Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali...

42
0 INSTABILITAS SEKTOR FINANSIAL INDONESIA PASKA-KRISIS FINANSIAL GLOBAL 2007: MENEMUKAN KEMBALI PENGUATAN PERAN PEMERINTAH DAN BANK INDONESIA DALAM MEREGULASI SEKTOR FINANSIAL Oleh: Andi Rosilala (0706291193) Erika (0706291243) Resi Qurrata A (0706291363) Winda (0706291464) DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK 2010

Transcript of Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali...

Page 1: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

0

INSTABILITAS SEKTOR FINANSIAL

INDONESIA PASKA-KRISIS FINANSIAL

GLOBAL 2007: MENEMUKAN KEMBALI

PENGUATAN PERAN PEMERINTAH DAN

BANK INDONESIA DALAM MEREGULASI

SEKTOR FINANSIAL

Oleh:

Andi Rosilala (0706291193)

Erika (0706291243)

Resi Qurrata A (0706291363)

Winda (0706291464)

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

2010

Page 2: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Akhir tahun 2007 menjadi awal cobaan berat setelah krisis Asia 1997 – 1998

terhadap perekonomian Indonesia. Peristiwa instabilitas finansial yang terjadi di

Amerika Serikat (AS) dalam derajat tertentu berdampak ke Indonesia. Krisis yang lebih

dikenal dengan istilah krisis finansial global ini bermula dari kebijakan uang longgar

yang diterapkan oleh Bank Sentral AS, The Fed, yang memuncak dalam kasus produk

sekuritisasi kredit perumahan yang disebut subprime mortage. Adapun terkait dampak

krisis ini terhadap perekonomian AS khususnya, dan dunia pada umumnya,1 pertama,

The Fed harus secara berturut-turut menurunkan tingkat suku bunganya. Penurunan

suku bunga itu sendiri telah mendorong pelemahan nilai tukar dollar AS terhadap

beberapa mata uang kuat dunia, seperti poundsterling, euro, yen, dan lain-lain. Kedua,

The Fed juga terpaksa harus mengucurkan dana segar untuk menyelamatkan aset-aset

yang sedang bermasalah. Salah satu contoh yang fenomenal adalah usaha

menyelamatkan Bear Stearns & Co.Inc yang terancam bangkrut, ditandai dengan

anjloknya nilai saham perusahaan investasi tersebut dari 60 dollar AS menjadi 2 dollar

AS.

The Fed, selain terus menurunkan suku bunga guna menggerakkan ekonomi, ia

juga bertugas meredam gejolak pasar, baik dengan menyuntikkan likuiditas langsung

maupun membeli aset-aset yang bangkrut. Upaya penyelamatan ini merupakan kerja

sama antara The Fed dan Departemen Keuangan AS. Menteri Keuangan Henry Paulson

terpaksa mengambil prakarsa mendirikan semacam lembaga peminjaman swasta yang

disebut Superfund. Lembaga ini didukung oleh Citigroup Inc., JP Morgan Chase Co.,

dan Bank of America Corp. Selain Bear Stearns, krisis kredit perumahan juga menyeret

Merrill Lynch dalam kerugian amat besar, yakni mencapai sekitar 8 milliar dollar AS.

Bencana kerugian perusahaan-perusahaan investasi kelas dunia ini menjalar dengan

cepat ke Eropa dan Jepang, seperti UBS dan Barclays (Eropa, serta Mizuho (Jepang),

mengalami kerugian serius, akibat krisis subprime mortgage.

1 A. Prasetyantoko, Bencana Finansial: Stabilitas Sebagai Barang Publik, (Jakarta: Kompas, 2008), hal.

166 – 167.

Page 3: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

2

Gonjang-ganjing krisis finansial global ini, pada periode awal krisis global

tahun 2007, tidak terlalu dirasakan dampaknya secara langsung oleh Indonesia di

tingkat domestik. Akan tetapi, walaupun secara keseluruhan perekonomian Indonesia

mencatat perubahan-perubahan positif pada tahun 2007, bukan berarti Indonesia lantas

terbebas dari krisis dan tidak terkena dampak KFG. Pada tahun 2008, perekonomian

Indonesia, terutama dari sektor finansial, mulai menunjukkan tanda-tanda negatif.

Dampak krisis finansial global pada sektor finansial Indonesia dapat dibagi menjadi

beberapa kategori, yaitu dampak pada sektor nilai tukar rupiah yang terdepresiasi,

turunnya harga saham di pasar modal domestik, menurunnya cadangan devisa, dan

huru hara di sektor perbankan. Oleh karena itu, fokus dalam pada makalah ini akan

ditekankan pada sektor finansial saja.

Sebelum Lehman Brothers mengumumkan kebangkrutannya, nilai tukar rupiah

masih berada di level Rp9.000 per dolar AS. Memasuki pertengahan September, ketika

Lehman Brother resmi dinyarakan bangkrut, rupiah mulai fluktuatif. Puncaknya, pada

24 November 2008, rupiah menembus angka Rp12.650 per dolar AS.2 Meroketnya

nilai tukar rupiah menembus angka psikologis (Rp10.000/dolar) sudah barang tentu

membuat panik perusahaan-perusahaan nasional yang masih mengandalkan bahan baku

impor dan para pemilik modal yang tergerus nilai nominal dana mereka. Kenaikkan

harga barang-barang ini pun memicu angka inflasi hingga sempat menyentuh 12,56%

pada tahun 2008. Begitu juga kaitannya dengan cadangan devisa Indonesia. Bank

Indonesia (BI) mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal US$51,6 miliar per

Desember 2008. Padahal lima bulan sebelumnya (Juli 2008), masih tercatat US$60,6

miliar. Artinya, ada uang sebesar US$9 miliar atau mencapai sekitar 15 persen yang

menguap begitu saja.

Dalam menanggapi situasi genting seperti itu, pemerintah dengan cukup

proaktif melakukan intervensi demi penyelamatan sektor keuangan dari kehancuran

lebih dalam. Pemerintah, melalui BI, mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan-

kebijakan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa sektor, seperti Penerbitan Tiga

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU), Upaya Penciptaan

Ketersediaan Likuiditas Pasar, Upaya Menjaga Kesinambungan Devisa dan Neraca

Pembayaran, dan Upaya Menjaga Kesinambungan APBN 2009/2010. Upaya itu,

2 Ibid.

Page 4: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

3

mendapatkan hasil yang cukup positif, ditandai oleh beberapa hal, seperti kembali

terciptanya penguatan harga saham di pasar modal domestik, cadangan devisa

Indonesia kian stabil dan meningkat, hingga mencapai angka 65,54 milyar USD pada

November 2009, dan penurunan risiko Indonesia di mata investor menurut indikator

Credit Default Swaps (CDS).

Penelitian ini, selain memotret kembali peristiwa krisis finansial global 2008

silam; penyebab beserta dampaknya, terutama ke Indonesia, juga ingin menunjukkan

bahwa sektor finansial sangat rawan dan instabil serta menjadi determinasi terjadinya

krisis. Sektor finansial yang dinamis dan instabil ini memerlukan regulasi yang tepat

oleh otoritas keuangan, baik dilakukan dalam domestik setiap negara, regional, maupun

internasional. Pengaturan lalu lintas keuangan ini tentu saja menuntut peranan besar

dari pemerintah. Dengan kata lain, sektor finansial tidak dapat lagi begitu saja kita

serahkan pada “tangan ghaib” pasar karena pengalaman krisis demi krisis telah

membuktikan bahwa hal itu justru menjadi pemantik lahirnya gejolak, fluktuasi,

instabilitas, krisis, yang dapat berujung resesi, bahkan depresi ekonomi.

I.2. Pertanyaan Masalah

Secara spesifik, penelitian ini akan menjawab dua pertanyaan utama di bawah

ini, yaitu:

1. Bagaimana gambaran umum krisis finansial global 2007 di Indonesia?

2. Bagaimana respon pemerintah Indonesia dalam upaya me-recovery sektor

keuangan akibat krisis?

I.3. Tujuan Penelitian

1. Memaparkan gambaran umum dampak krisis finansial global terhadap

Indonesia pada tahun 2007.

2. Mengananisis respon pemerintah Indonesia terhadap dampak negatif

krisis yang tersebut, terutama dalam pemulihan sektor keuangan.

Page 5: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

4

I.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa pemahaman yang

lebih mendalam dan komprehensif mengenai faktor penyebab krisis financial global

serta dampaknya terhadap perekonomian Indonesia, terutama sector keuangan. Selain

itu, dengan penelitian dalam makalah ini juga diharapkan dapat mengupas mengenai

pelajaran yang dapat diambil dari krisis finansial global tersebut, dan pada akhirnya

memberikan rekomendasi arsitektur finansial baru untuk mencegah krisis di masa

mendatang.

I.5. Metodologi Penelitian

Penelitian dalam makalah ini dilakukan berdasarkan metode kualitatif, yakni

peneliti sebagai instrumen utama untuk pengumpulan data dan pengolahan atau analisis

data, serta sangat memfokuskan perhatian pada proses dan arti dari suatu peristiwa

yang diteliti.3

Tahapan yang dilalui adalah pengumpulan dta (data collective),

pengolahan data (data analysis); dan (3) laporan penelitian (report writing).4 Adapun

pengumpulan data dilakukan dengan cara kajian literature, dan data yang digunakan

adalah data sekunder.

3 John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantittative Approaches, (California: Sage Publications, 1994), hal. 145. 4 Ibid.

Page 6: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

5

BAB II

KERANGKA KONSEP DAN LITERATUR REVIEW

II.1. Kerangka Konsep

A. Peranan Negara dalam Ekonomi: Keynes5

Apa yang disebut peran negara dalam teori John Maynard Keynes adalah kritik

utama terhadap asumsi-asumsi dasar ekonomi kaum klasik yang selalu percaya bahwa

perekonomian yang berlandaskan pada kekuatan mekanisme pasar akan selalu menuju

keseimbangan (equilibrium). Dalam posisi keseimbangan, kegiatan produksi dianggap

secara otomatis akan menciptakan daya beli untuk membeli barang-barang yang

dihasilkan. Dalam posisi keseimbangan juga dikatakan tidak terjadi kelebihan maupun

kekuarangan permintaan. Ketidakseimbangan (disequilibrium), seperti pasokan lebih

besar dari permintaan; kekurangan konsumsi; atau terjadi pengangguran, keadaan ini

dinilai kaum klasik sebagai sesuatu yang sifatnya sementara. Nanti akan ada suatu

tangan ghaib (invisible hand) yang akan membawa perekonomian kembali pada posisi

keseimbangan. Kaum klasik juga percaya bahwa dalam keseimbangan semua sumber

daya, termasuk tenaga kerja, akan digunakan secara penuh (full-employment). Dengan

demikian, di bawah sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar tidak ada

pengangguran. Pekerja terpaksa menerima upah rendah daripada tidak memperoleh

pendapatan sama sekali. Jadi dalam pasar persaingan sempurna, mereka yang mau

bekerja pasti akan memperoleh pekerjaa. Pengecualiaan berlaku bagi mereka yang

“pilih-pilih” pekerjaan, atau tidak mau bekerja dengan tingkat upah yang diatur oleh

pasar. Pekerja yang tidak bekerja karena dua alasan tersebut, oleh kaum klasik tidak

disebut sebagai pengagguran sukarela (voluntary unemployment).

Kaum klasik juga hanya menekankan pada sektor mikro. Misalnya dalam

produksi. Prinsip yang digunakan adalah bagaimana menghasilkan barang dan jasa

sebanyak-banyaknya. Itu dilakukan dengan biaya serendah-rendahnya dengan memilih

5 Konsep-konsep penting pada bagian ini disarikan dari berbagai buku bacaan, seperti James A. Caporaso

dan David P. Levine, Bab 5: Ekonomi Politik Keynesian, dalam Teori-Teori Ekonomi Politik,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 236 – 250; Deviarnov, Bab 10: Pemikiran-Pemikiran Keynes,

dalam Perkembangan Pemikiran Ekonomi (edisi revisi), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007), hal.

