Bingkai perempuan
-
Upload
rika-yoesz -
Category
Documents
-
view
297 -
download
0
description
Transcript of Bingkai perempuan
Bingkai Perempuan
Perjalanan Meraih Sukses
Program SPP
Bergelut dalam Lumpur
Perempuan Pencetak Bata dari kecamatan Pinggir
Ia seolah tak ingin meratapi nasib, sejak sang suami harus
berhenti bekerja karena ketidak mampuan secara fisik. Pen-
yakit stroke ringan suaminya membuat ia harus banting stir ikut
menakhodai kapal yang tak ingin karam. Dari Padang Paria-
man, mereka pun nekat berhijrah ke kecamatan Pinggir Kabu-
paten Bengkalis. Sisa tabungan mereka kuras untuk membeli
tanah di kecamatan pinggir yang pada masa itu belum mahal
karena masih semak belukar. Dengan pekarangan yang luas
dan tanah liat yang dimiliki di pekarangan, maka Elmawati
membuat batu bata sebagai mata pencaharian.
Tenaga dan alat cetak sederhana adalah modalnya selama ini.
Tentu saja tak banyak yang bisa dihasilkannya. Apa lagi ia le-
bih banyak bekerja sendiri. Sesekali ada beberapa orang upa-
han, namun ia pun tak cukup modal untuk membayarnya. Mak-
lum, batu bata yang sudah dicetak, tentunya tidak bisa langsung
dijual. Ada beberapa proses yang harus dilalui, yakni pengerin-
gan hingga pembakaran. Dan untuk memulai pembakaran dibu-
tuhkan batu bata yang sudah siap cetak dalam jumlah yang
banyak
Hingga akhirnya Elmawati bertemu dengan kelompok yang
terdiri dari para ibu-ibu untuk mendapatkan pinjaman. Waktu
itu, Irna meminjam dana 2 juta untuk persiapan upah kerja se-
belum batu bata siap diorder.
Produksi batu bata yang dibuat Elmawati masih dengan cara
pembuatan manual. Seiring dengan perjalanan waktu, permin-
taan terhadap batu bata juga meningkat. Namun bagi Imah ia
cukup kewalahan dengan tenaga kerja yang bisa membantunya,
apa lagi pekerjaan membuat batu bata ini tidaklah gampang,
membutuhkan tenaga.
Elmawati akhirnya mengajukan pinjaman lagi ke UPK melalui
kelompoknya. Imah meminjam sebanyak Rp 10 juta. Dari pin-
jaman tersebut, akhirnya Imah bisa memiliki mesin pembuat
batu bata, sehingga produksi semakin meningkat dan tidak ke-
walahan lagi terhadap tenaga kerja karena pekerjaan sudah se-
makin ringat berkat adanya mesin tersebut.
“alhamdulilah, usaha ini bisa berjalan dengan lancer. Saya ti-
dak kesulitan lagi mengembangkan usaha. Apalagi meminjam
di UPK tidak membutuhkan persyaratan. Cukup kepercayaan
pada kelompok, apalagi kelompok kami tidak pernah menung-
gak.”
Ujar Elmawati
Sekarang Elmawati tak hanya bermimpi menyekolahkan
anaknya, ia bahkan sudah menguliahkan anaknya dari usaha
ini .
Tangan tangan halus itu bergelut dengan lumpur.
Pundak itu pun kini mulai berotot oleh kerja keras
dan semangat yang keras. Mereka tak berhenti
berusaha demi penghidupan yang bisa membangkit-
kan. Program SPP mewujudkan mimpi mereka
dengan peluang mengembangka usaha.
Ernawati, sang pembuat Batu Bata dari kecama-
tan Pinggir, anggota kelompok SPP
Terasi Riau
Ke Negeri Jiran
Sering kali, kisah masyarakat pesisir menjadi kisah pilu
yang menjadi gambaran masyarakat yang tinggal di daerah
perairan, tinggal dibibir pantai, miskin dan bodoh alias tidak
bersekolah. Tetapi tidak buat Ira, perempuan tangguh dari
Desa Gobang di kecamatan pulau Merbau, kepulauan Mer-
anti ,Riau.
Ira adalah salah satu perempuan yang ikut bergabung di
kelompok SPP (Simpan pinjam perempuan). Penghasilan
suami yang tidak menentu, tergantung dengan kondisi alam,
ombak, angin dan cuaca. Memang suami Ira adalah Nelayan
yang menggantungkan hidup dari mencari ikan. Terkadang
pendapatannya dari melaut bisa mendapatkan ikan yang ban-
yak dan dijual menghasilkan uang untuk kehidupan sehari-
hari, tetapi sering juga, setelah melaut berhari-hari ikan
hanya diperoleh sekedar untuk makan.
Tidak mau berpangku tangan ,Ira yang agak sulit mengguna-
kan bahasa Indonesia, bertutur lugu dalam bahasa kampong
dengan sepetah dua patah kata. Tetapi terlihat kebang-
gaannya menjadi istri yang tidak berpangku tangan hanya
menunggu pendapatan suami.
Awalnya Ira memanfaatkan ikan dan udang kecil hasil tang-
kapan para suami nelayan yang awalnya tidak laku dijual di-
pasaran. Ikan dan udang kecil itu dibayar Ira sekedarnya, dan
Ira pun mengolahnya, merebusnya. Ikan ikan berukuran agak
besar dijemur dan dikeringkan Ira, kemudian udang-udang
kecil (ebi) digiling halus dan dicetak padat. Alat cetaknya
pun sederhana, tutup toples. Ternyata usaha pembuatan bela-
can sebagai penyedap masakan itu diminati warga kampong.
Kemudian, karena peminatnya terus bertambah, Ira pun
menambah jumlah produksi, sampai akhirnya ada pemasok
yang mengambil Terasi Ira perminggu seribu keeping. Den-
gan harga penjualan Rp 500,- artinya setiap minggu Ira
mengelola uang sebesar RP 500.000
“ Terasi kami juga dibawa ke Malaysia.” Ujar Ira Bangga
Ira pun kini menjadi pengusaha kecil-kecilan yang mem-
banggakan, tak hanya berpangku tangan menunggu saatnya
matahari terbenam dan saat-saat suami pulang melaut. Ia su-
dah mempekerjakan keluarganya mengelola belacan. Se-
hingga Ira tak ragu dengan masa depan keluargannya, jika
alam sedang tak bersahabat, ia masih bisa menanti ikan-ikan
kecil dan udang kecil, untuk siap diolah, walau keuntungan
kecil tapi ia tetap bisa mengepulkan asap dapur dan menye-
kolahkan anaknya.
“Untung ada pinjaman dari SPP, syaratnya gampang, tidak
harus menggunakan agunan” Ujar Ira lagi
Kisah pertarungan hidup kelompok perempuan
Aroma Jeruk mulai terasa
saat memasuki Desa Go-
bah di Kecamatan Tam-
bang kabupaten Kampar.
Di kanan kiri badan jalan
akan terlihat kebun-kebun
jeruk milik masyarakat
yang masih seumuran 1
bulan dengan ketinggian
sebatas kaki. Beberapa
kaum ibu terlihat mem-
bersihkan lahannya serta
menjaga kondisi air, baik
pagi hari maupun sore. Ti-
dak terlihat ada lahan kos-
ong apa lagi lahan tidur di
sana, semua termanfaat-
kan dengan baik. Umum-
nya mereka mengandal-
kan kelompok SPP untuk
mendapat pemodalan
Tidak sedikit dari mereka
yang kini sudah men-
daftarkan diri untuk naik
haji dari keuntungannya.
Aroma Kehidupan pada Bibit Jeruk
Usaha Kelompok Permata Bunda,
Tambang, Kampar
Desa Gobah memang desa yang dikenal se-
bagai wilayah pembibitan pohon jeruk. Tak
heran bila sebahagian besar masyarakatnya
memiliki usaha pembibitan pohon jeruk. Bi-
bit pohon jeruk ini biasanya di drop ke Su-
matera barat. Untuk satu pembibitan mereka
menjualnya dengan harga Rp 3000 s/d Rp
5000. Dalam satu kapling pembibitan jeruk
ini bisa menghasilkan 5000 pohon, bisa diba-
yangkan hasil pembibitan pohon jeruk ini
saja mereka bisa menghasilkan sekitar Rp 15
juta sampai Rp 25 juta.
Umumnya, usaha pembibitan ini merupakan
usaha para kaum perempuan. Ini terlihat dari
data kelompok Simpan Pinjam Perempuan
Permata Bunda. Umumnya usaha kelompok
perempuan yang meminjam melalui program
SPP di Unit Pengelola Kegiatan (UPK) ke-
camatan Tambang, Kabupaten Kampar,
Riau.
“Ada sekitar enam puluh anggota kelompok
permata bunda yang meminjam modal usaha
untuk pembibitan pohon jeruk.” Ujar Naz-
pariany, ketua kelompok SPP Permata
Bunda. Prospek usaha pembibitan pohon je-
ruk ini diyakini masyarakat memiliki
prospek yang cukup baik, apa lagi sekarang
ini desa gobang sudah dikenal sebagai desa
sentra pembibitan pohon jeruk. “Usaha ini
cukup menjanjikan, bahkan dari keuntungan
itu ada anggotanya yang mendaftarkan diri
untuk berangkat haji.” Ujar Nazpariani.
Membangun Kelompok
karena kepercayaan
dalam mengelola Usaha
bersama. Kini Jumlah
kelompok sudah ada 100
Orang
Kelompok Permata Bunda, menata kelom-
pok perempuan yang mandiri
Kelompok permata Bunda adalah kelompok
SPP terbesar di Desa Gobah. Kelompok ini
adalah kelompok perempuan yang per-
jalanannya terbentuknya tidak terlepas dari
perjalanan program PNPM Mandiri Perde-
saan. Kelompok ini mulai terbentuk di tahun
2008 dengan anggota kelompok sebanyak
10 Orang, yang sebelumnya tergabung
dalam kelompok perwiritan. Kelompok ini
berorientasi untuk mengembangkan usaha
anggotanya sehingga mereka bisa mengak-
ses pinjaman kepada UPK. Kelompok ini
terbilang cukup maju, tidak hanya dalam
mengembangkan usaha produktif, tetapi
kelompok ini juga memiliki kegiatan ber-
sama dalam penguatan dan pembinaan ter-
hadap perempuan. Tak heran, dalam per-
jalanan waktu melihat geliat positif yang di-
lakukan kelompok ini, mulai banyak perem-
puan di desa Gobah ikut bergabung. Hingga
akhirnya, kelompok SPP Permata Bunda
memiliki kelompok-kelompok kecil lain,
dengan sebutan kelompok Permata Bunda
A,B,C,D dan E, hingga berjumlah 100 lebih
anggota.
Bahkan, kelompok Permata Bunda juga
memiliki usaha bersama penanaman bibit
pohon jeruk, disamping anggotanya juga
memiliki usaha sendiri sendiri.
Membangkitkan semangat kaum perempuan
untuk membuka usaha adalah cita-cita
kelompok Muslimah, sebuah kelompok binaan
UPK Siak Hulu, Kab, Kampar, Riau
Jamur Tiram dari Desa Buluh
Nipis, Kampar
Tak ingin berpangku tangan berharap dari hasil ladang karet
dan nelayan para suami, tekat itu pun begitu kuat di sampai-
kan oleh kaum ibu yang terdiri beberapa dusun dan kebetulan
dari kelompok wirit yasin. Program PNPM Mandiri Perdesaan
pengganti SPP diminta oleh mereka untuk membuka usaha
Jamur Tiram. Semangat ini didorong oleh pengalaman Ibu
Lasmi yang pulang kampung dari perantauannya di Jawa
Barat. Ia yang selama ini berbisnis Jamur Tiram di Jawa Barat
ingin mengajak ibu-ibu di desanya agar bisa menjadi warga
yang mandiri. Karena tekat besar itulah, Kepala Desa H.Rusli
ikut bersemangat merekomendasikan usulan ibu-ibu itu
kepada UPK. Hasilnya tentu saja membahagiakan para ibu-
ibu.
Ibu Hidayah adalah ketua kelompok ini. Mereka mem-
bagi tugas kerja menjadi 7 kelompok sesuai hari kerja, masing
-masing kelompok sekitar 4 atau 5 orang yang bertugas pagi
dan sore hari untuk menyiram pohon jamur tiram tersebut dan
sekaligus memanennya. Hasilnya panennya mereka jual ke
pasar dan sebagiannya sudah dinikmati oleh anggota kelom-
pok.
“Dari hasil panen kami selama 3 bulan ini sudah ter-
simpan empat juta rupiah.” Ujar Ibu Saridah sang Bendahara.
