Interaksi Obat elha

download Interaksi Obat elha

of 13

Transcript of Interaksi Obat elha

Interaksi Obat - ObatanInteraksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain (interaksi obatobat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain. Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan bersama-sama. Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.

Interaksi obat secara klinis penting bila berakibat peningkatan toksisitas dan/atau pengurangan efektivitas obat. Jadi perlu diperhatikan terutama bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan dan obat-obat sitostatik. Selain itu juga perlu diperhatikan obat-obat yang biasa digunakan bersama-sama. Kejadian interaksi obat dalam klinis sukar diperkirakan karena : a. dokumentasinya masih sangat kurang b. seringkali lolos dari pengamatan, karena kurangnya pengetahuan akan mekanisme dan kemungkinan terjadi interaksi obat. Hal ini mengakibatkan interaksi obat berupa peningkatan toksisitas dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat, sedangkan interaksi berupa penurunakn efektivitas dianggap diakibatkan bertambah parahnya penyakit pasien c. kejadian atau keparahan interaksi obat dipengaruhi oleh variasi individual, di mana populasi tertentu lebih peka misalnya pasien geriatric atau berpenyakit parah, dan bisa juga karena perbedaan kapasitas metabolisme antar individu. Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama, pemberian kronik). Mekanisme Interaksi Obat Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya. Interaksi farmakodinamik meliputi aditif (efek obat A =1, efek obat B = 1, efek kombinasi keduanya = 2), potensiasi (efek A = 0, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 2), sinergisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi

A+B = 3) dan antagonisme (efek A = 1, efek B = 1, efek kombinasi A+B = 0). Mekanisme yang terlibat dalam interaksi farmakodinamik adalah perubahan efek pada jaringan atau reseptor. Interaksi farmakokinetik 1. Absorpsi Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah. Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya sempurna. Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi akibat gangguan absorpsi antara lain : a. Interaksi langsung Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal 2 jam. b. perubahan pH saluran cerna Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin) dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya. Ketokonazol yang diminum per oral membutuhkan medium asam untuk melarutkan sejumlah yang dibutuhkan sehingga tidak memungkinkan diberikan bersama antasida, obat antikolinergik, penghambatan H2, atau inhibitor pompa proton (misalnya omeprazol). Jika memang dibutuhkan, sebaiknya abat-obat ini diberikan sedikitnya 2 jam setelah pemberian ketokonazol. c. pembentukan senyawa kompleks tak larut atau khelat, dan adsorsi Interaksi antara antibiotik golongan fluorokinolon (siprofloksasin, enoksasin, levofloksasin,

lomefloksasin, norfloksasin, ofloksasin dan sparfloksasin) dan ion-ion divalent dan trivalent (misalnya ion Ca2+ , Mg2+ dan Al3+ dari antasida dan obat lain) dapat menyebabkan penurunan yang signifikan dari absorpsi saluran cerna, bioavailabilitas dan efek terapetik, karena terbentuknya senyawa kompleks. Interaksi ini juga sangat menurunkan aktivitas antibiotik fluorokuinolon. Efek interaksi ini dapat secara signifikan dikurangi dengan memberikan antasida beberapa jam sebelum atau setelah pemberian fluorokuinolon. Jika antasida benar-benar dibutuhkan, penyesuaian terapi, misalnya penggantian dengan obat-pbat antagonis reseptor H2 atau inhibitor pompa proton dapat dilakukan. Beberapa obat antidiare (yang mengandung atapulgit) menjerap obat-obat lain, sehingga menurunkan absorpsi. Walaupun belum ada riset ilmiah, sebaiknya interval pemakaian obat ini dengan obat lain selama mungkin. d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant) Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam). e. perubahan fungsi saluran cerna (percepatan atau lambatnya pengosongan lambung, perubahan vaksularitas atau permeabilitas mukosa saluran cerna, atau kerusakan mukosa dinding usus).

