Kasus Kejang Demam.doc
-
Upload
dian-dw-spoofer -
Category
Documents
-
view
44 -
download
2
Transcript of Kasus Kejang Demam.doc
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. A
Umur : 1 tahun 6 bulan
Jenis kelamin : Laki-Laki
Berat badan : 9,8 kg
Tinggi badan : 83 cm
Agama : Islam
Alamat : Jalan Maskarebet Blok A RT.07 No.15 Kec. Sukarami Palembang
MRS : 7 Juli 2008 pukul 14.20 WIB
II. ANAMNESA
(Alloanamnesa, dengan ibu dan ayah penderita)
Keluhan utama : Kejang
Keluhan tambahan : BAB Cair
Riwayat perjalanan penyakit :
Sejak ± 1 hari SMRS, penderita menderita demam mendadak tidak terlalu
tinggi, terus menerus, menggigil tidak ada, menggigau tidak ada, kesadaran menurun
tidak ada, muntah ada, frekuensi 2 kali/hari @ 3 sendok makan, tidak
nyemprot,warna putih, isi apa yang dimakan dan diminum, kejang tidak ada, batuk
ada, dahak tidak ada, darah tidak ada, pilek ada, BAB cair, lendir tidak ada, darah
tidak ada, frekuensi 6 kali/hari @ ¼ - ½ gelas, air > ampas. Penderita tidak minum
obat.
+ 1 jam SMRS penderita mengeluh demam tinggi, penderita mengalami
kejang, frekuensi satu kali, lama kejang + lima menit, kejang umum tonik klonik,
post ictal penderita sadar. Penderita lalu dibawa ke Instalasi gawat Darurat RSMH,
penderita lalu diberi stesolit rectal dan diobservasi. Saat diobservasi penderita kejang
lagi satu kali, lamanya kurang dari lima menit, kejang umum tonik klonik, post ictal
1
penderita sadar, lalu penderita diberi stesolit rectal lagi, dan disarankan untuk masuk
rumah sakit.
Riwayat Penyakit Dahulu
o Riwayat trauma disangkal
o Riwayat kejang sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
o Riwayat kejang demam dialami ayah penderita ketika masih anak-anak.
Kejang tidak pernah berulang sampai sekarang
o Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita adalah anak pertama dari dua bersaudara (anak pertama meninggal
karena DBD saat usia 1 tahun 11 bulan). Ayah penderita berusia 41 tahun, pendidikan
terakhir S1 yang bekerja swasta. Ibu penderita berusia 37 tahun dengan pendidikan
terakhir S1, dan bekerja sebagai ibu rumah tangga. Penghasilan per bulan lebih dari
Rp. 1 juta, Ekonomi keluarga ditanggung oleh orang tua penderita yang tinggal di
rumah sendiri.
Kesan: sosial ekonomi cukup
Riwayat Makanan
ASI : Lahir – 5 bulan
Susu Formula : 5 bulan – sekarang
Bubur Susu : 4 bulan – 8 bulan
Bubur Tim : 8 bulan – 1 tahun
Nasi : 1 tahun – sekarang
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup
2
Riwayat Vaksinasi
BCG : (+) ada scar
DPT : DPT I, II,III
Polio : Polio I,II,III
Hepatitis B : 1,2,3
Campak : (+)
Vitamin A : (+)
Kesan : imunisasi dasar lengkap
Riwayat Keluarga
A/♂/41 thn/Swasta L/♀/37 thn/IRT
os
Riwayat Lahir
Lahir dari ibu G2P2A0, lahir cukup bulan, ditolong oleh bidan, spontan, lahir langsung
menangis, BBL 3700 gram A/S tidak tahu, R/ibu demam (-), R/KPSW (-), R/ ketuban
kental hijau bau (-).
