KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas...

10
...... Jurna1Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946 Volume 5, Nomor 3, Maret 2002(295-313) .. KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIF Suparjan dan Hempri Suyatno Abstract In attempting to mediate conflict of interest between labours and enterprises, the government set up a regional-baseminimum wage. Such policy, however suffer from someflows. Having demonstrate the flows, this article offers some measures to improve it. Kata-Kata Kunci : hubungan perburuhan; reformasi sistem pengupahan; kebijakan akomodatif. Buruh, pengusaha dan pemerintah saling berkaitan dalam hubungan industrial. Secara normatif mereka mempunyai kepentingan sarna atas kelangsungan perusahaan. Pengusaha memiliki kepentingan atas kelangsungan perusahaan, karena tanggung jawabnya sebagai pimpinan dan orientasi untuk memperoleh keuntungan sesuai dengan modal yang ditanamkannya. Buruh memiliki kepentingan atas perusahaan sebagai sumber penghasilan dan penghidupan. Sementara pemerintah juga mempunyai kepentingan atas kelangsungan perusahaan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi baik pada skala daerah maupun nasional. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan Supilrjan adalah staf pengajar Jurusan Sosiatri FlSIPOL,Universitas Gadjah Mada, Hempri SUYiltno adalah staf pengajar ]urusan Sosiatri Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gunungkidul, Yogyakarta. 295

Transcript of KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas...

Page 1: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

......

Jurna1Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ISSN 1410-4946

Volume 5, Nomor 3, Maret 2002(295-313)

..KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG

AKOMODA TIF

Suparjan dan Hempri Suyatno

Abstract

In attempting to mediate conflict of interest between labours andenterprises, the government set up a regional-baseminimum wage.Such policy, however suffer from someflows. Having demonstrate theflows, this article offers some measures to improve it.

Kata-Kata Kunci : hubungan perburuhan; reformasi sistempengupahan; kebijakan akomodatif.

Buruh, pengusaha dan pemerintah saling berkaitan dalamhubungan industrial. Secaranormatif mereka mempunyai kepentingansarnaatas kelangsungan perusahaan. Pengusaha memiliki kepentinganatas kelangsungan perusahaan, karena tanggung jawabnya sebagaipimpinan dan orientasi untuk memperoleh keuntungan sesuai denganmodal yang ditanamkannya. Buruh memiliki kepentingan atasperusahaan sebagai sumber penghasilan dan penghidupan. Sementarapemerintah juga mempunyai kepentingan atas kelangsunganperusahaan berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi baik pada skaladaerah maupun nasional. Kondisi ini pada akhirnya menimbulkan

Supilrjan adalah staf pengajar Jurusan Sosiatri FlSIPOL,Universitas Gadjah Mada, HempriSUYiltno adalah staf pengajar ]urusan Sosiatri Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial UniversitasGunungkidul, Yogyakarta.

295

Page 2: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

Jurnal Ilmu Sosial& Ilmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

posisi pengusaha sebagai pemilik modal menjadi sangat dominanseqlentara buruh menjadi subordinasi dari pengusaha. Berbagaikebijakan yang diformulasikan olehpemerintah, akhimya dimanipulasiuntuk kepentingan mereka sendiri, semen tara hak-hak yangseharusnya menjadi milik buruh eenderung diabaikan.

Kuatnya posisi tawar pengusaha, tak jarang membuat merekadapat meni.pengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat olehpemerintah, dalam konteks hubungan buruh dengan pengusaha.Situasi demikian menyebabkan kebijakan yang dibuat menjadi tidakbebas nilai dan eenderung menguntungkan pihak pengusaha. Padatingkat ini, posisi tawar buruh menjadi sangat lemah, sebab dia tidakmemiliki akses yang kuat di dalam penentuan berbagai kebijakanseperti penentuan upah, perlindungan hukum buruh dan sebagainya.Serikat buruh yang diharapkan menjadi wadah perjuangan bagi paraburuh justru terkooptasi untuk kepentingan pengusaha maupunpemerintah.

Bumh V5 Pengusaha: Benturan Dua Kepentingan

Dalam konteks hubungan industrial, relasiantara buruh denganpengusaha (kapitalis) terbentuk atas kekuatan produksi. Para kapitalismemiliki alat produksi, sedangkan buruh memiliki tenaga kerja. Dalamsituasi ini posisi buruh tergantung pada para kapitalis. Situasi tersebutmenyebabkan muneulnya pembagian kelas menjadi kelas pekerja atauproletariat dengan kelas kapitalis di pihak lain. Semua orang yangmenjual tenaga mereka, seeara obyektif adalah anggota kelas prole-tariat. Hubungan sosial yang terjadi antara borjuis dengan proletariatpada dasarnya mengandung konflik fundamental karena hubunganmereka adalah hubungan yang bersifat sepihak dan eksploitatif(Watson, 1980 : 55). Posisi kuat pihak kapitalis terlihat dari ketatnyamereka mengontrol kelas pekerja.

Bertemunya dua kepentingan yang berbeda antara buruh danpengusaha mengakibatkan hubungan konfliktual di antara kedua belahpihak sangat potensial terjadi. Di satu sisi, para kapitalis berusahamemaksimalkan profit, sementara di lain pihak buruh menginginkanperbaikan upah serta kondisi kerja. Kondisi demikian menyebabkanpara kapitalis, dengan dasar justifikasi untuk kepentingan perusahaan,

