pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii...

388

Transcript of pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii...

Page 1: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas
Page 2: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

KEBIJAKAN PUBLIKDAN

STUDI PEMBANGUNAN

Program Beasiswa PHRD-IV

Editor:

Dr. Guspika, MBA., dkk.

Professional Human Resource Development IVPusbindiklatren-Bappenas

Page 3: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

Kontributor Aditya Sudirman, Advensius Cristian, Agus Salim, Bhaskoro Dwi Widhianto, Boby

Rozano, Dameuli Silalahi, Deddy Suprapto, Diding Adi Parwoto, Dwi Harini Septaning

Tyas, Dwi Sucihartini, Dwi Sulistiyowati, Eka Hastawati, Esti Pangestuti, Fitria Daru

Anggraeni, Fitriansyah, Hesti Astria Dewi, Kingkin Fitoriani, Kris Widyarto, Loga

Aritmagitaningtias, Marjianto, Mira Anugrah Satyanie, Mohamad Akbar, Ni Luh Made

Nurinawati, Octo Army, Reza Tiar Kusuma, Rico Samuel, Saifillaili Nur Rochmah,

Wiryawan Budi Gunawan, Boy Sandi Asri, Edwin Setiady, Fivi Sumanti, Nadra Mirdas

Cetakan I, September 2018 ISBN: 978-602-53018-0-3

Diterbitkan oleh

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan PerencanaBadan Perencanaan Pembangunan Nasional

Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Pusbindiklatren Bappenas

ii iii

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Administrasi Publik II ©2018 oleh Bappenas

EditorDr. Guspika,MBA

Wignyo Adiyoso, S.Sos, MA, Ph.D.

Ali Muharram, SIP, MSE, MA.

Rita Miranda, S.Sos, MPA.

Wiky Witarni, S.Sos, MA.

.

Kontributor Adeki Supriadi, Adrian Fadri, Andi cahyadi, Bayu Saputro, Debby Widiastuty, Dedy

Chandra, Dewi Susanti, Endro Mardianto, Erawati, Henny Nopaliana, Hikmah Adila,

Komar, Litarani, Nety Andriani, Nuryanti, Parsaoran Rumapea, Reiza Syarini, Siwi Sari

Prasastiwi, Suningsih, Testy Triani Kartikasari, Vika Taniah

Cetakan I, September 2018 ISBN: 978-602-53018-2-7

Diterbitkan oleh Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jalan Proklamasi Nomor 70 Jakarta Pusat 10320

Page 4: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ii iii

DAFTAR ISIDAFTAR ISI — iii

KATA PENGANTAR — vii

KEBIJAKAN PUBLIK

THE IMPACT OF TRANS PACIFIC PARTNERSHIP AGREEMENT ON INDONESIA’S TEXTITILE AND FOOTWEAR EXPORT Aditya Sudirman — 1

REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE AND INTEGRASI PERDAGANGAN: KASUS DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS 2008 Advensius Cristian — 5

POVERTY IN YOGYAKARTA, INDONESIA: A DISTRICT LEVEL ANALYSIS OF CHARACTERISTICS AND DETERMINANTS Agus Salim — 13

PERILAKU KONSUMSI BERAS DI INDONESIA Bhaskoro Dwi Widhianto — 27

MONITORING URBAN FORM TRANSFORMATION USING GIS/REMOTE SENSING: A CASE STUDY OF YOGYAKARTA URBAN AREA, INDONESIA Boby Rozano — 37

MULTIDIMENSIONAL POVERTY MEASUREMENT: CASE OF INDONESIAN REGION SAMOSIR Dameuli Silalahi — 49

PERAN FDI DI PEMERINTAHAN INDONESIA: ANALISIS PANEL DATA DI 9 SEKTOR EKONOMI TAHUN 2001 – 2004 Deddy Suprapto — 55

VISUAL METAPHOR FOR THE QUALITY OF SOFTWARE REQUIREMENTS SPECIFICATION Diding Adi Parwoto — 63

Page 5: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

iv v

THE INITIATIVE FOR CIVIL APPARATUS CAPACITY ENHANCEMENT TO MANAGE REFORMS IN INDONESIA (CASE STUDY: THE EVALUATION OF GOVERNMENT CAPACITY BUILDING PROJECT IMPLEMENTATION EFFECTIVENESS) Dwi Harini Septaning Tyas — 73

POVERTY, GROWTH, AND INEQUALITY: EMPIRICAL ANALYSIS OF RURAL AND URBAN INDONESIA 2000-2014 Dwi Sucihartini — 85

CHALLENGES AND PROSPECTS OF IMPLEMENTING LOCAL PUBLIC SERVICE AGENCY (LPSA) POLICY AT PUSKESMAS: A CASE STUDY IN YOGYAKARTA CITY Dwi Sulistiyowati — 97

KALAU ADA CARA YANG MUDAH, MENGAPA PILIH YANG SULIT? STUDI KASUS PENGGUNAAN TIKET HARIAN BERJAMINAN DI STASIUN BOGOR Eka Hastawati — 107

ANALISIS PENGEMBANGAN 14 KAWASAN INDUSTRI PRIORITAS DI INDONESIA TAHUN 2015-2019 Esti Pangestuti — 119

PENGARUH JARAK DARI KAWASAN PARIWISATA TERHADAP NILAI TANAH DI KABUPATEN BADUNG, BALI Fitria Daru Anggraeni — 137

LITERASI KEUANGAN DAN DIGITAL APARATUR DESA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG TERKAIT GERAKAN NASIONAL NON TUNAI DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF Fitriansyah — 151

PENGARUH STATUS BEKERJA IBU TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH JABODETABEK Hesti Astria Dewi — 165

PILIHAN KEPEMILIKAN RUMAH DI INDONESIA STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT DAN JAWA TIMUR Kingkin Fitoriani — 179

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN WONOSOBO Kris Widyarto — 191

Page 6: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

iv v

ANALISIS PERSEPSI TERHADAP PENERAPAN KEBIJAKAN REVIU RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN/LEMBAGA (RKA K/L) OLEH APARAT PENGAWAS INTERNAL PEMERINTAH DI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA Loga Aritmagitaningtias — 205

FAMILY NETWORK AND COMMUNITY INTERACTION EFFECTS ON PAROCHIAL AND RECIPROCAL ALTRUISM: FIELD EXPERIMENT FROM GILIGEDE ISLAND, WEST NUSA TENGGARA, INDONESIA Marjianto — 219

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJAHATAN PROPERTI DI PROPINSI JAWA BARAT TAHUN 2011-2015 Mira Anugrah Satyanie — 229

TINGKAT KETERBUKAAN DAERAH DAN KETIMPANGAN ANTAR DAERAH Mohamad Akbar — 243

PENGARUH LINGKUNGAN ORGANISASI TERHADAP KINERJA HIBAH ASET SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM Ni Luh Made Nurinawati — 255

PROCUREMENT COST REDUCTION IN ELECTRONIC TENDERING: A COMPARISON OF TWO INDONESIAN PROVINCES Octo Army — 269

ANALISA FAKTOR–FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA: ANALISA DEKOMPOSISI KETIMPANGAN Reza Tiar Kusuma — 281

ANALISA PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI DI SEKTOR KONSTRUKSI BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (INPUT-OUTPUT) Rico Samuel — 295

ASSESSMENT OF COMMUNITY WASTE BANK SYSTEM IN KENDAL REGENCY Saifillaili Nur Rochmah — 305

A PROTOTYPE SYSTEM ON IMPACTS OF INTEGRATED SOLID WASTE MANAGEMENT POLICY IN BANTUL REGENCY Wiryawan Budi Gunawan— 313

Page 7: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

vi vii

STUDI PEMBANGUNAN

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DALAM PERSPEKTIF PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT Boy Sandi Asri— 325

ANALISIS REVITALISASI LADA PUTIH SEBAGAI PROGRAM PENGGERAK PEREKONOMIAN DAERAH PASCA TAMBANG TIMAH DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN MENGGUNAKAN SYSTEM DYNAMICS Edwin Setiady — 337

KAJIAN TENTANG RUANG KALKULASI PASAR OJEK ONLINE DI WILAYAH BANDUNG DALAM PERSPEKTIF TEORI JEJARING-AKTOR Fivi Sumanti — 349

PERANAN SISTEM NAGARI DALAM PENCAPAIAN INDIKATOR GOOD GOVERNANCE DI NAGARI PENYALAIAN: KAJIAN DENGAN PENDEKATAN TEORI JARINGAN AKTOR

Nadra Mirdas — 363

Page 8: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

vii

KATA PENGANTAR

Professional Human Resource Development (PHRD-IV) merupakan Program beasiswa Bappenas bergelar S2 dan S3 maupun non-gelar (short-term Training Program, staff Enhancement Program, dan Program for Academic Staff) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) Indonesia khususnya dari daerah. Program ini bertujuan untuk memberi kesempatan meningkatkan sumber/daya di Pemerintah Pusat dan daerah dengan tujuan mengurangi disparitas ekonomi antar-daerah.

Dalam pelaksanaannya diharapkan bagi para penerima beasiswa PHRD-IV dapat melakukan pendalaman pengetahuan dan penelitian terkait pembangunan bersifat konkret yang dapat diterapkan di daerah asalnya masing-masing. Di samping itu, para penerima beasiswa juga diharapkan dapat mengunjungi fasilitas-fasilitas publik dan pemangku kepentingan setempat yang terkait dengan bidang studinya sehingga dapat memperoleh gambaran yang menyeluruh dan pemahaman lebih mendalam.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa PHRD-IV, Tema: Kebijakan Publik dan Studi Pembangunan ini merupakan buku pertama dari sembilan buku yang akan diterbitkan pada tahun 2018, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis ilmiah yang telah diselesaikan oleh karyasiswa penerima beasiswa PHRD-IV.

Agar hasil-hasil penelitian Tesis/Disertasi dalam Program PHRD-IV dapat tersebar luas, hasil-hasil penelitian tersebut dirangkum, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Tujuan pertama setelah diterbitkan adalah agar dapat direplikasi atau diadopsi di tempat kerja karya siswa; kedua, sebagai benchmark pemanfaatannya di instansi pemerintah lain; dan ketiga, merupakan bagian dari upaya mendokumentasikan kegiatan PHRD-IV, dalam bentuk terbitan ilmiah buku sehingga dapat disebutkan oleh karya siswa dalam resume masing-masing.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif Program PHRD-IV terhadap peningkatan kapasitas SDM sebagai participating agencies, baik dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, dan dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing. Program PHRD-IV juga diharapkan dapat berkontribusi bagi pencapaian sasaran prioritas nasional dalam

Page 9: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

viii ix

meningkatkan kinerja instansi pemerintah yang ditandai dengan berkurangnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta meningkatnya kualitas pelayanan publik.

Jakarta, September 2018

Pusbindiklatren Bappenas

Page 10: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ix

Page 11: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

x

Direktori Mini Tesis-Disertasi

KEBIJAKAN PUBLIK

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 12: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

THE IMPACT OF TRANS PACIFIC PARTNERSHIP AGREEMENT ON INDONESIA’S TEXTITILE AND FOOTWEAR EXPORT

Nama : Aditya Sudirman

Instansi : Dirjen Pengawasan Sumber Daya

Kelautan

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-National

Graduate Institute for Policy Studies

(GRIPS)

Page 13: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

2 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE IMPACT OF TRANS PACIFIC PARTNERSHIP AGREEMENT ON INDONESIA’S TEXTITILE AND FOOTWEAR EXPORT

A. Background

The Trans Pacific Partnership Agreement (TPP) is a free trade agreement initiated by twelve countries including the United States (USA), Australia, Canada, Chile, Mexico, New Zealand, Peru, Japan and ASEAN countries, such as Brunei, Vietnam, Malaysia, and Singapore. The agreement’s scope, which consists of 30 chapters, is ranged from tariff reduction, government procurement, intellectual property, labor, and environment issue. The trade block represents US$28 trillion combined GDP in 2014 or about 36% of the world GDP in 2014. The last negotiation among the TPP members was done in October 2015, and the agreement should be ratified by each member country before it can enter into force (United States International Trade Commission [USITC], 2016). At the end of 2016, Donald Trump, a TPP opponent, won the U.S presidential election. Hence, in his first week in the White House, Trump officially withdrew the US from the TPP (Crow, 2017). However, despite the uncertainty of the future of the TPP, research of the impact of TPP is still consider important for future reference.

TPP members, such as Japan and USA, are Indonesia’s main trading partners. Indonesia’s export to Japan and USA in 2015 reached US$ 18,020 million and US$ 16,240 million respectively (Ministry of Trade of Republic of Indonesia, 2016). The fact that Vietnam has joined the TPP can be considered as a threat to Indonesia’s export commodities. Textile and footwear are important export products for both Indonesia and Vietnam and both countries’ main export partners are the USA and Japan. In addition, the United States does not have any bilateral trade agreement with neither Indonesia nor Vietnam (Jackson, 2016). Therefore, by joining the TPP, Vietnam will gain lower tariff barrier than Indonesia from the TPP members, including the USA (USITC, 2016).

There are several studies on the impact of the TPP, either on its member or on a non-TPP member. For instance, Mathias Bauer et al. examined the possible impact of the TPP on Europe (Bauer, Erixon, Ferracane, & Lee-makiyama, 2014). Meltzer studied the TPP implications for India (Meltzer, 2015) and Rashmi Banga tried to estimate the impact of the TPP on Malaysia’s domestic value-added trade (DVA) (Banga, 2015). However, there is little research about the effect of the TPP on the Indonesian economy, especially in the footwear and textile industry. In order to fill this gap, this paper will examine the impact of the TPP on Indonesia’s footwear and textile export to the USA, and to what extent it impacts Indonesia’s textile and footwear export

Page 14: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 3

B. Research Objectives and Methodology

This study will use a partial equilibrium modeling methodology based on the SMART model developed jointly by the World Bank and UNCTAD. The SMART model has the ability to assess the impact of tariff change and provide information about trade flows (trade diversion and trade creation), economic welfare and tariff revenue (Laird and Yeats, 1986). However, this research will only focus on trade diversion effect caused by the TPP on Indonesia’s footwear and textile export to the United States.

In this research, I will use data of footwear (HS chapter 64) and textile (HS chapter 61, 62, 63) at a 6-digit level on Indonesian and Vietnamese export products into US market in 2016. The US market is chosen because neither Indonesia nor Vietnam has any bilateral trade agreement with the US. Vietnam, as a TPP member, will have a zero tariff while Indonesia as a non-TPP member will use the default tariff. This research will use four substitution elasticities (1.05, 3.05, 7,4 and 8.1) which is taken from research by (Saito, 2004; Donnelly, Johnson, & Tsigas, 2004).

C. Data Analysis and Results

This thesis shows the implication of the TPP on Indonesia’s footwear and textile product export. The research focused on a simulation where Indonesia, a TPP nonmember, faces Vietnam in textile and footwear trade with the USA. Therefore, by using SMART, a partial equilibrium model, the simulation result shows that trade diversion will harm Indonesia’s footwear and textile export. This research used four substitution elasticities (1.05, 3.05, 7.4 and 8.1), and therefore, the result varies depending on substitution elasticity value. Indonesia will lose US$ 39,518,560 or 2.69% of its footwear export at the lowest elasticity (1.05) and lose US$ 208,114.540 or 14.16% of its footwear export at the highest elasticity (8.1). In textile products, Indonesia’s loss is US$ 92,259.30 or 1.78% of export at the lowest elasticity (1.05) and US$ 599,322.86 or 11.55% of export loss at highest elasticity (7.4). Footwear products, such as HS 640411, have the highest export loss ranging from 6% to 30.21% depending on the elasticity value. In the textile sector, HS 620333 has the highest trade diversion loss ranging from 8% to 42.5% export loss.

D. Policy recommendation

The SMART model can provide a very disaggregated result (HS-6 digit). Thus, the simulation result shows that not all Indonesian footwears and textiles have a great export loss. Despite the high export loss in several footwear and textile products, the average export loss per product is quite small. Even at the highest elasticity value (8.1 and 7.4), the average export loss per product ranges between 4.17% and 6.01% for

Page 15: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

4 Direktori Mini Tesis-Disertasi

footwear and textile product respectively. Therefore, the Indonesian government should focus on protecting products with high export losses.

Trade statistics indicate that almost all of Vietnam’s footwear and textile exports to the USA exceed Indonesia’s export. However, there are several products where Indonesian export is higher than Vietnam’s. Thus, Indonesia government should promote the export of those products.

Page 16: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE AND INTEGRASI PERDAGANGAN: KASUS DI INDONESIA PADA MASA SEBELUM DAN SETELAH KRISIS 2008

REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE AND TRADE INTEGRATION: THE CASE OF INDONESIA DURING THE 2008’S PRE- AND POST-CRISIS PERIODS

Nama : Advensius Cristian

Instansi : Kementerian Koperasi dan Usaha

Kecil Menengah

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia-Jepang

Universitas : Universitas Indonesia

Page 17: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

6 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Integrasi ekonomi antarnegara menjadi sangat penting dan hal ini sangat terkait dengan adanya aktivitas perdagangan internasional dan interaksi pasar keuangan global. Saat krisis keuangan global muncul, seperti yang baru terjadi di tahun 2007-2008, efek krisis tersebut menyebar dengan cepat ke banyak negara berkembang, termasuk Indonesia salah satunya. Untuk memahami efek krisis tersebut, penelitian ini menggunakan teknik co-integrasi dengan melihat hubungan jangka panjang antara Real Effective Exchange Rate (REER) dan integrasi perdagangan pada era sebelum dan setelah krisis. Hasil analisis penelitian dengan metode Autoregressive Distributed Lag (ARDL) menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang sebelum periode krisis, namun pada periode setelah krisis justru terdapat hubungan positif jangan panjang antarvariable. Melalui hasil tersebut, diperoleh kesimpulan secara umum bahwa peningkatan integrasi perdagangan akan diasosiasikan dengan apreasiasi REER setelah krisis keuangan global.

Kata kunci: krisis global, REER, integrasi perdagangan, ARDL

Page 18: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 7

ABSTRACT

Economic integration among countries becomes substantial, and it can be represented by the activity of international trade and global financial market. Once a crisis emerges, like Global Financial Crisis in 2007-2008, its damage can widely spread into developing countries such as Indonesia. To understand the crisis effect, this research discusses the long-run relationship between real effective exchange rate and trade integration during the pre- and post-crisis periods by applying co-integration technique. The autoregressive distributed lag (ARDL) analysis shows the evidence supporting no long-run relationship during the pre-crisis period, but the positive relationship during the post-crisis period. This result suggests that intensified trade integration would be associated with real exchange rate appreciation after the Global Financial Crisis.

Keywords: Global crisis, REER, Trade openness, ARDL

Page 19: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

8 Direktori Mini Tesis-Disertasi

REAL EFFECTIVE EXCHANGE RATE AND INTEGRASI PERDAGANGAN: KASUS DI INDONESIA PADA MASA

SEBELUM DAN SETELAH KRISIS 2008

A. Background

In nowadays, globalization plays major roles in many countries as one of factors in policy decision making. According to Krain (2005), globalization defined as an integration process of economics, political systems and social societies in global scale and it is to be driven by technological innovations and transnational organizations. As globalization wave emerged in the middle of 80s, world economy has become increasingly “connected” and “integrated” through international trade and financial transaction. As a result, it would create huge potential market for output distribution.

In microeconomics cost theory, larger market size is more efficient because of cost allocation can be minimized through competitive advantages of production factors. Related to that, regional trade integration, as part of globalization, will enhance exports to countries in same area and allow capital movement for economy growth (Balassa and Stoutjesdik, 1975). However, some people argue that economic integration has disadvantaged effect such as asymmetric information in market, because each actor is eager to maximize profit. Another one is negative spillover effect where global financial crisis is good example to explain this situation.

Economic history notes several big global crises in the past, which started from the 1929 Great Depression in the United States. Recently, the Asian Financial Crisis in the late 1990s and the 2007-2008 Global Financial Crisis are also considered as crucial financial crises. In the end of 20th century, Southeast Asian countries faced a financial crisis, which began from Thailand then moved into neighboring countries. In this era, Indonesia experienced a stabilization period and its economic system became more open after the agreement with International Monetary Funds (IMF). There are two big main issues related to this pact. The first issue is that the exchange rate regime shifted from managed floating into free floating system, and the second is liberalization on international trade by reducing import tariff and implementing deregulation.

Before Asian big crisis in 1997−1998, Indonesia adopted managed floating exchange and currency fluctuation level was adjusted several time by Bank of Indonesia between 2.000−3.000 IDR/USD. Asian financial crisis and political catastrophic in 1998 forced Indonesia government at that time seeking IMF for fund liquidity supporting which later the agreement between them would change exchange rate regimes into free floating.

Page 20: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 9

During the worst period in 1998, Indonesia Rupiah depreciated sharply and touched the lowest level in 16.800 IDR/USD in June 1998. To recover from crisis, IMF introduced stabilization period where deregulation was introduced as well as becoming internationally open. Bank Indonesia tried to accommodate IMF advises though their monetary policies. Global financial crisis weakened Indonesia export followed by the falling of global commodity prices. As a result, Bank Indonesia spent more $7 billion USD of its reserve to defend from depreciation. Also there was another monetary policy created in 2008 for supporting Indonesia exchange rate from global pressure in 2008, but it is considered that external factors from global issue had more pressure than policy itself. In summary, Indonesia exchange rate moves around level 12.000−13.000 until now and seemingly it finds second equilibrium after second post-crisis 2008.

In fact, global financial crisis 2008 started from subprime mortgage issue from The USA then brought tremendous damage on many countries, with no exception for developing countries in Asia. As one of countries with open economy system, Indonesia could not avoid risk from the worldwide economic crisis in 2007−2008, which generally reformed the world economic system as well as Indonesia macroeconomic conditions specifically until the end of 2008. The Central Bank of Indonesia (Bank Indonesia) reported that economic growth in 2008 reached 6,1%, but the impact of the global financial crisis began to diminish on the Indonesian economy in the second quarter of 2008 until 2009 where growth rate reached the lowest point 4,7%.

Since Indonesia’s exports are still dominated by primary goods and raw materials, the weakened demand from developed countries in the export market put pressure on the balance of payment. At that time, the deficit on the balance of payment triggered the negative image about risk of investment in Indonesia. As a result, nominal exchange rate started to depreciate significantly.

From this point of view, the first crisis 1998 caused the change of Indonesia trade openness in the 21th century. The stabilization of post-crisis in 1998 also becomes pre-crisis 2007−2008 where some literatures mention that the 2007−2008 financial crisis has a larger impact than the previous one. Many scholars try to explore the relationship between international trade and exchange rate, but there has been no extensive works about the different impact for Indonesia economy during the pre and post-crisis periods.

This research provides comparison analysis of the relationship between exchange rate and trade integration during the pre- and post-periods of 2007−2008 Global Financial Crisis. This study attempts to analyze whether the relationship has changed before and after the Global Financial Crisis. We apply time series analysis with focus on two main variables, trade integration and real effective exchange rate, to assess such an issue. If the two different results for the periods of pre-crisis and post-crisis are to be

Page 21: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

10 Direktori Mini Tesis-Disertasi

found, then the best policy can be created in terms of the crisis response in the future, especially to reduce the negative effect related to trade flows and exchange rate.

B. Research Objectives and Methodology

The 2007−2008 Global Financial Crisis inevitably had the impact on the Indonesian economy. As a part of international community, Indonesia applies international trade and has exchange rate floating system which has dynamically changed due to internal and external factors. Regarding the research topic, trade openness has the possible influence on real effective exchange rate. Therefore, several core problems are identified, and they should be answered in this study:

1. Does openness of international trade influence real effective exchange rate in the long-run during certain period of pre-crisis?

2. Does openness of international trade influence real effective exchange rate in the long-run during certain period of post-crisis?

3. What are necessary policies should be recommended?

This research is conducted by using Indonesia time series monthly data set from January 1999 until December 2016. The first variable in this research is real effective exchange rate (REER), which is collected from the official website of Bank for International Settlement (BIS). To explain the definition of REER, the IMF describes the nominal effective exchange rate (a measure of the value of a currency against a weighted average of several foreign currencies) divided by a price deflator or index of costs. An increase in REER implies real appreciation of the currency so that exports become more expensive and imports become cheaper; therefore, an increase indicates a loss in trade competitiveness.

C. Data Analysis and Results

The downfall of global economy 2008 enhanced developed countries to implement tight fiscal policy in government spending especially for import budget. As a result, developing countries lost their potential export market from developed countries but on the other side, they still have domestic needs of some commodities which are imported from others. After liberalization in early 2000, Indonesia economy get more integrated with others but it wasn’t strong enough during pre-crisis 2008 as co-integration test mentions no existence long-run relationship between trade and REER. Since importance of international trade becomes more substantial especially for oil commodities, Indonesia tries to support some commodities into regional market such such as ASEAN or ASEAN + in order to reduce deficit balance payment. As a result, the appreciation

Page 22: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 11

of REER would increase price of exportable goods but it declines Indonesia product competitiveness but in the other side, it also helps domestic consumers to get some importable goods with cheaper price as well as lowering production cost as importable inputs, for instance mining, can be obtained with competitive prices.

D. Conclusions

This research examines long-run relationship between trade integration or called trade openness with REER in two different periods, pre-crisis 2008 and post-crisis 2008. After big crisis 1998, Indonesia steadily grew up and recovered until bubble period in 2007. As part of global economy community, the changed of economy structure in global level contributes to Indonesia economy development itself. For instance, bubble economy brought benefit for Indonesian economy especially capital inflow but once negative shock, started from subprime mortgage issue in The USA, world economy got recession period in 2008 and affected into many countries through various channels.

For Indonesian case study, this research finds that the concept of economy integration is stronger in post-crisis than pre-crisis 2008. Even though liberalization in Indonesia started in the early 2000s, the implementation of openness itself still had some policy intervention by the official government such as exchange rate stability and other domestic obstacles. An ARDL model co-integration bounds test proves the existence of long-run relationship between REER and trade openness after global financial crisis 2008. As the trade openness gets higher, Indonesia REER is associated by the appreciation in relative small value, 0.08%.

Related to Indonesia trade partner, the effect of crisis 2008 had less severe damage than Asian crisis 1998 because Indonesia trading is more integrated with countries in East Asia and Pacific regional, including ASEAN. Indonesia seemingly didn’t get significant effect from declining trend of global export market in North America and Europe because of risk aversion of trading. Since Indonesia export categories are dominant in raw and intermediate materials, REER appreciation should bring more disadvantages for export because of Indonesia commodities lose competitiveness in global market comparing to same goods produced by other countries. But the implication of REER appreciation will be positive for Indonesian economy in long-term because it is possibly good for manufacturing

Page 23: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

12 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sectors who are still have dependency of some importable commodities. In other words, appreciation of REER can support economy stabilization through productive sectors in the future.

E. Recommendations

Regarding the research topic and empirical analysis, we can deduce the following policies recommendation:

1. In order to get a real appreciation, Indonesia should liberalize their trade by increasing share of regional trade especially with ASEAN plus through multilateral purpose agreement. For instance, Indonesia can subsidize broadcasting equipment industry which becomes one of potential export to automobile manufacturing industry in Thailand and improve the quality of agriculture products to Japan.

2. In order to support trade, Indonesia should build more special economic zones in several area including port in east part of Indonesia and simplify many restructions related to goods capital inflow including tariff barrier.

3. Since currency play important role to international trade, there are several possible policies to averse currency risk:

a. Encouraging swap between the biggest share of trade partner and start to think alternative exchange rate which agreeable among regional countries. Currency union is not bad idea but this policy is not match with Asian because of big gap economy growth among them. Therefore, currency basket is possible alternative instead of currency union

b. Monitoring the pattern of trade and exchange rate movement from trade partner countries in ASEAN plus and developed countries especially USA. By doing that, Indonesia can reduce potential risk from global imbalance through other policies whether fiscal or monetary.

4. For purpose of currency stability in trade integration, Indonesia with some other countries can create agreement for basket currency as the USD substitute, so it can diverse currency risk when a negative shock hit developed countries like the 2007-2008 Global Financial Crisis.

Page 24: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

POVERTY IN YOGYAKARTA, INDONESIA: A DISTRICT LEVEL ANALYSIS OF CHARACTERISTICS AND DETERMINANTS

Nama : Agus Salim

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of International

Development

Negara Studi : Jepang

Universitas : Nagoya University

Page 25: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

14 Direktori Mini Tesis-Disertasi

POVERTY IN YOGYAKARTA, INDONESIA: A DISTRICT LEVEL ANALYSIS OF CHARACTERISTICS AND DETERMINANTS

A. Background

Yogyakarta has been prominent as one of the tourism centers and student-city (aka education center), enriched with cultural heritages in Indonesia. As one province in the country, it has gained a special autonomy status enabling it to manage local development more flexibly. It has achieved considerably good reputation in development reflected from human development index (77,59 in the province and 84,56 in the city center, in 2015) and happiness index (70,77 in 2014, one of the highest in the country). Though not the richest province, the economic activities are relatively stable, in which the annual growth rate is 5,23% on average during 2011 and 2015 (below national growth rate, accounting for 5,52% on average in the same period) and inflation rate was 3,09% in 2015 (BPS, 2016).

In the island level, Java and Sumatra have GDRP far above other provinces. These two islands have contributed to 80% of the national economy (Kuncoro, 2013). This fact is consistent with the population number in the respective islands, showing that through long time centralized development process, economic activities are relatively centered in Java and Sumatra, which then have become the urbanization destination from other regions in the country. However, in terms of poverty, those two islands have not really experienced low-rate compared to some other islands. The poverty rate in Kalimantan is even lower than poverty in Java and Sumatra. Furthermore, in the province level, Yogyakarta poverty rate is higher than poverty rates in some other provinces outside Java, such as Bangka Belitung, Bali, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara and Maluku Utara (BPS, 2016).

In addition, regional autonomy system that has taken place since around 1999 has in some ways contributed to poverty reduction. Fiscal decentralization within the system allows governments both in province and district levels to launch anti-poverty policies (Tjoe, 2013). As a result, three tiers of governments; ministerial (central), provincial and district /city level governments have all conducted poverty alleviation actions. At the beginning, this kind of condition has made poverty eradication efforts done by those governments overlap each other, not to mention other efforts by NGOs and other stakeholders. But then, the attempts have gradually improved variously depending on each province and district capacity and capability.

All this progress, in some ways, has influenced the trend of poverty in every region, both in the province and district levels. To some extent, there has been a converging

Page 26: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 15

phenomenon in which regions that initially had higher level of poverty, also experienced faster poverty decrease (Sumarto, 2013). Nevertheless, as maintained by Abdillah, Mursinto (2016), the effect of fiscal decentralization is not significant to poverty reduction in the short term and significant for only several provinces in the long term.

The poverty rate in each province and district varies, ranging from 2,77 to 38,91 in 2003. After 12 years, in 2015, the percentage of the decrease also varies, ranging from -17% to 54%. It is not surprising that both the initial condition and the degree of the progress are different from one region to another. Some regions have successfully decreased the rate of poverty very rapidly, such as in Banjar District and Maluku Utara Province. On the other hand, in some other districts, the poverty is strikingly persistent, hence the reduction trend is quite low, such as in Gunung Kidul District and Banda Aceh City. Fewer others even had negative trend of poverty reduction, such as in Jakarta province and Jakarta Timur City.

B. Research Objectives and Methodology

The research method utilized is basically to answer both above research questions. To answer the first question, how the characteristics of poverty are, relevant poverty measurement data are required. A set of standardized data available in the field is based theoretically on the account of FGT (Foster-Greer-Thorbecke) (Todaro, Smith, 2015). The data set has three measurement components; headcount ratio, poverty gap index and squared gap index. The first component is to measure how many people counted below a designated poverty line. The two other components are to determine to what extent the poor are poor. The data are officially published by Indonesia Statistical Bureau (BPS), in which districts are the smallest unit of observation.

Both data sets will then be employed to explain the characteristics of poverty in the province. In this case, FGT measurement should be the basis for the analysis. Aspects of poverty will be explored, such as how poor is the poor in the province, as well as and more importantly in the district level. Comparing the districts will be another point to be made, in order to investigate people in which district suffer more from poverty. The notion of urban and rural poverty will also be considered. Geographically speaking, Yogyakarta is a small province compared to Indonesian provinces in general. In this tiny province, there is considerably big urban area in the center. So, the distance between rural and urban area is fairly close. Sleman and Bantul districts in particular, may have considerable urban sub - districts, especially those close to Yogyakarta City border. Hence, to elaborate urban and rural poverty, investigating sub-district poverty will be very useful. Precisely in this part, TNP2K’s data set will play an important role as it has more extensive survey enabling it to be scrutinized into sub-district units.

Page 27: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

16 Direktori Mini Tesis-Disertasi

In addition, to answer the second question, what factors determining poverty are, some additional data need to be collected. Measuring poverty using FGT notion explained above, official publications from Indonesian statistical bureau will be utilized. The independent variables -as well- will be taken from the same publication in various years based on literature analysis in the subsequent chapter. Those variables will then be regressed to find out which variables strongly determine the poverty in the region.

C. Data Analysis and Results

1. Districts in Yogyakarta and the Surrounding Area

As stated earlier in the introduction chapter and elsewhere, this analysis on the determinants of poverty focuses on the district level. The primary attention was on Yogyakarta Province. Nevertheless, as discussed in the third chapter, the province is small, consisting of only five districts including one city as the urban center. Luckily, some neighboring districts share particular similarities with all districts in Yogyakarta. These similarities are primarily based on geographical factors: Merapi mount, Gunung Kidul mountainous area, Menoreh hills and the vast fertile plain area. Those similarities could actually reflect similarities in terms of the ways people live from one generation to the next. They have dealt with similar natural challenges or endowments, which is quite important if agriculture is taken into consideration.

Kulon Progo, for instance, shares similar geographical features with its neighboring district, Purworejo. In fact, those two districts are in one type of landscape, Menoreh hills. People in these districts have coped with similar agriculture problems, which is not overly fertile soil. It is also true for the case of some other districts, Sleman and Gunung Kidul. Sleman, lying on the slope of Merapi mount, has its twin district in the north-west, which is Magelang district. People in these two districts are blessed with unlimited fresh water and very fertile soil from the Merapi volcano, but sometimes troubled by the eruption of the same volcano. Meanwhile, Gunung Kidul shares similar geographical features with Wonogiri district in the east. People in these areas not only have dealt with dry agricultural land problems, but also lack of water supply for their whole life. Another district, Bantul, share lesser similarity with a neighboring district, Sukoharjo. Both districts are located in the vast fertile plain area, with sufficient fresh water to irrigate their agriculture lands. To add one more similar district to the list, Klaten resembles to some extent Bantul and Sukoharjo. This district is similar to Sleman as well, in that both are partly located on a slope of the volcano. Last but not least is Yogyakarta City. As mentioned in chapter three, this city has its twin, which is Surakarta. Not

Page 28: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 17

only do they have similar historical backgrounds as the centers of Yogyakarta and Surakarta kingdoms, the cities also share urban lay-out, such as the ways political, religious and commercial centers are located.

The data from those above mentioned districts outside Yogyakarta will be utilized here to enrich the analysis. Thus, instead of only dealing with five districts, the analysis on poverty determinants will include eleven districts, including two cities, in Yogyakarta and its nearby districts. The additional enrichment to the data will include not only a single year, but multiple years. By employing multiple year data, it is expected that the data is more reliable and the regression result along

with the analysis will be more strongly grounded in realities.

2. Poverty and Its Determining Factors

In addition to the headcount ratio, Gross Domestic Regional Product (GDRP) data from each district will also be utilized in the analysis. The reason is that GDRP reflects the size of the economy of each district, and when it is divided by the overall population, the rough welfare level of the people in the district can be identified. This means that, while with the HCR the rate of deprived people in one district will be discovered and can be compared with other districts, with the average GDRP per-capita, the level of welfare of the people in a district can be identified and compared to other districts as well.

Furthermore, factors that will be examined here as independent variables include what have already been discussed in the second chapter, and further selectively explained in the last part of the fourth chapter. GDRP per-capita is used as a proxy for income. Mean years of schooling is to measure the literacy level in each district. Economic growth rate is to indicate economic activities in each area of observation. Population growth rate and average household members are factors that could influence the probability of being poor. Agriculture, which is associated as well with the probability of being poor, is represented by the proportion of agriculture to total GDRP. Distance from the capital city of the province, proportion of urban villages and hub position will represent the location factors as proxies to various public facilities, infrastructure, and markets among others. Hub position is to recognize the geo-strategic location of a district. It is an advantage for a district or city if it is located between two larger cities so it can gain spillover effects from the economic activities of those cities. In this case, a dummy is used, 1 for those

having hub position, and 0 for otherwise.

Page 29: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

18 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Regression Process Explained: Issues and Solutions

There is a pair of variables which are highly correlated, urban villages with mean years of schooling. The relation between variables mean years of schooling and proportion of urban villages is interesting to explain. The higher mean-years of schooling a district has-compared with other districts- is an indication that the human development level is better. This could best be supported by education facilities in that district. Meanwhile, a village may be classified as an urban village if it fulfills certain requirements, some of which are related to education facilities. The high correlation between mean years of schooling and proportion of urban villages confirms this fact. As the intention of this research is to examine the effects of independent variables on poverty reduction, both variables are still used in analysis. The solution is to run the regression separately for each variable.

For the first regression series, the poverty rate is employed as the dependent variable. It is run against each of individual explaining variables: GDRP per -capita, hub position, urban proportion, schooling rate, population growth rate, average household size, economic growth, agriculture GDRP, and distance to the urban center. The result is that there are various explaining proportions/R Square, ranging from 0,9% for urban distance to 39% for schooling rate. GDRP per-capita, economic growth and urban proportion contribute 36%, 24%, and 30% respectively. Meanwhile, hub position and agriculture GDRP account for 26% and 21% respectively. The rest are household size and population, which account for 20% and 13% respectively.

The second regression includes the set of explaining variables, excluding GDRP per-capita and urban village proportion. GDRP per -capita as an income proxy is not included to see the impact on poverty reduction of all explaining factors outside the income variable. Urban proportion is also taken out due to its similarity with schooling rate. All factors involved could explain poverty, shown in the R2 score, by 71%. Except for the hub position, they have significant influences on poverty. Agriculture GDRP and average household size are among the variables that affect poverty negatively. Meanwhile, schooling rate, distance from urban center, economic and population growth have positive effects on reducing poverty. While the effect of hub position is not significant, its influence to reduce poverty is also positive.

To see the effect of the urban proportion factor, another regression is executed by replacing schooling rate with the urban proportion variable. The effect is slightly different, in which the R2 score is reduced to 68%. However, hub position influence has become significant to poverty reduction. Urban proportion has a similar effect

Page 30: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 19

to significantly reduce poverty. Thus, distance from the urban center, economic growth, population growth, hub position, and urban proportion factors have positively significant influences on poverty reduction. On the contrary, agricultural GDRP and average household size factors have significant but contrasting influences on poverty.

Regarding the income factor, GDRP per-capita could explain poverty by 36% individually. Nevertheless, this factor should be assessed in a combination as well to measure its optimum impact on poverty reduction. The subsequent regression is the effect of another combination of explaining factors which include GDRP per-capita on poverty. Economic growth is taken out as it refers to the same object, which is economy, although from different angles, size and expansion degree. Like a preceding regression, the schooling variable is kept and urban proportion is taken out. The result is that the explaining percentage (R2) of the variable combination in this regression accounts for 72%. Now, there are more insignificant influences for explaining variables of poverty. Schooling, average household size and agricultural GDRP have similar effects to those in the previous regression, but are insignificant. The income factor, explained by GDRP per–capita, has a positive significant influence on poverty reduction. The other independent variables, hub position, population growth and distance from the city center, also have significant and positive impacts on poverty reduction. Then, one other regression is executed as well to see the effect of urban proportion, instead of schooling rate. The result is

that, just like the schooling variable, it has become insignificant to poverty.

4. Location Factors and Its Overlap with the Human Development Index

Location factors have become one crucial determinant in economic and development studies. The industrialization process, for instance, tends to be geographically concentrated in a particular location (Narjoko, 2008). The urbanization process in Indonesia and many other countries has been a common event in which many people move from rural agricultural-based areas to places where economic activities and employment opportunities are more plentiful and offer better incentives. A particular location can give some advantages for economic activities to have higher productivity levels than if located elsewhere due to easier and more efficient access to resources, technology, market and so forth related to the activities (Porter, 1998). This will in turn generate a higher probability for jobs to be created and for people to have better opportunities to improve their livelihoods. Hence, poverty problems could be mitigated.

Page 31: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

20 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The regression result indicates that districts with higher schooling rates tend to have lower poverty rates. This means that a relatively high schooling rate creates a positive condition to generate higher income, and thus expenditure. Actually, it could also mean the reverse cause-effect, in which a lower poverty rate is a positive condition to attain a higher education level. One fact in the field is, however, more supportive of the former cause-effect. Since 2008, the government of Indonesia has been implementing rights to nine years of basic education for all citizens. As a result, education expenses are supported by the government. This gives incentive for the citizens to send their children to school. The average mean years of schooling in the 11 districts observed is quite high, at 8,5. Then, when this variable is regressed together with the urban proportion variable in one combination, the urban variable becomes insignificant. This could mean that those two factors actually look alike referring to overlapping indicators in the field. As far as their individual influences on poverty are concerned, the schooling indicator has a more significant influence and a higher effect, having 39% R2 score, compared to its counterpart, which is 30%.

5. The Influences of the Demographic Factors

Based on the regression result, household size measured with average household members has a significant negative impact on poverty. Districts that have more members of a family on average have a higher probability to be poor. Many previous studies have proved the negative impact of the household size on people’s welfare, such as Dartanto & Nurkholis (2011), Djamaludin (2014), and Pindiriri (2015). They all express similar notions that larger household size tends to increase the probability of being poor. The point here is that the more people who are fed in a household, the less income/expenditure is shared to each individual. In a more macro scope, it implies that each individual will recieve less if the same size of GDRP is shared among a larger population. The significant impact of average household members found in this study supports those previous studies explanation.

Another demographic variable, population growth rate, also has a significant influence on poverty. It is nevertheless positive, in which the higher the percentage of the population growth in a district, the faster poverty tends to decrease. Theoretically speaking, this is quite in contrast to what has been discovered by some other researchers. Adeyemi, Ijaiya & Raheem (2009), for example, emphasized that population growth tends to increase poverty. There are two explanation related to this. Firstly, in the context of Yogyakarta, the growth rate of population among all observations ranges from 0,03 in Gunung Kidul (2013) to 2,29 in Bantul (2015). Sub-Saharan Africa, where the above- mentioned study was conducted, has a different context from that in Yogyakarta. As reported by voanews.com (2013), the fertility rate in the region is among the highest in the world. According to tradingeconomics.

Page 32: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 21

com (2017), the average growth rate in the region has been around 2,7 annually since 2011. Before that year the rate was slightly lower, but still above 2,45 annually since at least 2004. Besides, as emphasized by the same study, access to basic facilities, such as health care, safe water, education and sanitation indicate deprivation in addition to per capita income indicator (Adeyemi, Ijaiya & Raheem, 2009). It implies that poor people in the region generally have difficulties to access those facilities. Combining those difficulties with the greater population growth rate they have, the greater population rate would obviously make them more deprived. These factors are what make poverty in Yogyakarta slightly different, in which various basic facilities are relatively accessible. Thus, to certain level, greater population growth would not be a burden on poverty reduction.

In addition, for the second explanation, the urban/rural situation should be considered. As described in the location-related factors, people tend to move from rural to urban areas. In the context of Yogyakarta, the urban center is located in Yogyakarta City. There are two other districts close to the city, Sleman and Bantul, into which the urban area has extended. The city and those two districts have relatively higher population growth rates. A higher rate of population growth has also been experienced by districts having relatively less agricultural GDRP, meaning they are relatively industrialized or service-based districts. All these facts could be linked to the cause of population growth. It is most likely that migration is a significant factor to cause population growth in those relatively urban and less agricultural districts. By saying this, districts that have a higher rate of population growth should have more abundant job opportunities, and most likely with more access to basic facilities, than those with lower growth. Thus, instead of worsening poverty, higher population growth rate could be a sign of more dynamic and higher economic activities and less cost of basic facilities, hence reducing the probability

of being poor.

6. Economic Factor Determinants

Among all explaining variables in location- and demographic-related factors, hub position, schooling rate, urban village proportion, and population growth have significant positive effects on poverty reduction. On the other hand, the influence of distance from the capital city and average household size are negatively significant. Apart from those, economic related factors also have significant impacts. Measured by the annual growth rate of the economy in each district, economic activities are proven to be a significant factor to reduce poverty. This confirms some previous studies on poverty determinants. One cause of Sub-Saharan Africa’s poverty is low economic activities (Adeyemi, Ijaiya, & Raheem, 2009). Prince (2009) also

Page 33: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

22 Direktori Mini Tesis-Disertasi

connected his study with the economic growth factor. Economic growth levels reflect the improvement of economic activities in a district. In the context of Yogyakarta and its surrounding districts, the effect of economic growth is quite significant. When regressed individually, its R square score is more than 24%. The average economic growth of all districts observed during the last 10 years is 5,03. The lowest average growth rates are in Kulon Progo and Gunung Kidul districts, which incidentally experienced the worst incidences of poverty. Higher economic growth could therefore reduce the poverty in a district.

Furthermore, GDRP per-capita is another economic element having a positive significant effect to reduce poverty. This variable is a proxy to measure income per-capita. This means that the higher GDRP per-capita, the higher the capability of a household to consume. Razak, Norshahidi, Yusof & Ibrahim (2014) emphasized that the probability to be poor will decrease as the number of income recipient increases in a household. This implies that income is still an important factor to reduce poverty. This finding also confirms Sumarto, Vothknecht & Wijaya (2013) who maintained that GDP per capita is one major driving force to reduce poverty in Indonesia. Reflecting that study, the effect of income per capita in the current research substitutes the effects of three previous explained variables: economic growth, schooling rate and urban proportion. When each of those variables is regressed with the income variable in one combination, the effect of each of those variables becomes insignificant to poverty.

Another regression was conducted to place GDRP per-capita as the dependent variable. The result is that each of those three variables has significant positive effects. This implies that while those three variables signify poverty reduction, the impact is actually not dependent on income effect. In other words, economic growth, schooling rate and urban proportion have contributed to reduce poverty through increasing income. This is unlike the case of hub position, in which it still has a significant impact on poverty with and without GDRP per-capita. It could be interpreted that hub position could influence poverty reduction outside income-related influences.

Another variable with significant but negative effect is agricultural GDRP. This variable is the proportion of GDRP from the agriculture sector to total GDRP in a district. Districts that have a higher proportion of that sector in their GDRP could be more agriculture-based. The highest proportion of agriculture GDRP, as far as the data is concerned, is 50% in Wonogiri district (in 2009 and 2011 observations), while the lowest is in Surakarta City, accounting for 0,06% (in 2005). Datt (2000) explored the problem in the agriculture sector, which is associated by low productivity. Salim (2016) also emphasized that one feature of farmers in the developing world

Page 34: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 23

is small holdings or landlessness. As shown in the third chapter, the percentage of agricultural employment is higher than the GDRP percentage of the same sector. This implies that a high number of farmers received less proportion of GDRP than their counterparts in other sectors. The current finding confirms the notion that the greater proportion of GDRP from agriculture reflects the fact that the more people received a small amount of income in the area. Therefore, it has become a negative sign for poverty reduction.

Nonetheless, it should be noted here that agricultural GDRP impact on poverty–along with the effect of the household size component- is also through income. Similar to the economic growth, schooling rate and urban proportion effects already discussed, agriculture GDRP and household size have significant influences on income per-capita, when GDRP per-capita is regressed as the dependent variable. However, the impact is negative. It means districts having larger household sizes on average and proportion of agricultural GDRP tend to have lower income per-capita. When the poverty rate is regressed as the dependent variable and both average household members and agricultural GDRP are in one combination with GDRP per -capita, the effects of household size and agricultural GDRP become insignificant. This may imply that what is more crucial for poverty is income per-capita. Therefore, in this case, having a larger household size and

agricultural GDRP proportion makes a district decrease its income per-capita.

D. Conclusions and Further Research

Yogyakarta is a small province in Indonesia that has a special status due to its historical background. This results in some points of differences from the other provinces in the country, including some additional authority to govern its development, along with budgets from the central government. Apart from that, Yogyakarta is also a province, similar to the rest, designated to implement regional autonomy and fiscal decentralization. In such a setting, the governments in the region, both provincial and district level, are allowed to manage their local development, including to eradicate poverty in each region.

The rate of poverty in the province has been high and the reduction process is persistently slow. It is the ninth highest poverty rate and one of the lowest rates of reduction among Indonesia provinces. In the midst of regional autonomy implementation, in which the role of district governments is essential to alleviate poverty, the nature of the problem needs to be addressed at the designated level. One of the results is that, in general, poverty in rural areas is more intense than in urban areas. However, in terms of the actual number, more poor live in urban rather than rural areas.

Page 35: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

24 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Furthermore, 19 out of a total of 438 sub-districts in Yogyakarta province the number and proportion of the poorest people are high, both in rural and urban areas. There is one significant cluster of those sub-districts near the urban center, while another smaller cluster is located farther from the city. People having the lowest 40% welfare level in those sub-districts are characterized by various employment backgrounds, mainly in farming, plantation, livestock, manufacturing industry, construction, and trade. Farming is a strong feature of rural sub-districts, particularly in Gunung Kidul and to a lesser extent in Kulon Progo. In addition to farming, Kulon Progo rural sub-districts have significant plantation and livestock, as well as manufacturing industry representation. Bantul rural sub-districts have more significant proportion of manufacturing industry, along with farming, livestock and construction. On the other hand, Bantul urban sub-districts are similar to their counterparts, with more significant contribution from manufacturing industry, construction and trade, but less in farming. Meanwhile, Sleman sub-districts feature equal contributions from farming, manufacturing industry, construction and trade. Lastly, Yogyakarta city sub-districts have dominant portions of trade, education/health/social services and other service sectors.

Moreover, among the listed variables examined for their effects on poverty, a number of them determine poverty in different ways. Among the location factors, urban village proportion and hub position have positive significant influences on poverty reduction. Schooling rate, measured by mean years of schooling, also has a similar impact on poverty. Its significance, however, substitutes for the urban village proportion variable. On the other hand, distance from the capital city may worsen poverty, while proximity to the urban center may also increase the probability of being poor in a district. Similarly, average household size has significant negative impact on poverty. In this case, districts having higher average household size tend to have higher proportions of the poor. In contrast, another variable among demographic factors, population growth, tends to have a significant positive effect on poverty. While this finding is counter- intuitive, it is a reasonable factor in which districts having higher population growth rates are those relatively more urban and more industrial or service-based than others. It is likely that higher population growth in those districts is caused by migration rather than births.

No less interesting is the effects of economic factors on poverty. As predicted, the influences of economic growth and income per -capita are positive and significant, while agricultural GDRP is negative and significant. The nature of the agriculture sector is theoretically dominated by small scale farmers. The negative effect of the proportion of agricultural GDRP discovered in the current research confirms that nature, in which districts having a higher proportion of agricultural GDRP tend to have higher poverty rates. On the other hand, the effects of economic growth and income per -capita are poverty-reducing. This is also strongly supported in theory, particularly in the case of

Page 36: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 25

the poverty rate measured by household expenditure, which has a close relationship with income factors. As those two variables refer to the same object, the economy, their effects on poverty substitute for each other. However, the effect of income measured by GDRP per -capita is more essential than economic growth, in which the former not only substitutes the effect of the latter, but also the effects some other variables: urban proportion, schooling rate, average household size and agriculture GDRP. Their effects are therefore income improvements or reduction. This implies that the influences of those variables are basically through income.

In investigating poverty characteristics in Yogyakarta province, this research relies solely on secondary data provided officially by the Indonesia Statistical Bureau (BPS) and the National Team of Poverty Alleviation Acceleration (TNP2K). Though basically fulfilling the need of the research, some minor aspects–which I wanted to explore in the research, require additional data sets, such as in the case of the poorest 10% in the poorest sub-districts. It is important to explore their livelihoods and living conditions. However, the data provided by TNP2K do not specifically include such details. The institution only provides information about livelihoods and living conditions in a wider scope, which is the lowest 40% of welfare level. Thus, some additional field works need to be conducted to comprehensively grasp the lives of that poorest segments of the society, particularly in the sub-districts where the percentage is high. This would be helpful for the government to launch anti-poverty policies fitting with the needs of those deprived people.

The poverty profiling done in this research has discovered some important points, such as poverty pockets in the urban sub-districts. The contradictory fact is that the economy is also larger and growing more in that area than in rural areas. This raises a question related to income distribution among the inhabitants in that area. It is likely that inequality is higher in urban rather than rural areas. However, this factor has not been properly examined further to see the effect on poverty, due to data limitation. In the future, this issue needs to be explored further to test whether inequality contributes

to worsening poverty in Yogyakarta province.

E. Policy Implications

Household-targeted programs are characterized by direct intervention with short-term effects. Nonetheless, in order for any anti-poverty policy intervention to have long term impacts, empowerment-oriented programs need also to be addressed, particularly in those poverty-pocket sub-districts. The types of intervention should match the characteristics of the poor households, including in which area they live in. In Yogyakarta City, in terms of empowerment programs, people working in the field of trade

Page 37: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

26 Direktori Mini Tesis-Disertasi

and education/health/social-related service sectors need to be primarily supported. The industrial sector in this city is characterized as more capital- intensive, thus not many people are absorbed. Consequently, more people engage in the service sector. Given the fact that informal workers are dominant and a high proportion of people from the lower welfare class are in the sector, it is highly likely that effective intervention to improve the informal-service sector needs to be addressed in the city. The already- launched economic empowerment programs, such as micro credit and various skill training programs need to be directed to the area.

Besides specific empowerment-oriented interventions, development policies in general need to consider the poverty determinants explained in this research. As analyzed in the previous chapter, economic growth is an essential factor, especially in the non-agriculture sector. Sectors with many workers need be prioritized. The industrial sector involves considerable numbers of workers, particularly in Bantul and Kulon Progo districts. In those areas, there are some small- and micro-sized industrial clusters, such as pottery in Kasihan, Batik in Imogiri, leather in Bantul sub-district, furniture in Dlingo, and so forth. The growth of those industrial centers is partly supported by the tourism industry, which is now growing evenly in all districts. Other sectors that are also supported by the growing tourism are trade, restaurant and service sectors. Those sectors absorb many workers in most districts, except Gunung Kidul. Yogyakarta City, Bantul and Sleman, in particular, contribute the highest proportion due also to the growth of the education industry in the area. Moreover, tourism is growing rapidly now in Gunung Kidul and Kulon Progo, but with less developed supporting sectors, such as hotel, restaurant, trade and other service sectors. This causes tourists to stay only short times in these districts. As the tourism development prominently has a local community-based approach, particularly in Gunung Kidul, the impacts on the job generation by promoting those supporting sectors would be multiplied. Finally, with all of these policies, job opportunities would be redistributed more evenly across the districts, and will lead to the out- movement of people not centered in and surrounding the urban center. With this, the problem of population and poverty pockets in particular will eventually be solved.

Page 38: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PERILAKU KONSUMSI BERAS DI INDONESIA

RICE CONSUMPTION BEHAVIOR IN INDONESIA

Nama : Bhaskoro Dwi Widhianto

Instansi : Kementerian Pertanian

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-National

Graduate Institute for Policy

Studies, Tokyo, Japan

Page 39: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

28 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa dan mengidentifikasi karakteristik perilaku konsumsi rumah tangga di Indonesia secara komprehensif dengan menggunakan data The Indonesia Family Life Survey (IFLS) gelombang 1, 3, 4, dan 5. Estimasi menggunakan model linear Engel curve menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu rumah tangga secara signifikan mempengaruhi konsumsi beras, kemudian juga sayur dan pangan sumber protein masih merupakan makanan pelengkap nasi bagi banyak penduduk Indonesia. Untuk meningkatkan kebijakan diversifikasi pangan di Indonesia, kebijakan yang berbeda untuk penduduk desa dan kota dapat diterapkan. Untuk penduduk desa, peningkatan produktivitas pertanian dapat berdampak pada konsumsi beras yang lebih rendah. Sedangkan untuk penduduk perkotaan, kebijakan dapat difokuskan pada promosi gaya hidup yang lebih sehat. Kemudian, untuk dapat menghasilkan kebijakan yang lebih baik, pengumpulan data tentang karakteristik sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik sangat diperlukan, terutama untuk harga komoditas yang dikonsumsi di tingkat rumah tangga.

Kata kunci: ketahanan pangan, perilaku konsumsi rumah tangga, konsumsi beras

Page 40: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 29

ABSTRACT

This study analyzes and identifies comprehensive Indonesian household consumption characteristics using the Indonesia Family Life Survey (IFLS) data waves 1, 3, 4, and 5. The estimation using linear Engel curve model shows that housewives’ education level significantly affects rice consumption, and also proteins and vegetables are still considered as the side dish for many Indonesians as these goods are shown to be complementary food for rice. To improve food diversification policy in Indonesia, differentiating between rural and urban areas can be applied. In the rural area, increasing agricultural productivity may result in less consumption of rice. On the other hand, for urban dwellers, policies should be focused on promotion of healthier lifestyle that includes more balanced and varied diet. Next, better data collection of social economic characteristic is needed to create better consumption policy, especially price of commodities consumed in household level.

Keywords: food security, household consumption behavior, rice consumption

Page 41: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

30 Direktori Mini Tesis-Disertasi

RICE CONSUMPTION BEHAVIOR IN INDONESIA

A. Background

Food is the basic need for humans other than clothes and shelter, so the availability of this commodity, for everybody, must be guaranteed. The World Food Summit in Rome, 1996, defined food security as a condition when all people can always have access to sufficient, safe, and healthy food to maintain a healthy and active life (Food and Agriculture Organization, 1996). Since that agreement, many countries have made efforts to achieve food security indicated by the fluctuation number of undernourished people.

Food and Agricultural Organization (FAO) make a report to observe the development of food security in terms of the number undernourished people in the world. On the report published in 2015 that analyzes the progress toward reducing the number of undernourished people from 1990 to 2016, this number had decreased by 21,4%. Furthermore, the number of malnourished people in the developed and the developing countries were reduced by 26,3% and 21,3%, respectively. Region based analysis shows that the Latin America and the Caribbean were the most successful regions in reducing the number of unhealthy people followed by Europe, Central Asia, and the Pacific Region (Food and Agriculture Organization, 2015).

Indonesia’s food diversification programs are aimed to retrieve the traditional food culture to be accepted by Indonesians today. Food diversification programs are measured by an indicator called Desirable Food Pattern (DFP). It is calculated by development of daily energy consumption in households. Data used are from Center Bureau of Statistic of Indonesia that conducts yearly household survey called SUSENAS. Those data will be grouped based on food function and then proportionally conversed based on MoA’s agreement, which are (1) grains (50%), (2) tubers (6%), (3) meat and fish (12%), (4) oils and fat (10%), (5) oily fruits and seed (3%), (6) nuts (6%), (7) sugars (5%), (8) fruit and vegetable (6%), and (9) others (3%). Later, the conversed score is calculated to measure the DFP in Indonesia with the maximum number being 100.

However, based on the data processed by the Agency for Food Security, Indonesia’s food consumption of carbohydrate-sources is still dominated by grains especially rice of which the average consumption in 2015 was 98.8 kg/capita/year, which was greater than world’s rice consumption, which was 65 kg/capita/year (Mohanty, 2013). Based on these data, we could conclude that the government programs on food diversification are inefficient in order to reduce rice consumption.

Page 42: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 31

Furthermore, despite Indonesians’ culture to consume rice, diversifying staple food consumption to not only rice but also other local foods, such as cassava, taro, or sago, might be beneficial because rice has several negative impacts. First, it contains high glycemic load, which is associated with the increment of risk of type 2 diabetes (Hodge, English, O’Dea & Giles, 2004; Hu, Pan, Malik & Sun, 2012). Center of Diabetic and Lipid, RSCM (2003) states that rice contains high glycemic load measured with glycemic index, which, for rice, has reached 87,06% compared to pure glucose. Moreover, a recent analysis found that each increment serving of white rice intake was associated with an 11% increase in the risk of type 2 diabetes (Ma & Chan, 2013). Nanri, et al. (2010) state that among consumers of rice, a person who consumes a greater amount of rice increases the risk of type 2 diabetes. Roufiq (2014) also states that overconsumption of rice will make people prone to type 2 diabetes. Hence, overconsumption of rice may lead to many health problems.

In order to make diversification policy more practical, it is important to understand consumer behavior on choosing consumption goods. Recently a study on food consumption behavior, specifically on rice consumption behavior in Indonesia, was conducted by many researchers. First of all, as stated by Pindyck and Rubinfeld (2013) that some goods that are tend to be considered as inferior goods shown by the increment of income will reduce the consumption of that goods. Many researchers in the developing countries agree that there is a shift in the consumption behavior from dominantly consuming staple food to other foods that are more nutritious (Theil, Seale & Chung, 1987; Peterson, Jin & Ito, 1991; Coelho, Aguiar & Eales, 2010). GDP per capita of Indonesia increased from 1992 to 2015, so, it is expected that consumption pattern in Indonesia has been altered.

Next, in spite of the fact that the Government’s policies tend to be heavy weighted on development of rice, for instance green revolution policies in the early 1980s and enacting rice as a tool for food stabilization, rice is considered as a high social value food by many Indonesians, affecting the increment of consumption in line with the increase of income (Ariani, 2004). Moreover, historical consumption background also has relation with rice consumption shown in the higher consumption rates in areas that already consume rice in the past than the other areas that previously did not have rice consumption records (Sayekti, 2009).

For rural dwellers, income is not the most importance aspect in determining food consumption as much as the cultural aspects are. For example, eating habit and modest lifestyle are more related to their decision of consumption (Purwantini & Ariani, 2009). Rural people also have specific consumption patterns between rice and traditional staple food, for instance corn, cassava, and sago (Agency for Food Security in Ariani, 2010).

Page 43: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

32 Direktori Mini Tesis-Disertasi

However, these studies do not extensively understand the role of housewives’ education level and phenomena of westernization in Indonesia’s rice consumption behavior. Hence, this study tries to analyze and identify more comprehensive household consumption characteristics using The Indonesian Family Life Survey (IFLS) data, which are considered as the only longitudinal data in Indonesia.

B. Research Objectives and Methodology

All data used in this research were taken from The Indonesian Family Life Survey (IFLS). IFLS is a longitudinal survey of Indonesia representing 83% of Indonesians and contains more than 30,000 people from 13 provinces of Indonesia. Within these provinces, enumerator area (EA) was randomly chosen for SUSENAS’ sampling (Social and Economy Survey conducted by Central Bureau of Statistic of Indonesia). IFLS contains 5 waves, which are IFLS1 (conducted in 1993–1994), IFLS2 (conducted in 1997), IFLS3 (conducted in 2000), IFLS4 (conducted in 2007–2008), and IFLS5 (conducted in 2014–2015) (RAND, 2017). This research used 4 waves, which were IFLS1, IFLS3, IFLS4, and IFLS5, to maintain the time frame consistency between surveys, which are conducted every 7 years.

The first IFLS was conducted by the collaboration with Lembaga Demografi University of Indonesia, Jakarta covering approximately 7.200 households (Frankerberg & Karoly, 1995). The third wave of IFLS was developed by the joint effort of RAND and the Center for Population and Policy Studies (CPPS) of the University of Gadjah Mada, Yogyakarta. This wave managed to contact 95,3% of the first wave samples, including split-off from the original households (Strauss, et al., 2004). This cooperation was continued in the fourth wave and managed to track 90,6% of IFLS1’s target samples including split-off of the household (Strauss, Witoelar, Sikoki, & Wattie, 2009). The latest wave of IFLS, conducted in 2014 managed to re-contact 90,5% of individuals who were interviewed in the IFLS1 (Strauss, Witoelar & Sikoki, 2016).

Analysis of cross sectional data on linear Engel curves was firstly introduced by Allen and Bowley (Phlips, 1974) in their publication titled “Family Expenditure”. Their prominent analysis was the estimation using form:

Where qi = pixi, ai and bi were the coefficients to be estimated and y was measured by total expenditures. Furthermore, in 1955, Prais and Houthakker developed this model using the double-logarithmic model (Phlips, 1974) formed as:

This model gave the best statistical result for many goods and services they estimated. Moreover, one of the assumptions in this model that have to be satisfied is to

Page 44: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 33

make sure the samples are as homogenous as possible. This issue could be overcome by adding other variables in the estimation function that represent factors affecting models (Phlips, 1974).

C. Data Analysis and Results

The Most of the variables are significantly affecting rice consumption at a significant level of 1% except for protein consumption in 2007, which are significant at 10% significance level. However, consumption of protein in 2000 and vegetables in 2007 did not significantly affect the rice consumption at any significance level.

One of the important findings is the change of income elasticity of rice during the period of 1993 to 2014. Although the magnitude of the elasticity shows a positive relationship, which can also be interpreted as necessities goods shown by the income elasticity that between 0 and 1, there is declining trends in the elasticity, which is found 0.54 at 1993 and declined to 0.17 at 2014. The declining pattern indicates that in the future where the income is increasing and the consumption trends are still the same, the rice consumption might decline and shift to high-cost quality food that have better nutrition value. This finding is in line with the previous research conducted by Abdullah, Ito and (Adhana,(2005), which states that an increment of income will proportionately shift the consumption pattern.

Protein consumption, which is depicted by the expenditure of protein source, shows inclining trend from 1993 to 2014 starting from -0.082 in 1993 to 0.051 in 2014. By omitting result from 2000 due to estimation’s significance level, this result could interpret that protein is considered as a complementary good for rice. These finding opposes another research conducted in Malaysia indicating substitution goods shown by positive correlation between the increment of meat and eggs prices, as a protein source food, and proportion of rice expenditure which depicts the substitution relation (Sheng, Shamsudin, Mohamed, Abdullah, & Radam, 2008). In contrary, (Pangaribowo,(2012) found that demand of meat, fish, and dairy products in Indonesia is considered as complementary with staple food consumption. This estimation might be caused by habit of Indonesians that eat rice on the daily basis (Widyanti, Sunaryo, & Kumalasari, 2014) still consider protein, such as meat and fish, as side dishes.

Vegetable and fruit consumptions also have similar behavior with protein consumption with escalation trends that start from -0.059 in 1993 to 0.039 in 2014. Within this trend, vegetable consumption also shows shifting behavior from substitution to complementary goods in 2007 to 2014. Even though this finding might be an opposite of that (Kassa,(2008) suggest stating increment of income encourage conversion of

Page 45: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

34 Direktori Mini Tesis-Disertasi

consumption pattern, (Pangaribowo,(2012) found that Indonesian has judgment that vegetable and fruit are complementary to staple food. This behavior might be related to Indonesian preferences on vegetables and fruit as a luxurious goods (Pangaribowo, 2012) and tend to consume imported goods that more expensive than local fruit (Yosini, 2011) that rose expenditure of vegetable and fruit but not the quantity they consume.

The relation between rice price and consumption is as expected. The negative relation is logically accepted, where the increase of price will reduce the amount of consumption. As Pyndick and (Rubenfeld,(2013) suggest that price will impact ability of people to buy goods so that with the increment of price, people tend to buy less and shift to less expensive goods. Another interesting finding in the price estimation is result’s trend among years showing declined pattern starting from -0.60 in 1993 to -0.47 in 2014. These results could be interpreted as the people in the 1993 were more sensitive to price changes than people in the 2014. The elasticity shift might be caused by the increase of income rising people’s ability to substitute their consumption so that not solely depends on rice.

Estimation on impact of housewife’s academic level on rice consumption is also reasonable. The increment of housewives’ academic level significantly affects in reduction of rice consumption with magnitude around 1.4% to 2.5% within years 1993 to 2014. This result is related to previous findings that states that female education is related to the increase of understanding in hygiene, health, and nutrition (Tucker and Young in Mukudi, 2003) so that more educated housewives tend to serve healthier diets that have more complex nutrition.

As many literatures mention about the impact of location (urban or rural) of household on consumption, estimation on this paper also indicates that location has significant impact on rice consumption. The estimation indicates that urban people might consume less rice than rural people. One factor that might affect this estimation is that urban lifestyle is more sedentary than rural lifestyle affecting their consumption pattern that urban people need fewer calories than rural people.

D. Conclusion and Recommendation

Even though Indonesian might consider fruit, vegetables, meat, fish, and dairy products as luxuries goods (Pangaribowo, 2012), habit for consuming rice is interchangeable. People in Indonesia has a mindset that rice has to be eaten daily and rice is considered as status symbol of wealthy (Widyanti, Sunaryo, & Kumalasari, 2014) that might cause high dependency on rice. Hence, the purpose of this paper is to analyze determinants of rice consumption in Indonesia.

Page 46: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 35

Briefly, this study found that most of variables are significantly affecting consumption of rice. Firstly, income and rice consumption have positive relation with declining trend from time to time indicating if the current trends keep going, in the future, rice consumption might be declined. Secondly, housewives’ education levels substantially affect the reduction of rice consumption. Next, protein-based consumption and vegetable are still considered as side dish for many Indonesian marked by the tendency of these goods as complementary food for rice. These findings also indicate that westernization, in terms of consumption of meat and vegetable, in Indonesia is not yet occurred. Later, location of the household, whether in rural or urban, significantly affects rice consumption across the time periods.

Based on these findings, food diversification programs can be improved by focusing on the policies that strongly related to the significant variables. Different strategies for rural and urban could be applied to achieve effective results. For people in rural area, policies that aimed to increase agriculture productivity should be enforced. By the increase of agriculture productivity, workload of farmers will be decreased than the lifestyle will be shifted to more relaxed lifestyle that required less consumption of rice. On the other hand, for urban dwellers, policies should be focused on promotion of healthy lifestyle emphasizing on vegetable and fruit consumption. Because these goods have important role as source of vitamin for human body, hence it is recommended to consume more of it. In conclusion, Indonesian effort on diversified rice consumption should be supported with the increase of people education on healthy lifestyle.

In order to produce better consumption policy, another policy that should take account is providing better data collection of social economic aspects, especially about price of commodities consumed in household level. This data is important to understand how price affecting consumption behavior, instead of using total expenditure of consumed food.

Page 47: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

36 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 48: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

MONITORING URBAN FORM TRANSFORMATION USING GIS/REMOTE SENSING: A CASE STUDY OF YOGYAKARTA URBAN AREA, INDONESIA

Nama : Boby Rozano

Instansi : Pemkab Sleman

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Media and

Governance

Negara Studi : Jepang

Universitas : Keio University

Page 49: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

38 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Bentuk perkotaan mempengaruhi habitat, ekosistem, spesies yang terancam punah, dan kualitas air, sehingga pemantauan transformasi ini penting untuk perencanaan dan pengelolaan kota yang berkelanjutan. Transformasi bentuk perkotaan dapat dilihat sebagai hasil urbanisasi secara spasial, di mana lahan berubah menjadi urbanisasi. Namun, perubahan besar dan cepat dari daerah perkotaan membutuhkan banyak sumber daya dan dapat mempengaruhi daerah pinggiran kota, daerah transisi antara daerah perkotaan dan pedesaan, daerah campuran di luar pengaruh perkotaan tetapi dengan morfologi pedesaan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi transformasi bentuk perkotaan menggunakan GIS/penginderaan jauh dan implikasi spasial ke daerah peri-urban melalui persepsi masyarakat lokal. Untuk menganalisis perubahan tutupan lahan di daerah peri-urban, penelitian ini menggunakan analisis gambar multispektral yang terdiri dari Landsat 5 TM dan Landsat 8 OLI/TIRS Level1 dari 1990-2016 untuk ekstraksi dibangun menggunakan analisis New Built Up Index (NBUI) dan data populasi 1996-2015 dikombinasikan dengan data primer dari wawancara dengan para pemangku kepentingan utama dan informan. Sementara itu, untuk menemukan persepsi masyarakat lokal tentang proses peri-urbanisasi, kuesioner untuk sampel 120 rumah tangga di daerah pinggiran kota dilakukan. Berdasarkan analisis, terlihat bahwa Daerah Kota Yogyakarta yang kompak tersebar sebagian besar ke bagian utara pinggirannya dengan peningkatan daerah perkotaan dari 21,19% pada tahun 1990 menjadi 50,91% pada tahun 2017. Sebagian besar penduduknya memiliki orientasi sosial dan ekonomi ke dalam inti dari daerah perkotaan. Kondisi ini, selanjutnya, mengarah ke beberapa dampak negatif seperti peningkatan suhu rata-rata cuaca, kurangnya ruang publik hijau, kemacetan lalu lintas, dan harga rumah dan lahan yang lebih tinggi. Temuan ini penting bagi para perencana dan pembuat kebijakan di daerah pinggiran kota untuk mengelola karakteristik campuran sumber daya perkotaan dan pedesaan.

Kata kunci: transformasi bentuk perkotaan, peri-urban, peri-urbanisasi, perubahan tutupan lahan, persepsi masyarakat lokal

Page 50: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 39

ABSTRACT

Urban form affects habitat, ecosystem, endangered species, and water quality, thus, monitoring its transformation is important for a sustainable urban planning and management. Urban form transformation can be seen as the results of urbanization spatially, where the land changed into an urbanized one. However, the vast and rapid changes of urban area require many resources and it could affect the peri-urban area, a transitional area between urban and rural, mixed areas beyond urban influence but with rural morphology. Therefore, this research aims to identify urban form transformation using GIS/remote sensing and its spatial implications to the peri-urban area through local communities’ perceptions. In order to analyze the land cover changes in peri-urban area, this research uses multispectral images analysis consists of Landsat 5 TM and Landsat 8 OLI/TIRS Level1 from 1990−2016 for built up extraction using New Built Up Index (NBUI) analysis and population data 1996−2015 combined with primary data from the interview with key stakeholders and informants. Meanwhile, to discover local communities’ perceptions of peri-urbanization processes, a questionnaire to a sample of 120 households in the peri-urban area is conducted. Based on the analysis, it is seen that the compact Yogyakarta Urban Area scattered predominantly to the Northern part of its periphery with the increase of urban area from 21,19% in 1990 to 50,91% in 2017. Most of its residents have social and economic orientation into the core of the urban area. This condition, furthermore, leads to some negative impacts such as increasing average weather temperature, lack of green public space, traffic congestion, and higher house and land price. These findings are important for planners and policy makers in the peri-urban area in order to manage its mixed characteristic of urban and rural resources.

Keywords: urban form transformation, peri-urban, peri-urbanization, land cover changes, local communities perception

Page 51: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

40 Direktori Mini Tesis-Disertasi

MONITORING URBAN FORM TRANSFORMATIONUSING GIS/REMOTE SENSING:

A CASE STUDY OF YOGYAKARTA URBAN AREA, INDONESIA

A. Background

Urban form affects habitat, ecosystem, endangered species, and water quality as reported on Our Built and Natural Environment by the U.S. Environmental Protection Agency in 2001, through land use changes and ecosystem segregation, thus, its transformation may also impact the functionality of people’s living environment. To some extent, urban form transformation can be seen as the results of urbanization spatially, where the land changed into an urbanized one. The rapid one causes land transformation from agricultural, rural, and natural landscapes into urban areas (Musakwa & van Niekerk, 2014). Furthermore, it may lead to regional (urban-peri-urban-rural) problems due to its dynamic land use changes.

As one of indicator on improving urban economic, urbanization is a global phenomenon especially in developing countries and it may lead to urban sprawl resulted in the decrease of vegetation area and deteriorating environmental quality. Just like an organism, urban may grow as its inhabitant grows with its certain structure. However, it could affect not only the urban itself, but also the peri-urban area, a transitional area between urban and rural, mixed areas beyond urban influence but with rural morphology in which many conflicts may arise, such as land use, economic, and social activities so that affecting environmental quality. Thus, one of the challenges is how to identify problems as implications of urban form transformation.

As generally known, rapid urbanization, especially in the developing countries may influence environmental qualities since it is closely related to the dynamic interactions between human activities and their surrounding environment both in global and local scale. The world population increased significantly from the last couple of decades at 5,7 billion to 7,3 billion as of mid-2015 (UN-DESA, 2015) and more than half of the world’s population live in urban areas. Rapid urbanization in the developing countries may influence the global environment qualities since it is closely related with human activities emitting pollutant into the atmosphere. The significant increase of carbon dioxide (CO2) concentration in the atmosphere (402,6 ppm in 2015) for the last few decades, as the consequences, causes the rising of the global temperature. According to NASA/GISS’ data, the global temperature shows an increasing trend since 1880, with 9 of 10 warmest years occurred since 2000 for the last 134 years. Furthermore, the year 2015 is recorded as the warmest compare the past years. This intensified greenhouse

Page 52: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 41

effects due to the exponential increase of CO2 resulted in changing of global climate and lead to an inconvenient truth such as damages and losses of human property and their living conditions in many places in the world. Higher temperature, changing the landscape, endangered species, rising sea level, the risk of drought, forest fire, floods, stronger storms, illness and disease, and economic losses are the examples of the global warming impacts. Since the more urbanized a nation, the higher the GHG emissions per person, urbanization can be seen as “problems” causing climate change (Satterthwaite, 2009).

Urban expansion due to rapid urbanization also influences peri-urban area such as development problems from the insufficient infrastructure to provide its growing inhabitant to the air quality due to the increase in road traffic. This rapid urbanization also occurred in Yogyakarta, Indonesia, in which its urbanization level increased from 57,6% in 2000 to 66,4% in 2010, already passed the national level at 53% in 2010. Yogyakarta is a capital city of Yogyakarta Special Region inhabited with 412.331 people in 2016 known as the center of education and its classical Javanese art and culture. With the area of only 46 km2, it is a compact city where its infrastructure and facilities fulfilled its citizen’s needs and made this city as the most livable city in Indonesia (IAP, 2014). The urban structure affecting the urban form is planned to fulfill the needs of its citizen. However, the rapid growth of population of Yogyakarta urban area may influence the environmental quality both within or surrounding its periphery and at the same time results in problems such as land use conflict between agriculture activities and vertical housing, urban activities oriented in rural environment, to the social conflicts

that objected to the urban development surrounding their residential areas.

B. Research Objectives and Methodology

In order to comprehend the urbanization processes spatially, monitoring on its spatial aspects need to be assessed so that data required for further spatial analysis can be conducted. Population data to explain the urbanization processes is important, however, it cannot describe the locational aspects such as where is the direction of the urbanization processes. Monitoring on its changes also require many resources due to vast area and occurred rapidly, thus, it needs to be identified and analyzed. Further, the implication of this urban form changes to other areas especially the peri-urban area also important to be assessed. The local community or the stakeholders may get the implication of this transformation. Shortly, based on the problems stated previously, this research has the main objective: ”To identify urban form transformation of Yogyakarta Urban Area using GIS/remote sensing and assess the implication of urban form transformation to the peri-urban area”.

Page 53: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

42 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Based on literature review read by researchers, urban form transformation is influenced by the growth of urban core and its interaction with surrounding city or villages represented by the road network. The urban growth leads to the expansion of its spatial interface into the peri-urban area and may overlap the existing village nearby. This peri-urbanization, not only result in some implications to the community inhabit this area, but also influence the overall environmental quality. Thus, the increasing of population will develop urban/built up density and the peri-urban will get negative implications due to unplanned/uncontrolled urban form transformation. Monitoring urban form transformation need to be conducted so that the urban expansion can be anticipated in the future and possible impacts may be lessened.

In order to identify urban form transformation of Yogyakarta Urban Area and assess its implications to the peri-urban area, this research uses an integrated analysis system consists of several quantitative analysis. This research used multi-temporal Landsat 5 TM and Landsat 8 OLI/TIRS from 1990−2017 as the input for urban extraction using NBUI analysis to identify the urban density changes coupled with population data to describe the population density changes from 1996−2015 and the urban area size changes. Finally, the results of this research disseminated to the society through the utilization of 5D world map system (Kiyoki, Y. et al., 2016).

Basically, this research used a mixed method, using both qualitative and quantitative analysis. It started with the preliminary study of research site to identify problems using

the Rapid Rural Appraisal (RRA) method principles to enhance the research findings.

C. Data Analysis and Results

1. The Yogyakarta Urban form Transformation 1990-2017

A well planned city will have a good structure and land use pattern arrangement, of which the urban form is generated, so that it will efficiently support its citizen. In the long term the development of infrastructure will also improve the city condition and increase the pull factor of people to migrate by the creation of new opportunities. This urbanization phenomena, however, explained by many researches with the focus only on population, few of them focus on describing the urbanization spatially. This will explain the location factor, where the urbanization took place and which direction its trend of growth. Monitoring the urban form transformation is the first step to understand, not only describing the urbanization spatially, but also define its growth trend and pattern.

Based on its spatial pattern, the Yogyakarta Urban area in 1990 is more compacted in the core or the city of Yogyakarta. The urban density is higher in

Page 54: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 43

the center but lower in the periphery. However, in 1995 the peri-urban started to be more urbanized where the built-up area started to increase significantly, from 22,88 % in 1990 to 33,40 % in 1995. One factor that influence the increase is the development of Yogyakarta Ring Road (the Northern and Western part) in 1994−1996. The development of new road improve people’s accessibility and lead to both direct effects in the form of reduced journey time, reduced costs, and improve reliability and indirect effects, changes that are stimulated by the direct effects: changes in investment, transport service supply and demand, competition, etc (Olsson, 2009).

The increase trend continue in 2000 but remain steady in 2007. Nonetheless, there is a significant increase of built-up area in 2011, from 37,21 % in 2007 to 47,65 % in 2011, and in 2017 the peri-urban become more urbanized, built-up area become 62,19 % in this year. The form of Yogyakarta urban area transformed from a relatively compact city in the early year of observation to be more scattered in the periphery in the last year of observation, even though the center is still compacted. The Yogyakarta city is remain as urban center while its size is enlarge to the periphery.

2. Population Density Changes 1995-2015

Based on population data, Yogyakarta Urban Area classified into five category: very low, low, medium, high, to very high, were concentrated in the core in 1996. Area with higher population density located in the urban center, varies from medium to very high density. In contrast, the peri-urban area is dominated by very low and low density population. Using 1996 data as based of observation and to normalize following year data, population growth trend can be monitored spatially. It started to sprawl to the Northern and to the Eastern Part of the area in 2000, and continue in 2005. The expansion of population in 2010 undertook to the Eastern and some Western part of the area. However, the density trend in 2015 started to expand to the Southern part of the area.

The density at some part of the area both in urban and peri-urban area increased during 1996-2005. Nonetheless, while the peri-urban density continued to grow until 2015, the density at some part (eastern) of urban core started to decrease. The density de-concentrate in the urban core and may indicated as the

occurrence of counter urbanization, migration from city center to the peri-urban.

3. Implications of Urban Form Transformation to Peri-urban Area

As described from previous chapter, urban form transformation leading to peri-urbanization result in several effects to the peri-urban area such as the loss of

Page 55: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

44 Direktori Mini Tesis-Disertasi

nonbuilt-up area. This area is characterized with the coexistent of agricultural and urbanized activities and functioning as supporting the inner city. Not only securing the food supply, but also maintain other important environment function such as air quality and ground water catchment area.

The peri-urbanization, as the consequences of the urban growth, realized by some community members and worrisome their daily lives. New urbanized development surround their neighborhood, to some extent, is a good thing resembling grow and overall economic condition improvement. They hope getting benefit from the multiplier effects of the new development, whether directly and/or indirectly benefit. For the shop owner, the development means bigger opportunities on new potential consumers. Producers also could increase their production capacity to fulfill new demands. However, there are some people who have anxiety towards the effects this new urbanized development.

There are some negative perceptions given by the respondents towards the transformation of the urban form. The transformation, which is represented by peri urbanization, has been blamed as one of factor on the increasing of average daily temperature. The peri urbanization felt by some of respondents, to some extent, contribute to the global warming by lessen the number of trees while increasing the number of vehicle and the needs of electricity and energy. Respondents believe that the presence of trees surrounding their residential area will contribute to better air quality and lower the average temperature.

Yogyakarta city as the urban core is a relatively compact city in which covered by public transportation services, but with a limitation. Its coverage limited to the urban area/the city, not all the peri-urban area are covered. Another issues are the operating hour of the public transportation only operate day time. In the night time, the people need to use more expensive public transportation such as the taxi. Recently, there are new integrated bus transit system called Trans Jogja which covers more area and operate until night time. The effects of this new system is not yet discovered since it need time for socialization and changing the traveling habit. The usage of private vehicle is quite high, especially motorcycle. The high dependence of motorcycle can be logical for the community member since access to public transportation is very low. Most of the respondent did not feel the presence of public transportation. Or, some of them did realize but did not have the eagerness to use the bus due to bad quality and undependable of operating hour and time duration.

Since the peri-urban area used to be dominated by agricultural activities, many road are built without pedestrian facilities such as the sidewalk/trotoir.

Page 56: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 45

Many respondents felt discomfort if they have to walk at roadside since their safety is threatened, even though the quality of road traffic condition is good. Their surrounding environment recently are more urbanized, but the infrastructure provided still focusing on agriculture activities.

Another issues as the effects of peri-urbanization is the people’s anxiety of the availability of ground water. Almost all respondents use well as source of clean water since they are not living in an area covered by local clean water provider agency network. The urbanized development nearby their residential, such as apartments or hotels will require plenty of clean water for their activities. Thus, since their area is not covered by the clean water network, respondents have doubtfulness towards developers in fulfilling the ground water extraction regulation. Another reason that the development would impacted the water catchment ability of the peri-urban area, since more ubiquitous impermeable surfaces.

According to some respondents, in 1990’s, land price surrounding their neighborhood was way much affordable since it is agricultural land. Accordingly with more intensive development into a more urbanized land use, the availability of land become scarce and the land price is soaring, especially since the last 10 years. Almost all respondents agree that the land and housing price is expensive and unaffordable. The increase land price seen as an opportunity by the developers to build houses for high income society. Another developers also interest in investing their resources to build an apartment. Contradictory, only few of the respondents have willingness to stay in an apartment. It is caused by the local culture in valuing more to landed houses and deeply rooted the sense in land ownership among the society.

As generally known, one of tools in driving the development is local government planning documents. These documents, in legal aspects, has the power in enforcing law and regulation on spatial arrangements. As a key for successful implementation, public participation is needed in designing policy and plan. Nonetheless, the involvement of local community in planning process is very low, only 1 out of ten familiar with the planning documents creation processes. Consequently, many of respondents felt that they have no necessities to consult to the government whenever they want to build or renovate houses. Accumulatively,

this can contribute in the speed of land use change in the peri-urban area.

4. Potential Problems

Working on the issues of urban form transformation may help in giving clear and objective explanation on the urban growth processes and its effects to other areas,

Page 57: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

46 Direktori Mini Tesis-Disertasi

i.e. the peri-urban areas. The distinction of the peri-urban area terminology in spatial planning that is differentiated from urban and rural area will give more focus in overcoming potential problems. More detailed and specific plan and management tools could be produced and encourage its functioning. However, more detail means more resources will be used and more specific tools need to be generated. The characteristic of the peri-urban area also dynamic, hard to define its distinct

delineation both physical and non-physical aspects such as human behavior.

