HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

127
HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN SAMOSIR) TESIS O l e h T I O R I S T A 067011100/M.Kn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2008 Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Transcript of HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Page 1: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA

(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN – KABUPATEN SAMOSIR)

TESIS

O l e h

T I O R I S T A

067011100/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 2: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA

(STUDI DI KECAMATAN PANGURURAN - KABUPATEN SAMOSIR)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Program Studi Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara

O l e h

T I O R I S T A

067011100/M.Kn

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 3: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Judul Tesis : HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (STUDI DI

KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR)

Nama Mahasiswa : T i o r i s t a Nomor Pokok : 067011100 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui, Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum) K e t u a

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH.,MS.,CN) (Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota Ketua Program Studi Direktur (Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc) Tanggal Lulus : 28 Agustus 2008

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 4: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Telah diuji pada Tanggal, 28 Agustus 2008 ____________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS: Ketua : Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS.,C.N.

2. Syafnil Gani, S.H., M.Hum.

3. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.

4. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 5: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

ABSTRAK

Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan Pengadilan. Kematian akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan yaitu para ahli waris dari si meninggal. Pewarisan terjadi, bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan mereka yang sah. Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indonesia dibedakan tiga kelompok yaitu: Susunan kekeluargaan patrilineal, kekeluargaan matrilineal kekeluargaan parental. Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender, yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”. Pada masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Dalam hukum adat Batak Toba, anak perempuan tidak memperoleh hak untuk mewarisi harta peninggalan orangtuanya. Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan Batak Toba ?. Permasalahan yang akan dibahas yaitu Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan ?, Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba ?, Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba ?.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat Yuridis Empiris dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris, dilakukan guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba, kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak perempuan tidak berhak berbicara dan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 6: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

mengeluarkan pendapat di acara-acara resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini, dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli). Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap harta pusaka, anak laki-laki lebih berhak atas harta pusaka karena sebagai penerus marga bapaknya. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian warisannya telah mengalami perubahan di mana sebelumnya anak perempuan tidak mewaris terhadap harta peninggalan orangtuanya, namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta warisan dari orangtuanya. Kata-kata kunci: Waris, Anak Perempuan, Batak Toba.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 7: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

ABSTRACT

A marriage can be terminated because of death, divorce and court decision. Death will result in the transfer of right and obligation in terms of property. The right and obligation which were initially in the hands of the deceased will legally move to those the deceased has left, namely, the heirs of the deceased. Inhereting exists if one or both of the legally married couple dies. The distribution of the inheritance is very closely relaed to the exiting family kinship in traditional communities in Indonesia. Traditional communities in Indonesia are grouped into three categories such as patrilineal, matrilinela, and parental communities. In case of inheritance, patrilineal adat/customary law still distinguishes gender stating that the male group in the family is the ones who have the right to inherit the inheritance or the heirs are only men. “The struggle to create gender equalization is not an easy job to do. Women understanding and empathy in this modern era is frequently still imprisoned by the patriarchy way of thinking. In the patrilineal communities found in the areas Karo, Nias, Tapanuli, Makasar, and Lombok and in other areas in Indonesia, their sons are still regarded more precious and have higher position than their daughters. The sons are regarded as the ones who bring the descendants that pass the marga (family name) og their father to the next generation. In the adat law of Batak Toba, their daughters do not have the right ti inherit their parent’s inheritance. Is this discriminative treatment still accepted by all the daughters of Batak Toba families ? The problems to be discusesd are how the structure of kinship of Batak Toba community is related to the posistion of women (their daughters), what the position of women (their daughters) in the in heritance law in the community of Batak Toba, and whether or not there is a shift in the system of inheritance distribution in the community of Batak Toba. This descriptive study with empirical juridical method describes and explains and to find the answer concerning the questions about the stucture of kinship in the Batak Toba community in its relation to the position of women (their daughters) in the inheritance law in Batak Toba community, and the shift in the system of inheritance distribution in Batak Toba community in Pangururan Sub-district, Samosir District. The result of the this study shows the position of women in the structure of kinship in Batak Toba community which is basically still different compared to that of men. As seen in the Batak parties, women are hardly seen sitting in the front row, getting involved in a discussion, and making decision. In the scope of smaller family meeting, the women (their daughters) have been allowed to talk but only in terms of introduction such as in the tardidi ceremony (giving a name to their child), and the mangapuli ceremony (amusing a grief family). The position of both sons and daughters has together got the right/share of the parants’ inheritance. Only, in terms

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 8: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

of inherited wealth, the sons as the ones who pass their father’ family name to the next generation have more right. In Batak Toba community in Pangururan Sub-district, the inheritance distribution system has changed. Before, the women (theis daughters) did not inherit their fathers’ inheritance but now they do have it. Key words : Heir, Daughter, Batak Toba.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 9: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi

Nama : T I O R I S T A Tempat / Tanggal lahir : Rantauprapat / 24 Desember 1969 Status : Kawin Alamat : Jl. Mistar, Gang Johar No. 14, Medan

II. Keluarga

Nama suami : Hayata Monro Munthe, ST Nama anak : 1. Joy Ophelia Munthe 2. Rafael Bagasta Munthe 3. Davin Leonardo Munthe Nama ayah : Jansen Sihaloho (Alm) Nama ibu : Rosinim br. Simarmata (Alm)

III. Pendidikan Tamat tahun 1982, SD Negeri No.112134, di Rantauprapat. Tamat tahun 1985, SMP Negeri No. 1, di Rantauprapat. Tamat tahun 1988, SMEA Negeri, di Rantauprapat. Tamat tahun 2004, S1 Fakultas Hukum, Universitas Medan Area, di Medan. Tamat tahun 2008, S2 Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, di Medan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 10: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

KATA PENGANTAR

Sembah sujud dan puji syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa

di tahta-Nya yang Maha Kudus. Penulisan ini dapat diselesaikan bukan karena

kemampuan dan kepintaran saya, tapi hanya karena kasih karunia-Nyalah yang

menolong saya, sebab Dia-lah sumber pengetahuan dari segalanya.

Penulisan tesis ini berjudul “HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA (Studi Di Kecamatan Pangururan -

Kabupaten Samosir)”, merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk

memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) pada Sekolah Pascasarjana,

Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan,

dorongan masuk, masukan dan saran. Untuk itu disampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat dan amat terpelajar kepada Bapak

Komisi Pembimbing:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, sebagai Anggota Komisi

Pembimbing.

2. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., merupakan Ketua Program

Pascasarjana Magister Kenotariatan. sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

3. Syafnil Gani, SH.,M.Hum, sebagai Anggota Komisi Pembimbing.

Atas kesediaannya memberikan bimbingan penulisan yang baik, juga arahan

juga petunjuk demi kesempurnaan penulisan tesis ini mulai pemilihan judul hingga

hasil penelitian, di mana berkat bimbingan yang diberikan hingga dapat diperoleh

hasil yang maksimal.

Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen penguji

yang terhormat dan amat terpelajar yaitu:

1. Dr. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, M.A.

2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H., M.Hum, C.N.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 11: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Atas kesediannya untuk memberikan bimbingan arahan serta masukan

maupun saran terhadap penyempurnaan penyelesaian tesis ini, sejak tahap kolokium,

selesainya seminar hasil, sehingga penyelesaian tesis ini menjadi lebih terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, Sp.A (K), selaku rektor

Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan bagi

penulis untuk menyelesaikan pendidikan Magister Kenotariatan di

Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, selaku Direktris Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan para Asisten Direktris, beserta

seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan sehingga

dapat menyelesaikan studi pada program Magister Kenotariatan (M.Kn)

Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua program Magister

Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi

pada program Magister Kenotariatan (MKN).

4. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M. Hum, selaku mantan Ketua Program

Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana, atas bantuan dalam

memberikan kesempatan dan fasilitas sehingga dapat menyelesaikan studi

pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

5. Pada Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Sekolah Pascasarjana khususnya

pada Magister Kenotariatan yang telah memberikan pengetahuan sehingga

dapat menyelesaikan studi ini.

6. Para Pegawai / karyawan pada program Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara yang selalu membantu dengan sepenuh hati, terutama untuk

memperlancar wawasan administrasi yang diperlukan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 12: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

7. Bapak Christo Efrest Sitorus, S.H., M.H., selaku Hakim Pengadilan Negeri

Tarutung, yang telah memberikan bantuan dan data yang diperlukan dalam

penulisan tesis ini.

8. Bapak Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Kartolo

Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Djohan Naibaho

(dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), selaku penetua adat, yang telah banyak

memberikan bantuan dan informasi tentang adat Batak yang diperlukan dalam

penulisan tesis ini dan responden yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Kepada Sahabatku dan rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Teristimewa ucapan terima kasih kepada suami tercinta Hayata Monro

Munthe, ST, yang telah memberikan dukungan dan motivasi serta doa yang tak

henti-hentinya, serta menemani dan membantu pengetikan serta mencari bahan

literatur kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan kuliah tepat pada waktunya,

dan juga kepada anak-anakku yang tersayang Joy Ophelia Munthe, Rafael Bagasta

Munthe dan Davin Leonardo Munthe. Tak lupa ucapan terima kasih dan sayang

penulis kepada orangtuaku Jansen Sihaloho (Alm) dan Rosinim br. Simarmata

(Alm), dan ibu mertuaku S.br. Siringo-ringo, juga saudara dan iparku:

R.br.Haloho/Ir.T.Sitanggang, A.Sihaloho/N.br.Simorangkir, P.Sihaloho/ SW.

br.Simarmata, AO.Sihaloho/R.br.Simarmata, PH.Sihaloho, Amd/ D.br.Saragih,

SS, FH. Sihaloho, SH, karena berkat doa dan dorongan merekalah, penulis bisa

melanjutkan studi S2 (strata dua) pada Sekolah Pascasarjana Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, dan akhirnya dapat menyelesaikan tepat pada waktunya.

Medan, 28 Agustus 2008

Penulis,

T i o r i s t a

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 13: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ................................................................................................... i

ABSTRACT ................................................................................................. iii

RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... v

KATA PENGANTAR ................................................................................. vi

DAFTAR ISI................................................................................................ ix

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii

DAFTAR ISTILAH ................................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

B. Pemasalahan ........................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian.................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 8

E. Keaslian Penelitian ................................................................. 8

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi................................................ 9

1. Kerangka Teori................................................................ 9

2. Konsepsional ................................................................... 15

G. Metode Penelitian................................................................... 20

BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN

PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR .......................... 25

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .................................... 25

1. Sejarah Berdiri ................................................................ 27

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 14: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

2. Penduduk......................................................................... 39

B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba.............. 40

1. Sejarah Batak .................................................................. 40

2. Sistem Kekerabatan......................................................... 41

BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM

HUKUM WARIS PADA MASYARAKAT BATAK

TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN

KABUPATEN SAMOSIR........................................................ 54

A. Kedudukannya Dalam Keluarga. .......................................... 54

B. Hak Mewaris Anak Perempuan............................................. 62

BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN

DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA DI

KECAMATAN PANGURURAN

KABUPATEN SAMOSIR ........................................................ 81

A. Perkembangan Saat ini.......................................................... 81

B. Penyelesaian Sengketa Warisan............................................ 92

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 104

A. Kesimpulan ........................................................................... 104

B. Saran...................................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 106

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 15: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1 Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005......................................... 31

2 Struktur Kekerabatan Batak Toba.......................................................... 46

3 Kedudukan Anak Perempuan.................................................................. 61

4 Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris........................................ 70

5 Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan............................... 76

6 Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris.................................... 88

7 Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan................................ 89

8 Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka ................................ 92

9 Sengketa Waris Anak Perempuan........................................................... 100

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 16: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Peta Wilayah Samosir ............................................................................ 109

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 17: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DAFTAR ISTILAH Anak : anak laki-laki/putra. Arta panjaean : harta yang diterima/dibawa anak sewaktu mau menikah. Boru : anak perempuan/putri. Boruki : putriku Dalihan Na Tolu : tiga tungku. Dongan tubu : kelompok saudara dalam satu marga. Elek marboru : bersikap mengasihi atau menyayangi putri dari semarga. Hagabeon : punya banyak anak. Hamoraon : punya kekayaan. Hasangapon : punya kedudukan. Hasomalon : kebiasaan. Hela : menantu laki-laki. Manat mar dongan tubu : bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga menurut garis keturunan bapak. Maranak : mempunyai anak putra. Marhata sinamot : membicarakan berapa nilai jual dari seorang anak perempuan yang akan dinikahkan. Martarombo/martutur : menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi. Matrilineal : garis keturunan dari pihak perempuan (ibu). Parental : garis keturunan dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu. Patrilineal : garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak); Raja parhata : juru bicara dalam adat. Sari matua : sebutan untuk seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi masih ada yang belum berkeluarga. Saur matua : sebutan untuk seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah memiliki cucu. Somba mar hula hula : bersikap hormat kepada hula-hula yaitu marga dari pihak istri maupun marga ibu. Taruhon : mengantar. Umpama/Umpasa : pantun.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 18: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia sebagai salah satu negara yang berasaskan hukum

menjunjung tinggi hukum baik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam

meningkatkan taraf hidup yaitu menuju suatu masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dibutuhkan pembangunan di

berbagai bidang diantaranya di bidang ekonomi dan hukum.

Pembangunan di bidang hukum yang dirumuskan dalam Tap MPR Nomor 4

Tahun 1999 adalah:

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender1 dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai hak asasi manusia.

Pembangunan di bidang hukum, berawal dari norma-norma yang hidup di

tengah-tengah masyarakat, sehingga hukum nantinya mengabdi kepada kepentingan

1Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Edisi

Ketiga, Jakarta, 2005, hal. 353, gender berarti jenis kelamin.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 19: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

masyarakat Indonesia. Dari hasil seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum

Nasional di mana salah satu butir yang dirumuskan, menyebutkan:

”Bahwa Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan bagi Pembangunan Nasional yang menuju Unifikasi Hukum dan terutama yang akan dilakukan melalui perbuatan peraturan perundang-undangan dengan tidak mengabaikan timbul/tumbuh dan berkembangnya Hukum Kebiasaan dan Pengadilan dalam Pembinaan Hukum”.2

Namun saat ini negara Indonesia belum mempunyai hukum khusus yang

mengatur tentang pewarisan secara nasional, karena negara Indonesia terdiri dari

beragam suku, adat istiadat, bahasa, agama, sehingga menyulitkan unifikasi hukum

waris secara nasional. Oleh karena itu, berlakunya hukum waris tersebut tergantung

pada golongan penduduk yang ada terhadap hukum mana penduduk tersebut

menundukkan diri. Menurut Hilman Hadikusuma bahwa:

”Pada kenyataannya sampai saat ini bagi Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan Timur Asing (Cina) masih tetap berlaku hukum waris barat yang diatur dalam KUH Perdata buku II Bab XII-Bab XVIII. Sedangkan bagi warga negara asli masih tetap berlaku hukum waris adat yang diatur menurut susunan masyarakat adat, yang bersifat patrilinial, matrilineal dan parental/bilateral. Di samping itu bagi keluarga-keluarga Indonesia yang mentaati hukumnya melaksanakan pewarisan sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing”.3

Lebih jauh Von Savigny mengatakan bahwa ”manusia di dunia ini terdiri atas

berbagai bangsa dan tiap-tiap bangsa itu mempunyai jiwa bangsa sendiri yang disebut

2Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum

Nasional, 1976, hal. 251. 3Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991, hal. 2.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 20: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

volksgeist, jiwa bangsa ini berbeda satu dengan yang lain menurut tempat dan waktu.

Semangat atau jiwa bangsa itu terjelma dalam bahasa, adat istiadat dan organisasi

sosial”.4 “Manusia sebagai mahluk individu bisa saja mempunyai sifat untuk hidup

menyendiri tetapi manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup menyendiri.

Manusia harus hidup bermasyarakat, sebab ia lahir, hidup berkembang, dan

meninggal dunia di dalam masyarakat”.5

”Pola hidup tersebut merupakan susunan daripada kaidah-kaidah yang mencakup kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, sopan santun dan hukum. Tidak jarang bahwa suatu kepentingan manusia dilindungi oleh keempat macam kaidah tersebut, walaupun ada perbedaan-perbedaan yang hakiki dari kaidah-kaidah tersebut. Untuk menelaah perbedaan-perbedaannya, maka kaidah-kaidah tersebut perlu dihubungkan dengan adanya dua aspek hidup, yaitu pribadi dan hidup antar pribadi”.6

Bertambah dewasa umurnya maka semakin berkembang pula daya pikirnya,

sehingga pada suatu waktu ia akan memerlukan seseorang sebagai pasangan untuk

hidup bersama dan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan. Ikatan

perkawinan yang mengikat seorang pria dengan seorang wanita menyatukan mereka

secara lahir dan batin. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat, yang

mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita

untuk hidup bersama sebagai suami isteri. “Perkawinan adalah hubungan hukum

yang merupakan pertalian yang sah antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang

4H. Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004, hal. 41. 5Ibid.

6Purnadi Purbacaraka, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia, Jakarta, 1989, hal. 3.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 21: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

telah memenuhi syarat-syarat perkawinan, untuk jangka waktu yang selama

mungkin”.7

Ikatan lahir ini disebut sebagai hubungan formal yang bersifat nyata baik bagi

kedua mempelai, orang lain, atau masyarakat umum. Menurut Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya ditulis UUP)

telah mengatur bahwa seorang pria terikat perkawinan secara sah dengan seorang

wanita apabila perkawinan mereka tersebut dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya. Setelah pelaksanaan perkawinan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya kemudian dalam ayat (2) nya

perkawinan tersebut dimohonkan untuk dicatat menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Tali perkawinan yang mengikat kedua mempelai secara lahir

akan memiliki kekuatan hukum yang pasti dengan terpenuhinya ketentuan dasar

perkawinan seperti yang dimaksud di atas.

