Dr. Aidh Al-Qarni - La Tahzan (Jangan Bersedih - Indonesia) Bag 07
kotakata.wordpress.com komunitaskotakata@gmail · Karya Sungging Raga "Kalau ibu pergi, Alesia,...
Transcript of kotakata.wordpress.com komunitaskotakata@gmail · Karya Sungging Raga "Kalau ibu pergi, Alesia,...
http://kotakata.wordpress.com [email protected]
1
Alesia
Karya Sungging Raga
"Kalau ibu pergi, Alesia, berjanjilah untuk tidak bersedih terlalu lama."
Ia dengar ibunya membisikkan kalimat itu di telinganya. Samar-samar ia rasakan napas ibunya yang lemah, semakin lemah sejak beberapa hari terakhir ini ibunya hanya bisa terbaring tanpa bisa melakukan apa-apa lagi.
Alesia, gadis berwajah pucat itu, hanya bisa duduk di sisi tempat tidur, tangan kanannya menggenggam tangan sang ibu, ada rasa dingin yang seolah menyatu sebagai pusaran takdir, sebagai rangkaian kesunyian yang telah lama menggumpal di rumah itu.
"Apa yang akan terjadi setelah kematian, ibu?" Tanya gadis itu.
Sang ibu tersenyum, matanya menyipit, sebuah tarikan napas panjang, yang barangkali tak akan ada napas yang lebih panjang lagi dari ini. Rumah seperti beku, udara menempel di gorden, cicak-cicak terdiam di langit-langit.
"Ibu juga tidak tahu, Alesia. Yang pasti, sebentar lagi akan ada malaikat yang membawa ibu ke langit."
"Malaikat?" Alesia berpikir tentang makhluk bersayap yang suka menemani anak-anak kesepian. Namun ia ragu untuk apa malaikat itu akan membawa ibunya. "Apakah ia jahat?"
"Tidak, Alesia. Malaikat itu baik hati."
2
Gadis itu barangkali tahu bahwa semua malaikat memiliki sifat baik hati. "Tapi kenapa dia mau membawa Ibu?"
"Sebab itu sudah tugasnya."
"Ah, tidak boleh. Pokoknya tidak boleh," gadis itu merajuk, sekarang Alesia membayangkan malaikat itu punya tanduk merah, bergigi taring, bermata menyeramkan, "apa malaikat itu bisa dibunuh?" Tanyanya lagi. Sang ibu nampak terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Tidak bisa, Alesia. Kau pasti terlalu sering membaca dongeng. Malaikat adalah makhluk mulia, ia akan datang dengan perintah yang tidak bisa ditunda."
Namun, gadis kecil yang memang terlalu banyak membaca buku-buku dongeng yang dikirim ayahnya dari Finlandia itu, sudah telanjur membayangkan bagaimana kedatangan malaikat yang tak dikehendakinya itu. Maka diam-diam ia pun menyiapkan sebuah rencana khusus.
Alesia beranjak keluar dari kamar kelabu itu, pergi ke dapur, menghidupkan kompor untuk memasak air. Lantas ia siapkan segelas kopi bubuk. Selanjutnya ia menjangkau sebilah pisau dapur, menyelipkannya di balik pinggangnya.
"Mungkin malaikat suka kopi. Dulu, setiap kali ayah ada tamu, pasti minta dibuatkan kopi." Gumamnya. Setelah air mendidih, ia menuangkannya di termos, lalu ia pergi ke halaman belakang, sesaat memandangi langit biru. Begitu biru.
Alesia bahkan nyaris lupa kalau sejak dulu langit memang punya warna biru...
Malaikat itu datang dengan sebuah lesatan yang tak bisa digambarkan kecuali seperti cahaya yang lolos dari
3
tangkapan setiap mata. Dalam sekejap, malaikat itu sudah berada di depan pintu rumah Alesia.
Sang malaikat lantas masuk menembus pintu. Di ruang tamu, ia melihat beberapa setan kecil yang sedang berkerumun di sebuah lukisan yang terpajang di tembok bagian kiri. Lukisan itu menampakkan sesosok manusia yang berdiri memegang pedang dan perisai, memakai topi bertanduk, dengan mata berwarna merah menyala.
