KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

15
KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN ILMU TASYAWUF Tri Andiyanto Sekolah Tinggi Agama Islam Ibnu Rusyd (STAI IR) Lampung Utara E-mail : [email protected] Abstract Irfani's epistemology is a branch of philosophical science which then forms autonomous disciplines. Irfani (the infinitive form of the word ara arafa which means to know / know) is closely related to Sufism. Therefore, Irfani's knowledge is not obtained based on text analysis but with spiritual practice, which is at least obtained through three stages: preparation, acceptance (inspiration), and disclosure. The expressions produced by Irfani thinking often become irregular and out of consciousness, because they come out when someone experiences a very deep intuitive experience, so that it is often not in accordance with certain theological and Epistemological rules, so that he is often blasphemed and judged deviate. The scope of the journey to God to obtain the ma'rifat that applies to Sufis is often referred to as a "Irfani" framework. The irfani scope cannot be achieved easily or spontaneously, but through a long process. What is meant by levels (maqam) by Sufis is the level of a servant before Him, in matters of worship and mental exercises that he does. Keywords : Irfani's epistemology, Tasyawuf Abstrak Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang dari ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan tasawuf. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahap: persiapan , penerimaan (ilham), dan pengungkapan. Ungkapan- ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara Irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun Epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang. Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Kata Kunci : Epistemologi Irfani, Tasyawuf

Transcript of KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

Page 1: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI

DALAM KAITANNYA DENGAN ILMU TASYAWUF

Tri Andiyanto Sekolah Tinggi Agama Islam Ibnu Rusyd (STAI IR) Lampung Utara

E-mail : [email protected]

Abstract

Irfani's epistemology is a branch of philosophical science which then forms autonomous disciplines.

Irfani (the infinitive form of the word ara arafa which means to know / know) is closely related to

Sufism. Therefore, Irfani's knowledge is not obtained based on text analysis but with spiritual

practice, which is at least obtained through three stages: preparation, acceptance (inspiration), and

disclosure. The expressions produced by Irfani thinking often become irregular and out of

consciousness, because they come out when someone experiences a very deep intuitive experience, so

that it is often not in accordance with certain theological and Epistemological rules, so that he is often

blasphemed and judged deviate. The scope of the journey to God to obtain the ma'rifat that applies to

Sufis is often referred to as a "Irfani" framework. The irfani scope cannot be achieved easily or

spontaneously, but through a long process. What is meant by levels (maqam) by Sufis is the level of a

servant before Him, in matters of worship and mental exercises that he does.

Keywords : Irfani's epistemology, Tasyawuf

Abstrak

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang dari ilmu filsafat yang kemudian

membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti

tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan tasawuf. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak

diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, yang setidaknya diperoleh

melalui tiga tahap: persiapan , penerimaan (ilham), dan pengungkapan. Ungkapan-

ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara Irfani sering kali menjadi tidak beraturan

dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif

yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun

Epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.

Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan sufi

sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani tidak dapat dicapai dengan

mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Yang dimaksud dengan

tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam

hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

Kata Kunci : Epistemologi Irfani, Tasyawuf

Page 2: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

A. PENDAHULUAN

Pengetahuan dan teknologi yang hingga saat ini menjadi kunci yang paling mendasar

dari kemajuan yang di raih oleh umat manusia. Tentunya tidak datang begitu saja tanpa ada

sebuah dinamika atau diskursus ilmiah. Proses mendapatkan ilmu pengetahuan itulah

lazim dikenal dengan istilah Epistemologi.

Secara etimologi, Epistomologi merupakan bentukan dari dua kata dalam bahasa

Yunani, yaitu Episteme yang berarti pengetahuan dan logos yang juga berarti pengetahuan

atau informasi. Dari pengertian secara etimologi tersebut diatas dapat dikatakan bahwa

Epistemologi merupakan pengetahuan tentang pengetahuan.

