32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

15
32 Hukum dan Pembangunan PEMBERDA YAAN DPRD Listyowati Sumanto, S.H . ,M.H. I. PENDAHULUAN Munculnya UU No. 2211999 memberikan perubahan mendasar mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah. Dasar jiloso.tis yang menda- sari dan mengantar kelahiran undang-undang ini adalah pemberdayaan dan partisipasi rakyat. Hal ini dapat dicapai jika pemberian wewenang otonomi kepada daerah adalah seluas mungkin, dan meletakkan Jokus otonomi daerah pada tingkat wi/ayah yang paling dekat dengan rakyat. Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, reJormasi ini berdampak pada terjadinya pergeseran para- digma dad sistem pemerintahan yang berco- rak sentralistik ke arah sistem Pemerintahan yang desentralistik. Terjadinya krisis ekonomi , moneter, dan kepercayaan yang berkepanjangan yang melanda Indonesia telah membawa dampak hampir kepada seluruh aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu hikmah positifnya adalah tirnbulnya pemikiran dasar yang menumbuhkan "reformasi total" di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain lahirnya kembali semangat demokrasi sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945 dan mernpakan pemicu lahirnya tuntutan rakyat akan haknya sebagai pemegang kedaulatan yang selama tiga dekade "dibungkam" oleh penguasa. Kelemahan dan f1eksibilitas UUD 1945, pada masa Orde Lama maupun Orde Barn digunakan oleh penguasa sebagai landasan formal yuridis dalam memberikan legitimasi kekuasaan sentralistis. Kritik dan oposisi pada waktu itu ditabukan, sehingga kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa kritik, yang pada hakekatnya bertentangan dengan asas demokrasi pada umumnya dan yang dianut oleh UUD 1945, yang pada hakekatnya membenarkan adanya oposisi dan kritik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan bernegara. Salah satu kebijakan tanpa kritik di bidang pemerintahan daerah adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, di mana dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa "Pemerintah Daerah Januari - Marel 2001

Transcript of 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Page 1: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

32 Hukum dan Pembangunan

PEMBERDA YAAN DPRD

Listyowati Sumanto, S.H. ,M.H.

I. PENDAHULUAN

Munculnya UU No. 2211999 memberikan perubahan mendasar mengenai prinsip-prinsip otonomi daerah. Dasar jiloso.tis yang menda­sari dan mengantar kelahiran undang-undang ini adalah pemberdayaan dan partisipasi rakyat. Hal ini dapat dicapai jika pemberian wewenang otonomi kepada daerah adalah seluas mungkin, dan meletakkan Jokus otonomi daerah pada tingkat wi/ayah yang paling dekat dengan rakyat. Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, reJormasi ini berdampak pada terjadinya pergeseran para­digma dad sistem pemerintahan yang berco­rak sentralistik ke arah sistem Pemerintahan yang desentralistik.

Terjadinya krisis ekonomi, moneter, dan kepercayaan yang berkepanjangan yang melanda Indonesia telah membawa dampak hampir kepada seluruh aspek dan tatanan kehidupan bangsa Indonesia. Salah satu hikmah positifnya adalah tirnbulnya pemikiran dasar yang menumbuhkan "reformasi total" di dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, antara lain lahirnya kembali semangat demokrasi sebagaimana dikehendaki oleh UUD 1945 dan mernpakan pemicu lahirnya tuntutan rakyat akan haknya sebagai pemegang kedaulatan yang selama tiga dekade "dibungkam" oleh penguasa. Kelemahan dan f1eksibilitas UUD 1945 , pada masa Orde Lama maupun Orde Barn digunakan oleh penguasa sebagai landasan formal yuridis dalam memberikan legitimasi kekuasaan sentralistis. Kritik dan oposisi pada waktu itu ditabukan, sehingga kebijakan pemerintah dapat dilaksanakan tanpa kritik, yang pada hakekatnya bertentangan dengan asas demokrasi pada umumnya dan yang dianut oleh UUD 1945, yang pada hakekatnya membenarkan adanya oposisi dan kritik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan bernegara. Salah satu kebijakan tanpa kritik di bidang pemerintahan daerah adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah, di mana dalam Pasal 13 ayat (1) disebutkan bahwa "Pemerintah Daerah

Januari - Marel 2001

Page 2: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 33

adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah", dan DPRD sarna sekali tidak diberikan peranan sebagai lembaga legislatif daerah yang mencerminkan aspirasi kedaulatan rakyat di daerah.

