KHUSYU’ DAN THARIQAH QADIRIYAH NAQSABANDIYAH A....
Transcript of KHUSYU’ DAN THARIQAH QADIRIYAH NAQSABANDIYAH A....
15
BAB II
SHALAT KHUSYU’ DAN THARIQAH QADIRIYAH NAQSABANDIYAH
A. Shalat Khusyu’
1. Pengertian Shalat Khusyu’
1) Pengertian Khusyu’
a. Khusyu’ Menurut Bahasa
Kata khusyu’ dalam bahasa Arab yang fasih adalah inkhifadh
(kerendahan), dzul (kehinaan) dan sukun (ketenangan). Di antara
contoh makna ini adalah firman Allah dalam surat Thaha ayat 108-109:
وخشعت االصوات للرحمن فال تسمع جيومئذ يتبعون الداعي العوج له . يومئذ التنفع الشفاعة اال من اذن له الرحمن ورضي له قوال. اال همسا
} 109-108:طه{Pada hari itu manusia mengikuti (menuju kepada suara) penyeru dengan tidak berbelok-belok; dan merendahlah semua suara kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja. Pada hari itu tidak berguna syafaat, kecuali (syafaat) orang Yang Maha Pemurah memberi izin kepadanya, dan Dia telah meridhoi perkataannya.1(QS. Thaha:108-109)
Jadi, khusyu’nya bunyi-bunyian adalah perubahan frekuensi suara
dari terdengar pelan, sayup-sayup, tenang dan akhirnya hening setelah
sebelumnya bersuara keras.
Khusyu’ hampir sama dengan khudhu’. Hanya saja. Khudhu’ itu
berkenan dengan fisik, sedangkan khusyu’ mencakup keseluruhannya,
baik fisik maupun psikis. Jadi arti khusyu’ secara lughawi tersebut,
1 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,
1996), hlm. 255.
16
dapat dipahami bahwa shalat yang khusyu’ harus mengandung unsur
ketundukan dan kepasrahan kepada Allah SWT.2
Orang yang khusyu’ adalah orang yang padanya terlihat tanda-
tanda ketenangan, seperti tenangnya sebuah gedung yang kokoh
berdiri.
b. Khusyu’ Menurut Istilah
Khusyu’ menurut para ulama adalah lembutnya hati manusia,
redupnya hasrat yang bersumber dari hawa nafsu dan halusnya hati
karena Allah SWT. Sehingga menjadi bersih dari rasa sombong dan
tinggi hati. Pada saat itulah, perasaan berada di hadapan Allah SWT
akan menguasai seorang hamba, sehingga dia tidak akan bergerak
kecuali bila diperintah dan tidak akan diam kecuali diperintah pula.
Oleh karena itu khusyu’ bisa diartikan sebagai berikut:
a) Komitmen untuk taat kepada Allah SWT dan meninggalkan segala
larangan-Nya.
b) Kondisi jiwa yang tenang dan berdampak pada ketenangan organ
tubuhnya.
c) Tergugahnya hati oleh keagungan Allah SWT., dan merasakan
hadirnya keagungan itu juga kewibawaan-Nya.
d) Merasakan hadir di hadapan Allah SWT., dengan penuh
ketundukan dan kehinaan.
e) Memancarnya cahaya pengagungan kepada Allah SWT., dalam hati
dan padamnya api syahwat.
f) Menerima dan tunduk pada kebenaran, tatkala berlawanan dengan
kehendak hawa nafsunya.3
2 Muchtar Adam, Meraih Salat Khsuyu’, dalam Abdullah Gymnastiar, dkk., “Salat dalam
Perspektif Sufi”, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), hlm. 204. 3 Salim bin Id Al-Hilali, Menggapai Khusyuk Menikmati Ibadah, (Solo: Era Intermedia, 2004),
hlm. 20-21.
17
Begitulah pengertian khusyu’ secara syariat. Di dalamnya
terkandung makna kerendahan diri dan kepatuhan kepada Allah, Tuhan
semesta alam, dan dipadukan dengan sikap mengagungkan dan
mencintai-Nya.
2) Pengertian Shalat Khusyu’
Shalat secara bahasa berarti berdoa. Ia disebut doa karena sebagian
pelaksanaan shalat adalah doa. Dengan kata lain shalat secara bahasa
mempunyai arti mengagungkan. Dinamakan shalat karena ia merupakan
salah satu bentuk ibadah yang mengagungkan Allah SWT dan
mensucikan-Nya.4
Adapun pengertian shalat menurut syara’ adalah ucapan-ucapan dan
perbuatan-perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbiratul ihram dan
diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat tertentu.5 Sedangkan secara
hakekat shalat mengandung pengertian berhadap hati (jiwa) kepada Allah
dan mendatangkan takut kepada-Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa
rasa keagungan, kebesaran-Nya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya.6
Sedangkan khusyu’ berarti jiwa raganya tunduk dan penuh taat dalam
mengerjakan shalat di hadapan Allah. Raganya tenang dan menunduk
karena merasa rendah di hadapan Allah. Semua ini bisa tercapai bila yang
bersangkutan merasa berada di bawah pengawasan Allah.7
Adapun ciri-ciri orang yang khusyu’ dalam shalatnya adalah selama
shalat ia bisa merasakan nikmatnya berinteraksi / berkomunikasi dengan
Allah dan seusai shalat berbuah dalam perubahan perilaku yaitu
akhlaknya semakin baik,8 hatinya semakin tenang (QS. at-Taubah: 40,
4 Misa Abdu, Al-Khusyu’ fish Shalat wa Asraruhu, (terj.) Jujuk Najibah Ardianingsih,
Menjernihkan Batin dengan Shalat Khusyu’, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), cet. 3, hlm. 16-17. 5 Zaini, Syahminan, Sudah Benarkah Shalatku?, (Jakarta: Samudra Ilmu, 2005), hlm. 16. 6 Sentot Haryanto, Psikologi Shalat; Kajian Aspek-aspek Psikologis Ibadah Shalat,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005), hlm. 59. 7 Muhammad Thalib, 20 Tuntunan Khusyu’, (Surakarta: Kaafah Media, 2005), hlm. 26. 8 Abdullah Gymnastiar, Shalat Best of the Best, (Bandung: Khas MQ, 2005), hlm. 28.
18
QS. al-Fath: 18), dada terbuka (QS. al-Insyirakh: 1-2) dan menangis
terharu (QS. Maryam: 58, QS. al-Isra’: 109).
Memperhatikan arti shalat dan khusyu’ tersebut di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pengertian khusyu’ dalam shalat ialah melakukan
shalat dengan sikat taat dan tunduk kepada perintah-Nya, takut shalatnya
tidak diterima, mengharapkan ampunan-Nya, dan selalu merasa diawasi
oleh-nya sehingga timbul semangat untuk shalat dengan sempurna supaya
menjadi dekat kepada-Nya. Namun pada pokoknya semua itu harus
menyentuh hakikat shalat, yaitu rasa berkomunikasi dan menerima respon
dari yang disembah.9 Shalat merupakan sebuah tiang amaliyah agama
yang teramat besar. Shalat merupakan aktifitas jiwa (soul).10 Sedangkan
kekhusyu’an di dalam shalat tersebut merupakan tuntutan syari’at.
2. Pengaruh Shalat Khusyu’ dalam Jiwa Manusia
Khusyu’ mempunyai pengaruh yang besar dan kuat bagi jiwa seseorang,
karena khusyu’ dapat mengantarkan seseorang kepada hal-hal sebagai
berikut:11
1) Menumbuhkan kemampuan untuk berkonsentrasi
Ketika seseorang akan mengerjakan shalat untuk menghadap
Tuhannya, biasanya akan muncul hal-hal lain dalam pikirannya. Maka dia
harus berusaha untuk menghilangkan pikiran tersebut supaya dapat hadir
ketika mengagungkan dan bermunajat kepada Allah SWT. Konsentrasi
dalam shalat itu membutuhkan kekuatan atau latihan yang sangat berat,
kesabaran, rasa takut kepada Allah, dan kemampuan memusatkan diri
mengingat kepada Allah SWT, bukan perhatian pada lainnya. Ketika
orang shalat mencegah dirinya dari memikirkan selain Allah SWT, dan
9 Abu Sangkan, Pelatihan Shalat…op.cit.,hlm. 17. 10 Abu Sangkan, Pelatihan Shalat Khusyu’; Shalat Sebagai Meditasi Tertinggi dalam Islam,
(Jakarta: Baitul Ihsan, 2005), hlm. 7. 11 Misa Abdu, Al-Khusyu’ fish Shalat… op. cit., hlm. 21-30.
19
dia hendak berkonsentrasi menghadap kepada-Nya, maka akal dan
tubuhnya dipusatkan menjadi satu, yaitu untuk mengingat Allah SWT.