296

SuparjandanHempri Suyatno,KebijakanUpahMinimum yangAkomodatif

seringkali mengeluarkan regulasi-regulasi yang eenderung eksploitatifdan mendomestikasikankepentingan para buruh. Kondisi kerja yangkurang kondusif tersebut menimbulkan konsekuensi muneulnyakesadaran buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Dalam kontekstersebut, perjuangan buruh kemudian dimanifestasikan denganterbentuknya organisasi buruh. Organisasi--ini pada hakekatnyadibentuk untuk memperkuat posisi tawar buruh di dalam menghadapikekuatan kapitalis. Pada aras ini, organisasi buruh berperan sebagaiinstitusi mediasi antara kepentingan buruh dengan kepentingan pihakkapitalis. Meminjam pendapat dari Heru Nugroho (2001:202)institusimediasi merupakan sarana untuk pemberdayaan individu-individuagarmerekatidakmengalamiketerasingandalammenghadapithebig-nessataurealitassosialmakroyangmenjadieiriutamadariperusahaan-perusahaan raksasa, konglomerasi dan kolusi kaum pemilik kapital,organisasi tenaga kerja dengan skala besar, serta profesi lain yangterorganisasi. Realitas makro tersebut eenderung mengalienasikan danmenyubordinasi individu, sehingga ketika individu berhadapan seearalangsung dengan lembaga-Iembaga raksasa tersebut tanpamenggunakan institusi mediasi maka ada keeenderungan individutersebutmerasapowerlessness.

Hubungan konfliktual antara buruh dengan pengusaha padaawalnya sering dipicu oleh rasa ketidakpuasan mereka terhadapregulasi perusahaan. Dalam hal ini upah menjadi salah satu faktordeterminan yang menyebabkan terjadinya konflik di atas. Orientasiuntuk memaksimalisasi laba seringkali diwujudkan dengan menekanbiaya produksi, termasuk upah. Ketika buruh menganggap bahwaupah yang diterimanya tidak sepadan dengan tenaga yang merekakeluarkan ataupun kebutuhan hidup, maka ketegangan antara buruhdan pengusaha merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.

Hubungan konfliktual antara buruh dan pengusaha padahakekatnya merupakan potensi yang siap meneuat kapan saja. Untukmengeliminir agar konflik tidak muneul ke permukaan, diperlukankebijakan dari manajemen perusahaan di dalam mengakomodasik~.pentingan-kepentingan buruh. Prinsip harmoni tidak harusdllntepretasikan sebagai upaya untuk meredam konflik, namun iaha~s .dikonotasikan sebagai muara akhir dari berbagai konflik yangteI'Jadl. Lebih jauh dari itu, mengelola konflik sebagai sumber daya

297

Page 3: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

lurnal J/muSosial& /lmu Polilik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

bagi pengembangan perusahaan merupakan hal esensial, yang mestidipahami oleh pihak manajemen perusahaan.

Seperti telah diuraikan di atas, upah menjadi salah satu faktordeterminan yang seringkali menyebabkan terjadinya perselisihanantara serikat pekerja dengan pengusaha. Serikat pekerja umumnyamenghendaki kenaikan upah yang signifikan sementara kelompokpengusaha melihat bahwa tuntutan ini bertentangan dan tidakkompatibel dengan upaya memaksimalkan laba. Upah padahakekatnya merupakan kompensasi terhadap kontribusi tenaga kerjadalam proses produksi. Jika kontribusi (produktivitas) tenaga kerjanaik, maka upah juga harus naik. Begitu pula sebaliknya, jika adapeningkatan upah semestinya produktivitas tenaga kerja' jugamengalami peningkatan.

Adanya korelasi positif antara upah dengan peningkatanproduktivitas,selarasdengankonsepsidariefficiencywagetheory.Dalampandangan teori ini, penetapan upah memungkinkan tenaga kerjauntuk meningkatkan nutrisinya sehingga dalam jangka panjang dapatmeningkatkan produktivitasnya. Peningkatan upah jugamemungkinkan buruh untuk menyekolahkan anaknya dan memberinutrisi yang lebih baik bagi anak-anaknya. Keduanya dalam jangkapanjang akan memberikan dampak yang besar terhadap peningkatanproduktivitas (Ikhsan, 2002). Dengan demikian, keberadaan upahdiharapkan akan dapat merangsang tumbuhnya etos kerja dan buruhuntuk bekerja secara lebih baik.

Secara teoritis, dapat dibedakan dua sistem pengupahan yaitudidasarkan pada teori Marxist dan teori neoklasik. Teori Marx didasariatas teori nilaibahwa tiap orang harus bekerja menurut kemampuannyadan tiap orang memperoleh upah menurut kebutuhannya. Pendek kata,upah harus disesuaikan dengan kebutuhan seseorang. Sementara teorineoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atasusaha kerja yang diberikan karyawan kepada pengusaha (Simanjutak,1985: 115-116).Dua teori tersebut hanya menjadi landasan pikir bagisistem pengupahan di suatu negara. Sistempengupahan tidak semurnidua kerangka pemikiran di atas, karena disesuaikan dengankarakteristik dan kultur masing-masing negara. Di Indonesia kebijakanpenetapan upah dilakukan oleh pemerintah.

298

SuparjanclanHempri Suyatno,Ktbijakan UpahMinimum yangAkomoclatif

Upah Minimum

Adanya realitas yang menunjukkan bahwa masih banyakpekerja di Indonesia berpenghasilan rendah dan minimnyaperlindungan terhadap para pekerja agar tidak menjadi korban sikapopportunis pengusaha telah mendoro~g pemerintah memandang perludiberlakukannya kebijakan penerapari upah minimum. Jika penetapanupah didasarkan pada mekanisme pasar, maka dapat dipastikan buruhakan memperoleh upah yang sangat rendah, karena melimpahnyatenaga kerja di Indonesia. Dengan demikian, kebijaksanaan penentuanupah minimum dimaksudkan untuk menjamin penghasilan karyawan,meningkatkan produktivitas buruh serta mengembangkan perusahaandengan cara-cara yang lebih efisien.

