I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
Transcript of I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang perkembangan
wilayahnya cukup pesat. Hal ini disebabkan predikat provinsi ini sebagai kota
pendidikan, kota budaya dan daerah tujuan wisata. Keberagaman predikat itu menjadi
daya tarik tersendiri bagi penduduk dari seluruh pelosok nusantara masuk ke
Yogyakarta. Mereka menjadi motor penggerak perkembangan perekonomian. Tetapi,
di sisi lain mereka juga membutuhkan sarana dan prasarana seiring dengan
pengembangan industri pendidikan, pariwisata dan jasa-jasa lainnya yang juga
membutuhkan sarana dan prasarana pendukung.
Alih fungsi lahan menjadi fenomena yang tak dapat dielakkan lagi dalam
upaya pemenuhan sarana dan prasarana di Yogyakarta. Data Kanwil BPN D.I.
Yogyakarta menyebutkan bahwa dalam durasi tahun 2000, 2003, dan 2005 terjadi
perubahan penggunaan lahan dari lahan sawah, tegal, lahan kosong ke permukiman,
jasa dan usaha, rata-rata seluas 73,899 Ha. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sleman
selalu menjadi wilayah terluas dalam alih fungsi lahan. Sebagai contoh, pada tahun
2005, dari alih fungsi lahan seluas 76,5834 Ha, sebagian besar (48,4% atau 37,0743
Ha) terjadi di Sleman (Tabel 1.1).
2
Tabel 1.1. Perubahan Penggunaan Lahan (Ha)
Kabupaten/Kota 2000 2003 2005 Luas Wilayah
Yogyakarta 6,1781 0,5431 3,0119 3.250
Sleman 39,0561 43,2952 37,0743 57.482
Bantul 13,2760 7,5797 19,1324 50.685
Kulon Progo 6,7860 8,2234 4,8152 58.627
Gunungkidul 7,4118 12,4946 12,8196 148.536
Jumlah 72,7080 72,136 76,8534
Sumber: Laporan Kegiatan Operasional Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003,
2005 Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta.
Data alih fungsi lahan ini didukung dengan kemorosotan luas sawah di DIY.
Dalam durasi tujuh tahun sejak tahun 2000 – 2007 telah terjadi pengurangan luas
sawah di DIY sebesar 648,114 Ha dengan Sleman sebagai kabupaten tertinggi yang
mencapai 282,98 Ha atau 43,7% dari total D.I. Yogyakarta. Dengan demikian rata-
rata per tahun penyusutan luas lahan sawah di Sleman mencapai 40,43 Ha.
Tabel 1.2. Luas Sawah di Kabupaten/Kota D.I. Yogyakarta (Ha)
Kabupaten/Kota 2000 2003 2005 2006 2007
Yogyakarta 244 231,30 222,81 134,0517 134,0517
Sleman 25.410 25.329,54 25.207,44 25.170 25.127,0193
Bantul 16.355 15.923,95 15.903,59 16.600 16.130,4887
Kulon Progo 10.758,29 10.606,72 10.598,49 10.598 10.729,61
Gunungkidul 7.597 7.597 7.596 7.596 7.595,0063
Jumlah 60.364,29 59.688,51 60.098,052 59.716,176 59.716,1760
Sumber: Laporan Kegiatan Operasional Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003,
2005, 2007, Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta.
Jika ditelusuri lebih lanjut ke tahun-tahun berikutnya, penurunan luas lahan
sawah di Sleman terus terjadi. Dalam durasi dua belas tahun sejak tahun 2000 sampai
dengan 2012, lahan sawah telah berkurang sebesar 636 Ha, atau rata-rata 53 Ha per
tahun.
3
Tabel. 1.3. Luas Lahan Sawah kabupaten Sleman Tahun 2000 – 2012
No. Tahun Luas (Ha)
1. 2000 25.410,00
2. 2003 25.329,54
3. 2005 25.207,44
4. 2006 25.170,00
5. 2007 25.127,02
6. 2009 24.983,27
7. 2010 24.889,61
8. 2011 24.849,96
9. 2012 24.774,00
Sumber: Diolah dari data Laporan Kegiatan Operasional
Penatagunaan Lahan Tahun, 2000, 2003, 2005, 2007,
Kanwil BPN Provinsi D.I. Yogyakarta, dan Sleman dalam
angka 2013.
