HUBUNGAN KUALITAS UDARA DALAM RUMAH DENGAN...
Transcript of HUBUNGAN KUALITAS UDARA DALAM RUMAH DENGAN...
HUBUNGAN KUALITAS UDARA DALAM RUMAH
DENGAN KELUHAN GEJALA INFEKSI SALURAN NAPAS AKUT
PADA ANAK BAWAH LIMA TAHUN DI RUMAH SUSUN MARUNDA
JAKARTA UTARA
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh:
SONIA NUR ANGGRAENI
NIM: 1113101000036
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2017
i
LEMBAR PERNYATAAN
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN
Skripsi, Agustus 2017
SONIA NUR ANGGRAENI, NIM: 1113101000036
Hubungan Kualitas Udara Dalam Ruang Dengan Keluhan Gejala Infeksi
Saluran Napas Akut Pada Anak Bawah Lima Tahun di Rumah Susun
Marunda Jakarta Utara
(xvii +114 halaman, 2 bagan, 15 Tabel, 3 Gambar, 4 Lampiran)
ABSTRAK
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit
berbasis lingkungan yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara. Menurut
WHO, sebanyak 1,9 juta balita meninggal akibat ISPA tiap tahunnya. Indonesia
merupakan negara peringkat kelima dengan kejadian ISPA terbanyak di dunia. Salah satu faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita adalah kualitas
udara dalam ruang. Kualitas udara dalam ruang dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu faktor lingkungan dalam dan luar rumah serta perilaku penghuni. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor lingkungan
dalam rumah dengan keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda,
Jakarta Utara. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
kuantitatif. Desain studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional dengan sampel sebanyak 185 balita. Penelitian ini dilakukan di Rumah
Susun Marunda pada bulan April-Juli 2017. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proporsi keluhan gejala ISPA
pada balita sebesar 28,1%. Suhu dan kelembaban udara dalam ruang yang tidak
memenuhi syarat masing – masing sebesar 44,9% dan 84,3%. Kepadatan hunian
yang tidak memenuhi syarat sebesar 85,9 %. Responden yang menggunakan obat
nyamuk bakar sebanyak 28,1% dan tidak memiliki kebiasaan membuka jendela
sebesar 34,6%. Serta responden yang memiliki anggota keluarga perokok
sebanyak 67,6%. Faktor yang berhubungan secara signifikan dengan keluhan
gejala ISPA pada balita dalam penelitian ini adalah kelembaban udara dalam
ruang dan penggunaan obat nyamuk. Penghuni rumah susun disarankan untuk memelihara tanaman di balkon
rumah dan sebaiknya rumah susun tidak dihuni oleh lebih dari tiga orang. Hasil
penelitian ini dapat menjadi dasar bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan kualitas udara di rumah susun. Kata Kunci: ISPA, Balita, Rumah Susun
Daftar Bacaan: 64 (2001-2017)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES
DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH
MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH
Under Graduated Thesis, August 2017
SONIA NUR ANGGRAENI, NIM 1113101000036
Indoor Air Quality and Symptoms of Acute Respiratory Infection In
Children Under Five In Marunda Flats North Jakarta
(xvii +114 pages, 2 charts, 15 tables, 3 pictures, 4 attachments )
ABSTRACT
Acute Respiratory Infection (ARI) is an environment-based disease caused
by poor air quality. According to WHO (2016), 1.9 million children die from ARI
each year. Indonesia is the fifth country with the highest ARI occurrence in the
world. One of the factors that influence the symptom of ARI in infants is indoor
air quality. Indoor air quality are influenced by several factors such as,
environmental factors inside and outside the home and the behavior of residents.
This study aims to determine the description of environmental factors in
the home with the symptom of ARI in infants at Marunda Flats, North Jakarta. Environmental factors that will be studied are temperature and humidity in the
children’s room and occupancy density. This research is descriptive study with
quantitative approach. The design is cross sectional with 185 infants as samples. This research is conducted from April to July 2017 and located in Marunda Public
Flats, North Jakarta.
The results of this study indicate that the proportion of ARI symptom
complaints in infants at 28,1%. The percentage of unsuitable air temperature and
humidity are 44,9% and 84,3% respectively. The percentage of uncertain
occupancy density is 85,9%. Mosquito coil are used in 28,1% of respondents and
34,6% do not have the habit of opening a window. Respondents who have family
members as smokers are 67,6%. Factors that are significantly related to ARI
symptoms in infants in this study are indoor air humidity and the use of mosquito
coils (Pvalue < 0.05).
It is suggested for public flats resident to maintain the plants on their
balcony and flats should not be occupied by more than three people. The results of
this study can be used as a basis for further research in public flats.
Keywords: Acute Respiratory Infection, Public Flats, Infant
References: 64 (2001-2017)
iv
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
v
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi
Nama Lengkap : Sonia Nur Anggraeni
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 17 Januari 1995
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jl. Asmin No. 35 RT. 006/003 Kel. Susukan
Kec. Ciracas Jakarta Timur, 13750
Email : [email protected]
No. Hp : 081585983813
Riwayat Pendidikan
1. TK Islam PB Soedirman, lulus pada tahun 2001
2. SD Islam PB Soedirman Jakarta, lulus pada tahun 2007
3. SMP Negeri 102 Jakarta, lulus pada tahun 2010
4. SMA Negeri 48 Jakarta, lulus pada tahun 2013
5. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Program Studi Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, tahun 2013 –
sekarang
Pengalaman Organisasi
1. Ketua ENVIHSA (Environmental Health Student Association) UIN
Jakarta periode tahun 2016-2017.
2. Wakil Ketua ENVIHSA (Environmental Health Student Association)
UIN Jakarta periode tahun 2015-2016.
3. Volunteer Greenpeace Indonesia periode 2016 – 2017
vii
Pengalaman Praktek Kerja
1. Pengalaman Belajar Lapangan di Puskesmas Kecamatan Pagedangan,
Kota Tangerang tahun 2016.
2. Kerja Praktek di bagian Environmental Compliance di PT. Prasadha
Pamunah Limbah Industri tahun 2017.
Prestasi Akademik
- Peraih Nilai Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
Terbaik Nasional ke II Tahun 2016.
- Peraih Nilai Uji Kompetensi Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia
Terbaik Regional Jakarta ke II Tahun 2016.
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur Kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berkat rahmat
dan hidayah-Nya kepada penulis hingga dapat menyelesaikan penelitian ini
dengan baik. Sholawat serta salam tidak lupa senantiasa dihaturkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang.
Laporan skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan sebagai Sarjana
Kesehatan Masyarakat. Laporan skripsi dengan judul “Hubungan Kualitas Udara
Dalam Ruang Dengan Keluhan Gejala Infeksi Saluran Napas Akut pada Anak
Bawah Lima Tahun di Rumah Susun Marunda Jakarta Utara” dapat selesai
dengan baik dan tepat pada waktunya berkat bantuan dari berbagai pihak Oleh
sebab itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Orang tua dan kakak tercinta yang selalu mendukung baik secara moril
maupun materil.
2. Bapak Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Fajar Ariyanti, M.Kes, Ph.D selaku Kepala Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
ix
4. Ibu Dewi Utami Iriani, M.Kes, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing, memberikan masukan serta arahan selama proses pembuatan
laporan skripsi.
5. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Ibu Yuli Amran, SKM, MKM, selaku
penguji yang telah memberikan penilaian dan masukan untuk perbaikan dalam
penulisan laporan skripsi ini.
6. Pihak Puskesmas Rumah Susun Marunda dan ibu-ibu kader posyandu Rumah
Susun Marunda yang telah memberikan izin dan membantu dalam proses
pengambilan data penelitian.
7. Lutfi Rofiana, Nadila Safira, Diah Ayu Srikandi, Mega Trisna Nirwanti dan
kak Wahyu Aldi F. yang telah menjadi support system saya dalam
menyelesaikan skripsi.
8. Teman-teman seperjuangan jurusan Kesehatan Masyarakat dan peminatan
Kesehatan Lingkungan angkatan 2013.
Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
Namun, pada penulisan ini penulis menyadari masih terdapat kekurangan yang
harus diperbaiki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi
penyempurnaan pembuatan laporan ini. Amin.
Jakarta, Agustus 2017
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
ABSTRAK ............................................................................................................. ii
ABSTRACT .......................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI .............................................................. v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR BAGAN ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 6
1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................... 6
1.4 Tujuan ....................................................................................................... 7
1.4.1 Tujuan Umum ................................................................................... 7
1.4.2 Tujuan Khusus .................................................................................. 7
1.5 Manfaat ..................................................................................................... 8
1.5.1 Bagi Puskesmas Rumah Susun ......................................................... 8
1.5.2 Bagi Masyarakat................................................................................ 8
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya .................................................................. 8
1.6 Ruang Lingkup ......................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 11
2.1 Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) ....................................................... 11
2.2 Penyebab ISPA ....................................................................................... 11
2.3 Tanda dan Gejala .................................................................................... 12
2.4 Mekanisme Terjadinya ISPA ................................................................. 14
xi
2.5 Diagnosis ISPA ...................................................................................... 14
2.6 Klasifikasi ISPA pada Balita .................................................................. 15
2.7 Penanganan ISPA ................................................................................... 16
2.8 Faktor Risiko ISPA ................................................................................ 17
2.8.1 Faktor Lingkungan Dalam Rumah .................................................. 17
2.8.2 Faktor Perilaku Penghuni Rumah ................................................... 24
2.8.3 Faktor Individu Balita ..................................................................... 27
2.9 Rumah Susun .......................................................................................... 30
2.10 Kerangka Teori ....................................................................................... 33
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS .
....................................................................................................................... 36
3.1 Kerangka Konsep ................................................................................... 36
3.2 Definisi Operasional ............................................................................... 38
3.3 Hipotesis ................................................................................................. 41
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 42
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 42
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................. 42
4.3 Populasi dan Sampel .............................................................................. 43
4.3.1 Populasi ........................................................................................... 43
4.3.2 Sampel ............................................................................................. 43
4.4 Teknik Pengambilan Sampel .................................................................. 45
4.5 Manajemen Data ..................................................................................... 47
4.5.1 Pengumpulan Data .......................................................................... 47
4.5.2 Instrumen Penelitian........................................................................ 48
4.6 Validitas Data ......................................................................................... 49
4.7 Pengolahan Data ..................................................................................... 50
4.8 Analisis Data .......................................................................................... 51
xii
4.8.1 Analisis Univariat ........................................................................... 51
4.8.2 Analisis Bivariat .............................................................................. 52
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 53
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian................................................................... 53
5.2 Analisis Univariat ................................................................................... 55
5.2.1 Keluhan Gejala ISPA pada Balita ................................................... 55
5.2.2 Distribusi Kepadatan Hunian .......................................................... 56
5.2.3 Distribusi Kelembaban Udara Dalam Ruang .................................. 56
5.2.4 Distribusi Suhu Udara Dalam Ruang .............................................. 57
5.2.5 Distribusi Kebiasaan Membuka Jendela ......................................... 58
5.2.6 Distribusi Status Merokok Anggota Keluarga ................................ 58
5.3 Analisis Bivariat ..................................................................................... 59
5.3.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA pada
Balita ......................................................................................................... 60
5.3.2 Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita ........................................................................................ 61
5.3.3 Hubungan Suhu Udara Dalam Ruang dengan Keluhan Gejala ISPA
Balita ......................................................................................................... 62
5.3.4 Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan Gejala
ISPA Balita ................................................................................................... 63
5.3.5 Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita ........................................................................................ 64
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................... 66
6.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 66
6.2 Gambaran Keluhan Gejala ISPA Balita ................................................. 66
6.3 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA
Balita 67
6.4 Analisis Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita ............................................................................................ 70
xiii
6.5 Analisis Hubungan Suhu Udara Dalam Ruang dengan Keluhan gejala
ISPA Balita ....................................................................................................... 72
6.6 Analisis Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan Gejala
ISPA Balita ....................................................................................................... 75
6.7 Analisis Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita ........................................................................................... 77
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 81
7.1 Simpulan ................................................................................................. 81
7.2 Saran ....................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 84
LAMPIRAN ........................................................................................................ 91
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi ISPA pada Balita................................................................. 15
xiv
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Menurut Tempat Lahir .......... 29
Tabel 2.3 Daftar Rumah Susun Sederhana Menurut Kota Administrasi di DKI
Jakarta Tahun 2015 ............................................................................................... 31
Tabel 4.1 Tabel Perhitungan Sampel .................................................................... 44
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Gejala ISPA pada Balita di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017 ........................................................................................................... 55
Tabel 5.2 Distribusi Kepadatan Hunian di Rumah Susun Marunda Tahun 2017 . 56
Tabel 5.3 Distribusi Kelembaban Udara Dalam Ruang di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017 ........................................................................................................... 57
Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara Dalam Ruang di Rumah Susun Marunda Tahun
2017 ....................................................................................................................... 57
Tabel 5.5 Distribusi Kebiasaan Membuka Jendela di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017 ........................................................................................................... 58
Tabel 5.6 Distribusi Status Merokok Anggota Keluarga di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017 ........................................................................................................... 59
Tabel 5.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA pada Balita
Tahun 2017 ........................................................................................................... 60
Tabel 5.8 Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang dengan Keluhan Gejala
ISPA Balita di Rumah Susun Marunda Tahun 2017 ............................................ 61
Tabel 5.9 Hubungan Suhu udara Dalam Ruang dengan Keluhan Gejala ISPA
Balita di Rumah Susun Marunda Tahun 2017 ...................................................... 62
Tabel 5.10 Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan Gejala ISPA
Balita di Rumah Susun Marunda Tahun 2017 ...................................................... 63
xv
Tabel 5.11 Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Keluhan Gejala
ISPA pada Balita di Rumah Susun Marunda Tahun 2017 .................................... 65
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Teori .................................................................................... 35
Bagan 3.1 Kerangka Konsep ................................................................................. 37
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Contoh Daftar Pengambilan Sampel ................................................. 45
Gambar 5.1 Peta Situasi Rumah Susun Marunda ................................................. 53
Gambar 5.2 Peta Rumah Susun Marunda Jakarta Utara ....................................... 54
xvii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan
penyakit berbasis lingkungan yang disebabkan oleh kualitas udara yang
buruk. Penyakit ini menjadi perhatian global karena merupakan salah satu
penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak usia bawah lima tahun
(Balita) di dunia (Shibata et al., 2014). Menurut WHO, sebanyak 1,9 juta
balita meninggal akibat ISPA tiap tahunnya (Simoes et al., 2006). Sekitar
70% kasus ISPA terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (Shibata et al., 2014).
Berdasarkan penelitian epidemiologis, diperkirakan kejadian ISPA di negara
berkembang mencapai 25% pada anak yang berumur di bawah lima tahun
(Prabahar, 2017). Sementara itu, Indonesia menempati peringkat ke lima
sebagai negara dengan kejadian ISPA terbanyak di dunia (Kementerian
Kesehatan RI, 2012).
ISPA merupakan penyebab utama kunjungan pasien di puskesmas
(40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) di Indonesia (Kementerian
Kesehatan RI, 2012). Menurut data Riskesdas, diketahui period prevalence
kasus ISPA pada tahun 2007 sebesar 25,5%. dan menurun menjadi 25%
pada tahun 2013 (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Proporsi angka
mortalitas balita akibat ISPA menempati urutan kedua terbesar setelah diare
2
(Kementerian Kesehatan RI, 2012). Sementara itu, period prevalence kasus
ISPA di DKI Jakarta pada tahun 2013 lebih tinggi dari period prevalence
nasional yaitu sebesar 25,2%. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian ISPA
pada balita masih menjadi masalah yang serius di ibukota.
Udara merupakan komponen lingkungan utama dalam penyebaran
ISPA. Hal ini karena udara merupakan media transmisi bagi debu, virus
ataupun bakteri penyebab ISPA. Udara dapat dikelompokkan menjadi udara
luar ruang dan udara dalam ruang (Fitria, Wulandari, Hermawati, &
Susanna, 2008). Meningkatnya polusi udara akibat aktivitas industri dan
transportasi mengakibatkan menurunnya kualitas udara luar ruang (udara
ambien). Selain kualitas udara ambien, kualitas udara dalam ruang juga
dapat memengaruhi kesehatan masyarakat. Pada tahun 2010 diketahui,
sekitar 1,6 juta jiwa meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh
pencemaran udara dalam ruang (Perez-Padilla, Schilmann, & Riojas-
Rodriguez, n.d., 2010). Kelompok masyarakat yang berisiko terkena ISPA
akibat kualitas udara dalam ruang adalah wanita dan anak-anak. Hal ini
karena sebagian besar waktu wanita dan anak-anak dihabiskan di dalam
rumah.
