JURNAL BINGKAI ISU KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA …
Transcript of JURNAL BINGKAI ISU KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA …
JURNAL
BINGKAI ISU KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA DARING
(Analisis Framing Isu Kebebasan Berpendapat Pada Pemberitaan Politisasi
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua UU MD3
di Kompas.com Periode 12 Februari-14 Maret 2018)
Oleh:
Arwin Setio Hutomo
D0214018
Disusun Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2018
1
BINGKAI ISU KEBEBASAN BERPENDAPAT DI MEDIA DARING
(Analisis Framing Isu Kebebasan Berpendapat Pada Pemberitaan Politisasi
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perubahan Kedua UU MD3
di Kompas.com Periode 12 Februari-14 Maret 2018)
Arwin Setio Hutomo
Dwi Tiyanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
The House of Representatives of Indonesia (DPR) has passed the bill of
second amentment of Law No. 17 of 2014 on February 12th, 2018. The Bill which
regulates the People’s Consultative Assembly (MPR), the House of Representatives,
the Regional Representatives Council (DPD), and the Regional House of
Representatives (DPRD) became controversial because of three articles that
considered by public has undemocratic spirit and full of political interest. One of
them was Article 122 letter (k) which raised debate among public about freedom of
speech and freedom of press issues. From those controversies, the main purpose of
this article is to analyze on how Indonesia’s online media framed the issue of
freedom of speech after the ratification of second amendment of MD3 law. So, the
study was carried out in Kompas.com as one of Indonesia’s leading online media.
A framing analysis was used to analyze the framing constructed by
Kompas.com on the issue of freedom of speech at its news coverage about
politization of the ratification of second amendment of MD3 Law. The framing
analysis model used in the research was Robert M. Entman’s model which saw
framing as the selection of issues and the prominence of certain aspects from the
issues.
The research found that frame constructed by Kompas.com on the issue of
freedom of speech on news of ratification of second amendment of MD Law was
related to the issue of the weakening of democracy. The idea of the weakening of
democracy intended by Kompas.com was about the restraint of political rights of
citizen by The House of Representatives. That frame was influenced by
Kompas.com’s ideology which adheres to transcendental humanism and the media
interest as the fourth pillar of democracy.
Keywords: Framing, Online Media, MD3 Law, Kompas.com, Freedom of Speech
2
Pendahuluan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya disebut DPR)
sebagai lembaga legislatif menuai kontroversi publik saat disahkannya Rancangan
Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya
disebut RUU Perubahan Kedua UU MD3). Produk legislasi tersebut menuai
kontroversi karena adanya tiga pasal yang dinilai publik dapat menjerumuskan
iklim demokrasi Indonesia ke masa kegelapan. Pasal pertama yang
dipermasalahkan adalah Pasal 73 yang di dalamnya mengatur wewenang
pemanggilan paksa oleh DPR pada setiap orang yang tidak hadir pada panggilan
DPR dengan melibatkan aparat kepolisian. Lalu, pasal kedua yang kontroversial
adalah Pasal 122 yang di dalamnya mengatur wewenang Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD) untuk mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain bagi pihak-
pihak yang merendahkan DPR. Dan, pasal ketiga yang mengundang kontroversi
adalah Pasal 245 yang mengatur pemanggilan anggota DPR yang melakukan tindak
pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis Presiden setelah mendapatkan
pertimbangan dari MKD (Hukumonline.com, 2018).
Dari tiga pasal tersebut, salah satu pro kontra yang muncul adalah isu
kebebasan berpendapat yang berakar dari Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan
Kedua UU MD3. Pasal 122 huruf (k) merupakan poin yang dipermasalahkan dari
Pasal 122 seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yakni wewenang MKD untuk
“.... mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang
perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan
DPR dan anggota DPR” (Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan Kedua UU MD3).
Aturan tersebut dinilai publik dapat mengekang publik dalam berpendapat. Selain
itu, aturan tersebut pula mengesankan lembaga legislatif yang anti kritik.
Dari penilaian publik tersebut, kontroversi dari Pasal 122 huruf (k) pula
muncul dari dugaan publik atas motif DPR menerbitkan aturan hukum tersebut.
Publik menduga bahwa aturan Pasal 122 huruf (k) kental akan intrik politik, yang
mana kepentingan politik tersebut ditujukan untuk mengamankan kepentingan
3
pribadi anggota dewan. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
(Formappi) Lucius Karus (dalam Indopos, 2018) menilai bahwa Pasal 122 huruf (k)
dalam RUU Perubahan Kedua UU MD3 adalah wujud syahwat anggota DPR untuk
kabur dari asas demokrasi dengan memproses para pihak yang menghina mereka.
Pendapat serupa pula dikatakan Ketua Setara Institute Hendardi (dalam
Kompas.com, 2018) bahwa revisi UU MD3 hanya untuk melindungi kepentingan
pribadi anggota DPR serta penyusunan produk legislasi tersebut pula penuh
kompromi politik untuk mengamankan kepentingan pribadi dan mengeliminasi
kepentingan publik. Hal ini pulalah yang menjadikan Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman merasa bahwa RUU Perubahan Kedua
UU MD3 menandakan sifat feodal anggota DPR yang haus kekuasaan
(Kompas.com, 2018).