"Kenapa mereka suka sekali berkerumun di depan lukisan itu?" gumam si malaikat.
Lukisan itu sebenarnya adalah lukisan potret ayah Alesia sendiri, yang sedang mengenakan kostum adat Finlandia, dilukis oleh seniman yang tinggal di kampung sebelah. Bersamaan sejak lukisan ini dipajang, sejak itu pula ayah Alesia tak pernah kembali. Sudah lama ayahnya menjadi buruh kasar di kapal angkutan barang, dan suatu hari, harus pergi ke Finlandia untuk bekerja di sebuah pelabuhan dan menetap sampai waktu yang tak diketahui.
Sejak saat itu, terbalik sudah kehidupan Alesia, dari kebahagiaan minimalis, menjadi kesunyian yang berlapis-lapis, kesunyian yang terus menyambar hatinya siang dan malam. Sang ayah memang rutin mengirim uang kepada Alesia dan ibunya, sehingga kebutuhan sehari-hari mereka tetap tercukupi, bahkan gadis itu sering kali mendapat buku-buku dongeng Finlandia.
"Kapan-kapan Ayah akan mengajakmu ke Karelia." Begitu janji ayahnya lewat surat yang dikirim bersama buku-buku tersebut. Namun Alesia tak pernah membalas satu pun surat-surat itu.
4
Dan hidup Alesia menjadi semakin buruk ketika tiba-tiba ia menemukan ibunya sering terjatuh di dapur, di ruang tamu, dan di halaman. Ia sering kali kesulitan untuk membantu sang ibu bangkit. Ketika seorang tabib datang untuk memeriksanya, ternyata diketahui ibunya mengalami kelumpuhan. Apakah ini karena ibunya juga merasa kesepian? Apakah kesepian bisa menyebabkan kelumpuhan? Entahlah. Ayah Alesia tak diberi kabar perihal penyakit tersebut. Hari demi hari, minggu demi minggu, penyakit ibunya semakin parah saja, sudah beberapa kali dokter dan tabib dipanggil, pada akhirnya mereka menyerah dengan alasan bahwa ini penyakit langka.
"Rumah sakit pun belum tentu bisa menyembuhkannya. Selain itu biayanya pasti mahal." kata dokter Manisha yang datang dua minggu lalu.
Alesia, gadis sebelas tahun itu, hanya bisa menemani ibunya sepanjang hari, mengambilkan air minum kalau ibunya memanggil-manggil pada tengah malam, menuntunnya ke kamar mandi, dan juga melakukan seluruh pekerjaan rumah. Semua itu menjadi seperti rutinitas, sampai siang ini, cerita ibunya tentang malaikat dan kematian, membuatnya semakin gelisah. Dan ketika malaikat itu benar-benar datang, Alesia pun mengintip dari ruang tengah.
"Sepertinya itu," gumam Alesia, "tapi kenapa tidak bertanduk, ya?"
Setelah mengusir setan-setan kecil dari lukisan tadi, malaikat itu lantas duduk di salah satu kursi, melihat ke arah jam dinding, barangkali waktunya belum tiba, barangkali ia datang terlalu cepat. Saat itulah, Alesia muncul dengan
5
membawa secangkir kopi, dan pisau dapur itu masih tersembunyi di balik pinggangnya.
"Anda malaikat yang akan menemui ibu saya?"
"Oh, iya."
Lantas gadis itu meletakkan secangkir kopi di atas meja. "Semoga Anda tidak buru-buru. Saya sudah buatkan kopi. Ini, diminum dulu."
Sejujurnya, Alesia-dan saya sebagai penulis cerita ini-masih tak yakin apakah benar yang datang itu memang malaikat atau hanya tokoh dongeng yang salah diberi nama sebagai malaikat, tapi baiklah kita ikuti terus apa yang terjadi. Sang malaikat lantas mengangkat cangkir kopi itu, meminumnya perlahan.
"Slrrpp... Hm, pahitnya pas. Tajam. Kau pandai bikin kopi."
Alesia mencoba tak tersenyum dengan pujian itu.
"Ini kopi apa?" Tanya si malaikat lagi.
