(LAPORAN KASUS)erepo.unud.ac.id/id/eprint/29909/1/363469021262077... · 2020. 7. 21. · i KATA...
Transcript of (LAPORAN KASUS)erepo.unud.ac.id/id/eprint/29909/1/363469021262077... · 2020. 7. 21. · i KATA...
“KOMPLIKASI PASCA EKSTRAKSI GIGI : DRY SOCKET”
(LAPORAN KASUS)
Oleh:
drg. Steffano Aditya Handoko, MPH
1986081520181113001
PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN GIGI DAN PROFESI DOKTER GIGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya
sehingga laporan kasus dengan judul “Komplikasi Pasca Ekstraksi Gigi :
Dry Socket” ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa saya juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Harapan saya semoga laporan kasus ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi para pembaca, Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman saya, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Denpasar, 2 Mei 2019
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
BAB II LAPORAN KASUS ................................................................................. 2
2.1 Laporan Kasus ....................................................................................... 2
2.2 Diskusi .................................................................................................... 5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 7
3.1. Ekstraksi Gigi ......................................................................................... 7
3.4.1. Definisi Ekstraksi Gigi ................................................................ 7
3.4.2. Komplikasi Ekstraksi Gigi .......................................................... 8
3.2. Dry Socket ............................................................................................... 10
3.2.1. Definisi Dry Socket ..................................................................... 10
3.2.2. Tanda dan Gejala Klinis Dry Socket ........................................... 11
3.2.3. Etiologi Dry Socket ..................................................................... 11
3.2.4. Patofisiologi Dry Socket ............................................................. 15
3.2.5. Penatalaksanaan Dry Socket ....................................................... 16
3.2.6. Pencegahan Dry Socket ............................................................... 17
3.2.7. Kaitan Teori dengan Kasus ......................................................... 19
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 22
LAMPIRAN .......................................................................................................... 25
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ............................................................................................................... 3
Gambar 2 ............................................................................................................... 3
Gambar 3 ............................................................................................................... 4
Gambar 4 ............................................................................................................... 4
Gambar 5 ............................................................................................................... 4
Gambar 6 ............................................................................................................... 11
Gambar 7 ............................................................................................................... 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dry socket atau alveolar osteitis adalah gangguan dalam penyembuhan
luka pasca ektraksi gigi berupa inflamasi yang meliputi salah satu atau seluruh
bagian dari lapisan tulang padat pada soket gigi (lamina dura) (Karnure , 2013).
Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau vokal dan secara klinis
bermanifestasi berupa inflamasi yang meliputi salah satu atau seluruh bagian dari
lapisan tulang padat pada soket gigi (lamina dura). Dry socket digambarkan
sebagai komplikasi pada disintegrasi bekuan darah intra alveolar yang dimulai
sejak hari ke dua hingga ke empat pasca pencabutan gigi. Dry socket adalah
gangguan dalam penyembuhan yang terjadi setelah pembentukan bekuan darah,
tapi sebelum bekuan darah tersebut digantikan oleh jaringan granulasi (Khita dkk,
2012).
Dry socket merupakan salah satu komplikasi yang sering ditemukan pasca
ekstraksi gigi dengan insidensi terbanyak terjadi pada kelompok usia 40-45 tahun
(Cardoso, 2010; Noroozi dkk, 2019). Tingkat insidensi dry socket sebesar 1%-4%
dari seluruh tindakan ekstraksi gigi dan lebih sering terjadi pada wanita. Kondisi
ini dapat kembali normal atau membaik dalam waktu 5-10 hari bahkan tanpa
dilakukan perawatan. Penatalaksanaan dry socket dapat dilakukan dengan cara
dressing dan non dressing. Penatalaksanaan secara dressing sampai saat ini masih
kontroversial karena masih kurangnya penelitian mengenai efektivitas dan efek
samping yang ditimbulkan (Blum, 2002). Penatalaksanaan secara dressing dapat
dilakukan dengan pemberian antimikrobial, aplikasi obtudent atau anastesi local
2
(Lagares, 2005). Berdasarkan literatur, bahan dressing yang umum digunakan
adalah zinc oxide dan eugenol yang dikombinasikan menjadi konsistensi
semisolid (Noroozi, 2009). Pemberian intra-alveolar dressing dilaporkan dapat
menyebabkan komplikasi seperti neuritis, respon tubuh terhadap benda asing dan
myospherulosis (Zuniga, 1995; Mooreand, 1990; Mainous, 1974; Belfiglio, 1986).
Pada student project ini akan dibahas mengenai penatalaksanaan kasus komplikasi
dry socket disertai neuralgia trigeminal setelah 3 tahun dan menyebabkan
terjadinya osteomielitis kronis dengan adanya reaksi tubuh terhadap benda asing.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Laporan Kasus
Seorang wanita berusia 45 tahun dirujuk ke departemen oral dan
maksilofacial di rumah sakit nasional Zacamil. keluhan utama adalah neuralgia
trigeminal yang tepat yang tidak dapat dikelola dengan pengobatan konservatif.
Semuanya dimulai 3 tahun sebelumnya ketika molar pertama rahang atas kanan
diekstraksi. Empat hari setelah ekstraksi, dokter gigi mendiagnosis dry socket ,
yang dirawat dengan dressing intra-alveolar yang terdiri dari pasta eugenol seng-
oksida; obat ini ditempatkan langsung ke dalam alveolus tanpa perantara lain.
Pasien mengalami rasa sakit yang hilang dan tidak pernah kembali dengan dokter
giginya sehingga pasta tetap berada di dalam alveolus (informasi ini diperoleh
langsung dari file medis dokter gigi yang merawat pasien).
Beberapa minggu kemudian, pasien mengalami nyeri rahang atas yang
tepat. Dia mengunjungi dokter gigi yang berbeda untuk menemukan obat untuk
rasa sakitnya, dan selama periode dua tahun molar ketiga, molar kedua, premolar
pertama, dan premolar kedua dari sisi rahang atas kanan diekstraksi. Nyeri
hemifacial bertahan, dan pasien dirujuk ke ahli saraf yang bingung dengan gejala-
gejala yang memperlakukan pasien sebagai neuralgia trigeminal. Karbamazepin
diresepkan selama sekitar satu tahun tanpa menghilangkan rasa sakit; setelah ini,
ahli saraf mengirim pasien ke departemen kami.
