Karakteristik sosial budaya masyarakat dalam kaitannya ... · DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN...

121
KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor) Oleh: Thresa Jurenzy I34070062 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

Transcript of Karakteristik sosial budaya masyarakat dalam kaitannya ... · DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN...

KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM

KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA

(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Oleh:

Thresa Jurenzy

I34070062

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM

KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA

(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Oleh:

THRESA JURENZY

I34070062

SKRIPSI

Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar

Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Pada

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

2011

ABSTRACT

Indonesia frequently hit by disaster like flood, earthquake, tsunami,

volcano eruption and many others. All of these disasters will give physical and

non physical impacts. Therefore, disaster management should be implemented. In

disaster management, preparedness and mitigation are very important to reduce

disaster risks. This research investigates about community socioculture

characteristics, preparedness and mitigating systems and correlations between

them. The research was conducted in Katulampa administrative village, which is

passed by Ciliwung river and potentially flooding. Research popolation is the

victims of flood on February 2010. The research methods are quantitative and

qualitative. The research found that community of Katulampa has socioculture

characteristics that very important in disaster and environment, such as social

stratification, institutions, social cohesion, local wisdom and knowledge and

attitude. Preparedness and mitigating systems in Katulampa is not implemented

yet. Quantitatively, sociocultural characteristics like wealth stratification,

education and knowledge and attitude of community in Katulampa has no

correlations with preparedness and mitigating systems because the community is

surrender and some of institutions does not work properly. Therefore, the

community is not ready to face the posibility of flood yet.

Keywords: Flood, Disaster, Sociocultural, Disaster Management

RINGKASAN

THRESA JURENZY.KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

DALAM KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI

BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA (Studi Kasus: Kelurahan

Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor). Di bawah bimbingan Rilus A.

Kinseng

Beberapa tahun terakhir di Indonesia sering terjadi bencana dan

meninggalkan dampak bagi orang-orang yang mengalaminya. Bencana yang

sering melanda Indonesia adalah banjir, gempa, tsunami, tanah longsor dan

gunung meletus. Dampak yang diakibatkan dapat berupa dampak fisik maupun

non fisik. Oleh karena itu perlu diadakan kegiatan penanggulangan bencana yang

berfungsi untuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh bencana. Kegiatan

penanggulangan bencana terdiri atas kesiapsiagaan, mitigasi, peringatan dini,

tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, untuk dapat

mengurangi resiko terjadinya bencana, maka perlu dilakukan peningkatan

kesiapsiagaan dan mitigasi. Setiap masyarakat memiliki karakteristik sosial

budaya tertentu yang berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi terhadap

bencana. Karakteristik sosial budaya ini berbeda antara suatu masyarakat dengan

masyarakat lainnya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji karakteristik sosial budaya

masyarakat, kesiapsiagaan dan mitigasi, serta hubungan keduanya berkaitan

dengan kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di Kelurahan

Katulampa. Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang dialiri sungai besar,

yaitu Ciliwung. Daerah ini sangat rentan untuk mengalami banjir dan sudah

pernah mengalami banjir dalam satu tahun terakhir. Penelitian ini menggunakan

data kuantitatif yang didapatkan melalui survei dan data kualitatif yang

v

didapatkan melalui wawancara mendalam dengan menggunakan panduan

pertanyaan. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer didapatkan dari hasil kuesioner dan wawancara mendalam, sedangkan data

sekunder didapatkan dari buku, jurnal, hasil penelitian, monografi kelurahan dan

Ciliwung.

Karakteristik sosial budaya yang dikaji dalam penelitian ini adalah

stratifikasi sosial, kelembagaan, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan dan

sikap yang berkembang di dalam masyarakat. Upaya pencegahan bencana yang

dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana adalah dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga berhubungan

dengan karakteristik sosial budaya masyarakat, sehingga dapat dilihat sejauh

mana kesiapan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Katulampa memiliki

karakteristik sosial yang terdiri atas kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial,

kearifan lokal dan pengetahuan dan sikap. Akan tetapi karakteristik sosial budaya

ini tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi,

sehingga masyarakat masih belum memiliki kesiapan yang matang dalam

menghadapi kemungkinan terjadinya banjir.

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

MASYARAKAT

Judul Skripsi : Karakteristik Sosial Budaya Masyarakat dalam Kaitannya

Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di Daerah

Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa,

Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

Nama Mahasiswa : Thresa Jurenzy

Nomor Mahasiswa : I34070062

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA.

NIP. 19590506 198703 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi

dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS.

NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Pengesahan: ___________________

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM

KAITANNYA DENGAN KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA

DI DAERAH RAWAN BENCANA” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA

PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK

TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA

MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA

SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG

PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI

SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Februari 2011

THRESA JURENZY

I34070062

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Thresa Jurenzy dilahirkan pada tanggal 4 Mei 1989

di Kota Bukittinggi. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak

dari pasangan suami istri Jumardi, S.Pd dan Resnetty. Penulis telah menempuh

pendidikan sekolah dasar di SDN 09 Belakang Balok, dilanjutkan di SMP Negeri

1 Bukittinggi dan SMA Negeri 2 Bukittinggi. Kemudian penulis melanjutkan

pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, jurusan Sains Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat dengan jalur masuk Ujian Seleksi Masuk IPB

(USMI).

Pada saat duduk di bangku SMA, penulis mengikuti Menuju Olimpiade

Sains Indonesia 2+ tingkat Kota Bukittinggi. Penulis juga aktif dalam organisasi,

baik pada masa sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Pada saat SMP,

penulis mengikuti Forum Studi Islam dengan kedudukan sebagai ketua Divisi

Hubungan Masyarakat. Ketika SMA, penulis juga aktif dalam organisasi ekstra

kurikuler sekolah yaitu Sanggar Konsultasi Remaja (SKR) sebagai Ketua Umum.

Selain itu, penulis juga aktif di Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) dengan

posisi sebagai Ketua Sub Unit SKR.

Di bangku kuliah, penulis juga mengikuti berbagai organisasi

kemahasiswaan. Pada tahun 2008/2009, penulis mengikuti Organisasi Mahasiswa

Daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Minang Bogor sebagai Ketua Divisi Hubungan

Luar. Tahun 2009/2010 penulis aktif menjadi Badan Pengawas Anggota Ikatan

Pelajar Mahasiswa Minang Bogor, dan terakhir penulis juga aktif di Divisi

Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat tahun 2009/2010.

ix

Selain organisasi kemahasiswaan, penulis juga aktif dalam berbagai

kepanitiaan dalam acara-acara yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan.

Penulis aktif dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen dan Masa

Perkenalan Fakultas (2009), Indonesia Ecology Expo (2008), Bukti Cinta

Lingkungan (2009), Ecology Sport Event (2010), Let’s Get The Essential of CSR

(2010), Seminar Lahan Gambut Berkelanjutan (2010) dan Konser Amal Mini

(2010).

Peneliti juga aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan pengasahan

kemampuan di luar bidang akademis dan organisasi, yaitu pelatihan dan magang.

Peneliti pernah mengikuti Pelatihan Pendampingan Korban Bencana Alam yang

diadakan oleh Pusat Studi Bencana- IPB (2010), magang di Institute for Research

and Empowerment Yogyakarta (2010).

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan karunia- Nya yang telah dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat gelar Sarjana

Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia,

Institut Pertanian Bogor. Judul skripsi ini adalah Karakteristik Sosial Budaya

Masyarakat dalam Kaitannya Dengan Kesiapsiagaan dan Mitigasi Bencana di

Daerah Rawan Bencana (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor

Timur, Kota Bogor).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial budaya yang

terdapat di dalam masyarakat serta hubungannya dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi bencana sebagai salah satu upaya penanggulangan bencana. Dengan

melihat hubungan tersebut dapat di peroleh kesiapan masyarakat dalam

menghadapi bencana banjir, khususnya di daerah rawan bencana banjir.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak yang berkaitan

dengan penanggulangan bencana, yaitu bagi akademisi terutama penulis,

pemerintah dan masyarakat.

Bogor, Februari 2011

Thresa Jurenzy

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunia- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya. Selama

penelitian dan penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan dukungan

materil maupun moril dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali

ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah dengan

sabar membimbing, memberikan saran dan masukan kepada penulis untuk

dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

2. Dr Satyawan Sunito selaku dosen penguji utama yang telah memberikan

masukan dan arahan kepada penulis.

3. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS selaku dosen penguji kedua yang juga telah

memberikan saran dan arahan kepada penulis.

4. Ir. Hadiyanto, MS selaku dosen penguji petik yang telah memberikan banyak

masukan dalam format penulisan kepada penulis.

5. Papa, Mama, dan Viona yang senantiasa mencurahkan kasih sayang,

memanjatkan do’a, memberikan dukungan, semangat dan motivasi kepada

penulis untuk dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi.

6. Aris Safrudin, yang selalu memberikan segala motivasi, semangat, dukungan,

dan perhatiannya selama penelitian dan penulisan skripsi ini.

7. Ibu Zakiyah dan seluruh warga RT 3 RW I Kelurahan Katulampa yang

membantu penulis untuk mendapatkan informasi dan data.

8. Ma’rifatu Rodiah dan keluarga yang telah menerima dan memberikan

dukungan kepada penulis.

9. Sahabat-sahabat terbaikku Eka, Dian, Tita, Kidut, Akira, Dewi, Mutia dan Ira.

10. KPM 44 yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis. Semoga kita

menjadi orang-orang yang sukses. Amin.

Semoga kita semua dapat menjadi orang-orang yang sukses dan berbahagia.

Amin.

xii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xiv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................ 4

1.4 Kegunaan Penelitian ........................................................................................... 4

2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................................. 5

2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam ..................................... 5

2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi ........................................................................ 6

2.1.3 Karakteristik Sosial ................................................................................... 10

2.2 Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 18

2.3 Hipotesis Penelitian .......................................................................................... 19

2.3.1 Hipotesis Uji ............................................................................................. 19

2.3.2 Hipotesis Pengarah .................................................................................... 20

2.4 Definisi Operasional ......................................................................................... 20

BAB III PENDEKATAN LAPANG ................................................................................ 23

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................................... 23

3.2 Metode Penelitian ............................................................................................. 23

3.3 Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 24

3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan .................................................... 24

3.5 Teknik Analisis Data ......................................................................................... 25

4.1 Kelurahan Katulampa ....................................................................................... 27

4.1.1. Kondisi Fisik ............................................................................................. 27

4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan ............................................................. 28

4.2 Sungai Ciliwung ................................................................................................ 31

BAB V KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT ............................... 33

5.1 Kelembagaan ..................................................................................................... 33

5.2 Derajat Kohesi Sosial ........................................................................................ 37

xiii

5.3 Stratifikasi Sosial .............................................................................................. 39

5.4 Kearifan Lokal .................................................................................................. 45

5.5 Pengetahuan dan Sikap ..................................................................................... 47

BAB VI KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA ........................................... 58

6.1 Kesiapsiagaan ................................................................................................... 58

6.2 Mitigasi ............................................................................................................. 67

BAB VII KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA ............... 76

BAB VIII PENUTUP ....................................................................................................... 88

8.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 88

8.2 Saran ................................................................................................................. 91

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 93

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ................... 28

Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008 ..................... 29

Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008 ................................................ 30

Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,

Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 48

Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun 2010

(N=30) ............................................................................................................... 49

Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun 2010

(N=30) ............................................................................................................... 51

Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir, Katulampa

Tahun 2010 (N=30) ........................................................................................... 52

Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah Tangga,

Katulampa Tahun 2010 ..................................................................................... 53

Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan Banjir,

Katulampa Tahun 2010 (N=30) ......................................................................... 54

Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa Tahun

2010.................................................................................................................. 56

Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden

terhadap Banjir Katulampa (2010) ................................................................... 60

Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi ................................. 63

Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon ............................. 68

Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan Banjir,

Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 71

Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan Ukuran

Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden Korban Banjir

Katulampa Tahun 2010 .................................................................................... 80

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ........................................................................................ 19

Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010 ................... 32

Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan ................................................. 41

Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan .......................................... 42

Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan ............................................... 43

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan ................................................. 44

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah ......................... 70

Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah .......................... 71

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian ..................................................................................... 97

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan .......................................................... 101

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian .............................................................................. 103

Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa .................................. 104

Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir ...................................................................... 105

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa tahun terakhir Indonesia sering dilanda bencana. Posisi

Indonesia yang berada di antara tiga lempeng besar dunia telah mengakibatkan

Indonesia menjadi sangat rentan terhadap bencana. Selain itu terdapat beberapa

faktor lain yang menimbulkan bencana. Faktor lainnya adalah akibat kerusakan

ekologi, yang akar permasalahannya adalah manusia. Beberapa bencana besar

yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir adalah gempa dan tsunami Aceh

(2004), gempa Nias (2006), gempa Jogjakarta dan Jawa Tengah (2006), gempa

dan tsunami Pangandaran (2006), banjir Jakarta (2007), gempa Bukittinggi

(2007), lumpur Sidoarjo (2006), jebolnya Situ Gintung (2009), gempa

Tasikmalaya (2009), gempa Padang (2009), longsor Ciwidey (2009), dan berbagai

bencana lainnya. Semua bencana ini telah merenggut banyak korban jiwa dan

mengakibatkan berbagai kerugian fisik dan kerugian materil bagi korbannya.

Psikologis masyarakat yang menjadi korban maupun tidak menjadi korban pun

ikut terganggu.

Bencana telah mengakibatkan penderitaan yang mendalam bagi korban

dan orang-orang yang berada di sekitarnya. Kerugian tidak hanya dialami oleh

masyarakat, akan tetapi juga dirasakan oleh pemerintah. Untuk mengatasi dan

mengurangi kerugian tersebut, diadakanlah kegiatan penanggulangan bencana.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

Bencana, penanggulangan bencana adalah serangkaian kegiatan yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan

pencegahan bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi. Kegiatan penanggulangan

2

bencana ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, tapi

juga lembaga-lembaga lain yang ikut membantu dan tanggap dalam bencana

seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Bahkan, masyarakat pun juga ikut

dalam usaha penanggulangan bencana.

Usaha penanggulangan bencana harus dimulai sedini mungkin, yaitu

sebelum terjadinya bencana di daerah yang tergolong rawan bencana. Perspektif

penanggulangan bencana ini telah berubah seiring dengan pertambahan jumlah

bencana yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya penanggulangan bencana

dipusatkan pada usaha yang dilakukan setelah terjadinya bencana, seperti tanggap

darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi. Akan tetapi, perspektif ini telah bergeser

menjadi penanggulangan bencana yang dimulai sejak sebelum terjadinya bencana,

yaitu peningkatan kesiapsiagaan masyarakat dan upaya untuk mengurangi resiko

bencana (mitigasi). Bencana tidak pernah diketahui kapan akan melanda suatu

daerah, untuk itu dibutuhkan kesiapan orang-orang yang akan menghadapi

bencana, terutama di daerah rawan bencana.

Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana merupakan usaha yang dilakukan

untuk dapat mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana. Usaha pengurangan

resiko bencana ini melibatkan berbagai pihak yang sangat terkait dengan bencana.

Pihak-pihak tersebut adalah pemerintah, LSM, masyarakat dan lembaga lainnya

yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana. Begitu pula pada usaha

yang dilakukan saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana sangat

dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berkaitan dalam masalah ini.

Upaya peningkatan kesiapan dan tindakan penanggulangan bencana sangat

dipengaruhi oleh karakteristik sosial masyarakat. Karakteristik sosial masyarakat

3

yang mempengaruhi adalah kelembagaan sosial, derajat kohesivitas, stratifikasi

sosial masyarakat, dan pengetahuan lokal masyarakat. Semua karakteristik sosial

budaya ini mungkin dimiliki oleh masyarakat dan dapat digunakan sebagai modal

bagi masyarakat untuk mempersiapkan diri menghadapi bencana dan mengurangi

resiko bencana dan dapat mempengaruhi tindakan yang diambil oleh masyarakat

pada saat terjadinya bencana dan setelah terjadinya bencana, sehingga dapat

dilihat tingkat kesiapan yang dimiliki oleh masyarakat di daerah rawan bencana

dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi. Akan tetapi,

karakteristik sosial yang dimiliki oleh masyarakat ini juga dapat menjadi kendala

dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Fokus penelitian ini adalah daerah rawan bencana yang berada di

Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Daerah ini adalah

daerah yang tergolong rawan bencana banjir karena berada pada aliran Sungai

Ciliwung dan berada pada pintu air Bendungan Katulampa yang debit airnya

sering naik pada beberapa bulan terakhir. Pada Februari 2010 lalu daerah ini

mengalami banjir bandang dan merugikan kurang lebih 80 rumah tangga yang

mengalami langsung akibat banjir ini. Daerah ini juga termasuk ke dalam daerah

rawan banjir menurut peta rawan bencana Kelurahan Katulampa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Apa saja karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat Kelurahan

Katulampa khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan

lingkungan hidup?

4

2. Bagaimanakah hubungan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana di Kelurahan

Katulampa?

3. Bagaimanakah kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam

menghadapi bencana?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka dapat ditentukan tujuan

penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengkaji karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan

Katulampa, khususnya yang berkaitan dengan masalah bencana dan

lingkungan hidup.

2. Untuk mengkaji hubungan karakteristik sosial budaya masyarakat Kelurahan

Katulampa dengan upaya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.

3. Untuk mengkaji kesiapan masyarakat Kelurahan Katulampa dalam

menghadapi bencana.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai pihak yang terkait, terutama

bagi akademisi dan perguruan tinggi. Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan

tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang

penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kesiapan masyarakat dalam

menghadapi bencana yang dikaitkan dengan karakteritik sosial yang dimiliki oleh

masyarat sehingga dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai usaha

penanggulangan bencana.

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Bencana Alam dan Daerah Rawan Bencana Alam

Bencana merupakan suatu kejadian atau peristiwa yang memberikan

kerugian yang besar pada masyarakat, yang bersifat merusak, merugikan dan

mengambil waktu yang panjang untuk pemulihannya (Sugiantoro dan Purnomo,

2010). Pengertian ini lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian

peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan

masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang menganggap bencana

merupakan suatu kejadian yang murni disebabkan oleh alam. Padahal, bencana

tidak hanya diakibatkan oleh faktor alam, tapi juga nonalam dan manusia. Namun,

dalam penelitian ini akan difokuskan pada bencana alam. Menurut Lindell dan

Prater (2003), bencana alam terjadi akibat adanya suatu keadaan geologi,

metereologi dan hidrologi yang sangat besar dan mengakibatkan komunitas tidak

mampu untuk mengatasinya.

Sugiantoro dan Purnomo (2010) dalam bukunya juga mendefinisikan

bencana alam sebagai suatu kejadian yang bersifat alami dan berasal dari alam.

UU Nomor 24 tahun 2007 mengenai Penanggulangan Bencana, mendefinisikan

bencana alam sebagai bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian

6

peristiwa yang disebabkan oleh, antara lain berupa tsunami, gempa bumu, gunung

meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor.

Di Indonesia, banyak daerah yang rentan atau memiliki ancaman bencana

yang cukup besar. Ancaman bencana merupakan kemungkinan suatu kejadian

dapat menimbulkan bencana. Ancaman bencana ini menimbulkan kerawanan di

daerah-daerah yang ancaman bencananya besar. Rawan bencana merupakan suatu

keadaan geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya,

politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu

yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan

mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk dari bahaya tertentu

(UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana).

2.1.2 Kesiapsiagaan dan Mitigasi

Penanggulangan bencana merupakan segala upaya dan kegiatan yang

dilakukan meliputi kegiatan pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan pada saat

sebelum terjadinya bencana serta penyelamatan pada saat bencana, rehabilitasi

dan rekonstruksi setelah terjadinya bencana (Sekretariat Bakornas PB, 2009).

Dalam tulisan Fothergill dan Peek (2004) menjelaskan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam penanggulangan bencana terdiri dari kesiapsiagaan yang terdiri

atas peringatan bahaya. Kegiatan selanjutnya adalah tanggap darurat, pemulihan,

dan terakhir rekonstruksi.

Kegiatan pencegahan merupakan usaha yang dilakukan untuk mengurangi

dan menghilangkan resiko bencana melalui tindakan pengurangan ancaman dan

kerentanan pihak yang terancam bencana (BNPB, 2008). Mitigasi merupakan

7

usaha yang dilakukan untuk mengurangi resiko bencana melalui peningkatan

kualitas fisik dan peningkatan kesadaran, pengetahuan dan kemampuan dalam

menghadapi bencana. Kesiapsiagaan merupakan suatu usaha yang dilakukan

untuk menghadapi kemungkinan datangnya bencana melalui kegiatan-kegiatan

peningkatan kemampuan untuk menghadapi kemungkinan bencana. Tanggap

darurat merupakan kegiatan yang dilakukan sesaat setelah terjadinya bencana

untuk menanggulangi semua kemungkinan dampak yang terjadi akibat bencana,

penanganan pertama terhadap korban bencana dan upaya penyelamatan korban

terhadap kemungkinan bencana susulan.

Kesiapsiagaan dan mitigasi juga didefinisikan dalam UU Nomor 24 tahun

2007 mengenai Penanggulangan Bencana. Kesiapsiagaan merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian

serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Mitigasi merupakan

serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana baik melalui pembangunan

fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan dalam menghadapi

bencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan dalam kesiapsiagaan (UU No. 24 Tahun

2007 tentang Penanggulangan Bencana) yaitu:

1. Penyusunan dan uji coba rencana penanggulangan kedaruratan bencana.

2. Pengorganisasian, pengujian, dan pemasangan sistem peringatan dini.

3. Penyediaan dan penyiapan barang pasokan pemenuhan kebutuhan dasar.

4. Pengorganisasian, penyuluhan, pelatihan, dan gladi tentang mekanisme

tanggap darurat.

5. Penyiapan lokasi evakuasi.

8

6. Penyusunan data akurat, informasi, dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap

darurat.