Pembahasan tentang kontroversi RUU Perubahan Kedua UU MD3,
khususnya tentang isu kebebasan berpendapat, tidak terlewatkan dari sorotan media
dalam jaringan (disingkat daring, atau dalam Bahasa Inggris disebut online). Salah
satu media daring yang meliput isu kebebasan berpendapat pasca disahkannya RUU
Perubahan Kedua UU MD3 adalah Kompas.com. Kompas.com merupakan salah
satu media daring nasional yang menduduki peringkat ketiga traffic pengunjung di
Indonesia (Alexa.com, 2018). Walaupun berada di peringkat ketiga, Kompas.com
masuk ke dalam lima puluh portal media daring dunia kategori Newspapers in the
World yang sering dikunjungi berdasarkan SimilarWeb.com. Tercatat,
Kompas.com berada di peringkat delapan belas dari lima puluh Top Website
Ranking kategori Newspapers in the World (SimilarWeb.com, 2018). Hal tersebut
menjadikan Kompas.com sebagai salah satu media daring terkemuka di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tergerak untuk mengetahui
bagaimana framing yang dibangun Kompas.com terhadap isu kebebasan
berpendapat pada pemberitaan RUU Perubahan Kedua UU MD3 yang sarat akan
kepentingan politik. Tujuannya, penulis ingin mengetahui bagaimana realitas
dibangun oleh Kompas.com terkait dengan isu kebebasan berpendapat pada
pemberitaan politisasi pengesahan RUU Perubahan Kedua UU MD3. Hal tersebut
mengingat besarnya implikasi yang dihadirkan RUU Perubahan Kedua UU MD3
4
pada kehidupan politik di Indonesia, khususnya dalam hal ini adalah relasi antara
anggota DPR dengan rakyat sebagai konstituen anggota DPR.
Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam artikel ilmiah ini adalah bagaimana
pembingkaian isu kebebasan berpendapat pada pemberitaan politisasi pengesahan
RUU Perubahan Kedua UU MD3 di Kompas.com Periode 12 Februari-14 Maret
2018.
Landasan Teori
1. Polemik Revisi Kedua UU MD3
UU MD3 merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas,
fungsi, dan wewenang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Selain itu, dalam undang-
undang tersebut diatur pula tentang hak dan kewajiban serta alat-alat kelengkapan
yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut. Saat ini, UU MD3 yang berlaku
adalah UU No. 17 Tahun 2014 yang mana merupakan hasil revisi dari undang-
undang sebelumnya, yakni UU No. 27 Tahun 2009.
Draf revisi kedua UU MD3 disahkan menjadi RUU pada sidang paripurna 12
Februari 2018. RUU tersebut disetujui oleh delapan fraksi, yakni Fraksi Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Golongan Karya
(Golkar), Partai Demokrat, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat
Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Sedangkan, ada dua fraksi
yang melakukan walk out, yakni Fraksi Partai NasDem dan Fraksi Partai Persatuan
Pembangunan (Detik.com, 2018). Selanjutnya, RUU Perubahan Kedua UU MD3
berlaku secara sah pasca diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
pada 15 Maret 2018 menjadi UU No.2 Tahun 2018.
Tujuan dilakukannya revisi kedua UU MD3 adalah untuk meningkatkan peran
dan tanggung jawab DPR dalam mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin
keterwakilan rakyat, serta mengembangkan check and balance antara kekuasaan
5
eksekutif dan legislatif. Selain itu, maksud disempurnakannya UU MD3 adalah
untuk meningkatkan kualitas kerja MPR dan DPR (Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia, 2016: 25).
Walaupun memiliki tujuan yang mulia, namun timbul kontroversi di masyarakat
pada RUU Perubahan Kedua UU MD3 yang bertolak belakang dengan tujuan mulia
tersebut. Indonesia Corruption Watch atau ICW (2018) mengatakan ada empat
substansi yang menimbulkan pro dan kontra. Empat substansi tersebut yakni:
penambahan jumlah pimpinan MPR dan DPR, aturan pemanggilan paksa pada
Pasal 73, wewenang MKD dalam Pasal 122 huruf (k) – kemudian pasca disahkan
menjadi Pasal 122 huruf (l) – untuk menempuh langkah hukum dan/atau langkah
lain bagi pihak-pihak yang merendahkan anggota DPR dan anggotanya, serta norma
pada Pasal 245 tentang aturan pemanggilan anggota DPR yang terkena tindak
pidana oleh penegak hukum yang harus mendapatkan pertimbangan MKD.
Adanya kontroversi tersebut membuat beragam lapisan masyarakat melakukan
gugatan uji materiil (atau judicial review) pada RUU tersebut ke Mahkamah
Konstitusi (MK), yang mana dalam konteks uji materil ini sudah disahkan menjadi
UU No. 2 Tahun 2018. Ada tujuh pihak yang memohon uji materiil, satu di
antaranya adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang terdaftar pada
Perkara Nomor 16/PUU-XVI/2018. Tercatat, FKHK menggugat Pasal 73 ayat (3),
ayat (4), ayat (5), ayat (6), Pasal 122 huruf (l), dan Pasal 245 ayat (1) (Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, 2018: 4).
