Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
-
Upload
farida-aryani -
Category
Documents
-
view
231 -
download
2
Transcript of Kesetaraan Gender Dalam Pandangan Islam
KESETARAAN GENDER DALAM PANDANGAN ISLAM
A. PENDAHULUAN
Membicarakan keadilan dan kesetaraan (gender issues) di dalam Hukum Islam tidak
bisa kita lepaskan dari tuntunan Al Qur`an dan Hadist sebagai sumber pokok dari
Hukum Islam. Hal ini perlu kita pelajari dengan baik dan benar supaya kita tidak
tersesat dalam menafsirkan keadilan dan kesetaraan antara kedudukan laki-laki dan
perempuan dalam kenyataan kehidupan sehari-hari menurut Hukum Islam. Memang
untuk memahami konsep keadilan dan kesetaraan gender diperlukan pemahaman
yang benar, mengingat dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak fakta yang
menunjukkan bahwa konsep tersebut belum atau bahkan tidak dilaksanakan sesuai
dengan ajaran-ajaran agama Islam yang bersumberkan pada Al Qur`an dan Hadist
yang diriwayatkan oleh perawinya dengan benar. Bahkan terkait dengan keadilan dan
kesetaraan gender ini, seringkali kita dapati pula bahwa dalam kenyataan kehidupan
masyarakat muslim ada hadist-hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahkan malahan bertentangan dengan Al-
Qur’an. Setiap muslim seharusnya memahami hukum Islam, karena aktivitas hidup
sehari-hari orang muslim tidak bisa terlepas dari permasalahan hukum Islam, baik
ketika ia beribadah kepada Allah atau ketika dia melakukan hubungan sosial antar
manusia (muamalah) termasuk relasi kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Akan tetapi permasalahan yang
muncul, tidak sedikit kaum muslimin yang belum memahami, bahkan sama sekali
tidak memahami hukum Islam terkait dengan kesetaraan gender, sehingga aktivitas
kesehariaannya terkait dengan keadilan dan kesetaraan gender banyak yang belum
sesuai atau bahkan bertentangan dengan hukum Islam.
B. Hakekat Keadilan dan Kesetaraan dalam Islam
Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks
yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan lakilaki
dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa
gender adalah suatu konstruksi/bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung
jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan
kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap
laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap
perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki. Faktor utama penyebab
kesenjangan gender adalah tata nilai sosial budaya masyarakat, pada umumnya lebih
mengutamakan laki-laki daripada perempuan (budaya patriarki). Disamping itu,
penafsiran ajaran agama yang kurang menyeluruh atau cenderung dipahami menurut
teks/tulisan kurang memahami realitas/kenyataan, cenderung dipahami secara
sepotong-sepotong kurang menyeluruh. Sementara itu, kemampuan, kemauan dan
kesiapan kaum perempuan sendiri untuk merubah keadaan tidak secara nyata
dilaksanakan. Kesetaraan gender mempunyai arti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-hak yang sama sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan seperti : politik,
hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain sebagainya.. Kesetaraan gender
juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap
laki-laki maupun perempuan. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan
peran, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Tidak
adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki menjadi tanda terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara
dan adil dari pembangunan. Prof. Dr. Nasaruddin Umar, mengemukakan ada
beberapa ukuran yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam melihat prinsip-
prinsip kesetaraan jender dalam Al- Qur'an. Ukuran-ukuran tersebut antara lain
sebagai berikut:
1. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama sebagai Hamba
Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan (QS.
Az-Dzariyat/51:56). Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan
antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang
sama untuk menjadi hamba ideal, yaitu dalam Al-Qur'an biasa diistilahkan sebagai
orangorang yang bertaqwa, dan untuk mencapai derajat bertaqwa ini tidak dikenal
adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu. Dalam
kapasitas sebagai hamba, laki-laki dan perempuan masing-masing akan mendapatkan
penghargaan dari Tuhan sesuai dengan kadar pengabdiannya (Q.S. al-Nahl/16:97).