159 – 167; dan Mark Skousen, Bab 13: Pemberontakan Keynes: Kapitalisme Menghadapi Tantangan

Terbesar, dalam Teori-Teori Ekonomi Modern, (Jakarta: Prenada Media, 2001), hal. 395 – 430.

Page 7: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

6

alternatif kombinasi faktor-faktor produksi terbaik atau efisien, guna memperoleh

keuntungan yang sebesar-besarnya. Hal ini tentu didorong keyakinan bahwa setiap

barang yang diproduksi akan selalu diiringi permintaan atau dengan kata lain,

penawaran akan selalu menciptakan pemintaan (hukum J.B. Say: supply creates its own

demand).

Prinsip-prinsip klasik di atas mendapat sorotan kritik tajam dari Keynes. Kritik

Keynes didasarkan pada rasionalisasi logis tentang hukum-hukum dasar klasik tersebut

disertai konklusi bahwa perekonomian tidak dapat bergerak sendiri di ruang vakum,

tetapi membutuhkan peran dan campur tangan negara. Pertama, rasionalisasi yang

Keynes ketengahkan di antaranya, tentang hukum Say. Secara umum, menurut Keynes,

biasanya permintaan lebih kecil dari penawaran. Hukum Say dinilai hanya berlaku

untuk perekonomian sederhana dan tertutup yang terdiri dari sektor rumah tangga dan

perusahaan saja. Akan tetapi dalam sistem perekonomin masyarakat yang telah maju,

sudah dikenal konsep tabungan. Sehingga, sebagian dari pendapatan yang diterima

masyarakat akan mengalami kebocoran (leakage) karena ditabung dan tidak semua

dihabiskan untuk konsumsi. Dengan demikian, permintaan efektif biasanya selalu lebih

kecil dari total produksi karena permintaan agregat akan selalu lebih kecil dari

penawaran agregat.

Walaupun kaum neoklasik kemudian membantah bahwa tabungan yang

dianggap sebagai faktor kebocoran akan dihimpun oleh lembaga-lembaga keuangan

dan akan disalurkan pada investor. Menurut mereka, pasar akan mengatur sedemikian

rupa sehingga jumlah tabungan akan sama dengan jumlah investasi. Dengan demikian,

dalam argumen kaum klasik, kebocoran yang terjadi dalam tabungan akan segera

diinjeksikan kembali dalam perekonomian melalui investasi, sehingga keseimbangan

kembali terjadi. Hal ini diluruskan oleh Keynes dengan mengatakan bahwa motif

menabung dan investasi jelas berbeda. Investasi lebih didorong untuk mendapatkan

laba yang sebesar-besarnya. Sementara tabungan lebih bermotif berjaga-jaga (pre-

cautionary motives), misalnya untuk menghadapi kecelakaan, penyakit, memenuhi

hajat tertentu, dan hal serupa itu. Perbedaan motif ini akan menyebabkan jumlah

tabungan tidak akan pernah sama dengan jumlah investasi.

Konsep full-employment klasik yang didasarkan pada mekanisme penyesuaian

(adjustment) dan keseimbangan (equilibrium) juga dikritik oleh Keynes. Konsep ini

Page 8: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

7

meyakini bahwa pengangguran tidak akan pernah terjadi (kecuali yang bersangukutan

sukarela untuk menganggur karena alasan upah rendah). Toh pada akhirnya, mereka

yang voluntary unemployment ini akan memilih bekerja. Hal ini bersambut dengan

intense pengusaha untuk mempekerjakan buruh dalam jumlah yang lebih besar, hingga

akhirnya tidak lagi ditemui pengangguran. Menurut Keynes, dalam kenyataannya pasar

tenaga kerja tidak bekerja demikian. Di mana pun para pekerja mempunyai semacam

serikat buruh (labor union) yang akan berusaha memperjuangkan kepentingan buruh

dari penurunan tingkat upah. Kalaupun tingkat upah dapat diturunkan, tingkat

pendapatan masyarakat tentu akan turun. Turunnya pendapatan sebagian anggota

masyarakat akan menyebabkan turunnya daya beli masyarakat. Pada gilirannya hal ini

akan menyebabkan agregat konsumsi berkurang. Berkurangnya daya beli masyarakat

akan mendorong turunnya harga-harga.

Kedua, Keynes sampai pada konklusi bahwa perekonomian membutuhkan

regulasi oleh negara. Dari pengamatan Keynes tentang kejadian depresi ekonomi pada

awal 30-an, Keynes merekomendasikan agar perekonomian tidak diserahkan begitu

saja pada mekanisme pasar. Hingga batas-batas tertentu, peran pemerintah justru

diperlukan. Misalnya, kalau terjadi pengangguran, pemerintah bisa memperbesar

pengeluarannya untuk proyek padat karya. Dengan demikian, sebagian tenaga kerja

yang menganggur dapat bekerja, yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan

masyarakat. Kalau harga-harga naik cepat, pemerintah bisa menarik jumlah uang

beredar dengan mengenakan pajak yang lebih tinggi. Inflasi yang tak terkendali pun

tidak sampai terjadi. Dalam situasi terjadi gerak gelombang kegiatan ekonomi,

pemerintah dapat menjalankan kebijakan pengelolaan pengeluaran dan pengendalian

permintaan efektif dalam bentuk “kontra-siklis” atau “anti-siklis”.

Dari berbagai kebijakan yang dapat diambil, Keynes lebih sering mengandalkan

kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal, pemerintah dapat mempengaruhi jalannya

perekonomian. Langkah itu dilakukan dengan menyuntikkan dana berupa pengeluaran

pemerintah untuk proyek-proyek yang mampu menyerap tenaga kerja. Kebijakan ini

sangat ampuh dalam meningkatkan output dan memberantas pengangguran, terutama

pada situasi saat sumber-sumber daya belum dimanfaatkan secara penuh.

Apakah Keynes tidak percaya pada mekanisme pasar bebas sesuai doktrin

laissez faire-laissez klasik? Apakah ia tidak yakin dengan anggapan klasik bahwa

Page 9: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

8

perekonomian akan menentukan jalannya sendiri menuju keseimbangan? Keynes

sebetulnya percaya tentang semua hal yang dikemukakan oleh kaum klasik tersebut.

Akan tetapi, Keynes menilai bahwa jalan menuju keseimbangan dan full-employment

tersebut sangat panjang. Kalau ditunggu mekanisme pasar (lewat tangan ghaib) yang

akan membawa perekonomian kembali pada posisi keseimbangan, dibutuhkan waktu

sangat lama. Keynes pernah menulis, “dalam jangka panjang kita akan mati!” (In the

long run we’re all dead!). Jadi, satu-satunya cara untuk membawa perekonomian ke

arah yang diinginkan seandainya ia “lari dari posisi keseimbangan ialah lewat

intervensi atau campur tangan pemerintah.

Melalui tulisan Michael Brown, The Keynesian Model dalam Models in

Political Economy, disebutkan bahwa pemerintah harus ikut campur dalam

perekonomian. Salah satu bentuknya adalah dengan mendevaluasi nilai mata uang dolar

guna memicu pertumbuhan ekonomi. Perubahan kecil tersebut menghadirkan dampak

signifikan yang berhasil memicu pertumbuhan sedikit demi sedikit dan mengembalikan

harga secara berangsur menjadi normal (Freiden, 2006). Michael Brown melalui

bukunya berusaha menghadirkan perspektif ekonomi Keynes dalam memberikan

gambaran solusi sistem ekonomi yang mungkin untuk membawa Amerika serikat

keluar krisis ekonomi. Dalam teori pasar ekonominya, Keynes menganjurkan intervensi

pemerintah untuk mengatur keseimbangan antara savings dan konsumsi sehingga

berbanding lurus dengan investasi dan produksi konsumsi barang (Brown, 1995: 58).

Bentuk intervensi yang dimaksud Keynes adalah yang ia sebut management demand

yang mana pemerintah seharusnya mengatur permintaan efektif melalui cara-cara

berikut ini: memperluas permintaan jika kemerosotan ekonomi hendak mengancam,

dan memotong permintaan ketika menjelang ledakan ekonomi. Pemerintah semestinya

mempengaruhi tingkat suku bunga melalui kebijakan simpan pinjam; pemerintah dapat

menjalankan program investasi mandiri guna mengimbangi investasi swasta; dan dapat

melakukan defisit atau surplus penerimaan dan catatan pengeluaran (belanja lebih

daripada pajak yang terkumpul untuk mengimbangi kemerosotan ekonomi,

mengumpulkan lebih banyak daripada yang dikeluarkan untuk menstabilkan ekonomi

booming).

Sektor finansial juga mendapat perhatian sendiri oleh Keynes untuk agar

pemerintah ikut campur tangan. Hal ini karena sektor finansial dianggap sebagai

Page 10: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

9

katalisator terjadinya krisis. Kenyataan ini semakin terbukti dalam beberapa dekade

terakhir, lewat peristiwa krisis 1997 dan 2008. Dalam hal ini, akan dipaparkan beberapa

pandangan Keynes terkait dengan sifat dasar uang, kredit, dan investasi. Jika pemikiran

klasik menganggap uang hanya sebagai “pelumas mesin ekonomi”, maka Keynes

menganggap uang justru mempengaruhi motif dan keputusan dalam setiap aktivitas

ekonomi. Ia, menurut Keynes, tidaklah netral. Lebih dari sekedar komoditas, uang

disebut sebagai hasil dari konvesi (kesepakatan sosial) dalam bentuk kontrak yuridis, di

mana otoritas legalitasnya diberikan kepada (biasanya bank sentral).

Dalam kaitannya dengan kredit, Keynes berbeda dengan kalangan monetaris

(klasik) yang lebih menekankan pada penawaran uang (money supply). Bagi Keynes,

justru fokus pada permintaan uang (money demand) yang ditentukan oleh kredit.

Permintaan melalui kredit ini harus disalurkan pada sektor produktif melalui perluasan

kapasitas produksi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan nasional, dan

akhirnya mendorong permintaan. Prinsip Keynes ini disebut the principle of effective

demand. Agen utama yang dianggap sebagai katalisator prinsip permintaan efektif ini

adalah entrepreneur. Prinsip ini sebenarnya mirip dengan ajaran Schumpeter yang

mengutamakan peranan entrepreneur, di samping perbankan (yang memberi

menyalurkan kredit kepada entrepreneur), sebagai agen utama perekonomian.

Keduanya bersepakat bahwa sebenarnya pengembangan produk derivasi keuangan

tidak diperlukan. Sebab, pengembangan pasar derivatif hanya akan meningkatkan

perilaku spekulatif. Jika sektor spekulasi meningkat, maka akan menyebabkan sektor

produktif menjadi mandek, dan akhirnya membawa pada kondisi resesi. Untuk

kepentingan kontrol perilaku spekulatif inilah, menurut Keynes, diperlukan peranan

regulasi negara.

B. Konsep Krisis Mata Uang Sebagai Akar Krisis Finansial6

Krisis ini disebut juga krisis neraca pembayaran. Ia merupakan salah satu bentuk dari

krisis ekonomi di mana nilai tukar mata uang suatu negara berubah cepat sehingga

fungsi uang sebagai perantara pertukaran dan penyimpan nilai tidak terpenuhi.

6 Konsep-konsep penting pada bagian ini dikutip dari skripsi Mohammad Hanri, Sistem Peringatan Dini Krisis Nilai Tukar: Kasus Indonesia Tahun 1990 – 2008, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, UI, 2009.