Dari gugatan tersebut, MK mengabulkan permohonan uji materi pada UU No. 2
Tahun 2018 secara sebagian melalui amar Putusan Nomor 16/PUU-XVI/2018. Ada
enam poin putusan yang dikeluarkan MK, namun setidaknya ada tiga poin yang
paling penting. Pertama, Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU No. 2
Tahun 2018 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. Kedua, Pasal 122 huruf (l) UU No. 2 Tahun 2018 bertentangan
dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan ketiga,
frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan
dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis
6
dari presiden” dalam Pasal 245 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018 bertentangan
dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun,
ketentuan dalam Pasal 245 ayat (1) tersebut berlaku sepanjang dimaknai dalam
konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana.
Selain itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan
Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2018 bertentangan dengan
UUD 1945. Hal tersebut membuat bunyi Pasal 245 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2018
dirubah menjadi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada Anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan
tertulis dari Presiden” (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2018: 41-42)
2. Analisis Framing
Analisis framing merupakan salah satu metode analisis yang digunakan dalam
penelitian komunikasi massa. Analisis framing menurut Kriyantono (2014: 256)
adalah analisis untuk mengetahui bagaimana suatu isu dibingkai oleh media sesuai
dengan kepentingannya. Pembingkaian tersebut berimbas pada penonjolan fakta-
fakta tertentu. Namun di sisi lain, ada pula fakta yang dikaburkan sehingga fakta
yang menonjol yang akan lebih mengena pada khalayak.
Konsep framing sendiri menurut James Tankard (dalam Griffin, 2012: 381)
diartikan sebagai “the central organizing idea for news content that supplies a
context and suggests what the issue is through the use of selection, emphasis,
exclusion, and elaboration.” Melalui pemahaman tersebut, framing diartikan
sebagai pengorganisasian ide pokok berita yang memberikan konteks dan
pemahaman isu kepada khalayak dengan cara seleksi, penekanan, penghilangan,
dan elaborasi fakta pada teks berita.
Dari pendapat tersebut, dapat dimengerti bahwa inti dari aktivitas framing adalah
pemakaian fakta-fakta tertentu yang dianggap penting dan penghilangan fakta-fakta
tertentu yang tidak dianggap penting. Selain itu, dari fakta-fakta yang terpilih
tersebut dipilih kembali isu-isu tertentu dari fakta tersebut sehingga diberikan porsi
7
yang lebih besar. Hal ini menyebabkan adanya konteks tertentu yang lebih
menonjol daripada konteks yang lain.
Menurut Eriyanto (2002: 81), ada dua aspek dalam framing. Pertama,
penonjolan suatu realitas oleh wartawan dalam berita yang dilakukan dengan cara
pemilihan angle tertentu, pemilihan fakta tertentu dan melupakan fakta yang lain,
serta memberitakan aspek tertentu dan menyingkirkan aspek yang lain. Dan kedua,
penyajian aspek-aspek yang terpilih pada khalayak. Proses tersebut dilakukan
dengan penempatan yang mencolok, pengulangan, pemakaian grafis, pemakaian
label tertentu, pengasosiasian pada simbol budaya tertentu, generalisasi,
simplifikasi, pemakaian kata yang mencolok, pemakaian gambar, dan lainnya.
3. Analisis Framing Model Robert M. Entman
Robert M. Entman merupakan salah satu ahli komunikasi yang mengembangkan
metode analisis framing. Menurut Entman (1993: 52), framing merupakan kegiatan
seleksi dan penonjolan. Lebih lengkap, Entman mendefinisikan framing sebagai
aktivitas memilih beberapa aspek tertentu dari realitas dan membuat aspek-aspek
terpilih tersebut lebih menonjol dalam teks komunikasi. Proses penonjolan tersebut
dilakukan dengan cara-cara tertentu dalam rangka mengembangkan definisi
masalah tertentu, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan/atau rekomendasi
penyelesaian dari realitas yang dijelaskan.
Berdasarkan definisi tersebut, ada dua hal yang menjadi dimensi framing
menurut Robert M. Entman (dalam Eriyanto, 2002: 222), yakni: seleksi isu dan
penonjolan aspek tertentu. Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta, mana isu
yang ditampilkan dan yang dihilangkan dari berita. Sedangkan penonjolan aspek
tertentu berkaitan dengan cara penulisan isu dalam berita. Aktivitas tersebut
berkaitan dengan pemilihan kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu yang akan
ditampilkan pada khalayak.
Dalam melakukan aktivitas pembingkaian, Entman (dalam Eriyanto, 224-227)
mengatakan bahwa ada empat perangkat yang digunakan. Empat perangkat
tersebut, yakni: define problem (definisi masalah), diagnose cause (penyebab
masalah), make moral judgement (memberikan keputusan moral), dan treatment
8
recommendation (rekomendasi penyelesaian). Penjelasan atas empat elemen dalam
pembingkaian tersebut adalah sebagai berikut.
a. Define Problem (Definisi Masalah)
Elemen ini merupakan bagian paling penting dari framing. Elemen ini
menjelaskan bagaimana wartawan memahami suatu peristiwa/ isu yang ia
beritakan.
b. Diagnose Cause (Penyebab Masalah)
Elemen ini membingkai penyebab masalah dari suatu peristiwa. Penyebab
masalah diartikan sebagai apa (what) dan siapa (who) yang menyebabkan suatu
masalah terjadi.
c. Make Moral Judgement (Memberikan Keputusan Moral)
Elemen ini membingkai argumentasi yang mendukung definisi masalah dan
penyebab masalah.
d. Treatment Recommendation (Rekomendasi Penyelesaian)
Elemen ini membingkai tentang penyelesaian masalah yang diusulkan
wartawan pada peristiwa yang ia beritakan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif.
