HIBAH TERHADAP ANAK Antara Pemerataan dan Keadilan
Transcript of HIBAH TERHADAP ANAK Antara Pemerataan dan Keadilan
HIBAH TERHADAP ANAK Antara Pemerataan dan Keadilan
Oleh:
fAJAR IMAMUDllN NIM: 1964312814
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum fakultas Syari'ah UIN Syarff llidayatullah
Jakarta 2002 M/142311
HIBAH TERHADAP ANAK Antara Pemerataan dan KeadUan
Shripsi. Diajuhan Kepada fahultas Syari'ah untuh
Memenuhi Syarat-syarat Mencapai Gelar Sarjana Hullum Islam (SHI)
Oleh:
fAJAR IMAMUDIN NIM: 1964312814
Di Bawah Bimbingan
Drs. H. Minh jul Falah. M. A\l. NIP: 150031216
Pembimbinl! II
Jurusan Perbandingan Mazhab dan Dullum fakttltas Syari'ah UIN Syarif lllidayatullah
Jaharta 2002 M/142311
/
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul H!BAH TERHADAP ANAK ANTARA
PEMERATAAN DAN KEADilAN telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah
Fakultas Syari'ah UlN SyarifHidayatullah Jakarta, pada tanggal 06 Juli 2002. skripsi ·
ini tclah ditcrima scbagai salah satu syarat lmtuk mcmperolch gclar Sa~jana Program
Strata l (SI) pada Jurusan Perbadingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 06 Juli 2002
Mengesahkan
:r;a:;__ Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA. NIP : 150050917
Panitia Sidang Mnnaqasyah
fo{Lp__ Prof. Dr. I-1. Hasanuddin AF MA. NIP: 150050917
Sekretaris
l'embimbing !l
KATA PENGAN'fAR
Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Illahi Rabbi atas rahmat
dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat serta salam
semoga tetap dilimpahkan pada Nabi Muhammad saw. yang telah memberikan
obor kehidupan kepada umat manusia di seluruh dunia.
Penulis menyadari sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini banyak
mengalami hambatan dan rintangan. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak,
penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
I. Bapak Prof. Dr. H. Hasanuddin AF., selaku Dekan Fakultas Syari'ah.
2. Bapak Drs. H. Minhajul Falah, M.Ag., dan Bapak Jaenal Aripin, M.Ag., selaku
pembimbing skripsi.
3. Thu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo dan Bapak Jaenal Aripin. M.Ag.,
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas
Syari'ah IAIN SyarifHidayatullah Jakarta.
4. Pimpinan berserta seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Syari'ah IAIN SyarifHidayatullah Jakarta.
5. Kedua orang tua tercinta, dan adik-adikku yang kucintai.
6. Saudari Aljulaila Annita yang telah banyak memberikan motivasi dalam
penyusunan skripsi.
7. Teman-temanku HAMPA '96 yang telah banyak memberikan kontribusi yang
sangat berharga bagi penulis.
8. Semua pihak yang tel ah membantu yang tidak mungkin penulis menyebutkan satu
persatu.
Akhirnya penulis berdo'a semoga Jasa mereka dibalas Allah dengan
ganda.
Penulis menyadari. isi dari skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan dari semua pihak untuk memberikan saran dan usu! demi
kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaai:. Amin.
Jakarta, Juni 2002 M Rabiul Awai 1423 H
Penulis
DAFTARISI
KATA PENGANTAR .............................................................................. .
DAFTARISI ................................................................................................. . Ill
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..... ........ .... .... ... ...... .......... .... .... I
B. Batasan dan Rumusan Masalah................... ............................. 3
C. Tujuan Penelitian ........................................ .............. ........ ... .... 4
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan................................. 4
E. Sistematika Penulisan............ .. . . . .. . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. ... ... . . 5
BAB II PANDANGAN UMUM TENTANG IDBAH
A. Pengertian Hibah...................................................................... 7
B. Legalitas Hibah .... ....... ..................................................... ........ 9
C. Rukun Hi bah . ... ....... ... . . .. . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . .. . . .. . . .. . . . . . . ... . .. . . . . . . .. . .. . . . . 11
D. Syarat-syarat Hibah.................................................................. 12
BAB ill HAL-HAL YANG BERKENAAN Jl)ENGAN HIBAH
A. Menghibahkan Semua Harta .. . . . .. . . . . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . 16
B. Hi bah dalam Keadaan Sakit... .. . . . .. . . . . .. . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . . .. . . . . . . .. . . . . . 17
C. Penghibahan Barang yang Tidak I Bel um Ada........................ 18
D. Rujuk dalam Hibah . .. . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . .. . ... . . . . . .. . . . .. . . . 19
E. Balasan bagi Penghibah . . . . . . . .. . . ... . . . ... . .. . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . 21
111
F. Hibah yang Tidak Boleh Ditolak ............................................. 22
G. Pujian dan Do'a bagi yang Memberi Hibah............................. 24
BAB IV KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH
A. Aspek Keadilan ............... ,........................................................ 26
B. Pen!,>uasaan Orang Tua atas Hibah untuk Anaknya ................. 28
C. Pemerataan Pemberian Kepada Anak ...................................... 29
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................... ........... ............. ....... 40
B. Saran-saran............................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAUULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Segala sesuatu yang menurut kebiasaannya untuk mendekatkan
hubungan di hati manusia, memanamkan rasa cinta di dalamnya dan
menguatkan ikatan kasih sayang adalah dituntut dan amat diharapkan
dalam pandangan hukum Islam. Tuntutan dan harapan mengenai ha!
tersebut memang berbeda-beda sesuai dengan kehutuhan manusia
terhadapnya. Apabila yang perlu diulurkan mereka itu merupakan
kebutuhan pokok bagi kehidupan mereka, maka melakukan aktifitas hi bah
tersebut merupakan yang mesti dilakukan oleh setiap individu seperti
zakat ma! (harta) yang diwajibkan oleh Allah SWT. 1
Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah SWT. dalam rangka
mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial, adalah h1bah atau pemberian.
Hibah yang dalam pengertian umum shadaqah atu hadiah, dilihat dari
aspek vertikal (hubungan n'lanusia dengan Tuhan) memiliki dimensi
taqarrub, artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketaqwaan, inilah
aspek vertikal hibah.
1 Abdurrahman al-Jaziri, a/-Fiqh Ala Mazahib al-Arba ah, (Beirut: Dar al-Fikri, Maktabah at-Tijariyah, 1987), Jilid 4, h. 480
2
Disamping hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia
di sisi lain juga dapat menimbulkan iri dan dengki, bahkan ada pula yang
menimbulkan perpecahan di antara mereka yang menerima hibah,
terutama hibah dalam keluarga. Hib.ah seorang ayah dalam keluarga
terhadap anaknya tidak sedikit yang menimbulkan iri hati, bahkan
perpecahan keluarga. Artinya hibah yang semula memiliki tujuan mulia
yaitu taqarrub dan kepedulian sosial dapat menjadi bencana dan
malapetaka dalam keluarga. 2
Inilah permasalahan yang mgm penulis bahas dalam skripsi ini,
suatu permasalahan yang mungkin banyak dihadapi dan dialami oleh
banyak orang baik di kota atau di daerah. Sengketa yang ditimbulkan
hibah boleh jadi timbul antara isteri tua dan isteri muda di mana mereka
diperlakukan tidak adil oleh suami mereka, atau masalah timbul antara
anak laki-laki dan anak perempuan di mana si ayah ingin memberikan
hibah lebih banyak kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki
dengan pertimbangan anak laki-laki kelak akan menerima warisan yang
lebih banyak dua kali lipat dibanding anak perempuan, sehingga si ayah
perlu memberikan hibah dua kali lebih banyak dibandingkan dengan
anaknya yang laki-laki agar terjadi keseimbangan.