"Kopi Lampung, diberi tetangga sewaktu lebaran. Silakan diminum lagi, ibu saya mengajarkan saya untuk berbaik hati pada tamu. Kalau kurang, nanti saya buatkan yang baru."
"Haha, boleh saja, tapi aku sedang buru-buru..."
"Mau ke mana?"
"Menemui ibumu. Dia ada di dalam?"
Gadis itu mengangguk.
Dan ketika malaikat itu beberapa kali melihat ke arah jam dinding, saat itulah Alesia tiba-tiba mengacungkan pisau dapur itu ke udara...
6
Lantas ia menusukkannya, ke arah perutnya sendiri.
Sang malaikat menoleh pada gadis itu. "Apa yang kamu lakukan?"
Ia tetap menampakkan raut yang tenang melihat gadis itu mulai terengah-engah dan darah membasahi pakaiannya.
"Se... Sekarang, kau tak punya pilihan lain, bukan? Kau terpaksa harus mengambil nyawaku terlebih dahulu sebelum bertemu ibuku." Kata Alesia. Ia sudah tersungkur di lantai-karena pemandangan cukup mengerikan, bagian ini tidak digambarkan dengan detail.
Meski begitu, sang malaikat bergeming, "Ah, tapi ini bukan tugas saya." Jawab malaikat itu. Ia justru berbalik masuk ke kamar tidur yang pengap, melihat sosok wanita terbalut selimut yang lusuh.
"Nalea Mendieta..." Katanya. Wanita yang berbaring itu perlahan menoleh.
"Ya? Siapa?"
"Hm. Kau tak perlu tahu siapa aku. Yang pasti, aku membawa kabar kesembuhan untukmu."
"Kesembuhan?"
"Ya."
"Tapi dokter bilang, tidak ada lagi obat yang bisa menyembuhkan penyakit saya."
"Tidak. Masih ada satu obat yang tak dipikirkan oleh dokter mana pun."
"Apa itu?"
7
"Doa... Anak gadismu yang setiap pagi dan petang selalu mendoakan kesembuhan ini. Anakmu yang sepanjang hari selalu berharap kau kembali seperti sedia kala. Jadi, aku dikirim untuk mengabarkan kesembuhanmu sesuai yang telah ditakdirkan. Nikmatilah..."
Wajah wanita itu pun langsung berbinar. "Terima kasih, Tuan, terima kasih."
"Sama-sama. Sekarang cepatlah temui anakmu, sepertinya ada sedikit salah paham. Aku pamit dulu. Ada banyak kabar lain yang harus kusampaikan."
Setelah berkata begitu, sang malaikat pun langsung pergi lewat pintu bekalang, melesat entah ke mana.
Tak lama setelah kepergian sosok misterius itu, wanita tersebut berangsur-angsur mendapatkan tenaganya kembali. Ia sudah bisa membangunkan badannya meski masih belum beranjak di atas tempat tidur. Tak ada lagi rasa ngilu yang menggerogoti setiap persendiannya.
"Alesia? Alesia?" Ia memanggil anak gadisnya.
Tak ada jawaban.
"Alesia? Kemarilah." Katanya lagi. Tetap tak ada jawaban.
Dipublikasikan di harian Kompas, 13 Oktober 2013. Disalin dari: http://print.kompas.com/.
8
Absurdisme Pertemuan Malaikat dan Anak
Oleh Diko Hartan
“Alesia” dalam bahasa Yunani berarti “bantuan”. Entah apa
maksud si pengarang untuk menamai cerpennya dengan
tokoh utamanya sendiri. Sebab di jagat cerpen mutakhir
Indonesia tidak banyak penulis yang menulis judul cerpen
dengan nama tokoh apalagi tanpa embel-embel yang
membuat kita bisa mengira-ngira isi cerita. Dapat
dicontohkan pengarang Indonesia yang menggunakan judul
cerpen dengan nama utama tokoh pada karya Bakdi
Soemanto yang berjudul “Doktor Plimin”. Pembaca
walaupun belum membaca cerpen dapat mengira bahwa
Plimin adalah orang yang cerdas karena bergelar Doktor,
ataupun pada cerpen karya Aan Mansyur yang berjudul
“Kukila (Rahasia Pohon Rahasia)” pembaca mungkin bisa
menebak-nebak mungkin ini cerpen yang berhubungan
dengan rahasia-rahasia si Kukila. Sungging Raga yang
menulis “Alesia” mempunyai sebuah judul cerpen yang
memuaskan. Kita dapat lihat dalam cerpen-cerpen koran
minggu seperti Kompas. Judul yang penuh tanda tanya
adalah satu syarat membuat pembaca semakin penasaran.