Dalam era reformasi , hilangnya elemen pokok demokrasi tersebut mengakibatkan muncul ke permukaan dalam bentuk tuntutan otonomi yang luas dan riil , bahkan beberapa daerah tertentu ungkapan ketidak­puasan akibat ketidak-adilan yang dirasakan daerah serta krisis keper­cayaan kepada Pemerintah Pusat, dilampiaskan dalam bentuk tuntutan diadakannya Referendum, bahkan tuntutan yang lebih ekstrem lagi adalah dalam bentuk tuntutan menjadi Negara Federal atau Merdeka (sarna sekali ingin memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia) . 1

Pandangan umum yang merupakan kritik yang tajam, memang mengakui bahwa pemerintahan yang sentralistik semakin kurang populer , karena ketidakmampuannya untuk memahami secara tepat nilai-nilai daerah atau aspirasi lokal. Memberikan keleluasaan otonomi kepada daerah tidak akan menimbulkan "disintegrasi bangsa" dan tidak akan menurunkan de raj at kewibawaan pemerintah nasional, ma lah sebaliknya akan menimbulkan respek Daerah terhadap Pemerintah Pusat. Dari pandangan umum ini, timbul pemikiran tentang perlunya memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah seluas mung kin, dan meletakkan fokus otonomi daerah pada tingkat wilayah yang paling dekat dengan rakyat. Hal ini didasarkan kepada pemikiran, bahwa dalam pelaksanaan otonomi daerah bukan hanya tersimpul makna pendewasaan politik rakyat dimana terwujud peran serta dan pemberdayaan masyarakat, melainkan juga sekaligus bermakna mensejahterakan rakyat.

Sebagai antisipasi terhadap aneka masalah tersebut , akhirnya pada 7 Mei 1999, Pemerintah menerbitkan UU No. 22 Talmn 1999 tentang "Pemerintahan Daerah", dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang "Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah " pada 19 Mei 1999. Semenjak

I Perlu diingat bahwa Pasal I ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa "Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbetuk Republik ". Kemudian dalam Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasannya diregaskan bahwa "Pembagian Daerah Indonesia alas Daerah besar dan kecil, dengan bentuk susun3n pemerintahannya. ditetapkan dengan UU, dengan memandang dan rnengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa. Oleh karena Negara Indones ia itu suatu "eenheudswat, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungannya yang bersifat staad juga. Daerah Indonesia akan dihagi dalam daerall propinsi. dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih keci1. Daerah­daerah itu bers ifat autonoom (streeken locale rec1irsgemeen.w:1iappell) atau yang hers it~lt

administrasi belaka.

Nomor I Tahun XXXI

Page 3: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

34 Hukum dan Pembangunan

disahkannya dua UU yang berkaitan dengan daerah tersebut, dimulailah suatu polemik baru dalam wacana desentralisasi di Indonesia.'

Kebijakan otonomi daerah yang diluncurkan dalam era reformasi , telah mengundang berbagai pendapat dan pandangan menyangkut UU No. 22 Tahun 1999 tentang "Pemerintahan Daerah". Ada yang menganggap UU ini terlalu luas memberikan keleluasaan (discretionary power) kepada Daerah, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan perpecahan (disintegrasi) karena terkotak-kotaknya daerah yang satu dengan yang lain, dan tidak terkendalinya oleh Pemerintah Pusat. yang akhirnya Daerah yang merasa sangat kuat akan memisahkan diri dari Negara Kesatuan RI. Sebaliknya ada yang beranggapan bahwa UU ini masih berbau status quo, Pemerintah yang menamakan dirinya sebagai "Pemerintah Orde Reformasi" nyatanya tidak reformis, dan dalam memberikan otonomi kepada daerah masih setengah hati.

Terlepas dari pandangan yang berbeda, UU No. 22 Tahun 1999 berlaku secara efektif dan diberi masa transisi selambat-Iambatnya dalam waktu 2 tahun sejak ditetapkannya. Sebagai tindak lanjut undang-undang ini, ketentuan pelaksanaannya harus sudah selesai selambat-Iambatnya dalam waktu 1 tahun. Akhirnya pada tanggal 6 Mei 2000 ditetapkanlah peraturan pelaksanaannya yaitu PP No. 25 Tahun 2000 tentang "Kewe­nangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom".

Ditinjau dari segi politik dan ketatanegaraan, reforrnasi ini ber­dampak pada terjadinya pergeseran paradigma dab sis tern pemerintahan yang bercorak sentralistik ke arah sistem pemerintahan yang desentralistik, yang memberikan keleluasaan kepada Daerah dalarn wujud "otonomi daerah" yang luas, nyata dan bertanggung jawab, untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, peran-serta, prakarsa dan aspirasi masyarakat sendiri, atas dasar pemerataan dan keadilan. sena sesuai dengan kondisi. potensi dan keanekaragaman daerahnya.

