Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

54
Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR JKIPM VOLUME 1 NUMBER 2 PEMATANGSIANTAR APRIL 2020 ISSN : 2685 - 290X

Transcript of Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

Page 1: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

Jurnal Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Matematika

(JKIPM)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR

JKIPM

VOLUME 1

NUMBER 2

PEMATANGSIANTAR

APRIL 2020

ISSN :

2685 - 290X

Page 2: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

2

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PS Pendidikan Matematika | FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar | ISSN : 2685 – 290X

JKIPM JURNAL KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA

PEMBINA Prof. Dr. Sanggam Siahaan, M.Hum

Prof. Dr. Selviana Napitupulu, M.Hum

PENANGGUNGJAWAB Pdt. Dr. Nurliani Siregar, M.Pd

PIMPINAN REDAKSI Lois Oinike Tambunan, S.Pd., M.Pd

SEKRETARIS REDAKSI Christa Voni Sinaga, S.Pd., M.Pd

BENDAHARA Rianita Simamora, S.Pd., M.Pd

DEWAN REDAKSI Drs. Lasman Malau, M.Pd

Yanti Marbun, S.Pd., M.Pd

Juli Antasari Sinaga, S.Pd, M.Pd

REVIEWER Prof. Dr. Sanggam Siahaan, M.Hum (Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar)

Prof. Dr. Bornok Sinaga, M.Pd., Ph.D (Universitas Negeri Medan)

Dr. Hotman Simbolon, M.S (Universitas HKBP Nommensen Medan)

Dr. Firman Pangaribuan, M.Pd (Universitas HKBP Nommensen Medan)

Mangaratua Simanjorang, M.Pd., Ph.D (Universitas Negeri Medan)

EDITOR TEKNIK Theresia Monika Siahaan, S.Pd., M.Pd

Yoel Octobe Purba, S.Pd., M.Pd

Alamat Redaksi :

Kantor Program Studi Pendidikan Matematika FKIP – Univ HKBP Nommenesen Pematangsiantar

Jl. Sangnawaluh No.4 Pematangsiantar – Sumatera Utara

Telp. 0622-7550232, Fax : 0622-7552017, Email : [email protected]

Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM) adalah jurnal nasional yang

merupakan wadah komunikasi ilmu dari matematikawan, praktisi pendidikan matematika, atau

para ahli yang menggunakan matematika sebagai kajian penelitian. Jurnal Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Matematika berisikan tentang hasil-hasil penelitian yang relevan, kajian teori yang

berhubungan dengan pendidikan matematika dan matematika yang dikelola oleh PS Pendidikan

Matematika UHKBPNP dan terbit dua kali setahun yaitu pada Bulan April dan Bulan Agustus

.

Page 3: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

3

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PS Pendidikan Matematika | FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar | ISSN : 2685 – 290X

JKIPM JURNAL KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN MATEMATIKA

Halaman

Daftar Isi ii

Judul

1. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Dalam Meningkatkan Kemampuan

Berpikir Kritis dan Berkomunikasi Matematik Mahasiswa Program Studi

Pendidikan Matematika UHKBPNP.

(Lois Oinike Tambunan)

1 - 10

2. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Menggunakan Metode Inkuiri

Dengan Metode Ekspositori Pada Materi Pangkat dan Bentuk Akar Di Kelas X

SMA

(Christa Voni Roulina Sinaga)

11 - 18

3. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar Dengan Menggunakan

Model CUPs Dengan Model Konvensional Pada Materi Segiempat Di Kelas VII SMP

(Yoel Octobe Purba)

19 - 25

4. Perbedaan Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar Dengan Menggunakan

Metode Students Teams Achievement Division Dengan Metode Ekspositori

Pada Pokok Bahasan Operasi Bentuk Aljabar Di Kelas VII SMP Negeri 1

Jorlang Hataran T.A. 2019/2020

(Rianita Simamora)

26 - 34

5. Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa

Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

(Yanty Maria Rosmauli Marbun)

35 - 43

6. Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap

Komunikasi Matematika Siswa

(Golda Novatrasio Sauduran)

44 - 52

Page 4: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

1

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN BERKOMUNIKASI MATEMATIK

MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA UHKBPNP

Lois Oinike Tambunan, S.Pd., M.Pd.

Dosen Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar

ABSTRAK

Tujuan dalam penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan

kemampuan berpikir kritis matematika antara peserta didik yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran matematika secara

konvensional ditinjau dari kemampuan matematika peserta didik; dan (2) Untuk mengetahui

apakah terdapat perbedaan kemampuan berkomunikasi matematika antara peserta didik yang

memperoleh pembelajaran kooperatif dengan peserta didik yang memperoleh pembelajaran

matematika secara konvensional ditinjau dari kemampuan matematika peserta didik.

Penelitian ini mengambil dua kelas paralel secara acak yang homogen dengan menerapkan

pembelajaran yang berbeda. Kelas yang pertama (kelompok eksperiman) diberi perlakuan

dengan menerapkan pendekatan pembelajaran kooperatif dan kelas yang kedua (kelompok

kontrol) tidak diberi perlakuan hanya pembelajaran dilakukan secara biasa (konvensional).

Populasi dalam penelitian adalah seluruh mahasiswa semester III program studi pendidikan

matematika UHKBPNP. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa semester III grup A

program studi pendidikan matematika UHKBPNP. Penelitian ini menggunakan Uji-t untuk

menguji perbedaan dua rata-rata, sedangkan ANOVA dua jalur digunakan untuk menguji

interaksi antara faktor pembelajaran (Kooperatif, Konvensional) dengan faktor kemampuan

matematika siswa (tinggi, sedang, rendah).

Kata Kunci : Pembelajaran Kooperatif, Kemampuan Berpikir Kritis, Kemampuan

Komunikasi

Pendahuluan

Perkembangan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi (IPTEK) pada zaman

sekarang terjadi begitu pesat terutama

dalam bidang informasi, sehingga

informasi yang terjadi di berbagai penjuru

dunia dapat kita ketahui dengan cepat. Hal

ini mengakibatkan persaingan yang

semakin ketat dalam berbagai aspek

kehidupan. Dalam menghadapi kenyataan

ini diperlukan sumber daya alam yang

berkualitas sehingga hal yang paling

penting dilakukan adalah meningkatkan

kualitas sumber daya manusia. Seperti

yang diungkapkan oleh Syaban (2008),

bahwa: Memasuki era globalisasi

diperlukan sumber daya manusia yang

handal dan mampu berkompetensi secara

global, sehingga diperlukan sumber daya

manusia yang kreatif, berpikir sistematis

logis, konsisten dan dapat bekerja sama

serta tidak cepat putus asa.

Untuk memperoleh kualitas sumber

daya manusia seperti disebutkan di atas

diperlukan pendidikan yang berkualitas

pula. Mengenai hal ini Syaban (2008)

mengatakan: Salah satu mata pelajaran

yang merefleksikan sifat tersebut adalah

mata pelajaran matematika, karena

matematika merupakan ilmu dasar dan

melayani hampir setiap ilmu. Matematika

juga merupakan ilmu yang deduktif, ilmu

yang terstruktur dan merupakan bahasa

simbol dan bahasa numerik.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa

mata pelajaran matematika adalah ilmu

Page 5: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

2

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

yang sangat penting bagi kehidupan,

karena dapat diterapkan dalam berbagai

aspek kehidupan. Matematika sering

dianggap sebagai ilmu yang hanya

menekankan pada kemampuan berpikir

kritis dan logis dengan penyelesaian yang

tunggal dan pasti. Matematika dipelajari

pada setiap jenjang pendidikan dan

menjadi salah satu pengukur (indikator)

keberhasilan siswa dalam menempuh suatu

jenjang pendidikan, serta menjadi materi

ujian untuk seleksi penerimaan menjadi

tenaga kerja bidang tertentu. Melihat

kondisi ini berarti matematika tidak hanya

digunakan sebagai acuan melanjutkan

pendidikan yang lebih tinggi tetapi juga

digunakan dalam mendukung karier

seseorang. Tantangan masa depan yang

selalu berubah sekaligus persaingan yang

semakin ketat memerlukan keluaran

pendidikan yang tidak hanya trampil

dalam suatu bidang tetapi juga kreatif

dalam mengembangkan bidang yang

ditekuni.

Menurut pengamatan Russefendi

(dalam Saragih, 2007) anak-anak yang

menyenangi matematika hanya pada

permulaan mereka berkenalan dengan

matematika yang sederhana, makin tinggi

tingkatan sekolahnya dan makin sukar

matematika yang dipelajarinya akan

semakin berkurang minatnya. Hal yang

sama juga dikemukakan oleh Begle (dalam

Saragih, 2007) bahwa siswa yang hampir

mendekati sekolah menengah mempunyai

sikap terhadap matematika secara perlahan

menurun. Uraian di atas menunjukkan

bahwa baik kemampuan berpikir kritis,

berkomunikasi matematika dan sikap

positif siswa dalam matematika merupakan

faktor yang sangat penting bagi

perkembangan kognitif siswa dan dapat

mempengaruhi hasil belajar matematika

siswa itu sendiri.

Temuan ini sangat ironis secara

‘legal teoritis’ padahal menurut Dahar

(1989) ditegaskan bahwa perkembangan

intelektual siswa sudah termasuk dalam

kategori operasional abstrak, pada tahap

ini seharusnya siswa sudah mampu

menganalisis dan melakukan sintesis

kompleks abstrak. Kelemahan ini

kemunculannya disinyalir dari pangkal

kebiasaan belajar siswa sebelumnya seperti

telah diuraikan di atas. Untuk mengatasi

hal ini perlu diusahakan supaya siswa

terlibat aktif dalam proses pembelajaran,

melalui kegiatan pengamatan, penemuan,

problem solving, percobaan, dan kegiatan-

kegiatan yang mengembangkan daya

berpikir dan kreatifitas peserta didik. Salah

satu alternatif strategi pembelajaran yang

yang dianggap paling tepat untuk

mengatasi permasalahan di atas adalah

model pembelajaran kooperatif.

Penciptaan suasana kooperatif

dapat membagun siswa saling mengajukan

persuasi dengan menggunakan argumen-

argumen logis mereka. Masalah-masalah

matematika seringkali bisa dipecahkan

melalui beberapa pendekatan berbeda, dan

para siswa secara berkelompok bisa

mendiskusikan manfaat dari solusi yang

berbeda-beda. Matematika menawarkan

banyak kesempatan untuk melakukan

pemikiran kreatif, untuk menelusuri situasi

yang terbuka, untuk membuat perkiraan

dan mengujinya dengan data, untuk

memberikan masalah-masalah yang

memikat, dan untuk menyelesaikan

masalah-masalah yang tidak rutin. Para

peserta didik dalam kelompok–kelompok

seringkali bisa menangani situasi-situasi

menarik yang berada di luar kemampuan

individu pada tahap perkembangan itu.

Dugaan bahwa kemampuan

matematika siswa yang diklasifikasikan

kedalam kelompok kemampuan tinggi,

sedang dan rendah memberikan kontribusi

pada kemampuan berpikir kritis,

kemampuan komunikasi matematika,

maupun sikap positif terhadap matematika

yang pada akhirnya dapat mempengaruhi

hasil belajar matematika adalah cukup

beralasan. Ditinjau dari objek matematika

yang terdiri dari fakta, keterampilan,

konsep dan prinsip menunjukkan bahwa

matematika sebagai objek abstrak yang

merupakan ilmu terstruktur, akibatnya

Page 6: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

3

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

perlu memperhatikan hirarki dalam belajar

matematika. Setiap siswa mempunyai

kemampuan yang berbeda dalam

memahami matematika. Menurut

Ruseffendi (dalam Saragih, 2007) dari

sekelompok siswa yang dipilih secara acak

akan selalu dijumpain siswa yang memiliki

kemampuan tinggi, sedang dan rendah, hal

ini disebabkan kemampuan siswa

menyebar secara distribusi normal.

Menurut Ruseffendi (dalam Saragih,

2007), perbedaan kemampuan yang

dimiliki siswa bukan semata-mata

merupakan bawaan dari lahir, tetapi juga

dapat dipengaruhi oleh lingkungan.

Dipilihnya pembelajaran kooperatif

dengan pertimbangan strategis sebagai

berikut (1) proses pembelajaran kooperatif

melibatkan siswa dalam diskusi kelompok

sehingga mereka akan lebih berpikir kritis

dan terampil berkomunikasikan

matematika dengan menggunakan simbol-

simbol matematika, (2) pembelajaran

kooperatif memungkinkan siswa belajar

mencari tahu dari sesuatu yang belum

diketahui, dalam upaya mencari tahu siswa

lebih terbuka sehingga siswa dapat

mengemukakan ide atau pendapat sesuai

dengan pikiran atau inisiatifnya sendiri

sehingga siswa dapat menunjukkan

keanekaragaman berfikir kritis mereka.

Selain alasan di atas pertimbangan

strategis lain dipilihnya pembelajaran

kooperatif didasarkan pertimbangan

sebagai berikut; perkembangan ilmu

matematika dewasa ini maju dengan

sangat pesat, dengan adanya

perkembangan tersebut, maka untuk

menghadapinya perlu mengembangkan

kualitas pembelajaran.

Oleh sebab itu guru dituntut dapat

menenerapkan dan merencanakan kegiatan

pembelajaran yang dapat membekali

peserta didik agar terampil menemukan

sendiri fakta dan konsep matematika.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan

oleh guru untuk membekali ketrampilan

ini kepada siswanya adalah dengan cara

“mengajari” siswa menemukan dan

mengkonstruksi (membangun) sendiri

berpikir kritis dan berkomunikasi

matematika dengan menggunakan simbol

matematika, salah satu strategi

pembelajaran yang dianggap paling tepat

untuk hal ini adalah dengan menggunakan

pembelajaran kooperatif.

Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh mahasiswa semester III

program studi pendidikan matematika

UHKBPNP dan sampel pada penelitian ini

adalah mahasiswa semester III grup A

program studi pendidikan matematika

UHKBPNP. Penelitian ini mengambil dua

kelas paralel secara acak yang homogen

dengan menerapkan pembelajaran yang

berbeda. Kelas yang pertama (kelompok

eksperiman) diberi perlakuan dengan

menerapkan pendekatan pembelajaran

kooperatif dan kelas yang kedua

(kelompok kontrol) tidak diberi perlakuan

hanya pembelajaran dilakukan secara biasa

(konvensional).

Untuk melihat kedua kelas

mempunyai tingkat kepandaian yang sama

(homogen) dan juga melihat sejauh mana

kesiapan siswa menerima materi baru

sebagai materi prasyarat, maka kedua kelas

dilakukan tes awal (pre test). Selanjutnya

setelah dianalisa hasil pretest dan didapat

hasil yang sesuai dengan harapan

penelitian, maka barulah kedua kelas

dilanjutkan dengan pembelajaran materi

baru, kelas pertama dengan perlakuan dan

kelas kedua tidak diberi perlakuan.

Penelitian ini menggunakan empat

jenis instrumen yaitu tes kemampuan

berpikir kritis dalam matematika dan

komunikasi matematika, angket tentang

sikap, serta lembar observasi guru dan

siswa. Penelitian ini menggunakan dua

jenis pedoman observasi yaitu pedoman

observasi pelaksanaan pembalajran yang

berfungsi untuk melihat keefektipan

kegiatan guru dalam menerapkan kedua

pendekatan pembelajaran di kelas,

khususnya untuk kooperatif dan pedoman

Page 7: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

4

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

observasi kegiatan siswa berfungsi untuk

melihat keaktifan siswa dalam

pembelajaran di kelas.

Data yang diperoleh dari skor

kemampuan berpikir kritis dan

kemampuan berkomunikasi matematika

dikelompokkan menurut kelompok

pendekatan pembalajaran (Kooperatif dan

Konvensional) dan kelompok kemampuan

matematika siswa (tinggi, sedang dan

rendah). Pengolahan data diawali dengan

menguji persyaratan statistik yang

diperlukan sebagai dasar dalam pengujian

hipotesis antara lain uji normalitas dan

homogenitas baik terhadap bagian-bagian

maupun secara keseluruhan. Selanjutnya

dilakukan uji t dan Anova dua jalur yang

disesuaikan dengan permasalahannya.

Pembahasan

Berpikir kritis adalah proses mental

untuk menganalisis atau mengevaluasi

informasi. Informasi tersebut didapatkan

dari hasil pengamatan, pengalaman, akal

sehat atau komunikasi (Priyadi, 2005).

Sejalan dengan itu Agustinus (2007)

mengatakan berpikir kritis adalah suatu

aktifitas kognitif yang berkaitan dengan

penggunaan nalar. Belajar untuk berpikir

kritis berarti menggunakan proses mental

berpikir kritis seperti memperhatikan,

mengkategorikan, seleksi, dan

menilai/memutuskan. Kemampuan dalam

berpikir kritis memberikan arahan yang

tepat dalam berpikir dan bekerja dan

membantu dalam menentukan keterkaitan

sesuatu dengan yang lainnya dengan lebih

akurat. Oleh sebab itu kemampuan berpikir

kritis sangat dibutuhkan dalam pemecahan

masalah / pencarian solusi, dan

pengelolaan proyek.

Pengembangan kemampuan

berpikir kritis merupakan integrasi

beberapa bagian pengembangan

kemampuan, seperti pengamatan

(observasi), analisis,

penalaran, penilaian, pengambilan

keputusan, dan persuasi. Semakin baik

pengembangan kemampuan-kemampuan

ini, maka kita akan semakin dapat

mengatasi masalah-masalah/proyek

komplek dan dengan hasil yang

memuaskan.

Menurut I Gusti (2009) berpikir

kritis matematika adalah kemampuan

untuk menganalisa fakta,

mengorganisasikan ide-ide,

mempertahankan pendapat, membuat

perbandingan, membuat kesimpulan,

mempertimbangkan argument dan

memecahkan masalah. Cara berpikir kritis

meliputi pemikiran analitis dengan tujuan

untuk mengevaluasi apa yang telah dibaca.

Berpikir kritis adalah suatu proses sadar

yang digunakan untuk menginterpretasi

atau mempertimbangkan informasi dan

pengalaman yang menggiring pada suatu

perilaku.

Orang-orang yang memilliki daya

pikir kritis mengakui bahwa tidak hanya

ada satu cara yang benar untuk memahami

dan mengevaluasi argumen. Proses

intelektual aktif yang disiplin dalam

mengkonseptualisasi, mengaplikasikan,

menganalisis, menguraikan, dan atau

mengevaluasi informasi yang didapat dari

observasi, pengalaman, refleksi, logika,

atau komunikasi.

Walker (2009) menawarkan

delapan strategi yang berpotensi

meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

Berikut gambaran singkat kedelapan

strategi tersebut:

1. CATS (Classroom Assessment

Techniques), Strategi ini

menekankan perlunya sistem

penilaian untuk memonitor dan

memfasilitasi berpikir kritis siswa.

Caranya adalah dengan

memberikan tugas menulis singkat

kepada siswa yang isinya

merespons pertanyaan sebagai

berikut : Adakah sesuatu yang

penting yang Anda pelajari hari

ini? Pertanyaan apa pada sesi ini

yang menggugah pikiran Anda?

Page 8: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

5

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

2. CLS (Cooperative Learning

Strategies), Strategi ini

menekankan pada pengaturan

siswa agar berlajar bekerja sama

dalam kelompok. Dalam

kelompok-kelompok itu siswa

mendapat kesempatan untuk aktif

dan mendapat respons langsung

dengan frekuensi tinggi dari siswa

lain.

3. Metode Diskusi dan Studi Kasus,

Strategi ini ditandai ajuan kasus

atau cerita yang disampaikan guru

tanpa kesimpulan atau jalan keluar.

Siswa ditantang untuk mencari

kesimpulan dan akhir cerita melalui

diskusi dengan teman-temannya.

4. Penggunaan pertanyaan. Strategi

ini ditandai dengan adanya

pertanyaan-pertanyaan yang

disusun baik oleh siswa

perkelompok maupun pribadi.

Pertanyaan yang telah mereka buat

saling meraka tanyakan kepada

siswa atau kelompok lain.

5. Conference Style Learning.

Strategi ini berisi kegiatan semisal

konferensi. Siswa diberi bahan

yang harus mereka pahami

kemudian mempresentasikannya di

depan kelas. Tanya jawab

dilangsungkan setelah presentasi

tersebut.

6. Pemberian tugas menulis. Strategi

ini didasari pemikiran bahwa

menulis adalah dasar

pengembangan keterampilan

berpikir kritis. Dengan penugasan

menulis, guru dapat menggugah

penalaran dialektik siswa ketika

membuat argumen dari beberapa

segi tentang suatu isu.

7. Dialog, strategi ini dikemukakan

Robertson dan Rane Szostak dalam

dua bentuk yaitu dialog bahan

tertulis dan dialog spaontan. Pada

dialog bahan tertulis, tiap siswa

harus menidentifikasi perbedaan

sudut pandang dari setiap

partisipan. Dari dialog tersebut

mereka dilatih menemukan bias,

penggunaan bukti, dan alternatif

penafsiran.

8. Ambigu, Strategi ini dikemukan

Strohm dan Baukus yang ditandai

penciptaan situasi ambigu di dalam

kelas. Siswa tidak diberi materi

yang tuntas. Ketidaktuntasan

materi mengakibatkan konflik

informasi yang menuntut siswa

mencari jalan keluarnya.

Komunikasi merupakan bagian

yang sangat penting pada matematika dan

pendidikan matematika. Komunikasi

merupakan cara berbagi ide dan

memperjelas pemahaman. Melalui

komunikasi ide dapat dicerminkan,

diperbaiki, didiskusikan, dan

dikembangkan. Proses komunikasi juga

membantu membangun makna dan

mempermanenkan ide dan proses

komunikasi juga dapat mempublikasikan

ide. Ketika para siswa ditantang

kemampuan berpikir mereka tentang

matematika dan mengkomunikasikan hasil

pikiran mereka secara lisan atau dalam

bentuk tulisan, pada saat itulah mereka

sedang belajar menjelaskan, menyakinkan,

mendengarkan penjelasan siswa yang lain,

memberi siswa kesempatan untuk

mengembangkan pemahaman mereka.

Sudrajat (dalam Lindquist, 2008)

mengatakan ketika seorang siswa

memperoleh informasi berupa konsep

matematika yang diberikan guru maupun

yang diperoleh dan bacaan, maka saat itu

terjadi transformasi informasi matematika

dan sumber kepada siswa tersebut. Siswa

akan memberikan respon berdasarkan

interpretasinya terhadap informasi itu.