“Uang simpanan hasil penjualan Jamur Tiram itu ren-
cananya akan kami gunakan untuk mengembangkan usaha ini.
“ Tambah Ibu Hidayah “Tapi kami terkendala dengan pema-
saran.” Ujarnya lagi sepertinya mulai tidak bersemangat.
Tetapi kehadiran fasilitator Kabupaten dan Kecamatan hari itu
kembali memberikan semangat baru bagi mereka setelah
diberikan masukan pengelolaan usaha. Upaya-upaya untuk
melakukan pemasaran ke luar desa, termasuk juga menjalin
kerjasama dengan Restaurant atau Hotel di Pekanbaru. Dan
pertimbangannya, kalau sudah kerjasama dengan restaurant
atau hotel harus ditingkatkan jumlah produksinya agar pen-
jualan bisa kontinius.
“Kalau ingin mengembangkan usaha, ibu-ibu bisa
meminjam di UPK” Ujar Murdiati Fasilitator Kabupaten,
“tetapi ibu-ibu harus mempertimbangkan pengelolaan keuan-
gannya, hasilnya harus lebih besar dari pengeluaran sehingga
bisa membayar cicilan dan ibu-ibu bisa memperoleh keuntun-
gan.”
Hari itu, pertemuan antara fasilitator dengan ibu-ibu
pengusaha Jamur Tiram seperti melahirkan kembali semangat
baru. Mereka ingin menjadikan kampung mereka men-
jadi sentra usaha jamur tiram. Bila setiap rumah sudah
memiliki kebun jamur tiram, bukan tidak mungkin, para
distributorlah yang akan datang sendiri ke kampung
mereka. Dan masyarakat desa pun tinggal mengutip ha-
silnya.
Nah ibu… tunggu apa lagi, ibu-ibu di Desa Buluh
Nipis telah berbuat, kini giliran anda. Karena mimpi ti-
dak akan melahirkan kehidupannya nyata bila hanya ber-
pangku tangan di rumah
Tidak ada yang tidak mungkin, dulunya tidak bisa kini menjadi
bisa. Itu yang dirasakan Para ibu-ibu dari desa Sako Marga
Sari, kini mereka bisa menghasilkan uang usai pelatihan menjahit
dari Program PNPM Mandiri Perdesaanu
Mendulang rupiah usai pelatihan Menjahit
PNPM Mandiri Perdesaan
Koprasi Perempuan Barokah dari
Desa Sako Marga Sari, Kuansing
Jalanan tak beraspal sudah mulai dimasuki setelah kuda besi kami
berjalan lebih kurang 1 jam 30 menit dengan kecepatan rata-rata
60 km perjam. Sesekali jalanan aspal yang dilalui bolong-bolong,
sebahagiannya lagi tanah lembek. Artinya hampir 100 Kilo Meter
jarak tempuhnya untuk menuju sebuah desa ekstrans dari ibu kota
di Kecamata Logas Tanah Darat. Desa paling ujung itu berbata-
san dengan Kabupaten Pelalawan, namanya Desa Sako Marga
sari alias desa SMS sebutan keren mereka. Desa ini dulunya ter-
bilang tertinggal, karena jarak tempuh dan medan tempuh yang
sulit membuat desa mereka dahulunya sempat terisolir. Meski
sekarang, perlahan-lahan mulai ada pembinaan untuk memajukan
desa.
Hanna adalah salah seorang aktivis perempuan desa, salah seo-
rang pencetus sebuah koperasi perempuan di desa bernama Baro-
kah. Dia dan beberapa orang desa inilah yang pertama kali ingin
membangkitkan keterpurukan masyarakat desa. Bukan saja
karena persoalan SDM Masyarakatnya yang rata-rata hanya ta-
matan sekolah dasar, tetapi juga dikarenakan persoalan infra-
struktur yang masih sangat minim. Bersyukur mereka program
PNPM Mandiri Perdesaan masuk ke desa mereka sehingga ada
beberapa pembangunan yang bisa mereka nikmati diantaranya
adalah sebuah pembangunan sekolah PAUD.
Suatu ketika, desa Sako Marga Sari ini mendapat sanksi tidak
mendapat perguliran dana SPP karena imbas penyelewengan
UPK di kecamatan Logas Tanah Darat. Sebagai penggantinya,
sekelompok ibu-ibu di desa ini pun mendapat pelatihan. Meski
tidak bisa mengakses pinjaman, semangat para ib-ibu di desa
tersebutpun menjadi begitu bergelora. Selama 1 bulan belajar
menjahit, desa ini pun kembali seperti terhipnotis oleh gairah
bisnis baru bagi kalangan ibu-ibu yang ikut pelatihan tersebut.
Mereka mulai kerajinan menjahit, mulai dari menjahit mukena,
baju, seprai, gorden, tudung saji, dan berbagai jenis lainnya.
“Wah, Alhamdulillah, buk. Koperasi Barokah semakin bergelora
kembali.” Ujar Hanna dengan medok jawanya yang masih kental.
Hanna pun bercerita tentang koperasi Barokah yang sudah dir-
intis mereka. Koprasi ini mereka bentuk tahun 2004 , kemudian
mereka mengatasnamakan kelompok meminjam di kelompok
SPP tahun 2007. Pertama kali meminjam sebesar sepuluh juta
rupiah, dan uang itu dipinjamkan ke anggota kelompok untuk
usahanya masing-masing.
“Tahun ini kami sudah bisa bagi hasil dari modal sebesar lima
belas juta dan dibagikan kepada anggota, yah lumayanlah setiap
anggota dapat dua ratus ribu perorangnya.” Ujar Hanna.
Koperasi barokah kini sudah memiliki tempat yang merangkap
bisnis dan secretariat, persis di depan jalan dekat pasar desa. Di
tempat inilah sekelompok perempuan menghabiskan waktu
luangnya dengan membuat hal yang bermanfaat, yakni berdiskusi
dan juga menjahit tempahan dalam kelompok bersama. Uniknya,
koperasi ini menyediakan bahan baku jahitan yang didrop dari
pasar. Anggota kelompok yang hendak menjahit bisa mengambil
bahan jahitan dan akan membayarnya setelah si penempah mem-
bayarnya. Sehingga anggota kelompok tidak usah dipusingkan
lagi dengan modal bahan jahitan. Begitulah cara mereka men-
ghidupkan koperasi sehingga koperasi juga mendapatkan keun-
tungan.
Hanna mengaku, meski awalnya sempat kecewa karena tidak bisa
mengakses pinjaman kelompok SPP, tetapi pelatihan menjahit
yang diberikan kepada ibu-ibu justru memberikan manfaat baru,
sehingga ibu ibu mendapat keterampilan baru. Ketrampilan men-
jahit itu justru bisa mendulang rupiah bagi mereka.
Kelompok SPP Gaya Puan Merajut kehidupan dengan Mempertahankan Tenun lokal
Pagi itu ritme kehidupan menyambut mentari yang
malu-malu memamerkan cahayanya. Di perbantu-
kan cahaya lampu, suara hentakan kayu pada
tangan-tangan yang mulai keriput, dan goyangan
kaki, menambah bisingnya pagi membangunkan
orang orang di kampung Alah air, sebuah kam-
pung berpenduduk asli Melayu Riau di Kabuaten
Kepulauan Meranti. Belasan perempuan, janda-
janda kampung tengah merajut asa pada helaian
benang yang mereka tenun menjadi songket indah
penghias gadis gadis cantik di kota. Di balik
rumah panggung, berlantaikan papan, ada kisah
heroic mereka mempertahankan hidup bersama
PNPM Mandiri Perdesaan
Merajut hidup dari helaian benang
Tenun Asli Melayu
10 Tahun yang lalu, kelompok SPP Gaya Puan ini mulai melakoni
hidup dengan tenunan ala melayu Riau, selepas pelatihan yang diberikan
oleh pemerintahan kabupaten Bengkalis yang saat itu belum berpisah dari
kabupaten Meranti. Bersama samsiah sebagai ketua kelompok, mereka
melewati jalan yang Terseok-seok melewati jaman, saat songket tidak
menjadi kebutuhan banyak orang, karena produksi yang rumit dan harga
jual yang tinggi, menenun pun nyaris ditinggalkan. Namun lambat laun,
kualitas yang terjaga membuat hasil karya kelompok SPP … ini mulai
dikenal dikalangan ibu ibu pejabat dan pecinta seni songket tenun manual.
Rita mengenalkan songket Riau sebagai cirri khas melayu Meranti
ke kalangan ibu pejabat dan pesta pesta adat. Ikut dalam pameran-pameran
di kabupaten, serta menjualkannya ke sanak family termasuk yang berada
di negeri jiran Malaysia. Mereka sekarang bahkan merancang rajutan khas
kepulauan meranti, songket daun sagu.
5 Tahun belakangan ini, kelompok SPP mulai mengenal PNPM
Mandiri Perdesaan. Mereka pun mulai berani mengembangkan usaha den-
gan meminjam modal melalui UPK Kecamatan Tebing Tinggi program
PNPM Mandiri Perdesaan. Pinjaman itu tak hanya membangkitkan usaha,
tetapi membangkitkan semangat untuk meneruskan hidup. Pagi hingga
malam, semangat itu seolah tiada henti menghantarkan mereka perjuangan
hidup.
Ucu Nurjam bertutur, hasil menenun ini membuatnya tak lagi
mengharuska ia diusia menjelang senja ini memburu sayur diemperan
ladang yang hasilnya hanya bisa untuk makan. Namun hasil tenun ini jus-
tru membangkitkan hidupnya. Ia tak hanya bisa melanjutkan hidup tetapi
melanjutkan impian anak-anaknya menyelesaikan sekolah. Puluhan tahun
hidup sebagai janda dan menopang hidup sendiri tak membuatnya takut
berkat keuletannya menenun.
Satu minggu ia bisa menghasilkan rangkaian benang dengan 1
buah kain songket yang dihargai dari Rp 1 juta sampai Rp 2 juta rupiah.
Dipotong dengan modal pembelian benang dan upah merajut benang, serta
memulangkan uang pinjaman, setidaknya satu bulan ia bisa mengantongi
uang Rp 2 juta.
“Alhamdulillah, bu. Kami sangat terbantu sekali dengan pinjaman
dari PNPM Mandiri Perdesaan. Selain proses yang gampang, bunga yang
ringan, mengutamakan kami-kami yang kurang mampu ini.” Ujar Ucu
Nurjam.
Lain lagi kisah Juraida, pelan-pelan hasil jerih payahnya selama 5
tahun ini bisa mengumpulkan bahan bangunan. Rumah setengah jadi dibe-
lakang rumahnya menjadi tatapan penyemangat hidupnya untuk terus
bekerja sebagai penenun. Sebelumnya ia bekerja sebagai pengutip sagu,
pergi pagi pulang petang, dengan berpeluh melawan matahari dan terpaksa
menutup muka mereka , ditabur bedak dingin agar wajah tak terbakar
matahari, dengan penghasilan hanya Rp 80 ribu perbulan dan terpaksa
meninggalkan anak anak dirumah.
Gadis gadis cantik bersongketkan melayu hasil rajutan tradisional yang nyaris tak lagi ditemukan
itu menjadi barang mewah pada pesta-pesta adat, pernikahan, pelantikan dan upacara lainnya. Para ibu ibu
pejabat menghias dirinya dengan songket bersanding gaun melayu. Harga yang tinggi membuat songket
hasil tenunan manual ini menjadi istimewa saat mengenakannya. Tak banyak yang bisa menghasilkan
tenunan ini, tak banyak yang bisa mempertahankan budaya Indonesia ini, sekalipun nyaris ditelan jaman,
oleh kemajuan tekhnologi namun kelompok SPP di desa Alah Air, kecamatan tebing Tinggi, Kabupaten
Kepulauan Meranti, Riau, masih bisa mempertahankan ini, bahkan menjadikan tenun ini menjadi sumber
penghidupan mereka, para ibu-ibu mempertahankan hidup dari helaian benang yang mereka rajut.
“Sekarang jauh lebih enak.” Ujar Juraida
tak banyak kata meluapkan keba-
hagiaannya menemukan usaha yang lebih
menjanjikan.
Sayangnya tak banyak generasi yang mau
melirik usaha tenun manual ini. Samsiah
alias Rita ketua kelompok SPP tenun ini
terkadang kewalahan untuk memenuhi
permintaan pelanggannya. Sudah banyak
yang ia latih untuk menjadi penenun,
bahkan sudah banyak alat tenun yang ia
buatkan, namun menenun masih belum
dicintai masyarakat.
