Hukum Dan Pembangunan Ekonomi
-
Upload
pradnyana-widiantara -
Category
Documents
-
view
284 -
download
5
Transcript of Hukum Dan Pembangunan Ekonomi
Hukum dan Pembangunan Ekonomi : Penataan Hukum Investasi Dalam Upaya Mendorong Investasi Di IndonesiDikirim oleh : Doni Kandiawan, SH, 09-06-2008
Pendahuluan
Investasi adalah merupakan salah satu penggerak proses penguatan
perekonomian negara, karena itu dalam rangka kebijakan ekonominya beberapa
negara berusaha keras untuk meningkatkan investasinya. Salah satu cara
peningkatan investasi yang diharapkan adalah melalui investasi asing. Para
investor diundang masuk ke suatu negara diharapkan dapat membawa langsung
dana segar/fresh money dengan harapan agar modal yang masuk tersebut dapat
menggerakkan roda perusahaan/industri yang pada gilirannya dapat
menggerakkan perekonomian suatu negara.
Dalam era globalisasi, masuknya investasi dalam suatu negara
berkembang khususnya Indonesia merupakan salah satu peranan yang sangat
siqnifikan dalam memacu pembangunan ekonomi. Karena di negara-negara
berkembang kebutuhan akan modal pembangunan yang besar selalu menjadi
masalah utama dalam pembangunan ekonomi. Sehingga diantara negara-
negara berkembang yang menjadi perhatian bagi investor adalah tidak hanya
sumber daya alam yang kaya, namun yang paling penting adalah bagaimana
hukum investasi di negara tersebut dapat memberikan kepastian hukum dan
kepastian berusaha.
Dengan menguatnya arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan
hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan
perdagangan telah membawa dampak pengelolaan ekonomi Indonesia. Dampak
ini lebih terasa lagi setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkannya
prinsip liberalisasi perdagangan (trade liberalization) yang telah diupayakan
secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasama
ekonomi regional, seperti North American Free Trade (NAFTA), Single European
Market (SEM), European Free Trade Agreement (EFTA), Australian-New
Zealand Closer Economic Relation and Trade Agreement (ANCERTA), ASEAN
Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Econimic Cooperation (APEC) dan World
Trade Organization (WTO).
Disinilah hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya
dengan perlindungan hukum yang diberikan suatu negara bagi kegiatan
penanaman modal. Sebagaimana diungkapkan oleh Erman Rajagukguk, bahwa
faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperanan dalam pembangunan
ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan "stability", "predictability"
dan "fairness". Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa
saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi
hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang
saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan
(predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting
bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki
hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional.
Aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama dan standar pola
tingkah laku Pemerintah adalah perlu untuk menjaga mekanisme pasar dan
mencegah birokrasi yang berlebihan.[2] Sehingga melalui sistem hukum dan
peraturan hukum yang dapat memberikan perlindungan, akan tercipta kepastian
(predictability), keadilan (fairness) dan efisiensi (efficiency) bagi para investor
untuk menanamkan modalnya.
Kondisi Investasi di Indonesia
Iklim investasi di Indonesia relatif berkembang pesat sejak Undang-
Undang PMA Tahun 1967 dan Undang-Undang PMD Tahun 1968 diberlakukan.
Hal ini karena adanya pengaturan beberapa insentif, yang meliputi perlindungan
dan jaminan investasi, terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing, dan
adanya insentif dibidang perpajakan. Dan situasi politik dan keamanan pada saat
itu relatif lebih stabil yang mendorong investasi sehingga mengalami peningkatan
yang cukup siqnifikan. Bahkan pada awal tahun 70-an sampai akhir 80-an,
Jepang melakukan investasi besar-besaran di Indonesia.
Pertumbuhan penanaman modal tersebut (investasi langsung) terus
berlangsung hingga tahun 1996 seiring dengan berbagai kebijakan liberalisme
dibidang keuangan dan perdagangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun
pertumbuhan investasi tersebut mengalami kemerosotan yang berujung dengan
terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 yang menjadi krisis
multidensional yang berpengaruh terhadap stabilitas politik. Menurut Bismar
Nasution, bagi Indonesia yang perekonomiannya bersifat terbuka akan
terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi
perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan
dengan perekonomian negara lain/perekonomian mitra dagang Indonesia seperti
ekspor-impor; investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak
langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi
tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku
ekonomi.[3]
Menurut data yang disampaikan oleh Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM), realisasi total investasi mengalami kenaikan yang mencolok.
Total persetujuan investasi selama Januari-Maret 2007 sebesar Rp 204,3 triliun,
meningkat 447,2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sejak
dasawarsa 1970-an, realisasi investasi yang telah disetujui oleh BKPM berkisar
antara 20-40%. Selama Januari-Maret 2007 pun realisasinya ”hanya” Rp 40,59
triliun atau sekitar 20%, yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri
(PDMN) sebesar Rp 23,17 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) senilai Rp
59,91 triliun.