Page 11: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

10

Krugman (1979) dan Leassons (2001) mengatakan bahwa krisis mata uang adalah akar

dari krisis ekonomi yang terjadi ketika pemerintah mempertahankan nilai tukar pada

tingkatan tertentu dengan menggunakan cadangan devisa secara terus-menerus. Hal itu

pada akhirnya akan menghabiskan cadangan devisa negara itu sendiri. Sehingga,

memaksa pemerintah untuk menurunkan nilai tukar mata uangnya atau mengubah

sistem nilai tukarnya. Akibatnya, nilai tukar menjadi terdepresiasi sangat besar.

B.1. Jenis-Jenis Krisis Nilai Tukar

Jenis krisis nilai tukar ini terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu first generation of currency

crisis, second generation of currency crisis, dan third generation of currency crisis.

Pendekatan pada jenis pertama ini dikemukakan oleh Krugman (1979) dan Flood dan

Garber (1984) yang mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kondisi

ketidakseimbangan fiskal yang tidak stabil sehingga memicu serangan terhadap mata

uang. Asumsinya, bank sentral cenderung melakukan pembiayaan defisit fiskal melalui

pemberian kredit dalam negeri dan mempertahankan nilai tukar pada tingkat yang tetap.

Dengan kondisi cadangan devisa yang terbatas, ekspektasi akan terjadinya devaluasi

mendorong para spekulan untuk menyerang mata uang negara yang bersangkutan dan

akan menguras cadangan devisa bank sentral.

Pada jenis kedua, Diamond dan Dybvig (1983) mengatakan bahwa krisis nilai tukar

terjadi pada kondisi trade off yang dialami pemerintah antara mempertahankan nilai

mata uangnya dan menerapkan kebijakan moneter yang ekspansif untuk mengurangi

pengangguran. Meski cadangan devisa cukup memadai, untuk mempertahankan nilai

tukar tetap, spekulan cenderung menyerang apabila ada indikasi kurangnya komitmen

pemerintah untuk mempertahankan nilai tukar tersebut. Dalam kasus ini, krisis dipicu

oleh memburuknya kondisi fundamental perekonomian, seperti penurunan tingkat

pertumbuhan, kenaikan tingkat pengangguran dan inflasi.

Terakhir, jenis ketiga, Krugman (1998) dan Corsetti, dkk. (1998) menyebut moral

hazard sebagai pemicu krisis nilai tukar. Menurutnya, moral hazard terjadi karena

adanya persepsi bahwa pemerintah akan selalu siap menjamin dan menanggulangi

perusahaan swasta yang menghadapi masalah. Sehingga, terjadi kelebihan investor dan

pinjaman yang mengakibatkan akumulasi utang sektor swasta dalam jumlah yang

Page 12: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

11

sangat besar. Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan pemerintah tidak bergantung lagi

pada penerimaan pajak untuk mengurangi krisis, tetapi pada penerimaan seignorage7.

Hal ini justru akan memicu inflasi di masa depan dan menjadi pintu masuk serangan

spekulasi terhadap mata uang. Pada krisis generasi ketiga ini, krisis nilai tukar akan

menular melalui hubungan perdagangan (trade link) dan karena kesamaan kondisi

fundamental ekonomi.

B.2. Penyebab Krisis Nilai Tukar

a. Faktor Internal

Menurut studi IMF pada tahun 1998, terdapat beberapa faktor penyebab terjadinya

krisis nilai tukar, yaitu; defisit neraca berjalan, utang luar negeri yang besar, sektor

keuangan yang terlalu bebas dan tak teregulasi, kebijakan moneter yang menjalankan

sistem moneter tetap dan tingkat suku bunga yang tinggi. Tirmidi (1999) mengatakan

bahwa sistem devisa yang terlalu bebas akan menyebabkan arus modal dan valuta asing

mengalir keluar masuk secara deras dan bebas. Hal itu akan memicu terjadinya

spekulasi di pasar valuta asing. Spekulasi itu termanifestasi dalam beberapa bentuk,

seperti kebebasan memiliki rekening valuta asing di dalam atau luar negeri, valuta

asing diperdagangkan dapat diperdagangkan di dalam negeri, sebagaimana mata uang

negara yang bersangkutan juga bebas diperdagangkan di luar negeri.

Krugman (1979) menyebutkan 4 (empat) faktor penyebab krisis mata uang, yaitu

ekspansi moneter dan kredit domestik yang berlebihan, neraca berjalan yang buruk,

sistem finansial yang rapuh, dan tingkat keterbukaan perekonomian yang semakin

tinggi. Ekspansi moneter dan kredit domestik dalam sistem nilai tukar tetap dianggap

sebagai poin awal penyebab krisis yang dapat memicu terjadinya pengurangan

cadangan devisa, kelebihan jumlah uang yang beredar, turunnya suku bunga,

meningkatnya aliran modal ke luar, dan terdepresiasinya nilai tukar.

Sementara itu, defisit keseimbangan neraca perdagangan adalah faktor fundamental

terjadinya krisis. Kenaikan defisit pada keseimbangan perdagangan mencerminkan

kenaikan permintaan terhadap mata uang asing yang menyebabkan cadangan devisa

7 Seignorage Keuntungan yang diperoleh pemerintah karena kemampuannya mencetak uang, yaitu selisih antara nilai uang dan biaya percetakan uang tersebut.

Page 13: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

12

menurun. Pada penjelasan tentang sistem finansial yang rapuh, terdapat 3 (tiga)

hipotesis (Eichengreen dan Hausmann, 1999), yaitu diakibat oleh moral hazard,

original sin, dan commitment problem. Moral hazard, sebagaimana sudah disebutkan

sebelumnya, berawal dari kondisi ideal dan aman dalam perekonomian yang berasal

dari jaminan pemerintah menyebabkan perilaku spekulasi yang tinggi. Original sin

mengandung pengertian bahwa ketidakmampuan mata uang domestik sebagai akar

krisis finansial. Di negara berkembang, mata uang domestik tidak dapat digunakan

sebagai pinjaman dan bank sentral tidak akan me-hedging mata uang asing dan suku

bunga, di mana kedua variabel tersebut dipengaruhi oleh negara lain. Hedging tidak

dilakukan bukan karena tidak mau, melainkan karena sulitnya pembuatan persetujuan

hedging dengan menggunakan mata uang domestik. Terakhir, masalah commitment

problem erat kaitannya dengan lemahnya hukum dan pengaturan di institusi keuangan

pemerintah sehingga perilaku eksesif dan spekulatif terjadi dalam skala besar.

b. Faktor Eksternal

Selain faktor internal yang dijelaskan di atas, terdapat faktor eksternal yang

menyebabkan terjadinya krisis nilai tukar, yaitu faktor penularan (contagion effect).

Menurut Fratzscher (2002), contagion effect ini terjadi dalam dua jalur, yakni jalur

perdagangan dan jalur finansial. Logika terjadinya krisis mata uang dari jalur

perdagangan mengikuti alur berpikir berikut: (i) Serangan terhadap suatu mata uang

menyebabkan mata uang tersebut terdepresiasi sehingga dapat meningkatkan daya

saing produknya; (ii) Peningkatan daya saing ini berarti penurunan ekspor bagi negara-

negara pesaingnya, sehingga dapat mengakibatkan negara pesaingnya mengalami

defisit transaksi berjalan, penurunan cadangan devisa secara bertahap, yang berujung

pada serangan terhadap mata uang; (iii) Selain efek penularan terhadap negara pesaing,

hal ini juga dapat terjadi terhadap negara mitra dagang; (iv) ketika terjadi krisis, mata

uang akan terdepresiasi yang menyebabkan harga barang ekspor turun. Bagi mitra

dagang, hal itu berarti penurunan harga barang impor yang dapat mendorong penurunan

inflasi dan permintaan uang beredar; (v) Guna melindungi mata uangnya, pelaku

ekonomi pada negara mitra dagang dapat melakukan swap yang mengakibatkan

terkurasnya cadangan devisa yang dikuasasi bank sentral; (vi) cadangan devisa yang

Page 14: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

13

menurun dapat memicu terjadinya krisis mata uang karena kemampuan cadangan

devisa yang ada semakin tidak mampu menyerap serangan spekulan.

II.2. Literatur Review

Dalam IMF Working Paper yang berjudul Contagion, Monsoons, and

Domestics Turmoil in Indonesia: a Case Study in Asian Currency Crisis, Valerie Cerra

dan Sweta Chaman Saxena meneliti mengenai penyebab krisis yang menyerang

Indonesia pada tahun 1997/1998. Dalam tulisan tersebut, Cerra dan Saxena

mengklasifikasikan secara garis besar ada tiga penyebab utama krisis di Indonesia,

yakni (1) Faktor domestik, termasuk persoalan finansial dan non finansial seperti

ketidakstabilan keadaan politik, (2) Kekhawatiran dari pelaku ekonomi eksternal

terhadap krisis di tingkat Asia, (3) Penyebaran krisis dari tingkat regional ke tingkat

domestik yang bermula dari Thailand dan menyebar ke sebagian besar negara-negara

Asia Tenggara.

Saat krisis menyerang Asia tahun 1997/1998, Indonesia merupakan salah satu

negara yang mengalami keterpurukan ekonomi akibat krisis dan merasakan dampak

negative paling besar. Disamping masalah dalam negeri yang dihadapi Indonesia

seperti lemahnya pengawasan terhadap sektor perbankan, extensive crony capitalism,

korupsi, monopoli kekuasaan dan pertumbuhan pinjaman jangka pendek, Indonesia

dilihat sebagai kasus yang paling jelas dari penularan krisis (contagion), karena

Indonesia merupakan the least severe macroeconomic imbalances (defisit current

account Indonesia paling rendah di tingkat Asian-5 dan ekspornya tertinggi kedua).8

Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa krisis moneter yang menyerangesia

pada tahun 1997/1998 sangat dipengaruhi oleh krisis yang sesaat sebelumnya terjadi di

beberapa negara Asia Tenggara. Hal inilah yang disebut sebagai contagion effect yang

dibahas dalam IMF Working Paper tersebut.

Literatur lain yang membahas mengenai krisis yang menimpa Indonesia adalah

Krisis Asia 1997/1998. Miranda S. Goeltom (2007)9 mendeskripsikan kondisi nilai

8 Valerie Cerra dan Sweta Chaman Saxena, Contagion, Monsoons, and Domestics Turmoil in Indonesia: a Case Study in Asian Currency Crisis, dalam IMF Working Paper-Maret 2000, hal. 5. 9 Miranda S. Goeltom, “Globalisation of the World’s Financial System and Capital Flows in Indonesia”, dalam Essays in Macroeconomic Policy: The Indonesian Experience, (Jakarta: Pustaka Utama, 2007), hal. 459-485.

Page 15: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

14

tukar sebelum, saat dan setelah krisis. Sebelum Krisis Asia 1997/1998, kondisi nilai

tukar di Indonesia ditandai dengan menguatnya atau apresiasi nilai rupiah.10

Sedangkan

pada periode krisis dan paska krisis, kondisi nilai tukar di Indonesia ditandai dengan

melemahnya atau depresiasi nilai rupiah. Keadaan krisis ini menyebabkan depresiasi

rupiah hingga titik terendah 1 dolar mencapai Rp16.000 pada bulan Juni 1998 dan

kemudian keadaan ekonomi membaik dengan signifikan di tahun 2004 dengan

penguatan nilai rupiah yang ditandai dengan 1 dolar sama dengan Rp8.600 hingga

Rp9.200.11

Selain itu, dalam periode krisis dan paska krisis, Indonesia mengalami

kemerosotan pasar modal.12

Kebijakan nilai tukar sebelum krisis ditandai dengan perubahan sistem nilai

tukar tetap menjadi managed floating.13

Hal ini didorong oleh globalisasi sistem

keuangan dunia yang ditandai dengan meningkatnya capital mobility dan pertumbuhan

integrasi ekonomi regional dan internasional. Sistem managed floating merupakan

sistem nilai tukar mengambang dengan rentang nilai tukar tertentu dan dapat

diintervensi oleh Bank Indonesia jika keluar dari rentang nilai tukar yang telah

ditentukan. Sedangkan, kebijakan nilai tukar setelah krisis ditandai dengan penggunaan

sistem free floating yang ditujukan untuk mengurangi perdagangan spekulatif.14

Namun,

perdagangan spekulatif tetap dapat dilakukan oleh agen ekonomi di dalam pasar

finansial intenasional yang memiliki skill dan information power yang biasanya

merupakan spekulan warga negara asing. Rupiah dijadikan sebagai komoditas

perdagangan spekulatif di pasar finansial dunia sehingga mengganggu stabilitas

ekonomi Indonesia. Untuk itu, Bank Indonesia berusaha untuk mengurangi aksi

spekulatif dengan regulasi untuk membatasi besarnya transaksi. Namun yang terjadi

lack of enforcement and sanction.