Cerita pendek “Alesia” sebenarnya cerita yang memuaskan
dan mudah diingat tetapi juga mencemaskan. Cerpen ini
berkisah tentang seorang anak bernama Alesia yang
merawat ibunya yang sakit parah dan menunggu malaikat
9
untuk mencabut nyawanya sembari berharap ibunya sembuh
si anak yang bernama Alesia ini mempunyai pikiran yang
kekanakan dan suka berimajinasi. Ia membayangkan
malaikat tidak seperti kebanyakan anak-anak lain karena
ingin mengambil ibunya. Ia berpendapat bahwa malaikat
seperti kebalikannya bertanduk dan kejam karena ingin
mengambil ibunya. Alesia pun berencana bunuh diri agar ia
lebih dulu diambil malaikat oleh ibunya. Pikiran yang
kekanakan tapi sebenarnya bertujuan baik, karena ingin
menolong ibunya.
Cerpen “Alesia” dapat dikategorikan sebagai cerpen aliran
absurdisme. Aliran ini berkembang awal abad ke 20 setelah
muncul karya-karya dari pengarang seperti Frans Kafka,
Samuel Beckett, Albert Camus dan lain-lain. Absurdisme
sendiri adalah penggambaran kehidupan modern yang sulit
dipahami dan ketidakjelasan kenyataan. Bentuk sastra
absurdisme itu sendiri sebenarnya memberikan ruang
terbuka bagi para apresiator untuk memberikan pendapat
masing-masing, karya sastra yang disajikan dalam bentuk
amat kreatif, inkonvensional dan menyaran pada dunia yang
ambivalen. Gambaran sastra absurdisme itu sendiri dalam
dunia sastra nasional kita dapat ditemukan dalam karya-
karya Budi Darma, Putu Wijaya, Afrizal Malna dan
sebagainya. sedangkan dalam cerpen ini dapat dilihat dari
adanya malaikat yang dapat berbicara dengan Alesia yang
sebenarnya tidak ada di kehidupan nyata ataupun ataupun
dapat disebut ketidakjelasan kenyataan.
10
Banyak sekali pertanyaan yang patut kita pertanyakan dalam
cerpen “Alesia” ini walau berakhir tertutup, ending-nya
digambarkan secara jelas bahwa Alesia mati, ibunya
sembuh, malaikat itu baik dan ayahnya tidak pulang-pulang.
Tetapi masih banyak pertanyaan yang sebenarnya masih
patut dipertanyakan dan menurut aliran absurdisme sendiri
sang pembacalah yang memberikan masing-masing
pendapatnya dan dapat kita didiskusikan.
“Mengapa setan-setan kecil berkumpul di lukisan ayah
Alesia?”
“Bagaimana sebenarnya cerita dongeng-dongeng Finlandia
yang mempengaruhi Alesia mengimajinasikan malaikat itu
bertanduk dan jahat?”
“Apakah benar yang hadir dirumah Alesia itu malaikat atau
cuma tokoh dongeng, anehnya malah penulis ceritanya
sendiri ragu.”
“Mengapa nama ibu Alesia adalah Nalea Mendieta, apakah
ia orang indonesia asli atau orang asing?”
Sungging Raga mampu menyajikan cerita yang benar-benar
indah tetapi sekaligus mendobrak pada cerpennya yang ini,
jika di dalam film ada istilah twist ending ataupun akhir
yang berbelok dari harapan ataupun tidak terpikirkan.
Seperti pada film Sixth Sense yang ternyata dokternya
sendiri yang hantu serta banyak contoh yang lain. Cerpen
Sungging Raga adalah tipe cerpen dengan twist ending yang
mewah dan susah dicari sehingga akan mudah kita kenang.
