IMPLEMENTASI KESESUAIAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG...
Transcript of IMPLEMENTASI KESESUAIAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG...
IMPLEMENTASI KESESUAIAN PENERAPAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DI
LAZISNU
S K I P S I
“Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menmperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.)”
Oleh:
Oleh:
MUHAMMAD SYUKRON AMIN
11140460000117
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440 H
v
ABSTRAK
Muhammad Syukron Amin, NIM. 11140460000117. “Implementasi
Kesesuaian Penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang
Pengelolaan Zakat di LAZISNU”, Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah,
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakata, 2019 M/1440 H.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (a) sistem pengelolaan zakat
menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat; (b)
pengaruh Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat di
LAZISNU . Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
Undang-undang ini memberikan dampak positif terhadap kemajuan pranata
keagamaan dalam pengelolaan zakat, baik BAZNAS maupun LAZNAS memiliki
posisi yang strategis dalam menggali potensi zakat yang begitu besar yang ada di
Indonesia. Kehadiran Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun2014 tentang
pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat.
LAZISNU sebagai bagian dari objek Undang-undang ini telah menjalankan tugas
dan fungsinya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya sertifikasi ISO:9001
yaitu telah lulus manajemen mutu tingkat internasional. Keberadaan LAZISNU
diharapkan mampu memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia dan
menanggulangi kemiskinan secara profesional.
Kata kunci : Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat, LAZISNU, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014
Pembimbing : AM. Hasan Ali, M.A.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. Tuhan seluruh alam
yang telah memberikan segala kenikmatan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga
skripsi ini berhasil diselesaikan. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah membimbing umat manusia ke jalan
yang penuh dengan ridho-Nya.
Skripsi ini berjudul “Implementasi Kesesuaian Penerapan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU”, ditulis sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.).
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat bantuan semua pihak, oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Prof. Amany Burhanuddin Lubis M.A., selaku rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. AM. Hasan Ali, M.A. selaku dosen pembimbing dan Ketua Program Studi
Hukum Ekonomi Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
meluangkan waktu, tenaga dan fikirannya selama membimbing penulis.
4. Dr. Muhammad Maksum, M.A. selaku dosen pembimbing akademik yang
senantiasa mendukung dan mengarahkan penulis selama melakukan
perkuliahan hingga menyelesaikan skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum dan seluruh
civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
vii
mengajarakn ilmu dan pengalaman kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum.
6. Kepada LAZISNU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk dapat melakukan penelitian dilembaga ini, semoga LAZISNU
semakin maju dan dapat menjangkau lebih banyak lagi mustahik zakat
yang ada di pelosok negeri ini.
7. Bapak Muhadi dan Ibu Zukayah serta Mbak Novi, Mas Burhan, Washfa
dan Mecca tersayang yang telah mendukung dan mengerahkan segalanya
demi tercapainya cita-cita penulis. Rasanya tak ada yang mampu
menandingi kasih sayang keluarga dimanapun kita berada, semoga kelak
kita dikumpulkan Allah di Surga-Nya.
8. Ustadz Afdholi AR dan keluarga yang telah membantu penulis, baik
dukungan secara moril dan materil sehingga penulis dapat menyelesaikan
perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Muhammad Ridwan Zein selaku pengurus LAZISNU yang telah
membantu penulis dalam mengumpulkan data dan informasi secara detail,
semoga senantiasa diberikan kesehatan dan keberkahan oleh Allh Swt.
10. Teman-teman Native C yang senantiasa menemani dari awal masuk
kampus sampai saat ini, semoga silaturrahim kita tetap terjaga sampai
nanti.
11. Teman seperjuangan skripsi Dzaky Royhan, Wahyu Fahmi Rizaldi, Dede
Ihsanudin, Opet, Fajar, Mang Acep dan Pak Iwan yang telah mendukung
dan memberikan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan
skripsi ini.
12. Dragon ball Dzulkarnaen, Alim, Habib, Riza, Rahman dan Tiwi yang telah
memberikan pencerahan dikala masalah menghadang, semoga
kebersamaan kita tetap terjalin sampai akhir nanti.
13. Nanda, Rusdan, Dea, Yusti dan Alfiya yang telah memberikan warna
dalam roda kehidupan penulis, semoga persahabatan kita tak lekang oleh
waktu.
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………….…………ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………….…………iii
LEMBAR PERNYATAAN…………………………………….………………iv
ABSTRAK………………………………………………………..………...……v
KATA PENGANTAR……………………………………………………..…...vi
DAFTAR ISI…………………………………………………………………....ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah………………………………………..……….…1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah………………………….4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………....6
D. Rancangan Sistematika Penulisan…………………………………….…..7
BAB II KAJIAN TEORITIS, TINJAUAN KAJIAN TERDAHULU DAN
KERANGKA TEORI KONSEPTUAL
A. Kajian Teoritis Zakat dan Problematikanya…………………………….…8
1. Pengertian Zakat…………………………………………………….....8
2. Sejarah Disyari’atkannya Zakat…………………..………………….13
3. Dasar Hukum Zakat………………………………………………….25
4. Macam-macam Zakat………………………………………………...28
5. Muzakki dan mustahiq…………………………………………….....30
6. Hikmah Zakat……………………………………………………..….32
B. Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat……………………………………34
1. Urgensi Lembaga Pengelola Zakat…………………………………..34
2. Persyaratan Lembaga Pengelola Zakat………………………………36
C. Tinjauan Kajian Terdahulu………………………………………………39
D. Kerangka Teori dan Konseptual…………………………………………40
x
BAB III GAMBARAN UMUM LAZISNU DAN METODOLOGI
PENELITIAN
A. Gambaran Umum LAZISNU……………………………………...….….45
1. Sejarah Berdirinya LAZISNU…………………………………..……45
2. Legalitas Hukum……………………………………………………..46
3. Maksud dan Tujuan…………………………………………..………46
4. Visi dan Misi…………………………………………………………47
5. Struktur Organisasi…………………………………………………...47
6. Fungsi dan Tugas Pokok Organisasi………………………………....49
B. Metodologi Penelitian……………………………………………………50
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian……………………………………...50
2. Sumber Data………………………………………………………….51
3. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………...51
4. Analisis Data…………………………………………………..……..52
BAB IV IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZISNU
A. Pengumpulan Zakat………………………………………………………53
B. Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat……………………………....57
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU………………..63
D. Indikator Kesesuaian Penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat……………………………………………….64
E. Analisis SWOT…………………………………………………………...66
BAB V PENUTUP
A. Simpulan…………………………………………………………………69
B. Saran……………………………………………………………………..70
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..….....71
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam merupakan agama rahmatan lil alamin yang dibawa oleh Rosulullah
Muhammad Saw. dimana didalamnya telah diatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan (hablum minallah) dan hubungan antarmanusia (hablum minannas)
yang biasa disebut dengan muamalah. Muamalah secara umum merupakan suatu
interaksi antar umat manusia dalam kehidupan bermasyarakat, salah satunya
melalui kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi adalah kegiatan manusia dalam
rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.
Muamalah dalam islam telah diatur dalam sebuah sistem ekonomi, yaitu
sistem ekonomi islam. Menurut MA. Mannan “Ekonomi Islam adalah
pengetahuan dan penerapan perintah-perintah (Injuctions) dan tata cara (rules)
yang diterapkan oleh syariah yang mencegah terjadinya ketidakadilan dalam
penggalian dan penggunaan sumber daya material guna memenuhi kebutuhan
manusia yang memungkinkan mereka melaksanakan kewajibannya kepada Allah
dan masyarakat”1. Sedangkan menurut A.M. Al-Assal ekonomi islam adalah cara
bagaimana mengatur kehidupan perekonomian secara islami dan mempunyai
prinsip saling menguntungkan, sebagaimana para ahli mendefinisikan “Ekonomi
islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari
Al-qur‟an dan As-sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan
diatas landasan dasar-dasar keimanan dan moral sesuai dengan kondisi
lingkungan dan masa”2. Ekonomi islam menekankan kepada nilai-nilai keadilan
dan keseimbangan3, dari sistem ini diharapkan dapat terorganisir sedemikian rupa
sehingga harta tidak hanya digenggam oleh orang kaya saja tetapi bisa merata ke
1 M. Abdul Mannan. Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, (Yogyakarta, PT. Dana Bakti Wakaf, 1995)
2 Ahmad Muhammad Al-Assal, Al-Nizam Al-Iqtishad fi al-islam. Mabadi’uhu wa ahdafuhu ( Sistem
Ekonomi Islam, Prinsip dan Tujuannya), terj. H. Abu Ahmadi dkk, PT. Bina Ilmu Surabaya, 1980, hal. 11 3 Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikiran dalam fiqh kontemporer, Salemba Diniyah,
Jakarta, 2002, hal.2
2
semua orang, oleh karena dalam salah satu rukun islam diperintahkan untuk
menunaikan zakat.
Zakat menurut bahasa memiliki beberapa arti yaitu keberkahan,
pertumbuhan dan perkembangan. Sedangkan menurut istilah adalah sejumlah
harta dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh Allah SWT untuk
diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq) dengan
persyaratan tertentu pula.4 Zakat sebagai salah satu rukun islam yang ketiga
merupakan ibadah (perintah) yang di wajibkan kepada umat islam. Melalui firman
Nya Allah menyebut zakat secara bersamaan dengan perintah melaksanakan
shalat, hal ini menandakan bahwa begitu pentingnya shalat dan zakat. Jika shalat
merupakan ibadah ruhiyah, maka zakat adalah sebagai ibadah maaliyah dan
ijtima‟iyah (harta dan sosial)5. Zakat, infaq dan sedekah secara substantif adalah
bagian dari mekanisme keagamaan yang dimaksudkan untuk pemerataan
pendapatan bagi umat islam, dengan kata lain ketiga elemen tersebut merupakan
media untuk memperbaiki taraf kehidupan. Dengan demikian dana zakat, infaq
dan sedekah dapat diupayakan secara maksimal untuk memberdayakan ekonomi
masyarakat.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di
Indonesia pada bulan maret 2018 sebanyak 25,95 juta orang (9,82%). Jika
dibandingkan dengan bulan september 2017 yang berjumlah 26,58 juta orang
(10,12%), jumlah penduduk miskin bulan maret 2018 mengalami peurunan
sebesar 633,2 ribu orang. Berdasarkan data yang diperoleh BPS, penurunan
kemiskinan hampir terjadi di seluruh pulau di Indonesia. Apabila dirinci lebih
lanjut, penduduk miskin paling banyak masih terdapat di Pulau Jawa dengan
jumlah 13,34 juta jiwa (8,94 persen). Sementara di Pulau Sumatera ada 5,98 juta
jiwa (10,39 persen), Pulau Sulawesi ada 2,06 juta jiwa (10,64 persen), Pulau Bali
dan Nusa Tenggara ada 2,05 juta jiwa (14,02 persen), Pulau Maluku dan Papua
4 Didin Hafidhhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002, hal. 7
5 Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikiran dalam fiqh kontemporer, Salemba Diniyah,
Jakarta, 2002, hal.2
3
ada 1,53 juta jiwa (21,20 persen), dan di Pulau Kalimantan ada 980 ribu jiwa
(6,09 persen)6.
Badan Amil Zakat (BAZ) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) melalui
Undang-undang no. 23 tahun 2011 diharapkan mampu menjadi sarana bagi kaum
dhuafa untuk dapat menjawab problematika yang ada saat ini. Masuknya zakat ke
dalam ranah hukum positif di Indonesia, menandai era baru pemberdayaan pranata
keagamaan untuk kesejahteraan sosial yaitu dengan dibuatnya regulasi UU No. 38
tahun 1999 kemudian di amandemen dengan UU No. 23 tahun 2011 saat ini7.
Dengan demikian, kehadiran BAZ atau LAZ disamping bersifat kegamaan juga
ditempatkan dalam konteks cita-cita bangsa, yaitu membangun masyarakat yang
sejahtera, adil dan makmur. Oleh karena itu peningkatan daya guna BAZ atau
LAZ khususnya dalam pembangunan ekonomi mesti dilakukan.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, negara menjalankan tri
fungsi yaitu sebagai regulator, operator dan juga pengawas. BAZNAS
menjalankan fungsi regulator (pasal 7 ayat 1 huruf a, c dan d) sekaligus operator
(pasal 7 ayat 1 huruf b), sedangkan Kementerian Agama menjalankan fungsi
regulator (pasal 5 ayat 3, pasal 6 ayat 3, pasal 29 ayat 4, dan pasal 15) sekaligus
sebagai pengawas (pasal 34).
Jika melihat dari substansi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, ada
beberapa poin penting yang harus ditelaah lebih lanjut. Salah satunya mengenai
sentralisasi pengelolaan zakat yang dilakukan pemerintah melalui BAZNAS,
sedangkan kedudukan LAZ hanya sebagai perpanjangan tangan atau pembantu
dalam pengelolaan zakat. Seharusnya dengan adanya Undang-undang ini
diharapkan dapat menjadi acuan penting dalam pengelolaan zakat di Indonesia
kedepannya, akan tetapi pada kenyataannya dengan di amandemenkannya
Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat ini masih banyak
menuai protes dari berbagai elemen dan praktisi zakat di Indonesia. Apalagi
banyak munculnya penafsiran atas isi Undang-undang pengelolaan zakat yang
baru ini, sehingga mengakibatkan banyaknya pro-kontra mengenai isi dari
6 Www.bps.go.id, diakses pada 08 Oktober 2018
7 SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015, hlm. 155-166
4
Undang-undang pengelolaan zakat itu sendiri. Adanya Undang-undnag ini
diharapkan dapat menjawab masalah-masalah pengelolaan zakat di Indonesia,
bukan sebaliknya. Banyak harapan dari pihak LAZ terhadap Undang-undang No.
23 Tahun 2011, sehingga dapat memberikan solusi atas pengelolaan zakat yang
telah di amandemen dari Undang-undang No. 38 Tahun 1999.
LAZISNU sebagai Lembaga Amil Zakat (LAZ) memposisikan diri
sebagai lembaga yang memiliki komitmen keumatan dengan mengedepankan
kepentingan umat sebagai pola manajemen zakat dan memiliki posisi strategis
terkait pengelolaan zakat di wilayah warga Nahdhatul Ulama yang ada di
Indonesia. LAZISNU berdiri pada tahun 2004 sebagai sarana untuk membantu
masyarakat sesuai amanat Muktamar yang ke-31 di Asrama Haji Donohudan,
Boyolali, Jawa tengah. LAZISNU secara yuridis-formal dikukuhkan oleh SK
Menteri Agama No. 65/2005 untuk melakukan pengelolaan zakat, Infak, dan
Sedekah kepada masyarakat luas. LAZISNU merupakan lembaga nirlaba milik
perkumpulan Nahdhatul Ulama yang bertujuan berkhidmat dalam rangka
membantu kesejahteraan umat, mengangkat harkat sosial dengan
mendayagunakan dana zakat, infak, sedekah serta wakaf (ZISWAF). Dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, LAZISNU diharapkan
mampu memaksimalkan tugas dan fungsinya dalam pengelolaan zakat8.
Atas dasar kenyataan ini, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian, guna mengetahui tentang pengelolaan, pendistribusian dan evaluasi
pada Lembaga Amil Zakat LAZISNU dengan judul “Implementasi Kesesuaian
Penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di
LAZISNU”
B. Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
LAZISNU sebagai subjek hukum yang tercantum dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang pengelolaan zakat tentunya harus berpegang teguh
8 www.nucare.id
5
pada regulasi yang ada, namun dari semua pasal yang terangkum dalam Undang-
undang tersebut ada beberapa pertanyaan mendasar sebagai berikut:
a. Apakah seluruh BAZ atau LAZ sudah menerapkan implementasi Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2011?
b. Apakah seluruh pasal yang ada dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun
2011 sudah terimplementasi pada BAZ atau LAZ yang ada?
c. Seberapa besar penerapan presentase implementasi Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 yang sudah ada selama ini?
d. Apakah LAZISNU sudah mengimplementasikan penerapan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2011?
Pertanyaan diatas tentunya menjadi suatu identifikasi masalah yang kemudian
menjadi suatu kajian awal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut dalam
penelitian ini.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan diatas,
banyak masalah yang dapat dikaji dan diteliti. Namun agar penelitian ini lebih
terfokus dan sekaligus menghindari terjadinya kesimpang siuran dalam
pembahasan, maka masalah-masalah yang akan dikaji dan dianalisis dibatasi
seputar Implementasi Kesesuaian Penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU. Pembatasan tersebut dimaksudkan untuk
mendapatkan gambaran yang lebih konkrit tentang upaya yang dilakukan oleh
LAZISNU dalam mengimplemtasikan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah dijelaskan diatas dan
untuk memfokuskan penelitian ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut:
a. Bagaimana pengelolaan zakat menurut Undang-undang No. 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat?
6
b. Bagaimana kesesuaian penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat di LAZISNU?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang ingin dicapai
penulis dalam penelitian ini, maka penulis menjabarkan tujuan yang akan
dilakukan. Adapun penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
a. Mengetahui pengelolaan zakat menurut Undang-undang No. 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat.
b. Mengetahui kesesuaian penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat di LAZISNU.
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan pencerahan
dan daya guna bagi pihak-pihak terkait, yakni sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dapat menambah
khazanah ilmu pengetahuan di bidang hukum ekonomi syari‟ah dan dapat
memperkaya referensi dan literatur kepustakaan terkait dengan kajian
mengenai undang-undang zakat sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya, khususnya mengenai pengelolaan dana zakat sesuai ketentuan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011.
b. Manfaat praktis
Adanya penambahan trust (kepercayaan) dari masyarakat
(muzakki) yang ingin menyalurkan zakat, infak, sedekah dan wakafnya di
LAZISNU sebagai lembaga yang transparan, akuntabilitas, profesionalitas,
kredibilitas dan amanah.
7
D. Rancangan Sistematika Penelitian
Untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai skripsi ini, maka dalam
penulisannya akan dibagi dalam lima bab dengan sistematika penulisan sebagai
berikut:
Bab I, Pendahuluan, meliputi pembahasan tentang Latar Belakang
Masalah, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II, Kajian Teoritis, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Kerangka
Teori dan Konseptual Seputar Zakat dan problematikanya, meliputi: Zakat dan
Problematikanya, Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat.
