LAPORAN PENDAHULUAN

37
LAPORAN PENDAHULUAN SKIZOFRENIA 1. KONSEP SKIZOFRENIA A. Definisi Skizofrenia Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003). Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi, kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak atau inisiatif B. Epidemiologi Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai

description

lzpo

Transcript of LAPORAN PENDAHULUAN

Page 1: LAPORAN PENDAHULUAN

LAPORAN PENDAHULUAN

SKIZOFRENIA

1. KONSEP SKIZOFRENIA

A. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada

persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan

kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif

tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock, 2003).

Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok,

yaitu gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa delusi, halusinasi,

kekacauan pikiran, gaduh gelisah dan perilaku aneh atau bermusuhan. Gejala

negatif adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau

isolasi diri dari pergaulan, ‘miskin’ kontak emosional (pendiam, sulit diajak

bicara), pasif, apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan

dorongan kehendak atau inisiatif

B. Epidemiologi

Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat dan di

berbagai daerah. Insiden dan tingkat prevalensi sepanjang hidup secara kasar

hampir sama di seluruh dunia. Gangguan ini mengenai hampir 1% populasi

dewasa dan biasanya onsetnya pada usia remaja akhir atau awal masa dewasa.

Pada laki-laki biasanya gangguan ini mulai pada usia lebih muda yaitu 15-25

tahun sedangkan pada perempuan lebih lambat yaitu sekitar 25-35 tahun.

Insiden skizofrenia lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan dan lebih

besar di daerah urban dibandingkan daerah rural (Sadock, 2003).

Pasien skizofrenia beresiko meningkatkan risiko penyalahgunaan zat, terutama

ketergantungan nikotin. Hampir 90% pasien mengalami ketergantungan

nikotin. Pasien skizofrenia juga berisiko untuk bunuh diri dan perilaku

menyerang. Bunuh diri merupakan penyebab kematian pasien skizofrenia yang

terbanyak, hampir 10% dari pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri

(Kazadi, 2008).

Page 2: LAPORAN PENDAHULUAN

Menurut Howard, Castle, Wessely, dan Murray, 1993 di seluruh dunia

prevalensi seumur hidup skizofrenia kira-kira sama antara laki-laki dan

perempuan diperkirakan sekitar 0,2%-1,5%. Meskipun ada beberapa

ketidaksepakatan tentang distribusi skizofrenia di antara laki-laki dan

perempuan, perbedaan di antara kedua jenis kelamin dalam hal umur dan

onset-nya jelas. Onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki,

yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan risiko onsetnya menjadi

terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada

usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

Page 3: LAPORAN PENDAHULUAN

C. Etiologi

Terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa penyebab

skizofrenia, antara lain :

1). Faktor Genetik

Menurut Maramis (1995), faktor keturunan juga menentukan timbulnya

skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-

keluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka

kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 – 15%;

bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 – 16%;

bila kedua orangtua menderita skizofrenia 40 – 68%; bagi kembar dua telur

(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 – 86%.

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang disebut

quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat mungkin

disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang berbeda

di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada gradasi

tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini (dari

ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia

semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang

memiliki penyakit ini (Durand & Barlow, 2007).

2). Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmitter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan neuron-

neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan bahwa

skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmitter dopamine yang berlebihan

di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang abnormal

terhadap dopamine. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas dopamine

yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmitter lain seperti serotonin dan norepinephrine tampaknya juga

memainkan peranan (Durand, 2007).

3). Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin lama

semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan orang

tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005). Banyak penelitian yang mempelajari

Page 4: LAPORAN PENDAHULUAN

bagaimana interaksi dalam keluarga mempengaruhi penderita skizofrenia.

Sebagai contoh, istilah schizophregenic mother kadang-kadang digunakan

untuk mendeskripsikan tentang ibu yang memiliki sifat dingin, dominan, dan

penolak, yang diperkirakan menjadi penyebab skizofrenia pada anak-anaknya

(Durand & Barlow, 2007). Menurut Coleman dan Maramis (1994 dalam

Baihaqi et al, 2005), keluarga pada masa kanak-kanak memegang peranan

penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua terkadang bertindak

terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan anak untuk

berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan tidak

merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

dibutuhkannya.

4). Perjalanan Penyakit

Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.

Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi

beberapa fase yang dimulai dari keadaan premorbid, prodromal, fase aktif dan

keadaan residual (Sadock, 2003; Buchanan, 2005).