Pinjaman SPP dibayar dengan Kain
Tenun
Tak sulit bagi Rita sebagai ketua
kelompok untuk mengumpulkan uang
sebagai bayaran cicilan pinjaman ke
UPK. Anggota kelompoknya cukup den-
gan membayar kain tenun. Sudah 5 tahun
ini mereka meminjam ke UPK, namun
tidak sekalipun mereka menunggak. Ta-
hun ini saja mereka mendapat pinjaman
sebesar Rp 90 juta
Ibu Nur Asih adalah salah satu pengusaha
kerupuk di desa Pematang Jaya. Ia men-
jadi anggota SPP untuk mengembangkan
usahanya Kini kampung itu telah menjadi
sentra kerupuk. Ada belasan anggota SPP
yang merupakan pengusaha kerpuk, hingga
desa mereka dikenal sebagai sentra kerupuk.
Bertandang Ke Sentra kerupuk
di Indragiri Hulu
Anggota SPP dari Desa Pematang Jaya
Desa Pematang Jaya, adalah salah satu dari ratusan wilayah eks
transmigrasi di provinsi Riau. Daerah transmigrasi dari masyarakat pulau
jawa ini dahulunya boleh terbilang cukup memprihatinkan. Meski pemer-
intah memberikan mereka lahan masing-masing keluarga sebanyak 2 hek-
tar dan tempat tinggal dibangunkan, namun bukan berarti mereka langsung
bisa hidup dari hasil bercocok tanam. Maklum, saat itu mereka harus
menaklukan lahan hutan gambut, yang tidak begitu gampang ditaklukan
dengan sembarangan tanaman. Apalagi kondisi infrastruktur jalan dan
fasilitas umum belum terpenuhi. Masa-masa sulit terus mereka lewati pada
masa itu, hingga tak jarang dari mereka yang harus kembali ke pulau Jawa,
lari dari wilayah Transmigrasi.
Sekarang, desa Pematang Jaya tumbuh begitu pesat. Selain lahan
pertanian mereka yang ditanam karet, sawit, ubi dan perkebunan lainnya,
hal yang membuat geliat kehidupan itu tumbuh adalah adanya peran per-
empuan dalam kegiatan keekonomian di desa ini. Peran perempuan yang
ikut menopang kehidupan keluarga. Hingga Kampung ini dikenal sebagai
Kampung sentra pembuatan kerupuk.
Di desa ini banyak kegiatan home industry. Mereka umumnya bi-
naan Kelompok Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dalam program PNPM
Mandiri Perdesaan. Kelompok ini sekarang telah menjadi Koperasi Perem-
puan. Ada pembuat kue anting-anting, roti ketawa dan yang paling banyak
adalah pembuatan kerupuk.
Menurut Sri, ketua kelompok SPP / koprasi wanita Enggal Maju
ada 6 orang anggota kelompoknya yang kini sebagai pengusaha kerupuk.
Untuk 1 Orang pengusaha
“Untuk memenuhi kehidupan, sekarang masyarakat tidak hanya
berharap dari hasil perkebunan yang pendapatannya melihat musim. Se-
hingga penghasilan dari industry rumahan kerupuk ini begitu diharapkan
dan menjadi kebutuhan utama keluarga.
Adalah ibu . Nur asih. Ia adalah pengusaha kerupuk rumahan. Perharinya
minimal 1 kwuintal atau 100 Kg akan disorder langsung oleh pemasok.
Pemasok biasanya langsung datang ke rumah ibu … yang merangkap se-
bagai pabrik.
Untuk usaha kerupuk ini, umumnya mereka tidak menggunakan alat pen-
golahan seperti yang dilakukan oleh pabrik pada umumnya. Mereka mela-
kukannya dengan cara manual. Sebab cetakan-cetakan yang mereka hasil-
kan hanyalah potongan – potongan petak yang dipotong dengan pisau atau
gunting. Pagi harinya para pekerja membuat adonan terlebih dahulu yang
terbuat dari tepung tapioca dan bumbu. Perharinya 100 kg tepung, atau 2
goni atau lebih. Kemudian mencetaknya dengan mengkukus adonan di atas
kukusan. Di dapur yang berukuran 5 x 8 meter itu berjejer tungku dan
kuali pengkukus yang siap memasak bahan-bahan tersebut. Di dapur itu
pula mereka memotong-motongnya untuk kemudian di jemur di atas seng.
Suara deru mobil hilir mudik menjadi hal rutin setiap harinya di desa Pematang Jaya, kecamatan Rengat Barat,
Kabupaten Indragiri Hulu di salah satu kabupaten di Provinsi Riau yang sangat terkenal dengan daerah transmigrasi. Wa-
jah-wajah ceria dihiasi senyum merekah menyambut pagi dan siap untuk beraktivitas mengejar materi untuk berbagi ke-
hidupan. Mulai membesarkan anak-anak, menyekolahkannya hingga ke perguruan tinggi, membangun rumah dan lain-
nya, semua dihadapi mereka dengan optimis. Mereka kini tak hanya berharap dari hasil pertanian, karena industry
rumahan yang dikelola oleh para ibu-ibu di desa ini juga cukup menjanjikan.
Dengan halaman yang luas ,
potongan adonan yang telah dikukus
itu pun siap untuk dijemur. Tentu
saja, usaha ini sangat berharap dari
matahari untuk mengeringkan bahan-
bahan tersebut, kalau musim hujan
mereka memang cukup kerepotan
sebab tidak memiliki alat pengering
Usai dikeringkan, biasanya para
pekerja akan pulang kembali ke
rumahnya masing-masing. Para ibu-
ibu yang membantu pembuatan keru-
puk biasanya sudah selesai pada ten-
gah hari. Dan mereka sudah bisa
kembali beraktivitas dirumah nya
masing-masing. Mereka pun masih
sempat mengurusi keluarga mereka,
membersihkan rumah, memasak dan
mengikuti perwiritan. Untuk
upah,Nur asih memberikannya per-
hari. Untuk pekerjaan dari jam 8 pagi
sampai tengah hari upahnya Rp
15.000, sedangkan yang bekerja
sampai sore hari Rp 30.000.
Suara mesin jahit milik yani dan Penni seolah saling berkejar-kejaran , membangunkan warga dusun Tani Jaya, ikut menyambut pagi. Bergelut dengan ritme aktivitas yang sepertinya tak pernah berhenti, mengam-bil bagian dari nafas kehidupan dan menumbuh suburkan semangat pagi
Kampung Pemberdayaan di Bunga Raya Siak
Kampung Pemberdayaan di Bunga raya Siak
Ada 10 orang penjahit di dusun ini, bersama Yanni dan penni ini mereka membentuk kelompok bersama seba-
gai penjahit baju. Mereka berbagi kerja, terkadang mengerjakan bersama sama di rumah Yani, tetapi lebih sering
mengerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing agar lebih efektif, bisa bekerja nyambi dengan urusan dapur dan
memomong anak-anak mereka. Ada yang khusus bagian tukang potong pola jahitan, bagian jahit pinggir, menjahit
baju, pasang kancing dan lainnya. Hari-hari buat mereka diisi dengan aktifitas yang nyaris tanpa henti, lebih-lebih
ketika musim lebaran dan memasuki tahun ajaran baru, orderan baju sekolah pun sudah ngantri untuk dijahit.
Di seberang rumah tak jauh dari rumah Yani, kesibukan lain tak kalah memburu waktu, ia adalah ibu Dairah.
seorang penjual sarapan pagi, mulai dari menjual nasi uduk, lontong, dan lauk pauk serta gorengan. Sejak pagi menje-
lang subuh dapurnya telah mengepul, bahkan malam sebelumnya, ia telah disibukan meracik bumbu. Ia berjualan tak
jauh-jauh, cukup meletakan meja di depan rumahnya saja, tak sampai siang hari, dagangan telah habis untuk dikon-
sumsi oleh warga sekeliling, bahkan ada juga yang membeli sarapan dari dusun seberang. Selain rasanya, Dairah berani
bersaing harga.
Tak kalah sibuknya adalah aktivitas yang dilakukan Rostiwi, seorang mantan karyawan sebuah Perusahaan
swasta. Pasca pemutusan hubungan kerja, ia tak mau berpangku tangan. Banting stir menjadi pengrajin tape. Meski
sebenarnya apa yang ia kerjakan saat ini hanya sebuah kebetulan. Awalnya Rostini hanyalah menjadi agen penjual ubi
kayu, tetapi karena saat itu ubi yang telah diorder tak jadi diambil pembeli yang telah memesan, akhirnya Rostiwi pun
tak kehilangan akal, ia mengolah ubi kayu itu menjadi tape dan dijualnya ke warung-warung. Alhamdulillah, hasil coba
-cobanya itu justru menghasilkan keuntungan 2 kali lipat.
Kampung ini boleh dibilang kampung pemberdayaan bagi perempuan di Dusun Tani Jaya, desa Bunga Raya,
kecamatan Bunga Raya, kabupatena Siak, Riau. Dari 45 Kepala keluarga, 40 perempuan atau para istri ikut dalam pro-
gram Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dari PNPM Mandiri Perdesaan .
Dari program SPP itulah mereka mulai berani mengembangkan usahanya, bahkan memulai usahanya. Program SPP ini
awalnya diperkenalkan oleh ibu Fenny Arfrianti yang kini telah menjadi kader PNPM Mandiri Perdesaan di UNIT
Pengelola Kegiatan, dan ia juga sekarang menjadi tim verifikasi SPP. Cukup lama ia mengajak para ibu – ibu untuk
ikut membangun usaha produktif agar tidak berpangku tangan menunggu hasil pertanian yang kini mulai menurun pro-
duktifitasnya.
“Selama ini modal menjadi kendala para ibu-ibu untuk memulai usaha, sehingga saya memperkenalkan SPP
kepada ibu ibu melalui perwiritan di dusun.” Ujar Fenny memulai kisahnya. Ibu muda ini memang kader yang cukup
getol mengajak ibu-ibu untuk membangun usaha produktif. Tidak saja melalui program PNPM Mandiri perdesaan, pro-
gram bantuan dari dinas social seperti bantuan peralatan mesin jahit pun berusaha ia tebus agar program itu sampai ke
dusunnya dan perempuan bisa berkembang.
Fenny sudah mengenalkan program SPP kepada perempuan di dusunnya sejak tahun 2009. Ia membentuk
kelompok SPP bersama anggota lainnya bernama Marhatu Solehah 1. Alhamdulillah, pinjaman itu bisa dimanfaatkan
untuk mengembangkan usaha menambah modal usaha.
“Saya bisa menambah modal untuk membeli bahan pakaian, saya ambil banyak bahan, kemudian nanti ibu-ibu
akan membeli sekaligus menjahitkan bajunya pada saya.” Ujar Yani. Yani mulai meminjam dana SPP sebesar 3 juta,
kemudian tahun berikutnya naik menjadi 5 juta, sekarang dia akan menambahkan modal lagi, sebab dia butuh untuk
membeli bahan baju sekolah, “mudah-mudahan cepat direalisasikan, karena pinjaman itu sangat bermanfaat, kalau ti-
dak bingung juga mau cari tambahan modal.”
Sekarang usaha Yani cukup berkembang, ia bahkan telah membangun ruangan khusus tempat ia menjahit.
Tentu saja sebagiannya dari keuntungan usaha menjahit. Ia meminjam dari SPP untuk mengembangkan usahanya.
Rostiwi juga demikian, awalnya ia hanya menjual tape 10 kg perhari, sekarang ia sudah mengembangkan usa-
hanya sebanyak 35 kg perhari. Modal pinjaman yang ia dapatkan nanti rencananya untuk stok ubi yang mulai sulit di
dapat.
“kalo saya, awalnya bingung bu, suntuk. Terus diajak ibu peni untuk buka usaha dari pada bengung-bengung” Ujar ibu
Dairah yang masih kental dieleg jawanya dan sedikit latah. Ia memang tidak bisa menghitung keuntungan dari hasil
penjualannya, tapi yang pasti ia bisa makan sekeluarga dari hasil usaha jualan sarapan pagi tersebut, dan membayar
cicilan SPP. “Saya nggak pernah telat lho bu, membayar cicilan.”
Sekarang, warga di dusun Tani jaya tidak lagi hanya menggantungkan hidup dari pertanian. Usaha pertanian
ini hanya pas untuk kebutuhan makanan pokok saja. Sedangkan kebutuhan yang dicari para istri cukup membantu me-
menuhi kebutuhan lain. Apalagi saat sekarang ini, mereka tidak bisa begitu berharap banyak ditengah mahalnya harga
pupuk dan bibit.