Bab III, Gambaran Umum LAZISNU, meliputi: Sejarah berdirinya
LAZISNU, Legalitas Hukum, Maksud dan Tujuan LAZISNU, Visi dan Misi,
Struktur Organisasi LAZISNU, dan Fungsi dan Tugas Pokok Organisasi dan
Metodologi Penelitian.
Bab IV, Penerapan Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat di LAZISNU, meliputi: pengumpulan zakat, pendistribusian
dan penyaluran zakat serta faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU.
Bab V, Penutup, memuat simpulan dari penjelasan yang telah
dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dan saran penulis terkait penelitian ini.
8
BAB II
KAJIAN TEORITIS, TINJAUAN (REVIEW) KAJIAN TERDAHULU,
KERANGKA TEORI DAN KONSEPTUAL SEPUTAR ZAKAT
A. Kajian Teoritis Zakat dan Problematikanya
1. Pengertian Zakat
Ditinjau dari segi bahasa (etimologi), zakat berasal dari bahasa arab zakaa
yang berarti suci, bersih, tumbuh, berkembang, berkah dan baik (زكى)9. Arti
tumbuh, bersih dan suci tidak hanya semata-mata bermakna di dalam harta saja
tetapi juga diperuntukkan bagi jiwa orang yang menunaikan zakat, karena zakat
merupakan upaya membersihkan dan mensucikan diri dari sifat kikir dan dosa10
.
Menurut istilah (terminologi), zakat adalah nama bagi sejumlah harta
tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan oleh Allah untuk
dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan
tertentu pula11
.
Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan istilah sangat nyata
dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi
berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan memberikan kemaslahatan
(kebaikan). Hal ini sebagimana tercantum dalam QS. At-Taubah ayat 103 dan QS.
Ar-Rum ayat 39.
صم ب ى ث ك ض ر ى ش ط خ ر ى صذل ان ي أ ز ي خ
ى ه ع ع ع للا ى ن ك ك ع صلر ى إ ه ع
Artinya:
9 Nuruddin Muhammad Ali, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal, (Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2006) hal.6 10
Sofyan Hasan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Cetakan 1, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), hal. 21 11
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002) hal. 7
9
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103).
ذ ث ع ش ال انبط فل ي ف أ ث ش ب ن ث س ى ي ز ب آر ي
ى ئك ن أ ف خ للا ذ ش بح ر صك ى ي ز ب آر ي للا
ف عع ان
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”. (QS. Ar-Rum: 39).
Di dalam Al-qur‟an terdapat beberapa kata yang walaupun secara bahasa
mempunyai arti yang agak berbeda dengan zakat, tetapi kadangkala dipergunakan
untuk menunukkan makna zakat, yaitu infaq, shadaqoh dan hak. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam QS. At-Taubah ayat 34, 60 dan 103 serta QS. Al-
An‟am ayat 141.
غح بنذ انصبس ان ل للا ش اث ض د ع بنذ ان ل
ز ل ان ل ئ ى عب ا ف أ ى ث ن ك ل ن ر للا اث
فك ؤ أ ى للا ه بر م ل ج ل فشا ي ك
Artinya:
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang
Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka
10
dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu.
Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”. (QS. At-Taubah:
34).
ب ه ع ه بي ع ان بك غ ان اء ش م ف ه ذلبد ن ب انص إ
جم للا ف ع ي بس غ ان لبة ف انش ى خ لهث ف ن ؤ ان
ى ك ى ح ه ع للا للا م فشعخ ي ج انغ اث
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)
صم ب ى ث ك ض ر ى ش ط خ ر ى صذل ان ي أ ز ي خ
ى ه ع ع ع للا ى ن ك ك ع صلر ى إ ه ع
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
بد ش يع شش غ بد شش ع بد ي خ أ ش انز أ
ب بث ش ز ي ب ي انش ز انض ه ك فب أ ه ز خ سع ي انض م انخ
11
و م ا ح آر ش ث را أ إ ش ث ها ي ك بث ش ز ش ي غ
ف ش غ ل حت ان فا إ ش غ ل ر حصبد
Artinya:
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang
tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya,
zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya).
Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan
tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir
miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-An‟am: 141)
Digunakannya kata-kata tersebut dengan maksud zakat, karena memiliki
kaitan yang sangat erat dengan zakat. Zakat disebut infaq (QS. At-Taubah: 34)
karena hakikatnya zakat itu adalah penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan
yang diperintahkan Allah Swt. Sedangkan zakat disebut sedekah (QS. At-Taubah:
60 dan 103) karena memang salah satu tujuan utama zakat adalah untuk
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dan zakat disebut hak, oleh karena
memang zakat itu merupakan ketetapan bersifat pasti dari Allah yang harus
diberikan kepada mereka yang berhak menerimanya (mustahiq)12
Dari segi istilah fiqih, zakat berarti sejumlah harta tertentu yang
diwajibkan Allah yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak13
. Adapun
peruntukan zakat sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya yaitu terdapat 8
(delapan) ashnaf dan tidak diperkenankan peruntukan zakat selain golongan yang
disebutkan diatas, mengingat Allah sudah menentukannya di dalam firman-Nya.
Beberapa ahli fiqih dalam mendefinisikan zakat yaitu sebagai berikut:
12
Didin Hafidhuddin, Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk Menyadarkan Umat “Southeast Asia Zakat Movement”, (Jakarta: Forum Zakat, Dompet Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008), hal. 12 13
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (1996), hal. 34-35.
12
a. Menurut Mazhab Maliki mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan
sebagian harta khusus yang telah mencapai nishab (batas kuantitas
minimal yang mewajibkan zakat) kepada orang-orang yang berhak
menerimanya14
.
b. Menurut Mazhab Hanafi mendefinisikan zakat dengan menjadikan
sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang
yang khusus, yang ditentukan oleh syariat karena Allah15
.
c. Menurut Mazhab Syafi‟I zakat adalah sebuah ungkapan keluarnya harta
atau tubuh sesuai dengan cara khusus16
.
d. Menurut Mazhab Hanbali zakat ialah hak yang wajib dikeluarkan dari
harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula, yaitu kelompok
yang diisyaratkan dalam Al-qur‟an17
.
e. Para pemikir ekonomi Islam kontemporer mendefinisikan zakat sebagai
harta yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau pejabat berwenang
kepada masyarakat umum atau individu yang bersifat mengikat dan final,
tanpa mendapat imbalan tertentu yang dilakukan pemerintah sesuai dengan
kemampuan pemilik harta yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan
delapan golongan yang telah ditentukan oleh Al-qur‟an serta untuk
memenuhi tuntutan politik bagi keuangan Islam18
.
f. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2011, zakat adalah harta yang
wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa zakat
adalah mengeluarkan harta yang bersifat wajib oleh seseorang atau badan usaha
yang telah memenuhi syarat tertentu dan diberikan kepada yang berhak
menerimanya sesuai dengan ketentuan syari‟at Islam.
14
Wahbah Zuhayliy, Zakat Kajian Beberapa Mazhab (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 83 15
Ibid, hal. 84 16
Ibid 17
Ibid 18
Gazi Inayah, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), hal. 3
13
2. Sejarah Disyari’atkannya Zakat
Zakat merupakan syari‟at Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw.
sebagai utusanNya yaitu sebagai ibadah maliyah yang mengarah pada aspek sosial
guna mengatur kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt. dan
dalam hubungannya dengan sesama manusia. Ada tiga fase sejarah
disyari‟atkannya zakat yaitu sebagai berikut:19
Fase pertama: Perintah zakat telah ada dari semenjak masa Rasulullah saw masih
di Makkah. Hanya saja, belum ada ketentuan spesifik terkait dengan waktu dan
waktu kadarnya. Penjelasan ini bisa dilihat pada tafsir Ibnu Katsir pada ayat 20
surah Al-Muzzammil.
Fase Kedua adalah : zakat fitrah atau Shadaqathul fitrah (zakat memberi makan)
yang diperintahkan pada tahun kedua Hijriah setelah perintah puasa. Hal ini
berdasarkan pada hadits, “Rasulullah saw memerintahkan kepada kami untuk
mengeluarkan shadaqatul fithr (zakat fitrah) sebelum perintah zakat (zakat harta).
“ (HR Nasa‟i)
Fase Ketiga: Perintah zakat harta sebagai penambah zakat fitrah yang telah
diperintahkan sebelumnya. Sebagian ulama berpendapat bahwa perintah ini juga
pada tahun kedua. Ibnu Katsir menjelaskan hal ini pada tafsir surah Al-An‟am
ayat 141: (Dan berikanlah haknya pada hari ketika panennya). Kata , haknya
(haqqahu), sebagian besar ulama tafsir adalah zakat wajib. Demikian pula, hal ini
bisa dilihat pada tafsir Al-Qurthubi tentang ayat 141 dari surah Al-An‟am.
Sebagai kesimpulan: perintah zakat telah ada dari semenjak Rasulullah saw masih
di Mekah. Hanya saja, belum ada ketentuan spesifik terkait dengan takaran dan
nilai yang harus dikeluarkan. Zakat tersebut adalah zakat harta. Selanjutnya,
ketika Rasulullah saw hijrah, pada tahun ke2 dan setelah Ramadhan Allah swt
perintahkan zakat fitrah. Selanjutnya Allah swt perintahkan mengeluarkan zakat
harta dengan ketentuan lebih spesifik seperti yang kita kenal saat ini.
19
http://zakat.or.id/sejarah-kewajiban-zakat/, diakses pada 31 Oktober 2018
14
Adapun sejarah perkembangan di Indonesia adalah sebagai berikut20
:
Dalam sejarah kehidupan ummat Islam di Indonesia, zakat telah
mengambil peran yang cukup strategis dalam pembangunan ekonomi di
Indonesia. Peran yang sedemikian besar, telah dicatatkan dalam sejarah
masyarakat Muslim jauh sebelum Indonesia merdeka. Zakat telah menjadi
instrumen penting dalam membangun ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan
masyarakat Muslim di Indonesia. Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, zakat
merupakan salah satu sumber dana untuk pengembangan ajaran Islam serta
sebagai pendanaan dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan
Belanda. Tempat yang dijadikan pengelolaan sumber-sumber tersebut adalah
masjid, surau atau langgar.
Sebelum datang penjajah di Indonesia, terdapat beberapa Kesultanan yang
mencapai kejayaan berkat dukungan dana internal dari umat Islam sendiri.
Misalnya, Kesultanan di Aceh, Sumatera Barat, Banten, Mataram, Demak, Goa
dan Ternate. Kesultanan-kesultanan tersebut dinilai telah berhasil
mendayagunakan potensi ekonomi umat dengan memperbaiki kualitas ekonomi
rakyat, antara lain dengan mengatur sumber-sumber keuangan Islam seperti zakat,
pemeliharaan harta wakaf, wasiat, infak dan sedekah. Dana yang bersumber dari
umat cukup memadai untuk memadaiuntuk membiayai kepentingan Islam.
Pada masa penjajahan, pemerintah Hindia Belanda pada awalnya tidak
ingin intervensi terhadap urusan sumber keuangan Islam karena hal itu dipandang
sebagai urusan internal umat Islam. Bahkan, menurut pasal 134 ayat 2 Indische
Staatsregeling (IS), pemerintah Hindia Belanda harus bersikap netral terhadap
semua agama yang ada di seluruh daerah kekuasaannya (Policy of Religion
Neutrality). Namun setelah melihat betapa besar potensi sumber keuangan Islam,
yang umumnya dikelola di masjid-masjid dalam mendukung perjuangan anti-
kolonial, seperti pengalaman Perang Paderi di Sumatera (1821- 1837), Perang
Diponegoro di Jawa Tengah (1825-1830) dan Perang Aceh (1873- 1903), maka
Kolonial Belanda melakukan upaya pengaturan, khususnya terkait sumber
20
Outlook Zakat Indonesia 2018, (Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS, 2017) hal. 5-15
15
keuangan Islam. Pada tanggal 4 Agustus 1893, pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Bijblad nomor 1892 yang berisi kebijakan pemerintah untuk
mengawasi pelaksanaan zakat yang dilakukan oleh penghulu atau naib. Untuk
melemahkan kekuatan rakyat yang bersumber dari zakat, Pemerintah Hindia
Belanda melarang semua pegawai dan priyayi pribumi ikut serta membantu
pelaksanaan zakat. Larangan itu dituangkan dalam Bijblad nomor 6200 tanggal 28
Februari 1905.
Kalau pada masa sebelumnya kas-kas masjid yang antara lain bersumber
zakat dari zakat dikelola sepenuhnya oleh umat Islam melalui lembaga-lembaga
yang dibentuknya dan dipergunakan untuk membantu mensejahterakan umat,
maka setelah berada di bawah kendali dan kekuasaan pemerintah Hindia Belanda,
dana-dana tersebut dimanfaatkan untuk memberikan sumbangan kepada rumah
sakit Zending di Mojowarno yang pendirinya diprakarsai oleh Pendeta Johanes
Kruyt (1835-1918), kas masjid di Kediri dimanfaatkan untuk membiayai sebuah
asrama pelacur, dan secara rutin kas-kas masjid juga dimanfaatkan untuk
membantu aktifitas Kristen. Sehingga telah terjadi penyimpangan penggunaan
dana umat Islam oleh pemerintah Belanda. Anehnya lagi, kas masjid itu tidak
bebas digunakan untuk keperluan umat Islam, seperti pemugaran dan
pembangunan masjid, kas masjid lebih bebas digunakan untuk membiayai
pemugaran rumah penghulu, peralatan kantor bupati dan tukang kebun penghulu,
ketimbang untuk kepentingan masjid. Dalam meminimalkan jumlah saldo juga
dilakukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dilakukan dalam rangka mematikan
semangat perjuangan rakyat dalam perang antikolonial.
Ketika keinginan untuk melibatkan pemerintah dalam pengumpulan zakat
mengemuka dalam Rakernas MUI tahun 1990, Menteri Agama Munawir Sjadzali
menkonsultasikannya kepada Presiden Soeharto, mengingat kepala negara dulu
pernah bersedia menjadi amil zakat, tetapi kurang mendapat respon secara luas
dari umat Islam di tanah air ketika itu. Pada ketika itu, Presiden Soeharto justru
menyatakan ketidaksediannya amil zakat. Sebagai alternatifnya, ia memberikan
petunjuk agar pengelolaan zakat diserahkan kepada setiap provinsi, yang dalam
pengumpulan dan pengelolaannya melibatkan kepala daerah sesuai prinsip
16
otonomi daerah. Sedangkan secara kelembagaan, ia menjadi lembaga non
struktural untuk menghindari dualisme dalam pengelolaan zakat dan pajak.
Pada periode kepemimpinan empat Presiden pasca Soeharto, gerakan
monumental zakat di tanah air dapat dicatat sebagai berikut: (a) Presiden B. J.
Habibie pada tanggal 23 September 1999 atas persetujuan DPR telah mensahkan
Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. (b) Presiden
Abdurrahman Wahid pada tanggal 17 Januari 2001 mengeluarkan Keputusan
Presiden No. 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional (c) Presiden
Megawati Soekarno Putri pada tanggal 2 Desember 2001 melakukan pencanangan
Gerakan Sadar Zakat dalam acara peringatan Nuzulul Qur‟an di Masjid Istiqlal
Jakarta. (d) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal Indikasi positif ini
selain disebabkan oleh kesadaran menjalankan perintah agama di kalangan umat
Islam semakin meningkat dan menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan. Bahkan setelah itu dorongan untuk membayar zakat juga
datang dari pemerintah dengan dikeluarkannya perangkat perUndang-undangan
berupa UU No. 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan Zakat.
Untuk lebih memerinci perkembangan kebijakan pemerintah dalam
sejarah pengelolaan zakat di Indonesia, terdapat beberapa tahapan sejarah yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama: Sebelum Kelahiran UU Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan
Zakat
Pengelolaan Zakat Masa Penjajahan
Zakat sebagai bagian dari ajaran Islam wajib ditunaikan oleh umat Islam terutama
yang mampu, tentunya sudah diterapkan dan ditunaikan oleh umat Islam
Indonesia berbarengan dengan masuknya Islam ke Nusantara. Kemudian ketika
Indonesia dikuasai oleh para penjajah, para tokoh agama Islam tetap melakukan
mobilisasi pengumpulan zakat. Pada masa penjajahan Belanda, pelaksanaan
ajaran Islam (termasuk zakat) diatur dalam Ordonantie Pemerintah Hindia
Belanda Nomor 6200 tanggal 28 Pebruari 1905. Dalam pengaturan ini pemerintah
tidak mencampuri masalah pengelolaan zakat dan menyerahkan sepenuhnya
kepada umat Islam dan bentuk pelaksanaannya sesuai dengan syari‟at Islam.
17
Pengelolaan Zakat di Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan Indonesia, pengelolaan zakat juga diatur pemerintah dan
masih menjadi urusan masyarakat. Kemudian pada tahun 1951 barulah
Kementerian Agama mengeluarkan Surat Edaran Nomor: A/VII/17367, tanggal 8
Desember 1951 tentang Pelaksanaan Zakat Fitrah. Pemerintah dalam hal ini
Kementerian Agama hanya menghimbau dan menggiatkan masyarakat untuk
menunaikan kewajiban zakatnya serta melakukan pengawasan supaya pemakaian
dan pembagian dari pungutan zakat tadi dapat berlangsung
menurut hukum agama.
Pada tahun 1964, Kementerian Agama menyusun Rancangan Undang-
undang (RUU) tentang Pelaksanaan Zakat dan Rencana Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (RPPPUU) tentang Pelaksanaan Pengumpulan dan
Pembagian Zakat serta Pembentukan Baitul-Maal, tetapi kedua perangkat
peraturan tersebut belum sempat diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) maupun kepada Presiden.
Kedua: Pengelolaan Zakat di Masa Orde Baru Pada masa orde baru, Menteri
Agama menyusun Rancangan Undang-undang tentang Zakat dan disampaikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan surat
Nomor: MA/095/1967 tanggal 5 Juli 1967. Dalam surat Menteri Agama tersebut
disebutkan antara lain: “Mengenai rancangan Undang-undang zakat pada
prinsipnya, oleh karena materinya mengenai hukum Islam yang berlaku bagi
agama Islam, maka diatur atau tidak diatur dengan Undang-undang, ketentuan
hukum Islam tersebut harus berlaku bagi umat Islam, dalam hal mana pemerintah
wajib membantunya. Namun demikian, pemerintah berkewajiban moril untuk
meningkatkan manfaat dari pada penduduk Indonesia, maka inilah perlunya diatur
dalam Undang-undang”.