Pesatnya perubahan alih fungsi lahan di Kabupaten Sleman jika tidak segera
ditangani secara serius akan menimbulkan banyak masalah, baik secara sosial,
ekonomi, ekologis, dan politis. Permasalahan dari sisi sosial dan ekonomi akibat alih
fungsi lahan merupakan fokus dalam penelitian ini. Ditinjau dari aspek sosial,
perkembangan kota berakibat pada pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke daerah
pinggiran kota (urban fringe) yang ditandai dengan perembetan kenampakan fisik
kekotaan ke arah luar (urban sprawl). Akibatnya, masyarakat pedesaan semakin
terdesak oleh perkembangan kota sehingga terjadi tekanan sosial-budaya atas
masuknya budaya, pola relasi, pola produksi ala kota ke desa. Ketidaksiapan
menerima perubahan akan menimbulkan guncangan budaya (culture shock) pada
masyarakat desa. Selain itu, konflik horisontal juga potensial terjadi karena
banyaknya para migran yang masuk ke wilayah urban fringe. Data Biro Pusat
Statistik Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa dalam durasi tiga tahun dari 2005 –
4
2007 telah terjadi migrasi masuk sebanyak 49.627 jiwa dan migrasi keluar sebanyak
26.101 jiwa.
Secara ekologis, perkembangan wilayah yang tidak terkontrol akan memacu
terjadinya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian yang bertolak belakang
dengan upaya mempertahankan swasembada pangan dan pembangunan
berkelanjutan/sustainable development. Gambar 1.1. menunjukkan bahwa dalam
durasi tahun 2000-2005, Kabupaten Sleman merupakan daerah penyangga pangan di
DI.Yogyakarta sebagai penghasil padi terbesar di antara empat kabupaten/kota
lainnya. Produksi padi di Sleman selalu di atas 200.000 ton per tahun.
Gambar 1.1. Produksi Padi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun
2001 – 2005
Sumber: BPS Provinsi DIY, Provinsi DIY dalam Angka, 2001 - 2005
Status Sleman sebagai lumbung padi DIY terus dipertahankan pada tahun-
tahun berikutnya. Bahkan, melalui pengembangan teknologi pertanian, di tengah
kemerosotan luas lahan pertanian, produksi padi bisa mencapai di atas 300.000 ton
5
pada tahun 2012 dan 2013. Tetapi, peningkatan jumlah produksi padi ini tidak berarti
berkurangnya lahan pertanian bukan merupakan masalah, karena perlu dilihat pula
dampaknya pada aspek-aspek yang lain.
Tabel 1.4. Produksi Padi Kabupaten Sleman Tahun 2006-2013
No. Tahun Jumlah Produksi (ton)
1. 2006 251.649
2. 2007 242.878
3. 2008 268.928
4. 2009 269.404
5. 2010 266.073
6. 2011 232.713
7. 2012 312.815
8. 2013 307.851
Sumber: BPS Propinsi DIY
Lahan pertanian juga memiliki fungsi sebagai resapan dan posisi Sleman
sebagai daerah hulu sangat memegang peranan penting bagi penyediaan air, baik
untuk wilayah sendiri maupun untuk wilayah-wilayah lain di daerah hilir. Jika hal ini
tidak diperhatikan maka akan terjadi ketidakseimbangan ekologis di masa datang,
salah satunya adalah krisis air. Keresahan tentang hal ini disampaikan pula oleh
Gubernur D.I. Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Dalam pernyataannya
yang dipublikasikan Kedaulatan Rakyat, gubernur minta pada Pemkab Sleman untuk
lebih tegas dalam membatasi pembangunan rumah-rumah baru di kawasan Sleman
Tengah, seperti Kecamatan Depok, Ngemplak dan Ngaglik. Menurut Sultan, Sleman
merupakan daerah resapan air yang menjadi tumpuan wilayah Kota Yogyakarta dan
Kabupaten Bantul (Kedaulatan Rakyat, 26 Mei 2009).
6
Secara ekonomis, perubahan alih fungsi lahan berdampak pada hilangnya
sumber-sumber pendapatan bagi para petani di daerah urban fringe dan pedesaan.
Daya tarik gaya hidup kota bisa berakibat para petani berpikiran pragmatis dengan
berani menjual lahannya untuk dibelikan barang-barang yang menjadi ciri masyarakat
modern. Di sisi lain, mereka tidak siap masuk ke sektor non-pertanian sehingga
lambat laun terjadi proses pemiskinan karena tidak mampu mengakses sumber-
sumber produksi sebagai basis penghasilan keluarga.
Tabel 1.5. Jumlah Keluarga Miskin di Sleman Tahun 2003 – 2009
No.
