Laporan Kelompok 6
-
Upload
rani-winda-paramuditha-ichsan -
Category
Documents
-
view
95 -
download
2
Transcript of Laporan Kelompok 6
Laporan Kelompok
19 Desember 2013
LAPORAN TUTORIAL MODUL 1
LEMAH SEPARUH BADAN
SISTEM NEUROPSIKIATRI
Disusun Oleh :
Kelompok : 6 ( enam )
1. Wy. Sinta Dewi (11777007) 6. Andi Aprizal (11777046)
2. Rani Winda P. (11777008) 7. Yunifa Oktaviani (11777047)
3. Muselvinda . (11777017) 8. Achmad Fahri B. (11777057)
4. A. Yanuar Fauzi (11777030) 9. Zakia Alwy A. (11777058)
5. Iin Laksmini Baba (11777031) 10. Ramona Puspita (11777059)
Tutor : dr. Ruslan Ramlan Ramli, Sp.S
dr. Magfirah Alamri
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALKHAIRAAT
PALU
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Seorang laki-laki 54 tahun dibawa ke dokter praktek swasta karena tiba-tiba
mengalami lemah separuh badan kiri dengan mulut mencong ke kanan 2 hari lalu.
Ia juga menderita nyeri kepala dan muntah-muntah. Beberapa saat setelah
mengalami lemah separuh badan, penderita sulit diajak komunikasi dan kelihatan
mengantuk.
1.2 Kata Kunci
1. Laki-laki, 54 tahun
2. Lemah separuh badan kiri tiba-tiba
3. Mulut mencong ke kanan 2 hari lalu
4. Nyeri kepala
5. Muntah-muntah
6. Sulit diajak komunikasi
7. Kelihatan mengantuk
1.3 Pertanyaan
1. Mengapa terjadi kelemahan separuh badan kiri tiba-tiba?
2. Mengapa mulut mencong ke kanan?
3. Bagaimana mekanisme nyeri kepala dan muntah-muntah pada skenario?
4. Mengapa penderita terlihat mengantuk?
5. Apa etiologi dari lemah separuh badan?
6. Mengapa penderita sulit diajak komunikasi?
7. Differential Diagnosis?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi
Otak memperoleh darah melalui dua efici yakni efici karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan efici vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan
arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri
serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, efici ini efici darah bagi
lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang
berpangkal di arteri subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis
tranversalis di kolumna vertebralis servikal, masuk rongga eficit melalui foramen
magnum, lalu mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior.
Pada batas eficit oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan
setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon,
arteri basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang
melayani darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.Ke 3
pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus
ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri
serebri lainya. Untuk menjamin pemberian darah ke otak, ada sekurang-
kurangnya 3 sistem kolateral antara efici karotis dan sitem vertebral, yaitu
Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri
serebri media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan
kedua arteri serebri anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri
komunikans posterior (yang menghubungkan arteri serebri media dan posterior)
kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah
orbita, masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri
maksilaris eksterna. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis
ekterna (pembuluh darah ekstrakranial).
2.2 Fisiologi
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan efici
vertebrabasilaris terutama efici darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor.
Dua efici yang paling penting adalah tekanan untuk memompa darah dari efici
arteri-kapiler ke efici vena, dan tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor
ketiga, adalah efici darah sendiri yaitu viskositas darah dan koagulobilitasnya
(kemampuan untuk membeku).
Dari efici pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (efici
jantung, darah, pembuluh darah, dll), dan efici kemampuan khusus pembuluh
darah otak (arteriol) untuk menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan
berdilatasi bila tekanan darah sistemik menurun. Daya akomodasi efici arteriol
otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak (yang berfungsi normal
bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di
antaranya seperti kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap
diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta
suasana jaringan yang asam (Ph rendah), menyebabkan vasodilatasi, sebaliknya
bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana Ph tinggi, maka
terjadi vasokonstriksi.Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO.
Sedangkan koagulobilitas yang besar juga memudahkan terjadinya eficitni, aliran
darah lambat, akibat ADO menurun.
2.3 Stroke Iskemik
DefinisiStroke adalah suatu sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak
secara lokal atau global, yang dapat menimbulkan kematian atay kelainan yang
menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lainnya kecuali gangguan vaskuler
(WHO 1982).
Stroke iskemik (non hemoragik) adalah stroke yang terjadi akibat aliran darah ke
otak terhenti karena aterosklerosis atau bekuan darah yang telah menyumbat
suatu pembuluh darah.
Epidemiologi
Stroke dapat menyerang segala usia. Penelitian WHO MONICA menunjukkan
bahwa insidensi stroke bervariasi antara 48 sampai 240 per 100000 per tahun
pada populasi usia 45 sampai 54 tahun. Penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan insidensi stroke pada usia dibawah 55 tahun adalah 113,8 per
100000 orang per tahun.
Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan kurang lebih 10% terjadi pada usia
kurang dari 55 tahun. Stroke pada usia muda memiliki dampak yang sangat luas,
dan menimbulkan beban sakit yang panjang bagi penderitanya, keluarga dan
masyarakat.
Insidensi stroke pada wanita muda berkisar antara 4.3 samapai 8.9 per 100000 per
tahun di Amerika Serikat dan Eropa. Insidensi akan meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Stroke iskemik tanpa faktor risiko yang bermakna pada wanita
usia 20-44 tahun adalah 0,9 per 100000 per tahun.
Penelitian Marini, dkk (2001) pada 4353 pasien stroke, 89 diantaranya berusia
dibawah 45 thaun (55 laki-laki dan 34 perempuan) (2%). Usia rata- rata adalah
36,1±8,1 tahun. Dua puluh pasien (22,5%) dengan pendarahan subarachnoid, 18
(20,2%) dengan pendarahan intraserebral, dan 51 (57,3%) dengan infark serebral.
Proporsi ini sedikit berbeda dengan pasien yang berusia >45 tahun, perdarahan
subarachnoid hanya dijumpai pada 2,4% pasien. Hasil pencitraan memperlihatkan
bahwa aneurisma intrakranial dan malformasi arteriovenosa didapatkan pada 20
dari 38 pasien (52,6%). Angka insidensi stroke usia muda adalah 10,18 per
100000 (95% CI8,14-12,57).
Penelitian Nedeltchev, dkk (2005) pada 203 pasein stroke usia muda (16 sampai
45 tahun) menunjukkan bahwa penyakit atherosklerotik arteri besar ada pada 4%
kasus, kardioembolisme pada 24% kasus, penyakit pembuluh darah kecil 9%,
penyebab lain 30% dan tidak diketahui penyebabnya pada 33% kasus.
EtiologiStroke dapat disebabkan oleh terjadinya :
1. Atheroma pada pembuluh darah besar dengan thrombosis, misalnya: pada
aorta, bifurcation carotis, ateri vertebra distal, arteri basiler proksimal.
2. Penyakit mikrovaskular, misalnya: mikroatheroma, degenerasi hialin pada
mikrovaskular, penambahan plak yang berasal dari pembuluh darah besar
pada lumen pembuluh darah kecil.
3. Emboli sistemik, yang terjadi karena atrial fibrilasi, miokard infark akut,
prostetik katup jantung mekanik, kardiomiopati dilatasi (peripartum,
alkoholik, post-viral, iskemik/hipertensi dekompensata), infeksi
endokarditis.
Faktor resiko stroke iskemik:
1. Faktor yang tidak dapat diubah:
Usia yang bertambah, orang Afrika-Amerika, laki-laki, genetik/garis
keturunan stroke.
2. Faktor yang dapat diubah/diobati:
Hipertensi, merokok, diabetes mellitus, hiperlipidemia, serangan iskemik
transien, obesitas, riwayat stroke, bruit atau stenosis arteri carotis
asimptomatis, penyakit jantung, atheroma lengkung aorta, level homosistein
yang meningkat dan penggunaan kontrasepsi oral.
PatofisiologiAliran darah yang tidak cukup di dalam arteri di otak dapat dikompensasi
dengan sistem kolateral, khususnya antara arteri carotis dan vertebra dengan
anastomose pada sirkulus Willisi dan antara arteri-arteri besar hemisfer serebri.
Banyak neuron yang mati jika perfusi <5% dari normal selama lebih dari 5 menit;
bagaimanapun, kerusakan yang terjadi tergantung dari keparahan iskemiknya.
Jika iskemiknya sedikit, kerusakan berjalan perlahan-lahan; maka, jika perfusi
40% dari normal selama 3-6 jam maka jaringan otak akan rusak. Jika iskemik
yang lebih parah terjadi, selama 15-30 menit, seluruh jaringan yang terlibat akan
mati. Kerusakan terjadi lebih cepat selama hipertermia dan lebih lambat selama
hipotermia. Jika jaringan mengalami iskemik, tetapi belum rusak, segera
mengembalikan aliran darah akan mengurangi luka.
a. Atheroma pada pembuluh darah besar.
Atheroma pada pembuluh darah besar menyebabkan stroke pada 4 lokasi
utama yaitu pada bifurcation arteri carotis, arteri vertebra distal, arteri basiler
proksimal dan pada aorta. Stroke terjadi disebabkan oleh thrombosis pada
tempat atheroma dari lokasi-lokasi ini dan hanya 1-2% kasus stroke
berhubungan dengan stenosis tanpa terjadinya thrombosis. Thrombus ini
dapat terpecah dan menyebabkan terbentuknya emboli pada bagian distal
dari 4 lokasi utama. Pembentukan thrombus dari plak-plak atheroma
mengandung banyak daerah neovaskularisasi dan bagian iskemik. Akibatnya
sering terjadi nekrosis atau pun pendarahan internal. Ini akan mempercepat
penambahan plak dan terjadinya stenosis. Selama perdarahan dan nekrosis
terjadi, pasien akan asimptomatik, tanpa melihat keparahan stenosisnya,
karena adanya aliran darah kolateral di otak, terutama pada sirkulus Willisi.
Bagaimanapun, ketika proses patologis merusak tunika intima, debris
nekrotik dan thrombus dapat membentuk emboli atau thrombus akan
menyebar ke tempat lain. Uklus yang sebelumnya akan menjadi nidus untuk
thrombogenesis selanjutnya.
Penanganan stroke yang tepat tergantung pada pengertian akan
thrombosis. Secara umum, otak akan mentoleransi stenosis tingkat tinggi
atau oklusi dari pembuluh darah ‘cervico-cranial’ sepanjang tidak ada
pembentukan thrombus disana. Stenosis tingkat tinggi penting karena
predileksi yang kuat untuk mengalami perubahan dengan pembentukan
thrombus.
