ﺽﺮﻗ ﺽﺮﻘﻟﺍlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/19/jtptiain-gdl-s1-2006... ·...
Transcript of ﺽﺮﻗ ﺽﺮﻘﻟﺍlibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/19/jtptiain-gdl-s1-2006... ·...
13
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG QARDH
A. Pengertian Tentang Qardh
Secara etimologi kata utang berasal dari bahasa arab yakni قرض yang
dalam bahasa Indonesia lebih sering diartikan sebagai pinjaman ataupun
utang. Kata tersebut dapat diartikan sebagai harta yang diberikan القرض
kepada orang lain yang mengakibatkan adanya pembayaran dikarenakan
adanya penggunaan harta tersebut.
Menururut Sayid Bakri al-Dimyati dalam I’anatuth- Ath-Thalibin,
pengertian utang-piutang menurut bahasa adalah:
1لقطعا لغةالقرض
Artinya: “Al-Qardhu secara bahasa berarti “putus”.
Sedangkan menurut istilah, Sayid Bakri al-Dimyati mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan Qardh ialah:
2ك الشيئ على ان يرد مثلهتملي
Artinya :”Memberikan suatu hak milik yang nantinya harus dikembalikan dalam keadaan yang sama”.
Menurut istilah sebagaimana diungkapkan oleh Sayyid Sabiq bahwa
Qardh adalah harta yang diberikan seseorang pemberi pinjaman kepada orang
yang dipinjami untuk kemudian dia memberikannya setelah mampu.3
1 Sayid Bakri Al-Dimyati, I’anath al-Thalibin, Juz III, Bandung: Al-Maarif, tt,
hlm. 48. 2Ibid, hlm. 50. 3 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah III, Beirut: Dar Al kutub Al Araby, tt, hlm. 144.
14
Dalam literatur Fiqh klasik, Qardh memiliki kategori dalam akad
ta’awuni atau saling membantu dan bukan transaksi komersil.4 Qardh menurut
istilah merupakan suatu perjanjian sesuatu kepada orang lain dalam bentuk
pinjaman yang akan dibayar dengan nilai yang sama.5 Dalam transaksi ini
lebih cenderung berupa akad uang karena memiliki nilai.
Dalam pengertian lain Qardh diartikan sebagai sesuatu yang diberikan
dari harta yang terukur yang dapat ditagih atau dituntut atau akad yang
dikhususkan yang dikembalikan pada saat membayar harta yang terukur
kepada orang lain agar dikembalikan sepertinya.6
Kalau dikaji lebih mendalam sebenarnya pengertian Qardh (utang-
piutang) sama pengertianya dengan perjanjian pinjam-meminjam yang
terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada pasal 1754
terdapat ketentuan yang berbunyi sebagai berikut:
“Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian dengan pihak yang memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang menghabis karena pemakaian, dengan syarat pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.7 Kalau diperhatikan antara pengertian Qardh dan Ariyah adalah hampir
sama, tapi apakah benar demikian? Menurut Moh. Anwar Ariyah adalah
meminjamkan sesuatu kepada orang lain dengan ketentuan wajib
4 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta: Ekonisia,
2003, hlm. 70. 5 Sudarsono, Pokok-pokok Hukum Islam, Jakarta: Reneka Cipta, 2001, hlm. 417. 6 Tim Penembangan Perbankan Syari’ah Institut Bankir Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2001, hlm. 217. 7 Chairuman Pasaribu dan Sahrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hlm. 136.
15
mengembalikannya lagi barang itu kepada pemiliknya. Jadi perbedaan antara
Qardh dengan Ariyah adalah:
a. Kalau Qardh adalah: mengutang barang yang statusnya menjadi hak dan
milik yang berhutang yang harus dikembalikan atau dibayar dengan
barang yang serupa, seperti: meminjam uang.
b. Sedang kalau Ariyah, hanyalah pemberian penggunaan (manfaat) barang
saja, seperti meminjam sepada motor dan itu untuk dikembalikan lagi.8
Oleh karena itu dapatlah diambil suatu pengertian bahwa antara Qardh
dan Ariyah terdapat perbedaan yang jelas yaitu, pada Qardh barang itu
menjadi milik si peminjam untuk diambil manfaatnya dan ia wajib
mengembalikan barang serupa dengan apa yang dipinjam. Seperti seseorang
meminjam pasta gigi untuk digunakan menggosok gigi pada saat itu, dilain
waktu ia wajib mengembalikan barang berupa pasta gigi yang lain. Sedangkan
dalam Ariyah, si peminjam hanya dapat memiliki manfaatnya saja. Artinya
barang yang dipinjam hanya diambil manfaatnya saja dan harus
mengembalikan kepada pemiliknya. Seperti sesorang meminjam sepeda untuk
diambil manfaatnya, setelah ia mengambil manfaat maka sepeda itu harus
dikembalikan kepada pemiliknya. Dan lain persoalan jika barang tersebut
hilang, maka bagi yang meminjam harus mengganti.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian Qardh
adalah suatu akad perjanjian tentang sesuatu hal yang merupakan pinjaman,
8 Moh. Anwar, Fiqh Islam, Muamalah, Munakahat, Faroid dan Jinayah (Hukum
Perdata Islam), Bandung: T. Al-Maarif, tt. hlm. 75.
16
yang nantinya akan dibayar baik secara berangsur-angsur maupun secara
langsung dengan nilai atau aturan yang sama pula.
B. Dasar Hukum Qardh
Dalam masalah utang-piutang, Islam telah mengatur bahwa memberi
utang adalah sunnah hukumnya, bahkan menjadi wajib bagi orang yang
terlantar atau orang yang sangat membutuhkan. Memang tidak diragukan lagi
bahwa hal itu merupakan suatu perbuatan yang sangat besar faedahnya,
terhadap masyarakat, sebagaimana dalam kaidah ushul fiqh disebutkan:
االصل ف ىا الم رل لوجو بArtinya: ” Perintah pada asalnya menunjukkan wajib”.9 Dari kaidah ushuliyah diatas, maka dapatlah ditarik suatu kesimpulan
bahwa tolong menolong tersebut sangat dibutuhkan dalam hal kebaikan.
tolong-menolong adalah perintah Allah maka tolong-menolong dalam
pandangan kaidah diatas ialah menjadi wajib.
Selain itu Qardh sebagai suatu akad yang dibolehkan, merupakan
sesuatu yang harus diyakini dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari kita
khususnya dalam hal muamalah, sebagaimana yang dijelaskan Allah bahwa
kita agar meminjamkan sesuatu bagi “agama Allah.”10 Selaras dengan
meminjamkan kepada Allah kita juga diseru untuk “meminjamkan kepada
manusia.” sebagai bagian dari hidup bermasyarakat (civil society).11
9 A. Hanafi, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, 1980, hlm.31 10 Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. ke-1, 2001, hlm. 131 11 Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 132.