Moleong (2012: 6) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang
dilakukan untuk memahami suatu fenomena secara holistik dan deskriptif pada
konteks khusus yang alamiah dengan menggunakan beragam metode penelitian.
Lebih lanjut, Rachmat Kriyantono (2014: 69) mengatakan bahwa jenis penelitian
deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari
suatu fenomena secara akurat, sistematis, dan faktual.
Objek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah berita-berita
kontroversi isu kebebasan berpendapat yang timbul pasca pengesahan RUU
Perubahan Kedua UU MD3 di Kompas.com periode 12 Februari-14 Maret 2018.
Data primer yang digunakan adalah teks berita tentang kontroversi isu kebebasan
berpendapat pada pemberitaan politisasi pengesahan RUU Perubahan Kedua UU
MD3 di Kompas.com periode 12 Februari-14 Maret 2018. Sedangkan, data
9
sekunder yang digunakan adalah buku-buku referensi, dokumen-dokumen resmi,
jurnal-jurnal yang berkaitan dengan penelitian, serta sumber-sumber lain yang ada
dari media maupun internet..
Sampel penelitian diambil dengan teknik sampel purposif (purposive
sampling). Teknik purposive sampling merupakan teknik pengambilan sampel
dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2013: 54). Sampel yang digunakan
adalah berita-berita tentang kontroversi isu kebebasan berpendapat pada
pemberitaan politisasi pengesahan RUU Perubahan Kedua UU MD3 pada portal
berita daring Kompas.com periode 12 Februari-14 Maret 2018. Pada periode
tersebut, terdapat 124 berita tentang pengesahan RUU Perubahan Kedua UU MD3.
Dari jumlah tersebut, terdapat 26 berita terkait isu kebebasan berpendapat dengan
jenis straight news dan feature news. Dari 26 berita tersebut, diambil dua puluh
berita straight news sebagai sampel penelitian.
Sajian dan Analisis Data
Setelah dilakukan analisis, Kompas.com menempatkan berita isu kebebasan
berpendapat pasca disahkannya RUU Perubahan Kedua UU MD3 ke dalam dua
kategori, yakni kategori pro revisi UU MD3 dan kategori kontra revisi UU MD3.
Pada kategori pro, berita-berita Kompas.com cenderung menekankan pada
argumentasi yang mematahkan opini masyarakat yang memandang negatif produk
legislasi tersebut. Sedangkan, berita-berita pada kategori kontra UU MD3
cenderung menekankan pada bahaya RUU Perubahan Kedua UU MD3 yang dapat
berpotensi membungkam kebebasan berpendapat. Selain itu, kategori kontra pula
menekankan pada wewenang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang
dianggap publik melenceng dari fungsinya sehingga menimbulkan pertanyaan
publik. Tercatat, dari dua puluh sampel berita, ada enam berita yang condong
bernada pro revisi UU MD3. Sedangkan, ada empat belas berita yang masuk ke
kategori kontra revisi UU MD3.
10
Berita yang masuk ke dalam kategori pro UU MD3 adalah sebagai disajikan
dalam Tabel 1 berikut.
Tabel 1
Berita-Berita Pro RUU Perubahan Kedua UU MD3
No. Judul Berita
1. Ketua DPR: Jika Perlu DPR Akan Membuat Lomba Kritik DPR Terbaik
2. Bambang Soesatyo Pertaruhkan Jabatan jika Pengkritik DPR Sampai Dibui
3. Politisi PPP: Kami Dikritik Saja Masih Suka Tidur, apalagi Tak Ada Kritik
4. Pengamat: DPR Bukannya Tak Mau Dikritik, tetapi Jangan Kencang-
kencang
5. Usai Bertemu PWI, Ketua DPR Jamin Pers Tak Terjerat UU MD3
6. Ketua Dewan Pers: Jurnalis Tak Perlu Cemaskan UU MD3
Sedangkan, berita-berita yang kontra revisi UU MD3 disajikan dalam Tabel
2 berikut.
Tabel 2
Berita-Berita Kontra RUU Perubahan Kedua UU MD3
No. Judul Berita
1. DPR secara Bersama-sama Membunuh Demokrasi Lewat UU MD3
2. UU MD3 Dinilai Berpotensi Membuat Korupsi Tumbuh Subur di DPR
3. YLBHI: Jurnalis dan Aktivis Berpotensi Dijerat UU MD3
4. "Kalau DPR Enggak Mau Diolok-olok, Kerja yang Benar..."
5. Melalui UU MD3, DPR Jadikan MKD Alat Kontrol Kritik Publik
6. UU MD3 Dikhawatirkan Jadi Alat DPR Membungkam Kritik Masyarakat
7. “Yang Merendahkan DPR Itu Anggotanya Sendiri, Bukan Masyarakat”
8. UU MD3 Dinilai Jauhkan DPR dari Kritik Terkait Korupsi
9. Bagir Manan: UU MD3 dan RKUHP Potensial Ancam Kebebasan Pers
10. Presiden PKS Minta Maaf atas Pengesahan Salah Satu Pasal UU MD3
11. Pengamat: UU MD3 Memang seperti Zaman Feodal
12. Nasdem: Kenapa DPR Harus Berhadapan dengan Rakyat?
11
13. PPP: Kalimat Merendahkan Kehormatan DPR dalam UU MD3 Perlu
Penjelasan
14. Pidanakan Rakyat Lewat UU MD3, DPR Dinilai Turun Level
Melalui analisis framing dengan menggunakan model Robert M. Entman,
maka diperoleh bahwa pembingkaian yang dilakukan Kompas.com pada isu
kebebasan berpendapat pada pemberitaan politisasi pengesahan RUU Perubahan
Kedua UU MD3 periode 12 Februari-14 Maret 2018 adalah sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil Analisis Framing Model Robert M. Entman
Kategori Define
Problems
Diagnose
Causes
Make Moral
Judgements
Treatment
Recommendations
Pro Penegasan
RUU
Perubahan
Kedua UU
MD3 tidak
mengancam
kebebasan
berpendapat.