Masalah yang sering timbul adalah respon

yang diberikan siswa atas informasi yang

diterimanya tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan. Hal ini mungkin terjadi karena

Page 9: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

6

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

karakteristik dan matematika yang sarat

dengan istilah dan simbol, sehingga tidak

jarang ada siswa yang mampu

menyelesaikan soal matematika dengan

baik, tetapi tidak mengerti apa yang

sedang dikerjakannya.

Pendapat tentang pentingnya

komunikasi dalam pembelajaran

matematika juga diusulkan NCTM (dalam

Lindquist, 2008) yang menyatakan bahwa

program pembelajaran matematika sekolah

harus memberi kesempatan kepada siswa

untuk:

a. Menyusun dan mengaitkan

pemikiran matematika mereka

melalui komunikasi.

b. Mengkomunikasikan pemikiran

matematika mereka secara logis

dan jelas kepada teman-

temannya, guru, dan orang lain.

c. Menganalisis dan menilai

pemikiran matematika dan

strategi yang dipakai orang

lain.

d. Menggunakan bahasa

matematika untuk

mengekspresikan ide-ide

matematika secara benar.

Gusni (dalam Lindquist, 2008)

mengatakan kemampuan komunikasi

matematika merupakan kemampuan yang

dapat menyertakan dan memuat berbagai

kesempatan untuk berkomunikasi dalam

bentuk:

a. Merefleksikan gambar, grafik,

tabel ke dalam ide matematika.

b. Membuat model situasi atau

persoalan menggunakan

metode lisan, tertulis, dan

grafik.

c. Menyatakan peristiwa sehari-

hari dalam bahasa atau simbol

matematika.

d. Mendengarkan, berdiskusi, dan

menulis tentang matematika.

e. Membaca dengan pemahaman

suatu presentasi matematika

tertulis.

f. Membuat konjektur, menyusun

argumen, merumuskan definisi,

dan generalisasi.

g. Menjelaskan dan membuat

pertanyaan tentang matematika

yang telah dipelajari.

Selain itu menurut Greenes dan

Schulman (dalam Lindquist, 2008)

komunikasi matematik adalah:

kemampuan (1) menyatakan ide

matematika melalui ucapan, tulisan,

demonstrasi, dan melukiskannya secara

visual dalam tipe yang berbeda, (2)

memahami, menafsirkan, dan menilai ide

yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau

dalam bentuk visual, (3) mengkonstruk,

menafsirkan dan menghubungkan

bermacam-macam representasi ide dan

hubungannya.

Kooperative learning berasal dari

kata cooperative yang artinya mengerjakan

sesuatu secara bersama-sama dengan

saling membantu satu sama lainnya

sebagai satu kelompok atau satu tim.

Slavin (dalam Isjoni, 2009)

mengemukakan bahwa cooperative

learning adalah suatu model pembelajaran

dimana sistem belajar dan bekerja dalam

kelompok-kelompok kecil yang berjumlah

4-6 orang secara kolaboratif sehingga

dapat merangsang siswa lebih bergairah

dalam belajar.

Sedangkan Johnson (dalam Isjoni,

2009) mengemukakan cooperative

learning mengandung arti bekerja sama

dalam mencapai tujuan bersama. Dalam

kegiatan kooperatif, siswa mencari hasil

yang menguntungkan bagi seluruh anggota

kelompok. Belajar kooperatif adalah

pemanfaatan kelompok kecil untuk

memaksimalkan belajar mereka dan

Page 10: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

7

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

belajar anggota lainnya dalam kelompok

itu.

Lie (2008) menyebut cooperative

learning dengan istilah pembelajaran

gotong-royong yaitu sistem pembelajaran

yang memberi kesempatan kepada peserta

didik untuk bekerjasama dengan siswa lain

dalam tugas-tugas yang terstruktur.

Cooperative learning adalah suatu model

pembelajaran yang saat ini banyak

digunakan untuk mewujudkan kegiatan

belajar mengajar berpusat pada siswa

terutama untuk mengaktifkan siswa yang

tidak dapat bekerja sama dengan orang

lain. Model pembelajaran ini telah terbukti

dapat dipergunakan dalam berbagai mata

pelajaran dan berbagai usia.

Slavin (dalam Isjoni, 2009)

menyebutkan cooperative learning

merupakan model pembelajaran yang telah

dikenal sejak lama, dimana pada saat itu

guru mendorong para siswa untuk

melakukan kerja sama dalam kegiatan-

kegiatan tertentu seperti diskusi atau

pengajaran teman sebaya. Dalam

melakukan proses belajar mengajar guru

tidak lagi mendominasi seperti lazimnya

pada saat ini, sehingga siswa dituntut

untuk berbagai informasi dengan siswa

yang lainnya dan saling belajar mengajar

sesama mereka.

Ada banyak alasan mengapa

kooperatif tersebut mampu memasuki

kelaziman praktek pendidikan. Selain

bukti-bukti nyata tentang keberhasilan

pendekatan ini, pada masa sekarang

masyarakat pendidikan semakin menyadari

pentingnya para siswa berlatih berpikir,

memecahkan masalah, serta

menggabungkan kemampuan dan keahlian.

Walaupun memang pendekatan ini akan

berjalan baik di kelas yang kemampuan

merata, namun sebenarnya kelas dengan

kemampuan siswa yang bervariasi lebih

membutuhkan pendekatan ini. Karena

dengan mencampurkan para siswa dengan

kemampuan yang beragam tersebut, maka

siswa yang kurang akan sangat terbantu

dan termotivasi siswa yang lebih.

Kooperatif ini bukan bermaksud

untuk menggantikan pendekatan

persaingan. Nuansa persaingan dalam

kelas akan sangat baik bila diterapkan

secara sehat. Pendekatan kooperatif ini

adalah sebagai alternatif pilihan dalam

mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya

sebagian siswa saja yang akan bertambah

pintar, sementara yang lainnya semakin

tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak

sedikit siswa yang kurang pengetahuannya

merasa malu bila kekurangannya di

expose. Kadang-kadang motivasi

persaingan akan menjadi kurang sehat bila

para murid saling menginginkan agar

siswa lainnya tidak mampu, katakanlah

dalam menjawab soal yang diberikan guru.

Sikap mental inilah yang dirasa perlu

untuk mengalami perbaikan.

Sintaks Pendekatan

Pembelajaran Koopetaif

Fase Kegiatan

Fase-1 :

menyampaikan tujuan

dan memotivasi siswa

Guru menyampaikan

semua tujuan

pelajaran yang ingin

dicapai pada

pelajaran tersebut dan

memotivasi siswa

Fase-2 :

menyampaikan

informasi

Guru menyajikan

informasi kepada

siswa dengan jalan

demonstrasi atau

lewat bahan bacaan

Fase-3 :

mengorganisasikan

siswa ke dalam

kelompok-kelompok

belajar

Guru menjelaskan

kepada siswa

bagaimana caranya

membentuk

kelompok belajar dan

membantu setiap

kelompok agar

melakukan

komunikasi secara

efisien

Fase-4 : membimbing

kelompok bekerja dan

belajar

Guru membimbing

kelompok-kelompok

belajar pada saat

mereka mengerjakan

Page 11: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

8

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

tugas

Fase-5 : evaluasi Guru mengevalusi

hasil belajar tentnag

materi yang dipelajari

atau masing-masing

kelompok

mempresentasikan

hasil kerjanya

Fase-6 : memberikan

penghargaan

Guru mencari cara-

cara untuk

memberikan

penghargaan, baik

upaya maupun hasil

belajar individu dan

kelompok

Sumber : Ibrahim (dalam Marzuki, 2006)

Kooperatif menyediakan banyak

contoh yang perlu dilakukan para siswa

antara lain: (1) siswa terlibat di dalam

tingkah laku mendefinisikan, menyaring

dan memperkuat sikap-sikap, kemampuan

dan tingkah laku partisipasi sosial; (2)

respek pada orang lain, memperlakukan

orang lain dengan penuh pertimbangan

kemanusiaan dan memberikan semangat

penggunaan pemikiran rasional ketika

mereka bekerja sama untuk mencapai

tujuan bersama; (3) berpartisipasi dalam

tindakan – tindakan kompromi, negosiasi,

kerjasama, konsensus dan pentaatan

aturam mayoritas ketika bekerjasama

untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka,

dan membantu menyakinkan bahwa setiap

anggota kelompoknya belajar. Ketika

mereka berusaha mempelajari isi dan

kemampuan yang diharapkan, mereka juga

menemukan diri bagaimana memecahkan

konflik, menangani berbagai problem, dan

membuat pilihan-pilihan yang

merefleksikan situasi – situasi pribadi dan

sosial yang memungkinkan mereka

temukan dalam situasi dunia ini.

Mengacu pada pendapat tersebut maka dengan kooperatif, para siswa dapat

membuat kemajukan besar kearah

pengembangan sikap, nilai dan tingkah

laku yang memungkinkan mereka dapat

berpartisipasi dalam komunitas mereka

dengan cara-cara yang sesuai dengan

tujuan pendidikan, karena tujuan utama

kooperatif adalah untuk memperoleh

pengetahuan dari sesama temannya. Jadi,

tidak lagi pengetahuan itu diperoleh dari

gurunya, dengan belajar kelompok seorang

teman haruslah memberikan kesempatan

kepada teman yang lain untuk

mengemukakan pendapatnya dengan cara

menghargai pendapat orang lain, saling

mengoreksi kesalahan, dan saling

membetulkan sama lainnya.

Ketika kooperatif dilaksanakan,

guru harus berusaha menanamkan dan

membina sikap demokrasi diantara para

siswanya. Maksudnya suasana sekolah

kelas harus diwujudkan sedemikian rupa

sehingga dapat menumbuhkan kepribadian

sikap yang demokratis dan dapat

diharapkan suasana yang terbuka dengan

kebiasaan-kebiasaan kerjasama, terutama

dalam memecahkan kesulitan-kesulitan.

Seorang siswa haruslah dapat menerima

pendapat dari siswa yang lainnya, seperti

siswa satu mengemukakan pendapatnya

lalu siswa yang lainnya mendengarkan

dimana letak kesalahan, kekurangan dan

kelebihan kalau ada kekurangan maka

perlu ditambah, dan penambahan ini harus

disetujui semua anggota, yang satu harus

saling menghormati pendapat yang lain.

Jadi, dengan cara menghargai

pendapat orang lain betulkan kesalahan

secara bersama, mencari jawaban yang

tepat dan baik, dengan cara mencari

sumber-sumber informasi dari mana saja

seperti buku paket, buku-buku penunjang

lainnya, untuk dijadikan pembantu dalam

mencari jawaban yang baik dan benar serta

memperoleh pengetahuan, materi pelajaran

yang diajarkan semakin luas dan semakin

baik.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan yang telah

dikemukakan pada bagian terdahulu dapat

diambil beberapa kesimpulan yang

berkaitan dengan faktor pembelajaran,

kemampuan matematika, kemampuan

berpikir kritis, kemampuan berkomunikasi

matematika, sikap (respon) siswa terhadap

Page 12: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

9

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

matematika, dan keaktifan siswa dalam

proses pembelajaran. Kesimpulan-

kesimpulan tersebut adalah :

1. Peserta didik kemampuan

matematika tinggi dengan

pembelajaran berdasarkan

pendekatan kooperatif mempunyai

kemampuan berpikir kritis yang

tidak berbeda secara signifikan

dibandingkan siswa yang

kemampuan matematika tinggi

dengan pembelajaran pendekatan

matematika secara biasa.

2. Peserta didik kemampuan

matematika sedang dengan

pembelajaran berdasarkan

pendekatan kooperatif mempunyai

kemampuan berpikir kritis secara

signifikan lebih baik dibandingkan

siswa yang kemampuan

matematika sedang dengan

pembelajaran pendekatan

matematika secara biasa.

3. Peserta didik kemampuan

matematika rendah dengan

pembelajaran berdasarkan

pendekatan kooperatif mempunyai

kemampuan berpikir kritis secara

signifikan lebih baik dibandingkan

siswa yang kemampuan

matematika rendah dengan

pembelajaran pendekatan

matematika secara biasa.

Daftar Pustaka

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian

Suatu Pendekatan Praktek. Edisi

Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.

Dahlan, J.A. (2004), Meningkatkan

Kemampuan Pemahaman dan

Penalaran Matematika Siswa

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

melalui Pendekatan Open-ended.

Bandung: Disertasi PPS UPI. Tidak

diterbitkan.

Hasanah (2004), Mengembangkan

Kemampuan Pemahaman dan

Penalaran Matematika Siswa

Sekolah Menengah Pertama

Melalui Pembelajaran Berbasis

Masalah yang Menekankan pada

Representasi Matematika , Tesis.

PPS UPI, Bandung: tidak

dipublikasikan.

Hashimoto, Y. (1997). An Example of

Lesson Development. Shimada, S.

dan Becker, J.P. (Ed). The Open

Ended Approach. A New Proposal

for Teaching Mathematics. Reston:

VA NCTM.

Herliani, E. (2009). Penilaian Hasil

Belajar untuk Guru SD, Pusat

Pengembangan dan Pemberdayaan

Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Ilmu Pengetahuan Alam (PPPPTK

IPA) untuk Program BERMUTU.

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar

Matematika. Jakarta: P2LPTK,

Dirjen Dikti, Depdikbud. (2002).

Representasi Belajar Berbasis

Masalah. Jurnal Matematika atau

Pembelajarannya. ISSN: 085-7792.

Tahun viii, edisi khusus.

National Council of Teacher of

Mathematics. (1989). Principles

and Standards for School

Mathematics. Reston. VA: NCTM.

Nohda, N. (1999). A Study Of "Open-

Approach" Method In School

Mathematics Teaching - Focusing

On Mathematical Problem Solving

Activities. [on-line]. Avaliable:

http://www.nku.edu/~sheffield/no

hda.html. [31 Maret 2008].

Norjoharuddeen b. Mohd Nor (2001)

Belief, Attitudes and Emotions in

Mathematics Learning. Makalah

disajikan pada diklat PM-0917.

Penang: Seameo-Recsam.

Panjaitan, B (1999). Pengaruh Interaktif

Antara Pemberian Balikan dan

Motivasi Berprestasi Terhadap

Perolehan Belajar. Tesis, PPS

IKIP Malang.

Page 13: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

10

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Primanda, R (2008). Pengaruh Budaya

Organisasi, Locus of Control dan

Penerapan Sistem Informasi

Terhadap Kinerja Aparat Unit-

Unit Pelayanan Publik. Skripsi

pada Universitas Muhammadiyah

Surakarta: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E. T. (1988). Pengantar

kepada Membantu Guru dalam

Mengembangkan Kompetensinya

dalam Pengajaran Matematika

untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Sanjaya, Wina (2008). Strategi

Pembelajaran Berorientasi

Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana.

Saragih, S (2007). Mengembangkan

Kemampuan Berpikir Logis dan

Komunikasi Matematik Siswa

Sekolah Menengah Pertama

Melalui Pendekatan Matematika

Realistik. Disertasi Doktor pada

PPS UPI: Tidak diterbitkan

Sarwono, Sarlito. W (2006), Pengantar

Umum Psikologi , Jakarja: PT

Bulan Bintang.

Sawada, T. (1997). Developing Lesson

Plans. In Shimada, S. dan Becker,

J.P. (Ed). The Open Ended

Approach. A New Proposal for

Teaching Mathematics. Reston:

VA NCTM.

Shimada, S. (1997). The Significance of an

Open Ended Approach. In

Shimada, S. dan Becker, J.P. (Ed).

The Open Ended Approach. A New

Proposal for Teaching

Mathematics. Reston: VA NCTM.

Siagian, P (2006). Pengaruh Pendekatan

Mengajar Cara Belajar Siswa Aktif

(CBSA) dan Ekspositori serta

Locus of Control Terhadap

Kemampuan Siswa Berpikir Logis

Memecahkan Masalah Lingkungan

Hidup. Jurnal Penelitian Bidang

Pendidikan (Vol. 13, No.6, Hal. 52

– 60 Tahun 2006).

Soekardijo, R.G. (1988). Logika Dasar,

Tradisionil, Simbolik dan Induktif.

Jakarta: Gramedia

Suherman, E, dkk. (2003). Strategi

Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung: Jurusan

Pendidikan Matematika FPMIPA

UPI.

Sumarmo, U. (2003). Daya dan Disposisi

Matematik: Apa, Mengapa dan

Bagaimana Dikembangkan pada

Siswa Sekolah Dasar dan

Menengah. Makalah disajikan pada

Seminar Sehari di Jurusan

Matematika ITB, Oktober 2003.

Syaban, M. (2008). Menggunakan Open-

Ended untuk Memotivasi Berpikir

Matematika. [on-line]. Avaliable:

http://educare.e-

fkipunla.net/index.php?

option=com_content&task=view

&id=54&Itemid=4. [19 Mei

2008].

Page 14: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

11

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG

MENGGUNAKAN METODE INKUIRI DENGAN METODE EKSPOSITORI

PADA MATERI PANGKAT DAN BENTUK AKAR DI KELAS X SMA.

Christa Voni Roulina Sinaga

Prodi Matematika FMIPA UHKBNP Pematangsiantar

[email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui hasil belajar matematika siswa yang

menggunakan metode inkuiri di kelas X SMA, (2) mengetahui hasil belajar matematika siswa

yang menggunakan metode ekspositori di kelas X SMA, (3) mengetahui perbedaan hasil belajar

matematika siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan yang menggunakan metode

ekspositori di kelas X SMA. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen.

Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas X SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara simple random sampling 2 kelas yakni kelas X-1dan

X-2 yang masing-masing terdiri dari 50 orang. Dari hasil data penelitian diperoleh dengan

menggunakan uji lilliefors disimpulkan bahwa hasil data kedua kelompok berdistribusi normal.

Dari hasil uji homogen kelas memiliki varians yang homogen dengan menggunakan uji

homogenitas (uji F). Uji homogenitas Fhit < Ftabel (1,48 < 1,608)dengan α = 0,05. Artinya kedua

kelompok sampel homogen. Dari hasil analisis data diperoleh rataaan = 16,34 dan standart deviasi

= 2,62 untuk kelas eksperimen, serta rataan = 12,76 dan standart deviasi = 3,19 untuk kelas

ekspositori, artinya rata-rata dan standart deviasi siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada

standart deviasi siswa di kelas kontrol.. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh thit = 6,127, dengan α

= 0,05 dan untuk v = 98 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel 2,385 ternyata thit berada pada

derah penolakan karena 6,127 > 1,996, sehingga rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang signifikan antara hasil

belajar matematika siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan yang menggunakan metode

ekspositori pada materi pangkat dan bentuk akar di kelas X SMA RK Budi Mulia Pematangsiantar.

Hal itu dapat diketahui dari hasil rataan skor tes siswa yang menggunakan metode inkuiri dengan

yang menggunakan metode ekspositori.

Kata Kunci: Metode inkuiri, metode ekspositori,hasil belajar

PENDAHULUAN

Pangkat dan bentuk akar adalah salah satu

materi pembelajaran matematika yang

disampaikan pada siswa SMA kelas X

semester 1. HAsil penelitian Pinahayu

(2015:183) mengatakan bahwa materi sifat-

sifat bilangan berpangkat tergolong materi

sulit karena dalam penelitiannya telah

teridentifikasi banyak siswa melakukan

kesalahan dalam menyelesaikan soal yang

diberikan. Selain itu hasil penelitian

Sulistyarini (2016) juga mengatakan bahwa

terjadi kesalahan-kesalahan konsep dan

prosedur yang dilakukan siswa SMK Citra

Medika Sukoharjo dalam mengerjakan soal

operasi pangkat dan bentuk akar. Hasil

pengamatan pada siswa SMA RK Budi

Mulia, Pematangsiantar menunjukkan bahwa

ada beberapa siswa yang salah

menyelesaikan permasalan dalam

menggunakan sifat-sifat pada materi pangkat

dan bentuk akar. (Lampiran 1)

Berdasarkan jawaban siswa secara umum

terlihat bahwa siswa mengalami kesalahan

dalam mengerjakan soal. Kesalahan siswa

dalam menyelesaikan soal materi pangkat

dan bentuk akar menyebabkan rendahnya

hasil belajar siswa. Dari hasil pengamatan

dari jawaban siswa pada materi pangkat dan

bentuk akar tersebut disimpulkan bahwa

perlunya penguatan perencanaan metode

Page 15: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

12

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

pembelajarannya. Metode serta pendekatan

pembelajaran yang baik dan benar dapat

memberikan pencapaian hasil belajar

matematika yang baik pula. Salah satu

metode pembelajaran yang masih berlaku

digunakan oleh guru adalah metode

ekspositori.

Metode Pembelajaran

Ada dua kegiatan dalam proses

belajar mengajar yaitu pembelajaran pada

siswa dan mengajar pada guru. Agar proses

belajar mengajar berjalan dengan baik

dibutuhkan suatu metode pembelajaran yang

tepat.

Djamarah dan Zain (2016: 21) mengartikan

“metode adalah suatu cara yang

dipergunakan untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan”. Sanjaya (2013: 147) juga

mengatakan bahwa “metode adalah suatu

cara yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah

disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan

yang telah disusun tercapai secara optimal”.

Dari beberapa pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa metode adalah suatu cara

yang merupakan alat untuk mencapai suatu

tujuan.Dimyati dan Mudjiono (dalam Sutikno

2013: 31) mengartikan “pembelajaran

sebagai kegiatan yang ditujukan untuk

membelajarkan siswa”. Sanjaya (2013: 26)

mengatakan bahwa:pembelajaran dapat

diartikan sebagai proses kerja sama antara

guru dan siswa dalam memanfaatkan segala

potensi dan sumber yang ada baik potensi

yang bersumber dalam diri siswa itu sendiri

seperti minat, bakat dan kemampuan dasar

yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun

potensi yang ada diluar diri siswa seperti

lingkungan, sarana dan sumber belajar

sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar

tertentu.

Dari definisi metode dan definisi

pembelajaran dapat disimpulkan bahwa

metode pembelajaran adalah suatu cara atau

teknik mengajar sebagai interaksi antara

pendidik dengan peserta didik dalam

melaksanakan kegiatan pembelajaran agar

dapat mencapai tujuan pengajaran.

b. Metode Inkuiri

Pengertian Metode Inkuiri

Dimyati dan Mudjiono (2002: 173)

mengatakan bahwa “ Metode inkuiri

merupakan suatu metode pembelajaran yang

mengharuskan siswa mengolah pesan

sehingga memperoleh pengetahuan,

keterampilan dan nilai-niai”.

