ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah...
Transcript of ICASEPS WORKING PAPER No. 68pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/WP_68_2004.pdf · paten Daerah...
ICASEPS WORKING PAPER No. 68
ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA DAN PELUANG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN DI DAERAH PENGEMBANGAN PROKSI INBIS KABUPATEN PASURUAN
Bambang Rahmanto Oktober 2004
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Indonesian Center for Agricultural Socio Economic and Policy Studies) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian
ANALISIS POTENSI SUMBERDAYA DAN PELUANG PENGEMBANGAN SEKTOR PERTANIAN
DI DAERAH PENGEMBANGAN PROKSI INBIS KABUPATEN PASURUAN
Bambang Rahmanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian
Jl. A.Yani No.70 Bogor 16161
ABSTRAK
Sebagai bagian dari kegiatan PROKSI INBIS telah dilakukan suatu studi baseline di Kabupaten Pasuruan sebagai lokasi diselenggarakannya program tersebut di Provinsi Jawa Timur. Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi potensi dan peluang pengembangan sektor pertanian di wilayah binaan PROKSI INBIS berdasarkan hasil studi baseline sebagai bahan masukan dalam perencanaan dan perancangan model. Berdasarkan letak geografisnya, ketiga kecamatan contoh yang menjadi binaan PROKSI INBIS Pasuruan tidak secara penuh membentuk satu unit pengembangan INBIS. Salah satu kecamatan contoh, yaitu Kecamatan Grati, letak lokasinya terpisah jauh dari dua kecamatan contoh lainnya. Demikian pula berdasarkan kondisi agroekosistem, sumberdaya, dan faktor-faktor penciri lainnya tercermin adanya perbedaan karakteristik antara Kecamatan Grati dengan dua kecamatan contoh lainnya. Dalam pengembangan sektor per-tanian perlu dilakukan pendekatan sistem usahatani terpadu, yang memberikan peluang bagi rumahtangga tani untuk melakukan diversifikasi usaha di sektor petanian, melalui pembinaan yang intensif dalam wadah kelembagaan agribisnis yang terorganisir serta dukungan pelayanan lainnya yang diperlukan, baik berupa fasilitasi modal usaha, akses informasi teknologi, akses informasi pemasaran, fasilitasi hubungan kemitraan, maupun bimbingan manajemen usaha dan organisasi kelompok. Introduksi teknologi seyogyanya diarahkan pada teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi usaha, ramah lingkungan, dan lebih banyak mengguna-kan input yang mengandung bahan baku lokal.
Kata Kunci : sumberdaya; pengembangan; agribisnis
PENDAHULUAN
Sebagai bagian dari kegiatan Program Aksi Pemberdayaan Masyarakat Tani Me-
nuju Ketahanan Pangan Nasional Melalui Pengembangan Intensifikasi Berwawasan
Agri-bisnis (PROKSI INBIS) tahun 1999/2000 telah dilakukan suatu STUDI BASELINE di
lima provinsi lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan,
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Di Provinsi Jawa Timur,
lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS bertempat di Kabupaten Pasuruan dan
Kabupaten Magetan. Masing-masing kabupaten telah dipilih dan ditentukan tiga
kecamatan sebagai lokasi penyelenggaraan PROKSI INBIS. Untuk Kabupaten
Pasuruan meliputi Kecamatan Sukorejo, Kecamatan Rembang, dan Kecamatan Grati.
STUDI BASELINE dilaksanakan secara serempak pada bulan Januari 2000 di
kabupaten dan kecamatan lokasi PROKSI INBIS di masing-masing provinsi. Hasil
STUDI BASELINE telah disampaikan dalam bentuk buku Laporan Hasil Studi Baseline,
2
1)(nn
2)jD(2jD
DS;n
)2jy1j(y;
DSD
t −
∑∑
−
=∑ −
== D
yang pada prinsipnya memaparkan mengenai: (1) profil dan sumberdaya wilayah; (2)
karak-teristik dan sumberdaya rumahtangga tani; (3) kebijaksanaan pembangunan
pertanian daerah, (4) kondisi sistem agrbisnis yang berlangsung pada saat itu; dan (5)
aksesibilatas petani terhadap kelembagaan penunjang.
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap mengenai potensi dan peluang
pengembangan sektor pertanian di wilayah binaan PROKSI INBIS, khususnya di Kabu-
paten Daerah Tingkat II Pasuruan, diperlukan analisis yang lebih mendalam dan
terfokus pada aspek-aspek penting yang secara signifikan dapat digunakan sebagai
bahan masukan dalam perencanaan dan perancangan model PROKSI INBIS.
Makalah ini mengemukakan hasil analisis berdasarkan data dan informasi yang
terkumpul dalam kegiatan STUDI BASELINE dan infomasi lainnya yang bersumber dari
berbagai referensi yang relevan digunakan sebagai data/informasi pendukung. Hasil
analisis akan memberikan luaran sebagai berikut: (1) Karakteristik penciri wilayah
binaan PROKSI INBIS; (2) Potensi sumberdaya dan faktor-faktor pembatasnya; dan (3)
Peluang-peluang pengembangan sektor pertanian yang meliputi aspek teknologi dan
agribisnis, serta faktor-faktor yang menjadi hambatan dan permasalahannya.
METODE ANALISIS
Analisis yang digunakan dalam melihat potensi sumberdaya dan peluang
pengem-bangan sektor pertanian di kecamatan contoh adalah dengan pendekatan
model diagnos-tik dan eksploratif berdasarkan data hasil studi baseline dan acuan
hasil-hasil penelitian sebagai dasar pembanding untuk menerangkan faktor-faktor yang
memiliki pengaruh signifikan untuk memperoleh perha-tian atau prioritas penanganan
dalam upaya pengem-bangan PROKSI INBIS. Analisis statistika digunakan untuk
melihat signifikansi beda rata-rata penggunaan pupuk yang dilakukan petani dengan
dosis rekomendasi guna iden-tifikasi efisiensi pengelolaan pemupukan di tingkat petani.
Uji statistik yang digunakan adalah uji t-student pengamatan berpasangan dengan
formulasi sebagai berikut :
dimana t = t-hitung; D = rata-rata beda aplikasi dosis pupuk petani dengan dosis rekomendasi SD = galat baku
3
HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Diskriminan Menurut Karakteristik Penciri Wilayah
Berdasarkan letak geografisnya, ketiga kecamatan contoh yang menjadi binaan
PROKSI INBIS di Kabupaten Pasuruan tidak secara penuh membentuk satu unit
pengem-bangan INBIS. Salah satu kecamatan contoh, yaitu Kecamatan Grati, letak
lokasinya terpisah jauh dari dua kecamatan contoh lainnya. Kecamatan ini lebih dekat
ke arah Kabupaten Probolinggo. Sementara itu, Kecamatan Sukorejo dan Kecamatan
Rembang letaknya saling berdampingan, sehingga dapat membentuk satu unit
pengembangan INBIS. Letak Kecamatan Sukorejo lebih dekat ke arah
Kotamadya/Kabupaten Malang, sedangkan Kecamatan Rembang lebih dekat ke arah
ibukota provinsi.
Berdasarkan kondisi agroekosistem, sumberdaya, dan faktor-faktor penciri lain-
nya tercermin adanya perbedaan karakteristik antara Kecamatan Grati dengan dua
keca-matan contoh lainnya. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain mencakup:
(1) Kondisi Iklim: Kecamatan Grati memiliki kondisi iklim yang relatif lebih kering diban-dingkan dengan Kecamatan Sukorejo dan Rembang. Rata-rata curah hujan tahunan di Kecamatan Grati selama tahun 1989-1998 hanya mencapai sekitar 1.152 mm per tahun, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing mencapai 2.061 dan 1.604 mm per tahun.
(2) Jenis Tanah: Kecamatan Grati didominasi oleh jenis tanah Mediteran (66,0%), sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing adalah Regosol (92,1%) dan Grumosol (64,3%).
(3) Sumberdaya Lahan: Dibandingkan dengan Kecamatan Sukorejo dan Rembang, luas lahan sawah di Kecamatan Grati adalah yang terendah yaitu hanya mencapai sekitar 965 ha, sedangkan di Kecamatan Rembang mencapai 1.981 ha, dan di Kecamatan Sukorejo yang terluas mencapai 3.401 ha. Meskipun demikian, Kecamatan Grati memiliki sumberdaya lahan yang relatif beragam, yaitu sawah (19,0%), tegalan (41,2%), hutan (20,9%), dan danau (3,9%).