D. Conclusions

Based on data results, analysis, and discussion in previous chapters, it can be concluded that:

1. Landsat images that can be acquired freely and available with long time period of observation, can be utilized in understanding urban form transformation.

2. While its form remain compact in core, Yogyakarta Urban Area scattered to its peri-urban dominated by development of built up area to the Northern part of the urban area.

3. New infrastructure, i.e. road, drive the urban/built up to the rapidly increase in peri-urban area.

4. Peri-urban land predominantly changed into a more urbanized land use from agricultural land.

5. The peri-urban citizen, realize the process of urbanization in their surrounding environment. However, they have an anxiety towards the development processes since their participation in planning design are low and infrastructure provided is not sufficient enough to support their new urbanized environment.

6. Peri-urbanization, in which lead to urban form transformation, result in some

negative effects to some aspects of peri-urban communities’ living condition.

E. Recommendations

Based on the results and findings explained previously, this research suggest several recommendations for the stakeholders on urban form transformation issue, especially in Yogyakarta Urban Area:

1. To the government:

a. Urban area, resembled by built up area, grew rapidly since the last two decades and scattered into the peri-urban area. This peri-urbanization need more consideration by the government in managing and driving the

Page 58: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 47

urban development to reduce negative effects to the local community. The development in this three different municipality’s urban area focused on its center, the City of Yogyakarta. Thus, the three municipalities need to have same vision on planning and managing the urban area, with the coordination by the provincial government.

b. The peri-urban area has unique characteristics, not only the environment but also the communities living within. Urban and rural dichotomy need to enhance by the presence of this unique characteristic of peri-urban area.

c. The public need to be more involved in composing planning documents so that increasing the awareness on policy and regulation implementation. The documents also need to be legalized for the law enforcement interest.

2. To the public/society:

a. The local community need to be more aware on maintain surrounding environment and be aware to the development took place nearby their residential.

b. The local community also need to be more active on the development process, not only reporting their own plan to the government, but also being involved on the policy and development making processes lead by the government.

c. Increasing the acceptability on living in a vertical housing since the land in the peri-urban area become scarcer.

3. The Private Sector:

a. The private sector should not perform on risk taking action such as speculation on land acquisition. They also need to be more active in providing the housing needs of local community, not fully business oriented

b. Since the land become scarcer, providing vertical housing to every class of the society need to be more encouraged.

Page 59: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

48 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 60: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

MULTIDIMENSIONAL POVERTY MEASUREMENT: CASE OF INDONESIAN REGION SAMOSIR

Nama : Dameuli Silalahi

Instansi : Pemkab Samosir

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Governance

Studies

Negara Studi : Jepang

Universitas : Meiji University

Page 61: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

50 Direktori Mini Tesis-Disertasi

MULTIDIMENSIONAL POVERTY MEASUREMENT: CASE OF INDONESIAN REGION SAMOSIR

A. Background

Poverty is an eternal global issue that is always be agenda for major entities whether at international, national or local levels. In fact, poverty definitions define the way of measuring it. For example, the most common approach to measure poverty, from financial ability view. It separates poor people by some monetary poverty threshold in term of value of money. However, being poor is not always meaning lack of money. Having no access to health facilities, school or other basic service, such as adequate water sources, sanitation, are also other forms of poverty that monetary approach cannot capture. The approach which assesses poverty from many attributions or many parts of life’s components is called multidimensional approach of poverty measurement. It explains poverty in term of deprivations rather than inability.

Indonesia has never officially measured poverty from multidimensional insights. The monetary approach has been utilized since the first poverty measurement was held. The same conditions are also applied for Samosir, a regency under North Sumatera province. Measuring poverty and designing policies regarding poverty eradication have always been done by following the National instructions. Even though, Samosir is an autonomous area, but it has never done a breakthrough in measuring and reducing poverty. In fact, there are some basic issues that Samosir’s people faced such as inadequate water source and improved sanitation. Monetary approach cannot address these issues, therefore a better way of defining poverty of who are the poor and in which dimensions they are poor are needed for a better designed and well-targeted poverty alleviation policies.

This paper aims to analyze poverty from multidimensional view of Samosir regency, to draw policy guides from the analysis, and to compare the monetary-based poverty assessment and multidimensional approach of measuring poverty in Samosir. This may be the first paper that measuring poverty from multidimensional approach at regency level with in-depth analysis. While others mostly focused at national and provincial levels and regency level analysis was only presented generally.

In general, the monetary poverty rate has been decreasing in Indonesia since 1976. The amazing progress was happened before the economic crisis 1997 (Hill, 2000, p. 196). However, after the crisis, the pace of poverty reduction has been slowing down. And inequality that has been increasing after 1996 made the poverty became worse.

Page 62: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 51

There have been many policies implemented in order to reduce poverty, nonetheless, the slowing down of the pace is still taking place. The similar conditions also happen in Samosir. The poverty has been declining since it was first established in 2004, and the pace is also slowing down. Poverty alleviation policies in Samosir are majority of them are the derivative programs from national or provincial levels. There was no new approach to picture the nature or poverty in Samosir or new policies designed that

tailored to the poverty’s pattern of the Regency.

B. Literature review

Monetary approach of poverty measurement is not enough to show the real condition of whom are the poor and how they are poor (Wang et al., 2016, p.17). Therefore, a more comprehensive approach is needed to address the issues. In fact, the difference between monetary and multidimensional approach to measure poverty lies in the number of indicators. While monetary measurement has only one dimension: income or consumption, multidimensional, however, can utilize as many as indicators needed that are valued by the society, nationals or internationals.

The stages to measure the two approaches are similar, first stage is identifications (such as indicator, unit of analysis, poverty threshold) and the last stage is aggregation (Sen, 1976, as in Laderchi, 2000, p. 9). However, multidimensional approach is more complicated than monetary measurement. Utilizing Alkire & Foster Methodology, there is one unique feature that monetary approach does not have: decomposition (breaking down MPI into contributions of dimensions, indicators, population sub-groups). This allows users to examine the poverty nature deeper.

In fact, there has been only few research of multidimensional of poverty measurement of Indonesia at national level and provincial level. It is even more limited studies at regency level. One research was done by Alkire and Santos (2010) to measure the global MPI, where Indonesia was one of the observed countries. The research has been updated in 2014 by the same researchers. Most of other studies assessed poverty at national level and provincial level. And some were also presented the regency level

analysis but more like as a complementary and only some regencies were mentioned.

C. Research Objectives and Methodology

This research utilizes AFM general framework. Using only SUSENAS (the National Socio-economic Survey) data for Samosir year 2014 that provided by the Central Bureau of Statistics (BPS). Total observed households are 454 and total individuals are

Page 63: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

52 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1763. The unit of analysis is household. There are seven dimensions and 20 indicators used for the paper. They are monetary resources, comprising per capita consumption, and saving availability; health, comprising health insurance and health functioning; education, comprising literacy, school enrolment, school attainment, and highest education of household head; basic services, comprising electricity, improved water source, improved sanitation, cooking fuel; housing conditions, comprising shared house, housing materials, and overcrowded; assets, comprising IT tools, transportation means, and home appliances; and unemployment, comprising unemployment and unpaid workers. Equal weighting scheme is adopted in this study, and the assigned poverty cutoff is 0,33. The results of MPI will be presented in some population sub-groups like

rural urban and household socio-demographic characteristics.

D. Data Analysis and Results

The research yields that 54 percent of the total population is multidimensional poor (H), and the average deprivation experienced by those poor people (A) is 42 percent. The SMPI (the Samosir MPI) is 0,22 which means the multidimensional poor people are deprived in 22 percent of the total deprivations people could experience.

One interesting finding is that education has a role in poverty pattern. The higher the level of education household completed, the lower the headcount ratio. Regarding the economic sector where the household heads employed, it can also be concluded that agriculture sector has the highest headcount ratio followed by unemployed. Moreover, from the characteristic of households’ average age, the headcount ratio raises as the average age increases. Especially for the oldest average age (above 65 years old), the major contributing indicator to the SMPI is health insurance. There is no unbalanced poverty in term of marital status of household head.

The monetary poverty rate of Samosir is 13,20 percent while the multidimensional poverty rate is 54 percent. If one policy is designed based on this approach, it will neglect the 41 percent of the total people who are not poor in term of monetary, but multidimensional poor.

Policy implications that can be derived from the analysis are the Government should focus on the education because it shows a positive impact on poverty. The second is that agricultural sector is the main sector that the authority should aim their attention to in order to reduce the poverty. The Government should also give attention to oldest people since most of them are living in the poverty.

Page 64: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 53

E. Conclusion

Utilizing the Alkire Foster framework, the Samosir MPI can be computed. More than half of the population are poor and they are deprived in 42 percent of deprivation. In general, there is no extreme unbalanced poverty at any population sub-group. However, some

poverty nature in Samosir can be revealed by the SMPI.

F. Recommendations

1. Education should be provided free for every person.

2. Agricultural sector should be the focus of poverty alleviation policies.

3. National Healthcare Insurance should immediately cover people who are in oldest age category (above 65 years old), the Local Government should monitor the coverage progress of this group.

Page 65: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

54 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 66: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PERAN FDI DI PEMERINTAHAN INDONESIA: ANALISIS PANEL DATA DI 9 SEKTOR EKONOMI TAHUN 2001−2004

THE ROLE OF FDI IN EMPLOYMENT IN INDONESIA: PANEL DATA ANALYSIS OF NINE ECONOMIC SECTORS IN 2001−2014

Nama : Deddy Suprapto

Instansi : Kementerian Tenaga Kerja

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia

Page 67: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

56 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penanaman Modal Asing (PMA) secara langsung atau lebih dikenal Foreign Direct Investment (FDI) menjadi sumber pembangunan ekonomi, industrialisasi, pendapatan, dan pertumbuhan tenaga kerja pada negara-negara berkembang (OECD, 2009), termasuk Indonesia. Karena pentingnya FDI untuk meningkatkan pertumbuhan angka tenaga kerja secara langsung melalui pembangunan industri-industri baru, serta adanya hubungan antara FDI dan angka tenaga kerja, Pemerintah Indonesia berusaha untuk meningkatkan penyerapan FDI. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisa peran FDI pada tenaga kerja di 9 (sembilan) sektor ekonomi di Indonesia dari tahun 2001−2014. Penelitian ini menggunakan analisa data panel dari 9 (sembilan) sektor ekonomi, model fixed effect terpilih menjadi model terbaik setelah diuji menggunakan uji Hausman. Hasil pada model fixed effect menunjukkan FDI memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap peningkatan jumlah tenaga kerja sebesar 0,079% pada 9 (sembilan) sektor ekonomi. Penerapan peraturan tentang investasi secara nasional di Indonesia juga berdampak positif pada peningkatan tenaga kerja di Indonesia.

Kata kunci: FDI, tenaga kerja, Indonesia, data panel, 9 (sembilan) sektor ekonomi

Page 68: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 57

ABSTRACT

Foreign Direct Investment (FDI) becomes a source of economic development, industrialization, income and employment growth for the developing countries (OECD, 2009), especially Indonesia. Regarding the importance of FDI to increase the employment directly by setting up new industries and the relationship between FDI and employment rate, the Indonesian government initiates to attract more FDI. Therefore, this study will analyze the role of FDI in the employment of 9 (nine) economic sectors in Indonesia during 2001–2014. The analysis employs panel data from these 9 (nine) economic sectors, and the fixed effects (FE) model has been chosen as the best by the Hausman test. The results suggest FDI has a positive and significant effect on increasing the employment rate as much as 0,079% in the 9 (nine) economic sectors. Indonesia’s investment regulation implementation also positively impacts the rise of employment rate in the country.

Keywords: FDI, employment, Indonesia, panel data, nine economic sectors

Page 69: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

58 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE ROLE OF FDI IN EMPLOYMENT IN INDONESIA:PANEL DATA ANALYSIS OF NINE ECONOMIC SECTORS

IN 2001−2014

A. Background

Developing countries, emerging economies and countries in transition have come increasingly to see Foreign Direct Investment (FDI) as a source of economic development, industrialization, income and employment growth (OECD, 2009). The traditional economist argument states that an increase of FDI realization in a country improves the economic growth, thereby enhances the employment rate in the work field (Nahidi & Badri, 2014). According to contemporary economists, foreign investment, especially the FDI, could contribute to various parts of the economic growth, such asthe GDP, total investment in the host country, balance of payments and employment growth, as a benchmark of the national economy (Alfaro, Chanda, Kalemli-Ozcan, & Sayek, 2004; Gopinath, Pick, & Vasavada, 1999; OECD, 2016; Zhang, 2006).

While investment, foreign or domestic, could spur the economic growth and consequently the employment, another important factor affecting a country’s employment situation is the population and its growth. Bloom and Freeman (1986) have indicated that high population growth rate in a country also increases the number of labor force and labor supply. This abundant supply of labor needs to be absorbed into the industries. Because of the limitation of domestic investment to develop the industry, the FDI is needed to set up and develop industrialization, which absorbs more employment (OECD, 2009). This FDI increases the employment directly by setting up new businesses or indirectly by stimulating the employment in the distribution stage of production in Indonesia (Bappenas, 2014) and in Malaysia (Pinn et al., 2011).

The existing relationship of FDI and employment then brings out questions: Does FDI contribute to the employment significantly? Keeping those questions in mind, this paper wants to identify the role of FDI in employment in Indonesia. The study uses quantitative method of panel data collection from 9 (nine) main economic sectors of FDI realization and employment from 2001 until 2014. Besides examining the relation between FDI and employment, this study also uses other control variables that influence the employment and are related to FDI, which are the GDP of each industrial origin sector, dummy variable of financial crisis in 2008−2009 and dummy variable of the investment regulation, the Law Number 25/2007 on investment, implemented in Indonesia since 2007. This paper will explain the results of these control variables as

well.

Page 70: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 59

B. Research Objectives and Methodology

The quantitative method using panel data analysis will be employed to assist the analysis of this study. The model used in this paper is basically inspired by Lipsey, Sjoholm and Sun (2010) and by Rizvi and Nishat (2009). The model has also been used by Islam and Chowdury (2009). An adjustment of the equation in the model is admitted in order to obtain the objective of this paper, for instance the FDI variable that uses one year lag, because the realization of FDI has an effect on the capital of economic activities after the one year lag (Alisjahbana, Brodjonegoro & Resosudarmo, 2002).

The model is using panel regression method consists of five variables: the employment rate (Emp) of every economic sector as the dependent variable and as the independent variables; the FDI realization in each economic sector; the growth of GDP in each economic sector; two dummy variables that are the dummy of the financial crisis (δcrisis) in 2008 and 2009; and the dummy of policy (δpolicy) investment Indonesian Law Number 25/2007, which has been in effect since 2008.

The equation for this model, based on previous specification and study, is constructed as follows:

log Emp it = + β1 log FDI it-1 + β2 log GDPit + δcrisist + δpolicyt + ε it

In this study, the analysis is conducted using the Stata 14 programs. The program estimates the model using both the fixed effect (FE) and random effect (RE) model of panel regression. The output results from FE and RE are compared using the Hausman test, to check whether the FE or RE is better.

The employment’s data include only the workers of a corporation or company, who are called by the Indonesian term buruh or karyawan. Here, the data set does not include temporary workers, who may constitute a substantial part of the FDI related to employment. Employment data is used secondary data from the Indonesia Statistics and the annual publication of Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS/The National Social Economic Survey) and the Survey Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS/National Labor Force Survey) produced by the BPS every year.

The FDI realization data is based on the investment report from the Indonesia Investment Coordinating Board (Badan Koordinasi Penanaman Modal/BKPM). It is measured on billion Rupiahs of FDI realization on every industrial origin. The GDP as the control variable is taken from the Indonesia Economic Report of the Central Bureau of Statistics. To support the model, this paper uses GDP measurement with production approach, which expresses a total value of the final goods and services on the nine economic sectors within a certain period (BPS, 2016).

Page 71: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

60 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The analysis also includes two dummy variables. First, the dummy of the financial crisis in 2008 that happened in the United States and spread to the other developed countries. Another dummy variable is the investment policy regulation, the Law Number 25/2007. Since 2007, implementation of this policy has encouraged investments to prioritize the domestic workers to be employed in the industrial sector. In the period after the regulation implementation that is 2008 and forward, the investment dummy

variable will be applied.

C. Data Analysis and Results

Applying the equation model of the methodology, the panel data regression from the data of nine main economic sectors during the 14 year period (2001–2014) is tested to get the best and fittest model and result. The panel data regression runs for the RE and FE models.

The Hausman specification test is applied for both the models. The Hausman specification test result of the models is 0.0144 and consistent at p-value < 0.05. The Hausman test result confirms that the FE model is superior to the RE model for this study, and determines that FE is more appropriate to explain the equation model. Therefore, the result analysis will use the FE model estimation result.

In general, based on the estimation result, the FDI realization has a positive and significant contribution to the increase of employment rate at 1% level of significance. The FDI contribution as shown by the coefficient value is 0,0796. It means, every 1% increase of FDI realization in every sector will rise almost 0.08% of the total employment rate of the sector. This positive effect of the FDI on the employment is also reported in China by Karlsson et al. (2009), Wei and He (2006), and Xiaoqing and Dwyer (2008).

The effect of dummy variables on the model also brings interesting results to the employment rate. The first dummy variable, the financial crisis which happened in 2008−2010, causes a negative effect on the employment rate, and could shift the employment rate to decrease by -0,0132. However, the result of the crisis is not significant to affect the employment rate. From the result, it can be concluded that the global financial crisis in 2008 until it recovered in 2010 was not a significant influence on the Indonesian employment rate absorption and in contrast with the OECD report (2009) that indicated a downturn in economic activity and high job loss rate, especially in the OECD member countries, because of the global financial crisis in 2008−2010.

Another dummy variable, the investment regulation implementation dummy, shows a positive impact on the employment rate. The investment regulation that has been implemented in 2007 significantly influences the employment rate with significant

Page 72: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 61

level at 1%. The coefficient of this policy implementation dummy in the model is 0.2234 and indicates that the policy implementation in Indonesia contributes to the rise of absorption of employment rate.

The constant result that is 9,319, mathematically claims that if all the independent variables’ value is equal to zero or without independent variable influence, the employment rate is assumed to be 9,319. This constant coefficient is applicable for all sectors in general. The constant coefficient of each sector can be measured by the individual effect from the panel regression. In panel regression of the FE model in this study, there is a possibility to distinguish the intercept between the sectors. This intercept, as heterogeneity of each sector, describes the potential sector which employs more workers through the independent variables in the model (FDI and GDP).

From the individual effect result, it can be seen that the services sector with coefficient intercept 10,9510 and the manufacture sector with 10,2069 are the two sectors with the highest coefficient intercept. Those high intercepts indicate that the service sector and manufacture sector are the most potential sectors to absorb more employment. It is common for the manufacture sector to be a high potential sector to absorb more employment because it is a labor intensive sector which requires more employment to run. For the service sector, this is a new finding and shows that the trend of employment rate absorption in Indonesia has changed. Based on the individual effect results, it can be concluded that the Service sector is developed and absorbs more employment than other sectors during the 14 years.

On the contrary, the mining and quarrying sector with intercept 7,9494 and the electricity, gas and water supply sector with intercept 7,6909 have low individual effect rate compared to the other sectors. It means the potency of both sectors is not as high as the service and manufacture sectors or the other sectors to employ more workers. Meanwhile, the other sectors have high individual effect to absorb more employment around 9%, which can be assumed as a moderate rate of employment absorption in

Indonesia.

D. Conclusion

The objective of this study is to find the contribution of FDI toward employment rate in Indonesia. Based on the panel regression result of the FE model with 126 observations from nine economic sectors during a fourteen-years period, this paper concludes that FDI has a positive and significant contribution for the employment rate in Indonesia. The result also answers the question of the study if FDI has a positive and significant relation toward the employment rate in Indonesia. Another independent variable, GDP,

Page 73: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

62 Direktori Mini Tesis-Disertasi

also shows a positive and significant relation to the employment rate. An increase of those variables (FDI and GDP) assists the employment rate to increase.

The financial crisis that happened in 2008 has insignificant effect on the employment rate in Indonesia. Even though the result shows a negative coefficient, it can be stated that the crisis did not influence the employment rate because of the very low coefficient (-0.013) and insignificant result. Meanwhile, a positive and significant influence toward the employment rate has been shown by the investment regulation implementation, the Law Number 25/2007. In the results, this dummy variable of investment implementation could shift the employment number in every sector to rise. It can be a reference that the supported regulation effect is beneficial for Indonesia, especially to increase the employment rate.

This study has some limitations to answer the objective. First, the model applies data of the work field in general based on the nine economic sectors in Indonesia; therefore, the employment rate data in detail of the sub sectors might not be fully represented in this study. Furthermore, the data set in this study does not include the data from the oil and gas sector, and investment in the portfolio (stock market), non-banking institutions and insurance.

E. Policy Recommendation

According to the result of this study, there are some policy recommendations to be implemented by the government. First, the government should attract more FDI in order to assist the increase of employment rate, besides getting an economic capital from the investment. Secondly, regarding the positive and significant effect of the main investment policy (Law number 25/2007) on the employment rate, the Indonesian government should support it with regulations that strengthen the policy. Lastly, the government should formulate some strong policies to sustain the economic stabilization. Those can be used to maintain the GDP rate and to prevent a shock from the global economic crisis. Even though the financial crisis in 2008 did not significantly affect Indonesia, the government should anticipate any kind of economic shocks by strengthening the domestic economic resilience.

Page 74: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

VISUAL METAPHOR FOR THE QUALITY OF SOFTWARE REQUIREMENTS SPECIFICATION

Nama : Diding Adi Parwoto

Instansi : Pemkab Mojokerto

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Information

Science and Engineering

Negara Studi : Jepang

Universitas : Reitsumeikan University

Page 75: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

64 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Visualisasi memainkan peran penting dalam rekayasa perangkat lunak untuk memberikan sudut pandang baru informasi atau konsep ilmiah. Salah satu teknik visualisasi adalah menggunakan metafora atau metafora visual. Metafora visual telah terbukti membantu pengguna untuk memahami dan mengevaluasi masalah-masalah tertentu. Spesifikasi Kebutuhan Perangkat Lunak (SRS), di sisi lain adalah dokumen penting dalam proses pengembangan perangkat lunak. Dokumen ini akan memastikan kualitas perangkat lunak output. Teknik pengukuran kualitas dokumen SRS telah diusulkan sejak tahun 1993 dan masih menjadi topik penelitian yang panas sampai saat ini.

Dalam penelitian ini, metafora visual digunakan untuk membawa presentasi kualitas SRS ke tingkat berikutnya. Metrik kualitas yang biasanya diberikan kepada pengguna dalam nilai numerik untuk seluruh dokumen akan divisualisasikan oleh metafora dalam format rinci. Pendekatan ini diharapkan dapat membantu pengguna untuk memahami dan mengevaluasi dokumen SRS dengan lebih baik dan lebih cepat. Sebuah sistem metafora visual kualitas dokumen SRS diusulkan. Evaluasi prediktif dari pendekatan ini telah dilakukan untuk membuktikan bahwa sistem ini membantu pengguna dalam memahami kualitas dokumen SRS.

Page 76: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 65

ABSTRACT

Visualization plays a significant role in software engineering to give new point of view of information or scientific concepts. One technique of visualization is using metaphoric imagery or visual metaphor. Visual metaphor has been proved help user to understand and evaluate particular problems. Software Requirements Specification (SRS), on the other hand, is an important document in software development process. This document will ensure the quality of the software output. Quality measurement techniques of SRS document have been proposed since 1993 and still become a hot research topic until recently.

In this research, visual metaphor is used to bring the presentation of SRS quality to the next level. The quality metrics that usually be given to users in numeric value for the whole document will be visualized by metaphor in detailed format. This approach is expected to help user to understand and evaluate SRS document better and faster. A system of visual metaphor of quality of SRS document is proposed. A predictive evaluation of this approach has been conducted to prove that this system help user in understanding the quality of SRS document.

Page 77: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

66 Direktori Mini Tesis-Disertasi

VISUAL METAPHOR FOR THE QUALITY OF SOFTWARE REQUIREMENTS SPECIFICATION

A. Background

Images and visuals are better and faster processed by brain than textual information. Visualization makes it easier for the brain to absorb information. The goal of the visualization in modern context is to leverage existing scientific methods by providing new insights through visual medium. Visualization should also leverage human intuition in understanding complex scientific information.

Understanding visualization, therefore, requires understanding how visualizations shape information, not only what information they present. A potential framework for this understanding is the formulation of a visualization as a set of visual metaphor. The process of understanding visualization involves an interaction between external visual metaphors and the user’s internal knowledge representations. Visual metaphor directly affect how a user derives information from a visualization. Therefore, choosing the right visual representation as metaphor can help shaping user understanding.

Map-like metaphor visualizes information in the form of land and sea, countries and provinces that are separated by border and labelled based on the information visualized. Color is also become attribute to differentiate certain aspects of the terrain. The map produced is artificial map which its attributes depends on the information visualized. On the other hand, Digital Elevation Data (DEM) is digital cartographic/geographic data set of elevations in xyz coordinates. This elevation data is scaled representation of actual elevation of earth contour. DEM is widely used to visualize topography map.

In this research, in order to accommodate the user’s internal knowledge in which affect how the user derive information from the metaphor, we propose to use visualization of metaphor to express the quality of Software Requirements Specification (SRS). The existing software metrics give a numerical value to express the quality of SRS document. These numerical values show the quality for the whole document. This system doesn’t offer an ability to express the quality of detailed part of SRS document, such as subsection and paragraph. This approach is expected to help user recognize

errors in SRS document faster and accurately.

B. Research Objectives and Methodology

With existing software metrics, user cannot determine where the errors located in SRS document by looking at the given quality value. Furthermore, the existing methods do

Page 78: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 67

not support detailed presentation of quality of SRS document. The quality is just one

numerical value for each characteristic attribute.

C. Data Analysis and Results

1. Overall Quality

To show the quality for the whole document, global quality of unambiguous, completeness, and consistency visualize on the metaphor. Overall unambiguous is displayed by fog covering the whole area with 80%, 60% and 40% visibility of 0,8, 0,6, and 0,4 quality. Completeness quality is easily detected by unfinished drawing of the mountain Fuji. Height of Mountain Fuji is drawn 80%, 60% and 40% according to the completeness quality of 0,8, 0,6, and 0,4. For this experimentation, consistency quality is visualized by inconsistent color especially for snow on the

top of the mountain.

2. Quality projection in detailed subpart

Projection quality of each part of particular subsection should be done in separated region. These notations slightly differ from overall quality that the notations visualized in whole region of metaphor.

Ambiguity is represented by white clouds hovering in designated area. The intensity of clouds is determined by the quality of unambiguous. If the quality of unambiguous is 1 (one), there will be no clouds or 0%. On the other hand, if the quality of unambiguous is 0 (zero) then the cloud’s intensity will be 100%.

Completeness is represented by percentage of finished drawing of the Mountain Fuji. Completeness quality of 1 (one) means that the designated area of metaphor is drawn completely (100%). Completeness quality of 0,5 means that only half of the height will be drawn (50 %).

Consistency is represented by black clouds hovering in designated area. The intensity of clouds is determined by the quality of consistency. If the quality of consistency is 1 (one), there will be no black clouds or 0%. On the other hand, if the

quality of consistency is 0 (zero) then the black clouds intensity will be 100%.

3. Integrated application

The integrated application is built to implement visual metaphor approach and to evaluate this approach. This application can load and visualize quality data of

Page 79: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

68 Direktori Mini Tesis-Disertasi

two sample SRS documents. This application can show the metaphor as well as the SRS document. On the metaphor, user can select desired visual notation and the application shows error as highlighted part in the SRS document. The application also shows the structure of SRS document and quality table. The quality table shows detail number of error of which the active visualized part has. The application supposed to be able to show the error on SRS document when user select desired visual notation from metaphor. However, at this stage we focus on visualizing metaphor and its notations. Connecting metaphor and SRS document

will be discussed in Future Work section.

4. Usability

The purpose of this evaluation is to record how easy and user-friendly is our application. This evaluation is not directly related to the metaphor visualization approach, but rather to know our application, which is the result of visualization metaphor approach. Its usefulness in order to get feedback from user so we can build better application of metaphor visualization approach. In this preliminary evaluation, although the application still in alpha phase and highlighting error feature still have not been functioning, we will evaluate how user feel about the application usability (mostly about user interface) based on user interface best

practices..

5. Technical Issues

a. Working on web environment has a lot of advantages, but it has drawbacks as well. One problem we have to aware is limitation of what browser can do. One limitation we are facing is maximum call stack size exceeded when processing digital elevation data matrix using JavaScript function Math.min and Math.max. These function uses browser capacity to processing array; chrome only handles up to 125.519 other browsers can handle up to 4 (four) times, while in this research we use digital elevation data that contains 144.400 points.

b. Three.js is a promising library to develop WebGL application and right now is the most widely adopted framework for WebGL. However, three.js is not yet a mature framework and its development is based on community. It frequently updates it version and usually comes with major changes.

c. Building this application in Vanilla JavaScript is very challenging due to callback hell. This application supposed to be very interactive yet should be able to work in 3D. Two months before deadline we decided to switch to Typescript using Angular. Our progress using Typescript in 2 (two) months outweigh our progress using Common/Vanilla JavaScript in 12 (twelve) months.

Page 80: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 69

6. Other Metaphors

a. Other spatial landscapes

There are others spatial landscapes which have unique and interesting shape that could be use as metaphor such as island, nation territory, etc. With selective extraction of features, those spatial landscapes could be beautiful metaphor for this visual approach.

b. Other objects

Metaphor objects only selected for this system should not be limited to spatial landscape. The important aspect that has to be existed is that the metaphor must have a strong relation with user mental model. The metaphor must be

well-known and popular among users.

7. New paradigms in Requirements Engineering

a. ISO/IEC/IEEE 29148:2011

ISO/IEC/IEEE 29148:2011 contains provisions for the processes and products related to the engineering of requirements for systems and software products and services throughout the life cycle. It defines the construct of a good requirement, provides attributes and characteristics of requirements, and discusses the iterative and recursive application of requirements processes throughout the life cycle [27]. Do the existing SRS quality metrics still comply with this standard?

b. Agile software development

Agile software development describes a set of values and principles for software development under which requirements and solutions evolve through the collaborative effort of self-organizing cross-functional teams. Agility, or the ability to rapidly adapt to volatile requirements, is a cornerstone of ASD. Could

this paradigm take advantage of visual metaphor approach?

8. Visualization Technique

GPUs are gaining fast adoption as high-performance computing architectures, mainly because of their impressive peak performance. General-purpose computing on graphics processing units (GPGPU) is the use of a graphics processing unit (GPU) in doing high calculation usually done in CPU. Does using GPGPU technique increase performance? We experience lag in this metaphor application when

creating and modifying metaphor visualization.

Page 81: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

70 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Conclusion

In this research, we have built a system of visualization of quality of SRS document using metaphor and also built a test case application that uses Mountain Fuji as metaphor. By providing all tools user needed, visual metaphor could advance the existing method so users can determine where the errors located in SRS document and know the quality of each part of SRS document. Furthermore, based on preliminary predictive evaluation, this metaphor visualization system improves the user performance and understand ability to reading the quality of SRS document.

E. Recommendations

This research shows the quality of SRS in different ways to build up user mental model so the user can understand the quality and criticize the SRS document. In addition, we show an example of how visualization, especially using metaphor, could give a significant contribution in Requirements Engineering.

F. Future Work

1. The near future work to be done is connecting SRS document with the metaphor so when user select desired visual notation on metaphor then the application automatically shows related error in SRS document.

2. An experiment to measure user performance of using this approach should be conducted. The result would be a great source of evaluation of this approach.

3. In this research, we are visualizing the quality in detailed format up to paragraph level. However, the software metric available today measures the quality for the whole document. So, it would be necessary to improve the software metric to be able to measure the quality in detailed format.

4. It would be a better approach if the division of metaphor region is based on the importance of the SRS sub-part rather than based on the size of content.

5. For a better user interface and user experience, the application can be improved to adopt the concept of Next Generation User Interface such as augmented reality. This application is built with state of the art technologies and concepts. As first step, this application could adapt virtual reality environment just by modifying few properties and functions that use Three.js library.

6. Symbolization experiments. This involves asking members of the target audience (those who will be interpreting notation) to generate symbols to represent concepts. The rationale behind this approach is that symbols produced by members of the target audience are more likely to be understood and recognized by other members of the target audience, due to their common cognitive profile.

Page 82: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 71

To do this experiment, the sign production technique, developed by Howell and Fuchs [38] to design military intelligence symbols is used.

Page 83: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

72 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 84: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

THE INITIATIVE FOR CIVIL APPARATUS CAPACITY ENHANCEMENT TO MANAGE REFORMS IN INDONESIA (CASE STUDY: THE EVALUATION OF GOVERNMENT CAPACITY BUILDING PROJECT IMPLEMENTATION EFFECTIVENESS)

Nama : Dwi Harini Septaning Tyas

Instansi : Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional dan

Bappenas

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Policy Science

Negara Studi : Jepang

Universitas : Ritsumeikan University Graduate

Schools

Page 85: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

74 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kualitas birokrasi memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan suatu negara, terutama di negara-negara berkembang. Menyadari hal ini, pemerintah Indonesia secara konsisten menargetkan birokrasi dan pemerintahan sebagai prioritas nasional utama untuk reformasi dalam kerangka pembangunan nasional, membuat reformasi yang nyata dalam administrasi publik dan dalam sistem birokrasi. Contohnya adalah pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah pada tahun 1999, pembentukan grand design reformasi birokrasi pada tahun 2004, dan ratifikasi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara di awal 2014. Menjadi komponen penting dari organisasi, kapasitas personel diperlukan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di pengembangan peraturan dan proses, dan akhirnya meningkatkan kapasitas kelembagaan. Salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan kapasitas aparatur sipil tercermin dalam pelaksanaan proyek-proyek terkait reformasi seperti State Accountability Revitalization (STAR), Professionalism in Human Resource Development Program (PHRDP), dan Scholarship Program for Strengthening Reforming Institution (SPIRIT).

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas implementasi proyek pembangunan kapasitas yang terkait reformasi tata pemerintahan. Hasil temuan menunjukkan bahwa proyek telah dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan secara efektif memberikan individu kesempatan untuk mendapatkan keterampilan dan pengetahuan baru, mencapai perubahan perilaku, dan meningkatkan kontribusi kepada organisasi yang pada gilirannya meningkatkan kinerja dan reformasi kelembagaan. Selain itu, kinerja kelembagaan dan reformasi cenderung ditingkatkan seiring dengan peningkatan kapasitas individu. Peningkatan dalam laporan kinerja tahunan dan laporan pertanggungjawaban tahunan serta peningkatan indeks kepuasan pelanggan merupakan indikator positif dari kinerja dan reformasi kelembagaan yang maju. Namun, beberapa variasi dicatat dalam operasionalisasi proyek, terutama yang berkaitan dengan pengembangan dokumen analisis kebutuhan pelatihan dan pengaturan pemilihan peserta, yang dapat menyebabkan kebingungan di antara pelamar dan keraguan dalam merangkul peraturan saat ini. Selain itu, beberapa langkah korektif diperlukan untuk mengoptimalkan pengetahuan dan pemanfaatan keterampilan yang baru dibutuhkan peserta setelah memasuki kembali kantor mereka.

Kata kunci: aparatur sipil, reformasi, peningkatan kapasitas, evaluasi efektivitas

Page 86: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 75

ABSTRACT

The quality of bureaucracy has a significant impact on a country’s development, particularly in developing countries. Recognizing this, the Indonesian government has consistently targeted bureaucracy and governance as key national priorities for reform in the national development framework. Making noticeable reforms in public administration and in the bureaucracy system. Examples are the implementation of the Regional Autonomy Act in 1999, establishment of bureaucracy reform grand design in 2004, and ratification of the State Civil Apparatus Act in early 2014. Being an essential component of organizations, personnel capacity is required in formulating and implementing policies in regulatory and process development, and eventually enhances the institutional capacity. One of the Indonesian government’s efforts in improving its civil apparatus capacity is reflected in the implementation of reform related projects such as State Accountability Revitalization (STAR), Professionalism in Human Resource Development Program (PHRDP), and Scholarship Program for Strengthening Reforming Institution (SPIRIT).

This research aims to examine the effectiveness of governance reform-related capacity building project implementation. The result findings show that the projects have been implemented in accordance with the needs of organizations and effectively give individuals the opportunity to gain new skills and knowledge, achieve behavioral change, and increase contribution to the organization which in turn improves institutional performance and reform. Moreover, institutional performance and reform tend to be improved as individual capacity increases. Improvement in the annual performance report and annual accountability report as well as the improvement of the customer satisfaction index are positive indicators of institutional advanced performance and reform. However, several variations were noted in the operationalization of the projects, especially with regard to the training needs analysis document development and the participant selection arrangement, which can lead to confusion among applicants and hesitation in embracing the current regulation. In addition, some corrective measures are needed to optimize participants’ newly required knowledge and skills utilization upon re-entering their offices.

Keywords: civil apparatus, reform, capacity building, effectiveness evaluation

Page 87: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

76 Direktori Mini Tesis-Disertasi

THE INITIATIVE FOR CIVIL APPARATUS CAPACITY ENHANCEMENT TO MANAGE REFORMS IN INDONESIA

(CASE STUDY: THE EVALUATION OF GOVERNMENT CAPACITY BUILDING PROJECT IMPLEMENTATION

EFFECTIVENESS)

A. Background

The quality of bureaucracy has a significant impact on a country’s development, particularly in developing countries. As a developing country, Indonesia recognizes the importance of quality bureaucracy and emphasizes governance reform as a priority in national development. The National Long-Term Planning Framework 2005−2025 (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional – RPJPN) stated capable professional civil apparatus in promoting national development as one of the primary objectives. As a result, bureaucracy reform has been consistently identified as a strategic issue in the medium-term planning framework (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional–RPJMN).

The economic crisis in 19971998 brought multidimensional drawbacks including social, political, and foremost economic crisis which had the Indonesian government reform. The government began an initiative to reform the governance structure governance by establishing two key regulations for regional autonomy and financial balance between central and regional governments in 1999. The regulation grants regional governments increased authority in developing their own regions, based on local conditions and necessities.

In order to encourage well and clean governance, the Indonesian government reforms public administration through bureaucracy reform grand design development in 2008. This bureaucracy reform aims to achieve good and clean governance, free from corruption and nepotism practices; improve the quality of public service delivery; enhance performance capacity and accountability of bureaucracy; and enhance civil apparatus professionalism. This reform initiated in 2004 as an institutional initiative with the launch of a pilot project by the Ministry of Finance. Later, in 2007, the Supreme Audit Board and Supreme Court launched their own pilot projects. The success of these projects saw bureaucracy reform ascend to national level in 2008.

The latest innovation is the State Civil Apparatus Act No. 5 amendment, enacted in early 2014, to revitalize the human resource management system to ensure civil apparatus professionalism in service delivery to the public. This act was also considered

Page 88: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 77

a sign of the evolution of Indonesian government because it fundamentally changed the Indonesian government bureaucracy system. In an article entitled “Pegawai Negeri Sipil Harus Bertransformasi dari Comfort Zone ke Competitive Zone”, Setiawan Wangsaatmaja argues that this act aims to transform the civil apparatus from an easy profession into a competitive profession by introducing an open recruitment system, performance evaluation tools and a non-structural supervisor commission. On top of that, human resource policy and management must be based on a merit system.

To comply with the changes of the governance system and the dynamic of public requirement on the government, civil apparatus as the one who executes and implements the governance has become one significant aspect. Therefore, the quality of civil apparatus, in terms of knowledge, skills, and ability to perform jobs, must be improved in accordance with the changing environment and public demand. Moreover, the reform process also needs a transformed mindset, moving away from the previous feudalism bureaucracy model, to a more public-oriented and professional way of thinking in service delivery.

In a bid to improve the human resource capacity since 2003 the Indonesian government has been trying to enhance its personnel quality by conducting capacity-building projects that dedicated for civil apparatus. Currently, there are three reform-related projects implemented by the government, namely State Accountability Revitalization (STAR), Professionalism in Human Resource Development (PHRD) and Scholarship Program for Strengthening Reforming Institution (SPIRIT). These projects extend training facilities to the civil apparatus, as well as improve both individuals and institutional capacity, thus promoting governance reform in public institutions.

Improving the capacity of the civil apparatus, which plays a major role in formulating and implementing policies is vital to regulatory and process improvements, and is a fundamental component of institutional capacity-building. When effectively anchored in an environment that is conducive to institutional reforms, individual capacity enhancement can enable a “virtuous circle” to develop, whereby training advances institutional reform and capacity development, which in turn generates the necessary incentives for staff to apply their newly acquired skills for the benefit of the employing

agency.

B. Research Objectives and Methodology

This research is a descriptive qualitative study that uses a field survey as the main research instrument. The research adopted a case study approach on three capacity building projects that are currently being implemented by the Indonesian government and conducted an in-depth investigation using multiple sources of evidence.

Page 89: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

78 Direktori Mini Tesis-Disertasi

This research used a case study approach on three capacity building projects that are currently implemented by the Indonesian government. In choosing the projects, purpose sampling was used, therefore, PHRD (Professionalism in Human Resource Development), SPIRIT (Scholarship Program for Strengthening Reforming Institution), and STAR (State Accountability Revitalization) were selected because they were specifically designed to support the governance reform process.

The research entailed collection of both primary and secondary data. Primary data relate to the perception of capacity building projects by project participants, project executing agencies and experts in the related fields. This data was obtained through questionnaire distribution and interviews. Secondary data refer to official documents related to capacity building projects, government performance reports and other literature on the subject.

A structured questionnaire form using a 5-point Likert scale was used to collect information from participants. This kind of Likert scale questionnaire is widely used to measure psychometric responses related to participants’ preferences, or to determine the extent to which they agree or disagree with a statement.

Targeted respondents were those that had participated in a degree education program funded by any of the three projects and who had completed their program by the year 2016. The purpose of the questionnaire was to investigate the effectiveness of educational and training programs based on participants’ experiences.

An analysis of several official documents was conducted in order to obtain supporting evidence on the institutional performance. Firstly, the Annual Institutional Performance Report (Laporan Kinerja Pemerintah-LAKIP) summarizes achievements by institutions on certain performance targets over the years. Secondly, the Annual Financial Evaluation Report (Laporan Hasil Pemeriksaan-LHP) issued by the Supreme Audit Board (Badan Pemeriksa Keuangan-BPK) contains institutional accountability evaluation for one year. The third analysis relates to the citizen or customer satisfaction

report, which is published by respective institutions.

C. Data Analysis and Results

1. Inhibited Factors of Effectiveness Identification

This section analyzes data and discusses findings on factors that hinder the effective utilization of educational programs. Data are collected from interviews with project executing agencies, personnel bureau staff, and educational program participants. The survey results indicate that certain factors hamper the effectiveness of

Page 90: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 79

program implementation, which are evident in the delivery of training functions, or program management stage and post-program stage.

2. Training Management Functions Delivery Stage

Standard operationalization of training management functions by the projects executing agencies determines the success of training and educational program deliveries to the participants, despite the high equality employees that are perform the functions. The most prominent issue identified was linked to separate project operationalization, leading to lack of common standards in project implementation. Moreover, there was some violation of the regulation on participants’ selection requirement. These issues have constrained the effectiveness of project implementation by presenting unclear standards to potential candidates.

Out of the three capacity building projects, two projects did not have specific training needs analysis documents, but had the training needs and target number of participant calculation stated in the project designs. The TNA documents are needed not only for displaying educational and training programs for targeted participants, but also keep the risk of redundancy low. Moreover, if the TNA documents for all the projects were developed, it would be easier to perform integrated monitoring for all the projects to determine progress achievement.

Another issue relates to the source of funding for the three capacity building projects, which usually comes in the form of loans from foreign organizations. Should the funding source terminate support or supports from the House of Representatives are failed to gain, these would put the capacity enhancement program for civil apparatus at risk. Consequently, the program faces a high degree of uncertainty.

3. Post Program Implementation

The knowledge and skills acquired from taking education and training programs are diverse. This includes academic knowledge, way of thinking and practical skills, as expressed by participants. Firstly, the program provides them with applicable academic-related knowledge such as policy development framework, program evaluation and technical skills. Additionally, new perspectives and insights from on-campus or off-campus activities could help participants to cope with challenges in the office.

Optimizing the utilization of skills and knowledge in the workplace is important. Projects executing agencies were undoubtedly concerned about post education program treatment for participants, and how to ensure benefits are well

Page 91: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

80 Direktori Mini Tesis-Disertasi

utilized after participants return to their workplace. Some post-education program implementation activities included in the capacity building projects are the re-entry program development in the SPIRIT project, and alumni survey or tracer study appointment in the PHRD and STAR projects.

Despite proper after education program treatment, from the survey, some participants still found difficulties in employing benefits acquired in these education programs upon re-entering the workplace. Internal factors were related to participants’ ability in transferring or adopting knowledge, while external factors were related to working environment, peer, top management, human resource management regulation, and the wider broader environment outside participants’ institutions.

Only 5% of respondents did not face difficulties in applying knowledge in their workplaces, while 18% did not respond. About 2% of respondents experienced difficulties in transferring their knowledge, which was linked to challenges in linking the newly gained knowledge, which was mainly theoretical, to practical knowledge. Furthermore, 75% of respondents experienced external difficulties, while 22% of respondent’s experienced problems related to human resource management such as workplace re-entry and replacement system; 20% of respondent’s experienced problems related to working environment such as workplace culture; 15% of respondents cited problems with top management; 11% of respondents cited problems related to broader regulation and environment, which is beyond institutional control such as politics and working partner institution; and 8% of respondents cited knowledge that was less applicable in the workplace.

An interview with a personnel bureau officer yielded some explanations that support the survey results regarding the proportion of respondents who expressed dissatisfaction with human resource management. The current re-entry system does not regulate returnees’ long-term utilization plan, but is only limited to the short-term program plan such as action plan development, knowledge sharing session and journal or article issuance.

4. Lessons Learned From Japan Personnel System

The core features of the Japanese personnel management system are lifetime employment, a seniority-based wage and promotion system, enterprise-base or in-company unions, and continuous competition (Kim, 1996). Moreover, Kim also highlighted that the Japanese government is known to be small yet effective. It effectively controls the size of government personnel by establishing the total staff number law which states the maximum number of recruited personnel and

Page 92: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 81

the personnel reduction plan. Indonesia, however, has a large and overlapping governmental structure, as stated by Agus Dwiyanto (cited in ANTARA NEWS, 2013). This is reflected not only by emerging new public offices which have duplicative functions, but also by the large number of structural civil apparatus. These issues have made the government less efficient and less effective, as governmental authority is distributed among several different institutions, which may generate conflicting interests.

Another challenge faced by the Indonesian government relates to the previous ineffective personnel administration that was decentralized without a clear needs analysis recruitment system. The national personnel board reported that in 2015, there were at least five local government institutions found to be having excesses personnel, while six local government institutions experienced personnel shortage.

The global competitiveness report suggests that Indonesia is in the efficiency-driven stage of development, with the most problematic issue being inefficient government bureaucracy. Meanwhile, Japan was reported to be in the innovation-driven stage, with the most serious issue being high tax rates. The report indicated that Japan had fewer issues in government bureaucracy and was in the more advanced development stage, compared to Indonesia.

The Japanese civil service attracts the most qualified citizens since the recruitment system emphasizes high quality of employees. Even though entry into the civil service is open to anyone who passes the national administered examination, the Japanese government draws most of its elite bureaucrats from a small number of schools, with the University of Tokyo being a notable choice. Furthermore, the thorough career development and screening system has made the Japanese civil service highly competitive, yet effective in recruiting the brightest employees.

Recently, the effectiveness training dispatch of Japanese government employees is being doubted severely due to the high budget requirement. The Japanese government has become more efforts to strictly operationalize a tough selection process for the applicants which non-academic potency would be taking more into consideration (e.g. integrity as public officers to serve public, understanding their research plan and its operationalization, and action plan upon re-entering the offices).

Eventually, the establishment of Act No. 5 in 2014 shifted the personnel practices of the Indonesian government towards a more efficient and competitive system. Even though the Indonesian government has been slow in establishing an

Page 93: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

82 Direktori Mini Tesis-Disertasi

efficient and competitive personnel system compared to the Japanese government, it is expected that the Indonesian civil apparatus will be managed under a regulatory

framework that is almost similar to the Japanese personnel system.

D. Conclusion

This research adopted two approaches to evaluate program implementation, namely process focused approach, which evaluates the delivery of program management functions and project implementation results-focused approach, which evaluates the results or benefits gained from the project. The findings show that all the project executing agencies incorporated a training needs analysis in project design, which included identification of program or field study area, types of education and training programs and number of participant to be trained. Among the three sample projects, only one project presented this analysis into a particular document. The importance of this document is seen in that it enables data integration relating to progress program achievement for all projects. Hence, the possibility of redundancy and ineffective allocation of project funds could be minimized.

A thorough process of participant selection is key in ensuring that the most qualified individuals are selected for the education and training programs. Selection criteria applied by all projects consisted of administrative, academic and interview requirements. However, there was discrimination found when applying interview selection. Moreover, the age limitation among projects also varied, which indicates lack of coordination and absence of regulatory standards.

The project is executing agencies emphasized the importance of course containment and course quality taken by the participants. Some projects took the initiative of collaborating with universities to ensure that appropriate courses were offered to government officers. Additionally, project executing agencies required that the universities or educational institutions where participants enrolled for education and training programs were accredited by the national accreditation agency and/or international accreditation organizations.

The research findings indicate that a high proportion of alumni were satisfied with their education and training programs. Being highly motivated also facilitated positive learning outcomes for participants. Regardless of the difficulty in applying newly acquired knowledge and skills, the learning experience increased self-confidence and integrity among participants, leading be improved performance in the workplace.

Page 94: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 83

According to the research findings, the alumni perceived that the knowledge and skills acquired from education and training programs enabled them to contribute in achieving their institutions’ targets. Regardless of whether they were promoted or not, the alumni confidently played their role in supporting the attainment of organizational goals. Furthermore, institutional performance also improved as individual capacity increased. A review of the annual institution performance report and accountability report indicates that institutions were becoming more professional and more accountable. In addition, empirical evidence of improved performance by institutions is reflected by a steady increase of the customer satisfaction index from 2013 to 2015.

However, the findings also showed some evidences that respondents had experienced difficulties in applying their newly acquired knowledge and skills after re-entering their offices. These evidences are factors that were found to be restraining the effectiveness knowledge and skills application come from internal and external of alumni. Internal inhibited factor was related to the ability of the alumni to cope with the adopting their new knowledge and skills with the condition of their workplace. While external factor was related to the working environment, peer and top management, human resource management regulation, and broader environment outside participants’ institution whereas the incomplete implementation of human resource management regulation was the majority obstacle.

The disintegration operationalization of capacity building projects, which is carried out by different executing agencies resulted incoherent participants’ selection requirement criteria and difficulties in maintaining projects’ progress achievement monitoring. These issues could reduce the effectiveness of program functions by giving false indications to project executing agencies, thus hampering efficient decision making.

To conclude, the findings of this research suggest that capacity building projects have been implemented to fulfill the needs of organizations where the projects executing agencies were effectively delivering the training and education programs. The implementation of the projects was found to be effective in giving individuals an opportunity to gain new skills and knowledge, achieve behavioral change and contribute more to the organization, which in turn improved institutional performance. However, variations in standard operationalization of projects were evident, especially with regards to the development of the training needs analysis document and applicants selection operationalization, which can cause confusion among applicants. Corrective measures are needed to ensure optimal utilization of participants’ newly acquired

knowledge and skills upon re-entry to office.

Page 95: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

84 Direktori Mini Tesis-Disertasi

E. Policy Recommendation

The implementation of education and training programs under reform-related capacity building projects has proved to be effective in enhancing individual capacity, which in turn has supported the institutional reform process. Consequently, it would be appropriate for the Indonesian government to continue conducting these projects in the future. Nevertheless, in order to optimize the effectiveness of project operationalization and utilization of newly acquired knowledge and skills, some corrective measures should be taken, either by project executing agencies or relevant authorities, as follows:

1. Capacity building project executing agencies should develop a training needs analysis or gap competency analysis document. Therefore, integrated monitoring as well as supervision of gap competency fulfillment and identification of national gap analysis should be done. The role of this kind of capacity building projects in eliminating competency gap is also possible to be identified.

2. Project executing agencies should put more efforts on keeping the participants in optimum utilization upon re-entry their offices. For example, consistently provides fund to employ relevant field experts or form working team for monitoring and supervising the re-entry system and replacement system to ensure that participants are optimally utilized by their organizations. Higher utilization means that participants will contribute more, thus promoting organizational performance and allowing their organizations to experience more benefits.

3. Relevant ministries/agencies should design an integrated management capacity building project for the national civil apparatus. The designated human resource development agency, such as the National Personnel Board, Ministry of State Apparatus Empowerment and Administrative Reform, and Ministry of National Planning Development, should monitor the progress of project implementation.

Similar to the Japanese government personnel system, integrated or centralized human resource development has proved applicable in the Indonesian context, especially after the establishment of Government Regulation No. 11/2017. In addition, the approach of the Japanese government in applying a tough screening process, including analyzing the research plans of applicants is a vital measure in promoting efficiency. Review of applicants’ integrity aspect as civil servants is not less important, for example their understanding to serve community as public officers, the usefulness of their study, their motivation to return their study benefits to public services, etc. are all vital.

Page 96: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

POVERTY, GROWTH, AND INEQUALITY: EMPIRICAL ANALYSIS OF RURALAND URBAN INDONESIA 2000-2014

Nama : Dwi Sucihartini

Instansi : Pemprov DIY

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Economic Development and Policies

Negara Studi : Jepang

Page 97: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

86 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan, dan ketidaksetaraan dan untuk mengidentifikasi interaksi mereka di pedesaan dan perkotaan Indonesia antara tahun 2000 dan 2014. Pengurangan kemiskinan di tahun-tahun pada awal periode studi tampaknya berfluktuasi, tetapi diikuti oleh pola penurunan yang sama antara sektor pedesaan dan perkotaan. Kebijakan pemerintah dan kondisi ekonomi memiliki peran penting dalam pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan yang berpihak pada penduduk miskin.

Dengan menggunakan data tingkat rumah tangga dari Indonesia Family Life Survey (IFLS), penelitian ini membagi periode studi menjadi dua sub-periode, 2000-2007 dan 2007-2014, dan menggunakan metode dekomposisi dan dua indeks pertumbuhan pro-miskin dalam analisis. Pertama, hasil estimasi dari pengukuran kemiskinan menunjukkan bahwa ada pengurangan kemiskinan yang berbeda antara sektor pedesaan dan perkotaan dan antara dua sub-periode, 2000-2007 dan 2007-2014. Perbedaan ini terjadi karena perubahan kontribusi, dan arah pertumbuhan dan komponen redistribusi pada pengurangan kemiskinan. Kedua, hasil estimasi dekomposisi menunjukkan bahwa antara tahun 2000-2007, pengurangan kemiskinan di sektor pedesaan terjadi karena komponen pertumbuhan dan distribusi ulang, sedangkan pengentasan kemiskinan di sektor perkotaan hanya disebabkan oleh komponen redistribusi. Antara 2007-2014, perubahan kemiskinan di kedua sektor pedesaan dan perkotaan disebabkan oleh komponen pertumbuhan. Ketiga, dalam hal konsep absolut, Indeks RPPG menunjukkan bahwa pertumbuhan adalah pro-masyarakat miskin karena perubahan dan pertumbuhan distribusi adalah pengentasan kemiskinan. Sementara itu, dalam hal konsep relatif, Indeks PEGR menunjukkan bahwa di sektor pedesaan dan perkotaan, antara pertumbuhan 2000-2007 adalah pro-kaum miskin, dan antara 2007-2014 pertumbuhan menguntungkan non-miskin lebih banyak dari pada orang miskin.

Bukti penelitian ini menunjukkan pertama, antara 2000-2007 kebijakan yang sesuai dengan target pro-miskin membantu masyarakat miskin di bawah kondisi ekonomi yang sulit, dan kedua, pengalaman antara 2007-2014 menyiratkan bahwa penting untuk membantu orang miskin berpartisipasi dalam pekerjaan di sektor pertumbuhan tinggi. Pemerintah perlu membantu orang miskin untuk memperoleh keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan di sektor dengan pertumbuhan tinggi.

Page 98: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 87

ABSTRACT

His study aims to investigate the relationship between poverty, growth, and inequality and to identify their interaction in rural and urban Indonesia between 2000 and 2014. Poverty reduction in years at the beginning of the study period seems to fluctuate, but it is followed by the same pattern of decreases between rural and urban sectors. The government policies and economic conditions have important roles on poverty reduction and pro-poor growth.

By utilizing household-level data from Indonesia Family Life Survey (IFLS), this study divides the study period into two sub-periods, 2000-2007 and 2007-2014, and employs the decomposition method and two pro-poor growth indices in the analysis. First, the estimation results of poverty measures show that there is different poverty reduction between rural and urban sectors and between two sub-periods, 2000-2007 and 2007-2014. These differences occur due to changes in contribution, and direction of growth and redistribution components on poverty reduction. Second, the estimation results of decomposition show that between 2000-2007, poverty reduction in rural sector occurs due to growth and redistribution components, whereas poverty reduction in urban sector is only caused by redistribution component. Between 2007-2014, changes in poverty in both rural and urban sectors are caused by growth component. Third, in terms of absolute concept, the RPPG Index shows that growth is pro-poor because the distributional changes and growth are poverty reducing. Meanwhile, in terms of relative concept, the PEGR Index shows that in rural and urban sectors, between 2000-2007 growth is pro-poor, and between 2007-2014 growth benefits the non-poor more than the poor.

The evidence of this study shows first, between 2000-2007 appropriate policy with pro-poor targeting helps the poor under difficult economic conditions, and second, the experience between 2007-2014 implies that it is important to help poor people participate in jobs in the high-growth sector. The Government needs to help poor people

to acquire necessary skills and knowledge to participate in the high-growth sector jobs.

Page 99: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

88 Direktori Mini Tesis-Disertasi

POVERTY, GROWTH, AND INEQUALITY: EMPIRICAL ANALYSIS OF RURAL AND URBAN INDONESIA 2000-2014

A. Background

The relationship between poverty, growth, and inequality is debated with interest in the literature. Generally, Indonesia’s economic growth has shown an increasing trend with an average rate of above 5% since the country recovered from the Asian financial crisis. However, there are persistent issues related to poverty reduction in Indonesia. The rate of poverty has decreased, but the absolute number of poor people were still high. In 2014, the poverty rate was 11,25%, representing 28,28 million people. Moreover, Indonesia confronts the slower pace of poverty reduction and an increase in inequality (Suryahadi et al., 2012; Silva and Sumarto, 2014; The World Bank, 2015).

If we look at the poverty measures in Indonesia, we find two observations: the Headcount index (P0) decreased faster in rural than in urban sector; but the Poverty Gap Index (P1) and the Squared Poverty Gap Index (P2) in rural sector are slower to decline than in urban sector. Moreover, poverty reduction in years at the beginning of the study period seems to fluctuate, but it is followed by the same pattern of decreases. This study seeks to provide explanations of these recent observations in Indonesia.

Indonesian government policy prioritized poverty reduction. In early 2000s, the impact of the Asian financial crisis forced the Government to set poverty alleviation on the development agenda. They have begun to design social protection programs for individuals and households. Policies had important influences during the study period on the economy and poverty rates. This study will also investigate how economic conditions and government policies affect patterns of poverty reduction in Indonesia.

The study of poverty is the essence of economics (Ravallion, 1995). In general, most developing countries face poverty problems. Studying poverty and understanding the relationship between poverty, growth, and inequality become important in order to cope with the problem. Indonesia, a vast country with diversity in culture and economies, meets many challenges in pursuing poverty reduction. Therefore, conducting a study in this field is expected to enrich the literature in an effort to participate in eradicating

poverty, especially in Indonesia.

Page 100: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 89

B. Literature Review

1. The Indonesian Economy

Indonesia’s economic growth was the main source of sustained poverty reduction before the Asian financial crisis in 1998 (Timmer, 2004). After government changes, promoting economic growth has remained as a strategy to reduce poverty. During the period 2000-2014, the Indonesian economy was influenced by both the domestic and global economic conditions.

Economic growth fell in 2006 due to a decrease in purchasing power of the society because of the impact of an increase in fuel prices in 2005 that triggered a rising inflation from 6,4% in 2004 to 17,11% in 2005. Moreover, the global economic crisis in 2009 made economic growth decrease to 4,63%, from 6,01% in 2008. However, it increased again to 6,22% in 2010. Since 2011 economic growth has shown a slow pace, but over the period 2000-2014, the Indonesian economy expanded with an average annual growth of 5,34% (World Bank, 2017). Economic growth was driven by rapid growth in the services sector, with an average growth rate of 6,97%, and the growth rates of agriculture and industry, 3,57% and 4,47% respectively.

The growth rates of the agricultural and industrial sectors were lower than that of the service,s sectors. The share of the agriculture sector declined from 15,6% in 2000 to 13,52% in 2014. Even though the industrial sector contributed a large share to GDP, its share also decreased, from 45,93% to 40,01%. In contrast, the share of the service’s sector to GDP increased from 38,47% to 46,46%. All the facts show that there was a significant increase in contribution of the service’s sector to GDP,

while there was a decreasing contribution of other sectors.

2. Poverty and Inequality

Poverty in Indonesia has declined along with the improvement of the economy since this country recovered from the Asian financial crisis. The rate of poverty fell from 19,14% in 2000 to 11,25% in 2014. However, the absolute number of poor people were high. In 2014, it was 28,28 million people.

During 2000-2014, the poverty rate fluctuated, but had a downward trend. In 2006, the number of poor people significantly increased to 39,3 million, from 35,1 million in 2005. Consequently, the poverty rate also rose to 17,75%, from 15,97%.

Page 101: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

90 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Similar to other developing countries, there are different characteristics of poverty between rural and urban sectors in Indonesia. Rural poverty is higher than urban poverty. Most poor people live in rural areas that is associated with agricultural poverty. Meanwhile, urban areas confront complex poverty problems, such as urbanization and unemployment. Moreover, during 2000-2014, poverty in both rural and urban sectors decreased. Poverty in both sectors fluctuated with a different pattern in several years at the beginning of this study period and started having the same downward trends in 2006. Income inequality measured by the Gini Ratio in rural and urban sectors and the country as a whole tends to increase. Income inequality in urban sectors is higher than in rural sectors. In 2014, the Gini Ratio in rural and urban sectors are 0,32 points and 0,43 points respectively (BPS, 2014).

3. The Indonesian Government Policy on Poverty Reduction

The Indonesian government has been making serious efforts on poverty reduction. In late 1990, the impact of the Asian financial crisis forced the government of that time to set poverty alleviation as a priority in development efforts (TNP2K). The government applied a new strategy on poverty reduction which was by implementing social protection programs for individuals and households (Bappenas, 2014). In 1969-1994, social protection programs were not explicitly stated on the development agenda, while the period before the crisis, poverty reduction programs were focused on community empowerment (Bappenas, 2014). Some social protection programs were introduced before the crisis, such as: (I) Inpres Desa Tertinggal (IDT), a special presidential program for poor village, was implemented between 1993-1997; (ii) Program Keluarga Sejahtera (PKS)/ Welfare Household Program (Bappenas, 2014).

During the crisis 1997-1998, there were also some program implemented by the government of that time, for example: (i) Operasi Pasar Khusus (OPK)/Special Market Operations, a subsidized rice program; (ii) Jaring Pengaman Sosial-Bidang Kesehatan (JPS-BK)/Social Safety Net for Health Sector; (iii) Beasiswa dan Dana Operasional/Scholarship and Operational Assistance; (iv) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)/Urban Poverty Project; (v) Program Pengembangan Kecamatan (PPK)/Sub-district Development Program; (vi) Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)/Regional empowerment program to overcome the impact of the economic crisis; and (vii) Program Padat Karya/Labour-intensive public works program (Bappenas, 2014; Manning & Sumarto, 2011).

Page 102: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 91

After the crisis, in early 2000s, Social Assistance Programs have been classified into two groups: Regular Social Assistance Programs and Temporary Social Assistance Programs. Some programs, included to the regular programs, there are Keluarga Harapan (PKH)/Family Hope Program, Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin)/Rice Program for Poor Families, Bantuan Operasional Sekolah (BOS)/Schools Operational Assistance, and Bantuan Siswa Miskin (BSM)/Cash Transfer for the Poor Student. Meanwhile a program that comprised to the temporary programs, is Bantuan Langsung Tunai (BLT)/Unconditional Cash Transfer Program (Bappenas, 2014). These programs have been implementing.

In 2005, some policies as a response to economic and social conditions, were introduced. The government of that time applied a ban on rice imports to protect farmers. Consequently, rice prices increased. Another important policy in this period was that the government introduced a policy to reduce fuel subsidies due to increasing world oil prices. That ultimately caused an increase in domestic fuel prices; however, as a compensation, the government provided the BLT program for the poor and near-poor households. This program is set for over than 19 million households and is expected to contribute to equity (The World Bank, 2012.a, 2012.b). In addition, the government provided the BLT program in 2008 and 2013 because they increased fuel prices. However, in 2013 this program became Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) (Bappenas, 2014).

In 2008, because of increasing world’s oil prices, the government increased domestic fuel prices about 28,7% (www.setneg.go.id). This increase caused a rise in inflation from 6,59% in 2007 to 11,06% in 2008. In exchange, the government provided the BLT program for poor and near-poor households. The number of beneficiaries in 2008 was fewer than in 2005 (The World Bank, 2012.b). Meanwhile, BLSM in 2013 was provided for 15,5 million poor households (Indonesia, 2013). However, a rising inflation in 2013 caused by an increase in fuel prices is lower than

that in 2008. It increased from 4,30% in 2012 to 8,38% in 2013.

C. Research Objectives and Methodology

This study aims to investigate the relationship between poverty, growth, and inequality and to identify their interaction in rural and urban sectors in Indonesia between 2000 and 2014. In attempting to achieve the objective, this study will utilize household survey data of Indonesia Family Life Survey (IFLS). So that, how growth and inequality contribute to poverty reduction will be analyzed in terms of changes in mean income and changes in income distribution of households. Moreover, by applying three survey

Page 103: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

92 Direktori Mini Tesis-Disertasi

data of IFLS which are IFLS3 in year 2000, IFLS4 in year 2007, and IFLS5 in year 2014, this study will divide the study period into two sub-periods: 2000-2007 and 2007-2014.

This study examines both empirical evidence and descriptive analysis to answer the following research questions:

1. Are there different relationships between poverty, growth, and inequality in rural and urban sectors between 2000-2007 and 2007-2014?

2. To what extent did the poor benefit from growth in rural and urban sectors between 2000-2007 and 2007-2014?

3. To what extent can government policies and economic conditions explain pro-poor growth in rural and urban sectors between 2000-2007 and 2007-2014?

The analysis of this study is limited to the period 2000-2014 because the study intends to investigate poverty reduction in terms of change in economic growth and inequality in Indonesia when its economic conditions started recovering from the Asian financial crisis. Moreover, this study will split the observed period into two sub-periods, 2000-2007 and 2007-2014.

In the analysis, the study employs Indonesia Family Life Survey (IFLS) data conducted by RAND Corporation. The samples survey covered about 83% of the population living across 13 provinces in Indonesia. The IFLS provides comprehensive data informing indicator of economic and non-economic well-being at the individual and household levels. This study utilizes the data of IFLS3, IFLS4, and IFLS5. The IFLS3 was the third survey that was fully run in 2000, the IFLS4 was conducted in late 2007 and early 2008, and IFLS5 was fielded in late 2014 and early 2015. Moreover, this study uses data in household level units. “A household was defined as a group of people whose members resides in the same dwelling and shared food from the same cooking pot” (Strauss et al., 2016, p.10).

As a measure of prosperity, this study uses households’ real per capita expenditure, which is indicated by the ratio of a households’ per capita expenditure to the appropriate per capita poverty line. Households’ per capita expenditure variable is calculated by dividing households’ expenditure, which contains the total food and non-food expenditure, by the number of household members (Witoelar, 2009).

To estimate the real per capita expenditure, this study uses poverty line as a price denumerator because there is no available CPI data for rural area. However, by using poverty line as a price denumerator may result overestimated or under estimated estimation for the rich because poverty line is estimated based on minimum requirement of basic needs (food and nonfood) for the poor.

Page 104: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 93

D. Data Analysis and Results

1. The Poverty Measures

Indonesia’s poverty declined during 2000-2014. There are interesting points to note. First, P0 shows that in rural sectors poverty is decreasing faster than in urban sectors. In rural sectors, there is a poverty decline of 10,33% points, from 18,74% in 2000 to 8,41% in 2014. In urban sectors, there is a decline of 9,46% points, from 17,1% to 7,64%. Second, the estimations of P1 and P2 demonstrate that poverty in rural sectors decreases slower than that in urban sectors. In rural sectors P1 falls by 2,63% points, while in urban sectors, it decreases by 2,86% points. Moreover, P2 in rural and urban sectors decreases by 0,92% point and 1,17% point respectively.

These results show that there are different patterns of poverty reduction between rural and urban sectors. In rural sectors, a faster reduction in P0 shows that the poor just below the poverty line become better off easier than those in urban sectors. Meanwhile, P1 and P2 in rural sectors decrease slower than in urban sectors. This shows that the poverty and inequality of the most disadvantaged in the rural sectors are hardly improved, compared to those in the urban sectors. It infers that both rural and urban sectors face different poverty problems. Therefore, each sector needs different treatments to overcome the problems.

By sub-periods, in both rural and urban sectors, the magnitude of change in poverty, measured by P1 and P2 in 2000-2007, is larger than between 2007-2014. In rural sectors, P1 and P2 decrease from 1,55% and 0,68% between 2000-2007 to 1,22% and 0,30% in 2007-2014 respectively. In contrast, the changes of P0 in both sectors between 2000-2007 are smaller than between 2007-2014. The change of P0 in urban sector increases from 3,23% between 2000-2007 to 6,93% between 2007-2014, while that in rural sector increases from 5,42% to 5,53%.

The different characteristics of poverty reduction between rural and urban sectors, and between two sub-periods, indicate that there are potential differences in how growth and inequality contribute to poverty reduction. To explain these

findings, this study employs a decomposition method.

2. The Growth-Redistribution Decomposition

The results of decomposition separately for rural and urban sectors in the full period and two sub-periods. In the estimations, the initial year is set as the reference period. All changes in poverty have negative signs. This means that poverty decreased. In the full period, changes in poverty in both sectors are caused

Page 105: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

94 Direktori Mini Tesis-Disertasi

by changes in growth and redistribution components. However, by sub-period, there are different contributions of growth and inequality to poverty reduction.

In 2000-2007, poverty reduction in rural sector occurs due to growth and redistribution components, whereas poverty reduction in urban sectors is only caused by redistribution component. Interestingly, growth in urban sectors has a negative impact on poverty reduction that is denoted by a positive sign. Between 2007-2014, changes in poverty in both rural and urban sectors are caused by growth components. In this sub-period, there is a worsening inequality in both sectors.

The decomposition results show that in different sub-periods the changes in poverty are differently influenced by growth and redistribution components. These can be used to explain why there are different characteristics of poverty reduction between rural and urban sectors, and between two sub-periods.

By rural-urban sector, the results of poverty measures show that: (i) the decrease in P0 in rural sectors is faster than in urban sectors. This might be due to different contribution of growth components which are in rural sectors larger than in urban sectors; (ii) the decrease in P1 and P2 in rural sectors is slower than in urban sectors. It seems possible that the result is due to larger redistribution components in urban sectors than in rural sectors.

By sub-periods, the results of poverty measures illustrate that: (i) a change in P0 between 2000-2007 is smaller than between 2007-2014. It is likely that there is a large contribution of growth component in 2007-2014; and (ii) a change in P1 and P2 between 2000-2007 is larger than between 2007-2014 because there is an improving equality between 2000-2007.

The decomposition results show that both growth and redistribution components are important to poverty reduction, but for different poverty measures

and different sub-periods.

3. The Pro-poor Growth Index

In 2000-2007, the values of the index in rural and urban sectors are 11% and 12%, respectively. These are higher than the growth rate in the mean which represents the growth rate in the mean income of the population. It implies that distributional changes are pro-poor. In contrast, in 2007-2014 the values of RPPG Index in both sectors are lower than. This means that poverty has fallen, although distributional shifts are pro-rich.

Page 106: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 95

In 2000-2007 in both rural and urban sectors, the values of the PEGR Index are higher than . This means that the poor receive greater benefit from growth than the non-poor. The pro-poor growth is obtained from a declining inequality. In rural sectors, it is also due to growth effects.

In 2007-2014, the PEGR Index is less than the actual growth rate in both rural and urban sectors which infers that growth benefits the non-poor more than the poor. Moreover, the PEGR Index for P1 and P2, especially in rural sectors, is lower then the PEGR Index for P0. This shows that the poorest people among all poor people benefit less from growth. In addition, the result implies that there is an increase in inequality between 2007-2014. The estimation results of the two pro-poor growth indices, the RPPG Index and the PEGR Index, infer that there are different patterns in how the poor benefit from growth between 2000-2007 and 2007-2014.

Based on the decomposition results, between 2000-2007 redistribution component dominates growth to reduce poverty, while between 2007-2014 only growth component contributes to poverty reduction, and there is a worsening inequality. These indicate that an improving income distribution between 2000-2007 explains why growth is pro-poor, while a high growth component and a worsening inequality are reasons why the poor benefit less from growth between

2007-2014.

E. Conclusion

The estimation results of decomposition provide some information: (i) between 2000-2007 both rural and urban sectors experienced lessening inequality. The results also show that the redistribution component dominates the growth component on poverty reduction; (ii) in 2007-2014 only the growth contributes to changes in poverty, while inequality weakens growth effects on poverty reduction; (iii) when the redistribution component has a positive contribution to poverty reduction between 2000-2007, the P1 and P2 decrease more than when redistribution has a negative contribution between 2007-2014. In contrast, P0 falls more between 2007-2014, when the growth component has great effect, than between 2000-2007.

The estimations of pro-poor growth can be summarized: (i) the RPPG Index shows that in both sub-periods, growth and distributional changes are poverty reducing, although there are different patterns of the distributional changes between two sub-periods. It implies that there are absolute gains for the poor; (ii) the PEGR Index presents that between 2000-2007 growth is pro-poor, while between 2007-2014 growth benefits the non-poor more than the poor.

Page 107: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

96 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The estimation of decomposition results and pro-poor growth indices indicate that an improvement in income distribution between 2000-2007 explains why growth is pro-poor favoring the poor. A worsening inequality is a reason why growth benefits the poor less than the non-poor between 2007-2014.

The government policies have an important role in shaping improvements in income distribution between 2000-2007. A structural transformation from agriculture to non-agriculture contributes to high economic growth and widening inequality.

F. Policy Implications

The evidence of this study suggests: (i) there is a role for public policy to mitigate negative shocks to the poor. The experience between 2000-2007 indicates that appropriate policy with pro-poor targeting helps the poor under difficult economic conditions; (ii) another lesson from the experience between 2007-2014 is that it is important to help poor people participate in jobs in the high-growth sector. The Government needs to help by assisting poor people to acquire necessary skills and knowledge to participate in high-growth sector jobs.

Page 108: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

CHALLENGES AND PROSPECTS OF IMPLEMENTING LOCAL PUBLIC SERVICE AGENCY (LPSA) POLICY AT PUSKESMAS: A CASE STUDY IN YOGYAKARTA CITY

Nama : Dwi Sulistiyowati

Instansi : Pemkot Yogyakarta

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Regional

Development Studies

Negara Studi : Jepang

Universitas : Tokyo University

Page 109: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

98 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kebijakan pelayanan kesehatan dasar (Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat) sebagai Local Public Service Agency (LPSA) didirikan untuk meningkatkan kualitas layanan perawatan kesehatan dasar. Kebijakan LPSA di Puskesmas telah dilaksanakan di Kotamadya Yogyakarta sejak 2012. Studi ini bertujuan untuk membahas tantangan dan peluang untuk pelaksanaan LPSA yang lebih baik dengan menyelidiki situasi Puskesmas di Kotamadya Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Yogyakarta mulai Agustus hingga September 2016. Data kuantitatif dikumpulkan melalui kuesioner dari 250 pasien di lima Puskesmas. Data kualitatif dikumpulkan melalui wawancara mendalam dari 24 karyawan Puskesmas. Data kuantitatif dianalisis secara deskriptif dan data kualitatif dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa pelaksanaan LPSA di Puskesmas di Kota Yogyakarta memberikan dampak yang baik terhadap kualitas pelayanan perawatan medis, sementara fleksibilitas keuangan yang diharapkan tidak terjadi sebagaimana mestinya. Hingga tingkat tertentu Puskesmas memperoleh fleksibilitas, tetapi tidak semua aspek yang dinyatakan oleh peraturan pemerintah. Pemerintah kota diharapkan untuk meningkatkan kemampuan personil dalam manajemen keuangan; meninjau ulang kebijakan tentang rencana pengeluaran yang terperinci setiap bulan; memberlakukan payung hukum mengenai remunerasi pegawai non-PNS di Puskesmas dan kerja sama dengan pihak lain; dan mengoptimalkan program kesehatan masyarakat untuk mengurangi jumlah pasien melalui upaya promotif dan preventif.

Kata kunci: Badan layanan umum, implementasi, kebijakan, perawatan kesehatan primer

Page 110: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 99

ABSTRACT

The policy of primary health care (Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat) as a Local Public Service Agency (LPSA) was established to enhance the quality of basic health care services. LPSA policy at puskesmas has been implemented in Yogyakarta Municipality since 2012. This study aimed to discuss the challenges and opportunities for better implementation of LPSA by investigating the situation of puskesmas in Yogyakarta Municipality. This study used both quantitative and qualitative methods. This research was conducted in Yogyakarta City from August to September 2016. The quantitative data was collected through questionnaires from 250 patients in five puskesmas. The qualitative data was collected through in-depth interviews from 24 puskesmas’ employees. The quantitative data was analyzed descriptively and the qualitative data were analyzed using thematic analysis. The result of the study was that the implementation of the LPSA at puskesmas in Yogyakarta City presented a good impact on the service quality of medical treatment, while the expected financial flexibility did not occur as it should. To some extent puskesmas acquired flexibility, but not to all the aspects that was stated by the government regulations. The municipality is expected to enhance personnel capabilities on finance management; reviewing the policy regarding detailed expenditure plans every month; enact a legal umbrella regarding remuneration of non-civil servant employees in puskesmas and cooperation with others parties; and optimize the public health program to reduce the number of patients through promotive and preventive efforts.

Keywords: Public service agencies, implementation, policy, primary health care

Page 111: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

100 Direktori Mini Tesis-Disertasi

CHALLENGES AND PROSPECTS OF IMPLEMENTING LOCAL PUBLIC SERVICE AGENCY (LPSA) POLICY AT PUSKESMAS:

A CASE STUDY IN YOGYAKARTA CITY

A. Background

The Local Public Service Agency (LPSA) (BLUD: Badan Layanan Umum Daerah) is a regional work unit (SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah) within the local government that was established to provide services to the public in the form of the provision of goods and/or services sold without prioritizing profits and in carrying out its activities based on the principles of efficiency and productivity.

Primary health care (Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat) as an institution whose main task and function is to provide health services to the community can apply for the financial management system of LPSA (FMS – LPSA) (PPK-BLUD: Pola Pengelolaan Keuangan BLUD). By implementing FMS-LPSA, puskesmas can obtain the freedom to apply for healthy businesses in order to maximize services for the community while still concentrating on the productivity, efficiency, and effectiveness of the services.

Yogyakarta Municipality through the Health Agency made a policy based on the principle that the technical problems of health provision should be resolved as soon as possible. In 2012 Yogyakarta Mayor issued decrees that determined the application of FMS–LPSA at Jetis Puskesmas, Mergangsan Puskesmas, Tegalrejo Puskesmas, and Umbulharjo I Puskesmas. Those Puskesmas became pilot projects for the implementation of LPSA.

The main objective of this study is to discuss the challenges and opportunities for better implementation of LPSA by investigating the situation of those four Puskesmas in Yogyakarta: Jetis Puskesmas, Mergangsan Puskesmas, Tegalrejo Puskesmas, Umbulharjo I Puskesmas and Mantrijeron Puskesmas. In addition, Mantrijeron Puskesmas had been selected because it won the Achievement of First Level of Health Services Category Urban Area in 2015.

This research was conducted from August to September 2016. The quantitative data was collected through questionnaires from 250 patients in five puskesmas, who were chosen by the multistage random sampling technique. The qualitative data was collected through in-depth interviews from 24 puskesmas’ employees. Purposive sampling for both medical and non-medical staff as well as the head of puskesmas was used. The quantitative data was analyzed descriptively and the qualitative data was analyzed using thematic analysis.

Page 112: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 101

This study used literature reviews that were related to reinventing government and service quality. Recently, governmental institutions were seen as undemocratic, unresponsive, inefficient, and failing in most other measures of what constitutes as an effective organization. Osborne and Gaebler (1992) suggested that governments should: 1) steer, not row; 2) empower communities to solve their own problems rather than simply deliver services; 3) encourage competition rather than monopolies; 4) be driven by missions, rather than rules; 5) be results-oriented by funding outcomes rather than inputs; 6) meet the needs of the customer, not the bureaucracy; 7) concentrate on earning money rather than spending it; 8) invest in preventing problems rather than curing crises; 9) decentralize authority; and finally 10) solve problems by influencing market forces rather than creating public programs. Moreover, the main goal of LPSA is enhancing quality services. Service quality is an abstract and elusive construct because of three features unique to services: intangibility, heterogeneity, and inseparability of production and consumption (Parasuraman, Zeithaml, and Berry 1985). Service quality can be measured by the customer’s perception, who received direct services. The SERVQUAL model defined by Parasuraman et al. (1988) can be used to assess customers’ perception of service quality. It analyzes these aspects:

1. Tangible: the physical appearance of the service, equipment, facilities, tools, and staff.

2. Reliability: the ability to perform the promised service in an adequate and reliable manner.

3. Responsiveness: capacity to solve the customer problems and to serve customers quickly.

4. Assurance: the knowledge, politeness, and reliability of the employees.

5. Empathy: care and personalized attention are given by the organization to the

customer.

B. Research Objectives and Methodology

The main objective of this study is to discuss the challenges and opportunities for better implementation of LPSA by investigating the situation of those five puskesmas in Yogyakarta which are: Jetis Puskesmas, Mergangsan Puskesmas, Tegalrejo Puskesmas, Umbulharjo I Puskesmas, and Mantrijeron Puskesmas.

The main objective divided into two sub-objectives:

1. to figure out the extent flexibility of financial management of LPSA policy at Puskesmas; and

2. to figure out the quality of services at puskesmas.

Page 113: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

102 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The research survey was conducted from August to September 2016 at five puskesmas in Yogyakarta, namely Jetis Puskesmas, Mergangsan Puskesmas, Tegalrejo Puskesmas, Umbulharjo I Puskesmas and Mantrijeron Puskesmas. Mantrijeron Puskesmas was selected as a case study because it won the Achievement of First Level of Health Services Category Urban Area in 2015, while others puskesmas were chosen because they become a pilot project on the implementation of LPSA based on internal

agreement on the Health Agency of Yogyakarta Municipality.

C. Data Analysis and Results

1. LPSA Policy

Law No. 1 of 2004 regarding the Treasury-State opened a new corridor for the implementation of performance-based budgeting in the government. It mentioned that government agencies which main duties and functions provide services to the community can implement a flexible financial management that shows productivity, efficiency, and effectiveness. Those institutions can be generally called as the Public Service Agency (PSA) at the national level or the Local Public Service Agencies (LPSA) at the regional/local level. Following that law, the Minister of the Internal Affairs issued a regulation that a works unit of the local government which can be formed into a Local Public Service Agencies (LPSA) if the duties and functions are providing public services. The public health services top priority is to apply to become an LPSA. Therefore, the local government motivates puskesmas to become LPSA’s.

Puskesmas is under the authority of the municipality. While, the municipality is under the supervision of the provincial government and the Ministry of Internal Affairs. This implies that puskesmas have to obey regulations from the Ministry of Internal Affairs, the provincial government, and the municipality. Meanwhile, LPSA’s are under the authority of the Finance Ministry because it is closely associated with state financial management. Therefore, if puskesmas applies to become an LPSA, it is obliged to abide by Finance Ministry Regulations.

Moreover, in the provision of medical services, Puskesmas must comply to the Ministry of Health. The Ministry of Health issues guidance and rules that have to be fulfilled by the Puskesmas in providing services to the community. Hence, Puskesmas is also under the authority of the Ministry of Health. So that, Puskesmas have to follow regulations from the municipality, the provincial government, the

Ministry of Internal Affairs, the Ministry of Finance and the Ministry of Health.

Page 114: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 103

2. The Present Situation of the Five Puskesmas

The total of the respondents of the questionnaire were 250 participants distributed evenly over five puskesmas. There were 209 participants living within the district where the puskesmas is located. In total, 175 were female (70%) and 74 were male. The participants were distributed evenly among age groups. Based on the educational attainment about 68% of respondents were found to attain education from senior high school up to university level education. Regarding the main occupation, the majority of the respondents were housewives (45%) with 111 participants, followed by 36 people who were entrepreneurs. The result showed that 96 patients (39%) utilized the Health Insurance provided by the government, meanwhile 29 % used finance sourced from the Social Security System (BPJS: Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) of the health care system. The data demonstrated 104 people out of 222 participants’ incomes fluctuated, meanwhile 26% respondents’ income was less than $ 104 per month. The majority of respondents 68% visited puskesmas occasionally, while 16% of participants visited once a month. There were 176 (73%) of respondents that intended to obtain treatment in the general/adult division, while 8 % of the respondents intended to obtain treatment in both the children division and the elderly division.

The implementation of LPSA is expected to enhance the quality of services of health provision to puskesmas. However, the result showed that patients’ perceptions to the puskesmas services was good, but they were still unsatisfied. Particularly on the responsiveness dimensions and also the number of general practitioners which received the lowest average scores. These two problems

become the everyday challenges of the daily activities at the puskesmas.

Puskesmas Problems and Solutions

Responsiveness dimensions showed a good value, it can be seen from the average value 2,80. Despite that, the indicator speed of services at registration obtained the lowest score with an average value of 2.68 and 65.27% of the respondents selected the option good. It means that the patients think services at the registration counter is the slowest among others three counters. It seemed that the registration counter became the bottleneck problems that gave a bad impact on the responsiveness. The main problem was that many patients came at the same time on the first hour of opening hours. Consequently, there was a long line at the registration counter. Next, the patients moved to the examination room. Some of the puskesmas are short of general practitioners. Then, patients shifted to the pharmacy. Several puskesmas received internship students as one of the function of the puskesmas as educational

Page 115: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

104 Direktori Mini Tesis-Disertasi

facilities for medical workers, once in a while, this made the services slower than usual. Finally, patients paid at the cashier which had only a few participants due to majority of patients receiving free medical treatment.

