Humaniora Kesepakatan Cancun Menuju Rendah Emisi filesyarakat miskin dan rentan terhadap dampak...

1
K ONFERENSI Para Pihak tentang Peru- bahan Iklim (COP- 16) di Cancun, Me- ksiko, akhirnya menghasilkan Kesepakatan Cancun atau Can- cun Agreements yang disetujui seluruh negara peserta kecuali Bolivia pada Sabtu (11/12) dini hari waktu setempat. Ketika Presiden COP-16 Pa- tricia Espinosa mengesahkan Cancun Agreement pada sidang pleno di Moon Palace, tepuk tangan meriah dari seluruh de- legasi yang hadir, termasuk In- donesia, pun membahana. Saat pengesahan, Espinosa tidak menghiraukan keberatan dari negosiator Bolivia yang terus berbicara dan bersikeras bahwa pengesahan kesepakatan harus melalui konsensus. “Peraturan dari konsensus tidak berarti kebulatan suara,” cetus Espinosa. Ia mengatakan kesepakatan ini merupakan sebuah awal yang baik untuk masa depan yang lebih ramah lingkungan. “Ini bukan akhir yang dibutuhkan, melainkan sebuah landasan esensial untuk membangun ambisi bersama yang lebih besar,” ujarnya. Cancun Agreement menga- dopsi sebuah paket keputusan yang seimbang untuk semua negara yang mengatur lebih tegas arah sebuah masa depan yang rendah emisi. Juga men- dukung aksi lebih lanjut dari penanganan perubahan iklim dari negara maju. Sekretaris Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres menga- takan Kesepakatan Cancun menunjukkan negara-negara bisa bekerja bersama untuk menghasilkan suatu konsen- sus. “Mereka telah menunjuk- kan konsensus yang lahir dari proses yang transparan dan terbuka yang menguntungkan semua pihak.” Kesepakatan tersebut, sam- bungnya, juga membuktikan negara-negara peserta telah menunjukkan sinyal kuat bahwa mereka sepakat menuju masa depan yang rendah emisi. ‘’Mereka setuju aksi penurunan emisi mereka bisa dihitung dan dipertanggungjawabkan,’’ ung- kap Figueres. Cancun Agreements meny- etujui sebuah inisiatif dan in- stitusi untuk melindungi ma- syarakat miskin dan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka juga sepakat soal penyaluran dana dan teknologi dari negara maju untuk mem- bangun masa depan yang lebih berlanjut. Sehari sebelum COP-16 ditu- tup atau Kamis (9/12) waktu Me- ksiko, negara-negara maju setuju membantu dana US$100 miliar (sekitar Rp900 triliun) per tahun mulai 2020 untuk membantu negara-negara miskin dalam me- lawan pemanasan global. Saat penutupan, negara-ne- gara peserta juga setuju untuk melakukan aksi nyata melin- dungi hutan-hutan di negara berkembang. Mereka sepakat pula melakukan pembangunan dengan tetap menjaga kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2 derajat celsius. Cancun Agreements pun menyepakati target penurunan emisi negara-negara industri di bawah proses multilateral, dan negara tersebut mengembang- kan rencana pembangunan rendah karbon, strategi, dan evaluasi termasuk mekanisme pasar dan pelaporan inventaris secara berkala. Meski begitu, tidak ada kem- ajuan berarti tentang masa depan Protokol Kyoto yang mewajibkan hampir 40 negara kaya untuk memotong emisi gas rumah kaca. Tahap pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012, tetapi AS tetap tak mau bergabung, sedangkan Jepang dan Rusia menolak melanjut- kan komitmen. (Rtr/*/H-1) [email protected] FENOMENA alam, yakni hujan meteor Geminid dan gerhana bulan total, akan terjadi di pen- ghujung tahun ini. Hujan meteor Geminid akan terjadi hari ini dan besok. Menu- rut peneliti bidang astronomi dan sika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin, fenomena itu bisa dilihat dengan mata telanjang termasuk oleh masyarakat Indonesia. ‘’Sekitar tengah malam kita bisa melihat kejadian yang langka ini dengan mata telanjang,’’ ungkapnya, kemarin. Menurut dia, peristiwa tersebut bisa disaksikan dengan syarat cuaca cerah dan mengam- atinya jauh dari polusi cahaya. Juga, medan pandang ke arah utara tidak terhalang. ‘’Sebaiknya kita melihat dari tempat yang terbuka, tidak ada penghalang seperti gedung atau pohon.’’ Seperti dilansir Space.com, hu- jan meteor Geminid termasuk unik karena tidak dikaitkan de- ngan komet, tetapi asteroid yang disebut 3200 Phaethon. Hujan meteor ini disebut Geminid ka- rena mirip dengan konstelasi Gemini dan memperlihatkan belasan bintang jatuh per jam. Fenomena kedua, yakni ger- hana bulan total, bakal terjadi 20 dan 21 Desember mendatang. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tak bisa menjadi saksi. “Mungkin hanya di wilayah Aceh yang bisa meli- hat peristiwa ini. Tetapi, gerhana total tetap tidak akan tampak. Sebagian saja yang bisa dilihat,’’ jelas Thomas. Gerhana bulan total kali ini akan terlihat di seluruh kawa- san Amerika Utara dan Selatan, bagian utara dan barat Eropa, sebagian kecil timur laut Asia, termasuk Jepang dan Korea. Gerhana juga dapat disaksikan di kawasan Selandia Baru dan Hawaii. Thomas menjelaskan siklus gerhana bulan total bisa dua atau tiga kali dalam satu tahun, tetapi tidak bisa disaksikan di seluruh negara. Adapun ger- hana matahari diprediksi bakal terjadi pada 4 Januari 2011, tetapi lagi-lagi tidak terlihat di Indonesia. (*/H-1) SEKOLAH khusus bagi anak positif HIV (APH) tidak diperlu- kan demi menghindari implikasi negatif terhadap perkembangan psikologis mereka. Menurut Prof Dr Samsuridjal Djauzi SpPD dari UPT HIV RSCM, sekolah khusus justru akan memperkuat stigmatisasi dan diskriminasi dari masyara- kat. “Lebih baik mereka (APH) itu menyatu (sekolahnya) de- ngan anak biasa lainnya. Hin- darkan perasaan anak bahwa dia ‘berbeda’,” ungkap Samsu- ridjal dalam diskusi Sekolah un- tuk Anak HIV Positif di Thamrin City, Jakarta, kemarin. Ia mengungkap hal itu terkait dengan fenomena meningkat- nya kuantitas anak positif HIV di Indonesia dan masih adanya diskriminasi di beberapa sekolah terhadap mereka. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2009 diperkirakan ada 3.045 ka- sus baru anak positif HIV dengan jumlah akumulatif 7.546 kasus. Pada 2014, jumlah akumulatif akan mencapai 34.287 kasus. “Peningkatan kasus HIV positif ini sangat berkorelasi dengan pe- ningkatan kasus HIV pada perem- puan usia produktif,” paparnya. Perkembangan mengkha- watirkan itu pula yang ke- mudian mencuatkan wacana agar dibentuk sekolah khusus bagi APH. Padahal, menurut Samsuridjal, yang membeda- kan APH dengan anak tanpa HIV, hanya kualitas kesehatan. “Anak dengan HIV/AIDS juga memiliki kualitas pendidikan tak lebih rendah daripada anak tanpa HIV/AIDS,” cetusnya. Untuk mengatasi masalah ter- sebut, ia menawarkan beberapa alternatif solusi. “Tidak masalah mereka bersekolah di sekolah biasa. Tidak ada penularan ke- pada murid lain atau guru. Yang ada hanya rasa khawatir.’’ Orang tua, sambungnya, juga tidak perlu memberitahukan kepada pihak sekolah tentang status anaknya. “Jika sekolah tahu, mereka harus menjaga kerahasiaannya.” Sementara itu, Husein Habsyi dari Yayasan Pelita Ilmu meng- imbau sekolah untuk membuka diri terhadap anak-anak HIV positif ini. Sebab mereka juga punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa harus dibeda-bedakan. Sementara itu, guru SMK 2 Ja- karta Rina Mulyati menegaskan, masalah APH tak perlu ada jika memperhatikan landasan negara. “Amanat undang-undang adalah pendidikan untuk semua, tidak boleh ada diskriminasi.” (*/H-1) K OLONG Jembatan Kandara, Jeddah, Arab Saudi, tidak terlalu ramai di siang hari. Namun, ketika malam menjelang, suasana berubah drastis. Tidak lama setelah azan salat Isya memanggil, para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang luntang-lantung menunggu dipulangkan berkumpul. Tidak hanya TKI sebenarnya, tetapi juga ada yang berasal dari Ban- gladesh dan Bangali. Jumlah- nya bisa mencapai 400 orang. “Tetapi yang banyak me- mang dari Indonesia, laki-laki dan perempuan bahkan ada anak-anak yang terpaksa lahir di sana. Mereka selalu berkel- ompok dan mengobrol, tidak peduli kendaraan yang lewat,” tutur Siswanto kepada Media Indonesia lewat sambungan tele- pon internasional, pekan lalu. Siswanto tahu betul ke- hidupan penghuni kolong Kandara. Ia adalah TKI di Arab Saudi sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Indonesia Bersatu, sebuah LSM yang peduli pada nasib dan masalah-masalah sosial yang menimpa TKI. Agar bisa tidur lelap, lanjut dia, mereka yang menggelan- dang hanya beralas kardus. Beberapa tenda ditempati anak-anak atau yang sudah berkeluarga. Mereka pun ter- kadang harus berbagi tempat dengan kendaraan, karena bagian tengah kolong jem- batan menjadi tempat parkir. Siswanto menuturkan, siang hari di kolong jembatan memang tidak terlalu ramai ka- rena para TKI ini harus mencari makan. Mereka menggelan- dang, mencari kaleng-kaleng bekas yang masih menyisakan sedikit makanan untuk meng- ganjal rasa lapar. Yang lain memilih duduk diam di ko- long, menunggu belas kasihan orang-orang yang lewat. Tak jarang pula, mereka yang kelewat lapar memilih mengambil jalan pintas, men- jual diri. Walaupun dibayar murah, hanya 50 riyal. Uang itu cukup untuk delapan orang sekali makan. “Bah- kan yang laki-laki menjadi makelar untuk perempuan- perempuan di situ, supaya mereka bisa makan. Uang 50 riyal itu kecil, tapi mereka tak punya alternatif lain.’’ Keadaan bertambah miris ketika penyakit menyerang. Tak ada obat-obatan, apalagi dokter. Para TKI yang kabur dari rumah majikan mening- galkan segala identitas, hanya membawa baju lekat di badan. “Meski jalur resmi berobat itu free, mereka tidak dapat karena tak punya kartu identitas. Uang dari mana untuk beli obat? Bahkan ada dua orang yang terkena AIDS,” kata Siswanto dengan suara tercekat. Saat dihubungi, Jaka yang kini bermukim di Jambi, Suma- tra, menuturkan pengalaman mirisnya. Ia adalah alumnus kolong Jembatan Kandara. Ia tinggal di sana pada Juni hingga Agustus 2009. “Kami kebanyakan TKI yang bermasalah dengan majikan masing-masing. Ada juga yang menggunakan visa umrah untuk sengaja masuk kerja ke Arab Saudi. Saat kami ada di sana, sekitar 700 hingga 1.200 orang setiap harinya menunggu jemputan dari pemerintah Saudi untuk dideportasi. Menunggu waktu berbulan-bulan,” tuturnya. Untuk menyambung hidup di negeri orang dulu, Jaka menunggu belas kasihan dermawan atau biasa disebut sabilillah. Sepengetahuan dia, setidaknya tiga orang meregang nyawa di kolong itu. Salah sa- tunya Halimah yang menderita sesak napas karena dipekerja- kan berlebihan oleh majikannya. “Dia meninggal di depan saya,” ungkapnya, sendu. Upaya untuk