KASUS

34
PENDAHULUAN Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernapasan kronik. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2000, lebih dari 100 juta orang di dunia menderita asma. Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien. 1 Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC), pada tahun 2002 terdapat 8.9 juta anak (12.2%) pernah didiagnosis mengalami asma dalam hidupnya, serta 4.2 juta anak (5.8%) mengalami serangan asma sejak usia kurang dari 12 bulan. Anak laki-laki 1,4 kali berpotensi mengalami asma dibandingkan dengan anak perempuan, serta anak dari keluarga kurang mampu 1,6 1

description

asma

Transcript of KASUS

Page 1: KASUS

PENDAHULUAN

Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas

yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada akibat

penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran

pernapasan kronik. Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2000,

lebih dari 100 juta orang di dunia menderita asma. Apabila tidak dicegah dan

ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi

yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu proses

tumbuh kembang anak dan kualitas hidup pasien. 1

Berdasarkan data Center for Disease Control and Prevention (CDC), pada

tahun 2002 terdapat 8.9 juta anak (12.2%) pernah didiagnosis mengalami asma

dalam hidupnya, serta 4.2 juta anak (5.8%) mengalami serangan asma sejak usia

kurang dari 12 bulan. Anak laki-laki 1,4 kali berpotensi mengalami asma

dibandingkan dengan anak perempuan, serta anak dari keluarga kurang mampu

1,6 kali berpotensi mengalami asma dibandingkan dengan keluarga menengah ke

atas. Sekitar 80% laporan kasus asma menunjukkan bahwa onset penyakit ini

adalah usia 6 tahun. Meskipun demikian, hanya sebagian kecil dari anak yang

menderita wheezing berulang yang akan berkembang menjadi asma persisten di

kemudian hari. 2

Serangan asma bersifat akut merupakan kegawatdaruratan medis yang

lazim dijumpai diruang gawat darurat. Serangan asma berat dapat dicegah atau

setidaknya dapat dikurangi dengan melakukan identifikasi dini dan terapi intensif.

1

Page 2: KASUS

Berikut ini akan dilaporkan mengenai kasus “Asma Bronkhial” pada salah

seorang anak yang dirawat inap di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Paviliun Catelya

RSUD Undata Palu pada tanggal 24 Juni 2014.

2

Page 3: KASUS

KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : An. SA

Tanggal lahir/usia : 7 agustus 2007 / 6 Tahun 10 bulan

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Kristen

Tanggal masuk : 24 Juni 2014

Tanggal pemeriksaan : 24 Juni 2014

Ruangan : Pav. Catelia RSUD Undata Palu

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama

Sesak Nafas

Riwayat Penyakit Sekarang

Anak laki-laki berusia 6 tahun 10 bulan masuk rumah sakit dengan keluhan

sesak nafas yang dialami sejak kemarin sore, dan memberat pada subuh hari

sehingga pasien dilarikan ke rumah sakit, saat sesak lebih nyaman duduk

tapi masih dapat berbaring, masih dapat berbicara beberapa kalimat,

terdengar bunyi mengi saat menarik nafas, sesak datang saat pasien

kecapean sehabis bermain, dan udara dingin. Ini serangan asma pertama

pasien ditahun ini. Sehari sebelumnya pasien demam, turun dengan

pemberian obat penurun panas, tidak ada kejang (-), mimisan (-). Dua hari

yang lalu pasien batuk berlendir warna putih, tenggorokan tidak gatal, dan

3

Page 4: KASUS

dada terasa sakit saat batuk. Tidak ada sakit perut, BAB dan BAK normal

lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami hal yang sama pada tahun lalu, dan dirawat di

rumah sakit. Serangan pertama kali pada usia 5 tahun.

Riwayat Penyakit Keluarga

Nenek perempuan menderita Asma

Riwayat sosial-ekonomi

Ekonomi menengah

Riwayat kebiasaan dan lingkungan :

ayah pasien merokok dalam rumah, dan merokok di dekat pasien. Ventilasi

rumah pasien baik, sirkulasi udara rumah dapat berganti dengan baik.

Riwayat kehamilan dan persalinan :

Pasien lahir di puskesmas dibantu oleh bidan, bayi lahir cukup bulan, lewat

persalinan spontan, berat badan lahir 2500 gr.

Kemampuan dan kepandaian bayi :

Dapat duduk saat usia 6 bulan, berdiri usia 10 bulan, lancar berbicara saat

usia 1 tahun

Anamnesis makanan :

Pasien tidak mengkonsumsi ASI, karena pasien tinggal bersama neneknya

tidak bersama orang tuanya.

