Hukum Kepailitan
-
Upload
eet-kimiko -
Category
Documents
-
view
186 -
download
10
Transcript of Hukum Kepailitan
HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
MAKALAH
HUKUM KOMERSIAL
Oleh:
M. KHOLIL
HARDIANTY
KRISTIN NATALIA
PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Berbagai kegiatan usaha pada era global saat ini tidak lepas dari berbagai masalah. Jika
suatu perusahaan dinyatakan pailit, maka efek yang ditimbulkan tidak hanya akan berimbas pada
perusahaan itu saja namun juga dapat berakibat global. Kepailitan dan penundaan pembayaran
lazimnya dikaitkan dengan masalah utang piutang antara Debitur dengan pemilik dana atau
Kreditur. Dimana dalam hal Debitur dan Kreditur memiliki sebuah perjanjian utang piutang yang
melahirkan suatu perikatan, Maka masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Salah satu
kewajiban debitur adalah mengembalikan utangnya sebagai suatu prestasi yang harus dilakukan.
Apabila kewajiban tersebut berjalan secara lancar sesuai dengan perjanjian tentu bukanlah suatu
masalah. Permasalahan akan timbul apabila Debitur mengalami kesulitan untuk mengembalikan
utangnya tersebut atau dengan kata lain Debitur telah berhenti membayar utangnya. Oleh karena
itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok didalam aktivitas bisnis karena
adanya status pailit menjadi salah satu sebab keluarnya pelaku bisnis dari pasar.
Selama ini masalah kepailitan dan penundaan kewajiban membayar telah diatur dalam
Peraturan Kepailitan atau Faillissements Verordering (FV) yang diatur dalam Stb. 1905 No. 217
Juncto Stb 1906 No. 348. Namun karena beberapa alasan peraturan ini kemudian jarang
dimanfaatkan dan mekanisme yang diatur didalamnya menjadi semakin kurang teruji. Oleh karena
itu, dalam rangka penyelesaian sarana hukum yang digunakan sebagai landasan bagi upaya
penyelesaian utang-piutang, peraturan mengenai kepailitan yang dapat memenuhi kebutuhan
dunia usaha yang semakin berkembang cepat dan luas menjadi penting dan diperlukan. Maka
kemudian dilakukanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan (FV) melalui Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-
Undang tentang Kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai konsekwensi lebih lanjut dari
PERPU No.1 tahun 1998 kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang yakni Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Kepailitan.
Dalam penjelasan undang-undang disebutkan bahwa upaya penyelesaian masalah utang
piutang dunia usaha perlu segera diberi kerangka hukumnya agar perusahaan-perusahaan dapat
1
segera beroperasi secara normal. Dengan demikian selain aspek ekonomi, berjalannya kembali
kegiatan ekonomi akan mengurangi tekanan sosial yang disebabkan oleh hilangnya banyak
lapangan perkerjaan dan kesempatan kerja.
Di dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK No. 54) diatur tentang Akuntansi
Restrukturisasi Utang-Piutang Bermasalah baik itu bagi Kreditur maupun bagi Debitur.
restrukturisasi utang-piutang bermasalah ini terjadi jika, berdasarkan pertimbangan ekonomi atau
hukum, kreditor memberikan konsesi khusus kepada debitor, yaitu konsesi yang tidak akan
diberikan dalam keadaan tidak terdapat kesulitan keuangan di pihak debitor. Konsesi ini dapat
berasal dari perjanjian antara kreditor dan debitor atau dari keputusan pengadilan atau peraturan
hokum. Banyak restrukturisasi utang-piutang bermasalah mencakup pengubahan syarat utang
mengurangi atau menunda pembayaran kas yang diperlukan oleh debitor dalam jangka pendek
guna membantu debitor untuk meningkatkan kondisi keuangan, sehingga debitor akan dapat
membayar kembali utangnya kepada kreditor.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayar Utang
2. Bagaimana syarat pengajuan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayar Utang ?
3. Apa saja Akibat yang ditimbulkan dari adanya Putusan Pailit ?
4. Pihak pihak mana saja yang terkait dalam pengurusan penundaan kewajiban pembayaran
utang ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayar Utang
2. Untuk mengetahui apa saja syarat untuk pengajuan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban
Pembayar Utang
3. Untuk mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari adanya putusan pailit
4. Untuk mengetahui Pihak-pihak mana saja yang terkait dalam pengurusan penundaan
kewajiban pembayaran utang
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KEPAILITAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN KEWAJIBAN
Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacetan pembayaran. Dalam
bahasa belanda digunakan istilah “failliet”. Sedangkan dalam Hukum Anglo Amerika, Undang-
Undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act.
Dalam pengertian kita, merajuk aturan lamayaitu pasal 1 ayat 1 Peraturan Kepailitan atau
Faillisement Verordening S. 1905-217 jo 1906-348 menyatakan:
“Setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri
maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim
dinyatakan dalam keadaan pailit”.
Ini adak berbeda pengertiannya dengan ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4
Th. 1998 pasal 1 ayat 1 yang menyebutkan:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih krediturnya”
Pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan No.37 tahun 2004 adalah : sita
umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pembebasannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini
(pasal 1 ayat 1).