17
Adapun yang menjadi dasar hukumnya pelaksanaan akad Qardh
adalah sebagai berikut:
a. Al-Qur’an
12يأيها الذين امنوا إذا تداينتم بدين إلى أجل مسمى فاكتبواه Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. (QS. al-Baqarah: 282)
Sebenarnya tidak ada ayat Al-Qur’an yang menerangkan secara
Eksplisit yang menjelaskan tentang utang-piutang, akan tetapi ayat ini
dapat dijadikan sebagai dasar bagi kebolehan utang-piutang, asalkan pada
setiap transaksi yang kita laksanakan, kita disarankan untuk mencatat
setiap transaksi yang dilakukan. Karena banyak faidah yang didapat
manakala dalam setiap transaksi ada laporannya. Sebab, manusia tidaklah
ada yang sempurna dan mampu menghapal semua kegiatan yang
dilaksanakannya.
Selaras dengan ayat tentang utang-piutang, Allah juga
mewajibkan agar kita saling tolong-menolong sebagaimana yang di
jelaskan dalam ayat yang berbunyi:
Allah berfirman:
13 والعدوان اإلثماونوا على تع والوتعاونوا على البر والتقوى
Artinya : Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Qs.al- Maidah: 2)
12 Al-Qur’an dan Terjemahannya,Yayasan Penterjemah/Pentafsir Al-Quran, Jakarta:
PT Intermasa, 1992, hlm. 70. 13 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op. cit., hlm. 157.
18
Dalam ayat tersebut Allah dengan tegas menganjurkan agar kita,
sesama manusia saling tolong-menolong. Tolong-menolong disini tidak
memandang apakah dia termasuk golongan kelas atas ataupun rakyat
jelata. Karena (kalau diibaratkan) manusia adalah mahluk yang tidak
mungkin ada yang sempurna antara satu dengan yang lainya. Oleh karena
itu kita tidak boleh sombong dengan apa yang kita mimiliki, walau sekecil
apapun kita pasti butuh bantuan seseorang.
Dan dalam ayat tersebut Allah mengecam kita untuk tolong
menolong dalam hal perbuatan dosa dan tercela, karena perbuatan tersebut
termasuk dalam kategori perbuatan yang dibenci oleh Allah.
b. Al-hadist
Rasulullah SAW bersabda:
ما من مسلم يعرض : عن ابن مسعود ان النىب صلى اهللا عليه وسلم قال 14 )رواه ابن جمه (مسلما قرضا مرتني اال كان كصدقتها مرة
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud: bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: Seorang muslim yang memberikan pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali, melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah sekali” (Riwayat Ibnu Majah).
14 al-khafidh Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qozwin, Sunan Ibnu Majah, Juz
11, Bairut: Darul Fikr, tt, hlm. 812.
19
وسلم رايت ليلة أسرى ىب عن انس بن مالك قال رسول هللا صلى اهللا عليه رامثاهلا والقرض بثمانية عشر فقلت بعشالصدقة : على باب اجلنة مكتوبا
ألن السائل يسأل وعنده : ياجربيل مابال القرض افضل من الصدقة؟ قال 15 )رواه ابن جمه(واملستقرض ال يستقرض إال من حاجة
Artinya: “Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata, “Aku melihat pada waktu malam di Isra’kan, pada pintu surga tertulis: Sedekah dibalas sepuluh kali lipat dan Qaradh delapan belas kali lipat. Aku bertanya, ‘Wahai jibril mengapa Qaradh lebih utama dari sedekah. Ia menjawab’ “karena peminta sesuatu itu punya, sedangkan yang meminjam dia tidak akan meminjam kecuali karena keperluan”(Hadits riwayat Ibnu Majah).
Berdasarkan hadits diatas, Islam memberikan perhatian yang
sangat besar terhadap masalah Qardh tersebut, sehingga Allah berjanji
akan membalas perbuatannya delapan belas kali lipat di aherat. Sebab
manusia diciptakan dimuka buni ini sebagai khalifah dan diberi amanat
untuk mengelola bumi yang kemudian hasilnya akan dipertanggung-
jawabkan kepada-Nya.
Karena itu kita sebagai manusia yang diberikan keterbatasan.sudah
seharusnya hidup saling membantu terutama dalam masalah kebaikan dan
kebajikan sebagaimana di jelaskan bahwa seorang muslim yang
mengutangi muslim lain dua kali, sama dengan orang yang bersedekah,
betapa agungnya ajaran tersebut, padahal barang yang diutangkan itu akan
dikembalikan oleh si peminjam.
Semua orang yang melakukan utang–piutang sudah tentu mereka
tidak akan berutang jika mereka masih mampu, bentuk pinjaman yang kita
15 Ibid.
20
berikan sudah tentu merupakan kebahagian bagi mereka yang memang
benar-benar membutuhkan dan merupakan sesuatu yang sangat terpuji.
c. Ijma16
Mengenai Qardh para ulama17 telah sepakat bahwa Qardh boleh
dilakukan. Yang menjadi dasar adalah tabiat manusia yang tidak akan dan
tidak bisa hidup tanpa pertolongan atau bantuan saudara mereka. Dan hal
tersebut merupakan hal yang alamiah dan sudah dikodratkan oleh Allah.18
Sebab di dunia ini tidak ada manusia yang sempurna, tetapi selalu
merasakan susah ataupun senang, tawa ataupun tangis yang satu dengan
yang lainya saling beriringan. Oleh karena itu sudah barang tentu kita
butuh bantuan orang lain untuk mewujutkan apa yang kita inginkan.
C. Rukun dan Syarat Qardh
Sebagai suatu kegiatan muamalah yang disunatkan dalam Islam Qardh
memiliki syarat dan rukun yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak, baik
peminjam maupun yang di pinjami agar akad tersebut bisa dikatakan syah dan
sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh syari’ah Islam
16 Ijma diartikan sebagai berkumpulnya ulama shahabat itu untuk memusyawarahkan
dan menetapkan suatu hukum atas perintah kepala Negara dan membulatkan suara dan pendirian, terhadap suatu hukum, Lihat Teungku Muhammmad Hasbi Asha Shiddieqy dalam bukunya Pengantar Hukum Islam hlm. 187.
17 Ulama merupakan orang yang ahli atau memiliki pengetahuan ilmu agama
Islam dan ilmu pengetahuan yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takwa, takut dan tunduk kepada Allah SWT. Lihat Enskopedi Hukum Islam, jilid 6, hlm. 1840.
18Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 132-133.