10 Ibid, hal. 466. 11 Ibid, hal. 469-470. 12 Ibid, hal. 471. 13 Ibid, hal. 473. 14 Ibid, hal. 477.

Page 16: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

15

BAB III

KRISIS FINANSIAL GLOBAL DAN DAMPAKNYA DI INDONESIA

III.1. Faktor Penyebab Krisis Finansial Global 2007/2008

Apa yang disebut sebagai krisis finansial global seringkali serta merta dikaitkan

dengan persoalan subprime mortage. Namun, apa sebenarnya pemicu awal munculnya

subprime mortage tersebut? Hal itu dapat dilihat dari dua prakondisi, yaitu (i) Serangan

teroris terhadap WTC pada 11 September 2001. Untuk memulihkan kepercayaan pasar

terhadap perekonomian AS, The Fed menurunkan suku bunga hingga 1 persen pada

medio September 2001. Hal ini akhirnya memicu maraknya pertumbuhan kredit di AS,

terutama di sektor perumahan; (ii) Kenaikan harga minyak dunia. Sejak Januari 2005,

harga minyak dunia beranjak naik dan mencapai US$ 140 perbarel pada Juni 2008. Hal

ini mengakibatkan harga-harga komoditas menjadi naik. Terutama di AS, hal ini

mengakibatkan terjadi kenaikan inflasi. Untuk meredam itu, The Fed menaikkan suku

bunga hingga 5,26 persen pada enam bulan pertama tahun 2007. Pada akhirnya, inilah

yang menyebabkan tingkat bunga dan biaya kredit melonjak tajam dan tak terbayar.

Merebaklah apa yang disebut Subprime Mortage.

Krisis subprime mortgage ini merupakan hasil dari pecahnya gelembung

spekulatif pada sektor pasar bagi perumahan yang dimulai di tahun 2006 di AS dan

sekarang telah merembet ke negara-negara lainnya dalam bentuk kegagalan-kegagalan

di pasar finansial dan menimbulkan global credit crunch.15

Dalam kurun waktu tahun

2000 sampai dengan tahun 2004, tingkat suku bunga di AS tergolong rendah,

melonggarnya ketentuan penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR), dan persaingan

antara lembaga penyalur kredit, telah meningkatkan penyaluran KPR ke masyarakat

dengan creditworthiness yang rendah (subprime borrower).16

Dan krisis subprime

mortgage ini bersumber dari kebijakan suku bunga rendah yang dikeluarkan oleh

Greenspan.17

15 Robert J. Shiller, The Suprime Solution: How Today’s Global Financial Crisis Happened, and What to Do about It, (Princeton: Princeton University Press, 2008), hal. 9. 16 Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian Indonesia 2007, (Bank Indonesia), hal. 72. 17 Tito Boeri dan Luigi Guiso, “The Subprime Crisis: Greenspan’s Legacy”, dalam Andrew Felton dan Carmen Reinhart, (ed.), The First Global Financial Crisis of the 21st Century, (London: Centre for Economic Policy Research (CEPR), 2008), hal. 37.

Page 17: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

16

Tito Boeri dan Luigi Guiso menguraikan ada tiga faktor yang berkontribusi

pada krisis finansial 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan subprime mortgages di

AS.18

Pertama, rendahnya pengetahuan finansial mengenai rumah tangga AS. Kedua,

inovasi finansial yang telah menghasilkan sekuritisasi secara besar-besaran terhadap

aset yang tidak riil dan kebijakan suku bunga rendah sejak tahun 2001-2004. Ketiga,

penyebab terpenting adalah tanpa kebijakan dari Alan Greenspan ini, maka krisis

finansial global 2007/2008 mungkin tidak akan pernah terjadi. Alan Greenspan

merupakan ketua Federal Reserve Board yang bertujuan untuk memastikan besarnya

likuiditas di pasar modal.19

Greenspan menerapkan kebijakan suku bunga rendah yang

berpengaruh pada kemudahan invenstor untuk meminjam dana dengan lebih murah dan

kemudian menginvestasikannya di pasar surat-surat berharga.20

Faktor pertama dari krisis finansial global adalah rendahnya pengetahuan

finansial yang merupakan perpaduan dari informasi yang buruk, kurang pengalaman

dalam finansial, dan pandangan yang dangkal dari para konsumen dan investor. Para

konsumen dan investor ini melihat prospek bahwa pemberian mortgage akan ada pada

suku bunga rendah dan meramalkan kemungkinan ini hingga lebih dari 30 tahun.21

Pandangan ini didukung oleh bank-bank dan peminjam lainnya yang berhasrat untuk

menarik dan menahan para nasabah. Selain itu, bank-bank dan para perantara justru

menyarankan nasabahnya untuk berivestasi di aset-aset finansial. Kedua hal ini

menandakan rendahnya pengetahuan mengenai finansial dan adanya konflik

kepentingan dalam industri finansial. Bahkan, hal ini pun terjadi di AS dimana hanya 2

dari 3 orang AS yang familiar dengan hukum mengenai pelipatgandaan bunga dan

kurang dari setengah yang mengetahui bagaimana mengukur efek dari inflasi terhadap

biaya dari utang.22

Pengetahuan mengenai finansial tergolong rendah diantara mereka

yang mendapat subprime mortgages.

Faktor kedua adalah inovasi finansial selama 10 tahun terakhir yang telah

menghasilkan sekuritisasi terhadap aset yang tidak riil. Sekarang ini, portfolio dapat

dengan mudah dicairkan oleh investor padahal portfolio tersebut merupakan portfolio

18 Ibid, hal. 37-38. 19 Stephen G. Cecchetti, “Subprime Series, Part 4: Does Well-designed Monetary Policy Encourage Risk-taking?”, dalam Andrew Felton dan Carmen Reinhart, (ed.), The First Global Financial Crisis of the 21st Century, (London: Centre for Economic Policy Research (CEPR), 2008), hal. 34. 20 Ibid. 21 Tito Boeri dan Luigi Guiso, op. cit., hal. 38. 22 Ibid.

Page 18: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

17

pada kredit yang tidak mudah dicairkan, seperti pinjaman bank atau mortgages.23

Kebanyakan bank menggunakan mekanisme ini untuk mengamankan kredit mereka

sendiri. Inovasi finansial ini membawa keuntungan dan kerugian. Keuntungan

didapatkan oleh para investor dimana dalam mekanisme ini kredit yang tidak mudah

dicairkan menjadi mudah dicairkan sehingga posisi menguntungkan karena dapat

memperoleh laba yang lebih besar. Sedangkan, kerugiannya adalah adanya resiko yang

menimbulkan keadaan tidak sanggup membayar dari peminjam maupun bank. Selain

itu, inovasi finansial ini membuat bank berkurang insentifnya untuk menyaring para

peminjam dengan hati-hati sehingga pintu kredit bagi peminjam berkualitas rendah

menjadi terbuka lebar.

Dan faktor terakhir sekaligus yang terpenting adalah kebijakan moneter

Greenspan, yaitu kebijakan suku bunga rendah. Hal ini menyebabkan mengalirnya

suntikan likuiditas yang besar ke dalam sistem moneter global. Kebijakan ini

mengurangi tingkat suku bunga jangka pendek hingga 1% yang merupakan tingkat

terendah selama 50 tahun terakhir.24

Disamping itu, Greenspan juga menerapkan

tingkat suku bunga dibawah titik equilibrium selama dua tahun berikutnya. Hal ini

mendorong credit boom. Ditambah dengan melambungnya harga dari perumahan di

saat yang sama dan pada akhirnya mendorong tambahan perluasan kredit. Keluarga,

investor, dan perusahaan yang memiliki kekuatan finansial yang limited dapat dengan

mudah mengakses kredit. Ditambah lagi, para investor menggunakan dana pinjaman

tersebut untuk berinvestasi di sektor finansial dengan membeli portfolio atau aset-aset

yang risky. Seperti yang dikatakan oleh Bernanke, “Ini bukan merupakan tanggung

jawab dari Federal Reserve Board - tidak juga cocok - untuk melindungi para

peminjam dan investor dari konsekuensi-konsekuensi dari keputusan-kepntusan

finansial mereka”.25

III.2. Timeline Krisis Finansial Global

Kronologis timeline krisis finansial global ini dimulai dari tahun 2000-2001 di

AS ketika tingkat suku bunga rendah ditetapkan oleh pemerintah AS. Hal ini

mendorong credit boom. Penyaluran KPR untuk nasabah yang tergolong subprime di

23 Ibid. 24 Ibid, hal. 39. 25 Ibid, hal. 34.

Page 19: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

18

tahun 2002 hanya mencapai $213 miliar dan kemudian meningkat tiga kali lipat

menjadi $665 miliar di tahun 2005.26

Di pihak lain, sekuritisasi dengan agunan berbasis

KPR subprime terus meningkat melalui financial engineering yang dikemas dalam

bentuk Asset Backed Securities (ABS) dan Collateralized Debt Obligation (CDO).

Besarnya potensi keuntungan yang diraih dari sekuritisasi subprime mortgage ini

mendorong beberapa lembaga keuangan besar masuk ke dalam bisnis ini termasuk Bear

& Sterns, HSBC, dan Citigroup. Kemasan produk CDO menjadi semakin menarik

karena memperoleh rating yang tinggi dari lembaga pemeringkat termasuk Standard

and Poor‟s dan Moody‟s. Imbalan hasil yang tinggi juga menarik minat para investor

dari banyak negara untuk membeli CDO tersebut. Selama tahun 2003-2007 penerbitan

ABS dan CDO yang beragunan subprime mortgage meningkat tajam sehingga pada

tahun 2006 mencapai lebih dari $450 miliar.27

Bisnis yang terkait subprime mortgage ini cepat berkembang menjadi krisis

global. Padahal sebagian besar dari KPR menggunakan Adjustable Rate Mortgage

(ARM) yang suku bunganya tetap pada beberapa tahun pertama dan selanjutnya

menyesuaikan dengan suku bunga pasar. Dengan risiko kredit nasabah subprime yang

cukup tinggi maka suku bunga yang dibebankan adalah ARM ditambah margin tertentu.

Namun, sejalan dengan tren suku bunga yang meningkat sejak pertengahan tahun 2004,

beban pembayaran angsuran nasabah subprime menjadi semakin berat.28

Hal ini

menyebabkan peminjam tidak lagi mampu membayar sehingga menimbulkan kredit

macet yang terus meningkat. Hal ini dapat digambarkan dalam grafik I di bawah ini:

26 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian Indonesia 2007, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), hal. 72. 27 Ibid. 28 Ibid.

Page 20: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

19

Grafik I: Perkembangan Kredit Perumahan yang Bermasalah di AS

Pada saat yang hampir bersamaan, harga sektor properti AS juga jatuh.