Di sisi lain dilihat dari konteks kebijakan publik penetapan upahminimum oleh pemerintah dapat diterima. Hal ini berkaitan denganrealita bahwa kebijakan publik pada umumnya berasal dari kesadaranakan adanya masalah (awarenessofproblem)dan munculnya kelompokkepentingan yang berbeda dalam memperebutkan sumber daya dankepentingan (Baiquni, 1995). Dalam konteks ini, kebijakan upahdiperlukan dalam upaya meminimalisir terjadinya eksploitasi daripengusaha terhadap buruh, dan regulasi ini dapat dipahami sebagaiperan pemerintah dalam pemerataan pendapatan.

Menurut Jaka Sriyana (2001) ada beberapa alasan yang dapatdikemukakan mengapa peran pemerintah dalam penetapan upah mini-mum dapat diterima. Pertama, jika dilihat dari porsi pembagian hasilproduksi kepada faktor produksi, maka nilai yang diterima oleh tenagakerja relatif rendah. Di Indonesia, angka ini hanya berkisar 15% jauhlebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Misalnya,di Philipina telah mencapai 30% dan di Malaysia lebih dari 20%. Alasankeduatadalah dalam siklus tahunan terjadi perubahan makro ekonomiy~ng mengarah pada peningkatan harga-harga barang dan jasa. Hal1Illmengakibatkan penurunan upah riil bagi pekerja. Artinya, kebijakanpenetapan upah minimum merupakan penyesuaian terhadap nilai in-c~meriilpekerja. Berdasarkan dua alasan tersebut maka memang sangatd1perlukan kebijakan pemerintah untuk memberikan batasan upahyang akan diberikan oleh pengusaha. Dalam rangka itu, Pemerintahmenetapkan upah minimum pada tingkat regional yang dikenal

299

Page 4: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

lurnaillmu Sosial& llmu Politik, Vol,S, No 3, MInd 2002

dengan UMR. Untuk merumuskan kebijakan yang lebih tepat untukmasing-masing daerah, maka sekarang ini penetapan kebijakan upahminimum didelegasikan ke tingkat propinsi (Upah Minimum Propinsi)dan lingkup yang lebih kedl lagi yaitu Upah Minimum Kabupaten(UMK).

Bagipara ekonom, kebijakan penetapan upah minimum sendirimengunCiangperdebatan. Satu kelompok ekonom, melihat bahwa upahminimum akan menghambat pencipataan lapangan kerja danmenambah kompleks persoalan pemulihan ekonomi. Sementarakelompok lain, memandang bahwa penerapan upah minimum tidakselalu identik dengan rasionalisasi tenaga kerja bahkan akan mampumendorong proses pemulihan ekonomi.

Pandangan bahwa kebijakan penetapan upah mimimumcenderung akan menghambat pendptaan peluang kerja, sedikit banyakdipengaruhi oleh asumsi-asumsi teoritis yang dibangun olehparadigma liberalisasi ekonomi. Teori ekonomi ini menunjukkanbahwa negara yang tenaga kerjanya berlimpah seperti Indonesiaadanya liberalisasi ekonomi cenderung meningkatkan pangsa nilaiproduksi marginaltenaga kerja terhadap total output,sementara pangsabalas jasa faktor modal cenderung akan menurun. Kenaikan pangs anilai produksi marginal tenaga ini akan meningkatkan tingkat upahriil. Dengan demikian, kenaikan marginal productof labourakan selaludiikuti kenaikan upah riil. Oleh karena itu, penetapan upah minimumhanya akan mendorong terjadinya distorsi dalam pasar tenaga kerja.Kekuatan serikat buruh yang cenderung memaksimumkan pendapatanmereka akan mendiskriminasi pendatang baru dalam pasar tenagakerja.

Dikaitkan dengan model dualeconomyyang mengasumsikanperekonomian tersegmentasi menjadi sektor formal dan informal, makapenetapan upah minimum akan mengurangi permintaan tenaga kerjadi sektor formal dan kelebihan ini akan diserap oleh sektor informalyang tingkat upahnya tidak diatur oleh regulasi. Jika pangsa tenagakerja di sektor informal lebih rendah, maka dampak distribusipendapatannya justru akan memburuk. Kondisi ini akan lebih buruk,jika kenaikan upah mendorong kenaikan tingkat inflasi. Buruh disektor formal akan diuntungkan, karena kenaikan tingkat inflasi dapatdi-offset oleh kenaikan upah nominal. Namun, buruh yang bekerja di

300

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif

sektor informal yang mengalami penurunan tingkat upah minimal,akan terkena imbas buruknya.

'Meskipun penetapan upah minimum mengandung,konsekuensi-konsekuensi negatif, demi kepentingan perlindunganterhadap tenaga kerja dan pentingnya aspek pemerataan pendapatanseperti telah dijelaskan di atas maka kebijakan dalam penetapan upahini dapat diterima. Yangperlu dipikirkan adalah bagaimana formulasikebijakan upah minimum agar mampu mengakomodasi kepentinganburuh dan pengusaha.

Komplikasi dalam Implementasi

Kebijak'anupah minimum yang dikeluarkan oleh pemerintahselalumenjadi kontoversi. Penetapan upah minimum yang dikeluarkanoleh pemerintah pada dasamya hanya merupakan puncak dari sebuahgunung es. Setelah masalah UMP selesai, dipastikan akan munculberbagaimasalah baru. Munculnya persoalan Upah Minimum Propinsipada akhir-akhir ini, sebenamya merupakan implikasi dari tidakjelasnya kebijakan ekonomi makro pemerintah. Meskipun pad a masaOrde Baru terjadi pemasungan terhadap hak-hak tenaga kerja, harusdiakui rezim ini telah membuat regulasi yang jelas tentang hubunganindustrial antara buruh dan pengusaha. Peru,bahan kebijakanpemerintah setelah pergantian rezim ikut menyumbang semakinkusutnya masalah perburuhan. Perubahan prioritas pembangunanpada era pemerintahan Abdurrahman Wahid dari industri besar yangberbasis teknologi kepada sektor pertanian dan perikanan~engakibatkan perubahan peraturan dan perangkat kerja pendukungJustru hasilnya menjadi kontra produktif. Hal ini terbukti denganrealitas empirik, dimana hingga saat ini belum ada Undang-UndangPerburuhan yang baru, Dewan Pengupahan Nasional yang tidak jalan,P4Psudah dimakzulkan dan belum ada yang baru. Kemudian, secarastruktural di Depnaker orang-orang yang' paham tentangketenagakerjaan justru diganti dengan orang-orang dari DepartemenTransmigrasi atau partai politik yang tidak mengerti masalah teknisperburuhan. Kondisi faktual tersebut menyebabkan konflik antarapengusaha dan buruh di beberapa daerah tidak pemah selesai.