Berdasarkan penelitian yang menghubungkan antara ISPA dan
kualitas udara dalam ruang, diketahui bahwa kualitas udara dalam ruang
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kejadian ISPA pada balita
(Shibata et al., 2014). Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kualitas
3
udara dalam ruang, antara lain; faktor perilaku penghuni, faktor lingkungan
dalam rumah dan luar rumah. Faktor lingkungan dalam rumah yang
berpengaruh terhadap kualitas udara, antara lain; jenis dinding, jenis lantai,
luas ventilasi, kepadatan hunian (Fitria et al., 2008) dan pencemaran udara
dalam ruang (Yuwono, 2008). Sementara faktor lingkungan luar dipengaruhi
oleh suhu dan kelembaban luar ruang serta zat pencemar di udara ambien.
Pengaruh faktor perilaku penghuni seperti kebiasaan merokok dalam rumah
(Marianta, 2015), kebiasaan membuka jendela dan penggunaan bahan bakar
yang tidak ramah lingkungan (Suryani, 2015) juga dapat memengaruhi
kualitas udara dalam rumah dan berdampak bagi kesehatan penghuninya.
Sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta merupakan salah
satu kota terpadat di Indonesia. Kepadatan di ibukota disebabkan oleh
banyaknya masyarakat rural di Indonesia yang tertarik untuk bekerja dan
memperbaiki kehidupannya di Jakarta. Jumlah penduduk Kota Jakarta pada
tahun 2015 mencapai 10.177.924 jiwa dengan kepadatan penduduk sebesar
15.366,87 jiwa per 1 km2
(Badan Pusat Statistik, 2016). Tingginya jumlah
penduduk, tidak sebanding dengan ketersediaan lahan untuk pemukiman di
Jakarta. Oleh karena itu, Pemerintah DKI Jakarta membuat alternatif solusi
dengan membangun rumah susun. Rumah susun di Jakarta telah tersebar di
48 lokasi dengan unit terbanyak berada di daerah Jakarta Utara. Total
4
jumlah unit rumah susun di Jakarta Utara sebanyak 6.746 unit (Badan Pusat
Statistik, 2015).
Rumah susun yang memiliki unit terbanyak di Jakarta adalah
Rumah Susun Marunda yang terletak di Jakarta Utara, dengan total unit
sebanyak 2.580 unit (Badan Pusat Statistik, 2016). Jumlah ini merupakan
unit yang terbanyak di Jakarta dan berpengaruh terhadap kepadatan di
Rumah Susun Marunda. Pada beberapa studi diketahui bahwa kepadatan
hunian dapat memengaruhi kondisi kualitas udara dalam ruang (Suryani,
2015). Hal ini dikarenakan semakin banyak penghuni maka produksi uap air
dan CO2 dalam ruang akan meningkat. Meningkatnya kelembaban dan kadar
CO2 dapat meningkatkan potensi perkembangan bakteri patogen penyebab
ISPA (Zamrud & Kalenggo, 2012).
Apabila ditinjau dari segi lokasi, Rumah Susun Marunda termasuk
dalam area yang berisiko untuk berkembangnya penyakit ISPA. Hal ini
karena letak Rumah Susun Marunda yang berada dalam Kawasan Berikat
Nusantara (KBN) Jakarta Utara. KBN merupakan kawasan industri yang
memiliki kualitas udara ambien yang rendah. Terbukti dengan hasil
pengukuran kualitas udara ambien di sekitar KBN dengan parameter TSP
(Total Suspended Solid) yang telah melebihi nilai baku mutu, yaitu sebesar
411 µg/m3 per 24 jam dengan nilai baku mutu sebesar 230 µg/m
3 per 24 jam
(Kementerian Lingkungan Hidup, 2016). Hasil pengukuran tersebut
5
menunjukkan bahwa masyarakat yang tinggal di Rumah Susun Marunda
berpotensi untuk mengalami ISPA. Hal ini karena TSP atau debu dapat
memicu terjadinya ISPA, khususnya pada balita.
Untuk memenuhi kebutuhan dalam pelayanan kesehatan, penghuni
Rumah Susun Marunda, terdapat Klinik Puskesmas Rumah Susun Marunda
berada di bawah wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Cilincing.
Berdasarkan studi pendahuluan berupa telaah data dan wawancara diketahui
prevalensi kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Kecamatan Cilincing
pada tahun 2015 mencapai 60 kasus per 1000 balita dan angka ini meningkat
pada tahun 2016 sebesar 67 kasus per 1000 balita. Sementara itu, insiden
kejadian ISPA pada balita per bulan Januari hingga Maret 2017 mencapai
28,8% yang didapatkan dari laporan register MTBS (Manajemen Terpadu
Balita Sehat) Klinik Puskesmas Rumah Susun Marunda. Berdasarkan
wawancara dengan Kepala Puskesmas Rumah Susun Marunda dan
pemegang program MTBS Klinik Puskesmas Rumah Susun Marunda,
diketahui bahwa ISPA merupakan penyakit nomor satu pada balita di
Rumah Susun Marunda.
Gambaran kejadian ISPA pada balita dan kondisi udara di
lingkungan sekitar Rumah Susun Marunda yang bermasalah merupakan
masalah kesehatan lingkungan yang menarik untuk diteliti. Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan faktor
6
lingkungan dalam rumah yang dapat memengaruhi kejadian ISPA pada
balita di Rumah Susun Marunda.
1.2 Rumusan Masalah
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa insidens kejadian
ISPA di Klinik Puskemas Rumah Susun Marunda per Januari hingga Maret
2017 mencapai 28,8%. Selain itu, berdasarkan wawancara dengan Kepala
Klinik Puskesmas Rumah Susun Marunda, diketahui bahwa ISPA
merupakan penyakit nomor satu pada balita di Rumah Susun Marunda.
Berdasarkan gambaran kejadian ISPA pada balita dan kondisi
lingkungan Rumah Susun Marunda, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian terkait hubungan faktor lingkungan dalam rumah terhadap
kejadian ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda. Selain itu, belum ada
penelitian sebelumnya mengenai kondisi lingkungan dalam ruang yang
dihubungkan dengan kejadian ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda.
Hasil dari penelitian ini dapat menjadi sumber informasi untuk mengurangi
jumlah kasus ISPA pada balita penghuni rumah susun.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun
Marunda pada tahun 2017?
2. Bagaimana distribusi faktor lingkungan dalam rumah (kepadatan hunian,
kelembaban udara dalam ruang dan suhu udara dalam ruang) dan perilaku
penghuni (kebiasaan membuka jendela dan status merokok anggota
7
keluarga) di rumah balita dengan gejala ISPA di Rumah Susun Marunda
pada tahun 2017?
3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik
dalam ruang (kepadatan hunian, kelembaban udara dalam ruang dan suhuh
udara dalam ruang) dan perilaku penghuni (kebiasaan membuka jendela
dan status merokok anggota keluarga) dengan keluhan gejala ISPA pada
balita di Rumah Susun Marunda tahun 2017?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara
faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan gejala ISPA pada balita di
Rumah Susun Marunda pada tahun 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun
Marunda pada tahun 2017.
2. Mengetahui distribusi faktor lingkungan dalam rumah (kepadatan hunian,
kelembaban udara dalam ruang dan suhu udara dalam ruang) dan perilaku
penghuni (kebiasaan membuka jendela dan status merokok anggota
keluarga) di rumah balita dengan gejala ISPA di Rumah Susun Marunda
pada tahun 2017.
3. Mengetahui adanya hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan
fisik dalam ruang (kepadatan hunian, kelembaban udara dalam ruang dan
8
suhuh udara dalam ruang) dan perilaku penghuni (kebiasaan membuka
jendela dan status merokok anggota keluarga) dengan keluhan gejala ISPA
pada balita di Rumah Susun Marunda tahun 2017.
1.5 Manfaat
1.5.1 Bagi Puskesmas Rumah Susun
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi untuk
perencanaan program preventif dan promotif dalam menurunkan
keluhan gejala ISPA pada balita yang tinggal di rumah susun.
1.5.2 Bagi Masyarakat
Masyarakat dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai
sumber informasi mengenai faktor lingkungan dalam rumah yang
memengaruhi keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun
Marunda.
1.5.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti selanjutnya dapat menjadikan hasil penelitian ini
sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor lingkungan maupun faktor lain yang memengaruhi
keluhan gejala ISPA pada balita.
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan menunjukkan
hubungan antara faktor lingkungan dalam rumah dengan keluhan gejala ISPA
9
pada balita di Rumah Susun Marunda. Kualitas udara dalam ruang dipengaruhi
oleh beberapa faktor, antara lain; faktor lingkungan dalam ruang dan luar ruang,
faktor perilaku penghuni dan faktor karakteristik individu balita. Faktor
lingkungan dalam ruang yang akan diteliti berupa suhu dan kelembaban dalam
ruang serta kepadatan hunian. Faktor perilaku penghuni yang akan diteliti adalah
penggunaan obat nyamuk, kebiasaan membuka jendela dan status merokok
anggota keluarga.
Penelitian ini dilakukan pada Bulan April 2017 hingga Juli 2017. Desain
studi yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross sectional. Sumber data
penelitian berasal dari data sekunder dan primer. Data sekunder yang digunakan
adalah data jumlah kasus ISPA pada balita yang berasal dari Laporan MTBS
(Manajemen Terpadu Balita Sehat) Klinik Puskesmas Rumah Susun Marunda dan
daftar balita penghuni Rumah Susun berdasarkan data Posyandu Klinik
Puskesmas Rumah Susun Marunda. Data balita penderita ISPA digunakan untuk
menggambarkan kejadian ISPA di Rumah Susun Marunda. Sementara data balita
penghuni Rumah Susun Marunda digunakan untuk menghitung insiden kejadian
ISPA dan dijadikan frame sampling untuk pengambilan sampel penelitian. Data
primer yang digunakan adalah data mengenai faktor-faktor yang memengaruhi
kualitas udara dalam ruang berupa; suhu dalam ruang, kelembaban dalam ruang,
kepadatan hunian, penggunaan obat nyamuk, kebiasaan membuka jendela dan
kebiasaan merokok anggota keluarga.
10
11
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA)
Infeksi Saluran Napas Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang
menyerang satu bagian atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung
hingga alveolus. ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh agen
infeksius dan dapat ditularkan dari manusia ke manusia (WHO, 2007).
Infeksi ini dapat menyerang saluran napas atas maupun bawah (Simoes et
al., 2006). Penyakit ISPA pada saluran napas bagian atas, meliputi;
faringitis, rhinitis, otitis media, sinusitis dan difteri. Sementara itu, ISPA
pada bagian saluran napas bawah, yaitu; bronkitis dan pneumonia (WHO,
2001).
2.2 Penyebab ISPA
Pada umumnya terdapat tiga penyebab utama ISPA, antara lain ;
virus, bakteri dan jamur (Lima, 2012) serta polutan udara (WHO, 2009).
Agen biologis yang dapat menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan,
antara lain:
- Streptococcus pneumoniea adalah bakteri penyebab pneumonia.
- Respiratory Syncytial Virus (RSV), rhinovirus , severe acute respiratory
syndrome associated coronavirus (SARS) dan avian influenza virus
merupakan beberapa contoh virus yang menyebabkan infeksi pada
12
saluran pernapasan. Virus yang paling berbahaya dan pernah menjadi
epidemi dan pandemi di dunia adalah virus SARS dan flu burung. Kedua
virus tersebut menimbulkan kekhawatiran masyarakat internasional
karena menyebabkan wabah dengan angka morbiditas dan mortalitas
yang tinggi (WHO, 2007).
- Cryptococcus neoformans merupakan jenis jamur yang dapat
menyebabkan infeksi pada saluran pernapasan (WHO, 2007).
Selain agen biologis, agen kimia seperti zat – zat pencemar di
udara juga dapat memicu terjadinya infeksi pada saluran pernapasan. Zat
pencemar udara ambien dapat dipantau dengan melihat nilai Indeks Standar
Pencemaran Udara (ISPU). Zat pencemar yang berpotensi menimbulkan
infeksi pada saluran pernapasan diantaranya adalah karbon monoksida dan
kadar partikulat di udara (Awaluddin, 2016).
2.3 Tanda dan Gejala
Tanda klinis adalah hal – hal yang dapat diobservasi atau diamati
oleh orang lain selain penderita. Pada kejadian ISPA, tanda klinis yang
sering muncul, antara lain; demam tinggi (>38oC), hidung berair, batuk dan
radang tenggorokan (WHO, 2007). Akan tetapi, gejala yang timbul pada
masing-masing infeksi saluran pernapasan akan berbeda. Tanda khusus yang
terlihat pada anak yang terkena ISPA di saluran napas bagian bawah adalah
pernapasan cuping hidung dan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
13
(Hananto & Hapsari, 2010). Sedangkan gejala adalah tanda yang hanya
dapat
14
dirasakan oleh penderita. Untuk kasus ISPA, gejala yang timbul pada
penderita antara lain; hidung tersumbat, lelah dan lemas (Krishna, 2013).
2.4 Mekanisme Terjadinya ISPA
ISPA merupakan salah satu penyakit berbasis lingkungan yang
menyebar melalui udara atau biasa disebut airborne disease (WHO, 2007).
Penyakit ini dapat menular apabila virus atau bakteri yang terbawa dalam
droplet penderita terhirup oleh orang sehat. Droplet penderita dapat
disebarkan melalui batuk atau bersin dari penderita (Hananto & Hapsari,
2010). Proses terjadinya penyakit setelah agent penyakit terhirup
berlangsung dalam masa inkubasi selama 1 sampai 4 hari untuk berkembang
dan menimbulkan gejala ISPA (Shibata et al., 2014).
2.5 Diagnosis ISPA
Diagnosis ISPA dilakukan dengan anamnesis atau wawancara
mengenai riwayat penyakit dengan dokter. Selain itu, pemeriksaan fisik dan
laboratorium juga diperlukan untuk kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut
(Kusumawati, 2010). Pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan suara
napas serta pemeriksaan hidung dan tenggorokan. Dalam sistem pelaporan
penyakit ISPA, diagnosis ISPA dapat berupa ISPA (non pnuemonia) atau
Batuk Bukan Pneumonia dan ISPA pneumonia. Suatu kasus didiagnosis
ISPA non pneumonia apabila timbul gejala seperti: common cold, faringitis,
tonsillitis, dan otitis. Sementara untuk ISPA pneumonia ditandai dengan
15
gejala khusus berupa tarikan dinding dada (Kementerian Kesehatan RI,
2012).
2.6 Klasifikasi ISPA pada Balita
Kejadian ISPA pada balita dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
kelompok berdasarkan tingkat keparahannya. Klasifikasi tingkat keparahan
ISPA pada balita dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Klasifikasi ISPA pada Balita
Kelompok Umur Klasifikasi Tanda Penyerta Selain Batuk dan atau
Sukar Bernapas
2 Bulan - <5
tahun
Pneumonia Berat Tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam (chest indrawing)
Pneumonia Napas cepat sesuai dengan golongan umur
- 2 bulan - <1 tahun : 50 kali atau
lebih/menit
- 1 - <5 tahun : 40 kali atau
lebih/menit
Bukan Pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam
<2 bulan Pneumonia Berat Napas cepat > 60 kali atau lebih per menit
atau Tarikan kuat dinding dada bagian
16
Kelompok Umur Klasifikasi Tanda Penyerta Selain Batuk dan atau
Sukar Bernapas
bawah ke dalam.
Bukan Pneumonia Tidak ada napas cepat dan tidak ada tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam
2.7 Penanganan ISPA
ISPA dapat disebabkan oleh beberapa agent, yaitu bakteri, virus,
jamur dan debu. Penanganan ISPA pun diklasifikasikan berdasarkan
penyebabnya (Krishna, 2013), antara lain:
1. ISPA disebabkan oleh virus.
Pada kasus ISPA yang disebabkan oleh virus, penderita tidak
memerlukan pengobatan secara medis. Penderita hanya perlu beristirahat
yang cukup, makan dan minum yang sehat selama 2 hingga 3 hari.
2. ISPA disebabkan oleh bakteri dan jamur
Pada kasus ISPA akibat bakteri atau jamur, penderita memerlukan
antibiotik atau anti jamur untuk membunuh bakteri ataupun
menghentikan pertumbuhan jamur.
3. ISPA disebabkan oleh debu
Debu dapat menyebabkan reaksi alergi di saluran pernapasan. Reaksi
alergi terjadi akibat interaksi zat alergen, salah satunya debu, dengan
17
imun tubuh yang menyebabkan terlepasnya beberapa zat mediator yang
bersifat vasodilator. Pada kasus ISPA akibat debu maka diperlukan obat
anti alergen, istirahat cukup dan perbaikan asupan gizi.