Suatu perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas putusan

Pengadilan. Kematian merupakan hal yang tak terelakkan bagi manusia. Pada saat

kematian itu datang, maka akan mengakibatkan pengalihan hak dan kewajiban dalam

bidang harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut yang pada mulanya berada di

tangan si meninggal secara hukum akan berpindah kepada mereka yang ditinggalkan

yaitu para ahli waris dari si meninggal.

7Rien G. Kartasapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara, Jakarta, Cetakan 1, 1988, hal. 97.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 22: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Pewarisan bisa terjadi terjadi bila ada yang meninggal dari sebuah perkawinan

mereka yang sah seperti yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUP bahwa

perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu dan harus memenuhi Pasal 2 ayat (2) UUP yang

menghendaki tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Pembagian harta warisan sangat berhubungan dengan susunan kekeluargaan

yang ada pada masyarakat adat di Indonesia. Masyarakat adat di Indoenesia

dibedakan tiga kelompok yaitu:

1. Susunan kekeluargaan patrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki (bapak);

2. Susunan kekeluargaan matrilineal, yaitu yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu);

3. Susunan kekeluargaan parental, yaitu dimana garis keturunan pada masyarakat ini dapat ditarik dari pihak kerabat bapak maupun dari kerabat ibu.8

Dalam hal pewarisan, hukum adat patrilineal masih membedakan gender9,

yaitu di mana pihak yang berhak sebagai penerima waris atau ahli waris adalah kaum

laki-laki saja. ”Perjuangan menciptakan kesetaraan gender tentu bukanlah hal yang

8Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,

1987, hal. 129-130. 9Sr. Alfocine Idarmeiaty Sianturi, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru, WKRI,

PPU, 2008, hal. 1., Jender adalah suatu konsep tentang perempuan atau laki-laki yang dikonstruksikan (dibentuk) budaya sehingga tidak bersifat universal. Oleh sebab jender tidak universal maka ia dapat berbeda menurut tempat, waktu, golongan masyarakat, perubahan kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan agama. Perbedaan jender antara lain: perempuan lemah, laki-laki kuat; perempuan sabar dan peka, laki-laki berani; perempuan emosional, laki-laki rasional.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 23: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

gampang. Tidak jarang, pemahaman dan empati perempuan di zaman serba modern

ini ternyata justru masih terkungkung pola pikir patriakhi”.10

Masyarakat patrilineal yang terdapat pada daerah Karo, Nias, Tapanuli,

Makasar, dan Lombok serta berbagai daerah lainnya di Indonesia masih menganggap

bahwa anak laki-laki masih lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya daripada

anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun

penerus yang membawa marga dari orang tuanya. Sebaliknya, anak perempuannya

nantinya akan ”dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga

suaminya.

Dalam masyarakat patrilineal khususnya di masyarakat adat Batak Toba di

Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir, bahwa anak laki-laki saja yang berhak

mewaris karena anak laki-laki nantinya dianggap sebagai generasi penerus

marga/clan. Dengan sistem patrilineal ini jelas anak laki-laki sebagai generasi

penerus. Sedangkan anak perempuan nantinya akan ikut suaminya kelak, tidak

mendapat hak waris, karena dia juga akan menikmati hak dari keluarga suaminya.

Apakah perlakuan diskriminatif ini kini masih diterima oleh semua anak perempuan

Batak Toba ?.

Maka dalam perkembangan saat ini perlu dilakukan penelitian tentang hak

mewaris anak perempuan terhadap harta peninggalan orangtuanya, khususnya di

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

10James P. Pardede, Berbagi Peran Dalam Mengurangi Angka Kekerasan Terhadap

Perempuan, Harian Analisa, tanggal 27 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 24: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

B. Permasalahan

Berdasarkan pada uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat

dirumuskan pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu :

1. Bagaimanakah struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya

dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten

Samosir ?

2. Bagaimanakah kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

3. Apakah ada pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak

Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir ?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

1. Untuk mengetahui struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya

dengan kedudukan anak perempuan di Kecamatan Pangururan Kabupaten

Samosir.

2. Untuk mengetahui kedudukan anak perempuan dalam hukum waris pada

masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

3. Untuk mengetahui pergeseran sistem pembagian harta warisan dalam masyarakat

Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 25: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

D. Manfaat Penelitian

Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi untuk ilmu

pengetahuan hukum, agar ilmu itu tetap hidup dan berkembang khususnya

tentang hukum waris adat pada masyarakat Batak Toba.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kepada tokoh adat,

masyarakat serta kepada dunia akademisi dan pemerintah, terkait dalam

kedudukan anak perempuan dalam memperoleh harta warisan dalam masyarakat

Batak Toba.

E. Keaslian Penelitian

Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa penelitian tentang Hak

Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi di Kecamatan

Pangururan-Kabupaten Samosir), belum pernah dilakukan.

Namun pada tahun 2003, Herlina Mariaty P., mahasiswa Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara pernah melakukan

penelitian mengenai “Perkembangan Hak Waris Anak Perempuan dan Janda Pada

Masyarakat Batak Toba di Perkotaan (Suatu Penelitian Di Kelurahan Sudi Rejo II

Kecamatan Medan Kota- Kota Medan) yang membahas:

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 26: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

1. Bagaimana prinsip dan asas hukum keluarga adat Batak Toba terhadap hak

waris anak perempuan dan janda ?

2. Bagaimana perkembangan hak waris anak perempuan dan janda dalam hukum

adat keluarga adat Batak Toba dewasa ini ?

3. Bagaimana sikap Mahkamah Agung di dalam menentukan hak mewaris anak

perempuan dan janda terhadap harta peninggalan ?

Dalam penelitian ini, ada persamaan pembahasan pada butir 2, namun karena

penelitian ini bersifat penelitian lapangan (field research) maka hasil penelitian ini

akan berbeda.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah “untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik

atau proses tertentu terjadi”11, dan “satu teori harus diuji dengan menghadapkannya

pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya”.12 “Kerangka teori

adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu

kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan

teoritis”13 bagi peneliti tentang Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat

Batak Toba (Studi di Kecamatan Pangururan-Kabupaten Samosir).

11J.J.J. M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, FE-UI, Jakarta, 1996, hal. 203. 12Ibid., hal. 16. 13M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 27: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Penelitian ini adalah penelitian yang menyangkut masalah sosial dalam

penerapannya dapat menjadi suatu penelitian hukum, sebab penelitian ini berdasarkan

penelitian lapangan yang dilihat secara empiris dalam kerangka acuan hukum yaitu

hukum waris adat yang hidup14 dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu

sendiri.

Dalam kerangka konsepsionalnya adalah merupakan kerangka yang

menggambarkan hubungan atau konsep-konsep khusus yang akan diteliti yaitu

mengenai struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba dalam kaitannya dengan

kedudukan anak perempuan dalam hak mewaris dan pergeseran hak mewaris dalam

masyarakat Batak Toba khususnya di Kecamatan Pangururan Kabupaten Samosir.

Menurut Soerjono Soekanto bahwa: “Suatu kerangka konsepsional,

merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus

yang ingin atau yang akan diteliti”.15 Oleh karena itu, pewarisan berhubungan erat

dengan harta perkawinan.

Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan

manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa, yang merupakan

peristiwa hukum dan biasa disebut meninggal dunia. Apabila ada suatu peristiwa

14Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1988,

hal. 16, menurut Soerjono Soekanto bahwa setiap masyarakat, selama hidupnya pasti pernah mengalami perubahan-perubahan. Ada perubahan-perubahan yang tidak menarik perhatian orang, ada yang pengaruhnya luas, ada yang terjadi dengan lambat, ada yang berjalan dengan sangat cepat, ada pula yang direncanakan, dan seterusnya. Bagi seseorang yang sempat melakukan penelitian terhadap susunan dan kehidupan suatu masyarakat pada suatu waktu dan membandingkannya dengan susunan serta kehidupan masyarakat tersebut pada waktu yang lampau, akan tampak perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya.

15Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indnesia (UI Press), Jakarta, 1984, hal. 132.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 28: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

hukum yaitu meninggalnya seseorang sekaligus menimbulkan akibat hukum, yaitu

tentang bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang

meninggal dunia.

Dalam pewarisan masyarakat Batak Toba, anak16 sejak dalam kandungan

sudah dianggap ahli waris, hanya status si anak ditentukan pada saat lahir apakah

laki-laki atau perempuan, sebab dalam pewarisan di Batak Toba hanya dikenal ahli

waris adalah anak laki-laki, tetapi anak perempuan tidak. Anak perempuan tidak

mewaris baik terhadap harta peninggalan/pencaharian maupun harta pusaka.

Ada beberapa alasan atau argumentasi yang melandasi sistem hukum adat

waris masyarakat patrilineal, sehingga keturunan laki-laki saja yang berhak mewaris

harta peninggalan orangtuanya yang meninggal, sedangkan anak perempuan sama

sekali tidak mewaris. Hal ini didasarkan pada anggapan kuno yang “memandang

rendah kedudukan wanita dalam masyarakat Karo khususnya, dan dalam masyarakat

Batak pada umumnya”.17 Titik tolak anggapan tersebut adalah:

a. Emas kawin, yang membuktikan bahwa perempuan dijual.

b. Adat levirat yaitu yang membuktikan bahwa perempuan diwarisi oleh saudara

dari suaminya yang meninggal.

c. Perempuan tidak mendapat warisan.

16Bandingkan, HFA. Vollmar, (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum

Perdata, Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989, hal.29 mengatakan: ” ... dalam Hukum Waris; anak yang belum lahir, tetapi diharapkan akan lahir, haruslah diperlakukan sebagai ahli waris juga (Pasal 2 KUH Perdata) .” juga lihat Pasal 836 dan Pasal 899 KUH Perdata.

17Djaja S. Meliala dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978, hal. 65.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 29: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Walaupun demikian, kenyataannya anak laki-laki merupakan ahli waris pada

masyarakat patrilineal dipengaruhi beberapa faktor sebagai berikut:

a. Silsilah keluarga didasarkan pada anak laki-laki (anak perempuan tidak

melanjutkan silsilah).

b. Dalam keluarga, istri bukanlah kepala keluarga.

c. Anak perempuan tidak dapat mewakili orangtuanya karena ia nantinya masuk

dalam anggota keluarga suaminya.

Di dalam masyarakat patrilineal khususnya Batak Toba, apabila anak

perempuan sudah kawin, ia dianggap tergolong kelompok suaminya. Dalam

masyarakat Batak Toba, anak perempuan yang sudah kawin menjadi golongan

parboru (contohnya: bila ada acara adat, yang salah satu pihak semarga dengan anak

perempuan tersebut maka dia menjadi pihak parboru).

Namun dalam perkembangannya saat ini, peranan anak perempuan/kaum

wanita sudah terlihat di dalam masyarakat baik dalam lapangan keagamaan, lapangan

ekonomi, pertanian perdagangan, bahkan menteri dan lapangan lainnya. Akan tetapi

walau bagaimanapun masalah tinggi rendahnya kedudukan seorang wanita dapat

dilihat dalam peranannya di dalam masyarakat.

Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris adalah seorang yang telah

meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah harta kekayaan, baik harta itu

diperoleh selama dalam perkawinan maupun harta pusaka, karena di dalam hukum

adat perkawinan Batak Toba yang mamakai marga itu berlaku keturunan patrilienal,

maka orangtua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang laki-laki dan hanya anak

laki-laki yang merupakan ahli waris dari orangtuanya. Akan tetapi anak laki-laki

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 30: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

tidak dapat membantah pemberian kepada anak perempuan, demikian sebaliknya.

Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa orangtua (pewaris) bebas menentukan untuk

membagi-bagi harta benda kepada anak-anaknya berdasarkan kebijaksanaan orangtua

yang tidak membedakan kasih sayang kepada anak-anaknya.

Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris pada

masyarakat Patrilineal, terdiri atas:

a. Anak laki-laki.

Yaitu semua anak laki-laki yang sah yang berhak mewarisi seluruh harta

kekayaan, baik harta pencarian maupun harta pusaka. Jumlah harta kekayaan

pewaris dibagi sama di antara para ahli waris. Apabila pewaris tidak

mempunyai anak laki-laki, yang ada hanya anak perempuan dan istri, maka

harta pusaka tetap dapat dipakai, baik oleh anak-anak perempuan maupun istri

seumur hidupnya, setelah itu harta pusaka kembali kepada asalnya.

b. Anak angkat.

Anak angkat hanya berhak atas harta pencaharian/harta bersama orangtua

angkatnya. Sedangkan untuk harta pusaka, anak angkat tidak berhak.

c. Ayah dan ibu serta saudara-sudara sekandung si pewaris.

Apabila anak laki-laki yang sah maupun anak angkat tidak ada, maka yang

menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara-saudara kandung si

pewaris yang mewaris bersama-sama.

d. Keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 31: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Apabila anak laki-laki yang sah, anak angkat, maupun saudara-saudara

sekandung pewaris dan ayah ibu pewaris tidak ada, maka yang tampil sebagai

ahli waris adalah keluarga terdekat dalam derajat yang tidak tertentu.

e. Persekutuan Adat.

Apabila para ahli waris yang disebutkan di atas sama sekali tidak ada, maka

harta warisan jatuh kepada persekutuan adat.

Berkaitan dengan hukum adat waris yang hanya mengakui anak laki-laki

sebagai ahli waris, maka melalui putusan Mahkamah Agung tanggal 1 Nopember

1961 No.179 K/Sip/1961 telah terjadi upaya ke arah persamaan hak antara laki-laki

dengan perempuan di Tanah Karo, meskipun putusan Mahkamah Agung ini banyak

mendapat tantangan, namun tidak sedikit pula pihak-pihak yang justru menyetujui hal

tersebut.

Adapun yang menjadi pertimbangan dari putusan Mahkamah Agung dalam

putusan tersebut, antara lain:

a. “Menimbang, bahwa keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas

anggapan, bahwa di Tanah Karo tetap berlaku selaku hukum yang hidup,

bahwa seorang anak perempuan tidak berhak sama sekali atas barang warisan

yang ditinggalkan oleh orangtuanya”.

b. “Menimbang, bahwa Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa

prikemanusiaan dan keadilan umum juga atas hakikat persamaan hak antara

wanita dan pria, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan

menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa anak

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 32: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

perempuan dan anak laki-laki dari seorang peninggal warisan, bersama-sama

berhak atas warisan, dalam arti, bahwa anak laki-laki sama dengan anak

perempuan”.

c. “Menimbang, bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah

Agung ini, maka juga di Tanah Karo, seorang anak perempuan harus

dianggap ahli waris yang berhak menerima bagian warisan dari orangtuanya”.

2. Konsepsional

Konsepsi adalah :

Salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition. Pentingnya defenisi operasional adalah “untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari suatu istilah yang dipakai dan dapat ditemukan suatu kebenaran”.18

Pengertian hukum waris sampai saat ini baik dalam kepustakaan ilmu hukum

Indonesia dan pendapat para ahli hukum Indonesia menggunakan istilah untuk hukum

waris masih berbeda-beda. Seperti Wirjono Prodjodikoro, menggunakan istilah

“hukum warisan”.19 Hazairin, mempergunakan istilah “hukum kewarisan”20 dan

Soepomo menyebutkannya dengan istilah “hukum waris”.21

Dari istilah yang dikemukakan ketiga para ahli hukum Indonesia, baik tentang

penyebutan istilah maupun berkenaan dengan pengertian hukum waris itu sendiri,

18Rusdi Malik, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal. 15.

19Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, hal. 8. 20Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur,an, Tintamas, Jakarta, hal. 1 21Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996, hal. 72.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 33: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

maka dalam penulisan ini lebih cenderung mengikuti istilah dan pengertian dari

hukum waris sebagaimana yang digunakan oleh Soepomo.

Beberapa pengertian hukum waris sebagai berikut:

Soepomo menerangkan bahwa “hukum waris memuat peraturan-peraturan

yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan

barang-barang yang tidak berwujud benda (immateriele goederen) dari suatu

angkatan manusia (generatie) kepada turunannya”.

Menurut Pitlo bahwa hukum waris adalah kumpulan peraturan, yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka maupun dalam hubungan mereka dengan pihak ketiga.22

Sedangkan menurut J. Satrio bahwa:

Hukum waris menurut para sarjana pada pokoknya adalah peratutan yang mengatur perpindahan kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Intinya adalah peraturan yang mengatur akibat-akibat hukum dari kematian seseorang terhadap harta kekayaannya yang berwujud; perpindahan dari kekayaan dari si pewaris dan akibat hukum perpindahan tersebut bagi para ahli waris, baik dalam hubungan antara sesama ahli waris maupun antara mereka dengan pihak ketiga.23

Lebih jauh lagi, B. Ter Haar Bzn memberikan rumusan hukum waris

sebagaimana yang dialihbahasakan oleh K.Ng. Soebekti Poesponoto, sebagai berikut

“hukum waris adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad-

22A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta,

1990, hal. 1. 23J. Satrio, Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992, hal. 8.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 34: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak

berwujud dari generasi ke generasi.24

Dari uraian di atas masalah pewarisan terjadi karena:

1) adanya orang yang meninggal,

2) adanya harta yang ditinggalkan,

3) adanya ahli waris.