Kenaikan upah buruh pada hakekatnya mempunyai implikasi

,301

Page 5: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

Jurnailimu Sosial & lImu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

luas, baik pada level makro maupun mikro. Dilihat dari level makro,penetapan kebijakan UMP dirasakan sangat bernuansa politis danmengorbankan kepentingan nasional yang lebih besar. Kebijakantersebut cenderung menafikan permasalahan lain yang lebih besaryakni jumlah pengangguran yang kian meningkat. Kesempatan kerjapada akhil"nya menjadi sesuatu yang langka karena setiap perusahaandipastikan akan melakukan penghematan berbagai anggaranoperasional untuk dialokasikan ke anggaran biaya buruh. Bahkanbukan tidak mungkin jumlah pengangguran justru akan bertambahdengan adanya rasionalisasi (PHK) dari perusahaan. Dengan demikian,memaksimalkan pendapatan untuk sebagian kedl masyarakat dengancara menaikkan upah minimum akan mengorbankan masyarakat lainyang jumlahnya lebih besar.

Paparan di atas sejalan dengan temuan empirik baru yangdihasilkan SMERU Research Institute dan Direktorat KetenagakerjaanBappenas yang menemukan beberapa hal seperti (1) hanya 40 persenunit us aha di Indonesia yang membayar upah sesuai dengan ketentuanupah minimum (2) kenaikan upah minimum mempunyai hubungannegatif terhadap kesempatan kerja di sektor formal perkotaan. Setiap10 persen kenaikan upah minimum mempunyai asosiasi denganpengurangan kesempatan kerja 1,1 persen, (3) kenaikan upah mini-mum lebih dinikmati buruh terdidik (white collar workers)dibibandingkan dengan buruh tidak terdidik (bluecollarworkers) karenaperusahaan cenderung melakukan substitusi antar tenaga kerja danantara tenaga kerja dengan mesin (Ikhsan, 2002).

Pada level makro, kebijakan penetapan upah minimumdikhawatirkan akan membuat investor asing melakukan relokasimodalnya di Indonesia. Jika pada masa lalu, Indonesia bisamenawarkan jaminan keamanan dan upah murah sebagai daya tarikinvestasi asing, namun saat ini sudah tidak ada lagi yang dapatdiandalkan. Stabilitas keamanan yang tidak menentu dan hubunganpengusaha dengan buruh yang terus menerus tegang menjadi faktorpenguat yang memungkinkan terjadinya relokasi modal oleh investorasing.

Sementara pada level mikro kebijakan upah minimum tersebutjuga memiliki implikasi bagi pengusaha maupun buruh sendiri.Kenaikan upah tak pelak telah menjadikan posisi pengusaha menjadi

302

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif

sulit dan dilematis. Di satu pihak, dia dituntut untuk mematuhi regulasi

yang telah ditetapkan, namun di lain pihak, pemenuhan regulasitersebut akan membebani perusahaan. Hal ini misalnya, tercerrnin pada

perusahaan-perusahaan padat karya, dimana biaya untuk penggajianburuh dapat mencapai 30 % atau lebih dari biaya produksi, sehinggakenaikan upah buruh menjadi sesuatu hal yang memberatkan.Dikarenakan beratnya beban yang harus ditanggung akan membuatbanyak perusahaan tidak dapat beroperasi dalam waktu dekat ataukonsekuensi yang lebih parah adalah banyaknya perusahaan yang akangulung tikar. Situasi demikian akan menyebabkan terjadinya potensipemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan sehingga akhirnyaakan menambah beban pada ekonomi nasional.

Buruh yang kemungkinan besar terkena imbas rasionalisasiadalah buruh perempuan, karena adanya anggapan yang berkembangdi kalangan pengusaha bahwa mempekerjakan perempuan cenderungmendatangkan biaya besar, seperti menanggung cuti haid, ataupuncuti melahirkan. Di sisi lain, perempuan lebih memilik sikap nrimo dantidak mau melakukan konfrontasi dengan pengusaha. Hal ini berbedadengan laki-Iaki yang cenderung memilih-milih pekerjaan. Dengandemikian, ketika buruh laki-Iaki yang di PHK, maka resiko perusahaanakan di demo akan lebih besar.

Kemungkinan lain yang akan dilakukan pengusaha jikaperselisihan upah tidak mendapatkan kesepakatan adalah melakukanproduksi dengan sistem putting out (produksi di luar pabrik). Cara inibukan saja akan mematikan buruh di dalam mengorganisir dirinya,tetapi mereka juga tidak akan mendapatkan keuntungan yangdidapatnya di pabrik, seperti jaminan kesehatan, cuti haid, atau cutimelahirkan. Sistem putting out ini pada hakekatnya tidak dapatdiberIakukan untuk semua jenis industri karena kontrol akan lebih sulit.Dengan kata lain, lapangan kerja yang tersedia akhirnya menjadisemakin sempit.