Riwayat Perkembangan Fisik
Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 1 tahun 1 bulan
Jalan : 1 tahun 2 bulan
Kesan : Perkembangan fisik dalam batas normal
III. PEMERIKSAAN FISIK
3
Keadaan umum
Kesadaran : kompos mentis
Nadi : 120 x/menit isi: cukup tegangan : cukup
Pernafasan : 30 x/menit
Suhu : 38,5º C (axilla)
Berat badan : 9,8 kg
Tinggi badan : 83 cm
Lingkar Kepala : 40 cm
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Dipsnue : tidak ada
Edema umum : tidak ada
Keadaan gizi :
BB/U = 9,8/11,7 x 100% = 83,76 %
TB/U = 83/82 x 100% = 101,22 %
BB/TB = 9,8/11,9 x 100% = 82,35 %
Kesan : KEP I
Keadaan Spesifik
Kulit : Turgor baik, anemia tidak ada, ikterus tidak ada, sianosis tidak ada.
Kepala
Bentuk : bulat, simetris, normosefali
UUB : menutup
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : mata tidak cekung, konjungtiva tidak anemis,
sklera tidak ikterik, refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor.
Hidung : bentuk biasa, epistaksis tidak ada, sekret tidak ada, nafas cuping
hidung tidak ada.
Mulut : sianosis sirkum oral tidak ada, sianosis ginggiva tidak ada.
4
Tenggorok : arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior
hiperemis, tonsil hiperemis besarnya T2 – T2.
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, JVP normal
Thorak
Paru-paru
Inspeksi : statis, dinamis simetris
Palpasi : stemfremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor pada kedua lapangan paru
Auskultrasi : vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing(-)
Jantung
Inspeksi : pulsasi, iktus kordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat
Palpasi : ictus tidak teraba thrill tidak teraba
Perkusi : jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 120 x/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada
Abdomen
Inspeksi : datar
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, cubitan kulit kembali
lambat (-)
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Ekstremitas
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran KGB tidak ada, genitalia tidak ada kelainan
Pemeriksaan Neurologi
5
Fungsi Motorik :
Pemeriksaan Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala arah Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus eutoni eutoni eutoni eutoni
Klonus - -
Reflek fisiologis N N N N
Reflek patologis - - - -
Fungsi Sensorik : tidak ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal : tidak ada
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium ( Juli 2008)
Hematologi
Hemoglobin : 11 g/dl
Hematokrit : 33 vol%
Leukosit : 15.400/mm3
Trombosit : 330.000/mm3
Diff. count : 0/0/7/76/20/2
Kimia Klinik
Natrium : 132 mmol/l
Kalium : 3,5 mmol/l
Kalsium : 1,18 mmol/l
V. RESUME
6
Seorang anak laki - laki usia 1 tahun, 6 bulan, berat badan 9,8 kg, tinggi badan
83 cm, Islam, Sukarami-Palembang, MRS 7 Juli 2008 pukul 14.20 WIB dengan
keluhan utama kejang, dan keluhan tambahan BAB cair.
Dari alloanamnesa didapatkan sejak ± 1 hari SMRS, penderita menderita
demam mendadak tidak terlalu tinggi, terus menerus, muntah ada, frekuensi 2
kali/hari @ 3 sendok makan, tidak nyemprot,warna putih, isi apa yang dimakan dan
diminum, kejang tidak ada, batuk ada, dahak tidak ada, darah tidak ada, pilek ada,
BAB cair, lendir tidak ada, darah tidak ada, frekuensi 6 kali/hari @ ¼ - ½ gelas, air >
ampas.Penderita tidak minum obat. Sejak + 1 jam SMRS penderita mengeluh demam
tinggi, penderita mengalami kejang, frekuensi dua kali (kejang pertama di rumah,
kejang kedua sewaktu observasi di RSMH), lama kejang + lima menit, kejang umum
tonik klonik, inter dan post ictal penderita sadar. Penderita lalu disarankan untuk
masuk rumah sakit.
Pada riwayat penyakit dahulu tidak terdapat riwayat trauma dan riwayat
kejang sebelumnya. Sedangkan dalam keluarga terdapat riwayat kejang demam yang
dialami oleh ayah penderita pada saat masih anak-anak. Kejang tidak pernah berulang
sampai sekarang. Riwayat sosial ekonomi cukup. Riwayat makanan kesan kualitas
dan kuantitas cukup. Riwayat vaksinasi dasar lengkap.
