tumbuh di
bawah sentral retina.
d) Glaukoma
Risiko terjadinya glaukoma pada mata normal adalah 1,2%, pada
miopia sedang 4,2%, dan pada miopia tinggi 4,4%. Glaukoma pada
miopia terjadi dikarenakan stres akomodasi dan konvergensi serta
kelainan struktur jaringan ikat penyambung pada trabekula,
e) Katarak
Lensa pada miopia kehilangan transparansi. Dilaporkan bahwa pada
orang dengan miopia, onset katarak muncul lebih cepat.
1.6 Terapi yang dilakukan
Koreksi miopia dengan menggunakan lensa konkaf atau lensa negatif,
perlu diingat bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan.
Karena itu, bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu besar,
seperti pada miopia, kelebihan daya bias ini dapat dinetralisasi dengan
meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata.
Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengkoreksi mata
miopia ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula
meletakkan sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang lebih
kuat atau lebih lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang terbaik.
Pasien miopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil
yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh bila
pasien dikoreksi dengan -3.00 dioptri memberikan tajam penglihatan 6/6,
demikian juga bila diberi sferis -3.25 dioptri, maka sebaiknya diberikan
koreksi -3.00 dioptri agar untuk memberikan istirahat mata dengan baik
setelah dikoreksi.
Penatalaksanaan Nonfarmakologi
a) Kacamata, kontak lensa, dan operasi refraksi adalah beberapa pilihan
untuk mengobati gejala-gejala visual pada pada penderita myopia. Dalam
ilmu keratotology kontak lensa yang digunakan adalah adalah kontak
lensa yang keras atau kaku untuk pemerataan kornea yang berfungsi untuk
mengurangi miopia.
b) Latihan pergerakan mata dan teknik relaksasi. Para pelaksana dan
penganjur terapi alternatif ini sering merekomendasikan latihan
pergerakan mata dan teknik relaksasi seperti cara menahan (pencegahan).
Akan tetapi, kemanjuran dari latihan ini dibantah oleh para ahli
pengetahuan dan para praktisi peduli mata. Pada tahun 2005, dilakukan
peninjauan ilmiah pada beberapa subjek. Dari peninjauan tersebut
disimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti (fakta) ilmiah yang menyatakan
bahwa latihan pergerakan mata adalah pengobatan myopia yang efektif.
c) Terapi dengan menggunakan laser dengan bantuan keratomilesis (LASIK)
atau operasi lasik mata, yang telah populer dan banyak digunakan para
ahli bedah untuk mengobati miopia. Dalam prosedurnya dilakukan
pergantian ukuran kornea mata dan dirubahnya tingkat miopia dengan
menggunakan sebuah laser. Selain lasik digunakan juga terapi lain yaitu
Photorefractive Keratotomy (PRK) untuk jangka pendek, tetapi ini
menggunakan konsep yang sama yaitu dengan pergantian kembali kornea
mata tetapi menggunakan prosedur yang berbeda. Selain itu ada juga
pengobatan yang dilakukan tanpa operasi yaitu orthokeratologi dan
pemotongan jaringan kornea mata. Orang-orang dengan miopia rendah
akan lebih baik bila menggunakan teknik ini. Orthokeratologi
menggunakan kontak lensa secara berangsur-angsur dan pergantian
sementara lekukan kornea. Pemotongan jaringan kornea mata
menggunakan bahan-bahan plastik yang ditanamkan ke dalam kornea
mata untuk mengganti kornea yang rusak.
Penatalaksanaan Farmakologi
Obat yang digunakan untuk penderita miopia adalah obat tetes mata untuk
mensterilisasi kotoran yang masuk ke dalam mata.
1.7 Pencegahan
Sejauh ini, hal yang dilakukan adalah mencegah dari kelainan mata
sejak dari anak dan menjaga jangan sampai kelainan mata menjadi parah.
Biasanya dokter akan melakukan beberapa tindakan seperti pengobatan laser,
obat tetes tertentu untuk membantu penglihatan, operasi, penggunaan lensa
kontak dan penggunaan kacamata. Tindakan pencegahan yang lain adalah
dengan cara (Rini, 2004), yaitu:
a) Jarak baca 40 – 45 cm.
b) Aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian. Misalnya
setelah membaca atau melihat gambar atau menggunakan komputer 45
menit, berhenti dahulu untuk 15 – 20 menit, beristirahat sambil
melakukan aktifitas lain.
c) Gizi yang berimbang bila diperlukan sesuai aktifitas.
d) Melihat atau merasakan adanya posisi kepala miring atautorticollis
terutama pada aktifitas lihat televisi atau komputer tepat waktu
pemberian kaca mata.
e) Mengatur program harian anak (sekolah,ekstra kurikuler). Seharusnya
diharuskan aktifitas luar misalnya kegiatan olah raga, musik dan lain-
lain.
