Hubungan Antara Somatic Tinnitus Dan Tanda Dan Gejala Disfungsi Sendi Temporomandibula
-
Upload
joko-pitoyo -
Category
Documents
-
view
85 -
download
1
Transcript of Hubungan Antara Somatic Tinnitus Dan Tanda Dan Gejala Disfungsi Sendi Temporomandibula
HUBUNGAN ANTARA SOMATIC TINNITUS DAN TANDA DAN GEJALA
DISFUNGSI SENDI TEMPOROMANDIBULA
ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: untuk menyelidiki kemungkinan hubungan antara
somatic tinnitus dan gejala disfungsi sendi temporomandibula.
Subjek dan metoda: studi ini dilakukan pada total sebanyak 318 pasien ang dipilih
secara acak (usia tengah 44,35±16,38), yang datang ke Departemen Oral
Diagnosis dan Radiology untuk perawatan gigi rutin antara November 2005 dan
2008. Seratus lima puluh satu orang pasien mengeluhkan tinnitus, sementara 167
di antara mereka bebas gejala. Pasien dievaluasi untuk pemakaian protesa,
bruxism, otalgia, hilangnya gigi posterior dan temuan disfungsi sendi
temporomandibula (TMJ), sebagai kemungkinan penyebab tinnitus. Pemeriksaan
TMJ termasuk juga: buntui TMJ, nyeri TMJ selama palpasi, nyeri pada otot-otot
pengunyahan saat palpasi, dan deviasi dan pembatasan pembukaan mulut.
Hasil: terlihat bahwa tinnitus sangat berkaitan erat dengan sia, bruxism, otalgia,
kehilangan gigi posterior, nyeri otot-otot pengunyahan, nyeri TMJ, dan adanya
bunyi TMJ (p>0,05). Di sisi lain, tidak ditemukan hubungan nyata antara tinnitus
dan pemakaian gigi tiruan sebagian dan deviasi saat rahang bergerak (p>0,05).
Kesimpulan: hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa gejala-gejala TMJ dan
keluhan tinnitus somatic harus diperhitungkan selama diagnosa banding.
PENDAHULUAN
Tinnitus bisa didefinisikan sebagai sensitivitas pendengaran yang terjadi tanpa
adanya rangsang eksternal. Tinnitus tidak dianggap sebagai suatu penyakit, tetapi
lebih dianggap sebagai suatu gejala yang bisa terjadi karena berbagai penyebab
seperti; lesi cochlear, penyakit saraf akustik, terkena suara volume tinggi, obat-
obatan atoxic, trauma arteriosklerosis, penyakit vaskuler, patologi servikal, infeksi
telinga, benda asing atau sumbatan pada helix, alergi nasal, penyekit sendi
temporomandibula (TMJ) dan depresi.
Meskipun beberapa upaya untuk menjelaskan mekanisme tinnitus melalui
berbagai teori, patofisiologi tinnitus belum belum teruraikan. Melaui suatu
penelitian epidemilogi, bisa dilihat bahwa 31% penderita dewasa kadang-kadang
bisa mengalami tinnitus, sementara 14,2% di antara mereka akan mengalami
kondisi ini dengan sering, dan 2,4% di antara mereka akan mengalaminya secara
signifikan. Telah diperlihatkan bahwa tinnitus merusak kualitas hidup dari 20%
pasien, dan 60% di antaramereka memperlihatkan gejala-gejala depresi.
Hubungan antara TMJ dan tinnitus pada awalnya dijelaskan oleh Costen,
yang menduga bahwa cabang aurikulotemporal dari saraf trigeminal dan cabang
korda timpani dari saraf fasial tertekan karena disposisi dari kondilus mandibula
ke posterior. Akibatnya, disfungsi tuba eustakhius dan perubahan tekanan
timpanik bisa terjadi, yang menyebabkakan patologi sendi temporomandibula
yang disertai dengan tinnitus, otalgia, ketidakmampuan auditorius dan aural
fullness.