Ia tak sekedar perempuan biasa, yang mampu membangkitkan ekonomi keluargannya dari keterpu-
rukan akibat krisis moneter kala itu, tetapi ia memiliki keluarbiasaan karena berhasil membangkit-
kan semangat perempuan lain untuk membuka usaha, dengan kesahajaannya menggunakan cara-
cara sederhana dan mengedepakan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam mengelola keuangan or-
ganisasi. 15 Tahun membina kelompok koperasi perempuan Enggal Maju, mampu membina 160 ang-
gota untuk meningkatkan ekonomi dari tangan-tangan perempuan
Koperasi Perempuan Enggal Maju, memberi
banyak Inspirasi
Rumah sederhana milik Sri, perempuan berusia 50 tahun itu memang tidaklah luas, namun ia menyisihkan se-
buah ruang tamu untuk dijadikan sebagai kantor kelompok SPP simpan pinjam perempuan. Sejumlah berkas-
berkas administrasi kelompok lengkap ia tata meski tak serapi sebuah organisasi. Ruangan itu juga dipenuhi oleh
foto-foto kegiatan dan penghargaan yang diterima kelompok termasuk penghargaan dari PNPM Mandiri Perde-
saan. Deretan foto kegiatan anggota kelompok yang ia bina berjejer di sana. Tidak terasa , 15 tahun ia telah
membina kelompok tersebut yang turut pula mewarnai perkembangan desa Pematang Jaya, kecamatan Rengat
Barat, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, hingga menjadi kampung sentra industry kelompok pengrajin kerupuk.
Sri berawal membina kelompok itu dari sebuah perwiritan, boleh dibilang tanpa sengaja, yakni karena
kebutuhan untuk meminjam uang dari UPK (unit Pengelola Keuangan) binaan program PNPM Mandiri Perde-
saan. Program ini mengharuskan peminjaman melalui kelompok perempuan.
“Waktu itu tahun 1999, nama programnya adalah PPK. Kami meminjam uang lima ratus ribu, nung-
gunya sampai 2 tahun. Lama tenan” Dialeg jawa itu keluar begitu kental, maklum ia memang suku jawa dan
warga transmigrasi dari Solo di tahun 1980-an. Kala itu, kampung ekstrans masih sangat memprihatinkan, lahan
yang belum bersahabat untuk bercocok tanam, pembangunan infrastruktur yang minim, jalan lintas yang sulit
diakses kendaraan. Dengan membawa anggota perwiritan 5 Orang syarat minimal yang harus dipenuhi, mereka
pun meminjam untuk kemudian mengelola uanganya untuk merintis kembali usaha kecil-kecilan setelah usaha
warung kelontongnya tumpur akibat krisis moneter. Sri pun banting stir menjadi pedagang kerupuk keliling.
“Usaha kecil yang kelihatannya sepele inilah justru yang mampu menopang hidup keluarga kami. Da-
gang kain dengan modal besar justru tidak bisa berbuat apa-apa.” Ujar Sri seolah mengajarkan pada dirinya un-
tuk tidak sepele dengan usaha kecil-kecilan.
Sebagai ketua kelompok, Sri harus mengumpulkan uang setiap bulannya untuk membayar cicilan
kepada UPK, tentunya cukup merepotkan dan harus mengeluarkan ongkos. Untuk itu Sri meminta kesepakatan
anggota kelompoknya membayar “uang minyak”.
“Tapi yah nggak sampai hati juga, toh buk. masak saya cari untung sedang mereka juga susah, malah
lebih susah dari saya.”
Berawal dari Semangkuk beras Ini adalah sejarah yang tidak bisa dilupakan Sri, membesarkan organisasi berawal dari semangkuk
beras. Yah, untuk membayar cicilan ke kantor UPK yang jaraknya 10 Km, dengan jalanan dari kampung trans
menuju ibukota kecamatan bukan medan tempuh jarak yang mudah, tak ada kendaraan umum. Karena tak sam-
pai hati mengutip biaya, akhirnya sri memberikan usulan membayar iuran dengan membayar semangkuk beras,
dan usulan tersebut disepakati oleh anggota. Maka sejak itu uang iuran pun dibayar dengan semangkuk beras.
mengalihkan uang minyak untuk setoran kredit ke UPK.
Berkat kegigihan para ibu-ibu membuka usaha, yang kala itu sri menjual kerupuk sampai akhirnya ia
memiliki usaha pembuatan kerupuk, serta rekan-rekannya yang lain usaha kecil-kecilan, kelompok SPP mereka
pun dipandang berhasil dan meminjam uang ke UPK pun menjadi gampang. Beberapa warga di kampung
mereka juga ingin bergabung, sri pun mempermudah pinjaman kepada teman-temannya yang lain. Pinjaman
yang diperuntukan kepada 5 orang yang jumlahnya sudah mulai besar karena kelompok mereka merupakan
kelompok yang telah berkembang, dibagikan kepada 10 orang. Sehingga manfaat peminjam lebih banyak. Na-
mun Sri cukup hati-hati agar tidak ada penunggakan. Sri betul-betul membuat pendekatan pribadi agar anggota
membayar sesuai dengan jadwal.
Sampai akhirnya, kelompok spp enggal maju berkembang, UPK dan fasilitator kabupaten Inhu pun ikut
melakukan pembinaan. Melihat jumlah pemanfaat pinjaman yang dikelola ibu Sri ini cukup besar, maka kelom-
pok SPP pun di usulkan menjadi kelompok eksekuting. Kelompok eksekuting ini akan mendapat pinjaman yang
lebih besar dan bisa membuat aturan kelompoknya sendiri. “Saat ini saldo kelompok kami sebesar seratus juta,
bu. “ Ujar Sri. Kami bisa memberikan pinjaman kepada saudara-saudara kami yang membutuhkan untuk modal
usaha maupun pengembangan usaha satu juta sampai lima juta. Bahkan Cuma pinjam lima ratus ribu.”
Tetapi sekarang bayar iuran sudah nggak pake semangkuk beras, sebab anggota kelompok sudah 160
orang, yang mengutip beras sudah nggak sanggup lagi. Sehingga mereka membayar iuran sebesar Rp 5.000
perbulan.
Kelompok ini tak sekedar menerima keuntungan, tetapi keuntungan kelompok sebagai sisa hasil usaha
mereka ini akan kembali diberikan kepada anggota.
“SHUnya macam-macam bu, nggak duit, tapi barang. Kadang ada panci, piring dan lainnya.”
Sebahagian SHU yang dimiliki kelompok ini juga terkadang diberikan kepada masyarakat kurang
mampu, hal ini tergantung keputusan rapat anggota, yang kini sudah berjumlah 160 Orang. Dan Alhamdulillah,
sekarang Desa Pematang jaya tidak hanya menjadi desa yang makmur karena pertanian sawit dan karetnya bisa
diandalkan, tetapi desa ini juga menjadi desa yang warganya bisa mencari penghidupan dikampung sendiri den-
gan tumbuhnya perekonomian di sana. Kampung ini dikenal sebagai kampung sentra pembuat kerupuk.
Pagi-pagi hari, usai anak sekolah sudah bepergian ke sekolah masing-
masing, para ibu kelompok SPP sudah bertandang ke rumah ibu Sunarti.
Teras samping rumah ketua spp itu sudah disulap menjadi dapur bersama
untuk pabrik kerupuk sayur. Di situlah para ibu-ibu yang berjumlah 8 orang
bercengkrama dengan tepung, minyak goring serta bungkusan pelastik. Ru-
angan ini menjadi meriah bersama rumpian mereka dan music dangdut yang
menghibur. Gelak tawa dan canda menambah semangat pagi seperti seman-
gat mereka mengais rezeki dengan bersama-sama. Kebersamaan ternyata
tak hanya menimbulkan cinta, tetapi kebersamaan bisa mengembangkan
ekonomi bersama pula bagi mereka. Dengan begitu, mimpi mereka menjadi
pengusaha bisa terwujut. Kerupuk sayur usaha kelompok sawit indah, Desa
teluk aur, kecamatan Rambah samo, Kabuaten Rokan Hulu, Provinsi Riau
Usaha Bersama Kerupuk Sayur
untuk Kemajuan Bersama
Berawal dari kisah pilu dari anggota kelompok yang ga-
gal mengembangkan usahanya. Ada pedagang goreng pinggir
jalan jajanan sore yang tutup , penjual pecal yang kehabisan
modal, pedagang kelontong yang tumpur, serta penjual cen-
dol yang bangkrut. Tentu saja, gambaran untuk mengem-
balikan uang pinjaman ke UPK menjadi menakutkan buat
mereka, ketika usaha tak lagi bisa bertahan. Dari kisah itulah,
Sunarti sebagai ketua kelompok harus ikut memikirkan ang-
gota kelompoknya untuk mengembangkan usaha bersama,
agar beban yang dirasakan bisa diselesaikan bersama pula.
Meski dibilang belum berpengalaman membuat kerupuk
sayur sekaligus memasarkannya, akhirnya 8 ibu-ibu ini ber-
bagi tugas bersama. Ada kebagian tukang ngulen, mencetak,
menggoreng, membungkus, hingga memasarkan dari warung
ke warung.
“Alhamdulillah, 5 bulan sudah berjalan usaha bersama
ini, semuanya bisa menunjukan hasil yang lumayan.” Ujar
Sunarti begitu bersemangat. “Dari Cuma 15 kilo sekarang su-
dah 15 kilo perhari tepung yang diolah menjadi kue sayur.
“Kebersamaan itu tak hanya bisa menyelesaikan masalah
membayar cicilan, tapi kami yakin usaha ini bisa berkem-
bang.” Ujar Sunarti yang disambut gebira ibu-ibu yang lain.
Memang, sekarang ini ibu-ibu belum bisa menikmati ke-
untungannya, mereka masih berupaya menyelesaikan pinja-
man terlebih dahulu dari modal yang mereka ambil sebelum-
nya. Tapi mereka berkeyakinan, usaha ini bisa berkembang,
dan akan mendapat keuntungan. Buktinya setiap bulan dari
modal yang mereka kumpulkan bersama itu, mereka bisa
mengembalikan pinjaman setiap bulannya.
Suara penggorengan kerupuk sayur telah selesai. Se-
bagian ibu-ibu sudah bersiap siap untuk menjajahkannya ke-
langganan mereka yang kini sudah mulai banyak. Tidak saja di
wilayah desa sawit, bahkan kerupuk sayur sudah mereka ja-
jahkan di kecamatan seberang. Semua pekerjanya adalah ibu-
ibu, hingga marketing penjualnya juga para ibu-ibu. Mengen-
darai sepeda motor dengan tumpukan kerupuk di boncengan,
serta di setang kanan kiri, sudah menjadi pemandangan biasa
yang membuat keheroikan para ibu ini justru menonjol. Betapa
mereka berjuang untuk hidup.
“usaha bersama ini membuat
kami bisa sama-sama kuat.”
Ujar mereka menyadari bahwa
usaha bersama itu lebih baik
asal tetap menjaga kebersamaan
dan terutama keterbukaan dalam
memenagemen usaha.
Kelompok SPP Sawit In-dah tengah menunjukan kepada rekan-rekannya,
bahwa usaha bersama le-bih memberikan keber-samaan gotong royong
yang saling menguatkan untuk maju. Yang ter-
penting adalah saling per-caya dan keterbukaan
dalam mengelola usaha. Dengan demikian usaha
mereka lebih maju di-bandingkan usaha yang dikelola secara sendiri.
Baru 5 bulan menjalani usaha bersama, pening-katan produksi sudah cu-
kup pesat. Dari hanya memproduksi 5 kg, kini perharinya sudah 20 kg, usaha ini semakin meng-
giurkan
Lima belas tahun lalu, tentu tak pernah hilang dari ingatan Nasti,
saat konflik politik bergejolak di Provinsi Aceh. Ribuan pendatang
di Aceh tergusur saat itu dan salah satunya adalah Nasti. Hidup
dalam pengungsian di Kota Medan membuat ia frustasi karena keti-
daktentuan nasib, berpindah-pindah mencari pertolongan dari sanak
saudara yang masih tersisa, sempat ke Kabupaten Kisaran di Su-
matera Utara, hingga akhirnya mendamparkan diri di Kecamatan
Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau.
Di Kecamatan Tambusai Utara, dengan membawa 4 orang
anak, air matanya menahan penderitaan hidup masih belum berhenti.
Ia nyaris putus asa, membayangkan harta yang terpaksa ditinggal
karena terusir dari perantauan oleh sebab politik yang tidak menentu,
sedang saat ini ia nyaris tak punya apa-apa. Namun anak-anaknya
masih butuh hidup, ia harus tetap bangkit, ditengah keadaan suami
sudah tak berdaya.
Waktu itu Nasti hanya memiliki uang Rp 50.000 yang tersisa,
dalam fikirannya tengah berkecamuk, mau diapakan uang itu untuk
mempertahankan hidup yang masih panjang. Entah bagaimana uang
itu sebagiannya ia belikan beras dan membeli 2 kg kacang kedelai.