7. Penyediaan dan penyiapan bahan, barang, dan peralatan untuk pemenuhan

pemulihan prasarana dan sarana.

Sedangkan kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah (UU No. 24

Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana):

1. Pelaksanaan penataan ruang.

2. Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata ruang.

3. Penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan baik secara modern

maupun secara konvensional.

Tindakan pencegahan dibagi menjadi dua yaitu mitigasi dan

kesiapsiagaan. Mitigasi dibagi menjadi dua, yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif

(BNPB, 2008). Kegiatan mitigasi pasif yang dapat dilakukan adalah:

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan.

2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.

3. Pembuatan pedoman/ standar/ prosedur.

4. Pembuatan poster/ brosur/ leaflet.

5. Penelitian/ pengkajian karakteristik bencana.

6. Pengkajian/ analisis resiko bencana.

7. Internalisasi penanggulangan bencana dalam muatan lokal pendidikan.

8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana

9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum.

10. Pengarusutamaan penanggulangan bencana dalam pembangunan.

9

Sedangkan mitigasi aktif dilakukan dengan cara:

1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, larangan, dan bahaya

memasuki daerah rawan bencana.

2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan ruang,

ijin mendirikan bangunan, dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan

pencegahan bencana.

3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.

4. Pemindahan penduduk dari daerah rawan bencana ke daerah yang lebih aman.

5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.

6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika

terjadi bencana.

7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi mencegah, mengamankan, dan

mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana, seperti tanggul, dam,

penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan sejenisnya.

Upaya kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana terindetifikasi akan

terjadi. Upaya yang dapat dilakukan dalam kegiatan ini adalah:

1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.

2. Pelatihan siaga/ simulasi/ gladi/ teknis bagi setiap sektor penanggulangan

bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).

3. Inventarisasi sumberdaya pendukung kedaruratan.

4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/ logistik.

5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna

mendukung tugas kebencanaan.

6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early warning).

10

7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan).

8. Mobilisasi sumberdaya (personil, dan sarana/prasarana peralatan).

2.1.3 Karakteristik Sosial

2.1.3.1 Kelembagaan

Lembaga biasa dikenal sebagai lembaga sosial, pranata sosial, atau

institusi sosial. Lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu

tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan

kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan

prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu (Horton dan

Hunt, 1999). Selain itu, Raharjo (2004) menyimpulkan bahwa lembaga

merupakan suatu kompleks nilai dan norma yang berpusat pada kepentingan atau

tujuan tertentu. Lembaga dapat diciptakan dengan sengaja dan tidak dengan

sengaja. Lembaga yang ditumbuhkan secara sengaja adalah lembaga pendidikan,

hutang piutang, dan lainnya. Sedangkan lembaga yang tidak sengaja ditumbuhkan

adalah adat istiadat, kepercayaan, pernikahan, dan lainnya. Tonny (2004)

menyatakan dalam laporan penelitiannya, kelembagaan mengarahkan perilaku

individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum yang ditetapkan.

Setiap masyarakat memiliki lembaga-lembaga kemasyarakatan tanpa

memperdulikan apakah masyarakatnya adalah masyarakat bersahaja atau

masyarakat modern. Kelembagaan sosial ini memiliki wujud konkrit yaitu asosiasi

(Soekanto, 2003). Lembaga bersifat dinamis dan selalu berubah dari waktu ke

waktu seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam masyarakat (Raharjo,

2004). Menurut Horton dan Hunt (1999), lembaga dasar yang sangat penting

dalam masyarakat yang kompleks adalah keluarga, keagamaan, pemerintahan,

11

perekonomian, dan pendidikan. Hal ini hampir serupa dengan yang disampaikan

oleh Sunarto (1993), sejumlah institusi utama adalah institusi di bidang ekonomi,

politik, keluarga, pendidikan dan agama yang kemudian menghasilkan cabang

khusus dalam sosiologi.

Fungsi kelembagaan masyarakat dalam kehidupan masyarakat menurut

Soekanto (2003) adalah:

1. Memberikan pedoman bertingkah laku kepada anggota masyarakat dalam

menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat terutama mengenai

kebutuhan-kebutuhan.

2. Menjaga keutuhan masyarakat.

3. Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem kontrol

sosial atau pengendalian sosial, mengawasi tingkah laku anggotanya.

Menurut Horton dan Hunt (1999), fungsi lembaga terdiri atas fungsi

manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes merupakan fungsi lembaga yang

diharapkan oleh orang-orang akan terpenuhi. Misalnya, keluarga memlihara anak-

anaknya, lembaga ekonomi untuk menghasilkan dan memenuhi kebutuhan

ekonomi. Sedangkan fungsi laten kelembagaan adalah konsekuensi lembaga yang

tidak dapat dihindari dan diramalkan. Fungsi laten ini kadang mendukung fungsi

manifes, tidak relevan atau menjatuhkan fungsi manifes.

Ciri-ciri kelembagaan menurut Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan

Soemardi (1964) adalah:

1. Kelembagaan merupakan sebuah organisasi konseptual dan pola kebiasaan

yang terwujud melalui aktivitas sosial dan hasil-hasilnya.

12

2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga

kemasyarakatan.

3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu.

4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,

yaitu bangunan, alat-alat, mesin, perabotan dan lainnya.

5. Simbol merupakan karakterisik lembaga kemasyarakatan.

6. Lembaga kemasyarakatan memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang

merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya.

Pengembangan kelembagaan merupakan proses dimana anggota-anggota

masyarakat meningkatkan kapasitas kelembagaannya untuk memobilisasi dan

mengelola sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang

berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai dengan aspirasi mereka

(Tonny, 2004). Gillin dan Gillin yang dikutip oleh Soekanto (2003) lembaga

kemasyarakatan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Crescive institutions dan enacted institutions.

2. Basic institutions dan subsidiary institutions.

3. Approved atau social sanctioned-institutions dan unsanctioned institutions.

4. General institutions dan restricted institutions.

5. Operative institutions dan regulative institutions.

Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan menurut Knight (1992)

adalah,

“Whereas institutions are sets of rules that structure interactions among

actors, organizations are collective actors who might be subject to institutional

constraint. Organizations generally have an internal structure, an instituitional

framework governing the interactions of those persons who constitute the

organizations”.

13

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kelembagaan merupakan aturan-aturan

sedangkan organisasi merupakan sekumpulan orang yang terlibat dalam

kelembagaan tersebut.

Persiapan dalam tahap penanggulangan bencana menurut Lindell dan

Parter (2003) salah satunya adalah dengan menentukan dan mengkoordinasikan

organisasi yang bertanggung jawab dalam penanggulangan bencana. Organisasi

tersebut harus mendapatkan sumberdaya yang dapat digunakan dalam

penanggulangan bencana seperti fasilitas, anggota dan alat bantu.

2.1.3.2 Derajat Kohesi Sosial Masyarakat

Kohesivitas kelompok atau masyarakat merupakan karakteristik sosial

yang sangat penting didalam masyarakat. Menurut Cartwright dan Zander (1968)

yang dikutip oleh Hadipranata (1986), kohesivitas merupakan derajat kekuatan

ikatan yang berperan dalam keanggotaan kelompok. Lebih lanjut lagi, kohesivitas

merupakan kekuatan interaksi diantara anggota kelompok dalam suatu kerjasama.

Masyarakat lebih ditentukan oleh sosialisasi atau interaksi yang memiliki

kohesivitas sehingga kelompok tersebut berdiri bersama-sama (Shaw, 1971 dalam

Hadipranata, 1986).

Johnson dan Johnson (1975) sebagaimana dikutip oleh Ramdhani dan

Martono (1996) mengartikan kohesivitas kelompok sebagai suatu keadaan

kelompok yang sudah membentuk kohesi, yang ditandai dengan kapasitas

kelompok tersebut untuk mempertahankan keanggotaan anggotanya sehingga

akan bekerjasama dengan kompak dalam mencapai tujuan bersama. Di lain pihak,

Collin dan Raven (1964) dalam Arishanti (2005) menjelaskan bahwa kohesi

14

kelompok merupakan keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap

tinggal dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Sebuah

kelompok dikatakan sudah kohesif apabila terdiri dari anggota yang berusaha

untuk mengaktualisasikan berbagai kemampuan untuk mencapai kehendak

bersama (Ramdhani dan Martono, 1996).

Dion (1973) dalam Ramdhani dan Martono (1996) melaporkan bahwa

dalam kelompok yang kohesif, komunikasi lebih lancar, kooperatif, dan lebih

dimungkinkan untuk memberikan koreksi yang positif. Kohesivitas juga membuat

anggota kelompok saling mempengaruhi dengan kuat, bahkan membuat

kesepakatan kelompok yang kompak dalam pengambilan keputusan kelompok

(Festinger dkk, 1950 dalam Hadipranata, 1986).

Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2005) mengenai penanggulangan

bencana berbasis masyarakat menemukan bahwa hubungan kekerabatan yang

sangat erat dan nilai gotong royong yang sangat tinggi dapat membantu

masyarakat dalam kesiapsiagaan bencana.

2.1.3.3 Stratifikasi Sosial

Pada setiap masyarakat terdapat stratifikasi sosial atau pelapisan sosial.

Stratifikasi sosial menurut Sorokin (1959) dalam Soekanto (1990) adalah

pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat,

sedangkan menurut Sunarto (1993) stratifikasi sosial merupakan pembedaan

anggota masyarakat berdasarkan status yang dimilikinya

Ukuran yang biasa digunakan untuk menggolongkan anggota masyarakat

ke dalam suatu lapisan menurut Soekanto (1990) adalah:

15

1. Unsur kekayaan, dimana lapisan teratas biasanya yang memiliki kekayaan

paling banyak. Kekayaan bisa berbentuk rumah, kendaraan, dan pakaian.

2. Ukuran kekuasaan, lapisan teratasnya adalah yang paling memiliki kekuasaan

atau wewenang terbesar.

3. Ukuran kehormatan, dimana orang-orang yang paling dihormati dan disegani

berada di lapisan teratas.

4. Ukuran ilmu pengetahuan, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu

pengetahuan. Terkadang berakibat negatif karena yang dihargai adalah

gelarnya bukan ilmu yang dimilikinya.

Fothergill dan Peek (2004) dalam tulisannya menyatakan bahwa

penanggulangan bencana dipengaruhi oleh status sosial ekonomi masyarakat.

Pendidikan dan pendapatan memiliki hubungan dengan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dalam tahap persiapan untuk menghadapi bencana. Ditemukan bahwa

masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih tinggi lebih siap dalam

menghadapi bencana seperti kepemilikan terhadap asuransi, alat-alat yang

digunakan dalam masa tanggap darurat dan memperkuat keadaan rumah mereka.

Hal ini juga dijelaskan oleh Brym (2009) dalam tulisannya yang berjudul

Hurricane Katrina and The Myth of Natural Disaster dalam bukunya Sociology

as a Life or Death Isuues bahwa antara masyarakat yang berada pada kelas lebih

tinggi dengan masyarakat yang berada pada kelas lebih rendah tidak memiliki

keseimbangan kekuatan dalam menghadapi badai Katrina. Masyarakat yang

berada di kelas lebih rendah bertempat tinggal di daerah yang sangat rentan untuk

mengalami banjir, sedangkan masyarakat yang berada di kelas lebih tinggi dapat

tinggal di tempat yang lebih jauh dari bahaya. Masyarakat yang berada di kelas

16

lebih rendah adalah masyarakat berkulit hitam yang telah lama didiskriminasi dan

masyarakat miskin serta orang-orang tua.

2.1.3.4 Kearifan Lokal

Kearifan lokal atau istilah lainnya yaitu pengetahuan lokal, pengetahuan

tradisional, local knowledge, atau local wisdom. Pengertiannya menurut Shaw

(2008) adalah segala sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya

tertentu dan mencerminkan gaya hidup suatu masyarakat tertentu. Dalam hal

pelestarian lingkungan, terdapat aturan tertentu dalam pengeksploitasian

lingkungan biofisik, dengan hukum sosial tertentu berdasarkan pengalaman

empirik manusia dan pelanggaran terhadap aturan tersebut memberikan sanksi

kepada pelanggarnya, sehingga kelestarian alam dapat dijaga (BPP-PSPL, 2005).

Pada umumnya masyarakat memiliki kearifan tradisional dalam mengelola

sumberdaya alam sekaligus dalam hal pemanfaatannya (Wirasena, 2010).

Kearifan lokal merupakan cara-cara dan praktik-praktik yang dikembangkan oleh

sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman mendalam mereka

mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat tinggal mereka secara

turun menurun (Shaw, 2008).

Karakteristik penting yang dimiliki oleh kearifan lokal di dalam

masyarakat adalah berasal dari dalam masyarakat itu sendiri, disebarluaskan

secara non formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat yang bersangkutan,

dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi, dan tertanam di

dalam kehidupan masyarakat untuk bertahan hidup (Shaw, 2008). Kearifan lokal

ini merupakan sebuah simpul perekat antara kehidupan masa lalu dan kehidupan

17

masa sekarang. Nilai-nilai budaya diturunkan dari nenek moyang, berkembang

dari lahir dan dari generasi ke generasi (Pattinama, 2009).

Berdasarkan penelitian yang diadakan Gunawan (2007) ditemukan bahwa

kearifan lokal dan semangat gotong royong masyarakat sangat berperan dalam

sistem peringatan dini sebelum terjadinya bencana, karena masyarakat telah lama

tinggal di daerah tersebut dan mengenal keadaan alam lebih baik dibandingkan

dengan yang lainnya.

2.1.3.5 Pengetahuan dan Sikap

Soekanto (2003) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan hasil

penggunaan panca indranya sehingga menimbulkan kesan di dalam pikirannya.

Pengetahuan masyarakat mengenai hutan diklat dalam penelitian Garnadi (2004)

hanya terkait dengan hal-hal yang menyangkut kebutuhan hidup mereka saja,

sedangkan mengenai pengelolaan hutan masih kurang diketahui oleh masyarakat.

Masyarakat juga memiliki sikap yang tidak terlalu menentang dan juga tidak

terlalu mendukung terhadap hutan diklat dan pengelolaannya.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Yusra (1998) mengenai

pengetahuan dan sikap pasangan usia subur mengenai gizi seimbang dan

pemasaran sosial ditemukan bahwa pengetahuan mereka masih tergolong rendah,

sedangkan sikapnya sudah tergolong tinggi. Akan tetapi dalam prakteknya,

pasangan usia subur masih tergolong rendah. Praktek gizi seimbang tersebut

dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap pasangan usia subur.

18

2.2 Kerangka Pemikiran

Bencana datang kepada masyarakat secara tiba-tiba dan tidak dapat

diprediksi kapan akan melanda suatu masyarakat. Dampak yang diakibatkan oleh

bencana sangat besar dan bersifat merugikan. Bagi masyarakat yang mengalami

bencana, dapat mengalami kehilangan nyawa, harta benda dan gangguan

psikologis. Untuk itu diperlukan suatu upaya yang bertujuan untuk mengurangi

dampak yang akan melanda masyarakat tersebut. Upaya tersebut adalah upaya

penanggulangan bencana yang terdiri atas upaya pencegahan, tanggap darurat dan

penanggulangan pasca bencana. Perspektif penanggulangan bencana yang

awalnya berpusat pada penanggulangan pasca bencana, kini telah berubah

menjadi perspektif penanggulangan bencana melalui tindakan pencegahan.

Tindakan pencegahan yang bertujuan untuk mengurangi resiko bencana ini terdiri

atas kesiapsiagaan dan mitigasi.

Kegiatan pencegahan ini ditujukan untuk meningkatkan kesiapan

masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Akan tetapi,

kesiapan masyarakat ini yang terintegrasi dalam upaya mitigasi dan kesiapsiagaan

dapat dipengaruhi oleh karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat.Karakteristik sosial tersebut adalah kelembagaan, kohesi sosial,

stratifikasi sosial, kearifan lokal, dan pengetahuan dan sikap yang sudah tertanam

di dalam masyarakat. Kelima dimensi karakteristik sosial budaya ini

mempengaruhi upaya pencegahan dan pengurangan resiko bencana dan akan

mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana.

19

Hubungan antara karakteristik sosial budaya dengan kesiapan masyarakat

dalam menghadapi bencana dapat dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini:

Keterangan:

Hubungan

2.3 Hipotesis Penelitian

2.3.1 Hipotesis Uji

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis

penelitian sebagai berikut:

1. Kelembagaan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.

2. Derajat kohesi sosial masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan

dan mitigasi.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Karakteristik sosial dan

budaya

Kelembagaan Kohesi Sosial Sratifikasi Sosial Kearifan Lokal

Kesiapan

Pencegahan Bencana

Kesiapsiagaan

Mitigasi

Pengetahuan dan

Sikap

20

3. Stratifikasi sosial di dalam masyarakat memiliki hubungan dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi.

4. Kearifan lokal masyarakat memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi.

5. Pengetahuan dan sikap masyarakat memliki hubungan dengan kesiapsiagaan

dan mitigasi.

2.3.2 Hipotesis Pengarah

Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana di daerah rawan bencana

berhubungan positif dengan karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh

masyarakat, terkait dengan pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pengurangan

resiko bencana.

2.4 Definisi Operasional

Rumusan definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Individu/ Rumah Tangga

a. Stratifikasi Sosial

Unsur kekayaan, dapat diukur melalui aset rumah tangga, dengan skor:

Rentang Kelas 1 : Rendah

Rentang Kelas 2 : Sedang

Rentang Kelas 3 : Tinggi

Ukuran ilmu pengetahuan, dapat diukur melalui tingkat pendidikan

dengan skor:

Tidak bersekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD : Rendah

Tidak tamat SMP, tamat SMP dan tidak tamat SMA: Sedang

21

Tamat SMA dan Perguruan tinggi : Tinggi

b. Pengetahuan, sikap dan tindakan mengenai lingkungan dan bencana

Pengetahuan mengenai rawan bencana

Penyebab banjir

Akibat banjir

Cara mengurangi resiko banjir

Aktor yang berperan serta dalam penanggulangan banjir

Sikap terhadap tanaman/ pohon

Sikap terhadap kelestarian alam

Ketergantungan hidup terhadap alam

Sikap terhadap alam yang memberikan manfaat

Sikap terhadap pohon-pohon yang memiliki penunggu

c. Kesiapsiagaan merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya

bencana.

Asuransi

Jenis asuransi

Pengamanan barang berharga saat banjir

Pelaksanaan evakuasi

Persiapan persediaan makanan ketika ada tanda-tanda banjir

Pengamanan barang berharaga ketika ada tanda-tanda banjir

Pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota keluarga

Tenda penampung saat evakuasi

22

d. Mitigasi merupakan kegiatan yang dilaksanakan untuk mengurangi resiko

terjadinya bencana.

Keadaan fisik rumah

Jarak rumah dari pinggiran sungai

Kegiatan penebangan pohon

Kegiatan pelestarian pohon

Latihan pencegahan dan penanganan banjir

Jenis rumah

Pendidikan umum mengenai banjir

Pembangunan tanggul, bendungan atau dam

e. Kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yaitu suatu keadaan

masyarakat dimana telah ada kesiapan baik secara fisik dan mental untuk

menghadapi bencana.

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor

Timur. Pemilihan lokasi ini didasarkan atas potensi bencana yang terdapat di desa

tersebut atau daerah yang tergolong rawan bencana. Kelurahan Katulampa

tergolong daerah rawan bencana berdasarkan peta daerah rawan bencana Kota

Bogor. Daerah Katulampa memiliki potensi yang sangat besar untuk dilanda

banjir karena posisinya yang berada di daerah aliran Sungai Ciliwung yang sudah

seringkali menenggelamkan Kota Jakarta. Daerah ini juga pernah mengalami

banjir bandang yang sangat merugikan masyarakat pada bulan Februari 2010 lalu.

Daerah penelitian dilaksanakan khususnya di RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang

merupakan daerah rawan banjir sesuai dengan peta rawan bencana yang dapat

dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Juli-Agustus 2010 untuk penjajakan awal dan penelitian lanjutan akan

dilaksanakan pada bulan Oktober- November 2010.

3.2 Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian survai dengan tipe decriptive-

explanotory research, yaitu penelitian penjelasan yang menghubungkan antar

variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesa yang telah dirumuskan

sebelumnya (Singarimbun dan Effendi, 1989) dan menjelaskan secara deskriptif

keadaan yang ditemukan di lapangan. Pendekatan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif.

24

Pendekatan kualitatif ini menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada

responden. Sedangkan pendekatan kualitatif digunakan dengan pengumpulan data

melalui wawancara mendalam dan menggali pemahaman responden secara

subjektif sehingga dapat mendukung data kuantitatif.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer berasal dari kuesioner yang dibagikan kepada responden

dan data pendukung berupa wawancara mendalam terhadap responden. Data

sekunder diperoleh dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil

penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah,

informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya.

Kuesioner yang dibagikan kepada responden terdiri atas pertanyaan

tertutup dan pertanyaan semi tertutup. Selain itu pertanyaan yang diberikan juga

dalam bentuk skala Lickert sehingga dapat diketahui mengenai sikap responden

mengenai objek penelitian.

3.4 Teknik Penentuan Responden dan Informan

Populasi studi ini mencakup masyarakat yang berada di daerah rawan

bencana yaitu Kelurahan Katulampa di Kecamatan Bogor Timur, khususnya

masyarakat yang pernah mengalami bencana banjir pada Februari 2010 lalu.

Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik convenience sampling dimana

sampel yang diambil adalah orang yang ada ditempat tersebut dan berdasarkan

data korban banjir Februari 2010 lalu yang terdaftar di dalam daftar korban banjir.

Teknik ini dipilih karena jumlah rumah tangga yang tetap tinggal di daerah

25

penelitian sudah berkurang akibat banjir, sehingga responden diambil berdasarkan

ketersediaan. Sebelumnya telah dilakukan teknik pengambilan responden secara

acak, kemudian dilanjutkan dengan teknik convenience sampling untuk

melanjutkan pengambilan responden karena jumlah rumah tangga yang tetap

tinggal di daerah penelitian sudah berkurang atau pindah rumah karena banjir.