II. PEMBERDA Y AAN DPRD

UU No. 22 Tahun 1999 berupaya untuk memberdayakan DPRD. Secara struktural, konsep Pemerintah Daerah dalarn UU No. 5 Tahun 1974 yang mencakup "Kepala Daerah dan DPRD", kini tidak dianut lagi. Keberadaan kedua lernbaga tersebut dipisahkan oleh UU No. 22 Tahun 1999, yakni Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Pemerintah Daerah

2 Raksasa Mahi. "Prospect of Decentralization, Institutional Reform and Economic Growth in Indonesia", Jakarta, 25 Februari 2000.

lanuari - Maret 200Z

Page 4: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 35

-badan eksekutif daerah-, sedangkan DPRD sebagai badan legislatif daerah 3 Kepala Daerah Propinsi mempunyai kedudukan sebagai alat pusat (dalam rangka azas desentralisasi) sekaligus sebagai alat daerah (dalam rangka desentralisasi terbatas). Sedangkan Kepala Daerah Kabupaten/Kota berkedudukan semata-mata sebagai "alat daerah" (dalam rangka pelaksanaan pemerintahan daerah bersama-sama DPRD) , tidak merangkap sebagai "alat pusat" dan tidak merupakan kepanjangan tangan Pemerintah Pusat. Kepala Daerah dibantu oleh wakil Kepala Daerah.

Dalam setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran DPRD terlihat sangat menentukan. Pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota beserta seorang wakilnya melalui proses pencalonan terlebih dahulu. Nama-nama calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh DPRD dikonsultasikan dengan Presiden, karena mereka mengemban peran ganda. Sedangkan nama-nama calon Bupati dan Walikota serta calon Wakil Bupati dan calon Wakil Walikota ditetapkan sepenuhnya oleh DPRD. Pemilihan calon Kepala Daerah beserta seorang wakilnya dilakukan sepenuhnya oleh DPRD. Berarti, Kepala Daerah dipilih langsung oleh DPRD, tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya oleh DPRD, dan disahkan oleh Presiden. Pengesahan oleh Presiden terikat pada hasil pemilihan oleh DPRD. Masa jabatan mereka adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Demikian pula, UU No. 2211999 secara tegas menyatakan bahwa, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD (Pasal 44 ayat (2». [ni adalah konsekwensi dari pemisahan kedudukan yang tegas antara DPRD sebagai badan legislatif daerah dan Kepala Daerah sebagai badan ekskutif daerah. Dengan demikian tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan tugas legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa, sehingga benar-benar dapat berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat.

DPRD sebagai perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi, dan sebagai badan legislatif daerah DPRD berkedudukan "sejajar" dan menjadi "mitra" dari Pemerintah Daerah (Pasal 16). Kedudukan kesejajaran dan kemitraan antara DPRD dan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah dimaksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis dan mewujudkan pemerintahan yang berdayaguna dan berhasilguna, demokratis, stabil dan terpercaya. Untuk

3 Bhenyamin Hoessein, "Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tanggap Terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat Dan Tantangan Globalisasi", dalam Manajemen Usahawan Indonesia, No. 04/TH.XXIX April 2000.

Nomor 1 Tahun XXXI

Page 5: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

36 Hukum dan Pembangunan

menGapai tujuan tersebut, adalah menjadi kewajiban bagi DPRD dan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah untuk mewujudkan kerja sama yang positif se-erat-eratnya melalui sikap dan perilaku yang saling menghargai dan menghormati disertai dengan penuh kearifan 4

Hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD dalam pembentukan kebijaksanaan dilakukan secara kemitraan. Kepala Daearah berwenang menetapkan Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Peraturan Daerah yang ditetapkan ditandatangani oleh Kepala Daerah dan tidak perlu ditandatangani oleh DPRD. Peraturan Daerah yang ditetapkan kini tidak perlu disahkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian tidak lagi dianut pengawasan preventif. Namun dalam waktu selambat­lambatnya 15 hari, Peraturan Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah untuk keperluan pengawasan represif. Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan perundangan lainnya. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan berikut alasannya. Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan tersebut, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan dibatalkan pelaksanaannya oleh daerah. Daerah yang tidak dapat menerima pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daearah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah. Mahkamah Agung juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antar Daerah, apabila penyelesaian perselisihan tersebut oleh Pemerintah dipandang merugikan Daerah Otonom yang berselisih.

Pemberdayaan DPRD melalui pember ian tugas dan wewenang kepada DPRD cukup luas, dan ditegaskan dalam pasal 18 meliputi : (a) Memilih Gubernur dan Bupati/Walikota beserta wakil-wakilnya;

4 Bandingkan dengan UU No. 5/ 1974 rentang Pemerimahan oi Daerah. Penyelenggaraan pemerimahan dalam UU No. 5/ 1974 menganut StrollX ExecUTive S),srem, dimana dominasi kekuasaan te rletak pada Kepala Daerah dalam kedudukannya sehagai Kepllia Wilayah. bahkan DPRD hisa dikontrol oJeh KepaJa Daerah. Oleh karena itu. dalam UU No. 2211999 kedudukan DPRD diberdayakan dengan memperluas hak-hak dan kewenangannya, serta pertanggung-jawaban Kepala Daerah kepada DPRD dipertegas. yang memungkinkan Kepala Daerah dapat diproses melalui impeachment apabila pertanggung-jawabannya ditolak oleh DPRD. Namun demikian, Kedudukan DPRD rerap merupakan mitra sejajar dengan Kepala Daerah untuk lerap memelihara check and baLances antara DPRD dan Kepala Daerah. serta lerpeliharanya efekliviras dan stabilitas Pemerintahan Daerah. Lihat E. Kowara. "Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999", Jakarta. 28 Januari 2000.