Namun angka ini masih di bawah target tahun 2007 yaitu Rp 248,5 triliun.
Pertanyaannya, apakah ini berarti berakhirnya musim paceklik investasi dan
tanda perbaikan iklim investasi di Indonesia? Musim paceklik investasi di
Indonesia jelas terlihat dari menurunnya arus investasi sejak tahun 1997. Data
BKPM menunjukkan, nilai PMDN pada tahun 1997 tercatat Rp 119 triliun dengan
jumlah proyek 723 unit. Data tahun 2003 terbukti tinggal Rp 50 triliun dengan 196
proyek. Rekor investasi asing langsung yang masuk lewat PMA menunjukkan
perbaikan: tahun 1997 nilainya sebesar US$ 3,4 miliar dengan 331 unit proyek,
pada tahun 2003 melonjak menjadi US$ 5,1 miliar dengan jumlah proyek yang
juga meningkat menjadi 493 unit.
Ironisnya, ternyata arus investasi asing yang masuk ke Indonesia diikuti
dengan arus keluar yang jauh lebih tinggi. Inilah yang biasa disebut sebagai net
capital inflows yang negatif. Data neraca pembayaran Indonesia, terutama pos
investasi asing langsung, mencatat angka negatif sejak 1998, yang dari tahun ke
tahun semakin membesar. Baru pada sejak tahun 2005 net capital inflows mulai
mencatat angka positif, yang berarti mulai turning point.[4]
Berbagai studi menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia lebih buruk
dibanding Cina, Thailand, Vietnam dan negara-negara ASEAN lainnya. Iklim
investasi dapat didefinisikan ‘sebagai semua kebijakan, kelembagaan, dan
lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di
masa mendatang, yang bisa memengaruhi tingkat pengembalian dan risiko
suatu investasi’.[5]
Penataan Hukum Investasi
Keadaan perekonomian Indonesia menjadi sangat terpuruk pada saat
Indonesia dilanda krisis pada akhir tahun 1997 yang berakibat sangat luas. Krisis
ekonomi tersebut kemudian menjadi krisis kepercayaan masyarakat dan dunia
usaha terhadap elite politik dan elite ekonomi orde baru yang pada akhirnya
menggerogoti perekonomian dan administrasi bisnis, sehingga banyak investor
yang lari ke negara-negara lain. Krisis ekonomi tersebut paling tidak telah
memberikan pelajaran bagi bangsa Indonesia dan memaksa Indonesia untuk
melakukan perubahan-perubahan ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Era
reformasi diharapkan dapat menjadi tumpuan transformasi dan reformasi hukum
menuju sistem baru yang lebih lebih berkeadilan, andal, dan berkelanjutan,
khususnya penataan hukum investasi dalam menciptakan iklim usaha yang lebih
kondusif bagi penanaman modal.
Menurut studi yang dilakukan Burg’s mengenai hukum dan
pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak
menghambat ekonomi, yaitu “stabilitas” (stability), “prediksi” (preditability),
“keadilan” (fairness), “pendidikan” (education), dan “pengembangan khusus dari
sarjana hukum” (the special development abilities of the lawyer).[6] Selanjutnya
Burg’s mengemukakan bahwa unsur pertama dan kedua di atas ini merupakan
persyaratan supaya sistem ekonomi berfungsi. Di sini “stabilitas” berfungsi untuk
mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling
bersaing. Sedangkan “prediksi” merupakan kebutuhan untuk bisa memprediksi
ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan ekonomi suatu negara.[7]
Sebagaimana pendapat Erman Radjagukguk, maka hukum investasi
sebagai bagian dari hukum ekonomi harus mempunyai fungsi stabilitas (stability),
yaitu bagaimana potensi hukum dapat menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat. Sehingga
hukum investasi dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal asing
dan sekaligus dapat pula melindungi pengusaha-pengusaha lokal atau usaha
kecil. Dalam kaitannya dengan hal ini, maka investasi akan sangat dipengaruhi
stabilitas politik.[8] Investor mau datang ke suatu negara sangat dipengaruhi
faktor political stability. Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan
berpengaruh terhadap iklim investasi. Penanam modal asing akan datang dan
mengembangkan usahanya jika negara yang bersangkutan terbangun proses
stabilitas politik dan proses demokrasi yang konstitusional.