INTERAKSI FARMAKOKINETIK (1)

PENDAHULUAN Dalam perjalanannya, sejak dari proses fabrikasi hingga pengguna-annya di dalan tubuh, obat atau senyawa obat dapat mengalami 3 tahap interaksi, yaitu : 1. Interaksi Farmasetik terjadi antara obat atau senyawa obat yang tidak dapat tercampur (inkompatibel). Pencampuran obat yang demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik maupun kimiawi. 2. Interaksi Farmakokinetik terjadi bila suatu obat atau senyawa mem-pengaruhi proses ADME (absorbsi, distribusi, metabolisme atau eks-kresi) obat lain sehingga kadar obat di dalam plasma darah meningkat atau menurun yang berakibat pada meningkatnya aktivitas, bahkan tok-sisitas, atau menurunnya efektiv-itas obat tersebut. 3. Interaksi Farmakodinamik ada-lah interaksi antara obat pada saat bekerja pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologik yang sama sehingga terjadi per-ubahan efek.

INTERAKSI FARMAKOKINETIK (2) INTERAKSI OBAT DALAM PROSES ABSORBSI Proses absorbsi obat yang di-berikan secara oral sebagian besar terjadi di dalam saluran pencernaan. Interaksi obat di dalam proses absorbsi dapat berupa : 1. Perubahan pH saluran pencernaan 2. Kompleksasi dan adsorbsi 3. Perubahan motilitas atau laju pengosongan lambung 4. Pengaruh makanan 5. Penghambatan enzim pencernaan 6. Perubahan flora saluran pencerna-an Perubahan pH Saluran Pencernaan Karena obat pada umumnya bersifat asam lemah atau basa lemah, maka pH saluran pencernaan dapat mempengaruhi absorbsi obat. Bentuk obat yang tak terion (lebih larut lemak) akan terabsorbsi lebih cepat daripada bentuk terion. Pada suasana alkalis saluran pencernaan, kelarutan obat yang bersifat asam meningkat sehing-ga lebih banyak yang terion sehingga absorbsi per satuan luas lebih lambat. Hal terjadi misalnya pada pemberian antasida (mengalkaliskan saluran pencernaan) dan aspirin (obat yang bersifat asam lemah). Sediaan oral laksativa, bisakodil, dibuat bersalut enterik karena obat ini sangat iritan. Dianjurkan agar tidak diberikan secara oral kurang dari satu jam dari pengobatan antasida atau saat minum susu karena pe-ningkatan pH saluran pencernaan dapat mengakibatkan desintegrasi penyalut enterik di dalam lambung, sehingga menyebabkan pelepasan obat di daerah ini dengan akibat terjadinya iritasi dan muntah. Kompleksasi dan Adsorbsi Adsorbsi toksin pada arang aktif atau kaolin merupakan interaksi yang bermanfaat, sehingga kedua zat ini digunakan sebagai antidotum dan antidiare karena sifat adsorbtifnya. Namun demikian, bila zat ini diberikan bersama dengan obat-obat tertentu, maka dapat terjadi interaksi yang menurunkan bioavailabilitas zat aktif, karena zat aktif teradsorbsi pada kaolin maka absorbsi obat ke dalam saluran distribusi akan terhambat. Bioavailabilitas linkomisin menurun karena interaksi demikian dengan Kaopectate (sediaan antidiare yang mengandung kaolin). Senyawa antipsikosis klorpromazin yang diberikan bersama dengan antasida akan teradsorbsi pada antasida sehingga mengurangi atau menghambat absorbsinya ke dalam saluran distribusi. Kompleksasi dapat terjadi dengan obat-obat yang memiliki pa-sangan elektron bebas di dalam molekulnya sehingga dapat membentuk kelat dengan logam-logam atau mine-ral. Kompleksasi dapat terjadi antara tetrasiklin dan produk-produk susu atau antasida yang mengandung logam-logam aluminium, kalsium, dan magnesium, bila diberikan bersama-an. Terjadinya kompleks ini dapat menghambat absorbsi antibiotik ter-sebut ke dalam saluran distribusi. Produk antasida yang me-ngandung aluminium dan magnesium maupun produk antidiare kaolin dapat menghambat absorbsi glikosida jan-tung digitalis, digoksin dan digitok-sin. Penurunan bioavailabilitas digok-sin pada pasien yang harus mempertahankan keteraturan denyut jantungnya dapat membahayakan, se-hingga dianjurkan adanya interval sedikitnya 5 sampai 6 jam jika kedua kelompok obat ini harus diberikan. Interaksi obat yang melibat-kan kompleksasi dapat terjadi pada resin penukar ion, kolestiramin atau kolestipol. Kedua obat ini digunakan untuk membentuk kompleks dengan asam lambung. Senyawa

