Jurnal Hukum R003

58
JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA) DALAM KONSEP RUU KUHP NASIONAL ( Ditinjau dari Filsafat Pemidanaan)* Dwidja Priyatno** I. Pendahuluan Masalah pidana merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach). 1 Sedangkan di dalam Sistem Peradilan Pidana (Crimminal Justice System) , pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih kalau keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang “kontroversial”, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana kita memandangnya. 2 Masalah pidana dan pemidanaan di dalam sejarah umat manusia 1 * Disampaikan Dalam Rangka Seminar Sehari “Meninjau Kembali Jenis-Jenis Pemidanaan Dalam RUU KUHP” yang Diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa STHB, Selasa,14 Maret 2006. ** Guru Besar Hukum Pidana di STHB. ? R. Soedarto , Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, ( Semarang, FH UNDIP,1987), hlm 21 1

description

JURNAL HUKUM

Transcript of Jurnal Hukum R003

Page 1: Jurnal Hukum R003

JENIS-JENIS SANKSI (PIDANA) DALAM KONSEP RUU KUHP NASIONAL

( Ditinjau dari Filsafat Pemidanaan)*

Dwidja Priyatno**

I. Pendahuluan

Masalah pidana merupakan masalah yang kurang mendapat perhatian dalam pelajaran

hukum, bahkan ada yang menyatakan sebagai anak tiri (Maurach).1 Sedangkan di dalam Sistem

Peradilan Pidana (Crimminal Justice System) , pidana menempati posisi sentral. Hal ini disebabkan

karena keputusan di dalam pemidanaan akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang

menyangkut langsung pelaku tindak pidana maupun masyarakat secara luas. Lebih-lebih kalau

keputusan pidana tersebut dianggap tidak tepat, maka akan menimbulkan reaksi yang

“kontroversial”, sebab kebenaran di dalam hal ini sifatnya adalah relatif tergantung dari mana kita

memandangnya.2 Masalah pidana dan pemidanaan di dalam sejarah umat manusia selalu

mengalami perubahan, yang dilakukan sesuai dengan perkembangan peradaban manusia itu sendiri.

Perkembangan perumusan sanksi (pidana) di beberapa negara terutama di Eropa Barat sudah lebih

maju bila dibandingkan jenis sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Dalam rangka mengejar

ketinggalan hukum pidana dari perkembangan teknologi canggih, maka terjadi perubahan hukum

pidana terutama sistem stelsel sanksinya dengan pesatnya. Ada negara yang melakukan revisi total

KUHP-nya seperti Jerman, Austria 1975), RRC (1980). Ada pula yang terus-menerus menyisipkan

dan mencabut pasal-pasal tertentu, seperti Belanda, yang hampir setiap tahun melakukan

perubahan KUHP. Indonesia termasuk negara yang sangat lamban melakukan perubahan KUHP.

Sebagai bahan pembanding Jerman melakukan perubahan sangat luas yang mereka sebut revisi

yang pada hakikatnya merupakan penyusunan KUHP Baru pada tahun 1975 dengan Undang-

1* Disampaikan Dalam Rangka Seminar Sehari “Meninjau Kembali Jenis-Jenis Pemidanaan Dalam RUU KUHP” yang Diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa STHB, Selasa,14 Maret 2006.** Guru Besar Hukum Pidana di STHB.? R. Soedarto , Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, ( Semarang, FH UNDIP,1987), hlm 212 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( ( Bandung, Alumni, 1992, hlm 52.

1

Page 2: Jurnal Hukum R003

undang Reform KUHP yang ke 13 (13 Juni 1975) KUHP Baru ini pun berkali-kali direvisi dalam kurun

waktu sangat pendek.3

Reform ke 14 ( 22 April 1976), Reform ke 15 (18 Mei 1976), Undang-undang 2 Juli 1976,

Undang-undang Kejahatan Ekonomi 29 Juli 1976, Reform ke 16 (16 Juli 1979), Reform ke 17 (21

Desember 1979), Reform ke 18 ( 28 Maret 1980), Reform ke 19 ( 7 Agustus 1981), Reform ke 20 (8

Desember 1981). Sesudah itu beberapa lagi undang-undang dikeluarkan sebelum reform ke 21 ( 13

Juni 1985), Reform ke 22 (18 Juli 1985), lalu ada lagi Amandemen KUHP 18 Juli 1985, disusul

Reform ke 23 ( 4 April 1986), Undang-undang Kejahatan Ekonomi Kedua 15 Mei 1986 dan Undang-

undang Anti Terorisme 19 Desember 1986. Kalau kita melihat perkembangan pembaharuan

( Reform ) dan Undang-undang Jerman yang dikeluarkan dalam kurun waktu 11 tahun ( 1975-1986 ),

adalah upaya untuk mengejar ketinggalan Hukum Pidananya. 4

II. Generasi Pembaharuan Sistem Sanksi Pidana

Secara lebih khusus lagi, maka dapat digambarkan secara bertahap generasi pembaharuan

sistem sanksi pidana yang dikemukakan oleh P.J.P. Tak seorang Guru Besar di Universitas

Katholik Nijmengen Belanda yang dimuat di dalam makalahnya yang berjudul “The Advancement of

The Fourth Generation of Sanctions of Western Europe” ( UNAFEI Resource Material No. 38 )

mengemukakan, bahwa ada 4 generasi sistem sanksi pidana (modern) yaitu :5

1. Generasi pertama sistem sanksi atau pidana dimana pidana perampasan kemerdekaan (penjara) merupakan pidana utama untuk mengganti pidana mati, pidana siksa badan, pidana kerja paksa dan pidana mendayung kapal. Ini terutama tercantum dalam KUHP negara-negara Eropa Barat. Pidana perampasan kemerdekaan (penjara) ini dipandang bukan saja lebih berprikemanusiaan dan rational, tetapi juga untuk rehabilitasi dan perbaikan kepada pelanggar. Sisa pidana mati di samping pidana penjara masih ada beberapa negara, seperti Belgia, Irlandia, Yunani dan Turki tetapi telah lama dihapus di Portugal 1867, Nederland 1870, Norwegia Raya 1965, Spanyol 1978 dan Prancis 1981, yang masih belum dihapuskan tidak lagi menerapkan dalam praktek. (Abolitio de facto).

2. Generasi kedua sistem sanksi pidana ditandai dengan tambah populernya pidana penjara di Eropa Barat. Mengambil acuan negara-negara di Eropa Barat, karena negara-negara tersebut telah memberi warna kepada hukum (pidana) negara-negara

3 Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993),hlm 174 Andi Hamzah, ibid, hlm 17,18.5 Ibid, hlm 18-21, lihat juga Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005), hlm 3-9.

2

Page 3: Jurnal Hukum R003

berkembang bekas jajahan mereka, termasuk Indonesia yang KUHPnya (juga WvK dan BW) bersumber pada Belanda. Bahkan Jepang dan Thailand yang tidak pernah dijajah tidak luput dari pengaruh hukum pidana negara-negara Eropa Barat (Jepang dipengaruhi oleh Jerman, sedangkan Thailand dipengaruhi oleh Inggris).

Pelaksanaan dan jenis sanksi pidana perampasan kemerdekaan (penjara) berbeda-beda di berbagai negara. Belanda mengenal dua jenis pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara dan pidana kurungan (keduanya dilaksanakan di penjara) yang tentu saja sama dengan yang dikenal dalam KUHP Indonesia. Tetapi dalam Rancangan KUHP baru, tidak ada pidana kurungan, yang ada di samping pidana penjara, ialah pidana tutupan yang disediakan bagi penjahat politik. Di samping Belanda, Belgia juga mengenal pidana kurungan, tutupan (opsluiting) dan pidana penjara.Sesudah Perang Dunia II ada kecenderungan untuk menjadikan pidana perampasan kemerdekaan menjadi satu jenis saja. Demikianlah sehingga hanya satu jenis pidana perampasan kemerdekaan di Norwegia (1962), di Jerman (1969), di Austria (1974) dan di Portugal (1983).

Pidana penjara ditentukan maksimum secara khusus pada setiap delik, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum. Berat ringannya pidana penjara ditentukan berdasarkan seriusnya kejahatan itu secara relatif. Kemudian, dirasakan adanya kelemahan terhadap pidana penjara ini terutama yang singkat (yang bulanan sampai dengan satu tahun). Dipandang pidana penjara yang singkat itu tidak relatif, bahkan dapat lebih menambah kadar jahatnya seseorang dengan berguru pada penjahat kakap di dalam penjara juga stigma pada pidana penjara. Juga menambah pembiayaan yang dikeluarkan oleh negara. Pada generasi kedua inilah muncul pidana bersyarat untuk delik yang tidak terlalu berat (di Indonesia maksimum pidana penjara satu tahun dapat dikenakan pidana bersyarat ). (diatur di dalam Pasal 14 a s/d f KUHP).

