Kondisi Geologi Dan Detail Kaldera Gunung Bawakaraeng - Subandi 085242458942
-
Upload
andizulkifli -
Category
Documents
-
view
180 -
download
5
Transcript of Kondisi Geologi Dan Detail Kaldera Gunung Bawakaraeng - Subandi 085242458942
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
1
KONDISI GEOLOGI DAN DETAIL KALDERA GUNUNG BAWAKARAENG
DI PROVINSI SULAWESI SELATAN
Badan Geologi, Dept. Energi dan Sumber Daya Mineral
ABSTRAK
Runtuhnya dinding kaldera Gunung Bawakaraeng pada Maret 2004 yang diikuti oleh banjir bandang yang menewaskan dan mencederai puluhan orang, serta hancurnya puluhan rumah telah mengakibatkan ancaman bencana yang berkelanjutan bagi
penduduk setempat. Hal ini terbukti ketika banjir bandang kembali melanda daerah yang sama pada Februari 2007 yang menyebabkan terisolirnya ribuan penduduk. Hal ini terulang kembali akibat kurang optimalnya penanganan manajemen mitigasi bencana di daerah te rsebut.
Banyak faktor yang menyebabkan daerah Kec. Tinggimoncong dan sekitarnya di mana G. Bawakaraeng terletak ini rentan terhadap bencana geologi berupa gerakan tanah dan banjir bandang. Mulai dari kondisi geologi, perbedaan sifat fisik antara tanah pelapukan yang meluluskan air dengan batuan dasar yang kurang meluluskan air yang menjadi bidang gelincir longsoran, dan
struktur sesar yang melalui daerah te rsebut. Lalu morfologi yang curam, curah hujan yang tinggi, serta tata lahan yang tidak sesuai fungsi memperparah kerentanan daerah ini terhadap bencana. Ancaman terbesar adalah endapan material bahan rombakan hasil longsoran Maret 2004 yang mengganggu kelestarian fungsi
waduk Bili-Bili di sebelah hilir G. Bawakaraeng sebagai sumber air bagi penduduk sekitar. Persoalan ini semakin bertambah ketika material bahan rombakan yang bersifat lepas dan labil ini dengan volume sangat besar dapat sewaktu-waktu bergerak menjadi bencana banjir bandang/longsor jika terjadi hujan lebat.
Data-data yang didapat dari pemeriksaan tim tanggap darurat bencana dari Badan Geologi ini dapat digunakan untuk merancang langkah-langkah preventif dalam upaya mitigasi bencana geologi yang pada prosesnya diharapkan dapat membantu banyak pihak sehingga kerugian dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin ketika musibah datang.
Kata Kunci/Keyword
Longsor, Gerakan Tanah, Bencana Geologi, Kaldera Gunung Bawakaraeng
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
2
I. PENDAHULUAN
Gunung Bawakaraeng terletak sekitar 75 km dari Kota Makasar dan berada pada posisi 119°56'40" BT
dan 05°19'01" LS. Secara administratif termasuk ke wilayah Kabupaten Gowa, Propinsi Sulawesi Selatan, (Gbr. 1).
Dengan ketinggian sekitar 2,830 m di atas permukaan laut dan suhu minimum sekitar 17°C hingga maksimum 25°C,
gunung ini adalah hulu sungai Jeneberang yang di hilirnya terdapat waduk Bili-Bili, merupakan daerah tangkapan air
untuk Kabupaten Gowa, Makassar dan Sinjai.
Pada hari Jum’at tanggal 26 Maret 2004, jam 14.30 WITA di G. Bawakaraeng tersebut terjadi gerakan
tanah/longsor berupa runtuhnya dinding kaldera gunung yang diikuti oleh bencana banjir bandang telah
menewaskan dan mencederai puluhan orang, 10 rumah dan 1 (satu) sekolah tertimbun dan hancur, puluhan hektar
sawah tertimbun, puluhan rumah lainnya terancam dan ribuan orang lainnya mengungsi. Kejadian banjir bandang di
daerah ini terulang kembali pada Februari 2007 yang menyebabkan 5 (lima) desa yang berpenduduk ± 13 ribu jiwa
terisolir dan sebuah jembatan terputus, hanyut karena terbawa aliran banjir bandang.