Sekarang makan-makanan keluarga

Riwayat imunisasi :

4

Page 5: KASUS

Imunisasi lengkap

III. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum

Kondisi Umum : Sakit Sedang BB : 18 kg

Tingkat Kesadaran : Composmentis TB : 117 cm

Status Gizi : Kurang (CDC 81%)

Tanda-Tanda Vital

Tekanan Darah : 100/70 mmHg

Denyut Nadi : 122 x/menit

Suhu : 36,5°C

Pernapasan : 40 x/menit

Kulit : warna kuning langsat, lapisan lemak cukup tebal, sianosis (+),

ikterik (-), turgor kembali cepat, edema (-)

Kepala : Normocephal

Mata : konjungtiva anemis (-/-), palpebra ikterik (-/-), gerakan

bola mata normal, refleks cahaya (+/+),

Hidung : rhinorrhea (-) , pernapasan cuping hidung (-/-)

Telinga : Otorrhea (-)

Mulut : bibir tidak tampak sianosis, bibir kering (-), lidah kotor (-)

tidak hiperemis, gusi normal, tonsil T1/T1 tidak hiperemis.

Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening dan kelenjar limfe.

5

Page 6: KASUS

Thoraks

Inspeksi : pergerakan dinding dada tampak simetris bilateral, retraksi

(+) suprasternal dan interkostal

Palpasi : Vokal Fremitus kiri = kanan, Ictus cordis teraba di SIC V

midclavicula sinistra

Perkusi : sonor kanan dan kiri

Auskultasi : bunyi paru vesikular, wheezing (+/+) ekspirasi, rhonki

(-/-) Bunyi jantung I/II regular

Abdomen

Inspeksi : tampak datar

Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal

Perkusi : timpani

Palpasi : nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-)

Anggota gerak

Ekstremitas Atas : akral dingin, edema (-)

Ekstremitas Bawah : akral dingin, edema (-)

Tulang belakang : tidak ada kelainan

Otot-otot : tidak ada atrofi dan kekuatan otot normal

Refleks : reflex fisiologis normal, reflex patologis tidak ada

6

Page 7: KASUS

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

RBC 5,30 106/mm3

HGB 14,4 g/dl

HCT 45,3 %

MCV 86 µm3

MCH 27,3 pg

MCHC 31,5 g/dl

PLT 341 103/mm3

PCT 0,257 %

WBC 17,9 103/mm3

NEU # 13,25

MON # 1,43

V. RESUME

Anak laki-laki usia 6 tahun 10 bulan masuk rumah sakit di ruangan catelia

pada tanggal 24 juni 2014 dengan keluhan dispnea sejak sore hari, dan

memberat pada subuh, saat dispnea lebih nyaman dengan posisi duduk,tapi

masih dapat berbaring, dan pasien masih dapat berbicara, terdengar mengi

saat pasien menarik nafas. Ini serangan asma pertama pasien ditahun ini,

serangan asma pertama kali terjadi pada saat berusia 5 tahun. Sehari

sebelumnya pasien febris, dan turun dengan pemberian obat penurun panas,

tidak ada kejang (-), mimisan (-). Dua hari yang lalu pasien batuk berlendir

warna putih, tenggorokan tidak gatal, dan dada terasa sakit saat batuk. Tidak

ada sakit perut, BAB dan BAK normal lancar. Keadaan umum sakit sedang,

7

Page 8: KASUS

dengan status gizi kurang. Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital pasien

Tekanan Darah 100/70 mmHg, Denyut Nadi 122 x/menit, Suhu 36,5°C,

Pernapasan 40 x/menit (takipnea). Dari pemeriksaan fisik pasien tampak

sianosis, tidak ada pernapasan cuping hidung, pada pemeriksaan dada yaitu

pemeriksaan paru pada inspeksi terlihat adanya retraksi interkosta dan

substrenal, dan dari aukultasi terdengar suara nafas tambahan wheezing

pada seluruh lapang paru dextra dan sinistra, dan teraba ekstremitas pasien

akral dingin. Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis

khususnya segmen eosinofil dan monosit, dan terjadi hemokonsentrasi.

VI. DIAGNOSIS

Asma bronkial episode jarang dengan serangan sedang

VII. TERAPI

Oksigen 2 - 4 liter/menit

Ambroxol 7,5 mg

Salbutamol 2 mg 1 pulv ( 3 x 1)

Methylprednisolon 4 mg

Nebulisasi (ventolin® / salbutamol 2,5 mg) 2 kali.