Hamzah dan Muhlisrarini (2014: 271)

mengatakan bahwa “metode inkuiri

merupakan metode pembelajaran yang

berpusat pada kegiatan peserta didik, namun

guru tetap memegang peranan penting dalam

mendesain pengalaman belajar. Metode ini

menuntut peserta didik memproses

pengalaman belajar menjadi suatu yang

bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan

demikian, peserta didik dibiasakan untuk

produktif, analitis, dan kritis.”

Sanjaya (2013: 196) mengatakan bahwa

“Metode inkuiri adalah rangkaian kegiatan

pembelajaran yang menekankan pada proses

berpikir secara kritis dan analitis untuk

mencari dan menemukan sendiri jawaban

dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan

melalui tanya jawab antara guru dan siswa”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa metode inkuiri merupakan suatu cara

penyajian pelajaran yang memberi

kesempatan kepada peserta didik dimana

kegiatan pembelajarannya menekankan pada

proses berpikir secara kritis dan analitis

untuk mengolah pesan dan jawaban dari

suatu masalah yang dipertanyakan sehingga

memperoleh pengetahuan, keterampilan dan

nilai-nilai.

2. Langkah-langkah Pembelajaran dengan

Metode Inkuiri

Dalam melaksanakan pembelajaran inkuiri

diperlukan langkah-langkah yang dapat

memudahkan proses belajar mengajar.

Menurut Mulyasa dalam (Hamzah dan

Muhlisrarini 2014: 245) mengemukakan

bahwa ada 5 langkah yang ditempuh dalam

melaksanakan metode inkuiri, yaitu: Guru

memberikan penjelasan, instruksi atau

pertanyaan terhadap materi yang diajarkan.

Memberikan tugas kepada peserta didik

Page 16: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

13

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

untuk menjawab pertanyaan, yang

jawabannya bisa didapatkan pada proses

pembelajaran yang dialami siswa. Guru

memberikan penjelasan terhadap persoalan-

persoalan yang mungkin membingungkan

peserta didik. Resitasi untuk menanamkan

fakta-fakta yang telah dipelajari sebelumnya.

Siswa merangkum dalam bentuk rumusan

sebagai kesimpulan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Menurut Sanjaya (2013: 201)

mengemukakan langkah-langkah

pembelajaran dengan metode inkuiri sebagai

berikut:

a. Orientasi

b. Merumuskan masalah

c. Mengajukan hipotesis

d. Mengumpulkan data

e. Menguji hipotesis

f. Merumuskan kesimpulan

Sedangkan Trianto (2011: 114)

mengemukakan langkah-langkah

pembelajaran dengan metode inkuiri sebagai

berikut:

a. Kegiatan Merumuskan maslalah;

b. Mengamati atau melakukan

observasi;

c. Menganalisis dan menyajikan hasil

dalam tulisan, gambar, laporan,bagan,

tabel, dan karya lainnya; dan

d. Mengomunikasikan atau menyajikan

hasil karya pada pembaca, teman

kelas, guru, atau audensi yang lain.

Dari pendapat di atas, dapat disimpulkan

bahwa langkah-langkah pembelajaran dengan

metode inkuiri adalah sebagai berikut:

1. Orientasi siswa pada masalah

2. Guru merumuskan masalah untuk

diteliti dan diselesaikan siswa

3. Guru membagi siswa menjadi

beberapa kelompok.

4. Siswa mempelajari, meneliti dan

mendiskusikan tugasnya di dalam

kelompok dan membuat laporan hasil

diskusi yang tersusun dengan baik

5. Siswa melaporkan hasil kerja

kelompok ke depan kelas, sehingga

terjadi diskusi yang lebih luas

6. Siswa merumuskan kesimpulan

sendiri.

Metode Ekspositori

Pengertian Metode Ekspositori

Metode ekspositori pada mulanya dikenal

sebagai metode pembelajaran yang berpusat

di guru, siswa tidak banyak aktif dalam

interaksi antara guru dan murid. Kemudian

ekspositori berkembang menjadi suatu cara

pembelajaran dimana dominasi guru

berkurang siswa menjadi aktif sehingga pusat

pembelajaran ada pada siswa. (Hamzah dan

& Muhlisrarini, 2014: 272)

Sanjaya (2013: 179) menyatakan bahwa

“metode pembelajaran ekspositori adalah

metode pembelajaran yang menekankan

kepada proses penyampaian materi secara

verbal dari seorang guru kepada sekelompok

siswa dengan maksud agar siswa dapat

menguasai materi pelajaran secara optimal”.

Roy Killen (dalam Sanjaya 2013:179)

menamakan “metode pembelajaran

ekspositori dengan istilah pembelajaran

langsung (direct instruction) karena dalam

metode ini materi pelajaran disampaikan

langsung oleh guru.

Hamzah & Muhlisrarini (2014: 272)

mengatakan bahwa “metode ekspositori

adalah metode terpadu terdiri dari metode

informasi, metode demonstrasi, metode tanya

jawab, metode latihan dan pada akhir

pelajaran diberikan tugas”. Berdasarkan

pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa

metode ekspositori adalah cara penyampaian

pelajaran dari seorang guru kepada siswa di

dalam kelas dengan cara berbicara di awal

pelajaran, menerangkan materi dan contoh

soal disertai tanya jawab dan pada akhir

pelajaran diberikan tugas.

Langkah-langkah Pembelajaran Metode

Ekspositori

Langkah-langkah metode ekspositori dalam

pembelajaran matematika menurut Hamzah

& Muhlisrarini (2014: 272) yaitu:

Guru memberikan informasi materi yang

dibahas dengan metode ceramah, kemudian

memberikan uraian dan contoh soal yang

dikerjakan di papan tulis secara interaktif dan

Page 17: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

14

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

komunukatif dengan metode demonstrasi.

Kemudian guru memberikan kesempatan

kepada siswa untuk bertanya dengan metode

tanya jawab. Lalu mereka mengerjakan soal

yang diberikan guru sambil berkeliling

memeriksa pekerjaan siswa. Salah seorang

ditugaskan mengerjakan soal di papan tulis.

Guru memberikan rangkuman yang bisa

ditugaskan kepada siswa untuk membuat

rangkumannya, atau guru yang membuat

rangkuman atau guru bersama-sama siswa

membuat rangkuman. Menurut Djaramah dan

Zain (2016: 21) mengemukakan langkah-

langkah pembelajaran dengan metode

ekspositori yaitu:

a. Prepasi. Guru mempersiapkan (prepasi)

bahan selengkapnya secara sistematis

dan rapi.

b. Apersepsi. Guru bertanya atau

memberikan uraian singkat untuk

mengarahkan perhatian anak didik

kepada materi yang akan diajarkan.

c. Presentasi. Guru menyajikan bahan

dengan cara memberikan ceramah atau

menyuruh anak didik membaca bahan

yang telah disiapkan dari buku teks

tertentu atau yang ditulis guru sendiri.

d. Resitasi. Guru bertanya dan anak didik

menjawab sesuai dengan bahan yang

dipelajari atau anak didik disuruh

menyatakan kembali dengan kata kata

sendiri (resitasi) tentang pokok-pokok

masalah yang telah dipelajari secara lisan

maupun tulisan.

Menurut Sanjaya (2013: 185), langkah-

langkah metode ekpositori adalah sebagai

berikut: Persiapan (preparation). Guru

mempersiapkan bahan pelajaran yang

lengkap dan sistematisPenyajian

(presentation). Guru menyajikan bahan

pelajaran secara lisan dan menyampaikannya

dengan persiapan yang telah

dilakukan.Menghubungkan (correlation).

Langkah menghubungkan materi pelajaran

dengan pengalaman siswa atau dengan hal-

hal lain yang memungkinkan siswa dapat

menangkap keterkaitannya dalam struktur

pengetahuan yang telah dimilikinya.

Menyimpulkan (generalization). Tahapan

untuk memahami inti dari materi pelajaran

yang telah disajikan, dan meminta siswa

mengambil kesimpulan materi yang telah

diajarkan dengan kata-katanya sendiri.

Mengaplikasikan (aplication). Langkah

aplikasi adalah langkah unjuk kemampuan

siswa setelah siswa menyimak penjelasan

guru. Guru memberikan tugas yang relevan

atau tes dari materi yang diajarkan.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti

memodifikasinya menjadi langkah-langkah

untuk penelitian yaitu sebagai berikut:

Langkah 1:

Menyampaikan tujuan yang harus dicapai

dan memotivasi siswa.

Langkah 2:

Guru menyampaikan materi pelajaran sesuai

dengan persiapan yang telah dilakukan.

Langkah 3:

Menghubungkan materi pelajaran dengan

pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain

yang memungkinkan siswa dapat menangkap

keterkaitannya dalam struktur pengetahuan

yang telah dimilikinya.

Langkah 4:

Menyimpulkan materi pembelajaran

Langkah 5:

Memberikan tugas rumah yang sesuai dengan

materi pelajaran yang telah disajikan.

METODE

Jenis penelitian ini adalah eksperimen

semu (quasi-experimental research) dengan

menentukan dua kelas sampel penelitian yang

diambil secara acak (random) sebagai kelas

eksperimen. Dalam penelitian ini cara

pengambilan data yang dilakukan yaitu

dengan mengenakan kepada dua kelas

eksperimen suatu kondisi perlakuan

(treatment).

Desain Penelitian

1. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini mengambil dua kelompok kelas

yang diperbandingkan hasil belajarnya.

Penelitian ini dilakukan dengan langkah-

langkah sebagai berikut:

Page 18: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

15

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Persiapan Penelitian, pada tahap ini

dilakukan beberapa kegiatan yaitu konsultasi,

menyusun rencana pembelajaran, membuat

soal test hasil belajar.

Pelaksanaan Pengajaran, pada kelas

eksperimen, peneliti memberikan

pelaksanaan mengajar dengan menggunakan

metode inkuiri. Sedangkan pada kelas

kontrol, peneliti memberikan perlakuan

mengajar menggunakan metode ekspositori.

Melaksanakan Tes, melaksanakan tes pada

kedua kelas baik kelas eksperimen maupun

kelas kontrol untuk memperoleh data hasil

belajar siswa setelah kelas tersebut diberi

perlakuan mengajar masing-masing.

Pengumpulan data siswa, berdasarkan hasil

tes yang dilaksanakan maka diperolehlah data

siswa mengenai materi operasi aljabar pada

bentuk akar selama penelitian berlangsung.

Menganalisis data hasil belajar siswa, proses

perhitungan data-data hasil belajar siswa

yang telah diperoleh dari penelitian dengan

menggunakan rumus-rumus statistik.

Pengujian Hipotesis, berdasarkan

perhitungan data hasil belajar siswa maka

akan diperoleh pembuktian dari hipotesis

yang telah dibuat sebelumnya pada bab 2.

2. Teknik Analisa Data

Setelah data yakni skor tes dikumpulkan

maka langkah selanjutnya mengolah data dan

menganalisa data. Adapun langkah-langkah

yang ditempuh dalam menganalisa data

adalah sebagai berikut:

a. Menentukan rataan dari masing-

masing sampel

b. Menghitung standart deviasi dari

masing-masing sampel

c. Menguji normalitas sampel

d. Uji Homogenitas

e. Uji hipotesis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Validitas Butir Soal

Dengan menggunakan rumus korelasi

product moment Pearson, diperoleh koefisien

validitas setiap butir tes . Koefisien validitas

butir tes disajikan pada tabel 1 berikut:

Tabel 1

Validitas Butir Soal

No Soal Keterangan

1 0,74 Tinggi

2 0,55 Cukup

3 0,65 Tinggi

4 0,50 Cukup

5 0,79 Tinggi

6 0,69 Tinggi

7 0,44 Cukup

8 0,45 Cukup

9 0,64 Tinggi

10 0,81 Sangat Tinggi 11 0,41 Cukup

12 0,62 Tinggi

13 0,44 Cukup

14 0,42 Cukup

15 0,50 Cukup

16 0,62 Tinggi

17 0,44 Cukup

18 0,48 Cukup

19 0,56 Cukup

20 0,49 Cukup

Dari tabel terlihat bahwa setiap item

mempunyai koefisien validitas yang cukup,

tinggi, dan sangat tinggi, sehingga dapat

disimpulkan bahwa semua item soal valid.

2. Reliabilitas Tes

Menggunakan rumus Alpha

maka diperoleh koefisien

reliabilitas tes sebesar 0,89022. Koefisien

reliabilitas tes dibandingkan dengan nilai

rtabel kritik product moment untuk α = 0,05

dan N = 37 yaitu:

rtabel = 0,325, ternyata r11 > rtabel maka

disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel

(lampiran 6).

3. Tingkat Kesukaran Butir Soal

Dengan menggunakan rumus tingkat

kesukaran setiap butir soal Tingkat kesukaran

butir tes disajikan pada Tabel 2.

Tabel .2

Tabel Tingkat Kesukaran Butir Soal

No Soal P Keterangan

1 0.675676 Sedang

2 0.837838 Mudah

Page 19: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

16

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

3 0.837838 Mudah

4 0.648649 Sedang

5 0.675676 Sedang

6 0.594595 Sedang

7 0.756757 Mudah

8 0.648649 Sedang

9 0.675676 Sedang

10 0.702703 Mudah

11 0.72973 Mudah

12 0.72973 mudah

13 0.648649 Sedang

14 0.810811 Mudah

15 0.621622 Sedang

16 0.783784 Mudah

17 0.594595 Sedang

18 0.27027 Sukar

19 0.351351 Sedang

20 0.459459 Sedang

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa semua butir tes

memiliki tingkat kesukaran yang mudah,

sedang, dan sukar sehingga semua item

dianggap baik.

4. Daya Pembeda Butir Soal

Dengan menggunakan rumus daya pembeda

masing-masing item . Daya pembeda Butir

tes disajikan pada Tabel .3

Tabel .3

Tabel Daya Pembeda Butir Soal

No Soal DP Keterangan

1 1 Sangat Baik

2 0,6 Baik

3 0,7 Baik

4 0,5 Baik

5 1 Sangat Baik

6 0,8 Sangat Baik

7 0,5 Baik

8 0,5 Baik

9 0,8 Sangat Baik

10 1 Sangat Baik

11 0,5 Baik

12 0,6 Baik

13 0,5 Baik

14 0,5 Baik

15 0,6 Baik

16 0,6 Baik

17 0,6 Baik

18 0,7 Baik

19 0,8 Sangat Baik

20 0,5 Baik

Dari tabel 3 terlihat bahwa semua butir soal

memenuhi kriteria yakni baik dan sangat

baik.

Dari koefisien validitas butir soal, reliabilitas

tes, tingkat kesukaran butir soal, dan daya

pembeda butir soal, dapat disimpulkan bahwa

semua soal memenuhi syarat untuk

digunakan dalam pengambilan data.

Analisis Data Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan di SMA RK Budi Mulia

Pematangsiantar dengan kelas X - 1 (kelas

eksperimen) dan kelas X-2 (kelas kontrol).

Statistik Data

Statistik dari dua kelas penelitian yakni kelas

yang pembelajarannya menggunakan metode

inkiri dan yang menggunakan metode

ekspositori disajikan pada tabel 4 sebagai

berikut

Tabel 4

Statistik Nilai Kedua Sampel Penelitian

Jenis

Statistik

Kelas

Eksperimen

(Metode

Inkuiri)

Kelas

Kontrol

(Metode

Ekspositori) N(Banyak data) 50 50

Rata-rata 16,34 12,76 Varians 6,88 10,18

Simpangan baku 2,62 3,19 Skor tertinggi 20 19 Skor terendah 9 6

Dari data statistik diatas tampak nilai kedua

sampel, sehingga dapat disimpulkan hasil

belajar matematika siswa yang menggunakan

metode inkuiri lebih baik jika dibandingkan

dengan yang menggunakan metode

ekspositori.

Uji Normalitas Data

Kelas Eksperimen

Dari hasil perhitungan diperoleh

harga LO = 0,1139 sedangkan L = 0,249

untuk n = 11 dan taraf nyata α = 0,05.

Ternyata LO < L dengan demikian

disimpulkan bahwa data kelas eksperimen

Page 20: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

17

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

yang menggunakan metode inkuiri berasal

dari populasi yang menyebar normal .

Kelas Kontrol Dari hasil perhitungan diperoleh harga LO =

0,1588 sedangkan L = 0,234 untuk n = 13

dan taraf nyata α = 0,05. Ternyata LO < L

dengan demikian disimpulkan bahwa data

siswa yang menggunkan metode ekspositori

berasal dari populasi yang menyebar normal.

Uji Homogenitas Varians

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai

FHit = 1,480102. Jika dibandingkan dengan

FTabel untuk α = 0,05 dan v1 = 49 serta v2 = 49

maka dengan menggunakan uji dua pihak

diperolah titik-titik kritis F0,05; 49, 49 = 1,608,

dimana daerah kritiknya adalah FHit <

FTabel. Ternyata diperoleh Fhit < Ftabel

(1,480102< 1,608). Ternyata diperoleh Fhit

berada pada daerah kritik, sehingga Ho

diterima maka dapat disimpulkan bahwa

kedua sampel homogen .

Pengujian Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian berkenaan dengan

perbedaan hasil hasil belajar siswa dari kedua

kelas sampel dengan hipotesis berikut:

Ho : μ1 = μ2 (rataan hasil belajar sampel

menggunakan metode inkuiri dengan yang

menggunakan metode ekspositori tidak

berbeda secara signifikan)

Ha : μ1 ≠ μ2 (rataan hasil belajar sampel

menggunakan metode inkuiri dengan yang

menggunakan metode ekspositori berbeda

secara signifikan)

Maka untuk pengujian uji selisih dua rataan

yang digunakan adalah uji t. Dari hasil

perhitungan (lampiran 10) diperoleh harga thit

= 6,127378, dengan α = 0,05 dan untuk v =

98 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel

1,9873 ternyata thit berada pada derah

penolakan karena 6,127378> 1,9873

sehingga Ho ditolak, dengan demikian

disimpulkan bahwa ada perbedaan yang

signifikan antara rataan hasil belajar siswa

menggunakan metode inkuiri dengan yang

menggunakan metode ekspositori.

KESIMPULAN

Berdasarkan uji t diperoleh

6,127378sedangkan = 1,9873 artinya

rata-rata hasil belajar peserta didik yang

menggunakan metode inkuiri lebih baik dari

pada yang menggunakan metode ekspositori.

Jadi dapat ditarik kesimpulan membelajarkan pangkat dan bentuk akar dengan

menggunakan metode inkuiri lebih baik jika

dibandingkan dengan yang menggunakan

metode ekspositori, sehingga penggunaan

metode pembelajran inkuiri pada materi

pangkat dan bentuk akar disarankan. Untuk

melihat gambaran yang lebih luas megenai

perolehan Posttest peserta didik disajikan

pada diagram batang berikut:

Gambar 1

Diagram Perolehan Posttest Kedua Sampel

Dari histogram terlihat bahwa hasil belajar

kelas eksperimen lebih baik dari kelas

kontrol. Hal tersebut ditunjukkan dengan

jumlah peserta didik kelas eksperimen yang

nilainya diatas KKM lebih banyak dari kelas

kontrol. dengan nilai ketuntasan belajar

eksperimen sebesar 88 %. Persentase tersebut

merupakan persentase yang sangat

memuaskan dibandingkan kelas kontrol yang

Page 21: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

18

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

persentase ketuntasan belajarnya 44 %. Jadi

dapat ditarik kesempulan bahwa penggunaan

metode inkuiri lebih efektif untuk

meningkatkan hasil belajar peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak

Berkesulitan Belajar . Bandung: Rineka

Cipta.

Arikunto, Suharsimi. 2011. Dasar-Dasar

Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2016. Strategi

Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2010. Proses Belajar

Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamzah Ali dan Muhlisrarini. 2014.

Perencanaan dan Strategi Pembelajaran

Matematika. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hendracipta, Nana. dkk. 2017. Perbedaan

hasil belajar siswa antara yang menggunakan

strategi inkuiri dengan strategi ekspositori.

JPSD Vol. 3 No.1, Maret 2017 ISSN 2540-

9093.

Hudojo, Herman. 2005. Pengembangan

Kurikulum dan Pengembangan Matematika.

Malang: IKIP Malang.

Pinahayu, Ek Ajeng Rahmi (2015).

Problematika Pembelajaran Matematika pada

Pokok Bahasan Eksponen dan Alternatif

Pemecahannya. Jurnal Formatif (3): 182-

191, 2015 ISSN: 2088-351X.

Sabri, Ahmad. 2014. Strategi Belajar

Mengajar. Padang: Ciputat Press.

Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran

Berorientasi Standar Proses Pendidikan.

Jakarta: Kencana Predana Media Group.

Simbolon, Hotman. 2009. Statistika.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor

yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rinaka

Cipta.

Solihin, Ahmad (2014). Penggunaan Metode

Inkuiri untuk Meningkatkan Pembelajaran

Matematika tentang Bangun Datar pada

Siswa Kelas III SDN Kradenan.

Tersedia:

https://www.google.co.id/search?q=jurnal+in

kuiri+metematika&oq=jurnal+inkuiri+matem

a&aqs=mobile-gws-lite.O.Ol5

Sudjana, Nana. 2014. Penilaian Hasil Proses

Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Susanto, Ahmad. 2012. Teori Belajar

Pembelajaran di Sekolah Dasar. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Sulistyarini, Dyah Ayu (2016). Analisis

Kesulitan Siswa SMK Citra Medika

Sukaharjo dalam Menyelesaikan Soal Bentuk

Akar dan Alternatif Pemecahannya.

Konferensi Matematika dan

Pembelajarannya (KNPMP I) Universitas

Muhammadiyah Surakarta, 12 Maret 2016

ISSN: 2502-6526.

Sutikno, Sobry. 2013. Belajar dan

Pembelajaran. Lombok: Holistica.

Trianto. 2016. Mendesain Model

Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya:

Kencana Prenada Media Group.