Keluhan utama adalah nyeri hemifacial kanan intermiten, yang digambarkan
sebagai sakit dengan periode nyeri penembakan yang intens. Skala analog visual
4
digunakan untuk mengukurnya selama periode intermiten menemukan rasa sakit
yang parah. Pemeriksaan fisik menunjukkan tidak ada zona pemicu dan tidak
adanya klinis gigi 1, 2, 3, 4, dan 5.
Sinar-X panoramik, oklusal, dan periapikal diambil. Benda asing maksila
kanan ditemukan pada posisi tulang alveolar yang tidak sembuh dari molar
pertama rahang atas; gambar itu dekat dengan sinus maksilaris (Gambar 1 dan 2).
Karena tanda-tanda dan gejala pasien, benda asing itu dihapus dan kuretase daerah
yang terkena dilakukan; Temuan selama operasi adalah: alveolus yang tidak
disembuhkan, jaringan granulasi, fragmen tulang bebas, dan benda asing putih
solid yang bersentuhan langsung dengan sinus maksilaris (Gambar 3). Semua
jaringan dikirim ke ahli patologi yang melaporkan jaringan ikat fibrosa yang
tervaskularisasi dengan baik, infiltrat inflamasi kronis, sel raksasa berinti banyak,
dan tulang nekrotik dikelilingi oleh bentuk bakteri. Diagnosis akhir adalah
osteomielitis kronis dengan zona reaksi benda asing. Antibiotik dan antiinflamasi
nonsteroid. Obat digunakan seminggu setelah operasi. Sisa perawatan pasca
operasi dikelola dengan cara konvensional tanpa komplikasi lebih lanjut. Sinar-X
pasca operasi menunjukkan penyembuhan yang memadai dan pengangkatan total
tubuh asing (Gambar 4 dan 5). Setelah satu minggu operasi, pasien mengalami
rasa sakit. Skala analog visual digunakan selama beberapa bulan untuk
mengungkapkan tidak ada rasa sakit setelah benda asing dihilangkan. Pasien telah
ditindaklanjuti selama enam bulan tanpa rasa sakit di wajah selama waktu ini.
5
Gambar 1: sinar-X panoramik. Perhatikan adanya radiopasitas maksila kanan dan ketiadaan
gigi 1, 2, 3, 4, dan 5, semuanya dengan penyembuhan tulang ade-quate kecuali 3 area
(a) (b)
Gambar 2 : a) X-ray oklusal rahang atas. (b) Rontgen periapikal. Perhatikan
penutupan benda asing ke sinus maksilaris kanan, dan juga 3 alveolus yang tidak
sembuh.
(a) (b)
6
Gambar 3: (a) Pendekatan suprakrestal intraoral, melalui mana benda asing
dihilangkan dan sayatan dijahit dengan sutra 3-(b) Pandangan makroskopis dari
benda asing yang dihilangkan, yang semuanya bersama-sama diukur 0,7 × 0,5 ×
0,2 cm.
Gambar 4: X-ray panoramik menunjukkan pandangan pasca operasi lengkap
tanpa benda asing.
(a) (b)
Gambar 5: (a) Rontgen oklusal maksilaris pasca operasi. (b) Rontgen periapikal
postop eratif. Perhatikan penghapusan lengkap benda asing rahang atas yang
tepat.
7
2.2 Diskusi
Jumlah komplikasi sekunder untuk penempatan bahan dressing dalam
perawatan dry socket didirikan ditolak. Sebagian besar komplikasi yang
dilaporkan sebelumnya, myospherulosis, neuritis, dan reaksi benda asing, terkait
dengan pengobatan intra-alveolar sebagai metode pencegahan dan bukan sebagai
metode pengobatan.
Bright et al. 1982 dan Belfiglio et al. pada tahun 1986 menggambarkan
miospherulosis terkait dengan tetrasiklin dalam basis petroleum, digunakan
sebagai tindakan pencegahan untuk menghindari dry socket . Sekarang diketahui
bahwa carrier berbasis minyak mengganggu penyembuhan luka dengan aksi lipid
pada eritrosit ekstravasasi, menghasilkan miospherulosis. Karena itu, saat ini
penggunaan pembawa berbasis minyak bumi telah dicegah. Zuniga dan Leist pada
tahun 1995 melaporkan tetrasiklin yang diinduksi neuritis topikal enam bulan
setelah pengangkatan rutin molar ketiga rahang bawah yang tidak erupsi . Moore
dan Brekke pada tahun 1990 melaporkan reaksi se lasing raksasa tubuh terkait
dengan penempatan asam polylactic yang diobati dengan tetrasiklin . Mainous
pada tahun 1974 melaporkan reaksi benda asing setelah pengemasan seng oksida-
eugenol pada osteitis lokal [8]. Bloomer pada tahun 2000 melakukan investigasi
pencegahan osteitis alveolar dengan penempatan segera kemasan obat tetapi
mereka menggunakan obat hanya untuk satu minggu dan kemudian mereka
menghapusnya, sehingga mereka tidak melaporkan komplikasi dalam evaluasi
jangka panjang .
8
Minyak cengkeh adalah eugenol dalam bentuknya yang tidak dimurnikan,
dan telah digunakan selama berabad-abad sebagai obat sakit gigi. Chisholm
menggambarkan campurannya dengan seng oksida pada tahun 1873 untuk
membentuk massa plastik untuk keperluan terapi. Ini memiliki efek sedatif dan
anodyne serta sifat antibakteri. Campuran eugenol dengan seng oksida ini
bergantung pada reaksi pengaturan antara mereka yang menghasilkan seng
eugenolato. Eugenolato tidak stabil dengan adanya air, dan siap mengalami
hidrolisis dengan pelepasan free eugenol . Free eugenol juga dapat merusak
jaringan lunak manusia. Jenis dan luasnya reaksi jaringan oral terhadap eugenol
bervariasi tetapi eugenol umumnya bersifat sitotoksik pada konsentrasi tinggi dan
memiliki efek buruk pada fibroblas dan sel-sel yang menyerupai osteoblas.