Based on the experienced among those puskesmas to enhance their services, employees should do ownly their main duty during the service hours, communicate interactively with the patients in their section only, provide courtesy and friendly services, increase the number of employees and add extra service hours in the afternoon to reduce the number of patients in the morning.

The following recommendations are offered to enhance service quality at Puskesmas:

a. Personnel management

b. Harnessing Information Technology: Online queuing system and utilizing Management Information Systems of Puskesmas (SIMPUS: Sistem Informasi Manajemen Puskesmas) for internal division at Puskesmas to display Medical Records

c. Increase personnel: rising the number of employees through outsourcing staff and

d. Making classifications of doctors.

D. Conclusion

The implementation of LPSA at puskesmas in Yogyakarta presented good impacts on the service quality of medical treatment, while the expected financial flexibility did not occur as it should. To some extent puskesmas acquired flexibility, but not in all aspects that were stated by government regulations. Numerous flexibility outcomes were not as expected in the financial management, particularly in expenditure, human resource management on the legal umbrella to outsource employees, cooperation with others parties, and procurement. Based on an interview with finance staff, puskesmas have to forecast the expenditure each month and report it to the Health Agency and the Agency of Regional Tax and Financial Management (DPDPK: Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan), in turn, this made the budget inflexible. There was no clear legal umbrella which caused the puskesmas to limit the number of technical personnel as stated by the head of puskesmas. There was no cooperation with third parties that can generate income due to incomplete regulations from the municipality as explained by the heads of puskesmas. Puskesmas did not do any procurement, medical supplies are handled by the Technical Implementation Unit of Pharmaceutical, as informed by

medical employees and heads of puskesmas.

Page 116: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 105

E. Recommendations

Following the results of this study, a number of movements can be recommended to improve LPSA implementation on puskesmas:

1. Enhancing employees’ capabilities on finance management.

2. Reviewing the policy regarding expenditure plans in detail each month.

3. Enacting legal umbrellas regarding remuneration of non-civil servant employees in puskesmas and cooperation with others parties.

4. Optimizing public health programs to reduce the number of patients through promotive and preventive efforts.

Page 117: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

106 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 118: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

KALAU ADA CARA YANG MUDAH, MENGAPA PILIH YANG SULIT? STUDI KASUS PENGGUNAAN TIKET HARIAN BERJAMINAN DI STASIUN BOGOR

IF THERE IS AN EASIER WAY, WHY CHOOSE A DIFFICULT WAY?CASE STUDY ON WARRANTY DAILY TICKETING USAGE IN BOGOR STATION

Nama : Eka Hastawati

Instansi : Kementerian Perhubungan

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 119: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

108 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

PT. Kereta Api Commuter Jabodetabek (PT. KCJ) terus mendorong penumpang Kereta Rel Listrik (KRL) yang masih menggunakan Tiket Harian Berjamin (THB) untuk beralih menggunakan Kartu Multitrip (KMT) yang lebih praktis dan efisien. Namun demikian, pada tahun 2016 sekitar 42% penumpang KRL masih menggunakan THB. Penumpang KRL harus membayar Rp50.000,00 -(harga KMT Rp20.000,00 dan saldo KMT Rp30.000,00) yang relatif cukup mahal untuk sebagian penumpang. Di lain sisi, keberadaan saldo minimum yang harus ada pada KMT sebesar Rp13.000,00- diduga menjadi kendala penumpang untuk menggunakan KMT dan tetap menggunakan THB. Penelitian ini bertujuan menguji kebijakan yang dapat mendorong penumpang KRL yang masih menggunakan THB untuk beralih ke KMT. Dua kebijakan (kebijakan menggratiskan KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) dan memberikan diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) telah diuji menggunakan percobaan ekonomi kepada 100 responden di Stasiun Bogor. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan menggratiskan KMT dan diskon 80% dari harga KMT mendorong penumpang KRL menggunakan KMT. Namun demikian, kebijakan menggratiskan KMT akan membuat penumpang KRL tidak menghargai KMT.

Kata kunci: Percobaan Ekonomi, Kartu Multitrip (KMT), Tiket Harian Berjamin (THB)

Page 120: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 109

ABSTRACT

PT. Jabodetabek Commuter Line continues to push passengers of Jabodetabek train (KRL passengers) who still use Guaranteed Daily Tickets or Tiket Harian Berjamin (THB) to switch to Multitrip Card (KMT) which is more practical and efficient. However, in 2016, there are still 42% of KRL passengers who use THB. It is hypothesized that to obtain KMT, passengers must purchase it at a relatively expensive price, which is IDR 50.000 (KMT price is IDR 20.000, where as the balance of the card is IDR 30 000). In addition, the provision of settling minimum balance in the KMT of IDR 13.000, is also another factor that make passengers become reluctant to use KMT and retain using THB. This study aims to test the policies that can encourage KRL passengers who are still using THB, to switch to KMT. Two policies (e.g. giving KMT for free (KMT price is IDR 20.000, whereas the balance of the card is IDR 30.000) and discounting KMT price by 80% (KMT price is IDR 20.000, whereas the balance of the card is IDR 30.000) have been tested using experimental economic of 100 KRL passengers at Bogor Station. This research shows that the policy of discounting KMT prices by 80% and giving the KMT card for free will encourage the KRL passengers to use KMT, effectively. However, giving KMT card for free will make passengers disrespect the KMT.

Keywords: Experimental Economics, Multitrip Card or Kartu Multitrip (KMT), Guaranteed Daily Tickets (THB)

Page 121: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

110 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KALAU ADA CARA YANG MUDAH,MENGAPA PILIH YANG SULIT?

STUDI KASUS PENGGUNAAN TIKET HARIAN BERJAMINAN DI STASIUN BOGOR

A. Latar Belakang

Salah satu sarana transportasi yang saat ini menjadi pilihan masyarakat Jabodetabek adalah Kereta Api Listrik Commuter Line (KRL CL). Bagi masyarakat Jabodetabek KRL CL dipilih karena memiliki beberapa kelebihan, antara lain bebas kemacetan, biaya lebih murah, lebih cepat, dan terjadwal.

Mulai 1 April 2015, perhitungan tarif KRL CL diubah berdasarkan jarak tempuh. Pada sistem ini, penumpang dikenakan biaya Rp2.000,00 untuk 1-25 kilometer pertama. Untuk 10 kilometer berikutnya penumpang akan dikenakan tarif Rp1.000,00. Terakhir mulai 1 April 2017 sampai saat ini, penumpang dikenakan biaya Rp3.000,00 untuk 1-25 kilometer pertama dan untuk 10 kilometer selanjutnya penumpang tetap dikenakan tarif Rp.1000 (PT. KCJ, 2017). Penerapan dua kebijakan ini menjadi tahap selanjutnya dalam modernisasi KRL Jabodetabek. Penerapan sistem tiket elektronik ini dipandang lebih efisien, mudah digunakan, mengurangi limbah kertas, dan sejalan dengan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan cash-less society, serta mengurangi kebocoran penerimaan dari tiket penumpang KRL-CL dan perhitungan subsidi tarif KRL yang akurat.

Saat ini, terdapat dua jenis sistem e-ticketing dalam KRL-CL, yaitu e-ticketing dengan Kartu Multitrip (KMT) dan Tiket Harian Berjamin (THB) menggunakan kartu. Kartu Multitrip (KMT) adalah kartu prabayar isi ulang yang dapat digunakan penumpang sebagai tiket KRL dengan ketentuan saldo minimum. Kartu tersebut hanya bisa digunakan untuk naik KRL saja dan dapat diisi ulang di seluruh stasiun KRL di Jabodetabek. Penumpang hanya melakukan taping di stasiun awal untuk masuk dan stasiun tujuan untuk keluar. Harga kartu Rp50.000,00 dengan saldo Rp30.000,00. Kartu tersebut tidak dapat di-refund, hanya saldo yang dapat di-refund. Sejak 8 Desember 2013, Kkartu Flazz BCA sudah dapat digunakan di Commuter Line, dan sejak tanggal 16 Juni 2014, Kartu Mandiri E-Money, Brizzi BRI, dan BNI Tapcash juga sudah dapat digunakan di Commuter Line. Cara penggunaan kartu-kartu tersebut sama halnya dengan cara penggunaan Kartu Multitrip, akan tetapi keempat kartu tersebut tidak dapat dibeli dan diisi ulang di seluruh stasiun KRL di Jabodetabek. Untuk mengisi kartu-kartu tersebut dapat dilakukan melalui merchant-merchant, seperti Indomart, 7-Eleven, dan seluruh halte bus Transjakarta (tunai). Pengisian juga dapat dilakukan secara tunai maupun dengan kartu ATM bank

Page 122: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 111

terkait. Harga kartu Rp40.000,00 dengan saldo Rp20.000,00. Dengan demikian, Kartu Flazz BCA, Mandiri E-Money, Brizzi BRI, dan BNI Tapcash merupakan tiket KRL-CL yang terintegrasi dengan tiket Trans-Jakarta.

Sementara itu, Tiket Harian Berjamin (THB) adalah kartu untuk penumpang KRL Jabodetabek tanpa berlangganan. Perhitungan tarif sesuai dengan skema tarif perjalanan single trip, namun penumpang diharuskan untuk membayar uang jaminan untuk THB sebesar Rp10.000,00. Uang jaminan tersebut dapat diambil kembali di stasiun tujuan. Batas waktu pengambilan uang jaminan maksimal 7 hari atau ditukar kembali dengan THB baru dengan membayar tarif untuk perjalanan selanjutnya. Berbeda dengan KMT, penumpang yang menggunakan THB tidak bisa turun di stasiun yang berbeda dengan stasiun yang dituliskan saat memasukkan tujuan perjalanan di stasiun awal (PT. KCJ, 2017). Melihat kendala yang muncul saat menggunakan THB,

Ssepintas THB terlihat tidak efisien dibandingkan KMT.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Tiket THB di KRL-CL Jabodetabek sesungguhnya diperuntukkan bagi penumpang KRL yang tidak secara rutin menggunakan KRL-CL. Bagi penumpang yang secara rutin menggunakan KRL sebagai moda transportasinya untuk berangkat dan pulang kerja, akan lebih efisieein jika mengunakan kartu multitripKMT. Berdasarkan pengamatan, observasi, dan wawancara penulispeneliti di Stasiun Bogor, hingga saat ini, masih banyak penumpang KRL yang menggunakan THB. ini, Ppadahal mereka rutin setiap hari menggunakan KRL untuk berangkat dan pulang kerja. Hal ini tentu sangat merepotkan, karena calon penumpang harus antrie dua kali dalam setiap perjalanan, yaitu ketika akan membeli THB dan ketika harussaat menukarkan THB untuk mendapatkan kembalimengambil uang jaminannya. Di samping itu, THB hanya dapat dipakai untuk tujuan tertentu dan harus ditukar kembali di stasiun tujuan. Kalau salah tujuan, maka penumpang tidak akan bisa keluar dari stasiun. Tapi, faktanya masih banyak penumpang yang menggunakan THB.

Bagi penelitiulis, fenomena calon penumpang rutin KRL-CL yang masih menggunakan THB menimbulkan berbagai pertanyaan, yaitu (1) siapa dan bagaimana karakteristik penumpang rutin KRL pengguna THB, (2) mengapa mereka masih menggunakan THB yang jauh tidak efisien dan tidak mau beralih menggunakan kartu multitrip (KMT), 3) bagaimana mendorong mereka agar beralih menggunakan Kartu Multitrip (KMT), (4) apakah menggratiskan atau memberikan diskon dapat mendorong mereka menggunakan KMT.

Page 123: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

112 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Tentunya ada alasan mengapa penumpang rutin KRL-CL menganggap THB lebih memberikan manfaat yang optimal dengan beberapa alasan tertentu dibandingkan KMT. Peneliti menemukan beberapa alasan, seperti alasan karena keterbatasan budget atau anggaran hingga latar belakang sosial ekonomi penumpang KRL-CL. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, peneliti mencoba menguji faktor-faktor yang mempengaruhi penumpang rutin KRL menggunakan THB dan tidak ingin beralih menggunakan KMT. Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini akan melahirkan kerangka percobaan ekonomi dengan metode quasi eksperimental.

Data yang digunakan peneliti adalah data primer yang diperoleh melalui simulasi percobaan (experiment) dan survei dengan penyebaranmenyebarkan kuesioner, s. Sedangkan data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tentang penumpang KRL, pengguna KMT dan THB yang berasal dari PT KCJ. Penelitian dilakukan di Stasiun Bogor pada hari dan jam kerja, dengan objek penelitian adalah para

penumpang KRL CL yang menggunakan THB sebagai respondennya.

C. Pembahasan Hasil Analisis

Kereta api merupakan salah satu bentuk transportasi massal yang digunakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari PT KCJ, jumlah penumpang KRL CL dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Masih berdasarkan data dari PT KCJ, ternyata masih banyak penumpang KRL yang menggunakan THB, yaitu sekitar 42%. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk menelitinya. Padahal penumpang akan lebih efektif dan efisien jika menggunakan KTM dibandingkan menggunakan THB. Faktor apa saja yang memengaruhi pilihan penumpang KRL sehingga tetap memilih menggunakan THB, dan

belum beralih ke KTM.

1. Karakteristik Pengguna Tiket Harian Berjamin (THB) KRL Commuter Line Secara Umum

Penumpang KRL yang masih menggunakan THB ternyata masih cukup banyak. Data dari PT KCJ menunjukkan persentase pengguna THB pada tahun 2016 sebesar 42%. Berdasarkan survei pendahuluan yang peneliti lakukan pada hari Minggu, 8 Oktober 2017 dan Selasa, 10 Oktober 2017 kepada 100 responden pengguna THB diperoleh hasil penelitian, yaitu dari 100 responden terdapat sekitar 10% responden yang menggunakan KRL secara rutin, yaitu antara 3-7 kali seminggu, sedangkan sisanya adalah penumpang KRL yang hanya sesekali atau jarang menggunakan KRL. Survei pendahuluan ini dilakukan dengan cara observasi dan wawancara langsung kepada responden. Pada hari Minggu atau hari libur, responden

Page 124: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 113

pengguna THB menggunakan KRL untuk keperluan liburan dan silaturahmi dengan keluarga. Sementara pada hari Senin atau hari kerja, responden pengguna THB menggunakan KRL sebagian besar untuk keperluan bekerja. Pekerjaan responden tersebut sebagian besar juga bukan pekerjaan rutin tetapi pekerjaan musiman, seperti pedagang yang berbelanja ke Pasar Tanah Abang ataupun buruh bangunan yang bekerja di Jakarta.

2. Analisis Perilaku Responden Pengguna THB dalam Menggunakan KRL

Berdasarkan survei yang peneliti lakukan menunjukkan bahwa pengguna THB memiliki perilaku yang berbeda. Hasil survei menunjukkan ada 28% responden yang telah menggunakan jasa KRL kurang dari 1 tahun, 28% responden telah menggunakan jasa KRL lebih dari 5 tahun, 44% responden telah menggunakan KRL selama 2 sampai 5 tahun. Survei juga menunjukkan bahwa 57% responden menggunakan moda kendaraan umum sebelum mereka menggunakan jasa KRL dan sisanya sebesar 40% menggunakan kendaraan pribadi serta 3% dengan berjalan kaki. Responden menggunakan KRL untuk keperluan ataupun tujuan yang berbeda-beda. Sebagian besar responden yaitu 47% menggunakan KRL untuk bekerja, baik bekerja dari Bogor ke kota lain ataupun dari kota lain ke Bogor, 26% untuk sekolah atau kuliah, 19% untuk keperluan liburan atau jalan-jalan, 7% untuk silaturahmi, dan 1% untuk belanja.

Sebesar 34% responden menggunakan KRL CL sebanyak 2-4 kali seminggu, 24% menggunakan KRL CL setiap hari kerja, 22% menggunakan KRL CL antara 1 kali seminggu sampai kurang dari satu kali seminggu, dan 20% responden menggunakan KRL CL setiap hari. Waktu yang dibutuhkan responden untuk antre membeli tiket THB antara 0-5 menit sebesar 60%, 6-10 menit sebesar 24%, 11-15 menit sebesar 10%, 16-20 menit sebesar 1%, dan yang lebih dari 20 menit sebesar 5%. Antrean untuk membeli THB memang tidak perlu menghabiskan banyak waktu karena saat ini telah banyak disediakan Commuter Vending Machine (C-VIM) yang memudahkan pengguna THB melakukan transaksi, seperti di Stasiun Bogor. Biasanya antrean panjang terjadi pada saat jam sibuk, yaitu jam kerja dan liburan.

Stasiun Bogor adalah stasiun pertama untuk kereta rute Bogor-Jakarta Kota dan Bogor-Angke. Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti, 44% responden menunggu kereta sampai naik ke gerbong kereta antara 0-5 menit, 29% responden dengan waktu tunggu 6-10 menit, 19% responden menunggu antara 11-15 menit, 6% responden menunggu antara 16-20 menit, dan 2% responden menunggu dengan waktu lebih dari 20 menit. Waktu tunggu kereta relatif cepat dikarenakan headway kereta juga yang semakin dekat antara 10-15 menit. 60% responden kadang-

Page 125: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

114 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kadang mendapatkan tempat duduk di KRL, 28% responden selalu mendapatkan tempat duduk di KRL, dan 12% responden tidak mendapatkan tempat duduk di KRL.

Setiap pengguna KRL memiliki perilaku yang berbeda saat menunggu kereta sampai naik ke dalam gerbong KRL. Begitu juga pada saat kereta yang datang sudah penuh dengan penumpang lain. Berdasarkan hasil survei, 56% responden menyatakan tetap naik kereta tersebut walaupun kondisinya sudah penuh dan 43% lebih memilih menunggu kereta berikutnya.

Waktu adalah sesuatu yang berharga bagi sebagian orang tapi mungkin tidak bagi orang lainnya. 50% responden menyayangkan waktu yang terbuang untuk mengantre THB, sedangkan 50% responden lainnya tidak menyayangkan waktu tersebut untuk mengantre THB. Moda transportasi yang digunakan responden menuju atau dari Stasiun Bogor 53% menggunakan kendaraan umum, 36% menggunakan kendaraan pribadi, dan 11% dengan berjalan kaki.

Pengeluaran yang responden keluarkan untuk transportasi sehari-hari (termasuk tiket KRL, parkir, bensin apabila menggunakan kendaraan pribadi), 34% responden berkisar antara Rp20.001,00-Rp30.000,00, 22% responden mengeluarkan biaya Rp10.001,00-Rp20.000,00 dan Rp30.001-Rp40.000,00, 14% responden mengeluarkan biaya <Rp10.000,00, dan 8% responden dengan mengeluarkan biaya >Rp40.000,00. Ketika responden ditanya mengenai saldo KMT, 82% responden keberatan dengan mengharuskan saldo minimum sebesar Rp13.000,00 yang ada di KMT, sedangkan 18% menyatakan tidak keberatan dengan

adanya saldo minimum tersebut.

3. Analisis Crosstab (Tabulasi Silang) antara Variabel Independen dengan Variabel Dependen

Statistik deskriptif crosstab (tabulasi silang) termasuk dalam analisis deskripsi. Namun ada perbedaan dibandingkan dengan statistik deskriptif frekuensi dan eksplore. Deskriptif crosstab menyajikan data dalam bentuk tabulasi, yang meliputi baris dan kolom. Untuk mengetahui pengaruh langsung variabel independen yang berbentuk kategorik terhadap variabel dependen digunakan uji chi-square.

Berdasarkan uji tabulasi/crosstab dan uji chi-square yang sudah peneliti lakukan, terdapat 3 variabel independen yang memiliki pengaruh langsung dengan variabel dependen (tetap menggunakan THB atau beralih menggunakan KMT) dari 12 variabel independen yang diuji.

Page 126: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 115

Terdapat 3 variabel independen yang berhubungan dengan variabel dependen (tetap menggunakan THB atau beralih menggunakan KMT) antara lain treatment yang diberikan (kebijakan menggratiskan KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) dan memberikan diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00)), sikap responden terhadap waktu yang terbuang karena menggunakan THB, dan sikap responden terhadap keberadaan saldo minimum. Ketiga variabel independen tersebut memiliki nilai signifikansi P-value<0,005 dari hasil uji chi-square.

Berdasarkan hasil analisis, terdapat 18 responden tanpa treatment tetap menggunakan THB dan 2 responden yang diberi treatment menggratiskan KMT juga tetap menggunakan THB, sedangkan 2 responden beralih menggunakan KMT, 40 responden dengan treatment memberikan diskon 80% dari harga KMT atau seharga Rp10.000,00 beralih menggunakan KMT dan 38 responden dengan treatment menggratiskan KMT beralih menggunakan KMT. Responden yang beralih menggunakan KMT secara sukarela walaupun tidak diberikan treatment dan responden yang tetap menggunakan THB walaupun diberikan treatment menggratiskan KMT mempunyai alasan tertentu.

Berdasarkan survey juga diperoleh, 6 responden yang tetap menggunakan THB menyayangkan waktu yang terbuang dalam menggunakan THB, sedangkan 14 responden yang tetap menggunakan THB tidak menyayangkan hal tersebut. Dari 44 responden yang beralih menggunakan KMT menyayangkan waktu yang terbuang karena penggunaan THB, sedangkan 36 responden tidak menyayangkan hal tersebut. Responden yang tidak menyayangkan waktu yang terbuang karena memakai THB menganggap jika waktu kurang berharga bagi mereka.

Diperoleh hasil bahwa 12 responden yang tetap menggunakan THB dan 70 responden yang beralih menggunakan KMT menyatakan keberatan dengan harus adanya saldo minimum pada KMT, sedangkan 8 responden yang tetap menggunakan THB dan 10 responden yang beralih menggunakan KMT menyatakan

tidak keberatan dengan harus adanya saldo minimum pada KMT.

4. Analisis Regresi Logistik

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan empat model regresi logistik antara variabel dependen dan variabel independen untuk menemukan model terbaik. Model 1 dan model II digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap beralihnya pengguna THB ke KMT, jika variabel kebijakan tidak dimasukkan. Model I menggunakan 100 data penumpang, sementara model II, III, dan IV hanya menggunakan 60 data penumpang. Adanya 40 data penumpang

Page 127: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

116 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang dikeluarkan pada model 2, karena 40 penumpang tersebut berasal dari kebijakan memberikan diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) dan semua penumpang pengguna THB yang memperoleh kebijakan tersebut.

Hasil analisis model I dan model II, menunjukkan bahwa jika variabel kebijakan tidak dimasukkan, maka yang berpengaruh signifikan terhadap beralihnya pengguna THB ke KMT adalah dummy keperluan (keperluan naik kereta, misalnya apakah untuk bekerja atau sekolah), dummy frek (dummy untuk sering tidaknya menggunakan KRL), dan dummy waktu (dummy sikap terhadap waktu antre). Mereka yang menggunakan KRL untuk bekerja/kuliah/sekolah atau keperluan rutin, dan cukup sering menggunakan KRL (lebih dari 2 kali dalam seminggu), serta menyayangkan waktu antre pada saat membeli THB cenderung akan beralih menggunakan KMT.

Sementara itu, model III dan model IV menunjukkan bahwa kebijakan menggratiskan KMT sangat mendorong penggun THB beralih menggunakan KMT. Bahkan ketika variabel sosial ekonomi dimasukkan secara bersamaan dengan variabel kebijakan menggratiskan KMT, ternyata tak satupun variabel sosial ekonomi yang berpengaruh secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan harga KMT saat ini dirasakan terlalu mahal buat pengguna THB. Oleh karena itu, ketika digratiskan maka akan memberikan kesempatan mereka untuk memiliki KMT. Jika dibandingkan dengan penumpang yang mendapat diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) atau membeli KMT dengan harga Rp10.000,00, memang menggratiskan KMT bisa menjadi bumerang, karena penumpang yang mendapat KMT gratis kurang menghargai KMT dibandingkan yang mendapatkan KMT dengan harga diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00). Hal ini terlihat dari adanya mereka yang mendapatkan KMT secara gratis, kembali menggunakan THB setelah tiga minggu. KMT ditinggalkan atau tidak digunakan, tetapi menggunakan THB kembali. Sementara, penumpang yang mendapatkan KMT dengan harga diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00) seluruhnya (100%) beralih menggunakan KMT, karena mereka merasa KMT sangat berharga sehingga harus

terus digunakan ketika naik KRL.

5. Analisis Koefisien dan Odds Ratio

Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan naik sebesar 9.921 kali apabila penumpang mengalami peningkatan frekuensi menggunakan KRL. Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan

Page 128: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 117

menurun 0,285 kali apabila mengalami penurunan sikap terhadap waktu yang terbuang atau kurangnya penghargaan terhadap waktu.

Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT menurun 0,308 kali apabila mengalami penurunan terhadap rutinitas tujuan atau keperluan.

Masing-masing variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen pada model II dapat diinterpretasikan sebagai berikut.

a. Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan naik sebesar 41.726 kali apabila mengalami peningkatan frekuensi menggunakan KRL CL.

b. Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan menurun 0,117 kali apabila mengalami penurunan sikap terhadap waktu yang terbuang atau berkurangnya penghargaan terhadap waktu.

c. Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan menurun 0,141 kali apabila mengalami penurunan terhadap rutinitas tujuan atau keperluan.

d. Kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan menurun 0,068 kali apabila mengalami penurunan pekerjaan formal atau bekerja di sektor informal.

Interpretasi variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen pada model III yaitu kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan meningkat 171 kali apabila treatment menggratiskan KMT ini diberlakukan.

Interpretasi variabel independen yang berpengaruh terhadap variabel dependen pada model IV, yaitu kecenderungan pengguna THB untuk beralih menggunakan KMT akan meningkat 703 kali apabila treatment menggratiskan

KMT ini diberlakukan.

D. Kesimpulan

Dari hasil analisis yang dilakukan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Profil responden penumpang rutin KRL-CL pengguna THB sebagian besar berusia 21-30 tahun, bertempat tinggal di Bogor, memiliki pekerjaan sebagai pegawai swasta, berpendidikan SLTA/sederajat, memiliki penghasilan dan pengeluaran antara Rp1.000.001,00-Rp3.355.750, melakukan perjalanan

Page 129: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

118 Direktori Mini Tesis-Disertasi

menggunakan KRL untuk keperluan bekerja, menggunakan KRL dengan frekuensi antara 3-7 kali seminggu dan mengantre untuk pembelian THB <5 menit.

2. Dari 40 penumpang yang dikenai treatment kebijakan diskon sebesar 80% dari harga KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00), seluruhnya beralih menggunakan KMT. Artinya KMT yang sudah dibeli dengan harga Rp10.000,00 tersebut digunakan seterusnya oleh penumpang. Sementara, 40 penumpang yang dikenai treatment kebijakan menggratiskan KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00), 38 dari 40 penumpang beralih menggunakan KMT dan ada dua penumpang yang kemudian tidak lagi menggunakan KMT yang diperolehnya secara gratis tersebut, karena kembali menggunakan THB, sedangkan dari 20 responden yang menjadi variabel kontrol, 18 responden tetap menggunakan THB dan 2 responden beralih menggunakan KMT secara sukarela.

3. Pemberian kebijakan menggratiskan KMT dan memberikan diskon 80% dari harga kartu KMT (yang harga kartunya Rp20.000,00 dan berisi saldo Rp30.000,00), terbukti mampu mendorong pengguna THB beralih menjadi menggunakan KMT. Namun memberikan KMT secara gratis, membuat adanya penumpang yang tidak menghargai KMT tersebut dan kembali menggunakan THB.

4. Jika dilihat pengaruhnya secara parsial dan hasil wawancara mendalam, saldo minimum sebesar Rp13.000,00 yang harus tersedia pada KMT berpengaruh terhadap penggunaan KMT. Namun, jika variabel lain (sosioekonomi) ada dalam model logit, saldo minimum tidak berpengaruh signifikan terhadap pengguna

THB yang beralih menggunakan KMT.

E. Saran Kebijakan

Saran kebijakan yang peneliti ajukan sebagai timbal balik dari penelitian ini, antara lain:

1. PT KCI dapat melakukan kebijakan dengan memberikan harga promo KMT bekerja sama dengan beberapa sponsor sehingga penumpang KRL yang masih menggunakan THB dapat beralih menggunakan KMT. Pemberian KMT gratis kurang bijaksana karena penumpang kurang menghargai KMT tersebut, tetapi KMT tersebut dapat dijual dengan harga terjangkau.

2. Saldo minimum sebesar Rp.13.000 yang harus ada dalam KMT menjadi salah satu kendala untuk beralih memakai KMT. Ketentuan saldo minimum tersebut dapat diturunkan atau dihilangkan agar pengguna THB dapat beralih menggunakan KMT.

Page 130: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ANALISIS PENGEMBANGAN 14 KAWASAN INDUSTRI PRIORITAS DI INDONESIA TAHUN 2015−2019

ANALYSIS OF THE 14 INDUSTRIAL ESTATES PRIORITY DEVELOPMENT IN INDONESIA YEAR 2015−2019

Nama : Esti Pangestuti

Instansi : Kementerian Perindustrian

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 131: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

120 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis indeks daya saing daerah terhadap program 14 kawasan industri prioritas di Indonesia tahun 2015−2019. Teori kompetisi Funck digunakan untuk menyusun indikator indeks yang kemudian diekstraksi menggunakan Principal Compenent Analysis (PCA). Penelitian ini menggunakan empat dimensi data, yaitu ekonomi, infrastruktur, sumber daya manusia dan sosial di tahun 2014. Ketika membandingkan dengan kemajuan pembangunan kawasan industri, penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua hasil yang berbeda. Pertama, Bitung-Morowali-Teluk Bintuni memiliki indeks yang selaras dengan kemajuan pembangunan kawasan. Itu berarti teori kompetisi relevan bagi ketiga kawasan industri tersebut. Sementara Sei Mangke yang memiliki indeks rendah, tapi merupakan salah satu kawasan industri dengan progres pengembangan tercepat. Kemudian dengan menggunakan analisis SWOT, kedua perbedaan hasil tersebut menunjukkan terdapat faktor lain yang memengaruhi progres pengembangan kawasan, seperti industri rintisan yang sudah mulai berproduksi.

Kata kunci: Daya saing daerah, kawasan industri, infrastruktur, PCA, analisis SWOT

Page 132: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 121

ABSTRACT

This research analyzes the competitiveness index among 14 industrial estate priority development in Indonesia year 2015-2019. Funck competition theory is applied to compose index’s indicators which is extracted using PCA. This research used four dimensions of data, those are economy, infrastructure, human resources and social in year 2014. While comparing with the industrial estate development’s progress, it finds that there are two type of progresses appear. First, Bitung-Morowali-Teluk Bintuni have index which is along with the progress, it means Funck theory is relevant to those three industrial estate situation. Meanwhile Sei Mangke which has low index, but one of the fastest progress during the industrial estate development. Then, by using SWOT, the two different results show there are other factors which affect the progress, such as an anchor industry, which is already start to produce.

Keywords: local competitiveness, industrial estate, infrastructure, PCA, SWOT analysis

Page 133: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

122 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PENGEMBANGAN 14 KAWASAN INDUSTRI PRIORITAS DI INDONESIA TAHUN 2015−2019

A. Latar Belakang

Sektor industri memberikan sumbangan terbesar terhadap pembentukan PDB di Indonesia. Oleh karena itu, sektor industri harus terus ditingkatkan dan dikembangkan. Salah satu upaya dalam mendukung penguatan sektor industri dapat ditempuh dengan melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui perwilayahan industri, baik melalui pembangunan indutsri baru atau relokasi industri eksisting ke luar jawa dan daerah terdepan.

Berkenaan dengan pengembangan kawasan industri, Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Saleh Husin, mengungkapkan bahwa pada saat ini Indonesia tengah menuju kepada pengembangan kawasan industri generasi ketiga, yakni kawasan yang mampu memacu pertumbuhan ekonomi lokal dan menjawab berbagai tantangan ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan sekaligus mampu menjelma menjadi kota industri baru yang modern dan mandiri.

Pembangunan kawasan industri di Pulau Jawa saat ini sudah berjalan dengan baik khususnya di Provinsi Jawa Barat. Hal ini dikarenakan manfaat aglomerasi, seperti faktor-faktor penunjang industri seperti infrastruktur, spill over teknologi, pengembangan sumber daya manusia (SDM), serta kemudahan sistem logistik yang berpusat di Pulau Jawa sudah terbentuk, sehingga pemerintah tidak perlu menjadi penggerak utama dalam pembangunan kawasan di Pulau Jawa. Namun lain halnya dengan pengembangan kawasan industri di luar Pulau Jawa yang membutuhkan intervensi pemerintah agar dapat bersaing dengan kawasan-kawasan di Pulau Jawa ataupun negara lain yang berdekatan dengan Indonesia. Pemerintah Jepang dan Korea Selatan masing-masing memiliki peran 85% dan 70% dari total kawasan industri yang ada di negaranya, sedangkan pada tahun 2014 Indonesia berdasarkan data Direktori Kawasan Industri yang diterbitkan Kementerian Perindustrian tahun 2014 dari total 74 kawasan industri eksisting hanya 7 kawasan yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah, yaitu (1) Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER); (2) Kawasan Industri Medan; (3) Kawasan Berikat Nusantara; (4) Jakarta Industrial Estate Pulogadung; (5) Kawasan Industri Makassar; (6) Krakatau Industrial Estate; dan (7) Kawasan Industri Cilacap, apabila dipersentasekan, yaitu hanya sekitar 9%.

Untuk mengetahui apakah keunggulan daya saing suatu daerah menentukan tingkat progres pengembangan kawasan di dalamnya, maka perlu dikaji dengan

Page 134: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 123

menyusun indeks daya saing daerah relatif terhadap 14 kawasan industri prioritas. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan keadaan yang sesungguhnya berdasarkan data yang ada di Kementerian Perindustrian yang merupakan vocal point program 14 kawasan industri prioritas ini. Diharapkan pembangunan kawasan industri khususnya di luar Pulau Jawa akan mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan industri sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pengembangan 14 kawasan industri prioritas ini merupakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk memunculkan pusat-pusat pertumbuhan industri di luar Pulau Jawa. Diharapkan saat muncul pusat-pusat pertumbuhan industri baru tersebut, dapat memberikan tambahan terhadap PDB sehingga akan menciptakan peningkatan pendapatan dan perekonomian Indonesia. Penentuan 14 Kawasan Industri yang terdiri atas Pulau Kalimantan dan Sumatera sebanyak 7 kawasan serta Pulau Sulawesi dan Kawasan Timur Indonesia sejumlah 7 kawasan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang RIPIN. Awalnya, sebelum ditentukan 14 kawasan di luar Pulau Jawa tersebut ditetapkan, terdapat 25 rencana kawasan industri yang sebagai calon kawasan prioritas yakni 13 kawasan dari Pulau Sumatera dan Kalimantan serta 12 kawasan dari Pulau Sulawesi dan Timur Indonesia.

Selain untuk memunculkan pusat-pusat pertumbuhan industri baru di luar Pulau Jawa, pengembangan kawasan industri baru tersebut diarahkan pada industri manufaktur berbasis sumber daya alam dan pengolahan mineral dengan memanfaatkan lokasi geografis yang strategis. Hal ini selaras dengan kebijakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dan RIPIN yang juga menjadikan Pulau Jawa sebagai pusat industri manufaktur berbasis teknologi tinggi. Oleh karena itu, Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa memiliki fokus yang berbeda sehingga diharapkan masing-masing wilayah memiliki keunggulan komparatif yang unik dan menarik investor sesuai dengan preferensi perusahaan mereka.

Saat ini pengembangan 14 kawasan industri prioritas sudah berjalan 2 tahun sejak ditetapkan dalam RPJMN 2015−2019. Data di lapangan menunjukkan bahwa progres terhadap pembangunan 14 kawasan industri tersebut tidaklah sama. Terdapat beberapa kawasan yang pengembangannya terkendala. Data tersebut didapatkan dari Kementerian Perindustrian.

Merujuk pada definisi daya saing daerah/nasional, yaitu bagaimana suatu wilayah menciptakan dan memelihara lingkungan yang kondusif bagi perusahaan-perusahaan di dalamnya untuk berproduksi secara efisien, efektif, tumbuh dan menghasilkan profit jangka panjang, penulis berasumsi bahwa apabila setiap wilayah memiliki daya saing

Page 135: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

124 Direktori Mini Tesis-Disertasi

maka dapat menopang industri-industri di dalamnya. Hal ini juga dapat terlihat pada pembangunan kawasan industri yang juga membutuhkan investasi serta komitmen industri.

Daya saing daerah yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teori kompetensi keunggulan daerah oleh Funck (1995, 2000) yang menjabarkan daya saing dibagi atas dua faktor, yaitu hard location factors dan soft location factors. Pada hard location factors penulis membagi lagi atas tiga dimensi, yaitu ekonomi, infrastruktur, dan SDM serta soft location factors sebagai dimensi sosial. Dengan menggunakan empat dimensi tersebut, penulis akan membuat indeks daya saing yang diharapkan dapat memberikan representasi terhadap daya saing tiap daerah dimaksud.

Selanjutnya, indeks daya saing daerah tersebut akan dikomparasikan dengan progres pengembangan kawasan yang dianalisis, yang selanjutnya akan dilakukan analisis SWOT untuk mendapatkan gambaran tepat terhadap strength, weakness, opportunity, dan thread kawasan tersebut serta memberikan rekomendasi berdasarkan metode tersebut.

Kawasan yang dianalisis menggunakan SWOT adalah 4 kawasan industri prioritas dengan dua indeks tertinggi dan dua indeks terendah sehingga akan didapatkan rekomendasi yang khusus bagi masing-masing kawasan serta secara umum bagi kawasan lain dalam program prioritas ini.

Penelitian ini berupaya untuk mengumpulkan, menyajikan, serta menganalisis data perekonomian, infrastruktur, sumber daya manusia, dan indeks sosial pada daerah yang menjadi tempat pengembangan kawasan industri baru tahun 2015−2019. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil wawancara dengan pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri, Kementerian Perindustrian yang memiliki kewenangan dalam pengembangan 14 kawasan industri baru. Sementara data sosial-ekonomi yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang dipublikasikan oleh berbagai instansi.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Kesesuaian Progres Pengembangan terhadap Indeks Daya Saing

Setelah dilakukan analisis pemeringkatan daya saing daerah dengan menggunakan metode PCA, pada bagian ini akan ditampilkan hasil progres terakhir dari pengembangan 14 kawasan industri prioritas. Kementerian Perindustrian membagi

Page 136: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 125

unit kerja terhadap 14 kawasan industri prioritas menjadi dua, yaitu Direktorat Pengembangan Wilayah Industri I yang menangani kawasan di Pulau Sulawesi dan Indonesia bagian timur serta Direktorat Pengembangan Wilayah Industri II untuk Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Berdasarkan laporan resmi Direktorat Pengembangan Wilayah Industri I kepada BPK terkait scoring terhadap progres pengembangan kawasan industri prioritas binaannya dan wawancara yang dilakukan, diperoleh hasil bahwa kawasan industri Morowali dan Bitung merupakan yang tercepat serta Teluk Bintuni sebagai yang terendah perkembangannya. Skoring yang dilakukan berdasarkan: (1) potensi SDA, (2) perusahaan/investor champion, (3) komitmen pemerintah daerah, (4) indikasi peran sektor/kementerian lain, (5) aksesibiltas terhadap pelabuhan/transportasi darat utama, (6) kesesuaian lahan (status hukum, topografi, jenis tanah, kemiringan lahan), (7) sumber daya pendukung (listrik, gas, batubara, dan air), dan (8) sumber daya manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hard dan soft location factors berpengaruh terhadap progres pengembangan kawasan Morowali, Bitung dan Teluk Bintuni.

Perbedaan temuan pada penelitian ini merupakan fenomena yang cukup menarik, dimana pada beberapa kawasan teori kompetisi yang digunakan sebagai dasar penyusunan indeks daya saing daerah sebanding terhadap progres pengembangannya. Sehingga teori kompetisi yang dikemukakan Funck (1995, 2000) dapat dijadikan landasan bagi suatu daerah untuk menganalisis kelayakan pembangunan kawasan industri. Namun, pada kawasan industri Sei Mangke tidak terjadi hal serupa. Hal ini mengindikasikan terdapat faktor-faktor di luar teori kompetisi yang digunakan dalam penelitian ini yang mampu mendorong cepatnya pengembangan kawasan Sei Mangke.

2. Analisis Kebijakan Strategis Pengembangan Kawasan Industri Bitung

Berdasarkan analisis SWOT pengembangan kawasan industri Bitung, uraian kebijakan strategis pengembangan kawasan industri Bitung adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan S-O

Berdasarkan analisis kekuatan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Bitung, kebijakan S-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Bitung adalah mempercepat pembangunan kawasan untuk meningkatkan produktivitas industri pengolahan, yang saat ini sudah menjadi industri basis dalam pembentukan PDRB-nya.

Page 137: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

126 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Peningkatan promosi untuk memenuhi target investasi sebesar ± Rp 2 triliun. Percepatan pelaksanaan program tol laut untuk meningkatkan produktivitas Kota Bitung. Membuat dan menerapkan RnD terhadap keberlanjutan SDA potensial. Penetapan RTRW, RDTR dan Kota Bitung sebagai KEK dapat dijadikan landasan percepatan pembangunan kawasan industri dan dukungan infrastruktur.

b. Kebijakan S-T

Berdasarkan analisis kekuatan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Bitung, kebijakan S-T yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Bitung adalah mempercepat pembangunan kawasan dan masuknya industri guna meningkatkan produktivitas yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan stabilitas keamanan melalui penegakkan hukum, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga menambah lowongan pekerjaan serta peningkatan tingkat upah. Mempercepat pembuatan amdal terhadap areal reklamasi dan penetapan HPL terhadap lahan ex-HGU. Mempercepat keputusan terhadap kelembagaan administrator dan Badan Pengelola KEK Bitung

c. Kebijakan W-O

Berdasarkan analisis kelemahan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Bitung, kebijakan W-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasani industri Bitung adalah pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan investasi sebagai cara mempercepat pengembangan kawasan industri serta mulainya kegiatan produksi (anchor industry) akan meningkatkan tingkat kualitas hidup masyarakat sekitar. Peningkatan jumlah sekolah umum dan vokasi untuk meningkatkan standar pendidikan SDM untuk bersaing pada lowongan pekerjaan pada kawasan dan industri didalamnya. Peningkatan sarana kesehatan serta inovasi untuk meningkatkan sanitasi penduduk juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Mediasi terhadap pembebasan lahan. Karena dari kebutuhan 534 Ha, sejumlah 92,96 Ha tanah milik Pemprov Sulut belum terbit surat balik nama dan areal rencana reklamasi seluas 247 Ha belum mendapatkan amdal. Mempercepat keputusan terhadap kelembagaan administrator dan Badan Pengelola KEK Bitung agar pembangunan dan promosi investasi terhadap kawasan akan lebih cepat progresnya.

d. Kebijakan W-T

Berdasarkan analisis daya saing, sektor industri pengolahan menyumbang 40% dari total PDRB Kota. Maka peningkatan keahlian SDM lokal sangat dibutuhkan

Page 138: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 127

agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari daerah lain agar efek multiplier yang didapatkan masyarakat lokal lebih besar. Peningkatan kualitas pendidikan juga akan meningkatkan tingkat keamanan wilayah serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara-cara penyampaian pendapat serta hidup berdemokrasi agar proyeksi kebutuhan TK sebesar 90.000 dapat dipenuhi oleh Kota Bitung sendiri. Penyelesaian masalah pembebasan lahan (termasuk proses balik nama serta pembuatan amdal) dan penetapan administrator dan Badan Pengelola kawasan diperlukan untuk mempercepat pembangunan

kawasan.

3. Analisis Kebijakan Strategis Pengembangan Kawasan Industri Morowali

Berdasarkan analisis SWOT pengembangan Kawasan Industri Morowali, uraian kebijakan strategis pengembangan Kawasan Industri Morowali adalah sebagai berikut:

a. Kebijakan S-O

Berdasarkan analisis kekuatan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan Kawasan Industri Morowali, diketahui bahwa Kawasan Industri ini memiliki kekuatan adanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akses menuju sumber daya yang unggul, dan pembangunan manusia yang memadai. Adapun peluang yang dihadapi oleh Kabupaten Morowali juga cukup menjanjikan, di antaranya belum banyak aliran modal yang masuk dan kebijakan nasional pembangunan wilayah. Untuk itu, kebijakan S-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Morowali adalah peningkatan promosi untuk memenuhi target investasi sebesar ± Rp 49.7 T. Mempercepat pembangunan kawasan untuk meningkatkan produktivitas industri pengolahan, yang saat ini belum menjadi industri basis dalam pembentukan PDRB-nya. Meningkatkan produktivitas di sektor industri agar menjadi sektor basis dengan memanfaatkan adanya percepatan pembangunan kawasan dan infrastruktur pendukung. Pembebasan lahan serta penetapan RTRW dan RDTR sebagai landasan percepatan pembangunan kawasan industri dan dukungan infrastruktur seperti penyelesaian pembangunan bandara. Sudah adanya anchor industry merupakan salah satu daya tarik untuk perusahaan lainnya untuk mulai mendirikan industri, agar tercipta manfaat aglomerasi.

b. Kebijakan S-T

Berdasarkan analisis kekuatan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Morowali, diketahui bahwa Kawasan Industri

Page 139: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

128 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ini meskipun telah memenuhi banyak aspek penting yang menjadi pertimbangan investor dalam melakukan investasi, namun memiliki ancaman yang berasal dari sisi stabilitas keamanan wilayah dan kehidupan berdemokrasi yang relatif tertinggal dibandingkan daerah lain. Untuk itu, kebijakan S-T yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Morowali adalah peningkatan stabilitas keamanan melalui penegakan hukum, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga menambah lowongan pekerjaan serta peningkatan tingkat upah. Meningkatkan kapasitas kelembagaan demokrasi lokal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi.

c. Kebijakan W-O

Berdasarkan analisis kelemahan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Morowali, diketahui kelemahan pembangunan kawasan diperkirakan akan berasal dari sulitnya memperoleh tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk itu, kebijakan W-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Morowali adalah dengan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan investasi sebagai cara mempercepat pengembangan kawasan industri serta mulainya kegiatan produksi (anchor industry) akan meningkatkan tingkat kualitas hidup masyarakat sekitar. Melakukan inovasi pengembangan produk hulu hilir melalui skema R&D/Pusat Inovasi Feronikel dengan melibatkan tenaga kerja setempat sehingga ada sharing teknologi serta peningkatan kualitas SDM lokal. Peningkatan jumlah sekolah umum dan vokasi untuk meningkatkan standar pendidikan SDM untuk bersaing pada lowongan pekerjaan pada kawasan dan industri di dalamnya dan mulai mempersiapkan tenaga kerja untuk bertransformasi dari sektor primer menuju sektor sekunder. Peningkatan sarana kesehatan serta inovasi untuk meningkatkan sanitasi penduduk juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM secara keseluruhan (IPM).

d. Kebijakan W-T

Berdasarkan analisis kelemahan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Morowali, diketahui bahwa rata-rata pada tahun 2011-2014 sektor industri pengolahan hanya menyumbang 8% dari total PDRB Kabupaten Morowali. Pertumbuhan ekonomi masih sangat ditopang oleh sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar 44,40%. Peningkatan keahlian SDM lokal sangat dibutuhkan agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari daerah lain agar efek multiplier yang didapatkan masyarakat lokal lebih besar. Dan tenaga kerja lokal menjadi sektor basis yang menjadi kekuatan daerah, dapat mencukupi kebutuhan tenaga kerja di dalam kabupaten juga di luar daerah. Peningkatan kualitas pendidikan juga akan meningkatkan tingkat keamanan wilayah serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara-

Page 140: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 129

cara penyampaian pendapat serta hidup berdemokrasi agar proyeksi kebutuhan

tenaga kerja sebesar 80.000 dapat dipenuhi oleh Kabupaten Morowali.

4. Analisis Kebijakan Strategis Pengembangan Kawasan Industri Sei Mangke

Berdasarkan analisis SWOT pengembangan kawasan industri Sei Mangke, uraian kebijakan strategis pengembangan kawasan industri Sei Mangke adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan S-O

Berdasarkan analisis kekuatan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Sei Mangke, kebijakan S-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Sei Mangke adalah peningkatan promosi untuk memenuhi target investasi sebesar ± Rp 9,5 triliun. Mempercepat pembangunan dukungan infrastruktur kawasan untuk meningkatkan produktivitas industri pengolahan, agar industri pengolahan dapat berfungsi sebagai sektor basis yang menjadi kekuatan daerah, dapat mencukupi kebutuhan di dalam Kabupaten juga di luar daerah, juga berorientasi ekspor. Peningkatan produktivitas industri pengolahan CPO PTPN III. Meningkatkan RnD terhadap fokus industri, yaitu CPO serta industri turunannya.

b. Kebijakan S-T

Berdasarkan analisis kekuatan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Sei Mangke, kebijakan S-T yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Sei Mangke adalah dengan peningkatan stabilitas keamanan melalui penegakkan hukum, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga menambah lowongan pekerjaan serta peningkatan tingkat upah. Meningkatkan kapasitas kelembagaan demokrasi lokal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi. Meningkatkan promosi untuk menambah jumlah industri agar pertumbuhan ekonomi Kabupaten Simalungun dapat naik secara signifikan, dan mengubah pembagian PDRB yang awalnya didominasi oleh sektor pertambangan dan penggalian untuk beralih ke sektor industri pengolahan.

c. Kebijakan W-O

Berdasarkan analisis kelemahan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Sei Mangke, kebijakan W-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Sei Mangke adalah peningkatan jumlah sekolah umum dan vokasi untuk meningkatkan standar pendidikan SDM untuk bersaing pada lowongan pekerjaan pada

Page 141: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

130 Direktori Mini Tesis-Disertasi

kawasan dan industri di dalamnya dan mulai mempersiapkan tenaga kerja untuk bertranformasi dari sektor primer menuju sektor sekunder.

d. Kebijakan W-T

Berdasarkan analisis kelemahan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Sei Mangke, rata-rata pada tahun 2011−2014 sektor industri pengolahan hanya menyumbang 11,37% dari total PDRB Kabupaten Sei Mangke. Pertumbuhan ekonomi masih sangat ditopang oleh sektor pertanian dan kehutanan, yaitu sebesar 57,21%. Peningkatan keahlian SDM lokal sangat dibutuhkan agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari daerah lain agar efek multiplier yang didapatkan masyarakat lokal lebih besar, dan tenaga kerja lokal menjadi sektor basis yang menjadi kekuatan daerah, dapat mencukupi kebutuhan tenaga kerja di dalam kabupaten juga di luar

daerah

5. Analisis Kebijakan Strategis Pengembangan Kawasan Industri Teluk Bintuni

Berdasarkan analisis SWOT pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, uraian kebijakan strategis pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni adalah sebagai berikut.

a. Kebijakan S-O

Berdasarkan analisis kekuatan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, kebijakan S-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni adalah peningkatan promosi untuk memenuhi target investasi sebesar $2,2M untuk pembangunan pabrik ammonia dengan kapasitas 2 × 2000 MTPD dan pabrik urea berkapasitas 2 × 3500 MTPD serta 22T rupiah untuk pembangunan kawasan industri. Meningkatkan produktivitas di sektor industri agar menjadi sektor basis dengan memanfaatkan adanya percepatan pembangunan kawasan dan infrastruktur pendukung. Penetapan APL, RTRW, dan RDTR sebagai landasan percepatan pembangunan kawasan industri dan dukungan infrastruktur. Adanya bandara memudahkan para calon investor untuk melakukan pengecekan terhadap kawasan industri. Perlu ditingkatkan kualitas bandara dan jadwal terbang yang lebih memadai

b. Kebijakan S-T

Berdasarkan analisis kekuatan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, kebijakan S-T yang sesuai

Page 142: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 131

untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni adalah mempercepat pembangunan kawasan dan masuknya industri guna meningkatkan produktivitas yang bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan stabilitas keamanan melalui penegakan hukum, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga menambah lowongan pekerjaan serta peningkatan tingkat upah. Meningkatkan kapasitas kelembagaan demokrasi lokal untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk berinvestasi. Penetapan status lahan menjadi APL berimbas pada relokasi penduduk sebanyak 88 KK. Relokasi diharapkan pada tempat yang tepat yang sekaligus dapat meningkatkan kualitas hidup pada bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan (IPM).

c. Kebijakan W-O

Berdasarkan analisis kelemahan dan peluang yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, kebijakan W-O yang sesuai untuk mendorong keberhasilan pembangunan kawasan industri Teluk Bintuni adalah pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan investasi sebagai cara mempercepat pengembangan kawasan industri serta mulainya kegiatan produksi (anchor industry) akan meningkatkan tingkat kualitas hidup masyarakat sekitar. Peningkatan jumlah sekolah umum dan vokasi untuk meningkatkan standar pendidikan SDM untuk bersaing pada lowongan pekerjaan pada kawasan dan industri di dalamnya. Peningkatan sarana kesehatan serta inovasi untuk meningkatkan sanitasi penduduk juga dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas SDM. Mediasi terhadap pembebasan status hak ulayat harus segera dilaksanakan karena akan menghambat pembangunan kawasan.

d. Kebijakan W-T

Berdasarkan analisis kelemahan dan ancaman yang dihadapi dalam pengembangan kawasan industri Teluk Bintuni, sektor industri pengolahan menyumbang 53% dari total PDRB kabupaten. Peningkatan keahlian SDM lokal sangat dibutuhkan agar bisa bersaing dengan tenaga kerja dari daerah lain agar efek multiplier yang didapatkan masyarakat lokal lebih besar. Peningkatan kualitas pendidikan juga akan meningkatkan tingkat keamanan wilayah serta meningkatkan pemahaman masyarakat tentang cara-cara penyampaian pendapat serta hidup berdemokrasi. Harus segera menyelesaikan perkara harga gas yang kurang kompetitif (U$13/mm btU) membuat investor masih urung menjadi anchor industry.

Page 143: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

132 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Pengembangan 14 kawasan industri prioritas diharapkan dapat mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah NKRI. Karena dengan meningkatkan produktivitas industri manufaktur, yang merupakan sektor padat modal dan padat karya sehingga efek multiplier yang dihasilkan tidak hanya berdampak pada perekonomian di daerah pengembangan namun memberikan proporsi tambahan bagi penciptaan PDB secara nasional. Oleh karena itu, pengembangan 14 kawasan industri prioritas juga harus mempertimbangkan faktor daya saing daerah sehingga strategi pengembangan dapat sesuai dengan potensi yang ada.

Setelah dilakukan pemeringkatan indeks daya saing, selanjutnya dilakukan pengumpulan data serta wawancara kepada salah satu stakeholder pengembangan kawasan industri prioritas yaitu Kementerian Perindustrian. Berdasarkan data progres pengembangan kawasan sampai dengan bulan Desember 2016, dapat disimpulkan dua hasil yang berbeda terhadap rumusan masalah penelitian yaitu:

1. Hard dan soft locations factors berpengaruh terhadap progres pengembangan kawasan Morowali, Bitung, dan Teluk Bintuni. Mengacu pada hasil olah data menggunakan PCA terhadap indikator penyusunan daya saing daerah pengembangan 14 kawasan industri prioritas, didapatkan hasil bahwa kawasan industri Morowali dan Bitung memiliki kesesuaian antara indeks daya saing dengan progres pengembangan kawasannya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa daya saing daerah sangat penting dalam penentuan progres suatu kawasan, sehingga dapat dijadikan pedoman bagi daerah lain yang ingin membangun kawasan untuk menyiapkan elemen-elemen daya saing daerahnya.

2. Namun hal tersebut tidak terjadi pada kasus kawasan industri Sei Mangke. Indeks daya saingnya berada pada urutan kesepuluh, sedangkan progres pengembangannya merupakan yang terdepan di antara kawasan industri prioritas di Pulau Sumatera dan Kalimantan.

Selanjutnya, dilakukan analisis strategi pengembangan 14 kawasan industri prioritas berdasarkan indeks daya saing yang tertinggi, yaitu Morowali dan Bitung serta yang terendah yakni Sei Mangke dan Teluk Bintuni menggunakan analisis SWOT. Pada bagian pembahasan sudah dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui potensi serta strategi terhadap empat kawasan yang dipilih, sehingga pada bagian tersebut akan dipetakan menjadi kawasan yang sesuai rumusan masalah penelitian ini dan yang tidak

sesuai.

Page 144: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 133

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan pembahasan dan ringkasan penelitian, secara garis besar kebijakan untuk kawasan industri prioritas lainnya adalah:

1. Menyiapkan SDM

Menyiapkan SDM yang berkualitas dan memenuhi kriteria terhadap kebutuhan industri pengolahan yang merupakan sektor yang dikembangkan pada 14 kawasan industri prioritas ini. Kementerian Perindustrian saat ini sedang menyiapkan program SKKNI bersama Kemendikbud dan Kemenristek Dikti terhadap kebutuhan tenaga kerja industri yang dibutuhkan sehingga pembangunan sekolah kejuruan atau vokasi tepat untuk memenuhi spesialisasi yang dibutuhkan. Pemda pun turut andil untuk memfasilitasi sekolah umum sampai jenjang menengah ke atas serta memberikan motivasi bagi masyarakat untuk tidak putus sekolah minimal jenjang menengah atas.

2. Pembangunan fasilitas kawasan industri

Apabila permasalahan tanah sudah selesai dan sesuai dengan RTRW, RDTR dan izin-izin lainnya, pengelola dapat mulai membangun sarana prasarana di dalam kawasan industri. Investor tentunya akan lebih tertarik dengan kawasan yang sudah lengkap fasilitasnya, seperti jalan, PLTU, dry port, water treatment plant (WTP), dan lain-lain.

3. Konektivitas

Kementerian PUPR dan Kementerian Perhubungan dapat berkolaborasi dalam membangun fasilitas penunjang kawasan industri yang dapat mendukung konektivitas kawasan-kawasan industri prioritas. Tentunya fasilitas infrastruktur yang terintegrasi dan mantap lebih memiliki daya tarik bagi investor. Namun demikian, dengan atau tanpa adanya komitmen dari investor untuk menanamkan modalnya di daerah, pemerintah sebaiknya tetap konsisten mendorong percepatan pembangunan kawasan industri di daerah. Investor memiliki perhitungan sendiri dalam menentukan pilihan investasi, sedangkan pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pemerataan pembangunan. Apabila masing-masing pihak saling menunggu, pembangunan kawasan industri di daerah yang sebenarnya sudah cukup layak menjadi terhambat atau kehilangan momentum yang baik. Penyiapan elektrifikasi juga merupakan salah satu bagian penting dari fasilitas infrastruktur suatu kawasan karena tidak dapat dipungkiri pemerataan elektrifikasi khususnya di luar Pulau Jawa masih cukup rendah, selain penyediaan air bersih melalui water

Page 145: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

134 Direktori Mini Tesis-Disertasi

treatment plant dan sistem pengolahan air limbah produksi. Kerja sama dengan PLN harus terus ditingkatkan untuk meningkatkan iklim investasi khususnya pada 14 kawasan industri prioritas ini.

4. Keamanan

Keamanan dapat dibagi menjadi 2, yaitu (1) tindakan penanggulangan yang saat ini sudah dilakukan oleh Kementerian Perindustrian dan POLRI dalam bentuk Objek Vital Nasional Industri (OVNI). Dengan adanya penetapan kawasan industri sebagai objek vital dalam suatu wilayah, pihak keamanan (Kepolisian dan TNI) memiliki landasan hukum yang kuat untuk ikut aktif menjaga stabilitas keamanan dalam kawasan industri. Hal ini diharapkan dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi para pelaku bisnis di kawasan industri dalam menjalankan usahanya. (2) Tindakan pencegahan, sesuai dengan O’Sullivan (2012) keamanan merupakan multidimensi yang mencakup tingkat pendidikan, kesejahteraan, demografi dan sistem penegakkan hukum. Sehingga dalam pengendalian crime rate dibutuhkan partisipasi baik pemerintah pusat dan daerah.

5. Kapasitas kelembagaan demokrasi di daerah

Peningkatan kelembagaan demokrasi bertujuan untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) sehingga dapat menjamin adanya fairness dalam kegiatan usaha serta menekan biaya transaksi ekonomi yang tinggi akibat korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur pemerintah. Kapasitas ini juga melibatkan banyak stakeholder, seperti aparatur pemerintah, partai politik, dewan perwakilan masyarakat, dan masyarakat daerah itu sendiri.

6. Promosi potensi investasi

Pengelola kawasan dan BKPM memiliki peran terbesar melakukan promosi investasi. Hal ini juga menunjukkan bahwa perlunya dukungan dari kalangan swasta, khususnya investor agar menanamkan modalnya di daerah. Hal ini bersesuaian dengan harapan pemerintah agar kegiatan perekonomian tidak hanya berkutat di Pulau Jawa melainkan juga dilakukan di luar Pulau Jawa. Di samping itu, kebijakan S-O ini juga diharapkan dapat membuka peluang-peluang ekonomi di daerah yang selama ini belum termanfaatkan dengan baik.

7. Insentif bagi calon anchor industry

Kementerian Keuangan dapat memberikan insentif seperti tax holiday diperlukan untuk merangsang para calon investor untuk segera berinvestasi di kawasan

Page 146: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 135

industri yang dikembangkan. Adanya kelemahan-kelemahan yang terdapat di daerah tempat pengembangan kawasan industri membuat aktivitas bisnis di daerah tersebut menjadi penuh risiko. Sehingga apabila pemerintah memaksakan diri untuk “bekerja sendirian” memperbaiki iklim investasi di daerah tentu memerlukan waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit. Insentif bagi industri rintisan ini diharapkan dapat menjadi kompensasi yang adil bagi para calon investor yang berani mengambil risiko untuk memulai usaha di sektor baru atau di daerah yang belum berkembang.

8. Asistensi dalam pengelolaan kawasan

Kebijakan ini berangkat dari kesadaran adanya kesenjangan kemampuan pengelola kawasan di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa, menjadikan pemerintah pusat seperti Kementerian Perindustrian perlu mengambil peran yang besar dengan cara melakukan asistensi (pendampingan) bagi kawasan khususnya yang dikelola pemerintah daerah agar dapat berkinerja layaknya swasta yang efektif dan efisien serta profit oriented.

9. Kawasan industri Bintun

Kawasan industri Bintun yang memiliki indeks daya saing yang rendah serta progres pengembangan yang terakhir, peran Pemda sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan faktor tenaga kerja, IPM, lingkungan yang kondusif untuk meningkatkan potensi investasi, seperti peningkatan indeks demokrasi dan pengurangan crime rate. Sektor migas sudah menjadi sektor basis di Teluk Bintuni karena sudah banyak perusahaan yang bergerak di bidang tersebut, diharapkan dapat terjadi spillover dampak aglomerasi dari keberadaan perusahan-perusahaan tersebut. Infrastruktur baik di dalam dan luar kawasan masih jauh dari memadai, sehingga menjadi fokus bagi pemerintah pusat, daerah dan pengelola kawasan untuk meningkatkannya.

Page 147: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

136 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 148: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PENGARUH JARAK DARI KAWASAN PARIWISATA TERHADAP NILAI TANAH DI KABUPATEN BADUNG, BALI

THE EFFECT OF DISTANCE FROM TOURISM AREA TO LAND VALUE IN BADUNG REGENCY, BALI

Nama : Fitria Daru Anggraeni

Instansi : Kementerian Agraria dan Tata

Ruang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 149: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

138 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kebijakan tata ruang dan wilayah Kabupaten Badung membagi pengembangan wilayah menjadi beberapa wilayah, yaitu Wilayah Badung Utara dan Wilayah Badung Tengah dengan fungsi utama pertanian, sedangkan Wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama kepariwisataan. Kegiatan pariwisata di Wilayah Badung Selatan terpusat pada kawasan pariwisata Kuta, Tuban, dan Nusa Dua. Kondisi ini menyebabkan perbedaan nilai lahan pada seluruh wilayah Badung, di mana lahan di kawasan pariwisata dan sekitarnya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada di lokasi lainnya. Tulisan ini bertujuan mengamati pengaruh antara jarak dari kawasan pariwisata terhadap nilai tanah di seluruh Kabupaten Badung. Asumsi yang digunakan adalah jarak memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai tanah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai tanah yang bersumber dari Kantor Pertanahan Kabupaten Badung yang terdiri dari 245 bidang tanah. Hasil analisis secara signifikan menunjukkan hubungan negatif antara jarak ke kawasan pariwisata dan nilai tanah. Kondisi infrastruktur juga digunakan sebagai faktor yang mempengaruhi nilai tanah. Hasilnya, infrastruktur jalan secara signifikan berpengaruh terhadap nilai tanah.

Kata kunci: Nilai tanah, jarak, pariwisata

Page 150: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 139

ABSTRACT

Urban land use policies of Badung Regency divide the development of the region into several areas called North Badung and Central Badung Region which is the main function as agriculture area, while South Badung Region is focused as tourism area. Tourism activities in South Badung Region are mainly centered on Kuta, Tuban, and Nusa Dua. The difference activities between those area, leads to the difference land value in all areas of Badung, where the land value in or near the tourism area are higher than other location. This paper aims to observe the effect of distance from tourism area to land value in all Badung Regency. The assumption is that distance has a negative effect and significant to land value. This study was using data source from Land Office of Badung Regency which consist of 245 land plots. The result of the analysis, distance from tourism area have negative relation and significant to the land value. Infrastructure is also used as factor that affects land value. The result shows that road infrastructure is significant in affecting the land value.

Keywords: Land value; distance; tourism

Page 151: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

140 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH JARAK DARI KAWASAN PARIWISATA TERHADAP NILAI TANAH DI KABUPATEN BADUNG, BALI

A. Latar Belakang

Kabupaten Badung yang memanjang dari utara Seminyak sampai selatan Uluwatu adalah tempat berkumpulnya mayoritas wisatawan yang datang ke Bali. Di kabupaten ini banyak terdapat objek wisata yang lebih berkembang dibanding daerah lainnya, seperti Pantai Kuta, Sanur, Legian, Seminyak, Jimbaran, Nusa Dua, Tanjung Benoa, dan Garuda Wisnu Kencana (GWK).

Canadian Environmental Assessment Review (CEAR, 2012) menyebutkan bahwa perkembangan industri pariwisata dapat memengaruhi beberapa aspek (Dayanto, 2014). Aspek yang pertama adalah peningkatan infrastruktur dan kemudahan akses. Utama (2017) menjelaskan dengan berkembangnya sektor pariwisata dapat mendorong pemerintah lokal untuk menyediakan infrastruktur seperti jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, sarana transportasi, dan fasilitas pendukung yang lebih baik dalam meningkatkan kualitas hidup baik wisatawan dan juga masyarakat lokal. Tujuan dari peningkatan infrastruktur adalah kemudahan akses dari dan menuju kawasan pariwisata tersebut. Dampaknya adalah nilai tanah di sekitar kawasan tersebut akan meningkat, karena kebutuhan dalam pembangunan infrastruktur yang semakin tinggi. Jarak terhadap kawasan pariwisata juga akan mempengaruhi nilai tanah, semakin dekat jarak tanah ke kawasan pariwisata maka nilainya relatif lebih tinggi dari tanah yang memiliki jarak lebih jauh.

Aspek kedua yang dipengaruhi perkembangan industri pariwisata adalah ekonomi. Pengeluaran pada sektor pariwisata akan berdampak pada perekonomian masyarakat di sekitarnya dan menjadi stimulus dalam berinvestasi. Kegiatan ekonomi pada kawasan pariwisata akan meningkat dan berdampak pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Pengaruh ketiga adalah pada peningkatan fasilitas. Seiring perkembangan kawasan pariwisata maka akan mendorong perkembangan fasilitas pendukung seperti hotel dan restoran. Peningkatan fasilitas di kawasan pariwisata yang semakin baik akan meningkatkan produktivitas lahan di kawasan tersebut dan sekitarnya. Peningkatan produktivitas lahan pada akhirnya akan meningkatkan nilai tanah di kawasan tersebut.

Von Thunen (1826) memaparkan ide mengenai spesialisasi penggunaan lahan berdasarkan berbagai kegiatan usaha dengan melihat jaraknya dari pusat kota (Adisasmita, 2014). Lokasi lahan dapat mempengaruhi harga lahan, yaitu ada korelasi negatif antara nilai lahan dan jaraknya ke kawasan pusat bisnis (Central Bussines

Page 152: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 141

District). Namun Alonso (1964) berpendapat bahwa dalam model monosentris, pengaruh kawasan CBD akan berkurang seiring dengan meningkatnya teknologi. Teknologi dalam model Alonso adalah transportasi dan akses mudah menuju pusat kota atau CBD. Model sektor yang dikemukakan oleh Homer Hoyt (1939) turut mendukung hal tersebut, asumsi utama model ini adalah tingkat akses yang lebih tinggi berarti nilai lahan yang lebih tinggi. Model sektor ini didasarkan pada dua elemen, yaitu akses yang mudah akan merangsang orang untuk tinggal jauh dari CBD dan mereka dapat dengan mudah datang dan pergi ke CBD.

Kabupaten Badung sebagai pusat kegiatan wisata di Pulau Bali memiliki beberapa pusat kawasan pariwisata yaitu Kuta, Tuban, dan Nusa Dua (wilayah Badung Selatan) yang diciptakan sebagai pusat kegiatan industri pariwisata atau CBD. Terpusatnya kegiatan pariwisata hanya di wilayah Badung Selatan berkontribusi besar pada tingginya nilai tanah di wilayah tersebut. Terdapat perbedaan nilai tanah di seluruh wilayah Kabupaten Badung, dimana nilai tanah di dalam atau dekat kawasan pariwisata jauh lebih tinggi dibanding wilayah lainnya.

Industri pariwisata di wilayah Badung Selatan sangat mempengaruhi perkembangan struktur kota. Tingginya kebutuhan pembangunan sarana penunjang industri pariwisata baik oleh sektor swasta maupun pemerintah menyebabkan permintaan akan tanah di wilayah tersebut sangat tinggi. Dengan permintaan yang sangat tinggi, nilai dan harga tanah di wilayah tersebut akan semakin tinggi.

Pembangunan dalam bidang kepariwisataan seharusnya dapat menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan masyarakat di daerah ini. Namun bila pertumbuhannya mengabaikan keseimbangan antarwilayah dan sektor ekonomi maka justru akan mengakibatkan ketimpangan bagi kesejahteraan masyarakat. Masih terpusatnya kegiatan pariwisata di wilayah Badung Selatan menyebabkan pemanfaatan potensi wisata di wilayah lain tidak merata.

Pembebasan lahan merupakan salah satu kendala dalam pembangunan terutama mengenai kesepakatan harga dari tanah tersebut. Dalam ilmu ekonomi, harga memiliki fungsi sebagai kadar pertukaran (ratio of exchange) atau sebagai sejumlah uang yang dibayar dalam suatu transaksi untuk mendapatkan suatu benda/produk tertentu. Pada umumnya, harga suatu barang dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawarannya. Namun khusus untuk tanah, harga lebih banyak dipengaruhi oleh permintaan karena adanya kesulitan dalam menambah penawaran mengingat karakteristik unik yang melekat pada tanah yaitu jumlahnya yang tidak bisa berubah.

Page 153: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

142 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pada latar belakang telah diuraian bahwa industri pariwisata di Kabupaten Badung dapat menjadi industri yang menunjang pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Industri ini memiliki potensi yang sangat besar tidak hanya saat ini, namun juga di masa datang. Tumbuhnya industri pariwisata mempengaruhi nilai tanah baik di kawasan pariwisata maupun di sekitarnya. Nilai tanah di kawasan pariwisata menjadi sangat tinggi, sedangkan pada wilayah yang bukan kawasan pariwisata harga tanahnya relatif rendah. Terdapat perbedaan yang besar antara nilai tanah yang berada di kawasan pariwisata dengan tanah yang bukan di kawasan pariwisata. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat di susun adalah:

1. Bagaimana pengaruh jarak dari kawasan pariwisata terhadap nilai tanah?

2. Bagaimana pengaruh infrastruktur/aksesibilitas terhadap nilai tanah?

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan menggunakan metode penelitian kuantitatif yang didukung dengan data sekunder dan primer. Data Primer yang digunakan adalah peta GIS untuk mengukur jarak dari satu tempat ke tempat lain dan untuk mengamati kondisi infrastruktur pada sampel. Pengambilan data primer dilakukan dengan pengamatan langsung di lapangan untuk memberikan suatu gambaran umum tentang kondisi jalan sebagai aksesibilitas di wilayah Badung. Data sekunder yang digunakan untuk mencari nilai tanah diambil dari

Zona Nilai Tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Badung.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pola Penggunaan Lahan di Kabupaten Badung

Pada tahun 2016 luas lahan di Kabupaten Badung menurut penggunaannya terbagi atas lahan bukan sawah sebanyak 43%, lahan bukan pertanian sebesar 33%, dan lahan sawah 24% (Bappeda Kabupaten Badung, 2017). Lokasi kegiatan perdagangan dan jasa yang paling berkembang adalah di daerah kawasan pariwisata. Sebaran perwilayahan kawasan pariwisata di Kabupaten Badung terpusat di daerah Nusa Dua, Kuta, dan Tuban. Pusat kawasan pariwisata tersebut menjadi magnet bagi kegiatan usaha terutama yang bergerak di sektor industri kreatif dan sektor usaha pendukung kegiatan pariwisata. Berkembangnya berbagai kegiatan usaha mengakibatkan berubahnya penggunaan lahan terutama di kawasan pariwisata.

Page 154: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 143

Penggunaan lahan di Kecamatan Mengwi, Abiansemal, dan Petang didominasi sebagai lahan pertanian. Pada kawasan pariwisata, yaitu Kuta Utara, Kuta, dan Kuta Selatan penggunaan lahan lebih banyak digunakan sebagai lahan nonpertanian. Kegiatan pariwisata yang terpusat pada wilayah Badung Selatan memperlihatkan pola penggunaan lahan yang tidak merata pada tiap kecamatan di Kabupaten Badung.

2. Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah di Kabupaten Badung

Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah 2013−2033, penataan tata ruang wilayah kabupaten bertujuan untuk mewujudkan Kabupaten Badung sebagai pusat kegiatan nasional dan destinasi pariwisata internasional yang berkualitas, berdaya saing, dan berjati diri budaya Bali melalui sinergi pengembangan wilayah Badung Utara, Badung Tengah, dan Badung Selatan secara berkelanjutan berbasis kegiatan pertanian, jasa, dan kepariwisataan menuju kesejahteraan masyarakat sebagai implementasi dari falsafah Tri Hita Karana.

Kebijakan penataan ruang terbagi dalam beberapa wilayah, yaitu pengembangan wilayah Badung Utara dengan fungsi utama konservasi dan pertanian terintegrasi, pengembangan wilayah Badung Tengah dengan fungsi utama pertanian berkelanjutan dan ibu kota kabupaten serta pusat pelayanan umum skala regional, pengembangan wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama kepariwisataan. Wilayah Badung Selatan yang memiliki fungsi utama kepariwisataan, meliputi beberapa kawasan pariwisata, yaitu:

a. Kawasan Pariwisata Nusa Dua, meliputi sebagian dari wilayah Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, Kelurahan Jimbaran, Desa Ungasan, Desa Pecatu, dan Desa Kutuh di Kecamatan Kuta Selatan;

b. Kawasan Pariwisata Tuban, meliputi sebagian dari Kelurahan Tuban dan Kelurahan Kedonganan di Kecamatan Kuta; dan

c. Kawasan Pariwisata Kuta, meliputi:

• sebagian wilayah Kelurahan Kuta, Kelurahan Legian, Kelurahan Seminyak di Kecamatan Kuta;

• sebagian Wilayah Kelurahan Kerobokan Kelod, Kelurahan Kerobokan, Desa Canggu, Desa Tibubeneng di Kecamatan Kuta Utara; dan

• sebagian Wilayah Desa Pererenan, Desa Munggu, dan Desa Cemagi di

Kecamatan Mengwi.

Page 155: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

144 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Analisis Deskriptif Data Penelitian

Penelitian ini mencoba mengamati hubungan antara nilai tanah sebagai variabel utama dengan jarak dari kawasan pariwisata. Jumlah sample bidang tanah yang menjadi objek pengamatan adalah 245 bidang tanah yang tersebar pada 6 Kecamatan. Jumlah sampel bidang tanah tidak sama pada setiap kecamatan, pemilihan jumlah sampel pada tiap kecamatan berdasarkan pada karakteristik Zona Nilai Tanah tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Badung. Kawasan pariwisata sebagai variabel utama terdiri dari 3 lokasi, yaitu kawasan pariwisata Kuta, kawasan pariwisata Tuban, dan kawasan pariwisata Nusa Dua. Penentuan dummy kawasan pariwisata dan dummy kelas jalan didasarkan pada peta infrastruktur Kabupaten Badung tahun 2013. Kepadatan penduduk diperoleh dari data Kabupaten Badung Dalam Angka tahun 2016.

Jumlah pengamatan adalah 245 sampel. Rata-rata harga tanah adalah Rp3.897.701,00/m2, yang kisaran harganya berada diantara Rp124.393,00 sampai dengan Rp25.415.152,00. Harga tertinggi pada sampel terletak di Kecamatan Kuta dan berada di dalam kawasan pariwisata Kuta. Harga terendah dalam sampel terletak di kecamatan Petang, namun bukan bidang tanah dengan jarak terjauh dari kawasan pariwisata.

4. Analisis Empiris

Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara jarak dari kawasan pariwisata dengan nilai tanah di Kabupaten Badung, serta faktor lain yang dapat memmengaruhi nilai tanah di suatu wilayah tertentu. Dalam model digunakan nilai tanah sebagai variabel dependen sebagai fungsi dari beberapa variabel independen, yaitu jarak dari kawasan Kuta, dummy berada di kawasan Kuta, jarak dari kawasan Tuban, dummy berada di Kawasan Tuban, jarak dari kawasan Nusa Dua, dummy berada di kawasan Nusa Dua, dummy kelas jalan, jarak dari Bandara Ngurah Rai, serta kepadatan penduduk pada tiap Kecamatan.

Secara teoritis, jarak CBD memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap harga tanah. Artinya bahwa peningkatan jarak dari CBD ke lokasi lahan akan mengurangi harga lahan, atau dapat dikatakan harga lahan memiliki tren yang menurun seiring dengan meningkatnya jarak lahan dari CBD. Sesuai dengan teori, model ekonometri yang digunakan diharapkan dapat memberikan hasil yang sama sesuai dengan hipotesis yaitu bahwa nilai tanah memiliki hubungan negatif dengan jarak.

Page 156: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 145

Variabel jarak Nusa Dua menunjukkan hubungan yang sama, yaitu bertanda negatif dan signifikan dengan nilai 0,231. Setiap kenaikan jarak sebesar 1% dari kawasan pariwisata Nusa Dua akan menurunkan nilai lahan sebesar 0,23%. Semakin jauh lokasi lahan dari kawasan pariwisata Nusa Dua maka nilainya akan semakin kecil. Variabel dummy Nusa Dua menunjukkan tanda negatif dengan nilai 0,667, berbeda dengan dummy Kuta yang menunjukkan tanda positif. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan nilai lahan yang berada di kawasan wisata Nusa Dua dengan lahan yang berada di luar kawasan pariwisata Nusa Dua (1=berada di luar kawasan pariwisata Nusa Dua) meski dengan jarak yang sama. Lahan yang berada di kawasan wisata Nusa Dua akan memiliki nilai yang lebih besar sebanyak 0,677 daripada lahan yang berada di luar kawasan pariwisata Nusa Dua.

Hasil hubungan antara jarak dan harga dalam penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Dowal dan Leaf (1991) mengamati hubungan harga dengan jarak CBD pada periode 1987−1989. Dalam penelitian ini, variabel harga tanah berasal dari penilaian perantara jual beli tanah. Meski menggunakan metode perhitungan harga yang berbeda, hasil pengujian hubungan harga dengan jarak menunjukkan koefisien negatif dan signifikan yaitu - 0,181 pada tahun 1987, -0,174 pada 1988, dan -0,168 pada tahun 1989.

Penelitian lain dilakukan oleh Han dan Basuki (2001) yang mengamati hubungan antara harga dengan jarak CBD di Jakarta pada periode 1996 sampai 1997. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah sumber data harga tanah berasal dari Kantor Pajak Provinsi Jakarta. Hasil dari penelitian ini menunjukkan tanda negatif dan signifikan dengan koefisien -0,054. Penelitian yang dilakukan Dowal dan Leaf pada tahun 1991 serta Han dan Basuki pada tahun 2001 menghasilkan nilai koefisien yang berbeda meski sama-sama mengambil objek di wilayah Jakarta. Han dan Basuki (2001) berargumen bahwa penurunan koefisien disebabkan karena pertumbuhan dan perubahan struktur yang pesat pada subarea Jakarta. Argumen lainnya adalah bahwa kedua penelitian tersebut menggunakan sumber data, model, dan teknik analisis yang berbeda.

Selanjutnya, Lewis (2007) juga mengamati hubungan antara harga dan jarak CBD di Jakarta pada periode 1997. Data yang digunakan adalah harga tanah dari kantor pajak. Meski metode yang digunakan berbeda, yaitu dengan logaritma, namun hasil pengujiannya menunjukkan nilai yang hampir sama dengan penelitian Han dan Basuki (2001). Jarak menunjukkan tanda negatif dan signifikan dengan koefisien -0,054.

Page 157: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

146 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Apabila dilakukan perbandingan antara penelitian yang dilakukan di Jakarta dengan penelitian ini, hasilnya tidak berbeda. Jarak sebagai variabel dependen memiliki fungsi negatif terhadap nilai tanah, apabila jarak semakin besar maka nilai tanah semakin kecil. Nilai koefisien untuk wilayah Jakarta sebesar -0,054 jauh lebih kecil dari wilayah Kabupaten Badung, yaitu -1,057 untuk jarak kawasan pariwisata Kuta dan -0,23 untuk jarak kawasan pariwisata Nusa Dua. Kemungkinan penyebab perbedaan ini adalah bahwa pembangunan infrastruktur di Jakarta jauh lebih baik dan tersebar di seluruh wilayah.

Kelas jalan sebagai variabel dummy menunjukkan tanda negatif dengan nilai 0,716 dan secara statistik signifikan memmengaruhi nilai lahan. Hal ini menunjukkan bahwa meski memiliki jarak yang sama, lahan dengan akses kelas jalan lokal (1=jalan lokal) memiliki nilai yang lebih kecil daripada lahan dengan akses kelas jalan nonlokal. Dengan kata lain, tanah yang berada pada sisi jalan nonlokal nilainya akan bertambah sebesar 0,716. Hal ini terjadi karena jalan nonlokal, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten akan membuat tanah di sekitarnya memiliki lokasi yang strategis dan aksesibilitas yang tinggi dibanding lahan yang berada di jalan lokal.

Kepadatan penduduk sebagai variabel makro menunjukkan tanda positif dan signifikan mempengaruhi nilai tanah. Semakin padat penduduk di suatu wilayah akan meningkatkan nilai tanah di kawasan tersebut. Satuan yang digunakan pada data kepadatan penduduk adalah ribu orang per kilometer persegi di suatu Kecamatan. Apabila jumlah penduduk meningkat sebanyak 1% maka akan meningkatkan nilai tanah sebesar 0,251%.

Salah satu tujuan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Badung adalah mewujudkan Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata internasional yang berkualitas, berdaya saing dan berjatidiri budaya Bali. Pengembangan wilayah Badung Selatan memiliki fungsi utama sebagai kawasan peruntukan pariwisata. Kawasan pariwisata ini terdiri dari Kawasan pariwisata Kuta, kawasan pariwisata Tuban, dan kawasan pariwisata Nusa Dua yang sekaligus merupakan bagian dari kawasan strategis provinsi yang terdapat di wilayah kabupaten dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi.

Kegiatan pariwisata yang terdapat pada 3 (tiga) kawasan pariwisata tersebut memiliki kontribusi cukup besar terhadap perekonomian Kabupaten Badung. Dengan berkembangnya kawasan pariwisata akan mendorong peningkatan fasilitas pendukung kegiatan pariwisata. Sektor penyediaan akomodasi dan makan minum sebagai fasilitas penunjang kegiatan pariwisata selalu menjadi penyumbang

Page 158: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 147

terbesar pada PDRB Kabupaten Badung dari tahun ke tahun. Pada tahun 2010 sektor ini menyumbang 25,4% dari total PDRB, lalu sebesar 25,34% di tahun 2011, dan mengalami peningkatan pada 2012 menjadi 25,46%, kemudian menjadi 25,84 di tahun 2013, 25,98% pada 2014, dan 26,18% pada 2015 (BPS Kabupaten Badung, 2017).

Meningkatnya kontribusi lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum menunjukkan tingginya produktivitas lahan di kawasan tersebut dan sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan nilai lahan di kawasan pariwisata menjadi sangat tinggi dan memengaruhi nilai lahan yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan pada hasil pengujian model 3 yang memiliki nilai R-squared 0,8973. Artinya bahwa variabel-variabel pada model 3 menggambarkan 89% pergerakan dari nilai lahan.

Variabel dummy Nusa Dua menunjukkan tanda negatif dengan nilai koefisien 0,667, berbeda dengan dummy Kuta yang menunjukkan tanda positif dengan nilai koefisien 0,379. Perbedaan hubungan ini dapat disebabkan karena perbedaan konsep pengembangan pariwisata di dua lokasi tersebut. Pemerintah daerah Kabupaten Bali melalui Peraturan Daerah Nomor 26 Tahun 2013 mengatur tentang zonasi kawasan pariwisata, yaitu Pasal 83 yang berbunyi:

a. Pengembangan kawasan pariwisata Nusa Dua khususnya pada Kawasan Bali Tourism Development Cooperation (BTDC) di Kelurahan Benoa diarahkan sebagai kawasan pariwisata tertutup (enclave) dan pada kawasan di sekitarnya diarahkan sebagai kawasan pariwisata terbuka (open).

b. Kawasan pariwisata Tuban diarahkan untuk pengembangan akomodasi wisata dan fasilitas penunjang kepariwisataan standar internasional, yang diarahkan dengan konsep pariwisata terbuka.

c. Kawasan pariwisata Kuta diarahkan untuk pengembangan akomodasi wisata dan fasilitas penunjang kepariwisataan standar internasional, yang diarahkan dengan konsep pariwisata terbuka.

Perbedaan konsep kawasan pariwisata berpengaruh pada variabel dummy bidang tanah yang berada di kawasan pariwisata. Variabel dummy berada di kawasan pariwisata Nusa Dua dengan konsep pariwisata tertutup menunjukkan tanda negatif. Pada dummy kawasan pariwisata Kuta dengan konsep pariwisata terbuka, menunjukkan tanda positif. Variabel dummy kawasan pariwisata Tuban yang juga berkonsep pariwisata terbuka meskipun nilainya tidak signifikan namun menunjukkan tanda positif.