Akibatnya, lembaga keuangan penyalur KPR banyak yang merugi, bahkan beberapa di

antaranya sampai bangkrut. Pada pertengahan tahun 2007, akumulasi permasalahan

kredit macet sektor perumahan di AS memuncak dan akhirnya menimbulkan gejolak di

pasar keuangan global.29

Kredit macet yang meningkat tinggi menyebabkan investor

menilai ulang investasinya di CDO karena semakin menurunnya nilai agunan dari surat

berharga tersebut. Harga CDO-pun merosot tajam. Sementara itu, kerugian yang

dialami lembaga penyalur KPR mengakibatkan harga sahamnya jatuh di bursa saham

AS yang merembet ke seluruh saham di sektor keuangan terutama sektor perbankan.

Kejatuhan harga saham di AS ini kemudian berimbas ke skala global terutama

harga saham lembaga keuangan di luar AS yang memiliki eksposur, baik secara

langsung maupun secara tidak langsung, terhadap CDO. Investor global yang

menyadari memiliki eksposur terhadap CDO juga serentak menilai ulang risiko

investasinya. Akibatnya, terjadi pengalihan dana besar-besaran dari aset keuangan yang

dipandang berisiko ke aset yang relatif aman seperti obligasi pemerintah AS.30

Krisis

kepercayaan terhadap CDO meluas sehingga menyebabkan lembaga keuangan penyalur

KPR dan perusahaan penerbit Asset Backed Commercial Paper (ABCP) semakin sulit

memperoleh dana di pasar kredit. Hal tersebut terjadi karena investor banyak yang

menolak memperpanjang penempatan dana di ABCP. Sektor perbankan sebagai

penjamin ABCP harus mengambil alih pemenuhan dana dari penyalur KPR yang pada

gilirannya membebani neraca perbankan. Langkah Federal Reserve menurunkan suku

29 Ibid, hal.73. 30 Ibid.

Page 21: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

20

bunga pada Agustus 2007 dan injeksi likuiditas melalui koordinasi dengan sejumlah

bank sentral lain dalam jumlah besar hanya mampu meredam gejolak pasar keuangan

sesaat.31

Kejatuhan harga rumah yang terus berlanjut, ketidakstabilan di pasar keuangan,

dan ketatnya standar penyaluran KPR pada gilirannya menekan konsumsi masyarakat

AS. Selain itu, sektor manufaktur juga mulai terkena imbas dari melemahnya konsumsi

sehingga mendorong gelombang pemutusan hubungan kerja. Di pihak lain, sejumlah

lembaga keuangan termasuk bank-bank investasi AS terkemuka melaporkan kerugian

yang cukup besar dari bisnis CDO dan sampai akhir tahun 2007 total kerugiannya

melampaui $100 miliar.32

Menjelang akhir tahun 2007 ekonomi AS pun semakin

dibayangi resesi sehingga tekanan di pasar keuangan global terus berlanjut.

III.3. Timeline Penetrasi Krisis Finansial Global ke Indonesia

Bergejolaknya pasar keuangan global akibat efek lanjutan krisis subprime

mortgage menyebabkan investor global serentak melakukan penilaian ulang terhadap

profil risiko investasinya. Penarikan dana dari investasi di pasar keuangan negara

berkembang, termasuk di Indonesia yang dipandang berisiko pun meningkat sehingga

menimbulkan tekanan terhadap mata uang.33

Selain itu, penarikan dana investor global

tersebut merupakan upaya untuk menutup kerugian dari investasinya di pasar keuangan

negara maju yang jatuh tajam.

Lembaga keuangan di Indonesia teridentifikasi tidak memiliki eksposur

terhadap surat berharga beragunan subprime mortgage. Meskipun demikian, gejolak

pasar keuangan global yang dipicu krisis subprime mortgage telah meningkatkan

volatilitas dan ketidakpastian sehingga mendorong arus keluar dana asing dari

instrumen investasi rupiah. Dalam kondisi pasar keuangan global yang bergejolak

investor cenderung menyelamatkan dananya dengan menghindari instrumen investasi

berisiko, termasuk instrumen yang diterbitkan emerging markets seperti Indonesia.

Kedalaman ekses kegagalan bisnis properti di AS yang merembet hingga ke

Indonesia.34

31 Ibid. 32 Ibid. 33 Ibid. 34 Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia, (Jakarta: Bank Indonesia, 2010), hal. 2.

Page 22: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

21

Pada periode terjadinya krisis subprime mortgage, besarnya resiko bagi investor

global terhadap aset emerging markets membuat aset Indonesia menurun.

Perkembangan ini juga berkorelasi kuat dengan perkembangan nilai tukar rupiah. Hal

tersebut tercermin pada tekanan depresiasi terhadap rupiah. Arus keluar dana asing

mengalami eskalasi sejak Juni 2007 dan berlanjut hingga Agustus 2007, yang

menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Penarikan dana investasi asing dari

pasar keuangan Indonesia sebagian berasal dari SBI dan obligasi negara. Setelah itu

arus dana keluar mereda. Namun, pada tanggal 15 September 2008, Lehman Brothers,

sebuah institusi yang didirikan tiga bersaudara imigran asal Jerman: Henry, Emanuel

dan Mayer Lehman, menyatakan diri bangkrut.35

Kebangkrutan Lehman Brothers segera menyabar dengan cepat sekali dan

merembet ke negar-negara lain. Sebelum Lehman Brothers mengumumkan

kebangkrutannya, nilai tukar rupiah masih berada di level Rp9.000 per dolar AS.

Memasuki pertengahan September, begitu terlansir berita Lehman Brother bangkrut,

gerak-gerik rupiah mulai berfluktuasi. Puncaknya, rupiah sempoyongan menembus

angka Rp12.650 per dolar AS pada 24 November 2008.36

Hal ini dapat digambarkan

dalam grafik II di bawah ini:37

Meroketnya nilai tukar rupiah menembus angka

psikologis (Rp10.000/dolar) sudah barang tentu membuat panik perusahaan-perusahaan

nasional yang masih mengandalkan bahan baku impor dan para pemilik modal yang

tergerus nilai nominal dana mereka. Kenaikkan harga barang-barang ini pun memicu

angka inflasi hingga sempat menyentuh 12,56% pada tahun 2008.

35 Ibid, hal.3. 36 Ibid. 37 Ibid, hal.4.

Page 23: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

22

BAB IV

DATA, ANALISIS, DAN RESPON PEMERINTAH INDONESIA

“Apabila ada yang mengatakan bahwa pada bulan-bulan di tahun 2008 itu tidak ada krisis di

Indonesia atau hanya krisis ringan saja, yang bersangkutan tidak mengetahui keadaan atau

tidak jujur” (Boediono, Mantan Gubernur BI sekaligus Wakil Presiden RI 2010)

IV.1. Krisis Finansial Global dan Dampaknya di Indonesia

Krisis Finansial Global yang terjadi di dunia merupakan ujian dan tantangan

sendiri pada perekonomian Indonesia. Tantangan itu sangat terasa sejak tahun 2008, di

mana ketika ini harga komoditas internasional meningkat tajam dan rambatan dari

krisis subprime mortgage di Amerika Serikat mulai terasa di Indonesia. Secara

keseluruhan, perekonomian Indonesia pada tahun 2007 mencatat beberapa perubahan

yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas angka 6%.

Menurut laporan Bank Indonesia tahun 2007, neraca pembayaran Indonesia mencatat

surplus, cadangan devisa meningkat, nilai tukar menguat, pertumbuhan kredit

melampaui target, dan laju inflasi sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.38

Akan tetapi, walaupun secara keseluruhan perekonomian Indonesia mencatat

perubahan-perubahan positif pada tahun 2007, bukan berarti Indonesia lantas terbebas

dari krisis dan tidak terkena dampak KFG. Pada tahun 2008, perekonomian Indonesia,

terutama dari sektor finansial, mulai menunjukkan tanda-tanda negatif. Dampak krisis

finansial global pada sektor finansial Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa kategori

sebagai berikut.

IV.1.1. Dampak pada Sektor Nilai Tukar: Depresiasi Rupiah

Hal ini sangat nyata terjadi pada paruh kedua tahun 2007, di mana rambatan

krisis subprime mortgage menimbulkan kecemasan yang meluas terhadap perlambatan

laju pertumbuhan ekonomi dunia, yang lantas mendorong para investor global untuk

melakukan penilaian ulang risiko (repricing of risk) dan menarik dana dari aset yang

berisiko tinggi (flight to quality), terutama aset-aset dari negara emerging markets

termasuk Indonesia.39

Hal tersebut juga lantas memicu pembalikan arus investasi

38 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian

Indonesia 2007. hal. 2. 39 Ibid, h. 69.

Page 24: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

23

portofolio asing di pasar keuangan domestik, yang pada akhirnya mempengaruhi

dinamika kestabilan makroekonomi Indonesia dari sisi nilai tukar. Rupiah pada paruh

kedua tahun 2007 terdepresiasi secara signifikan dan sempat mencapai nilai terlemah di

tahun 2007 pada Agustus 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp 9.372 per dolar

AS.40

Sehingga, nilai tukar Rupiah bergerak menguat pada paruh pertama tahun 2007

dan selanjutnya cenderung berfluktuasi pada paruh kedua tahun 2007.

Beberapa perubahan tersebut juga menyebabkan selama paruh kedua tahun

2007, Rupiah cenderung terdepresiasi dibandingkan mata uang global lainnya (Grafik

IIIa). Merosotnya nilai tukar Rupiah tersebut tidak hanya terjadi pada tahun 2007.

Kenyataannya, memasuki pertengahan September 2008, ketika berita mengenai

bangkrutnya Lehman Brother menyebar, gerak-gerik Rupiah semakin terfluktuasi.

Puncak depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar ini terjadi pada 24 November

2008, ketika Rupiah menembus angka Rp 12.650 per Dollar AS (Grafik IV).41

Terdepresiasinya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar ini lantas menyebabkan tingkat

volatilitas Rupiah meningkat drastis pada November 2008 (Grafik IIIb).

Grafik IIIa (kanan): Apresiasi/Depresiasi Beberapa Mata Uang Global Tahun 2006-2007.42

Grafik IIIb (kiri): Volatilitas Rupiah Periode 2007-2008

40 Ibid, h. 3. 41 Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. (Jakarta: Bank Indonesia,

2010), h. 13. 42 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, op. cit., h. 70.

Page 25: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

24

Grafik IV: Depresiasi Rupiah

IV.1.2. Turunnya Harga Saham di Pasar Modal Domestik

Krisis finansial global tidak hanya menyebabkan terjadinya depresiasi Rupiah

terhadap Dollar, tapi juga mengakibatkan timbulnya gejolak dalam pasar modal

domestik dan terjun bebasnya harga saham. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang mulanya berada pada posisi 2830 pada

tanggal 9 Januari 2008, menjadi menukik tajam ke posisi 1111.39 pada Oktober 2008

(Grafik V). Penurunan pada harga saham ini mencapai angka lebih dari 50%.

Grafik V: Pergerakan IHSG Januari 2008-September 2009

Page 26: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

25

IV.1.3. Meningkatnya Credit Default Swap (CDS) Indonesia

Krisis finansial global yang terjadi di Indonesia mengakibatkan peningkatan

secara drastis pada risiko di Indonesia. Hal ini ditunjukkan dalam Grafik VI, di mana

terdapat peningkatan yang cukup tajam pada CDS Indonesia pada November 2008,

yang mengindikasikan risiko (country risk) Indonesia saat itu sedang tinggi.

Grafik VI: Credit Default Swap Indonesia periode September 2008-September 2009.43

IV.1.4. Menurunnya Cadangan Devisa Indonesia

Krisis Finansial Global mengakibatkan penurunan yang cukup signifikan pada

cadangan devisa nasional yaitu turun sebesar 12% dari September 2008 ke November

2008 (Grafik VII). Bank Indonesia mengumumkan bahwa cadangan devisa tinggal

US$51,6 miliar per Desember 2008. Padahal lima bulan sebelumnya (Juli 2008), masih

tercatat US$60,6 miliar. Jadi menguap US$9 miliar atau mencapai sekitar 15 persen.

