I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66686/potongan/S3-2014... ·...

69
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang dapat dijumpai bukan hanya dalam tradisi monoteisme per se (Appleby and Marty, 2002), fenomena ini pun dapat ditemukan dalam tradisi Budha, Hindu, Kong Hu Cu (Armstrong, 2001 : x), dan juga Sikh (McLeod, 1998). Dengan demikian, pandangan sebagian sarjana yang menyatakan bahwa fundamentalisme merupakan fenomena khas yang terjadi dalam tradisi monoteisme Islam utamanyatidak berlaku lagi. Secara lebih spesifik, fundamentalisme Islam dipandang oleh sarjana Barat sebagai sebuah ideologi yang akhir-akhir ini berkembang sangat pesat di belahan dunia Islam (Harvey, 2005). Dengan sifat pervasifnya, ideologi ini terus menyebar secara dinamis dengan implikasi keagamaan, ekonomi, politik, dan strategi (Dekmejian, 1980: 1-2; 1995: 3). Paling tidak, ada tiga elemen dasar menurut Keddie (1998: 712) mengapa fundamentalisme Islam tumbuh subur di negara-negara mayoritas Muslim. Pertama, adanya ikatan kuat antara Islam sebagai agama dengan lembaga politik yang telah berlangsung sejak awal meskipun kemudian menurun setelah lahirnya penguasa-penguasa non-religius; lembaga-lembaga Islam telah lama melakukan kontrol terhadap wilayah hukum, pendidikan, juga pelayanan-pelayanan sosial lain. Kedua, gerakan oposisi massa terhadap pemerintahan sekular di dunia Muslim cenderung bermotifkan atau berideologikan agama. Terakhir, rasa benci terhadap sikap Barat yang seringkali dianggap merugikan umat Islam menjadi alasan utama penolakan terhadap setiap gagasan yang berbau Barat.

Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/66686/potongan/S3-2014... ·...

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang dapat dijumpai

bukan hanya dalam tradisi monoteisme per se (Appleby and Marty, 2002),

fenomena ini pun dapat ditemukan dalam tradisi Budha, Hindu, Kong Hu Cu

(Armstrong, 2001 : x), dan juga Sikh (McLeod, 1998). Dengan demikian,

pandangan sebagian sarjana yang menyatakan bahwa fundamentalisme

merupakan fenomena khas yang terjadi dalam tradisi monoteisme —Islam

utamanya— tidak berlaku lagi. Secara lebih spesifik, fundamentalisme Islam

dipandang oleh sarjana Barat sebagai sebuah ideologi yang akhir-akhir ini

berkembang sangat pesat di belahan dunia Islam (Harvey, 2005). Dengan sifat

pervasifnya, ideologi ini terus menyebar secara dinamis dengan implikasi

keagamaan, ekonomi, politik, dan strategi (Dekmejian, 1980: 1-2; 1995: 3).

Paling tidak, ada tiga elemen dasar menurut Keddie (1998: 712) mengapa

fundamentalisme Islam tumbuh subur di negara-negara mayoritas Muslim.

Pertama, adanya ikatan kuat antara Islam sebagai agama dengan lembaga politik

yang telah berlangsung sejak awal meskipun kemudian menurun setelah lahirnya

penguasa-penguasa non-religius; lembaga-lembaga Islam telah lama melakukan

kontrol terhadap wilayah hukum, pendidikan, juga pelayanan-pelayanan sosial

lain. Kedua, gerakan oposisi massa terhadap pemerintahan sekular di dunia

Muslim cenderung bermotifkan atau berideologikan agama. Terakhir, rasa benci

terhadap sikap Barat yang seringkali dianggap merugikan umat Islam menjadi

alasan utama penolakan terhadap setiap gagasan yang berbau Barat.

2

Fundamentalisme Islam sebagai sebuah istilah, memang mengandung

persoalan dan mengundang perdebatan kalangan akademisi. Alasan keberatan

utama karena istilah tersebut berasal dari tradisi Kristen,1 sehingga

mengaplikasikannya untuk konteks agama lain —Islam utamanya— dianggap

kurang tepat (Munson, 2001: 32; Rajashekar, 1989: 97; Meuleman, 1998: 23).

Oleh karena itu, mereka yang tidak sepakat dengan istilah tersebut lebih senang

untuk menggunakan istilah ―Islam Politik‖ (Beinin and Stork, 1997: 3; Saeed,

2007: 399), ―Gerakan Politik Keagamaan Baru,‖ atau New Religious Politics

(Keddie, 1998: 697), ―Islamisme‖ (Munson, 2001: Sayyid, 2003: 17; Bayat, 2005;

Emmerson, 2010: 27; Roy: 1996), ―Revivalisme Islam‖ (Lapidus, 1997), dan

―Nasionalisme Religius‖ (Juergensmeyer, 1994) sebagai kategori alternatif.

Namun perlu diingat bahwa secara keseluruhan semua istilah tersebut di atas

merupakan Western ethnocentric approach, problematis sebagaimana penggunaan

istilah fundamentalisme itu sendiri.

Hal di atas menjadi maklum karena dalam konteks dunia akademik di

mana Barat masih menjadi center of exellence, ―pusat segala-galanya,‖ maka

sangat sulit untuk menghindari konsep-konsep yang telah mapan dalam tradisi

intelektual Barat. Peluang yang mungkin dilakukan seperti yang disarankan oleh

Hatina (2007: 6) adalah ˝...we can make them [the concepts] more flexible, so to

speak, through differentiation and contextualization.” Menemukan kembali

1 Secara historis, istilah fundamentalisme berasal dari gerakan Kristen Protestan Amerika

sekitar tahun 1920-an M. Sebuah koalisi Protestan Evangelicals yang berusaha mempertahankan

keyakinan fundamental Kristen dari pengaruh liberalisme atau modernisme budaya Amerika

(Rajashekar, 1989: 67-72). Istilah ini menjadi popular dengan adanya publikasi sejumlah pamflet

yang diberinama ―The Fundamentals.‖ Salah satu dari pamflet tersebut menekankan pandangan

Bible sebagai kalam sempurna, infallible (Goddard, 1995: 154).

3

kekhasan dan kontekstualisasi baru dalam menggunakan sebuah istilah termasuk

fundamentalisme Islam menjadi sangat penting. Oleh karena itu, terlepas dari

kontroversi yang ada, penulis cenderung sependapat dengan Azyumardi Azra

(1996: 109), Youssef M. Choueiri (1997), dan Henry Munson (1989) utamanya,

bahwa istilah yang sangat berguna untuk menjelaskan fenomena modern

kebangkitan Islam adalah ‖fundamentalisme Islam‖ atau dalam bahasa Arabnya

disebut al-ushūliyyah al-Islāmiyyah, dengan mencoba memberikan penekanan

pada kekhasan dan kontekstualisasi baru seperti disebutkan di atas.

Istilah al-ushūl (prinsip-prinsip) sebetulnya merupakan indiginous Arabic

designation, kosa-kata Arab asli yang secara orisinal digunakan pada Abad VIII

M untuk merujuk pada dua disiplin utama kesarjanaan Muslim, yaitu legalist atau

ushūl al-fiqh dan dialectician atau ushūl al-dīn (Choueiri, 1997: xvi). Dalam

tradisi Mu‘tazilah, al-ushūl terdiri dari lima prinsip (al-ushūl al-khamsah), terdiri

dari: (1) peniadaan sifat Tuhan; (2) posisi menengah bagi mereka yang berbuat

dosa; (3) keadilan Tuhan; (4) janji baik dan ancaman; dan (5) memerintah orang

untuk berbuat baik dan melarang orang berbuat jahat wajib dijalankan, kalau perlu

dengan kekerasan (Nasution, 1986: 45). Sementara dalam tradisi Sunni, al-ushūl

digunakan oleh Muhammad bin Idris al-Syafi‘i (w. 820 M) dalam tradisi fikih

sebagai sumber-sumber pokok rujukan hukum yang terdiri dari al-Qur‘an, sunnah,

qiyas dan ijma‘ (Choueiri, 1997: xvii).

Istilah al-ushūl telah digunakan oleh Muhammad bin Abdul al-Wahhab,

sebagai tokoh revivalisme Islam (Wahabi), dalam beberapa kitab yang ditulisnya

di antaranya Tsalātsah al-Ushūl (Tiga Prinsip), dan Ushūlul Īmān (Prinsip-prinsip

4

Iman). Salah satu reformis Islam, yaitu Muhammad Abduh meskipun judul

kitabnya tidak menggunakan kata al-ushūl, namun kitab tersebut berbicara

mengenai al-ushūl (prinsip-prinsip Islam), baik diungkapkan melalui teks-teks

agama maupun dianalisis melalui lintas sejarah. Sayyid Qutb —sebagai ideolog

fundamentalisme Islam—, dalam kitabnya Khashāish al-Tashawwur al-Islāmī,

menjelaskan beberapa prinsip Islam (al-ushūl) yang dipandang unggul di atas

segala-galanya, oleh karenanya umat Islam tidak perlu menerima ideologi-

ideologi baru yang datang dari Barat (Choueiri, 1997: xix).

Mencermati pemaparan di atas, maka istilah al-ushūl sebagai istilah

autentik Islam sebagai dasar penggunaan term fundamentalisme Islam (al-

ushūliyyah al-Islāmiyyah) , memiliki argumentasi yang sangat kuat karena sangat

erat dengan tradisi kesarjanaan Islam itu sendiri. Dalam penggunaan

kontemporernya, term ushūliyyah (fundamentalisme) menjadi sangat populer

digunakan oleh para penulis Arab pada awal tahun 1980-an dan sekaligus menjadi

kosa kata Arab untuk menyebut gerakan kebangkitan Islam itu sendiri juga

sebagai sebuah disiplin kajian terhadapnya (Esposito, 1995: 33).

Alasan lain penggunaan istilah fundamentalisme didasarkan pada tiga

argumen berikut. Pertama, penulis secara pribadi berupaya menghindari

penggunaan kosa kata yang mengasosiasikan atau mengindikasikan Islam sebagai

sebuah ideologi. Kedua, penulis sependapat dengan Henry Munson (1989) bahwa

istilah-istilah lain seperti ―Islamis‖ atau ―Islamisme‖ merupakan neologisme yang

janggal, clumsy neologism. Imbuhan ―isme‖ disandingkan dengan Islam yang

mengindikasikan bahwa Islam merupakan sebuah ―ideologi‖ adalah kurang tepat.

5

Terakhir, istilah-istilah lain seperti ―Islam militan,‖ atau ―Islam radikal‖ tidak

mampu menjelaskan fundamentalisme moderat yang menghindari kekerasan.

Istilah ―Islam politik‖ pun tidak dapat merangkum kelompok fundamentalis yang

tidak berorientasi politis (seperti mendirikan negara Islam), alih-alih lebih

memilih untuk menjaga relasi antara negara dengan masyarakat. Orientasi

keagamaan seperti ini direpresentasikan oleh kelompok Salafiyah di Saudi

Arabia.2

Istilah fundamentalisme itu sendiri dapat digunakan dalam comparative

studies, baik sebagai konsep maupun sebagai kategori komparatif baik dalam satu

tradisi agama maupun lintas agama. Penekanannya bersandar pada kegunaannya

dalam mengidentifikasi ‟familiy resemblances‟ dan menggambarkan oposisi

semua gerakan fundamentalisme terhadap ideologi-ideologi sekular (Zeidan,

2003: 50). Dengan demikian, yang menjadi urgen sesungguhnya lebih kepada

bagaimana istilah fundamentalisme itu digunakan (Shepard, 1987: 307).

Uraian di atas cukup mempertegas fleksibilitas kegunaan istilah

fundamentalisme (ushūliyyah) untuk menunjuk setiap gerakan kebangkitan dalam

tradisi agama apapun yang menjadikan doktrin-doktrin agama sebagai basis

ideologi. Istilah fundamentalisme penulis gunakan sebagai sebuah alat bantu

analisis, bukan merupakan kategori mutlak.

Selanjutnya, Munson (1989: 4) merumuskan pengikut fundamentalisme

(ushūliyyūn) sebagai, “anyone who insists that all aspects of life, including the

2 Hal ini perlu penulis tegaskan karena tidak semua kelompok Salafiyah apatis terhadap

urusan politik, terbukti di Mesir, pasca the Arab Spring kelompok Salafiyah terjun dan melibatkan

diri mereka dalam kehidupan politik dan berhasil mendirikan sebuah partai, yaitu Hizbun-Nūr

(Partai Cahaya).

6

social and the political should conform to a set of sacred scriptures believed to be

inerrant and immutable…” Definisi ini menegaskan keyakinan bahwa semua

aspek kehidupan termasuk urusan politik, mutlak harus sesuai dengan kitab suci

yang diyakini tidak lekang oleh zaman. Padahal menurut penulis, dalam diskursus

pemikiran Islam —dari klasik sampai kontemporer— perdebatan mengenai

peranan Islam dalam ranah politik, khususnya sistem pemerintahan Islam

merupakan isu yang debatable, dan selalu menghasilkan tafsir beragam. Hal ini

salah satunya disebabkan al-Qur‘an sendiri tidak menyebutkan secara jelas dan

tegas jenis pemerintahan tertentu yang harus diikuti oleh umat Islam. Urusan

politik menjadi domain umat Islam itu sendiri.

Definisi di atas pun mengandung dua karakteristik fundamentalisme Islam;

yang pertama disebut radikal dan yang terakhir disebut reformis. Radikal di sini

dimaksudkan sebagai sebuah upaya untuk menggulingkan pemerintahan yang ada

dan menginisiasikan perubahan mendasar dalam ranah politik, sosial, dan

ekonomi (Munson, 1989: 5), seperti yang pernah terjadi pada masa revolusi Islam

Iran 1979 M dan dalam level tertentu mengambil jalur kekerasan seperti

pembunuhan pemimpin negara yang dianggap tidak Islami lagi seperti yang

dialami oleh Anwar Sadat. Sedangkan yang disebut dengan reformis adalah

kecenderungan untuk memperjuangkan reformisme dan penegakan syari‟ah

dengan menghindari aksi kekerasan, gerakan moderat Ikhwanul Muslimin di

Mesir umpamanya, dapat dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis dengan

karakteristiknya yang cenderung reformis.

7

Sebagai sebuah ideologi, fundamentalisme Islam seringkali ditampilkan

sebagai ancaman besar bagi kepentingan-kepentingan Barat.3 Dengan demikian,

dalam menghadapi fenomena fundamentalisme Islam, sebagian orientalis Barat

menyarankan agar memperkokoh Islam moderat sebagai counterbalance

terhadapnya (Harvey, 2005: 80).4 Akan tetapi apabila proses modernisasi Islam ini

—dengan cara memperbanyak dan mendukung Islam moderat— terlalu lama atau

sulit diwujudkan, maka menurut Miller (1993), dan Fukuyama (2007: 37), tidak

ada jalan lain bagi pemerintah Barat dalam menghadapi fundamentalisme Islam

kecuali dengan cara memeranginya.

Ketakutan Barat terhadap fundamentalisme Islam tersebut di atas tampak

sangat berlebih-lebihan karena sifat permusuhan dan kekerasan [terhadap Barat]

sesungguhnya tidak melekat di semua faksi gerakan fundamentalisme Islam

(Abed-Kotob, 1995). Gerakan ini seperti yang telah penulis jelaskan di atas dan

juga ditegaskan oleh Karabell (1995: 38), merupakan kekuatan yang multifaceted

dan dinamis, beragam dan tidak monolitis.

Pandangan negatif dan generalisasi terhadap Islam pada umumnya dan

fundamentalisme Islam secara khusus, seringkali berasal dari tradisi ―bad

3Alasan ketakutan ini didasarkan pada beberapa fakta historis berikut. Pertama, kalangan

fundamentalis telah mengancam stabilitas rezim-rezim di Timur Tengah dan Afrika Utara yang

pro-Barat, seperti Mesir, Aljazair (FIS), Yordan, Turki, dan Tunisia. Kedua, kalangan

fundamentalis dengan menggunakan kekerasan menentang proses perdamain yang disponsori

Amerika antara otoritas Palestina dan Israel. Ketiga, aksi militer dan serangan terror yang paling

sukses terhadap Israel dan Amerika rata-rata dijalankan oleh kelompok-kelompok fundamentalis

seperti Hizbullah dan Amal Islam di Libanon, HAMAS dan Jihad Islam di Palestina. Keempat, ada

koordinasi terpusat di antara kalangan fundamentalis yang menargetkan kepentingan-kepentingan

Amerika (Kazemzadeh. 1988: 52-59). Peristiwa 11 September sebagai peristiwa yang masih

hangat semakin mengokohkan pandangan negatif Barat terhadap fundamentalisme Islam (Snyder,

2003: 325-349).