Pada setiap kejadian pihak Badan Geologi menugaskan Tim Tanggap Darurat untuk melakukan
pemeriksaan kondisi bencana dan koordinasi penanggulangan bencana gerakan tanah dan banjir bandang dengan
pemerintah daerah dan masyarakat setempat yang terkena bencana untuk memberikan saran dan cara
penanggulangan tindak lanjut jangka pendek/panjang akibat adanya bencana tersebut.
Gambar 1. Lokasi Gerakan Tanah di G. Bawakaraeng, Kec. Tingi Moncong, Kab. Gowa, Prov. Sulawesi Selatan
Maksud dari pemeriksaan kondisi bencana geologi ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi yang
diperlukan guna mengetahui faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dan banjir bandang, arah aliran dan daerah
bahayanya. Tujuannya adalah untuk memberi gambaran secara teknis faktor penyebab serta langkah-langkah
penanggulangannya sehingga instansi yang terkait setempat dapat memanfaatkannya sesuai dengan saran-saran
yang diberikan.
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
3
II. METODOLOGI
Metode pemeriksaan yang dilakukan adalah metode langsung, meliputi: pengamatan kondisi geologi
setempat, jenis gerakan tanah dan banjir bandang, dimensi, faktor penyebab terjadinya gerakan tanah dan banjir
bandang, tataguna lahan, kondisi keairan, pengamatan jenis serta sifat fisik tanah dan lain-lain.
III. ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1. Morfologi
Daerah bencana merupakan lereng baratlaut G. Bawakaraeng dengan relief yang terjal mempunyai
kemiringan lereng antara 30° hingga hampir tegak, dan ketinggian tempat antara 1000 – 2800 meter di atas
permukaan laut. Daerah yang longsor terletak pada bagian atas yang merupakan tebing curam dengan kemiringan
lereng sekitar 70°, sedangkan material longsor menutupi lembah sungai menimpa alur sungai yang merupakan salah
satu hulu Sungai Jeneberang.
3.2. Tata Lahan
Vegetasi sekitar gawir longsoran berupa hutan dengan vegetasi yang kurang (tanaman keras berakar kuat
dan dalam sangat jarang), sedangkan yang terlanda material longsoran berupa kebun campuran, pesawahan dan
setempat terdapat permukiman.
3.3. Geologi
Geologi di sekitar G. Bawakaraeng dibangun oleh Endapan Vulkanik Gunung Lompobatang yang terdiri
dari Lava, tufa Lahar dan breksi vulkanik yang telah mengalami pelapukan pada bagian permukaannya menjadi
lempung lanauan hingga pasir lanauan berwarna kuning kecoklatan hingga coklat kehitaman, bersifat gembur,
dengan ketebalan antara 0,5 – 3 meter. Batuan lainnya yang terdapat di sekitar lokasi bencana antara lain Endapan
Aluvium, Endapan Sumbat, Endapan Erupsi Parasitik, Anggota Breksi, Endapan Vulkanik Baturepe dan Formasi
Camba. Penyebaran formasi batuan dan struktur geologi dapat dilihat pada gambar 2.
Struktur Geologi yang terdapat berupa sesar normal dengan arah relatif utara - selatan dan baratlaut -
tenggara. Gerakan tanah jika dilihat dari arah gawir yang sejajar dengan arah sesar dan luasnya areal yang longsor
diduga ada kaitannya dengan struktur sesar yang merupakan bidang lemah dan bertindak sebagai bidang gelincir.
3.4. Keairan
Daerah sekitar lokasi bencana merupakan alur salah satu hulu Sungai Jeneberang sehingga banyak
dijumpai adanya pemunculan mata air. Kedalaman muka air tanah bebas bervariasi tergantung dari bentuk
topografinya berkisar antara 5 meter hingga >20 meter di bawah permukaan tanah setempat
Curah Hujan di daerah Sulawesi Selatan berdasarkan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk
bulan Maret 2004 berada di atas normal dengan curah hujan >401 mm/bulan, Sifat hujan seperti ini diperkirakan
akan berlangsung juga pada bulan April 2004, untuk itu diperlukan kewaspadaan terhadap kemungkinan terjadinya
bencana alam. Curah hujan rata-rata tahunan daerah ini cukup tinggi yaitu di kisaran curah hujan antara 2500 - 3500
mm/tahun (Gbr. 3).
