JPH Vol. 2 No. 2 Januari 2013

173
Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

description

000

Transcript of JPH Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Diterbitkan oleh:FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

    2013

    JURNAL PENELITIAN HUKUMFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

    Dewan Penyunting:Ketua:

    IrwansyahAnggota:

    Abrar SalengMuhammad Ashri

    M. Guntur HamzahAbdul Razak

    Achmad RuslanAminuddin Ilmar

    Anshori Ilyas Slamet Sampurno Suwondo

    Penyunting:M. Zulfan Hakim; Mohammad Aswan; Sakka Pati;

    Tri Fenny Widayanti; Muh. Ilham Arisaputra;Fajlurrahman Jurdi; Wiwin Suwandi; Ahsan Yunus.

    Staf:Andi Murlikanna; Saparuddin; Alfiah Firdaus.

    Desain Grafis & Layout:Ahsan Yunus

    Jurnal Penelitian Hukum ini diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Dimaksudkan sebagai sarana publikasi hasil-hasil penelitian bidang hukum. Penelitian yang dimuat merupakan pendapat pribadi penelitinya dan bukan merupakan pendapat redaksi dan/atau Fakultas

    Hukum Universitas Hasanuddin.Terbit setiap bulan September, Januari, dan Mei.

    Tulisan dapat diantar langsung atau dikirim ke:

    Alamat Redaksi:JURNAL PENELITIAN HUKUM

    Ruang Dapur Jurnal Lt. 1 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar.

    Tel: +62811442470 +6281342439090 Fax: +62411-584686 E-mail: [email protected]

    ii

    PENELITIAN HUKUMFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

    Jurnal

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013 iii

    Pengawasan Peredaran Obat Tradisional di Kota SingkawangRudy Susanto, Faisal Abdullah, Sabir Alwy............................................... 173-186

    Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam Proses Pemeriksaan Perkara PidanaMila Gustiana Ansary, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar................... 187-205

    Penerapan Sarana Hukum dalam Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Medis di RSUD Salewangang MarosImran Haris, Irwansyah, Muhammad Ashri............................................... 207-226

    Pelaksanaan Peraturan Kawasan Tanpa Asap Rokok pada Tempat Umum sebagai Perwujudan Hak Atas Kesehatan MasyarakatZakiah Darajat, Abdul Razak Thaha, Abdul Razak................................... 227-248

    Penataan Penerapan Doktrin Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) pada Perseroan Terbatas di Sulawesi SelatanLisa Valda, Oky Deviany Burhamzah, Wiwie Heryani................................ 249-268

    Pengawasan sebagai Sarana Penegakan Hukum pada Pengelolaan Limbah Cair Rumah SakitMuthaharah, M. Yunus Wahid, Muhammad Djafar Saidi........................... 269-289

    Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan di Kabupaten MeraukeEmiliana Rahail, Andi Sopyan, M. Syukri Akub......................................... 291-306

    Perjanjian Pengalihan Kredit (Over Credit) atas Kredit Pemilikan Rumah (KPR)Audrey Kotandengan, Nurhayati Abbas, Nurfaidah Said........................... 307-332

    Biodata PenulisPersyaratan Penulisan

    ISSN: 2087-2291Volume 2 Nomor 2, Januari 2013

    Halaman 173-332

    PENELITIAN HUKUMFAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

    Jurnal

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013iv

    Salam hormat,

    Puji syukur tertuju kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013 ini. Berbeda pada edisi sebelumnya, pada edisi kali ini, redaksi memuat 8 (delapan) hasil penelitian tanpa mengangkat tema khusus, namun secara umum memuat hasil penelitian seputar penegakan hukum kontemporer.

    Tak lupa redaksi mengucapkan terima kasih kepada para penulis atas kerjasamanya, sehingga penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin ini berjalan sebagaimana mestinya. Begitu pula kepada seluruh pihak yang selama ini mendukung, baik dalam penyusunan hingga pada penerbitan Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Volume 2 Nomor 2 Januari 2013.

    Akhir kata, penerbitan jurnal ilmiah ini tentu saja masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, segala masukan, kritik dan saran konstruktif dari segenap pembaca senantiasa kami harapkan demi perbaikan dalam penerbitan selanjutnya.

    Selamat membaca.

    Redaksi

    Dari Redaksi

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENGAWASAN PEREDARAN OBAT TRADISIONAL DI KOTA SINGKAWANG

    Rudy Susanto, Faisal Abdullah, Sabir Alwy

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENGAWASAN PEREDARAN OBAT TRADISIONAL DI KOTA SINGKAWANG

    Oleh: Rudy Susanto1*, Faisal Abdullah2, Sabir Alwy2

    1 Dinas Kesehatan Kota Singkawang, Kalimantan BaratJl. Alianjang No. 11, Singkawang Barat, 79112, Kota Singkawang, Kalimantan Barat

    2 Fakultas Hukum Universitas HasanuddinJl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar

    * E-mail: [email protected]

    AbstractThis study aims to investigate the control of traditional medicine distribution in

    Singkawang city; and find out the factors that inhibit the controlling process. Another objective is to analyse the scope of regulations about it. This research was conducted as a sociological/empirical descriptive legal research in Singkawang city by using qualitative data. The results reveal that the control of traditional medicine distribution in Singkawang city has not been optimally conducted. There are some factors inhibiting the controlling process, including limited human resources (in terms of quantity and quality), lack of financial support in the implementation of the controlling program, and the low level of public awareness and compliance (both as consumers and business owners) in participating in the controlling efforts to prevent the distribution of traditional medicine, that does not meet the formal requirements. Substantially, the current regulation seems to be sufficient in managing the distribution of traditional medicine. However, in the implementation, it is necessary to set up clear criteria of business owners who have the rights to sell traditional medicine. The criteria can be used as guidance in determining business owners who will be the objects of controlling process Keywords: Control, Distribution, Traditional Medicine.

    AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pengawasan peredaran obat

    tradisional di Kota Singkawang; dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya serta cakupan materi peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan dapat terwujud pelaksanaan pengawasan yang optimal. Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis/empiris yang bersifat deskriptif, dengan menggunakan data kualitatif, Lokasi penelitian di Kota Singkawang. Hasil penelitian menunjukkan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang belum berjalan secara optimal. Faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengawasan yaitu keterbatasan sumber daya manusia baik kuantitas maupun kualitas, kurangnya dukungan finansial dalam pelaksanaan program pengawasan serta rendahnya tingkat kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku konsumen maupun pelaku usaha dalam berpartisipasi melakukan upaya pengawasan guna mencegah peredaran obat tradisional yang tidak memenuhi syarat. Secara substansi peraturan perundang-undangan yang ada dirasa cukup memadai mengatur peredaran obat tradisional namun pada aturan pelaksananya secara teknis perlu diatur lebih jelas kriteria pelaku usaha yang berhak menjual produk obat tradisional sebagai pedoman pelaksana dalam menetapkan pelaku usaha yang nantinya menjadi objek pengawasan. Kata kunci: Pengawasan, Peredaran, Obat Tradisional

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENDAHULUAN

    Penggunaan obat tradisional yang berasal dari bahan alam sebagai upaya dalam

    pemeliharaan kesehatan atau pengobatan akhir-akhir ini semakin popular, Obat tradisional

    dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (selanjutnya disebut UUK),

    Pasal 1 angka (4) dinyatakan sebagai salah satu dari bentuk sediaan farmasi. Selanjutnya,

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Pasal 58 (a) menyatakan

    pembinaan peredaran sediaan farmasi dan alat kesehatan dilakukan untuk menjaga

    terpenuhinya persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat

    kesehatan yang diedarkan.

    Pada aspek peredaran obat tradisional sebagai suatu produk yang digunakan

    masyarakat pengawasannya diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia

    Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) pada

    Pasal 30 ayat (1) dinyatakan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan

    konsumen serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya diselenggarakan

    oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

    Pengawasan adalah usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan

    yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku serta memenuhi prinsip-

    prinsip daya guna (efisiensi) dan hasil guna (efektivitas).1 Pemerintah berkewajiban

    membina, mengatur, mengendalikan, dan mengawasi pengadaan, penyimpanan, promosi,

    dan pengedaran sediaan farmasi (Obat tradisional) sebagai amanat UUK Pasal 98 ayat

    (4). Disisi lain adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan penyelenggaraan

    perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 29 UUPK, didasarkan pada

    kepentingan yang diamanahkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa

    kehadiran negara untuk mensejahterakan rakyatnya.2

    Fungsi pengawasan peredaran obat tradisional pihak pemerintah dilaksanakan oleh

    Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) hal ini didasarkan pada Pasal 1 Peraturan

    Presiden Nomor 64 Tahun 2005 tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden

    Nomor 103 Tahun 2001. Didaerah (Kota Singkawang) fungsi pengawasan dilaksanakan

    Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Kalimantan Barat, sebagai unit

    pelayanan teknis yang berada di tingkat provinsi. Selanjutnya Dinas Kesehatan Kota

    Singkawang juga bertanggung jawab melaksanakan fungsi pengawasan peredaran obat

    1 Sujamto, Beberapa Pengertian Dibidang Pengawasan Edisi Revisi, Cet II,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 19-20

    2 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm.180176

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    tradisional sebagai amanat Pasal 55 ayat (1) Peraturan Daerah Kota Singkawang Nomor 5

    Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Kesehatan Daerah.

    Dalam pengawasan peran serta masyarakat baik selaku konsumen maupun

    sebagai pelaku usaha sangatlah penting untuk menciptakan kenyamanan berusaha dan

    terpenuhinya hak-hak serta kepentingan keduabelah pihak. N.H.T Siahaan menyatakan

    konsep hukum perlindungan konsumen tidak hanya berisi rumusan-rumusan tentang

    hak-hak dan kepentingan konsumen, tetapi juga hak-hak dan kepentingan produsen yang

    berimbang, proporsional, adil dan tidak diskriminatif.3 Sejalan dengan pernyataan tersebut

    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani menyatakan kewajiban pelaku usaha yang diatur

    UUPK merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang ditargetkan untuk

    menciptakan budaya tanggung jawab pada diri pelaku usaha.4

    Definisi hukum menurut Oxford English Dictionary adalah kumpulan aturan,

    perundang-undangan atau hukum kebiasaan, dimana suatu negara atau masyarakat

    mengakuinya sebagai suatu yang mempunyai kekuatan mengikat terhadap warganya.5

    Menurut Achmad Ali, dalam membahas tentang hukum maka di dalamnya senantiasa

    terdapat tiga komponen yaitu struktur, substansi dan kultur hukum, atau yang dikenal

    dengan 3 unsur sistem hukum (three element of legal system) oleh Lawrence M. Friedman.