Dengan demikian, pada konsentrasi tinggi, itu menghasilkan nekrosis dan
mengurangi penyembuhan. Efek ini terkait dosis dan berpotensi mempengaruhi
semua pasien . Eugenol juga bersifat neurotoksik, dapat menyebabkan gangguan
transmisi saraf. Kozam mencatat bahwa eugenol pada konsentrasi tertentu dapat
memadamkan transmisi impuls saraf dalam waktu 3 jam.
Parestesia sementara juga telah dilaporkan setelah penggunaan eugenol
sebagai obat endodontik. Perawatan lain dengan menggunakan pembungkus telah
dilaporkan untuk menghilangkan nyeri osteitis alveolar yang efektif termasuk
menggunakan kasa iodoform (NU Gauze, Johnson & Johnson Wound
Management) yang dilapisi dengan campuran tiga hingga lima tetes obtundant,
eugenol, dengan atau tanpa bahan lain. , dan dikemas ke dalam soket yang telah
dibius. Perawatan ini tidak boleh digunakan jika pasien alergi terhadap yodium .
Dalam kasus kami, obat eugenol seng-oksida intra-alveolar, menyebabkan
9
nekrosis tulang, reaksi benda asing, keterlambatan penyembuhan alveolar, dan
nyeri hemifacial yang dikacaukan dengan trigeminal neuralgia. Seng-oksida
eugenol mungkin menyebabkan efek neurotoksik di daerah yang terkena. Gejala
pasien membingungkan dokter gigi dan ahli saraf, menyesatkan mereka untuk
diagnosis yang salah dari neuralgia trigeminal.
Kasus ini mengungkapkan perlunya melakukan penyelidikan ilmiah jangka
panjang tentang penggunaan dressing intra-alveolar sebagai pengobatan untuk
dan bukan sebagai pencegahan, untuk menentukan keamanannya dan potensi efek
sampingnya bagi pasien kami di studi jangka panjang. Ini juga mengungkapkan
pentingnya evaluasi klinis dan radiografi menyeluruh pada pasien dengan dugaan
diagnosis trigeminal neuralgia untuk membuang afeksi rahang lokal yang dapat
membingungkan atau menyesatkan kesalahan diagnosis dan perawatan. Akhirnya,
memberikan instruksi tertulis pasca operasi kepada pasien.Jurnal Internasional
Kedokteran Gigimenyatakan apa yang ditempatkan di soket, berapa lama harus
tetap di soket, dan kapan atau jika harus dilepas, tidak boleh diabaikan oleh dokter
yang merawat.
10
BAB III
KAITAN DENGAN TEORI
3.1 Ektraksi Gigi
3.1.1 Definisi Ekstraksi Gigi
Ekstraksi gigi atau sering disebut pencabutan gigi adalah suatu prosedur
dental mengeluarkan gigi dari soketnya. Pencabutan gigi dikatakan ideal jika
dalam pelaksaannya tidak disertai rasa sakit, trauma yang terjadi pada jaringan
sekitar gigi seminimal mungkin, luka pencabutan dapat sembuh secara normal dan
tidak menimbulkan permasalahan pasca pencabutan (Sanghai , 2009). Pencabutan
gigi adalah suatu tindakan operasi yang dilakukan dengan tang, elevator, atau
pendekatan transalveolar. Oleh karena sifatnya yang irreversible dan terkadang
menimbulkan komplikasi, pencabutan gigi seharusnya dilakukan hanya ketika
semua alternatif perawatan tidak memungkinkan untuk dilakukan. Namun, pada
beberapa pasien lebih memilih pencabutan gigi sebagai alternatif yang lebih
murah daripada dilakukan perawatan lain seperti penambalan atau pembuatan
mahkota pada gigi dengan karies besar. Pada keadaan tersebut, gigi harus dicabut
dan pencabutan gigi merupakan bagian dari fungsi dokter gigi (Pedlar, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pencabutan gigi
merupakan suatu prosedur mengeluarkan gigi dari perlekatannya menggunakan
tang dan elevator (closed method), atau pendekatan transalveolar (open method)
dengan teknik yang aman untuk meminimalkan trauma. Hal – hal yang perlu
diperhatikan selama ekstraksi gigi menurut Gupta (2014).
a. Anestesi
11
b. Elevasi mukogingival flap
c. Penghilangan tulang
d. Bagian tulang yang terlibat
e. Pengangkatan gigi bersama akarnya
f. Kontrol perdarahan
g. Alveoplasty jika dibutuhkan
h. Penutupan soket alveolar
i. Penjahitan flap
3.1.2 Komplikasi Ekstraksi Gigi
Komplikasi digolongkan menjadi intraoperatif, segera setelah pencabutan
gigi dan jauh setelah pencabutan gigi (Randy dkk, 2015).
a. Komplikasi Selama Ekstraksi Gigi
1. Kegagalan Pemberian Anestesi
Hal ini biasanya berhubungan dengan teknik yang salah atau dosis obat
anestesi yang tidak cukup.
2. Kegagalan mencabut gigi dengan tang atau elevator
Tang dan elevator harus diletakkan dan sebab kesulitan segera dicari jika
terjadi kegagalan pencabutan dengan instrument tersebut
3. Perdarahan selama pencabutan
Sering pada pasien dengan penyakit hati, misalnya seorang alkoholik yang
menderita sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan, pasien yang
minum aspirin dosis tinggi atau NSAID lain sedangkan pasien dengan
gangguan pembekuan darah yang tidak terdiagnosis sangat jarang.
12
Komplikasi ini dapat dicegah dengan cara menghindari perlukaan pada
pembuluh darah dan melakukan tekanan dan klem jika terjadi perdarahan.
4. Fraktur
Fraktur dapat terjadi pada mahkota gigi, akar gigi, gigi tetangga atau gigi
antagonis, restorasi, processus alveolaris dan kadang – kadang mandibula.
Cara terbaik untuk mengindari fraktur selain tekanan yang terkontrol
adalah dengan menggunakan gambar sinar x sebelum melakukan
pembedahan.