Cara ini akan membantu terbentuknya daya konsentrasi pada diri
seseorang.12
2) Khusyu’dapat mempengaruhi jiwa seseorang di kala ruhnya berhubungan
dengan Tuhan dan menjadi khusyu’ kepada-Nya, sekalipun dalam waktu
yang sebentar.
Pengaruh khusyu’ bagi jiwa ini merupakan suatu hal yang pasti
terjadi, karena ruh seseorang yang tidak pernah berkomunikasi terhadap
Dzat yang menciptakannya atau bahkan jarang, maka akan muncul dalam
dirinya rasa gelisah, tidak qanaah, cinta dunia, bingung dan lain
sebagainya. Tetapi dengan shalat dan bermunajat kepada Allah SWT,
seseorang akan dapat berserah diri dan meminta apa saja yang
dikehendaki sehingga ia akan merasa lega dari perasaan-perasaan yang
menyertainya. Selain itu, ia juga akan mencari kekuatan, rasa qanaah dan
ridha dengan memohon kepada Allah SWT. Jika mushalla (orang yang
melakukan shalat) semakin khusyu’ dan dekat dengan Allah, maka
semakin bertambah keyakinannya terhadap Allah SWT sehingga ia tidak
mengenal putus asa dan keluh kesah dalam hatinya. Selain itu, dia juga
akan memiliki jiwa yang kuat dalam menghadapi persoalan-persoalan
yang kecil maupun yang besar dalam kehidupannya.
3) Khusyu’ membuat seseorang memiliki sifat rendah hati, sebab ia melihat
keagungan Allah SWT, dan sifat tawadhu’ karena dia melihat kemegahan-
Nya. Sifat-sifat inilah yang seharusnya dimiliki oleh hamba Allah SWT.
Seseorang yang meninggalkan tabiatnya dan mengikuti keinginan hawa
nafsunya maka akan muncul dalam dirinya sifat sombong atau bahkan
12 Imam Musbikin, Rahasia Shalat Bagi Penyembuhan Fisik dan Psikis, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2004), hlm. 57-58.
20
sifat yang lebih jelek dari itu. Hal itu terjadi, karena dia keluar dari
tabiatnya dengan tidak mengagungkan Allah dan memuji-Nya.
Apalagi ketika kejelekan menimpanya maka ia akan semakin
berkeluh kesah. Namun sebaliknya, jika ia mendapatkan kebaikan, maka
ia menjadi kikir dan tidak mau melaksanakan hak dan kewajibannya
kepada Allah SWT, karenanya orang-orang yang selamat dari sifat yang
keji ini adalah mereka yang senantiasa melaksanakan shalat pada
waktunya. Shalat juga dapat mengubah sifat jelek pada diri seseorang
menjadi baik, bahkan dapat mengantarkannya mencapai kesempurnaan
dan keutamaan. Dengan demikian, kita akan tahu betapa besarnya
pengaruh shalat bagi jiwa dan perangai seseorang.
4) Khusyu’ akan mengantarkan seseorang kepada ma’rifat yang hakiki
terhadap Allah SWT dan keinginan untuk selalu menghadap-Nya. Selain
itu, khusyu’ akan membuat hati pelakunya merasa takut seakan-akan
mereka berada dalam suatu keadaan pada hari Kiamat.
5) Khusyu’ akan menjauhkan seseorang dari ucapan dan perbuatan yang
tidak berguna dan sesuatu yang dapat membuat hati mereka berpaling dari
dzikir kepada Allah SWT.
6) Shalat merupakan bentuk wasilah mensyukuri nikmat-nikmat Allah SWT
yang tak terhitung jumlahnya. Oleh karena itu orang yang meninggalkan
shalat berarti ia ingkar terhadap nikmat Tuhan, menyia-nyiakan hak dan
kewajiban atasnya, melanggar sumpah (ikrar) untuk beramal kepada-Nya
dan ingkar untuk mengakui keutamaan Dzat yang memberi rizki
kepadanya.
Sedangkan menurut Aa Gym pengaruh shalat khusyu’ dalam kehidupan
seseorang adalah pembawaannya tenang, sungguh-sungguh dalam kebaikan,
optimis penuh gairah dan semangat, tawadhu’, penyayang dan anti dzalim,
21
disiplin terhadap waktu, mencintai hidup bersih, rapi, teratur, indah dan cara
berpikirnya bisa mudah konsentrasi.13
3. Fungsi Khusyu’ shalat dalam kehidupan sehari-hari
Shalat yang khusyu’ berfungsi sebagai berikut:
1) Memberi keberuntungan di dunia dan di akhirat. Maksudnya di dunia kita
dapat hidup bahagia sehingga terjauh dari perbuatan nista dan
mencelakakan diri, sedang di akhirat kita mendapatkan balasan surga. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Mukminun ayat 1-2 yang
artinya; “Sungguh beruntunglah orang-orang mukmin, yaitu orang-orang
yang khusyu’ dalam salatnya”. (QS. al-Mukminun: 1-2)
2) Terjauh dari perbuatan keji dan merusak diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
firman Allah dalam surat al-Ankabut ayat 45:
قلـى ولذكر اهللا اكبر قلىن الفحشآء والمنكر ان الصلوة تنهى ع الواقم الصلوة } 45: العنكبوت{. واهللا يعلم ما تصنعون
Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.14(QS. al-Ankabut: 45).
Maksud ayat ini ialah bahwa orang-orang yang melakukan shalat
dengan benar, (yaitu) shalat dengan khusyu’, pasti akan terjauh dari hal-
hal yang merugikannya, merusak akhlaknya, dan melindunginya dari
segala macam keburukan yang mengancam ketenangan hidupnya.
Demikianlah sebab shalat merupakan urusan yang paling besar dalam
usaha manusia mendekatkan diri kepada Allah atau mengingat-Nya.
Tujuan shalat seperti ini akan tercapai hanyalah bila shalat kita lakukan
13 Abdullah Gymnastiar, Shalat…op. cit., hlm. 28. 14 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an…op. cit., hlm. 321.
22
dengan sikap tunduk lahir dan batin, penuh rasa harap dan cemas akan
ampunan Allah, serta dengan sikap penuh mengagungkan kebesaran
Allah. Tanpa sikap ini, tentu kita tidak akan mendapatkan keuntungan
sedikit pun bagi kehidupan kita di dunia dan di akhirat.
3) Menumbuhkan rasa kasih sayang dan semangat tolong-menolong kepada
fakir miskin, yatim dan orang lemah lainnya. Hal ini sesuai dengan surat
al-Mudatstsir ayat 42-45:
قرس في لككماسم.نلياملص من كن ا لمقالو . نكيالمس طعمن كمل نا . الوكنونآئضيالخ عم ضوخ45-42: املدثر{. ن {
Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)? Mereka menjawab: “Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin. Dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya.15 (QS. al-Mudatstsir: 42-45)
Dari ayat di atas kita memperoleh gambaran bahwa orang-orang
yang shalatnya benar akan memiliki sifat suka menolong kepada orang
miskin dan kaum lemah lainnya. Dikatakan demikian sebab shalat yang
khusyu’ akan menjauhkan orang dari melakukan perbuatan-perbuatan
yang menjerumus-kannya ke dalam sikap melanggar ajaran-ajaran Allah.
Di antara ajaran-ajaran Allah kepada orang mukmin adalah menolong dan
memberi makan orang miskin, anak yatim dan orang yang lemah.
Tegasnya shalat khusyu’ dapat melahirkan sikap kepedulian sosial yang
tinggi pada golongan yang lemah.
Dengan memperhatikan fungsi khusyu’ dalam shalat dan manfaat
dalam membina akhlak manusia, kita dapat mengambil pelajaran bahwa
shalat yang khusyu’ dapat menjadikan kehidupan pribadi, keluarga,
masyarakat dan pergaulan segenap umat manusia penuh suasana
15 Ibid., hlm. 460.
23
persaudaraan tolong-menolong, tenteram dan bahagia. Orang yang
melakukan shalat dipenuhi oleh rasa takut dan harap akan kehadiran
Allah, sehingga setiap gerak-geriknya merasa diawasi oleh Allah. Oleh
karena itu, dalam dirinya hanya ada dorongan dan motivasi melakukan
segala kebaikan dengan kemampuan agar mendapat keridhaan dan pahala
dari Allah.16
Kekhusyu’an dalam shalat akan berpengaruh pula pada
kekhusyu’an dalam kehidupan insan yang melakukannya.17 Adapun yang
dimaksud dengan khusyu’ pada kehidupan adalah mampu menjaga diri
dari perbuatan keji dan munkar dengan mewujudkan perilaku-perilaku
terpuji sebagai bukti nyata dari pernyataan-pernyataan yang dibaca
sewaktu shalat.18
Shalat apabila ditegakkan dan dijalankan dengan niat ikhlas karena
Allah SWT dan penuh kekhusyu’an, maka manfaatnya dapat dirasakan
langsung dalam kehidupan sehari-hari.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kekhusyu’an Shalat
Adapun yang membantu lahirnya khusyu’, sebagaimana pendapat Salim
bin Ied Al-Hilali yang dikutip Ma’ruf Abdul Jalil dan Syahriel, adalah sebagai
berikut:19
1) Mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya
Khusyu’ dalam hati manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan
tingkat pengenalannya terhadap Allah dan sesuai dengan perbedaan hati
dalam menyaksikan sifat-sifat-Nya yang akan melahirkan kekhusyu’an.