Kecamatan
Tahun
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Gamping 2.324 2.491 2.744 2.898 2.840 3.145 4.087
2. Godean 2.472 2.598 3.148 3.227 3.168 3.221 4.578
3. Moyudan 1.606 1.669 2.179 2.181 2.173 2.089 2.307
4. Minggir 2.287 2.584 2.887 2.940 2.872 2.986 3.522
5. Seyegan 4.100 4.270 4.742 4.900 4.813 4.716 4.385
6. Mlati 5.118 4.709 5.154 5.252 4.914 3.998 4.450
7. Depok 2.521 2.515 2.685 2.807 2.733 2.570 2.013
8. Berbah 2.842 2.814 3.663 4.126 3.421 3.072 3.648
9. Prambanan 5.554 4.900 5.033 5.415 4.276 3.849 4.145
10. Kalasan 2.492 2.399 3.212 3.557 3.379 4.347 5.130
11. Ngemplak 2.861 2.981 3.238 3.299 3.274 2.996 3.727
12. Ngaglik 2.452 2.404 3.065 3.161 2.971 2.868 3.354
13. Sleman 6.246 6.078 6.282 6.296 6.132 6.181 7.030
14. Tempel 4.942 5.294 5.715 5.748 5.307 5.221 5.454
15. Turi 1.693 1.798 1.766 1.852 1.846 2.370 2.662
16. Pakem 1.603 1.509 1.705 1.631 1.476 1.472 1.635
17. Cangkringan 2.544 2.862 3.518 3.228 3.106 3.158 3.030
JUMLAH 53.657 53.875 60.736 62.518 58.701 56.867 65.157
Persentase (%) 23,68 23,13 25,09 25,46 23,40 20,23 22,98
Sumber: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sleman.
7
Data di atas menunjukkan besarnya jumlah KK miskin di Sleman dari tahun
ke tahun yang prosentasenya di atas 20% dari total jumlah penduduk Sleman. Cukup
besarnya KK miskin di Sleman ini sebagian di antaranya tentu dialami para keluarga
petani karena persentase penduduk Sleman yang bekerja sebagai petani menduduki
peringkat pertama pada tahun 2005 dan peringkat kedua dalam durasi tahun 2006 –
2009.
Tabel 1.6. Proporsi Penduduk yang Bekerja Per Lapangan Usaha
Kabupaten Sleman (%)
No.
Sektor
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009
1. Pertanian 28,60 21,61 22,19 18,44 20,31
2. Pertambangan &
Penggalian 2,27 0,76 0,57 0,61 0,67
3. Industri 11,70 13,64 12,86 15,48 12,83
4. Listrik, Gas & Air 0,26 0,01 0,16 0,07 0,30
5. Bangunan 4,33 8,12 7,81 7,08 7,77
6. Perdagangan 21,83 22,88 25,99 27,07 26,36
7. Angkutan dan
Komunikasi 4,05 4,87 2,94 4,25 3,42
8. Keuangan 4,27 2,51 3,34 3,75 3,43
9 Jasa-jasa 22,69 25,60 24,15 23,31 24,90
Jumlah 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kabupaten Sleman Akhir
Masa Jabatan Tahun 2005-2010.
Dari sudut pandang politis, ketidakmampuan pemerintah mengendalikan alih
fungsi lahan akan berakibat pada deligitimasi pemerintah di hadapan masyarakat dan
stakeholder lainnya. Era otonomi daerah memberi wewenang pada daerah untuk
menyelenggarakan penataan ruang di wilayahnya. Jika desentralisasi penataan ruang
8
ternyata tidak memberi jawaban atas kompleksitas permasalahan tata ruang daerah,
maka akan menimbulkan ketidakpercayaan pada pemerintah daerah.
Penataan ruang yang berkaitan dengan pengendalian alih fungsi lahan
dilakukan Pemkab Sleman dengan mengeluarkan berbagai kebijakan, misalnya :
Perda No. 19 Tahun 2001 tentang Izin Peruntukan Penggunaan Lahan, Peraturan
Bupati Sleman No. 11 Tahun 2007 tentang Pengembangan Perumahan. Untuk
mendukung pelaksanaan berbagai peraturan tersebut, secara kelembagaan dibentuk
Badan Pengendalian Pertanahan Daerah (BPPD) Kabupaten Sleman. Pembentukkan
BPPD didasarkan Perda No 12 Tahun 2003 tentang Perubahan Pertama atas
Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 tentang Organisasi
Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. Peraturan yang diterbitkan
selanjutnya adalah Keputusan Bupati Sleman No 37 /Kep.KDH/2003 tentang Struktur
Organisasi, Penjabaran Tugas Pokok dan Fungsi serta Tata Kerja Badan
Pengendalian Pertanahan Daerah.1
Berbagai bentuk komunikasi pembangunan dalam rangka pengendalian lahan
segera disusun oleh BPPD, seperti menerbitkan SK Kepala BPPD No. 51 tahun 2007
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Penggunaan Lahan. Beraneka ragam
publikasi ditujukan untuk mengatasi permasalahan tanah di Sleman. Bentuk
publikasi yang gencar dilakukan BPPD Sleman adalah pemasangan papan informasi
1 Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2009, BPPD telah berubah menjadi Dinas
Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD). Tetapi, pada tahun 2014, berdasar Perda Nomor 8 Tahun
2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kabupaten Slema Nomor 9 Tahun 2009
Tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman, DPPD diubah menjadi Kantor
Pengendalian Pertanahan Daerah (KPPD).