Jumlah responden yang diambil adalah sebanyak 30 rumah tangga.

Wawancara dilakukan pada salah satu anggota rumah tangga yaitu suami atau

istri. Kuesioner untuk data kuantitatif diberikan kepada responden dan ditinggal di

tempat penelitian karena responden merasa lebih baik untuk ditinggal, sehingga

mereka dapat mengisi data dengan tenang dan tidak terburu-buru. Responden juga

merasa tidak nyaman dalam menjawab pertanyaan apabila ditanyakan langsung.

Informan yang diwawancarai adalah tokoh masyarakat yang ada di daerah

tersebut serta orang yang memiliki hubungan dengan penelitian ini. Data kualitatif

juga didapatkan melalui wawancara kepada informan melalui pendekatan

terhadap informan dengan cara tinggal di daerah penelitian dan ikut kegiatan yang

dilaksanakan di daerah tersebut.

3.5 Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh secara kuantitatif dianalisis terlebih dahulu dengan

pengkodean data agar data lebih seragam. Setelah itu dilakukan penghitungan

persentase jawaban responden yang dibuat dalam bentuk tabel frekuensi. Data

tersebut dimasukkan ke dalam lembar kerja Microsoft Excel dan dilakukan

pengolahan data. Dari data kuantitatif yang telah terkumpul akan dilakukan

analisis uji korelasi dengan menggunakan uji korelasi Pearson untuk mengetahui

hubungan antara dua variabel yang akan diuji.

26

Untuk menentukan kelas responden maka digunakan rentang kelas

berdasarkan data yang didapatkan dari lapangan dengan rumus:

Klasifikasi = Nilai Maksimum-Nilai Minimum

Banyaknya Kelas

Dengan menggunakan rumus ini maka didapatkan klasifikasi responden

berdasarkan banyak kelas yang diinginkan.

Data kualitatif dianalisis dengan mengumpulkan data yang telah dihimpun

selama penelitian berdasarkan wawancara mendalam dengan informan dan

responden. Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan pemisahan data-data

penting dan kemudian disimpulkan. Kemudian data tersebut digunakan sebagai

data utama untuk mendeskripsikan hasil penelitian.

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Kelurahan Katulampa

4.1.1. Kondisi Fisik

Kelurahan Katulampa merupakan salah satu kelurahan yang berada di

Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Kelurahan ini dialiri oleh salah satu sungai

besar di Jawa Barat, yaitu Ciliwung. Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari

pusat kota Bogor dengan jarak tempuh sekitar 15 menit. Kelurahan ini memiliki

luas 491 ha dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) sebanyak 82 RT dan Rukun

Warga (RW) sebanyak 13 RW. Curah hujan rata-rata tiap tahunnya adalah 250

mm dengan suhu rata-rata harian 25o C. Kelurahan ini berada pada ketinggian 300

meter diatas permukaan laut. Berdasarkan letak geografis, Kelurahan Katulampa

berbatasan dengan kelurahan lain, yaitu:

a. Sebelah utara : Kelurahan Cimahpar

b. Sebelah timur : Kelurahan Tajur

c. Sebelah barat : Kelurahan Baranangsiang

d. Sebelah selatan : Desa Cibaon/ Sukaraja

Kelurahan Katulampa berada di dekat pusat Kota Bogor sehingga sangat

berpotensi untuk menjadi tempat pemukiman bagi orang-orang yang bekerja di

sekitar Kota Bogor maupun luar Kota Bogor karena aksesnya yang dekat dengan

Tol Jagorawi. Keadaan ini sangat mempengaruhi keadaan sosial dan ekonomi

penduduk Kelurahan Katulampa.

Sarana dan prasarana yang tersedia di kelurahan ini berupa sarana

transportasi, komunikasi dan informasi, pendidikan, kesehatan, dan kebersihan.

28

Sarana transportasi yang tersedia di daerah ini berupa sarana transportasi darat

berupa ojeg sebanyak 65 buah. Sarana komunikasi dan informasi yang tersedia

berupa telepon umum, telepon rumah dan telepon genggam. Kelurahan

Katulampa memiliki 1 Puskesmas pembantu, 19 Posyandu, dan 2 rumah bersalin.

Sarana dan prasarana pendidikan yang ada di Kelurahan Katulampa berupa 2 buah

gedung SMA, 4 buah gedung SMP, 5 buah gedung SD, 2 buah TK dan 2 buah

lembaga pendidikan agama. Sarana dan prasarana kebersihan di Kelurahan

Katulampa berupa tempat pembuangan sementara yang tersebar di lima lokasi dan

13 tong sampah dengan 10 orang anggota Satgas kebersihan.

4.1.2. Kependudukan dan Kelembagaan

Luas Kelurahan Katulampa cukup besar, yaitu 491 Ha dengan jumlah

penduduk yang lumayan padat, yaitu 25.065 jiwa. Jumlah penduduk laki-lakinya

adalah 12.527 jiwa sedangkan penduduk perempuannya sebanyak 12.539 jiwa.

Total kepala keluarga yang mendiami kelurahan ini adalah 6.462 kepala keluarga

dengan kepadatan penduduk sebesar 510 jiwa per km2. Pendidikan masyarakat

Katulampa cukup merata dari tamatan SD hingga perguruan tinggi. Akses

terhadap sarana dan prasarana pendidikan tergolong mudah sehingga pendidikan

yang ditempuh juga cukup baik.

Tabel 1. Tingkat Pendidikan Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Penduduk (orang)

1. Tidak tamat SD 146

2. Tamat SD 5598

3. Tamat SMP/ sederajat 4230

4. Tamat SMA/ sederajat 3864

5. Tamat perguruan tinggi 681

Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)

29

Sebagian besar masyarakat Katulampa beragama Islam. Agama lainnya

seperti Kristen, Hindu dan Budha hanya sebagian kecil saja. Mata pencaharian

masyarakat Kelurahan Katulampa paling banyak pada sektor informal yaitu

berdagang, tukang bangunan, tukang ojeg, petani dan buruh tani. Sedangkan pada

sektor formal hanyalah sebagian kecil saja.

Tabel 2. Mata Pencaharian Masyarakat Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Mata Pencaharian Jumlah

1. Petani 1851

2. Buruh tani 651

3. Pegawai negeri sipil 154

4. Pengrajin industri rumah tangga 7

5. Pedagang keliling 41

6. Peternak 1

7. Montir 25

8. Dokter swasta 25

9. Bidan swasta 4

10. Pembantu rumah tangga 25

11. TNI/ Polri 41

12. Pensiunan 56

13. Pengusaha kecil dan menengah 10

14. Pengacara 7

15. Notaris 2

16. Dukun kampung terlatih 6

17. Jasa pengobatan alternatif 2

18. Dosen swasta 22

19. Arsitektur 7

20. Karyawan perusahaan swasta 3843

21. Karyawan perusahaan pemerintah 479

22. Lainnya (pedagang, tukang ojeg,

tukang bangunan)

9205

Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)

30

Organisasi masyarakat yang berkembang di Kelurahan Katulampa adalah

organisasi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi ekonomi.

Organisasi yang berkembang di daerah ini di dukung oleh anggotanya.

Organisasi-organisasi yang berkembang di Kelurahan Katulampa dapat dilihat

dalam Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Kelembagaan Kelurahan Katulampa tahun 2008

No. Organisasi Masyarakat Jumlah Anggota (orang)

Organisasi Pemerintahan

1. Kantor Kelurahan 15

Organisasi Kemasyarakatan

2. LKK 10

3. LPM 17

4. PKK 24

5. Rukun Warga 102

6. Rukun Tetangga 696

7. Karang Taruna 10

8. Kelompok Tani 10

9. Organisasi keagamaan (MUI) 10

Organisasi Ekonomi

10. KUD 60

11. Simpan Pinjam 60

Sumber: Profil Desa dan Kelurahan Katulampa (2008)

Penelitian ini difokuskan di daerah yang mengalami banjir di Kelurahan

Katulampa yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX yang berada di pinggir sungai

Ciliwung. Rata-rata penduduk RT 5 RW I adalah pendatang yang berasal dari luar

daerah Bogor, seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di daerah ini banyak

terdapat rumah yang disewakan atau dikontrakkan dan tidak banyak penduduk asli

yang berada di daerah tersebut. Berbeda pula dengan RT 3 RW IX yang rata-rata

31

penduduknya adalah penduduk asli. Kebanyakan dari penduduknya memiliki

hubungan darah satu sama lainnya.

4.2 Sungai Ciliwung

Sungai Ciliwung merupakan sungai yang berada dalam Satuan Wilayah

Sungai Ciliwung- Cisadane, dengan daerah tangkapan (daerah aliran sungai)

sepanjang lebih kurang 337 Km2. Daerah aliran Sungai Ciliwung dibagi menjadi

tiga (Munaf, 1992) yaitu:

a) DAS Ciliwung bagian I yang dimulai dari hulu sampai ke stasiun pengamat

Katulampa meliputi Kecamatan Kedunghalang, Cisarua dan Ciawi.

b) DAS Ciliwung bagian II yang dimulai dari stasiun pengamat Katulampa hingga

ke stasiun pengamat Ratujaya (Depok) meliputi Kecamatan Kedunghalang,

Kota Bogor, Kecamatan Cibinong dan Kecamatan Depok.

c) DAS Ciliwung bagian III yang dimulai dari stasiun pengamat Ratujaya sampai

ke stasiun pengamat Rawajati (Kalibata) meliputi wilayah Kecamatan Depok,

Kecamatan Cimanggis, dan Jakarta.

Penelitian ini difokuskan di daerah aliran Sungai Ciliwung bagian

Katulampa. Bendungan Katulampa dibagi menjadi dua aliran, yaitu aliran yang

berfungsi untuk irigasi dan aliran Sungai Ciliwung yang mengalir ke Jakarta.

Rata-rata debit air yang mengaliri bendungan Katulampa dari Januari hingga

Oktober 2010 adalah 18.028,5 liter per detik.

32

Gambar 2. Distribusi Debit Air Bendung Katulampa Januari-Oktober 2010

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

BAB V

KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

5.1 Kelembagaan

Kelurahan Katulampa memiliki lembaga-lembaga yang berkembang di

tengah masyarakat. Lembaga ini merupakan wadah bagi kelembagaan-

kelembagaan yang tidak disadari telah menjadi bagian dari masyarakat, mengatur

dan memberi nilai-nilai dan norma-norma tertentu. Horton dan Hunt (1999)

menyatakan bahwa lembaga merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu

tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau sekumpulan

kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada kegiatan pokok manusia, dan

prosesnya terstruktur untuk melakukan berbagai kegiatan tertentu. Kelembagaan-

kelembagaan yang terlihat lebih kuat mempengaruhi masyarakat adalah pada

bidang keagamaan. Kegiatan yang dilaksanakan sebagai aktifitas sosial dalam

kelembagaan berupa pengajian. Pengajian diadakan rutin dalam seminggu. Setiap

RT memiliki jadwal yang berbeda dengan jumlah pertemuan yang berbeda setiap

minggunya.

Nilai dan norma yang berkembang dalam kelembagaan ini adalah nilai dan

norma mengenai keagamaan. Nilai-nilai yang dianut diwujudkan dalam kegiatan-

kegiatan yang dilakukan selama pengajian. Kegiatan pengajian ini gunanya adalah

untuk memanjatkan syukur dan do’a-do’a kepada Sang Pencipta agar kehidupan

mereka diberkahi serta memanjatkan do’a bagi orang-orang terdahulu.

Kelembagaan agama ini memperkuat hubungan masyarakat karena masyarakat

melakukan pertemuan rutin yang bisa menjadi wadah untuk bertukar pikiran dan

34

berbagi pengalaman. Namun dalam pengajian ini tidak ada materi yang

disampaikan baik dalam bidang agama maupun bidang kehidupan lainnya.

Sesuai yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin dalam Soemardjan dan

Soemardi (1964), kelembagaan agama ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kelembagaan merupakan organisasi konseptual dan pola kebiasaan yang

terwujud melalui aktifitas sosial dan hasil-hasilnya. Kelembagaan agama yang

terwujud melalui aktifitas sosial berupa pengajian ini telah menjadi pola

kebiasaan masyarakat setempat. Kegiatan ini rutin dilakukan dan jarang

ditinggalkan oleh masyarakat. Pengajian merupakan organisasi yang terkonsep

dan memiliki kegiatan yang jelas dan dikonsep dengan rapi oleh anggotanya.

Pengonsepan kegiatan ini dilakukan bersama-sama seperti membahas masalah

jadwal pelaksanaan dan pengonsepan do’a-do’a yang akan dipanjatkan. Selain

itu, mereka juga menentukan tempat dilaksanakannya pengajian. Biasanya

setiap rumah dalam RT tersebut mendapatkan giliran untuk menyediakan

tempat pengajian.

2. Tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga masyarakat.

Kegiatan pengajian ini telah lama dilaksanakan oleh masyarakat dan tidak

berubah dari dulu sampai saat ini.

3. Terdiri atas satu atau beberapa tujuan tertentu. Kegiatan pengajian ini

dilaksanakan atas tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya

pengajian ini adalah meningkatkan pendalaman mengenai agama, mendekatkan

diri pada Yang Maha Kuasa dan selain itu kegiatan ini bertujuan untuk

mendo’akan keluarga yang sudah meninggal.

35

4. Kelembagaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan kelembagaan,

seperti alat-alat, bangunan, perabotan dan lainnya. Fungsi kelembagaan

masyarakat sama seperti alat-alat, bangunan dan perabotan yang membantu

untuk mencapai tujuan kelembagaan itu sendiri. Pada lembaga pengajian rutin

yang dilakukan oleh masyarakat setempat, kelembagaan menjadi wadah bagi

masyarakat dan juga menjadi alat yang digunakan untuk mencapai tujuan-

tujuannya.

5. Simbol merupakan karakteristik lembaga kemasyarakatan. Simbol yang

digunakan dalam kelembagaan ini adalah simbol keagamaan yaitu do’a-do’a

yang dipanjatkan. Simbol-simbol do’a ini dituangkan ke dalam tulisan yang

dimiliki oleh setiap anggota pengajian, dibawa dan dipanjatkan setiap kali

mereka mengadakan pengajian. Simbol yang berbentuk logo atau gambar tidak

ditemukan di dalam kelembagaan ini.

6. Lembaga masyarakat memiliki tradisi tertulis atau tidak tertulis yang

merumuskan tujuan, tata tertib yang berlaku dan lainnya. Pengajian yang

dilakukan secara rutin oleh masyarakat memiliki aturan-aturan yang tidak

tertulis. Dalam merumuskan aturan, masyarakat menggunakan musyawarah

dan mufakat dalam menentukan jadwal pelaksanaan, isi kegiatan dan tujuan

kegiatan.

Berdasarkan pengklasifikasian kelembagaan oleh Gillin dan Gillin dalam

Soekanto (2003), pengajian termasuk ke dalam Crescive Institution yaitu

kelembagaan primer yang tumbuh dari adat istiadat, yang salah satunya adalah

lembaga keagamaan. Lembaga keagamaan ini tumbuh dan berkembang di dalam

36

masyarakat dari dulu hingga sekarang dan menjadi arahan bagi masyarakat dalam

menguatkan keagamaan mereka.

Kelembagaan ekonomi lokal kurang berkembang di daerah ini. Kegiatan

yang berhubungan dengan perekonomian hanyalah sekitar jual-beli dan arisan.

Tidak adanya kelembagaan ekonomi ini menjadikan status ekonomi masyarakat

menjadi kurang berkembang karena tidak ada lembaga yang mampu untuk

mengekspresikan kreatifitas masyarakat dalam bidang ekonomi. Sedangkan arisan

hanyalah simpanan biasa yang kadang-kadang jumlah yang dituntut juga cukup

besar jika dibandingkan dengan penghasilan masyarakat dan tuntutan untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelembagaan ini tidak terlalu mengakar di

dalam masyarakat. Keterlibatan masyarakat tidak terlalu besar dan hanya orang-

orang tertentu yang mampu untuk mengikutinya, seperti masyarakat yang

memiliki kemampuan ekonomi yang sedikit berlebih dibandingkan dengan yang

lainnya.

Kelembagaan lain yang sangat berperan dalam kebencanaan adalah RT

dan RW sebagai perpanjangan tangan kelurahan dan penjaga bendungan.

Sistemnya adalah dari penjaga bendungan akan diberikan informasi mengenai

status debit air. Apabila debit air dirasa akan membahayakan dan dapat

mengakibatkan terjadinya banjir, maka pemerintah kelurahan akan menyampaikan

kepada masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan akan datangnya banjir

melalui ketua RT dan ketua RW. Selain RT dan RW, lembaga lain yang juga

sangat berperan adalah TAGANA (Taruna Siaga Bencana) yang dibentuk di

kecamatan. Anggota TAGANA tersebut merupakan perwakilan dari setiap

kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Timur. Di setiap kelurahan terdapat satu

37

anggota TAGANA. Mereka berperan dalam meningkatkan kesiapsiagaan dan

mitigasi bencana bersama dengan pemerintah dan menjadi jembatan antara

pemerintah dengan masyarakat bersama ketua RT dan ketua RW apabila terjadi

banjir seperti yang diungkapkan oleh Bapak K (38 Tahun) sebagai anggota

TAGANA,

“... waktu air di Bendungan Katulampa naik, Bapak An yang ngejaga

bendungan bakal ngasih kabar ke orang kelurahan. Dari kelurahan disampein

ke Ketua RW, trus diterusin ke Ketua RT, baru disebar ke masyarakat untuk

bersiap-siap. Kelurahan sama TAGANA juga bersiaga untuk kemungkinan

terjadinya banjir...”

TAGANA bersama RT dan RW dilihat sebagai suatu kelembagaan yang

memiliki fungsi sebagai pengendali sosial, dimana mereka secara bersama-sama

mengendalikan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan dalam

menghadapi kemungkinan terjadinya banjir apabila debit air Sungai Ciliwung

mulai meningkat.

5.2 Derajat Kohesi Sosial

Masyarakat di dalam suatu daerah memiliki derajat ikatan antar individu

yang disebut dengan derajat kohesi sosial. Masyarakat dianggap sebagai suatu

kelompok besar yang anggotanya adalah individu-individu yang tergabung di

dalam masyarakat tersebut. Derajat kohesivitas dapat dilihat melalui interaksi

pada anggota masyarakat yang melakukan kerjasama (Cartwright dan Zander,

1968). Derajat kohesi sosial di daerah penelitian khususnya RT 5 RW I dan RT 3

RW IX memiliki perbedaan. Perbedaan tersebut adalah derajat ikatan

masyarakatnya. Pada RT 5 RW I, masyarakatnya cenderung untuk berpindah dari

satu tempat ke tempat lain, sedikit yang menetap di daerah tersebut. Mobilitas

penduduk yang lumayan tinggi ini diakibatkan oleh banyaknya jumlah rumah

38

yang dikontrakkan di daerah tersebut. Lebih dari 15 kepala keluarga dari 40

kepala keluarga yang merasakan banjir telah pindah rumah atau meninggalkan

daerah tersebut. Sesuai dengan yang dijelaskan oleh Collin dan Raven (1964)

dalam Arishanti (2005) mengenai faktor yang mendorong terjadinya kohesi

kelompok, yaitu keadaan yang mendorong anggota kelompok untuk tetap tinggal

dalam kelompok dan mencegahnya meninggalkan kelompok. Oleh karena itu di

RT 5 RW I tingkat kohesi sosialnya tergolong rendah karena tidak ada keadaan

yang mendorong anggota masyarakat untuk tetap tinggal, bahkan mereka

meninggalkan tempat tersebut karena takut terjadi banjir kembali.

Arus mobilitas penduduk yang cukup tinggi ini mengakibatkan tingginya

pertukaran anggota masyarakat. Harga sewa rumah yang lumayan murah yaitu

sekitar Rp. 100.000,00 – Rp. 150.000,00 per bulan mengakibatkan banyaknya

jumlah pendatang di daerah ini. Untuk mendapatkan derajat keeratan yang tinggi,

masyarakat harus mampu untuk menyesuaikan diri terlebih dahulu dengan

masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan sosial selain pengajian jarang dilakukan

di kedua tempat penelitian, misalnya gotong royong.

Berbeda dengan RT 5 RW I, masyarakat RT 3 RW IX tidak memiliki

tingkat mobilisasi yang tinggi karena di daerah tersebut kebanyakan

masyarakatnya memiliki hubungan darah dan masih terikat dengan daerah

tersebut. Daerah tersebut tidak termasuk daerah yang banyak pendatang. Rata-rata

masyarakatnya adalah masyarakat lokal yang memang sudah lama berdomisili di

daerah tersebut. Hubungan kekeluargaan lebih erat dan sering melakukan kegiatan

sosial bersama. Sehingga derajat kohesivitas masyarakatnya lebih tinggi

dibandingkan dengan RT 5 RW I.

39

Derajat kohesivitas masyarakat ini juga dipengaruhi oleh keseragaman

(homogenitas) anggota kelompok tersebut seperti kesamaan tindakan dan

homogenitas perilaku (Mardikanto, 1993 dalam Redono, 2006). Keseragaman

yang dimaksud adalah keseragaman pada ciri-ciri sosial masyarakat tersebut.

Masyarakat dengan ciri-ciri sosial yang lebih mirip satu sama lainnya akan

memiliki kohesivitas yang cenderung lebih tinggi. Hal ini terjadi pada RT 3 RW

IX. Masyarakatnya cenderung lebih kohesif karena adanya keseragaman pada

tingkat ekonomi, hubungan darah dan mereka merupakan penduduk asli

Katulampa yang memiliki kesamaan budaya dan adat. Berbeda dengan RT 5 RW

I, masyarakatnya kebanyakan merupakan masyarakat pendatang yang berasal dari

berbagai daerah seperti Jawa dan tidak menetap lama di daerah tersebut.