lepas dari penderitaan bukannya tak dilakukan. Siswanto menu- turkan, beberapa kali mereka meminta bantuan Konsulat Jenderal RI di Jeddah tetapi selalu nihil. Keinginan mereka cuma satu, yakni pulang ke kampung halaman agar lepas dari penderitaan. (Wta/H-1) 12 | Humaniora SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA Kesepakatan Cancun Menuju Rendah Emisi Mereka sepakat melakukan pembangunan dengan tetap menjaga kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2 derajat celsius. Jaka Budi Santosa Mereka Menunggu Dideportasi Dua Fenomena Langit di Penghujung Tahun Anak Positif HIV tidak Perlu Sekolah Khusus SEKILAS MI/PANCA SYURKANI PEDULI AIDS: Massa dari UNGASS Forum Indonesia on AIDS beraksi memperingati Hari AIDS Sedunia di Bundaran HI, Rabu (1/12). Ini bukan akhir yang dibutuhkan, melainkan sebuah landasan esensial untuk membangun ambisi bersama yang lebih besar.” Patricia Espinosa Presiden COP-16 KAUM penyandang disabilitas intelektual paling terpinggirkan ketim- bang tiga kelompok penyandang cacat lain, yaitu tunarungu, tunadak- sa, dan tunanetra. Padahal, terdapat sekitar 6 juta orang tunagrahita di Indonesia. “Sebagian besar dari mereka tidak memperoleh pendi- dikan dan pelatihan yang layak. Imbasnya, saat mereka dewasa, tidak ada yang tahu akan disalurkan ke mana agar dapat hidup mandiri,” ungkap Ketua Umum Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Cacat Mental (FNKCM) Sunartini Hapsara di Jakarta, Sabtu (11/12). Menurutnya, masih tumbuh di benak masyarakat bahwa pe- nyandang keterbelakangan mental tidak bisa diberdayakan dan hanya dianggap sebagai beban. Pendapat senada disampaikan Frieda Mangunsong, psikolog dari UI. (Tlc/H-1) PRODUSEN jam tangan asal Swiss, Teiwe, meluncurkan dua produk terbarunya, Heritage dan Star Diamond, di Senayan City, Jakarta, Sabtu (11/12). Selain itu, Teiwe memberikan penghargaan kepada 10 orang yang menginspirasi di bidang masing-masing seperti Ade Rai, Farah Quinn, Anne Avantie, Asep Sulaiman Sabanda, Yohanes Surya, Helmi Yahya, Adrie Subono, Shinta Witoyo, dan Putri Kuswisnu. Acara Inspiring Luxury ditutup dengan pelelangan jam tangan yang baru saja diluncurkan dan hasilnya akan disumbangkan kepada korban bencana lewat Metro TV. Menurut GM Product and Chan- nel Management DRTV untuk Teiwe, Susanto, pihaknya menjamin kualitas produk terbaru tersebut dengan harga rasional. (*/H-1) PREVALENSI gizi buruk memang berhasil ditekan dari 9,7% pada 2005 menjadi 4,9% pada 2010. Namun, guna memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs), yaitu menjadi 3,6% pada 2015 diperlukan usaha ekstra keras. Sebab, saat ini rata-rata ibu hamil per tahun masih cukup tinggi, yakni 4 juta per tahun. Sekitar 2 juta dari mereka diprediksi mengalami anemia gizi dan 1 juta menderita kekurangan energi kronis. Potret buram kondisi gizi buruk di Indonesia itu mengemuka dalam diskusi Perbaikan Status Gizi sebagai Tolok Ukur Pencapaian Target MDGs di Jakarta, akhir pekan lalu. Hadir memberikan paparan pada acara dalam menyambut Hari Ibu ke-82 itu antara lain Menteri Pem- berdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar dan praktisi kesehatan dari RSCM, Y Endang Budiwiarti. (Tlc/H-1) Tunagrahita Paling Terpinggirkan Lelang Jam untuk Korban Bencana Penanganan Gizi Buruk Tersendat MI/ADAM DWI PUTRA TKI TELANTAR: Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) telantar di kolong Jembatan Kandara, Jeddah, Arab Saudi, Kamis (9/12).

