Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
-
Upload
lucky-wicaksono -
Category
Documents
-
view
267 -
download
1
Transcript of Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
1/115
1
ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI
DALAM HUKUM KEPAILITAN
TESIS
O L E H :
HABIBA HANUM
057005008 / HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
2/115
2
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Habiba Hanum
Tempat / Tgl. Lahir : Medan/ 15 Juni 1983
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : SD Negeri 067246 Medan (Tahun 1988-1994)
SMP Negeri 10 Medan (Tahun 1994-1997)
SMU Negeri 15 Medan (Tahun 1997-2000)
Sarjana Hukum (Perdata Dagang) USU (Tahun 2000-2004)
Magister Hukum (Hukum Bisnis) Sekolah Pascasarjana USU
(Tahun 2005-2007)
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
3/115
3
ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM
KEPAILITAN
Habiba Hanum1
Bismar Nasution2
Sunarmi3
Mahmul Siregar4
ABSTRAK
Kepailitan merupakan suatu proses dimana seorang debitor yang mempunyaikesulitan keuangan untuk membayar utang-utangnya dinyatakan pailit olehpengadilan. Dalam hukum kepailitan, debitor dapat dinyatakan pailit apabila debitor
tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar). Hal tersebutdikarenakan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor untuk membayarseluruh utang-utangnya kepada para kreditor. UUK dan PKPU tidak mensyaratkanagar debitor benar-benar dalam keadaaan insolven. Tidak diterapkannya insolvencytest menyebabkan banyaknya perusahaan di Indonesia bangkrut secara hukum,padahal mungkin perusahaan tersebut perusahaan yang masih mampu membayarutang-utangnya atau solven. Salah satu kasus mengenai masalah insolvensi yangmengundang kontraversial dapat dilihat pada kasus PT. AJMI yang dipailitkan olehPN. Niaga Jakarta, namun hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung dalamtingkat kasasi.
Penelitian pada tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang bersifat
deskriptif analitis, dengan menggunkan metode pendekatan yuridis normatif, yaitupenelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaaah terhadap bahan-bahanhukum yang bersumber dari data sekunder, dengan tehnik pengumpulan data melaluistudi dokumen, dengan penelusuran kepustakaan. Bahan-bahan hukum yangdiperoleh dari penelusuran kepustakaan dianalisis dengan menggunakan metodeanalisis kualiatif.
Insolvensi diartikan sebagai keadaan berhenti membayar, namun dalam hal initidak dijelaskan secara terperinci apakah keadaaan tersebut karena ketidakmampuanmembayar atau disebabkan alasan tertentu. Dalam beberapa putusan yang penulisanalisis, terdapat perbedaan penafsiran tentang standar insolvensi, tergantung padahakim untuk menilai apakah permohonan tersebut telah memenuhi syarat kepailitan,
sehingga menghasilkan putusan yang berbeda-beda.
Kata Kunci :Insolvensi, Kepailitan
1Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.2Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.3Seketaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.4Dosen Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
4/115
4
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Tiada kata pembuka yang paling pantas dikemukakan selain mengucapkan
puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan taufik dan rahmat-
Nya dengan memberikan kesehatan, kekuatan dan ketabahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Juga disampaikan shalawat dan salam kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabatnya, para tabi`in dan pengikutnya
sampai akhir zaman.
Tesis ini diberi judul Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam
Hukum Kepailitan. Tesisi ini diajukan guna memenuhi salah satu persyaratan yang
harus dilengkapi dalam rangkaian studi di Magister Ilmu Hukum pada Program Studi
Hukum Bisnis Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyelesaian
tesisi ini, penulis telah banyak memperoleh dorongan, pengarahan serta bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghanturkan
ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Chairuddin P Lubis, DTM&H, Sp.A (K) selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.sc selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
5/115
5
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang telah mendidik dan
memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi hari depan penulis.
4. Ibu Dr. Sunarmi, SH, M.Hum selaku Seketaris ProgramStudi Ilmu Hukum
dan sekaligus merupakan dosen pembimbing yang dengan sabar telah
membantu dan memberikan bimbingan dan saran kepada penulisdalam
penyusunan tesis ini.
5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku staf pegajar dan dosen
pembimbing yang banyak membantu saya serta memberikan bimbingan dan
saran kepada penulis guna kesempurnaan penyusunan tesis ini.
6. Bapak Prof. Runtung Sitepu, SH, M.Hum dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH,
MH, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan demi
memperkaya penulisan tesis ini. Serta kepada seluruh staf pengajar Program
Studi Ilmu Hukum yang selama ini telah mendidik dan memberikan ilmu
pengetahuan yang bermanfaat kepada penulis untuk hari depan.
Secara khusus penulis hanturkan ucapan terima kasih yang tiada terhingga dan
kasih sayang penulis persembahkan kepada Ayahanda Makdin Amrin Munthe, SH,
MH dan Ibunda Dra. Siti Bunga Sitohang, SH, M.Hum, karena berkat dukungan,
motivasi, kesabaran dan doa yang merupakan rahmat bagiku dalam menyelesaikan
studi dan tugas akhir ini.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada Bapak Rukman Hadi, SH selaku
Hakim Pengadilan Niaga Medan, Bapak Amri Marjunin, SH selaku Kepala Balai
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
6/115
6
Harta Peninggalan (BHP) serta Bapak Syuhada, SH selaku Kurator di BHP. Karena
atas bantuan mereka tesis ini dapat terselesaikan.
Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatanyang
tidak mungkin disebutkan satu persatu namanya yang telah memberikan motivasinya
hingga selesainya tesis ini. Juga kepada para staf secretariat Program Studi Ilmu
Hukum yang telah membantu dalam mengurus Administrasi selama perkuliahan.
Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak
dan penulis berdoa semoga ilmu yang telah diperoleh dapat dipergunakan untuk
kepentingan bangsa dan agama.
Medan, September 2007
Penulis,
Habiba hanum
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
7/115
7
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN .. 1
Latar Belakang ......... 1
Perumusan Masalah ......... 8
Tujuan Penelitian ... 9
Manfaat Penelitian .. 9
Keaslian Penulisan . 10
Kerangka Teori dan Konsepsi .. . 10
Metode Penelitian 25
BAB II PENGATURAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN
DI INDONESIA . 29
A. Pengertian Berhenti Membayar .... 29
1. Menurut Faillissmentverordening .. 29
2. M enurut UU No. 4 Tahun 1998 31
3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004 35
B. Pernyataan Pailit ... 36
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
8/115
8
C. Akibat Hukum Kepailitan .... 41
D.
Kelemahan-Kelemahan Hukum Kepailitan . 42
1. Kelemahan Faillissmentverordening 42
2. Kelemahan UU No. 4 Tahun 1998 .. 45
3. Kelemahan UU No. 37 Tahun 2004 . 51
E. Tahap Fase Insolvensi 53
F. Pemberesan Harta Pailit . 56
BAB III PENENTUAN STANDAR INSOLVENSI DALAM KEPUTUSAN
KEPAILITAN DI PENGADILAN NIAGA 58
A. Menurut Faillissmentverordening 58
1. Putusan Pengadilan Negeri I Bandung No. 231/250/71/
D/Bdg Tertanggal 27 Juli 1972 .
2. Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2 / Pdt. Pailit / 1987/
PN. Medan, Tanggal 12 Desember 1987 ... 61
B. Menurut UU No. 4 Tahun 1998
1. Putusan Pengadilan Niaga No. 10/Pailit/PN.Jakpus/2000
antara PT. Dharmala Sakti Sejahtera (PT. DSS) Vs.
PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) .. 64
2. Putusan Pengadilan Niaga N0. 13/Pailit/20004/PN. Niaga
antara Mr. Lee Bon SiongVs. Prudential Life Assurance .. 78
C. Menurut UU No. 37 Tahun 2004
1. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
9/115
9
2005/ PN.Niaga/Mdn, Tanggal 27 Desember 2005 . 85
2.
Putusan Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2/Pailit/
2007/PN.Niaga/Mdn, Tanggal 7 Agustus 2007 . 90
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN . 97
A. Kesimpulan 97
B. Saran . 98
DAFTAR PUSTAKA
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
10/115
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peraturan kepailitan di Indonesia sudah ada sejak lahirnya Kitab Undang-
undang Hukum Dagang (KUHD) di Buku III yang berjudul van de voorzieningen in
geval van onvermogen van kooplieden tentang peraturan ketidakmampuan pedagang
yang diatur dalam Pasal 749 sampai Pasal 910 WvK (wet book van koophandel),
kemudian dirubah dengan berlakunya Verordening op het Faillisment en Suerceance
van Betalig voor de European in Indonesia sebagaimana dimuat dalam Staatblaads
1905 No. 217 jo. Staatblads 1906 No. 384Faillissmentsverordening. 5
Lahirnya Undang-undang Kepailitan yang mengubah ketentuan peraturan
tentang kepailitan peninggalan kolonial mendapat sambutan hangat masyarakat
keuangan internasional.6
Dasar Pertimbangan dikeluarkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-undang tentang Kepailitan Menjadi Undang-undang adalah
untuk mengatasi masalah utang-piutang akibat krisis ekonomi yang melanda
Indonesia sejak tahun 1997 yang kemudian ternyata berlanjut untuk tahun-tahun
5Kartini Muljadi, Perubahan pada Faillissmentsverordeningdan Perpu No. 1 Tahun 1998 jo UUNo. 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU Kepailitanmenjadi UUmakalah dalam seminar Perkembangan Hukum Bisnis di Indonesia, Jakarta 23 Juli 2003.