Istilah “hukum waris” mengandung pengertian yang meliputi kaedah-kaedah

dan asas-asas yang mengatur proses beralihnya harta benda dan hak-hak serta

kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia. Dalam rangka memahami

kaedah-kaedah serta seluk beluk hukum waris perlu diuraikan beberapa istilah yang

berkaitan dengan hukum waris, antara lain:

a. Waris, istilah ini berarti orang yang berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal.

b. Warisan, berarti sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka.

c. Pewaris, berarti orang yang mewariskan. d. Ahli waris, berarti orang yang berhak menerima warisan (harta pusaka). e. Mewarisi, berarti memperoleh warisan. f. Proses pewarisan, berarti cara atau perbuatan mewarisi atau mewariskan.25

Berdasarkan hukum adat harta yang diperoleh selama perkawinan dengan

sendirinya akan menjadi harta bersama diantara suami isteri meskipun masih terdapat

variasi, misalnya di dalam masyarakat yang patrilineal harta kekayaan yang berasal

dari kerabat isteri dalam kawin ambil anak tidak dibenarkan hukum untuk dijadikan

24K. Ng. Soebakti Poesponoto, Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,

1960, hal. 197. 25Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit, hal. 1269.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 35: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

sebagai lembaga kekayaan bersama. Misalnya kebiasaan di daerah Jawa, seorang

laki-laki yang miskin kawin dengan seorang wanita yang kaya, maka dalam hal ini

juga tidak terwujud lembaga kekayaan bersama. Sebab kekayaan yang timbul dalam

perkawinan itu dianggap sebagai hasil dari modal kekayaan isteri.

Setiap perkawinan tidak terlepas dari adanya harta benda baik yang ada

sebelum perkawinan maupun yang ada setelah perkawinan. Harta benda tersebut juga

diatur dalam Pasal 35 UUP sampai dengan Pasal 37 UUP. Ada 2 (dua) macam harta

benda dalam perkawinan menurut UUP, yaitu:

1) Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Asal

darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu didapat dari

isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama suami-isteri.

2) Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri

kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik

sebagai hadiah atau warisan.

Berdasarkan definisi ayat (1) Pasal 35 UUP yang disebut harta bersama ialah

harta yang diperoleh selama perkawinan antara suami isteri. Asas harta bersama ini

pokok utamanya ialah segala milik yang diperoleh selama perkawinan adalah harta

pencaharian bersama dan dengan sendirinya menjadi lembaga harta bersama yang

biasa disebut harta syarikat.

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus

didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditemukan, yaitu :

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 36: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

a. Menurut Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam harta benda dalam

perkawinan, yaitu :

1) Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan.

Asal darimana harta ini diperoleh tidak dipersoalkan. Apakah harta itu

didapat dari isteri atau suami, semuanya merupakan harta milik bersama

suami-isteri.

2) Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh masing-masing suami isteri

kedalam perkawinannya, harta benda yang diperoleh masing-masing baik

sebagai hadiah atau warisan.

b. Ahli waris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah

anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak berhak mewaris.

c. Menurut UUP Pasal 65 ayat (1) huruf b menentukan bahwa isteri yang

kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah

ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya.

d. Kedudukan anak tersebut dalam Pasal 42 dan Pasal 43 UUP selanjutnya diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

e. Menurut UUP, yang dikatakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan

dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42), anak yang

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan

ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43).

f. Harta warisan dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah

harta bersama yang diperoleh selama perkawinan. (Pasal 35 UUP).

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 37: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

g. Pewaris dalam hukum waris adat dalam masyarakat Batak Toba adalah

seseorang yang telah meninggal dunia.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah maka “penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu

yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan

jalan menganalisanya”.26 Untuk tercapainya penelitian ini, sangat ditentukan dengan

metode yang dipergunakan dalam memberikan gambaran dan jawaban atas masalah

yang dibahas. Ditinjau dari segi sifatnya, penelitian ini bersifat deskriptif 27,

deskriptif berarti menggambarkan serta menjelaskan struktur kekerabatan masyarakat

Batak Toba dalam kaitannya dengan kedudukan anak perempuan, kedudukan anak

perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem

pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan

Kabupaten Samosir.

Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis empiris,28 dilakukan

guna mendapatkan jawaban tentang struktur kekerabatan masyarakat Batak Toba,

kedudukan anak perempuan dalam hukum waris, dan pergeseran sistem pembagian

26Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984, hal. 43. 27Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 36 : Penelitian Deskripsi pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.. 28Ronny Hamitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 14.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 38: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan Kabupaten

Samosir.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan dan ditetapkan di Kecamatan Pangururan

Kabupaten Samosir, dengan alasan serta pertimbangan sebagai berikut:

a. Kecamatan Pangururan merupakan ibukota Kabupaten Samosir yang baru

dimekarkan pada tahun 2002. Kecamatan Pangururan berada di tengah-

tengah pulau Samosir (dikelilingi danau toba).

b. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan masih menjunjung

tinggi hukum adat termasuk hukum waris adat.

c. Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan relatif banyak

melakukan urban29 ke Kota Medan dan kota besar lainnya.

3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah seluruh orang Batak Toba yang bertempat tinggal

di Kecamatan Pangururan dari 28 desa/kelurahan yang ada di kecamatan tersebut

diambil 5 desa/kelurahan sebagai desa sampel.

Responden penelitian adalah orang yang diharapkan dapat menjawab

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sehubungan dengan permasalahan di atas. Dari

jumlah populasi 28.428 jiwa yang dijadikan responden sebanyak 30 orang.

29Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, hal. 1252, urban berarti perpindahan penduduk

dari desa ke kota.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 39: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Responden tersebut di 5 (lima) Desa. Penetapan responden tersebut dilakukan melalui

penarikan sampel yang bersifat purposive sampling30, yaitu berdasarkan

pertimbangan peneliti antara lain data responden dianggap dapat terwakili dan lokasi

penelitian yang luas, adanya keengganan masyarakat untuk dijadikan responden.

Tehnik ini dipergunakan untuk memperoleh informasi dan data yang berkaitan

dengan masalah yang dibahas, oleh karena itu dari 5 (lima) desa diambil responden

secara merata. Penetapan lokasi dilakukan berdasarkan pada pertimbangan dana,

tenaga dan waktu yang terbatas.

Dalam mendukung data primer, diperlukan informan yaitu:

a. Hakim Pengadilan Negeri 1 (satu) orang : Christo Efrest Sitorus,

b. Tokoh Adat 3 (tiga) orang: Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam

Sitanggang), Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon),

Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho).

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

2 (dua) cara yaitu :

30Ronny Hamitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 51, Purposive sampling atau penarikan sampel

bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. Untuk menentukan sampel berdasarkan tujuan tertentu haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Harus didasarkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama,

b. Subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi,

c. Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 40: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

a. Penelitian kepustakaan (library research), yaitu dengan membaca,

mempelajari dan menganalisa literatur/buku-buku, peraturan perundang-

undangan dan sumber buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research), yaitu dilakukan dengan menghimpun

data primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada

responden maupun informan, dengan mempergunakan daftar pertanyaan

sebagai pedoman wawancara dan dilakukan secara bebas terstruktur, agar

lebih mendapatkan informasi yang lebih fokus dengan masalah yang

diteliti.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat untuk mengumpulkan data dilakukan dengan:

a. Studi dokumen, yaitu mempelajari dan memahami bahan pustaka yang

berkaitan dengan objek penelitian. Studi dokumen dilakukan atas

dokumen seperti segala peraturan, buku-buku atau literatur yang berkaitan

dengan hukum waris adat Batak Toba.

b. Wawancara langsung, yaitu dengan menjumpai pihak-pihak yang terkait

yang berhubungan dengan permasalahan ini seperti hakim, dan tokoh

adat. Sebelum dilakukan wawancara maka terlebih dahulu membuat

pedoman wawancara agar pelaksanaan di lapangan menjadi lancar.

c. Kuisioner yaitu dengan mempergunakan pedoman pertanyaan yang

diberikan kepada responden.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 41: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

6. Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan tersebut dianalisis dengan

cara kualifikasi sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif,

berupa data tertulis atau lisan dari orang-orang atau prilaku yang dapat diamati.31

Selanjutnya data itu dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan analisis

dalam penulisan tesis ini. Sedangkan evaluasi dan penafsiran data dilakukan secara

kualitatif. Oleh karena itu data yang sudah dikumpulkan dipilah-pilah dan dilakukan

pengolahannya, kemudian dianalisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis. Maka

diketahui struktur kekerabatan dalam masyarakat Batak Toba, kedudukan anak

perempuan dalam hukum waris pada masyarakat Batak Toba serta pergeseran sistem

pembagian harta warisan dalam masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan

Kabupaten Samosir. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka diperoleh suatu

kesimpulan sebagai jawaban atas segala permasalahan hukum yang diteliti.

31Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001,

hal. 3.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 42: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

BAB II STRUKTUR KEKERABATAN DALAM KELUARGA

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Van Vollenhoven merupakan peletak dasar ilmu Hukum Adat, menjadi

pembangun dan pembina sistem pelajaran Hukum Adat. Ada 3 (tiga) hal penting

karya van Vollenhoven di bidang Hukum Adat yaitu:

1. menghilangkan kesalahan faham yang melihat Hukum Adat identik dengan Hukum Agama (Islam).

2. membela Hukum Adat terhadap usaha pembuat undang-undang untuk mendesak atau menghilangkan Hukum Adat, dengan menyakinkan badan tersebut bahwa Hukum Adat adalah suatu hukum yang hidup, mempunyai jiwa dan sistem sendiri.

3. membagi wilayah Hukum Adat Indonesia dalam 19 (sembilan belas) lingkungan Hukum Adat (adatrechtskringen).32

Adapun pembagian wilayah Lingkungan Hukum Adat dalam 19 (sembilan

belas) wilayah yang dibuat oleh van Vollenhoven tersebut adalah:

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue). 2. Tanah Gajo, Alas dan Batak: a. Tanah Gajo (Gajo Lueus); b. Tanah Alas; c. Tanah Batak (Tapanuli): 1). Tapanuli Utara: a). Batak Pakpak (Barus); b). Batak Karo; c). Batak Simalungun; d). Batak Toba (Samosir, Balige, Laguboti, Lumban Djulu). 2). Tapanuli Selatan: a). Padan Lawas (Tano Sapandjang); b). Angkola; c). Mandailing (Sayurmatinggi).

32Iman Soediyat, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969, hal. 51.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 43: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

2.a Nias (Nias-Selatan). 3. Tanah Minangkabau (Padang Agam, Tanah Dadatar, Lima piluhu Kota, Tanah Kampar, Korintji). 3.a Mentawai (orang Pagai).

4. Sumatera Selatan: a. Bengkulu (Redjang); b. Lampong (Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulung Bawang); c. Palembang (Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Semendo); d. Jambi (Batin dan Penghulu). 4.a Enggano. 5. Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumaterea Timur, orang Bandjar). 6. Bangka dan Belitung. 7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu, Kalimantan Tenggara, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenja, Dayak Klemanten, Dajak Landak dan Dayan Tajan, Dayak Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak Maanjan Patai, Dayak Maanjan Siung, Dayak Ngadju, Dayak Ot Danun, Dayak Penjabung Punan). 8. Minahasa (Menado). 9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo). 10. Tanah Toradja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree, Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Salaiar, Muna). 12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kepulauan Sula). 13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Aru, Kisar). 14. Irian. 15. Kepulauan Timur (Gugus Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Roti, Sawu, Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan Pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa). 17. Djawa Tengah, Djawa Timur serta Madura (Djawa Pusat, Kedu, Purworejo, Tulungagung, Djawa Timur, Surabaya, Madura). 18. Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta). 19. Djawa Barat (Priangan, Sunda, Djakarta, Banten).33 Pembagian tersebut bersifat sementara, karena dewasa ini telah terjadi tukar

menukar anggapan para anggota berbagai persekutuan Hukum Adat makin lama

33Iman Soediyat, Ibid, hal. 52-53.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 44: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

makin bertambah, dan dengan sendirinya perbedaan antara hukum berbagai

persekutuan hukum adat akan hapus atau berkurang.

“Di berbagai belahan dunia, banyak komunitas-komunitas adat harus tersungkur di tanah leluhur mereka. Demikian juga dengan nasib hidup jutaan masyarakat adat di bumi Indonesia. Kita lihat masyarakat Jumma People di Chittagong Hill, Bangladesh; Chin dan Karen di perbatasan Thailand, Kamboja dan Burma; Cordilera di Philipina; Orang Asli di Malaysia; Orang Monk di Thailand; dan komunitas-komunitas masyarakat adat dari Sumatera sampai Papua, penindasan dan pelecahan atas hak-hak meerka masih terus berlangsung sampai detik ini”.34

Menurut Iman Sudiyat hal ini terjadi “karena pengaruh kota-kota besar dan

makin meresapnya keinsafan serta kesadaran nasional sebagai warga dari Negara

Kesatuan Republik Indonesia, di samping juga resepsi hukum eropa dan keinginan

untuk mengadakan unifikasi hukum di Indonesia”.35 Lebih jauh, Iman Sudiyat

mengatakan bahwa “perbedaan tersebut bukanlah suatu perbedaan asasi, melainkan

hanya perbedaan kedaerahan (lokal) belaka”.36

1. Sejarah Berdiri37

Penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah

Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pusat dan Daerah, telah mendorong munculnya aspirasi masyarakat di daerah

untuk membentuk Kabupaten/Kota baru yang bersifat otonom. Sebab dengan status

34The International Day of World’s Indigenous Peoples: Momentum Pemajuan Hak

Masyarakat Adat di Indonesia, 9 Agustus 2006, tanpa hal. 35Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 36Iman Soediyat, Ibid, hal. 53. 37Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 45: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

daerah otonom baru, diharapkan akan memperoleh peluang untuk mengurus

daerahnya sendiri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu Kabupaten yang menjadi agenda pemekaran Kabupaten Toba

Samosir adalah membentuk Kabupaten Samosir, yang berada di tengah-tengah

Propinsi Sumatera Utara. Untuk itu kajian peningkatan pemekaran Kabupaten Toba

Samosir dengan melahirkan calon Kabupaten Samosir perlu segera dilakukan,

mengingat sudah waktunya pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

Oleh karena itu, kajian dan penelitian data perlu dilakukan untuk

mendapatkan penilaian objektif dengan berdasar pada ketentuan yang berlaku

mengingat bahwa pengelolaan potensi kekayaan yang ada di daerah memerlukan

kajian dan pengaturan yang rasional, profesional dan bertanggung jawab sesuai

dengan kondisi dan potensi daerah masing-masing.

Aspirasi masyarakat untuk memekarkan Kabupaten Samosir menjadi 2 (dua)

Kabupaten, didasarkan pada desakan masyarakat wilayah Samosir dan DPRD

Kabupaten Toba Samosir, maka Kabupaten Toba Samosir diusulkan dan

direncanakan pemekarannya yaitu:

a. Kabupaten Toba Samosir (Induk) terdiri dari 10 (sepuluh) kecamatan

yaitu Kecamatan Balige, Laguboti, Silaen, Habinsaran, Porsea,

Lumbanjulu, Uluan, Pintu Pohan Meranti, Ajibata, dan Kecamatan

Borbor.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 46: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

b. Kabupaten Samosir (Calon) terdiri dari 9 (sembilan) kecamatan yaitu

Kecamatan Pangururan, Sianjur, Mulamula, Simanindo, Nainggolan,

Onan Runggu, Palipi, Ajibata, dan Sitio-tio.

Sesuai dengan aspirasi dan argumentasi masyarakat yang disampaikan

kepada DPRD Kabupaten Toba Samosir dan Pemerintah Kabupaten Toba Samosir

serta Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah ditindaklajuti aspirasi masyarakat

tersebut dengan:

Keputusan DPRD Kebupaten Toba Samosir Nomor 4 Tahun 2002 tentang

Pembentukan Kabupaten Samosir tanggal 20 Juni 2002. Surat Bupati Toba Samosir

Nomor 1101/Pem/2002 tanggal 24 Juni 2002 yang ditujukan kepada Gubernur

Sumatera Utara. Surat Bupati Toba Samosir Nomor 135/1187/Pem/2002 tanggal 3

Juli 2002 perihal laporan tentang aspirasi masyarakat Samosir untuk membentuk

Kabupaten Samosir, yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Utara. Setiap

argumentasi dan usulan DPRD dan Bupati Toba Samosir, usulan ini diakomodir

dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan

Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai tanggal 18 Desember 2003.

Terbentuknya Samosir sebagai kabupaten baru merupakan langkah awal

untuk melalui percepatan pembangunan menuju masyarakat yang lebih sejahtera.

Tujuan pembentukannya adalah untuk menegakkan kedaulatan rakyat dalam rangka

perwujudan sosial, mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan untuk merespon

serta merestrukturisasi jajaran pemerintahan daerah dalam rangka mempercepat

proses pembangunan sehingga dalam waktu yang cukup singkat dapat sejajar dengan

kabupaten lainnya, sehingga secara langsung akan mengangkat harkat hidup

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 47: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

masyarakat yang ada di Kabupaten Samosir pada khususnya, Provinsi Sumatera Utara

pada umumnya.

Luas wilayah Kabupaten Samosir secara keseluruhan mencapai 254.715 Ha,

terdiri dari daratan seluas 144.455 Ha dan perairan danau seluas 110.260 Ha. Luas

dan batas perairan di kawasan Danau Toba belum ada ketentuan yang pasti. Namun

mengingat Pulau Samosir tepat berada dan dikelilingi oleh Danau Toba, secara

proporsional luas perairan Danau Toba yang menjadi bahagian daerah Kabupaten

Samosir sewajarnyalah merupakan bahagian yang terluas dibandingkan dengan enam

kabupaten-kabupaten lainnya di sekeliling perairan Danau Toba.