Injeksi ceftriaxon 2x500 mg

VIII. ANJURAN PEMERIKSAAN

Foto Thorax.

8

Page 9: KASUS

FOLLOW UP

Hari I (25 juni 2014)

S : Sesak , batuk (+), nyeri dada saat batuk (-).

O : - tanda-tanda vital : TD : 100/70 mmHg, R: 30 x/menit , N :

120 x/menit, T : 36,6 OC

- kepala-leher : dalam batas normal

- Thorax :Retraksi interkosta dan subkosta , Wheezing

+/+ kesan

- abdomen : BAB dan BAK normal lancar.

A : asma episode jarang derajat sedang

P : Oksigen 2 - 4 liter/menit jika perlu

Ambroxol 7,5 mg

Salbutamol 2 mg 1 pulv ( 3 x 1)

Methylprednisolon 4 mg

Nebulisasi (ventolin® / salbutamol 2,5 mg) 2 kali STOP

Injeksi ceftriaxon 2x500 mg

Hari II (26 juni 2014)

S : Sesak (-) , batuk (+), nyeri dada saat batuk (-).

O : - tanda-tanda vital : TD : 100/70 mmHg, R: 26 x/menit , N :

100 x/menit, T : 36,8 OC

- kepala-leher : dalam batas normal

9

Page 10: KASUS

- Thorax :Retraksi interkosta dan subkosta (-/-),

Wheezing (-/-)

- abdomen : BAB dan BAK normal lancar.

A : asma episode jarang derajat sedang

P : Ambroxol 7,5 mg

Salbutamol 2 mg 1 pulv ( 3 x 1)

Methylprednisolon 4 mg

Nebulisasi (ventolin® / salbutamol 2,5 mg) 2 kali STOP

Injeksi ceftriaxon 2x500 mg

Pasien dipulangkan dan berobat jalan.

10

Page 11: KASUS

DIKSUSI

Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing

(mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara

episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal),

musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat

reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat

asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah

disingkirkan. 3

Berdasarkan batasan asma bronchial, maka hiperreaktivitas bronkus

merupakan dasar terjadinya penyakit asma. Hipereaktivitas bronkus adalah

peningkatan respon bronkus dan penurunan ambang rangsangan konstriksi

bronkus terhadap berbagai rangsangan, misalnya latihan fisik, udara dingin, dan

allergen yang menimbulkan reaksi inflamasi. Peranan inflamasi pada saluran

napas menjadi sangat penting dalam mekanisme terjadinya hipereaktivitas

bronkus. Proses inflamasi ini tidak saja ditemukan pada penderita asma berat

bahkan pada penderita asma ringan dapat terjadi.4

Proses inflamasi pada asma merupakan suatu proses yang cukup rumit

diawali dengan adanya rangsangan sebagai pemicu timbulnya proses inflamasi

akibat adanya interaksi antara sel-sel inflamasi dan mediator yang dihasilkan sel

mast yang berperan dalam hal timbulnya bronkospasme, peningkatan

permeabilitas pembuluh darah, kemoktaksis sel-sel inflamasi maupun kerusakan

sel epitel saluran napas. Sedangkan mediator yang dihasilkan oleh eosinofil dapat

11

Page 12: KASUS

mengakibatkan kerusakan epitel sel mukosa bronkus dan selanjutnya ujung saraf

sensorik mengeluarkan substansi P dan neurokinin yang mengakibatkan

bronkokonstriksi, edema dan peradangan pada mukosa saluran napas. Dimana

proses inflamasi pada asma dibagi atas 2 fase yaitu;5,2

1. Reaksi fase awal/cepat

Disebabkan karena penyempitan bronkus yang berlangsung 10 sampai 20

menit akibat pajanan allergen sehingga mengaktivasi sel mast dan basophil

yang nantinya menghasilkan histamine, dan sitokin lainnya sehingga

menyebabkan spasme otot polos,edema, dan hipersekresi mukus.

2. Reaksi fase lambat

Disebabkan karena penyempitan bronkus yang berlangsung 2-8 jam sesudah

pajanan allergen.Sehingga memacu produksi eosinophil bradikinin,

serotonin

Faktor resiko terjadinya asma, bergantung pada faktor herediter dan

lingkungan. Bila kedua orang tua menderita asma, 50% anak akan menderita

asma, jika salah satu orang tua menderita asma 25% anak akan menderita asma.

