Intubasi Endotracheal
-
Upload
whiecha1556 -
Category
Documents
-
view
136 -
download
6
description
Transcript of Intubasi Endotracheal
INTUBASI ENDOTRACHEALOleh: dr. Khairun Nisa., Mkes., AIFO.
A. TemaKetrampilan prosedural intubasi endotracheal
B. Tujuan Dapat melakukan intubasi endotracheal dengan benar Melakukan penilaian jalan nafas pasien (airway manajemen) Mampu melakukan reposisi untuk persiapan pemasangan ETT Mampu menjelaskan indikasi dan kontraindikasi dari ETT Mampu menjelaskan tujuan, obat obatan dan komplikasi pemasangan
ETT Mampu mengevaluasi hasil pemasangan ETT
C. Level Kompetensi
No KompetensiLevel Kompetensi
SKDI Target Capaian
1 Intubation 3 3
D. Alat dan Bahan Manekin RJP Masker penutup hidung dan mulut Handscoen Laringoskop Pipa endotracheal Pipa orofaring atau nasofaring Stilet atau forcep intubasi Plester Suction
E. SkenarioSeorang pemuda berusia 28 tahun dibawa ke UGD setelah
mengalami kecelakaan. Dia terpental dari motor yang ditumpanginya dan
wajahnya membentur trotoar. Pasien tidak sadar, menderita luka di wajah,
pasien juga terlihat sesak. Darah keluar dari telinga dan hidung. Dokter
UGD segera memberikan pertolongan dengan pemasangan ETT untuk
mengelola pernafasan si penderita.
F. Dasar TeoriPatennya jalan nafas, oksigenisasi, ventilasi dan menghindari
aspirasi merupakan tujuan utama manajemen pengelolaan jalan nafas.
Pengelolaan jalan nafas/Airway management merupakan aspek yang
penting dalam menangani kasus emergensi.
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan
melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan
suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama
yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan
napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur.
Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga
direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat
mengganggu jalan napas.
Gambar 1. Posisi Setelah Terpasang Endotracheal Intubasi
Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu
lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan
nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah
tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan
nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan
(Anonim,2002).
Tujuan Intubasi Endotracheal
Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk
membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar
tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi
dan oksigenasi bagi pasien operasi.
Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :
a. Mempermudah pemberian anestesia.
b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta
mempertahankan kelancaran pernafasan.
c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada
keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).
d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.
e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
f. Mengatasi obstruksi laring akut.
Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi Endotracheal
Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun
2002 antara lain :
a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan
oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan
pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.
b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan
karbondioksida di arteri.
c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau
sebagai bronchial toilet.
d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.
e. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.
f. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan
tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk
menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.
g. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang
tenang dan tidak ada ketegangan.
h. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan
dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah
pengontrolan tekanan intra pulmonal.
i. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi
intestinal.
j. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.
k. Tracheostomni.
l. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.
Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang
bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus
nonsurgical, antara lain:
a. Asfiksia neonatorum yang berat.
b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya,
depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.
c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.
d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.
e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang
lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.
f. Pada post operatif deengan insufisiensi pernafasan
Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya
intubasi endotrakheal antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomi pada beberapa kasus.
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servikal, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.
Komplikasi akibat pemasangan ETT
Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi
a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta
malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi
retrofaringeal.
c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial
meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.
d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.
Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.
a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke
endobronkial dan malposisi laringeal cuff.
b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta
ekskoriasi kulit hidung.
c. Malfungsi tuba berupa obstruksi.
Komplikasi setelah ekstubasi.
a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau
trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring.
b. Gangguan refleks berupa spasme laring.
Obat obatan yang digunakan
a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant
dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 –100 mg,
diberikan setelah pasien dianestesi. Suxamethonium bisa diberikan
I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayi.
b. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk
direct vision intubation.
c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision
intubation sukar.
d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam
intubasi.
e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan
zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation,
tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.
f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot
faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.
g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :
Menghisap lozenges anagesik.
Spray mulut, faring, cord.
Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.
Suntikan trans tracheal.
Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya
pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan
emergensi. Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada
necnatus dapat diintubasi tanpa anestesi.
Kesukaran yang sering dijumpai dalam intubasi endotrakheal (Mansjoer
Arif et.al., 2000) biasanya dijumpai pada pasien-pasien dengan :
o Otot-otot leher yang pendek dengan gigi geligi yang lengkap.
o Recoding lower jaw dengan angulus mandibula yang tumpul. Jarak
antara mental symphisis dengan lower alveolar margin yang melebar
memerlukan depresi rahang bawah yang lebih lebar selama intubasi.
o Mulut yang panjang dan sempit dengan arcus palatum yang tinggi.
o Gigi incisium atas yang menonjol (rabbit teeth).
o Kesukaran membuka rahang, seperti multiple arthritis yang menyerang
sendi temporomandibuler, spondilitis servical spine.
o Abnormalitas pada servical spine termasuk achondroplasia karena
fleksi kepala pada leher di sendi atlantooccipital.
o Kontraktur jaringan leher sebagai akibat combusio yang menyebabkan
fleksi leher.
G. Prosedur
Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa
prosedur yang telah ditetapkan antara lain :
a. Persiapan
Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput
diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang
cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan
ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.
Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan,
sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in
the air possition. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala
dan leher.
b. Oksigenasi
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2
menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan
tangan kanan.
c. Laringoskop
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop
dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri
dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam
rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula,
faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan.
Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak
keputihan berbentuk huruf V.
d. Pemasangan pipa endotrakheal
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai
balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan
pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut.
Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon
dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun
laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.
e. Mengontrol letak pipa
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi,
dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan
dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa
endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda
berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang
timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa
lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit
sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke
daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar
cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru.
Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah
diberikan oksigenasi yang cukup.
f. Ventilasi
Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien
bersangkutan.
Anonim,(2002),Endotracheal Intubation,
http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?li=mni&articlekey=7035
Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation,
http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html
Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation,
http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html
Halliday HL., (2002), Endotracheal Intubation at Birth for Preventing Morbidity and
Mortality in Vigorous, Meconium-stained Infants Bord at Term,
http://www.update- software.com/ceweb/cochrane/revabstr/ab000500.html
Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta
Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.
Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku Kedokteran,
Jakarta
Tjunt & Earley, (1995), Anatomy and Physiology, FA Davis Company, Philadelphia.
William, R. Peter, (1995), Gray’s Anatomy, Churchil Livingstone, New York.
H. Daftar Pustaka
I. Ceklist Prosedur Intubasi Endotracheal
No LANGKAH KLINIK YANG DINILAI Score0 1 2
INTERPERSONAL1 Siapkan alat dan pasien
CONTENT2 Menyiapkan alat dan pasien3 Cuci tangan WHO4 Pemakaian masker dan handscoen5 Pemasangan ETT:
- Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasien, - Tangan kiri memegang laringoscope,- Masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil membawa bagian
lidah ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis
6 Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis
7 Masukkan ETT dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah
8 Isi balon ETT dengan spuit kosong9 Sambungkan ETT dengan ventilator /bag10 Pasang mayo untuk menghindari ETT tergigit11 Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop, masuk ke esofagus, terlalu
kanan atau kiri dari bronchus12 Fiksasi menggunakan plester
PROFESSIONALISM13 Melakukan dengan penuh percaya diri14 Melakukan dengan kesalahan minimal
TOTAL