21
Hal-hal yang dapat menjadikan sahnya suatu utang-piutang itu adalah
apabila utang-piutang itu telah memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan sebagai berikut:
a. Adanya Sighat Aqad
Yang dimaksud dengan sighat akad adalah: dengan cara bagaimana
ijab dan qabul yang merupakan rukun aqad dinyatakan.19
Ijab adalah: pernyataan pihak perantara mengenai isi perikatan yang
diinginkan. Sedangkan qabul adalah: pernyataan pihak kedua untuk
menerimanya.20 Misalnya dalam aqad utang-piutang, ada yang namanya pihak
pertama dan pihak kedua. Pihak pertama mengatakan :”Aku pinjam uangmu
sekian rupiah.” dan pihak kedua menjawab :”Aku pinjamkan uang sekian
rupiah kepadamu.’’ Oleh karena itu ijab dan qabul dapat dipahami atau dapat
mengantarkan kepada maksud kedua belah pihak untuk mencapai apa yang
mereka kehendaki. Ijab dan qabul itu diadakan dengan maksud untuk
menunjukkkan adanya sukarela timbal-balik terhadap perikatan yang
dilakukan kepada kedua belah pihak yang bersangkutan.21
Sighat aqad dapat dilakukan dengan cara lisan, tulisan atau isyarat
yang memberi pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul. Juga dapat
memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab dan qabul.
19 Abu Sura’i, Abdul Hadi, Bunga Bank Dalam Islam, Surabaya: PT Al- Ikhlas,
t.t, hlm. 125. 20 Ahmad Azhar Basyir, Azas Hukum Muamalah, Yogyakarta: PN. Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia, 1999, hlm. 42. 21Ibid.,hlm. 44.
22
Agar terhindar dari kesalahpahaman atau salah pengertian yang dapat
mengakibatkan perselisihan diantara mereka maka dari itu dalam sighat akad
juga diperlukan tiga persyaratan pokok:
1) Harus terang pengertiannya.
2) Antara ijab dan qabul harus bersesuian.
3) Harus menggambarkan kesanggupan kemauan dari pihak yang
bersangkutan.22
Menurut pendapat beberapa ulama yang mewajibkan sighat itu ada
beberapa syarat:
a) Ijab dan qabul harus dinyatakan oleh orang yang sekurang-kurangnya
telah mencapai umur tamyis yang menyadari dan mengetahui isi
perkataan yang diucapkan sehingga ucapan itu benar-benar
menyatakan keinginan hatinya. Dengan kata lain, ijab dan qabul harus
keluar dari orang-orang yang cakap melakukan tindakan hukum.
b) Ijab dan qabul harus tertuju pada suatu obyek akad.
c) Ijab dan qabul harus berhubungan langsung dalam suatu majelis,
apabila dua belah pihak sama-sama hadir atau sekurang-kurangnya
dalam majelis diketahui ada ijab dan qabul oleh pihak yang tidak
hadir. Hal yang akhir ini terjadi misalnya ijab dinyatakan kepada
pihak ketiga dalam ketidak hadirannya. Pihak kedua tentang adanya
ijab qabul itu, berarti bahwa ijab qabul itu disebut dalam majelis akad
22 TM. Hasbi Ash Shiddiqeqy, Pengantar fIqh Muamalah, Jakarta: Bulan Bintang,
1984, hlm. 24.
23
juga, dengan akibat bahwa pihak kedua kemudian menyatakan
menerima (qabul) maka akad dipandang telah terjadi.23
b. Adanya Aqid
Aqid adalah orang yang menjalankan aqad. Dengan demikian yang
terlibat dalam utang-piutang disini tidak lain kecuali debitur dan kreditur. Hal
ini dapat dilihat pada waktu transaksi utang-piutang dilaksanakan dan pada
saat itu juga ijab dan qabul baru terujut dengan adanya aqid atau orang yang
bersangkutan.
Oleh karena itu perjanjian utang-piutang hanya dipandang sah apabila
dilakukan oleh orang yang berhak, membelanjakan hak miliknya dengan
syarat baligh dan berakal sehat.24
Dalam melakukan aqad utang-piutang diperlukan adanya
kesanggupan untuk bertanggung jawab untuk melaksanakan hak dan
kewajibannya, maka orang yang melakukan utang-piutang, disamping harus
memiliki syarat baligh dan berakal sehat juga harus ditambah dengan atas
kehendak sendiri dan pemboros.25
c. Adanya Ma’qud Alaihi.
Ma’qud alaih, yaitu obyek atau barang yang dihutangkan, oleh karena
itu dalam utang-piutang harus ada barangnya yang menjadi sasarannya dalam
perutangan.
23 Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalah, Yogyakarta: UII Press,
1998, hlm. 43.
24 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Utang-Piutang Dan Gadai, Bandung: PT. Al-Maarif, 1993, hlm.38.
25 R. Abdul Djamali, Hukum Islam Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam II,
Jakarta: Mandar Maju, 1992, hlm. 158.
24
Perjanjian utang-piutang baru terlaksana setelah pihak pertama
menyerahkan piutangnya kepada pihak kedua, dan pihak kedua telah
menerimanya dengan akibat apabila harta piutang rusak atau hilang setelah
perjanjian terjadi tetapi belum dapat diterima oleh pihak kedua, maka
resikonya ditanggung oleh pihak pertama sendiri.26
Melihat syarat-syarat tersebut, yang perlu diperhatikan bahwa dalam
membayar utang dengan baik adalah membayarnya. Lebih baik daripada saat
dia utang. Dan aturan dalam Islam apabila ada kelebihan atas kehendak yang
berpiutang atau telah menjadi perjanjian waktu akad maka perbuatan semacam
ini tidak diperlukan.
D. Manfaat Dalam Qardh
Dari semua aturan yang telah dijelaskan dimuka mengenai pelaksanaan
Qardh tadi sudah tentu banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan
tersebut. Sebab banyak unsur-unsur kemanusiaan yang terkandung
didalamnya.
Allah juga mengingatkan bahwa orang-orang yang berkelebihan harta
adalah amanat sekaligus ujian. Karena memperbanyak harta tanpa
memperhatikan orang-orang secara ekonomi dan sosial tak beruntung tidak
akan membawa kemuliaan di dunia maupun di aherat dan tidak mempunyai
nilai hakiki dimata Tuhan.27
26 Ahmad Azhar Basyir, op. cit. hlm. 59. 27 Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syari’ah Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum
Revivalis, Jakarta: Paramadina, 2004, hlm. 134.
25
Adapun manfaat yang dapat diambil dari Qardh adalah sebagai
berikut:
1. Memungkinkan seseorang dalam kesulitan yang sangat mendesak
untuk mendapatkan talangan jangka pendek.
2. Adanya misi sosial yang sangat tinggi selain misi komersil.
3. Dan dengan adanya misi sosial tersebut akan meningkatkan citra baik
antara peminjam dan yang meminjami.28
Akan tetapi menurut hemat penulis, manfaat yang paling vital adanya
utang-piutang tersebut adalah Ukhuwah dalam hal tolong-menolong yang
berujung pada kebaikan yang diridhoi oleh Allah SWT. Sebagai sebuah
tuntunan agama yang membawa manusia untuk saling mengasihi antara satu
dengan yang lainya.
