Penyebaran Thariqah Syadziliyah Di Jawa Di Abad 19-20
Transcript of Penyebaran Thariqah Syadziliyah Di Jawa Di Abad 19-20
REVISI - UAS
PENYEBARAN THARIQAH SYADZILIYAH DI
JAWA DI ABAD 19-20
Telaah Historis Kaderisasi Thariqah Syadziliyyah di Solo
Oleh:
Ahmad Iftah Sidik
PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA JAKARTA
PRODI SEJARAH PERADABAN ISLAM
KONSENTRASI KAJIAN ISLAM NUSANTARA
REVISI - UAS
Pendahuluan
Sejarah thariqah di Indonesia diyakini sama tuanya dengan sejarah masuknya Islam ke
nusantara itu sendiri. Proses islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada
penghujung abad 14 atau awal abad 15, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan
tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah.
Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111
M) merumuskan konsep tasawuf moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq,
syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya
menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial.
Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan
syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran
tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M),
yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin
Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan
Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara;
Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad
keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan
oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah
Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua
thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di
tanah air.1
Para sejarawan barat meyakini, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk
nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua
agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih
dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Sayangnya
dokumen sejarah islam sebelum abad 17 cukup sulit dilacak.2 Meski begitu, beberapa catatan
tradisional di keraton-keraton sedikit banyak bercerita tentang aktivitas thariqah di kalangan
keluarga istana raja-raja muslim.
1 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung:
Mizan, 1999) h. 188 2 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning….., h.23.
REVISI - UAS
Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-
rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan
Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan
ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-
Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah
kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah.3 Meski jika mengacu pada data
kronologi sejarah tentu saja pertemuan fisik antara Sunan Gunung Jati yang hidup di abad 16
dengan Syaikh Abul Hasan Asy-Syadzili yang wafat di abad 13, apalagi dengan Syaikh
Najmudin Kubra yang wafat pada tahun 1221 M, tidaklah mungkin.4
Terlepas dari kebenaran cerita pertemuan Sunan Gunung Jati dengan dua pendiri thariqah
dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang
pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah ke tanah Jawa. Thariqah
lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah
dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara
susul menyusul.
Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi
tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani
(wafat 1775 M), penjaga makam Rasulullah SAW, yang produktif menulis dan mengajarkan
perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah.
Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan
metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah.5
Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir
abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki
kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah
juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal.
Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang
tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten,
3 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning….., h. 224.
4 Meski begitu, dalam tradisi thariqah, selain pertemuan dan hubungan belajar secara fisik dengan guru yang
masih hidup, terkadang juga terjadi perjumpaan dan proses belajar dengan guru thariqah yang sudah wafat.
Proses ijazah thariqah semacam ini disebut ijazah barzakhi. Lihat Tim Penulis JATMAN, Al-Fuyudhat Ar-
Rabbaniyyah: Hasil Kesepakatan Muktamar dan Musyawarah Besar Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-
Mu’tabarah An-Nahdliyyah tahun (1957-2005), (Surabaya: Khalista, 2006) h. 162-163. 5 Lihat Tim Penulis JATMAN, Al-Fuyudhat….. h. 56-59
REVISI - UAS
Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek
kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin
mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya.
Selain dua thariqah tersebut, debus juga dijadikan media penyebaran dan perjuangan
Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama
sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi
besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru
utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad
Hasbullah Madura (tinggal di Makkah).
Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah
Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika
Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun
1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-
Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah.6
Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, ada lagi beberapa thariqah yang masuk
ke nusantara di seputar abad 19-20. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah
Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan dari thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh
Maulana Khalid Al-Mujaddid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang
dikutip Martin Van Bruinessen, dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk
nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di
Singapura, di abad 19. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani
(khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang
kemudian seluruh tanah air.7
Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui
jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di
Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman
menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatihan (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas
Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Salatiga).
6 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning….., h 20-21
7 Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, (Bandung: Mizan,1997) h. 1-100
REVISI - UAS
Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sementara kekhalifahan
Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan
Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi, serta murid-muridnya : Kiai Arwani Amin
Kudus, K.H. Abdullah Salam Kajen dan K.H. Hafidh Rembang. 8
Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik,
Purwokerto. Sepeninggal Mbah Malik kemursyidan Naqsyabandiyyah diteruskan murid
kesayangannya, Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya di pekalongan. Sementara
kemursyidan di Kedung Paruk diteruskan oleh cucunya K.H. Abdul Qadir bin Ilyas Noor,
lalu diteruskan adiknya K.H. Said bin K.H. Ilyas Noor dan kini dilanjutkan oleh K.H.