Pengertian pailit sebagaimana disebutkan dalam isi ayat 1 UUK No.4 Tahun 1998 tersebut
dalam Undang-Undang Kepailitan 2004 ini dimasukkan kedalam bagian satu yang mengatur
tentang syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 yang
bunyinya sebagai berikut:
3
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunsa setidaknya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan,
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas maka esensi
kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas harta kekayaan debitur baik yang
ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk
kepentingan semua kreditur yang pada waktu kreditur dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang
dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib. Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan
adalah:
1. Semua hasil pendapatan debitur pailit selama kepailitan tersebut dari pekerjaan sendiri, gaji
suatu jabatan/jasa, upah pension, uang tunggu/uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu
diterapkan oleh hakim pengawas.
2. Uang yang diberikan kepada debitur pailit untuk memenuhi kewajiban pemberian nafkahnya
menurut peraturan perundang-undangan (pasal 213,225,321 KUHPerdata)
3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawas dan pendapatan hak nikmat hasil seperti
dimaksud dalam pasal 311 KUHPerdata)
4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitur pailit berdasarkan pasal
318 KUHPerdata
Apabila seorang debitur dalam kesulitan keuangan, tentu saja para kreditur akan berusaha
untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan
perdata kepada debitur ke pengadilan. Akan tetapi karena Indonesia merupakan Negara hukum,
segala permasalahan harus dapat diselesaikan melalui jalur-jalur hukum. Salah satu cara untuk
menyelesaikan utang piutang dengan jalur hukum antara lain melalui perdamaian, salah satunya
yaitu dengan penundaan kewajiban membayar utang.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diatur dalam Undang-Undang
Kepailitan, artinya adalah debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat
melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur
konkuren. Seperti halnya permohonan pernyataan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan
oleh debitur ke pengadilan dengan ditandatangani oleh debitur dan oleh penasihat hukumnya.
4
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ((PKPU) harus diajukan oleh Debitur sebelum ada
putusan pernyataan pailit. Apabila putusan pernyataan pailit sudah diucapkan oleh Hakim
terhadap Debitur tersebut, Debitur tidak dapat lagi mengajukan permohonan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Sebaliknya, Debitur dapat mengajukan pemohonan
kepailitan bagi dirinya bersama-sama dengan permohonan PKPU. Dalam keadaan demikian Hakim
akan mendahulukan memeriksa PKPU.
Keuntungan bagi debitur atas lembaga PKPU ini adalah dalam jangka waktu yang cukup dapat
memperbaiki kesulitannya dan akhirnya dapat membayar utangnya dan bagi kreditur ada
kemugkinan besar debitur dapat membayar utang-utangnya. Sedangkan apabila dinyatakan pailit,
semua harta akan dilelang dan bagi kreditur belum tentu mendapatkan pembayaran dengan penuh.
B. SYARAT- SYARAT PENGAJUAN PAILIT
Mengenai syarat dinyatakan pailit, pasal 1 ayat 1 FV menyebutkan:
“Setiap berutang yang berada dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya, dengan
putusan hakim, baik atas pelaporan sendiri, baik atas permintaan seorang atau lebih para
berpiutangnya, dinyatakan dalam keadaan pailit”.
Memperhatikan pasal 1 ayat 1 FV diatas maka dapat disimpulkan bahwa syarat untuk dinyatakan
pailit adalah:
a. Debitor dalam keadaan telah berhenti membayar utang-utangnya.
b. Dengan putusan hakim
c. Atas permintaan baik Debitor, Kreditor, maupun Kejaksaan (Pasal 1 ayat 2 FV)
Dari ketentuan tersebut jelas syarat dinyatakan pailit diantaranya “Debitor telah berhenti
membayar utang-utangnya”.
Pengertian “telah berhenti” menunjukkan bahwa pada saat jatuh tempo untuk membayar,
yang bersangkutan tidak melakukan kewajibannya (wanprestasi). Berhenti membayar ini dapat
terjadi karena:
1. Tidak mampu membayar, atau
2. Tidak mau membayar
5
Pengertian tidak mampu membayar diprediksi yang bersangkutan memang tidak memiliki
dana atau tidak mencukupi untuk melunasi utangnya, sedangkan tidak mau membayar
kemungkinan dana yang bersangkutan sebenarnya ada atau cukup untuk melaksanakan
kewajibannya, hanya Debitur kemungkinan mempunyai pertimbangan tertentu sehingga tidak
melaksanakan pembayaran. Berkaitan dengan hal demikian, peraturan perundangan-perundang
(FV) tidak mempersoalkan apakah Debitur tidak mampu atau tidak mau membayar utangnya. Titik
beratnya dalah Debitur yang “berhenti membayar utangnya”, dapat dinyatakan pailit. Oleh karena
itu, kemungkinan terjadi asset Debitur sebenarnya lebih dari cukup, mungkin juga melimpah, tetapi
“berhenti membayar utangnya”, sehingga dinyatakan dalam keadaan pailit dengan putusan
pengadilan.
Syarat selanjutnya untuk dinyatakan dalam keadaan pailit adalah dengan putusan hakim.
Jadi, tidak dapat Debitur yang bersangkutan atau Krediturnya menyatakan tanpa proses urat
bahwa Debitur dalam keadaan pailit karena telah berhenti membayar utangnya. Masalah ini perlu
dipahami karena dalam praktik sering terjadi kesalah-pahaman, terdapat Debitur yang menyatakan
dirinya dalam keadaan pailit padahal belum memenuhi proses urat sebagaimana ditentukan
peraturan perundang-undangan.