2 Huzaemah T. Y., Prob/ema/ika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Buku 3, h. 81
3
Bo I eh jadi karena fakior bahwa anak laki-laki diberikan pendidikan
yang lebih tinggi sebagai bekal hidupnya kelak, sedangkan yang
perempuan dengan pendidikan yang pas pasan karena menurut orang tua
nantinya hanya menjadi pendamping suami sebagai ibu rumah tangga, atau
bisa jadi karena faktor kecondongan hati, seorang ayah boleh jadi
membeda-bedakan pemberian kepada anak-anaknya. Inilah pokok masalah
yang ingin penulis bahas dalam skripsi ini.
Dalam ha! ini terkadang kita berfikir kembali untuk memberikan
hibah kepada keluarga atau khususnya kepada anak-anak. Apakah
membeda-bedakan pemberian terhadap anak laki-laki dan perempuan
ataupun menyamaratakannya sudah mencakup keadilan di dalamnya ? ,
pembahasan ini merupakan tema pokok dari skripsi yang akan penulis
bahas.
Kemudian JUga tidak ketinggalan pula keadaan-keadaan atau
kondisi tertentu yang berkenaan dengan hibah, seperti halnya dengan
menghibahkan semua harta yang dimiliki, hibah dalam keadaan sakit,
rujuk dalam hibah, ha! ini juga yang melatar belakangi dalam pembahasan
1111.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Berangkat dari berbagai macam persoalan yang ada dalam masalah
hibah, maka penulis membatasi permasalahan hibah ini ditinjau dari
4
hukum Islam, bukan dari aspek ekonomi, sosial dan budaya. Yaitu penulis
akan lebih menekankan masalah ini dengan hibah terhadap anak, antara
pemerataan dan keadilan.
Untuk memudahkan dalam penibahasan skripsi ini kiranya penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
I. Bagaimana jalan yang terbaik dalam menghibahkan harta, apakah
disamaratakan ataukah dibeda-bedakan sesuai d1mgan jenis kelamin,
ataukah menurut kondisinya agar tercapai keadilan ?
2. Bagaimana nilai keadilan yang terkandung dalam hibah?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitin skripsi ini antara lain :
I. Untuk mengetahui jalan yang terbaik dalam menghibahkan harta
terhadap anak-anak.
2. Untuk mengetahui nilai keadilan yang terkandung dalam hibah.
D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode
deskriptif analisis. Penulis menganalisis data secara induktif yaitu dari
yang khusus menuju umum. Sedangkan data-data penelitian penulis
peroleh dari buku-buku sumber baik primer maupun skunder yang ada
relevannya dengan topik pembahasan. Deqgan demikian teknik
5
pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (/ibrm}'
research).
Adapun teknik penulisan berpedoman kepa.da buku "l'edoman
Sknps1, Tesis dan Desertasi hag1 JAIN Jakarta." Dengan ketentuan
sebagaiberikut:
1. Dalam daftar kepustakaan, al-Quran ditulis pada urutan pertama lalu
disusul dengan yang lain sesuai abjad.
2. Kutipan ayat-ayat al-Quran tidak diberi footnote, tetapi hanya
diberikan nama surat dan nomor ayat diakhirnya, dan terjemah dari
ayat-ayat al-Quran tersebut berpedoman kepada ''Al-Quran dan
Terjemahnya" terbitan Departemen Agama RI.
3. Dalam menterjemahkan al-Quran, hadis, kutipan dari aslinya
menggunakan satu spasi.
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan masalah, maka perm.asalahan skripsi ini
dibahas dalam lima bab, sebagai berikut:
BAB!. PENDAHULUAN, dalam bab ini diuraikan tenteng latar
belakang permasalahan, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
6
PENDANGAN UMUM TENT ANG HIBAH, dalam bab ini
diuraikan tentang pengertian hibah, legalitas hibah, serta
rukun dan syarat hibah.
BAB III HAL HAL YANG BE!}KENAAN DENGAN HIBAH, dalam
bab ini diuraikan tentang merighibahkan semua harta, hibah
ketika dalam keadaan sakit, penghibahan barang yang tidak
atau belum ada, rujuk dalam hibab, hibah yang tak boleh
ditolak, balasan bagi penghibah, pujian dan do' a bagi pemberi
hibah.
BAB IV KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH,dalam
bab ini diuraikan tentang aspek keadilan dan pemerataan
hi bah.
BAB V PENUTUP, dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan dari
rangkaian pembahasan dan sedikit saran yang penulis tujukan
kepada beberapa pihak.
BAB II
PANDANGAN UMUM TENTANG HlBAH
A. Pengertian Hibah
Kata hibah merupakan rangkaian kata dalam bahasa arab yang
berasal dari kata wahaba-yahabu-hibatan berarti memberi atau
pemberian. 1 Dalam al-Quran terdapat kata-kata yang bermakna hibah
seperti dalam firman Allah SWT.:
0
c -
Artinya: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisili Engkau seorang anak yang baik, sesungguhnya Engkau maha mendengar do 'a". ( S. Ali Imran :38)
Dalam penggunaannya hibah merupakan bentuk pemberian suka
rela kepada orang lain, baik pemberian itu berupa h~.rta atau bukan. Dalam
bidang hukum syara' hibah diartikan sebagai aqad yang pokok
persoalannya adalah pemberian harta milik seseornng kepada orang lain
tatkala masih hidup tanpa adanya imbalan.2
1 Luwis Mahluf, al-Mmyidji al-Lughah, (Beirut: Dar al-Ma,,yriq, 1973), cet.21, h.920 2 Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), Jilid 3, h. 388
7
h. 1
8
Wahbah Zuhaili mengartikan hibah sebagai akad yang dapat
memindahkan milik sesuatu tanpa perlu menukar ganti, karena dibuat
secara suka re la. 3
Mazhab Hanafi mengartikan hibah adalah memberikan suatu benda
dengan tanpa menjanjikan sesuatu imbalan.4
Mazhab Maliki mengartikan hibah sebagai akad yang memberikan
hak milik sesuatu zat tanpa imbalan kepada orang yang diberi5
Mazhab Syafii memberikan pengertian hibah adalah memberikan
milik secara sadar, bukan untuk menghormat, bukan karena mengharapkan
pahala atau karena sesuatu hajat dengan ijab dan qabul. 6
Mazhab Hambali memberikan pengertian hibah adalah pemberian
milik yang dilakukan orang dewasa terhadap sejumlah harta yang
diketahui atau tidak diketahui karena sulit mengetahuinya, harta tersebut
memang ada dapat diserahkan dalam kondisi tidak wajib dalam hidup ini
dan tanpa imbalan7
Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat dikecualikan beberapa
ha!, yaitu orang yang diperbolehkan hartanya dipergunakan oleh orang
3 Wabbah az-Zuhaili, Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), Juz 5,
4 al-Jaziri, Op cit, h.481 5 Ibid, h.483 6 Ibid, h 484 7 Ibid, h 485
9
lain tanpa bermaksud memiliki harta tersebut kepadanya yang disebut
sebagai peminjam, artinya apabila seseorang memberikan hartanya kepada
orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan hak pemilikan, maka
ha! tersebut disebut i'arah (pinjaman). Sedangkan bila pemberian suatu
barang dilakukan setelah ia meninggal dunia, disebut wasiat. Apabila
pemilikan tersebut disertai dengan imbalan maka disebut sebagai jual beli.
Hibah tidak menghendaki adanya imbalan, baik hibah kepada orang yang
sederajat ataupun kepada yang lebih rendah atau yang lebih tinggi
kedudukannya. Inilah pengertian hibah secara khusus. Adapun hibah
dalam makna umum maka ia meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Ibraa, yaitu menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.
2. Sedekah, yaitu menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain
dengan mengharapkan pahala di akhirat.
3. Hadiah, yaitu suatu pemberian kepada orang lain dengan harapan si
penerima merasa terikat untuk membalasnya.