Transcript of Humaniora Kesepakatan Cancun Menuju Rendah Emisi filesyarakat miskin dan rentan terhadap dampak...

Page 1: Humaniora Kesepakatan Cancun Menuju Rendah Emisi filesyarakat miskin dan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka juga sepakat soal penyaluran dana dan teknologi dari negara

KONFERENSI Para Pihak tentang Peru-bahan Iklim (COP-16) di Cancun, Me-

ksiko, akhirnya menghasilkan Kesepakatan Cancun atau Can-cun Agreements yang disetujui seluruh negara peserta kecuali Bolivia pada Sabtu (11/12) dini hari waktu setempat.

Ketika Presiden COP-16 Pa-tricia Espinosa mengesahkan Cancun Agreement pada sidang pleno di Moon Palace, tepuk tangan meriah dari seluruh de-legasi yang hadir, termasuk In-donesia, pun membahana. Saat pengesahan, Espinosa tidak menghiraukan keberatan dari negosiator Bolivia yang terus berbicara dan bersikeras bahwa pengesahan kesepakatan harus melalui konsensus.

“Peraturan dari konsensus tidak berarti kebulatan suara,” cetus Espinosa. Ia mengatakan kesepakatan ini merupakan sebuah awal yang baik untuk masa depan yang lebih ramah lingkungan. “Ini bukan akhir yang dibutuhkan, melainkan

sebuah landasan esensial untuk membangun ambisi bersama yang lebih besar,” ujarnya.

Cancun Agreement menga-dopsi sebuah paket keputusan yang seimbang untuk semua negara yang mengatur lebih tegas arah sebuah masa depan yang rendah emisi. Juga men-dukung aksi lebih lanjut dari penanganan perubahan iklim dari negara maju.

Sekretaris Badan PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Christiana Figueres menga-takan Kesepakatan Cancun menunjukkan negara-negara bisa bekerja bersama untuk menghasilkan suatu konsen-sus. “Mereka telah menunjuk-kan konsensus yang lahir dari proses yang transparan dan terbuka yang menguntungkan semua pihak.”

Kesepakatan tersebut, sam-bungnya, juga membuktikan negara-negara peserta telah menunjukkan sinyal kuat bahwa mereka sepakat menuju masa depan yang rendah emisi. ‘’Mereka setuju aksi penurunan emisi mereka bisa dihitung dan dipertanggungjawabkan,’’ ung-kap Figueres.

Cancun Agreements meny-etujui sebuah inisiatif dan in-stitusi untuk melindungi ma-syarakat miskin dan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Mereka juga sepakat soal penyaluran dana dan teknologi dari negara maju untuk mem-

bangun masa depan yang lebih berlanjut.

Sehari sebelum COP-16 ditu-tup atau Kamis (9/12) waktu Me-ksiko, negara-negara maju setuju membantu dana US$100 miliar (sekitar Rp900 triliun) per tahun mulai 2020 untuk membantu

negara-negara miskin dalam me-lawan pemanasan global.

Saat penutupan, negara-ne-gara peserta juga setuju untuk melakukan aksi nyata melin-dungi hutan-hutan di negara berkembang. Mereka sepakat pula melakukan pembangunan dengan tetap menjaga kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2 derajat celsius.

Cancun Agreements pun menyepakati target penurunan emisi negara-negara industri di bawah proses multilateral, dan negara tersebut mengembang-kan rencana pembangunan rendah karbon, strategi, dan evaluasi termasuk mekanisme pasar dan pelaporan inventaris secara berkala.

Meski begitu, tidak ada kem-ajuan berarti tentang masa depan Protokol Kyoto yang mewajibkan hampir 40 negara kaya untuk memotong emisi gas rumah kaca. Tahap pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012, tetapi AS tetap tak mau bergabung, sedangkan Jepang dan Rusia menolak melanjut-kan komitmen. (Rtr/*/H-1)

[email protected]

FENOMENA alam, yakni hujan meteor Geminid dan gerhana bulan total, akan terjadi di pen-ghujung tahun ini.

Hujan meteor Geminid akan terjadi hari ini dan besok. Menu-rut peneliti bidang astronomi dan fi sika Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin, fenomena itu bisa dilihat dengan mata telanjang termasuk oleh masyarakat Indonesia. ‘’Sekitar tengah malam kita bisa melihat kejadian yang langka ini dengan mata telanjang,’’ ungkapnya, kemarin. Menurut dia, peristiwa tersebut bisa disaksikan dengan syarat cuaca cerah dan mengam-atinya jauh dari polusi cahaya. Juga, medan pandang ke arah

utara tidak terhalang. ‘’Sebaiknya kita melihat dari tempat yang terbuka, tidak ada penghalang seperti gedung atau pohon.’’