ini dapat membentuk kompleks dengan obat lain yang menyebabkan obat tersebut mengalami hambatan absorbsi. Pasien yang mendapat terapi antasida, atau antidiare tipe adsorben, atau zat kompleksan tipe resin, harus diberi 1 sampai 2 jam sebelum pem-berian obat oral lainnya. Dan diasum-sikan bahwa adsorben dan kompleksan dapat berinteraksi dengan banyak obat, sehingga cara termudah untuk mengatasi masalah bioavailabilitas ini adalah dengan menghindari pemberi-an bersamaan bila mungkin. Perubahan Motilitas atau Laju Pe-ngosongan Lambung Usus halus merupakan tem-pat utama untuk absorbsi obat yang bersifat asam. Di sini absorbsi jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam lambung. Oleh karena itu makin cepat obat sampai di usus makin cepat pula absorbsinya. Obat yang mempercepat pengosongan lambung atau gerak peristaltik, seperti metoklopramid, dapat mem-percepat absorbsi obat asam yang diberikan secara bersamaan. Sebalik-nya, obat yang memperlambat pengosongan lambung, seperti anti-kolinergik atau antidepressan tri-siklik, akan memperlambat pula ab-sorbsi obat asam yang harus di-absorbsi di dalam usus. Kecepatan pengosongan lambung biasanya ha-nya mempengaruhi kecepatan ab-sorbsi tetapi tidak mempengaruhi jumlah obat yang terabsorbsi. Hal ini berarti bahwa kecepatan pengosongan lambung hanya mengubah tinggi kadar puncak (Cpmax) dan waktu untuk mencapainya (tmax) tanpa meng-ubah bioavailabilitas obat, kecuali obat yang mengalami metabolisme lintas pertama oleh enzim pencernaan pada dinding usus dan lambung, seperti levodopa dan klorpromazin. Namun demikian, jika gerak peristaltik terlampau cepat justru akan mempengaruhi atau mengurangi absorbsi obat tertentu yang sifatnya memang lambat terabsorbsi, karena membutuhkan waktu kontak yang lama dengan permukaan tempat absorbsi, seperti sediaan bersalut enterik dan sediaan lepas lambat (sustained release). Pengaruh Makanan Pengaruh makanan terhadap absorbsi obat sering disebabkan oleh aksi perlambatan pengosongan lam-bung. Namun yang paling sering terjadi adalah melalui : a. pengikatan obat dengan makanan b. penurunan jumlah obat pada tempat absorbsi c. perubahan laju disolusi obat d. perubahan pH saluran cerna Oleh karena itu penjadwalan waktu pemberian obat berhubungan erat dengan waktu penyajian makanan. Yang penting adalah agar penjadwalan spesifik dilakukan untuk obat-obat yang harus diberikan terpisah dari waktu makan. Makanan di dalam saluran cerna akan mengurangi absorbsi sejumlah antibiotik, terutama turunan penisilin dan tetrasiklin, kecuali penisilin V, amoksisilin, doksisiklin, dan minosiklin. Pemberian antibiotik-antibiotik tersebut dianjurkan paling cepat satu jam sebelum atau dua jam setelah makan untuk mencapai absorbsi yang optimum. Penghambatan Enzim Pencernaan Obat-obat atau makanan tertentu dapat mempengaruhi sistem transpor enzim sehingga mempengaruhi absorbsi obat-obat spesifik pada usus. Alopurinol dan sediaan atau makanan yang mengandung besi tidak boleh diberikan secara