B. Legalitas Hibah
Allah SWT mensyariatkan hibah karena di dalamnya terkandung
upaya menjinakkan hati dan memperkuat tali kasih sayang diantara
manusia, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah:
10
...dt'a ,,,..)1(J,Jl./)*d,,,'
J.J--"") J~ -~ ".&1
Artinya: "Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah saw. Bersabda: "Saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan sa/ing mencintai ". (HR.Bukhari)
Rasulullah telah mganjurkan untuk menenma hadiah sekalipun
hadiah itu sesuatu yang kurang berharga oleh sebab itu ulama berpendapat
makruh hukumnya menolak hadiah dan jangan menganggap sepele atas
pemberian orang lain meskipun hanya berupa kikil kambing.9Sabda Nabi
saw:
Artinya: "Dari Anas ia berkata: telah bersabda Rasulu/lah saw: "Seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang tentu aku akan menerimanya,dan seandainya aku diundang untuk memakan sepotong kaki tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut ".(HR.Ahmad dan Tirmidzi)
8 Abdurrahman bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Beirut: Maktabah alAshriyyah, 1997), h. 776
9 As-Shan'ani, Subulu as-Salam, (Beirut: Daral-Fikr), Juz 3, tt., h 93 10 Abdurrahman Jalaluddin bin Abi Bakar as-Suyuthi, Jami' as-Shaghir,
(Beirut:Maktabah al·lslami, 1988), Jilid 2, h 280
11
Di dalam al-Quran j uga Allah menganjurkan agar kita selalu tolong
menolong dalam kebaikan, firman Allah:
,,,. .... .Jt// ..- ....
~ I~ J t.,,___; J
Artinya: ".. tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah tolong menolong dalam dosa dan permusuhan." (QS. al-Maidah :2)
Dan dalam ayat yang lain juga Allah berfirman:
/
(\VY :oji.}I) '."..\\
Artinya: "Dan berikanlah sebagian harta yang dicintainya kepada orang yang punya hutang, anak-anak yatim, fakir miskin dan ibn sabil "(QS. al-Baqarah : 177)
C. Rukun Hibah
Adapun rukun hibah menurut jumhur ulama itu ada empat yaitu: 11
1. Pemberi, adalah orang yang memiliki barang yang diberikan, jikalau
benar ia pemilik yang sah, maka dia berhak memberi.
2. Penerima, adalah semua orang yang diberi hibah, artinya orang yang
menerima pemberian tersebut.
11 Wahbah az-Zuhaili, Op cit, h. 4
12
3. Barang yang dihibahkan, adalah sesuatu zat barang yang diserahkan
pernberi kepada penerima.
4. Shighat, adalah segala perkataan yang dituntut dalam ijab dan qabul
berupa perkataan atau perbuatan
Hibah itu sah melalui ijab dan qabul, bagaimanapun bentuk ijab
clan qabul yang ditujukan oleh pemberi harta tanpa imbalan. Misalnya
penghibah berkata: aku hibahkan kepadamu, aku berikan kepadamu atau
yang serupa dengan itu; " . sedang yang lain berkata ya aku terima
pemberianmu. Malik dan Syafii berpendapat bahwa qabul-lah yang
dipegang dalam hibah. Sedang Hanafiyah berpendapat bahwa ijab saja
sudah cukup, sedang Hambaliyah berpendapat hibah itu sah dengan
menunjukkan pemberian kepadanya, karena Nabi diberi dan memberi
hadiah, begitu pula yang dilakukan oleh para sahabat serta tidak
dinukilkan dari mereka bahwa mereka mensyaratkan ijab qabul dan yang
serupa dengan itu.
D. Syarat-syarat Hibah
Adapun mengenai syarat-syarat hi bah adalah sebagai berikut: 12
I. Syarat-syarat penghibah:
a. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan.
----------~-- .. ------·--·-·· . ·--·-12 Sayid Sabiq, Op cit, h. 389
13
b. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.
c. Penghibah itu orang dewasa, sebab anak-anak kurang
kemampuannya.
d. Penghibah tidak dipaksa, sebab hibah itu harus dilandasi dengan
keridhaan dalam keabsahannya.
2. Syarat-syarat yang diberi hibah:
a. Benar-benar ada waktu diberi hibah, bi la tidak ada atau
diperkirakan adanya misalnya berbentuk janin, maka hibahnya
tidak sah.
b. Apabila orang yang diberi hibah itu masih kecil atau gila, maka
hibah itu diambil oleh walinya.
3. Syarat-syarat barang yang dihibahkan:
a. Benar-benar ada atau wujud dalam kenyataanya sewaktu dilakukan
hi bah.
b. Hendaknya yang mempunyai nilai harga.
c. Dapat dimiliki zatnya, dapat diterimakan, yakni apa yang
dihibahkan itu apa yang biasanya dimiliki, diterima peredarannya,
dapat dipindah tangan, maka tidak sah menghibahkan air di sungai,
ikan dilaut dan burung di udara.
d. Tidak berhubungan dengan tempat milik penghibah, seperti
menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya.
14
e. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum,
kecuali bila ditentukan.
f. Barang tersebut memang secara sah milik pemberi.
Di antara syarat-syarat hibah yang terkenal adalah penerimaan (al-
qabdh), dalam ha! ini ulama berselisih pendapat apakah penerimaan itu
menjadi syarat sahnya akad atau tidak.
Imam ats-Tsauri, Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa
syarat sahnya hibah adalah penerimaan, apabila tidak diterima maka
pemberi hibah tidak terikat.
Imam Malik berpendapat bahwa hibah menjadi sah dengan adanya
penerimaan, dan boleh dipaksa untuk menerima seperti halnya jual beli,
jadi menurut Imam Malik penerimaan merupakan kelengkapan hibah
bukan syarat sahnya hibah.
!mama Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa hibah menjadi
sah dengan terjadinya akad, sedang penerimaan tidak menjadi syarat sama
sekali, baik sebagai syarat kelengkapan ataupun syarat sahnya hibah.
Pendapat ini juga dikemukakan oleh golongan Zhahiri. Tetapi dari Imam
Ahmad juga diriwayatkan bahwa penerimaan menjadi syarat sahnya hibah
pada barang yang dapat ditakar dan ditimbang. 13
13 Ibn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 347
15
Fuqaha yang tidak mensyaratkan penerimaan pada hibah berpegang
dengan dipersamakannya hibah dengan jual beli. Disamping bahwa pada
dasarnya untuk sahnya akad itu tidak dipersyaratkan adanya penerimaan,
kecuali jika ada dalil yang mensyaratkan penerimaan
Akan halnya Imam Malik menjadikan penerimaan dalam hibah
sebagai syarat kelengkapan dan sebagai kewajiban bagi orang yang diberi
hibah. Kemudian jika ia berlambat-lambat sehingga masa penerimaan
habis, karena pemberi hibah menderita sakit atau m.engalami pailit, maka
orang yang diberi hi bah ini gugur haknya. 14
14 Ibid, h. 349
BAB HI
HAL HAL YANG BERKENAAN DENGAN HIBAH
A. Menghibahkan Semua Harta
Dalam masalah menghibahkan semµa harta ada dua pendapat,
menurut jumhur ulama orang boleh menghibahkan semua apa yang
dimilikinya kepada orang lain. Yang kedua pendapat Muhammad Ibn
Hasan dan sebagian pentahqiq~ Hanafi berkata bahwa tidak sah
menghibahkan semua harta meskipun untuk kebaikan, mereka
menganggap orang yang berbuat demikian sebagai orang yang dungu dan
waj i b dibatasi tindakannya.