Sekarang, korelasi antara penyakit TMJ dan tinnitus telah dipastikan oleh
berbagai studi. Studi epidemiologi terbaru memperlihatkan bahwa keluhan
tinnitus, sistem mastikasi dan nyeri sistem muskuler servikal disertai dengan
penyakit TMJ. Lebih jauh, degenerasi diskus TMJ berkaitan dengan tinnitus dan
nyeri otot pengunyahan; dan diindikasikan sebagai gejala disfungsi TMJ.
Telah juga diperlihatkan bahwa frekuensi tinnitus tinggi pada pasien dengna nyeri
miofasial. Pendekatan berbeda telah dilakukan untuk menjelaskan korelasi antara
penyakit TMJ dan tinnitus. Beberapa dari studi ini menduga bahwa disfungsi
sistem kraniomandibula menyebabkan hiperaktivitas dalam otot pengunyahan,
dan pertambahan dalam aktivitas ini, tertama dalam otot veli palatini dan tensor
timpani, mungkin merupakan penyebab tinnitus.
Selain itu, rangsang somatik aferen pada saraf trigeminal selama bruxism bisa
menyebabkan tinnitus dengan cara merangsang inti kompleks cochlear ventral dan
superior olivery. Juga telah diduga bahwa tekanan psikologis merangsang kedua
mekanisme. Menyinggung studi sebelumnya, keluhan tinnitus bisa
diklasifikasikan ke dalam dua kategori utama berkaitan dengna lokasinya: 1. Otic
tinnitus yang berasal dari patologi telinga dalam atau saraf akustik; dan 2. Somatic
tinnitus yang berasal dari patologi kepala leher selain telinga. Otic tinnitus bisa
berasal sebagai akibat dari peristiwa perifer, sentral atau peripheral-induced
central. Otic tinnitus dari periferal berkaitan dengan keruskaan sel rambuk
cochlear. Telah diduga bahwa gerakan molekuler dan suara sendi bertambah saat
pengangkatan streocilia dari membran techtorial dan hal ini diterima sebagai
tinnitus. Menurut teori lain, gangguan transmisi aferen spontan reguler normal
dari saraf cochlear menyebabkan . hilangnya input tonik aferen menyebabkan
hilangnya inhibisi dalam struktur akustik dari abtang otak dan akibatnya muncul
tinnitus. Teori lain yang menjelaskan otic tinnitus terlokalisir ada sumber neural
dari central tinnitus atau central neural dysfunction dengan kemajuan teknik
pencitraan fungsional; aktivasi tinnitus telah terdeteksi di banyak bagian otak.
Karena itu, perubahan aktivasi sentral menyebabkan tinnitus berkaitan dengan
sejumlah area dari inferior colliculus smapai acoustic cortex, yang merupakan
elemen lain dari sistem auditory di level lebih tinggi. Tinnitus yang sering dan
persisten, yang terlihat setelah insisi lengkap dari saraf kranial kedelapan, adalah
suatu akibat dari aktivitas saraf sentral aberrant. Di sisi lain, tinnitus disertai oleh
trauma akustik dan kehilangan pendengaran karena usia menyebabkan keruskaan
sentral dari perifer, yang disebut kerusakan dalam perifer merangsang keruskaan
sentral.
Sebuah penelitian literatur mengungkapkan bahwa hubungan antara TMJ dan
somatic tinnitus belum dijelaskan. Karena itu, tujuan dari studi ini adalah untuk
menyelidiki kemungkinan hubungan antara somatic tinnitus dan keluhan sendi
temporomandibula.