8

orientalist‖ yang cenderung menyalahkan teks dan mengabaikan realitas,

menekankan aspek-aspek statis dan menolak perubahan dinamis yang terjadi

dalam masyarakat Islam (Ayubi, 1980). Studi demikian dapat diklasifikasikan

oleh Ibrahim (1982: 423) sebagai ―academic over-reaction” atau ―intellectual

backlash,” sebuah tradisi kesarjanaan yang selalu mencurigai the return of Islam,

kebangkitan era kejayaan Islam.

Untuk konteks sekarang, sarjana Barat seperti Samuel Huntington (1993)

dapat penulis kategorikan ke dalam tradisi ―bad orientalist.‖ Dia secara terang-

terangan memandang Islam sebagai ancaman mutlak bagi Barat. Teori the clash of

civilization-nya mengasumsikan bahwa puritanisme merupakan ekspresi otentik

nilai-nilai Islam, Islam has bloody borders, demikian menurutnya. Tentu saja

pandangan bahwa Islam identik dengan kekerasan tidaklah tepat dan terlalu

gegabah. Sarjana Barat sendiri pun semisal Emmerson (2010: 19) menolak

gagasan dangkal tersebut. Oleh karena itu, pendekatan model ―bad orientalist‖

seperti disarankan oleh Abu el-Fadl (2001: 29) harus sudah mulai dihindari dan

ditinggalkan.

Salah satu alasan mengapa intelektual Barat seringkali salah dalam

memahami Islam secara umum dan fenomena fundamentalisme pada khususnya

seperti dikemukakan oleh Leonard Binder (1988: 9) karena ―…Western

intellectuals read very little of what Muslim intellectuals write…” Kelemahan ini

disadari oleh Feener (2007: 275) yang kemudian menyarankan agar kajian tentang

Islam secara umum dan fundamentalisme pada khususnya, “…[fundamentalism]

4 Barangkali hal ini menjadi argumen kuat bagi sebagian orang yang menuduh kelompok-

9

is something that must be more widely recognized and understood in any future

analysis of modern Muslim intellectualism.” Kontekstualisasi historis mengenai

fundamentalisme Islam melalui kajian pemikiran intelektual Muslim menjadi

informasi yang sangat berguna bagi Barat mengingat minimnya informasi dan

betapa kompleksnya permasalahan tersebut (Lumbard, 2009: 40). Singkatnya,

sudah saatnya mengkaji pemikiran intelektual Muslim terkait persoalan sosial,

politik, dan keagamaan agar menghasilkan satu perspektif baru tentang Islam

secara umum, dan fundamentalisme pada khususnya.

Menanggapi hal tersebut penulis tertarik untuk mengkaji fundamentalisme

Islam dari sudut pandang intelektual Muslim. Penulis mengkaji dan menganalisis

studi yang dilakukan oleh intelektual Arab-Muslim dengan cara mengkritisi dan

mengapresiasi bagaimana seorang intelektual Muslim dihadapkan pada isu

fundamentalisme agama. Bagaimana pendekatan yang digunakan dan apa solusi

yang diberikan menjadi hal yang sangat penting diketahui untuk menandingi

wacana kajian Barat tentang Islam dan fundamentalisme Islam selama ini yang

terlalu didominasi oleh perspektif Islamic studies ala Amerika-Eropa. Hal

demikiran dikemukakan Zuly Qodir (2010: 34-35), bahwa menampilkan kajian

Islam sebagai sebuah subjek sudah sangat mendesak dan sangat diperlukan agar

ditemukan solusi yang tepat.

Intinya, meneliti mengenai pemikiran seorang intelektual menurut Zuly

Qadir (2010) harus sampai pada kesimpulan bahwa apa yang mereka tulis dan

mereka kaji tidak kalah hebatnya dengan penelitian-penelitian yang dilakukan

kelompok Islam modern-liberal sebagai agen Barat karena proyek-proyek mereka seringkali

10

oleh sarjana Barat, bahkan bisa lebih cerdas karena yang dibicarakan bukan hanya

sekedar analisis kritis tetapi juga solusi. Hal demikian menjadi sangat logis karena

sarjana Barat tidak mungkin berbicara solusi bagi problematika umat Islam dan

kita tentunya tidak pantas mengharapkan solusi itu datang dari mereka (Abdullah,

2008: vi). Barat telah menempatkan diri mereka dalam posisi sebagai out sider,

menjadikan diri mereka secara otomatis berada di luar tradisi Islam dan bertindak

sebagai peneliti saja.

Studi mengenai pemikiran dan peranan intelektual di dunia Islam dan

Timur Tengah itu sendiri seperti dikemukakan Singer dan Gershoni (2008: 383)

bahwa kajian tentang hal tersebut masih kurang diminati, bahkan sejak tahun

1970-an semakin terpinggirkan. Menurut pengamatan Ibrahim M Abu-Rabi‘

―…the field of contemporary Arab [Muslim] thought is still virgin” (2004: 7),

masih sangat minim buku-buku mengenai pemikiran intelektual Muslim. Di

Indonesia pun, kajian terhadap dinamika sosial intelektual Muslim merupakan

kajian yang masih ditelantarkan (Rumadi, 2008: 7).

Salah satu alasan minimnya studi mengenai intelektual di negara-negara

berkembang seperti Timur Tengah dan Indonesia khususnya, karena ―the

importance of the intellectual in society and in the processes of modernization is

generally marginal” (Hatina, 2007: 8). Peranan intelektual dalam ranah sosial

politik yang masih dilirik sebelah mata dan bahkan disepelekan, menjadikan

kajian terhadapnya minim dilakukan. Pendapat-pendapat di atas paling tidak

menjadi alasan kuat bagi penulis akan urgensi kajian mengenai pemikiran

didukung dan didanai oleh Barat.

11

intelektual Muslim sebagai sebuah upaya untuk menjawab satu demi satu

persoalan yang sedang mendera umat Islam, yaitu satu sikap keagamaan yang

cenderung menampilkan sifat eksklusifisme dan pada level tertentu ekstrimisme di

dalam beragama.

Kemudian, intelektual Muslim yang penulis kaji pemikirannya secara

kritis adalah Hasan Hanafi, seorang filsuf terkenal asal Mesir dan professor di

Universitas Kairo. Ia merupakan intelektual Muslim berkaliber internasional yang

masih hidup dan sangat peduli dengan isu-isu sosial keagamaan. Hasan Hanafi

sangat tidak asing bagi kalangan akademisi Indonesia khususnya mereka yang

mencermati perkembangan studi Islam kontemporer. Buku Kazuo Shimogaki,

Between Modernity and Postmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi‟s

Thought: A Critical Reading yang kemudian diterjemahkan kedalam edisi bahasa

Indonesia oleh penerbit LKiS dengan judul Kiri Islam: Antara Modernisme dan

Postmodernisme berperan kuat dalam memperkenalkan dan mempopulerkan

gagasan Hanafi di Indonesia. Edisi terjemah ini diberi pengantar oleh

Abdurrahman Wahid sebagai salah seorang intelektual Muslim Indonesia yang

sangat mengapresiasi gagasan progressif dari Hasan Hanafi. Hanafi sendiri pernah

beberapa kali berkunjung ke Indonesia.5

5 Penulis secara pribadi pernah ikut menghadiri sebuah seminar yang diselenggarakan di

UIN Sunan Kalijaga sekitar tahun 2001. Seminar tersebut menghadirkan Hasan Hanafi selaku

pembicara utama dengan tema ―Oksidentalisme,‖ sebuah disiplin baru dimaksudkan sebagai

counter terhadap disiplin Orientalisme Barat. Sebagai mahasiswa S1 yang sedang haus-hausnya

mencari ilmu, penulis sangat terkesan dengan kepiawaian Hanafi dalam berorasi dan juga

pengetahuan akademik serta skill bahasa yang dimilikinya. Hanafi menguasai dengan sangat baik

selain bahasa Arab tentunya, Inggris, Perancis, dan Jerman, sebuah kombinasi kemahiran bahasa

yang sangat layak bagi seorang intelektual yang mengusung gagasan Oksidentalisme.

12

Sebagai seorang intelektual berkaliber internasional, Hanafi cukup

concern dengan perkembangan-perkembangan yang sedang terjadi di dunia Islam.

Ia secara gamblang memandang dunia Islam pada umumnya baik yang berada di

benua Arab dan Asia masih berada dalam kungkungan imperialisme Barat dari

segala aspek kehidupannya. Dengan ilustrasi yang sedikit ―berlebihan,‖ Hanafi

dalam salah satu karyanya menggambarkan kondisi dunia Islam yang sedang

tercerai-berai sebagai berikut:

…[Dunia Islam] bagaikan seekor burung yang terpotong-potong

kedua sayapnya. Sayap bagian Barat berada di Afrika sedangkan

sayap bagian Timur berada di Asia. Sementara tubuh burung itu

sendiri berada di Mesir, sebagai jantungnya bangsa Arab… (Hanafi,

1989e: 3).

Terlepas dari sikap angkuhnya tersebut —dengan menyatakan Mesir

sebagai jantungnya dunia Arab-Islam— Hanafi sangat layak disebut sebagai

intelektual berkaliber internasional, dia tidak hanya fokus dengan dunia Arabnya

saja, yaitu Mesir, belahan dunia Islam lain pun seperti Islam di Asia (Iran,

Afganistan, dan Indonesia) menjadi salah satu sorotannya. Bahkan secara spesifik

Hanafi pernah memetakan Islam di Indonesia ke dalam dua model, yaitu Islam

kultural-nasionalis dan Islam progressif-sosialis. Kelompok pertama

direpresentasikan oleh ormas Islam Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah

sedangkan kelompok terakhir direpresentasikan oleh model keislaman ala

Soekarno.

Meskipun Hanafi tidak mendeskripsikan secara jelas apa yang ia maksud

dengan Islam porgressif-sosialis, dia memandang bahwa tafsir Islam demikian

13

yang telah menghantarkan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan:

Adapun orientasi progressif-sosialis adalah mereka yang menjadikan

Islam sebagai bagian dari gerakan nasional. Dengan model Islam

seperti ini, Soekarno mampu membebaskan Indonesia dari penjajahan

Belanda (Hanafi, 1989e: 78-79).

Penjelasan singkat di atas paling tidak mempertegas posisi Hanafi sebagai

intelektual Arab yang cukup akrab dan memiliki hubungan emosial dengan

Indonesia. Sebagai pengagum berat Nasser —sezaman dengan Soekarno— Hanafi

menghubung-hubungkankan perjuangan kemerdekaan nasional Indonesia sejalan

dengan semangat ideologi Nasserisme yang menjunjung tinggi proyeksi Islam

dalam kerangka pembebasan bangsa: Islam dan perjuangan kemerdekaan nasional

melawan imperialisme Barat.

Hasan Hanafi atau dalam ejaan lain Hassan Hanafi yang lahir pada 1935

M, hidup dan mengalami serangkaian peristiwa sejarah yang sangat penting mulai

dari periode kolonial Inggris, periode post-kolonial berupa Revolusi Mesir 1952

yang diketuai Nasser lewat Free Officers-nya, keterlibatan Hanafi dalam

aktivisme Ikhwanul Muslimin pada 1952, saksi sejarah peristiwa kekalahan

perang Arab melawan Israel pada 1967, dan pembunuhan presiden Mesir Anwar

Sadat pada 1981 oleh pengikut Islam fundamentalis, Jama‘ah al-Jihad, juga

berbagai peristiwa penting lainnya yang terjadi pada era Husni Mubarak termasuk

peristiwa akhir-kahir ini yang terjadi di dunia Arab yaitu the Arab Spring,

menyajikan karakter khas pemikiran seorang intelektual Arab Muslim Dunia

14

Ketiga.

Flores (1988: 27) menyebut Hanafi sebagai pemikir sekuler kelompok

―new partisans of the heritage,‖ mengkaji ulang tradisi Islam-Arab dan Islam itu

sendiri untuk konteks kekinian. Sedangkan Komarudin Hidayat (2000: xvvii)

menyebutnya sebagai intelektual berhaluan rasional-liberal yang sangat produktif

menulis buku bila dibandingkan dengan intelektual Muslim modern lainnya

seperti Mohammad Arkoun, Nashr Hamid Abu Zaid, Mohammad Abid al-Jabiri,

dan yang lainnya. Ia juga merupakan salah satu dari intelektual Arab yang masih

hidup dan mendapat ulasan khusus berupa artikel dalam The Oxford Encyclopedia

of the Modern Islamic World, diedit oleh Esposito (1995: 97-98).

Penulis secara pribadi menyebut Hanafi sebagai intelektual Muslim-Arab

kritis. Ada tiga alasan mendasar mengapa Hanafi dapat dikategorikan sebagai

pemikir kritis. Menurut Ashcroft dan Ahluwalia (1999: xi-xii), seorang

intelektual dapat dikatakan pemikir kritis apabila memenuhi tiga kriteria berikut.

Pertama, ia tidak hanya fokus pada bidangnya sendiri tetapi juga terhadap disiplin

ilmu lain dengan cara memberikan kritikan terhadap gagasan, atau teori yang

tidak pernah dipertanyakan sebelumnya. Kedua, dikatakan pemikir kritis karena

studi yang dilakukan menyediakan sejenis ‗tool kit‘ yang memungkinkan pembaca

untuk melakukan pembacaan kritis sehingga si pembaca tersebut pun menjadi

kritis.

Terakhir, dikatakan kritis karena ia bergelut dengan gagasan dan

pertanyaan yang dapat membalikkan pemahaman yang ada selama ini tentang

dunia, teks, dan segala sesuatu yang kita pahami sebagai taken for granted. Ia

15

mampu menyuguhkan pemahaman yang lebih mendalam dengan gagasan baru

terhadap sesuatu yang sudah kita ketahui. Berdasarkan kriteria tersebut, penulis

melihat Hanafi sebagai intelektual Muslim yang tidak hanya memfokuskan diri

pada Islamic studies saja, tetapi yang lebih penting dari itu mencarikan metode

studi Islam dengan meramu dari berbagai disiplin modern Barat seperti

fenomenologi dan bahkan berani menawarkan disiplin baru yang disebut

Oksidentalisme sebagai counter terhadap wacana orientalisme Barat.

Poin penting lain terkait dengan posisi Hanafi dalam wacana intelektual

Arab, yaitu tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh intelektual Arab antara tahun

1960, 1970, dan 1980-an M sangat urgen dan tajam. Tulisan-tulisan pada era

tersebut menurut Boullata (2002: 3) memiliki nada yang ―menyedihkan‖ tentang

kondisi bangsa Arab serta memperlihatkan adanya keinginan besar untuk bergulat

dengan problem modernitas. Dalam periode ini pula tulisan-tulisan Hanafi banyak

dilahirkan, termasuk karya-karya yang terkait dengan tema fundamentalisme

Islam.

Pemikiran Hanafi di dunia Islam sendiri berdasarkan pemetaan yang

dibuat oleh Shimogaki (2000: 4) dapat dilihat dalam tiga aspek. Aspek pertama

adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah revolusi

Islam Iran menang, ia memunculkan proyek Kiri Islam. Salah satu tugasnya

adalah untuk mencapai revolusi Tauhid. Dalam hal ini Hanafi dapat disejajarkan

sebagai pemikir revolusioner seperti Ali Syariati, seorang pemikir yang menjadi

tulang punggung revolusi Islam Iran. Kedua, ia seorang reformis tradisi

intelektual Islam klasik. Dalam hal ini Hanafi menempati posisi seperti

16

Muhammad Abduh (1849-1905 M).

Sebagai seorang reformis tradisi Islam, Hanafi adalah seorang nasionalis

sebagaimana Abduh. Menurut penulis, Hanafi lebih tepat sebagai Kiri-nya

gagasan reformisme Abduh. Terakhir, Hanafi merupakan penerus dan pelengkap

gerakan Afghani (1838-1896). Afghani merupakan pelopor gerakan Islam modern

yang menentang imperialisme Barat dan menyatukan persatuan dunia Islam.

Hanafi dalam Kiri Islam juga menyebut hal yang sama, yaitu perjuangan melawan

imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam (Shimogaki, 2000: 5).