Selain itu dengan adanya Qardh tersebut kita sebagai umat manusia,
tidak akan merasakan hidup sendiri karena masih ada yang mau memberikan
bantuan dan pertolongan pada saat kita sedang kesusahan dan memerlukan
uluran tangan untuk sedikit meringankan beban yang mungkin kita tangggung
sendiri.
E. Pengertian, Dasar Hukum, Syarat dan Rukun Wadiah
1. Pengertian Wadiah
Secara etimologi. (bahasa) wadiah berasal dari kata :
29ه ودع الشيئ مبعىن ترك
28 Syafi’i Antonio, op.cit., hlm. 134. 29 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid XIII, Alih Bahasa, Kamaluddin, A. Marzuki,
Bandung: Pustaka, 1993, hlm. 72.
26
Artinya : Meninggalkan sesuatu.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq bahwasanya wadiah diartikan
sebagai berikut;
الشيئ الذى يدعه اال نسان عند غريه املخفوظ له بالو ديعه ال سميو 30نه يتر كه عند املو دع
Artinya: “Dinamai sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain untuk dijaga dengan sebutan wadiah lantaran ia meningalkan pada orang yang menerima hadiah”.
Wadiah secara etimologi adalah “meninggalkan” adapun
pengertianya adalah “sesuatu yang ditinggalkan seseorang pada orang lain
untuk dijaga”31 Dan dalam Bahasa Indonesia di sebut sebagai “titipan”.
Ada dua macam difinisi wadiah yang dikemukakan oleh ulama fiqh:
a. Ulama mazhab Hanafi mendefinisikanya:
تسليط الغري على خفط ماله سرحيا او داللة Artinya: “Mengikut sertakan orang lain dalam memilihara harta,
baik dengan ungkapan yang jelas maupun melalui syarat.
b. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hambali (jumhur ulama) mendefinisikan:
وصتوكيل ىف حفط مملوك على وجه خمص
Artinya: “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”.32
30 Sayyid Sabiq, log. cit. 31 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam,
Jakarta: Sinar Grafika, 1994, hlm. 69. 32 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalah), Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 246.
27
Berangkat dari berbagai difinisi diatas dapat ditarik pengertian
bahwa, menitipkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan amanat atau
kepercayaan agar dijaga sebaik-baiknya dan dipelihara semestinya.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa wadiah merupakan titipan
yang dititipkan kepada seseorang untuk di jaga dan dipelihara dan bisa
diambil kapan saja bila si pemilik menghendaki mengambil.
Akan tetapi dalam aktifitas perekonomian modern, si penerima
simpanan takkan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakanya
dalam aktifitas perekonomiaan tertentu. karena ia harus meminta ijin
terlebih dahulu dari si pemberi titipan untuk kemudian mempergunakan
hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan mengembalikan aset
tersebut secara utuh. Dengan demikian, itu bukan lagi yad al- amanah,
tetapi yad al-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggung jawab
atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.33
Selain itu dalam dunia perbankan sekarang ini, banyak cara yang
digunakan untuk menarik nasabah misalnya dengan memberikan insentif
berupa bunga, bonus atau yang lainya. Akan tetapi kita boleh mengambil
bonus sebab antara bonus dengan bunga itu berbeda. Sedang masalah
bunga masih menjadi kontroversi antara yang menghukuminya haram
ataupun boleh
Sebagaimana sabda Rasulallah SAW yang berbunyi:
33 Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 86-87.
28
سنا خريا من يعن اىب هريرة قال استقرض رسول اهللا ص م سنا و اعط )ى صح ذرواه امحد والترم(سنة وقال حياركم سنكم قضاء
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA. Ia berkata bahwa Rasulallah SAW pernah pinjam onta, kemudian ia membayar onta yang lebih gemuk (baik) daripada onta yang dipinjam, lalu ia bersabda: sebaik-baik antara kamu ialah yang lebih baik didalam membayar pinjaman.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, yang mengesahkan)
Dan dari hadis tersebut, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwa
dalam hal pinjam-meminjam apabila dalam mengembalikan barang itu
lebih baik, lebih bagus dan itu dilakukan oleh peminjam itu sendiri tanpa
paksaan atau atas karana keinginan sendiri maka itu diperbolehkan, akan
tetapi jika dalam pinjam-meminjam itu terjadi kesepakatan dengan cuma
mengambil keuntungan dari salah satu pihak, maka yang seperti hal
tersebut dilarang.
2. Dasar Hukum Wadiah
Adapun yang menjadi dasar hukum wadiah ini dapat disandarkan
pada ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam surat An-
Nisa: 58 yang berbunyi:
34إن الله يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada orang yang berhak menerimanya”. (An-Nisa: 2)
Dari ketentuan yang dikemukan diatas jelas terlihat bahwa
perjanjian penitipan barang tersebut diperbolehkan dengan perkataan lain
bahwa menitipkan dan menerima barang titipan adalah “ jais” atau “boleh”
34 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit., hlm. 114.
29
3. Rukun Dan Syarat Wadiah
Hal yang menjadikan sahnya suatu akad wadiah adalah apabila
akad wadiah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Di dalam masalah
wadiah tentang rukun wadiah para ulama fiqh masih berbeda pendapat
tentang rukun wadiah. Walaupun secara subtansial eksistensi dari rukun
yang dikemukan itu adalah sama maksudnya.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, bahwa rukun wadiah hanya satu
saja, yaitu ijab dan kabul (serah terima) dikarenakan jati diri dari wadiah
menurut mazhab Hanafiyah adalah akad itu sendiri.35
Sedangkan menurut Ahmad Ibnu Umar Al-Syathory bahwa rukun
wadiah itu ada empat yaitu: barang titipan, shighat, orang yang dititipi,
dan orang yang menitipkan. 36
Sedangkan jumhur ulama mengatakan bahwa rukun wadiah itu
adalah ada tiga macam:
a. Orang Yang Berakad
b. Barang Titipan
c. Sighat Ijab Qabul37
Sedangkan syarat-syarat yang berkaitan dengan beberapa rukun
tersebut adalah:
1) Orang yang Berakad
35 Abdurrahman Al-jaziri, Kitab Fiqh Ala-Mazdahib Al-Arbaah, Juz III, Al-
Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, hlm. 249. 36 Ahmad Ibnu Umar Al-Syathory, Al-Yaqut Al- Nafis, Beirut: Dar Al-Tsaqofah
Al-Islamiah, t.tt, hlm. 127. 37 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, op.cit., hlm. 722.
30
Menurut mazhab Hanafi, orang yang berakad harus berakal.