Posisi geografis Kabupaten Samosir berada pada 2°24’ - 2°45’ Lintang Utara

dan 98°21’- 99°55’ BT. Secara administratif wilayah Kabupaten Samosir diapit oleh

tujuh kabupaten, yaitu:

Sebelah Utara : Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun,

Sebelah Timur : Kabupaten Toba Samosir,

Sebelah Selatan : Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Humbahas,

Sebelah Barat : Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Barat.

Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan, 6 kecamatan berada di Pulau

Samosir di tengah Danau Toba dan 3 kecamatan di daerah lingkar luar Danau Toba

tepat pada punggung pegunungan Bukit Barisan.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini, Kecamatan Pangururan yang

merupakan bagian dari Wilayah Kabupaten Samosir ( juga merupakan salah satu dari

19 (sembilan belas) Lingkungan Hukum Adat di atas).

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 48: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Berdasarkan data statistik luas wilayah Kabupaten Samosir yang dibagi

menurut daerah masing-masing adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005 No. Kecamatan LuasWilayah

(km2) Rumah

Tangga (KK) Penduduk

(jiwa) Kepadatan (org/km2)

1 Sianjur Mula-mula 140,24 2.131 10.367 74 2 Harian 394,60 2.354 11.556 29 3 Sitio-tio 249,31 2.250 10.960 61 4 Nainggolan 87,86 2.920 18.153 207 5 Onan Runggu 59,14 2.566 14.164 239 6 Palipi 143,40 2.189 12.086 161 7 Pangururan 84,65 5.369 24.817 293 8 Ronggur Nihuta 87,15 1.717 7.350 84 9 Simanindo 198,20 4.158 20.625 104 JUMLAH 1.444,25 25.654 130.078 90

Sumber: Kantor Statistik Kecamatan Pangururan Tahun 2005.

a. Kondisi Sosial Budaya

Kondisi kependudukan maupun keadaan sosial budaya masyarakat di

Kabupaten Samosir mempunyai karakter yang khas yang memegang teguh

kebudayaan dan agama serta adat istiadat yang ada di daerah tersebut.

Kabupaten Samosir terdiri dari 9 kecamatan dengan jumlah penduduk Tahun 2004

sebanyak 130.078 jiwa (63.741 orang laki-laki dan 66.337 orang perempuan).

Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Samosir secara umum adalah

sekitar 90 jiwa/km2, kepadatan penduduk tertinggi terdapat di kecamatan Pangururan

sebanyak 293 jiwa/km2, sedangkan kepadatan terendah terdapat di Kecamatan Harian

sebesar 29 jiwa/km2.

b. Pertumbuhan Penduduk.

Berdasarkan angka hasil Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk

Berkelanjutan (P4B) tahun 2003, jumlah penduduk Kabupaten Samosir berjumlah

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 49: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

119.254, sedangkan jumlah penduduk tahun 2004 berjumlah 130.078, dengan

demikian laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2003 - 2004 adalah 9

persen.

c. Komposisi Penduduk Menurut Umur dan Jenis Kelamin.

Berdasarkan kelompok umur, penduduk Kabupaten Samosir tergolong dalam

struktur umur muda. Hal ini dapat dilihat dari persentase penduduk usia muda (0-14

tahun ) yang cukup besar, yaitu 36,72 persen. Besaran penduduk usia muda dan usia

lanjut (65 + tahun ) merupakan beban tanggungan bagi penduduk usia produktif (14-

64 tahun ), di mana persentase penduduk usia produktif tahun 2003 sebesar 55,46

persen. Hal ini memberikan implikasi bahwa kelompok umur muda perlu

mendapatkan perhatian dan pengembangan sehingga mampu menghasilkan tenaga-

tenaga terampil dan mandiri untuk mengisi pembangunan di masa yang akan datang.

Besarnya jumlah penduduk usia muda ini, berimplikasi pada beban

tanggungan penduduk usia produktif juga semakin besar. Secara kasar angka ini

dapat digunakan sebagai indikator pengukur kemajuan ekonomi suatu daerah. Rasio

ini menyatakan perbandingan penduduk berusia dibawah 15 tahun dan diatas 65

tahun yang dianggap tidak produktif secara ekonomi dengan jumlah penduduk

berusia 15 sampai 65 tahun yang dianggap produktif secara ekonomi. Makin tinggi

rasio beban tanggungan berarti semakin kecil jumlah penduduk produktif dan

semakin banyak sumber daya yang harus dibagikan kepada kelompok tidak produktif.

Beban tanggungan anak di Kabupaten Samosir pada tahun 2003 sebesar 75,08 dan

beban tanggungan usia lanjut sebesar 5,21. Hal ini bahwa setiap 100 orang penduduk

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 50: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

usia produktif menanggung sekitar 75,08 orang anak dan 5,21 orang usia lanjut.

Dengan kata lain bahwa beban tanggungan di Kabupaten Samosir masih cukup besar

yaitu mencapai 80,29. Tingginya beban tanggungan ini diduga akibat adanya

perpindahan penduduk usia produktif ke daerah lain dengan tujuan bekerja atau

melanjutkan sekolah.

d. Distribusi menurut Tingkat Pendidikan.

Rendahnya tingkat pendidikan dapat dirasakan sebagai penghambat dalam

pembangunan. Dengan demikian, tingkat pendidikan sangat diperlukan untuk

meningkatkan kesejahteraan penduduk. Keadaan seperti ini sesuai dengan hakekat

pendidikan itu sendiri, yakni merupakan usaha sadar untuk pengembangan

kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur

hidup.

Keadaan tingkat pendidikan yang ditamatkan di Kabupaten Samosir

berdasarkan hasil Susenas 2003, menunjukkan persentase penduduk usia 10 tahun ke

atas yang berhasil menamatkan pendidikan SD sampai dengan perguruan Tinggi

sebesar 76,40 persen, selebihnya sekitar 23,60 persen adalah mereka yang

berpendidikan SD ke bawah (3,60 persen yang tidak/belum pernah bersekolah dan

20,00 persen yang tidak/belum tamat SD). Dari mereka yang telah menamatkan

paling tidak SD tersebut, hanya sekitar 1,50 persen yang tamat diploma/Sarjana dan

50,80 persen tamat pendidikan menengah (21,20 persen tamat SMTP dan 29,60

persen tamat SMTA). Di satu sisi, dari setiap 1.000 orang berusia 10 tahun ke atas,

sekitar 15 orang diantaranya berpendidikan Tingkat Diploma hingga sarjana.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 51: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Keadaan ini dapat dianggap rendah, hal ini sangat mungkin disebabkan oleh migrasi

penduduk yang telah menyandang gelar Diploma atau sarjana untuk mencari

pekerjaan atau penghidupan yang lebih layak ke daerah/kota lain.

e. Agama.

Walaupun Mayoritas jumlah penduduk di Kabupaten Samosir adalah Agama

Kristen Protestan dan Agama Katolik, namun kerukunan antara umat beragama

tumbuh dan berkembang dengan baik untuk menunjang Pembangunan Daerah

Kabupaten Samosir, serta diupayakan perbaikan prasarana dan sarana ibadah

keagamaan sesuai dengan perkembangan umat beragama di Kabupaten samosir.

f. Etnis dan Suku.

Jumlah Etnis dan Suku yang ada di Kabupaten Samosir adalah 6 etnis (Batak

Karo, Batak Simalungun, Nias, Jawa, Minang, Batak Toba).

g. Angka Kemiskinan.

Jumlah penduduk miskin mengalami peningkatan dalam kurun waktu 2000-

2004. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 23 % penduduk yang berada di bawah garis

kemiskinan, keadaan ini mengalami kenaikan menjadi 41 % pada tahun 2004 atau

naik sekitar 18 %. Secara absolut jumlah penduduk miskin pada periode 2000-2004

mengalami kenaikan sebesar 20.070 Jiwa.

h. Angka Pengangguran.

Untuk memberikan gambaran mengenai ketenagakerjaan di Kabupaten

Samosir, maka secara singkat keadaan ketenagakerjaan dilihat dari penduduk usia

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 52: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

kerja dan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK). Penduduk usia kerja (10

keatas) digolongkan sebagai:

1) Angkatan kerja, bila mereka bekerja atau mencari pekerjaan dan secara

ekonomis berpotensi menghasilkan out-put atau pendapatan, dan;

2) Bukan angkatan kerja, bila mereka bersekolah, mengurus rumah tangga, dan

lainnya. Semakin tinggi Tingkat Partipasi Angkatan Kerja (TPAK) berarti

semakin besar keterlibatan penduduk usia 10 tahun keatas dalam pasar kerja.

“Persentase penduduk usia kerja di Kabupaten Samosir yang bekerja adalah sebesar 80,16 %, dimana pria sebesar 79,71 % dan wanita sebesar 80,57 % sedangkan penduduk usia kerja yang mencari kerja adalah sebanyak 0,83 %. TPAK Samosir berdasarkan hasil Susenas 2003 adalah sebesar 81,82 %. TPAK laki-laki lebih tinggi dari TPAK wanita, hal ini berarti bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat bahwa penduduk laki-laki lebih besar terlibat dalam pasar kerja. Adapun TPAK Laki-laki sebesar 81,18 dan TPAK wanita 80,80. Tingkat pengangguran terbuka penduduk laki-laki sebanyak 1,85 % dan penduduk wanita sebesar 0,29 %, sehinggga tingkat pengangguran terbuka secara umum sebesar 1,04%”.38

i. Kinerja Sektor

1). Pertanian.

Salah satu pilar pembangunan Pemerintah Kabupaten Samosir adalah

terciptanya “pertanian yang maju” Hal ini menunjukan tekad dan kemauan

Pemerintah Kabupaten Samosir dalam meningkatkan kesejahteraan petani. Sebagian

besar penduduk Kabupaten Samosir menggantungkan hidupnya dari sector ini. Sektor

pertanian menjadi andalan dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Tahun

38Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 53: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

2003 sektor peretanian memberi kontribusi yang sangat besar dalam pembentukan

PDRB Kabupaten Samosir, yaitu 55,47 persen.

Untuk luas lahan sawah dan lahan kering menurut kecamatan di Kabupaten

Samosir tahun 2002, Pangururan merupakan kecamatan dengan luas lahan sawah dan

lahan kering terluas, yaitu mencapai 21.972 Ha. Sedangkan Simanindo merupakan

yang memiliki luas lahan baik sawah dan lahan kering terkecil, yaitu 1.183 Ha.

2). Perikanan.

Kegiatan usaha perikanan umumnya dikelola dan diusahakan masyarakat

sebagai usaha rumah tangga. Budidaya ikan merupakan salah satu usaha perikanan

yang cukup potensial di Kabupaten Samosir. Kegiatan budidaya ini biasanya

dilakukan di kolam, sawah, kolam air deras, jaring apung dan usaha tempat

pembenihan. Di Kabupaten Samosir jenis budi daya yang memiliki lahan terluas

adalah jaring apung dengan luas 2.808 ha. Sedangkan untuk produksi ikannya, dari

jaring apung dihasilkan ikan sebanyak 615,06 ton, dari sawah sebanyak 9,10 ton dari

kolam sebanyak 4,88 ton.

3). Perkebunan.

Untuk mengopotimalkan hasil perkebunan rakyat perlu adanya peningkatan

usaha peremajaan dan rehabilitasi perkebunan rakyat, peningkatan intensifikasi

tanaman perkebunan, pengadaan bibit unggul, pengendalian hama dan penyakit

terpadu, mengadakan penyuluhan secara terpadu, perluasan areal perkebunan,

meningkatkan pemasaran hasil perkebunan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 54: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

“Kopi merupakan komoditi yang diminati masyarakat, hal ini terlihat dari luasnya areal yang ditanami dibanding dengan tanaman perkebunan lainnya. Tahun 2003 luas tanaman kopi seluas 835,7 Ha, dengan produksi yang dihasilkan sebesar 469,2 ton dan produktivitas 561,4 kg/ha. Luas tanaman kelapa tahun 2003 seluas 348,5 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 41,38 ton dan produktivitas 118,7 kg/ha. Luas tanaman kulit manis tahun 2003 seluas 6,74 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 3,45 ton dan produktivitas 511,9 kg/ha. Luas tanaman kemiri tahun 2003 seluas 341 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 102,2 ton dan produktivitas 299,7 ka/ha. Sedangkan luas tanaman kakao tahun 2003 seluas 2,15 ha dengan produksi yang dihasilkan sebesar 0,932 ton dan produktivitas 433,5 kg/ha. Industri dan Perdagangan”.39

Dari struktur organisasi lembaga dinas dan teknis di Kabupaten Samosir untuk

sector industri dan perdagangan di tangani langsung oleh Dinas Perindustrian,

Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Pengendalian

Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir. Sesuai dengan rencana strategis, maka

prioritas pembangunan adalah Penataan dan pengembangan sektor industri,

perdagangan, pertambangan, jasa, koperasi, usaha kecil dan usaha menengah dalam

rangka penumbuhan kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Serta penataan

dan peningkatan kualitas lingkungan hidup melalui pemanfaatan ruang dan wilayah

serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan terutama kawasan

hutan dan perairan Danau Toba.

Dari penjelasan di atas, yang telah dan akan dilakukan Instansi terkait

khususnya Dinas Perindustrian, Pertambangan, Perdagangan, Koperasi, Usaha Kecil

Menengah, Pengendalian Dampak Lingkungan Kabupaten Samosir adalah

mengembangkan industri hasil hutan (Agroforestri), meningkatkan pembinaan

39Sumber: www.samosir.go.id, tanggal 22 Pebruari 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 55: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

industri kecil dengan mengadakan pelatihan kepada pelaku usaha yang tergabung

dalam UKM dan Koperasi dengan pemanfaatan tehnologi tepat guna untuk

meningkatkan produktivitas dan mendatangkan para Pakar dari Departemen dan

Badan Penanaman Modal Daerah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan

pemahaman tentang perencanaan usaha dan melakukan studi kelayakan usaha. Untuk

menjaga kelestarian alam lingkungan kawasan hutan dan perairan Danau Toba perlu

mengadakan penataan pembuangan air limbah, pengendalian dan pemanfaatan

enceng gondok di kawasan Danau Toba, penanggulangan lahan kritis/gundul,

pencegahan penebangan liar, penataan sanitasi perkotaan.

4). Pariwisata.

Potensi yang dimiliki Kabupaten Samosir, seperti kekayaan sumber daya alam

(hutan, barang tambang), panorama yang indah dan keunikan Danau Toba serta

kekayaan seni budaya dapat dijadikan objek pariwisata yang menguntungkan.

Pembangunan kepariwisataan diarahkan pada peningkatan kegiatan pariwisata untuk

menggalakkan kegiatan perekonomian, sehingga dapat menciptakan lapangan kerja,

peningkatan pendapatan masyarakat serta penerimaan devisa bagi kabupaten.

Pemerintah Kabupaten Samosir sangat peduli terhadap pembangunan sektor ini untuk

menjadikan “Pariwisata yang indah di Samosir”.

Tersedianya prasarana seperti hotel dan akomodasi menjadi faktor yang

sangat penting dalam mendukung pembangunan kepariwisataan. Jumlah hotel di

Kabupaten Samosir tahun 2003 sebanyak 86 buah, dengan 1.365 kamar dan 2.803

tempat tidur. Konsenterasi hotel dan akomodasi terbanyak terdapat di Kecamatan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 56: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Simanindo dengan 77 hotel dengan 1.241 kamar dan 2.553 tempat tidur. Hal ini

karena Kecamatan Simanindo merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang

menarik di Kabupaten Samosir. Berikut data Jumlah Hotel dan akomodasi di

Kabupaten Samosir.

Untuk menarik daya minat wisatawan dalam dan luar negeri (mancanegara)

perlu melakukan pemanfaatan tempat bersejarah sebagai tempat wisata, penggalian

cagar budaya sebagai objek wisata, pembinaan seni tradisionil sebagai hiburan bagi

wisatawan lokal dan asing/mancanegara, pemeliharaan rumah ibadah inkulturatif

batak, dan melakukan peningkatan pesona wisata.

Salah satu diantaranya adalah Kecamatan Pangururan yang berada di pulau

Samosir.

2. Penduduk

Wilayah Kecamatan Pangururan yang luasnya 121,43 km2, yang terbagi

dalam 25 desa dan 3 kelurahan. Wilayah ini berbatasan dengan:

Sebelah Utara : Kecamatan Simanindo.

Sebelah Selatan : Kecamatan Palipi.

Sebelah Barat : Kecamatan Sianjur Mulamula.

Sebelah Timur : Kecamatan Ronggur Nihuta.

Penduduk di Kecamatan Pangururan adalah mayoritas Batak Toba, yang

kebanyakan beragama Kristen Protestan dan Agama Katolik, yang berdasarkan tahun

2006 jumlah penduduk diperkirakan 28.428 jiwa40, dengan perbandingan jumlah

40Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Toba Samosir, Pangururan Dalam Angka 2006.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 57: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

penduduk laki-laki 49,09 % dan perempuan 50,91%, sedangkan jumlah rumah tangga

diperkirakan 5.635 rumah tangga.