Orang yang sanggup bersabar atas kemiskman dan kekurangan
harta, maka tidak ada halangan baginya untuk menyedakahkan sebagian
besar hartanya atau semua hartanya, dan barang siapa menjaga dirinya
dari meminta-minta kepada manusia diwaktu dia merlukan, maka tidak
halal baginya untuk menyedekahkan sebagian hartanya atau semua
hartanya. 1
Dalam ha! ini alangkah baiknya dalam memberikan harta kepada
orang lain hendaknya tidak lebih atau tidak melampaui dari sepertiga
hartanya karena menJaga diri dari meminta-minta kepada orang lain di
1 Sayid Sabiq ,Op. cit., h. 390
16
17
waktu masih memerlukan harta akan lebih mulia dari pada ia meminta
minta kepada orang lain.
B. Hibah Ketika dalarn Keadaan Sakit
Dalam ha! ini apabila seseorang dalam keadaan sakit yang
membawa kematian memberikan hartanya kepada orang lain, maka hukum
hibahnya sama dengan hukum wasiat, yaitu dianggap sah bila yang
dihibahkan tidak lebih dari sepertiga hartanya.
Kemudian jika orang dalam keadaan sakit memberikan hartanya
kepada ahli warisnya kemudian si wahib (pemberi) ini meninggal dunia,
sementara ahli waris lainnya berpendapat bahwa pemberian itu dilakukan
dalam keadaan sakit yang membawa kematian, sementara yang menerima
hibah beranggapan bahwa pemberian itu dilakukan ketika masil) hidup,
maka orang yang menerima hibah harus mempertahankan ucapannya, jika
ia tidak dapat mempertahankan ucapannya maka hibah tersebut dianggap
diberikan dalam keadaan sakit. Dengan demikian berlakulah ketentuan
yang ada bahwa pemberian tersebut dapat diluluskan sepanjang para ahli
warisnya menyetujuinya.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa sakit yang dapat menghalangi
hibah ialah sakit yang menghawatirkan. Imam Malik menambahkan
keadaan-keadaan yang menghawatirkan, seperti t>erada diantara dua
18
barisan perang, menjelang persalinan bagi orang hamil, serta penumpang
kapal laut yang tinggi gelombangnya. Tetapi dalam ha! ini masih terdapat
perselisihan, akan halnya mengenai penyakit menalirnn, maka menurut
pendapat mreka tidak menjadi penghalang hibah.
Dan dalam ha! lain jika seorang yang sakit memberikan hibah
kepada orang lain atau ahli warisnya, kemudian ternyata ia sembuh dari
sakitnya maka hibahnya dianggap sah. 2
C. Penghibahan Barang yang Tidak/Belum Ada
Dalam hal ini tidak diperselisihkan lagi dalam Mazhab Maliki
tentang kebolehan menghibahkan barang yang tidak jelas (majhul) dan
barang yang tidak (belum) ada (ma'dum), tetapi dapat dinantikan
keberadaannya. Pendek kata adalah barang yang tidak sah dij ual menurut
syara 'dari segi ketidakjelasannya.
Sedangkan menurut Imam Syafi'i berpendapat bahwa setiap barang
yang boleh dijual boleh pula dihibahkan. Dan setiap barang yang tidak
boleh dijual tidak boleh dihibahkan, j uga setiap barang yang tidak sah
diterima maka menurutnya tidak sah pula dihibahkan, :seperti piutang dan
gadai. 3
2 Ibid, h. 391 3 lbn Rusd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972),
h. 346
19
D. Rujuk dalam Hibah
Rujuk dalam hibah atau menarik kembali pemberian, menurut
jumhur ulama berpendapat bahwa rujuk di dalam hibah itu haram
sekalipun rujuk itu dilakukan antara suami isteri, kecuali bila hibah itu
dilakukan orang tua kepada anaknya maka rujuknya diperbolehkan. 4 Sabda
Nabi saw:
,,.-·,,,., / / / () ......
"' .\'.iii ~) y1b iY' / .,. /
,,, .I -'... .,,,. ,,.,.
J>--) ~:; & .... .... /
/ - .A//'/
.o..U) • ,>
/ " I • / / ' ~ / a
• ..Ul_,_JI :JI I€.. • / ,,, ,,,. .,,...
/ . • 11
" / // ,r..J-
5 (<..>~ _r)I) 4>.-L. j!I) (£WI).;, )by.I ol)J) M g j .;,\_p -( / ,. ...
II
Artinya: Dari Jabir radhiallahu 'anhuma dari Nabi saw. Bersabda: Tidak halal bagi seorang lelaki untuk memberikan pemberian atau menghibahkan suatu hibah kemudian ia mengambil kembali pemberiannya, kecuali bila hibah itu dari orang tua kepada anaknya. Perumpamaan bagi orang yang memberikan suatu pemberian kemudian dia rujuk dida!amn)'a (menarik kembali pemberiannya) maka ia itu bagaikan anjing yang makan, lalu setelah anjing itu makan kenyang ia muntah, kemudian ia makan muntahannya kembali." (HR. Abi Dawud, an-Nasa 'i, lbn A1ajah, At-Tirmid:;i)
4 Ibid 5 Sulaiman bin Asy-ats as-Sajastani, Sunan Abu Dawud, (Riyadh: Maktabah Ma'arif,
1988), Jilid 3, h. 368
260
20
Hadis ini jelas sekali menerangkan haramnya menarik kembali
hibah yang telah diberikan. Imam Malik berkata; ora.ng tua diperbolehkan
rujuk dalam hibah yang diberikan kepada anaknya, kecuali bila barang
yang dihibahkannya telah berubah keadaanya, maka dia tidak boleh lagi
menarik kembali apa yang telah dihibahkannya. Imam Abu Hanifah
berkata; orang tua tidak boleh rujuk dalam hibah yang diberikan kepada
setiap orang yang mempunyai hubungan kerabat dengannya, dia hanya
boleh menarik kembali pemberiannya, jika hibah yang diberikan kepada
orang lain. Demikian pnla diperbolehkan menarik kembali hibah dimana
penghibah menghibahkan hartanya guna mendapatkan balasan dan
imbalan atas hibahnya, sedang orang yang diberi hibah belum
membalasnya. 6
Sabda Nabi saw:
Artinya: "Dari Umar Jbn Kha/tab berkata; dari Na bi saw. bersabda: Barang siapa hendak memberi hadiah, maka ia /ebih berhak terhadapnya se/ama ia be/um dibalas. (HR. Tirmidzi)
6 Sayid Sabiq, Op. Cit., h.390 7 Imam at-Tirmidzi, Sunan at-llrmidzi, (Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988), jilid 3, h.
21
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa penghibah yang tidak
diperbolehkan ditarik kembali adalah penghibah yang semata-mata
mernberikan tanpa merninta irnbalan, dan penghibah yang diperbolehkan
ditarik kembali pemberiannya adalah penghibah yang mernbrkan agar
pemberiannya itu diberi imbalan dan diba!a's sedang orang diberi hadiah
tidak rnembalasnya, 8
E. Balasan Bagi Penghibah
163
Dalam rnasalah hibah atau hadiah disunatkan membalas hibah atau
hadiah tersebut, sekalipun hadiah itu dari orang yang lebih tinggi kepada
orang yang lebih rendah, Sabda Rasulullah saw,:
; . 9 (cf.l,,.. rJIJ ;:, )\;:, y.I) c,?}-"~'1) ..Li'-\ o\J_;) ~~
Artinya: "Dari A 'isyah dia berkata; adalah Rasuluflah saw tefah menerima hadiah dan memba!asnya, Dan lafaz Jbn Abi Syaibah; dan memba!as dengan apa yang lebih baik darinya," (HR.Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi)
8 lbnu al-Qayyim al-juz'iyyah, !'lam al-Muwaqi 'in,(Beirut: Dar al-Jail, tt), Juz 2, h,
9 Abdullah bin lsma'il al-Bukhari, Op, cit,, h, 778
22
Rasulullah berbuat demikian itu untuk membalas kebaikan dengan
kebaikan yang semisal atau yang lebih baik lagi, sehingga tak ada
seorangpun yang menghutangkan kebajikan kepada beliau.