Page 159: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

148 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Pemerintah Daerah Kabupaten Badung menerapkan strategi pengembangan wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama kepariwisataan yang terbagi dalam 3 (tiga) lokasi, yaitu kawasan pariwisata Kuta, kawasan pariwisata Tuban, dan kawasan pariwisata Nusa Dua. Konsekuensi dari terpusatnya pengembangan pariwisata di tiga lokasi ini adalah pengoptimalan pemanfaatan tata ruang yang didukung penyediaan infrastruktur memadai. Penelitian ini mencoba melihat hubungan antara nilai tanah dengan jarak ke kawasan pariwisata. Tujuan lainnya adalah mencari faktor lain yang dapat mempengaruhi nilai tanah di Kabupaten Badung.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara nilai lahan dan jarak dari kawasan pariwisata adalah negatif. Untuk kawasan pariwisata Kuta koefisiennya adalah -1,057 dan untuk kawasan pariwisata Nusa Dua koefisiennya adalah -0,23, sedangkan untuk kawasan pariwisata Tuban menunjukkan nilai yang tidak signifikan dan terdapat multikolinearitas. Dapat diartikan bahwa semakin jauh jarak sebuah bidang tanah dari kawasan pariwisata maka nilainya semakin kecil.

Variabel kelas jalan menujukkan hasil negatif dan signifikan, artinya bahwa kelas jalan dapat mempengaruhi nilai tanah. Lahan yang berada di sisi jalan dengan kelas jalan nonlokal memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding lahan yang berada di sisi jalan lokal. Hal ini karena dengan kelas yang lebih tinggi, yaitu jalan nasional, jalan provinsi, dan jalan kabupaten maka lahan tersebut memiliki aksesibilitas dan lokasi yang strategis.

E. Saran Kebijakan

Pemerintah Daerah Kota Badung dapat melakukan perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung Tahun 2013−2033. Perubahan tersebut meliputi strategi pengembangan wilayah Badung Utara dan Badung Selatan yang tidak hanya memiliki fungsi utama sebagai daerah pertanian, namun juga sebagai kawasan pariwisata. Strategi ini bertujuan agar tiap wilayah dapat berkembang dengan karakteristik potensi masing-masing dan mengurangi pengaruh kawasan pariwisata yang merupakan pusat pembangunan dan aktivitas ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan pengaruh kawasan pariwisata sebagai pusat aktivitas ekonomi masih lebih kuat daripada pola pengembangan wilayah lainnya. Industri pariwisata di Kabupaten Badung terbukti memiliki pengaruh yang besar terhadap nilai tanah. Nilai bidang tanah semakin tinggi apabila mendekati lokasi dengan fungsi utama kepariwisataan.

Page 160: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 149

Alternatif potensial yang dapat dilakukan pemerintah daerah adalah mengembangkan pariwisata ke wilayah Badung Utara dan Badung Tengah dalam bentuk agrowisata. Kedua wilayah tersebut tetap memiliki fungsi utama konservasi dan pertanian sekaligus menjadi objek wisata pertanian. Agrowisata merupakan perpaduan antara kegiatan pertanian dengan kegiatan wisata dengan memanfaatkan kegiatan pertanian sebagai daya tarik objek wisata. Wisatawan dapat melihat proses pembibitan, penanaman, dan panen bahkan ikut serta dalam proses kegiatan tersebut.

Agrowisata bukanlah hal baru di Provinsi Bali, sebuah Desa Wisata Catur Kintamani yang terletak di Kabupaten Bangli telah memiliki konsep agrowisata yang didukung potensi alam di kawasannya. Selain menawarkan hasil pertanian dan perkebunan, wisatawan juga disuguhkan pemandangan aktivitas para petani bahkan dapat belajar bagaimana pembibitan hingga pengolahan perkebunan kopi dan jeruk. Ketika musim panen, wisatawan dapat melakukan kegiatan panen jeruk dan kopi.

Pengembangan kegiatan agrowisata harus direncanakan dan dikembangkan dengan baik sehingga dapat mendorong peningkatan infrastruktur, ekonomi, serta fasilitas lainnya. Dalam konsep agrowisata, rakyat atau penduduk setempat menjadi pelaku utama dalam kegiatan pariwisata tersebut. Hal ini dapat meningkatkan produktivitas lahan di wilayah Badung Utara dan Badung Tengah.

Page 161: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

150 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 162: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

LITERASI KEUANGAN DAN DIGITAL APARATUR DESA DI KABUPATEN ACEH TAMIANG TERKAIT GERAKAN NASIONAL NONTUNAI DALAM RANGKA KEUANGAN INKLUSIF

TAMIANG REGENCY RELATED TO CASHLESS NATIONAL PROGRAM IN FRAMEWORK THE FINANCIAL INCLUSIVE

Nama : Fitriansyah

Instansi : Pemkab Aceh Tamiang

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 163: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

152 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kabupaten Aceh Tamiang bertipikal kawasan perdesaan, mengacu pada 213 jumlah desa tanpa satu pun entitas desa berstatus kelurahan. Rasio daerah tertinggal dan penduduk miskin yang relatif tinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di Provinsi Aceh serta beberapa kasus penyimpangan dana desa yang terungkap, cukup menjadi alasan untuk segera menginisiasi Project Desa Digital di kabupaten ini. Proyek tersebut, memanfaatkan potensi elektronikfikasi/digitalisasi pembayaran yang dapat diaplikasikan dalam tata kelola dana desa dan memfasilitasi akses layanan keuangan formal pada desa tertinggal yang diharapkan dapat menjadi solusi persoalan penyimpangan dana desa dan inklusivitas keuangan pada desa tertinggal. Setiap program yang berjalan hampir pasti memerlukan sinergitas seluruh unsur yang terlibat guna mendapatkan hasil yang maksimal. Terkait implementasi program di desanya, aparatur desa dituntut memiliki level pemikiran sinergis dan kesamaan persepsi dengan seluruh unsur yang terlibat terkait program, hal yang lebih mudah dicapai jika disertai kemampuan literasi optimal terhadap keuangan, digital, dan kemampuan kognitif dan nonkognitif lainnya terkait program secara esensial. Penelitian terhadap literasi dimaksud pada 60 aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang menggunakan metode survei. Instrumen atau alat ukur yang digunakan, mengadopsi materi survei lapangan/penelitian pendahuluan LPEM FEB UI terkait perkembangan inklusi keuangan (akses, penggunaan, dan kualitas) melalui Program Layanan Keuangan Digital dan Lakupandai di Aceh dan NTB - Desember 2016 dan Januari 2017, instrumen atau alat ukur literasi keuangan dan keuangan inklusif oleh OECD/IENF – 2015, financial inclusion index oleh World Bank – 2014 dan a global measure of digital and ICT literacy skills oleh UNESCO – 2016 yang dimodifikasi berdasarkan pertimbangan spesifikasi dan relevansi konteks penelitian. Hasil penelitian menemukan, (1) 53,34% responden memiliki kemampuan literasi yang kurang atau buruk, sementara secara rata-rata nilai literasi responden berada pada kategori kurang; (2) buruknya nilai rata-rata komponen literasi keuangan digital/nontunai aparatur desa menjadi penyebab nilai rata-rata literasi aparatur desa berada pada kategori kurang, meski komponen literasi keuangan dan komponen literasi digital bernilai rata-rata cukup; (3) dari 5 (lima) variabel independen penelitian, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa tugas/kerja, dan aksesibilitas, hanya faktor usia, tingkat pendidikan dan aksesibilitas yang memiliki pengaruh signifikan terhadap literasi aparatur desa.

Kata kunci: literasi, keuangan, digital, nontunai, keuangan inklusif, aparatur desa

Page 164: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 153

ABSTRACT

The district of Aceh Tamiang is rural-typical, spinning in 213 villages without a single village resident. The ratio of disadvantaged areas and the relatively poor population of other districts/municipalities in Aceh Province and some cases of village fund irregularities revealed, is reason enough to immediately initiate Digital Village Projects in this district. The project, taking advantage of electronic payment potential/digitization that can be applied in financial governance and access to finance services in underdeveloped villages that may be applicable. Every program that runs almost certainly affects all that is used to achieve maximum results. Regarding the program of organizers in their village, the village apparatus is required to have the same level as the related program, which is easier to do if the optimal literacy capability on financial, digital and other programs. Research on information literacy at 60 village apparatus in Aceh Tamiang using survey method. The tools and measuring tools used, LPEM FEB UI’s ongoing survey materials relating to the development of financial inclusion (access, use and quality) through the Digital and Lakupandai Financial Services Program in Aceh and NTB - December 2016 and January 2017, instruments or measuring instruments financial and financial literacy inclusive by OECD / IENF - 2015, World Bank-2014 financial inclusion index and global measurement of digital literacy and ICT skills by UNESCO-2016 which addresses the issues and relevance of the research context. The results of the study found: (1) 53,34% of respondents had less or less literacy ability, meanwhile, on average, the literacy value of respondents was in the less category; (2) The poor value of the average digital/nonbank financial literacy component of the village apparatus is the cause of the average literacy of rural average in the category of less, although the financial literacy component and the ordinary digital literacy component are on average enough; (3) From 5 (five) independent research variables, e.g. time, gender, education level, years of service and accessibility, only population, education level and accessibility have significant influence on village apparatus literacy.

Keyword: literacy, finance, digital, cashless, financial inclusion, the village apparatus

Page 165: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

154 Direktori Mini Tesis-Disertasi

LITERASI KEUANGAN DAN DIGITAL APARATUR DESADI KABUPATEN ACEH TAMIANG TERKAIT GERAKAN NASIONAL NONTUNAI DALAM RANGKA KEUANGAN

INKLUSIF

A. Latar Belakang

Pidato Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara, saat membuka seminar bertajuk “Peranan Ekonomi Digital dalam Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional” sebagaimana dilansir pada laman website Bank Indonesia, menyatakan “Salah satu langkah Bank Indonesia untuk mendorong inklusi keuangan adalah mengintegrasikan ekosistem nontunai dalam program dan layanan pemerintah guna meningkatkan efisiensi penyaluran bantuan sosial kepada masyarakat”. Harapan yang ingin dicapai adalah dengan terbiasa menggunakan layanan nontunai, masyarakat dan aparatur desa akan semakin merasakan efisiensi bertransaksi dan tercapainya peningkatan keuangan inklusif (Bank Indonesia, 2016a).

Langkah penting Bank Indonesia lainnya terkait implementasi GNNT dalam rangka inklusifitas keuangan dalam lingkup kawasan perdesaan adalah inisiasi pilot project Desa Digital. Proyek ini diharapkan dapat mendukung pemanfaatan dana desa secara optimal dengan memanfaatkan potensi elektronikfikasi pembayaran baik yang dilakukan dalam proses penyaluran maupun pemanfaatan dana desa, memfasilitasi akses desa dan daerah tertinggal kepada layanan keuangan. Dalam laman berita website resmi Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (20/4/2016), lebih lanjut disebutkan bahwa model bisnis pilot project Desa Digital ini bagi aparatur desa akan memberikan kemudahan dan kenyamanan dari sisi biaya dan waktu, serta meningkatkan keamanan dan transparansi proses penarikan dana desa melalui otentifikasi penarikan dana berjenjang dan jejak transaksi yang dapat terekam, sementara itu bagi masyarakat desa, akan membuka peluang untuk terhubung dengan layanan keuangan dalam memenuhi kebutuhan transaksi masyarakat sehari - hari (Bank Indonesia, 2016a).

Menurut Covey (2004), suatu kegiatan pembangunan memerlukan sinergitas atau keterpaduan berbagai komponen/unsur yang terlibat untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Lebih lanjut menurutnya, sinergitas akan mudah tercapai bila komponen/unsur dimaksud mampu berpikir sinergi, memiliki kesamaan persepsi dan saling menghargai. Aparatur desa dan Bank Indonesia sebagai komponen/unsur yang terlibat dalam implementasi GNNT dalam rangka keuangan inklusif di desa tentunya diharapkan dapat berpikir sinergi dan memiliki kesamaan persepsi secara konseptual terkait program serta saling menghargai peran masing-masing sesuai lingkup pelaksanaan

Page 166: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 155

kegiatan. Untuk mencapai level pemikiran sinergi, kesamaan persepsi dan mengemban perannya secara ideal, aparatur desa diharapkan memiliki literasi keuangan, digital, layanan keuangan digital/nontunai serta hal esensial lainnya terkait konteks persoalan secara optimal guna memberi daya dukung terhadap implementasi program dimaksud pada kawasan perdesaan.

Namun terdapat beberapa bukti empiris yang meragukan kinerja aparatur desa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Hasil penelitian Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah pada tahun 2008 menyampaikan bahwa pemerintahan desa menghadapi keterbatasan kapasitas manajemen administratif, yaitu kualitas dan kuantitas sumber daya manusia yang mempengaruhi produktivitas dan kreativitas (PPID LAN, 2008). Hasil survey Asrori, Balitbang Kemendagri (2014) di Kabupaten Kudus, menunjukkan keberadaan aparatur desa belum dapat berfungsi secara optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan gambaran potret aparatur desa dengan profesionalisme yang rendah, kurang kreatif dan kurang inovatif. Hasil penelitian lapangan di Desa Bongkudai Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur oleh Suangi (2014) juga menunjukkan belum berperannya aparatur desa dalam upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Terakhir penelitian Sari (2016) di Desa Bumi Agung Kabupaten Lampung Utara menyimpulkan persepsi masyarakat terhadap kinerja aparatur desa dalam meningkatkan pelayanan publik yang belum berjalan dengan baik.

Kabupaten Aceh Tamiang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor: 226/PMK.07/2017 tentang Perubahan Rincian Dana Desa Menurut Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2018 mendapat alokasi dana desa total ± Rp 150 milyar dengan alokasi afirmasi sebesar ± Rp 2,1 milyar. Berdasarkan rata-rata alokasi afirmasi terhadap jumlah total desa (213 desa), Kabupaten Aceh Tamiang berada pada peringkat tertinggi ke-7 dari total 22 kabupaten/kota di Aceh. Statistik tersebut mencerminkan masih tingginya rasio desa tertinggal dan desa sangat tertinggal dengan jumlah penduduk miskin (JPM) tinggi terhadap jumlah total desa di Kabupaten Aceh Tamiang. Bahkan jika dibandingkan dengan kabupaten/kota lain yang sama-sama mekar di Aceh pada tahun 2002, Kabupaten Aceh Tamiang berada pada urutan ke-2 dari 5 kabupaten/kota. Permasalahan lain terkait tata kelola dana desa di Kabupaten Aceh Tamiang adalah ditemukannya kasus penyimpangan penggunaan dana desa tahun 2016 oleh beberapa kepala desa sebagaimana disebutkan oleh salah seorang auditor Inspektorat Kabupaten Aceh Tamiang yang dilansir oleh Asrul (2017) pada laman berita Aceh Journal National Network, Senin (02/10/2017) yang mungkin disebabkan lemahnya sistem pengawasan tata kelola dana desa yang masih dilakukan secara konvensional.

Page 167: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

156 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kondisi kabupaten dengan tipe kawasan perdesaan yang tergambar oleh jumlah desa yang relatif banyak, tingginya rasio daerah tertinggal dengan penduduk miskin dan persoalan penyimpangan penggunaan dana desa menjadi perlu untuk mengamati proyeksi GNNT dalam rangka keuangan inklusif pada desa-desa di kabupaten ini. Lebih lanjut, representasi program dengan sasaran aparatur dan masyarakat desa seperti Project Desa Digital yang diperkirakan akan terinisiasi dalam beberapa tahun ke depan di kabupaten ini membuat penelitian atau studi mengenai literasi aparatur desa dalam esensinya sebagai daya dukung kelancaran dan keberhasilan implementasi program di kawasan perdesaan menjadi penting. Hasilnya nanti diharapkan dapat menjadi rekomendasi dalam strategi penyusunan/perencanaan kebijakan, baik secara khusus yang terkait langsung dengan GNNT dalam rangka keuangan inklusif maupun secara

umum yang tidak berkaitan langsung dengan program tersebut.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Komputer, ponsel, dan internet adalah produk perkembangan teknologi digital yang telah mengubah tren perilaku manusia. Teknologi digital yang aplikatif pada layanan nontunai atau keuangan digital dapat menjadi solusi permasalahan inklusifitas keuangan dalam pelayanan perbankan di Indonesia. Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) yang dicanangkan oleh Bank Indonesia adalah salah satu bentuk pemanfaatan potensi digital dalam layanan keuangan dan perbankan. Terkait sasaran implementasi program adalah kawasan perdesaan membuat peran aparatur desa menjadi peran strategis. Baik perannya sebagai pelaku langsung maupun selaku pemimpin, aparatur desa diharapkan memiliki kemampuan teknis atau literasi terhadap bidang persoalan. Harapan ini berada di tengah keraguan kualitas, kapasitas, profesionalitas, kreasi, inovasi, dan fungsi kepemimpinan sumber daya manusia aparatur desa dari beberapa hasil penelitian terhadap kinerja aparatur desa.

Kabupaten Aceh Tamiang adalah kabupaten dengan karakteristik dominan kawasan perdesaan yang implementasi GNNT dalam program-program melibatkan masyarakat dan aparatur desa seperti Desa Digital, Penyaluran Bansos Nontunai, Laku Pandai, dan lain sebagainya sedang dan akan dilakukan. Guna mendapatkan strategi perencanaan dan/atau evaluasi kebijakan yang tepat, baik yang terkait langsung maupun tidak, maka perlu untuk mengetahui:

1. Sejauh mana tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang;

2. Faktor-faktor yang memengaruhi tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang;

Page 168: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 157

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei. Strategi penelitian meliputi, (1) skoring atau penilaian literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka keuangan inklusif menggunakan metode penilaian yang dikontruksi mandiri berdasarkan mode of knowing berupa asumsi, konsep, atau proposisi logis yang efektif dengan mengedepankan kombinasi mode of thought dan mode of inquiry yang bersandar pada tinjauan teoretis dan empiris; (2) analisis determinan literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka keuangan inklusif. Untuk melihat kekuatan model dan tingkat pengaruh variabel yang signifikan menggunakan analisis regresi linear berganda berbasis ordinary least square.

Hipotesis yang ingin diuji dalam penelitian ini, antara lain:

Ha1 : Usia aparatur desa berpengaruh terhadap kemampuan atau tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait GNNT dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang.

Hb1: Jenis kelamin aparatur desa berpengaruh terhadap kemampuan atau tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait GNNT dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang.

Hc1: Tingkat pendidikan aparatur desa berpengaruh terhadap kemampuan atau tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait GNNT dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang.

Hd1: Masa tugas atau masa kerja aparatur desa berpengaruh terhadap kemampuan atau tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait GNNT dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang.

He1: Aksesibilitas keuangan dan digital pada masing-masing desa berpengaruh terhadap kemampuan atau tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa

terkait GNNT dalam rangka keuangan inklusif di Kabupaten Aceh Tamiang.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Literasi Keuangan dan Digital Aparatur Desa Terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam Rangka Keuangan Inklusif

Hasil pengamatan dan analisis terhadap jawaban kuesioner aparatur desa dengan konstruksi pertanyaan yang secara konseptual adalah merupakan representasi

Page 169: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

158 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dari upaya untuk mengetahui kemampuan literasi personal, mulai dari literasi tingkat dasar seperti skill berhitung secara numerik sampai dengan literasi yang harus dimiliki terkait substansi persoalan, yaitu suksesnya Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif. Skor literasi aparatur desa terkait GNNT dan Keuangan Inklusif yang secara rata-rata kurang, disebabkan oleh: (1) kurangnya minat dan upaya pengembangan diri aparatur desa terhadap keuangan dan perkembangannya; (2) kurang beradaptasi dengan perkembangan kemajuan teknologi digital khususnya aplikasi pada pekerjaan; (3) kurangnya kemampuan menggunakan teknologi digital sebagai instrumen nontunai dalam transaksi keuangan; (4) rendahnya kepedulian dan partisipasi aparatur desa terhadap Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif atau

dengan kata lain berada pada level buruk.

2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Literasi Keuangan dan Digital Aparatur Desa di Kabupaten Aceh Tamiang

Hipotesis awal dengan konteks memperlakukan aparatur desa sebagai individu secara general, menduga bahwa tingkat literasi keuangan dan digital aparatur desa dipengaruhi oleh, (1) usia/umur; (2) jenis kelamin; (3) tingkat pendidikan; (4) masa tugas/kerja; dan (5) aksesibilitas keuangan dan digital.

Namun berdasarkan analisis data dan hasil regresi, di mana konteks spesifikasi objek penelitian khusus pada aparatur desa di Kabupaten Aceh menyatakan bahwa jenis kelamin dan masa tugas/kerja bukan variabel/faktor yang signifikan mempengaruhi literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif, hal ini berarti menolak hipotesis Hb1 dan Hd1, yaitu: literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif dipengaruhi oleh jenis kelamin atau masa tugas/kerja.

Dominasi laki-laki pada struktur jabatan aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang berdasarkan tingkat kepentingan tergambar dari rasio jumlah responden laki-laki yang mencapai 91,67 % : 8,33 % atau 55 : 5. Responden perempuan terdistribusi pada jabatan kades 1 (satu) orang, sekdes 3 (tiga) orang, dan kaur 1 (satu) orang. Jika dikerucutkan hanya pada jabatan kades/pj.kades rasionya mencapai 97,3 % : 2,7 %. Prioritas objek penelitian adalah stakeholders tertinggi di tingkat pemerintahan desa maka jumlah responden perempuan menjadi sangat sedikit. Sedikitnya responden perempuan diduga menyebabkan tidak signifikannya variabel tersebut mempengaruhi variabel literasi secara signifikan. Hal ini dianggap relevan dan wajar berdasarkan uji formil, yaitu secara realita pun tidak mungkin menilai literasi keuangan dan digital aparatur desa dengan tingkat jabatan tertinggi

Page 170: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 159

di Kabupaten Aceh Tamiang secara general berdasarkan kelompok jenis kelamin mengingat jabatan tertinggi aparatur desa yang identik dengan laki-laki.

Tidak signifikannya variabel masa tugas/kerja sebagai faktor yang mempengaruhi literasi aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka keuangan inklusif mungkin disebabkan tidak paralelnya kemampuan literasi keuangan dan digital aparatur desa. Hal ini relevan dan wajar mengingat program-program pemerintah terkait keuangan, digital maupun kombinasi keduanya dengan porsi besar dan berkepentingan langsung dengan jabatan aparatur desa baru muncul pada beberapa tahun terakhir sehingga lamanya menjabat (red: beberapa aparatur desa telah bertugas selama 5−10 tahun) tidak

otomatis meningkatkan kemampuan literasi digital dan keuangannya.

3. Pengaruh Usia Terhadap Literasi Keuangan dan Digital Aparatur Desa di Kabupaten Aceh Tamiang

Hasil analisis regresi memperlihatkan variabel/prediktor usia memiliki koefisien regresi sebesar -0,298 dengan tingkat signifikansi 0,00. Tingkat signifikansi yang lebih kecil dari taraf signifikansi (α = 0,05) menunjukkan bahwa variabel usia berpengaruh terhadap literasi aparatur desa sehingga hipotesis Ha1, yaitu literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif dipengaruhi oleh usia diterima. Sedangkan tanda negatif (-) pada koefisien menyatakan aparatur desa dengan usia yang lebih muda memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang lebih baik dibandingkan aparatur desa yang lebih tua. Hal ini juga menunjukkan bahwa jika usia aparatur desa lebih tua 1 (satu) tahun maka nilai literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif berkurang 0,298 satuan dan sebaliknya dengan catatan variabel bebas lain (tingkat pendidikan & aksesibilitas) konstan/sama.

Variabel usia ditemukan tidak signifikan pada literasi bagian keuangan. Hal ini mungkin disebabkan kontradiksi kemampuan meng-adjust pengetahuan keuangan dan kondisi kemapanan secara keuangan yang meningkat seiring bertambahnyanusia. Sementara itu, faktor usia ditemukan signifikan mempengaruhi literasi bagian digital yang menyiratkan bahwa perbedaan usia berarti terdapat perbedaan kemampuan dalam menggunakan produk teknologi digital, Carrington dan Marsh (2005) mengklaim hal yang sama, mereka menyatakan bahwa perbedaan usia generasi menjadi faktor utama penyebab timbulnya perbedaan kemampuan ini. Penelitian lainnya oleh Charness, Schumann, & Boritz (1992); Czaja & Sharit (1999); Sharit, Czaja, Nair, & Lee, (2003) di Amerika Serikat juga mengindikasikan

Page 171: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

160 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bahwa orang-orang yang lebih tua biasanya memiliki lebih banyak kesulitan daripada orang muda dalam belajar menggunakan dan mengoperasikan teknologi terkini seperti komputer, internet, perekam kaset video, mesin teller otomatis, dan sistem menu telepon.

Lebih lanjut menurut (Pew Internet and American Life Project (2005), pada tahun 2003, hanya 25% dari orang Amerika yang berumur di atas 65 tahun terkoneksi secara online dengan internet dibandingkan dengan 56% yang berumur antara 30−49 tahun. Fakta ini dikuatkan oleh pernyataan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia, sebesar hampir setengah dari total jumlah pengguna internet di Indonesia adalah

berusia sekitar 18−25 tahun.

4. Pengaruh Tingkat Pendidikan terhadap Literasi Keuangan dan Digital Aparatur Desa di Kabupaten Aceh Tamiang

Hasil analisis regresi memperlihatkan variabel/prediktor tingkat pendidikan memiliki koefisien regresi sebesar 1,649 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,009. Tingkat signifikansi yang lebih kecil dari taraf signifikansi (α = 0,05) menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh terhadap literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang sehingga hipotesis Hc1, yaitu literasi keuangan dan digital aparatur desa terkait Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) dalam rangka Keuangan Inklusif dipengaruhi oleh tingkat pendidikan diterima. Sedangkan tanda positif (+) pada koefisien menyatakan aparatur desa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang lebih baik dibandingkan aparatur desa dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah, hal ini juga menunjukkan bahwa jika pendidikan aparatur desa setingkat lebih tinggi maka nilai literasi keuangan dan digital juga lebih baik sebesar 1,649 satuan dan sebaliknya dengan catatan variabel bebas lain konstan/sama.

Hasil penelitian ini memiliki kesamaan pandangan dengan Hargittai (2002), Gui (2007), van Deursen dan van Dijk (2009) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan individu adalah faktor penting yang mempengaruhi keterampilan digital. Lebih lanjut penelitian Chris Jones, dkk (2007) dan Gui (2007) menemukan bahwa ketika variabel usia konstan, tingkat pendidikan menunjukkan dampak yang relevan pada kemampuan untuk menyelesaikan tugas penelitian yang kompleks melalui website.

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Wachira & Kihiu (2012) yang menemukan hubungan positif antara tingkat pendidikan terhadap literasi keuangan, lebih lanjut dalam papernya menyatakan bahwa “Pendidikan berfungsi

Page 172: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 161

untuk mencerahkan orang di berbagai layanan keuangan yang tersedia sekaligus

menciptakan kesadaran tentang bagaimana mengelola keuangan yang baik”.

5. Pengaruh Aksesibilitas terhadap Literasi Keuangan dan Digital Aparatur Desa di Kabupaten Aceh Tamiang

Hasil analisis regresi memperlihatkan variabel/prediktor aksesibilitas memiliki koefisien regresi sebesar 1,133 dengan tingkat signifikansi 0,00. Tingkat signifikansi yang lebih kecil dari taraf signifikansi (α = 0,05) menunjukkan bahwa variabel tingkat pendidikan berpengaruh terhadap literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang sehingga hipotesis He1, yaitu literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang dipengaruhi oleh aksesibilitas diterima. Tanda positif (+) pada koefisien menyatakan aparatur desa dengan aksesibilitas yang lebih baik memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang tinggi dibandingkan aparatur desa dengan aksesibilitas yang lebih jelek. Hal ini juga menunjukkan bahwa jika aksesibilitas aparatur desa bertambah baik 1 (satu) satuan maka nilai literasi keuangan dan digital meningkat sebesar 1,133 satuan dan sebaliknya dengan catatan variabel bebas lain konstan/sama.

Temuan ini memiliki kesamaan pandangan secara teoritis dengan (Huang & Russell (2006) dan Sekretariat (2000). Perbedaan literasi digital disebabkan ketidaksetaraan pada berbagai tingkat komputasi dan akses internet di antara individu.

Peneliti mengkategorikan dua kelompok yang mudah mendapatkan informasi dan dan sulit mendapatkan informasi (Huang & Russell, 2006). Fenomena ini dianalogikan dengan komunitas yang berbeda, satu dengan daerah yang maju dan satu lagi pada daerah yang masih berkembang. Peneliti juga mengajukan berbagai alasan yang berada di balik perbedaan kemampuan digital di kalangan individu, salah satu aspek paling mendasar adalah kelompok populasi yang berbeda, misalnya, tersedianya komputer di rumah dan kemudahan akses internet (Attewell & Gates, 2012) dan (Korupp 2005).

Dalam konteks literasi keuangan, penelitian Wachira & Kihiu (2012) juga menemukan bahwa jarak pemisahan dari bank menimbulkan tantangan besar pada akses untuk layanan keuangan formal. Beck et al. (2007) mengungkapkan bahwa akses dan kemungkinan dalam menggunakan jasa keuangan di suatu daerah diukur dengan jumlah outlet/kantor cabang perbankan dan ATM yang ada di daerah tersebut, semakin tinggi intensitas outlet/kantor cabang bank dan ATM maka semakin tinggi pula kemungkinan dalam mengakses dan kesempatan dalam menggunakan jasa keuangan (Nasution, Sari & Dwilita, 2013, p. 60).

Page 173: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

162 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Penyertaan teknologi digital yang aplikatif pada layanan keuangan perbankan disinyalir akan mampu meningkatkan inklusifitas keuangan di Indonesia mengingat aplikasi instrumen digital oleh masyarakat yang begitu intens. Gerakan Nasional Nontunai (GNNT) yang digagas oleh Bank Indonesia dan dicanangkan sejak 14 Agustus 2014 dengan konsep elektronikfikasi atau digitalisasi model pembayaran/transaksi dan akses ke sistem keuangan formal melalui pemberdayaan instrumen digital menjadi salah satu program pendukung dalam upaya meningkatkan keuangan inklusif di Indonesia.

Terhadap kelompok sasaran GNNT dalam pelayanan publik adalah kawasan perdesaan, baik masyarakat maupun aparatur desa terkait program desa digital yang berkenaan dengan tata kelola dana desa membuat kehadiran pemerintah desa dalam hal ini aparatur desa menjadi penting. Aparatur desa diharapkan dapat mengoptimalkan: (1) kemampuan/skill dasar keuangan dan digital; 2) sikap dan perilaku positif terkait keuangan digital dan perkembangannya; serta (3) kemampuan, pengetahua,n dan sikap terkait program GNNT dalam rangka Keuangan Inklusif beserta instrumen-instrumennya sebagai cermin literasi aparatur desa sesuai konteks program dimaksud.

Hasil penelitian terhadap literasi aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terkait program dimaksud menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap-tiap indikator atau kategori penilaian. Terhadap skill menghitung secara numerik persoalan keuangan, sikap atau attitude keuangan terkait kepercayaan pada keuangan formal dalam hal kepemilikan akun bank dan sejenisnya, intensitas penggunaan layanan keuangan formal secara rata-rata sudah dapat dikatakan baik. Terhadap minat dan pengembangan diri, yaitu ketertarikan dan atensi terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi bidang keuangan perbankan, kemampuan menggunakan instrumen digital/elektronik/nontunai baik dalam pekerjaan maupun transaksi keuangan secara rata-rata masih kurang. Sementara sikap, pengetahuan, dan kemampuan terhadap penggunaan produk teknologi informasi dan komunikasi secara umum di luar bidang keuangan perbankan secara rata-rata dapat dikatakan cukup. Secara general terdapat lebih dari setengah atau tepatnya 53,34% responden memiliki nilai literasi dengan kriteria kurang sampai dengan buruk dan rata-rata kemampuan literasi aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terhadap konteks persoalan adalah kurang.

Hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat atau kemampuan literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terkait GNNT dalam rangka Keuangan Inklusif secara global menyatakan bahwa jenis kelamin dan masa tugas/kerja bukan variabel/faktor yang signifikan mempengaruhi variabel literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang. Tidak berpengaruhnya faktor jenis kelamin secara signifikan mungkin disebabkan dominasi laki-laki pada

Page 174: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 163

struktur jabatan aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang dalam konteks ini stakeholders tertinggi di tingkat pemerintahan desa dengan rasio yang direpresentasikan oleh jumlah responden yang mencapai 91,67% : 8,33%. Sementara masa tugas atau masa kerja menjadi tidak signifikan mungkin disebabkan program-program pemerintah terkait keuangan, digital, maupun kombinasi keduanya dengan porsi besar dan berkepentingan langsung dengan jabatan aparatur desa baru muncul pada beberapa tahun terakhir sehingga lamanya menjabat (red: beberapa aparatur desa telah bertugas selama 5−10 tahun) tidak otomatis meningkatkan kemampuan literasi digital dan keuangannya.

Usia adalah salah satu faktor yang mempengaruhi secara signifikan tingkat atau kemampuan literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terkait GNNT dalam rangka Keuangan Inklusif. Hasil penelitian menunjukkan usia aparatur desa yang lebih muda memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang lebih baik dibandingkan aparatur desa yang lebih tua, setiap variasi perubahan variabel usia sebanyak 1 (satu) tahun maka nilai literasi juga berubah sebanyak 0,298 dengan catatan variabel bebas lain konstan/sama. Hal ini menyiratkan bahwa faktor usia menyebabkan perbedaan pengetahuan, sikap, dan kemampuan terkait dalam layanan keuangan perbankan yang terintegrasi dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi atau digital.

Faktor tingkat pendidikan aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat atau kemampuan literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terkait GNNT dalam rangka Keuangan Inklusif. Hasil penelitian menyatakan aparatur desa dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang lebih baik, yaitu sebesar 1,649 satuan dibandingkan aparatur desa dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah dengan catatan variabel bebas lain konstan/sama. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendidikan berfungsi untuk mencerahkan serta meningkatkan kemampuan kognitif dan nonkognitif orang di berbagai layanan keuangan digital/elektronik/nontunai yang tersedia.

Faktor terakhir yang ditemukan dalam penelitian yang berpengaruh terhadap tingkat atau kemampuan literasi keuangan dan digital aparatur desa di Kabupaten Aceh Tamiang terkait GNNT dalam rangka Keuangan Inklusif adalah aksesibilitas terhadap layanan/fasilitas keuangan dan digital. Hasil penelitian menunjukkan, aparatur desa pada desa yang memiliki nilai aksesibilitas yang lebih tinggi memiliki nilai literasi keuangan dan digital yang lebih baik sebesar 1,133 satuan dengan catatan variabel bebas lain konstan/sama. Hal ini juga berarti bahwa kelancaran suatu program yang berorientasi pada upaya-upaya meningkatkan keuangan inklusif terlebih program tersebut memiliki integrasi yang cukup kuat dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi haruslah didukung dengan penguatan pada sisi aksesibilitasnya.

Page 175: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

164 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 176: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PENGARUH STATUS BEKERJA IBU TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH JABODETABEK

THE INFLUENCE OF MOTHER’S WORKING STATUS ON EXCLUSIVE BREASTFEEDINGIN JABODETABEK REGION

Nama : Hesti Astria Dewi

Instansi : Pemkab Cilacap

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 177: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

166 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh status bekerja ibu dan faktor-faktor lain terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek (Provinsi DKI Jakarta, Kab/Kota Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi). Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Susenas Tahun 2016 untuk wilayah Jabodetabek, dengan menggunakan regresi logistik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendidikan, status bekerja, dan paritas (jumlah anak) secara signifikan mempengaruhi kecenderungan ibu untuk memberikan ASI eksklusif, sementara umur, IMD, pendapatan, dan wilayah tempat tinggal tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek. Rekomendasi kebijakan berdasarkan hasil penelitian ini adalah dengan memberikan dukungan bagi ibu berupa cuti selama 6 bulan, menyediakan ruang laktasi di tempat kerja dan sarana publik, serta meningkatkan advokasi bagi ibu berpendidikan rendah dan ibu yang baru pertama melahirkan.

Kata kunci: ASI eksklusif, Status bekerja, Paritas, Umur, Pendidikan, IMD, Pendapatan, Region

Page 178: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 167

ABSTRACT

This study aims to analyze the effect of mother’s working status and other factors on exclusive breastfeeding in Jabodetabek (DKI Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, South Tangerang, and Bekasi). The data used in this research is based on Susenas Year 2016 for Jabodetabek area, by using logistic regression. The results of this study indicate that education, working status, and parity significantly affect the mother’s tendency to exclusively breastfeed, while age, IMD, income, and region of living have no significant effect on exclusive breastfeeding in Jabodetabek. The policy recommendations based on the results of this study are to provide support for mothers in the form of a six-month hiatus, providing lactation room at work and public facilities, as well as increasing advocacy for poorly educated mothers and first-time mothers.

Keywords: Exclusive Breastfeeding, Working status, Age, Education, Parity, IMD, Income, Region

Page 179: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

168 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH STATUS BEKERJA IBU TERHADAP PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF DI WILAYAH JABODETABEK

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri dari 34 Provinsi, di mana setiap daerah memiliki karakteristik wilayah masing-masing sehingga jumlah cakupan ASI eksklusif di tiap provinsi berbeda-beda. Wenzel (2010) menyatakan bahwa daerah tempat tinggal memiliki peran yang signifikan terhadap pemberian ASI.

Jabodetabek merupakan kawasan perkotaan terbesar di Indonesia, dengan luas wilayah sekitar 6.700 km2, jumlah populasi pada tahun 2010 di DKI Jakarta sekitar 9 juta jiwa, dan populasi di Debotabek (Kab/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang selatan, dan Bekasi) sekitar 18 juta jiwa. Jabodetabek merupakan pusat kegiatan nasional (pembangunan nasional, ekonomi, politik, dan sosial budaya) yang ditandai dengan kepadatan penduduk dan interaksi spasial antarwilayah (Pravitasari, 2015). Hasil olah data BPS Tahun 2010 dalam Rustiadi (2014) menunjukkan bahwa Jabodetabek menyumbang 25,52% dari total PDB nasional pada tahun 2010, terdiri dari 17,92% PDRB DKI Jakarta dan 7,59% PDRB Bodetabek, dan penyumbang PDB terbesar di Pulau Jawa sejumlah 41%. Daerah Jabodetabek melibatkan tiga daerah administratif provinsi, yaitu Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Banten (Kab/Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan) dan Provinsi Jawa Barat (Kab/Kota Bogor, Kab/Kota Bekasi, dan Kota Depok), dengan DKI Jakarta sebagai pusat dan Debotabek sebagai hinterland (Rustiadi, 2014).

Fenomena yang menarik di mana Provinsi DKI Jakarta dan Banten (mewakili Kota Tangerang, Kab. Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) dan Provinsi Jawa Barat (mewakili Kota Depok, Kab. Bogor, dan Kota Bogor) yang merupakan kawasan metropolitan Jabodetabek memiliki capaian ASI eksklusif yang tidak jauh berbeda. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan karakter antara DKI Jakarta dan Debotabek, yaitu tingginya tingkat partisipasi kerja perempuan (TPAK) di kawasan Jabodetabek (BPS, 2016). Jabodetabek sebagai suatu kawasan metropolitan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan kota atau kabupaten lain di Indonesia baik secara spasial, sosial, maupun sosioekonomi. Terkait dengan cakupan pemberian ASI eksklusif, hal ini yang mendorong peneliti untuk melakukan studi penelitian di wilayah Jabodetabek.

Faktor geografis dan kemacetan lalu lintas yang menjadi wajah Jabodetabek sehari-hari, tidak memungkinkan ibu menyusui untuk pulang ke rumah dan memberikan ASI bagi bayinya. Pekerja di wilayah Jabodetabek sendiri bukanlah murni penduduk yang berdomisili di daerah yang sama, namun banyak yang berstatus komuter, artinya

Page 180: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 169

banyak ibu bekerja yang bermukim di wilayah Debotabek namun bekerja di DKI Jakarta, dan begitu pula sebaliknya, meskipun tentunya jumlah komuter ibu bekerja dari Debotabek lebih tinggi daripada di DKI Jakarta. Ibu dengan kondisi ini menuntut para pekerja wanita untuk melakukan rutinitas melaju (comuting) setiap hari untuk mencapai lokasi kerja. Bagi Ibu bekerja hal ini tentunya menimbulkan kelelahan fisik, ditambah dengan keterbatasan waktu, serta stres kerja, dan tidak adanya dukungan di tempat kerja, dapat menurunkan produktivitas ASI dan berimbas pada durasi menyusui. Fenomena tersebut menjadi hal yang membedakan antara DKI Jakarta dan Debotabek, sekaligus membedakan Jabodetabek dengan wilayah lain di Indonesia.

Hasil penelitian Afriana (2004) menunjukkan 32,59% ibu bekerja di instansi pemerintah di Jakarta berhenti menyusui karena alasan bekerja. Raphael, 1978 dalam Huffman, 1984 (Priyandini, 2015) mengatakan bahwa kehidupan di kota tidak sesuai dengan menyusui, karena masyarakat perkotaan bergaya hidup modern, menyukai sesuatu sederhana dan bersifat praktis. Kemudahan akses untuk membeli susu formula dan lebih besarnya toleransi terhadap pemberian susu formula oleh ibu bekerja membuat perempuan ibu di perkotaan terutama DKI Jakarta dan kawasan perkotaan Debotabek lebih sedikit memberikan ASI secara eksklusif. Pernyataan tersebut didukung dengan hasil Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan Tahun 2013 yang menunjukkan sebanyak 89,6% ibu yang bekerja memberikan makanan tambahan selain ASI (prelakteal) berupa susu formula pada bayinya. Keberadaan susu formula sendiri memiliki dua sisi mata uang. Pada satu sisi keberadaannya sangat membantu bagi ibu menyusui baik ibu bekerja maupun ibu rumah tangga yang tidak bisa memberikan ASI eksklusif bagi bayi karena alasan kesehatan, tetapi pada sisi lain kemudahan memperoleh susu formula di pasaran menyebabkan para ibu, khususnya ibu bekerja menjadi kurang bersemangat dalam mengupayakan ASI eksklusif bagi bayi. Hal ini juga hendaknya menjadi perhatian bagi pemerintah dengan memperketat aturan distribusi dan promosi produk prelakteal susu formula untuk meningkatkan cakupan ASI eksklusif nasional (Afriana, 2004).

ASI eksklusif sesungguhnya memberikan manfaat (benefit) yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan (cost), karena menyusui secara eksklusif selama 6 bulan telah terbukti sebagai cara yang paling cerdas dan investasi yang paling efektif secara biaya untuk masa depan yang gemilang (Hansen, 2016). Faktanya, menyusui secara eksklusif memang membutuhkan banyak waktu dan menimbulkan nilai biaya ekonomi yang tinggi bagi Ibu. Hal ini yang menjadi salah satu penyebab ibu berhenti memberikan ASI secara eksklusif terutama bagi ibu bekerja yang hanya memiliki sedikit waktu, tidak mendapat bantuan dalam melakukan tugas rumah tangga dari anggota keluarga lainnya, dan tidak mampu membayar asisten rumah tangga atau baby sitter (Smith dan Forrester, 2013). Penelitian ini disusun untuk mengetahui

Page 181: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

170 Direktori Mini Tesis-Disertasi

bagaimana pengaruh status bekerja ibu terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Hasil riset Jarosz, 1993 (Weimer, 2001) menunjukkan bahwa menyusui secara eksklusif memberikan manfaat baik dari segi kesehatan maupun dari segi ekonomi. Namun di sisi lain metode pemberian makanan pada bayi juga terbukti memiliki nilai ekonomi bagi ibu. Ibu bekerja dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk kembali bekerja dan menghadapi kesulitan dalam mengupayakan ASI eksklusif, atau memilih memberikan ASI eksklusif dan berhenti bekerja, atau menambahkan makanan prelakteal bagi bayi. Data-data menunjukkan bahwa nilai cakupan ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek masih jauh di bawah target cakupan ASI eksklusif nasional. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui pengaruh status bekerja ibu terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek (Provinsi DKI Jakarta, Kab/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi).

Metode penelitian dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi logistik untuk mengetahui pengaruh status bekerja ibu dan faktor-faktor lain terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek (Provinsi DKI Jakarta, Kab/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi).

C. Pembahasan Hasil Analisis

Pembahasan hasil regresi logistik secara jelas akan dijabarkan dalam dua bagian, untuk membedakan variabel yang secara signifikan berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif dan variabel yang tidak signifikan, secara jelas disampaikan sebagai berikut.

1. Variabel yang Signifikan Berpengaruh terhadap Pemberian ASI Eksklusif

2. Pengaruh Tingkat Pendidikan Ibu

Hasil analisis logistik menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu memiliki pengaruh yang positif terhadap pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ibu dengan pendidikan SMA/sederajat ke atas memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan ibu dengan dengan pendidikan lulus SD-SMP, di mana ibu yang berpendidikan SMA/sederajat memiliki taraf signifikasi yang paling tinggi.

Page 182: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 171

Ibu yang berpendidikan SMA/sederajat ke atas memiliki kemampuan untuk mencari sumber pengetahuan dan informasi lebih jauh tentang ASI dari berbagai media yang ada misalnya informasi dari internet, buku bacaan dan panduan, serta kemungkinan untuk terlibat dalam kelompok konseling. Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2003) bahwa pendidikan sangat berpengaruh terhadap pengetahuan dan pembentukan perilaku, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan semakin tinggi kesadaran dalam suatu hal, dan semakin matang dalam mengambil keputusan terhadap suatu hal.

Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan hasil penelitian Stuebe dan Bonuck, 2011 (dalam Whipps, 2017) yang menjelaskan bahwa pendidikan memiliki hubungan tidak langsung dengan pemberian ASI eksklusif, namun memiliki faktor penghubung, yaitu pengetahuan, di mana ibu yang berpendidikan memiliki kemampuan untuk mencari informasi dan pengetahuan akan manfaat ASI eksklusif atau hal-hal lain yang terkait, sehingga dapat mempengaruhi preferensinya dalam memberikan ASI eksklusif. Sencan, dkk (2012) menyatakan pengetahuan tentang ASI yang bisa diakses oleh ibu menyusui

berasal dari buku, media cetak, internet, informasi dari teman dan keluarga.

1. Status Pekerjaan Ibu

Hasil analisis inferensial juga menunjukkan bahwa status pekerjaan ibu baik formal ataupun informal memiliki pengaruh negatif terhadap pemberian ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan hipotesis penelitian yang menyebutkan bahwa status pekerjaan ibu berpengaruh negatif dengan durasi pemberian ASI eksklusif.

Hal penelitian ini didukung dengan hasil penelitian yang disampaikan Daly, dkk (2014) bahwa hambatan utama ibu untuk memberikan ASI secara eksklusif adalah pekerjaan, karena tempat bekerja kurang memberikan dukungan. Penelitian dari Bai, dkk (2013) juga menunjukkan bahwa ada perbedaan yang sangat signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif pada ibu yang bekerja dan yang tidak bekerja terutama pada 4 bulan setelah melahirkan, hal ini disebabkan ibu harus kembali bekerja setelah cuti melahirkan selama 3 bulan.

Hasil predictive margins menunjukkan kecenderungan pemberian ASI eksklusif pada ibu dilihat dari tingkat pendidikan dan status bekerja, baik ibu yang tidak bekerja ataupun yang bekerja, baik di sektor formal maupun informal menunjukkan grafik yang sama, di mana berdasarkan tingkat pendidikan ibu yang tidak lulus SD memiliki kemungkinan paling rendah, kemudian meningkat pada ibu dengan pendidikan SMA/sederajat dan kemudian menurun untuk ibu yang berpendidikan diploma ke atas. Hasil ini menunjukkan fenomena yang menarik, di mana ibu yang memiliki kecenderungan paling tinggi untuk memberikan ASI secara eksklusif adalah ibu yang berpendidikan SMA/sederajat. Untuk memahami fenomena ini

Page 183: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

172 Direktori Mini Tesis-Disertasi

lebih lanjut, kita perlu memahami profil pekerjaan berdasarkan tingkat pendidikan, dikaitkan dengan kondisi ketenagakerjaan di Jabodetabek, seperti yang telah dibahas sebelumnya sektor jasa merupakan lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja paling tinggi di Jabodetabek terutama di sektor keuangan, transportasi, layanan, perdagangan, hotel, dan restoran.

Jenis pekerjaan formal yang biasa ditemui dengan kualifikasi pendidikan SMA/sederajat, di antaranya adalah kasir, SPG, waitress, dan lain-lain. Contoh pekerjaan tersebut merupakan jenis pekerjaan formal yang memiliki jam kerja baku, namun jenis pekerjaan ini biasanya menggunakan sistem pergantian jam kerja (shift) sehingga memudahkan bagi ibu bekerja untuk menyusui atau memerah ASI karena memiliki waktu lebih lama untuk mengurus bayinya.

Ibu bekerja dengan tingkat pendidikan diploma ke atas, memiliki kemungkinan untuk memberikan ASI lebih kecil dibandingkan ibu yang berpendidikan SMA/sederajat. Kita tahu bahwa semakin tinggi pendidikan maka semakin besar kemungkinan untuk menduduki posisi lebih tinggi dalam pekerjaan, dan juga menentukan jenis pekerjaan. Sektor keuangan merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja paling tinggi, situasi kerja di bank menuntut profesionalisme, mobilitas, dan jam kerja tinggi. Jam kerja ekstra atau overtime merupakan wajah sehari-hari yang tidak bisa dihindari oleh pekerja wanita. Hal ini yang kemudian menjadi hambatan bagi ibu dalam mengatur waktu untuk bisa memerah ASI di sela-sela waktu kerja. Selain itu, beban kerja yang tinggi bisa menyebabkan stress kerja yang berdampak pada produktivitas ASI.

Ibu dengan pendidikan tidak lulus SD-SMP merupakan kategori yang memiliki kemungkinan memberikan ASI eksklusif paling rendah, baik yang tidak bekerja maupun yang bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat pendidikan memiliki keterkaitan yang kuat dengan status sosial ekonomi. Ibu bekerja dengan status pendidikan tidak lulus SD-SMP yang bekerja di sektor formal berkemungkinan besar bekerja sebagai asisten rumah tangga, karyawan toko, petugas kebersihan, dan buruh pabrik. Setiap pekerjaan di sektor formal pasti terikat dengan waktu yang kurang fleksibel, terlebih untuk kelas pekerjaan menengah ke bawah yang tidak memiliki otoritas atau wewenang untuk mengatur jam kerjanya sendiri, dibandingkan dengan ibu yang bekerja dengan posisi yang lebih tinggi. Itulah mengapa ibu yang berpendidikan tidak lulus SD-SMP memiliki kemungkinan untuk memberikan ASI eksklusif lebih rendah dibandingkan ibu yang berpendidikan SMA/sederajat ke atas. Faktor sosial juga patut dipertimbangkan untuk menjelaskan hal ini. Pada keluarga low income masih kental akan budaya atau kepercayaan tradisional misalnya bahwa air tajin atau air

Page 184: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 173

rebusan cucian beras dan gula merah memiliki kandungan gizi yang tinggi sebagai pendamping atau pengganti ASI. Hal seperti ini yang sekiranya menyebabkan kemungkinan ibu yang berpendidikan SD-SMP paling rendah dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan lainnya. Masalah minimnya pengetahuan dan pemahaman akan manfaat ASI eksklusif juga menjadi penghambat ibu dengan pendidikan tidak lulus SD-SMP dalam memberikan ASI eksklusif, karena keterbatasan akses atau kemampuan untuk mencari tahu tentang manfaat ASI dan kesehatan bagi ibu dan anak dibandingkan ibu dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi.

2. Jaminan Perusahaan terhadap Hak Ibu Menyusui

Jaminan perlindungan pemenuhan hak ibu di tempat kerja, di samping mendukung program pemberian ASI eksklusif akan menguntungkan bagi perusahaan itu sendiri karena ibu akan memutuskan kembali bekerja setelah melahirkan, dan memiliki kinerja yang lebih baik apabila hak-hak dasarnya dipenuhi. Sama halnya dengan yang diungkapkan oleh Daly (2014) dalam penelitiannya bahwa hambatan utama dalam memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan adalah persepsi dari ibu bekerja bahwa perusahaan tidak akan memberikan dukungan untuk menyusui di tempat kerja, hal itu menyebabkan ibu ragu untuk kembali bekerja. Cara yang efektif bagi sebuah perusahaan agar pekerja wanita kembali bekerja setelah cuti melahirkan adalah dengan memberikan waktu di tempat kerja, dan menyediakan fasilitas dan perlengkapan memerah ASI di tempat kerja (ruang laktasi). Hal ini akan menguntungkan karena ibu menyusui menjadi lebih mudah dalam memerah ASI dan waktu kerja yang terpotong tidak terlalu banyak. Johnston dan Esposito, 2007 (dalam Bai, dkk, 2013) menekankan bahwa cuti melahirkan dan jam kerja dipandang sebagai salah faktor yang signifikan dalam kesuksesan ASI eksklusif bagi ibu bekerja.

Penelitian lain yang mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian dari Cardenas dan Major (2005) yang menyebutkan bahwa standar minimum perusahaan dalam upaya memberikan dukungan terhadap ASI eksklusif adalah dengan memberikan izin bagi ibu bekerja untuk memerah ASI di lingkungan kerja. Dukungan ini dapat dengan mengizinkan mereka membawa peralatan menyusui sendiri atau setidaknya dengan menyediakan ruangan khusus untuk menyusui di tempat kerja. Hal senada juga disampaikan oleh Kossek dan Ozeki, 1998 (dalam Cardenas dan Major, 2005) yang menyatakan bahwa fleksibilitas jam kerja merupakan strategi organisasi dalam mengurangi konflik kepentingan antara ibu bekerja menyusui dengan kepentingan perusahaan. Dengan memberikan jam kerja yang lebih fleksibel bagi ibu menyusui untuk memerah ASI di tempat kerja,

Page 185: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

174 Direktori Mini Tesis-Disertasi

setidaknya membuat perusahaan tidak kehilangan pekerja yang awalnya ingin keluar setelah melahirkan agar bisa memberikan ASI eksklusif pada bayinya.

Ruang laktasi memiliki andil yang cukup besar untuk mendukung program pemberian ASI eksklusif bagi ibu bekerja. Tersedianya fasilitas untuk memerah ASI di tempat kerja dan sarana-sarana publik yang steril, privat, serta dilengkapi media untuk menyimpan ASI, akan mendorong dan mempermudah ibu baik yang bekerja di sektor formal maupun informal untuk memerah ASI di tempat kerja sesuai

kemampuannya atau setidaknya selama 6 bulan.

3. Pengalaman Ibu dalam Paritas

Variabel ketiga yang menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif adalah paritas. Sesuai dengan hipotesis penelitian bahwa ibu yang melahirkan lebih dari sekali memiliki pengalaman dari anak pertama yang dilahirkan. Kesuksesan menyusui secara eksklusif pada anak pertama akan menyebabkan ibu termotivasi untuk memberikan ASI eksklusif bagi anak kedua, dan sebaliknya bagi ibu yang tidak berhasil menyusui eksklusif pada anak pertama akan mengevaluasi penyebab kegagalan dan hambatan-hambatan yang ada dan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nuzrina, dkk (2016) bahwa pengalaman menyusui anak pertama sangat berpengaruh terhadap inisiasi dan durasi ibu menyusui. Racine, dkk (2009) juga menyebutkan bahwa pengalaman keberhasilan menyusui eksklusif di masa lalu berpengaruh terhadap inisiasi dan durasi pemberian ASI eksklusif.

Penelitian Gubler, dkk (2013) di Swedia juga menujukkan hasil yang sama dengan penelitian ini, bahwa multipara memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam memberikan ASI eksklusif (dalam Schafer, 2017). Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian Glover (2012) yang menyebutkan bahwa ibu yang belum memiliki pengalaman menyusui cenderung berhenti menyusui setelah 4 minggu. Penelitian Lau, dkk (2015) juga menyebutkan bahwa multipara memiliki pengaruh positif terhadap teknik menyusui dan durasi pemberian ASI selama 6 bulan. Ibu multipara diasosiasikan lebih berpengalaman dibandingkan primapara sehingga mampu melakukan manajemen stres dengan lebih baik, dan lebih berpengalaman dalam melakukan manajemen waktu terutama pada ibu yang bekerja.

4. Variabel yang Tidak Berpengaruh Secara Signifikan terhadap Pemberian ASI Eksklusif

Hasil analisis logistik menunjukkan ada empat variabel yang tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek, yaitu

Page 186: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 175

umur, Inisiasi Menyusu Dini (IMD), pendapatan rumah tangga, dan wilayah tempat tinggal.

a. Umur Ibu

Umur ibu baik yang berusia 15-24 tahun atau lebih dari 24 tahun dalam penelitian ini terbukti tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Mossman, dkk (2008) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan durasi menyusui, tetapi lebih kepada pengalaman pribadi ibu tersebut apakah dirinya disusui semasa bayi ataupun tidak. Ibu yang disusui semasa bayi akan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memberikan ASI kepada bayinya.

Penjelasan lain mengapa umur tidak memiliki pengaruh signifikan adalah meskipun usia ibu di atas 24 tahun memiliki inisiatif atau kemauan untuk memberikan ASI eksklusif dan secara psikologis lebih matang, namun terbentur pada kemampuan atau produktivitas ASI. Sementara ibu dengan usia lebih muda cenderung belum matang secara psikologis, namun memiliki produksi ASI yang lebih baik, hal ini yang sekiranya menyebabkan tidak ada keterkaitan antara umur dan kecenderungan untuk memberikan ASI eksklusif. Penelitian lain yang juga menyatakan bahwa tidak ada signifikasi antara usia ibu dengan pemberian ASI eksklusif adalah penelitian dari Lau, dkk (2015).

b. Pengaruh Inisiasi Menyusu Dini (IMD)

Hasil analisis logistik juga menunjukkan bahwa IMD tidak berpengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. IMD dalam penelitian ini merupakan proxy dari kepedulian fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan terhadap pemberian ASI eksklusif, baik sebelum, saat persalinan, dan setelah persalinan. Tidak signifikannya variabel IMD tidak bisa langsung diartikan bahwa dukungan faskes dan nakes tidak berpengaruh terhadap inisiasi ibu untuk menyusui secara eksklusif, namun ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu apakah bayi dilahirkan melalui operasi caesar, lahir cukup bulan, dan dengan berat badan normal. Hal ini berdasarkan hasil penelitian Al Zaheb (2016), yang menyebutkan bahwa ibu yang melahirkan dengan cara caesar, dengan bayi yang lahir di bawah 2500 gram, dan melakukan IMD dalam 48 jam setelah persalinan memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan ASI secara eksklusif. Albokhary dan James, 2014 (dalam Al Zaheb, 2016) menyampaikan bahwa Ibu di Saudi Arabia yang melahirkan bayi dengan caesar memiliki kecenderungan lebih sedikit untuk melakukan

Page 187: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

176 Direktori Mini Tesis-Disertasi

inisiasi dini setelah melahirkan, dan kecenderungan lebih sedikit dalam memberikan ASI eksklusif.

Hal lain yang tidak kalah penting untuk menjelaskan hasil penelitian ini adalah jumlah dan karakteristik dari sampel penelitian, seperti yang disampaikan Vieira (2010) bahwa meskipun IMD dalam 1 jam pertama setelah melahirkan dipandang sebagai suatu indikator untuk keberhasilan dalam memberikan ASI Eksklusif, namun IMD < 1 jam pada ibu melahirkan yang usianya lebih dari 20 tahun dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dan memiliki penghasilan bulanan, memiliki korelasi negatif dengan pemberian ASI eksklusif. Penelitian dari Hailemariam, dkk (2015) juga menyebutkan bahwa ibu rumah tangga memiliki kecenderungan 2,5 kali lebih banyak untuk melakukan IMD dalam 1 jam pertama setelah kelahiran dibandingkan ibu bekerja. Hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja tidak memiliki keinginan untuk menyusui bayi secara eksklusif karena memprediksi kesulitan yang akan dihadapi dalam memberikan ASI eksklusif setelah kembali bekerja.

c. Pendapatan Rumah Tangga

Pendapatan rumah tangga dalam penelitian ini juga dinyatakan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif. Hal ini senada dengan hasil penelitian Wiener (2016) dan Balogun (2015) yang menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan rumah tangga. Meskipun demikian pendidikan sekiranya mampu mewakili aspek sosial-ekonomi dalam penelitian ini.

Hasil analisis inferensial menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap pemberian ASI eksklusif dari ibu yang tinggal di DKI Jakarta dan ibu yang tinggal di wilayah Debotabek (Kab/Kota Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi). Wallby (2009) menyatakan kebijakan-kebijakan pro-ASI dari pemerintah setempat sangat berpengaruh terhadap kesuksesan ASI eksklusif, sejauh ini baik di DKI Jakarta ataupun Debotabek belum ada kebijakan daerah tertentu yang berbeda dalam memberikan dukungan tentang ASI eksklusif. Hal itu sekiranya menjadi alasan mengapa tidak ditemukan perbedaan kemungkinan perbedaan ASI eksklusif berdasarkan wilayah tempat tinggal. Selain itu karakteristik sampel yang serupa, yaitu sama-sama daerah perkotaan juga menjadikan alasan mengapa tidak ada perbedaan kecenderungan ASI eksklusif antara DKI Jakarta dan Debotabek.

Page 188: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 177

Wawancara tambahan untuk memperkaya hasil pembahasan kami lakukan dengan menggunakan dua narasumber. Narasumber pertama merupakan salah satu pejabat di salah satu kementerian yang telah menyediakan ruang laktasi dan memberikan kelonggaran atau toleransi waktu bagi ibu untuk memerah ASI di tempat kerja. Berdasarkan keterangan narasumber, ruang laktasi dibuat karena kepedulian pimpinan terhadap kebutuhan ibu menyusui untuk memerah ASI di tempat kerja, dan melihat jumlah pekerja wanita yang masih di dalam usia produktif, bukan berdasarkan kepatuhan akan peraturan yang telah dibuat pemerintah.

Hal berbeda disampaikan oleh narasumber kedua, dari suatu perusahaan swasta yang bergerak di bidang konstruksi, yang belum menyediakan ruang laktasi di kantor karena memandang tidak adanya urgensi untuk menyediakan ruang laktasi, dan tidak mengetahui bahwa ruang laktasi diwajibkan oleh pemerintah karena tidak ada sanksi terkait hal tersebut. Perusahaan memandang dengan mengizinkan pekerja perempuan memerah ASI di tempat kerja sudah cukup, karena memerah ASI bisa dilakukan di ruangan biasa yang tertutup, dan ASI perah bisa

disimpan dalam lemari es di pantry.

D. Kesimpulan

ASI eksklusif selama 6 (enam) bulan telah terbukti memiliki nilai dan manfaat tidak hanya dari segi kesehatan bagi ibu dan anak, namun juga dari segi ekonomi sebagai investasi awal sumber daya manusia yang berkualitas, serta penghematan belanja rumah tangga dan biaya jaminan kesehatan. Menyusui juga menimbulkan biaya baik ekonomi ataupun nonekonomi. Berbagai kebijakan dan regulasi telah dibuat pemerintah untuk menyukseskan pemberian ASI eksklusif, namun salah satu hambatan utama dalam memberikan ASI eksklusif adalah status bekerja ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh status bekerja ibu serta faktor-faktor lain terhadap pemberian ASI eksklusif di wilayah Jabodetabek.

Hasil analisis regresi logistik dengan menggunakan data Susenas Tahun 2016 untuk wilayah Jabodetabek, menunjukkan bahwa status bekerja secara signifikan memiliki pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Studi ini juga menemukan bahwa ibu yang bekerja di sektor informal memiliki kecenderungan untuk memberikan ASI eksklusif lebih kecil dibandingkan ibu yang bekerja di sektor formal, namun perbedaannya sangat kecil.

Page 189: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

178 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Temuan lain dari studi ini adalah adanya pengaruh yang signifikan antara jenjang pendidikan terhadap kecenderungan pemberian ASI eksklusif. Ibu yang berpendidikan SMA/sederajat ke atas memiliki kecenderungan yang lebih tinggi dibandingkan ibu yang berpendidikan lulus SD-SMP. Hal yang menarik dalam temuan ini adalah kecenderungan untuk memberikan ASI eksklusif paling tinggi dimiliki oleh ibu dengan tingkat pendidikan SMA/sederajat.

Studi ini juga menemukan pengaruh yang signifikan antara paritas (jumlah anak) terhadap pemberian ASI eksklusif, di mana ibu multipara memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk memberikan ASI eksklusif dibandingkan dengan ibu primapara.

Kesimpulan yang dapat diambil dari studi ini adalah pendidikan, paritas, dan status bekerja ibu memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemberian ASI eksklusif, sementara variabel lain seperti umur, IMD, pendapatan rumah tangga, dan wilayah tempat tinggal dalam rentang penelitian ini tidak memiliki pengaruh signifikan.

Implikasi kebijakan dari hasil penelitian ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, karena semakin tinggi tingkat pendidikan perempuan semakin besar pula kemungkinan untuk terjun di dunia kerja. Namun bekerja baik di sektor formal maupun informal telah terbukti menurunkan kecenderungan ibu bekerja untuk memberikan ASI eksklusif.

Page 190: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PILIHAN KEPEMILIKAN RUMAH DI INDONESIA STUDI KASUS: PROVINSI JAWA BARAT DAN JAWA TIMUR

HOUSING TENURE CHOICE IN INDONESIA CASE STUDY: WEST JAVA AND EAST JAVA PROVINCES

Nama : Kingkin Fitoriani

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-National

Graduate Institute for Policy

Studies, Tokyo, Japan

Page 191: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

180 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Sebagai salah satu kebutuhan dasar, kepemilikan rumah menjadi puncak dalam siklus kehidupan masing-masing individu. Adanya banyak manfaat atas kepemilikan rumah sehinga berbagai negara telah melaksanakan bermacam kebijakan, khususnya untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah, tidak terkecuali pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan fasilitas kredit perumahan yang dikenal sebagai Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) yang menyediakan suku bunga rendah dan tetap selama masa angsuran. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengidentifikasi karakteristik dominan dalam sebuah rumah tangga yang menentukan kepemilikan rumah khususnya di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur. Hal ini penting untuk dilaksanakan guna mendukung perumusan kebijakan perumahan yang lebih efektif dan tepat sasaran. Menggunakan metode random-effect logistic regression dan data dari Indonesia Life Family Survey (IFLS) periode 2000-2014, hasil estimasi menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan, status menikah, dan umur yang lebih tua meningkatkan kemungkinan kepemilikan rumah. Sementara itu, memiliki rumah yang lain, terdapat tambahan anggota keluarga, memiliki pendidikan yang lebih tinggi, dan tinggal di area perkotaan akan menurunkan probabilitas untuk memiliki rumah.

Kata kunci: kepemilikan rumah, logit model

Page 192: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 181

ABSTRACT

As one of basic needs of every individual, housing has a culmination in its life cycle in an ownership. Knowing the many advantages of homeownerships, many countries have established unique policies, in particular assisting low-income people to own their home. The Indonesia government is not an exception. It has introduced the implementation of mortgage facility namely Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP) which provides a fixed and low interest rate along it is financing period. This study is conducted to identify which household’s characteristics are dominant in determining homeownership, especially for West Java and East Java Provinces. The issue is important as to design a more effective and well-targeted housing development policy. Using a random-effect logistic regression and Indonesia Life Family Survey (IFLS) covering 2000-2014, the estimation shows that increasing income, being married, and older cohorts will likely increase the probability to the ownership. On the other hand, having another house, having additional member of household, being more educated, and living in urban area will likely decrease the likelihood to own a house.

Keywords: homeowner ship, logit mod

Page 193: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

182 Direktori Mini Tesis-Disertasi

HOUSING TENURE CHOICE IN INDONESIA CASE STUDY: WEST JAVA AND EAST JAVA PROVINCES

A. Background

1. Housing Policy for Homeownership in Some Countries

Solving housing issue has always been one of the national agendas for all countries. Many countries have notably established some unique housing development programs for assisting low-income people to own their homes that might change over time. The programs not only construct new houses but also include financing the houses. In 1998, China introduced a new housing policy that allows private housing system, which encourages people to buy their own home. The previous policy was under the welfare housing system, which required the employer to provide housing for workers. This new policy leads to an increased number of privately owned residential units, also known as commercial housing, and the development of primary mortgage market. Complemented by the Housing Provident Fund (HPF) established in 1990, Chinese commercial banks are currently the dominant lenders in the Chinese market (Zhu, 2006).

Similarly, the Japanese housing policy has also transformed itself over time, from a quantitative approach to a qualitative one. The reason for this change is to accommodate rapid demographic aging and a fall on birth rate. After World War II, because there was a housing shortage caused by the war, the government focused on constructing houses for citizens by establishing the Japanese Housing Corporation (JHC, now Urban Renaissance Agency) in 1955. Its main duty is supplying houses and land for workers. Earlier, in 1950, Government Housing Loan Corporation (GHLC, now Japan Housing Finance Agency) was established to support citizens by providing a long-term and a low-interest rate to buy or build houses. These policies led to a growing excess of housing supply comparing the households needs since the 1970s and a surplus of ownership status compared to the rental status of housing since 1990s. In recent years, the Japanese housing policy is based on the Basic Act for Housing established in 2006, which provides guidance to improve the housing quality including residential living standards and enhancing the residential environment (The Building Center of Japan, 2015; Tiwari & Moriizumi, 2003).

In line with China and Japan, the Indonesian government’s policy on housing, in fact has been mandated since the country’s independence. The 1945 Constitution

Page 194: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 183

of the Republic of Indonesia states that people have the right to living in a good and healthy environment. Since the beginning of the 1970s, the Indonesian government has promoted homeownership for low-income households from both the supply side, promoting low-cost housing construction through a compulsory “1-3-6” building ratio, and the demand side, assisting housing finance through mortgage facility (Zhu, 2006). The obligatory building ratio means that if the developer builds one expensive house, they have to build minimum three medium houses and six low-cost houses. Furthermore, the latest housing policy is Law Number 1 Year 2011 on Housing and Residential Areas, which replaced the previous Law Number 4 Year 1992. Law Number 1 Year 2011 states that the government is responsible for providing and facilitating the acquisition of housing, in particular for low-income people. The reason is that housing is a basic need, and thus, people should own a house. Providing housing for all the people were done not only through construction but also through financial assistance to the people.

One of the government’s financial programs to assist people to own a home is by providing mortgage facilities, and the latest mortgage facility is known as Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KPR FLPP). According to Ministry of Public Works and Public Housing (MPWH) Regulation Number 21/PRT/M/2014 on Housing Mortgage Liquidity Facility Guidelines of Homeownership for Low-Income People, the requirements for applying KPR-FLPP are that low-income people must not have a house yet and their income must not exceed the maximum income limit. In 2014, the government set Rp4 million as the maximum monthly household’s income that has been increased from Rp2.5 million in 2010. Using KPR FLPP, people can buy a house with a fixed and low-interest rate along its financing mortgage period.

The financing funds of KPR FLPP come from central government funds combined with funds from the bank with the proportion of funding according to a mutual agreement. The government funds are revolving funds, not subsidies. These funds are lent to low-income people through the cooperation between a government agency called Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (Housing Financial Management Center) with the bank, and has certain repayment

periods so that the government will not lose its budget.

2. Studies on Determinants of Home-ownership

In some countries, researchers have identified various determinants that affect home-ownership of individuals. Using logistic regression models, Arimah (1997) argues that key factors influencing owning a home in Nigeria are: the income, the investment motive, the period of dwelling, the number of household members, the

Page 195: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

184 Direktori Mini Tesis-Disertasi

gender of the head of the household, the family’s life stage, and the access to land, which has a positive relationship to homeownership. Furthermore, in addition to the household’s income and age, housing price and marriage history also play important roles in home-ownership in Australia (Hendershott, Ong, Wood, & Flatau, 2009).

Unfortunately, research about the relationship between the housing tenure choice and the household’s characteristics in Indonesia is very limited. Syahrial and Nazara (2006) is a pioneering research on this issue. Their study found that the household’s characteristics, such as the household’s non-food expenditure as a proxy for the income, the household’s size, and the marital status also have a positive relationship with the likelihood to own a house. Interestingly, the availability of housing mortgage also gives a positive impact on the probability of owning a house, but the household’s education has a negative relationship to the likelihood of ownership (Syahrial & Nazara, 2006).

Since Indonesia consists of 34 provinces with significant cultural differences, environmental diversities, and different household characteristics, the housing preferences might vary in different regions. However, the past study by Syahrial and Nazara (2006) only used pooled data in examining homeownership in several big cities in Indonesia. It focuses on households in the municipal area and the households’ characteristics at a certain time, which only focused on 2001. It should be noted that the real household characteristics that change overtime remain largely unexplored. Therefore, this paper will address a households’ analysis on the provincial level and use longitudinal data to know the determinants of housing ownership, especially in West Java and East Java Provinces.

The purpose of this study is to identify which household’s characteristics are dominant in determining homeownership, especially for West and East Java Provinces. Based on that, it is hoped that a more effective and well-targeted housing development policy would be available.

The organization of the rest of the paper is as follows: the literature review will cover the detailed variables that determine homeownership in previous research, the methodology will present the model used to estimate the probability of homeownership followed by the description of data used in this paper. Then it will present and discuss the empirical results, and lastly, the conclusions and some

policy implications will be presented.

Page 196: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 185

B. Methodology

To assess the determinant of housing tenure choice, this paper follows the quantitative method that uses discrete models known as qualitative response regression models because the dependent variable is binary, own or rent (Gujarati, 2004). Following Gujarati’s recommendation, this paper used the logistic regression model that carried out by Stata and used the econometrics model as follows:

Lit = ln (Pit/ 1-Pit) = Zit

β0 + β1INCit + β2ANHit + β3MARit + β4MEMit + β5AGEit + β6EDUit

β7URBit + uit

The estimator used in this study is a random-effect logistic regression, and this choice of the estimation procedure is driven by some reasons. First, the data used is a short panel, meaning that using a fixed-effect model might generate incidental-parameters problem, in which it might not produce a consistent marginal effect, thus using a random-effect model is more appropriate because it will estimate both the coefficient and the marginal effects more reliably. Second, noted that the dependent variable used in this paper is the housing status in which it involves time-invariant observations, using a fixed-effect model will drop all those observations and only estimate the time-variant ones; therefore, using random-effects estimators are more suitable given the importance of the housing status for the homeownership analysis

(Cameron & Trivedi, 2009; Dougherty, 2011).

Estimation Results

In earlier estimation, the present author has tried to prove the limitation of using the fixed-effect method, and the result shows that more of 80% of households are eliminated because of time-invariant reason, and only two of independent variables are significant. In addition, giving the comparison of Prob>chi2 for the rest of estimation result will be explained based on a random-effect method which shows the better fitted-model. The logistic panel regression uses Stata 12.0 and regression manual on command “xtlogit”; the regression shows the estimation coefficients of each independent variable, nonetheless these coefficients cannot be interpreted as the results of the regression. Accordingly, we generate marginal effects that often measure the effect on the conditional mean of the dependent variable of a change in the regressors or independent variables; the marginal effect assumes that the housing status value is one and random intercept for the observation being treated as if it were zero.

Page 197: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

186 Direktori Mini Tesis-Disertasi

The effect on the availability of another house (ANH) on the likelihood is as expected to the earlier studies (Hendershott et al., 2009; Hirayama, 2010). Not owning another house will raise the probability to own a house by 1.91 pp. Furthermore, the location also has a significant effect on homeownership. The negative sign gives an interpretation that living in the urban areas will decrease the possibility to own a house by 2.7 pp.

One interesting result is the household size (MEM) which is negative and significant to the probability of homeownership. At a glance, the increasing number of households’ member will decrease the probability to own a house. Bearing in mind the structure of all households used for this research, the majority of households are categorized into extended family and big family. Therefore, this figure might be claimed as the same as the past research, that will likely happen in multiple-family units. They might have a bigger expenditure on food or non-housing expenditure, so that affects expenditure for housing to be smaller; thus their affordability for housing is less than in a small family (Arimah, 1997; Nwuba et al., 2013). In addition, the marginal effect is estimated to be very small, which means that only 0.2 pp of the likelihood is decreasing if there is one additional member in the households.

Another odd result is education (EDU), which has a negative sign and significance to the likelihood. Even this outcome is unusual but a previous study by Syahrial and Nazara (2006) in urban areas in Indonesia also claims a similar result. The predicted probability on the average observations is 97,79%, when the average years-of-schooling is 7 years. But, with the education level till the undergraduate school, in which case the years of schooling are 16, and other independent variables at mean values, are 94,06%. This means that the increasing education level from primary school to undergraduate school only decreased the likelihood by 3,73%. This might happen because young educated generations in Indonesia might experience a shift in interest, such as predictions, that occur in the millennial generation. They might have more interest in experiencing cuisine, entertainment, and traveling than investing in assets (housing) (“The United States of Financial

Waste,” n.d.).

C. Data Analysis and Results

Predicted Probability

We calculated the predicted probability for several cases for the post-estimation result on logistic panel regression. The result is shown in Table 4.7 below. The adjusted predicted probability for an average observation is very high, more than

Page 198: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 187

97%. Then, we tried to adjust one variable to a certain value, controlling other variables on their mean value, and the result of adjusted predictions only changed in the range below 5% difference for every case. The lowest difference is by adjusting the marital status, which is also affecting the households’ size, and the highest gap is by adjusting the age of the head of the household.

Next, the author would like to propose the last scenario by calculating the likelihood of combined-values on all variables based on demography condition in both provinces. The demographic condition shows that (1) most citizens are living in urban areas, (2) the biggest percentage of citizens are those in the 25−29 age cohort, (3) majority of the residents are not married, and (4) the education level of the majority is high school (Indonesia Statistics Agency, 2010). Based on those conditions, the possibility of owning a house was calculated by assuming that an individual (age 25 years and single) works and lives in an urban area with a minimum wage of Rp3.3 million. S/he graduates from high school and does not

own a house yet.

D. Conclusion and Policy Implication

This paper has sought to investigate the determinants of housing tenure choice using data drawn from the Indonesia Family Life Survey (IFLS)-in particular, West Java and East Java Provinces in Indonesia covering 2000-2014. The empirical analysis based on a random-effect panel logistic regression revealed that the determining factors are income, the availability of another house, marital status, the household size, the age of the head of the household, education, and location of the dwelling. These variables-increasing income, being married, and older cohorts-will increase the probability to ownership. On the other hand, having another house, having an additional member of the household, being more educated, and living in urban areas will decrease the likelihood to own a house.

The analysis has discovered that although the marginal effect for each variable that is generated from the regression is small, it cannot be taken at face value. This is because, if all the variables are combined together, the predicted probability of homeownership will sharply decline. This should become a government’s concern as the last case proposed in the previous section indicated the majority of demographics in both provinces.

The positive relationship between income and probability of the ownership gives the implication that low-income people have a low likelihood to have a house. Low-income people may not be able to own a house because it is unaffordable for them.

Page 199: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

188 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Therefore, the government should assist low-income people to afford a house by establishing housing policies with particular financing schemes. The existence of KPR FLPP in Indonesia is currently the right policy for the people of Indonesia. The benefits gained by low-income people are low and fixed-interest rates throughout the loan period. It provides additional affordability to housing. One of the requirements of KPR FLPP, which the mortgage applicants cannot own a home, is also the right policy. Based on the regression results, it is concluded that people who do not have a home will increase the possibility of home ownership.

One of the flaws in KPR FLPP is related to the requirement of down payment. Low-income people may be assisted by mortgages in installments by KPR FLPP, as long as they meet the requirements, which includes having enough money for down payment. According to Bank of Indonesia’s regulations of loans to value ratio for property credits, the required down payment is at least 10% of the housing price. The regulation of KPR FLPP does not control the amount of down-payment, and entrusts such arrangements to the executing bank of KPR FLPP. Furthermore, through the Ministry of Public Works and Housing Decree Number 552/2016, an additional subsidy of down-payment for KPR FLPP applicants is Rp4 million, or equal to 3,25% of the low-cost housing price. Therefore, low-income people will still need to fill the gaps.

The sustainability of the FLPP mortgage program is very important. Hence, long-term financing is urgently needed. Currently, KPR FLPP is financed only from joint-financing between revolving fund of the central government and the executing bank’s fund, so additional funds from outside the central government funds are needed. Therefore, integration of KPR FLPP funding with other long-term funding sources is needed, for instance, with the other existing housing finance programs or with securitization funding. The example of current housing finance is savings for housing by the Housing Saving for Civil Servants Agency (referred as Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil/Bapertarum PNS), down-payment assistance provided by Social Security Labor Organization (referred as Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan/BPJS-T), Social Insurance of Republic of Indonesia Armed Forces (referred as Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ASABRI), Education and Housing Welfare Foundation (referred as Yayasan Kesejahteraan Pendidikan dan Perumahan/YKPP), and securitization by PT. Sarana Multigriya Finansial (SMF), whose main service is providing mortgage backed security. It is hoped that with the policies governing the integration of these funds, the likelihood for home-ownership for citizens will increase.

Another interesting finding is that living in an urban area will decrease the probability to own a house. This is very unfortunate because urban areas are centers of activity. Within this area is equipped by complete life support facilities, such as education,

Page 200: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 189

health and entertainment facilities, thus, becomes an attraction for individuals to live in. If they live outside the urban area whereas they work or have activities in the city, it will result in additional transaction costs, especially transportation costs. To promote homeownership for citizens in urban areas, the government can establish an integrated plan, which consists of two possible steps using the concept of housing career. The first step is applied at the beginning of the citizens’ life career; it is when they are young or single individuals or newlywed people who are just beginning to work. In this step, the government can provide a combined plan, which consists of low-rent apartments and housing saving support by a newly established policy in 2016 for workers’ housing saving called Tabungan Perumahan. The low-rent apartment is the supporting unit for these people so that they can save more money in housing saving; consequently, if the saving is sufficient, they can use it to buy a house or use it as a down-payment for applying for KPR FLPP. The second step is the continuation of the first one; this step may occur when people moved up in the income ladder or when they are older and have established families. In this step, they might have enough savings to buy a house. Here, the role of the government is to provide housing stock, in particular, apartments at an affordable price while still being responsible for the ease of financing, one of which is by KPR FLPP. It is expected that once they are more financially established and/ or have a steady income, they can pursue their dream to own a house.

To support housing supply in urban areas, the most important factor is financing. With the limited capability of the government financing, it is necessary to have a cooperation with the private sector. The government can establish mutual aid between private parties with non-profit housing agencies such as Perum Perumnas to provide housing for people, especially for low-income people. To attract the willingness of the private sector in this program, the government can provide incentives in the form of ease and fee-reduction of housing license.

Finally, it is important to note that this study only focuses on economic, demographic, and geographic factors. Other factors that may have influences on homeownership, such as housing price, housing supply, and access to financing include the interest rate of financing, are still unexplored. This study also focuses on landed housing, and so there is a possibility that a focus on apartment ownership may offer different results. All of these could be an agenda for further research.

Page 201: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

190 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 202: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN WONOSOBO

WONOSOBO’S RESIDENTS PECEPTION ABOUT PUBLIC SERVICE OF HEALTH SECTOR

Nama : Kris Widyarto

Instansi : Pemkab Wonosobo

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 203: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

192 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat kepuasan masyarakat Kabupaten Wonosobo terhadap kualitas pelayanan Kesehatan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis. Survei dilakukan terhadap 384 responden di Kabupaten Wonosobo. Analisis data menggunakan tabulasi silang (crosstab) dan analisis regresi. Variabel-variabel yang diteliti terdiri dari 9 unsur standar kepuasan masyarakat (SKM) yang merupakan parameter dalam pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 9 unsur mendapatkan persepsi baik, yaitu Persyaratan (72,1%), Sistem Mekanisme dan Prosedur (63,2%), Waktu Penyelesaian (50,6%), Biaya (62,3%), Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan (67,2%), Kompetensi Pelaksana (69,8%), Perilaku Pelaksana (55,2%), Sarana dan Prasarana (48,5%), dan Penanganan Pengaduan, Saran, dan Masukan (65,9%). Berdasarkan hasil tersebut disimpulkan, jika kualitas pelayanan Kesehatan di Kabupaten Wonosobo cukup baik. Namun hasil survei setelah diolah sesuai Peraturan Menpan RB, kinerja pelayanan publik di bidang kesehatan dinilai tidak baik, dengan nilai IKM 2,57. Lima unsur mendapat nilai dengan mutu C, yaitu Persyaratan (2,65), Biaya/Tarif (2,62), Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan (2,60), Kompetensi Pelaksana (2,70), dan Penanganan Pengaduan, Saran, dan Masukkan (2,81), sedangkan 4 (empat) unsur lainnya mendapat nilai dengan mutu D, yakni Sistem, Mekanisme, dan Prosedur (2,57), Waktu Penyelesaian (2,42), Perilaku Pelaksana (2,53), serta Sarana dan Prasarana (2,42).

Kata kunci: Kualitas Pelayanan, Persepsi, Pelayanan Kesehatan

Page 204: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 193

ABSTRACT

Purpose of this study is to know the perception of people in the Wonosobo District about the quality of health services. This reaserch use primary data on questioning 384 people in Wonosobo. This research use descriptive statistical, cross tabulation analysis and regression. By stipulating 9 elements to be examined which are parameters of public satisfaction index. Those elements showed good perception. Requirements (72,1%), System and Procedure (63,2%), Completion Time (50,6%), Fare (62,3%), Product Specification (67,2%), Servant Competence (69,8%), Servant Courtessy (55,2%), Facilities and Infrastructure (48,5%) and Suggestion and Compliant (65.9%). Based on this result, we can conclude that quality of health service Wonosobo is good. While the results of the data refers to Peraturan Menpan RB, performance of public service are rated not good.5 elements such as Requirements (2,65), Fare (2,62), Product specification (2,60), Servant Competence (2,70), and Suggestion and Compliant (2,81) had C quality values. Meanwhile 4 other elements such as System, Mechanism and Procedure (2,57), Completion Time (2,42), Servant Courtessy (2,53) and Facilities and Infrastructure (2,42) had D quality values.

Keyword: Quality Sevices, Perception, Health Services

Page 205: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

194 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PUBLIK BIDANG KESEHATAN DI KABUPATEN WONOSOBO

A. Latar Belakang

Salah satu fungsi utama pemerintah daerah adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya agar masyarakat merasa puas. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan harapan baru bagi penyelenggara pemerintahan di daerah untuk semakin mengoptimalkan pembangunan dan pelayanan publik di daerah.

Menyadari pentingnya mengoptimalkan pelayanan publik bagi masyarakat, berbagai bentuk peraturan dan perundangan pun disusun. Salah satu contoh dari kepedulian tersebut adalah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga/instansi pemerintahan secara umum masih belum memuaskan. Terbukti dengan masih banyaknya laporan dari masyarakat tentang maladministrasi kepada Ombudsman Republik Indonesia.

Terminologi maladministrasi menjadi populer di Indonesia seiring dengan keberadaan lembaga Ombudsman Republik Indonesia. Menurut Black Law Dictionary dalam Hadjon dan Djatmiyati (2005), maladministration: poor management and regulation. Penjelasan lainnya diberikan oleh Hadjon (2011), maladministrasi berasal dari bahasa Latin, yakni mal malum yang berarti jelek dan administrare yang berati pelayanan, dengan demikian maladministrasi mempunyai arti pelayanan yang jelek atau buruk.