    Ketiga komponen tersebut terkait sangat erat dengan fungsi hukum dan tujuan hukum

    dimana hubungan timbal balik kesemuanya menurt Achmad Ali merupakan hakikat

    hukum oleh karenanya hal itu sekaligus menjadi indikator keberhasilan atau kegagalan

    hukum.6

    Ketika pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional dipahami sebagai suatu

    bentuk amanat peraturan perundang-undangan (produk hukum) untuk dilaksanakan, maka

    untuk mengukur keberhasilannya penulis menggunakan teory diatas sebagai pisau analisis

    dalam menilai esensi penegakan hukum (pelaksanaan pengawasan) yang juga merupakan

    tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum.7

    Problematika pelaksanaan hukum sebagai peraturan atau perundang-undangan

    terkait erat dengan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat. Achmad Ali, menyatakan

    kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang saling

    3 N.H.T. Siahan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk , (Jakarta: Penta Rei,2005) hlm. 13

    4 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 33-34

    5 Achmad Ali (a), Menguak Tabir Hukum. Cet. Ke-3 (Bogor : Ghalia Indonesia,2011) hlm. 276 Achmad Ali (b), Menguak Teori hukum (Legal Theory) dan teory peradilan (Judicialprudance). Edisi

    1. Cet. Ke-3 (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,2010) hlm. 203-2077 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1. Cet.11, (Jakarta:

    PT. RajaGrafindo Persada , 2012), hlm. 8-9 177

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    berhubungan, di mana kesadaran hukum dan ketaatan hukum tersebut sangat menentukan

    efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum dan perundang-undangan di masyarakat.8 Dengan

    memahami ketaatan hukum menurut H.C Kelman yang oleh Achmad Ali di formulasikan

    menjadi: (a) Ketaatan bersifat compliance; (b) Ketaatan bersifat identification; (c) Ketaatan

    bersifat internalization suatu peraturan atau perundang-undangan tidak hanya dapat dinilai

    efektif atau tidaknya dilaksanakan dimasyarakat melainkan juga kualitas keefektifannya. 9

    RUMUSAN MASALAH

    Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan di atas, selanjutnya dirumuskan

    rumusan masalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang

    dan faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya?

    2. Sejauh mana cakupan materi peraturan perundang-undangan yang mengatur

    mengenai peredaran obat tradisional di Kota Singkawang dalam mewujudkan

    pelaksanaan pengawasan yang optimal?

    METODE PENELITIAN

    Lokasi dan Rancangan Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Singkawang Kalimantan Barat, Kantor

    Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat (BBPOM), Kantor

    Dinas Kesehatan (DINKES) Kota Singkawang, Kantor Lembaga Perlindungan Konsumen

    Kota Singkawang (LPKSM) dan sarana distribusi peredaran obat tradisional di 5 kecamatan

    wilayah Kota Singkawang. Jenis penelitian ini adalah hukum sosiologis/empiris yang

    bersifat deskriptif. dengan pengolahan data secara kualitatif.

    Populasi dan Sampel

    Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh sarana distribusi yang menjual obat

    tradisional yang ada di Kota Singkawang, seluruh aparatur Balai Besar Pengawasan

    Obat Dan Makanan Provinsi Kalimantan Barat, seluruh Pegawai Dinas Kesehatan Kota

    Singkawang Seluruh Petugas LPKSM Kota Singkawang dan masyarakat Kota Singkawang.

    Berdasarkan populasi penelitian tersebut di atas, maka ditetapkan sampel penelitian

    yang akan peneliti wawancarai dengan dua tehnik, (1) Dengan Quota Sampling yaitu: 50

    orang masyarakat selaku konsumen dan 50 orang masyarakat selaku pelaku usaha (10 toko

    obat, 10 apotek, 10 penjual jamu keliling, 10 penjual jamu menetap, 10 toko/warung) yang

    8 Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 2999 Achmad Ali (b), Op.Cit., hlm. 348-349178

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    merupakan penjual/pengecer obat tradisional di 5 Kecamatan wilayah Kota Singkawang.

    (2) Dengan Proporsive Sampling yaitu: 4 orang petugas Balai Besar Pengawas Obat dan

    Makanan (BBPOM) Provinsi Kalimantan Barat, terdiri dari Kepala Bidang Pengawasan

    dan Penyidikan, Kepala Seksi Pengawasan, Kepala Seksi Penyidikan dan Kepala Bidang

    Sertifikasi Dan Layanan Informasi Konsumen. 3 orang petugas Dinas Kesehatan Kota

    Singkawang Yaitu: Sekretaris Dinas Kesehatan, Kepala Seksi Farmasi dan Alkes serta Staf

    Pelaksana Pengawasan. 2 orang petugas LPKSM Kota Singkawang terdiri dari ketua dan

    pelaksana pengawasan.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Temuan penelitian pada Tabel 1 memperlihatkan, jumlah pelaku usaha yang

    mendistribusikan obat tradisional di Kota Singkawang cendrung mengalami peningkatan,

    hal ini dapat dilihat dari bertambahnya jumlah apotek dan tokoh obat yang semula pada

    tahun 2008 masing-masing hanya 13 dan 20 sarana, namun pada tahun 2012 menjadi 18

    sarana untuk apotek dan 23 sarana untuk tokoh obat. Hal ini menunjukkan peredaran obat

    tradisional di Kota Singkawang semakin mudah di jangkau/didapatkan masyarakat untuk

    tujuan pengobatan maupun pemeliharaan kesehatan. Mengenai Kelompok penjual jamu

    menetap, penjual jamu keliling dan warung atau toko yang juga menjual produk-produk

    obat tradisional baik DINKES Kota Singkawang maupun BBPOM Kalimantan Barat

    mengakui tidak mempunyai data akan hal tersebut.

    Tabel 1. Status pelaku usaha yang mendistribusikan produk obat tradisional di Kota Singkawang tahun 2010-2012

    No. KelompokPelaku usahaTahun

    2008 2009 2010 2011 20121.2.3.4.5.

    Apotek Toko obat berizinPenjual jamu menetapPenjual Jamu kelilingWarung/took

    1320---

    1521---

    1622---

    1721---

    1823---

    Sumber: Data sekunder DINKES Kota Singkawang Tahun 2012

    Adapun pada Tabel 2 memperlihatkan, petugas Dinas Kesehatan Kota Singkawang

    yang melakukan pengawasan hanya berjumlah 2 orang, sedang petugas di Seksi Pengawasan

    BBPOM Kalimantan Barat berjumlah 14 orang dengan jenis pendidikan formal bervariasi.

    Di sisi lain, petugas pengawasan BBPOM dibekali keterampilan dan pengetahuan khusus

    yang berhubungan dengan kegitan pengawasan Untuk instansi DINKES Kota Singkawang

    Menurut Yearmiwirinar,10 sampai saat ini petugas Dinas Kesehatan belum pernah 10 Kepala Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Singkawang. Wawancara, 13

    Desember 2012. 179

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus dibidang pengwasan.

    Tabel 2. Pendidikan formal petugas pengawas pada Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat serta Seksi Farmasi dan Alat Kesehatan DINKES Kota Singkawang

    No. Pendidikan Terakhir BBPOM DINKESJumlah (orang) Jumlah (orang)12345

    S1 UmumApotekerD3 FarmasiSMFSMU

    17-42

    -1-1-

    Jumlah 14 2

    Sumber: Data sekunder BBPOM dan DINKES Kota Singkawang Kalimantan Barat Tahun 2012

    Mengenai keterlibatan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

    (LPKSM) dalam kegiatan pengawasan sebagaimana yang diamanatkan UUPK dari

    informasi dilapangan yang diperoleh bahwa diwilayah Kota Singkawang belum ada

    terbentuk Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

    Tabel 3 memperlihatkan bahwa ada 48 orang (48%) masyarakat baik selaku pelaku

    usaha maupun konsumen di Kota Singkawang memiliki pengetahuan tentang perannya

    dalam melakukan pengawasan, dengan menjawab mengetahui bahwa masyarakat dapat

    turut berperan dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran obat tradisional. 52

    orang (52%) sisanya tidak memiliki pengetahuan tentang perannya dalam melakukan

    pengawasan, dengan menjawab tidak tahu.

    Tabel 3. Pengetahuan masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha mengenai perannya dalam pengawasan peredaran obat tradisional

    No. Kelompok Masyarakat Kategori Jawaban JumlahTahu Tidak tahu12

    Masyarakat selaku konsumenMasyarakat selaku pelaku usaha

    1830

    3220

    5050

    Frekuensi 48 52100Persentase 48% 52%

    Sumber: Data primer diolah 2012

    Tabel 4 menunjukkan dari 48 orang kelompok masyarakat yang memiliki pengetahuan

    tentang peranannya dalam pengawasan peredaran obat tradisional hampir semunya yaitu

    45 orang (93,75%) benar-benar paham tentang mekanisme pengawasan, dengan menjawab

    bahwa mekanisme pengawasan yang dapat dilakukan masyarakat yaitu dengan cara melapor

    atau mengadu kepada Dinas Kesehatan atau Balai POM jika melihat atau mencurigai obat

    tradisional yang tidak memenuhi syarat beredar di lingungannya, 3 orang (6,25%) sisanya

    tidak mampu menjelaskan (tidak paham).

    180

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Tabel 4. Pemahaman masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha mengenai mekanisme pengawasan yang dapat di lakukan dalam peredaran obat tradisional

    No. Kelompok Masyarakat Kategori Jawaban JumlahPaham Tidak Paham12

    Masyarakat selaku konsumenMasyarakat selaku pelaku usaha

    1530

    30

    1830

    Frekuensi 45 348Persentase 93,75% 6,25%

    Sumber: Data primer diolah 2012

    Tabel 5 memperlihatkan bahwa ada 56 orang (56%) masyarakat baik konsumen

    maupun pelaku usaha di Kota Singkawang memahami cara memilih obat tradisional yang

    baik, dengan menjawab obat tradisional yang baik untuk digunakan harus mencantumkan

    nomor registrasi dan kondisi fisiknya baik isi maupun kemasan tidak rusak, serta terdapat

    waktu kadaluarsa produk. Sisanya 44 orang (44%) menjawab tidak tahu. Tetapi dapat

    dilihat bahwa kelompok masyarakat yang paham lebih banyak pada kelompok pelaku usaha

    sedangkan masyarakat pengguna (konsumen) lebih banyak tidak memahami hal tersebut.