lanuari - Maret 2001

J

Page 6: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 35

-badan eksekutif daerah-, sedangkan DPRD sebagai badan legislatif daerah.3 Kepala Daerah Propinsi mempunyai kedudukan sebagai alat pusat (dalam rangka azas desentralisasi) sekaligus sebagai alat daerah (dalam rangka desentralisasi terbatas). Sedangkan Kepala Daerah Kabupaten/Kota berkedudukan semata-mata sebagai "alat daerah" (dalam rangka pelaksanaan pemerintahan daerah bersama-sama DPRD), tidak merangkap sebagai "alat pusat" dan tidak merupakan kepanjangan tang an Pemerintah Pusat. Kepala Daerah dibantu oleh wakil Kepala Daerah.

Dalam setiap aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, peran DPRD terlihat sangat menentukan. Pengisian jabatan Gubernur, Bupati dan Walikota beserta seorang wakilnya melalui proses pencalonan terlebih dahulu. Nama-nama calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh DPRD dikonsultasikan dengan Presiden, karena mereka mengemban peran ganda. Sedangkan nama-nama calon Bupati dan Walikota serta calon Wakil Bupati dan calon Wakil Walikota ditetapkan sepenuhnya oleh DPRD . Pemilihan calon Kepala Daerah beserta seorang wakilnya dilakukan sepenuhnya oleh DPRD . Berarti, Kepala Daerah dipilih langsung oleh DPRD, tanpa campur tangan Pemerintah Pusat. Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakilnya oleh DPRD, dan disahkan oleh Presiden. Pengesahan oleh Presiden terikat pada hasil pemilihan oleh DPRD . Masa jabatan mereka adalah 5 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Demikian pula, UU No. 22/1999 secara tegas menyatakan bahwa, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD (Pasal 44 ayat (2)). Ini adalah konsekwensi dari pemisahan kedudukan yang tegas antara DPRD sebagai badan legislatif daerah dan Kepala Daerah sebagai badan ekskutif daerah. Dengan demikian tidak terjadi duplikasi dan kerancuan antara tugas eksekutif dan tugas legislatif. DPRD diberdayakan sedemikian rupa, sehingga benar-benar dapat berperan sebagai penyalur aspirasi rakyat.

DPRD sebagai perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi, dan sebagai badan legislatif daerah DPRD berkedudukan "sejajar" dan menjadi "mitra" dari Pemerintah Daerah (Pasal 16). Kedudukan kesejajaran dan kemitraan antara DPRD dan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah dimaksudkan untuk terciptanya hubungan kerja yang harmonis dan mewujudkan pemerintahan yang berdayaguna dan berhasilguna, demokratis, stabil dan terpercaya. Untuk

3 Bhenyamin Hoessein, "Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tanggap Terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat Dan Tantangan Globalisasi" , dalam Mannjemen Usahawan Indonesia, No. 04/TH.XXIX April 2000.

Namar 1 Tahun XXXI

Page 7: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

36 Hukum dnn Pembangunan

mencapai tujuan tersebut, adalah menjadi kewajiban bagi DPRD dan Pemerintah Daerah c.q. Kepala Daerah untuk mewujudkan kerja sarna yang positif se-erat-eratnya melalui sikap dan perilaku yang saling menghargai dan menghormati disertai dengan penuh kearifan. 4

Hubungan antara Kepala Daerah dengan DPRD dalam pembentukan kebijaksanaan dilakukan secara kemitraan. Kepala Daearah berwenang menetapkan Peraturan Daerah dengan persetujuan DPRD. Peraturan Daerah yang ditetapkan ditandatangani oleh Kepala Daerah dan tidak perlu ditandatangani oleh DPRD. Peraturan Daerah yang ditetapkan kini tidak perlu disahkan oleh Pemerintah Pusat. Dengan demikian tidak lagi dianut pengawasan preventif. Namun dalam waktu selambat­lambatnya 15 hari, Peraturan Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah untuk keperluan pengawasan represif. Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundangan yang lebih tinggi atau peraturan perundangan lainnya. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan berikut alasannya. Selambat-Iambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan tersebut, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersangkutan dibatalkan pelaksanaannya oleh daerah . Daerah yang tidak dapat menerima pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daearah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukan kepada Pemerintah. Mahkamah Agung juga diberi wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antar Daerah, apabila penyelesaian perselisihan tersebut oleh Pemerintah dipandang merugikan Daerah Otonom yang berselisih.