Oleh karena itu Epistemologi ini menempati posisi yang strategis, karena ia

membicarakan tentang cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Mengetahui yang

benar dalam mendapatkan ilmu pengetahuan berkaitan erat dengan hasil yang ingin

dicapai yaitu berupa ilmu pengetahuan. Pada kelanjutan kepiawaiannya dalam menentukan

Epistemologi, akan sangat berpengaruh pada warna atau jenis ilmu pengetahuan yang

dihasilkan. Sejarah telah mencatat bahwa peradaban Islam pernah menjadi kiblat ilmu

pengetahuan dunia sekitar abad ke-7 sampai abad ke-15 setelah itu, masa keemasan itu

mulai melayu, statis, bahkan mundur hingga abad ke-21 ini. Hal itu terjadi, karena Islam

dalam kajian pemikirannya paling tidak menggunakan beberapa aliran besar dalam

kaitannya dengan teori pengetahuan (Epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem

berfikir dalam Islam, yakni Bayani, Irfani, Dan Burhani yang masing-masing mempunyai

pandangan yang berbeda tentang pengetahuan. Tiga sistem atau pendekatan tersebut

dikenal juga tiga aliran pemikiran Epistemologi Barat dengan bahasa yang berbeda yakni

Empirisme, Rasionalisme, dan Intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu

dinyatakan bahwa kebenaran itu bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan

pengalaman pribadi.

Selanjutnya orang yang memiliki corak akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu

dari teks memasukan mereka kepada golongan fundamental literalis. Sedangkan orang

yang memiliki corak berfikir Irfani akan menjawab bahwa sumber kebenaran itu dari

wahyu, ilham, wangsit dan sejenisnya. Pada pola berfikir demikian akan membangun akan

membangun sebuah struktur masyarakat yang memiliki hirarki atas bawah.

Page 3: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

B. PEMBAHASAN

1. Epistemologi Irfani

a. Pengertian Epistemologi Irfani

Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti

tahu/mengetahui. Seakar pula dengan ma’ruf (kebajikan) dan ma’rifat (pengetahuan).1

Sedangkan secara epistemologi, Irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan

cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diungkapkan secara logis.

Metode irfani adalah model metodologi yang didasarkan atas pendekatan dan

pengalaman langsung atas realitas spiritual agama. Berbeda dengan sasaran bayani yang

bersifat eksoteris, sasaran bidik Irfani adalah esoteris (batin) teks, karena itu rasio

berperan sebagai alat untuk menjelaskan berbagai pengalaman spritual tersebut.

Menurut sejarahnya, epistemologi ini telah ada baik dipersia atau yunani jauh

sebelumnya datangnya teks-teks keagamaan baik yahudi, kristen maupun Islam.

Sementara dalam tradisi (sufisme) Islam, ia berkembang sekitar abad ke 3H/9M dan

abad 4H/10M, seiring dengan perkembangan sebagai pengetahuan ma’rifat yang

diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan. Istilah tersebut digunakan

untuk membedakan antara pengetahuan yang diperoleh kasyf ilham. Iyan atau isyaraq.

Dikalangan mereka Irfani dimengerti sebagai ketersingkapan lewat pengalaman

indituitif akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui, (ittihad, al arif al

wa ma’ruf) yang telah dianggap sebagai pengetahuan tinggi, sedangkan para ahli al

Irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai An Nagl dan Al Tauzif,

dan menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ibarahnya untuk memperbanyak

makna, jadi pendekatan Irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalan kajian

pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan arfun untuk mengeluarkan makna batin

lafz dan ibarah, dia juga mereka istimbad al ma’rifah, al qlbiyah dari al qur’an, diman

pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalaman batin, qalb,

wijban, basirah, dan intuisi.

1 Ahmad Tafsir Dalam Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra,

(Remaja Rosdakarya: Bandung 2009) hl. 59

Page 4: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

b. Konsep Epistemologi Irfani

Pengetahuan Irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga

didasarkan pada rasio seperti halnya burhani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya rahasia-

rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan

konsep tasawuf. Oleh karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan

analisa teks tetapi dengan oleh rohani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan

akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep

kemudian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan

Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahap:

1) Persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus

menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang

harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak: taubat, wara’, (menjauhkan diri

dari segala yang subhat), zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan

dunia), faqir ( mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuai

Tuhan SWT), sabar, tawakal, ridla (hilangnya rasa ketidak senangan yang tersisa

hanya gembira dan suka cita).

2) Penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan

mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif

(pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapat realitas kesadaran diri

(musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas

yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan

eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran

yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihad), yang dalam kajian

mittihad), yang dalam kajian mehdi yazdi disebut ilmu huduri atau pengetahuan

objek.