Muhammad bin Ilyas Noor.9
Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga
mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah
satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal
dari Afrika Utara tersebut.
Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H.
Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman, Magelang; K.H.
Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, Kendal; Kyai
Abdurrahman (Syaikh Abdul Kaafi II) Sumolangu, Kebumen; dan K.H. Idris Jamsaren, Solo.
Kelima guru Syadziliyah pertama memiliki mata rantai sanad yg sama: Kyai Abdullah, Kyai
Abdurrahman, Mbah Malik dan Mbah Dalhar mendapatkan ijazahnya dari Syaikh Ahmad
Nahrowi Muhtarom Al-Makki, ulama Haramain asal Banyumas. Sementara Kiai Idris
Jamsaren dan Kiai Ahmad Ngadirejo yang satu generasi lebih tua mendapatkan ijazah
kemursyidannya dari guru Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, yakni Syaikh Muhammad
Shalih Al-Mufti Al-Hanafi.10
Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah
air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang
8 Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah, Panduan untuk Pemula Mengenal Allah (Semarang:
Sekretariat Jenderal Jatman dan Aneka Ilmu, 2005) h. 34. 9 Muhdhor Assegaf, Biografi K.H.M. Abdul Malik bin Muhammad Ilyas: Mursyid Thariqah
Naqsyabandiyyah (Solo: Pelita Hati, 2008) h. 80-100 10
Berbagai catatan silsilah thariqah syadziliyah di website-website yang mengulas tokoh tersebut, seperti :
www.thohiriyyah.com (website Pesantren Ath-Thohiriyyah); http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-
Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi; dan sumber-sumber lain.
REVISI - UAS
diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah,
sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah
Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah atau Syadziliyyah Darqawiyyah yang dibawa para alumnus
Damaskus, Syiria11
.
Namun demikian, meski secara umum thariqah terus berkembang dan bertambah jumlah
pengikutnya, namun karena ada beberapa kekhasan tradisi, seperti sistem kemursyidan yang
cukup rumit, banyak pusat pengajaran thariqah yang saat ini mengalami kemandegan bahkan
hilang sama sekali. Salah satunya adalah pusat pengajaran thariqah Syadziliyyah di Kota
Solo.
Pada masa keemasaannya, Kota Solo dan sekitarnya pernah menjadi pusat pengajaran
Thariqah Syadziliyyah, dengan beberapa guru mursyid yang cukup terkenal di kalangan
ahlith thariqah. Pada era abad 19, ada dua tokoh yang sangat terkenal dan kharismatik, yaitu
K.H. Idris, pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, dan K.H. Ahmad, pengasuh Pesantren
Ngadirejo Klaten. Pada era selanjutnya, juga dikenal tokoh Kyai Siradj, Panularan, dan Kyai
Abdul Muid, Tempursari-Klaten, lalu setelahnya Kyai Ma’ruf Mangunwiyoto, Jenengan;
Kyai Abdul Ghani Ahmad Sadjadi, dan terakhir Kyai Idris, Kacangan, Boyolali.
Dari beberapa nama tersebut hanya Kyai Idris Jamsaren, Kyai Abdul Mu’id Tempursari, dan
Kyai Ma’ruf yang mempunyai hubungan keluarga sekaligus hubungan guru murid. Setelah
Kyai Idris Jamsaren wafat, Kyai Abdul Mu’id, sang kemenakan, menggantikan
kedudukannya sebagai mursyid. Dan ketika Kyai Abdul Mu’id wafat, sang putra Kyai Ma’ruf
Mangunwiyoto yang menjadi penggantinya. Namun sayang, ketika Kyai Ma’ruf wafat,
regenerasi kemursyidannya berhenti, seperti halnya mursyid-mursyid Thariqah Syadziliyyah
lain di Solo dan sekitarnya.
Sangat menarik menggali faktor-faktor yang menyebabkan kemandegan proses regenerasi
tersebut. Hal ini mengingat, bahwa selain hadits, adalah thariqah yang sangat ketat menjaga
tradisi sanadnya.
11
Disebut Syadziliyah Darqawiyah karena sanadnya melalui Syaikh Muhammad Al-Arabi Ad-Darqawi.
Sementara Thariqah Syadziliyyah di Indonesia yang masuk lebih dulu sering disebut dengan Syadziliyyah
Maydumiyyah, karena sanadnya melalui Syaikh Abul Fath Al-Maydumi. Selain kedua cabang itu, Syadziliyyah
juga berkembang menjadi beberapa cabang lagi seperti Maryamiyyah, Attasiyyah, Badawiyyah, Hasyimiyyah
dan lain sebagainya. Sumber : Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah…. h. 31 dan
www.wikipedia.org/wiki/shadhili
REVISI - UAS
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di muka, maka masalah yang akan penulis kupas dalam makalah
ini adalah :
1. Bagaimanakah proses regenerasi dan tradisi kaderisasi kemursyidan dalam thariqah,
khususnya Thariqah Syadziliyyah, berlaku?