Kacang kedelai itu ia olah menjadi tempe, maksud hati tempe itu ia
buat untuk lauk, namun ia mencoba menjualnya ke tetangga dan warung. Bermula
dari 2 kg kacang kedelai itulah Nasti terbuka fikiran itu untuk terus menjual
tempe dari warung ke warung, hingga terus meningkat sampai 5 Kg perhari.
Tahun 2009, Nasti mulai mengembangkan usahanya setelah bertemu den-
gan sebuah kelompok kenanga dari sebuah perwiritan. Kelompok itu mengajukan
pinjaman dana ke Unit pengelola Kegiatan kecamatan Tambusai Utara dari
PNPM Mandiri Perdesaan. Betapa bahagianya Nasti, pinjaman itu untuk membeli
peralatan untuk merebus kedelai dan dandang agar bisa memasak tempe lebih
banyak lagi, karena permintaan tempe kian hari kian bertambah. Nasty tak lagi
menjajahkan tempe berjalan kaki, ia sudah mulai bersepeda pada waktu itu,
hingga akhirnya permintaan tempe pun terus bertambah. Perharinya kini kebutu-
han tempe bagi pelanggannya sudah 50 kg. Nasti pun terpaksa meminjam kenda-
raan sepeda motor untuk bisa menjangkau pembelinya keerbagai desa.
Tahun 2014, nasty nekat harus membeli sepeda motor sendiri.
“mau dibelikan apa mbah uang pinjaman ini ?” Tanya tim verifikasi dari UPK
Kecamatan Tambusai
“Mau beli montor” Ujar Si Mbah polos
“Wah nggak bisa mbah untuk pembelian konsumtif begitu.” Ujar Ayu tim pen-
damping local UPK
“Yah… wong aku butuhnya untuk beli montor kok.” Ujar si mbah seperti ngotot,
“kalau mau namabh tempe, aku tinggal bilang saja sama kedai mbatak itu, tapi
aku butuhnya beli montor sama nambah alat. Pelangganku sudah banyak, jauh-
jauh”
“O... “ Ayu tersipu, dan mengangguk-angguk. “kalau untuk itu boleh mbah.”
Sekarang, Nasti sudah dikenal di pelosok desa dengan sebutan si Mbah
Tempe. 50 Kg perhari kacang kedelai ia olah menjadi tempe, ditambah lagi den-
gan tempahan diluar langganannya. Dari usahanya itu Ia bahkan sudah mem-
pekerjakan 4 Orang untuk mengembangkan usahanya. Dan kini mbah tempe itu
bersama suaminya yang senantiasa bersama mengembangkan usaha, bahu mem-
bahu mulai bisa menapaki hidup dengan tenang.
Ketika Mereka Menemukan Asa Mbah Tempe
Awalnya 2 Kg, dengan bermodalkan uang Rp 50.000. Ia menguatkan
tekatnya untuk bisa menyambung hidup.
Hingga ia berani memin-jam modal dari program
SPP-PNPM Mandiri Perdesaan, tanpa
agunan.
Sekarang perharinya ia memproduksi 50 Kg
kedelai untuk menjadi tempe. Kini ia mulai
hidup mapan. Kisah pilu terusir saat konflik aceh
tak membuatnya dirudung duka.
Ketika Mereka Menemukan Asa
Pulau Kijang adalah sebutan lain di Kecama-
tan Reteh, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau.
Wilayah ini masuk dalam kategori ekstrem. Maklum,
untuk menuju Kecamatan ini saja kita harus meng-
gunakan jalur air, spead boad kecil atau disebut cucut,
yang hanya berpenumpang 12 Orang. Memasuki
wilayah ini bisa dua jalur, dari jalur darat dan jalur
air. Jalur air dengan perjalanan 1 jam lebih banyak
digunakan, baik masuk melalui pelabuhan tembilahan
maupun dari kecamatan Keritang. Kerena jalur darat
meskipun berbiayan murah, namun malah jarang
digunakan karena kondisi jalannya cukup rusak
parah. Selain pertanian kelapa dan persawahan, sum-
ber penghasilan masyarakatnya adalah nelayan. Mak-
lum, Kabupaten Indragiri Hilir dikenal dengan negeri
seribu Parit, atau anak-anak sungai. Ikan dan udang
adalah santapan sedap yang tidak pernah luput dari hidangan mereka. Termasuk di Pu-
lau Kijang Ini.
Nah, beragkat dari itulah, masyarakat di daerah penghasil udang ini mulai
berkreativitas menambah sumber pendapatan lain. Utamanya para kaum ibu yang se-
lama ini menunggu hasil tangkapan suami atau nelayan lain. Emplang, alias kerupuk
asli udang segar adalah jenis usaha yang sangat popular di pulau Kijang Kecamatan
Reteh . Salah satunya adalah Ibu Masniah salah seorang anggota Simpan Pinjam Per-
empuan. Usaha awal yang hanya coba-coba ini untuk sekedar menambah pendapatan
justru sekarang menjadi sumber mata pencaharian utama. Bayangkan, ia yang dibantu
3 Orang pekerja sudah bisa berpenghasilan sekitar Rp 6 juta setiap bulannya dari usaha
Emplang..
Awalnya Masniah hanya membuat usaha kecil-kecilan, cukup 2 kilogram cu-
kup dengan bekerja seorang diri. Namun melihat mulai berkembang, Masniah pun
mengembangkan usahanya. Sekarang ia sudah membesarkan usahanya, ia pun menda-
pat pinjaman dari Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dari Program PNPM Mandiri Perde-
saan. Sudah bergabung dengan Kelompok SPP sejak PNPM Mandiri Perdesaan masuk
ke kecamatan Reteh di tahun 2008. Dan sekarang ia sudah bisa membesarkan usa-
hanya. Pinjam itu ia gunakan untuk membeli peralatan seperti kompor gas, Kuali Be-
sar, Toples besar, dandang dan lainnya.
“Setiap hari kami menghasilkan sekitar 30 kg Emplang yang sudah siap dipasarkan
dan menghasilkan uang satu juta rupiah.”
Ibu Masniah tak hanya mendapatkan sumber penghasilan bagi dirinya, tetapi ia juga
telah memberikan penghasilan tambahan bagi orang lain. Meski usia sudah berkepala
5, ibu Masniah tidak mau berpangku tangan, usahanya ini membuat semangat paginya
tetap bergairah dan siang hari ia masih bisa beraktivitas social seperti perwiritan.
Emplang si Pulau Kijang
Masniah menyandarkan
hidup pada Emplang,
makanan khas dari ke-
camatan Reteh-
Indragiri Hilir. Ber-
sama Emplang, ia kini
tetap bisa menata
hidup. Bergabung den-
gan kelompok SPP-
PNPM Mandiri
Perdesaan, ia semakin
percaya diri mengem-
bangkan usaha menjadi
pengusaha mandiri.
Ketika Mereka Menemukan Asa
Hidup adalah ujian yang harus diperjuangkan untuk tetap
naik pada tingkatan menjadi manusia yang bermartabat. Tidak ban-
yak yang bisa melewati tahapan karena tidak gigih dalam perjuan-
gan, banyak pula yang putus asa dan menyalahkan pada nasib yang
tidak berpihak pada diri. Tapi tidak bagi Mardianis, anggota kelom-
pok SPP (Simpan Pinjam Perempuan) dalam program PNPM
Mandiri Perdesaan yang tergabung dalam kelompok SPP- Al Muk-
minin di kelurahan Minas Jaya, kecamatan Minas, Kabupaten Siak,
Provinsi Riau. Ia adalah catatan ketangguhan seorang perempuan
yang berhasil melewati masa-masa sulit dengan perjuangannya
ditengah keterpurukan ekonomi keluarga.
Mardianis membuka usaha ayam potong sekitar 4 tahun yang
lalu. Kala itu suaminya yang sebelumnya adalah penanggungjawab
utama ekonomi keluarga hampir menyerah karena penghasilannya seba-
gai supir truk mulai seret. Dan kapal dalam biduk rumah tangga mereka
pun semakin karam ketika suaminya nyaris tidak bisa apa-apa karena
menderita stroke. Mardianis tak bisa lama mendekam dalam kesedihan
dan kesusahan, ia harus bangkit dengan kekuatan anak-anaknya yang
juga membutuhkan hidup yang layak sebagai anak-anak yang memiliki
masa depan.
Seorang tetangga berbaik hati membuka jalan baginya untuk
usaha dagang ayam potong. Awalnya Mardianis berjualan ayam potong
milik tetangganya itu hanya beberapa kilo yang ia jual di pasar. Usaha
coba-coba itu ternyata memberikan nafas bagi kehidupan Mardianis.
Hingga akhirnya Mardianis mulai ingin usaha sendiri, tapi kendala klise
ketiadaan dana menjadi penghalangnya. Sampai ia mendengar ada pinja-
man tanpa agunan dari UPK (Unit Pengelola Kegiatan) milik kecamatan
Minas. Alhamdulillah, pinjaman modal itu membuka peluang usaha yang
kini menjajikan tersebut.
Setiap harinya, tak kurang 60 Kg ayam potong yan g diperjual
belikan. Untuk keuntungannya sendiri sekitar Rp 150 ribu sampai Rp
200 ribu perharinya. Bila diperhitungkan selama 1 bulan, penghasilan
yang diperoleh Mardianis bisa mencapai Rp 5 juta bahkan lebih.
“Alhamdulillah, bu. Dari usaha inilah saya bisa menguliahkan
anak saya yang paling besar.” Wajah Sumringah Mardianis tak mampu
ditutupinya dihadapan fasilitator Kabupaten dan Tim Monitoring PNPM
Mandiri Perdesaan RMC 1 Gatot. “Tahun ini saya meminjam dana lima
juta rupiah” Pinjaman itu untuk memutar modal usaha. Trik jitu
Mardianis dalam menjual ayam potongnya itu, Ia tak hanya menjualkan
ayam potong di depan rumahnya, tetapi memberikan service, yakni
pesanan bisa langsung diantar ke rumah, pelanggannya ada beberapa
rumah makan. Sehingga Mardianis yakin, usahanya ini bisa menghidupi
keluarga, asal siap dan berani bertarung.
Usaha Ayam Potong
“Alhamdulillah, bu. Dari usaha inilah saya bisa menguliahkan anak saya yang paling besar.” Sebelum memiliki modal, ia hanya menjadi penjual ayam eceran mengambil dari pedagang lain dengan untung sedikit. Kini ia sudah punya usaha sendiri. Tidak ia duga, kini usahanya kian maju, ten-tunya berkat pinjaman lu-nak dari program SPP– PNPM MPd
Ketika Mereka Menemukan Asa
Rabu, 23 April 2014 pada saat Tim
Audit BPKP Provinsi Riau didampingi Tim Faskab
Bengkalis sedang melakukan audit PNPM Mandiri
Perdesaan di UPK Kecamatan Bantan, tiba-tiba datang
seorang Ibu separoh baya ke Sekretariat UPK
Kecamatan Bantan. Setelah bersalaman, beliau langsung
menemui Ketua UPK Kec Bantan Erlinawati. Ternyata
si ibu adalah Estherlin, Ketua Kelompok SPP Wanita
Nelayan dari Suku Akit Desa Selat Baru Kecamatan
Bantan Kabupaten Bengkalis. Estherlin mengatakan
bahwa beliau dapat telepon dari Panitia Temu Duta
PNPM Tingkat Nasional untuk berangkat ke Jakarta
tanggal 7 Mei 2014, mewakili Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau sebagai Duta PNPM Tingkat Nasional.
Saat itu semua pelaku program yang
mendengarkan cerita Estherlin mengucapkan selamat
“Surat undangan juga sudah diterima tanggal 11 April
2014. Melalui surat tersebut acara Temu Duta PNPM
akan dihadiri 100 orang dari seluruh Indonesia, dengan
tema BERSAMA PNPM MANDIRI, MASYARAKAT
BERDAYA, MANDIRI DAN BERMARTABAT. Kegiatan akan
berlangsung selama 3 hari efektif dari tanggal 8 – 10 Mei 2014
bertempat di Lapangan Monas Jakarta..
Esterlin adalah anggota SPP suku akit atau suku asli di Provinsi
Riau. Ia adalah ketua kelompok SPP yang dinilai berhasil membina
anggota kelompok yang juga suku akit. Kelompok mereka
merupakan kelompok yang selalu langganan mendapat IPTW
karena tidak pernah menunggak. Di bawah Estherlin, Kelompok
SPP Wanita Nelayan ini tercatat sudah 5 tahun sebagai nasabah
Dana Bergulir Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Kecamatan Bantan
tanpa pernah menunggak. Dana pinjaman khusus Estherlin
digunakan untuk usaha kecil-kecilan berupa menjual barang-barang
harian dan jual Pulsa. Sementara sang suami, bernama Yeasa alias
Atong sebagai nelayan sangat mendukung kegiatan sang isteri. Hasil
pantauan Faskab, Estherlin juga sehari-hari sebagai Guru Paud di
Dusun Brancah Desa Selat Baru. Beliau juga aktif sebagai Kader
PKK, Kader Posyandu, hadir rapat-rapat desa/Dusun/RT dan
penggerak untuk kemajuan perempuan-perempuan Suku Akit.