9
larangan pengubahan alih fungsi lahan secara ilegal. Papan larangan ini dipasang di
tempat strategis yang dapat dengan mudah dibaca masyarakat.2 Sasarannya agar
masyarakat memiliki pengetahuan tentang kebijakan Pemkab Sleman di bidang
pertanahan dan kesadaran masyarakat tentang penatagunaan lahan meningkat.
Dengan pemasangan papan larangan ini diharapkan masyarakat dapat memperoleh
informasi yang benar tentang kebijakan Pemkab Sleman di bidang pertanahan,
khususnya tentang lahan sawah yang tidak boleh dibangun pemukiman/gedung
(http://bppd.slemankab.go.id /?mod=detail_berita&id=132).
Gambar 1.2. Foto Papan Larangan Perubahan Alih Fungsi Lahan Secara Ilegal
Sumber: dokumentasi peneliti.
Berbagai kebijakan Pemkab Sleman berkaitan dengan pengendalian lahan ini
penulis maknai sebagai kebijakan sosial untuk melindungi masyarakat Sleman pada
umumnya dan para petani khususnya, yang kemudian diikuti dengan pengembangan
2 Beberapa kawasan strategis yang dipasangi papan larangan alih fungsi lahan diantaranya: (1) Jalan
Munggur - Sleman, Desa Sidomoyo, Kecamatan Godean; (2) Jalan Sendari - Gombang, Tirtoadi,
Mlati; (3) Jalan Klangon - Tempel Sumberahayu, Moyudan; (4) Jalan Jogja - Kebon Agung,
Margokaton, Seyegan; (5) Jalan Kaliurang KM 14, Degolan Umbulmartani, Ngemplak; (6) Jalan
Palagan – Rejodani, Sariharjo, Ngaglik; (7) Jalan Sambisari, Tridadi, Sleman.
10
model-model komunikasi pembangunan yang selaras dengan kebijakan tersebut.
Kajian terhadap strategi komunikasi pembangunan merupakan bagian dari Ilmu
Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan. Penelitian ini menggunakan pendekatan
development support communication (DSC) yang bersasaran pada pemberdayaan
masyarakat. Pendekatan DSC muncul untuk mengkritisi pendekatan development
commuication (DC) yang merupakan turunan dari modernisasi yang memandang
manusia sebagai obyek dalam pembangunan. Pendekatan ini juga identik dengan
communication for development yang memaknai komunikasi sebagai proses
interaksi, tukar gagasan (information sharing) sehingga menghasilkan pemahaman
bersama (mutual understanding) yang dapat memfasilitasi aksi bersama (collective
action) sesuai dengan program pembangunan yang dirancang. Program pembangunan
yang dirancang pun harus dilakukan secara partisipatif, diselaraskan dengan potensi
dan kebutuhan masyarakat, sehingga pada akhirnya dapat menyejahterakan seluruh
lapisan masyarakat.
Berdasarkan peta permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Mengapa terjadi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Kabupaten
Sleman?
2. Bagaimana dampak sosial dan ekonomi alih fungsi lahan di Kabupaten
Sleman terhadap masyarakat pada umumnya dan petani khususnya?
11
3. Apa jenis-jenis kebijakan dalam menekan laju perubahan alih fungsi lahan di
Sleman, serta apa bentuk-bentuk komunikasi pembangunan untuk
mensosialisasikan kebijakan tersebut?
4. Sejauhmana efektivitas kebijakan pengaturan lahan yang disosialisasikan
melalui komunikasi pembangunan dalam mempengaruhi pemahaman
masyarakat untuk menekan laju alih fungsi lahan di Sleman ?
1.2. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan pertaninan ke non pertanian di Kabupaten Sleman, khususnya di
desa kasus yang dipilih.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis dampak sosial dan ekonomi terhadap
masyarakat pada umumnya dan petani khususnya akibat alih fungsi lahan.
Analisis dampak sosial dan ekonomi akan memberi gambaran tentang
perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat di daerah penelitian.