11
“Alesia” sendiri bagi penulis menggambarkan sebuah cerpen
yang melambangkan ironi seorang anak dalam dunianya
yang digambarkan sangat sempit karena hanya punya
seorang ibu yang sakit dan ayah yang tak jelas
juntrungannya. Berharap dapat membahagiakan ibunya yang
sudah sekarat dan pesimis untuk hidup serta ikhlas untuk
mati, sayangnya penggambaran ibu Alesia kurang
digambarkan oleh penulis. Jika ia mati bagaimana nasib si
Alesia jika ditinggalkan sendirian tanpa ayah yang jauh
dimata, tapi itu dibalas oleh Sungging Raga dengan ending
kebalikan dari pikiran banyak pembaca. Absurdisme pada
cerpen ini sangat berperan ketika perbincangan malaikat dan
Alesia, serta ibu dan malaikat adalah inti cerita yang
menjelaskan semuanya.
Masih banyak hal-hal lain yang dapat didiskusikan dan tidak
kedapatan dari penulis tulisan sederhana ini. Mari bertukar
pikiran dan kita diskusikan.
12
Cerita yang Membentur-benturkan Oposisi
Oleh Rizqi Turama
Jamak diketahui bahwa cerita yang datar adalah cerita yang
kurang atau bahkan tidak menarik untuk disimak. Dengan
cerita-cerita yang seperti itu, sebagian besar pembaca akan
merasa bosan. Untuk menghindari rasa bosan itulah sebuah
cerita membutuhkan konflik. Salah satu cara paling efektif
untuk memunculkan konflik cerita adalah dengan
membentur-benturkan hal yang bertentangan. Sehubungan
dengan itu, cerpen Alesia karya Sungging Raga ini terasa
kental sekali dengan perbenturan antara dua hal
sebagaimana dijelaskan.
Perbenturan pertama adalah perbenturan antara kampung
dan kota, antara di sini dan di sana. Tentu saja yang
dimaksud berkaitan dengan latar tempat. Di dalam cerpen
Alesia ini, ada beberapa tempat yang disebutkan, antara lain
Finalandia dan kampung sebelah. Finlandia disebut sebagai
tempat Ayah berada. Hal yang terbayang oleh pembaca saat
mendengar Finlandia kemungkinan besar adalah tempat
yang maju, makmur, gemerlap. Berbeda dengan tempat
kejadian, tempat Alesia berada. “Lukisan itu sebenarnya ...
dilukis oleh seniman yang tinggal di kampung sebelah.”
(Raga, 2014). Kutipan tersebut menyebutkan bahwa yang
ada di sebelah adalah kampung. Berarti, tempat tinggal
Alesia sekarang juga adalah sebuah kampung.
13
Penulis, dalam hal ini Sungging Raga, tidak berhenti di sana.
Ia hendak melebur batas antara kota dan kampung. Salah
satunya adalah dengan memberi nama yang ‘kota’ kepada
orang yang tinggal di kampung. Nalea Mendieta adalah
nama ibu Alesia. Sementara Alesia sendiri merupakan nama
tokoh utama yang ada dalam cerita ini. Selain itu, masih ada
tokoh dokter Manisha. Ketiga nama tersebut merupakan
nama-nama yang tidak lazim berada di kampung. Justru
mungkin nama tersebut lebih cocok bila diceritakan sebagai
orang yang tinggal di Finlandia sendiri. Dengan cara
memberi nama yang ‘kota’ kepada orang kampung,
Sungging Raga membenturkan dua hal yang berlawanan.
Poin kedua yang patut diperhatikan adalah perbenturan
antara yang riil dan yang gaib, antara yang prominen dan
laten. Kemunculan tokoh malaikat merupakan hal yang tidak
ditemui dalam setiap cerpen di Indonesia, walaupun tidak
jarang. Di dalam Alesia, tokoh malaikat dianggap sebagai
sesuatu yang gaib, mampu menembus pintu, mengusir setan,
menghilang dalam seketika, dan sebagainya. Hanya saja,
malaikat di sini tidak sepenuhnya gaib. Ia juga bisa minum
kopi. Bahkan bercakap-cakap dengan manusia biasa yang
riil. Di sini timbul pertanyaan, apakah malaikat yang di-riil-
kan, atau manusia yang di-gaib-kan?