16 Muhammad Thalib, 20 Tuntunan….op. cit., hlm. 28-31. 17 M. Hembing Wijayakusuma, Hikmah Shalat Untuk Pengobatan dan Kesehatan, (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1994), hlm. 179
18 Ibid. 19 Salim bin Ied al-Hilali, Al-Khusyu wa Atsaruhu fi Bina il-Ummah, (terj.) Ma’ruf Abdul Jalil
dan Syahriel, Khusyuk Sebagai Pola Hidup Akhlakul Karimah, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2001), cet. 2, hlm.103-119.
24
Seseorang yang bermaksud hendak memperkuat kekhusyu’annya
hendaknya mengkaji arti dekatnya Allah kepadanya, mengkaji rahasia-
rahasia-Nya yang menjadikan dirinya merasa malu kepada-Nya dan harus
merasa terawasi oleh-Nya dalam segala gerak-geriknya.
Seseorang yang ingin meningkatkan kualitas khusyu’nya
hendaklah menelaah ke-Mahasempurnaan-Nya dan ke-Mahaindahan-Nya
yang memastikan dirinya cinta dan rindu untuk bertemu dan melihat-Nya.
Seseorang yang ingin meningkatkan mutu khusyu’nya hendaklah
mempelajari dengan baik perihal kerasnya siksa dan balasan-Nya yang
menyebabkan dirinya merasa takut kepada-Nya.
Seseorang yang punya beberapa hal di atas dalam hatinya, dijamin
bahagia karena ia bakal merasakan manisnya iman yang akan
mengantarkan dirinya kepada khusyu’, sakinah dan thuma’ninah.
2) Ilmu yang bermanfaat
Banyak sekali orang-orang mengerti dan mengetahui tentang
sesuatu, tapi pengetahuan mereka sebatas lahiriah saja.
Orang yang hatinya tidak terjalin hubungan baik dengan pencipta
jagat raya ini dan tidak mengetahui sunnah-Nya yang sama sekali tidak
mengalami perubahan dan pergantian, melihat sesuatu dengan bingung
seolah-olah tidak melihat. Dia melihat romantika kehidupan sebatas
lahiriah saja, tanpa mengetahui apa hikmahnya. Demikian mayoritas
manusia sekarang.
Orang yang hatinya tidak mengenal, tidak akan dapat mengambil
manfaat dari apa yang dilihat dan didengar serta dari apa yang dilihat dan
didengar serta dari apa yang dicoba. Hatinya tidak berhubungan dengan
hakikat kebenaran yang ada di balik kehidupan yang konkret dan nyata
ini. Mereka pada hakikatnya tidak dianggap mengetahui. Sehubungan
dengan mereka ini, Allah berfirman dalam surat ar-Rum ayat 6-7:
25
يعلمون ظاهرا من . اليخلف اهللا وعده ولكن اكثر الناس اليعلمونقلى وعد اهللا } 7-6: الروم{. وهم عن االخرة هم غفلونقلىالحيوة الدنيا
(sebagian) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.20 (QS. ar-Rum: 6-7)
Allah SWT telah menganugerahkan ayat-ayat-Nya dan berbagai
karunia lainnya kepada manusia. Mereka diberi Allah perhiasan ilmu,
kesempatan yang luas untuk mengangkat harkat dan martabatnya dari
permukaan bumi menuju langit dan agar mereka melalui jalan yang lurus.
Akan tetapi kenyataannya, mereka justru membangkang, mereka
menyimpang dari ayat-ayat-Nya, menanggalkan pakaian takwanya,
sehingga mereka tergelincir dari petunjuk-Nya menuju hawa nafsunya
hingga mereka meninggal dunia.
Betapa banyak orang-orang diberi karunia ilmu dan kesempatan
yang luas, tetapi mereka tidak mendapat hidayah! Mereka menjadikan
ilmunya sebagai sarana untuk mengubah firman-Nya dan demi
kepentingan hawa nafsunya. Mereka lebih patuh kepada pada penguasa
yang zalim yang mereka anggap sebagai pemilik penuh jagat raya ini dari
pada kepada Tuhannya.
Itulah ilmu yang tidak bisa memelihara pemiliknya dari syahwat
keinginan-keinginan rendahan, sehingga ia lebih suka bergelimang dengan
urusan duniawi saja hingga masuk ke liang lahat. Ia hanya memanfaatkan
ilmunya untuk kepentingan hawa nafsunya, mengikuti setan dan antek-
anteknya.
20 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an…op. cit., hlm. 323.
26
Maka dari itu, sebenarnya ilmu bukan hanya sekedar ma’rifah
(pengetahuan), akan tetapi meliputi juga akidah yang mampu
menanamkan dalam hati kesungguhan untuk beribadah kepada Allah
semata ketika di dunia.
Sesungguhnya ilmu yang bersifat teori tidak bisa melahirkan
sesuatu, karena ia berupa ma’rifah (pengetahuan) yang statis yang tidak
sanggup memelihara pemiliknya dari tarikan hawa nafsu, tidak mampu
menghidarkannya dari hal-hal yang menggiurkan dan tidak mampu
mendorong pemiliknya untuk menolak setan bahkan dapat menjadikan
orang yang bersangkutan tunduk kepada seleranya sepanjang hayat.
Kebanyakan otak manusia hanya memikirkan urusan duniawi
semata, sedang terhadap kehidupan akhirat, mereka lalai. Mereka tidak
tahu tentang hikmah penciptaan alam, mereka lalai terhadap kehidupan
akhirat, mereka tidak bisa menilai hikmah penciptaan alam dengan tepat,
mereka tidak bisa menghitung hikmahnya dengan benar dan mereka tidak
mengetahui bahwa kehidupan akhirat adalah finish dari suatu perjalanan
panjang dan sebagai permulaan bagi tempat kembali kepada-Nya yang
tersusun rapi dan kokoh.
Sesungguhnya terhadap negeri akhirat menyebabkan semua
standar nilai yang dipakai oleh orang-orang yang lalai rusak, sehingga
mereka tidak mampu memikirkan kejadian-kejadian dalam dunia dengan
pikiran jernih karena ilmu yang mereka miliki sama sekali tidak dikaitkan
dengan urusan akhirat. Hati manusia yang berhubungan dengan urusan
akhirat akan mampu melahirkan pemikiran yang tepat. Kehidupan di
dunia hanyalah merupakan masa transit untuk menuju perjalanan yang
amat panjang. Orang-orang seperti mereka mendapat bagian dunia sedikit
dan bagian akhirat pun sedikit.
27
3) Men-tadabburi ayat al-Qur’an
Allah sangat mendorong hamba-hamba Nya agar mengkaji
nasihat-nasihat al-Qur’an dan Dia juga menjelaskan bahwa tiada alasan
apa pun bagi seseorang untuk tidak men-tadabburinya. Sebab, andaikata
al-Qur’an ini disampaikan kepada gunung-gunung, niscaya gunung-
gunung tersebut tunduk dan tersungkur karena khusyu’ dan takut kepada
Nya. Sebagaimana firman Allah dan surat al-Hasyr ayat 21:
وتلك قلىلو انزلنا هذا القران على جبل لرايته خاشعا متصدعا من خشية اهللا } 21: احلشر{. االمثال نضربها للناس لعلهم يتفكرون
Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah-belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.21 (QS. al-Hasyr: 21)
Begitu juga hati yang terbuka yang menerima al-Qur’an dalam
keadaan bergetar, berdebar dan kulitnya menggigil, kemudian jiwanya
menjadi tunduk dan hatinya menjadi luluh berkat al-Qur’an. Maka kulit
dan hati mereka menjadi lunak serta tenang di waktu disebut nama Allah.
Mereka dikuasai oleh emosi dari pengaruh al-Qur’an, sehingga
mulutnya tidak sanggup mengungkapkan apa yang ada dalam hatinya,
maka bercucuranlah air matanya sambil membaca al-Qur’an.