Syarat terakhir untuk dapat dinyatakan dalam keadaan pailit adalah atas permintaan:
1. Debitur yang bersangkutan;
2. Kreditur atau para Kreditur;
3. Kejaksaan dengan alasan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, meskipun Debitur berhenti membayar utang-utangnya apabila tidak ada
permintaan dari salah satu ketiga pihak tersebut, pengadilan tidak akan otomatis memeriksa
Debitur untuk kemudian dinyatakan dalam keadaan pailit.
Adapun penyempurnaan yang dilakukan oleh Perpu Nomor 1 Tahun 1998 (Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998) adalah melalui pasal 1 ayat 1 perundang-undangan tersebut:
“Debitur yang mempunyi dua atau lebih Kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas
permintaan seorang atau lebih Krediturnya”
Dalam Undang-Undang tersebut menerangkan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit, seorang
debitur harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
6
1. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
2. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih
3. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Syarat-syarat tersebut menerangkan bahwa untuk dapat dinyatakan pailit minimal terdapat 2
Kreditur, suatu persyaratan yang tidak terdapat dalam Pasal 1 FV. Di samping itu, dalam Pasal 1
ayat 1 Undang-Undang No 4 Tahun 1998 disebutkan “tidak membayar sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan dapat ditagih”, sedangkan dalam FV disebutkan, “dalam keadaan telah
berhenti membayar utang-utangnya”. Memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 menimbulkan pertanyaan bagaimana apabila Krediturnya hanya 2 orang,
kemudian yang satu orang sudah dibayar, berarti Krediturnya tinggal satu orang. Apakah keadaan
demikian Debitur dapat dimohonkan atau memohon dinyatakan pailit? Dalam buku Sastrawidjaja
(2006) disebutkan bahwa kalimat “tidak membayar sedikitnya satu utang” dalam Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tidak diperlukan. Disamping itu kalimat “yang telah jatuh
tempo dan dapat ditagih” dapat membingungkan.
Dalam undang-undang tersebut juga terdapat kalimat “utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih” menurut penjelasan pasal 2 ayat 1 adalah kewajiban untuk membayar utang yang
telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya
sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,
maupun karena putusan pengadilan, arbiter atau majelis arbitrase.
Lahirnya pasal ini sebenarnya dalam rangka untuk lebih memberikan perlindungan urat
kepada kreditur atau para krediturnya atau para kreditur dibandingkan ketentuan kepailitan yang
lama (pasal 1) yang mana terdapat celah urat yang seringkali dimanfaatkan olehdebitur yang nakal,
karena didalam pasal 1 peraturan kepailitan (yang lama) syaratnya hanya debitur dalam keadaan
berhenti membayar, tanpa ada penjelasan lebih lanjut maka kemudian disalah artikan, mestinya
untuk debitur yang benar-benar tidak mampu membayar bukan debitur yang tidak mau membayar
kemudian minta dijatuhi kepailitan.
Dalam UUK No. 37 Tahun 2004 , pengaturan tentang syarat kepailitan diatur dengan lebih
tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya:
1. Perebutan harta Debiur apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditur yang menagih
piutangnya dari debitur
2. Kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual
barang milik Debitur tanpa memperhatikan kepentingan Debitur atau para Kreditur lainnya.
7
3. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kredtur atau Debitur sendiri.
Misalnya, Debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang
Kreditur tertentu sehingga Kreditur lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari
Debitur untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan
tanggungjawabnya terhadap Kreditur.
C. AKIBAT- AKIBAT KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat pernyataan pailit
itu dilakukan beserta semua kekayaan yang diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit,
debitur pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang
dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu. Pasal 23 Undang-Undang
Kepailitan menegaskan bahwa semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan
pailit tidak dapat dibayar dari harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan
keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya gugatan-gugatan hokum yang bersumber pada
hak dan kewajiban harta kekayaan debitur pailit harus diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu
pula segala gugatan hokum dengan tujuan untuk memenuhi perikatan dari harta pailit selama
dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan
laporan atau pencocokannya.
Pernyataan pailit menimbulkan akibat baru. Oleh karena itu, harus dengan vonnis dan tidak
dengan penetapan atau beschikking. Mengenai akibat-akibat kepailitan tersebut UUKPKPU
mengatur secara khusus. UUK tidak mengatur secara khusus tersendiri tetapi masih
memberlakukan ketentuan FV bab kesatu bagian kedua mulai pasal 19 s.d pasal 62 FV. Tetapi
terdapat beberapa pasal yang diubah oleh UUK.
a. Akibat terhadap Harta Kekayaan
Pasal 21 UUKPKPU menyebutkan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor
pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa kepailitan itu mengenai harta debitur dan bukan meliputi
diri debitur. Ketentuan tersebut dapat dihubungkan dengan pasal 24 ayat (1) UUKPKPU yang
menyatakan bahwa debitur demi urat kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pailit diucapkan.