Page 22: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

19

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG DIAJAR DENGAN

MENGGUNAKAN MODEL CUPs DENGAN MODEL KONVENSIONAL

PADA MATERI SEGIEMAPT DI KELAS VII SMP

Yoel Octobe Purba

Dosen Pendidikan Matematika FKIP UHKBPNP

e-mail :[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar

menggunakan model conceptual understanding procedures, (2) mengetahui hasil belajar

matematika siswa yang diajar menggunakan model konvensional, (3) Untuk mengetahui perbedaan

hasil belajar matematika siswa yang diajar model conceptual understanding procedures dan model

konvensional. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen. Populasi dalam

penelitian adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 4 Pematangsiantar. Pengambilan sampel

dilakukan dengan cara simple random sampling 2 kelas yakni kelas VII-7 dan VII-8 yang masing-

masing terdiri dari 40 orang. Dari hasil data penelitian diperoleh dengan menggunakan uji

lilliefors disimpulkan bahwa hasil data kedua kelompok berdistribusi normal. Dari hasil uji

homogen kelas memiliki varians yang homogen dengan menggunakan uji homogenitas (uji F). Uji

homogenitas Fhit < Ftabel (1,064 < 1,67 )dengan α = 0,05. Artinya kedua kelompok sampel

homogen. Dari hasil analisis data diperoleh rata-rata = 83,85 dan simpangan baku = 9,97 untuk

kelas eksperimen, serta rata-rata = 75,87 dan simpangan baku = 9,67 untuk kelas kontrol, artinya

rata-rata dan standart deviasi siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada standart deviasi

siswa di kelas kontrol.. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh thit = 3,6302, dengan α = 0,05 dan

untuk v = 80 titik kritik thit < –ttabel atau thit > ttabel , ttabel 1,994 ternyata thit berada pada daerah

penolakan karena 3,6302 > 1,994, sehingga rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.

Berdasarkan analisis data, dapat disimpulkan bahwa: ada perbedaan yang signifikan antara hasil

belajar matematika siswa yang diajar menggunakan diajar model conceptual understanding

procedures dengan yang menggunakan model konvensional pada materi segiempat di kelas VII

SMP Negeri 4 Pematangsiantar. Hal itu dapat diketahui dari hasil rataan skor tes siswa yang

menggunakan model conceptual understanding procedures dengan yang menggunakan model

konvensional.

Kata Kunci : hasil belajar matematika, model conceptual understanding procedures (CUPs),

model konvensional, Segiempat.

Pendahuluan Matematika merupakan ilmu pengetahuan

yang sangat berguna dalam menyelesaikan

permasalahan kehidupan sehari-hari dan

dalam upaya memahami ilmu pengetahuan

lainnya.Tujuan dari pendidikan matematika

pada jenjang pendidikan dasar dan menengah

adalah menekankan pada penataan nalar dan

pembentukan kepribadian (sikap) siswa agar

dapat menggunakan atau menerapkan

matematika dalam kehidupannya. Dengan

demikian, matematika menjadi mata

pelajaran yang sangat penting dan wajib

dipelajari pada setiap jenjang pendidikan.

Pembelajaran matematika tidak hanya

ditekankan pada kemampuan berhitung

saja, tetapi pada konsep-konsep yang

berkenan dengan ide-ide yang bersifat

abstrak. Setiap konsep atau prinsip

dapat dimengerti secara sempurna jika

pada awalnya disajikan dalam bentuk

konkret. Karena matematika merupakan

ide-ide yang abstrak yang diberi

simbol-simbol, maka konsep-konsep

matematika harus dipahami dahulu

sebelum memanipulasi simbol-simbol

itu. Karena itu untuk mempelajari suatu

materi yang baru, pengalaman belajar di

Page 23: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

20

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

masa yang lalu akan mempengaruhi

proses belajar selanjutnya. Hal ini juga

diperkuat oleh pernyataan Hudojo

(1988 ; 3) bahwa :

“ Mempelajari konsep B yang

mendasarkan pada konsep A. Tanpa

memahami konsep A, tidak mungkin

orang itu memahami konsep B. Ini

berarti mempelajari matematika

haruslah bertahap dan berurutan serta

mendapatkan pengalaman belajar di

masa lalu.”

Berdasarkan observasi awal yang

dilakukan peneliti di salah satu sekolah,

yakni SMP Negeri 4 Pematangsiantar

bahwa banyak siswa yang mengalami

kesulitan dalam belajar matematika.

Hal ini dapat dilihat dari nilai-nilai yang

diperoleh siswa pada mata pelajaran

matematika tersebut. Hal ini sesuai

dengan informasi yang diperoleh

peneliti dari beberapa guru di sekolah

itu, khususnya guru matematika. Nilai

ulangan harian matematika untuk kelas

VII1 sampai kelas VII8 di SMP Negeri 4

pada sub pokok bahasan segiempat

mempunyai tingkat keaktifan dan hasil

belajar yang kurang memuaskan. Hal

ini dapat dilihat pada nilai rata-rata

ulangan harian sebesar 5,9 sampai 6,3.

Hasil belajar ini menunjukkan bahwa

tingkat pemahaman siswa masih perlu

ditingkatkan. Proses pembelajaran di

sekolah tersebut pada umumnya

dilakukan dengan ceramah atau dengan

model konvensional tanpa didukung

model pembelajaran lain atau media

pembelajaran yang bervariasi.

Pembelajaran dengan model

konvensionaldimana peranan guru lebih

banyak dalam menyampaikan dan

menjelaskan pelajaran, sedangkan siswa

hanya duduk, dengar, catat, hapal, dan

cenderung pasif dan tidak bisa belajar

mandiri dan kreatif sehingga hal ini

tentunya akan mempengaruhi hasil

belajar siswa.

Dari kajian diatas, guru hendaknya

memilih model pembelajaran yang tepat

pada proses belajar mengajar agar

tujuan pembelajaran tercapai. Guru

diharapkan mengajar dengan berbagai

variasi metode pembelajaran sehingga

setiap siswa merasakan disapa dan

dikembangkan sesuai dengan

intelegensi mereka. Metode dan model

yang dipakai tersebut diharapkan dapat

melibatkan siswa secara aktif dalam

pembelajaran. Siswa tidak hanya

duduk, diam, dengar, catat, hapal, akan

tetapi terlibat secara aktif atau dengan

kata lain, pembelajaran berpusat pada

siswa(student centered) melalui

pembelajaran berkelompok.

Salah satu alternatif pembelajaran

berkelompok yang dimaksud adalah

pembelajaran dengan model

Conceptual Understanding Procedures

atau Prosedur Pemahaman Konsep.

Conceptual Understanding Procedures

(CUPs) adalah suatu pengembangan

strategi diskusi dimana siswa dibagi ke

dalam kelompok yang masing-masing

terdiri dari 3 orang (triplet) yang

dibentuk secara heterogen dengan

mempertimbnagkan kemampuan siswa.

CUPs merupakan prosedur pengajaran

yang dirancang dan diprogram untuk

membantu pengembangan pemahaman

konsep siswa.

(http://www.education.edu.au/research/

groups/smte/cups) .

Model pembelajaran CUPs ini

berlandaskan kepada pendekatan

konstruktivisme yang didasarkan pada

kepercayaan bahwa siswa

mengkonstruksi pemahaman konsep

dengan memperluas atau memodifikasi

pengetahuan yang sudah ada. Dalam

pembelajaran CUPs ini diharapkan

siswa tidak hanya duduk,

memperhatikan, belajar menerima dan

memahami apa yang disampaikan guru,

tetapi lebih aktif dan kreatif dalam

menyelesaikan suatu permasalahan

yang berkaitan dengan permasalahan

matematika yang sedang dipelajari.

Selain itu, siswa juga didorong untuk

berani mengemukakakn pendapat dan

bertukar pikiran dengan teman-

Page 24: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

21

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

temannya sesuai dengan solusi yang

diperoleh masing-masing. Dengan

demikian, konsep-konsep baru yang

diterima siswa bisa lebih mudah

dipahami dan diingat sedangkan guru

lebih berperan sebagai fasilitator yang

membantu keaktifan siswa.

Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian

eksperimen yaitu membedakan hasil

belajar siswa yang diajar menerapkan

model Conceptual Understanding

Procedures (CUPs) dan model

konvensional. Penelitian dilaksanakan

di SMP Negeri 4 Pematangsiantar

Tahun Ajaran 2010/2011. Alasan

pemilihan SMP Negeri 4 sebagai lokasi

penelitian adalah karena menurut

sepengetahuan peneliti belum pernah

ada yang melakukan penelitian serupa

tentang judul yang sama. Pupulasi

dalam penelitian ini adalah seluruh

siswa kelas VII SMP Negeri 4

Pematangsiantar Tahun Ajaran

2010/2011 sebanyak 8 kelas yang

berjumlah 320 orang. Pemilihan dalam

sampel dari populasi sebanyak 2 kelas

dilakukan secara acak dengan

memperhatikan kesetaraan dan

homogenitasnya pada kondisi awal

penelitian yang akan dilihat dengan uji

kesamaan varians dan uji kesamaan

rataan. Data siswa yang akan diuji

adalah nilai raport siswa.

Dalam uji homogenitas sampel

penelitian diperoleh

sehingga

kedelapan kelas varians mempunyai

varians homogen dan uji kesamaan

rataan yaitu = 0,51 < 2,22 , maka

tidak ada perbedaan kelas sampel. Oleh

sebab itu, peneliti mengambil dua kelas

sebagai contoh sampel dalam penelitian

ini, yaitu menetapkan kelas VII7

sebagai kelas eksperimen dan kelas

VII8 sebagai kelas control. Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimen dimana yang akan

dieksperimenkan adalah model

pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

dibandingkan dengan model

pembelajaran konvensional, sehingga

dapat dipilih data hasil belajar siswa

setelah pembelajaran. Untuk itu perlu

dibuat materi yang akan diajarkan dan

kegiatan yang akan dilaksanakan,

sehingga dapat dibedakan pembelajaran

dengan model pembelajaran

Conceptual Understanding Procedures

(CUPs) dengan model pembelajaran

konvensional. Dalam hal ini materi

yang diajarkan tetap sama, yang

berbeda hanya model pembelajarannya

saja sehingga tidak ada perbedaan

pemahaman siswa dari segi materi.

Perlakuan yang diberikan pada

pembelajaran dengan model

pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

dan model pembelajaran konvensional

disusun dalam bentuk Rancangan

Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yag

terdiri dari RPP1, RPP2, dan RPP3.

Instrumen penelitian yang digunakan

dalam penelitian ini adalah tes tulisan

berbentuk uraian tes sebanyak 6 butir

soal. Masing-masing soal mempunyai

skor yang berbeda-beda karena soal

penelitian disusun dengan jenjang

kognitif yang berbeda-beda. Skor

maksimal adalah 100 dan waktu yang

diberikan dalam menyelesaikan soal

yaiu 50 menit.

Tes yang terdiri dari 6 butir soal

dengan aspek kognitif yang digunakan

adalah pengetahuan (C1), pemahaman

(C2), dan aplikasi (C3) yang dijabarkan

pada tabel 3.2 berikut :

NO

INDIKATOR

ASPEK KOGNITIF

YANG DIUKUR

C1 C2 C3

1 Siswa menjelaskan

pengertian persegi,

persegi Panjang,

jajargenjang,

ketupat, dan layang-

layang.

1

2 Siswa dapat

menjelaskan sifat-

sifat segiempat

2

Page 25: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

22

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

ditinjau dari sudut,

sisi, dan

diagonalnya.

3 Siswa dapat

menurunkan rumus

luas dan keliling

bangun segiempat.

3

4 Siswa dapat

menyelesaikan

masalah yang

berkaitan dengan

menghitung luas

segiempat.

4

5 Siswa dapat

menyelesaikan

masalah yang

berkaitan dengan

menghitung keliling

segiempat.

5

6 Siswa dapat melukis

segiempat yang

diketahui sisi-

sisinya, diagonal-

diagonalnya.

6

Hasil dan Pembahasan Sebelum instrument penelitian diberikan

kepada sampel penelitian, terlebih dahulu

diujicobakan. Uji coba instrument penelitian

dilaksanakan tanggal 1 Agustus 2010 di SMP

Negeri 2 Dolok Panribuan dan diberikan

kepada 30 orang siswa kelas VII SMP. Uji

coba dilaksanakan untuk mengetahui kualitas

tes yakni validitas butir tes, reliabilitas butir

tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat

kesukaran butir tes.

a. Validitas Butir Tes

Dengan menggunakan rumus korelasi

product moment person dengan metode

angka kasar :

2222 YYNXXN

YXXYNrxy

(Arikunto, 2002 : 72)

Dimana koefisien korelasi stiap butir tes

dapat dihitung. Untuk menentukan validitas

setiap butir tes sesuai dengan kriteria

pengukuran validitas maka diperoleh semua

butir tes adalah valid, dapat dilihat pada tabel

4.1 berikut ini:

Butir

Tes

Koefisien

Korelasi

Keterangan

1 0,56 Validitas Cukup

2 0,57 Validitas Cukup

3 0,55 Validitas Cukup

4 0,67 Validitas Cukup

5 0,69 Validitas Cukup

6 0,65 Validitas Cukup

Tabel 4.1. Perhitungan Validitas Butir Tes

Dari tabel tersebut, validitas setiap butir tes

adalah cukup dan tinggi, sehingga dapat

disimpulkan bahwa setiap butir tes adalah

valid

b. Reliabilitas Butir Tes

Dengan menggunakan rumus alpha

dihitung harga

koefisien reliabilitas tes. Perhitungan

koefisien reliabilitas tes memberikan hasil

rhitung = 0,9. Untuk α = 0,01 dan n = 6. Nilai

rtabel kritik product moment berdasarkan tabel

produst moment diperoleh rtabel = 0,403. Jika

dibandingkan nilai rhitung dengan nilai rtabel

diperoleh rhitung > rtabel , maka dapat

disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel.

c. Daya Pembeda Butir Tes

Perhitungan daya pembeda butir tes diperoleh

harga setiap butir item. Dari tabel

sebaran t, harga ttabel untuk α = 0,01, dk = (nu

– 1) + (na – 1) = (12 – 1) + (12 – 1) = 22.

Maka = =

2,75. Harga dibandingkan dengan

, daya pembeda butir tes signifikan jika

> , maka daya pembeda tiap

butir soal ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut :

Butir

Soal Keterangan

1 2,78

2,75

>

Daya

pembeda

signifikan

2 5,55 >

Daya

pembeda

signifikan

3 6,861 >

Daya

pembeda

signifikan

4 2,93 > Daya

pembeda

Page 26: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

23

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

signifikan

5 2,83 >

Daya

pembeda

signifikan

6 2,79 >

Daya

pembeda

signifikan

Tabel 4.2. Daya Pembeda Tiap Butir Soal

d. Tingkat Kesukaran Butir Soal

Perhitungan tingkat kesukaran soal

ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut ini :

Butir

Soal

Indeks Tingkat

Kesukaran

Keterangan

1 0,79 Soal mudah

2 0,66 Soal sedang

3 0,54 Soal sedang

4 0,62 Soal sedang

5 0,50 Soal sedang

6 0,29 Soal susah

Tabel 4.3. Tingkat Kesukaran Tes

Dari koefisien validitas butir tes, reliabilitas

butir tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat

kesukaran setiap butir tes, disimpulkan

bahwa instrumen penelitian memenuhi syarat

untuk digunakan dalam pengambilan data

Analisa Data Hasil Penelitian Penelitian dilakukan di dua kelas VII SMP

Negeri 4 Pematangsiantar yaitu kelas VII7

(kelompok kelas yang menggunakan model

pembelajaran Conceptual Understanding

Procedures (CUPs)) sebagai kelas

eksperimen dan kelas VII8 (kelompok kelas

yang menggunakan model pembelajaran

konvensional) sebagai kelas kontrol.

Perhitungan rata-rata Simpangan Baku Perhitungan rata-rata, simpangan baku, dan

varians dari kedua kelompok kelas pada

penelitian ini disajikan pada tabel 4.4 berikut

ini : Jenis

Statistik

Model

Pembelajaran

CUPs

Model

Pembelajaran

Konvensional banyak sampel 40 40 Nilai tertinggi 95 90 Nilai terendah 60 45 Rata-rata 83,85 75,87 Varians 99,46 93,60

Simpangan baku 9,973 9,67

Tabel 4.4. Statistik Skor Hasil Belajar Siswa

Dari tabel 4.4 didapat data statistik nilai

kedua kelompok kelas penelitian, maka hasil

belajar siswa yang menggunakan model

pembelajaran Conceptual Understanding

Procedures (CUPs) , lebih baik daripada

hasil belajar siswa yang menggunakan model

pembelajaran konvensional

Uji Normalitas Data

Kelompok Model Pembelajaran

Conceptual Understanding Procedures

(CUPs) Dari hasil perhitungan L0 diperoleh harga L0

= 0,0725 dengan menggunakan tabel uji

normalitas liliefors untuk n = 40 dan taraf

nyata α = 0,01 maka harga Ltabel = 0,1602.

Selanjutnya harga L0 dibandingkan dengan

harga Ltabel didapat bahwa L0 < Ltabel

sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil

belajar siswa kelompok model pembelajaran

Conceptual Understanding Procedures

(CUPs) berasal dari populasi yang menyebar

normal.

Kelompok Model Pembelajaran

Konvensional Dari hasil perhitungan L0 diperoleh harga L0

= 0,1131 dengan menggunakan tabel uji

normalitas liliefors untuk n = 40 dan taraf

nyata α = 0,01 maka harga Ltabel = 0,1602.

Selanjutnya harga L0 dibandingkan dengan

harga Ltabel didapat bahwa L0 < Ltabel

sehingga dapat disimpulkan bahwa data hasil

belajar siswa kelompok model pembelajaran

Konvensional berasal dari populasi yang

menyebar normal.

Pengujian Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian yaitu terdapat perbedaan

yang signifikan antara hasil belajar siswa

yang menggunakan model pembelajaran

Conceptual Understanding Procedures

(CUPs) dengan model pembelajaran

konvensional dalam pokok bahasan

segiempat di kelas VII SMP Negeri 4

Pematangsiantar T.A. 2010/2011. Hipotesis

ini berkenaan dengan perbedaan hasil belajar

Page 27: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

24

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

siswa dari kedua kelompok model

pembelajaran, maka untuk pengujian

hipotesis digunakan uji selisih dua rataan

yaitu dengan menggunakan uji t.

Perhitungan uji selisih dua rataan diperoleh

hasil harga = 3,6302. Untuk α = 0,01

dan dk = 80 berdasarkan tabel statistika kurva

sebaran t, diperoleh harga = 1,994

dimana daerah kritiknya adalah < -

1,994 atau > 1,994, dan ternyata

ada pada daerah kritik karena ,6302 >

1,994 sehingga hipotesis Ho : µ1 = µ2 (Tidak

ada perbedaan yang signifikan antara hasil

belajar matematika siswa yang menggunakan

model pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs) dengan

model pembelajaran konvensional pada

pokok bahasan segiempat di SMP Negeri 4

Pematangsiantar) ditolak. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa rataan kelompok

model pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs) berbeda

secara signifikan dengan rataan kelompok

model pembelajaran konvensional.

Simpulan dan Saran A. Simpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari data

penelitian, maka disimpulkan bahwa :

1. Hasil belajar siswa yang

menggunakan model pembelajaran

Conceptual Understanding

Procedures (CUPs) dalam subpokok

bahasan segiempat, skor rata-rata =

83,85 dan hasil belajar siswa yang

menggunakan model pembelajaran

konvensional dalam subpokok

bahasan segiempat, skor rata-rata =

75,87

2. Ada perbedaan yang signifikan antara

hasil belajar siswa yang menggunakan

model pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

dengan model pembelajaran

konvensional dikarenakan rata-rata

skor yang menggunakan model

pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

lebih tinggi daripada model

pembelajaran konvensional. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa

model pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

lebih baik daripada model

pembelajaran matematika dalam

pembelajaran matematika.

3. Perbedaan hasil belajar siswa yang

menggunakan model pembelajaran

Conceptual Understanding

Procedures (CUPs) dengan model

pembelajaran konvensional di kelas

VII SMP Negeri 4 Pematangsiantar

sebesar 7,98 dari perhitungan rata-rata

skor hasil belajar siswa

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian diatas

diajukan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi setiap guru dalam melaksanakan

proses belajar mengajar, pembelajaran

yang menggunakan model

pembelajaran Conceptual

Understanding Procedures (CUPs)

menunjukkan keefektifannya dalam

meningkatkan hasil belajar siswa.

2. Penggunaan model pembelajaran

Conceptual Understanding

Procedures (CUPs sebaiknya

memperhatikan karakteristik siswa

dan karakteristik materi pembelajaran.

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi. (2002). Dasar-dasar

Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi).

Jakarta : Rhineka Cipta

Hudojo, H. (1988). Mengajar Belajar

Matematika. Jakarta : Depdikbud

Joyce, Bruce & Marsha Weill.(1992). Models

of Teaching. USA : Allyn and Bacon

Monash University. (2003). Conceptual

Understanding Procedures

(CUPs). Australia : Monash

University.

Page 28: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

25

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

(http://ww.education.edu.au/resear

ch/groups/smte/cups)

Purwanto, Ngalim. (2010). Psikologi

Pendidikan. Bandung :Remaja

Rosdakarya

Ruseffendi, E.T. (2006). Pengantar Kepada

Membantu Guru Mengembangkan

Kompetennya dalam Pengajaran

Matematika Untuk Meningkatkan

CBSA. Bandung : Tarsito

Sagala, Syaiful. (2008). Konsep dan Makna

Pembelajaran. Bandung : Alfabeta

Simbolon, Hotman. (2006). Statistika Dasar.

Medan : Universitas HKBP

Nommensen

Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor

yang Mempengaruhi. Jakarta :

Rhineka Cipta

Tim MKBPM UPI. (2001). Strategi

Pembelajaran Matematika

Kontemporer. Bandung

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran

Inovatif Berorientasi

Konstruktivistik. Jakarta : Prestasi

Pustaha

Trianto. (2010). Model Pembelajaran

Terpadu. Jakarta : Bumi Aksara

Wikipedia (http://id.m.wikipedia.org/.html)

Winataputra, Udin, dkk. (2008). Teori

Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :

Universitas Terbuka

Page 29: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

26

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PERBEDAAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA YANG DIAJAR DENGAN

MENGGUNAKAN METODE STUDENT TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION

DENGAN METODE EKSPOSITORI PADA POKOK BAHASAN OPERASI

BENTUK ALJABAR DI KELAS VII SMP NEGERI

1 JORLANGHATARAN T.A 2019/2020

Rianita Simamora

Dosen Pendidikan Matematika FKIP UHN Medan

e-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah : (1) Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar

dengan menggunakan metode student teams achievement division pada pokok bahasan operasi

bentuk aljabar. (2) Untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan

menggunakan metode ekspositori pada pokok bahasan operasi bentuk aljabar. (3) Untuk

mengetahui perbedaan hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan menggunakan metode

student teams achievement division dengan metode ekspositori pada pokok bahasan operasi bentuk

aljabar. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh siswa SMP Negeri 1 Jorlanghataran, dan sampelnya dipilih secara acak dengan Kelas VII-

5 sebanyak 24 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-7 sebanyak 26 orang sebagai kelas

kontrol. Instrumen yang digunakan adalah tes tulisan berbentuk objektif tes berupa pilihan

berganda dengan 4 pilihan alternatif. Instrumen tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat validasi

serta memiliki koefisien realibilitas . Dari hasil uji coba dinyatakan bahwa kualitas soal-soal

instrumen tersebut valid dimana validitas terendah (validitas cukup) dan validitas tertinggi

(validitas tinggi) yaitu dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Tes reliabel

karena koefisien reliabilitas diperoleh sebesar yang lebih besar bila dibandingkan dengan

nilai dengan . Tingkat kesukaran butir soal terendah adalah (sedang)

dan tertinggi (mudah). Daya pembeda butir soal terendah adalah (cukup) dan tertinggi

(baik sekali). Dengan demikian dapat dikatakan kualitas tes baik dan dapat digunakan

sebagai pengumpul data dalam penelitian ini. Dari hasil penelitian diperoleh normalitas data kedua

kelompok berdistribusi normal. Uji homogenitas dan dari hasil

analisis data diperoleh nilai rata-rata kelas ; varians ; dan simpangan

baku untuk kelas eksperimen, sedangkan nilai rata-rata kelas ; varians

; dan simpangan baku untuk kelas kontrol. Artinya rata-rata dan

simpangan baku siswa di kelas eksperimen lebih tinggi dari pada rata-rata dan simpangan baku

siswa di kelas kontrol. Untuk uji selisih dua rataan diperoleh dan

ternyata berada pada daerah kritik, karena yaitu maka dapat

disimpulkan bahwa rataan kedua sampel berbeda secara signifikan.