Sedangkan faktor pencetus dapat berupa: allergen hirup (debu, tungau, bulu

kucing, atau binatang peliharaan lainnya), infeksi pada saluran napas, emosi,

latihan jasmani yang berlebihan, bahan iritan ( udara dingin, parfum, hair spray)

asap rokok, refluks gastroesofagus.4,1 Untuk kasus ini, serangan asma bronchial

diperoleh melalui faktor herediter dan makin diperberat dengan adanya faktor

pencetus yaitu infeksi pada saluran nafas, latihan jasmani yang berlebihan, dan

adanya paparan bahan iritan.

12

Page 13: KASUS

Derajat penyakit asma yang dibuat oleh Konsesus Pediatri Internasional III

tahun 1998 membagi derajat penyakit asma menjadi tiga, yaitu : 3

1. Asma episode jarang (asma ringan)

Ditandai oleh adanya episode < 1 x tiap 4-6 minggu, mengi setelah aktivitas

berat, tidak terdapat gejala di antara episode serangan, dan fungsi paru normal

di antara serangan.

2. Asma episode sering (asma sedang)

Ditandai oleh frekuensi serangan yang lebih sering dan timbul mengi pada

aktivitas sedang, tetapi dapat dicegah dengan pemberian agonis-β2. Gejala

terjadi kurang dari 1x/minggu dan fungsi paru di antara serangan normal atau

hampir normal.

3. Asma persisten (asma berat)

Ditandai oleh seringnya episode akut, mengi pada aktivitas ringan, dan di

antara interval gejala dibutuhkan agonis-β2, lebih dari 3x/minggu karena anak

terbangun di malam hari atau dada berat di pagi hari.

13

Page 14: KASUS

Penilaian Derajat Serangan Asma

Parameter Klinis, Fungsi Paru,

Laboratorium

Ringan Sedang BeratTanpa ancaman henti napas

Ancaman henti napas

Sesak Berjalan Berbicara IstirahatPosisi Bisa

berbaringLebih suka duduk

Duduk bertopang lengan

Bicara Kalimat Penggal kalimat Kata-kataKesadaran Mungkin

irrtableBiasanya irritable

Biasanya irritable

Kebingungan

Sianosis Tidak ada Tidak ada Ada NyataMengi Sedang,

sering hanya pada akhir ekspirasi

Nyaring, sepanjang ekspiras ± inspirasi

Sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi

Sulit/tidak terdengar

Penggunaan otot bantu respiratorik

Biasanya tidak

Biasanya ya Ya Gerakan paradoks torakoabdominal

Retraksi Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi suprasternal

Dalam, ditambah napas cuping hidung

Dangkal/hilang

Frekuensi napas Takipnea Takipnea Takipnea BradipneaFrekuensi nadi Normal Takikardi Takikardi BradikardiPulsus Paradoksus Tidak ada

< 10 mmHgAda10-20 mmHg

Ada > 20 mmHg

Tidak ada, tanda kelelahan otot napas

PEFR atau FEV1Pra-bronkodilatorPasca-bronkodilator

> 60%> 80%

40-60%60-80%

< 40%< 60%

SaO2 % > 95% 91-95% ≤ 90%

PaO2 Normal > 60 mHg < 60 mHgPaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg

14

Page 15: KASUS

Pemeriksaan Penunjang : 6

1. Spirometer.

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga

untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

2. Peak Flow Meter/PFM.

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat

tersebut digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru.

Spirometer lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena; PFM tidak

begitu sensitif dibanding FEV. untuk diagnosis obstruksi saluran napas,

PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk

pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam

diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

3. X-ray dada/thorax.

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.

4. Pemeriksaan IgE.

Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibodi IgE

spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari

faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab

asma. Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara

radioallergosorbent test (RAST). Uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan

(pada dermographism).

15

Page 16: KASUS

5. Petanda inflamasi.

Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui

biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar oksida

nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang

diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl

Cationic Protein (ECP) dengan

inflamasi dan derajat berat asma.

6. Uji Hipereaktivitas Bronkus/HRB.

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan

dengan berbagai tes provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan

nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi

saluran napas pada penderita yang sensitif. Tes provokasi nonspesifik

untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi

udara dingin atau kering, histamin, dan metakolin.

Pada anamnesis untuk kasus ini diperoleh bahwa pasien datang dengan

keluhan utama sesak nafas sejak 8 jam sebelum masuk rumah sakit. Saat sesak

pasien lebih senang duduk daripada berbaring,tapi pasien masih dapat berbaring.