2.8 Faktor Risiko ISPA
Proses terjadinya suatu penyakit dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor risiko. Faktor risiko adalah keadaan yang dapat menyebabkan dimana
seseorang yang rentan menjadi sakit atau seseorang yang sakit menjadi lebih
parah (Kementerian Kesehatan RI, 2012). Berdasarkan WHO (2016), faktor
risiko penyakit ISPA pada anak sangat rentan terjadi apabila kondisi daya
tahan tubuh anak rendah. Daya tahan tubuh anak dipengaruhi oleh asupan
gizi, status imunisasi dan pemberian ASI eklusif pada anak (WHO, 2016).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa faktor risiko ISPA
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain; faktor lingkungan dalam
rumah (Hananto & Hapsari, 2010), faktor perilaku penghuni rumah (Sinaga,
Suhartono, & D., 2009) serta faktor individu balita seperti status gizi dan
status imunisasi (Sugihartono & Nurjazuli, 2012).
2.8.1 Faktor Lingkungan Dalam Rumah
Kualitas udara dalam ruang dapat memengaruhi kesehatan
penghuninya. Salah satu penyebab ISPA adalah rendahnya kualitas
udara dalam ruang (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Faktor yang
dapat memengaruhi kualitas udara, antara lain; kepadatan hunian,
18
suhu dan kelembaban udara dalam ruang, jumlah bakteri patogen
dalam udara, luas ventilasi, jenis lantai dan jenis dinding (Caesar &
W, 2015). Selain itu, pencemaran udara luar dan dalam ruang juga
dapat memengaruhi kesehatan penghuni rumah.
A. Kepadatan hunian
Kepadatan hunian berpengaruh negatif terhadap kesehatan
penghuninya karena hunian yang padat dapat memudahkan
penularan penyakit (Sinaga et al., 2009). Kepadatan hunian dapat
memengaruhi kelembaban karena semakin banyak penghuni
maka semakin banyak uap air dan CO2. Meningkatnya uap air
dan CO2 akan menurunkan kadar oksigen yang berdampak pada
penurunan kualitas udara dalam rumah (Zamrud & Kalenggo,
2012). Kepadatan hunian yang memenuhi syarat adalah apabila
luas lantai seluruh rumah dibagi dengan jumlah penghuni <10 m2
(Marianta, 2015). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian
ISPA seperti pada penelitian Sugihartono (2012) dan Sinaga
(2009) dengan Pvalue sebesar 0,000.
B. Suhu udara dalam ruang
Salah satu faktor penting dalam perkembangan bakteri
patogen di udara dalam ruang adalah suhu (Caesar & W, 2015).
Suhu optimum untuk tumbuh dan berkembangnya bakteri
19
patogen yaitu pada suhu 37,5oC. Menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No.1077/MENKES/PER/V/2011
tentang Pedoman Penyehatan Udara Dalam Ruang Rumah, syarat
suhu ideal dalam ruang adalah 18oC-30
oC. Berdasarkan
penelitian sebelumnya oleh Caesar (2015) diketahui bahwa tidak
ada hubungan signifikan antara suhu dalam ruang dengan
kejadian ISPA dengan Pvalue 0,101. Akan tetapi, berdasarkan
penelitian Wulandari (2014) diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara suhu dengan kejadian ISPA dengan pvalue
sebesar 0,001.
C. Kelembaban udara dalam ruang
Kelembaban adalah jumlah persentase uap air di udara
dalam ruang. Kelembaban udara dipengaruhi oleh sirkulasi udara
dalam rumah dan pencahayaan alami rumah (Suryani, 2015).
Kelembaban udara dapat memengaruhi kualitas udara dalam
ruang karena udara yang lembab dapat meningkatkan
pertumbuhan kuman dan bakteri patogen penyebab ISPA di
udara (Sugihartono & Nurjazuli, 2012). Menurut Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1077/MENKES/PER/V/2011, syarat untuk kelembaban
dalam rumah adalah kelembaban dengan persentase 40% - 60%.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan yang
20
signifikan antara kelembaban dalam ruang dengan kejadian ISPA
seperti pada Yuwono (2008) dengan Pvalue sebesar 0,019 dan
Sinaga (2009) dengan Pvalue sebesar 0,012.
D. Keberadaan bakteri patogen di udara dalam ruang
Bakteri patogen penyebab ISPA, Streptococcus
pneumoniea, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, dan
Pseudomonas aeruginosa, dapat ditransmisikan melalui udara
(Zamrud & Kalenggo, 2012). Keadaan optimum untuk
pertumbuhan bakteri – bakteri patogen tersebut adalah 37oC
dengan kelembaban optimum sebesar 85%. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Caesar (2015) diketahui bahwa
tidak ada hubungan yang signifikan antara keberadaan bakteri
patogen di udara dalam ruang dengan Pvalue sebesar 0,101. Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Wulandari (2013) diketahui
bahwa terdapat hubungan antara kelembaban dengan keberadaan
bakteri Streptococcus sp. dengan Pvalue sebesar 0,010.
E. Luas ventilasi
Ventilasi adalah saluran udara untuk pertukaran udara segar
ke dalam rumah (Suryani, 2015). Pertukaran udara yang buruk
dapat menimbulkan gangguan kesehatan bagi penghuni rumah.
Dalam penempatannya, ventilasi sebaiknya dilatekkan secara
21
cross ventilation dengan menempatkan dua ventilasi berhadapan
antar dinding(Oktaviani, 2015).
Melihat pentingnya keberadaan ventilasi yang memadai,
pemerintah menetapkan persyaratan luas ventilasi (Marianta,
2015). Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1077/MENKES/PER/V/2011, ditetapkan bahwa ventilasi
termasuk memenuhi syarat apabila luasnya minimal 10% dari
luas lantai (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Berdasarkan
penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA
seperti pada Yuwono (2008) dengan Pvalue 0,001.
F. Jenis lantai
Jenis lantai rumah dapat menjadi media perkembangbiakan
bakteri penyebab ISPA. Keadaan lantai yang lembab merupakan
kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan bakteri
patogen (Oktaviani, 2015). Berdasarkan penelitian sebelumnya
oleh Sugihartono (2012) diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara jenis lantai dengan kejadian ISPA dengan
Pvalue sebesar 0,000. Hasil penelitian Yuwono (2008)
menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan jenis
lantai yang tidak memenuhi syarat berisiko 3,9 kali lebih besar
22
terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dengan
jenis lantai yang memenuhi syarat.
G. Jenis dinding
Pemilihan bahan dasar bangunan untuk pembangunan
rumah dapat memengaruhi kondisi sanitasi fisik bangunan
tersebut. Dinding rumah sebaiknya menggunakan dinding yang
tidak mengandung bahan bangunan berbahaya seperti asbes
(Gordon et al., 2014). Jenis dinding yang baik untuk hunian
harus dapat dibersihkan sehingga tidak menyebabkan
penumpukan debu ataupun lembab (Oktaviani, 2015). Hasil
penelitian Supraptini (2010) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara jenis dinding dengan kejadia
ISPA dengan pvalue sebesar 0,002.
H. Pencemaran udara luar
Meningkatnya pertumbuhan industri memberikan dampak
negatif terhadap kualitas lingkungan. Limbah industri yang tidak
diolah dengan baik akan menurunkan kualitas lingkungan. Salah
satu limbah industri yang dapat menimbulkan pencemaran udara
adalah limbah gas emisi dari mesin produksi dan transportasi.
Pencemaran udara adalah kontaminasi udara luar maupun dalam
ruang oleh polutan kimia, fisik ataupun biologis (Farmer, Nelin,
Falvo, & Wold, 2014).
23
Pencemaran udara dapat berpengaruh langsung terhadap
sistem pernapasan manusia. Zat pencemaran udara yang
ditemukan mencemari lingkungan dan berpengaruh terhadap
kesehatan manusia, antara lain; sulfur dioksida, nitrogen oksida,
karbon dioksida, hidrokarbon dan partikulat (Slamet, 2011).
Berdasarkan beberapa penelitian diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kualitas udara ambien yang
dilihat dari nilai ISPU dengan kejadian ISPA pada balita (Bangun
& Soebijanto, 2007). Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan
(2016) juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara nilai ISPU dengan kejadian ISPA dengan nilai pvalue
sebesar 0,000.
I. Pencemaran udara dalam rumah
Sekitar 7 juta kematian terjadi tiap tahunnya di dunia akibat
polusi udara dan 60% diantaranya diakibatkan oleh polusi udara
dalam ruang (Farmer et al., 2014). Masalah pencemaran udara
dalam ruang di negara-negara berkembang pada umumnya
berasal dari bahan bakar untuk memasak, asap rokok penghuni
rumah dan penggunaan obat nyamuk (Smith, Samet, Romieu, &
Bruce, 2000) Pencemaran udara dalam rumah sangat
berpengaruh terhadap kesehatan penghuninya. Selain zat kimia
dan debu, pencemaran udara juga dapat berupa bakteri patogen
24
yang dibawa oleh binatang peliharaan dan serangga. Bakteri atau
organisme yang tersebar dalam ruang dikenal dengan istilah
bioaerosol (Wulandari, 2014).
Dampak pencemaran udara dalam ruang bagi penghuni,
antara lain; iritasi pada selaput lendir, mata dan hidung, sakit
tenggorokan, batuk dan pilek hingga gangguan paru dan sistem
pernapasan (Wulandari, 2014). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Shibata (2014) menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan signifikan antara pencemaran udara dalam ruang
dengan kejadian ISPA pada balita dengan Pvalue sebesar 0,23.
Hal berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian Yuwono (2008)
yang membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan
antara faktor pencemaran udara dalam ruang dengan kejadian
ISPA pada balita dengan Pvalue sebesar 0,011.
2.8.2 Faktor Perilaku Penghuni Rumah
A. Perilaku merokok anggota keluarga
Salah satu sumber pencemaran dalam ruang adalah asap
rokok. Sebatang rokok mengandung berbagai zat berbahaya
seperti tar, nikotin. Karbon monoksida merupakan salah satu
hasil pembakaran tidak sempurna dari rokok yang dapat
mengikat oksigen lebih kuat dibandingkan hemoglobin dalam
darah (Nurjanah, Lily, & Mufid, 2014). Perokok pasif lebih
25
berisiko terkena gangguan kesehatan dibandingkan perokok
aktif. Hal ini karena kandungan zat kimia berbahaya yang dihirup
oleh perokok pasif lebih banyak dan berbahaya dibandingkan
perokok aktif (Muhammad, 2009). Risiko balita untuk terkena
ISPA akan meningkat apabila tinggal dirumah yang penghuninya
perokok. Perilaku merokok anggota keluarga yang merokok
dalam ruang lebih berpotensi menimbulkan masalah terhadap
kesehatan balita karena balita akan menjadi perokok pasif
(Sugihartono & Nurjazuli, 2012). Asap yang keluar dari ujung
rokok yang terbakar, asap samping, terbukti mengandung karbon
monoksida 5 kali lebih besar, tar dan nikotin 3 kali lipat,
ammonia 46 kali lipat, nikel 3 kali lipat dan zat penyebab kanker
lainnya yang kadarnya mencapai 50 kali lebih besar dibanding
asap yang dihirup perokok (Winarni, 2010). Asap perokok pasif
mengandung 4000 jenis senyawa racun dan telah di kategorikan
oleh EPA (Environmental Protection Agency) sebagai kelompok
zat karsinogen kelas A (human carcinogent) (Yuwono, 2008).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara perilaku merokok anggota
keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian yang
menunjukkan adanya hubungan tersebut antara lain, seperti
penelitian yang dilakukan oleh Raja (2014) dengan pvalue
26
sebesar 0,001, Irma (2013) dengan pvalue sebesar 0,002 dan
Sugihartono (2012) dengan pvalue sebesar 0,002. Berdasarkan
penelitian oleh Yuwono (2008) diketahui bahwa balita dengan
orang tua perokok memiliki risiko 2,7 kali lebih besar terkena
ISPA dibandingkan dengan balita dengan orang tua bukan
perokok. Pada hasil penelitian lainnya oleh Supraptini (2010).
Hal yang berbeda terdapat pada hasil penelitian Shibata (2014)
yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan
antara perilaku merokok orang tua dengan kejadian ISPA pada
balita dengan Pvalue sebesar 0,79.
B. Kebiasaan membuka jendela
Kualitas udara luar ruang juga dapat memengaruhi kualitas
udara dalam ruang. Kebiasaan membuka jendela merupakan hal
yang memengaruhi sirkulasi udara dari luar ruang ke dalam
ruang (Suryani, 2015). Berdasarkan beberapa penelitian
diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kebiasaan membuka jendela dengan kejadian ISPA. Penelitian
yang menunjukkan adanya hubungan tersebut dilakukan oleh
Suryani (2015) dengan pvalue sebesar 0,001 dan Desi (2015)
dengan pvalue sebesar 0,001. Hasil penelitian Desi (2015) pun
menunjukkan bahwa penghuni rumah dengan jendela terbuka
setiap hari memiliki risiko 3,838 kali lebih besar terkena ISPA.
27
C. Penggunaan bahan bakar
Sebagian besar penduduk di negara berkembang masih
bergantung pada bahan bakar tidak ramah lingkungan seperti
batu bara, kayu bakar serta tanaman kering untuk memenuhi
kebutuhan domestik. Akibatnya kadar pencemar udara dalam
ruang di negara berkembang sangat tinggi. Hal ini berdampak
pada kesehatan penghuninya terutama bagi anak-anak yang
seringkali terpapar apabila dibawa ibunya saat memasak (Smith,
2016).
Berdasarkan beberapa penelitian, diketahui bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara penggunaan bahan bakar
dengan kejadian ISPA. Penelitian yang menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan dilakukan oleh Suryani (2015) dengan
pvalue sebesar 0,027 .
2.8.3 Faktor Individu Balita
A. Status Gizi Balita
Status gizi balita adalah hal yang perlu diperhatikan karena
rentan hubungannya terhadap kesehatan serta pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Balita yang mengalami kekurangan
gizi memiliki daya tahan tubuh dan respon imunologi yang
rendah sehingga membuatnya rentan terkena penyakit (Fillacano,
2013).
28
Hasil penelitian Sugihartono (2012) menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara status gizi balita dengan
kejadian ISPA dengan Pvalue sebesar 0,015. Balita dengan status
gizi kurang berisiko 2,5 kali lebih besar terkena ISPA
dibandingkan balita dengan status gizi normal (Gertrudis, 2010).
Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Irianto (2006) menunjukkan
bahwa tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan
kejadian ISPA.
B. Pemberian ASI ekslusif
Pemberian ASI ekslusif berarti bayi hanya diberikan asupan
ASI saja tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula dan air
putih selama 6 bulan. Pemberian ASI ekslusif penting bagi bayi
karena kandungan ASI dapat memberikan imunitas pada bayi
terhadap infeksi bakteri dan virus (Sugihartono & Nurjazuli,
2012). ASI juga mengandung kolostrum yang banyak
mengandung antibodi serta vitamin A yang dapat memberikan
perlindungan dari infeksi dan alergi (Zamrud & Kalenggo, 2012).
Hasil penelitian oleh Sugihartono (2012) menunjukkan
bahwa status pemberian ASI ekslusif memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian ISPA pada balita dengan Pvalue
sebesar 0,000. Balita yang tidak mendapatkan ASI ekslusif
29
berisiko 8,105 kali lebih besar terkena ISPA dibandingkan
dengan balita yang mendapatkan ASI ekslusif.
C. Status Imunisasi
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.42 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Imunisasi, imunisasi adalah usaha
yang dilakukan dalam pemberian vaksin pada tubuh seseorang
sehingga dapat menimbulkan kekebalan terhadap penyakit
tertentu. Terdapat dua jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan
pasif. Imunisasi aktif adalah Imunisasi dasar yang wajib
diberikan pada bayi umur 0-9 bulan, antara lain; hepatitis B,
BCG, Polio, DPT dan campak. Berikut adalah jadwal pemberian
imunisasi untuk bayi umur 0-9 bulan.
Tabel 2.2 Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Bayi Menurut
Tempat Lahir
Umur Vaksin Tempat
Bayi lahir di rumah
0 bulan HB1 Rumah
1 bulan BCG, Polio1 RS/RB/Bidan/Posyandu
2 bulan DPT1, HB2, Polio2 RS/RB/Bidan/Posyandu
3 bulan DPT2, HB3, Polio3 RS/RB/Bidan/Posyandu
30
Umur Vaksin Tempat
4 bulan DPT3, Polio4 RS/RB/Bidan/Posyandu
9 bulan Campak RS/RB/Bidan/Posyandu
Bayi lahir di RS/RB/Bidan
0 bulan HB1, Polio1, BCG RS/RB/Bidan
2 bulan DPT1, HB2, Polio2 RS/RB/Bidan/Posyandu
3 bulan DPT2, HB3, Polio3 RS/RB/Bidan/Posyandu
4 bulan DPT3, Polio4 RS/RB/Bidan/Posyandu
9 bulan Campak S/RB/Bidan/Posyandu
Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun 2013
Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai faktor risiko ISPA,
status imunisasi diketahui memiliki hubungan yang signifikan
dengan kejadian ISPA pada penelitian Sugihartono (2012)
dengan nilai pvalue sebesar 0,012. Akan tetapi, hasil penelitian
Lenni (2009) menunjukkan hasil yang bertentangan dengan nilai
pvalue sebesar 0,789.