Pada sirkulasi anterior, emboli, apakah dari plak atheroma
(thromboemboli arteri ke arteri) atau terbentuk dari jantung, cenderung
disimpan dulu dalam supra-clinoid dari arteri carotis pada bentuk hubungan
T dari carotis, bifurcation carotis menuju arteri serebri anterior dan media,
atau pada bagian proksimal arteri serebri media (Gambar 1). Sepanjang
oklusi tetap pada proksimal dari hubungan T, aliran darah kolateral cukup,
tetapi segera oklusi itu akan meluas dalam bentuk hubungan T atau diluarnya
dan membuat oklusi pada bagian proksimal arteri serebri media, arteri
kolateral sampai ke arteri serebri media menjadi bebas terhadap anatomose
akhir-ke-akhir dari distal kortikal antara arteri serebri media pada satu sisi,
dan arteri serebri anterior dan posterior pada sisi lainnya. Hampir semua
pasien akan mengalami stroke dalam keadaan ini. Jika aliran darak kolateral
sedikit, seluruh daerah arteri serebri media akan mengalami infark. Jika
aliran darah kolateralnya bagus, mungkin akan terjadi iskemik pada korteks,
tetapi dari penelitian radiologi (yang paling baik menggunakan MRI)
menunjukkan tidak ada infark atau infark hanya sebagian dan sering
berkumpul di periventrikel substansia alba, dimana pada akhir percabangan
lentikulostriata dari arteri serebri media memperdarahi basal ganglia dan
substansia alba bagian dalam.
Mekanisme patogenesis ini muncul langsung pada 2 tempat. Pertama,
reduksi yang banyak dalam aliran darah serebri (misalnya dalam emboli
bentuk hubungan T), aliran darah akan berfungsi linier dari tekanan darah
sebagai hasil dari mekanisme autoregulatori pembuluh darah serebri.
Sebagai akibatnya, reduksi yang banyak pada tekanan darah (biasanya akan
meningkat pada stroke akut) akan menyebabkan reduksi yang banyak pada
aliran darah ke bagian-bagian otak yang hampir tidak bertahan (disebut
iskemik penumbra), menghasilkan peningkatan ukuran infark. Penelitian
terbaru telah menunjukkan bahwa tekanan darah pada stroke akut yang
berhubungan dengan kematian sedikitnya 155-220/70-105.
Gambaran vaskularisasi cerebri. Perhatikan bahwa dengan oklusi
arteri carotis interna proksimal ke hubungan T carotis, aliran darah kolateral
yang cukup akan disediakan oleh arteri comunican anterior dan posterior.
Bagaimanapun, dengan pembekuan darah pada hubungan T, aliran darah ke
arteri cerebri media akan diperoleh dari anastomose kortikal akhir-ke akhir
antara arteri serebri media, arteri serebri anterior dan arteri serebri posterior.
Karena daerah pada akhir arteri lentikulostriata merupakan bagian distal dari
oklusi, akan lebih menunjukkan bukti infark dari aliran hubungan T carotis.
Maka itu, daerah akhir lentikulostriata dikatakan sebagai “desert zone”.
Kedua, karena adanya anastomose arteri, bahkan dengan oklusi carotis
hubungan T, aliran darah serebri tidak berkurang sampai nol dan pada
kebanyakan kasus, bagian potensial infark akan ditolong jika pembekuan
darah dapat dilisiskan dengan cepat. Hal ini menyediakan kesempatan untuk
bekerjanya obat-obat, misalnya: aktivator plasminogen jaringan rekombinan
(rTPA), untuk meningkatan lisis dari pembekuan darah. Pada penelitian
aktivator plasminogen jaringan rekombinan di Amerika, pengobatan dengan
rTPA intravena dalam 3 jam dari onset stroke membuat prognosis pasien
menjadi baik.
Pada sirkulasi posterior, thrombosis pada arteri vertebra distal akan
menyebabkan iskemik hanya pada arteri utama yang memperdarahi
parenkim otak , arteri serebri inferior posterior, menyebabkan infark medular
lateral (Wallenberg). Ini merupakan infark tersering dengan sedikit aliran
darah dan thrombosis arteri vertebra distal cenderung menjadi emboli atau
menyebar ke distal. Hal ini berbeda, saat thrombosis terjadi dalam arteri
basiler, ada kecenderungan kuat untuk menyebar, menyebabkan kerusakan
neurologis secara perlahan-lahan pada pasien jika pontine mengalami oklusi
atau jika terjadi emboli pada bagian atas dari arteri basiler, menyebabkan
gejala kerusakan penglihatan jika infark pada arteri serebri posterior, atau
letargi disebabkan oleh iskemik sistem aktivasi reticular midbrain dan
thalamus, yang diperdarahi oleh arteri basiler rostral.
b. Penyakit Mikrovaskular
Pembuluh darah kecil yang memperdarahi parenkim otak mungkin
mengalami oklusi sebagai hasil dari degenerasi hialin (diameter lumen
<400m), mikroatheroma dengan thrombosis atau serbuan dari plak arteri
besar pada lumen pembuluh darah kecil (biasanya pada arteri basiler,
kemudian pada arteri serebri media bagian proksimal). Hal ini menyebabkan
terjadinya infark yang biasanya pada diameter kurang dari 1,5 cm di dalam
basal ganglia, dalam substansia alba, thalamus atau pons, secara khusus
dikatakan sebagai infark lakunar. Infark yang dalam, lebih besar dari
diameter 1,5 cm atau infark yang kurang dari diameter 1,5 cm terdapat pada
periventrikular white matter (terutama yang multiple) atau di bawah insula,
seharusnya dicurigai bahwa infark ini menunjukkan oklusi pada pembuluh
darah besar, khususnya pada hubungan T carotis atau pada arteri serebri
media bagian proksimal.
Infark lakunar disebabkan oleh oklusi mikrovaskuler yang disebabkan
penyakit instrinsik dan jarang disebabkan emboli arteri-ke-arteri atau emboli
kardiogenik. Lebih lanjut, karena oklusi cenderung terjadi pada bentuk-
bentuk yang mendapat kompensasi fungsional yang bagus, misalnya basal
ganglia, thalamus atau pada white matter, dimana lesi mengalami
demielinisasi, prognosis untuk sembuh tinggi.
c. Emboli Sistemik
Emboli kardiogenik terjadi terutama pada 5 keadaan yaitu: atrial fibrilasi
(selalu berhubungan dengan usia dan tidak berhubungan dengan penyakit
jantung rematik), miokard infark akut, prostetik katup jantung mekanik,
kardiomiopati dilatasi, dan infeksi endokarditis.
Atrial fibrilasi menyebabkan 2/3 kasus stroke kardioemboli. Atrial
fibrilasi kronik dan precursor atrial fibrilasi, sindrom “sick sinus”
meningkatkan resiko terjadinya stroke. Secara keseluruhan, resiko stroke
setiap tahun pada suatu populasi kira-kira 5%, tetapi akan menjadi 2-3 kali
lipat pada individu tertentu. Prevalensi atrial fibrilasi meningkat sejalan
dengan bertambahnya umur dan atrial fibrilasi akan menyebabkan stroke
pada pasien yang berumur lebih dari 75 tahun.
Infark miokard akut menyebabkan 10% dari stroke kardioemboli.
Kebanyakan stroke terjadi pada bulan pertama dan ini berhubungan dengan
infark dinding anterior dan infark transmural. Sepertiga dari infark miokard
tramsmural anterior berhubungan dengan thrombus mural dan seperempat
akan menyebabkan stroke emboli. Aneurima ventricular, dengan atau tanpa
thrombus mural, berhubungan dengan meningkatnya resiko stroke kronik,
kira-kira 5%/tahun.
Kardiomiopati dilatasi (peripartum, alkoholik, post-viral) jelas
berhubungan dengan peningkatan resiko stroke. Kasus ini kurang jelas untuk
iskemik dekompensasi atau kardiomiopati hipertensi. Semakin parah
patologi jantung dan semakin sedikit bukti penyebab stroke, penyebab
kardioemboli harus diperhitungkan.
Infeksi endokarditis berhubungan dengan resiko emboli yang sangat
tinggi, tetapi resiko ini dibatasi pada periode sebelum dan pada hari pertama
atau kedua dari terapi antibiotic. Makanya, antikoagulan, yang akan sangat
beresiko, tidak pernah diindikasikan.
Klasifikasi
Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan penyebabnya :
1. Stroke Emboli
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial maupun emboli
paradoxical melalui patent foramen ovale. Sumber emboli cardiogenik
termasuk thrombus valvular (seperti mutral stenosis, endoraditis, katup
prostetik), thrombus mural (seperti infark myocardm fibrilasi atrial,
cardiomyopathy dilatasi, CHF dan atrial myxoma). MI berhubungan dengan
2-3% insidensi stroke emboli, dimana 85% kasus terjadi pada bulan pertama
setelah MI.
2. Stroke Thrombosis
Stroke thrombosis dapat mengenai pembuluh darah besar termasuk sistem
arteri carotis atau pembuluh darah kecil termasuk percabangan sirkulus wilis
dan sirkulasi posterior. Tempat yang umum terjadi thrombosis adalah titik
percabangan arteri serebral khususnya distribusi arteri carotis interna. Stenosis
arteri dapat mengakibatkan aliran darah yang turbulen dan meningkatkan
resiko tebentuknya thrombus, atherosclerosis (seperti plak ulserasi), dan
perlengketan plateler yang kesemuanya dapat menyebabkan pembentukan
bekuan darah juga emboli atau oklusi pada arteri.
Penyebab yang umum dari thrombosis adalah polisitemia, defisiensi protein C,
dysplasia fibromuscula pada arteri serebral, dan vasokonstriksi yang
berkepanjangan pada gangguan migraine headache. Berbagai proses diseksi
dari arteri serebral juga dapat menyebabkan stroke thrombosis seperi trauma,
diseksi aorta thoracalis dan arteritis. Hipoperfusi distal akibat stenosis atau
oklusi arteri atau hipoperfusi area diantara dua arteri serebral dapan
menyebabkan stroke iskemik.
Berikut adalah klasifikasi stroke iskemik berdasarkan arteri yang terkena dan
gejala yang ditimbulkannya:
1. Sindrom Arteri Serebral Medial
Oklusi arteri serebl meadial biasanya disebabkan oleh emboli. Stenosis arteri
serebral medial dengan atau tanpa oklusi thrombotic lebih jarang terjadi.