Kinerja birokrasi dalam menciptakan pelayanan publik yang berkualitas telah menjadi komitmen pemerintah. Di dalam UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025 (angka IV.1.2.E.35), dijelaskan pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya.

Reformasi birokrasi merupakan upaya sistematis, terpadu, dan komprehensif yang ditujukan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), termasuk tata kelola pemerintahan yang baik (good public governance), dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) (Komarudin, 2011). Jadi, reformasi birokrasi pada hakikatnya adalah upaya perubahan secara mendasar dan signifikan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintah, termasuk pelayanan kesehatan yang

Page 206: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 195

di dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 merupakan salah satu urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat.

UU Nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan termasuk golongan barang publik yang tercantum dalam pasal 5 ayat 1 dan 2, yaitu (ayat 1) ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik serta pelayanan administratif yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; (ayat 2) ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada (ayat 1) meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Aksesibilitas warga miskin terhadap berbagai bentuk pelayanan kebanyakan masih rendah. Ini membuktikan bahwa warga kesulitan untuk mendapatkan akses terhadap layanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah termasuk di dalamnya akses untuk mendapatkan layanan kesehatan.

Hasil dari Governance Assessment Survey tersebut ternyata masih relevan menggambarkan kondisi layanan publik di Kabupaten Wonosobo khususnya di sektor kesehatan. Hasil evaluasi kinerja penyelenggaraan pemerintah daerah yang disusun dalam LKPJ tahun 2011−2015 menunjukkan bahwa capaian kinerja pelayanan kesehatan

rujukan pasien masyarakat miskin pada tahun 2015 hanya mencapai angka 1,7%.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Dinas Kesehatan, RSUD dan Puskesmas sebagai salah satu instansi pemerintah yang melakukan fungsi pelayanan publik tidak lepas dari tuntutan untuk memberikan kualitas pelayanan yang baik. Tuntutan ini cukup beralasan karena Dinas Kesehatan, RSUD dan Puskesmas merupakan lembaga yang menjadi leading sector bidang kesehatan dan menjadi tolok ukur keberhasilan. Keberhasilan pembangunan kesehatan di Kabupaten Wonosobo. Namun baik atau buruknya kualitas pelayanan Kesehatan belum dapat diketahui dengan tepat, karena pengukuran kualitas pelayanan ditentukan oleh persepsi penerima layanan, dalam hal ini adalah masyarakat Kabupaten Wonosobo. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai persepsi masyarakat tentang kualitas pelayanan publik bidang kesehatan di Kabupaten Wonosobo.

Penelitian ini merupakan analisis deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dipergunakan untuk melihat kondisi pemerintahan Kebupaten Wonosobo dari perspektif pengelolaan anggaran dan

Page 207: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

196 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pengelolaan sumber daya aparatur. Analisis pendekatan kuantitatif menekankan pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika.

Data primer yang dipergunakan bersumber berasal dari penggalian informasi langsung dari masyarakat melalui pengisian kuesioner. Data primer dipergunakan untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo. Sementara data sekunder menggunakan data RPJMD Kabupaten Wonosobo tahun 2016−2021, penilaian Ombudsman tahun 2016, dan data terkait institusi penyelenggara layanan kesehatan

di Kabupaten Wonosobo.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Indeks Kepuasan Masyarakat Pada Pengguna dan Penerima Manfaat Pelayanan Kesehatan

Sebagian besar responden pengguna layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo, yaitu sebanyak 264 orang memberikan penilaian yang baik mengenai kemudahan dan kejelasan persyaratan yang harus dipenuhi untuk bisa mendapatkan jasa pelayanan kesehatan dari pemerintah daerah, bahkan 12 di antaranya menyatakan sangat baik. Meskipun demikian, ada 108 pengguna dan penerima layanan kesehatan yang menyatakan jika kesesuaian persyaratan dengan jenis pelayanan kurang baik.

Ini berarti hampir sepertiga petugas penyedia jasa layanan kesehatan tidak dapat menunjukkan dan menjelaskan kesesuaian antara persyaratan untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan produk layanan kesehatan yang mereka miliki.

Selain itu, masyarakat juga kesulitan untuk memahami persyaratan yang harus dipenuhi dan dilengkapi untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan sesuai

yang mereka butuhkan.

2. Sistem Mekanisme dan Prosedur

Lebih dari 142 responden atau 37% pengguna jasa layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo beranggapan jika prosedur dan mekanisme untuk mendapatkan layanan kesehatan sulit untuk dipahami. Kesulitan untuk memahami prosedur pelayanan bisa bersumber dari kurangnya informasi yang dimiliki masyarakat akibat kurangnya media informasi, media dan iklan layanan masyarakat yang

Page 208: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 197

kurang informative, dan atau petugas pelaksana yang kurang bisa menjelaskan sistem dan prosedur pelayanan dengan baik. Selain faktor internal dari pengguna

jasa kesehatan itu sendiri.

3. Waktu Penyelesaian

Hanya sekitar 51% atau 195 responden yang beranggapan penyelesaian suatu proses layanan sudah sesuai dengan ketentuan. Realibilitas dalam hal ini kemampuan petugas pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan secara tepat dan akurat dalam waktu yang telah ditentukan menjadi salah satu faktor penyebab

utama durasi penyelesaian pekerjaan menjadi lebih lama.

4. Biaya

Lebih dari 60% responden atau 239 pengguna jasa kesehatan menganggap jika besarnya biaya yang timbul sebagai akibat dari penggunaan jasa pelayanan kesehatan yang diterima adalah wajar. Sementara itu 38% responden atau 145 pengguna jasa tidak puas dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar layanan kesehatan yang mereka dapatkan.

Rasa aman, bebas dari resiko, dan keragu-raguan dari kekhawatiran untuk mengeluarkan biaya terlalu besar saat menjalani proses mendapatkan layanan kesehatan harus lebih diperhatikan, mengingat saat ini jaminan kesehatan masyarakat sebagian besar ditanggung pemerintah. Petugas pelaksana layanan kesehatan juga dituntut untuk jujur, dapat dipercaya, dan memiliki kredibilitas dalam menjalankan tugas, sehingga tidak memungkinkan untuk memungut biaya

di luar ketentuan yang telah ditetapkan.

5. Produk Spesifikasi Jenis Pelayanan

Spesifikasi jenis pelayanan berarti bahwa hasil yang diberikan dan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Produk pelayanan ini merupakan hasil dari setiap spesifikasi jenis pelayan. Lebih dari 67% responden atau sekitar 258 pengguna jasa layanan kesehatan berpendapat bahwa spesifikasi produk layanan sudah sesuai dengan hasil yang mereka terima, sedangkan sisanya kurang lebih 32% responden menyatakan bahwa spesifikasi produk layanan tidak sesuai dengan hasil akhir yang mereka terima. Kemampuan atau reliability, untuk memberikan secara tepat dan benar, jenis pelayanan yang telah dijanjikan kepada konsumen/pelanggan adalah salah satu dari lima dimensi pelayan publik (Fitzsimmons, 1994:190) yang menunjukkan kualitas pelayanan.

Page 209: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

198 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Petugas pelaksana dituntut untuk dapat memahami produk-produk layanan kesehatan yang mereka miliki sehingga bisa memberikan penjelasan kepada pengguna jasa kesehatan secara lengkap dan menyeluruh.

6. Kompetensi Pelaksana

Kurang lebih 70% atau sekitar 269 responden pengguna jasa layanan kesehatan berpandangan jika petugas pelaksana layanan kesehatan memiliki kompetensi yang memadai dalam melaksanakan tugas. Sementara 30% responden menyatakan sebaliknya. Kompetensi yang dimaksud adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh pelaksana meliputi pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan pengalaman. Assurance adalah pengetahuan atau wawasan, sopan santun, kepercayaan diri yang dimiliki petugas pemberi layanan, di samping rasa hormat terhadap konsumen. Empathy adalah kemauan pemberi layanan untuk melakukan pendekatan, memberi perlindungan, serta berusaha untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan pengguna layanan kesehatan.

Jadi, selain memahami produk layanannya, petugas pelaksana juga harus memiliki rasa tanggung jawab untuk membantu masyarakat dengan menyediakan

pelayanan seperti yang mereka harapkan.

7. Perilaku Pelaksana

Lebih dari separuh responden atau 212 berbanding 172 responden beranggapan jika perilaku pelaksana sudah cukup baik, dan begitu juga sebaliknya, masih banyak pengguna layanan kesehatan menyatakan jika perilaku petugas pelaksana masih belum memuaskan. Perilaku di sini adalah sikap petugas dalam memberikan pelayanan. Responsiveness atau kesadaran dan keinginan dari petugas pelaksana untuk membantu konsumen harus ditingkatkan sehingga dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.

Petugas selain dituntut untuk menguasai pekerjaan dan berbagai jenis layanannya juga diwajibkan untuk bersikap sabar, sopan, baik, dan ramah kepada para pengguna jasa. Courtessy atau sikap sopan, menghargai orang lain, penuh pertimbangan dan penuh persahabatan dari petugas pelaksana layanan akan meninggalkan kesan bagi masyarakat pengguna layanan sehingga bisa memengaruhi pandangan mereka terhadap institusi penyelenggara layanan

kesehatan.

Page 210: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 199

8. Sarana dan Prasarana

Lebih dari separuh atau 51% responden menyatakan jika sarana dan prasarana institusi penyelenggara layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo masih kurang memadai atau ada sekitar 198 responden yang memberikan persepsi negatif terhadap sarana dan prasarana kesehatan. Letak RSUD KRT Setjonegoro yang berada di tengah pemukiman padat penduduk menjadi salah satu faktor utama penilaian buruk terhadap sarana dan prasarana rumah sakit. Dengan lokasi yang berada di tengah wilayah yang padat penduduk, sangat sulit bagi pihak rumah sakit untuk memperluas area pelayanan.

Sementara kondisi geografis Kabupaten Wonosobo yang berada di pegunungan memiliki karakter jalan berkelok-kelok naik turun menyesuaikan kontur tanah. Ini menyebabkan warga yang berdomisili jauh dari pusat kota kesulitan untuk menuju instansi kesehatan yang berada di kecamatan.

Akses jalan yang sempit dan diperparah dengan banyaknya pedagang kaki lima yang berjualan di sisi jalan sekitar rumah sakit. Selain itu, banyak angkutan umum yang menunggu penumpang di depan rumah sakit dan kendaraan bermotor yang parkir di tepi jalan dianggap sangat mengganggu mobilitas pengunjung rumah sakit. Sekitar 41% atau sebanyak 186 responden menyatakan sarana prasarana instansi kesehatan sudah baik. Pihak RSUD dan dinas kesehatan sampai saat ini masih terus berbenah meningkatkan kapasitas rawat inap dan menambah fasilitasi

pendukung layanan kesehatan.

9. Penanganan pengaduan, saran dan masukan

Penanganan pengaduan, saran, dan masukan adalah tata cara pelaksanaan penanganan pengaduan dan tindak lanjut. Lebih dari 34 % responden atau sekitar 130 pengguna jasa layanan kesehatan menyatakan jika penanganan aduan, saran, dan masukan atas pelayanan yang diterima masih belum baik. Hal tersebut menunjukkan jika pemerintah Kabupaten Wonosobo pada khususnya instansi penyelenggara layanan kesehatan belum melibatkan masyarakat pengguna jasa mereka untuk terlibat bersama dalam meningkatkan kualitas pelayanan. Pihak instansi penyelenggara layanan kesehatan terkesan menutup diri dari kritik, saran, dan masukan dari pengguna jasa.

Dengan demikian, institusi kesehatan dianggap tidak memberi ruang aspirasi kepada masyarakat untuk menyampaikan segala keluhan, kesulitan dalam proses memperoleh layanan kesehatan. Sementara itu, hanya sekitar 34% responden

Page 211: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

200 Direktori Mini Tesis-Disertasi

atau sebanyak 254 pengguna jasa layanan kesehatan yang menyatakan jika

penanganan aduan, saran, dan masukan sudah cukup baik.

10. Analisis Determinan Persepsi Masyarakat terhadap Pelayanan Publik di Bidang Kesehatan

Model persamaan ekonometri yang telah disusun kemudian dianalisis dengan metode regresi linear berganda berbasis ordinary least square. Jika usia (unsur 1) berpengaruh pada persepsi responden terhadap persyaratan yang diperlukan untuk mendapatkan layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo. Tanda negatif (-) menunjukkan arah hubungan persepsi dan usia, di mana semakin rendah usia responden, persepsi mereka terhadap layanan kesehatan semakin buruk. Sementara itu 3 (tiga) karakter lainnya, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan.

Usia juga memengaruhi persepsi responden terhadap unsur 2, yaitu sistem, mekanisme, dan prosedur pelayanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo. Tanda negatif (-) menunjukkan arah hubungan persepsi dan usia, di mana semakin rendah usia responden persepsi mereka terhadap layanan kesehatan semakin buruk. Sedangkan persepsi masyarakat terhadap sistem, mekanisme dan prosedur pelayanan berdasarkan 3 (tiga) karakter yang lain, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh signifikan.

Tingkat pendidikan dan pekerjaan responden berpengaruh signifikan pada persepsi masyarakat terhadap waktu penyelesaian layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo. Sementara 2 (dua) karakter yang lain, yaitu usia dan jenis kelamin tidak mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan layanan kesehatan.

Arah hubungan antara responden pekerjaan petani dengan unsur 3 atau waktu penyelesaian adalah positif (+), sedangkan hubungan dengan responden pekerjaan nonpetani adalah negatif (-). Ini berarti responden dengan mata pencaharian nonpetani mempunyai persepsi berkebalikan dengan responden petani, di mana semakin banyak responden nonpetani maka persepsi terhadap waktu penyelesaian layanan kesehatan semakin buruk, sedangkan semakin banyak responden petani maka persepsi terhadap waktu penyelesaian layanan kesehatan semakin baik.

Tingkat pendidikan responden juga signifikan mempengaruhi persepsi terhadap waktu penyelesaian pekerjaan dengan arah hubungan yang negatif (-), di mana semakin rendah tingkat pendidikan responden maka persepsinya terhadap waktu penyelesaian pekerjaan semakin buruk.

Page 212: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 201

Sebagian besar responden dalam penelitian ini mempunyai latar belakang pendidikan setingkat SMA, yaitu sebanyak 154 orang dari 384 atau sekitar 40% dari total responden. Sementara responden dengan latar belakang pendidikan sekolah dasar sebanyak 106 atau sekitar 28% dari total responden.

Ternyata karakter responden tidak signifikan mempengaruhi persepsi mereka terhadap unsur 5 atau produk, spesifikasi, dan jenis pelayanan kesehatan. Sementara usia berpengaruh pada persepsi responden terhadap unsur 6, yaitu kompetensi petugas pelaksana layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo. Tanda negative (-) menunjukkan arah hubungan persepsi dan usia, di mana semakin rendah usia responden, persepsi mereka terhadap kompetensi petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk. Sedangkan 3 (tiga) karakter yang lainnya, yaitu pendidikan, pekerjaan, dan jenis kelamin tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap kompetensi petugas pelaksana layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo.

Jenis kelamin responden tidak signifikan memengaruhi persepsi terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan (unsur 7). Tingkat pendidikan, pekerjaan, dan usia responden signifikan mempengaruhi persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan.

Arah hubungan antara karakteristik responden dengan perilaku pelaksana adalah negatif (-), kecuali untuk responden dengan pekerjaan nonpetani arah hubungannya positif (+). Hal tersebut berarti semakin rendah tingkat pendidikan responden maka persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk. Semakin muda usia responden maka persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk. Semakin banyak responden yang pekerjaannya petani persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk. Sementara semakin banyak responden yang pekerjaannya nonpetani, persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin baik.

Semua karakteristik responden signifikan mempengaruhi persepsi terhadap unsur 8 atau sarana dan prasarana institusi layanan kesehatan. Tingkat pendidikan, pekerjaan, dan usia responden signifikan mempengaruhi persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan.

Arah hubungan antara karakteristik responden dengan perilaku pelaksana adalah negatif (-), kecuali untuk responden dengan jenis kelamin wanita dan responden pekerjaan nonpetani arah hubungannya positif (+). Hal tersebut berarti semakin rendah tingkat pendidikan responden maka persepsi mereka terhadap

Page 213: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

202 Direktori Mini Tesis-Disertasi

perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk, semakin muda usia responden maka persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk, semakin banyak responden yang pekerjaannya petani persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin buruk. Sementara semakin banyak responden wanita dan responden yang pekerjaannya nonpetani persepsi mereka terhadap perilaku petugas pelaksana layanan kesehatan semakin baik.

Usia dan pendidikan responden signifikan mempengaruhi persepsi terhadap tersedianya penanganan aduan, saran, dan masukan (unsur). Arah hubungannya adalah negatif yang berarti semakin muda usia responden dan semakin rendah pendidikan responden maka persepsi mereka terhadap ketersediaan penanganan aduan, saran, dan masukan pada institusi kesehatan semakin buruk. Sementara jenis kelamin dan pekerjaan responden tidak signifikan mempengaruhi ketersediaan penanganan aduan, saran, dan masukan pada institusi kesehatan.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.

1. Hasil survei menunjukkan jika sebagian besar responden berpandangan layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Wonosobo sudah cukup baik. Persentase responden yang berpendapat baik mencapai 62%, sedangkan yang berpandangan kurang baik sebanyak 38%.

2. Hasil survei kemudian diolah sesuai ketentuan dalam Peraturan Menpan RB Nomor 14 Tahun 2017, dengan hasil dari 9 unsur yang dinilai 5 (lima) di antaranya mendapat nilai dalam interval 1,00−2,599 dengan mutu D, sedangkan 4 (empat) unsur lainnya mendapat nilai dalam interval 2,6−3,064 dengan mutu C.

3. Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat sesuai hasil penghitungan dengan ketentuan dalam Peraturan Menpan RB Nomor 14 tahun 2017 adalah 2.57 kemudian dilakukan konversi nilai indeks kepuasan masyarakat menjadi 64 masuk dalam kategori tidak baik dengan nilai mutu D. Persepsi masyarakat pengguna jasa kesehatan di Kabupaten Wonosobo terhadap layanan kesehatan di Kabupaten Wonosobo berdasarkan hasil survey IKM adalah tidak baik dengan mutu D.

4. Analisis crosstab usia responden menunjukkan hasil yang bervariasi. Untuk karakter usia hanya 1 (satu) unsur yang terpengaruh, yaitu spesifikasi pelayanan.

5. Analisis crosstab jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak ada unsur-unsur standar kepuasan masyarakat yang terpengaruh oleh jenis kelamin responden.

Page 214: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 203

6. Analisis crosstab antara tingkat pendidikan terakhir responden dengan unsur-unsur penelitian menunjukkan hanya ada tiga unsur yang tidak terpengaruh yaitu waktu penyelesaian pekerjaan, biaya yang ditimbulkan, dan spesifikasi produk layanan. Sementara keenam unsur lainnya menunjukkan adanya hubungan dengan tingkat pendidikan responden.

7. Analisis crosstab antara pekerjaan responden dengan unsur-unsur standar kepuasan masyarakat menunjukkan hasil bahwa pekerjaan mempengaruhi semua unsur standar kepuasan masyarakat.

8. Analisis regresi menunjukkan hasil yang bervariasi. Persepsi masyarakat Kabupaten Wonosobo terhadap sarana dan prasarana unit layanan kesehatan menjadi satu-satunya unsur yang terpengaruh oleh semua variabel.

Page 215: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

204 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 216: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ANALISIS PERSEPSI TERHADAP PENERAPAN KEBIJAKAN REVIU RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN/LEMBAGA (RKA K/L) OLEH APARAT PENGAWAS INTERNAL PEMERINTAH DI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

PERCEPTION ANALYSIS ON THE IMPLEMENTATION OF MINITRIAL AND INSTITUTIONAL WORK PLAN BUDGET REVIEW BY GOVERNMENT INTERNAL INSPECTOR APPARATUS AT THE NATIONAL INSTITUTE OF PUBLIC ADMINISTRATION

Nama : Loga Aritmagitaningtias

Instansi : Lembaga Administrasi Negara

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 217: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

206 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pada tahun 2013, Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan reviu Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L) yang merupakan tahapan penelaahan atas penyusunan dokumen rencana keuangan yang bersifat tahunan berupa RKA K/L. Reviu RKA K/L dilaksanakan oleh auditor APIP K/L. Sehubungan dengan hal tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis persepsi unit kerja penyusun RKA LAN dan Direktorat Jenderal Anggaran terhadap penerapan Reviu RKA K/L di LAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pengumpulan data menggunakan kuesioner, wawancara, dan observasi langsung pada kegiatan yang menjadi objek penelitian. Penentuan responden menggunakan purposive sampling. Kebijakan Reviu RKA K/L telah dilaksanakan dengan baik di LAN sejak tahun anggaran 2013 untuk DIPA tahun 2014 dan dibutuhkan dalam perencanan kegiatan dan penganggaran karena membawa perbaikan RKA K/L pada proses perencanaan dan penganggaran di LAN.

Kata kunci: Reviu RKA K/L; Persepsi; APIP

Page 218: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 207

ABSTRACT

In 2013, the Ministry of Finance stipulates new policy comprising the reviewing stage in the formulation of the financial plan documents which is called kebijakan riviu RKA K/L (Review of Ministrial and Institutional Work Plan Budget). The RKA K/L is implemented by the APIP K/L auditor. This research aims to explore and analyze the perception of the Work Unit working on RKA at the State Administration Agency (LAN) and the Directorate General of Budget on application of RKA K/L Review at LAN. This study employs descriptive methods, the data was collected through questionnaires, interviews and direct observation on the relevant activities related to the object of research. The respondents were deliberately chosen using purpose sampling. This study suggests that the RKA K/L Review Policy has been well implemented at LAN since the 2013 fiscal year for the 2014 Budget Implementation Checklist (DIPA). In addition to that, the policy is required in planning activities and budgeting for it improves the RKA K/L in the planning and budgeting process at LAN.

Keywords: RKA K/L Reviu; Perception; APIP

Page 219: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

208 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS PERSEPSI TERHADAP PENERAPAN KEBIJAKAN REVIU RENCANA KERJA ANGGARAN KEMENTERIAN/

LEMBAGA (RKA K/L) OLEH APARAT PENGAWAS INTERNAL PEMERINTAH DI LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA

A. Latar Belakang

Sistem perencanaan dan penganggaran di LAN menerapkan sistem bottom up planning, di mana anggaran mulai disusun menurut unit kerja Eselon III, selanjutnya disampaikan secara berjenjang untuk dihimpun dan diharmonisasi sebagai Rencana Kerja Anggaran (RKA) LAN yang merupakan dasar dari DIPA LAN. Dalam rangka agar lebih dapat mencapai tujuan pengelolaan keuangan nasional, pada tahun 2013 Kementerian Keuangan menetapkan sebuah kebijakan baru, yaitu reviu Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA K/L). Reviu RKA K/L merupakan tahapan dalam perencanaan dan penganggaran sebelum rencana anggaran diajukan kepada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan. Reviu RKA K/L memberikan tugas kepada inspektorat atau Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) yang ada di setiap kementerian atau lembaga untuk melakukan reviu terhadap RKA K/L yang disusun oleh unit kerja tiap satuan kerja (satker).

Tujuannya adalah memberikan keyakinan terbatas bahwa RKA K/L telah disusun berdasarkan RKP, Renja K/L dan pagu anggaran serta kelayakan anggaran terhadap sasaran target kinerja yang direncanakan, dalam upaya membantu menteri/atau pimpinan lembaga untuk menghasilkan RKA K/L yang berkualitas. LAN mulai menerapkan kebijakan reviu RKA K/L dalam proses perencanaan dan penganggaran sejak tahun 2013 untuk RKA K/L tahun anggaran 2014. Reviu RKA K/L dilaksanakan dengan metode tatap muka dan wawancara langsung tim reviu dari APIP dengan unit kerja penyusun RKA LAN. Setiap unit kerja diberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan terhadap RKA yang disusunnya sampai RKA tersebut dinyatakan sesuai dengan kaidah dan ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan reviu RKA K/L merupakan tahapan yang harus dilaksanakan sebelum RKA LAN maju ke tahapan penelaahan oleh mitra kerja LAN pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan.

Setelah melalui tahap Reviu RKA K/L oleh APIP dan revisi oleh masing-masing unit kerja penyusun, tahapan selanjutnya adalah penyampaian kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran untuk ditelaah lebih lanjut. Penelaahan RKA LAN, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010, yang dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Anggaran I, II, dan III.

Page 220: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 209

(Kementerian Keuangan, 2015). Hasil Penelaahan RKA K/L LAN dituangkan dalam Catatan Hasil Penelaahan dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari LAN, Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Keuangan, untuk selanjutnya diproses menjadi DIPA LAN.

Dalam kurun waktu 4 tahun sejak diterapkan reviu RKA K/L di LAN, hasil observasi menunjukkan beberapa permasalahan teridentifikasi dalam penerapan kebijakan reviu RKA K/L oleh APIP. Selain hal tersebut, juga belum diketahui apakah penerapan kebijakan reviu RKA K/L dibutuhkan dalam perencanaan kegiatan dan penganggaran di LAN.

Pelaksanaan reviu RKA K/L setiap tahun menjadi kegiatan rutin yang dilakukan oleh APIP tanpa diketahui apakah setelah penerapan reviu RKA K/L, terdapat perubahan kualitas penyusunan RKA K/L oleh unit kerja, kompetensi APIP apakah memadai untuk melakukan reviu RKA K/L, permasalahan dan kondisi internal unit kerja yang menyebabkan penyampaian RKA K/L menjadi tidak tepat waktu, serta permasalahan lain.

Kondisi ini menimbulkan dugaan apakah RKA K/L memberikan pengaruh dan dibutuhkan dalam perencanaan kegiatan dan penganggaran atau hanya sebagai pemenuhan amanah peraturan dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/PMK.02/2013 tentang Petunjuk Penyusunan Dan Penelaahan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga. Sehubungan dengan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini akan menganalisis persepsi unit kerja penyusun RKA LAN, Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program, APIP, serta mitra kerja LAN pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sebagai penelaah RKA LAN, terhadap penerapan kebijakan reviu RKA K/L di LAN.

Sesuai dengan teori hierarki kebijakan publik, pola interaksi masing-masing stakeholder yang terlibat di tingkat operasional dalam pelaksanaan kebijakan dalam hal ini kebijakan reviu RKA K/L memiliki persepsi, asumsi, dan deskripsi tertentu mengenai penerapan suatu kebijakan. Persepsi tersebut dianalisis guna memperoleh gambaran atas permasalahan sehingga dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk menghasilkan RKA K/L sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku sehingga pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran dapat lebih efektif dan efisien guna mewujudkan kinerja

LAN yang lebih baik.

Page 221: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

210 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang penelitian, persepsi terhadap penerapan kebijakan tersebut menjadi penting untuk diketahui dan diteliti sebagai gambaran nyata terhadap penerapan kebijakan reviu RKA K/L oleh APIP di LAN, dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut.

Apakah, menurut persepsi unit kerja penyusunan RKA K/L, Bagian Perencanan dan Evaluasi Program, mitra kerja LAN pada Direktorat Jenderal Anggaran (DJA), reviu RKA K/L oleh APIP terhadap kualitas RKA LAN?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yang memfokuskan pada observasi, studi literatur, analisis hasil kuesioner dan wawancara stakeholder yang terkait dengan reviu RKA K/L di LAN. Penyebaran kuesioner dan wawancara terhadap unit kerja penyusun RKA K/L, Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program, APIP dan wawancara dengan mitra Kerja LAN pada Direktorat Jenderal Anggaran bertujuan memperoleh gambaran dan persepsi atas penerapan reviu RKA K/L. Pengolahan data hasil kuesioner menggunakan perangkat lunak pengolah data SPSS Versi 22 yang selanjutnya dilakukan analisis untuk memperoleh gambaran dan persepsi terkait penerapan reviu RKA K/L.

Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan metode purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu, artinya setiap subjek yang diambil dari populasi dipilih dengan sengaja berdasarkan tujuan dan pertimbangan tertentu. Sampel pada penelitian ini didasarkan pada keterkaitan responden dengan kegiatan penyusunan RKA K/L pada masing-masing unit kerja dan

pejabat yang berwenang dalam proses perencanaan dan penganggaran.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Persepsi Unit Kerja terhadap Reviu RKA K/L oleh APIP

Persepsi unit kerja terhadap penyelenggaraan reviu RKA K/L oleh APIP merupakan penilaian unit kerja untuk mengetahui keberhasilan reviu RKA K/L oleh APIP dalam proses perencanaan dan penganggaran di LAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dan wawancara sebagai sarana untuk mendapatkan gambaran persepsi unit kerja. Kuesioner dan wawancara dilaksanakan pada pejabat setingkat eselon III yang menyusun rencana kegiatan dan penganggaran untuk selanjutnya disusun menjadi RAB beserta data dukung yang menjadi dasar penyusunan RKA K/L unit kerja, beserta staf atau pegawai bagian administrasi yang mendapat tugas membantu menyusun dokumen penganggaran tersebut.

Page 222: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 211

Catatan hasil reviu RKA K/L menurut persepsi responden dapat menjadi petunjuk dalam penyusunan anggaran dan pengelolaan kegiatan dengan nilai rata-rata 4,19. Dari hasil wawancara diperoleh, sebaiknya hasil reviu juga disampaikan atau diinfokan langsung kepada pejabat yang berwenang tidak hanya kepada staf yang menyusun, sehingga dalam persetujuan perubahan terkait perbaikan RKA K/L bisa lebih cepat. Persepsi sebagian responden terkait hasil reviu dapat mengurangi jumlah revisi anggaran unit kerja dengan nilai rata-rata masih di bawah 4, yaitu 3,28. Kondisi ini menunjukkan hasil reviu tidak mempengaruhi jumlah revisi karena dipengaruhi oleh kebijakan internal maupun eksternal.

Dari hasil wawancara diperoleh beberapa pendapat terkait revisi anggaran, yaitu:

a. Penyusunan anggaran tahunan sangat mempengaruhi jumlah revisi anggaran tahun berjalan. Hal ini disebabkan pada saat penyusunan yang digunakan adalah peraturan Kementerian Keuangan, yaitu SBM dan Perkalan, sedangkan pada saat pelaksanaan berdasarkan asas akuntabilitas yang digunakan adalah nilai riil yang memiliki perbedaan nilai.

b. Revisi anggaran juga terkadang disebabkan adanya kebijakan pemerintah seperti penyesuaian izin penggunaan APBN dan efisiensi anggaran. Dan efisiensi anggaran sudah menjadi rutin dilaksanakan setiap tahunnya. Sehingga memperlihatkan ketidaksiapan anggaran dalam membiayai aktifitas penyelenggaraan pemerintahan

c. Harapannya dengan proses reviu akan berpengaruh terhadap jumlah revisi di tahun berikutnya untuk itu diperlukan fokus terhadap proses reviu, Inspektorat dan Biro PH2P bisa lebih tegas terhadap kemungkinan adanya hal-hal yang tidak wajar.

d. Perencanaan program dan anggaran sudah berlangsung dengan baik, apalagi ada tahapan reviu yang dilakukan oleh Bagian Renev dan Inspektorat. Namun, hal ini belum menjamin berkurangnya revisi anggaran karena perencanaan ini sifatnya cenderung fleksibel mengakomodir

kebutuhan selama pelaksanaan.

2. Persepsi APIP Terhadap Penyusunan RKA K/L Oleh Unit Kerja

Persepsi APIP terhadap penyusunan RKA K/L oleh unit kerja merupakan penilaian APIP terhadap kualitas RKA K/L. Persepsi APIP untuk mengetahui apakah penyusunan RKA K/L telah disusun sesuai dengan kaidah-kaidah dalam penganggaran, pagu anggaran, serta indikator lainnya. Indikator yang ditanyakan dalam kuesioner merupakan tahapan dalam proses perencanaan dan

Page 223: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

212 Direktori Mini Tesis-Disertasi

penganggaran di LAN. Persepsi APIP merupakan penilaian yang memberikan gambaran penyusunan RKA K/L dari sudut pandang APIP.

Pelaporan hasil reviu RKA K/L oleh APIP merupakan tahapan terakhir dari reviu RKA K/L. Rencana program, kegiatan dan anggaran dari unit kerja sudah sesuai dengan hasil reviu RKA K/L dengan nilai rata-rata 3,13, hasil reviu RKA K/L meskipun sudah sesuai namun masih terdapat beberapa catatan yang menjadi fokus perhatian APIP dalam pengawasan kegiatan dan pengelolaan keuangan.

Unit kerja dapat memanfaatkan catatan hasil reviu sebagai petunjuk pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran dengan nilai rata-rata 4,63. Hasil reviu RKA K/L dapat digunakan sebagai petunjuk dalam pelaksanaan kegiatan dan pengelola anggaran, catatan hasil reviu RKA K/L biasanya diakomodir menjadi Peraturan Kepala LAN terkait pengelolaan keuangan dan pelaksanaan kegiatan. Bagi APIP hasil reviu RKA K/L merupakan early warning system meskipun tidak maksimal karena unit kerja melakukan revisi kegiatan di tengah tahun anggaran sesuai dengan kebijakan pimpinan maupun kebijakan eksternal yang mempengaruhi

pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan.

3. Persepsi Mitra Kerja LAN Pada Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Terhadap Reviu RKA K/L oleh APIP

Dalam proses perencanaan dan penganggaran, setelah RKA K/L dinyatakan selesai direviu oleh APIP dan diperbaiki sesuai dengan hasil reviu, RKA K/L tersebut digabung menjadi RKA LAN untuk selanjutnya dilakukan penelaahan oleh mitra kerja LAN pada Direktorat Jenderal Anggaran sebelum disahkan menjadi DIPA. Melalui surat elektronik telah dikirimkan daftar pertanyaan penelitian kepada narasumber, yakni Ibu Restu, wawancara tidak dapat dilaksanakan secara langsung atau tatap muka dikarenakan narasumber sedang melaksanakan tugas penelaahan dan perjalanan dinas. Wawancara bertujuan untuk mengetahui persepsi mitra kerja LAN terhadap penerapan reviu RKA K/L di LAN.

Hasil reviu APIP masih terdapat catatan oleh Direktorat Jenderal Anggaran sehingga anggaran tersebut harus diblokir karena tidak terpenuhinya kriteria administratif. Kondisi tersebut disebabkan antara lain:

a. Pengetahuan APIP terhadap tugas, fungsi serta kegiatan yang direncanakan oleh unit kerja masih kurang.

b. Direktorat Jenderal Anggaran tidak memperoleh informasi yang jelas terkait sejarah kegiatan tersebut, dalam proses penelaahan APIP tidak diikutsertakan.

Page 224: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 213

4. Hasil Penelitian Komprehensif

Persepsi APIP terhadap penyusunan RKA K/L oleh unit kerja menunjukkan penyusunan RKA K/L telah sesuai dengan aturan yang berlaku, menggunakan akun sesuai dengan ketentuan serta sesuai dengan pagu anggaran yang ditetapkan. Penyusunan RKA K/L telah berpedoman pada Renja dan Renstra, output dan outcome yang ditetapkan bertujuan untuk mencapai Indikator Kinerja Utama (IKU) unit kerja. Pagu alokasi anggaran masing-masing unit kerja ditetapkan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Jumlah pagu anggaran setiap tahun berbeda, hal tersebut didasarkan pada isu-isu strategis nasional maupun kondisi internal LAN. Namun penyusunan RKA K/L oleh unit kerja masih belum sesuai dengan Standar Biaya Masukan (SBM) yang merupakan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur besarnya indeks harga dalam penyusunan anggaran. Selain hal tersebut, unit kerja masih menganggarkan kegiatan yang tidak boleh dianggarkan dalam RKA K/L dan hal-hal yang dibatasi seperti rapat di luar kantor, perjalanan dinas tidak sesuai dengan ketentuan, serta pembayaran honorarium anggota tim atau narasumber kegiatan. Dalam kondisi ini, reviu RKA K/L menjadi penyaring atau filter terhadap perencanaan kegiatan dan penganggaran yang tidak sesuai ketentuan dan inefisiensi.

Persepsi unit kerja terhadap kompetensi APIP menunjukkan kompetensi APIP telah memadai. Namun banyak catatan perbaikan terkait kompetensi APIP khususnya tim reviu yang bertugas. Jumlah tim reviu belum memadai karena proses reviu terbatas waktunya, serta persamaan persepsi antartim reviu masih menjadi kekurangan. Pedoman reviu RKA K/L yang merupakan petunjuk APIP dalam mereviu belum sepenuhnya diterapkan. Dalam perencanaan reviu RKA K/L, menunjukkan APIP dan unit kerja mempunyai persepsi yang sama dalam perencanaan kegiatan reviu RKA K/L telah sesuai dengan harapan, namun permasalahan terkait kepastian jadwal penyusunan RKA K/L dan staf khusus perencanaan kegiatan dan penganggaran pada masing-masing unit kerja perlu mendapat perhatian dari pimpinan stakeholder terkait.

Dalam tahapan pelaksanaan reviu RKA K/L, menunjukkan perbedaan persepsi antara unit kerja dengan APIP terkait pelaksanaan reviu RKA K/L. Persepsi unit kerja menujukkan pelaksanaan reviu RKA K/L oleh APIP telah dilaksanakan dengan baik, namun hal ini menunjukkan hal sebaliknya pada persepsi APIP terhadap perbaikan RKA K/L setelah direviu. RKA K/L perbaikan masih belum sesuai dengan catatan hasil reviu, unit kerja lama dalam menyampaikan hasil perbaikan dan jadwal reviu RKA K/L mundur tidak dapat selesai sesuai jadwal awal. Kondisi tersebut menujukkan kurangnya persiapan dan koordinasi internal unit kerja

Page 225: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

214 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dalam penyusunan RKA K/L yang harus segera dibenahi agar dalam penyusunan kegiatan dan perencanaan anggaran ke depannya dapat lebih baik.

Pada tahapan pelaporan reviu RKA K/L, menunjukkan APIP dan unit kerja setuju hasil reviu RKA K/L dalam tahapan pelaporan memberikan manfaat terhadap perbaikan kualitas RKA K/L dan pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran. Kesalahan dan hal-hal yang tidak sesuai dengan peraturan telah disaring dan diperbaiki pada reviu RKA K/L, sehingga ke depannya RKA K/L yang telah direviu menjadi dasar pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan keuangan masing-masing unit kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Reviu RKA K/L menurut sebagian besar responden APIP, merupakan early warning system dalam melaksanakan pengawasan dan monitoring pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan anggaran. Hasil wawancara dengan APIP dan Inspektur LAN, sebagai penanggung jawab kegiatan reviu RKA K/L menyatakan bahwa anggaran berbasis kinerja sudah mulai diimplementasikan dengan seutuhnya sehingga reviu RKA K/L yang selama ini cenderung fokus pada reviu detail belanja dan bagan akun standar kegiatan untuk menghasilkan sebuah kinerja kegiatan. LAN akan mulai menyusun Standar Biaya Keluaran (SBK) dari setiap kegiatan sehingga untuk sebuah kegiatan yang sama atau mirip karakteristiknya dapat diperlakukan tarif yang sama untuk satker-satker yang berada di daerah sama, sehingga reviu akan lebih cepat karena tidak perlu lagi melakukan reviu terhadap detail belanja, hanya melihat standar biaya keluaran dan proses kegiatan yang direncanakan untuk mencapai kinerja kegiatan yang telah ditetapkan dalam IKU unit kerja.

Selain hal tersebut, sebelum dilaksanakan reviu RKA K/L perlu dilaksanakan pembahasan program/kegiatan secara intens, sehingga tidak banyak reviu pada saat pelaksanaan program kegiatan. Peningkatan pengendalian dari setiap unit kerja baik aspek program maupun penganggarannya dalam perencanaan dan penganggaran serta reviu/evaluasi atas beberapa kebijakan internal, karena sebagai salah satu acuan dalam penyusunan RKA K/L.

Persepsi mitra kerja LAN pada DJA terhadap hasil reviu RKA K/L, penelaahan RKA LAN menjadi lebih mudah sehingga DJA dapat lebih fokus ke hal-hal signifikan atau hal-hal yang khusus, walaupun masih diberlakukan sikap kehati-hatian. Reviu RKA K/L telah meminimalisir kesalahan administrastif pada RKA LAN serta sebagai salah satu pencegahan awal terhadap kesalahan administratif dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan, meskipun masih terdapat beberapa anggaran yang diblokir oleh Direktorat Jenderal Anggaran.

Page 226: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 215

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data primer dan sekunder, diperoleh kesimpulan bahwa kebijakan reviu RKA K/L telah dilaksanakan dengan baik di LAN sejak tahun anggaran 2013 untuk DIPA tahun 2014 dan dibutuhkan dalam perencanan kegiatan dan penganggaran karena membawa perbaikan RKA K/L pada proses perencanaan dan penganggaran di LAN. Reviu RKA K/L diperlukan dalam proses perencanaan karena reviu memberikan manfaat bagi perbaikan kualitas RKA K/L bagi unit kerja dan gambaran awal tentang pelaksanaan kegiatan dan pengelolaan bagi APIP.

Perubahan tersebut memberikan dampak pada penyusunan dokumen perencanaan pada setiap unit kerja di LAN baik yang berada di LAN Jakarta maupun perwakilan LAN di daerah. Dampak tersebut pada satu sisi menimbulkan kondisi positif terhadap proses perencanaan dan penganggaran di LAN, yaitu:

1. Penyusunan RKA K/L menjadi sesuai dengan aturan yang berlaku, menggunakan akun sesuai dengan ketentuan serta masing-masing unit kerja mengetahui tentang hal-hal yang dibatasi dan dilarang untuk dianggarkan dalam RKA K/L.

2. Penyusunan RKA K/L berpedoman pada Renja dan Renstra, output dan outcome yang ditetapkan bertujuan untuk mencapai Indikator Kinerja Utama (IKU) unit kerja, serta RKA K/L disusun sesuai dengan jumlah anggaran yang telah ditetapkan.

Selain perubahan tersebut, masih terdapat permasalahan yang masih harus diselesaikan untuk menciptakan proses perencanaan dan penganggaran yang lebih baik lagi, yaitu:

1. Kepastian jadwal dalam penyusunan anggaran masih menjadi salah satu masalah dalam proses perencanaan dan penganggaran. Pemberitahuan dan batas waktu penyusunan RKA K/L kepada unit kerja belum dikoordinir dengan baik. Informasi terkait jadwal penyusunan tersebut menimbulkan permasalahan, karena keterbatasan jumlah pegawai, beban pekerjaan yang sedang tinggi serta permasalahan internal, menyebabkan penyampaian RAB, KAK/TOR, data dukung dan dokumen terkait lainnya tidak tepat waktu ke Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program.

2. Unit kerja tidak mempunyai pegawai khusus yang bertugas untuk menyusun dokumen perencanaan dan penganggaran serta melakukan koordinasi terkait hasil Reviu RKA K/L dengan Tim Reviu, keterbatasan jumlah pegawai yang mampu menyusun dan memahami proses perencana dan penganggaran di LAN jumlahnya masih sangat terbatas.

Page 227: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

216 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Tim reviu RKA K/L mempunyai kompetensi yang memadai dalam mereviu RKA K/L, namun peningkatan kapasitas serta menambah pengetahuan terkait tugas dan fungsi masing-masing unit kerja di LAN sangat perlu ditingkatkan. Sehingga dalam melaksanakan Reviu RKA K/L, tidak terjadi perbedaan persepsi antar reviewer.

Reviu RKA K/L telah meminimalisir kesalahan administrastif pada RKA LAN serta sebagai salah satu pencegahan awal terhadap kesalahan administratif dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan, sehingga target kinerja LAN dapat tercapai.

E. Saran Kebijakan

Berdasakan hasil analisa, kesimpulan dan implikasi hasil penelitian, sehingga dapat disusun saran atau rekomendasi kebijakan dalam proses perencanaan anggaran untuk mewujudkan RKA K/L yang berkualitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, permasalahan yang utama dalam memperbaiki perencanaan anggaran di LAN antara lain kurangnya SDM atau pegawai yang memahami tentang penyusunan dokumen perencanaan anggaran, informasi terkait tanggal-tanggal penting atau siklus penganggaran di LAN, kurangnya pemahaman penyusunan RKA K/L dan reviu RKA K/L, serta kompetensi APIP dalam hal ini tim reviu.

Permasalahan tersebut dapat menimbulkan efek negatif terhadap pengelolaan anggaran dan pelaksanaan kegiatan sehingga target kinerja tidak tercapai. Guna meminimalisir masalah dan memperbaiki kondisi yang belum sesuai maka disusun saran atau rekomendasi kebijakan untuk LAN dan Direktiorat Jenderal Anggaran, yaitu:

1. Rekomendasi kebijakan untuk LAN

a. Melaksanakan bimbingan teknis bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Anggaran tentang penyusunan dokumen perencanaan yang meliputi RAB, KAK/TOR, data dukung sampai dengan penyusunan RKA K/L.

b. Membangun forum-forum komunikasi dengan unit kerja, yang melibatkan Bagian Perencanaan dan Evaluasi Program, Inspektorat, serta Bagian Keuangan untuk mengetahui tentang proses perencanaan yang harus disusun, tanggal-tanggal penting penyusunan anggaran, serta pencairan atau realisasi anggaran yang sedang dilaksanakan.

c. APIP atau Inspektorat dalam melaksanakan tugas reviu hendaknya lebih komunikatif dalam memberikan pemahaman terkait kegiatan reviu RKA K/L, persamaan persepsi antar pereviu harus terus dijaga agar unit kerja atau

Page 228: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 217

satker tidak bingung dengan informasi yang disampaikan APIP. Selain hal tersebut, kompetensi tim reviu perlu ditingkatkan.

2. Rekomendasi kebijakan untuk Direktorat Jenderal Anggaran

a. Kementerian Keuangan sebagai penyusun regulasi kebijakan reviu RKA K/L, hendaknya melaksanakan evaluasi atas penerapan kebijakan tersebut pada setiap K/L sehingga permasalahan di lapangan dapat diketahui tidak hanya pada saat penelaahan RKA K/L setelah di Reviu oleh APIP.

b. Agar hasil reviu RKA K/L lebih terdokumentasi sebagai catatan penting di bidang penganggaran, Kementerian Keuangan dapat mengembangkan aplikasi untuk lebih mendokumentasikan hasil reviu RKA K/L untuk diterapkan pada masing-masing APIP K/L, sehingga dalam penelaahan mitra kerja K/L mengetahui history atau sejarah dari masing-masing program dan kegiatan yang diajukan oleh K/L.

Page 229: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

218 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 230: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

FAMILY NETWORK AND COMMUNITY INTERACTION EFFECTS ON PAROCHIAL AND RECIPROCAL ALTRUISM: FIELD EXPERIMENT FROM GILIGEDE ISLAND, WEST NUSA TENGGARA, INDONESIA

Nama : Marjianto

Instansi : Pemkab Kulon Progo

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School for International

Development and Cooperation

Negara Studi : Jepang

Universitas : Hiroshima University

Page 231: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

220 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kami melakukan Dictator Game (DG) dan Pay It Forward Game (PIFG) untuk mengeksplorasi efek dari jaringan keluarga/kekerabatan (lokal dikenal sebagai Sesorohan) dan gotong royong sebagai bentuk interaksi, yang disarankan untuk mempengaruhi altruisme. Permainan dilakukan di pulau kecil dengan uang asli, rekaman instruksi dan di bawah pengaturan anonim. Pemain hanya dapat memainkan DG atau PIFG. Setiap permainan dimainkan dua kali dengan jumlah sumbangan yang sama untuk penerima yang berbeda, yang tinggal di dalam dusun mereka (unit administrasi yang lebih rendah di bawah desa) dan di luar pulau, untuk mengamati diskriminasi atau altruisme parokial.

Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran jaringan Sesorohan/keluarga memiliki pengaruh kecil, positif dan tidak konsisten tergantung jenis permainan. Agen yang lebih masif untuk meningkatkan altruisme dan timbal balik adalah gotong royong dalam pemenuhan listrik di antara orang-orang. Pemain yang memiliki listrik dengan transfer di antara tetangga tidak pernah gagal untuk mentransfer endowment di kedua game. Selain itu, mereka juga menunjukkan secara signifikan lebih altruistik dan timbal balik dibandingkan dengan mereka yang memiliki listrik dari penyedia swasta dan sistem campuran masing-masing.

Selain itu, kami tidak dapat menemukan bukti diskriminasi pada kedua game tersebut. Pemain mentransfer secara merata dan tidak membedakan penerima yang tinggal di luar pulau mereka tidak peduli seberapa besar jaringan keluarga mereka dan seberapa kuat ikatan komunitas mereka dalam dusun. Altruisme tidak tenggelam melainkan tumpah ke luar pulau. Penjelasan yang mungkin adalah jarak dekat, mobilitas tinggi ke pulau utama Lombok dan lebih banyak jaringan keluarga yang tinggal di luar dusun mereka (> 60%) yang tidak menyebabkan perbedaan transfer.

Kata kunci: altruisme, jaringan keluarga, interaksi, Dictator Game, Pay It Forward Game, Indonesia

Page 232: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 221

ABSTRACT

We conduct Dictator Game (DG) and Pay It Forward Game (PIFG) to explore the effects of family network/kinship (locally known as Sesorohan) and mutual assistance (gotong-royong) as form of interaction, which suggested to influence altruism. The game conducted at a small island with real money, recorded instruction and under anonymous setting. A Player can only play either DG or PIFG. Each game played twice with the same amount of endowment to different receivers, who live inside their dusun (lower administrative unit under village) and outside island, to observe discrimination or parochial altruism.

The result suggest that size of Sesorohan/family network has small, positive and inconsistent effect depending the type of the game. A more massive agent to elevate altruism and reciprocity is mutual assistance or gotong-royong in fulfilling electricity among people. Players who have electricity by transfer among neighbors never fail to transfer endowment in both games. Moreover, they also shown significantly more altruistic and reciprocal compare to those who have electricity from private provider and mixture system respectively.

Furthermore, we could not found evidence of discrimination on both games. Players transfer equally and don’t discriminate receivers who live outside their island no matter how big their family network and how strong their community tie within dusun. Altruism is not sinking but rather spillover towards outside island. Possible explanation might be the short distance, high mobility to main island of Lombok and more family network who live outside their dusun(>60%) which lead no transfer differentiation.

Keywords: altruism, family network, interaction, Dictator Game, Pay It Forward Game, Indonesia

Page 233: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

222 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FAMILY NETWORK AND COMMUNITY INTERACTION EFFECTS ON PAROCHIAL AND RECIPROCAL ALTRUISM:

FIELD EXPERIMENT FROM GILIGEDE ISLAND,WEST NUSA TENGGARA, INDONESIA

A. Background

What will look like our world if all people behave selfishly for own interest? There might be no rules, norm or consensus that people will obey. Governing institution might be less useful. Fortunately, opposing to selfish people have what so called altruism as behavior. Altruism widely studied to observe people or community characteristic. Previous studies found evidence that people are not merely behave selfishly by maximizing own utility but also willing to transfer resources to others(Fehr & Schmidt, 2003).The study develop significantly as scientific findings which suggest that altruism are the base of cooperation(Ashton, Paunonen, Helmes, & Jackson, 1998), conflict or even a war among community group(Choi & Bowles, 2007).

Further studies suggest some factors that influencing the degree of altruism such as kinship/family relationship among game players (Ben-Ner & Kramer, 2011; Rachlin & Jones, 2008; Scharf & Smith, 2016; Xue, 2013), interaction (Cortes Barragan & Dweck, 2015) and social distance (Bechler, Green, & Myerson, 2015). To our understanding, above research suggest that altruism will improve when the players and receivers having family relationship and better interaction. Therefore, we believe that living with larger family network and better interaction will increase/enhance possibility having higher altruistic behavior because people tend to transfer more to their family and those they interact with.

Relevant to those findings, Indonesian family are well-known as one non formal security system for its member trough kinship system and strong community networks (Beard, 2007). Most of tribes, has owned kinship to recognize their ancestor and offspring. As a social system, kinship among people might have influence on human behavior. In terms of interaction, there is strong social capital known as Gotong-Royong (community work transfer) which exist in most neighborhood or community work such as in agriculture, infrastructure, fishery or any ceremony especially in rural area. Gotong-royong also believed as part of balanced reciprocity and generalized altruism (Bowen, 1986).

In order explore the local capital of family network and community interaction to the altruistic behavior of people in Indonesia, this research will be conducted within

Page 234: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 223

small island and rural setting. This study carried out by performing Dictator Game and Pay It Forward Game. To our knowledge, this will be the first study which conducting in a small island by exploring altruism, reciprocity as well as parochial behavior. This study is expected able to explain the effect of family network and community interaction to altruistic properties. To internalize the local setting of archipelago country, we deploy inter island social distance relationship in the game experiment.

B. Methodology

Our field experiment basically purposed to answer following questions; (1) do family networks/Sesorohan and community interaction enhance altruistic behavior? And (2) do living with bigger kinship and stronger community tie will lead to discrimination; enhance in group solidarity and lower out group trust?. To achieve our objectives, we select our survey area based on following criteria’s; small island, rural environment and existence gap/distance (physical & social). We propose small island so that this research will be relevant to Indonesian context as archipelagic country. Rural setting is a good place to examine family network as well as community interaction because in this area those social properties remain stronger than in urban area (Beard, 2007).

To observe discrimination, we select small island which separated by ocean as barrier so that so that there will be clear differentiation between in-group (dusun) and outgroup (outside island). People living in the same dusun will form of social system which tie all community member. This tie, could refer to their family network or community in general. The strength of tie might differ from one dusun to other depending on how well the interaction among community and family network member. Moreover, the absence basic infrastructure such as sufficient electricity, secure water supply, and health and education within the island will enhance the gap between in-group and outgroup so that the discrimination could be observed.

Among available information and database we obtained from the website of Indonesian small islands database, Ministry of Fishery and Marines (Direktorat Pendayagunaan Pulau-Pulau Kecil, 2012) , we select West Nusa Tenggara Province, specifically GiliGede Island as our field experiment site. Moreover, based on previous studies about Indonesian conflict, historically West Nusa Tenggara is one of conflict area which characterized inter group or inter village brawls (Varshney, Panggabean, & Tadjoeddin, 2004).

To accomplish our field experiment within allocated time, we select and recruit seven enumerators. All of them are undergraduate university student in Mataram, capital of West Nusa Tenggara. Prior to field experiment, we held training, discussion

Page 235: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

224 Direktori Mini Tesis-Disertasi

and simulation to all of them. After getting permit from the head of village, we divide the enumerator into 5 dusunarea (lower administrative unit under village). Considering the distance from our accommodation and population of household, there are two dusuns in which we assign two enumerators to transfer working area. We hire three local boats to transport the enumerators.

All the instruction for the game were recorded and made into PPT file to be operated in laptop or smartphone to give homogeneous treatment. We also provide script text in case the device malfunctioned or run out of battery because electricity only available mostly from 6 pm to 5 am. We conduct briefing every morning and evaluation of each game result as well as preparation for next day activities in the evening. Supervision made on daily basis to each enumerators during the experiment within 5 dusuns.

To keep the privacy and avoid influence of other people, the questionnaire and field experiment conducted only by the enumerator and the player. Once a person willing to participate, the enumerator isolate the player from everyone to avoid influence from other. To minimize the discussion among people who haven’t participate and those who accomplished game participation, we request and explain to them to remain silence

about the game. We try to finish all group of household within one time visit.

C. Data Analysis and Results

1. Description of GiliGede Island

Gili Gede Indah is one of village of Sekotong District in Lombok Barat Regency of West Nusa Tenggara Province. Historically, this village founded since 2010. Previously it was a dusun of Pelangan Village. This village consist of three islands; Gili Gede, Gili Rengit, and Gili Layar. Amongst those islands, Gili Gede is the biggest and the only islands which inhabited. Other two islands are for resort and tourism activities such as, diving, snorkeling or sun bathing or just relaxing with the nature beauty scenery. The closest island to Gili Gede Island is Lombok Island, the main island on West Nusa Tenggara.

There are 5 dusuns (smaller administrative unit under village) within Gili Gede Island and each of them leads by head of dusun. In this island, there is 1 kindergarten and one combined elementary and junior high school. Both facilities are located in the Dusun Gili Gede. Medical facility only available in bidan desa (village midwifery) clinic which located in Dusun Orong Bukal. Most of water source within the island is brackish water, so have to process it using solar desalination, install rainwater

Page 236: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 225

collection system or purchase bottled water. Limited basic infrastructure in this island force people to commute and highly dependent to main island of Lombok.

Lalu Ahmad Satriadi (Head of Sekotong District) and H. Muksin (Head of Gili Gede Indah Village Legislative Board) summarize that serious problem to address in the island is unavailability of basic facilities for the people within island such as transportation access, electricity, water supply, health and education (personal communication, Orong Bukal Health Clinic, August 8, 2016).

Furthermore, Sulhandani, the Head of Development Section of Gili Gede Indah Village said, electricity in this island mostly depends on the diesel generator system. Some solar cell were installed but currently not working because technical problems. People in Dusun Orong Bukal and Gili Gede since end of June 2016 get free electricity for 24 hours from Kokomo Gili Gede Resort. The Kokomo management committed to transfer their electricity during high season so that they turn on all three generators. In case there is not many guest in the resort, they will prioritize only to the public facilities such as midwifery clinic, mosque and school. In that situation, people will return to use own generator and transfer with their neighbors. People in Gedang Siang, obtain electricity from private provider by paying weekly from IDR 35,000 to 75,000 depending electrical possession. People in Dusun Labuhan Cenik manage their electricity supply by sharing among neighbor, connection form some resort and private provider from Gedang Siang. People in Dusun Tanjungan use generator and transfer to their neighbors. Some poor household still using oil based and traditional lamp (personal communication, August 5, 2016).

Based on the current situation, we consider to classify the dusuns into three type of electricity supply system; transfer among neighbors, private provider and mix (between transfer, private provider, transfer and free connection). We consider this electricity system as a kind of community interaction or gotong-royong. Therefore, this regional classification will be included as dummy variable, since the degree of interaction or reciprocal situation might varied depending on the type of electrical supply. We consider pure transfer system shows what called by Brañas-Garza et al. (2010) having stronger social integration which lead higher altruistic

behavior.

2. Descriptive Statistic

Initially, our respondents are 306 adult people out of 474 household. Among them, 6 (six) didn’t willing to participate to join the game for certain reasons. Some didn’t give sufficient information to fill within questionnaire and some have payment

Page 237: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

226 Direktori Mini Tesis-Disertasi

reference problem. We drop those data which have problem including those who did not use electricity as their main illumination sources.

The respondent of both Dictator Game (DG) and Pay It Forward Game (PIFG) have similar characteristic. Among samples, they have very low education on average, even less than elementary school which normally required 6 (six) years. Furthermore, more than 70 percent of their kinship/Sesorohan are living outside the island which shown that originally, their family member mostly living outside of their residing island. Based on the local electricity setting of mixture, private and transfer there are 95,18 and 14 players of DG and 91,18 and 14 players of PIFG

respectively.

3. Altruistic Behavior

Dictator Game conducted by giving endowment of IDR 8,000 in form of real money to the player. After explanation, the player asked to transfer anonymously to recipient who live inside their dusun or outside their island. It could be observed that among those, players who live in dusun which transfer electricity always transfer the endowment unconditionally either within their dusun or outside their island. According to Brañas-Garza (2010) players who do not transfer or transfer smallest possible amount considered to be selfish individual. Based on the data, there are 22 players within mixture area and 2 players within private area totally selfish regardless the transfer direction. Considering that the electricity setting shows social integration, we could see that having same/equal access to people will enhance integration which lead to higher altruistic behavior.

Differ to DG, the PIFG measure reciprocity or indirect altruism which differ to general altruism. Therefore, the player of PIFG is different to DG and the interpretation of PIFG is related to chain of cooperation or how a player behave for the previous player act. Similarly, to the DG characteristic all players in the sharing electricity area never fail to give amount of their endowment regardless any act of previous players or toward regional differences. Even though the cooperation measured in the PIFG is not guaranteed to be sustainable or lasting forever (Horita et al., 2016), player contribution on transfer of endowment is one of the indicator for better and stronger cooperation.

Overall, on average players transfer slightly higher to receivers who belongs to their in-group (inside dusun). Among three different community interaction setting, players who live within community group which commonly transfer resources mutually tend to transfer more to others.

Page 238: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 227

Further question regarding altruistic behavior in this study is either their behavior significantly affected by family network/Sesorohan and interaction among community? To answer these questions, we use econometric model of linier

regression which will be discussed in the following part.

4. Econometric Estimation

One of approach to explore determinants or characteristics of an outcome in econometric is regression. In this research we use Stata 13 version to run linier regression model with the outcome is amount of transfer for DG and PIFG for each direction either inside dusun or outside island. Our independent variables consists of family network properties and interaction referring to previous research result that those determinants influence the transfer amount in the experimental game.

The result suggest that family network (FN) or Sesorohan in local terminology has positive effect to all types of game but only significant to the DG outside island and PIFG inside dusun with coefficient of 7,52 and 7,92 respectively. Similarly, their participation on Sesorohan gathering which conducted several times within a year also shown positive effect but only significant on the PIFG inside by 173.95. Possible explanation might be that having larger family network (Sesorohan) is not guaranteed that people will learn to transfer more often towards their family. Since the game conducted in anonymous setting, therefore we could conclude determination of transfer is only slightly influenced by their habitual transfer among their family. This fact confirmed by the result that ratio of family living inside dusun and outside island give inconsistent and insignificant result towards the transfer behavior.

On the contrary, we could not found any evidence of normative community interaction effect to altruism. This could be interpreted that under normative situation, people feel forced to participate to avoid punishment from the society. Therefore, normative community meeting or gotong royong (mutual assistance) within community are not a good predictor of altruism. Moreover, we found the needs of interaction on reciprocity towards outside island as shown in the boat with engine ownership. People who have boat with engine, as a proxy of interaction chance, transfer positive significantly higher (Idr 1,166). This reasonably acceptable since people in the island highly dependent to Lombok Island to fulfill their needs such as food, water, gas, gasoline, education and health. Most of people worked in the fishery sector sell the fish to pelangan market or other buyers both come from Lombok Island.

Page 239: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

228 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Further analysis is regarding differences in the context of altruism and reciprocity towards inside dusun which has closer proximity compare to outside island. We would like to observe either people treat more favorably to those who live the same dusun. Players treat equally no matter the receivers come from. In this case, having stronger family network within dusun (more family network living in the dusun) or stronger tie within community (different electricity setting) do not make them discriminate receivers who live outside their island. Possible reasons are the short distance to main island of Lombok (the closest point about 10 minutes), high mobility for daily need purposes and most Sesorohan member living

outside their island (>60%).

D. Conclusion

Based on the result, we conclude that having bigger Sesorohan/family size or living surrounded by more family member doesn’t guaranteed to increase the altruistic or reciprocity behavior. The effect of family properties is small and inconsistent depending the type of the game. More massive agent to elevate reciprocity and altruistic is natural interaction based on need which people have during their daily life. This type of interaction, shown how their coping strategy to fulfill electricity within their dusun. People who have electricity by transfer never fails to transfer and cooperate. Also, they shown on average higher altruistic and reciprocity behavior significantly compare to those who have private provider and mixture respectively. Another type of community interaction, normative based, even though it exist among people but it seems to be just a kind of labor mobilization rather than an altruistic or reciprocity act. People motivation is rather to gain reputation and avoid punishment by community.

We could not found evidence of parochial altruism. People treat equally among two geographical direction. Players treat equally no matter the receivers come from. In this case, having stronger family network within dusun (more family network living in the dusun) or stronger tie within community (different electricity setting) do not make them discriminate receivers who live outside their island. The short distance, highly mobility to main island of Lombok as well as more family member who live outside their dusun, may be the explanation of this non discriminant behavior.

In summary, recognizing family network might be necessary but more importantly to have more interaction both to the Sesorohan member, community and those who live outside island to sustain the altruistic behavior and cooperation. Connecting the island to main island of Lombok might have significant impact to people’s behavior. Further research might be conducted to more stronger opposition such as in post conflict area, inter tribe or region, fanatic supporters and so on.

Page 240: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJAHATAN PROPERTI DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011−2015

PROPERTY CRIME’S DETERMINANT FACTORS ANALYSIS IN WEST JAVA 2011−2015

Nama : Mira Anugrah Satyanie

Instansi : Pemkot Cirebon

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 241: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

230 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Penelitian tentang kejahatan, baik kejahatan properti maupun kejahatan dengan kekerasan, yang telah banyak dilakukan tidak mendapatkan kesimpulan yang pasti mengenai faktor-faktor yang memengaruhinya. Tulisan ini mencoba memberikan kontribusi terhadap literatur kejahatan properti dengan membangun model empiris dari variabel sosial-ekonomi, demografi, dan variabel pencegah kejahatan dengan menggunakan analisis regresi untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan properti. Penelitian ini menggunakan data panel dari 26 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat tahun 2011−2015. Hasilnya menunjukkan bahwa variabel harapan lama sekolah, pengangguran, kepadatan penduduk, dan linmas berpengaruh terhadap kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat.

Kata Kunci: Kejahatan, Properti, Jawa Barat.

Page 242: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 231

ABSTRACT

Research on crime, both property and violent crime, has by no means reached a definitive conclusion on which factors are related to crime rates. This paper attempts to contribute to the property crime literature by building an empirical model of socioeconomic variables, demographics, and deterrence variables by using regression analysis to determine factors affecting property crime. This research uses panel data from 26 regencies/cities in West Java Province for the years 2011−2015. The results show that the variables of expected years school, unemployment, density, and society trooper affecting on property crime in West Java.

Keywords: Property, Crime, West Java.

Page 243: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

232 Direktori Mini Tesis-Disertasi

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJAHATAN PROPERTI DI PROVINSI JAWA BARAT TAHUN 2011−2015

A. Latar Belakang

Engelen, et.al (2016), dalam penelitiannya menggabungkan model empiris dari teori ekonomi dan sosial tentang perilaku kejahatan. Secara garis besar, terdapat tiga variabel utama yang dapat menjelaskan pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kriminalitas, yaitu variabel sosial-ekonomi, variabel demografi, dan variabel pencegah (deterrence).

Tingginya angka kejahatan di suatu daerah salah satunya disebabkan oleh banyaknya penduduk yang masuk ke dalam daerah tersebut. Glaeser & Sacerdote (dalam Husnayain, 2007) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara kejahatan yang terjadi di daerah dengan jumlah penduduk atau ukuran kota (city size). Semakin padatnya suatu kota maka akan semakin tinggi kemungkinan terjadinya aksi kejahatan di kota tersebut. Menurut teori, ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, yaitu keuntungan aksi kejahatan di kota lebih tinggi (dilihat dari harta benda korbannya) apabila dibanding di desa, kemungkinan tertangkapnya pelaku kejahatan di perkotaan akan lebih kecil karena padatnya penduduk di kota, dan menariknya kota terhadap tindak kejahatan individu (Hakim, 2009).

Jumlah penduduk dan kepadatan penduduk Jawa Barat mengalami peningkatan dari tahun 2011. Di samping tingkat kelahiran, salah satu faktor penyebab tingginya penduduk di suatu wilayah adalah perpindahan penduduk. Perpindahan penduduk mengalir dari daerah perdesaan ke perkotaan, dari daerah yang miskin ke daerah yang kaya, yang pembangunannya berkembang pesat. Jawa Barat, merupakan provinsi yang berbatasan langsung dengan ibu kota negara, oleh karena itu proses pembangunan di wilayah Jawa Barat terutama di daerah penyangga ibu kota, menjadi ikut berkembang pesat. Hal ini menjadi magnet yang menarik laju pertumbuhan penduduk di Jawa Barat karena mendorong masyarakat untuk berpindah dengan maksud mendapatkan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi dibandingkan daerahnya. Namun, tingginya laju pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan kesempatan kerja maupun kualitas sumber daya manusia, pada akhirnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Saat seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka ia tidak memiliki pendapatan dan tidak mampu memenuhi kebutuhannya sesuai syarat penghidupan layak, yang akhirnya dengan kemampuan ekonomi lemah tersebut akan masuk ke dalam golongan penduduk miskin.

Page 244: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 233

Penduduk yang termasuk dalam golongan miskin adalah penduduk yang hidup dengan standar di bawah garis kemiskinan. Kesejahteraan sosial berhubungan positif dengan pendapatan perkapita, namun berhubungan negatif dengan kemiskinan dan ketimpangan (Todaro, 2009). Todaro juga menyatakan bahwa semakin miskin seseorang maka semakin jauh jangkauannya untuk mendapat fasilitas yang dapat menyejahterakannya. Penduduk miskin cenderung tidak mampu menyediakan pendidikan yang layak untuk anaknya ataupun tidak mampu mencari pinjaman untuk membuka usaha karena mereka tidak memenuhi syarat.

Kemiskinan selalu dikaitkan sebagai faktor pemicu untuk melakukan tindak kejahatan. Halvor Mehlum, et.al (2005) mengatakan bahwa kemiskinan melahirkan pencuri, dan pencuri akan menghambat pembangunan ekonomi.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Jumlah pengangguran dan penduduk miskin, di Jawa Barat memang mengalami fluktuasi, namun kecenderungannya pada tahun 2015 meningkat. Sementara tingkat ketimpangan distribusi pendapatan di Jawa Barat cenderung tinggi, ditunjukkan dengan nilai indeks gini selama lima tahun berturut-turut, dari tahun 2011−2015 berada pada angka 0,41.

Angka pengangguran yang terus meningkat selain karena kesempatan kerja yang terbatas, juga bisa disebabkan tingkat pendidikan yang kurang memenuhi kualifikasi kesempatan kerja yang tersedia. Selain itu, tingkat pendidikan juga berkorelasi dengan pendapatan yang akan diperoleh. Seseorang yang berpendidikan rendah, cenderung memiliki tingkat keterampilan yang rendah, sehingga pendapatan yang diperoleh juga menjadi lebih kecil.

Pendidikan berhubungan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang salah satu komponen ukurannya adalah Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) dari penduduk. Angka HLS dan RLS di Jawa Barat mengalami kenaikan setiap tahunnya namun masih di bawah angka HLS dan RLS di Indonesia.

Selain faktor demografi, sosial, dan ekonomi, faktor lain yang dapat menekan tingkat kriminalitas adalah faktor pencegah (deterrence). Salah satu faktor pencegah adalah adanya personil keamanan, baik polisi maupun unsur keamanan masyarakat seperti Satuan Perlindungan Masyarakat (satlinmas). Berkaitan dengan fungsi dalam membantu memelihara keamanan, ketenteraman dan ketertiban masyarakat maka satlinmas atau hansip menjadi pendukung utama pihak kepolisian. Penambahan jumlah personil linmas akan meningkatkan probabilitas tertangkapnya pelaku kejahatan.

Page 245: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

234 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Jumlah linmas yang ada di Jawa Barat tahun 2013−2015 terus mengalami penurunan. Penurunan ini berdampak pada meningkatnya kerawanan di daerah atau lingkungan masyarakat, di mana semakin sedikitnya linmas maka akan semakin banyak orang yang harus dilindunginya. Linmas merupakan salah satu sistem keamanan yang langsung berhubungan secara nyata dengan masyarakat, karena linmas dibentuk dari masyarakat itu sendiri. Semakin menurunnya jumlah linmas mengindikasikan semakin berkurangnya faktor pencegah terjadinya kejahatan properti, hal ini dapat menjadi penyebab seseorang berani untuk melakukan tindakan secara ilegal.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa data sekunder, dalam bentuk time series periode 2011 sampai dengan 2015 dan data cross section kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat, yang membentuk data panel. Adapun kabupaten/kota yang dijadikan objek penelitian berjumlah 26 kabupaten/kota, dari total 27 kabupaten/kota di Jawa Barat, di mana Kabupaten Pangandaran sebagai kabupaten pemekaran dari Kabupaten Ciamis pada tahun 2012 dikeluarkan dari objek penelitian dikarenakan data kabupaten tersebut baru tersedia pada tahun 2014 sehingga menjadikan data penelitian unbalance. Sumber data sekunder diperoleh dari data kabupaten/kota berdasarkan dokumentasi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Barat. Untuk data korban kejahatan, sebagai variabel terikat, diperoleh dari data kor susenas yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sedangkan untuk variabel bebas, diperoleh dari

dokumentasi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Publikasi Jawa Barat Dalam Angka.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Kejahatan Properti

Selama periode pengamatan jumlah kejahatan properti sebanyak 4.133 kejadian di mana kejadian yang paling banyak terjadi pada tahun 2011 sebesar 990 kejadian sedangkan terendah pada tahun 2013 sebesar 708. Untuk kabupaten/kota jumlah kejadian terbesar selama 5 tahun menunjukkan Kabupaten Bogor berada pada rangking pertama dengan jumlah kejahatan properti sebanyak 298 diikuti Kabupaten Majalengka dan Kota Bandung, sedangkan posisi terendah ada pada Kota Banjar sebanyak 50 kejadian. Kontribusi tertinggi kejahatan properti pada tahun 2011 terdapat di Kabupaten Bogor sebanyak 73 kali, tahun 2012 di Kabupaten Majalengka sebanyak 99 kali, tahun 2013 sebanyak 71 kali di Kota Bandung, dan pada tahun 2014 Kabupaten Bogor tertinggi sebanyak 71, sedangkan pada tahun 2015 kejahatan properti tertinggi sebangyak 47 kali berada pada tiga daerah, yaitu

Kabupaten Bogor, Kabupaten Sumedang, dan Kota Depok.

Page 246: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 235

2. Penduduk

Jumlah penduduk sebanyak 22.473.318 di mana jumlah terendah pada tahun 2013 sebesar 435.600 orang. Untuk kabupaten/kota selama 5 tahun terbesar pada Kabupaten Bogor sebanyak 5.459.668 orang, sedangkan terendah pada Kota Banjar sebanyak 177.587 orang dengan kontribusi tertinggi setiap tahunnya berasal dari Kabupaten Bogor. Secara keseluruhan perkembangan jumlah penduduk ProvVinsi

Jawa Barat dari tahun 2011 sampai dengan 2015 terus mengalami peningkatan.

3. Kepadatan Penduduk

Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat selama 5 tahun tertinggi berada pada Kota Cimahi dengan 149.371 jiwa, sedangkan terendah pada Kabupaten Ciamis 41.6756 jiwa, di mana jumlah terendah pada tahun 2011 dan tertinggi pada tahun 2015. Kepadatan penduduk di Provinsi Jawa Barat setiap tahun mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai dengan 2015 hal ini menunjukkan bahwa semakin padat

wilayah kabupaten/kota sejalan dengan pertumbuhan penduduknya.

4. Pengangguran Terbuka

Pengangguran merupakan permasalahan klasik setiap daerah, di mana jumlah pengangguran yang besar memiliki kecenderungan dalam meningkatkan terjadinya kejahatan properti dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya. Jumlah pengangguran di Jawa Barat setiap tahunnya mulai dari tahun 2011 sampai dengan 2015 berfluktuasi dengan seimbang antara penurunan dan kenaikan, sehingga secara relatif belum ada perubahan dalam pengurangan tingkat pengangguran. Pengangguran terbesar selama 5 tahun terjadi pada Kabupaten Bogor dan

terendah pada Kota Banjar.

5. Penduduk Miskin

Anggota keluarga miskin memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan baik dari sisi kebutuhan ekonomi, pendidikan, maupun kelompok pergaulannya (peer group). Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat selama 5 tahun terbesar berada di Kabupaten Bogor sebanyak 499.100 pada tahun 2013 dan terendah di Kota Banjar sebanyak 12.700. Secara total tahunan jumlah penduduk miskin terbesar terjadi pada tahun 2011 dan terendah pada tahun 2014, sedangkan secara akumulasi total

masing-masing kabupaten/kota tetap pada Kabupaten Bogor dan Kota Banjar.

Page 247: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

236 Direktori Mini Tesis-Disertasi

6. Indeks Gini

Indeks gini merupakan gambaran tentang ketimpangan distribusi pendapatan di suatu daerah, di mana indeks ini menunjukkan pada kita adanya ketimpangan sosial sehingga akan menimbulkan rasa iri dan ingin memiliki harta benda orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Provinsi Jawa Barat selama tahun 2011 sampai dengan 2015 ketimpangan distribusi pendapatan terbesar pada tahun 2011 terjadi di Kabupaten Bogor dan Kota Bandung sebesar 0,41, sedangkan ketimpangan distribusi pendapatan terendahnya di Kabupaten Cirebon sebesar 0,27. Tahun 2012 ketimpangan pendapatan terbesar berada di daerah Kota Bogor sebesar 0,45 dan terendah Kabupaten Indramayu sebesar 0,29. Pada tahun 2013 dan 2014 ketimpangan pendapatan terbesar terdapat di Kota Bandung dengan ketimpangan terendah terdapat Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cianjur, sedangkan tahun 2015 indeks gini terbesar terdapat di Kota Tasikmalaya dan terendah di Kabupaten

Cianjur.

7. Pendapatan Domestik Regional Bruto Perkapita

PDRB per kapita merupakan gambaran pertumbuhan pendapatan masyarakat di suatu daerah sehingga masyarakat dapat mencukupi kebutuhan dasarnya. PDRB per kapita Provinsi Jawa Barat selama 5 tahun setiap tahunnya dari 2011 sampai dengan 2015 terendah berada di Kabupaten Cianjur, sedangkan tertinggi ada di Kabupaten Bekasi sampai dengan tahun 2014, sedangkan tahun 2015 PDRB per kapita tertinggi di Kota Bandung. Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Bekasi dan Kota Bandung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Begitu pula sebaliknya dengan Kabupaten Cianjur yang tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah

dibandingkan kabupaten/kota lainnya.

8. Harapan Lama Sekolah

Perkembangan Harapan Lama Sekolah di Jawa Barat setiap tahun mengalami peningkatan, hal ini berarti lamanya jenjang pendidikan yang akan ditempuh oleh anak-anak usia sekolah menjadi lebih tinggi. Angka Harapan Lama Sekolah di Provinsi Jawa Barat yang lebih tinggi masih didominasi oleh wilayah kota, sementara wilayah kabupaten sebagian besar masih lebih rendah. Hal ini mencerminkan bahwa kesadaran untuk menempuh jenjang pendidikan yang lebih

tinggi cenderung lebih tinggi di wilayah kota dibanding di kabupaten.

Page 248: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 237

9. Rata-Rata Lama Sekolah

Angka Rata-rata Lama Sekolah di Provinsi Jawa Barat bervariasi antarwilayah kabupaten dan kota. Pada tahun 2015, dapat dilihat bahwa penduduk yang mengenyam tingkat pendidikan pada jenjang pendidikan setara SMA, yaitu pada angka 10, hanya terdapat di Kota Bogor, Kota Bandung, Kota Bekasi, Kota Depok, dan Kota Cimahi. Sementara kabupaten/kota lainnya masih di bawah angka 9. Artinya penduduk yang pernah menempuh pendidikan tinggi masih sangat sedikit. Sebagian besar penduduk hanya menamatkan pendidikan pada tingkat yang lebih

rendah.

10. Hasil Analisis Empiris

Variabel yang mewakili faktor sosial-ekonomi adalah pendapatan per kapita, harapan lama sekolah, dan pengangguran. Variabel yang mewakili demografi adalah kepadatan penduduk. Variabel pencegah diwakili oleh jumlah linmas. Variabel yang mewakili faktor sosial-ekonomi, yakni pengangguran, berpengaruh menaikkan angka kejahatan properti. Setiap kenaikan 1 satuan angka pengangguran akan menaikkan angka kejahatan sebesar 1,197 satuan. Atau setiap kenaikan 10.000 pengangguran akan menaikkan angka kejahatan properti sebanyak 2 kasus. Variabel Harapan Lama Sekolah (HLS) berpengaruh menurunkan angka kejahatan. Setiap kenaikan 1 satuan Harapan Lama Sekolah, akan menurunkan angka kejahatan sebanyak 6,234 satuan. Atau setiap kenaikan 1 tahun Harapan Lama Sekolah, akan menurunkan angka kejahatan sebanyak 6 kasus.

Untuk variabel PDRB per kapita, sesuai dengan teori bahwa kenaikan tingkat pendapatan yang berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat akan menurunkan angka kejahatan properti, tetapi dalam model persamaan, variabel ini tidak signifikan mempengaruhi kejahatan properti.

Variabel kepadatan penduduk, berpengaruh menaikkan angka kejahatan properti. Setiap kenaikan 1 satuan kepadatan penduduk, akan menaikkan angka kejahatan properti sebanyak 126 satuan. Atau setiap kenaikan seribu jiwa/km2 akan menaikkan kejahatan properti sebanyak 126 kasus.

Variabel pencegah dalam penelitian ini diwakili oleh jumlah linmas, seharusnya menurunkan angka kejahatan properti, namun dalam model persamaan penelitian ini berpengaruh positif terhadap angka kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Setiap kenaikan 1 satuan linmas, akan menaikkan angka kejahatan properti sebesar 1,126 satuan. Atau setiap penambahan seribu personil linmas akan menaikkan angka kejahatan properti sebanyak 1 kasus.

Page 249: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

238 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Koefisien yang positif dalam variabel pencegah bertolak belakang dengan hipotesis, di mana hasil yang diharapkan adalah semakin banyak personil linmas maka probabilitas tertangkap dari pelaku tindak kejahatan akan semakin tinggi, sehingga akan menurunkan angka kejahatan. Namun, jika kita melihat anggota satlinmas yang dibentuk oleh pemerintah desa/kelurahan, maka jumlah linmas berbanding lurus dengan jumlah desa/kelurahan yang ada di masing-masing daerah, di mana daerah dengan luas wilayah yang besar cenderung memiliki jumlah desa/kelurahan yang lebih banyak. Selain itu, daerah dengan luas wilayah yang besar juga cenderung memiliki jumlah penduduk yang lebih banyak daripada daerah dengan luas wilayah yang kecil. Hal ini diduga yang menjadikan koefisien variabel linmas menjadi positif mempengaruhi angka kejahatan, seiring dengan koefisien jumlah penduduk.

Selain dari alasan tersebut, dugaan lain yang menyebabkan koefisien linmas positif adalah kemungkinan faktor endogenitas dari keberadaan jumlah personil linmas tersebut. Sebagai contoh, jika angka kejahatan di suatu wilayah tinggi, maka keberadaan jumlah personil keamanan akan diperkuat dengan penambahan personil, maka regresi sederhana dari kondisi tersebut akan menunjukkan bahwa tindakan pencegahan yang lebih kuat akan meningkatkan kejahatan alih-alih mengurangi, bahkan jika ini adalah kebalikan dari efek sebab-akibat yang

sebenarnya (Engelen et.al, 2016).

D. Kesimpulan

Penelitian ini menemukan bahwa variabel-variabel yang mewakili faktor sosial-ekonomi, yaitu Harapan Lama Sekolah dan pengangguran signifikan mempengaruhi angka kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Harapan lama sekolah yang mencerminkan tingkat pendidikan masyarakat berpengaruh menurunkan angka kejahatan properti. Pengaruh negatif antara tingkat pendidikan dan tingkat kejahatan ini selaras dengan penelitian Lochner (2007), yang menyatakan bahwa dengan semakin tingginya tingkat pendidikan seseorang, maka dia berkesempatan mendapatkan pekerjaan legal dengan upah yang lebih baik, selain itu seseorang yang berpendidikan tinggi akan cenderung berpikir untuk tidak melakukan tindakan kriminal. Variabel pengangguran berpengaruh menaikkan angka kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Levitt (1997) yang menemukan adanya hubungan positif antara pengangguran dan kejahatan properti. Sementara variabel pendapatan masyarakat yang diwakili oleh pendapatan per kapita tidak berpengaruh terhadap kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Tetapi, dengan penambahan variabel dummy untuk membedakan pola wilayah pantura dan nonpantura, pendapatan per kapita wilayah pantura berpengaruh signifikan terhadap kejahatan properti. Artinya

Page 250: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 239

pendapatan per kapita berpengaruh menurunkan kejahatan properti di wilayah pantura. Hal ini dapat menjelaskan mengapa variabel pendapatan per kapita tidak berpengaruh untuk wilayah Provinsi Jawa Barat. Variabel kepadatan penduduk yang mencerminkan faktor demografi berpengaruh menaikkan angka kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Hasil ini sejalan dengan penelitian Glaeser dan Sacerdote (1999) yang mengemukakan bahwa semakin padatnya suatu daerah maka rate of return dari tindak kejahatan semakin besar karena benefit yang didapat dari korban potensial semakin banyak dengan kemungkinan tertangkap lebih rendah.

Pengaruh tingkat pendidikan, yaitu Harapan Lama Sekolah adalah sebesar -6,234, artinya setiap kenaikan 1 satuan harapan lama sekolah akan menurunkan angka kejahatan properti sebanyak 6,234 satuan, atau setiap kenaikan 1 tahun harapan lama sekolah akan menurunkan angka kejahatan properti sebanyak 6 kasus. Pengaruh pengangguran dalam menurunkan angka kejahatan sebesar 1,197, artinya setiap kenaikan 1 satuan angka pengangguran akan menaikkan angka kejahatan properti sebesar 1,197 satuan, atau kenaikan 10.000 pengangguran akan menaikkan tindak kejahatan properti sebanyak 2 kasus. Pengaruh kepadatan penduduk dalam menaikkan angka kejahatan properti sebesar 126,378, artinya setiap kenaikan 1 satuan angka kepadatan penduduk akan menaikkan angka kejahatan properti sebesar 126,378 satuan atau kenaikan 1.000 jiwa/km2 akan menaikkan kejahatan properti sebanyak 126 kasus. Pengaruh personil linmas dalam menaikkan kejahatan properti sebesar 1,162 satuan, artinya setiap kenaikan 1 satuan jumlah linmas akan menaikkan angka kejahatan properti sebesar 1,162 satuan, atau penambahan 1.000 personil linmas akan menaikkan angka kejahatan properti sebanyak 1 kasus.

Variabel linmas sebagai faktor pencegah kejahatan berpengaruh signifikan namun positif terhadap angka kejahatan. Artinya penambahan jumlah personil linmas akan menaikkan angka kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat. Hasil ini bertolak belakang dengan hipotesis, dimana diharapkan semakin banyak personil linmas maka akan menurunkan angka kejahatan karena probabilitas tertangkap dari pelaku kejahatan menjadi tinggi. Kemungkinan dari hasil yang koefisien yang positif ini karena jumlah linmas yang berbanding lurus dengan jumlah penduduk dan luas wilayah. Semakin besar luas wilayah maka akan semakin besar jumlah penduduk, sehingga jumlah linmas yang terdaftar semakin banyak. Selain itu, dugaan lain yang menyebabkan koefisien linmas positif adalah kemungkinan faktor endogenitas dari keberadaan jumlah linmas terhadap angka kejahatan. Karena di suatu wilayah yang tingkat kejahatannya tinggi, maka jumlah linmas akan ditambah untuk membantu memperkuat pengamanan. Regresi sederhana dari kondisi tersebut menunjukkan bahwa tindakan pencegahan yang lebih kuat akan meningkatkan kejahatan, alih-alih mengurangi.