2. Laki-laki dan Perempuan sebagai Khalifah di Bumi
Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi, selain untuk menjadi hamba
yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah swt, juga untuk menjadi khalifah
di bumi (QS. Al-An'am/6:165). Kata Khalifah tidak menunjuk kepada salah satu jenis
kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi
yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas
kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab
sebagai hamba Tuhan.
3. Laki-laki dan Perempuan Menerima Perjanjian Primordial
Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian
primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar
dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya
(QS. Al-A’raf/7:172). Tidak ada seorangpun anak manusia lahir di muka bumi yang
tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar mereka disaksikan oleh para
malaikat. Tidak ada seorangpun yang mengatakan "tidak". Dalam Islam, tanggung
jawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu sejak dalam
kandungan. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya
diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar
ketuhanan yang sama. Rasa percaya diri seorang perempuan dalam Islam seharusnya
terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak pernah diberikan beban khusus berupa
"dosa warisan" seperti yang dikesankan di dalam tradisi Yahudi-Kristen, yang
memberikan citra negatif begitu seseorang lahir sebagai perempuan. Dalam tradisi
ini, perempuan selalu dihubungkan dengan drama kosmis, di mana Hawa dianggap
terlibat di dalam kasus keluarnya Adam dari surga. Al-Qur'an yang mempunyai
pandangan positif terhadap manusia, Al-Qur'an menegaskan bahwa Allah
memuliakan seluruh anak cucu Adam (Q.S. Al-Isra/17:70). Dalam Al-Qur'an, tidak
pernah ditemukan satupun ayat yang menunjukan keutamaan seseorang karena faktor
jenis kelamin atau karena keturunan suku bangsa tertentu.
4. Adam dan Hawa, Terlibat secara Aktif dalam Drama Kosmis
Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita tentang keadaan
Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan
kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang
yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus
berikut ini:
- Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Q.S. Al-
Baqarah/2:35);
- Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (Q.S.
Al-A'raf/7:20); Samasama memakan buah khuldi dan keduanya menerima
akibat jatuh ke bumi (Q.S. al- A'raf/7:22); Sama-sama memohon ampun dan
sama-sama diampuni Tuhan (Q.S. Al-A'raf/7:23); Sama-sama memohon
ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Q.S. Al-A'raf/7:23); Setelah di bumi,
keduanya mengembangkan keturunan dan salingmelengkapi dan saling
membutuhkan (Q.S. Al-Baqarah/2:187). Adam dan Hawa disebutkan secara
bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap drama kosmis
tersebut. Jadi, tidak dapat dibenarkan jika ada anggapan yang menyatakan
perempuan sebagai mahluk penggoda yang menjadi penyebab jatuhnya anak
manusia kebumi penderitaan
5. Laki-laki dan Perempuan Sama-sama Berpotensi Meraih Prestasi
Dalam hal peluang untuk meraih prestasi maksimum, tidak ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, sebagaimana ditegaskan secara khusus di dalam tiga ayat
Al- Qur'an (Q.S. Ali Imran/3:195, Q.S. An-Nisa/4:124 dan Q.S. Mu’min/40:40).
Ayat-ayat ini mengisyaratkan konsep kesetaraan jender yang ideal dan memberikan
ketegasan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan
karier profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-
laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal.