Khusyu’ di waktu nama Allah disebut adalah suatu kenyataan yang
tidak bisa dibantah oleh siapapun, walaupun hal ini hanya diketahui oleh
orang-orang yang imanya kuat dan selalu berzikrullah. Perasaan khusyuk
dan takut seperti ini tidak bisa diungkapkan dengan lisan dan perasaan
seperti ini tidak bisa dipindahkan kepada orang lain melalui perkataan.
Sebab ini di atas perkataan, ia adalah ketenangan dan kesejukan yang ada
dalam hati. Sebagaimana firman Allah dan surat ar-Ra’du ayat 28:
21 Ibid., hlm. 437.
28
. اال بذكر اهللا تطمئن القلوبقلىالذين امنوا وتطمئن قلوبهم بذكر اهللا }28: الرعد{
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.22 (QS. ar-Ra’du: 28)
Ketahuilah karena mengingat Allah, bahwasanya faedah-faedah
dzikrullah tidak bisa dihitung oleh kemampuan manusia.23
Adapun untuk mencapai khusyu’ dalam shalat, kaitannya dengan
ini M. Thalib (2005), merangkumnya dalam 20 (dua puluh) langkah;24
(1) bila lapar, makan lebih dahulu; (2) tidak menahan kencing, kentut dan buang air besar atau kecil; (3) tidak mengantuk; (4) berpakaian baik dan bersih; (5) udara tidak panas; (6) melakukan shalat di awal waktu; (7) pergi ke masjid dengan tenang dan didahului dengan do’a, jika shalat di masjid; (8) tempat shalat harus bersih dari kotoran; (9) tempat shalat harus bersih dari gambar; (10) tempat shalat tidak bising; (11) ketika shalat pikiran tidak disibukkan oleh urusan duniawi; (12) tidak tergesa-gesa melakukan bacaan dan gerakan shalat; (13) menyadari bacaan yang diucapkan; (14) ruku’ dan sujud dengan tenang; (15) tidak menoleh ke kanan atau ke kiri; (16) melihat ke tempat sujud; (17) tidak mengusap pasir (debu) ke tempat sujud; (18) tidak menguap; (19) tidak meludah kecuali terpaksa; dan (20) meluruskan dan merapatkan saf (barisan) dalam shalat berjamaah.
5. Upaya Menguatkan Kekhusyu’an Shalat
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka menguatkan
ke-khusyu’an dalam pelaksanaan shalat, yaitu sebagai berikut:25
1) Persiapan sebelum shalat
Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa kegiatan, antara lain;
mengulang-ulangi bacaan muadzdzin, membaca doa sesudah adzan,
22 Ibid., hlm. 201. 23 Salim bin Ied al-Hilali, Al-Khusyu’…op. cit., hlm. 122. 24 Muhammad Thalib, 20 Tuntunan….op. cit., hlm. 37-121. 25 Muhammad Shaleh Al-Munjid, Shalat Yang Khsuyuk…op. cit., hlm. 13-33.
29
memanjatkan doa pada rentang waktu antara adzan dan iqamat,
membaguskan wudhu, membaca basmalah dipermulaannya, serta
membaca doa diakhirnya. Memakai pakaian yang bersih, mempersiapkan
lokasi tempat shalat, membersihkan lokasi tempat shalat, bersegera ke
masjid, menunggu pelaksanaan shalat dengan berdzikir, meluruskan,
menyamakan dan merapatkan saf (barisan) shalat.
Di samping itu yang perlu dilakukan dalam persiapan shalat ini
adalah lepaskanlah duniawiyah, baguskan budi pekerti ingatlah Allah,
sejalan dengan itu siapkan rasa tawakkal untuk mendapat khusyu’ yang
kekal.26
2) Thumakninah di dalam shalat
Hal ini dilakukan karena seseorang yang tidak thumakninah di
dalam shalatnya tidak mungkin dia bisa memperoleh ke-khusyu’an, karena
sikap ngebut (tergesa-gesa) itu bisa menghilangkan rasa khusyu’.
3) Mengingat mati di dalam shalat
Maksudnya di sini adalah shalat orang yang menduga dia tidak
bakal melakukan shalat lagi sesudah itu. Dan jika si pelaku tadi mati –
yang mana hal itu suatu kemestian baginya – maka itulah shalatnya yang
terakhir. Oleh karena itu, hendaklah dia menghadapi shalat yang tengah
dikerjakannya itu dengan khusyu’. Dia tidak tahu, mana tahu inilah yang
terakhir ia lakukan.
4) Menghayati ayat-ayat dan semua bacaan shalat
Penghayatan itu terwujud, bila si pembaca memiliki pemahaman
terhadap apa yang tengah ia baca, lalu meneteslah air matanya dan
tergores kesan-kesannya di dalam jiwa. Di antara usaha-usaha yang
membantu banyak dalam pemahaman, ialah mengulang-ulang ayat dan
memperhatikan (men-tadabburkan) kandungannya. Termasuk juga dalam
26 Ahmad, Pengantar Shalat Yang Khusyu’, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1984), hlm. 194.
30
upaya menambah pemahaman ialah berlarasan (tajawud) dan berinteraksi
(tafa’ul) dengan ayat-ayat yang dibaca. Di samping itu juga termasuk
usaha dalam rangka meningkatkan pemahaman, ialah menghafal al-
Qur’an dan beragam bacaan yang termasuk dalam rukun shalat, untuk
dibaca dan direnungkan kandungannya.
Tak dapat dipungkiri, bahwa semua tindakan ini, yaitu perenungan
(tadabbur), pengulangan dan berlarasan atau berinteraksi dengan ayat dan
bacaan shalat, adalah di antara penambah ke-khusyu’an dalam shalat.
5) Membaca dengan tartil
Bacaan dengan tartil dan perlahan-lahan, lebih memudahkan untuk
tafakur (tadabbur) dan khusyu’, berbeda dengan bacaan cepat dan tergesa-
gesa.
6) Memandang ke tempat sujud
Di dalam rangka mengundang ke-khusyu’an dalam shalat salah
satunya dengan cara mengalihkan pandangan mata ke tempat sujud,
karena hal ini akan tidak mengganggu konsentrasi, beda halnya jika
pandangan mata diarahkan selain tempat sujud.
Kemudian selain itu ada empat cara yang harus diperhatikan dan
harus ditempuh dalam rangka mendapatkan kekhuyu’an dalam shalat.
Pertama, melupakan segala urusan di luar shalat dimulai sejak melakukan
takbiratul ihram hingga salam. Kedua, melakukan shalat dengan memilih
tempat yang jauh dari keramaian. Ketiga, menguasai bacaan-bacaan dalam
shalat dengan lancar. Keempat, memahami makna yang terkandung dalam
setiap bacaan shalat.27
27 M. Hembing Wijayakusuma, Hikmah…op. cit., hlm. 179.
31
6. Penghalang yang Memalingkan dan Mengeruhkan Rasa Khusyu’
Ada beberapa hal yang menjadi penghalang bahkan bisa memalingkan
rasa khusyu’ dalam shalat, yaitu sebagai berikut:28
1) Menyingkirkan segala yang mengganggu dari lokasi shalat
2) Tidak shalat dengan memakai pakaian yang dipenuhi ukiran, gambar dan
warna-warni yang bakal mengganggu si pelaku shalat
3) Tidak shalat dalam keadaan menahan buang air besar dan buang air kecil
4) Tidak shalat dalam keadaan sangat mengantuk
5) Tidak shalat dekat orang yang sedang mengobrol atau sedang tidur
6) Tidak menimbulkan gangguan terhadap pelaku shalat yang lain dengan
menyaringkan bacaan
7) Tidak menoleh-noleh di dalam shalat
8) Tidak mengangkat pandangan ke langit
9) Tidak meludah ke arah depan ketika shalat
10) Menahan kuap di dalam shalat.
B. Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
1. Pengertian Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
Sebelum masuk pada pengertian thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
terlebih dahulu kita pahami bersama pengertian thariqah itu sendiri. Thariqah
berasal dari kata serapan bahasa Arab yaitu al-Thariqah yang artinya
perjalanan, metode.29 Adapun menurut istilah thariqah adalah jalan, petunjuk
dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran yang ditentukan dan
dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in, turun-temurun
sampai kepada guru-guru, sambung-menyambung dan rantai berantai.30
28 Muhammad Shaleh Al-Munjid, Shalat Yang Khsuyuk…op. cit., hlm. 75-92. 29 Husen Al-Hasbi, Kamus al-Kutsar, YPAI, 1988, hlm. 232. Lihat juga dalam Abu Su’ud,
Islamologi; Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 193.