    Tabel 5. Pemahaman masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha tentang cara pemilihan obat tradisional yang baik

    No. Kelompok Masyarakat Kategori Jawaban JumlahPaham Tidak Paham12

    Masyarakat selaku konsumenMasyarakat selaku pelaku usaha

    1937

    3113

    5050

    Frekuensi 56% 44%100Persentase 56% 44%

    Sumber: Data primer diolah 2012

    Tabel 6 memperlihatkan, dari 56 orang yang memahami cara memilih obat tradisional

    yang baik, diberikan pertanyaan lanjutan untuk mengetahui prilakunya dalam membeli

    obat tradisional, hanya 30 orang (53,58%) dari mereka yang benar-benar menerepkan/

    mensyaratkan untuk memeriksa kriteria obat tradisional yang baik ketika melakukan

    pembelian, sisanya 26 orang (46,62%) mengaku tidak memnerapkannya.

    Tabel 6. Prilaku masyarakat selaku konsumen dan pelaku usaha dalam pembelian obat tradisional

    No. Kelompok MasyarakatMensyaratkan kriteria OTRAD

    yang baik sebelum membeli JumlahIya Tidak

    12

    Masyarakat selaku konsumenMasyarakat selaku pelaku usaha

    921

    1016

    1937

    Frekuensi 30 2656

    Persentase 53,58% 46,42%

    Sumber: Data primer diolah 2012 181

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Untuk melihat tingkat kesadaran masyarakat Tabel 7 memperlihatkan bahwa dari

    21 orang pelaku usaha, kebanyakan kualitas ketaatannya sangat rendah dengan 9 orang

    (42,86%) menyatakan alasan ketaatanya semata-mata karena takut sanksi (compliance),

    sisanya 7 orang (33,33%) pelaku usaha obat tradisional memiliki kualitas ketaatan bersifat

    identification Hanya 5 orang (23,81%) pelaku usaha yang memiliki kualitas ketaatan

    bersifat internalization dimana mereka menaati suatu aturan, benar-benar karena ia merasa

    bahwa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianutnya.

    Tabel 7. Kualitas ketaatan masyarakat selaku pelaku usaha dalam penyediaan obat tradisional yang baik sesuai ketentuan

    No. Kelompok Pelaku UsahaKualitas Ketaatan

    JumlahCompliance Identification Internalization12345

    ApotekToko Obat berizinPenjual jamu menetapJamu kelilingWarung/toko

    63000

    00340

    31010

    94350

    Frekuensi 9 7 5 21Persentase 42,86% 33,33% 23,81%

    Sumber: Data primer diolah 2012

    Pelaksanaan Pengawasan Peredaran Obat Tradisional di Kota Singkawang

    Penelitian ini memperlihatkan, apabila pelaksanaan pengawasan peredaran obat

    tradisional dipahami sebagai suatu bentuk amanat peraturan perundang-undangan (produk

    hukum) untuk dilaksanakan, maka untuk mengukur keberhasilannya sebagai esensi dari

    efektifitas penegakan hukum penulis menggunakan teory three element of legal system oleh

    Lawrence M. Friedman. Dari hasil Penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian

    lapangan (field research) yang peneliti lakukan dapat dikatakan:

    Secara substansi dengan melakukan pengkajian terhadap produk-produk hukum yang

    berhubungan dengan pengawasan peredaran obat tradisional secara umum dapat dikatakan

    peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai peredaran obat tradisional

    (UUK, UUPK dan PP No. 72 Tahun 1998, Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan

    Alat Kesehatan) dirasa telah memberikan pengaturan yang cukup memadai mengenai

    pengolahan, produksi, peredaran, pengembangan obat tradisional termasuk terdapat

    beberapa pasal yang hubungannya dengan hak dan kewajiban serta peran aktif masyarakat

    baik selaku konsumen maupun pelaku usaha dalam kegiatan pengawasan serta terdapat

    pasal yang mengatur masalah sanksi baik administrasi, pidana (kurungan dan denda),

    maupun perdata (ganti rugi).182

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Walau demikian Amanat pasal 107 UUK mengaskan ketentuan lebih lanjut mengenai

    pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan. Pada kenyataannya, Peraturan Pemerintah yang seharusnya

    merupakan aturan pelaksana sebagaimana dimaksud tersebut setelah 4 (empat) tahun di

    undangkan belum juga terbentuk. Kenyataan ini memaksa instansi terkait (BBPOM dan

    DINKES Kabupaten/Kota) dalam upaya pengawasan dan pembinaan peredaran obat

    tradisional masih mengacu pada PP No.72 Tahun 1998 yang pada prinsipnya merupakan

    peraturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan yang lama No. 23 tahun 1992.

    Selain itu UUK Pasal 101 (ayat 1) dan PP No.72 Tahun 1998 Pasal 15 (ayat 2),

    secara substansi menurut amatan peneliti pengaturannya dirasa terlalu luas. sehingga

    mengantarkan pada pengrtian bahwa obat tradisional dapat diedarkan atau dijual oleh

    siapa saja dengan batasan yang kurang jelas. kenyataan ini justru menjadi salah satu

    faktor penyulit dalam melakukan pembinaan dan pengawasan oleh instasi terkait karena

    akan menyebabkan luasnya objek yang menjadi target pengawasan dan pembinaan yang

    berujung pada sulitnya penyediaan data base pelaku usaha yang falid.

    Pada UUPK mengenai ketentuan tuntutan ganti rugi pada Pasal 19 ayat (3).

    Menegaskan bahwa pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh)

    hari setelah tanggal transaksi, hal ini menurut peneliti dengan kata lain dapat berarti jika

    tuntuan yang diajukan konsumen lebih dari 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi maka

    pelaku usaha tidak lagi punya tanggung jawab memberikan ganti rugi. Keadaan ini secara

    substansi sangat tidak relevan jika diterapkan untuk produk sediaan farmasi seperti obat

    tradisional karena bisa saja efek negatif yang ditimbulkan baru kelihatan lebih dari 7 (tujuh)

    hari pemakaian.

    Dari unsur struktur hukum (penegak hukum) dari hasil penelitian menunjukkan

    petugas yang melakukan pengawasan dari instansi pemerintah (BBPOM dan DINKES Kota

    Singkawang) secara umum mengalami masalah dari segi kualitas dan kuantitas sumber

    daya manusia yang melakukan pengawasan, sejalan dengan pendapat ini hasil wawancara

    dengan Yusmanita11, menytakan dari 14 (empat belas) orang personil seksi pengawasan

    hanya 9 (sembilan) orang yang memenuhi kualifikasi sebagai pengawas lapangan menurut

    beliau BBPOM provinsi Kalimantan Barat memerlukan minimal 20 orang tenaga pengawas

    lapangan. Masalah serupa diungkapkan A.Kismed ,Plt Sekretaris Dinas Kesehatan Kota

    Singkawang (wawancara, 21 Februari 2013), bahwa DINKES Kota Singkawang menurut

    beliau semestinya memiliki 10 tenaga pengawas lapangan pada kenyataannya hanya 2

    orang petugas yang tersedia. 11 Kepala Seksi Pengawasan BBPOM Kalimantan Barat. Wawancara, 28 Desember 2012. 183

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Dari segi sarana dan prasarana baik BBPOM maupun DINKES Kota Singkawang

    sejauh ini tidak mengalami kendala, namun kurangnya dana oprasional guna pelaksanaan

    program pengawasan peredaran obat tradisional dirasakan sebagi faktor penghambat bagi

    DINKES Kota Singkawang, hal ini dinyatakan Yearmiwirinar, Kepala Seksi Farmasi dan

    Alat Kesehatan Dinkes Kota Singkawang (wawancara, 13 Februari 2013).

    Selanjutnya penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat baik selaku konsumen

    maupun pelaku usaha merupakan element penting dari unsur ketiga yaitu kultur hukum,

    hasil penelitian menunjukkan pengetahuan masyarakat akan kriteria obat tradisional yang

    baik (sesuai ketentuan) baik pada konsumen maupun pelaku usaha masih cukup rendah,

    disisi lain tingkat kesadaran untuk berperan aktif melakukan pengawasan serta kualitas

    ketaatan untuk bersikap sesuai ketentuan yang berlaku dalam memilih dan menggunakan

    obat tradisional baik masyarakat konsumen maupun pelaku usaha juga rendah. hal ini perlu

    di tindak lanjuti oleh pihak-pihak terkait untuk lebih memaksimalkan kegiatan pengawasan

    serta peningkatan program komunikasi, informasi dan edukasi kepada masyarakat dalam

    meilih, menggunakan serta mendistribusiakan obat tradisonal yang baik sesuai ketentuan

    yang berlaku.

    Upaya peningkatan penegtahuan, kesadaran dan ketaatan masyarakat tersebut penting

    mengingat kesadarn hukum, ketaatan hukum dan efektifitas hukum adalah tiga unsur yang

    saling berhubungan dimana sangat menentukan efektif atau tidaknya pelaksanaan hukum

    dan perundang-undangan di masyarakat.

    Secara keseluruhan dari hasil penelitian diketahui terdapat empat faktor dominan yang

    menghambat pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang yakni;

    kurangnya kuantitas dan kualitas tenaga pengawas, kurangnya dukungan dana oprasional

    pelaksanaan program terutama pada instansi DINKES Kota Singkawang (mewakili ketidak

    sempurnaan unsur struktur hukum) dan kurangnya pengetahuan, kesadaran dan ketaatan

    hukum baik pelaku usaha maupun masyarakat konsumen sehingga mempengaruhi sikap

    dan prilaku masyarakat untuk berperan aktif dalam kegitan pengawasan peredaran obat

    tradisional (mewakili ketidaksempurnaan unsur kultur hukum). Ke empat faktor tersebut

    menunjukkan kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang dilakukan di Kota

    Singkawang saat ini belum optimal dan perlu tindakan korektif yang memadai agar tujuan

    pengawasan obat tradisional yang efektif dan efisien dapat terwujud.