2. Sindrom Arteri Serebral Anterior
Oklusi arteri serebral anteri juga biasa disebabkan oleh emboli. Oklusi cabang
arteri serebral anterior sering tidak begitu mencolok karena adanya aliran darah
dari arteri komunikana anterior. Namun demikian ketika ada oklusi pada
percabangan utamanya akan menghasilkan defisit yang berat pada dareah yang
diperdarahi.
3. Sindrom Arteri Carotis
Oklusi carotid dapat menghasilkan symptom melalui 2 cara yaitu melalui
hipoperfusi sekunder akibat stenosis atau oklusi atau dengan adanya emboli.
Walau dengan adanya stenotis yang ringan, ulserasi dan plak ateroma dapat
menjadi pembentukan thrombus dan putensia sebagai sumber emboli.
4. Sindrom Arteri Serebral Posterior
Arteri serebral posterior dapat mangalami oklusi akibat emboli dan thrombosis
5. Sindrom Artery Vertebrobasilar
Lebih jarang terjadi dibandingkan iskemia sirkulasi anterioe, oklusi arteri basilar
dan vertebral dapat disebabkan thrombosis dan emboli.
6. Infark Serebellar
Infark serebelar biasa menyebabkan pusing, mual, muntah, nistagmus dan
ataksia. Sering terdapat ataksia tumit-lutut dan telunjuk-hidung. Lebih dari 1
sampai 3 hari, akan terjadi edema pada serebellum yang menyebebkan timbulnya
gejala-gejala penekanan batang otak seperti conjugate eye, disfungsi N V
ipsilateral dan palsy N VII ipsilateral. Kelainan ini akan berlanjut dengan cepat
sampai koma maupun kematian. Pasien dengan manifestasi klinis tersebut harus
dievaluasi dan diobservasi dalam beberapa hari sampai komplikasi penekanan
batang otak dapat di dikurangi dengan dekompresi surgical pada fossa posterior.
7. Infark Lakunar
Tipe penyakit vascular yang khusus, memiliki karakteristik berupa penebalan
hialin pada penetrasi arteri kecil pada otak (lipohialinosis) dan sering terjadi pada
pasien diabetes mellitus dan hipertensi. Oklusi pada pembuluh darah ini
menghasilkan infark cystic yang kecil dan dalam. Infark ini sering asimptomatis
tapi bisa juga menyebabkan gejala seperti stroke motorik yang murni, stroke
sensorik yang murni, clumsy hand-dysarthria syndrome, ataksia homolateral dan
paresis crural, hemiparese motorik yang murni dengan parese kontralaeral dari
gaze lateral dan optalmoplegia internuclear, lacuna sensorimotor, hemiparesis
ataksia dan sebagainya. Diagnosi dapat diarahkan ketika EEG normal dengan
manifestasi klinis seperti di atas. clumsy hand-dysarthria syndrome Oklusi primer
arteri-arteri kecil merupakan mekanisme yang umum, arteri tersebut bisa juga
menjadi target emboli dan mengalami oklusi akibat plak atherosclerosis
pembuluh darah besarnya.
Manifestasi klinik
Stroke iskemik memberikan gambaran klinis berupa simptom dan tanda fokal
yang berhubungan dengan area otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang
terkena. Pada stroke iskemik, oklusi pembuluh darah menghalangi aliran darah ke
area spesifik di otak, mengganggu fungsi neurologik yang bergantung pada regio
tersebut dan memberikan gambaran pola defisit yang khas untuk regio tersebut.
Berbeda dengan stroke iskemik, stroke hemoragik memberikan pola keterlibatan
fokal yang tidak dapat diprediksikan sebab komplikasinya seperti peningkatan
tekanan intrakranial, oedema cerebral, penekanan jaringan otak dan pembuluh
darah atau perembesan darah melalui rongga subaraknoid atau ventrikel otak
dapat mengganggu fungsi otak yang jauh dari tempat perdarahan terjadi.
Sebelum melangkah lebih jauh sebaiknya kita mengetahui dahulu sirkulasi darah
darah otak. Peredaran darah di otak dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Sirkulasi anterior
Sirkulasi anterior otak yang mensuplai sebagian besar dari korteks dan substansia
putih subkorteks, basal ganglia, dan kapsula interna, terdiri atas : arteri karotis
interna dan cabang-cabangnya yaitu arteri koroidal anterior, arteri cerebral
anterior, arteri cerebral media. Arteri cerebral media memberikan cabang arteri
lentikulostriata. Stroke yang diakibatkan oleh gangguan pada sirkulasi anterior
akan memberikan gejala dan tanda berupa aplasia, apraxia, agnosia, hemiparesis,
hemisensori dan defek visual.
2. Sirkulasi posterior
Sirkulasi posterior otak mensuplai batang otak, cerebellum, thalamus dan juga
bagian dari lobus occipital dan temporal. Sirkulasi ini terdiri atas: sepasang
arteri vertebralis, ateri basilaris dan cabangnya yaitu arteri serebelaris
posterior inferior, arteri serebelaris anterior inferior, arteri serebelaris
superior, dan arteri cerebral posterior. Stroke yang diakibatkan oleh gangguan
pada sirkulasi posterior akan memberikan gejala dan tanda berupa disfungsi
batang otak, termasuk koma, vertigo, mual dan muntah, kelumpuhan nervus
kranialis, ataksia dan defisit sensorimotorik yang mengenai wajah pada satu sisi
tubuh dan anggota gerak pada sisi lainnya. Hemiparesis, hemisensori dan defisit
lapangan penglihatan juga terjadi, tetapi tidaklah spesifik untuk stroke yang
diakibatkan oleh gangguan pada sirkulasi posterior.
Pendekatan klinis terhadap stroke iskemik bergantung pada kemampuan untuk
mengidentifikasi dasar neuroanatomik dari defisit klinis.
Berikut adalah korelasi klinik anatomik dari stroke iskemik.
1. Arteri serebral anterior
Arteri serebral anterior mensuplai korteks serebral parasagital, yang termasuk
bagian dari korteks motorik dan sensorik yang berhubungan dengan kaki
kontralateral dan juga disebut sebagai pusat inhibisi dan mikturisi kandung
kemih. Stroke akibat oklusi arteri serebral anterior jarang dijumpai bila
dibandingkan dengan stroke akibat oklusi arteri cerebral medial yang menerima
aliran darah serebral dalam jumlah besar. Dapat dijumpai paralisis lengan dan
tungkai kontralateral, grasp reflex kontralateral, rigiditas gegenhalten, abulia,
gangguan gait, prespirasi dan inkontinensia urin.
2. Arteri serebral medial
Arteri cerebral medial mensuplai sisa dari hemisfer cerebral dan struktur
subkortikal dalam. Cabang kortikal dari arteri cerebral medial termasuk devisi
superior mensuplai seluruh area korteks motorik dan sensorik dari wajah, tangan,
dan lengan Berta area berbahasa ekspresif (Broca) dari hemisfer dominan. Devisi
inferior mensuplai radiasi visual, area berbahasa reseptif (Wernicke) dari
hemisfer dominan. Arteri lentikulostriata yang merupakan cabang dari bagian
proksimal arteri cerebral medial mensuplai daerah basal ganglia dan juga serabut
motorik untuk wajah, lengan, tangan, kaki pada genu dan krus posterior kapsula
interna.Arteri serebralis medial adalah arteri yang paling Bering terkena dalam
stroke iskemik. Bergantung dari devisi yang terlibat, bermacam-macam gambaran
klinis dapat terlihat.
1. Stroke devisi superior
Hemiparesis kontralateral yang mengenai wajah, tangan dan lengan tetapi tidak
pada kaki; hemisensori kontralateral pada area yang sama; tanpa hemianopia
homonim. Kalau area hemisfer dominan terlibat maka selain gambaran diatas
juga disertai dengan afasi broca.
2. Stroke devisi inferior
Hemianopsia homonim kontralateral; gangguan fungsi sensoris kortikal yang
bermakna seperti grafastesia dan stereognosis pada kontralateral tubuh,
anosognosia, dressing apraxia, konstruksional apraxia. Kalau hemisfer dominan
juga ikut terkena maka dijumpai aplasia Wernicke.
3. Arteri karotis interna
Derajat keparahan stroke arteri karotis interna sangat bervariasi bergantung pada
adekuat tidaknya sirkulasi kolateral. Oklusi arteri karotis dapat bersifat
asimptomatik, sedang yang simptomatik memberikan gejala yang mirip dengan
stroke arteri cerebralis medial walaupun gejala lain mungkin juga timbul.
4. Arteri serebralis posterior
Arteri serebralis posterior yang berasal dari ujung arteri basiler memberi suplai
darah pada korteks cerebral okksipital, lobus temporal medial, thalamus dan
rostral otak tengah. Gambaran klinis berupa hemianopia homonym yang
mengenai lapangan pandang kontralateral. Kalau oklusi terjadi pada level otak
tengah, abnormalitas ocular yang meliputi kelumpuhan pandangan vertical,
kelumpuhan nervus okulomotor. Kalau oklusi yang terjadi mengenai lobus
oksipital hemisfer dominan, maka pasien akan mengalami anomik fasia, aleksia
tanpa agrafia, dan visual agnosia.
5. Arteri Basiler
Arteri basiler berasal dari pertemuan sepasang arteri vertebralis. Arteri basiler
berjalan melalui permukaan ventral dari batang otak dan berakhir pada level otak
tengah, kemudian bercabang menjadi arteri serebralis posterior. Cabang-cabang
arteri basiler mensuplai lobus oksipital dan temporal medial, thalamus medial,
krus posterior dari kapsula interna dan keseluruhan batang otak dan serebellum.
Gambar oklusi thrombus dan emboli pada arteri basiler
Di klinis sehari-hari, factor predisposisi pasien dengan gangguan serebrovaskuler
harus cari, yang paling memungkinkan adalah TIA, hipertensi dan diabetes
mellitus. Kondisi medis lain seperti, penyakit jantung iskemik atau penyakit
katup jantung atau aritmia jantung juga harus dicari. Dari gambaran klinis yang
ada, harus dapat menentukan kira-kira stroke ini disebabkan oleh suatu proses
thrombosis atau emboli. Pasien dengan thrombosis biasanya mempunyai
gambaran klinis defisiensi neurologic yang bertambah secara bertahap dan
biasanya sebelumnya didahului oleh episode TIA. Sedang stroke yang disebabkan
oleh emboli biasanya memberikan gambaran defisit neurologic yang muncul
secara tiba-tiba taanpa ada tanda-tanda peringatan dan gejalanya maksimal saat
onsetnya.