(4) Sumberdaya Rumahtangga dan faktor penciri lainnya: Berdasarkan hasil STUDI BASE-LINE terungkap bahwa sebagian besar usia kepala keluarga pada rumahtangga tani di Kecamatan Grati telah melampaui batas usia produktif, dimana sekitar 33 persen berusia di atas 60 tahun dan 37 persen berusia antara 51 - 60 tahun. Sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang sebagian besar (di atas 70%) berada pada kelompok usia pro-duktif, bahkan lebih dari 30 persen berusia di bawah 40 tahun. Kontribusi sektor non pertanian tampak lebih dominan sebagai sumber pendapatan rumahtangga di Kecamatan Grati, karena rata-rata luas penguasaan lahan usaha yang relatif sempit, yaitu sekitar 0,306 ±
4
0,140 hektar untuk lahan sawah dan 0,102 ± 0,328 hektar untuk lahan tegalan. Sementara itu, luas pengusahaan lahan sawah irigasi di Kecamatan Sukorejo dan Rembang relatif lebih luas yaitu masing-masing mencapai sekitar 0,615 ± 0,496 hektar dan 0,733 ± 0,439 hektar. Rata-rata luas pengusahaan sawah yang relatif sempit di Kecamatan Grati mengakibatkan terjadinya perbedaan orientasi produksi padi dengan petani contoh di kedua kecamatan lainnya. Secara agregat, proporsi padi yang dijual oleh petani contoh di Kecamatan Grati hanya mencapai sekitar 38 persen, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing mencapai 58 dan 81 persen. Komo-ditas palawija yang dominan diusahakan di Kecamatan Grati adalah jagung, sedangkan di Kecamatan Sukorejo dan Rembang adalah Kedelai.
Adanya perbedaan karakteristik wilayah, sumberdaya, dan faktor penciri lainnya
antara Kecamatan Grati di satu sisi, dan Kecamatan Sukorejo serta Rembang di sisi lain
akan memberikan implikasi yang cukup bervariasi dalam cara penanganan dan
peranca-ngan model INBIS.
Adanya keragaman penguasaan sumberdaya antar rumahtangga di masing-
masing kecamatan contoh juga perlu menjadi pertimbangan dalam penyusunan model
INBIS. Artinya, dalam upaya memberdayakan dan memandirikan masyarakat petani,
baik melalui proses perekayasaan teknologi maupun kelembagaan sosial-ekonomi perlu
mem-pertimbangkan karakteristik rumahtangga tani yang sebagian besar memiliki
sumber-daya terbatas. Hal ini selaras dengan hasil penelitian dan pendapat pakar
(Pranadji, 1984; Tjondronegoro, 1990; Taryoto et al., 1993; Purwantini dan Suhaeti,
1995; Taryoto dan Pranadji, 1995; dan Pranadji, 1995) yang mengungkapkan
kelemahan dan dampak negatif program intensifikasi padi di masa lalu, yang
menyebutkan bahwa: (1) Kelembagaan pertanian padi sawah moderen, lebih
menekankan upaya memacu peningkatan produksi/ produktivitas padi daripada
peningkatan pendapatan riil petani kecil; (2) Golongan petani kecil dan menengah
cenderung kurang berani menanggung risiko untuk memanfaatkan pelayanan kredit
pertanian yang disediakan pemerintah, karena orientasi dalam berusaha-tani bukanlah
untuk pasar, tetapi menjaga keamanan pangan subsistensi keluarganya; (3)
Penguasaan tanah oleh golongan petani kaya melalui sewa atau gadai dalam
berusahatani secara komersial, mengakibatkan timbulnya pola ketergantungan baru
atas petani kecil dan buruh tani terhadap patronnya; (4) Ketergantungan petani terhadap
peranan pemerin-tah menjadi semakin tinggi; dan (5) Dampak selanjutnya adalah
terjadinya proses margi-nalisasi dan polarisasi di pedesaan.
5
Potensi Sumberdaya
Tenaga Kerja
Ketiga kecamatan lokasi PROKSI INBIS memiliki potensi tenaga kerja yang
cukup tersedia. Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Sukorejo, Rembang dan
Grati masing-masing mencapai sebesar 1.104; 1.098; dan 1.236 orang/km2 di atas rata-
rata tingkat kepadatan penduduk kabupaten yang mencapai sekitar 809 orang/km2,
dimana jumlah angkatan kerja yang tersedia berkisar antara 43,7- 44,0 persen dari
jumlah populasi penduduk. Potensi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pertum-
buhan sektor pertanian dan sekaligus mengurangi jumlah pengangguran di pedesaan
dengan memberikan insentif ekonomi yang menarik bagi angkatan kerja usia muda
untuk terjun di sektor pertanian melalui pengembangan usahatani terpadu dan
pengembangan usaha pengolahan produk pertanian.
Tabel 1. Curahan tenaga kerja keluarga usia produktif di kecamatan contoh, Kabupaten Pasuruan, 1999/2000
Uraian Pria (HOK)
Wanita (HOK)
Total (HOK)
Kecamatan Sukorejo
1. Tenaga keluarga usia produktif 651 ± 364 (100%) 667 ± 324 (100%) 1.317 ± 437 (100%) 2. Bersekolah 175 ± 309 (26,8%) 127 ± 209 (19,0%) 302 ± 359 (22,9%) 3. Bekerja On-Farm 147 ± 114 (22,6%) 228 ± 166 (34,1%) 368 ± 198 (27,9%) 4. Bekerja Off-Farm 23 ± 51 (3,6%) 27 ± 59 (4,1%) 49 ± 83 (3,8%) 5. Bekerja Non-Farm 151 ± 188 (23,2%) 66 ± 132 (9,9%) 217 ± 212 (16,5%) 6. Potensi tersedia 155 ± 188 (23,8%) 220 ± 166 (32,9) 374 ± 197 (28,4%)
Kecamatan Rembang 1. Tenaga keluarga usia produktif 767 ± 311 (100%) 548 ± 251 (100%) 1.314 ± 322 (100%) 2. Bersekolah 128 ± 214 (16,7%) 55 ± 134 (10,0%) 183 ± 302 (13,9%) 3. Bekerja On-Farm 246 ± 133 (32,2%) 196 ± 134 (35,7%) 442 ± 198 (33,6%) 4. Bekerja Off-Farm 98 ± 177 (12,7%) 92 ± 129 (16,8%) 189 ± 250 (14,4%) 5. Bekerja Non-Farm 98 ± 145 (12,7%) - 98 ± 145 (7,5%) 6. Potensi tersedia 197 ± 131 (25,7%) 205 ± 44 (37,5%) 402 ± 199 (30,6%)
Kecamatan Grati 1. Tenaga keluarga usia produktif 633 ± 383 (100%) 548 ± 314 (100%) 1.180 ± 531 (100%) 2. Bersekolah 134 ± 244 (21,2%) 61 ± 168 (11,1%) 195 ± 267 (16,5%) 3. Bekerja On-Farm 110 ± 115 (17,3%) 20 ± 55 (3,7%) 63 ± 102 (5,4%) 4. Bekerja Off-Farm 23 ± 110 (3,7%) 4 ± 23 (0,8%) 28 ± 112 (2,3%) 5. Bekerja Non-Farm 270 ± 244 (42,7%) 86 ± 154 (15,6%) 347 ± 277 (29,4%) 6. Potensi tersedia 105 ± 112 (16,6%) 377 ± 233 (68,9%) 482 ± 29,9 (40,8%) Sumber : Data Primer Keterangan : angka dalam kurung menunjukkan sebaran frekuensinya.
6
Potensi sumberdaya tenaga kerja keluarga yang dapat dimanfaat secara optimal
di sektor pertanian berkisar antara 28,4 - 40,8 persen dari tenaga kerja usia produktif
yang tersedia (Tabel 1). Di Kecamatan Grati, potensi tenaga kerja keluarga wanita
tampak belum termanfaatkan secara optimal.
Sumberdaya Lahan
Dari ketiga kecamatan contoh yang menjadi lokasi pelaksanaan PROKSI INBIS
yang memiliki areal persawahan terluas adalah Kecamatan Sukorejo, yaitu men-capai
3,401 hektar. Sementara itu, Kecamatan Rembang dan Grati masing-masing hanya
mencapai luasan 1.981 dan 965 hektar. Untuk lahan tegalan, kecamatan yang memiliki
areal terluas adalah Kecamatan Grati, yaitu mencapai luasan sekitar 2.090 hektar,
sedangkan Kecamatan Sukorejo dan Rembang masing-masing seluas 1.078 dan 1.752
hektar. Di Kecamatan Grati juga memiliki waduk yang cukup luas (197 ha) yang
berpotensi untuk pengembangan sektor perikanan dan penghasil siput (kreco) potensial
sebagai pendukung penyediaan pakan lokal untuk ternak itik.
Terdapat pola sebaran penguasaan lahan garapan sawah yang berbeda antara
ketiga kecamatan contoh (Tabel 2). Di Kecamatan Sukorejo luas lahan garapan sawah
yang banyak dikuasai petani berada pada interval 0,25 - 0,49 hektar (50%). Di Keca-
matan Rembang, sekitar 46,4 persen petani menguasai lahan garapan sawah di atas
0,99 hektar dan 35,7 persen lainnya menguasai 0,5 - 0,74 hektar. Penguasaan lahan
garapan sawah yang terendah adalah di Kecamatan Grati, yaitu sekitar 36,7 persen
petani hanya menguasai lahan garapan sawah kurang dari 0,25 hektar dan 50 persen
lainnya berada pada interval 0,25 - 0,49 hektar.
Pemanfaatan lahan sawah untuk pertanaman komoditas tanaman pangan pada
umumnya telah mencapai IP= 300, kecuali untuk lahan sawah tadah hujan di
Kecamatan Sukorejo baru dimanfaatkan 2 kali tanam per tahun. Sementara itu, di
Kecamatan Grati ada kompetisi dengan komoditas tebu. Pertanaman padi pada sawah
irigasi umumnya dapat dilakukan hingga 2 - 3 kali per tahun.