8
UUK masih memberlakukan ketentuan pasal 19 FV yang menyatakan bahwa kepailitan
meliputi seluruh kekayaan si berutang pada saat pernyataan pailit, beserta segala apa yang
diperoleh selama kepailitan. Selanjutnya, pasal 22 FV mengatur hal yang sama dengan pasal 24
ayat (1) UUKPKPU yang menegaskan bahwa dengan sinyatakan pailit maka debitur kehilangan
haknya untuk menguasai dan mengurus hartanya. Dengan demikian, peraturan dalam
UUKPKPU dan UK (FV) mengenai akibat kepailitan terhadap harta kekayaan Debitur pada
dasarnya sama.
b. Akibat terhadap Transfer Dana
Pasal 24 ayat (3) UUKPKPU mengatur bahwa apabila sebelum putusan pailiti diucapkan
telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan
dimaksud, transfer tersebut wajib diteruskan. Ketentuan seperti diatas tidak terdapat dalam
UUK, sehingga masih memberlakukan ketentuan dalam FV. Akan tetapi, ternyata dalam FV
belum ditemukan pengaturan demikian. Hal ini kemungkinan pada masa pembuatan FV sekitar
tahun 1905 belum terlalu dikenal masalah transfer dana melalui bank. Keadaan ini berbeda
dengan situasi sekarang bahwa orang apalagi pengusaha sudah bank minded.
Penjelasan pasal 24 ayat (3) UUKPKPU menyebutkan bahwa transfer dana melalui bank
perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian system transfer melalui bank. Hal
ini berlaku pula untuk transaksi efek yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan menurut ketentuan Pasal 24 ayat (4) UUKPKPU, transaksi efek di Bursa Efek
tersebut wajib diselesaikan. Penjelasan Pasal 24 ayat (4) UUKPKPU kembali menyebutkan
bahwa hal itu perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian hokum atas
transaksi efek di Bursa Efek. Dijelaskan pula bahwa penyelesaian Transaksi Efek di Bursa Efek
dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau cara lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal.
c. Akibat terhadap perikatan Debitor sesudah ada putusan pernyataan pailit
Apabila sesudah Debitur dinyatakan pailit kemudian timbul perikatan, maka perikatan
Debitur tersebut tidak dapat dibayar dari harta pailit. Demikian ditentukan dalam Pasal 25
UUKPKPU. Ketentuan tersebut juga diatur dalam Pasal 23 FV yang masih diberlakukan UUK.
Kedua ketentuan tersebut juga mengatur sama bahwa terhadap hal diatas terdapat
pengecualian yaitu apabila perikatan dimaksud menguntungkan harta pailit. Ketentuan
dimaksud menyebutkan perikatan berarti baik bersumber dari perjanjian maupun yang
bersumber dari undang-undang. Dengan demikian kemungkinan terjadi perikatan karena
9
Debitur melakukan perbuatan melanggar urat. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak.
d. Akibat terhadap hukuman kepada Debitor
Kemungkinan setelah dinyatakan pailit, Debitur mendapatkan suatu hukuman badan
yang tidak berkaitan dengan masalah kepailitan. Dalam hal demikian, Pasal 25 ayat (2)
UUKPKPU menegaskan bahwa penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hokum
terhadap harta pailit. Ketentuan demikian diatur pla dalam Pasal 24 ayat (2) FV yang masih
diberlakukan UUK yang menyebutkan bahwa:
“Jika tuntutan-tuntutan itu dimajukan ataupun diteruskan oleh atau terhadap si pailit,
maka apabila tuntutan-tuntutan itu mengakibatkan suatu penghukuman terhadap si pailit,
peghukuman itu tidak mempunyai suatu kekuatan hokum terhadap harta kekayaan yang telah
pailit”
Dengan demikian, akibat putusan pernyataan pailit terhadap hukuman yang dijatuhkan
kepada Debitur, kedua peraturan perundang-undangan tersebut pada pokoknya mengatur
akibat urat yang sama yaitu penghukuman tersebut tidak berakibat hokum terhadap harta
pailit.
e. Akibat Hukum terhadap tuntutan atas harta pailit
Dengan adanya putusan pailit, mereka yang selama berlangsungnya kepailitan
melakukan tuntutan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan
terhadap Debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk dicocokkan.
Ketentuan Pasal 27 UUKPKPU diatas mengandung arti bahwa mereka yang merasa sebagai
Kreditur apabila bermaksud melakukan tuntutan prestasi kepada harta pailit, harus
mendaftarkan piutangnya itu untuk dicocokkan dalam verifikasi. Hal itu kembali menegaskan
bahwa setelah putusan pernyataan pailit segala tuntutan berkaitan dengan harta pailit harus
didaftarkan kepada urator.