Karya-karya Hasan Hanafi merupakan serangkaian pekerjaan besarnya

yang disebut dengan istilah proyek at-turāts wat-tajdīd (tradisi dan pembaruan),

proyek tersebut untuk merekonstruksi, menyatukan, dan menginterpretasikan

seluruh ilmu peradaban Islam berdasarkan kebutuhan kekinian untuk dijadikan

sebagai ideologi modern (Boullata, 2002: 62). Proyek ambisius tersebut terdiri

dari tiga agenda besar, yang masing-masing memiliki agenda-agenda turunan

yang bersifat elaboratif dan derivatif. Agenda besar pertama adalah ―sikap kita

terhadap tradisi lama.‖ Dalam agenda ini dibahas persoalan-persoalan

rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial. Untuk agenda pertama ini Hanafi

telah menulis tujuh jilid buku lalu disusul agenda besar kedua, yaitu ―sikap kita

terhadap tradisi Barat.‖ Dalam agenda kedua dicoba dilakukan kritisisme terhadap

peradaban Barat. Dan terakhir adalah ―sikap kita terhadap realitas.‖ Dalam agenda

ketiga ini Hanafi mengembangkan teori dan paradigma interpretasi. Bagi Hanafi

ketiga agenda di atas sebenarnya merupakan dinamika dan produk proses

dialektika antara ‗ego‘ (al-āna) dan ‗the other‘ (al-ākhar) (Hidayat, 2000: xviii;

17

Esposito, 1995: 98).

Ada empat disiplin Islam yang mendapat perhatian besar Hanafi, yaitu: (1)

teologi (‗ilm kalām atau ushūl ad-dīn); (2) filsafat (falsafah); (3) jurisprudensi

(ushūlul-fiqh); dan (4) sufisme (tasawuf). Menurutnya, empat disiplin ilmu itu

terinspirasi oleh al-Qur‘an dan sunnah yang dikajinya secara detil, dengan dua

tujuan: pertama, di satu sisi untuk menempatkan asal-usulnya sebagai disiplin

yang terkait dengan wahyu Tuhan, dan dengan kondisi-kondisi spesifik masanya

di sisi yang lain; kedua, merekonstruksinya dalam suatu sistem kultural yang baru

dan komprehensif untuk merespon kondisi dan kebutuhan era modern (Boullata,

2002: 60).

Terkait dengan pembahasan fundamentalisme Islam, penulis menempatkan

topik ini ke dalam proyek yang disebut dengan ―respon terhadap realitas

kekinian,‖ tertuang dalam bentuk buku dengan judul ―ad-Dīn wats-Tsaurah fī

Mishra: 1952-1981(Agama dan Revolusi di Mesir: 1952-1981),‖ terdiri dari 8

jilid terbit pada tahun 1989 M. Pembahasan secara khusus mengenai

fundamentalisme Islam tertuang dalam jilid ke-5 dan ke-6. Berbeda dari

pendekatan orientalis yang cenderung lebih bersifat analitis namun tidak solutif,

maka Hanafi sebagai orang yang pernah terlibat aktif dalam gerakan

fundamentalisme Islam tampil dengan beberapa solusi yang ditawarkan.

Sebagai ilustrasi awal, Hanafi umpamanya mengusulkan tiga hal penting

dalam menganalisis fundamentalisme Islam: 1) kajian tentang fundamentalisme

harus dari perspektif insider, 2) harus ada kehendak untuk melakukan rekonstruksi

terhadapnya dan menjadikan gerakan tersebut dapat sepadan dengan gerakan

18

Islam modern lainnya, dan 3) harus ada kemauan untuk membangun kembali élan

vital fundamentalisme Islam sebagai manifestasi dari gerakan reformisme Islam

(Hanafi, 1987: 10).

Tiga cara pandang di atas yang ditawarkan Hanafi bagi penulis sangat

menarik untuk diesplorasi lebih jauh. Persepsi tentang fundamentalisme Islam

selama ini dipandang sebagai gerakan anti-modern, namun Hanafi justeru

berusaha untuk menyepadankannya dengan gerakan Islam modern. Pernyataan-

pernyataan menarik ini menjadi dasar penulis untuk meneliti lebih jauh pemikiran

Hanafi sebagai tandingan terhadap kajian Barat yang selama ini kurang

memberikan kontribusi baik pada tahapan teoritis maupun dari segi metodologis

yang sesuai untuk konteks dunia ketiga. Oleh karena itu, mengakaji pemikiran

Hanafi sekali lagi diharapkan menjadi bagian dari kajian yang lebih genuine untuk

menampilkan kajian Islam dari perspektif insider.

Dalam studi yang dilakukannya, Hanafi mengkritisi dua kelompok

fundamentalisme Islam terkenal di Mesir yaitu Ikhwanul Muslimin dan Jama‘ah

al-Jihad. Ikhwanul Muslimin menurut sebagian besar sarjana dianggap sebagai

pelopor dari gerakan fundamentalisme Islam di Timur Tengah seperti Syria,

Libanon, Yordania, Kuwait, Saudi Arabia, Bahrain, dan juga Tunisia yang telah

mempengaruhi tumbuhnya fundamentalisme Islam di negara-negara Asia seperti

Malaysia dan Indonesia (Afadlal, dkk., 2005). Sedangkan Jama‘ah al-Jihad

merupakan kelompok yang dianggap bertanggungjawab atas pembunuhan Anwar

Sadat pada 6 Oktober 1981 M. Dua gerakan ini menjadi objek utama Hanafi

dalam mengkritisi fundamentalisme Islam dengan berupaya untuk menampilkan

19

sisi positif dan negatif dari gerakan tersebut.

Konteks Dunia Arab Islam dan Mesir pada khususnya pasca kekalahan

Perang Arab-Israel pada 1967 M dalam melihat perkembangan intelektual Muslim

kontemporer dan respon mereka terhadap modernitas menjadi starting point bagi

penulis. Setelah peristiwa the Arab defeat 1967 M ini, gerakan kritisisme (Arab

self criticism) muncul kemuka dengan berbagai bentuk ideologi seperti

liberalisme, sosialisme revolusioner dan tentunya fundamentalisme Islam yang

dipandang sebagai ideologi-ideologi alternatif atas gagalnya nasionalisme Arab

(Nasserisme) pasca difitisme 1967 M.

Selanjutnya, peristiwa the Arab Spring yang sedang terjadi sekarang ini

(akhir tahun 2010-sekarang) menampilkan satu fakta aktual bahwa pertarungan

ideologis itu memang ada dan semakin meruncing. Ideologi fundamentalisme

Islam yang direpresentasikan oleh Ikhwanul Muslimin Mesir bahkan berhasil

menjadi pemegang kekuasaan setelah sekian lama menantikannya sejak didirikan

oleh Hasan al-Banna pada 1928 M.

20

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, menarik untuk dicermati bahwa fenomena

fundamentalisme Islam merupakan fenomena yang sangat kompleks. Oleh karena

itu, diperlukan kajian dengan perspektif-konstruktif dalam melihat permasalahan

tersebut. Barangkali, mengkaji pemikiran intelektual Muslim, yaitu intelektual

yang memiliki latar belakang dan budaya Islam, dan secara sadar merumuskan

pemikirannya dalam kerangka konseptual Islam untuk melihat fenomena

fundamentalisme Islam merupakan pilihan tepat.

Selanjutnya, beberapa hal yang perlu dirumuskan dalam penelitian ini

terkait dengan perkembangan intelektual Arab dan pemikiran Hanafi mengenai

fundamentalisme Islam adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kecenderungan pemikiran intelektual Arab-Muslim Era

Modern dan pasca kekalahan perang Arab-Israel tahun 1967 M

(difitisme)?

2. Bagaimanakah latar belakang terbentuknya intelektualitas Hasan Hanafi?

3. Mengapa Hasan Hanafi mengkritik fundamentalisme Islam? Pada level

apa saja kritik tersebut ditujukan?

4. Apa teori dan metode yang digunakan serta bagaimana kontribusi teoretis

dan metodologis yang ditawarkan Hasan Hanafi sebagai intelektual Arab-

Muslim kontemporer atas problem fundamentalisme Islam?

21

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Merujuk kepada latar belakang masalah yang diuraikan di muka, ada tiga

tujuan pokok yang hendak dicapai, yakni:

Pertama, untuk mengetahui dan memetakan perkembangan intelektual

Arab-Muslim kontemporer pasca the Arab defeat 1967 dalam hal gagasan yang

mereka usung sebagai solusi terhadap keterpurukan yang sedang dihadapi.

Kedua, untuk mengetahui pemikiran Hanafi sebagai intelektual Muslim

Arab kontemporer tentang fundamentalisme Islam dengan segala latar belakang

maupun kekurangan dan kelebihannya: baik pada level teoritis maupun

metodologis.

Ketiga, penelitian ini dimaksudkan sebagai theory-testing research,

menguji teori Hanafi tentang fundamentalisme Islam agar kemungkinan-

kemungkinan untuk melakukan pengembangan (improvement) terhadap teori dan

metode kajian tentang fundamentalisme Islam dapat terus dilakukan.

Adapun manfaat penelitian ini, di samping untuk menambah khazanah

pemikiran sosial, budaya, politik, dan keagamaan, juga dimaksudkan sebagai

bentuk apresiasi terhadap pemikiran intelektual Muslim dan diharapkan dapat

dijadikan sebagai dasar penelitian mendatang tentang fundamentalisme Islam dari

perspektif intelektual Muslim.

1.4 Tinjauan Pustaka

22

Peninjauan pustaka penulis bagi menjadi dua bagian utama; bagian

pertama menguraikan kajian terdahulu tentang fundamentalisme Islam yang

difokuskan pada paradigma yang digunakan oleh para peneliti dalam melihat

fenomena tersebut. Langkah demikian dimaksudkan: 1) untuk mengetahui hasil

yang diperoleh dari masing-masing paradigma dalam menganalisis fenomena

tersebut, 2) untuk mengetahui kelemahan masing-masing paradigma, dan 3) untuk

menentukan posisi penelitian ini: apakah penulis cenderung melanjutkan sebuah

paradigma tertentu atau menawarkan paradigma baru dalam melihat persoalan

fundamentalisme Islam. Bagian terakhir merupakan uraian mengenai kajian

terdahulu atas karya dan pemikiran Hasan Hanafi.

1.4.1 Fundamentalisme Islam

Menurut Masoud Kazemzadeh (1998: 52-59) dalam ―Teaching the Politics

of Islamic Fundamentalism,‖ terdapat tiga paradigma utama kajian atas

fundamentalisme Islam, yaitu paradigma Islamic Exceptionalism6, Comparative

6 Paradigma Islamic Exceptionalism dibagi lagi menjadi tiga sub-kelompok: cultural

relativist atau accommodationist, neo-Cold warriors, dan Islamic fundamentalist. John Esposito

merupakan representasi yang paling tepat dari kelompok cultural relativist atau yang disebut oleh

Abed-Kotob (1995) sebagai kelompok accommodationist. Anggota sub-kelompok ini menghindari

penggunaan istilah ―fundamentalisme.‖ Alasannya, gerakan ini merupakan fenomena siklis yang

telah terjadi di sepanjang sejarah Islam (Esposito, 1991). Anggota sub-kelompok ini cenderung

melihat Islam dan gerakan-gerakan islamis dengan pandangan yang sangat positif. Selanjutnya,

sub-kelompok kedua dari paradigma pertama cenderung memiliki pandangan yang sangat negatif

terhadap gerakan-gerakan Islam. Sadowski (1993) dan Burke (1988: 18) menyebut kumpulan

sarjana ini sebagai ―Orientalist,‖ sedangkan Abed-Kotob (1995) menyebut mereka sebagai

penganut aliran Confrontationist. Sementara istilah yang cukup netral secara kultural menurut

Kazemzadeh adalah neo-Cold Warriors. Mereka berpandangan, bahwa akar-akar kediktatoran

bersumber dari ajaran Islam dan fundamentalisme Islam merupakan bentuk politik dari keyakinan

Islam yang lebih tegas (Kazemzadeh, 1998). Tokoh-tokoh utama sub-kelompok ini adalah Daniel

Pipes, Peter Rodman (anggota Dewan Keamanan Nasional masa pemerintahan Reagan), dan pada

tahapan yang lebih bawah, Bernard Lewis, sesepuh kajian Timur Tengah di Princeton University

(Karabell, 1995: 38).

Seperti telah disebutkan di muka, terbaginya paradigma pertama ke dalam sub-sub

kelompok disebabkan oleh perbedaan pandangan politik yang tajam. Daniel Pipes, seorang tokoh

terkemuka Neo-Cold Warriors, memandang penganut cultural relativist sebagai naïf dan tidak

23

Fundamentalism dan Class Analysis. Sarjana penganut paradigma pertama

berpendapat bahwa teori-teori sosial ala Barat tidak dapat diterapkan untuk

mengkaji fundamentalisme Islam karena fenomena ini khas dimiliki dunia Islam.

Paradigma kedua adalah Comparative Fundamentalism. Sarjana yang

menganut paradigma kedua ini berpandangan bahwa fundamentalisme Islam

merupakan salah satu bagian dari fenomena besar lainnya. Mereka memandang

berbagai gerakan kanan keagamaan sebagai ancaman bagi demokrasi, kebebasan

sipil, hak-hak perempuan, kehidupan sekuler, dan kemajuan ilmiah. Karya besar

dari paradigma kedua ini adalah Fundamentalism Project yang dipelopori oleh

Martin E. Marty, et. al. Kontribusi utama Fundamentalism Project meliputi: (1)

menyediakan intra-paradigmatik tentang terminologi dan definisi

fundamentalisme, (2) mengadopsi dengan sangat teliti metodologi komparatif, dan

(3) menyajikan generalisasi yang barangkali dapat disangkal oleh penelitian

selanjutnya.

Paradigma ketiga adalah Class Analysis. Penganut paradigma ini

menggunakan konsep-konsep ilmiah sosial dalam menganalisis fundamentalisme

Islam. Mereka jarang sekali membandingkan gerakan fundamentalisme Islam

dengan gerakan-gerakan keagamaan lain. Mereka mempertimbangkan

menyadari akan bahaya fudamentalisme Islam. Menurut Pipes, komunis dan fundamentalis tak

terkecuali merupakan musuh bagi Barat, fundamentalisme Islam harus dipecahkan dan dikuasai

(Kazemzadeh, 1995: 195). Bagi Pipes (1995: 194), tantangan fundamentalis lebih berbahaya

dibandingkan dengan komunis. ―Yang terkahir hanya tidak setuju dengan politik Barat, bukan

dengan keseluruhan cara pandangan dunia kita.‖ Sementara menurut kalangan cultural relativist,

penganut neo-Cold warriors dianggap terlalu melebih-lebihkan acaman fudanemtalisme Islam dan

meremehkan kelompok-kelompok lain yang terdapat dalam gerakan fundamentalisme (tokoh

penganut aliran ini menurut Kazemzadeh yaitu John L. Esposito, Roy Mottahedeh, dan Gary

Sick). Terakhir, sub-kelompok ketiga dari paradigma pertama disusun oleh kalangan

fundamentalis itu sendiri. Terdiri dari para ideolog yang mencoba merumuskan prinsip-prinsip

sosio-ekonomi politik sesuai dengan ajaran Islam.

24

fundamentalisme Islam sebanding dengan gerakan-gerakan populis dan fasis

seperti halnya Nazi. Para sarjana ini memandang fundamentalisme Islam sebagai

gerakan politik di antara kelas-kelas sosial tertentu untuk menggapai kekuasan

politik demi kepentingan kelas-kelas tertentu pula (Kazemzadeh, 1998: 55).

Sementara paradigma lain yang tidak dapat dikategorikan oleh Kazemzadeh

disebutnya sebagai hybrid studies, yaitu sebuah pendekatan yang

mengkombinasikan berbagai aspek dari tiga paradigma utama tersebut. Ia sebut

umpamanya Dekmejian (1995) dan Halliday (1995) sebagai penganut aliran ini.

Dari uraian ketiga paradigma di atas, Kazemzadeh tidak menyebutkan

kelemahan masing-masing paradigma. Uraian di atas merupakan pemetaan awal

yang diakuinya masih kurang mendalam dan diperlukan peneliti-peneliti lain yang

dapat membuat pemetaan paradigmatik tentang fundamentalisme Islam secara

lebih detail lagi. Oleh karena itu, penulis akan melakukan eksplorasi lebih jauh

tentang beberapa studi yang telah dilakukan terkait tema fundamentalisme Islam

dengan memfokuskan pada paradigma yang digunakan dalam melihat persoalan

tersebut.

Terdapat dua karya penting yang mengikuti paradigma kedua: pertama,

buku yang ditulis oleh Bruce B Lawrence (1989), dengan judul The

Fundamentalist Revolt Against the Modern Age:Defenders of God. Studi

komparatif yang dilakukan Lawrence dimaksudkan untuk memunculkan what is

common, and also what is unique, in each fundamentalist cadre. Poin penting

menurutnya bahwa fundamentalisme merupakan ideologi agama dalam artian

25

mereka adalah “…motivated individuals, drawn together into ideologically

structured groups, for the purpose of promoting a vision of divine restoration…”

(Lawrence, 1989: 1-6). Ia menganjurkan agar kajian terhadapnya harus

difokuskan pada: 1) penekanan resiprokal antara kitab suci dengan ritual, 2)

tradisi yang mereka klaim sebagai sumber dari otoritas skriptual, 3)

kepemimpinan kharismatis, dan 4) koalisi ideologi yang mengikat beragam

kelompok (Lawrence, 1989: 15).