30 Aboebakar Aceh, Pengantar Ilmu Thariqah, (Solo: Ramadhani, 1996), hlm. 67.
32
Sedangkan pengertian thariqah menurut pandangan para ulama
mutashawwifin, yaitu jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah
sesuai dengan ajaran yang di bawa oleh Rasulullah saw., dan yang
dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta para tabi’in, tabi’it tabi’in
dan terus bersambung sampai kepada guru-guru, ulama secara bersambung
hingga pada masa sekarang ini.31 Lebih khusus lagi thariqah di kalangan
sufiyah berarti sistem dalam rangka mengadakan latihan jiwa, membersihkan
diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji
dan memperbanyak dzikir dengan penuh ikhlas semata-mata untuk
mengharapkan bertemu dengan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan.32
Kalau menurut beberapa ahli pengertian thariqah adalah sebagai
berikut; menurut Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, thariqah yaitu jalan menuju
kepada Tuhan yang dapat membawa manusia kebahagiaan dunia dan
akhirat.33
Sedangkan Prof. Dr. Buya Hamka sebagaimana dikutip Sodikin,
thariqah yaitu antara makhluk dan Khaliq itu ada perjalanan yang harus kita
tempuh.34
Dari beberapa pengertian para ulama di atas, jelas bagi kita bahwa
thariqah itu suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh seseorang penganutnya
guna mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mencari keridhaan-Nya
dalam bentuk beribadat. Demikianlah thariqah itu merupakan tindak lanjut
dalam perkembangan tasawuf yang kian hari kian banyak jumlah
pengikutnya.
31 Moh. Saifullah Al-Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, (Surabaya: Terbit
Terang, 1998), hlm. 77. 32 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 270. 33 Moh. Saifullah Al-Aziz Senali, Risalah…op. cit., hlm. 77. 34 Sodikin Faqih, Ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah, (Tasikmalaya: Yayasan Bhakti
Pom. Pes. Suryalaya Jabar, tt.), hlm. 8.
33
Setelah dipahami pengertian thariqah secara umum sebagaimana
tersebut di atas, maka selanjutnya perlu dipahami bersama mengenai
pengertian thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah secara khusus dan mendalam.
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah merupakan penggabungan dari
kedua thariqah, yakni Qadiriyah dan Naqsabandiyah. Thariqah Qadiriyah
yaitu suatu thariqah yang dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Syekh
Abdul Qadir Jaelani yang hidup pada tahun 1078-1166 (471-560H).
Sedangkan Naqsabandiyah juga merupakan suatu thariqah yang
diambil dari nama pendirinya yaitu Syekh Muhammad Bahauddin
Naqsabandi, yang hidup pada tahun (717-791 H).35
Sehingga thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang berkembang di
Indonesia adalah merupakan penggabungan antara thariqah Qadiriyah dan
thariqah Naqsabandiyah yang tidak dikenal di dunia Islam. Dalam thariqah
ini beberapa dari teknik dari thariqah Qadiriyah digabungkan dengan teknik
yang dipilih dari thariqah Naqsabandiyah.
Orang yang dikenal sebagai pendiri thariqah baru ini adalah seorang
sufi dari Indonesia yang bernama Ahmad al-Sambasi. Dia berasal dari
Sambas, Kalimantan Barat, tetapi menetap dan mengajar di Makkah pada
pertengahan abad 19.36
Akan tetapi dalam masyarakat ada asumsi bahwa bilamana hal-ikhwal
amaliah thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah itu jika dilihat oleh orang-orang
yang belum berma’rifat sudah pasti ditolak, bahkan mungkin terjadi macam
prasangka tidak baik terhadap ulama ahli thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah,
dan para pengikutnya dianggap sebagai melakukan sesuatu amalan atau
ibadah yang tidak dijumpai di dalam syari’at nabi Muhammad saw., akan
tetapi apabila amaliah thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah itu dilihat oleh
35 Lembaga Research dan Survey IAIN Walisongo, Pola Hubungan Penganut Thariqah di Jawa Tengah, (Semarang: IAIN Walisongo, 1980), hlm. 35.
36 Martin Van Brulnessen, Kitab Kuning Pesantren dan Thariqah, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 308.
34
orang yang sudah sedikit banyak berada dalam ma’rifat, setidak-tidaknya
menguasai ilmu tasawuf, maka sewajarnya dan seyogyanya mereka itu
mempercayai ajaran thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah tersebut.37
Hal ini dikarenakan bahwa amalan-amalan thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah ini sudah jelas berlandaskan syara’ yang mulia, maka tidak
mustahil semakin hari semakin bertambah dan berkembang pesat
pengaruhnya di kalangan masyarakat, misalnya di Indonesia terutama di
Sumatera dan Jawa.
2. Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
Amalan thariqah sebagaimana yang lazim dikerjakan oleh para jama’ah,
sebenarnya banyak sekali tujuan yang hendak dicapai antara lain yaitu:
a) Dengan mengamalkan thariqah berarti mengadakan beberapa latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah) membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan diisi dengan sifat-sifat yang terpuji dengan melalui perbaikan budi pekerja dalam berbagai segi kehidupan.
b) Dapat mewujudkan ingat kepada Allah Dzat Yang Maha Besar dan Maha Kuasa atas segalanya dengan cara mengamalkan wirid dan dzikir dibarengi (tawajjuh) tafakkur yang dikerjakan secara terus menerus.
c) Dari sini maka timbul perasaan takut kepada Allah sehingga dalam diri seseorang itu timbul suatu usaha untuk menghindarkan diri dari segala macam pengaruh dunia yang dapat dikarenakan lupa kepada Allah.
d) Jika hal itu semua dapat dilakukan dengan penuh keikhlasan dan ketaatan kepada Allah, maka tidak mustahil akan dapat dicapai suatu tingkatan ma’rifah.
e) Akhirnya dapat diperoleh apa yang sebenarnya yang menjadi tujuan hidup ini.38
Itulah tujuan yang diperoleh setiap pengamal thariqah yang
mu’tabarah. Kendatipun thariqah atau jalan itu banyak jumlahnya, tidaklah
berarti seluruhnya boleh ditempuh karenanya cukup satu saja, yang dapat
mengantarkan pada tujuan.
37 Imran ABA, Di Sekitar Thariqah Naqsabandiyah, (Kudus: Menara, 1980), hlm. 24. 38 Sodikin Faqih, op. cit.,hlm. 8.
35
Dari segi eksistensi amalan thariqah yang bertujuan hendak mencapai
pelaksanaan syari’at secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma-norma
yang semestinya dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai firman
Allah dalam surat al-Jin ayat 16:
}16: اجلن{.وان لو استقاموا على الطريقة ال سقينهم مآء غدقاDan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezeki yang banyak). 39 (QS. al-Jin: 16)
Menurut tinjauan ulama thariqah ayat di atas secara formal (bunyi
lafalnya) maupun material (isi yang tersirat didalamnya) adalah jelas
merupakan sumber hukum diizinkan melaksanakan amalan-amalan thariqah.
Hal ini dikarenakan dengan mengamalkan thariqah akan dapat diperoleh
tujuan melaksanakan syari’at Islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan
yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya.
Demikian antara lain beberapa tujuan yang akan diperoleh bagi setiap
orang yang mengamalkan thariqah. Jelasnya ia akan dapat mengerjakan
syari’at Allah dan Rasul-Nya dengan melalui jalan dengan sistem yang
mengantarkan tercapainya tujuan hakikat sebenarnya sesuai dengan yang
dikehendaki oleh syari’at itu sendiri.
3. Sejarah dan Pendirinya Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
Di Indonesia thariqah ini terkenal dengan thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Thariqah ini dianggap sebagai thariqah terbesar, terutama di
pulau Jawa.
Pada abad ke-8, hanya ada thariqah Qadiriyah dan Naqsabandiyah di
samping ratusan thariqah lainnya. Thariqah ini lebih merupakan sebuah
39 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Semarang: CV. Toha Putra,
1996), hlm. 457.
36
thariqah baru yang didalamnya unsur-unsur pilihan dari Qadiriyah dan
Naqsabandiyah telah dipadukan menjadi sesuatu yang baru.40
Menelusuri sejarah perkembangan thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di
dunia Islam merupakan suatu pekerjaan yang tidak mungkin karena tidak
dikenalnya jenis thariqah tersebut. Namun kehadiran jenis thariqah tersebut
tentu tidak terlepas dari sejarah yang digabungkan itu yaitu thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah.