Dalam usaha menemukan alternatif lain dari pidana penjara (terutama yang singkat) inilah muncul generasi ketiga sistem sanksi pidana, terutama berupa denda.

3. Generasi ketiga, yaitu usaha mengefektifkan pidana denda sebagai sanksi. Pidana denda di dalam KUHP Belanda yang semula sama dengan KUHP, yaitu ditentukan maksimumnya secara khusus pada setiap delik sesuai dengan kadar seriusnya, sedangkan minimumnya ditentukan secara umum (sama untuk semua delik). Tidak dikenal penerapan sanksi denda bersama dengan pidana penjara. Tetapi kemudian, Belanda mengubahnya ada delik tertentu umumnya yang menimbulkan kerugian materiil yang dimungkinkan pengenaan denda bersama pidana penjara. Juga Belanda memperkenalkan sistem denda berdasarkan kategori. Kategori I sampai dengan kategori VI. Semua ini tentulah untuk meng-efektifkan pidana denda. Semua delik dalam KUHP Belanda juga terdapat alternatif dendanya jika ada pidana penjara.

Sistem pidana denda yang baru diperkenalkan oleh negara-negara Skandinavia (Finlandia dan Swedia), kemudian diikuti oleh jerman, Austria, Perancis dan Portugal, yang disebut denda harian (day fine), maksudnya denda didasarkan kepada kemampuan keuangan orang per hari. Tentulah pendapatannya perhari dikurangi dengan utang-utangnya. Jadi, untuk delik yang sama dipidana denda tidak sama karena ditentukan berdasarkan kemampuan keuangan pelanggar. Satuan hari berbeda antara negara yang satu dengan yang lain. Bagitu

3

Page 4: Jurnal Hukum R003

pula maksimum dan minimum per hari ditentukan dalam KUHP. Di Swedia satu hari maksimum dendanya 1.000 Crown sedangkan minimumnya 10 Crown. Satuan hari di swedia minimum 1 dan maksimum 180 yang tentu ini sama dengan 6 bulan (6 kali 30 hari = 180 hari).

Di Jerman hanya yang dipidana 3 bulan atau kurang diganti dengan denda harian. Di Perancis hanya delik-delik ringan yang dikenakan denda harian dan dalam praktek sangat sedikit kasus yang dikenakan denda harian itu.Ada negara-negara yang menerapkan denda harian secara konsekuen misalnya Yunani dalam Pasal 82 KUHP-nya ditentukan, bahwa semua pidana penjara tidak lebih dari 6 bulan dikonversi menjadi denda harian. Bahkan pengadilan dapat mengenakan denda harian sampai pada pidana penjara 18 bulan jika dipandang cukup memadai menerapkan pidana denda harian untuk membuat jera pelanggar melakukan delik berikutnya.Demikian, sehingga dari semua pidana perampasan kemerdekaan Yunani, hanya 4 % dilaksanakan di penjara.

4. Generasi keempat sistem sanksi pidana muncul ketika pidana yang ditunda dan pidana denda mulai dirasakan juga kurang jika diterapkan secara luas, karena akan mengurangi kredibilitasnya. Alternatif lain dari pidana perampasan kemerdekaan mulai ditemukan yaitu sanksi-sanksi alternatif. Yang dimaksud dengan sanksi alternatif itu, ialah pidana kerja sosial, pidana pengawasan (control) dan perhatian kepada korban kejahatan mulai meningkat, sehingga diperkenalkan ganti kerugian kepada korban kejahatan oleh pelanggar sebagai sanksi alternatif.

Dalam konferensi Internasional mengenai Prevention of Crime and Treatment of Offender ke

VII dikeluarkan resolusi untuk mengurangi populasi pidana penjara, alternatif pidana penjara dan

integrasi sosial narapidana. Menurut P.J.P Tak, hanya tiga alternatif yang sesuai dengan resolusi itu,

yaitu :6

1. Kontrak untuk pembinaan (contract treatment).2. Pencabutan dan larangan mengenai hak-hak dan izin (deprivation and

interdicts concerning rights or licences).3. Kerja sosial (community service)

Kontrak untuk pembinaan diperkenalkan di Swedia dengan Undang-undang mulai berlaku

pada tanggal 1 Januari 1988 yang telah dimulai dengan eksperimen sejak tahun 1978. Ini merupakan

sanksi yang disetujui oleh pelanggar, berupa pembinaan atau treatment terutama pada pemabuk

atau pecandu obat bius atau pelanggar yang memerlukan pembinaan atau penyembuhan.

Pengadilan akan memutuskan contract treatment sebagai bagian dari syarat pidana percobaan. Jika

pelanggar melanggar kontrak ini, ia akan menjalani pidana penjara. Lamanya pembinaan (treatment)

dan supervisi sesudahnya dibatasi sampai 2 tahun.

6 Ibid, hlm 22

4

Page 5: Jurnal Hukum R003

Mengenai pencabutan atau larangan hak dan izin, contohnya Perancis, yang dengan

Undang-undang 11 Juli 1975, menentukan satu atau lebih sanksi ini sebagai pidana utama :7

a. Penarikan menyeluruh atau sebagian izin mengemudi sampai dengan 5 tahun,

b. Larangan mengemudi kendaraan tertentu sampai 5 tahun,c. Perampasan satu atau lebih kendaraan kepunyaan terpidana,d. Larangan memiliki senjata sampai 5 tahun,e. Pencabutan izin berburu dan larangan pemberian izin baru sampai

dengan 5 tahun, danf. Perampasan satu atau lebih senjata yang dimiliki atau dibuang oleh

terdakwa.

Mengenai Pidana Kerja Sosial (community service order) yang juga telah dicantumkan di

dalam RUU KUHP Indonesia, di beberapa negara masih dalam tahap percobaan, seperti Norwegia,

Denmark dan Belanda.

Di samping itu ada negara seperti Swedia menolak pidana kerja sosial itu dengan alasan :8

a. Masih kurang angka-angka mengenai efektivitas kerja sosial.b. Kerja Sosial itu memerlukan keahlian sedangkan mayoritas penghuni

penjara Swedia adalah pemabuk dan pecandu Narkotika yang tidak tahu bekerja.c. Pekerjaan di Swedia bersifat profesional, sehingga sulit pelaksanaan

kerja sosial itu.d. Bekerja itu adalah jalan hidup. Sulit kerja sosial itu dipandang sebagai

pidana.

Di Denmark pidana kerja sosial dikaitkan dengan pidana percobaan (pidana bersyarat) yang

6 sampai 8 bulan penjara yang dapat dipidana kerja sosial ialah pengemudi, pemabuk; masa kerja

minimum 40 jam, maksimum 200 jam.

Di Norwegia, maksimum kerja sosial ialah 240 jam. Pidana penjara yang dapat diganti

dengan kerja sosial ialah 12 bulan. Pidana kerja sosial terutama pada delik harta benda.

Belanda dengan undang-undang tahun 1987 ingin pidana kerja sosial diatur berdasarkan

undang-undang, berdasarkan ketentuan undang-undang itu maka jumlah jam kerja 240 jam dan

harus diselesaikan dalam 6 bulan.

Hakim hanya dapat menjatuhkan pidana kerja sosial bagi pidana tanpa syarat , yaitu 6 bulan

atau kurang.

7 Ibid.8 Ibid, hlm 23

5

Page 6: Jurnal Hukum R003

Sebagai suatu praktek penanganan perkara, di New Zealand pun telah diterapkan kerja

sosial bagi perkara-perkara kecil. Terdakwa cukup minta maaf kepada korban, ganti kerugian dan

kerja sosial.

Program tersebut bersifat pengalihan ( tidak diajukan ke pengadilan ). Pelanggaran itu harus

tidak serius. Pelanggar, korban dan petugas polisi harus semuanya sepakat untuk pengalihan.

Program pengalihan pada umumnya meliputi peringatan dari koordinator pengalihan polisi

dan permintaan maaf kepada korban. Pelanggar harus juga menulis surat minta maaf kepada

petugas polisi yang bertanggung jawab atas kasus tersebut, memberikan sumbangan derma dan

ganti kerugian sepenuhnya kepada korban dan melakukan pekerjaan sosial.

Dalam kasus pencurian toko, pelanggar pada umumnya disyaratkan memberi sumbangan

50 dolar New Zealand (27 dolar US) untuk biaya keamanan toko itu. Kerja sosial dapat berupa

membantu dewan lokal, organisasi olah raga, Departemen Konservasi atau polisi itu sendiri.