Pengetahuan semacam ini didunia Islam sering disebut dengan ilham, seperti yang

dikatakan Ali Issa Othman, bahwa pengetahuan yang diperoleh didalam

‚kebangkitan‛ disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian.

Wahyu merupakan kata-kata yang digambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat

Page 5: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

secara umum, yang diturunkan Allah dengan maksud supaya disampaikan kepada

orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya

merupakan ‚pengungkapan‛ kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui

batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada

siapa saja yang diperkenankan oleh Allah. 2

3) Pengungkapan

Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain,

lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena pengetahuan Irfani bukan masuk tatanan

konsep dan representasi tetapi terkait dengan dengan kesatuan kompleks kehadiran

Tuhan dalam diri dan kehadiran dalam Tuhan, sehingga tidak bisa

dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.

Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batim yang

diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah: pertama, dapat diungkapan dengan cara

i’tibar atau qiyas Irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyaf

makna dzohir yang ada dalam teks. Kedua diungkapkan syathahat, suatu ungkapan

lisan tentang perasaan (Al Wijdan) karena limpahan pengetahuan langsung dari

sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, ‚maha besar aku‛ dari abu yazid al

bustami (w. 877 M), atau ‘ana al-haqq’ dari al hallaj (w. 913 M). Ungkapan –

ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar

saat orang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga

sering tidak sesuai dengan kaidah teologis dan Epistemologi tertentu, sehingga

karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran Islam yang

baku. Meski demikian, secara umum syathahat sebenarnya diterima dikalangan

sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan

syari’at, dengan syarat bahwa syathahat tersebut harus ditakwilkan, yakni

ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan kepada makna dzahir teks.

Artinya syathahat tidak boleh diungkapkan secara liar dan berseberangan dengan

ketentuan syariat yang ada.

2 Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali Trj Johan Smit Anas Yusuf (Pustaka,

Bandung: 1981) hl. 60

Page 6: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

Metode analogi seperti diatas, menurut al jabari juga dikenal dalam pemikiran

dibarat yakni dalam aliran filsafat esoterik yang disebut analogi intuitif. Namun,

dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dilakukan atas dasar

kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi Al-Jabari, dengan tidak

adanya kesetaraan atau kesamaan diantaranya dua hal yang dianalogikan berarti

analogi (qiyas) tersebut jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan Al-Jabari, ia

menggunakan metode analogi barat tersebut menganalisa Irfani Islami, sehingga

menganggap bahwa pengetahuan Irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan

sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreativitas akal yang didasarkan atas imajinasi.

Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsaatisasi mitos-mitos, yang tidak

memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan.

Masyarakat padahal, Irfani Islami sama sekali berbeda dengan mistik dibarat,

meski dibagian ada kesamaan. Irfani cenderung dengan kebersihan jiwa, rasa dan

keyakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi

lebih bersifat positifistik.

c. Perkembangan Irfani

Perkembangan Irfani secara umum dibagi dalam lima fase, yaitu:3

1) Fase pembibitan, terjadi pada abad pertama hijriah. Pada masa ini disebut

Irfani baru dalam bentuk laku zuhud. Karakter zuhud pada fase ini adalah

berdasarkan al qur’an dan hadist, yakni menjauhi duniawi meraih pahala

dan menjaga diri dari neraka. Bersifat praktis, tanpa da perhatian untuk

menyusun teori atas praktek-praktek yang dilakukan. Motifasi zuhudnya

adalah rasa takut, yang muncul dari landasan amal keagamaan secara

sungguh-sungguh.

2) Fase Kelahiran, zuhud dilakukan atas dasar cinta kepada Allah, bebas dari

rasa takut atau harapan mendapat pahala.

3) Fase Pertumbuhan, pencapaian kebahagiaan cenderung umum difase ini

masih pada psikomoral, belum pada tingkat meta fisis. Ide-ide metafisis yang

3 Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Pustaka Bani Quraisyi:

Bandung 2004), hl. 53.