f. Akibat Hukum terhadap Eksekusi (Pelaksanaan Putusan Hakim)
Memperhatikan ketentuan Pasal 31 UUKPKPU maka diketahui bahwa dengan adanya
putusan pernyataan pailit mengakibatkan segala penetapan pelaksanaan pengadilan terhadap
setiap bagian dari kekayaan Debitur yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan
seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga
10
dengan menyandera Debitur Pasal 31 ayat (1) UUKPKPU. Selanjutnya, Pasal 31 ayat (2)
UUKPKPU menyebutkan semua pernyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika
diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya. Dari ketentuan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sesudah ada putusan pernyataan pailit, sitaan pelaksanaan dan
sitaan jaminan menjadi hapus. Apabila pelaksanaan putusan tersebut telah dimulai,
pelaksanaan tersebut harus segera dihentikan. Bahkan, apabila diperlukan Hakim Pengawas
harus memerintahkan pencoretannya. Ketentuan pasal 31 aat (1) dan ayat (2) UUKPKPU
tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan ketentuan Pasal 32 ayat (1) FV mengatur bahwa
putusan pernyataan pailit mempunyai akibat, bahwa segala pelaksanaan putusan Hakim
terhadap setiap bagian dari kekayaan si berutang, yang telah dimulainya sebelum kepailitan
seketika harus dihentikan. Selanjutnya, sejak waktu yang sama pula, tidak satu putusan pun
boleh dijalankan dengan memenjarakan si berutang. Kemudian Pasal 32 ayat (2) FV
menyebutkan pula bahwa semua penyitaan yang telah ditaruh, menjadi hapus; jika diperlukan,
hakim pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
g. Akibat Kepailitan Terhadap Penyanderaan
Penyanderaan adalah tindakan penahanan terhadap Debitur agar mau melunasi
utangnya. Pemikirannya adalah apabila Ddebitur ditahan kemungkinan sanak keluarganya akan
berusaha untuk mengeluarkannya dari penyanderaan dengan mengumpulkan uang untuk
membayar utang tersebut. Berkaitan dengan ini, Pasal 31 ayat (3) UUKPKPU menyebutkan
bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 93 UUKPKPU Debitur yang
sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setela pernyataan pailit diucapkan. Dengan
demikian, dengan adanya putusan pernyataan pailit berakibat:
1. Debitur yang sedang dalam penyanderaan harus dikeluarkan. Hal inilah antara lain juga
dapat merupakan alasan mengapa Debitur dimungkinkan mengajukan permohonan agar
dirinya dinyatakan pailit.
2. Terhadap debitur tidak boleh dilakukan penyanderaan, apabila Debitur tersebut belum
disandera kemudian diputus pailit.
Ketentuan seperti diatas juga diatur dalam Pasal 32 FV yang tidak diubak UUK. Pasal 32
ayat (3) FV tersebut berbunyi:
11
“Dengan tidak mengurangi berlakunya Pasal 84, maka si berutang yang sedang
dipenjarakan, harus dilepaskan, seketika setelah putusan pernyataan pailit memperoleh
kekuatan mutlak”.
Dengan demikian perbedaannya adalah bahwa dalam Pasal 32 ayat (3) FV disebutkan
“setelah putusan pernyataan pailit memperoleh kekuatan mutlak” Hal tersebut tidak terdapat
dalam Pasal 31 ayat (1) UUKPKPU.
Dengan adanya penjelasan pasal 31 ayat (1) UUKPKPU diatas, berarti eksekusi yang telah
dilakukan mereka tidak hapus atau mereka tidak kehilangan hak eksekusinya. Walaupun
demikian, hak eksekusi kreditor separatis tersebut harus memperhatikan ketentuan Pasal 56
UUKPKPU yaitu antara lain adanya penangguhan pelaksanaan hak eksekusi dimaksud selama
90 hari sejak tanggal putusan pernyataa pailit diucapkan.
h. Akibat Hukum Terhadap Uang Paksa
Pasal 32 UUKPKPU menyebutkan bahwa selama kepailitan tidak dikenakan uang paksa.
Menurut penjelasan Pasal 32 UUKPKPU uang paksa yang dimaksud mencakup uang paksa yang
dikenakan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan pasal 32 UUKPKPU diatas
intinya sama dengan Pasal 32a FV yang tidak dapat diubah UUK. Pasal 32a FV tersebut
mengatakan selama kepailitan, maka uang paksa yang dikenakan menurut pasal 606a
Reglemen Acara Perdata, tidak dibayar.
i. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Timbal Balik
Kemungkinan sebelum pernyataan pailit, Debitur membuat suatu perjanjian timbal balik
dengan pihak lain. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 36 UUKPKPU mengatur hal-hal sebagai
berikut:
a. Pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada Kurator untuk
memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut. Pihak yang
bersangkutan dan Korator dapat membuat kesepakatan mengenai jangka waktu
pelaksanaannya.
b. Apabila kesepakatan jangka waktu tersebut tidak tercapai maka Hakim Pengawas yang
menetapkan jangka waktu dimaksud.
c. Apabila dalam jangka waktu yang telah ditetapkan Kurator tidak memberikan jawaban atau
tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian maka:
12
1. Perjanjian berakhir
2. Pihak yang mengadakan perjanjian dengan Debitur dapat menuntut ganti kerugian dan
berkedudukan sebagai kreditur konkuren.
d. Apabila Kurator menyatakan kesanggupannya untuk melanjutkan perjanjian, Kurator wajib
memberikan jaminannya atas kesanggupan untuk melaksanakan perjanjian dimaksud
e. Ketentuan yang disebutkan diatas tidak berlaku untuk perjanjian yang mewajibkan Debitur
melakukan sendiri perbuatan yang diperjanjikan
f. Ketentuan tentang akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik yang diatur dalam
Pasal 36 UUKPKPU diatas pada prinsipnya sama pula dengan yang diatur dalam Pasal 36
UUK yang mengubah ketentuan Pasal 36 FV.
j. Akibat Kepailitan Terhadap Perjanjian Sewa menyewa
Kemungkinan sebelum dinyatakan pailit, Debitur telah menyewa suatu barang kepada
pihak lain. Berkenaan dengan hal tersebut maka menurut Pasal 38 UUKPKPU:
1. Kurator atau yang menyewakan dapat menghentikan perjanjian sewa, dengan syarat
pemberitahuan penghentian perjanjian sewa tersebut dilakukan sebelum berakhirnya
perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat.