Tabel 2. Sebaran frekuensi petani dan rata-rata penguasaan sumberdaya llahan dirinci menurut interval penguasaan lahan garapan sawah petani contoh di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000
Interval penguasaan Proporsi Rata-rata penguasaan sumberdaya lahan lahan garapan sawah petani sawah pekarangan Tegalan
(ha) (%) (ha) (ha) (ha)
7
Kecamatan Sukorejo < 0.25 7,7 0,1900 - -
0,25 - 0,49 50,0 0,3038 0,0554 0,0615 0,50 - 0,74 15,4 0,6683 0,1750 0,0640 0,75 - 0,99 3,8 0,7500 0,2000 0,0700
> 0,99 23,1 1,3667 0,0775 0,5333 Kecamatan Rembang
< 0.25 10,7 0,1650 - - 0,25 - 0,49 7,1 0,2500 - - 0,50 - 0,74 35,7 0,5100 0,0385 - 0,75 - 0,99 - - - -
> 0,99 46,4 1,1833 0,0083 0,1250 Kecamatan Grati
< 0.25 36,7 0,1519 0,0109 0,2273 0,25 - 0,49 50,0 0,3617 0,0023 0,0041 0,50 - 0,74 13,3 0,5225 - 0,1250 0,75 - 0,99 - - - -
> 0,99 - - - - Sumber: Data primer
Potensi Pengembangan Komoditas Palawija dan Ternak
Kecamatan Sukorejo dan Rembang termasuk daerah penghasil kedelai di Kabu-
paten Pasuruan. Produksi kedelai di masing-masing kecamatan tersebut mencapai
4.748 dan 3.008 ton per tahun, menyumbang 16,7 persen terhadap total produksi
kedelai se kabupaten. Meskipun masih dalam skala kecil, telah tampak adanya jalinan
hubungan sinergi antara perusahaan susu Nestle dengan salah satu kelompok tani di
Kecamatan Sukorejo dalam pengadaan benih dan pemasaran hasil. Sementara itu,
Kecamatan Grati termasuk salah satu daerah penghasil jagung dengan tingkat produksi
sebesar 9.568 ton pipilan kering atau sekitar 6,8 persen dari produksi total kabupaten
pada tahun 1998. Peningkatan produksi palawija masih perlu dipacu dengan lebih
menggalakkan peng-gunaan benih bermutu serta pengelolaan usahatani yang efisien.
Untuk komoditas jagung, penggunaan varietas hibrida atau jagung unggul baru lainnya
perlu dipacu untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usahatani, dimana
berdasarkan data primer, tingkat produktivitas jagung di Kecamatan Grati hanya sekitar
2,7 ton/ha, meskipun dari data sekunder tercatat sekitar 4,06 ton/ha.
Komoditas peternakan seyogyanya semakin mendapat perhatian yang propor-
sional dalam pengembangan sektor pertanian di Kabupaten Pasuruan, mengingat sum-
bangan subsektor peternakan terhadap Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten
Pasuruan relatif masih kecil, yaitu hanya mencapai 4,6 persen pada tahun 1998. Selain
8
itu, Pengembangan subsektor peternakan di kabupaten ini akan memberikan
sumbangan yang sangat berarti dalam meningkatkan pendapatan petani, penyerapan
tenaga kerja di pedesaan, dan penyediaan protein hewani bagi bagi masyarakat luas.
Komoditas sapi potong, sapi perah, ayam buras, dan ternak itik merupakan
komoditas subsektor peternakan yang potensiil untuk dikembangkan lebih lanjut di
kecamatan contoh. Berdasarkan data sekunder, pangsa produksi daging sapi di
Kecamat-an Sukorejo dan Grati masing-masing mencapai 30 dan 10 persen, meskipun
populasinya masing-masing hanya mencapai sekitar 8 dan 5 persen dari total populasi
kabupaten. Informasi ini mengindikasikan bahwa usaha penggemukan sapi telah
dilaksanakan secara intensif di kedua kecamatan contoh. Usaha peternakan sapi perah
banyak dilakukan petani di Kecamatan Grati, dimana pangsa populasi sapi perah di
kecamatan ini mencapai 8,7 persen, sedangkan pangsa produksi susunya mencapai 7,6
persen. Usaha peternakan ayam buras yang umumnya dilakukan sebagai usaha
sampingan perlu didorong dan dikembangkan menjadi usaha yang lebih bersifat
komersial. Demikian pula usaha ternak itik yang masih bersifat tradisional dengan
menggunakan sistem gembala dapat ditingkat-kan melalui penerapan teknologi sistem
terkurung, terutama di lingkungan waduk Ranu Klindungan Kecamatan Grati yang
memiliki potensi daya dukung pakan lokal berupa siput sebagai subtitusi pakan
konsentrat. Pangsa populasi ternak itik di Kecamatan Grati paling menonjol
dibandingkan dengan dua kecamatan contoh lainnya, yaitu mencapai 12,6 persen.
Dengan pemeliharaan sistem terkurung sebanyak 95 ekor itik (betina 90 ekor) dapat
diperoleh pendapatan sekitar Rp 24.500 per hari, dengan biaya pakan sekitar Rp
23.000, produksi telor rata-rata 70 butir/hari, dan harga telor Rp 650/butir.
Tabel 3. Rata-rata penguasaan sumberdaya ternak menurut interval penguasaan lahan garapan sawah di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000
Interval Proporsi Rata-rata penguasaan sumberdaya ternak
penguasaan lahan garapan sawah
petani Sapi Kambing/ domba
Ayam buras Unggas lainnya
(ha) (%) (ekor) (ekor) (ekor) (ekor)
Kecamatan Sukorejo
< 0.25 7,7 - - 15,00 (50,0%) -
0,25 - 0,49 50,0 - 0,77 (15,4%) 4,77 (61,5%) 0,77 (15,4%)
0,50 - 0,74 15,4 0,50 (25,0%) 1,75 (25,0%) 2,75 (25,0%) -
0,75 - 0,99 3,8 - 3,0 (100%) 20,00 (100%) 16,00 (100%)
> 0,99 23,1 1,17 (50,0%) - 2,5 (33,3%) 2,00 ( 33,3%)
9
Kecamatan Rembang
< 0.25 10,7 - - 7,00 (66,7%) -
0,25 - 0,49 7,1 - - - 2,0 (50,0%)
0,50 - 0,74 35,7 - - 2,50 (60,0%) 1,3 (30,0%)
0,75 - 0,99 - - - - -
> 0,99 46,4 0,33 (7,7%) 1,25 (23,1%) 1,58 (30,8%) 3,92 (38,5%)
Kecamatan Grati
< 0.25 36,7 0,45 (36,4%) 1,54 (36,4%) 1,91 (63,6%) 1,36 (18,2%)
0,25 - 0,49 50,0 0,60 (33,3%) 1,07 (20,0%) 3,47 (66,7%) 0,73 (13,3%)
0,50 - 0,74 13,3 - - 0,5 (25,0%) -
0,75 - 0,99 - - - - -
> 0,99 - - - - -
Sumber : Data Primer Keterangan : Angka dalam kurung (..) menunjukkan proporsi petani yang mengusahakan tenak pada masing-masing kelompok interval penguasaan lahan garapan sawah.
Dari pola hubungan penguasaan lahan sawah dengan penguasaan ternak
yang disajikan pada Tabel 3 mengindikasikan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Pengusahaan ternak sapi dan kambing/domba di Kecamatan Sukorejo dan Rembang pada umumnya dilakukan oleh petani yang menguasai lahan garapan sawah di atas 0,5 hektar. Sedangkan di Kecamatan Grati, petani yang berlahan sempit justru berusaha mening-katkan pendapatannya melalui deversifikasi usaha peternakan sapi dan kambing/domba.
(2) Pemeliharaan ayam buras dan unggas lainnya dilakukan oleh hampir seluruh petani pada berbagai kelompok interval penguasaan lahan garapan sawah, meskipun dengan skala pengusahaan yang relatif beragam yang cenderung berada di bawah skala usaha ekonomis.
Peluang Pengembangan Teknologi Intensifikasi untuk Meningkatkan Efisiensi
Penerapan tekonologi usahatani yang dilakukan petani di kecamatan contoh
masih memberikan peluang untuk dikembangkan ke arah penerapan teknologi
intensifikasi yang lebih efisien. Di antaranya melalui efisiensi dalam penggunaan benih,
meningkatkan fre-kuensi petani dalam melakukan pergiliran dan penggunaan ragam
varietas unggul ber-label yang adaptif, pemupukan secara berimbang, dan penerapan
secara luas dan menyeluruh teknologi PHT.
Aplikasi Benih dan Pergiliran Varietas
A. Kebutuhan Benih
10
Hasil studi baseline menemukan bahwa kebutuhan benih padi di tiga kecamatan
contoh relatif cukup tinggi, terutama di Kecamatan Grati, yaitu rata-rata mencapai 93
kg/ha dengan koefisien keragaman sebesar 26 persen. Sementara itu, di Kecamatan
Suko-rejo dan Rembang masing-masing mencapai 69 dan 68 kg/ha dengan koefisien
keragam-an masing-masing sebesar 29 dan 43 persen. Menurut Taslim et al., (1993),
kebutuhan benih padi sawah pada sistem persemaian basah hanya mencapai sekitar
35-45 kg/ha dengan kondisi tingkat perkecambahan sekitar 80 persen. Pada
persemaian dapog dan persemaian kering masing-masing memerlukan benih sekitar 65
dan 44 kg/ha.