    Jika dilihat berdasarkan teori tiga unsur sistem hukum (three element of legal

    system) oleh Lawrence M. Friedman, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur

    hukum yang merupakan esensi efektifitas penegakan/pelaksanaan hukum. Keempat faktor

    penghambat tersebut diatas ditambah ketidaksempurnaan unsur substansi hukum dengan 184

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    belum dibentuknya peraturan pelaksana yang semestinya sebagai amanat undang-undang

    serta luasnya pengaturan dalam peraturan perundangan-undangan yang ada mengenai

    objek pengawasan yang boleh menjual obat tradisional menunjukkan adanya kelemahan/

    ketidaksempurnaan tiga unsur sistem hukum, sekaligus menunjukkan bahwa pengawasan

    peredaran obat tradisional di wilayah Kota Singkawang sebagai amanat peraturan

    perundang-undangan (produk hukum), dalam pelaksanaannya belum efektif dan perlu

    penyempurnaan agar kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang optimal dapat

    terwujud.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    1. Secara substansi peraturan perundang-undangan yang ada cukup memadai mengatur

    peredaran obat tradisional, namun pada aturan pelaksananya secara teknis perlu diatur

    lebih jelas kriteria pelaku usaha yang berhak menjual produk obat tradisional, baik

    melalui peraturan perundang-undangan maupun peraturan kebijakan sebagai pedoman

    pelaksana dalam menetapkan pelaku usaha yang nantinya menjadi objek pengawasan.

    2. Pelaksanaan pengawasan peredaran obat tradisional di Kota Singkawang belum berjalan

    secara optimal, meskipun telah dilakukan berbagai langkah-langkah pengawasan sesuai

    dengan ketentuan yang berlaku, namun dengan segala keterbatasan belum mampu

    merangkul semua kelompok objek pengawasan seperti penjual jamu keliling maupun

    warung/toko yang menyalurkan obat tradisional.

    3. Faktor dominan yang menghambat pengawasan peredaran obat tradisional di Kota

    Singkawang yaitu jumlah dan kualitas tenaga pengawas dan dukungan finansial yang

    kurang memadai, serta rendahnya kepedulian dan peran aktif masyarakat baik selaku

    pelaku usaha maupun konsumen dalam kegiatan pengawasan akibat dari rendahnya

    pengetahuan, kesadaran dan ketaatan akan ketentuan yang berlaku.

    Saran

    1. Perlu pengaturan lebih lanjut yang lebih jelas, baik dengan membentuk Peraturan

    Pemerintah ataupun Peraturan Kebijakan mengenai kriteria pelaku usaha yang boleh

    menjual obat tradisional dan menghimbau atau mewajibkan kepada setiap pelaku

    usaha yang akan melakukan penjualan obat tradisional untuk melaporkan diri kepada

    Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat, agar tersedia data pelaku usaha yang valid

    sehingga memudahkan kegiatan pembinaan dan pengawasan.

    2. Pemerintah (BBPOM dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota) hendaknya memiliki

    data yang lengkap mengenai seluruh pelaku usaha yang menjual/menyalurkan obat 185

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    tradisional, sehingga kegiatan pengawasan dan pembinaan peredaran obat tradisional

    dapat memberikan hasil yang optimal.

    3. Tingkat pengetahuan, kesadaran dan ketaatan serta peran aktif masyarakat perlu

    ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah dan efektifitas kegiatan penyuluhan serta

    penyebarluasan informasi mengenai obat tradisional yang baik kepada masyarakat.

    4. Hendaknya pembuat kebijakan di instasi pemerintah yang terkait pengawasan peredaran

    obat tradisional, memperhatikan kebutuhan akan dukungan dana operasional dan kualitas

    serta kuantitas tenaga pengawas yang berorientasi pada luas wilayah dan jumlah sarana

    yang diawasi agar kegiatan pengawasan peredaran obat tradisional yang optimal dapat

    terwujud.

    DAFTAR PUSTAKA

    Achmad Ali. 2010. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial

    Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Edisi 1. Cet.

    Ke-3. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

    __________. 2011. Menguak Tabir Hukum, Cet. Ke-3. Bogor: Ghalia Indonesia.

    Ahmadi Miru dan Sutaman Yudo. 2005. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.

    RajaGrafindo Persada.

    Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani. 2003. Hukum tentang Perlindungan Konsumen. Cet.

    Ke-3. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

    N.H.T Siahan. 2005. Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab

    Produk, Cet 1. Jakarta: Penta Rei.

    Soerjono Soekanto. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Edisi 1.

    Cet.11. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

    Sujamto. 1988. Beberapa pengertian dibidang pengawasan, Edisi Revisi, Cet. Ke-2.

    Jakarta: Ghalia Indonesia.

    186

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN

    PERKARA PIDANA

    Mila Gustiana Ansary, M. Syukri Akub, Syamsuddin Muchtar

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    KEDUDUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM PROSES PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA

    Oleh: Mila Gustiana Ansary1*, M. Syukri Akub2, Syamsuddin Muchtar3

    1 Kejaksaan Negeri MakassarJl. Amannagappa No. 29, 90111, Makassar 2 Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

    Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar

    *E-mail: [email protected]

    Abstract

    The presence of the witness is essential in the process of disclosure of a criminal case. Understanding the importance of the position of a witness is necessary for their protection. An institution that can accommodate and provide protection to the witness Witness and Victim Protection Agency (Agency). Agency role in witness protection is responsible for dealing with the protection of witnesses based on the duties and authority as set forth in Law No. 13 of 2006 on the Protection of Witnesses and Victims. While the implementation of witness protection by the Agency in practice often encounter obstacles both internally and externally.

    Keywords: Protection of Law, Witness, Victim, LPSK

    Abstrak

    Keberadaan saksi sangatlah penting dalam proses pengungkapan suatu kasus pidana. Memahami akan pentingnya posisi seorang saksi diperlukan perlindungan bagi mereka. Sebuah lembaga yang dapat mengakomodir dan memberikan perlindungan terhadap saksi yaitu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Peran LPSK dalam perlindungan saksi adalah bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sedangkan pelaksanaan perlindungan saksi oleh LPSK dalam praktik sering menghadapi kendala baik yang bersifat intern maupun ekstern.

    Kata kunci: Perlindungan Hukum, Saksi, Korban, LPSK

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENDAHULUAN

    Dalam konteks penegakan hukum pidana menurut sistem peradilan pidana (criminal justice

    system)1 Indonesia sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

    dan peraturan lainnya, yang dimulai dari fase pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan

    dan penyidikan) oleh Penyelidik dan Penyidik Polri atau Penyidik Pegawai Negesi Sipil

    (PPNS), penuntutan oleh Penuntut Umum (Kejaksaan), pemeriksaan pengadilan oleh hakim

    Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung, sampai eksekusi putusan

    pengadilan, peran masyarakat sangatlah besar, khususnya dalam peranannya menjadi saksi

    terhadap tindak pidana yang terjadi.

    Sebagaimana diketahui, peranan saksi yang melihat atau mendengar terjadinya tindak

    pidana sangatlah penting, karena keterbatasa Adanya perlindungan dan penghormatan

    terhadap hak-hak asasi manusia merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap negara

    yang disebut negara hukum jumlah penyelidik dan penyidik (Polisi dan PPNS) menjadikan

    penyelidik dan penyidik tidak dapat secara langsung mengetahui semua tindak pidana yang

    terjadi di masyarakat. Polisi dan PPNS sebagai penyelidik atau penyidik, mengetahui tindak

    pidana yang terjadi di masyarakat dari laporan dan pengaduan dari anggota masyarakat.

    Dalam konstalasi inilah peran masyarakat dengan budaya hukumnya mempengaruhi

    kinerja penegakan hukum pidana.

    Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangatlah penting sehingga

    keterangan saksi dijadikan salah satu di antara lima alat bukti yang sah sebagaimana yang

    diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu: a)

    Keterangan saksi; b) Keterangan ahli; c) Surat; d) Petunjuk; dan e) Keterangan terdakwa.

    Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat bukti yang sah,

    menunjukkan tentang pentingnya alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara

    pidana.2

    Salah satu alat bukti yang sah yang hampir selalu ada dan diperlukan dalam setiap

    perkara pidana adalah keterangan saksi. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan

    kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami

    kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman, baik fisik

    maupun psikis dari pihak tertentu.

    Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak

    awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran 1 Muchamad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum Universitas

    Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=46, diakses pada 13 September 2012.

    2 Andi Hamzah. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985). Hal. 187.190

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    hukum sebagian besar berdasarkan informasi dari masyarakat. Begitu pula dalam proses

    selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi

    sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya

    terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya

    menegakkan hukum dan keadilan.3 Pentingnya peran saksi dalam proses penegakan

    hukum terutama hukum pidana tentunya membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang

    dijadikan saksi, baik itu saksi korban dan saksi pelapor maupun saksi-saksi lain dalam

    pembuktian pelaku tindak pidana.

    Kondisi saksi yang berada pada posisi yang lemah, justru Kitab Undang-undang

    Hukum Pidana (KUHP) bahkan mengancam dengan pidana apabila saksi tidak datang untuk

    memberikan keterangan setelah menerima panggilan dari penegak hukum. Selanjutnya

    KUHAP mewajibkan saksi untuk bersumpah dan berjanji sebelum memberikan keterangan

    tujuannya adalah agar saksi tersebut dapat memberikan keterangan dengan sungguh-

    sungguh dengan apa yang diketehui, baik yang dilihat, didengar atau dialami oleh saksi.

    Berbicara tentang kewajiban dalam hukum tentu erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia

    dalam hal ini adalah hak saksi, dengan demikian Undang-undang memberikan hak bagi

    saksi berupa perlindungan bagi saksi itu sendiri.

    Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi

    salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan

    perlindungan hukum. Dengan jaminan perlindungan hukum tersebut, diharapkan tercipta

    suatu keadaan yang memungkinkan saksi tidak lagi merasa takut untuk memberikan

    kesaksian terhadap suatu perkara pidana dalam proses persidangan.

    Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

    Korban merupakan salah satu perwujudan perlindungan hak asasi manusia dalam hal ini

    perlindungan hak saksi dan korban. Salah satu amanat yang ada dalam UU Perlindungan

    Saksi dan Korban adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)

    yang dibentuk paling lambat setahun setelah UU Perlindungan Saksi dan Korban disahkan.