6Pada masa pemerintahan Kolonial berlaku KUHD dan diganti dengan FaillissementverordeningS.1905-217 jo. S.1906-348 hingga tahun 1998. Peraturan ini kemudian diubah dengan Perpu No. 1tahun 1998, yang kemudian diterima dan disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-undang No.1 Tahun1998 tentang Kepailitan yang kemudian mengalami perubahan dengan Undang-undang No. 37 tahun2004 dan berlaku sampai sekarang ini.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
11/115
11
berikutnya. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia telah memberi pengaruh yang
tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga menimbulkan
kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan utang piutang untuk
meneruskan kegiatannya dan menimbulkan dampak yang merugikan masyarakat.
Penyelesaian masalah utang piutang merupakan agenda utama nasional dalam
rangka pemenuhan ekonomi secara cepat dan efisien. Untuk itu pula peraturan
mengenai kepailitan sangat penting dilaksanakan agar penundaan kewajiban
pembayaran utang menjadi masalah yang penting untuk segera diselesaikan.7
Inisiatif pemerintah untuk merevisi peraturan tentang kepailitan sebenarnya
timbul karena ada tekanan dari Dana Moneter Internasional/ International Monetary
Fund (IMF) yang mendesak supaya Indonesia menyempurnakan sarana hukum yang
mengatur permasalahan pemenuhan kewajiban oleh debitor kepada kreditor. IMF
merasa bahwa peraturan kepailitan yang merupakan warisan pemerintah kolonial
Belanda selama ini kurang memadai dan tidak dapat memenuhi tuntutan zaman.8
Ditetapkannya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998
(selanjutnya disingkat UUK) dalam mengatasi gejolak moneter yang diharapkan
menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan utang piutang antara kreditor dan
debitor secara cepat, adil dan efektif tidak terlaksana, hal ini dikarenakan desakan
untuk sesegera mungkin memperbaiki peraturan kepailitan dengan cara tambal sulam
7 Robintan Sulaiman dan Joko Prabowo, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Karawaci :DeltacitraGrafindo, 2000), hal 1.
8 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Kepailitan Seri Hukum Bisnis, (Jakarta :Raja GrafindoPersada, 2002), hal 1.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
12/115
12
pasal-pasal peraturan kepailitan yang ada, sehingga banyak ketentuan dalam pasal-
pasal yang diubah tidak sempurna.
9
Hikmahanto Juwana berpendapat bahwa amandemen atas UUK sangat
dominan melindungi kepentingan kreditor. Hal ini bisa dilihat dari syarat untuk
dinyatakan pailit sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 angka (1) UUK yaitu adanya
dua atau lebih utang dan salah satunya telah jatuh tempo. Namun dalam amandemen
UUK tersebut tidak satu ketentuan yang mensyaratkan bahwa debitor harus dalam
keadaan tidak mampu membayar (insolvency). Tentunya hal ini bertentangan dengan
filosofi universal dari UUK yaitu memberikan jalan keluar bagi debitor dan kreditor
bilamana debitor sudah dalam keadaan tidak lagi mampu membayar utangnya.10
Praktek penjatuhan pailit dalam UUK banyak menimbulkan problematik dan
debat yuridis. Salah satu penyebabnya adalah karena pengaturannya banyak yang
tidak jelas, sehingga memberikan peluang untuk beragam penafsiran yang berakibat
ketidakpastian hukum bagi pencari keadilan.11
Di samping itu, penggunaan instrumen
hukum acara perdata tidak selamanya cocok dalam praktik pengadilan niaga yang
proses acara pemeriksaannya dibatasi dengan limit waktu yang relatif singkat dan
terinci untuk setiap langkah proses permohonan penjatuhan pailit.
9 J. Djohansah, Hukum Asuransi yang Berkaitan dengan Pelaksanaan Hukum Kepailitan
Nasional, Makalah yang disampaikan pada Pendidikan dan Pelatihan Tekhnis FungsionalPeningkatan Profesionalisme Bagi Hukum Pengadilan Niaga, Tanggal 17-21 Juni 2001, di Jakarta,hal 3.
10 Hikmahanto Juwana, Hukum sebagai Instrumen Politik : Intervensi atas kedaulatan dalamproses Legislasi di Indonesia, disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies Natalies fakultas HukumUniversitas Sumatera Utara ke-50, Tanggal 12 Januari 2004, hal 12.
11 Surya Perdamaian, Syarat-syarat Pengajuan Kepailitan dan Kelemahan Hukum AcaraKepailitan dalam Prakek Pengadilan Niaga,Makalah yang di sampaikan dalam acara Forum DiskusiTanggal 12 Oktober 2001 di Medan, hal 5.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
13/115
13
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitor yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Dalam hal ini Pengadilan Niaga, dikarenakan debitor tersebut tidak dapat membayar
utangnya.12 Pernyataan tersebut mengakibatkan debitor kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung
sejak pukul 00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan.13
Salah satu tahap penting dalam proses kepailitan adalah tahap insolvensi.
Tahap ini penting artinya karena pada tahap inilah nasib debitor pailit ditentukan.
Apakah harta debitor akan habis dibagi-bagi sampai menutup utangnya, ataupun
debitor masih dapat bernafas lega dengan diterimanya suatu rencana perdamaian atau
restrukturisasi utang. Apabila debitor sudah dinyatakan insolvensi, maka debitor
sudah benar-benar pailit, dan hartanya segera akan dibagi-bagi, meskipun hal ini tidak
berarti bahwa bisnis dari perusahaan pailit tersebut tidak bisa dilanjutkan.14
Secara umum dalam hukum kepailitan, debitor baru dapat dinyatakan pailit
apabila debitor tersebut berada dalam keadaan insolven (tidak mampu membayar).
Persyaratan ini didasarkan karena adanya krisis finansial yang dialami debitor
(liquidity crisis) untuk membayar seluruh utang-utangnya dan dengan adanya
keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi (common
12 J. Djohansah, Pengadilan Niaga di dalam Rudy Lontoh (Ed), Penyelesaian Utang melaluiPailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Bandung :Alumni, 2001), hal 23, lihat jugaPasal 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1998.
13Pasal 24 UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban PembayaranUtang (selanjutnya disingkat UUK dan PKPU)
14Munir Fuady,Hukum Pailit dalam Teori dan Praktek, (Bandung :Citra Aditya Bakti, 1999), hal135
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
14/115
14
pool problems). Prinsip inilah yang membedakannya dengan upaya hukum perdata
yang harus dilakukan dengan gugatan biasa di Peradilan perdata. Secara substansial,
hakekat dari fungsi hukum kepailitan (bankruptcy law) adalah sebagai alat atau
sarana penagih atau penyelesaian utang antara kreditor dan debitor secara cepat dan
efektif dibandingkan dengan jalur hukum perdata biasa.
Menurut Friedman, insolvensi(insolvency) diartikan sebagai15:
a. Ketidaksanggupan untuk memenuhi kewajiban finansial ketika jatuh waktu
seperti layaknya dalam bisnis, atau
b. Kelebihan kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu.
Dari pengertian di atas, maka apabila suatu saat debitor tidak mempunyai banyak
uang kontan dibandingkan banyaknya utang-utangnya, atau apabila suatu ketika aset
utamanya hilang dicuri orang atau terbakar, maka tidak berarti pada saat tersebut
debitor dalam keadaan insolvensi. Tetapi keadaan kewajiban melebihi aset-asetnya
haruslah berlangsung dalam jangka waktu tertentu yang wajar (reasonable time).
Apabila debitor dalam keadaan insolvensikepada seorang kreditor saja debitor
tersebut tidak membayar utangnya, sedangkan kepada kreditor-kreditor lainnya
debitor tetap dapat melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.
Karena belum tentu debitor itu tidak mampu melunasi utangnya, tetapi mungkin saja
debitor tidak melunasi utangnya karena ada alasan tertentu.16Maka terhadap debitor
tersebut tidak dapat dipailitkan sebelum dilakukan insolvency test. Hal ini berguna
15Ibid, hal 116, Lihat juga buku Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, (New YorkUSA :Baron`s Educational Series, 1987), hal 289.
16 Sutan Remy Syahdeini (I),Hukum Kepailitan(Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal 72.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
15/115
15
agar perusahaan atau seorang debitor yang jumlah asetnya melebihi jumlah utang-
piutang sehingga dalam kenyataannya cukup untuk membayar utang-utang tersebut
tidak serta merta dapat dipailitkan
Jadi, hukum kepailitan hanya dapat dipergunakan apabila debitor tidak
mampu (insolven) untuk membayar utang-utangnya kepada seluruh kreditor dan aset
yang ada dipergunakan untuk kepentingan lebih dari satu kreditor (the interest of the
claims as group)17
.