Rancangan Undang-undang (RUU) tersebut disampaikan juga kepada
Menteri Sosial selaku penanggungjawab masalah-masalah sosial dan Menteri
Keuangan selaku pihak yang mempunyai kewenangan dan wewenang dalam
bidang pemungutan zakat. Menteri Keuangan dalam jawabannya menyarankan
18
agar masalah zakat ditetapkan dengan peraturan Menteri Agama. Kemudian pada
tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 5 tahun 1968 tentang
pembentukan Baitul-Maal. Kedua PMA (Peraturan Menteri Agama) ini
mempunyai kaitan sangat erat, karena Baitul-Maal berfungsi sebagai penerima
dan penampung zakat, dan kemudian disetor kepada Badan Amil Zakat (BAZ)
untuk disalurkan kepada yang berhak.
Pada tahun 1968 dikeluarkan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 4
tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat (BAZ). Pada tahun yang
sama dikeluarkan juga PMA Nomor 5 tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul-
Maal. Baitul-Maal yang dimaksud dalam PMA tersebut berstatus Yayasan dan
bersifat semi resmi. PMA Nmor 4 tahun 1968 dan PMA Nomor 5 tahun 1968
mempunyai kaitan yang sangat erat. Bait al-Mal itulah yang menampung dan
menerima zakat yang disetorkan oleh Badan Amil Zakat seperti dimaksud dalam
PMA Nomor 4 Tahun 1968.
Pada tahun 1984 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 2 tahun
1984 tanggal 3 Maret 1984 tentang Infaq Seribu Rupiah selama bulan Ramadhan
yang pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan
Urusan Haji Nomor 19/1984 tanggal 30 April 1984. Pada tanggal 12 Desember
1989 dikeluarkan Instruksi Menteri Agama Nomor 16/1989 tentang Pembinaan
Zakat, Infaq, dan Shadaqah yang menugaskan semua jajaran Departemen Agama
untuk membantu lembaga-lembaga keagamaan yang mengadakan pengelolaan
zakat, infaq, dan shadaqah agar menggunakan dana zakat untuk kegiatan
pendidikan Islam dan lain-lain. Pada tahun 1991 dikeluarkan Keputusan Bersama
Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 29 dan 47 tahun 1991 tentang
Pembinaan Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah yang kemudian ditindaklanjuti
dengan instruksi Menteri Agama Nomor 5 tahun1991 tentang Pedoman
Pembinaan Teknis Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah dan Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1988 tentang Pembinaan Umum Badan Amil Zakat,
Infaq dan Shadaqah.
Ketiga: Pengelolaan Zakat Era Reformasi
19
Pada era reformasi tahun 1998, setelah menyusul runtuhnya kepemimpinan
nasional Orde Baru, terjadi kemajuan signifikan di bidang politik dan sosial
kemasyarakatan. Setahun setelah reformasi tersebut, yakni 1999 terbitlah Undang-
undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Di era reformasi,
pemerintah berupaya untuk menyerpurnakan sistem pengelolaan zakat di tanah air
agar potensi zakat dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi
bangsa yang terpuruk akibat resesi ekonomi dunia dan krisis multi dimensi yang
melanda Indonesia. Untuk itulah pada tahun 1999, pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menerbitkan Undang-undang Nomor 38 Tahun
1999 tentang pengelolaan Zakat, yang kemudian diikuti dengan dikeleluarkannya
Keputusan Menteri Agama Nomor 581 tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 38 Tahun 1999 dan Keputusan Direktur Jenderal Bimas Islam dan
Urusan Haji Nomor D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 ini, pengelolaan zakat
dilakukan oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh Pemerintah yang
terdiri dari masyarakat dan unsur pemerintah untuk tingkat kewilayahan dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan dikelola oleh masyarakat yang
terhimpun dalam berbagai ormas (organisasi masyarakat) Islam, yayasan dan
institusi lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 38 tahun 1999 dijelaskan prinsip
pengelolaan zakat secara profesional dan bertanggungjawab yang dilakukan oleh
masyarakat bersama pemerintah. Pemerintah dalam hal ini berkewajiban
memberikan perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq,
dan pengelola zakat. Dari segi kelembagaan tidak ada perubahan yang
fundamental dibanding kondisi sebelum tahun 1970-an. Pengelolaan zakat
dilakukan oleh Badan Amil Zakat yang dibentuk oleh pemerintah, tetapi
kedudukan formal badan itu sendiri tidak terlalu jauh berbeda dibanding masa
lalu. Amil zakat tidak memiliki kekuasaan untuk menyuruh orang membayar
zakat. Mereka tidak teregistrasi dan diatur oleh pemerintah seperti halnya petugas
pajak guna mewujudkan masyarakat yang peduli bahwa zakat adalah kewajiban.
20
Keempat: Pasca Kelahiran Undang-undang Nomor 38 tahun 1999
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa pada tahun 1999 terbit dan
disahkannya Undang-undang Pengelolaan Zakat. Dengan demikian, maka
pengelolaan zakat yang bersifat nasional semakin intensif. Undang-undang inilah
yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di
dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan, seperti
tidak adanya sanksi bagi muzakki yang tidak mau atau enggan mengeluarkan
zakat hartanya dan sebagainya.
Sebagai konsekuensi Undang-undang Zakat, pemerintah (tingkat pusat
sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat, yaitu
Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) untuk tingkat Pusat dan Badan Amil Zakat
Daerah (BAZDA) untuk tingkat Daerah. BAZNAS dibentuk berdasarkan Kepres
Nomor 8 /2001, tanggal 17 Januari 2001. Ruang lingkup BAZNAS berskala
Nasional yaitu unit pengumpul Zakat (UPZ) di Departemen, BUMN, Konsulat
Jenderal dan Badan Usaha Milik Swasta berskala nasional, sedangkan BAZDA
ruang lingkup kerjanya di wilayah propinsi tersebut.
Sesuai Undang-undang Pengelolaan Zakat, hubungan BAZNAS dengan
Badan amil zakat yang lain bersifat koordinatif, konsultatif, dan informatif.
BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerjasama dengan Lembaga Amil Zakat
(LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga dengan demikian
diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat Nasional yang baku dan yang bisa
diaplikasikan oleh semua pengelola zakat.
Dalam menjalankan program kerjanya, BAZNAS menggunakan konsep
sinergi, yaitu untuk pengumpulan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) menggunakan
hubungan kerjasama dengan unit pengumpul zakat (UPZ) di Departemen, BUMN,
Konjen, dan dengan lembaga amil zakat lainnya. Pola kerjasama itu disebut
dengan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) Mitra BAZNAS. Sedangkan untuk
penyalurannya, BAZNAS juga menggunakan pola sinergi dengan Lembaga Amil
Zakat lainnya, yang disebut sebagai Unit Salur Zakat (USZ) Mitra BAZNAS.
21
Dengan demikian, maka Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat telah melahirkan paradigma baru pengelolaan zakat yang
antara lain mengatur bahwa pengelolaan zakat dilakukan oleh satu wadah, yaitu
Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah bersama masyarakat dan
Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang
terhimpun dalam ormas maupun yayasan-yayasan.
Dengan lahirnya paradigma baru ini, maka semua Badan Amil Zakat harus
segera menyesuaikan diri dengan amanat Undang-undang yakni pembentukannya
berdasarkan kewilayahan pemerintah Negara mulai dari tingkat nasional, provinsi,
kabupaten/kota dan kecamatan. Sedangkan untuk desa/kelurahan, mesjid, lembaga
pendidikan dan lain-lain dibentuk unit pengumpul zakat. Sementara sebagai
Lembaga Amil Zakat, sesuai amanat Undang-undang tersebut, diharuskan
mendapat pengukuhan dari pemerintah sebagai wujud pembinaan, perlindungan
dan pengawasan yang harus diberikan pemerintah. Karena itu bagi Lembaga Amil
Zakat yang telah terbentuk di sejumlah Ormas Islam, yayasan atau LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat), dapat mengajukan permohonan pengukuhan
kepada pemerintah setelah memenuhi sejumlah persyaratan yang ditentukan.
Dalam rangka melaksanakan pengelolaan zakat sesuai dengan amanat
Undang-undang Nomor 38 tahun 1999, pemerintah pada tahun 2001 membentuk
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Keputusan Presiden. Di setiap
daerah juga ditetapkan pembentukan Badan Amil Zakat Provinsi, Badan Amil
Zakat Kabupaten/Kota hingga Badan Amil Zakat Kecamatan. Pemerintah juga
mengukuhkan keberadaan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang didirikan oleh
masyarakat. LAZ tersebut melakukan kegiatan pengelolaan zakat sama seperti
yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat. Pembentukan Badan Amil Zakat di
tingkat nasional dan daerah mengantikan pengelolaan zakat oleh BAZIS (Badan
Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) yang sudah berjalan dihampir semua daerah.
Kelima: Pasca Kelahiran Undang-undang Nomor 23 tahun 2011
Organisasi dan tata kerja pengelolaan zakat di Indonesia hari ini
sepenuhnya mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
22
Pengelolaan Zakat. UU tersebut merupakan pengganti Undang-undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang sebelumnya menjadi landasan
hukum pengelolaan zakat di Indonesia. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
secara spesifik mengamanatkan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) sebagai
pelaksana utama dalam pengelolaan zakat di Indonesia dan pemerintah
mendapatkan fungsi sebagai pembina dan pengawas terhadap pengelolaan zakat
yang dilakukan oleh BAZNAS. Perubahan regulasi tersebut secara substantif telah
mengubah suatu sistem pengelolaan zakat di Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, BAZNAS dibentuk
oleh pemerintah dalam tugas melaksanakan kewenangan pengelolaan zakat secara
nasional. Kewenangan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat secara nasional tersebut meliputi 4 (empat) fungsi yang
secara spesifik dituangkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, sebagai
berikut: (a) fungsi perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; (b) fungsi pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; (c) fungsi pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan
pendayagunaan zakat; dan (d) fungsi pelaporan dan pertanggungjawaban
pengelolaan zakat (Pasal 7).
Selain daripada empat fungsi pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat secara nasional, BAZNAS juga mendapatkan 2 (dua)
fungsi non-operasional pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat,
yaitu: (a) pemberian pertimbangan pembentukan BAZNAS provinsi dan
BAZNAS kabupaten/kota (Pasal 15) dan (b) pemberian rekomendasi izin
pembentukan LAZ (Pasal 18). Untuk memaksimalkan peran strategis ini, pada
tahun 2017 Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) mengembangkan Arsitektur
Zakat Indonesia (AZI) dalam skala teknis untuk 5 tahun kedepan, dengan tujuan
agar pembangunan zakat nasional bisa berkelanjutan dan lebih terukur mengacu
pada UU No. 23 tahun 2011 sekaligus menjawab tantangan dari konsekwensi
dinobatkannya lembaga zakat Indonesia menjadi lembaga keuangan Islam.
Terdapat lima pilar utama yang dibahas dalam AZI ini. Pilar pertama
adalah regulasi dan kebijakan; Pilar kedua adalah sistem informasi dan database
23
perzakatan nasional; Pilar ketiga adalah pilar kelembagaan yang meliputi sistem
penghimpunan, pendistribusian dan pendayagunaan dan pelaporan; Pilar keempat
adalah dampak zakat terhadap isu sosial ekonomi masyarakat Indonesia; dan pilar
kelima adalah komunikasi dan kerjasama stakeholders.
Lima pilar ini kemudian dianalisis menggunakan kacamata UU 23/2011
dan PP No. 14 tahun 2014 meliputi: Pertama, bagaimana kedepan sistem
perzakatan nasional punya struktur yang jelas dan terarah mengenai regulasi
profesi amil termasuk sertifikasi amil, remunerasi amil, kualitas dan kuantitas
amil, KPI & insentif amil, jaminan hari tua amil dan jenjang karir amil. Kedua
adalah instalasi tata kelola lembaga zakat, pembahasan ini meliputi struktur tata
kelola sistem perzakatan nasional hari ini dan proyeksi yang akan datang dengan
kualifikasi standar lembaga keuangan terpercaya, antara lain indikatornya
memiliki sistem informasi zakat nasional terpadu, memiliki sistem akuntansi zakat
nasional berbasis PSAK, ISAK dan manual lembaga, memiliki standar pelaporan
publik secara berkala, memiliki informasi data realtime, memilki sistem
penegakkan pelaporan, memiliki sistem pengawasan internal, memiliki sistem
pengawasan eksternal dan lain sebagainya.
Kedua, bagaimana sistem kelembagaan zakat yang ada bisa membawa
kepada instalasi pengumpulan zakat yang inklusif, maksud dari kata insklusif
adalah pungutan zakat sudah bisa menjangkau semua kalangan muslim
masyarakat Indonesia, pada saat sistem pengumpulan zakat sudah tersistem secara
padu dengan regulasi yang ada, bahkan sudah ada insentif-insentif signifikan bagi
para wajib zakat (muzaki) maka pada saat itu diproyeksikan akan terjadi
inslusifitas pengumpulan zakat dimana jumlah pengumpukan zakat akan
meningkat dengan pesat. Pembahasan dalam urgensi ini meliputi pemetaan
potensi zakat, sistem terpadu Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), akuntabilitas
pengumpulan, kredibilitas, insentif muzaki, sistem identifikasi muzaki, dan
konektifitas sistem pajak & zakat.
Ketiga, bagaimana sistem pemerataan distribusi zakat ini mengacu pada
Surah At-Taubah ayat 60. Secara eksplisit disebutkan delapan asnaf yang
dinyatakan dalam al-taubah ayat 60 meliputi: al-fuqara '(orang fakir), al-masakin
24
(orang miskin), amil, muallaf yang perlu dilembutkan hatinya, al-riqab
(perbudakan), al-gharimin (orang yang sedang terlilit hutang) dan ibn sabil
(traveller) yang membutuhkan perlindungan. Kedelapan asnaf ini merupakan
gambaran dari pemerataan distribusi dalam bentuk jaring pengaman untuk
mengatasi problem sosial dan ekonomi masyarakat yang implikasinya langsung
menyentuh kepada aspek ekonomi.
Melalui pemerataan distribusi zakat, secara makro masyarakat akan
mendapatkan hak yang sama terhadap sumber-sumber ekonomi termasuk akses
terhadap kebutuhan dasar, kepemilikan dan kontrol atas tanah, warisan, sumber
daya alam, teknologi baru (seperti panel surya) dan layanan keuangan termasuk
keuangan mikro. Distribusi ini juga dapat menggairahkan mereka untuk
penghematan dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan cuaca, dan
guncangan sosial (social shock) dan lingkungan.
Pembahasan-pembahasan ini secara nyata bersinggungan dengan berbagai
program pembangunan ekonomi nasional seperti pemerataan distribusi zakat pada
efek pembangunan ekonomi nasional untuk kegiatan produktif, penciptaan
lapangan kerja, dan memperlebar akses keuangan; pemerataan distribusi zakat
pada efek sistem ketenagakerjaan; pemerataan distribusi zakat pada efek
meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan pelestarian kekayaan alam.
Hal menarik dari sistem perzakatan di Indonesia dalam memaksimalkan fungsi
BAZNAS sesuai amanah UU 23/2011 adalah dibentuknya Pusdiklat (Pusat
Pendidikan dan Pelatihan) Amil dan Sertifikasi Amil Zakat oleh BAZNAS. Hal
ini didasari bahwa salah satu unsur penting dalam pengelolaan zakat adalah peran
Amil. Amil yang berkualitas akan meningkatkan trust para Muzakki, dan bisa
memberdayakan mustahik secara konkrit dan membebaskan mereka dari
kemiskinan. Tujuannya agar kualitas SDM perzkatakan di Indonesia kedepan bisa
lebih baik dalam hal menjalankan tugasnya sebagai pengelola zakat.
Untuk dapat melakukan peningkatan kompetensi amil diperlukan suatu
standar komptensi kerja bagi amil. Standar kompetensi ini merupakan hal yang
lazim dalam pengelolaan suatu sektor pekerjaan. Amil merupakan sektor
pekerjaan yang khas, maka selayaknya memiliki standar kompetensi kerja
25
tersendiri. Standar kompentensi kerja ini digunakan sebagai acuan untuk
mengukur kelayakan individu untuk menjadi dan bekerja sebagai seorang amil.
Dengan standar kompetensi kerja ini, maka pekerjaan sebagai amil dapat
disetarakan dengan pekerjaan professional lainnya. Standar kompetensi kerja ini
juga dapat memberikan batasan-batasan jenjang pekerjaan dalam keamilan,
termasuk mengenai kriteria kompetensi dalam pelaksanaan evaluasi kinerja atau
untuk kebutuhan personalia lainnya. Namun, di luar itu, keberadaan standar
kompetensi kerja amil berskala nasional ini akan mampu menciptakan pelayanan
pengelolaan zakat yang terstandar dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Setelah ditetapkan standar kompetensi kerja bagi amil yang secara
garisbesar meliputi unit kompetensi perencanaan penghimpunan, unit kompetensi
perencanaan pendistribusian, unit kompetensi transaksi keuangan zakat, unit
kompetensi analisis kinerja keuangan zakat, unit kompetensi likuiditas dana
penyaluran zakat, unit kompetensi pelaporan kaji dampak zakat dan unit
kompetensi anti pencucian uang maka langkah selanjutnya adalah pelaksanaan
sertifikasi bagi amil-amil di seluruh wilayah Indonesia. Amil yang telah lulus
dalam pelaksanaan sertifikasi tersebut maka ia berhak mendapatkan sertifikat amil
nasional yang berlaku pada seluruh BAZNAS dan LAZ sesuai dengan Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2011. Keberadaan sertifikasi amil ini menjadi penting,
mengingat selama ini profesi amil seringkali dipandang sebagai pekerjaan kelas
tiga yang mungkin menjadi pilihan terakhir dari sejumlah opsi pekerjaan lain yang
lebih menjanjikan.
3. Dasar Hukum Zakat
Surat At-taubah ayat 71
ش ي أ ط بء ثع ن ى أ ع بد ثع ي ؤ ان ي ؤ ان
ح ل انص م ش ك ان ع شف ع بن ث
26
ى ح ش ئك ع ن أ ن سع للا طع بح ك انض ر ؤ
ى ك ضض ح ع للا إ للا
Artinya:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana”.
Surat Adz-dzariyat ayat 19
حشو ان م بئ هغ ى حك ن ان ي ف أ
Artinya:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”.