Anak kecil yang tidak berakal (mumayyiz) yang telah diizinkan oleh
walinya, boleh melakukan akad wadiah.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama, orang yang melakukan
akad wadiah diisyaratkan baligh, berakal dan cerdas (dapat bertindak
hukum) karena akad wadiah banyak mengandung risiko penipuan. 38
Baik yang menitipkan maupun yang menerima titipan adalah
orang adalah orang yang sah menurut hukum mengadakan transaksi
muamalah secara umum.39 Atau dalam kata lain keduanya syah
melakukan pekerjaan itu.40 Sehingga yang dimaksud dalam
persyaratan ini adalah mempunyai hak secara sempurna.
2) Barang titipan
Barang titipan harus jelas dan dapat dipegang dan dikuasai,
maksudnya, barang titipan itu dan dikuasai untuk dipelihara. Selain itu
barang yang dititipkan harus mempunyai nilai walaupun barangnya
najis seperti anjing yang bermanfaat. Dan barangnya dapat diserah
terimakan.41
3) Shighat Ijab Qabul
Berarti penitipan barang itu harus diucapkan penyerahan dari
penitip dan ucapan penerima dari pihak penerima titipan.42
38 Ibid. 39 Ibid, hlm. 127. 40 Ibid. 41 Abdurrahman Al-jaziri, op.cit., hlm. 249. 42 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi, op.cit., hlm. 722.
31
Dalam ijab qabul diisyaratkan mengucapkan akad baik secara
shorih (jelas) ataupun kinayah. Didalam kinayah diwajibkan adanya
niat untuk wadiah. Dengan kata lain disebutkan dalam kamus istilah
fiqh didalam masalah aqad cukup adanya keduanya menunjukkan
saling mempercayai.43
F. Aspek Riba Dalam Sistem Ekonomi Islam
1. Pengertian Riba
Menurut bahasa yang dimaksud dengan riba memiliki beberapa
pengertian, yaitu:
a. Bertambah ) ةدالزيا ), karena salah satu perbuatan riba adalah
meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
b. Berkembang, berbunga (النام), karena salah satu perbuatan riba
adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
c. Berlebihan atau menggelembung,44 kata-kata ini berasal dari
firman Allah:
45اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج Artinya: “Hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan
berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah” (Q.S. al-Haj: 5).
43 M.Abdul Mujieb, Mabrur Tholhah, Syafi’i, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT
Pustaka Firdaus, tt, 1994, hlm. 410. 44 Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 57. 45 Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 57.
32
Sedangkan menurut istilah riba adalah berarti pengambilan
tambahan dari harta pokok atau modal secara batil.46 Menurut Badr ad –
Din al-Ayni mengatakan bahwa prinsip utama riba adalah penambahan.
Sedangkan menurut syariah, riba berarti penambahan atas harta pokok
tanpa adanya transaksi bisnis riil.47
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba
adalah akad yang terjadi dengan penukaran tertetu, tidak diketahui sama
atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya. Lain halnya
menurut Syaikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh
orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya
(uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari
waktu yang telah ditetapkan.48
Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah yang dimaksud
riba adalah tambahan atas modal baik penambahan itu sedikit atau
banyak.49
Dalam Ensklopedi Indonesia ada disebutkan bahwa riba menurut
syari’ah adalah setiap peminjaman uang yang menghasilkan bunga yang
46 Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press,
Cet.ke1, 2001, hlm. 37. 47 Syafi’i Antonio, op. cit., hlm. 38. 48 Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 58. 49 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12, Bandung: Al- Maarif, 1987, hlm. 125.
33
berlipat-ganda maka riba artinya memungut bunga uang yang berlebih-
lebihan.50
Secara leksikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest.
Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan,
bahwa intersest is a charge for a financial loan, usually a percentage of
the amount loenad. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang
biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan.51
2. Sebab-Sebab Haramnya Riba
Adapun sebab diharamknnya riba adalah bermacam-macam. Baik
yang dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta Ijma para
ulama. Bahkan bisa dikatakan bahwa haramnya riba sudah menjadi
aksioma dalam ajaran Islam.52
Pengamalan riba mengakibatkan orang menjadi rakus, bakhil,
terlampau cermat dan memikirkan diri sendiri. Melahirkan perasaan benci,
marah, permusuhan dan dengki dalam diri orang-orang yang terpaksa
membayar riba. Oleh karena itu, Allah membenci dan melarang riba dan
menghalalkan sedekah.53
a. Al-Qur’an:
50 Karnaen A. Perwataatmadja, Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana
Bank Islam, Yogyakarta: Dana Bhakti wakaf, 1992, hlm. 10-11. 51 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, tt, hlm.
35. 52 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Al-Muslih, Bunga Bank Haram (Mensikapi Fatwa
MUI Menuntaskan Kegamangan Umat), Jakarta: Darul Haq, 2003, hlm. 2. 53 Muhammad, op.cit., hlm. 35.
34
Dalam Al-Qur’an Allah banyak sekali menjelaskan tentang
penjelasan diharamkanya riba, firman Allah:
54وأحل الله البيع وحرم الربا Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al-Baqarah: 275)
فة واعضافا معبا أضأكلوا الروا ال تنآم ا الذينها أيي لكملع قوا اللهات 55تفلحون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat-ganda dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu menang” (Ali Imran: 130)
قوا اللهوا اتنآم ا الذينها أيي مننيؤم متبا إن كنالر من قيا بوا مذر56 و Artinya: “Allah menghapuskan berkah harta riba dan
menyuburkan harta shadaqah” (Al-Baqarah: 278)
57وما آتيتم من ربا ليربو في أموال الناس فال يربو عند الله Artinya: “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan, agar
dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak akan menambah disisi Alllah” (Al-Rum: 39)
b. Al-Sunnah:
Demikian pula tentang pengharaman riba dalam hadist Nabi
banyak sekali dijelaskan sebagaimana Rasulallah bersabda:
ي انيب : حدثنا عبد الرمحن بن أىب بكرة عن أبيه رضى اهللا عنهم قال بسواء بالذهب إالسواء الفضة بالفضة والذهب وسلم عن عليه صلى
54 Al-Qur’an dan Terjemahannya, op.cit., hlm. 69. 55 Ibid., hlm. 97. 56 Ibid., hlm. 69. 57 Ibid., hlm. 69.
35
ثئنا والفضة بالذهب كيف ثئنا بالفضة كيف وأمرنا أن نبتاع الذهب 58)رواه حبارى(
Artinya: “Diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abu bakar bahwa
ayahnya berkata “Rasulullah SAW. Melarang penjualan emas dengan emas dan perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai dengan kehendak kita.”