3. Mendeskripsikan dan menganalisis jenis-jenis kebijakan dalam
mengendalikan laju perubahan lahan di Sleman serta bentuk-bentuk
komunikasi pembangunan untuk mensosialisasikan kebijakan tersebut.
4. Menganalisis efektivitas kebijakan pengaturan lahan yang disosialisasikan
melalui komunikasi pembangunan dalam pengendalian lahan yang tercermin
dari besaran perubahan alih fungsi lahan dan sikap masyarakat atas alih fungsi
lahan.
12
1.3. Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akademik dalam
menjelaskan faktor-faktor yang mempenagruhi alih fungsi lahan, baik faktor
yang berasal dari luar maupun dari dalam daerah/desa penelitian yang dipilih.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan akademik untuk
mengembangkan teori-teori dalam menjelaskan dan menganalisis dampak
sosial dan ekonomi bagi masyarakat pada umumnya dan petani khususnya
yang diakibatkan alih fungsi lahan.
3. Oleh karena penelitian ini juga mengupas aspek kebijakan pemerintah, maka
hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan pada perumus kebijakan
dalam pengaturan tentang tata guna lahan dan alih fungsi lahan.
1.4. Keaslian Penelitian
Kajian tentang alih fungsi lahan banyak dilakukan di negara-negara sedang
berkembang, baik di kawasan Asia, Afrika, maupun Amerika Latin. Hostettler (2007)
telah melakukan penelitian di Kota Autlan negara bagian Jalisco di Mexico tentang
pengaruh migrasi antar negara (transnational migration) terhadap perubahan alih
fungsi lahan melalui dana yang dikirim kembali oleh para migran kepada keluarga
mereka di daerah asal (remittance). Mata pencaharian utama warga kota Autlan di
bidang pertanian tadah hujan melalui budidaya jagung. Tetapi, dalam durasi tahun
1994 sampai dengan 2004, harga jagung telah mengalami penurunan hingga
mencapai 46%. Merosotnya harga jagung ini telah mengubah pola pertanian jagung
13
ke budidaya azul agave yang digunakan untuk produksi tequila. Terdapat 84%
perubahan pola usaha tani dari pertanian jagung ke budidaya azul agave.
Selain faktor ekonomi (merosotnya harga jagung), faktor pendorong lain atas
perubahan pola usaha tani disebabkan oleh faktor lingkungan (curah hujan, kualitas
lahan dan topografi), faktor politis/institusional (subsidi pertanian, kepemilikan
lahan), dan faktor demografi (ketersediaan tenaga kerja). Selain itu, terdapat faktor
global meskipun tidak terlalu penting, yaitu adanya perjanjian perdagangan
internasional atau NAFTA (Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara).
Atas pengaruh berbagai faktor tersebut, sebagian besar petani menyewakan
lahan pada perusahaan tequila dalam durasi tujuh tahun (waktu yang dibutuhkan
untuk satu siklus pertumbuhan azul agave). Sementara lahan mereka disewakan,
petani masih menerima subsidi pertanian dari negara. Dalam durasi tujuh tahun ini,
banyak petani mencari pekerjaan di luar sektor pertanian dan bermigrasi ke Amerika
serikat.
Migrasi internasional menjadi strategi memperoleh mata pencaharian,
terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dalam rentang waktu 1980 – 2004,
ada sekitar 50% rumah tangga yang memiliki paling sedikit seorang anggota keluarga
yang bermigrasi untuk bekerja ke Amerika Serikat. Uang yang dikirimkan para
migran ini memberi kontribusi 45% dari total pendapatan keluarga. Bagi keluarga
berpenghasilan rendah, uang kiriman digunakan memperbaiki rumah. Sementara,
bagi keluarga yang berpenghasilan lebih tinggi, kiriman uang digunakan untuk
membangun rumah baru dengan mengubah lahan pertanian menjadi perumahan.
14
Penelitian Hostettler ini lebih menonjolkan faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan lahan pertanian ke perumahan yang dimulai dari perubahan pola usaha tani
karena daya tarik azul agave. Banyak petani Mexico menyewakan lahan untuk
budidaya azul agave dan mereka pergi ke Amerika Serikat untuk bekerja. Uang hasil
kerja inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk renovasi dan pembangunan rumah-
rumah baru dengan menggusur lahan pertanian. Jika penelitian Hostettler melihat
faktor-faktor pengaruh, maka penelitian ini lebih melihat dampak sosial dan ekonomi
terhadap petani akibat alih fungsi lahan.
