LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN · PDF file! 3! Kasus-kasus pelanggaran hak maternitas...
Transcript of LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN · PDF file! 3! Kasus-kasus pelanggaran hak maternitas...
1
LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS
DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA
KOMITE PEREMPUAN IndustriALL Indonesia Council
2014
2
LAPORAN HASIL SURVEY PERLINDUNGAN MATERNITAS
DAN HAK-HAK REPRODUKSI BURUH PEREMPUAN PADA 10 AFILIASI INDUSTRIALL DI INDONESIA
A. PENDAHULUAN
Perlindungan maternitas dan hak-hak reproduksi buruh perempuan telah menjadi
salah satu isu yang cukup penting dalam gerakan serikat buruh di Indonesia.
Perlindungan maternitas terkait erat dengan pemenuhan hak cuti haid dan
melahirkan serta penyediaan fasilitas penunjang seperti pojok laktasi dan tempat
penitipan anak.
Meskipun hukum perburuhan memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan
perlindungan maternitas, nyatanya kasus-kasus pelanggaran terhadap aturan cuti
haid dan melahirkan masih kerap terjadi tanpa penyelesaian yang maksimal.
Pengusaha seringkali abai terhadap pelaksanaan undang-undang dan serikat buruh
merasa tugasnya telah selesai setelah menuntaskan nya dalam pasal-pasal terkait
cuti haid dan melahirkan dalam Perjanjian Kerja Bersama tanpa berusaha untuk
memeriksa kembali bagaimana pelaksanaan pasal tersebut terhadap buruh
perempuan di tempat kerja. Buruh perempuan yang bekerja sebagai buruh kontrak
dan outsourcing adalah mereka yang paling merasakan lemahnya pengawasan
perlindungan maternitas pada kelompok rentan ini. Mereka seringkali harus di putus
kontrak kerja karena hamil atau melahirkan, sebagian lagi bahkan harus
menandatangani kontrak kerja dengan janji tidak akan menikah dan hamil selama
menjalani kontrak.
3
Kasus-kasus pelanggaran hak maternitas seringkali tidak tercatat dan
terdokumentasi dengan baik, padahal pemetaan pelanggaran atas hak ini amatlah
diperlukan untuk menentukan arah kebijakan advokasi baik itu melalui Perjanjian
Kerja Bersama dan kampanye perubahan kebijakan nasional yang melemahkan
terlaksananya perlindungan maternitas dan hak-hak reproduksi. Berdasarkan fakta
tersebut, Komite Perempuan IndustriALL Indonesia Council melakukan survey
terhadap pelaksanaan hak maternitas dan hak-hak reproduksi pada 10 afiliasi
IndustriALL di Indonesia dengan latar belakang sektor usaha yang berbeda-beda.
I. PERLINDUNGAN MATERNITAS DALAM STANDAR PERBURUHAN
INTERNASIONAL DAN HUKUM PERBURUHAN INDONESIA
§ Konvensi ILO Nomor 183 Tentang Perlindungan Maternitas
Pada bulan Juni tahun 2000, International Labour Organization (ILO) mengadopsi
Konvensi Perlindungan Maternitas (Konvensi No 183) dan Rekomendasinya
(Rekomendasi No 191). Perlindungan maternitas sejak awal telah diakui oleh ILO
sebagai sebuah prioritas. Konvensi perlindungan Maternitas yang pertama (No 3)
diadopsi tahun 1919 yang mengakui “kebutuhan untuk melindungi pekerja
perempuan sebelum dan sesudah melahirkan.” Perlindungan maternitas
dimasukkan sebagai salah satu dari maksud dan tujuan ILO. Konvensi ILO No 183
berlaku bagi seluruh perempuan yang bekerja, meliputi pekerjaan yang tidak tetap
(seperti pekerja kontrak dan outsourcing). Sayangnya Pemerintah Indonesia belum
juga meratifikasi konvensi ini.
4
Penerapan Konvensi ILO No 183:
1) Seluruh pekerja perempuan menikah ataupun tidak menikah termasuk
mereka yang memiliki pekerjaan yang tidak tetap (buruh kontrak atau
borongan)
2) Tidak kurang dari 14 minggu, dengan aturan 6 minggu cuti wajib setelah
melahirkan
3) Penggantian upah penuh selama periode dimana perempuan dalam cuti
maternitas.