2.9 Rumah Susun
Sebagai ibukota negara Indonesia, DKI Jakarta menjadi tempat yang
memiliki daya tarik bagi masyarakat Indonesia untuk tinggal dan mencari
pekerjaan. Hal ini karena Kota Jakarta merupakan pusat pemerintahan,
bisnis dan industri. Banyaknya masyarakat yang datang dan tinggal di
ibukota, membuat Jakarta menjadi salah satu kota terpadat di Indonesia.
31
Pemerintah DKI Jakarta berusaha untuk mengatasi kepadatan ibukota
dengan membangun rumah susun.
Salah satu solusi untuk mengatasi kepadatan Kota Jakarta adalah
dengan pembangunan rumah susun sederhana sewa. Menurut UU No. 20
Tahun 2011 tentang Rumah Susun, pengertian rumah susun adalah
bangunan tempat hunian yang dibangun dalam suatu lingkungan baik secara
horizontal maupun vertikal yang dibangun diatas tanah bersama dan dapat
dimiliki serta digunakan secara terpisah. Jumlah rumah susun di DKI Jakarta
tersebar di 48 lokasi (Badan Pusat Statistik, 2016). Distribusi rumah susun
dapat dilihat pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Daftar Rumah Susun Sederhana Menurut Kota Administrasi
di DKI Jakarta Tahun 2015
Kota Administrasi Jumlah Lokasi Luas Area (Ha) Jumlah
Unit
Jakarta Selatan 2 2,60 440
Jakarta Timur 15 46,29 5.486
Jakarta Pusat 10 5,96 2.695
Jakarta Barat 8 27,77 2.959
Jakarta Utara 13 50,52 6.746
DKI Jakarta 48 133,14 18.326
Sumber : Jakarta Dalam Angka Tahun 2016
Berdasarkan Tabel 2.3, diketahui bahwa jumlah unit rumah susun
terbanyak terletak di Kota Administratif Jakarta Utara dengan total unit
6.746 unit dengan jumlah unit terbanyak berada di Rumah Susun Marunda.
32
Berdasarkan penelitian Hendarto & Musa (2016) diketahui bahwa kondisi
rumah susun yang terlalu padat berpotensi dalam proses penularan
penyakit. Penelitian menunjukkan bahwa, tidak semua rumah susun di
Jakarta memiliki kualitas lingkungan fisik yang memenuhi standar. Kondisi
lingkungan fisik yang buruk tidak dapat mendukung terciptanya proses
kehidupan yang optimal, khususnya bagi anak-anak (Hendarto & Musa,
2016).
Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun,
pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan administratif,
teknis dan ekologis. Persyaratan administratif meliputi status hak atas tanah
dan surat izin mendirikan bangunan. Persyaratan teknis berupa tata lokasi
dan arsitektur serta syarat keandalan bangunan seperti aspek keselamatan,
kesehatan, kenyamanan dan kemudahan. Sementara persyaratan ekologis
pembangunan rumah susun meliputi keserasian dan keseimbangan fungsi
lingkungan tempat rumah susun didirikan.
Rumah Susun Marunda mulai didirikan pada tahun 2004. Rumah
Susun Marunda terdiri dari 4 klaster, yaitu klaster A, B, dan C. Klaster A
dan B terdiri dari 10 blok sementara Klaster C terdiri dari 5 blok. Tiap blok
di Rumah Susun Marunda terdiri dari 6 lantai dan satu lantai terdiri dari 20
unit rumah. Jumlah unit di Rumah Susun Marunda merupakan yang
33
terbanyak di Jakarta dengan total unit sebanyak 2.580 unit (Kementerian
Lingkungan Hidup, 2016).
Unit hunian di Rumah Susun Marunda merupakan hunian dengan tipe
unit hunian di Rumah Susun Marunda adalah rumah tipe 30 m2. Satu unit
hunian memiliki empat jendela berikut ventilasi udara diatas jendela. Jenis
lantai pada unit hunian di Rumah Susun Marunda berupa plester semen
(screed). Sumber air bersih penghuni berasal dari PDAM. Untuk keperluan
memeasak, penghuni menggunakan gas elpiji sebagai bahan bakar mereka.
2.10 Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan, maka keluhan
gejala penyakit ISPA pada balita dapat dijelaskan dengan menggunakan
pendekatan teori simpul. Menurut teori simpul, terdapat empat simpul yang
menentukan keadaan sehat atau sakitnya individu (Achmadi, 2009). Simpul
pertama yaitu keberadaan agent penyakit baik berupa bakteri, virus maupun
zat pencemar (WHO, 2007). Simpul kedua, yaitu media lingkungan yang
dapat menjadi media transmisi penyakit. Dalam kasus ISPA media
lingkungan yang dapat mentransmisikan penyakit adalah udara. Salah satu
hal yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita adalah kualitas udara
dalam ruang (Hananto & Hapsari, 2010). Adapun faktor yang dapat
memengaruhi kualitas udara dalam ruang, meliputi; faktor lingkungan
dalam dan luar rumah serta perilaku penghuni. Simpul ketiga adalah
34
keadaan individu balita yang meliputi; status gizi, imunisasi dan pemberian
ASI eksklusif (Sugihartono & Nurjazuli, 2012). Simpul terakhir adalah
keadaan sehat ataupun kejadian ISPA pada balita.
35
Keluhan Gejala
Infeksi Saluran
Pernapasan Akut
pada Balita
FAKTOR INDIVIDU
BALITA
Karakteristik Balita:
- Status Gizi
- Status Imunisasi
- ASI Eksklusif
FAKTOR
LINGKUNGAN
DALAM RUMAH
- Kelembaban
- Suhu
- Kepadatan Hunian
- Luas Ventilasi
- Jenis Lantai
- Jenis Dinding
- Pencemaran udara
dalam ruang
- Keberadaan bakteri
patogen di udara
FAKTOR PERILAKU
PENGHUNI
Kebiasaan merokok anggota
keluarga
Penggunaan bahan bakar
Kebiasaan membuka jendela
SUMBER
PENYAKIT
Agen Biologis:
- Virus
- Bakteri
- Jamur
Agen Kimia:
- Karbon
monoksida
- Partikulat
Kualitas Udara
Dalam Rumah
FAKTOR
LINGKUNGAN
LUAR RUMAH
- Kelembaban
- Suhu
- Pencemaran udara
luar ruang
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber:
(Hananto & Hapsari, 2010), (Sinaga et al., 2009) dan (Sugihartono & Nurjazuli, 2012)
36
3 BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka teori yang ada dalam penelitian ini, peneliti
ingin melihat hubungan antara faktor lingkungan dalam rumah dan perilaku
penghuni terhadap keluhan gejala ISPA pada balita. Variabel yang dipilih
untuk diteliti adalah variabel yang memiliki hubungan signifikan dalam
penelitian sebelumnya, yakni kepadatan hunian menurut Asriati (2012),
kelembaban menurut William J. Fisk (2010), suhu menurut Desi (2015),
kebiasaan membuka jendela menurut Desi (2015) dan kebiasaan merokok
anggota keluarga menurut Sugihartono (2012).
Faktor lingkungan dalam rumah seperti luas ventilasi, jenis dinding
dan jenis lantai serta lingkungan luar rumah tidak dijadikan variabel
penelitian karena kondisi di rumah susun yang homogen. Faktor individu
balita seperti status gizi, status imunisasi dan pemberian ASI eksklusif tidak
dijadikan variabel penelitian karena peneliti ingin berfokus kepada faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pada balita. Sementara itu, faktor
lingkungan biologis tidak dijadikan variabel penelitian karena peneliti
berfokus pada kategori ISPA non pneumonia. Pengukuran kualitas biologis
udara dalam ruang dikhawatirkan dapat menimbulkan bias pada penelitian
karena parameter tersebut biasa digunakan untuk mengetahui total bakteri
37
dalam udara yang dapat mengindikasikan ISPA pneumonia dan
tuberkulosis.
Keluhan Gejala
Infeksi Saluran
Pernapasan Akut
pada Balita
KUALITAS UDARA
DALAM RUMAH
Faktor Lingkungan Dalam
Rumah
- Kepadatan Hunian
- Kelembaban udara dalam
ruang
- Suhu udara dalam ruang
Faktor Perilaku Penghuni
- Kebiasaan membuka jendela
- Status merokok anggota
keluarga
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
38
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala
Ukur
1 Keluhan gejala
ISPA pada balita
Balita yang mengalami gejala ISPA
non pneumonia, yaitu: batuk, pilek,
demam >38oC dan radang
tenggorokan dalam 2 minggu
terakhir saat penelitian dilakukan
dan bertempat tinggal di Rumah
Susun Marunda.
Wawancara Kuesioner 0: Ya
1: Tidak
Ordinal
2 Kepadatan hunian Jumlah penghuni dalam suatu rumah
dibandingkan dengan luas rumah
responden.
Wawancara
Kuesioner
0: Padat (< 10 m2 per orang)
1: Tidak Padat (>10 m2 per
orang)
(Permenkes No. 1077 Th. 2011)
Ordinal
3 Kelembaban udara Persentase kandungan uap air di Pengukuran Thermohygrometer 0: Tidak memenuhi syarat Ordinal
39
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala
Ukur
dalam ruang udara dalam rumah balita penderita
ISPA.
(<40% atau >60%)
1: Memenuhi syarat (40% -
60%)
(Permenkes No. 1077 Th. 2011)
4 Suhu udara dalam
ruang
Kondisi panas atau dinginnya udara
dalam rumah responden yang
dinyatakan dalam derajat Celcius.
Pengukuran Thermohygrometer 0: Tidak memenuhi syarat
(<18oC atau >30
oC)
1: Memenuhi syarat (18oC-
30oC)
(Permenkes No. 1077 Th.
2011)
Ordinal
5 Kebiasaan
membuka jendela
Kebiasaan responden membuka
jendela pada pagi dan sore hari.
Wawancara Kuesioner 0: Tidak
1: Ya
Ordinal
6 Status merokok
anggota keluarga
Kebiasaan merokok anggota
keluarga yang tinggal di rumah
Wawancara Kuesioner 0 : Ya
1: Tidak
Ordinal
40
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Kategori Skala
Ukur
balita
41
3.3 Hipotesis
1. Ada hubungan yang signifikan antara faktor lingkungan fisik dalam ruang
(kepadatan hunian, kelembaban udara dalam ruang dan suhuh udara dalam
ruang) dan perilaku penghuni (kebiasaan membuka jendela dan status
merokok anggota keluarga) dengan keluhan gejala ISPA pada balita di
Rumah Susun Marunda tahun 2017.
42
4 BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional. Variabel
dependen yang diteliti berupa keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun
Marunda, Jakarta Utara pada tahun 2017. Sedangkan untuk variabel independen
yang diteliti, antara lain; kelembaban udara dalam ruang, suhu udara dalam ruang,
penggunaan obat nyamuk, kebiasaan membuka jendela penghuni rumah dan status
merokok anggota keluarga.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga Juli tahun 2017 terhitung
sejak penyusunan proposal hingga laporan hasil. Adapun lokasi penelitian yang
dipilih adalah Rumah Susun Marunda yang berada di Kota Administrasi Jakarta
Utara. Rumah Susun Marunda dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan
rumah susun yang memiliki jumlah unit terbanyak di Jakarta. Selain itu, Rumah
Susun Marunda terletak dalam Kawasan Berikat Nusantara yang merupakan
kawasan industri yang memiliki kualitas udara ambien yang buruk, terbukti dari
hasil pengukuran yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun
2016. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui parameter TSP di udara ambien
KBN Marunda melebihi nilai ambang batas. Hal ini dapat memengaruhi kondisi
udara di sekitar Rumah Susun Marunda.
43
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penghuni yang tinggal di
Rumah Susun Marunda pada saat penelitian.
4.3.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penghuni Rumah Susun
Marunda yang memiliki anggota keluarga balita umur 0 – 59 bulan yang
tinggal di Rumah Susun Marunda. Jumlah sampel yang akan diteliti
diperoleh dari hasil perhitungan menggunakan rumus uji beda dua proporsi,
yaitu:
𝑛 = {𝑍1−𝛼√2. �̅�(1 − �̅�) + 𝑍1−𝛽√𝑃1(1 − 𝑃1) + 𝑃2(1 − 𝑃2)}
2
(𝑃1 − 𝑃2)2
Keterangan:
n : Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1 : Proporsi kejadian ISPA pada kelompok tidak berisiko (suhu udara dalam
ruang yang memenuhi syarat = 58,1%) (Sinaga et al., 2009)
P2 : Proporsi kejadian ISPA pada kelompok berisiko (suhu udara dalam ruang
yang tidak memenuhi syarat = 72,6%) (Sinaga et al., 2009).
P : Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2 /2)
Z1-α/2 : Nilai Z pada derajat kemaknaan (1-α/2) (1,96)
Z1-β : Nilai Z pada kekuatan uji 80% (0,84)
44
Tabel 4.1 Tabel Perhitungan Sampel
Variabel Peneliti
sebelumnya
P1 P2 N N x 2
Kelembaban
udara dalam
ruang
(Oktaviani,
2015)
0,815 0,185 9 18
Kepadatan
hunian
(Fillacano,
2013)
0,352 0,648 67 134
Suhu udara
dalam ruang
(Sinaga et
al., 2009)
0,581 0,726 81 162
Kebiasaan
merokok
(Fillacano,
2013)
0,803 0,5 38 76
Penggunaan
obat nyamuk
(Mairuhu,
2008)
0,617 0,347 25 50
Kebiasaan
membuka
jendela
(Suryani,
2015)
0,571 0,917 24 48
Berdasarkan hasil perhitungan diambil hasil yang tertinggi dengan
jumlah 162 sampel. Untuk menghindari terjadinya bias, maka diambil 10%
dari jumlah sampel, yaitu sebesar 17 sampel. Jadi, total sampel penelitian
sebesar 185 sampel.
45
4.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik
pengambilan sampel secara acak (probability sampling). Teknik pengambilan
sampel acak memberikan peluang yang sama bagi tiap anggota di populasi untuk
menjadi sampel (Sugiyono, 2012). Metode teknik sampel acak yang digunakan
dalam penelitian ini adalah systematic random sampling. Langkah pertama dalam
pengambilan sampel adalah membuat kerangka sampel. Kerangka sampel dalam
penelitian ini adalah daftar balita yang tinggal di Rumah Susun Marunda. Data
tersebut diperoleh dari data seluruh posyandu yang ada di Rumah Susun Marunda
pada tahun 2017. Selanjutnya sampel pertama dipilih secara acak dari kerangka
sampel. Sampel selanjutnya ditentukan secara sistematis.
Gambar 4.1 Contoh Daftar Pengambilan Sampel
46
Probabilitas populasi untuk terambil sebagai sampel ditentukan dengan
perhitungan jumlah populasi dibagi dengan jumlah sampel yang kemudian akan
menjadi interval dalam pengambilan sampel acak sistematis. Jumlah balita di
Rumah Susun Marunda sebanyak 625 balita dibagi dengan jumlah sampel 185
balita didapatkan hasil 3,4 atau dapat dibulatkan menjadi 3. Nilai tersebut
dijadikan interval antar sampel satu dengan sampel lainnya.
Dalam pengambilan sampel, ditentukan pula kriteria inklusi dan eksklusi
untuk responden. Kriteria inklusi dan eksklusi ditetapkan agar tidak terjadi bias
informasi akibat responden yang diteliti tidak tepat sasaran. Adapun kriteria
inklusi dan ekslusi sebagai berikut:
1. Kriteria Inklusi
a. Ibu atau pengasuh balita yang tercatat sebagai penghuni Rumah Susun
Marunda pada saat penelitian dilakukan.
2. Kriteria Ekslusi
a. Orang tua balita pernah didiagnosis tuberkulosis.
b. Balita mempunyai riwayat alergi terhadap debu yang dapat
menimbulkan gejala seperti ISPA non pneumonia.