Penelitian di benua Afrika dilakukan oleh Magigi (2008) di Dar Es Salaam,
salah satu wilayah perkotaan yang mengalami urbanisasi yang pesat di Tanzania.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa urbanisasi, kemiskinan perkotaan, kerentanan
makanan dan ketidakterlibatan masyarakat dalam perencanaan pemanfaatan lahan
merupakan faktor pendukung dan katalisator dalam alih fungsi lahan, transaksi lahan,
imigrasi dan pesatnya perkembangan keseluruhan masalah perkotaan. Akibat yang
dihasilkan oleh faktor-faktor tersebut menunjukkan bahwa buruknya tata kelola lahan
perkotaan bukan penyebab tunggal, tetapi juga disebabkan kelemahan institusi
perencana dalam merealisasikan dan beradaptasi dengan tantangan yang dihadapi
pertanian di wilayah perkotaan dalam kaitannya dengan proses perkembangan lahan
perkotaan.
Pemecahan masalah tersebut dapat dicapai dengan: (1) mengadopsi
pendekatan partisipatoris dalam perencanaan perkotaan, (2) peningkatan jumlah
pemukiman, (3) kerjasama kelembagaan, (4) desentralisasi peran ke tingkat lokal, dan
15
(5) penguatan organisasi petani dengan cara institusionalisasi dan pemberian
kesempatan untuk berkontribusi dalam dialog politik. Strategi ini akan efektif jika:
(1) pemerintah meninjau ulang kebijakan dan peraturan tentang tata ruang, (2) semua
pihak terkait dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan, dan (3) dilakukan
informasi dan komunikasi yang menyadarkan/memberdayakan masyarakat.
Ada titik temu yang sama antara penelitian Magigi ini dengan penelitian ini,
yaitu sama-sama melakukan kajian terhadap kebijakan pemerintah dalam tata guna
lahan. Bedanya, Magigi fokus pada proses perumusan kebijakan perencanaan tata
guna lahan, sedangkan penelitian ini lebih diarahkan untuk menganalisis strategi
komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam upaya sosialisasi kebijakan pada
masyarakat serta efektivitasnya dalam menekan laju alih fungsi lahan.
Penelitian alih fungsi lahan di Indonesia di antaranya dilakukan oleh
Siwiretno (2008) yang meninjau determinan penyusutan luas lahan sawah di
Kabupaten Sleman dalam periode 1976-2006. Sama dengan penelitian Hostettler,
Siwiretno melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan alih fungsi
lahan. Hasilnya, untuk Kabupaten Sleman ditemukan adanya dua determinan, yaitu
bertambahnya luas lahan pekarangan dan bertambahnya jumlah penduduk. Penelitian
ini juga melihat pengaruh RUTRD (Rencana Umum Tata Ruang Daerah) dalam
pengendalian atas penyusutan luas lahan sawah di Kabupaten Sleman. Meskipun ada
persamaan dalam melihat efektivitas kebijakan, penelitian ini lebih jauh melihat
metode sosialisasi kebijakan dalam kerangka komunikasi pembangunan.
16
Ismaya (2004) meneliti dari tinjauan Ilmu Hukum tentang prosedur
pengeringan tanah, sanksi terhadap pelanggaran izin pengeringan, kendala yang
dihadapi dalam pemberian sanksi dan solusinya. Penelitian Ismaya dilakukan di
Kabupaten Sleman sebagai wilayah yang tinggi alih fungsi lahannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan penggunaan tanah atau
pengeringan di Sleman diatur dalam Perda Nomor 19 tahun 2001 tentang Izin
Peruntukkan Penggunaan Tanah. Sampai saat penelitian dilakukan pada tahun 2004,
belum pernah ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran mekanisme perubahan
penggunaan tanah yang tidak sesuai prosedur. Hal ini disebabkan kendala perangkat
hukumnya, masalah kelembagaan, tidak adanya orang yang menjadi pelapor dan
saksi. Solusi yang diambil Pemeritah Kabupaten Sleman dengan tindakan
pencegahan/preventif, seperti: sosialisasi perundang-undangan, penyuluhan
pertanahan, dan pengetatan perizinan perubahan lahan.
Hasil penelitian Ismaya diperkuat dengan data yang dihasilkan penelitian
Hariawan (2007) bahwa implementasi kebijakan IMB (Izin Mendirikan Bangunan)
di Kabupaten Sleman selama lebih dari 17 tahun sejak diterbitkannya Peraturan
Daerah Nomor 1 Tahun 1990, baru menghasilkan capaian angka kepemilikan 28,65%
dari total jumlah bangunan. Angka tersebut menjadi indikasi kuat bahwa kebijakan
perizinan IMB di Kabupaten Sleman belum optimal dalam mencapai tujuannya.