Perbedaan adat dan budaya antara pendatang dan penduduk asli mengakibatkan

kurangnya keseragaman, sehingga kohesivitasnya cenderung lebih rendah

dibandingkan dengan RT 3 RW IX.

5.3 Stratifikasi Sosial

Kelurahan Katulampa berada tidak jauh dari pusat Kota Bogor. Hal ini

mengakibatkan Kelurahan Katulampa menjadi salah satu daerah yang dijadikan

sebagai alternatif untuk berdomisili atau bertempat tinggal agar akses terhadap

sumber-sumber ekonomi dan teknologi lebih mudah untuk dijangkau.

Masyarakatnya datang dari berbagai tingkatan ekonomi, maupun dari berbagai

etnis. Kehidupan masyarakat yang memiliki status sosial yang berbeda-beda ini

juga mempengaruhi pelapisan di dalam masyarakat. Pelapisan sosial ini juga

terlihat di daerah penelitian, yaitu RT 5 RW I dan RT 3 RW IX.

40

Pelapisan atau stratifikasi sosial terjadi akibat adanya perbedaan-

perbedaan di dalam masyarakat secara bertingkat. Individu yang memiliki status

sosial tertentu akan masuk ke dalam lapisan-lapisan tertentu yang terdapat di

lingkungannya, baik lingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan

pekerjaannya. Menurut Soekanto (2003), ukuran yang biasa digunakan untuk

menggolongkan masyarakat ke dalam suatu lapisan adalah ukuran kekayaan,

ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan dan ukuran ilmu pengetahuan.

Responden yang diambil di daerah penelitian merupakan responden yang

pernah mengalami banjir dan berada di sepanjang aliran Ciliwung. Sungai ini

telah lama menjadi pusat kehidupan bagi masyarakat yang berada di sekitarnya

sehingga banyak masyarakat yang memilih tinggal di dekat sungai agar dapat

mengakses sumberdaya alam lebih mudah, seperti air. Banyaknya jumlah

pendatang, terutama di daerah RT 5 RW I telah memberikan dampak terhadap

lapisan sosial yang ada di dalam masyarakat. Stratifikasi sosial masyarakat di

dapatkan melalui kuesioner yang diserahkan kepada responden untuk dijawab.

Pertanyaannya adalah mengenai karakteristik individu responden tersebut untuk

mengukur stratifikasi berdasarkan ukuran kekayaan dan pendidikan. Sedangkan

untuk ukuran berdasarkan kekuasaan dan kehormatan dilakukan melalui

wawancara mendalam kepada informan.

Pertanyaan yang diajukan untuk mendapatkan ukuran kekayaan adalah

melalui aset rumah tangga atau pribadi, yaitu pendapatan, kepemilikan rumah,

tanah, barang berharga dan teknologi. Sedangkan untuk mendapatkan ukuran

pendidikan, pertanyaan yang diajukan adalah mengenai pendidikan yang telah

ditempuh oleh responden. Setelah dilakukan analisis data, didapatkan pendapatan

41

rata-rata masyarakat adalah sebesar Rp. 998.333,00 dengan pendapatan tertinggi

sebesar Rp. 3.000.000,00 dan terendah sebesar Rp, 300.000,00. Berdasarkan data

yang dihimpun, responden diklasifikasikan menjadi tiga yaitu responden dengan

pendapatan rendah, rata-rata dan tinggi sehingga didapatkan bahwa sebanyak 73,3

persen responden memiliki pendapatan yang rendah dengan kisaran pendapatan

antara Rp. 300.000,00 – Rp. 1.200.000,00. Sedangkan 23,3 persen responden

memiliki pendapatan rata-rata yang berkisar antara Rp. 1.200.000,00 – Rp.

2.100.000,00. Sisanya sebesar 3,33 persen adalah responden dengan pendapatan

tinggi yang pendapatannya berkisar antara Rp. 2.100.000,00 – Rp. 3.000.000,00.

Gambar 3. Sebaran Responden Berdasarkan Pendapatan, Katulampa Tahun 2010

Data di atas menunjukkan bahwa rata-rata responden berasal dari kalangan

ekonomi menengah kebawah yaitu sebanyak 22 orang responden memiliki

pendapatan dibawah Rp. 1.200.000,00. Banyaknya jumlah responden yang berada

pada golongan ekonomi ini diakibatkan oleh pekerjaan yang dilakukan oleh

responden rata-rata pada sektor iinformal seperti wiraswasta dan buruh yang tidak

memberikan penghasilan yang cukup besar. Responden yang bekerja dalam

1

7

22

Tinggi

Menengah

Rendah

42

bidang wiraswasta yaitu sebesar 36,67 persen, buruh sebesar 26,67 persen, ibu

rumah tangga dan pegawai swasta masing-masing sebesar 16,67 persen dan 10

persen serta diikuti oleh pegawai negeri, bertani dan pengangguran yang masing-

masingnya sebesar 3,33 persen.

Gambar 4. Sebaran Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan, Katulampa Tahun

2010

Data pada Gambar 4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden

memiliki usaha sendiri atau berwiraswasta dan buruh. Hal ini berhubungan

dengan tingkat pendapatan responden yang tergolong ke dalam angka di bawah

rata-rata atau tergolong berekonomi menengah ke bawah. Kegiatan wiraswasta

yang dilakukan oleh responden rata-rata adalah berjualan atau pedagang kaki lima

dan warung.

Berdasarkan data pendapatan, aset kepemilikan rumah tangga berupa

rumah, tanah, tabungan, dan benda berharga didapatkan jenjang ukuran kekayaan

yang dimiliki oleh responden. Sebanyak 96,67 persen responden memiliki rumah

yang luasnya dibawah 200 m2, dan sisanya adalah kepemilikan rumah seluas 1500

m2. Rata-rata luas rumah responden adalah seluas 122 m

2. Responden yang

1 1 3

118

5 0 1 0

Bertani

Pegawai Negeri

Pegawai Swasta

Wiraswasta

Buruh

Ibu Rumah Tangga

Pelajar

Menganggur

Pensiun

43

memiliki jenjang ukuran kekayaan yang rendah adalah sebanyak 30 persen,

sedang atau menengah sebanyak 56,67persen dan tinggi sebanyak 13,3 persen.

Gambar 5. Stratifikasi Responden Berdasarkan Kekayaan, Katulampa Tahun 2010

Data responden berdasarkan tingkat kekayaan ini diukur berdasarkan

kepemilikan rumah tangga, tidak hanya pendapatan tapi juga barang-barang

berharga dan bernilai tinggi. Pendapatan tidak dapat menggambarkan aset atau

kekayaan individu dan rumah tangga dengan baik, karena kepemilikan terhadap

benda berharga juga merupakan salah satu bentuk kepemilikan materi yang

tersimpan. Kepemilikan yang diukur, selain pendapatan adalah tabungan,

kepemilikan barang-barang elektronik seperti televisi, radio, kulkas, komputer dan

lainnya. Selain itu kepemilikan kendaraan juga menjadi salah satu ukuran dalam

mengukur kekayaan. Kepemilikan terhadap hewan ternak juga dimasukkan ke

dalam indikator pengukuran kekayaan. Hasil pengolahan data yang menentukan

stratifikasi merupakan kombinasi dari kepemilikan individu atau pun rumah

tangga.

4

17

9

Tinggi

Menengah

Rendah

44

Seperti dalam menentukan ukuran kekayaan, ukuran pendidikan

ditentukan melaui pendidikan formal yang telah ditempuh oleh responden.

Walaupun pendidikan formal tidak selalu dapat menjadi ukuran pengetahuan

responden. Pertanyaan yang diajukan adalah menganai pendidikan terakhir yang

responden tempuh dalam jalur formal. Didapatkan bahwa 36,67 persen responden

menempuh pendidikan hanya sampai pada pendidikan dasar yaitu sekolah dasar.

Responden yang menempuh pendidikan sampai pada jenjang sekolah menengah,

baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas adalah sebanyak

60 persen dan sisanya sebanyak 3,33 persen responden menempuh pendidikan

tinggi.

Gambar 6. Sebaran Responden Berdasarkan Pendidikan, Katulampa Tahun 2010

Stratifikasi masyarakat ditentukan dengan berbagai ukuran, sebagaimana

yang telah disebutkan diatas yaitu ukuran kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan

kehormatan. Ukuran kekuasaan dilihat dengan menggali informasi kepada

beberapa informan mengenai siapa yang berkuasa di daerah tersebut. Kekuasaan

11

18

1

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

20

Pendidikan Dasar Pendidikan Menengah Pendidikan Tinggi

Jum

lah

Re

spo

nd

en

Kategori Pendidikan

45

yang dimaksud oleh anggota masyarakat itu adalah kekuasaan formal yaitu ketua

RT dan ketua RW di daerah setempat. Informan yang diwawancarai adalah ketua

RT di RT 5 RW I yaitu Bapak E dan ketua RW IX yaitu Bapak S. Stratifikasi di

dalam masyarakat terlihat dengan jelas apabila dilihat dari ukuran kekuasaan.

Masyarakat menjadi lebih patuh terhadap orang-orang yang memiliki kekuasaan

baik formal maupun informal.

Sama halnya dengan ukuran kekuasaan, ukuran kehormatan juga

didapatkan melalui wawancara dengan beberapa orang informan mengenai orang

yang mendapatkan kehormatan lebih dibandingkan dengan masyarakat lainnya.

Informan yang diwawancarai adalah Ibu Z. Ibu Z sangat dihormati oleh

masyarakat setempat karena suaminya dipercayai sebagai penolak banjir atau

orang yang dipercaya dapat mengontrol saat datangnya banjir agar dampak banjir

tidak menjadi lebih merugikan. Ibu Z mendapatkan kehormatan yang lebih

dibandingkan dengan masyarakat lainnya juga sebagai orang yang lebih dituakan

di daerah tersebut karena beliau adalah penduduk asli daerah tersebut dan telah

lama tinggal di daerah tersebut.

5.4 Kearifan Lokal

Kearifan lokal menurut Shaw (2008) merupakan segala sesuatu yang

berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan gaya hidup

suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal merupakan cara dan praktik-praktik

yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat, yang berasal dari pemahaman

yang mendalam mengenai lingkungan setempat, yang terbentuk dari tempat

tinggal mereka secara turun temurun.

46

Kelurahan Katulampa merupakan daerah yang sangat luas dengan jumlah

RW sebanyak 13 RW dan jumlah penduduk lebih dari 6.000 kepala keluarga.

Penduduknya tidak berasal dari daerah setempat saja, akan tetapi juga dari luar

daerah yang menetap di daerah Katulampa. Khususnya di daerah penelitian yaitu

RT 5 RW I dan RT 3 RW IX dijumpai adanya praktik-praktik yang

dikembangkan oleh masyarakat dan berkembang secara turun temurun.

Masyarakat setempat memiliki kepercayaan bahwa banjir akan datang

apabila batu yang berukuran besar di pinggir sungai sudah terendam sampai atas.

Batu tersebut telah menjadi ukuran sejak lama dan memberikan peringatan kepada

masyarakat setempat untuk bersiap-siap dalam menghadapi banjir. Tinggi batu

tersebut kurang lebih 2,5 meter. Selama ini batu tersebut telah memberikan

peringatan datangnya banjir kepada masyarakat, akan tetapi berbeda dengan banjir

yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Banjir yang melanda daerah tersebut adalah

banjir bandang, sehingga masyarakat tidak dapat bersiap-siap dan tidak ada tanda-

tanda terendamnya batu tersebut sebelumnya.

Pada saat terjadinya banjir, masyarakat mempercayai bahwa salah seorang

anggota masyarakat dapat mengusir banjir yang melanda daerah tersebut. Menurut

penuturan beberapa orang informan terdapat sebuah kepercayaan yang

berkembang di dalam masyarakat mengenai banjir. Informan mengatakan bahwa

Bapak A mampu untuk mengusir banjir dengan cara mengambil air banjir tersebut

dengan wajan, kemudian di rebus dan diberikan do’a-do’a. Kemudian air yang

direbus tersebut dibuang kembali ke arah sungai. Kepercayaan ini telah lama

diyakini oleh masyarakat setempat dan menurut pengakuan Ibu T, air yang

diberikan do’a-do’a tersebut mujarab dan langsung menyurutkan banjir yang

47

melanda daerah tersebut. Hal ini juga dilakukan pada saat banjir yang terjadi

Februari 2010 lalu.

Selain kepercayaan mengenai banjir, masyarakat juga memiliki

kepercayaan mengenai lingkungannya, yaitu pohon-pohon yang berada disekitar

mereka. Masyarakat yang menganggap bahwa pohon-pohon yang berada di

sekitar mereka memiliki penunggu berupa arwah atau roh adalah sebanyak 40

persen. Masyarakat yang menganggap pohon-pohon tersebut memiliki penunggu

menyatakan bahwa mereka tidak akan menebang pohon tersebut. Kepercayaan-

kepercayaan inilah yang membuat lingkungan mereka menjadi lebih lestari karena

adanya rasa takut untuk melakukan penebangan pohon secara sembarangan. Oleh

karena itu jumlah pohon tidak berkurang, sehingga air yang dapat diserap lebih

banyak.

5.5 Pengetahuan dan Sikap

Masyarakat Kelurahan Katulampa memiliki pengetahuan mengenai

lingkungan yang mempengaruhi gaya hidup mereka. Pengetahuan ini bisa disebut

sebagai pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan. Selain itu masyarakat

juga memiliki pengetahuan mengenai banjir. Selain pengetahuan, masyarakat juga

memiliki sikap tersendiri terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang melestarikan

maupun yang tidak melestarikan.

Pengetahuan yang dimiliki oleh responden mengenai lingkungan, dalam

hal ini khususnya banjir dapat dilihat dari beberapa pertanyaan yang diajukan

kepada responden. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan berhubungan dengan

pengetahuan responden mengenai bencana banjir, yaitu pengetahuan mengenai

rawan bencana, penyebab banjir, akibat banjir, cara mengurangi resiko banjir dan

48

pihak-pihak yang ikut serta dalam penanggulangan banjir. Dalam pertanyaan-

pertanyaan ini responden dituntut untuk menggali pengetahuannya mengenai

lingkungan yang mengakibatkan terjadinya bencana, yaitu banjir.

Pengetahuan responden menganai rawan bencana dijabarkan dalam Tabel

5 berikut. Responden yang memilih jawaban “rawan bencana merupakan keadaan

dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang

berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya” adalah sebanyak

63,33 persen. Sebanyak 26,67 persen responden menjawab “rawan bencana

merupakan keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana”.

Sedangkan responden yang menjawab “rawan bencana merupakan keadaan

dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana” adalah sebanyak 6,67

persen dan sisanya 3,33 persen responden tidak menjawab pertanyaan tersebut.

Tabel 4. Pengetahuan Mengenai Rawan Bencana oleh Responden Korban Banjir,

Katulampa Tahun 2010

Pengertian Rawan Bencana Jumlah %

Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami

bencana 2 6,67

Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami

bencana 8 26,67

Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami

bencana dan orang-orang yang berada di daerah tersebut

tidak mampu untuk mengatasinya

19 63,33

Tidak Menjawab 1 3,33

Jumlah 30 100

Lebih dari 60 persen responden mengetahui bahwa daerah rawan bencana

tidak hanya daerah yang rentan mengalami bencana akan tetapi juga orang-orang

yang berada di daerah tersebut tidak mampu untuk mengatasinya atau orang-orang

yang berada di daerah tersebut kurang siap untuk menghadapi bencana.

49

Sedangkan yang menjawab daerah rawan bencana hanya diakibatkan oleh daerah

yang rentan untuk mengalami bencana menempati urutan kedua. Responden yang

menjawab tersebut hanya melihat dari sisi alamnya, tidak memandang kesiapan

dari diri mereka sendiri untuk mengatasi bencana.

Jawaban responden bahwa rawan bencana merupakan keadaan dimana

suatu daerah tidak dapat mengalami bencana menempati posisi terakhir.

Berdasarkan jawaban responden tersebut dapat dilihat bahwa responden tidak

terlalu memahami mengenai daerah rawan bencana. Daerah rawan bencana bisa

ada dimana saja sehingga mampu tidak mampu daerah tersebut tetap dianggap

sebagai daerah yang rawan bencana. Responden yang tidak menjawab pertanyaan

tidak dapat digali pengetahuannya karena tidak menjawab pertanyaan belum tentu

tidak mengetahui jawaban.

Setelah responden digali pengetahuannya mengenai daerah rawan bencana,

pengetahuan responden juga digali mengenai penyebab terjadinya banjir. Dari

pertanyaan tersebut dipaparkan lima jawaban dimana responden diperbolehkan

untuk memilih lebih dari satu jawaban.

Tabel 5. Pengetahuan Responden Mengenai Penyebab Banjir, Katulampa Tahun

2010 (N=30)

Penyebab Banjir Jumlah %

Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah

melebihi daya tampung sungai.

28 93,33

Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air

sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan di pinggiran

sungai.

18 60,00

Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya penyerap air seperti

pohon-pohon.

19 63,33

Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah

di aliran sungai.

14 46,67

Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan

oleh sampah padat.

12 40,00

50

Berdasarkan Tabel 6, terlihat bahwa sebanyak 93,33 persen responden

memilih hujan lebat sebagai penyebab utama terjadinya banjir. Hilangnya pohon-

pohon sebagai penyerap air menjadi penyebab kedua setelah hujan lebat. Jumlah

responden yang memilih hilangnya pohon-pohon adalah sebanyak 63,33 persen.

Tidak berbeda jauh, sebanyak 60 persen responden juga memilih bertambahnya

jumlah bangunan di pinggir sungai yang mengurangi daerah resapan air.

Sedangkan sampah yang menumpuk di aliran sungai dan sampah padat di saluran

air tidak banyak dipilih oleh responden. Hanya 46,67 persen dan 40 persen

responden yang memilih sampah sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir.

Pengetahuan responden mengenai penyebab terjadinya banjir didapatkan

berdasarkan pengalaman yang dilihat selama ini. Kebanyakan responden melihat

bahwa banjir selama ini datang diakibatkan oleh adanya hujan lebat atau hujan

besar di daerah hulu dan terbawa hingga ke daerah tengah dan hilir. Responden

kurang melihat penyebab tidak langsung terjadinya banjir, yaitu berkurangnya

pohon-pohon sebagai penyerap air, berkurangnya daerah resapan air, serta sampah

yang menumpuk di aliran sungai. Seorang responden yang bernama Ibu A (46

tahun) menyatakan,

“... sampah mah ga ngaruh sama banjir, soalnya sampah yang dibuang

palingan dikit, satu kantong plastik aja. Itu kan ngga menghambat aliran

sungai... ”

Responden lebih memandang banjir diakibatkan oleh alam dan sedikit

campur tangan dari manusia. Padahal banjir tidak hanya diakibatkan oleh alam,

akan tetapi juga tindakan manusia yang merusak alam tanpa memperhatikan

kelestariannya sehingga alam menjadi tidak seimbang dan berdampak pada

bencana-bencana yang terjadi akhir-akhir ini.

51

Pengetahuan responden mengenai banjir tidak hanya sebatas penyebabnya,

akan tetapi juga akibat dari banjir. Pertanyaan yang diajukan kepada responden

untuk menggali pengetahuan responden mengenai akibat banjir adalah “banjir

dapat mengakibatkan” dan responden diberikan alternatif jawaban yang

diperbolehkan untuk memilih lebih dari satu jawaban.

Tabel 6. Pengetahuan Responden Mengenai Akibat Banjir, Katulampa Tahun

2010 (N=30)

Akibat Banjir Jumlah %

Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada

di sekitar sungai.

20 66,67

Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang dan harta. 23 76,67

Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan,

tanggul, bendungan, jalan dan rumah.

20 66,67

Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum

seperti air dan listrik.

13 43,33

Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian,

perikanan dan peternakan

14 46,67

Responden lebih banyak memilih akibat dari banjir adalah hanyutnya

berbagai barang dan harta, yaitu sebanyak 76,67 persen. Menurut responden

banjir juga mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai dan

rusaknya sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan dan rumah, yang

masing-masingnya 66,67 persen dari jumlah responden yang memilih jawaban ini.

Selain itu menurut 46,67 persen responden banjir juga mengakibatkan

tergenangnya lahan pertanian dan terakhir banjir dapat mengakibatkan

terganggunya layanan umum seperti air dan listrik sebanyak 43,33 persen.

Hanyutnya berbagai barang dan harta sebagai akibat dari banjir lebih

banyak dipilih oleh responden karena pengalaman responden pada saat banjir

yang terjadi bulan Februari tahun 2010 lalu. Kerugian yang dialami oleh reponden

rata-rata adalah hanyut dan rusaknya barang-barang berharga seperti barang-

52

barang elektronik dan peralatan rumah tangga. Rusaknya rumah juga menjadi

kerugian yang seluruh responden alami pada saat banjir terjadi. Kebanyakan

responden tidak bekerja dalam bidang pertanian, perikanan maupun peternakan

sehingga responden tidak banyak yang memilih rusaknya lahan pertanian,

perikanan dan peternakan sebagai akibat dari terjadinya banjir. Sedangkan

rusaknya layanan umum seperti air dan listrik tidak terlalu dirasakan pada saat itu.

Menurut salah seorang informan yaitu Bapak E (59 tahun) layanan listrik dan air

tidak terputus sesuai dengan pernyataannya,

“waktu banjir kemaren listriknya ga mati, yang ada malah listriknya kita yang

matiin. Takutnya ada konslet, tapi pas airnya udah surut listriknya dinyalain

lagi”.

Selanjutnya masyarakat diminta untuk menjawab pertanyaan yang

berhubungan dengan resiko banjir. Sama halnya dengan pertanyaan sebelumnya,

responden diperbolehkan untuk menjawab pertanyaan lebih dari satu jawaban.