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
4
Gambar 2. Peta Geologi daerah G. Bawakaraeng dan Sekitarnya, Kab. Gowa, Sulawesi Selatan
Gambar 3. Curah hujan rata-rata setahun daerah G. Bawakaraeng dan Sekitarnya
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
5
3.5. Kondisi Bencana Geologi dan Detail Kaldera
Kejadian bencana yang terletak sekitar 40 km hulu waduk Bili-Bili menghasilkan material sedimen
longsoran diperkirakan lebih dari 300.000.000 m3 dengan ketebalan endapan longsoran 10 – 200 meter. Gawir
longsoran pada kaldera mempunyai panjang berkisar 2000 meter dengan tinggi gawir bervariasi antara 50 – 500
meter, penyebaran material longsoran sekitar 12 kilometer dari gawir longsoran, lebar antara 100 – 500 meter.
Situasi dari citra landsat dan Peta situasi gerakan tanah pada Maret 2004 dapat dilihat pada gambar 4 dan 5.
Pada kejadian pertama, Maret 2004, ada yang menyebutkan bahwa peristiwa ini disebut Guguran
Kelerengan (Slope Collapse), di mana sebagian atau seluruh kelerengan suatu bukit atau dinding kaldera runtuh ke
bawah akibat dari air hujan, perubahan permukaan air tanah atau yang sejenis. Guguran kelerengan termasuk ke
dalam gerakan tanah (landslide) berbeda dengan guguran material gunungapi (mountain collapse) karena guguran
kelerengan ini tidak ada kaitannya dengan aktivitas gunungapi (H. Kusumosubroto, Seminar Diseminasi Teknologi
Sabo, Semarang, 2006). Kondisi kaldera sebelum dan setelah bencana dapat dilihat pada gambar 6 – 10.
Bencana gerakan tanah di G. Bawakaraeng ini bisa kembali mengancam wilayah yang berada di
sekitarnya di masa yang akan datang. Ancaman itu menyusul semakin besarnya volume air yang tertampung di
sejumlah kaldera yang terdapat dalam perut G. Bawakaraeng, Kecamatan Tinggimoncong. Terbentuknya kaldera di
perut G. Bawakaraeng ini diakibatkan oleh gundulnya kawasan hutan di sejumlah tempat. Kondisi ini menyebabkan
terjadinya retakan hingga patahan di badan gunung (Andi Irwan SMP., Direktur Lembaga Bumi Indonesia (LBI)).
Gambar 4. Situasi Gerakan Tanah pada Maret 2004 di Kec. Tingi Moncong, Kab. Gowa, Prov. Sulawesi
Selatan
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
6
Dari data yang ada, saat ini ada patahan dan retakan di beberapa tempat di gunung setinggi 2.800 meter
di atas permukaan laut itu. Patahan dan retakan itu kian melebar dari hari ke hari akibat pengikisan oleh aliran anak-
anak Sungai Jeneberang dan curah hujan yang tinggi. Dari pengamatan di sejumlah tempat, di bagian dalam kaldera
bagian barat adalah dinding yang rawan longsor/runtuhan (AM Imran Oemar, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia
(IAGI)). Retakan dan patahan ini yang kemudian bisa menyebabkan longsoran yang diikuti aliran bahan rombakan
berupa banjir bandang di kemudian hari, seperti halnya banjir bandang yang terjadi pada Februari 2007.
Gambar 5. Peta Situasi Gerakan Tanah di Kec. Tingi Moncong, Kab. Gowa, Prov. Sulawesi
Selatan (PVMBG,2004)
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
7
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
8
Penyebab terjadinya bencana di lokasi ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah :
• Curah hujan yang tinggi sebelum dan saat kejadian bencana.
• Batuan yang menyusun daerah ini merupakan endapan vulkanik Lompobatang yang bagian atas merupakan
endapan lahar yang gembur dan meresapkan air sedangkan pada bagian bawahnya berupa lava yang keras
dan kompak bersifat kedap air (Gbr. 11).
• Kemiringan lereng yang terjal menyebabkan material mudah bergerak.
• Kurangnya vegetasi penutup yang dapat mengikat tanah (Gbr. 12-13).