Diagnosis1. Gambaran Klinis a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami eficit
neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran.
Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat membedakan stroke hemoragik dan
non hemoragik meskipun gejalah seperti mual muntah, sakit kepala dan
perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa
gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau
qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia, disartria,
ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-
gejala tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan.
Penentuan waktu terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan
perlu tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa efici dapat mengganggu
dalam mencari gejalah atau onset stroke seperti:
1. Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan
hingga pasien bangun (wake up stroke).
2. Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3. Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4. Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke seperti kejang,
infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan
hiponatremia.(4)
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan
menentukan beratnya eficit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus
mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi,
dan iritasi eficit. Pemeriksaan terhadap efici kardiovaskuler penyebab stroke
membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan),
jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis,
radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan
mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri.
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke,
dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi.
Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status
mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus eficit, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan efici tendon profunda. Tengkorak dan tulang
belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari.
Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s
palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu
mengangkat alis atau mengerutkan dahinya.Gejala-gejala neurologi yang timbul
biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral,
hemianopsia ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA
memperdarahi motorik ekstremitas atas maka kelemahan tungkai atas dan wajah
biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.
Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara,
timbulnya efici primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat
kesadaran, kelemahan kontralateral (tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai
atas), eficit sensorik kontralateral, demensia, dan inkontinensia uri.
Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan
kortikal, agnosia visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral,
gangguan memori.
Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar,
batang otak yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus,
diplopia, sinkop, ataksia, peningkatan efici tendon, tanda Babynski bilateral,
tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa tebal pada wajah. Tanda khas pada
stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling berseberangan (eficit nervus
kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).
Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah
bifurkasio arteri karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna.
Adapun cabang-cabang dari arteri karotis interna adalah arteri oftalmika
(manifestasinya adalah buta satu mata yang eficit biasa disebut amaurosis
fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media
sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.
Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah
subkortikal profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang
timbul adalah hemiparese motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis
ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit pembuluh darah kecil seperti
diabetes dan hipertensi.
d. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin
pula menunjukkan efici resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
e. Gambaran Radiologi
CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke
non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan
pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga
berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi
kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke
(hematoma, neoplasma, abses).
CT eficitn
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi
daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah
kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan
terjadinya iskemik di daerah tersebut.
CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi
(CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral
yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu,
CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami
hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.
MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal
pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya
memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak
panjang.
USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau
oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal
lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis eficitnial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua
pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.
PenatalaksanaanPenanganan umum dari stroke iskemik
Jalan nafas, bantuan ventilasi dan pengobatan dari komplikasi akut
Oxigenasi yang baik merupakan hal yang penting dalam penanganan stroke
iskemik akut untuk mengurangkan deficit neurology yang bisa bertambah
berat dengan kurangnya suplai oksigen kedalam jaringan otak. intubasi bisa
membantu pasien dengan peningkatan akut tekanan intracranial dan juga
oedem cerebri. Ada juga pasien yang bisa dijumpai dengan pernafasan Ceyne
stoke selepas suatu stroke iskemik.Pasien-pasien ini dijumpai dengan kadar
saturasi oksigen darah yang rendah dan bermanfaat dengan intubasi dan
pemberian suplai oksigen.
Demam
Peningkatan temperature badan dikaitkan dengan deficit neurology yang lebih
serius mungkin disebabkan oleh meningkatnya metabolisme badan,
meningkatnya pelepasan neurotransmitter dan produksi radikal bebas.
Temperatur badan seharusnya dikurangkan dengan penggunaan agen anti
piretic. Dan ternyata hypothermia bersifat neuroprotektif pada pasien yang
mengalami deficit neurology fokal mahupun global selepas suatu stroke
iskemik.
Ritme jantung
Infark miokard dan aritme jantung merupakan komplikasi yang bisa terjadi
selepas suatu stroke iskemik mungkin disebabkan daripada gangguan fungsi
parasimpatetik atau simpatetik aritme yang paling banyak ditemukan selepas
suatu stroke adalah atrial fibrilasi.
Tekanan darah yang tinggi
Stroke bisa menyebabkan tekanan darah meninggi disebabkan oleh banyak
sebab antaranya stress dari stroke sendiri, nyeri, kandung kemih yang
penuh,pasien dengan hipertensi sebelum suatu stroke, respon badan dari suatu
hipoksia. Teori mengatakan tekanan darah harus dikurangkan untuk
mengurangkan oedem cerebri,pendarahan di tempat infark, mengurangkan
damage pada vascular,dan mengurangkan resiko terjadinya stroke rekurent
yang awal. Pada kebanyakan pasien administrasi ke kamar isolasi,pengunaan
kateter untuk mengosongkan kandung kemih dan mengurangkan nyeri
dengan pemberian analgesic sudah cukup untuk mengurangkan tekanan darah.
Penangan untuk mengurangkan tekanan darah secara akut tidak harus
dilakukan sampai tekanan diastolic >120mmHg dan tekanan sistolik >
220mmHg.
Hipoglikemik dan hiperglikemik
Hipoglikemik sendiri bisa mengakibatkan simptom simptom neurologi yang
sama dengan stroke akut. Karena itu pengukuran kadar glukosa dan koreksi
hipogikemia penting pada pasien stroke akut. Diabetis mellitus merupakan
suatu factor resiko dari stroke,dan hyperglikemia pada pasien menunjukkan
prognosis yang kurang baik pada pasien stroke.Hiperglikemia pada pasien
stoke ini mungkin disebabkan oleh terjadinya suatu asidosis jaringan
yangterjadi akibat anaerobic glikosis.
Membaiki perfusi jaringan otak
Thrombolytic agent
Tissue plasminogen activator(t-PA) dan streptokinase bila diadministrasikan
secara intravenous melarutkan bekuan darah dan memulihkan sirkulasi dan hal
ini akan mengurangkan kerusakan jaringan otak dan memperbaiki
outcome.thrombolytic agent diberikan apabila onset dari stroke fase akut
kurang dari 6 jam dan harus melalui protocol yang ketat.
Antikoagulansia
Antikoagulansia digunakan untuk stroke iskemik yang disebabkan emboli
yaitu untuk mencegah terjadinya embolisasi ulang.Antikoagulansia yang bisa
digunakan adalah heparin dan warfarin yang bisa diberikan secara oral atau
sistemik.Pemberian antikoagulansia harus dibawah pengawasan pemeriksaan
laboratorium yang ketat (INR) karena bisa menimbulkan pendarahan.
Neuroprotektan
Neuroprotektan berfungsi untuk melindungi jaringan otak terhadap kerusakan
akibat iskemik. Contoh neuroprotektan yang biasa digunakan untuk stoke
iskemik antara lain CDP choline. Untuk perdarahan subarachnoid digunakan
Calsium Channel Blocker (Nimodipin).
Pengobatan Post Stroke
Yang bisa dilakukan untuk menangani kasus post stroke iskemik adalah kontrol
faktor resiko seperti kontrol hipertensi, mengobati penyakit dasar (penyakit
jantung), kontrol kadar gula darah dan kolesterol darah.
Selain kita bisa memberikan obat-obat anti trombotik supaya tidak terjadi
recurrent stroke. Anti trombotik yang lazim digunakan adalah aspirin, ticlopidine
dan clopidogrel. Penggunaan aspirin harus dipantau supaya tidak terjadi
pendarahan. Aspirin dapat diberikan pada fase akut dan pada pasien dengan CT
scan yang tidak menunjukkan pendarahan. Bila aspirin diberikan antara 12-24
jam ternyata dapat memperbaiki outcome.
Pengobatan post stroke lainnya adalah dengan pemberian antikoagulansia seperti
warfarin. Fisioterapi dan rehabilitasi juga penting pada penanganan pasien stroke
yang telah melewati fase akut. Tujuan dari fisioterapi untuk menghindar
kontraktur pada pasien post stroke.
PrognosisResiko kematian pada 7 hari pertama atau 30 hari pertama setelah stroke fase
akut yang pertama adalah sebesar 10 %-20%. Resiko kematian pada tahun
pertama pada pasien yang mengalami stroke pertama lebih tinggi dari individual
yang belum pernah kena stroke. Pasien dengan stroke hemoragik mempunyai
resiko kematian yang lebih besar berbanding dengan pasien dengan iskemik
stroke. Pasien dengan major iskemik stroke (total oklusi arteri serebral
anterior ) mempunyai resiko kematian yang lebih besar.
Penyebab kematian pada stroke
Penyebab kematian pada hari pertama dari stroke adalah disebabkan efek
langsung pada kerusakan jaringan otak.stroke yang terjadi batang otak bisa
langsung mendepresi system respirasi yang bisa juga menyebabkan kematian.
Pada jenis stroke yang mengenai bagian supratentorial disfungsi dari batang otak
disebabkan oleh supratentorial herniasi dan oedem serebri menyebabkan
kematian.
Penyebab kematian yang lain pada pasien stroke adalah disebabkan komplikasi
seperti pneumonia, emboli paru, ulcer, dehydrasi, gagal ginjal, dan infeksi
traktus urinarius.
Perbaikan dari kerusakan deficit neurologis selalunya paling cepat pada beberapa
hari pertama selepas suatu stroke iskemik. Pembaikan neurologist bisa dapat
berlanjut secare bertahap selama beberapa bulan sampai tahun. Pembaikan dari
gejala neurologis dan kecepatan pembaikan bergantung pada pasien dan ia
bervariasi dari satu pasien ke pasien yang lain.
2.4 Stroke Hemoragik
Definisi
Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya
darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau
kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf
otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan
iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intracranial pada
gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.
Epidemiologi
Mortalitas pasien stroke di RSUP Dr Sardjito Yogyakarta menduduki peringkat
ketiga setelah penyakit jantung koroner dan kanker, 51,58% akibat stroke
hemoragik, 47,37% akibat stroke iskemik, dan 1,05% akibat perdarahan
subaraknoid. Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus
stroke.
Etiologi
1) Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke,
terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinis :
Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan
dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan tekanan darah yaitu
nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarhan retina, dan
epistaksis.
Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese
dan dapat disertai kejang fokal / umum.
Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan
bola mata menghilang dan deserebrasi
Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya
papiledema dan perdarahan subhialoid.
2) Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan
di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinis :
Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis,
berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah
dan kejang.
Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa
menit sampai beberapa jam.
Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik
perdarahan subarakhnoid.
Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau
hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.
Patofisologi
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskuler intraserebrum mengalami
rupture sehingga terjadi perdarahan kedalam ruang subarachnoid atau langsung
kedalam jaringan otak. Mekanisme lain pada stroke haemoragik adalah
pemakaian kokain atau amfetamin karena zat-zat ini dapat menyebabkan
hipertensi berat dan perdarahan intaraserebrum dan subarachnoid.
Diagnosis
Anamnesis
Keadaan klinis pasien, gejala dan riwayat perkembangan gejala dan defisit yang
terjadi merupakan hal penting. Dimana anamnesisnya mencakup :
Penjelasan tentang awitan dan gejala awal
Perkembangan gejala atau keluhan pasien
Faktor risiko, terutama hipertensi, fibrilasi atrium, diabetes mellitus, merokok,
dan alcohol.
Riwayat pemakaian obat, seperti kokain
Pemeriksaan fisik
Pasien harus menjalani pemeriksaan fisik lengkap yang berfokuskan pada system
berikut :
1. Sistem pembuluh darah. Lakukan auskultasi pada arteria karotis untuk mencari
adanya bising (bruit) dan periksa tekanan darah dikedua lengan untuk
diperbandingkan.
2. Periksa ada tidaknya cupping diskus optikus, perdarahan retina.
3. Pemeriksaan neurologik, untuk mengetahui letak dan luas suatu stroke.
Pemeriksaan penunjang
CT Scan dan MRI sangat meningkatkan derajat keakuratan diagnosis dari stroke
hemoragik.
Pungsi lumbal, melibatkan pemeriksaan CSS yang sering memberi petunjuk
bermanfaat tentang kausa stroke, terutama apabila pasien datang dalam keadaan
tidak sadar.
USG Karotis, terhadap arteria karotis merupakan evaluasi standar untuk
mendeteksi gangguan aliran darah karotis dan kemungkinan memperbaiki kausa
stroke.
Doppler transkranium, yaitu ultrasonografi yang menggabungkan citra dan suara,
memungkinkan untuk menilai aliran didalam arteri dan mengidentifikasi stenosis
yang mengancam aliran darah ke otak.
Penatalaksanaan
Terapi umum
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL,
perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung
memburuk. Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid
atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP
>130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal jantung,
tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian
dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika
didapatkan tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 300,
posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan
stroke iskemik),
dan hiperventilasi (pCO2 20-35 mmHg).
Penatalaksanaan umum
Sama dengan pada stroke iskemik, tukak lambung diatasi dengan antagonis H2
parenteral, sukralfat, atau inhibitor pompa proton; komplikasi saluran napas
dicegah dengan fisioterapi dan diobati dengan antibiotik spektrum luas.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya
kian memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus
akut akibat perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan
perdarahan lobar >60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi.
2.5 Tumor Otak
Definisi
Neoplasma merupakan setiap pertumbuhan sel-sel baru dan abnormal; secara
khusus dapat diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang tidak terkontrol dan
progresif. Neoplasma ganas dibedakan dengan neoplasma jinak; neoplasma ganas
menunjukan derajat anaplasia yang lebih besar dan mempunyai sifat invasi serta
metastasis. Disebut juga tumor. Tumor otak merupakan neoplasma, baik yang
jinak maupun ganas, dan lesi-lesi desak ruang yang lain, yang berasal dari
inflamasi kronik yang tumbuh dalam otak, meningen atau tengkorak (David
Ovedoff, (2002)).
Tumor otak adalah proliferasi atau pertumbuhan jaringan abnormal di dalam dan
di sekitar jaringan otak.
Epidemiologi
Tumor otak primer hanya 2-3% dari seluruh jumlah kanker pada orang dewasa.
Kira-kira 18.000 kasus baru pasien tumor otak dan dengan kematian 14.000. Pada
anak-anak, tumor otak primer kira-kira 25% dari seluruh tumor. Tumor otak
dapat terjadi pada setiap umur. Dari penelitian, tumor otak sering terdapat pada
anak-anak 3-12 tahun dan pada dewasa sekitar 40-70 tahun.
Etiologi
Penyebab tumor otak belum diketahui pasti, tapi dapat diperkirakan karena:
a. Genetik
Riwayat tumor otak dalam satu anggota keluarga jarang ditemukan kecuali pada
meningioma, astrositoma dan neurofibroma dapat dijumpai pada anggota-anggota
sekeluarga. Sklerosis tuberose atau penyakit Sturge-Weber yang dapat dianggap
sebagai manifestasi pertumbuhan baru, memperlihatkan faktor familial yang
jelas. Selain jenis-jenis neoplasma tersebut tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk
memikirkan adanya faktor-faktor hereditas yang kuat pada neoplasma.
b. Bagian embrional yang tersisa
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional tertinggal dalam tubuh menjadi ganas dan
merusak bangunan di sekitarnya seperti meningioma, astrositoma,
raniofaringioma, teratoma intrakranial, kordoma.
c. Radiasi
Pada manusia susunan saraf pusat pada masa kanak-kanak menyebabkan
terbentuknya neoplasma setelah dewasa. Radiasi dengan dosis terapeutik dapat
merangsang sel-sel mesenkhimal. Beberapa laporan bahwa radiasi berperan
timbulny meningioma.
d. Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput
otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum
diketahui.
e. Kimia dan Virus
Zat-zat karsinogenik “methylcholanthrone” dan “nitro-ethyl-urea” dapat
menyebabkan tumor otak primer. Sedangkan virus (virus Epstein Barr) disangka
berperan dalam genesisnya “Burkitt’s lymphoma” juga karsinoma anaplastik
nasofaring. Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus
menyebabkan terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi
hubungannya dengan tumor pada manusia masih belum jelas.
f. Metastase
Metastase ke otak dari tumor bagian tubuh lain juga dapat terjadi. Karsinoma
metastase lebih sering menuju ke otak dari pada sarkoma. Lokasi utama dari
tumor otak metastase berasal dari paru-paru dan payudara.
Patofisiologi
Tumor otak terjadi karena adanya proliferasi atau pertumbuhan sel abnormal
secara sangat cepat pada daerah central nervous system (CNS). Sel ini akan terus
berkembang mendesak jaringan otak yang sehat di sekitarnya, mengakibatkan
terjadi gangguan neurologis. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya
dianggap disebabkan oleh dua faktor: gangguan fokal disebebkan oleh tumor dan
kenaikan tekanan intracranial.
Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan
infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan
neuron. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang
bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri
pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan
mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer.
Serangan kejang sebagai gejala perubahan kepekaan neuron dihubungkan dengan
kompesi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Beberapa
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga
memperberat gangguan neurologist fokal. Peningkatan tekanan intrakranial dapat
diakibatkan oleh beberapa faktor: bertambahnya massa dalam tengkorak,
terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal.
Pertumbuhan tumor menyebabkan bertambahnya massa, karena tumor akan
mengambil ruang yang relatif dari ruang tengkorak yang kaku. Tumor ganas
menimbulkan oedema dalam jaringan otak. Mekanisme belum seluruhnya
dipahami, namun diduga disebabkan selisih osmotik yang menyebabkan
perdarahan.
Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh kerusakan sawar darahotak,
semuanya menimbulkan kenaikan volume intracranial dan meningkatkan tekanan
intracranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateral
keruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus. Mekanismenya belum
seluruhnya dipahami, tetapi diduga disebabkan oleh selisih osmotik yang
menyebabkan penyerapan cairan tumor. Mekanisme kompensasi memerlukan
waktu berhari-hari atau berbulan-bulan untuk menjadi efektif dan oleh karena itu
tidak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat.
Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah
intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan
mengurangisel-sel parenkim, kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan
herniasi unkus atau serebelum yang timbul bila girus medialis lobus temporalis
bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak.
Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan
menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula oblongata dan henti pernafasan
terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan
intracranial yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik
(pelebaran tekanan nadi), dan gangguan pernafasan.
Manifestasi Klinis
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologis. Gejala-gejala terjadi berurutan.
Hal ini menekankan pentingnya anamnesis dalam pemeriksaan klien. Gejala-
gejalanya sebaiknya dibicarakan dalam suatu perspektif waktu. Tumor
otak menunjukkan gejala klinis yang tersebar bila tumor ini menyebabkan
peningkatan TIK serta tanda dan gejala lokal sebagai akibat dari tumor
yangmengganggu bagian spesifik dari otak.(4)
a. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
Gejala – gejala peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh tekanan yang
berangsur-angsur terhadap otak akibat pertumbuhan tumor. Pengaruhnya adalah
gangguan keseimbangan yang nyata antara otak, cairan serebrospinal dan darah
serebral. Semua terletak di tengkorak.(4)
1. Sakit kepala
Meskipun tidak selalu ada tetapi ini banyak terjadi pada pagi hari dan menjadi
buruk oleh karena batuk, menegang atau melakukan gerakan yang tiba-tiba.
Keadaan ini disebabkan oleh serangan tumor, tekanan atau penyimpangan
struktur sensitive nyeri, atau oleh karena edema yang mengiringi adanya tumor.
Terdapat nyeri kepala (terus menerus, difus yang pada umumnya nocturnal dan
membaik pada siang hari). Nyeri kepala merupakan gejala yang paling sering
dijumpai pada penderita otak. Nyeri dapat digambarkan bersifat dalam, terus
menerus, tumpul, dan kadang-kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat pada
waktu pagi hari dan menjadi lebih berat oleh aktivitas yang biasanya dapat
meningkatkan tekanan intrakranial seperti membungkuk, batuk, atau mengejan
sewaktu buang air besar. Nyeri kepala yang dihubungkan dengan tumor otak
disebabkan oleh traksi dan pergeseran struktur peka nyeri dalam rongga
intrakranial. Struktur ini termasuk arteri, vena, sinus-sinus vena dan saraf otak.
2. Muntah
Muntah terjadi sebagai akibat rangsangan pada pusat muntah pada medulla
oblongata akibat terjadinya peningkatan TIK. Muntah dapat terjadi tanpa
didahului mual dan dapat proyektil. Kadang-kadang dipengaruhi oleh asupan
makanan, yang selalu disebabkan adanya iritasi pada pusat vagal di medulla.