Namun, dalam kenyataan di masyarakat, konsep ideal ini masih membutuhkan
tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala
budaya yang sulit diselesaikan. Salah satu obsesi Al-Qur'an ialah terwujudnya
keadilan di dalam masyarakat. Keadilan dalam Al-Qur'an mencakup segala segi
kehidupan umat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Karena itu, Al-Qur'an tidak mentolerir segala bentuk penindasan, baik berdasarkan
kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa dan kepercayaan, maupun yang
berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil pemahaman atau penafsiran yang
bersifat menindas atau menyalahi nilai-nilai luhur kemanusiaan, maka hasil
pemahaman dan penafsiran tersebut terbuka untuk diperdebatkan. Dengan melihat
paparan yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar tersebut di atas, terlihat
bahwa di dalam Al-Qur’an, sebetulnya sudah menyebutkan adanya keadilan dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Namun di dalam
kenyataan sehari-hari keadilan dan kesetaraan gender seperti yang diamanahkan di
dalam Al-Qur’an tersebut bias dikatakan masih jauh dari harapan, termasuk
pelaksanaan yang terjadi di dunia yang mayoritas warganya beragama Islam. Contoh
kasus tentang dominasi laki-laki terhadap perempuan, sebagaimana dikutip oleh
Khaled Abaou (Seorang Profesor/dosen Hukum Islam) pada sekitar pertengahan
Maret 2002 koran Arab Saudi memberitakan sebuah insiden yang terjadi di Mekkah,
tempat kelahiran Nabi Muhammad. Menurut laporan resmi minimal empat belas
gadis muda terbakar hingga mati atau sesak napas terkena asap ketika sebuah
kecelakaan kebakaran melanda sekolah negeri mereka. Orangtua-orangtua siswa yang
mendatangi kejadian itu menggambarkan sebuah situasi yang mengerikan: pintu-
pintu sekolah semuanya terkunci dari luar, dan polisi agama Saudi secara paksa
mencegah gadis-gadis itu supaya tidak lari dari dalam sekolah yang terbakar serta
menghalangi petugas pemadam kebakaran yang hendak memasuki gedung sekolah
guna menyelamatkan gadis-gadis itu. Menurut pengakuan para orangtua siswa,
petugas kebakaran, pasukan pertahanan sipil yang bertugas di lokasi kejadian, polisi
agama itu tidak mengizinkan gadis-gadis untuk lari atau diselamatkan karena
“mereka tidak tertutupi dengan baik”, karena gadis-gadis itu melepaskan cadar
yang menutupi wajah mereka, atau ‘abaya, selendang mirip jubah yang membungkus
tubuh mereka. Polisipolisi agama tidak ingin terjadi kontak fisik antara gadis-gadis
itu dengan pasukan pertahanan sipil lantara takut munculnya gairah seksual, yang
mungkin terjadi di tengah kemelut. Kisah tragis memilukan ini menguakkan begitu
banyak hal. Tidak ada katakata yang bisa menggambarkan kebejatan yang
menjijikkan secara moral dari insiden ini. Insiden yang memuakkan secara moral ini
mencerminkan suatu sikap emotif yang mengorbankan teologi, hukum, dan logika.
Hal ini dikarenakan jika ketiganya dipakai, akan membuahkan sikap yang dapat
menyelamatkan gadis-gadis itu. Di dalam Islam dinyatakan bahwa nyawa manusia
dipandang suci, Al’quran dengan terang menyatakan bahwa siapapun yang
membunuh satu orang, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.Seperti apa
yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Nasaruddin Umar tersebut di atas, bahwa di dalam
Al-Qur’an, sebetulnya sudah menyebutkan adanya keadilan dan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Namun demikian terkait dengan hadist-
hadist Nabi, ada hadist-hadist yang derajat kebenarannya masih diragukan, apakah
hadist tersebut lemah (dha’if) atau baik (gharib), apakah hadis tersebut adalah hadis
ahad (hadis yang perawinya tunggal), ataukah hadist tawatir (hadis yang