Sedangkan bagi buruh adanya kenaikan upah jika dilihat secarakasat mata memang akan menyebabkan peningkatan kesejahteraanmereka. Namun kenaikan upah menjadi tidak ada artinya jika harga-harga kebutuhan masyarakat juga naik. Hal tersebut dapat dilihat darireaIitas empirik yang terjadi pada awal tahun 2002 ini. Kenaikan UMPseperti yang terjadi di DIY misalnya, dari Rp 237.500,00 menjadi Rp

303

Page 6: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

jurnailimu Sosial & llmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

321.750,00 memang menunjukkan persentase kenaikan yang eukupsignifikan (34,47 %). Namun belum sempat UMP itu diberlakukan, padabulan Januari ini pemerintah sudah menaikkan Tarif Oasar Listrik(TOt) sebesar 6 % dan kenaikan harga BBM. Kenaikan TOL dan BBMtersebut, tentunya seeara otomatis akan disusul dengan kenaikanbarang-baran.g kebutuhan pokok masyarakat. Singkat kata,kesejahteraan buruh tidak akan meningkat ketika kebijakan yangdiformulasikan oleh pemerintah tidak pernah berpihak padamasyarakat.

Problema Tripartit

Sebagai salah satu elemen dalam pola hubungan tripartit,pemerintah memiliki fungsi intermediasi di dalam mengelolahubungan kemitraan antara pengusaha dan buruh. Implisit didalamnya, pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukanharmonisasi hubungan antara kedua pihak di atas, dengan jalanmengeliminir konflik-konflik yang sifatnya kontraproduktif terhadapdunia ketenagakerjaan. Lebih dari itu, pemerintah juga memilikikewajiban untuk mendorong pengembangan serikat pekerja danorganisasi pengusaha.

Jika merunut konstruksi historis mengenai peran pemerintahdalam konstelasi hubungan industrial menunjukkan suatu kenyatanyang ironis. Pemerintah yang sebenamya memiliki fungsi mengawasikesepakatan tripartit, temyata dapat diajak main mata oleh parapengusaha sehingga mengakibatkan kerugian buruh. Oalam hal ini,pemerintah dan majikan berkooperasi untuk mengatur kondisi-kondisikerja. Untuk tujuan tersebut, mereka sering mendengung-dengungkannilai-nilai kultural yang ditekankan dalam Hubungan IndustrialPaneasila seperti harmoni, konsensus, dan gotong-royong/tolong-menolong. Nilai-nilai tersebut dimanfaatkan untuk mengontrol pekerjaserta organisasi-organisasi pekerja. Pemerintah seringmengkategorisasikan pelanggaran' terhadap aturan-aturanketenagakerjaan oleh perusahaan sebagai pelanggaran yang tidakpenting. Pelanggaran terhadap regulasi-regulasi tentang jam kerja,upah minimum dan provisi asuransi sosial sangat menguntungkanpengusaha (Susetiawan, 2000 : 210). Tak pelak, situasi demikian

304

SuparjandanHempri Suyatno,KebijakanUpahMinimum yangAkomodatif

menyebabkan posisi buruh menjadi lemah dan disubordinasikan untukkepentingan-kepentingan manajemen birokratik.

Oalam pelaksanaan kebijakan upah minimum, sering terlihatketidakkonsistenan dari pemerintah. Oi hadapan buruh, mereka selalumenampakkan keseriusan dalam membela hak-hak kaum pekerja danmenekan pengusaha, namun di sisi lain ketika berhadapan denganpengusaha ada kesan posisi pengusaha disanjung dan mengabaikanperjuangan buruh.

Sikap pemerintah tersebut sebenamya justru akan menjadipemicu terjadinya konfrontasi antara pengusaha dan buruh. Sikapinkonsisten pemerintah juga nampak ketika mereka eenderungberpolemik dan melakukan tekanan mental serta teror terhadappengusaha, namun sarna sekali tidak melakukan kebijakan yang lebihstrategis untuk mempertegas kenaikan UMP seperti denganmenerbitkan keputusan menteri.

Tidak didukungnya kenaikan UMP dengan kebijakan ekonomirnakro seperti yang telah dipaparkan di atas sebenarnya jugarneneerminkan kebingungan pemerintah untuk membuat kebijakanideal di dalam memulihkan perekonomian negara. Ketika pemerintahrnemilikikomitmen peningkatan kesejahteraan buruh maka kebijakankenaikan UMP tidak semestinya diikuti dengan kebijakan yangrnenyangkut hajat hidup orang banyak seperti kenaikan TOLmaupunBBM.Momentum waktu kenaikan TOL dan BBMsebenamya tidaktepat ketika diberlakukan bersamaan dengan kenaikan UMP. Jikadicerrnati tuntutan kenaikan TOL dan BBMsebenamya merupakanirnplikasidari kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemerintah padaskalanasional, dimana pemerintah lebih memfokuskan pada perbaikanekonomi makro seperti rekapitalisasi perbankan, sementara defisitAPBN justru dibebankan pada masyarakat keeil. Oengan demikian,yang terjadi adalah proses pemiskinan masyarakat keeil.

UMP yang Akomodatif

Oalam menyikapi selalu muneulnya kontroversi danpermasalahan mengenai penetapan kebijakan upah minimumsebenamya yang diperlukan bukanlah sekedar kenaikan upah yangbersifat temporer belaka melainkan reformasi atas sistem pengupahan.

305

Page 7: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

Sistem ini harus lebih memposisikan pekerja dan kehidupan pekerjasebagai poros landasan dan sekaligus landasan geraknya. Selain itu,harus dipahami bahwa upah tidak lagi ditentukan oleh keuntunganekonomis semata melainkan juga secara politis sebagai hasil tawar-menawar kolektif antara perwakilan buruh dan perwakilan paramajikan dalam rangka garis-garis yang diberikan oleh negara(Habermas dalam Suseno, 1999 :256).