Pada pemeriksaan fisik penderita nampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, nadi 120x/menit, pernafasan 30x/menit, suhu 38,5º C, berat badan 9,8 kg,
tinggi badan 83 cm, dari BB/TB diperoleh 82,35 % kesan gizi KEP I. Pada keadaan
spesifik didapatkan dinding faring posterior hiperemis dan tonsil hiperemis besarnya
T2 – T2. Thorak dalam batas normal. Mata cekung tidak ada, abdomen pada palpasi
cubitan kulit kembali cepat, dan ekstremitas akral dingin tidak ada. Pada pemeriksaan
neurologis dalam batas normal.
VI. DIAGNOSA BANDING
Kejang Demam Kompleks + Tonsilofaringitis akut + Diare Akut tanpa
Dehidrasi + KEP I
Ensefalopati + Tonsilofaringitis akut + Diare Akut tanpa Dehidrasi + KEP I
7
Meningitis + Tonsilofaringitis akut + Diare Akut tanpa Dehidrasi + KEP I
VI. DIAGNOSIS KERJA
Kejang Demam Kompleks + Tonsilofaringitis akut + Diare Akut tanpa
Dehidrasi + KEP I
VII. PENATALAKSANAAN
Diet 1000 kalori , 15 gr proteinIVFD D5 10:4:7 980 cc/24 jamDiazepam rectal 5 mg (jika kejang) Parasetamol 4 x 120 mg (kalau perlu)Amoksisilin 3 x 125 mgOralit 100-200cc tiap BAB cairZinc 20mg 1x1
VIII. RENCANA PEMERIKSAAN
Lumbal Pungsi
IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
FOLLOW UP SELAMA PASIEN DIRAWAT
8
Tanggal 9 Juli 2008S: Keluhan -
O: Keadaan Umum
SensoriumBerat badanLingkar kepalaNadiRRSuhu
Keadaan Spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Ekstremitas
Kompos mentis9,8 kg40 cm128 kali/menit, I/T cukup36 kali/menit37,6o C
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/- ,refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor, Tenggorok: arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis, tonsil hiperemis
GRM(-), pembesaranKGB(-)
Paru-paru I : statis, dinamis simetris, retraksi (-) P : stemfremitus kiri = kanan P : sonor pada kedua lapangan paru A : vesikuler (+) N, ronkhi (-),wheezing(-) Cor dbn
Datar, lemas, hepar lien tidak teraba, BU(+) N
Pemeriksaan neurologisFungsi Motorik :
Pemeriksaan Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala
arah
Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
Reflek fisiologis N N N N
Reflek patologis - - - -
Fungsi Sensorik : tidak ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal: tidak ada
9
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
Pemeriksaan penunjang -Diagnosis Kerja Kejang Demam Kompleks + Tonsilofaringitis Akut + Diare Akut tanpa
Dehidrasi + KEP ITerapi Diet 1000 kkal, 20 gr protein
Parasetamol 4x120mg (jika demam)Amoksisilin 3x125mgOralit ad libitumZinc 1x20mgCa Sandos 1 x ¼ tablet
Tanggal 9 Juli 2008S: Keluhan -
O: Keadaan Umum
SensoriumBerat badanLingkar kepalaNadiRRSuhu
Keadaan SpesifikKepala
Leher
Thorax
Abdomen
Kompos mentis9,8 kg83 cm120kali/menit, i/t cukup28 kali/menit36,8o C
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/- ,refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor, Tenggorok: arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior hiperemis berkurang, tonsil tidak hiperemis dan tidak membesar
GRM (-), pembesaran KGB
Paru-paru I : statis, dinamis simetris, retraksi (-) P :stemfremitus kiri = kanan P : sonor pada kedua lapangan paru A :vesikuler (+) N, ronkhi (-),wheezing(-) Cor dbn
Datar, lemas, hepar lien tidak teraba, BU (+) NPemeriksaan neurologisFungsi Motorik :
Pemeriksaan Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala
arah
Segala arah Segala
arah
Segala
arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
10
Ekstremitas
Reflek fisiologis N N N N
Reflek patologis - - - -
Fungsi Sensorik : tidak ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal: tidak ada
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