Page 251: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

240 Direktori Mini Tesis-Disertasi

E. Saran Kebijakan

Berdasarkan hasil dan kesimpulan dari penelitian ini, maka saran kebijakan yang dapat diberikan terkait penanganan masalah kejahatan properti di Provinsi Jawa Barat adalah:

1. Pemerintah provinsi bersama-sama dengan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam upaya meningkatkan angka Harapan Lama Sekolah agar dapat menyediakan sarana dan prasarana pendidikan tinggi dengan biaya yang terjangkau, agar masyarakat mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perguruan tinggi. Mengingat sampai tahun 2015 Harapan Lama Sekolah untuk Provinsi Jawa Barat baru berada di angka 12,15, yang artinya harapan anak-anak dapat bersekolah sampai jenjang pendidikan 12 tahun atau setingkat lulusan SMU.

2. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama-sama pemerintah daerah kabupaten/kota harus secara berkelanjutan menurunkan angka pengangguran melalui program-program yang berdampak langsung terhadap kegiatan masyarakat yang menganggur, seperti padat karya sehingga dapat meminimalkan seseorang untuk berpikir dan atau memiliki kesempatan melakukan kejahatan. Dengan harapan program ini pun dapat berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat yang juga akan meningkatkan kesejahteraan yang pada akhirnya dapat mengurangi angka kemiskinan.

3. Penelitian ini menemukan bahwa kepadatan penduduk berdampak menaikkan angka kejahatan. Akan tetapi, kepadatan penduduk tidak dapat dielakkan karena tren pertumbuhan populasi kota yang terus meningkat, ditambah laju urbanisasi yang cepat dan ekspansif. Sehingga perlu adanya perencanaan, desain dan praktik pembangunan yang inovatif dalam mengelola kepadatan penduduk yang tinggi, dengan tetap menjaga kualitas hidup yang baik dan layak huni demi kemakmuran rakyat. Upaya yang dapat dilakukan adalah kombinasi perencanaan jangka panjang, kebijakan penggunaan lahan yang responsif, serta pengendalian pembangunan dan desain yang baik seperti Singapura, sebagai salah satu negara terpadat di dunia tetapi mampu menjadi tempat yang layak dan nyaman untuk tinggal. Selain itu, menurut survei Numbeo, Singapura tercatat sebagai negara paling aman dengan tingkat kejahatan yang rendah. Hal ini tidak terlepas dari perencanaan tata ruang yang dilakukan oleh pemerintan Singapura. Karena Singapura menjadi lebih padat, desain perumahan bertingkat tinggi dimodifikasi untuk memperbaiki akses visual sehingga masyarakat dapat secara bersama-sama menjaga keamanan lingkungan, selain pemasangan Closed Circuit Television (CCTV) di area-area publik.

4. Penambahan jumlah linmas tidak efektif untuk menekan angka kejahatan properti sehingga perlu adanya upaya meningkatkan profesionalitas dengan

Page 252: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 241

pembinaan dan peningkatan kapasitas linmas untuk aktif dalam menjaga keamanan lingkungan sekitar, sesuai dengan tugas dan fungsinya, yaitu mencegah segala bentuk potensi gangguan yang mengancam keamanan, ketenteraman, serta ketertiban masyarakat.

Page 253: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

242 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 254: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

TINGKAT KETERBUKAAN DAERAH DAN KETIMPANGAN ANTARDAERAH

REGIONAL OPENNESS AND REGIONAL INEQUALITY

Nama : Mohamad Akbar

Instansi : Pemkab Lebak

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 255: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

244 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Ketimpangan antardaerah adalah salah satu isu strategis nasional dan regional di Indonesia. Ketimpangan tersebut menunjukkan perbedaan kemampuan pendapatan antarkabupaten/kota di dalam provinsi atau antarprovinsi secara nasional. Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara tingkat keterbukaan daerah dengan ketimpangan antardaerah dalam 33 Provinsi di Indonesia pada periode 2010−2015. Penelitian ini menyimpulkan bahwa tingkat keterbukaan daerah akan meningkatkan ketimpangan antardaerah dalam provinsi. Selanjutnya, ekspor suatu daerah yang berperan penting terhadap keterbukaan daerah, juga mempengaruhi ketimpangan antardaerah. Selain itu, penelitian ini mengidentifikasi bahwa Penanaman Modal Asing, Kepadatan Jalan, dan Ukuran Pemerintah dapat menurunkan ketimpangan antardaerah. Dengan demikian, untuk mengurangi ketimpangan antar daerah yang disebabkan oleh keterbukaan perlu dilakukan pemerataan kemampuan daerah untuk melakukan kegiatan produksi dan ekspor. Pemerintah daerah juga perlu menciptakan iklim investasi yang baik untuk menarik investor luar negeri, yang didukung oleh kemampuan belanja pemerintah daerah terutama untuk pembangunan untuk infrastruktur jalan.

Kata Kunci: Keterbukaan, Ketimpangan, Provinsi.

Page 256: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 245

ABSTRACT

Regional inequality is one of the national and regional strategic issues in Indonesia. The inequality indicates the difference in income capability between districts/cities within province or between provinces nationally. This study aims to examine the relationship between the regional openness with regional inequality within 33 provinces in Indonesia in the period 2010−2015. This study concludes that the level of regional openness will increase the regional inequality within provinces. Furthermore, the regional export plays an important role on the regional openness, also affect the regional inequality within province. In addition, this study identifies that Foreign Direct Investment, Road Density, and Governmental Size can reduce regional inequality. Thus, to reduce inequality between regions caused by the openness needs to be made equal distribution of regional capability to conduct production and export activities. Local governments also need to create a favorable investment climate to attract foreign investors, which is supported by local government expenditure capability especially for road infrastructure development.

Keywords: Openness, Inequality, Province.

Page 257: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

246 Direktori Mini Tesis-Disertasi

TINGKAT KETERBUKAAN DAERAH DAN KETIMPANGAN ANTARDAERAH

A. Latar Belakang

Ketimpangan antardaerah di Indonesia sendiri dapat dilihat dari perbedaan pendapatan dari masing-masing provinsinya. PDRB per kapita pada tahun 2015 tertinggi dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp142.892.190,00, sedangkan pada tahun yang sama PDRB per kapita terendah dimiliki oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp11.099.850,00. Ketimpangan pendapatan antara provinsi berpendapatan tertinggi dengan provinsi berpendapatan terendah adalah sebesar Rp131.792.340,00. Ketimpangan antara kedua provinsi tersebut cukup besar, karena provinsi dengan pendapatan terbesar kedua saja hanya memiliki PDRB per kapita sebesar Rp128.594.760,00, yaitu Provinsi Kalimantan Timur. Artinya nilai gap pendapatan provinsi yang memiliki PDRB per kapita tertinggi dengan provinsi yang memiliki PDRB per kapita terendah masih jauh lebih besar dibandingkan nilai PDRB per kapita provinsi lainnya. Perbedaan pendapatan yang sangat mencolok jika melihat 5 (lima) provinsi dengan pendapatan tertinggi, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Utara, dan Riau jika dibandingkan dengan provinsi lainnya. DI mana kelima provinsi tersebut memiliki PDRB per kapita di atas Rp60.000.000,00 dan provinsi lainnya hampir semua di bawah Rp40.000.000,00 kecuali Papua Barat dan Papua.

Berdasarkan plot antara PDRB per kapita dan indeks gini provinsi, dapat dilihat pola hubungan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan. Pola hubungan keduanya antara periode 2010−2015, baik dengan menggunakan data semua provinsi maupun dengan mengeluarkan provinsi outlier yang memiliki pendapatan jauh lebih besar dibanding provinsi lainnya (DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, dan Papua Barat) menunjukkan tren yang positif. Artinya semakin meningkat pertumbuhan ekonomi, maka semakin meningkat pula ketimpangan daerah. Dapat diduga bahwa pembangunan ekonomi masih dalam fase awal pembangunan berdasarkan Teori Kuznets. Hal ini selaras dengan transformasi struktur perekonomian Indonesia, di mana sebagian besar daerah terjadi pergeseran sektor pertanian ke sektor Industri. Namun, cukup mengejutkan ketika plot dibuat berdasarkan masing-masing tahun 2010 dan 2015. Hubungan antara PDRB per kapita dan indeks gini memiliki hubungan negatif yang ditunjukkan pada tahun 2010, sedangkan pada 2015 justru hubungannya positif. Tren yang sama juga ditunjukkan ketika provinsi outlier yang memiliki pendapatan tertinggi dikecualikan, yaitu pada 2010 trennya menurun sedangkan pada 2015 trennya menaik. Dapat diduga bahwa kebijakan pembangunan pada tahun 2015 meningkatkan pendapatan, namun juga meningkatkan kesenjangan pendapatan. Kemungkinan lain

Page 258: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 247

adalah dapat diduga kebijakan pembangunan dari tahun 2010 sampai 2015 justru gagal untuk mengurangi kesenjangan, bahkan meningkatkan kesenjangan.

Berdasarkan data jumlah tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan utama, dapat dilihat perbedaan sektor antardaerah. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur pada Agustus 2016, yaitu sebanyak 6,9 juta orang lebih. Sedangkan tenaga kerja pertanian yang paling sedikit adalah di DKI Jakarta sebanyak 53 ribu orang lebih pada tahun yang sama. Tenaga kerja yang bekerja di sektor manufaktur terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat pada Agustus 2016, yaitu sebanyak 5,4 juta orang lebih, sedangkan tenaga kerja manufaktur yang paling sedikit adalah di Kalimantan Utara sebanyak 49 ribu orang lebih pada tahun yang sama. Pada Agustus 2016 tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa terbanyak berada di Provinsi Jawa Barat, yaitu sebanyak 10,5 juta orang lebih, sedangkan tenaga kerja di sektor jasa yang paling sedikit adalah di Kalimantan Utara sebanyak 137,6 ribu orang lebih pada tahun yang sama.

Semua provinsi di Indonesia mengalami penurunan tenaga kerja di bidang pertanian kecuali di 5 (lima) provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sumatera Utara. Selanjutnya sektor manufaktur di semua provinsi mengalami peningkatan kecuali 13 Provinsi (Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Sumatera Utara). Transformasi sektor yang berbeda antardaerah ini dapat menyebabkan ketimpangan antardaerah.

Ketimpangan antardaerah di Indonesia telah menjadi perhatian khusus di samping pertumbuhan ekonominya. Ketimpangan antardaerah di Indonesia secara resmi dianalisis dan dipublikasikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui SIMREG Bappenas khususnya pada tahun 2011−2013. Penelitian terakhir yang dipublikasikan melalui SIMREG Bappenas tersebut adalah pada tahun 2013, yang menunjukkan bahwa ketimpangan antardaerah di Indonesia tergolong tinggi.

Hasil perhitungan ketimpangan antardaerah yang dilakukan Bappenas dengan menggunakan Indeks Williamson. Analisis hasil ketimpangan Indeks Williamson dapat dikelompokkan menjadi tiga dengan kategori tingkat ketimpangan rendah dengan nilai indeks kurang dari 0,3, tingkat ketimpangan sedang dengan nilai indeks antara 0,3−0,7, dan tingkat ketimpangan tinggi dengan nilai nilai indeks lebih dari 0,7. Pada periode tahun 2000-2012 sebagaimana hasil analisis tersebut, ketimpangan antardaerah tergolong tinggi karena indeks ketimpangannya selalu di atas 0,7 , bahkan lebih dari 1. Hanya ketimpangan antarpulau dan ketimpangan antardaerah di dalam Pulau Sulawesi saja yang tergolong rendah.

Page 259: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

248 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ketimpangan antardaerah juga menjadi penyebab salah satu dari tiga masalah pokok bangsa, yaitu melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional (Buku I RPJMN 20152019). Selanjutnya pada Buku II RPJMN 2015−2019 kesenjangan antarwilayah menjadi isu utama pembangunan, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sehubungan dengan hal tersebut, arah kebijakan utama pembangunan wilayah nasional difokuskan untuk mempercepat pengurangan kesenjangan pembangunan antar wilayah.

Adapun sasaran pengembangan wilayah terkait masalah ini adalah berkurangnya kesenjangan antarwilayah di masing-masing pulau yang ditandai dengan berkembangnya daerah tertinggal sebanyak 80 kabupaten tertinggal dapat terentaskan dengan sasaran outcome: (a) meningkatkan rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 7,24 persen; (b) menurunnya persentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 14 persen; dan (c) meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal sebesar 69,59 (Buku III RPJMN 2015−2019).

Ketimpangan antardaerah di Indonesia masih memungkinkan menjadi semakin parah. Hal ini terjadi salah satunya karena adanya perbedaan kemampuan masing-masing daerah dalam menarik investasi. Investasi sering terpusat di daerah tertentu, akibatnya membuat suatu daerah menjadi lebih kaya dibandingkan daerah yang lain sehingga semakin memperlebar ketimpangan. Terbukti dengan masih tingginya minat

investor dalam menanamkan modalnya di Pulau jawa.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Perdagangan memiliki peran yang penting dalam pertumbuhan suatu negara, yaitu memberikan keuntungan yang digunakan untuk pembangunan. Namun, pertumbuhan negara seringkali menemui beberapa masalah, salah satunya adalah ketimpangan pembangunan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa adanya hubungan yang erat antara perdagangan yang dilakukan suatu negara dengan ketimpangan yang dialami negara tersebut. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Pose (2012) yang berkesimpulan bahwa pada kombinasi kondisi negara tertentu perdagangan memiliki hubungan positif dan signifikan dengan ketimpangan daerah. Berdasarkan permasalahan tersebut, maka rumusan masalah dalam penulisan ini adalah Bagaimana pengaruh keterbukaan/perdagangan daerah terhadap ketimpangan antardaerah dalam provinsi di Indonesia?

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh keterbukaan/perdagangan terhadap ketimpangan antardaerah di Indonesia, sehingga perlu spesifikasi model yang menunjukkan hubungan keduanya. Ketimpangan antardaerah dalam model penelitian

Page 260: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 249

ini menggunakan Theil Entropy sebagaimana digunakan oleh Barua and Chakraborty

(2010), dengan menggunakan data masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Jawa Masih menjadi Daerah Tujuan Investasi Utama di Indonesia

Jawa masih menjadi daerah tujuan investasi utama di Indonesia, dapat dilihat dari total realisasi investasinya, yaitu sebesar US$ 24,493.5 juta, di mana Sumatera dengan nilai realisasi terbesar kedua (US$ 8,728.7 juta) pun hampir tiga kali lipat lebih kecil dibandingkan Jawa. Adapun total realisasi investasi Jawa di lima tahun terakhir terus meningkat, yaitu dari US$ 1,5184.2 juta pada Tahun 2011, sedangkan Sumatera sebesar US$ 3,333.1 juta. Investasi yang terkonsentrasi di daerah tertentu ini dapat meningkatkan ketimpangan antardaerah, sebagaimana terbukti dalam penelitian Daumal (2010) serta Zhang dan Zhang (2010). Daumal (2010) secara spesifik menjelaskan bahwa modal asing atau Foreign Direct Investment (FDI) adalah faktor yang sangat berpotensi memicu kesenjangan antardaerah, karena FDI sering terpusat di daerah-daerah tertentu. Berpusatnya FDI di daerah tertentu menyebabkan daerah yang menjadi pusat FDI memiliki pertumbuhan lebih pesat dibandingkan dengan daerah yang tidak menjadi tujuan FDI, sehingga menyebabkan ketimpangan antardaerah.

Dalam beberapa penelitian tentang ketimpangan, perbedaan sektor ekonomi antardaerah memiliki hubungan yang erat kaitannya dengan keterbukaan perdagangan, yaitu ekspor-impor. Seperti yang dinyatakan dalam tulisan Pose dan Gill (2005) perdagangan, khususnya ekspor-impor erat kaitannya dengan ketimpangan atau disparitas regional di enam negara yang menjadi objek penelitiannya. Penelitian yang dilakukannya menemukan bahwa perubahan komposisi perdagangan suatu negara akan mempengaruhi perubahan ketimpangannya. Pose dan Gill menegaskan bahwa ketika ekspor sektor pertanian suatu negara lebih lemah dibandingkan sektor lain maka ketimpangan negara tersebut meningkat, sebaliknya jika sektor pertaniannya lebih kuat dibandingkan

sektor lainnya maka ketimpangan akan menurun.

2. PMA Memiliki Pengaruh terhadap Ketimpangan AntarDaerah

Pengujian model pada penelitian ini menunjukkan pengaruh variabel pendapatan terhadap ketimpangan antardaerah. Hasilnya adalah PDRB ADHK konsisten memiliki pengaruh yang menaikkan ketimpangan antardaerah. Artinya ketika PDRB ADHK naik maka akan menaikan ketimpangan antardaerah, temuan ini

Page 261: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

250 Direktori Mini Tesis-Disertasi

sesuai dengan temuan Pose (2012), Daumal (2010), dan Silva (2007). Kenaikan PDRB ADHK sebesar Rp1 Triliun akan menaikkan ketimpangan sebesar sekitar 0,12−0,15 unit indeks.

Pengujian model (1) menunjukkan bahwa variabel PMA memiliki pengaruh terhadap ketimpangan antardaerah, yaitu pengaruhnya adalah menurunkan ketimpangan. Temuan ini bertolak belakang dengan studi literatur terdahulu di mana PMA adalah menaikkan ketimpangan daerah, sehingga dibuatlah variabel dummy pulau. Dummy pulau bernilai 1 apabila suatu daerah terletak di luar Pulau Jawa, sedangkan bernilai 0 bila berlokasi di Pulau Jawa. Kemudian variabel dummy tersebut dikalikan dengan variabel PMA sehingga terbentuk variabel PMA riil pulau. Variabel tersebut diregresi terhadap variabel terikat, hasilnya variabel ini signifikan sedangkan variabel PMA menjadi tidak signifikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh PMA akan menurunkan ketimpangan antardaerah ketika PMA berlokasi di luar Pulau Jawa. Terdapat dua kemungkinan yang dapat menjelaskan hasil analisis ini. Pertama, pengaruh PMA yang menurunkan ketimpangan diduga karena objek penelitian dan lingkupnya yang berbeda. Hasil temuan Daumal (2010) serta Zhang dan Zhang (2010), di mana pengaruh PMA adalah positif, menggunakan objek penelitian masing-masing di Brazil dan India serta Cina dengan lingkup nasional. Penelitian yang dilakukan di lingkup ketimpangan antardaerah di dalam provinsi, yaitu di Bali (Pauzi dan Budiana, 2016), Jawa Tengah (Siswanto dan Miyasto, 2011), menunjukkan bahwa PMA tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan di dalam provinsi. Temuan tersebut sejalan dengan penelitian Suerlianto (2014), yaitu PMA tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan antardaerah di dalam provinsi, namun memiliki pengaruh yang menaikan ketimpangan antarprovinsi. Di Yogyakarta (Nurwulansari, 2015) dan DIY-Jawa Tengah (Sultan dan Sodik, 2010) PMA berpengaruh menurunkan ketimpangan antarkabupaten/kota. Di Sulawesi Selatan (Syamsidar, 2017) investasi memiliki pengaruh yang menaikan ketimpangan pendapatan antardaerah. Kedua, Heckscher–Ohlin dalam Pose dan Ezcurra (2010), menyatakan bahwa investasi akan berlokasi di daerah-daerah yang memiliki faktor produksi yang murah, sehingga keuntungan investasi akan diperoleh daerah

tersebut sehingga mengurangi ketimpangan antardaerah.

3. Faktor Endowment

Rasio panjang jalan konsisten memiliki pengaruh yang menurunkan ketimpangan antardaerah. Sebagaimana Pose (2012) menjelaskan bahwa endowment yang berupa infrastruktur mencerminkan aksesibilitas, sehingga logis apabila rasio panjang jalan yang baik dapat mengurangi ketimpangan daerah. Semakin merata aksesibilitas, semakin merata pula akses industri kepada faktor industri, pasar, juga

Page 262: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 251

informasi teknologi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa temuan ini mendukung penelitian Silva (2007) dan Pose (2012), yaitu terdapat pengaruh faktor endowment terhadap ketimpangan daerah.

Adanya pengaruh dari faktor pemerintah terhadap ketimpangan antardaerah, yaitu variabel ukuran pemerintah memiliki pengaruh yang menurunkan ketimpangan antardaerah. Artinya ketika ukuran pemerintah naik maka akan mengurangi ketimpangan antardaerah. Temuan ini sesuai dengan temuan Pose dan Ezcurra (2010) serta Ezcurra dan Pose (2013), di mana ukuran pemerintah (Government Size) mengurangi ketimpangan daerah. Ukuran pemerintah ini mencerminkan kemampuan pemerintah dalam penyediaan barang publik, di mana barang publik sendiri memberikan eksternalitas positif kepada masyarakat juga industri yang menciptakan kondisi perekonomian yang baik. Pemerataan barang publik dapat membuat pemerataan kemampuan daerah, selanjutnya mengurangi ketimpangan antardaerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peran pengeluaran pemerintah daerah dapat mengurangi ketimpangan antardaerah.

Pengujian model yang memasukkan variabel sektor primer dan sektor sekunder dalam mempengaruhi ketimpangan. Walaupun hasilnya tidak signifikan, namun sektor sekunder yang terdiri dari industri manufaktur menunjukkan potensi pengaruh yang menurunkan ketimpangan dilihat dari nilai koefisiennya yang negatif. Artinya pemerataan sektor industri berpotensi menurunkan ketimpangan

antardaerah.

4. Faktor Nilai Rasio Ekspor dan Impor

Rasio ekspor maupun rasio impor memiliki pengaruh yang signifikan terhadap ketimpangan antardaerah. Dilihat dari koefisiennya rasio ekspor (0,0513) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan impornya (0,0428). Dilihat dari signifikansinya, rasio ekspor signifikan pada signifikansi 1%, sedangkan rasio impor pada 5%. Berdasarkan kedua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio ekspor daerah adalah yang paling berperan dalam pengaruh keterbukaan/perdagangan terhadap ketimpangan antardaerah. Kemudian yang perlu mendapat perhatian khusus adalah nilai koefisien dari rasio ekspor daerah ini lebih besar dibandingkan dengan nilai koefisien indeks keterbukaan daerah. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa koefisien indeks keterbukaan daerah sendiri sebesar 0,023−0,025, sedangkan koefisien rasio ekspor daerah sebesar 0,051. Hal ini sesuai dengan teori perdagangan, di mana suatu daerah akan lebih kaya dibanding daerah lain ketika daerah tersebut melakukan ekspor, sedangkan yang lainnya tidak.

Page 263: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

252 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Variabel PDRB per kapita dan UMR memiliki pengaruh terhadap ketimpangan pendapatan antarperorangan, namun tidak signifikan terhadap ketimpangan antardaerah. Temuan ini dapat disimpulkan bahwa ketimpangan antardaerah dan ketimpangan antarpendapatan perorangan memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga berbeda pula faktor yang mempengaruhi keduanya.

Analisis regresi yang telah dilakukan membuktikan adanya variabel yang signifikan mempengaruhi ketimpangan antardaerah, di samping terdapat beberapa yang tidak. Sehingga perlu dibentuk model hubungan variabel bebas yang signifikan mempengaruhi variabel terikat.

5. Indeks Keterbukaan Daerah

Indeks keterbukaan daerah memiliki pengaruh yang menaikan indeks ketimpangan antar daerah. Nilai pengaruh keterbukaan daerah sangat kecil, yaitu ketika naik 1 unit indeks maka ketimpangan antar daerah naik 0,025 unit indeks. Walaupun pengaruhnya sangat kecil penelitian ini berhasil membuktikan adanya potensi tingkat keterbukaan daerah untuk menaikkan tingkat ketimpangan antardaerah. Kemudian variabel PMA pun juga pengaruhnya sangat kecil, bahkan hampir mendekati nol, di mana ketika PMA naik sebesar US$ 1 Miliar maka ketimpangan akan turun sebesar 0,009 satuan indeks. Di samping itu, penelitian ini berhasil menemukan bahwa pengaruh rasio panjang jalan dan ukuran pemerintah adalah menurunkan ketimpangan antardaerah. Nilai pengaruh kedua variabel tersebut lebih besar daripada nilai pengaruh indeks keterbukaan daerah, yaitu ketika rasio jalan naik 1 satuan maka indeks ketimpangan turun sebesar 0,130 satuan indeks dan ketika ukuran pemerintah naik 1 satuan maka indeks ketimpangan turun sebesar 0,699 satuan indeks. Merujuk kepada Hirschman (1958) bahwa ketimpangan antardaerah adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan dalam proses pembangunan, maka meningkatkan keterbukaan daerah dalam proses pembangunan adalah pilihan yang logis. Ketika ketimpangan sendiri tidak dapat terelakkan, maka meningkatkan keterbukaan daerah sebagai engine of growth dan untuk mendapatkan gain from trade yang mana pengaruhnya sangat kecil terhadap ketimpangan adalah hal yang perlu dilakukan oleh setiap daerah. Potensi keterbukaan daerah dalam meningkatkan ketimpangan antardaerah pun dapat diimbangi dengan pembangunan infrastruktur seperti pembangunan jalan raya untuk meningkatkan aksesibilitas daerah yang tertinggal, serta dengan meningkatkan rasio belanja pemerintah pada barang publik di daerah-daerah tertinggal untuk mengejar ketertinggalannya. John Rawls dalam Todaro dan Smith (2015) berpendapat bahwa sebagian besar orang akan memilih negara dengan tingkat ketimpangan pendapatan tertentu, di mana ketika suatu negara memiliki tingkat pemerataan yang sempurna maka dorongan untuk bekerja keras dan

Page 264: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 253

berinovasi akan hilang. Tingkat ketimpangan tertentu tersebut adalah dengan tingkat ketimpangan rendah (0−0.39), sehingga pada intinya adalah peran daerah dalam mengendalikan ketimpangan tetap pada tingkat yang rendah itu sangat penting dengan cara meningkatkan aksesibilitas dan pengeluaran yang produktif, di samping berorientasi pada meningkatkan pembangunan melalui keterbukaan perdagangan.

Setelah melalui analisis secara empiris terhadap model penelitian, dapat disimpulkan empat poin penting. Pertama, keterbukaan daerah memiliki pengaruh yang menaikan ketimpangan antardaerah, sehingga ketika rasio keterbukaan naik maka ketimpangan antardaerah naik. Kedua, rasio ekspor daerah adalah yang paling berperan/berkontribusi dalam hubungan keterbukaan daerah dengan ketimpangannya. Ketiga, pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang positif dengan ketimpangan antardaerah. Keempat, terdapat beberapa faktor ketimpangan yang tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan antardaerah, tetapi signifikan

mempengaruhi ketimpangan pendapatan antarperorangan.

D. Kesimpulan

Penelitian ini menemukan bahwa tingkat keterbukaan perdagangan daerah memiliki pengaruh menaikan tingkat ketimpangan antardaerah. Keterbukaan perdagangan daerah konsisten dalam mempengaruhi ketimpangan antardaerah dalam kombinasi variabel determinan ketimpangan. Berdasarkan pengujian model, koefisien keterbukaan daerah adalah antara 0,023−0,025, artinya ketika tingkat keterbukaan daerah naik sebesar 1 unit indeks keterbukaan maka ketimpangan antardaerah akan naik antara 0,024 sampai 0,025 unit indeks. Selanjutnya, rasio ekspor terbukti memiliki kontribusi dan peran yang penting dalam pengaruh keterbukaan/perdagangan terhadap ketimpangan, dibandingkan impornya. Hal ini sesuai dengan pendapat kaum Mercantilist bahwa cara untuk suatu negara agar menjadi kaya dan kuat adalah dengan mengekspor lebih banyak dibandingkan dengan impornya (Salvatore, 2013). Kekayaan tersebut didapat dari keuntungan perdagangan (gain from trade) dan dalam kondisi surplus ekspor (ekspor lebih besar dari impor). Sehingga daerah yang memiliki ekspor yang lebih banyak akan lebih kaya dibandingkan dengan daerah lain, akibatnya menyebabkan ketimpangan antardaerah.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa ukuran pemerintah dan rasio panjang jalan memiliki pengaruh menurunkan ketimpangan daerah, serta nilainya lebih besar daripada pengaruh keterbukaan daerah. Penelitian ini juga menemukan bahwa terdapat variabel bebas yang tidak signifikan mempengaruhi ketimpangan antardaerah tetapi signifikan mempengaruhi ketimpangan pendapatan antarperorangan. Kemudian

Page 265: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

254 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh yang menaikkan ketimpangan antardaerah

dan ketimpangan antarperorangan.

E. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan hasil dan kesimpulan dari penelitian ini, maka direkomendasikan kebijakan dalam hubungan tingkat keterbukaan daerah dengan pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan antardaerah adalah sebagai berikut.

1. Pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan agar dapat meningkatkan tingkat keterbukaan daerah serta mengendalikan dampak ketimpangan agar tetap pada tingkat yang rendah.

2. Meningkatkan keterbukaan daerah adalah dengan cara meningkatkan ekspor daerahnya. Peningkatan ekspor ini dengan cara pembangunan industri berorientasi ekspor.

3. Pengendalian ketimpangan oleh pemerintah, yaitu dengan cara meningkatkan belanja pemerintah dalam penyediaan sarana dan prasarana di daerah sehingga tercipta kondisi yang kondusif untuk kegiatan ekonomi. Pengendalian dampak ketimpangan juga dapat dilakukan dengan cara menambah infrastruktur, seperti jalan raya sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas.

4. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengendalikan ketimpangan harus membedakan kebijakan untuk pengendalian ketimpangan daerah atau pengendalian ketimpangan individu.

Page 266: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PENGARUH LINGKUNGAN ORGANISASI TERHADAP KINERJA HIBAH ASET SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

INFLUENCE OF ORGANIZATIONAL ENVIRONMENT ON ASSET GRANT PERFORMANCE OF DRINKING WATER SUPPLY SYSTEM

Nama : Ni Luh Made Nurinawati

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum

dan Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Universitas Indonesia

Page 267: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

256 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Manajemen aset di pemerintahan masih mengalami beberapa permasalahan. Untuk itu, penelitian ini ingin menganalisis unsur-unsur dalam lingkungan organisasi yang memengaruhi kinerja hibah aset. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi permasalahan tersebut sehingga akan meningkatkan kinerja hibah aset. Berdasarkan studi empiris, untuk meningkatkan kinerja hibah aset SPAM, diperlukan kerangka acuan manajemen aset dan ditemukan 5 (lima) unsur dalam lingkungan organisasi yang memengaruhinya, antara lain kepemimpinan, kompetensi sumber daya manusia, regulasi, teknologi, dan koordinasi Stakeholder. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini bersifat laten, untuk itu metode analisis yang digunakan adalah Structural Equation Modeling – Partial Least Square (SEM-PLS). Data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh melalui survei menggunakan kuesioner dengan jumlah responden sebanyak 136 orang dan yang dapat diolah hanya sebanyak 124 jawaban responden. Hasil penelitian membuktikan bahwa kepemimpinan, kompetensi SDM, regulasi, teknologi, dan koordinasi Stakeholder berpengaruh dan arahnya positif terhadap kinerja hibah aset melalui manajemen aset, di mana regulasi merupakan faktor dominannya. Hal ini berarti bahwa peningkatan dalam kepemimpinan, kompetensi SDM, regulasi, teknologi, dan koordinasi Stakeholder dapat meningkatkan kinerja hibah aset di mana manajemen aset sebagai mediatornya. Maka dari itu, pemerintah sebaiknya melakukan review regulasi dan menyederhanakan proses dan persyaratan hibah aset serta membangun sistem informasi hibah aset untuk memudahkan koordinasi antarpihak.

Kata Kunci: Manajemen aset, hibah aset, pemerintah, lingkungan organisasi

Page 268: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 257

ABSTRACT

Asset management in the government is still facing some problems. Therefore, this study aims to analyze the elements of the organization environment that affect the performance of the asset grant. This research is expected to provide policy recommendations to overcome these problems so as to improve asset grant performance. Based on empirical studies, to improve the performance of SPAM asset grants, it is necessary to frame asset management references and find 5 (five) elements within the organization environment that influence them, among others, leadership, human resource competence, regulation, technology and Stakeholder coordination. The variable used in this research is latent, where the analytically method used is Structural Equation Modeling Partial Least Square (SEM-PLS). The data used are primary data obtained through survey with questionnaires with the number of respondents as many as 136 people and who can only be processed as much as 124 respondents. The results show that leadership, human resources, regulation, technology, and Stakeholder coordination have a significant effect and a positive direction on asset grant performance through asset management, where regulation is the dominant factor. This means that improved leadership, human resource competencies, regulations, technology, and stakeholder’s coordination will improve the performance of asset grants where the asset management is mediated. Therefore, the government should review the regulations and simplify the process and requirements of the asset grant and build a grant information system to facilitate coordination between the parties.

Keywords: Asset management, asset grant, government, organizational environment

Page 269: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

258 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PENGARUH LINGKUNGAN ORGANISASI TERHADAP KINERJA HIBAH ASET SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM

A. Latar Belakang

Air minum merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan bagi kehidupan manusia secara berkelanjutan dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pembangunan infrastruktur air minum atau yang disebut dengan penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), meliputi pembangunan baru, peningkatan kapasitas, dan perluasan jaringan distribusi air, dalam rangka memenuhi kuantitas, kualitas, dan kontinuitas air minum.

Hingga saat ini, aset infrastruktur air minum yang dimiliki oleh pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) berjumlah 34 Triliun per 31 Desember 2016. Aset SPAM yang dibangun oleh pemerintah pusat ini merupakan bentuk pembinaan penyelenggaraan air minum terhadap pemerintah daerah dalam bentuk bantuan teknis.

Aset pemerintah yang pembangunannya ditujukan untuk pihak lain, maka harus segera diserahkan melalui mekanisme hibah. Hibah aset SPAM merupakan salah satu tugas dari Satuan Kerja Pengembangan SPAM Provinsi yang harus dilakukan, karena aset infrastruktur air minum yang dimilikinya tidak dapat dimanfaatkan dan dikelola oleh instansi tersebut. Penilaian kinerja organisasi turut menilai bagaimana pencapaian hibah aset SPAM yang terlaksana sesuai dengan prosedurnya.

Direktorat Pengembangan SPAM Kementerian PUPR telah melakukan survei terhadap 4 (empat) provinsi, yaitu Provinsi NAD, Jawa Timur, Gorontalo, dan Maluku untuk mengetahui permasalahan yang terjadi dalam hibah aset SPAM. Sebagaimana tertuang dalam Laporan Kegiatan Tata Kelola Barang Milik Negara Direktorat Pengembangan SPAM, dipilihnya 4 (empat) provinsi tersebut berdasarkan kinerja hibah aset SPAM, yaitu Provinsi NAD dan Gorontalo dengan kinerja baik, sedangkan Provinsi Jawa Timur dan Maluku dengan kinerja buruk. Penilaian kinerja baik adalah apabila telah lolos dalam pengusulan hibah aset SPAM, sedangkan kinerja buruk adalah belum pernah lolos dalam pengusulan hibah aset SPAM.

Capaian hibah aset SPAM untuk Provinsi NAD sebesar 19 persen dan Provinsi Gorontalo sebesar 27,4 persen dari potensi aset yang akan dihibahkan. Sedangkan Provinsi Jawa Timur dan Maluku belum ada capaian hibah aset SPAM. Berdasarkan hasil survei tersebut, ditemukan beberapa permasalahan dalam pelaksanaan hibah aset SPAM, yaitu terkait dengan pimpinan instansi, sumber daya manusia (SDM) atau

Page 270: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 259

pegawai di dalamnya, peraturan-peraturan, penggunaan teknologi, dan koordinasi dengan pihak terkait, yang akan dibahas satu-persatu di bawah ini.

Permasalahan dalam hal kepemimpinan yang sering terjadi, yaitu tidak adanya dorongan yang kuat dari pimpinan saat itu dalam melaksanakan hibah aset SPAM. Pergantian pimpinan juga menghambat pelaksanaan hibah aset SPAM karena perlu adanya adaptasi pekerjaan yang baru. Padahal, kepemimpinan berperan penting dalam organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik, organisasi akan mengalami konflik akibat adanya perbedaan pandangan tiap individu di dalamnya (Liphadzi, 2017). Selain itu, keterampilan pemimpin akan mempengaruhi kinerja organisasi. Raducan & Raducan (2014) menjelaskan kepemimpinan identik dengan kemampuan untuk dapat meyakinkan dan memberikan motivasi orang lain dalam pencapaian target yang telah ditetapkan.

Permasalahan kedua yang dihadapi berkaitan dengan SDM atau pegawai di dalam organisasi tersebut, baik dari sisi kompetensi SDM maupun jumlah SDM yang terlibat. Sebagian besar pegawai yang bertugas dalam manajemen aset tidak memahami peraturan atau prosedur manajemen aset khususnya hibah aset. Hal ini dibuktikan dengan para pegawai tidak dapat menjawab pertanyaan yang diberikan melalui kuesioner terkait dengan manajemen aset dan hibah aset SPAM. Selain itu, para pegawai sering kali diberi beban kerja yang melebihi kapasitasnya. Direktorat Pengembangan SPAM telah memberikan pendidikan dan pelatihan (diklat) tentang manajemen aset kepada para pegawai, namun hanya dilaksanakan 1−2 kali dalam setahun untuk semua provinsi. Diklat tersebut tidak efektif, karena tidak semua pegawai dapat mengikutinya akibat terbatasnya kuota peserta diklat. Selain itu, adanya pekerjaan tambahan di luar manajemen aset, di mana hal ini semakin menambah beban kerja pegawai di satker tersebut.

Permasalahan terkait SDM perlu segera ditangani, karena pengelolaan SDM yang efektif merupakan faktor penting dalam menciptakan nilai atau kinerja organisasi (Ciziuniene et al., 2015). Peraturan atau regulasi mengenai tahapan dalam manajemen aset yang digunakan sebagai acuan kegiatan organisasi sangat kompleks, untuk itu sosialisasi kepada para pegawai perlu dilakukan secara intensif. Terdapat 13 (tiga belas) persyaratan dokumen kelengkapan wajib untuk proses hibah aset SPAM, antara lain: a) Dokumen Kepemilikan; b) DIP/DIPA atau dokumen sejenis; c) Kartu Inventarisasi Barang (KIB)/Daftar Barang Lainnya (DBL); d) Listing, Kondisi Barang, Listing Histori Transaksi BMN; e) BAST Terkait Perolehan (BAST PHO/BAST Pembelian Barang); f) Daftar/Rincian Barang Milik Negara (BMN); g) Foto Kondisi BMN; h) Surat Usulan Kasatker; i) Surat pernyataan SPM/SP2D, dan Supervisi; j) Kontrak fisik, Kontrak Supervisi, Addendum Fisik dan Addendum Supervisi; k) Asbuilddrawing; l) Surat BAST PDAM dan Surat Bupati. Satuan Kerja Pengembangan SPAM provinsi merasa kesulitan jika harus memenuhi ketigabelas persyaratan tersebut. Regulasi sangatlah penting dalam

Page 271: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

260 Direktori Mini Tesis-Disertasi

manajemen aset dan hibah aset sebagai pedoman yang merupakan prinsip kerja dan petunjuk secara luas maupun spesifik tentang bagaimana aset seharusnya dikelola (Lu, 2011:161). Regulasi dapat menjadi penghambat dalam manajemen apabila kurangnya kemampuan penegakkan hukum, pendanaan, dan ketidakpastian pemahaman (Neal, 2017).

Permasalahan lainnya berkaitan dengan masih kurangnya penggunaaan teknologi dalam pelaksanaan manajemen aset. Tidak ada sarana penyimpanan arsip dokumen aset yang efektif dan efisien, sehingga kesulitan dalam mencari informasi aset ketika dibutuhkan. Setiap aset memiliki arsip sejak aset tersebut direncanakan hingga pembangunan aset. Semakin banyak aset yang dimiliki, semakin banyak pula arsip yang harus dikelola. Penyelenggaraan kearsipan yang baik akan memberikan dampak positif bagi organisasi, meminimalkan kesalahan yang ditimbulkan manajemen suatu organisasi.

Pentingnya pengelolaan arsip sebagai elemen kunci dalam administrasi manajemen, menyediakan berbagai informasi publik dan utilitas sosial (Casadesus de Mingo & Cerrillo i Martinez, 2017). Untuk mendukung hal tersebut, penyediaan penyimpanan arsip secara digital sangat diperlukan agar dapat menyediakan informasi secara cepat. Penggunaan teknologi informasi mengalami hambatan karena belum ada sistem informasi yang dapat memantau aset secara langsung. Teknologi informasi sangat dibutuhkan karena lokasi aset yang berjauhan dengan lokasi kantor Satuan

Kerja Pengembangan SPAM provinsi.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Berdasarkan latar belakang penelitian, permasalahan utama adalah rendahnya capaian organisasi Satuan Kerja Pengembangan SPAM dalam mengusulkan hibah aset SPAM, disebabkan oleh adanya kendala yang dihadapi pada lingkungan organisasinya. Maka dari itu pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengaruh lingkungan organisasi terhadap kinerja hibah aset SPAM.

Proses penelitian ini dimulai dengan merumuskan masalah dan menetapkan tujuan yang ingin dicapai, dan didukung dengan referensi atau tinjauan pustaka dari berbagai literatur. Langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Karena data yang digunakan adalah data primer, maka pengumpulan data dilakukan dengan instrumen kuesioner. Perancangan kuesioner mengacu pada pemilihan variabel yang telah ditetapkan berdasarkan studi literatur. Kemudian kuesioner ini dilakukan pengujian terlebih dahulu kepada beberapa pakar

Page 272: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 261

dalam bidangnya. Yang dimaksud pakar di sini adalah orang-orang yang tergabung dalam sebuah tim yang terdiri dari berbagai unit kerja yang bertanggung jawab dalam pengelolaan aset, termasuk proses hibah aset. Tim tersebut berjumlah 10 (sepuluh) orang yang maisng-masing handal dalam pengelolaan aset dan hibah aset. Jika valid (pakar menyetujui), kuesioner siap untuk didistribusikan. Namun jika sebaliknya, maka kuesioner dilakukan perbaikan. Proses ini berulang selama 3 (tiga) kali hingga valid

(pakar menyetujui).

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Permasalahan Hibah Aset

Hibah aset melibatkan pemilik aset dengan penerima hibah aset. Selain itu, masih ada beberapa pihak lain yang juga terlibat dalam pelaksanaan hibah aset ini. Komunikasi yang baik dengan para pemangku kepentingan akan menjadi elemen penting dalam menghadapi ketidakpastian proyek (Johansen, 2014). Dalam mengusulkan hibah aset misalnya, pihak yang terlibat antara lain mulai dari Satuan Kerja Pengembangan SPAM provinsi sampai ke tingkat Menteri PUPR, kepala daerah yang akan menerima hibah aset SPAM, Kementerian Keuangan, dan penyelenggara SPAM di daerah. Koordinasi antarpihak sangat penting untuk kelancaran proses hibah aset. Permasalahan yang sering terjadi adalah pihak pemerintah daerah kurang dilibatkan dalam pembangunan aset yang akan dihibahkan, sehingga berakibat pada sulitnya memperoleh surat kesediaan menerima hibah dari kepala daerah. Seperti yang dinyatakan oleh Lemer (1999), salah satu tantangan manajer aset adalah bagaimana untuk dapat memenuhi kepentingan yang beragam dari para stakeholder.

Permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan hibah aset, akan berdampak pada kondisi aset itu sendiri. Berdasarkan data yang dimiliki oleh Direktorat Pengembangan SPAM Kementerian PUPR, terdapat 173 unit dari 238 unit aset SPAM yang kondisinya belum fungsional akibat tidak adanya pengelolaan aset. Selain itu, penilaian kinerja instansi menjadi tidak baik karena adanya temuan oleh pihak auditor terkait dengan adanya aset SPAM yang belum dihibahkan kepada pemerintah daerah.

Untuk meningkatkan capaian hibah aset SPAM, Direktorat Pengembangan SPAM selaku penanggung jawab satuan kerja provinsi telah melakukan pendampingan setiap tahunnya sejak tahun 2011 guna mempercepat hibah aset SPAM ini. Pendampingan yang diberikan berupa pembinaan kompetensi SDM dalam bidang pengelolaan aset atau dikenal dengan istilah manajemen aset.

Page 273: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

262 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Namun, hal ini masih belum memberikan perubahan terhadap capaian hibah aset SPAM yang masih rendah. Berdasarkan hasil Laporan Kegiatan Tata Kelola BMN instansi tersebut, ditemukan permasalahan dalam manajemen aset seperti pencatatan atau inventarisasi aset yang tidak lengkap. Adanya permasalahan tersebut akan menghambat proses dalam pengambilan keputusan terhadap suatu aset yang terkait dengan kepemilikan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan atau hibah aset (Kaganova et al., 2006).

Setiap organisasi yang memiliki aset infrastruktur bertanggung jawab untuk mengelola dan mengoperasikan aset tersebut melalui proses manajemen (Abuzayan, 2014). Dalam organisasi pemerintahan, pelaksanaan manajemen aset bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi, tertib hukum, dan tertib fisik. Dengan manajemen aset, sasaran dan tujuan organisasi akan tercapai secara efektif dan efisien. Sebagaimana tujuan dari manajemen asset, yaitu aset dapat

berfungsi secara optimal dan dengan biaya pemeliharaan yang minimum.

2. Kepemimpinan terhadap Manajemen Aset

Variabel kepemimpinan berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap variabel manajemen aset. Apabila terdapat hambatan dalam kepemimpinan akan menghambat organisasi dalam melaksanakan manajemen aset, dan begitu pula sebaliknya. Sejalan dengan pendapat Shah et al (2017) bahwa salah satu tantangan dalam memastikan pelaksanaan manajemen aset adalah berasal dari pemimpin suatu organisasi. Untuk meningkatkan kepemimpinan, maka pemimpin harus dapat memberikan perintah atau arahan kepada bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Arahan yang diberikan sesuai dengan visi dan misi organisasi. Pemimpin juga harus dapat berkonsultasi dengan para pegawainya untuk memberikan bimbingan, motivasi, ataupun memberi nasihat dalam rangka mencapai tujuan. Pendelegasian tugas-tugas kepada para pegawainya harus dilakukan secara tepat, sehingga mewujudkan tanggung jawab yang dimiliki pegawai.

3. Kompetensi SDM terhadap Manajemen Aset

Variabel kompetensi SDM berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap variabel manajemen asset. Artinya apabila terdapat hambatan dalam kompetensi SDM akan menghambat organisasi dalam melaksanakan manajemen aset, dan begitu pula sebaliknya. Sejalan dengan pendapat Shah et al (2017) bahwa salah satu tantangan dalam memastikan pelaksanaan manajemen aset adalah kemampuan atau kompetensi yang dimiliki para pegawai dalam organisasi.

Page 274: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 263

Meningkatkan kompetensi SDM akan meningkatkan pelaksanaan manajemen aset. Jika para pegawai memiliki pengetahuan terkait manajemen aset maka akan memudahkan dalam menyelesaikan pekerjaan. Selain itu, keterampilan dalam melaksanakan manajemen aset yang sesuai dengan prosedur, akan menghasilkan akuntabilitas laporan manajemen aset. Apabila pegawai menemukan permasalahan dalam melaksanakan kegiatan manajemen aset, mereka diharapkan dapat memberikan ide dan inovasi dalam menyelesaikannya serta dapat bekerja sama dengan para pegawai lainnya baik di dalam maupun di luar organisasi. Mengingat manajemen aset merupakan multidisiplin ilmu sehingga banyak melibatkan pihak lain.

4. Regulasi terhadap Manajemen Aset

Variabel regulasi berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap variabel manajemen aset. Jika terjadi hambatan dalam hal regulasi tentang manajemen aset maka akan menghambat organisasi dalam melaksanakan manajemen aset, dan begitu pula sebaliknya.

Parlikad dan Jafari (2016) serta Wahyudi (2017) menyatakan bahwa salah satu tantangan dalam manajemen aset adalah regulasi yang mengatur aset yang dikelola, karena setiap aset memiliki regulasi tersendiri. Faktor regulasi merupakan faktor dominan dalam lingkungan organisasi yang memmengaruhi capaian hibah aset melalui manajemen aset. Hal ini dapat dilihat pada koefisien jalur untuk variabel regulasi sebesar 0,3073. Hal ini sejalan dengan hasil jawaban responden melalui pertanyaan terbuka yang diberikan dalam kuesioner penelitian, faktor yang dominan dalam menghambat manajemen aset dan hibah aset di Satuan Kerja Pengembangan SPAM provinsi adalah dalam hal prosedur, regulasi, maupun birokrasi yang terlalu rumit dan prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Berdasarkan hasil wawancara dengan Tim Verifikasi Hibah BMN Direktorat Pengembangan SPAM Kementerian PUPR, yang menjadi hambatan dalam manajemen aset dan hibah aset adalah penggunaan persyaratan hibah aset. Verifikator yang berbeda sering dijumpai perbedaan dalam penetapan persyaratan hibah aset. Penerapan regulasi yang tidak konsisten ini, akan menyulitkan Satuan Kerja Pengembangan SPAM dalam mempersiapkan usulan hibah aset SPAM. Satuan kerja ini harus memperbaiki kelengkapan dokumen persyaratan sesuai dengan permintaan verifikator, sehingga semakin membutuhkan waktu dan biaya dalam pengusulan hibah aset.

Regulasi merupakan acuan atau prosedur yang digunakan organisasi dalam melaksanakan manajemen aset. Regulasi disusun dengan mengakomodir kebutuhan berbagai pihak, tidak saling tumpang tindih atau berbenturan, konsisten

Page 275: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

264 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dalam menggunakan regulasi sebagai acuan dalam bekerja, dan secara rutin mengevaluasi regulasi untuk menghindari terhambatnya suatu pekerjaan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, diharapkan dengan adanya regulasi yang efektif dan efisien dapat memudahkan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Keberadaan regulasi diperlukan untuk meningkatkan kualitas kerangka pelaporan.

5. Teknologi terhadap Manajemen Aset

Variabel teknologi berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap variabel manajemen aset. Jika terjadi hambatan dalam hal teknologi maka akan menghambat organisasi dalam melaksanakan manajemen aset, dan begitu pula sebaliknya.

Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan Direktorat Pengembangan SPAM dan Satuan Kerja Pengembangan SPAM provinsi, proses hibah aset SPAM ini tidak dilengkapi dengan sarana teknologi informasi yang dapat memantau setiap tahapan proses yang dilalui dari awal pengusulan hibah aset hingga persetujuan hibah dan serah terima aset yang dihibahkan kepada pemerintah daerah. Pada praktiknya, untuk melakukan pengecekan status tahapan hibah aset SPAM masih dilakukan secara manual menggunakan Microsoft Excel yang masih dikontrol oleh petugas tertentu, sehingga menimbulkan ketergantungan terhadap seseorang dan keterbatasan akses informasi. Padahal di era digital saat ini, teknologi informasi merupakan suatu cara yang dapat memudahkan aktivitas manusia dalam bekerja.

Teknologi informasi semakin dikenal dan digunakan sebagai alat untuk membantu manajerial kegiatan yang melibatkan pengambilan keputusan untuk masalah kompleks yang dihadapi (Chapman, 2005). Penggunaan teknologi akan membantu manajemen sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien. Pada awal pelaksanaan manajemen aset, organisasi dapat merencanakan investasi dalam hal teknologi informasi. Kegiatan manajemen aset yang kompleks dan luas akan menjadi mudah apabila adanya teknologi informasi. Misalnya dapat menggantikan proses berbasis kertas yang tidak efisien. Selain itu, teknologi juga dapat menghubungkan pihak-pihak yang terlibat sehingga proses koordinasi dalam

manajemen aset menjadi lebih mudah.

6. Koordinasi Stakeholder terhadap Manajemen Aset

Variabel koordinasi stakeholder berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap variabel manajemen aset. Jika terjadi hambatan dalam hal koordinasi stakeholder maka akan menghambat organisasi dalam melaksanakan manajemen aset, dan begitu pula sebaliknya.

Page 276: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 265

Berdasarkan hasil jawaban responden melalui pertanyaan terbuka yang dicantumkan dalam kuesioner, permasalahan di bidang koordinasi juga menjadi hambatan dalam manajemen aset dan hibah aset SPAM. Terutama koordinasi dengan pihak penerima hibah, yaitu pemerintah daerah. Pergantian kepala daerah akan menyulitkan proses hibah, karena merasa tidak berkontribusi dengan pembangunan aset tersebut. Untuk itu, komunikasi kepada penerima hibah sangat penting untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hibah aset SPAM ini dalam memenuhi pelayanan publik di daerahnya.

Sejalan dengan pendapat Parlikad dan Jafari (2016) serta Lemer (1999) bahwa salah satu tantangan dalam manajemen aset adalah koordinasi multi-stakeholder. Memenuhi persyaratan dan harapan berbagai pemangku kepentingan merupakan tantangan besar. Komunikasi berbagai pihak yang terkait sangat penting untuk kelancaran proses manajemen aset, karena semua pihak yang terlibat memiliki perannya masing-masing untuk keberhasilan manajemen aset. Adanya bentuk kesepakatan yang dapat digunakan bersama agar lebih jelas dan terarah. Setiap perencanaan kegiatan terdapat umpan balik dari berbagai pihak yang terlibat untuk

memastikan tidak ada hambatan di salah satu pihak.

7. Pengaruh Variabel Manajemen Aset terhadap Kinerja Hibah Aset

Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variabel manajemen aset terhadap kinerja hibah aset. Koefisien parameter manajemen aset bernilai positif sebesar 0,8418, dan hubungan yang terjadi signifikan karena nilai t-statistic lebih besar dari 1,96 (pada taraf signifikansi 5%), maka H0 ditolak atau H1 diterima. Oleh karena itu, berdasarkan pengujian pada hipotesis 2 (dua) dapat disimpulkan bahwa variabel manajemen aset berpengaruh signifikan dan arahnya positif terhadap kinerja hibah aset. Jika terjadi hambatan dalam hal manajemen aset maka akan menghambat kinerja hibah aset dari organisasi, dan begitu pula sebaliknya. Atau dengan kata lain, adanya peningkatan dalam pelaksanaan manajemen aset, maka akan meningkatkan kinerja hibah aset.

Dengan melaksanakan manajemen aset, maka pencatatan aset menjadi mudah serta informasi yang tersedia lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, status kepemilikan aset sesuai dengan peruntukannya, sehingga pemanfaatannya lebih optimal. Ketika terdapat informasi mengenai aset yang belum berfungsi atau tidak sesuai peruntukannya, maka aset tersebut harus segera diproses hibah. Adanya informasi tersebut, proses hibah dapat dilaksanakan tepat

waktu dan kualitas aset yang akan dihibahkan masih dalam keadaan baik.

Page 277: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

266 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal yang terkait dengan unsur-unsur dalam lingkungan organisasi yang mempengaruhi kinerja hibah aset SPAM melalui mediator manajemen aset, yaitu:

1. Lingkungan organisasi, yaitu kepemimpinan memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap manajemen aset. Hal ini berarti bahwa hambatan yang terjadi dalam faktor kepemimpinan akan menghambat organisasi dalam melakukan manajemen aset. Atau apabila terjadi peningkatan dalam faktor kepemimpinan akan meningkatkan pula pelaksanaan manajemen aset di organisasi. Indikator-indikator yang dapat mengukur kepemimpinan dalam pelaksanaan manajemen asset, yaitu perintah pimpinan, arahan pimpinan, dan pendelegasian wewenang.

2. Lingkungan organisasi, yaitu kompetensi SDM memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap manajemen aset. Hal ini berarti bahwa hambatan yang terjadi dalam faktor kompetensi SDM akan menghambat organisasi dalam melakukan manajemen aset, atau apabila terjadi peningkatan dalam faktor kompetensi SDM akan meningkatkan pula pelaksanaan manajemen aset di organisasi. Indikator-indikator yang dapat mengukur kompetensi SDM dalam pelaksanaan manajemen asset, yaitu pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dimiliki pegawai di dalam organisasi.

3. Lingkungan organisasi, yaitu regulasi memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap manajemen aset. Hal ini berarti, hambatan yang terjadi dalam faktor regulasi akan menghambat organisasi dalam melakukan manajemen aset. Atau apabila terjadi peningkatan dalam faktor regulasi akan meningkatkan pula pelaksanaan manajemen aset di organisasi. Indikator-indikator yang dapat mengukur regulasi dalam pelaksanaan manajemen aset yaitu proses penyusunan regulasi, penerapan regulasi, keterkaitan antarregulasi, dan evaluasi.

4. Lingkungan organisasi, yaitu teknologi memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap manajemen aset. Hal ini berarti, hambatan yang terjadi dalam faktor teknologi akan menghambat organisasi dalam melakukan manajemen aset. Atau apabila terjadi peningkatan dalam faktor teknologi akan meningkatkan pula pelaksanaan manajemen aset di organisasi. Indikator-indikator yang dapat mengukur teknologi dalam pelaksanaan manajemen asset, yaitu investasi teknologi dan akses koordinasi.

5. Lingkungan organisasi, yaitu koordinasi stakeholder memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap manajemen aset. Hal ini berarti, hambatan yang terjadi dalam faktor koordinasi stakeholder akan menghambat

Page 278: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 267

organisasi dalam melakukan manajemen aset. Atau apabila terjadi peningkatan dalam faktor koordinasi stakeholder akan meningkatkan pula pelaksanaan manajemen aset di organisasi. Faktor koordinasi stakeholder merupakan faktor dominan yang mempengaruhi manajemen aset, dilihat dari nilai koefisien tertinggi dibandingkan ke empat faktor lainnya. Indikator-indikator yang dapat mengukur koordinasi stakeholder dalam pelaksanaan manajemen asset, yaitu komunikasi, komitmen, dan kontinuitas perencanaan.

6. Manajemen aset memiliki pengaruh yang signifikan dan arahnya positif terhadap kinerja hibah aset. Hal ini berarti, hambatan yang terjadi dalam manajemen aset akan menghambat kinerja hibah aset. Atau apabila terjadi peningkatan dalam pelaksanaan manajemen aset maka akan meningkatkan kinerja hibah aset. Indikator-indikator yang dapat mengukur manajemen asset, yaitu inventarisasi aset, legal audit, penilaian asset, dan optimalisasi aset.

7. Manajemen aset dapat dibuktikan perannya sebagai mediasi antara lingkungan organisasi dengan kinerja hibah aset. Dengan dilakukan manajemen aset, akan meningkatkan kinerja hibah aset. Apabila terdapat kendala dalam manajemen aset, maka akan semakin menghambat kinerja hibah aset.

Page 279: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

268 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 280: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PROCUREMENT COST REDUCTION IN ELECTRONIC TENDERING: A COMPARISON OF TWO INDONESIAN PROVINCES

Nama : Octo Army

Instansi : LKPP

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-National

Graduate Institute for Policy

Studies, Tokyo, Japan

Page 281: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

270 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Secara umum dipercaya bahwa pengenalan teknologi informasi dan deregulasi kebijakan dalam pengadaan publik mendorong persaingan dan meningkatkan efisiensi pengeluaran publik. Pemerintah Indonesia telah menerapkan tender elektronik di pemerintah lokal dan pusat sejak 2010, namun ada sedikit penelitian tentang hubungan antara pengurangan biaya kebijakan dan persaingan di antara peserta lelang dan perubahannya baru-baru ini. Dengan menggunakan dataset yang dapat diakses publik yang disediakan oleh National Public Procurement Agency (NPPA) DKI Jakarta dan Provinsi Banten yang mencakup tender e-tender pemerintah untuk tahun 2011–2015, makalah ini mencoba untuk mengukur pengurangan biaya pengadaan dalam tender elektronik (e-tender). Selain itu, makalah ini mengidentifikasi tingkat bidder optimal. Hasil makalah ini berisi beberapa rekomendasi kebijakan untuk e-procurement dan desain pengadaan yang efisien.

Kata kunci: Pengadaan, tender elektronik, penawaran, pengurangan biaya.

Page 282: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 271

ABSTRACT

It is generally believed that the introduction of information technology and deregulate policy in public procurement promotes competition and enhances public spending efficiency. The Indonesian government has implemented electronic tendering in local and central government since 2010, yet there has been comparatively little research on the relation between the policy’s cost reduction and competition among bidders and its recent changes. By using a publicly accessible data set provided by the National Public Procurement Agency (NPPA) of DKI Jakarta and Banten Province that covers government e-tendering for the years 2011–2015, this paper tries to measure procurement cost reduction in electronic tendering (e-tendering). In addition, this paper identifies the optimum level of bidders. The results of this paper contains several policy recommendations for e-procurement and efficient procurement design.

Keywords: Procurement, electronic tendering, bid, cost reduction.

Page 283: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

272 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PROCUREMENT COST REDUCTION IN ELECTRONIC TENDERING: A COMPARISON OF TWO INDONESIAN

PROVINCES

A. Background

It is generally believed that the introduction of information technology and deregulation policy in public procurement promotes competition and enhances efficiency in public spending (Cordella, 2007; Panayiotou, Gayialis, & Tatsiopoulos, 2004; The World Bank, IDB, & ADB, 2003). The rapid development of electronic commerce together with digital networking technology is a favorable opportunity to be applied in government procurement, so that government’s purchasing power could be spent efficiently for welfare gain (The World Bank, IDB, ADB, 2003).

The use of information communication and technology (ICT) in government procurement started since the mid-1990s (Moon, 2005). The ICT is an electronic tool to replace paper-based documentation processes with web-based technology. Electronic government procurement (e-GP) has already been implemented in the developed countries, which have been followed by the developing countries (Ndou, 2004).

To design better electronic government procurement (e-GP) reforms, it is essential to measure the impact of the deregulation policy in public procurement and to examine their achievements. The impact of regulatory reforms on e-GP is a compelling piece of evidence for this purpose. This paper examines the extent to which deregulation in e-GP would promote competition between bidders and consequently reduce the procurement cost, which would make e-GP cost-effective. A micro-data approach is taken toward this issue, using e-GP reverse auction data.

The Indonesian government has implemented e-GP for the local and central government since 2007. The role of e-GP was expanded in 2010 with the promulgation of the Presidential Regulation Number 54 Year 2010 on the Procurement of Government Goods/Services, which replaced the previous Presidential Decree. Its aim is to endorse good governance by increasing transparency and competition among providers, and reducing barriers to entry. This regulation introduces electronic tendering (e-tendering) for procuring goods, construction work, consulting services, and other services with high value and low volume characteristics. E-tendering is a process of selecting a provider through open tender, which means that all registered providers are eligible to participate by submitting one bid within the stipulated time.

Page 284: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 273

An interesting research on e-GP has predominantly focused on competition in relation to cost reduction in tendering. E-GP is believed to be more transparent and capable of achieving higher economic outcomes, consequently escalating competition (Soudek & Skuhrovec, 2016; Soudry, 2004). In addition, the final price of goods and services being procured using e-procurement would drop considerably (Hosoe & Takagi, 2012; OGC, 2005; Soudek & Skuhrovec, 2013; Soudry, 2004). For example, the Office of Government Commerce of the UK (OGC) reported the implementation of e-GP in the country resulting in an average 13% of saving in 2005.

Procurement data could be generally analyzed with a structural and simplified-form econometric approach. To analyze a wide range of procurement data in a wide variety of goods and services and from different regions, the latter approach is desirable with regard to flexibility and simplicity derivations (Paarsch & Kong, 2006, as cited in Onur & Tas, 2017). In addition, the simplified-form would easily help policy makers design an effective e-GP policy. Tas, Ozcan and Onur (2008) conducted an analysis using more than 100,000 of Turkey public procurement data collected from 2004 to 2006 and found that while the number of bidders increased, the final price of procurement reduced, thus, achieving cost-efficiency.

Evidence for the success of electronic procurement in Indonesia is still limited to cost reduction, which is measured by comparing award value (final price) with the self-estimated cost; however, there has been comparatively little research on the relationship between cost reduction in e-tendering, competition among e-tendering bidders, and the changes in the e-GP policy.

This paper uses a publicly accessible data set, provided by the National Public Procurement Agency (NPPA) recording the results of e-tendering in DKI Jakarta province and Banten province between 2010 and 2015, to investigate the impact of electronic procurement policy changes on the procurement cost reduction and competition among bidders. It will analyze the data set using a simplified-form of the econometric approach, as suggested by Soudek and Skuhrovec (2016) and Onur and Tas (2017). The results of this paper have several policy implications for e-GP and an efficient procurement design.

The second section of this paper gives a brief overview of the literature review. The third section presents the overview of Indonesia public procurement. Section four describes the hypotheses, section five describes the data, and section six shows the empirical analysis. Some conclusions and policy recommendations are drawn up in the final section.

Page 285: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

274 Direktori Mini Tesis-Disertasi

B. Research Objectives and Methodology

The NPPA manages detailed information about all Indonesian e-tendering published in the electronic information system archive (INAPROC), and does so without excluding DKI Jakarta and Banten e-tendering. This paper uses a digital archive of all e-tendering between January 2011 and December 2015 in both provinces.

In general, the archive consists of four groups: publication, list of bidders, values of the bids, and announcement of the awardees. Auction characteristics such as self-estimated price, procurement category, and methods for selecting providers are stored in the publication. Information about the final values of the bid prices and the name of bidders are included in the value of bids, while information about the accepted bids, rejected bids, and bids winner are included in the announcement of awardees.

After matching the feature description of the e-tendering packages from the archives and then extracting all the necessary information, a data set of more than 24,000 e-tendering packages are obtained. However, the packages with no information about the bidders’ name and quotes were excluded from our analysis. We were left with more than 23,000 packages.

There are three groups of variables in this empirical analysis: tendering characteristics, policy variables, and macroeconomic control. In the first group, self-estimated price (estimate), award values (award value), and number of bidders (N) are the main variables.

As a responsible government official for the implementation of the procurement, PPK conducts a calculation on self-estimated cost, based on the local market prices. These prices are obtained from the survey outcome and other reliable sources, such as the unit price formally published by the Central Statistic Bureau (BPS). The self-estimated cost is a fundamental component of the Indonesian e-tendering procedure, as it is used as a tool to evaluate the appropriateness of the bid, a basis data to stipulate the highest limit of legitimate bids, a source of information for the bidders and other necessary components of the e-tendering procedure. The total value of the self-estimated cost is open and not confidential.

Award value is the final price of the bid winner, which has been assigned by PPK and has been evaluated by the procurement official (POKJA). POKJA is personnel who carries out the e-tendering process and evaluation. The POKJA’s duties are not only administrative, they also include evaluation and arithmetic correction. POKJA may also reject the bids when it is higher than the estimate and when it does not meet the administrative and technical requirements.

Page 286: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 275

N corresponds to the number of bids. Even though the bidder could amend, add and/or replace the bid prior to the deadline for submission of bids, however, only one bid is accepted by POKJA per package per bidder. Considering that many of the bids are rejected by the POKJA, the number of accepted bidders is substantially fewer. For example, in construction work tendering in Jakarta in 2013, the number of bidders were 67, however, only three bids were accepted after being evaluated by the POKJA. The POKJA rejects bids for several reasons, first 18% of them did not meet the technical requirements completely, second 77% did not meet the general requirements.

In the second group, due to the different nature of the goods and services, dummy variables for the types of goods/services and types of provider’s selection methods are deployed. Based on the procurement regulation, the four dummy variables for types of goods/services are “goods”, “other services”, “construction works”, and “consultation services”. Furthermore, there are five dummy variables for provider selection methods: “public tender”, “general selection”, “simplified tender”, “direct selection”, and “simplified selection”. Moreover, the variable “policy” takes value 1 when the second amendment of procurement policy is implemented and 0 otherwise.

Finally, inflation is included as a macroeconomic variable to control the impact of the economy on the bidder’s participation and procurement costs. The inflation data is taken from local BPS in DKI Jakarta and Banten Province.

C. Data Analysis and Results

Analysis of The Data Set

In total, detail information about 23,265 e-tendering packages were collected from the archive. The data are divided into two times-periods: The period before the policy change (years 2011 to 2012) and the period after the policy in change (years 2013 to 2015). The separation of periods allows the exploration of the effect of the new policy on cost reduction in tendering and competition among providers.

The average award value is lower than the average self-estimated cost, which shows the presence of competition among bidders and cost reduction in DKI Jakarta and Banten Province e-tendering process. Since the self-estimated cost and award value are components of inflation, these two variables are transformed into a natural logarithm scale, so that these two variables become unit free and the effect of inflation is eliminated. The award value is one of the dependent variables. A new variable, the difference between natural logarithm award value and self-estimated cost, is constructed. Observing the closeness of award value

Page 287: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

276 Direktori Mini Tesis-Disertasi

and estimated cost is the basis for comparing these two variables. In this paper, this variable becomes the other dependent variable. The first dependent variable is used to explain the determinant of cost reduction in e-tendering, however, the second dependent variable is used to examine the optimum number of bidders in type of goods/services and the type of provider selection methods.

There were approximately 14,797 tendering projects after the new amendment released. In the former period (2011−2012), the mean of the second dependent variable was -0,101 for DKI Jakarta and -0,030 for Banten which indicated that the award value is considerably lower for DKI and slightly lower for Banten than the self-estimated cost. However, after the implementation of the policy, the mean of the dependent variable was -0,111 for DKI Jakarta and 0,065 for Banten. This could be seen as an improvement in cost reduction in e-tendering after the implementation of the new policy in both provinces. After the implementation of the new policy, the mean, minimum, and maximum number of bidders were 1, 14 and 2,496 for Banten; 1, 15, and 2,528 for DKI Jakarta. Regarding the types of procurement listed, in Banten, construction work projects take the majority with 47,941% of all tendering, followed by consultation services with 33,270 %, only 16,942 goods e-tendering, and finally for other services with 1,846%. However, in DKI Jakarta, construction works e-tendering takes the majority with 38,529% of all tendering, followed by goods with 31,230%, then consultation with 17,524%, and finally for other services with 12,717%.

Considering the method for selecting providers before the implementation of the new policy, the most methods used in DKI Jakarta and Banten is public tender with 62,335% and 67,425%, respectively. There is an interesting change of selection method in both provinces. The majority in DKI Jakarta became simplified tender (37,596%), however in Banten, direct selection is the majority with more than 40%. These changes can be explained through the changes of threshold in the selection methods and duration of the procurement process, POKJA conducted selection methods with the shortest duration. Due to the duration of the e-tendering process, the average duration of the procurement processes of DKI Jakarta and Banten are 32.857 and 28.255 days respectively. However, after the implementation of the policy, the mean became 31.230 days for DKI Jakarta and 30.030 days for Banten.

D. Conclusion and Policy Recommendation

In late 2012, the Indonesian government promulgated the Presidential Regulation Number 70 Year 2012 as the second amendment of the Presidential Regulation Number 54 Year 2010 on The Procurement of Government Goods/Services. Based on

Page 288: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 277

a publicly accessible data set managed by the NPPA, this paper examined the effect of policy changes on e-tendering cost reduction and participation of bidders across two provinces: DKI Jakarta and Banten from 2011 to 2015. It then examined the impact of the observed changes on the type of goods/services and providers’ selection methods.

We find that overall, the award value in e-tendering is a decreasing function of the number of bidders submitting a bid. Furthermore, the promulgation of the second amendment increased competition among bidders and, as a result, cost reduction in tendering also increased. This finding is consistent with the literature (Lewis-Faupel, Neggers, Olken, & Pande, 2014, Ohashi, 2009; Tas, Ozcan, & Onur, 2008; Onur & Tas, 2017). In addition, this finding is expected given that there are at least four steps in the electronic procurement system to elicit competition and transparency in e-tendering, as was discussed in the Hypotheses section. Furthermore, these findings appear to be well substantiated by a recent study by Schapper, Malta and Gilber (2006), which stated that based on evidence from developed countries and developing countries, the increasing competition generated among bidders in public procurement is due to the existence of online information exchange. The question, therefore, arises whether this improvement effect varies by types of goods/services, provider selection methods, and other policy changes.

To answer this question, a separate estimation is used to examine the impact of procurement policy changes on different types of goods/services and providers’ selection methods, while other control variables are included. First, we found a mixed result on the relationship between policy changes and e-tendering cost reduction in the types of goods/services and the providers’ selection methods. In the DKI Jakarta data set, both measurement models are negative and statistically significant to the award value. In contrast, for the Banten data set, the estimated coefficients on both measurement sets are not statistically significant in explaining the award value. There was an indication of collusion among bidders and procurement officials before the implementation of procurement policy changes in Banten, as stated in the previous section. This situation could also indicate that the implementation of e-procurement may not achieve its purpose when procurement distortion such as collusion exists. This would fail the procurement principle; which is efficient, effective, transparent, competitive, indiscriminative, and accountable. Therefore, the implementation of e-procurement should also be backed by good governance.

Second, a mixed result is also observed on the impact of policy changes on procurement duration processes. Regarding workload variable, a consistent finding in both groups at each examination is revealed, which could indicate that the more procurement packages being undertaken by providers, least chance of these providers to make a competitive bid.

Page 289: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

278 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Risks and modus operandi of collusion in government procurement are well recorded and well investigated not only by law enforcement (such as Corruption Eradication Commission (KPK) and Business Competition Supervisory Commission (KPPU)), but also by international organizations (such as OECD and World Bank). Nonetheless, the important point is to strengthen good governance and the integrity of government officials, who engage in government procurement, as well as to strengthen the providers’ integrity as government’s counterpart.

Lack of integrity in procurement entity still exists. Since the current procurement policy was enacted in 2010, procurement officials and all bidders must sign the integrity pact to show that all parties will obey the code of conduct in government procurement’s. However, there is little change in the number of procurement officials and high-level officials and providers that have been suspected of corruption between 2010 and 2016 (KPK, 2016) In addition, as already mentioned in the previous section, this also happened in the case of BantenpProvince.

At the procurement organizational level, it is important to strengthen good governance. First, at the government level, it is important to strengthen internal control, establish reliable local officer recruitment process, re-organize procurement entity, and establish procurement central unit. An independent procurement central unit is needed to stop abuse of power by high level officials.

Second, at the provider level, it is important to invite more potential bidders to be involved in government procurement. The current procurement policy allows providers to submit the bid to different regions and provinces to increase competition among bidders. Based on Banten data set between 2011 and 2012, 85% of more than 17,000 bidders were firms whose domicile are from Banten province. Furthermore, based on 441 e-tendering packages, 92% of the awarded providers are domiciled in Banten province. This condition could imply the need to improve competition among potential bidders from different regions and provinces.

Moreover, from a practical point of view, attracting more bidders is important in procurement. Based on empirical facts of this paper, an additional number of bidders would lead to around 2% lower prices compared to the self-estimated cost. Hence, a significant amount of cost reduction in e-tendering could be achieved by the government when e-tendering is conducted at the optimum number of bidders. However, one important consideration is that the effect of competition on cost reduction in e-tendering could be achieved until the optimum number of bidders is reached. Once it reaches the optimum number, the cost reduction would eventually decrease, as an effect of additional number of bidders.

Page 290: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 279

Lastly, future studies in two areas are needed. The first is to trace bid rigging in Banten province, while the second is to examine the optimum level of workload in e-tendering. A study in the bid rigging area is a valuable tool for identifying bidder characteristics and determinants of collusive behavior. Meanwhile, a workload study would be a valuable tool for assessing the ability of an awarded provider to conduct a repeat order. These studies may use secondary data from a publicly accessible data set provided by the National Public Procurement Agency (NPPA) that covers government e-tendering for the years 2010–2015.

Page 291: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

280 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 292: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ANALISA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KETIMPANGAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA DI SEKTOR KESEHATAN DI INDONESIA: ANALISA DEKOMPOSISI KETIMPANGAN

EXPLORING THE FACTORS OF HEALTH EXPENDITURE INEQUALITY IN INDONESIA: AN INEQUALITY DECOMPOSITION ANALYSIS

Nama : Reza Tiar Kusuma

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia

Page 293: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

282 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Berdasarkan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), tesis ini mencoba untuk menganalisa factor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan terhadap pengeluaran rumah tangga di sektor kesehatan dengan menggunakan metode dekomposisi ketimpangan: dekomposisi terhadap komponen-komponen pengeluaran rumah tangga, dan dekomposisi terhadap sub–grup populasi. Kami menemukan bahwa ketimpangan terhadap komponen-komponen pengeluaran rumah tangga untuk non–makanan lebih besar dibandingkan komponen pengeluaran rumah tangga untuk makanan. Di antara komponen-komponen pengeluaran rumah tangga untuk non–makanan, ketimpangan terhadap pengeluaran di sektor kesehatan sangatlah tinggi dan polanya cenderung stabil. Hal ini menandakan bahwa terdapat banyak rumah tangga yang masih belum mampu untuk mengakses fasilitas-fasilitas kesehatan dan situasi tersebut tidak berubah selang periode penelitian. Lebih lanjut, disparitas ketimpangan di sektor kesehatan tersebut yang terjadi di antara wilayah-wilayah penelitian sangatlah kecil, sehingga dapat dikatakan bahwa ketimpangan yang besar terhadap pengeluaran di sektor kesehatan terjadi di masing-masing wilayah terutama pada daerah perkotaan. Sementara itu di antara rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang berkualitas/layak terdapat banyak rumah tangga miskin yang tidak mampu untuk mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas. Terkait hal–hal tersebut, para pembuat kebijakan kedepannya diharapkan dapat lebih fokus kepada ketimpangan yang terjadi di masing-masing wilayah/provinsi terutama pada daerah perkotaan. Lebih lanjut, Pemerintah juga harus membangun fasilitas-fasilitas kesehatan yang terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat, serta meningkatkan kualitas dan kuantitas tenaga medis yang bekerja di fasilitas-fasilitas kesehatan tersebut.

Kata kunci: ketimpangan pengeluaran rumah tangga, ketimpangan pengeluaran sektor kesehatan, analisa dekomposisi ketimpangan, ketimpangan antar–wilayah, ketimpangan inter–wilayah.

Page 294: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 283

ABSTRACT

Based on the National Socioeconomic Survey, this thesis attempts to explore the factors of health expenditure inequality by using two inequality decomposition methods: decomposition by expenditure components and decomposition by population sub-groups. It is found that non-food expenditure inequality is much higher than food expenditure inequality. Among non-food expenditure inequalities, health expenditure inequality is very high and quite stable, suggesting that many households could not afford to pay for high quality health care services and this situation has not been improved. Health expenditure disparity between regions is very small, meaning that a very large health expenditure inequality exists within each region, particularly urban areas. Households who have access to qualified water have a much lower health expenditure inequality than those who have no or limited access, suggesting that among those who have no or limited access, there is a large number of very poor households who cannot afford to pay for decent health care services. Policy makers should focus more on health expenditure in equality within urban areas in each region. The government should establish more low-cost health care centers, particularly in urban areas in each region and increase medical doctors who could work in these health care centers.

Keywords: Household expenditure inequality, health expenditure inequality, inequality decomposition methods, inequality within-group, inequality between-group.

Page 295: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

284 Direktori Mini Tesis-Disertasi

EXPLORING THE FACTORS OF HEALTH EXPENDITURE INEQUALITY IN INDONESIA: AN INEQUALITY

DECOMPOSITION ANALYSIS

A. Background

The Indonesian economy started to recover from the 1997-1998 economic crisis in 2000. Since then, it has grown at an annual rate of 4-6 per cent in real GDP, while the improvement of health and education has become one of the major government priorities as shown in the National Government Budget for the health and education sectors. The government has focused on these two sectors because they are thought to enhance the quality of human resources and thus raise future economic growth and social welfare levels (Schultz, 1961). In order to improve public health services, the government launched a health insurance program, called Askeskin in 2005 (Later in 2008, it has changed to Jamkesmas). However, the program was not very successful since it covered only 13 percent of the total population and there was a mistar getting in the distribution of health insurance cards (World Bank, 2012). This has created inequality among households in terms of the accessibility to health services. (World Bank, 2015).

Presents expenditure inequalities among households for health and education from 2000 to 2010 by the Gini coefficient, expenditure inequalities for health and education are, respectively, around 0.75 and 0.80, which are very high by the Gini coefficient. This implies that a large number of households are not able to pay for high quality health and education services. Though health expenditure inequality is slightly lower than education expenditure inequality, a Gini coefficient of 0.75 is an alarming level. It is thus imperative to explore the factors of health expenditure inequality among households in Indonesia.

Next, The main objective of this thesis is to explore the factors of health expenditure inequality in Indonesia by applying inequality decomposition methods (decomposition of overall household expenditure inequality by expenditure items and decomposition of health expenditure inequality by population subgroups) to household expenditure data from the National Socioeconomic Survey (Susenas) from 2000 to 2010, which has been conducted by the Central Bureau of Statistics. The specific research questions of the thesis are as follows:

1. What is the pattern of overall household expenditure inequality in Indonesia from 2000 to 2010?

Page 296: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 285

2. When household expenditure is divided into food and non-food expenditure components, which expenditure component contributes most to overall household expenditure inequality? How large is the contribution of non-food expenditure inequality to overall expenditure inequality, where non-food expenditure component includes expenditures on health and education?

3. What is the pattern of health expenditure inequality from 2000 to 2010, where health expenditure is one of the components of non-food expenditure? How large is the contribution of health expenditure inequality to non-food expenditure inequality?

4. What are the major factors of health expenditure inequality?

5. Are there significant differences in mean health expenditure between rural and urban areas and among regions? Is health expenditure inequality in urban areas larger than in rural areas? Which region has the largest health expenditure inequality?

6. Do the sources of drinking water and household size affect health expenditure

inequality among households?

From this study, we hope to provide a better understanding of the level and factors of health expenditure inequality and its contribution to overall expenditure inequality in Indonesia. Drawing on the results of inequality decomposition analyses on health expenditure inequality, we also hope to formulate policy options to reduce health expenditure inequality in Indonesia. As far as the author knows, this study is the first attempt to examine the factors of health expenditure inequality using inequality decomposition methods in Indonesia.

B. Research Objectives and Methodology

This thesis analyzes the distribution of per capita household expenditure for health and its impacts on inequality in per capita total household expenditure. In the analysis, we employ three inequality measures: the Gini coefficient, the coefficient of variation and the Theil indexes. They all satisfy four desirable properties as a measure of inequality: anonymity, income homogeneity, population homogeneity, and the Pigue-Dalton principle of transfers (Anand 1983). Anonymity implies that an inequality measure should not depend on who has lower or higher income. Income homogeneity means that an inequality measure should not depend on the size of the economy or the way we measure its income, i.e., it does not change whether we measure inequality in Rupiah or in thousand Rupiah, while population homogeneity implies that an inequality measure should not depend on the population size, i.e., it does not change when we replicate the same population. Finally, the Pigue-Dalton principle of transfers means that with all

Page 297: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

286 Direktori Mini Tesis-Disertasi

other household incomes constant, if we transfer some income from a richer household to a poorer household, then the resulting new income distribution should be more equal.

Additionally, the Gini coefficient and the coefficient of variation can be decomposed additively by expenditure items (food items and non-food items), while the Theil indexes can be decomposed additively by population subgroups such as location (e.g., urban and rural areas, provinces and districts), gender, age, household size and education. In order to analyze the impacts of health expenditure inequality on total inequality in per capita expenditure, we use the Gini coefficient and the coefficient of variation. On the other hand, we employ the Theil indexes to analyze between and within group inequalities in the distribution of per capita expenditure for health, where households are classified into mutually exclusive and collectively exhaustive groups according to

location, gender, age, household size and education.

C. Data Analysis and Results

1. Trend of Overall Household Expenditure Inequality

Rural expenditure inequality is much smaller than urban expenditure inequality. But its trends have been very similar to those of urban expenditure inequality. Due to relatively high urban expenditure inequality, the levels and trends of overall expenditure inequality resemble those of urban expenditure inequality. Before 2000, overall expenditure inequality had a declining trend. However, after the decentralization laws were implemented in the early 2000s, it started to rise and attained the peak in 2005 at 0.38. After it dropped to 0.33 in 2007, it started to rise again.

One of the main determinants of the increase in overall expenditure inequality from 2000 to 2005 seems to have been the Big Bang decentralization which started in the early 2000s in addition to the rise in the urban-rural disparity. Besides the decentralization, increasing domestic rice prices could be another determinant of the rise in overall expenditure inequality, since the rice price increase would have exerted a more negative effect on poor households than rich households (Yusuf, Sumner and Rum, 2014).

From 2005 to 2007, overall expenditure inequality hasdecreased conspicuously. This period corresponds to the period after the two revised decentralization laws were introduced. These two laws might have exerted some impacts on the decrease in overall expenditure inequality. In 2005, the government reduced fuel subsidies. As a result, domestic fuel prices rose prominently. The purpose of reducing fuel subsidies was not only to reduce the gap between domestic and international

Page 298: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 287

prices but also to mitigate the burden on the central government budget as fuel subsidies occupied a substantial portion of the central government budget. The government also gave massive unconditional cash transfers to poor households to compensate the damage caused by the fuel price increase. This policy might have reduced expenditure inequality in both the urban and rural sectors.

Overall inequality started to rise again after 2007. Yusuf, Sumner and Rum (2014) argued that large fuel subsidies might have raised overall expenditure inequality, because their impacton expenditures is considered to be regressive. In other words, they have had an inequality increasing effect. They suggested also that changes in labor market regulations (e.g., increasing minimum wages and retirement benefits) might have raised overall expenditure inequality, because the changes have benefited the rich disproportionately.

It should be noted that from 2007 to 2008, both rural and urban expenditure inequalities increased markedly. In this period, the world oil price rose prominently (from $60 per barrel to more than $90 per barrel), and this was In 2004, the two revised decentralization laws, i.e., Law 32/2004 on Regional Government and Law 33/2004 on the Fiscal Balance between the Central Government and the Regions, were enacted and replaced Law 22/1999 and Law 25/1999, respectively.

An unconditional cash transfer program was introduced in 2005, where the government allocated more than half of the savings created by the fuel subsidy cut to this program.

Followed by a sharp increase in the inflation rate. On the other hand, domestic fuel prices have been kept low due to large fuel subsidies. Thus, the gap between domestic and international fuel prices has widened. Since rich households consume more energy, low fuel prices have benefitted the rich more than the poor. Large fuel subsidies thus appear to have increased expenditure inequality in this period. cut fuel subsidies again and raised fuel prices substantially. It also introduced unconditional cash transfers and rice subsidies to poor households in order to compensate for the increase in domestic fuel price. This policy might have reduced overall expenditure inequality slightly from 2008 to 2009, particularly in rural sector. Nonetheless, a large disparity between domestic and international

fuel prices has still existed.

Page 299: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

288 Direktori Mini Tesis-Disertasi

2. Decomposition of Total Expenditure Inequality into Food and Non-Food Expenditure Inequalities

First, food expenditure inequality has been much lower than non-food expenditure inequality. This reflects the fact that on a per capita basis, each household needs to spend a certain amount of its income on food items (rice, vegetables, meat, etc.) regardless of its income level to maintain its daily calorie intake (e.g., 2,500 kcal per day), while each household spends a different proportion of income on non-food items (housing, clothing, health and education services, etc.) in accordance with its income level and the proportion of income spent on non-food items tends to increase as the income rises. Furthermore, since the income elasticity for food items is inelastic, the amount of income spent on these items does not change as the income levels rises (Trisnowati and Budiwinarto, 2013).