Untuk mempailitkan debitor, UUK dan PKPU tidak mensyaratkan agar
debitor berada dalam keadaan insolvensi. Hal ini tentu melindungi kepentingan
kreditor, tidak diterapkannya insolvency test mengakibatkan banyaknya perusahaan di
Indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia saat ini
bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor Indonesia
dinyatakan pailit. Logikanya dapat dilihat pada krisis moneter sebenarnya tidak
membuat debitor Indonesia dalam keadaan insolvensikarena kehilangan pangsa pasar
(market share) atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan
debitor tidak lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang
mengakibatkan utang dalam mata uang asing tidak terbayarkan dengan pendapatan
dalam mata uang rupiah.18
Seharusnya konsep insolvensi test dimasukkan dalam
UUK dan PKPU terutama dalam rangka pemberian perlindungan terhadap debitor,
selain untuk mengetahui apakah ketidakmampuan membayar debitor disebabkan
17Asra, Kontroversi Pailitnya Debitor Solven, (Jakarta :Pascasarjana UI, 2003), hal 3.18 Hikmanto Juwana, Op. Cit, hal 16-17.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
16/115
16
karena perusahaan bangkrut ataukah karena tidak mau membayar utangnya karena
ada alasan tertentu. Namun sayangnya kondisi solvennya debitor Indonesia ini tidak
diperhatikan oleh para penyusun UUK, para penyusun adalah konsultan hukum dan
mereka tampaknya tidak peduli dengan kesulitan perusahaan di Indonesia. Faktor
emosional untuk menghukum pihak yang bersalah mendominasi penyusunan
tersebut.19
Dalam konteks hukum kepailitan negara-negara common law system,
keadaaan insolvensidebitor biasanya menggunakan pendekatan cash flow testatau
pratical insolvency.20Cash flow adalah pendekatan yang melihat solvabilitas debitor
diukur dengan fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak. Jika ternyata
debitor membayar utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini mengindikasikan debitor
ada dalam keadaan mampu membayar atau solven. Atau dapat juga dilihat dengan
memeriksa aktiva dap pasiva perusahaan melalui pembukuan perusahaan.
Masalah insolvensi yang terjadi pada perusahaan Indonesia dapat dilihat pada
kasus antara PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (PT. AJMI) v. PT. Dharmala
Sakti Sejahtera (PT. DSS) No. 10/Pailit/2002/PN. Niaga Jkt. Pusat tanggal 13 Juni
2000 jo. No. 21 K/2002 tangal 5 Juni 2002.21 Dalam kasus ini PT. AJMI yang
19
Perpu yang Bikin Kiamat, Kontan No. 39 Tahun II, 29 Juni 1998 (dikutip dari ringkasandisertasi Sunarmi, Tinjauan Kritis terhadap Undang-undang Kepailitan : Menuju Hukum Kepailitanyang Melindungi Kepentingan Debitor dan Kreditor (Medan : Pascasarjana USU, 2005), hal 58-59).
20J.B. Huizink,Insolventie,(dikutip dari disertasi Sunarmi, Ibid, hal 532).21 Dilihat dari laporan PT. AJMI, Dirjen Lembaga Keuangan sebagai pembina dan Pengawas
Industri Asuransi, menilai PT. AJMI sehat dan dapat membayar kewajiban (solven). Laporan itupundiumumkan secara luas di media massa. Dari laporan PT. AJMI per Maret 2002, kekayaan yangdiperkenankan mencapai Rp. 1.812 milyar, kewajiban Rp. 1.596 milyar, tingkat solvabilitas minimumRp. 126 milyar, kelebihan batas tingkat solvbilitas Rp. 87 milyar danRatio Risk Based Capitalsebesar
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
17/115
17
merupakan perusahaan solven dengan 72 cabang perusahaan di Indonesia dipailitkan
karena tidak membayar utang senilai Rp. 32.789.856.000, dari kasus tersebut dapat
dilihat bahwa dalam kenyataanya pihak debitor dalam keadaan masih mampu untuk
membayar utangnya, namun PN. Niaga malah memutuskan untuk mempailitkan
PT. AJMI tersebut.
Tidak adanya insolvency test dalam UUK dan PKPU jelas menunjukkan
bahwa hukum kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor dibandingkan debitor.
Seharusnya kasus-kasus di kepailitan terhadap perusahaan di Indonesia yang
mengakibatkan kerugian yang seharusnya tidak terjadi ataupun kurangnya minat
investor untuk menanamkan modalnya menjadi acuan bagi pembuat Undang-undang
khususnya mengenai hukum kepailitan.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan
dalam tesis ini sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan insolvensidalam Undang-undang Kepailitan di Indonesia?
2. Bagaimana penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusan-keputusan
kepailitan di Pengadilan Niaga?
167,26% dalam kasus PT. AJMI, Bom Waktu Industri Asuransi, Kompas, Rabu 19 Juni 2002, hal15, (dikutip dari ringkasan disertasi Sunarmi , Op. Cit, hal 59).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
18/115
18
C. Tujuan Penelitian
Pada dasarnya tujuan penelitian ini adalah untuk mencari pemahaman yang
benar tentang masalah yang dirumuskan. Lebih rinci tujuan penelitian dapat diuraikan
sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis pengaturan insolvensi dalam Undang-undang Kepailitan di
Indonesia.
2. Untuk menganalisis penentuan standar-standar insolvensi dalam keputusan-
keputusan kepailitan di Pengadilan Niaga.
D. Manfaat Penelitian
Terwujudnya permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan serta
tercapainya tujuan penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat baik
secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut :
1. Manfaat teoritis penelitian ini terutama adalah untuk mengembangkan informasi
dan teori yang relevan dengan fokus penelitian guna memperkaya khasanah
kepustakaan ilmu hukum dan jika mungkin dapat mengembangkan doktrin-
doktrin hukum terkait kepailitan
2. Dalam tatanan kegunaan praktis, hasil penelitian sangat bermanfaat bagi praktisi
hukum yang diharapkan dapat sebagai masukan dalam menangani masalah
kepailitan, sebagai bahan dasar pertimbangan hakim dalam memilih dan
memutuskan suatu perkara kepailitan yang dihadapi dan juga bermanfaat bagi
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
19/115
19
pelaku bisnis yang mengalami permasalahan dalam hukum kepailitan khususnya
terkait dengan keadaan insolvensiatau tidaknya pihak debitor.
E. Keaslian Penulisan
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara Medan untuk menghindari persamaan penelitian terhadap
masalah yang sama, dan pada waktu melakukan pengumpulan data serta pemeriksaan
terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu, ternyata belum pernah dilakukan dalam
topik dan permasalahan yang sama.
Oleh karena itu, penelitian tesis ini dapat disebut asli, jauh dari unsur plagiat
yang bertentangan dengan asas-asas keilmuan yaitu kejujuran, rasional, objektif dan
terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran
ilmiah,22 sehingga kebenaran penelitian juga dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsep
1. Kerangka Teori
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang
secara adil, cepat, terbuka dan efektif sangat diperlukan perangkat hukum yang
mendukungnya, sehingga lahirlah Undang-undang kepailitan. Namun seiring
22 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta : Pustaka SinarHarapan, 1999), hal 244.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
20/115
20
berjalannya waktu peraturan tersebut tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat sehingga beberapa kali dilakukan perbaikan, penambahan
dan meniadakan beberapa ketentuan yang dianggap tidak sesuai lagi.
UUK dan PKPU didasarkan atas beberapa asas yaitu :23
1. Asas Keseimbangan
Perwujudan dari asas keseimbangan adalah, di satu pihak terdapat ketentuan
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh
kreditor yang tidak beritikad baik.
2. Asas Kelangsungan
Usaha dalam Undang-undang ini, memungkinkan perusahaan debitor yang
prospektif tetap dilangsungkan.
3. Asas Keadilan
Ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak
yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-
wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-
masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.
23Lihat Penjelasan Umum UU No. 37 Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
21/115
21
4. Asas Integrasi
Asas ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum
materiilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan
hukum acara perdata nasional.
Lahirnya peraturan mengenai kepailitan diharapkan dapat mengatasi
permasalahan dalam perekonomian nasional dan memberikan rasa keadilan, baik
terhadap kreditor maupun terhadap debitor. Menurut W. Friedman, suatu Undang-
undang atau peraturan haruslah memberikan keadilan yang sama kepada semua
walaupun terdapat perbedaan-perbedaan di antara pribadi-pribadi itu; kalau tidak ada
kedudukan sosial, kemajuan dalam hidup dicapai bukan atas dasar reputasi melainkan
karena kapasitas, kelas-kelas dalam masyarakat bukan faktor yang menentukan sosial
saja.24
Salah satu paradigma hukum kepailitan adalah adanya nilai keadilan sehingga
hukum dapat memberikan tujuan yang sebenarnya yaitu memberikan manfaat,
kegunaan dan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo menyatakan hukum sebagai
perwujudan nilai-nilai mengandung arti; bahwa kehadirannya adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.25
Aristoteles menyatakan bahwa ukuran keadilan adalah bahwa26
:
24 W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dalam Buku Telaah Kritis atas Teori-teori Hukumditerjemahkan dari Buku aslinya Legal Theori oleh Muhammad Arifin (Jakarta :Raja GrafindoPersada, 1993), hal 7.
25 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum : Perkembangan Metode dan Pilihan Hukum, (Surakarta:Universitas Muhammadiyah, 2002), hal 60.