Pola gejala premorbid merupakan tanda pertama penyakit skizofrenia,

walaupun gejala yang ada dikenali hanya secara retrospektif. Karakteristik

gejala skizofrenia yang dimulai pada masa remaja akhir atau permulaan masa

dewasa akan diikuti dengan perkembangan gejala prodromal yang

berlangsung beberapa hari sampai beberapa bulan. Tanda dan gejala

prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah (gelisah), merasa diteror

atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien dengan skizofrenia

menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala somatik, seperti

nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah pencernaan

(Sadock, 2003).

Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara

klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku.

Penilaian pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri

(tilikan) buruk sampai tidak ada. Fase residual ditandai dengan

menghilangnya beberapa gejala klinis skizofrenia. Yang tinggal hanya satu

atau dua gejala sisa yang tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa

penarikan diri (withdrawal) dan perilaku aneh (Buchanan, 2005).

Page 5: LAPORAN PENDAHULUAN

D. Tipe-tipe Skizofrenia

Diagnosa Skizofrenia berawal dari Diagnostik and Statistical Manual of

Mental Disorders (DSM) yaitu: DSM-III (American Psychiatric Assosiation,

1980) dan berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Assosiation,1994) dan

DSM-IV-TR (American Psychiatric Assosiation,2000). Berikut ini adalah tipe

skizofrenia dari DSM-IV-TR 2000. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala yang

dominan yaitu (Davison, 2006) :

1). Tipe Paranoid

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah waham yang mencolok atau halusinasi

auditorik dalam konteks terdapatnya fungsi kognitif dan afektif yang relatif

masih terjaga. Waham biasanya adalah waham kejar atau waham kebesaran,

atau keduanya, tetapi waham dengan tema lain (misalnya waham kecemburuan,

keagamaan, atau somalisas) mungkin juga muncul. Ciri-ciri lainnya meliputi

ansietas, kemarahan, menjaga jarak dan suka berargumentasi, dan agresif.

2).Tipe Disorganized (tidak terorganisasi)

Ciri utama skizofrenia tipe disorganized adalah pembicaraan kacau, tingkah

laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. Pembicaraan yang kacau

dapat disertai kekonyolan dan tertawa yang tidak erat kaitannya dengan isi

pembicaraan. Disorganisasi tingkah laku dapat membawa pada gangguan yang

serius pada berbagai aktivitas hidup sehari-hari.

3).Tipe Katatonik

Ciri utama skizofrenia tipe ini adalah gangguan pada psikomotor yang dapat

meliputi ketidakbergerakan motorik (waxy flexibility). Aktivitas motor yang

berlebihan, negativism yang ekstrim, sama sekali tidak mau bicara dan

berkomunikasi (mutism), gerakan-gerakan yang tidak terkendali, mengulang

ucapan orang lain (echolalia) atau mengikuti tingkah laku orang lain

(echopraxia).

4).Tipe Undifferentiated

Tipe Undifferentiated merupakan tipe skizofrenia yang menampilkan

perubahan pola simptom-simptom yang cepat menyangkut semua indikator

skizofrenia. Misalnya, indikasi yang sangat ruwet, kebingungan (confusion),

emosi yang tidak dapat dipegang karena berubah-ubah, adanya delusi, referensi

yang berubah-ubah atau salah, adanya ketergugahan yang sangat besar, autisme

Page 6: LAPORAN PENDAHULUAN

seperti mimpi, depresi, dan sewaktu-waktu juga ada fase yang menunjukkan

ketakutan.

5).Tipe Residual

Tipe ini merupakan kategori yang dianggap telah terlepas dari skizofrenia tetapi

masih memperlihatkan gejala-gejala residual atau sisa, seperti keyakinan-

keyakinan negatif, atau mungkin masih memiliki ide-ide tidak wajar yang tidak

sepenuhnya delusional. Gejala-gejala residual itu dapat meliputi menarik diri

secara sosial, pikiran-pikiran ganjil, inaktivitas, dan afek datar.

1.6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien skizofrenia dapat berupa terapi biologis, dan terapi

psikososial.

1.6.1. Terapi Biologis

Pada penatalaksanaan terapi biologis terdapat tiga bagian yaitu terapi dengan

menggunakan obat antipsikosis, terapi elektrokonvulsif, dan pembedahan bagian

otak. Terapi dengan penggunaan obat antipsikosis dapat meredakan gejala-gejala

skizofrenia. Obat yang digunakan adalah chlorpromazine (thorazine) dan

fluphenazine decanoate (prolixin). Kedua obat tersebut termasuk kelompok obat

phenothiazines, reserpine (serpasil), dan haloperidol (haldol). Obat ini disebut obat

penenang utama. Obat tersebut dapat menimbulkan rasa kantuk dan kelesuan, tetapi

tidak mengakibatkan tidur yang lelap, sekalipun dalam dosis yang sangat tinggi

(orang tersebut dapat dengan mudah terbangun). Obat ini cukup tepat bagi penderita

skizofrenia yang tampaknya tidak dapat menyaring stimulus yang tidak relevan

(Durand, 2007).