B. Struktur Kekerabatan Dalam Keluarga Batak Toba

1. Sejarah Batak

Dalam sejarah Batak Toba, belum ada keseragaman di antara para penulis

sejarah mengenai pengertian nama “Batak”. Menurut Batara Sangti bahwa “bila ada

buku yang membuat sejarah dan kebudayaan suku Batak kebanyakan hanya secara

subyektif dengan tidak memakai tarikh (angka-angka tahun atau abad).41

“Perkataan nama “Negeri Batak” telah kedapatan juga dahulu kala di tanah Melayu (sebelum ada terjadi Kesultanan Malaka, BS). Asal kata Batak lebih besar kemungkinannya datang dari kata “Bataha”, sebagai nama salah satu kampung/negeri di Burma/Siam dahulu kala sebagai kampung/negeri asal orang Batak sebelum berserak kekepulauan nusantara. Dus dari kata “Bataha” kemudian beralih menjadi kata “Batak”.”42

Menurut sejarah Batak bahwa tempat perkampungan leluhur suku bangsa

Batak yang pertama adalah berada di tepi sungai danau Toba yang bernama Si Anjur

Mula-Mula, dari tempat ini tersebar turunan suku bangsa Batak ke seluruh penjuru

tanah Batak.

Orang Batak Toba menganggap bahwa mereka berasal dari satu keturunan

nenek moyang (geneologis) yang sama yaitu Si Raja Batak, bahwa Si Raja Batak ini

adalah turunan dari Mula Jadi Na Bolon, yang mula-mula tinggal di Si Anjur Mula-

Mula pada Gunung Pusuk Buhit dekat Pangururan di pulau Samosir.

41Batara Sangti, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997, hal. 17. 42Batara Sangti, Ibid, hal. 26.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 58: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Anak dari Si Raja Batak ada 2 orang yaitu:

a. Guru Tatea (Satia) mempunyai 9 anak yaitu: 1) Putra 5 orang, yaitu:

a). Saribu Raja, b). Limbong Mulana, c). Sagala Raja, d). Malau Raja, e). Raja Biak-biak

2) Putri 4 orang, yaitu: a). Boru Paromas, b). Boru Pareme, c). Boru Bidang Laut, d). Nan Tijo.

b. Raja Isombaon (Naga Sumba) mempunyai 3 orang putra, yaitu: 1) Tuan Sori Mangaraja, 2) Raja Asi-asi, 3) Sangkar Som-Alidang.

Maka dari turunan Si Raja Batak sudah mulai memakai marga, pada mulanya

nama itulah yang kemudian menjadi marganya sehingga banyak terdapat marga-

marga pada orang Batak.

2. Sistem Kekerabatan

Masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan menganut sistem garis

keturunan patrilineal (garis keturunan pihak ayah). Dari garis keturunan ayah tersebut

dikenal kelompok kekerabatan yang disebut marga. Marga43 merupakan suatu bentuk

kelompok yang turun-temurun mulai dari 1 (satu) kakek yang terikat dengan

pertalian darah. Lebih jauh, J.C. Vergouwen bahwa: ”marga adalah kelompok orang-

orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek bersama, dan garis keturunan

43Departemen Pendidikan Nasional, Op.Cit, 2005, hal. 715. Menyebutkan marga adalah

kelompok kekerabatan yang eksogam dan unilinear, baik secara matrilineal maupun patrilineal.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 59: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

itu diperhitungkan melalui bapak atau bersifat patrilineal. Semua anggota dari satu

marga memakai nama identitas yang dibubuhkan sesudah nama kecil.”44

Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan yang

lainnya dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atas

mereka yang dalam bahasa Batak disebut “martarombo” atau ”martutur” adalah

dengan marga.

”Perkataan marga berasal dari bahasa sansekerta yang artinya jalan atau, satu

arah, satu keturunan sedarah dan satu lingkaran adat”.45 Menurut Djaren Saragih

bahwa ”pada masyarakat Batak Toba marga ini sangat penting karena nama

panggilan seseorang adalah marganya, bukan namanya. Jadi kalau orang Batak yang

baru pertama kalinya bertemu yang ditanya adalah marganya bukan namanya, bukan

tempat asalnya. Orang Batak hanya memanggil nama hanya kepada anak-anak.46

Dalam kehidupan sehari-hari, marga sangat berguna bagi orang batak, antara

lainnya:

a. mengatur tata pergaulan,

b. mengatur tata cara adat,

c. mengatur hubungan kekeluargaan.47

Ada beberapa marga yang dominan dijumpai di Kecamatan Pangururan, di

antaranya marga Simbolon, Sitanggang, Naibaho, Simarmata.

44J.C.Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta, 1986, hal. 9.

45T.M. Sihombing, Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai Pustaka, Jakarta 1986, hal. 57.

46Djaren Saragih, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba, Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980, hal. 9.

47Jailani Sihotang dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988, hal. 9.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 60: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Pada masyarakat Batak Toba dikenal 3 (tiga) warna yaitu merah, hitam dan

putih dengan istilah 3 (tiga) bolit, artinya bahwa alam semesta terdiri dari 3 (tiga)

bagian yaitu Banua Toru, Banua Tonga dan Banua Ginjang. Penguasa Banua Toru

ialah Batara Guru, Penguasa Banua Tonga ialah Debata Sori dan Penguasa Banua

Ginjang ialah Mengala Bulan. Kegiatannya dikenal dengan sebutan "Debata Si Tolu

Sada". Pembagian alam ini sangat berpengaruh terhadap kebudayaan Batak antara

lain :

a. Rumah adat Batak terdiri dari Bara, Bagas, dan Bonggar.

b. Ornamen (gorga) Batak terdiri dari 3 (tiga) warna

c. Bonang manalu terdiri dari 3 (tiga) warna

d. Talitali (berbentuk topi) juga terdiri dari 3 (tiga) warna

e. Dalihan Na Tolu: somba Marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek

marboru.

Di kalangan masyarakat batak ”Dalihan Na Tolu” mengandung makna yaitu

”Somba mar hula hula”, “Elek marboru” dan ”Manat mar dongan tubu”. Artinya

ketiga pola inilah yang menjadi dasar atau pedoman dalam kehidupan sosial maupun

kegiatan lainnya di masyarakat batak. Dilihat dari posisi “Dalihan Na Tolu”, terdapat

perbedaan struktural dan bahkan perbedaan prinsip (pendapat), akan tetapi melalui

peran “Dalihan Natolu” seluruh aspek kegiatan tetap mengacu kepada hasil yang

terbaik. Menurut S. Sagala, bahwa Dalihan Na Tolu mempunyai kedudukan dan

fungsi sebagai suatu sistem kekerabatan, pergaulan dan kesopanan, sosial hukum

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 61: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

(adat) dan akhirnya diakui menjadi falsafah hidup masyarakat Batak.48 Dalam

berhubungan dengan orang lain, orang Batak menempatkan dirinya dalam susunan

Dalihan Na Tolu tersebut, sehingga selalu dapat mencari kemungkinan adanya

hubungan kekerabatan di antara sesamanya (martutur, martarombo).

”Somba mar hula hula”, berarti bersikap hormat kepada hula-hula yaitu

marga dari pihak istri maupun marga ibu. Hula-hula diibaratkan seperti mata ni ari

binsar yang artinya memberikan cahaya hidup di segala bidang, yang harus dihormati

karena diangggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. “Elek marboru” berarti

bersikap mengasihi atau menyayangi putri/boru dari semarga (yang termasuk

kelompok boru adalah pihak keluarga Hela termasuk orang tuanya dan keturunannya,

setelah anak perempuannya kawin, ia akan ikut dengan marga suaminya), dan

”Manat mar dongan tubu” berarti bersikap hati-hati terhadap kerabat semarga, teman

semarga adalah teman untuk menjalankan maupun menerima adat (semarga menurut

garis keturunan bapak). Menurut Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot

Naibaho), Pengetua Adat bahwa ”Budaya Dalihan Na Tolu perlu dilestarikan jangan

sampai punah dengan cara mewariskan kepada generasi muda khususnya pemuda

Batak, karena budaya ini merupakan kekayaan bangsa Indonesia.”49 Dalihan Na Tolu

juga berfungsi menyelesaian perselisihan di antara suami istri, bersaudara dan juga

dalam acara pernikahan, sehingga Dalihan Na Tolu sebagai falsafah batak masih

dipertahankan. Dalihan Na Tolu harfiah adalah “tiga tungku sejarangan”. Ini

48S. Sagala, Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor. 8, 1996, Yayasan Budaya Batak,

Medan, hal. 46. 49Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 62: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

merupakan sistem kekerabatan adat Batak yang terdiri dari hula-hula (bride giver),

boru (bride taker) dan dongan tubu (kelompok saudara dalam satu marga).

Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada

prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti terlihat

pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan duduk di barisan

depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun dalam lingkup pertemuan

keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah diizinkan berbicara tetapi hanya

sebagai pendahuluan saja, seperti acara pemberian nama kepada anak (tardidi), acara

memberi kata penghibur bagi keluarga yang berduka (mangapuli).

Menurut Pengetua Adat Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot

Naibaho) bahwa: ”3 (tiga) unsur Dalihan Na Tolu, kadang-kadang ditambah lagi satu

lagi burju mardongan sahuta (berhubungan baik dengan teman sekampung), jika

tidak baik akan dikucilkan di tengah-tengah masyarakat”.50 Sejalan juga dengan

pendapat Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon)

yang mengatakan ”Sebuah keluarga kurang burju/baik di lingkungannya terlihat dari

kurang kompaknya anggota masyarakat di sekitar itu bila ada sebuah keluarga

membuat suatu acara adat/pesta”.51 Dengan Dalihan Na Tolu merupakan suatu

kerangka yang sangat baik, bagaimana orang Batak berinteraksi dengan

lingkungannya, yang kaya dengan sistem nilai yang baik dan dapat bertahan

sepanjang zaman. Karena, sistem nilai yang ada di dalamnya sangat universal dengan

50Djohan Naibaho (dipanggil Ompung Lamhot Naibaho), Pengetua Adat di Pangururan, Op.Cit.

51Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 63: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

nilai-nilai religius yang sangat dalam. Akar dari sistem nilai Dalihan Na Tolu adalah

kerendahan hati. Menurut Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam

Sitanggang) bahwa:

”bagaimana tidak, seorang orang Batak harus hormat sama ”hula-hula”nya, tanpa syarat. Tidak dikatakan, hormatilah hula-hulamu, kalau dia kaya, punya jabatan, atau baik. Demikian juga, pada saat kita hula-hula, harus elek kepada boru, walaupun dalam tatanan kekerabatan Batak, Boru adalah kelumpok yang dapat kita minta untuk melayani kita (marhobas), tetapi dalam kedudukan kita yang lebih tinggipun kita harus elek. Manat mardongan tubu, juga merupakan satu tatanan interaksi masyarakat Batak kepada keluarga yang semarga. Kenapa dikatakan manat (hati-hati) dengan dongan sabutuha, sangat jarang di dalam umpama/umpasa yang memberikan kita solusi, untuk mendamaikan orang yang sabutuha kalau terjadi konflik di antara mereka. Kalau mar-hula-hula, kita masih bisa membawa makanan kepada hula-hula untuk minta maaf. Demikian juga marboru, kita bisa memberikan ulos untuk minta maaf”.52

Berdasarkan hasil penelitian melalui jawaban responden tentang tanggapan

terhadap struktur kekerabatan Batak Toba, dapat di lihat pada Tabel-2 berikut ini:

Tabel 2. Struktur Kekerabatan Batak Toba n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Tetap dipertahankan 20 67% 2 Disederhanakan tanpa menghilangkan intinya 10 33% 3 Tidak tahu 0 0% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel tersebut, dapat diketahui bahwa budaya Batak Toba masih tetap

dipertahankan merupakan tanggapan yang tidaklah begitu dominan (sebanyak 60%),

bila dibandingkan dengan jawaban responden lainnya (sebanyak 40%) yang

mengatakan bahwa adat batak perlu disederhanakan tanpa menghilangkan

52Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 64: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

intinya/maknanya. Struktur kekerabatan dari budaya Batak Toba merupakan salah

satu kekayaan budaya bangsa Indonesia sebenarnya harus tetap dipertahankan dan

dijaga walaupun ada penyederhanaan tetapi jangan sampai menghilangkan nilai

ataupun ciri khas budaya itu sendiri, karena lama-kelamaaan bukan hanya

menghilangkan budaya saja tetapi juga masyarakatnya.

Sejalan dengan itu, Pengetua Adat Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung

Manatap Simbolon) yang mengatakan bahwa: ”Dalam acara-acara resmi adat batak

dari dulu sampai sekarang ada mengalami penyederhanaan, sehingga acaranya

semakin simpel dan waktu yang dibutuhkan relatif tidak lama”.53

Adat adalah kebiasaan/hasomalon yang diawali dari kesepakatan komunitas

tertentu dalam masyarakat batak, makanya banyak pelaksanaan adat batak yang

berbeda dari satu marga dengan marga lainnya atau di satu daerah dengan daerah

lainnya. Contoh, di Toba kalau seorang bapak meninggal, maka yang memberi ulos

saput adalah hula-hula, sedangkan di Humbang yang memberi ulos saput adalah

tulang. Kelebihan adat batak adalah adanya pepatah: "aek godang tu aek laut dos ni

roha do sibaen na saut", sehingga perbedaan tersebut dapat di atasi.

Secara harafiah, adat na taradat adalah undang-undang dan kelaziman yang

berupa adat. Adat itu menyatakan istiadat yang oleh suatu persekutuan desa, atau

tempat tinggal di daerah perantauan dan juga oleh agama diubah dan dimasukkan

menjadi suatu kelaziman atau kebiasaan yang boleh disebutkan adat yang dimufakati

oleh warga masyarakat.

53Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 65: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Ciri khas dari adat na taradat ini adalah pragmatisme dan fleksibilitas boleh

jadi dilaksanakan berdasarkan sistematika adat inti. Dalam spesies adat kedua ini

pelaksanaan adat demikian akomodatif dan lugas untuk menerima pengaruh daerah

manapun asal dapat beradaptasi dengan acuan adat inti. Perpaduan fleksibilitas dan

fragmatis menjadikan adat luput dari kekakuan dan kegamangan oleh adat inti yang

stagnasi dan konservatisme.

Adat na taradat ini bersifat adaptatif dan menerima pergeseran dari adat inti

dan bahagian adat inilah yang dilaksanakan oleh pelaku-pelaku adat Batak Toba pada

saat sekarang dengan berpedoman kepada ungkapan folklor Batak Toba.

Tuat ma na di dolok martungkot siala gundi Turunlah yang di bukit bertongkat siala gundi, Napinungka ni ompunta na parjolo yang sudah dimulai leluhur kita terdahulu Tapa uli-uli (bukan tai huthon) sian pudi kita perbaiki dari belakang

Artinya adat istiadat yang sudah diciptakan dan diturunkan nenek moyang kita

terdahulu kita ikuti sambil diperbaiki (disesuaikan) dari belakang. Ungkapan ini

menunjukkan permufakatan pergeseran pelaksanaan adat. Hal ini sering

menimbulkan perdebatan di kalangan tokoh-tokoh adat (raja parhata) dan pelaku-

pelaku adat. Perdebatan ini sering terjadi dengan suara yang kuat khas Batak Toba

antara kelompok yang “seperti” setiap dengan adat inti dengan kelompok yang ingin

perubahan oleh sesuatu hal. Lalu perdebatan diredakan dengan beberapa ungkapan

umpama dan umpasa yang menimbulkan permufakatan untuk pelaksanaan upacara

adat dengan menerima pergeseran dan perubahan antara lain:

Aek godang tu aek laut Dos ni roha do sibahen na saut, Kesamaan pendapat untuk jadi dilaksanakan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 66: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Nangkok si puti tuat si deak a i na ummuli ima tapareak, Sesuatu yang lebih baik itulah yang dilaksanakan

Oleh karena permufakatan untuk pergeseran pelaksanaan adat itu, hampir

pada semua upacara adat Batak Toba terjadi perubahan. Misalnya pada upacara

perkawinan, sistematika atau urut-urutan tata cara perkawinan sering tidak

dilaksanakan lagi mulai dari, marhori-hori dinding, marhusip, marhata sinamot,

sibuha-buhai, mangan juhut, paulak une, maningkir tangga.

Marhori-hori dinding adalah istilah yang digunakan kepada anak kecil yang

mulai belajar berjalan. Anak kecil tersebut memegang dinding sambil melangkah

penuh ke hati-hatian supaya jangan terjatuh. Istilah ini pulalah yang dipakai untuk

menanyakan pihak yang punya putri oleh pihak yang punya anak yang akan

dikawinkan. Dengan hati-hati pihak paranak menanyakan soal prinsip apakah anak

gadis parboru sudah siap untuk dikawinkan, kalau sudah siap pada hari-hari

berikutnya dilanjutkan dengan marhusip yaitu menanyakan kira-kira berapa sinamot

yaitu jumlah uang (boli) yang akan diberikan untuk pelaksanaan pesta. Selanjutnya

adalah marhata sinamot yaitu memastikan jumlah sinamot dan pelaksanaan teknis

upacara adat pada hari yang ditentukan adalah upacara pesta adat yang dimulai

dengan makan sibuha-buhai, itu pembuka pelaksanaan upacara adat lalu bersama-

sama ke gereja menerima pemberkatan setelah itu dilanjutkan acara adat di tempat

yang telah ditentukan.