Duta PNPM MPd Itu Perempuan Akit
Esterlin membina kelompok perempuan, hanya semata pe-duli memajukan masyarakat dan suku mereka yang terke-belakang. Dengan membina se-jumlah perempuan untuk pro-duktiv dan mandiri dengan membuka usaha. Kesederhanaan cita-cita itu justru menghantarkan ia ke Ja-karta untuk mewakili provinsi Riau menjadi duta PNPM Mandiri Perdesaan. Suku akit tak ingin menjadi masyarakat keterbelakang, mereka pun ingin maju, men-ingkatkan taraf hidup. Teri-makasih PNPM Mandiri Perde-saan, selama ini telah mem-berikan ruang pada kami>“ ujarnya
Suliyem menatap sepeda tuanya yang kini sudah mu-
lai jarang ia pakai. Kini sepeda itu lebih sering terdiam di be-
lakang rumah, atau sesekali dipake anaknya untuk bermain,
tak ada lagi cerita ia kelelahan, dungkulnya pegal, atau naik
betis karena kelelehan menggoet sepeda saat menjajahkan
dagangannya dari pintu ke pintu sebab kini ia sudah memiliki
kios tempat berjualan.
Suliyem adalah salah seorang anggota kelompok SPP
(simpan Pinjam Perempuan) yang awalnya hanya berdagang
dengan menggunakan sepeda dan hanya bermodalkan awal
sekitar 500,000 yang merupakan dana pinjaman kepada
kelompok yang diajukan ke UPK pada tahun 2008. Sekarang
Suliyem sudah bisa menyewa kios dipasar desa. Di kiosnya
sudah banyak dagangan pakaian lebih lebih lagi mejleang le-
baran, pelanggan untuk membeli pakaiannya pun bertambah.
Bahkan omzetnya untuk satu kali hari pasar sebesar Rp
2,000,000 lumayan untuk bisa bantu keluarga dirumah,
Adanya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Perdesaan ini membuat beberapa komunitas perem-
puan mampu menopang kehidupan keluarga mereka, ini yang
dirasakan oleh kelompok Kenanga yang berada di pasir
Agung, Rokan Hulu. dari 10 anggota yang bergabung den-
gan kelompok mempuyai aktivitas sebagai pedagang pakaian
jadi dipasar desa Pasir Agung dan beberapa dipasar desa yang
lain, dan ini sangat dirasakan sekali manfaatnya oleh peman-
faat SPP
Dan untuk menjelang lebaran biasanya omzetnya juga
naik, disamping bulan awal sekolah, disamping itu juga Ang-
gota dari kelompok ini juga menyedia layanan pembelian se-
cara kredit dengan cara mengangsur setiap minggunya pada
hari selasa, akan tetapi pengelolaannya hanya dilakukan se-
cara individu belum terarah kepada peningkatan kapasitas
kelompok dikarenakan anggotanya mengelola aneka usaha,
dalam tujuan visi kelompok ini akan mencoba mengelola
kegiatan semua anggotanya dengan kelompok usaha bersama,
tetapi membutuhkan waktu lama,
Ketika Mereka Menemukan Asa
Kios Suliyem
Suliyem kini telah menyewa kios di pasar desa. Usahanya dalam menjual pakaian keliling kian besar. Pelanggannya su-dah mulai banyak. Ini semua tidak ia dapatkan begitu saja. Selain usaha yang gigih, ia juga mendapat bantuan pinjaman dalam program SPP-PNPM Mandiri Perdesaa dengan mu-dah dan ringan. Dari tahun ke tahun, ia membangun keper-cayaan. Tidak pernah menung-gak. Kini sepeda tua yang biasa menghantarkannya dari pintu ke pintu untuk berdagang pakaian telah lama pengsiun. Ia semakin menatapi masa de-pan dengan kios barunya, men-jadi pengusaha mandiri.
Ketika Mereka Menemukan Asa
Adalah Sukinem dari d e s a
wono Giri, kecamatan Lirik, Indragiri Hulu, nenek dari
5 Orang cucu ini masih kuat wara wiri mengembang-
kan usahanya merangkai bunga yang kini mulai banyak
dikenal di kampungnya hingga ke luar kota termasuk
pekanbaru dan bukit tinggi Dulu ia dikenal dengan
sebutan nenek su sipembuat keripik, sekarang ia mulai
dikenal si pembuat rangkaian bunga.
Hasil rangkaian bunganya pun kini mulai ban-
yak diikutkan dalam pameran mewakili desa mereka.
Desa punya nama, tapi neneku su meraih keuntungan
dari penjualan bunga.
“saya senang saja, bisa dapet untung karena bunga saya
bisa laku terjual. Bahkan pembelinya adalah bapak Bu-
pati.” Ujar polosnya penuh bangga. Tidak ia kira, hasil
rangkaiannya diminati kepala daerah.
Memang, bunga rangkaian Nenek su terbilang tidak istimewa,
sebab di rangkai dari bunga plastic yang ia beli di pasar. Tetapi Nenek Su
merangkainya di akar kayu yang hanya bisa ia dapat dari dalam hutan.
Bentuknya melingkar lingkar seperti ular dan di tata seperti pohon,
hingga menghasilkan nilai estetika. Harga jualnya pun terbilang tidak
mahal jika dijual di pasarandari Rp 400 .000 sampai Rp 600.000.
Tentu saja nenek su tidak mengambil akar hutan itu sendiri, ia
dibantu oleh suaminya dan adiknya mengambil akar hutan tersebut. Ke-
mudian dibentuk seperti batang pohon dan dihaluskan hingga dipernis.
Karena banyaknya pesanan, ia meminta adiknya mencarikan akar hutan
tersebut.
“Lebaran hingga usai lebaran ini permintaan sudah ada 20 buah. Untung
ada pinjaman SPP jadi bisa saya modalkan buat membeli bahan-bahan
bunga. Kalau tidak dari mana modal saya, bu.” Uajar nenek Su begitu
semangatnya.
Ia seperti tidak kenal lelah, pagi-pagi hari ia sudah berkutat di
dapur siap mengolah keripik ubi yang ia kelola perharinya sebanyak 25
kilo. Keripik ubi ia hantar ke 4 warung langganannya. Perhari ia bisa da-
pat untung Rp 80.000. Uang keripik inilah yang ia sisihkan setiap hari
untuk mengembalikan pinjaman dari SPP. Managemen sederhana yang ia
lakukan ini membuat nenek Su ini menjadi anggota kelompok SPP te-
ladan karena tidak pernah menunggak.
Nenek Su mengenal SPP-PNPM mandiri perdesaan ini sudah
cukup lama. Pertama kali ia meminjam Rp 2 juta. Ia bisa terus menerus
mengembangkan usaha keripiknya hingga semua anak-anaknya bisa
menamatkan sekolah. Bahkan ketika suami 2 tahun lalu pension dari
pekerjaan, Nenek Su tidak takut, mereka masih tetap bisa melanjutkan
hidup berbekal usaha dari kemahiran nenek Su dan kepercayaan UPK
memberikan pinjaman.
Sukinem-Dari Keripik hingga Merangkai Bunga
Dari Usaha keripik dengan harga eceran seribu perak, menjual kue lebaran, hingga menjual rangkaian bunga se-harga ratusan ribu. Nenek su ini tidak mau kehilangan mo-men untuk terus mencari rupiah demi mengepulkan asap dapur di rumah. Modal pinjamannya kepada UPK Kecamatan Lirik , In-dragiri Hulu, ia kelola hingga menghasilkan keuntungan dan usahanya bisa menopang ke-luarga. Ia bahkan bisa mem-berdayakan cucu-cucunya un-tuk membantu usahanya itu. “terima kasih PNPM, pinjaman itu sangat berarti buat kami mengembangkan usaha.” Ujar Nenek Su
Ketika Mereka Menemukan Asa
Waktu itu, keringat disekujur
tubuhnya sudah penuh dengan keringat. Ia tetap
menggoet sepeda, meski dungkul kakinya sudah
terasa lelah. Maklum, usianya sudah hamper mema-
suki kepala enam. Ia masih merasa belum terlalu tua,
demi dorongan hidup tetap mencari nafkah. Usaha
dagang kebutuhan hidup memang sudah ia lakoni se-
jak dahulu iatelah berkeluarga, tapi peningkatan
hidup belum menunjukan tanda-tanda. Penghasi-
lannya hanya cukup untuk hidup, ia sulit sekali
menambah modal kemudian bisa memiliki warung
sendiri dan cukup menjaganya di sana.Sampai
akhirnya cita-cita itu terwujut, saat itu ibu Yani sang
kader desa menghampirinya dan menyarankan agar ikut dalam kelompok
dan meminjam dana SPP.
Akhirnya meski awalnya takut-takut, tapi akhirnya cita-cita itu
pun terwujut, ibu Nur Inah kini sudah punya warung impiannya. Meski
kecil dan sangat sederhana, tetapi warung ibu Nur Inah penduduk desa
Bunga Raya kecamatan Bungaraya kabupaten Siak, adalah warung ter-
lengkap di desanya.
“Alhamdulillah… “ Ibu Nurinah malu-malu menceritakan sejarah-
nya ia bisa memiliki warung itu. Kini ia tidak lagi bersepeda berkeliling
menawarkan dagangannya dari rumah ke rumah. Ia sudah terlalu tua,
dungkul ini sudah tak sanggup lagi menggoet sepeda.Sekarang ibu Nur
Inah sudah yang ketiga kalinya meminja. Pertama kali ia dapat pinjaman
sebesar Rp 3 juta untuk awal memuka arung. Ia membelanjakan semua
uang itu untuk memenuhi isi warung. Sekaran.ia sudah meminjam Rp 5
juta, ia pun sudah bisa membeli barang dengan ukuran besar. Misalnya,
sekarang ia sudah membeli stok gula 1 goni. Untungnya tentu saja lebih
besar dibanding ia hanya membeli gula kiloan.Kini warungnya semakin
lengkap, ibu Nur Inah bahkan menjual sayuran dan ikan kering.
Ia memang sudah tua, meskipun banyak lupa ia tidak lupa mem-
bayar cicilan kepada ketua kelompok. Bahkan, agar tak lupa harga
jualannya, ia menuliskan harga di setiap barang. Yah, meski warungnya
kecil, sangat sederhana, tapi layanannya nyaris seperti mini market. Wa-
rung yang lengkap.“Yah, saya bersyukur mengenal kelompok SPP, saya
bisa begini. Hidup dihari tua, masih bisa berarti buat anak cucu dan tak
harus menompang hidup pada siapa pun.” Ujar Nur Inah Sumringah.
Warung Impian Di usia Senja
Kisah Ibu Nurinah (67)
tahun ini membangunkan
kita dari mimpi. Diusia
senjanya itu ia tetap
mempertahankan hidup
dari usaha kemandir-
iannya. Dan tak pernah
lelah. Hingga ia pun bisa
mewujutkan impiannya
memiliki warung di depan
rumah. Berkat program
SPP-PNPM Mandiri Perd-
esaan. Kisah ia seti-
daknya memelekan orang
-orang muda, yang lebih
suka berpangku tangan
bahkan menadahkan tan-
gan, tapi Ibu Nur Inah,
yang telah tua itu tetap
berdiri di atas kakinya
sendiri
Ketika Mereka Menemukan Asa
Tangan-tangan itu begitu terampil membentuk
tempe pada cetakannya yang terbuat dari papan biasa.
Sebuah kerjasama yang baik di dalam keluarga ini
pun mengalir seperti tanpa komando. Setiap hari ke
hari dan begitu seterusnya, pembagian kerja sudah ada
pada tugasnya masing-masing. Si istri sejak pagi su-
dah merebus tempe d an mencampurnya dengan ragi,
ia dibantu oleh suami dan anaknya. Usai itu, sebelum
matahari menampakan kesombongan, mereka sudah
bergegas pergi ke pasar untuk menjual tempe yang
sudah dicetak dan dibungkus semalam. Ada 6 keran-
jang perharinya atau 25 kg kedelai yang mereka olah
dan dijual ke pasar simpang Medan kelayang, In-
dragiri Hulu, Riau
Sepulang dari pasar, sang suami di rumah su-
dah menyiapkan cetakan tempe dari daun. Nyaris tak
punya waktu untuk beristirahat, sang istri sudah
duduk pada posisinya siap untuk mencetak tempe. Se-
sekali anak lelakinya ikut membantu kalau sedang tak
kuliah atau aktif sebagai kader pemberdayaan di desa.