Second, the contribution of non-food expenditure inequality to total inequality has been rising steadily over the study period (from 45% in 2000 to 58%). Since non-food expenditure inequality has been very stable at around 0.50 by the Gini coefficient, this is solely due to a rising share of non-food expenditures (from 33% in 2000 to 45% in 2010), which is, in turn, due to economic development. Third, according to relative concentration ratios (the Gini coefficient) or relative concentration coefficients (the coefficient of variation), non-food expenditure has a value much larger than 1. This implies that non-food expenditure inequality has served to increase overall expenditure inequality. In other words, unless non-food

expenditure inequality is decreased, overall inequality cannot be reduced.

3. Decomposition of Non-Food Expenditure Inequality into Health, Education, and Other Non-Food Expenditure Inequalities

First, though health expenditure inequality is smaller than education expenditure inequality, it is very high, much higher than other non-food expenditure inequality. Second, while education expenditure inequality has been declining gradually over the period, health expenditure inequality has been quite stable at around 0.75 by the Gini coefficient. This suggests that many households could not afford to pay for high quality health care services and this situation has not been improved in the period. Third, though health expenditure inequality is very high, its contribution to non-food expenditure inequality was very small at around 5% by the Gini coefficient. This is due mainly to the fact that health expenditure accounts for only 5-6% of non-food expenditure.

Page 300: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 289

Exhibits relative concentration ratios (or relative concentration coefficients in the case of the coefficient of variation) for non-food expenditures, i.e., health, education and other non-food expenditures. It is difficult to judge which components are inequality-increasing or decreasing components. But relatively speaking, health expenditure is an inequality-increasing component among non-food expenditures since its relative concentration ratio or coefficient is greater than 1. In other words, it is important to decrease health expenditure inequality to reduce

non-food expenditure inequality.

4. Factors of Health Expenditure Inequality

Health expenditure inequality remains very high and is stable at around 0.75 by the Gini coefficient. This section tries to explore the factors of health expenditure inequality by using the inequality decomposition by population sub-groups based on the Theil index T: by urban and rural locations, by regions and by household

sizes.

5. Decomposition of Health Expenditure Inequality by Urban and Rural Locations

Under globalization and trade liberalization, urbanization has proceeded rapidly during the period, as the household share of urban areas has increased from 42% in 2000 to 50% in 2010. Urban-rural ratio in mean monthly per capita health expenditure was 1.9 in 2000, but it shows a slight declining trend. This means that the urban and rural disparity in mean per capita health expenditure has been decreasing gradually, and this is observed which exhibits the Theil decomposition of health expenditure inequality by urban and rural areas. The urban-rural health expenditure disparity was 0.051 in 2000, but after increased to 0.066 in 2005, it started to decrease and reached to 0.042 in 2010.

While the urban-rural health expenditure disparity was somewhere around 0.04-0.06 by the Theil index T, its contribution to overall health expenditure inequality was very small at 2-4%. In other words, much of health expenditure inequality is accounted for by within-urban and within-rural health expenditure inequalities. Their combined contribution to overall health expenditure inequality was around 96-98%. Health expenditure inequality is higher in urban areas than in rural areas. But the urban and rural difference in health expenditure inequality has been getting smaller and smaller. These observations suggest that reducing within-location health expenditure inequalities is imperative to reduce overall

health expenditure inequality.

Page 301: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

290 Direktori Mini Tesis-Disertasi

6. Decomposition of Health Expenditure Inequalities by Regions

First, the disparity in health expenditure between five regions is very small at 0.01-0.02, which constitutes merely 1-2% of overall health expenditure inequality. This means that regional differences in health expenditure are not significant. In other words, a very large health expenditure inequality exists within each region rather than between regions.

Second, though there are some exceptions (for example, in 2002 for Sumatra, in 2004 for Kalimantan, in 2005 for Sulawesi, and in 2006 for Eastern Indonesia), Java-Bali had the highest health expenditure inequality. Sumatra also had a relatively high health expenditure inequality. Since these two regions are relatively rich, this observation indicates that in these regions there are many rich households who can afford to pay for very high-quality health care services. On the other hand, Eastern Indonesia, the poorest region, had the smallest health expenditure inequality. This means that though the quality of health care services may be very low in Eastern Indonesia, a relatively large proportion of households have access to these health care services at low costs. Third, after 2007, there was an increasing trend in health expenditure inequality in all regions and this coincides with the trend of overall expenditure inequality. Furthermore, health expenditure inequalities in these five regions appear to converge to a similar level. It should be noted that all but Eastern Indonesia had the smallest health expenditure inequality in 2007. This may be due to the nationwide community program (PNPM), which was introduced by the central government in line with the Millennium Development Goals (MFGs)

to promote lagging regions with respect to health and education services.

7. Decomposition of Health Expenditure Inequality by Household Size

By the Theil index T, this section analyzes health expenditure inequality by household size (number of household members). This is done by classifying all households into mutually exclusive and collectively exhaustive groups in terms of household size (i.e., one-member group, two-member group, three-member group, and so on). It also investigates whether there are significant differences in health expenditure between these groups by decomposing health expenditure inequality by household size.

First, the disparity in health expenditure between these groups is not large at around 0.02-0.05, accounting for merely 1-3% of overall health expenditure inequality. This implies that on a per capita basis, household expenditure does not depend on household size. Second, there is no clear pattern across the household-size groups with respect to household expenditure inequality. But, smaller

Page 302: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 291

household-size groups tend to have a larger health expenditure inequality. This implies that these households reflect as young and wealthy people working in

high-paying jobs (Vidyattama et al, 2013).

8. Decomposition of Health Expenditure Inequality by the Quality Levels of Drinking Water

As described in the data section, all households are classified into those who have access to qualified drinking water and those who have no or limited access to unqualified drinking water. This section analyzes health expenditure inequality for these two groups by the Theil index T. It also examines whether there are significant differences in health expenditure between these two groups by decomposing health expenditure inequality into groups.

First, the disparity in health expenditure between these two groups is not large at around 0.01-0.04, accounting for merely 1-3% of overall health expenditure inequality. This implies that on a per capita basis, household expenditure does not depend on whether households have access to qualified water or not. Second, in all but 2004, those who have access to qualitied water had a much lower health expenditure inequality than those who have no or limited access to qualified water. This suggests that among those who have no or limited access to qualified water, there is a large number of very poor households who cannot afford to pay for decent health care services.

D. Conclusion

Based on household expenditure data from the National Socioeconomic Survey (Susenas), this thesis attempted to explore the factors of health expenditure inequality by using two inequality decomposition methods: decomposition of expenditure inequality by expenditure components by the Gini coefficient and the coefficient of variation and decomposition of health expenditure inequality by population sub-groups by the Theil index T. The major findings from this study are as follows.

First, overall expenditure inequality among households had a declining trend before 2000. However, after the decentralization laws were implemented in the early 2000s, it started to rise and attained the peak in 2005 at 0.38. After it dropped to 0.33 in 2007, it started to rise again. Second, food expenditure inequality has been much lower than non-food expenditure inequality (where total expenditure = food expenditure + non-food expenditure), reflecting the fact that on a per capita basis, each household needs to spend a certain amount of its income on food items regardless of its income

Page 303: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

292 Direktori Mini Tesis-Disertasi

level to maintain its daily calorie intake, while each household spends a different proportion of income on non-food items in accordance with its income level and the proportion of income spent on non-food items tends to increase as the income rises. Non-food expenditure inequality is apparently an inequality-increasing component. Third, the contribution of non-food expenditure inequality to total inequality has been rising steadily over the study period (from 45% in 2000 to 58%), due solely to a rising share of non-food expenditures (from 33% in 2000 to 45% in 2010).

Fourth, though smaller than education expenditure inequality, health expenditure inequality is very high, much higher than other non-food expenditure inequality (where non-food expenditure = health expenditure + education expenditure + other non-food expenditure). It has also been quite stable, suggesting that many households could not afford to pay for high quality health care services and this situation has not been improved in the period. Fifth, though health expenditure inequality is very high, its contribution to non-food expenditure inequality was very small due mainly to the fact that health expenditure accounts for only 5-6% of non-food expenditure.

Sixth, since the urban-rural health expenditure disparity is very small, much of health expenditure inequality is due to within-urban and within-rural health expenditure inequalities. Their combined contribution to overall health expenditure inequality was around 96-98%. Also health expenditure inequality is higher in urban areas than in rural areas. Seventh, the disparity in health expenditure between five regions is very small accounting for merely 1-2% of overall health expenditure inequality, meaning that a very large health expenditure inequality exists within each region rather than between regions. Eighth, though there are some exceptions, Java-Bali and Sumatra had a relatively high health expenditure inequality. Since these two regions are relatively rich, this observation indicates that in these regions there are many rich households who can afford to pay for very high-quality health care services.

Ninth, since the disparity in health expenditure between the household-size groups is not large, household expenditure does not depend on household size on a per capita basis. Smaller household-size groups tend to have a larger health expenditure inequality. Tenth, household expenditure does not depend on whether households have access to qualified water or not. Households who have access to qualified water had a much lower health expenditure inequality than those who have no or limited access to qualified water, suggesting that among those who have no or limited access to qualified water, there is a large number of very poor households who cannot afford to pay for

decent health care services.

Page 304: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 293

E. Policy Implications

Since much of health expenditure inequality exists within urban and rural areas and within regions rather than between urban and rural areas and between regions, policy makers should focus more on health expenditure inequality within urban and rural areas and within regions. They should focus particularly on health expenditure inequality within urban areas in each region to reduce overall health expenditure inequality since health expenditure inequality is much higher in urban areas than rural areas. In this regard, the government should establish more low-cost health care centers, particularly in urban areas in each region and increase medical doctors who could work in these health care centers. The government should also expand the health insurance program to try to cover poorer segments of the population in urban as well as rural areas. Since households who have access to qualified drinking water had a much lower health expenditure inequality than those who have no or limited access, the government should develop more decent water service infrastructure to try to provide qualified drinking water to all segments of the population.

Page 305: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

294 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 306: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ANALISA PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI DI SEKTOR KONSTRUKSI BAGI PEREKONOMIAN INDONESIA (INPUT-OUTPUT)

ASSESSING ROLE AND INVESTMENT IMPACT OF CONSTRUCTION SECTORON THE ECONOMY OF INDONESIA (INPUT-OUTPUT ANALYSIS)

Nama : Rico Samuel

Instansi : Kementerian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Linkage

Program Studi : Magister Perencanaan dan

Kebijakan Publik

Negara Studi : Indonesia -Jepang

Universitas : Universitas Indonesia-National

Graduate Institute for Policy

Studies, Tokyo, Japan

Page 307: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

296 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan infrastruktur yang memadai dan inilah mengapa pemerintah Indonesia telah mengalokasikan sumber daya finansial yang besar di bangunan infrastruktur. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi (sekitar 6 persen per tahun), investasi di infrastruktur masih jauh dari cukup, yaitu sekitar 3,5 persen dari GDP. Melihat kondisi ini, penelitian ini ditujukan untuk: (1) menjelaskan hubungan antara sektor konstruksi dan sektor lainnya di dalam perekonomian dan (2) menganalisa dampak dari investasi di sektor konstruksi, melalui investasi domestik dan melalui skema Kerja Sama Pemerintah Swasta (KPS) bagi perekonomian nasional. Secara metodologi, penelitian ini menggunakan tabel input-output sektor konstruksi tahun 2010 dan analisa yang dilakukan: deskriptif, linkage, dan multiplier. Hasil analisa, meliputi: (1) sektor konstruksi berkontribusi 15% untuk total output ekonomi di Indonesia, (2) di antara subsektor di dalam sektor konstruksi, bangunan rumah memiliki kontribusi terbesar untuk output, (3) labor multiplier (pengganda pekerja) cukup tinggi, di mana apabila ada peningkatan permintaan akhir sektor konstruksi Rp100 milyar, akan meningkatkan jumlah pekerja sebanyak 32 pekerja sektor konstruksi, (4) dampak peningkatan investasi di sektor konstruksi dengan skema KPS lebih besar daripada investasi domestik. Investasi KPS akan meningkatkan total output sebesar 1,11%, total pendapatan sebesar 0,92%, total pekerja 0,68% dan total value added 0,93% dimana perubahan persentase ini cukup kecil untuk investasi domestik

Kata Kunci: sektor konstruksi, dampak investasi, analisa input-output

Page 308: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 297

ABSTRACT

Economic growth requires adequate infrastructure, which is why the Indonesian government has been allocating a large amount of resources on building infrastructure. Although Indonesia’s economy grows relatively high (around 6 percent annually), the infrastructure investment is still far from sufficient, which is only about 3,5 percent of GDP. Given this situation, this thesis seeks to (1) describe the connections between the construction sector and the other sectors in the economy and (2) analyze the impacts of investments in the construction sector by the domestic private actors and through the Public-Private Partnership scheme on the country’s economy. Methodologically, the thesis uses the input-output (IO) table of the construction sector in 2010 and performs three sets of analyses: descriptive, linkage, and multiplier. Major findings include: (1) the construction sector accounts for as much as 15% of the total economic output in Indonesia, (2) among subsectors within the construction sector, House Building has the largest contribution to the output, (3) the labor multiplier is relatively high, with an increase in the final demand by Rp100 billion in the construction sector leading to an increase in the employment by 32 workers in the construction sector, (4) the impact of an increase in the investment in the construction sector is greater for PPP investments than domestic investments. The PPP investments led to increases in the total output by 1,11%, total income by 0,92%, total labor by 0,68%, and total value added by 0,93%, while the percentage changes were much smaller for domestic investments.

Keywords: construction sector, impact of investment, input output analysis

Page 309: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

298 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ASSESSING ROLE AND INVESTMENT IMPACT OF CONSTRUCTION SECTOR ON THE ECONOMY OF INDONESIA

(INPUT-OUTPUT ANALYSIS)

A. Background

The construction is important for the development of Indonesia. From this sector, physical progress of development can be seen directly. Being aware of the vital roles of the construction sector, the Indonesian government has been aiming to accelerate the infrastructure development more rapidly in recent years than before. In 2009, the construction sector contributed approximately Rp555 trillion to Gross Domestic Product (GDP) (Central Bureau of Statistic (BPS), 2009), which is 2,6 times higher than 5 (five) years ago. Besides, according to BPS, the average growth rate of the construction sector in 2006−2010 reached 8,8%. The growth of sector reaches 10% by 2014, which exceeds the national growth. Because of this growing opportunity, the government is always trying to improve the sector by increasing the capacities of stakeholders and fulfilling the financial fund.

Another important role of construction sector, besides its contribution to the country’s GDP is the input-output linkage with other sectors. An output of construction may serve as an input for other sectors and thus affect the growth and development of these sectors. In line with this, infrastructure has both short term and long-term impacts. It creates working opportunities for labors in the short run. As a labor-intensive, infrastructure projects also provide employment opportunities for other sectors that provide raw materials for the construction sector BPS (2011) estimates that the growth level of construction workers is around 2,21% annually. Meanwhile, in the medium and long-term, construction sector reduces income disparity and increases GDP per capita. In other words, construction sector is a backbone of economic growth, Nevertheless, infrastructures, end product of construction sector, needs huge amount of investment. To maintain a level of economic growth, certain amount of investment is needed. According to Dewania (2012), if investment level is at least on 5%, then the growth of economy will be above 6%.

Despite the importance of the construction sector and infrastructure, the Indonesian government has not provided sufficient funding to the construction sector; the level of infrastructure can be improved as well. According to the World Bank, Indonesian ranking of physical infrastructure is still low. Compared to other ASEAN countries; as of 2016, Indonesia’s global rank is 60, while Thailand and Vietnam rank 49 and 79. Lack of investment and poor competitiveness index have pushed the government to accelerate

more the infrastructure development recently.

Page 310: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 299

B. Research Methodology

To assess role and investment impact of construction sector on the economics of Indonesia, I use construction sector input-output table data in 2010 and by using this table, I carry out input-output analysis method. In this chapter, explain my methodology and data related to input-output analysis. I examine the role of construction sector on Indonesia’s economic with descriptive analysis. It means the explanation is about the structure of input, output, value added and supply-demand side of construction sector in 2010. I also examine the relation between construction sector and other sectors by linkage analysis. In terms of the magnitude of influence of construction sector for other sectors, multiplier analysis is implemented. The last thing to do is to see the impact of shock coming from investment, injected to construction sector, particularly domestic and PPP investment. Note that, in 2010 the realization of investment comes only from domestic. Because of this, for PPP investment, I assume that all the investment for PPP projects for 2010 in Indonesia are implemented.

C. Data Analysis and Results

1. Impact of Investment on Output

According to BKPM data, the total investment realization from 2010 to 2014 is around Rp23 million. This shock of funding brings an increase in the total output of Indonesia’s economy. In this case, we will see how the impact is on output, workers, income and value added for short-term effect. It is clear to say that overall the cumulative realization domestic investment from 2010−2014 will increase the total output, income, labor and value added of overall sector for 2,69%. Moreover, for the construction sector, the investment increases its performance by 1,23%.

Total investment of approximately Rp23 million gives 1,2% growth of construction output. In other words, it results an increasing of Rp1.924.924.391 million in construction sector. Overall, it only raises 0,1% of total output.

2. Impact of Investment on Labor

The increasing investment on construction sector creates impact on each sector that links to it. In general, the number of workers is up to 222.834 people or 2,69% of total construction labors because of this investment. In particular, Rp23.363.330 million will raise construction labors to 1,23% or 68.833 people. Moreover, this rise of investment also gives much significant impact for increasing labors in agriculture, forestry, hunting, and fishery and wholesale trade, retail trade, restaurant and hotel.

Page 311: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

300 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Impact of Investment on Income

The impact of the construction investment on the income of people in each sector is clear that the highest growth of income comes from the construction sector itself, which is 1,23% or Rp2.793.297,96 million. The financing, insurance, real estate, and business service sector gets benefits from the increasing investment of the construction sector.

Its income rises by 0,28% or Rp305.965,79 million. A substantial increase in income is also observed in the manufacturing industry sector due to the investment. It grows up to Rp895.757,3 million or similar to 0,2%. In general, the investment growth of the construction sector by Rp23 million will increase the total income of

all sectors by 2,69% or Rp538.614,90 million.

4. Impact of Investment on Value Added

This is true that the increasing investment on construction sector will bring benefits on every sector’s value added. For the construction itself, the value added grows up to 1,23% or Rp7.642.799,97 million. Other sectors affected from this incremental of investment are manufacturing industry and mining sectors. The growths of value added due to the investment of construction sector are 0,2% (Rp1.556.234.193 million) and 0,27% (Rp700.720.940 million) respectively. Overall, the increasing of investment on construction sector will boost value added of all sectors 2,69%.

5. Impact of Investment on Construction Sector

Based on the explanation above, it is likely that investment as funding resource is important for increasing the national output, income, workers and value added numbers. It cannot be denied that investment will bring positive results for each parameter of input output analysis, even though they are likely similar with each other. In 2010, a period of global crisis impact, the slight increasing of investment will give growth on each value of income, labors, output and value added. The output grows 0,01% of total output and the growth is similar for income labors and value added. From this year to 2014, the speed of investment growth on the construction sector is quite fast; in fact, in 2014, the number of investment increases by Rp12.097.633.6 million and it results on around 1,3% growth of income, labors number and value added.

This result defines the construction is capital-intensive sector. Even with the big amount of funding, it only gives small percentage of output increase. In other words, to create quiet a high rate of growth, the construction needs a lot of funding

Page 312: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 301

resources. Moreover, it is likely that development of infrastructure will not give a direct result on economic growth once its construction has been completed. In other words, even though the end-product of this sector is public infrastructures, it is safe to say that this sector is a tertiary group.

6. Impact of PPP Projects on Construction Sector

Since the development of infrastructures needs massive amount of funding, the government is trying to create some ways to fill this gap, and one of them is by asking private actors to join these public infrastructure projects in the Public Private Partnership scheme. In Indonesia, the scheme usually asks the private sector to invest, with their own money, to build public infrastructures. In the end, the benefit from the infrastructure projects will be their profits.

Based on data from PPP Book 20102014 published by Bappenas, there are three types of PPP projects, which are ready to offer, priority and potential. For the simplicity of calculation, it is assumed that offer and priority projects are ready to be built in 2010, which should have become a shock on the construction sector. The total investment of PPP projects is around Rp77 trillion (USD 8.369, 44 million).

The impact of PPP investment is positive and the magnitude of the change tends to be greater than domestic projects. It is clear to say that all projects of PPP scheme are mega projects that will bring huge benefits for the construction sector’s output, income, labor, and value added.

Based on the explanation above, it is safe to say that the private investment is still needed to accelerate the development of infrastructure projects. Moreover, Indonesia is still lack of foreign investment even though it is undeniable that loose policies will expand the entrance of foreign funding to invest in a large-scale capital that will leave negative impact on Indonesia. Total investors growth in capital market is slow to develop because trust level on financial institution is still low. In addition to this, the procedure of investing tends to be complicated. Fortunately, the Indonesian government has just begun one roof service for all the investments under BKPM recently during President Jokowi’s era. Related to this, investors need legal certainty to invest their money. Overlapping central and local government policies, policy changes as officer changes, expensive land prices due to brokers are example of uncertain things happen on construction sector.

Page 313: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

302 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Conclusion

First, the construction sector has significant role and impact on the growth of economy in Indonesia. In 2010, it contributed 15% of the total economic output for Indonesia. If we seek a little bit further on this sector, house building has a higher percentage of output than other infrastructures. If there is an increasing of final demand by Rp1 on residential building, then output will increase by Rp1,89. It means that Indonesia government focuses on building the houses for citizen at that time and it is included in the National Planning Development (RPJM 2010−2014). The government wants to reach one of Millennium Development Goals (MDGs), which is to reduce amount of housing backlog.

Second, in terms of supply chain networking, 70% of total input for construction sector comes from intermediate input and the biggest number is from road and non-toll road flexible. In other words, developing road needs technology because the intermediate input is related to all cost of technology application in production process. Moreover, it costs high volume of material supply from other sectors.

The sector also gives end-user products (hard infrastructures). The government builds infrastructures for people and they are the users. The analysis shows that the number of final demand is very high (approximately 90% of total demand).

In the framework of an input-output model, production by a particular sector had two kinds of economic effects on other sectors in the economy. The construction sector also has strong connection with downstream sectors. It is because for the process of developing infrastructure, the sector needs raw materials and the supply comes from the downstream.

Construction is a pro-poor, value-added increase and labor-intensive sector. The results of multiplier effect of this sector shows that road and non-toll road-flexible has the highest income multiplier number among other infrastructures. This infrastructure will increase Rp0,96 of all income of people in other sectors if there is an increasing final demand Rp1 of road and non-toll road-flexible. The road will also increase normal value added of all sector up by Rp1,75 if there is an increasing final demand of this sector Rp1. Moreover, if there is increase by Rp100 billion of final demand in construction sector, 32 workers will be added to this sector.

Investment on construction sector definitely brings significant impact for both the sector and economic growth. However, unfortunately, the realization of investment on this sector is still low. In fact, in 2010 the only source that was realized came from domestic only. Based on BKPM data, the total investment realization from 2010 to 2014 is approximately Rp23 million and as we all know, in 2008, the global financial

Page 314: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 303

crisis happened and the effect spread all over the countries, including Indonesia. Nevertheless, in the middle of crisis, investment on the construction sector brings positive for national output, income, workers and value added. It increases 0,0025% of these parameters in 2010 and it goes up moderately to 0,63% in 2014. It is clear that the sector is capital intensive because of two reasons. First, big amount of funding still only brings a small percentage of output incremental. Second, it is likely that the development of infrastructures will not give a result right way once built.

Furthermore, the impact of the PPP investment is greater than that of the domestic investment. Under the same circumstances, the investment can bring around 4% increasing to output, income, labor, and value added of the construction sector.

E. Policy Implication

It is clear that construction sector is a pro-growth, pro-poor and labor-intensive sector. However, it is also capital intensive. It means that to accelerate.

The impact of this sector, a large amount of investment is needed. The government should support all the possibilities of funding for the sector. PPP is one of the ways to fill the funding gap. The government should realize that there are still some barriers to attract the investors to put their money particularly on PPP projects. The guarantee and transferred risk the most critical things for the private sector to invest their money on the public infrastructures. They are chasing profits while the government is trying to satisfy people’s need. Recently, the government has been attempting to attract the investor by creating some policies and easy procedures related to the PPP. Under BKPM, all information and investment procedures are available. Other than that, Bappenas, Ministry of Finance and KKPIP (Committee Acceleration of Priority Infrastructure Development) should be in the same line to provide acceleration on PPP projects realization. At first hand, it may be a bottleneck since the financial policy makers is under the Ministry of Finance. On the other hand, management of PPP coordination is under KKPIP, while PPP unit is on Bappenas.

Page 315: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

304 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 316: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ASSESSMENT OF COMMUNITY WASTE BANK SYSTEM IN KENDAL REGENCY

Nama : Saifillaili Nur Rochmah

Instansi : Pemkab Kendal

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Media and

Governance

Negara Studi : Jepang

Universitas : Keio University

Page 317: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

306 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Peningkatan kualitas pengelolaan limbah perlu dilakukan dengan mengubah paradigma limbah, dari pembuangan limbah menjadi daur ulang sampah. Limbah harus dilihat sebagai sumber daya atau generator pendapatan. Sejalan dengan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan UU No. 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dengan diberlakukannya undang-undang ini, setiap kabupaten diharapkan untuk mendorong partisipasi rumah tangga dalam program daur ulang berbasis masyarakat. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah no 81 tahun 2012 tentang Limbah Padat Rumah Tangga dan Pengelolaan Limbah Padat Rumah Tangga, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun 2012 tentang pelaksanaan 3R melalui Bank Sampah. Di Kabupaten Kendal, pendirian bank sampah muncul dari kesadaran akan dampak limbah, terutama limbah anorganik. Namun, dibandingkan dengan kota lain, perkembangannya masih relatif rendah. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan kinerja bank sampah dengan menilai sistem bank sampah masyarakat dalam hal manajemen dan partisipasi. Empat bank sampah dipilih sebagai lokasi penelitian, yaitu bank sampah Resik Becik, Sampah Berkah, Bersih Barokah dan Gemas. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan kuesioner dengan panitia bank sampah, asosiasi bank sampah, pejabat pemerintah dan anggota bank sampah. Metode kualitatif dilakukan untuk menganalisis mekanisme bank sampah, peran asosiasi bank sampah dan dukungan pemerintah daerah. Metode Kuantitatif mencakup perhitungan analisis limbah dan korelasi yang dapat didaur ulang atau dapat dipasarkan untuk mengukur partisipasi. Terungkap bahwa total sampah yang dapat didaur ulang cukup rendah, 0,01% dari total timbulan sampah. Pemasaran, penyimpanan, dan ketidakefisienan selama proses pemisahan. Sementara itu, partisipasi dalam bank sampah dipengaruhi oleh pengetahuan, kewajiban moral, norma sosial, usia dan jenis kelamin.

Kata kunci: bank sampah, sistem bank sampah, manajemen, partisipasi rumah tangga, pengurangan sampah

Page 318: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 307

ABSTRACT

Improving waste management quality needs to be done by changing the paradigm of waste, from waste dumping in to waste recycling. Waste should be seen as resources or income generator. In line with this, Indonesian government issued regulations Act No. 18/2008 about Solid Waste Management. By enactment of this act, every regency is expected to encourage household participation in community-based recycling program. In addition, there are governments Regulation No. 81 Year 2012 regarding Household Solid Waste and Household-like Solid Waste Management, Minister of Environment Regulation No. 13 Year 2012 concerning the implementation of 3R through waste bank. In Kendal Regency, the establishment of waste bank arises from awareness of impact of waste, especially inorganic waste. However, compare to other city, the development is still relatively low. Therefore, the purpose of this research is to improve waste bank performance by assessing community waste bank system in term of management and participation. Four waste banks were selected as research site, which is waste bank Resik Becik, Sampah Berkah, Bersih Barokah and Gemas. Data are collected through observation, interview and questionnaire with waste bank committee, waste bank association, government official and members of waste bank. Qualitative method was carried out to analyzed waste bank mechanism, role of waste bank association and local government support. Quantitative Method includes calculation of recyclable or marketable waste and correlations analysis to measure participation. It was revealed that the total recyclable waste is quite low, 0,01% from total waste generation. Marketing, storage, and inefficiency during the separation process. Meanwhile, participation in waste bank influence by knowledge, moral obligation, social norm, age, and gender.

Keywords: waste bank, waste bank system, management, household participation,

waste reduction

Page 319: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

308 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ASSESSMENT OF COMMUNITY WASTE BANK SYSTEM IN KENDAL REGENCY

A. Background

Technological development, globalization and population growth have accelerated the dynamics of the urbanization process in developing countries (Ghose, et al., 2005). As countries urbanize, their economic wealth increases. As standards of living and incomes increase, consumption of goods and service increases, which results in a corresponding increase in the amount of waste generated (Sridhar, 2016).

Along with increasing the amount of waste, the government especially in developing country has a tough responsibility to provide good waste management. As services provider, government have to provide services to manage waste from the source until disposal site. In general, collect and dispose solid waste in developing countries become the responsibility of municipal government. But many municipalities failed to fulfill the role. According to Charlotte Durand, one of the reasons it failed is the concept of the waste sector as a whole, integrating all the various players involved within an overarching vision of the waste chain, is not yet sufficiently developed.

Involvement of public, private sectors and community are important to improve waste management process. In addition, the mindset that waste is a problem need to be changed. According to UNEP report, the increasing volume of waste would not be a problem if it was viewed as resources and managed properly (Trochinetz, et al., 2008). Therefore, participation in a community become very crucial, not only to reduce volume of waste but also to improve the welfare in the community by using waste as income generator.

In regard of this situation Indonesian government issued several regulations to improved household waste management, which are Act No. 18/2008 about Solid Waste Management, Government Regulation No. 81 Year 2012 regarding Household Solid Waste and Household-like Solid Waste Management, Minister of Environment Regulation No. 13 Year 2012 concerning the implementation of 3R through waste bank. By enactment of this act, every regency is expected to encourage household participation in community-based recycling program.

Studies on several solid waste recycling bank projects such as Klong Toey slum-Bangkok; community waste management in Hyberabad-India shows that the project could reduce waste and improve environment cleanliness. It also could create jobs opportunity and additional income for community (Singhirummisorn et al., 2012).

Page 320: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 309

Kendal is one of the 35 regencies in Central Java Province. It is located in The North Coast of Java Island, next to Semarang the capital city of Central Java. Waste management in Kendal Regency are manage by local government. Currently only 12 out of 20 sub-districts are served by waste management services. Based on data from Cleaning and Waste Management Sub-divison, in 2015, production of solid waste in 12 services areas is about 88.059,9 m3/year. The increased number of waste production is not in line with the ability of the waste transportation facility and adequacy of the landfill site. Every day there are 194 m3 of waste transported to landfill site and 30.18 m3 are left behind.

Nowadays, community based solid waste management is growing. Waste bank community, a system like a regular bank where citizen collect, save, and earn money from waste began to grow. At waste banks, the waste created by the household is divided into several categories. Once the garbage bags are filled up, they bring their haul to a neighborhood waste bank where they then “make a deposit” which are weighed and given a monetary value, based on rates set by waste collectors.

Waste bank in Kendal Regency was first established in 2012. Currently there are 36 waste bank community. It spread out in thirteen sub-districts. However, the development is still relatively low compare to others city such as Surabaya. Waste bank in Surabaya, developed very fast. There were 180 branches in 31 local districts and had more than 10.000 member in four years (Wijayanti, 2015). In Indonesia, as whole, there are significant increase in waste bank. Raharjo mention that there are 471 waste bank in

2012 then increase become 886 in three month (Raharjo, 2015).

B. Research Methodology

To achieve the overall research objectives, the methodology is designed to gather comprehensive overview of the situation of waste bank mechanism and future improvement. The research methodology consist several activities as mentioned below.

To achieve the objectives, primary and secondary data need to be collected. Primary data in this research were acquired through site visits, observations, questionnaire and interviews, whereas secondary data were obtained from literature reviews, published government statistics, government report, maps from local government.

This research used both qualitative and quantitative analysis. These approaches are used because both approach will complement each other. A quantitative descriptive analysis by using quantitative approach, which is collect quantitative data and analyze it, the information will be objective, represent the condition in study area and will be

Page 321: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

310 Direktori Mini Tesis-Disertasi

clearly defined. The feature of quantitative data is represented by numbers. Quantitative analysis includes the calculation of recyclable or marketable waste. Using the data about waste generation, to identify the amount of waste reduction by waste bank community. Further, we can estimate the amount of waste reduction in whole regency with the sample from waste bank community. Using data about cost and revenue from waste separation to identify the economic value to identify the benefit of waste bank for it members. Analyze the questionnaire to find correlation between variables that

influence member participation using descriptive statistics with correlation analysis.

C. Data Analysis and Results

1. Role of Waste Bank Committee

Management in waste bank already referring to Regulation Environment Minister of Republic Indonesia Number 13 Year 2012. However, the obstacles they faced are related to the recruitment of members, the coverage of services and reduction target.

The composition of bank waste committee generally consists of chairman or leader, secretary, treasurer, and members. However, it is a little bit different in Gemas Waste Bank. They involving head of the village and Family Welfare Development (PKK) leader as an advisor. This is because head of the village is a well-respected figure, hopefully it will encourage more people to participate. Meanwhile, the leader from Resik Becik Waste Bank was the initiator of waste bank association which has experience in community empowering program. This is in line with Indriati’s statement, leadership, and knowledge are some of factors that

influence waste bank success (Indriati, 2016).

2. Role of Waste Bank Association

Waste bank association is an organization consist of several waste bank in Kendal Regency. It was initiate by the leader of Resik Becik Waste Bank as a forum to increase cooperation and communication among members and as a bridge between government and waste bank community. Activities that have been done include socialization and facilitation for community who are interested to form a waste bank. Similar with waste bank committee, this association are voluntary

basis therefore it is difficult to conduct regular meeting.

Page 322: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 311

3. Lack of Support from Local Government to Promote Waste Bank

To overcome the waste problem in Kendal, local government tries to build new landfill with new system, which is controlled landfill. The project will be funded by national government. Local government has to provide land and the documents (feasibility study, detail engineering design, and environmental impact assessment). Local government focused on improving waste management system by built infrastructure.

However, local government has an obligation to implement regulation UU No.18/2008 about solid waste management to change the paradigm from waste dumping to waste recycling. In accordance with those regulation, local government of Kendal Regency set a target to reduce 20% of transported waste to landfill site. To achieves this goal, since 2013 local government create a program and campaign to improve citizen knowledge about 3R activities. Local government also provided garbage bin and temporary disposal site for organic and inorganic waste in public space. However, the residents are still reluctant to separate their garbage. However, financial support is low only 2,98% for 3R program in 5 (five) years.

Local government have not allocate specific budget for waste bank activities or integrating waste bank into municipal solid waste. Studies on waste reduction program in Jakarta and India mentioned that the failure of program due to recycling activities has not integrated in municipal solid waste management (Raharjo, 2015). Meanwhile in Surabaya, coordination between local institution and waste bank

managed to reduce waste significantly (Wijayanti, 2015).

4. Members Participation in Community Waste Bank

The study examines the influence between variable that related with participation by using correlation (r). The result found that Socio-demographic factors, gender and age has correlation with situational factors with medium correlation coefficient -0,304 and -0,262. Gender and attitude has low correlation coefficient in 0,201. It was unexpected, because the majority of member are female, with age range 40-49 which they involve directly in managing. Environmental knowledge has correlation with access to information and perceived behavioural control which is 0,389 and 0,252. Subjective norm has correlation with moral obligation 0,383 and perceived behavioural control 0,205.

Page 323: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

312 Direktori Mini Tesis-Disertasi

D. Conclusion

It was revealed that the total recyclable waste is quite low, 0,01% it means that the level of participation in 3R in the community quite low. However, if every village can create a waste bank it will boost the waste reduction in become 0,9%. The level of participation in itself influence by knowledge, moral obligation, social norm, age and gender. Meanwhile in waste management there are problems related with marketing, storage, and inefficiency during the separation process. Related with government

support currently, is very limited and focused on 3R campaign.

E. Recommendation

Knowledge and social norm can influence people perception, therefore program or campaign related awareness on environmental issue need to be to be increased. Improving cooperation between waste bank community to solve management problem. Reduce inefficiency in waste separation by conducting dissemination for members.

Page 324: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

A PROTOTYPE SYSTEM ON IMPACTS OF INTEGRATED SOLID WASTE MANAGEMENT POLICY IN BANTUL REGENCY

Nama : Wiryawan Budi Gunawan

Instansi : Pemkab Bantul

Tahun Intake : 2015

Tingkat Beasiswa : Luar Negeri

Program Studi : Graduate School of Policy Science

Negara Studi : Jepang

Universitas : Ritsumeikan University Graduate

Schools

Page 325: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

314 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Municipal Solid Waste (MSW) menjadi masalah serius yang dihadapi oleh setiap negara di dunia. Diperkirakan bahwa MSW di dunia akan meningkat 1,7 kali pada 2025 seiring dengan peningkatan populasi. Sama seperti negara berkembang lainnya, pertumbuhan populasi dan ekonomi berkembang di Indonesia meningkatkan jumlah MSW secara signifikan. Bantul sebagai salah satu kabupaten di Indonesia juga mengalami masalah MSW di mana generasi MSW meningkat setiap tahun sementara infrastruktur kota tidak memadai untuk menutupi masalah. Lebih dari 90% generasi MSW di Kabupaten ini tidak dikelola dengan baik. Pembakaran, penguburan dan pembuangan ilegal menjadi praktik umum untuk limbah yang tidak terpakai. Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa satu-satunya TPA yang digunakan oleh Kabupaten tidak dikelola dengan baik dan akan mencapai kapasitas maksimumnya segera.

Integrated Solid Waste Management (ISWM) dengan lebih menekankan pada Community-Based Solid Waste Management (CBSWM) diusulkan untuk mengatasi masalah MSW. Hal ini juga diharapkan untuk memperpanjang umur TPA dan meringankan dampak lingkungan. Sistem Dinamika (SD) adalah metodologi yang mapan untuk memahami, memvisualisasikan dan menganalisa sistem umpan balik dinamis yang kompleks. Model SD digunakan untuk menganalisis dan memprediksi perilaku skenario ISWM di masa depan.

Empat skenario telah disimulasikan menggunakan SD dan hasilnya menunjukkan skenario dengan lebih menekankan pada CBSM memiliki output yang lebih baik dibandingkan dengan skenario lainnya. Skenario ini dapat memperpanjang umur TPA dan mengurangi tingkat emisi CH4 yang juga menawarkan dampak positif pada pendapatan masyarakat melalui kegiatan pengomposan dan daur ulang. Satu-satunya kelemahan adalah jumlah yang lebih tinggi dari total biaya untuk mengembangkannya. Kerja sama antara pemerintah lokal dan sektor swasta diharapkan dapat mengatasi hambatan ini.

Kata Kunci: Limbah Padat Kota, Pengelolaan Limbah Padat Terpadu, Dinamika Sistem

Page 326: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 315

ABSTRACT

Municipal Solid Waste (MSW) becomes a serious problem faced by every country in the world. It is predicted that MSW in the world will increase 1,7 times in 2025 along with the population increases. Just like other developing countries, the growing population and the economics expand in Indonesia raise the amount of MSW significantly. Bantul as one of the regencies in Indonesia also experiences with the MSW problems where MSW generation increases every year while the municipality infrastructures are inadequate to cover the problems. More than 90% of MSW generation in the Regency is not managed properly. Burning, burying, and illegal dumping become common practice for uncollected waste. This condition is exacerbated by the fact the only landfill used by the regency is not well managed and it will reach its maximum capacity soon.

Integrated Solid Waste Management (ISWM) with more emphasized on Community-Based Solid Waste Management (CBSWM) is proposed to overcome the MSW problem. It is also expected to extend the landfill lifespan and alleviate the environmental impact. Systems Dynamics (SD) is a well-established methodology for understanding, visualizing and analyzing complex dynamic feedback systems. SD model is used to analyze and predict ISWM scenarios behavior in the future.

Four scenarios have been simulated using SD and the outputs show the scenario with more emphasis on CBSM has better outputs compared with the other scenarios. The scenario can extend the landfill lifespan and reduces CH4 emission rate which also offers positive impacts on community revenue through composting and recycling activities. The only drawback is the higher amount of the total cost to develop it. Cooperation between the local government and private sector is expected to tackle this obstacle.

Keywords: Municipal Solid Waste, Integrated Solid Waste Management, System Dynamics

Page 327: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

316 Direktori Mini Tesis-Disertasi

A PROTOTYPE SYSTEM ON IMPACTS OF INTEGRATED SOLID WASTE MANAGEMENT POLICY IN BANTUL REGENCY

A. Background

The acceleration of social, economic and population growth escalates the amount of Municipal Solid Waste (MSW) which creates a serious problem faced by most countries in the world especially for poor countries and developing countries. MSW generation increases faster than the ability of MSW management service to manage. This situation is compounded by the lack of public awareness in MSW management. As a result, improper MSW management triggers environment degradation, escalates pollution and threats human health.

Many MSW problems that now perceived are caused by the policy made in the past. The decision makers often fail to anticipate the side effects of the MSW problems which make the problems getting worse and instead creating new problems. They cannot identify the main problem and give the right prescription to treat the condition. The complexity of MSW management obliges the decisions maker learns how to understand the behavior of the system and the impact of their policies.

MSW management programs have been developed by municipalities to tackle MSW problems such as developing municipality service, recycling, composting, pay-as-you-throw program and also community participation. Many municipalities have developed the systems successfully, unfortunately most of them are failed to eliminate the MSW problems. The low budget on the government spending is often accused as the main reason why the MSW program is failed. However, the municipalities cannot continue to condemn the low budget as a barrier to achieving the goal but it should become a trigger to find an alternative solution to MSW management.

Some municipalities have developed an integrated approach on MSW management which combines two or more programs to tackle the problems. They also engage private sectors and communities to join the program. The collaboration between municipality, private sectors and communities are expected can strengthen the capability to handle MSW issue. Integrated approaches is believed can eliminate MSW problems effectively and bring some positive impact on the environment and societies.

Bantul Regency has adopted the integrated approach in MSW management. The local government spent their budget to develop municipality service and engage community participation by giving them some stimulant to expand their ability in MSW management. The approach seems become better opportunity amid limited budget

Page 328: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 317

owned by the local government. An amalgamation between municipality service and community participation is expected to tackle MSW issues more effective and efficient. Furthermore, people awareness is expected to increase in line with the rise of community participation on MSW management. With the increase of public awareness, it is expected that the government’s goal to achieve zero waste can be achieved easily.

B. Research Objectives and Methodology

1. Research Objectives

This research seeks to propose an Integrated Solid Waste Management (ISWM) with more emphasis on Community-Based Solid Waste Management (CBSWM) and its impacts on the environment. The research also analyzes the feasibility study of the proposed ISWM in order to examine the conformity of the system with

the Bantul Regency’s needs in MSW management.

2. Research Questions

SD modeling is used to answer the research questions which are listed as follows:

a. What are the benefits of the proposed ISWM which more emphasis on CBSWM compared with the current condition?

b. How is the feasibility of the proposed ISWM?

3. Research Hypotheses

This research has two hypotheses that will be verified during the research. The research hypotheses are:

a. The implementation of the proposed ISWM can extend the landfill lifespan and alleviate the environmental impacts.

b. The development of proposed ISWM has lower expenses than the

development of ISWM emphasizing on municipality service.

4. Research Framework

This research requires a complete understanding of the MSW management and its problems, and also the system that will be proposed in Bantul Regency. Review of the current condition of the MSW management is the first step to grasp a better understanding on MSW problems and find proper methodology which fit to learn MSW issues. Second, get a deeper understanding of MSW management problems

Page 329: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

318 Direktori Mini Tesis-Disertasi

faced by the regency using literature review, direct observation, and interview with the government officials. Third, constructing SD model based on MSW management behavior in the Regency to investigate the effects of MSW management policy on the landfill and environment. Fourth, discovering a better scenario can be implemented in Bantul Regency and fit with the condition. Formalizing the

conclusion and recommendation are the final stages of this research.

C. Data Analysis and Results

1. What is Municipal Solid Waste?

Based on United Stated Environmental Protection Agency (n.d.), the definition of Municipal Solid Waste (MSW) is “Wastes consisting of everyday items such as product packaging, grass clippings, furniture, clothing, bottles and cans, food scraps, newspapers, appliances, consumer electronics, and batteries. These wastes come from homes, institutions such as schools and hospitals, and commercial sources such as restaurants and small businesses. It does not include municipal wastewater treatment sludges, industrial process wastes, automobile bodies,

combustion ash, or construction and demolition debris”.

2. Integrated Solid Waste Management Approach to Tackle Municipal Solid Waste Problems

ISWM refers to the integrated approach to solid waste management. UNEP (2009) stated that “ISWM refers to a strategic initiative for the sustained management of solid waste through the use of a comprehensively integrated format generated through sustained preventive & consultative approach to the complementary use of a variety of practices to handle solid waste in a safe and effective manner”. Flexibility in ISWM indicates the system can be applied in different condition and location which makes the implementation of it may vary in the different area. ISWM application can be adjusted to the needs of solid waste management in a certain area. It should be adapted to fit with social, economy, and environment condition where the concept is implemented. For example, it can be focusing on improving transportation, increasing public awareness or establishing the 3R approach. Thus, the combination between reducing, reusing, recycling, composting, incinerating and land-filling can be adjusted to the area condition (Kardono, 2007). Some methods of ISWM can be succeeded in certain areas but it may fail to achieve the goal in different areas. A financial factor always becomes the major problem in ISWM, thus it needs good management in its development (USAID, 2014).

Page 330: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 319

Pune Municipal Council in India is one of the cities that successfully applied ISWM. It had experienced on ISWM system which focused on waste generation, waste segregation, 3R approach, MSW decentralized treatment, and technologies application of solid waste processing (UNEP, 2009). ISWM application had successfully solved the solid waste problem in Pune. Municipal Commissioner of Pune, Mahesh Pathak (Swaminathan, 2011) said that ISWM system covered 122 from 144 municipal wards in Pune. ISWM successfully made some areas in Pune achieved zero waste. The municipality also closed all open dumping facilities and the solid waste was processed to create 11,5MW electricity that was used to supply

the electrical energy in the city.

3. Integrated Solid Waste Management in Indonesia

Law Number 18 of 2008 on Waste Management stated the purposes of waste management are to improve people’s health and environment’s quality and also to change a view of waste from a useless material to a resource. The Law also changes the paradigm of MSW management from collect-transfer-disposal (end-of-pipe) methods to reduce the waste from its source using 3R approach. MSW management is not only become government’s responsibility but also people and private sector. Moreover, the central government through Directorate General of Human Settlements of Ministry of Public Works initiated the 100-0-100 Program to overcome drinking water, housing, and sanitation problems. The 100-0-100 Program set 100% of clean water service, 0% of slum areas and 100% of sanitation service including waste management that scheduled to be reached in 2019.

Community participation is a strategy on ISWM development. Together with municipality system, which is provided by the government, it is expected to overcome the waste problems. CBSWM is waste management done by the community’s member such as waste handling, composting and recycling activities. CBSWM was born because municipality system cannot overcome the waste problem in their area (JICA, 2005). Kardono (2007) stated that the low expenses and high public involvement on CBSWM made it became the first choice for ISWM development in Indonesia. Sekito et al. (2013) showed that people’s waste disposal habit had changed positively because of the CBSWM application, people no longer disposed their waste on the curbside or river area and burning the solid waste.

There are some experiences of CBSWM program in Indonesia. The experiences are taken from comparative assessment book written by USAID (2006). The first experience comes from Wonokromo Village in Surabaya. Previously the village suffered from an environmental problem such as littering, drainage clogging,

Page 331: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

320 Direktori Mini Tesis-Disertasi

and MSW burning which were commonly faced by the community. To overcome the situation, joint facilitation between non-government organization, the private sector, and local government were made. KOMPOS, the name of the CBSWM, was established to increase people’s awareness on MSW management. The community applied for waste segregation, composting, sorting and selling of recyclable materials, making handicraft from recyclable materials, and also introducing greenery program in the area. After one year implementation, people behavior on MSW management had changed. Littering, drainage clogging, and MSW burning had decreased. People also got financial benefits from recyclable materials and handicrafts selling.

The second experience comes from Tembung Village in Medan. The background is almost the same as Wonokromo Village, it suffered the negative impact of littering, burying and burning of MSW done by the people in the community. The MSW in this village was not served by the municipality system which made a lot of people disposed their MSW into the river. The community organizer called Masyarakat Peduli Lingkungan (MAPEL) was established to change people behavior in MSW management. The community introduced 3R approach including waste segregation, communal composting, and sorting. The community also initiated clean-up kampong program to clean the environment. Littering, burying and burning activities had been reduced in some area although the program had just started.

The villages successfully developed CBSWM to solve MSW problems in their regions. Even though both villages developed CBSWM as a core on their MSW management but they still integrated the system with the municipality service to

dispose of the residual waste which cannot manage by CBSWM.

4. Integrated Solid Waste Management in Bantul Regency

The local government has basically been developing ISWM to overcome the MSW problems. ISWM is used to reduce the illegal dumping activities and unmanaged MSW. ISWM application is appeared on waste management budget. The waste management budget on Public Work Agency is allocated to develop municipality system while on the environment Board is used to support CBSWM and 3R approach. Some documents and studies were conducted by the local government on waste management showed the importance of ISWM to overcome MSW issues. Through Local Regulation Number 15 of 2011 on Waste Management set the responsibility of the local government, communities, and private sectors on waste management. The local government supports and facilitates private sectors and

communities to develop MSW management through 3R approach.

Page 332: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 321

5. Systems Approach to Municipal Solid Waste Management

The fast-growing population, technology, and economic has changed the simple world into a complex society which also makes Municipal Solid Waste Management become more challenging. To grasp a deeper understanding of the complex problems and its behaviors, it needs an ability to tackle this situation, which is called systems thinking.

The definition of a system, according to Meadows (2008) is ”a set of things-people, cells, molecules, or whatever- interconnected in such a way that they produce their own pattern of behavior overtime”. Whilst, Turban (1993) stated that ”A system is a collection of an object such of people, resources, concept, and procedure intended to perform and identifiable function or to serve a goal”. A system consists of several components or subsystems which depend and interacting each other to set a unified whole.

Meadows (2008) divided systems thinking into three things: elements, interconnections, and functions. Eriyatno (1999) thought that problem completion through systems approach emphasis on three philosophies which are cybernetic (goal-oriented), holistic, and affectivity. Cybernetic means that problem completion is not only focusing on problem-oriented, but more emphasis on the purpose. Holistic requires an integrated approach to tackling the problems, while affectivity

means that the systems development should represent the real conditions.

D. Conclusions

The local government initiated ISWM to tackle the MSW problems and achieving zero waste in the future. The municipality service and CBSWM are two approaches that were chosen by the local government to develop. Hitherto, ISWM development in the Regency is more emphasis on the municipality service rather than CBSWM. SD is developed to find the impacts of these two approaches which are used to find a better scenario for ISWM.

The study has set out to find the impacts and the feasibility of the proposed ISWM which is more emphasized on CBSWM. The first hypotheses stated that the implementation of the proposed ISWM can extend the landfill lifespan and alleviate the environmental impacts. The simulation result claimed that the proposed ISWM can extend the landfill lifespan and alleviate the environmental impacts.

Page 333: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

322 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. The proposed ISWM able to extend the landfill lifespan even though ISWM still depends on the municipality service to transport MSW to the landfill. This purpose can be achieved by reducing the role of the municipality service and increasing the role of CBSWM on ISWM. One of the obstacles in reaching the goal is the high amount of the unmanaged MSW in the Regency which reaches more than 90% of the MSW generation caused the development of CBSWM focuses to tackle the unmanaged MSW rather than to replace the role of municipality service in MSW management.

2. CH4 emission from the landfill area cannot be alleviated throughout MSW is still dumped to the landfill. The proposed ISWM can reduce the amount of MSW dumped to the landfill so that CH4 emission will diminish trough the time.

3. The proposed ISWM has the same positive affect with ISWM emphasizing on municipality service in reducing the unmanaged MSW in the Regency which will effect on reducing illegal dumping activity and increasing the number of houses with better sanitation access.

Proceed to the second hypotheses that stated the development of proposed ISWM makes lower expenses than the development of ISWM emphasizing on municipality service. The simulation showed the opposite outcome where establishing the proposed ISWM is more expensive than developing ISWM emphasizing on municipality service.

1. The basis assumption in this calculation comes from the comparison between the amounts of the budget issued by the local government with the amount of MSW which is managed by the two approaches. As a note, the calculation for municipality service excludes the landfill construction costs. The comparison result stated that with the same amount of budget, the CBSWM can only manage 1/9 times lower than the municipality service. It causes the development of CBSWM is more expensive than the development of the municipality service.

2. From the budget viewpoint, initiating the development of CBSWM will draining the local government budget. On the other hand, it gives more benefits for the people such as the amount of potential income received by the community from recycling and composting activities. Although the development cost of the proposed ISWM is higher than the revenue than will be received by the community, the proposed ISWM has the positive impacts on extending landfill

lifespan and improving environment quality.

E. Recommendations for Better ISWM

Based on the conclusions, the proposed ISWM has the positive impacts in extending landfill lifespan and alleviating the environment adverse effects. However, the

Page 334: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 323

developing cost of the proposed ISWM is higher. These recommendations are expected to bring some improvement on the MSW management in the regency.

1. The fact that the proposed ISWM has more positive impacts than the ISWM emphasizing on municipality service makes the local government should think to change the focus on ISWM development from emphasizing on municipality service to CBSWM. The local government can allocate more portions on waste management budget to develop CBSWM in order to support more communities to establish CBSWM in the areas.

2. Attracting private sectors involvement on MSW management to cope with the high cost and the limited budget on the proposed ISWM development. The local government directing private sectors through Community Social Responsibility (CSR) programs to be used supporting CBSWM development.

3. Initiating CBSWM development through training, technical assistance, and dissemination to the communities and schools. The local government can provide more MSW infrastructures and equipment to support the CBSWM establishment especially on the areas which have not reach by the municipality service. High potential revenue from composting and recycling activities can be used a campaign to propagate CBSWM to the communities.

4. Developing CBSWM in some areas which is fully funded and supervised by the local government as pilot projects that can be replicate in other areas. The purpose of this program is educating the communities how to build and manage CBWM correctly thus the sustainability of CBSWM can be maintained.

5. Applying incentives for the areas which develop CBSWM and disincentives for the areas which cannot initiate it. This policy is expected to attract more communities to establish CBSWM.

6. Overflowing capacity on the landfill is inevitable. The local government should find new location either expand landfill capacity soon. In addition, the local government should consider constructing better solid waste treatment technology and landfill management to reduce the environment impacts from the new landfill construction.

Page 335: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

324 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Direktori Mini Tesis-Disertasi

STUDI PEMBANGUNAN

Program Beasiswa PHRD-IV

Page 336: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DALAM PERSPEKTIF PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT

Nama : Boy Sandi Asri

Instansi : Pemkot Pariaman

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 337: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

326 Direktori Mini Tesis-Disertasi

STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI PENGOLAHAN DALAM PERSPEKTIF PENCAPAIAN TUJUAN PEMBANGUNAN

BERKELANJUTAN DI PROVINSI SUMATERA BARAT

A. Latar Belakang

Pembangunan nasional berkaitan dengan upaya peningkatan berbagai sektor yang menggerakan ekonomi masyarakat. Salah satu sektor yang menjadi tumpuan dalam pengembangan ekonomi adalah sektor industri pengolahan. Industri pengolahan memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang cukup besar. Kontribusi industri pengolahan terhadap perekonomian memiliki peran yang signifikan. Hal ini mengisyaratkan besarnya potensi industri pengolahan dalam meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi nasional sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Dalam perkembangannya, tidak dapat disangkal bahwa pertumbuhan ekonomi nasional juga harus ditunjang dengan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Salah satu provinsi yang mengalami permasalahan dalam pengembangan industri pengolahan adalah Provinsi Sumatera Barat. Jika dilihat dari beberapa tahun terakhir, permasalahan yang dihadapi industri pengolahan di daerah ini meliputi berbagai aspek, yaitu aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bidang ekonomi, permasalahan yang terjadi dapat dilihat pada kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB yang makin melemah dari tahun ke tahun. Menurut data BPS Provinsi Sumatera Barat (2017), kontribusi sektor industri pengolahan terhadap PDRB dari tahun 2012 sebesar 11,53% terus menurun hingga tahun 2016 dengan persentase 10,11%. Di bidang sosial, berdasarkan data BPS Provinsi Sumatera Barat, dalam rentang Agustus 2013−Februari 2017, permasalahan penyerapan tenaga kerja yang kurang optimal masih menjadi sorotan. Dalam hal ini terjadi fluktuasi penyerapan tenaga kerja. Selain itu, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup H (2015), permasalahan kualitas lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat juga belum optimal yang ditunjukkan oleh indeks kualitas lingkungan hidup yang fluktuatif sehingga menambah peliknya permasalahan yang dihadapi secara multidimensi. Berbagai kebijakan telah dilakukan, namun belum mampu menyelesaikan masalah secara signifikan.

Menyikapi hal tersebut pemerintah telah berupaya menyusun langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Salah satu kebijakan pemerintah yang dapat dilakukan adalah melaksanakan pembangunan berkelanjutan di segala sektor. Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu agenda global dalam upaya mewujudkan keseimbangan antara aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam

Page 338: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 327

melakukan implementasi pembangunan di berbagai negara di dunia. Agenda global ini semakin intensif perkembangannya berdasarkan persetujuan negara-negara dengan platform SDGs pada KTT Rio tahun 2014. Kemudian agenda global ini ditindaklanjuti dengan persetujuan negara-negara pada Sidang Umum PBB tahun 2014 ketika dilahirkannya program Sustainable Development Goals (SDGs) (2016−2030) sebagai kelanjutan dari program MDGs (2000−2015) yang dianggap telah membawa banyak perubahan positif dan signifikan terhadap dunia.

Dengan agenda global yang strategis ini, negara-negara di dunia termasuk Indonesia diarahkan pada tata kelola pembangunan berkelanjutan yang dicita-citakan yang mampu menyeimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang diharapkan, mampu tumbuh secara bersama, seimbang, dan berkemampuan secara berkelanjutan. Permasalahan muncul ketika implementasi upaya global ini menemui kendala di masing-masing negara. Setiap negara telah mengetahui 17 tujuan dan 169 target pembangunan berkelanjutan ini. Namun pada langkah berikutnya setiap negara menemui tantangan yang sangat besar, yaitu dalam hal menerjemahkan tujuan dan target pada agenda global tersebut ke dalam kerangka tindakan lokal sehingga tindak lanjut dari kegiatan ini dapat diukur perkembangannya. Dalam hal ini, salah satu pokok permasalahan penting adalah setiap tujuan dan target tersebut, termasuk di dalamnya berkaitan dengan upaya mendorong industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan yang merupakan tujuan ke-9 SDGs, harus memiliki ukuran atau indikator kemajuan yang relevan, menyeluruh, dan implementatif dilaksanakan di berbagai tingkatan pemerintahan pada setiap negara. Tanpa adanya indikator yang relevan, menyeluruh, dan implementatif sebagai tolak ukur perkembangan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan akan menyulitkan setiap stakeholder dalam menentukan kebijakan sektoral yang akan dilakukan sehingga agenda global ini akan menjadi bias dan sulit untuk berkembang, sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan sulit untuk diwujudkan.

Berbagai agenda pembangunan nasional yang diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah (RPJMN) walaupun memiliki perspektif yang berbeda namun memiliki keterkaitan erat dengan SDGs. Keterkaitan antarindikator juga dapat dianalisis kondisinya dari sudut pandang kondisi pilar-pilar penguatan sistem inovasi daerah. Terkait dengan hal tersebut, perlu dilakukan upaya penyelarasan agenda global SDGs, dengan rencana pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penyelarasan ini harus sesuai dengan potensi dan prioritas daerah masing-masing yang merujuk pada kerangka lokal di Indonesia mulai dari pemerintah pusat sampai pada berbagai tingkatan di daerah. Sehingga mampu menjadi dasar dalam menyusun strategi pengembangan kebijakan berbagai sektor pada berbagai tingkat termasuk tingkat daerah. Fokus pada

Page 339: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

328 Direktori Mini Tesis-Disertasi

pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Dalam hal ini, fokus penelitian dilakukan pada industri pengolahan di Provinsi Sumatera Barat. Secara umum, sektor industri pengolahan merupakan salah satu sektor yang berpotensi berkontribusi besar pada perekonomian daerah ini. Jika dilihat dari kontribusi PDRB-nya, industri pengolahan masih berada di peringkat ke-4 dibanding sektor lainnya dalam hal urutan kontribusi PDRB dan dalam hal penyerapan tenaga. Permasalahan ini membutuhkan penelitian yang berkaitan dengan konsep berkelanjutan yang berfokus pada upaya menyelaraskan agenda global SDGs dan agenda pembangunan nasional, serta daerah dalam pengembangan industri pengolahan.

Oleh karena itu, diperlukan analisis keterkaitan serta ukuran indikator yang relevan yang dapat dijadikan pedoman sehingga membimbing kemajuan ke arah yang dicita-citakan. Di sisi lain menganalisis kelemahan-kelemahan berdasarkan keterkaitan antarindikator tersebut dari sudut pandang kondisi pilar-pilar inovasi yang ada sehingga mampu mengidentifikasi kelemahan sebagai upaya peningkatan nilai tambah di masa yang akan datang. Hal ini menjadi sorotan karena belum optimalnya berbagai upaya merancang suatu strategi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di daerah ini. Hal inilah yang menjadi fokus pentingnya penelitian ini sebagai upaya memberikan solusi strategi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan untuk menstimulasi lahirnya solusi sebagai dasar kebijakan pengembangan industri di masa depan. Berkaitan dengan hal tersebut yang menjadi fokus penelitian adalah industri pengolahan di Provinsi Sumatera Barat yang memiliki potensi yang besar dan mampu menyentuh usaha yang melibatkan sendi-sendi kehidupan berbagai lapisan masyarakat.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di Provinsi Sumatera Barat, sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi posisi tujuan ke-9 SDGs, dalam hal ini fokusnya untuk mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dalam agenda pembangunan nasional dan agenda pembangunan daerah Provinsi Sumatera Barat.

Page 340: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 329

2. Mengimplementasikan indikator-indikator pencapaian tujuan ke-9 SDGs yang berkaitan dengan upaya mendukung industri yang inklusif dan berkelanjutan dan keterkaitannya dalam pilar-pilar penguatan inovasi serta mengidentifikasi kondisi aktual penerapannya di daerah Provinsi Sumatera Barat.

3. Menyusun strategi pengembangan industri yang inklusif dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan ke 9 SDGs di Provinsi Sumatera Barat sebagai solusi pengembangan industri dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

C. Metodologi Penelitian

Data utama yang digunakan adalah data yang dihimpun oleh BPS, Kementerian serta instansi terkait di daerah provinsi dan kab/kota. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan hasil konvergensi berbagai macam dokumen. Selain itu juga dikumpulkan data sekunder lainnya yang berasal dari hasil laporan, jurnal, hasil survey ataupun data lainnya yang mampu menjadi data pendukung dalam penelitian ini. Berbagai data, laporan maupun dokumen legal dari berbagai macam instansi menjadi data sekunder yang dibutuhkan untuk menjadi bahan analisis.

Secara umum, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Menurut Sangadji (2010), data sekunder merupakan data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung. Data sekunder ini dapat diklasifikasikan dalam data internal dan data eksternal. Data yang menjadi sumber rujukan utama dan data penunjang dalam penelitian ini didapat melalui survei data sekunder.

Brian van Wyk (2015) menyatakan bahwa desain penelitian dibedakan menurut jenisnya menjadi tiga, yaitu eksperimental, deskriptif, dan eksploratif. Jenis penelitian adalah penelitian eksploratif karena menurut van Wyk (2015) desain penelitian tersebut digunakan untuk sebuah materi penelitian yang belum dipahami dengan baik, misalnya karena hasil penelitian yang sudah ada masih sangat sedikit. Metode eksploratif dalam penelitian ini digunakan untuk merumuskan berbagai agenda di tingkat global, nasional, dan daerah dalam memetakan pengembangan industri pengolahan yang inklusif dan berkelanjutan di Provinsi Sumatera Barat. Setelah dilakukan metode eksploratif kemudian dilakukan pengumpulan data sekunder yang bersifat deskriptif atau menggambarkan data tabular dari periode waktu tertentu untuk mengimplementasikan indikator yang telah dirumuskan secara eksploratif.

Terkait dengan penelitian yang dilakukan terdapat tiga tahapan analisis yang dilakukan, yaitu:

Page 341: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

330 Direktori Mini Tesis-Disertasi

1. Mengidentifikasi posisi tujuan ke-9 SDGs, dalam hal ini fokusnya untuk mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dalam agenda pembangunan nasional dan agenda pembangunan Provinsi Sumatera Barat. Dalam hal ini dilakukan metode eksplorasi yang terhadap berbagai dokumen yang relevan. Analisis yang digunakan pada tahap ini adalah analisis dokumen.

2. Mengimplementasikan indikator-indikator pencapaian tujuan ke-9 SDGs yang berkaitan dengan upaya mendukung industri yang inklusif dan berkelanjutan dan keterkaitannya dalam pilar-pilar penguatan inovasi serta mengidentifikasi kondisi aktual penerapannya di Provinsi Sumatera Barat. Hasil konvergensi setiap dokumen yang telah diintegrasikan harus dapat diidentifikasi variabel utamanya, didefinisikan, serta kemudian dicari ukuran yang dapat memenuhi definisi tersebut di lapangan dalam bentuk data. Terkait jenis data yang dipilih pada penelitian ini adalah data sekunder, maka ukuran yang dicari berdasarkan ketersediaan data yang lazim diterbitkan di Indonesia. Indikator yang terpilih ini didapat dari hasil kajian literatur. Dalam implementasi indikator yang telah dipilih sebagai variabel yang mampu memetakan kondisi yang terjadi terkait dengan pengembangan industri di daerah, maka dilakukanlah analisis data sekunder. Martono (2011), menyebutkan bahwa analisis data sekunder digunakan peneliti untuk memperoleh temuan-temuan berdasarkan data yang dipublikasikan instansi dan digunakan pada tujuan penelitian tertentu. Hasil analisis data yang dikumpulkan diharapkan mampu menampilkan dan menganalisis terhadap kondisi aktual yang terjadi terkait pengembangan industri pengolahan yang inklusif dan berkelanjutan di Sumatera Barat.

3. Menyusun strategi pengembangan industri yang inklusif dan berkelanjutan sesuai dengan tujuan ke-9 SDGs di Provinsi Sumatera Barat sebagai solusi pengembangan industri dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.

Berdasarkan analisis terkait data sekunder yang dikumpulkan, didapat gambaran tentang kondisi pengembangan industri pengolahan di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan kondisi yang digambarkan tersebut, sebagai upaya menyusun strategi pengembangan industri yang inklusif dan berkelanjutan dilakukan Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Threat) untuk memperoleh strategi pengembangan industri pengolahan yang inklusif dan berkelanjutan di Provinsi Sumatera Barat dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Untuk lebih meningkatkan efektifitas strategi maka dalam pelaksanaan strategi SO, WO, ST, dan WT difokuskan pada kombinasi kekuatan dan kelemahan internal industri pengolahan dan secara eksternal adalah peluang dan ancaman dari kondisi eksternal, dalam hal ini strategi di rancang dengan ”motor” pelaksananya adalah pada pihak yang memiliki kemampuan dan kewenangan untuk lebih memaksimalkan peluang agar lebih efektif untuk dilakukan

Page 342: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 331

sehingga mampu berkontribusi bagi pengembangan industri pengolahan. Setelah melakukan analisis SWOT pada industri pengolahan maka didapat strategi SO, ST, WO, dan WT. Selanjutnya untuk memilih alternatif strategi yang diprioritaskan di antara 4 (empat) strategi tersebut dilakukan analisis kuadran SWOT.

D. Pembahasan Hasil Analisis

Terkait dengan kedudukan tujuan ke-9 SDGs dalam Agenda Pembangunan Nasional dan Agenda Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Barat, secara substantif dapat dijelaskan bahwa tidak ada kontradiksi yang signifikan pada SDGs, Nawacita, dan RPJMN.

Berdasarkan hasil analisis keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2016−2021 dengan SDGs ke-9 yang bertitik tolak pada hubungan yang erat antara misi 4, tujuan 1, dan sasaran 1, RPJMD yang berisikan upaya peningkatan, pertumbuhan, dan pemerataan ekonomi kerakyatan dengan tujuan SDGs yang berupaya mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Ekonomi dan industrialisasi merupakan suatu hubungan yang saling memperkuat dan saling memengaruhi satu sama lainnya.

Hasil konvergensi antara Nawacita, RPJMN, RPJMD, yang berkaitan dengan tujuan SDGs ke-9 serta keterkaitan antartujuan dan target SDGs yang berfokus pada salah satu tujuannya, yaitu mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan menghasilkan 14 point tujuan dan target yang relevan menggambarkan performansi semua upaya yang berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut. Sinergitas antartujuan tersebut harus diturunkan dalam bentuk pemetaan indicator-indikator yang berkaitan sehingga pencapaian tujuan tersebut dapat dilihat perkembangannya. Indikator tersebut terkait dengan dimensi-dimensi atau aspek-aspek yang berkaitan dengan upaya pengembangan industri di masa depan. Dimensi tersebut adalah dimensi ekonomi, sosial dan dimensi lingkungan yang merupakan 3 (tiga) pilar yang bergerak dinamis secara positif dan seimbang yang menjadi tiang pondasi bagi penguatan industri. Indikator-indikator tersebut merupakan hasil konvergensi dari berbagai agenda baik bersifat global, nasional, dan daerah. Berkaitan pemetaan indikator dengan dasar penetapan indikator yang eksplisit dan implisit, diperoleh 36 (tiga puluh enam) indikator yang berkaitan dengan upaya mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, hal ini juga mampu menjadi kerangka bagi pemerintah daerah untuk melihat perkembangan berbagai upaya yang telah dilakukan berkaitan dengan pencapaian tujuan tersebut.

Berdasarkan implementasi 36 (tiga puluh enam) indikator-indikator hasil konvergensi dari Nawacita, RPJMN, RPJMD, serta keterkaitan antara tujuan SDGs ke-9

Page 343: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

332 Direktori Mini Tesis-Disertasi

yang berfokus pada upaya mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan dengan tujuan dan target lainnya di SDGs yang berkaitan, maka didapat beberapa hasil implementasi dalam bentuk analisis inklusifitas dan keberlanjutan.

Berdasarkan analisis berbagai data sekunder yang terkait dengan indikator-indikator hasil konvergensi di Provinsi Sumatera Barat dilakukan analisis inklusifitas dan keberlanjutan dan diperoleh hasil bahwa 13 (tiga belas) indikator mengisyaratkan mengarah pada inklusif dan keberlanjutan. Hal ini terlihat dari perkembangan indikator tersebut dari tahun ke tahun mengalami peningkatan nilai, ataupun penurunan dampak dan pemerataan. Selain itu, dalam data tersebut juga terdapat 9 (sembilan) indikator yang mengindikasikan belum mengarah pada inklusif dan keberlanjutan. Hal ini terlihat dari penurunan kinerja dari tahun ke tahun. Suatu hal yang juga menjadi perhatian adalah adanya 14 (empat belas) indikator yang menunjukkan fluktuasi nilai sehingga meskipun memerlukan perbaikan ada potensi mengarah pada inklusif dan keberlanjutan. Potensi ini harus dicari solusinya sehingga mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik dan konsisten dalam peningkatan.

Jika dikaitkan dengan implementasi dari 36 indikator yang merupakan penjabaran tujuan dan target SDGs ke-9 sebagai hasil konvergensi dari Nawacita, RPJMN, RPJMD dan SDGs tersebut, maka adapun pemetaan tujuan dan target memiliki nilai yang berkaitan erat dengan penguatan pilar-pilar sistem inovasi nasional di daerah. Hal ini berkaitan dengan pilar-pilar tersebut, yaitu Penguatan Sistem Inovasi Daerah, Pengembangan Klaster Industri, Pengembangan Jaringan Inovasi, Pengembangan Technopreneur dan Pengembangan Pilar-Pilar Tematik. Menurut Taufik (2011), kelembagaan sistem inovasi nasional dibutuhkan terutama untuk mengatur jalannya interaksi antaraktor-aktor yang telibat dalam pengembangan inovasi nasional. Peran pemerintah dalam hal ini menjadi sangat penting terutama untuk mengatasi masalah fragmentasi yang terjadi antarinstitusi yang memiliki kewenangan-kewenangan sektoral.

Berkaitan dengan pembahasan tersebut dapat dianalisis bahwa tujuan dan target SDGs ke-9 sebagai hasil konvergensi dari Nawacita, RPJMN, RPJMD, dan SDGs tersebut yang berkaitan erat dengan penguatan pilar-pilar sistem inovasi nasional di daerah memberikan arti pentingnya interaksi antar-stakeholder dan sistem inovasi dalam pengembangan industri. Terkait dengan sistem inovasi, salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah mengimplementasikan konsep rantai nilai sebagai salah satu konsep yang berkaitan erat dan dapat menjadi ruang bagi munculnya ide-ide inovasi adalah konsep rantai nilai. Menurut Porter (1998), rantai nilai menampilkan nilai keseluruhan dan terdiri dari aktivitas nilai dan margin.

Page 344: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 333

Selain itu, dalam kajian Triple Helix, Etzkowitz (2008), menjelaskan bahwa dalam konsep interaksi unsur-unsur yang dipandang esensial dalam sistem inovasi adalah perusahaan-perusahaan, perguruan tinggi, dan pemerintah. Konsep ini dimaksudkan agar tiga unsur tersebut dapat membentuk sebuah hubungan yang bersifat reciprocal antara satu dengan yang lainnya sehingga mampu meningkatkan kinerja masing-masing unsur tersebut. Hal ini diterapkan dalam sebuah level regional dalam konteks hubungan relasi antara klaster industri, pengembangan perguruan tinggi, dan kehadiran pemerintah sebagai pemegang otoritas dan kewenangan melalui kebijakan-kebijakan yang berpengaruh terhadap pengembangan relasi unsur-unsur dalam triple helix ini.

Pengembangan industri dalam upaya menuju industrialisasi membutuhkan pemahaman yang komprehensif tentang industrialisasi itu sendiri. Yustika (2000) menjelaskan, ketika satu negara telah mencapai tahapan di mana sektor industri sebagai leading sector, maka dapat dikatakan negara tersebut sudah mengalami industrialisasi. Dapat dikatakan bahwa industrialisasi sebagai transformasi struktural dalam suatu negara. Oleh sebab itu, proses industrialisasi dapat didefinisikan sebagai proses perubahan struktur ekonomi di mana terdapat kenaikan kontribusi sektor industri dalam permintaan konsumen, PDB, ekspor, dan kesempatan kerja (Chenery, 1986).

Dalam upaya mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan ini berbagai pelaku memiliki peranan potensial dan sangat signifikan terhadap kemajuan perkembangan industri ke depannya, seperti pemerintah, perguruan tinggi, periset, dunia usaha dan bisnis, swasta, lembaga keuangan, dan perbankan, serta masyarakat. Bentuk keterkaitan inilah yang harus memiliki pola dan sistem yang secara progresif membentuk sinergitas yang dapat memacu pengembangan industri di masa mendatang sesuai dengan perannya masing-masing sehingga mengarah pada industrialisasi dan berkontribusi terhadap peningkatan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terintegrasi.

Untuk menyusun strategi pengembangan industri pengolahan berdasarkan perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, maka dilakukan analisis SWOT terhadap kondisi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan di Provinsi Sumatera Barat. Analisis SWOT tersebut menghasilkan kombinasi strategi SO (Strength Opportunity), WO (Weakness Opportunity), ST (Strength Threat), dan WT (Weakness Threat). Kemudian kombinasi strategi SWOT disusun melalui analisis kuadran. Selanjutnya, untuk memilih alternatif strategi yang diprioritaskan di antara 4 (strategi) tersebut, dilakukan Analisis Kuadran SWOT. Analisis SWOT ini di kembangkan oleh Pearce dan Robinson (2007) agar diketahui dengan pasti posisi usaha atau institusi sesungguhnya. Berdasarkan analisis kuadran yang dilakukan, jika dilihat dari kuadrannya yang merupakan kuadran III berarti prioritas

Page 345: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

334 Direktori Mini Tesis-Disertasi

strategi yang dilakukan adalah strategi Weakness Opportunity (WO). Adapun prioritas strategi Weakness Opportunity untuk pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut.

1. Menanamkan budaya literasi dan inovasi pengembangan industri pengolahan di tingkat pendidikan menengah dan perguruan tinggi serta masyarakat secara luas.

2. Meningkatkan substansi kegiatan dan program pemerintah dengan perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan industri pengolahan berdasarkan kekuatan industri pengolahan tersebut.

3. Membuat rancangan dan rencana lembaga pembiayaan khusus inovasi.

4. Membentuk suatu pusat pengembangan inovasi daerah atau taman iptek dengan sinergitas yang tinggi serta membahas berbagai dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan berkaitan dengan industri pengolahan.

5. Membentuk jaringan antara hulu dan hilir sekaligus memperpendek rantai pasok.

6. Mengarahkan CSR perusahaan untuk transfer teknologi industri mikro dan kecil.

7. Mendorong terbentuknya R&D perusahaan untuk masing-masing industri pengolahan yang menengah dan besar atau riset pasar sederhana bagi industri mikro dan kecil.

E. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terkait pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. SDGs memiliki substansi konsep tujuan yang berkaitan, sinergis, selaras, dan memperkuat agenda pembangunan nasional serta agenda pembangunan daerah secara komprehensif. Perspektif pembangunan berkelanjutan dari tujuan SDGS ke-9 yang berfokus pada mendukung industrialisasi yang inklusif dan berkelanjutan mampu diterjemahkan dalam bentuk berbagai indikator yang dikonvergensikan dari berbagai agenda pembangunan. Pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan mampu menempatkan SDGs sebagai salah satu ”acuan” serta ”pemacu” ke arah tujuan untuk meningkatkan kinerja dalam keberlanjutan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satu yang muncul ke permukaan dalam kedudukan keselarasan agenda global, agenda pembangunan nasional dan daerah sebagai pilar percepatan adalah inovasi sebagai salah satu ”mesin” keberlanjutannya.

Page 346: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 335

2. Konvergensi berbagai agenda pembangunan global (SDGs) yang selaras dengan agenda pembangunan nasional dan daerah menghasilkan berbagai indikator yang berkaitan dengan upaya menganalisis kondisi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan indikator tersebut, secara umum Provinsi Sumatera Barat belum mengarah secara dominan terhadap pembangunan berkelanjutan dan masih dalam tahap berpotensi mengarah pada keberlanjutan. Berbagai pilar-pilar pembangunan berkelanjutan seperti IPM sebagai modal sosial, aspek intelektual yang juga baik dalam hal Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah dasar, menengah, atas, dan perguruan tinggi yang baik, kelembagaan yang memiliki kinerja yang baik, serta pilar-pilar tematik yang mendukung merupakan suatu potensi yang menjadi modal besar untuk peningkatan nilai tambah. Namun hal ini belum didukung dengan penguatan sistem inovasi, penguatan jaringan inovasi dan penguatan klaster industri. Apabila dilakukan pembenahan secara terintegrasi maka potensi pengembangan industri pengolahan akan mampu meraih hasil yang optimal melalui strategi pengembangan industri pengolahan yang berkelanjutan.

3. Permasalahan yang terjadi dalam pengembangan industri pengolahan di Provinsi Sumatera Barat cukup sistemik. Jika dicermati, terdapat permasalahan menyeluruh pada industri pengolahan sehingga menyebabkan laju pertumbuhannnya menjadi melambat dan susah untuk dipacu. Karena ”mesin-mesin” pemacu pertumbuhannya belum bergerak secara optimal. Hal ini terjadi karena ada pilar-pilar sistem yang belum dapat digerakan secara sinergis. Dalam analisis SWOT yang dilakukan maka prioritas strategi pengembangan industri yang dilakukan adalah strategi Weakness Opportunity (WO) yang melakukan upaya mendayagunakan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan industri pengolahan. Strategi Weakness Opportunity (WO) di antaranya, yaitu menanamkan budaya literasi dan inovasi, meningkatkan substansi kegiatan dan program pemerintah, membuat rancangan lembaga pembiayaan khusus inovasi, membentuk pusat pengembangan inovasi daerah, membentuk jaringan hulu hilir dan memperpendek rantai pasok, mengarahkan CSR pada alih teknologi, dan mendorong terbentuknya R&D perusahaan. Dalam hal ini, solusi strategi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pembangunan berkelanjutan di Provinsi Sumatera Barat membutuhkan sinergitas pembenahan dan peningkatan sistem industri, sistem inovasi, jaringan inovasi, dan sistem kebijakan yang selaras dan seimbang satu sama lain. Strategi pengembangan industri pengolahan dalam perspektif pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan juga memiliki penekanan yang komperehensif meliputi berbagai dimensi, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Page 347: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

336 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 348: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

ANALISIS REVITALISASI LADA PUTIH SEBAGAI PROGRAM PENGGERAK PEREKONOMIAN DAERAH PASCA TAMBANG TIMAH DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN MENGGUNAKAN SYSTEM DYNAMICS

ANALYSIS OF WHITE PEPPER REVITALIZATION AS THE REGIONAL ECONOMIC MOVEMENT PROGRAM OF POST TIN MINNING IN THE PROVINCE OF BANGKA BELITUNG ISLANDS USING SYSTEM DYNAMICS

Nama : Edwin Setiady

Instansi : Dinas Lingkungan Hidup

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 349: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

338 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Bangka Belitung dikenal sebagai sentra penghasil lada putih (Piper nigrum L.) terbesar di Indonesia. Sebagai sentra lada terbesar di Indonesia lada menjadi komoditas unggulan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pengembangan komoditas unggulan perkebunan lada putih melalui program revitalisasi menjadi salah satu sektor yang dikembangkan di luar sektor pertambangan yang sedang mengalami penurunan. Penurunan sektor pertambangan timah yang merupakan salah satu komoditas unggulan cukup berpengaruh terhadap perekonomian daerah sehingga memerlukan pengembangan sektor-sektor lain untuk meningkatkan perekonomian daerah.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran pengembangan sektor perkebunan lada putih sebagai salah satu program unggulan pascatambang timah, melalui revitalisasi lada putih dalam peningkatan perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja dengan menggunakan metodologi system dynamics. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada saat hanya lada putih yang menjadi prioritas perkebunan unggulan Bangka Belitung ketika sektor pertambangan timah melemah, pertumbuhan ekonomi daerah tidak bisa mengimbangi penurunan sektor pertambangan dengan mengembangkan sektor perkebunan lada saja.

Peningkatan produktivitas diperlukan pada saat alokasi lahan perkebunan makin terbatas dengan fokus terhadap kesuburan tanah dan penanggulangan hama serta penyakit tanaman diikuti dengan kebijakan penggunaan varietas unggul. Peningkatan produktivitas menyebabkan produksi lada menjadi tinggi walaupun perkebunan sawit dan karet sama-sama dikembangkan dan luas perkebunan lada tidak seluas pada saat hanya lada yang dikembangkan. Pengembangan pertanian harus diikuti dengan pengembangan sektor nonpertanian dan nonpertambangan timah sehingga memberikan nilai tambah yang dapat mengimbangi penurunan perekonomian dari sektor pertambangan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja.

Kata kunci: Piper nigrum L., System Dynamics, Lahan, Produktivitas

Page 350: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 339

ABSTRACT

Bangka Belitung is known as the largest center of white pepper (Piper nigrum L.) producer in Indonesia. Therefore, the white pepper became the pre-eminent commodity in Bangka Belitung Islands Province. The declining production of tin mining sector which is previously one of the leading commodities for additional sectors to improve the regional economy is one of the reasons to develop existing pre-eminent commodities by implementing the plantation revitalization of white pepper.

This study aims to analyze the role of white pepper plantation development as one of the leading post tin mining programs through the revitalization of white pepper in improving regional economy and employment absorption using system dynamics methodology. The results of this study indicate that when only pepper is the priority of Bangka Belitung superior plantation when the tin mining sector weakens, regional economic growth could not offset the decline of mining sector by merely developing pepper plantation sector. Increased productivity is needed when the allocation of plantation land is limited with a focus on soil fertility and pest control and plant diseases followed by the policy of using improved varieties.

The increasing productivity causes pepper production to be high even though oil palm and rubber plantations are equally developed and pepper plantations are not as large as only developed pepper. The agricultural development should be followed by the development of non-agricultural and non-tin mining sectors so as to provide added value that can offset the economic downturn of the mining sector and increase employment.

Keywords: Piper Ningrum.L, System Dynamics, Land, Productivity

Page 351: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

340 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ANALISIS REVITALISASI LADA PUTIH SEBAGAI PROGRAM PENGGERAK PEREKONOMIAN DAERAH PASCA TAMBANG

TIMAH DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN MENGGUNAKAN SYSTEM DYNAMICS

A. Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak lama telah dikenal sebagai penghasil timah. Penambangan timah di Pulau Bangka dimulai tahun 1710 dan Pulau Belitung tahun 1851 (Sutedjo Sujitno, 2007). Timah sebagai salah satu komoditi ekspor telah berperan banyak dalam pembangunan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Jika dilihat struktur perekonomian yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sektor pertambangan dan penggalian memegang peranan penting dalam meningkatkan perekonomian daerah, berdasarkan data selama tahun 2016 pertambangan dan industri pengolahan menghasilkan nilai tambah Rp13,6 triliun (setara dengan 20,06 persen PDRB), namun kontribusi industri pengolahan dan pertambangan ini selama lima tahun terus mengalami penurunan.

Karakteristik pertambangan yang nonrenewable pada suatu saat akan mengalami penurunan dengan berkurangnya cadangan, ini juga terjadi pada pertambangan timah. Selama lima tahun terakhir kontribusi pangsa pertambangan dan penggalian terhadap PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terus mengalami penurunan. Pada tahun 2012 kontribusi pangsa pertambangan dan penggalian terhadap PDRB sebesar 15,36%, tahun 2013 berkontribusi sebesar 14,09% terhadap PDRB dan terus mengalami penurunan hingga tahun 2016 sebesar 11,89%. Penurunan share pertambangan dan penggalian ini berimplikasi terhadap penurunan tenaga kerja di sektor pertambangan. Fenomena pelemahan sektor pertambangan terhadap perekonomian daerah perlu dicermati sehingga diperlukan perencanaan dengan berbagai program persiapan perekonomian daerah pascatambang.

Salah satu pilihan program pascatambang untuk menggerakkan perekonomian masyarakat dan daerah di antaranya dengan mengembangkan potensi yang selama ini sudah ada. Rencana Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengembangkan sektor pertanian dilatarbelakangi karena sektor pertanian berdasarkan struktur PDRB Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan penyumbang terbesar kedua dengan kontribusi sebesar Rp13,02 triliun atau sekitar (20% PDRB).