Karya kedua ditulis oleh Bassam Tibi, anggota Fundamentalism Project

antara tahun 1989-1992 M. Bukunya dengan judul The Challenge of

Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, mencoba

menjelaskan dua poin utama. Pertama, fundamentalisme agama —sebagai sebuah

fenomena politik tidak terbatas pada dunia Islam— melainkan sebuah politisasi

agama agresif yang dijalankan untuk mengejar tujuan-tujuan non-religius. Kedua,

fundamentalisme Islam atau yang lainnya, hanyalah bentuk superficial dari

terrorisme dan ekstremisme (Tibi, 2002: xxv). Tibi membangun argumentasi

bahwa ―…Islamic fundamentalism is not simply an intra-Islamic affair, but rather

one of the pillars of an emerging new world disorder…‖ (Tibi, 2002: 2).

Ketika berhadapan dengan fundamentalisme dalam agama lain seperti

Hindu, ia menganggap fundamentalisme tersebut sebagai teriotorial, Tibi

menekankan bahwa fundamentalisme Islam lebih absolut dan lebih universalis;

“a vision of a worldwide order based on Islam. It is for this reason —

and not because of an “enmity of Islam”— that the debate on

fundamentalism and world politics must be centered around Islam and

the West” (Tibi, 2002: 5).

26

Dalam hal ini, Tibi nampak sekali mendukung teori Clash of Civilization-

nya Huntington. Lagi-lagi, sebagai sarjana penganut studi komparatif, ia

memandang Islam fundamentalis sebagai ancaman nyata bagi modernitas. Sebagai

solusinya, ia menawarkan demokrasi dan negara sekuler ala Barat sebagai solusi

nyata atas problem fundamentalisme Islam.

Berbeda dari Kazemzadeh yang cenderung ―positivistik‖ dalam membuat

klasifikasi paradigma kajian fundamentalisme Islam, Moaddel (2002: 359-386)

dalam ―The Study of Islamic Culture and Politics: an Overview and Assessment”

memberikan pemetaan paradigma yang lebih ―operasional‖ secara metodologis.

Menurutnya, ada tiga pandangan utama studi tentang fundamentalisme Islam.

Pertama, studi yang menekankan pada faktor-faktor seperti krisis ekonomi,

meluasnya ketidaksetaraan sosial, dan otoritarianisme. Teori pertama ini disebut

dengan crisis theories. Kedua, studi yang memberikan catatan lebih pada

bangkitnya cultural duality atau dua sistem otoritas di negara-negara Islam yang

saling bertentangan. Studi ini disebut dengan cultural duality theories. Kalau studi

pertama menganggap fundamentalisme Islam sebagai gerakan sosial (social

movements) di negara-negara Islam, kelompok kedua memberikan perhatian

serius pada perkembangan sejarah gerakan oposisi Islam dan menekankan pada

religious dimension-nya. Ketiga, kumpulan studi yang terdiri dari mereka yang

memfokuskan studinya pada budaya/ideologi negara dan konsekuensi keagamaan.

Kelompok ketiga ini dikategorikan sebagai state culture theories (Moaddel, 2002:

371).

27

Bagi Moaddel, crisis theories memiliki kelemahan mendasar. Pertama,

tidak semua kebangkitan gerakan fundamentalisme Islam disebabkan oleh krisis

ekonomi. Kedua, studi model ini tidak menjelaskan bagaimana ideologi

fundamentalisme Islam dihasilkan. Studi ini menggambarkan pengikut

fundamentalisme Islam sebagai reaksi orang miskin terhadap proses modernisasi

(Moaddel, 2002: 372). Termasuk dalam kategori ini, Moaddel menganggap

Dekmejian (1995) sebagai penganut crisis theories bukan penganut hybrid studies

seperti yang dikategorikan oleh Kazemzadeh di atas. Sementara cultural duality

theories yang menekankan kajian pada konflik antara kelompok agama dengan

penguasa yang disebabkan oleh tersisihnya kelompok agama dalam kancah sosio-

ekonomi politik, dimana oposisi ini sering kali digambarkan sebagai revolutionary

traditionalism, mempunyai kelemahan utama yaitu gagal mengkaji peranan kelas

menengah terdidik dan intelektual modern dalam gerakan kebangkitan Islam

(Moaddel, 2002: 373).

Model terakhir studi tentang fundamentalisme Islam dan sekaligus dianut

oleh Moaddel adalah state culture theories: sebuah pendekatan yang hampir

serupa dengan cultural duality theories, dengan perbedaan prinsipnya pada

pandangan bahwa dualitas antara negara dan agama bukan sesuatu yang terjadi

begitu saja melainkan diproduksi sebagai wacana oposisional Islam terhadap

ideologi negara dan kebijakan kultural. Asumsi dasar dari pendekatan state

culture theories ini adalah bahwa kebangkitan atau reaksi dan tingkat militansi

sebuah gerakan fundamentalisme Islam sangat tergantung pada ideologi yang

dianut oleh negara/penguasa. Semakin sekular ideologi negara, maka semakin

28

radikal pula respon dari kelompok fundamentalisme Islam. Hal ini dapat dilihat

pada kasus fundamentalisme Islam di Mesir, dan akan sangat berbeda dengan

konteks gerakan Islam di Yordania (Moaddel, 2002: 374).

Penelitian terdahulu berikutnya seperti yang telah disebutkan di atas, yaitu

Dekmejian (1985: xi-249) merupakan penganut crisis theories. Asumsi dasarnya

tentang fundamentalisme Islam dalam bukunya yang berjudul Islam in revolution:

fundamentalism in the Arab world, adalah bahwa gerakan tersebut merupakan

produk dari berbagai krisis yang dihadapi dunia Islam. Fundamentalisme Islam

dianggap sebagai fenomena siklus yang terjadi sebagai respon terhadap krisis

sosial yang akut (Dekmejian, 1985: 6). Ia sangat yakin sekali bahwa pendekatan

Barat-Marxis atas wacana fundamentalisme Islam dari perspektif sosio-ekonomi

akan menyediakan jawaban-jawaban yang tepat. Menurutnya, dimensi krisis

spiritual dan otoritas moral merupakan hal yang sangat penting untuk dilihat

(Dekmejian, 1985: 178).

Buku tersebut dengan sangat baik menggambarkan jatuh-bangunnya

gerakan fundamentalisme dalam sejarah panjang Islam yang disejajarkan dengan

krisis sosial yang mengiringinya. Buku ini pula telah memberikan pemetaan yang

baik tentang kelompok-kelompok fundamentalisme Islam, dilengkapi dengan

uraian masing-masing ideologi dalam bentuk tabel. Kelebihan metode demikian

sangat membantu sebagai summary, tetapi kelemahannya terkesan kurang

komprehensif.

Terakhir, crisis theories dapat dilihat dalam karya Olivier Roy (1996), The

Failure of Political Islam, yang menyimpulkan bahwa Islamisme sebagai gerakan

29

sosial dan revolusioner gagal menjadi ideologi alternatif modernitas Barat

utamanya pada tahun 1980an dan telah bertransformasi menjadi neo-

fundamentalisme dengan bentuknya yang lebih bersifat individual dan kurang

berpolitik.

Paradigma lain yang dapat penulis temukan dari para peneliti sebelumnya

adalah Social Movement Theory. Asef Bayat (2005: 891-908) dalam ―Islamism

and Social Movement Theory” menggunakan teori social movement sebagai pisau

analisis ketika membandingkan gerakan Islamisme di Mesir dan Iran dengan

memberikan perhatian lebih pada kasus gerakan Islamisme di Mesir. Beberapa hal

yang ia temukan terkait dengan gerakan tersebut adalah: pertama, gerakan

Islamisme/fundamentalisme adalah sebuah gerakan yang sangat dinamis. Kedua,

berbeda dari konteks Iran yang karena lemahnya aksi islamisasi, maka lahirlah

revolusi Islam Iran 1979 M yang dipimpin oleh para pemuka agama dan berbagai

elemen masyarakat lainnya. Islamisasi justru baru terjadi setelah revolusi dan ini

dilakukan oleh pemerintahan Islam itu sendiri, top down. Sedangkan gerakan

Islmisme yang sangat kuat di Mesir menghasilkan bentuk ‗reformist-nya‘ dan

mencegah terjadinya revolusi Islam model Iran. Sebagai sebuah social movement,

Islamisme di Mesir telah berhasil menyediakan social safety net dengan cara

menciptakan kesejahteraan sosial dan komunitas bermoral yang menjadikan

pengikutnya merasa aman dan terbebas dari rasa ‗penjajahan kultural‘ (cultural

invasion).

Studi fundamentalisme Islam dengan paradigma social movement

dilakukan pula oleh Salwa Ismail (2001: 34-39) dalam ―The Paradox of Islamist

30

Politics” dengan memfokuskan pada aspek moralitas. Ia menyebut gerakan

tersebut sebagai small entrepreneurs of morality— individu atau kelompok kecil

yang berusaha menanamkan kembali norma-norma moral dalam domain publik.

Dari komunitas inilah kemudian lahir tuntutan segala sesuatu harus Islami.

Aktivisme semacam ini memungkinkan kalangan Islamis untuk

mengkonsolidasikan kekuatan dan menjadi oposisi bagi penguasa (Ismail, 2001:

36). Gerakan Islamis mampu bergerak secara dinamis memanfaatkan ranah-ranah

yang tak tersentuh oleh pemerintah. Islamisme sebagai sebuah proses —dan

bukan sekedar proyek— tetap menjadi kekuatan dinamis (Ismail, 2001: 39).

Ziad Munson (2001: 487-510) pun dalam tulisannya ―Islamic

Mobilization,” menggunakan paradigma social movement untuk mengkaji

gerakan Ikhwanul Muslimin (IM) dengan memfokuskan pada pertanyaan

bagaimana gerakan IM mampu menarik anggota baru dan dukungan publik yang

begitu massive antara tahun 1932-1954 M, sebagai periode mobilisasi yang

menurutnya sangat luar biasa (Munson, 2001: 487). Analisis ini berpusat pada dua

argumen penting secara teoritis. Argumen pertama terfokus pada interaksi antara

komponen ideasional IM di satu sisi, dan aktivitas organisasional kelompok di sisi

lain. Studi ini mengusulkan bahwa pemahaman tentang peranan ide-ide dalam

social movement harus dipertajam dengan mempertimbangkan pandangan bahwa

mobilisasi sangat tergantung pada interaksi antara ide, organisasi, dan

lingkungan—tidak sesederhana pada satu dimensi saja. Kedua, kasus IM juga

mengusulkan argumen bahwa hubungan antara mobilisasi dan represi harus

31

dikembangkan fokusnya pada proses-proses yang memungkinkannya mampu

bertahan dari segala upaya represif penguasa.

Dari studi yang dilakukan Munson dapat disimpulkan bahwa mobilisasi

IM dapat berhasil karena: (1) struktur internalnya diadaptasikan secara spesifik

untuk menghindari upaya-upaya represif dari penguasa dan menjadikannya lebih

mudah secara praktis dan ideologis bagi masyarkat yang mau bergabung; (2)

aktivitasnya dijalin dengan keyakinan yang diperkokoh dan dibuat lebih tahan

terhadap tindakan represif penguasa dan lebih menarik bagi pendukung potensial;

dan (3) struktur pesan kelompok yang berakar dari gagasan dan simbol Islam yang

kaya, diikatkan pada kehidupan sehari-hari orang Mesir sehingga sangat mudah

untuk diterima.

Sheri Berman (2003: 257-272) dalam ―Islamism, Revolution, and Civil

Society,” menggunakan social movement theory" untuk mengungkap keberhasilan

gerakan Islamisme di Mesir. Menurutnya, keberhasilan tersebut karena mereka

mampu menjadi agen penting pelayanan publik. Pelayanan tersebut dalam bentuk

pelayanan kesehatan, pendidikan dan bimbingan kerja. Pelayanan yang mereka

lakukan kadang lebih baik dari pelayanan pemerintah (Berman, 2003: 260).

Dengan cara seperti ini, mereka dapat memberikan ruang penyebaran ideologi dan

memperluas jaringan. Pesan-pesan moral diperlihatkan secara eksplisit;

pemisahan tempat pelayanan kesehatan bagi laki-laki dan perempuan. Contoh lain

adalah pelayanan bis khusus untuk kaum perempuan, setelah bis ini menjadi ramai

dan popular kemudian bis tersebut hanya dibatasi bagi perempuan yang berjilbab,

bagi mereka yang tidak berjilbab disediakan secara gratis pakaian Islami (Berman,

32

2003: 261). Intinya bahwa keterlibatan mereka dalam masyarakat telah memberi

keuntungan untuk membangun gerakan yang lebih powerful, fleksibel, dan

responsif. Strategi civil society seperti ini pada tahapan tertentu membantu

kalangan fundamentalis terhindar dari tuduhan-tuduhan pemerintah (Berman,

2003: 262).

Penelitian serupa dengan pendekatan social movement theory dilakukan

oleh Saad Eddin Ibrahim (1980: 423-453) dalam ―Anatomy of Egypt's militant

Islamic groups: Methodological note and preliminary findings.” Beberapa hal

pokok yang dibahas dalam penelitiannya adalah ideologi, struktur kelompok Islam

militan, dan isu-isu strategi gerakan. Dari hasil studinya, terdapat dua perangkat

utama yang akan menentukan masa depan militansi Islam di Mesir. Perangkat

pertama berkaitan dengan keharusan kemampuan penguasa dalam menanggapi

masalah-masalah kemerdekaan, keadilan sosial, dan visi yang kredibel bagi masa

depan anak muda terdidik. Perangkat kedua berkaitan dengan model-model

regional lainnya.

Berbeda dari paradigma sebelumnya, Ira M Lapidus (1997: 444-460)

dalam ―Islamic Revival and Modernity: The Contemporary Movements and the

Historical Paradigms” menggunakan perspektif historis dalam mengkaji gerakan

fundamentalisme Islam. Asumsi utamanya adalah bahwa revivalisme Islam

merupakan reaksi terhadap modernitas, tetapi lebih dari itu, mereka juga

merupakan ekspresi modernitas. Pada saat yang sama, gerakan revivalisme Islam

bukanlah fenomena baru. Sejarah masa lalu Islam berisi banyak contoh gerakan

33

revivalisme yang berkembang sebagai respon terhadap kondisi politik dan

ekonomi yang sedang berubah.

Bagi Lapidus, gerakan revivalisme Islam kontemporer memiliki akar-

akarnya pada 1920-an dan 1930-an M, dengan berdirinya Ikhwanul Muslimin di

Mesir oleh Hasan al-Banna dan JI di India oleh Mawlana Abu ‗Ala Mawdudi

(Lapidus, 1997: 445). Menurutnya lagi, penekanan kontemporer terhadap

solidaritas, tujuan, dan simbol politik merupakan versi baru Islam dan bukan tipe

khusus wacana sejarah (Lapidus, 1997: 448). Lapidus memandang gerakan

revivalisme dan reformisme sebagai gerakan tajdid. Mereka merupakan reafirmasi

dari apa yang disebutnya sebagai sintesis Sunni-Syari‟ah-Sufi, yaitu integrasi

antara ajaran fiqih dan mistisisme yang membentuk mainstream Islam Sunni.

Mengapa tajdid menjadi daya tarik bagi wacana sosial-politik? Menurutnya, ada

dua alasan utama; pertama karena kesesuaian ideologi tajdid bagi terbentuknya

sebuah jaringan, integrasi populasi yang beragam, dan mobilisasi politik. Kedua,

dalam masyarakat yang terfragmentasi, tajdid menyediakan basis komitmen

bersama, dan membantu melampaui fragmentasi sosial tersebut atas nama

persatuan religius dan ideologis.

Hemat penulis, penelitian Edmun Burke, III (1988: 17-35) ―Islam,

Politics, and Social Movements,” dapat merangkum berbagai paradigma di atas

menjadi dua kategori utama sarjana peneliti gerakan-gerakan Islam: pertama, new

cultural history (atau new Orientalism), sebuah tradisi yang mengejar Islamic

dimension dalam gerakan-gerakan tersebut. Pendekatan ini mengeksplorasi

bagaimana dan pada tingkatan seperti apa gerakan-gerakan tertentu menggunakan

34

sumber-sumber kultural dan religius [Islam] untuk memobilisasi dan melegitimasi

gerakan-gerakan politik kebangkitan Islam dan sekaligus sebagai gerakan anti-

kolonial. Sedangkan pendekatan kedua berasal dari new social history, sebuah

pendekatan yang menempatkan collective action dalam konteks sosiologi Islam.