2. Untuk melakukan penghentian perjanjian sewa menyewa tersebut harus dilakukan
pemberitahuan menurut perjanjian atau kelaziman dalam waktu paling singkat 90 hari.
3. Apabila uang sewa telah dibayar di muka maka perjanjian sewa tidak dapat diberhentikan
lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa tersebut.
4. Sejak tanggal putusan penyataan pailit, uang sewa merupakan utang harta pailit.
UUK tidak mengatur secara khusus mengenai akibat kepailitan terhadap perjanjian sewa
menyewa seperti diatas, tetapi masih memberlakukan Pasal 38 FV yang pada dasarnya tidak
berbeda dengan ketentuan Pasal 38 UUKPKPU.
k. Akibat Kepailitan terhadap Perjanjian Kerja
Ketentuan pasal 39 UUKPKPU mengatur mengenai akibat kepailitan terhadap perjanjian
kerja. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa pekerja yang bekerja pada Debitur dapat
memutuskan hubungan kerja. Di pihak lain, Kurator dapat memberhentikannya dengan
mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau menurut ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Perlu diperhatikan bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan
dengan pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Disamping itu, sejak tanggal putusan
13
pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit. Penjelasan pasal 39 ayat (2)
UUKPKPU menyebutkan bahwa yang dimaksud upah adalah hak pekerja yang diterima dan
dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja atau suatu
pekerjaan atau suatu pekerjaan atau jasa yang telah atau akan dilakukan, ditetapkan, dan
dibayarkan menurut perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarga.
l. Akibat Kepailitan terhadap Harta Warisan
Kemungkinan selama kepailitan, Debitur memperoleh warisan. Mengenai hal tersebut
Pasal 40 UUKPKPU mengaturnya dan menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada Debitur
selama kepailitan, oleh Kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut
menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan dimaksud, Kurator memerlukan
izin dari Hukum Pengawas. Ketentuan demikian agak berbeda dengan yang diatur dalam Pasal
40 FV yang masih diberlakukan oleh UUK. Pasal 40 FV tersebut mengatakan bahwa segala
warisan yang jatuh kepada si pailit selama kepailitan, oleh Balai Harta Peninggalan tidak boleh
diterima selainnya dengan hak istimewa untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan.
Disamping itu, Pasal 40 FV menentukan untuk menolak warisan, Balai Harta Peninggalan
sebagai Kurator memerlukan kuasa dari Hakim Pengawas. Perbedaannya diantara kedua
ketentuan tersebut adalah bahwa menurut UUKPKPU, Kurator tidak boleh menerima warisan
tersebut apabila menguntungkan harta pailit, sedangkan menurut FV, Kurator boleh menerima
apabila harta peninggalan. Disamping itu, untuk menolak warisan menurut UUKPKPU, Kurator
harus mendapat izin dari hakim Pengawas, sedangkan menurut FV, Kurator harus mendapat
kuasa dari Hakim Pengawas. Kedua hal tersebut tentu berbeda arti dan berbeda akibat
hukumnya.
Sementara itu, akibat yang ditimbulkan dari adanya Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU) adalah:
a. Debitur tidak dapat melakukan tindakan kepengurusan atau memindahkan hak atas
sesuatu bagian dari hartanya, jika debitur melanggar, pengurus berhak melakukan segala
sesuatu untuk memastikan bahwa harta debitur tidak dirugikan karena tindakan debitur
tersebut. (Pasal 22)
b. Debitur tidak dapat dipaksa membayar utang-utangnya dan semua tindakan eksekusi yang
telah dimulai guna mendapatkan pelunasan utang harus ditangguhkan (Pasal 228 ayat 1)
c. Debitur berhak membayar utangnya kepada semua kreditur bersama-sama menurut
imbangan piutang masing-masing (Pasal 231)
14
d. Semua sitaan yang telah dipasang berakhir (Pasal 228 ayat 2)
D. PIHAK PIHAK YANG TERKAIT DALAM PENGURUSAN PENUNDAAN KEWAJIBAN
PEMBAYARAN UTANG
Dalam UU Kepailitan yang baru yaitu UUK No. 37 Tahun 2004, mengenai pengurusan harta
pailit diatur pada bagian tersendiri yakni pada Bab II tetntang Kepailitan.
Pengurusan harta Kepailitan dapat dilakukan oleh:
1. Hakim Pengawas
Menurut lampiran pasal 13 UUK 1998 jo pasal 15 UUK 2004, dalam putusan pernyataan
pailit harus diangkat Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk dari Hakim
Pengadilan Niaga.
Tugas Hakim pengawas ini adalah mengawasi pengurusan dan pembebasan harta pailit seperti
yang diatur dalam lampiran pasal 63 UUK 1998 jo pasal 65 UUK 2004. Dan sebelum
memutuskan sesuatu yang ada sangkut pautnya dengan pengurusan dan pembebasan harta
pailit, Pengadilan Niaga wajib mendengar nasehat terlebih dahulu dari Hakim Pengawas.