Diantara para ulama ada yang menjadikan keadaan manusia dalam
ha! hadiah ke dalam tiga tingkatan: 10
1. Pemberian seseorang kepada orang lain yang lebih rendah dari
dirinya, perti kepada pembantu dan yang serupa dengan itu karena
menghormati dan mengasihinya, pemberian yang demikian tidak
menghendaki balasan.
2. Pemberian orang kecil kepada orang besar untuk mendapatkan
kebutuhan manfaat, pemberian yang demkian wajib dibalas.
3. pemberian dari seseorang kepada orang la.in yang setingkat
dengannya, pemberian m1 mengandung makna kecintaan dan
pendekatan, dikatakan pula pemberian ini wajib dibalas.
Ada.pun orang yang diberikan suatu pemberian dan disyaratkan
membalasnya maka wajib baginya untuk membalasnya ..
F. Ilibah Yang Tidak Boleh Ditolak
Dalam ha! ini ada hibah dan hadiah yang tidak boleh ditolak,
Rasulullah saw bersabda:
10 Sayid Sabiq, Op. cit, h. 183
23
Artinya: "Dari lbn Umar dia berkata; relah bersabda Rasulullah saw : tiga pemberian tidak bofeh "dito/ak, yailu bantal, minyak wangi dan susu. "(HR. Tirmidzi)
Dalam hadis yang lain juga Rasulullah bersabda:
Artinya: "Dari Abi Hurairah ia berkata; telah bersabda Rasulullah saw; barang siapa lelah diberi wewangian, maka janganlah ia menolak, karena wewangian itu enteng dibawa dan harum baunya ".(HR. Muslim)
Juga dalam hadisnya yang lain Rasulullah bersabda:
Artinya: "Dari Anas bahwasanya Nabi saw tidak pernah menolak hadiah yang berupa wewangian ". (HR. Muslim)
Dari keterangan hadis di atas ada tiga macam barang yang kalau
diberikan kepada seseorang tidak boleh ditolak, yaitu bantal, susu dan
11 Imam at-Tirmidzi, Op. cit. h. 261 12 Abi al-Husein Muslin bin al-Hajaj al-Qusairi, Shahih Muslim, (Cairo: Dar al
Hadits, 1994), Juz 6, h. 72 13 Ibid, h. 73
24
minyak wangi. Nabi juga pernah menenma pemberian dari selain orang
Islam dan Rasulullah menerima pemberian tersebut. 14
G. Pujian dan Do'a bagi yang Memberi Hibah
Bagi orang yang telah memberikan. hibahnya kepada seseorang,
maka Rasulullah pun menerangkan dalam hadisnya:
'II,,,,,.,,,,,.,,.,,,, 15((f~ _;:)IJ ~ Jb ..ti\ o\JJ) J)j ~y <...r'-'°YS'
...;. ~ /
Artinya: "Dari Jabir dari Nabi saw bersabda; barang siapa yang diberi suatu pemberian maka hendaklah ia membalasnya, bi/a tidak ada maka hendalklah ia memuji pemberiannya karena orang yang telah memuji itu adalah orang yang telah bersyukur, dan barang siapa yang telah mnyembunyikannya berarli ia telah mengkufiirinya, dan barang siapa yang menyembunyikan pemberian maka bagaikan orang yang berdusta yang mengatakan apa yang tidak ada." (/-JR. Abu Dawud dan Tinnid:::i)
Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda: ...> / ,. r •J'q/ a/'/ ? o// ;_,,..;' •'-'-', ~ ,,,., •.-'/<"''/ 9/ ,,,.,,,,,.,,,,;.,,.....
J J .T-" ..,_JI ~ Lr" ~ J ~ 4\) I J-"" ,~I r' .J ,j \j -~j 0-! I :t.,.L,, I .y / / .,,,. ... "' .-:.. ,,..
. ./ ,.., / / ., / "1,,,.. .,, .I 9/ .)\ / ./ ./ ,,. / / ...
'6 ( (f-Y _;.l I , I J .J) ,_ l!_J I J ~I ...L.i_! I ft"'- 4\) I ~I _r- . .cl____y Li.l J L...<.; / ./ // ,,; ...
14 Ahmad bin Ali lbn Hajar al-Asqalani, Fathu al-Bari, (Beirut: Dar al-Fikr, It.), Juz 5, h. 511
" Sulaiman bin Asy-Ats as-Sajastani, Op. cit., h. 369
16 !mam at-Tirmidzi, Op. cit, h. 261
25
Artinya: "Dari Usamah bin Zaid berkata; Rasulullah saw bersabda; barang siapa yang mendapatkan kebajikan lalu ia mengatakan kepada orang yang membuat kebajikan itu "Jazaakallahu khaira" (semoga Allah membalasmu), maka cukup besarlah pujian itu." (HR. Tirmidzi)
Dari hadis di atas dikatakan bahwa memberikan balasan bagi
pemberi suatu pemberian itu sangat dianjurkan, tapi apabila tidak bisa
membalasnya maka cukup memuji dan mendo'akannya.
BAB IV
KEADILAN DAN PEMERATAAN DALAM HIBAH
A. Aspek Keadilan
Keadilan merupakan suatu tujuan dari risala.h ilahi,sesungguhnya
keadilan merupakan salah satu dari nilai-niiai Islam yang tinggi. hal ini
disebabkan menegakkan keadilan dan kebenaran dapat menebarkan
ketentraman, meratakan keamanan, memperkuat hubungan antara individu
dengan individu yang lain, menambah kesejahteraan dan meneguhkan
tradisi sehingga tradisi itu tidak mengalami kerusakan atau kekacauan.
Sesungguhnya keadilan itu dapat diwujudkan dengan
menyampaikan setiap hak kepada yang berhak dan dengan melaksanakan
hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah dan dengan menjauhkan diri
dari hawa nafsu melalui pembagian yang adil diantara sesama manusia. 1
Sebenarnya tugas dari para rasul tidak lain dan tidak bukan untuk
menjalankan dan melaksanakan urusan ini, sebagaimam firman Allah
dalam al-Quran:
. . ('l'O :~...\;:l\) _b.,.<i\\., , _, .,,
Artinya: "Sungguh kami telah mengutus · rasul-rasul kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan
1 Sayid Sabiq, Op. cit., h. 387
26
27
bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. al-Hadid :25)
Demikian juga dengan hibah, hibah dalam ha! ini diharapkan agar memenuhi
aspek keadilan. Yaitu membagikan suatu• hibah kepada yang berhak menerimanya
menurut kebutuhan atau proporsinya masrng-masing. Hal mi haruslah
dimusyawarahkan dengan anggota keluarga, agar antara penerima hibah yang satu
dengan yang lainnya tidak terjadi kesalahfahaman dan dapat merasakan keadilan
hibah tersebut
Dalam penjelasan tentang hukum Islam dari literatur barat
ditemukan definisi "keseluruhan khitab Allah yang mengatur kehidupan
setiap muslim dalam segala aspeknya, da.ri defnisi ini lebih dekat ke
pengertian syariah".3
Hasbi a.s-Shiddiqi memberikan definisi hukum Islam dengan
"koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syariat Islam sesuai
dengan kebutuhan masyarakat, pengertian ini lebih mendekati ke makna
fikih. 4
Untuk memberikan kejelasan tentang arti hukum Islam, perlu
diketahui arti dari kata hukum, sebenarnya tidak ada arti yang sempurna
tentang hukum. Namun untuk mendekatkan pengertian yang mudah
--- ·----~--------------
2 Fathurrahman Djamil, Fi Isa/at Hukum ]slam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), Cet 5, h. 11
3 Joseph Schaht, An Jntruduction of Islamic Law, (Oxford: University Press, 1964\, h. l 4 Muhammad Hasbi As-Shiddiqi, Fi/sajat Hukum Js/am,{Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
Cet.5, h. 44
28
difahami meski masih mengandung kelemahan, difinisi yang diambil oleh
Muhammad Muslehuddin perlu diungkapkan, menurutnya hukum adalah
sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal ataupun adat yang
dikui oleh masyarakat dan bangsa. tertentu sebagai pengikat bagi
anggotanya". 5
Bila hukum dihubungkan dengan Islam maka hukum Islam adalah
seperangkat peraturan yang berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul
tentang tingkah laku manusia mukaliaf yang diakui dan diyakini berlaku
dan mengikat semua umat yang beragama Islam.6
B. Penguasaan Orang Tua Atas HiJ>ah Untuk Anaknya
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa seorang ayah boleh menguasa1
barang yang diberikan olehnya sendiri kepada anaknya yang kecil yang
berada dalam kekuasaanya juga kepada orang dewasa yang bodoh.