Kesalahpahaman
publik pada
revisi UU MD3
sehingga
menimbulkan
kekhawatiran.
Kritik dan
Perlindungan
Kehormatan
Penting Bagi
DPR.
Rakyat bebas
mengkritik, asal
tidak menghina.
Kontra RUU
Perubahan
Kedua UU
MD3
Membungkam
Kritik Rakyat.
Pasal 122 huruf
(k)
mencerminkan
feodalisme DPR
Usaha DPR
menghindari
kritik dengan
dalih menjaga
kehormatan.
Dilakukan judicial
review, perbaikan
kinerja dan sikap
DPR, dan
perbaikan substansi
isi Pasal 122 Huruf
(k). Pasal 122
huruf (k)
mengundang
pertanyaan.
Ekses wewenang
dalam Pasal 122
huruf (k) dan
substansi isi
Pasal 122
huruf (k) sarat
kepentingan
pribadi dan
12
Pasal 122 huruf
(k) yang
multitafsir.
mengorbankan
kepentingan
rakyat.
Dari analisis yang telah dilakukan, maka dapat dijelaskan framing dari
Kompas.com sesuai dengan Tabel 2 tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kategori Pro
a. Define Problem
Pada kategori pro, Kompas.com cenderung mendefinisikan masalah soal
penegasan bahwa RUU Perubahan Kedua UU MD3 tidak anti kritik. Dari
definisi masalah tersebut, terdapat dua hal yang ditekankan, yakni pentingnya
kritik rakyat bagi DPR serta jaminan kebebasan pers pasca timbulnya pro kontra
RUU Perubahan Kedua UU MD3.
b. Diagnose Cause
Akar masalah dari definisi masalah, yakni penegasan RUU Perubahan Kedua
UU MD3 tidak anti kritik, adalah karena adanya kesalahpahaman publik pada
produk legislasi tersebut. Terkait dengan pro kontra kebebasan berpendapat,
publik dinilai oleh pihak pro revisi UU MD3 tidak memahami substansi isi pasal
tersebut serta dinilai tidak memahami hak imunitas yang dimiliki anggota DPR.
c. Make Moral Judgement
Nilai moral yang dibangun oleh Kompas.com yakni pentingnya kritik dan
perlindungan kehormatan bagi DPR. Kritik dinilai sebagai suplemen bagi
perbaikan kerja DPR dan anggotanya. Selain itu, dalam hal perlindungan
kehormatan, DPR memandang perlunya melindungi kehormatannya dari kritik
yang cenderung menghina. Perlindungan dari kritik yang menghina tersebut
dipandang sebagai salah satu hak bagi DPR dan anggotanya dalam rangka
menjaga kehormatan dalam melakukan kerjanya.
d. Treatment Recommendation
Rekomendasi penyelesaian yang ditekankan Kompas.com adalah
mempersilahkan publik untuk mengkritik DPR dengan bebas. Selain itu, pers
pula didorong untuk mengkritik DPR melalui produk-produk jurnalistik yang
13
dibuat. Namun, kritik yang dilayangkan diharapkan memperhatikan sopan
santun dengan tidak disertakan pesan yang condong menghina.
2. Kategori Kontra
a. Define Problem
Berita-berita kategori kontra menekankan definisi masalah pada dua hal.
Pertama, Kompas.com menekankan bahwa RUU Perubahan Kedua UU MD3
mengekang kritik rakyat. Selain itu, produk legislasi tersebut pula dinilai dapat
mengekang kebebasan pers. Sedangkan, poin kedua yang ditekankan oleh
Kompas.com adalah terkait aturan Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan Kedua
UU MD3 yang mengundang pertanyaan karena isinya yang dinilai tidak sesuai
dengan tugas dan fungsi DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
b. Diagnose Cause
Terdapat dua akar masalah yang ditekankan Kompas.com pada kategori
kontra revisi UU MD3. Pertama, Kompas.com menilai bahwa Pasal 122 huruf
(k) dapat membungkam kritik rakyat. Hal tersebut karena pasal tersebut
merupakan wujud sikap anti kritik anggota DPR yang mulai berwatak feodal.
Selain itu, pasal tersebut pula dinilai sebagai sarana menutupi kinerja buruk
DPR.
Sedangkan, penekanan kedua yakni adanya ekses atau penyelewengan
wewenang pada Pasal 122 huruf (k) dan isinya yang multitafsir. Aturan pasal
tersebut membuat DPR seakan menjadi lembaga hukum. Selain itu, aturan
tersebut pula dianggap bertentangan dengan fungsi MKD yang mana alat
kelengkapan dewan tersebut berfungsi untuk melakukan penyidikan dan
verifikasi atas laporan pelanggaran yang dilakukan anggota dewan. Dalam hal
ini, MKD seakan memiliki wewenang untuk mengawasi kritik rakyat.