Terapi Elektrokonvulsif juga dikenal sebagai terapi electroshock pada

penatalaksanaan terapi biologis. Pada akhir 1930-an, electroconvulsive therapy (ECT)

diperkenalkan sebagai penanganan untuk skizofrenia.Tetapi terapi ini telah menjadi

pokok perdebatan dan keprihatinan masyarakat karena beberapa alasan. ECT ini

digunakan di berbagai rumah sakit jiwa pada berbagai gangguan jiwa, termasuk

skizofrenia.

Menurut Fink dan Sackeim (1996) antusiasme awal terhadap ECT semakin memudar

karena metode ini kemudian diketahui tidak menguntungkan bagi

Universitas Sumatera Utara

Page 7: LAPORAN PENDAHULUAN

sebagian besar penderita skizofrenia meskipun penggunaan terapi ini masih dilakukan

hingga saat ini. Sebelum prosedur ECT yang lebih manusiawi dikembangkan, ECT

merupakan pengalaman yang sangat menakutkan pasien. Pasien seringkali tidak

bangun lagi setelah aliran listrik dialirkan ke tubuhnya dan mengakibatkan

ketidaksadaran sementara, serta seringkali menderita kerancuan pikiran dan hilangnya

ingatan setelah itu. Adakalanya, intensitas kekejangan otot yang menyertai serangan

otak mengakibatkan berbagai cacat fisik (Durand, 2007).

Pada terapi biologis lainnya seperti pembedahan bagian otak Moniz (1935, dalam

Davison, et al., 1994) memperkenalkan prefrontal lobotomy, yaitu proses operasi

primitif dengan cara membuang “stone of madness” atau disebut dengan batu gila

yang dianggap menjadi penyebab perilaku yang terganggu. Menurut Moniz, cara ini

cukup berhasil dalam proses penyembuhan yang dilakukannya, khususnya pada

penderita yang berperilaku kasar. Akan tetapi, pada tahun 1950-an cara ini

ditinggalkan karena menyebabkan penderita kehilangan kemampuan kognitifnya,

otak tumpul, tidak bergairah, bahkan meninggal.

1.6.2. Terapi Psikososial

Gejala-gejala gangguan skizofrenia yang kronik mengakibatkan situasi pengobatan di

dalam maupun di luar Rumah Sakit Jiwa (RSJ) menjadi monoton dan menjemukan.

Secara historis, sejumlah penanganan psikososial telah diberikan pada pasien

skizofrenia, yang mencerminkan adanya keyakinan bahwa gangguan ini merupakan

akibat masalah adaptasi terhadap dunia karena berbagai pengalaman yang dialami di

usia dini. Pada terapi psikosial terdapat dua bagian yaitu terapi kelompok dan terapi

keluarga (Durand, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: LAPORAN PENDAHULUAN

Terapi kelompok merupakan salah satu jenis terapi humanistik. Pada terapi ini,

beberapa klien berkumpul dan saling berkomunikasi dan terapist berperan sebagai

fasilitator dan sebagai pemberi arah di dalamnya. Para peserta terapi saling

memberikan feedback tentang pikiran dan perasaan yang dialami. Peserta diposisikan

pada situasi sosial yang mendorong peserta untuk berkomunikasi, sehingga dapat

memperkaya pengalaman peserta dalam kemampuan berkomunikasi.

Pada terapi keluarga merupakan suatu bentuk khusus dari terapi kelompok. Terapi ini

digunakan untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit jiwa dan tinggal

bersama keluarganya. Keluarga berusaha untuk menghindari ungkapan-ungkapan

emosi yang bisa mengakibatkan penyakit penderita kambuh kembali.

Dalam hal ini, keluarga diberi informasi tentang cara-cara untuk mengekspresikan

perasaan-perasaan, baik yang positif maupun yang negatif secara konstruktif dan

jelas, dan untuk memecahkan setiap persoalan secara bersama-sama. Keluarga diberi

pengetahuan tentang keadaan penderita dan cara-cara untuk menghadapinya. Dari

beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Fallon (Davison, et al., 1994;

Rathus, et al., 1991) ternyata campur tangan keluarga sangat membantu dalam proses

penyembuhan, atau sekurang-kurangnya mencegah kambuhnya penyakit penderita,

dibandingkan dengan terapi-terapi secara individual.