26Aristoteles,Ethics. Terjemahan ke dalam Bahasa Inggris oleh JAK Thomson, Harmondsworth,(Middlesex, England :Penguin Books Ltd, 1970), hal 140.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
22/115
22
a. Seorang tidak melanggar hukum yang berlaku, sehingga keadilan berarti
lawfull yaitu hukum tidak boleh dilanggar dan aturan hukum harus diikuti, dan
b. Seseorang tidak boleh mengambil lebih dari haknya, sehingga keadilan berarti
persamaan hak (equal).
Salah satu cara pembagian keadilan menurut Aristoteles adalah seperti yang
tertuang dalam bukunya Etika, Aristoteles membagi keadilan kedalam dua golongan
sebagai berikut27
:
a. keadilan distributif, yakni keadilan dalam hal pendistribusian kehormatan atau
kekayaan ataupun kepemilikan lainnya kepada masing-masing anggota
masyarakat, dan
b. Keadilan Korektif, yaitu keadilan yang bertujuan untuk mengoreksi terhadap
kejadian yang tidak adil.
Pemberlakuan prinsip keadilan dalam hukum kepailitan adalah, apabila
debitor mempunyai paling sedikit dua kreditor dan tidak membayar lunas salah satu
utangnya yang sudah jatuh waktu tidak melakukan pembayaran diharapkan tidak lari
dari tanggung jawab untuk melaksakan pembayaran terhadap kreditor dengan cara
penjualan seluruh aset debitor dan hasilnya akan dibagi-bagi kepada kreditor secara
adil dan merata serta berimbang. Di sisi lain, kreditor juga tidak bisa hanya
memikirkan kepentingan sepihak saja tanpa memikirkan kreditor lainnya dan juga
itikad baik dari debitor yang meminta penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU) dalam hal perdamaian.
27Ibid, hal 144.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
23/115
23
Apabila terjadi tindakan yang tidak adil (unfair prejudice) bagi debitor
ataupun kreditor, maka sektor hukum yang berperan untuk mengembalikan keadaaan
sehingga keadilan yang telah hilang (the lost justice) kembali dapat ditemukan oleh
pihak yang telah dirugikan, atau terjadi keadilan korektif menurut klasifikasi
Aristoteles.
Lembaga kepailitan merupakan perwujudan dari pelaksanaan ketentuan Pasal
1131 KUHPerdata jo. 1132 KUHPerdata.28
Namun, bukan berarti ketentuan hukum
kepailitan memiliki sifat sebagai hukum privat. Sebab ketentuan Pasal 1131
KUHPerdata merupakan ketentuan yang bersifat memaksa (publik) dan tidak dapat
disimpangi, sekalipun atas kesepakatan para pihak.29
Pengertian kepailitan (insolvency) harus dibedakan dengan insolven. Menurut
Setiawan30
, istilah kepailitan berasal dari kepustakaan Belanda dengan menggunakan
kata Faillissmentsverordening yang pengucapannya berubah menjadi kepailitan,
sementara itu, pengaruh kepustakaan common lawmenggunakan istilah bankruptcy
yang juga bermakna kepailitan. Kemudian dalam Ordonantie tahun 1905 istilah
insolvency ditemukan dalam istilah Belanda yaitu insolventie, yang secara tehnis
berbeda dengan istilah kepailitan sesuai dengan Pasal 168 Ordonantie 1905 diamana
28Pasal 1131 KUHPerdata adalah : Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun baru yang akan ada dikemudian hari, menjaditanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.Pasal 1132 KUHPerdata adalah : Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semuaorang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurutkeseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara paraberpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
29Setiawan, Kumpulan Makalah Calon Hakim Pengadilan Niaga, (Jakarta :Mahkamah Agung RI,1998), dikutip dari Varia Peradilan, IKAHI-Mari Jakarta, No. 156 September 1998, hal 59.
30Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
24/115
24
insolventie terjadi jika dalam rapat verifikasi tidak ditawarkan perdamaian atau bila
perdamaian yang ditawarkan telah ditolak, atau pengesahan perdamaian itu dengan
pasti telah ditolak, rumusan ini juga dimasukkan kedalam Pasal 178 UUK dan PKPU.
Kepailitan menurut UUK dan PKPU menyatakan :
Kepailitan adalah sitaan umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang
ini.31
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU menyatakan bahwa insolvensi
adalah keadaan tidak mampu membayar, namun sampai saat ini tidak ada kriteria
ataupun batasan yang menyatakan bagaimana seorang debitor dikatakan tidak mampu
membayar atau insolvensi. Dengan tidak ada syarat tersebut, penerapan Undang-
undang kepailitan diharapkan akan lebih mudah. Dengan demikian Indonesia
diharapkan akan lebih mudah keluar dari krisis ekonomi. Adanya dampak putusan-
putusan pengadilan terhadap perkembangan ekonomi dinyatakan oleh Rudolpho
Sandoval bahwa :32
..it is longer disputed that many of the public issues facing the nation have
serious implications. Because of this, it hase become increasingly important for
lawyers to have at least a basic understanding of economic theory. By examining the
31Pasal 1 ayat (1) UUK dan PKPU.32Erman Rajagukguk (ed), Peranan hukum dalam Pembangunan ekonomi,(Jakarta :Pascasarjana
UI,2000) hal 16, Rudolpho Sandoval,Judicial decisions within the framework of an economic structur,St. Marys Law Jurnal Vol.11 tahun 1980, hal 4.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
25/115
25
interrelationship of law and economics, it may be possible to deduce the basic formal
charecteristic of the law from economic theory.
Pendapat diatas didasari oleh teori The Legal Economic Analisis dari Richard
Posner33 dan sejalan dengan pendapat itu, Charles Himawan menyatakan bahwa
putusan-putusan pengadilan dapat mempengaruhi perkembangan dan perbaikan
ekonomi. Hukum merupakan benang merah yang terlupakan dalam pembangunan
ekonomi di Indonesia.
34
Menurut Oxford Dictionary of Law35, Bankrupty (kepailitan) adalah : the
state of person who has been adjudgedby a court to be insolvent. Jadi, kepailitan ada
apabila menurut pengadilan adanya ketidakmampuan untuk membayar utang
(insolvent) dan ditinjau dari asal kata, istilah bankruptcy berasal dari bahasa romawi,
yaitu kata Bancarupta, yang berarti : the process by which the state takes
possesion of the property of a bangkrupty throught the officialtrustee36
Menurut Douglas37
pengertian insolvensiadalah : A debtor is solvent if sum
of the debtor`s debts is greater than all of the debtor`s assets at fair valuation.
Menurut Cambriedge International Dictionary, insolvensiadalah : insolvensiadalah
(khusus buat perusahaan), not having enough money to pay debts, buy goods, etc ,
33 Richard Posner, Economic Analiysis of Law, (Boston :Little, Brown and Company ,FourthEdition, 1992), hal 393
34 Jakarta Post, 1998, hal 9.35 A Dictionary of law, (New York : Oxford University Press, 1994), hal 58.36 Asra, Op. Cit,hal 10.37Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
26/115
26
dan menurut Concise Australian Legal Dictionary, insolvensiadalah : debtor who is
unable to pay debts as and when they fall due for payment.
38
Pada prinsipnya hukum kepailitan adalah merupakan suatu lembaga penagih
utang yang disebut dengan debt Collection Law39 atau collective debt collection
device40
, dan yang membedakannya dengan prosedur gugatan perdata biasa karena
adanya unsur insolvensi41dimana harta kekayaan debitor yang ada tidak dapat untuk
membayar seluruh tagihan yang diajukan oleh debitor, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Thomas H. Jakson. 42
Menurut Jordan et. al, yang dikutip oleh Remy Syahdeni ada tiga tujuan
hukum kepailitan yaitu43
:
a. Untuk menjamin pembahagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor
diantara para kreditor.
b. Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditor.
c. Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para
kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Seorang debitor baru dapat dinyatakan pailit atau dalam keadaan pailit,
apabila telah dinyatakan oleh hakim atau pengadilan44
dengan suatu keputusan
38Roman Tomasic,Australian Corporate Insolvency, (Sydney : Butterworth, 1993), hal 164.39Bismar nasution dan Sunarmi, Hukum Kepailitan di Indonesia, (Medan : Program MKn Pasca
USU, 2007), hal 14.40 Asra, Op. Cit,hal 11.41Ibid.42Ibid.43 Sutan Remi Sjahdeini (I), Op. Cit, hal 37-38.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
27/115
27
hakim. Kewenangan pengadilan untuk menjatuhkan putusan pailit itu telah ditentukan
secara tegas di dalam Undang-undang Kepailitan.
45
Ada beberapa persyaratan untuk dapat dinyatakan pailit sesuai dengan Pasal 2
ayat (1) UUK dan PKPU yang menyatakan :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang46yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonanya sendiri maupun
atas satu atau lebih kreditornya.
Keharusan memiliki kreditor 2 (dua) atau lebih dikenal sebagai concorsus
creditorum,47
keharusan ini merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 1132
KUHPerdata.48Apabila debitor hanya memiliki seorang kreditor saja, maka kreditor
berhak atas semua aset debitor, tidak ada lagi keperluan pembagian aset. Sebaliknya
dalam hal debitor mempunyai banyak kreditor dan harta kekayaan debitor tidak
cukup untuk membayar lunas semua kreditor, maka para kreditor akan berlomba
44 Hakim dan Pengadilan yang dimaksud adalah Hakim dan Pengadilan Niaga, Lihat Pasal 1ayat (7) UUK dan PKPU.
45Lihat Pasal 3 UUK dan PKPU46
Setelah keluarnya UUK dan PKPU, utang mempunyai defenisi dan batasan yang jelas yaitu :kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesiamaupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari ataukontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitordan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari hartakekayaan debitor.