Ada pun negara-negara yang telah mencantumkan dalam undang-undang sistem sanksinya,

seperti Britania Raya, Perancis, Portugal, Italia, Jerman, Luxemburg, Nowegia dan Swiss. Norwegia

secara khusus tidak saja untuk mengganti pidana penjara, tetapi juga sanksi-sanksi lain dan akibat

sanksi itu .9

Atas dasar perkembangan sanksi pidana tersebut di atas, pertanyaan yang sekarang ini

timbul berkaitan dengan masalah pidana dan pemidanaan, khususnya di kalangan ahli hukum

pidana, hukum pelaksanaan pidana dan kriminolog, adalah bukan suatu pertanyaan yang dimulai

dengan ”apa ?”, “mengapa?,” dan bagaimana seharusnya ?, tetapi juga pertanyaan yang

menyangkut persoalan filsafat yaitu apa yang menjadi hakikat dari pidana dan pemidanaan.

Termasuk di dalamnya tentang stelsel sanksi , yang merupakan salah satu tiang pokok dalam

membicarakan hukum pidana.

III. Filsafat Pemidanaan.

Apabila dikaji lebih dalam filsafat pemidanaan bersemayam ide-ide dasar pemidanaan yang

menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai tanggungjawab subjek hukum

terhadap perbuatan pidana dan otoritas publik kepada Negara berdasarkan atas hukum untuk

melakukan pemidanaan. Sedangkan teori pemidanaan berada dalam proses keilmuan yang

9 Andi Hamzah ,ibid, hlm 24

6

Page 7: Jurnal Hukum R003

mengorganisasi, menjelaskan dan memprediksi tujuan pemidanaan bagi Negara, masyarakat dan

subjek hukum terpidana. 10 Menurut M. Sholehuddin, filsafat pemidanaan mempunyai dua

fungsi, yaitu :

Pertama, fungsi fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah yang

memberikan pedoman , kriteria atau paradigma terhadap masalah pidana dan pemidanaan. Fungsi

ini secara formal dan intrinsik bersifat primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat.

Maksudnya, setiap asas yang ditetapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui sebagai

kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan dan diaplikasikan.

Kedua, fungsi teori , dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya, filsafat pemidanaan

berfungsi sebagai teori yang mendasari dan melatar belakangi setiap teori pemidanaan.

Bedasarkan ke dua fungsi di atas dalam proses implementasinya , penetapan sanksi pidana

dan tindakan merupakan aktivitas program legislasi dan/atau yudikasi untuk menormatifkan jenis

dan bentuk sanksi ( pemidanaan) sebagai landasan keabsahan penegakan hukum melalui

penerapan sanksi. 11

Persoalan sanksi dalam hukum pidana berkaiatan erat dengan pemikiran filsafat

pemidanaan . Akan tetapi bagaimana sesungguhnya keterkaitan antara filsafat dan pemidanaan ?

Secara katagorial muncul dua pendekatan yang tampak bertentangan dari pikiran filsafat di satu

pihak, dan pikiran hukum di pihak lain. Pada satu sisi, para filosuf memusatkan diri pada persoalan

mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum dan ahli penology

mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan iru berhasil, efisien, mencegah atau

merehabilitasi. Persoalan efisiensi yang menjadi perhatian ahli hukum dan penology, hanya dapat

dijawab dari sudut tujuan yang menjadi perhatian ahli filsafat. Tujuan pada gilirannya menunjukkan

suatu pendirian sikap terhadap bidang moral berkenaan dengan keadilan dan ketidakadilan dalam

pemidanaan individu tertentu atas perbuatan tertentu dan dengan cara tertentu. Dengan demikian ,

argumentasi-argumentasi yang dirumuskan dalam berbagai aliran filsafat, niscaya dapat digunakan

oleh para ahli hukum dan penology sebagai hipotetis riset empiris tentang pemidanaan, serta

bermanfaat dalam penetapan suatu sanksi ( hukum Pidana). 12 Penjatuhan sanksi pidana terhadap

pelaku tindak pidana memiliki tujuan. Tujuan penjatuhan sanksi pidana sangat dipengaruhi oleh

10 M .Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003), hlm 8011 Ibid, hlm 80, 8112 M.Sholehuddin, ibid, hlm 82,83

7

Page 8: Jurnal Hukum R003

filsafat yang dijadikan dasar pengancaman dan penjatuhan pidana. Filsafat pemidanaan berkaitan

erat dengan alasan pembenar (pembalasan, manfaat/utilitas dan pembalasan yang bertujuan)

adanya sanksi pidana. Filsafat pemidanaan merupakan landasan filosofis untuk merumuskan

ukuran/dasar keadilan apabila terjadi pelanggaran hukum pidana. Filsafat keadilan dalam hukum

pidana yang kuat pengaruhnya ada dua yaitu keadilan yang berbasis pada filsafat pembalasan (

retributive justice ) dan keadilan yang berbasis pada filsafat restorasi atau pemulihan ( restorative

Justice ), dan KUHP menganut filsafat keadilan lebih condong kepada retributive justice.

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan yang langsung

dari para pihak. Korban mampu untuk untuk mengembalikan unsur control, sementara pelaku

didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan

yang disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya. Keterlibatan

komuniyas secara aktif memperkuat komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai

untuk menghormati dan rasa saling mengasihi antar sesama . komunitas secara aktif memperkuat

komunitas itu sendiri dan mengikat komunitas akan nilai-nilai untuk menghormati dan rasa saling

mengasihi antar sesama . Peranan pemerintah secara substansial berkurang dalam memonopoli

proses peradilan sekarang ini . Restorative justice membutuhkan usaha-usaha yang kooperatif dari

komunitas dan pemerintah untuk menciptakan sebuah kondisi dimana korban dan pelaku dapat

merekonsiliasikan konflik mereka dan memperbaiki luka-luka lama mereka.13

Di samping itu juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban, penghormatan pribadi,

martabat, dan yang lebih penting adalah sense of control.14

Karakteristik Restorative Justice Theory menurut Van Nes :15

a. Crime is primarily conflict between individuals resulting in injuries to victims, communities and the offenders themselves;only secondary is it lawbreaking;

b. The overarching aim of the criminal justice process should be to reconcile parties while repairing the injuries caused by crimes.

13 Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights, Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, ( Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland), hlm 24 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, hlm 11, 12.14 Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000), hlm 14 dalam Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3, hlm 12.

15 Daniel Van Ness, op cit, hlm 23.

8

Page 9: Jurnal Hukum R003

c. The Criminal justice process should facilitate active participation by victims, offenders and their communities. It should not be dominated by goverment to the exclusion of others.

Karakteristik Restorative Justice menurut Muladi, 16dapat dikemukakan cirinya :

1. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seseorang terhadap orang lain.2. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa

depan.3. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi.4. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan

utama.5. Keadilan dirumuskan sebagai hubunganb-hubungan hak,dinilai atas dasar hasil.6. Kejahatan diakui sebagai konflik.7. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial.8. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses retoratif.9. Menggalakkan bantuan timbal balik.10. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui baik dalam permasalahan maupun

penyelesaian hak-hak dan kebutuhan si korban diakui; pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggungjawab.

11. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan mana yang paling baik.

12. Tindak pidana difahami dalam konteks menyeluruh moral, sosial dan ekonomis.13. Dosa atau hutang dan pertanggungjawaban terhadap korban diakui.14. Reaksi dan tanggapan difokuskan pada konsekuensi yang dari perbuatan si pelaku tindak

pidana.15. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restorative.16. Ada kemungkinan (dorongan untuk bertobat dan mengampuni) yang bersifat membantu.17. Perhatian ditujukan pertanggungjawaban terhadap akibat perbuatan ( bandingkan dengan

retiributive justice, perhatian diarahkan pada debat antara kebebasan kehendak (free will) dan determinisme sosial psikologis di dalam kausa kejahatan).

Di samping keadilan tersebut di atas dikenal juga model keadilan , sebagai

justuifikasi modern untuk pemidanaan yang dikemukakan oleh Sue Titus Reid. Model keadilan

yang dikenal juga dengan pendekatan keadilan atau model ganjaran setimpal (just desert model)

yang didasarkan pada dua teori tentang tujuan pemidanaan, yaitu pencegahan (prevention) dan

retribusi (retribution). Dasar retribusi dalam just desert model menganggap bahwa pelanggar

akan dinilai dengan sanksi yang patut diterima oleh mereka mengingat kejahatan-kejahatan yang

16 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit UNDIP, Semarang,1995), hlm127- 129.