bersamaan karena alopurinol memblok sistem enzim yang mencegah ab-sorbsi besi. Kelebihan absorbsi dan kelebihan muatan besi pada pasien dapat terjadi sehingga menyebabkan hemosiderosis (deposit hematin yang tidak larut di dalam jaringan). Asam folat pada umumnya terdapat di dalam makanan dalam bentuk poliglutamat yang sukar terabsorbsi. Agar absorbsi mudah terjadi, maka poliglutamat itu harus diubah menjadi turunannya yang mudah terabsorbsi, yaitu folat. Per-ubahan ini dikatalisis oleh enzim konjugase di dalam usus. Fenomena interaksi ditemukan pada pasien yang mengalami anemia akibat kekurangan asam folat setelah diberi fenitoin. Berdasarkan hal ini disimpulkan bahwa fenitoin menghambat aktivitas enzim konjugase yang mengubah poliglutamat menjadi asam folat. Fenomena hipertensi ditemu-kan pada orang yang diobati dengan penghambat monoamin oksidase (MAOI), seperti isokarboksazid, fenelsin, tranilsipronin, atau pargilin, setelah memakan makanan yang banyak mengandung tiramin, seperti pisang, keju, atau produk fermentasi. Tiramin adalah senyawa prekursor yang bekerja melepaskan noradrenalin yang menyebabkan vasokonstriksi, sehing-ga menyebabkan hipertensi. Tiramin dimetabolisis oleh MAO yang secara normal terdapat pada dinding usus maupun di hati. Adanya enzim ini di dinding usus, menyebabkan absorbsi tiramin berkurang sehingga perang-sangan pelepasan noradrenalin juga berkurang dan hipertensi tidak terjadi. Namun dengan adanya MAOI maka tiramin yang terabsorbsi menjadi banyak sehingga memicu pelepasan noradrenalin yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hipertensi. Perubahan Flora Saluran Cerna Flora normal usus berperanan antara lain untuk : 1. sintesis vitamin K 2. memecah sulfasalsin menjadi bagian-bagian yang aktif yaitu sulfapiridin dan 5-amino salisilat 3. metabolisme obat-obat tertentu seperti levodopa dan digoksin 4. hidrolisis glukuronida yang diekskresi melalui empedu sehingga memperpanjang kerja obat-obat tertentu seperti kontrasepsi oral. Obat-obat yang dapat mempengaruhi flora saluran pencernaan adalah antimikroba, khususnya antibakteri. Pemberian antibakteri spektrum luas akan mengubah atau me-nekan flora normal sehingga meng-akibatkan : 1. meningkatnya aktivitas antikoagulan oral (antagonis Vitamin K) yang diberikan bersamaan 2. menurunnya efektivitas sulfasalasin 3. meningkatnya bioavailabilitas levodopa dan digoksin 4. menurunnya efektivitas kontrasepsi oral

INTERAKSI FARMAKOKINETIK (3) INTERAKSI OBAT DALAM PROSES DISTRIBUSI Transpor Obat di Dalam Aliran Darah Pengikatan bahan kimia endogen pada protein darah (serum) merupakan suatu proses fisik yang normal yang melarutkan dan mengikat hormon serta metabolit sehingga melepaskannya secara perlahan-lahan dan konstan pada tempat-tempat reseptor dan ekskresi. Proses ini juga berperan dalam mengangkut obat yang relatif tidak larut di dalam cairan tubuh pada pH 7,4 (pH fisiologis). Obat-obat ini diangkut di dalam aliran darah ke berbagai tempat, yakni tempat aksi (reseptor), tempat metabolisme (hati), dan tempat ekskresi (ginjal), sebagai kompleks yang lemah yang terikat pada protein plasma. Sebagian obat lebih mudah terikat daripada yang lainnya. Obat yang terikat itu, secara farmakologi tidak aktif karena aksi obat tergantung pada adsorbsi (penjerapan) obat bebas pada sisi reseptor yang aktif. Pengikatan obat dapat terjadi pada beberapa tempat selain aliran darah, seperti jaringan penghubung, adiposa, ruang antarsel, dan lain-lain. Obat yang terikat ini berperan sebagai cadangan, dan bila obat bebas telah termetabolisme, terakumulasi dalam jaringan lain, atau terekskresi, maka tambahan atau pasokan obat berasal dari pelepasan ikatan tersebut. Dengan demikian terjadi proses ke-setimbangan dinamik yang terus menerus dengan bagian obat yang tetap berada dalam keadaan bebas. Penggeseran Obat Dari Ikatan Protein Interaksi ini terjadi apabila dua obat yang dapat terikat pada protein diberikan secara bersamasama. Interaksi ini dapat berupa penggeseran atau pendesakan, baik secara kompetitif maupun nonkompetitif. Penggeseran kompetitif ter-jadi bila obat memperebutkan sisi ikatan yang sama pada suatu protein plasma, di mana obat yang lebih kuat (afinitasnya lebih besar) yang akan dapat terikat, sedangkan yang lebih lemah akan tergeser. Penggeseran nonkompetitif terjadi bila kedua obat terikat pada sisi berlainan pada satu protein plasma, namun saling mempengaruhi kekuatan ikatannya. Walaupun fraksi obat yang terikat pada protein di dalam tubuh tidak aktif farmakologik, namun ada kesetimbangan antara fraksi terikat dengan fraksi bebas, dan bila bentuk bebas itu termetabolisme atau terekskresi, maka obat yang terikat akan terlepas perlahan-lahan untuk mem-pertahankan kesetimbangan dan res-pon farmakologi. Obat terikat pada protein plasma. Obat yang bersifat asam terutama terikat pada albumin, sedangkan yang basa terikat pada asam 1-glikoprotein (AAG). Oleh karena jumlah protein plasma terbatas, maka persaingan dapat terjadi antara obat-obat untuk memperebutkan tempat ikatan yang sama pada protein. Bergantung pada kadar dan afinitasnya terhadap protein, maka suatu obat akan dapat digeser atau tidak dari ikatannya oleh obat lain, dan peningkatan kadar obat bebas menyebabkan peningkatan efek farmakologinya. Akan tetapi keadaan ini hanya berlangsung sementara karena peningkatan kadar obat bebas juga merangsang peningkatan eliminasinya, sehingga akan tetap terjadi keadaan tunak (steady state) yang baru, di mana kadar obat total menurun tetapi kadar obat bebas kembali seperti semula. Mekanisme ini disebut sebagai mekanisme kompensasi. Interaksi ini lebih nyata terjadi pada penderita yang mengalami keadaan-keadaan berikut :