Demikian pula ia boleh menguasai hibah yang diberikan orang lain kepada
keduanya. Dan cukup baginya dalam ha! penguasaan itu untuk
mempersaksikan adanya hibah dan mengumumkan nnya. Semua ini adalah
pada selain emas dan perak serta pada barang yang tidak tertentu.
5 Muslehuddin, Philosophy of Islamic Lmv and the Orientalist, (Lahore: Islamic Publication, 1980), cet 2, h. 17
6 Amir Syarifuddin, Pengertian dan Sumher Hukum Islam, (Jakarta: Departemen Agama, Bumi Aksara, 1992), b. 14
29
Imam Malik dan pengikutnya berpendapat tentang harus adanya
penguasaan pada barang yang ditempati dan dipakai. Jika pemberian
tersebut rumah yang ditempati, maka rumah tersebut harus dikosongkan,
begitu pula halnya dengan pakaian. Jika pakaian tersebut dipakai sendiri
oleh pemberi hibah, maka hibahnya tersebut batal. Adapun pada barang
barang lainnya mereka sependapat dengan para foqaha lainnya. Yakni
bahwa dalam hal ini cukup dengan pemberitahuan dan persaksian.
Mengenai emas dan perak maka pendapat yang diriwayatkan dari
Imam Malik berbeda-beda. Diriwayatkan dari padanya tentang tidak
bolehnyaseorang ayah menguasai hibahnya sendiri kepada anaknya yang
berupa emas dan perak.kecuali jika rn mengerluarkannya dari
penguasaannya kepada penguasaan orang lain. tetapi dari padanya juga
diriwayatkan tentang kebolehannya, yakni jika ia menempatkan emas dan
perak itu pada suatu wadah (peti misalnya) dan terkunci serta
dipersaksikan kepada beberapa saksi.
C. Pemerataan Pemberian Kepada .Anak
Pada bab ini akan diuraikan bagaimana sika.p yang harus diambil
oleh orang tua jika ingin memberikan hibah kepada anak-anaknya menurut
tinjauan syariat Islam tanpa mengabaikan faktor-faktor lain yang
menunjang tercapainya "Maqashid Syari'ah".
30
Tidak ada perbedaan di kalangan mayoritas ulama bahwa bagi
orang tua disunnatkan bersikap adil dan menyamaratakan pemberian
kepada anak-anaknya, dan makruh membeda bedakannya. Akan tetapi
mereka (ulama) berbeda pendapat dalam mengartikan apa yang dimaksud
dengan pemerataan (taswiyah) dalam pemberian itu. Abu Ysuf dari
kalangan Hanafiyah serta dari golongan Malikiyah dan Syafi'iyah ini
merupakan kelompok mayoritas berpendapat bahwaorang tua disunnatkan
menyamaratakan pemberian dan tidak membeda bedakan dalam pemberian
kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak
perempuan akan menerima pemberian yang sepadan dengan apa yang
diberikan anak Iaki-laki.7seperti petunjuk yang diberikan Nabi saw:
Artinya: "Dari Ibn Abbas; dari Nabi saw bersabda; bersikaplah sr;una dalam pemberian kepada anak-anakmu, jika akan melebihkan lebihkanlah anak-anak perempuan atas laki-laki. " (HR.Baihaqi)
Dari hadis di atas tampak Nabi menceritakan bersikap adil dalam
pemberian kepada anak-anak, dan kalau akan bersikap melebihkan maka
kita diperintahkan untuk melebihkan pemberian kepada anak-anak
7 Sayid Sabiq, Op. cit., h. 388 8 Abu Bakar bin Jisain al-Baihaqi, S1ma11 al-Baihaqi, (Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
lt.),h. 140
31
perempuan. Sikap adil dalam pmberian dan dalam muamalat memang
merupakan hal yang dituntut agama. Hanya saja mayoritas ulama
memandang perintah ini sebagai sunnah saja9
Musyawarah merupakan peintah Tuhan yang langsung kepada Nabi
saw sebagai teladan untuk umat. Musyawarah adalah suatu proses
pengambilan keputusan dalam masyarakat yang menyangkut kepentingan
bersama. Sedangkan mufakat adalah terjadinya persetujuan atas suatu
keputusan yang diambil melalui musyawarah. Musyawarah JUga
merupakan gambaran tentangbagaimana kaum beriman menyelesaikan
urusan sosiat mereka. 10
Sementara itu menurut Hanabilah dan Imam Muhammad dari
kelompok Hanafiyah, seorang ayah harus memberikan bagian yang sama
dalam pemberiannya seperti pembagian yang ditetapkan Allah SWT dalam
warisan. Seorang laki-laki mesti memperoleh dua bagian dari seorang
perempuan. Mereka dengan memandang bahwa pemberian ketika masih
hidup harus disamakan dan diqiyaskan dengan pemberian ketika sudah
meninggal.
Imam Ahmad sendiri mengharamkan pelebihan diantara anak bila
tidak ada ha! yang mendorong ke arah itu. Apabila ada yang mendorong
atau menghendaki pelebihan diantara anak-anak maka tidak ada halangan
9 Wahbah aj-Zuhaili, Op. cit., h. 34 10 Nurcholis Majid, Masyarakat Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), Cet.2, h. 8
32
untuk melebihkannya. Misalnya anak itu sangat membutuhkan, cacat,
buta, banyak keluarga, sibuk dengan ilmu atau kelebihan-kelebihan lain
d · II yang serupa engan 1tu.
Sayid Sabiq lebih tegas lagi menyatakan bahwa tidak dihalalkan
bagi seseorang melebihkan pemberian antar a'nak-anaknya, karena ha! itu
mengandung usaha menaburkan benih permusuhan JUga dapat
memutuskan hubungan silaturrahmi yang justru dilarang oleh Allah.
Pendapat ini sejalan dengan pendapat Imam Ahmad, Ishaq, at-Tsauri,
Thawus, dan sebagian Malikiyah. Menurut mereka melebihkan diantara
anak-anak dalam pemberian merupakan tindakan yang batil dan
menyimpang, oleh karena itu wajib bagi pelakunya untuk membatalkan
perbuatannya dan menarik pemberian tersebut. 12 Mereka berdalil dengan
apa yang diriwayatkan dari lbn Abbas dari Nabi saw:
..> • ~ ./..,.
, •. L;, .;I //.,, / ~ ..,. 1--L> I '),-..,,,,,_,.... •
/ ..
Artinya: "Dari /bn Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Persamakanlah diantara anak-anakmu didalam pemberian,
" Ibnu Qudamah, Al-Muglmy, (Riyadh: Maktabah ar-Riyadh al-Hadis, It.), Juz. 4, h. 456
12 Sayd Sabiq, Op. cit., h. 389
13 Abu Bakar Ibn Jisain a!Baihaqi, Op. cit., h. 242
l' • .,.,1 v·
33
seandainya aku hendak melebihkan seseorang, tentulah aku me!ebihkan anak-anak perempuan." (HR. Thabrani, Baihaqi)
Ada hadis lain menyatakan :
/ / '-: / / • ~ ,.
jl,.,...J\ ·,.>- ~\ . ·,.Y '-' '-' ,. ,.