Surat Al-bayyinah ayat 5
بء ف ح انذ ن ص ه خ ي جذا للا ع شا إل ن ي ب أ ي
خ م ان ك د ن ر بح ك ا انض ر ؤ لح ا انص م
Artinya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian
itulah agama yang lurus”.
27
Surat Ar-rum ayat 39
ذ ث ع ش ال انبط فل ي ف أ ث ش ب ن ث س ى ي ز ب آر ي
ى ئك ن أ ف خ للا ذ ش بح ر صك ى ي ز ب آر ي للا
ف عع ان
Artinya:
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada
harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu
berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah,
maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
Hadist riwayat Bukhori Muslim
هللا انخطبة سظ ش ث ع عجذ هللا ث عجذ انشح أث ع
ل : ث عهى م ل هللا صه هللا عه عذ سع ب لبل : ع ع
ل ذا سع يح أ لإن إل هللا بدح أ ظ : ش اإلعلو عه خ
و سيعب ص ذ, حح انج كبح, زبء انض إ إلبو انصلح هللا
)سا انجخبس يغهى(
Artinya:
28
Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khaththab Radhiyallahu „anhu
berkata : Aku pernah mendengar Rasululah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda: “Islam dibangun atas lima pekara. (1) Persaksian bahwa tiada Tuhan
selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah, (2) mendirikan shalat, (3)
mengeluarkan zakat, (4) melaksanakan ibadah haji, dan (5) berpuasa Ramadhan”.
(HR Bukhari dan Muslim).
4. Macam-macam Zakat
Zakat adalah zakat yang telah ditentukan macam dan jenisnya.
Zakat secara garis besar terbagi menjadi 2 macam, yaitu zakat fitrah dan
zakat maal.
a. Zakat Fitrah
Zakat fitrah ialah zakat yang dikeluarkan oleh setiap orang Islam
yang mempunyai kelebihan untuk keperluan keluarga yang wajar pada
malam hari raya Idul Fitri21
. Zakat ini dinamakan zakat fitrah karena
dikaitkan dengan diri (al-Fitrah) seseorang. Zakat fitrah dikeluarkan pada
bulan Ramadhan hingga sholat Idul fitri. Adapun jumlah dan jenis zakat
ini adalah 1 sha‟ tamar atau 1 sha‟ gandum22
, tergantung jenis makanan
pokok yang terdapat di daerah tersebut23
.
Zakat fitrah bertujuan untuk membersihkan dosa-dosa yang pernah
dilakukan agar orang yang menunaikannya dapat benar-benar kembali
dalam keadaan fitrah dan juga untuk menggembirakan hati fakir miskin
pada hari raya idul fitri. Hal ini sesuai hadist rasulullah saw:
ب لبل: ع للا ش سظ ع اث –ع –فشض سعل للا
شعش: عه انعجذ –ملسو هيلع هللا ىلص صبعب ي ش, أ ر صكبح انفطش, صبعب ي
21 Muhammad Daud Ali, Habibah Daud Ali, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 244 22
Satu sha’ sama dengan ukuran takaran 2,5 Kg 23 Abu Dawud Sulaiman ibn Al-Asy‟as As-Sijistani. Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar al–kutub al-
ilmiyyah, 1996), h. 97
29
انز , انحش أيش , غه ان انكجش, ي غش, انص ث, ال كش,
لح يزفك عه رؤد لجم خشج انبط إن انص ب أ ث
Artinya:
Dari Ibnu „Umar radhiyallahu „anhuma, ia berkata, “Rasulullah
SAW mewajibkan zakat fitri dengan satu sho‟ kurma atau satu sho‟
gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan
perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum
muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan
sebelum manusia berangkat menuju sholat ied (Muttafaqun „alaih).
b. Zakat Maal
Zakat maal ialah zakat yang berupa harta kekayaan yang
dikeluarkan oleh seseorang atau badan hukum dengan ketentuan telah
memenuhi satu nishab dan telah dimiliki selama satu tahun24
.
Perintah zakat maal terdapat dalam firman Allah surat Al-baqarah
ayat 267
ب ي ذ يب كغجزى ا أفما ي غج ءاي ب ٱنز أ
رفم ا ٱنخجث ي ل ر ٱلسض أخشخب نكى ي
عا أ رغ إل نغزى ثـبخز غ ٱلل ا أ ٱعه ف
ذ ح
Artinya:
24
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1993), hal. 224
30
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang
Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang
buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(Q.S. Al-baqarah: 267).
Dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2011, harta (maal) yang
wajib dizakati meliputi:
1.) emas, perak, dan logam mulia lainnya
2.) uang dan surat berharga lainnya
3.) perniagaan
4.) pertanian, perkebunan, dan kehutanan
5.) peternakan dan perikanan
6.) pertambangan
7.) perindustrian
8.) pendapatan dan jasa
9.) rikaz
5. Muzakki dan Mustahiq
a. Muzakki
Muzakki adalah orang Islam atau badan hukum yang wajib
mengeluarkan zakat, yaitu ketika hartanya sudah mencapai nishab dan
haul. Sebagaimana ibadah yang lainnya, zakat juga mempunyai syarat
wajib dan syarat sah. Menurut kesepakatan ulama, syarat wajib zakat
adalah: merdeka, muslim, baligh, berakal, kepemilikan harta yang penuh,
mencapai nishab, dan haul. Adapun syarat sahnya adalah niat yang
31
menyertai pelaksanaan zakat25
. Namun demikian, sebagian ulama
berpendapat bahwa anak kecil yang belum baligh dan orang gila juga
wajib mengeluarkan zakat, yang dilaksanakan oleh walinya, karena dalil-
dalil tentang zakat baik dari Al-Qur‟an maupun Al-Hadits tidak
memberikan keterangan yang khusus.
b. Mustahiq
Berikut orang-orang yang berhak mendapatkan zakat adalah sebagai
berikut26
:
1) Fakir
Fakir adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan dan
tidak memiliki mata pencaharian tetap.
2) Miskin
Miskin adalah mereka yang memiliki mata pencaharian, tetapi
penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya.
3) Amil
Amil zakat adalah petugas yang terlibat dalam pengelolaan dan
manajemen zakat, meliputi pengumpulan, pencatatan, pengelolaan dan
pendistribusian zakat.
4) Muallaf
Muallaf adalah mereka yang belum kokoh keimanannya karena
baru memeluk Islam.
5) Riqab
Riqab adalah budak belian yang diberi kebebasan usaha
mengumpulkan kekayaan agar ia dapat menebus dirinya.
6) Gharim
Gharim adalah mereka yang memiliki banyak hutang dan tidak
sanggup membayarnya.
7) Sabilillah 25
Wahbah Az-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, h. 98. 26
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Fiqih Zakat Kontemporer, (Surakarta: Al-Qowam, 2011) hal. 297-306.
32
Sabilillah berarti jalan yang dapat menyampaikan sesuatu karena
ridho Allah, baik berupa ilmu maupun amal. Fi sabilillah dalam era
kontemporer adalah mereka para guru yang mengajarkan ilmu syari‟at dan
ilmu pengetahuan lainnya yang di butuhkan masyarakat umum.
8) Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan (musafir)
dengan tujuan berdakwah dan kehabisan bekal.
6. Hikmah Zakat
Zakat adalah ibadah dalam bidang harta yang mengandung hikmah,
nilai dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan
dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahiq), harta
yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. Hikmah
dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut27
:
a. sebagai perwujudan keimanan kepada Allah Swt, mensyukuri nikmat-
Nya, menumbuhkan akhlaq mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta
yang dimiliki.
b. karena zakat hak mustahiq, maka zakat berfungsi untuk menolong,
membantu dan membina mereka terutama fakir miskin, kearah kehidupan
yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah Swt.,
terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri dengki
dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka
melihat orang kaya memiliki harta yang cukup banyak.
27
Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat, Infak dan Sedekah Kami Menjawab, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 2016) hal. 20-25.
33
c. sebagai pilar amal bersama (jama‟i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya
digunakan untuk berjihad dijalan Allah yang karena kesibukannya
tersebut ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan
berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Selain itu, zakat
juga berfungsi sebagai salah satu bentuk konkrit dari jaminan sosial yang
disyaria‟atkan oleh ajaran Islam.
d. sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun
prasarana yang harus dimiliki umat Islam seperti sarana ibadah,
pendidikan, kesehatan, sosial, maupun ekonomi, sekaligus
pengembangan kualitas sumber daya manusia muslim.
e. untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu
bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan
bagian dari hak orang lain dari harta yang diusahakan dengan baik dan
benar sesuai dengan ketentuan Allah.
f. dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu
instrumen pemerataan pendapatan.
g. dorongan ajaran-ajaran Islam yang begitu kuat kepada orang-orang yang
beriman untuk berzakat, berinfak dan bersedekah menunjukkan bahwa
ajaran Islam mendorong umatnya untuk mampu bekerja dan berusaha
sehingga memiliki harta kekayaan yang disamping dapat memenuhi
kebutuhan hidup diri dan keluarganya, juga berlomba-lomba menjadi
muzakki. Zakat yang dikelola dengan baik akan mampu membuka
lapangan kerja dan usaha yang luas sekaligus penguasaan aset-aset oleh
umat Islam.
Wahbah Al-Zuhaily menyatakan hikmh zakat adalah sebagai berikut28
:
a. menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan pada pendosa
dan pencuri.
28
Wahbah Az-Zuhaily, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, hal. 86-88.
34
b. merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang
sangat membutuhkan bantuan.
c. mensucikan jiwa dari penyakit kikir.
d. sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat harta yang telah diberikan oleh
Allah.
B. Pengelolaan Zakat di Lembaga Zakat
1. Urgensi Lembaga Pengelola Zakat
Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT yang terdapat
dalam surat At-Taubah: 60
ب ه ع ه بي ع ان بك غ ان اء ش م ف ه ذلبد ن ب انص إ
جم للا ف ع ي بس غ ان لبة ف انش ى خ لهث ف ن ؤ ان
ى ك ى ح ه ع للا للا م فشعخ ي ج انغ اث
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60)
Juga pada friman Allah SWT dalam surah At-Taubah: 103
صم ب ى ث ك ض ر ى ش ط خ ر ى صذل ان ي أ ز ي خ
ى ه ع ع ع للا ى ن ك ك ع صلر ى إ ه ع
Artinya:
35
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103).
Dalam surah At-Taubah: 60 tersebut dikemukakan bahwa salah satu
golongan yang berhak menerima zakat (mustahik) adalah orang-orang yang
bertugas mengurus urusan zakat („amilina „alaiha). Sedangkan dalam surah At-
Taubah: 103 dijelaskan bahwa zakat itu diambil (dijemput) dari orang-orang yang
berkewajiban untuk berzakat (muzakki) untuk kemudian diberikan kepada mereka
yang berhak menerimanya (mustahik). Adapun yang mengambil dan menjemput
tersebut adalah para petugas (amil). Imam Qurthubi29
ketika menafsirkan ayat
tersebut (At-Taubah: 60) menyatakan bahwa amil itu adalah orang-orang yang
ditugaskan (diutus oleh imam/pemerintah) untuk mengambil, menuliskan,
menghitung dan mencatatkan zakat yang diambilnya dari para muzakki untuk
kemudian diberikan kepada yang berhak menerimanya.
Pada zaman Rasulullah saw, beliau pernah mempekerjakan seorang
pemuda dari suku As‟ad yang bernama Ibnu Lutaibah untuk mengurus zakat Bani
Sulaim30
. Rasulullah juga pernah mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk
menjadi amil zakat. Muaz bin Jabal juga pernah diutus Rasulullah pergi ke
Yaman, disamping bertugas menjadi da‟i, juga mempunyai tugas khusus sebagai
amil zakat31
. Demikian pula yang dilakukan oleh khulafaur-rasyidin sesudahnya,
mereka selalu mempunyai petugas khusus yang mengatur masalah zakat, baik
pengumpulan maupun pendistribusiannya. Diambilnya zakat dari muzakki melalui
amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik, menunjukkan bahwa
kewajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif (kedermawanan),
tetapi juga sebagai suatu kewajiban juga bersifat otoritatif (ijbari).
29
Al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Beirut Lebanon, Daar el-Kutub ‘Ilmiyyah, 1413 H/1993 M. Jilid VII-VIII, hal. 112-113. 30
Ibid, hal. 113` 31
Ismail al-Kahlani al-Shan’ani, Subulus-Salam Dahlan (Bandung), juz II, hal. 120.
36
Pengelolaam zakat oleh lembaga pengelola zakat, apalagi yang memiliki
kekuatan hukum formal akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain32
:
a. Untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat.
b. Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik zakat apabila
berhadapan langsung untuk menerima zakat.
c. Untuk mencapai efisiensi dan efektivitas.
d. Untuk memperlihatkan syiar Islam dalam semangat
penyelenggaraan pemerintahan yang islami.
Sebaliknya jika zakat diserahkan langsung dari muzakki kepada mustahik,
meskipun secara hukum syari‟ah adalah sah, akan tetapi disamping akan
terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi zakat, terutama
yang berkaitan dengan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan undang-undang No. 23
Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan Peraturan pemerintah No. 14 Tahun
2014 tentang pelaksanaan undang-undang N0. 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat.
2. Persyaratan Lembaga Pengelola Zakat
Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya, Fiqh Zakat33
menyatakan bahwa
seseorang yang ditunjuk sebagai amil zakat atau pengelola zakat harus memiliki
beberapa persyaratan sebagai berikut:
a. Beragama Islam, zakat adalah salah satu rukun Islam yang ketiga, karena
itu sudah saatnya apabila urusan penting kaum muslimin ini diurus oleh
sesama muslim.
b. Mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal pikirannya yang siap
menerima tanggungjawab mengurus urusan umat
32
Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 85 33
Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Zakat, ,(Beirut: Muassasah Risalah, 1991), Juz II hal. 586
37
c. Amanah dan jujur, sifat ini sangat penting karena berkaitan dengan
kepercayaan umat, artinya para muzakki akan dengan rela menyerahkan
zakatnya melalui lembaga pengelola zakat, jika lembaga ini memang patut
dan layak dipercaya. Keamanahan ini diwujudkan dalam bentuk
transparansi (keterbukaan) dalam menyampaikan laporan
pertanggungjawaban secara berkala dan juga ketepatan penyalurannya
sejalan dengan ketentuan syaria‟t Islam. Di dalam Al-Qur‟an telah
dikisahkan sifat utama Nabi Yusuf a.s. yang mendapatkan kepercayaan
menjadi bendaharawan negara Mesir terlanda musim paceklik sebagai
akibat dari kemarau yang panjang. Beliau berhasil membangun kembali
kesejahteraan masyarakat, karena kemampuannya menjaga amanah. Allah
berfirman dalam surah Yusuf: 55
ى لبل اخعهی عه ظ عه السض ای حف ی خضائ
Artinya:
“Berkata Yusuf: Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir),
sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengetahuan)”. (Q.S. Yusuf: 55)
Demikian pula sifat keamanahan yang sangat menonjol dari para
petugas zakat di zaman Rasulullah saw. Dan pada zaman khulafaur-
rasyidin yang empat, menyebabkan baitul mal tempat menampung zakat
selalu penuh terisi dengan harta zakat, untuk kemudian segera disalurkan
kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Dalam periode Daulah
Bani Umayyah yang berlangsung selama hampir sembilan puluh tahun (41
H-127 H) tampil salah seorang khalifah yang sangat terkenal, yaitu Umar
bin Abdul Aziz (99 H-101 H)34
. Dia terkenal karena kebijakan dan
keadilan serta keberhasilannya dalam memajukan dan mensejahterakan
masyarakat, termasuk keberhasilannya dalam penanganan zakat yang
ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, sehingga para petugas zakat
34
Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal.95
38
mengalami kesulitan dalam mencari golongan fakir miskin yang
membutuhkan harta zakat tersebut. Memang sifat amanah dan jujur ini
akan menarik rizki dan kemudahan, sebaliknya sifat khianat dan tidak di
percaya akan menyebabkan kefakiran dan kesulitan. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam hadis riwayat Imam Daelami35
, Rasulullah saw
bersabda:
انخبخ ردهت انفمش. }سا صق اليبخ ردهت انش
انذه{Artinya:
“Amanah itu akan menarik rizki, sedangkan khianat akan menarik
kefakiran”
d. Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat yang menyebabkan ia
mampu melakukan sosialisasi segala sesuatu yang berkaitan dengan zakat
kepada masyarakat. Dengan pengetahuan tentang zakat yang relatif
memadai, para amil zakat diharapkan terbebas dari kesalahan dan
kekeliruan yang diakibatkan dari kebodohannya masalah zakat tersebut.
Pengetahuan yang memadai tentang zakat inipun akan mengundang
kepercayaan dari masyarakat.
e. Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Amanah dan jujur merupakan syarat yang sangat penting, akan tetapi juga
harus ditunjang oleh kemampuan dalam melaksanakan tugas. Perpaduan
antara amanah dan kemampuan inilah yang akan menghasilkan kinerja
optimal.
f. Kesungguhan amil zakat dalam melaksanakan tugasnya. Amil zakat yang
baik adalah amil zakat yang full-time dalam melaksanakan tugasnya, tidak
asal-asalan dan tidak pula sambilan. Banyaknya amil zakat yang sambilan
dalam masyarakat kita menyebabkan amil zakat tersebut pasif dan hanya
menunggu kedatangan muzakki untuk membayarkan zakatnya atau
infaknya, dan sebagian besar adalah bekerja pada bulan ramadhan saja.
35
Mukhtaar Ahaadits, (Bogor: Arafah) hal. 32
39
Kondisi semacam ini harus segera dihentikan dan diganti dengan amil-
amil yang serius, sungguh-sungguh dan menjadikan pekerjaan amil
sebagai pilihan hidupnya.
Di indonesia, berdasarkan Peraturan Menteri Agama RI Nomor 14 tahun
2014, dikemukakan bahwa lembaga zakat harus memiliki persyaratan yang
tercantum dalam Bab VII pasal 56 dan 57, antara lain:
Pasal 56 yang berbunyi: “Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat
membentuk LAZ”.