- hipoalbuminemia, kurangnya albumin plasma untuk tempat ikatan obat - gagal ginjal, ekskresi berkurang - gangguan hati, metabolisme terganggu, akibatnya ekskresi berkurang. Beberapa contoh obat yang berinteraksi di dalam proses distribusi yang memperebutkan ikatan protein adalah sebagai berikut Warfarin dan Fenilbutazon Kedua obat ini terikat kuat pada protein plasma. Namun, fenilbutazon memiliki afinitas yang lebih besar, sehingga mampu menggeser warfarin dan meningkatkan jumlah atau kadar warfarin bebas. Dalam keadaan ini aktivitas antikoagulan meningkat, yang mengakibatkan terjadinya resiko pendarahan. Dengan demikian, terapi yang bersamaan kedua obat ini hendaknya dihindari. Warfarin dan Kloralhidrat Metabolit utama dari kloralhidrat, yaitu asam trikloroasetat, sangat kuat terikat pada protein plasma, sehingga dapat mendesak warfarin dari ikatan protein, sehingga meningkatkan respon antikoagulan. Fenitoin dan Asam Valproat Asam valproat mendesak fenitoin dari ikatan protein plasma sehingga kadar fenitoin bebas meningkat dengan nyata yang mengakibatkan terjadinya reaksi sampingan.