43 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, Departemen

Keuangan Republik Indonesia, Buku Putih Upaya Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis. (Jakarta: Departemen Keuangan RI, 2010), h. 19.

Page 27: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

26

Grafik VII: Cadangan Devisa Indonesia Periode 2008

IV.1.5. Dampak pada Sektor Perbankan

Krisis finansial global yang menghancurkan perekonomian internasional juga

menimbulkan kekacauan pada industri perbankan Indonesia. Tidak adanya penjaminan

dana nasabah secara menyeluruh pada sektor perbankan Indonesia mengakibatkan

aliran dana keluar (capital outflow) terjadi besar-besaran, lebih parah dibanding negara-

negara tetangga yang menerapkan penjaminan dana nasabah secara penuh (blankeet

guarantee).44

Aliran dana keluar itu pada akhirnya mengakibatkan keringnya likuiditas

dalam negeri. Bank-bank nasional pun mengalami kesulitan dalam mengelola arus

dananya karena pinjaman antar bank menjadi tidak berjalan. Kepercayaan antar pelaku

di pasar uang juga semakin rendah, yang pada akhirnya kembali menyebabkan

peningkatan dalam aliran dana keluar (Grafik VIIIa).

Penurunan kepercayaan terhadap sektor perbankan Indonesia tidak hanya

terjadi di kalangan para pemain dalam pasar uang, tapi juga pada diri nasabah nasional.

Ketika itu, beredar rumor-rumor yang berseliweran perihal daftar bank-bank yang

mengalami kesulitan likuiditas.45

Di tengah situasi krisis, sebuah isu kecil dapat

menjadi pemicu dan pemacu terjadinya aksi rush nasabah, seperti yang terjadi pada

periode 1997-1998 lalu. Krisis pada sektor perbankan Indonesia ini ditunjukkan melalui

angka Banking Pressure Index (dikeluarkan Danareksa Research Institute) di Indonesia

44 Bank Indonesia, Krisis Global, op. cit., h. 7. 45 Ibid, h. 9.

Page 28: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

27

yang memasuki ambang batas kritis pada Oktober 2008, yaitu sebesar 0,9 atau lebih

tinggi dari ambang normal 0,5 (Grafik VIIIb).

Grafik VIIIa (kiri): Capital Outflow Indonesia Periode 2007-2008.46

Grafik VIIIb (kanan): Banking Pressure Index Indonesia periode 1997-2009.

IV.2. Respon Pemerintah dan Bank Indonesia Menanggapi Krisis pada Sektor

Finansial Indonesia

Dalam menanggapi krisis yang terjadi di Indonesia pada sektor finansial akibat

terguncangnya perekonomian global, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) pun

mengeluarkan beberapa kebijakan. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dibagi menjadi

beberapa sektor seperti berikut.

IV.2.1. Penerbitan Tiga Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)

Pemerintah segera merespon situasi krisis pada sektor finansial dengan

mengeluarkan tiga macam PERPPU. Pertama, PERPPU No.2 Tahun 2008 tentang

Perubahan UU Bank Indonesia yang pada dasarnya bertujuan untuk memberi payung

hukum pada bank-bank nasional bila ada bank yang mengalami kesulitan likuiditas

untuk mendapatkan suntikan dana segar melalui mekanisme Fasilitas Pendanaan

Jangka Pendek (FPJP).47

Kedua, PERPPU No. 3 Tahun 2008, perihal perubahan atas

46 Bank Indonesia, Krisis Global, op. cit., h. 8. 47 Bank Indonesia, Krisis Global, op. cit., h. 11.

Page 29: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

28

UU Lembaga Penjamin Simpanan yang bertujuan untuk memberi rasa aman bagi

deposan untuk tidak segera memindahkan dana mereka ke tempat lain di saat terjadinya

krisis.48

Ketiga, PERPPU No.4 Tahun 2008, tentang Jaring Pengaman Sistem

Keuangan, untuk memberi jaminan adanya penyelesaian bila ada bank gagal yang

dinilai berdampak sistemik. PERPPU ini juga mengatur pembentukan Komite Stabilitas

Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan dan Gubernur BI

serta Sekretaris KSSK.49

IV.2.2. Upaya Penciptaan Ketersediaan Likuiditas Pasar

Permasalahan keringnya likuiditas dalam negeri akibat tingginya aliran dana

keluar merupakan masalah yang harus segera diatasi. Hal ini disebabkan karena

ketersediaan likuiditas merupakan faktor penting untuk mencegah penyebaran krisis

pada sektor finansial ke sektor riil yang membutuhkan aliran kredit untuk keperluan

usaha mereka. Dalam mengatasi masalah ketersediaan likuiditas pasar ini, pemerintah

dan BI mengeluarkan berbagai kebijakan, antara lain melalui upaya pemerintah

memberikan likuiditas tambahan kepada perbankan nasional melalui penempatan

rekening pemerintah pada bank-bank BUMN, pembekuan peraturan tentang „marked to

market‟ terhadap surat berharga untuk mencegah turunnya harga surat berharga yang

dimiliki oleh perusahaan efek dan reksa dana, upaya pemerintah mempercepat realisasi

belanja kementrian/lembaga sebesar Rp 25,9 triliun, dan berbagai kebijakan-kebijakan

lain yang bertujuan untuk menciptakan ketersediaan likuiditas dalam perbankan

nasional.50

Selain itu, penciptaan ketersediaan likuiditas pasar juga dilakukan melalui

pengaktifan Protokol Manajemen Krisis (Crisis Management Protocol, CMP) oleh

Bank Indonesia. Pengaktifan CMP ini memberi sinyal pada publik bahwa situasi

perbankan nasional memang sedang genting. Melalui CMP ini, berbagai laporan data

dan informasi pada sektor moneter dan perbankan dimonitor secara intensif. Protokol

inilah yang kemudian melatarbelakangi dilakukannya simulasi terhadap ketahanan

industri perbankan dalam menghadapi gejolak ekonomi moneter.51

Simulasi ketahanan

48 Ibid, h. 12. 49 Ibid. 50 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, op. cit., h. 27. 51 Bank Indonesia, Krisis Global, op. cit., h. 13-14.

Page 30: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

29

likuiditas perbankan dilakukan terhadap sampel 15 bank besar, 18 bank menengah dan

5 bank kecil. Tidak hanya dilakukan untuk menguji ketahanan likuditas perbankan

nasional, simulasi ini juga menguji fluktuasi suku bunga, fluktuasi nilai tukar dan

kenaikan jumlah kredit bermasalah. Melalui simulasi ini, diharapkan BI dapat mulai

memantau bank-bank yang berpotensi mengalami masalah terhadap kondisi

perekonomian secara umum.

IV.2.3. Upaya Menjaga Kesinambungan Devisa dan Neraca Pembayaran

Kesinambungan devisa dan neraca pembayaran ini sangat diperlukan untuk

mencegah krisis agar tidak meluas ke seluruh sektor ekonomi. Dengan melakukan

berbagai upaya tepat untuk mencegah defisit dalam neraca pembayaran, diharapkan

roda perekonomian dapat terus berputar sehingga pada akhirnya perekonomian

Indonesia dapat sembuh dari krisis. Upaya ini dilakukan melalui beberapa cara52

:

1. mendorong masuknya Foreign Direct Investment (FDI) melalui perbaikan iklim

usaha secara nyata;

2. mencari pembiayaan defisit anggaran dari sumber non-pasar dari luar negeri, antara

lain melalui lembaga multilateral (World Bank, IDB, JBIC), bilateral dan

Sovereign Wealth Fund;

3. mengupayakan “swap facility” dengan bank sentral negara lain, antara lain Bank of

China, Bank of Japan, Monetary Authority of Singapore;

4. merealisasikan “Asian Bond Agreement” dalam kerangka Chiang Mai Initiative;

5. memberlakukan wajib lapor terhadap setiap pembelian USD dalam jumlah besar,

untuk mencegah terjadinya spekulasi Dollar;

6. mencegah masuknya short-term capital dalam jumlah besar;

7. mengurangi impor barang konsumsi, dan berbagai upaya lainnya.

IV.2.4. Upaya Menjaga Kesinambungan APBN 2009/2010

52 Tim Asistensi Sosialisasi Kebijakan Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, op. cit., h. 27-

28.

Page 31: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

30

Pemerintah juga melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesinambungan

APBN, tidak hanya untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang positif, tapi juga

untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat di tengah iklim krisis ini. Upaya tersebut

dilakukan melalui53

:

1. penambahan belanja atau fokus belanja untuk sektor-sektor yang berdampak besar

pada pertumbuhan penciptaan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan;

2. perancangan pembiayaan darurat dari pinjaman luar negeri antara lain melalui

private replacement pada lembaga sovereign wealth funds, lembaga multilateral

dan bilateral, serta ASEAN+3;

3. melakukan relaksasi dan tarif pajak untuk beberapa sektor krusial, misalnya

minyak kelapa sawit.

IV.2.5. Kebijakan untuk Menjaga Kestabilan Nilai Tukar

Kebijakan nilai tukar erat kaitannya dengan arah kebijakan moneter. Bank

Indonesia akan tetap konsisten menerapkan kebijakan nilai tukar yang fleksibel

sehingga pergerakan nilai tukar sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi

Indonesia.54

Guna menjaga volatilitas nilai tukar rupiah, Bank Indonesia juga

melakukan intervensi di pasar valuta asing.55

Pada akhirnya, berbagai langkah untuk

menstabilkan nilai tukar rupiah tersebut ditujukan untuk mendukung upaya pencapaian

sasaran tingkat inflasi yang telah ditetapkan dan mengarahkan ekspektasi inflasi pelaku

ekonomi kepada sasaran inflasi tersebut.

Kebijakan yang ditempuh untuk menstabilkan nilai tukar rupiah selama tahun

2007 dijalankan melalui kebijakan pengelolaan nilai tukar yang tetap diarahkan untuk

menjaga konsistensinya dengan pencapaian keseimbangan internal dan eksternal

perekonomian. Dalam kaitan tersebut, kebijakan intervensi di pasar valuta asing tetap

dilakukan secara terukur untuk menjaga volatilitas nilai tukar. Hal tersebut tercermin

pada volatilitas rupiah yang secara tahunan menurun dari 3,9% pada tahun 2006

53 Ibid, h. 28. 54 Bank Indonesia, Menjaga Stabilitas, Mendukung Pembangunan Ekonomi Negeri: Laporan Perekonomian Indonesia 2007, (Jakarta: Bank Indonesia, 2008), hal. 195. 55 Ibid.

Page 32: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

31

menjadi 1,4% pada tahun 2007.56

Selain kebijakan intervensi, Bank Indonesia juga

melakukan penguatan strategi komunikasi serta peningkatan efektivitas peraturan

kehati-hatian dan pemantauan lalu lintas devisa.

Pada intinya untuk mengatasai volatilitas nilai tukar rupiah akibat krisis

finansial 2007/2008, Bank Indonesia berupaya menjaga agar volatilitas nilai tukar yang

terjadi di pasar tidak berlebihan. Dalam kaitan ini, BI mengoptimalkan penggunaan

instrumen moneter yang ada, disertai dengan aturan kehati-hatian untuk menghindari

munculnya ketidakstabilan sistem keuangan.57

Selain itu, pemerintah juga mendorong

penguatan nilai tukar rupiah secara fundamental melalui penguatan sisi eksternalnya,

yaitu melalui neraca pembayaran dan cadangan devisa. Neraca pembayaran Indonesia

mencapai surplus sekitar USD 12 miliar dan didukung pula oleh surplusnya transaksi

berjalan dan transaksi modal dan finansial.58

Cadangan devisa di akhir tahun 2009 pun

tercatat sebesar USD 66,1 miliar atau setara dengan kemampuan Indonesia untuk

mengimpor selama 6 bulan ditambah kemampuan membayar seluruh hutang luar negeri

pemerintah.59

IV.3. Hasil dari Kebijakan Pemerintah dan Bank Indonesia: Kondisi Sektor

Finansial Indonesia pada Akhir 2009

Setelah penulis membahas mengenai berbagai respon kebijakan yang diambil

pemerintah dan Bank Indonesia dalam menyikapi krisis pada sektor finansial Indonesia

yang diakibatkan memburuknya kondisi perekonomian internasional paska krisis

finansial global, bagian ini akan membahas mengenai hasil dari kebijakan pemerintah

dan Bank Indonesia tersebut dari berbagai data finansial pada akhir tahun 2009.