Pemeriksaan penunjang -Diagnosis Kerja Kejang Demam Kompleks (perbaikan) + Tonsilofaringitis Akut
(perbaikan) + Diare Akut tanpa Dehidrasi (perbaikan) + KEP I (tetap)Terapi IVFD Stop
Diet 1000 kkal, 20 gr protein Parasetamol 4x120 mg (jika demam)Amoksisilin 3x125 mgOralit ad libitumZink 1x20mgCa Sandos 1 x ¼ tablet
Tanggal 10 Juli 2008S: Keluhan -O: Keadaan Umum
SensoriumBerat badanLingkar kepalaNadiRRSuhu
Keadaan Spesifik
Kepala
Leher
Thorax
Abdomen
Kompos mentis9,8 kg83 cm120 kali/menit, i/t cukup22 kali/menit36,7o C
Konjungtiva palpebra pucat -/-, sklera ikterik -/- ,refleks cahaya +/+ normal, pupil bulat, isokor, Tenggorok: arcus faring simetris, uvula di tengah, dinding faring posterior tidak hiperemis, tonsil tidak hiperemis dan tidak membesar
GRM(-),pembesaranKGB(-)
Paru-paru I : statis, dinamis simetris, retraksi (-) P : stemfremitus kiri = kanan P : sonor pada kedua lapangan paru A : vesikuler (+) N, ronkhi (-),wheezing(-) Cor dbn
Datar, lemas, hepar lien tidak teraba, BU(+) N
Pemeriksaan neurologis
11
Ekstremitas
Fungsi Motorik :
Pemeriksaan Tungkai Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Segala
arah
Segala arah Segala arah Segala arah
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus N N N N
Klonus - -
Reflek fisiologis N N N N
Reflek patologis - - - -
Fungsi Sensorik : tidak ada kelainan
Fungsi Nervi Cranialis : tidak ada kelainan
Gejala Rangsang Meningeal: tidak ada
Akral dingin tidak ada, edema tidak ada, sianosis tidak ada
Pemeriksaan penunjang -Diagnosis Kerja Kejang Demam Kompleks (perbaikan) + Tonsilofaringitis akut (perbaikan) +
Diare Akut tanpa Dehidrasi (perbaikan) + KEP ITerapi Diet 1000 kkal, 20 gr protein
Parasetamol 4 x 120 mg (jika demam)Amoksisilin 3x125 mgOralit ad libitumCa Sandos 1 x ¼ tablet(pulang)
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.I Pendahuluan
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak,
dimana 2-5% anak pernah mengalami serangan kejang demam sebelum usia 5
tahun. Meskipun biasanya kejang hanya berlangsung beberapa menit saja, kejang
demam sering menimbulkan kecemasan pada orang tua. Kecemasan tersebut
meliputi peristiwa serangan kejang itu sendiri ataupun akibatnya di kemudian hari
seperti berulangnya kejang, kejadian epilepsi atau kerusakan saraf akibat kejang. 1
Kejang merupakan bangkitan motorik yang terjadi akibat adanya mekanisme
yang mencetuskan sel neuron untuk melepaskan muatan listrik secara berlebihan.
Mekanisme yang mencetuskan kejang diantaranya adalah gangguan pada
membran sel neuron yaitu gangguan keseimbangan natrium dan kalium atau
akibat adanya ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi.
Salah satu bentuk dari neurotransmiter inhibisi adalah GABA (gama amino
butyric acid). Apabila kadar GABA turun maka kemampuan inhibisi pada sinaps
saraf juga akan menurun sehingga akan timbul kejang.1
2.2 Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam
Definisi dan klasifikasi kejang demam telah beberapa kali mengalami revisi.
Livingstone (1954) membagi kejang demam menjadi kejang demam sederhana
(KDS) dan epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Ciri-ciri KDS menurut
Livingstone adalah usia anak 6 bulan sampai 4 tahun, kejang kurang dari 15
menit, kejang umum, kejang dalam 16 jam pertama demam, neurologis normal,
EEG yang dilakukan 4 minggu bebas panas hasilnya normal dan frekuensi kejang
kurang dari 4 kali dalam setahun. Sedangkan kejang demam yang tidak
memenuhi kriteria KDS dikelompokkan dalam epilepsi yang dicetuskan oleh
demam.2
13
Menurut kesepakatan UKK Neurologi anak (2004), kejang demam
didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh
(suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.