/
///,p/r1
J w 4.l ..:JJ~ ,.
,1/1 // /\ _,,._., /~ o-' •/ 11<"'/
..:Jj\ Ju ..:.\J~ J.v .!J~I 01 ~L' / ,. ,.
.,,. / / / .. ,.Jf / • ,I" { / ./ • / 9/ .. "':.
Ju ~0w.:J1 ~1 L. ~ ~1
,... / 0 / ,/ 1
Ju .'-f_;:);- 1h
~ /.
~\
14 Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, Suna11 lb1111 Majjah, (Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988), Juz. 3, h. 368
34
Artinya: "Dari Sya 'bi dari Nu 'man bin Basyir ia mengatakan: Ayahku tel ah memberikan suatu pemberian kepadaku "-menurut Ismail bin Salim yang diberikan adalah seorang hamba- selanjutnya ia (Nu 'man) berkata lagi: kemudian ihuku Amrah binti Rawahah, berkata kepada ayahku: Datang/ah menghadap Rasulullah dan mintalah beliau menyaksikannya, maka ayahku datang kepada Rasulullah dan iapun berkata: Ya Rasulullah aku telah memberikan sesuatu kepada anakku Nu 'man, sementara isteriku Amrah meminta agar paduka mempersaksikan pemberian tersebut. Rasulu/lah balik bertanya; Apakah engkau mempunyai anak selain Nu 'man?" Ayahku menjawab: "Ya". Rasululah kemudian bertanya lagi: "Apakah kepada yang lain engkau berikan juga seperti yang engkau berikan kepada Nu 'man?" Ayahku menjawab: "Tidak ". Menurut sebagian ahli hadis Rasulullah kemudian berkata: "Jni adalah ketidakadilan Oaur) ". Menurut yang lain Rasu/ul/ah berkata: "Jni adalah pilih kusih (talj 'iah), maka persaksikanlah kepada se/ain aku! ". Menurut Mughirah Nabi mengatakan: "Tidakkah engkau ingin seandainya mereka (anak-anakmu) berbuat baik dan kasih sayang yang sama? ". Maka ayahku menjawab: "!ya". Menurut mujahid Nabi kemudian berkata: "bahwasanya engkau berkewajiban untuk bersikap adil kepada mereka seperti halnya mereka berkewajiban berbuat baik kepadamu". (HR. Baihaqi, Nasa'i, Jbn Nfajjah~
Hadis ini berarti menjelaskan tentang penncian keadilan yang
diperintahkan Allah di dalam kitab-Nya, yang dengannya langit dan bumi
dapat tegak berdiri dan atasnya syari'at menetapkan hukum-hukum-Nya,
maka keadilan itulah yang sesuai dengan al-Quran ketimbang qiyas
manapun dimuka bumi ini" Itulah petunjuk (dilalah) yangjelas dan kukuh.
Dengan begitu tertolaklah anggapan semua fihak yang mengatakan bahwa
setiap orang lebih berhak atas hartanya ketimbang anaknya atau manusia
lainnya, (kullu ahadin ahaqqu bimaalihi min waladihi wannaasi ajma'in),
bila seseorang lebih berhak atas hartanya , ini berarti ia boleh
103
35
membelanjakan hartanya sesuka hatinya termasuk memberikan kepada
orang lain, pengertian ini jelas bersifat umum, sedangkan perintah
keadilan bersifat khusus, jadi yang khusus mesti didahulukan dari yang
um um. 15 Tapi mazhab hambali berpendapat bahwa yang sebenarnya yang
dimaksud persamaan itu adalah menjadikan l:iagian untuk seorang laki-laki
sama dengan dua orang perempuan berdasarkan pembagian harta pusaka.
Dalam pada itu seperti dikemukakan dimuka yaitu kelompok
Hanafiyah, Asy-Syafi'i, Malik dan mayoritas ulama berpandangan bahwa
mempersamakan terhadap anak-anaknya itu hukumnya sunat, sedang
membeda-bedakan makruh hukumnya. Mereka menjawab hadis
an_nu'man dengan sepuluh jawaban, semua jawaba:n itu ternyata ditol<tk
seperti diketengahkan oleh Syaukani. 16
Jawaban pertama, bahwa harta yang dibe:rkan kepadaNu'man
adalah semua harta milik ayahnya seperti diceritakan Abu Abdi! Barri.
Jawaban ini ditolak, karena banyak riwayat hadis yang meriwayatkan
bahwa yang diberikan itu hanya sebagian, seperti hadis di atas bahwa yang
diberikan adalah seorang hamba.
Jawaban kedua, bahwa pemberian tersebut tidaklah terlaksana
(belum dilaksanakan). Yang terjadi Basyir datang kepada Nabi saw. untuk
meminta pertimbangan dalam ha! itu, lalu Nabi saw. mengisyaratkan
15 Ibn al-Qayyim al-Juziyyah, Op. cit., h. 168 16 Asy-Syaukani, Nail al-Authar, (Beirut: Dar al-Kutub al-llmiyah, 1983), Juz. 6, h.
36
kepadanya agar tidak melakukannya, maka rnpun meninggalkan
rencananya demikian riwayat at-Thabari. Jawaban ini ditolak karena
adanya perintah Nabi untuk menarik kembali pemberiannya, hal ini
menunjukkan bahwa pemberian itu benar-benar terlaksana (tanjiz), bukan
reneana belaka.
Jawaban ketiga, bahwa Nu,man itu sudah besar dan ia belum
melakukan timbang terima (qabadh) atas pemberian itu, demikian kata at
Thahawi. Jawanban ini menurutnya menyalahi kebanyakan riwayat hadis,
khususunya arja 'alw yang berarti ia menarik kembacli pemberiannya, ini
menunjukkan bahwa sebelumnya telah terjadi timbang terima, akan tetapi
yang banyak didukung banyak riwayat adalah bahwa Nu'man masih keeil,
maka ayahnyalah yang melakukan penerimaan.
Jawaban keempat, sesungguhnya ucapan Nabi Arji'hu
(kembalikanlah) adalah dalil yang sah sebab seandainya tidak sah maka
rujuknya pun tidak sah pula, Nabi menyuruh menarik kembal bukan
berarti karena hibah itu tidak sah , tapi memang seorang ayah berhak
menarik kembali pemberian atas anaknya, sekalipun yang lebih utama
orang tua tidak boleh berbuat yang demikian, namun disunatkan
mempersamakan diantara anak-anaknya. Oleh karena menarik kembali
lebih utama (rajih) maka Nabi pun memerintahkan untuk melakukannya.
Jawaban ini mengandung kelemahan, sebab yang jelas perintah tariklah
37
kembali berarii janganlah dibiarkan hibah tersebut terjadi, dan m1 tidak
berarti bahwa hibah telah dianggap sah sebelumnya.
Jawaban kelima, bahwa ucapan Nabi "asyhid 'ala hadza
ghairi"(persaksikanlah ha! ini kepada selainku), ini menunjukkan izin dari
Nabi untuk melakukan persaksian kepada orang lain, Nabi menolak
melakukan persaksian karena kedudukan beliau sebagai imam, seakan
akan Nabi menyatakan jangan aku menyaksikan, karena imam tidak Jayak
menyaksikan (bersaksi ), yang la yak bagi imam adalah menghukumi,
demikian riwayat at-Thahawi dan didukung oleh lbn Qashar. Jawaban ini
dapat disanggah bahwa tidak mesti jika imam itu tidak layak untuk
menjadi saksi, berarti ia tidak boleh menjadi saksi jika tidak ada saksi
saksi Jain, izin yang diberikan Nabi itu bersifat mencerca, bukan benar
benar izin.
Jawaban keenam, bahwa memperhatikan sabda Nabi "hendaklah
kamu memperlakukan sama antara mereka", maka ini menunjukkan
perintah yang disunahkan, menurutnya jawaban ini menarik, seandainya
benar ada kata-kata Nabi seperti itu. Ini hanyalah tarnbahan atas teks hadis
yang sebenamya tidak ada.