3. Papiledema (edema pada saraf optic)
Papiledema disebabkan oleh statis vena yang menimbulkan pembengkakan
papilla saraf optikus. Bila terlihat pada pemeriksaanfunduskopi, hal ini
mengisyaratkan peningkatan TIK. Ada sekitar 70%-75% dari pasien dan
dihubungkan dengan gangguan penglihatan seperti penurunan tajam penglihatan,
diplopia (pandangan ganda) dan penurunan lapang pandangan.
4. Perubahan kepribadian dan perubahan mental (iritabilitas, mudah
lelah, perubahan perilaku), dementia, apatia, gangguan watak dan
intelegensia, bahkan psikosis tidak peduli lokasinya.
5. Kejang lokal
Dapat merupakan manifestasi pertama tumor intrakranial pada 15% penderita.
Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang
melonjak secara cepat terutama bagi manifestasi glioblastoma multiform. Kejang
tonik yang sesuai dengan serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada
tumor fossa cranii posterior dan secara tidak tepat dinamakan cereberalfits.
6. Adanya variasi penurunan focal motorik, sensor dan disfungsi saraf
cranial
b. Gejala terlokalisasi
Lokasi gejala-gejala terjadi spesifik sesuai dengan gangguan daerah otak yang
terkena, menyebabkan tanda-tanda yang ditunjukkan lokal, seperti pada
ketidaknormalan sensori dan motorik, perubahan penglihatan dan kejang.
1. Tumor korteks motorik memanifestasikan diri menyebabkan gerakan
seperti kejang yang terletak pada satu sisi tubuh yang disebut kejang
jacksonian.
2. Tumor lobus oksipital menimbulkan manifestasi visual, hemianopsia
homonimus kontralateral (hilangnya penglihatan pada setengah lapang
pandangan pada sisi yang berlawanan dari tumor) dan halusinasi
penglihatan.
3. Tumor serebelum menyebabkan pusing, ataksia (kehilangan
keseimbangan) atau gaya berjalan yang sempoyongan dengan
kecenderungan jatuh kesisi yang lesi, otot-otot tidak terkoordinasi dan
nistagmus (gerakan mata berirama tidak disengaja biasanya
menimbulkan gerakan horizontal.
4. Tumor lobus frontal sering menyebabkan gangguan kepribadian,
perubahan status emosional dan tingkah laku, dan disintegrasi
perilaku mental, pasien kurang merawat diri.
5. Tumor sudut serebropontin biasanya diawali pada sarung saraf akustik
dan memberikan rangkaian gejala yang timbul dengan semua
karakteristik gejala pada tumor otak. Yaitu, tinnitus dan kelihatan
vertigo, serta diikuti perkembangan saraf-saraf yang mengarah
terjadinya tuli (gangguan fungsi saraf cranial VIII). Berikutnya
kesemutan dan rasa gatal pada wajah dan lidah (berhubungan dengan
saraf cranial V). Selanjutnya terjadi kelemahan atau paralysis
(keterlibatan saraf VII). Akhirnya karena pembesaran tumor saraf
cranial VII). Akhirnya karena pembesaran tumor yang menekan
serebelum, mungkin ada abnormalitas pada fungsi motorik.
6. Tumor intrakranial dapat menghasilkan gangguan kepribadian,
konfusi, gangguan funsi bicara dan gangguan gaya berjalan
teutama pada pasien lansia. Tipe tumor yang paling sering adalah
meningioma, glioblastoma, dan metastase serebral dari bagian lain.
Beberapa tumor tidak selalu mudah ditemukan, karena tumor-tumor
tersebut berada pada daerah tersembunyi dariotak (daerah yang
fungsinya tidak dapat ditentukan dengan pasti). Perkembangan dan
gejala menentukan apakah tumor tersebut berkembang atau menyebar.
Manifestasi Klinis
1. Sakit kepala merupakan gejala umum yang paling sering dijumpai pada
penderita tumor otak. Rasa sakit dapat digambarkan bersifat dalam dan
terusmenerus, tumpul dan kadang-kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat
pada pagi hari dan lebih menjadi lebih hebat oleh aktivitas yang biasanya
meningkatkan TIK seperti membungkuk, batuk, mengejan pada waktu
BAB. Nyeri sedikit berkurang jika diberi aspirin dan kompres dingin pada
tempat yang sakit.
2. Nausea dan muntah.
Terjadi sebagai akibat rangsangan pusat muntah di medulla oblongata. Nausea
dan muntah paling sering terjadi pada anak-anak berhubungan dengan
peningkatan TIK disertai pergeseran batang otak. Muntah dapat terjadi tanpa
didahului nausea dan dapat proyektif.
3. Papil edema disebabkan oleh statis vena yang menimbulkan
pembengkakan papilla nervioptist. Bila terlihat pada pemeriksaan funduskopi
akan mengingatkan pada kenaikan TIK. Seringkali sulit untuk menggunakan
tandaini sebagai diagnosis tumor otak oleh karena pada beberapa individu
fundus tidak memperlihatkan edema meskipun TIK tidak amat tinggi. Dalam
hubungannyadengan papil edema mungkin terjadi beberapa gangguan
penglihatan. Ini termasuk pembesaran bintik buta dan amaurusis fugun
(perasaan berkurangnya penglihatan).
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pada penderita yang dicurigai menderitatumor otak
yaitu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik neurologik yang teliti. Dari
anamnesis kita dapat mengetahui gejala-gejala yang dirasakan oleh penderita
yang mungkin sesuai dengan gejala-gejala yang telah diuraikan di atas. Misalnya
ada tidaknya nyeri kepala, muntah dan kejang. Sedangkan melalui pemeriksaan
fisik neurologik mungkin ditemukan adanya gejala seperti edema papil dan
deficit lapangan pandang.
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan yang dilakukuan untuk mengobservasi tumor
otak adalah:
Observasi saraf pergerakan mata Penglihatan : penurunan lapang
pandang, penglihatan kabur
Pendengaran : tinitus, penurunan pendengaran, halusinasi
Reflek Keseimbangan dan koordinasi
Penciuman dan sentuhan
Motorik: hiperekstensi, kelemahan sendi Jantung :
bradikardi,hipertensi. Sistem pernafasan : irama nafas meningkat,
dispnea, potensial obstruksi jalan nafas, disfungsi neuromuskuler
Sistem hormonal : amenorea, rambut rontok, diabetes mellitus
Untuk membantu menentukkan lokasi tumor yang tepat, dilakukan
beberapa pemeriksaan tambahan, yaitu:
1. CT- Scan memberikan info spesifik mengenai jumlah, ukuran dan
kepadatan jejas tumor serta meluasnya edema serebral sekunder
Gambar 1. Hasil CT-Scan Tumor Otak
2. MRI membantu mendiagnosis tumor otak dengan cara
mendeteksi jejas tumor yang kecil dan tumor didalam batang otak
dan daerah hipofisis.
Gambar 2. Hasil MRI Tumor Otak (tampak samping)
Gambar 2. Hasil MRI Tumor Otak (tampak atas)
3. Biopsy stereotaktik bantuan computer (3 dimensi) dapat
digunakanuntuk mendiagnosis kedudukan tumor yang dalam dan
untuk memberikandasar-dasar pengobatan dan informasi prognosis
4. Angiografi serebral memberikan gambaran tentang pembuluh
darahserebral dan letak tumor serebral.
5. EEG dapat mendeteksi gelombang otak abnormal pada daerah yang
ditempati tumor dan dapat memungkinkan untuk mengevaluasi lobus
temporal pada waktu kejang. Penelitian pada cairan serebrospinal
(CHF) dapatdilakukan untuk mendeteksi sel-sel ganas, karena tumor-
tumor pada systemsaraf pusat mampu menggeser sel-sel kedalam
cairan serebrospinal.
6. Ekoensefalogram: Memberi informasi mengenai
pergeserankandungan intraserebral
7. Sidik otak radioaktif: Memperlihatkan daerah-daerah akumulasi
abnormal dari zat radioaktif. Tumor otak mengakibatkan kerusakan
sawar darah otak yang menyebabkan akumulasi abnormal zat
radioaktif
8. Rontgen foto X-ray tengkorak. Erosi posterior atau adanya
kalsifikasiintracranial dan X-ray dada untuk mendeteksi tumor paru
primer atau penyakit metastase
Penatalaksanaan
Tindakan terhadap tumor otak adalah paliatip dan melibatkan penghilanganatau
mengurangi simtomatologi serius. Pendekatan terapeutik ini mencakup radiasi,
yang menjadi dasar pengobatan, pembedahan (biasanya pada metastase
intrakranial tunggal), kemoterapi.
Pemilihan jenis terapi pada tumor otak tergantung pada beberapa faktor, antara
lain:
Kondisi umum penderita
Tersedianya alat yang lengkap
Pengertian penderita dan keluarganya
Luasnya metastasis
1. Pembedahan
Indikasi utama dari pembedahan tumor otak yaitu:
a. Diagnosis
Diagnosis bisa dilakukan dengan biopsi terbuka atau biopsisterotaktik.
Hasil biopsi jaringan untuk menentukan jenis tumor, gradasinya, dan
menentukan adanya tanda keganasan
b. Dekompresi
Dekompresi tumor dilakukan apabila edema dan hidrosefalus yang terjadi
mengakibatkan defisit neurologis. Edema yang luas di sekitar tumor
kadang-kadang sulit dikontrol dengan steroid saja. Tujuan dari “surgical
decompression” adalah untuk menurunkan tekanan intrakranial,
simptomatis, dan mencegah memberatnya defisit neurologis. Meskipun
dekompresi ini tidak merubah hasil akhir tetapi “Life Saving
Decompression” juga dikerjakan sebagai tindakan emergensi
terutama pada tumor yang terletak di temporal dan fossa posterior oleh
karena kecenderungan terjadinya herniasi uncus dan tonsila cerebeli.
Tindakan ini bisa memperpanjang hidup beberapa bulan.
c. Sitoreduksi
Beberapa peneliti berpendapat bahwa ada hubungan antara sitoreduksi
dengan meningkatnya efektifitas terapi adjuvan oleh karena dengan
sitoreduksi berarti berkurangnya jumlah sel tumor yang diterapi,
meningkatnya kinetik sel, mengangkat sel hipoksik yang radio resisten dan
mengangkat sel tumor yang sulit dicapai dengan kemoterapi
2. Radioterapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula
merupakan therapy tunggal.