56 Ibid, hal.71. 57 Dr. Darmin Nasu, Menata dan Memperkuat Perbankan Indonesia, Menyongsong Pemulihan Ekonomi Global, diakses dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/A88FB08E-6901-4820-B4E6-3B177F7D95A1/18673/BD2010_Pidato_Pjs_Gubernur_BI.pdf, pada tanggal 4 Mei 2010, pukul 21.16 WIB, hal. 5. 58 Ibid, hal.2-3. 59 Ibid.

Page 33: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

32

IV.3.1. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Rupiah

Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dan BI pada akhirnya

mendatangkan dampak positif berupa kembali terciptanya penguatan harga saham di

pasar modal domestik (yang ditunjukkan melalui grafik IHSG) dan timbulnya apresiasi

nilai tukar Rupiah terhadap Dollar (Grafik IXa). Selain itu, Rupiah pun semakin stabil,

yang ditunjukkan melalui tingkat volatilitasnya pada akhir 2009 (Grafik IXb).

Grafik IXa (kiri): Indeks Harga Saham Gabungan dan Nilai Tukar Rupiah Periode 200960

Grafik IXb (kanan): Volatilitas Rupiah Periode 200961

IV.3.2. Credit Default Swaps (CDS)

Pada November 2008, CDS Indonesia mencapai angka tertinggi, yang

menunjukkan betapa berisikonya Indonesia di mata para investor. Akan tetapi berkat

berbagai kebijakan dan respon pemerintah dan BI, menjelang akhir tahun 2009, CDS

Indonesia semakin stabil pada angka yang rendah. Hal ini menunjukkan terjadinya

penurunan risiko Indonesia di mata investor (Grafik X).

60 Ibid, h. 52 61 Ibid.

Page 34: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

33

Grafik X: Credit Default Swaps (CDS) Periode Januari 2008-November 200962

IV.3.3. Cadangan Devisa

Jika pada November 2008, cadangan devisa Indonesia sempat mencapai titik

yang sangat rendah, yaitu 50,18 milyar USD, kebijakan dan respon yang diambil

pemerintah dan BI pada akhirnya menyebabkan cadangan devisa Indonesia kian stabil

dan meningkat, hingga mencapai angka 65,54 milyar USD pada November 2009

(Grafik XI).

Grafik XI: Cadangan Devisa Indonesia yang Kembali Stabil pada Akhir 2009

62 Ibid, h. 53.

Page 35: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

34

Berbagai data dan indikator di atas menunjukkan, fase kritis pada sektor

finansial Indonesia sudah berhasil terlewati. Walaupun belum mencapai angka yang

sepositif sebelumnya, sektor finansial Indonesia jelas sudah bergerak ke arah yang

benar. Dalam hal ini, respon dan kebijakan yang cepat dari pemerintah dan Bank

Indonesia memegang peranan penting.

IV.4. Analisis

Jika merujuk kembali pada pembahasan di atas, dapat kita tarik satu kesimpulan

bahwa pada dasarnya Indonesia tidak terimbas terlalu dalam dari hiruk pikuk krisis

finansial global. Memang ada beberapa sektor, terutama sektor keuangan yang cukup

tergoncang. Akan tetapi, jika berdasar laporan upaya penanggulangan dari BI terhadap

situasi yang ada, maka kondisi sektor keuangan Indonesia dengan (cukup) tepat dapat

diantisipasi melalui serangkaian kebijakan yang telah disebutkan di atas dari

keterpurukan lebih parah. Hal ini kemudian berdampak pada kembali normalnya

(terutama) tingkat pertumbuhan ekonomi, laju inflasi dalam negeri Indonesia, cadangan

devisa yang membaik, iklim investasi yang makin kondusif.

Untuk dua hal yang disebutkan terakhir di atas, ada beberapa catatan yang perlu

dilihat di luar data-data grafik yang disajikan sebelumnya. Indikator membaiknya

cadangan devisa dan iklim investasi tidak dapat dipisahkan dari peristiwa besarnya,

yaitu krisis finansial global itu sendiri. Sebagaimana disebutkan di bagian kerangka

konsep sebelumnya, menurut Fratzscher (2002) tentang contagion effect yang dapat

terjadi dalam dua jalur, yakni jalur perdagangan (trade link) dan jalur finansial

(financial link). Jalur finansial ini dalam istilah Prasetyantoko disebut jalur aliran

modal (capital channel) yang umumnya dikategorikan sebagai modal jangka pendek.63

Logika pada jalur perdagangan telah dijelaskan di bagian kerangka konsep. Sementara

itu, untuk jalur aliran modal mengikuti logika sebagai berikut: karena prospek

perekonomian AS menurun, maka kinerja perusahaan juga akan menurun. Akibatnya,

harapan para investor terhadap emiten (perusahaan yang tercatat di bursa saham) akan

menurun pula, sehingga mereka memilih mengalihkan dananya ke pasar modal di

kawasan lain yang tidak terkena dampak langsung.

63

Prasetyantoko, op.cit, hal. 174 – 189.

Page 36: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

35

Hal inilah yang perlu diwaspadai. Iklim investasi yang membaik harus ditelaah

lebih dalam apakah investasi yang ada banyak dalam bentuk investasi sektor rill (dalam

bentuk FDI dan utang jangka panjang) atau justru dalam bentuk surat berharga. Jenis

terakhir ini dikategorikan sebagai uang panas (hot money) yang mana sewaktu-waktu

dapat dibawa ke luar negeri jika terdapat tempat investasi yang lebih menjanjikan

investor selain karena keraguan akan stabilitas perekonomian dalam negeri. Dalam

kenyataannya ternyata memang demikian. Indeks Bursa Efek Indonesia (BEI) justru

mengalami peningkatan tajam ketika terjadi risiko resesi perekonomian AS. Dalam

jangka pendek, tentu hal itu cukup menguntungkan, tetapi cukup berisiko dalam jangka

panjang karena dana tersebut dapat hilang tiba-tiba.

Selain mewaspadai pesatnya perkembangan bisnis di sektor keuangan dan

derivasinya, juga perlu diperhatikan persoalan kebijakan nilai tukar Indonesia. Jika

dalam grafik sebelumnya ditampilkan keadaan rupiah yang sangat mudah terdepresiasi,

maka cukup perlu diperhatikan pilihan-pilihan kebijakan nilai tukar tertentu. Apa yang

sudah dilakukan BI sejauh ini cukup baik dalam mengintervensi stabilitas nilai tukar

rupiah dan kontrol atas valuta asing. Hal ini sesuai dengan konsep tentang krisis nilai

tukar yang menjadi akar krisis keuangan. Disebutkan bahwa kebebasan sektor

keuangan harus terkontrol terutama dalam kaitannya dengan perdagangan valuta asing.

Namun, pakar ekonomi internasional dan kebijakan moneter dari Universitas

John Hopkins, AS, Steve Hanke menilai sistem nilai tukar intermediate yang dianut

Indonesia saat ini dianggap berbahaya. Sebab sistem tersebut mencampurkan kebijakan

moneter dan nilai tukar. Hanke mengatakan bahwa untuk negara berkembang, idealnya

menggunakan sistem tukar nilai tetap (fixed exchange rate).64

Menurut Steve, kebijakan

nilai tukar intermediate yang diterapkan Indonesia berbeda dengan sistem di Amerika

Serikat. Negara adidaya yang kini dilanda krisis tersebut menggunakan sistem pure

exchange rate dimana The Fed hanya memiliki kebijakan moneter dan tidak mengatur

kebijakan nilai tukar. Pada bagian lain, Hanke juga menilai terdapat dua skenario yang

mungkin terjadi terhadap perekonomian Indonesia akibat dampak krisis di AS.

Skenario pertama adalah deflasi yang dianggap kondisi popular dan fashionable.

Sedangkan skenario kedua adalah reinflasi perekonomian.

64 Disamapaikan dalam kuliah umum bertema How Bad Indonesia's Monetary Mess di Hotel Aryaduta, Jakarta, Rabu 18 Februari 2009, http://bisnis.vivanews.com/news/read/31376-hanke__sistem_nilai_tukar_indonesia_berbahaya.

Page 37: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

36

IV.5. Lesson Learned

Setidaknya terdapat 4 (empat) poin penting yang menjadi pembelajar berharga dalam

peristiwa krisis finansial global 2008 lalu. Pertama, peristiwa ini semakin menegaskan

kembali akan bahaya sistem perekonomian bebas tanpa kontrol, terutama di sektor

keuangan. Kerawanan sektor keuangan ini terutama diakibatkan faktor instabilitas yang

memang sudah inheren dalam uang itu sendiri. Selain itu, hal itu kemudian berpadu

dengan persoalan moral hazard dari para spekulan yang hanya mengejar keuntungan.

Kedua, fungsi kontrol yang disebutkan di sini mengimplikasikan adanya penguatan

kembali unsur negara dalam melakukan regulasi perekonomian. Krisis finansial 2008,

juga krisis-krisis lain sebelumnya, menegaskan bahwa pasar pada dasarnya tidak

mampu meregulasi dirinya sendiri sehingga intervensi pemerintah menjadi satu

keniscayaan. Intervensi ini dapat dilakukan secara individu (masing-masing negara

dalam kebijakan domestiknya) maupun secara kolektif di tataran regional maupun

internasional. Ketiga, Krisis finansial yang diawali dengan krisis nilai tukar menuntut

kejelian dan kemauan politik pemerintah untuk memilih penerapan kebijakan nilai

tukar mata uangnya terhadap dolar AS. Untuk kasus Indonesia, seperti diutarakan

Hanke, baiknya Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap (fixed exchange rate).

Keempat, sekalipun pada proses pemulihan perekonomian Indonesia gejala positif

sudah tampak, seperti membaiknya cadangan devisa, menguatnya kembali nilai rupiah,

laju inflasi yang rendah, dan tingginya minat investor, hal substansial lain yang perlu

diperhatikan adalah terkait jenis modal yang masuk ke Indonesia, apakah hot money

atau bukan. Sebab, jika jenis pertama yang terjadi, maka hal itu justru membahayakan

pondasi perekonomian Indonesia itu sendiri. Hal ini terkait dengan hubungan sektor riil

dengan sektor finansial.

Perkembangan global tidak terlalu banyak memberi pilihan bagi pengambil kebijakan.

Dominasi sektor keuangan yang telah sampai pada taraf sebagai “perangkap” tak dapat

lagi dihindari. Jelasnya, terdapat keterputusan hubungan antara sektor finansial dan

sektor riil sehingga di satu sisi sektor finansial dapat melesat dengan cepat, sementara

di sisi lain, sektor riil tetap mengalami situasi sulit dan tidak berkembang.

kecenderungan global ini dapat terlihat dalam dinamika ekonomi Indonesia. Terdapat 2

(dua) hal yang bisa dikemukakan, yaitu pertama, sejak beberapa tahun sejak krisis 1997

– 1998, sektor-sektor perekonomian yang tumbuh subur hanya sektor nonproduktif

Page 38: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

37

(non-traded) atau sektor jasa, bukan sektor produktif yang secara riil berdampak pada

peningkatan kesempatan kerja. Kedua, setiap peluncuran Obligasi Negara Ritel (ORI)

selalu dibanjiri peminat. Demikian pula dengan produk turunannya yang lain.