Dengan penerapan sistem persemaian basah sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Taslim et al., (1993) tersebut, sebenarnya petani di tiga kecamatan contoh dapat
melakukan penghematan penggunaan benih, rata-rata sekitar 23-58 kg/ha atau apabila
diperhitungkan harga benih sebesar Rp 2.500/kg, maka potensi penghematan biaya
untuk input benih secara rata-rata mencapai sekitar Rp 57.500 - 145.000 per hektar.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa frekuensi petani yang menggunakan benih di atas 75
kg/ha di Keca-matan Grati mencapai 80 persen. Efisiensi penggunaan benih yang dapat
dicapai jika petani menggunakan takaran pada taraf 35kg/ha berkisar sekitar Rp
126.500 - Rp 219.700 per hektar, sedangkan pada taraf 45 kg/ha dapat dilakukan
penghematan sekitar Rp 101.500 - 194.800 per hektar. Di Kecamatan Sukorejo dan
Rembang polanya relatif berbeda dengan di Kecamatan Grati, dimana takaran
penggunaan benih terkonsentrasi pada interval 46-60 kg/ha dan 61-90 kg/ha. Di
Kecamatan Rembang, petani yang menggunakan benih kurang dari 45 kg/ha relatif lebih
banyak jika dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya, yaitu mencapai sekitar 15
persen.
Tabel 4. Sebaran frekuensi petani contoh menurut interval penggunaan benih padi sawah dan rata-rata biaya yang dapat dihemat dengan menerapkan takaran benih pada taraf 35 dan 45 kg/ha di tiga kecamatan contoh, 1999/2000
Kecamatan Uraian Interval penggunaan benih (kg/ha)
≤ 45 46 - 60 61 - 75 76 - 90 > 90
Sukorejo Frekuensi petani (%) 8 40 20 20 12
Penghematan biaya (Rp/ha):
- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 54.130 76.964 117.024 189.220
- Dengan Takaran 45 kg/ha - 29.130 51.964 92.024 164.220
Rembang Frekuensi petani (%) 15 44 19 11 11
11
Penghematan biaya (Rp/ha):
- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 56.250 90.000 118.750 245.833
- Dengan Takaran 45 kg/ha - 31.250 65.000 93.750 220.833
Grati Frekuensi petani (%) 3 10 7 27 53
Penghematan biaya (Rp/ha):
- Dengan takaran 35 kg/ha 12.500 55.833 87.500 126.547 200.446
- Dengan Takaran 45 kg/ha - 30.833 62.500 101.547 173.779
Sumber : Data primer Keterangan : Harga benih diasumsikan Rp 2.500/kg
B. Jarak Tanam
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kebutuhan benih yang tinggi di ketiga
kecamatan contoh antara lain dapat disebabkan oleh:
(1) Penggunaan benih yang berasal dari hasil panen sendiri masih dilakukan oleh sebagian petani, sehingga petani kurang memperhatikan efisiensi pengguna-annya, karena tidak mengeluarkan biaya tunai;
(2) Daya kecambah benih yang digunakan relatif rendah;
(3) Penerapan teknik penanaman dengan jarak tanam rapat dan jumlah bibit per rumpun yang relatif banyak.
(4) Bibit sebagian dijual kepada petani lain.
Dari empat kemungkinan di atas, faktor penerapan jarak tanam yang rapat meru-
pakan salah satu unsur yang tampak siginifikan sebagai penyebab tingginya kebutuhan
benih di ketiga kecamatan contoh. Pada Tabel 5, faktor penggunaan benih dari hasil
panen sendiri yang tampak menonjol adalah di Kecamatan Sukorejo, karena pengguna
benih berlabel di kecamatan ini hanya mencapai sekitar 38 - 53 persen, sedangkan di
kedua kecamatan lainnya telah mencapai lebih dari 70 persen. Sementara itu, daya
berkecambah benih umumnya mencapai di atas 80 persen, dan penjualan bibit kepada
petani lain tidak banyak terjadi.
Jarak tanam yang banyak diterapkan petani di tiga kecamatan contoh adalah 20
cm x 20 cm, bahkan sebagian lainnya menerapkan jarak tanam yang lebih rapat.
Semen-tara itu, jarak tanam yang dianjurkan dalam SUPRA INSUS adalah 22 cm x 22
cm untuk musim kemarau, dan 15 cm x 30 cm pada musim hujan untuk memenuhi
populasi tanam-an sebanyak 200.000 rumpun per hektar (Sawit et al., 1990; dan
Tjubarjat dan Daradjat, 1990). Hasil penelitian Balitan Sukamandi mengungkapkan
bahwa jarak tanam yang memberikan keuntungan tertinggi untuk varietas IR-64 adalah
12
25 cm x 25 cm dengan 3 bibit/rumpun, sedangkan untuk varietas Cisadane adalah 25
cm x 25 cm dengan 4 bibit/ rumpun (Pirngadi dan Fagi, 1994). Lingkungan pertanaman
padi sawah dengan jarak tanam rapat memberikan peluang yang baik bagi
perkembangan suatu jenis hama, karena kelembaban di antara baris-baris tanaman
menjadi tinggi, dan sinar matahari tidak dapat mencapai pangkal batang tanaman (Oka
dan Bahagiawati, 1991).
Tabel 5. Sebaran frekuensi petani menurut pengguna benih berlabel, daya kecambah ... benih, jarak tanam, dan penjual bibit di tiga kecamatan contoh, 1999/2000
Uraian Kecamatan
Sukorejo Rembang Grati
1. Frekuensi petani pengguna benih berlabel1) (%) 38 - 53 70 - 90 70 - 74
2. Frekuensi petani menurut daya berkecambah benih (%)
a. Daya berkecambah benih: < 80 % 12 11 30
b. Daya berkecambah benih: 80 - 90 % 38 78 70
c. Daya berkecambah benih: > 90 % 50 11 -
3. Frekuensi petani menurut penerapan jarak tanam (%)
a. 15 cm x 15 cm 4 - -
b. 18 cm x 18 cm 19 - 30
c. 20 cm x 15 cm - 22 -
d. 20 cm x 20 cm 77 78 67
e. 10 cm x 20 cm x 40 cm (cara tanam jajar legowo) - - 3
4. Frekuensi petani yang melakukan penjualan bibit (%) - 3,5 6
Sumber: Data Primer Keterangan: 1) Musim Hujan hingga Musim Kemarau II
Untuk meningkatkan efisiensi usahatani perlu penerapan jarak tanam alternatif
seperti jajar legowo. Menurut Suriapermana dan Syamsiah (1995), cara tanam jajar
legowo dua baris memiliki banyak keuntungan, yaitu: (1) tidak mengurangi hasil padi;
(2) memungkinkan untuk memelihara ikan bersama tanaman padi; (3) Mempermudah
pemberian urea tablet; (4) mempermudah pengendalian hama tikus; dan (5)
memberikan kesempatan pada perkembangan azola, dan lebih mudah membenamkan
pupuk organik ini ke tanah.
C. Pergiliran dan Penggunaan Ragam Varietas
Meskipun penerapan teknik pergiliran varietas telah dilakukan oleh sebagian be-
sar petani di kecamatan contoh (54-70%), tetapi upaya untuk meningkatkan jumlah
petani dalam penerapan teknologi ini masih perlu dilakukan, demikian pula dalam hal
13
penggu-naan benih berlabel. Pergiliran varietas berdasarkan tetua yang berbeda
ketahanannya terhadap hama/penyakit merupakan salah satu anjuran dalam program
SUPRA INSUS untuk mencegah timbulnya biotipe wereng baru dan strain penyakit
(tungro) yang lebih ganas. Anjuran ini dipadukan pula dengan anjuran tanam serempak
satu varietas sewila-yah kelompok dan anjuran panen serempak se-WKPP (Sawit et al.,
1990).
Introduksi atau sosialisasi terhadap varietas-varietas unggul baru yang memiliki
daya hasil yang lebih tinggi dari varietas-varietas yang digunakan oleh petani saat ini
seyogyanya lebih ditingkatkan melalui Demplot atau percobaan sisipan (super imposed
trial) di lahan sawah petani, sehingga petani dapat menyaksikan dan mengetahui sendiri
tingkat produktivitas dan performance dari tananaman padi yang berasal dari varietas-
varietas yang diintroduksikan tersebut. Selain itu, petani akan memiliki wawasan yang
lebih luas terhadap ragam dan karakteristik varietas-varietas unggul baru yang telah
dihasilkan saat ini, sehingga mereka mempunyai banyak alternatif pilihan varietas untuk
digunakan dalam pelaksanaan pergiliran varietas. Upaya tersebut perlu didukung pula
dengan penyediaan benih dari varietas-varietas introduksi yang diminati petani dalam
jumlah yang cukup dan mutu yang terjamin. Selain kepada petani, sosialisasi varietas
unggul baru perlu juga ditujukan kepada pedagang pengumpul, karena para pedagang
ini memiliki andil yang cukup besar dalam menentukan harga maupun pangsa penjualan
produk baru yang dapat diterima di pasaran. Hal-hal yang perlu diketahui para
pedagang ini terutama adalah penampilan dari hasil pasca panen produk, seperti tingkat
rendemen, rasa nasi, persentase beras kepala, dan komponen lainnya yang berkaitan
dengan mutu beras yang dihasilkan.