2. CLINICAL PATHWAY
3. PROSES KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian Keperawatan
a. Pengkajian Fisik
1) Pengkajian Ketajaman Penglihatan
Dilakukan di kamar yang tidak terlalu terang dengan kartu
Snellen. Pasien duduk dengan dengan jarak 6 meter dari kartu
Snellen dengan satu mata ditutup. Pasien diminta membaca huruf
yang tertulis pada kartu, mulai dari baris paling atas kebawah,dan
tentukan baris terakhir yang masih dapat dibaca seluruhnya
dengan benar.
Bila pasien tidak dapat membaca baris paling atas (terbesar) maka
dilakuan uji hitung jari dari jarak 6 meter. Jika pasien tidak dapat
menghitung jari dari jarak 6 meter, maka jarak dapat dikurangi
satu meter, sampai maksimal jarak penguji dengan pasien 1
meter. Jika pasien tetap tidak bisa melihat,dilakukan uji lambaian
tangan,dilakukan uji dengan arah sinar. Jika pengelihatan sama
sekali tidak mengenal adanya sinar,maka dikatakan
pengelihatanya adalah 0 (nol) atau buta total.
Penilaian :
Tajam pengelihatan normal adalah 6/6. Berarti pasien dapat
membaca seluruh huruf dalam kartu Snellen dengan benar. Bila
baris yang dapat dibaca selurunya bertanda 30 maka dikatakan
tajam pengelihatan 6/30. Berarti ia hanya dapat melihat pada jarak
6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada
jarak 30 meter. Bila dalam uji hitung jari pasien hanya dapat
melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pad jarak
3 meter, maka dinyatakan tajam pengelihatan 3/60. Jari terpisah
dapat dilihat orang normal pada jarak 60 meter.
Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada
jarak 300 meter. Bila mata hanya dapat melihat lambaian tangan
pada jarak 1 meter, berarti tajam pengelihatan adalah 1/300.
Bila mata hanya mengenal adanya sinar saja,tidak dapat melihat
lambaian tangan, maka dikatakan sebagai satu per minus. Orang
normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak terhingga.
2) Pengkajian Gerakan Mata
a) Uji Menutup
Salah satu mata pasien di tutup dengan karton atau tangan
pemeriksa, dan pasien di minta memfokuskan mata yang tidak
tertutup pada satu benda diam sementara mata yang di tutup
karton/tangan tetap terbuka. Kemudian karton atau tangan tiba-
tiba di singkirkan, dan akan nampak gerakan abnormal mata.
Bila mata, saat di tutup bergeser ke sisi temporal, akan kembali
ke titik semula ketika penutup di buka. Sebaliknya, bila
bergeser ke sisi nasal, fenomena sebaliknya akan terjadi.
Kecenderungan mata untuk bergeser, ketika di tutup, ke sisi
temporal, di namakan eksoforia; kecenderungan mata untuk
bergeser ke sisi nasal di sebut esoforia.
b) Lirikan Terkoordinasi
Benda di gerakkan ke lateral ke kedua sisi sepanjang sumbu
horizontal dan kemudian sepanjang sumbu oblik. Masing-
masing membentuk sumbu 60 derajat dengan sumbu
horizontal. Tiap posisi cardinal lirikan menggambarkan fungsi
salah satu dari keenam otot ekstraokuler yang melekat pada tiap
mata. Bila terjadi diplopia (pandangan ganda), selama transisi
dari salah satu posisi cardinal lirikan, pemeriksa dapat
mengetahui adanya salah satu atau lebih otot ekstraokuler yang
gagal untuk berfungsi dengan benar. Keadaan ini bias juga
terjadi bila salah satu mata gagal bergerak bersama dengan
yang lain.