Kita perlu kebijakan publik yang komprehensif. Selalumunculnya kontroversi dalam setiap kali kebijakan penetapan upahminimum menyiratkan adanya suatu masalah di dalamnya. Padakonteks ini, perlu diketahui bahwa masalah kebijaksanaan belum tentueksplisit, akan tetapi harus dicari, diketahui dan diidentifikasi terlebihdahulu dengan benar (Islamy, 1986: 78).Usaha untuk mengerti benarsifat dari masalah kebijaksanaan akan sangat membantu dalammenentukan sikap dari proses perumusan kebijakan.

Kebijakan UMP harus diformulasikan dengan memperhatikanbeberapa aspek seperti aspek keadilan, penciptaan infrastrukturpendukung bagi keberhasilan dan keberlangsungan kebijakan tersebut.Michael Salamon (1992 : 535) menegaskan bahwa prinsip keadilandalam pemberian upah harus mencakup beberapa hal, sepertikesesuaian dengan kebutuhan hidup, produktivitas yang dihasilkan,status pekerjaan, kontribusi pekerja pada organisasi, rasa tanggungjawab terhadap organisasi, perbandingan upah untuk pekerjaan yangsarna dengan organisasi lain.

Selalu munculnya pro dan kontra di dalam setiap kebijakankenaikan upah buruh, sebenarnya bersumbe~pada tidak transparannyapenetapan kebijakan upah yang dibuat. Masih dominannya peranpemerintah di dalam penetapan upah dan tidak adanya persepsi yangsarna dalam konsepsi pengupahan menjadi faktor determinan yangmenyebabkan ketidaktransparanan penetapan kebijakanupah. Oenganmenelaah realitas empirik yang ada, papa ran di bawah ini akanmenawarkan empat hal penting berkaitan dengan kebijakanupah mini-mum.

306

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif /1. penajaman indikator penentuan upah minimum /

Formulasi kebijakan penetapan upah selama ini cenderunghanya memperhatikan satu dua indikator saja seperti indeks hargakonsumen dan hasil komparasi dengan upah minimum di daerah'sekitarnya. Semen tara varia bel-varia bel lain seperti kemampuanperusahaan, tipologi perusahaan, produktivitas perusahaan, laju inflasidan pertumbuhan ekonomi daerah sering diabaikan. Ketika kenaikanUMP yang dilakukan melebihi laju inflasi maka banyak perusahaangulung tikar karena tidak kuat menanggung beban operasional. Oalamtataran ke depa,n kenaikan UMP, sebenarnya juga tidak dapatdigeneralisasikan dalam semua sektor industri. Inheren di dalamnya,perlu ada pemilahan konsepsi pengupahan antara sektor industri padatkarya dan padat modal. Kenaikan UMP bagi industri padat modalmungkin tidak begitu menjadi persoalan, namun bagi industri padatkarya (seperti industri garment, elektronik, sepatu dan sebagainya),kenaikan UMP adalah sesuatu hal yang sangat memberatkan. Selainitu, dapat dipahami upah pada hakekatnya merupakan pay forperfomancesehingga kenaikan upah selayaknya juga didasarkan padaproduktivitas pekerja. Oalam hal ini, ada kontraprestasi atas hasil kerjadari buruh.

Oigunakan Indeks Kebutuhan Hidup Minimum sebagaiindikator penetapan upah minimum, kiranya perlu dipertanyakankembali.Berdasarkan Kepmenaker No. 61/1995,penetapan upah mini-mum di Indonesia didasarkan pada standar kebutuhan hidup mini-mum dengan nilai 3000 kalori. Angka ini jauh di atas standar gariskemiskinan yang menggunakan 2100kalori.Oalam kenyataannya, sulituntuk menemukan kelompok rumah tangga yang mengasumsi kalorisebesar itu, karena rata-rata mereka hanya mengkonsumsi sekitar 1800kalori per hari. Selain itu, mengingat heterogenitas tingkat h.arga diberbagai kota di Indonesia, maka sangat sulit kiranya untukmenetapkan hasil nominal uang yang setara dengan kebutuhan hidupminimum. Solusi yang ditawarkan dapat ditempuh denganmenghitung kembali upah minimum regional melalui penggunaanstandar kalori yang lebih tepat, misalnya antara 2100-2250kalori perhari sehingga relevan dan tidak terlalu jauh berbeda denganpenghitungan garis kemiskinan.

307

Page 8: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

'urool Ilmu Sosial & Umu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

Kebijakanupah minimum juga perlu mempertimbangkan aspekkesetaraan gender. sampai saat ini, kebijakan upah yang ada masihdiskriminatifdan biasgenderkarenatidakada perbedaanpengupahanterhadap jenis kelamin yang berbeda. Praktik pengupahan selama inicenderung menempatkan pekerja wanita pada posisi yang subordinatif.Kebijakan -pengupahan yang bias gender ini disebabkan oleh faktorinternal dan eksternal (Hamzah, 2002). Faktor internal disebabkankarena rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan pekerja wanitaserta pandangan terhadap peran perempuan dalam ekonomi rumahtangga sebagai tenaga kerja sekunder. Sementara faktor eksternaldipengaruhi oleh pandangari lingkungan sosial budaya yangmenempatkan wanita di rumah tangga, sistem kapitalisme patriarkiyang berkembang di Indonesia, pandangan bahwa wanita dipandangsangat cocok ditempatkan di sektor pasar tenaga kerja sekunder danberupah murah, tidak adanya perlindungan hukum yang secaraotonom dan spesifik melindungi pekerja wanita serta kurangnyapemahaman para penentu kebijakan pengupahan, sehinggamenempatkan pekerja wanita selalu dalam posisi sekunder, berupahmurah, dan tidak memiliki posisi tawar. Mengingat pentingnya UMPyangberkeadilangenderini, makapara penentu kebijakanupah perlumemasukkan kebutuhan otonom dan spesifik pekerja wanita dalamindeks harga konsumen. Di sisi lain, juga diperlukan kepekaanpengusaha untuk memahami kebutuhan spesifik pekerja wanita danperlakuan diskriminasi.