47 Sutan Remy Syahdeini (I),Op. Cit, , hal 64.48 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Pedoman Menangani Perkara Kepailitan, (Jakarta :
Raja Grafindo Press, 2003), hal 107.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
28/115
28
dengan cara, baik yang halal maupun yang tidak untuk mendapatkan pelunasan
tagihannya terlebih dahulu.
49
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau
keadaan yang terbukti secara sumir (sederhana) bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit telah terbukti,50
dimana permohonan pernyataan pailit dapat dilakukan oleh
Debitor itu sendiri, Seorang kreditor atau lebih, BI (Bank Indonesia), Bapepam, dan
Menteri Keuangan.51
Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan
semua tindakan hukum harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak
kontraktual serta kewajiban debitor menurut perundang-undangan.52
Setelah pengadilan mengucapkan putusan pailit dalam sidang terbuka untuk
umum terhadap debitor, maka hak dan kewajiban si pailit beralih kepada kurator
untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Akan tetapi si pailit masih berhak
melakukan tindakan-tindakan atas harta kekayaannya sepanjang tindakan itu
membawa/memberikan manfaat terhadap boedelnya. Sebaliknya tindakan yang tidak
memberikan manfaat bagi boedel, tidak mengikat boedel tersebut.53
49 Http : // WWW. Solusi Hukum.Com/artikel 36.php> (Kepailitan di Indonesia, SuatuPengantar), diakses 9 Juli 2007.
50
Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU. Dalam Penjelasannya dinyatakan : Fakta atau keadaan yangterbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuhwaktu dan tidak dibayar. Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohonpailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannnya putusan pernyataan pailit.
51Lihat Pasal 2 UUK dan PKPU.52 Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU, (Bandung :Alumni,
2001), hal 301.53 Imran Nating, Peran dan Tanggung jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta
Pailit, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 2004), hal 40.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
29/115
29
1. Terhadap Debitor
Kepailitan hanya mengenai harta kekayaan
54
dan bukan mengenai perorangan
debitor, ia tetap dapat melaksanakan hukum kekayaan lain, seperti hak-hak yang
timbul dari kekuasaan orang tua (ouderlijke macht). Pengurusan benda-benda
anaknya tetap padanya, seperti ia melaksanankan sebagai seorang wali. Debitor tidak
kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum menyangkut dirinya,
kecuali apabila perbuatan hukum tersebut menyangkut pengurusan dan pengalihan
harta benda yang telah ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya,
debitor tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta benda yang akan
diperolehnya itu, namun harta yang akan diperolehnya itu akan menjadi bagian dari
harta pailit.55
Setelah keluarnya pernyataan pailit, debitor kehilangan hak untuk menguasai
dan mengurus kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak pukul
00.00 waktu setempat pada tanggal putusan diucapkan.56
Pengurusan dan/atau
pemberesan harta pailit debitor akan diambil alih oleh kurator yang ditunjuk oleh
hakim pengadilan, dalam hal ini kurator harus independen dan tidak mempunyai
benturan kepentingan.57
54Menurut Fred. B. G. Tumbuan, Kekayaan adalah semua barang dan hak atas benda yang dapatdiuangkan (ten gelde kunnenworden gemaakt), Rudy A. Lontoh, Op. Cit,hal 128.
55Sutan Remy Syahdeini (I),Op. Cit, hal 257.56Lihat Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUK dan PKPU.57 Lihat Pasal 15 UUK dan PKPU, dalam penjelasannya Independen dan tidak mempunyai
benturan kepentingan adalah bahwa kelangsungan keberadaan kurator tidak tergantung pada debitoratau kreditor, dan kurator tidak memiliki kepentingan ekonomis yang sama dengan kepentinganekonomis debitor dan kreditor.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
30/115
30
2. Terhadap Kreditor
Pada dasarnya kedudukan kreditor adalah sama (paritas creditorium). Oleh
karena itu mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai
dengan besarnya tagihan mereka masing-masing, asas tersebut mengenal
pengecualian yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan
dan golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan UUK dan PKPU dan
Peraturan Perundang-undangan lainnya.58
Pengertian kreditor terdiri atas :59
a. Kreditur Separatis
Kreditur separatis adalah kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat
bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan
pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti
tidak ada kepailitan debitor. Kreditor ini dapat menjual sendiri barang-barang
yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Dari hasil penjualan
tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya, sedangkan kalau ada sisanya
disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya jika hasil penjualan
tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditur tersebut untuk tagihan yang belum
terbayar, dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor bersaing
(Concurent).
58Kreditor yang mempunyai hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya,dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hak inilah yang kemudianditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal tanggal penetapan pailit. Jangka waktu tersebutbias berakhir karena hukum pada saat pailit diakhiri lebih dini atau pada saat dimulainya keadaaninsolvensi.
59Imran Nating, Op. Cit, hal 48.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
31/115
31
b. Kreditur Preferen/Istimewa
Kreditor preferen adalah kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai
kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih
dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor istimewa berada di bawah pemegang
hak tanggungan dan gadai. Pasal 1133 KUHPerdata mengatakan bahwa hak untuk
didahulukan diantara orang-orang berpiutang terbit dari hak istimewa dari gadai
dan hipotik.60
c. Kreditur Kongkuren/Bersaing
Kreditor kongkuren memiliki hak yang sama dan berhak memperoleh hasil
penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada
dikemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar
piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak
istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-
masing kreditor kongkuren tersebut.
3. Terhadap harta Pailit
Harta benda debitor yang pailit diatur berdasarkan hukum kebendaan, bahwa
suatu hak kebendaan ialah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu
benda, kekuasaan mana dapat dipertahankan terhadap tiap orang.61 Akan tetapi,
60Lihat Pasal 1133 KUHPerdata.61Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta :Intermasa, 1980), hal 52.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
32/115
32
mengingat keadaan atau status yang melekat pada dirinya maka hak-hak tersebut
diambil alih oleh suatu badan atau lazim saat ini disebut kurator.
62
Setelah adanya pernyataan pailit oleh hakim, maka dengan sendirinya telah
terjadi sita umum atas seluruh harta kekayaan debitor, dan debitor akan kehilangan
haknya untuk melakukan pengurusan terhadap harta kekayaannya yang kemudian
diambil alih oleh kurator dan diawasi oleh hakim pengawas.
Apabila setelah adanya putusan pailit, debitor tidak mengajukan perdamaian
(akor), atau perdamaian tidak mendapat persetujuan pihak kreditor ataupun
perdamaian yang telah disetujui oleh kreditor tidak mendapat homologasi oleh hakim,
maka kepailitan dengan sendirinya telah memasuki tahap insolvensi. Setelah tahap
inilah kurator mulai mengambil tindakan yang menyangkut pemberesan harta pailit
yang meliputi penjualan harta pailit di muka umum, namun apabila tidak tercapai
dapat dilakukan penjualan di bawah tangan dengan izin Hakim Pengawas dan
melakukan pembagian atas hasil penjualan harta pailit dengan memperhatikan
kedudukan dari masing-masing debitor yang mempunyai hak istimewa, pemegang
hipotik, gadai, fidusia, hak tanggungan serta kreditor bersaing63
.
2. Kerangka Konsep
Peranan konsep dalam penelitian diartikan sebagai kata yang menyatakan
abstraksi yang digeneralisasikan dalam hal-hal khusus, yang disebut dengan defenisi
62Kurator adalah Balai harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan.63Lihat Pasal 185 dan Pasal 189 UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
33/115
33
operasional. Pentingnya defenisi operasional adalah agar tidak terjadinya masalah
dalam menafsirkan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, selain itu
juga dipergunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian.
Selanjutnya defenisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan
adalah :
a. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah hakim pengawas.64
b. Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-
undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.65
c. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-
undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka umum.66
d. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah
uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara
langsung maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul
karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan
bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya
dari harta kekayaan debitor.67
64Pasal 1 angka (1) UUK dan PKPU65Pasal 1 angka (2) UUK dan PKPU66Pasal 1 angka (3) UUK dan PKPU67Pasal 1 angka (6) UUK dan PKPU
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
34/115
34
e. Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat
oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit dibawah
pengawasan hakim pengawas.68
f. Pengadilan adalah Pengadilan Niaga dalam ruang lingkup peradilan umum.69
g. Insolvensi adalah ketidakmampuan membayar utang oleh debitor kepada
kreditor.70
h. Hukum adalah Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang menentukan
tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-
badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan itu akan diambil
tindakan atau sanksi.71
G. Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian
yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisa terhadap permasalahan dalam
penelitian melalui pendekatan asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
68Pasal 1 angka (5) UUK dan PKPU69Pasal 1 angka (7) UUK dan PKPU70Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UUK dan PKPU71Ridwan Khairandy,Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta : Pascasarjana UI, 2003),
hal 34.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
35/115
35
Menurut Ronald Dworkin, penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian
doktrinal (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisa baik hukum sebagai
law is written in book, maupun hukum sebagai law as it decided by the judge
throught judicial process.72
Sifat penelitian dilakukan dengan pendekatan yang bersifat deskriptif analitis
yang bertujuan untuk menggambarkan, menginventarisasikan dan menganalisis teori-
teori dan peraturan yang berhubungan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Maka metode penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan penelitian ini
dilakukan dengan pendekatan kualitatif.