Universitas Sumatera Utara

Page 9: LAPORAN PENDAHULUAN

2. KEKAMBUHAN KEMBALI (RELAPS)

Kekambuhan pasien skizofrenia adalah istilah yang secara relatif merefleksikan

perburukan gejala atau perilaku yang membahayakan pasien dan atau lingkungannya.

Tingkat kekambuhan sering di ukur dengan menilai waktu antara lepas rawat dari

perawatan terakhir sampai perawatan berikutnya dan jumlah rawat inap pada periode

tertentu (Pratt, 2006).

Keputusan untuk melakukan rawat inap di rumah sakit pada pasien skizofrenia adalah

hal terutama yang dilakukan atas indikasi keamanan pasien karena adanya

kekambuhan yang tampak dengan tindakan seperti ide bunuh diri atau mencelakakan

orang lain, dan bila terdapat perilaku yang sangat terdisorganisasi atau tidak wajar

termasuk bila pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar berupa makan,

perawatan diri dan tempat tinggalnya. Selain itu rawat inap rumah sakit diperlukan

untuk hal-hal yang berkaitan dengan diagnostik dan stabilisasi pemberian medikasi

(Durand, 2007).

Perawatan pasien skizofrenia cenderung berulang (recurrent), apapun bentuk subtipe

penyakitnya. Tingkat kekambuhan lebih tinggi pada pasien skizofrenia yang hidup

bersama anggota keluarga yang penuh ketegangan, permusuhan dan keluarga yang

memperlihatkan kecemasan yang berlebihan. Tingkat kekambuhan dipengaruhi juga

oleh stress dalam kehidupan, seperti hal yang berkaitan dengan keuangan dan

pekerjaan. Keluarga merupakan bagian yang penting dalam proses pengobatan pasien

dengan skizofrenia.

Universitas Sumatera Utara

Page 10: LAPORAN PENDAHULUAN

Keluarga berperan dalam deteksi dini, proses penyembuhan dan pencegahan

kekambuhan. Penelitian pada keluarga di Amerika, membuktikan bahwa peranan

keluarga yang baik akan mengurangi angka perawatan di rumah sakit, kekambuhan,

dan memperpanjang waktu antara kekambuhan.

Meskipun angka kekambuhan tidak secara otomatis dapat dijadikan sebagai kriteria

kesuksesan suatu pengobatan skizofrenia, tetapi parameter ini cukup signifikan dalam

beberapa aspek. Setiap kekambuhan berpotensi menimbulkan bahaya bagi pasien dan

keluarganya, yakni seringkali mengakibatkan perawatan kembali/rehospitalisasi dan

membengkaknya biaya pengobatan.

3. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETIDAKPATUHAN

MINUM OBAT

Faktor yang paling penting sehubungan dengan kekambuhan pada skizofrenia adalah

ketidakpatuhan meminum obat. Salah satu terapi pada pasien skizofrenia adalah

pemberian antipsikosis. Obat tersebut akan bekerja bila dipakai dengan benar tetapi

banyak dijumpai pasien skizofrenia tidak menggunakan obat mereka secara rutin.

Kira-kira 7% orang-orang yang diberi resep obat-obat antipsikotik menolak

memakainya (Hoge, 1990).

Penelitian tentang prevalensi ketidakpatuhan menunjukkan bahwa sebagian besar

penderita skizofrenia berhenti memakai obat dari waktu ke waktu. Sebuah studi

follow-up sebagai contoh menemukan bahwa selama kurun waktu dua tahun, tiga

diantara empat pasien yang diteliti menolak memakai obat antipsikotiknya selama

paling tidak seminggu (Durand, 2007)

Universitas Sumatera Utara

Page 11: LAPORAN PENDAHULUAN

Menurut Tambayong (2002) faktor ketidakpatuhan terhadap pengobatan adalah

kurang pahamnya pasien tentang tujuan pengobatan, tidak mengertinya pasien tentang

pentingnya mengikuti aturan pengobatan yang ditetapkan sehubungan dengan

prognosisnya, sukarnya memperoleh obat di luar rumah sakit, mahalnya harga obat,

dan kurangnya perhatian dan kepedulian keluarga yang mungkin bertanggung jawab

atas pembelian atau pemberian obat kepada pasien. Terapi obat yang efektif dan aman

hanya dapat dicapai bila pasien mengetahui seluk beluk pengobatan serta

kegunaannya.