صلى اهللا عليه وسلم الذهب عن أيب سعيد اخلدر قال رسول اهللابالذهب والفضة بالفضة والرب بالرب والشعري بالشعري والتمر بالتمر وامللح بامللح مثال مبثل يدا بيد فمن زاد أو استزاد فقد أريب األحد واملعطى فيه
59)رواه مسلم (سواء
Artinya: “Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulallah SAW. Bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung demgan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan (cach). Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya dia telah berurusan dengan riba, penerima atau pemberi sama-sama bersalah.” (Riwayat Muslim)
لعن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم اكل الربا ومؤكله : عن جابرن قال 60)رواه مسلم (وكاتبه وشاهديه وقال هم سواء
Artinya: “Jabir berkata bahwa Rasulallah SAW. Mengutuk orang
yang menerima riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya, kemudian beliau bersabda, “mereka semua sama.” (HR. Muslim)
58 Abdullah Muhammmad bin Ismail, Matan Al-Bukhari, Juz II, Bairut: Darul Fikr, tt,
hlm. 21. 59 Muslim, Shahih Muslim, Juz III, Bairut: Darul Qutub Ilmiyah, tt, hlm .1211. 60 Shahih Muslim, Juz III, op. cit., hlm. 1219.
36
c. Ijma:
Kaum muslimin seluruhnya telah bersepakat (Ijma) bahwa
hukum dasar dari riba adalah haram, terutama sekali riba pinjaman
atau utang. Bahkan mereka telah berkonsensus dalam hal itu dalam
setiap masa dan tempat. Memang ada perbedaan dari bentuk
aplikasinya, apakah riba atau tidak dari segi praktisnya.61
3. Macam-Macam Riba
Adapun beberapa macam riba dalam Hukum Islam itu dibagi
dalam tiga kategori yaitu:
a. Riba Fadhli: Adalah berlebihan salah satu dari dua pertukaran yang
diperjual belikan, bila yang diperjual belikan sejenis, berlebih
timbanganya pada barang-barang yang ditimbang berlebih takaranya
pada barang-barang yang ditakar dan berlebihan ukurannya pada
barang-barang yang diukur.62
b. Riba Qardhi: Adalah suatu manfaat atau tingkat kelebihan yang
diisyaratkan terhadap yang berutang (muktaidh).63 Dalam arti lain,
bahwa beban bunga (tambahan) dibebankan kepada yang berutang,
yang didalamnya ada unsur eksploitasi.
Riba Qardh, bunga atas pinjaman, membebankan atas pinjaman
karena berlalunya waktu (pinjaman berbunga) dan hal ini sering kali
disebut sebagai riba nasiah (bunga karena menunggu)
61 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Al-Muslih, op.cit., hlm. 6. 62 Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 61. 63 Karnaen A. Perwataatmadja, Muhammad Syafi’i Antonio, op. cit, hlm. 11.
37
c. Riba Nasiah: Adalah kelebihan atas piutang yang diberikan orang
yang berutang kepada pemilik modal ketika waktu yang disepakati
jatuh tempo. Apabila waktu jatuh tempo sudah tiba, ternyata orang
yang berutang sudah tiba, ternyata orang yang berutang tidak sanggup
membayar utang dan kelebihannya, maka waktunya bisa diperpanjang
dan jumlah utang bertambah pula. 64
Dan dapatlah disimpulkan bahwa hal-hal yang dapat
menimbulkan riba itu adalah ada tiga macam:
1) Sama nilainya (tamsul).
2) Sama ukurannya menurut syara,’ baik timbangannya,
takarannya maupun ukurannya.
3) Sama-sama tunai (taqabuth) di majelis akad.65
4. Beberapa Pendapat Mengenai Bunga
Bunga telah banyak menimbulkan pro dan kontra dikalangan
umat Islam, khususnya di Indonesia. Ada bermacam–macam pendapat
tentang bunga, penulis membaginya menjadi dua yakni, antara yang
sependapat dan tidak sependapat dengan adanya bunga. Serta argumen
yang diberikan sebagai dasar bagi pelaksanaan di lapangan.
a. Bunga Boleh
Berikut akan disampaikan beberap pendapat dan tanggapan yang
menganggap bahwa bunga tidak sama dengan riba. Diantara
64 Muhammad, op. cit. hlm. 42. 65 Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 63.
38
tanggapan tersebut adalah sebagaimana dikemukakan oleh para ulama.
Dengan alasan yang sudah barang tentu punya dasar tersendiri yang
dapat dicerna akal dan terdapat dalam aturan yang tidak menyimpang
dari aturan syari’ah diantaranya:
1) Berlipat-ganda.
Ada pendapat yang membenarkan pengambilan bunga,
dengan alasan bahwa kita boleh melakukanya jika tidak berlipat-
ganda,66 dan mengambilnya secara dholim. Ini didasarkan pada
surat Ali Imran ayat 130 yang artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan harta riba secara berlipat-
ganda dan takutlah kepada Allah mudah-mudahan kamu menang”.
Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan secara jelas bahwa
riba yang di ambil dengan berlebih-lebihan atau berlipat-ganda
adalah dilarang dan tidak dibenarkan dalam Islam. Sedangkan
tidak ada aturan bagi kita untuk mengambil bunga yang tidak
berlipat-ganda.
Berdasarkan pandangan Abduh dan Ridha serta Ibnu
Qayyim, Abd al- Razzaq Sanhuri, yang merupakan pakar hukum
Islam berkebangsaan Mesir, menegaskan bahwa bunga yang
dilarang adalah yang berlipat-ganda sebagaimana yang dijelaskan
pada Q.S.3: 130. Keterangan ini berdasarkan bukti faktual dalam
66 Wahab Afif, Pengantar Fiqh Muamalah: Mengenal Sistem Ekonomi Islam, Banten:
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten, hlm. 73
39
praktek riba pada masa Pra-Islam dan juga implikasi yang
ditimbulkanya.67
A.Hasan Bangil, yang merupakan guru besar Persatuan
Islam (persis) dan mempunyai pemikiran yang progresif
mengemukan, bahwa bunga dan riba pada hakikatnya sama yaitu
tambahan pinjaman atas uang, yang dikenal dengan riba nasiah
dan tambahan atas barang yang disebut riba fadl. Yang
membedakan keduanya adalah sifat bunganya yang berlipat-
ganda, tanpa batas. Menurut A. Hasan tidak semua riba itu
dilarang, jika riba itu diartikan sebagai tambahan atas utang, lebih
dari yang pokok yang tidak mengandung unsur berlipat-ganda
maka ia dibolehkan. Namun bila tambahan itu mengandung unsur
eksploitasi atau berlipat-ganda, ia kategorikan dalam perbuatan
riba yang dilarang oleh agama.68
Argumen yang dikemukan oleh A.Hasan didasarkan pada
Surat Ali-Imran (3): 130 yang menjelaskan riba adalah perbuatan
yang bersifat eksplotatif, ad’afan muda’afan. Dengan demikian,
lanjut A. Hasan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang
mengandung salah satu dari tiga unsur berikut: menggandung
paksaan, tambahan yang tak ada batasnya, atau berlipat-ganda dan
67 Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga, (Studi Kritik Interpretasi Kontemporer
Tentang Riba dan Bunga), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet ke-2, 2004, hlm.76. 68 Muslim H.Kara, Bank Syari’ah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia, Yogyakarta: UII Press, Cet. ke-1, 2005, hlm. 53.