2. Sumber Data
Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan
hukum berupa data sekunder. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui
studi dokumen terhadap bahan kepustakaan,73
yaitu :
a. Bahan hukum primer, yaitu Faillissmentsverordening (stb. 1905 No.217 jo.
Stb. 1906 No. 384), Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 dan
72Bismar Nasution, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan HasilPenulisan Penelitian Hukum (Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU, tanggan 18 Februari
2003), hal 1.73 Bahan kepustakaan ini mencakup : 1. bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yangmengikat, peraturan perundang-undangan dan peraturan setaraf (dan berjenjang ke bawah), maupunbahan hukum yang tidak dikodifikasi seperti hukum adat dan yurisprudensi; 2. bahan hukum sekunderadalah yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti Rancangan Undang-undang, Hasil-hasil Penelitian dll; 3. bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjukmaupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamusensiklopedi dan lainnya. (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, suatuTinjauan Singkat, (Jakarta :Raja Grafindo Persada, 1995), hal 23).
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
36/115
36
Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan
kewajiban pembayaran utang dan Putusan-putusan Pengadilan perihal
masalah kepailitan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah
lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari kalangan pakar hukum
sepanjang relevan dengan objek penelitian ini.74
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum penunjang yang memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.75
3. Tehnik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melaui
penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau
doktrin, pendapat atau pemikiran koseptual dan penelitian terdahulu yang
berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-
undangan dan karya ilmiah lainnya juga dilakukannya wawancara dengan para pakar
terhadap permasalahan yang relevan dengan tesis ini. Hasil penelitian yang diperoleh
melalui studi kepustakaan dianalisa secara kualitatif dengan pendekatan juridis
normatif.
74 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penemuan Hukum, (Jakarta :Ghalian Indonesia, 1982)hal 24.
75Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,Op. Cit, hal 15.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
37/115
37
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data pada hakikatnya adalah
kegiatan untuk mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analis dan konstruksi. Kegiatan tersebut antara lain :
a. Memilih bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tertier termasuk putusan-
putusan pengadilan yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan
berkaitan dengan insolvensibagi praktisi hukum, hakim dan pelaku bisnis dalam
kaitannya dengan hukum kepailitan.
b. Membuat sistematik dari bahan-bahan hukum sehingga menghasilkan klasifikasi
tertentu yang selaras dengan insolvensi bagi praktisi hukum, hakim dan pelaku
bisnis dalam kaitannya dengan hukum kepailitan.
c. Menjelaskan hubungan konsep atau teori dengan klasifikasi atau teori yang
dirumuskan.
d. Hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Maksudnya
bahwa hasil analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka
melainkan data yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat.
e. Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang diperoleh sesuai dengan
permasalahan yang diangkat.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
38/115
38
BAB II
PENGATURANINSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITANDI INDONESIA
A. Pengertian Berhenti Membayar
Pengertian keadaan berhenti membayar tidak dijumpai perumusannya
secara jelas baik di dalam Undang-undang, yurisprudensi maupun pendapat para
sarjana. Berikut ini diuraikan pengertian berhenti membayar menurut peraturan
dalam hukum kepailitan.
1. Menurut Faillissmentsverodening
Berlakunya Faillissmentsverodening (disingkat Fv) di Indonesia pada tanggal
1 November Tahun 1906 berdasarkan Stb. 1906-348 mencabut peraturan kepailitan
sebelumya yaitu wetboek van koophandel (WvK) Buku III dan Reglement op de
Rechtsverordering (Rv) Buku III bab VII.
Timbulnya keadaan insolvensi debitur menurut Faillissmentsverodening
adalah karena debitur berhenti membayar. Namun ukuran atau standar dalam keadaan
berhenti membayar tersebut masih bervariasi dikarenakan tidak ditemukannya
batasannya dalam Undang-undang.
Dasar insolvensimenurut Faillissmentsverodening terdapat pada Pasal 1 ayat
(1) yang berbunyi :
Setiap yang berutang (debitor) yang ada dalam keadaan berhenti membayar,
baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
39/115
39
berpiutang (kreditor), dengan keputusan hakim dinyatakan dalam keadaan
pailit.
Gambaran pailit dalam Faillissmentsverodening ini tidak dilengkapi dengan
defenisi atau apa yang menjadi kriteria dari berhenti membayar. Hal ini dengan
sendirinya melahirkan keputusan-keputusan yang beragam tentang standar terjadinya
keadaan berhenti membayar.
Keanekaragaman pengertian tentang berhenti membayar dapat dilihat dari
putusan-putusan pengadilan dibawah ini :76
a. Putusan Hoge Raad 17 Desember 1920 N.J. 1921 No. 276 berbunyi :
Bahwa keadaan berhenti membayar dapat ada, juga bilamana kredit-
kredit yang lain tidak mendesak dibayarnya atau memiliki eksekusi di luar
kepailitan.
b. Putusan Hoge Raad 3 Juni 1920 N.J. 1921
Bahwa membayar tidak selalu berarti menyerahkan sejumlah uang,
membayar berarti memenuhi suatu perikatan ini dapat diperuntukkan
untuk menyerahkan barang.
c. Putusan Hoge Raad 15 Mei 1925 N.J. 1925 No. 995, Berbunyi :
Keadaan bahwa aktiva boedelkemudian terbukti cukup untuk membayar
semua hutangnya, itu tidak menghalangi bahwa debitur sekarang dalam
keadaan berhenti membayar.
76 Victor M Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,(Jakarta :Rineka Cipta, 1993), hal 40-41.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
40/115
40
d. Putusan Hoge Raad 6 Desember 1946 N.J. 1946 No 233, berbunyi :
Bahwa keadaan berhenti membayar tidak sama dengan keadaan bahwa
kekayaan debitor tidak cukup untuk membayar hutang-hutangnya yang
sudah dapat ditagih, melainkan bahwa debitor tidak membayar hutang-
hutang itu.
e. Putusan Hoge Raad 10 April 1959 N.J. 1959 No. 232, berbunyi :
Bahwa tidak membayar hutang pemohon yang sudah dapat ditagih dan
disamping itu adanya hutang-hutang yang lain yang terbukti dari laporan
kurator, membuktikan adanya keadaan berhenti membayar.
Berdasarkan keputusan pengadilan diatas dapat disimpulkan bahwasanya
tidak ada pertimbangan oleh hakim bahwa debitor baru sekali atau dua kali tidak
membayar utangnya. Jadi, dengan adanya bukti sumir terhadap debitor tidak
membayar utangnya yang telah jatuh temponya dapat dijatuhkan pailit. Sedangkan
menurut Tirtaatmidjaja bahwa debitor yang baru sekali saja menolak pembayaran
maka hal itu belumlah merupakan suatu keadan berhenti membayar.77
2. Menurut UU No. 4 Tahun 1998
Pada Bulan Juli 1997 terjadilah krisis moneter di Indonesia. Krisis ini diawali
dengan melemahnya nilai tukar rupaih terhadap dollar AS. Hal tersebut menyebabkan
utang-utang para pengusaha Indonesia yang dalam valuta asing (terutama yang
kreditornya dari luar negeri) menjadi sangat tinggi. Akibatnya banyak debitor yang
73M. H. Tirtaatmadjaja, Pokok-pokok Hukum Perniagan, (Jakarta :Djambatan, 1970), hal 228.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
41/115
41
tidak dapat membayar utang-utangnya. Dihadapkan pada situasi tersebut, para
kreditor mulai mencari sarana untuk dapat menagih utang-utangnya. Peraturan yang
ada pada waktu itu (Faillissmentverordening) sangat tidak dapat diandalkan karena
dianggap lama prosesnya dan tidak dapat dipastikan hasilnya. Maka masyarakat
kreditor terutama dari luar negeri menghendaki agar peraturan kepailitan secepatnya
diganti atau diubah. Keinginan ini didukung oelh IMF selaku pemberi utang kepada
Indonesia. IMF berpendapat bahwa salah satu upaya krisis moneter Indonesia tidak
terlepas dari keharusan penyelesaian utang-utang luar negeri. Oleh karena itu IMF
mendesak pemerintah Indonesia agar segera mengganti atau mengubah peraturan
kepailitan (Faillissmentverordening) yang berlaku, sebagai sarana untuk
menyelesaikan utang-utang pengusaha Indonesia kepada para kreditornya.