2. Mengapa sanad thariqah syadziliyyah di Solo tidak berlanjut ketika sang guru
mursyid, K.H.R.M. Ma’ruf Mangunwiyoto wafat?
Kemunculan Thariqah
Sepeninggal Nabi SAW, fitnah besar terjadi di separuh terakhir masa pemerintahan Al-
Khulafaur Rasyidun, dan semakin menghebat pada masa daulah Bani Umayyah, di mana
sistem pemerintahan telah mirip dengan kerajaan. Penguasa memiliki kekuasaan yang tak
terbatas, yang cenderung lebih mengutamakan kepentingan pribadi mereka, keluarga atau
kelompoknya dan mengalahkan kepentingan rakyat kebanyakan. Dan akhirnya berujung
pada munculnya “pemberontakan” yang digerakkan oleh golongan khawarij, syiah, dan
zuhhad.
Dua golongan pertama memberontak dengan motivasi politik: merebut kekuasaan dan
jabatan. Sementara golongan terakhir melakukan “pemberontakan” untuk mengingatkan para
penguasa agar kembali kepada ajaran agama dan kembali memakmurkan kehidupan rohani.
Mereka berpendapat bahwa kehidupan rohani yang terjaga dan terpelihara dengan baik akan
dapat memadamkan api fitnah, iri dengki dan dendam.
Fitnah yang muncul dari iri dan dengki yang lahir karena perasaan hubbud dunya wa
karahiyatul maut (terlalu cinta pada kehidupan duniawi dan takut mati) itu pula yang
belakangan mereka yakini telah menghancur leburkan Daulat Bani Umayyah dan Daulat Bani
Abbasiyyah. Meski keduanya pernah termasyhur sebagai merupakan pemerintahan yang
terbesar di dunia,dengan wilayah kekuasaan yang terbentang dari daratan Asia dan Afrika di
bagian timur sampai daratan Spanyol Eropa di bagian barat.12
Gerakan para Zuhhad pada mulanya merupakan kegiatan sebagian kaum muslimin yang
semata- mata berusaha mengendalikan jiwa mereka dan menempuh cara hidup unuk
12
Tim Penyusun JATMAN, loc. Cit. hlm. 14
REVISI - UAS
mencapai ridlo Allah Swt, agar tidak terpengaruh dan terpedaya oleh tipuan dan godaan
duniawi (materi). Lama kelamaan cara kehidupan rohani yang mereka tempuh berkembang
menjadi alat unuk mencapai tujuan yang lebih murni, bahkan lebih mendalam, yaitu
mencapai hakekat ketuhanan dan ma’rifat (mengenal) kepada Allah yang sebenar-benarnya,
melalui riyadhah (laku pihatin), mujahadah (perjuangan batin yang sungguh-sungguh),
mukasyafah (tersingkapnya tabir antara dirinya dan Allah), musyahadah (penyaksian
terhadap keberadaan Allah). Dengan isilah lain, laku batin yang mereka tempuh dimulai
dengan takhalli (mengosongkan hati dari sifat-sifat tercela), lalu tahalli (menghiasi hati
dengan sifat yang terpuji), lalu tajalli (mendapatkan pencerahan dari Allah SWT). Tata caa
kehidupan rohani tersebut kemudian tumbuh berkembang di kalangan masarakat muslim,
yang akhirnya menjadi disiplin keilmuan tersendiri, yang dikenal dengan ilmu Tashawuf atau
sufisme.
Bersamaan munculnya Tasawuf di akhir abad kedua hijriah, lahir juga istilah thariqah yang
perlahan mulai menemukan bentuknya sebagai sebuah sistem dan metodologi yang terdiri
dari sekumpulan aqidah, akhlak, dan seperangkat aturan terentu bagi kaum sufi.
Thariqah Shufiyyah, metode kaum sufi, saat itu menjadi penyeimbang terhadap Thariqah
Arbabil Aql wal fikr, metode penalaran kelompok orang yang menggunakan akal dan pikiran.
Thariqah yang pertama lebih menekankan pada dzauq (rasa) sedangkan yang kedua lebih
menekankan pada burhan (bukti nyata /empiris). Istilah thariqah juga digunakan untuk
menyebut suatu pembimbingan pribadi dan perilaku yang dilakukan oleh seorang guru
musyid kepada muridnya. Pengertian terakhir inilah yang lebih banyak difahami orang
banyak ketika mendengar kata thariqah atau tarekat.