Begitulah setiap harinya, dagangan tempe ibu Jumiarti
sudah habis setiap harinya 6 keranjang atau bila dirupiahkan
setiap hari Rp 600.000 uang yang ia peroleh dan ia kelola kem-
bali. Kadang-kadang belum sampai siang hari ia sudah pulang
karena dagangannya cepat sekali habis.
“perharinya 25 kg kedelai yang dibuat jadi tempe. Syu-
kurlah, selalu habis di jual di pasar.” Ujar Jumiarti
Selain usaha pembuatan tempe, ibu ini juga membuat
tahu yang tidak kalah laresnya. Saying saat kami berkunjung ia
tidak sedang membuat. Biasanya bila ada tamu datang, ia tidak
sungkan menyertakan hidangan air tahu yang biasa dikonsumsi
ibu-ibu khususnya saat hamil. Rasanya tidak jauh berbeda den-
gan susu kedelai karena berbahan yang sama.
Ibu Jumiarti adalah salah seorang anggota kelompok SPP.
Ia sangat bersyukur bisa mendapatkan pinjaman yang bisa
menambah modalnya untuk membeli bahan baku tempe yakni
kedelai. Modal itulah yang terus menerus ia olah, keuntungannya
bisa untuk mengidupi keluarga. Maklum, suaminya sendiri tidak
bekerja apa-apa kecuali membantunya mengelola usaha tempe
ini. Walau kelihatan sederhana, ibu Jumiarti justru bisa menyeko-
lahkan anak bungsunya hingga selesai kuliah.
Walaupun usaha tempe ini cukup menjanjikan, sebab
usaha tempenya telah dikenal oleh langganannya, namun ia be-
lum berani meningkatkan produksi, dengan demikian ia bisa
menampung tenaga kerja yang lain. Mudah-mudahan kede-
pannya ibu Jumiarti bisa terfikirkan untuk mengembangkan
usaha, sehingga ada peningkatan taraf hidup, anggota SPP
Usaha tempe Penyambung Hidup
Ibu Jumiarti adalah salah seorang
anggota kelompok SPP. Ia san-
gat bersyukur bisa mendapatkan
pinjaman yang bisa menambah
modalnya untuk membeli bahan
baku tempe yakni kedelai. Modal
itulah yang terus menerus ia olah,
keuntungannya bisa untuk men-
gidupi keluarga. Suaminya
sendiri tidak bekerja lain, kecuali
membantunya mengelola usaha
tempe ini. Walau kelihatan seder-
hana, ibu Jumiarti justru bisa
menyekolahkan anak bungsunya
hingga selesai kuliah.
Ketika Mereka Menemukan Asa
Betandang ke rumah Ibu Sri, sang pengrajin Pot
bunga dari bahan Batok kelapa, anda akan disambut den-
gan berbagai hiasan berbahan batok kelapa. Mulai pot
bunga, lampu hias, tempat buku, hingga meja. Semuanya
terbuat dari bahan batok kelapa yang dihaluskan dan
dipernis, hingga menghasilkan hiasan bernilai es-
tetika yang tinggi.
Sekarang ia sudah memiliki galeri untuk me-
mamerkan hasil kerajinannya ini. Halaman rumah-
nya ia sulap menjadi galeri sederhana tempat keraji-
nan itu ia pamerkan untuk diperjual belikan. Mak-
lum ia sangat kewalahan untuk menjualkannya se-
bab tidak selamanya ia harus menjualnya hingga
menunggu ada bajar di Kabupaten.
Banyak yang mendukungnya untuk berkreatifitas menjual
produk unggulan hiasan batok kelapa ini. Termasuk program
simpan pinjam perempuan atau SPP– PNPM Mandiri Perdesaan.
Melalui program itu dengan bergabung pada kelompok, Sri pun
mengajukan pinjaman untuk mengembangkan usaha. Perlahan
demi perlahan, pinjaman itu Sri kelola dengan baik, termasuk
usaha musiman membuat lempok durian.
Usaha Lempok Durian
Lempok durian sangat dikenal sebagai oleh-oleh khas
Riau, khususnya didapat dari Bengkalis. Sebab salah satu
penghasil durian adalah Kabupaten Bengkalis khususnya di ke-
camatan Bantan. Di Kecamatan Bantan ini akan terlihat masyara-
katnya memiliki kebun durian. Namun dikarenakan pada waktu
itu alat transportasi sangat terbatas untuk menjualkan hasil kebun
durian ini, sering sekali durian busuk percuma. Hingga akhirnya
terfikirlah untuk mengawetkannya menjadi lempok durian.
“Ada beberapa ibu-ibu di kampung ini yang mengelola
lempok durian, dan saya membelinya dan menjadi pengumpul
untuk dijual lagi ke pekanbaru.”Alhamdulillah, ibu-ibu disini
memiliki usaha lain dan bisa menambah penghasilan.”
Kedepannya mereka ingin, lempok durian khas bengkalis
ini bisa diproduksi lebih besar lagi dan bisa menjadi usaha
utama. Tentunya semua itu juga membutuhkan modal. Semoga !
Dari kerajinan batok kelapa hingga Lempok Durian
Ibu Sri harus berfikir keras mana kala
musim durian tiba. Artinya, hasil ke-
bun durian dibelakang rumahnya akan
dibayar murah oleh para pedagang.
Tidak mau demikian, akhirnya, durian
itu pun ia olah menjadi lempok durian
Ia pun mengordinir pemilik durian
lainnya untuk mengolah durian menjadi
lempok durian. Ibu Sri pun menjual-
nya hingga ke pekan baru.
Selain usaha musiman ini, Ibu Sri
pun memanfaatkan keahliannya
mengelola kulit batok menjadi hiasan
pot bunga.
Ketika Mereka Menemukan Asa
Ibu Nur ‘Ainah adalah pedagang buah-buahan di Pasar Pulau Pa-
las dan juga berdagang di Pinggir jalan Propinsi Desa Pulau Palas
yang merupakan jalan lintas gerbang masuk ke Ke Ibu Kabupaten In-
dragiri Hilir yaitu Tembilahan. Mimpi Ibu Nur ‘Ainah ingin menunai-
kan Ibadah Haji ke Makkah mungkin akan terwujud setelah melihat
hasil usaha yang telah dikelolanya sejak beberapa tahun yang lalu.
Usaha Ibu Nur ‘Ainah pada awalnya adalah pedagang buah-
buahan dari hasil kebunnya sendiri, dan menjual hasil kebunnya tersebut di
sebuah rumah kecil yang kebetulan berada dipinggi r Jalan lintas Kecama-
tan. Rumah kecil tersebut pada awalnya di tempati oleh Ibu Nur’Ainah se-
bagai bentuk pinjam karena lahan tanah rumah tersebut adalah dari kebun
seorang masyarakat. Selama beberapa tahun Ibu memanfaatkan rumah ke-
bun tersebut untuk meningkatkan ekonomi keluarga melalui dagang buah-
buahan seperti Sawo, Manggis, Mangga, Kesturi, Rambutan, Nangka dan
lainnya sesuai musim buah-buahan yang terjadi. Kadangkala juga menjual
jengkol karena musimnya lagi banyak berbuah. Usaha dagang tersebut
hanya bisa mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga Bu Nur ‘Ainah ini, dan
ia ingin mengembangkan lagi usaha dan meningkatkan keuntungan yang
diperolehnya.
Upaya Ibu Nur ‘Ainah ini untuk meningkatkan keuntungannya tidak
sia- sia karena adanya pinjaman dari Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM- MPd) Kecamatan Tembilahan Hulu
yang diperuntukkan kepada kelompok Perempuan di Desa Pula u Palas.
Karena adanya peluang untuk mendapatkan pinjaman tersebut maka Ibu Nur
‘Ainah yang aktif dalam kelompok PKK di Desanya mencoba mengajak ang-
gota kelompok PKK untuk mengajukan proposal Pinjaman berupa Simpan
Pinjam khusus Perempuan (SPP) ke PNPM Mandiri Perdesaan dengan men-
gikuti Musyawarah Desa di kantor Desa Pulau Palas pada tahun 2008.
Syarat pengajuan proposal yang mudah serta tidak melalui proses yang lama
dana pinjaman bisa disalurkan ke Kelompok PKK yang diketuainya.
Sejak pinjaman pertama tersebut ibu Nur ‘Ainah sebagai ketua
kelompok PKK telah dapat mengembangkan usahanya serta meningkatkan
keuntungan yang diperoleh.
Dari pinjaman SPP yang telah diperoleh tersebut Ibu Nur’Ainah per-
nah juga menjadi penampung untuk petani pinang yang merupakan komoditi
lokal masyarakat desa Pulau Palas. Namun menurut karena harga pinang ini
yang kadang berubah-ubah membuat Ibu Nur’Ainah berhenti menjadi penam-
pung Pinang, dan meningkatkan penjualan Gula merah (produksi local) dan
penjualan telur Ayam Kampung yang dibelinya dari Sumatera Barat. Usaha
dagang buah tetap dilakukan karena ini merupakan usaha intinya namun
karena pengaruh musim maka kuantitasnya tidak bisa dipastikan. Ke-
untungan yang diperoleh Ibu Nur’Ainah dalam penjualan bisa menca-
pai 1 juta rupiah setiap minggunya dari berdagang di Pasar Pulau Pa-
las. Dari keuntungan dagangannya Ibu Nur’Ainah telah berhasil mem-
beli sebidang tanah serta membangun tempat usaha yang baru untuk
dagangannya di jalan Propinsi Desa Pulau Palas. Tanah itulah yang
nantinya dijual untuk mewujudkan mimpinya naik haji.
Alhamdulillah, Bisa Ke Mekkah
Perjalanan panjang Ibu
Nuainah sebagai pedagang
bisa menjadi contoh atas
kegigihan seorang perempuan
yang tak hanya membangkit-
kan ekonomi keluarganya,
tetapi juga untuk mewujudkan
mimpinya bertandang ke
rumah Allah. Jika ada ke-
mauan pasti ada jalan.
PNPM Mandiri Perdesaan
membantu mewujudkan mimpi
itu dengan kemudahan mem-
bantu permodalan..
Membina Kelompok
Suatu kelompok SPP (Simpan Pinjam Perempuan) di Desa Belutu dengan jumlah ang-
gotanya 17 orang sampai saat ini telah mengakses dana PNPM Mandiri Perdesaan se-
bayak dua kali. Pinjaman pertama sebanyak 44.000.000 dan pinjaman ke dua nya
adalah 63.000.000,-. Kelompok ini pada awalnya berasal dari kelompok Wirid Yasinan dengan jumlah
anggota lebih kurang 100 orang, karena kelompok ini terlalu banyak anggotanya maka
kelompok ini di bagi menjadi 4 kelomok yaitu kelompok Angrek-1, kelompok angrek-
2, kelompok angrek-3 dan kelompok angrek-4, walaupun kelompok telah di pisah
menjadi 4 kelompok, kegiatan rutin wiridan tetap rutin dilaksanakan setiap minggu.
Disamping kegiatan rutin wiridan (wirid Yasin) kelompok juga melakukan kegiatan
simpan pinjam di Desa. Berawal dari kegiatan yasinan ini akhirnya kelompok dapat pinjaman dana me-
lalui PNPM MPd (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan).
Untuk tahap ini kelompok mendapatkan pinjaman yang ke dua sejumlah 63 juta den-
gan jasa pinjaman 13 % selama 12 Bulan. Jasa Pinjaman 13 % ini adalah jasa yang di
tetapkan dan disepakati pada forum MAD (Musyawarah Antar Desa) di Tingkat Ke-
camatan, kelompok mengembalikan pinjaman ke Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di ke-
camatan selama 12 kali angsuran dengan Jasa 13 %. Ada kesepakatan di Kelompok An-
grek-1 ini di mana jasa pinjaman dalam kelompok adalah 20 % artinya ada kelebihan 7 %
jasa pinjaman di kelompok, selisihnya 7 % dari kesepakatan besar jasa pinjaman di UPK,
Kelompok menggunakan jasa yang 7 % untuk penambahan modal kelompok. Peruntukan jasa 7 % di sepakti sesame anggota untuk
- Penambahan Modal Kelompok untuk dapat di pinjamkan kepada anggota lainnya
- Trasportasi pengurus dalam mengembalikan pinjamannya ke UPK setiap Bulan
- Admistrasi Kelompok, - Pemenuhan kebutuhan anggota yang tiba-tiba mendadak membutuhkan dana seperti
sakit, butuh sekolah anak dan hal-hal lainnya di luar dugaan
- Untuk kesejeahteraan anggota kelompok.