Data suhu dan kelembaban diperoleh dengan cara pengukuran langsung di
rumah responden dengan alat Thermohygrometer. Pengukuran dilakukan di
ruangan tempat biasa balita tidur. Thermohygrometer akan diletakkan di tengah
47
ruangan dan data perubahan suhu akan dipantau selama 10 menit. Nilai suhu tiap
menit dalam 10 menit pengukuran akan dicatat untuk kemudian diambil rata-
ratanya. Selanjutnya nilai suhu dan kelembaban akan dikategorikan menjadi dua
kategori, yaitu memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan
Permenkes No. 1077 tahun 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam
Ruang Rumah.
Data mengenai kepadatan hunian diperoleh dari hasil perhitungan antara
luas rumah dengan jumlah penghuni. Luas rumah di Rumah Susun Marunda
seragam, yaitu 30 m2. Nilai hasil perhitungan tersebut kemudian akan
dikategorikan menjadi dua, yaitu memenuhi syarat (>10 m2/orang) dan tidak
memenuhi syarat (<10 m2/orang).
4.5 Manajemen Data
4.5.1 Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan untuk mendapatkan data
sekunder dan primer. Data sekunder berupa data jumlah balita yang
tinggal di Rumah Susun Marunda. Data sekunder digunakan untuk
dijadikan kerangka sampel dalam proses pengambilan sampel. Data
primer yang digunakan adalah data mengenai faktor-faktor yang
memengaruhi kualitas udara dalam ruang, yaitu; suhu, kelembaban,
kepadatan hunian, kebiasaan membuka jendela dan kebiasaan
merokok anggota keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan
48
pendampingan oleh perwakilan kader posyandu di setiap klaster di
Rumah Susun Marunda.
4.5.2 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa kuesioner,
lembar observasi dan thermohygrometer.
1. Lembar pengukuran
Lembar pengukuran merupakan instrumen untuk mencatat hasil
pengukuran suhu dan kelembaban udara dalam ruang di Rumah
Susun Marunda.
2. Kuesioner
Kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data mengenai
karakteristik responden, kepadatan hunian, penggunaan obat
nyamuk, kebiasaan membuka jendela dan status merokok
anggota keluarga.
3. Thermohygrometer
Thermohygrometer adalah alat untuk mengukur kelembaban dan
suhu udara dalam ruang. Pengambilan sampel suhu dan
kelembaban udara dalam ruang dilakukan di kamar tidur balita.
Berikut adalah cara kerja dari thermohygrometer.
Cara Kerja Thermohygrometer.
1. Letakkan Thermohygrometer pada tempat yang ingin diukur
suhu dan kelembabannya.
49
2. Tunggu hingga Thermohygrometer menunjukkan angka yang
stabil untuk nilai suhu dan kelembaban udara tempat tersebut.
3. Catat perubahan nilai dari suhu dan kelembaban udara ruang
tersebut di setiap menitnya selama 10 menit.
4. Hitung rata-rata dari nilai suhu dan kelembaban udara dalam
ruang.
Nilai suhu udara dalam ruang ditunjukkan pada kolom suhu out
sementara suhu udara di luar ruangan pada kolom in. Persentase nilai
kelembaban udara ditunjukkan pada kolom humidity.
4.6 Validitas Data
Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari kuesioner dan lembar
pengukuran. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data mengenai variabel
dependen dan beberapa variabel indpenden, yaitu; kepadatan hunian, kebiasaan
membuka jendela, penggunaan obat nyamuk bakar dan status merokok anggota
keluarga. Sementara itu, lembar pengukuran digunakan untuk mencatat hasil
pengukuran suhu dan kelembaban dalam ruang rumah responden.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan atau kesesuaian
instrumen dalam mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2012). Uji
validitas dilakukan pada 25 orang responden yang tinggal di Klaster C Rumah
Susun Marunda. Pada kuesioner dalam penelitian ini dilakukan uji validitas
konsep dan uji validitas muka. Uji validitas konsep adalah uji validitas yang
50
dilakukan dengan menilai kuesioner berdasarkan konsep atau teori dari variabel
yang diteliti (Swarjana, 2016). Uji validitas konsep dilakukan untuk variabel
gejala ISPA pada balita karena gejala ISPA yang ditanyakan kepada responden
harus sesuai dengan teori. Uji validitas muka atau face validity dilakukan dengan
cara melihat respon dari responden saat diberikan pertanyaan dalam kuesioner.
Apabila responden dapat menjawab dengan mudah dan tidak mengalami
kebingungan atau bertanya pada saat diwawancara, maka kuesioner dianggap
lulus uji validitas (Swarjana, 2016).
4.7 Pengolahan Data
Pengolahan data akan dilakukan dengan menggunakan software pengolah
data. Adapun tahapan dalam pengolahan data statistik sebagai berikut
(Notoatmodjo, 2010).
a. Editing
Sebelum mengolah data hasil wawancara, data harus melalui proses editing
terlebih dahulu. Proses ini mencakup pengecekan kembali jawaban
responden baik dalam segi kelengkapan, kejelasan tulisan serta relevansi dan
konsistensi jawaban responden. Proses editing dilakukan sebelum peneliti
mengakhiri wawancara dengan responden. Hal ini bertujuan agar apabila
ada data yang belum lengkap, peneliti dapat melengkapi saat itu juga dan
mencegah terjadinya data missing.
51
b. Coding
Proses coding data adalah proses perubahan data yang semula berbentuk
kalimat menjadi bentuk angka sehingga dapat dientri dan diolah dalam
software pengolah data. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti
dalam mengolah data. Angka yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0
dan 1. Angka 0 untuk jawaban yang berisiko dan angka 1 untuk jawaban
yang tidak berisiko.
c. Data Entry
Setelah melakukan pengkodean data, selanjutnya data di entri atau di
masukkan ke dalam software pengolah data. Proses ini memerlukan
ketelitian untuk mencegah terjadinya bias saat pada hasil pengolahan data.
d. Data Cleaning
Apabila seluruh data telah di entri maka perlu dilakukan data cleaning untuk
memastikan kembali apakah kode yang dimasukkan ke dalam software
pengolah data telah benar dan lengkap. Proses ini dilakukan dengan cara
melihat jumlah missing data dan variasi data.
4.8 Analisis Data
4.8.1 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi
frekuensi keluhan gejala ISPA pada balita berdasarkan faktor–faktor
yang memengaruhi kualitas udara dalam ruang, yaitu: kepadatan
52
hunian, suhu dan kelembaban udara dalam ruang, kebiasaan
membuka jendela dan kebiasaan merokok anggota keluarga.
4.8.2 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
faktor-faktor yang memengaruhi kualitas udara dalam ruang dengan
keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda. Analisis
bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi square. Hasil dari
analisis bivariat akan dihasilkan nilai pvalue. Berdasarkan nilai
tersebut akan diketahui adanya hubungan yang signifikan antara
variabel dependen dan independen. Hubungan dikatakan
berhubungan signifikan secara statistik apabila nilai pvalue kurang
dari α = 0,05. Selain nilai pvalue hasil dari analisis bivariat juga
dihasilkan nilai Odds Ratio. Nilai Odds Ratio tersebut dapat
menunjukkan adanya keeratan hubungan antara variabel dependen
dan independen.
53
5 BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Susun Marunda yang secara
administratif berada di dalam wilayah Kelurahan Marunda, Kecamatan
Cilincing, Kota Jakarta Utara. Batasan wilayah Rumah Susun Marunda
dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1 Peta Situasi Rumah Susun Marunda
Sumber: Profil Rumah Susun Marunda Jakarta Utara Tahun 2016
54
Luas wilayah kawasan Rumah Susun Marunda kurang lebih 41,8
Ha dan terdiri dari 26 blok dengan total unit hunian sebanyak 2.580 unit.
Rumah Susun Marunda terdiri dari tiga klaster, yaitu klaster A, B dan C.
Gambar 5.2 Peta Rumah Susun Marunda Jakarta Utara
Sumber: Profil Rumah Susun Marunda Jakarta Utara Tahun 2016
Rumah Susun Marunda diperuntukkan bagi masyarakat DKI
Jakarta yang termasuk dalam kelompok tertentu, yaitu; warga korban
banjir, warga korban kebakaran, warga relokasi proyek penataan kota dan
warga umum berpenghasilan rendah yang belum memiliki tempat tinggal.
Jumlah penduduk Rumah Susun Marunda sebanyak 9.986 jiwa.
55
Terdapat beberapa fasilitas umum yang tersedia di Rumah Susun
Marunda, antara lain; fasilitas ibadah berupa masjid dan gereja, fasilitas
kesehatan berupa Puskesmas serta fasilitas pendidikan berupa taman kanak-
kanak dan sekolah dasar. Untuk melayani kebutuhan masyarakat Rumah
Susun Marunda terkait transportasi, pemerintah DKI Jakarta telah
menyediakan feeder bus Transjakarta dan bis sekolah masing-masing
sebanyak 6 unit.
5.2 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi dari
setiap variabel, baik dependen maupun independen. Distribusi dari variabel
tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
5.2.1 Keluhan Gejala ISPA pada Balita
Hasil penelitian mengenai keluhan gejala ISPA pada balita di
Rumah Susun Marunda dapat dilihat pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Distribusi Keluhan Gejala ISPA pada Balita di Rumah
Susun Marunda Tahun 2017
Keluhan Gejala ISPA Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Ya 52 28,1
Tidak 133 71,9
Jumlah 185 100
56
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa responden yang
memiliki balita dengan keluhan gejala ISPA lebih sedikit
dibandingkan dengan yang tidak memiliki keluhan gejala ISPA.
5.2.2 Distribusi Kepadatan Hunian
Distribusi kepadatan hunian di rumah responden dapat dilihat
pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Distribusi Kepadatan Hunian di Rumah Susun
Marunda Tahun 2017
Kepadatan
Hunian
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Padat 159 85,9
Tidak Padat 26 14,1
Jumlah 185 100
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa sebagian besar
hunian responden di Rumah Susun Marunda tergolong hunian
padat dengan persentase 85,9%.
5.2.3 Distribusi Kelembaban Udara Dalam Ruang
Berdasarkan hasil penelitian, distribusi kelembaban udara dalam
ruang di Rumah Susun Marunda dapat dilihat pada Tabel 5.3.
57
Tabel 5.3 Distribusi Kelembaban Udara Dalam Ruang di Rumah
Susun Marunda Tahun 2017
Kelembaban Udara
Dalam Ruang
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Memenuhi Syarat 29 15,7
Tidak Memenuhi
Syarat
156 84,3
Jumlah 185 100
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tinggal
di hunian dengan kelembaban udara dalam ruang yang tidak
memenuhi syarat.
5.2.4 Distribusi Suhu Udara Dalam Ruang
Hasil penelitian dari suhu udara dalam ruang dapat diketahui
pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Distribusi Suhu Udara Dalam Ruang di Rumah Susun
Marunda Tahun 2017
Suhu Udara Dalam
Ruang
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Memenuhi Syarat 102 55,1
Tidak Memenuhi
Syarat
83 44,9
Jumlah 185 100
Berdasarkan Tabel 5.4 diketahui bahwa responden yang tinggal
di hunian dengan suhu udara dalam ruang memenuhi syarat (55,1%)
58
lebih besar dibandingkan responden yang tinggal di hunian dengan
suhu udara dalam ruang yang tidak memenuhi syarat.
5.2.5 Distribusi Kebiasaan Membuka Jendela
Kebiasaan membuka jendela responden berdasarkan hasil
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Distribusi Kebiasaan Membuka Jendela di Rumah
Susun Marunda Tahun 2017
Kebiasaan
Membuka Jendela
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Ya 121 65,4
Tidak 64 34,6
Jumlah 185 100
Berdasarkan Tabel 5.5 diketahui bahwa responden dengan
kebiasaan membuka jendela rumah lebih banyak (65,4%)
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan
membuka jendela rumah.
5.2.6 Distribusi Status Merokok Anggota Keluarga
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar
responden memiliki anggota keluarga yang merokok. Distribusi
status merokok anggota keluarga responden pada Tabel 5.6.
59
Tabel 5.6 Distribusi Status Merokok Anggota Keluarga di
Rumah Susun Marunda Tahun 2017
Status Merokok
Anggota Keluarga
Jumlah
(n)
Persentase
(%)
Merokok 125 67,6
Dalam Ruang
Luar ruang
53
72
42,4
57,6
Tidak Merokok 60 32,4
Jumlah 185 100
Berdasarkan Tabel 5.6 diketahui bahwa responden yang
memiliki anggota keluarga perokok lebih banyak (67,6%)
dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki anggota
keluarga perokok. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
sebagian besar responden yang memiliki anggota keluarga perokok,
cenderung memiliki kebiasaan merokok di luar ruang.
5.3 Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui adanya hubungan
antara variabel dependen dan independen. Pada penelitian ini, uji yang
digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dan
independen adalah uji chi square. Uji chi square digunakan karena jenis
variabel dependen dan independen adalah data katagorik.
60
5.3.1 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA
pada Balita
Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan
keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda tahun
2017 dapat dilihat pada Tabel 5.7.
Tabel 5.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala
ISPA pada Balita Tahun 2017
Kepadatan
Hunian
ISPA Total
OR
95% CI Pvalue Ya Tidak
n % n % n %
Padat 45 28,3 114 71,7 159 100
1,071
(0,422-2,723) 1,000
Tidak Padat
7 26,9 19 73,1 26 100
Jumlah 52 28,1 133 71,9 185 100
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa responden yang memiliki balita
dengan keluhan gejala ISPA, lebih banyak ditemukan pada hunian
yang padat dibandingkan dengan hunian yang tidak padat.
Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa nilai pvalue lebih
besar dari α = 5%, yaitu 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan pada α = 5% antara kepadatan hunian
dengan keluhan gejala ISPA pada balita. Dari hasil analisis, didapat
nilai OR sebesar 1,071 (95% CI: 0,422 - 2,723). Hal ini berarti
bahwa balita yang tinggal dalam hunian yang padat berisiko 1,071
61
kali lebih besar untuk mengalami keluhan gejala ISPA dibandingkan
dengan balita yang tinggal di rumah yang tidak padat.
5.3.2 Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita
Hasil analisis hubungan antara kelembaban udara dalam ruang
dengan keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda
tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang
dengan Keluhan Gejala ISPA Balita di Rumah Susun
Marunda Tahun 2017
Kelembaban
Udara
Dalam
Ruang
ISPA Total OR
95% CI Pvalue Ya Tidak
n % n % n %
Tidak
Memenuhi
Syarat
37 23,7 119 76,3 156 100
0,290
(0,128-0,657) 0,004
Memenuhi
Syarat 15 51,7 14 48,3 29 100
Jumlah 52 28,1 133 71,9 185 100
Berdasarkan Tabel 5.8 diketahui bahwa responden yang
memiliki rumah dengan kelembaban udara dalam ruang tidak
memenuhi syarat dan memiliki balita dengan gejala ISPA, lebih
sedikit dibandingkan dengan responden dengan rumah yang memiliki
kelembaban udara memenuhi syarat. Berdasarkan hasil uji chi square
diketahui bahwa nilai pvalue kurang dari α = 5%, yaitu 0,004. Hal ini
62
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kelembaban udara dalam ruang dengan keluhan gejala ISPA pada
balita pada α = 5%. Dari hasil analisis data, diperoleh nilai OR
sebesar 0,290 (95% CI: 0,128-0,657). Nilai OR menunjukkan bahwa
rumah dengan kelembaban udara dalam ruang yang tidak memenuhi
syarat, cenderung 0,290 kali lebih besar menimbulkan keluhan gejala
ISPA pada balita.
5.3.3 Hubungan Suhu Udara Dalam Ruang dengan Keluhan Gejala
ISPA Balita
Hasil analisis hubungan antara suhu udara dalam ruang dengan
keluhan gejala ISPApada balita di Rumah Susun Marunda tahun
2017 dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Hubungan Suhu udara Dalam Ruang dengan
Keluhan Gejala ISPA Balita di Rumah Susun Marunda Tahun
2017
Suhu
Udara
Dalam
Ruang
ISPA Total OR
95% CI Pvalue Ya Tidak
n % n % n %
Tidak
Memenuhi
Syarat
26 31,3 57 68,7 83 100
1,333
(0,701-2,536) 0,475
Memenuhi
Syarat 26 25,5 76 74,5 102 100
Jumlah 52 28,1 133 71,9 185 100
Berdasarkan Tabel 5.9 diketahui bahwa responden yang
memiliki balita dengan keluhan gejala ISPA, lebih banyak
63
ditemukan pada hunian dengan suhu yang tidak memenuhi syarat
dibandingkan pada hunian dengan suhu yang memenuhi syarat.
Berdasarkan hasil uji chi square diketahui bahwa nilai pvalue lebih
besar dari α = 5%, yaitu 0,475. Hal ini menunjukkan bahwa tidak
ada hubungan yang signifikan antara suhu udara dalam ruang
dengan keluhan gejala ISPA pada balita pada α = 5%. Hasil analisis
menunjukkan nilai OR sebesar 1,333 (95% CI: 0701,-2,536). Hal
ini berarti bahwa balita yang tinggal di rumah dengan suhu udara
yang tidak memenuhi syarat 1,731 kali lebih berisiko mengalami
keluhan gejala ISPA.