5. Pergeseran
Terlibatnya antrum, pergeseran gigi atau fragmen ke fosa intratemporalis,
pergeseran gigi ke dalam mandibula merupakan komplikasi intra operatif.
Pemeriksaan sinar X yang akurat diperlukan baik sebelum maupun
intraoperative.
6. Cedera jaringan lunak
7. Komplikasi ini dapat dihindari dengan membuat flap yang lebih besar dan
menggunakan retraksi yang ringan saja.
b. Komplikasi Segera Setelah Ekstraksi Gigi
1. Perdarahan
Perdarahan ringan dari alveolar adalah normal apabila terjadi pada 12-24
jam pertama sesudah pencabutan atau pembedahan gigi. Penekanan
oklusal dengan menggunakan kasa adalah jalan terbaik untuk
mengontrolnya dan dapat merangsang pembentukan bekuan darah yang
13
stabil. Perdarahan bisa diatasi dengan tampon (terbentuknya tekanan
ekstravaskuler lokal dari tampon), pembekuan, atau keduanya.
2. Rasa sakit
Rasa sakit pada awal pencabutan gigi, terutama sesudah pembedahan
untuk gigi erupsi maupun impaksi, dapat sangat mengganggu. Orang
dewasa sebaiknya mulai meminum obat pengontrol rasa sakit sesudah
makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit.
3. Edema
Edema adalah reaksi individual, yaitu trauma yang besarnya sama, tidak
selalu mengakibatkan derajat pembengkakan yang sama. Usaha – usaha
untuk mengontrol edema mencakup termal (dingin), fisik (penekanan), dan
obat-obatan.
4. Reaksi terhadap obat
Reaksi obat-obatan yang relative sering terjadi segera sesudah pencabutan
gigi adalah mual dan muntah karena menelan analgesic narkotik atau non
narkotik. Reaksi alergi sejati terhadap analgesic bisa terjadi, tetapi relative
jarang. Pasien dianjurkan untuk menghentikan pemakaian obat sesegera
mungkin jika diperkirakan berpotensi merangsang reaksi alergi.
c. Komplikasi Jauh Sesudah Ekstraksi Gigi
1. Alveolitis atau Dry Socket
Komplikasi yang paling sering, paling menakutkan dan paling sakit
sesudah pencabutan gigi adalah dry socket atau alveolitis (osteitis
alveolar).
2. Infeksi
14
Pencabutan suatu gigi yang melibatkan proses infeksi akut, yaitu
perikoronitis atau abses, dapat mengganggu proses pembedahan. Penyebab
yang paling sering adalah infeksi yang termanifestasi sebagai miositis
kronis. Terapi antibiotik dan berkumur dengan larutan saline diperlukan
jika terbukti ada infeksi yaitu adanya pembengkakan, nyeri, demam, dan
lemas.
3.2. Dry Socket
3.2.1 Definisi Dry Socket
Dry socket dikenal sebagai osteitis lokal atau vokal dan secara klinis
bermanifestasi berupa inflamasi yang meliputi salah satu atau seluruh bagian dari
lapisan tulang padat pada soket gigi (lamina dura). Dry socket digambarkan
sebagai komplikasi pada disintegrasi bekuan darah intra alveolar yang dimulai
sejak hari kedua hingga keempat pasca pencabutan gigi. Dry socket adalah
gangguan dalam penyembuhan yang terjadi setelah pembentukan bekuan darah
yang matang, tapi sebelum bekuan darah tersebut digantikan oleh jaringan
granulasi.
Alveolar osteitis adalah sakit pasca operasi pada atau di sekitar soket gigi
yang dapat meningkat tiap waktu antara hari pertama dan hari ketiga setelah
pencabutan yang ditandai dengan hilangnya bekuan darah pada soket alveolar
serta dengan atau tanpa halitosis. Terdapat banyak istilah yang sering digunakan
untuk komplikasi ini di antaranya, seperti “alveolar osteitis”, “alveolitis”,
“alveolitis sicca dolorosa”,“localized alveolar osteitis”, “fibrinolytic alveolitis”,
“septic socket”, “necrotic socket”, dan “alveolalgia”.
15
3.2.2 Tanda dan Gejala Klinis Dry Socket
Gambar 6. Gambaran klinis dry socket pada gigi molar kedua maksila. (Sumber :
Fragiskos D. Oral Surgery. Berlin : Springer ; 2007. p.199.)
Tanda dan gejala klinis dry socket antara lain :
a. Dry socket muncul pada hari 1-3 setelah pencabutan gigi dengan durasi
biasanya hingga 5-10 hari.
16
b. Hilangnya bekuan darah pada soket bekas pencabutan dan biasanya dipenuhi
oleh debris.
c. Rasa sakit yang hebat dan ‘berdenyut’ dimulai sejak 24-72 jam setelah
pencabutan gigi dan dapat menjalar hingga ke arah telinga dan tulang
temporal.
d. Pada soket bekas pencabutan, tulang alveolar sekitar diselimuti oleh lapisan
jaringan nekrotik berwarna kuning keabu-abuan.
e. Inflamasi margin gingiva di sekitar soket bekas pencabutan.
f. Mukosa sekitar biasanya berubah warna menjadi kemerahan.
g. Ipsilateral regional lymphadenopathy
h. Halitosis
3.2.3 Etiologi Dry Socket
Etiologi dry socket merupakan multifaktorial dan masih belum jelas
diketahui, tetapi terdapat beberapa faktor predisposisi. Etiologi yang diketahui
adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolisis sehingga melarutkan bekuan
darah yang sudah terbentuk. Faktor-faktor penyebab peningkatan aktifitas
fibrinolisis ini antara lain anastesi yang mengandung vasokonstriktor yang
berlebihan menyebabkan suplai darah terhalang ke tulang dan daerah pencabutan
sehingga bekuan darah sulit terbentuk, obat-obatan sistemik, aktivator cairan
tubuh, aktivator jaringan dan bakteri yang menghasilkan rasa nyeri, bau mulut,
dan rasa tidak enak (Shaban dkk, 2014). Fibrinolisis terbagi dua yaitu yaitu:
a) Fibrinolisis tanpa keterlibatan bakteri
Kerusakan bekuan darah disebabkan oleh mediator yang keluar selama
inflamasi, mediator ini secara langsung atau tidak langung mengaktifkan
17
plasminogen kedalam darah. Ketika mediator dikeluarkan oleh sel tulang alveolar
yang mengalami trauma, plasminogen berubah menjadi plasmin dan
menyebabkan kerusakan pada bekuan darah dengan memisahkan benang-benang
fibrin. Perubahan ini terjadi pada proaktivator selular atau plasma dan aktivator
lainnya.