Kompas.com pula menyoroti soal substansi isi pasal tersebut yang multitafsir
karena tidak adanya penjelasan terkait frasa “merendahkan kehormatan DPR
dan anggotanya”.
c. Make Moral Judgement
Ada dua keputusan moral yang ditekankan Kompas.com. Pertama,
Kompas.com menganggap bahwa Pasal 122 huruf (k) merupakan alat bagi DPR
14
untuk berlindung dari kritik dan laporan tindakan korupsi. Kritik dan laporan
korupsi kepada anggota DPR dapat dinilai sebagai tindak penghinaan. Selain
itu, upaya melindungi diri tersebut merupakan pertanda bahwa anggota DPR
tidak dapat menerima konsekuensi sebagai wakil rakyat yang idealnya
senantiasa mendengarkan kritik dan aspirasi rakyat.
Kedua, Pasal 12 huruf (k) sarat akan kepentingan pribadi karena pasal
tersebut digunakan sebagai instrumen pelindung kepentingan pribadi anggota
DPR. Selain itu, pasal tersebut pula dinilai merupakan sarana untuk menutupi
kinerja buruk DPR dengan dalih melindungi kehormatan lembaga. Selain itu,
substansi isi Pasal 122 huruf (k) yang multi tafsir pula dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum. Frasa ‘merendahkan kehormatan’ pada pasal memiliki
makna yang abstrak sehingga kritik pedas rakyat dapat dinilai penghinaan.
Padahal, penilaian tersebut sangatlah subjektif sehingga tidak patut diatur dalam
UU MD3.
d. Treatment Recommendation
Pada kategori kontra UU MD3, Kompas.com menekankan rekomendasi
penyelesaian masalah yakni dilakukannya judicial review terhadap RUU
Perubahan Kedua UU MD3. Dengan upaya tersebut, Kompas.com mendorong
masyarakat untuk menggugat produk legislasi tersebut ke Mahkamah
Konstitusi (MK) sehingga dapat dilakukan uji materiil pada RUU tersebut.
Selain itu, Kompas.com pula merekomendasikan adanya perbaikan kinerja
DPR sehingga rakyat dapat kembali menghormati DPR dengan melihat kinerja
DPR yang baik. Selanjutnya terkait aturan Pasal 122 huruf (k), Kompas.com
menilai perlunya DPR untuk mengganti frasa “merendahkan kehormatan DPR
dan anggotanya” dengan frasa yang lain. DPR pula diminta untuk membuat
aturan tambahan terkait penjelasan Pasal 122 huruf (k). Lebih jauh,
Kompas.com mendorong agar pemerintah membatalkan sejumlah pasal
kontroversial yang ada di RUU Perubahan Kedua UU MD3, termasuk Pasal 122
huruf (k).
15
Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa Kompas.com condong
bersikap kontra terhadap RUU Perubahan Kedua UU MD3. Hal ini dilihat dari
diberikannya porsi lebih banyak pada berita yang bernada kontra sehingga pesan-
pesan yang kontra produk legislasi tersebut lebih menonjol. Sedangkan,
penempatan porsi berita pro revisi UU MD3 yang sedikit membuat pesan-pesan
yang pro RUU tersebut kurang menonjol di hadapan khalayak.
Walaupun memberikan porsi yang tidak berimbang, hadirnya berita bernada
pro RUU Perubahan Kedua UU MD3 merupakan wujud usaha Kompas.com untuk
memberikan sebuah realitas yang lengkap pada khalayak. Hal ini sesuai dengan
misi Kompas.com, yakni memberikan informasi yang terbaru dan kredibel untuk
membuka wawasan dan menghibur individu dan komunitas (Kompas.com, 2018).
Selain itu, penyajian berita yang dilakukan oleh Kompas.com tersebut pula wujud
usaha untuk merealisasikan tagline “Jernih Melihat Dunia”. Dari tagline tersebut,
Kompas.com ingin menjadi media yang menyajikan informasi dari beragam
perspektif agar khalayak mengetahui akar masalah dari suatu peristiwa
(Kompas.com, 2018).
Dari kecondongan konstruksi realitas tersebut pula, bingkai Kompas.com
berkaitan dengan isu pelemahan demokrasi. Maksud dari isu pelemahan demokrasi
tersebut adalah adanya upaya pengekangan terhadap hak menyatakan pendapat
sebagai salah satu hak politik warga negara melalui Pasal 122 huruf (k) RUU
Perubahan Kedua UU MD3. Adanya hal tersebut dianggap Kompas.com sebagai
hal yang berbahaya bagi iklim demokrasi di Indonesia. Lebih lanjut, adanya RUU
Perubahan Kedua UU MD3 dapat mengekang kebebasan berpendapat.
Upaya pengekangan kebebasan berpendapat tersebut pula dinilai
Kompas.com sebagai wujud kesewenang-wenangan penguasa. Pengekangan
kebebasan berpendapat merupakan wujud pengingkaran tugas DPR yang diatur
dalam Pasal 7 huruf (g) Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib.
Dalam hal ini, kritik dari rakyat yang merupakan bentuk penyampaian aspirasi
kepada wakil rakyat yang mereka pilih melalui pemilihan umum dikekang oleh
wakilnya sendiri di parlemen. Kesewenang-wenangan DPR pula dinilai sebagai
pengingkaran kepada rakyat serta terhadap sistem pemerintahan demokrasi.