Ada batuk berlendir yang dirasakan sejak 2 hari yang lalu, tidak ada pilek. Dari

pemeriksaan fisik didapat pasien terlihat pucat, tidak ada pernapasan cuping

hidung, dan pemeriksaan di thoraks didapatkan rektraksi intercostal dan subkosta

pada dinding dada, terdengar suara napas bronkial dengan wheezing diseluruh

lapang paru.

16

Page 17: KASUS

Bunyi pernapasan wheezing disebabkan karena adanya penyempitan jalan

napas yang disebabkan karena respon saluran napas yan berlebihan terhadap

rangsangan bronkokontriksi. Batuk kemungkinan besar terjadi akibat rangsangan

pada saraf sensorik saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terjadinya retraksi

interkosta dan subkosta karena meningkatnya pemakaian otot-otot leher dan dada

sebagai usaha untuk bernafas

Pada kasus ini pasien mengalami asma episodik jarang (asma ringan)

didasarkan adanya serangan < 1 kali tiap 4-6 minggu, mengi terjadi setelah

aktivitas yang berat. Derajat serangan adalah derajat sedang.

Tata laksana asma anak dibagi menjadi beberapa hal yaitu tata laksana

komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada pasien dan keluarganya,

penghindaran terhadap faktor pencetus, dan medikamentosa.Tata laksana asma

dibagi menjadi 2 kelompok yaitu tata laksana pada saat serangan asma

(eksaserbasi akut) atau aspek akut dan tata laksana jangka panjang (aspek kronis).

Penatalaksanaan asma pada anak bertujuan untuk mencegah terjadinya serangan

asma seminimal mungkin sehingga memungkinkan anak dapat tumbuh dan

berkembang secara optimal sesuai dengan usianya. Serangan asma biasanya

mencerminkan kegagalan pencegahan asma, kegagalan tata laksana asma jangka

panjang dan kegagalan penghindaran dari faktor pencetus.

Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan ke Unit Gawat Darurat

(UGD) langsung dinilai derajat serangannya menurut klasifikasi.Penetuan derajat

serangan asma sangat penting untuk penatalaksanaan saat penderita

17

Page 18: KASUS

masuk.Serangan asma berat sering mengancam jiwa yang dikenal dengan status

asmatikus.Penanganan pertama yang dilakukan setelah anak tiba diruang

perawatan rawat inap adalah pemberian O2 tetap dilanjutakan dan dilakukan

nebulasi pentolin (salbutamol) 1 ampul dan cairan infuse dextrose.

Penanganan kasus asma didasarkan atas klasifikasi diantaranya : 3

a. Serangan Asma Ringan

Jika dengan sekali nebulisasi menggunakan β2-agonis kerja cepat pasien

menunjukkan respon yang baik berarti derajat serangannya ringan. Pasien

diobservbasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat

dipulangkan. Pasien dibekali obat β-agonis (hirupan atau oral) yang

diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus,

dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian

dianjurkan kontrol ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam. untuk

reevaluasi tatalaksana. Jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali,

pasien diperlakukan sebagai serangan asma sedang.

b. Serangan Asma Sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi 2 kali pasien hanya menunjukkan respon

parsial, kmungkinan derajat serangannya sedang. Inhalasi langsung

dengan β2-agonis dan ipratropium bromide (antikolnergik), diberikan

kortikosteroid sistemik (oral) metilprednisolon dengan dosis 0,5-1

mg/kgBB/hari selama 3-5 hari. Walaupun belum tentu diiperlukan, untuk

persiapan keadaan darurat, pasien dengan serangan riingan langsung

dipasangi jalur parenteral sejak di UGD.

18

Page 19: KASUS

c. Serangan Asma Berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan

respon yaitu gejala dan tanda serangan masih ada, pasien dirawat di ruang

rawat inap. Diberikan nebulisasi dengan β2-agonis dan antikolinergik.

Oksigen 2-4 liter/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi.

Kemudian dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Sedangkan

bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien

harus langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pada pasien

denganserangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung

dibuat untuk mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau

pneumomediastinum.