b) Fibrinolisis dengan keterlibatan bakteri
Sebuah penelitian mengemukakan bahwa anaerob penyebab dari terjadinya
dry socket yang dilihat dari aktifitas fibrinolitik dari Treponema denticola yang
menyebabkan penyakit periodontal. Actinomyces viscosus and Streptococcus
mutans dapat memperlambat penyembuhan pasca pencabutan gigi. Beberapa
spesies bakteri mensekresikan pirogen yang menjadi aktivator tidak langsung dari
fibrinolisis in vivo. Ketika diinjeksi pirogen intravena didapatkan hasilnya bahwa
hal tersebut meningkatkan aktivitas fibrinolitik.
Beberapa factor yang berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya dry
socket antara lain (Pinasti, 2013):
1. Trauma pada saat pencabutan
Peningkatan terjadinya dry socket dapat di sebabkan oleh pencabutan gigi
yang sulit dan trauma pada saat pencabutan. Dry socket lebih sering terjadi pada
pencabutan gigi molar terutama pada molar ketiga mandibula. Trauma bedah yang
cukup besar menyebabkan tulang alveolar melepaskan aktivator-aktivator jaringan
dan merubah plasminogen menjadi plasmin yang menghancurkan bekuan fibrin
sehingga menghasilkan soket yang kering dan rasa nyeri.
18
2. Usia
Sebagian besar literatur mengatakan bahwa dry socket jarang terjadi di masa
kecil dan insiden yang meningkat pada usia yang berkelanjutan. Penelitian Khitab
(2012) mengemukakan bahwa 2,2% pada kelompok usia 11-20 tahun, 22,2% pada
kelompok usia 21-30 tahun, 36,6% pada usia kelompok 31-40 tahun, 16,7% pada
kelompok usia 41-50%, 13,4% pada kelompok usia 51-60 tahun, dan 8,9% pada
kelompok usia lanjut. Banyaknya terjadi pada usia 31-40 tahun tersebut
dikarenakan pembentukan tulang alveolar sudah sempurna dan banyak terjadi
penyakit periodontal sehingga adanya trauma pencabutan yang kemungkinan
menimbulkan terjadinya dry socket.
3. Jenis kelamin dan penggunaan kontrasepsi
Perbedaan jenis kelamin menunjukkan perbedaan angka prevalensi terjadinya
dry socket yang menggambarkan pada wanita lebih besar dibandingkan pada pria.
Penggunaan tablet kontrasepsi menunjukkan peningkatan terhadap terjadinya dry
socket. Hal ini disebabkan karena di dalam tablet kontrasepsi terdapat estrogen
yang memiliki peranan terhadap terjadinya dry socket sehingga mengakibatkan
tingginya level plasminogen dalam darah dan menstimulasi aktivitas fibrinolisis.
Aktivitas fibrinolisis meningkat maksimum pada pertengahan siklus tablet
kontrasepsi dan menurun mendekati normal pada masa tidak aktif sebab siklus
penggunaan tablet kontrasepsi dijadwalkan selama 21 hari dengan diikuti masa
aktif selama 7 hari. Pada hari 2-3 setelah penggunaan tablet kontrasepsi
dihentikan maka siklusnya akan terjadi penurunan. Oleh karena itu, resiko
terjadinya dry socket pasien yang mengkonsumsi tablet kontrasepsi dapat
19
diperkecil jika melaksanakan pencabutan gigi pada minggu terakhir dari siklus
yaitu pada hari.
4. Kebiasaan merokok
Menurut penelitian bahwa merokok mempunyai hubungan yang signifikan
dengan terjadinya dry socket. Hal ini dikarenakan masuknya benda asing yang
mengkontaminasi daerah pencabutan sehingga melarutkan bekuan darah dari
alveolus dan menghambat penyembuhan sebab bahan-bahan yang terkandung
dalam rokok dapat menimbulkan masalah terhadap mekanisme pembekuan darah
yang terjadi. Bahan dasar rokok adalah tembakau, yang mengandung tar, nikotin,
dan karbon monoksida (CO). Pasca pencabutan gigi, pasien yang merokok
menunjukkan keterlambatan dalam penyembuhan luka. Pada nikotin
kemungkinan akan mengganggu suplai oksigen yang menyebabkan berkurangnya
aliran darah pada jaringan melalui efek vasokonstriksi. Nikotin juga dapat
meningkatkan viskositas darah yang disebabkan oleh aktivitas fibrinolitik yang
menurun dan augmentasi daya lekat platelet. Selain nikotin, karbon monoksida
dalam rokok dapat menyebabkan putusnya aliran oksigen ke jaringan, sehingga
menyebabkan turunnya jumlah hemoglobin oksigenasi dalam aliran darah. Serta
pada hidrogen sianida juga telah diketahui merupakan komponen dalam rokok
yang dapat merusak metabolisme oksigen seluler dan menyebabkan oksigen yang
membahayakan bagi jaringan.
5. Gigi yang dicabut
Pembedahan molar tiga mandibular relatif sulit dilakukan dan memakan
waktu yang lama, sehingga kemungkinan memicu terjadinya dry socket. Hal ini
disebabkan tulang mandibula yang padat dan vaskularisasi nya lebih sedikit dari
20
pada maksila sehingga pencabutan gigi geligi mandibula biasanya lebih sulit
dibandingkan gigi geligi maksila dan gaya berat menyebabkan soket pada
mandibula lebih cenderung untuk terkontaminasi terhadap sisa-sisa makanan.