Jawaban ketujuh, mereka mengatakan bahwa yang dipesan Nabi
dalam hadis Nu'man adalah perintah mendekatkan bukan menyamakan
(Qaribu baina awladikum, la sawwu). Sanggahannya mereka tidak dapat
38
memenuhi perintah untuk mendekatkan, sepe1ii halnya tidak dapat
memenuhi perintah menyamakan.
Jawaban kedelapan, dalam tasybih (perumpamaan) antara
mempersamakan anak-anak dalam pemberian dengan perlakuan sama
dalam berbuat kebaikan, ini terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan
bahwa perintah tersebut adalah untuk menunjukkan kesunahan. Jawaban
ini disanggah bahwa diucapkannya kata-kata al jaur (perbuatan yang
curang atau tidak adil) untuk menunjuk sikap tidak menyamakan
pemberian dan adanya larangan untuk membeda-bedakan, ini berarti
larangan ini menunjukkan waj ib, dengan demikian maka alasan tersebut
tidak pantas untuk memalingkan dari wajib ke sunat, kalaulah ucapan itu
pantas tentulah perintah itu menunjukkan kepada sunat.
Jawaban kesembilan, apa yang dilakukan oleh Abu Bakar bahwa
dia memberikan kepada A'isyah suatu pemberian tidak kepada yang lain,
demikian pula apa yang diriwayatkan oleh at-Thahawi dari Umar bin
Khattab, bawa dia memberikan sesuatu kepada anaknya Ashim dan tidak
memberikanya kepada semua anak-anaknya, seandainya pelebihan tidak
dibolehkan, tentulah perbuatan itu tidak akan terjadi dari kedua khalifah
di atas. Jawaban ini disanggah bahwa dalam kisab A'isyah bahwa saudara
saudaranya semua ridha akan ha! tersebut, dan seperti itu pula dijawab
daiam kisah Ashirn, yakni bahwa perbuatan kedua khalifah tersebut tidak
39
dapat menjadi hujjah khususnya bila bertentangan dengan yang marfu'
(yang disandarkan kepada Nabi).
Jawaban kesepuluh, adanya ijma' bahwa seseorang boleh
memberikan hartanya kepada orang Jain (selain kepada anaknya). Apabila
seseorang diperbolehkan mengecualikan semua anaknya dari hartanya dan
memberikan kepad orang lain, mak ia boleh pula mengecualikan
memberikan hartanya kepada selain anaknya, dan jika ia boleh tidak
memperhatikan anaknya dan memperhatikan orang lain tentunya baginya
boleh tidak memperhatikan sebagian dari anak-anaknya dan
memperhatikan sebagian yang lain. jawaban ini Jemah karena didalamnya
terdapat analogi ( qiyas ), padahal nash ada.
Orang-orang yang mewajibkan persamaan, berselisih pendapat
mengenai cara mempersamakan. Sebagian orang-orang Maliki dan Syafi'i
mengatakan bahwa yang namanya adil adalah memberikan kepada anak
laki-laki dua kali lipat dari bagian anak perempuan seperti dalam warisan,
sedang yang Jain berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara anak laki
laki dan anak perempuan, karena perintah yang je:las dari masalah ini
adalah memerintahkan persamaan.
A. Kesimpulan
BABV
PENUTUP
1. Pada dasarnya berbuat adil dalam segala hal itu wajib hukumnya,
demikian juga dalam hibah .Dalam memberikan hibah kepada ank
anak sebaiknya anak laki-laki diberikan dua bagian dari pada
perempuan, karena hal ini dikiaskan pada harta pusaka dalam waris.
Karena pada akhirnya nanti anak laki-laki nanti berkewajiban
memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Sedangkan
perempuan nantinya akan mengikuti suami. Hal ini berdasarkan pada
ketentuan Allah dalam al-Qur'an tentang waris.
2. Nilai keadilan yang terkandung dalam hibah adalah memberikan
bagian kepada anak laki-laki dengan dua bagian anak perempuan. Dan
apabila akan melebihkan pemberian pada yang lain, maka ha! inipun
harus ada faktor yang dibolehkan oleh syara' rnisalnya keadaan cacat
yang menjadikan seseorang tidak dapat bekerja untuk mencari nafkah
seperti lumpuh, buta, tidak mampu bekerja, sibuk mencari ilmu, sakit
yang membutuhkan biaya besar dalam penyembuhan, dan lain-lain.
Hal ini jika ada faktor-faktor seperti di atas, maka hibah hendaknya
diberikan sesuai dengan kebutuhan, dan jika tidak ada maka pemberian
hibah sesuai dengan pembagian warisan.
40
41
B. Saran-saran
I. Kepada seluruh lapisan masyarakat khususnya umat Islam diharapkan
untuk dapat berlaku adil dalam segala hal. Karena keadilan yang
sesuai dengan hukum Allah dan · rasu!Nya akan dapat rnenciptakan
damai dan tentram.
2. Untuk orang tua yang hendak menghibahkan hartanya kepada anak
anaknya, hendaklah pemberian itu disesuaikan dengan pembagian
wansan, dan hendaklah dalam memberikan hibah itu dilandasi
musyarawah dengan para anggota keluarga
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Asqalani, Ahmad bin Ali Ibn Hajar, Fathul Bari, Beirut: Dar al-Fikri, tt., Juz 5
Baihaqi, Abu Bakar bin Jissain, Sunan al-Baihaqi, Cairo: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997
Bukhari, Abdullah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Beirut: Maktabah alAshriyyah, 1997
Djamil, Fathurrahman, DR., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997
Hasbi, Muhammad, as-Shiddiqi, Filsafat Hkum Jslam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, Cet. Ke-5
Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh 'alaMazahibi al-Arba'ah, Beirut: Dar al-Fikri, 1987
Juziyyah, Ibn al-Qayyim, !'lam al-Muwaqi 'ian, Beirut: Dar al-Jail, tt.
Mahluf, Luwis, Al-Mur!}id Ji al-Lughah wa A 'lam, Beirut: Dar al- Masyriq, 1973, Cet. Ke-21
Majid, Nurcholis, Masyarakat Religiz1s, Jakarta: Paramadina, 2000, Cet.ke-2
Muslehuddin, Philsopy of Islamic Law and The Orientalist, Lahore: Islamic Publication, 1980, Cet. Ke-2
Qazwini, Abdullah Muhammad bin Yazid, Sunan Jbn lvfaJ1ah, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988, Juz 3
Qudamah, Tun, Al- Mughyi, Riyadh: Maktabah Riyadh al-Hadits, tt., Juz. 4
Qusairi, Abi al-Husein Muslim bin al-Hajaj, Shahih Muslim, Cairo: Dar al-Hadits, 1994, Juz 6
Rusd, Ibn, Bidayah al-Mujtahidwa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Dar al-Fikri, 1972
Sabiq, Sayid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikri, 1981, Cet. Ke-4, Jilid 3
Sajastani, Sulaiman bin Asy-ats, Sunan Abu Dcnvud, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988, Juz 3
Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, Oxford: University Press, 1964
Shan'ani, Subulu as-Salam, Beirut: Dar al-Fikri, tt., Juz 3
Suyuthi, Abdurrahman Jalaluddin bi Abi Bakar, Jami' as-.Shaghir, Beirut: Dar alFikri, 1988, Jilid 2
Syrifuddin, Amir, Pengertian dan Sumber Hukum Islam, Jakarta: Departemen Agama, Bumi Aksara, 1992
Syaukani, Nail al-Authar, Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyyah, 1983, Jilid 6
Tahido Y., Huzaemah, Prof, DR., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, Riyadh: Maktabah Ma'arif, 1988
Zujaili, Wahbah, Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikri, 1998, Juz 5