Klasifikasi kejang demam menurut UKK Neurologi adalah sama dengan
klasifikasi menurut ILAE. Saat ini definisi dan klasifikasi kejang demam yang
digunakan adalah menurut kesepakatan UKK Neurologi Anak 2004. 3,4
Nelson Ellenberg (1976) membagi kejang demam menjadi 2 yaitu benign
febrile convulsion dan kejang demam kompleks. Dikatakan benign febrile
convulsion bila serangan kejang pertama kali usia 6 bulan sampai 4 tahun,
sebelumnya pernah panas tanpa kejang, kejang umum, lamanya kurang dari 10
menit, tidak ada riwayat keluarga dengan kejang demam, dan tidak ada gangguan
neurologis. Kejang demam kompleks bila kejang fokal, lama lebih dari 10 menit,
ada riwayat kejang demam dalam keluarga, lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam,
ILAE membagi kejang demam menjadi KDS dan KDK. Disebut KDS bila kejang
bersifatumum, tonik klonik, lama kejang kurang dari 15 menit dan tidak timbul
kembali dalam 24 jam. Bila lama kejang lebih dari 15 menit dan bersifat fokal
atau terjadi kembali dalam 24 jam maka diklasifikasikan dalam kejang demam
kompleks (KDK).1
2.3 Epidemiologi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada
anak-anak. Dua sampai lima persen dari seluruh anak mengalami sedikitnya satu
kali kejang demam dalam lima tahun pertama kehidupan. Verity dkk dalam suatu
penelitian di Inggris pada tahun 1970 hingga 1975 mendapatkan prevalensi
kejang demam sebesar 2,3%. Di Jepang, Tsuboi tahun 1974-1980 mendapatkan
prevalensi kejang demam yang lebih tinggi yaitu sebesar 8,3%. Eka dkk pada
tahun 1999-2001 di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429 penderita
kejang demam, terutama pada usia 12-17 bulan.
Pada umumnya penderita kejang demam tergolong kejang demam sederhana.
Verity dkk melaporkan kejadian kejang demam sederhana terjadi pada 76,9%
14
kasus dan KDK 18,8% kasus. Delapan persen berlangsung lama (lebih dari 15
menit), dan 16% berulang dalam waktu 24 jam.1
Kejang demam bergantung pada umur, dimana umumnya dijumpai pada bayi
dan anak. Usia anak yang tersering mengalami kejang adalah 6 bulan sampai 3
tahun. Keterkaitan umur dengan kejang demam adalah berhubungan dengan
tingkat kematangan anatomi, fisiologi, dan biokomiawi otak. Delapan puluh lima
persen kejang demam terjadi sebelum usia 4 tahun, terbanyak pada usia 17-23
bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum usia 2
tahun dan hampir 90% mengalaminya sebelum usia 3 tahun. Perbandingan kejang
demam antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah hampir sama berkisar
1,1-1,4:1. 1
Faktor genetik mempunyai peranan dalam kejadian kejang demam. Berg dkk
dalam penelitiannya melaporkan 24% penderita kejang demam memiliki kerabat
tingkat pertama yang juga menderita kejang demam. Verity dkk melaporkan 26%
penderita kejang demam memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam,
terutama pada orang tua atau saudara kandung. Van Esch dkk mendapatkan risiko
terjadinya kejang demam pada saudara kandung penderita kejang demam adalah
10% yaitu sekitar 2 kali risiko rata-rata populasi. Lennox (1949) berpendapat
bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen
dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat
bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan
pada anak normal hanya 3%. 1,4
2.4 Etiologi
Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada kejang demam belum
diketahui secara pasti. Banyak teori yang telah dikemukakan para ahli mengenai
berbagai kemungkinan mekanisme terjadinya kejang pada kejang demam selain
faktor demam itu sendiri. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan, faktor yang
mungkin memiliki peranan terhadap terjadinya kejang demam adalah faktor
genetik, riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga, faktor perinatal
15
(asfiksia dan riwayat perawatan saat neonatus), faktor suhu, defisiensi besi,
defisiensi seng, hiponatremia dan channelopathy.1,2
Walaupun mekanisme pasti kejang demam belum dapat diketahui, beberapa
faktor yang berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah
gangguan pada membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi
prasinaps dan paska-sinaps serta gangguan pada sel glia.1,2
2.4.1 Gangguan pada membran sel neuron
Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut
terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel terhadap ion
kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada
keadaan normal konsentrasi ion kalium cenderung tinggi sedangkan konsentrasi
ion natrium rendah.2
Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion
natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan
kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di
permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel
lainnya dan menyebar sepanjang akson.2
2.4.2 Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps
Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial
aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuron akson yang kemudian
membebaskan zat transmitter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi
membran paska-sinaps. Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamat)
mengakibatkan depolarisasi, zat neurotransmiter inhibisi (GABA, glisin)
menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat
mengakibatkan eksitasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.2
Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron lainnya melalui
sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari
sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktifitasnya. Pada
keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan
terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang.