Indikasi adanya hambatan petani dalam penggunaan benih berlabel ditemukan
dalam studi baseline, dimana ada sebagian petani yang mengemukakan bahwa: (1)
Keter-sediaan benih berlabel terbatas; (2) Harga benih berlabel mahal, dan (3) Mutu
benih berlabel diragukan, karena daya berkecambah benih kurang baik. Hambatan
klasik yang berkaitan dengan kurang tersedianya benih berlabel untuk varietas yang
diperlukan dan tingginya harga benih berlabel yang dirasakan petani juga dikemukakan
dalam laporan Sawit et al., (1990) serta Tjubarjat dan Daradjat (1990). Dalam
Adnyana et al., (2000) juga dikemukakan bahwa ketersediaan benih unggul bersertifikat
makin diragukan kualitas-nya, baik dari sisi kemurniannya maupun daya tumbuhnya.
14
Kondisi yang demikian menandakan bahwa azas enam tepat benih berlabel semakin
kurang terpenuhi.
Tabel 6. Sebaran luas tanam varietas padi di Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Pasuruan
Varietas Provinsi Jawa Timur Kabupaten Pasuruan
MT 1998 1) MT 1997/1998 2) MT 19981) Pangsa*)
(ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) (%)
IR-64 495.497 78,45 21.383 48,32 18.117 67,66 3,66
IR-36 23.007 3,64 5.330 12,04 1,094 4,09 4,76
IR-66 25.121 3,98 - - - - -
IR-74 6.331 1,00 - - - - -
Krueng Aceh 1.457 0,23 - - - - -
Cisadane 10.501 1,66 - - - - -
Semeru 2.416 0,38 576 1,30 200 0,75 8,28
Memberamo 23.979 3,80 1.284 2,90 1.172 4,38 4,89
Cibodas 618 0,10 - - - - -
Cisokan 2.360 0,37 1.338 3,02 1.177 4,40 49,87
Maros 2.416 0,38 415 0,94 117 0,44 4,84
Dodokan 1.168 0,18 - - - - -
Walanai 2.053 0,33 - - - - -
Lainnya 34.679 5,49 13.926 31,47 4.898 18,29 14,78
Total 631.603 100 44.252 100 26.775 100 4,24
Sumber: 1) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Jawa Timur 2) Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Pasuruan Keterangan: *) Pangsa terhadap Provinsi Jawa Timur
Dari sebaran luas tanamnya, pada Tabel 6 tampak bahwa varietas IR-64
masih mendominasi areal tanam padi sawah di Kabupaten Pasuruan maupun
Provinsi Jawa Timur. Demikian pula varietas Memberamo, Cisokan, dan IR-36
banyak diminati petani di Kabupaten Pasuruan. Bahkan untuk varietas Cisokan,
sumbangan areal tanam Kabu-paten Pasuruan pada Provinsi Jawa Timur
mencapai sebesar 49,9 persen. Dari hasil studi baseline diperoleh informasi
mengenai sebaran varietas di kecamatan contoh selama MT 1998/1999 dan MT
1999, dimana varietas Cisokan banyak ditanam di Kecamatan Sukorejo, dan
varietas Memberamo ditanam di Kecamatan Rembang. Sementara itu IR-36
tidak teridentifikasi, sedangkan Krueng Aceh ditanam petani di Kecamatan Grati.
15
Dari keragaan produktivitas pada Tabel 7, tercermin bahwa secara rata-
rata tingkat hasil yang dicapai petani umumnya telah mendekati potensi hasil dari
varietas-varietas padi yang ditanam, kecuali untuk varietas Memberamo di
Kecamatan Rembang, produktivitasnya masih perlu ditingkatkan agar bisa lebih
mendekati potensi hasilnya.
Tabel 7. Produktivitas varietas padi yang ditanam di kecamatan contoh, potensi hasil, dan karakteristiknya, 1999/2000
Varietas Parameter Keamatan Potensi
Sukorejo Rembang Grati Hasil1)
MH MK MH MK MH MK (GKG)
(kg/ha - Gabag Kering Giling) (t/ha)
IR-64 Rataan 4.556 4.598 4.241 4.411 4.361 4.635 5,0
SD 1.106 712 972 1.008 1.259 1.247 -
KK (%) 24,3 15,5 22,9 22,9 28,9 26,9 -
Cisokan Rataan - 4.632 - - - - 4,5 - 5,0
SD - 1.318 - - - - -
KK (%) - 28,5 - - - - -
Memberamo Rataan - - 4.219 4.669 - - 6,5
SD - - 1.007 1.163 - - -
KK (%) - - 23,9 24,9 - - -
Krueng Aceh Rataan - - - - 4.484 3.892 4,5 - 5,5
SD - - - - 420 664 -
KK (%) - - - - 9,4 17,1 - Sumber: Data Primer Keterangan: MH = Musim Hujan; MK = Musim Kemarau; SD = Standard Deviation; KK = Koefisien Keragaman; GKG = Gabah Kering Giling.
Pengelolaan Pemupukan
Secara agregat, penggunaan pupuk N dan P2O5 di tiga kecamatan
contoh menun-jukkan lebih tinggi dari dosis rekomendasi, sedangkan untuk
pupuk K2O lebih rendah, karena sebagian besar petani tidak menggunakan
pupuk Kcl. Beda rata-rata dosis pemu-pukan yang dilakukan petani dengan dosis
rekomendasi untuk pupuk N berkisar antara 19-41 kg/ha, pupuk P2O5 berkisar
11 - 21 kg/ha, dan K2O berkisar - (7 - 30) kg/ha (Tabel 8). Berdasarkan uji
statistik, Beda rata-rata penggunaan pupuk P dan K nyata pada taraf α = 1%
16
untuk ketiga kecamatan contoh, sedangkan untuk pupuk N, hanya dua
kecamatan yang menunjukkan beda nyata, yaitu di Kecamatan Rembang dan
Grati.
Menilik dari koefisien keragamannya, menunjukkan bahwa penggunaan
pupuk antar petani di Kecamatan Sukorejo lebih bervariasi dibandingkan dengan
Kecamatan Grati dan terutama Rembang, dimana penggunaan pupuk antar
petani lebih seragam.
Tabel 8. Dosis pemupukan di tingkat petani dan dosis rekomendasi di kecamatan contoh, 1999/2000
Jenis pupuk
Kecamatan N P2O5 K2O S Organik
Dosis pemupukan di tingkat petani (kg/ha)1)
Sukorejo 154 ± 78 (50,5%)
39 ± 33 (86,4%)
11 ± 28 (262,4%)
1 ± 7 (489,9%)
336 ± 1.245 (371,0%)
Rembang 176 ± 50 (28,5%)
44 ± 21 (48,2%)
0 ( - )
0 ( - )
0 ( - )
Grati 163 ± 50 (30,9%)
29 ± 24 (84,4%)
23 ± 38 (163,2%)
7 ± 13 (178,6%)
183 ± 614 (334,9%)
Dosis Rekomendasi (kg/ha)2)
Sukorejo 135 18 30 0 2.500
Rembang 135 27 30 0 2.500
Grati 135 18 30 0 2.500
Beda rata-rata dosis pemupukan petani dengan rekomendasi (kg/ha)
Sukorejo 19 ns 21** - 19** 1 ns - 2.164**
Rembang 41** 17** -30 - - 2.500
Grati 28** 11* -7ns 7** - 2.317**
Sumber: 1) Data Primer; 2) Suwono et al (1999). Keterangan: Angka dalam kurung (..) menunjukkan nilai koefisiean keragamannya. * = nyata pada taraf α = 5%; ** = nyata pada taraf α = 1%; ns = tidak signifikan Konversi unsur hara: Urea = 46% N; SP-36 = 36% P2O5 ; Kcl = 60% K2O ZA = 24% N dan 21% S.
Dari Tabel 9 jelas tercermin bahwa sebagian besar petani (54,2 - 85,7%)
melakukan aplikasi pupuk N dan P2O5 di atas dosis rekomendasi, dimana beda
rata-rata untuk pupuk N, umumnya mencapai lebih dari 25 kg/ha, sedangkan
untuk pupuk P2O5 kebanyakan berada pada interval 1-25 kg/ha. Kenyataan ini
menunjukkan bahwa penggu-naan pupuk N relatif lebih boros dibandingkan
17
dengan penggunaan pupuk P2O5, meski-pun penggunaan yang berlebihan dari
kedua jenis pupuk tersebut juga mengindikasikan masih kurang efisiennya
manajemen pemupukan yang dilakukan oleh petani.
Pengguna pupuk K yang terbanyak terdapat di Kecamatan Grati yaitu
mencapai proporsi 46,6 persen, kemudian diikuti oleh Kecamatan Sukorejo 15,4
persen, sedangkan di Kecamatan Rembang tidak teridentifikasi adanya petani
yang menggunakan pupuk Kcl. Penggunaan pupuk kandang hanya ditemukan di
Kecamatan Grati dan Kecamatan Sukorejo, itupun terbatas pada petani yang
memiliki ternak sapi, dimana proporsi peng-guna pupuk organik tersebut masing-
masing sekitar 20 dan 11,5 persen.