Yang Kedua, kebutuhan fungsi hukum investasi untuk dapat
meramalkan (predictability), adalah mensyaratkan bahwa hukum tersebut
mendatangkan kepastian. Investor akan datang ke suatu negara bila ia yakin
hukum akan melindungi investasi yang dilakukan. Kepastian hukum akan
memberikan jaminan kepada investor untuk memperoleh economic oppurtunity
[9] sehingga investasi mampu memberikan keuntungan secara ekonomis bagi
investor. Adanya kepastian hukum juga merupakan salah satu faktor utama
untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi investor, karena dalam melakukan
investasi selain tunduk kepada ketentuan hukum investasi, juga ketentuan lain
yang terkait dan tidak bisa dilepaskan sebagai pertimbangan bagi investor untuk
menanamkan modalnya. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang mengatur
investasi dan yang terkait dengan investasi kadangkala menimbulkan kekaburan
atau ketidakpastian mana hukum yang berlaku. Apabila dikaitkan dengan
keberadaan hukum dengan masyarakat, maka perlunya wibawa hukum agar
dapat ditaati dan sebagai pegangan dalam menjalankan relasi satu dengan yang
lain terlebih lagi dalam lalu lintas bisnis diperlukan adanya kepastian hukum yang
berlaku. Hal ini dikemukakan pula oleh Sentosa Sembiring,[10] jika arti
pentingnya hukum dikaitkan dengan investasi, investor membutuhkan adanya
kepastian hukum dalam menjalankan usahanya. Artinya, bagi para investor
butuh ada satu ukuran yang menjadi pegangan dalam melakukan kegiatan
investasinya. Ukuran inilah yang disebut aturan yang dibuat oleh yang
mempunyai otoritas untuk itu. Aturan tersebut berlaku untuk semua pihak.
Ketiga, aspek keadilan (fairness), seperti, perlakuan yang sama bagi
semua orang atau pihak di depan hukum, perlakuan yang sama kepada semua
orang dan adanya standar pola perilaku pemerintah, oleh banyak ahli ditekankan
sebagai syarat untuk berjalannya menjaga mekanisme pasar dan mencegah
birokrasi yang berlebihan. Dalam kaitannya dengan aspek keadilan disini, maka
faktor accountability dengan melakukan reformasi secara konstitusional serta
perbaikan sistem peradilan dan hukum merupakan suatu syarat yang penting
dalam rangka menarik investor. Apabila hal ini tidak dilakukan pada akhirnya
berakibat pada lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan ketiadaan
regulasi khususnya di bidang investai yang mampu memberikan rasa aman,
nyaman bagi investor serta kurang ramahnya perundang-undangan tersebut
terhadap investor khususnya investor asing. Dengan kata lain perangkat
perundang-undangan yang ada sekarang dirasakan kurang mengakomodasi
kepentingan para investor dalam berinvestasi. Sebagaimana diungkapkan oleh
Dorojatun Kuntjoro Jakti[11] pada waktu menjabat sebagai Menko
Perekonomian menyatakan bahwa masih kecilnya investasi yang masuk di
Indonesia diakibatkan masih adanya kendala yang menyangkut sistem
perpajakan, kepabeanan, prosedural birokrasi, administrasi daerah, dan soal
perburuhan.
Sesuai dengan pendapat Burg’s di atas maka, J.D. Ny Hart juga
mengemukakan konsep hukum sebagai dasar pembangunan ekonomi, yaitu
predictability, procedural capabilyty, codification of goals, education, balance,
defenition and clarity of status serta accomodation.[12]
Dengan mengacu pada pendekatan hukum dalam pembangunan ekonomi
di atas ini, maka hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut : [13]
Pertama, hukum harus dapat membuat prediksi (predictability), yaitu apakah
hukum itu dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku dalam
memprediksi kegiatan apa yang dilakukan untuk proyeksi pengembangan
ekonomi. Kedua, hukum itu mempunyai kemampuan prosedural (procedural
capability) dalam penyelesaian sengketa. Misalnya dalam mengatur peradilan
trigunal (court or administrative tribunal), penyelesaian sengketa diluar
pengadilan (alternative dispute resolution) dan penunjukan arbitrer konsiliasi
(conciliation) dan lembaga-lembaga yang berfungsi sama dalam penyelesaian
sengketa. Ketiga, pembuatan, pengkodifikasian hukum (codification of goals)
oleh pembuat hukum bertujuan untuk pembangunan negara. Keempat, hukum
itu setelah mempunyai keabsahan, agar mempunyai kemampuan maka harus
dibuat pendidikannya (education) dan selanjutnya disosialisasikan. Kelima,
hukum itu dapat berperan menciptakan keseimbangan (balance). karena hal ini
berkaitan dengan inisiatif pembangunan ekonomi. Keenam, hukum itu berperan
dalam menentukan definisi dan status yang jelas (definition and clarity of status).
Dalam hal ini hukum tersebut harus memberikan definisi dan status yang jelas
mengenai segala sesuatu dari orang. Ketujuh, hukum itu harus dapat
mengakomodasi (accomodation) keseimbangan, definisi dan status yang jelas
bagi kepentingan inividu-individu atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Terakhir, tidak kalah pentingnya dan harus ada dalam pendekatan hukum
sebagai dasar pembangunan adalah unsur stabilitas (stability) sebagaimana
diuraikan di muka.
