Kesetaraan gender , Winda Atmeiti, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352076-MK-Winda...
Transcript of Kesetaraan gender , Winda Atmeiti, FIB UI, 2013lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352076-MK-Winda...
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
KESETARAAN GENDER DI JEPANG
Winda Atmeiti
Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia,
Depok 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Perubahan Undang-Undang Dasar di Jepang setelah Perang menyebabkan berubahnya nilai dan struktur masyarakat
Jepang. Undang-Undang baru yang berdasarkan demokrasi dan pengakuan hak individu berpengaruh pada
kesetaraan gender di Jepang. Kesetaraan gender ini menyebabkan perempuan Jepang mendapatkan hak dan
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi yang dapat membantu mereka
di bidang yang lain. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi literature dengan analisis
deskriptif.
Kata Kunci: kesetaraan gender, perempuan Jepang, pendidikan
Gender Equality in Japan
Abstract
The changes law after the war brought a change in the values and structure of Japanese society. The new law is
based on democracy and individual recognition led to gender equality in Japan, as in the field of education is
essential to make the quality of human resources. Gender equality makes Japanese women get the same rights and
opportunities as men to get high education that can support them in other field of life. The method used in the
research of this paper is the study of literature methods using descriptive analysis.
Keyword: gender equality, Japanese women, education
Pendahuluan
Masalah kesetaraan gender dalam ruang publik merupakan masalah yang sampai saat ini masih
di perjuangkan di beberapa negara. Masalah kesetaraan gender pertama kali diusung oleh
gerakan feminisme pada abad 18 di dunia barat, aliran ini berangkat dari sebuah kesadaran
bahwa ketidakseimbangan kondisi antara laki-laki dan perempuan telah menyebabkan
perempuan tertindas, terampas hak asasinya dan terpojokkan oleh tatanan masyarakat yang
didominasi oleh laki-laki.
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
Salah satu negara yang masih memperjuangkan kesetaraan gender adalah negara Jepang. Jepang
yang pada periode Edo dikuasai oleh pemerintah Tokugawa, menerapkan sistem ajaran
Konfusianis1 dalam negaranya untuk mempertahankan kedamaian wilayah Jepang. Kekuasaan
pemerintah feodal Jepang yang berlangsung selama lebih dari 2,5 abad mengakibatkan
kebebasan kaum wanita Jepang sedikit demi sedikit berkurang. Seiring dengan diberlakukannya
etika Konfusianis yang berasal dari Cina dan sistem keluarga patriakal yang disebut dengan ie2 ,
semakin memperkuat dominasi laki-laki dalam masyarakat. ajaran konfusianis juga
memperlakukan hukum yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. (Brown, 1993: xvi)
Sejak Jepang membuka diri terhadap dunia internasional pada zaman Meiji (1868), pemikiran
seperti demokrasi, feminisme, universalitas dan lainnya mulai masuk. Jepang menyadari bahwa
satu-satunya cara menyamakan kedudukan negara barat adalah dengan menguasai ilmu
pengetahuan dari negara barat, untuk mewujudkan hal tersebut Jepang mengirimkan utusan yang
dipimpin oleh Iwakura Tomomi ke Eropa dan Amerika dengan tujuan mencari sistem pendidikan
baru yang cocok bagi Jepang. Dalam misi ini ikut serta lima orang anak perempuan berusia 9-16
tahun, yaitu Nagai Shige, Yamakawa Sutematsu, Yoshimatsu Ryo, Ueda Tei dan Tsuda Umeko.
Beberapa dari perempuan yang telah sekolah di luar negeri ini pada akhirnya ikut serta dalam
gerakan feminisme agar tumbuh kesadaran dalam diri perempuan Jepang bahwa mereka
didiskriminasi dan harus menuntut kesetaraan gender. Inilah awal gerakan memperjunagkan
kesetaraan gender di Jepang. (Wulandari, 2003:4). Meskipun demikian tidak berubahnya nilai-
nilai moral dalam masyarakat Jepang mengakibatan tidak semua pihak dapat menerima
kesetaraan gender tersebut, karena masih kentalnya pemikiran Konfusianisme dari pemerintahan
feodal terdahulu.