Tabel 9. Sebaran frekuensi petani menurut interval beda rata-rata antara dosis pemupukan petani dengan dosis rekomendasi untuk pupuk N dan P
Interval Beda rata-rata antara dosis pemupukan petani
Kecamatan Sukorejo
Kecamatan Rembang
Kecamatan Grati
dengan dosis rekomendasi N P2O5 N P2O5 N P2O5
(kg/ha) (%)
Di bawah dosis rekomendasi (45,8) (20,8) (14,3) (14,3) (36,7) (23,3)
< - 100 - - - - - -
- (76 - 100) 4,2 - - - - -
- (51 - 75) 12,5 - 3,6 - 6,7 -
- (26 - 50) 20,8 - - 3,6 6,7 -
- (1 - 25) 8,3 20,8 10,7 10,7 23,3 23,3
Sesuai dosis rekomendasi (0) ( - ) (4,2) ( - ) ( - ) ( - ) (6,7)
Di atas dosis rekomendasi (54,2) (75,0) (85,7) (85,7) (63,3) (70,0)
1 - 25 8,3 45,8 17,9 53,6 13,3 60,0
26 - 50 20,8 8,3 46,4 28,6 23,3 3,3
51 - 75 12,5 12,5 3,6 3,6 10,0 -
76 - 100 - 4,2 10,7 - 10,0 6,7
> 100 12,5 4,2 7,1 - 6,7 -
Inefisiensi penggunaan pupuk N dan P jika diukur berdasarkan dosis
rekomen-dasi, secara rata-rata di Kecamatan Sukorejo, Rembang, dan Grati
masing-masing mencapai Rp 228.333; Rp 223.913; dan Rp 145.418 per hektar.
Proporsi petani yang melakukan Inefisiensi mencapai lebih dari 80 persen
(Tabel 10).
18
Tabel 10. Inefisiensi biaya penggunaan pupuk N dan P2O5 di Kecamatan contoh, 1999/2000
Interval biaya Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati
yang tidak efisien Proporsi Rata-rata Proporsi Rata-rata Proporsi Rata-rata
penggunaannya petani biaya petani biaya petani biaya
(Rp/ha) (%) (Rp/ha) (%) (Rp/ha) (%) (Rp/ha)
< 75.000 12,6 35.873 17,9 46.848 30,0 33.144
75.000 - 150.000 29,2 97.667 - - 40,0 116.025
> 150.000 45,8 364.068 64,3 272.956 26,7 315.815
Total 87,6 (228.383) 82,2 (223.913) 96,7 (145.418)
Sumber: Data Primer Keterangan: - Angka dalam kurung menunjukkan nilai rata-rata biaya inefisien dari petani sample - Asumsi harga: Urea/ZA = Rp 1.050/kg; dan SP-36 = Rp 1.600/kg
Berbagai hasil penelitian menganjurkan beberapa alternatif untuk
meningkatkan efisiensi pemupukan, antara lain: (1) Pembenaman urea ke
lapisan reduksi dengan meng-gunakan urea super granule (USG), urea briket
(UB), atau urea tablet (UT) dengan Apli-kasi sebanyak 2-3 kali pada umur 14, 28,
dan 42 hari setelah tanam (Suwono et al, 1999; Taslim et al, 1993; Makarim et al,
1995; Daradjat dan Utami, 1995); (2) pemanfaatan Azola sebagai sumber pupuk
Nitrogen (Suriapermana dan Syamsiah, 1995). Sejalan dengan itu, Badan Litbang
Pertanian (1993) mengemukakan bahwa penggunaan Azola segar sebanyak 3
ton/ha dapat meningkatkan hasil padi sekitar 37 persen dibandingkan dengan
tanpa Azola; (3) Efisiensi pupuk P dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan,
di anta-ranya menurut Taher (1995): (a) menggunakan teknik P-stater; (b) gilir air
(intermitten drainage); (c) Penerapan pola mina padi; (d) pemanfaatan jasad
mikro tanah; dan (e) penggunaan varietas padi yang toleran dengan P-tanah
rendah atau varietas yang mampu memanfaatkan timbunan P secara optimal;
dan (4) Efisien pupuk K dapat dilakukan dengan cara: (a) Pengembalian jerami
atau abu pembakaran jerami ke dalam tanah; (b) pemberian pupuk kandang; (c)
Kondisi tanah cukup air; dan (d) Pemantauan sejak dini terhadap keragaan
tanaman padi.
19
Penerapan Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
Secara resmi konsepsi PHT telah diterima menjadi kebijakan pada tahun
1979 dengan dimasukkannya ke dalam GBHN III, GBHN IV, dan Intruksi
Presiden No. 3 tahun 1986 yang mempertegas kemauan politik pemerintah untuk
mengatasi permasa-lahan hama tanaman di Indonesia dengan menggunakan
konsepsi PHT, melalui pelatihan dan pelarangan penggunaan 57 jenis formulasi
pestisida pada tanaman padi (Oka dan Bahagiawati, 1991).
Pengertian mengenai PHT dikemukakan oleh Oka dalam Kartaatmadja
dan Sabri (1995), yaitu bahwa PHT adalah teknologi pengendalian hama
dengan pendekatan yang komprehensif berdasarkan ekologi yang dalam
keadaan lingkungan tertentu, meng-usahakan pengintegrasian berbagai taktik
pengendalian yang kompatibel satu sama lain sedemikian rupa, sehingga
populasi hama dapat dipertahankan pada tingkat yang secara ekonomis tidak
merugikan, tidak mencemari lingkungan, dan menguntungkan petani. Pengertian
tersebut diartikan oleh Kartaatmadja dan Sabri (1995) bahwa PHT dituju-kan
untuk mempertahankan kestabilan hasil, bukan meningkatkan hasil. Sementara
itu, petani beranggapan bahwa penggunaan pestisida dapat meningkatkan hasil.
Strategi yang digunakan dalam penerapan konsep PHT meliputi (Oka dan
Bahagiawati, 1991; serta Duriat dan Sastrosiswojo, 1995): (1) Pengendalian
secara kultur teknis; (2) Pengendalian secara hayati; (3) Pengendalian secara
mekanik/fisik; (4) Peman-tauan/pengamatan dan Peramalan; dan (5)
Pengendalian secara kimia secara selektif, efektif, dan bijaksana, dimana
aplikasi pestisida hanya digunakan bila populasi hama atau kerusakan yang
ditimbulkan mencapai ambang ekonomi.
Petani pada umumnya telah mengetahui konsep PHT. Pengetahuan
tersebut selain diperoleh dari kursus/pelatihan, juga didapat dari kegiatan
penyuluhan yang dilakukan oleh petugas penyuluhan pertanian maupun dari
sesama petani (Tabel 11). Meskipun demikian, dalam penerapannya masih
bersifat parsial dan belum terkoordinasi secara baik. Sebagian petani telah
menerapkan beberapa unsur pengendalian secara kultur tek-nis, seperti
20
penggunaan benih berlabel, melakukan pergiliran varietas, dan lain sebagai-nya,
tetapi sebagian unsur penting dari strategi PHT lainnya belum dilaksanakan
secara sempurna, misalnya dalam pemantauan hama, utamanya yang dilakukan
secara terkoor-dinasi dengan membentuk regu pengamat hama di masing-
masing kelompok. Pengguna-an pestisida oleh sebagian petani masih dilakukan
secara intensif. Di Kecamatan Suko-rejo, Rembang, dan Grati, frekuensi petani
yang mengeluarkan biaya pestisida di atas Rp 75.000 per hektar masing-masing
mencapai 28,0; 44,8; dan 57,1 persen (Tabel 12).
Tabel 11. Aspek penerapan Pengendalian Hama Terpadu di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan, 1999/2000
Kecamatan
Uraian Sukorejo Rembang Grati
(%)
1. Proporsi petani yang telah mengetahui tentang PHT 88 89 90
2. Sumber informasi/pengetahuan tentang PHT
a. Kursus/pelatihan 50 54 70
b. Penyuluh Pertanian 38 36 13
c. Ketua kelompok tani/sesama petani 12 10 17
3. Proporsi petani yang telah menerapkan PHT 67 60 81
5. Alasan tidak menerapkan PHT
a. Belum mendapat pelatihan 25 40 20
b. Tidak ada tindak lanjut 13 20 20
c. Tidak ada waktu 13 20 20
d. Tidak ada koordinasi di kecamatan 49 20 20
e. Baru ikut SLPHT - - 20
6. Keberadaan regu pengamat hama 4 7 36
Sumber: Data Primer Tabel 12. Sebaran frekuensi petani di kecamatan contoh dirinci menurut interval biaya korbanan untuk input pestisida, 1999/2000
Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati
Interval biaya Proporsi Biaya Proporsi Biaya Proporsi Biaya
korbanan petani rata-tara petani rata-tara petani rata-tara
(Rp) (%) (Rp) (%) (Rp) (%) (Rp)
< 25.000 40,0 4.517 17,2 10.600 14,3 5.357
21
25.000 - 75.000 32,0 45.716 37,9 47.303 28,6 50.455
76.000 - 125.000 16,0 85.873 24,1 93.167 25,0 107.735
126.000 - 175.000 8,0 149.118 6,9 150.000 14,3 137.073
176.000 - 225.000 - - 6,9 207.000 7,1 204.000
> 225.000 4,0 240.000 6,9 330.000 10,7 364.698
Total/(rata-rata) 100 (53.859) 100 (87.481) 100 (129.184)
Sumber: Data Primer
Beberapa hal penting yang seyogyanya dilakukan dalam kaitannya
dengan upaya penumbuhan budaya Pengendalian Hama Terpadu antara lain:
(1) Meningkatkan kegiatan kursus/pelatihan (SLPHT), yang diikuti dengan perenca-naan program aksi lanjutan dan koordinasi yang kompak antar petugas instansi terkait untuk kesinambungan pemasyarakatan PHT;
(2) Menggalakkan kerjasama antar anggota kelompok tani;
(3) Mengurangi ketergantungan petani terhadap pestisida dan merubah persepsi petani yang menganggap bahwa pestisida adalah “obat” yang dapat menyembuhkan tanaman yang terserang hama dan penyakit.