Menurut Siregar (2006) ketidakpatuhan pemakaian obat akan mengakibatkan

penggunaan suatu obat yang berkurang. Dengan demikian, pasien akan kehilangan

manfaat terapi yang diantisipasi dan kemungkinan mengakibatkan kondisi yang

diobati secara bertahap menjadi buruk. Adapun berbagai faktor yang berkaitan

dengan ketidakpatuhan, antara lain :

3.1. Penyakit

Sifat kesakitan pasien dalam beberapa keadaan, dapat berkontribusi pada

ketidakpatuhan. Pada pasien dengan gangguan psikiatrik, kemampuan untuk bekerja

sama, demikian juga sikap terhadap pengobatan mungkin dirusak oleh adanya

kesakitan, dan individu-individu ini lebih mungkin tidak patuh daripada pasien lain.

Berbagai studi dari pasien dengan kondisi seperti pasien skizofrenia telah

menunjukkan suatu kejadian ketidakpatuhan yang tinggi. Pasien cenderung menjadi

putus asa dengan program terapi yang lama dan tidak menghasilkan kesembuhan

kondisi.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: LAPORAN PENDAHULUAN

Apabila seorang pasien mengalami gejala yang signifikan dan terapi dihentikan

sebelum waktunya, ia akan lebih memperhatikan menggunakan obatnya dengan

benar. Beberapa studi menunjukkan adanya suatu korelasi antara keparahan penyakit

dan kepatuhan, hal itu tidak dapat dianggap bahwa pasien ini akan patuh dengan

regimen terapi mereka. Hubungan antara tingkat ketidakmampuan yang disebabkan

suatu penyakit dan kepatuhan dapat lebih baik, serta diharapkan bahwa meningkatnya

ketidakmampuan akan memotivasi kepatuhan pada kebanyakan pasien.

Permasalahan yang lain adalah model kepercayaan pasien tentang kesehatannya,

dimana menggambarkan pikiran pasien tentang penyebab dan keparahan penyakit

mereka. Banyak orang menilai bahwa skizofrenia adalah penyakit yang kurang

penting dan tidak begitu serius dibandingkan penyakit penyakit lain seperti diabetes,

epilepsi dan kanker. Jadi jelas bahwa jika mereka mempercayai penyakitnya tidak

begitu serius dan tidak penting untuk diterapi maka ketidakpatuhan dapat terjadi.

Begitu juga persepsi sosial juga berpengaruh. Jika persepsi sosial buruk maka pasien

akan berusaha menghindari setiap hal tentang penyakitnya termasuk pengobatan.

Sikap pasien terhadap pengobatan juga perlu diperhitungkan dalam hubungannya

terhadap kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Sangatlah penting untuk mengamati,

berdiskusi dan jika memungkinkan mencoba untuk merubah sikap pasien terhadap

pengobatan. Pada pasien skizofrenia sikap pasien terhadap pengobatan dengan

antipsikotik bervariasi dari yang sangat negatif sampai sangat positif.

Universitas Sumatera Utara

Page 13: LAPORAN PENDAHULUAN

3.2. Regimen Terapi

3.2.1. Terapi Multi Obat

Pada umumnya, makin banyak jenis dan jumlah obat yang digunakan pasien, semakin

tinggi resiko ketidakpatuhan. Bahkan, apabila instruksi dosis tertentu untuk obat telah

diberikan, masalah masih dapat terjadi. Kesamaan penampilan (misalnya, ukuran,

warna, dan bentuk) obat-obat tertentu dapat berkontribusi pada kebingungan yang

dapat terjadi dalam penggunaan multi obat.

3.2.2. Frekuensi Pemberian

Pemberian obat pada jangka waktu yang sering membuat ketidakpatuhan lebih

mungkin karena jadwal rutin normal atau jadwal kerja pasien akan terganggu untuk

pengambilan satu dosis obat dan dalam banyak kasus pasien akan lupa, tidak ingin

susah atau malu berbuat demikian.

Sikap pasien terhadap kesakitan dan regimen pengobatan mereka juga perlu

diantisipasi dan diperhatikan. Dalam kebanyakan situasi adalah wajar mengharapkan

bahwa pasien akan setuju dan lebih cenderung patuh dengan suatu regimen dosis

yang sederhana dan menyenangkan.