Salah satu tokoh feminisme pafa zaman Meiji adalah Fukuzawa Yukichi. Pokok-pokok
pemikiran Fukuzawa Yukichi dengan tegas mengatakan pada rakyat Jepang bahwa pada saat itu
pendidikan diperuntukan bukan untk laki-laki saja, tetapi perempuan juga berhak mendapatkan
pendidikan. Dalam kehidupan pribadinya sendiri Fukuzawa Yukichi sendiri mendorong anak-
1 Ajaran agama yang menyebar dari India ke Cina sekitar 400SM, dan disebarkan ke Jepang dari Cina melalui semenanjung
Korea pada pertengahan abad 6 (Brown, 1993: 544) 2 Ie memiliki dua arti yaitu rumah sebagai bangunan, dan sebagai sistem. Disebut sistem karena peraturan dalam rumah atau
keluarga tradisional Jepang secara keseluruhan diatur oleh penguasa pada saat itu dimana setiap keluarga memiliki peraturan
yang sama yang harus dijalani (Nakane, 1970:37)
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
anak perempuannya untuk mengabdi kepada negara dan melanjutkan sekolah ke Jenjang yang
lebi tinggi.
Kekalahan Jepang dalam perang dunia ke-II mengakibatkan Jepang mendapatkan intervensi dari
Amerika untuk mengubah perundang-undangan Jepang. Perubahan tersebut diantaranya adalah
persamaan kedudukan dalam hak dan kesempatan untuk laki-laki dan perempuan, dan
dihapuskannya sistem keluarga ie yang dianggap terlalu membedakan peran antara laki-laki dan
perempuan. Hal ini tertulis dalam UUD Jepang 1946, yang adalah hasil campur tangan Amerika
dalam upaya mengubah Jepang. Undang-Undang yang mengatur tentang persamaan hak
diantaranya terdapat pada pasal 14 (Okamura, 1983)
“All the people shall be equal under the law and there no shall be discrimination in
political, economic, or social relation because of race, creed, sex, social status or
family origin”
Terjemahan:
Semua rakyat sama kedudukannya di depan hukum dan tidak boleh ada perbedaan-
perbedaan dalam hubungan politik, ekonomi atau sosial yang disebabkan oleh asal
ras, kepercayaan, kenis kelamin, status sosial maupun asal keluarga.
Dengan adanya pasal ini hak-hak idividu diakui dan kesetaraan gender mulai muncul yang
membuat perempuan Jepang mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki, diantaranya dalam
pendidikan, pekerjaan dan rumah tangga. Kesetaraan gender yang telah dijamin dalam UUD
1096 membuat banyak perubahan pada wanita Jepang. Wanita Jepang mulai menyadari peran
mereka dalam masyarakat dan menuntut perbaikan kondisi wanita (Okamura, 1983: xi).
Landasan Teori dan Metode
Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu genus, berarti tipe atau jenis. Kata Gender dalam bahasa
Inggris berarti jenis kelamin (Echols & Sadhily, 1983: 256). Menurut Irwan (2001) gender
adalah perbedaan peran serta tanggung jawab bagi perempuan dan laki-laki yang dibentuk
berdasarkan budaya dan masyarakat. Menurut Suprijadi (2004) gender adalah peran sosial yang
ditentukan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan menurut Suryadi dan Idris (2004) gender
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
adalah jenis kelamin sosial yang digunakan sebagai konotasi dalam masyarakat untuk
menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Dengan melihat dari tiga definisi tersebut
Secara umum, pengertian gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan
yang membedakan peran dan tanggung jawab yang diterima dalam masyarakat dengan melihat
jenis kelamin. Dengan adanya perbedaan itu, maka diusungkan konsep kesetaraan gender untuk
menghilangkan diskriminasi tersebut.
Dalam bahasa Jepang kesetaraan gender disebut dengan danjou byoudou (男女平等). Kesetaraan
gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan
serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional,
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi
penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun
perempuan.