• Daerah sekitar kaldera (mahkota longsoran) dilalui oleh struktur geologi berupa sesar, sehingga merupakan
bidang lemah yang dapat bertindak sebagai bidang longsoran.
• Pada dinding sebelah tenggara Gunung Bawakaraeng tidak stabil, ditandai dengan adanya retakan dan
rekahan sebelum terjadinya gerakan tanah.
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
9
Gambar 11. Kenampakan tanah pelapukan dari batuan lava dan breksi vulkanik di daerah bencana yang
mudah longsor.
Gambar 12. Citra Landsat tahun 1990 memperlihatkan daerah sekitar aliran sungai Jeneberang,
vegetasinya masih hijau dan rimbun.
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
10
• Penumpukan material sedimen longsoran pada sungai Jeneberang akibat kejadian pada Maret 2004 (Gbr. 14)
membuat kejadian banjir bandang berulang kembali pada Februari 2007 (Gbr. 15).
• Menurut Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sulawesi Selatan (PVMBG, 1991 dan 2003), daerah bencana
termasuk ke dalam Zona Kerentanan Gerakan Tanah Tinggi dan aliran S. Jeneberang termasuk daeran rentan
aliran bahan rombakan (banjir bandang), artinya di daerah ini berpotensi terjadi gerakan tanah terutama bila
dipicu oleh curah hujan yang tinggi dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali (Gbr. 16).
Gambar 14. Kenampakan penyebaran bekas material banjir bandang pada Maret 2004 di bagian hilir
S. Jeneberang
Gambar 13. Citra Landsat tahun 2000 memperlihatkan daerah sekitar aliran sungai Jeneberang,
sudah banyak lahan yang terbuka dan gundul
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
11
Gambar 15. Kenampakan aliran S. Jeneberang yang telah menghanyutkan jembatan Daraha yang
menghubungkan antara Malino di Kec. Tinggimoncong dengan beberapa desa di wilayah Kec. Parigi
pada Februari 2007 (PVMBG, 2007).
Gambar 16. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah Sulawesi Selatan
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
12
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
4.1. Kesimpulan
1. Bencana alam gerakan tanah terjadi pada lereng baratlaut Gunung Bawakaraeng dengan lereng yang terjal
mempunyai kemiringan lereng antara 30° hingga hampir tegak, dan ketinggian tempatnya antara 1000 – 2800
meter di atas permukaan laut.
2. Bencana terjadi pada hari Jum’at, tanggal 26 Maret 2004, jam 14.30 WITA. Jenis gerakan tanah berupa
guguran/longsoran kelerengan yang diikuti oleh aliran bahan rombakan (banjir bandang). Panjang gawir
longsoran pada kaldera berkisar 2000 meter dengan tinggi bervariasi antara 50 – 500 meter, volume material
longsoran diperkirakan lebih dari 300.000.000 m3. Peristiwa banjir bandang berulang kembali pada hari Kamis,
15 Februari 2007, Jam 16.00 WITA.
3. Gerakan tanah pada Maret 2004 telah menewaskan dan mencederai puluhan orang, 10 rumah, 1 (satu)
sekolah dan puluhan hektar sawah tertimbun, puluhan rumah lainnya terancam dan ribuan orang mengungsi.
Akibat gerakan tanah pada Februari 2007, 5 (lima) desa terisolir dan sebuah jembatan terputus.
4. Penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah: Curah
hujan yang tinggi. Batuan yang menyusun daerah ini berupa batuan vulkanik yang gembur di atasnya dan
meresapkan air sedangkan pada bagian bawahn berupa lava yang keras dan kompak bersifat kedap air.
Daerah sekitar kaldera (mahkota longsoran) dilalui sesar yang merupakan bidang lemah, bertindak sebagai
bidang longsoran. Daerahnya tidak stabil, ditandai dengan adanya retakan dan rekahan sebelum terjadinya
gerakan tanah. Kemiringan lereng yang terjal menyebabkan material mudah bergerak. Kurangnya vegetasi
penutup yang dapat mengikat tanah.
5. Gerakan tanah tidak ada kaitannya dengan aktivitas G. Bawakaraeng karena bukan merupakan gunungapi
aktif, oleh karena itu tidak mungkin ada ancaman letusan.