9

Page 10: Jurnal Hukum R003

telah dilakukannya , sanksi yang tepat akan mencegah para criminal melakukan tindakan-

tindakan kejahatan lagi dan mencegah orang-orang lain melakukan kejahatan.17

Dengan skema just desert ini, pelaku dengan kejahatan yang sama akan menerima

pemidanaan yang sama, dan pelaku kejahatan yang lebih serius akan mendapatkan pidana yang

lebih keras daripada pelaku kejahatan yang lebih ringan. Atas dasar ini terdapat kritik untuk teori

just desert, yaitu :

Pertama, , karena desert teori menempatkan secara utama, menekankan pada keterkaitan antara pidana yang layak dengan tingkat kejahatan, dengan kepentingan memperlakukan kasus seperti itu, teori ini mengabaikan perbedaan –perbedaan yang relevan lainnya antara para pelaku.Seperti latar belakang pribadi pelaku dan dampak pemidanaan lepada pelaku dan keluarganya, dan dengan demikian seringkali memperlakukan kasus yang tidak sama dengan cara yang sama. Kedua, secara keseluruhan, tapi eksklusif, menekankan pada pedoman-pedoman pembeda dari kejahatan dan catatan kejahatan mempengaruhi psikhologi dari pemidanaan dan pihak yang dipidana.18

Selanjutnya bagaimanakah pemidanaan ditinjau dari Pancasila sebagai sistem

filsafat sosial, memiliki komponen dasar yang terdiri dari sistem nilai, pandangan filsafat

Pancasila terhadap manusia serta bagaimana pandangan manusia terhadap eksistensi alam,

kepribadian manusia dan Tuhan, termasuk Negara. Dari sudut sistem nilai , secara umum

manusia berada dalam dunia nilai positif ( seperti; kebaikan, keindahan , kebenaran dan

keadilan) serta nilai negatif ( misalnya: keburukan, kepalsuan, dosa dan kejahatan). Tiap pribadi

di dalam hidupnya selalu terlibat aktif atau pasif dengan dunia nilai.19 Memakai Pancasila sebagai

perspektif Indonesia dalam mendiskusikan pemidanaan, bertolak dari asumsi bahwa secara

analitis sila-sila Pancasila sebenarnya memberi peluang yang amat besar untuk merumuskan

tentang apa yang benar dan yang baik bagi manusia dan masyarakat Indonesia, yang bukan

saja secara kontekstual, tetapi juga secara universal dapat dipertangungjawabkan kesahihannya

secara konseptual maupun operasional.20

17 Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987, hlm 352, M. Sholehuddin, op cit, hlm 62, Elsam 2005, Pemidanaan , Pidana…, op cit, hlm 1018Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996, hlm 14, dalam Elsam 2005, ibid.19 Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981) Hlm, 173 dan 175 dalam M. Sholehuddin, op cit hlm 10520 Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas;Tinjauan Etis dan Budaya ( PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997), hlm 159, dalam M.Sholehuddin, Ibid, hlm 106

10

Page 11: Jurnal Hukum R003

Pemidanaan dalam perspektif Pancasila , dengan demikian haruslah berorientasi

pada prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, pengakuan manusia (Indonesia) sebagai Makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Wujud pemidanaan tidak boleh bertentangan dengan keyakinan agama manapun yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Pemidanaan terhadap seseorang harus diarahkan pada penyadaran iman dari terpidana, melalui mana ia dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat. Dengan kata lain , pemidanaan harus berfungsi membinaan mental orang yang dipidana dan menstranformasikan orang tersebut menjadi seorang manusia religius .21

Kedua, pengakuan tentang keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Pemidanaan tidak boleh menciderai hak-hak asasnya yang paling dasar serta tidak boleh merendahkan martabatnya dengan alasan apa pun. Implikasinya adalah , bahwa meskipun terpidana berada dalam lembaga pemasyarakatan, unsur-unsur dan sifat perikemanusiaannya tidak boleh dikesampingkan demi membebaskan yang bersangkutan dari pikiran, sifat, kebiasaan, dan tingkah laku jahatnya.22

Ketiga, menumbuhkan solidaritas kebangsaan dengan orang lain, sebagai sesame warga bangsa.Pelaku harus diarahkan pada upaya untuk meningkatkan toleransi dengan orang lain, menumbuhkan kepekaan terhadap kepentingan bangsa, dan mengarahkan untuk tidak mengulangi melakukan kejahatan.Dengan kata lain, bahwa pemidanaan perlu diarahkan untuk menanamkan rasa kecintaan terhadap bangsa.23

Keempat, menumbuhkan kedewasaan sebagai warga Negara yang berkhidmad, mampu mengendalikan diri, berdisiplin, dan menghormati serta menaati hukum sebagai wujud keputusan Rakyat.24

Kelima, menumbuhkan kesadaran akan kewajiban setiap individu sebagai makhluk sosial , yang menjunjung keadilan bersama dengan orang lain sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa pemerintah dan rakyat harus ikut bertanggungjawab untuk membebaskan orang yang dipidana dari kemelut dan kekejaman kenyataan sosial yang melilitnya menjadi penjahat.25

Berkaitan dengan masalah tersebut di atas secara lebih umum , khususnya dalam

melakukan pembaharuan hukum pidana (termasuk di dalamnya tentang masalah pidana dan

pemidanaan termasuk jenis pidana) dan lebih khusus lagi tentang penyusunan konsep KUHP Baru,

tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan sistem hukum nasional yang berdasarkan

21 J.E.Sahetapy , Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Rajawali Pers, Jakarta, 1982), hlm 284 dalam M.Sholehuddin, ibid, hlm 10922 Ibid.23 Ibid.24 M.Sholehuddin, ibid, hlm 110.25 Ibid.

11

Page 12: Jurnal Hukum R003

Pancasila sebagai nilai-nilai kehidupan kebangsaan yang dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan

Hukum Pidana Nasional seyogyanya juga dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar

(basic ideas ) Pancasila yang mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma : a.

moral religius (ketuhanan), b. kemanusiaan (humanistik),c. kebangsaan. d. demokrasi, dan e.

keadilan sosial.26 Di samping itu perlu ada harmonisasi/sinkronisasi/konsistensi antara

pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosio-filosofik dan sosio

kultural yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya pembaharuan hukum

pidana ( KUHP) nasional, perlu dilakukann pengkajian dan penggalian nilai-nilai nasional yang

bersumber pada Pancasila dan yang bersumber pada nilai-nilai yang ada di masyarakat (nilai-nilai

religius maupun nilai-nilai budaya/adat).27

Pemikiran tersebut di atas dituangkan dalam suatu Ide-dasar (pokok pemikiran) perubahan

yang menyangkut masalah tujuan dan pedoman pemidanaan :28

Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku, di dalam Konsep dirumuskan tentang

“Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Catatan beberapa negara yang di dalam KUHP-nya juga

merumuskan “tujuan pidana/pemidanaan”, antara lain : Armenia (Psl. 48 jo. Psl. 2 dan 11), Bellarus

(Psl. 20 jo. Psl. 1), Bulgaria (Psl. 36), Latvia (Psl. 35), Macedonia (Psl. 32), Romania (Psl. 52), dan

Yugoslavia (Psl. 33).

Dirumuskannya hal ini, bertolak dari pokok pemikiran bahwa :

1. Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan (“purposive

system”) dan pidana hanya merupakan alat/ sarana untuk mencapai tujuan;

2. “Tujuan pidana” merupakan bagian integral (sub-sistem) dari keseluruhan sistem

pemidanaan (sistem hukum pidana) di samping sub-sistem lainnya, yaitu sub-sistem

“tindak pidana”, “pertanggungjawaban pidana (kesalahan)”, dan “pidana”;

3. Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi

pengendali/ kontrol/pengarah dan sekaligus memberikan dasar/landasan filosofis,

rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan;

26 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional “ Menyongsong Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005), hlm 527 Ibid, hlm 828 Barda Nawawi Arief, Ide-Ide Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005, hlm 9-13

12

Page 13: Jurnal Hukum R003

4. Dilihat secara fungsional/operasional, sistem pemidanaan merupakan suatu rangkaian

proses melalui tahap “formulasi”, tahap “aplikasi”, dan tahap “eksekusi”; oleh karena itu

agar ada keterjalinan dan keterpaduan atara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan

sistem pemidanaan, diperlukan perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.

Tujuan pemidanaan diformulasikan sebagai bagian integral dari sistem pemidanaan, sebagai

pedoman (guidance of sentencing),. landasan filosofis & justifikasi pemidanaan, agar “tidak hilang” /

“tidak dilupakan” dalam praktek.

Sistem pemidanaan yang dituangkan di dalam Konsep, dilatarbelakangi oleh berbagai ide

dasar atau prinsip-prinsip sebagai berikut :

a ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan masyarakat (umum) dan kepentingan individu.

b. ide keseimbangan antara “social welfare” dengan “social defence”; c. ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku/“offender”

(individualisasi pidana) dan “victim” (korban); d. ide penggunaan “double track system” (antara pidana/punishment dengan

tindakan/treatment/measures); e. ide mengefektifkan “non custodial measures (alternatives to imprisonment)”.f. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (“elasticity/flexibility of sentencing”); g. Ide modifikasi / perubahan/ penyesuaian pidana (“modification of sanction”;the

alteration/annulment/revocation of sanction”; “re-determining of punishment”); h. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana;i. Ide permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”);j. Ide mendahulukan/ mengutamakan keadilan dari kepastian hukum;

Bertolak dari ide-ide dasar itu, maka di dalam Konsep ada ketentuan-ketentuan yang tidak

ada dalam KUHP (WvS) yang berlaku saat ini, yaitu antara lain :

1. Adanya pasal yang menegaskan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas culpabilitas)

yang diimbangi dengan adanya ketentuan tentang “strict liability” dan “vicarious liability”

(Pasal 35);

2. Adanya batas usia pertanggungajawaban pidana anak (“the age of criminal

responsibility”); Pasal 110.