3.2.3. Durasi dan Terapi

Berbagai studi menunjukkan bahwa tingkat ketidakpatuhan menjadi lebih besar,

apabila periode pengobatan lama. Seperti telah disebutkan, suatu risiko yang lebih

besar dari ketidakpatuhan perlu diantisipasi dalam pasien yang mempunyai penyakit

kronik, terutama jika penghentian terapi mungkin tidak berhubungan dengan

terjadinya kembali segera atau memburuknya kesakitan. Ketaatan pada pengobatan

jangka panjang lebih sulit dicapai. Walaupun tidak ada

Universitas Sumatera Utara

Page 14: LAPORAN PENDAHULUAN

intervensi tunggal yang berguna untuk meningkatkan ketaatan, kombinasi instruksi

yang jelas, pemantauan sendiri oleh pasien, dukungan sosial, petunjuk bila

menggunakan obat, dan diskusi kelompok.

3.2.4. Efek Merugikan

Perkembangan dari efek suatu obat tidak menyenangkan, memungkinkan menghindar

dari kepatuhan, walaupun berbagai studi menyarankan bahwa hal ini tidak merupakan

faktor penting sebagaimana diharapkan. Dalam beberapa situasi adalah mungkin

mengubah dosis atau menggunakan obat alternatif untuk meminimalkan efek

merugikan. Namun, dalam kasus lain alternatif dapat ditiadakan dan manfaat yang

diharapkan dari terapi harus dipertimbangkan terhadap risiko.

Penurunan mutu kehidupan yang diakibatkan efek, seperti mual dan muntah yang

hebat, mungkin begitu penting bagi beberapa individu sehingga mereka tidak patuh

dengan suatu regimen. Kemampuan beberapa obat tertentu menyebabkan disfungsi

seksual, juga telah disebut sebagai suatu alasan untuk ketidakpatuhan oleh beberapa

pasien dengan zat antipsikotik dan antihipertensi. Bahkan, suatu peringatan tentang

kemungkinan reaksi merugikan dapat terjadi pada beberapa individu yang tidak patuh

dengan instruksi.

3.2.5. Pasien Asimtomatik (Tidak Ada Gejala) atau Gejala Sudah Reda

Sulit meyakinkan seorang pasien tentang nilai terapi obat, apabila pasien tidak

mengalami gejala sebelum memulai terapi. Pada suatu kondisi dimana manfaat terapi

obat tidak secara langsung nyata, termasuk keadaan bahwa suatu obat digunakan

berbasis profilaksis. Dalam kondisi lain, pasien dapat merasa baik

Universitas Sumatera Utara

Page 15: LAPORAN PENDAHULUAN

setelah menggunakan obat dan merasa bahwa ia tidak perlu lebih lama menggunakan

obatnya setelah reda. Situasi sering terjadi ketika seorang pasien tidak menghabiskan

obatnya ketika menghabiskan obatnya selama terapi antibiotik, setelah ia merasa

bahwa infeksi telah terkendali. Praktik ini meningkatkan kemungkinan terjadinya

kembali infeksi dan pasien wajib diberi nasihat untuk menggunakan seluruh obat

selama terapi antibiotik.

3.2.6. Harga Obat

Walaupun ketidakpatuhan sering terjadi dengan penggunaan obat yang relatif tidak

mahal, dapat diantisipasi bahwa pasien akan lebih enggan mematuhi instruksi

penggunaan obat yang lebih mahal. Biaya yang terlibat telah disebut oleh beberapa

pasien sebagai alasan untuk tidak menebus resepnya sama sekali, sedang dalam kasus

lain obat digunakan kurang sering dari yang dimaksudkan atau penghentian

penggunaan sebelum waktunya disebabkan harga.

3.2.7. Pemberian/Konsumsi Obat

Walau seorang pasien mungkin bermaksud secara penuh untuk patuh pada instruksi,

ia mungkin kurang hati-hati menerima kuantitas obat yang salah disebabkan

pengukuran obat yang tidak benar atau penggunaan alat ukur yang tidak tepat.

Misalnya, sendok teh mungkin volumenya berkisar antara 2mL sampai 9mL.

Ketidakakurasian penggunaan sendok teh untuk mengkonsumsi obat cair dipersulit

oleh kemungkinan tumpah apabila pasien diminta mengukur dengan sendok teh.

Walaupun masalah ini telah lama diketahui, masih belum diperhatikan secara efektif

dan pentingnya menyediakan mangkok ukur bagi pasien, sempril oral atau alat

penetes yang telah dikalibrasi untuk penggunaan

Universitas Sumatera Utara

Page 16: LAPORAN PENDAHULUAN

cairan oral adalah jelas. Akurasi dalam pengukuran obat, harus ditekankan dan

apoteker mempunyai suatu tanggung jawab penting untuk memberikan informasi

serta jika perlu, menyediakan alat yang tepat untuk memastikan pemberian jumlah

obat yang dimaksudkan.