Kata Kunci : hasil belajar matematika, metode Student Teams Achievement Division, metode

Ekspositori, Operasi Bentuk Aljabar

Page 30: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

27

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan upaya penting

yang dilakukan secara sadar dan terencana

untuk mencerdaskan dan mengembangkan

potensi suatu bangsa. Sebagai fondasi,

pendidikan memberi bekal ilmu pengetahuan

bagi siswa, mengembangkan potensi mereka,

dan sarana transfer nilai. Menurut Undang-

Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang

Pendidikan Nasional pasal 1 mengatakan

bahwa: pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar

dan proses pembelajaran agar siswa secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk

memiliki kekuatan sipiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

negara.

Salah satu mata pelajaran yang

dipelajari di setiap jenjang pendidikan mulai

dari SD sampai dengan Perguruan Tinggi

adalah matematika. Matematika sebagai salah

satu ilmu dasar, memiliki peranan yang besar

terhadap perkembangan ilmu yang lain.

Menurut Cockroft (Abdurrahman, 2018: 204)

mengemukakan bahwa matematika perlu

diajarkan kepada siswa karena: (1) selalu

digunakan dalam segala segi kehidupan, (2)

semua bidang studi memerlukan

keterampilan matematika yang sesuai, (3)

merupakan saran komunikasi yang kuat,

singkat dan jelas, (4) dapat digunakan untuk

menyajikan informasi dalam berbagai cara,

(5) meningkatkan kemampuan berpikir logis,

ketelitian, dan kesadaran keruangan, dan (6)

memberi kepuasan terhadap usaha

memecahkan masalah yang menantang.

Matematika merupakan salah satu

bidang studi yang menduduki peranan

penting dalam pendidikan. Salah satu hal

yang menunjukkan pernyataan tersebut

adalah terlihat dari banyaknya jam pelajaran

matematika di sekolah dibandingkan dengan

bidang studi lain. Matematika adalah suatu

alat untuk mengembangkan kemampuan

berpikir, karena itu matematika sangat

diperlukan baik dalam kehidupan sehari-hari

maupun dalam kemajuan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Bidang studi matematika

diberikan pada setiap jenjang pendidikan

untuk menyiapkan siswa dalam menghadapi

perkembangan dunia yang semakin maju dan

berkembang pesat.

Dalam kenyataannya mutu pendidikan

khususnya pendidikan matematika masih

rendah. Hal ini sejalan dengan masih terus

ditingkatkannya mutu pendidikan dengan

segala macam upaya seperti perubahan

kurikulum secara berkala. Salah satu cara

untuk melihat mutu pendidikan matematika

adalah dari tinggi rendahnya hasil belajar

matematika siswa di tingkat sekolah. Guru

sangatlah berperan penting terhadap hasil

belajar siswa. Hasil belajar tentunya

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu

faktor yang mempengaruhi rendahnya hasil

belajar adalah siswa menganggap matematika

sebagai pelajaran yang sangat sulit.

Akibatnya siswa tidak tertarik dan merasa

bosan ketika belajar matematika sehingga

mengakibatkan rendahnya pencapaian hasil

belajar. Hal ini didukung oleh pernyataan

Abdurrahman (2018: 202) yang menyatakan

bahwa: Dari berbagai bidang studi yang

diajarkan di sekolah, matematika merupakan

bidang studi yang dianggap paling sulit oleh

para siswa, baik yang tidak berkesulitan

belajar dan lebih-lebih bagi siswa yang

berkesulitan belajar.

Berdasarkan hasil studi PISA

(Proggramme for Internasional Student

Assessment) menunjukkan bahwa

kemampuan berpikir kreatif matematika

masih rendah, menurut pendapat Aripin &

Ratni (2017: 226) hal ini dapat dilihat dari

hasil PISA beberapa tahun sebelumnya masih

belum memuaskan. Hasil studi tahun terakhir

yaitu tahun 2015 dengan skor 386 dalam

bidang kompetensi matematika mengalami

kenaikan jika dibandingkan dengan tahun

2012 dengan skor 375. Namun, jika

dibandingkan dengan rata-rata keseluruhan

yaitu 490 tingkat capainya masih di bawah

rata-rata.

Berdasarkan observasi yang diperoleh

peneliti dengan salah satu guru matematika di

SMP Negeri 1 Jorlanghataran menunjukkan

Page 31: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

28

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

bahwa hasil belajar matematika siswa relatif

rendah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan

hasil ulangan harian siswa khususnya kelas

VII-1 semester ganjil yaitu dibawah 57

padahal nilai KKM yang distandarkan adalah

67 (Lampiran 1).

Tabel 1.1 Nilai rata-rata hasil ulangan

harian matematika kelas VII-1

Pokok Bahasan Nilai

Rata-rata

Bilangan 61

Himpunan 60

Operasi Bentuk Aljabar 57

Persamaan dan

Pertidaksamaan Linear Satu

Variabel

62

(Sumber: Daftar Kumpulan Nilai

SMP Negeri 1 Jorlanghataran)

Berdasarkan hasil ulangan harian

matematika, nilai rata-rata yang paling

rendah yaitu materi operasi bentuk aljabar.

Oleh karena itu, peneliti mengamati hasil

belajar siswa pada materi operasi bentuk

aljabar. Operasi bentuk aljabar merupakan

salah satu bagian dari pelajaran matematika.

Materi operasi bentuk aljabar yang

dibelajarkan siswa bertujuan agar siswa

mampu menjelaskan pengertian suku, faktor,

suku sejenis dan tidak sejenis, dan mampu

menyelesaikan operasi hitung suku sejenis

maupun suku tidak sejenis.

Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil

tes yang diberikan peneliti di kelas VII SMP

Negeri 1 Jorlanghataran, peneliti menemukan

banyak kesalahan siswa saat menyelesaikan

soal.

Gambar 1.1 Lembar Jawaban yang

Mewakili Siswa

Peneliti menyimpulkan kesalahan

hasil kerja siswa tersebut yaitu salah dalam

menjumlahkan suku-suku tak sejenis, siswa

menjumlahkan sesama konstanta yang

berbeda variabel dan mengalikan sesama

variabel yang bertanda positif dengan

variabel yang bertanda negatif menghasilkan

suku yang bertanda positif. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa dalam memecahkan

soal-soal matematika mengenai operasi

bentuk aljabar kelas VII SMP Negeri 1

Jorlanghataran masih rendah. Hal ini sejalan

dengan Rizki, dkk (2013: 64) Kesulitan siswa

dalam memecahkan soal-soal matematika ada

tiga penyebab, yaitu: 1). Siswa kurang bisa

memahami bahasa atau kalimat yang ada

pada soal sehingga siswa tidak mengetahui

apa yang harus diselesaikan. 2). siswa belum

memahami materi yang disampaikan oleh

guru. 3). Siswa lemah pada operasi dasar

matematika seperti operasi pembagian, dan

perkalian bentuk-bentuk aljabar.

Rendahnya hasil belajar matematika

siswa tersebut dapat disebabkan beberapa

faktor, salah satu diantaranya adalah

penggunaan metode pembelajaran. Metode

pembelajaran yang cenderung digunakan

selama ini adalah metode ekspositori. Seperti

halnya diungkapkan Hamzah & Muhlisrarini

(2017: 272) bahwa: metode ekspositori pada

mulanya dikenal sebagai metode

pembelajaran yang berpusat di guru, siswa

tidak banyak aktif dalam interaksi antara

guru dan murid. Pembelajaran dengan

metode ekspositori bukanlah metode yang

Page 32: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

29

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

tidak baik digunakan dalam pembelajaran

matematika. Namun, metode tersebut

memiliki sejumlah kelemahan sehingga

menyebabkan siswa kurang menyimak dan

mencatat, dikarenakan guru berperan sebagai

sumber utama pengetahuan, sehingga guru

yang mendominasi di dalam kelas. Maka dari

itu, metode pembelajaran yang kurang

bervariasi cenderung membuat siswa pasif

dalam kegiatan pembelajaran, akibatnya

siswa malas untuk belajar.

Untuk mengurangi atau menghindari

siswa yang pasif dalam proses pembelajaran

di kelas, seorang guru harus dapat

menggunakan metode mengajar yang tidak

monoton, akan tetapi lebih efektif, efisien

dan menyenangkan dalam menciptakan

komunikasi yang multi arah dan

meningkatkan interaksi siswa yaitu dengan

menggunakan metode Student Teams

Achievement Division (STAD). Dalam STAD

siswa dituntut untuk bertanggung jawab

terhadap diri mereka sendiri demi kemajuan

kelompok. Khan & Inamullah (Muttaqiyah &

Indyah, 2016: 14) menyatakan alasan

diterapkannya STAD “The reason for the

selection of STAD is good interaction among

students, improve positive attitude towards

subject, better self-esteem, increased

interpersonal skills” artinya alasan pemilihan

STAD adalah agar tercipta interaksi positif

antar siswa, meningkatkan sikap positif

terhadap pelajaran, meningkatkan harga diri,

meningkatkan keterampilan interpersonal,

mengajarkan siswa bekerja dengan rekan-

rekannya agar berhasil menguasai materi

pembelajaran. Hal ini sejalan dengan

Hamzah & Muhlisrarini (2017: 301) yang

menyatakan bahwa: metode STAD adalah

menekankan aktivitas dan interaktif para

siswa, saling memotivasi dan membantu

dalam memahami suatu materi pembelajaran.

Pada metode STAD, situasi belajar

mengajar berpindah dari situasi teacher

dominated learning menjadi situasi student

dominated learning. Dengan pembelajaran

menggunakan metode STAD, maka cara

mengajar melibatkan siswa dalam proses

kegiatan mental melalui tukar pendapat

dengan diskusi, seminar, membaca sendiri

dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar

sendiri. Penggunaan metode STAD ini, guru

berusaha untuk meningkatkan aktivitas siswa

dalam proses belajar mengajar.

Pada dasarnya, matematika itu

merupakan mata pelajaran yang sangat

menarik, sebab aplikasinya dapat dilihat

dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu

pembelajaran matematika seharusnya

berjalan efektif dan menyenangkan bagi

siswa. Sikap siswa yang aktif dalam proses

belajar mengajar dan sikap siswa yang pasif,

membawa konsekuensi perbedaan hasil

belajar siswa. Karena dalam metode STAD,

siswa akan diajak untuk terlebih aktif dalam

berdiskusi dan lebih berani mengeluarkan

ide-idenya. Sedangkan dalam metode

ekspositori, kegiatan pembelajaran berpusat

pada guru, yang dilakukan tanpa berdiskusi

dan penugasan yang mendominasi oleh lisan

dan tulisan. Tentunya penggunaan kedua

metode ini akan mendapatkan hasil belajar

yang berbeda.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilaksanakan

adalah penelitian quasi eksperimen, yaitu

penelitian yang mendekati percobaan

sungguhan dimana tidak mungkin

mengadakan kontrol atau memanipulasikan

semua variabel yang relevan, harus ada

kompromi dalam menentukan validitas sesuai

dengan batas-batas yang ada. Jenis penelitian

ini digunakan untuk mengetahui Perbedaan

Hasil Belajar Matematika Siswa Yang Diajar

Dengan Menggunakan Metode Student

Teams Achievement Division Dengan Metode

Ekspositori Pada Pokok Bahasan Operasi

Bentuk Aljabar di Kelas VII SMP Negeri 1

Jorlanghataran.

Peneliti akan mengujicobakan metode

Student Teams Achievement Division

terhadap hasil belajar siswa, kemudian

membandingkan hasil tes penelitian yang

menggunakan metode Student Teams

Achievement Division (kelas eksperimen)

dengan siswa yang menggunakan metode

Ekspositori (kelas kontrol) dalam

pembelajaran matematika.

Page 33: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

30

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Sesuai dengan judul penelitian ini,

maka yang menjadi lokasi penelitian adalah

SMP Negeri 1 Jorlanghataran yang beralamat

di Jalan besar Parapat, Tiga Balata. Penelitian

ini dilaksanakan pada semester ganjil T.A

2019/2020.

Instrumen yang digunakan oleh

peneliti untuk memperoleh data adalah tes

penelitian. Tes yang digunakan adalah tes

tulisan berbentuk objektif, yaitu tes berupa

pilihan berganda sebanyak 20 butir soal,

karena memiliki keterbatasan waktu dan

kemampuan siswa. Masing-masing soal

mempunyai empat altenatif jawaba, untuk

soal yang dijawab dengan benar diberi skor 1

dan untuk jawaban yang salah diberi skor 0,

sehingga skor maksimum adalah 20. Waktu

yang diberikan dalam menyelesaikan soal

adalah 60 menit.

Langkah-langkah yang dilakukan

dalam penelitian untuk menyusun tes adalah

sebagai berikut:

1. Menentukan ruang lingkup tes.

Materi pembelajaran yang dites adalah

Operasi Bentuk Aljabar

2. Menentukan aspek kognitif yang akan

diukur, dalam hal aspek kognitif yang

diukur dalam penelitian ini adalah ingatan

(C1), pemahaman (C2) dan aplikasi (C3).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebelum instrument penelitian

diberikan kepada sampel penelitian terlebih

dahulu dilakukan uji coba tes penelitian pada

tanggal 30 Juli 2019 di SMP Negeri 2 Dolok

Panribuan. Uji coba dilaksanakan untuk

mengetahui kualitas butir tes yang mencakup

validitas butir tes, reliabilitas tes, tingkat

kesukaran butir tes, dan daya pembeda butir

tes

Dengan menggunakan rumus korelasi

product moment Pearson dengan angka kasar

sebagai berikut:

Diperoleh koefisien validitas setiap

butir tes (lampiran 12). Koefisien validitas

butir tes disajikan pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Validitas Butir Tes

No

Item

Koefisien

Validitas Ket

No

Item

Koefisien

Validitas Ket

1 11 2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20

Dari tabel 4.1 terlihat bahwa setiap item

mempunyai koefisien validitas yang cukup,

dan tinggi sehingga dapat disimpulkan bahwa

semua item valid.

Dengan menggunakan rumus K-R 20

dihitung harga

koefisien reliabilitas tes sebesar .

Koefisien reliabilitas tes dibandingkan

dengan nilai kritik product moment

untuk dan

yaitu: , ternyata

sehingga dapat

disimpulkan bahwa tes tersebut reliabel

(Lampiran 13).

Dengan menggunakan rumus tingkat

kesukaran setiap butir tes (Lampiran 14),

tingkat kesukaran butir tes disajikan pada

Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Tingkat Kesukaran Butir Tes No

Item

Tingkat

Kesukaran Ket

No

Item

Tingkat

Kesukaran Ket

1 11 2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20

Dari Tabel 4.2 terlihat bahwa semua butir tes

memiliki tingkat kesukaran yang mudah,

sedang, dan sukar sehingga semua item

dianggap baik.

Dengan menggunakan rumus daya

pembeda masing-masing item (Lampiran 16).

Daya pembeda butir tes disajikan pada Tabel

4.3.

Tabel 4.3. Daya Pembeda Butir Tes

Page 34: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

31

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

No

Item

Daya

Pembeda Ket

No

Item

Daya

Pembeda Ket

1 11

2 12 3 13 4 14 5 15 6 16 7 17 8 18 9 19 10 20

Dari Tabel 4.3 terlihat bahwa semua

butir tes memenuhi kriteria yakni cukup, baik

dan baik sekali.

Dari hasil perhitungan koefisien

validitas butir tes, reliabilitas tes, tingkat

kesukaran butir tes, dan daya pembeda butir

tes, maka dapat disimpulkan bahwa tes

memenuhi syarat dan layak digunakan untuk

pengambilan data dalam penelitian.

Sebagaimana telah dibahas pada

metode penelitian bahwa penelitian

dilakukan di SMP Negeri 1 Jorlanghataran

pada tanggal 25 Juli 2019 s/d 06 Agustus

2019, dengan kelas VII-5 sebagai kelas

eksperimen dan kelas VII-7 sebagai kelas

kontrol. Perhitungan memperoleh rata-rata,

varians dan simpangan baku disajikan pada

(Lampiran 19). Statistik dari kelompok yaitu

kelompok Student Teams Achievement

Division dan kelompok Ekspositori disajikan

pada tabel 4.4.

Tabel 4.4. Statistik Data Kedua Sampel

Jenis Statistik Kelas

Eksperimen Kelas Kontrol

N (Banyak data) Rata-rata Varians Simpangan baku Skor tertinggi Skor terendah

Dari data statistik di atas tampak nilai kedua

sampel, sehingga dapat disimpulkan hasil

belajar matematika siswa yang menggunakan

metode student teams achievement division

lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang

menggunakan metode ekspositori.

Dari hasil perhitungan diperoleh

harga sedangkan

untuk dan taraf nyata .

Ternyata dengan demikian

disimpulkan bahwa data kelompok

eksperimen yaitu kelompok metode student

teams achievement division berasal dari

populasi yang menyebar normal. Dari hasil

perhitungan diperoleh harga

sedangkan untuk dan taraf

nyata . Ternyata dengan

demikian disimpulkan bahwa data kelompok

kontrol yaitu kelompok metode ekspositori

berasal dari populasi yang menyebar normal

(Lampiran 20).

Dari hasil perhitungan diperoleh nilai

. Jika dibandingkan dengan

untuk dan serta

maka dengan menggunakan uji dua pihak

diperolah titik-titik kritis ,

dimana daerah kritiknya adalah .

Ternyata diperoleh

. Ternyata

diperoleh berada pada daerah kritik,

sehingga diterima maka dapat

disimpulkan bahwa kedua sampel homogen

(Lampiran 21).

Setelah dilakukan uji normalitas dan

uji homogenitas varians untuk mengetahui

data berdistribusi normal terhadap hasil

belajar matematika siswa dengan metode

Student Teams Achievement Division dan

metode Ekspositori, maka dilakukan

hipotesis dengan uji satu pihak dan uji selisih

dua rataan dengan menggunakan uji statistik

t.

Dari hasil perhitungan pada

(Lampiran 22). Untuk dan

titik kritiknya adalah . Diperoleh

. Ternyata ada pada daerah

penerimaan karena sehingga

ditolak dan sebaliknya diterima

sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil

belajar siswa yang menggunakan metode

Student Teams Achievement Division pada

pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar di

Page 35: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

32

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Kelas VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A

2019/2020 lebih dari KKM 67. Dapat dilihat

juga banyak siswa yang menjawab soal

berdasarkan kompetensi C1 (Pengetahuan)

sebesar , C2 (Pemahaman) sebesar

, C3 (Aplikasi) sebesar dapat

dilihat pada (lampiran 23).

Dari hasil perhitungan pada

(Lampiran 22). Untuk dan

titik kritiknya adalah .

Diperoleh . Ternyata ada

pada daerah penerimaan karena

sehingga diterima dan

sebaliknya ditolak sehingga dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang

menggunakan metode Ekspositori pada

pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar di

Kelas VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A

2019/2020 kurang dari KKM 67. Dapat

dilihat juga banyak siswa yang menjawab

soal berdasarkan kompetensi C1

(Pengetahuan) sebesar , C2

(Pemahaman) sebesar , C3 (Aplikasi)

sebesar dapat dilihat pada (lampiran

23).

Dari hasil perhitungan pada

(Lampiran 22). Untuk dan

titik kritiknya adalah

. Diperoleh

. Ternyata ada pada

daerah penerimaan karena

sehingga Ho ditolak dan sebaliknya Ha

diterima. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa hasil belajar matematika

siswa yang menggunakan metode Student

Teams Achievement Division dengan

menggunakan metode ekspositori pada pokok

bahasan operasi bentuk aljabar di kelas VII

SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A 2019/2020

berbeda secara signifikan. Dapat dilihat juga

banyak siswa yang menjawab soal

berdasarkan kompetensi antara kedua

metode, ternyata presentasi menjawab soal

berdasarkan kompetensi C1 (Pengetahuan)

pada metode STAD lebih dari

metode ekspositori , kompetensi C2

(Pemahaman) pada metode STAD

lebih dari metode ekspositori , dan

C3 (Aplikasi) pada metode STAD

lebih dari metode ekspositori ,

(lampiran 23).

SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan

pembahasan dalam penelitian ini,

dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai

berikut :

1. Hasil belajar matematika siswa yang

menggunakan metode Student Teams

Achievement Division pada pokok

bahasan Operasi Bentuk Aljabar di kelas

VII SMP Negeri 1 Jorlanghataran T.A

2019/2020, mempunyai rata-rata, varians

dan simpangan baku yang di peroleh dari

kelas eksperimen yakni nilai rata-rata

kelas ; varians

; dan simpangan baku

.

2. Hasil belajar matematika siswa yang

menggunakan metode Ekspositori pada

pokok bahasan Operasi Bentuk Aljabar

di kelas VII SMP Negeri 1

Jorlanghataran T.A 2019/2020,

mempunyai rata-rata, varians dan

simpangan baku yang di peroleh dari

kelas kontrol yakni nilai rata-rata kelas

; varians ; dan

simpangan baku .