(4) Menggalakkan promosi penggunaan produk pertanian bebas pestisida untuk meningkat-kan penghargaan konsumen terhadap produk pertanian bebas pestisida, sehingga petani yang melaksanakan PHT dapat memperoleh insentif harga dengan adanya perbedaan harga yang signifikan antara produk yang bebas pestisida dengan yang tidak; dan
(5) Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman petani terhadap pengertian dan prosedur penentuan ambang ekonomi tindak pengendalian suatu hama.
Penanganan Hasil
Ruang lingkup kegiatan penanganan hasil atau pasca panen mencakup
aspek yang sangat luas, yaitu penanganan hasil sejak dari panen di lapangan
sampai produk disajikan kepada konsumen (Damardjati et al., 1990). Ditinjau dari
produk yang dihasilkan, kegiat-an pasca panen dibagi atas tiga kegiatan utama,
yaitu: (1) penanganan pasca panen primer (primary handling); (2) pengolahan
hasil pertanian menjadi produk setengah jadi; dan (3) pengolahan menjadi
produk olahan jadi yang siap dikonsumsi (finished product). Dalam Soekarto
(1990), kedua tahap pengolahan yang terakhir disebut sebagai pasca panen
sekunder (manufacturing).
Pada prinsipnya pasca panen primer bertujuan untuk “menyelamatkan”
hasil per-tanian agar tidak menjadi rusak, susut (kehilangan hasil - loss), atau
22
turun mutunya, serta menyiapkan hasil pertanian menjadi komoditas siap pasar,
baik pasar konsumen maupun pasar industri untuk pengolahan selanjutnya.
Kegiatan pasca panen primer mencakup: (1) pemanenan; (2) sortasi-grading; (3)
penanganan segar (transportasi, kemasan, cold storage); (4) perontokan; (5)
penggilingan padi; (6) penyimpanan; dan (7) pengawetan (Soekarto, 1990).
Pasca panen sekunder bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah de-ngan
mengubah/mengolah bahan menjadi produk baru serta memanfaatkan bahan
ter-sebut setinggi-tingginya dengan mengolah semua bentuk hasil pertanian,
baik hasil uta-ma, hasil samping, maupun hasil limbah seefisien mungkin.
Teridentifikasi adanya keragaman dalam penanganan hasil padi yang
dilakukan baik antara rumahtangga tani maupun antar kecamatan contoh. Di
Kecamatan Sukorejo, seluruh petani sample melaksanakan kegiatan pasca
panen primer dengan melakukan kegiatan pemanenan, sedangkan di
Kecamatan Rembang dan Grati, hanya sebagian petani yang melaksanakan
pemanenan, karena sebagian petani lainnya melakukan pema-saran hasil
secara tebasan (Tabel 13). Bagi petani yang melakukan pemanenan pun
sebagian besar penjualannya dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP), seperti
di Kecamatan Sukorejo, petani yang menjual dalam bentuk GKP mencapai 54,4
persen, dan yang menjual dalam bentuk Gabah Kering Giling (GKG) dan beras
masing-masing sebesar 34,2 dan 11,4 persen., Di Kecamatan Rembang dan
Grati proporsi petani yang melakukan penjualan dalam bentuk GKP (di jual
tebasan dan satuan) masing-masing mencapai 93 dan 57 persen. Banyaknya
petani di Kecamatan Grati yang melakukan penggilingan gabah menjadi beras
(43%) disebabkan sebagian besar (33%) digunakan untuk konsumsi sendiri,
sedangkan yang ditujukan untuk dijual hanya mencapai 10 persen.
Tabel 13. Sebaran frekuensi petani contoh di kecamatan lokasi PROKSI INBIS Kabupaten Pasuruan dirinci menurut tempat tujuan penjualan hasil padi dan bentuk produk yang dijual, 1999/2000
Tempat tujuan Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati
penjualan GKP GKG Beras
GKP*) GKG Beras
GKP*) GKG Beras
(%)
1. Pd. Pengumpul *) 31,6 19,0 86,0 - - 57,0 - -
23
2. Pd. Besar - - - - 3,5 - - -
3. Pd. antar daerah - 3,8 - - - - - -
4. Pd. Pengecer - - - - - - - -
5. KUD 11,4 - - - - - - -
6. Penggilingan padi 11,4 11,4 3,8 7,0 - - - - 3,0
7. Konsumen RT. - - - - - - - - 7,0
8. Seluruhnya dikon- sumsi sendiri
- - 7,6 - - 3,5 - - 33,0
Sumber: Data Primer Keterangan: *) Proporsi petani yang menjual padi secara tebasan di Kecamatan Rembang dan Grati masing-masing sekitar 21 dan 37 persen.
Beberapa faktor yang mempengaruhi minat petani dalam melakukan
penanganan hasil padi antara lain tergantung pada: (1) Seberapa besar insentif
harga yang diperoleh petani untuk setiap taraf peningkatan mutu hasil, tingkat
produktivitas hasil gabah, dan rendemen; (2) Ketersediaan modal petani untuk
melakukan peningkatan mutu hasil; (3) Kecukupan modal petani untuk persiapan
tanam padi musim berikutnya; dan (4) Ada tidaknya hambatan dalam proses
pengeringan padi.
Hasil perhitungan kasar yang membandingkan perolehan petani untuk
setiap taraf peningkatan mutu hasil padi yang disajikan pada Tabel 14 diperoleh
gambaran bahwa di Kecamatan Sukorejo dan Rembang, pendapatan tertinggi
dapat dicapai apabila petani bersedia melakukan peningkatan mutu hasil dengan
menjual produk dalam bentuk beras. Tetapi, dari Tabel 13 menunjukkan bahwa
hanya sebagian kecil dari petani di kedua kecamatan contoh yang melakukan
penjualan hasil dalam bentuk beras.
Petani di Kecamatan Sukorejo pada umumnya menjual dalam bentuk
GKP dan GKG dengan cara ditimbang per satuan berat bukan tebasan, karena
tingkat produktivitas padinya tinggi. Penjualan dalam bentuk GKG lebih disukai
dari pada dalam bentuk beras, karena tambahan biaya giling, ongkos angkutan,
dan tingkat keuntungan yang hanya mencapai sekitar 12 persen masih kurang
menarik untuk meningkatkan mutu hasil dari GKG menjadi beras.
Petani di Kecamatan Rembang pada umumnya memilih menjual dalam
bentuk GKP, baik secara satuan/ditimbang maupun tebasan. Hal ini disebabkan
24
oleh faktor hambatan dalam proses pengeringan, terutama pada musim hujan.
Kesulitan dalam pena-nganan pengeringan, karena penguasaan lahan dari
sebagian besar petani di kecamatan ini relatif luas yang menyebabkan kuantitas
produksi yang harus ditangani cukup besar. Banyaknya proporsi petani di
Kecamatan Rembang yang menjual hasil padinya secara tebasan (21%) karena
penjualan dalam bentuk tebasan cenderung lebih menguntungkan dibandingkan
dengan cara penjualan satuan/ditimbang. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis
pada Tabel 14. Keterbatasan modal untuk membiayai ongkos panen dan pasca
panen merupakan kemungkinan lain dalam menentukan pilihan penjualan secara
tebasan.