Tiga hal utama yang diinginkan investor dan pengusaha: penyederhanaan
sistem dan perijinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan
transparansi biaya perizinan. Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang
tidak hanya menghambat arus barang dan jasa tapi juga menciptakan iklim
bisnis yang tidak sehat, perlu dieliminasi. Prioritas perlu diberikan pada
deregulasi dan koordinasi berbagai peraturan daerah dan pusat. [14]
Pengalaman China menarik modal asing perlu kita kaji apakah menarik
untuk dicoba. Di China, untuk perijinan cukup menghubungi Kantor Investasi
Asing. Untuk investasi minimal sebesar US$30 juta, aplikasi investasi harus
mendapat ijin dari pusat. Namun di bawah jumlah itu, cukup menghubungi
Kantor Investasi Asing di daerah. Waktu persetujuan investasi asing maksimal 3
hari. Bila lebih dari 3 hari tidak ada pemberitahuan dari kantor ini, otomatis
permohonan investasi dianggap diterima.
Berdasarkan uraian diatas maka jelaslah bagi bangsa Indonesia, bahwa salah
satu upaya untuk menggerakkan kembali perekonomian Nasional adalah
bagaimana menciptakan iklim dunia usaha yang kondusif. Dengan penataan
hukum ekonomi khususnya hukum investasi diharapkan mendorong investasi di
Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing. Kebijakan-
kebijakan yang dirumuskan haruslah yang mampu membuat Indonesia bersaing
dengan negara-negara di ASEAN khususnya, dalam menarik investasi asing.
Menurut Dhaniswara K. Harjono, dalam kaitannya dengan hal tersebut dan
dalam rangka memperbaiki serta menciptakan iklim investasi yang favorable dan
sejalan dengan arah dan kebijakan pembangunan nasional, langkah-langkah
yang telah dilakukan adalah :
1. menyederhanakan proses dan tata cara perizinan dan persetujuan dalam
rangka penanaman modal;
2. membuka secara luas bidang-bidang yang semula tertutup atau dibatasi
terhadap penanaman modal asing;
3. memberikan berbagai insentif, baik pajak maupun non pajak;
4. mengembangkan kawasan-kawasan untuk penanaman modal dengan
berbagai kemudahan yang ditawarkan;
5. menyempurnakan berbagai produk hukum dengan mengeluarkan
peraturan perundang-undangan yang baru yang lebih menjamin iklim
investasi yang sehat;
6. menyempurnakan proses penegakan hukum dan penyelesaian sengketa
yang efektif dan adil;
7. menyempurnakan tugas, fungsi, dan wewenang instansi terkait untuk
dapat memberikan pelayanan yang lebih baik;
8. membuka kemungkinan pemilikan saham asing lebih besar.[15]
Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman
Modal (UUPM), adalah langkah awal pembaharuan hukum investasi karena
UUPM ini mencabut UUPMA dan UUPMD yang lama. Dengan UUPM ini
diharapkan dapat mengakomodasi berbagai kendala investasi yang selama ini
terjadi demi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih baik kedepan. Alasan
filosofis dari UUPM paling tidak terlihat dari konsideransnya,[16] huruf c. bahwa ”
untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan
kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman
modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar
negeri”; dan huruf d. ”dalam menghadapi perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional perlu diciptakan
iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum,
keadilan, dan efisien dengan tetap memperhatikan kepentingan ekonomi
nasional.”
Secara spesifik, tujuan utama pembentukan UUPM adalah sebagai berikut; ”
memberikan kepastian hukum dan kejelasan mengenai kebijakan penanaman
modal dengan tetap mengedepankan kepentingan nasional sehingga dapat
meningkatkan jumlah dan kualitas investasi yang berujung pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, peningkatan ekspor dan
penghasilan devisa, peningkatan kemampuan teknologi, peningkatan
kemampuan daya saing nasional, dan pada akhirnya diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.”[17]
Namun berlakunya UUPM tersebut belumlah genap satu tahun, sehingga upaya
penataan hukum investasi dan pranata hukum lainnya sangatlah berperan dalam
mencapai tujuan pembentukan UUPM sebagaimana yang diuraikan diatas.
Mengenai hal ini, Ida Bagus Rahmadi Supancana[18] mengemukakan terdapat
tantangan dan paradigma dibidang investasi yang bersumber dari faktor-faktor
yang bersifat intern maupun ekstern. Faktor internal yang berpengaruh, antara
lain :
1. perubahan paradigma pemerintahan dari sentralisasi ke arah desentralisasi
(otonomi daerah dan otonomi khusus);
2. demokratisasi dalam berbagai sendi kehidupan bangsa;
3. reformasi dalam tata kelola pemerintahan (ke arah good governance and clean
government), termasuk pemberantasan korupsi;
4. reformasi dalam tata kelola perusahaan ke arah good corporte governance;
5. perubahan struktur industri ke arah resource based industry;
6. meningkatkan pemahaman dan perlindungan lingkungan hidup;
7. meningkatnya perlindungan HAM; dan lain-lain.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhinya, antara lain :
1. globalisasi tatanan perdagangan, investasi, dan keuangan;
2. isu-isu global, seperti demokrasi, lingkungan hidup, dan HAM;
3. perlindungan HAKI;
4. program pengentasan kemiskinan global;
5. isu community development dan corporate social responsibility;
6. perlindungan hak-hak normatif tenaga kerja, tenaga kerja anak-anak, dan
perempuan; dan lain-lain.