SUBJEK DAN METODA
Studi ini dilakukan pada total sejumlah 318 orang pasien yang dipilih secara acak
yang datang ke Department of Oral Diagnosis and Radioogy untuk perawatan gigi
rutin antara November 2005 dan 2008. Usia pertengahan dari pasien adalah
44,35±16m38 (usia 13 – 84 tahun). Pasien dipilih berdasarkan atas memiliki
keluhan tinnitus atau tidak. Semua partisipan adalah bangsa Kaukasia putih, tanpa
perbedaan etnik rasial di antara populasi studi. Kasus darurat tidak dimasukan,
karena pasien datang dengan keluhan utama yang dapat mengganggu diangosis
tinnitus (misalnya trauma, nyeri akut dan pembengkakan).
Pemeriksaan gigi dan otorhinolayngologic dari tiap pasine dilakukan oleh seorang
spesialis dalam diagnosis oral dan senorang spesialis dalam otorhinolaygology
dan audiology. Pasien dengan patologi utama yang bisa menyebabkan otic tinnitus
(misalnya kehilangna pendengaran, pemakaian obat atoxic, riwayat penyakit
otologic, bedah telinga, dan trauma kepala atau telinga) dan pasien yang memakai
gigi tiruam lepasan lengkap dikeluarkan dari studi. Keluhan tinnitus dari 318
pasien dicatat sebagai “ya” atau “tidak” tanpa meperhitungkan arah atau
intensitasnya.
Setelah itu, pasien TMJ diperiksa oleh seorang prostodontis. Pasien dievaluasi
untuk pemakaian protesa, buxism, otalgia, hilangnya gigi posterior dan temuan
disfungsi TMJ, sebagai suatu kemungkinan penyebab tinnitus. Pemeriksaan TMJ
juga berupa: buntui TMJ (diklasifikasikan sebagai klik, letupan dan krepitas,
tanpa memakai stetoskop); nyeri TMJ saat palpasi; nyeri otot pengunyahan
(temporal, masseter, medial dan lateral pterigoid) saat palpasi; dan deviasi dan
pembukaan mulut terbatas. Sebuah tekanan standar diaplikasikan selama palpasi
pada TMJ dan otot pengunyahan. Berdasarkan atas temuan di atas, pasien dengna
atau tanpa keluhan tinnitus lebih jauh dikelompokkan menurut ada atau tidaknya
kehilangan gigi posterior, bruxism, pemakaian gigi tiruan, otalgia dan temuan
pemeriksaan TMJ.
Semua data dianalisa secara statistik memakai Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS, V.16 Inc. Chicago, IL, USA). Cross tabulations, t-test dan chi-
square test dipakai untuk perbandingan data pada level signifikan p<0,05.
HASIL
Hubungan statistik di antara parameter yang diteliti disajikan dalam Tabel 1.
Analisis statistik dari data memperlihatkan bahwa frekuensi somatic tinnitus
secara signifikan bertambah saat usia pasien bertambah (p<0,-5). Seratus lima
puluh stu orang pasien memiliki keluhan tinnitus, sementara 167 orang
diantaranya bebas gejala. Lima puluh delapan persen pasien adalah wnaita, dan
51,7% di antara mereka mengeluhkan tinnitus. Di antara pasien pria (42%), 40,6%
mengeluhkan tinnitus. Frekuensi tinnitus secara signifikan secara signifikan dalam
wanita daripada pria (cross tabulation dan chi square test, p<0,05). 71,4% pasien
dengan otalgia mengeluhkan tinnitus, sementara 28,6% di antaranya bebas gejala,
menyebabkan hubungan signifikan otalgia dan tinnitus (p<0,05).
62,1% pasien dengan kehilangan gigi posterior memiliki gejala tinnitus,
menyebabkan hubungan signifikan antara kehilangan gigi posterior dan keluhan
tinnitus (p<0,05). Namun demikian, 37,6% pasien tanpa kehilangan gigi posterior
juga mengeluhkan keluhan yang sama. Demikian halnya, 6,5% pasien dengan
bunyi TMJ mengeluhkan tinnitus, dan akibatnya, terlihat hubungan signifikan
antara keberadaan suara TMJ dan tinnitus (p<0,05). Di sisi lain, 39,9% pasien
tanpa bunyi TMJ juga memiliki keluhan tinnitus. Dalam populasi studi, terlihat
keterbatasan membuka mulut.