Page 7: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

belum terungkap secara jelas. Karena itu, Nicholas menyatakan dari segi

teoritis dan praktis, kaum sufisme fase ini telah merancang suatu sistem yang

sempurna tentang Irfan. Akan tetapi, karena bukan filosof, mereka sedikit

menaruh perhatiaan terhadap problem-problem metafisika.

4) Fase Puncak, terjadi pada abad 5 M. Pada masa periode ini Irfani mencapai

masa gemilang. Banyak pribadi besar yang lahir yang menulis tentang Irfani.

Salah satu terpentinf dalam Irfani adalah puncaknya Al Ghazali menulis

kitab ihya’ ‘ulumuddin yang menyelaraskan tasawuf dan fiqh (Irfani dan

bayani).

5) Fase Spesifik, Irfani praktis tetap tidak sama dengan etika dan Irfani teoritis

berbeda dengan filsafat.

6) Fase Kemunduran, terjadi sejak abad ke 8 H. Sejak abad itu, Irfani tidak

mengalami kemunduran. Pada tokohnya lebih cenderung pada pemberian

komentar dan ikhtiar atas karya-karya terdahulu, dan lebih menekan bentuk

ritus dan formalisme, yang mendorong mereka menyimpang dari substansi

ajarannya sendiri.

d. Metode Irfani

1) Tahap Pertama, persiapan. Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan

(kasyf), seseorang yang biasanya disebut salik (penempuh jalan spiritual)

harus menyelesaikan jenjang kehidupan spritual.

2) Tahap Kedua, tahap penerimaan, dalam kajian filsafat Mehdi Yazdi, pada

seseorang akan mendapat realitas kesadaran dirinya sendiri sebagai objek

yang diketahui.

3) Tahap Ketiga, pengungkapan. Ini merupakan tahap terakhir dari proses

pencapaian pengetahuan Ifani, dimana pengetahuan mistik

diinterpresentsikan dan di ungkapkan kepada orang lain lewat ucapan atau

tulisan.

e. Kerangka Berfikir (Dasar-Dasar Falsafi Ahwal dan Maqamat)

Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku

dikalangan sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani

Page 8: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

tidak dapat dicapai dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses

yang panjang. Yang dimaksud dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah

tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya, dalam hal ibadah dan latihan-latihan

jiwa yang dilakukannya.

Para sufi secara teliti menegaskan perbedaan maqam dan hal. Maqam,

menurut mereka, ditandai oleh kemapanan, sementara hal justru mudah hilang.

Namun perlu dicatat antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya

ibarat dua sisi dalam satu mata uang.4

1) Maqam-Maqam dalam Tasawuf

Maqam yang dijalani para sufi umumnya terdiri dari :

a) Taubat : menurut Qomar Kalilani bahwa taubat adalah rasa penyesalan

yang sungguh-sungguh dalam hati disertai permohonan ampun serta

meninggalkan segala perbuatan yang menimbulkan dosa.

b) Zuhud : zuhud dapat diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari

rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan

mengutamakan kehidupan akhirat.

c) Faqr (fakir) : Al-Faqr adalah tidak menuntut lebih banyak dari apa yang

telah dipunyai dan merasa puas dengan apa yang dimiliki. Sehingga

tidak meminta sesuatu yang lain. Faqr dapat berarti sebagai kekurangan

harta yang diperlukan seseorang dalam menjalani kehidupan didunia.

d) Sabar : sabar jika dipandang sebagai pengengkang tuntutan nafsu dan

amarah, dinamakan Al-Ghazali sebagai kesabaran jiwa, sedangkan

menahan terhadap penyakit fisik, disebut sebagai sabar badani,

kesabaran jiwa sangat dibutuhkan dalam berbagai aspek.

Menurut Syekh ‘Abdul Qadir Al-Jailani, sabar ada tiga macam yaitu :

- Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi

larangan-Nya. Bersabar bersama Allah, bersabar atas Allah.

4 Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008) hl. 38

Page 9: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

- Syukur : syukur adalah ungkapan rasa terimakasih atas nikmat yang

diterima.

- Rela (Ridha) : berarti menerima dengan rasa puas terhadap apa yang

dianugrahi Allah SWT.

- Tawakal : hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah

‘Azza wa Jalla, membersihkan diri dari ikhtiar yang keliru dan tetap

menapaki kawasan-kawasan hukum dan ketentuan.