3. Terdapat perbedaan yang signifikan

antara hasil belajar matematika siswa

yang menggunakan metode Student

Teams Achievement Division dengan

yang menggunakan metode Ekspositori

pada pokok bahasan Operasi Bentuk

Aljabar di kelas VII SMP Negeri 1

Jorlanghataran T.A 2019/2020. Hasil

belajar matematika siswa yang

menggunakan metode Student Teams

Achievement Division lebih baik dari

pada hasil belajar matematika siswa yang

menggunakan metode ekspositori.

Page 36: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

33

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

B. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang telah

dikemukakan peneliti di SMP Negeri 1

Jorlanghataran, maka peneliti

mengemukakan saran yang mungkin berguna

khususnya bagi pendidik yaitu:

1. Sesuai dengan hasil penelitian ini

bahwa hasil belajar matematika siswa

dengan menggunakan metode Student

Teams Achievement Division lebih baik

dari pada hasil belajar matematika siswa

yang menggunakan metode ekspositori,

maka peneliti menyarankan kepada guru

dan calon guru untuk menggunakan

metode Student Teams Achievement

Division dalam mengajarkan matematika

khususnya pada pokok bahasan operasi

bentuk aljabar.

2. Kepada siswa-siswi hendaknya

dapat mengikuti pembelajaran

matematika dengan menggunakan

metode Student Teams Achievement

Division dengan baik dan mampu

memberikan motivasi belajar di dalam

diri peserta didik.

3. Kepada peneliti berikutnya agar

mengadakan penelitian yang sama

dengan materi atau tingkatan jenjang

yang berbeda sehingga hasil penelitian

dapat berguna bagi kemajuan pendidikan

khususnya pendidikan matematika.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2018. Anak

Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka

Cipta.

Ardiansyah, M. 2016. “Pengaruh Metode

Partisipatori Terhadap Hasil Belajar

Matematika”. Jurnal SAP. Vol. 1 (1):

61-69. [diakse tanggal 06 Mei 2019].

Arikunto, Suharsimi. 2013. Dasar-Dasar

Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi

Aksara.

Aripin, U., & Purwasih, R. 2017. “Penerapan

Pembelajaran Berbasis Alternative

Solutions Worksheet Untuk

Meningkatkan Kemampuan Berpikir

Kreatif Matematik”. Jurnal Pendidikan

Matematika FKIP Univ.

Muhammadiyah Metro. Vol. 6 (2):

225-233. [diakse tanggal 23 Mei 2019].

Departemen Pendidikan Nasional. 2003.

Undang-Undang No.20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Jakarta: Depdiknas

Hamzah, Ali dan Muhlisrarini. 2017.

Perencanaa dan Strategi

Pembelajaran Matematika. Jakarta:

PT.Rajagrafindo Persada

Istarani. 2017. 58 Model Pembelajaran

Inovatif. Medan: Media Persada

Istarani. 2017. Kumpulan 40 Metode

Pembelajaran. Medan: CV. Iscom

Medan

Muttaqiyah, D., & Arty, I. S. 2016.

“Pengaruh Publikasi Tugas Melalui

STAD terhadap Kerja Sama,

Kreativitas, dan Prestasi Belajar IPA”.

Jurnal Inovasi Pendidikan IPA. Vol. 2

(1): hal. 12-23. [diakse tanggal 16 April

2019].

Putri, K. C., & Sutriyono. 2018. “Pengaruh

Metode Pembelajaran Stad Terhadap

Hasil Belajar Matematika Pada Siswa

Kelas VIII”. Jurnal Pendidikan

Matematika. Vol. 7 (2): 295-306.

[diakse tanggal 05 Mei 2019].

Rachmawati, Tika Karlina. 2018. “Pengaruh

Metode Ekspositori Pada Pembelajaran

Matematika Dasar Mahasiswa

Manajemen Pendidikan Islam”. Jurnal

Pendidikan Edutama.. Vol. 5 (1): hal.

51-56. [diakse tanggal 13 April 2019].

Rizki, F. F., Lestariningsih, & Soerdjono, B.

2013. “Penerapan Model Pembelajaran

Kooperatif Untuk Meningkatkan

Kemampuan Siswa Dalam

Memecahkan Soal-soal Operasi Hitung

Bentuk Aljabar”. Jurnal Pendidikan

Matematika STKIP PGRI Sidoarjo.

Vol. 1 (2): 63-70. [diakse tanggal 05

Mei 2019].

Page 37: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

34

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Shoimin, Aris. 2018. 68 Model Pembelajaran

Inovatif dalam Kurikulum 2013.

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Siagian, Muhammad Daut. 2017.

“Pembelajaran Matematika Dalam

Persfektif Konstruktivisme”. Jurnal

Pendidikan Islam dan Teknologi

Pendidikan. Vol. VII (2): hal. 61-73.

[diakse tanggal 13 April 2019].

Simbolon, Hotman. 2009. Statistika.

Yogyakarta: Graha Ilmu

Solihah, Ai. 2016. “Pengaruh Model

Pembelajaran Teams Games

Tournament (TGT) Terhadap Hasil

Belajar Matematika”. Jurnal SAP. Vol.

1 (1): 45-53. [diakse tanggal 13 April

2019].

Susiaty, U.D., Firdaus, M., & Hodiyanto.

2017. “Analisis Kesulitan Belajar

Mahasiswa Program Studi Pendidikan

Matematika Dalam Mempelajari

Matematika Ekonomi”. Jurnal SAP.

Vol. 1 (3): hal. 228-237. [diakse

tanggal 13 April 2019].

Takdir, Muhammad. 2014. “Peningkatan

Hasil Belajar Matematika Melalui

Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD

Pada Siswa Kelas X. F SMA Negeri 1

Pitumpanua”. Jurnal Nalar Pendidikan.

Vol. 2 (1): 37-40. [diakse tanggal 05

Mei 2019].

Tarigan, D., & Sinaga, E. M. 2015.

“Perbedaan Hasil Belajar Siswa dalam

Pendekatan Realistik dengan

Pendekatan Ekspositori pada Mata

Pelajaran Matematika Kelas IV SDN

101880 Tanjung Morawa”. Jurnal

Matematika Kreatif-Inovatif. Vol. 6 (1):

7-11. [diakse tanggal 22 April 2019].

Page 38: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

35

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematis Siswa

Melalui Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)

Yanty Maria Rosmauli Marbun, M.Pd

Dosen FKIP Universitas HKBP Nommensen

The purpose of this research was to analyze: (1) The improvement in mathematical problem

solving ability of students that given through problem based learning with students that given

through usually learning, (2) The improvement in matematical disposition ability of students that

given through problem based learning with students that given through usually learning, (3) The

interaction between the learning approach with students’ mathematical previous knowledge toward

the improvement in mathematical problem solving ability, (4) The interaction between the learning

approach with students’ mathematical previous knowledge toward the improvement in

mathematical disposition, This research has done at SMP Negeri 1 with sample 60 students. This

research is a semi-experimental by pre-test-post-test control group design. The population of this

research is grade seven with taken sample two classes (experiment class and control class) through

random sampling technic. These instruments had been estabilisihed in fulfill requisite content

validity and reability coefficient 0,887. The analysis data was done by using two-way ANAVA

test. Sample in this research come from normal and homogen sample by level 5% significant.

Based of the results analysis, it showed that: (1) Improvement of the students’ ability in realistic

mathematic education classroom is higher than the students’ ability in usually learning classroom,

(2) Improvment the students’ ability in mathematical disposition in PBM classroom is higher than

the students’ ability in usually learning classroom, (3) There did not encist between learning model

and students’ mathematical previous knowledge toward the improvement ability mathematical

problem solving, (4) There did not encist between learning model and students’ mathematical

previous knowledge toward the improvement ability mathematical disposition, Based on the result

of this research, the researcher suggested that problem based learning can be used as an alternative

for mathematic teacher to improved students’ ability in mathematical problem solving and

mathematical disposition.

Keywords: Problem Based Learning, Mathematical Problem Solving, Mathematical Disposition

Pendahuluan

Tujuan umum diberikannya

matematika pada jenjang pendidikan dasar

dan menengah sesuai Garis-garis Besar

Program Pengajaran matematika, meliputi

dua hal yaitu: (1) mempersiapkan siswa agar

sanggup menghadapi perubahan keadaan di

dalam kehidupan dan di dunia yang selalu

berkembang, melalui latihan bertindak atas

dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis,

cermat, jujur, efektif dan efisien; (2)

Mempersiapkan siswa agar dapat

menggunakan matematika dan pola pikir

matematika dalam kehidupan sehari-hari dan

dalam mempelajari berbagai ilmu

pengetahuan. National Council of Teacher of

Mathematics (2001) juga merumuskan

tujuan umum pembelajaran matematika

yaitu: (1) belajar untuk berkomunikasi

(mathematical communication); (2) belajar

untuk bernalar (mathematical reasoning); (3)

belajar untuk memecahkan masalah

(mathematical problem solving); (4) belajar

untuk mengaitkan ide (mathematical

connections); (5) pembentukan sikap positif

terhadap matematika (positive attitudes

toward mathematics).

Sejalan dengan itu pemerintah juga

terus berupaya mengembangkan sistem

pembelajaran matematika disekolah supaya

menjadi lebih baik. Salah satu kebijakan yang

diambil oleh pemerintah adalah dengan

dikeluarkannya Permendiknas tentang tujuan

mata pelajaran matematika. Menurut

Peraturan Mentri Pendidikan Nasional

Page 39: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

54

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

(Permendiknas No. 22 Tahun 2006) Tentang

Standar Isi, tujuan Mata Pelajaran

Matematika adalah: (1) memahami konsep

matematika, menjelaskan keterkaitan

antarkonsep dan mengaplikasikan konsep

atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien,

dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2)

menggunakan penalaran pada pola dan sifat,

melakukan manipulasi matematika dalam

membuat generalisasi, menyusun bukti, atau

menjelaskan gagasan dan pernyataan

matematika; (3) memecahkan masalah yang

meliputi kemampuan memahami masalah,

merancang model matematika,

menyelesaikan model dan menafsirkan solusi

yang diperoleh; (4) Mengomunikasikan

gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau

media lain untuk memperjelas keadaan atau

masalah; (5) Memiliki sikap menghargai

kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan

minat dalam mempelajari matematika, serta

sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan

masalah.

Salah satu doing math yang erat

kaitannya dengan karakteristik matematika

adalah kemampuan pemecahan masalah.

Sumarmo ( dalam Fauziah, 2009) juga

menyatakan bahwa pemecahan masalah

merupakan hal yang sangat penting sehingga

menjadi tujuan umum pengajaran matematika

bahkan sebagai jantungnya matematika.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah

ini juga dikemukakan oleh Hudoyo (1979 :

56) yang menyatakan bahwa pemecahan

masalah merupakan suatu hal yang sangat

esensial di dalam pengajaran matematika,

sebab: (1) siswa menjadi terampil menyeleksi

informasi yang relevan, kemudian

menganalisanya dan akhirnya meneliti

hasilnya; (2) kepuasan intelektual akan

timbul dari dalam; (3) potensi intelektual

siswa meningkat; (4) siswa belajar

bagaimana melakukan penemuan dengan

melalui proses melakukan penemuan. Ruseffendi (1991) mengemukakan beberapa

alasan mengapa soal-soal pemecahan masalah

diberikan kepada siswa yaitu: (1) dapat

menimbulkan keingintahuan memotivasi, dan

membantu berpikir kreatif, (2) disamping

memiliki pengetahuan dan keterampilan

(berhitung, dan lain-lain) disyaratkan adanya

kemampuan membaca dan membuat pernyataan

yang benar, (3) dapat menimbulkan jawaban yang

asli, khas dan beraneka ragam serta dapat

menambah pengetahuan baru (4) dapat

meningkatkan aplikasi ilmu pegetahuan yang

diperolehnya, (5) mengajak siswa memiliki

prosdur pemecahan masalah , mampu membuat

analisis dan sintesis dan dituntut untuk

membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya,

(6) merupakan kegiatan penting bagi siswa yang

melibatkan bukan saja satu bidang studi tetapi

mungkin bidang atau pelajaran lain.

Oleh karena itu pembelajaran

matematika di sekolah harus dapat

menyiapkan siswa untuk memiliki

kemampuan pemecahan masalah. Diberikan

satu persoalan pemecahan masalah tentang

pecahan yang diajukan kepada siswa siswa

SMPN 1 Siantar, yaitu: Ridwan memiliki

sejumlah kelereng. Dia membawa ¾ bagian

dari kelereng yang dimilikinya untuk bermain

dengan temannya. Karena kalah, sebanyak

2/3 dari kelereng yang dibawanya habis,

tinggal 6 biji lagi. Tentukan kira-kira berapa

banyak kelereng yang dimiliki Ridwan

sekarang. Soal tersebut diberikan kepada 38

siswa, 18 diantaranya tidak menjawab soal

tersebut, 12 orang menjawab dengan jawaban

yang salah dan 8 orang menjawab yang

benar, dari hasilnya menunjukkan

kemampuan pemecahan masalah rendah.

Selain kemampuan pemecahan

masalah matematis, juga perlu

dikembangkan sikap menghargai kegunaan

matematika dalam kehidupan yaitu

memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan

minat dalam mempelajari matematika, serta

sifat ulet dan percaya diri dalam

pemecahan masalah, NCTM (2001)

menamakan dengan istilah mathematical

disposition atau disposisi matematis

(Karlimah, 2010).

Napitupulu (2008) berpendapat bahwa

ada 3 proses penyelesaian masalah matematis

meliputi: 1) membuat model matematis dari

suatu situasi atau masalah sehari-hari, 2)

memilih dan menerapkan strategi yang

cocok, dan 3) menjelaskan atau menafsirkan

Page 40: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

55

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

hasil sesuai masalah asal, serta memeriksa

kebenaran hasil atau jawaban. Ketiga proses

penyelesaian inilah yang dimodifikasi

menjadi indikator kemampuan pemecahan

masalah pada penelitian ini. indikator

pemecahan masalah matematis

Sebagaimana hasil observasi yang

dilakukan peneliti terhadap 38 siswa

SMP Negeri 1 Siantar bahwasanya dari

data yang diperoleh peneliti berdasarkan

jawaban angket yang diisi oleh siswa-

siswa tersebut, diperoleh 85% dari 38 orang

siswa yang ada dikelas memiliki disposisi

matematis yang rendah dan siswa yang

mempunyai disposisi matematis adalah

siswa yang hanya memperoleh nilai

matematika tinggi dari hasil rapor

semester sebelumnya. Oleh karena itu

disposisi matematis sungguh suatu hal

yang harus ada dalam diri siswa guna

untuk meningkatkan prestasi siswa dalam

matematika. Kenyataan yang dijumpai oleh

sebagian guru dalam proses pembelajaran

adalah:

1. Pada saat ujian masih ada siswa yang

masih mencontek pekerjaan temannya.

2. Saat diberikan tugas individu sebahagian

besar siswa sering menyalin pekerjaan

temannya tanpa ada usaha untuk

mengerjakan sendiri.

3. Malu bertanya kepada guru tentang

materi yang belum dipahami ketika

diskusi kelompok

4. Masih ada sebagian siswa yang tidak

peduli mendapat nilai rendah pada ujian

matematika.

Pembelajaran yang selama ini

digunakan guru belum mampu mengaktfikan

siswa dalam belajar, memotivasi siswa untuk

mengemukakan ide dan pendapat mereka,

dan bahkan para siswa enggan untuk

bertanya pada guru jika mereka belum paham

materi yang disajikan guru. Disamping itu

juga guru senantiasa dikejar target waktu

untuk menyelesaikan setiap pokok bahasan

tanpa memperhatikan kompetensi yang

dimiliki siswanya akibatnya pembelajaran

bermakna yang diharapkan tidak terjadi.

Anak hanya belajar dengan cara menghapal,

mengingat materi, rumus-rumus, defenisi dan

sebagainya. Guru yang tidak lain merupakan

penyampaian informasi dengan lebih

mengaktifkan guru sementara siswa pasif

mendengarkan dan menyalin, sesekali guru

bertanya dan sesekali siswa menjawab, guru

memberikan contoh soal dilanjutkan dengan

memberikan latihan yang sifatnya rutin

kurang melatih daya nalar, kemudian guru

memberikan penilaian. Untuk itulah harus

diupayakan suatu pembelajaran yang

berorientasi pada proses dan produk

matematika, belajar tidak begitu saja

menerima, belajar harus bermakna

(meaningful), pengetahuan tidak diterima

secara pasif.

Salah satu pembelajaran yang kreatif,

inovatif dan efektif dalam meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah siswa

adalah pembelajaran berbasis masalah.

Pembelajaran berbasis masalah merupakan

pembelajaran yang menerapkan teori

konstruktivisme, hal ini dapat dilihat

prosesnya yang aktif, memberikan

kesempatan kepada siswa dan guru untuk

ambil bagian dalam bekerja sama

mengkonstruksi pengetahuan. Pada

pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan ingatan siswa dalam jangka

panjang. Pembelajaran berbasis masalah

(PBM) esensinya berupa menyuguhkan

berbagai situasi masalah yang autentik dan

bermakna kepada siswa, yang dapat

berfungsi sebagai landasan untuk investigasi

atau penyelidikan siswa (Arends, 2009).

Melalui investigasi masalah autentik siswa

berlatih untuk berpikir merumuskan masalah,

menyusun hipotesis, menentukan variable,

mencoba berbagai metode, menganalisis

data, menarik kesimpulan, dan mengevaluasi

segala sesuatu yang dilakukan. Sehingga

melalui model PBM diharapkan dapat

meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah siswa dalam menyelesaikan suatu

masalah yang tercermin melalui kemampuan

mempokuskan, memperoleh informasi,

mengorganisasi, menganalisis,

menggeneralisasi, dan mengevaluasi temuan

Page 41: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

56

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

masalah. Arends (2009) menyatakan bahwa

PBM membantu siswa untuk

mengembangkan ketrampilan berpikir dan

ketrampilan mengatasi masalah, mempelajari

peran-peran orang dewasa dan menjadi

pelajar yang mandiri. Menurut Trianto (2009

) PBM adalah pembelajaran dengan mengacu

pada 5 langkah pokok yaitu (1) orientasi

siswa pada masalah, (2) mengorganisir siswa

untuk belajar, (3) membimbing individu

maupun kelompok, (4) mengembangkan dan

menyajikan hasil karya dan (5) menganalisis

dan mengevaluasi proses penyelesaian

masalah. Arends (2009, 57) memberikan

fase-fase sintaksis PBM tepatnya yang perlu

dilakukan oleh guru. Sintak ini serupa

dengan sintak yang disajikan oleh Ibrahim

dalam Trianto (2009).

Tabel 2.1 Langkah-Langkah Pembelajaran

Berbasis Masalah

Fase Indikator Tingkah laku guru

1 Orientasi siswa

pada masalah

Guru menjelaskan

tujuan

pembelajaran,menjelas-

kan logistik yang

dibutuhkan,memotivasi

siswa terlibat pada

aktivitas penyelesaian

masalah.

2

Mengorganisir

siswa untuk

belajar

Guru membantu siswa

mendefenisikan dan

mengorganisir tugas

belajar yang

berhubungan dengan

masalah tersebut

3

Membimbing

individual

maupun

kelompok

Guru mendorong siswa

untuk mengumpulkan

informasi yang sesuai,

melakukan observasi,

untuk menyelesaikan

masalah

4

Mengembangkan

dan menyajikan

hasil karya

Guru membantu siswa

dalam merencanakan

dan menyiapkan karya

yang sesuai seperti

laporan,dan membantu

mereka untuk berbagi

tugas dengan teman -

Fase Indikator Tingkah laku guru

5

Menganalisis

dan

mengevaluasi

proses

penyelesaian

masalah

Guru membantu siswa

untuk melakukan

refleksi atau evaluasi

terhadap investigasi

mereka dan proses

yang mereka gunakan

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian

eksperimen semu (quasi eksperimen) yang

membandingkan dua model pembelajaran

yaitu model pembelajaran berbasis masalah

dan model pembelajaran biasa. Penelitian ini

dilakukan di SMP Negeri 1 Siantar selama

kurang lebih tiga minggu. Ada tiga variabel

dalam penelitian ini yaitu, variabel bebas

(independent variable), variabel terikat

(dependent variable), dan variabel kontrol.

Instrumen yang digunakan untuk

memperoleh data yang diperlukan pada

penelitian ini yaitu tes. Soal yang

dikembangkan untuk tes adalah soal-soal

uraian, . Sedangkan kemampuan awal siswa

diambil dari nilai ulangan materi

sebelumnya. Tes kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa dalam penelitian ini

berbentuk uraian. Model skala sikap yang

digunakan adalah model skala sikap Likert.

Skala sikap ini diberikan kepada siswa

kelompok eksperimen sebelum melakukan

pembelajaran dan setelah melaksanakan tes

akhir (postest). Sebelum soal tes ini

diujicobakan pada kelas lain di sekolah pada

tingkat yang sama, maka peneliti melakukan

uji validitas yang berkenaan dengan isi dan

wajah, yang bertujuan untuk menentukan

kesesuaian antara soal dengan tujuan yang

ingin diukur dan kesesuaian soal dengan

materi ajar di SMP kelas VII melalui

pertimbangan ahli yang berlatar belakang

pendidikan matematika yaitu dosen

pembimbing, dosen dan guru matematika di

SMP. Pengujian normalitas dengan

menggunakan program SPSS versi 16.0

yakni dengan melibatkan uji Kolmogorov-

Simirnov adalah suatu tes apakah kedua

Page 42: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

57

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

sampel independen telah ditarik dari suatu

populasi yang sama (populasi-populasi yang

dimiliki dari distribusi yang sama). Untuk

menerapkan tes dua sampel Kolmogorov-

Simirnov dibuat distribusi frekuensi

kumulatif untuk sampel penelitian dengan

menggunakan interval-interval yang sama

untuk kedua distribusi. Pengujian normalitas

memerlukan hipotesis sebagai berikut:

H0: data populasi berdistribusi normal

Ha: data populasi tidak berdistribusi normal

Kriterianya adalah:Tolak H0 apabila populasi

berdistribusi normal jika L0 yang diperoleh

dari data pengamatan lebih besar dari Ltabel.

Dalam hal lain hipotesis H0 diterima atau

nilai signifikansi Kolmogorov-Simirnov

lebih besar dari taraf signifikan 0,05.

PEMBAHASAN

Untuk menjawab semua pertanyaan

pada rumusan masalah peneliti harus

menganalisis semua data yang di dapat dari

lapangan. Selanjutnya untuk memberikan

masukan yang positif demi perbaikan jika

menerapkan pembelajaran Berbasis masalah,

maka perlu dikemukakan hal-hal yang positif

agar dapat mengatasi masalah-masalah yang

ditemukan pada suatu penelitian untuk

mengukur kemampuan pemecahan masalah

matematis, disposisi matematis siswa.