INTERAKSI FARMAKOKINETIK (4) INTERAKSI OBAT DALAM PROSES METABOLISME Interaksi Obat Yang Mempercepat Metabolisme Berbagai interaksi obat terjadi karena adanya suatu obat yang merangsang metabolisme obat lain. Di samping itu pemberian secara kronis obat-obat tertentu dapat pula me-rangsang metabolisme selanjutnya. Interaksi ini terjadi akibat mening-katnya aktivitas enzim hepatik yang terlibat dalam metabolisme obat ter-sebut. peningkatan aktivitas enzim ini dapat disebabkan oleh : a. Peningkatan sintesis enzim sehing-ga jumlahnya meningkat, yang disebut induksi enzim b. Penurunan kecepatan degradasi enzim Senyawa yang dapat menginduksi enzim hepatik digolongkan atas dua golongan yaitu : 1. Golongan fenobarbital dan senyawa-senyawa yang kerjanya mirip fenobarbital. Golongan ini yang paling banyak berperan untuk berbagai obat. 2. Golongan hidrokarbon polisiklik, hanya untuk beberapa obat. Akibat induksi enzim adalah peningkatan metabolisme obat, yang terjadi karena 3 kemungkinan, yaitu : 1. Obat merangsang metabolismenya sendiri, karena pemberian kronis. Obat-obat yang memiliki gejala ini antara lain barbiturat, antihistamin, fenitoin, meprobamat, tolbutamid, fenilbutazon, dan probenesid 2. Obat mempercepat metabolisme obat lain yang diberikan bersamaan 3. Obat merangsang metabolisme sendiri dan juga metabolisme obat lain. Akibat farmakologis dari induksi enzim ini adalah : a. peningkatan bersihan ginjal b. penurunan kadar obat di dalam plasma sehingga efektivitas obat menurun yang dapat memungkinkan gagalnya terapi. Berikut ini beberapa obat yang dapat berinteraksi dalam proses metabolisme di mana salah satunya akan mengalami peningkatan metabo-lisme. Warfarin Fenobarbital Melalui induksi enzim, fenobarbital meningkatkan laju metabolisme antikoagulan kumarin, seperti warfarin, sehinga terjadi penurunan respon terhadap antikoagulan karena lebih cepat termetabolisme dan terekskresi, yang memungkinkan timbul-nya resiko pembentukan trombus. Kontrasepsi Oral Fenobarbital Fenobarbital maupun beberapa obat yang lain meningkatkan metabolisme hormon steroid, termasuk estrogen dan progestin yang digunakan dalam kontrasepsi oral, sehingga dapat menggagalkan kerja dari kontrasepsi oral tersebut. Daging Panggang Teofilin Bila daging dipanggang sampai gosong akan terbentuk hidrokarbon polisiklik dan terdeposit pada daging tersebut. Metabolisme teofilin dilaporkan meningkat pada orang yang mengkonsumsi daging panggang dalam jumlah besar, sehigga terjadi kegagalan efektivitas dari teofilin. Alkohol Tolbutamid Alkohol meningkatkan metabolisme tolbutamid sehingga dapat menggagalkan terapi diabetes pada peminum alkohol. Interaksi Yang Menghambat Metabolisme Sejumlah reaksi obat didasarkan pada penghambatan obat tertentu oleh obat lain, sehingga terjadi

pe-ningkatan durasi dan intensitas aktivitas farmakologi dari obat yang dihambat. Ada dua kemungkinan penyebab terhambatnya metabolisme obat, yaitu : a. Penghambatan ireversibel terhadap enzim yang bertanggung jawab untuk biotransformasi obat b. Suatu obat bersaing dengan obat lain untuk bereaksi dengan enzim pemetabolisis yang sama, di mana obat yang terdesak akan mengalami pengahambatan metabolisme. Kemungkinan ini lebih banyak terjadi daripada kemungkinan pertama (a) dalam interaksi obat. Contoh obat yang berinteraksi yang salah satu di antaranya mengalami penghambatan metabolisme antara lain sebagai berikut : Alkohol Disulfiram Interaksi ini merupakan interaksi yang bermanfaat dalam pengobatan alkoholisme. Disulfiram menghambat aktivitas dehidrogenase yang bertugas untuk mengoksidasi asetal-dehid, suatu produk oksidasi alkohol, sehingga terjadi akumulasi asetaldehid di dalam tubuh, yang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi peminum alkohol, sehingga ia akan menghentikan minum minuman beralkohol. Merkaptopurin Alopurinol Dengan menghambat aktivitas enzim xantin oksidase, alopurinol menurunkan produksi asam urat sehingga menjadi dasar untuk pengobatan rematik. Xantin oksidase juga berperan penting dalam metabolisme obat-obat yang berpotensi toksik, seperti merkaptopurin dan aza-tioprin, dan bila enzim tersebut dihambat oleh alopurinol, maka efek kedua obat tersebut akan meningkat dengan nyata.