Menurut Teori Gender Fungsional Struktural Suryadi dan Idris, (2004) munculnya tuntutan
untuk kesetaraan gender dalam peran sosial di masyarakat sebagai akibat adanya perubahan
struktur nilai sosial masyarakat. Dalam era globalisasi yang penuh dengan berbagai persaingan
peran seseorang tidak lagi mengacu kepada norma-norma kehidupan sosial yang lebih banyak
mempertimbangkan faktor jenis kelamin, akan tetapi ditentukan oleh daya saing dan
keterampilan. Dalam konteks Jepang kesetaraan gender muncul karena adanya intervensi
Amerika setelah kalah pada Perang Dunia II. Amerika mempengaruhi mengubah Jepang untuk
mengubah Undang-undang dasar Jepang. Perubahan ini berdampak pada perubahan struktur dan
nilai sosial di masyarakat, seperti penghapusan sistem ie dan dijaminnya kesetaraan gender di
dalam hukum. Kesetaraan gender ini pada akhirnya memberikan perempuan peran yang lebih
besar dalam masyarakat, khususnya dalam pendidikan.
Tulisan ini akan menjelaskan kesetaraan gender di Jepang, khususnya dalam bidang pendidikan.
Karena pendidikan merupakan dasar dari kemajuan suatu negara. Kemajuan suatu negara dapat
dilihat dari kualitas sumber daya manusianya, sumber daya manusia yang berkualitas merupakan
hasil dari sistem pendidikan yang baik dalam negara tersebut. Jepang dikatakan sebagai negara
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
industri maju dan setara dengan barat, karena sumber daya manusianya yang terdidik dengan
baik. Metode yang digunakan dalam penulisan mini skripsi ini adalah metode telaah kepustakaan
dengan menggunakan analisis deskriptif.
Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan di Jepang Sebelum Perang
Zaman Meiji merupakan awal adanya reformasi pendidikan. Sebelumnya pendidikan hanya
diperuntukan untuk anak laki-laki, baik anak bangsawan di sekolah yang didirikan oleh daimyo
maupun bagi anak biasa di Terakoya. Pada zaman Meiji pemerintah menerapkan sistem
pendidikan baru yang merupakan sistem pendidikan model barat yang disebut gakusei. Sistem
ini mempekenankan kaum perempuan untuk turut serta mendapatkan pendidikan. Dalam sistem
tersebut sekolah dasar selama 4 tahun diwajibkan untuk anak-anak sejak usia 6 sampai 10 tahun.
Di sekolah dasar ini baik anak laki-laki maupun perempuan mendapatkan pelajaran dari
kurikulum yang sama, yang berarti kesetaraan gender dalam bidang pendidikan sudah ada sejak
zaman Meiji. Meskipun demikian pemerintah Jepang tetap berusaha melestarikan nilai-nilai
tradisional mereka. Nilai-nilai moral merupakan pelajaran yang paling ditekankan dalam
sekolah.
Pada Sekolah menengah kurikulum yang diajarkan pada anak laki-laki dan perempuan menjadi
berbeda. Sistem ini menimbulkan diskriminasi pendidikan diantara laki-laki dan perempuan.
Pendidikan di Jepang pada zaman itu dirancang untuk disesuaikan dengan program pemerintah
yang menganggap perempuan adalah orang yang bertanggung jawab dalam pendidikan anak,
yang kelak akan menjadi penerus bangsa. Untuk itu pemerintah menjadikan ajaran Konfusius
sebagai dasar dari sistem pendidikan pada zaman itu dan menjadikan pemikiran ryosai kenbo
(istri yang baik, ibu yang bijaksana) sebagai tujuan utama pendidikan wanita. Berdasarkan hal itu
maka pendidikan yang didapat oleh para wanita adalah pendidikan untuk mengurus rumah
tangga dan merawat anak. Orang tua beranggapan bahwa wanita pada akhirnya akan mengurus
rumah tangga sehingga tidak memerlukan pendidikan tentang ilmu pengetahuan seperti pria.
Anak perempuan biasanya akan belajar menjahit atau kegiatanlainnya yang berhubungan dengan
rumah tangga. Sedangkan dalam tingkat universitas hanya anak laki-laki yang mendapatkan
kesempatan (Okamura, 1983: 53).