2) Ahwal yang Dijumpai dalam Perjalani Sufi

Ahwal yang sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah :

a) Waspada dan mawas diri (Muhasabah dan Muraqabah)

Waspada dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran,

perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang menjadi seseorang menjadi hormat,

takut dan tunduk kepada Allah.

b) Cinta (Hubb)

Dalam pandangan tasawuf mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi

segenap kemuliaan hal, seperti halnya tobat yang merupakan dasar bagi

kemuliaan maqam. Dan menurut kaum sufi mahabbah adalah

kecenderungan hati untuk memerhatikan keindahan atau kecantikan.

c) Berharap dan takut (raja’ dan khusuf)

Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah

perasaan hati yang senang karena menaati sesuatu yang diinginkan dan

disenangi.

C. PEMBAHASAN

1. Epistemologi Irfani dalam Kaitan Tasawuf

Dalam tasawuf, Qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat,

termasuk didalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat

adalah yang telah tersucikan dari berbagai godaan atau akhlak jelek yang sering

dilakukan manusia. Berbagai uraian di atas bahwa hati menjadi sarana untuk

Page 10: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

memperoleh ma’rifat. Untuk memperoleh ma’rifat seseorang harus melalui upaya-

upaya tertentu, antara lain :

a) Riyadhah

Yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak

melakukan hal-hal mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses

internalisasi kejiwaan dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan

meninggalkan sifat-sifat jelek. Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat

diperoleh melalui upaya melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-

menerus.

b) Tafakur

Berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri

manusia melalui aktivitas yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Nafs kulli

mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu

ma’rifat.

c) Tazkiyat An-Nafs

Adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka

tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Upaya melakukan

penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu

ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap

hakikat : jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan

maksiat, menurut keinginan badan, penutup yang menghalangi masuknya hakikat

kedalam jiwa, tidak dapat berfikit logis.

d) Dzikurillah

Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah

membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan

metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam pandangan

sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaikat,

menurut Al-Ghazali dzikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham.

Didalam epistimologi irfani mengandung beberapa pengertian antara lain :

‘ilmu atau ma’rifah, metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam.

Dan al ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadaopsi ke dalam Islam, para ahl al-irfani

Page 11: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

mempermudahnya menjadi pembicaraan mengenai : Al-Naql dan al-tawzif dan

upaya menyingkapi wacana qur’ani dan memperluas ibarah untuk memperbanyak

makna. Jadi pendekatan irfani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam

kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifin dan irfani untuk mengeluarkan

makna batin dari batin lafz dan ibarah,ia juga merupakan istinbat al-ma’rifat al-

qalbiyyah dari Al-Qur’an.5

Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada

instrumen pengalaman batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Sedangkan

metode yang digunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi

disebut juga manhaj juga manhaj ma’rifah irfani yang tidak menggunakan indera

atau akal, tetapi kashf dengan riyadhah dan mujahadah.

Pendekatan irfani banyak dimanfaatkan dalam ta’wil. Ta’wil irfani terhadap

Al-Qur’an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. Tetapi ia

merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-Qur’an lewat pemikiran yang berasal dari

dan berkaitan dengan warisan irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan

untuk menangkap makna batinnya.

Contoh konkrit irfani dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah ishraqi

yang memandang pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan

yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,bahkan akan mencapai al-

hikmah al-haqiqah. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyektif,

namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat

melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas

kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipasi. Sifat

intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahapan-tahapan sebagai

berikut. Pertam-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan

melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan

menerima ‚pengalaman‛. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahapan

konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana

5 Nasrah, Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam, (Yogyakarta: Bayu Media, 2003), hl. 12

Page 12: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga

kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

Implikasi dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman,

adalah menghampiri agama-agama pada tataran substansi dan esensi spiritualnya,

dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman

keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,

namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada

Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan

simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya

kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan

peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.6

D. KESIMPULAN

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang dari ilmu filsafat yang kemudian

membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti

tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan tasawuf. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak

diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah rohani, yang setidaknya diperoleh

melalui tiga tahap: persiapan , penerimaan (ilham), dan pengungkapan. Ungkapan-

ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara Irfani sering kali menjadi tidak beraturan

dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif

yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun

Epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.