Indikasi radioterapi:
Glioma maligna,
Oligodendroglioma,
Dysgerminoma,
Limfoma SSP primer,
Meduloblastoma,
Ependimoma,
Meningioma (maligna, inoperable),
Adenoma hipofise (sesudah pembedahan sebagain dan sesudah pengobatan
yang gagal),
Kordoma basis kranii, sedagkan Radioterapi (sesudahkomfirmasi biopsi)
pada profilaksis iradiasi kranium dancorpus vertebralis.
Adapun efek samping: kerusakan kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri karena
inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang tenggorokan.
3. Kemoterapi
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi
tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada
tumor-tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi
yang meluas ke batang otak, terapi tambahan berupa kemoterapi dan regimen
radioterapi dapat membantu sebagai terapi paliatif. Indikasi dilakukannya
kemoterapi:
Pengobatan induksi
Untuk tumor-tumor non solid atau kasus lanjut karena tidak ada pilihancara
pengobatan lainnya. disebut juga pengobatan penyelamatan (salvage)
Kemoterapi adjuvant
Pengobatan tumor primer dikontrol dengan cara lain (bedah/ Radiasi)
Diyakini masih adanya sisa sel-sel tumor yang sukar dideteksi
sehingga perlu tambahan kemoterapi.
Kemoterapi Primer
Kemoterapi sebagai pengobatan pertama sebelum pengobatan lain( bedah/
radiasi)
Kemoterapi Neo-adjuvant
Setelah pengobatan bedah/radiasi ditambahkan kemoterapi ataudilanjutkan
kembali kemoterapi. Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah
menyebar dalam aliran darah. Obat-obatan yang digunakan: Nitroseurea,
BCNU dan CCNU karena obat ini mampu melewati sawar darah / otak.
Selama pemberian obat-obatan ini pasien harus menghindari makanan yang
tinggi tiramin (misalnya anggur, yogurt, keju, hati ayam, pisang) dan
alcohol, karena pokorbazine menghambat dan melemahkan aktivitas
inhibitor monoamineoksidase (MAO). Prokabazine dikaitkan dengan mual
dan muntah yang mungkin hilang atau berkurang saat pertama kali atau
saat pengobatan sedang dilakukan. Efek samping : lelah, mual,muntah,
hilang nafsu makan, kerontokan membuat, mudah terserang penyakit.
4. Terapi Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat membantu mengurangi sakit kepala dan perubahan
kesadaran. Hal ini dianggap bahwa kortikosteroid (deksametason, prednison)
menurunkan radang sekitar pusat metastase dan menurunkan edema
sekitarnya. Obat-obat lain mencakup agen-agen osmotic (manitol, gliserol)
untuk menurunkan cairan pada otak, yang ditunjukkan dengan penurunan
TIK. Obat-obat anti kejang (penitoin) digunakan untuk mencegah dan
mengobati kejang. Bila pasien mempunyai nyeri hebat, morfin dapat
diinfuskan kedalam ruang epidural atau subaraknoid melalui jarum spinal dan
kateter sedekat mungkin kesegmen spinal dimana nyeri dirasakan. Morfin
dosis kecil diberikan pada interval yang ditentukan.
2.6 Trauma Kapitis
Definisi
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral
sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
Simple head injury
Commotio cerebri
Contusion cerebri
Laceratio cerebri
Basis cranii fracture
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum
dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera
kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat (2004) trauma kapitis menyumbang sekitar 40% dari semua
kematian karena cedera akut. Setiap tahunnya 200.000 korban trauma kapitis
perlu dirawat inap, dan 1,74 juta orang mengalami trauma kapitis ringan yang
masih bisa bekerja seperti biasa.11 Penelitian Ingebrigtsen di Rumah Sakit
Universitas Tromso (1998) Swedia Utara terdapat rasio penderita trauma kapitis
laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu 1,7:1 yang disebabkan jatuh
(62%), kecelakaan lalu lintas (21%), dan serangan (7%).
Negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri
memberikan dampak frekuensi trauma kapitis cenderung semakin meningkat.15
Data epidemiologi trauma kapitis di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah
satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, pada tahun 2004 terdapat
53,3% penderita trauma kapitis ringan (TKR), 15,3% penderita trauma kapitis
sedang (TKS) dan 3,6% penderita trauma kapitis berat (TKB) dengan CFR 6,7%.
Pada tahun 2005 terdapat 57,2% penderita trauma kapitis ringan (TKR), 17,6%
penderita trauma kapitis sedang (TKS) dan 2,7% penderita trauma kapitis berat
(TKB) dengan CFR 3,7% 16 Menurut penelitian Adi Kurniawan di RS. PKU.
Muhammadiyah (2007) di Yogyakarta proporsi kejadian trauma kapitis akibat
kecelakaan lalu lintas sebesar 56 % dan proporsi kematian sebesar 7,7 %.
Etiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera
kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia
rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.
Patofisiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh. Seiring dengan
kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung meningkat. Cedera
kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara 15-44 tahun dengan usia
rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki.
Patomekanisme
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan
atau tanpa fraktur tulang tengkorak.
Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan
intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu
gegar otak atau cedera struktural yang difus.
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini
mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan
jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat yang
berseberangan dengan benturan (contra coup)
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan heniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan
otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian
meninggal.
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera
kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi
karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena
aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok.
Karena itu, pada cedera kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas
yang adekuat dan hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.
Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat
cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni
metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak bereaksi 1
Gejala berdasarkan klasifikasi trauma kepala :
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik
dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya
pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin pula terdapat
amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas
sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman
kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah
foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan
selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan
mobilisasi bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat
input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible
berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks
babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si
penderita biasanya menunjukkan “organic brain syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan
nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif
terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan antiserebral
edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan
piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid
traumatika, subdural akut dan intercerebral. Laceratio dapat dibedakan atas
laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh
benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed
terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan oleh deformitas jaringan
yang hebat akibat kekuatan mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa
posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana yang
terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii.
Komplikasi :
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus
disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi.
Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya:
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan
pada pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota
gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
Diagnosis
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam
dari saat terjadinya trauma.
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi.
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak.
Diagnosis berdasarkan :
- Ada tidaknya riwayat trauma kapitis
- Gejala-gejala klinis : Interval lucid, peningkatan TIK, gejala
laterlisasi
- Pemeriksaan penunjang.
Penatalaksanaan
Menurut Chusid (1982), penatalaksanaan TK dibagi 2, yaitu:
a. Tindakan darurat → atasi syok (cairan dan darah) dan prinsip ABC.
b. Tindakan umum → obat-obatan dan observasi kontinyu.
Menurut Harsono (1999), penatalaksanaan TK sangat kompleks. Mulai dari
menjaga keseimbangan kardiovaskuler, respirasi, cairan elektrolit dan kalori serta
obat-obatan untuk gejala yang timbul, seperti: anti edema cerebri, anti kejang,
antibiotik, AINS serta vitamin neurotropik. Selain farmakoterapi, pasien TK yang
telah membaik memerlukan fisioterapi-rehabilitatif, psikoterapi serta re-adaptasi
lingkungan kerja dan keluarga.
Menurut Islam (1999), penanganan TK disesuaikan dengan jenis TK (CKR, CKS,
CKB).
Menurut Fauzi (2002), penanganan awal TK mempunyai tujuan: memantau
sedini mungkin dan mencegah TK sekunder; memperbaiki keadaan umum
seoptimal mungkin sehingga membantu penyembuhan sel-sel otak yg rusak.
CKR :
Perawatan selama 3-5 hari
Mobilisasi bertahap
Terapi simptomatik
Observasi tanda vital
CKS :
Perawatan selama 7-10 hari
Anti cerebral edem
Anti perdarahan
Simptomatik
Neurotropik
Operasi jika ada komplikasi
CKB :
Seperti pada CKS
Antibiotik dosis tinggi
Konsultasi bedah saraf
2.7 Meningitis
Definisi
Meningitis adalah suatu reaksi peradangan yang mengenai satu atau semua
lapisan selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang,
yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa.
Meningitis adalah suatu infeksi/peradangan dari meninges,lapisan yang
tipis/encer yang mengepung otak dan jaringan saraf dalam tulang punggung,
disebabkan oleh bakteri, virus, riketsia, atau protozoa, yang dapat terjadi secara
akut dan kronis.
Meningitis adalah infeksi yang menular. Sama seperti flu, pengantar virus
meningitis berasal dari cairan yang berasal dari tenggorokan atau hidung. Virus
tersebut dapat berpindah melalui udara dan menularkan kepada orang lain yang
menghirup udara tersebut.
Epidemiologi
Pada sebagian daerah di Amerika, serogrup Y dari N. meningitidis, muncul sejak
th 1990-an dan menjadi penyebab penting dari kasus-kasus endemis. Sekitar satu-
per-tiga kasus-kasus di daerah tertentu di Amerika disebabkan oelh serogrup Y
ini, sepertiganya lagi disebabkan oleh serogrup C dan sisanya oleh serogrup B.
Di banyak negara maju, galur serogrup B N. meningitides bertahan selama lebih
dari 30 tahun. Kebanyakan galur ini termasuk kompleks klonal yang dikenal
sebagai ET-5 dan ET-37.
Kriptokokosis tidak hanya merupakan penyakit infeksi yang umumnya berakibat
fatal pada individu yang immunocompromised tetapi Cryptococcus juga
merupakan suatu patogen pada individu imunokompeten. Mortalitas pasien HIV
terkait meningitis yang disebabkan oleh Cryptococcus cukup tinggi yaitu sekitar
10%-30%. Suatu analisis kohor pasien dengan infeksi HIV di Afrika
menunjukkan persentase kriptokokosis adalah 13%-44% dari semua penyebab
kematian. Defek sistem imun yang dimediasi oleh sel T (seperti penderita AIDS)
merupakan faktor predisposisi pada 80%-90% pasien dengan infeksi
Cryptococcus. Insidensi kriptokokosis juga meningkat pada pasien dengan
keganasan limforetikular (khususnya penyakit Hodgkin’s)
Etiologi
Meningitis dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan jamur. Bakteri-bakteri yang
dapat menyebabkan meningitis adalah H. influenza, N.meningitis, salmonella.