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
Dengan demikian kesetaraan gender sebelum perang di Jepang dalam bidang pendidikan belum
lah setara antara laki-laki dan perempuan. dengan masih kentalnya pemikiran konfusius yang
menekankan perempuan untuk menjadi ibu yang baik, pendidikan perempuan diarahkan ke
dalam pendidikan rumah tangga saja.
Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan di Jepang Sesudah Perang
Setelah perang dunia II, dikeluarkan undang-undang yang mendukung bahwa perempuan juga
berhak untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan pria melalui pasal 26 Shinkempo 1946
seperti yang dikutip pada buku Peranan Wanita Jepang (1983: 8),
“Semua warga negara, seperti yang telah ditetapkan dalam hukum, memiliki hak yang
sama untuk menerima pendidikan yang sesuai dengan kemampuannya “
“Semua warga negara, seperti yang telah ditetapkan dalam hukum memikul tanggung
jawab untuk memberikan pendidikan umum bagi anak-anaknya yang berada di bawah
pengawasannya. Pendidikan wajib belajar ini diberikan secara gratis”
Menurut pasal di atas tidak ada lagi diskriminasi dalam hal pendidikan antara anak laki-laki dan
perempuan. Alasan ketidakmampuan atau kesulitan ekonomi bukan lagi menjadi alasan karena
pemerintah telah menjamin pendidikan wajib belajar bagi rakyatnya. Hak perempuan dalam
pendidikan yang sama dengan laki-laki telah diakui dan keadaan perempuan menjadi lebih baik.
Setelah Perang wajib belajar pendidikan dasar dan menengah berlaku untuk penduduk berusia 6
tahun hingga 15 tahun. Di sekolah menengah tidak ada lagi diskriminasi yang membedakan
pendidikan bagi perempuan dan laki-laki.Sebagian besar lulusan sekolah menengah pertama
melanjutkan ke sekolah menengah atas. Di kalangan penduduk berusia 15 tahun ke atas, tingkat
melek huruf sebesar 99%, laki-laki: 99%; perempuan: 99% (2002). menurut Menteri
Pendidikan dan Kebuayaan Jepang hampir semua murid meneruskan ke Sekolah Menengah
Atas, dan sekitar 75,9% lulusan sekolah menengah atas pada tahun 2005 melanjutkan ke
universitas, akademi, sekolah keterampilan, atau lembaga pendidikan tinggi lainnya. Hal ini
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
dapat dilihat dengan semakin banyaknya wanita yang mendapatkan pendidikan dan dapat
dilihat pada tabel berikut,
Tabel 1
Persentase pendidikan SMA (Teruko, 1999:116)
Tahun Anak Perempuan Anak Laki-laki
1950 36,7 48,0
1955 47,4 55,5
1965 69,9 71,7
1975 93,0 91,0
1985 94,9 92,8
1991 95,8 93,5
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah anak perempuan yang mendapatkan
pendidikan sampai jenjang SMA meningkat setiap tahunnya, bahkan sejak tahun 1975 anak
perempuan lebih banyak dari laki-laki. Peningkatan pendidikan tersebut bukan hanya pada
tingkat SMA, tetapi juga dalam tingkat perguruan tinggi seperti gambar berikut,
Tabel 2
Persentase Laki-laki dan Perempuan yang melanjutkan ke universitas
tahun Laki-laki % Perempuan %
1965 20.7 4.6
70 27.3 6.5
75 40.4 12.5
80 39.3 12.3
85 38.6 13.7
90 33.4 15.2
95 40 22.9
2000 47.5 31.5
2002 47 33.8
2003 47.8 34.4
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
Perempuan yang mengambil pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi mengalami
peningkatan setiap tahunnya, meskipun persentase laki-laki yang melanjutkan lebih banyak dari
perempuan. pada gambar persentase perempuan yang masuk unversitas pada tahun2003
mencapai 34,4 % dan persentase laki-laki 47%. Hal ini menjelaskan keadaan perempuan
khususnya dalam bidang pendidikan semakin membaik dan mereka memiliki kesadaran bahwa
mereka juga memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam hal pendidikan. Karena
pendidikan merupakan hal yang penting bagi sumber daya manusia, meningkatnya pendidikan
bagi perempuan ini juga mengakibatkan membaiknya kondisi perempuan di bidang lain.