Indikator-indikator di atas harus menjadi acuan di dalamformulasi kebijakan UMP. sosialisasi mengenai hal tersebut mutlakdilakukan kepada pihak buruh maupun para pengusaha, sehinggamekanisme penetapan kebijakan UMP dapat berlangsung secaraobyektif dan transparan.

2. Dukungan implementasi UMP

Kebijakan UMP pada hakekatnya akan berjalan baik ketikapemerintah juga membuat regulasi-regulasi yang mendukungimplementasi dari kebijakan tersebut. Kesulitan yang dialami olehpengusaha di dalam menanggung biaya operasional yang nantinyaberimplikasi pada melonjaknya harga-harga produksi perlu

308

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijalcan Upah Minimum yang Akomodatif

diminimalkan dengan cara menghapus pungutan-pungutan liar

(pungli), menertibkan pungutan retribusi yang dikeluarkan oleh daerahdan meninjau kembali pungutan pajak pertambahan nilai (PPN).

Selama biaya atau pungutan tak resmi belum diberantastampaknya akan sulit bagi perusahaan untuk meningkatkan upahpekerja apalagi untuk bersaing di pasar.global seperti yang selama inidiserahkan oleh pemerintah. Untuk itu, diperlukan reformasi strukturindustri nasional yang diarahkan untuk memangkas sesegera mungkinsemua pungutan tak resmi yang tidak berkaitan dengan industri ataudunia usaha.

Kebijakan ini akan memiliki dua aspek kemanfaatan yaknimenekan high costeconomysehingga industri dapat bersaing dan yanglebih penting adalah membuat harga produksi dapat terjangkau olehmasyarakat. Konsistensi antara kebijakan ekonomi nasional dengankebijakan upah juga akan menjadi kunci agar kebijakan UMP yangdibuat benar-benar memiliki nilai manfaat bagi masyarakat.

3. Reformasi Struktural dan Law Enforcement

Carut marutnya permasalahan ketenagakerjaan di Indonesiajuga bersumber pada masalah struktural seperti belum adanya UUPerburuhan yang baru, Dewan Pengupahan Nasional yang tidak jalanserta tidak pahamnya para policymakerbaik di tingkat nasional maupundaerah tentang masalah-masalah teknis perburuhan maupun masalahmanajemen mikro perusahaan khususnya perusahaan padat karya.Berhubungan dengan itu, diperlukan adanya sebuah reformasistruktural, sehingga menempatkan orang-orang profesional dibidangnya pada lembaga-lembaga di atas merupakan tuntutan yangharus segera direalisasikan.

Untuk mewujudkan kebijakan UMP yang akomodatif jugaperlu diberikan peluang negoisasi berimbang dalam tubuK pembuatkebijakan di bidang pengupahan nasional. Peran pemerintah yangselama ini terlihat sangat dominan dalam alur penentuan upah haruslebih dicermati. Sementara pada aras lain, serikat-serikat pekerja sepertiSBSI, sPsI dan institusi sejenis harus lebih memberdayakan dirinyasehingga betul-betul dapat menampung aspirasi pekerja. Sikap netraldan independen serikat-serikat pekerja merupakan suatu keharusan

309

Page 9: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

!umal IImu Sosial & IImu Politik, Vol. 5, No 3, Mnret 2002

dalam rangka mewujudkan suatu collective bargaining, sehingga dapatmengantisipasi perkembangan yang terjadi.

Selain hal di atas, perlu juga segera dibuat ketentuan hukumyang mengatur tentang sanksi-sanksi bagi perusahaan yang melanggarketentuan UMP. Regulasi ini akan menjadi dasar justifikasi bagipemerintah di dalam menindak pelanggaran atas kesepakatan UMPoleh perusahaan. Beberapa regulasi yang sudah ada namun dirasakantidak akomodatif dan responsif terhadap kepentingan pengusaha atauburuh perlu dikaji ulang. Hal ini misalnya dapat dilihat padapelaksanaan SK Menteri Tenaga Kerja No. 150 tahun 2000 yangmemberikan kompensasi sarna bagi pekerja yang melakukanpelanggaran berat terhadap kesepakan kerja (bahkan melakukan tindakkriminal) dengan pekerja-pekerja yang harus menerima pemutusanhubungan kerja (PHK) karena faktor keadaan. Selain tidak adil,peraturan tersebut tidak mendidik dan sangat disinsentif (Otto, 2001).Pada akhirnya kebijakan maupun regulasi yang dibuat akan berhasilguna ketika law enforcementdilaksanakansecarakonsekuendan tegas.

4. Transparansi dan Komunikasi Buruh dan Majikan

Keterbukaan dan komunikasi merupakan hal esensial yangmesti diperlukan dalam hubungan antara pengusaha dengan buruh.Selama ini perusahaan cenderung tidak mau terbuka terhadap buruhmengenai kondisi perusahaannya dan ada anggapan bahwa buruhbukan merupakan komponen penting bagi keberlangsunganperusahaan. Melalui keterbukaan ini diharapkan akan ada sikap salingmemahami dan pengertian an tara buruh dan pihak perusahaan.Dengan demikian, ketika perusahaan sedang mengalami kesulitankeuangan diharapkan buruh akan dapat memakluminya karena padahakekatnya buruh dan pengusaha mempunyai hubungan yang salingkomplementer.

Adanya pemogokan ataupun unjuk rasa mengenai masalahUMP adalah akibat dari terjadinya kesenjangan komunikasi antarapekerja dan perusahaan. Dalam hal ini, pekerja kurang mengetahuiseluk beluk atau tidak dapat membaca kondisi keuangan perusahaanyang menentukan bisa tidaknya suatu perusahaan membayar upahpekerja sesuai dengan upah minimum. Tanpa adanya transparansi dan

310

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif

juga collective bargaining bagi pekerja, maka masalah upah tidak akandapat diselesaikan secara tuntas.