Melalui pengujian serologik, N. meningitis dibagii atas beberapa grup (serogup)
yang kesemuanya berjumlah 13 dan 20 tipe (serotipe). Galur (strain) yang
termasuk dalam serogrup B dan C merupakan penyebab utama radang selaput
otak (meningitis) di negaranegara maju sedangkan galur dari serogrup A dan
sebagian kecil C banyak ditemukan di negara-negara berkembang. Virus-virus
yang dapat menyebabkan meningitis antara lain yang pertama virus RNA yang
meliputi MIxovirus (influenza, prostitis, morbili), Rhabdovirus (rabies), togavirus
( Arbovirus, flavivirus), picorna virus (enterovirus), arena virus (lassa fever,
koriomeningitis limfositik). Yang kedua adalah virus DNA yang terdiri dari
herpes virus (herpes zoster, varicella, herpeks simpleks, sitomegalovirus, virus
epstain barr), pox virus (variola, vaccinia), retrovirus (AIDS). Sedangkan jamur
yang dapat menyebabkan meningitis adalah Cryptococcus neoformans, infeksi ini
secara luas ditemukan di dunia dan umumya dialami oleh penderita dengan
sistem imun yang rendah.
Patomekanisme
Meningitis disebabkan oleh berbagai organism pathogen yang disertai lemahnya
kekebalan tubuh penderita sehingga mudah terserang infeksi. Salah satu yang
paling banyak yang dapat menyebabkan meningitis adalah N.meningitidis, ada 4
kondisi yang memungkinkan terjadinya penyakit meningokokal yang sifatnya
invasif ini, yaitu: (i) paparan tehadap galur patogenik, (ii) adanya kolonisasi
kuman di mukosa naso-pharyngeal, (iii) terjadinya pasasi melalui mukosa, dan
(iv) kemampuan meningokok untuk dapat bertahan di darah. Kolonisasi bakteri
terjadi pada bagian permukaan luar sel mukosa dan pada intra-atau sub-epitelial.
Kerusakan pada epitel bersilia dari nasopharynx merupakan langkah pertama dari
proses kolonisasi bakteri ini. Kerusakan fisik karena merokok dapat
meningkatkan risiko terhadap penyakit ini, demikian pula halnya dengan stres
dan infeksi virus yang mendahului yang menyebabkan perubahan pada keutuhan
dari permukaan mukosa atau mempengaruhi imunitas local atau sistemik.
Selanjutnya kuman-kuman meningokok menembus epitel mukosa dengan jalan
melalui vakuol fagositik sebagai akibat endositosis dan mencapai aliran darah. Di
dalam aliran darah ini kuman-kuman dapat berkembang biak karena adanya
faktor virulen bakteri atau karena inkompetensi daya tahan tubuh penderita. Daya
tahan pejamu setelah invasi meningokok ditentukan oleh respons seluler dan
humoral yang merupakan sistem imun adaptif dari pejamu. Antibodi spesifik
memberikan perlindungan penuh terhadap infeksi, akan tetapi oleh karena
pembentukan antibody memerlukan waktu sedikitnya seminggu setelah
terjadinya kolonisasi, pertahanan awal sangat tergantung dari elemen-elemen
imunitas yang memberikan reaksi cepat seperti misalnya complement-mediated
bacteriolysis dan opsonophagocytosis. Sekali daya pertahanan humoral dan
seluler pejamu di rongga subarachnoid menurun atau hilang, kuman-kuman
meningokok dapat berkembang biak secara tidak terkendali dan menimbulkan
berbagai gejala melalui endotoksin yang diproduksinya. Obat-obat antibiotika
tidak dapat menghentikan dengan segera proses peradangan yang terjadi di
selaput otak bahkan ada kalanya antibiotika memperburuk kondisi penderita
karena mempercepat terjadinya pelepasan endotoksin. Keadaan ini berbeda
dengan keadaan sepsis di mana pelepasan endotoksin yang diinduksi antibiotika
tidak terjadi di sini. Perbedaan ini disebabkan oleh karena mekanisme
pembersihan (clearance) endotoksin dan/atau regulasi produksi sitokin di cairan
serebrospinal berbeda dari proses yang terjadi di dalam darah. pada meningitis,
respon peradangan terlokalisasi pada daerah ekstravaskuler yang tidak memiliki
system komplemen dan koagulasi. Selain itu, pada meningitis meningokok
kadang-kadang terjadi hernia dari batang otak yang sifatnya fatal. Hal ini
disebabkan oleh karena rongga tengkorak tidak dapat membesar dan terjadinya
udem serebral akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial sehingga
terjadi perfusi serebral. Angka kematian yang besarnya 1-5% berkaitan dengan
meningitis meningokok disebabkan karena komplikasi fatal yang tak teratasi ini.
Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Oleh karena penyakit meningokokal akut, dapat bersifat fatal dalam beberapa jam
saja, maka diagnosis dini mempunyai arti yang sangat penting. Gejala dini yang
tipikal adalah bilamana seseorang yang sama sekali sebelumnya sehat mengeluh
demam yang mendadak disertai menggigil dan nyeri otot (mialgia). Setelah
beberapa jam (4-6 jam) mungkin tampak perbaikan klinis secara sementara yang
menutupi proses penyakit yang berlanjut. Pada stadium dini ini gejala dan tanda-
tanda penyakit sangat membingungkan. Manifestasi kulit menyerupai kemerahan
yang disebabkan virus, tak ada kaku kuduk dan pemeriksaan cairan serebrospinal
dan gambaran mikroskopiknya (pewarnaan Gram) tidak memberikan kesimpulan
apapun. Apabila penderita menunjukkan adanya demam, sakit kepala, fotofobia,
iritabilitas, muntah, kehilangan kesadaran, kaku kuduk, dan lesi kulit, maka
hampir dapat dipastikan diagnosis meningitis meningokok dapat ditegakkan. (6)
Pemeriksaan penunjang yang dapat kita lakukan adalah pemeriksaan cairan liquor
serebrospinal dengan melakukan pungsi lumbal yang didapatkan biasanya warna
keruh sampai purulent sedangkan pada virus biasanya jernih. Selain itu, perlu
juga dilakukan biakan dan tes kepekaan untuk mengetahui causanya. Serta foto
thorak, EEG, dan CT-Scan dapat dilakukan. Biasanya pada CT-Scan kepala
meningitis tuberkulosa didapatkan eksudat basal, hidrosefalus, atau kelainan
fokal otak.
Penatalaksanaan
Terapi pada meningitis dilakukan berdasarkan causanya. Pemelihan antibiotic
didasarkan pada : kultur dan tes kepekaan antibiotic, usia penderita, bakterisidal
akan tetapi kurang bakteriolisis, diberikan secepat mungkin dalam 45 menit
setelah diagnosis, mudah menembus sawar darah otak dan konsentrasi dalam
serum harus tinggi.
Mencegah pembentukan sitokine radang dalam CSS mencegah eksudasi neutrofil
dalam CSS akibat sitokin, mencegah aktivasi neutrofil dalam CSS dan
pembentukan mediator vasodilator vasoaktif yang menyebabkan rusaknya sawar
darah otak: kortikosteroid, NSAID, dan pentoksifilin.
Peningkatan intracranial dapat ditatalaksanan dengan meninggikan bagian kepala
dari tempat tidur sampai 30o , obat hiperosmolar seperti manitol dan gliserol,
hiperventilasi dengan pCO2 anatara 27-30 mmHg dan barbiturate.
Khusus untuk pengobatan meningitis tuberkulosa dengan INH 5-10
mg/kgbb/hari, rifamficin 10 mg/kgbb/hari, pirazinamide 25 mg/kgbb/hari,
streptomycin 15 mg/kgbb/hari, dan etambutol 15-25 mg/kgbb/hari. Sedangkan
untuk causanya virus dapat diberikan acyclovir.
BAB III
KESIMPULAN
MIND MAP
DAFTAR PUSTAKA
1. Mardjono, Bahar & Priguna Sidharta. Neurologi Klinis Dasar. 2003. Jakarta:
Dian Rakyat
2. Misbach, Jusuf. Guidelines Stroke. 2004. Jakarta: PERDOSSI
3. Misbach, Jusuf. Stroke: Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. 1999.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI
4. Tonam. Panduan Diagnosis dan Penatalaksanaan Ilmu Penyakit Saraf. 2004
5. Rumantir CU. Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru : SMF Saraf
RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru. 2007.
6. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of
Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia: Saunders. 2007.
7. Rumantir CU. Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung
Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter
Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf. 1986.
8. Ismail Setyopranoto. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. Kepala Unit Stroke
RSUP Dr Sardjito/ Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia. 2011.
9. Islam MS. Pedoman Praktis Penatalaksanaan Stroke Iskemik Akut. Pendidikan
kedokteran berkelanjutan. 2004.
10. Dwi Nugroho, Yogi. Tumor Otak. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen
Indonesia. Jakarta: 2011.
11. Syaiful Saanin, dr. Tumor Intrakranial. Access on
www.angelfire.neurosurgery. December, 18th 2012.
13. Mahar, M., Proses Neoplasmatik di Susunan Saraf. Neurologi Klinis Dasar
Edisi 5. Dian Rakyat. Jakarta: 2000.
14. Japardi, Iskandar. Gambaran CT-Scan Pada Tumor Otak Benigna. Fakultas
Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. 2002.
15. Harsono, Tumor Otak dalam Buku Ajar Neurologi Klinis edisi I, Gajah
MadaUniversity Press, Yogyakarta. 2003
16. Chusid. 2003. Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua.
Gajah Mada University Press.
17. Iskandar J, Cedera Kepala, PT Dhiana Populer. Kelompok Gramedia, Jakarta.
2005.
18. Sidharta P., Mardjono M, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta. 2009
19. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004.
20. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic
Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000.
21. Hart CA, Rogers TRF. Meningococcal disease. J Med Microbiol 1993;39:3-25.
22. Caugant DA. Population genetics and molecular epidemiology of Neisseria
meningitidis. APMIS 1998;106:505-25.
23. Bicanic T and Harrison TS. Cryptococcal Meningitis. Br Med Bull. 2004; 72:
99-118.
24. Silvia. Meningitis. Patofisiologi. Jilid 2. Edisi 6. EGC. Hal 1154-1155.
25. Sullivan TD, LaScolea LJ. Neisseria meningitidis bacteremia in children:
quantitation of bacteremia and spontaneous clinical recovery without
antibiotic therapy. Pediatrics 1987; 80:63-7.
26. Jones D. In K. Cartwright editor, Meningococcal disease. Chichester, United
Kingdom: John Wiley & Sons, Ltd; 1995.p.147-57.
27. Schildkamp RL, Lodder MC, Bijlmer HA, Dankert J, Scholten RJ. Clinical
manifestations and course of meningococcal disease in 562 patients. Scand J
Infect Dis 1996; 28:47-51