Pada masa setelah perang kesetaraan gender yang diterima oleh perempuan semakin membaik.
Dengan hampir seluruh lulusan sekolah menegah yang melanjutkan SMA dan yang melanjutkan
sekolah ke unversitas pun semakin banyak.
Dampak Pendidikan Perempuan yang Tinggi Terhadap Keluarga dan Pekerjaan
Dengan memiliki pendidikan yang tinggi status dan perempuan dalam lingkungan sosial yang
awalnya diangap lemah karena selalu bergantung pada laki-laki menjadi kuat. Hal ini
dikarenakan dengan pendidikan yang tinggi perempuan dapat hidup lebih mandiri, seperti
bekerja dan mempunyai penghasilan sendiri. Adanya peraturan yang didukung oleh pemerintah
tentang hak perempuan pun semakin menguntungkan para perempuan.
Dampak Pendidikan Tinggi dalam Keluarga dan Pekerjaan
1. Mempunyai penghasilan sendiri, jumlah pekerja perempuan di Jepang pada tahun 2000
adalah sebesar 40,7% dari keseluruhan jumlah pekerja, dari jumlah ini 59,9% adalah
perempuan yang telah menikah dan 33,1% belum atau tidak menikah. Terlihat bahwa
wanita yang telah menikah memiliki peran yang lebih besar dalam ketenagakerjaan
Jepang. Mempunyai pendidikan yang baik pada dasarnya akan mendapatkan pekerjaan
dengan gaji yang baik pula. Gaji tersebut biasanya bukan digunakan para ibu untuk
membeli barang-barang keperluan pribadinya, melainkan untuk menambah penghasilan
keluarga dan membantu pendidikan anaknya (Okamura, 1983:40). Salah satunya untuk
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
membiayai juku anaknya. Walaupun pemerintah menjalankan program wajib belajar
secara gratis, ketatnya persaingan pendidikan di Jepang membuat para ibu memasukkan
anaknya ke juku.
2. Munculnya kyouiku mama, tingginya pendidikan para perempuan akan mempengaruhi
pendidikan anak-anaknya. Para perempuan yang berpendidikan tinggi ini pada umumnya
akan memberikan tuntutan yang sama pada anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan
yang tinggi pula. Tekanan pendidikan yang diberikan para ibu kepada anaknya ini disebut
dengan kyouiku mama. Salah satu langkah yang diambil para ibu agar anaknya bisa
mendapatkan pendidikan yang bagus adalah memasukan anaknya ke juku. Menurut
James William Breen (2000), juku adalah “coaching school” atau “cramming school”,
yang berarti sekolah untuk proses pembinaan. Sekolah ini ditujukan untuk membantu
para siswa untuk membantu dan mengatasi permasalahan pelajaran yang ada di sekolah,
selain itu juga membantu mereka agar dapat lulus ujian masuk sekolah maupun
universitas. Juku dianggap penting oleh masyarakat Jepang, karena ketatnya persaingan
dalam kehidupan masyarakat Jepang terutama pendidikan dan dunia kerja. Persaingan
inilah yang membuat juku semakin dibutuhkan dan dipercaya oleh para orangtua dapat
membantu anak-anak mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan belajar.
3. Menjadi wanita karir, semakin tinginya pendidikan perempuan semakin membuka
kesempatan perempuan untuk mendapatkan karir yang baik.
Gambar 3
Persentase perempuan dalam management perusahaan dan profesi
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
Pada data diatas, perempuan dalam bidang profesi sebagai dokter menempati urutan teratas
mencapai 15,6% diikuti oleh akuntan 10,7% dan jaksa atau pengacara sebesar 10,2%. Sementara
dalam management perusahaan angka tertinggi ditempati oleh kepala administrasi sebesar 9,4%,
kepala bagian 4,6% dan kepala departemen 3,1%, perempuan denga bidamg pekerjan ini pada
umumya adalah pekerja purna waktu.. Meskipun angka tersebut belum mencapai 50% dari
seluruh pekerja perempuan, namun dengan terus meningkatnya angka tersebut setiap tahunnya
menjelaskan bahwa perempuan Jepang semakin sadar dengan adanya kesempatan akan
kesetaraan gender yang mereka bisa dapatkan dalam pekerjaan.