Pengelolaan jasa pinjaman baru di mulai tahun ini dan kelompok pun bercita-cita
ingin menjadi kelompok lebih maju dan mandiri di desa Belutu, hingga anngota kelompok
Angrek-1 berharap dari pengembangan jasa yang 7 % ini mereka mendapatkan laba tahu-
nan hingga Sisa Hasil Usaha tahunan nanti akan di bagi kepada semua angota kelompk
Angrek-1 walaupun laba kelompok cuma mendapatkan sebotol sirup.
Sangat menarik perhatian ibu Khairun Nisa (dari NMC) mendengar ungkapan dari ketua
kelompok “ibu Melly Triana” kami sepakat untuk selalu mengembangkan kelompok ini
mudah-mudahan kelompok kita menjadi kelompok excuting hingga dapat mengelola pin-
jaman lebih banyak lagi dan dapat sedikit meningkatkan kesejahteraan anggota. Ada beberapa bentuk administrasi di kelompok yang di sampaikan oleh bu Melly
Triana kepada ibu Khoiru Nisa dari NMC yang saat itu melakukan kunjungan dalam
rangka supervise World Bank ke Riau, satu diantara desa yang di kunjungi di Kecamatan
Kandis Kabupaten Siak adalah Kelompok Angrek-1 di Desa Belutu. Administrasi di
kelompok yang di sampaikan itu adalah:
1. Buku Kas Anggota, 2. Buku Anggota, identitas anggota
3. Buku Pinjaman Aggota
4. Buku Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib Anggota
5. SOP Kelompok
6. Struktur Organisasi kelompok
Begitu ketua kelompok (ibu Melly Triani) mengeluarkan dan menunjukkan be-
berapa bentuk administrasi kelompok ketua UPK Tidora Aritonang tersenyum “ini lah
bentuk upaya yang kami lakukan (UPK) setiap saat agar kelompok mandiri”.
Laba Sebotol Sirup
Banyak cara untuk men-
ghidupkan kelompok, termasuk
dengan cara simpan pinjam.
Dari hasil jasa simpan pin-
jam anggota kelomok ini, se-
lain bisa menghidupkan or-
ganisasi, anggota kelompok
juga bisa mendapatkan laba,
walaupun labanya hanya se-
botol sirup, yang diterima
anggota pada setiap tahun-
nya. Tetapi kebersamaan
kelompok ini dalam menguat-
kan ekonomi keluarga cukup
memiliki berkah bagi mereka
Ketika Mereka Menemukan Asa
Sejak tahun 2004 ketika pada saat itu program yang ada di
Kecamatan Kuantan Tengah masih bernama PPK (Program Pengembangan
Kecamatan) berdirilah UPK (Unit Pengelola Kegiatan) di Kecamatan Kuantan
Tengah yang terdiri dari 3 orang dengan posisi ketua, bendahara dan
sekretaris, di awal-awal terbentuknya UPK tidak terlihat aktivitas yang
menonjol dari rutinitas kantor pada saat itu, dengan berjalannya waktu dan
semakin meningkatnya kapasitas kinerja anggota UPK NAROSA, mengingat
pengalaman dan kinerja yang baik dari UPK maka disitulah keanggotaannya
tetap dipertahankan oleh Masayarakat melalui setiap evaluasi kinerja UPK
yang selalu di bahas pada forum MAD dan tepatnya pada tahun 2008 terjadi
transisi PPK menjadi suatu Program yang bernama PNPM MPd dan banyak
terjadi perubahan sistem pelaksanaan antara progaram PPK dengan PNPM
MPd seperti terdapatnya pembagian alokasi dana BLM dengan ketentuan
Maximal 25% dari alokasi dana yang di kucurkan ke Kecamatan diperuntukan
bagi kelompok Simpan Pinjam Khusus Perempuan.
Disitulah kinerja yang ulet dibutuhkan untuk mengelolah simpan
pinjam yang diperuntukan untuk kaum perempuan ini. Adapun tujuan dari
SPP ini adalah untuk meningkatkan tarap hidup RTM (Rumah Tangga
Miskin) dimana dengan adanya kucuran dana yang dengan bunga yang relatif
rendah dan mudah diakses dengan artian hanya dengan bermodalkan KTP
kelompok Perempuan sudah dapat memperoleh pinjaman untuk menambah
pendapatan rumah tangga dan tidak lagi bergantung kepada Suaminya.
Setelah bulan berganti tahun produktifitas UPK Narosa cukup gemilang,
tepatnya sekarang pada tahun 2014 ini jumlah pinjaman di kelompok
perempuan di Kecamatan Kuantan Tengah telah mencapai Rp 4 Milyar lebih
nah,, dari dana yang beredar sebanyak itu UPK sekarang sudah medapatkan
hasilnya, dimana dari jasa pinjaman dapat dijadikan insentif ditambah dari 2
% operasional, dengan dana yang sekian besar otomatis kegiatan di UPK
semakin meningkat untuk mengimbangi aktifitas dan prokduktifitas akhirnya
anggota UPK Narosa menambah anggotanya yaitu sebagai kasir ditambah lagi
Pendamping Lokal Khusus SPP yang berfungsi membantu UPK
mengidentifikasi kelompok, salah seorang anggota UPK berkata kalau dulu
aktifitas di kantor UPK sangat minim dan kami hanya mendapatkan insentif
sebesar Rp 300 Rb/bulan kenangnnya.
Tapi berkat kerja keras dan komitmen membangun dan
mensejahterahkan masyarakatlah yang menjadikan kami kuat seperti ini
ucapnya, itulah yang menjadikan penulis jadi bangga sebagai FK yang
Melihat UPK mempunyai komitmen yang tinggi terhadap pembangunan
masyarakat, saat ini insentif yang di dapat oleh anggota UPK telah mencapai
Rp 3.200.000/bulan dan lebih hebatnya lagi UPK Narosa sudah
mengalokasikan dana dari hasil jasa SPP untuk pembangunan Kantor
tersendiri yang sekarang kantor Narosa masih menumpang pada salah satu
ruangan di Kantor Camat Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi,
Provinsi Riau. Sebab ruangan yang ada dikantor UPK sekarang telah over
kapasitas dokumen dan arsip tidak tertampung lagi. Hasil yang didapat oleh
UPK Narosa saat ini bukan tidak melalui rintangan yang berarti, dimana
sering terjadi penyelewengan dana oleh ketua kelompok atau tunggakan kredit
oleh anggota kelompok, tapi tidak akan suatu usaha tanpa kendala,
alhamdulillah semua ada jalan keluarnya. Harapan kedepan Semua berjalan
dengan lancar serta perlu adanya dukungan yang kaut dari pelaku-pelaku di
tingkat Kecamatan dan partisifasi aktif dari setiap golongan masyarakat.
UPK Narosa
Perjalanan panjang Ibu
Nuainah sebagai pedagang
bisa menjadi contoh atas
kegigihan seorang perempuan
yang tak hanya membangkit-
kan ekonomi keluarganya,
tetapi juga untuk mewujudkan
mimpinya bertandang ke
rumah Allah. Jika ada ke-
mauan pasti ada jalan.
PNPM Mandiri Perdesaan
membantu mewujudkan mimpi
itu dengan kemudahan mem-
bantu permodalan..
Ketika Mereka Menemukan Asa Kedelai rebus, pake ragi, lantas
dibungkus, apa lagi namanya kalau bu-
kan tempe. Yah, makanan khas mengin-
donesia asal jawa ini memang menjadi
santapan sehari-hari buat lauk, bahkan
mulai asyik dimakan buat cemilan.
Nah, tahukah Anda bila tempe gurih dan
enak dimakan itu diproduksi oleh seo-
rang bersuku jawa yang tinggal di pe-
mukiman transmigrasi di provinsi Riau.
Salah seorang sang pengrajin tempe itu
bahkan terhitung sebagai keluarga prase-
jahtera, dan juga si ibu tunggal atau
janda yang bisa menghidupi keluarga
bahkan ada juga yang berkontribusi buat
menguliahkan anak-anaknya. Dan kisah
pertarungan hidup ini kami dapati di
sebuah kampung ekstansmigrasi provinsi
Riau bernama desa pasir intan, kecama-
tan bangun purba, kabupaten Rokan
hulu.
Untuk menuju ke desa pasir intan ini saja dibutuhkan nyali dan semangat perubahan. Jarak
dari kecamatan bangun purba menuju desa pasir putih sekitar 10 km dengan jalan tanah
liat bercampur kerikil batu dan tak beraspal, yang akan licin bila hujan deras dan berdebu
saat musim panas.
Meski harga kedelai setelah masuk ke desa mereka harganya menjadi naik Rp 500/ kg
dari harga pasaran di kota. Atau naik menjadi Rp 25.000 untuk setiap pergoni ukuran 50
kg. Banyak pengrajin tempe di kampung ini, umumnya para kaum ibu. Ada yang dijual
hanya dikonsumsi untuk warga kampung, ada yang dijual untuk jajanan gorengan, bahkan
menjadi kerupuk tempe.
____
Mereka adalah ibu Sukati dan aminah. Mereka ini termasuk anggota kelompok binaan
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandirri perdesaan(PNPM-MPd) sejak
tahun 2007 dalam program Simpan Pinjam Perempuan (SPP). Usaha mereka ini menda-
pat perhatian dan kemudian mendapat bantuan pemodalan. Setiap harinya mereka mem-
produksi tempe 10 kg. Usaha tempe ini hanyalah usaha keluarga, yang dikerjakan oleh
anggota keluarga, dari memproduksi hingga memasarkan. Karena yang diproduksi juga
tidak banyak, maka mereka hanya memasarkan di wilayah kampung mereka saja.
Saya nggak ngerti untung, yang penting tempe diolah, dijual dan masih bisa beli bahan
lagi sama nyimpen cicilan bayar pinjaman. Yah untungnya bisa makan dari situ.” Ujar si
ibu dengan dialeg jawanya yang masih kental yang saat ini berusia lebih dari 50 tahun ini
Hal yang sama juga diungkapkan Sukati. Si pembuat tempe ini bahkan sudah melakoni
sebagai pengrajin tempe ini sejak pertama kali menjadi trans ke Riau.
“Dulu , selain sebagai pengrajin tempe, saya jual tempe digendong dan dijajahkan dari
rumah ke rumah, sekarang tinggal diantar ke kedai saja. Bahkan terkadang ada juga yang
pesan langsung, misalnya untuk pesta atau kebutuhan kendurian.”
Ia mengaku, dari usaha pengrajin tempe rumahan ini, ia bisa menyekolahkan anaknya,
bahkan 4 orang anaknya ini 3 diantaranya sudah kuliah. Ia sendiri nggak mengerti cara
mengelola keuangan, tapi yang pasti cukup buat makan dan menyekolahkan anaknya,
meski sudah ditinggal suami sejak anak masih kecil. Ia hanya punya sepetak tanah tana-
man sawit dan karet, yang jatah lahannya pun sama dengan rekan2 trans yang lain. Tapi
tekatnya menyekolahkan anak patut diacungi jempol.
“Anak saya jangan bodoh kayak saya yang ndak pernah sekolah.” Ucapnya berulang-
ulang.
Suyana, , ketua kelompok mengaku, anggota – anggota kelompoknya ini terma-
suk yang paling taat mengembalikan pinjaman SPP, itu sebabnya setiap tahun mendapat
pinjaman kembali. Di kelompoknya saja ada 3 pengrajin tempe yang mampu menghidupi
keluarga. Mereka sangat merasakan manfaat Simpan pinjam perempuan SPP Pnpm
mandiri perdesaan ini, karena bisa membantu perekonomian keluarga.
Desa pasir intan , kecamatan
Bangun Purba, Rokan Hulu,
adalah desa eks trans jawa.
Sebagian besar perempuan di
sana masih mengandalkan
pencaharian pembuatan tempe.
Alhamdulillah, meski sebagai
single parent, mereka masih
bisa tetap menyekolahkan anak
-anaknya.
Galery
Sabun cair dari kecamatan Reteh- In-
Kios Suliyem-Kel. SPP Kenanga Desa Karya Tunas Jaya Kec. Tempuling INHIL-RIAU
Berdiri : 20 Februari 2012
Peyek Tulang Ikan Lele, oleh Kel. SPP Kec. Ujung Batu Rokan Hulu
Usaha Bakso, anggota kelompok SPP dari Pangkalan Kuras, . Pelalawan
Pelatihan Sulam pita, anggota kel. SPP dari Kec. Siak Hulu, Kampar
Pembinaan kelompok di kec. Tambusai Utara, Rohul
Galery