6. Ancaman terbesar adalah material bahan rombakan hasil longsoran yang bersifat lepas dan labil. Material
bahan rombakan dengan volume sangat besar dapat sewaktu-waktu bergerak jika terjadi hujan lebat (Gbr. 17).
7. Mata air dan alirannya di hulu S. Jeneberang tertutup material longsoran, berdampak berkurangnya debit S.
Jeneberang.
Gambar 17. Kenampakan tumpukan bekas material banjir bandang daerah hulu S. Jeneberang akibat bencana
Maret 2004 dan Februari 2007 lalu masih banyak tersebar pada bagian dasar sungai, dapat berpotensi untuk
terjadinya banjir bandang ulangan (PVMBG 2007).
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
13
4.2. Rekomendasi
Rekomendasi dan mitigasi bencana alam gerakan tanah sebagai berikut :
1. Pada alur lembah tempat berakumulasinya bahan rombakan supaya disterilkan dari permukiman dan kegiatan
pertanian,
2. Rumah-rumah yang berada sekitar bantaran sungai tempat berakumukasinya material longsoran harus
direlokasi ke daerah yang aman (Gbr. 18),
3. Penduduk yang bermukim di alur tempat akumulasi material longsoran dan di bagian hilirnya supaya waspada
bila terjadi hujan di bagian hulu,
4. Daerah tempat berakumulasinya bahan rombakan supaya dihutankan dengan tanaman berakar kuat dan
dalam untuk menstabilkan tanah,
5. Perlu ketegasan dalam pemanfaatan lahan di sekitar lokasi bencana, jika daerah tersebut diperuntukkan
sebagai konservasi atau hutan lindung, maka daerah tersebut harus dibebaskan dari aktivitas pertanian atau
permukiman (Gbr. 19),
6. Dilarang membangun bangunan yang mengundang konsentrasi banyak manusia (sekolah, masjid, pasar, dan
sejenisnya) di alur lembah/sungai,
7. Pembuatan sabo dam di beberapa titik pada alur Sungai Jeneberang dapat menampung sebagian material
longsor, sehingga dapat mengurangi pendangkalan pada Bendungan Bili-bili,
8. Berdasarkan kondisi geologi dan topografi di lapangan, daerah sekitar bencana merupakan daerah rawan
bencana gerakan tanah. Untuk itu Pemerintah Kecamatan Tinggimoncong dan Pemerintah Kabupaten Gowa,
harus tetap waspada, khususnya jika dijumpai adanya rekahan di bukit, sedangkan di bawahnya terdapat
kegiatan dan permukiman masyarakat, maka harus segera menghentikan kegiatan dan memindahkan
permukiman masyarakat ke tempat yang lebih aman.
Gambar 18. Pemukiman yang terlanda material longsoran berada di sekitar bantaran sungai. Daerah yang harus
dibebaskan dari pemukiman dan bangunan yang mengundang konsentrasi banyak manusia (PVMBG, 2004).
LOKAKARYA I RUNTUHNYA DINDING KALDERA G. BAWAKARAENG, JANUARI, 2009
14
Gambar 19. Penyebaran material longsoran melanda daerah pesawahan di bagian hilir S. Jeneberang. Daerah yang
harus dibebaskan dari aktivitas pertanian atau permukiman. Sebaiknya diperuntukkan sebagai daerah konservasi
atau hutan lindung (PVMBG, 2004).
V. DAFTAR PUSTAKA
Bishop, A.W, 1960: Stability Coeficients for Earth Slope, Geotechniq 10:129-150
Pangluar dan Suroso, 985: Petunjuk Penyelidikan dan Penanggulangan Gerakan Tanah, Puslitbang Pengairan
Wesley, L.D, 1976, : Mekanika tanah dan batuan, Departemen Pekerjaan Umum, Cetakan ke-Vl.
Laporan Pemeriksaan Gerakan Tanah di G. Bawakaraeng, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2004
(tidak dipublikasikan)
Laporan Pemeriksaan Gerakan Tanah di G. Bawakaraeng, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2007
(tidak dipublikasikan)
http://merapi.combine.or.id/?lang=id&cid=12&sid=0&id=127
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/daerah/1538955.htm
http://www.beritakotamakassar.com/view.php?id=21875&jenis=