Pemberdayaan DPRD melalui pemberian rugas dan wewenang kepada DPRD cukup luas, dan ditegaskan dalam pasal 18 meliputi : (a) Memilih Gubernur dan Bupati/Walikota beserta wakil-wakilnya;

4 Bandingkan dengan UU No. 5/ 1974 tenlang Pemerintahan t1i Daerah . Penyelenggaraan pemerimahan dalam UU No. 5/1974 menganut Strong ExecUTive Sywem, dimana dominasi kekuasaan terletak pada Kepala Daerah dalam kedudukanllya sehagai Kepala Wilayalt. bahkan DPRD bisa dikontrol oleh KepaJa Daerah. Oleh kareml itu , dalam UU No. 22/1999 kedudukan DPRD diberdayakan dengan memperluas hak-hak dan kewenangannya, serta pertanggung-jawaban Kepala Daerah kepada DPRD dipertegas. yang memungkinkan Kepala Daerah dapat diproses melalui impeachment apabila pertanggung-jawabannya ditolak oteh DPRD. Namun demikian, Kedudukan DPRD (elap merupakan mitra sejajar dengan Kepala Daerah untuk {erap memelihara check alld balances antara DPRD dan Kepa la Daerah. serta terpeliharanya efekt ivitas dan stabililas Pemerinlahan Daerah. Lihat E. Kowara. "Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999" t Jakarta , 28 Januari 2000.

lanuari - Maret 2001

Page 8: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 37

(b) Memilih anggota MPR dari utusan Daerah; (e) Mengajukan pengangkatan dan pemberhemian Gubernur I Bupati I

Walikota beserta wakil-wakilnya; (d) Bersama dengan Gubernur, Bupati, Walikota membentuk Peraturan

Daerah; (e) Bersama dengan Gubernur, Bupati , atau Walikota menetapkan APBD; (f) Melaksanakan pengawasan terhadap :

(1) Pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;

(2) Pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota ; (3) Pelaksanaan APBD; (4) Kebijakan Pemerintah Daerah; (5) Pelaksanaan kerja-sama internasional di Daerah;

(g) Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerimah terhadap reneana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan daerah;

(h) Menampung dan menindak-Ianjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.

Dalam rangka memberdayakan DPRD pulalah. hak-hak DPRD sebagai lembaga legislatif daerah juga diperluas , yakni berikut :

(a) Meminta pertanggung-jawaban Gubernur, Bupati, dan walikota ; (b) Meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah; (e) Mengadakan perubahan atas raneangan peraturan daerah: (e) Mengajukan pernyataan pendapat; (f) Mengajukan Raneangan Peraturan Daerah; (g) Menentukan Anggaran Belanja DPRD; dan (h) Menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Selain itu , anggota DPRD mempunyai hak :'

(a) Pengajuan pertanyaan; (b) Protokoler; (e) Keuanganladminstrasi.

Dalam hubungannya dengan "pertanggung-jawaban",' maka Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggung-jawaban kepada DPRD pada "setiap akhir tahun anggaran", dan/atau "untuk hal tertentu" atas

.~ Bandingkan dengan Pasal 29 UU NO.5 Tahun 1974 tentang "Pemerintahan Di Daerah ", yang menyatakan bahwa untuk dapat melaks:makan fungsinya , DPRD mempunyai hak : (a) Anggara. (b) Mengajukan penanyaan bagi masing-masing anggota , (c) Meminta keterangan, (d) Mengadakan perubahan , (e) Mengajukan pertanyaan pendapal , (t) Prakarsa, dan (g) Penyelidikan. (, Lihat Pasa l 44 - Pasal 46 UU No. 22 Tahun 1999. Oi dalam Penjelasan Pasa l 44 - Pasa l 46, hanya disebutkan "Cukup jelas."

Nomor 1 Tahun XXXI

Page 9: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

38 Hukum dan Pembangunan

permintaan DPRD . Hal ini mengandung arti bahwa, dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota selaku Kepala Daerah diwajibkan menyampaikan laporan atau pertang­gungjawaban atas penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran atau atas permintaan DPRD untuk hal tertentu. Dalam kedudukannya sebagai Wakil Pemerintah, Gubernur bertangung-jawab juga kepada Presiden. Sedangkan Bupati dan Walikota bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu oleh kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden. Tata cara pertanggung-jawaban Kepala Daerah terhadap DPRD diatur dalam Tata tertib DPRD. Sedangkan pertanggung-jawaban Gubernur kepada Presiden ditetapkan oleh Pemerintah.

DPRD dapat menolak pertanggung-jawaban tersebut. Apabila pertanggung-jawaban Kepala Daerah, baik pertanggung-jawaban pemerin­tahan maupun pertanggung-jawaban keuangan ditolak, maka pertanggung­jawaban tersebut masih dapat diperbaiki yakni harus dilengkapi dan/atau disempurnakan dalam jangka waktu 30 hari. Pertanggung-jawaban yang sudah dilengkapi danlatau disempurnakan harus pertanggung-jawabkan kembali kepada DPRD. Bagi Kepala Daerah yang pertanggung­jawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden. Jadi terhadap Kepala Daerah dimung­kinkan untuk dip roses semacam impeachment (pendakwaan) sehingga berakibat pemberhemian Kepala Daerah sebelum masa jabatannya berakhir. 7 Tata cara impeachment tersebut ditetapkan oleh Pemerintah.