Pada perkembangan berikutnya, berkembang perbedaan metode laku batin yang diamalkan
dan diajarkan para tokoh sufi kepada muridnya, yang disebabkan perbadaan pengalaman dan
rasa antar masing-masing tokoh, meski tujuan akhir mereka semua tetap sama: menggapai
ridha dan cinta Allah SWT. Perbedaan metode itulah yang akhirnya memunculkan aliran-
aliran thariqah yang namanya diambil dari tokoh-tokoh sentral aliran tersebut, seperti
Qadiriyah, Rifa’iyyah, Syadziliyyah, Dasuqiyyah/Barahamiyyah, Zainiyyah, Tijaniyyah,
Naqsabandiyyah, dan lain sebagainya.
Mursyid Thariqah
REVISI - UAS
Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing thariqah yang telah memperoleh
izin dan ijazah dari guru mursyid di atasnya, yang terus bersambung sanadnya sampai kepada
Rasulullah SAW sebagai Shahibuth Thariqah, untuk men-talqin-kan dzikir atau wirid
thariqah kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid). Dalam thariqah
Tijaniyyah, sebutan untuk mursyid adalah muqaddam.13
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thariqah. Karena ia tidak saja
pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriah sehari-hari agar
tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga
merupakan pemimpin kerohanian bagi para muridnya agar bisa wushul (terhubung) dengan
Allah SWT. Karena ia merupakan washilah (perantara) antara si murid dengan Allah Swt.
Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thariqah.14
Oleh karena itu, jabatan ini
tidak boleh dipangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thariqah
cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan rohani dan kehidupan
batin yang tulus dan suci.
Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy, salah seorang tokoh Thariqah Naqsyabandiyah yang
bermazhab Syafi’i, menyatakan, yang dinamakan Syaikh/Mursyid adalah orang yang sudah
mencapai maqom Rijalul Kamal, seorang yang sudah sempurna suluk/lakunya dalam syari’at
dan hakikat menurut Al Qur’an, sunnah dan ijma’. Hal yang demikian itu baru terjadi sesudah
sempurna pengajarannya dari seorang mursyid yang mempunyai maqam (kedudukan) yang
lebih tinggi darinya, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah Muhammad SAW,
yang bersumber dari Allah SWT dengan melakukan ikatan-ikatan janji dan wasiat (bai’at)
dan memperoleh izin maupun ijazah untuk menyampaikan ajaran suluk dzikir itu kepada
orang lain.15
Seorang mursyid yang mu’tabar, diakui keabsahanya, itu tidak boleh diangkat dari seorang
yang bodoh, yang hanya ingin menduduki jabatan itu karena nafsu. Mursyid merupakan
penghubung antara para muridnya dengan Allah SWT, juga merupakan pintu yang harus
dilalui oleh setiap muridnya untuk menuju kepada Allah SWT. Seorang syaikh/mursyid yang
tidak mempunyai mursyid yang benar di atasnya, menurut Al-Kurdy, maka mursyidnya
13
Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah….. h. 22
14
Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah…. h. 23 dan Prof. DR.H. Aboebakar Atjeh, Pengantar Ilmu
Tarekat: Uraian Tentang Mistik (Solo: Ramadhani) h. 64-69 15
Syaikh Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul Qulub fi Muamalati Allamil Ghuyub (Beirut-Lebanon: Dar el-
Fikr) h.45
REVISI - UAS
adalah syetan. Seseorang tidak boleh melakukan irsyad (bimbingan) dzikir kepada orang lain
kecuali setelah memperoleh pengajaran yang sempurna dan mendapat izin atau ijazah dari
guru mursyid di atasnya yang berhak dan mempunyai silsilah yang benar sampai kepada
Rasulullah SAW. 16
Sementara Syaikh Abdul Qadir Jailani, sebagaimana dikutip oleh Syaikh Ja’far bin Abdul
Karim Al-Barzanji, menetapkan syarat menjadi mursyid lebih luas lagi: memiliki keilmuan
standar para ulama, kearifan para ahli hikmah, dan wawasan serta nalar politik seperti para
politisi.17
Pra syarat yang cukup berat ini menunjukkan bahwa selain membimbing dalam
urusan agama, seorang mursyid juga menjadi penasehat bagi murid-muridnya dalam hampir
seluruh aspek kehidupannya: politik, ekonomi, budaya, sosial dan pendidikan.