3. Adanya bab khusus tentang pemidanaan terhadap anak (Bab III Bagian Keempat);

4. Adanya kewenangan hakim untuk setiap saat menghentikan atau tidak melanjutkan

proses pemeriksaan perkara pidana terhadap anak (asas diversi), Pasal 111;

5. Adanya pidana mati bersyarat (Pasal 86);

13

Page 14: Jurnal Hukum R003

6. Dimungkinkannya terpidana seumur hidup memperoleh pelepasan bersyarat (Pasal

67 jo. 69);

7. Adanya pidana kerja sosial; pidana pembayaran ganti rugi, dan pemenuhan kewajiban

adat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup (Pasal 83,96,97);

8. Adanya pidana minimal khusus yang disertai juga dengan aturan/pedoman

pemidanaannya atau penerapannya;

9. Dimungkinkannya penggabungan jenis sanksi (pidana dan tindakan);

10. Dimungkinkannya pidana tambahan dijatuhkan sebagai sanksi yang berdiri sendiri

11. Dimungkinkannya hakim menjatuhkan jenis pidana lain yang tidak tercantum dalam

perumusan delik yang hanya diancam dengan pidana tunggal;;

12. Dimungkinkannya hakim menjatuhkan pidana secara kumulatif walaupun ancaman

pidana dirumuskan secara alternatif;

13. Dimungkinkannya hakim memberi maaf/pengampunan (“rechterlijk pardon”) tanpa

menjatuhkan pidana/tindakan apapun kepada terdakwa, sekalipun telah terbukti

adanya tindak pidana dan kesalahan (Pasal 52 ayat 2).

14. Adanya kewenangan hakim untuk tetap mempertanggungjawabkan/memidana si pelaku

walaupun ada alasan penghapus pidana, jika si pelaku patut dipersalahkan (dicela) atas

terjadinya keadaan yang menjadi alasan penghapus pidana tersebut (dikenal dengan asas

“culpa in causa” atau asas “actio libera in causa”); Pasal 54

15. Dimungkinkannya perubahan/modifikasi putusan pemidanaan, walaupun sudah berkekuatan

tetap (Pasal 55 dan Pasal 2 ayat 3);

IV. Implementasi dan pengaturan Jenis sanksi (Pidana) di dalam Konsep R.KUHP Nasional

Selanjutnya bagaimanakah sistem pemidanaan , yang di dalamnya mengandung unsur

filosofik diaplikasikan dalam Konsep R KUHP Nasional. Sebagaimana dalam perkembangan Hukum

Pidana, khususnya yang menyangkut sanksi pidana, perumusannya sudah lebih maju bila

dibandingkan dengan KUHP warisan Belanda (Pasal 10 KUHP).

Jenis-jenis Pidana dalam Konsep RKUHP Nasional diatur di dalam Pasal 62 ayat (1) yang

terdiri dari :

a. pidana penjara;

b. pidana tutupan;

14

Page 15: Jurnal Hukum R003

c. pidana pengawasan;

d. pidana denda;dan

e. pidana kerja sosial.

Sedangkan Pidana Tambahan dimuat di dalam Pasal 64 ayat (1). Pidana tambahan adalah :

a. pencabutan hak-hak tertentu;

b. perampasan barang-barang tertentu dan/ atau tagihan;

c. pengumuman putusan hakim;

d. pembayaran ganti kerugian; dan

e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup

Sedangkan Pidana Mati menurut Konsep RKUHP Nasional dilepaskan dari paket pidana

pokok dan dianggap mempunyai sifat khusus. Serta diancamkan dan dijatuhkan semata-mata untuk

mencegah dilakukannya tindak pidana tertentu dengan menegakkan norma hukum demi mengayomi

masyarakat. (Pasal 63 jo. Pasal 84).

Beberapa hal yang perlu dicatat dan tidak terdapat di dalam KUHP (W.v.S) sekarang ini,

yaitu diaturnya secara khusus tujuan pemidanaan yaitu :

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi

pengayoman masyarakat;

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang

baik dan berguna;

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan

mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana (Pasal 51ayat (1))

Di samping itu juga dimuat Pedoman Pemidanaan yang berlaku bagi Hakim sebagai bahan

pertimbangan di dalam memutuskan suatu kasus di dalam perkara pidana yaitu :

a. kesalahan pembuat tindak pidana;

b. motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana;

c. sikap batin pembuat tindak pidana;

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;

e. cara melakukan tindak pidana;

f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;

g. riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat tindak pidana;

15

Page 16: Jurnal Hukum R003

h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;

i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/ atau

k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan; (Pasal 52 ayat (1))

Hal baru yang perlu diinformasikan adalah pidana penjara sejauh mungkin tidak

dijatuhkan dalam hal dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:

a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;

b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;

c. kerugian dan penderitaan korban tindak pidana tidak terlalu besar;

d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;

e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan

kerugian yang besar;

f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;

g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;

h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang

lagi;

i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak

pidana yang lain;

j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa maupun

keluarganya;

k. pembinaan yang bersifat non-institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri

terdakwa;

l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana

yang dilakukan terdakwa;

m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau

n. terjadi karena kealpaan. (Pasal 68).

Ketentuan yang diatur di dalam UU No. 10 tahun 1946 tentang Pidana Tutupan diatur pula di

dalam Konsep RKUHP Nasional, yang diatur di dalam Pasal 73, yang berbunyi :

(1). Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pdana

penjara, mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.

16

Page 17: Jurnal Hukum R003

(2). Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud

yang patut dihormati;

(3). Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku, jika

cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih

tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Namum sebenarnya ia lebih merupakan cara pelaksanaan pidana penjara yang bersifat

istimewa (Bijzonder strafmodaliteit).

Jenis pidana baru yang tidak terdapat di dalam KUHP yaitu Pidana Pengawasan diatur di

dalam Pasal 74, 75 dan 76.

Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama

tujuh tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan. (Pasal 74)

Sedangkan Pasal 75 mengatur :

(1). Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan

perbuatannya.

(2). Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling

lama 3 (tiga) tahun.

(3). Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat :

a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; dan

b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus

mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan;

atau

c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa

mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

(4). Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

(5). Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum, maka Balai Pemasyarakatan

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat mengusulkan

17

Page 18: Jurnal Hukum R003

kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak

melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.

(6). Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan keakukan yang baik, maka Balai

Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Hukum dan HAM dapat

mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.

(7). Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah

mendengar para pihak.

Sedangkan Pasal 76 mengatur :

(1). Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi

pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara, maka pidana pengawasan tetap

dilaksanakan.

(2). Jika terpidana dijatuhi pidana penjara, maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan

kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Untuk mengantisipasi nilai uang yang makin menurun maka Konsep RKUHP Nasional di

dalam mengatur masalah pidana denda menggunakan kategorisasi, dengan ditentukan minimum

yaitu Rp.15.000,- (lima belas ribu rupiah).

Maksimum denda ditetapkan berdasarkan kategori, Ada 6 Kategori, yaitu :

Kategori I Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah);

Kategori II Rp.7.500.000,- (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);

Kategori III Rp.30.000.000,- (tigapuluh juta rupiah);

Kategori IV Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah);

Kategori V Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah);

Kategori VI Rp.3000.000.000,- (tiga miliar rupiah).

Kategori tersebut mendapat pengaruh dari WvS Belanda, yang sudah memakai sistem

kategori di dalam perumusannya. Tujuan utama penggunaan kategori denda adalah :

a. agar diperoleh pola yang jelas tentang maksimum denda yang dicantumkan untuk

berbagai tindak pidana (ada enam kategori).

18

Page 19: Jurnal Hukum R003

b. agar mudah melakukan perubahan, apabila terjadi perobahan dalam keadaan

ekonomi dan moneter di negara kita

Pengaruh sistem Pidana dan Jenis pidana dari Eropa Barat terlihat pula Konsep, khususnya

tentang diperkenalkannya Pidana Kerja Sosial.

Dalam hal hakim mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana penjara tidak lebih dari 6

bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda Kategori I, maka ia dapat mengganti pidana penjara

atau pidana denda tersebut dengan pidana kerja sosial yang sifatnya tidak dibayar (tidak diberi

upah).

Dalam hal pidana kerja sosial dijatuhkan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal sebagai

berikut :

a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;

b. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;

c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang

berhubungan dengan pidana kerja sosial;

d. riwayat sosial terdakwa;

e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa;

f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dan

g. kemampuan terdakwa membayar denda.

Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama dua ratus empat puluh jam bagi terdakwa yang

telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas, dan seratus dua puluh jam bagi terdakwa yang

berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan paling singkat 7 (tujuh) jam.

Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas)

bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan atau

kegiatan lain yang bermanfaat.

Apabila terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana

kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan untuk :

(a). Mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;

(b). Menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja

sosial tersebut, atau

19

Page 20: Jurnal Hukum R003

(c). Membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja

sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti denda yang tidak dibayar. (Pasal 83)

Sedangkan masalah pidana mati, Konsep RKUHP Nasional masih tetap menganutnya akan

tetapi penempatannya dikeluarkan dari paket urut-urutan pidana, dan mempunyai sifat khusus, hal ini

untuk menampung Pro Pidana Mati dan yang kontra pidana mati. Hal cukup menarik untuk

menjembatani antara pandangan yang menolak pidana mati (Abolisionis) dan yang mempertahankan

pidana mati (Retensionis) diatur pula di dalam Pasal 86 yaitu :

Dalam hal pidana mati harus dijatuhkan tetapi hakim memandang bahwa pidana mati tidak

perlu dilaksanakan dengan segera mengingat reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu

besar, terpidana menunjukan rasa menyesali dan ada harapan untuk diperbaiki kedudukan terpidana

dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting dan ada alasan-alasan meringankan maka

hakim dapat memerintahkan agar pidana mati tersebut ditunda pelaksanaannya dengan masa

percobaan selama sepuluh tahun.

Dalam hal hakim memerintahkan penundaan pidana mati sebagaimana tersebut di atas,

maka bila mana dalam masa percobaan terpidana menunjukan sikap dan tindakan yang terpuji,

maka dengan Keputusan Menteri Kehakiman pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling lama dua puluh tahun.

Apabila dalam masa percobaan tapi tidak menunjukan rasa menyesal dan tidak ada harapan

untuk diperbaiki, maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

(Bandingkan dengan Pasal 34 KUHP Republik Rakyat Cina ).29

Sedangkan pidana tambahan diatur dalam Pasal 88, yaitu :

1) Hak-hak terpidana yang dapat dicabut adalah :

a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik

Indonesia;

c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

d. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan;

29 Muladi, Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP, Semarang,1990, hlm 14

20

Page 21: Jurnal Hukum R003

e. hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu, atau pengampu pengawas, atau orang yang

bukan anaknya sendiri;

f. hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampu atas anaknya

sendiri; dan/ atau

g. hak menjalankan profesi tertentu.

2) Jika terpidana adalah korporasi, maka hak yang dicabut adalah

segala hak yang diperoleh korporasi.

Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan, pencabutan hak

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) butir a dan butir b, hanya dapat dilakukan jika

pembuat pidana karena :

a. melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang melanggar kewajiban khusus

sesuatu jabatan; atau

b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarna yang diberikan pada terpidana

karena jabatannya. (Pasal 89).

Kekuasaan bapak, wali, wali pengawas, pengampu, dan pengampu pengawas, baik atas

anaknya sendiri maupun atas anak orang lain dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena:

a. dengan sengaja melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya; atau

b. melakukan tindak pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua. (Pasal 90).

Sedangkan tentang pencabutan hak diatur dalam Pasal 91, yaitu :

(1) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan, maka wajib ditentukan lamanya pencabutan

sebagai berikut :

a. dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup, untuk selamanya;b. dalam hal dijatuhkan pidana penjara, pidana tutupan, atau pidana pengawasan untuk

waktu tertentu, paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan;

c. dalam hal pidana denda, paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.(2) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan pada korporasi, maka hakim bebas dalam

menentukan lama pencabutan hak tersebut.

(3) Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.

Pasal 92 mengatur :

21

Page 22: Jurnal Hukum R003

(1) Pidana perampasan barang dan atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.

(2) Pidana perampasan barang tertentu dan atau tahihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya dikenakan tindakan.

(3) Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.

Barang yang dapat dirampas (Pasal 93) adalah :

a. barang dan/ atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;

b. barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;c. barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan

tindak pidana;d. barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak

pidana; ataue. barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak

pidana. Pasal 94 mengatur :

(1) Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita, dengan menentukan apakah barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran hakim.

(2) Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan, maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sebagai menetapkan harga lawannya.

(3) Jika terpidana tidak dapat membayar seluruh atau sebagian harga lawan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

Apabila dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan, maka harus

ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh

terpidana. Apabila tidak dibayar oleh terpidana, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti

untuk pidana denda (Pasal 95).

Pembayaran ganti kerugian diatur dalam Pasal 96, yaitu :

(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.

(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Pasal 97 mengatur tentang kewajiban adat, yaitu :(1) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan

kewajiban adat setempat dan /atau kewajiban menurut hukum yang hidup

22

Page 23: Jurnal Hukum R003

(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/ atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).

(3) Kewajiban adat setempat dan/ atau kewajiban menurut hukum yang hidup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.

(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

Di samping jenis-jenis Pidana ,Konsep RKUHP Nasional juga mengatur tentang jenis-jenis

Tindakan yaitu

Hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan tindakan kepada mereka apabila tidak atau

kurang dapat dipertanggungjawabkan yaitu :

1. perawatan di Rumah Sakit Jiwa;2. penyerahan kepada pemerintah; atau3. penyerahan kepada seseorang.

Hakim dalam putusannya dapar menjatuhkan tindakan bersama-sama dengan pidana pokok

berupa :

1. pencabutan surat izin mengemudi;2. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;3. perbaikan akibat tindak pidana;4. latihan kerja;5. rehabilitasi; dan/ atau6. perawatan di lembaga.

(Pasal 98)

Ternyata di dalam sistem penjatuhan pidanaKonsep RKUHP Nasional menganut “Double

Track System” yaitu sistem dua jalur artinya pidana pokok dan tindakan dapat dijatuhkan bersama-

sama.

Di dalam Konsep RKUHP Nasional juga menegaskan bahwa seorang anak yang melakukan

tindak pidana dan belum mencapai umur dua belas tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan.

(Pasal 110).

Sedangkan apabila seorang anak yang melakukan tindakan pidana antara umur 12 (dua

belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun berlaku jenis-jenis pidana dan tindakan yang berbeda

dengan orang dewasa (Pasal 113), yaitu :

23

Page 24: Jurnal Hukum R003

(1) Pidana pokok bagi anak yang terdiri atas :

a. Pidana verbal :1. pidana peringatan; atau2. pidana teguran keras;

b. Pidana dengan syarat :

1. pidana pembinaan di luar lembaga;2. pidana kerja sosial; atau3. pidana pengawasan;

c. Pidana denda, atau

d. Pidana pembatasan kebebasan :

1. pidana pembinaan di dalam lembaga;2. pidana penjara; atau3. pidana tutupan.

(2) Pidana tambahan terdiri atas :

a. Perampasan barang-barang tertentu dan/ atau tagihan;b. Pembayaran ganti kerugian; atauc. Pemenuhan kewajiban adat.Pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan

anak (Pasal 114).

Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat-

syarat khusus yang ditentukan dalam putusan, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan

berpolitik (Pasal 115).

Pasal 116 mengatur juga tentang pidana pembinaan di luar lembaga, yaitu :

(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan :

a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina;b. mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa; atauc. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya.(2) Jika selama pembinaan, anak melanggar syarat-syarat khusus sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 115, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim

pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lainnya tidak melampaui maksimum 2

(dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.

Sedangkan Pasal 117 mengatur :

(1) Pelaksanaan pidana kerja sosial untuk anak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83ayat (3) dan ayat (4) dengan memperhatikan usia layak kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

24

Page 25: Jurnal Hukum R003

(2) Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang dikenakan terhadapnya.

(3) Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratur dua puluh) jam.

Pidana denda bagi anak hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16

(enam belas) tahun dan paling banyak ½ (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang

diancamkan terhadap orang dewasa. (Pasal 120).

Pidana pembatasan kebebasan diatur dalam Pasal 121, yaitu :

(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.

(2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama ½ (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.

(3) Minimum khusus pidana penjara sebagaimana dimaksud dengan Pasal 66 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak.

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1), ayat (3), ayat (4), Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, dan Pasal 72 berlaku juga sepanjang dapat diberlakukan terhadap pidana pembatasan kebebasan terhadap anak.

Sedangkan Pasal 122 mengatur :

(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.

(2) Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat, maka dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.

(3) Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan sampai anak berusia 18 (delapan belas) tahun.

(4) Setelah anak menjalani ½ (satu per dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan berkelakuan baik, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Pidana penjara bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Jika tindak

pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yagn diancam dengan pidana mati atau

pidana penjara seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun. (Pasal 123).

Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal

39 dapat dikenakan tindakan :

a. perawatan di rumah sakit jiwa;b. penyerahan kepada pemerintah; atauc. penyerahan kepada seseorang.

Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok adalah :

a. pengembalian kepada orang tua, wali, atau pengasuhnya;

25

Page 26: Jurnal Hukum R003

b. penyerahan kepada Pemerintah;c. penyerahan kepada seseorangd. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;e. pencabutan surat izin mengemudi;f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;g. perbaikan akibat tindak pidana;h. rehabilitasi; dan/ ataui. perawatan di lembaga.(Pasal 126).

Maka secara dogmatik pidana itu dikenakan kepada orang yang normal jiwanya, orang yang

mampu bertanggung jawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tidak mempunyai

kesalahan dan orang yang tidak mempunyai kesalahan tidak boleh dipidana terhadap orang ini, yang

telah melakukan tindak pidana, tersedia tindakan yang dapat dikenakan kepadanya. Sebenarnya

dalam perkembangan hukum pidana antara kedua sanksi tersebut ada kekaburan.

Misalnya pidana penjara yang dijatuhkan kepada orang yang mampu bertanggungjawab dan

dilaksanakan dalam suatu lembaga yang disebut lembaga pemassyarakatan. Pelaksanaan pidana

tersebut jelas bukan merupakan pembalasan, bahkan sebaliknya yaitu untuk mengusahakan agar si

terpidana bisa kembali ke masyarakat sebagai orang yang baik. Jadi pidana penjara dalam hal ini

mempunyai sifat sebagai tindakan.

Sebaliknya tindakan dapat dikenakan kepada orang yang mampu bertanggung jawab, orang

yang mempunyai kesalahan sehingga pidana dan tindakan dapat dijatuhkan bersama-sama kepada

seorang terpidana. Sehubungan dengan kekaburan batas antara pidana dan tindakan, maka

beberapa negara, a.I. Denmark, tidak menggunakan istilah pidana atau tindakan KUHP-nya ,

melainkan sanksi saja. 30

Catatan khusus sanksi pidana untuk korporasi adalah sebagai berikut:31

Pidana tambahan yang berupa pencabutan hak tertentu, apabila terpidananya adalah

korporasi dalam keadaan tertentu mempunyai efek penangkalan yang lebih efektif. Karena itu

hakim dapat mengenakan pidana pencabutan hak yang dimiliki suatu korporasi meskipun dalam

rumusan pidana ancaman tersebut tidak dicantumkan. (Lihat penjelasan Pasal 64 ayat (1) Konsep

Rancangan KUHP Nasional) .

30 R. Soedarto, Pemidanaan dan Tindakan, op cit, hlm25,26.31 Dwidja Priyatno, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB, Bandung 26 September 2006 , hlm 15- 21

26

Page 27: Jurnal Hukum R003

Untuk jenis pidana pokok, menurut Konsep Rancangan KUHP Nasional , yang dapat

dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda. Pidana denda yang paling banyak untuk

korporasi adalah katagori lebih tinggi berikutnya (Pasal 77 ayat (4) ) . Selanjutnya berdasarkan

penjelasan Konsep Rancangan KUHP Nasional dijelaskan latar belakang timbulnya ketentuan

tersebut yaitu : mengingat pidana pokok yang dapat dijatuhkan pada korporasi hanya pidana denda,

maka wajar apabila ancaman maksimum pidana denda yang dijatuhkan pada korporasi lebih berat

daripada ancaman pidana denda terhadap orang perseorangan. Untuk itu telah dipilih cara

menentukan maksimum pidana denda bagi korporasi yang melakukan tindak pidana yaitu katagori

lebih tinggi berikutnya.

Selanjutnya pengaturan pidana denda untuk korporasi dalam Pasal 77 ayat (5) dikatakan :

“ Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan :a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun

adalah denda katagori V; b. pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20

(dua puluh) tahun adalah denda Katagori VI. “

Selanjutnya dalam penjelasannya dikatakan bahwa :

“Dalam hal rumusan tindak pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan tidak mencantumkan ancaman pidana denda terhadap korporasi, maka berlaku ketentuan dalam ayat ini, dengan minimum pidana denda sebagaimana ditentukan dalam ayat (6) . ”

Pasal 77 ayat (6) Konsep Rancangan KUHP Nasional) , menyatakan :

“Pidana denda paling sedikit untuk koporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) adalah denda Katagori IV” ( Tujuh Puluh lima juta Rupiah)

Pidana tambahan, tentang pencabutan hak, khusus untuk korporasi, maka yang

dicabut adalah segala hak yang diperoleh korporasi. (Lihat Pasal 88 ayat (2) Konsep Rancangan

KUHP Nasional ) . Misalnya hak untuk melakukan kegiatan dalam bidang usaha tertentu

(Penjelasan Pasal 84 ayat (2) ) . Jika pencabutan hak dijatuhkan pada korporasi, maka hakim

bebas dalam menentukan lama pencabutan hak tersebut. (Lihat Pasal 91 ayat (2) Konsep

Rancangan KUHP Nasional) .

Jenis-jenis sanksi pidana yang dikemukakan dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional ,

pada dasarnya lebih berorientasi pada “offender”, walaupun terdapat beberapa jenis pidana yang

27

Page 28: Jurnal Hukum R003

berorientasi pada korban seperti pidana pengawasan , pidana kerja sosial. Walaupun terdapat

pidana pembayaran ganti kerugian, yang sebenarnya salah satu jenis pidana yang berorientasi

pada korban (“victim oriented”) , tetapi sangat disayangkan tidak disebutkan secara tegas dapat

dikenakan terhadap korporasi. Walaupun sebenarnya pidana berupa pembayaran ganti kerugian ,

dapat dikenakan terhadap korporasi (lihat Pasal 96 ayat (1) Konsep Rancangan KUHP), akan tetapi

apabila kita periksa ayat selanjutnya dari Pasal 96 yaitu ayat (2), yang berbunyi :

“ Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilaksanakan, maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda “.

Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 96 Konsep Rancangan

KUHP Nasional , ditujukan terhadap orang dan bukan untuk korporasi. Hal ini disebabkan, apabila

kewajiban pembayaran ganti kerugian tidak dilaksanakan , maka berlaku ketentuan pidana penjara

pengganti untuk pidana denda. Ketentuan ini hanya dapat dikenakan terhadap subjek tindak pidana

berupa orang.

Begitu pula jenis pidana pokok berupa pidana pengawasan , ternyata juga tidak dapat

dikenakan terhadap korporasi. Seharusnya pidana tersebut dapat dikenakan terhadap korporasi

dengan istilah “corporate probation”, yang berlaku untuk korporasi dengan disertai syarat antara

lain membayar ganti kerugian terhadap korban. Ide “corporate probation” ini sebenarnya

identik dengan pidana bersyarat/ pengawasan (“ suspended sentence probation”) untuk

orang biasa. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Markus Wagner yang menyatakan “the

probation order for a corporate entity is similar to the probation order for individuals.”32 Jadi ide

“corporate probation” tersebut merupakan konsekuensi logis dari perluasan subjek tindak pidana,

dari “orang” ke “korporasi” . Alasan pidana pengawasan tidak dapat dikenakan pada korporasi,

sebagaimana diatur dalamKonsep Rancangan KUHP Nasional, dalam Pasal 74 sampai dengan

Pasal 76, apabila ditelaah lebih lanjut , merupakan jenis pidana yang ditujukan kepada orang dan

32 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background Paper for the International Society for Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy), hlm 9, lihat pula Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” p.4, Paper presented at the International Colloquium on Criminal Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin, Germany.

28

Page 29: Jurnal Hukum R003

bukan terhadap korporasi. Alasan secara yuridis dapat dilihat pada Pasal 74 Konsep Rancangan

KUHP Nasional, yang berbunyi :

“ Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun, dapat dijatuhi pidana pengawasan”.

Ketentuan yang berbunyi : ……. “diancam dengan pidana penjara” , menunjukkan bahwa

pidana pengawasan ditujukan terhadap subjek tindak pidana berupa orang dan bukan korporasi,

sebab pidana penjara hanya dapat dikenakan terhadap orang/ manusia. Untuk mendukung atau

memperkuat bahwa pidana pengawasan ditujukan terhadap orang, dapat dilihat pada Pasal 75 ayat

(1) cONSEP Rancangan KUHP Nasional , yang berbunyi :

“Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya”.

Ketentuan yang berbunyi: ….”mengingat keadaan pribadi”….., hal ini menunjukkan bahwa

yang mempunyai keadaan pribadi adalah orang perorangan. Hal ini dipertegas pula dalam Pasal 75

ayat (3) khususnya sub c ,yang mengatur tentang salah satu syarat penjatuhan pidana

pengawasan yaitu “ terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu,

tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.” Dengan adanya ketentuan

yang berbunyi ….”tanpa mengurangi kemerdekan beragama dan kemerdekaan berpolitik”, hal ini

menunjukkan secara tegas bahwa ketentuan tersebut hanya ditujukan terhadap orang dan bukan

korporasi, karena korporasi tidak memiliki hak berupa kemerdekaan beragama dan berpolitik, dan

yang memiliki hak tersebut adalah orang perorangan, atau subjek hukum manusia.