Terdapat 7 (tujuh) kategori kemungkinan Kepala Daerah dapat dip roses pemberhentiannya sebagai Kepala Daerah sebelum masa jabatannya berakhir, sebagai berikut : (I) Pertanggung-jawaban ditolak DPRD (Pasal 54); (2) Tidak memenuhi syarat sebagai Kepala Daerah (Pasal 33); '

7 Lihat pula pendapat, Bagir Manan, "Perspektif Reformasi Penye lenggaraan Pemerintah Daerah Menuju Kemandirian Daerah", Jakana. luli 1999. hal. 8, bah wa sistem pertanggung-jawaban Kepala Daerah kepada DPRD, secara konstirusionai didasarkan palla system ketatanegaraan menurut UUD 1945 , yang antara lain menghendaki suatu sistem penyelellggaraan pemerintahan yang stabi!. 1\ Pasal 33 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan "Yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah warga negara R.L dengan syarat-syarat : (a) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) Setia dan taat kepada Negara Kesatuan R.t. dan Pemerintah yang sah ; (c) Tidak pernah terlibat dalam kegiatan mengkhianati Negara Kesatuan R. J. yang herdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang dinyatakan dengan sural ketenmgan Ketua Pengadilan Negeri ; (d) Berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjulan Tingkal A[as daniatau

lanuari - Maret 2001

Page 10: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 39

(3) Melanggar sumpah/janji Kepala Daerah (Pasal 42 ayat (2) dan ayat (3);'

(4) Melanggar larangan bagi Kepala Daerah (Pasal 48); IU

(5) Mengalami krisis kepercayaan publik yang luas (Pasal 49 (g) ); (6) Melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam hukuman kurungan

5 (lima) tahun atau lebih (pasal 51); (7) Apabila diduga melakukan makar dan terbukti melakukan perbuatan

yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia (PasaI52).

Lima kategori pertama, dilakukan dengan melibatkan DPRD. Artinya, jikalau impeachment tersebut akan dikenakan kepada Kepala Daerah, tidak otomatis Kepala Daerah berhenti , melainkan melalui proses Sidang DPRD dimana setidak-tidaknya 2/3 anggota DPRD harus hadir,

sederajat ; (e) Berumur sekurang-kurangnya 30 tahun; (I) Sehat jasmani dan roilani; (g) Nyata tidak terganggu jiwa/ ingatannya: (h) Tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana; (i) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri; (j) Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya; (k) Menyerahkan daftar kekayaan pribadi; dan (I) Bersedia dicalonkan menjadi Kepala Daerah. 9 Pasal 42 ayat (2) dan (3) UU No. 22 Tahun 1999 menyatakan : Sebelum memangku jabatannya. Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji sebagai berikut : "Dem; Allah (Tuhan). saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban !'aya selaku Gubernur/Bupati/Walikot3 dengan sebaik-baiknya. sejujur-jujurnya. dan !'ead il-adilnya: bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara: dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan UUD 1945 sebaga i konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang herlaku hal!i Daerah dan Negara KesauJan Republik Indonesia. -10 Pasal 48 UU No. 22 Tahun 1999 menetapkan : "Kepala Daerah dilarang : (a) Tumt serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara/Daerah. alau dalam yayasan bidang apapun juga; (b) Membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu , atau kelornpok politiknya yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan masyarakat lain; (c) Melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya. baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan; (d) menerima uang, barang, dan/alau jasa dari pihak lain yang patul diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukan; (e) Menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, se lain selaku Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan. dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya. Larangan tersebut pada huruf (a) dan (e) dimaksudkan uotuk menghindarkan kemungkinan teljadinya konflik kepentingan bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya uotuk memberikan pelayanan pemerimahan dengan tidak membeda-bedakan warga masyarakat. Sedangkan larangan tersebut pada huruf (b), (c) dan (d) dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaao kekuasaan , antara lain, yang berwujud korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Nomor J Tahun XXXI

Page 11: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

40 Hukum dan Pembangunnn

dan sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota yang hadir harus menyetujuinya untuk diajukan usul pemberhentiannya kepada Presiden. Dengan demikian terdapat check and balance antara pemilihan, penetapan, pengesahan dan pemberhentian Kepala Daerah.

Proses pemberhentian untuk dua kategori terakhir tidak memer­lukan keterlibatan DPRD, melainkan langsung dilakukan oleh Presiden, yaitu dalam hal : (a) jika Kepala Daerah yang terbukti melakukan tindak pidana kejahatan

diancam hukuman kurungan 5 (lima) tahun atau lebih, atau hukuman mati , diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui keputusan DPRD;

(b) jika Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau melakukan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden, tanpa melalui persetujuan DPRD.