16
Efek inhibisi ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan
mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang
berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi melalui mekanisme
inhibisi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan
eksitasi-inhibisi sehinhgga dapat menimbulkan bengkitan kejang. 2
2.4.3 Gangguan pada sel glia
Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar
neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang
mengatur monsentrasi ion kalium ekstraseluler akan tergangggu yang akan
mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron sekitarnya. Rasio yang
tinggi antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat
mendepolarisasi membran neuron.2
Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel
neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di
cairan interstisial yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh
astroglia cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema).
Pada penelitian eksperimental, didapatkan bahwa bila kation dimasukkan ke
dalam sel astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan kejang pada sel neuron
disekitarnya, hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia
dalam mengatur aktivitas neuronal.2
2.5 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi yang didapatkan dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme
otak yang terpenting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana
oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak
melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak ialah glukosa yang
melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.4
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel
neuron dapat dilalui dengan ,mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui
17
oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya
konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan
diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion didalam dan di luar sel, maka terdapatlah perbedaan potensial
yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang
terdapat pada permukaan sel.4
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan
patofosiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.4
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu
tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron
dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun Natrium
melaui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas
muatan ini demikian besarnya sehingga dapat menyebar keseluruh sel maupun ke
sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan
terjadilah kejang.4
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari
tinggi rendahnya amabang kejang seorang anak menderita kejang pada suhu
tertentu. Pada anak dengan amabng kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada
suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.4
2.5.1 Peranan Besi dalam Terjadinya Kejang
18
Penelitian Gatti menyebutkan pada saat pasien terinfeksi oleh patogen akan
terjadi pelepasan faktor inflamasi interleukin 1 (IL-1). IL-1 akan mempengaruhi
hipotalamus dan hipokampus. IL-1 akan merangsang pusat pengaturan suhu di
hipotalamus sehingga akan menimbulkan kenaikan suhu (demam) dan akan
menimbulkan kejang bila sudah ada faktor risiko lain. Sementara di hipokampus
IL-1 mempengaruhi neurotransmiter dan dapat menyebabkan timbulnya kejang
bila sudah terjadi gangguan sebelumnya (sudah ada faktor pencetus) yang
mempengaruhi faktor keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi (glutamat)
dan neurotransmiterinhibisi (GABA). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
neurotransmiter GABA adalah adanya defisiensi besi yang menyebabkan
menurunnya kadar GABA. Penurunan kadar GABA akan menyebabkan tidak
efektifnya mekanisme inhibisi sehingga terjadi kejang.1
GABA adalah neurotransmiter inhibisi utama pada otak. GABA tertinggi
konsentrasinya pada substansia nigra dan globus palidus. GABA dan glutamat
dibentuk di otak dari molekul asam sitrat pada siklus kreb, reaksi ini dikenal
sebagai shunt GABA. Sintesis GABA dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Diantaranya adalah peranan B6 dalam bentuk fosfat piridoksal yang merupakan
kofaktor pada sintesis GABA dari asam glutamat. Faktor lain yang masih dalam
penelitian adalah peranan besi pada sintesis GABA.1
Besi mempunyai peran yang sangat besar dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan otak yaitu dalam proses mielinisasi saraf otak. Besi juga
mempunyai peran penting terhadap sistem neurotransmiter, diantaranya dalam
proses sintesis serotonin, norepinefrin dan enzim GABA transaminase, serta
sistem dopaminergik. 1
Batra (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek defisiensi besi terhadap
metabolisme GABA pada hewan percobaan. Pada penelitian tersebut didapatkan
terjadinya penurunan aktifitas enzim untuk GABA (GABA shunt enzim) yaitu
GDH, GAD dan GABA-T (glutamat dehidrogenase, glutamat dekarboksilase, dan
GABA-transaminase) dan kadar GABA sendiri akibat adanya defisiensi besi.