Penutup
Kesetaraan Gender di Jepang sebenarnya mulai terlihat sejak zaman Meiji. Tetapi karena masih
kuatnya pengaruh konfusius, kesetaraan gender pada zaman ini dianggap kurang berhasil karena
masih banyaknya diskriminasi perempuan, Setelah Perang perempuan mendapatkan kesetaraan
gender dalam pendidikan secara penuh. Perempuan tidak lagi dibedakan dengan laki-laki dalam
pendidikan yang mereka dapat. Hal tersebut menyebabkan semakin banyak perempuan yang
terdidik dan menyelesaikan sampai tingkat universitas. Kesetaraan gender ini berdampak pada
peran perempuan dalam keluarga dan pekerjaan. Tingginya pendidikan perempuan membuat
para kaum ibu sangat menekankan pada pendidikan anaknya, untuk memenuhi hal tersebut
mereka akan bekerja dengan tujuan mempergunakan gaji mereka untuk pendidikan anaknya.
Berpijak pada teori Gender Fungsional Struktural Suryadi dan Idris, studi ini beragumentasi
bahwa kesetaraan gender merupakan akibat perubahan struktur nilai masyarakat. Dalam konteks
Jepang berubahnya struktur masyarakat disebabkan oleh intervensi Amerika yng merubah UUD
Jepang. Undang-undang yang sebelumnya berlandaskan ie berubah menjadi UU yang
berlandaskan demokrasi. Sistem ie mulai hilang digantikan dengan diakuinya hak-hak individu.
Diakuinya hak-hak individu ini menyebabkan diakuinya kesetaraan gender. Lebih lanjut Suryadi
mengatakan peran sosial tak lagi dilihat berdasarkan jenis kelamin, tetapi berdasarkan daya saing
dan keterampilan. Dengan adanya kesetaraan gender menyebabkan perempuan mendapatkan hak
yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan. Pendidikan yang didapatkan perempaun
menyebabkan perempuan menjadi sumber daya manusia yang unggul dan dapat bersaing dengan
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013
laki-laki. Sehingga perempuan tak lagi dianggap hanya dapat berperan dalam bidang dmestik
saja. Dengan pendidikan tinggi yang perempuan dapatkan menjadikan mereka mendapatkan
pekerjaan dan turut berperan dalam ekonomi Jepang.
DAFTAR ACUAN
Brown, Delmer M. 1993. The Cambridge History of Japan: Ancient Japan. Cambridge:
Cambridge Press.
Echols, Sadhily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Fujimura, Fumiko-Fanselow & Kameda, Atsuko. 1995. Japanese Woman New Feminist
Perspective on Past, Presents and Future. New York: The Feminist Press of The City
University of New York.
Halida, Ismi. 2009. Skripsi Peran Perempuan dalam Politik Jepang Menurut Teori Tatanan
Simbolik Jacques Lacan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program studi Sastra
Jepang.
Irwan, Abdullah. 2001. Seks, Gender dan Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta : Karawang Press
Nakane, Chie. 1970. Japanese Society. Barkeley and Los Angeles: University of California Press
Okamura, Masu. 1983. Peranan Wamita Jepang. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia UGM
Press
Suryadi Ace, Idris Ecep. 2002. Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidkan. Bandung:
Genesindo.
Teruko Inoue, Yumiko Ehara. 1991. Josei no detta bukku. Japan: Yukikaku.
Tripton, Elise K. 2000. Woman in Asia. Tradition, Modernity and Globalization. St. Leonard
(Australia): Allen and Unwin.
Wulandari, Endah. 1992. Laporan Penelitian Perubahan Kedudukan dan Peranan Wanita
Jepang dalam Kiitannta dengan Konsep Ie. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Kesetaraan gender ..., Winda Atmeiti, FIB UI, 2013