“Secara garis besar demikianlah sistematika pelaksanaan upacara adat perkawinan Batak Toba pada adat inti. Namun pada saat sekarang dengan permufakatan banyak yang diobah antara lain, marhori-hori dinding, tidak lagi suatu keharusan dilaksanakan. Marhusip yang biasa tidak dihadiri orang

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 67: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

tua si anak yang akan dikawinkan, pada saat sekarang justru orang tua si anak yang akan dikawinkan itulah yang memegang peranan dalam acara marhusip, marhata sinamot hanyalah formalitas sekedar mengumumkan apa yang telah dibicarakan pada acara marhusip”.54

Pada acara marhata sinamot ini pun masih ada sandiwara (pura-pura)

menetapkan besar sinamot yang akan diberikan. Jumlah ulos yang harus diterima oleh

pihak paranak (pengantin laki-laki) tidak jelas acuannya boleh jadi dari 7 (tujuh)

helai sampai 800 (delapan ratus) helai. Paulak une dan maningkir tangga adalah

suatu skenario sandiwara upacara adat dalam permufakatan ulaon sadari

(diselesaikan dalam satu hari). Substansi acara adat paulak une dan maningkir tangga

tidak diperlukan lagi pada saat sekarang.

Demikian halnya pada upacara adat kematian status seseorang yang

meninggal bisa diobah dengan permufakatan sesuai dengan permintaan keluarga yang

meninggal (hasuhutan). Para tokoh adat dan seluruh sanak famili yang masuk ke

dalam sistem kekerabatan akan mengalah apabila hasuhuton meminta status yang

meninggal dari status mangido tangiang yaitu seseorang yang meninggal pada saat

meninggal belum ada anaknya yang sudah berkeluarga atau sudah ada yang kawin

tetapi belum mempunyai cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, diobah status

kematiannya menjadi “sari matua” status sari matua menurut adat inti diberikan

kepada seseorang yang saat meninggal sudah ada anak laki-laki dan anak perempuan

54Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 68: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai cucu dari anak-anaknya tersebut tapi

masih ada yang belum berkeluarga (adong sisarihononhon).

Ada juga hasuhuton meminta agar orang tuanya yang meninggal diobah status

kematiannya dari sarimatua menjadi saur matua. Saur matua menurut adat inti adalah

apabila seseorang saat meninggal mempunyai keturunan laki-laki dan perempuan

sudah berkeluarga semua dan dari setiap anak-anaknya yang sudah berkeluarga telah

memiliki cucu. Ada juga hasuhuton yang meminta status kematian orang tuanya

diobah dari status saur matua menjadi mauli bulung. Kematian status mauli bulung

adalah status tertinggi dalam tata upacara adat kematian, mauli bulung adalah apabila

seseorang pada saat meninggal meninggalkan keturunannya cucunya telah memiliki

cucu dari anak laki-laki dan perempuan atau sudah mempunyai nini dan nono (cicit).

“Pergeseran tata acara adat Batak Toba telah terjadi pada setiap kegiatan

upacara adat. Misalnya pada upacara adat pemberian ulos tondi pada anak yang

sedang hamil 7 bulan diobah menjadi pemberian ulos mula gabe. Substansi

pemberian ulos diobah menjadi “mendoakan” anak agar tetap sehat-sehat demikian

juga anak yang akan dilahirkan diberikan Tuhan kesehatan.”55

Demikian halnya pada kegiatan upacara adat lainnya perobahan dan

pergeseran itu sudah terjadi seperti tata upacara adat, memasuki rumah, menggali

tulang belulang, mengambil nama (mampe goar) dan lain-lain.

55Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 69: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Adat secara umum dapat di bagai 2 (dua) yaitu:

a. Adat formal, yang biasa dapat dilihat dari pelaksanaan acara adat Batak, mulai dari lahir, besar, menikah, sampai meninggal. Banyak sekali praktek adat Batak yang berkaitan dengan siklus hidup orang Batak. Kalau ada anak lahir, datanglah mertuanya "mamboan aek ni unte", "pasahat ulos parompa", paebathon. Setelah besar, anak laki-laki biasanya "manulangi tulang", untuk minta izin mau menikah dengan orang lain, biasanya hanya anak laki-laki yang paling sulung, acara pernikahan, sampai acara yang berkaitan dengan orang yang meninggal. Semua ini adalah merupakan bagian dari adat formal.

b. Adat Batak material yang lainnya, banyak terkandung di dalam umpama/umpasa Batak, yang di dalamnya terkandung sistem nilai yang sangat baik.56

Dari penjelasan di atas, adat Batak formal, akan berubah sesuai dengan

tuntutan zaman. Jangankan masalah waktu, yang mengakibatkan dibiasakannya

"ulaon sadari", mungkin pada saatnya nanti, pesta adat Batak bisa dilakukan melalui

video conference, tidak harus ada di tempat yang sama. Tapi jangan juga ditiadakan

sama sekali. Adat formal Batak adalah laboratorium bagi orang Batak untuk

mempraktekkan adat Batak material. Dengan mengikuti pesta-pesta/acara adat Batak,

maka pemahaman akan adat Batak material akan semakin baik. Adat Batak formal

sangat dilandasi oleh satu prinsip "dos ni roha sibaen na saut" (konsensus), tapi adat

Batak material adalah suatu kerangka sistem nilai Batak yang membuat budaya Batak

lestari.

Perlu juga diuraikan bahwa dalam masyarakat Batak, kata "Horas" adalah

sapaan universal (akrab) dari masyarakat batak yang berarti "selamat". Pada

hakekatnya kata "Horas" juga merupakan doa spontanitas kepada Tuhan Yang Maha

Esa agar terlindung dari hal-hal yang tidak diinginkan.

56Sumber dari [email protected], Tentang Adat Batak.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 70: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Ulos Batak terkenal karena bentuk dan motifnya yang spesifik. Ulos pada

mulanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari cuaca dingin maupun gigitan

serangga. Kemudian fungsi ulos berkembang sesuai dengan perkembangan zaman

dan bentuknya beraneka ragam selain untuk melindungi tubuh juga diyakini bahwa

ulos secara filosofis mengandung makna untuk melindungi rohani (tondi) manusia,

sesuai dengan suasana maupun bentuk adat yang dilaksanakan. Pada saat tertentu ulos

juga digunakan untuk :

a. Topi (Tali-tali),

b. Pakaian kebesaran (topi, ampe-ampe dan abit).

Selain itu Ulos Batak dicontohkan dalam perumpamaan yaitu ulos ganjang

dan ulos si godang rambu. Artinya semoga panjang umur, banyak rejeki dan semoga

banyak keturunan (torop pomparan). Ulos batak adalah untuk melindungi/

mengayomi badan dan rohani manusia (mangulosi badan dohot tondi).

Oleh karena itu, Saudin Sitanggang, Pengetua Adat (dipanggil Ama Salam

Sitanggang) menyimpulkan bahwa “adat batak dalam berbagai bentuk upacara resmi

adat perlu dilestarikan dan diwariskan kepada generasi muda, khususnya generasi

batak, karena sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia, ditakutkan akan hilang

karena perubahan zaman.”57

57Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 71: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

BAB III KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN DALAM HUKUM WARIS

PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

A. Kedudukannya Dalam Keluarga

Sebuah keluarga terbentuk dari sebuah perkawinan yang sah, karena sah

tidaknya sebuah perkawinan akan berakibat hukum terhadap kedudukan dan status

anak yang dilahirkan tersebut. Untuk sahnya perkawinan dalam Pasal 2 UUP

menyatakan bahwa ayat (1) Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

agama dan kepercayaannya, sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa Tiap-tiap

perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam adat Batak Toba bahwa perkawinan bukanlah urusan pribadi namun

lebih dari itu yaitu urusan keluarga, clan/kerabat dan persekutuan. Lebih jauh

menurut Soerjono Soekanto mengatakan “perkawinan sebagai urusan keluarga dan

kerabat menpunyai fungsi untuk memungkinkan pertumbuhan secara tertib suatu

masyarakat kerabat melalui angkatan/generasi baru, dimana anak-anak yang

dilahirkan dari perkawinan itu meneruskan masyarakat keluarga dan kerabat yang

sekaligus berfungsi untuk meneruskan tertib clan ataupun suku”.58

Dalam budaya Batak Toba di kenal tujuan hidup atau nilai-nilai yang

berhubungan dengan keturunan, yaitu:

1. Hagabeon (diberkati karena keturunan, apalagi sudah punya anak laki-laki),

2. Hamoraon (kaya),

58Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Op.Cit. hal. 28.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 72: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

3. Hasangapon (prestice).

Pergeseran makna hagabeon terjadi dalam hal pendidikan anak. Menurut

Saudin Sitanggang bahwa ”menjadikan anak sarjana sudah menjadi kebutuhan bagi

orang Batak baik di kota maupun di kampung. Mereka menganggap pendidikan

adalah satu-satunya jalan menuju kemuliaan hidup”.59 Dalam hal inilah perempuan

Batak sangat berperan. Perempuan Batak yang berjualan cabe dan bawang beralaskan

karung goni di pasar mampu mengirimkan uang kepada anaknya setiap bulan untuk

bersekolah, sehingga anaknya menjadi insinyur dan orang terkenal. Dengan gigih

mereka berjuang. Semua itu mereka lakukan demi anakhonhi do hamoraon di ahu.

Bila hagabeon tercapai dalam arti memiliki anak sarjana, pandai mencari uang

dan kaya, bahkan terkenal, dengan sendirinya tujuan hidup yang lain hamoraon dan

hasangapon juga tercapai. Karena sekarang sudah banyak orang Batak menjadi

berpendidikan, berpangkat, kaya dan terkenal dalam berbagai bidang profesi, maka

tujuan hidup menjadi sangap (terhormat, gengsi) juga dikait-kaitkan dengan adanya

jaringan hubungan dengan kaum elit Batak tersebut.

Khusus, mengenai tujuan hidup yang utama itu, dalam pandangan Batak

tradisional memiliki banyak anak adalah sangat penting. Dalam banyak upacara

perkawinan selalu diungkapkan permohonan berkat agar keluarga diberi karunia

banyak keturunan (maranak sapulu pitu, marboru sapulu onom).

59Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil

Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 73: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Setiap keluarga mengharapkan agar perkawinan yang telah dibina dapat

berjalan harmonis. Keharmonisan keluarga mempunyai peranan yang cukup besar

dalam pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Kepribadian anak dapat

tumbuh secara baik jika pendidikan diberikan kepada anak disertai dengan perhatian

dan kasih sayang. Perhatian demikian akan tercurah dengan baik bila keluarga itu

punya hubungan harmonis diantara anggota keluarga, tanpa ada pilih kasih.

Kewajiban pemeliharaan anak bukan sekedar memenuhi kebutuhan jasmani tetapi

juga kebutuhan rohani.

Dalam sebuah keluarga selalu mengharapkan agar perkawinan yang telah

dibina dapat berjalan dengan langgeng dan menjadi suatu keluarga yang bahagia dan

sejahtera. Keharmonisan keluarga, mempunyai peranan yang cukup besar dalam

pertumbuhan dan perkembangan jiwa seorang anak ke arah yang lebih baik,

sebaliknya bila hubungan yang kurang harmonis di tengah-tengah keluarga dapat

menyebabkan seorang anak tumbuh menjadi tidak baik. Keluarga yang bahagia dan

sejahtera menjadi idaman setiap keluarga bila dapat terwujud.

Masyarakat hukum di Indonesia jika ditinjau dari segi kekeluargaan adalah

berbeda-beda, dimana setiap lingkungan adat ini masing-masing mempunyai sistem

kekeluargaan yang berbeda-beda pula. Begitu juga dalam hal kedudukan anak laki-

laki dengan anak perempuan dalam sebuah keluarga pada prinsipnya adalah berbeda.

“Dalam peta geneologis orang Batak Toba hanya dapat ditelusuri melalui garis garis laki-laki. Anak perempuan tidak tercatat dalam peta tersebut. Dalam sistem patrilineal itu laki-laki dengan perempuan menyandang hak dan kewajiban yang berbeda terhadap clan mereka. Laki-laki sejak kecil sudah

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 74: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

disadarkan bahwa mereka harus memiliki pengetahuan mengenai sejarah dan kebudayaan Batak Toba, dan mereka bertanggung jawab terhadap kelangsungan clan ayahnya. Bila laki-laki sepanjang hidupnya hanya mengenal clan ayahnya, maka perempuan mengenal dua clan, yaitu clan ayahnya dan clan suaminya (bila sudah menikah). Walaupun perempuan berkaitan dengan kedua clan tersebut tetapi kedudukan perempuan tidak jelas/tidak pernah menjadi anggota penuh dari kedua clan tersebut”.60

Dalam keluarga orang Batak Toba, bahwa anak menjadi harta berharga bila

dibandingkan dengan yang lain, terutama dalam keluarga masyarakat Batak Toba di

Kecamatan Pangururan. Dimana anak laki-laki diharuskan berhasil sehingga dapat

meningkatkan derajad sosial dari marganya, bila berhasil menjadi sarjana atau bekerja

merupakan suatu kebanggaan tersendiri.

Bagaimanapun cantik, pintar dan baiknya kedua putri kita itu kehadiran

mereka, oleh banyak orang batak, belum dianggap cukup untuk membanggakan dan

membahagiakan ayah-ibunya, ompung-nya, keluarga besarnya, apalagi dunia

kebatakan.

Masyarakat di Kecamatan Pangururan yang mayoritas Batak Toba merupakan

salah satu masyarakat adat yang hidup dengan sistem kekerabatan mengikuti garis

keturunan si bapak (patrilineal), dimana dibedakan antara anak laki-laki dengan anak

perempuan. Sebagai anak laki-laki merupakan generasi penerus marga dari pihak

bapaknya, sedangkan anak perempuan tidak. Hal ini dikarenakan, setelah menikah

marganya tidak akan dipakai tetapi masuk kepada marga dari keluarga suaminya.

Selama anak perempuan belum kawin dia masih tetap kelompok ayahnya.

60Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 9.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 75: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Adat Batak kuno menganggap perempuan nyata-nyata lebih rendah daripada

laki-laki. Perempuan bukanlah pribadi bebas dan otonom, tetapi sub-ordinat atau

perpanjangan tangan laki-laki. Itulah yang menyebabkan dalam pesta-pesta batak

sampai hari ini termasuk di kota metropolitan seperti Jakarta kita hampir tidak pernah

menyaksikan ada perempuan duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil

keputusan. Mereka ada di barisan belakang dan diam (atau ngobrol sendiri dengan

sesamanya) tak ubah penghias atau asesori pesta, atau sibuk di dapur sebagai

pembantu (parhobas) saja.

Dalam adat batak ada beberapa istilah yang merendahkan martabat anak

perempuan antara lain:

1. Sigoki jabu ni halak do ianggo boru (anak perempuan adalah untuk mengisi rumah orang),

2. Mangan tuhor ni boru (anak perempuan dianggap barang dagangan yang diperjualbelikan),

3. holan anak do sijalo teanteanan (zaman dahulu ada tuntutan untuk mendahulukan anak laki-laki dalam melestarikan marga dan juga pertahanan, sehingga anak laki-laki berhak memiliki serta berbicara mengenai ikatan adat secara hukum.61

Pada masa dulu anak laki-laki sangat dibedakan dengan anak perempuan

dalam perhatian keluarganya, karena anak perempuan nantinya akan masuk ke dalam

marga suaminya. Dan juga bila anak laki-laki berhasil maka saudara anak perempuan

bangga bila saudaranya laki-laki/“ito” nya berhasil. Namun pemahaman sudah mulai

bergeser, bukan saja anak laki-laki yang diberi perhatian lebih, namun juga anak

61J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 485.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 76: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

perempuan juga telah sama diperhatikan dalam hal pendidikan, perhatian dan kasih

sayang, karena tokh juga anak perempuannya adalah darah daging dari orangtuanya

juga. Bahkan suatu saat kelak bahwa tingkat taraf hidup bukan saja dilihat dari

keberhasilan anak laki-laki saja tetapi juga anak perempuan, dan bila anak perempuan

menikah dan dapat suami (hela) yang dapat mengangkat derajad kehidupan dari suatu

keluarga tersebut.

Dalam keseharian, anak laki-laki kerap lebih diistimewakan di banding

perempuan. Laki-laki, karena alasan membawa nama keluarga lebih dijunjung,

dengan melakukan berbagai usaha supaya dapat sekolah setinggi-tingginya, yang

akhirnya diharap memperoleh nama dan kedudukan di tengah masyarakat. Sedangkan

perempuan karena karena dianggap akan menjadi milik marga lain maka cukuplah

kalau tahu baca dan tulis. Anak perempuan sedari kecil dilatih untuk hormat kepada

saudara laki-laki walaupun lebih muda dari dia. Perempuan dilatih untuk melayani

laki-laki, bahkan untuk hal-hal yang bisa dilakukan sendiri misalnya: mengambil

piringnya (ketika hendak makan), mencuci piring dan berbagai pekerjaan rumah

lainnya. Ketika anak perempuan sibuk di dapur, anak laki-laki bisa dengan tenang

bermain catur menunggu makan malam selesai disiapkan.

Akibatnya, seorang perempuan memiliki konsep bahwa harus mengalah

kepada laki-laki. Laki-laki adalah raja yang harus ditaatinya, dilayaninya dan

kepentingan merekalah yang harus didahulukan. Konsep ini akan diturunkan lagi

kepada putrinya kelak. Bagi laki-laki sendiri, kerugiannya ada juga, walau tidak

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 77: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

seberat yang dialami perempuan. Seorang laki-laki akan kesulitan hidup mandiri atau

sendiri. Jika tidak ada perempuan untuk melayaninya, ia akan kebingungan dan

cenderung mencari seseorang yang bisa melakukan peran itu. Dia kesulitan untuk

mengurus dirinya sendiri.