Lingkup perjalanan menuju Allah untuk memperoleh ma’rifat yang berlaku dikalangan

sufi sering disebut sebagai sebuah kerangka ‚Irfani‛. Lingkup irfani tidak dapat dicapai

dengan mudah atau secara spontanitas, tetapi melalui proses yang panjang. Yang dimaksud

dengan tingkatan (maqam) oleh para sufi adalah tingkatan seorang hamba dihadapan-Nya,

dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya.

Dalam tasawuf, Qalb merupakan pengetahuan tentang hakikat-hakikat, termasuk

didalamnya adalah hakikat ma’rifat. Qalb yang dapat memperoleh ma’rifat adalah yang

telah tersucikan dari berbagai godaan atau akhlak jelek yang sering dilakukan manusia.

6 Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Media Bayu, 2003), 25.

Page 13: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

Berbagai uraian di atas bahwa hati menjadi sarana untuk memperoleh ma’rifat. Untuk

memperoleh ma’rifat seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu seperti :

1. Riyadhah

Yaitu latihan kejiwaan melalui upaya membiasakan diri agar tidak melakukan hal-

hal mengotori jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan

dengan sifat-sifat terpuji dan melatih membiasakan meninggalkan sifat-sifat jelek.

Riyadhah perlu dilakukan karena ilmu ma’rifat dapat diperoleh melalui upaya

melakukan perbuatan kesalehan atau kebaikan yang terus-menerus.

2. Tafakur

Berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia

melalui aktivitas yang menggunakan perangkat batiniah (jiwa). Nafs kulli

mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menghasilkan ilmu, terutama ilmu

ma’rifat.

3. Tazkiyat An-Nafs

Adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian jiwa dalam kerangka

tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan tahalli. Upaya melakukan

penyempurnaan jiwa perlu dilakukan oleh setiap orang yang menginginkan ilmu

ma’rifat. Ada lima hal yang menjadi penghalang bagi jiwa dalam menangkap

hakikat : jiwa yang belum sempurna, jiwa yang dikotori perbuatan-perbuatan

maksiat, menurut keinginan badan, penutup yang menghalangi masuknya hakikat

kedalam jiwa, tidak dapat berfikit logis.

4. Dzikurillah

Secara etimologi, dzikir adalah mengingat, sedangkan secara istilah adalah

membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah. Dzikir merupakan

metode lain yang paling utama untuk memperoleh ilmu laduni. Dalam pandangan

sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yakni dengan datangnya malaikat,

menurut Al-Ghazali dzikir juga berfungsi untuk mendatangkan ilham.

Contoh konkrit irfani dari pendekatan irfani lainnya adalah falsafah ishraqi

yang memandang pengetahuan intuitif. Dengan pemaduan tersebut pengetahuan

yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,bahkan akan mencapai al-

hikmah al-haqiqah. Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyektif,

Page 14: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat

melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas

kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipasi. Sifat

intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahapan-tahapan sebagai

berikut. Pertam-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan

melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan

menerima ‚pengalaman‛. Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahapan

konstruksi. Tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik dimana

perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran

yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.

Implikasi dari pengetahuan irfani dalam konteks pemikiran keislaman,

adalah menghampiri agama-agama pada tataran substansi dan esensi spiritualnya,

dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman

keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya,

namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada

Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan transreligius diimbangi rasa empati dan

simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan

terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban

yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir Dalam Filsafat Umum, Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai Capra, (Remaja

Rosdakarya: Bandung 2009)

Ali Issa Othman, Manusia Menurut Al Ghazali Trj Johan Smit Anas Yusuf (Pustaka, Bandung:

1981)

Anwar Rosihon dkk, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).

Nasrah, Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam, (Yogyakarta: Bayu Media, 2003)

Noorsyam, Filsafat Pendidikan Dasar Dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, (Usaha Nasional,

Surabaya: 1984)

Page 15: KONSEP EPISTEMOLOGI IRFANI DALAM KAITANNYA DENGAN …

Sumarna, Cecep, Filsafat Ilmu Dari Hakikat Menuju Nilai, (Pustaka Bani Quraisyi: Bandung

2004)

Khodorisholeh M.Ag, Wacana Baru Filsafat, (Pustaka Pelajar: Yogjakarta 2004)