Penelitian ini menyimpulkan terdapat peranan besi terhadap GABA.1
19
2.6 Manifestasi Klinis
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan
dengan kenaikan suhu badan yang tinggi (diatas 38C) dan cepat yang disebabkan
oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta,
bronkitis, furunkulosis dan lainnya. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24
jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat
berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik fokal atau akinetik. Wujud kejang dapat
pula berupa mata berbalik ke atas disertai kekakuan atau kelemahan. Atau, terjadi
gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan. Kejang seluruh tubuh ini
akan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah
itu anak tampak capek, mengantuk, dan tidur pulas. Begitu terbangun kesadaran
sudah pulih kembali. tanpa adanya kelainan saraf. 3,5
2.7 Diagnosis Kejang Demam
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia antara 6 bulan hingga 5
tahun. Pada batas usia tersebut, kejang lebih banyak disebabkan oleh penyebab
yang beragam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap anak diluar batas usia
tersebut harus dilakkukan pemeriksaan scan otak dan pemeriksaan ekstensif
lainnya. Kenaikan suhu yang tinggi dan cepat pada saat kejang kejadian kejang
dapat menjadi patokan. Semakin tinggi demam akan dapat mencetuskan
bangkitan kejang.6
Segera setelah kejang berhenti, seorang anak harus sadar kembali dan tanpa
ditemukan adanya kelainan neurologis. Jika terdapat kelainan neurologis setelah
kejang atau menjadi tidak sadar setelahnya, maka harus dipikirkan penyebab lain
dari kejang.6
Pada kejang harus diperhatikan jenisnya (tonik atau klonik), bagian tubuh
yang terkena (fokal atau umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya,
20
selang atau interval antara serangan, keadaan saat kejang dan setelah kejang
(post-iktal).
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab, seperti darah perifer,
elektrolit dan gula darah.3
Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
ialah 0,6-0,7%.3
Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh
karena itu pungsi limbal dianjurkan pada: 3
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan
b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.3
Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang
tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun,
atau kejang demam fokal.3
Pencitraan
Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed tomography (CT)
atau magnetic esonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan
atas indikasi, seperti:3
a. Kelainan neurologik fokal menetap (hemiparesis)
b. Parese nervus VI
c. Papiledema
21
2.8 Diagnosis Banding
Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus
dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf
pusat (otak). Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi,misalnya maningitis,
ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk
menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak. Baru setelah itu
dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana
atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam.4
2.9 Penatalaksanaan
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2
mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.3
Obat yang praktis dan dapat diberikan orang tua atau di rumah adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam
rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk
berat badan lebih dari 10 mg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak
dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.3
Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali
dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini
dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.3
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/ menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, yaitu 12
jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kijang belum berhenti maka pasien
harus dirawat di ruang intensif.3
22
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis
kejang demamnya dan faktor resikonya, apakah kejang demam sederhana atau
kompleks.3
2.9.1 Pengobatan intermiten
Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang
diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk menceegah terjadinya kejang
demam. Terdiri dari pemberian antipiretik dan antikonvulsan.3,7
a. Antipiretik
Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti
bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dosis
asetaminofen yang digunakan berkisar 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari
dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari.3
Asetaminofen dapat menyebabkan sinrom reye terutama pada anak kurang
dari 18 bulan, meskipun jarang. Parasetamol 10 mg/kg sama efektifnya dengan
ibuprofen 5 mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.3
b. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3-2/3 kasus), begitu pula dengan
diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5C. 3
Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang
cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat
demam tidak berguna unutk mencegah demam.3
BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM3
23
KEJANG
Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB atau Berat badan < 10 kg: 5 mgBerat badan > 10 kg: 10 mg
\ KEJANG
Diazepam rectal
(5 menit)
Di rumah sakit
KEJANG
Diazepam IV
Kecepatan 0,5-1 mg.menit (3-5 menit)
(Depresi pernafasan dapat terjadi)
KEJANG
Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgBB
Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit
(pastikan venilasi adekuat)
KEJANG
Transfer ke ICU
2.9.2 Pemberian obat rumat
Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus
untuk waktu yang cukup lama.3,7
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Dengan meningkatnya pengetahuan
bahwa kejang demam ‘benign’ dan efek samping pengguaan obat terhadap
kognitif dan perilaku, profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek,
kecuali pada kasus yang sangat selektif. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40-50%). Obat pilihan
24
saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis namun
insidennya kecil.3
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, fenobarbital 3-4
mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.3
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri
sebagai berikut:3
- Kejang lama > 15 menit
- Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya hemiparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental,
hidrosefalus.
- Kejang fokal
- Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:
Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam
Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan
Kejang demam > 4 kali per tahun
Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.
2.10 Prognosis
Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak
perlu menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapatkan
angka kematian 0,46% dan 0,76% (Fridrerichsen dan Melchior, 1954; Frantzen
dkk, 1968).4
Dari penilaian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50%,
yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat kepadaumur, jenis
kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:4
- Pada anak umr kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita
50 % dan pria 33 %
25
- Pada anak umur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga
adanya kejang, terulangnya kejang ialah 50%, sedang pada tanpa
riwayat kejang 25%.
Resiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang
demam tergantung dari faktor: 4
- Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
- Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak
menderita kejang demam
- Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal
Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian
hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila
hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang
tanpa demam hanya 2-3% saja. (“Consensus Statement on Febrile Seizures,
1981”).4
26
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang penderita Perempuan berusia 21 tahun datang dengan keluhan
demam.
Dari anamnesa didapatkan sejak ± 2 minggu SMRS, penderita menderita sakit kepala,
lesu, mual dan muntah 2 kali berwarna kuning tanpa ada darah dan lendir. Beberapa
hari kemudian penderita mengeluh kedinginan disertai menggigil dan timbulnya
demam tinggi yang paling sering dirasakan saat malam hari dan hilang saat pagi hari.
Penurunan kesadaran, kejang, batuk, sesak nafas, dan mencret disangkal. Penderita
mengaku Pernah berobat ke rumah sakit dan di diagnosis DBD dan tipes. ± 1 minggu
yang lalu, penderita mengaku keluhan tersebut semakin hari semakin memberat
sehingga menggangu aktivitasnya. Saat demam penderita mengaku berkeringat pada
hampir seluruh bagian tubuh yang semakin hari semakin terasa banyak. penderita
juga mengeluh tidak BAB ± 4 hari tetapi BAK seperti biasa. penderita mengaku
pernah berpergian ke provinsi lampung di pulau Pahawang bersama teman-temannya.
Saat itu teman-temannya ± 35 orang mengalami keluhan yang sama dengan
penderita. Dari anamnesis didapatkan bahwa demam berlangsung selama kurang
lebih 2 minggu dan disertai menggigil pada malam hari .Dari riwayat berpergian
kedaerah endemis yaitu kepulau pahawang.
Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda kelainan semua dalam
batas normal. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan trombosit yang meningkat, Hb
menurun dan pada pemeriksaan DDR ditemukan (+) tropozoid plasmodium
falciparum yang menandakan bahwa penderita menderita penyakit malaria.
Karena pasien datang dalam keadaan demam, maka diberikan terapi
antipiretik berupa parasetamol 4x 500 mg untuk menurunkan demam.
Prognosa pasien ini quo ad vitam bonam dan quo ad fungsionam bonam.
27
28