Ada tiga faktor penyebab belum optimalnya kebijakan tersebut, yaitu:
pertama faktor pelayanan, masih adanya ketidakpastian pelayanan terutama pada
aspek waktu dan biaya, keterbatasan struktur kelembagaan penyelenggaranya, serta
17
kompleksitas regulasi pendukung perizinan IMB. Kedua faktor kesadaran masyarakat
yang masih rendah tentang kemanfaatan bersama yang akan didapat melalui
efektifnya perizinan IMB. Hal ini juga dipengaruhi oleh belum efektifnya sosialisasi
kebijakan yang selama ini dijalankan, serta rendahnya pelibatan stakeholders non-
pemerintah dalam perumusan kebijakan dimaksud. Ketiga faktor law enforcement,
kegiatan penegakan peraturan daerah terkait dengan IMB terkendala aspek regulatif
khususnya tentang pengaturan sanksi, ketidakseimbangan keluasan wilayah kerja dan
jumlah bangunan dengan kemampuan pengawasan, serta adanya resistensi
masyarakat dalam kegiatan penertiban bangunan.
Ketiga faktor di atas menunjukkan bahwa kebijakan IMB belum mampu
memberikan manfaat nyata kepada masyarakat dan masih memiliki kontribusi yang
minim pada tertib tata bangunan, apalagi terhadap tata lingkungan dan tata ruang.
Bagi masyarakat, kebijakan tersebut masih dilihat sebagai sebuah bentuk fungsi
pengaturan dan pengendalian oleh pemerintah yang belum berorientasi pada sistem
pelayanan yang berpihak pada kebutuhan masyarakat.
Baik penelitian Ismaya dan Hariawan sama-sama meninjau tentang kebijakan
pengendalian alih fungsi lahan, tetapi belum mengupas tentang strategi sosialisasi
kebijakan dalam bingkai komunikasi pembangunan yang akan dilakukan dalam
penelitian ini.
Penelitian alih fungsi lahan di luar D.I. Yogyakarta pernah dilakukan di Bali.
Sebagai daerah tujuan wisata, alih fungsi lahan pertanian digunakan untuk fasilitas
pariwisata seperti hotel, restoran dan lapangan golf. Penelitian dilakukan di Desa
18
Beraban, kawasan wisata Lahan Lot, Kabupaten Tabanan – Bali, yang merupakan
lahan subur pertanian. Dengan alasan kebutuhan lahan untuk pengembangan
pariwisata, pemerintah Tabanan membujuk dan/atau menekan pemilik lahan agar
bersedia melepas lahan demi pembangunan pariwisata. Akibat alih fungsi lahan ini,
52,86% petani memilih tetap bertani dengan cara menggarap sawah yang tidak
dialihfungsikan dan/atau membeli lahan di luar desa. Sisanya, 47,14%, memilih
bekerja ke luar sektor pertanian dengan memasuki pekerjaan di sektor pariwisata.
Semakin luas lahan yang dilepas, semakin besar kecenderungan untuk ke luar dari
sektor pertanian (Matera, 1996).
Penelitian di Tabanan Bali ini menunjukkan bahwa alih fungsi lahan terjadi
justru karena kebijakan pemerintah dengan dalih pengembangan pariwisata. Hal ini
sangat berbeda dengan kebijakan pemerintah Kabupaten Sleman yang mengeluarkan
kebijakan untuk menghambat alih fungsi lahan pertanian.
Alih fungsi lahan akibat tekanan perkembangan Jakarta dan Botabek terjadi di
Kabupaten Karawang. Alih fungsi ini dipicu dengan perkembangan industri yang
berakibat pada durasi tahun 1992 – 1997 lahan sawah beririgasi teknis telah
berkurang 2.028 Ha di Kabupaten Karawang (Jamal, 1999). Penelitian di wilayah ini
diarahkan pada analisis ekonomi atas faktor-faktor yang mempengaruhi besaran harga
jual lahan, seperti: status lahan, jarak dari jalan utama desa, jarak dari saluran tersier,
serta jarak dari kawasan industri dan perumahan. Analisis kelembagaan seperti
kebersamaan petani dalam kelompok tani, kebutuhan yang sama atas air irigasi,
ternyata tidak berpengaruh terhadap harga jual lahan. Hasil penelitian juga
19
menunjukkan bahwa peraturan yang dikeluarkan pemerintah tidak sepenuhnya
berpihak pada petani dalam hal perlindungan terhadap lahan sawah atau proses alih
fungsinya.