Analisisnya tidak memandang gerakan kebangkitan Islam sebagai sistem relasi.

Pendekatan pertama berasosiasi dengan karya sejarawan dan sosiolog

Jerman, Marx Weber. Dalil utama Teori Weber adalah bahwa struktur dan

gerakan sebuah kelompok berasal dari komitmennya terhadap satu belief system

tertentu. Dalam sistem Weberian, tantangan terhadap sistem politik yang mapan

berasal dari individu kharismatis yang mampu menggembleng sekelompok besar

pengikut terhadap gagasan tertentu. Sementara pendekatan kedua terinspirasi oleh

gagasan-gagasan Karl Marx (Burke, III, 1988: 19-20). Menurut Burke, kajian atas

gerakan-gerakan Islam yang dilakukan oleh sarjana Barat selama ini didominasi

tradisi Weberian dengan metode yang telah dikembangkan oleh sosiolog dan

antropolog neo-Weberian seperti Robert Bellah, S. E. Eistadt, Clifford Geertz, dan

Victor Turner.

Paradigma berikutnya yang penulis temukan adalah paradigma counter-

hegemonic-nya Gramsci. Thomas J. Butko (2004: 41-62) dalam ―Revelation or

revolution: a Gramscian approach to the rise of political Islam,” mengkaji

fundamentalisme Islam dengan menggunakan kerangka teori ini untuk

mendasarkan argumen pada kenyataan bahwa gerakan-gerakan kegamaan seperti

fundamentalisme Islam atau Islam Politik merupakan suatu gerakan yang

berusaha untuk menggulingkan penguasa dan menciptakan tatanan masyarakat

35

baru. Kerangka teori ini berhasil mengungkapkan suatu fakta bahwa gerakan

fundamentalisme Islam sejauh ini telah berhasil menjadi gerakan counter-

hegemonic bagi penguasa setempat karena ia memiliki komponen-komponen

penting berupa ideologi, organiasi dan strategi. Peranan ideologi yang terpenting

adalah sebagai perangkat yang mampu menyatukan kepentingan beragam

(divergent interests). Pada tataran praktis, kalangan Islamis menggunakan Islam

sebagai ideologi politik. Inti ideologi Islam menyuarakan universalitas,

persaudaraan, ekualitas, keadilan, dan kemerdekaan (Butko, 2004: 49).

Sementara komponen organisasi terdiri dari kepemimpinan yang

kharismatis, the vanguard (barisan depan yang solid) serta para pengikut setia.

Komitmen antara pemimpin dan yang dipimpin menghantarkan pada apa yang

disebut dengan `aqd al-ijtimā`i (social contract). Kontrak sosial terwujud menjadi

gerakan yang homogen dan utuh, konsep tersebut disebut Gramsci sebagai

kesatuan organis (organic unity). Konsep demikian telah diterapkan oleh pemuka-

pemuka gerakan Islam seperti Qutb dan Maududi (Butko, 2004: 56). Sedangkan

dalam hal strategi, fundamentalisme Islam telah berhasil menjadi gerakan

counter-hegemonic karena mereka memiliki strategi yang aktif, intervensionis,

dan berjangka panjang (long-term).

Paradigma selanjutnya adalah comparative political theory. Roxanne L.

Euben (1997a: 28-55) dengan judul tulisannya "Comparative Political Theory: An

Islamic Fundamentalist Critique of Rationalism," melakukan komparasi

pemikiran politik Islam fundamentalis dengan pemikiran politik modern Barat.

Dalam melakukan comparative political theory ini, Euben mengkaji pemikiran

36

Sayyid Qutb sebagai representasi pemikir politik Islam fundamentalis. Terkait

dengan diskusi pemikiran politik Qutb, ada dua argumen yang dibangun olehnya;

pertama bersifat subtantif dan yang kedua bersifat metodologis. Argumen

pertama merupakan analisis teori politik Qutb yang menghasilkan sebuah

pemahaman tentang pemikiran Islam fundamentalis (Sunni) sebagai sebuah

tantangan bagi kedaulatan politik modern baik di Timur Tengah maupun di Barat.

Tantangan ini merupakan kritik terhadap kegagalan politik dan ekonomi regim

Timur Tengah dan juga Barat. Tantangan ini pun merupakan dakwaan moril

terhadap teori-teori politik post-Pencerahan seperti Marxism, liberalism, dan

sosialisme, yang mengharap penghapusan otoritas agama dalam ranah politik

(Euben, 1997a: 31).

Argumentasi kedua bersifat metodologis, yaitu kemungkinan

menggunakan comparative political theory. Teori ini memperkenalkan perspektif

non-Barat dalam perdebatan-perdebatan yang familiar tentang problem hidup

bersama, memastikan bahwa ―teori politik‖ adalah tentang manusia bukan hanya

tentang dilemma Barat (Euben, 1997a: 32). Dari penelitian ini ditemukan bahwa

kritik utama Qutb adalah terhadap modernitas bukan ditujukan pada teknologi-

teknologi modern ataupun capaian-capaian ilmiah lainnya —melainkan yang ia

kritik adalah rasionalisme post-Pencerahan Barat (Euben, 1997a: 52). Dalam

artikel lain yang berjudul "Premodern, antimodern or postmodern? Islamic and

Western critiques of modernity," Euben (1997b: 429-459) menegaskan hal yang

sama, fundamentalisme Islam merupakan gerakan anti-modernitas yang ingin

mencapai keselamatan yang dapat diraih hanya dengan cara terlibat dalam dunia

37

ini, atau lebih tepat lagi ―within the institutions of the world, but in opposition to

them” (Euben, 1997b: 432).

Penelitian berikutnya dilakukan oleh Browers (2005: 75-93) dalam "The

Secular Bias in Ideology Studies and the Case of Islamist," mengkaji gerakan

fundamentalisme Islam dari perspektif kajian ideologi. Menurutnya,

konseptualisasi ideologi versi Kristen sekular selama ini telah menghambat

pemahaman terhadap kekuatan ideologis dan fungsi agama dalam konteks non-

Kristen secara umum dan dalam konteks gagasan-gagasan Islamisme kontemporer

pada khususnya (Browers, 2005: 76). Dalam konteks Krsitiani, agama tak lebih

dari sekedar realitas spiritual. Sedangkan ideologi pada satu sisi dianggap sebagai

action oriented, berusaha memotivasi manusia untuk melakukan tujuan-tujuan

politik. Jelas sekali pemahaman agama sebagai anti-politik ini muncul dari asal-

usul Kristiani.

Bagi Browers, hal di atas akan sangat berbeda dalam konteks Islam

dimana tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Abduh dan Jamaluddin al-Afghani,

selalu membangkitkan semangat perjuangan Islam menentang dominasi asing

dengan mengutip ayat-ayat al-Qur‘an yang sesuai, sebagai basis ideologi

perjuangan (Browers, 2005: 77). Singkatnya, kajian perspektif ideologi

memberikan suatu fakta nyata bahwa Islamisme dengan segenap tokoh ideolognya

telah menjadikan Islam sebagai sebuah gerakan ideologis di Timur Tengah yang

mampu membuktikan kekuatan mereka setelah gagalnya ideologi sekular seperti

Nasionalisme dan Sosialisme Arab (Browers, 2005: 80).

38

Penelitian terakhir tapi tidak kalah pentingnya dilakukan oleh Mahmud A.

Faksh (1997) dalam The Future of Islam in the Middle East: Fundamentalisme in

Egypt, Algeria, and Saudi Arabia. Faksh menggunakan teori challenge and

responses, fundamentalisme dianggap sebagai tantangan bagi penguasa di Timur

Tengah [Mesir, Aljazair, dan Saudi Arabia] serta bagaimana respon pemerintah

terhadap fundamentalisme. Menurutnya, fundamentalisme sebagai sebuah

tantangan telah gagal menterjemahkan retorika ideologi ke dalam bentuk

kekuasaan politik. Sampai saat ini, retorika terus menjadi ciri khas kelompok ini.

Sementara respon penguasa Timur Tengah terhadap fundamentalisme agama

sejauh ini telah banyak berhasil. Bagi Faksh, tafsir kaum fundamentalis terhadap

syari‟ah yang rigid dalam konteks modernitas, justeru akan menghantarkan umat

Islam pada kehidupan masyarakat yang kaku dan stagnan.

Dalam gambaran sederhananya, penelitian-penelitian tersebut di atas dapat

penulis petakan dalam tabel berikut:

Penulis dan Judul

(Buku/Jurnal)

Paradigma/Teori Hasil/Tesis/Asumsi

Bruce B Lawrence (1989)

―The Fundamentalist Revolt

Against the modern Age:

Defenders of God.‖

Comparative

studies/Comparative

fundamentalism

- Fundamentalisme fenomena

yang lazim terjadi dalam tradisi

agama apa pun.

- Fundamentalisme tantangan bagi

modernitas.

- Perbedaan masing-masing

fundamentalisme terletak pada:

teks suci, tradisi, kepemimpinan,

dan ideologi

Bassam Tibi (2002) ―The

Challenge of

Fundamentalism: Political

Islam and The New World

Disorder.”

- Fundamentalisme fenomena

lazim dalam tradisi agama,

bedanya fundamentalisme Islam

bersifat universal.

- Fundemantalisme sebagai bentuk

superficial dari terrorisme dan

ancaman bagi demokrasi.

Manshur Moaddel (2002:

359-386) ―The Study of

Islamic Culture and Politics:

- crisis theories (masuk

dalam kategori ini karya

Dekmejian (1985)

- Fundamentalisme sebagai respon

terhadap krisis ekonomi,

meluasnya ketidaksetaraan

39

An Overview and

Assessment.”

―Islam in revolution:

fundamentalism in the

Arab world”; Olivier

Roy (1996) “The

Failure of Political

Islam.”

sosial, dan otoritarianisme.

- Islamisme gagal menjadi

ideologi alternatif.

- Islmisme pasca-1980an beralih

bentuk menjadi neo-

fundamentalisme yang lebih

bersifat individual dan kurang

politis.

- cultural duality theories - Fundamentalisme sebagai reaksi

kelompok religius yang tersisih,

sering digambarkan sebagai

revolutionary traditionalism.

- state culture theories - tingkat militansi/radikalisasi

fundamentalisme Islam sangat

tergantung pada ideologi yang

dianut oleh negara/penguasa.

Asef Bayat (2005: 891-908)

―Islamism and Social

Movement Theory.”

- social movement

theories

- Islamisme/fundamentalisme

adalah sebuah gerakan yang

sangat dinamis.

- Islmisme di Mesir cenderung

pada reformisme, dan mencegah

terjadinya revolusi Islam model

Iran.

- Islamisme [Mesir] berhasil

menyediakan ‗social safety net.

Salwa Ismail (2001: 34-39)

―The Paradox of Islamist

Politics.”

- Fundamentalisme sebagai “small

entrepreneurs of morality.”

- Islamisme sebagai sebuah

proses—dan bukan sekedar

proyek—tetap menjadi kekuatan

dinamis.

Ziad Munson (2001: 487-

510) ―Islamic Mobilization.”

- Mobilisasi Fundamentalisme

berhasil (IM) karena ada korelasi

antara ideologi dengan

kebutuhan praktis.

- Bahasa yang digunakan

fundamentalis sangat mudah

diterima.

Sheri Berman (2003: 257-

272) ―Islamism, revolution,

and civil society.”

- Keberhasilan fundamentalisme

di Mesir (IM) karena berani

menyentuh grass root dengan

menyediakan pelayanan sosial.

Saad Eddin Ibrahim (1980:

423-453) ―Anatomy of

Egypt's militant Islamic

groups: Methodological note

and preliminary findings.”

- Keberhasilan IM di Mesir karena

ada kesesuaian antara ideologi,

struktur, dan strategi gerakan.

Ira M Lapidus (1997: 444-

460) ―Islamic Revival and

Modernity: The

Contemporary Movements

and the Historical

Paradigms.”

- Historical paradigm - Fundamentalisme atau

revivalisme merupakan reaksi

sekaligus eskpresi modernitas.

- Fundamentalisme bukan

fenomena baru.

- Baik fundamentalimse maupun

modernisme sama-sama

merupakan gerakan tajdid.

40

Edmun Burke, III (1988)

“Islam, Politics, and Social

Movements.”

- new Orientalism theory - Mengungkap dimensi Islam

dalam fundamentalisme.

- Sumber-sumber kultural dan

agama (belief system) sebagai

legitimasi aksi.

- new social history - Fundamentalisme Islam sebagai

akibat dari adanya shifts in the

organization of production.

- Fundamentalisme sebagai kelas

sosial tertentu.

Thomas J. Butko (2004: 41-

62) ―Revelation or

revolution: a Gramscian

approach to the rise of

political Islam.”

- Counter hegemonic

theory

- Fundamentalisme bertujuan

menggulingkan penguasa dan

menciptakan tatanan baru.

- Fundamentalisme berhasil

sebagai gerakan counter

hegemonic karena memiliki

organisasi, ideologi, dan strategi.

Roxanne L. Euben (1997a:

28-55) ―Comparative

Political Theory: An Islamic

Fundamentalist Critique of

Rationalism.”

Roxanne L. Euben ( 1997b:

429-459) ―Premodern,

antimodern or postmodern?

Islamic and Western

critiques of modernity.”

- Comparative Political

Theory

- pemikiran Islam fundamentalis

(Sunni) merupakan tantangan

bagi kedaulatan politik modern

di Timur Tengah dan Barat.

- Fundamentalisme adalah kritik

moril terhadap teori-teori politik

post-Pencerahan seperti

Marxism, liberalisme, dan

sosialisme.

Browers (2005: 75-93) "The

secular bias in ideology

studies and the case of

Islamis.”

- Ideology studies - Konsep ―ideologi‖ dalam Islam

berbeda dengan konsep ideologi

dalam Kristiani.

- Tokoh-tokoh ideolog Islam

fundamentalis berhasil

menjadikan ajaran Islam sebagai

basis ideologi gerakan.

Mahmud A. Faksh (1997)

“The Future of Islam in the

Middle East:

Fundamentalisme in Egypt,

Algeria, and Saudi Arabia.”

- Challenge and response - Fundamentalisme Islam sebagai

tantangan telah gagal.

- Ideologi fundamentalisme hanya

berhenti pada retorika saja.

- Respon rezim Timur Tengah

dalam membendung arus

fundamentalisme lebih berhasil.

Dari uraian dan pemetaan penelitian terdahulu, penulis belum menemukan

kajian ilmiah yang membahas fenomena fundamentalisme Islam dari perspektif

intelektual Muslim. Salah satu alasannya, barangkali sangat sedikit intelektual

Muslim yang membahas secara komprehensif fenomena tersebut. Dalam konteks

ini, Hanafi adalah salah seorang dari sedikit intelektual Muslim yang berani

41

menulis secara sistematis dan komprehensif, serta mengkritisi secara konstruktif

fundamentalisme Islam dengan tawaran metodologi dan solusi agar fenomena ini

dapat disejajarkan dengan gerakan modern Islam lainnya.

1.4.2 Pemikiran dan karya Hasan Hanafi

Tulisan Yudian Wahyudi (2003: 233-248) yang berjudul “Arab Responses

to Hasan Hanafi‟s Muqaddimah fī `Ilmil-Istighrāb,” memberikan pemetaan yang

cukup signifikan tentang respon intelektual Arab terhadap karya dan pemikiran

Hasan Hanafi. Di antara pemikir Arab yang serius mengkritik pemikiran Hasan

Hanafi adalah; Ali Harb, Salah Qansuwa, dan al-‗Alim. Menurut Ali Harb, Hanafi

menjadikan Oksidentalisme sebagai perangkat pembebasan ―Diri‖ dari sentralitas

Barat. Salah Qansuwa, Hanafi sedang berusaha menciptakan sentralitas Muslim

Arab di Dunia Ketiga dan memaksakan semangat rasis dan sentralitas Islam di

atas keseluruhan ―Yang Lain‖ (Others) di dunia ini. Nadhir Hattar sepakat dengan

Ali Harb bahwa, Hanafi itu puritan, ego-sentris atau rasis, atau bahkan seperti

Orientalis ekstrim semisal Ernest Renan. Menurut al-Khuli, kesalahan Hanafi

adalah penekanannya pada ideological judgment-nya bahwa Barat adalah

peradaban statis sembari menampilkan menurut keyakinannya bahwa peradaban

Islam itu dinamis. Intinya, penentangan Hanafi terhadap Barat (Orientalis) dengan

Oksidentalismenya menurut al-‗Alim tidak relevan lagi, karena ilmu-ilmu sosial

telah menggantikan disiplin Orientalisme dalam mengkaji Islam.