Selain persoalan tokoh malaikat, tentu pembaca juga
menyadari kemunculan penulis (Sungging Raga) di tengah-
tengah cerita. Misalnya dalam kutipan berikut, “Sejujurnya,
Alesia – dan saya sebagai penulis cerita ini – masih tak
14
yakin benar....” (Raga, 2014). Lazimnya, penulis tidak
muncul ‘seenaknya’ dalam cerpen yang ia buat. Keberadaan
penulis hanya bisa dirasakan oleh pembaca. Juga melalui
kesadaran bahwa cerita yang sedang dibaca adalah hasil
karya seorang penulis, tidak muncul tiba-tiba dengan
sendirinya. Akan tetapi, keberadaan yang laten tersebut
dibongkar oleh Sungging Raga. Dengan kesadaran penuh, ia
memunculkan dirinya. Penulis, yang awalnya bersifat gaib,
menjadi riil di dalam cerpen. Kehadirannya yang semula
laten, menjadi prominen. Dua hal tersebut adalah bukti
adanya benturan lain yang dimunculkan oleh cerita Alesia.
Terakhir, tapi mungkin sangat berpengaruh, adalah benturan
antara ‘yang seharusnya’ dan ‘yang senyatanya’. Dengan
kata lain, adanya harapan yang tidak terpenuhi. Setidaknya
ada tiga hal yang mendukung argumen ini. Pertama, kabar
tentang penyakit Ibu Alesia, disadari atau tidak,
menimbulkan pemikiran ‘yang seharusnya terjadi’ atau
‘harapan’ dari pembaca bahwa Ibu Alesia akan mati.
Namun, ‘harapan’ tersebut tidak dipenuhi oleh penulis. Ia
membuat bahwa ‘yang senyatanya’ terjadi adalah Ibu
Alesia, Nalea Mendieta, sembuh. Justru Alesia-lah yang
sehat dan bugar yang kemudian ‘dimatikan’ penulis. Kedua,
ketika Alesia menyelipkan pisau di balik pinggangnya, ada
‘harapan’ yang muncul bahwa Alesia akan menusuk si
malaikat agar ia tak jadi mengambil nyawa ibunya.
Faktanya, Alesia tidak menusuk malaikat, ia malah menusuk
diri sendiri. Alasannya adalah agar malaikat tersebut tak jadi
mengambil ibunya sebab telah tergantikan oleh dirinya
15
sendiri. Ketiga, malaikat itu sejak awal ditampilkan dengan
begitu meyakinkan sebagai malaikat maut. Penulis
menggiring ‘harapan’ pembaca sedemikian rupa ke arah itu.
Di akhir, sekali lagi pembaca dikejutkan dengan ‘yang
senyatanya’, yaitu malaikat itu adalah pembawa pesan
sekaligus pengantar kesembuhan bagi sang ibu. Dari ketiga
hal yang telah diungkapkan, jelas bahwa Sungging Raga
membenturkan dua hal: ‘harapan’ dan ‘kenyataan’, ‘yang
seharusnya’ dan ‘yang senyatanya’.
Perlu ditekankan sekali lagi, pembenturan dua hal yang
bertentangan dibutuhkan agar cerita tidak monoton dan
memiliki konflik. Masalahnya, hal-hal yang bertentangan
tidak serta-merta bisa dibenturkan begitu saja. Diperlukan
teknik, upaya, dan latihan agar benturan-benturan di dalam
cerita itu dapat diterima oleh pembaca. Tanpa pemikiran dan
usaha serius, benturan yang dibuat tidak akan cukup
menghentak pembaca. Tanpa ada hentakan, cerpen tersebut
menjadi cerita yang mudah dilupakan. Dianggap sebagai
angin lalu. Bahkan sangat mungkin pembaca kemudian
menyesal telah menghabiskan waktu dan tenaga untuk
membaca cerita tersebut.
Lalu bagaimana dengan cerpen Alesia karya Sungging Raga
ini? Apakah benturan-benturan tersebut sudah menghentak
pembaca? Apakah setelah membaca cerpen ini pembaca
akan terngiang-ngiang dengan cerita ini?
Mari kita diskusikan.