5.3.4 Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita
Hasil analisis hubungan antara kebiasaan membuka jendela
dengan keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda
tahun 2017 dapat dilihat pada Tabel 5.10.
Tabel 5.10 Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan
Keluhan Gejala ISPA Balita di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017
Kebiasaan
membuka
jendela
ISPA Total OR
95% CI Pvalue Ya Tidak
n % n % n %
Tidak 18 28,1 46 71,9 64 100
1,001
(0,510-1,964) 1,000
64
Ya
34 28,1 87 71,9 121 100
Jumlah 52 28,1 133 71,9 185 100
Berdasarkan Tabel 5.10 diketahui bahwa responden yang
memiliki balita dengan keluhan gejala ISPA memiliki persentase yang
sama, yaitu 28,1%, namun jumlahnya lebih banyak ditemui pada
responden yang memiliki kebiasaan membuka jendela dibandingkan
dengan responden yang tidak terbiasa membuka jendela. Berdasarkan
hasil uji chi square diketahui bahwa nilai pvalue lebih dari α = 5%,
yaitu 1,000. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara kebiasaan membuka jendela dengan keluhan gejala
ISPA pada balita pada α = 5%. Hasil analisis menghasilkan nilai OR
sebesar 1,001 (95% CI: 0,510-1,964). Hal ini menunjukkan bahwa
kebiasaan membuka jendela rumah berisiko 1,001 kali lebih besar
bagi balita untuk mengalami keluhan gejala ISPA.
5.3.5 Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita
Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian dengan
keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda tahun
2017 dapat dilihat pada Tabel 5.11.
65
Tabel 5.11 Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan
Keluhan Gejala ISPA pada Balita di Rumah Susun Marunda
Tahun 2017
Status
Merokok
Anggota
Keluarga
ISPA Total
OR
95% CI Pvalue Ya Tidak
n % n % n %
Merokok 35 28 90 72 125 100
0,984
(0,496-1,949) 1,000
Tidak
Merokok 17 28,3 43 71,7 60 100
Jumlah 52 28,1 133 71,9 185 100
Berdasarkan Tabel 5.11 diketahui bahwa responden yang
memiliki anggota keluarga perokok dan memiliki balita dengan gejala
ISPA lebih sedikit dibandingkan responden yang tidak memiliki
anggota keluarga perokok. Berdasarkan hasil uji Chi square diketahui
bahwa nilai pvalue lebih dari α = 5%, yaitu 1,000. Hal ini
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status
merokok anggota keluarga dengan keluhan gejala ISPA pada balita
pada α = 5%. Berdasarkan hasil analisis didapatkan nilai OR sebesar
0,984 (95% CI: 0,496-1,949). Hal ini menunjukkan bahwa balita yang
tinggal dengan anggota keluarga perokok berisiko 0,984 kali lebih
besar mengalami keluhan gejala ISPA dibanding balita yang tinggal
tanpa anggota keluarga perokok.
66
6 BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
Pada pelaksanaannya, penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan, antara lain:
1. Terdapat beberapa variabel yang merupakan faktor yang memengaruhi
ISPA yang tidak diteliti, yaitu; kualitas udara luar ruang dan kadar
polutan udara dalam ruang karena keterbatasan peneliti.
2. Pertanyaan dalam kuesioner kurang sensitif dalam menggambarkan
variabel kebiasaan membuka jendela karena tidak ditanyakan mengenai
lama membuka jendela dan kebersihan jendela.
6.2 Gambaran Keluhan Gejala ISPA Balita
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada 185 responden,
diketahui bahwa responden yang memiliki balita dengan keluhan gejala
ISPA sebanyak 28,1% dan 71,9% responden tidak memiliki balita dengan
keluhan gejala ISPA. Balita yang dikatakan memiliki keluhan gejala ISPA
apabila mengalami gejala ISPA non pneumonia, yaitu demam, batuk, pilek
dan
67
radang tenggorokan dalam 2 minggu terakhir. Penentuan gejala ISPA non
pneumonia berdasarkan teori dan standar yang digunakan di Klinik
Puskesmas Rumah Susun Marunda dalam mendiagnosis ISPA pada balita.
Kawasan Rumah Susun Marunda termasuk ke dalam bagian
Kawasan Berikat Nasional (KBN) Marunda yang merupakan daerah
industri. Hasil pengukuran kualitas udara ambien di sekitar KBN Marunda
menunjukkan parameter TSP (Total Suspended Solid) yang telah melebihi
nilai baku mutu, yaitu sebesar 411 µg/m3 per 24 jam dengan nilai baku mutu
sebesar 230 µg/m3 per 24 jam (Kementerian Lingkungan Hidup, 2016).
Selain itu, Kawasan Rumah Susun Marunda berada di daerah pesisir pantai
dan berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta. Letak geografis tersebut
dapat memengaruhi suhu dan kelembaban udara di Kawasan Rumah Susun
Marunda. Suhu udara di Rumah Susun Marunda cenderung tinggi dengan
kelembaban udara yang cenderung kering. Selain kondisi lingkungan fisik,
perilaku penghuni dan faktor individu balita juga dapat berpengaruh
terhadap adanya keluhan gejala ISPA pada balita.
6.3 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA
Balita
Status kepadatan hunian di Rumah Susun Marunda didapatkan dari
hasil perhitungan dengan membagi luas rumah dan jumlah penghuni yang
tinggal di dalamnya. Luas rumah di Rumah Susun Marunda pada tiap unit
68
sama, yaitu 30 m2. Nilai kepadatan hunian kemudian dikategorikan menjadi
kepadatan hunian yang memenuhi syarat dan tidak memenuhi syarat sesuai
dengan Permenkes No. 1077 Th. 2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara
Dalam Ruang. Kepadatan hunian yang memenuhi syarat adalah > 10 m2/
orang sedangkan yang tidak memenuhi syarat adalah < 10 m2/ orang.
Hasil tabel silang pada Tabel 5.7 menunjukkan bahwa responden
yang memiliki balita dengan keluhan gejala ISPA cenderung tinggal pada
hunian yang padat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa kepadatan hunian berpengaruh terhadap kejadian ISPA (Pickett &
Bell, 2011) dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Filacano (2013)
yang menyatakan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan
hunian tidak memenuhi syarat berisiko 3 kali lebih besar mengalami ISPA.
Namun berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan pada α = 0,05 antara kepadatan hunian dengan
keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lingga (2014) yang
menyatakan bahwa kepadatan hunian tidak berpengaruh dengan keluhan
gejala ISPA pada balita.
Peneliti berasumsi bahwa tidak terdapatnya hubungan antara
kepadatan hunian dengan keluhan gejala ISPA karena sebagian besar hunian
di Rumah Susun Marunda tergolong padat. Sementara keluhan gejala ISPA
69
pada balita lebih sedikit terjadi apabila dibandingkan dalam kelompok
responden dengan hunian padat. Jumlah penghuni ideal di Rumah Susun
Marunda adalah satu hingga tiga orang. Pada beberapa rumah ditemukan
jumlah penghuni yang melebihi tiga orang. Jumlah penghuni paling banyak
yang ditemukan pada saat penelitian mencapai 11 orang dalam satu rumah.
Kepadatan hunian dapat memperburuk sirkulasi udara dalam ruang
dan mempermudah penularan penyakit terutama penyakit yang menular
melalui perantara udara (Achmadi, 2009). Kelembaban udara dalam ruang
dapat berpengaruh karena apabila suatu hunian terlalu padat akan
meningkatkan kadar CO2 dan memengaruhi kualitas udara dalam ruang
(Zamrud & Kalenggo, 2012). Padatnya rumah susun juga dipengaruhi dari
tata letak rumah susun yang berhimpitan antara satu rumah dengan rumah
lainnya. Padatnya hunian per unitnya dan tata letak yang berhimpitan akan
meningkatkan potensi penularan penyakit terutama airborne disease atau
penyakit yang menyebar melalui udara (Monika & Mar, 2017). Oleh karena
itu, penghuni rumah susun harus senantiasa menjaga kebersihan lingkungan
rumahnya dan sebaiknya tiap unit rumah susun hanya dihuni oleh maksimal
tiga orang agar hunian tidak terlalu padat.
70
6.4 Analisis Hubungan Kelembaban Udara Dalam Ruang dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita
Kelembaban udara dalam ruang di Rumah Susun Marunda diukur
dengan menggunakan thermohygrometer yang diletakkan di ruangan
tempat balita biasa tidur. Kelembaban merupakan persentase kandungan
uap air yang ada di udara. Kelembaban udara berpengaruh dalam proses
penyebaran penyakit yang ditularkan melalui udara karena dapat
mempercepat tumbuhnya virus, bakteri ataupun jamur penyebab infeksi
saluran pernapasan (Suryani, 2015). Terdapat beberapa faktor yang dapat
memengaruhi kelembaban udara dalam ruang, diantaranya kelembaban luar
rumah, kondisi geografis dan kondisi ventilasi rumah (Pramudiyani &
Prameswari, 2011).
Hasil analisis tabel silang pada Tabel 5.8 menunjukkan bahwa
sebagian besar balita yang mengalami keluhan gejala ISPA tinggal di
hunian dengan kelembaban udara dalam ruang yang memenuhi syarat.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diketahui bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara kelembaban udara dalam ruang dengan keluhan
gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Padmonobo (2013) di
Jatibarang, Kabupaten Brebes. Akan tetapi, penelitian ini tidak sejalan
dengan penelitian Suryani (2015) yang dilakukan di Lubuk Buaya, Kota
Padang. Hasil penelitian ini tidak sejalan karena lokasi penelitian yang
71
berbeda dan berdasarkan hasil uji statistik, variabel kelembaban dalam
penelitian yang dilakukan Suryani (2015) cenderung diabaikan.
Kondisi kelembaban dan suhu luar rumah di sekitar Rumah Susun
Marunda cenderung kering dan panas dengan rata- rata suhu luar ruang
33oC dan kelembaban luar ruang 35%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh letak
Rumah Susun Marunda yang berbatasan langsung dengan Teluk Jakarta.
Kondisi cuaca di daerah pantai berbeda dengan cuaca di daerah lain, karena
jaraknya yang lebih dekat dengan laut. Sinar matahari cenderung lebih
cerah di daerah sekitar pantai akibat refleksi sinar matahari dari permukaan
air laut. Hal ini menyebabkan udara di daerah pantai akan lebih hangat dan
cenderung makin panas menjelang tengah hari (Witherington &
Witherington, 2011). Kondisi fisik lingkungan luar rumah tersebut dapat
memengaruhi kondisi lingkungan dalam rumah. Hal ini terbukti dari hasil
analisis univariat diketahui bahwa sebagian besar kelembaban udara dalam
ruang tidak memenuhi syarat dan cenderung kering.
Berdasarkan hasil uji statistik diketahui nilai OR sebesar 0,290
yang menunjukkan bahwa kelembaban udara merupakan faktor protektif
dari keluhan gejala ISPA pada balita. Kelembaban udara yang kering
dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan virus, bakteri dan
jamur penyebab ISPA (Smith, 2016).
72
Akan tetapi, kelembaban udara dalam ruang dapat menimbulkan
potensi masalah kesehatan lain karena dapat menyebabkan lapisan cat dan
kayu di furnitur mudah rapuh. Hal ini dapat meningkatkan kandungan
debu dan partikulat di udara dalam ruang (Frumkin, 2006). Kelembaban
udara yang kering pun dapat membuat lapisan mukosa yang berada di
mata, rongga hidung, mulut dan tenggorokan kering (Howe, 2013).
Oleh karena itu, kelembaban udara dalam ruang tetap harus dijaga
agar tetap dalam rentang yang ideal.Terdapat beberapa hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kelembaban udara dalam ruang yang kering.
Penghuni Rumah Susun Marunda rajin membuka jendela rumah dan
menanam tanaman di beranda rumah untuk menjaga kelembaban udara di
sekitar rumah.
6.5 Analisis Hubungan Suhu Udara Dalam Ruang dengan Keluhan gejala
ISPA Balita
Suhu udara dalam ruang di Rumah Susun diukur dengan
menggunakan thermohygrometer yang diletakkan di ruangan tempat balita
biasa tidur. Nilai suhu dikategorikan menjadi memenuhi syarat dan tidak
memenuhi syarat. Suhu yang memenuhi syarat berada dalam rentang 18oC
– 30oC sementara suhu yang berada di bawah dan di atas rentang tersebut
dikategorikan menjadi tidak memenuhi syarat.
73
Hasil analisis tabel silang pada Tabel 5.9 menunjukkan bahwa
sebagian besar keluhan gejala ISPA ditemukan pada balita yang tinggal di
hunian dengan suhu dalam ruang yang tidak memenuhi syarat. Hal ini
sesuai dengan teori dan penelitian sebelumnya oleh Yanti (2013) yang
meneliti hubungan suhu dengan kejadian ISPA pada siswa sekolah dasar.
Namun, hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan pada α = 5% antara suhu udara dalam ruang dengan
keluhan gejala ISPA pada balita. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Pramudiyani (2011) pada balita di
Kecamatan Bergas, Semarang. Tidak terdapatnya hubungan antara suhu
dengan keluhan gejala ISPA mungkin karena sebagian besar rumah dengan
kondisi suhu tidak memenuhi syarat tidak memiliki balita dengan keluhan
gejala ISPA.
Kondisi udara dapat dipengaruhi oleh topografi, iklim dan
kelembaban relatif. Topografi dapat memengaruhi suhu udara karena
topografi dapat memengaruhi penyinaran sinar matahari ke daerah tersebut
(Weir, 2009). Lokasi Rumah Susun Marunda yang terletak di pesisir pantai
dapat memengaruhi suhu di kawasan rumah susun. Rata-rata suhu luar
ruang di kawasan Rumah Susun Marunda sebesar 33 oC. Suhu luar ruang
merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi suhu dalam ruang.
74
Meskipun tidak memiliki hubungan secara statistik, akan tetapi
suhu dalam ruang dapat memengaruhi kesehatan penghuni. Hal ini karena
suhu dapat memengaruhi perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur
penyebab ISPA. Kondisi suhu luar ruang di kawasan Rumah Susun yang
cukup tinggi dapat memengaruhi kondisi suhu dalam ruang. Untuk
membantu menjaga suhu dan sebagai penyuplai oksigen di udara luar,
peneliti menyarankan pihak Unit Pengelola Rumah Susun dan para
penghuni Rumah Susun Marunda untuk memberdayakan kembali ruang
terbuka hijau yang ada di tiap klaster di Rumah Susun Marunda. Penghuni
rumah susun juga dapat menanam tanaman di teras ataupun balkon
rumahnya. Tanaman dapat menyerap karbondioksida (CO2) dan
mengubahnya menjadi oksigen (O2) pada proses fotosintesis. Selain
menyediakan O2, tanaman juga dapat menghasilkan uap air hasil dari
proses penguapan pada daun (Lange, 2012). Tanaman yang dapat
membantu menjaga kelembaban udara dalam ruang dan cocok untuk
dirawat di rumah berasal dari jenis Sansevieria atau yang biasa disebut
tanaman lidah mertua. Tanaman ini cocok untuk dirawat di dalam rumah
karena tidak memerlukan banyak air dalam perawatannya. Selain itu,
tanaman ini juga dapat menyerap zat beracun seperti formaldehid dan
menghasilkan banyak O2 (Ross & Hitchmough, 2016). Selain itu, perlu
dilakukan penelitian lanjutan mengenai kualitas lingkungan fisik luar
rumah terhadap kejadian ISPA di kawasan rumah susun karena faktor
75
tersebut merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi kualitas
udara dalam ruang.
6.6 Analisis Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan
Gejala ISPA Balita
Sirkulasi udara yang baik dapat terjadi apabila penghuni rumah
memiliki kebiasaan untuk membuka jendela ataupun ventilasi rumahnya.
Kebiasaan membuka jendela berpengaruh terhadap kualitas udara dalam
rumah. Dengan membuka jendela, sirkulasi udara dalam ruang tetap stabil
(Marianta, 2015). Sirkulasi udara yang stabil dapat membantu menjaga
suhu dan kelembaban ruangan tetap ideal sehingga kemungkinan
pertumbuhan dan penyebaran virus, bakteri dan jamur penyebab ISPA akan
berkurang.