Sebagai hasil desakan tersebut, akhirnya pemerintah turun tangan dengan
lahirnya Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4Tahun 1998 tentang
Undang-undang Kepailitan. Namun, Perpu No. 1 Tahun 1998 bukanlah pengganti
Peraturan Kepailitan sebelumnya, melainkan hanya sekedar mengubah atau
menambah saja. Perubahan Perpu tersebut diharapkan sebagai dewa penolong bagi
lancarnya proses ekonomi, dan bukan bagi kreditor semata. Melihat penanganan
kasus-kasus kepailitan menimbulkan kekecewaan dimasyarakat. Sebenarnya untuk
mengatasi pelaksanan Perpu yang kurang baik tidaklah terlalu sukar, karena orang
dengan mudah dapat menunjuk peraturan yang dilanggar.78
78 Charles Himawan, Hukum Sebagai Panglima : Hukum Kepailitan atau Kepailitan Hukum,(Jakarta : Kompas, 2003), hal 69.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
42/115
42
Sebaliknya untuk mengatasi kepailitan hukum tidaklah mudah. Tidak cukup
lagi pengadilan melihat pada pasal peraturan tertulis yang bersangkutan. Badan
peradilan terutama MA sebagai benteng terakhir pencari keadilan, perlu
memperhatikan keadaan lingkungan bisnis sekitar gugatan kepailitan bersangkutan.
Badan Peradilan perlu memperhitungkan untung-rugi (cost benefit analysis) akibat
putusannya, misalnya, apakah putusan tersebut memperlancar atau menghambat
proses ekonomi dan apakah keputusan tersebut tidak merugikan para stakeholder79
Timbulnya dasar insolvensi menurut UU No 4 Tahun 1998 tertuang dalam
Pasal 1 ayat (1) yaitu :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan
seorang atau lebih kreditor.
Dasar insolvensi diartikan sebagai tidak membayar, Pradjoto
mengartikannya sebagai :80
a. Menolak untuk membayar
b. Cidera janji atau wanprestasi
79 Ibid.80 Pradjoto, RUU Kepailitan ditinjau dari Aspek Perbankan, Makalah disampaikan dalam
Seminar Sosialisasi RUU tentang Kepailitan oleh BPHN dan ELLIPS PROJECT, Jakarta 27-28 Juli1999, hal 5.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
43/115
43
c. Keadaan tidak membayar tidak sama dengan keadaan bahwa kekayaan debitor
tidak cukup untuk melunasi seluruh utangnya.
d. Tidak diharuskan debitor memiliki kemampuan untuk membayar
(onvermogen) dan memikul seluruh utangnya.
e. Istilah tidak membayar harus diartikan sebagaiNaar de letter, yaitu debitor
pada saat diajukan permohonan pernyataan pailit telah sama sekali berhenti
membayar utangnya.
Permasalahan yang menarik tentang tidak membayar terjadi pada kasus
PT. AJMI. Yang menjadi permasalahan adalah, tidak membayarnya debitor itu karena
debitor benar-benar tidak mampu membayar atau tidak mau membayar padahal
debitor masih memiliki kekayaan yang cukup besar untuk membayar utang-utangnya.
Sutan Remy berpendapat bahwa, hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor
yang tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditornya saja, tetapi debitor
itu harus berada dalam keadaan insolvensi.81
Seorang debitor berada dalam keadan insolvensi hanyalah apabila debitor
tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar
para kreditornya. Seorang debitor tidak dapat dikatakan telah dalam keadaan insolven
apabila hanya kepada seorang kreditor saja debitor tersebut tidak membayar
utangnya, sedangkan kepada para kreditor-kreditor lainnya debitor tetap dapat
melaksanakan kewajiban pelunasan utang-utangnya dengan baik.
81 Sutan Remy Syahdeini (II), Hukum Kepailitan Memahami Faillissmentsverordening jo.Undang-undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta :Pustaka Utama Grafiti, 2003), Hal 71.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
44/115
44
Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk
menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor
tersebut untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmampuan
debitor tersebut untuk melunasi uatang-utangnya seperti yang telah diperjanjikan.82
3. Menurut UU No. 37 Tahun 2004
Pada tanggal 18 Oktober 2004, Pemerintah telah mengeluarkan UU No. 37
Tahun 2004 tentang UUK dan PKPU. Dengan tujuan untuk memperbaiki, menambah
dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat yang jika ditinjau dari segi materi
masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Perubahan yang dilakukan
meliputi perubahan terhadap substansi, prosedur dan belum adanya kemungkinan
untuk melakukan restrukturisasi utang.
Timbulnya dasar insolvensimenurut UU No 37 Tahun 2004 tertuang dalam
Pasal 2 ayat (1) yaitu :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih , dinyatakan
pailit dengan putusan. Pengadilan, baik atas permohonan sendiri maupun atas
permohonan satu atau lebih kreditornya
82 Ricardo Simanjuntak, Rancangan Perubahan Undang-undang Kepailitan dalam PerspektifPengacara (Komentar terhadap perubahan Undang-undang Kepailitan), Artikel Utama,Jurnal Hukum
BisnisVol 17, Januari 2002, hal 6.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
45/115
45
Dasar insolvensidiartikan sebagai tidak membayar lunas utangnya. Pasal ini
merupakan salinan dari Pasal 1 ayat (1) UUK yang mengatur ketentuan yang sama.
Bedanya terletak pada kata lunas . keadaan tidak membayar lunas diartikan sebagai
sudah pernah membayar sekali, dua kali dan seterusnya tetapi tidak seluruhnya. Atau
debitor sudah membayar pokoknya tetapi belum membayar bunganya.
Ketentuan tidak membayar lunas menurut UUK dan PKPU pada prinsipnya sama
dengan keadaan berhenti membayar utang-utangnya menurut Fallissment
verordening. Karena berhenti membayar berarti sudah pernah membayar namun
suatu saat berhenti.83
B. Pernyataan Pailit
Mengajukan permohonan pailit tidaklah sedemikian mudahnya, haruslah
memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 ayat (1)
UUK dan PKPU. Jika tidak, semua orang akan dapat mengajukan permohonan pailit.
Hal ini nantinya tidak akan menciptakan ketertiban dan keteraturan serta kepastian
dalam hukum, tetapi nantinya akan mengacaukan jalannya hukum dan merugikan
masyarakat secara lebih jauh.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 8 ayat (4) UUK dan PKPU, hakim
harus mengabulkan permohonan pailit apabila :
1. Minimal harus ada dua kreditor.
83 Man S Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,(Bandung :Alumni, 2006), hal 18.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
46/115
46
2. Tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih.
3. kedua hal tersebut dapat dibuktikan secara sederhana
Bagir Manan menyatakan bahwa syarat kepailitan yang terlalu sederhana,
hanya cukup dengan adanya dua kreditor dan adanya utang yang telah jatuh tempo
sehingga orang bisa mengajukan pailit, ini tentu menimbulkan suatu
masalah.84persoalan pailit bukan saja menyangkut kepentingan perusahaan semata.
Hal ini didasarkan oleh banyaknya pengajuan pailit yag tidak pernah
mempertimbangkan aspek lain, seperti kepentingan sosial, dan pelayanan umum yang
bakal ditimbulkannya. Misalnya, perusahaan yang asetnya banyak dan jumlah
tenaganya besar, tetapi dengan mudahnya saja dipailitkan.
Permohonan pernyataan pailit dalam UUK dan PKPU dapat diajukan oleh :
a. Debitor itu sendiri
Permohonan pailit dapat diajukan oleh debitor sendiri bilamana debitor tidak
mempunyai harapan untuk dapat memenuhi kewajibannya terutama dalam
melakukan pembayaran utang-utangnya terhadap para kreditor. Permohonan
tersebut diajukan kepada Pengadilan Negeri Niaga ditempat kedudukan hukum
debitor. Dalam memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit terhadap debitor
84 Ketua MA Prihatin Banyak Proses Kepailitan yang Disalahgunakan, Http://www.hukumonline.com /detail.asp?id=9604&cl=Berita, diakses tgl 15 Juni 2007.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
47/115
47
itu sendiri, kadangkala hakim mewajibkan pembuktian melalui audit pejabat
publik.
85
b. Seorang kreditor atau lebih
Apabila seorang kreditur atau lebih mengajukan permohonan kepailitan harus
memenuhi syarat bahwa hak menuntutnya terbukti (pembuktian sumir), baik
kreditor yang merupakan perorangan maupun perusahaan.
c. Jaksa demi kepentingan umum
Pihak kejaksaan dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor
berdasarkan alasan demi kepentingan umum.86
Berdasarkan keputusanHof Amsterdam9 November 1922, N.J. 1923, 171, alasan
kepentingan umum itu ada bilamana tidak dapat lagi dikatakan ada kepentingan-
kepentingan perseorangan melainkan alasan-alasan yang bersifat lebih umum dan
lebih serius yang memerlukan penanganan oleh suatu lembaga /alat perlengkapan
negara.87
Menurut M.H. Tirtaamidjaja, bahwa pailit itu juga dapat dinyatakan atas tuntutan
jaksa, tuntutan mana harus berdasarkan alasan-alasan untuk dengan tidak
menyelesaikan urusan-urusannya. Atau debitor sedang berusaha menggelapkan
harta kekayaannya dengan merugikan kreditor-kreditornya.88
85 Putusan MA No. 03 K/N/1999 tertanggal 5 Mei 1999.86 Menurut Penjelasan Pasal 2 angka (2) UUK dan PKPU, kepentingan umum adalah kepentingan
bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarkat luas.87Chidir Ali,Himpunan Yurisprudensi, Hukum Dagang di Indonesia, (Jakarta :Pradnya Paramita,
1982), hal 11.88 Victor M Situmorang dan Hendri Sukarso, Op. Cit, hal 49.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
48/115
48
d. Bank Indonesia (BI)
Sutan Remy menyatakan bahwa ketentuan yang menyatakan bahwa hanya BI
yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang merupakan
bank adalah standart ganda (double standart).89Ketentuan ini telah merampas
hak kreditor dari suatu bank. Kreditor bank pada umumnya adalah juga bank,
yang memberikan fasilitas kepada bank itu melalui interbank money market.