Seperti dilansir Space.com, hu-jan meteor Geminid termasuk unik karena tidak dikaitkan de-ngan komet, tetapi asteroid yang disebut 3200 Phaethon. Hujan meteor ini disebut Geminid ka-rena mirip dengan konstelasi Gemini dan memperlihatkan belasan bintang jatuh per jam.

Fenomena kedua, yakni ger-hana bulan total, bakal terjadi 20 dan 21 Desember mendatang. Sayangnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tak bisa menjadi saksi. “Mungkin hanya di wilayah Aceh yang bisa meli-hat peristiwa ini. Tetapi, gerhana

total tetap tidak akan tampak. Sebagian saja yang bisa dilihat,’’ jelas Thomas.

Gerhana bulan total kali ini akan terlihat di seluruh kawa-san Amerika Utara dan Selatan, bagian utara dan barat Eropa, sebagian kecil timur laut Asia, termasuk Jepang dan Korea. Gerhana juga dapat disaksikan di kawasan Selandia Baru dan Hawaii.

Thomas menjelaskan siklus gerhana bulan total bisa dua atau tiga kali dalam satu tahun, tetapi tidak bisa disaksikan di seluruh negara. Adapun ger-hana matahari diprediksi bakal terjadi pada 4 Januari 2011, tetapi lagi-lagi tidak terlihat di Indonesia. (*/H-1)

SEKOLAH khusus bagi anak positif HIV (APH) tidak diperlu-kan demi menghindari im plikasi negatif terhadap perkembangan psikologis mereka.

Menurut Prof Dr Samsuridjal Djauzi SpPD dari UPT HIV RSCM, sekolah khusus justru akan memperkuat stigmatisasi

dan diskriminasi dari masyara-kat. “Lebih baik mereka (APH) itu menyatu (sekolahnya) de-ngan anak biasa lainnya. Hin-darkan perasaan anak bahwa dia ‘berbeda’,” ungkap Samsu-ridjal dalam diskusi Sekolah un-tuk Anak HIV Positif di Thamrin City, Jakarta, kemarin.

Ia mengungkap hal itu terkait dengan fenomena meningkat-nya kuantitas anak positif HIV di Indonesia dan masih adanya diskriminasi di beberapa sekolah terhadap mereka. Menurut data Kementerian Kesehatan, pada 2009 diperkirakan ada 3.045 ka-sus baru anak positif HIV dengan jumlah akumulatif 7.546 kasus. Pada 2014, jumlah akumulatif akan mencapai 34.287 kasus.

“Peningkatan kasus HIV positif ini sangat berkorelasi dengan pe-ningkatan kasus HIV pada perem-puan usia produktif,” paparnya.

Perkembangan mengkha-watirkan itu pula yang ke-mudian mencuatkan wacana agar dibentuk sekolah khusus bagi APH. Padahal, menurut Samsuridjal, yang membeda-kan APH dengan anak tanpa HIV, hanya kualitas kesehatan. “Anak dengan HIV/AIDS juga memiliki kualitas pendidikan tak lebih rendah daripada anak tanpa HIV/AIDS,” cetusnya.

Untuk mengatasi masalah ter-sebut, ia menawarkan beberapa alternatif solusi. “Tidak masalah mereka bersekolah di sekolah biasa. Tidak ada penularan ke-pada murid lain atau guru. Yang ada hanya rasa khawatir.’’

Orang tua, sambungnya, juga tidak perlu memberitahukan kepada pihak sekolah tentang status anaknya. “Jika sekolah tahu, mereka harus menjaga kerahasiaannya.”

Sementara itu, Husein Habsyi dari Yayasan Pelita Ilmu meng-imbau sekolah untuk membuka diri terhadap anak-anak HIV positif ini. Sebab mereka juga punya hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan tanpa harus dibeda-bedakan.