Pasal 57 yang berbunyi: “Pembentukan LAZ sebagaimana dimaksud dalam pasal
56 wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri setelah
memenuhi persyaratan”:
a. Terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang
pendidikan, dakwah, dan sosial, atau lembaga berbadan hukum
b. Mendapat rekomendasi BAZNAS
c. Memiliki pengawas syariat
d. Memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk
melaksanakan kegiatannya
e. Bersifat nirlaba
f. Memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat
g. Bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Persyaratan tersebut tentu mengarah pada profesionalitas dan transparansi
dari setiap lembaga pengelola zakat. Dengan demikian diharapkan masyarakat
akan semakin bergairah menyalurkan zakatnya melalui lembaga pengelola.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan seputar lembaga zakat,
baik mekanisme pengumpulan, penyaluran maupun pendistribusiannya. Namun
sejauh yang penulis ketahui belum ada peneliti yang menulis tentang
Implementasi kesesuaian Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
40
pengelolaan zakat di LAZISNU. Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, ada
beberapa karya ilmiah yang secara spesifik serumpun dengan judul yang diangkat
penulis. Walaupun objek kajiannya sama (Undang-undang No. 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat), namun terdapat beberapa perbedaan mendasar,
seperti:
Skripsi yang berjudul “Implementasi Undang-undang No. 23 Tahun 2011
tentang pengelolaan zakat di BAZNAS kabupaten tangerang” yang disusun oleh
Luthfi Hidayat program studi Ekonomi Syari‟ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2017. Skripsi ini membahas tentang implementasi UU No. 23 Tahun 2011
di Baznas Kabupaten Tangerang.
Selanjutnya skripsi yang berjudul “Analisis Undang-undang No. 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat di BAZNAS Kota Cimahi” yang disusun oleh
Rahmawati Mahasiswa Universitas Islam Bandung Tahun 2015. Skripsi ini
membahas tentang mekanisme pengumpulan, pendistribusian dan evaluasi
pengelolaan zakat di BAZNAS Kota Cimahi.
Selain itu juga jurnal berjudul “Analisis terhadap undang-undang No. 23
Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat (perspektif hukum islam)” yang disusun
oleh Budi Rahmat Hakim Dosen IAIN Antasari Banjarmasin Tahun 2015. Jurnal
ini menitikberatkan pada peranan negara terhadap pengelolaan zakat dengan
diamandemenkannya undang-undang No. 38 Tahun 1999 menjadi undang-undang
No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dan juga potensi zakat yang begitu
besar dengan mayoritas penduduk muslim mencapai 90% di Indonesia. Hal ini
tentu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah selaku pembuat regulasi dan
masyarakat muslim selaku subjek zakat terutama sebagai muzakki agar dapat
memaksimalkan potensi zakat yang ada.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
Zakat merupakan sebuah kewajiban yang harus ditunaikan umat islam.
Zakat memiliki beberapa fungsi, baik yang berkaitan dengan hubungan manusia
dengan Allah maupun hubungan sosial kemasyarakatan, diantaranya adalah36
:
36
Didin Hafidhhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, Gema Insani, Jakarta, 2002, hal. 7
41
1. Mengingatkan kepada orang-orang mukmin agar selalu bersyukur atas
nikmat yang telah diberikan oleh Allah Swt.
2. Menolong, membantu dan membina para mustahiq terutama fakir miskin
ke arah kehidupan yang lebih baik dan sejahtera.
3. Bentuk konkrit dari jamninan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam.
4. Salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang
harus dimiliki umat Islam.
5. Mensosialisasikan etika bisnis yang benar.
6. Merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan.
7. Mendorong umatnya untuk mampu bekerja keras.
Menunaikan zakat memiliki arti penting bagi umat muslim, Islam
menganjurkan umatnya untuk menjadi dermawan dalam membelanjakan setiap
harta yang dimilikinya karena disetiap harta yang kita miliki terdapat hak untuk
orang lain. Oleh karena itu, pendistribusian harta harus diatur dengan baik
sehingga yang kuat dapat mengangkat yang lemah. Maka melalui sebuah wadah
lembaga zakat, infaq dan sedekah orang yang mampu dapat memberikan hartanya
kepada yang berhak menerimanya, seperti fakir miskin, yatim piatu dan kaum
dhuafa. Kewajiban zakat secara tegas tercantum dalam Al-qur‟an pada surat At-
Taubah ayat 60 yaitu:
ب ه ع ه بي ع ان بك غ ان اء ش م ف ه ذلبد ن ب انص إ
خ ف ن ؤ ان م للا ج ف ع ي بس غ ان لبة ف انش ى هث ل
ى ى حك ه ع للا للا م فشعخ ي ج انغ اث
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
42
Menurut Tafsir Prof Quraish Shihab Surah At-Taubah ayat 6037
:
Zakat yang diwajibkan itu hanya akan diberikan kepada orang yang tidak
mendapatkan sesuatu yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya, orang sakit
yang tidak dapat bekerja dan tidak memiliki harta, orang yang bertugas
mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, muallaf karena diharapkan
keislamannya dan manfaatnya untuk membantu dan membela agama Allah (orang
yang berdakwah kepada Islam). Selain itu zakat juga digunakan untuk
membebaskan budak dan tawanan, melunasi utang orang-orang yang berutang dan
tidak mampu membayar.
Zakat juga digunakan untuk memasok perbekalan para mujahidin yang
berjihad dijalan Allah serta berbagai jalan kebaikan dan ketaatan yang
berhubungan dengan jihad. Membantu para musafir yang terputus dari
kemungkinan melanjutkan perjalanan dan terasingkan dari keluarganya. Allah
mensyariatkan itu semua sebagai kewajiban dari Nya demi kemaslahatan hamba-
hamba Nya. Allah Maha Mengetahui maslahat makhluk Nya dan Maha Bijaksana
atas apa yang disyariatkan.
Zakat adalah sebuah ketentuan untuk mengumpulkan harta dari orang kaya
untuk didistribusikan kepada fakir miskin. Harta yang didistribusikan itu
sebenarnya adalah hak fakir miskin yang terdapat harta orang kaya. Pengumpulan
dan distribusi zakat dilakukan oleh pemerintah untuk orang-orang yang berhak
menerima (mustahiq), terutama dalam rangka mengentaskan kemiskinan. Zakat
dapat didistribusikan kepada fakir, miskin, orang yang sedang berada dalam
perjalanan. Selain itu zakat juga bisa dimanfaatkan untuk pinjaman atau untuk
kepentingan sosial seperti membayarkan utang orang yang tidak mampu
membayar.
Pada masa awal sejarahnya, dalam masyarakat Islam sangat jarang
ditemukan orang yang kelaparan dan mengemis untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya karena begitu banyaknya zakat yang terkumpul, sampai-sampai amil
zakat mengeluh tidak menemukan orang yang akan diberi zakat. Diriwayatkan
37
https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-60#tafsir-quraish-shihab, artikel diakses pada 10 Oktober 2018
43
bahwa seorang amil zakat di wilayah Afrika mengeluh kepada Khalifah Umar bin
Abdul Aziz karena dia tidak menemukan seorang fakir yang akan diberi zakat.
Umar lalu berkata kepadanya, “Bayarkan utang orang-orang yang berutang”. Amil
zakat itu pun kemudian melaksanakan perintah itu, tetapi kemudian mengeluh
lagi. Umar pun berkata, “Beli dan tebuslah budak, karena hal ini termasuk salah
satu cara pembagian zakat”. Sebenarnya apabila zakat itu dikumpulkan kemudian
dikeluarkan pada jalannya, maka akan terlihat dari penerapannya bahwa zakat
adalah bentuk sistem takaful ijtimaiy yang paling agung.
Zakat diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat. Pengelolaan berarti proses yang memberikan pengawasan pada
semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan38
. Berdasarkan
Undang-undang No. 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, yang dimaksud
pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengoordinasian
dalam pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Pendistribusian
zakat telah diatur dalam pasal 25 dan pasal 26 yang dinyatakan bahwa zakat wajib
didistribusikan kepada mustahiq sesuai dengan syariat Islam. Pendistribusian
zakat sebagaimana dimaksud pasal 25 dilakukan berdasarkan skala prioritas
dengan memperhatikan prinsip pemertaan, keadilan dan kewilayahan.
Pendistribusian zakat selain disalurkan dalam bentuk konsumtif juga dapat
disalurkan dalam bentuk zakat produktif untuk dapat meningkatkan kesejahteraan
mustahiq. Bentuk pendistribusian zakat produktif berupa pinjaman modal usaha
dengan harapan modal yang diberikan dapat mengembangkan usaha yang
dijalankan oleh penerima manfaat.
Dalam Peraturan Menteri Agama No. 52 Tahun 2014 tentang syarat dan
tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah serta pendayagunaan zakat
untuk usaha produktif pada pasal 33 dijelaskan bahwa pendayagunaan zakat untuk
usaha produktif dapat dilakukan dengan syarat:
1. Apabila kebutuhan dasar mustahik terpenuhi
2. Memenuhi ketentuan syariah
3. Menghasilkan nilai tambah ekonomi untuk mustahik, dan
38
Kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 12 Oktober 2018
44
4. Mustahik berdomisili di wilayah kerja lembaga pengelola zakat.
Adapun pasal 34 tentang prosedur pendayagunaan usaha produktif
mempunyai ketentuan sebagai berikut:
1. Penerima manfaat merupakan perorangan atau kelompok yang memenuhi
kriteria mustahiq.
2. Mendapat pendampingan dari amil zakat yang berada di wilayah domisili
mustahiq.
Pada dasarnya zakat bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan umat dan
mengurangi angka kemiskinan. Menurut Undang-undang No. 11 Tahun 2011
tentang kesejahteraan sosial pada pasal 1 yang dimaksud dengan kesejahteraan
sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga
negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian
Program Lembaga
ZAKAT
Undang-Undang No. 23
Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat
Lembaga Amil Zakat
Sesuai atau tidak dengan
ketentuan Undang-
undang
45
BAB III
GAMBARAN UMUM LAZISNU DAN METODO PENELITIAN
A. Gambaran Umum LAZISNU
1. Sejarah Berdirinya LAZISNU39
LAZISNU berdiri pada tahun 2004 sebagai sarana untuk membantu
masyarakat sesuai amanat Muktamar yang ke-31 di Asrama Haji Donohudan,
Boyolali, Jawa tengah. LAZISNU secara yuridis-formal dikukuhkan oleh SK
Menteri Agama No. 65/2005 untuk melakukan pengelolaan zakat, Infak, dan
Sedekah kepada masyarakat luas. LAZISNU merupakan lembaga nirlaba milik
perkumpulan Nahdhatul Ulama yang bertujuan berkhidmat dalam rangka
membantu kesejahteraan umat, mengangkat harkat sosial dengan
mendayagunakan dana zakat, infak, sedekah serta wakaf (ZISWAF).
a. Pada tahun 2004 (1425 Hijriyah) Lembaga Amil Zakat, Infak, dan
Sedekah (LAZISNU) lahir dan berdiri sebagai amanat dari Muktamar
Nahdhatul Ulama (NU) yang ke-31 di Asrama Haji Donohudan, Boyolali,
Jawa Tengah. Ketua Pengurus Pusat (PP) LAZISNU yang pertama adalah
Prof. Dr. H. Fathurrahman Rauf, MA., yakni seorang akademisi dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Pada tahun 2005 (1426 Hijriyah) secara yuridis-formal LAZISNU diakui
oleh dunia perbankan dan dikukuhkan oleh Surat Keputusan (SK) Menteri
Agama No. 65 Tahun 2005.
c. Pada tahun 2010 (1431 Hijriyah) pada Muktamar Nahdhatul Ulama (NU)
ke-32 di Makassar, Sulawesi Selatan, memberi amanah kepada KH.
Masyhuri Malik sebagai Ketua PP LAZISNU untuk masa kepengurusan
2010-2015. Hal itu telah diperkuat oleh SK Pengurus Besar Nahdhatul
Ulama (PBNU) No. 14/A.II.04/6/2010 tentang Susunan Pengurus
LAZISNU masa khidmat 2010-2015.
39
www.nucare.id
46
d. Pada tahun 2015 (1436 Hijriyah) dengan berdasarkan Surat Keputusan
Nomor: 15/A.II.04/09/2015, Pengurus Pusat LAZISNU masa khidmat
2015-2020 diketuai oleh Syamsul Huda, SH.
e. Pada tahun 2016 (1437 Hijriyah) dalam upaya meningkatkan kinerja dan
meraih kepercayaan masyarakat, LAZISNU menerapkan Sistem
Manajemen ISO 9001:2015, yang dikeluarkan oleh Badan Sertifikasi
NQA dan UKAS Management System dengan nomor sertifikat: 49224
yang telah diterbitkan pada tanggal 21 Oktober 2016. Dengan komitmen
manajemen MANTAP (Modern, Akuntabel, Transparan, Amanah dan
Profesional).
Sampai saat ini LAZISNU telah memiliki jaringan pelayanan dan
pengelolaan ZIS di 12 Negara, 34 Provinsi, dan 376 Kabupaten/Kota di Indonesia.
LAZISNU sebagai lembaga filantropi akan terus berupaya untuk meningkatkan
kepercayaan dari para donatur yang semua sistem pencatatan dan penyalurannya
akan bisa dilihat secara real time melalui sistem IT.
2. Legalitas Hukum
LAZISNU merupakan lembaga nirlaba milik perkumpulan Nahdhatul
Ulama. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa Nahdhatul Ulama
merupakan Organisasi Sosial Keagamaan dan Kemasyarakatan yang didirikan
pada tanggal 31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 H di Kota Surabaya Jawa Timur.
Nahdhatul Ulama sendiri berbadan hukum pertama kali pada tanggal 6 Februari
1930 M, yang kemudian diperbaharui 1989 M, berdasarkan keputusan Menteri
Kehakiman Republik Indonesia No. C2-7028.HT.01.05.TH89.
Adapun legalitas LAZISNU tercantum dalam Surat Keputusan Menteri
Agama Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pengukuhan
Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqah Nahdhatul Ulama (LAZSINU) sebagai
Lembaga Amil Zakat.
3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud dan tujuan LAZISNU adalah sebagai berikut:
47
a. Terciptanya tertib administrasi pengelolaan zakat, infak dan sedekah di
lingkungan Nahdhatul Ulama khususnya dan Masyarakat muslim pada
umumnya
b. Optimalisasi pengelolaan zakat, dana ZIS dikelola oleh LAZISNU di
Indonesia dan berbagai negara.
c. Terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan zakat
d. Terciptanya sumber daya manusia (amil) yang profesional
e. Terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Visi dan Misi
a. Visi
Bertekad menjadi lembaga pengelola dana masyarakat (zakat,
infak, sedekah, wakaf, CSR, dll) yang didayagunakan secara amanah dan
profesional untuk kemandirian umat.
b. Misi
1) Mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk mengeluarkan
zakat, infak, sedekah dengan rutin.
2) Mengumpulkan/menghimpun dan mendayagunakan dana zakat,
infak, dan sedekah secara profesional, transparan, tepat guna dan
tepat sasaran.
3) Menyelenggarakan program pemberdayaan masyarakat guna
mengatasi problem kemiskinan, pengangguran, dan minimnya
akses pendidikan yang layak.
5. Struktur Organisasi
Pengurus Pusat Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Nahdhatul
Ulama (PP LAZISNU) masa khidmat 2015-2020 resmi dikukuhkan pada tanggal
16 September 2015 di halaman Gedung PBNU Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat.
Pengurus Pusat LAZISNU disahkan melalui surat keputusan Nomor.
15/A.II.04/09/2015 dan ditandatangani oleh Rais Aam KH. Ma‟ruf Amin, Katib
48
Aam KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siroj, dan
Sekjen PBNU H.A Helmy Faishal Zaini.
Adapun Struktur Organisasi Pengurus Pusat LAZISNU periode (2005-
2020) adalah sebagai berikut40
:
Penasihat :
1. KH. Najib Abdul Qadir
2. KH. Ali Akbar Marbun
3. KH. Zamzami Amin
4. H.M. Sulton Fatoni, M.Si
5. KH. Muadz Thohir
6. H. Muhammad Said Aqil, S.Pd
Ketua :
Achmad Sudrajat, Lc., MA.
Wakil Ketua :
1. Dohir Farisi
2. M. Ichsan Loulembah
3. Hafid Ismail
4. Ahmad Basarah
5. Jazilul Fawaid
6. Drs. Aziz Ahmadi
7. H. Ubaidillah Amin
8. Danang Sangga Buwana
9. Dr. Iqbal Irfani
Sekretaris :
Abdur Rouf, M.Hum
Wakil Sekretaris :
1. H. Ridwan Taiyeb, S.pd.I
2. Abdurrouf, M.Hum
3. Maulana Syahiduzzaman 40
Dokumen LAZISNU 2018
49
4. Nur Rohman
5. Faridah Faricha
Bendahara :
H. Abdullah Mas‟ud, M.Si
Wakil Bendahara :
1. Sabilillah Ardi
2. Fahma Mikaila
3. Solihin, MM.
4. Adna Khoirotul A‟yun
6. Fungsi dan Tugas Pokok Organisasi
a. Dewan Pertimbangan
1) Fungsi
Memberikan pertimbangan, fatwa, saran kepada Badan
Pelaksana/Pengurus Baznas dalam pengelolaan ZIS menyangkut aspek hukum
syariah dan aspek managerial.
2) Tugas Pokok
a) Memberikan garis-garis kebijakan umum kepada Pengurus LAZISNU.
b) Mengesahkan rencana kerja Pengurus LAZISNU yang telah disetujui
Komisi Pengawas.
c) Mengeluarkan fatwa baik diminta maupun tidak diminta.
d) Memberikan pertimbangan, persetujuan/rekomendasi atas rencana dan
laporan kerja Pengurus LAZISNU.
e) Menunjuk akuntan publik.
b. Komisi Pengawas
1) Fungsi
Sebagai internal LAZISNU melakukan pengawasan terhadap seluruh
aktivitas/operasional LAZISNU.
2) Tugas Pokok
a) Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah disahkan.
50
b) Mengawasi pelaksanaan kebijakan umum yang ditetapkan Dewan
Pertimbangan.
c) Mengawasi operasional pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan
ZIS.
d) Melakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kinerja Pengurus
LAZISNU.
c. Badan Pelaksana
1) Fungsi
Sebagai pelaksana pengelolaan zakat
2) Tugas Pokok
a) Membuat rencana kerja.
b) Melaksanakan operasional pengelolaan zakat sesuai rencana kerja yang
telah disahkan dan sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan.
c) Menyusun laporan tahunan.
d) Menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada pemerintah.
e) Bertindak dan bertanggungjawab untuk dan atas nama Badan Amil Zakat
ke dalam maupun ke luar.
B. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis. Pendekatan yuridis
diartikan sebagai penelitian hukum dimana hukum tidak dikonsepsikan sebagai
suatu gejala normatif yang mandiri, tetapi sebagai suatu institusi sosial yang
dikaitkan secara riil dengan informan sosial lain. Menurut pandangan penelitian
ini, hukum dipelajari sebagai suatu peraturan yang menimbulkan akibat-akibat
pada berbagai kehidupan sosial41
. Adapun sisi yuridis dalam penelitian ini akan
meninjau peraturan perundang-undangan yaitu, Undang-undang No. 23 Tahun
41 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), hal 6
51
2011 tentang pengelolaan zakat yang akan menjadi dasar yuridis dalam
pengelolaan zakat yang dilakukan oleh LAZISNU.
Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif
yaitu penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya42
.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sebagai berikut:
a. Sumber data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber yang
otentik dalam bentuk peraturan perundang-undangan tentang zakat dan
subyek penelitian sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer
adalah kata-kata dan tindakan orang-orang yang diamati atau
diwawancarai. Sumber data primer pada penelitian ini penulis peroleh baik
melalui kegiatan observasi dengan ikut terlibat secara langsung dalam
mengamati proses pengelolaan zakat di LAZISNU maupun hasil dari
wawancara dengan pihak terkait.
b. Sumber data sekunder, yaitu data-data yang berasal dari orang kedua atau
bukan data yang datang langsung, akan tetatpi data-data ini mendukung
pembahasan dari penelitian ini. Adapun sumber data sekunder pada
penelitian ini meliputi buku atau dokumentasi yang berkaitan dengan
masalah, pendapat ahli hukum dan laporan-laporan hasil penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah dengan
meggunakan metode dokumentasi dan metode interview atau wawancara.
a. Metode Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data
historis berupa catatan, buku-buku, dokumen, peraturan-peraturan, notulensi rapat
dan sebagainya. Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan
data berupa tulisan yang sehubungan dengan obyek penelitian yang akan dibahas
dalam peelitian serta digunakan sebagai metode penguat dari hasil metode
42
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), hal 6
52
interview atau wawancara. Dokumentasi yang dimaksud dalam hal ini dalah
dokumentasi yang dijadikan acuan berupa arsip atau dokumen dari LAZISNU.
b. Metode Interview
Interview yaitu suatu kegiatan mencari, menggali dan mengumpulkan
informasi dengan menggunakan sejumlah pertanyaan secara lisan dan dijawab
dengan lisan pula. Metode wawancara digunakan untuk memperoleh informasi
terkait hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan. Dengan
menggunakan teknik ini diharapkan dapat memperoleh jawaban secara langsung,
faktual dan valid serta keterangan yang lengkap dari informan sehubungan dengan
obyek penelitian. Dalam hal ini yang bertindak sebagai informan adalah Pimpinan
LAZISNU.
4. Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang sangat penting dalam sebuah
penulisan, karena pada tahap ini data dapat dikerjakan dan dimanfaatkan
sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah pemahaman yang benar-benar
dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
dirumuskan oleh data43
.
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis isi, yaitu pengolahan
data dengan cara pemilahan tersendiri berkaitan dengan pembahasan dari
beberapa gagasan para tokoh yang kemudian di deskripsikan, dibahas dan dikritik.
Saelanjutnya dikelompokkan dengan data yang sejenis dan dianalisa isinya secara
kritis untuk mendapatkan hasil yang riil dan memadai, sehingga pada akhirnya
dijadikan sebagai langkah dalam mengambil kesimpulan sebagai jawaban dari
rumusan masalah yang ada.
Adapun analisis data yang dimaksud terbatas pada beberapa pasal utama 5
(lima) yang terdiri dari asas, jenis zakat, kelembagaan, pengelolan dan peran serta
masyarakat yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat.
43
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2001), hal 103
53
BAB IV
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT DI LAZISNU
A. Pengumpulan Zakat
Al-Qur‟an mengamanatkan kepada amilin zakat untuk mengambil zakat
dari harta orang-orang Islam. Hal tersebut ditegaskan oleh Allah Swt. dalam Al-
Qur‟an Surat At-Taubah Ayat 103 sebagai berikut:
صم ب ى ث ك ض ر ى ش ط خ ر ى صذل ان ي أ ز ي خ
ى ه ع ع ع للا ى ن ك ك ع صلر ى إ ه ع
Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu
kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo‟alah untuk mereka.(QS.
at-Taubah : 103)
Firman Allah Swt. tersebut memerintahkan kepada semua mahluk-Nya
untuk memungut/mengambil zakat dari sebagian harta para muzakki untuk
diberikan kepada mustahik zakat. Zakat ini dipergunakan selain untuk dimensi
ibadah yaitu sebagai salah satu rukun Islam juga sebagai dimensi sosial yaitu
untuk memperkecil jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, mengembangkan
solidaritas sosial, menghilangkan sikap materialisme dan individualisme.
Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Zakat
hal tersebut dijelaskan dalam BAB III yang terdiri dari beberapa pasal-pasal
sebagai berikut :
Pasal 21 yang berbunyi:
1. Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki melakukan penghitungan
sendiri atas kewajiban zakatnya
2. Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki
dapat meminta bantuan BAZNAS.
54
Pasal 22 yang berbunyi: “Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS
atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak”.
Pasal 23 yang berbunyi:
1. BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap
muzaki
2. Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan
sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Pengumpulan zakat di LAZISNU dibagi menjadi dua kategori, yaitu
pengumpulan zakat fitrah dan pengumpulan zakat mal. Dalam upaya
pengumpulan zakat fitrah, LAZISNU membentuk unit pengelolaan zakat, infaq
dan sedekah (ZIS) di tingkat provinsi sebanyak 34 unit, di tingkat kabupaten
sebanyak 376 unit, dan juga tersebar di 12 negara.
Kesadaran masyarakat dalam berzakat melalui Unit Pengumpul Zakat,
Infaq dan Sedekah (UPZIS) tercatat dalam statistik zakat Indonesia terus
mengalami tren yang meningkat. Pada bagian ini dipaparkan realisasi laporan
pencapaian pengelolaan zakat di Indonesia tahun 2017 beserta dengan presentase
dan pertumbuhannya.
55
Tabel 1. Penghimpunan Nasional berdasarkan Jenis Dana
No. Jenis
Dana 2016
Presentase 2017 Presentase
1. Zakat 55.463.248.209 92,60% 19.013.481.548 9,50%
2.
Infaq
Sedekah 1.524.144.342 2,50% 168.136.699.498 84%
Terikat
3.
Infaq
Sedekah
7.221.772.460 3,60% tidak
terikat
4.
Dana
Amil
dari 2.919.118.327 4,90% 1.844.445.708 0,90%
alokasi
zakat
5.
Dana
Amil
dari
4.091.833.199 2% alokasi
infaq
sedekah
6.
Dana
Amil
lainnya 868.970 0%
7.
Dana
non
halal 305.947 0% 3.065.462 0%
Jumlah 59.907.685.795 100%
200.311.297.875 100%
Sumber data: (www.nucare.id)
Penghimpunan nasional merupakan total dana yang dihimpun oleh unit
pengelolaan zakat, infaq dan sedekah (UPZIS) NU CARE-LAZISNU se-
Indonesia selama setahun. Jenis dana yang dihimpun LAZISNU ini mencakup
antara lain sebagai berikut:
1. Penerimaan zakat, terdiri dari zakat mal individu dan badan usaha serta
zakat fitrah.
2. Peneriamaan infaq/sedekah terikat, mencakup infaq/sedekah individu dan
badan usaha maupun Corporate Social Responsibility (CSR) dan Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
56
3. Penerimaan infaq/sedekah tidak terikat, mencakup individu dan badan
usaha.
4. Dana amil dari alokasi zakat.
5. Dana amil dari alokasi infaq sedekah.
6. Dana amil lainnya.
7. Dana non halal.
Total penghimpunan nasional pada tahun 2017 sebesar 200 milyar rupiah.
Jumlah ini meningkat drastis dari total penghimpunan pada tahun sebelumnya.
Proporsi dana zakat, khususnya zakat mal atas penghasilan individu masih
mendominasi total penghimpunan, namun tidak sedominan tahun sebelumnya,
yakni sebesar 92,6 % dengan nilai 55 miliar rupiah. Proporsi tersebut menurun
sejauh 83,1 % dari tahun sebelumnya dengan jumlah dana menurun sekitar 46
miliar rupiah44
.
Proporsi terbesar kedua dari total penghimpunan nasional tahun 2017
merupakan dan infaq/sedekah hanya mencapai 87,6 % dari total penghimpunan
nasional atau senilai 200 miliar rupiah. Jumlah ini terdiri dari infaq/sedekah
perorangan maupun badan usaha baik terikat maupun tidak terikat. Penerimaan
infaq/sedekah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan dibandingkan
tahun sebelumnya sekitar 174 miliar rupiah dengan proporsi terhadap total
penghimpunan nasional yang juga meningkat sebesar 85,1 %, begitu juga dengan
penerimaan lainnya mengalai kenaikan yang signifikan. Total kenaikan zakat pada
tahun 2017 adalah sebanyak 334,36 %, kemudian kenaikan penghimpunan zakat
pada tahun 2018 sebesar 252,72 %.
Tabel 2. Presentase kenaikan penghimpunan zakat LAZISNU
2016
2017
2018
Presentase
Kenaikan
59.907.685.795
200.311.297.875
334,36 %
44
Outlook NUCARE-LAZISNU “Energy of Zakat” 2018
57
200.311.297.875
506.234.515.800
252,72 %
Berdasarkan tabel diatas dapat kita lihat bahwa secara nominal penghimpunan
zakat, terjadi kenaikan yang cukup signifikan dari tahun 2016 hingga 2018,
namun secara presentase terjadi penurunan yang terjadi pada tahun 2018. Adapun
faktor penyebab terjadinya penurunan penghimpunan menurut hemat penulis
adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Belum maksimalnya campaign zakat yang dilakukan oleh LAZISNU di
dunia maya
2. Masih minimnya konter-konter zakat yang ada di kota-kota besar
Namun, guna mengatasi masalah-masalah diatas penulis mempunyai gagasan
untuk terus menaikkan penghimpunan zakat yang dilakukan oleh LAZISNU, yaitu
sebagai berikut:
1. Bekerjasama dengan e-commerce, web platform dan crowd funding
2. Bekerjasama dengan perusahaan retail dengan membuka konter zakat yang
tersebar di kota-kota besar guna memudahkan muzakki dalam menunaikan
kewajibannya.
B. Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat
Al-qur‟an telah menjelaskan secara rinci terkait peruntukan atau penerima
manfaat zakat adalah mereka yang tergolong kedalam 8 ashnaf, adapun 8 ashnaf
tersebut dijelaskan dalam Surat At-taubah ayat 60:
ب ه ع ه بي ع ان بك غ ان اء ش م ف ه ذلبد ن ب انص إ
خ ف ن ؤ ان م للا ج ف ع ي بس غ ان لبة ف انش ى هث ل
ى ى حك ه ع للا للا م فشعخ ي ج انغ اث
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
58
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Q.S. At-taubah: 60).
Berdasarkan penjelasan ayat diatas bahwa pendistribusian zakat harus
sampai kepada 8 ashnaf diatas, walaupun dalam perkembangannya mengalami
perluasan makna karena menyesuaikan dengan perkembangan situasi dan kondisi.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 telah mengatur perihal
pendistribusian dan pendayagunaan zakat yaitu dalam Bab III Bagian Kedua pasal
25 dan 26, dan Bagian Ketiga pasal 27 sebagai berikut:
Bagian Kedua, Pendistribusian. Pasal 25 yang berbunyi: “Zakat wajib
didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam”.
Pasal 26 yang berbunyi: “Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip
pemerataan, keadilan, dan kewilayahan”.
Bagian Ketiga, Pendayagunaan. Pasal 27 yang berbunyi:
1. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka
penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat
2. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha
produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri
Adapun dalam melaksanakan pengelolaan zakat yang telah tercantum dalam
pasal 25, 26 dan 27 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat yang terdapat di LAZISNU dalam bentuk pendistribusian dan
pendayagunaan zakat adalah sebagai berikut:
59
Tabel 3. Jumlah Dana Tersalur
No. Keterangan 2016 2017
Jumlah Dana Presentase Jumlah Dana Presentase
1. Fakir Miskin 51.614.121.438 87,77% 13.569.332.380 7,05%
2. Fi Sabilillah 3.961.372.925 6,73% 2.391.857.664 1,25%
3. Ibn Sabil - - 747.102.119 0,39%
4.
Penyaluran
1.378.659.211 2,38% 165.103.215.561 85,84% Infaq
Sedekah
Terikat
5.
Penyaluran
- - 5.011.217.076 2,70% Infaq
Sedekah
tidak Terikat
6.
Sosialisasi dan 128.679.499 0,25% 1.397.586.640 0,73%
Edukasi
7. Belanja
1.264.082.138 2,17% 1.752.329.377 0,91% Pegawai
8. Administrasi
1.392.939.307 17,99% 1.594.961.425 0,83% Umum
9. Beban
- - 779.419.649 0,40%
Penyusutan
10. Beban Amil
6.783.883 0,01% - - Lainnya
11.
Penggunaan
130.573 0,00% Dana Non
Halal
Jumlah 58.846.648.401 100% 192.347.152.444 100% Sumber data: (www.nucare.id)
Penyaluran nasional berdasarkan keseluruhan merupakan total dana yang
disalurkan oleh NU CARE-LAZISNU se-Indonesia beserta jumlah penerima
manfaatnya selama setahun dilihat dari golongan penerima manfaatnya.
Penyaluran ini dilihat dari dua aspek, yakni jumlah dana yang disalurkan dan
jumlah penerima manfaat dan tersebut45
.
45
Outlook ZAKAT NUCARE-LAZISNU “Energy of Zakat” 2018
60
Sesuai dengan Surat At-taubah ayat 60, penerima (mustahik) zakat ada 8
(delapan) golongan yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, qirob, gharimin, fi sabilillah
dan ibnu sabil. Namun karena ashnaf fakir dan miskin kerap kali berada
dilingkungan yang sama dan sulit dipisahkan, penyalurannya pun dilakukan
bersamaan untuk kedua ashnaf tersebut, sehingga dalam hal ini fakir dan miskin
langsung digabungkan ke dalam satu kelompok yaitu fakir miskin.
Pada tahun 2016, fakir miskin merupakan kelompok yang menerima
penyaluran tertinggi. Ashnaf fakir miskin memiliki proporsi sebesar 88,77 % dari
total dana yang disalurkan. Proporsi ini 80 % lebih besar dari pada proporsi di
tahun 2017, secara penyalurannya lebih dari 38 miliar rupiah lebih sedikit
daripada penyalurannya di tahun 2016.
Secara umum proporsi penyalurannya untuk dua ashnaf penerima manfaat
terbesar yakni fakir miskin dan fi sabilillah pada tahun 2017 mengalami
penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dan sebaliknya penyaluran
infaq dan sedekah terikat mengalami peningkatan yang sangat signifikan dalam
proporsi penyaluran. Hal ini menunjukkan bahwa penyaluran pada tahun 2017
lebih meratakan antarkelompok tersebut, meskipun perbedaan proporsinya cukup
banyak.
Berikut Penyaluran zakat berdasarkan ashnaf:
Tabel 4. Total Penyaluran Zakat Berdasarkan Ashnaf
No. Ashnaf
2016 2017
Penyaluran %
Penyaluran %
Dana Dana
1. Fakir 25.807.060.719 43,86 6.784.666.190 3,53
2. Miskin 25.807.060.719 43,86 6.784.666.190 3,53
3. Amil 2.792.484.827 4,75 10.535.644.740 5,47
4. Muallaf 753.121.326 1,27 67.565.323.334 35,12
5. Riqob 347.436.230 0,6 45.989.123.207 24
6. Gharimin 278.101.655 0,5 51.548.769.020 25,7
7. Fi Sabilillah 3.961.372.925 6,75 2.391.857.644 1,25
61
8. Ibnu Sabil - - 747.102.119 0,4
Total 58.846.648.401 100 192.347.152.444 100
No. Ashnaf
2017 2018
Penyaluran %
Penyaluran %
Dana Dana
1. Fakir 6.784.666.190 3,53
2. Miskin 6.784.666.190 3,53
3. Amil 10.535.644.740 5,47
4. Muallaf 67.565.323.334 35,12
5. Riqob 45.989.123.207 24
6. Gharimin 51.548.769.020 25,7
7. Fi Sabilillah 2.391.857.644 1,25
8. Ibnu Sabil 747.102.119 0,4
Total 192.347.152.444 100 498.324.121.580
Sumber data: (www.nucare.id)
Tabel diatas menunjukkan bahwa proporsi terbesar penyaluran dari tahun
2016 yaitu ashnaf fakir miskin yang mencapai lebih dari 87 %, akan tetapi pada
tahun2017 mengalami penurunan yang sangat signifikan yaitu hanya di angka 7
%. Penurunan tersebut disebabkan karena pada tahun 2017 pengeluaran zakat
terpusat atau didominasi oleh program-program yang melibatkan ashnaf lain.
Selanjutnya urutan terbesar kedua pada tahun 2016 adalah oenyaluran zakat bagi
amil zakat sebesar 4,7 %. Sedangkan pada tahun 2017 penyaluran diberikan
terbanyak diberikan kepada muallaf sebesar 35,1 %.
62
Tabel 5. Penyaluran Berdasarkan Bidang
No. Bidang 2016 2017 2018
1. Sosial Keagamaan 31,30% 17,33%
2. Kebencanaan 10,39% 11,69%
3. Kesehatan 15,53% 18,56%
4. Pendidikan 30,21% 20,53%
5. Ekonomi 12,51% 31,89%
Sumber data: (www.nucare.id)
Penyaluran dana berdasarkan bidang dapat dikategorikan menjadi 9
(sembilan) bidang yaitu Sosial keagamaan, kebencanaan, kesehatan, pendidikan,
ekonomi, hukum-HAM dan kemanusiaan, kebudayaan dan pariwisata, sumber
daya alam dan pengolahan lingkungan hidup dan energi. Pada tahun 2016
proporsi penyaluran paling tinggi dicapai oleh bidang sosial keagamaan yaitu
31,30 % dan diikuti oleh bidang pendidikan sebesar 30,21 % dari total
keseluruhan dana penyaluran. Sedangkan penyaluran dengan proporsi terendah
pada tahun 2016 yaitu bidang kebencanaan yang hanya 10,39 %.