3.2.8. Rasa Obat

Rasa obat-obatan adalah yang paling umum dihadapi dengan penggunaan cairan oral.

Oleh karena itu, dalam formulasi obat cair oral, penambah penawar rasa, dan zat

warna adalah praktik yang umum dilakukan oleh industri farmasi untuk daya tarik

serta pendekatan formulasi demikian dapat mempermudah pemberian obat kepada

pasien.

3.3. Interaksi Pasien dengan Profesional Kesehatan

Keadaan sekeliling kunjungan seorang pasien ke dokter dan/atau apoteker, serta mutu

dan keberhasilan (keefektifan) interaksi profesional kesehatan dengan pasien adalah

penentu utama untuk pengertian serta sikap pasien terhadap kesakitannya dan

regimen terapi. Salah satu kebutuhan terbesar pasien adalah dukungan psikologis

yang diberikan dengan rasa sayang. Selain itu, telah diamati bahwa pasien cenderung

untuk lebih mematuhi instruksi seorang dokter yang merka kenal betul dan dihormati,

serta dari siapa saja mereka menerima informasi dan kepastian tentang kesakitan dan

obat-obat mereka.

Berbagai faktor berikut adalah di antara faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan

secara merugikan, jika perhatian yang tidak memadai diberikan pada lingkup dan

mutu interaksi dengan pasien.

Universitas Sumatera Utara

Page 17: LAPORAN PENDAHULUAN

3.3.1. Menunggu Dokter atau Apoteker

Apabila seorang pasien mengalami suatu waktu menunggu yang signifikan untuk

bertemu dengan dokter atau untuk mengerjakan (mengisi) resepnya, kejengkelan

dapat berkontribusi pada kepatuhan yang yang lebih buruk terhadap instruksi yang

diberikan. Dari suatu penelitian ditunjukkan bahwa hanya 31% dari pasien yang

biasanya menunggu lebih dari 60 menit untuk bertemu dengan dokternya yang benar-

benar patuh, sedangkan yang menunggu dalam 30 menit, 67% dari pasien tersebut

benar-benar patuh.

3.3.2. Sikap dan Keterampilan Komunikasi Profesional Kesehatan

Berbagai studi menunjukkan ketidakpuasan pasien terhadap sikap pelaku pelayan

kesehatan. Uraian yang umum tentang pelaku pelayan kesehatan di rumah sakit

mencakup dingin, tidak tertarik, tidak sopan, agresif, kasar, dan otoriter. Walaupun

uraian demikian tersebut tidak demikian bagi banyak praktisi yang mengabdi dan

terampil, sikap yang tidak pantas terhadap pasien telah cukup terbukti menunjukkan

suatu masalah yang signifikan.

Pelaku pelayan kesehatan cenderung menggunakan terminologi sehingga pasien tidak

dapat mengerti dengan mudah, mereka sering kurang pengetahuan tentang teori dan

praktik perilaku, dan mereka mempunyai kesadaran yang terbatas pada tingkat,

masalah, dan penyebabpasien tidak taat pada pengobatan.

Ketaatan pada pengobatan, berhubungan dengan kejelasan penjelasan dokter penulis

resep, pasien sering merasa bahwa instruksi dinyatakan kurang jelas atau sama sekali

tidak jelas. Ketepatan waktu dan kejelasan suatu pesan sangat kuat mempengaruhi

bagaimana itu diterima, dimengerti, dan diingat. Pasien mengingat

Universitas Sumatera Utara

Page 18: LAPORAN PENDAHULUAN

dengan sangat baik instruksi pertama yang diberikan; instruksi yang perlu penekanan

adalah lebih baik diingatkan kembali; makin sedikit instruksi diberikan, semakin

besar bagian yang diingat. Jadi suatu pesan tidak saja harus jelas dinyatakan, tetapi

juga harus diorganisasikan dan disampaikan sedemikian rupa sehingga

memungkinkan pasien yang mengikuti dan memproses informasi secara sempurna.

3.3.3. Gagal Mengerti Pentingnya Terapi

Alasan utama untuk tidak patuh adalah bahwa pentingnya terapi obat dan akibat yang

mungkin, jika obat tidak digunakan sesuai dengan instruksi yang tidak mengesankan

pasien. Pasien biasanya mengetahui relatif sedikit tentang kesakitan mereka, apalagi

manfaat dan masalah terapi yang diakibatkan terapi obat.