    Dalam perkembangan selanjutnya, LPSK dibentuk pada tanggal 8 Agustus 2008. Di dalam

    UU Perlindungan Saksi dan Korban disebutkan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri

    namun bertanggung jawab kepada Presiden dan merupakan lembaga yang bertugas dan

    berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau

    Korban sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban.

    3 Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=viewarticle&artid=53, diakses pada 13 September 2012. 191

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Dengan lahirnya UU Perlindungan Saksi dan Korban serta terbentuknya Lembaga

    Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang kuat

    khususnya bagi perlindungan terhadap saksi agar berani dalam memberikan keterangan

    yang sebenar-benarnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami

    ancaman atau tuntutan hukum.

    RUMUSAN MASALAH

    Dalam penelitian ini, permasalahan yang akan diteliti adalah bagaimana kedudukan

    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terhadap saksi dalam proses pemeriksaan perkara

    pidana di Indonesia?

    METODE PENELITIAN

    Lokasi Penelitian

    Dalam pelaksanaan penelitian ini, lokasi yang menjadi objek penelitian adalah

    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta.

    Spesifikasi Penelitian

    Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menyajikan gambaran tentang

    perlindungan hukum bagi saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia dan menganalisis

    permasalahan tersebut secara cermat dan objektif.

    Jenis Data Penelitian

    Untuk penelitian normatif empiris menggunakan peraturan perundang-undangan dan

    data yang diperoleh langsung dari responden sebagai data primer, sedangkan untuk data

    sekundernya melalui studi kepustakaan.

    Teknik Pengumpulan Data

    Teknik pengumpulan data yang dikenal adalah studi kepustakaan, pengamatan

    (observasi), wawancara (interview), dan daftar pertanyaan (kuesioner). Sesuai dengan jenis

    data seperti yang dijelaskan di atas, maka dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan

    dengan cara :

    a. Studi kepustakaan. Terhadap data sekunder dikumpulkan dengan melakukan studi

    kepustakaan, yaitu dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji peraturan

    perundang-undangan, buku-buku, dan artikel ilmiah yang berhubungan dengan

    perlindungan saksi.

    b. Wawancara. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan melalui tatap muka secara

    langsung dengan cara tanya jawab kepada responden yang dipandang kompoten 192

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    dengan penelitian.

    Analisis Data

    Data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun dari responden melalui

    wawancara akan dianalisis dengan menggunakan metode analisa kualitatif. Analisa

    kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang

    diperoleh dari studi kepustakaan dan responden melalui wawancara sehingga diperoleh

    jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Kewenangan dan Tanggung Jawab LPSK

    LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan kepada saksi

    berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor

    13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Adapun tanggung jawab LPSK

    dalam hal perlindungan saksi,4 antara lain:

    a. Memberikan rasa aman kepada para saksi dalam memberikan keterangan dalam

    semua tahapan proses peradilan hukum pidana;

    b. Memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada para saksi yang akan, sedang

    dan atau telah memberikan keterangan sehubungan dengan perkara pidana tertentu;

    c. Mendayagunakan berbagai sumberdaya kemampuan dan anggaran negara untuk

    melakukan perlindungan, bantuan, dan perwujudan hak-hak saksi berkenaan dengan

    proses peradilan pidana terhadap kasus-kasus tertentu;

    d. Melakukan upaya perlindungan saksi sesuai kewenangan yang ditentukan oleh

    ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku;

    e. Membuat sistem dan model-model pertanggungjawaban proses pemberian

    perlindungan dan bantuan kepada saksi; dan

    f. Membuat laporan berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada DPR-RI dan

    Presiden RI.

    Salah satu tanggung jawab LPSK adalah membuat laporan secara berkala tentang

    pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam

    1 (satu) tahun. Penugasan ini adalah sebagai fungsi kontrol dari DPR sebagai perwakilan

    rakyat Indonesia. Namun perlu diperhatikan isi dan format seperti apa yang harus

    dilaporkan kepada DPR maupun Presiden. Karena laporan-laporan tersebut jangan sampai

    membuka informasi yang justru telah ditetapkan sebagai rahasia oleh LPSK dan UU No 4 Abdul Haris Semendawai, Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi dan Korban di

    Indonesia. Di#sampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas Hukum-UI, Jakarta, 2011, hal. 20. 193

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    13 Tahun 2006.

    Disamping sebagai fungsi kontrol dan pengawasan kinerja, DPR juga seharusnya

    menjadi rekan dari LPSK baik sebagai pendukung program LPSK maupun pemberi

    rekomendasi yang membantu pengembangan program LPSK itu sendiri. Tugas dan

    kewenangan LPSK yang tersebar dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, yaitu:

    1. Menerima permohonan Saksi dan/atau Korban untuk perlindungan (Pasal 29),

    2. Memberikan keputusan pemberian perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 29),

    3. Memberikan perlindungan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 1),

    4. Menghentikan program perlindungan Saksi dan/atau Korban (Pasal 32),

    5. Menentukan kelayakan, jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan diberikannya

    bantuan kepada Saksi dan/atau Korban (Pasal 34).

    Dari jabaran tersebut, tugas dan kewenangan LPSK dikelompokan menjadi empat

    tugas dan kewenangan pokok yakni:

    1. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Perlindungan Saksi.

    2. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kompensasi dan Restitusi Korban.

    3. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Program Bantuan Korban.

    4. Tugas dan kewenangan yang terkait dengan Kerjasama.

    Jika dilihat dari tugas maupun kewenangan yang diberikan oleh UU PSK terhadap

    LPSK, secara umum terkesan sudah mencukupi. Namun jika diperhatikan dengan teliti,

    apalagi jika dikaitkan dengan mandat dari undang-undangnya maka kewenangan dari

    lembaga ini masih kurang memadai.

    Ada beberapa hal penting yang sebaiknya menjadi kewenangan LPSK yang

    seharusnya dapat dimasukkan dalam revisi UU Perlindungan Saksi dan Korban, yakni:

    1. Wewenang untuk membuat peraturan-peraturan yang berhubungan dengan :

    a. bantuan dan dukungan bagi saksi selama di pengadilan;

    b. penyediaan tempat khusus bagi saksi di pengadilan;

    c. konsultasi bagi para saksi; dan

    d. hal-hal lain yang oleh LPSK dipandang sangat perlu diatur untuk menyediakan

    pelayanan bagi saksi di pengadilan;

    2. Wewenang untuk melaksanakan tugas-tugas administratif menyangkut perlindungan

    saksi dan orang-orang terkait, termasuk menyangkut perlindungan sementara dan

    layanan-layanan lainnya.

    3. Wewenang untuk tidak memberikan informasi tentang data-data tertentu dari saksi

    (rahasia) yang masuk dalam program perlindungan saksi.

    194

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Peran LPSK dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana

    Dalam proses pemeriksaan perkara pidana mulai dari tahap penyelidikan sampai

    dengan pembuktian di persidangan, keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan.

    Bahkan keterangan dari saksi merupakan menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam

    pengungkapan kasus pidana atau bisa di katakan juga saksi bisa menjadi kunci untuk

    menerangkan suatu kasus pidana.

    Pada saat saksi akan memberikan keterangan tentunya harus disertai jaminan bahwa

    yang bersangkutan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat dan setelah memberikan

    kesaksian. Jaminan ini penting untuk diberikan guna memastikan bahwa keterangan yang

    akan diberikan benar-benar murni bukan hasil rekayasa apalagi hasil dari tekanan pihak-

    pihak tertentu.

    Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan pada pemeriksaan

    keterangan saksi bahkan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut KUHAP dimulai de

    ngan mendengarkan saksi, walaupun dalam permulaan sidang hakim menanyakan identitas

    dari terdakwa dan jaksa membacakan surat dakwaan, sekurang-kurangnya di samping

    pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian dengan

    alat bukti keterangan saksi. Menjadi saksi dalam persidangan merupakan suatu kewajiban

    bagi setiap warga Negara. Kesadaran orang yang menjadi saksi merupakan tanda bahwa

    orang tersebut telah taat dan sadar hukum.

    Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan karena

    saksi yang takut untuk memberikan keterangan yang ia ketahui tentang suatu tindak pidana

    yang ia lihat dan dengar sendiri, ini disebabkan karena saksi telah mendapat ancaman

    dari pihak tertentu. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap

    tindak pidana sudah seharusnyalah perlu diciptakan keadaan yang kondusif dengan cara

    memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui

    atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tentang suatu tindak pidana

    yang telah terjadi dan tanpa ada rasa takut memberikan laporan atau keterangan kepada

    aparat penegak hukum demi terungkapnya kebenaran atas suatu peristiwa tindak pidana.

    Saksi harus diberikan perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya,

    sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya.

    Dengan terciptanya suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi

    merasa takut atau khawatir jiwanya terancam oleh pihak tertentu untuk melaporkan suatu

    tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum akan memudahkan terungkapnya

    fakta di dalam proses peradilan pidana.

    195

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi

    salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses penegakan hukum pidana harus diberi

    jaminan perlindungan hukum. Keberadaan Undang-undang Perlindungan saksi dan

    korban diharapkan menjadi terobosan di dunia peradilan di Indonesia. Salah satu alasan

    diajukannya Undang-undang ini karena ketentuan hukum acara pidana atau perundang-

    undangan lainnya belum memberikan perlindungan hukum khususnya bagi saksi untuk

    dapat menyampaikan sendiri apa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

    Respon yang baik terhadap keberadaan LPSK ini tampak dari meningkatnya laporan dan

    pengaduan dari saksi kepada LPSK.

    Berdasarkan hasil penelitian, laporan dan pengaduan terhadap LPSK selalu

    mengalami peningkatan sejak dibentuknya LPSK pada tahun 2008 sampai dengan tahun

    2012. Peningkatan perlindungan saksi yang dilakukan oleh LPSK dapat dilihat pada Tabel

    1 di bawah ini:

    Tabel 1. Data saksi yang telah mendapat perlindungan LPSK sejak Agustus 2008 - Desember 2012

    Tahun Jumlah saksi yang dilindungi LPSK20082009201020112012

    107494266511

    Sumber: LPSK, 2012

    Dari data di atas dapat dilihat bahwa sejak berdirinya LPSK pada bulan Agustus

    tahun 2008 sampai dengan bulan Desember tahun 2012, jumlah saksi yang mendapat

    perlindungan dari LPSK selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

    Peningkatan ini disebabkan karena LPSK telah membuat berbagai sistem dan

    mekanisme yang memudahkan saksi untuk mengakses dan berkomunikasi dengan LPSK,

    sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai prosedur dan tahapan yang harus

    dilalui saksi untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK. Peningkatan ini juga disebabkan

    karena sambutan masyarakat atas keberadaan dan peran LPSK semakin meningkat.