Di luar urusan pendidikan dan kapasitas personal, kalangan thariqah juga meyakini, bahwa
terpilihnya seorang sufi menjadi guru mursyid adalah anugerah sekaligus ujian hidup yang
luar biasa. Karena itu pemilihan seseorang mursyid bukan sekedar hasil pemikiran dan ijtihad
dari gurunya, melainkan hasil petunjuk dari Allah Ta’ala dan Rasulullah, sebagai pemilik dan
guru sejati ilmu thariqah. Karena pengangkatannya bersumber dari petunjuk atau isyarah
yang diberikan Allah, kemursyidan seseorang sufi biasanya diketahui secara spiritual oleh
mursyid-mursyid mu’tabar lain di thariqahnya.18
Selain penjagaan otentisitas sanad kemursyidan melalui jalur spiritual, upaya penjagaan
lahiriah juga diupayakan para guru mursyid dengan selalu menghadirkan empat orang saksi
dalam prosesi pengangkatan seorang murid menjadi mursyid, dan belakangan dengan surat
keterangan tertulis. Ini semua dalam rangka menghindari fitnah-fitnah atau pengakuan palsu
mengenai kemursyidan seseorang, yang berpotensi merugikan umat Islam yang ingin
mempelajari dan mengikuti thariqah shufiyyah.
Karena prosesnya yang diyakini murni bersumber dari petunjuk Allah SWT dan Rasulullah
SAW itu pula proses regenerasi kemursyidan tidak berjalan dengan mudah dan terus mengalir
secara otomatis. Jika ada seorang ulama yang menjadi mursyid, tidak otomatis bisa
16
Syaikh Muhammad Amin Kurdi, Tanwirul…..h. 45 17
Ja’far bin Abdul Karim Al-Barzanji, Al-Lujjain Ad-Dani fi Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani: Syaikh Abd Al-Qadir Al-Jilani, dalam Bulughul Amani (terjemah manaqib dalam bahasa Jawa) (Semarang: Hasyim Putra) h. 31 18
Hasil wawancara dengan K.H. Busroni, K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni, ketiganya adalah badal (asisten mursyid) dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya, sekaligus juga pengurus pusat Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (JATMAN) di mana Habib Luthfi juga menjadi Rais Am-nya.
REVISI - UAS
diharapkan anaknya akan menggantikannya sebagai mursyid kelak sepeninggal sang ayah.
Juga tidak dengan mudah diharapkan, jika ada seorang mursyid yang memiliki banyak murid
maka akan dengan mudah mengangangkat banyak pengganti. Karena itu tak jarang, seorang
mursyid yang sangat terkenal sampai wafatnya tidak mengangkat mursyid baru atau mursyid
penggantinya, sehingga garis kemursyidannya pun terputus.19
Selain Mursyid atau Muqaddam, yang berhak mengajarkan thariqah, menerima bai’at dan
mengangkat mursyid baru, dalam tradisi thariqah –termasuk Syadziliyyah—di Indonesia juga
dikenal sebutan Khalifah dan Badal Mursyid. Khalifah adalah seorang sufi yang mendapat
ijazah untuk mengajarkan thariqah dan menerima pembai’atan, kepada umat Islam, tetapi
tidak berhak mengangkat mursyid baru. Sedangkan Badal adalah seorang sufi, murid senior
dari seorang mursyid, yang membantu proses pengajaran thariqah dan menerima
pemba’aiatan atas nama dan dengan ijin mursyid. Jadi badal tidak berhak membuka
pembai’atan dan pengajaran sendiri, secara mandiri.20
Ketika seorang guru mursyid wafat dan tidak mengangkat pengganti, maka demi
keberlangsungan suluknya, para murid diharuskan melanjutkan pelajaran, bai’at dan
suluknya kepada guru mursyid lain.
Thariqah Syadziliyyah
Thariqah Syadziliyyah adalah thariqah yang didirikan oleh Syaikh Abu al-Hasan Ali bin
Abdullah bin Abdul Jabbar Asy-Syadzili, ulama kelahiran Ghamarah, sebuah kampung di
wilayah al-Maghrib al-Aqsha yang sekarang dikenal dengan Maroko, pada tahun 593 H
(1197 M), dan wafat di Humaitsara, Mesir pada tahun 656 H (1258M).21
Beliau adalah
seorang sufi pengembara yang mengajarkan bersungguh-sungguh dalam berdzikir dan
berfikir di setiap waktu, tempat dan keadaan untuk mencapai fana’ (ketiadaan diri di hadapan
Allah). Beliau juga mengajarkan pada muridnya untuk bersikap zuhud pada dunia dan iqbal
(perasaan hadir di hadapan Allah). Beliau juga mewasiatkan agar para muridnya membaca
kitab Ihya’ Ulumuddin dan kitab Qutul Qulub.