Ketidakadilan dalam keluarga Batak Toba tidak sulit ditemukan dalam

kehidupan sehari-hari. Ketidakadilan itu dialami oleh anak perempuan terlihat dalam

adat seperti: peran dalam pesta, mahar (tuhor), hak kepemilikan, pembagian harta

warisan yang akan dibahas pada bagian tersendiri dan hak mengeluarkan pendapat

dalam pertemuan resmi/pengambilan keputusan.

Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau

siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu dimana

ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki dan

perempuan terbilang hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada

perempuannya.

Kata “kedudukan mengandung arti tingkatan atau martabat, keadaan yang

sebenarnya, status keadaan atau tingkatan orang, badan atau negara”.62 Kedudukan

dalam hal ini dapat diartikan sebagai status atau tingkatan seseorang di dalam

mengemban dan melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga,

kerabat dan masyarakat.

62W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

hal.38.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 78: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa:

“Sesuai dengan amanah yang tertuang dalam UUD tahun 1945, bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu sendiri. Namun dalam sistem kekerabatan suku Batak, kaum perempuan hanya merupakan bagian dari kelompok ayahnya sebelum dia menikah. Setelah menikah, kerabat suaminya akan membayar mas kawin (Sinamot), saat itulah dia meninggalkan orantuanya dan dimasukkan ke dalam satuan kekrabatan suaminya”.63

Dalam pembahasan ini yang dibahas adalah anak perempuan yang dilahirkan

secara sah dalam sebuah perkawinan sah dari keluarga Batak Toba di Kecamatan

Pangururan Kabupaten Samosir, dan kaitannya dengan kedudukannya dalam

keluarga.

Dari hasil penelitian di lapangan dapat diketahui jawaban responden tentang

kedudukan anak perempuan, melalui Tabel-3 berikut ini:

Tabel 3. Kedudukan Anak Perempuan n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih tinggi kedudukan anak laki-laki 16 53% 2 Sama kedudukannya 13 43% 3 Tidak tahu 1 4%

Jumlah 30 100 % Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel-3 di atas, diketahui bahwa dari hasil penyebaran kuesioner

menunjukkan jawaban responden tentang kedudukan anak perempuan dengan anak

laki-laki dalam sebuah keluarga cenderung ke arah persamaan derajat (persentase

53% berbanding 43%). Hal ini membuktikan adanya pergeseran, di mana

kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap sama. Namun menurut

63Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara,

tanggal 11 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 79: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

pendapat Kartolo Simbolon bahwa “persamaan derajat anak laki-laki dengan

perempuan tidak akan pernah sama dalam keluarga 100%, mungkin secara umum

bisa. Tapi dalam setiap hati kecil orangtua orang batak yang punya anak laki-laki dan

anak perempuan pasti ada lebih ke arah anaknya laki-laki”.64 Hal ini juga didukung

oleh Saudin Sitanggang karena ada pepatah “anakhonhi do hamoraon di au, tidak

disebutkan boruki do hamoraon di au. Jadi masih ada pilih kasih, tapi bila di

bandingkan antara sekarang dengan zaman dulu, perubahannya cukup banyaklah”.65

B. Hak Mewaris Anak Perempuan

Hukum waris mengandung tiga unsur yaitu adanya harta peninggalan atau

harta warisan, adanya pewaris yang meninggalkan harta kekayaan dan adanya ahli

waris atau waris yang akan meneruskan pengurusannya atau yang akan menerima

bagiannya.

Hukum waris adat di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh bentuk susunan

kemasyarakatannya, yaitu sistem keturunan dan kekerabatannya. Sebagaimana

dikatakan Hazairin bahwa : “Hukum waris adat mempunyai corak tersendiri dari alam

pikiran masyarakat yang tradisional dengan bentuk kekerabatan yang sistem

keturunannya patrilineal, matrilineal, parental atau bilateral”.66 Pada kenyataannya

pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu berlaku sistem pewarisan yang

sama. “Di Indonesia dijumpai tiga macam sistem kewarisan, yaitu pertama sistem

64Kartolo Simbolon (dipanggil Ompung Manatap Simbolon), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

65Saudin Sitanggang (dipanggil Ama Salam Sitanggang), Pengetua Adat di Pangururan, Hasil Wawancara, pada tanggal 5 April 2008.

66Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 211.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 80: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

kewarisan individual…, kedua sistem kewarisan kolektif..., ketiga sistem kewarisan

mayorat…”.67

a. Ciri sistem pewarisan individual ialah bahwa harta peninggalan itu terbagi-

bagi pemilikannya kepada para waris, sebagaimana menurut hukum

perundang-undangan KUH Perdata dan hukum Islam, begitu pula berlaku di

lingkungan masyarakat adat seperti pada keluarga-keluarga Jawa yang

parental, atau juga pada keluarga-keluarga Batak yang patrilineal.

b. Ciri sistem pewarisan kolektif ialah bahwa harta peninggalan itu diwarisi atau

dikuasai oleh sekelompok waris dalam keadaan tidak terbagi-bagi, yang

seolah-olah merupakan suatu badan hukum keluarga/kerabat (badan hukum

adat). Sistem pewarisan ini dikenal di Minangkabau dan juga di Lampung.

c. Sedangkan ciri sistem pewarisan mayorat ialah bahwa harta peninggalan

orang tua (pusaka rendah) atau harta peninggalan leluhur (pusaka tinggi) tetap

utuh tidak di bagi-bagi kepada para waris, melainkan dikuasai oleh anak tertua

lelaki (mayorat pria) di lingkungan masyarakat patrilineal Lampung dan juga

di Bali, atau tetap dikuasai anak tertua perempuan (mayorat wanita) di

lingkungan masyarakat matrilineal Sumando dan Sumatera Selatan dan

Lampung.

Di kalangan masyarakat Batak sendiri pun dijumpai adanya sistem pewarisan.

Masyarakat Batak yang dikenal menganut ciri kekeluargaan bercorak patrilineal yaitu

67Erman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Refika

Aditama, Bandung, 2005, hal. 43.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 81: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

sistem keturunan yang ditarik menurut garis keturunan bapak. Di mana kedudukan

pria lebih menonjol pengaruhnya dibanding dengan kedudukan wantia di dalam

pewarisan. Hilman Hadikusuma mengatakan, “dengan ciri kekeluargaan patrilineal

itu masyarakat Batak menganut milik perseorangan. Jadi bersistem individual”.68

Masyarakat Batak Toba sebagai bagian dari masyarakat Batak secara

keseluruhan bertumpu pada garis keturunan yang ditarik menurut garis bapak.

Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat di Kecamatan Pangururan

sistem pewarisannya berciri individual.

Kata “pewaris” ini digunakan untuk menunjukkan orang yang meneruskan

harta peninggalan ketika hidupnya kepada ahli waris atau orang yang setelah wafat

meninggalkan harta peninggalan yang diteruskan atau dibagikan kepada ahli waris.

Pewaris adalah empunya harta peninggalan, atau empunya harta warisan. Pewarisan

adat harus diingat pada susunan kekerabatan yang mempengaruhinya dan bentuk

perkawinan yang dilakukan ketika hidupnya pewaris.

Pada masyarakat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, susunan

kekerabatannya mempertahankan garis keturunan pria (patrilineal) sebagaimana

berlaku di Batak pada umumnya, maka yang berkedudukan sebagai pewaris adalah

kaum pria, yaitu ayah atau pihak ayah (saudara-saudara pihak ayah), sedangkan kaum

perempuan bukan pewaris. Jadi ibu atau pihak ibu, saudara-saudara ibu pria dan

wanita bukan ahli waris. Pria yang berhak menjadi pewaris, adalah pria yang

68Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama Hindu-Islam, Op.Cit, hal. 24.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 82: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

melakukan perkawinan dengan pembayaran jujur atau dalam adat perkawinan di

Batak Toba disebut dengan perkawinan taruhon jual (eksogami-patriarcht).

Ahli waris adalah orang yang berhak mendapat harta warisan. Tetapi ada

orang yang tidak merupakan ahli waris, namun ia turut mendapat harta warisan

misalnya pemberian. Dalam kekerabatan patrilineal semua anak lelaki adalah ahli

waris, sedangkan anak perempuan bukan ahli waris, tetapi mungkin mendapat

warisan sebagai pemberian. Begitu pula istri sebagai janda bukan ahli waris dari

suaminya yang telah meninggal, tetapi jika anak-anaknya masih kecil belum mampu

menguasai harta warisan, maka yang berkuasa dan memelihara atas harta warisan

tersebut adalah istrinya, sampai anak-anaknya dewasa. Jika anak-anak sudah dewasa

dan harta warisan akan dibagikan, maka si istri boleh mendapat bagian, atau ia ikut

pada anak yang tertua.

Di masyarakat Batak Toba seperti halnya di tanah Batak pada umumnya anak

perempuan bukanlah ahli waris, tetapi mereka selama hidupnya (belum kawin)

berhak memakai dan menikmati harta orangtuanya dalam batas kebutuhan

penghidupannya.

Bahkan, janda bukan merupakan ahli waris dari suami tetapi merupakan

penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki,

maka begitu juga sebenarnya suami bukan waris dari isterinya yang meninggal karena

menurut alam pikiran dalam sistem kekerabatan ini isteri adalah milik suami, apalagi

harta bawaan dan harta pencahariannya yang selama perkawinan merupakan satu

kesatuan yang tidak terpisah dan tidak terbagi bagi kedudukannya.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 83: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Maka untuk seorang duda dapat dikatakan tidak ada masalah, ia tetap

berkewajiban mengurus anak dan harta kekayaan mereka. Apakah ia kelak kawin lagi

dengan mengambil adik kandung si isteri ataukah dengan orang lain tidak mempunyai

kedudukan harta warisan, oleh karena hak mewaris tetap pada anak-anaknya yang

lelaki.

Warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang

meninggal dunia (pewaris), baik harta benda itu sudah dibagi atau belum terbagi atau

memang tidak dibagi. Jadi apabila membicarakan tentang harta warisan maka berarti

mempersoalkan harta kekayaan seseorang (pewaris) karena telah wafat dan apakah

harta kekayaan orang itu akan (dapat) dibagi, atau belum dapat dibagi atau memang

tidak dapat dibagi.

Pada umumnya seorang yang meninggal dunia atau seorang pewaris ada

memiliki dua bahagian harta benda yaitu harta pusaka dan harta pencaharian. Di

samping kedua bagian harta tersebut mungkin juga ditemukan adanya harta yang

diperoleh atau didapat seseorang pewaris semasa hidupnya sebagai hadiah dari orang

lain, maka untuk harta demikian dapat dipersamakan dengan harta pencaharian.

Ada dua macam harta peninggalan, yaitu:

1. Harta bawaan, ialah harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan

seperti warisan, pemberian.

2. Harta pencarian, ialah harta yang diperoleh selama suami isteri dalam

perkawinan, sebagai harta bersama, seperti rumah dan sebagainya.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 84: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Menurut hukum adat Batak Toba bahwa yang dimaksud dengan harta pusaka

adalah harta yang diperoleh atau didapat seseorang, dimana harta tersebut

diperolehnya dari kakeknya/ompungnya yang telah meninggal.

Umumnya, objek harta pusaka adalah berupa tanah (tano), rumah (jabu), dan

sawah (hauma). Walaupun ada juga seseorang memiliki harta bergerak (lumbung

padi, ternak, pohon, piutang) yang diperolehnya dari kakeknya yang telah meninggal,

harta demikian umumnya tidak dipandang sebagai harta pusaka. Menurut pandangan

orang Batak Toba sulit rasanya untuk mengetahui atau menentukan apakah harta

bergerak itu merupakan harta yang diperoleh dari kakeknya atau tidak. Di samping itu

harta bergerak sangat mudah diasingkan dibandingkan dengan harta yang tidak

bergerak.

Sedangkan harta pencaharian adalah segala harta yang tidak termasuk ke

dalam harta pusaka. Untuk harta pencaharian ini tidak dibedakan dengan harta yang

diperoleh seseorang sebagai hadiah dari pemberian orang lain.

Untuk harta pencaharian dapat juga diberikan kepada anak laki-laki yang

melangsungkan perkawinan yang tidak dibicarakan sewaktu pembagian harta warisan

sesuai dengan adat. Karena pewarisan harta pencaharian, proses pewarisannya

diserahkan sepenuhnya kepada pewaris. Di sini pengaruh kerabat dekat suaminya

tidak ada dan terhadap anak perempuan juga dapat diberikan harta pencaharian ini.

Sedangkan dengan harta pusaka yang masih terasa adanya pengaruh kerabat

dekat si pewaris apabila harta tersebut hendak diwariskan. Seorang ahli waris yang

memperoleh bagian dari harta warisan berupa harta pusaka, kemudian dari harta

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 85: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

penggunaan harta pusaka ini dia menjadi kaya, maka hartanya yang terakhir ini bukan

termasuk ke dalam harta pusaka, melainkan termasuk ke dalam harta pencaharian.

Proses pewarisan yang merupakan pengoperan barang-barang harta

peninggalan yang ditinggalkan pewaris kepada ahli warisnya dapat dilakukan ketika

pewaris itu masih hidup atau setelah meninggal dunia.

Menurut Hilman Hadikusuma:

“Yang dimaksud dengan proses pewarisan atau jalannya pewarisan adalah cara bagaimana pewaris berbuat untuk meneruskan atau mengalihkan harta kekayaan yang akan ditinggalkan kepada para waris ketika pewaris itu masih hidup dan bagaimana cara warisan itu diteruskan penguasaan dan pemakaiannya atau cara bagaimana melaksanakan pembagian warisan kepada para waris setelah wafat”.69

Pada masyarakat Batak Toba, pewarisan semasa hidupnya pewaris biasanya

dilakukan oleh seorang ayah kepada anak-anaknya yang sudah kawin dan manjae

(mandiri, tidak satu rumah), yang pemberiannya dilakukan secara lisan saja.

Apabila seorang anak kawin tetapi belum manjae, maka anak tersebut

bersama isterinya berada dalam satu rumah dengan orang tuanya, karena anak

tersebut beserta isterinya belum merupakan “ripe” yang berdiri sendiri menurut

hukum adat. Tetapi apabila kelak anak tersebut manjae, yang berarti berdiri sendiri

dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, maka oleh orang tuanya dia diberi arta

panjaean berupa sebagian dari harta benda orang tuanya sebagai modal permulaan

bagi keluarga baru dari anaknya. Setelah anak tersebut dipanjae barulah ia dapat

69Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum

Agama Hindu-Islam, Loc.Cit, hal. 95.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 86: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

disebut sebagai ripe yang mandiri menurut hukum adat. Harta yang diterima anak

tersebut (arta panjaean) selalu diperhitungkan pada waktu orang tuanya meninggal,

terutama jika pada saat meninggalnya orang tua tersebut masih ada ahli waris yang

belum menerima bagiannya.

Dengan diberikannya panjaean yang terdiri dari sebagian harta benda ayah

kepada anaknya sewaktu manjae, maka pada saat tersebutlah berakhir

pertanggungjawaban bapak tersebut anaknya dalam hidup bermasyarakat dan

sekaligus berakhirlah pertanggungjawabannya untuk memenuhi kebutuhan hidup

isteri anaknya (parumaen-nya).

Pewarisan semasa hidupnya pewaris terutama kepada semua anak-anaknya

yang sudah kawin dan manjae (mencar) atas segala harta bendanya, terjadi apabila

ayah dan ibu tidak kuat lagi bekerja. Setelah diadakannya pewarisan tersebut, maka

ayah atau ibu seakan-akan menumpang kepada anak-anaknya.

Pewarisan semasa hidupnya pewaris bisa juga terjadi walaupun ayah dan ibu

masih sehat. Dalam hal ini jika ayah mempunyai tiga orang anak, maka ayah

membagi segala harta bendanya atas empat bagian. Tiap-tiap anak termasuk ayah

sendiri memperoleh satu bagian.

Berdasarkan hal-hal yang diutarakan diatas, maka ternyata bahwa pewarisan

di daerah Kecamatan Pangururan bisa juga terjadi pada waktu pewaris masih hidup,

di mana segala kewajiban dari pewaris termasuk kewajibannya kepada dirinya

sendiri berpindah bersama segala harta bendanya kepada para ahli warisnya. Para ahli

waris tersebutlah yang melangsungkan pengerjaan segala kewajiban pewaris

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 87: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

termasuk mengurus kepentingan diri pribadi dari pewaris sendiri. Juga bisa terjadi

hanya sebahagian dari kewajiban pewaris yang berpindah bersama sebahagian harta

bendanya kepada ahli waris yang menerima kewajiban tersebut.

Apabila pemberian oleh si ayah kepada anaknya yang perempuan dilakukan

pada waktu pewarisan, ataupun diterima oleh anak perempuan tersebut pada waktu

pembagian harta peninggalan oleh saudara-saudaranya, maka pemberian itu disebut

“ulos na so buruk”, artinya kain yang tak kunjung buruk. Jelaslah bahwa menurut

hukum adat Batak Toba, anak perempuan walaupun bukan ahli waris, tetapi

berdasarkan lembaga holong ni ate anak perempuan patut mendapat pemberian dari

harta peninggalan ayah kandungnya. Mengenai pengakuan terhadap lembaga holong

ni ate ini dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Januari 1968

Reg. No. 136 K/Sip/1967. Tentang hal-hal tersebut diatas, maka oleh karena itu

adalah merupakan pesan pewaris sewaktu ia masih hidup, maka pesan tersebut

barulah mempunyai kekuatan untuk berlaku sesudah pewaris tersebut meninggal.