    Keberadaan LPSK memberi harapan masyarakat akan adanya penegakan hukum yang

    lebih baik di Indonesia.

    Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Abdul Haris Semendawai selaku Ketua LPSK

    yang menyatakan:Dalam rentang waktu dari 2008 hingga 2010, lembaga ini baru menerima empat kasus. Sementara hingga September 2011, telah mencapai empat kasus. Sejak berdiri 2008, laporan permintaan perlindungan saksi dari Sulsel total delapan kasus.5

    5 Wawancara pada tanggal 26 November 2012.196

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Permohonan perlindungan berasal dari kasus pembunuhan, korupsi, dan pelanggaran

    hak asasi manusia yang dilakukan aparat penegak hukum. Tentu permintaan yang masuk

    tidak kami terima semua, ada beberapa hal yang harus dilengkapi. Disinyalir masih banyak

    kasus serupa, tapi enggan dilaporkan, terutama di daerah yang akses informasinya cukup

    sulit. Kami telah meneliti intensitas terjadinya tindak kekerasan terhadap saksi dan hasilnya

    cukup banyak. Namun, karena letak LPSK dengan tempat kejadian jauh mengakibatkan

    laporan yang masuk terbilang kecil.6

    Perlindungan hukum yang diberikan UU PSK terhadap saksi dapat dilihat dalam

    Pasal 10 ayat (1) UU Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan, Saksi, Korban,

    dan Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan,

    kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

    Perlindungan hukum terhadap saksi yang dimaksud pada ayat tersebut adalah

    berupa kekebalan yang diberikan kepada saksi untuk tidak dapat dituntut secara hukum

    baik pidana maupun perdata atas laporan maupun kesaksian yang akan, sedang, atau telah

    diberikannya.

    LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi bersifat pasif maupun aktif.

    Hal ini diperkuat dengan pendapat Anggota LPSK Tasman Gultom,7 yang menyatakan:LPSK dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dapat bersifat pasif maupun aktif. Pasif artinya LPSK menunggu permohonan dari saksi yang ingin mendapatkan perlindungan, sedangkan aktif artinya tim dari LPSK dapat terjun langsung ke lapangan untuk langsung memberikan perlindungan tanpa harus ada permohonan dari saksi.

    LPSK memberikan perlindungan secara aktif dapat dilihat dalam kasus Mesuji dimana

    LPSK telah menjemput bola terlebih dulu, dalam kerangka pemberian perlindungan.

    LPSK menemukan saksi mengalami penderitaan dan trauma yang mendalam sehingga

    perlu percepatan penanganan proses penegakan hukum agar konflik tidak berkepanjangan

    di masyarakat, serta memberikan kepastian hukum terhadap saksi dalam kasus tersebut.

    Adapun kriteria kasus yang dijemput bola LPSK, adalah kasus yang spesifik dan menonjol.

    Kasus yang berpotensi membahayakan saksi menjadi prioritas untuk segera diantisipasi.

    Berdasarkan hasil penelitian, saksi-saksi yang dilindungi LPSK sebagian besar mulai

    dilakukan perlindungan sejak awal penyelidikan karena sebagian besar saksi sudah merasa

    terancam dan sering diteror pada saat penyelidikan khususnya untuk perkara tindak pidana

    korupsi, contohnya pada kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian

    Pertanian, dimana salah satu saksinya yakni Mantan Direktur Jenderal Peternakan 6 Rahmat Hardiansya. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini.com/home/

    index-berita/3260-lpsk-akan-buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pada bulan Agustus 2012.7 Wawancara pada tanggal 26 November 2012. 197

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Kementerian Pertanian, Prabowo Respatiyo Caturroso telah memperoleh perlindungan

    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Perlindungan itu diberikan karena

    Prabowo yang kini menjabat staf ahli Menteri Pertanian merupakan saksi dalam kasus suap

    pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian dan memohon kepada LPSK

    untuk dilindungi karena ia mengaku sering mendapat ancaman melalui teleponn sejak

    menjadi saksi dalam kasus tersebut.

    Sepanjang tahun 2012, 22 dari 30 saksi yang meminta perlindungan ke LPSK

    sebelumnya mengalami ancaman serangan balik dari pihak yang dirugikan akibat laporan

    atau kesaksiannya. Serangan balik ini dilakukan mulai dari dilaporkan tindak pidana lain,

    teror, sampai upaya percobaan pembunuhan terhadap saksi.8 Ketua LPSK, menegaskan:9

    Kondisi ini mencerminkan potensi ancaman dan serangan balik terhadap saksi dalam kasus korupsi sangat besar. Korupsi merupakan kategori tindak pidana terorganisir, sehingga potensi ancaman terhadap saksi dilakukan secara terorganisir karena melibatkan pihak yang berpengaruh dan posisi kuat.Tingginya potensi ancaman terhadap saksi dalam tindak pidana korupsi ini seharusnya didukung dengan upaya aparat penegak hukum untuk lebih hati-hati dalam menangani proses hukum tindak pidana korupsi. Seharusnya aparat penegak hukum lebih sensitif terhadap potensi ancaman terhadap para saksi dalam tindak pidana korupsi, yakni dengan merahasiakan identitas saksi dan proses pemeriksaan yang kondusif sehingga membuat saksi nyaman dan tidak khawatir akan keselamatan jiwanya ketika diperiksa.

    Pada dasarnya perlindungan bagi saksi di Indonesia yang diberikan Negara melalui

    LPSK sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 ini difokuskan

    pada tindak pidana/kasus-kasus tertentu seperti penjelasan Pasal 5 ayat (2) yang dimaksud

    dengan kasus-kasus tertentu, antara lain tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/

    psikotropika, tindak pidana terorisme dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi

    dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya, tetapi pada kenyataannya

    perlindungan dan bantuan bagi saksi saat ini bukan hanya diperlukan untuk tindak pidana

    atau kasus-kasus tertentu seperti dimaksud penjelasan Pasal 5 ayat (2) tersebut melainkan

    tindak pidana umum lainnya yang bersentuhan dengan konflik sosial di Indonesia terutama

    masyarakat di wilayah luar Jakarta dan luar pulau Jawa yang sedikit lebih sensitif dengan

    permasalahan hukum yang dialami. Hal ini sesuai dengan data pada LPSK, bahwa jenis

    tindak pidana yang dimasukkan permohonan perlindungan hukum oleh saksi ke LPSK

    lebih banyak berasal dari tindak pidana umum.

    8 Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 22 dari 30 Saksi Korupsi Alami Serangan Balik, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012, http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Agustus 2012.

    9 Ibid. 198

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Kendala yang Dihadapi LPSK

    LPSK dalam memberikan layanan pemberian perlindungan memiliki tugas untuk

    menjamin agar saksi dapat memberikan keterangan pada setiap proses pemeriksaan perkara

    pidana atas apa yang ia dengar, lihat, dan ia alami sendiri dengan aman tanpa adanya

    ancaman atau intimidasi dari pihak manapun, sehingga dapat memberikan kontribusi

    secara optimal dalam mengungkap suatu tindak pidana. Namun, LPSK dalam menjalankan

    tugasnya, sering menghadapi kendala sehingga hasil kerja LPSK menjadi tidak optimal.

    Berdasarkan hasil penelitian, kendala-kendala LPSK selama menjalankan tugasnya

    memberikan perlindungan hukum bagi saksi diidentifikasi ke dalam 2 (dua) kategori, faktor

    internal dan eksternal LPSK, sebagai berikut:

    Kendala internal Dari segi kedudukan LPSK

    Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan kedudukan LPSK

    berada di Jakarta. Bisa dibayangkan jika LPSK dipusatkan di Jakarta, jelas akan sulit

    menangani permohonan yang telah dikabulkan LPSK pada waktu yang bersamaan. Jelas,

    di tingkat operasional, perlu desentralisasi penanganan.

    Untuk mengatasi hal tersebut, UU PSK memberikan keleluasaan bagi LPSK untuk

    membentuk perwakilannya di wilayah atau daerah lain jika hal tersebut dianggap menjadi

    peran yang sangat penting untuk pemberian perlindungan. Pilihan UU PSK memberikan

    akses bagi LPSK untuk mendirikan lembaga perwakilan adalah pilihan yang tepat karena

    dari segi geografis wilayah Republik Indonesia yang sangat luas dan akses informasi

    maupun komunikasi yang terbatas baik antara wilayah maupun antar ibukota dengan

    wilayah lainnya, dan kasus-kasus intimidasi terhadap saksi yang terjadi selama ini justru

    paling banyak terjadi di luar wilayah Jakarta.

    Perwakilan LPSK di daerah bisa didirikan ditingkat wilayah tertentu (antar

    propinsi) atau dapat juga didirikan di tiap propinsi atau dalam kondisi khusus (penting

    dan mendesak) LPSK perwakilan bisa juga didirikan di wilayah terpilih, misalnya karena

    tingginya kasus intimidasi dan ancaman saksi di daerah tertentu maka LPSK mendirikan

    kantor perwakilannya.

    Banyaknya permohonan perlindungan dari daerah menjadi indikasi bahwa warga

    daerah lebih rentan terkena dampak hukum. Banyaknya jumlah permohonan dari daerah

    luar Jakarta tersebut bertolak belakang dengan keberadaan LPSK yang hanya berada di

    Jakarta sehingga membuat para pemohon kesulitan untuk meminta perlindungan. Untuk

    menampung pemohon perlindungan yang ada di daerah, LPSK bahkan harus menjemput

    bola sekaligus terus menyosialisasikan fungsi lembaga ke daerah-daerah. 199

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Masalah atas minimnya kewenangan dari LPSK dalam praktiknya dikhawatirkan

    akan menyulitkan implementasi dari pekerjaan yang harus dilakukan LPSK. Tidak bisa

    dipungkiri bahwa dalam melaksanakan sebagian dari tugas-tugasnya LPSK akan tergantung

    pula dengan keberadaan institusi-institusi lainnya. Oleh karena itu, maka ketergantungan

    akan kerjasama dari institusi lainnya harus segera disadari oleh LPSK, dalam konteks ini

    ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian yakni adanya problem eksistensi antar

    lembaga negara maupun antar instansi pemerintah bisa dikatakan tidak akan pernah hilang.