25
Tabel 14. Perbandingan pendapatan petani berdasarkan tingkat mutu produk padi yang dihasilkan di kecamatan contoh
Kecamatan Sukorejo Kecamatan Rembang Kecamatan Grati Uraian Volume Harga Nilai Volume Harga Nilai Volume Harga Nilai
(kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) (kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) (kg/ha) (Rp/kg)) (Rp/ha) I. Penerimaan - Jual tebasan - 4.505.621 4.742.105 - Jual GKP 6.422 800 5.137.600 5.727 800 4.581.600 6.203 800 4.962.400 - Jual GKG 4.817 1.200 5.779.800 4.295 1.200 5.154.300 4.652 1.200 5.582.700 - Jual beras 3.131 2.000 6.261.450 2.792 2.000 5.583.825 2.559 2.000 5.117.475 II. Biaya - Produksi 2.605.735 2.568.347 2.692.711 - Panen *) 80 513.760 80 458.160 80 496.240 - Jemur 135.820 135.820 21 130.263 - Giling 15 96.330 15 85.905 10 62.030 - Transpot ke penggilingan 12,5 80.275 12,5 71.588 12,5 77.538 III. Pendapatan - Jual Tebasan - 1.937.274 2.049.394 - Jual GKP 2.018.105 1.555.093 1.773.449 - Jual GKG 2.524.485 1.991.973 2.263.486 - Jual Beras 2.829.530 2.264.006 1.658.694 IV. Marjin
- Jual GKP vs Tebasan - -382.181 (0,80)
-275.945 (0,87)
- Jual GKG vs GKP 506.380 (1,25)
436.880 (1,28)
490.037 (1,28)
- Jual Beras vs GKP 811.425 (1,40)
708.912 (1,46)
-114.756 (0,94)
- Jual Beras vs GKG 305.045 (1,12)
272.032 (1,14)
-604.793 (0,73)
Sumber: Data Primer; Keterangan: *) Kegiatan panen mencakup petik, perontokan, dan angkut hasil; - Angka dalam kurung (..) menunjukkan nisbah antar dua peubah yang dibandingkan
26
Di Kecamatan Grati, penjualan dalam bentuk GKG sebenarnya paling
mengun-tungkan, tetapi petani memilih menjual dalam bentuk GKP. Penjualan
secara tebasan relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan penjualan
secara ditimbang per satuan berat dalam bentuk GKP maupun beras. Tingkat
rendemen beras giling yang rendah di kecamatan ini menyebabkan tingkat
keuntungan yang diperoleh menjadi rendah. Rendah-nya rendemen beras giling
di Kecamatan Grati disebabkan oleh rendahnya mutu gabah. Berdasarkan
informasi dari pengusaha penggilingan bahwa rendemen beras giling di
Kecamatan Grati mencapai sekitar 50-55 persen, sedangkan di Kecamatan
Sukorejo dan Rembang berkisar antara 60-65 persen. Kondisi tersebut
mencerminkan bahwa gabah yang dihasilkan di Kecamatan Grati lebih rapuh dan
lebih banyak gabah hampa diban-dingkan dengan gabah yang dihasilkan di
Kecamatan Sukorejo atau Rembang.
Kegiatan pasca panen sekunder untuk komoditas padi tidak teridentifikasi,
sedangkan untuk komoditas palawija ditemukan di Kecamtan Sukorejo, yaitu
usaha industri rumahtangga yang bergerak di bidang pengolahan tempe/tahu,
keripik tempe, dan tape dari ubikayu. Pengusaha tempe diperkirakan mencapai
300 rumahtangga dengan Omzet pembelian kedelai impor mencapai sekitar 10
ton per hari. Usaha pengolahan tape dikelola oleh sekitar 173 rumahtangga
dengan kebutuhan bahan baku ubikayu kuning segar mencapai sekitar 15 ton
per hari. Adanya usaha industri rumahtangga di Kecamatan Sukorejo yang
mengolah bahan baku yang bersumber dari hasil komoditas sektor pertanian ini
perlu mendapat kajian yang lebih mendalam untuk pengembangan lebih lanjut
dalam kerangka pemberdayaan masyarakat tani di pedesaan.
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
Dalam pengembangan sektor pertanian di lokasi PROKSI INBIS di
Kabupaten Pasuruan seyogyanya dilakukan dengan pendekatan sistem
usahatani terpadu, sehingga dapat memberikan peluang bagi rumahtangga tani
untuk melakukan diversifikasi usaha di sektor petanian. Upaya pembinaan yang
27
intensif dalam wadah kelompok tani serta pelayanan lainnya perlu terus
ditingkatkan, baik berupa fasilitasi modal usahatani, akses informasi teknologi,
akses informasi pemasaran, fasili-tasi hubungan kemitraan, maupun bimbingan
manajemen usaha dan penguatan kelembagaan kelompok.
Penerapan teknologi yang perlu diintroduksikan kepada petani
seyogyanya mengarah pada teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas
usahatani, mening-katkan efisiensi usaha, dapat menekan kehilangan hasil
dalam kegiatan panen dan pasca panen, ramah lingkungan, dan lebih banyak
menggunakan input yang mengandung bahan baku lokal. Untuk menghasilkan
produk pertanian yang berkualitas dan menekan kehi-langan hasil harus
dilakukan dengan cara Good Farming Practices dan Good Millng Practices.
Mengeliminir secara bertahap hambatan-hambatan klasik yang sering
dihadapi petani, baik dalam hal pengadaan input usahatani, permodalan,
pemasaran, dan pelaya-nan/infrastuktur. Faktor-faktor penghambat itu antara lain
berkaitan dengan masalah: (1) Ketersediaan dan harga sarana produksi yang
terjangkau; (2) Aksesibilitas petani terha-dap sumber permodalan; (3) Ketepatan
waktu dalam pencairan kredit; (4) Aksesibilitas petani terhadap informasi
teknologi; (5) Aksesibilitas petani terhadap informasi pasar; dan (6) faktor-faktor
lainnya yang berkaitan dengan aspek pemasaran dan pelayanan.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O. et al. 1997. Studi dampak pengembangan agribisnis berbasis
komoditas. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Adnyana, M.O., Djulin, A., Kariyasa, K., Saktyanu, K.D. dan Darwis, V. 2000. Perumusan kebijaksanaan harga gabah dan pupuk dalam era pasar bebas. Makalah seminar hasil-hasil penelitian P/SE, Bogor 6-7 Maret 2000. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Damardjati, D.S., Santoso, B.A.S., Rumiati, S., dan Yastra, Y. 1990. Peranan dan perkembangan penelitian pasca panen tanaman pangan. 1990. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Daradjat, A.A., dan Utami, P.K. 1995. Kebutuhan hara N tanaman padi di lahan sawah irigasi. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
28
Djunainah, Susanto, T.W., dan Kasim, H. 1993. Deskripsi varietas padi unggul 1943-1992. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Duriat, A.S., dan Sastrosiswojo, S. 1995. Pengendalian hama penyakit terpadu pada agribisnis cabai. dalam: A. Santika (ed). Agribisnis Cabai. Penebar Swadaya. Jakarta.
Kartaatmadja, S., dan Sabri, S.S. 1995. Penerapan pengendalian hama terpadu: keterkaitan faktor sosial dan kelembagaan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Makarim, A.K. et al. 1995. Peningkatan efisiensi dan efektivitas pemupukan N pada padi sawah berdasarkan analisis sistem. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Oka, I.N., dan Bahagiawati, A.H. 1991. Pengendalian hama terpadu. Dalam: Edi Soenarjo et al (eds). Padi, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Pranadji, T. 1984. Peranan lembaga dan organisasi tingkat desa dalam pembangunan berencana di pedesaan: Studi kasus di Desa Kedung Poh dan Katongan, Gunung Kidul, DI, Yogyakarta. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, IPB. Bogor.
Pranadji, T. 1995. Intensifikasi padi sawah di pedesaan antara modernisasi dan pembangunan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Purwantini, T.B., dan Suhaeti, R.N. 1995. Prospek dan Perkembangan Produksi Padi Sawah di Jawa Barat. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja PenelitianTanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Sawit, H., Saefudi, A., dan Manwan, I. 1990.Program Supra Insus di jalur pantai utara Jawa Barat dan Sulawesi Selatan: Masalah, kendala dan saran perbaikan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Soekarto, S.T. 1990. Peranan pasca panen dalam pengambangan pertanian tanaman pangan. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Suriapermana, S., dan Syamsiah, I. 1995. Tanam jajar legowo pada sistem usahatani minapadi-azola di lahan sawah irigasi. Dalam: Z. Zaini et al (eds). Sistem Usahatani Berbasis Tanaman Pangan: Keunggulan Komparatif dan Kompetitif. Risalah Seminar Hasil Penelitian Sistem Usahatani dan Sosial-Ekonomi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Suwono, Sembiring, H., Prita, D.S., Kasiyadi, F., dan Suyamto. 1999. Acuan rekomendasi pemupukan spesifik lokasi untuk padi sawah di Jawa Timur. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Karangploso. Malang.
Suyamto, H. 1995. Pemupukan Kalium di tanah Vertisol. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Taher, A. 1995. Pemanfaatan timbunan fosfat di lahan sawah. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan. Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Taryoto, A.H. et al. 1993. Analisis perubahan kebijaksanaan organisasi ekonomi dalam bidang pangan dan dampaknya terhadap produksi, distribusi, dan
29
peningkatan pendapatan dan kesempatan kerja di pedesaan. Monograph series No. 10. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Taryoto, A.H., dan Pranadji, T. 1995. Perspektif historis kelembagaan dan organisasi peningkatan produksi padi di Indonesia. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Taslim, H., Partohardjono, S., dan Djunainah. 1993. Bercocok tanam padi sawah. Dalam: M. Ismunadji et al (eds). Padi, Buku 2, Cetakan kedua. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Tjondronegoro, S.M.P. 1990. Revolusi hijau dan perubahan sosial di pedesaan Jawa. PRISMA, XI (2). LP3ES. Jakarta.
Tjubarjat, T., dan Daradjat, A.A. 1990. Kajian pelaksanaan Supra Insus di pantai utara Jawa Barat. Dalam: Mahyuddin Syam et al (eds). Penelitian Tanaman Pangan. Risalah Simposium II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.