Di antara 18,6% pasien dengan deviasi saat membuka mulut, 50,8% keluhan
tinnitus; sementara 46,3% pasien tanpa deviasi juga mengeluhkan tinnitus. Tidak
ada hubungan signifikan terlihat antara antara pemakai protesa dan keluhan tinnits
(p>0,05).
57,1% pasien dengan bruxism mengeluhkan tinnitus, menyebabkan hubungan
signifikan antara kedua kondisi (p<0,05). Demikian juga, terlihat hubungan
signifikan antara nyeri otot pengunyahan selama palpasi dan keluhan tinnitus
(p<0,05). 89,7% pasien dengan nyeri TMJ saat palpasi mengeluhkan tinnitus.
suatu hubungan signifikan terdeteksi antara nyeri TMJ dan keluhan tinnitus
(p<0,05).
Ketika semua data dikumpulkan, terlihat bahwa tinnitus secara signifikan
berhubungan dengan bruxism, otalgia, kehilangan gigi posterior, nyeri otot
pengunyahan, nyeri TMJ, dan keberadaan bunyi TMJ (p<0,05). Di sisi lain, tidak
ada hubungan signifikan terlihat antara tinnitus dan pemakaian gigi tiruan
sebagian, dan deviasi saat membuka rahang (Gambar 1 dan 2, p>0,05).
PEMBAHASAN
Upaya untukmenjelaskan asal dari somatic tinnitus telah dilakukan melalui teori
neural, vaskuler dan kraniosrvikal. Moller et al., menduga bahwa rangsang neural
lemniscal atau non auditory dapat merangsang tinnitus. lockwood et al., memakai
positron emission computerized tomography (PECT) untuk menjelaskan
mekanisme somatic tinnitus, dan mengamati suatu korelasi positif antara gerakan
orofasial, aliran darah dalam lobus temporal dan hypocampus. Levine
membuktikan pertambahan frekuensi tinnitus setelah trauma pada leher dan
kepala.
Disfungsi sendi temporomandibula (TMD) adalah suatu istilah yang meliputi dua
kelompok kelainan: anomali TMJ sebenarnya dan keterlibatan primer dari otot
pengunyahan (sindrom nyeri miofasial). Karena sulit untuk membedakan antara
kedua kelompok ini, kelainan ini sulit didiagnosa. TMD dapat terjadi karena
trauma, bruxism dan kehlangan igi, mengunyah satu sisi, penyakit sendi
degeneratif, ankilosis, anomali pertumbuhan, sindrom nyeri miofasial dan alasan
psikologis. Gejala sendi temporomandibula dengan bunyi sendi, nyeri saat palpasi
TMJ dan otot, bukaan mulut terbatas, deviasi, nyeri fasial kronis dan sakit kepala;
atau gejala auditori.
Patologi TMJ bisa disertai tinnitus, otalgia, ketidakamampuan auditori dan aural
fullnerss; karena disfungsi tuba eustakhius dan perubahan tekanan timpanik
terjadi. Mengikuti hipotesa tuba eustahius dari Costen, banyak peneliti mencoba
menjelaskan hubungan antara tinnitus dan TMD. Menurut hipotesa tensor
tympani, otot-otot pengunyahan dan otot tensor tympani dipersarafi oleh saraf
trigeminal; dan hiperaktivitas dari otot-otot ini menyebabkan tinnitus.
Studi sebelumnya menunjukkan hubungan antara tinnitus dan gejala TMJ tanpa
adanya penyakit telinga. Dalam studi ini, tidak satupun pasien menderita penyakt
telinga yang mungkin merupkan penyebab utama tinnitus. Hasil kami
mengungkapkan suatu hubungan nyata antara temuan TMJ dan somatic tinnitus.