Carool Kersten (2007: 22-38) dalam "Bold Transmutations: Rereading

Hasan Hanafi's Early Writings on Fiqh," mengkaji pemikiran Hasan Hanafi

khususnya tentang ushūl fiqh dalam Les Méthodes d‟exégèse dengan

42

menggunakan pendekatan Translation Studies. Menurutnya, meskipun Hasan

Hanafi tidak menggunakan Translation Studies sebagai scholarly field of inquiry,

namun pendekatan transmutation-nya atas wacanan tradisional Islam dapat

menunjukkan beberapa kerangka teoritik yang terkait dengan disiplin Translation

Studies.

Hasan Hanafi telah melahirkan istilah-istilah baru sebagai tafsiran

terhadap tradisi Islam klasik. Misalnya, ia telah menterjemahkan fikih sebagai

canonical methodology, methodological of jurisprudence, dan understanding. Al-

Qur‘an ia terjemahkan sebagai “anonymous experience”, ijma‘ sebagai

intersubjective experience, dan ijtihad sebagai individual experience. Bold

mutation (yang ia adopsi dari Belloc) atau creative transposition (Jacobson)

Hanafi telah memperkaya original texts atas `ilm ushūlul-fiqh. Hal yang telah

dilakukan Hanafi menjadi temuan sentral baik sebagai penganut hermeneutis

maupun sebagai dekonstruksionis.

Penelitian yang sangat serius lainnya terhadap pemikiran Hasan Hanafi

ditulis oleh Martin Riexinger (2007: 63-118) dengan judul "Nasserism

Revitalized. A Critical Reading of Hasan Hanafi's Projects "The Islamic Left" and

"occidentalism" (and their Uncritical Reading)." Tulisannya terfokus pada

beberapa tema besar yang diusung Hasan Hanafi: tradisi (turāts), revolusi

(tsaurah), dan tema tentang Timur dan Barat. Menurut Riexinger, Hanafi dalam

berbagai karyanya cenderung lebih provokatif dan tidak eksplanatif. Ia seringkali

mereduksi sistem pemikiran yang kompleks ke dalam satu atau dua kategori.

Umpamanya Hanafi mengaktualkan istilah turāts (heritage) seolah-olah bermakna

43

kiri (Riexinger, 2007: 65-66). Hasan Hanafi dalam pandangan Riexinger tidak

jauh berbeda dari kaum Islam fundamentalis dan Barat fasis. Alasan ini

didasarkan pada beberapa fakta salah satunya adalah bahwa kritik Hasan Hanafi

terhadap Marxisme misalnya, hanya berada pada tahapan retorika saja. Kritik

Hanafi terpusat pada riba, sphere of circulation, bukan pada sphere of production.

Jadi menurut Riexinger, proyek Hasan Hanafi terdiri dari elemen-elemen

ideologis heterogen yang tidak pernah disistematisasikan (Riexinger, 2007: 93).

Penelitian ini cenderung mengkontradiksikan pemikiran-pemikiran Hanafi

dengan gagasan-gagasan modern Barat untuk menunjukkan ketidakrelevanan

gagasan Hanafi dengan ideologi modern Barat lainnya. Gagasan Hasan Hanafi

tidak dipandang dari kacamata transformasi sosial Islam sehingga beberapa

gagasan positifnya menjadi tidak tampak.

Penelitian berikutnya yang cukup relevan ditulis oleh Yudian Wahyudi

(2006: 257-270) dengan judul "Hassan Hanafi on Salafism and Secularism,"

mengkaji pemikiran Hasan Hanafi tentang Salafisme dan Sekularisme. Dalam

tulisan ini dikemukakan bahwa terjadinya pengelompokkan dalam umat Islam

seperti halnya salafisme dan sekularisme adalah false dualism. Kalau dalam

masyarakat Barat hal demikian wajar terjadi karena semakin mereka

mempromosikan modernisme, semakin mereka menemukan rekonsiliasi antara

gereja dan Negara, agama dan akal, juga iman dan sains tidak mungkin

diwujudkan (Wahyudi, 2006: 258). Dikotomi antara kelompok salafi yang

ditransmisikan dari kelompok tradisionalis dan sekularis yang ditransmisikan dari

modernis, dapat dijembatani dengan cara dialoging language. Kelompok Salafi

44

harus berani menerima beberapa temuan kelompok sekularis terkait makna baru

sebuha istilah klasik (2006, Wahyudi: 262). Penelitian di atas berusaha

menjabarkan kemungkinan bertemunya antara kelompok Salafi dan Sekularis

dengan cara berdialog melalui pemaknaan baru istilah-istilah klasik dalam Islam.

Penelitian terakhir ditulis oleh Shahrough Akhavi (1997: 377-401) "The

Dialectic in Contemporary Egyptian Social Thought: the Scripturalist and

Modernist Discourses of Sayyid Qutb and Hasan Hanafi," berupa studi

perbandingan antara pemikiran Sayyid Qutb dan Hasan Hanafi. Dua tokoh ini

jelas sangat berbeda tentunya, Sayyid Qutb (1906-1966) dianggap sebagai

representasi Islam skriptualis sementara Hasan Hanafi sebagai kalangan modernis.

Qutb dan Hanafi sama-sama menekankan peranan Islam dalam konteks politik

kontemporer. Hanafi secara eskplisit dan Qutb secara implisit sama-sama

memberikan perhatian khusus pada turāts (heritage), tetapi berbeda dalam hal

pendekatan. Selanjutnya penelitian ini lebih merupakan eskplorasi komparatif

antara gagasan-gagasan Qutb dan Hanafi dalam hal penafsiran doktrin-doktrin

agama dimana Hanafi ditempatkan sebagai left-wing phenomenologist, sementara

Qutb sebagai pemikir radikal yang pemikirannya telah banyak mempengaruhi

kalangan muda Mesir saat itu.

45

1.5 Landasan Teori

Untuk memaparkan kritik Hasan Hanafi terhadap fundamentalisme Islam

dan posisinya sebagai intelektual Muslim, penulis akan memaparkan empat

pembahasan utama yang bersifat teoritis. Pertama, pembahasan mengenai teori

seputar pemikiran Arab sebagai satu bentuk penegasan bahwa pemikiran Arab

adalah berbeda dengan pemikiran lain semisal pemikiran Eropa atau pemikiran

Yunani. Kedua, pembahasan terkait dengan relasi pemikiran Arab dengan

ideologi, untuk menunjukkan bahwa lahirnya sebuah pemikiran tidak dapat

dilepaskan dari pengaruh sosial politik yang ada. Pemikiran lahir bukan dari

sebuah ruang kosong. Ketiga, pembahasan mengenai definisi intelektual secara

umum sebagai rumusan awal bagi pendefinisian intelektual Arab-Islam. Keempat,

pembahasan mengenai peranan intelektual Dunia Ketiga dengan merujuk pada

teori-teori yang telah dirumuskan utamanya oleh Edward W Said dan Syed

Hussien Alatas juga dilengkapi berbagai pendapat lain.

Penjelasan mengenai teori-teori di atas menjadi sangat penting untuk

menunjukkan bahwa pemikiran Hanafi dalam bentuk kritikan terhadap

fundamentalisme Islam berbeda dari pemikiran-pemikiran atau bahkan kritikan-

kritikan yang disajikan oleh sarjana Barat yang dengan sangat jelas telah

memposisikan diri mereka sebagai outsider, yaitu berada di luar kebudayaan yang

sedang mereka kaji (tradisi Arab-Islam).

46

1.5.1 Pemikiran Arab

Dalam konteks dunia Arab-Islam, paling tidak terdapat dua kosa-kata yang

digunakan sebagai padanan kata ‗pemikiran‘ yaitu fikr (thought) dan „aql

(reason). Nampaknya, dalam diskursus pemikiran intelektual Arab Kontemporer

istilah „aql atau reason lebih sering digunakan dibanding istilah fikr. Hal ini

sangat logis karena „aql dalam sejarah pemikiran Islam klasik menempati posisi

sentral dalam perdebatan filsafat (falsafah), teologis (kalām), dan mistik (‗irfān).

Fondasi rasional dari „aql terpusat pada level kosmologi dan metafisika, dan

merefleksikan aspek-aspek veridical pencapaian ilmu pengetahuan (knowledge)

yang meliputi proses verifikasi dan eksplikasi (El-Bizri, 2011: 186-187).

Meskipun demikian, istilah fikr secara sosiologis lebih sering didefinisikan

daripada istilah „aql.

Merujuk pada penjelasan di atas, pemikiran Arab yang penulis maksudkan

dalam penelitian ini mengikuti definisi yang dirumuskan oleh ‗Abid al-Jabiri.

―pemikiran [Arab] sebagai sebuah instrumen bukan sebagai produk

berusaha menghasilkan sebuah teori, diciptakan oleh kultur tertentu

yang memiliki kekhasannya sendiri —dalam konteks ini kebudayaan

Arab—, sebuah kebudayaan yang diiringi dengan sejarah peradaban

Arab [Islam]. Dengan demikian pemikiran tersebut merefleksikan

realitas Arab sebagai aspirasi bagi proyeksi masa depan,

merefleksikan dan mengekspresikan pada saat yang sama rintangan

bagi kemajuan dan penyebab-penyebab kemunduran yang sedang

dihadapi bangsa Arab‖ (al-Jabiri, 2001: 13-14; 2011: 6).

47

Dari definisi di atas ada empat hal utama yang harus diperhatikan

mengenai pemikiran Arab: 1) pemikiran Arab sedang berupaya menghasilkan

berbagai teori tekait dengan realitas yang dihadapi bangsa Arab, 2) pemikiran

Arab terikat oleh kebudayaan Arab-Islam —sebagai bentuk penegasan terhadap

kebudayaan lain yang berbeda semisal Eropa yang terikat dengan tradisi Kristen,

dan lain-lain, 3) pemikiran Arab berusaha merefleksikan satu proyeksi masa

depan, dan 4) pemikiran Arab kontemporer merupakan refleksi atas rasa frustasi

dan kekecewaan terhadap kemunduran (takhalluf) yang sedang dihadapi Bangsa

Arab.

Mencermati butir ke-4 bahwa pemikiran Arab kontemporer dapat dilihat

dalam perspektif rasa frustasi sebagai imbas kekalahan perang Arab-Israel pada

1967 M, yang mana bangsa Arab harus menerima kekalahan pahit dan dihadapkan

pada perasaan frustasi luar biasa. Dari rasa frustrasi dan kecewa ini kemudian

lahir berbagai pemikiran kritis dalam bentuk kritik diri atau self criticism. Hal

yang sangat menarik di sini, menurut David Bohm (2003 : 55-56) bahwa terdapat

korelasi yang sangat kuat antara pemikiran (thought) dengan perasaan (felt).

Ketika pemikiran tertekan oleh perasaan frustrasi (seperti akibat kekalahan

perang, dan lain-lain) kemudian ingin segera tampil baik, maka akan melahirkan

satu proyeksi disebut self-image world, sebuah bayangan ideal mengenai dunia

yang diinginkan. Seandainya pemikiran lebih dominan dari emosi, maka ia bisa

menghasilkan harmoni, namun sebaliknya apabila emosi lebih dominan dari

pemikiran inteleknya maka ia (emosi) dapat melahirkan pemikiran juga tindakan

destruktif dan berbahaya.

48

Oleh karena itu, harmonisasi sangat ditentukan oleh adanya keseimbangan

antara pemikiran intelek dengan emosi. Teori ini cukup ideal untuk menjelaskan

pemikiran Hanafi tentang fundamentalisme Islam, pemikiran yang lahir dan

dibarengi dengan peristiwa-peristiwa dramatis semisal kekalahan perang Arab-

Israel 1967 dan juga pembunuhan Presiden Mesir Anwar Sadat pada 1981 M.

Emosi dan pemikiran berpadu menghasilkan satu corak pemikiran tertentu tentang

fundamentalisme Islam.

1.5.2 Pemikiran Arab dan Ideologi

Selanjutnya, penulis berpendapat bahwa analisis mengenai pemikiran

seorang intelektual tidak dapat dilepaskan dari persoalan ideologi. Hal ini

dipertegas oleh Abu-Rabi (2005: 506), bahwa studi pemikiran intelektual

[Muslim] harus dipandang dalam perspektif ideologi. Mengapa demikian? Karena

pemikiran seorang intelektual lahir dari latarbelakang sosial, ekonomi, dan politik

tertentu yang telah ikut berperan aktif dalam mempengaruhi dan membentuk

pemikiran seorang intelektual. Ideologi ditegaskan Abu-Rabi sebagai jantungnya

sejarah pemikiran. Dengan kata lain, meskipun terdapat sebuah kajian yang

memfokuskan pada tren pemikiran tertentu, dipastikan kajian tersebut tidak dapat

dilepaskan dari tren-tren pemikiran lain yang juga ikut berkembang pada waktu

itu. Intellectual history is ideological by nature, demikian tegas Abu-Rabi.

Ideologi yang penulis maksudkan di sini mengikuti pendapat dari Michel

Wieviorka (2003: 80), bahwa studi mengenai ideologi tidak lagi berangkat dari

perspektif Era Pencerahan yang memandang ideologi sebagai ancaman. Alih-alih

memandang ideologi termasuk sebagai salah satu kajian bidang agama [religious

49

studies] dan dipandang murni sebagai objek studi. Ideologi dideskrispikan dalam

wacana antropologi sebagai sebuah kewajaran yang dimiliki oleh setiap individu

atau kelompok sosial tertentu. Dalam bentuk diskursifnya, ideologi terdiri dari

elemen-elemen dasar yang terdiri dari konsep, idea, dan keyakinan atau beliefs

(Geuss, 1981: 5-6). Ideologi dalam artian deskriptif inilah yang penulis

maksudkan dalam penelitian ini.

Karena ideologi merupakan produk dari pemikiran, maka pemikiran itu

sendiri terdiri dari komponen-komponen seperti ide, konsep, teori, dan ideologi

(Lemon, 2002: 176). Secara lebih spesifik, ide atau gagasan merupakan produk

perseorangan oleh karena itu bersifat individual. Artinya, dalam satu perkara

tertentu gagasan seorang individu sangat mungkin berbeda dengan gagasan

individu yang lain. Karena sifatnya individual tersebut maka ide atau gagasan

sangat terbuka terhadap kritik.

Pembahasan selanjutnya adalah problem apa saja yang bisa menjadi tolak

ukur dalam melihat perkembangan pemikiran intelektual Arab. Menurut Majid

(1995-1996: 12) setidaknya ada tiga persoalan utama yang dipandang sebagai isu

sentral pemikiran Arab yaitu: 1) problem epistemologis tentang modernitas, 2)

problem tentang penafsiran warisan klasik Islam atau turāts, dan 3) problem

tentang kekuasaan atau otoritas. Persoalan pertama terkait dengan isu

kompatibilitas Islam dihadapkan pada persoalan modernitas. Sementara persoalan

kedua lebih pada persoalan bagaimana warisan Islam atau turāts dikaji dan

ditafsirkan ulang demi kebutuhan kekinian karena terdapat anggapan bahwa tafsir-

tafsir klasik telah dikonstruksi sedemikian rupa demi kepentingan-kepentingan

50

sekelompok golongan tertentu. Terakhir, isu yang cukup serius dihadapi oleh

intelektual Arab yaitu persoalan mengenai model pemerintahan di dunia Arab-

Islam yang cenderung bersifat otoriter dan jauh dari sifat demokratis.

Melengkapi pembahasan teoritis di atas, barangkali pendapat Michel

Foucault dalam The Archaeology of Knowledge menjadi urgen untuk

dikemukakan. Dalam pandangan Foucault, bahwa kebudayaan atau disebutnya

dengan discourse (berisi: system of thoughts, ideas, images, dan simbol-simbol

lainnya), telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui kondisi tertentu pada waktu

dan tempat tertentu untuk kemudian digunakan dalam memahami realitas

pengalaman hidup manusia (Foucault, 2002: 35-36).

Fundamentalisme Islam sebagai sebuah discourse dengan demikian berupa

wacana kebudayaan yang berisi ideologi, bahasa, dan juga konsep-konsep yang

dikontsruksi oleh para ideolog pada waktu dan tempat tertentu, diwacana ke

publik sebagai sebuah kebenaran (truth) yang harus diterima. Kerangka ini dapat

dimanfaatkan untuk melihat upaya Hanafi dalam mengintroduksi pemahaman

ulang terhadap gagasan, konsep, bahasa, dan slogan yang sudah dikonstruksi

sedemikian rupa dalam tradisi fundamentalisme Islam untuk kemudian dihasilkan

sebuah pemaknaan baru yang lebih sesuai dengan realitas kekinian.