4) Perlindungan maksimum terhadap pemutusan hubungan kerja selama
kehamilan, cuti maternitas dan saat kembali bekerja ketika masih dalam
menyusui
5) Hak untuk kembali bekerja pada pekerjaan yang sama atau setara, upah,
kondisi kerja dan status.
6) Hak beristirahat selama sekali atau lebih dalam sehari untuk menyusui/laktasi.
7) Hak untuk mengurangi jam kerja harian guna menyusui, istirahat atau
pengurangan jam kerja dan tetap mendapat upah.
Diantara negara-negara anggota ASEAN seperti Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,
Malaysia, Myanmar, Filipina, singapura, Thailand dan Viet Nam, Indonesia dapat
dikatakan memberikan perlindungan reproduksi yang cukup memadai dengan
adanya cuti haid. Terkait dengan cuti melahirkan, Indonesia, Kamboja, Thailand,
Laos, Myanmar mengatur cuti melahirkan selama 90 hari (3 bulan), sementara itu
Singapura mengatur lamanya cuti melahirkan selama 16 minggu (4 bulan).
Sementara itu Viet Nam telah menerapkan aturan cuti melahirkan selama kurang
lebih 6 bulan lamanya.
5
Nama Negara Lama Cuti Melahirkan
Brunei Darussalam 4 Minggu sebelum melahirkan 5 Minggu setelah melahirkan
Cambodia 90 hari Indonesia 1,5 bulan sebelum melahirkan
1,5 bulan setelah melahirkan Laos 90 hari (termasuk didalammya 42 hari
setelah melahirkan) Malaysia 60 hari Myanmar Untuk PNS = 90 hari
Untuk pekerja swasta, lamanya cuti melahirkan tergantung pada hasil negosiasi dengan pengusaha
Filipina 2 Minggu sebelum melahirkan dan 4 minggu setelah melahirkan
Singapura 12 Minggu Thailand 90 hari Viet Nam 6 bulan
B. TUJUAN SURVEY
Tujuan survey adalah sebagai berikut:
1) Mendapatkan informasi terkait pelaksanaan hak maternitas dan reproduksi
buruh perempuan di 10 Afiliasi IndustriALL di Indonesia.
2) Pemetaan awal data pelaksanaan hak maternitas dan reproduksi buruh
perempuan sebagai dasar untuk melakukan survey lanjutan.
3) Penggunaan hasil survey sebagai sarana kampanye perlindungan maternitas
dan hak-hak reproduksi baik itu di tingkat unit kerja maupun tingkat nasional.
6
C. SUMBER DATA
Survey disebar kepada 500 orang responden dan sebanyak 451 kuesioner
telah disi oleh responden. Survey dilakukan pada 451 orang buruh perempuan
yang merupakan anggota 10 afiliasi IndustriALL di Indonesia yang bekerja di
sektor Kimia, Energi, Pertambangan, Logam, Metal, Garmen, Tekstil, Sepatu,
Semen dan Kertas. Penelitian ini dilakukan di 65 perusahaan yang berasal dari
negara anggota OECD yaitu Jepang, Amerika Serikat, Jerman , Korea Selatan,
Tiongkok, dan Swiss. Perusahaan-perusahaan tersebut berlokasi di DKI Jakarta,
Bogor, Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Selain itu, satu perusahaan
diketahui merupakan perusahaan BUMN.
D. TEMUAN UTAMA
PELAKSANAAN CUTI HAID BERBELIT DAN “DIPERIKSA”
Dari hasil survey ditemukan bahwa pengambilan cuti haid di tempat bekerja
harus menempuh cara-cara sebagai berikut; Surat Keterangan Dokter (40 %),
Mengisi Formulir (20 %), Melalui pemberitahuan kepada atasan atau klinik di
perusahaan (27%). Dalam survey juga ditemukan beberapa kasus khususnya di
sektor garmen tekstil, bahwa untuk memastikan apakah buruh perempuan
sedang “benar-benar “ menstruasi, pengusaha membuat kebijakan agar atasan
langsung (perempuan), perawat di klinik perusahaan, pada beberapa kasus,
menggunakan SATPAM untuk memeriksa pembalut yang bersangkutan. Hal
mana kebijakan tersebut merupakan bentuk pelanggaran privasi seseorang.