(c) jika Kepala Daerah terbukti melakukan makar dan melakukan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap , diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden, tanpa melalui persetujuan DPRD.

Alasan-alasan pemberhentian KepaJa Daerah ditegaskan dalam Pasal 49 UU No. 22/1999, yaitu : (1) Karena meninggal dunia; (2) Mengajukan berhenti atas permintaan sendiri; (3) Berakhir masa jabatannya, dan telah dilantik pejabat baru; (4) Tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksudkan Pasal 33

(tentang syarat-syarat untuk menjadi Kepala Daerah); (5) Melanggar sumpah/janji Kepala Daerah; (6) Melanggar larangan bagi Kepala Daerah; (7) Mengalami krisis kepercayaan yang iuas, akibat kasus yang

melibatkan tanggung jawab Kepala Daerah, dan keterangannya atas kasus tersebut ditolak DPRD.

Inilah salah satu local democracy model menurut UU No. 22/1999.

Yang unik dalam UU No. 22/1999 adalah adanya hak subpoenale kepada DPRD sebagai konsekwensi dari diberikannya "hak penyelidikan" . Dalam hal ini DPRD berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah"

" Lihat. Penjelasan Pasal 20 aya( (1) : Yang dimaksud dengan pejabal negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat di lingkungan kerja DPRD yang bersangkutan.

lanuari - Maret 200]

Page 12: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 41

atau warga masyarakal kelerangan ten tang sesuatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintah, dan pem­bangunan. Dalam undang-undang tersebut, tegas-tegas dinyatakan bahwa bagi mereka yang menolak dan tidak memenuhi permintaan tersebut diancam dengan hukuman pidana kurungan paling lama satu tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD (Pasal 20). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya contempt of parliament, yaitu mencegah untuk tidak merendahkan martabat dan kehormatan DPRD.

Bagaimana dan kepada siapa DPRD dan/atau anggotanya bertanggung-jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya? Dalam UU No. 22/1999 sulit untuk mencantumkan ketentuan tersebut, karena dominasi kedudukan DPRD terhadap Kepala Daerah, meskipun DPRD merupakan mitra-sejajar dengan Kepala Daerah. Dengan demikian dalam UU No. 22/ 1999 tidak ada ketentuan yang mengatur tentang mekanisme kontrol terhadap lembaga legis\atif Daerah, sehingga akibatnya tidak ada tindak lanjut apabila DPRD tidak dapat menjalankan fungsinya atau melalaikan kewajibannya yang dapat merugikan rakyat, daerah atau negara. Peran tersebut selama ini lebih banyak dijalankan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik yang mengontrol lembaga perwakilan rakyat maupun lembaga eksekutif daerah (Kepala Daerah dan Perangkat­perangkat Daerah lainnya).

Permasalahan lain yang mungkin timbul adalah dampak dan implementasi peran serta masyarakat dalam rangka menjalankan prinsip demokrasi dalam pemerintahan. Artinya, pember ian wewenang otonomi daerah yang diberikan secara luas kepada Daerah Kabupaten/Kota melalui UU No. 22/1999 ini, tidak hanya merupakan pelaksanaan desentralisasi kepada birokrasi pemerintah daerah, melainkan secara operasional harus menyentuh pelaksanaan desentralisasi kepada masyarakat yang diimple­mentasikan melalui peran-serta masyarakat dan pemberdayaan masya­rakat. Peran-serta masyarakat dalam pemerintahan tidak hanya terbatas dalam hal perencanaaan, pengambilan keputusan , dan pelaksanaan, melainkan sedapat mungkin ikut serta dalam kepemilikan (sebagai share holder).

Hal ini dipandang penting karena UU No . 22/ 1999 tidak secara eksplisit mengatur adanya akses desentralisasi yang langsung kepada masyarakat. Setidak-tidaknya, yang secara eksplisit dapat dijadikan acuan dalam hubungannya dengan akses desentralisasi langsung kepada masyarakat adalah Pasal yang menegaskan kewajiban DPRD, antara lain: Membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah; Meningkatkan Kesejahteraan rakyat di daerah berdasarkan demokrasi

Nomor I Tahun XXXI

Page 13: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

42 Hukum dan Pembangunan

ekonomi; Memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaian­nya {Pasal 22 huruf (e), (d), dan (e)}. Aeuan lainnya adalah : Kewajiban Kepala Daerah, yang meliputi : Menghormati Kedaulatan Rakyat; dan Meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat {Pasal43 huruf (e) dan (e)}.