19
Hasil wawancara dengan K.H. Busroni, K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni …. 20
Hasil wawancara dengan K.H. Busroni, K.H. Nurhadi Syafi’I dan K.H. Muhammad Masroni …. 21
Muhammad Miftah Anwar dan Muhdhor Assegaf, Biografi Al-Imam Asy-Syadzili, Kepribadian dan
Pandangan (Brebes: Penerbit Al-Anwar, 2012) h. 21
REVISI - UAS
Syaikh Syadzili menjelaskan pada muridnya bahwa thariqahnya berdiri di atas lima perkara22
yang pokok, yaitu:
a. Taqwa pada Allah Swt dalam keadaan rahasia maupun terbuka.
b. Mengikuti sunnah Nabi dalam perkataan maupun perbuatan.
c. Berpaling dari makhluk (tidak menumpukan harapan) ketika berada di depan atau di
belakang mereka.
d. Ridlo terhadap Allah Swt dalam (pemberianNya) sedikit maupun banyak.
e. Kembali kepada Allah Swt dalam keadaan senang maupun duka.
Di samping itu beliau juga mengajak mereka untuk mengiringi thariqahnya dengan dzikir-
dzikir dan do’a– do’a sebagaimana termuat dalam kitab-kitabnya, seperti Al-Ikhwah, Hizb
Al-barr, Hizb Al-Bahr, Hizb Al Kabir, Hizb Al-Lathif, Hizb Al Anwar dan sebagainya.
Thariqah Syadziliyah ini berkembang dan tersebar di Mesir, Sudan, Libia, Tunisia, Al-Jazair,
Negeri utara Afrika, Syiria dan juga Indonesia. Dan belakangan thariqah ini kian digemari di
Indonesia karena amalan wiridnya yang ringan, mudah dan tidak memakan banyak waktu,
sangat cocok u ntuk kalangan pegawai atau karyawan yang jam kerjanya padat. Dan --untuk
di Pulau Jawa saat ini—tentu karena ketokohan para mursyidnya, khususnya Habib Luthfi
bin Ali bin Hasyim bin Yahya yang saat ini menjabat sebagai tokoh sentral dalam Jam’iyyah
Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, organisasi para pengamal thariqah
mu’tabarah yang bernaung di bawah Nahdlatul Ulama.
Thariqah Dan Kemursyidan Syadziliyyah di Solo
Sebagaimana telah dipaparkan di pendahuluan, bahwa Thariqah Syadziliyyah diperkirakan
telah masuk ke Jawa sejak zaman walisongo, yakni oleh Sunan Gunung Jati, Cirebon. Catatan
lain memperkirakan Thariqah Syadziliyyah masuk ke Jawa Timur pada pengujung abad 18.
Pembawanya adalah Mbah Mesir atau Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari,
seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa
Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur.23
22
Tim Penyusun JATMAN, Mengenal Thariqah…. h. 23 23
Abdurrahman Wahid, Gus Miek Wajah Sebuah Kerinduan, dalam kumpulan tulisan Gus Dur, Kyai Nyentrik
Membela Pemerintah (Yogyakarta : LKIS, cetakan III, 2000) h.130-131
REVISI - UAS
Catatan dan bukti yang lebih jelas dan detail tentang penyebaran Thariqah Syadziliyah di
Jawa baru ada di abad 19, ketika para santri Jawa yang sebelumnya berbondong-bondong
belajar di Makkah dan Madinah pulang ke tanah air. Generasi awal adalah K.H. Idris, pendiri
Pesantren Jamsaren, Solo, dan Kiai Ahmad, Ngadirejo, Klaten, yang mendapatkan ijazah
kemursyidannya dari Syaikh Muhammad Shalih, seorang mufti Madzhab Hanafi di Makkah.
Sementara guru-guru mursyid Syadziliyyah Jawa yang lain belajar pada generasi sesudah
Syaikh Shalih, yakni Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram, ulama Haramain asal Banyumas,
Jawa Tengah, yang seangkatan --atau lebih tinggi-- dengan Kyai Idris Jamsaren saat berguru
kepada Syaikh Muhammad Shalih.
Ulama Jawa yang berguru thariqah Syadziliyyah kepada Syaikh Ahmad Nahrawi Muhtaram
antara lain : K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, dan Kyai Siroj, Payaman,
Magelang; K.H. Ahmad Ngadirejo, Klaten; Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu,
Kendal; dan Sayyid Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi III)
Sumolangu, Kebumen; dan Kiai Abdul Malik, Sokaraja, Banyumas.