Hasil survey menunjukkan bahwa para buruh perempuan merasakan prosedur
pengambilan cuti haid adalah sulit dikarenakan prosedur dan “pemeriksaan”
yang harus mereka lalui, sehingga mereka memilih untuk tidak mengambil cuti
haid dan meminta kepada perusahaan dengan cara diganti dengan uang.
Pengaturan tentang cuti haid dalam Undang-undang ketenagakerjaan memberi
7
ruang untuk terjadinya multi tafsir terhadap isi dan maksud undang-undang.
Dalam hal ini serikat buruh dan pengusaha telah lalai dan abai dalam
menafsirkan kata “memberitahukan kepada pengusaha” dalam hal ini proses
pengambilan cuti haid dilakukan dengan cara-cara yang rumit dan tidak sesuai
dengan norma kesopanan yang berlaku.
Hal lain yang membuat mereka enggan mengambil hak cuti haidnya adalah,
karena akan mengurangi penghasilannya. Meskipun hanya sedikit yang
mengatakan bahwa upahnya dipotong. Tetapi cukup tinggi yang menyatakan
bahwa mereka akan kehilangan insentif; kehadiran, kerajinan dan bonus
produksi. Untuk buruh dengan upah rata-rata UMK tentu saja ini merupakan
kehilangan yang cukup besar.
8
Pengaruh Ambil Cuti Haid terhadap Penghasilan (n=451)
Akibatnya tidak banyak buruh perempuan yang menggunakan hak cuti haidnya.
Bahkan banyak pengurus serikat yang memperjuangkan untuk mendapatkan
penggantian uang, bagi buruh perempuan yang tidak menggunakan hak cuti
haidnya. Bisa dilihat pada grafik jawaban responden di bawah ini (n=451)
9
Buruh perempuan yang tidak menggunakan hak cuti haidnya lebih banyak
daripada yang menggunakannya. Buruh perempuan yang menukarkan hak cuti
haidnya dengan uang, menunjukan angka 120 orang. Ini mengindikasikan,
bahwa prosedur penggunaan cuti haid yang diberlakukan oleh perusahaan
menjadi hambatan bagi buruh perempuan untuk menggunakan haknya.
Pengusaha, Serikat Buruh dan bahkan buruhnya sendiri menjadi abai terhadap
esensi kesehatan reproduksi yang terkait dengan pemberian cuti haid tersebut.
Yang dalam jangka panjang bisa jadi sangat membahayakan kesehatan
reproduksi buruh perempuan itu sendiri.
Pada tahun 2010, survey yang sama telah dilakukan oleh JRI yang dilakukan
kepada 509 orang responden anggota SP/SB di Indonesia. Hasil survey
menyatakan “Perusahaan berusaha membatasi pekerja wanita untuk
mendapatkan hak cuti menstruasi tersebut dengan cara memberlakukan
prosedur yang rumit, atau bahkan memalukan sebagai dasar pembuktian bahwa
pekerja tersebut memang benar sedang menstruasi (17%)”. Hak Dasar
Perburuhan di Indonesia 2010 Survei Pelanggaran di Sektor Formal; hal 53.
PERLAKUAN TERHADAP IBU HAMIL DI TEMPAT KERJA
Dari temuan survey perlakuan terhadap ibu hamil di tempat kerja, sebanyak
44,3 % reponden menyatakan bahwa para buruh perempuan yang sedang
hamil tidak dipindahkan dari posisi bekerja semula. Dalam hal ini terdapat
resiko gugur kandung yang tinggi terlebih bagi mereka yang sebelumnya
bekerja dengan tingkat kesehatan dan keselamatan kerja yang rendah. Undang-
undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2013 mengatur tentang perlindungan
bagi buruh perempuan terkait kesehatan dan keselamatan kerja: Pengusaha
10
dilarang mempekerjakan pekerja/buruh perempuan hamil yang menurut
keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya
maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23:00 sampai dengan Pukul 07:00.