Penelitian Jamal telah melakukan telaah pada aspek kelembagaan petani
dengan hasil yang menunjukkan bahwa keberadaan organisasi petani ternyata tidak
berpengaruh terhadap harga jual lahan. Dengan kata lain, organisasi petani tidak
memiliki posisi tawar karena harga jual lahan sepenuhnya tergantung mekanisme
pasar. Penelitian ini juga melihat aspek kelembagaan petani dengan sudut pandang
yang berbeda, yaitu hendak meninjau strategi komunikasi pembangunan dengan
pendekatan kelompok (organisasi tani) sejauhmana mampu berperan dalam
pengendalian alih fungsi lahan.
Jika di Jawa alih fungsi terjadi dari lahan pertanian ke non pertanian, lain
halnya dengan wilayah luar Jawa. Penelitian di DAS Nopu Kabupaten Donggala
Sulawesi Tengah menunjukkan adanya alih fungsi dari lahan hutan ke pertanian dan
kakao (Monde, 2008). Alih fungsi tersebut justru mengakibatkan penurunan kualitas
lahan, meningkatnya erosi dan aliran permukaan, serta petani pun tidak dapat
memenuhi kebutuhan layak. Penelitian Monde ini mengambil unit analisis alih fungsi
lahan dari hutan menjadi lahan pertanian dan kakao, sementara alih fungsi lahan
dalam penelitian ini dari lahan pertanian menjadi perumahan, jasa dan industri.
20
Tabel I.7. Perbedaan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian ini
No. Judul Penelitian Nama Peneliti Fokus / Hasil
Penelitian
Fokus Penelitian ini
1. Alih Fungsi Tanah
Pertanian untuk
Pembangunan
Fasilitas
Pariwisata dan
Dampaknya
Terhadap Petani
(Studi di Kawasan
Wisata Lahan Lot,
Kabupaten
Tabanan Bali).
Metera, 1996 Alih fungsi lahan
terjadi justru karena
kebijakan pemerintah
dengan dalih
pengembangan
pariwisata.
Mengkaji kebijakan
pemerintah Sleman
dalam mengendalikan
alih fungsi lahan
pertanian.
2. Analisis Ekonomi
dan Kelembagaan
Alih Fungsi Lahan
Sawah ke
Penggunaan Non
Pertanian di
Kabupaten
Karawang Jawa
Barat.
Jamal, 1999 Kajian pada aspek
kelembagaan petani
dengan hasil yang
menunjukkan bahwa
keberadaan organisasi
petani ternyata tidak
berpengaruh terhadap
harga jual lahan.
Dengan kata lain,
organisasi petani tidak
memiliki posisi tawar
karena harga jual
lahan sepenuhnya
tergantung mekanisme
pasar.
Penelitian ini juga
melihat aspek
kelembagaan petani
dalam pengendalian
alih fungsi lahan.
3. Pelaksanaan
Perubahan
Penggunaan
Tanah Pertanian
ke Non Pertanian
di Kabupaten
Sleman.
Ismaya, 2004
Dua penelitian ini
sama-sama meninjau
tentang kebijakan
pengendalian alih
fungsi lahan, tetapi
belum mengupas
tentang strategi
sosialisasi kebijakan.
Menganalisis strategi
sosialisasi dalam
bingkai komunikasi
pembangunan.
4. Kebijakan
Perizinan IMB di
Kabupaten
Sleman: Evaluasi
Kebijakan
Pengendalian
Hariawan,
2007
21
Bangunan di
Tengah Tuntutan
Kepastian
Pelayanan.
5. Land Use Change
and Transnational
Migration: The
Impact of
Remittances in
Western Mexico.
Hostettler,
2007
Menganalisis faktor-
faktor yang
mempengaruhi
perubahan alih fungsi
lahan bagi
perlindungan sosial
bagi petani.
Menganalisis dampak
sosial dan ekonomi
akibat alih fungsi
lahan.
6. Determinan
Penyusutan Luas
Lahan Sawah di
Kabupaten Sleman
dalam Periode
1976-2006.
Siwiretno,
2008 Faktor determinan
dalam penyusutan
sawah.
Pengaruh RUTRD
(Rencana Umum
Tata Ruang
daerah) dalam
pengendalian atas
penyusutan sawah.
Kebijakan pemerintah
dalam pengendalian
lahan dianalisis dari
sisi proses
komunikasinya dan
dampak.
7. Improving Urban
Land Governance
with Emphasis on
Integrating
Agriculture Based
Livelihoods in
Spatial Land Use
Planning Practise
in Tanzania.
Magigi, 2008 Proses perumusan
kebijakan
perencanaan tata guna
lahan.
Strategi komunikasi
yang dilakukan oleh
pemerintah dalam
upaya sosialisasi
kebijakan pada
masyarakat serta
efektivitasnya dalam
menekan laju alih
fungsi lahan.