Dari Mbah Dalhar, ijazah kemursyidan itu turun kepada putranya K.H. Ahmad Abdul Haqq
(Mbah Mad Watucongol), Abuya Dimyathi (Cidahu, Pandeglang) dan Kyai Iskandar
(Salatiga).24
Sayang ketiga pewaris kemursyidan Mbah Dalhar itu kini telah wafat. Sementara
melalui jalur K.H. Ahmad Ngadirejo, ijazah kemursyidan kemudian diturunkan kepada K.H.
Abdul Rozaq Tremas, kemudian diturunkan kepada K.H. Mustaqim Tulungagung.
Kemursyidan Kiai Mustaqim kemudian dilanjutkan oleh K.H. Abdul Jalil Mustaqim,
pengasuh Pondok Pesantren Peta (Pesulukan Tarekat Agung) Tulungagung. Saat ini
kemursyidan di PETA dipegang oleh K.H. Solahuddin (Gus Saladin), putra Kyai Abdul Jalil
Mustaqim.25
Selain mewariskan ijazah kemursyidan, Mbah Kyai Mustaqim juga mengangkat beberpa
khalifah. Salah khalifah Kyai Mustaqim yang paling terkenal dan legendaris adalah K.H.
Abdul Hamid, Kajoran. Menjelang wafatnya, Mbah Hamid Kajoran menghadap Kyai
Mustaqim dan meminta gurunya tersebut untuk mengangkat K.H.R. Muhaiminan Gunardo,
Parakan Temanggung, sebagai khalifah Thariqah Syadziliyyah menggantikannya.26
24
http://ypialkamiliyyah.wordpress.com/2012/10/21/kh-dalhar-magelang/ 25
https://sites.google.com/site/temonkds/project-updates/enteryourmessagetotheteamhere 26
http://kyaiparakbamburuncing.blogspot.com/2011/12/profil-pon-pes-kyai-parak-bambu-runcing.html
REVISI - UAS
Dari jalur Kyai Abdullah bin Abdul Muthalib, Kaliwungu, ijazah kemursyidan turun kepada
K.H. Sami’un, pendiri pesantren Parakonje, Banyumas, yang kini dilanjutkan oleh generasi
keduanya, KH Zaid Abu Mansyur, Lesmana, dan KH Abu Hamid, Beji.27
Sementara dari
Jalur Kyai Abdurrahman bin Ibrahim Al-Jilani Al-Hasani (Syaikh Abdul Kaafi II)
Sumolangu, Kebumen, thariqah ini turun temurun diwariskan kepada putra-putranya Syaikh
Mahfuzh dan Syaikh Thoifur, lalu pada generasi sesudahnya, K.H. Chanifudin dan K.H.
Musyaffa’ Ali.28
Sementara itu jalur kemursyidan Syadziliyyah di Solo, dimulai dari Kyai Idris bin Zaed,
pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Jamsaren, Solo. Di masa Kyai Idris, Pesantren
Jamsaren tumbuh pesat sebagai pusat pengajaran agama Islam yang cukup disegani di Jawa
Tengah bagian selatan. Apalagi dengan menyandang kedudukan sebagai pusat pengajaran
thariqah Syadziliyyah, yang membuat semakin menambah wibawa pesantren ini.
Sebelum wafat, Mbah Idris mewariskan ijazah kemursyidan kepada diturunkan kepada
kemenakannya, K.H.R. Abdul Mu'id bin Thohir, keturunan Kyai Imam Rozi, salah seorang
senopati Pangeran Diponegoro yang bergelar Singomanja. Ketika kemursyidan berada di
tangan Kyai Abdul Muid, yang bermukim di Desa Tempursari, Klaten, perlahan pamor
kethariqahan Jamsaren meredup, hanya tinggal pamor sebagai pusat pengajaran agama Islam
terbesar di Solo.
Kyai Abdul Mu’id mendidik ribuan murid. Salah satu yang kemudian diberi ijazah
kemursyidan adalah putra tertuanya, K.H.R. Ma'ruf Mangunwiyoto. Karena kealimannya,
Kyai Ma’ruf diminta menjadi salah seorang ulama dan qadhi (hakim agama) di Keraton
Kasunanan Surakarta. Kyai Ma’ruf pun kemudian menetap di kampung Jenengan, sekitar
dua ratus meter sebelah selatan Pasar Kembang, Solo. Ketika pecah perang kemerdekaan,
Kyai Ma’ruf yang kharismatik dan menjadi salah satu tokoh besar thariqah Syadziliyyah di
Jawa pun ikut aktif menggerakkan para kiai ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan
melalui Barisan Kyai dan Sabilillah.