16
Miriam Budiardjo (2008: 112) mengatakan bahwa sistem pemerintahan
demokrasi dengan sedemikian rupa membagi kekuasaan ke dalam tiga pilar (trias
politika), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang mana berfungsi untuk
membatasi kekuasaan pemerintah sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan
yang dilakukan pemerintah serta melindungi hak asasi warga negara. Hal tersebut
diatur dalam konstitusi, yang mana dalam konteks Indonesia diatur dalam UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Untuk itu, apa yang
dilakukan DPR melalui Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan kedua UU MD3
merupakan bentuk pengingkaran pada sistem pemerintahan demokrasi di
Indonesia, khususnya pada asas kedaulatan rakyat pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
serta asas negara hukum (rechtsstaat) sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Isu pelemahan demokrasi yang berkaitan dengan pengekangan hak politik
warga negara wajar diangkat oleh Kompas.com. Hal tersebut karena pengaruh
ideologi humanisme transendental yang dianut Kompas.com. Humanisme
transendental merupakan paham kemanusiaan yang disempurnakan dengan nilai
ketuhanan. Dalam hal ini, paham tersebut menghargai eksistensi manusia dan
mencegah setiap orang kehilangan hak asasinya sehingga diberikan kesempatan
untuk membela diri (De Jong, 2001: 28).
Melalui bingkai yang dibangun, Kompas.com melalui pemberitaannya
berusaha berjuang untuk menentang dibungkamnya kebebasan berpendapat melalui
Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan Kedua UU MD3. Hal tersebut merupakan
wujud usaha Kompas.com untuk melindungi serta membela hak asasi manusia dari
kesewenang-wenangan penguasa.
Selain karena ideologi media, bingkai tersebut dibangun karena adanya
kepentingan Kompas.com sebagai media di negara demokrasi untuk melindungi
hak kebebasan pers. Kebebasan pers di Indonesia telah diatur melalui UUD 1945
serta melalui UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE). Untuk itu, pengekangan terhadap pers merupakan hal yang tidak dibenarkan.
Selain untuk melindungi kebebasan pers, framing Kompas.com pula
dipengaruhi oleh perannya sebagai the fourth estate dalam negara demokrasi.
Dalam menjalankan peran tersebut, Kompas.com menjalankan dua peran, yakni
17
seperti apa yang dikatakan Katrin Voltmer (dalam Maridjan, 2010: 286-288) yaitu:
sebagai marketplace of ideas dan sebagai aktor politik. Dalam menjalankan peran
sebagai marketplace of ideas, Kompas.com menyajikan berita isu kebebasan
berpendapat dari perspektif pro maupun kontra RUU Perubahan Kedua UU MD3.
Sedangkan sebagai aktor politik, Kompas.com menonjolkan sikapnya untuk
menolak produk legislasi tersebut dan mencoba mempengaruhi pola pikir khalayak
berdasarkan framing yang telah dibangun.
Jeffrey P. Jones (dalam Perloff, 2014: 37) menyatakan bahwa media massa
merupakan akses penting bagi khalayak pada politik dan menjadi wadah pertemuan
politik yang mengawali, membujuk, dan menentukan partisipasi politik. Dalam hal
ini, media tidak hanya sebagai medium penyediaan informasi politik semata.
Namun, media pula membentuk kerangka psikologi individu khalayak tentang
politik dan kehidupan sosial yang berada di luar pengalaman langsung individu
khalayak.
Dalam memengaruhi pola pikir khalayak terhadap isu kebebasan
berpendapat pasca disahkannya RUU Perubahan Kedua UU MD3, Kompas.com
menjalankan fungsinya sebagai media propaganda. Kompas.com dalam hal ini
memberikan realitas isu kebebasan berpendapat tersebut melalui pemberitaannya.
Hal tersebut dimaksudkan dalam rangka memberikan referensi untuk memahami
isu kebebasan berpendapat pasca disahkannya RUU Perubahan Kedua UU MD3
sehingga dapat memengaruhi cara pandang individu khalayak terhadap isu tersebut.
Dalam hal melakukan propaganda, jenis propaganda yang diterapkan
Kompas.com adalah propaganda putih. Propaganda ini dilakukan dengan secara
jelas menyebutkan sumber pesan sehingga dapat dijamin kredibilitasnya
(Kunandar, 2017: 92). Dalam hal tersebut, Kompas.com memakai sejumlah
narasumber baik itu dari sisi pro maupun kontra. Dalam hal ini, Kompas.com
memakai teknik propaganda testimonial, yakni menggunakan pendapat dari
narasumber untuk menguatkan framing yang dibangun. Untuk menguatkan frame
yang dibangun, Kompas.com cenderung lebih banyak menggunakan narasumber
yang kontra RUU Perubahan Kedua UU MD3 dibandingkan yang pro.
18
Selain itu, propaganda juga dilakukan dengan memakai teknik name calling,
Teknik tersebut dilakukan dengan digunakannya label-label negatif sebagai sarana
menekankan pesan. Pada teknik ini, Kompas.com menggunakan beragam label
negatif untuk memperkuat konstruksi bingkai pada isu kebebasan berpendapat pada
pemberitaan politisasi pengesahan RUU Perubahan Kedua UU MD3. Label-label
tersebut diantaranya “anti kritik”, “berkuasa tanpa batas”, “otoriter”, “feodal”,
“pasal karet”, dan “alat memperkuat diri”.
Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan konstruksi framing
pada isu kebebasan berpendapat pada pemberitaan politisasi RUU Perubahan
Kedua UU MD3 oleh Kompas.com terkait dengan isu pelemahan demokrasi. Dalam
hal ini, pelemahan demokrasi yang dimaksud adalah pembatasan hak politik warga
negara untuk menyatakan pendapat melalui Pasal 122 huruf (k) RUU Perubahan
Kedua UU MD3. Selain itu, pasal tersebut pula merupakan wujud kesewenang-
wenangan anggota DPR dalam memenangkan kepentingan pribadinya dengan
menggadaikan kepentingan rakyat. Kesewenang-wenangan dianggap melanggar
sistem pemerintahan demokrasi yang dijalankan di Indonesia.
Timbulnya bingkai tersebut dipengaruhi oleh ideologi media yang dianut
Kompas.com, yakni humanisme transendental. Selain itu, bingkai tersebut pula
muncul karena adanya kepentingan Kompas.com untuk mempertahankan haknya
sebagai institusi pers serta sebagai pilar keempat demokrasi. Dalam hal ini,
Kompas.com menjadi marketplace of ideas untuk menampung pendapat publik.
Selain itu, Kompas.com pula berperan sebagai aktor politik yang memiliki sikap
politik dengan menolak RUU tersebut serta menjadi agen propaganda untuk
memengaruhi cara pandang khalayak pada isu kebebasan berpendapat yang timbul
pasca disahkannya RUU Perubahan Kedua UU MD3.
19
Daftar Pustaka
Alexa.com. (2018). Top Sites in Indonesia. Dipetik Maret 13, 2018, dari Alexa: An
amazon.com company: https://www.alexa.com/topsites/countries/ID Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. (2016). Naskah Akademik
Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah . Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
De Jong, K. (2001). Humanisme Transendental yang Kadang Perlu Diteriakkan.
Dalam S. Sularto (Penyunt.), Humanisme dan Kebebasan Pers (hal. 26-35).
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Detik.com. (2018, Februari 12). 2 Fraksi Walk Out, Revisi UU MD3 Tetap
Disahkan DPR. Dipetik Januari 5, 2019, dari Detik.com:
https://news.detik.com/berita/3863546/2-fraksi-walk-out-revisi-uu-md3-
tetap-disahkan-dpr
Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: LKiS.
Entman, R. M. (1993). Framing: Toward clarification of a fractured paradigm.
Journal of communication, 43(4), 51-58.
Griffin, E. (2012). A First Look at Communication Theory. New York: McGraw-
Hill.
Hukumonline.com. (2018, Februari 23). Mengurai Pasal Revisi UU MD3 yang
Dipersoalkan. Dipetik Februari 25, 2018, dari Hukumonline.com:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5a900ceda3a03/mengurai-
pasal-revisi-uu-md3-yang-dipersoalkan
Indonesia Corruption Watch. (2018, Februari 19). Anomali Dalam Revisi UU MD3.
Dipetik Januari 05, 2019, dari Indonesia Corruption Watch:
https://antikorupsi.org/id/news/anomali-dalam-revisi-uu-md3
Indopos. (2018, Februari 14). UU MD3, Kegelapan Demokrasi dan Tak Sentuh
Rakyat. Dipetik Januari 21, 2019, dari Indopos:
https://indopos.co.id/read/2018/02/14/127416/uu-md3-kegelapan-
demokrasi-dan-tak-sentuh-rakyat
Kompas.com. (2018). About Us. Dipetik April 19, 2018, dari Kompas.com:
https://inside.kompas.com/
__________. (2018). Kompas.com. Dipetik Juni 05, 2018, dari LinkedIn:
https://www.linkedin.com/company/kompas-com/
__________. (2018, Februari 15). "Revisi UU MD3 Ditujukan Untuk Mempertebal
Proteksi Anggota DPR. Dipetik Januari 19, 2019, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/15/17070031/revisi-uu-md3-
ditujukan-untuk-mempertebal-proteksi-anggota-dpr
__________. (2018, Februari 16). Presiden PKS Minta Maaf atas Pengesahan
Salah Satu Pasal UU MD3. Dipetik Januari 07, 2019, dari Kompas.com:
https://nasional.kompas.com/read/2018/02/16/15570571/presiden-pks-
minta-maaf-atas-pengesahan-salah-satu-pasal-uu-md3
20
Kriyantono, R. (2014). Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis
Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi,
Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Kunandar, A. Y. (2017). Memahami Propaganda: Metode, Praktik, dan Analisis.
Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2018). Risalah Sidang Perkara Nomor
16/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 17/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor
18/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 21/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor
25/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor 26/PUU-XVI/2018, Perkara Nomor
28/PUU-XVI/2018 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2018 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Marijan, K. (2010). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde
Baru. Jakarta: Kencana.
Moleong, L. J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Tata Tertib.
Perloff, R. M. (2014). The Dynamics of Political Communication: Media and
Politics in a Digital Age. New York: Routledge.
Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
SimilarWeb. (2018, November). Top Websites Ranking: Top sites ranking for News
And Media > Newspapers in the world. Dipetik Januari 4, 2019, dari
SimilarWeb: https://www.similarweb.com/top-websites/category/news-
and-media/newspapers
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.