Sementara itu, guru SMK 2 Ja-karta Rina Mulyati menegaskan, masalah APH tak perlu ada jika memperhatikan landasan negara. “Amanat undang-undang adalah pendidikan untuk semua, tidak boleh ada diskriminasi.” (*/H-1)

KOLONG Jembatan Kandara, Jeddah, Arab Saudi, tidak terlalu

ramai di siang hari. Namun, ketika malam menjelang, suasana berubah drastis.

Tidak lama setelah azan salat Isya memanggil, para tenaga kerja Indonesia (TKI) yang luntang-lantung menunggu dipulangkan berkumpul. Tidak hanya TKI sebenarnya, tetapi juga ada yang berasal dari Ban-gladesh dan Bangali. Jumlah-nya bisa mencapai 400 orang.

“Tetapi yang banyak me-mang dari Indonesia, laki-laki dan perempuan bahkan ada anak-anak yang terpaksa lahir di sana. Mereka selalu berkel-ompok dan mengobrol, tidak peduli kendaraan yang lewat,” tutur Siswanto kepada Media Indonesia lewat sambungan tele-pon internasional, pekan lalu.

Siswanto tahu betul ke-hidupan penghuni kolong Kandara. Ia adalah TKI di Arab Saudi sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Indonesia Bersatu, sebuah LSM yang peduli pada nasib dan masalah-masalah sosial yang menimpa TKI.

Agar bisa tidur lelap, lanjut dia, mereka yang menggelan-dang hanya beralas kardus. Beberapa tenda ditempati anak-anak atau yang sudah berkeluarga. Mereka pun ter-kadang harus berbagi tempat dengan kendaraan, karena bagian tengah kolong jem-

batan menjadi tempat parkir.Siswanto menuturkan,

siang hari di kolong jembatan memang tidak terlalu ramai ka-rena para TKI ini harus mencari makan. Mereka menggelan-dang, mencari kaleng-kaleng bekas yang masih menyisakan sedikit makanan untuk meng-ganjal rasa lapar. Yang lain memilih duduk diam di ko-long, menunggu belas kasihan orang-orang yang lewat.

Tak jarang pula, mereka yang kelewat lapar memilih mengambil jalan pintas, men-jual diri. Walaupun dibayar murah, hanya 50 riyal. Uang itu cukup untuk delapan orang sekali makan. “Bah-kan yang laki-laki menjadi makelar untuk perempuan-perempuan di situ, supaya mereka bisa makan. Uang 50 riyal itu kecil, tapi mereka tak punya alternatif lain.’’

Keadaan bertambah miris ketika penyakit menyerang. Tak ada obat-obatan, apalagi dokter. Para TKI yang kabur dari rumah majikan mening-galkan segala identitas, hanya membawa baju lekat di badan. “Meski jalur resmi berobat itu free, mereka tidak dapat karena tak punya kartu identitas. Uang dari mana untuk beli obat? Bahkan ada dua orang yang terkena AIDS,” kata Siswanto

dengan suara tercekat.Saat dihubungi, Jaka yang

kini bermukim di Jambi, Suma-tra, menuturkan pengalaman mirisnya. Ia adalah alumnus kolong Jembatan Kandara. Ia tinggal di sana pada Juni hingga Agustus 2009.

“Kami kebanyakan TKI yang bermasalah dengan majikan masing-masing. Ada juga yang menggunakan visa umrah untuk sengaja masuk kerja ke Arab Saudi. Saat kami ada di sana, sekitar 700 hingga 1.200 orang setiap harinya menunggu jemputan dari pemerintah Saudi untuk dideportasi. Menunggu waktu berbulan-bulan,” tuturnya.

Untuk menyambung hidup di negeri orang dulu, Jaka menunggu belas kasihan dermawan atau biasa disebut sabilillah. Sepengetahuan dia, setidaknya tiga orang meregang nyawa di kolong itu. Salah sa-tunya Halimah yang menderita sesak napas karena dipekerja-kan berlebihan oleh majikannya. “Dia meninggal di depan saya,” ungkapnya, sendu.