Hasil analisis tabel silang pada Tabel 5.10 menunjukkan bahwa
keluhan gejala ISPA lebih banyak ditemukan pada rumah dengan
responden yang memiliki kebiasaan membuka jendela. Hal ini tidak sesuai
dengan penelitian Suryani (2015) yang menyatakan bahwa responden yang
tidak memiliki kebiasaan membuka jendela rumahnya akan berisiko
mengalami keluhan ISPA. Berdasarkan hasil analisis bivariat, diketahui
bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan membuka
jendela dengan keluhan gejala ISPA pada balita pada α = 5%.
76
Kebiasaan membuka jendela tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan keluhan gejala ISPA pada balita karena sebagian besar
penghuni rumah susun sudah memiliki kebiasaan membuka jendela.
Penghuni Rumah Susun Marunda sebagian besar telah memiliki kebiasaan
membuka jendela karena udara akan terasa panas apabila jendela tidak
dibuka. Namun, ada sebagian penghuni yang tidak membuka jendela
rumahnya dengan alasan vektor pembawa penyakit seperti nyamuk dan
tikus akan masuk melalui jendela.
Selain itu, terdapat faktor lain terkait kebiasaan membuka jendela
yang dapat memengaruhi keluhan gejala ISPA, seperti lama membuka
jendela dan kebersihan jendela itu sendiri. Penelitian Marianta (2015)
menunjukkan bahwa kebersihan ventilasi udara dapat memengaruhi
kejadian ISPA pada balita. Jendela atau ventilasi udara merupakan media
sirkulasi udara dalam rumah. Debu yang menumpuk pada jendela dapat
ikut terbawa masuk saat sirkulasi udara terjadi dan dapat mengontaminasi
udara dalam ruang (Anwar et al., 2013).
Lamanya membuka jendela pun dapat berpengaruh terhadap
munculnya keluhan gejala ISPA. Semakin lama jendela terbuka maka
potensi untuk udara ambien masuk ke dalam rumah lebih tinggi. Apabila
jendela hunian yang berada di kawasan dengan kualitas udara ambien yang
rendah maka polutan berbahaya yang terkandung dalam udara dapat masuk
dan mencemari udara dalam ruang (Fahimah et al., 2014). Terlebih lagi,
77
lokasi Rumah Susun Marunda yang berada dalam kawasan industri,
membuat udara ambien di sekitarnya memiliki kualitas yang rendah. Kadar
PM2,5 di udara ambien kawasan Rumah Susun Marunda pada tahun 2016
telah melebihi nilai baku mutu. Polutan PM2,5 termasuk kedalam
nanopartikel karena ukurannya yang kurang dari 100 nanometer.
Ukurannya yang sangat kecil dan ringan membuat nanopartikel tersuspensi
di udara (US EPA, 2014). Nanopartikel dapat masuk ke dalam tubuh
melalui jalur ingesti dan inhalasi dan menyebabkan efek negatif bagi
kesehatan.
Oleh karena itu, selain kebiasaan membuka jendela, kebersihan
jendela dan ventilasi pun harus diperhatikan oleh penghuni rumah susun.
Sebaiknya jendela dan ventilasi dibersihkan minimal satu kali seminggu
untuk mencegah munculnya keluhan gejala ISPA. Selain itu, pihak
pengelola Rumah Susun Marunda sebaiknya membuat regulasi untuk
penghuni agar melakukan kegiatan kerja bakti. Kegiatan kerja bakti
sebaiknya dilakukan secara rutin untuk menjaga kebersihan lingkungan
tempat tinggal penghuni.
6.7 Analisis Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan
Keluhan Gejala ISPA Balita
Adanya anggota keluarga yang merokok berpengaruh terhadap
kualitas udara dalam ruang hunian. Hal ini karena rokok merupakan salah
satu penyebab pencemaran udara dalam ruang (Ahyanti, 2013). Hasil
78
analisis tabel silang pada Tabel 5.11 menunjukkan bahwa sebagian besar
keluhan gejala ISPA pada balita ditemukan pada responden yang tidak
memiliki anggota keluarga perokok.
Berdasarkan hasil analisis bivariat, diketahui bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan pada α = 5% antara status merokok anggota
keluarga dengan keluhan gejala ISPA pada balita. Penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Indahsari (2016) yang menyatakan adanya
hubungan antara paparan asap rokok dengan keluhan gejala ISPA. Pada
penelitian Indahsari (2016) paparan asap rokok ti dak hanya diteliti dari
status merokok anggota keluarga tetapi jumlah konsumsi rokok pun
diteliti.
Pada penelitian ini, diketahui bahwa dari responden yang memiliki
anggota keluarga perokok, sebesar 60% diantaranya merokok di luar
rumah. Hunian di Rumah Susun Marunda memiliki balkon dan teras
rumah yang biasa digunakan untuk merokok. Kebiasaan merokok di luar
rumah dimanfaatkan oleh penghuni rumah susun, khususnya para ayah,
untuk bersosialisasi dengan penghuni rumah susun lainnya. Banyaknya
responden yang merokok di luar rumah dapat memengaruhi hasil
penelitian sehingga hasil tidak menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan dan cenderung menjadi faktor protektif. Selain itu, penelitian ini
hanya melihat hubungan status merokok anggota keluarga tanpa melihat
79
hubungan antara tempat merokok anggota keluarga dengan keluhan gejala
ISPA pada balita.
Asap rokok mengandung berbagai zat racun yang berbahaya bagi
kesehatan manusia terutama bagi balita. Hal ini karena sistem pernapasan
balita masih dalam tahap perkembangan dan imunitas tubuh balita yang
masih lemah dibandingkan orang dewasa (Pickett & Bell, 2011). Selain
itu, balita merupakan perokok pasif yang memiliki risiko kesehatan lebih
tinggi dibandingkan perokok aktif. Asap yang dihirup oleh perokok pasif
lebih berbahaya karena lebih banyak mengandung nikotin dan karbon
monoksida (Goldberg, 2010). Zat berbahaya yang terkandung dalam asap
rokok dapat mengiritasi saluran pernapasan balita dan mempermudah
bakteri, virus ataupun debu untuk masuk dan menginfeksi saluran napas
(Winarni, 2010). Selain ISPA, perokok pasif juga berisiko untuk terkena
penurunan imunitas, disfungsi endothelial, penurunan fungsi paru dan
aterosklerosis (Pickett & Bell, 2011).
Meskipun hasil uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan
antara anggota keluarga yang merokok dengan keluhan gejala ISPA pada
balita namun banyaknya risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok
tetap perlu diwaspadai. Oleh karena itu, petugas kesehatan ataupun tokoh
masyarakat di rumah susun perlu memberikan penyuluhan untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya merokok. Selain itu,
80
meskipun sebagian besar anggota keluarga merokok di luar rumah akan
tetapi mereka masih perlu mencuci tangan dan mengganti baju sebelum
kontak langsung dengan balita untuk menghindari terhirupnya residu dari
rokok oleh balita.
81
7 BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada 185 responden yang tinggal di
Rumah Susun Marunda dan memiliki balita, maka dapat disimpukan
sebagai berikut:
1. Distribusi keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah Susun Marunda
sebesar 28,1% dari total responden.
2. Berdasarkan hasil analisis univariat dapat disimpulkan bahwa :
a. Sebagian besar hunian responden tergolong padat dengan persentase
sebesar 85,9%.
b. Sebagian besar kelembaban udara dalam ruang di rumah responden
tidak memenuhi syarat dengan persentase sebesar 84,3%.
c. Sebagian besar suhu udara dalam ruang di rumah responden telah
memenuhi syarat dengan persentase sebesar 55,1%.
d. Hanya sedikit responden yang menggunakan obat nyamuk bakar
dalam rumahnya dengan persentase sebesar 28,1%.
e. Sebagian besar responden telah memiliki kebiasaan membuka
jendela dengan persentase sebesar 65,4%.
f. Sebagian besar responden memiliki anggota keluarga yang
merokok. Dari 67,6% responden yang memiliki anggota keluarga
perokok, sebagian besar diantaranya merokok di luar rumah.
82
3. Berdasarkan hasil analisis bivariate dapat disimpulkan bahwa :
a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada α = 5% antara
kepadatan hunian dengan keluhan gejala ISPA pada balita di Rumah
Susun Marunda dengan pvalue sebesar 1,000.
b. Terdapat hubungan yang signifikan pada α = 5% antara kelembaban
udara dalam ruang dengan keluhan gejala ISPA pada balita di
Rumah Susun Marunda dengan pvalue sebesar 0,004.
c. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada α = 5% antara suhu
udara dalam ruang dengan keluhan gejala ISPA pada balita di
Rumah Susun Marunda dengan pvalue sebesar 0,475.
d. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada α = 5% antara
kebiasaan membuka jendela dengan keluhan gejala ISPA pada
balita di Rumah Susun Marunda dengan pvalue sebesar 1,000.
e. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada α = 5% antara status
merokok anggota keluarga dengan keluhan gejala ISPA pada balita
di Rumah Susun Marunda dengan pvalue sebesar 1,000.
83
7.2 Saran
1. Bagi Unit Pengelola Rumah Susun Marunda
1.1 Pengelola Rumah Susun Marunda sebaiknya membuat regulasi
untuk penghuni agar melakukan kegiatan kerja bakti.
2. Bagi Penghuni Rumah Susun
2.1 Penghuni rumah susun disarankan untuk memelihara tanaman di
teras atau balkon rumah untuk mengatur suhu dan kelembaban
dalam rumah.
2.2 Rumah susun sebaiknya hanya dihuni oleh tiga sampai empat
orang per unitnya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
3.1 Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian lebih lanjut
untuk melihat hubungan beberapa variabel yang memiliki
kecenderungan menjadi faktor protektif dalam penelitian ini,
yaitu; kelembaban, penggunaan obat nyamuk dan status merokok
anggota keluarga.
3.2 Peneliti selanjutnya sebaiknya didampingi oleh dokter sehingga
kejadian ISPA balita dapat didiagnosa pada saat penelitian.
3.3 Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian lanjutan
mengenai faktor lingkungan fisik luar rumah dan kadar polutan
udara dalam udara.
84
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U. F. (2009). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Kesmas: Jurnal
Kesehatan Masyarakat Nasional, 3(4).
Ahyanti, M. (2013). Hubungan Merokok dengan Kejadian ISPA pada Mahasiswa.
Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(2), 47–53.
Anwar, A., Dharmayanti, I., Teknologi, P., Kesehatan, I., Badan, M., &
Kesehatan, P. (2013). Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia Pneumonia
among Children Under Five Years of Age in Indonesia, (29), 359–365.
Awaluddin, A. (2016). Keluhan Warga Akibat Kabut Asap di Kota Pekanbaru.
Jurnal Endurance, 1(1), 37–46. https://doi.org/10.22216/jen.v1i1.1079
Badan Pusat Statistik. (2016). Jakarta Dalam Angka tahun 2016.
Badan Pusat Statistik, J. (2015). Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta. Badan
Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta, 1.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Bangun, A., & Soebijanto, P. D. dr. (2007). Hubungan Antara Indeks Standar
Pencemar Udara dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada
Balita Kota Medan Tahun 2005.
Caesar, D. L., & W, N. E. (2015). Hubungan Jumlah Bakteri Patogen dalam
Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja
Puskesmas Ngesrep Banyumanik Semarang Tahun 2014 Relationship
betweenAmount Bacterial Pathogen in the House with Incidence of
Pneumonia on Children Under Fi, 14(1), 21–26.
Fahimah, R., Kusumowardani, E., Susanna, D., Lingkungan, K., Masyarakat, F.
K., & Indonesia, U. (2014). Kualitas Udara Rumah dengan Kejadian
Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun ( di Puskesmas Cimahi Selatan dan
85
Leuwi Gajah Kota Cimahi ), 18(1), 25–33.
https://doi.org/10.7454/msk.v18i1.3090
Farmer, S. A., Nelin, T. D., Falvo, M. J., & Wold, L. E. (2014). Ambient and
household air pollution: complex triggers of disease. American Journal of
Physiology. Heart and Circulatory Physiology, 307(4), H467-76.
https://doi.org/10.1152/ajpheart.00235.2014
Fillacano, R. (2013). Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA.
Fitria, L., Wulandari, R. A., Hermawati, E., & Susanna, D. (2008). Kualitas Udara
Dalam Ruang Perpustakaan Universitas X Ditinjau Dari Kualitas Biologi,
Fisik, Dan Kimiawi. Lingkungan, Departemen Kesehatan Masyarakat,
Fakultas Kesehatan Indonesia, Universitas, 12(2), 76–82.
Frumkin, H. (2006). Safe and Healthy School Environment. Ne York: Oxford
University Press.
Gertrudis, T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah
Tinggal dengan Kejadian ISPA pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT
Indocement, Citeureup tahun 2010.
Goldberg, R. (2010). Drugs Across the Spectrum (6th editio). USA: Wadsworth.
Gordon, S. B., Bruce, N. G., Grigg, J., Hibberd, P. L., Kurmi, O. P., Lam, K. H.,
… Martin, W. J. (2014). Respiratory risks from household air pollution in
low and middle income countries. The Lancet. Respiratory Medicine, 2(10),
823–860. https://doi.org/10.1016/S2213-2600(14)70168-7
Hananto, M., & Hapsari, D. (2010). Indoor Pollution Factors which have
Relationship with ISPA on Balita in Indonesia, (Surkesnas).
Hendarto, A., & Musa, D. A. (2016). Hubungan Status Gizi dan Kekerapan Sakit
Balita Penghuni Rumah Susun Kemayoran Jakarta-Pusat. Sari Pediatri, 4(2).
Hermawan, A., Hananto, M., & Lasut, D. (2016). Peningkatan Indeks Standar
86
Pencemaran Udara (ISPU) dan Kejadian Gangguan Saluran Pernapasan di
Kota Pekanbaru. Jurnal Ekologi Kesehatan, 15(2), 76–86.
https://doi.org/10.22435/jek.v15i2.4618.76-86
Howe, G. M. (2013). Environmental Medicine (2nd ed.). Philadephia: Elsevier.
Indahsari, N. (2016). Hubungan Paparan Polusi Udara dalam Rumah dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Malimongan Baru.
Irianto, B. (2006). Hubungan Faktor Lingkungan Rumah dan Karakteristik Balita
Dengan Kejadian Penyakit ISPA pada Balita di Wilayah Kecamatan
Lemahwungkuk Kota Cirebon.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Infeksi saluran pernafasan akut.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar.
Kementerian Lingkungan Hidup. (2016). SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun
2016, 1–12.
Krishna, A. (2013). Mengenali Keluhan Anda. Jakarta: Informasi Medika.
Kusumawati, I. (2010). Hubungan antara status merokok anggota keluarga dengan
lama pengobatan ispa balita di kecamatan jenawi.
Lange, O. L. (2012). Physiological Plant Ecology II : Water Relations and
Carbon Assimilation. United States: Springer Science and Business Media.
Lima, W. S. (2012). Acute Respiratory Infection. Oxford: Oxford University
Press.
Lingga, R. N. (2014). Hubungan Karakteristik Rumah Dengan Kejadian ISPA
Pada Balita dalam Keluarga Perokok di Kelurahan Gundaling I Kecamatan
Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014.
Mairuhu, V. (2008). Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA pada Balita
di Pulau Barrang Lomppo Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar.
87
Marianta, D. (2015). Hubungan Kualitas Fisik Rumah Terhadap Kejadian ISPA
Pasca Bencana Erupsi Gunung Sinabung di Wilayah Kerja Puskesmas
Kecamatan Tiganderket Karo Sumatera Utara pada Tahun 2015, 1600.
Monika, Ś., & Mar, M. (2017). Indoor air quality in public utility environments —
a review, 11166–11176. https://doi.org/10.1007/s11356-017-8567-7
Muhammad, I. (2009). Efek Antioksidan Vitamin C Terhadap Tikus ( Rattus
norvegicus L ) Jantan Akibat Pemaparan Asap Rokok.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Nurjanah, Lily, K., & Mufid, A. (2014). Gangguan Fungsi Paru dan Kadar
Cotinine Pada Urin Karyawan yang Terpapar Asap Rokok Orang Lain.
Kesehatan Masyarakat, 10(1), 43–52.
Oktaviani, V. A. (2015). Hubungan Antara Sanitasi Fisik Rumah Dengan
Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Atas (Ispa) Pada Balita Di Desa Cepogo
Kecamatan Cepogo Kabupaten Boyolali. Statewide Agricultural Land Use
Baseline 2015, 1. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Padmonobo, H., Setiani, O., & Joko, T. (2013). Hubungan Faktor-Faktor
Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan
Lingkungan I, 11(2), 194–198. https://doi.org/10.14710/jkli.11.2.194 - 198
Perez-Padilla, R., Schilmann, A., & Riojas-Rodriguez, H. (2010). Respiratory
health effects of indoor air pollution [Review article]. International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease.