Oleh karena itu, mereka menyimpulkan pikiran sendiri berkenaan dengan kondisi dan

pengharapan yang berkaitan dengan efek terapi obat. Jika terapi tidak memenuhi

pengharapan, mereka lebih cenderung menjadi tidak patuh. Perhatian yang lebih besar

diperlukan untuk memberi edukasi pada pasien tentang kondisinya, dan manfaat serta

keterbatasan dari terapi obat, akan berkontribusi pada pengertian yang lebih baik dari

pihak pasien tentang pentingnya menggunakan obat dengan cara yang dimaksudkan.

3.3.4. Pengertian yang Buruk Pada Instruksi

Berbagai investigasi telah menguraikan masalah dari jenis ini. Dari suatu studi pada

sekitar 6000 resep, 4% dari resep itu terdapat instruksi pasien ditulis “Sesuai

Petunjuk”. Akibat yang mungkin dari salah pengertian dapat serius. Misalnya,

seorang pasien menggunakan tiga kali dua kapsul fenitoin (100mg)

Universitas Sumatera Utara

Page 19: LAPORAN PENDAHULUAN

sehari, daripada seharusnya tiga kali satu kapsul sehari seperti instruksi dokter. Pada

pasien skizofrenia yang menggunakan obat antipsikotik haloperidol 2,5 mg/hari dan

fluphenazine Hydrochloride 2,5 mg/hari.

Alasan untuk penggunaan instruksi oleh beberapa dokter “Gunakan sesuai petunjuk”

telah diteliti. Walaupun penggunaan penandaan ini diadakan dalam situasi yang

terseleksi dipertahankan, kemungkinan untuk membingungkan dan mengakibatkan

kesulitan, dibuktikan dalam penelitian serta menyimpulkan bahwa perlu membuat

instruksi penggunaan obat sespesifik mungkin. Bahkan, apabila petunjuk kepada

pasien sudah lebih spesifik dari “ sesuai petunjuk” kebingungan masih dapat terjadi.

3.3.5. Pasien takut bertanya

Pasien sering ragu bertanya kepada tim pelaku pelayan kesehatan untuk menjelaskan

kondisi kesehatan mereka atau pengobatan yang diajukan. Keragu-raguan ini dapat

dihubungkan pada ketakutan dianggap bodoh, perbedaan status sosial, dan bahasa

atau tidak didorong oleh pelaku pelayan kesehatan tersebut. Interaksi pasien dengan

pelaku pelayan kesehatan yang lebih berhasil dapat didorong dengan meningkatkan

kepekaan pada pihak pelaku pelayan kesehatan.

3.3.6. Ketidakcukupan waktu konsultasi

Profesional pelayan kesehatan kebanyakan bersifat kurang berinteraksi dengan pasien

karena tekanan pekerjaan. Dalam beberapa bagian rumah sakit, waktu atau praktik

sibuk, waktu konsultasi sangat terbatas dan ini jelas menjadi sautu masalah. Jika

seorang pasien diberi hanya satu atau dua menit untuk waktu konsultasi, dapat terjadi

hal yang lebih buruk. Biaya yang dikeluarkan pasien

Universitas Sumatera Utara

Page 20: LAPORAN PENDAHULUAN

tinggi, berkenaan dengan waktu, transport dan pengeluaran untuk obat. Hal ini dapat

meningkatkan ketidakpatuhan pasien terhadap instruksi karena mereka merasa bahwa

profesional pelayan kesehatan tidak ada perhatian pada penyembuhan penyakit

mereka. Untuk itu pentingnya rumah sakit agar mempertimbangkan untuk

memperpanjang waktu konsultasi bagi pasien. Profesional pelayan kesehatan harus

didorong untuk mengerti bahwa komunikasi yang efektif dengan pasien bukanlah

suatu ideal yang tidak realistik, tetapi merupakan suatu aspek inti dari keberhasilan

praktik klinik.

3.3.7. Kesediaan Informasi Tercetak

Ketaatan pada pengobatan mungkin meningkat, dengan tersedianya informasi

tercetak dalam bahasa yang sederhana. Di beberapa negara maju, semua IFRS

(Instalasi Farmasi Rumah Sakit) harus mempunyai lembaran informasi untuk pasien,

tersedia untuk setiap obat. Instruksi sederhana untuk obat yang paling banyak

digunakan dan obat yang paling banyak disalahgunakan dapat dicetak pada kertas

murah.

Universitas Sumatera Utara