Pada tahun 2017 penyaluran dalam bidang sosial keagamaan, pendidikan,
kesehatan dan kebencanaan berada dalam rentang 11 %-20 %. Adapun penyaluran
tertinggi yaitu dalam bidang ekonomi sebesar 31,89 %.
Sedangkan penyaluran hingga akhir tahun 2018 diperkirakan masih akan
terus meningkat mengingat kondisi dalam negeri yang sedang mengalami
beberapa kejadian bencana alam. Hal ini diperkirakan masih akan terus meningkat
hingga tahun 2019 dikarenakan proses recovery dan rehabilitasi daerah yang
terdampak bencana masih akan terus dilaksanakan.
Dalam menjalankan penyalurannya NU CARE-LAZISNU memiliki 7
(tujuh) prinsip, yaitu sebagai berikut:
1. Amanah, dimana semua yang terlibat dalam penyaluran baik perorangan
maupun lembaga melaksanakan dengan amanah
63
2. Gotong royong, dimana semua yang terlibat dalam penyaluran saling
membantu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
3. Kemanfaatan, pelaksanaan program dilakukan untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya bagi masyarakat (rahmatan lil „alamin).
4. Berkelanjutan, diaman program dapat dilakukan secara mandiri dan
berkelanjutan.
5. Partisipatif, pelaksanaan program melibatkan secara langsung mustahik
atau penerima manfaat.
6. Terintegrasi, yang berarti pelaksaan program teritegrasi dan berkontribusi
terhadap tujuan pembangunan daerah, tujuan pembangunan nasional dan
tujuan pembangunan global
7. Terukur, yaitu program penyaluran dapat diukur tingkat penghasilannya,
memiliki kelengkapan data dan dokumentasi.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU
Berdasarkan hasil pengamatan yang penulis lakukan dari hasil wawancara
dengan pengurus LAZISNU, diperoleh informasi tentang faktor pendukung dan
penghambat pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat sebagai berikut:46
1. Faktor Pendukung
Adapun faktor pendukung pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat adalah sebagai berikut:
a. Hadirnya undang-undang yang mengatur tentang pengelolaan zakat
merupakan bentuk perhatian negara dan tata kelola zakat mempunyai
kepastian hukum, hal ini menjadi suatu acuaan dalam menjalankan fungsi
pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat oleh amil zakat.
46
Hasil wawancara dengan pengurus LAZISNU Achmad Sudrajat Lc., MA.
64
b. Dukungan dan bantuan dari seluruh elemen Nahdhatul Ulama yang
tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
c. Mempunyai lokasi yang strategis, keberadaan LAZISNU di Jakarta Pusat
tepatnya di Jalan Kramat Raya menjadikan informasi mengenai zakat lebih
faktual dan mudah disampaikan kepada masyarakat luas.
d. Mempunyai sumber daya manusia yang berpengalaman, pengurus
LAZISNU merupakan orang-orang yang mempunyai kapabilitas dan
profesionalitas dalam mengoptimalisasikan pengelolaan zakat dan
memberikan pelayanan terbaik kepada muzakki dan mustahik.
2. Faktor Penghambat
Adapun faktor penghambat pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun
2011 tentang pengelolaan zakat adalah sebagai berikut:
a. Sentralisasi pengelolaan zakat oleh pemerintah melalui BAZNAS seakan
membatasi ruang lingkup LAZNAS dalam pengelolaan zakat, sebaiknya
baik BAZNAS maupun LAZNAS mampu berjalan beriringan guna
mencapai tujuan bersama.
b. Anggaran operasional yang minim, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 14
Tahun 2014 bahwa dalam hal operasional LAZ dapat mendayagunakan
dana amil zakat sebesar seperdelapan atau sekitar 12% dari total perolehan
zakat.
c. Kurangnya kesadaran masyarakat berzakat melalui lembaga, hal ini
dikarenakan masih banyak masyarakat yang menyalurkan zakatnya secara
langsung kepada mustahik, yang demikian menjadi pekerjaan rumah bagi
lembaga zakat dalam mensosialisasikan zakat melalui lembaga zakat.
D. Indikator kesesuaian penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat
Indikator ini dilakukan untuk mengukur sejauh mana LAZISNU dalam
mengimplementasikan Undang-undang nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan
zakat secara umum, yaitu sebagai berikut:
65
No. Uraian Kesesuaian
Bukti Ya Tidak
A. Asas
1. Syari'at Islam v Terdapat dalam AD/ART LAZISNU
2. Amanah v Terdapat dalam AD/ART LAZISNU
3. Kemanfaatan v Terdapat dalam AD/ART LAZISNU
4. Kepastian Hukum v Terdapat dalam AD/ART LAZISNU
5. Terintegrasi v Terdapat dalam AD/ART LAZISNU
6. Akuntabilitas v Terdaftar dalam ISO 9001:2015
B. Jenis Zakat
7. Zakat Fitrah v
Berdasarkan SK Kementerian Agama
No. 65/2005
8. Zakat Mal v
Berdasarkan SK Kementerian Agama
No. 65/2005
C. Kelembagaan
9. Izin Menteri v
Berdasarkan SK Kementerian Agama
No. 65/2005
10.
Terdaftar Sebagai
Organisasi Masyarakat v
Milik perkumpulan Nahdhatul Ulama
11. Berbadan Hukum
v
Berdasarkan SK Kementerian
Kehakiman No. C2-
7028.HT.01.05.TH89
12.
Memiliki Pengawas
Syari'at v
Terdapat dalam struktural LAZISNU
13.
Memiliki Kemampuan
Teknis Pengelolaan
Zakat
v
Memiliki sertifikat Manajemen ISO
90001:2015
14. Bersifat Nirlaba v Tercantum dalam profil LAZISNU
15.
Memiliki Program
Pendayagunaan Mustahik v
Adanya rumah batik untuk difabel di
Blora
D. Pengelolaan
16. Pengumpulan Zakat v
LAZISNU melakukan penghimpunan
zakat di 34 Provinsi
17. Pendistribusian Zakat v
LAZISNU menyalurkan zakat sesuai
ashnaf (Outlook Zakat LAZISNU)
18. Pendayagunaan Zakat
v
LAZISNU mendayagunakan zakat
untuk usaha produktif rumah batik di
Blora
19.
Dana Sosial Keagamaan
Lainnya v
Tercantum dalam SK Kementerian
Agama No. 255/2016
20. Pelaporan
v
Tercantum dalam Outlook Zakat
LAZISNU dan Outlook Zakat
BAZNAS
E.
Peran Serta
Masyarakat
21. Pembinaan v
Adanya keterlibatan aktif masyarakat
dalam membangun LAZISNU
22. Pengawasan v
Adanya transparansi informasi melalui
web nucare.id
66
Menurut tabel diatas, ada 5 (lima) variabel yang diukur yaitu Asas, Jenis
Zakat, Kelembagaan, Pengelolaan dan Peran Serta Masyarakat. Dari kelima
variabel tersebut terdapat 22 item indikator dan secara keseluruhan menunjukkan
adanya kesesuaian yang positif dimana pada setiap item indikator telah terpenuhi
dengan bukti-bukti yang telah diberikan. Hal ini berarti LAZISNU sebagai
lembaga amil zakat yang merupakan subjek hukum dari Undang-undang Nomor
23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat telah 100 % mengimplementasikan isi
dari pada Undang-undang tersebut.
E. Analisis SWOT
Analisis SWOT adalah suatu analisis terhadap suatu objek yang dituju
berdasarkan variabel strenght (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunity
(peluang) dan threat (ancaman) yang bertujuan untuk mengetahui efektifitas suatu
objek (dalam hal ini adalah LAZISNU) dalam menjalankan visi dan misi yang
telah dicanangkan oleh lembaga maupun sebagai evaluasi atas program-program
yang sedang atau telah dijalankan. Hasil dari analisis SWOT jika dibarengkan
dengan key performance indikator (KPI) dapat menjadi suatu tolak ukur sejauh
mana presentase keberhasilan yang dilakukan oleh LAZISNU.
Berikut ini adalah analisis swot yang dibuat berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh penulis, yaitu sebagai berikut:
No. Analisis Uraian
1 Strenght a. LAZISNU sebagai LAZNAS memiliki posisi
strategis dalam melakukan pengelolaan zakat secara
nasional
b. LAZISNU telah memperoleh sertfikasi ISO
9001:2015
c. Adanya kepastian hukum dari pemerintah
d. LAZISNU telah memiliki legalitas dalam
menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai
lembaga filantropi.
67
2 Weakness a. Campaign zakat kurang masif
b. Laporan tahunan (outlook zakat) LAZISNU
kurang detail
c. Jumlah layanan yang sedikit
d. Laporan penghimpunan, penditribusian dan
pendayagunaan zakat yang tidak di publikasikan
secara umum
3 Opportunity a. Jumlah warga Nahdhiyyin sekitar 92,6 juta
orang
b. Pengelolaan oleh Amil profesional
c. Negara dengan jumlah penduduk muslim
terbesar di dunia
d. LAZISNU tersebar di 34 Provinsi, 376
Kabupaten/Kota dan 12 Negara
4 Threat a. Adanya sentralisasi pengelolaan zakat oleh
BAZNAS
b. Pendistribusian yang belum tepat sasaran
c. Banyaknya jumlah LAZ menyebabkan adanya
persaingan penghimpunan dana zakat diantara
lembaga
d. Persaingan program kerja antarLAZ
e. Proses penghimpunan yang masih konvensional
f. Sumber daya manusia (amil) yang sedikit
Hasil analisis SWOT diatas dapat kita simpulkan bahwa kelemahan atau
kekurangan daripada LAZISNU yaitu masih adanya sebagian masyarakat
pedesaan yang belum mendapatkan informasi atau campaign zakat untuk berzakat
di lembaga zakat (LAZISNU) sehingga potensi zakat ini masih belum maksimal
penghimpunannya, padahal dengan jumlah masyarakat nahdhiyyin yang
berjumlah sekitar 92,6 juta jiwa dan dengan penduduk mayoritas muslim terbesar
68
di dunia, jika ini bisa terserap semuanya maka bukan tidak mungkin angka
penghimpunan akan melesat signifikan.
Adapun dalam laporan outlook zakat yang disusun oleh LAZISNU masih
terdapat beberapa kekurangan diantaranya adalah laporan cenderung kurang detail
dan spesifik serta belum adanya laporan penyaluran di tahun berjalan. Hal ini
sebagai evaluasi dan monitoring agar kedepan LAZISNU dapat memperbaiki
kekurangan-kekurangan yang ada dan menjadi lembaga zakat yang semakin lebih
baik lagi demi menumbuhkan rasa kepercayaan (trust) masyarakat baik dari
muzakki maupun mustahik sebagai lembaga yang transparan, akuntabel,
profesional dan terpercaya.
69
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjelasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat merupakan era baru pranata pengelolaan zakat yang
telah mengamandemen Undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang
Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kehadiran Undang-
undang ini memberikan sebuah perubahan besar terhadap Undang-undang
sebelumnya dimana terjadi sentralisasi pengelolaan zakat yang dilakukan
pemerintah melalui BAZNAS yang mempunyai kedudukan istimewa
diantaranya BAZNAS sebagai operator zakat juga sebagai koordinator atas
lembaga amil zakat yang ada di Indonesia. Undang-undang ini bertujuan
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan
zakat dan meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dan penanggulangan kemsikinan.
2. Secara keseluruhan pengelolaan zakat yang dilakukan oleh LAZISNU
sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014
tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
pengelolaan zakat. Hal ini dibuktikan dengan Outlook Zakat NUCARE-
LAZISNU yang telah dilaporkan kepada BAZNAS setiap tahunnya dan
juga di perkuat dengan LAZISNU telah mendapatkan sertifikasi ISO 9001
dimana pengelolaan manajemen mutu suatu lembaga telah memenuhi
persyaratan internasional. Namun menurut penulis ada beberapa catatan
yang harus diperhatikan diantaranya adalah masih minimnya program
usaha produktif yang dilakukan oleh LAZISNU, di dalam pasal 27 ayat (1)
dijelaskan bahwa zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam
rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. Hal ini
70
perlu dilakukan mengingat masih banyak masyarakat yang belum mampu
memanfaatkan potensi sumber daya alam yang ada di sekitar mereka,
apabila hal ini dapat dimanfaatkan dengan baik maka bukan tidak mungkin
mereka yang tadinya mustahik zakat akan berdaya menjadi muzakki.
B. Saran
Adapun saran-saran yang penulis berikan kepada LAZISNU adalah
sebagai berikut:
1. LAZISNU hendaknya memberikan pembinaan dan pendampingan kepada
Unit Pengumpul Zakat yang tersebar di 34 provinsi agar dapat
memaksimalkan potensi zakat yang ada agar tercapainya target
penghimpunan zakat.
2. LAZISNU hendaknya melakukan inovasi dalam mensosialisasikan
keberadaan lembaga zakat dan pentingnya berzakat di lembaga zakat
kepada masyarakat luas, ditambah era digital seperti sekarang ini akses
arus informasi bergerak sangat cepat dan dinamis. Hal ini menjadi sebuah
peluang dan tantangan oleh LAZISNU untuk dapat menjawab tantangan
zaman terutama kepada masyarakat urban di perkotaan.
3. Membuat strategi pendataan muzakki agar dapat memproyeksikan
campaign zakat dan mustahik agar tepat sasaran.
4. Kepada masyarakat muslim sebaiknya dapat menyalurkan zakat, infaq dan
sedekah nya kepada lembaga zakat profesional, sehingga zakat tersebut
dapat tersalurkan kepada mereka yang berhak menerimanya dan sesuai
dengan ketentuan Al-qur‟an serta Undang-undang yang berlaku di
Indonesia.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mannan, Muhammad, Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, (Yogyakarta:
PT. Dana Bakti Wakaf, 1995)
Al-Kahlani al-Shan‟ani, Ismail, Subulus-Salam (Bandung: Dahlan, 2005)
Al-Qurthubi, Al-Jami‟ Li Ahkam al-Qur‟an, (Beirut Lebanon: Daar el-Kutub
„Ilmiyyah, 1413 H/1993 M)
Budi Rahmat, Hakim. “Analisis Terhadap Undang-Undang No. 23 Tahun 2011
Tentang Pengelolaan Zakat (Perspektif Hukum Islam)” SYARIAH Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 15, Nomor 2, 2015
Daud Ali, Muhammad, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995)
Dawud Sulaiman, Abu ibn Al-Asy‟as As-Sijistani, Sunan Abi Daud, (Beirut: Dar
al–kutub al-ilmiyyah, 1996)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1993)
Hadi Permono, Syekhul, Pendayagunaan Zakat dalam rangka Pembangunan
Nasional, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995)
Hafidhuddin, Didin, Anda Bertanya tentang Zakat, Infak dan Sedekah Kami
Menjawab, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), 2016)
Hafidhuddin, Didin, Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk Menyadarkan Umat
“Southeast Asia Zakat Movement”, (Jakarta: Forum Zakat, Dompet
Dhuafa dan Pemkot Padang, 2008)
Hafidhuddin, Didin, The Power of Zakat, Studi Perbandingan Pengelolaan Zakat
Asia Tenggara, (Malang: UIN Malang Press, 2008)
Hafidhhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema
Insani,
2002)
Hasan, Sofyan, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Cetakan 1, (Surabaya: Al
Ikhlas, 1995)
72
Hasan, M. Ali, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
https://tafsirq.com/9-at-taubah/ayat-60#tafsir-quraish-shihab, artikel diakses pada
10 Oktober 2018
http://zakat.or.id/sejarah-kewajiban-zakat/, diakses pada 31 Oktober 2018
Inayah, Gazi, Teori Komprehensif tentang Zakat dan Pajak, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2003)
Kamal, “Catatan Terhadap Uji Materi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat”, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012)
Kbbi.kemdikbud.go.id, diakses pada 12 Oktober 2018
Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: PT Bumi Restu,
2004)
Muhammad, Zakat Profesi : Wacana Pemikiran dalam fiqh kontemporer,
(Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002)
Muhammad Ali, Nuruddin, Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijakan Fiskal,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya,
2001)
Mukhtaar Ahaadits, (Bogor: Arafah)
Mukri, Ghazali, Fiqih Zakat Kontemporer, (Surakarta: Al-Qowam, 2011)
Outlook Zakat Indonesia 2018, (Jakarta: Pusat Kajian Strategis BAZNAS, 2017)
Outlook Zakat NUCARE-LAZISNU 2018
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2014 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat
Qadir, Abdurrahman, Zakat dalam Dimensi Mahdhah dan Sosial, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1998)
Qardhawi, Yusuf, Fiqh Zakat, (Beirut: Muassasah Risalah, 1991)
73
Qardhawi, Yusuf, Hukum Zakat, (Mesir: 1996)
Shalih Al-Ustaimin, Muhammad, Fatawa fi Ahkamiz Zakat, (Mesir: Al-Qowam,
1432H)
Shalih Al-Utsaimin, bin Muhammad, Fiqih Zakat Kontemporer, (Surakarta: Al
Qowam, 2011)
SYARIAH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 2, Desember 2015
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan
Zakat
Wibisono, Yusuf, Mengelola Zakat Indonesia, (Jakarta: Prenada Media grup,
2015)
Www.nucare.id
Www.baznas.go.id
Zuhayli, Wahbah, Zakat Kajian Beberapa Mazhab (Bandung: Remaja
Rosdakarya,
2000)
PEDOMAN WAWANCARA
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Perkenalkan nama saya Muhammad Syukron Amin, mahasiswa
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Program Studi Hukum Ekonomi Syari’ah. Saat ini saya sedang menyusun
skripsi dengan judul “Implementasi Kesesuaian Penerapan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat di LAZISNU”.
Pada kesempatan ini saya memohon kiranya Bapak dapat memberikan
informasi terkait dengan penelitian yang saya susun, adapun daftar pertanyaan
terkait Implementasi pengelolaan zakat menurut UU No. 23 Tahun 2011 adalah
sebagai berikut:
1. Saat ini pengelolaan zakat diatur dalam UU No. 23/2011 dimana terjadi
sentralisasi pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah melalui
BAZNAS, bagaimana tanggapan bapak terkait hal ini?