6. Penggunaan anastesi local
Penggunaan anastesi lokal lebih meningkat resiko terjadinya dry socket
dibandingkan dengan anastesi umum, jenis bahan anastesi lokal juga berpengaruh.
Dengan menggunakan xylocaine yang mengandung vasokonstriktor (bahan
adrenalin) dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya terjadinya dry socket
lebih besar dibanding dengan citanest.
7. Oral higien yang buruk
Peranan mikroorganisme pada pasien dengan oral hygiene yang buruk dan
adanya inflamasi secara signifikan dapat meningkatkan insidens terjadinya dry
socket. Sebuah teori mengemukakan bahwa adanya mikroorganisme dalam flora
normal mulut dapat menyebabkan luka pencabutan gigi terinfeksi.
3.2.4 Patofisiologi Dry Socket
Dry Socket terjadi karena meningkatnya aktifitas dari fibrinolitik, trauma
karena ekstraksi dan infeksi yang menjadi faktor etiologi dari dry socket. Hasil
pengamatan Kolokythas, Olech, & Miloro (2010) pada jurnal “Review Artice
Alveolar Osteitis: a Comprehensive Review of Concepts and Controversies”,
terjadinya peningkatan aktivitas fibrinolitik pada alveolus dengan dry socket
dibandingkan dengan alveolus normal. Birn juga menyatakankan bahwa lisis total
21
atau partial dan hancurnya bekuan darah disebabkan oleh pelepasan mediator
selama inflamasi oleh aktivitas plasminogen direct (fisiologik) dan indirect
(nonfisiologik) kedalam darah (Kolokythas, 2010). Plasminogen akan berubah
menjadi plasmin yang menyebabkan pecahnya bekuan darah oleh disentegrasi
fibrin dan pada saat yang sama juga melepaskan kinin dari kininogen, yang
juga berada di dalam bekuan darah sehingga menyebabkan rasa sakit yang
parah. Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan pembentukan
senyawa kinin di dalam alveolus. Kinin mengaktifkan terminal nervus primer
afferen yang peka terhadap mediator inflamasi dan substansi allogenik lain yang
pada konsentrasi 1mg/ml dapat menyebabkan rasa sakityang hebat. Plasminogen
menyebabkan perubahan kallikrein menjadi kinin di dalam sumsum tulang
alveolar. Sehingga, adanya plasmin menjelaskan kemungkinan terjadinya dry
socket dengan berbagai aspek (seperti neuralgia dan disintegrasi bekuan darah)
(Laskin, 2009).
Gambar 7. Patofisiologi Dry Socket
(Sumber: Laskin, 2009)
3.2.5 Penatalaksanaan Dry Socket
22
Penatalaksanaan dry socket dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Irigasi
Irigasi soket dengan normal salin dan pemberian analgesik yang potensial
telah digunakan dalam penatalaksanaan dry socket. Pemeliharaan kebersihan
rongga mulut yang baik dan berkumur dengan normal salin hangat membantu
dalam penyembuhan soket. Irigasi soket dengan larutan salin berguna untuk
membuang fragmen gigi dan tulang, membuang jaringan nekrotik dan debris
makanan. Nyeri dapat dikontrol dengan pemberian analgesik yang potensial
(Pedersen, 1996; Noroozi, 2009; Karnure, 2013).
2. Medicated dressing
Penundaan penyembuhan luka, peningkatan kemungkinan infeksi dari soket
dan nyeri berkelanjutan dilaporkan masih dapat terjadi (Cardoso dkk, 2010;
Akinbami, 2014). Noroozi dan Philbert (2009) menyarankan bahwa
pengaplikasian bahan dressing pada soket yang telah dianestesi lokal perlu
dilakukan setelah pelepasan jahitan dan irigasi dengan larutan salin hangat untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Bahan dressing mengandung zinc oxide,
eugenol, anastetik dan antibiotik diaplikasikan ke kasa. Perawatan lain
menggunakan packing telah dilaporkan efektif meredakan nyeri dengan
menggabungkan iodoform gauze namun tidak diindikasikan untuk pasien dengan
alergi iodin (Houston, dkk, 2002). Setiap 2-3 hari, kasa harus diganti dan dilepas
setelah nyeri reda (Karnure, 2013).
Komplikasi sekunder dari dressing sebagai penatalaksanaan pada dry socket
juga dapat terjadi yang kebanyakan komplikasinya dilaporkan myospherulosis,
neuritis dan reaksi foreign body seperti pada laporan kasus yang dikaji (Lagares
23
dkk, 2005). Penggunaan dressing zinc oxide eugenol dapat menyebabkan tulang
nekrosis, reaksi foreign body penyembuhan alveolar yang tertunda dan nyeri
hemificial yang gejalanya mirip dengan trigeminal neuralgia (Alemán, 2011).
3.2.6 Pencegahan Dry Socket
Terdapat berbagai macam cara untuk melakukan pencegahan terhadap
terjadinya dry socket, yaitu dengan tindakan farmakologikal dan non
farmakologikal. Tindakan non farmakologikal meliputi :
1. Anamnesis yang baik
2. Identifikasi dan jika memungkinkan menghilangkan faktor risiko
3. Menjaga dan merawat jaringan dengan baik
Mencegah terjadinya trauma yang berlebih pada jaringan yang dilakukan
perawatan. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan membuat
desain flap menggunakan instrumen yang tajam agar sayatan yang dihasilkan
bersih, atraumatik, dan dapat merefleksikan jaringan lunak dengan baik.
Setelah prosedur bedah, lakukan debridemen pada luka dan irigasi
menggunakan larutan saline dengan jumlah besar.
4. Tidak adanya benda asing yang tertinggal di dalam jaringan luka
Pastikan di dalam jaringan luka atau soket gigi tidak terdapat fragmen gigi
yang tertinggal, serpihan tulang, maupun filling atau restoration material.
24
Lakukan pula penghalusan tulang yang tajam setelah ekstraksi agar tidak
mengganggu dan merusak jaringan.