Melalui komunikasi secara intensif dimungkinkan pula upayamencari solusi upah buruh secara bersama-sama. Ketika perusahaanbenar-benar tidak mampu melaksanakan UMP sesuai denganketentuan pemerintah, bisa jadi apabila antara buruh dan perusahaanada kesepakatan, maka upah yang mereka patok berbeda denganjumlah upah berdasarkan kriteria pemerintah. Hal ini sangat mungkinterjadi, karena kedua belah pihak mengambil jalan damai dan inginsaling menghidupi.

Aspek-aspek di atas, diharapkan dapat menjadi acuanpengembangan kebijakan UMP yang akomodatif. Kebijakan semacamini sangat urgen di dalam meminimalisir kontroversi penetapan upahminimum. Di sisi lain, dalam jangka ke depan juga perludiformulasikan sebuah strategi bagi peningkatan kesejahteraan buruh.Sebagai salah satu kelompok masyarakat yang amat rentan terhadap£luktuasi harga kebutuhan pokok, maka diperlukan kebijakan publikyang memungkinkan buruh dapat mengatasi masalahnya denganmelihat pada pengeluaran mereka. Para buruh di kota-kota besar

umumnya menghabiskan uangnya untuk sew a rumah dan biayatransportasi. Oleh karena itu, pembangunan rumah susun sewa disekitar kawasan industri akan dapat menghemat pengeluaran paraburuh. Kebijakan ini akan dapat mendorong penciptaan lapangan kerjadan berguna dalam membantu penataan tata kota. Sementara bagiburuh sendiri, dengan dekat tempat kerja diharapkan produktivitaskerja mereka dapat lebih meningkat. Peningkatan produktivitas tenagakerja akan berjalan paralel dengan kenaikan upah dan kesejahteraanmereka.

Catatan Penutup

Selalumunculnya pro dan kontra mengenai masalah upah mini-mum merupakan fakta yang mengindikasikan bahwa masalah upahhingga saat ini masih menjadi kontroversi yang belum pernah tuntas.Di sisi lain, hal tersebut juga dapat menjadi salah satu indikatormeningkatnya kesadaran pekerja untuk menuntut hak-haknya.Namun, jika dikaji secara lebih cermat munculnya kontroversi tersebut

311

Page 10: KEBIJAKAN UPAH MINIMUM YANG AKOMODA TIFSementara teori neoklasik mendasarkan pandangannya pada asas nilai tambah mar-ginal faktor produksi. Dalam hal ini upah merupakan imbalan atas

Jurnal IImu Sosial & lImu Politik, Vol. 5, No 3, Maret 2002

bersumber pada tidak akomodatifnya kebijakan yang dibuat.Penetapan kebijakan upah minimum selama ini hanya sekedardipahami sebagai upaya penyesuaian terhadap perubahan makroekonomi, tetapi tidak pernah dilihat dalam konteks pengembanganincomeriil bagi pekerja.

Paparan yang telah ditulis di muka, pada hakekatnyadimaksudkan untuk memberikan solusi alternatif bagi terwujudnyakebijakan UMP yang akomodatif. Oalam konteks ini, pemerintahdituntut untuk berdiri pada posisi netral dan berfungsi mengakomodasikepentingan buruh dan pengusaha. Pada akhirnya, formulasi kebijakanideal UMP yang telah diuraikan di atas, diharapkan dapat menciptakankebijakan UMP yang lebih komprehensif. Oengan demikian, hubunganantara para pelaku ekonomi dala'mhubungan industrial dapat berjalansecara sinergi untuk menuju tatanan ekonomi yang lebih baik.***

Daftar Pustaka

Baiquni, M. (1995). 'Oebat Publik Menuju Oemokratisasi Kebijakan'dalam Kumpulan Makalah Pelatilzan Analisis Kebijakan SosialAngkatan III (Yogyakarta, 11-22 Juli 1995), Pusat PenelitianKependudukan, Universitas Gadjah Mada.

Harnzah, Ardi (2002). 'Mewujudkan Upah Minimum Propinsi yangBerkeadilan Jender, Kedaulatan Raktjat, 29 Januari.

Ikhsan, Mohammad (2002). 'Upah Minimum Regional dan KesempatanKerja, Mencari Jalan Tengah,' Kompas, 8 Januari.

Islamy, M. Irfan (1986). Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara.Jakarta: Bina Aksara.

Nugroho, Heru (2001). Negara, Pasar dan Keadilan Sosial. Yogyakarta:Pustaka Pelajar

Otto, Budi P. (2001). 'Kebijakan Ekonorni Nasional dan Upah Mini-mum Yang Tidak Sejalan,' Kompas, 18 Oesember.

312

Suparjan dan Hempri Suyatno, Kebijakan Upah Minimum yang Akomodatif

Salamon, Michael (1992). Industrial Relation, Theonj and Practice, NewYork: Prentice Hall International (UK) Ltd.

SiInaI1juntak, Payaman (1985).Pengantar Ekonomi Sumber DayaManusia,Jakarta: Fakultas Ekonorni Universitas Indonesia.

Sriyana, Jaka (2001). 'UMP Naik Produktivi~.s Naik,' KedaulatanRaktjat,26 Oesember.

Suseno, Franz-Magnis (1999).Pemikiran KarlMarx Dari Sosialisme UtopisKePerselisihanRevisionisme.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Susetiawan (2000).Konflik Sosial,KajianSosiologisHubungan Buruh,Perusaluzan dan Negara di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Watsop, Tony J. (1980).Sociologtjof Work Industnj. London: Routledgeand Keagan Paul.

313