    UU PSK sebenarnya sudah menentukan kewenangan dari LPSK, maka untuk membantu

    dan mendukung kerja-kerja LPSK harus segera membuat (pemetaan) daftar kewenangan

    dan turunan kewenangan yang telah dimandatkan oleh UU PSK. Setelah melakukan

    pemetaan, LPSK sebaiknya melihat kembali beberapa kelemahan dari kewenangan dan

    menutupinya dengan menetapkan dalam sebuah keputusan internal LPSK. Walaupun

    nantinya keputusan LPSK akan terbatas dapat diterapkan di luar LPSK. Namun dengan

    melakukan pemetaan kebutuhan, (tentunya untuk memperbesar kewenangan) LPSK bisa

    juga menggunakan perjanjian-perjanjian atau membuat Surat Keputusan Bersama (SKB)

    dengan berbagai instansi lainnya, tentunya dengan difasilitasi oleh pemerintah. Dengan

    menggunakan model SKB atau perjanjian pemerintah ini diharapkan masalah kewenangan

    antar lembaga dapat diminimalisir.

    Dari segi anggaran

    UU PSK menyatakan bahwa biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK

    dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Salah satu ruang

    lingkup dari pengeluaran adalah pengunaan atau pendirian tempat perlindungan atau

    rumah aman untuk para saksi maupun orang terkait dengan saksi, misalnya keluarga

    saksi. Anggaran menggunakan rumah aman harus ada dalam program perlindungan.

    Apakah LPSK ingin membangun sendiri atau menyewa dari pihak-pihak lainnya.

    Biaya lain yang akan dibutuhkan oleh LPSK adalah berkenaan dengan biaya-biaya

    khusus yang dikeluarkan untuk perlindungan khusus yang diberikan kepada saksi. Beberapa

    hal yang mempengaruhi besarnya biaya tiap kasus yang dilindungi meliputi berbagai

    faktor, termasuk di dalamnya adalah apakah saksi memiliki keluarga yang membutuhkan

    perlindungan, waktu yang dihabiskan oleh saksi di tempat tinggal sementara, standar

    kehidupan saksi, dan hak saksi atas bantuan keuangan. Adanya berbagai macam faktor yang

    mempengaruhi biaya dan ketidakpastian pengeluarannya di masa yang akan datang akan

    membuat makin sulit untuk memprediksi dengan tepat jumlah biaya yang akan dikeluarkan

    untuk membantu saksi.

    200

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Dari segi SDM, terkait dengan kemampuan LPSK menangani dan menindaklanjuti

    permohonan yang jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini didukung

    oleh pendapat Tasman Gultom,10 yang menyatakan, Jumlah permohonan yang masuk ke

    LPSK tidak sebanding dengan jumlah personil LPSK, namun dengan jumlah yang sedikit

    kami berusaha untuk dapat bekerja semaksimal mungkin.

    Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa hal yang mungkin paling sering dialami saksi

    ketika berhadapan dengan LPSK adalah terlalu lamanya proses pengambilan keputusan

    mengenai diterima atau tidaknya permohonan perlindungan yang diajukan saksi yang harus

    menunggu Sidang Paripurna dimana hal ini disebabkan karena kurangnya personil dari

    LPSK sendiri untuk bisa menangani dalam waktu yang bersamaan semua permohonan

    yang masuk ke LPSK yang meningkat dari tahun ke tahun.

    Ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban saat ini belum mengakomodasi dan

    memberikan kewenangan LPSK untuk menentukan sistem manajemen SDM sendiri.

    Sebagai gambaran, kriteria perlindungan antara lain; memenuhi kualifikasi pengalaman

    perlindungan pribadi, penanganan senjata, hukum dan psikologi, memenuhi integritas

    menjaga rahasia, memenuhi profil psikologis mengubah peran, merekrut jenis pegawai

    yang lazim dan fleksibel (pegawai tetap, pegawai kontrak/honorer, dan tenaga sukarela),

    menentukan kebijakan rotasi staf setiap 3-5 tahun (untuk pengembangan karir, pencegahan

    korupsi dan sifat pekerjaan yang menuntut produktivitas tinggi)11. Perlu juga memuat

    ruang lingkup kemandirian sistem manajemen SDM LPSK yang berbasis kompetensi

    atau meritrokrasi. Misalnya seperti persyaratan menjadi pegawai LPSK, kewenangan

    mengangkat dan memberhentikan pegawai, pola kepangkatan, ketentuan mengenai

    penyertaan jenjang kepangkatan pegawai yang dipekerjakan ke dalam jenjang kepangkatan

    di LPSK, dan dasar yang kuat terhadap aturan mengenai gaji, honorarium, serta hak-hak

    lain bagi pegawai LPSK.

    Keberhasilan program kerja LPSK hanya dapat dicapai jika adanya dukungan baik dari

    segi penambahan jumlah personil maupun sumber daya manusia yang baik dari kalangan

    pegawai atau staf yang bekerja di LPSK. Karena itulah maka keberadaan dukungan staf

    yang berintegritas tinggi, profesional, berkualitas dan memiliki produktifitas yang tinggi

    sangatlah penting dalam kerja LPSK terutama jika dikaitkan dengan misi yang spesifik dari

    kerja-kerja perlindungan saksi yang menuntut kedisiplinan dan kerahasiaan yang sangat

    tinggi.

    10 Wawancara pada tanggal 26 November 2012.11 Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk.go.id/upload/

    MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012.

    201

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Kendala eksternal Dari segi koordinasi

    LPSK dalam melakukan perlindungan terhadap khususnya terhadap saksi tentunya

    menyadari bahwa kerja-kerja lembaga akan melibatkan banyak dukungan dari instansi

    lain. Hal ini menunjukkan bahwa LPSK dalam melakukan perlindungan saksi dapat

    berkoordinasi dengan lembaga pemerintah dan non-pemerintah atau lembaga swadaya

    masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung

    maupun tidak langsung, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh saksi. Oleh

    karena itu pula, hubungan antar lembaga tersebut harus didukung dan difasilitasi oleh

    Presiden, karena LPSK bertanggungjawab pula kepada Presiden. Posisi Presiden sebagai

    posisi yang sangat sentral dalam mendukung kerja LPSK sekaligus sebagai posisi yang

    membawahi masing-masing departemen atau lembaga terkait lainnya.

    Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak

    selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi sehingga

    menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam melindungi saksi. Salah satu

    masalah yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihak-pihak

    terkait yang berwenang khususnya aparat penegak hukum. Hal ini tentu akan menghambat

    tugas paling utama dari LPSK yaitu melindungi saksi. Padahal, pemberian perlindungan

    saksi dan korban mustahil memutus peran berbagai pihak terkait. Dari pihak penegak

    hukum misalnya, yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, advokat, dan hakim.

    Berdasarkan hasil penelitian, banyak aparat penegak hukum yang belum mengetahui

    keberadaan LPSK. Padahal, LPSK yang dibentuk pada 8 Agustus 2008 lalu berdasarkan

    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban berkaitan

    langsung dengan aparat penegak hukum. Hal ini diperkuat dengan pendapat Tasman

    Gultom,12 yang menyatakan, LPSK sudah sering melakukan sosialisasi ke daerah di luar

    Jakarta namun sampai saat ini masih banyak yang belum mengetahui keberadaan LPSK

    khususnya bagi aparat penegak hukum contohnya ada seorang hakim di Pengadilan Negeri

    di Jakarta yang mengatakan LPSK itu LSM dari mana.

    Hal yang sama juga disampaikan Penanggung Jawab Bidang Hukum, Diseminasi,

    dan Humas LPSK, Hotma David Nixon13, yang mengatakan, Mayoritas aparat penegak

    hukum tidak kenal LPSK. Apakah LSM atau lembaga negara? Bahkan, jaksa, hakim,

    kepolisian, tidak tahu.

    12 Wawancara pada tanggal 26 November 2012.13 Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6.com/

    read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada bulan Agustus 2012.202

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Ironis memang, jika bahkan penegak hukum sendiri yang tidak mengenal LPSK,

    itu sangat menyedihkan, dan bukan hanya aparat penegak hukum yang tidak mengetahui

    adanya LPSK sebagai lembaga negara yang membidangi masalah perlindungan saksi dan

    korban, tetapi anggota DPR juga ada yang tidak mengetahui keberadaan lembaga ini.

    Anggota DPR Komisi X Deddy Miing Gumelar saja tidak tahu apa itu LPSK ketika dia

    dipindahkan ke Komisi III bidang hukum. Ada juga seorang hakim di Bekasi yang mengira

    LPSK itu sebuah LSM.

    LPSK tidak dapat bekerja sendiri, ada bagian-bagian dimana LPSK tidak mempunyai

    kewenangan untuk mengintervensi tugas dan wewenang lembaga penegak hukum lainnya.

    Misalnya masalah peradilan, LPSK tidak bisa sampai ke sana tanpa ada kerjasama dengan

    pihak Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Artinya, dengan

    mengharmonisasikan perbedaan yang ada maka diharapkan LPSK dapat menjadi lembaga

    yang komplemen yang dapat berguna bagi lembaga-lembaga penegak hukum dan instansi

    terkait lainnya.

    Intimidasi dari pihak tertentu

    Selain aspek koordinasi di atas, kendala yang juga sering dihadapi LPSK dalam

    menjalankan tugasnya adalah adanya intimidasi dari pihak-pihak tertentu yang ingin

    menghalangi LPSK dalam memberikan perlindungan hukum terhadap saksi. Contohnya

    pada kasus penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta

    dengan terdakwa 12 prajurit Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan, Kartosuro, Sukoharjo

    yang saat ini sudah masuk tahap pemeriksaan di Pengadilan Militer (Dilmil) II-11

    Yogyakarta.

    Salah satu bukti dari pentingnya peran LPSK dalam memberikan perlindungan

    hukum bagi saksi kasus penyerangan Lapas Cebongan tersebut adalah dengan mengajukan

    permohonan penggunaan video teleconference ke Mahkamah Agung untuk beberapa saksi

    yang tidak ingin bersaksi secara langsung didepan pengadilan karena masih mengalami

    trauma pasca kejadian penyerangan tersebut dimana hal tersebut telah sesuai dengan

    ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

    Korban yang secara umum menyatakan bahwa saksi yang merasa dirinya berada dalam

    ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa

    hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa dan dapat didengar

    kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat

    yang berwenang.