Kesimpulan
Era reformasi telah lama dimulai, namun sepertinya belumlah memberikan
hasil sebagaimana yang diharapkan. Reformasi hukum yang telah dilakukan,
khususnya penataan hukum investasi belumlah selesai dengan lahirnya UUPM.
Dalam tataran normatif (law making proces) masih diperlukan peraturan
pelaksanaan lainnya, seperti Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang
sekaligus mencabut peraturan-peraturan yang bertentangan dan bersifat
kontradiktif dengan tujuan pembentukan UUPM. Pengaturan mengenai
penguatan kelembagaan yang mendukung pelaksanaan hukum investasi juga
harus mendapat perhatian utama, yaitu segala kebijakan dan penguatan institusi
baik di Pusat dan Daerah yang sinergis dalam pemberian perizinan dibidang
investasi, seperti institusi pelayanan satu pintu yang diatur dalam UUPM.
Dalam konteks ini perlunya reformasi di segala aspek (tidak hanya
hukum) dan meningkatkan peran masyarakat sipil dalam pengawasan
pembangunan adalah kunci perubahan paradigma pembangunan. Sehingga
segala bentuk in-efisiensi yang menjadi akar dari krisis ekonomi dapat menjadi
minimal, dan upaya reformasi struktural ini akan meningkatkan kredibilitas
pemerintah di kalangan masyarakat internasional khususnya. Sehingga investasi
asing akan meningkat, ekonomi mengalami pertumbuhan yang signifikan untuk
mengurangi pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penataan hukum investasi dalam upaya menciptakan iklim investasi
tersebut, telah dimulai dengan kehadiran UUPM yang secara normatif telah
mengakomodir berbagai kepentingan para penanam modal asing. Misalnya
adanya ketentuan-ketentuan dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang
diberikan pada para pengusaha lokal atau domestik dalam arena
memperebutkan pangsa pasar, adanya perlindungan dan jaminan investasi atas
ancaman terjadinya resiko nasionalisasi dan eksproriasi, dan adanya jaminan
dalam hak untuk dapat mentransfer laba maupun deviden, serta hak untuk
melakukan penyelesaian hukum melalui arbitrase internasional.
Sehingga yang diperlukan kedepan untuk mendorong lebih lanjut
peningkatan investasi penanaman modal di Indonesia, adalah bagaimana
implementasi UUPM selanjutnya dalam menciptakan iklim investasi dan usaha
yang lebih menarik. Singkat kata, iklim investasi yang positif yang perlu
ditingkatkan dalam tataran kebijakan implementatif kedepan adalah selaras
dengan upaya-upaya berkesinambungan yang dilakukan oleh para birokrat dan
para pelaku ekonomi di lokalitas-lokalitas tempat investasi dalam hal-hal sebagai
berikut :
1. Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan pada tingkat pusat
dan daerah serta menghasilkan produk hukum yang berkaitan dengan
kegiatan penanaman modal sehingga tidak memberatkan beban tambahan
pada biaya produksi usaha.
2. Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum
masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur
distribusi barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan barang
jadi maupun setengah jadi.
3. Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang
ditujukan pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi,
kepabeanan, perpajakan dan pertahanan wilayah.
4. Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing.
5. Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha
secara berkelanjutan.
[1] PNS Pemkab. Bangka.
[2] Erman Rajagukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar 14-18 Juli 2003.
[3] Bismar Nasution, SH, MH, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Disampaikan pada “Diskusi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,” di Fakultas Hukum USU Medan, tanggal 25 September 1999.
[4] Prof Mudrajad Kuncoro, Akhir Paceklik Investasi?, Guru Besar FE UGM, Koordinator Ahli Ekonomi Regional PSEKP UGM, dan Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi FE UGM, Sumber:http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=29270.
[5] Ibid.
[6] Leonard J. Theberge, “Law and Economic Development,” Journal of International Law and Policy¸ (Vol. 9, 1980) : hal. 232.
[7] Ibid.
[8] Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Cet. I -Jakarta, 2007, hal. 27/31.
[9] Ibid.
[10] Sentosa Sembiring, Hukum Investasi, Bandung, CV. Nuansa Aulia, 2007, hal. 37.
[11] Dorojatun Kuntjoro Jakti, “Investasi Minim Akibat Lima Hal,” Bisnis Indonesia, 13 Juni 2002.
[12] J.D. Ny. Hart, “The Role of Law in Economic Development,” dalam Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1995), hal. 365-367.
[13] Bandingkan, Burg’s dalam Leonard J. Therberge, op.cit. dan J.D. N. Hart, loc.cit.
[14] Prof. Mudrajad Kuncoro, opcit.
[15] Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2007 hal. 75.