5. OCF (Oxidized Cellulose Foam).
Dalam banyak kasus OCF digunakan dengan cara ditempatkan dalam
soket gigi setelah ekstraksi gigi untuk meningkatkan dan mencapai
hemostasis. OCF merupakan bahan biodegradable yang paling umum
digunakan untuk memfasilitasi terjadinya hemostasis dan kontrol perdarahan.
Mekanisme kerja material hemostasis, seperti penyerapan darah, interaksi
permukaan protein dan trombosit, aktivasi jalur instrinsik dan ekstrinsik, sifat
bakteriostatik disebabkan pH yang rendah serta hypoallergenicity. Sifat
bakteriostatik dari OCF ini dapat menghambat/mencegah kaskade fibrinolitik
yang dipicu oleh infeksi yang membawanya (Hipotesis BIRN), mekanisme
lainnya adalah kemampuan OCF untuk menstabilisasi bekuan darah yang
lebih baik sehingga mencegah pelepasan bekuan darah yang disebabkan
gesekan saat terjadinya perubahan tekanan dressing dan berkumur yang
terlalu sering (Rizkad, 2015; Agrawal dkk, 2012).
6. Memberikan pasien instruksi post-operatif
Menjelaskan dan mengingatkan kepada pasien apa saja yang dapat dan
tidak dapat dilakukan setelah ekstraksi gigi, bahan apa yang dimasukan ke
dalam soket gigi, seberapa lama bahan tersebut ada di dalam soket, dan kapan
bahan tersebut harus dikeluarkan. Instruksikan pula pasien untuk kontrol ke
dokter gigi jika terjadi hal-hal yang tidak sewajarnya (Tarakji, 2015).
25
Sedangkan untuk tindakan farmakologikal dalam mencegah terjadinya dry
socket adalah sebagai berikut :
1. Antibiotik
a. Antibiotik sistemik
Antibiotik sistemik dilaporkan efektif untuk mencegah dry socket meliputi
penisilin, klindamisin, eritromisin, metronidazol, azitromisin, sepalosporin.
Tetapi untuk penggunaan antibiotik sistemik biasanya diperuntukan bagi
pasien dengan riwayat multiple dry sockets atau immunocompromised
(Haraji, 2014; Bezerra dkk, 2011).
b. Antibiotik topikal
Terdapat banyak penelitian dalam menggunakan antibiotik topikal, baik
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan dosis dan formulasi yang
berbeda. Salah satu yang sering digunakan adalah tetrasiklin . Namun, masih
terdapat banyak efek samping dari penggunaan tetrasiklin, seperti bersifat
toksik dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas (Haraji, 2014; Bezerra dkk,
2011).
2. Obat kumur
Pasien dapat diberikan obat kumur yang mengandung antimikroba, baik
sebelum maupun sesudah dilakukan ekstraksi gigi. Salah satu obat kumur
yang banyak digunakan adalah klorheksidin 0,12% dapat mengurangi
frekuensi dry socket setelah tindakan ekstraksi gigi. Terdapat 50%
pengurangan kejadian dry socket pada pasien yang berkumur dengan larutan
klorheksidin (Karnure, 2013).
26
3.2.7 Kaitan Teori dengan Kasus
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi dry socket adalah
dengan menggunakan dressing yang mengandung zinc oxide, eugenol, bahan
anastetik dan antibiotik diaplikasikan ke kasa, serta iodoform gauze. Hal ini sesuai
dengan kasus di atas, dimana digunakan intra-alveolar dressing dengan bahan
pasta zinc oxide eugenol. Penggunaan dressing zinc oxide eugenol ini dapat
menyebabkan nekrosis pada tulang, reaksi foreign body yang menyebabkan
penyembuhan alveolar yang tertunda dan nyeri hemificial yang gejalanya mirip
dengan trigeminal neuralgia (Karnure, 2013; Lagares dkk, 2005; Houston dkk,
2002).
27
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
4.1 Simpulan
Ekstraksi gigi atau sering disebut pencabutan gigi adalah suatu prosedur
dental mengeluarkan gigi dari soketnya. Pencabutan gigi dikatakan ideal jika
dalam pelaksaannya tidak disertai rasa sakit, trauma yang terjadi pada jaringan
sekitar gigi seminimal mungkin, luka pencabutan dapat sembuh secara normal dan
tidak menimbulkan permasalahan pasca pencabutan .Pencabutan gigi adalah suatu
tindakan operasi yang dilakukan dengan tang, elevator, atau pendekatan
transalveolar. Oleh karena sifatnya yang irreversible dan terkadang menimbulkan
komplikasi,
Berdasarkan laporan kasus diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. dry socket merupakan Komplikasi yang paling sering, paling menakutkan dan
paling sakit sesudah pencabutan gigi adalah dry socket atau alveolitis (osteitis
alveolar).
2. dry socket memiliki etiologi yang diketahui terjadi akibat adanya
peningkatan aktivitas fibrinolosis sehingga melarutkan bekuan darah yang
sudah terbentuk.
3. Trauma pada saat pencabutan termasuk beberapa factor yang berhubungan
dengan peningkatan resiko terjadinya dry socket.
4. Rasa sakit yang khas pada dry socket berhubungan dengan pembentukkan
senyawa kinin di dalam alveolus.
28
5. Irigasi , medicated dressing merupakan penatalaksanaan yang dapat di
lakukan untuk penderita dry socket.
6. Tindakan farmakologikal dan non farmakologikal dapat dilakukan untuk
melakukan pencegahan terhadap dry socket.
4.2 Saran
Dari pengamatan terhadap laporan kasus dry socket pasca pencabutan gigi
yang dirawat, dapat disampaikan saran sebagai berikut :
1. Untuk mengurangi frekuensi dry socket hendaknya perlu dipikirkan
pemberian profilaksis atau tindakan pencegahan baik kepada operator
maupun penderita.
2. Hendaknya perlu dipehatikan masalah yang masih meragukan yaitu cara
perawatan yang ideal terhadap kasus dry socket sehingga perlu kiranya
penelitian lebih lanjut.
29
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, Amiya, Neeraj Singh, dan Ankita Singhal, 2012, Oxidized Cellulose
Foam in Prevention of Alveolar Osteitis. IOSR Journal of Dental and
Medical Sciences (JDMS). Volume 22, Issue 22 ,PP 26-28.