Upaya untuk lepas dari penderitaan bukannya tak dilakukan. Siswanto menu-turkan, beberapa kali mereka meminta bantuan Konsulat Jenderal RI di Jeddah tetapi selalu nihil. Keinginan mereka cuma satu, yakni pulang ke kampung halaman agar lepas dari penderitaan. (Wta/H-1)

12 | Humaniora SENIN, 13 DESEMBER 2010 | MEDIA INDONESIA

Kesepakatan Cancun Menuju Rendah Emisi

Mereka sepakat melakukan pembangunan dengan tetap menjaga kenaikan temperatur global tidak lebih dari 2 derajat celsius.

Jaka Budi Santosa

Mereka Menunggu Dideportasi

Dua Fenomena Langitdi Penghujung Tahun

Anak Positif HIV tidak Perlu Sekolah Khusus

SEKILAS

MI/PANCA SYURKANI

PEDULI AIDS: Massa dari UNGASS Forum Indonesia on AIDS beraksi memperingati Hari AIDS Sedunia di Bundaran HI, Rabu (1/12).

Ini bukan akhir yang dibutuhkan, melainkan sebuah landasan esensial untuk membangun ambisi bersama yang lebih besar.”Patricia EspinosaPresiden COP-16

KAUM penyandang disabilitas intelektual paling terpinggirkan ketim-bang tiga kelompok penyandang cacat lain, yaitu tunarungu, tunadak-sa, dan tunanetra. Padahal, terdapat sekitar 6 juta orang tunagrahita di Indonesia. “Sebagian besar dari mereka tidak memperoleh pendi-dikan dan pelatihan yang layak. Imbasnya, saat mereka dewasa, tidak ada yang tahu akan disalurkan ke mana agar dapat hidup mandiri,” ungkap Ketua Umum Federasi Nasional untuk Kesejahteraan Cacat Mental (FNKCM) Sunartini Hapsara di Jakarta, Sabtu (11/12).

Menurutnya, masih tumbuh di benak masyarakat bahwa pe-nyandang keterbelakangan mental tidak bisa diberdayakan dan hanya dianggap sebagai beban. Pendapat senada disampaikan Frieda Mangunsong, psikolog dari UI. (Tlc/H-1)

PRODUSEN jam tangan asal Swiss, Teiwe, meluncurkan dua produk terbarunya, Heritage dan Star Diamond, di Senayan City, Jakarta, Sabtu (11/12). Selain itu, Teiwe memberikan penghargaan kepada 10 orang yang menginspirasi di bidang masing-masing seperti Ade Rai, Farah Quinn, Anne Avantie, Asep Sulaiman Sabanda, Yohanes Surya, Helmi Yahya, Adrie Subono, Shinta Witoyo, dan Putri Kuswisnu.

Acara Inspiring Luxury ditutup dengan pelelangan jam tangan yang baru saja diluncurkan dan hasilnya akan disumbangkan kepada korban bencana lewat Metro TV. Menurut GM Product and Chan-nel Management DRTV untuk Teiwe, Susanto, pihaknya menjamin kualitas produk terbaru tersebut dengan harga rasional. (*/H-1)

PREVALENSI gizi buruk memang berhasil ditekan dari 9,7% pada 2005 menjadi 4,9% pada 2010. Namun, guna memenuhi target Millennium Development Goals (MDGs), yaitu menjadi 3,6% pada 2015 diperlukan usaha ekstra keras. Sebab, saat ini rata-rata ibu hamil per tahun masih cukup tinggi, yakni 4 juta per tahun. Sekitar 2 juta dari mereka diprediksi mengalami anemia gizi dan 1 juta menderita kekurangan energi kronis.

Potret buram kondisi gizi buruk di Indonesia itu mengemuka dalam diskusi Perbaikan Status Gizi sebagai Tolok Ukur Pencapaian Target MDGs di Jakarta, akhir pekan lalu. Hadir memberikan paparan pada acara dalam menyambut Hari Ibu ke-82 itu antara lain Menteri Pem-berdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Gumelar dan praktisi kesehatan dari RSCM, Y Endang Budiwiarti. (Tlc/H-1)

Tunagrahita Paling Terpinggirkan

Lelang Jam untuk Korban Bencana

Penanganan Gizi Buruk Tersendat

MI/ADAM DWI PUTRA

TKI TELANTAR: Seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) telantar di kolong Jembatan Kandara, Jeddah, Arab Saudi, Kamis (9/12).