WAKTU CUTI MELAHIRKAN DIAMBIL SECARA “FLEKSIBEL”
Undang-undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003 mensyaratkan
perlindungan bagi buruh perempuan yang melahirkan untuk dapat memperoleh
istirahat 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan.
Aturan ini dimaksudkan agar buruh perempuan dapat mempersiapkan dirinya
dalam proses kelahiran baik secara fisik dan mental. Hasil survey terkait
pelaksanaan cuti melahirkan diperoleh temuan bahwa buruh perempuan yang
sedang hamil lebih memilih untuk menggunakan cuti melahirkan 3 bulan secara
fleksibel (48,3%) dalam arti mereka bebas memilih dan menyesuaikan waktu
cuti. Dalam wawancara terungkap bahwa mereka yang menjawab “Fleksibel”
menyatakan bahwa biasanya mereka mengambil cuti melahirkan 1 atau 2
minggu sebelum hari perkiraan lahir dikarenakan para buruh perempuan ingin
11
merawat anaknya dengan waktu yang lebih lama. Pada beberapa kasus terkait
cuti melahirkan ini, buruh perempuan yang melahirkan ternyata terlambat
menyadari waktu lahir dan terpaksa harus melahirkan di tempat kerja dengan
resiko kematian bagi bayi dan ibu nya (kami menemukan beberapa kasus buruh
perempuan harus melahirkan di tempat kerja). Hasil survey juga mengisyaratkan
bahwa cuti melahirkan selama 3 bulan dipandang belum cukup bagi buruh
perempuan untuk merawat anak yang baru dilahirkan.
Waktu Cuti Hamil dan Melahirkan (n=451)
12
PEMBERIAN IZIN MENYUSUI BAYI PADA SAAT JAM KERJA
Hanya ada 49 orang yang mengatakan, bahwa perempuan diberikan izin untuk
menyusui bayinya pada waktu jam kerja, sebanyak 231 orang mengatakan tidak
diberikan izin, sisanya mengatakan tidak tahu dan tidak menjawab. Kondisi ini
mengisyaratkan bahwa perusahaan abai terhadap ketentuan Pasal 85 Undang-
undang Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya
untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Dalam
hal ini harus diperhatikan lamanya waktu yang diberikan kepada buruh
perempuan untuk menyusui bayinya dengan memperhatikan tersedianya
tempat yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan yang diatur
dalam peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama.
13
Jika alasan perusahaan karena jarak rumah dengan tempat kerja buruh terlalu
jauh, maka harus ada solusi yang diberikan. Misalkan dengan memberikan
fasilitas tempat penitipan anak dan ruang menyusui anak yang dekat dengan
tempat kerja buruh perempuan. Terkait dengan hal ini perusahaan bisa bekerja
sama dengan lembaga-lembaga layanan jasa Tempat Penitipan Anak (TPA)
independen. Di mana perusahaan bisa membayarkan seluruhnya atau sebagian
biaya yang diperlukan untuk agar buruh perempuan yang memiliki balita bisa
tetap memberikan ASI nya.
KETERSEDIAAN RUANG MENYUSUI DI TEMPAT KERJA
Ketersediaan Ruang Menyusui di Tempat kerja dinyatakan ada, oleh 69 orang (15%)
reponden, dan dinyatakan tidak ada oleh mayoritas; 268 orang (59%) responden. Ini
menunjukan, bahwa perhatian pengusaha, serikat buruh dan pemerintah masih
sangat minim pada persoalan kesehatan buruh perempuan dan anaknya.
14
E. REKOMENDASI
1. Pemerintah Indonesia segera meratifikasi Konvensi ILO No 183 tentang
Perlindungan Maternitas yaitu lama Cuti Melahirkan minimal 14 minggu.
Saat ini cuti melahirkan di Indonesia hanya 12 Minggu.
2. Kepada Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Kesehatan, untuk segera
membuat keputusan bersama terkait pelaksanaan perlindungan maternitas
dan cuti haid di tempat kerja.
3. Federasi serikat buruh untuk melakukan pembaruan Perjanjian Kerja
Bersama yang memberikan perlindungan maksimal terhadap perlindungan
maternitas dan hak reproduksi buruh perempuan.