Jenis sanksi lainnya dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional yang sebetulnya dapat

dikenakan terhadap korporasi, akan tetapi tidak ditujukan kepada korporasi, adalah jenis pidana

pokok berupa pidana kerja sosial .

Jenis pidana berupa Pidana Kerja Sosial , persyaratannya adalah :

1. Jika pidana penjara yang dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari denda katagori I (Pasal 83 ayat (1) Konsep Rancangan KUHP Nasional); (kursif oleh penulis)

2. Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:a.pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; (kursif oleh

penulis)

29

Page 30: Jurnal Hukum R003

b.usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; (kursif oleh penulis)

c.persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;

d.riwayat sosial terdakwa; (kursif oleh penulis)e.perlindungan keselamatan kerja terdakwa;f. keyakinan agama dan politik terdakwa; (kursif oleh penulis) ; dan g.kemampuan terdakwa membayar denda. (Pasal 83 ayat (2) Konsep Rancangan

KUHP Nasional )

Apabila diperhatikan ketentuan tersebut di atas, antara lain yaitu jika pidana penjara yang

dijatuhkan tidak lebih dari (6) enam bulan, merupakan salah satu persyaratan dari penjatuhan

pidana kerja sosial , dan pidana penjara sendiri hanya dapat dikenakan terhadap orang/ manusia,

usia layak kerja (secara tegas menunjukkan bahwa ditujukan terhadap manusia) dan sebagainya ,

maka jenis pidana berupa pidana kerja sosial yang diatur dalam Konsep Rancangan KUHP Nasional,

ditujukan terhadap orang dan tidak ditujukan kepada korporasi, walaupun secara teoritis dapat

dikenakan terhadap korporasi.

Walaupun demikian rumusan dalam Rancangan KUHP 2004, sudah mengalami kemajuan

dalam perumusan sanksi pidana khususnya yang ditujukan terhadap korporasi bila dibandingkan

dengan KUHP yang sekarang masih berlaku. Bahkan perluasan subjek tindak pidana untuk korporasi

dapat diberlakukan secara umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 165 Konsep Rancangan

KUHP Nasional , yang menyatakan : “ Setiap orang adalah oaring perseorangan, termasuk

Korporasi”.

Konsep Rancangan KUHP 2004 , ternyata tidak membedakan pengaturan jenis sanksi

pidana antara jenis sanksi yang ditujukan terhadap orang dan korporasi. Artinya model jenis sanksi

pidana yang ditujukan terhadap orang dan korporasi disatukan pengaturan dalam satu paket jenis-

jenis pidana. Menurut penulis kondisi semacam ini dapat disebut sebagai salah satu model

pengaturan jenis sanksi pidana untuk korporasi. Model semacam ini dianut di sebagian besar

negara yang mengkodifikasikan ketentuan hukum pidananya.( termasuk di Belanda). Model yang

lainnya, adalah perlunya pembedaan jenis sanksi pidana untuk orang dan korporasi.

V. Penutup

Ternyata kalau kita lihat dan amati bahwa perkembangan sanksi pidana termasuk di

dalamnya jenis-jenis sanksi (Pidana), terutama rumusan di dalam Konsep RKUHP Nasional

30

Page 31: Jurnal Hukum R003

mendapat pengaruh yang demikian besar dari negara Eropa Barat, terutama jenis Pidana Pokok

berupa Pidana Pengawasan, Pidana denda dan pidana kerja sosial, di samping pidana tutupan. Di

samping itu ciri khas Indonesia tidak ketinggalan dimasukan pula di dalam RKUHP Baru yaitu Sanksi

Pidana Tambahan berupa Pemenuhan Kewajiban Adat.

Kalau kita amati lebih lanjut pembabakan tentang sistem sanksi pidana menurut P.J.P. TAK,

ternyata KUHP kita masuk pada Generasi kedua, sedangkan Konsep RKUHP Nasional kita dapat

dikatakan merupakan perwujudan dari KUHP yang modern sebab, sudah mewakili generasi ketiga

dan bahkan sudah pada tahap perkembangan generasi keempat (Hukum Pidana Yang Modern).

Perlu kita catat bahwa fungsionalisasi Hukum Pidana khususnya tentang jenis-jenis Pidana

dan Tindakan untuk anak Konsep RKUHP, sudah melangkah jauh ke depan pengaturannya.

Akan tetapi semua sanksi (Pidana) tersebut bagaimanapun sebaiknya perumusan tetap di

dalam penjatuhan sanksi (Pidana) harus mengacu kepada Tujuan Pemidanaan dan Pedoman

Pemidanaan. Tujuan Pemidanaan sebagaimana dimuat di dalam RKUHP Baru, perumusannya

cukup memadai bilamana ditinjau dari pandangan Integratif Pancasila sebagai faktor-faktor individual

dan sosial diperhatikan secara integralistik, pandangan tersebut dapat menjiwai secara filosofis

dalam filsafat pemidanaan. Pemilihan keadilan dalam merumuskan jenis pidana merupakan penal

policy .Keseluruhan teori Pemidanaan, baik yang bersifat pencegahan umum dan pencegahan

khusus (general and special prevention), pandangan perlindungan masyarakat (social defence

theory), teori kemanfaatan (utilitarian theory), teori keseimbangan yang bersumber pada pandangan

adat bangsa Indonesia maupun teori rasionalisasi sudah tercakup di dalamnya 33. Kelemahan

perumusan selalu ada khususnya dalam merumuskan jenis sanksi pidana untuk korporasi, maka

hendaknya perlu dilakukan reformulasi ulang agar dapat dirumuskan dengan lebih baik, sehingga

dalam pelaksanaan penegakan hukumnya tidak akan mendapatkan hambatan.

Kita berharap mudah-mudahan Konsep RKUHP menjadi Undang-undang dan ini merupakan

dambaan kita semua dalam rangka menyongsong hukum pidana yang lebih mempunyai sifat

kemanusiaan dan keadilan .

33 Muladi , op cit, hlm 11

31

Page 32: Jurnal Hukum R003

DAFTAR PUSTAKA

Allison Morris dan Warren Young, Reforming Criminal Justice : The Potential of Restorative Justice, dalam Restorative Justice Philosophy to Practice, edited by Heather Strang and John Braithwaite, ( The Australian National University, Asghate Publising Ltd, 2000),

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, ( Jakarta, Pradnya Paramita,1993)

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminalisasi Kumpul Kebo Dan Santet Dalam Konsep RUU KUHP, Seminar Nasional “ Menyongsong Berlakuknya KUHP Nasional ( FH UNUD, Denpasar, 30 April 2005)

----------------------, Ide-Ide Dasar (Pokok Pemikiran) Perubahan/Pembaharuan KUHP, Disampaikan Dalam Rangka Silaturahmi Akademik Di STHB, Bandung 12 Juli 2005

Daniel W. Van Ness, Restorative Justice and International Human Rights, Restorative Justice : International Perspektive, Edited by Burt Galaway and Joe Hudson, ( Kugler Publications, Amsterdam, The Netherland), Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP,ELSAM 2005, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

Dwidja Priyatno, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung,STHB Press,2005)

-------------------, Alternatif Model Pengaturan Sanksi Pidana Pada Korporasi ( Sebagai Salah Satu Upaya Dalam Memberantas Kejahatan Korporasi), Pidato Pengukuhan Guru Besar di STHB, Bandung 26 September 2006

Eka Darmaputra, Pancasila Identitas dan Modernitas;Tinjauan Etis dan Budaya ( PT BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997)

ELSAM , Pemidanaan, Pidana dan Tindakan Dalam Rancangan KUHP, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 3

32

Page 33: Jurnal Hukum R003

J.E.Sahetapy , Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, (Rajawali Pers, Jakarta, 1982)

Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and International Responses, Background Paper for the International Society for Reform of Criminal Law 13 th International Coference Commercial and Financial Fraud : A Comparative Perspective, Malta, 8-12 July 1999, ( Canada, The International Centre for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy)

Michael Tonry, Sentencing Matters, Oxford University Press, New York, 1996

Mohammad Noor Syam, et al, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, Segi Yuridis Konstitusional dan Segi Filosofis ( Lembaga Penerbitan UNBRAW, Malang,1981)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung, Alumni, 1992)

Muladi, Proyeksi Hukum Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar UNDIP, Semarang,1990

--------------------, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Badan Penerbit UNDIP, Semarang,1995).

Prefontaine, Daniel C.,”Effective Criminal Sanctions Against Corporate Entities – Commentary :Canada,” Paper presented at the International Colloquium on Criminal Responsibility of Legal and Collective Entities, 4-6 May 1998.Berlin, Germany.

Sholehuddin. M, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2003)

Soedarto.R, Pemidanaan, Pidana dan Tindakan, ( Semarang, FH UNDIP,1987)

Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedur and Issues, West Publishing Company, New York 1987

33