diriwayatkan oleh bebrapa perawi/periwayatannya melalui berbagai rantai
periwayatan), yang isinya merendahkan kaum perempuan yang tidak menggambarkan
adanya kesetaraan gender. Contoh hadist yang perlu dicermati berkaitan dengan
keadilan dan kesetaraan gender tersebut : hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurayrah
yang menyatakan bahwa Nabi pernah bersabda “Jika seorang suami mengajak
isterinya ketempat tidur, kemudian ia menolaknya maka para malaikat akan
melaknatnya hingga terbit fajar”. Kalau kita tafsirkan secara tekstual, hadis tersebut
akan sangat merugikan perempuan yang berarti tidak ada kesetaraan gender dalam
hadis ini, termasuk hadis riwayat Abu Hurayrah yang lain, yang menyatakan bahwa
Nabi pernah bersabda bahwa “Seseorang tidak dibenarkan untuk sujud kepada
siapapun.tapi sekiranya saya harus menyuruh sesorang untuk bersujud kepada
seseorang lainnya, saya akan menyuruh seorang isteri bersujud kepada suaminya,
karena begitu besarnya hak suami terhadap isterinya”. Kita perlu berhati-hati
dalam menafsirkan hadis-hadis seperti ini, karena kalau kita artikan secara tekstual
akan sangat bertentangan dengan Al-qur’an yang di dalamnya tidak mengajarkan hal-
hal seperti itu Di samping itu hadist-hadist tersebut tidak selaras dengan ayat-ayat Al-
Qur’anyang menjelaskan tentang kehidupan pernikahan. Al-Qur’an, dalam S. al-Rum
ayat 21nmenyebutkan : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang”.
Dalam S. Al-Baqarah ayat 2, juga dinyatakan bahwa pasangan suami-isteri sebagai
pakaian satu sama lain. Di samping itu, hadist-hadist tersebut juga tidak sejalan
dengan keseluruhan riwayat yang menggambarkan perilaku Nabi terhadap para
isterinya, Namun demikian keadilan dan kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan dalam Al-Qur’an dengan tegas diilustrasikan bahwa perubahan sosial
terjadi manakala mereka yang mempunyai hak (kaum perempuan) menuntutnya,
karena untuk mencapai keadilan haruslah ada ikhtiar tak kenal lelah untuk meraih
keseimbangan yang lebih autentik antara kewajiban dan hak di dalam hidup kaum
perempuan dengan pemberdayaan yang dilakukan oleh kaum perempuan sendiri,
bersama-sama dengan kaum laki-laki sebagaimana dikemukakan dalam Al’Quran
bahwa laki-laki dan perempuan saling membantu dan mendukung satu sama lain
dalam menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran sesuai dengan
perkembangan situasi dan zaman yang digambarkan sebuah perkembangan yang
baik, untuk ukuran jaman dan tempat di mana mereka berada.
C. Perbedaan Antara Laki-laki dan Perempuan dalam Pandangan Islam
Dari sejak hegemoni Barat mulai bercokol di banyak negeri kaum muslimin,
seiring melemahnya kekuatan mereka, sedikit demi sedikit dominasi syariat dan
hukum-hukum Islam bergeser ke ranah-ranah privat dan hanya diminati oleh
minoritas orang. Produk-produk pemikiran Barat pun sedikit demi sedikit menyebar
di khalayak kaum muslimin. Diantara produk pemikiran Barat yang saat ini tengah
dengan giat disosialisasikan adalah isu kesetaraan gender. Isu yang menghendaki
hancurnya batas-batas pembeda antara dua kelompok manusia (baca: laki-laki dan
perempuan) dalam status sosial dan peran di masyarakat ini dijajakan oleh para
aktivis feminisme yang tidak lain adalah anak turunan liberalisme; ideologi
kebebasan mutlak tanpa tapal batas.
Problem lemahnya keyakinan dan dangkalnya wawasan keagamaan menjadi
pemicu utama yang menyebabkan ide-ide luar itu dapat dengan mudah masuk ke
dalam pemikiran kaum muslimin tanpa filter yang menyaringnya. Apalagi, budak-
budak pemikiran Barat yang giat menebar ide-ide rusak ini tidak jarang berbicara atas
nama pembaharuan Islam, moderenisasi, dan jargon-jargon lainnya.