[16] Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
[17] Keterangan Pemerintah kepada DPR Atas Penyampaian RUU PM, Maret 2006. Lihat juga Dhaniswara K. Harjono, opcit, hal. 77.
[18] Dhaniswara K. Harjono, opcit, hal. 49. Mengutip, Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.
Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Firmansyah Rahim mengatakan, investasi di bidang pariwisata masih terkonsentrasi pada dua bidang usaha tradisional yakni hotel dan restoran, sedangkan sebelas bidang usaha pariwisata lainnya kurang diminati investor.
“Kondisi ini menjadi tantangan bagi kita bersama, bagaimana agar calon investor di masa mendatang mau menanamkan modalnya untuk membangun resort atau usaha pariwisata lainnya di luar hotel dan restoran,” kata Firmansyah Rahim seusai membuka Rakernas Pengembangan Destinasi Pariwisata di Mercure Convention Hotel, Ancol, Rabu (21/10).
Menurut Firmansyah, tahun ini nilai investasi di sektor pariwisata mencapai Rp 1,7 triliun, yang sebagian besar untuk usaha di bidang perhotelan, restoran, rumah makan, maupun usaha biro perjalanan wisata (BPW), sedangkan untuk usaha wisata lainnya yang mempunyai peluang besar seperti resort ataupun wisata medis belum banyak diminati.
Dikatakan, sebelum calon investor membangun resort, misalnya, mereka tentunya akan mempertanyakan lebih dahulu daya tarik apa yang ada di daerah tersebut ; seperti kemudahan perizinan, security lahan yang digunakan, serta aksesisbilitas dan infrastruktur yang ada. “Hal ini merupakan suatu kewajaran karena untuk membangun resort memiliki tingkat risiko tinggi karena rentang waktu modal kembali (Return of Investment/ROI) yang panjang,” katanya.
Untuk ini, kata Firmansyah, pemerintah daerah harus memiliki kemampuan dalam menyusun proposal yang baik, sehingga investor tertarik untuk masuk ke sana.
Rakernas diikuti peserta dari kalangan pejabat di lingkungan Depbudpar, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Kadis Budpar) dari 33 provinsi di seluruh Indonesia, dan sejumlah nara sumber antara lain pakar marketing Hermawan Kertajaya, Fadjar Ari Dewantoro, Sekjen DKP, Sekjen Dephut, dan Sekjen Dep. PU dengan topik bahasan seputar keterpaduan sektoral dan kewilayahan dalam meningkatkan destinasi pariwisata di tanah air yang berdaya saing nasional, regional, dan global. (Pusformas)
Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Firmansyah Rahim mengatakan, investasi di sektor pariwisata tahun 2008 mencapai Rp 1,7 triliun, sebagian besar masih terserap di bidang usaha hotel dan restoran. Sedangkan 11 bidang usaha pariwisata lainnya relatif kecil.
“Dari 13 bidang usaha di sektor pariwisata, hotel dan restoran paling banyak diminati investor, mungkin karena memberikan keuntungan yang lebih menjanjikan,” kata Firmansyah seusai membuka Seminar Nasional Tentang Kebijakan Investasi Pariwisata Daerah di Hotel Mellenium Jakarta, Senin (25/6).
Dikatakan, meski banyak diminati investor namun banyak investor hotel dan restoran tidak sukses dalam menjalankan usahanya, hal itu karena ketika merencanakan pembangunan kurang berkoordinasi dengan dinas-dinas di daerah. Dia mengambil contoh hotel dan restoran di kawasan Tanjung Lesung, Banten kurang berjalan karena aksesibilatas jalan ke sana rusak dan kurang nyaman. Koordinasi antara calon investor dengan dinas-dinas pariwisata harus terus ditingkatkan, katanya. (Pusformas)
Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata bekerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Pusat menyelenggarakan seminar dan workshop nasional tentang Kebijakan Investasi Pariwisata Daerah di Hotel Mellenium Jakarta, Kamis (25/6).
Kegiatan seminar dan workshop sehari dengan menghadirkan pembicara dari kalangan akademisi, praktisi, dan pejabat terkait ini dimaksudkan untuk memetakan peluang dan potensi investasi, sekaligus memberikan pengetahuan praktis dan analisis kepada Pemerintah Daerah dalam menawarkan investasi bidang pariwisata di daerah kepada calon investor Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
Bank Dunia dalam laporannya tahun 2000 mengisyaratkan bahwa kompetisi di bidang perdagangan dan investasi tidak lagi merujuk pada tingkat negara, tetapi sudah pada tingkat nasional dan daerah. Dengan demikian, upaya menciptakan iklim investasi pariwisata yang kondusif menjadi agenda penting bagi daerah.
Sementara itu untuk mengukur prestasi pariwisata di suatu negara, masyarakat dunia telah menggunakan standar yang telah dibakukan dalam The Travel & Tourism Competitiveness Index (TTCI) yang meliputi sekitar empat belas kreteria antara lain menyangkut masalah kebijakan, infrastruktur, lingkungan hidup, sumber daya manusia,
serta pemberdayaan masyarakat lokal (community development) dalam mengembangkan pariwisata.