Berikut persentase responden yang menjawab pada setiap pilihan jawaban.

Tabel 7. Pengetahuan Responden Mengenai Cara Mengurangi Resiko Banjir,

Katulampa Tahun 2010 (N=30)

Cara Mengurangi Resiko Banjir Jumlah %

Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari

sungai.

14 46,67

Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari

sungai.

7 23,33

Menanam pohon di sekitar sungai. 15 50,00

Membuang sampah pada tempatnya. 22 73,33

Membersihkan saluran air/ drainase secara rutin. 15 50,00

Berdasarkan data yang dihimpun, pengetahuan responden mengenai cara

untuk mengurangi resiko banjir yang paling banyak dipilih adalah dengan

membuang sampah pada tempatnya dimana 73,33 persen responden memilih

53

jawaban ini. Selain itu, responden juga memilih cara untuk mengurangi resiko

banjir dengan cara menanami pohon di sekitar sungai dan membersihkan saluran

air/ drainase secara rutin, yang dipilih masing-masingnya oleh 50 persen

reponden. Sebanyak 46,67 persen reponden memilih dengan cara mendirikan

bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dapat menurangi resiko banjir dan

sebanyak 23,33 persen responden memilih dengan mendirikan jalan dengan jarak

lebih dari 50 meter dari sungai.

Data pengetahuan responden mengenai cara mengurangi resiko banjir

melalui membuang sampah pada tempatnya seperti yang dijelaskan pada Tabel 7

tidak sesuai dengan pengetahuan responden mengenai penyebab banjir yang

dijelaskan pada Tabel 5 mengenai penumpukan sampah di aliran sungai. Hal ini

disebabkan oleh pertanyaan ini diberikan hanya untuk menggali pengetahuan

responden mengenai penyebab dan pengurangan resiko banjir. Responden juga

sudah sering terdedah dengan kata-kata “buanglah sampah pada tempatnya”. Hal

ini juga dibuktikan dengan tindakan mereka saat membuang sampah. Berdasarkan

data yang dihimpun, responden yang membuang sampah ke sungai sebanyak

63,33 persen, membuang sampah di tempat pembuangan sampah 20 persen dan

16,67 persen sisanya membuang sampah di lapangan atau kebun kosong. Terlihat

bahwa antara pengetahuan, sikap dan tindakan responden tidak berjalan beriringan

atau sejajar.

Tabel 8. Sebaran Responden Berdasarkan Tempat Pembuangan Sampah Rumah

Tangga, Katulampa Tahun 2010

Tempat pembuangan sampah rumah tangga Jumlah %

Tempat pembuangan sampah 6 20,00

Lapangan atau kebun kosong 5 16,67

Sungai 19 63,33

54

Sikap responden ini tidak sesuai dengan pengetahuan mereka mengenai

akibat dari membuang sampah di aliran sungai atau membuang sampah

sembarangan. Responden hanya memiliki pengetahuan namun tidak mampu atau

tidak melakukan sesuai dengan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini

diakibatkan oleh tidak adanya inisiatif pemerintah ataupun masyarakat untuk

menggunakan jasa pembuangan sampah atau membangun tempat pembuangan

sampah.

Terakhir, pengetahuan responden mengenai bencana dan lingkungan

diukur melalui pertanyaan mengenai partisipasi pihak-pihak yang seharusnya

terlibat dalam penanggulangan banjir. Pengetahuan responden yang digali adalah

pendapat responden mengenai siapa saja yang seharusnya ikut berperan serta

dalam penanggulangan banjir.

Tabel 9. Pengetahuan Responden Mengenai Partisipasi dalam Penanggulangan

Banjir, Katulampa Tahun 2010 (N=30)

Aktor dalam Penanggulangan Bencana Jumlah %

Pemerintah 21 70,00

Masyarakat 28 93,33

Lembaga Swadaya Masyarakat 12 40,00

Berdasarkan Tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa yang memiliki peran

paling besar dalam penanggulangan banjir adalah masyarakat. Masyarakat

dianggap yang memiliki peran lebih besar karena masyarakat yang merasakan

banjir tersebut, sedangkan pemerintah maupun LSM (Lembaga Swadaya

Masyarakat) perannya hanya sebatas memberikan bantuan saja. Terlihat

berdasarkan data yang dihimpun, hanya 70 persen dari responden yang

menganggap pemerintah juga memiliki peran dalam penanggulangan bencana

sedangkan LSM memiliki posisi terakhir setelah pemerintah, yaitu hanya 40

55

persen responden yang memilih LSM menjadi salah satu pihak yang berperan

serta dalam penanggulangan banjir.

Hal tersebut diakibatkan oleh pengalaman responden dalam

penanggulangan banjir yang terjadi pada Februari 2010 lalu. Pada saat terjadinya

banjir, responden dan masyarakat lainnya berusaha untuk melakukan tanggap

darurat bersama-sama dan dibantu oleh masyarakat lain yang tidak mengalami

banjir. Masyarakat mengevakuasi diri mereka sendiri ke daerah yang lebih tinggi

dan tidak tergenang oleh air pada saat banjir. Walaupun banjir tersebut terjadi

hanya dalam waktu kurang lebih 1 jam, masyarakat tetap merasakan kepanikan

karena banjir yang datang adalah banjir bandang tanpa peringatan.

Pemerintah pada saat itu hanya memberikan bantuan berupa uang dan

makanan, namun tidak menyediakan alat-alat untuk membersihkan daerah yang

telah digenangi air. Begitu pula dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, mereka

tidak memberikan bantuan terhadap korban banjir tersebut. Pada saat itu,

masyarakat juga mendapatkan bantuan dari Rumah Sakit PMI berupa obat-obatan.

Selain pengetahuan, sikap responden mengenai lingkungan juga dapat

digolongkan kedalam kearifan lokal, kearifan tersebut tidak hanya pengetahuan

tapi juga sikap dan tindakan. Sikap responden diukur melalui sikapnya terhadap

alam dan kelestariannya. Responden diberikan pernyataan-pernyataan yang dapat

diukur melalui tingkatan persetujuan responden terhadap pernyataan tersebut.

Responden diminta untuk memberikan respon melalui pilihan persetujuan

tersebut. Pernyataan dan jawaban yang diberikan responden dapat dilihat pada

Tabel 10 berikut.

56

Tabel 10. Sebaran Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Alam, Katulampa

Tahun 2010

Pernyataan Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju

Kurang

Setuju

Setuju Sangat

Setuju

Jika tanaman/ pohon tidak

memberikan manfaat

kepada saya, maka saya

boleh memperlakukannya

sesuka hati saya.

26,67

%

56,67

% 3,33 %

13,33

% 0 %

Jika saya membutuhkan

lahan untuk membuat

rumah/ bertani, saya akan

menebang pohon untuk

membuka lahan tanpa

memperhatikan

kelestariannya.

40,00

%

43,33

% 10,00 % 6,67 % 0 %

Kehidupan saya

bergantung pada keadaan

alam (mis: cuaca)

16,67

% 43,33% 23,33 %

13,33

% 3,33 %

Selama saya masih bisa

mengambil manfaat dari

alam saya akan

menggunakan sesuka hati

saya

26,67

%

43,33

% 20,00 %

10,00

% 0 %

Tabel 10 menunjukkan sikap responden terhadap alam sekitarnya, sikap

responden dalam hal kelestarian alamnya. Dari data diatas, dapat dianalisis bahwa

masyarakat memiliki sikap yang cukup baik terhadap alam. Pada pernyataan yang

meminta masyarakat untuk menyikapi alam yang tidak memberikan manfaat,

83,33 persen responden menyatakan ketidaksetujuannya untuk memanfaatkan

alam dengan sesuka hati, baik sangat tidak setuju maupun tidak setuju saja. Begitu

pula dengan pernyataan yang mengaitkan antara kebutuhan pokok, yaitu rumah

dengan kelestarian alam. Responden memilih tidak setuju dan sangat tidak setuju

untuk pernyataan ini, yaitu sebanyak 83,33 persen. Sedangkan keinginan

57

responden untuk memanfaatkan alam sebanyak-banyaknya selama masih bisa

dimanfaatkan juga sangat kurang, yang terlihat melalui ketidaksetujuan responden

sebanyak 70 persen untuk tidak memanfaatkan alam sesuka hati.

Sebagian besar responden, sekitar 60 persen responden merasa

kehidupannya tidak bergantung pada keadaan alam, seperti cuaca. Responden

lebih banyak bekerja pada bidang wiraswasta dan buruh, sehingga cuaca tidak

terlalu menjadi halangan untuk melakukan kegiatan karena rata-rata setiap harinya

Bogor diguyur hujan pada saat sore hari. Aktivitas yang dilakukan menjadi tidak

terlalu terganggu karena jam kerja sudah berakhir.

BAB VI

KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI BENCANA

6.1 Kesiapsiagaan

Indonesia merupakan negara yang sangat sering mengalami bencana,

seperti gempa, tsunami, banjir, dan gunung meletus. Dalam beberapa tahun

terakhir telah banyak daerah yang menjadi korban bencana, salah satunya adalah

Katulampa. Daerah Katulampa dialiri oleh salah satu sungai besar yang berada di

daerah Jawa Barat hingga ke Jakarta, yaitu Sungai Ciliwung. Sungai Ciliwung

telah mempunyai catatan sejarah yang buruk bagi masyarakat Jakarta karena

setiap tahunnya selalu mengakibatkan terjadinya banjir. Tidak hanya Jakarta dan

sekitarnya, Bogor juga pernah mengalami banjir akibat meluapnya debit air

Sungai Ciliwung. Salah satu daerah yang mengalami banjir bandang akibat

naiknya jumlah debit air Ciliwung adalah Katulampa. Air yang meluap merendam

rumah warga dengan ketinggian lebih dari 1 meter.

Dilihat dari sejarah banjir yang terjadi di sepanjang Ciliwung, Katulampa

dapat digolongkan menjadi daerah rawan bencana banjir. Dalam 10 tahun

terakhir, Katulampa telah dilanda banjir sebanyak dua kali. Oleh karena itu

masyarakat yang berada di Katulampa, khususnya yang berada di sepanjang aliran

Sungai Ciliwung harus memiliki tingkat kesiapsiagaan yang tinggi. Tidak hanya

dari pemerintah, akan tetapi juga dari masyarakatnya sendiri.

Kesiapsiagaan masyarakat ditelaah melalui pertanyaan-pertanyaan yang

berhubungan dengan kegiatan-kegiatan preventif yang seharusnya dilakukan oleh

masyarakat sebelum terjadinya banjir, seperti keikutsertaan dalam asuransi,

perlindungan terhadap barang-barang berharga, persiapan terhadap daerah

59

evakuasi, persedian kebutuhan hidup sebelum terjadinya banjir, kepemilikan

barang-barang pokok untuk perlindungan keluarga saat terjadi bencana dan

sharing pengetahuan mengenai kebencanaan kepada orang-orang terdekat seperti

keluarga.

Kesiapsiagaan itu sendiri merupakan usaha yang dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan suatu masyarakat untuk menghadapi kemungkinan

terjadinya bencana, misalnya melalui peningkatan kemampuan diri dan keluarga.

Kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan mempersiapkan keluarga dengan

mengikuti asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa, mempersiapkan barang-

barang yang mungkin dibutuhkan pada saat terjadinya bencana seperti makanan

dan tenda, memberikan perlindungan menyuluruh pada barang-barang yang

dianggap berharga dan memperkuat pengetahuan mengenai kebencanaan.

Untuk mengukur tingkat kesiapsiagaan masyarakat dalam mengahadapi

kemungkinan terjadinya bencana, diberikan pernyataan-pernyataan yang

berhubungan dengan sikap yang akan diambil masyarakat apabila responden

diposisikan dalam kondisi akan terjadi bencana. Dari pernyataan tersebut

responden diminta untuk memberikan tanggapan persetujuan. Pernyataan yang

diberikan kepada responden dapat dilihat pada Tabel 12.

60

Tabel 11. Sebaran Responden Berdasarkan Kesiapsiagaan dan Respon Responden

terhadap Banjir Katulampa (2010)

Pernyataan Sangat

Tidak

Setuju

Tidak

Setuju

Kurang

Setuju

Setuju Sangat

Setuju

Apabila terjadi banjir, saya dan

keluarga akan memindahkan

barang-barang berharga ke

tempat yang aman.

0 % 3,33 % 0 % 50,00

%

46,67

%

Apabila terjadi banjir, saya dan

keluarga akan pindah ke

daerah evakuasi.

0 % 0 % 0 % 63,33

%

36,67

%

Saya akan membeli persediaan

makanan apabila debit air

sungai sudah pada status siaga

4.

10,00

%

26,67

% 33,33 %

26,67

% 3,33 %

Saya akan memindahkan

barang-barang berharga saya

apabila debit air sungai sudah

pada status siaga 4.

3,33 % 3,33 % 0 % 66,67

%

26,67

%

Saya memberikan pendidikan

mengenai kebencanaan kepada

anggota keluarga saya.

6,67 % 3,33 % 0 % 73,33

%

16,67

%

Data sikap di atas menunjukkan bahwa persiapan responden dalam

menghadapi bencana khususnya untuk pengamanan barang-barang berharga

cukup baik. Hanya 3,33 persen responden yang menyatakan ketidaksetujuannya

terhadap pengamanan barang-barang berharga dalam menghadapi bencana.

Sedangkan sisanya menyatakan kesetujuannya terhadap pengamanan barang-

barang yang dianggap berharga oleh responden, dengan tingkat kesetujuan yaitu

setuju sebesar 50 persen dan sangat setuju sebesar 46,67 persen. Berdasarkan

pengakuan beberapa orang responden barang-barang berharga yang mereka

amankan biasanya adalah surat-surat penting. Barang-barang berharga lainnya

seperti televisi, kulkas, dan lainnya menjadi pilihan terakhir untuk diamankan

karena ukurannya yang besar dan sulit untuk memindahkannya. Menurut sebagian

61

besar responden, hal pertama yang harus diselamatkan adalah nyawa keluarga.

Barang-barang berharga lainnya akan diselamatkan apabila seluruh anggota

keluarga sudah aman.

Data di atas juga menunjukkan bahwa seluruh responden akan berpindah

ke daerah evakuasi apabila terjadi banjir. Tingkat persetujaun responden berbeda,

namun menunjukkan sikap yang sama yaitu akan berpindah apabila terjadi banjir.

Responden yang setuju adalah sebanyak 63,33 persen sedangkan yang

menyatakan sangat setuju adalah sebanyak 36,67 persen. Responden menyatakan

bahwa selama ini tidak ada daerah evakuasi khusus yang disediakan oleh

pemerintah bagi masyraakat yang mengalami banjir. Akan tetapi mereka pindah

ke daerah yang lebih aman dan sedikit lebih dekat dengan lokasi banjir. Mereka

tidak mau untuk meninggalkan daerah terlalu jauh untuk memastikan bahwa

barang-barang yang tertinggal di dalam rumah lebih aman. Biasanya tempat yang

dijadikan sebagai tempat perlindungan adalah rumah tetangga yang lebih tinggi

dan tidak terkena banjir.

Dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir, hanya 30 persen dari

responden yang setuju untuk membeli persediaan makanan untuk berjaga-jaga

jika pasokan makanan habis atau terbawa hanyut. Dari jumlah responden yang

setuju, hanya 3,33 persen yang menyatakan sangat setuju sedangkan sisanya

menyatakan setuju. Responden yang menyatakan kurang setuju adalah sebanyak

33,33 persen, tidak setuju sebanyak 26,67 persen dan sangat tidak setuju sebanyak

10 persen. Kecenderungan responden memilih kurang setuju maupun tidak setuju

adalah karena anggapan responden mengenai pasokan makanan itu sendiri.

Mereka menyatakan bahwa menyiapkan pasokan makanan tidak terlalu penting

62

karena di sekitar daerah rawan banyak terdapat warung yang dapat menyediakan

bahan kebutuhan pokok. Selain itu berdasarkan pengalaman responden dari banjir

tahun lalu, pemerintah biasanya memberikan pasokan bahan makanan selama satu

minggu kepada korban banjir. Oleh karena itu mereka tidak terlalu membutuhkan

persediaan makanan yang berlebih.

Ketika debit air sudah mulai meningkat, 93,33 persen responden

menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka

ke tempat yang lebih aman. Dari jumlah tersebut, sebanyak 66,67 persen

menyatakan setuju dan 26,67 persen menyatakan sangat setuju. Sikap responden

ini memang sudah terlihat juga pada pernyataan mengenai memindahkan barang

pada saat terjadi banjir. Akan tetapi, pada bagian ini responden ditanyakan

sikapnya apabila sudah ada tanda-tanda akan terjadinya banjir yaitu status

ketinggian sungai sudah mencapai Siaga 4. Hampir seluruh responden

menyatakan bahwa mereka akan memindahkan barang-barang berharga mereka

ke tempat yang lebih aman. Salah seorang responden menyatakan bahwa ia

memiliki kotak penyimpanan khusus untuk menyimpan surat-surat berharga.

Untuk daerah RT 5 RW I yang letaknya jauh dari bendungan, mereka

menggunakan ukuran ketinggian air yang merendam batu besar dipinggir sungai.

Selain persiapan secara materi, responden juga membutuhkan

kesiapsiagaan pengetahuan mengenai kebencanaan. Sebagian besar responden,

yaitu 90 persen dari jumlah total responden memberikan pendidikan mengenai

kebencanaan kepada anggota keluarganya. Pendidikan kebencanaan yang mereka

berikan biasanya adalah mengenai tanda-tanda datangnya banjir dan akibat dari

63

banjir tersebut. Pengetahuan yang diberikan bisa juga berupa larangan-larangan

untuk mendekati sungai apabila debit air sudah naik.

Untuk dapat meningkatkan kemampuan menghadapi bencana, masyarakat

juga harus mempersiapkan alat-alat yang mungkin dibutuhkan pada saat

terjadinya bencana. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan tempat yang

mampu untuk menampung keseluruhan keluarga dan menyimpan barang-barang

berharga, seperti tenda. Di daerah penelitian tidak satu pun ditemukan responden

yang memiliki tenda untuk menampung keluarga apabila terjadi banjir. Hal ini

diakibatkan oleh akses responden yang mudah untuk mendapatkan tempat

perlindungan seperti rumah masyarakat lainnya yang tidak mengalami banjir.

Persiapan lain yang seharusnya dilakukan oleh masyarakat yang berada di

daerah rawan bencana adalah keikutsertaan dalam asuransi, baik asuransi

kesehatan maupun asuransi jiwa. Asuransi memberikan jaminan kepada

anggotanya untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Bencana juga memberikan

dampak pada kesehatan korban setelah terjadinya bencana. Untuk itu diperlukan

persiapan yang matang terhadap kesehatan untuk mengatasi dampak kesehatan

setelah terjadinya bencana. Di daerah penelitian RT 5 RW I dan RT 3 RW IX

hanya 6,67 persen responden yang memiliki asuransi. Sedangkan yang lainnya

tidak memiliki asuransi, baik asuransi kesehatan maupun asuransi jiwa.

Tabel 12. Sebaran Responden Berdasarkan Kepemilikan Asuransi

Kepemilikan Asuransi Jumlah %

Asuransi Kesehatan 2 6,67

Asuransi Jiwa 0 0

Tidak Mengikuti Asuransi 28 93.33

TOTAL 30 100

64

Kepemilikan asuransi oleh responden tidak dianggap terlalu penting

karena anggapan responden bahwa untuk mendapatkan asuransi harus memiliki

jaminan keuangan yang pasti tiap bulannya. Kebanyakan responden memiliki

status ekonomi yang tidak tinggi sehingga respondennya tidak mampu untuk

membayar asuransi dengan rata-rata responden berpenghasilan sekitar Rp.

300.000,00 sampai Rp. 1.200.000,00. Penghasilan tersebut hanya cukup untuk

memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga responden. Responden yang memiliki

asuransi adalah responden yang bekerja sebagai pegawai negeri yang memang

mendapatkan jaminan kesehatan dari pemerintah.

Kesiapsiagaan ini tidak datang hanya dari masyarakat yang berada di

daerah yang rawan bencana saja. Akan tetapi juga dari pemerintah setempat yang

memiliki kebijakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemerintah maupun

masyarakat untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Kesiapsiagaan

yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melalui pengaktifan pos-pos siaga

bencana, pelatihan siaga bencana, membeli dan membuat peralatan pendukung

dalam keadaan darurat, simulasi bencana, pembentukan tim penyelamatan dan tim

kesehatan, pembagian media publikasi mengenai ancaman bencana dan tindakan

pencegahannya, serta mempersiapkan alat peringatan datangnya bahaya.

Wawancara mengenai kesiapsiagaan pemerintah kelurahan dilakukan

dengan wawancara kepada salah satu anggota TAGANA (TARUNA SIAGA

BENCANA) tingkat Kecamatan Bogor Timur yang juga merupakan pegawai

Kelurahan Katulampa, yaitu Bapak K. Bapak K menyatakan bahwa pada saat

banjir sudah memiliki tanda-tanda akan datang, seluruh aparat yang ada di dalam

masyarakat mulai bersiapsiaga dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir.

65

Untuk pertama, pihak penjaga bendungan memberitahukan kondisi air di

bendungan Katulampa, jadi apabila debit air meningkat masyarakat dapat bersiap-

siap menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah kelurahan

menyampaikan informasi dari pihak bendungan kepada ketua RT dan ketua RW

yang berada di daerah rawan bencana agar bersiaga. Kemudian baru masyarakat

diberitahu oleh ketua RT atau ketua RW setempat.

Jika kemungkinan terjadinya banjir besar atau memang sudah terjadi

banjir, pihak kelurahan akan langsung mengaktifkan pos-pos siaga bencana banjir

untuk penanganan dalam tanggap darurat. Aparat pemerintah kemudian

menghubungi DISNAKERSOS (Dinas Tenaga Kerja dan Sosial) untuk

mendapatkan peralatan-peralatan yang dibutuhkan untuk tanggap darurat.