III. PENUTUP

Kebijakan desentralisasi melalui UU No. 22/1 999 bukan hanya sekedar untuk meredam gejolak karena semangat refonnasi, akan tetapi juga merupakan koreksi total terhadap kebijakan lama dalam perkem­bangan ketatanegaraan dan kehidupan bangsa yang sentralistik, mono­polistik, dan lebih menonjolkan keseragaman daripada keanekaragaman, sehingga menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakadilan bagi daerah. Di samping itu, juga menjawab pengaruh dan tantangan jaman dalam memasuki abad ke 21 dan era globalisasi yang menuntut daya saing yang tinggi dengan negara-negara lain di dunia. yang bagaimana pun juga pengaruh dan tantangan ini tidak bisa dielakkan.

Rakyat telah memberikan legitimasi politik melalui Pemilihan Umum kepada partai pilitik yang menang untuk menjalankan aspirasi rakyat. Kedudukan DPRD yang sekarang sungguh diakui sebagai lembaga yang legitimate karena dipilih melalui "Pemilihan Umum yang jurdil " pasea Orde Baru. Oleh karena itu, seyogyanya Pemerintah Daerah memberikan akuntabilitasnya kepada masyarakat (akuntabilitas penyeleng­garaan pemerintahan daerah). Kepala Daerah yang memimpin birokrasi daerah seyogyanya pula memberikan pertanggung-jawabannya kepada DPRD. Karena DPRD adalah perwujudan dari Kedaulatan Rakyat. Oleh karena itu Kepala Daerah dalam menjalankan kebijakan-kebijakan daerah yang berakibat kepada masyarakat. bertanggung-jawab kepada masyarakat melalui DPRD.

Ketentuan UU No. 22/1999 telah memberikan kedudukan yang cukup kuat dan memberdayakan DPRD melalui cara memperluas hak-hak , tugas, wewenang , dan kewajibannya sedemikian rupa , sehingga lembaga ini diharapkan mampu berperan dan berfungi sebagai lembaga perwakilan penyalur demokrasi/kedaulatan rakyat. UU No. 22/1999 telah memberi­kan peranan sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerin­tahan daerah, ditandai dengan besamya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala Dearah, bahkan UU tersebut telah memposisikan Kepala Daerah untuk bertanggung-jawab kepada DPRD. Apabila pertanggung-jawaban Kepala Daerah tidak memuaskan, DPRD

lanuari - Maret 2001

Page 14: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

Pemberdayaan DPRD 43

dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah yang bersangkuran. Dari ketentuan tersebut dapat dilihat betapa besarnya peranan yang diberikan UU No. 2211999 kepada DPRD sebagai perwujudan Kedaulatan Rakyat.

IV. SARAN

I. Untuk meningkatkan peran DPRD dalam proses penyelenggaraan daerah maka intensitas keterlibatan DPRD perlu lebih ditingkatkan. DPRD harus lebih pro-aktif terlibat dalam pembuatan kebijakan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan daerah.

2. Keberadaan DPRD sebagai legislatif daerah harus mampu menciptakan check and balance terhadap eksekutif daerah untuk menciptakan pemerintahan daerah yang bersih dari unsur KKN.

3. DPRD perIu mengadakan networking dengan lembaga-Iembaga profesional seperti Perguruan-perguruan Tinggi ataupun asosiasi­asosiasi profesional untuk membantu DPRD dalam merumuskan visi, misi dan kebijakan strategis Daerah, dalam rangka menciptakan mekanisme check and balance yang efektif dengan pihak eksekutif. Dengan demikian dominasi pengajuan Rancangan Peraturan Daerah yang selama ini selalu datangnya dari eksekutif akan dapat diimbangi oleh pihak legislatif.

4. Dalam kaitan dengan mengajukan mosi pertanggung-jawaban terhadap Kepala Daerah, perlu menumbuhkan kesadaran di kalangan anggora DPRD bahwa sistem pertanggung-jawaban Kepala Daerah kepada DPRD, secara konstitusional didasarkan pad a sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 yang antara lain menghendaki suatu sistem penyelenggaraan pemerintahan yang stabil. Jika Kepala Daerah setiap saat terancam mosi tidak percaya, akan mempengaruhi Kepala Daerah untuk melaksanakan fungsi pemerintahan dengan stabil.

Nomor I Tahun XXXi

Page 15: 32 Hukum dan Pembangunan - Jurnal Hukum & Pembangunan

44 Hukum dan Pembangunan

DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, "Perspektif Rejormasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Menuju Kemandirian Daerah" . Jakarta , Juli 1999.

Bhenyamin Hoessein. "Oronomi Daerah Dalam Negara Kesatuan Sebagai Tanggap Terhadap Aspirasi · Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi", dalam Manajemen Usahawan Indonesia , No. 04/Th. XXIX April 2000.

E. Koswara. "Menyongsong Pelaksanaan Otonomi Daerah Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999". Jakarta, 28 Januari 2000.

Raksasa Mahi. "Prospect of Decentralization, Institutional Reform and Economic Growth in Indonesia". Jakarta, 25 Februari 2000.

UU. No.5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah.

UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

fanuari - Maret 2001