51

1.5.3 Intelektual Arab

Secara umum sangat sulit untuk merumuskan definisi yang tepat mengenai

siapa yang disebut sebagai intelektual, intellectuals. Salah satu alasan kesulitan

tersebut karena seringkali definisi yang dirumuskan bersifat self-definitions

(Bauman, 1987: 8), kurang objektif dan cenderung bias, definisi disusun atas

dasar binary opposition antara siapa yang disebut intellectuals dan non-

intellectuals dengan batas-batas yang sudah sangat jelas dikonstruksi oleh

kelompok sosial tertentu. Setiap kelompok sosial memiliki definisi masing-

masing tentang siapa yang disebut dengan intelektual. Meskipun demikian,

kesulitan merumuskan satu definisi yang tepat tidak berarti pendefinisian tentang

siapa yang disebut intelektual kemudian harus dihindari.

Apabila merujuk pada makna dasar penggunaannya, Raymond (1985: 169-

171), dalam Keywords: A Vocabulary of Culture and Society menyatakan bahwa

kata intellectual digunakan untuk merujuk pada jenis orang tertentu atau

seseorang yang melakukan pekerjaan tertentu. Kata ini mulai efektif digunakan

pada akhir Abad XIX M. Meskipun penggunaan kata itu sendiri kurang disukai,

kata intellectual menjadi sangat popular dalam literature Inggris pada pertengahan

Abad XX M. Kata ―intelektual‖ sekarang digunakan secara netral untuk

menggambarkan orang yang melakukan jenis pekerjaan tertentu dan utamanya

jenis-jenis pekerjaan yang bersifat umum. Di sini Raymond tidak menyebutkan

secara spesifik siapakah yang disebut intelektual akan tetapi hanya menunjukkan

akan popularitas penggunaan kata tersebut khususnya di dalam literatur Barat-

Inggris.

52

Dari beberapa definisi yang dirumuskan oleh sarjana Barat, intelektual

paling tidak didefinisikan ke dalam dua kategori utama. Pertama, intelektual

didefinisikan sebagai komunitas terpisah dari masyarakat yang dapat digambarkan

sebagai kumpulan dari orang-orang yang membela pengetahuan demi kepentingan

pengetahuan itu sendiri. Pendapat seperti ini umpamanya dikemukakan oleh

Edward Shils dan dikembangkan dengan baik oleh Julien Benda. Kedua,

intelektual didefinisikan sebagai elemen krusial di dalam masyarakat yang

bertugas untuk merumuskan nilai-nilai dasar bagi keberlangsungan sebuah

komunitas atau masyarakat. Bauman umpamanya menyebut intelektual sebagai

the interpreter of contemporary discourse, merekalah yang mampu menafsirkan

nilai-nilai universal satu perkembangan kebudayaan untuk kemudian dapat

dicerna dengan baik oleh masyarakat. Dua definisi di atas terus berkembang

dalam wacana intelektual Barat dengan penafsiran-penafsiran yang terus

dikembangkan sesuai dengan dinamika sosial dan politik yang terjadi.

Selanjutnya, dalam tradisi Arab-Islam itu sendiri, terdapat istilah klasik

yang lazim digunakan untuk merujuk kepada sekelompok orang yang

berkecimpung dalam tradisi keilmuan, istilah tersebut yaitu ‗ulamā‟ (bentuk

jamak dari „ālim), yang berarti sarjana atau scholar, orang-orang yang memiliki

pengetahuan (‗ilm). Tetapi kemudian dalam perkembangan selanjutnya, istilah ini

digunakan hanya bagi ―mereka yang memiliki pengetahuan agama‖ saja (Milson,

1972: 17). Ulama sebagai special group dalam masyarakat Muslim, cenderung

lebih berperan sebagai moral care-takers dibanding sebagai pengkritik (Esposito,

2001: 14). Puncak kemapanan ulama dalam sejarah Islam Pertengahan tercatat

53

pada masa Dinasti Ustmani (1300-1924 M), terdapat kerjasama harmonis antara

ulama dan penguasa (umara) dimana ulama berperan sebagai pemegang legitimasi

bagi kekuasaan seorang raja (1972: 21; 2001: 14-16) atau disebut oleh Abdo

(2000: 43) ulama berfungsi sebagai religious stamp of approval. Kekuasaan

seorang raja tidak akan legitimate kalau belum mendapat persetujuan dari ulama.

Merujuk pada deskripsi ini, istilah intelektual kurang tepat apabila dipadankan

dengan kata ulama dalam tradisi Islam era Pertengahan.

Untuk konteks modern, tepatnya pada akhir Abad XIX M, terdapat dua

kata Arab yang lazim digunakan sebagai padanan kata ―intelektual:‖ yaitu

mutsaqqaf, dan mufakkir, yang pertama berasal dari kata tsaqafa, kebudayaan (a

man of culture) atau academically trained, sebuah skil akademik yang ditempuh

melalui jenjang pendidikan formal, sedangkan yang terakhir berasal dari kata fikr

atau thought (a man of thought). Dari dua istilah tersebut, penulis seperti halnya

Hofmann (2007: 67) memandang lebih tepat untuk menggunakan kata mufakkir

sebagai padanan kata ―intelektual‖ yang diartikan sebagai analytical mind who

communicate, menandakan bahwa proses menjadi intelektual tidak mesti melalui

sebuah tahapan pendidikan formal yang tinggi, melainkan melalui sebuah proses

pemikiran yang aktif dan produktif. Pengalaman akademik menjadi nilai tambah

bagi seorang intelektual.

Dalam konteks penelitian ini intelektual Arab secara khusus didefinisikan

sebagai orang-orang yang berani menyampaikan sebuah gagasan atau pemikiran

dengan tujuan untuk melakukan perubahan meskipun gagasan tersebut boleh jadi

sangat bertentangan dengan gagasan yang lazim berlaku. Dalam ungkapan

54

Edward W Said (1994), al-mufakkir atau intelektual Arab adalah ―…someone

whose place it is publicly to raise embarrassing questions, to confront orthodoxy

and dogmas.‖ Bersikap kritis terhadap fenomena sosial yang ada dan lebih dari itu

berani menghadapi kekuatan otoritarianisme yang lazim di temui di Negara-

negara Timur Tengah. Secara lebih khusus intelektual Arab adalah mereka yang

berani menentang dogmatisme dan ortodoksi agama yang dianggap sebagai

penghambat bagi proses modernisasi dunia Arab-Islam.

1.5.4 Peran Intelektual Arab

Kurzman and Owens (2002: 63-90) menyebutkan tiga teori tentang

peranan intelektual yang didasarkan pada argument, bahwa intelektual merupakan

bagian dari kelas sosial, intellectual as a class. Teori yang pertama dipelopori

oleh Karl Mannheim, yang merumuskan intelektual sebagai sebuah komunitas

yang tidak terkait oleh kelas sosial mana pun, class-less. Tugas intelektual adalah

memastikan terjadinya mutual understanding di antara kelas sosial agar terjadi

harmoni sosial dan politik. Oleh karena itu, intelektual tidak memiliki vasted

interests dan tidak terikat oleh kelas sosial tertentu. Teori kedua dipopulerkan oleh

Julien Benda yang mengaggap intelektual sebagai kelas tersendiri, class in

themselves. Teori terakhir digagas oleh Antonio Gramsci yang mendefinisikan

intelektual sebagai komunitas yang terikat pada kelas sosial dari mana mereka

berasal, intellectual as class bound. Bagi Gramsci, setiap kelas sosial mempunyai

intelektualnya masing-masing. Kelompok borjuis dan proletar masing-masing

memiliki intelektual, oleh karena itu, intelektual tidak dapat dilepaskan dari asal-

usul kelas mereka.

55

Seperti yang telah penulis sebutkan di muka, untuk melihat peranan

intelektual di Dunia Ketiga; Timur Tengah dan Asia, penulis memfokuskan pada

gagasan tentang peranan intelektual yang digagas oleh Edward W Said dan Syed

Hussein Alatas. Gagasan Said tentang intelektual dipengaruhi kuat oleh pendapat

Benda tentang keharusan intelektual untuk selalu mempropagandakan truth, akan

tetapi intelektual sebagai bagian organis dari masyarakat, Said terpengaruh kuat

oleh Antonio Gramsci bahwa intelektual harus merepresentasikan kelas sosial dari

mana mereka berasal. Sementara untuk Alatas, penulis mengeksplorasi

gagasannya tentang intellectual creativity, sebuah upaya yang dilakukan sarjana

Muslim dalam merumuskan dan menemukan teori-teori baru tentang fakta dan

realitas sosial yang dihadapi.

Bagi Said (1994: xv-8), tugas seorang intelektual adalah

merepresentasikan sesuatu kepada audiensnya dan menjaga posisinya untuk tetap

independen. Hal demikian hanya dapat dicapai apabila ia mampu bertindak

sebagai an exile, marginal, amateur, and as the author of a language, dan berani

menyampaikan kebenaran —kepada penguasa sekalipun— speak the truth to

power. Meskipun Said setuju dengan konsep klasik tentang intelektual yang

ditawarkan oleh Benda mengenai keharusan mempertahankan posisi independen,

akan tetapi untuk konteks modern ia cenderung lebih sependapat dengan Gamsci,

bahwa intelektual dengan fungsi tertentunya di dalam masyarakat baik sebagai

penulis atau pun profesi lainnya, telah menjadi bagian penting dari bangkitnya

dunia modern. Intelektual tidak mungkin lagi mempertahankan kelasnya sendiri,

56

melainkan harus melibatkan diri dalam pergerakan kebangkitan. Pendeknya, bagi

Said (1994: 10-11);

“…there has been no major revolution in modern history without

intellectuals; conversely there has been [also] no major counter-

revolutionary movement without intellectuals.”

Said lebih jauh menegaskan bahwa intelektual dengan peranan tertentunya

di dalam masyarakat tidak dapat dibatasi hanya kepada profesi terntentu dan tidak

boleh terkooptasi oleh pemerintahan atau korporasi (Said, 1994: 11-12). Ia

percaya bahwa tujuan dari aktivitas intelektual adalah untuk meningkatkan

kebebasan dan pengetahuan manusia dalam artian yang universal. Oleh Karen itu,

Said menolak intelektual post-modernis seperti Lyotard (1924–1998) yang

mengumandangkan bahwa grand narratives telah digantikan oleh ―kearifan lokal‖

dan language games (Said, 1994: 17-18). Gagasan ini menjadi sangat menarik,

bahwa Said sebagai pelopor post-kolonial yang menantang dominasi kultural

Barat, tapi di satu sisi mempromosikan gagasan universal sebagai nilai-nilai yang

selama ini digagas oleh sebagian besar intelektual Barat. Dalam konteks

pemikiran Hanafi, relevansi antara gagasan Said dengan Hanafi adalah, meskipun

Hanafi menyerang Barat dengan sebuah disiplin ilmu yang ia namakan

oksidentalisme, namun di sisi lain ia percaya akan nilai-nilai universal yang digali

dari Barat.

Sembari terus mengagumi karya Julien Benda (2006), The Treason of the

Intellectual utamanya pada aspek bahwa intelektual harus menempati ruang

universal, Said tidak setuju dengan gagasan bahwa intelektual tidak terikat oleh

ikatan-ikatan nasional atau identitas etnis. Dengan munculnya Dunia Ketiga

57

dimana Eropa tidak lagi menjadi standard-setters bagi sebagian dunia lain,

intelektual kemudian harus memberikan perhatian penuh pada konteks lokal

mereka berasal. Dengan demikian, perhatian pada penggunaan bahasa nasional

untuk mengeksperikan gagasan-gagasan mereka menjadi sangat penting. Hal ini

dimaksudkan agar gagasan mereka menjadi lebih familiar dan impresif pada

tataran linguistik (Said, 1994: 27).

Gagasan Said tentang tugas intelektual untuk berani menjawab persoalan

lokal, memiliki kemiripan dengan gagasan Sartre (dalam Walder, 2003: 84)

bahwa tugas intelektual atau Sartre lebih senang menggunakan istilah writers

adalah ―…speaking to his contemporaries and brothers of his class and race.‖

Dalam artian yang lebih luas, class and race di sini dapat ditafsirkan sebagai

ummah dalam konteks dunia Islam. Pendeknya, menurut Said tugas intelektual

adalah menawarkan solusi atas problem-problem sosial, politik, dan budaya yang

sedang dihadapi ummat dengan menggunakan bahasa yang familiar secara

linguistik sesuai dengan konteks dari mana intelektual tersebut berasal.

Menurut Said, intelektual Muslim dihadapkan pada dua tantangan besar.

Tantangan pertama datang dari Barat yang masih saja menggambarkan Islam

sebagai agama yang tidak mampu bersanding dengan demokrasi dan hak asasi

manusia. Tantangan lainnya adalah dari pemerintahan dunia Islam itu sendiri yang

cenderung memanipulasi fakta-fakta yang ada dengan norma-norma yang mereka

konstruk. Menghadapi dua tantangan ini yang hanya mungkin dapat dilakukan

oleh intelektual Muslim adalah dengan cara menghidupkan kembali ijtihad,

personal interpretation; menafsirkan kembali ajaran Islam agar dapat sejalan

58

dengan perubahan zaman dan tidak menjadi sheeplike, yang taat patuh terhadap

pemerintah demi ambisi politik (Said, 1994: 31-40).

Dalam konteks Dunia Ketiga yang secara keseluruhan pernah mengalami

masa kolonial, Said dengan mengikuti gagasan Frantz Fanon (1925–1961),

mengatakan bahwa ―…the goal of the native intellectual cannot simply be to

replace a white policeman with his native counterpart,‖ tetapi apa yang harus

dilakukan intelektual adalah, the invention of new souls (Said, 1994: 41). Dalam

pandangan Alatas (1977: 11) gagasan ini —dengan meminjam istilah dari

Jamaluddin Afghani (1838-1897)— adalah untuk menghidupkan kembali

philosophic spirit yang diyakini Alatas telah hilang dan digantikan oleh

uncreative minds, pemikiran yang hanya suka meniru dan tidak orisinal.

Hal penting lainnya terkait peranan intelektual di Dunia Ketiga adalah

mereka harus berani menjauhkan diri dari hal yang dapat menjeratnya, baik

berupa jabatan, tahta atau kedudukan politik lainnya. Intelektual harus

memposisikan diri mereka sebagai outsider atau exile dalam artian metafisik:

―…restlessness, movement, constantly being unsettled, and unsettling others‖

(Said, 1994: 53). Keuntungan menjadi outsider adalah kritis dalam melihat suatu

peristiwa, tidak memandangnya as it is, tetapi mampu melihat kausalitas yang

terjadi. Memandang fakta-fakta yang ada sebagai serangkain pilihan sejarah yang

ditentukan oleh manusia dan bukan god-given yang tidak dapat diubah (Said,

1994: 60-61).

Selanjutnya, intelektual sebagai bagian organis dari masyarakat, ia harus

berani menyuarakan suara dari the poor, the disadvantaged, the voiceless, the

59

unrepresented, and the powerless (Said, 1994: 113), atau dalam ungkapan Said

yang lain ―…intellectuals should challenge and defeat both and imposed silence

and the normalized quite of unseen power wherever and whenever possible (Said,

2002: 31). Sementara dalam ungkapan Sartre (dalam Walder 2003: 84) bahwa ―he

[intellectual] speaks for freedoms which are swallowed up, masked, and

unavailable.‖ Singkatnya, tugas intelektual lainnya adalah berani menyuarakan

ketidak adilan yang sedang terjadi, baik ketidak adilan yang diakibatkan oleh

faktor eksternal maupun internal. Berani melakukan kritik terhadap dominasi

Asing maupun kritis terhadap pemerintahan dalam Dunia Ketiga itu sendiri.

Melengkapi gagasan Said tentang peranan intelektual, menurut Alatas

(2000: 23-34) intelektual di Dunia Ketiga masih didominasi oleh intelektualisme

Barat, atau intellectual imperialism sebagai akibat dari imperialisme tidak

langsung. Intellectual imperialism ini bagi Alatas memiliki efek yang sangat

buruk terhadap perkembangan intelektual di Dunia Ketiga. Mereka menjadi

sangat tergantung kepada segala sesuatu yang berbau Barat, tidak percaya diri,

dan yang paling menyakitkan adalah menjadi tidak kreatif. Dalam tulisannya yang

lain, Alatas (1974: 691-699) menyebut pemikiran tidak kreatif ini dengan istilah

captive mind, yang ditandai oleh empat karakter utama: 1) didominasi oleh

pemikiran Barat, tidak kritis dan imitative, 2) secara metodologis tidak

independen, 3) tidak mampu memisahkan antara problem-problem yang bersifat

partikular dan universal, dan 4) captive mind secara otomatis teralinesai dari

tradisinya sendiri.