Kesetaraan dalam Kewajiban Beribadah dan Pahalanya
Secara umum, Islam memandang laki-laki dan wanita dalam posisi yang
sama, tanpa ada perbedaan. Masing-masing adalah ciptaan Allah yang dibebani
dengan tanggungjawab melaksanakan ibadah kepada-Nya, menunaikan titah-titah-
Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Hampir seluruh syariat Islam dan hukum-
hukumnya berlaku untuk kaum Adam dan kaum Hawa secara seimbang. Begitu pun
dengan janji pahala dan ancaman siksaan. Tidak dibedakan satu dengan yang lainnya.
Masing-masing dari mereka memiliki kewajiban dan hak yang sama dihadapan Allah
sebagai hamba-hamba-Nya. Berikut adalah petikan ayat-ayat al Qur`an yang
menjelaskan tentang pandangan Islam dalam hal ini:
�د�ون� ع�ب �ي ل �ال� إ �س �ن واإل� �ج�ن� ال ق�ت� ل خ وما
“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-
Ku.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)
ه�م� ج�ر أ �ه�م� ن ج�ز�ي ن ول ة$ &ب طي اة$ ي ح �ه� ن �ي ي �ح� ن فل م�ؤ�م�ن- وه�و ى �ث �ن أ و�
أ ر2 ذك م�ن� �ح$ا صال عم�ل من�
�ون ع�مل ي �وا ان ك ما ح�سن� �أ ب
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan
dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya
kehidupan yang baikdan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An-Nahl
[16]: 97)
م�ون �ظ�ل ي وال �ة ن �ج ال ل�ون د�خ� ي �ك ئ �ول فأ م�ؤ�م�ن- وه�و ى �ث �ن أ و� أ ر2 ذك م�ن� �حات� الص�ال م�ن ع�مل� ي ومن�
ا ق�ير$ ن
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita
sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka
tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An Nisa [4]: 124)
ع�ض2 ب م�ن� �م� ع�ض�ك ب ى �ث �ن أ و� أ ر2 ذك م�ن� �م� �ك م�ن عام�ل2 عمل �ض�يع� أ ال &ي ن أ Gه�م� ب ر ه�م� ل جاب ت فاس�
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman):
“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran [3]: 195)
Mujahid berkata, “Ummu Salamah pernah berkata kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kami tidak mendengar penyebutan wanita
dalam masalah hijrah sedikitpun?” maka turunlah ayat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir:
2/190, Tafsir Al Bagawy, 2/153)
Perbedaan Kodrat
Namun demikian, bukan berarti kaum laki-laki dan wanita menjadi sama dan
setara dalam segala hal. Menyetarakan keduanya dalam semua peran, kedudukan,
status sosial, pekerjaan, jenis kewajiban dan hak sama dengan melanggar kodrat.
Karena, kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa antara laki-laki dan wanita
terdapat perbedaan-perbedaan mendasar, hingga jika kita melihat keduanya dengan
kasat mata sekalipun. Secara biologis dan kemampuan fisik, laki-laki dan perempuan
jelas berbeda. Begitu pun dari sisi sifat, pemikiran-akal, kecenderungan, emosi dan
potensi masing-masing juga berbeda.
Apalagi wanita dengan tabiatnya melakukan proses reproduksi, mengandung,
melahirkan, menyusui, menstruasi, sementara laki-laki tidak. Adalah tidak adil jika
kita kemudian memaksakan suatu peran yang tidak sesuai dengan tabiat dan
kecenderungan dasar dari masing-masing jenis tersebut. Syaikh Bakr bin Abdillah
Abu Zaid berkata, “Bertolak dari perbedaan mendasar ini, sejumlah hukum-hukum
syariat ditetapkan oleh Allah yang Mahaadil dengan perbedaan-perbedaan pula.