2. Potensi zakat di Indonesia menurut survey terakhir pada tahun 2017 adalah
sebesar 217 Triliun Rupiah, namun dari outlook zakat yang dirilis oleh
BAZNAS pada tahun 2018 dana zakat baru terkumpul 6,06 Triliun, itu
artinya baru 2%, kira-kira faktor apakah yang membuat potensi zakat
tersebut masih jauh dari yang diharapkan?
3. Menurut bapak, sejauh mana respon masyarakat (kepercayaan menunaikan
zakat) terhadap keberadaan BAZIS atau LAZIS, khususnya LAZISNU itu
sendiri?
4. Bagaimana sistem pengelolaan zakat yang diterapkan di LAZISNU?
5. Apa saja program-program LAZISNU?
6. Didalam PP No. 4 Tahun 2014 dijelaskan bahwa LAZ wajib melaporkan
hasil pengelolaan zakat kepada BAZNAS sebagai koordinator pengelolaan
zakat, apakah LAZISNU sudah melakukan itu?
7. Apakah pengelolaan zakat di LAZISNU sudah memenuhi target yang
diharapkan? Jika belum apa saja kendalanya?
8. Apa saja upaya yang dilakukan LAZISNU dalam mengoptimalkan potensi
zakat yang begitu besar?
9. Adakah kekurangan atau kelemahan dari Undang-undang Nomor 23
Tahun 2011?
10. Perlukah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 di amandemen?
HASIL WAWANCARA DENGAN PENGURUS LAZISNU
Pertanyaan 1
Saat ini pengelolaan zakat diatur dalam UU No. 23/2011 dimana terjadi
sentralisasi pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pemerintah melalui BAZNAS,
bagaimana tanggapan bapak terkait hal ini?
Jawaban 1
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya UU No. 23/2011 ini merupakan
amandemen dari peraturan sebelumnya yakni UU No. 38/1999. Adanya
perbedaan mendasar dari undang-undang terbaru ini adalah adanya sentralisasi
pengelolaan zakat yang dalam hal ini dilakukan oleh BAZNAS selaku pengawas
dan koordinator terhadap seluruh lembaga zakat, infaq, sedekah dan wakaf. Ketika
undang-undang ini disahkan, banyak terjadi pro-kontra terhadap beberapa pasal
yang dianggap kontrovesrsial, dan yang lebih menarik lagi adalah undang-undang
ini digugat oleh masyarakat islam melalui Forum Zakat yang saat itu diinisiasi
oleh Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat untuk melakukan uji materil dan formil
yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Hal yang terpenting adalah adanya
sinergitas antara BAZNAS dan LAZNAS dalam memaksimalkan potensi zakat
yang ada dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertanyaan 2
Potensi zakat di Indonesia menurut survey terakhir pada tahun 2017 adalah
sebesar 217 Triliun Rupiah, namun dari outlook zakat yang dirilis oleh BAZNAS
pada tahun 2018 dana zakat baru terkumpul 6,06 Triliun, itu artinya baru 2%,
kira-kira faktor apakah yang membuat potensi zakat tersebut masih jauh dari
yang diharapkan?
Jawaban 2
Betul bahwa potensi zakat yang ada di Indonesia adalah sekitar 217 Triliun
Rupiah, namun yang terkumpul hanya 2 % dari total potensi yang ada yaitu 6,06
Triliun Rupiah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi BAZNAS
dan LAZNAS untuk dapat memaksimalkan potensi yang ada. Adapun faktor-
fakor yang mempengaruhinya diantaranya karena kurangnya tingkat kesadaran
berzakat di lembaga baik oleh individu maupun perusahaan, kemudian masih ada
stigma yang berkembang dimasyarakat bahwa zakat sebaiknya disalurkan secara
langsung kepada mustahik. Mungkin kedua faktor tersebut saya pikir cukup
mewakili alasan belum terpenuhinya potensi zakat yang ada.
Pertanyaan 3
Menurut bapak, sejauh mana respon masyarakat (kepercayaan menunaikan
zakat) terhadap keberadaan BAZIS atau LAZIS, khususnya LAZISNU itu sendiri?
Jawaban 3
Alhamdulillah proporsi pengumpulan dana zakat di Indonesia mengalami tren
yang positif, hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan dari tahun ke tahun,
untuk LAZISNU sendiri pada tahun 2018 telah menghimpun dana sebesar Rp.
506.234.515.800,00. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan
masyarakat kepada LAZISNU sebagai lembaga zakat yang profesional dan
akuntabel.
Pertanyaan 4
Bagaimana sistem pengelolaan zakat yang diterapkan di LAZISNU?
Jawaban 4
Sistem pengelolaan zakat yang ada di LAZISNU tentunya sesuai dengan UU No.
23/2011 dan PP No. 14/2014 serta kebijakan lainnya yang terkait dengan hal
tersebut.
Pertanyaan 5
Apa saja program unggulan LAZISNU?
Jawaban 5
Program unggulan kami namanya “Kampung Nusantara” yaitu kampung harapan
bagi cita-cita agama, bangsa dan negara atas masyarakat desa di era globalisasi
yang penuh kemajuan teknologi . Adapun program kampung nusantara memiliki 9
(sembilan) pilar yaitu sebagai berikut:
- Nusantara Berkah (Sosial Keagamaan)
- Nusantara Tanggap (Kebencanaan)
- Nusantara Bahagia (Kesehatan)
- Nusantara Bisa (Pendidikan)
- Nusantara Terampil (Ekonomi)
- Nusantara Berdaulat (Hukum, HAM dan Kemanusiaan)
- Nusantara Maju (Budaya dan Pariwisata)
- Nusantara Sejahtera (Sumber Daya Alam dan Pengolahan)
- Nusantara Asri (Lingkungan Hidup dan Energi)
Pertanyaan 6
Didalam PP No. 4 Tahun 2014 dijelaskan bahwa LAZ wajib melaporkan hasil
pengelolaan zakat kepada BAZNAS sebagai koordinator pengelolaan zakat,
apakah LAZISNU sudah melakukan itu?
Jawaban 6
Alhamdulillah kami sebagai LAZNAS yang telah tersertifikasi ISO setiap
tahunnya melaporkan hasil pengelolaan zakat kepada BAZNAS yang terangkum
dalam “Outlook Zakat” serta adanya audit syari’ah di lembaga kami.
Pertanyaan 7
Apakah pengelolaan zakat di LAZISNU sudah memenuhi target yang diharapkan?
Jika belum apa saja kendalanya?
Jawaban 7
Sebenarnya dengan total penghimpunan tahun 2018 sebesar 506.234.515.800,00
yang dikelola oleh LAZISNU, masih relatif belum sesuai harapan mengingat
jumlah warga Nahdhatul Ulama yang berjumlah sekitar 92 (sembilan puluh dua)
juta jiwa yang notabene merupakan sasaran utama penghimpunan zakat di
LAZISNU, namun tidak menutup kemungkinan adanya donasi dari luar warga
Nahdhatul Ulama. Adapun untuk kendalanya adalah LAZISNU perlu untuk
mensosialisasikan lagi kepada masyarakat luas dan pentingnya berzakat di
lembaga.
Pertanyaan 8
Apa saja upaya yang dilakukan LAZISNU dalam mengoptimalkan potensi zakat
yang begitu besar?
Jawaban 8
Melakukan evaluasi tahunan terhadap program kerja dan kinerja lembaga guna
memperoleh data untuk dapat dijadikan acuan dalam mengoptimalkan potensi
zakat di tahun selanjutnya, kemudian melakukan campaign digitalisasi zakat agar
keberadaan lembaga semakin diketahui oleh masyarakat luas.
Pertanyaan 9
Adakah kekurangan atau kelemahan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun
2011?
Jawaban 9
Untuk kekurangannya sendiri saya pikir mungkin kedudukan LAZ yang
disebutkan dalam undang-undang hanya sebagai pembantu pelaksanaan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Hal ini tentu menjadi sebuah
pertanyaan besar bahwa mengapa terjadi kesenjangan hak antara BAZ dan LAZ.
Namun saya berharap antara pemerintah dan masyarakat terjalin sinergitas dalam
memaksimalkan potensi zakat.
Pertanyaan 10
Perlukah Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 di amandemen?
Jawaban 10
Sepertinya diperlukan penyempurnaan, seperti kedudukan BAZ dan LAZ
kemudian ruang lingkup BAZNAS yang memiliki dwi fungsi yaitu sebagai
operator dan pengawas zakat. Perlu atau tidaknya nanti kita lihat perkembangan
yang ada dan selama masih relevan dengan situasi dan kondisi saat ini saya pikir
apa yang dilakukan pemerintah adalah yang terbaik.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2011
TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang
: a. bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
b. bahwa menunaikan zakat merupakan kewajiban bagi umat Islam yang mampu sesuai dengan syariat Islam;
c. bahwa zakat merupakan pranata keagamaan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat;
d. bahwa dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 29, dan Pasal 34 ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 2 -
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN ZAKAT.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengoordinasian dalam pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
2. Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam.
3. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
4. Sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum.
5. Muzaki adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat.
6. Mustahik . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 3 -
6. Mustahik adalah orang yang berhak menerima zakat.
7. Badan Amil Zakat Nasional yang selanjutnya disebut BAZNAS adalah lembaga yang melakukan pengelolaan zakat secara nasional.
8. Lembaga Amil Zakat yang selanjutnya disingkat LAZ adalah lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.
9. Unit Pengumpul Zakat yang selanjutnya disingkat UPZ adalah satuan organisasi yang dibentuk oleh BAZNAS untuk membantu pengumpulan zakat.
10. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
11. Hak Amil adalah bagian tertentu dari zakat yang dapat dimanfaatkan untuk biaya operasional dalam pengelolaan zakat sesuai syariat Islam.
12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 2
Pengelolaan zakat berasaskan:
a. syariat Islam;
b. amanah;
c. kemanfaatan;
d. keadilan;
e. kepastian hukum;
f. terintegrasi; dan
g. akuntabilitas.
Pasal 3 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 4 -
Pasal 3
Pengelolaan zakat bertujuan:
a. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat; dan
b. meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.
Pasal 4
(1) Zakat meliputi zakat mal dan zakat fitrah.
(2) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. emas, perak, dan logam mulia lainnya; b. uang dan surat berharga lainnya; c. perniagaan; d. pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e. peternakan dan perikanan f. pertambangan; g. perindustrian; h. pendapatan dan jasa; dan i. rikaz.
(3) Zakat mal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harta yang dimiliki oleh muzaki perseorangan atau badan usaha.
(4) Syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penghitungan zakat mal dan zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB II . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 5 -
BAB II BADAN AMIL ZAKAT NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 5
(1) Untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS.
(2) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di ibu kota negara.
(3) BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
Pasal 6
BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional.
Pasal 7
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, BAZNAS menyelenggarakan fungsi:
a. perencanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
b. pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
c. pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat; dan
d. pelaporan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 6 -
d. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat.
(2) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BAZNAS dapat bekerja sama dengan pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) BAZNAS melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya secara tertulis kepada Presiden melalui Menteri dan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Bagian Kedua Keanggotaan
Pasal 8
(1) BAZNAS terdiri atas 11 (sebelas) orang anggota.
(2) Keanggotaan BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 8 (delapan) orang dari unsur masyarakat dan 3 (tiga) orang dari unsur pemerintah.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur ulama, tenaga profesional, dan tokoh masyarakat Islam.
(4) Unsur pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditunjuk dari kementerian/instansi yang berkaitan dengan pengelolaan zakat.
(5) BAZNAS dipimpin oleh seorang ketua dan seorang wakil ketua.
Pasal 9 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 7 -
Pasal 9
Masa kerja anggota BAZNAS dijabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Pasal 10
(1) Anggota BAZNAS diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri.
(2) Anggota BAZNAS dari unsur masyarakat diangkat oleh Presiden atas usul Menteri setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
(3) Ketua dan wakil ketua BAZNAS dipilih oleh anggota.
Pasal 11
Persyaratan untuk dapat diangkat sebagai anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 paling sedikit harus:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Allah SWT;
d. berakhlak mulia;
e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun;
f. sehat jasmani dan rohani;
g. tidak menjadi anggota partai politik;
h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan
i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Pasal 12 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 8 -
Pasal 12
Anggota BAZNAS diberhentikan apabila:
a. meninggal dunia;
b. habis masa jabatan;
c. mengundurkan diri;
d. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3 (tiga) bulan secara terus menerus; atau
e. tidak memenuhi syarat lagi sebagai anggota.
Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota BAZNAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibantu
oleh sekretariat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat BAZNAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga BAZNAS Provinsi
dan BAZNAS Kabupaten/Kota
Pasal 15
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan zakat pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota dibentuk BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota.
(2) BAZNAS . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 9 -
(2) BAZNAS provinsi dibentuk oleh Menteri atas usul gubernur setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(3) BAZNAS kabupaten/kota dibentuk oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk atas usul bupati/walikota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(4) Dalam hal gubernur atau bupati/walikota tidak mengusulkan pembentukan BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota, Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat membentuk BAZNAS provinsi atau BAZNAS kabupaten/kota setelah mendapat pertimbangan BAZNAS.
(5) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota melaksanakan tugas dan fungsi BAZNAS di provinsi atau kabupaten/kota masing-masing.
Pasal 16
(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota dapat membentuk UPZ pada instansi pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, perusahaan swasta, dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri serta dapat membentuk UPZ pada tingkat kecamatan, kelurahan atau nama lainnya, dan tempat lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 10 -
Bagian Keempat Lembaga Amil Zakat
Pasal 17
Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18
(1) Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri
atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial;
b. berbentuk lembaga berbadan hukum;
c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS;
d. memiliki pengawas syariat;
e. memiliki kemampuan teknis, administratif, dan keuangan untuk melaksanakan kegiatannya;
f. bersifat nirlaba;
g. memiliki program untuk mendayagunakan zakat bagi kesejahteraan umat; dan
h. bersedia diaudit syariat dan keuangan secara berkala.
Pasal 19 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 11 -
Pasal 19
LAZ wajib melaporkan pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit kepada BAZNAS secara berkala.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan organisasi, mekanisme perizinan, pembentukan perwakilan, pelaporan, dan pertanggungjawaban LAZ diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB III PENGUMPULAN, PENDISTRIBUSIAN, PENDAYAGUNAAN, DAN PELAPORAN
Bagian Kesatu Pengumpulan
Pasal 21
(1) Dalam rangka pengumpulan zakat, muzaki
melakukan penghitungan sendiri atas kewajiban zakatnya.
(2) Dalam hal tidak dapat menghitung sendiri kewajiban zakatnya, muzaki dapat meminta bantuan BAZNAS.
Pasal 22
Zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak.
Pasal 23 . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 12 -
Pasal 23
(1) BAZNAS atau LAZ wajib memberikan bukti setoran zakat kepada setiap muzaki.
(2) Bukti setoran zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Pasal 24
Lingkup kewenangan pengumpulan zakat oleh BAZNAS, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pendistribusian
Pasal 25
Zakat wajib didistribusikan kepada mustahik sesuai dengan syariat Islam.
Pasal 26
Pendistribusian zakat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.
Bagian Ketiga
Pendayagunaan
Pasal 27
(1) Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat.
(2) Pendayagunaan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 13 -
(2) Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahik telah terpenuhi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Pengelolaan Infak, Sedekah, dan Dana Sosial Keagamaan Lainnya
Pasal 28
(1) Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya.
(2) Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukkan yang diikrarkan oleh pemberi.
(3) Pengelolaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya harus dicatat dalam pembukuan tersendiri.
Bagian Kelima
Pelaporan
Pasal 29
(1) BAZNAS kabupaten/kota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS provinsi dan pemerintah daerah secara berkala.
(2) BAZNAS . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 14 -
(2) BAZNAS provinsi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
(3) LAZ wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada BAZNAS dan pemerintah daerah secara berkala.
(4) BAZNAS wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada Menteri secara berkala.
(5) Laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak atau media elektronik.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan BAZNAS kabupaten/kota, BAZNAS provinsi, LAZ, dan BAZNAS diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IV PEMBIAYAAN
Pasal 30
Untuk melaksanakan tugasnya, BAZNAS dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Hak Amil.
Pasal 31
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, BAZNAS provinsi
dan BAZNAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan Hak Amil.
(2) Selain . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 15 -
(2) Selain pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota dapat dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 32
LAZ dapat menggunakan Hak Amil untuk membiayai kegiatan operasional.
Pasal 33
(1) Pembiayaan BAZNAS dan penggunaan Hak Amil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB V PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1) Menteri melaksanakan pembinaan dan
pengawasan terhadap BAZNAS, BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ.
(2) Gubernur dan bupati/walikota melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS provinsi, BAZNAS kabupaten/kota, dan LAZ sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pembinaan . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 16 -
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi fasilitasi, sosialisasi, dan edukasi.
BAB VI PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 35
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam
pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka:
a. meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menunaikan zakat melalui BAZNAS dan LAZ; dan
b. memberikan saran untuk peningkatan kinerja BAZNAS dan LAZ.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk:
a. akses terhadap informasi tentang pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ; dan
b. penyampaian informasi apabila terjadi penyimpangan dalam pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS dan LAZ.
BAB VII . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 17 -
BAB VII SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 23 ayat (1), Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara dari kegiatan; dan/atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
LARANGAN
Pasal 37
Setiap orang dilarang melakukan tindakan memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak, sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lainnya yang ada dalam pengelolaannya.
Pasal 38
Setiap orang dilarang dengan sengaja bertindak selaku amil zakat melakukan pengumpulan, pendistribusian, atau pendayagunaan zakat tanpa izin pejabat yang berwenang.
BAB IX . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 18 -
BAB IX KETENTUAN PIDANA
Pasal 39
Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 41
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 42
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
(2) Tindak . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 19 -
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 merupakan pelanggaran.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43
(1) Badan Amil Zakat Nasional yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS berdasarkan Undang-Undang ini sampai terbentuknya BAZNAS yang baru sesuai dengan Undang-Undang ini.
(2) Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Badan Amil Zakat Daerah kabupaten/kota yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku tetap menjalankan tugas dan fungsi sebagai BAZNAS provinsi dan BAZNAS kabupaten/kota sampai terbentuknya kepengurusan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
(3) LAZ yang telah dikukuhkan oleh Menteri sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan sebagai LAZ berdasarkan Undang-Undang ini.
(4) LAZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib menyesuaikan diri paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 20 -
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 45
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 46
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 47
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
www.djpp.kemenkumham.go.id
- 21 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 25 November 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 115
www.djpp.kemenkumham.go.id