World Economic Forum (WEF) dalam laporannya tahun 2009, berdasarkan kreteria TTCI telah menempatkan Indonesia pada ranking 81 dengan skor 3,79 atau turun satu peringkat dibandingkan tahun 2008. Posisi ini di bawah negara-negara tetangga yang memiliki kemiripan kondisi sosial-ekonomi seperti Thailand (rangking 39) dan India (ranking 62).
Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata Depbudpar Firmansyah Rahim mengatakan, melalui kegiatan seminar dan workshop ini diharapkan akan membuka wawasan dan pandangan semua pihak dalam memahami permasalahan investasi sebagai upaya meningkatkan daya saing pariwisata di tingkat nasional, regional, dan internasional. (Pusformas)
Memanfaatkan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Australia, Perlu Incentive Untuk Pelaku Pariwisata Selasa, 17 May 2011 21:07
Perspektif makro ekonomi, dunia sedang menjalani recovery, cukup menggairahkan. Forecast jumlah wisatawan outbound berbagai negara tahun ini menggembirakan, menurut Euromonitor International. Outbound Cina 33,1 juta, Malaysia 12,5 juta, Korea Selatan 10,7 juta, Australia 5,7 juta, Belanda 18,5 juta, Jerman 82,3 juta, Arab Saudi 3,6 juta, India 8,9 juta, Rusia 31,7 juta, Inggris 69,6 juta, Taiwan 7,5 juta, Prancis 27,1 juta, Jepang 14,7 jutaMenarik untuk disimak dan dikaji karena Australia merupakan market yang sangat potensial. Bukan tanpa konsekwensi adanya capaian seperti ini. Semua unsur industri pariwisata, dan, stakeholders, perlu menaruh perhatian pada upaya memanfaatkan momentum pertumbuhan market Australia. Karena tahun ini, kompetisi antar destinasi semakin tajam sejalan dengan perbaikan ekonomi yang menggelinding di Asia Pasifik. Dirjen Pemasaran Pariwisata Kemenbudpar, Sapta Nirwandar, mengingatkan, di tengah pertumbuhan yang akan mulai marak, Indonesia justru menghadapi kompetisi dari destinasi di negeri tetangga. ”Kita berhadapan dengan kompetisi destinasi di negeri tetangga seperti kapasitas penerbangan dan terobosan baru dari kompetitor untuk memperluas langkah promosi pariwisata. Muangthai misalnya, pemerintahnya telah memperluas langkah mempromosikan pariwisata, termasuk pembebasan biaya visa turis sampai dengan 31 Maret 2011 lalu, memberi paket bantuan pinjaman untuk industri pariwisata sebesar US $ 153.000.000,”kata Sapta Nirwandar di Bali belum lama ini.Otoritas Pariwisata Thailand (TAT) telah diberikan tambahan anggaran sebesar US $ 11.100.000 untuk meningkatkan promosi pasar domestik, sementara bandara Thailand telah memperkenalkan skema diskon 15 persen bagi penerbangan. Juga mungkin pemotongan pajak bagi penyelenggara MICE. TAT mau kembali menarik wisatawan dari pasar luar negeri dan regional. Saat ini berkonsentrasi memikat wisatawan dari Asia Selatan dan negara-negara ASEAN, serta Asia Timur Laut. Sebuah kegiatan mega-fam besar dilaksanakan
Arah PasarIndonesia yang menjadikan Bali sebagai ikon pariwisata berada di posisi dengan tantangan yang menarik. Wisman dari negara-negara Asia Pasifik cenderung beriwisata di Asia Pasifik, sementara beberapa maskapai penerbangan nasional mengembangkan operasinya ke sekitar kawasan ini. Memang, selama ini setiap pasar utama yang disasar oleh Kemenbudpar, belum dibarengi dengan perluasan operasi oleh maskapai nasional. Namun maskapai internasional lain, termasuk Low Cost Carrier dari negara tetangga, sudah dan akan menambah rute penerbangan termasuk ke Indonesia. Jadi, muncul kecenderungan di mana arah pasar yang produktif bagi upaya menambah jumlah wisman ke Indonesia, akan kian variatif.Arah pasar dari strategi pemasaran Kemenbudpar, perlu dituju oleh para pelaku bisnis inbound. Bersamaan itu, mereka perlu memanfaatkan kapasitas airlines dengan memajukan pemasaran dan penjualan paket-paket yang dinamis. Artinya, sesuai dengan apa yang bervariasi dituntut oleh karakteristik wisman dewasa ini. Adapun perubahan karakter pasar, utamanya terletak pada saluran distribusi, di mana on-line reservation semakin meluas. IATA (International Air Transport Association) mencontohkan, tahun 2009 tercatat sekitar 40 % penjualan melalui on-line, dan diperkirakan mendekati 60% pada dua tahun mendatang.Hampir 5 juta orang Australia bepergian ke luar negeri, tiap tahunnya. Jumlah outbound tourism dari Australia