3) Pengkajian Lapang Pandang
Pemeriksa dan pasien duduk dengan jarak 1 sampai 2 kaki, saling
berhadapan. Pasien di minta menutup salah satu mata dengan
karton, tanpa menekan, sementara ia harus memandang hidung
pemeriksa. Sebaliknya pemeriksa juga menutup salah satu
matanya sebagai pembanding. Bila pasien menutup mata kirinya,
misalnya, pemeriksa menutup mata kanannya. Pasien di minta
tetap melirik pada hidung pemeriksa dan menghitung jumlah jari
yang ada di medan superior dan inferior lirikan temporal dan
nasal. Jari pemeriksa di gerakkan dari posisi luar terjauh ke tengah
dalam bidang vertical, horizontal dan oblik. Medan nasal,
temporal, superior dan inferior di kaji dengan memasukkan benda
dalam penglihatan dari berbagai titik perifer. Pada setiap manuver,
pasien memberi informasi kepada pemeriksa saat ketika benda
mulai dapat terlihat sementara mempertahankan arah lirikannya ke
depan.
4) Pemeriksaan Fisik Mata
1) Kelopak Mata, harus terletak merata pada permukaan mata
2) Buku Mata, posisi dan distribusinya
3) Sistem lakrimal, struktur dan fungsi pembentukan dan drainase
air mata.
4) Pemeriksaan Mata Anterior, sclera dan konjungtiva bulbaris
diinspeksi secara bersama.
5) Pemeriksaan Kornea, normalnya kornea tampak halus dengan
pantulan cahaya seperti cermin, terang, simetris dan tunggal.
3.2 Diagnosa Keperawatan
a) Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori/gangguan status organ indera.
b) Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
(nyeri pada kepala, kelelahan pada mata).
c) Kurang pengetahuan/informasi berhubungan dengan kondisi, prognosis
dan pengobatan.
3.3 Intervensi Keperawatan
a) Gangguan persepsi diri berhubungan dengan gangguan penerimaan
sensori/gangguan status organ indera.
Intervensi:
1) Kaji derajat dan durasi gangguan visual
Rasional: Meningkatkan pemahaman perawat tentang kondisi klien
2) Orientasikan klien pada lingkungan yang baru
Rasional: Memberikan peningkatan kenyamanan, kekeluargaan serta
kepercayaan klien-perawat
3) Dorong klien mengekspresikan perasaan tentang gangguan
penglihatan
Rasional: meningkatkan kepercayaan klien-perawat dan penerimaan
diri
4) Lakukan tindakan untuk membantu klien menangani gangguan
penglihatannya
Rasional: Menurunkan kemungkinan bahaya yang akan tejadi
sehubungan dengan gangguan penglihatan
b) Ansietas/ketakutan berhubungan dengan perubahan status kesehatan
(nyeri pada kepala, kelelahan pada mata)
Intervensi:
1) Orientasikan klien pada lingkungan yang baru
Rasional: Membantu mengurangi ansietas dan meningkatkan
keamanan
2) Beritahu klien tentang perjalanan penyakitnya
Rasional: Memberikan informasi kepada klien tentang penyakitnya
dan mengurangi ansietas
3) Beritahu klien tentang tindakan pengobatan yang akan dilakukan.
Rasional: Mengurangi ansietas klien
c) Kurang pengetahuan/informasi berhubungan dengan kondisi, prognosis
dan pengobatan.
Intervensi:
1) Kaji informasi tentang kondisi individu, prognosis dan pengobatan
Rasional: Meningkatkan pemahaman perawat tentang kondisi klien.
2) Beritahu klien tentang perjalanan penyakitnya serta pengobatan yang
akan dilakukan
Rasional: Memberikan informasi kepada klien tentang penyakitnya.
3) Anjurkan klien menghindari membaca terlalu lama dan membaca
dengan posisi tidur, menonton TV dengan jarak terlalu dekat.
Rasional: Membaca terlalu lama dan membaca dengan posisi tidur,
menonton TV dengan jarak terlalu dekat dapat mengakibatkan
kelelahan pada mata.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Edisi 8 Vol 3. Jakarta:
EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan; Edisi 8. EGC.
Jakarta.Doengoes. 2010. Nursing Care Plans Edition 8. Philadhelpia: FA Davis Company.
Mansjoer, Arif. 1999. Kapita Selekta Kedokteran; Edisi 3, Jilid 1. Media
Aesculapius, FKUI. Jakarta.Nanda International. 2010. Diagnosis Keperawatan: definisi dan klasifikasi 2009-
2011. Jakarta: EGC.
Price, Sylvia A. 1995. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.