Berikut ini akan diuraikan beberapa

faktor yang terkait dalam penelitian ini, yaitu

faktor pembelajaran, kemampuan pemecahan

masalah matematis, disposisi matematsi ,

interaksi antara pembelajaran yang

digunakan dengan kemampuan awal terhadap

kemampuan pemecahan masalah matematis

dan disposisi matematis siswa. Secara

lengkap uraian tersebut akan disajikan dalam

bentuk deskripsi berikut ini.

1. Faktor Pembelajaran

Faktor pembelajaran merupakan salah

satu hal yang paling berpengaruh terhadap

kemampuan pemecahan masalah dan

disposisi matematis siswa. Tiap tahap dalam

PBM memberi kontribusi terhadap

peningkatan kemampuan siswa. Jadi, kelima

tahapan dalam pemebelajaran berbasis

masalah benar-benar diterapkan dalam proses

pembelajaran untuk memperoleh hasil yang

optimal.

Sebelum pembelajaran dimulai, guru

telah terlebih dahulu membagi siswa dalam

beberapa kelompok berdasarkan hasil tes

yang telah diberikan kepada siswa

sebelumnya. Pembagian kelompok

berdasarkan kemampuan awal siswa .Di

harapkan siswa yang memiliki kemampuan

awal tinggi dapat membantu siswa yang

memiliki kemampuan awal sedang dan

rendah. Hal tersebut berdampak positif

dengan melihat N-gain kemampuan

pemecahan masalah matematis dan disposisi

matematis siswa yang memiliki kemampuan

awal rendah tidak jauh berbeda dengan N-

gain siswa yang memiliki kemampuan awal

sedang.

2. Kemampuan Awal Matematis Siswa

Melalui penelitian ini diperoleh

sejumlah data yang meliputi, (1) hasil skor

KAM kelas eksperimen dan kontrol, (2) hasil

skor pretes kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa kelas eksperimen dan

kontrol, (3) hasil skor postes kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa kelas

eksperimen dan kontrol. Analisis data yang

akan dipaparkan adalah analisis data

kemampuan awal matematika (KAM),

analisis data kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa, analisis data angket

disposisi matematis siswa, analisis data

interaksi antara model pembelajaran dan

KAM terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematis siswa, dan

analisis data interaksi antara model

pembelajaran dan KAM terhadap

peningkatan disposisi matematis siswa.

Dari perhitungan didapat nilai

signifikansi Kolmogorov Smirnov kelas

eksperimen adalah 0,126 dan kelas kontrol

adalah 0,078. Nilai kedua signifikan tersebut

lebih besar dari nilai taraf signifikan 0,05,

sehingga data kedua kelas tersebut

berdistribusi normal dengan kata lain

hipotesis nol diterima. Nilai signifikansi

KAM sebesar 0,955 > α : 0,05 artinya data

hasil tes kemampuan awal siswa kelas

kontrol dan kelas ekprerimen homogen.

Page 43: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

58

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Berdasarkan hasil perhitungan dengan

menggunakan uji t pada taraf signifikansi

05 diperoleh Sig.(2-tailed) sebesar

0,940 Karena Sig.(2-tailed) > 0,05 maka H0

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan

antara kelompok eksperimen dengan

kelompok kontrol. Dengan demikian,

kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

memiliki kemampuan yang sama.

3. Pemecahan Masalah dan Disposisi

Matematis

Berdasarkan perhitungan ANAVA dua

jalur rata-rata gain kemampuan pemecahan

masalah dapat diketahui bahwa F pada faktor

pembelajaran (KPA dan KPB) sebesar

18,637 dengan nilai signifikansi 0,200 <

0,05, sehingga Ho ditolak. Kesimpulannya,

Peningkatan kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa yang memperoleh

pembelajaran berbasis masalah (PBM) lebih

tinggi dari pendekatan konvensional (PB).

Selain itu diperoleh juga nilai F dari faktor

pembelajaran (KPA dan KPB) dengan KAM

yaitu sebesar 0,031 dengan nilai signifikansi

sebesar 0,970 > 0,05, sehingga Ho diterima.

Kesimpulannya, tidak terdapat interaksi

antara model pembelajaran dan kemampuan

awal matematik terhadap peningkatan

kemampuan pemecahan masalah matematis

siswa.

Untuk Disposisi matematis nilai F

untuk interaksi pembelajaran dan

kemampuan awal matematika siswa sebesar

1,276 dan nilai signifikansi sebesar 0,287.

Karena nilai signifikansi lebih besar dari nilai

taraf signikan 0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa Ho terima, yang berarti tidak terdapat

interaksi antara pembelajaran yang

digunakan dengan kemampuan awal

matematika siswa terhadap disposisi

matematis siswa dapat diterima.

4. Interaksi Antara Pembelajaran dan

Kemampuan Awal Matematika Siswa

Terhadap Peningkatan Kemampuan

Pemecahan Masalah Matematis dan

Disposisi matematis Siswa.

Siswa yang memiliki kemampuan awal

yang tinggi memiliki peningkatan pemecahan

masalah yang tinggi dan disposisi matematis

siswa yang baik pula akan tetapi dari hasil

analisis data yang dilakukan dari data yang

diperoleh dari lapangan didapat bahwa tidak

terdapat interaksi antara kemampuan awal

siswa, pembelajaran dan peningkatan

terhadap kemampuan pemecahan masalah

dan disposisi matematis siswa. Hal ini juga

dapat diartikan bahwa interaksi antara model

pembelajaran dengan KAM tidak

memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah dan disposisi matematis

siswa.

Temuan tersebut sama dengan hipotesis

yang telah dibuat pada bab sebelumnya.

Untuk mengetahui penyebab sebenarnya

peneliti juga melakukan wawancara kepada

siswa dikelas eksperimen. Ada banyak faktor

yang menyebabkan hal tersebut terjadi salah

satunya adalah faktor pembelajaran yang

digunakan peneliti. PBM berpengaruh

terhadap aktivitas siswa di kelas selama

mengikuti proses pembelajaran. PBM yang

diterapkan dalam penelitian ini adalah suatu

pembelajaran yang penyajian materinya

disajikan dalam bentuk diskusi kelompok

berupa LAS. Dimana siswa secara bersama-

sama mengerjakan LAS dapat berpengaruh

postif terhadap kemampuan pemecahan

masalah dsiawa

PBM dapat diartikan sebagai model

pembelajaran yang menitik beratkan proses

pembelajaran kepada siswa (student

centered) dan memberikan kesempatan

kepada siswa menemukan konsep-konsep

materi pelajaran melalui investigasi, serta

memerlukan keterampilan memecahkan

masalah dan struktur sosial kelompok yang

baik yang memuat langkah-langkah antara

tahap 1 orientasi siswa pada masalah, tahap 2

mengorganisir siswa ntuk belajar, tahap 3

membimbing penyelidikan individual

maupun kelompok, tahap 4 mengembangkan

dan menyajikan hasil karya, tahap 5

menganalisis dan mengevaluasi proses

pemecahan masalah.

Page 44: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

59

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Hasil diskusi kelompok kemudian

disajikan dan dipresentasikan dalam diskusi

kelas, yang bertujuan untuk mengungkap

pendapat siswa tentang proses kerja

kelompok yang telah dilakukan. Guru dapat

memberikan umpan balik terkait proses dan

hasil dari pemecahan masalah yang diperoleh

untuk menanamkan konsep-konsep

matematika yang dipelajari. Setelah mereka

memahami konsep dari materi yang dipelajari

maka PBM juga memberi kesempatan kepada

siswa untuk mengembangkan disposisi

matematis dari pemikiran bersama siswa.

Pada tahap akhir, peneliti dan siswa bersama-

sama memberikan penghargaan berupa

applause kepada kelompok yang berani

menampilkan hasil mereka kedepan kelas.

Dengan memberi penghargaan kepada

kelompok menghasilkan efek-efek positif

yang lebih kuat atau lebih konsisten

dibandingkan dengan Pendekatan biasa.

Berdasarkan hasil wawancara yang

dilakukan peneliti pada salah seorang siswa

di kelas eksperimen, peneliti menanyakan “

Bagaimana pendapat kamu tentang

pembelajaran yang baru saja kita lakukan?”

Siswa menjawab “ saya senang bu,karena

kalau saya tidak mengerti tentang

pelajarannya saya bisa bertanya kepada

teman satu kelompok saya yang ngerti bu,

karena biasanya kalau saya tidak mengerti

bu, saya malu dan tidak berani bertanya

sama guru takut dibilang bodoh dan

ditertawakan sama teman-teman yang lain

bu.” Dari hasil wawancara tersebut dapat

disimpulkan bahwa PBM memberi efek yang

positif pada cara berpikir siswa. pengamatan

peneliti, selama kegiatan pembelajaran

interaksi antar siswa dalam kelompok

maupun antar kelompok berjalan cukup baik

dan dinamis. Mereka membangun

ketergantungan atau kepercayaan dalam satu

kelompok dan mereka saling berusaha untuk

menjadi kelompok yang terbaik. Hal ini

memberikan suatu informasi bahwa PBM

berkonstribusi positif dalam peningkatan

kemampuan pemecahan masalah dan

disposisi matematis siswa. Sehingga

mengakibatkan tidak adanya interaksi antara

kemampuan awal siswa terhadap peningkatan

kemampuan pemecahan masalah dan

disposisi matematis siswa. Hal ini berarti

siswa yang memiliki kemampuan awal yang

rendah belum tentu memiliki peningkatan

kemampuan yang rendah pula karena dari

analasis data yang dilakukan siswa yang

memiliki kemampuan awal yang rendah

dikelas eksperimen memiliki peningkatan

kemampuan yang lebih tinggi dari siswa

yang memiliki kemampuan awal sedang dari

kelas kontrol. Dari beberapa hal di atas

menunjukkan bahwa tidak adanya interaksi

antara KAM dengan pembelajaran dalam

meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah dan disposisi matematis siswa dan

faktor pembelajaran yang membuat siswa

berbeda bukan faktor KAM, karena

seseorang yang belajar hal baru sangat

dipengaruhi oleh struktur kognitif yang

dimilikinya. Sehingga disimpulkan bahwa

tidak terdapat interaksi antara pembelajaran

dengan kemampuan awal matematika siswa

terhadap peningkatan disposisi matematis

siswa.

KESIMPULAN

Pembelajaran matematika baik dengan

PBM maupun dengan pemeblajaran

konvensional dapat meningkatkan

kemampuan pemecahan masalah matematis

dan disposisi matematis siswa. Berdasarkan

rumusan masalah, hasil penelitian, dan

pembahasan seperti yang telah dikemukakan

pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa

simpulan sebagai berikut:

1) Peningkatan kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa yang

pembelajarannya menggunakan PBM

lebih tinggi dari pada yang

pembelajarannya menggunakan

pembelajaran konvensional. Indikator

kemampuan pemecahan masalah yang

paling tinggi pada pembelajaran PBM

terjadi pada indikator memahami

masalah.

2) Peningkatan disposisi matematis siswa

yang pembelajarannya menggunakan

PBM lebih tinggi dari pada yang

Page 45: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

60

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

pembelajarannya menggunakan

pembelajaran konvensional biasa.

3) Tidak terdapat interaksi antara

pendekatan pembelajaran dengan

kemampuan awal matematika siswa

terhadap peningkatan kemampuan

pemecahan masalah matematis.

4) Tidak terdapat interaksi antara

pendekatan pembelajaran dengan

kemampuan awal matematika siswa

terhadap peningkatan disposisi matematis

siswa.

Daftar Pustaka

Arends, R. 2009. Learning to Teach.

Terjemanhan oleh Helly Prajinto

Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

Ansari, I Bansu. 2009. Komunikasi

Matematika: Konsep dan Aplikasi.

Banda Aceh: PeNA

Depdiknas. 2006. Kurikulum 2006 Standar

Isi Mata Pelajaran Matematika.

Jakarta: Departemen Pendidikan

Nasional.

Fauziah, Anna. 2009. Peningkatan

Kemampuan Pemahaman Dan

Pemecahan Masalah Matematik

Siswa SMP Melalui Strategi REACT

(Relating, Experiencing, Applying,

Cooperating, Transferring). Tesis.

Bandung: PPs UPI.

Hudoyo. 1979. Pengembangan Kurikulum

Matematika dan Pelaksanaannya di

Depan Kelas. Jakarta: Depdikbud

Napitupulu, E, E. 2008. Mengembangkan

Kemampuan Menalar dan

Memecahkan Maslah melalui

Pembelajaran Berbasis Maslah

(PBM). Jurnal Pendidikan

Matematika Vol. 1 No.1. 24-33.

Medan: UNIMED

Karlimah. 2010. Pengembangan Kemampuan

Komunikasi dan Pemecahan

Masalah Serta Disposisi Matematis

Mahasiswa PGSD Melalui

Pembelajaran Berbasis Masalah.

Bandung: Pendidikan Guru Sekolah

Dasar Fakultas Ilmu Pendidikan

UPI.

NCTM. 2001. The Roles of Representation in

School Mathematics. Virginia: Reston

Polya, G. 1973. How to solve it: A new

aspect of mathematics method. New

Jersey: Princeton University Press.

Ruseffendi, E.T. 1991. Pengantar kepada

Membantu Guru Mengembangkan

Kompetensinya dalam Pengajaran

Matematika untuk Meningkatkan CBSA.

Bandung: Tarsito.

Trianto. 2009. Mendesain Model

Pembelajaran Inovatif Progresif.

Jakarta: Kencana Prenada Media

Group

Page 46: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

61

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigation terhadap

Komunikasi Matematika Siswa

Golda Novatrasio Sauduran

Dosen Prodi Pendidikan Matematika Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah : (1) peningkatan kemampuan penalaran logis matematis siswa yang

memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada siswa yang memperoleh pembelajaran

ekspositori, (2) proses penyelesaian masalah yang dibuat siswa dalam menyelesaikan soal pada masing-masing

pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 7 Pematangsiantar dengan sampel 56 siswa. Penelitian ini

merupakan suatu studi eksperimen semu dengan pretest-postest control group design. Populasi dalam penelitian ini

adalah seluruh siswa kelas VIII yang mengambil dua kelas (kelas eksperimen dan kelas kontrol) melalui teknik

random sampling. Instrumen yang digunakan terdiri dari tes kemampuan penalaranlogisyang berbentuk uraian.

Instrumen tersebut dinyatakan telah memenuhi syarat validitas isi dan koefisien reliabilitas. Data dianalisis dengan uji

ANAVA dua jalur. Sebelum digunakan uji ANAVA dua jalur terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji

homogenitas dengan taraf signifikan 5%. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh hasil penelitian yaitu : (1)

peningkatan penalaranlogisi matematis siswa yang memperoleh model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih tinggi

daripada kemampuan penalaranlogis matematis siswa yang memperoleh pembelajaran ekspositori, (2) proses

penyelesaian jawaban yang dibuat siswa pada model pembelajaran kooperatif tipe TPS lebih baik daripada

pembelajaran ekspositori. Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyarankan agar model pembelajaran kooperatif

tipe TPS dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk meningkatkan kemampuan penalaranlogisi matematis siswa.

Kata Kunci: Pembelajaran kooperatif tipe Group Investigation, Kemampuan komunikasi matematika siswa

Pendahuluan

Sebagai jejang pendidikan akhir

periode wajib belajar 9 tahun, maka

pendidikan matematika di SMP harus

dibekali dengan baik bagi para siswa, karena

matematika sangat penting dan sering dipakai

di dalam kehidupan sehari-hari. Angie (Uno :

2009) menyatakan ”tanpa disadari

matematika menjadi bagian dalam kehidupan

anak yang dibutuhkan kapan dan dimana saja

sehingga menjadi hal yang sangat penting”.

Selain hal itu salah satu alasan utama

diberikan matematika kepada siswa-siswa di

sekolah adalah untuk memberikan kepada

individu pengetahuan yang dapat membantu

mereka mengatasi berbagai hal dalam

kehidupan, seperti pendidikan atau pekerjaan,

kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan

kehidupan sebagai warga negara. Akan tetapi

banyak diantara siswa belum menyadari hal

tersebut, sehingga siswa tidak mau berusaha,

siswa beranggapan matematika pelajaran

yang tidak menarik dan tidak

menyenanginya.

Diperkuat oleh Sriyanto (2007)

menyatakan bahwa matematika seringkali

dianggapsebagai momok yang menakutkan

oleh sebagian besar siswa dan selama ini

matematika cenderung dianggap sebagai

pelajaran yang sulit. Hal ini berdampak pada

hasil belajar matematika siswa. Kenyataan

yang ada menunjukkan hasil belajar

matematika siswa rendah. Dari hasil TIMMS

(2007), skor siswa SMP kelas 2 di bidang

studi matematika berada di bawah rata-rata

internasional, Indonesia berada pada urutan

ke- 35 dari 49 negara peserta. Rendahnya

nilai matematika siswa ditinjau dari lima

aspek kemampuan matematik yang

dirumuskan oleh NCTM (2000) yaitu

kemampuan pemecahan masalah matematik,

komunikasi matematik, penalaran matematik,

representasi dan koneksi matematik. Kelima

kemampuan tersebut menurut Sumarmo (

2007:2) disebut dengan daya matematika

(mathematical power) atau keterampilan

matematika (doing math). Salah satu doing

math yang sangat penting untuk

dikembangkan dikalangan siswa adalah

adalah penalaran atau kemampuan berpikir

logis.Penalaran secara matematik dijadikan

suatu kebiasaan yang muncul dari ide

Page 47: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

62

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

pikirannya, dan kebiasaan-kebiasaan itu

harus dikembangkan secara kosisten dalam

banyak hal di jenjang kelas awal.Ada dua

cara untuk menarik kesimpulan yaitu secara

induktif dan deduktif sehingga dikenal istilah

penalaran induktif dan penalaran deduktif.

Pada semua tingkat para siswa

memberi alasan secara induktif dari pola-pola

dan kasus-kasus khusus. Sebagai contoh

untuk menentukan hasil dari

berdasarkan pengetahuan awal yang sudah

dimiliki siswa yaitu adalah sama

dengan . Contoh lainya yaitu:

Buktikan bahwa 0 adalah bilangan genap.

Untuk membuktikannya dapat dialkuakan

secara informal dengan kontradiksi, yaitu :

“Jika 0 bilangan ganjil maka 0 dan 1 akan

menjadi dua buah bilangan ganjil dalam

sebuah barisan”. Tetapi ganjil genap adalah

selang-seling. Maka 0 haruslah genap.

Menurut Kusumah (Nurhayati, 2006:18)

penalaran diartikan sebagai penarikan

kesimpulan dalam sebuah argumen dan cara

berpikir yang merupakan penyelesaian dalam

upaya memperlihatkan hubungan antara dua

hal atau lebih berdasarkan sifat-sifat atau

hukum-hukum tertentu yang sudah diakui

kebenarannya dengan langkah-langkah

tertentu yang berakhir dengan sebuah

kesimpulan.

Di samping itu, Saragih (2007:4)

mengungkapkan bahwa dengan penalaran

diharapkan siswa tidak hanya mengacu pada

pencapaian kemampuan ingatan belaka,

melainkan lebih mengacu pada pemahaman

pengertian, kemampuan aplikasi, kemampuan

analisis, kemampuan sintesis, bahkan

kemampuan evaluasi. Aplikasi penalaran

dalam belajar matematika di kelas juga

banyak ditemukan. Sebagai contoh: Jika

diketahui sebuah segitiga ABC dengan besar

sudut A adalah 40o dan besar sudut B adalah

120o , maka besar sudut C adalah 180o – (40o

+ 120o) = 20o. Berdasarkan teori matematika

yang menyatakan bahwa jumlah besar sudut

sebuah segitiga adalah 180o. Pada contoh

tersebut telah terjadi proses penarikan

kesimpulan dari fakta yang diketahui

siswa.Pada kenyataannya kemampuan

penalaran matematika siswa masih rendah.

Salah satu penyebab rendahnya kemampuan

penalaran matematis (berpikir logis) siswa

dipengaruhi oleh model pembelajaran yang

digunakan guru.

Pembelajaran yang selama ini digunakan

guru belum mampu mengaktifkan siswa

dalam belajar, memotivasi siswa untuk

mengemukakan ide dan pendapat mereka,

dan bahkan para siswa masih enggan untuk

bertanya pada guru jika mereka belum paham

terhadap materi yang disajikan guru.

Disamping itu juga, guru senantiasa dikejar

oleh target waktu untuk menyelesaikan setiap

pokok bahasan tanpa memperhatikan

kompetensi yang dimiliki siswanya akibatnya

pembelajaran bermakna yang diharapkan

tidak terjadi. Anak hanya belajar dengan cara

menghapal, mengingat materi, rumus-rumus,

defenisi, unsur-unsur dan sebagainya. Oleh

karena itu diperlukan model pembelajaran

yang dapat membantu siswa untuk

meningkatkan kemampuan penalaran logis

siswa yaitu model pembelajaran

kooperatif.Dalam pembelajaran kooperatif,

siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok

yang terdiri dari 4 atau 5 orang yang

memiliki kemampuan yang heterogen untuk

bekerjasama dalam menyelesaikan masalah

yang diberikan guru.Model pembelajaran

kooperatif yang sesuai pada penelitian ini

yaitu model pembelajaran kooperatif tipe

TPS (Think Pair Share). Model pembelajaran

ini selain mengacu pada aktivitas berpikir,

berpasangan dan berbagi juga dirancang

untuk mengatasi pola interaksi siswa,

sehingga dapat meningkatkan kemampuan

penalaran logis. Hal ini dapat terjadi karena

langkah-langkah dalam model pembelajaran

memberikan waktu yang lebih banyak kepada

siswa untuk berpikir, menginterpretasikan ide

mereka bersama, merespon serta dapat

mengkomunikasikannya dalam bentuk

tulisan.

Berikut ini langkah-langkah model

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair

Share (TPS) di kelas yaitu :

Page 48: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

63

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Tahap I. Thinking (berpikir)

Guru mengajukan suatu pertanyaan

atau isu yang berhubungan dengan pelajaran,

kemudian siswa diminta untuk memikirkan

pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri

untuk beberapa saat. Siswa perlu diajari

bahwa berbicara tidak menjadi bagian dari

waktu berfikir.

Tahap II Paring (berpasangan)

Guru meminta siswa berpasang-

pasangan dan mendiskusikan segala yang

sudah mereka fikirkan. Interaksi pada tahap

ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika

telah diajukan suatu pertanyaan atau berbagi

ide jika suatu persoaln khusus telah

diidentifikasikan. Biasanya guru memberi

waktu 4-5 menit untuk berpasangan.