diperkirakan akan makin meningkat, karena menguatnya ekonomi Australia. Biaya perjalanan wisatawan Australia ke Bali sudah makin kompetitif, karena menguatnya nilai mata uang Australia . Kunjungan wisatawan Australia ke Bali biasanya terjadi secara merata sepanjang tahun. Kunjungan wisatawan Australia ke Bali mengalami high season terutama terjadi pada musim panas di Australia yaitu antara Desember - Februari, musim dingin (Juni-Juli), hari raya Paskah (April) dan liburan lainnya. Aktivitas yang paling diminati wisatawan Australia meliputi belanja, mengunjungi sanak keluarga dan teman, rest and relaxation , mengunjungi kota-kota dan tempat-tempat bersejarah serta makan-makan di restoran. Produk-produk wisata bernuansa budaya lokal tetap menjadi daya tarik utama untuk menggaet wisatawan Australia . Kepala Pusat Penelitian Universitas Udayana Dr. Anak Agung Suryawan Wiranatha, MSc, menambahkan,wisatawan Australia sangat perhatian terhadap aspek keamanan pada kawasan objek wisata yang mereka kunjungi. Dengan rasa aman tersebut, Wisatawan Australia bisa dengan nyaman menginap dan mengunjugi tempat-tempat wisata dengan menggunakan sarana transportasi di Bali. Pelaku pariwisata diminta mempromosi Bali ke Australia , fokus pada komunikasi keunikan culture and lifestyles dan juga menonjolkan berbagai diversifikasi produk wisata yang dapat menarik minat wisatawan. R-006
Investor Australia Perlu Paham Iklim Investasi di Indonesia Selasa, 17 May 2011 21:05
Australia tidak hanya sebagai kontributor besar yang menyuplai wisatawan ke Indonesia dan Bali, tapi juga sebagai investor potensial bagi pengembangan ekonomi dan perdagangan di tanah air. Secara geografis dekat, tapi hubungan Indonesia dan Australia tidak selamanya romantis karena cukup banyak isu sosial dan politik yang mengganggu kedua negara. Bagaimana dengan kerja sama ekonomi, khususnya rencana pembentukan Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, seperti dilansir Bisnis Indonesia di sela-sela Konferensi Australia Indonesia Business Council (AICB) beberapa waktu lalu mengatakan, untuk Free Trade Area (FTA), Indonesia masuk ke dalam Asean. Asean-Australia FTA, termasuk Selandia Baru, sudah disepakati, tinggal pelaksanaannya. Pembahasan tidak lagi pada konteks setuju atau tidak. Pembicaraan sekarang sudah lebih masuk ke AI-CEPA. “Kerja sama ini tidak hanya sebatas, Australia jual apa, Indonesia jual apa, kalau sebatas itu, relatif tidak besar. Realistis saja, pasar Australia walau tumbuh dalam segi potensi pasar bagi kita tentu tetap terbatas,”kata Mahendra Siregar Jika hanya itu, lanjutnya, Indonesia tentu tidak bisa banyak berharap dari Australia sebagai tujuan investasi besar-besaran. Hal yang perlu dilihat adalah memanfaatkan Asia Timur melalui kerja sama strategis, bukan sebatas ekspor dan impor. AI-CEPA, tidak sekadar mengatur FTA karena perjanjian perdagangan bebas tidak hanya mengenai penurunan tarif dan non tarif tapi lebih luas. Pre-negosiasi AI-CEPA mulai dilangsungkan pada 8 Maret 2010, di Sydney. Salah satu tujuan AI-CEPA adalah bersinergi dengan negara maju, menggunakan kapasitas kita, untuk meningkatkan kualitas produk lokal.Bagaimana dengan pemahaman investor Australia terhadap iklim investasi di Indonesia? Mahendra Siregar mengatakan, “Saya merasa di satu pihak dekat letak Indonesia-Australia, tapi di lain pihak minimal sekali pemahaman dan saling kenal dari masing-masing investor, dan pelaku usaha. Australia merasa China, India, dan Korea Selatan lebih menarik. Jenis produksi Indonesia hampir sama dengan Australia. Indonesia juga melihat Australia penduduknya kurang besar, lebih baik memasarkan produk ke negara lain di Asia dan Timur Tengah” Dalam konferensi Wakil Menteri Perdagangan mengatakan, media massa Australia lebih menyukai bad news. ”Ya mungkin bad news adalah good news bagi media massa, tetapi kalau tidak ada berita buruk, tidak ada berita sama sekali dari Indonesia. Ini malah lebih tidak bagus. Kemitraan komprehensif ini dimulai dari kesadaran semakin meningkatnya tuntutan pasar untuk meng hasilkan barang dan jasa yang berkualitas, bukan hanya dari segi jumlah. Kualitas ditentukan juga dari kaidah lingkungan hidup, keberlanjutan, kesehatan, dan standar industri.,”ungkapnya R-006/bisnis