Saraf vagal dan glossofaringeal secara langsung mempersarafi saluran telingan
dalam, medial dan eksternal, sementara saraf trigeminal melakukannya melalui
saraf aurikular besar. Saraf aurikular besar dan saraf fasial juga secara langsung
mempersarafi TMJ. Kaitan anatomi yang erat memperlihatkan hubungan antara
struktur neural, da patologis mengenai keseluruhan kpmpleks kepala dan leher
bisa menyebabkan gejala pada telinga.
Johansson et al membandingkan tinnitus dan pergeseran diskus pada TMJ, dan
melihat bahwa frekuensi gejala di daerah yang dipersarafi oleh saraf trigeminal
lebih tinggi pada pasien dengan tinnitus daripada yang tanpanya. Dalam studi
yang sama, diketahui bahwa keluhan tinnitus berkaitan dengan keluhan nyeri zona
diskuts dan mata posterior. Juga diperlihatkan bahwa pergeseran diskus
menyebabkan iritasi mekanis dari aurikulotemporal, lingual dan inferior saraf
alveolar atau cabang saraf motor seperti saraf masseter dan temporal posterior
dalam.
Pendekatan phylogenetic dan embryogenic menduga bahwa ada suatu hubungan
neuromuskuler kompleks antara otot pengunyahan dan sistem auditoris. Hipotesa
ini dihasilkan atas teori abhwa otot tensor tympani dan veli palatini, yang
berfungsi pada pembukaan dan penutupan ostium tuba eustahius, berkaitan erat
dengan otot pengunyahan selama perkembagan embrionik. Kedua kelompok otot,
dipersarafi oleh cabang motoris dari saraf trigeminal. Akibatnya, terjadinya
disfungsi tuba eustakhius menyebabkan tinnitus.
Gangguan refleks dari otot tensor tympani dan veli palatini dan ligamen
otomandibula (disco-malleolar dan tympanomandibular) menyebabkan gejala
telingan. Karena ligamen otomandibular, gejala telingan berkenaan sendi
temporomandibula terjadi karena rangsang langsung pada malleus melalui
ligamen malleolar. Studi ini jelas memperliahtkan hubungan antara TMJ, otot
periferal, otalgia dan bruxism.
Menurut pendekatan masalah somatik berlebihan (polysymptomatic somatization
syndrome), disfungsi TMJ dan tinnitus berkaitan dengan gangguan emosional.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa stress emosional bisa menyebabkan
keluhan ini melalui somatization. Studi kami menunjukkan ahwa nyeri pada TMJ
dan otot pengunyahan dan gejala bruxism berhubungan dengan stress emosional,
dan juga tinnitus.
Lasisi et al., mengamati bahwa frekuensi tinnitus bertambah menurut usia dan
bahwa tinnitus persisten dan kronis seringkali dialami pada usia di atas 60 tahun.
Konsisten dengan temuan mereka, hasil kami memastikan pengaruh usia pada
tinnitus, dan lebih jauh menetapkan suatu hubungan nyata dalam kecenderungan
pertambahan.
Hasil studi ini menunjukkan hubungan natara TMJ, struktur muskuler perifer,
otalgia dan bruxism. Hubungan ini juga menunjukkan bahwa sensasi tinnitus dan
nyeri TMJ memakai jalur nerural inter-related.
Hasil dari studi ini memperlihatkan bahwa gejala TMJ dan keluhan somatic
tinnitus harus diperhitungkan selama diagnosa banding. Meskipun demikian,
parameter yang dipakai dalam studi ini adalah sifatnya subjektif, seperti juga
dengan banyak studi lain yang dilakukan sejauh ini. Studi lebih lanjut diperlukan
untuk menelaskan kemungkinan penyebab langsung atau tidak langsung dari
gejala TMJ dan somatic tinnitus.