    Permohonan LPSK tersebut telah mendapat persetujuan MA dimana MA menyetujui

    penggunaan alat bantu video conference untuk proses pemberian kesaksian Cebongan di 203

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    Pengadilan Militer II11 Yogjakarta Meskipun MA telah menyetujui penggunaan alat

    bantu video conference, namun berdasarkan ketentuan Pasal 9 UU Perlindungan Saksi dan

    Korban, penggunaan alat tersebut harus berdasarkan persetujuan hakim.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    Perlindungan terhadap saksi dilakukan berdasarkan prosedur yang telah diatur dalam

    Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban maupun

    dalam Peraturan LPSK Nomor 6 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan

    Saksi dan Korban. LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan

    kepada saksi berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur di dalam Undang-

    undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

    LPSK mempunyai peran yang sangat penting dalam memberikan perlindungan

    hukum terhadap saksi dalam setiap proses pemeriksaan perkara pidana di Indonesia.

    Hadirnya LPSK dengan segala kewenangan, tanggung jawab dan peran yang diembannya

    merupakan sebuah pencapaian penting dalam konteks pemenuhan hak saksi. Namun

    dalam menjalankan tugasnya, LPSK sering mengalami kendala baik yang bersifat internal

    maupun kendala yang bersifat eksternal. Selain itu, adanya intimidasi dari pihak-pihak

    tertentu dapat pula mempengaruhi peran LPSK dalam memberikan perlindungan hukum

    bagi saksi.

    Saran

    Untuk optimalisasi perlindungan hukum terhadap saksi dibutuhkan peran pemerintah

    bersama-sama LPSK untuk lebih fokus lagi melakukan sosialisasi tentang perlindungan

    hukum terhadap saksi yang tidak hanya berpusat di ibukota setiap propinsi saja tetapi

    diharapkan dapat sampai ke tingkat pedesaan agar masyarakat dapat mengetahui dan

    mudah memahami apa hak-hak mereka ketika menjadi saksi dan tidak takut lagi memberi

    kesaksiannya.

    Keberadaan LPSK mempunyai kedudukan dan peranan penting dalam mewujudkan

    sistem peradilan pidana terpadu khususnya dalam memberikan perlindungan hukum

    bagi saksi dalam proses pemeriksaan pekara pidana di Indonesia. Meningkatnya jumlah

    perlindungan terhadap saksi dari tahun ke tahun menjadi dasar bagi LPSK untuk segera

    membentuk kantor perwakilan LPSK di luar wilayah Jakarta karena sebagian besar

    permohonan perlindungan lebih banyak berasal dari daerah luar Jakarta.

    204

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Haris Semendawai. 2011. Peran Negara dan LPSK dalam Perlindungan Saksi

    dan Korban di Indonesia. Disampaikan pada Kuliah Umum Victimologi Fakultas

    Hukum-UI, Jakarta.

    Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia

    Indonesia.

    Adam Riski. Wah, banyak Aparat Penegak Hukum tak Kenal LPSK, http://news.liputan6.

    com/read/461993/wah-banyak-aparat-penegak-hukum-tak-kenal-lpsk. Diakses pada

    bulan Agustus 2012.

    Maharani Siti Shopia. 2012. Menyambut Hari Anti Korupsi Sedunia 22 dari 30 Saksi

    Korupsi Alami Serangan Balik, Pers Release LPSK No. 62/PR/LPSK/XII/2012,

    http://www.lpsk.go.id, diakses bulan Agustus 2012.

    Muhammad Iksan. 2012. Seri Kuliah Hukum Perlindungan Saksi. Fakultas Hukum

    Universitas Muhammadiyah Surakarta, http://hukum.ums.ac.id/? pilih=news&mod=

    yes&aksi=lihat&id=46, diakses pada 13 September 2012.

    Nur Rahmat. 2012. Restrukturisasi Organisasi Menuju Kemandirian, http://www.lpsk.

    go.id/upload/MajalahKesaksianEdisiII.pdf, diakses pada bulan November 2012.

    Rahmat Hardiansya. 2011. LPSK akan buka Perwakilan di Sulsel. http://makassarterkini.

    com/home/index-berita/3260-lpsk-akan-buka-perwakilan-di-sulsel.html, diakses pa-

    da bulan Agustus 2012.

    Surastini Fitriasih, 2012. Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses

    Peradilan (Pidana) yang Jujur dan Adil, http/www.antikorupsi.org/mod=tema&op=

    viewarticle&artid=53, diakses pada 13 September 2012.

    205

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013206

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENERAPAN SARANA HUKUM DALAM PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN

    BERACUN (B3) MEDIS DI RSUD SALEWANGANG MAROS

    Imran Haris, Irwansyah, Muhammad Ashri

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENERAPAN SARANA HUKUM DALAM PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (B3) MEDIS

    DI RSUD SALEWANGANG MAROS

    Oleh: Imran Haris1*, Irwansyah2, Muhammad Ashri3

    1 Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang MarosJl. Poros Makassar-Maros Km. 3, Maros

    2 Fakultas Hukum Universitas HasanuddinJl. Perintis Kemerdekaan Km. 10, Tamalanrea, 90245, Makassar

    * E-mail: [email protected]

    Abstract

    The results showed that the application of environmental law compliance instruments has not optimal it is seen from the technical aspects of the operation, there are still officers who have not obeyed in the process of sorting medical waste and non-medical waste.In administrative aspect application of environmental law compliance instruments such as environmental quality standards already qualified quality standards air incinerator, the Environment management and environmental monitoring effort documents as aprerequisiteto apply for environment permit. There is low compliance and adherence toresponsible business and/or activity of the licensing aspect especially hazardous and toxic waste management license and not optimal application of sanctions for discovery violations in the management of medical hazardous and toxicwaste. Compliance and enforcement of environmental law sinfluenced by legislation, the law enforcer, facilities and infrastructure, society and culture of law

    Keywords: Medical Hazardous Andtoxicwaste, Enforcement of Environmental Laws

    Abstract

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan instrumen penaatan hukum lingkungan belum optimal hal ini dilihat dari aspek teknis operasional masih terdapat petugas yang belum taat dalam melakukan proses pemilahan limbah medis dan non medis.Aspek administratif penerapan instrumen penaatan hukum lingkungan diantaranya baku mutu lingkungan sudah memenuhi syarat baku mutu udara insinerator, adanya dokumen UKL-UPL sebagai prasyarat dalam pengajuan izin lingkungan. Masih rendahnya kepatuhan dan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap aspek perizinan terutama izin pengelolaan limbah B3 dan belum optimalnya penerapan sanksi atas temuan pelanggaran dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) medis. Penaatan dan penegakan hukum lingkungan dipengaruhi oleh faktor peraturan perundang-undangan, aparat penegak hukum, sarana dan prasarana, masyarakat dan budaya hukum

    Kata kunci: Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, Penegakan Hukum Lingkungan

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    PENDAHULUAN

    Pembangunan sebagai upaya sadar dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam

    untuk meningkatkan kemakmuran rakyat, baik untuk mencapai kemakmuran lahir maupun

    untuk mencapai kepuasan batin. Oleh karena itu, penggunaan sumber daya alam harus

    selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.1

    Adanya kegiatan pembangunan yang makin meningkat sebagai upaya peningkatan

    kesejahteraan hidup yang bertumpu pada pembangunan industri yang diantaranya

    memakai berbagai jenis bahan kimia dan zat radio aktif. Disamping menghasilkan produk

    yang bermanfaat bagi masyarakat, Industrialisasi juga menimbulkan ekses, antara lain

    dihasilkannya limbah Bahan Berbahaya dan beracun (limbah B3), yang apabila dibuang

    kedalam media lingkungan hidup dapat mengancam lingkungan hidup, kesehatan, dan

    kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain.

    Berbagai jenis limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan merupakan sumber

    pencemaran dan perusakan lingkungan. Untuk menghindari terjadinya dampak akibat

    limbah B3 diperlukan suatu sistem pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan.

    Upaya pengelolaan limbah B3 tersebut merupakan salah satu usaha dalam pelaksanaan

    pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup.

    Agar usaha tersebut dapat berjalan dengan baik perlu dibuat dan diterapkan suatu

    sistem manajemen pengelolaan, terutama pada sektor-sektor kegiatan yang sangat berpotensi

    menghasilkan limbah B3 seperti sektor Industri, rumah sakit dan pertambangan. Hal ini

    dapat dilaksanakan dengan memberlakukan peraturan perundang-undangan lingkungan

    hidup sebagai dasar dalam pelaksanaannya. Dengan diberlakukannya peraturan tersebut,

    maka hak, kewajiban dan kewenangan dalam pengelolaan limbah B3 oleh setiap orang/

    badan usaha maupun organisasi kemasyarakatan dijaga dan dilindungi oleh hukum. Untuk

    menunjang pelaksanaan program-program tersebut, diperlukan sumber daya manusia

    (SDM) yang menguasai manajemen pengelolaan limbah B3, hak, dan kewajiban instansi/

    badan usaha yang dipimpin dan kesadaran untuk melindungi lingkungan dari pencemaran

    dan perusakan.2

    Rumah sakit sebagai sarana upaya perbaikan kesehatan yang melaksanakan

    pelayanan kesehatan secara keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun

    preventif serta menyelenggarakan pelayanan rawat jalan dan rawat inap sekaligus sebagai

    lembaga pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian, ternyata memiliki dampak positif

    dan negatif terhadap lingkungan sekitarnya. Rumah sakit dalam menyelenggarakan upaya 1 Setiyono, Dasar Hukum Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), (Jakarta: Badan

    Pengkajian dan Penerapan Teknologi, 2010), hlm 1.2 Ibid. hlm. 3.210

  • Jurnal PENELITIAN HUKUM | Vol. 2 No. 2 Januari 2013

    pelayanan rawat jalan, rawat inap, pelayanan gawat darurat, pelayanan medik dan non

    medik menggunakan teknologi yang dapat mempengaruhi lingkungan di sekitarnya.3

    Dalam beberapa tahun belakangan, industri rumah sakit Indonesia mengalami

    perkembangan yang pesat. Kebutuhan akan layanan rumah sakit yang bermutu semakin

    meningkat seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan derajat kesehatan

    masyarakat. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia yang dikeluarkan