Selain menurunkan ijazah kemursyidan kepada putranya, Kyai Ma'ruf, Kyai Abdul Mu'id
Tempursari juga memberi ijazah kekhalifahan kepada K.H. Soeratmo bin K.H. Amir Hasan,
yang lebih dikenal dengn nama Mbah Kyai Idris Kacangan, Boyolali. Selain mendapat ijazah
27
www.ath-thohiriyyah.com, website resmi Pesantren yang dirintis oleh K.H. Sami’un, kini diasuh oleh generasi ketiga. 28
http://kangdjalil.blogspot.com/2011/01/syaikh-mahfudz-somalangu.html dan http://sayyidmuhammadraffie.blogspot.com/2009/05/riwayat-singkat-syekh-muhammad-kahfi.html
REVISI - UAS
dari Tempursari, Mbah Idris Kacangan juga mendapatkan ijazahnya dari K.H. Abdul Razaq
Tremas Pacitan, yang mendapatkan ijazah kemursyidannya dari K.H. Ahmad Ngadirejo.
Kyai Ma'ruf sendiri kemudian hanya sekali mengangkat salah seorang muridnya menjadi
mursyid yakni Kyai Shodiq Pasiraja Banyumas. Hanya kepada Kyai Shodiq. Bahkan Kyai
Ma’ruf tidak menurunkan kemursyidannya kepada putranya, K.H. Djami’ul Abror. Beliau
lebih memilih mengembalikan maqam kemursyidan sepeninggalnya kepada shahibut
thariqah, Syaikh Abil Hasan Ali Asy-Syadzili. Dengan wafatnya Kyai Ma’ruf berakhirlah
garis kemursyidan thariqah Syadziliyyah di Solo, sebab Mbah Idris Kacangan pun hanya
memiliki ijazah kekhalifahan yang tidak bisa diwariskan.29
Jika ditinjau dari tradisi regenerasi kemursyidan thariqah, keputusan Kyai Ma’ruf untuk tidak
lagi mengangkat seorang mursyid setelah Kyai Shodiq besar kemungkinan karena ketatnya
Kyai Ma’ruf menjaga tradisi dan ajaran thariqah yang menegaskan bahwa kemursyidan
seseorang adalah kehendak Allah dan Rasul-Nya, bukan atas kemauan sang mursyid sendiri.
Hanya alasan menjaga tradisi ini yang masuk akal sampai-sampai hingga akhir hayatnya
Kyai Ma’ruf tidak mengangkat putranya sendiri menjadi mursyid, meski dari segi
kealimannya Gus Abror cukup memenuhi syarat. 30
Bahkan dalam konteks tertentu, seorang mursyid pun tidak mengangkat khalifah baru, ketika
seorang khalifah wafat. Habib Luthfi, misalnya, ketika diminta mengangkat pengganti Kyai
Idris Kacangan oleh murid-murid Syadziliyyah di Kacangan menegaskan, “Kuwi lak karepku
lan karepmu, ning karepe sing duwe thariqah ora ngono kuwi.” (Itu –mengangkat
pengganti—khan kemauan kita, tapi kehendak sang pemilik thariqah tidak demikian.—garis
silsilahnya hanya sampai di sini,- penulis).31
Mengikuti tradisi keilmuan thariqah, murid-murid dari Syaikh Ma’ruf, Jenengan, dan Syaikh
Idris, Kacangan, pun rata-rata melanjutkan bai’at dan suluk mereka kepada mursyid-mursyid
thariqah Syadziliyyah lain yang saat ini masih hidup. Meski ada juga yang secara kasuistik
justru mengibarkan bendera kemursyidan sendiri.
29
Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror Ma’ruf, putra K.H. Ma’ruf), serta K.H. Busroni dan K.H. Nurhadi Syafi’I, keduanya adalah badal mursyid Thariqah Syadziliyyah dari Maulana Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya, Pekalongan. 30
Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Umi Kulsum (Istri Almarhum K.H. DJami’ul Abror), menantu K.H. Ma’ruf 31
Wawancara dengan Kyai Busroni, Solo.
REVISI - UAS
Kesimpulan
1. Tradisi regenerasi kemursyidan dalam thariqah, khususnya dalam thariqah
Syadziliyyah, tidak melalui proses yang perencanaan dan pengkaderan (by design)
melainkan melalui jalur burhani, dalam arti, berdasarkan petunjuk atau ilham yang
diyakini kaum thariqah bersumber dari Allah Ta’ala dan Rasulullah SAW.
2. Tradisi kemursyidan Syadziliyyah di Solo terputus sebab mursyid terakhirnya
berpegang teguh pada tradisi regenerasi silsilah kemursyidan thariqah yang
mengedepankan unsure burhani dari pada keinginan pribadi.