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyyah ialah sebuah thariqah gabungan
dari thariqah Qadariyah dan thariqah Naqsabandiyyah (TQN). Thariqah ini
didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib Sambas (1802-1872) yang dikenal
sebagai penulis Kitab Fath al-Arifin. Sambas adalah nama sebuah kota di
sebelah utara Pontianak, Kalimantan Barat. Syaikh Naquib al-‘Attas
mengatakan bahwa;
(TQN) tampil sebagai sebuah thariqah gabungan karena Syaikh Sambas adalah seorang Syaikh dari kedua thariqah 41dan mengajarkanya dalam satu versi yaitu mengajarkan dua jenis zikir sekaligus yaitu zikir yang dibaca dengan keras (jahar) dalam thariqah Qadariyah dan zikir yang dilakukan di dalam hati (khafi) dalam thariqah Naqsabandiyyah.42 Sesudah belajar agama dasar di kampungnya, Syaikh Sambas berangkat
ke Makkah pada usia sembilan belas tahun untuk meneruskan studinya dan
40 Martin Van Brulnessen, Thariqah Naqsabadiyah di Indonesia, (Yogyakarta: Khasanah Ilmu-
ilmu Islam, 1992), hlm. 89. 41 Syed Naquib al-‘Attas, Some Aspecte of Sufism as Understand an Practises among the
Malays ed. Shirie Gordon, (Singapore: Malayan Socialogical Research Institute, 163), hlm. 33. 42 Ahmad Khatib Sambas, Fath al-‘Arifin, hlm. 3. Syaikh Sambas juga mengatakan bahwa zikr
al-nafy wa al-itsbat dapat dilakukan dengan suara keras atau perlahan. Dari data historis tentang zikr, kita menjumpai bahwa zikir Qadiriyah selalu dibaca dengan suara keras, sementara zikir yang dikaksanakan Naqsabandiyah biasanya secara perlahan. Namun begitu diberitakan bahwa pernah zikir juga dibaca dengan suara keras. Mengenai sejarah pelaksanaan zikir dalam thariqah Naqsabandiyah dapat dibaca dalam tulisan Hamis Algar, “Silent Vokal Dhikr in the Naqsabandi Order”, dalam “Akten des VII Kongreses fir Arabistik und Islam wissenschat Gottingen”, ed. Albert Dietrich (Gottingen, 1976), hlm. 44. Keterangan ini sebagaimana dikutip Sri Sulyati, et’al., dalam “Mengenal Dan Memahami Thariqah-thariqah Muktabarah di Indonesia”, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 253.
37
menetap di sana hingga wafatnya pada tahun 1289 H / 1872. Di Makkah
beliau belajar ilmu-ilmu Islam termasuk tasawuf, dan mencapai posisi yang
sangat dihargai di antara teman-teman sejawatnya, dan kemudian menjadi
seorang tokoh yang berpengaruh di seluruh Indonesia. Di antara gurunya
adalah Syaikh Daud bin Abd Allah bin Iddris al- Fatani (wafat sekitar 1843),
seorang ‘alim besar yang juga tinggal di Makkah, yaitu Syaikh Syams al-Din,
Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 8112) dan bahkan menurut sebuah
sumber, Syaikh Abd al-Shamad al-Palimbani (w. 1800). Dari semua murid-
murid Syaikh Syams al-Din, Ahmad Khatib Sambas mencapai tingkat yang
tertinggi dan kemudian ditunjuk sebagai Syaikh Murshid Kamil Mukammil. 43
Gurunya yang lain yaitu Syaikh Muhammad Shalih Rays, seorang
mufti Syafi’i, Syaikh Umar bin Abd al-Rasul al-‘Attar, seorang mufti Safi’i
lainnya (w. 1249/1833/4), dan Syaikh ‘Abd al-Hafizh Ajami (w.
1235/1819/20). Beliau juga menghadiri kuliah-kuliah yang diberikan oleh
Syaikh Bisri al-Jabati, seorang mufti Maliki, lalu Sayyid Ahmad al-Marzuqi,
seorang mufti Hanafi, Sayyid Abd Allah (bin Muhammad) al-Mirghani (w.
1273/1856/7) dan ‘Utsman Bin Hassan al-Dimyati (w. 1849).44
Dari keterangan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Syaikh Sambas
telah belajar Fikih dengan padat, belajar kepada tiga dari empat Mazhab fikih
terkemuka. Kebetulan al-‘Attar, al-‘Ajami dan al-Rays, adalah terdaftar
sebagai guru teman semasa beliau di Makkah yaitu Muhammad bin ‘Ali al-
Sanusi (w. 1859), pendiri thariqah Sanusiyah dan Muhammad ‘Utsman al-
Mirghani, pendiri thariqah Khatmiyah.45 Berikut ini secara singkat kedua asal
thariqah yang dibentuk Syaikh Sambas (TQN). Istilah Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah merupakan gabungan dua macam thariqah yakni Qadiriyah
dan Naqsabandiyah.
43 Sri Mulyati, et’al., Mengenal Dan Memahami Thariqah-thariqah Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hlm. 255.
44 Ibid., 254-255. 45 Ibid., hlm. 255.
38
Thariqah Qadiriyah adalah suatu thariqah yang didirikan oleh Syekh
‘Abd al-Qadir al-Jelani (1077-1167). Ayahnya bernama Abu Shalih bin
Jankidust. Sewaktu muda, ‘Abd al-Qadir pergi ke Baghdad untuk belajar dari
sejumlah guru, tetapi tetap menganut mazhab Hanbali. Pelajaran ini
mencakup hadits dan fikih dalam mazhab Hanbali, pertama di bawah
bimbingan Abu Sa’ad al-Mubarak al-Mukharrimi, lalu diajar oleh Syaikh
Ahmad (atau Hammad) Abu al-Kahyr al-Dabbas (w. 523 / 1121), dan
kemudian dari sejumlah guru lain. Setelah belajar beberapa lama, termasuk
masa berkelana di Irak, ‘Abd al-Qadir kembali ke Baghdad dan mulai terkenal
sebagai penceramah dalam acara-acara publik.46
Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jelani adalah seorang yang ‘alim (ahli ilmu
agama Islam) dan zahid (seorang yang mempraktikkan zuhud, tidak terikat
hati kepada dunia) semula sebagai seorang ahli fikih mazhab Hanbali lalu
dikenal sebagai seorang sufi besar yang banyak keramatnya. Setelah wafatnya
putranya Abd al-Wahhab (1157-1196 M) meneruskan kegiatan ayahnya, lalu
dilanjutkan oleh putranya yang lain ‘Abd al-Salam (w. 1213M), kemudian
oleh putranya yang seorang lagi Abd al-Razzaq (1134-1206 M), dan
kemudian oleh cucunya Syams al-Din. Ribath47 Qadiriyah sudah berdiri di
Makkah sejak masih hidupnya Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jelani. Thariqah ini
juga mempunyai metode dzikir yang dikenal dengan dzikir jahar (diucapkan
dengan suara keras). 48
Kitab manaqib merupakan refleksi dari perilaku beliau yang meliputi
riwayat hidup beliau, budi pekertinya yang baik, kesalehannya, kezuhudannya
dan kekeramatannya.49
Adapun karya-karya Syekh ‘Abd al-Qadir al-Jelani banyak sekali
antara lain; al-Ghuyah li Thalib Thariq al-Haqq fi al-Akhlaq wa al-
46 Ibid., hlm. 256. 47 Ribath adalah suatu tempat untuk melakukan suluk dan latihan-latihan spiritual. 48 Sri Sulyati, et’al., Mengenal…op. cit., hlm. 256. 49 Ibid.
39
Tashawwuf wa al-dab al-Islamiyah, Futuh al-Ghaib, al-Fath al-Rabbani wa
al-Faydh al-Rahmani, dan dua karya yang juga diatribusikan kepada beliau
yaitu al-Fuyudhat al-Rabbaniyah fi al-Ma’atsir wa al-Awrad al-Qadiriya,
Sirri al-Asrar fi ma Yahtaj ilal al-Abrar.
Thariqah Naqsabandiyyah adalah suatu thariqah yang didirikan oleh
Muhammad bin Baha al-Din al-Uwaist al-Bukhari (717-791 / 1318 – 1389).
Naqsaband berarti lukisan, atau penjagaan bentuk kebahagiaan hati. Baha’ al-
Din Naqsabandi berarti juga dikenal sebagai seorang yang ahli dalam
memberi lukisan kehidupan yang gaib-gaib. Baha al-Din belajar thariqah dan
ilmu adab dari Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371), tetapi
kerohaniannya dididik oleh ‘Abd al-Khaliq al-Ghujdawani (w. 617/1220)
yang mengamalkan pendidikan Uwaisi. Ada pendapat nama al-Uwaisi
dicantumkan di belakang namanya, karena ada hubungan nenek dengan
Uwais al-Qarani.