Tahap III. Sharing (berbagi)

Guru meminta kepada pasangan untuk

berbagi dengan seluruh kelas tentang apa

yang telah mereka bicarakan. Ini efektif

dilakukan dengan cara bergiliran pasangan

demi pasangan telah mendapat kesempatan

untuk melaporkan hasil diskusi mereka.

(Arends, 2008).

Model pembelajaran ini dapat

meningkatkan kemampuan penalaran dan

komunikasi matematis siswa, karena siswa

harus saling melaporkan hasil pemikiran

masing-masing dan berbagi (berdiskusi)

dengan pasangannya. Selanjutnya pasangan-

pasangan tersebut harus berbagi dengan

seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok

yang kecil mendorong setiap anggota untuk

terlibat secara aktif. Berikut ini sintaks

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair

Share (TPS) yang ditunjukkan pada Tabel

dibawah ini :

Tabel Sintaks Pembelajaran Think Pair

Share (TPS)

Tahap Tingkah Laku Guru

Tahap 1 :

Menyampaikan

tujuan dan

memotivasi

siswa

Guru menyampaikan

semua tujuan pelajaran

yang ingin dicapai pada

pelajaran tersebut dan

memotivasi siswa belajar.

Tahap 2 :

Think (berfikir

individu)

Guru memberi umpan

siswa dengan pertanyaan

dan membimbing mereka

untuk berfikir secara

mandiri.

Tahap 3 :

Pair

(berpasangan

dengan teman

sebangku)

Guru membentuk

kelompok belajar dengan

memasangkan siswa

dengan teman

sebangkunya serta

membimbing mereka

untuk berdiskusi.

Tahap 4 :

Share (berbagi

/ presentasi)

Guru membimbing

kelompok belajar yang

berpasangan untuk

presentasi di depan kelas.

Tahap 5 :

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil

belajar tentang materi

yang telah dipelajari atau

masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil

kerjanya.

Tahap 6 :

Memberikan

penghargaan

Guru mencari cara-cara

untuk menghargai baik

upaya maupun hasil

belajar individu dan

kelompok.

Sumber : Trianto (2009 :81)

Dari keenam tahap di atas pembelajaran

kooperatif tipe Think Pair Share dapat

meningkatkan kemampuan penalaran logis

siswa. Dalam pembelajaran matematika

materi-materi yang dipelajari tersusun secara

hierarkis dan konsep matematika yang satu

dengan yang lain saling berkorelasi

membentuk konsep baru yang lebih

kompleks (Saragih, 2007). Berdasarkan

pernyataan tersebut, maka matematika

merupakan ilmu yang mempunyai aturan,

yaitu pemahaman materi yang baru

mempunyai prasyarat untuk penguasaan

materi sebelumnya. Ini berarti bahwa

pengetahuan matematika yang diketahui

siswa sebelumnya menjadi dasar pemahaman

untuk mempelajari materi selanjutnya.

Mengingat matematika merupakan dasar dan

bekal untuk mempelajari berbagai ilmu, juga

mengingat matematika tersusun secara

hierarkis, maka kemampuan awal matematika

yang dimiliki peserta didik akan memberikan

sumbangan yang besar dalam memprediksi

keberhasilan belajar siswa selanjutnya.

Page 49: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

64

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Kemampuan awal

merupakan prasyarat yang harus dimiliki

siswa agar dapat mengikuti pelajaran dengan

lancar. Setiap individu mempunyai

kemampuan belajar yang berbeda.

Kemampuan awal siswa adalah kemampuan

yang telah dipunyai oleh siswa sebelum

mengikuti pembelajaran yang akan diberikan.

Kemampuan awal ini menggambarkan

kesiapan siswa dalam menerima pelajaran

yang akan disampaikan oleh guru.

Kemampuan awal siswa penting untuk

diketahui guru sebelum ia memulai

pembelajarannya, karena ia dapat mengetahui

apakah siswa telah mempunyai pengetahuan

prasyarat untuk mengikuti pembelajaran

selanjutnya. Kemampuan awal siswa dapat

diukur melalui tes awal.

Menurut Ruseffendi (1991) setiap

siswa mempunyai kemampuan yang berbeda,

ada siswa yang pandai, ada yang kurang

pandai serta ada yang biasa-biasa saja serta

kemampuan yang dimiliki siswa bukan

semata-mata merupakan bawaan dari lahir

(hereditas), tetapi juga dapat dipengaruhi

oleh lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan

lingkungan belajar khususnya model

pembelajaran menjadi sangat penting untuk

dipertimbangkan artinya pemilihan model

pembelajaran harus dapat meningkatkan

kemampuan matematika siswa yang

heterogen. Bagi

siswa yang memiliki kemampuan sedang atau

rendah, apabila model pembelajaran yang

digunakan oleh guru menarik dan

menyenangkan, sesuai dengan tingkat

kognitif siswa sangat dimungkinkan

pemahaman siswa akan lebih cepat dan

akhirnya dapat meningkatkan kemampuan

penalaran logis dan komunikasi matematis.

Sebaliknya bagi siswa yang memiliki

kemampuan tinggi tidak begitu besar

pengaruh model pembelajaran terhadap

kemampuan dalam matematika.Hal ini terjadi

karena siswa kemampuan tinggi lebih cepat

memahami matematika.Dari penjelasan di

atas, menunjukkan bahwa faktor yang

mempengaruhi hasil belajar matematika

siswa tidak terlepas dari kemampuan

penalaran logis, serta kemampuan awal

siswa.

Metode Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh siswa SMP Negeri di kota Pematang

Siantar. Sampel diambil secara acak terpilih

SMP Negeri 7 Pematang Siantar kelas VIII-C

(Pembelajaran Kooperatif tipe TPS) dan

VIII-A (Pembelajaran Ekspositorik).Adapun

instrumen penelitian adalah tes kemampuan

penalaran logis matematis. Tes kemampuan

penalaran logis matematis berupa soal pretes

dan postes berisi tentang topik relasi dan

fungsi berbentuk essay.

Data yang akan dianalisis dalam

penelitian ini adalah hasil kemampuan awal

matematika siswa, hasil pretesdanpostes.

Data yang diperoleh dari skor kemampuan

penalaran logis matematis siswa terhadap

matematika dikelompokkan menurut

kelompok pembelajaran kooperatiftipe TPS

dan pembelajaran ekspositorik. Pengolahan

data diawali dengan menguji persyaratan

statistik yang diperlukan sebagai dasar dalam

pengujian hipotesis, antara lain adalah uji

normalitas data dan uji homogenitas varians.

Selanjutnya, dilakukan uji- t, dan ANAVA

dua jalur yang disesuaikan dengan

permasalahannya. Seluruh perhitungan

statistik menggunakan bantuan program

komputer SPSS 16. untuk rumusan masalah

nomor satu pengujiannya dengan ANAVA

untuk melihat perbedaan rerata melalui

pengetesan variansinya, dengan ANAVA

juga dapat melihat pengaruh variabel bebas

dan variabel kontrol terhadap variabel

terikatnya, dengan kata lain dapat melihat

apakah ada interaksi antara variabel bebas

dengan variabel kontrol.Selainituproses

penyelesaian jawaban siswa pada masing-

masing pembelajaran dianalisis dengan

analisis deskriptif dengan tujuan melihat

kesalahan dan variasi penyelesaian masalah

yang dibuat siswa terhadap permasalah yang

diberikan. Untuk mendeskripsikan proses

penyelesaian jawaban siswa dalam

Page 50: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

65

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

menyelesaikan masalah yang terkait dengan

kemampuan penalaran logis dilihat secara

menyeluruh berdasarkan jawaban setiap soal.

Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil uji normalitas dan

homogenitas skor data kemampuan awal

matematika siswa kedua kelas dinyatakan

berdistribusi normal dan homogen.

Selanjutnya dilakukan analisis statistik

pengujian perbedaan rerata dua sampel

menggunakan Independent Samples

Testantara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol menggunakan uji t.

Hipotesis yang diuji adalah :

H0:Tidak ada perbedaan rata-rata skor KAM

antar siswa yang menerimamodel

Kooperatif tipe TPS denganyang

menerima pembelajaran ekspositori

Ha : Ada perbedaan rata-rata skor KAM antar

siswa yang menerimamodel kooperatif

tipe TPS denganyang menerima

pembelajaran ekspositori.

Kriteria pengujian jika nilai signifikan

dari t 0,05 maka H0 diterima. Berdasarkan

hasil perhitungan dengan menggunakan uji t

pada taraf signifikansi 05 diperoleh

Sig.(2-tailed) sebesar 0,165Karena Sig.(2-

tailed)>0,05maka H0 diterima. Maka dapat

disimpulkan bahwa tidakada perbedaan rata-

rata kemampuan antara kelompok

eksperimen dengan kelompok kontrol.

Dengan demikian, kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol memiliki kemampuan yang

sama.

Setelah pengujian prasyarat analisis data

homogenitas varian data dan normalitas data

terpenuhi, maka analisis data dapat

dilanjutkan. Pengujian hipotesis dalam

penelitian ini menggunakan teknik uji

analisis varians (ANAVA).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa

kelompok data kemampuan penalaranlogis

matematis berasal dari populasi yang

berdistribusi normal dengan varians masing-

masing pasangan kelompok data homogen,

maka selanjutnya dilakukan analisis statistik

ANAVA dua Jalur.

Hipotesis yang diajukan yaitu

kemampuan penalaranlogissiswa yang

menggunakan pembelajaran kooperatiftipe

think pair share lebih baik daripada siswa

yang menggunakan pembelajaran biasa,

maka teknik ANAVA yang digunakan adalah

analisis statistik ANAVA dua Jalur . Analisis

dilakukan pada taraf signifikansi α = 0,05.

Kriteria pengujiannya adalah terima Ho jika

taraf signifikansi lebih kecil dari α = 0,05.

dan tolak Ho jika taraf signifikansi

mempunyai harga-harga lainnya.

Berdasarkan hasil perhitungan uji

ANAVA kemampuan penalaran logis

matematis dengan F hitung pada

pembelajaran sebesar 8.15 dengan nilai

signifikan 0,006 lebih kecil dari α = 0,05

yang berarti H0ditolak. Hal ini berarti faktor

pembelajaran juga memberikan pengaruh

yang signifikan terhadap peningkatan

kemampuan penalaran logis siswa.

Olehkarena itu dapat disimpulkan bahwa

peningkatan kemampuan penalaran logis

siswa yang memperoleh model pembelajaran

Kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada

yang memperoleh pembelajaran Ekspositori.

Untuk faktor pembelajaran dan KAM

hasil analisis diperoleh nilai F sebesar 0,186

dan nilai signifikansi sebesar 0,831. Karena

nilai signifikansi lebih besar dari nilai taraf

signifikan 0,05, maka H0 diterima, yang

berarti tidak ada interaksi antara model

pembelajaran dengan kemampuan awal siswa

terhadap peningkatan kemampuan penalaran

logis siswa. Jadi, peningkatan kemampuan

penalaran logis siswa disebabkan oleh

pengaruh pembelajaran yang digunakan

bukan karena kemampuan awal matematika

siswa. Dengan kata lain, tidak terdapat

pengaruh secara bersama yang diberikan oleh

pembelajaran dan KAM.

Hasil analisis deskripsi terhadap proses

penyelesaian jawaban siswa dari keempat

butir tes kemampuan penalaran logis,dapat

disimpulkan bahwa secara keseluruhan

proses penyelesaian jawaban siswa yang

memperoleh model pembelajaran kooperatif

Page 51: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

66

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

tipe TPS lebih baik dibandingkan dengan

proses penyelesaian jawaban pada

pembelajaran ekspositori. Hal ini terlihat dari

jawaban siswa dalam menyelesaikan tes

kemampuan penalaran logis seperti yang

telah dideskripsikan sebelumnya dimana

menunjukkan pada kelas yang menggunakan

model kooperatif tipe TPS hasil jawabannya

lebih baik dibandingkan dengan kelas yang

memperoleh model pembelajaran ekspositori.

Sedangkan deskripsi proses jawaban tes

kemampuan penalaran logis matematis siswa

dapat disimpulkan juga bahwa secara

keseluruhan proses penyelesaian jawaban

siswa melalui model kooperatif tipe TPS

lebih baik dibandingkan dengan proses

penyelesaian jawaban pada model

pembelajaran ekspositori. Secara keseluruhan

tiap kelompok dapat mengerjakan lembar

aktivitas siswa dengan baik sesuai dengan

petunjuk yang diberikan

.

Pembahasan

Pada penelitian ini, peneliti langsung

berperan sebagai pelaksana eksperimen

pembelajaran kooperatif tipe TPS.Secara

umum pelaksanaan pembelajaran dengan

model pembelajaran kooperatif tipe TPS

berjalan dengan baik. Semua tahapan dalam

pembelajaran ini dapat dilaksanakan dengan

baik, sehingga berpengaruh terhadap

kemampuan penalaran logis matematis siswa.

Tiap tahap dalam model pembelajaran

kooperatif tipe TPS memberi kontribusi

terhadap peningkatan kemampuan penalaran

logis siswa.Jadi, keenam tahapan dalam

model pembelajaran kooperatif tipe TPS

benar-benar diterapkan dalam proses

pembelajaran untuk memperoleh hasil yang

optimal. Keenam tahapan tersebutmeliputi

:tahap 1menyampaikan tujuan dan

memotivasi siswa, tahap 2think (berpikir

secara individu), tahap 3 pair (berpasangan

dengan teman yang sudah ditentukan/teman

sebangku), tahap sharing

(berbagi/presentasi), tahap evaluasi dan tahap

6 memberikan penghargaan.

Model pembelajaran kooperatif tipe

TPS, merupakan model pembelajaran baru

bagi siswa kelas VIII di SMP Negeri 7

Pematang Siantar. Oleh karena itu pada

pertemuan pertama, siswa masih bingung dan

kaku dalam melaksanakan kegiatan setiap

tahapan yang terdapat pada pembelajaran ini.

Namun pada pertemuan berikutnya, siswa

sudah terbiasa dengan kerja berpasangan

tanpa harus dikoordinir lagi, mereka sudah

bergabung dengan pasangannya dan bersama

pasangannya membahas LAS yang telah

diberikan dan tahap mempresentasikan hasil

diskusi dengan pasangannya ke depan.

Suasana pembelajaran tampak aktif dan

kondusif. Tahap

pertama, yaitu menyampaikan tujuan

pembelajaran yang hendak dicapai sekaligus

memotivasi siswa, selanjutnya guru

menjelaskan materi secara singkat, sementara

siswa memperhatikan dengan seksama. Pada

awalnya, siswa masih banyak yang belum

memahaminya. Hal ini disebabkan kebiasaan

mereka pada pembelajaran ekspositori, yaitu

guru menjelaskan secara rinci tiap materi.

Siswa masih ingin diperlakukan seperti

dalam pembelajaran ekspositori, meskipun

siswa telah diberi penjelasan bahwa dalam

pembelajaran kooperatif tipe TPS ini

penyampaian materi diberikan hanya secara

garis besar saja. Tetapi pada pertemuan

selanjutnya siswa belajar untuk memahami

materi dengan cara mendiskusikan LAS.

Tahap kedua, yaitu

tahap think (berpikir), pada tahap ini terlebih

dahulu siswa diajak mulai berpikir dan

bekerja secara individu. Mereka tidak boleh

bertanya kepada teman sebangkunya, karena

nanti akan ada waktu untuk mereka

berdiskusi dengan teman sebangku. Pada

tahap ini guru mengawasi dan melihat sejauh

mana pemahaman siswa tentang materi yang

diberikan. Selain itu guru menyuruh siswa

menuliskan jawaban yang telah mereka

dapatkan di selembar kertas, hal ini nantinya

akan digunakan pada saat mereka akan

berdiskusi dengan pasangan untuk

memperoleh jawaban yang lebih tepat dari

permasalahan yang telah diberikan.

Tahap ketiga,yaitu tahap pair

(berpasangan), guru membagi siswa dalam

beberapa kelompok pasangan yang tiap

pasangan kelompok terdapat siswa yang

Page 52: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

67

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

pandai. Hal ini dilakukan agar siswa yang

pandai dapat membantu pasangan tkelompok

yang kurang dalam memahami materi

pelajaran. Pada tahap ini setiap pasangan

kelompok mendiskusikan apa yang telah

mereka tuliskan pada tahap think, tampak

setiap pasangan kelompok dengan aktif

membahas LAS dengan cara berdiskusi untuk

menyatukan jawaban dari permasalahan yang

diberikan. Dalam hal ini tugas guru adalah

sebagai fasilitator dan membimbing siswa

untuk membangun dan membentuk

pengetahuannya sendiri. Sesekali guru

memberikan dapat memberikan scaffolding

kepada pasangan kelompok yang mengalami

kesulitan dalam memyelesaikan LAS yang

diberikan.

Tahap keempat,yaitutahap sharing

pada tahap ini, guru meminta setiap pasangan

untuk melakukan sharing ide yang telah

mereka peroleh dengan keseluruhan

pasangan dalam diskusi kelas. Guru

memberikan kesempatan kepada siswa untuk

membandingkan dan mendiskusikan jawaban

dari masalah yang terdapat di LAS dengan

pasangan kelompok lainnya. Hal ini akan

terjadi interaksi dari masing-masing

kelompok pasangan, dan akhirnya akan

diperolehlah kesimpulandarimateri yang

sedangdipelajari.

Tahap kelima yaitu tahap evaluasi

dan memberikan penghargaan. Pada tahap

evaluasi ini guru dapat memberikan umpan

balik terkait proses dan hasil dari

pembelajaran yang telah dilakukan untuk

menanamkan konsep-konsep matematika

yang

dipelajari.Setelahmerekamemahamikonsepda

rimateri yang dipelajarimaka model

pembelajaran kooperatif tipe

TPSjugamemberikesempatankepadasiswaunt

ukmengembangkankemampuan penalaran

logis matematis.Dan pada tahap ini juga

masing-masing kelompok dapat

mengevalusasi jawaban yang telah mereka

buat dari hasil presentasi pasangan kelompok

lainnya, sehingga mereka mampu membuat

kesimpulan sendiri dari materi yang

dipelajari. Selanjutnya memberikan

penghargaan kepada kelompok yang berhasil

mempresentasikan hasilnya di depan kelas.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis, temuan dan

pembahasan yang telah dikemukan pada bab

sebelumnya diperoleh beberapa simpulan

yang berkaitan dengan model pembelajaran

kooperatif tipe TPS dan pembelajaran

ekspositori, kemampuan penalaran

logismatematis siswa. Simpulan tersebut

sebagai berikut:

1. Kemampuan penalaran logis siswa yang

memperoleh model pembelajaran

kooperatif tipe TPS lebih tinggi daripada

siswa yang memperoleh pembelajaran

ekspositori. Indikator kemampuan

penalaran logis yang paling tinggi pada

pembelajaran kooperatif tipe TPS yaitu

pada indikator analogi dengan nilai gain

sebesar 0,80, sedangkan pada

pembelajaran ekspositori nilai gain

sebesar 0,65

2. Tidak terdapat interaksi antara model

pembelajaran dengan kemampuan awal

matematika siswa terhadap peningkatan

kemampuan penalaran logis siswa. Karena

model pembelajaran dan kemampuan awal

matematika siswa tidak memberikan

pengaruh yang bersamaan terhadap

peningkatan kemampuan penalaran logis.

Peningkatan terjadi akibat dari model

pembelajaran bukan dari Kemampuan

Awal Matematika Siswa.

3. Proses penyelesaian jawaban siswa

melalui pembelajaran kooperatif tipe TPS

lebih baik dibanding dengan pembelajaran

ekspositori. Hal ini dapat terlihat dari

lembar jawabansiswa pada kelas

eksperimen secara keseluruhan siswa pada

kelas eksperimen dapat menyelesaikan

soal dengan benar dan lengkap

dibandingkan dengan siswa pada kelas

kontrol dapat menyelesaikan soal dengan

benar tetapi kurang lengkap dalam

menyelesaikan soal penalaran logis

matematis siswa.

Page 53: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

68

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020

Daftar Pustaka

Arends, R. I(2008). Learning to Teach.

Buku Dua.Edisi Ketujuh.

Yogyakarta: PustakaPelajar.

Arikunto, S. (2006). Dasar-dasar Evaluasi

Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. Departemen Pendidikan Nasional. (2004)

Kurikulum Berbasis Kompetensi.

Jakarta : Puskur Depdiknas.

Depdiknas. (2006). Permendiknas No.22

Tahun 2006. Jakarta: Depdiknas.

Dwirahayu, G. (2005). Pengaruh

Pembelajaran Matematika dengan

Menggunakan Pendekatan Analogi

Terhadap Peningkatan Kemanpuan

Penalaran Matematik Siswa Sekolah

Menengah Pertama. Tesis UPI : Tidak

diterbitkan.

Mullis, et.al.(2000). TIMMS 1999:

International Mathematics Report.

Boston: The InternationalStudyCenter,

BostonCollege, LynchSchool of

Education.

Hudojo, H. (2001). Pengembangan

Kurikulum dan Pembelajaran

Matematika. Malang: Jurusan

Pendidikan Matematika, FMIPA,

Universitas Negeri Malang.

NCTM. (2000).Mathematic Assesment A

Practical Handbook. Virginia, The

National Council of Teacher

Mathematic Inc.

Ruseffendi, E.T. (1993). Statistik Dasar Untuk Penelitian Pendidikan.

Bandung : IKIP bandung Press.

Safari. (2004). Teknik Analisis Butir Soal

Instrumen Tes dan Non Tes dengan

Manual Kalkulator dan Komputer.

Jakarta : APSI Pusat.

Sanjaya, W. (2010). Strategi Pembelajaran

Berorientasi Proses Pendidikan.

Jakarta : Kencana Prenada Media

Group.

Saragih, S. (2007). Mengembangkan

Kemampuan Berfikir Logis dan

Komunikasi Matematik Siswa Sekolah

Menegah Pertama Melalui Pendekatan

Matematika Realistik. Disertasi UPI :

Tidak diterbitkan.

Setiawan. (2011). PengaruhPenerapan

Pembelajarandan Locus of Control

Terhadap Kemampuan Penalaran

Matematis siswa SMP. Tesis UNIMED

: Tidak diterbitkan.

Trianto.(2009). Mendesain Model

Pembelajaran Inovatif-Progresif.

Jakarta: Prenada Media Group

Page 54: Jurnal Keguruan dan Ilmu Pendidikan Matematika (JKIPM)

69

JKIPM (Jurnal Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Matematika Volume 1, Nomor 2, Edisi April 2020