40
terdapat syarat yang memberatkan, seperti bunga yang terlalu
tinggi.69
Sedangkan yang digunakan di Bank maupun koperasi
bunga yang diberikan adalah kecil. Dan itupun tidak mencapai
pengambilan yang masuk dalam katagori dholim. apalagi seperti di
koperasi bunga tersebut akan kembali kepada anggota lagi.
Adapun mengenai masalah koperasi simpan-pinjam yang dibahas
dalam Muktamar Majelis Tarjih Muhammadiyah Malang (1889)
keputusnya: koperasi simpan-pinjam hukumnya adalah mubah
karena tambahan pembayaran pada koperasi simpan-pinjam bukan
termasuk riba.70 Dan sebagai tambahan pembayaran atau jasa yang
di berikan oleh peminjam kepada koperasi simpan-pinjam
bukanlah riba. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, perlu mengingat
beberapa hal, diantaranya, hendaknya tambahan pembayaran (jasa)
tidak melampau laju implasi.71
Selain itu melihat dari lembaganya bahwa bank maupun
koperasi merupakan lembaga institusi yang resmi. Dan dibolehkan
mengambil bunga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kasman
Singodimedjo, bahwa pembungaan uang yang dilakukan secara
tidak resmi atau renteinir dikategorikan sebagai riba sedangkan
69 Ibid 70 Syafi’i Antonio, op. cit, hlm. 62. 71 Ibid., hlm. 62.
41
pembungaan uang yang dilakukan pemerintah melalui lembaga
perbankan tidak termasuk dalam kategori riba.72
2) Pinjaman Konsumtif
Pengkajian ini didasarkan pada keyakinan bahwa riba yang
diharamkan adalah pinjaman konsumtif, orang kaya memanfatkan
kebutuhan orang miskin. Dan hal ini terjadi pada zaman zahiliyah.
Namun untuk utang atau pinjaman produktif, yakni memiliki
target untuk mencari keuntungan menambah jumlah kekayaan
seperti halnya kebanyakan pinjaman Bank dimasa modern ini,
maka dapat dipastikan bahwa hukumnya boleh, berdasarkan
perbuatan kondisi dan karena hilangnya unsur pemanfaatan
keterdesakan pihak lain dan unsur menyulitkan.73
Beberapa Modernis, seperti Doulabi, seorang politisi
kontemporer Syiria, membedakan antara pinjaman produktif dan
pinjaman konsumtif. Bunga pinjaman produktif adalah boleh
sedangkan pinjaman konsumtif tidak boleh. Ini dikaitkan dalam
penjelasan dalam Al-Qur’an terkait dengan konteks meringankan
penderitaan para fakir miskin yang terbelenggu beban utang. Atas
dasar tersebut larangan riba dalam Al-Qur’an berkaitan dengan
pinjaman konsumtif.74
72 Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 82-83. 73 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Al-Muslih, op. cit., hlm. 42. 74 Abdullah Saeed, op cit., hlm. 78-79.
42
Dalam hal ini Lajnah Bahshul Masail tentang masalah
bank ditetapkan pada sidang Bandar lampung (1992)
berkesimpulan bahwa: antara menghukuminya haram, boleh dan
syubhat. Pendapat yang membolehkan juga dengan beberapa
variasi keadaan antara lain sebagai berikut:
a) Bunga konsumsi sama dengan riba, hukumnya haram bunga
produksi tidak sama dengan riba, hukumnya halal.
b) Bunga yang diperoleh dari tabungan giro tidak sama dengan
riba, hukumnya halal.
c) Bunga yang diterima dari deposito yang disimpan di Bank,
hukumnya boleh.
d) Bunga Bank tidak haram kalau Bank itu menetapkan tarif
bunganya terlebih dahulu.75
Sementara itu tokoh koperasi Indonesia dan juga ia
merupakan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia
Mohammad. Hatta, dalam bukunya yang berjudul “Islam dan
Rente” dengan jelas membedakan bunga dan riba. Bagi Hatta, riba
adalah kelebihan dari pinjaman yang bersifat konsumtif sedangkan
bunga adalah balas jasa atas pinjaman yang digunakan untuk
kepentingan yang bersifat produktif. Riba diharamkan karena
dalam perbuatan tersebut akan menyebabkan kesengsaraan orang
sedang mengalami kesulitan sedangkan rente sebagai sebuah
75 Syafi’i Antonio, op.cit.,hlm. 63-64.
43
kegiatan pinjaman yang produktif akan membantu pencapaian
ekonomi. Dengan adanya pinjaman produktif itu seseorang dapat
meningkatkan taraf ekonomi keluarganya.76
Munawir Syadzali juga mengatakan bahwa bunga Bank
halal dengan alasan bahwa Bank dalam usaha dan fungsinya
adalah sebagai penyimpan dan penyaluran uang, dan apabila ada
yang meminjam diisyaratkan tidak untuk kebutuhan konsumtif
akan tetapi digunakan untuk usaha.77
3) Bunga Itu Adalah Imbalan Dari Biaya Operasional Dan Biaya Lain
Bahwa tidak dapat disangkal bahwa untuk menjalankan
usahanya, Bank maupun koperasi sudah barang tentu menyewa
gedung, membayar gaji karyawan, mengeluarkan biaya
penyimpanan file dan arsif. Melihat realitas semacam ini, tidaklah
salah jika pihak Bank mengambil bunga dalam proses peminjaman
untuk menutupi biaya tersebut.78
Pendapat atau fatwa yang dikeluarkan oleh Imam Akbar
Shekh Mahmud Syaltut adalah ”pinjaman berbunga dibolehkan
bila sangat dibutuhkan.”79 Fatwa ini muncul takkala beliau ditanya
tentang kredit yang berbunga dan kredit yang berbunga dan kredit
suatu negara dari negara lain atau perorangan.80
76 Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 82. 77 Munawir Sadzali, Ijtihad Kemanusian, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm. 65. 78 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Al-Muslih, op.cit., hlm. 44. 79 Muhammad, op.cit. hlm. 54. 80 Ibid.