Pemerintah kelurahan sendiri tidak memiliki alat-alat tanggap darurat seperti

tenda dan obat-obatan. Birokrasi yang ada pada prosedur tanggap darurat ini

dinilai lamban karena kesiapan dinas yang bertanggung jawab belum tentu tinggi,

sehingga seharusnya pemerintah setempat memiliki alat-alat tanggap darurat tanpa

harus menunggu bantuan dari dinas lain. Sesuai dengan wawancara dengan Bapak

K (38 tahun) yang merupakan salah satu anggota TAGANA, beliau menyatakan:

“... jadi, kalau udah banjir baru pihak kelurahan menghubungi

DISNAKERSOS buat mendapatkan alat-alat bantuan untuk tanggap darurat

seperti bahan makanan, tenda dan obat-obatan...”

Pada masa tanggap darurat, pemerintah setempat membentuk tim

penyelamatan yang terdiri atas SATKORLAK (Satuan Koordinasi Pelaksana) dan

ketua-ketua RT yang gunanya adalah untuk membantu masyarakat dalam masa

tanggap darurat seperti evakuasi ketempat yang lebih aman dan menjamin

keselamatan anggota keluarga lainnya. Tim kesehatan tidak dibentuk oleh

66

pemerintah kelurahan karena biasanya apabila terjadi bencana, DISNAKERSOS

langsung bekerja sama dengan rumah sakit Palang Merah Indonesia (PMI) untuk

tanggap darurat dan pemeriksaan kesehatan setelah terjadinya bencana. Tim

kesehatan ini sebenarnya juga harus langsung ada pada saat tanggap darurat dan

tidak menunggu bantuan dari rumah sakit karena apabila terjadi keadaan bahaya

maka pertolongan pertama harus dilakukan.

Sebelum terjadinya banjir, alat peringatan akan terjadinya bencana harus

diaktifkan sehingga masyarakat mengetahui dan bersiap untuk menghadapi

bencana. Akan tetapi di Kelurahan Katulampa atau pun di bendungan Katulampa

tidak terdapat alat peringatan akan terjadinya banjir. Untuk memberitahukan

kepada masyarakat, pemerintah kelurahan dan penjaga bendungan hanya

melakukan koordinasi melalui telepon dan tidak ada sirine atau alat khusus yang

memberitahukan datangnya banjir. Begitu pula dengan media publikasi seperti

poster, leaflet ataupun brosur mengenai bencana dan penanggulangannya juga

tidak disebar oleh pemerintah setempat. Pemerintah hanya memberikan himbauan

kepada masyarakat untuk bersiapsiaga.

Pada kasus Kelurahan Katulampa, aparat pemerintah kelurahan tidak

melalukan pelatihan khusus yang membahas masalah bencana, akan tetapi melalui

penyuluhan mengenai bencana dan penanggulangannya. Dalam penyuluhan

masyarakat diberitahu mengenai cara-cara penanggulangan banjir dan akibat yang

diberikan oleh banjir. Pemerintah kelurahan atau pun pihak bendungan juga tidak

melakukan kegiatan simulasi banjir dengan masyarakat karena mereka sudah

memadatkannya dalam bentuk penyuluhan. Berdasarkan kegiatan-kegiatan yang

dilakukan, kesiapsiagaan pemerintah masih belum maksimal untuk menghadapi

67

kemungkinan terjadinya banjir. Pemerintah menganggap bahwa daerah rawan

bencana banjir tidak terlalu luas sehingga tidak membutuhkan persiapan yang

lebih.

6.2 Mitigasi

Selain kesiapsiagaan, kegiatan lainnya dalam penanggulangan bencana

yang harus dilaksanakan adalah mitigasi. Mitigasi merupakan kegiatan yang

dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya bencana, khususnya dalam hal ini

adalah kegiatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir.

Kegiatan mitigasi berhubungan dengan aktifitas pembangunan secara fisik

bangunan-bangunan yang dapat mengurangi resiko terjadinya banjir, tata ruang

daerah untuk menghindari terjadinya banjir, dan peningkatan kapasitas

masyarakat dalam mengahadapi kemungkinan terjadinya banjir.

Kegiatan mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan mendirikan

bangunan diluar daerah sempadan sungai, bangunan yang tahan banjir, pelestarian

lingkungan, pelatihan dan pendidikan mengenai bencana dan pembangunan

tanggul atau bendungan. Kegiatan-kegiatan ini diukur pada masyarakat

Katulampa melalui responden yang berasal dari dua daerah, yaitu RT 5 RW I dan

RT 3 RW IX. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah mengenai usaha

menjaga kelestarian alam, penempatan rumah, jenis rumah, latihan pencegahan

dan penanganan banjir, pendidikan umum mengenai bencana dan partisipasi

dalam pembangunan bendungan.

Usaha menjaga kelestarian alam dilihat dari kegiatan pengrusakan dan

pelestarian pohon-pohon yang berada dipinggiran sungai. Pertanyaan yang

diajukan kepada responden berupa pertanyaan tertutup yang dijawab dengan “Ya”

68

atau “Tidak” berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan dan lakukan.

Pertanyaannya adalah “apakah anda pernah menebang pohon yang berada di

sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum layak untuk ditebang

karena sifatnya mengganggu)?” dan “apakah anda pernah menanam pohon di

sekitar sungai?”. Dari pertanyaan tersebut didapatkan data kegiatan pelestarian

alam yang dilakukan oleh responden.

Tabel 13. Sebaran Responden Berdasarkan Usaha Pelestarian Pohon

Menebang Pohon Menanam Pohon

Jawaban Jumlah % Jawaban Jumlah %

Ya 1 3,33 Ya 9 30

Tidak 29 96,67 Tidak 21 70

Jumlah 30 100 Jumlah 30 100

Responden lebih banyak tidak pernah melakukan penebangan pohon yaitu

96,67 persen, sedangkan yang pernah melakukan penanaman pohon di sekitar

sungai hanya 30 persen responden. Hal ini disebabkan oleh lahan yang sempit dan

memang tidak adanya pohon besar yang dapat ditebang di sekitar sungai. Daerah

Katulampa merupakan daerah yang jarang terdapat pohon dan hutan-hutan kecil

disekitar sungai. Daerah ini adalah daerah pinggiran kota yang sudah lama

menjadi pemukiman penduduk karena aksesnya yang lebih dekat dengan pusat

kota. Disepanjang aliran Ciliwung, jumlah pohon-pohon sangat sedikit dan bukan

pohon yang besar dan mampu untuk menyerap air dengan baik.

Kegiatan mitigasi banjir bertujuan untuk mengurangi resiko terjadinya

banjir, salah satunya adalah melalui pembangunan pemukiman yang berada di

luar sempadan sungai, yaitu 50 meter dari pinggir sungai. Akan tetapi pada daerah

penelitian, seluruh responden berada di daerah yang seharusnya dikosongkan

untuk sempadan sungai. Tanah yang berada di pinggir sungai adalah tanah

69

warisan atau tanah adat masyarakat setempat yang dikonversi menjadi

pemukiman penduduk. Kebijakan mengenai hilangnya sempadan sungai ini

memang sudah dirumuskan, namun tidak dapat dilaksanakan karena hak

kepemilikan tanah ada pada masyarakat. Pemerintah setempat seperti Kelurahan

sudah memberikan peringatan kepada masyarakat, namun pemerintah tidak

mampu untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal dipinggir sungai

karena relokasi penduduk akan membutuhkan biaya yang banyak dan adanya

keengganan penduduk untuk pindah karena tidak perlu menyewa tempat lain yang

lebih mahal harganya.

Keadaan fisik bangunan juga menentukan apakah masyarakat sudah

melakukan mitigasi dengan baik. Fisik bangunan dapat dilihat melalui jenis

bangunan permanen, semi permanen atau tidak permanen dan kondisi fisik

bangunan yang dapat mengurangi resiko banjir yaitu rumah bertingkat atau tidak.

Keadaan fisik bangunan sangat menentukan kemampuan untuk mengurangi resiko

terjadinya banjir dan dampaknya. Keadaan fisik bangunan yang permanen lebih

kuat dibandingkan dengan bangunan semi permanen maupun tidak permanen. Jika

terjadi banjir ketahanan rumah permanen lebih tinggi dan kemungkinan untuk

terbawa hanyut lebih rendah.

Begitu pula dengan kondisi fisik bangunan yang mampu untuk

mengurangi resiko banjir dan dampak banjir yaitu bangunan bertingkat. Rumah

bertingkat lebih aman dibandingkan dengan rumah yang tidak bertingkat karena

barang-barang berharga dapat dipindahkan dengan cepat ke lantai atas yang lebih

tinggi atau bahkan seluruh barang berharga dapat disimpan di lantai atas sehingga

barang-barang yang dianggap berharga dapat terjaga dengan baik.

70

Di daerah penelitian, responden yang memiliki rumah permanen adalah

sebanyak 73,33 persen, semi permanen 16,67 persen dan tidak permanen

sebanyak 10 persen. Sedangkan kondisi bangunannya adalah 90 persen tidak

bertingkat dan 10 persen bertingkat. Rata-rata rumah responden adalah rumah

permanen yang tidak bertingkat dan berada di pinggir sungai. Keadaan ini

memungkinkan terjadinya kerugian yang sangat besar apabila terjadi banjir karena

banyak barang-barang berharga yang akan terendam atau hanyut terbawa arus air.

Gambar 7. Sebaran Responden Berdasarkan Kondisi Bangunan Rumah,

Katulampa Tahun 2010

22 5 30

5

10

15

20

25

Permanen Semi Permanen Tidak Permanen

Jum

lah

Kondisi Bangunan

Kondisi Bangunan

71

Gambar 8. Sebaran Responden Berdasarkan Bentuk Bangunan Rumah,

Katulampa Tahun 2010

Peningkatan kapasitas masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan

mengenai banjir dan penanggulangannya juga dibutuhkan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat dalam menghadapi banjir melalui usaha pengurangan

resiko banjir. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah latihan dalam upaya

penanggulangan bencana dan pendidikan umum mengenai banjir. Responden

yang sudah pernah mengikuti latihan upaya penanggulangan banjir sebanyak

23,33 persen sedangkan yang sudah pernah mengikuti pendidikan mengenai

bencana banjir hanyalah 16,67 persen.

Tabel 14. Sebaran Responden Berdasarkan Keikutsertaan Latihan dan Pendidikan

Banjir, Katulampa Tahun 2010

Latihan Penanggulangan Banjir Pendidikan tentang Banjir

Keikutsertaan Jumlah % Keikutsertaan Jumlah %

Pernah 7 23,33 Pernah 5 16,67

Tidak Pernah 23 76,67 Tidak Pernah 25 83,33

Total 30 100 Total 30 100

Selama ini pemerintah telah memberikan penyuluhan mengenai tindakan

yang diperlukan apabila terjadi banjir. Penyuluh datang ke rumah-rumah

3

27

Bertingkat

Tidak Bertingkat

72

masyarakat untuk memberikan penyuluhan. Forum khusus yang diadakan untuk

pendidikan dan pelatihan mengenai banjir sendiri belum pernah diadakan secara

khusus. Responden yang sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan mengenai

banjir adalah responden yang mengikuti penyuluhan yang diadakan oleh

pemerintah.

Mitigasi juga dapat dilakukan melalui pembangunan tanggul, dam atau

pun bendungan untuk mengendalikan laju air apabila debit air naik. Pengendalian

debit air ini akan membantu masyarakat untuk menyiapkan keadaan sebelum

terjadinya banjir atau bahkan dapat mengendalikan banjir. Akan tetapi apabila

jumlah air yang dialirkan dikendalikan, biasanya daerah yang berada di hulu

bendungan akan menjadi lebih rentan karena jumlah air akan menjadi lebih tinggi

karena tidak dialirkan. Di Katulampa terdapat sebuah bendungan, yaitu Bendung

Katulampa yang sudah dibangun sejak zaman penjajahan Belanda. Bendungan ini

dibagi menjadi dua aliran yaitu aliran Ciliwung dan aliran sungai kecil untuk

irigasi.

Responden yang ikut serta dalam pembangunan atau perbaikan bendungan

tidaklah banyak. Hanya 40 persen yang dapat berperan serta dalam proses

perbaikan bendungan. Hal ini dikarenakan oleh jarak RT 5 RW I dari bendungan

lumayan jauh, sehingga menyulitkan masyarakat untuk dapat ikut serta dalam

kegiatan-kegiatan penjagaan dan perbaikan bendungan. Selain itu sudah ada

pekerja khusus yang bertugas untuk menjaga bendungan dan memperbaikinya.

Kegiatan mitigasi ini juga harus didukung oleh pemerintah kelurahan

setempat agar resiko terjadinya banjir dapat dikurangi. Kegiatan yang dapat

dilakukan oleh pemerintah adalah dengan membentuk prosedur tanggap darurat

73

dalam penanggulangan banjir. Undang-undang ini dibentuk di tingkat kecamatan,

yaitu oleh SATKORLAK tingkat kecamatan. Prosedur tanggap darurat ini berisi

mengenai prosedur tanggap bencana dan penanggulangan bencana di tingkat

kecamatan dan kelurahan. Di Kelurahan Katulampa telah terdapat peta rawan

bencana kemungkinan akan terjadi, peta rawan bencana tersebut ditempel di

kantor kelurahan agar warga yang berada di daerah tersebut dapat melihat peta

rawan bencana tersebut sehingga masyarakat dapat mengetahui titik-titik rawan

bencana yang terdapat di Katulampa.

Pedoman tanggap darurat bencana juga sangat dibutuhkan untuk mitigasi

bencana. Di Katulampa pedoman tanggap darurat dilakukan di tingkat kecamatan

bersama undang-undang mengenai bencana. Sedangkan pengkajian bersama

masyarakat mengenai karakteristik bencana belum dilakukan karena pemerintah

menganggap bahwa masyarakat sudah tahu karakteristik bencana melalui

penyuluhan.

Pemerintah gencar dalam melakukan publikasi penanggulangan bencana

banjir melalui penyuluhan, akan tetapi apabila tidak diiringi dengan kebijakan

mengenai pembangunan yang mengupayakan penanggulangan bencana khususnya

mitigasi tentunya proses mitigasi tidak akan berjalan dengan baik. Pemerintah

setempat telah memberikan kebijakan kepada masyarakat mengenai pembangunan

yang mengutamakan upaya penanggulangan banjir dengan memberikan izin

bangunan yang letaknya diluar sempadan sungai. Akan tetapi dalam

pelaksanaannya tidaklah mudah karena rata-rata masyarakat mendirikan rumah

diatas tanah warisan atau tanah adat, sehingga pemerintah memiliki kekuasaan

yang kecil dalam memberikan kebijakan tata ruang untuk mengurangi terjadinya

74

banjir. Masyarakat sendiri sudah mengetahui mengenai kebijakan ini namun

mereka tetap mengabaikan kebijakan ini karena mereka merasa tanah tersebut

adalah hak milik mereka.

Selain pendidikan terhadap masyarakat, anak-anak sejak dini juga harus

diberikan pendidikan mengenai bencana. Pendidikan yang diberikan pada

kurikulum Pendidikan Lingkungan Hidup di sekolah-sekolah yang berada di

daerah Katulampa tidak berfokus pada pendidikan mengenai banjir, akan tetapi

pendidikan mengenai lingkungan hidup dan cara menjaga lingkungan hidup.

Anak-anak juga diajarkan bagaimana menjaga kebersihan lingkungan seperti

sampah, mengajarkan anak-anak untuk praktek membuat sumur resapan dan

biopori. Namun karena pendidikan yang ditanamkan kurang mengena dan anak-

anak masih terpengaruh kuat dari lingkungan, mereka masih belum dapat menjaga

kelestarian lingkungan dengan baik. Mereka masih mengabaikan praktek-praktek

yang diadakan di sekolah.

Pemerintah yang berada di daerah rawan bencana juga harus membentuk

forum-forum yang membahas mengenai bencana. Begitu pula dengan Kelurahan

Katulampa juga membentuk forum khusus yang membahas mengenai

kebencanaan. Namun forum ini tidak dibentuk untuk masyarakat, akan tetapi

hanya untuk aparat pemerintah saja bersama ketua RT dan RW. Keterlibatan

masyarakat dirasakan kurang dan juga pelaksanaan forum ini tidak rutin karena

forum ini diadakan apabila sudah terjadi keadaan darurat atau setelah terjadinya

banjir.

Selain pembentukan forum dan himbauan serta penyuluhan kepada

masyarakat, pemerintah kelurahan setempat juga membuat papan-papan tanda

75

bahaya dan peringatan mengenai banjir. Akan tetapi sikap masyarakat yang masih

kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan sekitar, dari 20 tanda

peringatan yang dipasang sekarang hanya tinggal 2 tanda peringatan yang masih

terpasang. Pemerintah seharusnya juga melakukan perencanaan daerah

penampungan sementara dan apabila terjadi banjir pemerintah juga harus

melakukan pemindahan ke daerah evakuasi atau tempat penampungan sementara

yang aman. Pemerintah Katulampa mempunyai daerah penampungan sementara

yang aman untuk warga yang terkena banjir yaitu rumah-rumah penduduk yang

tidak mengalami banjir. Mereka tidak memiliki penampungan khusus untuk

masyarakat yang mengalami banjir.

Dalam upaya mitigasi ini pemerintah tidak melakukan pengkajian resiko

bencana bersama masyarakat karena pemerintah sudah memberikan penyuluhan

kepada masyarakat. Akan tetapi aparat pemerintah diberikan pelatihan untuk

penanggulangan bencana agar pada saat keadaan tanggap darurat dapat dilakukan

dengan baik usaha pencegahan akibat yang lebih besar. Kegiatan mitigasi oleh

pemerintah ini sudah lumayan baik karena sudah banyak kegiatan yang dilakukan

untuk mengurangi risiko terjadinya bencana. Akan tetapi tanggapan atas usaha

pemerintah dari masyarakat dirasa masih kurang baik karena sikap masyarakat

yang kurang peduli terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar.

BAB VII

KESIAPAN MASYARAKAT DI DAERAH RAWAN BENCANA

Kesiapsiagaan merupakan usaha yang dilakukan oleh sekelompok

masyarakat bersama pemerintah untuk meningkatkan daya atau kemampuan

masyarakat tersebut untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

Kesiapsiagaan ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat agar kesiapan masyarakat

yang berada di daerah rawan bencana lebih matang dalam menghadapi

kemungkinan terburuk yaitu datangnya bencana.

Unsur lain yang harus diperhatikan dalam penanggulangan bencana adalah

mitigasi. Mitigasi merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kesiapan

masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana melalui tindakan

yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko terjadinya banjir seperti

melakukan pembangunan dengan perspektif penanggulangan bencana dan tata

ruang berbasis penanggulangan bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi ini diduga

memiliki hubungan dengan karakteristik sosial budaya masyarakat berupa

kelembagaan, stratifikasi sosial, derajat kohesivitas masyarakat dan kearifan lokal

masyarakat.

Masyarakat Katulampa memiliki karakteristik sosial budaya tersendiri

yang membedakannya dengan masyarakat lain. Kekhasan karakteristik sosial dan

budaya ini kemungkinan memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi

dalam menghadapi banjir. Daerah Katulampa, terutama di RT 5 RW I dan RT 3

RW IX sangat rentan untuk mengalami banjir karena posisinya persis berada di

sepanjang aliran Sungai Ciliwung. Untuk itu diperlukan kesiapsiagaan yang

matang dari masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi kerawanan ini.

77

Aspek pertama dari karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah

kelembagaan. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat Katulampa

bisa diandalkan untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi banjir.

Lembaga yang sudah ada di dalam tubuh masyarakat, yaitu RT (Rukun Tetangga)

dan RW (Rukun Warga) sangat dibutuhkan dalam kesiapsiagaan masyarakat

untuk menghadapi banjir. Ketika debit air naik, penjaga bendungan Katulampa

akan menginformasikan kepada pemerintah kelurahan setempat untuk

bersiapsiaga. Kemudian aparat pemerintahan menginformasikan kepada ketua RT

maupun ketua RW mengenai hal ini yang kemudian diinformasikan kepada

seluruh masyarakat agar dapat bersiaga akan datangnya banjir. Kelembagaan ini

sangat membantu masyarakat untuk mengetahui tanda-tanda datangnya banjir.

Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang informan, yaitu Bapak An (45 tahun),

“... tiap debit air di bendungan naik, maka saya bakal ngasih tau ke pihak

kelurahan. Kadang-kadang juga kelurahan yang suka nanya ke sini keadaan air di

bendungan Katulampa. Trus dari kelurahan, RW bakal dikasih info mengenai

kenaikan air, trus dikasih tau ke masyarakat sama RT supaya bersiap-siap...”

Sebelum terjadi banjir, kelembagaan ini terlebih dahulu melakukan

koordinasi dengan pemerintah dan menyampaikannya kepada masyarakat. Fungsi

kelembagaan ini sangat kuat dalam kesiapsiagaan masyarakat. Selain RT dan RW,

kelembagaan yang juga sangat membantu dalam kesiapsiagaan ini adalah

TAGANA yang dibentuk oleh pemerintah kelurahan setempat. TAGANA

berfungsi untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan

tanggap darurat. TAGANA bersama dengan pemerintah setempat seharusnya

mempersiapkan alat-alat peringatan dini dan alat-alat yang nantinya dibutuhkan

dalam masa tanggap darurat. Akan tetapi fungsi TAGANA di Katulampa masih

belum maksimal karena alat peringatan dini dan alat-alat pada masa tanggap

78

darurat tidak disediakan. Hal ini diakibatkan oleh birokrasi yang harus diikuti oleh

pemerintah setempat mengenai pengadaan alat-alat ini. Alat-alat ini akan

diberikan apabila daerah sudah berada dalam keadaan tanggap darurat oleh dinas

sosial terkait. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dari pemerintah menjadi berkurang

dan dapat meningkatkan resiko yang lebih besar pada masyarakat. Masyarakat

menjadi kurang mengetahui peringatan datangnya banjir dan apabila terjadi banjir

masyarakat dapat menjadi terlantar karena kurangnya kesiapan alat-alat yang

dapat membantu dalam pelaksanaan tanggap darurat.