Salah satu komoditas pertanian unggulan yang dikembangkan, yaitu subsektor perkebunan lada putih. Jika dilihat kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan

Page 352: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 341

PDRB Bangka Belitung selama lima tahun terakhir terus mengalami kenaikan, di mana sektor perkebunan lada menjadi penyumbang nomor dua terbesar bagi pangsa pertanian terhadap PDRB Bangka Belitung. Dilihat dari penyerapan tenaga kerja perkebunan, perkebunan lada menyerap tenaga kerja yang cukup besar, diduga dikarenakan perkebunan lada yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 100% merupakan perkebunan rakyat. Penyerapan tenaga kerja dari perkebunan lada terus mengalami kenaikan seiring dengan kenaikan harga lada.

Berdasarkan data, jumlah petani lada tahun 2013 sebanyak 46.620 kepala keluarga dan terus mengalami kenaikan. Pada tahun 2016 terdapat 57.411 kepala keluarga berdasarkan statistik perkebunan lada Indonesia (Dirjen Perkebunan, 2017) dan nilai ekspor lada putih berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2016 sebesar 3.242 ton dengan nilai freight on board sebesar 36,311 juta dolar Amerika.

Terdapat tiga komoditas perkebunan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang sama-sama menggunakan lahan yang cukup besar, antara lain perkebunan lada, perkebunan sawit, dan perkebunan karet. Ketersediaan lahan perkebunan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bangka Belitung untuk peruntukan perkebunan jika tidak ada perubahan peruntukan, suatu saat akan terjadi kontestasi dan keterbatasan lahan di saat ketiga komoditas tersebut sama-sama dikembangkan dan akan memengaruhi besarnya produksi dari masing-masing komoditas serta berpengaruh terhadap perekonomian Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Penetapan kawasan perkebunan nasional oleh Kementerian Pertanian bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Kabupaten Bangka Selatan yang ditetapkan sebagai kawasan perkebunan nasional sentra lada serta misi daerah untuk menjadi provinsi lada dengan mengembalikan kejayaan lada putih melalui program revitalisasi, perlu dianalisis kelayakan serta pengaruhnya terhadap peningkatan perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja di saat terjadi pelemahan pada sektor pertambangan dan penggalian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Pelemahan ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung karena penurunan sektor pertambangan baik karena penurunan cadangan timah yang merupakan sumber daya yang nonrenewable serta berbagai kebijakan pertambangan dengan pelarangan tambang-tambang rakyat inkonvensional memberi pengaruh bagi sebagian besar masyarakat Bangka Belitung yang selama ini menggantungkan mata pencaharian dengan melakukan penambangan timah serta berpengaruh terhadap perekonomian

Page 353: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

342 Direktori Mini Tesis-Disertasi

daerah. Fenomena pertambangan timah yang destruktif juga menyebabkan kerusakan lingkungan bagi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang dilakukan oleh penambang inkonvensional. Karakteristik masyarakat penambang di Bangka Belitung sebagian besar juga merupakan petani lada putih. Ketika harga lada rendah maka perkebunan lada ditinggalkan dan beralih ke sektor pertambangan.

Bertitik tolak pada permasalahan tersebut maka diperlukan pengembangan sektor-sektor unggulan lain untuk menggerakkan perekonomian daerah. Salah satu pilihan yang diambil pemerintah daerah, yaitu mengembangkan sektor pertanian dengan mengembangkan subsektor perkebunan lada putih yang selama ini telah diusahakan sebagian besar masyarakat Bangka Belitung. Rencana pengembangan lada putih ini tertuang dalam misi Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, yaitu mengembalikan kejayaan lada dengan menetapkan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai provinsi lada yang didukung dengan berbagai kegiatan revitalisasi perkebunan lada putih.

Jika dilihat perkebunan lada yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diduga sangat berpotensi dalam penyerapan tenaga kerja serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat petani. Namun karakteristik perkebunan yang merupakan perkebunan rakyat membuat perkebunan lada masih dilakukan secara tradisional sehingga menyebabkan rendahnya tingkat produktivitas pertanian dan pendapatan petani. Diperlukan berbagai usaha untuk peningkatan pembangunan di sektor pertanian khususnya perkebunan lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

Program-program revitalisasi lada putih yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Namun dalam pengembangan komoditas lada putih masih terdapat berbagai permasalahan, di antaranya masih rendahnya mutu serta kualitas lada yang dihasilkan, banyaknya alih fungsi lahan produktif perkebunan, rendahnya produktivitas tanaman lada, transfer teknologi baik budi daya dan pascapanen terhadap petani, sektor pembiayaan pertanian lada yang belum maksimal, sehingga berakibat terhadap minat para petani yang semula meninggalkan sektor pertanian dan melakukan pertambangan untuk kembali menggeluti sektor ini.

Penelitian ini difokuskan untuk melihat pengembangan komoditas lada putih dari sisi ekonomi dan penyerapan tenaga kerja di saat pelemahan sektor pertambangan dengan melihat faktor-faktor yang menjadi permasalahan peningkatan produktivitas baik dari sisi budi daya maupun penunjangnya. Adanya pengembangan komoditas perkebunan lain selain lada, yaitu sawit dan karet yang sama-sama menggunakan lahan perkebunan serta keterbatasan alokasi lahan perkebunan menjadi tinjauan dalam penelitian.

Page 354: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 343

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Perkebunan Lada tidak Cukup Mengimbangi Penurunan pada Pertambangan Timah

Pengembangan komoditas perkebunan lada bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja tentunya perlu perencanaan. Berdasarkan skenario model yang telah dilakukan bahwa dalam pemanfaatan lahan untuk pengembangan komoditas lada, sawit, dan karet perlu adanya pengaturan. Perilaku model menunjukkan di saat komoditas lada akan dikembangkan tentunya akan terjadi kontestasi dalam pemanfaatan lahan antara lada, sawit, dan karet.

Langkah yang bisa diambil salah satunya dengan penetapan kawasan sentra produksi lada. Pengembangan kawasan sentra lada berdasarkan masterplan perkebunan lada Bangka Belitung ditentukan oleh dua hal, yaitu keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif Bangka Belitung jika ditinjau mempunyai kesesuaian agroklimat yang tidak dimiliki oleh daerah lain untuk pengembangan komoditas perkebunan lada. Tentunya ini harus ditunjang dengan ketersediaan sumber daya manusia baik dari penyuluh pertanian untuk transfer teknologi budi daya pertanian, maupun peningkatan kapasitas petani dalam melakukan usaha budi daya perkebunan sesuai anjuran dan didukung oleh kebijakan infrastruktur serta input produksi pertanian.

Peningkatan nilai tambah dari produksi lada juga belum banyak dilakukan, fluktuasi harga lada menjadi salah satu faktor yang dihadapi dalam peningkatan kesejahteraan petani. Budi daya pertanian lada yang dilakukan petani secara umum masih tradisional dan belum fokus terhadap penciptaan mutu pascapanen. Arah ke depan pengembangan komoditas lada ini perlu untuk penerapan sistem agrobisnis, sehingga dalam budi daya lada perencanaan dari hulu sampai produk hilir bisa meningkat.

Berdasarkan perilaku pemodelan penurunan produktivitas tanaman lada berpengaruh terhadap nilai tambah lada dan penyerapan tenaga kerja. Perlu dilakukan berbagai upaya dalam peningkatan produktivitas lada, di antaranya memperbanyak kebun-kebun pembibitan bersama yang akan menghasilkan berbagai bibit unggul. Di sini peranan kelompok-kelompok tani diperlukan, selain itu transfer teknologi budi daya pertanian perkebunan lada kepada petani dengan memaksimalkan peran dari kelembagaan penyuluh pertanian harus dimaksimalkan. Berbagai teknologi budi daya dan penelitian bibit telah banyak dilakukan. Namun adopsi para petani untuk menerapkannya dirasakan sangat kurang sehingga peningkatan kapasitas petani merupakan pekerjaan yang harus dilakukan.

Page 355: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

344 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Mengingat karakteristik pertanian yang dilakukan merupakan perkebunan rakyat sehingga petani masih menggunakan cara-cara tradisional secara turun temurun.

Peran input produksi selain bibit, pupuk yang tersedia dengan harga yang terjangkau juga memegang peranan penting dalam peningkatan produktivitas. Tingkat kesuburan tanah yang dihadapi oleh petani yang telah melakukan usaha perkebunan lada pada lahan yang sama pada jangka waktu yang lama menyebabkan berkurangnya tingkat kesuburan tanah. Langkah perbaikan kualitas tanah dengan penggunaan pupuk organik menjadi pilihan ke depan di saat lahan pertanian perkebunan lada sudah terbatas. Peningkatan produktivitas perkebunan lada, selain dari ketersediaan input produksi seperti bibit dan pupuk, pengendalian hama penyakit, dan yang paling penting yaitu kesediaan petani sebagai objek pembangunan pertanian untuk meningkatkan kapasitasnya dengan mengubah pola-pola pertanian yang selama ini belum menjalankan sistem budidaya pertanian sesuai anjuran. Selain itu faktor kebijakan dan kelembagaan di sektor pertanian juga mendukung peningkatan produktivitas pertanian. Penciptaan nilai tambah dari produk dan proses pemasaran lada perlu dilakukan perencanaan sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Walaupun harga lada ditentukan oleh mekanisme pasar dunia, pemerintah bisa sebagai regulator untuk menciptakan persaingan harga dengan mendatangkan buyer secara langsung dengan sistem lelang harga lada, sehingga tercipta pasar lada yang kompetitif yang selama ini dikuasai oleh para tengkulak dengan rantai pemasaran yang panjang.

Berdasarkan perilaku model dengan hanya mengembangkan komoditas perkebunan lada saja tidaklah cukup untuk mengimbangi penurunan pada sektor pertambangan timah, namun diperlukan perencanaan pengembangan komoditas perkebunan lain, seperti sawit, karet, dan tanaman pertanian yang lainnya. Keterbatasan alokasi lahan pertanian lada berdasarkan perilaku model pada saat komoditas perkebunan lain dikembangkan dapat diatasi dengan meningkatkan produktivitas perkebunan. Langkah yang bisa dilakukan selain fokus pada teknik budi daya yang baik sesuai anjuran, pengendalian hama penyakit, dan juga meningkatkan kualitas lahan salah satunya dengan menggunakan tiang panjat hidup. Dengan menggunakan tiang panjat hidup produksi lada bisa dimaksimalkan jika dibandingkan dengan penggunaan tiang panjat mati, keuntungan dari sisi biaya produksi, serta meminimalkan perambahan hutan untuk memenuhi penggunaan

tiang panjat mati bagi perkebunan lada.

Page 356: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 345

2. Fokus Peningkatan Nilai Tambah Produk Lada Harus Menjadi Perhatian

Peningkatan perekonomian daerah dengan mengembangkan komoditas perkebunan lada dimungkinkan untuk jangka pendek dengan catatan ada perencanaan pengembangan sektor-sektor perkebunan lain, seperti sawit dan karet serta sektor nonpertanian lada, karet, dan sawit serta didukung dengan kebijakan peningkatan produktivitasnya. Perilaku model menunjukkan, mengembangkan sektor pertanian ternyata mampu menaikkan perekonomian daerah pada skenario model kebijakan keenam serta menghasilkan penyerapan tenaga kerja yang cukup signifikan dengan mengembangkan sektor pertanian. Namun untuk pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja jangka panjang di saat ada alokasi lahan terbatas dengan fokus hanya pada sektor pertanian tanpa pengembangan sektor nonpertanian nonpertambangan timah, perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja akan mengalami penurunan.

Harus ada perencanaan pemanfaatan lahan perkebunan, pemanfaatan lahan-lahan marjinal yang secara teknis dan kesesuaian lahan masih dapat dikembangkan untuk perkebunan sawit bisa dimanfaatkan sehingga bisa meminimalkan kontestasi penggunaan lahan untuk pengembangan lada. Di sini perlunya pengaturan, bisa dalam bentuk zonasi perkebunan dan kebijakan daerah. Ke depannya dari sisi teknologi dan inovasi pertanian bisa dikembangkan, Bangka Belitung yang dikenal sebagai daerah tambang dengan luasnya lahan marjinal bisa dilakukan inovasi penanaman lada salah satunya melalui pot sistem dengan menggunakan lubang tanam dengan ukuran dan kedalaman tertentu dengan perlakuan khusus terhadap tanaman tersebut. Inovasi ini sudah diteliti oleh Siswanto dari Puslitbang Perkebunan terhadap lahan eks tambang dengan membuat lubang tanam (80 x 80 x 60) cm dengan hasil tanaman lada dapat berkembang dengan baik.

Fokus peningkatan nilai tambah dari produk lada juga harus menjadi perhatian, budi daya lada yang dilakukan ke depan diupayakan berorientasi industri sehingga dari proses budi daya, persiapan input produksi, pascapanen, dan pemasarannya terencana dan fokus pada mutu dan kebutuhan pasar sehingga dapat meningkatkan daya saing lada Bangka Belitung, didukung dengan kebijakan pemerintah sehingga tujuan akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani.

Rantai pemasaran lada yang panjang juga menjadi faktor yang harus diperhatikan. Walaupun harga lada ditentukan oleh mekanisme pasar dunia, selain penciptaan mutu pascapanen, peranan pemerintah sebagai regulator dapat menciptakan persaingan harga dengan mendatangkan buyer secara langsung dengan lelang harga, atau menggunakan lelang secara online terhadap komoditas

Page 357: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

346 Direktori Mini Tesis-Disertasi

perkebunan sehingga memperpendek rantai pemasaran, meningkatkan harga komoditas, adanya kepastian harga sehingga meningkatkan kesejahteraan petani. Peningkatan kapasitas petani, sarana dan prasarana untuk mendukung pasar online ini juga dapat dikembangkan langsung di desa sentra-sentra perkebunan yang ada di Bangka Belitung. Tentunya ketersediaan fasilitas sarana prasarana seperti gudang, peralatan, serta jaminan sertifikat mutu produk harus ditingkatkan. Besarnya penerimaan petani dari usaha budi daya pertaniannya akan meningkatkan kemampuan dalam akses input produksi seperti bibit, pupuk, pestisida sehingga secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produktivitas.

Selain itu, salah satu faktor yang terpenting dalam meningkatkan produk unggulan seperti perkebunan lada, yaitu menciptakan minat generasi muda untuk mau menggeluti usaha perkebunan lada harus dilakukan. Menurut pengamatan lapangan perkebunan lada yang ada diusahakan oleh sebagian besar orang-orang tua, sedangkan pemuda di desa lebih memilih pekerjaan lain, bukan tidak mungkin ke depannya dengan berkurangnya minat generasi mudanya untuk menggeluti perkebunan ini, komoditas lada Bangka Belitung akan terjadi penurunan.

Konsep pengembangan pariwisata sebagai komoditas unggulan daerah ke depan perlu dipersiapkan. Bangka Belitung yang sudah terkenal dengan wisata baharinya dengan penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Kelayang merupakan potensi peningkatan perekonomian daerah. Selain itu, pengembangan pariwisata agro dengan produk wisata agroindustri komoditas lada dapat menjadi pilihan tentunya dengan mengembangkan lada dengan konsep agro industrinya secara terpadu sehingga bisa dikembangkan sebagai destinasi wisata. Wisatawan dapat ikut melihat bagaimana proses panen lada, memetik lada, proses pascapanen, penciptaan nilai tambah produk sehingga selain memajukan komoditas perkebunan lada dapat memajukan pariwisata yang dikemas secara terpadu.

Di sektor kelautan potensi perikanan tangkap Bangka Belitung yang begitu besar merupakan modal untuk peningkatan perekonomian daerah, namun ini juga terdapat potensi bersinggungan dengan pertambangan timah di laut Pulau Bangka Belitung, sehingga perlunya pengaturan yang jelas tentang zonasi baik untuk pertambangan, perikanan, dan pariwisata bagi daerah.

D. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal, di antaranya:

1. Struktur model revitalisasi menggambarkan kontestasi penggunaan lahan antara perkebunan karet, sawit, dan lada serta alokasi ketersediaan lahan

Page 358: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 347

perkebunan dan pertanian, struktur perekonomian daerah dan penyerapan tenaga kerja masing-masing sektor. Berdasarkan simulasi terhadap struktur model memperlihatkan:

a. Rencana pemerintah daerah untuk mengembangkan komoditas lada melalui revitalisasi lada putih dan misi daerah menjadi provinsi lada harus disikapi hati-hati. Fokus pengembangan lada dengan melakukan usaha revitalisasi lada dan pengembangan komoditas perkebunan sawit dan karet tanpa diikuti pengembangan komoditas pertanian yang lain serta peningkatan produktivitas tanaman tidak dapat menaikkan PDRB di atas skenario dasar (base run) di saat penurunan sektor pertambangan, apalagi ke depan dengan alokasi ketersediaan lahan pertanian yang terbatas.

b. Pengembangan semua sektor pertanian baik karet, sawit, dan lada serta sektor pertanian lain dengan fokus peningkatan produktivitas tanaman berdasarkan perilaku model hanya dapat mengimbangi penurunan sektor pertambangan hingga tahun 2045, namun untuk jangka panjang diperlukan peran sektor lain untuk meningkatkan perekonomian, salah satunya sektor nonpertanian dan nonpertambangan seperti, kebijakan pengembangan industri dan pengembangan pariwisata daerah.

c. Di saat kontestasi penggunaan lahan terjadi antara perkebunan lada, karet, dan sawit diikuti dengan alokasi lahan pertanian yang terbatas pada masa yang akan datang karena pertumbuhan penduduk yang membutuhkan lahan untuk pemukiman dan pengembangan industri maka pertambahan lahan lada maksimal semakin berkurang, sehingga dibutuhkan kebijakan penggunaan lahan pada saat lada putih mau dikembangkan dengan upaya ekstensifikasi lahan. Pada model kebijakan yang dibuat memperlihatkan pada saat tidak adanya pengaturan penggunaan lahan pada saat perkebunan sawit, lada, dan karet sama-sama dikembangkan dan terdapat keterbatasan alokasi lahan perkebunan, pertambahan lahan lada potensial hanya dapat dikembangkan hingga tahun 2029 dan ini akan berimbas pada produksi lada dan mempengaruhi penyerapan tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi Bangka Belitung.

d. Pada model skenario kebijakan yang diambil diperlukan sinkronisasi antara kebijakan dalam pemanfaatan lahan dan peningkatan produktivitas pertanian lada, kebijakan yang diambil harus sejalan. Di saat kebijakan ekstensifikasi lahan untuk perkebunan lada dilakukan harus diikuti dengan kebijakan peningkatan produktivitasnya.

2. Peningkatan perekonomian Bangka Belitung berdasarkan model dapat ditingkatkan dengan berbagai upaya, di antaranya:

Page 359: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

348 Direktori Mini Tesis-Disertasi

a. Peningkatan produktivitas tanaman lada, tanaman pertanian nonlada, karet, dan sawit diikuti peningkatan nilai tambah sektor nonpertanian nontimah, berdasarkan perilaku model akan memberikan peningkatan perekonomian yang cukup signifikan. Pada saat keterbatasan alokasi lahan terjadi upaya peningkatan produktivitas tanaman harus dilakukan.

b. Pengembangan sektor nonpertanian nontimah tidak bisa ditunda di saat pelemahan sektor pertambangan timah, fokus pengembangan nontimah nonpertanian dengan meningkatkan nilai tambah sektor tersebut berdasarkan model dapat menyeimbangkan penurunan sektor pertambangan.

c. Perubahan perilaku petani dalam budi daya tanaman lada harus menjadi perhatian tentunya ini merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan membutuhkan waktu serta membutuhkan sumber daya baik kelembagaan petani, penyuluh pertanian, maupun pendanaan. Sistem budidaya yang selama ini diusahakan secara tradisional dapat berubah dan fokus terhadap peningkatan produktivitas dengan inovasi teknologi pertanian yang mudah diakses.

d. Upaya-upaya peningkatan produktivitas perkebunan lada harus dimulai sejak awal dengan berbagai kebijakan, di antaranya penyediaan pupuk, ketersediaan bibit yang berkualitas, serta meningkatkan kemampuan sumber daya petani dalam mengakses input produksi, peningkatan kemampuan petani dalam budi daya sesuai teknologi anjuran, serta memperkuat kelembagaan petani seperti gapoktan untuk bersama-sama mengembangkan kapasitas baik dengan pembukaan kebun bibit bersama, maupun peningkatan teknik budidaya.

e. Penyerapan tenaga kerja berdasarkan skenario model yang dibuat di saat penurunan tenaga kerja dari sektor pertambangan dengan menaikkan nilai tambah lada dan nilai tambah sektor nonpertanian nonpertambangan mampu mengimbangi penurunan tenaga kerja dari sektor pertambangan. Tentunya sasaran transformasi ini terhadap tenaga kerja pertambangan inkonvensional yang semula merupakan petani lada yang berpindah ke sektor pertambangan untuk kembali mengusahakan perkebunan lada.

Page 360: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

KAJIAN TENTANG RUANG KALKULASI PASAR OJEK ONLINE DI WILAYAH BANDUNG DALAM PERSPEKTIF TEORI JEJARING-AKTOR

Nama : Fivi Sumanti

Instansi : Pemprov Sumatera Utara

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 361: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

350 Direktori Mini Tesis-Disertasi

KAJIAN TENTANG RUANG KALKULASI PASAR OJEK ONLINE DI WILAYAH BANDUNG DALAM PERSPEKTIF

TEORI JEJARING-AKTOR

A. Latar Belakang

Salah satu kemajuan penting teknologi di abad 21 adalah teknologi digital. Salah satu produknya adalah internet. Kemajuan ini banyak dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan, salah satunya adalah pemesanan layanan transportasi yang melibatkan aplikasi pada smartphone. Di Indonesia, bisnis ini dijalankan oleh perusahaan Gojek, Uber, dan Grab.

Keunggulan menggunakan aplikasi ini adalah kemudahan dalam pemesanan transportasi, dan informasi yang diberitahu kepada calon penumpang sebelum perjalanan. Selain itu, transportasi ini juga menawarkan harga yang jauh di bawah tarif transportasi konvensional seperti taksi dan ojek konvensional. Akibatnya jasa transportasi ini sangat diminati oleh masyarakat, dan banyak masyarakat yang beralih menggunakan jasa ini.

Kemudahan syarat menjadi mitra/pengemudi menjadi ketertarikan bagi sebagian orang untuk bergabung dalam bisnis transportasi berbasis aplikasi tersebut. Selain itu, fleksibilitas dalam mengatur jam kerja yang dapat menjadikan pekerjaan ini sebagai pekerjaan sampingan, bahkan banyak yang beralih dari pengemudi transportasi konvensional menjadi pengemudi transportasi berbasis online. Maka dapat diyakini kalau bisnis ini mampu meningkatkan kesejahteraan mitranya.

Di sisi lain, pengemudi transportasi konvensional diduga mengalami fenomena kerugian dengan menurunnya pendapatan mereka. Pengemudi taksi konvensional mengeluhkan pendapatan yang turun hingga 70% (Angga Wiguna, 2017). Pengemudi angkutan kota merasakan pendapatan yang turun hingga 50% (Anton, 2017). Pendapat yang sama disampaikan juga oleh pengemudi ojek konvensional, bahwa pendapatan mereka turun hingga 60% (Sukendar, 2017). Bukan hanya individu pengemudi, permasalahan juga terjadi pada perusahaan taksi konvensional Express yang mengeluhkan pendapatannya menurun sebesar 57,56% dari 374,06 miliar rupiah pada tahun 2016, turun menjadi 158,73 miliar rupiah pada tahun 2017. Pendapatan perusahaan taksi Bluebird juga mengalami penurunan 15,74% dari 2,47 triliun rupiah pada tahun 2016 menjadi 2,08 triliun rupiah pada tahun 2017.

Page 362: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 351

Fenomena menurunnya pendapatan ini menyebabkan kecemburuan bagi kelompok transportasi konvensional, dan memicu bentrokan di antara kedua pihak, yang seringkali mengarah pada aksi kekerasan. Satu-satunya yang diharapkan dalam

penyelesaian konflik adalah regulasi dan kebijakan pemerintah.

B. Kajian Permasalahan dan Metodologi Analisis

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif, yang artinya bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Untuk mendapatkan deskripsi dan analisa terkait objek penelitian, maka pendekatan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori jejaring-aktor. Studi sains dan teknologi berupa teori jejaring-aktor ini digunakan untuk menganalisis pasar dari perspektif sosiologi.

Kajian literatur dilakukan untuk mendapatkan gambaran pasar dari sisi ilmu ekonomi, dan nonekonomi, yaitu teori jejaring-aktor. Selain kajian literatur, kajian lapangan juga dilakukan untuk mendapatkan data empiris. Kajian lapangan dilakukan dengan cara menggunakan aplikasi untuk memesan dan melakukan perjalanan menggunakan ojek dengan 3 (tiga) aplikasi, yaitu Gojek, Grab, dan Uber. Hal ini dilakukan untuk memahami aplikasi baik aplikasi penumpang, maupun aplikasi pengemudi. Dalam kajian lapangan tersebut, peneliti juga melakukan wawancara dengan para pengemudi. Selain wawancara dengan para pengemudi ojek online, peneliti juga melakukan wawancara dengan pelaku usaha transportasi konvensional seperti pengemudi angkutan kota (angkot), taksi konvensional, dan ojek konvensional (pangkalan) untuk memahami dampak dari kehadiran transportasi berbasis online. Peneliti juga melakukan wawancara dengan para pengguna jasa transportasi ojek online. Selain data primer, peneliti juga melakukan pencarian data sekunder melalui media internet, yaitu melalui berita-berita, artikel-artikel pada website-website resmi dan terpercaya terkait objek penelitian.

Hasil wawancara ditransformasi ke dalam bentuk tulisan atau transkrip. Peneliti juga mengumpulkan gambar-gambar tampilan aplikasi baik aplikasi penumpang dan pengemudi, dan memetakan informasi yang ditampilkan aplikasi di setiap tahap mulai dari pemesanan hingga pekerjaan selesai. Data-data hasil coding transkrip dan data-data informasi dari aplikasi, digunakan untuk menggambarkan “jejaring sosio-teknis”. Jejaring ini selanjutnya digunakan untuk menggambarkan fitur-fitur pada pasar ojek baik ojek online, maupun ojek konvensional. Gambaran atau deskripsi itu tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan penilaian terhadap rasionalitas atau qualculabilities pasar ojek online. Dengan dasar penilaian ini, maka peneliti dapat memberikan hasil pemikiran untuk perbaikan aspek-aspek regulasi terkait pasar ojek. Untuk membatasi ruang lingkup pembahasan, maka objek yang diteliti adalah transportasi kendaraan roda 2

(dua) atau ojek berbasis aplikasi.

Page 363: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

352 Direktori Mini Tesis-Disertasi

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Pasar Menurut Teori Jejaring-Aktor

Untuk menempatkan ANT dalam analisis pasar, Callon (1999) mendefiniskan pasar sebagai perangkat yang mencampur manusia dan nonmanusia, dan sebagai perangkat yang mengendalikan relasinya. Definisi pasar yang diutarakan oleh Guesnerie (Guesnerie 1996 dalam Callon 1999), yaitu sebagai alat koordinasi (co-ordination device) di antara (1) agen mengejar kepentingannya sendiri, dan karenanya agen melakukan kalkulasi yang dapat dilihat sebagai upaya optimalisasi dan/atau maksimisasi; (2) agen memiliki kepentingan yang berbeda; (3) transaksi menyelesaikan konflik melalui kesepakatan harga, yang merupakan hasil dari kalkulasi oleh para agen. Melalui definisi Guesnerie tersebut, Callon (1999) menarik kesimpulan bahwa para agen melakukan kalkulasi (calculative agents) dalam pasar, dan para agen masuk dan meninggalkan transaksi seperti orang asing.

Koordinasi pasar berhasil bukan hanya dengan adanya agen yang melakukan kalkulasi, tetapi juga harus adanya agen informasi. Dengan demikian, agen dapat melakukan kalkulasi dan membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang didapatkan. Masalahnya adalah ketidakpastian informasi. Hal lain yang mana koordinasi tidak akan mungkin dilakukan, yaitu jaringan sosial atau gagasan embeddedness yang awalnya dirumuskan oleh Polanyi dan disempurnakan oleh Granovetter (Callon, 1999). Agen dapat melakukan kalkulasi terhadap keputusan mereka karena agen terjerat dalam jaringan atau relasi yang semuanya bergantung pada morfologi hubungan di mana agen terlibat. Misalnya: jumlah relasi yang dimiliki agen dengan jaringan yang berbeda menentukan apa yang agen inginkan.

Dalam karya Granovetter ini, teori jejaring-aktor yang muncul.

2. Perangkat Pasar

Definisi pasar yang diutarakan oleh Guesnerie (1996) (dalam Callon 1999), yaitu sebagai perangkat koordinasi (co-ordination device), dan menurut Callon & Muniesa (2005), pasar sebagai perangkat kolektif. Callon, dkk (2007) menyebut perangkat kolektif tersebut sebagai perangkat pasar (market device).

Gagasan tentang perangkat pasar adalah cara sederhana untuk mengacu pada kumpulan materi yang memiliki intervensi dalam konstruksi pasar. Perangkat pasar juga ditandai sebagai agensi ekonomi yang memungkinkan dilakukannya penelitian sosiologis. Perangkat-perangkat ini dapat dipertimbangkan sebagai objek dengan agensi membantu atau memaksa. Perangkat dapat melakukan sesuatu (Callon dkk, 2007).

Page 364: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 353

Callon, dkk (2007) menjelaskan perangkat disebut sebagai perangkat pasar atau agensi ekonomi, ketika perangkat tersebut mengubah ekonomi melalui beberapa aspek. Perangkat tersebut berkontribusi terhadap konstruksi pasar secara luas. Disebut sebagai agensi ekonomi, dalam pengertian yang lebih luas, ketika sesuatu mengubah perilaku dan proses ekonomi (proses yang bersejarah, bersama-sama, dan diperdebatkan).

Selanjutnya Callon, dkk (2007) menjelaskan, perangkat pasar mengambil peranan dalam mengkonfigurasi kalkulasi ekonomi dan mengkualifikasi objek pasar. Kalkulasi secara umum bukan atribut homogen dari manusia, atau fiksi antropologi. Hal tersebut merupakan konsentrat/himpunan dari aransemen sosial dan teknik. Seperti kualitas barang dan jasa adalah keluaran dari proses kualifikasi yang kompleks dari pembingkaian, pengikatan/penyambungan, dan pelepasan. Perangkat pasar bekerja dengan penyesuaian dan pengujian, mempengaruhi cara di mana orang dan barang diterjemahkan sebagai makhluk kalkulasi dan dapat

dikalkulasikan.

3. Fitur Ruang Kalkulasi Ojek Online

Ojek berbasis aplikasi hadir di Indonesia pada tahun 2015. Gojek adalah aplikasi ojek pertama di Indonesia, disusul oleh Grab dan Uber. Aplikasi Uber terlebih dahulu meluncurkan aplikasi pemesanan taksi di San Fransisco, Amerika Serikat tahun 2008, yang dikenal dengan istilah UberCab. Pada tahun 2012, Grab diluncurkan di Singapura yang dikenal dengan nama My Teksi. Untuk aplikasi jasa transportasi kendaraan roda 2 (dua) atau ojek, Gojek menjadi pelopor di Indonesia.

Aplikasi yang berbasis online menjadi fitur utama yang membedakan ojek online dengan ojek konvensional. Perusahaan penyedia aplikasi menyediakan komoditas aplikasi yang berbeda antara pengemudi dan penumpang, sehingga aplikasi ini membentuk ruang kalkulasi yang berbeda. Aplikasi menjadi satu perangkat atau entitas yang dilekatkan pada produk jasa ojek online, setelah sebelumnya dilepas dari relasi-relasi dengan entitas lama dan diletakkan dalam satu ruang. Pelepasan dan pelekatan (pembingkaian) ini dilakukan untuk mempengaruhi kalkulasi agen pengguna ojek dan pengemudi ojek. Callon & Muniesa (2005) menyebut upaya ini dengan istilah Objektivikasi dan Singularisasi. Objektivikasi dan singularisasi dilakukan pada suatu barang/jasa yang dijual agar dapat dikalkulasi.

Objektivikasi berarti entitas harus jelas dan berwujud. Untuk menemukan wujudnya, entitas yang dikalkulasi, harus dilepas dan dipindahkan dalam suatu ruang. Pada layanan ojek, yang menjadi entitas kalkulasi adalah motor dan pengemudi. Entitas ini dibingkai, menjadi entitas baru yang berbeda, berwujud,

Page 365: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

354 Direktori Mini Tesis-Disertasi

dapat dikenal dan dapat dikalkulasi. Objektivikasi ojek online Gojek, Grab, dan Uber secara umum sama. Proses objektivikasi pada ojek online diawali dengan melepaskan motor dan pengemudi dari relasi sosialnya. Setelah dilepas, entitas kalkulasi ini dilekatkan dengan entitas lain. Dalam hal ojek online, pengemudi dilekatkan dengan perangkat smartphone, internet, dan aplikasi yang jaringannya diatur oleh server yang disediakan oleh perusahaan penyedia aplikasi. Selain itu, pengemudi juga dilekatkan dengan atribut jaket dan helm.

Lebih dalam, singularisasi dilakukan untuk mewujudkan suatu komoditas yang masuk dalam dunia konsumen, sehingga penting proses penyesuaian komoditas dengan manusia sebagai pembeli. Proses penyesuaian ini mengarah pada singularisasi komoditas , sebuah gagasan yang diajukan Chamberlin (1946) (dalam Callon & Muniesa, 2005). Agar entitas terlepas dari dunia penjual ke dunia pembeli, perlu upaya menjadikan komoditas yang memiliki nilai yang diinginkan oleh agen pembeli atau konsumen. Upaya yang Callon & Muniesa (2005) sebut sebagai singularisasi ini dilakukan berbeda oleh masing-masing perusahaan penyedia aplikasi. Selain singularisasi untuk mempengaruhi kalkulasi penumpang, perusahaan juga melakukan singularisasi untuk mempengaruhi kalkulasi mitranya atau pengemudi ojek.

Adapun singularisasi yang dilakukan perusahaan adalah singularisasi pada aplikasi yang mencakup pembingkaian informasi pada aplikasi penumpang dan pengemudi, pembingkaian dengan menu Grab Now dan Uber Hop On, pembingkaian dengan penilaian pengemudi pada aplikasi, pembingkaian dengan menu komunikasi pada aplikasi. Singularisasi lain, yaitu singularisasi dengan metode pembayaran, singularisasi dengan asuransi, singularisasi dengan iklan, singularisasi dengan diskon, singularisasi dengan poin, dan singularisasi dengan bonus kepada pengemudi.

Dengan adanya objektivikasi dan singularisasi pada pasar ojek online membentuk ruang kalkulasi pada agen-agen kalkulasi yaitu perusahaan penyedia aplikasi, pengemudi, dan penumpang. Agen kalkulasi bukan hanya individu manusia melainkan hibrida kolektif, “centers of calculation” (Latour 1987 dalam Callon & Muniesa, 2005). Agen ini dilengkapi dengan instrumen karena kalkulasi tidak hanya terjadi pada mental manusia, tetapi juga didistribusikan di antara manusia dan bukan manusia. Bagi Herbert Simon (Callon & Muniesa, 2005), itu karena agen dihadapkan dengan tugas rumit, dan untuk meringankan otak mereka dan meningkatkan kinerjanya, mereka memahami bahwa dengan alat, dengan membuat peraturan dan rutinitas atau membuat organisasi memampukan perhitungan.

Page 366: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 355

Pada ojek berbasis aplikasi atau ojek online, agen penumpang, agen pengemudi, dan agen penyedia aplikasi melakukan kalkulasi-kalkulasi. Perusahaan penyedia aplikasi melakukan kalkulasi dengan membuat perangkat yang memungkinkan kalkulasi dapat didistribusikan. Perusahaan dapat menjadikan server sebagai ruang kalkulasi, karena server membangun relasi dengan aplikasi penumpang dan aplikasi pengemudi. Server mengumpulkan data dan menjalankan transaksi antara pengemudi dan penumpang melalui aplikasi. Dengan data-data pada server, perusahaan mampu melakukan kalkulasi dengan melihat pertumbuhan transaksi layanan yang disediakan aplikasi, pertumbuhan jumlah pengguna aplikasi, dan pertumbuhan pengemudi. Melalui perangkat server ini, perusahaan mampu melakukan kalkulasi dalam membuat kebijakan.

Agen pembeli atau penumpang ojek online melakukan kalkulasi, mulai dari mengunduh dan memasang (install) aplikasi, serta menggunakan aplikasi dalam memesan perjalanan dengan ojek. Aplikasi menjadi salah satu perangkat kalkulasi, dimana pembingkaian informasi dalam aplikasi menghadirkan ruang kalkulasi bagi penumpang. Akan tetapi, aplikasi menjadi ruang kalkulasi yang terbatas bagi penumpang karena ruang kalkulasi ini hanya menyediakan informasi terkait biaya perjalanan, peta, jarak, dan rute perjalanan yang akan ditempuh. Sedangkan ruang kalkulasi terkait produk ojek (motor dan pengemudi) yang dibeli oleh penumpang justru tidak diulas. Agen penumpang tidak mengetahui kondisi motor dan informasi terkait pengemudi. Gojek, Grab, dan Uber memberikan informasi mengenai motor hanya seputar merek dan tipe motor, serta nomor plat motor, untuk memudahkan calon penumpang dalam menemukan pengemudi. Informasi terkait keselamatan perjalanan, yaitu kondisi motor melalui foto dan tahun motor tidak tersedia pada aplikasi. Sehingga agen penumpang tidak dapat melakukan kalkulasi terkait motor.

Informasi pengemudi yang disediakan oleh aplikasi juga seputar foto dan nama pengemudi, dengan tujuan memudahkan penumpang menemukan pengemudi. Informasi mengenai performa pengemudi tidak ditampilkan pada aplikasi sebelum perjalanan dimulai. Berbeda dengan Gojek dan Grab, aplikasi Uber memberikan informasi mengenai performa pengemudi kepada penumpangnya sebelum perjalanan dimulai. Akan tetapi pembingkaian menu ini menjadi tidak memadai karena agen penumpang tidak diperkenankan untuk membatalkan pesanan semisal penumpang mendapatkan pengemudi dengan performa yang buruk. Penumpang akan diberikan denda Rp5.000,00 apabila melakukan pembatalan setelah 5 menit atau ketika pengemudi sudah mulai jalan ke lokasi penjemputan. Terkait pembatalan, penumpang, Grab juga tidak diperkenankan untuk melakukan pembatalan lebih dari 3 kali dalam sehari dengan sanksi suspend tidak dapat melakukan pemesanan di hari berikutnya. Hal ini berarti pendapat Guesnerie (1996)

Page 367: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

356 Direktori Mini Tesis-Disertasi

(dalam Callon 1999) bahwa ruang kalkulasi memungkinkan agen-agen pasar untuk melakukan kalkulasi dan mengambil keputusan untuk mengejar kepentingannya masing-masing, menjadi tidak relevan dalam fenomena pasar ojek online.

Pemesanan ojek melalui aplikasi memberikan sesuatu yang baru bagi konsumen. Didukung oleh perkembangan smartphone dan internet membuat aplikasi ini semakin cepat diterima oleh masyarakat. Dengan pembingkaian entitas-entitas informasi memberikan daya tarik sendiri bagi konsumen. Ditambah lagi oleh pembingkaian dengan diskon, bonus, dan berbagai voucher mendorong konsumen untuk tetap menggunakan aplikasi ojek online. Aspek keselamatan dan keamanan tidak lagi menjadi masalah, konsumen yakin dengan pemberian penilaian pengemudi dan pengemudi yang terdaftar pada aplikasi dan perusahaan. Hal ini memberikan jaminan bahwa perjalanan akan aman, sehingga ruang kalkulasi akan motor dan pengemudi tidak lagi menjadi perhatian.

Pada sisi agen pengemudi, pengemudi melakukan kalkulasi sebelum bergabung menjadi mitra salah satu perusahaan penyedia aplikasi atau dengan kata lain sebelum kontrak. Agen mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan untuk bergabung menjadi mitra suatu perusahaan. Konsep kontrak ”relasional” digunakan untuk menjelaskan kerja sama antara individu-individu di dunia dengan kejadian yang tak terduga (Furubotn & Richter, 2005). Dalam NIE (New Institutional Economic), pasar dipahami sebagai jaringan sosial kontrak relasional di antara individu-individu yang merupakan pembeli potensial dan penjual. Kontrak relasional antara aktor berkaitan dengan semua jenis kontrak transaksi (kontrak penjualan, sewa, pekerjaan, atau pinjaman).

Persyaratan-persyaratan sebagai mitra pengemudi menjadi kalkulasi bagi calon pengemudi untuk memutuskan bergabung dengan salah satu perusahaan penyedia aplikasi. Perusahaan penyedia aplikasi melakukan objektifikasi terhadap jasa ojek berbasis aplikasi dengan pembingkaian persyaratan menjadi mitra pengemudi.

Agen pengemudi juga melakukan kalkulasi dengan aplikasi yang digunakan. Agen pengemudi dapat melakukan kalkulasi dengan melihat pembingkaian informasi dalam aplikasi pengemudi. Dengan informasi tersebut, agen pengemudi dapat memutuskan untuk menerima atau menolak pesanan yang masuk ke aplikasinya sebagai hasil kalkulasi yang telah dia lakukan. Akan tetapi pendapat Guesnerie (Guesnerie 1996 dalam Callon 1999) ini tidak berlaku bagi agen pengemudi ojek online. Pengemudi dibatasi oleh ketentuan tingkat penerimaan dan tingkat pembatalan (aplikasi Uber dan Grab), dan tingkat penyelesaian (aplikasi

Page 368: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 357

Gojek). Apabila pengemudi tidak memenuhi ketentuan tersebut, maka pengemudi tidak diperkenankan memperoleh bonus, bahkan berpotensi untuk diputus sebagai mitra. Pengemudi juga tidak dapat melakukan objektivikasi dan singularisasi terhadap komoditas yang dijual, yaitu jasa ojek (sewa motor dan pengemudi). Walaupun, pengemudi melakukan hal tersebut, upaya singularisasi dan objektivikasi oleh pengemudi pun tidak ditampilkan dalam aplikasi sebagai kalkulasi bagi calon penumpang, kecuali Uber. Hal lain adalah dalam hal penetapan tarif, yang mana pengemudi tidak dilibatkan oleh perusahaan. Dengan melihat fenomena-fenomena mengenai pengemudi ojek online di atas, maka dapat disimpulkan bahwa walaupun agen pengemudi dengan melakukan kalkulasi, tetapi agen pengemudi bukanlah agen penjual atau agen pasar, tapi justru dijadikan perangkat pasar oleh perusahaan penyedia aplikasi.

Setelah transaksi selesai, pembeli dan penjual berhenti, sehingga produk tidak terjerat dan bisa lepas dari jaring relasi (Callon, 1999). Kondisi tersebut tampaknya sangat bisa dicapai dengan jasa ojek online. Namun ada saja kebocoran (overflowing) yang terjadi. Setelah transaksi selesai, keadaan tidak seperti yang seharusnya. Salah satu kebocoran (overflowing) adalah langganan yang terjadi antara penumpang dan pengemudi ojek online tanpa menggunakan aplikasi (aplikasi off). Kebocoran lain adalah hadirnya basecamp atau pangkalan pada ojek online. Basecamp bagi pengemudi ojek online berpotensi untuk menjadi pangkalan seperti ojek konvensional dengan kehadiran agensi menu Grab Now dan menu Uber Hop On. Selain pada basecamp, pengemudi ojek online juga banyak berkumpul di tempat-tempat tertentu, parkir di pinggir jalan dekat keramaian yang berpotensi untuk menyebabkan kemacetan lalu lintas. Selain itu, dengan kehadiran menu Grab Now atau Uber Hop On. Penumpang juga berpotensi membangun relasi setelah transaksi karena frekuensi pertemuan dengan pengemudi yang sama. Apalagi didukung oleh kehadiran basecamp. Selanjutnya, “langganan” akan terbentuk, walaupun tetap menggunakan aplikasi (aplikasi on). Penjual atau pengemudi dan pembeli atau penumpang tidak lagi menjadi orang asing setelah transaksi.

Definisi E-business adalah transformasi proses bisnis utama (key business processes) melalui penggunaan teknologi internet (IBM, 1997 dalam Chaffey, 2009). Celah teknologi dan elektronik ini dimanfaatkan oleh pengemudi ojek online dalam memperoleh penghasilan dan bonus melalui pencapaian target perjalanan. Oleh karena itu, pengemudi berupaya dengan melakukan kecurangan pada teknologi aplikasi dan perangkat dengan pemesanan fiktif dan pengaturan GPS pada smartphone pada lokasi-lokasi keramaian, walaupun dalam kenyataannya, pengemudi tidak berada pada lokasi tersebut. Hal ini tentunya merugikan calon penumpang sendiri dan pengemudi lain yang benar-benar berada di lokasi.

Page 369: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

358 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Kebocoran-kebocoran ini tentunya mengindikasikan bahwa pembingkaian-pembingkaian yang dilakukan dalam pasar ojek online tidak berjalan dengan baik yang dapat merugikan baik perusahaan, pengemudi, dan konsumen (agen pasar)

dan masyarakat luas.

4. Penilaian (Assessment) Terhadap Ruang Kalkulasi Ojek Online

Manusia disebut Homoeconomicus yang biasanya bersifat rasional dengan memaksimalkan keuntungan dan memaksimalkan utilitas. Dengan kendala yang mereka hadapi, mereka secara rasional menimbang semua biaya dan manfaat, dan selalu memilih tindakan terbaik, dan itu sangat kompleks. (Mankiw, 2014).

Callon & Law (2003) berpendapat, bahwa evaluasi rasionalitas sangat terkait erat dengan emosi. Dengan begitu, perbedaan antara rasional dan irasional dirasa tidak memadai. Callon & Law (2003) mendefinisikan ulang pengertian kalkulasi, dan memperluasnya dengan memasukkan kategori judgement dan menamainya qualculation. Callon & Law (2003) mengatakan bahwa kalkulasi berbicara kuantitatif dan judgement berbicara kualitatif, yang mana keduanya tentang menyusun dan memanipulasi entitas di suatu tempat untuk mencapai suatu hasil, sebuah kesimpulan. Keduanya disebut sebagai qualculation, yang berarti perhitungan, apakah berbentuk aritmatika atau tidak. Dengan demikian meruntuhkan perbedaan antara kuantitatif dan kualitatif. Qualculation menyiratkan kualifikasi.

Ruang kalkulasi harus memenuhi syarat sebelum masuk dalam proses qualculation. Hal ini membutuhkan lebih banyak pekerjaan, dengan berbagai mekanisme dan perangkat tanpa henti (Callon & Law, 2003). Ruang kalkulasi yang dibentuk oleh ojek konvensional tampaknya minim dalam perangkat material, akan tetapi dengan ruang kalkulasi ini, pengemudi dan penumpang dapat dengan leluasa melakukan kalkulasi dalam mengejar kepentingannya masing-masing. Calon penumpang bertatap muka langsung dengan pengemudi, dan dapat melakukan tawar-menawar dengan pengemudi. Pengemudi dan calon penumpang dapat dengan leluasa memberikan keputusan untuk sepakat melakukan perjalanan atau tidak.

Berbeda dengan ojek online yang tampaknya membingkai banyak perangkat dalam membentuk ruang kalkulasi. Akan tetapi ruang kalkulasi yang dibentuk oleh aplikasi, yang merupakan fitur utama ojek online tidak dibingkai untuk menghasilkan ruang kalkulasi produk ojek yaitu jasa ojek yang “menjual” motor dan pengemudi dalam kurun waktu tertentu (selama perjalanan) atau yang disebut juga sewa. Wujud dari jasa ini adalah motor dan pengemudi. Informasi mengenai kedua entitas ini “motor dan pengemudi” justru tidak ada dalam aplikasi (rarefaction), sehingga

Page 370: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 359

ruang kalkulasi yang dibentuk oleh aplikasi dinilai non-qualculable atau non-rasional.

Teori invisible-hand yang menghasilkan pasar yang sempurna, mengasumsikan bahwa pembeli dan penjual memiliki informasi lengkap tentang barang dan jasa yang mereka beli dan jual. Dalam hal pasar ojek online, ilmu ekonomi menilai ruang kalkulasi yang dibentuk oleh pasar ojek online sebagai pasar tidak sempurna karena ketidaksempurnaan informasi (imperfect information) yang disediakan kepada konsumen (Samuelson & Nordhaus, 2009). Pembingkaian informasi yang dilakukan pada aplikasi penumpang tidak memberikan informasi terkait produk pasar ojek, yaitu jasa ojek atau jasa sewa “motor dan pengemudi”.

Akan tetapi informasi mengenai motor dan pengemudi dijamin oleh perusahaan penyedia aplikasi dengan membuat persyaratan sebelum kontrak perjanjian dengan pengemudi. Keselamatan dan keamanan bagi penumpang dijamin dengan persyaratan pengemudi dan motor. Akan tetapi persyaratan tersebut dirasa kurang memadai mengingat pengemudi seringkali tidak menerapkan safety riding demi mengejar target perjalanan bonus harian. Juga dibutuhkan uji atau tes lain seperti tes narkoba, tes psikologi, tes kepribadian, tes kesehatan mata, dan lain-lain yang dibutuhkan terkait keselamatan mengendarai. Kondisi motor juga tidak dapat dijamin dengan usia motor, tapi perlu dilakukan pemeriksaan mesin rutin seperti halnya transportasi konvensional, yakni angkutan kota atau taksi. Hal ini menyebabkan objektivikasi pada ruang kalkulasi prakontrak menjadi tidak qualculable. Pembingkaian jasa ojek online dengan berbagai program kepada pengemudi seperti yang Gojek lakukan “Program Swadaya” dan Grab lakukan “Program Grab Sejahtera” justru tidak memengaruhi kalkulasi pengemudi (proliferation). Hal ini membuat pembingkaian ruang kalkulasi ini menjadi nonqualculable.

Pembingkaian dalam aplikasi tidak memberikan pilihan kepada penumpang untuk memilih pengemudi dan motor yang akan memberikan pelayanan kepadanya, dan juga penumpang tidak diberikan informasi yang jelas mengenai kondisi barang yang dijual yaitu motor dan pengemudi, bagaimana kondisi motor, atau bagaimana performa pengemudi. Dalam hal ini, perusahaan penyedia aplikasi tidak melakukan kewajibannya sebagai pelaku usaha sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Konsumen pasal 7, yang salah satu poinnya menyebut bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.

Page 371: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

360 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Akan tetapi pelaku usaha tidak dapat disalahkan begitu saja. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak secara spesifik menjelaskan seperti apa informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (pasal 7), dalam kaitannya dengan transportasi ojek online. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi turunan yang mengatur secara teknis pelaksanaan pasar khususnya jasa ojek online. Rumusan yang direkomendasikan adalah mengenai aturan pada aplikasi sebagai ruang kalkulasi atau pasar. Selain aplikasi, rumusan regulasi perlu mengatur pelaku-pelaku pasar. Pengemudi dikembalikan fungsinya sebagai pelaku pasar bukan perangkat pasar, dengan mewajibkan perusahaan penyedia aplikasi melibatkan pengemudi dalam penetapan tarif dan perancangan aplikasi.

Aturan moda transportasi jenis ojek belum menjadi perhatian pemerintah. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pasal 47 menjelaskan bahwa jasa transportasi ojek atau kendaraan roda 2 (dua) atau sepeda motor tidak dikelompokkan ke dalam Kendaraan Bermotor Umum. Akan tetapi, pelarangan ojek bukanlah solusi yang tepat, mengingat bisnis ini dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan regulasi yang mengatur kendaraan roda 2 (dua) atau ojek sebagai kendaraan umum. Diharapkan pada perumusan regulasi, produk ojek yaitu motor dan pengemudi menjadi fokus utama dalam regulasi tersebut. Dengan begitu persyaratan bagi pengemudi ojek online akan berubah dari sebelumnya.

Dengan demikian, dalam perumusan regulasi untuk transportasi ojek online dibutuhkan koordinasi pihak-pihak terkait, yaitu pemerintah (Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika), perusahaan penyedia aplikasi, perwakilan pengemudi, dan perwakilan

masyarakat.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, berikut beberapa hal yang menjadi kesimpulan:

1. Deskripsi pasar ojek online, bahwa pasar ojek online dibentuk oleh proses objektivikasi, singularisasi, agen kalkulasi dan perangkat pasar. Pada proses objektivikasi, ditemukan bahwa wujud dari produk yang dijual dalam pasar ojek adalah jasa ojek berupa sewa motor dan pengemudi. Oleh penyedia aplikasi ojek online, motor dan pengemudi dibingkai dengan aplikasi, smartphone, dan internet. Pengemudi ojek online dibingkai dengan atribut jaket dan helm. Pada proses singularisasi, untuk masuk ke dalam dunia konsumen, singularisasi ojek online dilakukan dengan pembingkaian pada aplikasi, metode pembayaran,

Page 372: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 361

asuransi, iklan, diskon, dan poin. Untuk masuk dalam dunia pengemudi, singularisasi ojek online dilakukan dengan pembingkaian pada aplikasi, bonus/insentif, asuransi dan program kerja sama perusahaan. Dalam pasar ojek online, pengemudi adalah perangkat pasar, karena tidak dapat melakukan objektivikasi dan singularisasi, dan ruang kalkulasi pengemudi dibatasi oleh aplikasi dan segala aturan yang telah ditetapkan sepihak oleh perusahaan.

2. Hasil penilaian (assessment) terhadap ruang kalkulasi pasar ojek online adalah bahwa pasar ojek online tidak rasional atau nonqualculable yang ditandai dengan terjadinya rarefaction dan proliferation pada ruang kalkulasi. Menurut teori ekonomi ruang kalkulasi membentuk pasar tidak sempurna karena ketidaksempurnaan informasi (imperfect information). Pembingkaian dengan perjanjian kontrak juga nonqualculable karena syarat pembagian hasil tidak diatur dalam kontrak perjanjian dan bersifat fleksibel sesuai kebijakan perusahaan, sehingga berpotensi merugikan mitra/pengemudi. Perjanjian prakontrak juga nonqualculable karena serangkaian persyaratan yang dibuat belum menjamin keselamatan dan keamanan berkendara. Pembingkaian ruang kalkulasi pasar ojek online juga masih mengalami kebocoran-kebocoran. Hal ini memberikan indikasi bahwa objektivikasi dan singularisasi yang dilakukan tidak berjalan dengan baik dan berdampak merugikan bagi perusahaan penyedia aplikasi, penumpang, pengemudi, dan masyarakat luas.

3. Aspek-aspek regulasi yang perlu diperbaiki sesuai dengan hasil penilaian (assessment) ruang kalkulasi ojek online adalah bahwa terkait transportasi, dibutuhkan regulasi yang mengatur ojek sebagai kendaraan umum yang terfokus pada aturan teknis pada motor dan pengemudi. Terkait pasar, dibutuhkan regulasi turunan dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur kelengkapan informasi produk pasar ojek online secara spesifik.

Page 373: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

362 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Page 374: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PERANAN SISTEM NAGARI DALAM PENCAPAIAN INDIKATOR GOOD GOVERNANCE DI NAGARI PENYALAIAN: KAJIAN DENGAN PENDEKATAN TEORI JARINGAN AKTOR

THE ROLE OF NAGARI SYSTEM IN THE ACHIEVEMENT OF GOOD GOVERNANCE INDICATORSIN NAGARI PENYALAIAN: A STUDY USING ACTOR NETWORK THEORY

Nama : Nadra Mirdas

Instansi : Pemprov Sumbar

Tahun Intake : 2016

Tingkat Beasiswa : Dalam Negeri

Program Studi : Magister Studi Pembangunan

Negara Studi : Indonesia

Universitas : Institut Teknologi Bandung

Page 375: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

364 Direktori Mini Tesis-Disertasi

ABSTRAK

Kembali ke sistem pemerintahan nagari hadir seiring dengan era reformasi yang menuntut Otonomi Daerah, dengan dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Kembali ke nagari dijalankan di Sumatera Barat dengan semangat mempertahankan adat dan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Penelitian ini melihat peran sistem nagari dengan kekhasan adatnya dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan nagari dikaitkan dengan penerapan good governance, dan penelitian ini juga membandingkan kesesuaian antara sistem adat dengan sistem desa. Metodologi yang digunakan adalah kajian kualitatif dengan melakukan pendekatan teori jejaring aktor.

Hasil analisis menunjukkan bahwa pada sistem nagari dengan peran berbagai unsur dalam nagari mampu melaksanakan pemerintahan dengan baik dengan salah satu ukuran tercapainya masing-masing elemen good governance. Hanya saja pencapaian yang baik ini belum didukung dengan perlakuan khusus, salah satunya dengan hampir menyeragamkan saja penerimaan dana desa, padahal jelas-jelas tidak bisa disamakan antara desa pada umumnya dengan desa adat seperti nagari dengan segala kompleksitasnya.

Kata Kunci: Dana Desa, Desa Adat, Good Governance, Nagari, Otonomi Desa

Page 376: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 365

ABSTRACT

Nagari Government System, emerged along with the Reformation era which demand regional autonomy through the enactment of Law number 22/1999 about local Government, is re-implemented in Sumatera Barat Province with the spirit to preserve the local customs and cultures that have been established for hundreds of years. This research strives to observe the role of nagari system with its custom uniqueness in the implementation of nagari financial management, in which attributed to good governance. It also compares the conformity between indigenous system (sistem adat) and village system (sistem desa). The study employed a quantitative analysis using Actor Network Theory.

The result of this study showed that nagari system complimented with its various elements is able to perform a good government which is proven by the fulfillment if good governance indicators. Nevertheless, this achievement is not supported with the special treatment; one of them is the uniformity of income in village funding (dana desa). It may create a problem due to the differences between villages in general with nagari as indigenous village with all its complexity.

Keywords: Nagari, Good Governance, Village Autonomy, Indigenous Village, the Village Fund

Page 377: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

366 Direktori Mini Tesis-Disertasi

PERANAN SISTEM NAGARI DALAM PENCAPAIAN INDIKATOR GOOD GOVERNANCE DI NAGARI PENYALAIAN: KAJIAN DENGAN PENDEKATAN TEORI JARINGAN AKTOR

A. Latar Belakang

Nagari merupakan sebuah bentuk sistem pemerintahan adat tradisional yang memiliki akar sejarah yang panjang, yang telah ada sebelum masa penjajahan Belanda di Nusantara. Selain nagari, terdapat sistem pemerintahan adat tradisional lainnya seperti Gampong di Aceh, Marga di Palembang, dan masih banyak sistem lainnya di berbagai daerah di Indonesia. Keberadaan sistem-sistem pemerintahan adat ini berkaitan dengan keberadaan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang telah terbentuk sebelum masa penjajahan Belanda.

Di era pemerintahan orde baru, Presiden Soeharto menentukan sebuah sistem pemerintahan tunggal yang mengganti semua sistem pemerintahan adat, yaitu sistem pemerintahan desa. Berbeda dari desa, nagarinagari memiliki ciri khusus yaitu bahwa nagari merupakan kesatuan adat yang punya wilayah ulayat sendiri, memiliki kaidah-kaidah tentang hak dan kewajiban rakyat, anak kemenakan, dan kaidah-kaidah penyelenggaraan pemerintahan tersendiri. Keseluruhan nagari-nnagari membentuk semacam konfederasi yang disebut dengan Kerajaan Pagaruyung dengan wilayah di Minangkabau. Berbagai perubahan sistem kenagarian terjadi di Minangkabau. Pada Tahun 1819 Belanda memasuki dataran tinggi Sumatera Barat dan mendapati bahwa Minangkabau terdiri atas nagari-nagari yang otonom. Belanda ingin mengendalikan pemerintahan penghulu-penghulu di tiap nagari, namun dalam kenyataannya belum berhasil mengenyampingkan pemerintahan suku yang menjadi dasar pemerintahan Nagari. Pada era Kemerdekaan Republik Indonesia, di tahun 1946 diadakan pemilihan langsung di seluruh Sumatera Barat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Nagari dan Wali Nagari. Pada kenyataannya banyak anggota Dewan Perwakilan Nagari dan Wali Nagari terpilih yang merupakan anggota partai politik. Dan dengan diterbitkannya Perda No. 50 Tahun 1950 tentang Pembentukan Wilayah Otonom, pemerintahan nagari hampir tidak berperan lagi.

Pada tahun 1974 Gubernur Harun Zain memutuskan untuk mengangkat kepala nagari sebagai pelaksana pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat nagari sebagai lembaga legislatif terendah. Namun keputusan ini hanya berumur pendek. Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, sistem nagari dihilangkan, dan jJorong digantikan statusnya menjadi desa. Kedudukan wali nagari dihapus dan administrasi pemerintahan dijalankan oleh para kepala desa.

Page 378: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 367

Meskipun demikian, nagari masih dipertahankan sebagai lembaga tradisional. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1983 mengatur tentang Pendirian Kerapatan Adat Nagari (KAN) di tiap-tiap nagari yang lama. Namun KAN sendiri tidak memiliki kekuasaan formal. Ketika Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah, terbuka peluang bagi penataan kembali pemerintahan sampai ke tingkat terendah. Sementara itu Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, dan untuk pelaksanaan di Kabupaten Tanah Datar melalui Perda Tanah Datar Nomor 17 Tahun 2001 tentang Pemerintahan Nagari. Sejumlah tantangan dihadapi dalam upaya pelaksanaan Babaliak ka Nagari tersebut, dikarenakan sudah puluhan tahun lebih masyarakat Minangkabau kehilangan jati diri nagari sebagai sistem pemerintahan lokalnya.

Tujuan desentralisasi pemerintahan itu sendiri, yang dalam hal ini diwujudkan dalam pembentukan daerah otonom, adalah terciptanya political equality di tingkat lokal. Political equality dalam desentralisasi merupakan kontribusi dari penguatan demokrasi lokal, di mana masyarakat memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memberikan suaranya dalam pemilihan dan pengambilan keputusan, membentuk asosiasi politik dan menggunakan hak kebebasan bebicara. Hal tersebut sejalan dengan konsep good governance. Governance merujuk pada pengertian bahwa kekuasaan saat ini tidak lagi semata-mata menjadi urusan pemerintah, melainkan juga urusan warga negara. Konsep good governance tidak hanya relevan pada tingkat nasional, tetapi bahkan lebih penting adalah pada tingkat lokal. Kembalinya pemerintahan daerah di Minangkabau ke sistem Nagari merupakan langkah yang selaras dengan nilai political equality yang terkandung dalam konsep good governance.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

Dengan bergulirnya reformasi pemerintahan di Indonesia dan diberlakukannya prinsip good governance sejak tahun 1999, terbuka peluang bagi berbagai daerah untuk melakukan penataan sistem pemerintahan lokal yang lebih mengedepankan political equality, hak-hak politik warga negara, dan otonomi pemerintahan pada tingkat lokal. Sementara itu sistem pemerintahan pada tingkat lokal di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan mengalami perubahan-perubahan seiring dengan adanya dinamika pemerintahan pada tingkat nasional. Sebagai akibatnya, implementasi otonomi daerah di sejumlah daerah di Indonesia, khususnya di Provinsi Sumatera Barat, dihadapkan pada keberadaan sistem pemerintahan ganda (dual): sistem pemerintahan desa di satu sisi, dan sistem pemerintahan adat di lain sisi. Dalam situasi seperti ini, penyelenggaraan good governance dan otonomi daerah membutuhkan upaya-upaya untuk mendapatkan keselarasan antara sistem pemerintahan adat dan sistem pemerintahan desa.

Page 379: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

368 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Penelitian tesis ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan studi kasus, dengan mengambil kasus pengelolaan keuangan daerah pascapenerimaan dana desa di Nagari Penyalaian, Provinsi Sumatera Barat. Pelaksanaan studi kasus difokuskan pada unsur-unsur sistem nagari, berbagai unsur perangkat pemerintahan daerah, berbagai dokumen dan objek-objek teknis yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan pengelolaan dana desa. Indikator-indikator good governance yang menjadi fokus kajian adalah: transparancy, accounotability, dan public participation. Pengumpulan data dan interpretasi data dilakukan dengan dipandu oleh perspektif teoritikal actor-network theory (ANT) atau disebut juga sosiologi translasional. ANT bersandar pada translasi-translasi dan relasi-relasi. Peneliti yang menggunakan ANT berfokus pada serangkaian translasi, bagaimana relasi-relasi terbentuk melalui translasi tersebut, dan outcome dari relasi-relasi ini. Pengumpulan dan interpretasi data dilakukan dengan mengikuti teknik yang disebut following the actors.

C. Pembahasan Hasil Analisis

1. Analisis Data Dana Desa di Nagari Panyalaian

Pada tahun 2016, seiring dengan peningkatan menjadi dua kali lipat lebih dana desa oleh pemerintah pusat (tahun 2015 telah dialokasikan dana desa sebesar ± Rp20,766 triliun rupiah untuk 74.093 desa yang tersebar di Indonesia, dan pada tahun 2016 telah dialokasikan dana desa sebesar ± Rp46,982 triliun rupiah), maka jumlah pendapatan di APB Nagari Panyalaian tahun 2016 meningkat sebesar 81,35% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi sebesar Rp2.219.128.500,00, yang di dalamnya terdapat peningkatan dana nagari sebesar 128,26% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi sebesar Rp699.100.000,00, peningkatan ADN sebesar 138,19% dibandingkan tahun sebelumnya menjadi sebesar Rp1.1168.999.000,00, dan bantuan keuangan APBD kabupaten sebesar Rp310.000.000,00.

Untuk tahun 2016, pemerintah pusat menaikkan Dana Desa sebesar 27,71% (pada tahun 2017 dialokasikan meningkat menjadi ± 60 triliun rupiah). Jumlah Pendapatan di APB Nagari Tahun 2017 meningkat 30,42% dibandingkan tahun sebelumnya yaitu menjadi Rp2.894.250.590,00. Di dalamnya terdapat peningkatan dana nagari sebesar 27.27% dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu menjadi Rp889.756.000,00, dan peningkatan ADN turun sedikit menjadi sebesar Rp1.157.374.000,00, serta peningkatan bantuan keuangan APBD kabupaten sebesar 158,06%, yaitu menjadi Rp800.000.000,00.

Sekilas akan terlihat peningkatan yang besar sekali pada jumlah pendapatan di APB Nagari Panyalaian, apalagi kalau dilihat dari tahun dasar 2013 ke tahun

Page 380: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 369

2017, terjadi peningkatan total jumlah pendapatan empat kali lipat lebih (410,01%). Peningkatan ini di samping disumbang oleh adanya dana desa, tapi yang lebih besar adalah dari Alokasi Dana Nagari (ADN). Alokasi Dana Nagari atau Alokasi Dana Desa merupakan kewajiban pemerintah kabupaten/kota, yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterimanya paling sedikit 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. Permasalahannya adalah jumlah nagari jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah desa di sebuah kabupaten/kota di provinsi lain. Sehingga, jumlah pembagi dari bagian dana perimbangan dari kabupaten/kota juga kecil, dan Alokasi Dana Nagari menjadi terlihat besar. Akan tetapi jumlah ini akan terlihat sedikit kalau sudah digabungkan secara keseluruhan dalam Provinsi Sumatera Barat.

Padahal sebuah nagari sebenarnya lebih besar dibandingkan dengan desa pada umumnya. Dengan luas wilayah Provinsi Sumatera Barat sebesar 42.012,89 km² dan jumlah penduduk 5.383.988 jiwa, terdapat 880 Nagari/desa. Bandingkan dengan provinsi lain, jumlah desanya jauh lebih banyak. Sebagai pembanding, diambil contoh beberapa provinsi dengan luas hampir sama, antara 40 ribu km² sampai dengan 60 ribu km² dan jumlah penduduk antara 4 juta sampai 6 juta jiwa. Provinsi Aceh dengan luas wilayah 57.956,00 km² dan penduduk 5.066.831 jiwa mempunyai 6.474 desa, jumlah desa ini tujuh kali lipat lebih daripada jumlah nagari/desa di Sumatera Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur yang paling mendekati Provinsi Sumatera Barat dengan luas wilayah 48.718,10 km² dan jumlah penduduk 5.258.595 jiwa memiliki 2.950 desa, jumlah desa ini lebih dari tiga kali lipat jumlah nagari/desa di Sumatera Barat.

Akibat terbesar dari sedikitnya nagari pada Provinsi Sumatera Barat adalah total jumlah dana desa yang diterima. Untuk Tahun 2017, penghitungan dana desa untuk Provinsi Sumatera Barat dengan 880 desa adalah sebesar Rp796.538.971.000,00. Bandingkan dengan penghitungan total jumlah dana desa untuk Provinsi NAD sebesar Rp4.892.571.795,00, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp2.360.353.320,00.

2. Analisis Transparansi, Akuntabilitas, dan Partisipasi terhadap Dana Nagari

Transparansi dibangun atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan dapat dipantau. Untuk saat ini, akses informasi bagi berbagai pihak di Nagari Panyalaian selain bisa diakses langsung ke kantor wali nagari bagi yang membutuhkan informasi, saat ini informasi juga bisa di dapatkan melalui WhatsApp Group (WAG) nagari.

Page 381: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

370 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Ada beberapa kelebihan dari menggunakan media WAG ini, di antaranya biaya minim, semua yang sudah memiliki smartphone dan mempunyai aplikasi WAG dan ada kaitan dengan Nagari Panyalaian, bisa dimasukkan sebagai anggota WAG. WAG ini juga bersifat praktis, informasi yang dikirim langsung masuk ke smartphone anggota grupnya, tanpa harus memilih-milih menu dulu, informasi yang ada langsung terbuka. Untuk menjadi anggota grupnya pun sangat mudah, admin (kalau di WAG Nagari Panyalaian adminnya wali nagari dan sekretaris nagari) tinggal menambahkan nomor hp yang ingin dimasukkan. Untuk yang belum ada tinggal meminta admin untuk menambahkannya. Banyak kemudian informasi yang disampaikan melalui media WAG nagari ini, pelaksanaan kegiatan, meminta masukan atas rencangan peraturan, foto-foto kegiatan. Masyarakat pun menjadi terlibat di dalamnya, ada yang mengkritisi, bertanya, memberi masukan, dan juga saran-saran. Bahkan ada yang menyampaikan permasalahan untuk dibantu penyelesaiannya oleh pemerintah nagari, dan karena sifatnya yang langsung, sehingga setiap informasi ditanggapi saat itu juga.

Namun demikian, penggunaan media WAG ini sebagai media informasi dan penghubung antara berbagai pihak di Nagari Panyalaian juga mempunyai kekurangan. Diantaranya data yang tersaji tidak bisa secara lengkap dan berkala. Informasi yang transparan seharusnya juga bisa diakses oleh publik, sedangkan menggunakan WAG Nagari ini hanya bisa diakses oleh para anggota grupnya saja. Padahal banyak orang yang mungkin juga membutuhkan data-data terkait nagari, seperti perantau, LSM, investor, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, pihak nagari sangat terbuka melayani siapa saja yang membutuhkan informasi, mereka siap melayani di kantor wali nagari, baik itu menanyakan program kegiatan, laporan keuangan, salah satunya seperti yang peneliti lakukan saat penelitian ini. Akan tetapi, untuk mewujudkan transparansi harusnya informasi yang reliable (andal) dan berkala harus mudah diakses oleh publik.

Alangkah baiknya jika ke depannya nagari membuat website nagari, yang dalam pelaksanaannya membutuhkan kesiapan dari segi infrastruktur dan sumber daya manusia, termasuk melibatkan ahli teknologi informasi, karena penggunaan teknologi informasi juga memiliki resiko yang harus juga dipahami. Melalui website nantinya, bisa memaparkan berbagai informasi tentang nagari dengan lebih lengkap, tertata, andal, dan berkala serta dapat diakses publik. Mulai dari profil (visi misi, jumlah penduduk, batas wilayah, dan sebagainya), APB nagari (sumber dana, program, kegiatan, dan lain-lain), peraturan, laporan keuangan, foto-foto, pelayanan, dan informasi-informasi yang bisa disajikan, sehingga transparansi

Page 382: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 371

dapat lebih terwujud. Salah satu keuntungan lainnya, bisa membantu untuk mempersempit peluang korupsi dikalangan pejabat publik.

3. Akuntabilitas Dana Nagari

Nagari sebagai instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan, dan evaluasi.

Terkait sistem keuangan, yang digunakan sistem pengelolaan keuangan yang telah disusun oleh pemerintah di dalam Permendagri No. 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya (Permendagri No. 37 Tahun 2007), maka sistem pengelolaan keuangan dengan aturan yang baru lebih sederhana, sehingga bisa lebih mudah untuk dilaksanakan wali nagari dan aparatur nagari dengan baik.

Dari Pemerintah pun, sejak adanya dana desa, juga memikirkan bagaimana proses pelaksanaannya di lapangan bisa terbantu, dengan membuatkan aplikasi Siskeudes yang membantu aparatur bekerja secara cepat dan akuntabel. Fitur-fitur yang ada dalam aplikasi pengelolaan keuangan desa dibuat sederhana dan user friendly sehingga memudahkan pengguna dalam mengoperasikan aplikasi Siskeudes. Dan ini juga dirasakan oleh aparatur nagari bahwa aplikasi ini sangat membantu mempermudah pekerjaannya, sehingga waktu dan tenaga bisa digunakan untuk aktivitas lain untuk nagari.

Melalui aplikasi Siskeudes ini, dengan satu kali proses penginputan sesuai dengan transaksi yang ada, menghasilkan output berupa dokumen penatausahaan dan laporan-laporan yang sesuai dengan ketentuan. Hal ini, di samping memudahkan, juga mengandung aspek pengendalian, yang mengurangi masalah manipuasi data, sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Masing-masing tingkatan pemerintahan baik dari kecamatan, kabupaten, provinsi, dan pusat melalui tiga kementerian dan BPKP terlihat meningkatkan perannya masing-masing dalam penataaan desa terutama sejak masuknya dana nagari/desa ini. Peran ini sudah terasa dari proses perencanaan, melalui penetapan besaran dana desa, sampai tahap evaluasi. Bahkan yang terbaru melibatkan kepolisian dalam pengawasannya. Hal ini menjadi faktor yang mampu meningkatkan kehati-hatian dan akuntabilitas pemerintah nagari dalam melaksanaan tugasnya, karena di samping sudah diatur, dibimbing, mereka juga diawasi. Akuntabilitas yang semakin meningkat diharapkan menjadi kunci untuk memastikan bahwa kekuasaan di Nagari Panyalaian dapat dijalankan dengan baik dan sesuai dengan kepentingan publik.

Page 383: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

372 Direktori Mini Tesis-Disertasi

4. Partisipasi Dana Nagari

Partisipasi warga nagari sudah dirasakan sejak tahap perencanaan, yaitu melalui media Musrenbang. Musrenbang sebagai mekanisme untuk mempertemukan usulan dan kebutuhan masyarakat (bottom up planning) dengan apa yang akan diprogram pemerintah (top down planning). Berbagai pihak terlibat dalam Musrenbang, seperti wali nagari dan aparaturnya, BPRN, KAN, wali jorong, Lembaga Unsur (Niniak Mamak, Bundo Kanduang, Alim Ulama, Cadiak Pandai, Pemuda), dan banyak unsur masyarakat lainnya, seperti PKK, kesehatan (Bidan Desa, Posyandu), sekolah-sekolah, kepolisian, kelompok tani, pengurus masjid, TPA, dan kader nagari. Kehadiran yang meningkat terutama sejak masuknya dana desa, ditambah dengan partisipasi dan proaktif dalam memberikan masukan dan usulan memperlihatkan tingkat partispasi masyarakat yang meningkat. Dengan adanya ketentuan bahwa pelaksanaan kegiatan yang dibiayai dana desa diutamakan dilakukan secara swakelola dengan menggunakan sumber daya/bahan baku lokal, dan diupayakan dengan lebih banyak menyerap tenaga kerja dari masyarakat setempat juga menjadi faktor yang mampu meningkatkan partisipasi warga dalam tahap pelaksanaan kegiatan di nagari. Masyarakat jadi bisa berpartisipasi langsung, hal ini juga meningkatkan rasa memiliki dari warga nagari terhadap kegiatan tersebut dan terhadap nagarinya.

Partisipasi berbagai unsur masyarakat ini menjadi penting, mengingat Nagari Panyalaian sebagai bagian dari wilayah Minangkabau mempunyai adat istiadat yang kuat, sehingga dalam membuat program kegiatan harus melibatkan berbagai unsur, agar program dan kegiatan yang ada sesuai dengan adat istiadat Minangkabau yang ada di nagari baik dari perencanaan maupun pelaksanaan program kegiatan. Dengan partispasi warga nagari yang tinggi, diharapkan semua proses mulai dari perencanaan maupun pelaksanaan sesuai dengan kebutuhan

masyarakat nagari.

5. Perbedaan Sistem Nagari dengan Sistem Desa terhadap Anggaran Dana Desa

Diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, mengubah pola sentralistik menjadi desentralistik. Dan lebih luas lagi mengakui adanya desa adat, di mana desa kemudian diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah kabupaten.

Page 384: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 373

Semangat otonomi desa, terutama dengan telah disahkannya UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa, desa diberikan kesempatan yang besar untuk mengurus tata pemerintahannya sendiri, termasuk pengelolaan keuangannya, serta melaksanakan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa.

Implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa ini selaras dengan Program Pembangunan Nasional yang tertuang dalam RPJM Nasional 2015−2019, yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka NKRI”. Sebagai tindak lanjutnya, tahun 2015 telah dialokasikan dana desa, untuk seluruh desa maupun desa adat termasuk nagari di Sumatera Barat.

Penghitungan dana desa bagi masing-masing desa menggunakan formula dengan rumus 90 persen dana desa yang dibagi merata setiap desa, dan hanya 10 persen sisanya yang berdasarkan kriteria demografis dan geografis dapat memicu ketimpangan antarpenduduk. Rumus penghitungan ini dapat membuat sebuah wilayah yang sebenarnya luas, mendapatkan dana desa yang hampir sama dengan desa yang luasnya jauh lebih kecil. Atau juga membuat desa yang memiliki masyarakat miskin dalam jumlah banyak, menerima alokasi dana desa yang sedikit, sedangkan desa dengan jumlah masyarakat miskin yang sedikit, menerima alokasi yang lebih besar. Dengan skema 90 persen diterima secara bagi rata, maka kemungkinan desa besar akan memiliki jumlah yang sedikit pemanfaatan perorangnya dalam pendistribusiannya.

Hal ini seperti yang terjadi pada nagari-nagari di Sumatera Barat, dengan luas wilayah dan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dibandingan dengan desa pada umumnya, menerima dana desa yang hampir sama dengan desa pada umumnya. Secara keseluruhan, Provinsi Sumatera Barat untuk tahun 2017, penghitungan dana desa untuk Provinsi Sumatera Barat dengan 880 desa adalah sebesar Rp796.538.971.000,00. Bandingkan dengan penghitungan total jumlah dana desa yang dijadikan pembanding dengan luas dan jumlah penduduk yang hampir sama, yaitu untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darrusalam sebesar Rp4.892.571.795,00, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp2.360.353.320,00.

Kebijakan untuk Babaliak ka Nagari dijalankan dengan semangat mempertahankan adat dan budaya, karena pada level nagarilah yang mempunyai kelengkapan baik sistem adat maupun sistem pemerintahan paling lengkap. Sistem pemerintahan nagari dapat berjalan dengan baik, salah satu tolok ukur, mampu mencapai indikator good governance.

Page 385: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

374 Direktori Mini Tesis-Disertasi

Sebenarnya semangat ini sangat sejalan dengan semangat dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, di mana kembali mengakui adanya desa-desa adat. Hanya saja sepertinya, dengan keluarnya UU Nomor 6 Tahun 2014, keberadaan desa adat kurang diperhatikan, dengan hampir menyeragamkan penerimaan dana desa, padahal jelas-jelas tidak bisa disamakan antara desa pada umumnya dengan desa adat seperti nagari di Sumatera Barat.

Seharusnya ada perlakukan khusus untuk pemerintahan nagari di Sumatera Barat. Karena di Sumbar memiliki masyarakat adat yang sampai sekarang masih bertahan dan bahkan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik melalui nilai-nilai adat yang telah dibawa dari masa lalu. Pemerintah nagari bersama-sama dengan pemerintah daerah baik pemerintah kabupaten apalagi pemerintah provinsi perlu membuat formulasi yang lebih proporsional terkait pengakuan sebuah nagari. Sebuah nagari harusnya tidak lagi ekuivalen dengan satu desa, melainkan lebih dari itu, apakah ekuivalen dengan tiga desa atau mungkin lebih. Inilah kemudian yang perlu dibahas bersama dan dibawa ke tingkat pemerintah pusat.

Pemerintah daerah berdasarkan hasil pembahasan tersebut, dengan meminta dukungan anggota dewan yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat, perlu meminta pemerintah pusat untuk kembali fokus dalam hal pengakuan sistem nagari sebagai sistem adat yang konstitusional. Dengan membuat aturan terbaru tentang pemerintahan desa, dengan adanya lex specialis, yaitu penanganan/aturan yang khusus untuk Sumatera Barat, terkait keunikan sistem nagari.

D. Kesimpulan

1. Pelaksanaan pengelolaan keuangan

Pelaksanaan pengelolaan keuangan di pemerintahan nagari sebagai perpaduan antara warisan sistem adat dengan sistem pemerintahan terkini ternyata dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat terlihat salah satunya malalui tercapainya elemen good governance dengan baik, yang meliputi transparansi, akuntabilitas dan partisipasi. Pencapaian yang baik dapat diwujudkan dengan adanya peran berbagai unsur dalam nagari, baik itu unsur Niniak Mamak (yang tidak mempunyai lembaga resminya karena peran Niniak Mamak sudah terbentuk secara turun-temurun, namun memiliki porsi yang besar), maupun unsur yang berbentuk lembaga yang meliputi Unsur Alim Ulama, Cadiak Pandai, Bundo Kanduang, dan Pemuda.

Page 386: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

PHRD-IVProfessional Human Resource Development 375

Niniak mamak menjadi tempat bertanya dan konsultasi di dalam mengambil keputusan sebagai orang yang dipandang oleh suku dan kaumnya memiliki kelebihan atau kemampuan di bidang ilmu pengetahuan dan sangat berpengalaman di bidang kehidupan adat istiadat dan sosial. Alim ulama memiliki fungsi kontrol untuk moral dan keagamaan dengan memberikan nasihat serta pedoman dalam membuat suatu keputusan atau tindakan sesuai syariah. Cadiak pandai berfungsi sebagai penasihat/advokator dalam memberikan pertimbangan-pertimbangan logis menurut adat istiadat Minangkabau. Bundo kanduang berfungsi sebagai pemegang urusan dalam (domestik atau rumah tangga) suatu kaum, penjamin pemeliharaan harta pusaka, pusat segala aktivitas kaum, faktor penentu martabat suatu nagari maupun sebagai seorang ’sakti’ dalam kaum serta penanggung jawab pendidikan moral agama dan budi pekerti, dan pemuda berfungsi sebagai penjaga keamanan dan pengamanan aset nagari. Kesemua unsur tersebut di samping berperan langsung dalam tahapan pengelolaan keuangan nagari agar sesuai dengan fungsinya masing-masing, dengan peran mereka yang besar dan didengarkan, juga mampu menjadi fasilitator dan penggerak warga nagari untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, mengawasi pelaksanaan program kegiatan agar pemerintahan nagari dapat lebih bertanggung jawab dengan kekuasaannya, dan melaksanaan prinsip keterbukaan.

2. Kebijakan

Kebijakan untuk Babaliak ka Nagari dijalankan dengan semangat mempertahankan adat dan budaya, karena pada level nagarilah yang mempunyai kelengkapan baik sistem adat maupun sistem pemerintahan paling lengkap. Apalagi sistem pemerintahan nagari dapat berjalan dengan baik, yang salah satu tolok ukurnya, mampu mencapai indikator good governance.

Sebenarnya semangat ini sangat sejalan dengan semangat dikeluarkannya UU Nomor 22 Tahun 1999, di mana kembali mengakui adanya desa-desa adat. Hanya saja sepertinya, dengan keluarnya UU Nomor 6 Tahun 2014, keberadaan desa adat kurang mendapat perhatian khusus, dengan hampir menyeragamkan penerimaan dana desa, padahal jelas-jelas tidak bisa disamakan antara desa pada umumnya dengan desa adat dengan segala kompleksitasnya, seperti nagari di Sumatera Barat.

Seharusnya ada perlakukan khusus untuk pemerintahan Nagari di Sumatera Barat. Karena di Sumbar memiliki masyarakat adat yang sampai sekarang masih bertahan dan bahkan mampu menjalankan pemerintahan dengan baik melalui nilai-nilai Adat yang telah dibawa dari masa lalu.

Page 387: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas

376 Direktori Mini Tesis-Disertasi

3. Langkah-langkah

Langkah-langkah ke depan yang perlu dilakukan terkait dengan dua poin kesimpulan diatas:

a. Terkait Kontribusi Sistem Pemerintahan Nagari:

• Sistem Nagari terbukti dapat berjalan dengan baik dan dipadukan dengan sistem pemerintahan terkini, untuk itu, Sistem Pemerintahan Nagari ini perlu untuk mendapat dukungan dari berbagai pihak mulai dari Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat, agar kedepan Sistem ini dapat terus terjaga dan terpelihara.

• Kedepan, perlu diperkuat kemampuan berbagai Aparatur Nagari dan berbagai lembaga unsur yang ada didalam Nagari, baik melalui pendidikan maupun pelatihan, agar semakin mampu menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat Nagari yang tetap sejalan dengan adat istiadat.

b. Terkait dengan kompatibilitas Sistem Nagari dengan Sistem Desa memberikan konskuensi dalam penerimaan Anggaran Dana Desa: Pemerintah Nagari bersama-sama dengan Pemerintah Daerah baik Pemerintah Kabupaten apalagi Pemerintah Provinsi perlu membuat formulasi yang lebih proposional terkait pengakuan sebuah Nagari. Sebuah Nagari harusnya tidak lagi ekuivalen dengan satu Desa, melainkan lebih dari itu, apakah ekuivalen dengan 3 atau mungkin lebih Desa. Inilah kemudian yang perlu dibahas bersama, dan dibawa ketingkat Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah berdasarkan hasil pembahasan tersebut, dengan meminta dukungan Anggota Dewan yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat, perlu meminta Pemerintah Pusat untuk kembali fokus dalam hal pengakuan Sistem Nagari sebagai Sistem Adat yang konstitusional. Dengan membuat aturan terbaru tentang Pemerintahan Desa, dengan adanya lex specialis, yaitu penanganan/aturan yang khusus untuk Sumatera Barat, terkait keunikan Sistem Nagari.

Page 388: pusbindiklatren.bappenas.go.idpusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/Buku_1...ii iii Direktori Mini Tesis-Disertasi Kebijakan Publik & Studi Pembangunan ©2018 oleh Bappenas