Akinbami, B.O. & Godspower, T. 2014. Dry Socket: Incidence, Clinical
Features, and Predisposing Factors. International Journal of Dentistry.
Alemán Navas, R.M. & Martínez Mendoza, M.G. 2011. Case Report: Late
Complication of a Dry Socket Treatment. International Journal of
Dentistry.
Belfiglio, S.T. Wonderlich,andL. J.Fox. 1986. “Myospherulosis of the alveolus
secondary to the use of Terra-Cortril and Gelfoam. Report of a case,”
Oral Surgery Oral Medicine and Oral Pathology, vol. 61, no. 1, pp. 12–
14.
Bezerra TP, Studart-Soares EC, Scaparo HC, Pita-Neto IC, Batista SH, Fonteles
CS., 2011, Prophylaxis versus placebo treatment for infective and
inflammatory complications of surgical third molar removal: a split-
mouth, double-blind, controlled, clinical trial with amoxicillin (500 mg) J
Oral Maxillofac Surg;69(11):e333–9. doi: 10.1016/j.joms.2011.03.055.
Epub
Blum. 2002. “Contemporary views on dry socket (alveolar osteitis): a clinical
appraisal of standardization, aetiopathogenesis and management: a
critical review,” International Journal of Oral and Maxillofacial Surgery,
vol. 31, no. 3, pp. 309–317.
Cardoso, C.L., Rodrigues, M.T.V., Ferreira, O., Garlet, G.P. & De Carvalho,
P.S.P. 2010. Clinical concepts of dry socket. Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery.
Cardoso, M. T. V. Rodrigues, O. F. Junior, G. P. Garlet, and P. S. P. D. Carvalho.
2010. “Clinical concepts of dry socket,” Journal of Oral and
Maxillofacial Surgery, vol. 68, no. 8, pp. 1922–1932.
30
Gupta, A., Marya C. M., Bhatia, H. P., dan Dahiya, V., 2014, Behaviour
Management of An Anxious Child, Stomatologija, Baltic Dental and
Maxillofacial Journal., 16:3-6.
Haraji A, Rakhshan V. 2014. Single-dose intra-alveolar chlorhexidine gel
application, easier surgeries, and younger ages are associated with
reduced dry socket risk. J Oral Maxillofac Surg;72:259–65.
Houston, J.P., McCollum, J., Pietz, D. & Schneck, D. 2002. Alveolar osteitis: a
review of its etiology, prevention, and treatment modalities. General
dentistry.
Karnure M, Munot N. 2013. Review on conventional and novel techniques for
treatment of alveolar osteitis. Asian Journal Of Pharmaceutical and
Clinical Reserch;6(2):13-17.
Karnure, M. & Munot, N. 2013. Review on conventional and novel techniques for
treatment of Alveolar osteitis. Asian Journal of Pharmaceutical and
Clinical Research.
Khitab U, Khan A, Shah SM. 2012. Chlinical characteristics and treatment of dry
socket a study. Pakistan Oral and Dental Journal;32(1):110-111.
Kolokythas, A., Olech, E., & Miloro, M. (2010). Alveolar Osteitis : A
Comprehensive Review of Concepts and Controversies. 2010.
https://doi.org/10.1155/2010/249073
Lagares, D., Figallo, M., Ruiz, M., Cossio, P., Calderon, G. & Perez, J. 2005.
Update on dry socket: a review of the literature. Medicina Oral,
Patologia Oral y Cirugia Bucal, 10(1): 77–85.
Laskin DM. editor. 2009. Oral and maxillofacial surgery . Vol 2. St.Louis: The
CV Mosby Co:p.3-44
Mainous. 1974. “ Foreign body reaction after zinc oxide eugenol packing in
localized osteitis,” Journal of Oral Surgery, vol. 32, no. 3, pp. 207–208.
Mooreand and J. H. Brekke. 1990. “Foreignbodygiantcell reaction related to
placement of tetracycline-treated polylactic acid: report of 18 cases,”
Journal of Oral and Maxillofacial Surgery , vol. 48, no. 8, pp. 808–812.
Noroozi, A.R. & Philbert, R.F. 2009. Modern concepts in understanding and
management of the “dry socket” syndrome: comprehensive review of the
31
literature. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology, Oral Radiology
and Endodontology.
Pedersen, G. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: ECG.
Pedlar J, Frame JW. 2007. Oral and maxillofacial surgery. China: Churchill
Living Stone Elsevier;p.15,27.
Pinasti RA. (2013). Study Kasus Dry Socket Pasca-Ekstraksi Gigi di Rumah
Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Mohammad Soewandhie Surabaya Oktober 2011 – Oktober 2012
(Penelitian Analitik Observasional) Faculty of Dentistry: Airlangga
University.
Randy Lande, Billy J. Kepel, Krista V. Siagian. 2015. Gambaran Faktor Risiko
dan Komplikasi Pencabutan Gigi. Unsrat; Vol 3 No 2 (2015).
Rizkad, N. T., 2015, Dry Socket: Etiologi, Pencegahan, dan Penatalaksanaan,
(https://rizkadnt.wordpress.com/2015/01/14/dry-socket-etiologi-
pencegahan-dan penatalaksanaan/ diakses pada 22 April 2019 pukul
18.15)
Sanghai S, Chatterjee P. 2009. A concise textbook of oral and maxillofacial
surgery. New Delhi: Jaypee Publisher;p.67,91-2
Shaban B, Azimi HR, Naderi H, Janani A, Zarrabi MJ, Nejat AH. (2014). Effect
of 0,2 Chlorheksidin Gel on Frequency of Dry Socket Following
Mandibular Third Molar Surgery: A DoubleBlind Clinical Trial.
Mashhad University.175-9
Tarakji, B., et al, 2015, Systemic Review of Dry Socket: Aetiology, Treatment,
and Prevention, J Clin Diagn Res., 9(4): ZE10–ZE13.
Zuniga and J. C. Leist. 1995. “Topical tetracycline-induced neuritis: a case
report,” Journal of Oral and Maxillofacial Surgery, vol. 53, no. 2, pp.
196–199.