Begitu pula dengan pelaksanaan mitigasi, kedua kelembagaan ini sangat

berperan. RT dan RW sangat berperan dalam membantu pemerintah untuk

melakukan sosialisasi penanggulangan bencana kepada masyarakat seperti

penyuluhan, pelatihan , pengawasan dalam izin mendirikan bangunan sesuai

dengan tata ruang wilayah, mengadakan forum-forum khusus mengenai

kebencanaan, membantu memindahkan masyarakat yang terkena banjir ke daerah

evakuasi, membuat tanda peringatan bahaya dan lainnya. Pada kegiatan ini fungsi

TAGANA sangat berperan penting. Kewajiban ini dilimpahkan kepada

TAGANA, sedangkan RT dan RW menjadi perpanjangan tangan dari pemerintah

yang bekerja sama dengan TAGANA untuk menjalankan fungsi-fungsi dalam

mitigasi tersebut. Seperti yang dikelaskan oleh Bapak K (38 tahun) dalam

wawancara,

“... Ketua RT dan Ketua RW sangat berperan dalam pelaksanaan kegiatan

penanggulangan bencana. Seluruh Ketua RT dan Ketua RW ikut forum-

forum yang berhubungan ama bencana. Kalo TAGANA juga ngebantuin

masang tanda-tanda peringatan bahaya di sepanjang aliran sungai Ciliwung.

Ketua RT dan RW sama TAGANA pas lagi banjirnya ngebantuin masyarakat

untuk pindah ke rumah-rumah penduduk yang ga kena banjir, trus ngebantuin

buat mendata korban banjir ama menyerahkan bantuan...”

79

Kesiapan warga masyarakat dalam mitigasi bencana masih belum

mencukupi untuk menghadapi kemungkinan datangnya banjir. Mitigasi yang

kurang ini diakibatkan oleh kebijakan-kebijakan mengenai tata ruang kelurahan,

forum mengenai kebencanaan dan sosialisasi yang belum terlaksana dengan baik.

Tata ruang kelurahan masih kurang memperhatikan aspek kebencanaan dan

lingkungan karena masih banyak pemukiman penduduk yang berada di daerah

sempadan sungai yaitu 50 meter dari pinggir sungai (Permen PU No. 63/ PRT/

1993). Masyarakat pun kurang memperhatikan keadaan ini karena mereka

menganggap bahwa hak mereka atas tanah adalah sah milik mereka. Pemerintah

juga tidak dapat menghindar dari kenyataan bahwa tanah yang ditempati oleh

bukan milik pemerintah, tapi tanah adat atau tanah pribadi sehingga pemerintah

kurang memiliki kuasa atas tanah tersebut.

Forum mengenai kebencanaan juga belum terlaksana dengan baik di

daerah ini. Kegiatan ini berjalan, akan tetapi tidak memiliki jadwal yang rutin dan

hanya dihadiri oleh aparat pemerintah kelurahan bersama dengan ketua RT dan

ketua RW sehingga masyarakat kurang mengetahui informasi-informasi mengenai

kebencanaan. Selain itu forum ini juga tidak dilaksanakan secara rutin. Forum ini

ada apabila keadaan sudah mulai berbahaya atau berada pada tingkat

kewaspadaan yang tinggi. Selain forum, hal yang seharusnya dilakukan oleh

pemerintah khususnya yang bergerak dibidang kebencanaan seperti TAGANA

adalah melakukan sosialisasi mengenai bencana kepada masyarakat. Di

Katulampa, sosialisasi mengenai kebencanaan ini dilaksanakan setelah terjadi

banjir dengan cara mendatangi anggota masyarakat ke rumah-rumah oleh petugas

penyuluhan. Kegiatan penyuluhan ini sangat terlambat untuk dilaksanakan karena

80

penyuluhan baru dilakukan setelah terjadinya bencana, bukan sebelum bencana

sehingga masyarakat menjadi kurang pengetahuannya mengenai bencana dan

tidak dapat bertindak dengan tepat.

Aspek kedua dalam karakteristik sosial budaya masyarakat adalah

stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial ini dibagi menjadi empat ukuran, yaitu ukuran

kekayaan, ukuran pendidikan, ukuran kekuasaan dan ukuran kehormatan.

Kekayaan diduga berhubungan dengan kesiapsiagaan masyarakat dalam

menghadapi kemungkinan terjadinya banjir. Responden rata-rata berada pada

tingkat kekayaan menengah berdasarkan aset rumah tangga yang dimiliki oleh

responden.

Kekayaan ini diduga berhubungan positif dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi masyarakat yang diwakili oleh responden. Semakin kaya seseorang maka

semakin tinggi tingkat kesiapsiagaannya dan mitigasinya semakin tinggi dan

sebaliknya. Namun pada kenyataannya di lapangan, kesiapsiagaan dan mitigasi

masyarakat tidak memiliki hubungan dengan ukuran kekayaan masyarakat.

Sebagaimana digambarkan oleh hasil korelasi Pearson dengan menggunakan

SPSS berikut.

Tabel 15. Hasil Korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi dengan

Ukuran Kekayaan, Pendidikan dan Pengetahuan dan Sikap Responden

Korban Banjir Katulampa Tahun 2010

Variabel Sig (2-tailed) Correlation Coefficient

Kesiapsiagaan dan

Mitigasi dengan Ukuran

Kekayaan

0.666 - 0.082

Kesiapsiagaan dan

Mirigasi dengan

Pendidikan

0.110 0.298

Kesiapsiagaan dan

Mitigasi dengan

Pengetahuan dan Sikap

0.321 0.188

81

Hasil korelasi Pearson antara Kesiapsiagaan dan Mitigasi banjir dengan

ukuran kekayaan masyarakat tidak ditemukan adanya signifikansi. Hal ini

menandakan bahwa antara kekayaan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi tidak ada

hubungan yang erat. Sesuai dengan penemuan di lapangan bahwa ukuran

kekayaan masyarakat tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi. Masyarakat dengan tingkat kekayaan yang lebih rendah sama saja

tingkat kesiapsiagaan dan mitigasinya dengan masyarakat yang kekayaannya lebih

tinggi. Seharusnya masyarakat yang memiliki penghasilan dan aset yang lebih

banyak akan lebih memberikan perlindungan pada keluarga dan barang-barang

berharganya. Akan tetapi kesiapsiagaan dan mitigasi ini sama saja.

Hal ini bisa saja diakibatkan oleh lingkungan yang mempengaruhi

responden. Responden kebanyakan berada di daerah pinggiran kelurahan yang

rata-rata masyarakatnya adalah penduduk miskin. Pengaruh dari lingkungan ini

sangat kuat. Karakter masyarakatnya mirip, mereka tidak terlalu memperdulikan

kesiapan yang harus mereka tingkatkan untuk menghadapi banjir. Begitu pula

dengan tingkat pendidikan responden. Tingkat pendidikan responden ternyata

juga tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi.

Hasil korelasi Pearson antara kesiapsiagaan dan mitigasi dengan

pendidikan tidak menunjukkan signifikansi. Berarti antara pendidikan dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi tidak memiliki hubungan. Sama halnya dengan ukuran

kekayaan, masyarakatnya lebih banyak dipengaruhi lingkungan dan sikap

masyarakat itu sendiri. Sikap mereka yang terlalu pasrah mengakibatkan

kurangnya kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat itu sendiri. Seharusnya semakin

tinggi pendidikan semakin tinggi pula kesadarannya mengenai lingkungan dan

82

tindakan yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya banjir dan mengurangi

resiko banjir.

Selain ukuran kekayaan dan pendidikan, ukuran kekuasaan dan

kehormatan juga termasuk dalam stratifikasi sosial. Dalam hal kesiapsiagaan dan

mitigasi ukuran kekuasaan dan kehormatan ini juga tidak memiliki hubungan

dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi. Informan yang diwawancarai untuk

melihat ukuran kekuasaan dan kehormatan memiliki tingkat kesiapsiagaan dan

mitigasi yang sama dengan responden. Mereka juga tidak memiliki persiapan

yang matang terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Kedua informan ini juga

berada di daerah yang seharusnya tidak dihuni atau berada di daerah sempadan

sungai. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan dan kehormatan tidak menjamin

kesiapsiagaan dan mitigasi yang lebih baik.

Aspek ketiga dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah

derajat kohesi sosial masyarakat. Derajat kohesi sosial merupakan tingkat

keeratan antar anggota masyarakat. Derajat kohesi sosial masyarakat ini diduga

mempengaruhi kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat dalam menghadapi banjir.

Di daerah penelitian, kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat juga tidak

dipengaruhi oleh kohesivitas masyarakat. Tidak ada kegiatan yang dilakukan

bersama-sama oleh masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mitigasi.

Hubungan masyarakat yang lebih renggang atau pun lebih erat tidak memiliki

hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan. Hal ini kemungkinan diakibatkan oleh

karakter masyarakat yang hampir sama sehingga mereka lebih cenderung untuk

tidak terlalu memperdulikan keadaan lingkungan sekitar dan kesiapsiagaan dan

mitigasinya dalam bencana.

83

Aspek selanjutnya adalah kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat

setempat. Kearifan lokal yang berkembang di daerah ini adalah mengenai tanda-

tanda datangnya banjir. Tanda-tanda tersebut dapat dilihat melalui batu besar yang

berada di sungai. Apabila batu tersebut sudah terendam, kemungkinan besar akan

terjadi banjir. Pada situasi seperti itu masyarakat mulai memiliki sikap siaga,

namun hanya pada tahap mengamankan barang-barang yang dianggap berharga

dan menghindari untuk mendekati pinggiran sungai. Akan tetapi sebagian besar

masyarakat bertempat tinggal di pinggir sungai sehingga tidak dapat menjauh dari

sungai itu sendiri. Menjauhi sungai hanyalah sebatas tidak mendekati pinggiran

sungai.

Aspek terakhir dalam karakteristik sosial dan budaya masyarakat adalah

pengetahuan dan sikap. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai lingkungan

maupun bencana diduga berhubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi

masyarakat. Hasil korelasi Pearson pada Tabel 16 diperlihatkan bahwa tidak ada

hubungan antara pengetahuan dan sikap masyarakat dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki oleh responden cukup baik.

Namun di lapangan ditemukan bahwa responden tetap saja tidak memiliki

kesiapsiagaan dan mitigasi yang tinggi.

Peneliti lain yang mengkaji aspek sosial dalam bencana menemukan

bahwa karakteristik sosial masyarakat sangat berhubungan dengan tingkat

kesiapsiagaan masyarakat. Alice Fothergill dan Lori A. Peek (2004) dalam

penelitiannya mengenai kemiskinan dan bencana menemukan bahwa pendapatan

seseorang sangat menentukan kesiapannya dalam menghadapi bencana. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa semakin tinggi pendapatan seseorang maka

84

semakin tinggi pula kesiapannya karena akses mereka terhadap barang-barang

yang dibutuhkan untuk kesiapan menghadapi bencana lebih terbuka dibandingkan

dengan masyarakat yang memiliki pendapatan yang lebih rendah.

Akan tetapi penelitian ini tidak sesuai dengan hasil yang didapatkan di

daerah Katulampa. Masyarakat yang memiliki tingkat kekayaan yang tinggi juga

tidak memiliki kesiapan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat melalui aksesnya

terhadap barang-barang untuk kesiapsiagaan dan mitigasi yang juga rendah dan

sama saja dengan masyarakat yang kekayaannya lebih rendah.

Hampir seluruh karakteristik sosial budaya masyarakat tidak memiliki

hubungan dengan tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi masyarakat. Ternyata

karakteristik sosial budaya masyarakat ini tidak memiliki kontribusi pada

kesiapsiagaan dan mitigasi bencana. Kesiapsiagaan dan mitigasi bencana ini

tergolong rendah karena sikap masyarakat yang pasrah terhadap alam dan

bersikap malas untuk meningkatkan keamanannya dalam menghadapi bencana.

Pengalamannya dalam menghadapi bencana pun tidak mempengaruhi tingkat

kesiapsiagaan dan mitigasi. Padahal sebelumnya masyarakat telah mengalami

kerugian yang besar ketika banjir pada Februari 2010 yang lalu terjadi. Namun

kerugian ini tidak dijadikan sebagai pelajaran malah mereka terlalu bergantung

pada bantuan pemerintah. Masyarakat menganggap bahwa kerugian yang mereka

alami nantinya juga akan diganti oleh pemerintah melalui bantuan kebencanaan.

Sikap inilah yang mengakibatkan rendahnya tingkat kesiapsiagaan dan mitigasi

bencana masyarakat.

Responden tidak memiliki kesiapan yang baik karena kesiapsiagaan dan

mitigasinya lebih rendah. Kesiapsiagaan dan mitigasi dari pemerintah pun dirasa

85

masih kurang dan tidak mampu mendukung kurangnya kesiapan masyarakat.

Berdasarkan hasil di lapangan, ditemukan bahwa 73,33 persen responden

menyatakan siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir tanpa adanya

kesiapan yang matang secara fisik. Kesiapan mereka hanyalah sebatas kesiapan

mental karena sikap mereka yang pasrah. Sebagian besar mereka menjawab “ya,

siap ga siap sih, soalnya rumahnya dipinggir sungai”. Sikap inilah yang disebut

dengan sikap pasrah pada keadaan.

Mereka menganggap bahwa tindakan yang dapat dilakukan untuk

menghindari dampak banjir adalah dengan melindungi barang-barang berharga

mereka. Mereka tidak berusaha untuk pindah ke daerah yang lebih aman karena

tuntutan ekonomi. Harga sewa rumah yang lebih murah dan bagi penduduk asli

tanah tersebut adalah tanah warisan yang dapat digunakan mengakibatkan mereka

semakin betah untuk tinggal di daerah yang rawan tersebut. Sikap mereka juga

masih kurang dalam menjaga lingkungan sekitar. Mereka masih membuang

sampah di sungai dan menganggap bahwa sampah yang sedikit itu tidak

mempengaruhi kemungkinan terjadinya banjir.

Masyarakat masih menganggap bahwa banjir itu sebagian besar

diakibatkan oleh keadaan alam atau cuaca yang buruk, seperti hujan lebat.

Kesadaran masyarakat bahwa banjir itu sebagai akibat ulah manusia seperti

membuang sampah dipinggir sungai, membangun bangunan dipinggir sungai dan

menebang pohon sembarangan masih rendah. Sehingga mereka kurang

memperdulikan keadaan lingkungan dan berdampak buruk bagi kesiapan mereka

menghadapi banjir.

86

Selain hal tersebut banyak responden yang juga menyalahkan sistem pintu

air di bendungan Katulampa. Mereka menganggap bahwa pintu air tersebut dapat

mengendalikan air sehingga dapat menghindari resiko terjadinya banjir. Akan

tetapi, menurut penuturan Kepala Bendung Katulampa, Bapak An menyatakan

bahwa bendungan Katulampa bukanlah bendungan yang dapat mengendalikan air

atau memiliki sistem buka tutup untuk mengendalikan kelebihan debit air. Akan

tetapi bendungan Katulampa berfungsi untuk mengeruk dasar sungai agar jumlah

air yang turun ke bawah lebih sedikit. Namun pengerukan dasar sungai ini tidak

dapat menjamin apakah akan terjadi banjir atau tidak.

Tidak adanya korelasi antara karakteristik sosial budaya masyarakat

dengan kesiapsiagaan dan mitigasi di daerah rawan bencana banjir ini diduga

karena bagi masyarakat maupun pemerintah kegiatan yang berhubungan dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi masih belum menjadi perhatian sehingga

bagaimanapun karakteristik sosial budaya yang dimiliki oleh masyarakat tidak

berhubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.

Hal ini juga ditemukan di dalam penelitian yang dilakukan oleh Misron

(2009) mengenai strategi penanggulangan bencana berbasis masyarakat di

Kabupaten Lampung Barat. Pada penelitian ini ditemukan bahwa kesiapan

masyarakat dalam menghadapi bencana masih sangat kurang karena mereka

menganggap bahwa bencana itu merupakan suatu kepastian yang tidak dapat

dihindari. Mereka hanya berkonsentrasi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka

sendiri. Kegiatan penanggulangan bencana yang dilakukan disana masih belum

terlaksana dengan baik karena masyarakat harus menunggu komando dari

pemerintah pusat.

87

Hal ini serupa keadaannya dengan Kelurahan Katulampa dimana

masyarakat sangat pasrah terhadap keadaan alam dan hanya memiliki kesiapan

mental tanpa kesiapan materi. Mereka menganggap bahwa banjir tidak dapat

dihindari sehingga mereka pasrah dengan keadaan alam. Selain itu pemerintah

kelurahan sendiri pun masih lemah dalam kesiapsiagaan dan mitigasi karena

masih terikat dengan birokrasi yang harus mereka jalani. Pemerintah kelurahan

pun menganggap bahwa daerah yang rawan bencana tidak terlalu besar sehingga

tidak membutuhkan persiapan yang matang, sesuai dengan penuturan Bapak K.

Penyebab lainnya diduga bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia

khususnya yang berada di daerah rawan bencana masih belum memiliki perhatian

dan kesadaran yang lebih akan pentingnya aspek penanggulangan bencana melalui

kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana secara bersama-sama antara

pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak berkepentingan lainnya. Seperti yang

diungkapkan oleh Nasution (2007) bahwa kegiatan penanggulangan bencana

masih terlalu berpusat pada pemerintah dan menganggap bahwa masyarakat tidak

berdaya.

Masyarakat Katulampa yang berada di daerah rawan banjir dianggap belum siap

dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir karena kesiapan yang mereka

miliki hanyalah sebatas kesiapan mental tanpa didukung oleh kesiapan fisik dan

materi. Kesiapan yang baik adalah kesiapan yang selaras antara kesiapan mental

dengan kesiapan fisik dan materi.

BAB VIII

PENUTUP

8.1 Kesimpulan

1. Karakteristik sosial budaya masyarakat di Kelurahan Katulampa, khususnya

yang berkaitan dengan masalah bencana dan lingkungan hidup adalah

kelembagaan, stratifikasi sosial, kohesi sosial, kearifan lokal dan pengetahuan

dan sikap.

a. Kelembagaan yang berkembang di dalam masyarakat adalah lembaga

keagamaan berupa pengajian, arisan, Rukun Tetangga (RT) dan Rukun

Warga (RW) serta Taruna Siaga Bencana (TAGANA). Kelembagaan yang

paling berperan dalam bencana dan lingkungan hidup adalah RT dan RW

dan TAGANA. RT dan RW dan TAGANA berperan sebagai kelembagaan

yang terlibat dan mengatur kegiatan penanggulangan bencana, seperti

peringatan bahaya banjir, evakuasi korban dan penyediaan bantuan.

b. Stratifikasi sosial yang ada di dalam masyarakat dilihat berdasarkan ukuran

kekayaan, pendidikan, kekuasaan dan kehormatan. Berdasarkan ukuran

kekayaan, responden lebih banyak berada pada kekayaan di tingkat

menengah yang dinilai berdasarkan aset rumah tangga. Ukuran pengetahuan

responden juga diukur melalui pendidikan formal yang telah ditempuh.

Sebagian besar responden berada pada pendidikan menengah yaitu pernah

mengecap pendidikan SMP maupun SMA. Berdasarkan ukuran kekuasaan

dan ukuran kehormatan terdapat anggota masyarakat yang memiliki

kekuasaan dan kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anggota

masyarakat lainnya. Kekuasaan ini bersifat kekuasaan formal dan

89

kehormatan ini berdasarkan kemampuan orang tersebut untuk

mempengaruhi masyarakat.

c. Karakteristik sosial ketiga adalah kohesi sosial. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kohesi sosial yang berbeda setiap

daerah. Di daerah RT 3 RW I kohesi sosialnya lebih renggang karena

anggota masyarakatnya tidak tetap karena sebagian besar mereka adalah

pendatang dan berada di rumah-rumah kontrakan, sedangkan di daerah

penelitian RT 5 RW IX kohesi sosialnya lebih erat karena adanya hubungan

darah yang mengikat mereka serta tingkat ekonomi yang cenderung

seragam.

d. Kearifan lokal yang berkembang di dalam masyarakat adalah anggapan

bahwa pohon-pohon yang berada disekitar mereka memiliki penunggu

sehingga tidak boleh ditebang. Kepercayaan lainnya yang berkembang

adalah terdapat tanda-tanda datangnya banjir apabila batu besar yang berada

di sungai sudah terendam oleh air. Salah seorang anggota masyarakat yang

dihormati, dipercaya dapat mengusir banjir yang datang dengan mengambil

air banjir, dimasukkan ke dalam wajan lalu direbus dan dipanjatkan do’a-

do’a lalu dibuang kembali ke daerah yang terkena banjir.

e. Pengetahuan dan sikap masyarakat mengenai bencana dan lingkungan hidup

juga berkembang di dalam masyarakat, akan tetapi masih belum tergolong

baik. Pengetahuan masyarakat mengenai lingkungan dan kebencanaan

masih rendah, karena masyarakat kurang terdedah pengetahuan mengenai

kebencanaan dan lingkungan hidup. Begitu pula dengan sikap mereka

mengenai lingkungan hidup dan kebencanaan sudah tergolong baik karena

90

mendukung pelestarian lingkungan alam, walaupun masih ada yang kurang

mendukung pelestarian lingkungan alam. Begitu pula dengan sikap

mengenai kebencanaan sudah baik, dapat dilihat dari responnya mengenai

kebencanaan.

2. Karakteristik sosial budaya yang dikaji hubungannya dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi secara kuantitatif adalah stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap.