60

Sebagai solusi yang ditawarkan, Alatas menganjurkan agar intelektual di

Dunia Ketiga kritis dan selektif dalam melakukan asimilasi gagasan-gagasan yang

datang dari Barat dengan memperhatikan kebutuhan konteks Dunia Ketiga.

Intelektual wajib mengembangkan metodologi yang didasarkan pada interest

Dunia Ketiga, tidak asal menjiplak atau mengekor (Alatas, 2000: 697).

Pemaparan di atas dapat menunjukkan keselarasan posisi Hanafi sebagai

intelektual Muslim Dunia Ketiga dalam menafsirkan Islam demi menjawab

tantangan modernitas. Penulis melihat bahwa Hanafi seperti yang dianjurkan Said

merupakan seorang intelektual yang sangat aktif dan vokal dalam menyampaikan

gagasan-gagasannya meskipun harus berhadapan dengan penguasa sekalipun.

Gagasan Hanafi yang kurang disukai pemerintah dan kelompok Islam radikal

akhirnya memaksanya menjadi ―intelektual buangan‖ dalam bentuk halus yang

mana ia ditugaskan oleh pihak Universitas sebagai guest lecturer di berbagai

universitas dunia, seperti Amerika, Timur Tengah dan Asia guna menghindari

ancaman pembunuhan dari kelompok Islam radikal.

Selanjutnya, cara Hanafi menafsirkan kembali doktrin Islam dengan

pendekatan filsafat Barat mencerminkan posisinya sebagai creative intellectual,

seperti yang digambarkan oleh Alatas. Hanafi dalam beberapa karya yang akan

penulis jabarkan pada bab-bab berikutnya, telah menawarkan metode baru dalam

melihat dan menjabarkan Islam dalam konteks modern.

Kemudian dari penjelasan di atas, penulis sampai pada tesis mengenai

peranan dan fungsi intelektual Dunia Ketiga dalam konteks sosial-politik, dan

perumusan agenda ilmiah: 1) counter hegemonic terhadap model kekuasaan

61

absolut hanya dapat dilegitimasi oleh kalangan intelektual, 2) intelektual Dunia

Ketiga sedang dihadapkan pada problem perumusan metodologi penelitian,

dimana pilihannya hanya ada tiga yaitu mengikuti Barat, menolak Barat atau

melakukan creative assimilation, dan 3) metodologi yang dihasilkan

kemungkinan besar masih mengandung ―persoalan‖ dan belum tentu dapat

diterima untuk konteks negara lain.

Tiga tesis di atas penulis susun sebagai dasar argumentasi dalam

mengkritisi setiap pemikiran yang dihasilkan oleh intelektual Dunia Ketiga

termasuk pemikiran Hasan Hanafi. Pemikiran yang dihasilkan Hasan Hanafi

sebagai intelektual Muslim Dunia Ketiga tentunya berkontribusi penting bagi

perkembangan intelektual di Dunia Ketiga lainnya, termasuk Indonesia. Meskipun

demikian, karena terdapat konteks sosial yang berbeda tentunya hal ini menjadi

tolak ukur apakah pemikiran tersebut dapat diaplikasikan atau paling tidak dapat

dimodifikasi sesuai dengan setting sosial dan politik yang ada.

62

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan postkolonial dalam hal melihat

peranan dan fungsi intelektual Dunia Ketiga. Meskipun fokus utama pendekatan

post-kolonial adalah literary criticism, tetapi kemudian pendekatan ini dapat

diterapkan dalam disiplin keilmuan lain termasuk Islamic studies. Khusus dalam

bidang Islamic studies, pendekatan post-kolonial merupakan pendekatan yang

relatif baru.7

Meskipun demikian, penulis cukup optimis bahwa pendekatan demikian

sangat mungkin dilakukan selama;

…“it refers to writers emerging from varied cultures and

circumstances, who have experienced analogous structures of

domination imposed in the past by colonizing powers and shaped in

the present by those same or other external powers, or by indigenous

(neo-colonist) powers” (Erickson, 1998: ix-x).

Dalam definisi yang sangat sederhana, penulis sependapat dengan

Erickson, bahwa istilah postkolonial dapat digunakan selama masih ada

“…controlling norms of dominant discourses, whether of European or non-

European origin” (Erickson, 1998: 4). Negara-negara Dunia Ketiga seperti Timur

Tengah secara spesifik, dan Asia secara umum dapat dikatakan masih berada

dalam postcolonial conditions karena sebagian besar masih berada dalam kontrol

7 Informasi diperoleh dari hasil diskusi intensif penulis dengan Carool Kersten, dosen

bidang Islamic Studies di King‘s College London, University of London, juga penulis buku

Cosmopolitans and Heretics: New Muslim Intellectuals and the Study of Islam. Resensi buku ini

ditulis oleh Azyumardi Azra di harian Republika, 24 November 2011. Dialog tersebut

dilaksanakan pada bulan November 2011 di King‘s College London, University of London.

Penulis bertindak selaku peserta beasiswa Sandwich-Like 2011 atas pembiayaan penuh dari DIKTI

yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa program Doktor melaksanakan

penulisan dan pembimbingan disertasi di bawah bimbingan dosen di Perguruan Tinggi Luar

Negeri.

63

kekuasaan elit penguasa, baik dalam bentuk pemerintahan maupun otoritas agama.

Penting untuk disebutkan di sini, bahwa biasanya respon Barat terhadap

postcolonial projects bertumpu pada karya-karya yang menggunakan bahasa

utama kolonial seperti Inggris atau Perancis. Secara bertolak belakang, membaca

karya-karya post-kolonial dunia Arab selain bertumpu pada bahasa kolonial tidak

kalah pentingnya harus bertumpu pula pada teks Arab sebagai bahasa pribumi,

alasan utamanya adalah:

“deep-rooted Arab sense of cultural confidence that derives from an

often exaggerated pride in its classical legacy [and]… unlike many

colonized countries that adopted “the language of the colonizer” in

their writing, Arabic culture has a sustained literary history and a

pride in its language and cultural integrity that was not eroded by

colonialism”(Hafez, 2010: 182).

Intelektual kontemporer Arab meskipun pernah merasakan masa

penjajahan (kultur, sosial, dan politik) atau mengenyam pendidikan Barat, mereka

lebih memilih untuk tetap menulis dan mempublikasikan pemikiran-pemikiran

mereka dalam bahasa Arab. Intelektual Muslim di bawah kondisi postkolonial

biasanya dihadapkan pada dua posisi ekstrim yaitu: 1) struktur kekuasaan

hegemonik Barat dan Islam di satu sisi dan, 2) dihadapkan pada oposisi ―murni‖

bukan Barat bukan pula Islam (Erickson, 1998: 6). Pertanyaan seperti mengapa

sebuah teks post-kolonial muncul?, mengapa muncul pada waktu itu?, menjadi

sangat penting dalam kajian postkolonial.

Di samping itu, sebagai sebuah penelitian yang memperhatikan aspek

kesejarahan kehidupan intelektual, maka perhatian terhadap konteks historis,

politik, kebudayaan, sosial menjadi sangat penting (Kuntowijoyo, 2003: 192-195),

hal ini senada dengan pendapat Feener:

64

“modern developments of such political, economic and social

realities must be kept in mind when examining the use of religious

and cultural symbolism as analytical tools for rethinking and re-

conceptualizing thought and practice in modern Muslim societies”

(Feener, 2007: 275).

Sebagai studi yang memfokuskan pada kajian kepustakaan, maka penulis

mengkaji karya-karya Hasan Hanafi utamanya dalam bentuk buku yang dianggap

relevan dengan tema fundamentalisme Islam:

1) ad-Dīn wats-Tsaurah fī Mishr 1952-1981 (Agama dan Revolusi di Mesir,

1952-1981), terbit tahun 1989 terdiri dari 8 jilid: (a) ad-Dīn wats-Tsaqāfah

al-Wathaniyyah (Agama dan Kebudayaan Nasional), (b) ad-Dīn wat-

Taharrur ats-Tsaqāfī (Agama dan Pembebasan Kultural), (c) ad-Diin wat-

Tanmiyah al-Qaumiyyah (Agama dan Pembangunan Bangsa), (d) al-

Harakāt ad-Dī iniyyah al-Mu‟āshirah (Gerakan Keagamaan

Kontemporer), (e) al-Ushūliyyah al-Islāmiyyah (Fundamentalisme Islam),

(f) al-Yamīn wal Yasār fil-Fikriddīnī (Kanan dan Kiri dalam Pemikiran

Agama), dan (g) al-Yasār al-Islāmī wal Wihdah al-Wathaniyyah (Kiri-

Islam dan Persatuan Nasional).

2) at-Turāts wat-Tajdīd (Tradisi dan Pembaruan), terbit tahun 1980,

3) Minal-`Aqīdah ilā ats-Tsaurah (Dari Akidah ke Revolusi), terbit 1988,

4) Muqaddimah fī `Ilmil-Istighrāb (Pengantar Oksidentalisme), terbit 1991,

5) Hiwārul-Masyriq wal-Maghrib (Percakapan Timur dan Barat), terbit 1991,

6) Dirāsāt Islāmiyyah (Studi Islam, Islamic Studies), terbit 1981,

7) Hishāruz-Zamān (Belenggu Masa), terbit 2004,

8) Islam in the Modern World, terbit 1995, edisi baru 2000,

65

Sumber-sumber lain dalam bentuk artikel, rekaman atau video terkait

menjadi data penunjang penelitian. Sebagai tambahan penting, beberapa tulisan

terbaru Hanafi dalam bentuk artikel dimuat dalam Harian Online Mesir al-Masry

al-Youm mengenai komentar-komentarnya tentang The Arab Spring 2011-2012

dijelaskan secukupnya untuk melihat konsistensi pemikirannya tentang

fundamentalisme Islam.

1.6.2 Metode Analisis

Pendekatan post-kolonial menawarkan critical reading sebagai perangkat

analisis. Critical reading tidak dimaksudkan untuk explain what a text means, but

to elaborate it into a new text (Childs, 2006: 5). Dalam wacana postkolonial, teks

memiliki relasi kuat dengan kuasa. Oleh karena itu, mengkritisi dan menganalisis

teks dalam kajian post-kolonial kemudian;

“[it] must include paying attention to that which the text has

disallowed readers to think or conclude, to reveal the pattern of

thought drawn by the text, and to lay bare what has been mapped out

in advance” (2006: 8).

Dalam konteks pembacaan kritis terhadap karya-karya Hanafi

dimaksudkan untuk menemukan relasi oposisional kekuasaan antara kritik Hanafi

terhadap tradisi Islam dan epistemologi Barat, serta proyeksi masa depan Islam

yang ditawarkannya. Tiga proyek ini termanifestasi dalam proyek Hanafi sebagai

berikut: 1) ―respon kita terhadap tradisi, turāts ‖ 2) ―respon kita terhadap tradisi

Barat,‖ dan 3) ―respon kita terhadap masa depan.‖ Penulis menempatkan proyek

pertama sebagai kritik terhadap dominasi kekuasaan dalam dogmatisme Islam,

termasuk dalam hal ini pembahasan mengenai fundamentalisme Islam. Sedangkan

66

proyek kedua, merupakan kritik Hanafi terhadap kebudayaan Barat yang

dimanifestasikan dalam bentuk disiplin ilmu Oksidentalisme. Proyek terakhir

memperlihatkan ambisi Hanafi dalam mempromosikan metode Islam

komprehensif yang ia bangun sebagai tandingan terhadap metodologi studi Islam

ala Barat selama ini.

Analisis ini menjadi sangat krusial karena penulis harus mampu

memunculkan struktur relasi kuasa dalam karya-karya Hanafi yang diteliti.

Analisis dalam penelitian ini dimaksudkan bukan sebagai ―self representation‖

sebagaimana yang lazim dalam postcolonial studies melainkan lebih dimaksudkan

sebagai ―cultural criticism,‖ sebuah kajian yang lebih menekankan pada

kemungkinan-kemungkinan penyelesaian problem kebudayaan dengan

menekankan pada kritik kebudayaan itu sendiri. Agama dalam bentuk

fundamentalisme diproyeksikan sebagai salah satu bentuk tafsir kebudayaan yang

bersifat subjektif dan sangat memungkinkan untuk memunculkan tafsir baru

tentangnya.

67

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian dalam bentuk disertasi ini mempunyai tiga bagian: Pengantar,

Hasil Penelitian, dan Simpulan. Bagian pertama merupakan bagian pendahuluan,

di dalamnya menguraikan beberapa hal pokok mengenai latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Penelitian disajikan dalam lima bab berikutnya. Pada Bab II dipaparkan

pokok bahasan mengenai peta perkembangan dan kecenderungan pemikiran

intelektual Arab-Muslim Era Modern atau yang disebut dengan era Nahdhah

(Kebangkitan Intelektual dan Kultural Arab Pertama). Bab ini dimaksudkan

sebagai pengantar untuk melihat kecenderungan pemikiran intelektual Arab pasca

kekalahan Perang Arab-Israel pada 1967 M dan untuk memperlihatkan adanya

kontinuitas pemikiran dari masing-masing generasi.

Pada Bab III dibahas kecenderungan pemikiran intelektual Arab pasca

kekalahan perang Arab 1967 M. Pemetaan ini dimaksudkan untuk melihat posisi

intelektual Arab dalam ranah sosial, politik dan budaya serta respon mereka

terhadap berbagai isu yang dihadapi bangsa Arab khususnya krisis intelektual

pasca difitisme 1967 M. Apabila pada Bab II dijelaskan, bahwa kebangkitan

kesadaran bangsa Arab dipicu oleh adanya invasi dari Barat (faktor eksternal),

maka pada Bab III lebih mencerminkan nestapa bangsa Arab akan keterpurukan

yang disebabkan oleh kesalahan dan kebodohan mereka sendiri (faktor internal).

Oleh karena itu, perkembangan pemikiran pasca difitisme 1967 M menyuarakan

suara-suara kritis (self criticism) dan tajam. Bab ini juga menjadi pengantar untuk

68

melihat posisi Hasan Hanafi dalam diskursus intelektual Arab kontemporer.

Pada Bab IV dijabarkan mengenai formasi intelektual Hasan Hanafi yang

meliputi tahapan-tahapan perkembangan kesadaran intelektual. Bagian berikutnya

dijabarkan mengenai pengantar kritis karya dan pemikiran Hanafi secara rinci.

Kemudian dibahas pula marginalisasi intelektual Arab Muslim dalam bentuk

pelarangan atau penarikan buku yang mereka tulis, pengusiran dari tanah

kelahiran bahkan sampai pada kasus pembunuhan.

Pada Bab V dijabarkan mengenai kritik Hasan Hanafi terhadap ideologi-

ideologi sekular guna menunjukkan kelemahan dan kelebihan dari ideologi-

ideologi yang pernah diparaktekkan di Dunia Arab-Mesir. Tahapan ini

dimaksudkan untuk menampilkan alasan rasional di balik munculnya ideologi

fundamentalisme Islam. Bagian berikutnya membahas tentang kritik Hanafi yang

bersifat paradigmatis, terdiri dari rekonstruksi istilah dan konsep fundamentalisme

Islam, kritik pada level doktrin, dan slogan. Bagian ketiga berbicara mengenai

kritik dan solusi Hanafi terhadap aksi-aksi kekerasan atas nama agama.

Kemudian, dibahas pula pandangan Hanafi mengenai fundamentalisme Islam

pasca the Arab Spring 2011. Dalam hal ini, penulis ingin melihat konsistensi

pemikiran Hanafi tentang fundamentalisme Islam. Bagian terakhir, menganalisis

tawaran Hanafi atas problem fundamentalisme Islam konservatif-radikal, yaitu

tawaran berupa paradigma Kiri fundamentalisme Islam atau Yasār al-Ushūliyyah.

Bab VI atau Bab terakhir merupakan kesimpulan atas keseluruhan

pembahasan dalam disertasi yang disusun, diharapkan dapat menarik benang

merah dari uraian pada bab-bab sebelumnya menjadi satu rumusan yang urgen.

69

Bab ini menekankan pada dua hal utama : 1) hasil analisis kritis Hasan Hanafi

terhadap fundamentalisme Islam pada tahapan paradigma dan teori yang

digunakan, dan 2) pandangan secara umum urgensi pemikiran Hanafi sebagai

intelektual Dunia Ketiga dalam konteks kajian post-kolonial terkait persoalan

fundamentalisme Islam.