Sebagian hukum, kewajiban, hak dan peran yang disyariatkan oleh Allah dibedakan
sesuai dengan kemampuan masing-masing dari keduanya tadi. Tujuannya adalah,
agar keduanya saling melengkapi satu sama lain dan dengannya hidup ini dapat
berjalan sempurna, harmonis dan seimbang.” (Lihat Hirâsatu al Fadhîlah, hal. 18-19)
Dari sisi ini pula, Muhammad Aali al Ghamidy dalam sebuah artikel
bertajuk “Muqâranatu al Nadzrah al Takâmuliyyah al Islâmiyyah bayna al Rajul wa
al Mar`ati wa al Nadzrah al Tanâfusiyyah al ‘Almâniyyah” menjelaskan, bahwa
pandangan Islam dalam model hubungan antara laki-laki dan wanita adalah hubungan
saling melengkapi, bukan hubungan persaingan sebagaimana yang diinginkan oleh
konsep sekuler.
Allah berfirman menghiyakatkan perkataan istri Imran,
�ثى �ن األ� ك ر� الذ�ك �س ي ول
“Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.” (QS. Ali Imran [3]: 36)
Dari sini, kesetaraan, atau persamaan (dalam bahasa Arab: musâwâtu) antara laki-laki
dan perempuan bukanlah nilai yang berasal dari pandangan Islam Islam memandang
keadilan antara laki-laki dan wanita, bukan kesetaraan. Konsep kesetaraan bertolak
belakang dengan prinsip keadilan. Karena adil adalah menempatkan sesuatu pada
tempatnya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya. Sementara (Lihat
kritikan Syaikh al Utsaimin tentang kata al musâwâtu dalam Syarhu al ‘Aqîdah al
Wâsithiyyah, hal. 180-181)
Hukum Syariat antara Laki-laki dan Wanita
Di antara ketetapan syariat yang Allah khususkan bagi laki-laki adalah soal
kepemimpinan. Allah berfirman,
�ه�م� م�وال أ م�ن� �فق�وا ن أ �ما وب ع�ض2 ب على ع�ضه�م� ب �ه� الل فض�ل �ما ب اء� &س الن على قو�ام�ون جال� الر&
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-
Nisa` [4]: 34)
Posisi strategis ini Allah berikan kepada laki-laki karena ia sesuai dengan tabiat dan
kodrat penciptaannya, sebagaimana yang telah disebutkan. Dalam rumah tangga, laki-
laki adalah pemimpin yang bertanggungjawab menjaga dan memelihara urusan
orang-orang yang berada dibawah kepemimpinannya dari para istri dan anak-anak,
termasuk menjamin pakaian, makanan dan rumah mereka. Bahkan, tidak hanya
urusan-urusan dunia mereka, namun juga dalam urusan agama mereka. Syaikh Shalih
Al Fauzan berkata, “Laki-laki adalah pemimpin/penanggungjawab bagi wanita,
dalam hal agamanya, sebelum dalam hal pakaian dan makanannya.” (Khuthbah
Jum’at, Masjid Amir Mut’ib) Dengan catatan, kepemimpinan atau kekuasaan seorang
laki-laki atas wanita itu bermakna penjagaan, perhatian dan pengaturan, bukan dalam
arti kesewenang-wenangan, otoritarian dan tekanan. Begitu pula dalam
kepemimpinan pada ranah-ranah publik seperti jabatan kepala negara, kehakiman,
menejerial, atau perwalian seperti wali nikah dan yang lainnya, semua itu juga hanya
diberikan kepada laki-laki dan tidak kepada wanita. Dalam ibadah dan ketaatan, laki-
laki secara khusus dibebani kewajiban jihad, shalat jum’at dan berjamah di masjid,
disyariatkan bagi mereka adzan dan iqamah. Syariat juga menetapkan perceraian
berada di tangan laki-laki, dan bagian waris dua bagi laki-laki dan satu untuk wanita.