Kelembagaan, kohesi sosial dan kearifan lokal dikaji hubungannya dengan

kesiapsiagaan dan mitigasi dengan menggunakan metode kualitatif.

a. Stratifikasi sosial dan pengetahuan dan sikap secara kuantitatif tidak

memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan mitigasi karena sikap

masyarakat yang masih pasrah terhadap keadaan alam dan kurangnya

perhatian dan kesadaran mengenai pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi

dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana.

b. Karakteristik sosial budaya yang berperan dalam kegiatan kesiapsiagaan dan

mitigasi bencana adalah kelembagaan dan kearifan lokal. Kelembagaan

TAGANA dan RT dan RW membantu dalam hal penyiapan semua hal yang

berkaitan dengan bencana, seperti peringatan dini, evakuasi dan distribusi

bantuan. Kearifan lokal yang sangat berperan adalah batu penanda banjir

yang digunakan sebagai ukuran untuk melihat kemungkinan terjadinya

banjir sehingga masyarakat dapat bersiap dalam menghadapi banjir.

c. Terakhir, karakteristik sosial budaya yang ada di dalam masyarakat adalah

kohesi sosial yang tidak memiliki hubungan dengan kesiapsiagaan dan

mitigasi. Masyarakat secara bersama-sama tidak pernah melakukan kegiatan

91

yang dapat berguna untuk mencegah atau mengurangi resiko bencana,

seperti pembangunan tempat pembuangan sampah.

3. Kesiapan masyarakat di Katulampa masih tergolong rendah karena masyarakat

hanya memiliki kesiapan secara mental, sedangkan secara fisik masyarakat

masih belum siap. Hal ini dapat dilihat dari minimnya kesiapsiagaan dan

mitigasi yang dilakukan oleh masyarakat. Selain masyarakat, pemerintah

kelurahan setempat masih belum banyak mendukung kegiatan kesiapsiagaan

dan mitigasi sehingga mempengaruhi kesiapan masyarakat dalam menghadap

bahaya banjir.

8.2 Saran

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pihak-pihak yang

terkait. Melalui hasil penelitian ini disarankan agar:

1. Pemerintah disarankan untuk memperpendek birokrasi yang dijalankan dalam

penanggulangan bencana sehingga kegiatan kesiapsiagaan dan mitigasi

bencana dapat berjalan dengan baik, pembangunan tempat pembuangan

sampah agar masyarakat tidak membuang sampah ke sungai, mengadakan

penyuluhan mengenai kebencanaan khususnya banjir, menyiapkan lokasi

evakuasi untuk korban banjir, pengadaan alat peringatan dini seperti alarm

banjir dan mempertegas kebijakan mengenai izin mendirikan bangunan di

daerah sempadan sungai.

2. Masyarakat dapat melakukan upaya untuk mengurangi resiko bencana melalui

pembangunan tempat pembuangan sampah secara bersama-sama, membangun

tanda pengukur debit air sungai untuk menghindari kemungkinan kerusakan

pada tanda batu atau hanyut, dan pengadaan alat-alat yang dapat digunakan

92

dalam penanggulangan banjir secara bersama-sama dan milik komunitas

seperti tenda.

3. Akademisi dapat melakukan penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai

kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.

DAFTAR PUSTAKA

Arishanti, Klara Innata. 2005. Handout Psikologi Kelompok. Universitas

Gunadarma, Jakarta.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2008. Peraturan Kepala Badan

Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tahun 2008 tentang

Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. BNPB,

Jakarta.

BPP-PSPL. 2005. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat di Desa Sabang Mawang,

Sededap dan Pulau Tiga, Kecamatan Bunguran Barat Kabupaten Natuna

Privinsi Kepulauan Riau. Universitas Riau, Pekanbaru.

http://www.coremap.or.id/downloads/Kearifan_Lokal_Masyarakat_Ds_Sa

bang_Mawang.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 08.30 WIB.

Brym, Robert J. 2009. Sociology as a Life or Death Isuue. First Canadian ed.

Nelson Education, Canada.

Fothergill, Alice and Lori A Peek. 2004.” Poverty and Disaster in The United

States: A Review of Recent Sociological Findings”. Natural Hazard, vol.

32:89-110.

Garnadi, Dodi. 2004. Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Masyarakat Sekitar

Hutan Terhadap Hutan (Kasus di Hutan Pendidikan dan Pelatihan

Kehutanan, Kadipaten, Kabupaten Majalengka). Thesis. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Gunawan. 2007. Pemberdayaan Sosial Keluarga Pasca Bencana Alam, Studi

tentang Kondisi Sosial Masyarakat dalam Manajemen Bencana.

Departemen Sosial Republik Indonesia, Jakarta.

http://www.depsos.go.id/unduh/penelitian2007/200704_PEMBERDAYA

AN%20SOSIAL%20KELUARGA%20PASCA%20BENCANA%20ALA

M.pdf diunduh tanggal 3 Mei 2010, pukul 19.32 WIB.

Hadipranata, Asip F. 1986. Kohesivitas Kelompok sebagai Indikator Dasar

Kekuatan Koperasi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt.1999. Sosiologi. Erlangga, Jakarta.

Knight, Jack. 1992. Institutions and Social Conflict. Cambridge University Press,

Cambridge.

Lindell, Michael K and Carla S Prater. 2003. “Assessing Community Impacts of

natural Disaster”, Natural Hazard Review, Vol. 4, No. 4, hal. 176-185.

Misron, Ujang. 2009. Strategi Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat di

Kabupaten Lampung Barat. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

94

Munaf, Muslim. 1992. Kajian Sifat Aliran Sungai Ciliwung. Thesis. Institut

Pertanian Bogor, Bogor.

Nasution, M Safii. 2005. Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas, Studi

Kasus Kesiapsiagaan Bencana Berbasis Komunitas Daerah Rawan

Bencana Alam Tanah Longsor di Desa Kidangpananjung Kecamatan

Cililin Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat. Thesis. Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Pattinama, Marcus J. 2009. Pengentasan Kemiskinan dengan Kearifan Lokal

(Studi Kasus di Pulau Buru Maluku dan Surade Jawa Barat). Makara

Sosial Humaniora, Vol. 13 No.1, Juli 2009 hal 1-12.

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/e98e701d3488e758e71344d4c

5a109bd7770dbd0.pdf diunduh tanggal 20 Juni 2010 pukul 12.50.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/ PRT/ 1993 tentang Garis Sempadan

dan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan

Bekas Sungai. digilib-

ampl.net/.../Permen%20PU%20No.63%20Tahun%201993.pdf diunduh

pada 27 Januari 2011 pukul 11:32.

Profil Desa dan Kelurahan Katulampa tahun 2008.

Raharjo. 2004. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta.

Ramdhani, Nella dan Martono. 1996. “Kohesivitas Pada Masyarakat Miskin”,

Jurnal Psikologi, No. 2, hal 84-94.

i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=4232 diunduh tanggal 21 Juni

2010, pada 00:04 WIB

Redono, Cucuk. 2006. “Beberapa Faktor yang Berpengaruh terhadap Progesivitas

Kelompok Tani Lahan Pantai di Kabupaten Kulon Progo”, Jurnal Ilmu-

ilmu Pertanian, Volume 2, Nomor 1, hal 6-17.

http://stppyogyakarta.com/wp-content/uploads/2009/11/IIP_0201_06_Cucuk_Redono.pdf diunduh tanggal 14

Februari 2011, pada 12:07 WIB.

Sekretariat Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan

Pengungsi. 2009.Pedoman Penanganan Pasca Gempa. Bakornas PB,

Jakarta.

Shaw, Rajib. 2008. Kearifan Lokal dalam Pengurangan Resiko Bencana: Praktik-

praktik yang Baik dan Pelajaran yang Dapat Dipetik dari Pengalaman-

pengalaman di Kawasan Asia-Pasifik. UNISDR.

http://www.planasprb.net/sites/default/files/Kearifan%20Lokal%20dalam

%20Pengurangan%20Risiko%20Bencana.pdf diunduh tanggal 20 Juni

2010 pada 07.59 WIB.

95

Soekanto, Soerjono. 2003. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke 36. Raja

Grafindo Persada, Jakarta.

Soemardjan, Selo dan Soelaeman Soemardi (ed). 1964. Setangkai Bunga

Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sugiantoro, Ronny dan Hadi Purnomo. 2010. Manajemen Bencana Respons dan

Tindakan terhadap Bencana. Media Pressindo, Yogyakarta.

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas

Indonesia, Jakarta.

Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS Citanduy

(Studi Desentralisasi Pengelolaan dan Sistem Tata Pemerintahan SDA).

Project Working Papar Series No.04. Pusat Studi Pembangunan IPB,

Bogor.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang

Penanggulangan Bencana.

Wirasena, Prama. 2010. Peran Kearifan Lokal dalam Penyelamatan Sumberdaya

Genetik Tanaman Hutan di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan

Hutan Tanaman. Bogor.

http://forplan.or.id/images/File/Apforgen/flyer/kearifan%20lokal.pdf

diunduh pada tanggal 20 Juni 2010 pukul 13.34 WIB.

Yusra. 1998. Pengetahuan, Sikap dan Praktek Pasangan Usia Subur tentang

Pesan-pesan Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) serta Implikasinya

pada Pemasaran Sosial. Thesis. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

LAMPIRAN

97

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

KUESIONER

KARAKTERISTIK SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT DALAM KESIAPSIAGAAN DAN MITIGASI

BENCANA DI DAERAH RAWAN BENCANA

(Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor)

PENGIDENTIFIKASIAN RUMAH TANGGA

Desa/Dusun/RW/RT : ............................................../................................/......../......

Tanggal Wawancara : ...............................................................................................

Kode Rumah Tangga : ...............................................................................................

Nama Responden : ...............................................................................................

A. KOMPOSISI RUMAH TANGGA

No. Nama Umur

(Tahun)

Jenis

Kelamin

Kode 1

Status

Kode 2

Pendidikan

Kode 3

Pekerjaan

Utama

Kode 4

Pekerjaan

Sampingan

Kode 4

Organisasi

Kemasyaraka

tan

Kode 5

Kode 1

1= Laki-laki 4= Tidak tamat SMP 6= Ibu rumah tangga 6= Pengajian

2= Perempuan 5= Tamat SMP 7= Pelajar 7= Karang Taruna

Kode 2 6= Tidak tamat SMA 8= Menganggur/ mencari kerja 8= LPM

1= Kepala Keluarga 7= Tamat SMA 9= Beristirahat/ pensiun 9= BPD

2= Istri 8= Perguruan Tinggi 10= Tidak mampu bekerja 10= Dewan Sekolah

3= Anak Kode 4 Kode 5 11= Lainnya, ...........

4= Lainnya (sebutkan) 1= Bertani 1= PKK

Kode 3 2= Pegawai negeri 2= Posyandu

1= Tidak bersekolah 3= Pegawai swasta 3= KB

2= Tidak tamat SD 4= Wiraswasta 4= Koperasi

3= Tamat SD 5= Buruh 5= Arisan

Saya, Thresa Jurenzy, mahasiswi Institut Pertanian Bogor, Program Studi

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Sehubungan dengan penelitian yang

saya lakukan kesediaan saudara/bapak/ibu untuk megisi kuesioner ini dengan

keadaan yang sebenar-benarnya. Kerahasiaan jawaban saudara/bapak/ibu akan

dijamin kerahasiaannya dan hanya untuk kepentingan penelitian ini.

98

B. PENGUASAAN ASET

a) Berapakah pendapatan keluarga anda dalam sebulan?

..................................................................................................................................................................................

..................................................................................................................................................................

b) Apakah keluarga anda memiliki tabungan?

1. Ya, jika ya jawab pertanyaan c) 2. Tidak

c) Berapakah jumlah tabungan anda saat ini?

............................................................................................................................................................................ ......

..................................................................................................................................................................

d) Berapakah luas rumah anda?

..................................................................................................................................................................................

.......................................................................................................................................... .......................

e) Bagaimanakah status kepemilikan rumah anda?

1. Milik 2. Sewa 3. Numpang 4. Gadai

f) Bagaimanakah status fisik rumah anda?

1. Permanen 2. Semi permanen 3. Non permanen

g) Barang elektronik apa saja yang anda miliki?

1. Televisi 4. Handphone

2. Radio 5. Kulkas

3. Komputer 6. Lainnya, ....................................

h) Apakah anda memiliki kendaraan?

1. Ya, jika ya jawab pertanyaan i 2. Tidak

i) Apakah jenis kendaraan yang anda miliki?

1. Mobil

2. Motor

3. Sepeda

j) Apakah anda memiliki lahan (pertanian atau lahan kosong) dan berapa luasnya?

1. Ya, ..................... m2 2. Tidak

k) Apakah anda memiliki perhiasan dan berapa jumlahnya?

1. Ya,....................... gr 2. Tidak

l) Apakah anda memiliki hewan ternak?

1. Ya 2. Tidak

m) Apa sajakah hewan ternak yang anda miliki?

1. Itik 5. Sapi 9. Lainnya,................

2. Ayam 6. Kerbau

3. Kambing 7. Kelinci

4. Domba 8. Ikan

n) Apakah anda mengikuti asuransi?

1. Ya, lanjut ke pertanyaan o) 2. Tidak

o) Apakah jenis asuransi yang anda ikuti?

1. Asuransi Jiwa 2. Asuransi Kesehatan

C. PENGETAHUAN, SIKAP DAN TINDAKAN MENGENAI LINGKUNGAN DAN BENCANA

a) Dimanakah anda membuang sampah rumah tangga anda?

1. Tempat pembuangan sampah 5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah

2. Lapangan atau kebun kosong

3. Sungai

4. Saluran air/ selokan

b) Jika anda memiliki industri, kemanakah anda membuang limbahnya?

1. Tempat pembuangan sampah 5. Dinas kebersihan/ petugas pengumpul sampah

2. Lapangan atau kebun kosong

3. Sungai

4. Saluran air/ selokan

99

c) Berapakah jarak rumah anda dari sungai?

1. < 50 meter

2. ≥ 50 meter

d) Apakah anda pernah menebang pohon yang berada di sekitar sungai (pohon yang ukurannya besar dan belum

layak untuk ditebang karena sifatnya yang mengganggu)?

1. Ya

2. Tidak

e) Apakah anda pernah menanam pohon di sekitar sungai?

1. Ya

2. Tidak

f) Yang anda ketahui mengenai rawan bencana adalah:

1. Keadaan dimana suatu daerah tidak dapat mengalami bencana.

2. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana.

3. Keadaan dimana suatu daerah rentan untuk mengalami bencana dan orang-orang yang berada di daerah

tersebut tidak mampu untuk mengatasinya.

g) Banjir dapat diakibatkan oleh:

1. Banjir dapat diakibatkan oleh hujan lebat yang airnya sudah melebihi daya tampung sungai.

2. Banjir dapat diakibatkan oleh kurangnya daerah resapan air sungai yaitu dengan bertambahnya bangunan

di pinggiran sungai.

3. Banjir dapat diakibatkan oleh hilangnya penyerap air seperti pohon-pohon.

4. Banjir dapat diakibatkan oleh terjadinya penumpukan sampah di aliran sungai.

5. Banjir dapat diakibatkan oleh tersumbatnya saluran air/ selokan oleh sampah padat.

h) Banjir dapat mengakibatkan:

1. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya daerah yang berada di sekitar sungai.

2. Banjir dapat menghanyutkan berbagai barang/ harta.

3. Banjir dapat merusak berbagai sarana seperti jembatan, tanggul, bendungan, jalan, dan rumah.

4. Banjir dapat mengakibatkan terganggunya layanan umum seperti air dan listrik.

5. Banjir dapat mengakibatkan tergenangnya lahan pertanian, perikanan dan peternakan.

i) Cara mengurangi resiko banjir adalah:

1. Mendirikan bangunan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai.

2. Mendirikan jalan dengan jarak lebih dari 50 meter dari sungai.

3. Menanam pohon di sekitar sungai.

4. Membuang sampah pada tempatnya.

5. Membersihkan saluran air/drainase secara rutin.

j) Yang ikut berperan serta dalam penanggulangan bajir adalah:

1. Pemerintah

2. Masyarakat

3. LSM

No Pernyataan STS TS KS S SS

1. Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan memindahkan barang-barang

berharga ke tempat yang aman.

2. Apabila terjadi banjir, saya dan keluarga akan pindah ke daerah evakuasi.

3. Saya akan membeli persediaan makanan apabila debit air sungai sudah pada

status Siaga 4.

4. Saya akan memindahkan barang-barang berharga saya apabila debit air

sungai sudah pada status Siaga 4.

5. Saya memberikan pendidikan mengenai kebencanaan kepada anggota

keluarga saya.

6. Jika tanaman/ pohon tidak memberikan manfaat kepada saya, maka saya

boleh memperlakukannya sesuka hati saya.

7. Jika saya membutuhkan lahan untuk membuat rumah/ bertani, saya akan

menebang pohon untuk membuka lahan tanpa memperhatikan

100

kelestariannya.

8. Kehidupan saya tergantung pada keadaan alam (mis: cuaca)

9. Selama saya masih bisa mengambil manfaat dari alam saya akan

menggunakan sesuka hati saya.

10. Pohon-pohon yang berada di sekitar saya harus dijaga karena ada

penjaga/penunggunya.

D. KESIAPAN MASYARAKAT

a) Apakah anda pernah mengadakan dan atau ikut serta dalam latihan-latihan dan upaya pencegahan dan

penanganan banjir?

1. Ya 2. Tidak

b) Apakah rumah anda tergolong rumah yang tahan atau anti banjir (rumah bertingkat)?

1. Ya 2. Tidak

c) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam pendidikan umum yang berkaitan dengan banjir?

1. Ya 2. Tidak

d) Apakah anda pernah mengadakan dan ikut serta dalam gotong royong membersihkan saluran/ drainase/ selokan?

1. Ya 2. Tidak

e) Apakah anda pernah ikut bergotong royong membantu pembangunan dam/ tanggul/ bendungan?

1. Ya 2. Tidak

f) Apakah anda memiliki tenda yang dapat menampung satu keluarga?

1. Ya 2. Tidak

g) Menurut anda apakah anda sudah siap dalam menghadapi kemungkinan terjadinya banjir? Jelaskan.

1. Ya 2. Tidak

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

.....................................................................................................................................................................................

-Terima Kasih-

101

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Informan

1. Siapakah orang-orang yang sangat berpengaruh di kelurahan ini?

2. Bagaimanakah bentuk pengaruhnya kepada masyarakat?

3. Karena apakah dia berpengaruh?

4. Dalam 3 tahun terakhir, sudah berapa kali terjadi banjir di daerah ini?

5. Berapakah besar kerugian yang dialami karena banjir ini?

6. Apa saja penyebab terjadinya banjir?

7. Bagaimana akibatnya kepada masyarakat?

8. Tindakan apa yang anda lakukan terhadap masalah ini?

9. Bagaimanakah reaksi masyarakat pada saat air di bendungan naik?

10. Apakah masyarakat sering mengadakan gotong royong membersihkan

sungai/ saluran air.

11. Dimanakah biasanya masyarakat membuang sampah rumah tangganya?

12. Bagaimanakah hubungan antara masyarakat dengan alam sekitarnya?

13. Apakah disini ada kepercayaan-kepercayaan yang sifatnya turun temurun

yang berhubungan dengan penjagaan alam?

14. Apakah ada tempat-tempat yang sifatnya mistis dan tidak boleh diganggu?

15. Apakah ada aturan-aturan yang melarang atau meperbolehkan mengambil

kayu atau menebang pohon ditempat-tempat tertentu dengan waktu tertentu?

16. Apakah di kelurahan ini masyarakat sering mengadakan pertemuan-

pertemuan?

17. Apakah ada suatu kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama-sama

dan rutin, dihadiri oleh anggota masyarakat dan bersifat merekatkan

hubungan antar masyarakat?

18. Bagaimanakah kesiapsiagaan dan mitigasi di kelurahan ini, sesuai dengan

indikator dibawah ini?

No. Kegiatan Ada Tidak Ada

1. Pos-pos siaga bencana

2. Pelatihan siaga bencana

3. Membeli dan membuat peralatan

pendukung dalam keadaan darurat

3. Simulasi bencana

4. Pembentukan tim Penyelamatan dan tim

kesehatan

5. Pembagian leaflet/ brosur/ poster mengenai

ancaman bencana dan tindakan pencegahan

6. Alat peringatan datangnya bencana

7. Undang-undang mengenai bencana

102

8. Pembuatan dan publikasi peta rawan

bencana

9. Pembuatan pedoman tanggap darurat

bencana

10. Pembuatan leaflet/ poster/ brosur mengenai

bencana

11. Pengkajian karakteristik bencana bersama

masyarakat

12. Mengutamakan upaya penanggulangan

bencana dalam pembangunan

13. Pengawasan dalam pelaksanaan peraturan

dalam izin mendirikan bangunan dan tata

ruang yang berkaitan dengan pencegahan

bencana.

14. Muatan lokal mengenai bencana dalam

kurikulum pendidikan

15. Organisasi penanganan bencana

16. Forum khusus membahas masalah bencana

17. Pembuatan tanda peringatan bahaya dan

larangan di daerah rawan bencana

18. Pelatihan dasar kebencanaan untuk aparat

dan masyarakat.

19. Pemindahan penduduk ke daerah aman dari

bencana

20. Penyuluhan mengenai bencana

21. Perencanaan daerah penampungan

sementara jika terjadi bencana

22. Pembangunan dam atau tanggul

23. Pengkajian resiko bencana bersama

masyarakat

103

Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian

Gambar 1. Sungai Ciliwung Gambar 2. Bendungan

Gambar 4. Batu Penanda Banjir

Gambar 3. Alat Mengukur Ketinggian Air Sungai

104

Lampiran 4. Peta Daerah Rawan Bencana Kelurahan Katulampa

Daerah

Penelitian

Daerah

Penelitian

105

Lampiran 5. Sketsa Daerah Rawan Banjir Kelurahan Katulampa 2010