H.A.R. Gibb menulis bahwa Muhammad bin Baha’ al-Din dalam usia
depalan belas tahun pernah dikirim ke al-Sammas, sebuah desa yang letaknya
kira-kira tiga mil dari Bukhara, untuk mempelajari ilmu tasawuf dari seorang
guru ternama Muhammad Baba al-Sammasi (w. 740/1340). Thariqah ini
asalnya diambil dari Abu Bakar al-Shiddiq, sahabat kesayangan Nabi dan
khalifahnya yang pertama, yang dipercaya telah menerima ilmu yang
istimewa seperti diterangkan oleh Nabi Muhammad sendiri; “Tidak ada
sesuatu pun yang dicurahkan Allah ke dalam dadaku, melainkan aku
mencurahkan kembali ke dalam dada Abu Bakar.”
‘Abd al-Khaliq al-Ghujdawani dianggap sebagai pendiri pertama
Thariqah Naqsabandiyah. Al-Ghujdawain dan guru-guru Naqsyabandi
berikutnya yang semuanya tinggal di Asia Tengah, secara kolektif terkenal
dengan sebutan Khwajagan (para tuan guru). Mereka itu adalah ‘Arif al-
Riwgari (w. 657/1259), Mahmud Anjar Faghnawi (w. 705/1306), Muhammad
Baba al-Sammasi, dan Amir Kulal. Tidak ada batasan yang persis siapa yang
40
termasuk Khwajagan dan siapa yang tidak. Terkadang Abu A’qub Yusuf al-
Hamadzani (w.535/1140) termasuk didalamnya. Al-Ghujdawani mengajarkan
zikir khafi (tanpa suara, zikir di dalam hati) kepada Baha al-Din sebagai
norma dalam thariqah Naqsyabandiyah, walaupun begitu Amir Kulal
mempraktekkan dzikir jahar (dengan suara keras).50
4. Ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah
Thariqah secara umum mempunyai lima pokok ajaran, yaitu:
Pertama, mempelajari ilmu pengetahuan yang bersangkut paut dengan pelaksanaan semua perintah, kedua; mendampingi guru-guru dan teman sethariqah untuk melihat bagaimana cara melakukan suatu ibadah, ketiga; meninggalkan segala rukhsah dan ta’wil untuk menjaga dan memelihara kesempurnaan amal, keempat; menjaga dan mempergunakan waktu serta mengisikannya dengan segala wirid dan do’a guna mempertebal khusyu’ dan hudur, dan kelima; mengekang diri jangan sampai keluar melakukan hawa nafsu dan supaya diri terjaga dari kesalahan.51 Thariqah Qadiriyah mempunyai ajaran pokok seperti menjunjung
tinggi cita-cita, menjaga dari segala yang haram, memperbaiki khidmat
terhadap Tuhan, melaksanakan tujuan baik, dan memperbesar arti karunia
nikmat dari Tuhan.52 Di samping itu thariqah ini juga mengajarkan kepada
pengikutnya untuk membaca kitab manaqib yang isinya adalah sebagian besar
mengenai riwayat hidup syaikh Abdul Qodir al-Jailani, tetapi yang terutama
ditonjolkan adalah budi pekerti yang baik, kesalahannya, kezuhudannya, dan
keramat atau keanehan-keanehan yang didapati orang pada dirinya.53
Sedangkan thariqah Naqsabandiyah terdapat dua ajaran pokok,
pertama mengenai dasar thariqah, ialah memegang teguh kepada i’tiqad
Ahlus Sunah, meninggalkan keentengan, membiasakan kesungguhan,
50 Ibid., hlm. 256-257. 51 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu…op. cit., hlm. 70. 52 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo: CV. Ramadhani, 1984), hlm.
362 53 Ibid, hlm. 312.
41
senantiasa muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain Allah,
hudur terhadap Allah, mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-sifat yang
berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan zikir, menghindarkan kealpaan
terhadap Tuhan, dan berakhlak nabi Muhammad. Kedua mengenai syarat-
syaratnya yaitu, i’tiqad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang
lain, memperbaiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti terhadap
azab dan sunah, memilih amal menurut syariat yang sah, menjauhkan diri
daripada segala yang munkar dan bid’ah, pengaruh hawa nafsu dan dari
perbuatan yang tercela.54
Pada thariqah Qadiriyah, zikir disuarakan keras dan ekstatis,
sedangkan pada Naqsabandiyah cukup diucapkan dalam hati. Walaupun
pengikut thariqah Qadiriyah wa al-Naqsabandiyah mengaku mengamalkan
kedua macam ritual dari kedua aliran itu secara umum, ritual Qadiriyah
tampak lebih dominan. Zikir berjamaah yang biasanya dilakukan ba'da shalat
Shubuh atau ba'da shalat Maghrib, diucapkan dengan keras yang berakar pada
tradisi zikir pengikut thariqah Qadiriyah. Demikian pula halnya ketika
membaca kalimah tauhid sebanyak 165 kali, cara membacanya dikeraskan.
Mereka tetap dalam posisi duduk, tetapi pembacaannya disertai dengan gerak
kepala (dengan sentakan). Mula-mula, dengan penuh kesadaran, zikir
dilakukan dengan cara menarik kata "la" dari pusar ke ubun-ubun kepala,
dengan isyarat tarikan kepala ke kanan. Lalu dilanjutkan dengan menarik
kalimat "ilaha" ke bahu kanan, dan akhirnya dengan menggerakkan kepala ke
kiri sambil menarik kalimat "illa Allah" disertai dengan hentakan yang seolah-
olah ditusukkan ke jantung di dada kiri bawah.
Mula-mula, dalam beberapa kali pengucapannya, zikir sengaja
dilakukan dalam gerakan lambat dan mengalun. Kemudian secara perlahan-
lahan iramanya bergerak semakin cepat sehingga menjadi lebih menghentak-
54 Ibid, hlm. 361.
42
hentak hingga kalimat yang diucapkan menjadi makin sulit dicerna. Gerakan
zikir itu berhenti ketika intensitasnya sedang berada di puncak. Sebagai
gerakan penutup atau semacam gerakan pendinginan, kalimah tauhid diulangi
sekali atau dua kali lagi secara perlahan-lahan dengan irama mengalun.
Zikir keras yang dilakukan secara berjamaah ini seolah-olah mampu
memberikan kekuatan spiritual bagi para pelakunya. Satu sama lain saling
berinteraksi secara fisik sebab dilakukan dalam keadaan duduk rapat bersama.
Di sini pula terlihat proses pembentukan kelompok kohesif dalam ikatan
semangat primordial keagamaan. Zikir yang diawali oleh shalat berjamaah ini
berlangsung dalam kesadaran religiusitas yang mendalam. Bahkan, pada
gilirannya, kesadaran tersebut dapat memberikan implikasi sosiologis,
terutama ketika kesadaran kelompok semakin kuat terbentuk. Keadaan ini
kemudian dikukuhkan oleh simbol-simbol verbal, seperti dalam penyebutan
sesama jamaah, yaitu ikhwan.55
Zikir keras biasanya dilanjutkan dengan zikir diam (khafi), yaitu hanya
diucapkan dalam hati. Bentuk zikir yang biasa disebut zikir ism al-dzat ini
bersumber dari ajaran thariqah Naqsabandiyah. Dengan zikir ini, pelaksanaan
zikir para pengikut thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah sesungguhnya
bersumber dari dua ajaran zikir. Zikir ini dipusatkan pada tujuh titik halus
(lathaif) dalam badan, yaitu (1) lathifah al-qalbi yang terletak di jantung,
setelah murid itu masuk suluk maka kemudian melakukan zikir lathifah al-
kalb, perlu diketahui bahwa lathifah al-kalb itu berhubungan hati jasmani,
akan tetapi yang dimaksud dengan lathifah al-qalbi itu bukan hati jasmani
tadi, Dia adalah lathifah rabbaniyah yang sangat halus dan bernasib kepada
‘alamul amri, yaitu alam yang tinggi, (2) lathifah al-ruh yang terletak di dada
kanan, (3) lathifah al-sirr yang terletak pada dua jari di atas puting kiri, (4)
lathifah al-khafi yang terletak di puting susu kanan, (5) lathifah al-akhfa yang
55 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta: Paramadina, 1997), hlm. 56-57.
43
terletak di tengah dada, (6) lathifah al-nafs al-nathiqah yang terletak di otak
dan (7) lathifah kullu jasad, yaitu lathifah yang mengendarai di seluruh tubuh
jasmani.56 Tempat-tempat yang menjadi pusat konsentrasi ini diisyaratkan
dengan gerakan badan ketika zikir itu diucapkan.