19

Page 20: KASUS

Pada kasus ini, pasien diberikan oksigen intermitten 1-2 liter permenit, hal

ini dikarenakan terjadi hipoksia pada pasien yang ditandai dengan pernapasan

cepat atau takipnea (40kali/menit). Pasien juga diberikan pemasangan Intravein

fluid drips sebagai terapi cairan untuk menghindari atau mencegah terjadinya

dehidrasi. Selain itu pemasangan IVFD juga berfungsi sebagai mediator pengantar

obat secara intravena yang akan diberikan. Pasien juga diberi terapi Injeksi

Antibiotik Ceftriaxon. Hal ini ditujukan karena pada pasien terjadi Infeksi Saluran

Respiratorik, sehingga terjadi batuk berdahak bewarna kuning. Selain itu juga

terjadi peningkatan WBC dalam pemeriksaan Darah Rutin yakni 17,9.

20

Page 21: KASUS

Pasien juga diberikan nebulizer B2 Agonis 2 kali sehari yakni pagi dan

sore hari. Salbutamol bekerja dengan carastimulasi terhadap reseptor-reseptor beta

adrenergik sehingga menyebabkan perubahan ATP menjadi cyclic-AMP dan

timbul relaksasi otot polos jalan napas yang menyebabkan terjadinya

bronkodilatasi. Setelah pemberian nebulisasi pasien menunjukkan respon yang

baik. Nebulisasi di lakukan 2 kali karena respon nebulisasi pertama belum

menghilangkan sesak yang dirasakan pasien. Dosis salbutamol oral yang

diberikan adalah 0,1 – 0,15 mg/kgBB/kali diberikan setiap 6 jam. Dosis yang

sama juga dapat diberikan melalui nebulizer dengan interval 10 menit, sehingga

pada perawatan hari kedua nebulisasi dihentikan. 3

Pasien juga diberikan kortikosteroid Metylprednisolon, yang mana

merupakan kortikosteroid pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke

jaringan paru yang lebih baik, efek anti inflamasi yang lebih besar, serta efek

mineralokortikoid yang minimal. Dosis metylprednisolon yang dianjurkan adalah

1 mg/kgBB setiap 6 jam. Antihistamin jangan diberikan pada saat serangan asma

karena tidak mempunyai efek yang menguntungkan, bahkan dapat memperburuk

keadaan karena dapat memperkental sputum. Pemberian puyer batuk untuk

mengatasi batuk yang diderita pasien. 3

Beberapa factor pencetus terjadinya asma :

1. Factor imunologik

Factor pencetus adalah allergen berupa allergen makanan atau allergen hirup.

2. Factor non-imunologik

21

Page 22: KASUS

Faktor pencetus adalah infeksi virus/bakteri, bahan iritan/polutan, aktivitas

fisik yang berat/berlebihan, dan factor emosional.

Secara umum pencegahan dapat dilakukan dalam 2 cara, yaitu :

1. Pada anak yang asmanya belum manifest :

Mencegah terjadinya sensitasi dengan menunda pemberian makanan

padat yang mempunyai tingkat alergenitas tinggi (telur, susu sapi)

Orang tua dianjurkan tidak merokok

Mencegah terjadinya infeksi saluran napas

Pemebrian ASI eksklusif pada bayi

2. Pada anak yang gejala asmanya sudah manifest :

Menghindari factor pencetus berupa allergen makanan, allergen hirup,

bahan iritan, tertular infeksi, latihan fisik yang erat, perubahan cuaca dan

factor emosi.

Pemberian obat pengendali

Prognosis dalam jangka panjang asma anak secara umum baik. Sebagian

besar asma anak hilang atau berkurang dengan bertambahnya umur. Faktor yang

mempengaruhi prognosis asma anak adalah umur ketika serangan pertama timbul,

seringnya serangan asma, berat ringannya asma terutama 2 tahun sejak mendapat

serangan asma. Pada anak yang menderita asma dengan serangan ringan dan

jarang, akan bebas asma pada waktu mencapai usia dewasa, sebaliknya kelompok

yang sering mendapat serangan pada waktu kecil sebagian besar menetap sampai

usia dewasa. 4

22

Page 23: KASUS

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 2009. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Depkes RI, Jakarta.

2. Kliegman, R.M., Behrman, R.E., Jenson, H.B., Stanton, B.F. (2007).

Kliegman: Nelson Textbook of Pediatrics 18th Ed. USA: Elsiever.

3. IDAI, 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Badan

Penerbit IDAI.

4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1985. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan

Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

5. Mansjoer, A, dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta :

Media Aesculapius FK UI.

6. Rengganis, Iris. 2008. Diagnosis dan tatalaksana asma bronkhial. Maj

Kedokteran Indonesia, Volume: 58, Nomor: 11, Nopember 2008

23