Pickett, A. R., & Bell, M. L. (2011). Assessment of indoor air pollution in homes
with infants. International Journal of Environmental Research and Public
Health, 8(12), 4502–20. https://doi.org/10.3390/ijerph8124502
Prabahar, K. (2017). Pediatric Upper Respiratory Tract Infection: Prescribing
88
Pattern and Health Economics. Hamburg: Anchor Academic Publishing.
Pramudiyani, N. A., & Prameswari, G. N. (2011). Hubungan Antara Sanitasi
Rumah dan Perilaku dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6(2), 71–78.
Ross, C., & Hitchmough, J. (2016). Environmental Horticulture: Science and
Management of Green Landscapes. United Kingdom: CABI.
Shibata, T., Wilson, J. L., Watson, L. M., Leduc, A., Meng, C., Ansariadi, …
Maidin, A. (2014). Childhood Acute Respiratory Infections and Household
Environment in an Eastern Indonesian Urban Setting. International Journal
of Environmental Research and Public Health, 11(12), 12190–12203.
https://doi.org/10.3390/ijerph111212190
Simoes, E. a. F., Cherian, T., Chow, J., Shahid-Salles, S. a., Laxminarayan, R., &
John, T. J. (2006). Acute Respiratory Infections in Children. Disease Control
Priorities in Developing Countries, 483–497. Retrieved from
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK11786/
Sinaga, L. A. F. S., Suhartono, S., & D., Y. H. (2009). Analisis Kondisi Rumah
Sebagai Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah
Puskesmas Sentosa Baru Kota Medan Tahun 2008. Jurnal Kesehatan
Lingkungan Indonesia, 8(1), 26–34. https://doi.org/10.14710/jkli.8.1.26 - 34
Slamet, J. S. (2011). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Smith, K. R. (2016). Indoor air pollution in developing countries and acute lower
respiratory infections in children -- Smith et al. 55 (6): 518 -- Thorax.
Retrieved November 22, 2016, from
http://thorax.bmj.com/content/55/6/518.short
Smith, K. R., Samet, J. M., Romieu, I., & Bruce, N. (2000). Acute Lower
Respiratory Infections in Children Indoor Air Pollution in Developing
89
Countries and Topic Collections Indoor Air Pollution in Developing
Countries and Acute Lower Respiratory Infections in Children. Thorax, 55,
518–532. https://doi.org/10.1136/thorax.55.6.518
Sugihartono, & Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia
Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar. Jurnal
Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1), 82–86.
https://doi.org/10.14710/jkli.11.1.82-86
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suryani, I. (2015). Hubungan Lingkungan Fisik dan Tindakan Penduduk Dengan
Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Lubuk Buaya.
Jurnal Kesehatan Andalas, 4(1), 157–167.
Swarjana, I. K. (2016). Statistik Kesehatan - I Ketut Suwarjana. Yogyakarta:
ANDI.
US EPA. (2014). Technical Fact sheet – Nanomaterials At a Glance, (January), 1–
9.
Weir, J. R. (2009). Conducting Prescribed Fires: A Comprehensive Manual -
John R. Weir - Google Books (1st ed.). USA: Texas A&M University Press.
WHO. (2001). WHO Model Prescribing Information: Drugs used in Bacterial
Infections: Upper respiratory tract infections. Retrieved April 17, 2017, from
http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Js5406e/3.html
WHO. (2007). Pencegahan dan pengendalian infeksi saluran pernapasan akut
(ISPA) yang cenderung menjadi epidemi dan pandemi di fasilitas pelayanan
kesehatan.
WHO. (2009). Indikator Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta: EGC.
WHO. (2016). Pneumonia. Retrieved from www.who.int/mediacentre/factsheets
90
Winarni. (2010). Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua dan Anggota
Keluarga yang Tinggal dalam Satu Rumah dengan Kejadian ISPA pada
Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten Kebumen Tahun
2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 6(1).
Witherington, B., & Witherington, D. (2011). Living Beaches of Georgia and the
Carolinas : A Beachcomber’s Guide. United States: Pineapple Press, Inc.
Wulandari, E. (2014). Faktor Yang Berhubungan Dengan Keberadaan
Streptococcus Di Udara Pada Rumah Susun Kelurahan Bandarharjo Kota
Semarang Tahun 2013. Unnes Journal of Public Health, 3(4), 1–10.
Yuwono, T. A. (2008). Faktor- Faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Universitas Diponegoro.
Zamrud, M., & Kalenggo, D. F. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Infeksi
Saluran Pernapasan Akut pada Anak Balita, 57–63.
91
LAMPIRAN 1
Lembar Kesediaan Responden
(Informed Consent)
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua
Perkenalkan, saya adalah Sonia Nur Anggraeni, mahasiswi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Peminatan Kesehatan Lingkungan,
angkatan tahun 2013. Saat ini saya sedang melakukan penelitian mengenai
Hubungan Kualitas Udara dalam Rumah dengan Keluhan Gejala Infeksi Saluran
Napas Akut pada Anak Bawah Lima Tahun di Rumah Susun Marunda. Penelitian
ini dilakukan untuk menyelesaikan skripsi, sebagai syarat kelulusan Sarjana (S1)
Kesehatan Masyarakat. Untuk itu, saya memohon kesediaan Anda untuk ikut serta
dalam penelitian ini sebagai responden. Saya akan menanyakan beberapa
pertanyaan mengenai Anda dan balita. Informasi yang Anda berikan akan kami
jaga kerahasiannya. Jika Anda bersedia menjadi responden penelitian ini, mohon
untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah disediakan.
Wassalamua’alaikum Wr.Wb.
Form Persetujuan sebagai Responden Penelitian
Saya yang bertandatangan dibawah ini :
Nama :
No.HP :
Bersedia mengkuti proses pengambilan data dalam penelitian ini secara sukarela
dan tanpa paksaan.
Responden Pengumpul Data
(…………………………….)
(…………………………….)
92
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN KUALITAS UDARA DALAM RUMAH
DENGAN KELUHAN GEJALA INFEKSI SALURAN NAPAS AKUT
PADA ANAK BAWAH LIMA TAHUN DI RUMAH SUSUN MARUNDA
JAKARTA UTARA
Pewawancara :
Hari/Tanggal Wawancara :
Isilah jawaban dari pertanyaan berikut pada kolom jawaban. Jika jawaban
berupa pilihan, lingkari pada jawaban yang sesuai.
No. Pertanyaan Jawaban Kode
(diisi oleh
peneliti)
KARAKTERISTIK RESPONDEN
A1 Nama Responden
A2 Umur
A3 No Rumah/ Klaster
A4 Pendidikan Terakhir 0. SD
1. SMP
2. SMA
3. PT
KARAKTERISTIK BALITA
A5 Nama Balita
A6 Jenis Kelamin 0. Perempuan
1. Laki-laki
A7 Umur …. bulan
A8 Status Imunisasi 0. Tidak Lengkap
1. Lengkap
A9 Apakah Balita Anda
mempunyai riwayat alergi
debu?
0. Ya
1. Tidak
A10 Apakah ada anggota keluarga 0. Pernah
No. Responden
93
yang pernah didiagnosis
tuberkulosis?
1. Tidak Pernah
GEJALA INFEKSI SALURAN PERNAPASAN (ISPA)
B1 Dalam 2 minggu terakhir,
apakah Balita Anda pernah
mengalami demam?
0. Pernah
1. Tidak
B2 Dalam 2 minggu terakhir,
apakah Balita Anda pernah
mengalami batuk?
0. Pernah
1. Tidak
B3 Dalam 2 minggu terakhir,
apakah Balita Anda pernah
mengalami pilek?
0. Pernah
1. Tidak
B4 Dalam 2 minggu terakhir,
apakah Balita Anda pernah
mengalami radang
tenggorokan?
0. Pernah
1. Tidak
B5 Apakah Anda membawa
balita Anda berobat ke
Puskesmas saat mengalami
gajala ISPA?
0. Ya
1. Tidak
KONDISI LINGKUNGAN DALAM RUMAH
C1 Berapa anggota keluarga
yang tinggal dalam satu
rumah?
…. Orang
C2 Dimana biasanya balita Anda
menghabiskan waktu untuk
bermain di rumah?
0. dalam rumah
1. luar rumah
C3 Apakah Anda menggunakan
obat nyamuk?
0. Ya
1. Tidak (lanjut C6)
C4 Jenis obat nyamuk apa yang
Anda gunakan?
0. Obat nyamuk
1. Spray
2. Lotion
C5 Dimana biasanya Anda
meletakkan obat
nyamuk/spray?
0. Ruang keluarga
1. Kamar tidur
C6 Apakah pada Anda membuka
jendela pada pagi hari dan
sore hari?
0. Tidak
1. Ya
94
C7 Apakah ada anggota keluarga
yang merokok?
0. Ya
1. Tidak
C8 Dimana tempat biasa anggota
keluarga Anda merokok?
0. Dalam rumah
1. Luar rumah
LEMBAR PENGUKURAN
PEMANTAUAN KUALITAS UDARA DALAM RUANG RUMAH
Menit ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-
rata
Suhu udara
Kelembaban
udara
95
LAMPIRAN 2
HASIL OUTPUT SPSS
ANALISIS UNIVARIAT
Statistics
ISPA
KAT_
SUHU
KAT_K
LMB
KAT_
PDT
Status
penggunaan
obat
nyamuk
Kebiasaan
membuka
jendela
status
merokok
anggota
keluarga
N Valid 185 185 185 185 185 185 185
Missing 0 0 0 0 0 0 0
Frequency Table
ISPA
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ISPA 52 28.1 28.1 28.1
BKN ISPA 133 71.9 71.9 100.0
Total 185 100.0 100.0
KAT_SUHU
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TMS 83 44.9 44.9 44.9
MS 102 55.1 55.1 100.0
Total 185 100.0 100.0
KAT_KLMB
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
96
Valid TMS 156 84.3 84.3 84.3
MS 29 15.7 15.7 100.0
Total 185 100.0 100.0
KAT_PDT
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid TMS 159 85.9 85.9 85.9
MS 26 14.1 14.1 100.0
Total 185 100.0 100.0
Kebiasaan membuka jendela
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid tidak 64 34.6 34.6 34.6
ya 121 65.4 65.4 100.0
Total 185 100.0 100.0
status merokok anggota keluarga
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid ya 125 67.6 67.6 67.6
tidak 60 32.4 32.4 100.0
Total 185 100.0 100.0
TEMPAT MEROKOK
97
Statistics
Tempat biasa anggota keluarga
merokok
N Valid 125
Missing 0
Tempat biasa anggota keluarga merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid dalam rumah 53 42.4 42.4 42.4
luar rumah 72 57.6 57.6 100.0
Total 125 100.0 100.0
TEMPAT MEROKOK RESPONDEN DENGAN KELUHAN GEJALA ISPA
PADA BALITA
Statistics
Tempat biasa anggota keluarga
merokok
N Valid 35
Missing 0
Tempat biasa anggota keluarga merokok
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid dalam rumah 14 40.0 40.0 40.0
luar rumah 21 60.0 60.0 100.0
Total 35 100.0 100.0
ANALISIS BIVARIAT
Case Processing Summary
98
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
KAT_SUHU * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
KAT_KLMB * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
KAT_PDT * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
Kebiasaan membuka
jendela * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
status merokok anggota
keluarga * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
Status penggunaan obat
nyamuk * ISPA 185 100.0% 0 .0% 185 100.0%
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Keluhan Gejala ISPA pada Balita
Crosstab
ISPA
Total
ISPA
BKN
ISPA
KAT_PD
T
TMS Count 45 114 159
% within
KAT_PDT 28.3% 71.7% 100.0%
MS Count 7 19 26
% within
KAT_PDT 26.9% 73.1% 100.0%
Total Count 52 133 185
% within
KAT_PDT 28.1% 71.9% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
99
Pearson Chi-Square .021a 1 .885 1.000 .546
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .021 1 .884 1.000 .546
Fisher's Exact Test 1.000 .546
Linear-by-Linear
Association .021
c 1 .885 1.000 .546 .185
N of Valid Cases 185
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 7.31.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is .145.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo
results.
Risk Estimate
Value
95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
KAT_PDT (TMS / MS) 1.071 .422 2.723
For cohort ISPA = ISPA 1.051 .533 2.075
For cohort ISPA = BKN
ISPA .981 .762 1.263
N of Valid Cases 185
Hubungan Kelembaban Udara dalam Ruang dengan Keluhan Gejala ISPA
pada Balita
Crosstab
100
ISPA
Total ISPA BKN ISPA
KAT_KLM
B
TMS Count 37 119 156
% within
KAT_KLMB 23.7% 76.3% 100.0%
MS Count 15 14 29
% within
KAT_KLMB 51.7% 48.3% 100.0%
Total Count 52 133 185
% within
KAT_KLMB 28.1% 71.9% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp. Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square 9.492a 1 .002 .003 .003
Continuity Correctionb 8.156 1 .004
Likelihood Ratio 8.686 1 .003 .006 .003
Fisher's Exact Test .003 .003
Linear-by-Linear
Association 9.440
c 1 .002 .003 .003 .002
N of Valid Cases 185
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
8.15.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is -3.073.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo
results.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
101
Odds Ratio for
KAT_KLMB (TMS / MS) .290 .128 .657
For cohort ISPA = ISPA .459 .292 .719
For cohort ISPA = BKN
ISPA 1.580 1.073 2.326
N of Valid Cases 185
Hubungan Suhu Udara dalam Ruang dengan Keluhan Gejala ISPA pada
Balita
Crosstab
ISPA
Total
ISPA
BKN
ISPA
KAT_SUH
U
TMS Count 26 57 83
% within
KAT_SUHU 31.3% 68.7% 100.0%
MS Count 26 76 102
% within
KAT_SUHU 25.5% 74.5% 100.0%
Total Count 52 133 185
% within
KAT_SUHU 28.1% 71.9% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square .771a 1 .380 .414 .237
Continuity Correctionb .509 1 .475
Likelihood Ratio .769 1 .381 .414 .237
Fisher's Exact Test .414 .237
Linear-by-Linear
Association .767
c 1 .381 .414 .237 .089
102
N of Valid Cases 185
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count
is 23.33.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is .876.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo
results.
Risk Estimate
Value
95% Confidence
Interval
Lower Upper
Odds Ratio for
KAT_SUHU (TMS /
MS)
1.333 .701 2.536
For cohort ISPA = ISPA 1.229 .776 1.947
For cohort ISPA = BKN
ISPA .922 .766 1.108
N of Valid Cases 185
Hubungan Kebiasaan Membuka Jendela dengan Keluhan Gejala ISPA pada
Balita
Crosstab
ISPA
Total ISPA BKN ISPA
Kebiasaan membuka tidak Count 18 46 64
103
jendela % within Kebiasaan
membuka jendela 28.1% 71.9% 100.0%
ya Count 34 87 121
% within Kebiasaan
membuka jendela 28.1% 71.9% 100.0%
Total Count 52 133 185
% within Kebiasaan
membuka jendela 28.1% 71.9% 100.0%
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square .000a 1 .997 1.000 .564
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 .997 1.000 .564
Fisher's Exact Test 1.000 .564
Linear-by-Linear
Association .000
c 1 .997 1.000 .564 .136
N of Valid Cases 185
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
17.99.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is .004.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo
results.
104
Odds Ratio for Kebiasaan
membuka jendela (tidak /
ya)
1.001 .510 1.964
For cohort ISPA = ISPA 1.001 .617 1.625
For cohort ISPA = BKN
ISPA 1.000 .827 1.208
N of Valid Cases 185
Hubungan Status Merokok Anggota Keluarga dengan Keluhan Gejala ISPA
pada Balita
Crosstab
ISPA
Total ISPA BKN ISPA
status merokok anggota
keluarga
ya Count 35 90 125
% within status merokok
anggota keluarga 28.0% 72.0% 100.0%
tidak Count 17 43 60
% within status merokok
anggota keluarga 28.3% 71.7% 100.0%
Total Count 52 133 185
% within status merokok
anggota keluarga 28.1% 71.9% 100.0%
Chi-Square Testsd
Value df
Asymp.
Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact
Sig. (1-
sided)
Point
Probability
Pearson Chi-Square .002a 1 .962 1.000 .547
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .002 1 .962 1.000 .547
Fisher's Exact Test 1.000 .547
105
Linear-by-Linear
Association .002
c 1 .962 1.000 .547 .138
N of Valid Cases 185
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is
16.86.
b. Computed only for a 2x2 table
c. The standardized statistic is -.047.
d. For 2x2 crosstabulation, exact results are provided instead of Monte Carlo
results.
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for status
merokok anggota keluarga
(ya / tidak)
.984 .496 1.949
For cohort ISPA = ISPA .988 .605 1.615
For cohort ISPA = BKN
ISPA 1.005 .828 1.219
N of Valid Cases 185
LAMPIRAN 3
106
LAMPIRAN 4
107