Kenyataan ini menunjukkan betapa macetnya sektor dunia usaha di Indonesia, sehingga

menanamkan uang pada investasi produk-produk keuangan tetap lebih menguntungkan

daripada membuka usaha riil. Contoh konkretnya adalah dalam melihat geliat daya beli

masyarakat yang meningkat. Ternyata cara memperoleh dan digunakan untuk apa

menunjukkan bahwa pembelian tersebut tidak ditujukan untuk kepentingan usaha riil.

Misalnya, masyarakat membeli barang dari kemudahan perbankan memberikan fasilitas

kredit, apalagi adanya perusahaan pembiayaan (multifinance). Industri reksa dana

(mutual funds) juga mengalami perkembangan yang sangat cepat karena memberikan

imbal hasil yang sangat tinggi dalam waktu tidak terlalu lama.

IV.6. Arsitektur Finansial Baru

Krisis Finansial yang melanda hampir seluruh bagian dunia, menandakan ada

yang salah dengan arsitektur finansial saat ini yang menyebabkan krisis menular begitu

cepat dan semakin membesar. Oleh karena itu dibutuhkan rancangan arsitektur

finansial baru yang dapat mengatasi atau setidaknya meminimalisasi dampak negatif

dari krisis. Yang dibutuhkan saat ini adalah sistem finansial yang efisien dan memiliki

pengaturan yang baik.65

Negara-negara di dunia sebelumnya telah berupaya untuk

menyatukan kekuatan dan mengumpulkan ide dari berbagai latar belakang tingkat

ekonoi melalui forum G20 yang juga melibatkan Indonesia di dalamnya. Dalam forum

internasional ini, Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia Tenggara yang

diikutsertakan. Terlepas dari berbagai asumsi berbeda mengenai keberadaan Indonesia

dalam forum tersebut, setidaknya Indonesia dapat menymbangkan pemikirannya dan

ikut berkontribusi dalam perbaikan ekonomi dunia.

Dalam G20 Summit di Washington DC 15 November 2008 lalu, Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato kenegaraan yang menyebutkan

pandangan Indonesia mengenai arsitektur finansial yang diperlukan guna menghadapi

65 Statement by Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, President of Republic of Indonesia, at G-20 Summit, Washington DC, 15 November 2008. Diakses dari http://www.insouth.org/index.php?option=com_publicationz2&publication.

Page 39: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

38

krisis global. Tindakan harus dilaksanakan secara berkesinambungan di tingkat

nasional, regional, dan global. Berikut ini adalah petikan pidato Presiden Yudhoyono

dalam G20 Summit tersebut:66

At the national level, like all other countries, Indonesia has quickly responded

to the crisis, among others, by ensuring the availability of liquidity in the system,

providing guarantees to maintain confidence in the banking sector. We also

took necessary steps to unlock the credit crunch, including for trade financing,

which is already affecting trade flows. Through fiscal and budgetary measures,

we also provided social safety net to mitigate the impact of the financial crisis

to the poorest segments of society. Learning from the crisis a decade ago where

we lacked confidence, trust and coordination, we have also made sure that our

response, both fiscal and monetary, brings together all the stake-holders,

including the Central bank and business.

At the regional level, ASEAN and ASEAN plus 3 countries must better

synchronize their policies, including Chiang Mai Initiative (CMI), which is a

form of self-help reserve policy. This is necessary to ensure the continued flow

of trade and investment in our region.

At the global level, we must do all we can to mitigate the damaging effects of

this crisis to emerging market economies and less developing countries.

Developed countries have better resources to undertake counter-cyclical

measures to restore global growth, and this will very much help sustain their

trade and investment in developing countries. The developing countries must

also be able to carry out effective fiscal spending in the critical areas of

infrastructure development, job creation, poverty reduction and other

development goals.

Dalam pertemuan tersebut, Indonesia juga mengusulkan pembentukan Global

Expenditure Support Fund, yakni semacam lembaga penyedia dana bagi negara-negara

yang sedang dalam masa pemulihan dari krisis agar dapat segera bangkit dari

keterpurukan. Lembaga ini disokong dari bantuan dana dari negara-negara maju,

sehingga dapat membantu kesulitan likuiditas yang dialami oleh negara

miskin/berkembang yang membutuhkan dana dan tidak mampu menyediakannya

sendiri untuk keluar dari krisis.

Krisis global yang terjadi saat ini membutuhkan upaya bersama, baik dari

negara maju, emerging economy, maupun developing countries yang saling

bekerjasama dan menggalang kekuatan yang menunjukkan komitmen dalam

penanggulangannya. Upaya tidak bisa hanya dilakukan oleh salah satu pihak saja,

karena krisis saat ini telah bersifat global dan diprediksi akan berlangsung dalam waktu

66 Ibid.

Page 40: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

39

yang tidak singkat. Untuk itu, lagi-lagi kerjasama menjadi sesuatu yang sangat

ditekankan dalam hal ini.

Sebagai negara yang relatif memiliki persiapan dalam sektor finansial yang

baik, sektor keuangan Indonesia relatif lebih stabil dibanding negara G20 lainnya dan

karenanya, krisis finansial global tidak terlalu menghancurkan perekonomian Indonesia

secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut, wajarlah bila kiranya keberadaan

Indonesia dalam berbagai forum G20 yang membahas mengenai krisis global disambut

baik oleh negara-negara G20 lainnya. Dalam pertemuan G20 pada November 2008 di

Sao Paulo yang memfokuskan pembahasan pada krisis keuangan global, Indonesia

mengajukan usul pembentukan mekanisme dukungan pembangunan bagi negara-negara

berkembang dalam mengatasi krisis keuangan internasional. Skema ini dinamakan

skema dana siaga global (global budget fund). Adapun mekanisme dana talangan ini

diajukan untuk memberikan pinjaman jangka pendek pada negara berkembang yang

terkena dampak dari krisis yang menimpa negara maju. Bantuan ini diberikan tanpa

persyaratan bagi negara yang memiliki reputasi dan kebijakan keuangan yang baik.

Usulan pembentukan mekanisme dana talangan ini mendapat respon positif dari

negara-negara G20. Lebih lanjut lagi, mekanisme bantuan ini telah disepakati oleh

Bank Dunia, bank pembangunan kawasan serta IMF.

Lebih lanjut lagi, dalam pertemuan para pemimpin negara G20 di Washington

DC, 14-15 November 2008, Indonesia mengusulkan untuk menambah likuiditas

keuangan di emerging economies yang memiliki track record dan kebijakan ekonomi

yang baik melalui mekanisme bilateral, regional swap (seperti ASEAN+3) maupun

multilateral tanpa kondisionalitas yang bersifat terlalu mengekang. Indonesia juga

mendukung adanya stimulus dan ekspansi fiskal bagi negara-negara yang memiliki

surplus likuiditas seperti China, Jepang, Australia, dan Singapore. Dalam pertemuan ini,

Indonesia dan negara-negara G20 lain juga sepakat untuk melakukan reformasi

lembaga keuangan internasional, melalui penguatan Financial Stability Forum yang

secara efektif melakukan pengendalian risiko keuangan dan secara rutin melakukan

early warning system.67

67

Badan Kebijakan Fiskal, Pers Briefing: 50 Langkah Penyelamatan Ekonomi Dunia dan Manfaat bagi

Indonesia; Deklarasi Pemimpin Negara G20 di Washington DC, 14-15 November 2008.

http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/siaranpers/siaranpdf%5CPers%20Briefing%20G20.pdf

Page 41: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

40

Sehubungan dengan pertemuan G20 yang akan diadakan pada 24-25 Juni 2010

mendatang di Toronto, pada tanggal 11 Maret 2010, Direktorat Jenderal Multilateral

Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan acara Curah Gagasan: Indonesia dan

arah ke Depan G20 Pasca Krisis Ekonomi Global, di Hotel Melia Pulosari,

Yogyakarta. Acara curah gagasan ini juga dihadiri oleh 4- pemangku kepentingan dari

10 kementrian dan lembaga pemerintahan, hadir pula wakil dari CSIS selaku nara

sumber dari sisi masyarakat sipil. Pertemuan ini pada dasarnya bertujuan untuk

membahas posisi dan kepentingan Indonesia, untuk kemudian diajukan dalam KTT

G20 bulan Juni mendatang. Hasil dari pertemuan itu adalah Indonesia setuju untuk

lebih memaksimalkan posisinya dalam merumuskan Framework for Strong Sustainable

and Balanced Growth G20 untuk mendorong kepentingan negara berkembang,

khususnya penetapan isu pembangunan sebagai tema penting untuk pertumbuhan

ekonomi global. Selama ini, Indonesia telah mendorong terciptanya fasilitas keuangan

yang mendukung kebutuhan negara berkembang seperti pembentukan pemberdayaan

Multilateral Development Banks (MDBs), Flexible Credit Line (FCL), dan Deferred

Drawdown Options (DDO).68

68

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Curah Gagasan: Indonesia dan Arah ke Depan G20 Pasca

Krisis Ekonomi Global, Jogjakarta, 11-12 Maret. http://www.indonesia.go.id/id/index.php?

option=com_content&task=view&id=12242&Itemid=683

Page 42: Instabilitas Sektor Finansial Indonesia Paska-Krisis Finansial Global 2007, Menemukan Kembali Penguatan Peran Pemerintah Dan Bank Indonesia Dalam Meregulasi Sektor Finansial

41

BAB V

KESIMPULAN

Krisis finansial global yang terjadi di akhir 2007 secara substansial memang

tidak berpangaruh serius terhadap perekonomian Indonesia. Hanya saja, sektor

keuangan perlu mendapat sorotan tersendiri oleh karena pada paruh kedua tahun 2008,

sektor finansial Indonesia mengalami penurunan yang cukup signifikan, yang ditandai

dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar, menurunnya harga-harga saham

di pasar domestik, menurunnya cadangan devisa, dan meningkatnya risiko kredit

Indonesia yang ditunjukkan dalam CDS. Hal ini tentunya membutuhkan penanganan

yang cepat dari pemerintah dan BI selaku otoritas yang menangani sektor finansial

Indonesia. Dalam batas-batas tertentu, apa yang telah dilakukan pemerintah dan BI,

telah berhasil memulihkan atau menstabilkan kembali sektor financial Indonesia yang

sempat terpuruk. Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan BI adalah

dikeluarkannya tiga macam PERPPU, upaya penciptaan ketersediaan likuiditas pasar,

upaya menjaga kesinambungan devisa dan neraca pembayaran, serta menjaga

kesinambungan APBN 2009 – 2010.

Namun, sekalipun proses recovery sektor finansial cukup berhasil, ada masalah-

masalah struktural dalam konteks krisis finansial itu sendiri yang perlu diwaspadai.

Bahwa cadangan devisa dan tingkat investasi Indonesia membaik, sehingga nilai rupiah

menguat terhadap dolar merupakan indikasi yang baik, tetap diperhatikan apakah arus

modal yang masuk ke Indonesia itu termasuk jenis hot money atau bukan. Sebab, jika

itu terjadi, bukan tidak mungkin kondisi yang sudah baik akan berubah menjadi

kembali terpuruk secara tiba-tiba ketika para pemilik modal melihat ada tempat lain

yang lebih menguntungkan di samping indikasi kerawanan sektor keuangan Indonesia.

Oleh karena itu, dalam jangka panjang, Indonesia harus serius mengendalikan

dan meregulasi sektor keuangan ini agar ekonomi Indonesia tidak digerakkan oleh

bisnis produk keuangan dan derivasinya, melainkan disalurkan ke sektor riil.

Mengingat instabilitas sektor keuangan yang luar biasa.