Beberapa guru secara teratur melakukan kedua bentuk zikir tersebut
secara berurutan dalam suatu pertemuan, sedangkan guru lainnya tetap
menjalankan zikir Qadiriyah, yaitu zikir jali, zikir yang diucapkan dengan
suara keras. Sebelum berzikir, para pengikut thariqah melakukan rabithah
syeikh, yaitu mengingat dan menghadirkan rupa sang syeikh di hadapannya
selama beberapa detik dan mengucapkan terima kasih kepadanya dalam hati,
seraya membayangkan bagaimana karunia Allah dilimpahkan melalui Nabi
dan syeikh kepadanya. Di samping zikir bersama yang dilaksanakan harian
atau mingguan, ada beberapa cara zikir lainnya yang para pengikut thariqah
ini berkumpul bersama.57
Para pengikut thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah memang tidak
diharuskan untuk mengamalkan kedua jenis zikir itu secara bersama-sama.
Bahkan, para pengikut thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah yang
berlatarbelakang sosial ekonomi dan pendidikan kelas menengah ke atas, pada
umumnya hanya melaksanakan zikir khafi (diam). Sebaliknya, mereka yang
berlatar belakang sosial menengah ke bawah, sebagian besar di antaranya
mengamalkan zikir jali (keras). Beberapa pertimbangan dari pemilihan cara
berzikir ini, antara lain dianalisis dari kondisi lingkungan tempat zikir itu
dilaksanakan. Sebab, berzikir pada akhirnya juga melibatkan orang lain dalam
lingkungan komunitas tertentu yang tidak berpendirian sama.
Ajaran thariqah merupakan salah satu pokok ajaran yang ada dalam
tasawuf. Ilmu thariqah sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan tasawuf
dan tidak bisa dicerai-beraikan dengan kehidupan orang-orang sufi. Orang
56 Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu…op. cit., hlm. 329-333. 57 Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah….op. cit., hlm. 89.
44
sufi adalah orang yang menerapkan ajaran tasawuf, dan tasawuf adalah
tingkatan ajaran pokok dari thariqah tersebut.58
Ajaran dasar (aqidah) yang ditetapkan dalam thariqah ini adalah
aqidah yang benar, seperti aqidah para salaf saleh (ulama terdahulu yang
saleh-saleh, aqidah ahli sunnah terdahulu yang mengamalkan al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah dengan sungguh-sungguh, sehingga ia mendapat petunjuk
dalam menapaki jalan (thariq) yang menyampaikan ke hadirat Allah SWT.
Murid dituntut untuk mempunyai sikap mubtadi, yaitu mengikuti berbagai
sifat sebagai berikut:
a. Bersih hati
b. Muka jernih
c. Berbuat kebajikan
d. Menolak kemungkaran dan kejahatan
e. Fakir
f. Menjaga kehormatan para syekh (guru)
g. Bergaul dengan baik dengan sesama
h. Memberi nasihat sesama mukmin
i. Menjauhkan permusuhan
j. Memberi bantuan dalam masalah agama dan dunia.59
Setelah ajaran dasar tersebut dihayati dan diamalkan oleh para murid,
maka ia harus menjalani berbagai maqam atau tahapan latihan-latihan
kerohanian.
Tahapan awal adalah suatu tahapan yang dilalui dalam waktu singkat,
hanya membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam. Apabila tahapan ini
lancar maka pindah ke tahapan berikutnya. Secara kronologis tahap awal ini
dapat dideskripsikan sebagai berikut:
58 Khall al-Bamar I, Hanatir Ajaran Thariqah, (Surabaya: Bintang Remaja, 1990), hlm. 10. 59 Dewan Redaksi Emsiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1997), cet. 4, hlm. 340.
45
1) Pertemuan awal antara murid dan guru. Sebelum berlangsungnya pertemuan, seorang murid diharuskan shalat dua rakaat setelah itu ia membaca surat al-Fatihah yang dihadiahkan bagi Rasulullah saw., para Rasul dan para Nabi. Kemudian murid duduk di hadapan guru dengan posisi lulut murid sebelah kanan bersentuhan dengan tangan guru yang sebelah kanan. Dalam posisi yang demikian murid dianjurkan untuk mengucap istighfar (memohon ampun kepada Allah) beserta lafal-lafal tertentu, dan guru mengajarkan kalimat tauhid la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah) tiga kali dan murid mengikuti sambil memejamkan kedua matanya. Pada saat inilah murid dibai’at oleh guru dan seterusnya syekh mengajarkan kalimat tauhid dan cara melakukan dzikir dengannya sebanyak tiga kali. Setelah guru meyakini bahwa murid telah mengikuti ajarannya secara benar, berarti tahapan pertama selesai, dan murid dapat mengikuti tahapan berikutnya.
2) Wasiat guru kepada murid. Syekh memberi wasiat atau nasihat kepada murid agar mengikuti dan mengamalkan nasihat-nasihatnya yang semuanya berupa etika muslim lahir batin, serta mengekalkan (mendawamkan) wudlu, istighfar dan shalawat atas Nabi.
3) Pernyataan syekh atau guru membai’at muridnya diterima sebagai murid dengan lafal tertentu dan diterima juga oleh murid.
4) Pembacaan do’a oleh syekh dalam bentuk umum maupun yang khusus bagi murid yang baru dibai’at dengan lafal do’a masing-masing.
5) Pemberian minum oleh guru kepada murid. Syekh mengambil segelas air yang sudah tersedia dan biasanya bercampur gula lalu dibacanya atasnya beberapa ayat al-Qur’an. Kemudian air dalam gelas itu diberikan kepada muridnya untuk diminum pada saat itu.60
Dengan selesainya pemberian minum tersebut, maka selesailah
tahapan pertama. Dengan demikian resmilah seorang murid menjadi anggota
thariqah.
5. Manfaat Thariqah
Adapun manfaat thariqah antara lain menghilangkan “matsalussau”
(sifat-sifat keji yang dibenci Allah), seperti; sombong, angkuh, iri hati,
dengki, khianat, mengumpat, kikir, tamak, menganiaya,61 dan sifat-sifat
negatifnya yang ditujukan kepada sesama manusia sehingga situasi
60 Ibid., hlm. 340. 61 Sadikin Faqih, op. cit., hlm. 62.
46
mengendalikan nafsu yang membeludak seperti air bah melanda tanpa arah.
Sesungguhnya suatu keadaan yang merugikan padahal sewajarnya sifat yang
positif harus ditujukan kepada sesama manusia, sehingga semakin banyak
jumlah mereka di permukaan bumi, maka semakin dirasakan nikmat
kehidupan yang lega dan cerah.
Berthariqah sebagai petunjuk hidup adalah amat penting artinya bagi
setiap orang yang menginginkan selamat dalam perjalanan hidup yang
sesungguhnya hingga sampai tujuan akhir yang didambakan.
Sebab bagaimanapun juga itu baru pertama kali mengarungi kehidupan
dunia ini, sehingga perlu akan petunjuk (thariqah). Orang yang bepergian
jauh saja memerlukan petunjuk, padahal ia bermaksud kembali ke tempat
semula. Apalagi bila akan menempuh perjalanan yang amat jauh dan tidak
akan kembali untuk selama-lamanya, yaitu negeri akhirat. Oleh karena itu
yang baqa’ tentunya memerlukan petunjuk yang lengkap dan orisinil serta
terjamin kebenarannya itulah al-Qur’an yang mutlak kebenarannya itulah al-
Hadits sebagai tuntunan.
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari pengikut thariqah tetap
berperilaku sebagaimana makna yang terkandung dalam gerakan-gerakan
shalat, misalnya seperti ketika melakukan ruku’, sebagaimana firman Allah
dalam surat al-Hajj ayat 77:
}77: احلج{. اركعوا واسجدوايآيها الذين امنوا
Wahai orang-orang yang beriman ruku’lah dan sujudlah.62 (QS. al-Hajj: 77). Ruku’ merupakan ibadah yang menggambarkan sifat tawadhu’ dan
tunduknya seorang hamba kepada Allah SWT. Ruku’ yang didalamnya
mengandung arti tawadhu’ itu lebih sesuai daripada keadaan berdiri dan hal
62 Muhammad Noor, dkk.,..op. cit., hlm. 272.
47
ini sudah diketahui oleh manusia. Sehingga menjadi kebiasaan orang Arab
ketika menghormati orang lain mereka menundukkan kepalanya seperti ketika
melakukan ruku’ dalam shalat.63
Khudhu’ (tunduk) yang sempurna ketika ruku’ adalah hati yang tunduk
kepada Allah SWT dan merasa rendah di hadapan-Nya baik batin maupun
lahirnya. Oleh karena kaitannya dengan ini maka perilaku pengikut thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah seyognya mencerminkan makna yang terkandung
dalam gerakan ruku’ dalam shalat.
63 Misa Abdu, Al-Khusyu’ fish Shalat… op. cit., hlm. 138-139.