44
Menurut Siddiqi (1983b), seorang penggagas dari teori
perbankan Islam, “salah satu alasan mengapa kebiasaan perbankan
tidak berakar secara mendalam di dalam masyarakat muslim
adalah bunga” selain itu ditambahkan,” bagaimanapun belum bisa
dibenarkan. Perkiraan yang bisa dipercaya dari sejumlah muslim
yang menghindari sistem perbankan karena bunga adalah terdapat
dalam literatur perbankan Islam, meskipun ditegaskan bahwa
sebagian besar masyarakat berada diluar sistem perbankan.81
Tokoh lain yaitu Quraish Shihab (tokoh mufassir
Indonesia) setelah menganalisis banyak hal yang berkaitan dengan
ayat riba mengungkapkan bahwa illat keharaman riba adalah al-
Dzulm (aniaya) sebagaimana yang tersirat dalam surat al-Baqarah
ayat 279 menurutnya bunga/tambahan adalah jenis tambahan yang
diambil dengan cara Dzulm (penindasan dan pemerasan) akan
tetapi apabila dalam surat 3:130 menafsirkan hanya bunga yang
berlipat-ganda yang diharamkan atau yang disebut riba nasiah.82
Selain itu baik bank maupun non Bank merupakan sebuah
institusi yang dalam pelaksanaanya sudah barang tentu dikenakan
biaya operasional yang harus dikeluarkan dan untuk menutup
semua itu. Dan mengenai bunga intitusi yang semacam ini Dewan
Agama Islam Pakistan pada tahun 1964 juga ragu-ragu
81 Abdullah Saeed, op. cit., hlm. 171. 82 Moh. Quraish Shihab, Lentera Hati (Kisah Dan Hikmah Kehidupan) Bandung:
Mizan Media Utama, Cet.xxv, 2002, hlm. 335
45
menetapkan pinjaman intitusional termasuk riba sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an. 83
Ini membuktikan bahwa sebuah usaha apapun sekarang ini
pastilah mengenakan biaya operasional untuk menjalankan
usahanya, agar usaha yang dijalankan bisa berjalan dengan
maksimal tanpa adanya keluh-kesah dari pihak pengelola sendiri
dalam hal pengembangan lembaga untuk masa yang akan datang.
Dari sekian banyak tokoh yang membolehkan bunga Bank
adalah halal, dengan alasan bahwa Bank dalam usaha dan
fungsinya adalah sebagai penyimpan dan penyaluran uang. Namun
ada sisi persamaan yang dapat penulis tangkap dari mereka yaitu
bunga Bank tidak haram dan tidak masuk dalam kategori riba, dan
pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa dunia perbankan
sangat diperlukan untuk masyarakat karena dengan perbankan
akan sedikit membantu perjalanan ekonomi dan juga negara.
b. Bunga Bank Haram
Banyak pendapat yang tegas menklaim bahwa bunga Bank
adalah haram, serta hampir semua lembaga ke-Islaman melarang
adanya bunga mana didasarkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah yang
menurut mereka secara tegas melarang bentuk tambahan yang
diberikan dari sebuah transaksi.
83 Ibid., hlm. 81.
46
Menurut A.M Saifuddin, bunga identik dengan riba, oleh karena
itu perbuatan membungakan uang adalah haram hukumnya, baik
sedikit maupun banyak tingkat bunganya. Menurutnya: bunga
pinjaman uang, modal dan barang dalam segala bentuk dan
macamnya, baik untuk tujuan produktif atau konsumtif, dengan
tingkat bunga yang tinggi atau rendah, dan dalam jangka waktu yang
panjang maupun pendek adalah termasuk riba.84
Selain itu pendapat senada dikemukan oleh Murasa Sarkanipura,
bahwa keharaman bunga Bank sudah jelas petunjuknya dalam ajaran
agama Islam. Pelarangan bunga juga berdasarkan argumen yang
dikemukan oleh filosof, seperti Socrates dan Aristoteles yang menilai
bahwa “uang dianggap bagaikan ayam betina yang tidak bertelur”.85
Menurut Yusuf Qardhawi yang dituangkan dalam bukunya,
bunga Bank haram. Menurutnya bunga Bank termasuk dalam riba
nasiah.86 Dan dalam bukunya al-Haram fi al-Islam, Yusuf Qardhawi
juga berpendapat bahwa bunga Bank haram karena termasuk termasuk
poroleh yang berlipat-ganda.87
Dan beberapa pendapat lembaga-lembaga Islam yang
menyatakan bunga haram antara lain:
84 Muslim H.Kara, op. cit, hlm. 84. 85 Ibid. hlm. 85. 86 Yusuf Al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, Jakarta: Akbar Media Sarana, Cet. ke-1,
2001, hlm 254. 87 Yusuf Al-Qardhawi, Al Halal Wa Al-Haram Fi Al-Islam, Darul Ma’arifah,
1985, hlm. 254.
47
1) Lembaga Pengkajian Fiqih muktamarnya kedua di Jeddah 10-16
Rabiuts Tsani 1406 H, atau 22-28 September 1985. Memutuskan
sebagai berikut:
“Setiap keuntungan atau bunga dari utang yang jatuh tempo pembayaran dan pihak yang berutang tidak mampu melunasinya, sebagai konfensasi dari penangguhan waktu pembayaranya, demikian juga dengan keuntungan dan bunga pinjaman dari semenjak awal perjanjian, keduanya adalah bentuk yang diharamkan oleh syariah Islam.”88
2) Keputusan Lembaga Pengkajian Fikih yang berikut dalam
Rabithah Al- Alam Al-Islami menyakan bahwa:
“Seluruh kaum muslimin harus segera meninggalkan apa yng dilarang oleh Alllah seperti menggunkan sistem riba atau memberikan bunga, menolong sistem tersebut dengan cara apapun, sehingga siksa Allah tidak akan menimpa mereka dan merekapun tidak membiarkan diri mereka terancam perang melawan Allah dan Rasul-Nya” .89
3) Keputusan Muktamar Bank Islam II 1403 H/ 1998 M di Kuwait.
“Muktamar menekankan bahwa apa yang disebut dengan Interest menurut Istilah para ekonomi barat dan pengikut pengikut mereka merupakan riba yang diharamkan secara syari’at”.90
4) Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) bahwa semua peserta
sidang OKI kedua yang berlangsung di Karachi, Pakistan
Desember 1997 telah menyepakati dua hal utama, yaitu sebagai
berikut:
a) Praktik Bank dengan sistem bunga adalah tidak sesui dengan syari’ah Islam.
88 Abdullah Al-Mushlih dan Shalah Al-Muslih, op. cit, hlm. 33. 89 Ibid, hlm. 36. 90 Yusuf Al-Qardhawi, op. cit., hlm. 157.
48
b) Perlu segera didirikan Bank-bank syari’ah alternatif yang menjalankan operasinya sesuai dengan prinsif-prinsif syari’ah91.
5) Majelis Tarjih Muhammadiyah (1996)
“Memutuskan Bank dengan sistem bunga hukumnya haram, dan Bank tanpa bunga hukumnya halal.”92
91 Syafi’i Antonio, op.cit., hlm.65. 92 Ibid.,hlm.62.