Adapun hukum-hukum yang khusus untuk kaum wanita juga banyak. Baik dalam
ibadat, muamalat dan lain-lain. Bahkan sebagian para ulama menulis secara khusus
buku-buku yang berkaitan dengan hukum-hukum wanita. (Lihat Hirâsah al Fadhîlah,
hal. 22)
Sikap Seorang Mukmin dan Mukminah
Syaikh Bakr bin Abdillah Abu Zaid rahimahullah menyimpulkan, dari
perbedaan-perbedaan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah tersebut, maka ada tiga
sikap yang harus kita ambil:
Pertama, beriman dan menerima perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan wanita
baik secara fisik, psikis, atau hukum syar’i, serta hendaknya masing-masing merasa
ridha dengan kodrat Allah dan ketetapan-ketetapan hukum-Nya.
Kedua, tidak boleh bagi masing-masing dari laki-laki atau wanita menginginkan
sesuatu yang telah Allah khususkan bagi salah satunya dalam perbedaan-perbedaan
hukum tersebut dan mengembangkan perasaan iri satu sama lain disebabkan
perbedaan-perbedaan tersebut. Oleh karena itu Allah melarang hal itu dengan firman-
Nya,
ص�يب- ن اء� &س �لن ول �وا ب س �ت اك م�م�ا ص�يب- ن جال� �لر& ل ع�ض2 ب على �م� ع�ضك ب �ه� ب �ه� الل فض�ل ما �و�ا من ت ت وال
�يم$ا عل ي�ء2 ش �ل& �ك ب ان ك �ه الل �ن� إ �ه� فض�ل م�ن� �ه الل �وا ل أ واس� �ن ب س �ت اك م�م�ا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada
sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-
laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun)
ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An
Nisa` [4]: 32)
Tentang sebab turunnya ayat ini, Mujahid menuturkan, “Ummu Salamah berkata,
“Wahai Rasulullah, mengapa laki-laki berperang sementara kami tidak? Dan
mengapa kami hanya mendapatkan setengah dari harta waris? Maka turunlah ayat
ini.” (Diriwayatkan oleh al Thabari, Imam Ahmad, Hakim dan yang lainnya)
Ketika, jika al Qur`an dengan jelas melarang untuk sekedar iri, maka apalagi
mengingkari dan menentang perbedaan-perbedaan syar’i antara laki-laki
dan wanita ini dengan cara memropagandakan isu kesetaraan gender. Hal ini tidak
boleh bahkan termasuk kekufuran. Karena ia merupakan bentuk penentangan
terhadap kehendak Allah yang bersifat kauni yang telah menciptakan laki-laki dan
perempuan dengan perbedaan-perbedaan tabiat tadi, sekaligus bentuk pengingkaran
terhadap teks-teks syar’i yang bersifat qath’i dalam pembedaan-pembedaan hukum
antara keduanya. (Lihat Hirâsah al Fadhîlah, hal. 22)
Sumber Bahan Bacaan :
- Khaled Abou El Fadl, 2005, The Great Theft : Wrestling Islam from the Extremis,
yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “Selamatkan Islam dari
Muslim Puritan”, oleh Helmi Mustofa, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta;
- Khaled Abou El Fadl, 2003, Speaking in God’s Name, yang diterjemahkan ke
dalam
bahasa Indonesia “Atas nama Tuhan”, oleh R. Cecep Lukman Yasin,
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta;
- Tepas Ahmad Heryawan, Hakekat Kesetaraan dan Keadilan Gender, yang
dimuat dalam file:///C:/Users/HPPavilion/Documents/2722-hakikat-kesetaraandan-
keadilan-gender.html, diunduh dari internet tanggal 8 November 2010;
- Prof. Dr. Nazarudin Umar “Prinsip-Prinsip Keadilan Gender dalam Al-
Qur’an”, yang dimuat dalam file:///C:/Users/H HP
Pavilion/Downloads/download keadilan dan kesetaraan gender/prinsip-prinsip
kesetaraan gender.htm, diunduh dari internet tanggal 18 November 2010