Selain itu juga berwenang untuk mendengar saksi-saksi atau memerintahkan para ahli
untuk menyelidikinya. Para saksi ini akan dipanggil oleh Hakim Pengawas, dan bila ada yang
tidak datang menghadap atau menolak memberikan kesaksiannya, maka bagi mereka berlaku
ketentuan Hukum Asas Perdata (Pasal 140, 141, 148 HIR atau pasal 166, 167 dan 176 RBg)
yaitu:
a. Saksi dihukum untuk membayar segala biaya yang telah dikeluarkan untuk pemanggilan
saksi-saksi tersebut.
b. Ia harus dipanggil sekali lagi atas biaya sendiri.
c. Saksi dibawa oleh polisi menghadap pengadilan untuk memenuhi kewajibannya.
d. Apabila seotang saksi datang di persidangan tetapi enggan memberi keterangan, maka atas
permintaan yang berkepentingan, Ketua Pengadilan boleh memerintahkan supaya saksi itu
ditahan dalam penjara dengan biaya dari pihak itu, sampai saksi bersedia memenuhi
kewajibannya.
Tugas-tugas dan Kewenangan Hakim Pengawas adalah sebagai berikut:
15
a. Mamimpin Rapat verifikasi
b. Mengawasi tindakan dari kurator dalam melaksanakan tugasnya; memberikan nasihat dan
peringatan kepada kurator atas pelaksanaan tugas tersebut
c. Menyetujui atau menolak daftar-daftar tagihan yang diajukan oleh para kreditur
d. Meneruskan tagihan-tagihan yang tidak dapat diselesaikannya dalam rapat verifikasi
kepada Hakim Pengadilan Niaga yang memutuskan perkara itu.
e. Mendengar saksi-saksi dan para ahli atas segala hal yang berkaitan dengan kepailitan
(misalnya: tentang keadaan budel, perilaku pailit dan sebagainya)
f. Memberikan izin atau menolak permohonan si pailit untuk bepergian (meninggalkan
tempat) kediamannya.
2. Kurator
Terhitung sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetepkan maka curator berwenang
melaksanakan ttugas pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
Dalam hal putusan pernyataan pailit dibatalkan sebagai akibat adanya kasasi atau
peninjauan kembali, maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau
pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang putusan pembatalan sebagaimana
dimaksud dalam 17 tetap sah dan mengikat Debitur. Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa,
Kurator wajib mengumumkan putusan Kasasi atau PK yang membatalkan putusan pailit dalam
Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian.
Tugas Kurator diatur dalam Pasal 69 ayat 1 UUK No.37 Tahun 2004, adalah melakukan
pengurusan dan atau pemberesan harta pailit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan dan
penjaminan serta penjualan harta pailit.
Dalam menjalankan tugasnya, Kurator (pasal 69 ayat 2 UUK Tahun 2004):
a. Tidak diharuskan memperoleh persetujuan dari atau menyampaikan permberitahuan
terlebih dahulu kepada debitur atau salah satu organ debitur, meskipun dalam keadaan
diluar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demikian dipersyaratkan.
b. Dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, semata-mata dalam rangka meningkatkan
nilai harta pailit.
Apabila dalam melakukan pinjaman dari pihak ketiga Kurator perlu membebani harta
pailit dengan hak tanggungan, gadai atau hak agunan atas kebendaan yang lainnya, maka
pinjaman tersebut harus mendapat persetujuan lebih dahuu dari Hakim Pengawas. Dan
16
pembebanan terhadap harta pailit hanya dapat dilakukan terhadap bagian harta pailit yang
belum dijadikan jaminan utang.
3. Balai Harta Peninggalan (BHP)
Sebelum ada UUK terdapat 15 macam tugas BPH, salah satunya adalah pengurusan harta
kekayaan orang-orang yang dinyatakan pailit. Dengan diucapkannya keputusan kepailitan oleh
Pengadilan Negeri, maka si pailit telah kehilangan haknya untuk mengurus dan menguasai
harta kekayaannya, walaupun dia masih tetap menjadi pemilik harta kekayaan tersebut,
pengurusan dan penguasaan atas harta kakayaan tersebut telah beralih pada Balai Harta
Peninggalan yang bertindak sebagai pengampu atau curator atas harta pailit, dan Balai Harta
Peninggalan ditugaskan untuk melakukan pengurusan dan pemberesan harta pailit dan dalam
melaksanakan tugasnya tersebut Balai Harta Peninggalan diawasi oleh Hakim Komisaris. Si
pailit masih tetap berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan dengan syarat hal
tersebut harus menguntungkan boedel pailit. Harta kekayaan yang pengurusan dan
penguasaannya beralih pada BHP adalah diucapkan, maupun harta kekayaan yang akan
diperoleh selama kepailitan berjalan kecuali yang oleh UU dengan tegas dikeluarkan.
Sebelum lahirnya UUK Tahun 1998 maka yang menjadi urator adalah hanya BHP, yang
notabene realitasnya dalam menjalankan tugas atau peran BHP sangat kecil bahkan semakin
kecil dengan adanya ketentuan khusus pasal 117 UU No.1 tahun 1995, maka peran dan fungsi
BHP pasca UUK ini nyaris tidak ada. Karena menurut ketentuan dalam UUK, Kurator ada 2
macam yaitu BHP dan curator lainnya.