Dengan adanya Pasal 2 ayat (3) UUK dan PKPU tersebut, maka hilanglah hak
bank untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitornya yang
merupakan juga bank.90
Apabila kreditor yang mengajukan permohonan pernyataan pailit kepada bank
bukan Bank Indonesia, dikhawatirkan bahwa setiap saat bank akan senantiasa
dibayang-bayangi pengajuan permohonan pailit. Pemberian hak-hak khusus
kepada Bank Indonesia yang mewakili kepentingan umum harus mendapat
dukungan karena berkaitan dengan dana masyarakat yang terhimpun dalam
bank. Perlindungan terhadap masyarakat luas ini harus dijaga dan dilindungi
secara proporsional. Apabila bank yang dengan mudahnya pailit oleh kreditor
bukan Bank Indonesia terjadi, tentunya akan menganggu kinerja perbankan
nasional dan tentunya hal ini berdampak pula pada perekonomian
Indonesia. 91
89 Sutan Remy Syahdeini, Undang-undang Kepailitan : Dalam Perspektif Hukum,Politik danEkonomi, Makalah disajikan Pada Tanggal 7 Mei 1998 di Jakarta, hal 3.
90 Bismar Nasuton dan Sunarmi, Op. Cit, hal 37.91Ibid, hal 38.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
49/115
49
e. Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam)
Debitor yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring, dan
penjamin, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit
hanya dapat diajukan oleh Bapepam. Ketentuan tersebut ternyata dalam praktek
menimbulkan pro dan kontra baik dalam kalangan ahli hukum maupun para
praktisi. Hal tersebut karena berkaitan dengan fungsi dan tugas Bapepam.92
Terhadap perusahaan yang go publik, keterlibatan Bapepam mutlak diperlukan,
hal ini mengingat tugasnya untuk mengawasi jalannya kelancaran Pasar Modal.
Bapepam mutlak mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh para emiten yang
dikhawatirkan akan menganggu kinerja Pasar Modal. Namun di sisi lain,
sebaiknya keterlibatan Bapepam hanya cukup dilapori saja. Berdasarkan
semangat dan asas UU No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal, Bapepam tidak
diinginkan untuk turut campur apalagi mengambil hak-hak investor atau emiten.93
f. Menteri Keuangan
Kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi
dan perusahaan reasuransi sepenuhnya ada pada Menteri Keuangan. Ketentuan ini
diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap
perusahaan asuransi dan perusahaan reasuransi sebagai lembaga pengelola resiko
92Ibid, hal 39.93Ibid, hal 40.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
50/115
50
dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana dari masyarakat yang memiliki
kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.
94
C. Akibat Hukum Kepailitan
Sesuai dengan Pasal 21 UUK dan PKPU, bahwa terhitung sejak ditetapkannya
putusan pernyataan kepailitan, debitor pailit demi hukum kehilangan haknya untuk
menguasai dan mengurus kekayaannya yang dimaksud dalam kepailitan, termasuk
juga kepentingan perhitungan dari pernyataan itu sendiri. Artinya, debitor pailit tidak
memiliki kewenangan ataupun tidak bisa berbuat bebas atas harta kekayaan yang
dimilikinya. Pengurusan dan penguasaan atas harta kepailitan beralih atau dialihkan
kepada kurator atau BHP yang bertindak sebagai kurator.
Namun demikian, sesudah pernyataan pailit ditetapkan debitor pailit masih
dimungkinkan untuk mengadakan perikatan-perikatan. Hal itu akan mengikat bila
perikatan-perikatan yang dilakukan tersebut mendatangkan keuntungan.
Ada beberapa akibat hukum pernyataan pailit, yaitu :
1. Akibat kepailitan terhadap kewenangan debitor untuk dapat melakukan perbuatan
hukum dan terhadap hartanya.
Putusan pailit oleh pengadilan tidak menyebabkan debitor kehilangan kecakapan
untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya (volkomen
handelingsbevoegd), tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya
94Ibid,hal 41.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
51/115
51
untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja, atau dengan kata lain
kepailitan tersebut berlaku hanya terhadap harta kekayan debitor saja.
95
2. Akibat kepailitan terhadap perjanjian timbal balik.
Bila ada perjanjian timbal balik belum dipenuhi pada saat putusan pernyataan
pailit, maka para pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat
meminta kepastian kepada kurator tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian
tesebut dalam suatu waku yang disepakati bersama.96
3. Akibat kepailitan terhadap perjanjian hak jaminan
Dengan dikeluarkannya putusan pernyataan pailit oleh pengadilan, setiap kreditor
yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan
lainnya dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.97Namun
pelaksanaannya ditangguhkan selama 90 hari terhitung sejak tanggal pailit
ditetapkan.98
D. Kelemahan-kelemahan Hukum Kepailitan
1. Kelemahan Faillissmentsverordening
a. Proses pemeriksaan kepailitan memakan waktu yang lama
Faillissmentsverodening tidak ada menentukan berapa lama batasan waktu
untuk menyelesaikan perkara kepailitan. Henry Lie A Weng menyebutkan bahwa
95 Pasal 21 ayat (1) UUK dan PKPU.96 Pasal 36 UUK dan PKPU.97 Pasal 55 UUK dan PKPU98 Pasal 56 ayat (1) UUK dan PKPU.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
52/115
52
peraturan-peraturan tersebut tidak praktis, rumit dan berlangsung terlalu lama dan
memakan biaya yang tidak murah.
99
Lamanya perkara kepailitan berlangsung karena kadangkala terdapat putusan
yang berbeda yaitu pada satu sisi putusan pailit dan pada sisi lain putusan perdata
yang saling berbeda. Dalam perkara kepailitan, debitor mengajukan permohonan agar
dirinya dinyatakan pailit dan pengadilan mengabulkan permohonan pailit. Pada saat
perkara pailit sedang berjalan, kreditor mengajukan gugatan perdata agar debitor
membayar utangnya. Keputusan Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan
kreditor dan menghukum debitor membayar utangnya kepada kreditor. Akhirnya
timbul permasalahan siapa yang akan melaksanakan keputusan tersebut.100
Dengan adanya keputusan yang berbeda dan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap menyebabkan timbulnya ketidakpastian hukum atau adanya dualisme
hukum. Hal ini dikarenakan, dalam peraturan Faillissmentverordening tidak
mengatur batasan mengenai kewenangan menangani suatu perkara. Hal inilah yang
merupakan suatu dasar alasan untuk dilakukannya perubahan pada peraturan
kepailitan yang lama.
99Henry Lie Aweng, Tinjauan Pasal demi Pasal Fv (Faillissmentsverodening S. 1905 No. 217 jo.S. 1906 No 348 Jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UUNo. 4 Tahun 1998, Medan, hal 4.(dikutip daririgkasan Disertasi Sunarmi, Op. Cit, hal 41)
100Ibid, hal 42.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DALAM HUKUM KEPAILITAN, 2008.
-
7/26/2019 Analisis Terhadap Ketentuan Insolvensi Dalam Hukum Kepailitan
53/115
53
b. Pemeriksaan pembukuan debitor jarang dilaksanakan
Setelah kemerdekaan, hakim tidak melakukan pemeriksaan atas pembukuan
debitor. Pemeriksaan tidak dilakukan meskipun para kreditor mengajukan keberatan
dan meminta kepada majelis hakim untuk memeriksa pembukuan debitor tetapi
diabaikan. Putusan hakim hanya didasarkan atas bukti-bukti yang diajukan oleh
debitor.101
c. Gijzelingditiadakan
Meskipun Faillissmentsverodening mengatur tentang lembaga paksa badan,
namun dalam prakteknya hal ini tidak dilaksanakan oleh pengadilan. Lembaga paksa
badan ini selama masa pemerintahan Kolonial Hindia Belanda selalu dilaksanakan
oleh Pengadilan. Namun setelah kemerdekaan lembaga paksa badan ini tidak
dilaksanakan. Hal ini didasarkan oleh keluarnya Surat Edaran No. 2 Tahun 1964,
tanggal 22 Januari 1964, No. 82/P/374/M/1964, tentang penghapusan sandera
(Gijzeling) dan Surat EdaranNo. 04 Tahun 1975, tanggal 1 Desember 1975, No.
M.A.Pemb/1020/75, tentang sandera (Gijzeling) yang melarang untuk
melaksanakan lembaga paksa badan. Larangan ini didasarkan pertimbangan bahwa
lembaga tersebut tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum dalam
rangka penegakan hukum dan keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa
Indonesia. Hal ini jelas sangat merugikan kepentingan kreditor.bahkan hakim
mengabulkan permohonan pailit yang diajukan debitor, meskipun debitor tidak
101Ibid.
HABIBA HANUM : ANALISIS TERHADAP KETENTUAN INSOLVENSI DAL