INTERAKSI FARMAKOKINETIK (5) INTERAKSI OBAT DALAM PROSES EKSKRESI Interaksi Obat dengan Perubahan pH Urin Perubahan pH urin mengakibatkan perubahan bersihan ginjal, melalui perubahan jumlah reabsorbsi pasif di tubuli ginjal, yang hanya bermakna secara klinis bila: a. Fraksi obat yang diekskresikan melalui ginjal cukup besar, lebih dari 30% b. Obat berupa basa lemah dengan pKa 7,5 10 atau asam lemah dengan pKa 3,0 7,5. Tahap pertama dalam pembentukan urin (ekskresi obat) adalah filtrasi darah yang melalui sirkulasi ginjal. Pembentukan urin mulai ketika darah arteri memasuki glomerulus dan tersaring melalui proses pasif. Filtrat glomerular ini banyak mengandung zat, seperti air, glukosa, asam amino, urea, kreatinin, asam urat, dan mungkin juga obat dan atau metabolitnya. Filtrat tersebut lalu bergerak melalui tubulus proksimal di mana banyak air dan meterial kristaloid yang penting untuk metabolisme norma mengalami reabsorbsi, yang berlanjut pada tubulus distal. Obat yang terfiltrasi pasif pada glomerulus dapat tereabsorbsi dari tubuli ginjal jika berada dalam bentuk larut lemak (nonion). Jika obat berada dalam bentuk yang terionisasi, maka reabsorbsi tubular dapat dipengaruhi oleh pH cairan tubular. Molekul obat yang tereabsorbsi dari tubuli ginjal melalui transpor pasif harus berada dalam bentuk tak terion dan larut lemak agar dapat melalui membran lipid tubuli. Interaksi yang mempengaruhi ekskresi obat melalui ginjal hanya akan nyata secara klinis bila obat atau metabolit aktifnya tereliminasi secara berarti oleh ginjal. pH urin dapat mempengaruhi aktivitas obat dengan mengubah kecepatan bersihan ginjal. Bila berada dalam bentuk tak terion, maka obat akan lebih cepat berdifusi dari filtrat glomerular kembali ke dalam aliran darah. Dengan demikian, untuk obat basa, seperti amfetamin, sebagian besar berada dalam bentuk tak terion dalam urin basa, sehingga banyak yang tereabsorbsi ke dalam darah, yang akibatnya dapat memperlama aktivitasnya. Senyawa yang dapat meningkatkan pH urin adalah natrium bikarbonat, sehingga bila diberikan bersamaan dengan amfetamin dosis tunggal, maka efek amfetamin dapat berlangsung selama beberapa hari. Sebaliknya, obat yang bersifat asam, seperti salisilat, sulfonamid, fenobarbital, lebih cepat terekskresi bila urin alkalis (pH tinggi). Oleh karena itu pemberian bersama-sama obat ini dengan obat yang me-ningkatkan pH urin, seperti diuretik penghambat karbonat anhidrase (asetazolamid), atau antasida sis-temik (natrium bikarbonat), dapat mempercepat bersihan obat asam sehingga efeknya cepat hilang. Interaksi yang menyebabkan peningkatkan pH urin ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan eliminasi over dosis fenobarbital atau metotreksat yang digunakan dengan dosis tinggi untuk pengobatan tumor. Di sisi lain, obat-obat basa seperti antihistamin, meperidin, dan imipramin, lebih cepat terekskresi bila pH urin rendah. Pengasaman ini dapat terjadi dengan pemberian amonium klorida atau glutamat hidroklorida. Obat-obat yang mengalami peningkatan bersihan dari ginjal bila urin asam antara lain amitriptilin, amfetamin, antihistamin, imipramin, mekamilamin, meperidin, kuinakrin, dan efedrin Sedangkan obat-obat yang mengalami peningkatan bersihan dari ginjal bila urin alkalis antara lain aspirin, sulfonamid, asam salisilat, streptomisin, asam nalidiksat, dan nitrofurantoin. Interaksi Obat dengan Perubahan Transpor Aktif

Penghambatan sekresi pada tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi antarobat atau antarmetabolit untuk sistem transpor aktif yang sama, terutama sistem transpor untuk obat asam atau metabolit yang bersifat asam. Proses ini mungkin melibatkan sistem enzim di dalam ginjal. Obat-obat tersebut diangkut dari darah melintasi sel-sel tubuli proksimal dan masuk ke urin, melalui transpor aktif. Bila obat diberikan bersama-an maka salah satu di antaranya dapat mengganggu eliminasi obat lainnya. Sebagai contoh, pemberian bersamaan antara probenesid dan penisilin. Probenesid menghambat ekskresi penisilin sehingga kadar antibiotik ini di dalam darah tetap tinggi dan efeknya lama. Waktu paruh eliminasi penisilin akan meningkat 2 3 lebih lama. Hal ini merupakan interaksi yang menguntungkan untuk pengobatan infeksi. Contoh lain adalah antara fenilbutazon dan asetoheksamid. Fenilbutazon meningkatkan efek hipoglikemik dari asetoheksamid dengan menghambat ekskresi metabolit aktifnya, yakni hidroksiheksamid, sehingga kadar metabolit tersebut dalam darah lebih tinggi dari normal, sehingga insulin plasma meningkat dan glukosa darah berkurang.