BHP baru bertindak sebagai Kurator apabila Debitur atau Kreditur tidak mengajukan usul
pengangkatan urator lain kepada pengadilan. Karena BHP selama ini dianggap kurang
professional (tidak punya tenaga ahli yang memadai terutama ketika BHP harus menjalankan
perusahaan sipailit agar berjalan terus), tentunya debitur atau kreditur lebih suka dan memilih
untuk mangajukan pengangkatan urator lain kepengadilan ntuk melaksanakan tugas-tugas
pengurusan dan atau pemberesan atas harta pailit tersebut.
Dengan demikian maka ini merupakan tantangan bagi BHP kalau masih tetap ingin eksis
dalam hal pengurusan dan pemberesan harta kepailitan.
Menurut Hartini (2007), ada dua alternative bag BHP:
1. Tetap eksis sebagai curator dengan konsekwensi harus meningkatkan keprofesionalannya
agar dapat bersaing yang sehat dengan urator lainnya, atau
17
2. Dibubarkan saja toh selama ini kurang berperan dan demi menghemat anggaran Negara
apalagi dengan diberlakukannya UU Otonomi daerah (UU No.22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah daerah).
4. Panitia Para Kreditur
Undang-undang tidak mewajibkan diadakannya panitia kreditur, akan tetapi apabila
kepentingan menghendaki, maka Pengadilan Negeri dapat membentuk panitia tersebut. Jadi
adanya panitia tersebut sifatnya hanya fakultatif.
Dalam UUK yang baru No.3 Tahun 2004 mengenai Panitia Kreditor diatur mengenai
Panitia Kreditor diatur pada Bab II Kepailitan, Bagian ketiga tentang Pengurusan Harta Pailit
khususnya paragraf 3 yakni mulai pasal 79 sampai dengan pasal 84. Panitia para kreditur itu
dibedakan menjadi dua sifat yaitu:
1. Panitia Kreditur Sementara, dan
2. Panitia Kreditur Tetap
Panitia Kreditur Sementara dibentuk atau diangkat oleh Pengadilan Negeri dengan
Putusan Kepailitan atau dengan penetapan lainnya. Panitia ini diambil dari para krditur yang
ada dan dikenal, dengan jumlah anggota 1 sampai 3 orang, yang bertugas untuk memberi
nasihat dan mendampingi kurator dalam tugasnya memeriksa keadaan harta pailit dan
melakukan pencocokan kepada hakim pengawas.
18
KASUS KEPAILITAN BATAVIA AIR
Seiring palu majelis hakim, maka jelaslah status armada penerbangan berjadwal Batavia Air. Status
baru itu adalah Batavia Air dinyatakan pailit!
Majelis hakim mengamini permohonan pailit kreditor PT Metro Batavia, operator Batavia Air.
Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta melalui permohonan pailit yang mengabulkan
permohonan yang diajukan International Lease Finance Corporation,
Keputusan untuk memailitkan maskapai yang dikenal dengan logo Trust Us to Fly ini karena telah
memenuhi syarat-syarat kepailitan. Yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih serta
adanya kreditor lain. Syarat ini merujuk pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) UU No.37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUPKPU).
Perihal utang, Batavia Air diwajibkan membayar sewa pesawat senilai AS$4.688.064,07, juga biaya
cadangan, dan bunga yang tertuang dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal 20 Desember 2009.
Namun, Batavia tak lagi mampu membayar utang-utang tersebut sejak 2009 lalu dan jatuh tempo
pada 13 Desember 2012.
Majelis tak mengalami kesulitan memutuskan perihal keberadaan utang ini. Karena, Batavia Air
dengan tegas mengakui utang-utang tersebut. Alhasil, pengakuan tersebut menjadi bukti yang
sempurna di persidangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 164 HIR.
Selain memenuhi unsur utang, Batavia Air juga memiliki utang senilai AS$4.939.166,53 yang jatuh
tempo pada 13 Desember 2012 kepada perusahaan lain, Sierra Leasing Limited. Utang ini juga
timbul dari sewa-menyewa pesawat yang dituangkan ke dalam Aircraft Lease Agreement tertanggal
6 Juli 2009.
Kuasa urat Batavia Air, Raden Catur Wibowo menyatakan urat-pikir dulu untuk mengajukan upaya
urat, kasasi. Sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UU KPKPU, Batavia memiliki waktu selama 8 hari
untuk memberikan putusan upaya urat.
Namun, Catur juga mengatakan bahwa pihak manajemen Batavia Air menerima putusan pailit
tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dengan sangat terpaksa Batavia Air secara resmi behenti
beroperasi. Dan sesuai dengan pasal 24 UU KPKPU, seluruh urusan Batavia Air akan beralih kepada
19
urator baik urusan endorse tiket penumpang, pajak, maupun penyelesaian karyawan Batavia tepat
pada pukul 00 tanggal 31 Januari 2013.
20
DAFTAR PUSTAKA
Hartini Rahayu. 2007. “Hukum Kepailitan”. UMM Press. Malang.
Hartini Rahayu. 2003. “Aspek-Aspek Hukum Bisnis”. UMM Press. Malang.
Sastrawidjaja Man S. 2006. “Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Penerbit P.T. Alumni. Bandung
Bandung. Simatupang Richard Burton. 2003. “Aspek Hukum dalam Bisnis”. PT. Rineka Cipta. Jakarta
21