Lebih lanjut, untuk mengetahui apa yang menjadi alasan anak perempuan

dijadikan sebagai ahli waris dapat dilihat pada Tabel-4 berikut ini:

Tabel 4. Alasan Anak Perempuan Sebagai Ahli Waris n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Persamaan Hak. 16 53% 2 Kasih sayang/perhatian. 9 30% 3 Supaya ada yang jaga kampung/huta. 5 17% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 88: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Dari Tabel tersebut, responden lebih banyak menjawab anak perempuan

dijadikan sebagai ahli waris (53%), hal ini dikarenakan sudah adanya perubahan

pandangan bahwa saat ini antara anak laki-laki dengan anak perempuan dianggap

sama, sedangkan memilih alasan kasih sayang/perhatian sebanyak 30% dan supaya

ada yang jaga kampung sebanyak 17%. Dalam hal pewaris masih meninggalkan

janda, anak perempuan yang belum kawin ataupun anak laki-laki yang belum dewasa,

hal mana merupakan kewajiban dari pewaris, yang sesudah ia meninggal dunia hanya

dapat dipenuhi dengan harta peninggalan, maka selama hal tersebut masih ada,

biasanya harta peninggalan dibiarkan tetap tidak terbagi hingga kewajiban tersebut

kelak dapat dipenuhi.

Menurut Christo Efrest Sitorus bahwa: “pada prinsipnya setuju bila anak

perempuan mewaris bersama saudaranya laki-laki walaupun tidak sama, sepanjang

ada harta peninggalan yang akan dibagikan, karena didasarkan pada persamaan hak

dan adanya lembaga holong ate yang dijadikan sebagai yurisprudensi”.70

Jika hal tersebut sudah dipenuhi, yakni pada saat meninggalnya janda pewaris

dan pada saat kawinnya anak perempuan pewaris ataupun pada saat sesudah

dewasanya anak laki-laki dari pewaris, barulah para ahli waris dapat memperoleh

bagian yang bersih.

Jika para ahli waris tidak sabar, dan ingin dengan segera sesudah

meninggalnya pewaris membagi harta peninggalan, maka mereka dapat membagi

70Chisto Efrest Sitorus, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir, Hasil Wawancara,

tanggal 11 April 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 89: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

harta peninggalan menurut perbandingan dari jumlah anak laki-laki dari pewaris

dengan memperhitungkan kewajibannya dari pewaris yang belum dipenuhi. Beban

harta peninggalan lainnya yang segera sesudah meninggalnya pewaris dapat dilunasi,

adalah hutang pewaris semasa hidupnya berupa uang ataupun tenaga. Juga termasuk

ongkos-ongkos penguburan serta segala biaya-biaya yang diperlukan dalam upacara-

upacara adat untuk penguburannya.

Jikalau harta peninggalan sudah terbuka untuk dibagi-bagi maka sebelum

dibagi-bagi, terlebih dahulu harus dilunasi segala hutang pewaris termasuk ongkos

penguburan. Dan jika harta peninggalan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban-

kewajiban pewaris ataupun tidak cukup untuk membayar hutang dan ongkos

penguburannya, maka para ahli waris tersebut yang melunasinya.

Setelah dipenuhi segala kewajiban pewaris, dilunasi segala hutang serta

ongkos penguburannya dan dilaksanakan pesan-pesannya mengenai barang-barang

tertentu yang tidak bertalian dengan pewarisan, maka apabila masih ada

kelebihannya, barulah harta peninggalan terbuka untuk dibagi-bagi oleh para ahli

warisnya. Harta peninggalan yang akan dibagi oleh para ahli waris, tidaklah

diperhitungkan menurut nilai kesatuannya berupa uang, tetapi tiap benda dipandang

tersendiri menurut jenisnya. Jika anak yang sulung memperoleh rumah, maka anak

yang bungsu memperoleh rumah, sedang anak yang lainnya dari pewaris memperoleh

jenis harta peninggalan yang lain.

Jikalau tidak ada perselisihan di antara para ahli waris, maka pembagian harta

peninggalan sudah dapat terlaksana di rumahnya pewaris. Namun apabila ada

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 90: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

perselisihan diantara para ahli waris mengenai bagian-bagian mereka, maka

diperlukan turut campurnya kelompok Dalihan Na Tolu.

Dalam hukum waris adalah, anak laki-laki yang mewarisi harta peninggalan

bapaknya. Jika ada anak laki-laki, hanya merekalah yang menjadi ahli waris. Apapun

yang diperoleh bapak melalui keringatnya sendiri, dipungka, tidak pernah boleh jatuh

ke tangan satu anak saja, dia mesti dibagi-bagi di antara semua anak lelaki, atau tetap

tidak dibagikan. Anak perempuan bersama harta peninggalan ayahnya berpindah ke

tangan ahli waris yang kemudian berdasarkan kebijaksanaannya sendiri atau adat

menentukan bagian yang menjadi perolehan anak perempuan tersebut. Apalagi

seorang janda dengan atau tanpa anak laki-laki tidak dapat mewarisi harta

peninggalan suaminya, hanya boleh mengelola harta peninggalan suaminya sebelum

kemudian beralih ke tangan ahli waris. Jika janda tersebut tidak mempunyai

keturunan, atau hanya keturunan anak perempuan, maka harta peninggalan suaminya

beralih ke kerabat dari suaminya.

Ahli waris dalam adat Batak Toba adalah anak laki-laki. Namun anak

perempuan melalui upacara adat dapat meminta bagian dari harta kekayaan ayahnya

baik semasa hidup ayahnya maupun sesudah meninggal dunia. Ada pemberian yang

dapat dilakukan oleh seorang ayah kepada anak perempuannya selagi masih kecil,

ada harta bawaan serta panjarnya yang diserahkan pada pertunangan anak perempuan

selagi dia masih anak kecil, ada pemberian yang diserahkan sesudah dan selama dia

berumah tangga, atau yang serahkan kepada anak-anaknya.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 91: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Tetapi apa yang dapat diterima anak perempuan tersebut tidaklah dalam arti

hak, melainkan imbauan kepada saudara laki-lakinya agar diberi sebagian dari

kekayaan yang ditinggalkan oleh ayahnya. Jika tidak ada anak laki-laki, imbauan

tersebut bisa ditujukan kepada paman atau kerabat yang lebih jauh. Biasanya anak

perempuan harus mengajukan permintaanya itu kepada ayahnya di saat ayahnya

menjelang ajal, atau kepada saudara laki-lakinya bila ayahnya sudah tiada, melalui

upacara manulangi. Namun permintaan ini tidak dapat dilakukan jika masih ada anak

laki-laki yang belum kawin atau anak perempuan tersebut belum menikah, atau jika

masih ada ibu yang ongkos hidupnya harus diambilkan dari harta peninggalan.

Besarnya bagian yang diserahkan kepada anak perempuan tergantung dari

keadaan. Anak sulung yang mengambil keputusan, harus mempertimbangkan hak dan

kepentingan semua adik laki-laki dan adik perempuan. Menurut Vergouwen bahwa

“hampir tidak pernah terjadi hubungan yang sumbang antara hula-hula dan boru

karena perkara ini, paling-paling hanya tarik urat mengenai apa yang pernah

dijanjikan tetapi tidak diberikan. Hakim biasanya tidak pernah repot dalam

menghadapi perselisihan semacam itu”.71

Jika ibu masih hidup dan anak-anak perempuan belum menikah, si ibu akan

disetujui mengelola bagian terbesar harta kekayaan, dan ahli waris akan menetapkan

besarnya pauseang (hadiah perkawinan) bagi anak perempuan bila ia menikah.

Hadiah ini biasanya hanya bagian kecil saja sebagai pengakuan atas hak mereka

selaku uaris juga. Namun banyak juga keluhan pahit anak-anak perempuan, dan ibu

71J.C. Vergouwen, Op.Cit, hal 316

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 92: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

yang hanya melahirkan anak perempuan, karena begitu bapak atau suami meninggal,

ahli waris bersikeras menjalankan haknya untuk memberlakukan perwalian dan

pengelolaan, menyita segala-galanya.

Mereka hanya bersedia memberi kepada perempuan jumlah yang hampir-

hampir tidak mencukupi untuk menutup keperluan yang paling pokok, dan juga tidak

mau memberi apa-apa lagi kepada anak perempuan yang sudah kawin di luar apa

yang sudah diterima sebagai pauseang.

Garis keturunan yang mengikuti jalur laki-laki berkonsekuensi pada sistem

pewarisan. Warisan jatuh ke tangan keturunan laki-laki. Namun tidak berarti anak

perempuan tidak mendapat bagian. Apakah perempuan mendapat bagian atau tidak,

akan sangat tergantung pada kebaikan hati saudara laki-lakinya. Menurut secara

tradisional falsafahnya adalah anak perempuan kawin dengan anak orang lain,

mengapa ia harus mendapat warisan. Namun prinsip ini sekarang menurutnya, sudah

bergeser, perempuan juga harus mendapat seperti laki-laki.

Harta adalah benda bergerak (perhiasan, ternak, dll), dan inilah yang dapat

diberikan kepada anak perempuan. Warisan adalah simbol dari eksistensi suatu

marga, oleh karena itu warisan harus jatuh ke tangan laki-laki saja. Harta pencaharian

atau harta yang didapat selama perkawinan boleh diberikan kepada anak laki-laki

maupun anak perempuan, tetapi anak laki-laki tetap harus mendapat bagian yang

lebih banyak. Anak laki-laki bertanggung jawab atas adik-adiknya, bila adik-adiknya

menderita anak laki-laki harus membantu.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 93: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Bahwa orang batak agak lain, karena warisan dibagikan sewaktu seseorang

masih hidup. Ada warisan yang diberikan sewaktu orang tua masih manjae (mandiri).

Anak-anak laki-laki diberi sawah, kebun, rumah. Anak laki-laki bungsu menempati

kedudukan yang istimewa. Ia dianggap kawan sehidup semati oleh orang tuanya. Ia

orang yang terakhir dilahirkan dan harus dekat dengan orang tuanya. Dialah yang

harus memberangkatkan orang tuanya ke kuburan. Oleh karena itu harta orang tuanya

akan diberikan kepadanya.

Harta peninggalan yang ditinggalkan oleh orangtua dapat berupa benda tidak

bergerak (seperti rumah dan sawah) maupun benda gerak (seperti cincin dan gelang).

Berdasarkan hasil penelitian lapangan diperoleh jawaban melalui responden tentang

warisan yang diberikan kepada anak perempuan, seperti terlihat pada Tabel-5 berikut

ini:

Tabel 5. Warisan Yang Diberikan Kepada Anak Perempuan n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Rumah. 2 6% 2 Tanah (sawah/ladang). 6 20% 3 dll (seperti perhiasan, dll) 22 74% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel tersebut terlihat, bahwa anak perempuan telah mendapat warisan

rumah namun persentasenya masih kecil yaitu hanya 6% dan tanah sebanyak 20%,

namun hal ini menjadi titik awal persamaan hak waris antara anak laki-laki dengan

perempuan. Dari 2 responden diketahui bahwa rumah diberikan karena saudara laki-

lakinya sudah merantau ke luar pulau samosir ke kota, kecuali bila ada anak laki-laki

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 94: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

mungkin tidak diberikan. Tetapi benda-benda lain seperti perhiasaan lebih dominan

yaitu sebanyak 74%.

Dalam hal perempuan boleh mendapat bagian dari harta ayahnya berupa

tanah. Menurutnya perempuan pada waktu kawin mendapat hadiah yang disebut ulos

na sora buruk, bisa berupa tanah, kebun atau barang-barang pusaka. Ada lagi yang

disebut hoban, yaitu sebidang tanah yang ada mata airnya. Hoban ini juga bisa

diberikan kepada anak perempuan. Biasanya satu keluarga bisa memiliki hoban lebih

dari satu. Hadiah lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan adalah perhiasan.

Bahwa salah satu tujuan hidup orang Batak yaitu mencapai hagabeon,

memiliki (banyak) keturunan terutama laki-laki, ternyata nyaris tidak berubah sampai

saat ini. Bagi orang Batak yang tidak punya anak laki-laki, tujuan tersebut

diupayakan dengan mengadopsi anak laki-laki. Hal yang menarik untuk dicermati

adalah, meskipun pengangkatan anak sudah disahkan secara adat, agama dan negara,

tetapi kaum kerabat masih tidak mengakui anak tersebut. Apalagi bila dikaitkan

dengan waris, maka orang yang dianggap tidak memiliki anak itu sangat tidak

diuntungkan. Seperti kasus di atas secara normatif adat, harta seorang bapak akan

jatuh ke tangan kerabatnya, meskipun ia memiliki seorang anak kandung perempuan

dan anak adopsi laki-laki. Seorang ibu juga akan kehilangan harta suaminya

meskipun ia sudah memiliki anak adopsi laki-laki. Mengapa nilai untuk memiliki

anak laki-laki bagi orang Batak Toba nyaris tidak berubah, berdasarkan kasus di atas,

ada kaitannya dengan masalah mempertahankan harta milik.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 95: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Dalam hukum adat Batak Toba, perempuan tidak memperoleh hak untuk

mewarisi barang-barang menetap dari harta peninggalan orangtuanya. Dalam

masyarakat Batak Toba, anak perempuan dengan anak laki-laki mempunyai

kedudukan yang timpang, di mana anak perempuan pada posisi yang lemah,

khususnya dalam hal waris. Secara normatif hukum adat Batak Toba tidak

memberikan hak waris kepada anak perempuan72, baik yang berupa tanah, rumah

maupun benda tidak bergerak lainnya. Sementara itu dalam berbagai peraturan

perundangan nasional73 menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki.

Menurut Tapi Omas Ihromi, bahwa “dalam praktek sehari-hari tampaknya

menunjukkan adanya peneguhan kepada aturan adat Batak yang tidak memberikan

hak waris kepada perempuan bila orangtuanya meninggal, perempuan tidak pernah

diperhitungkan dalam pembagian waris yang berlangsung dalam pertemuan keluarga,

di mana anggota kerabat laki-laki memainkan peranan penting”.74

Akses perempuan kepada harta warisan memang sangat dibatasi, sehingga

perempuan harus memperjuangkannya, terutama melalui sengketa melawan kerabat

72Bandingkan dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Pasal 174 KHI:

yang memiliki hak untuk mewaris adalah anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pasal 176: Bagian dari anak perempuan adalah ½, dua anak perempuan atau lebih akan mendapat 2/3 bersama-sama. Jika ada anak laki-laki dan perempuan, bagian anak laki-laki 2 dan anak perempuan 1.

73Dalam UUD 1945 (sekarang UUD 1945 Amandemen ke-IV Tahun 2002) Pasal 27 (1) mengenai kedudukan perempuan dan laki-laki sama di muka hukum; UU Perkawinan Nomor. 1 Tahun 1974, Pasal 31 (1) mengenai hak dan kedudukan suami dan istri yang seimbang; Pasal 35 (1) mengenai harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; Pasal 36 (1) atas harta bersama tersebut suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

74Tapi Omas Ihromi, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994, hal. 527.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 96: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

saudara laki-laki. Akses perempuan75 kepada tanah ayahnya semakin hilang karena

kelangkaan tanah di kampung, sementara itu pewarisan kepada anak laki-laki dan

pewarisan kolateral berdasarkan garis laki-laki masih tetap berlangsung. Pengaturan

mengenai akses kepada tanah secara tradisional yang tetap dipertahankan ini adalah

suatu cara untuk menjaga agar tanah tetap berada dalam wilayah hukum adatnya.

Harta yang dibawa oleh suami dan isteri ke dalam perkawinan sebagai modal

di dalam kehidupan rumah tangga yang bebas dan berdiri sendiri. Telah menjadi asas

umum yang berlaku di dalam hukum adat bahwa suami ataupun isteri yang

memperoleh harta yang berasal dari warisan atau hibah, akan tetap menjadi milik

suami atau isteri. Harta bawaan itu dapat berupa rumah, tanah, kebun dan perhiasan

lainnya. Pemberian harta benda dari orangtua kepada anak-anaknya baik laki-laki

atau perempuan disebut istilahnya dengan “holong ate” (kasih sayang).

Pemberian-pemberian harta benda ini mempunyai istilah berbeda-beda. Harta

benda yang diberikan kepada anak laki-laki disebut dengan istilah “harta panjaean”

sedangkan harta yang diberikan kepada anak perempuan disebut dengan “pauseang”.

Walaupun sebenarnya artinya sama.

Selain dari harta pauseang maupu panjaean masih ada lagi harta bawaan yang

fungsinya sama dengan pauseang dan panjaean tadi antara lain :

75Akses perempuan kepada tanah secara tradisional adalah melalui pauseang, yaitu pemberian

atau hadiah yang diberikan kepada anak perempuan ketika ia menikah. Hadiah ini dapat diperoleh perempuan karena ia meminta kepada ayahnya atau saudara laki-lakinya, dan disahkan secara adat. Namun karena sifatnya adalah pemberian atau hadiah, maka tidak dianggap sebagai hak waris.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 97: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

1. Indahan arian, ialah pemberian sebidang sawah oleh seorang ayah kepada anak

perempuannya apabila anak perempuan tersebut telah mempunyai anak. Jadi

pemberian ini adalah bermaksud indahan arian bagi cucunya.

2. Batu ni assimun, ialah pemberian dari seorang ayah kepada anak perempuannya

yang sudah mempunyai anak. Yaitu berupa hewan peliharaan dan emas.

Maksudnya disini adalah pemberian yang seolah-olah sebagai hadiah bagi

cucunya.

3. Dondon tua, yaitu pemberian seorang ayah kepada anak perempuannya yang telah

melahirkan anak berupa sebidang sawah kepada cucunya yang paling besar dan si

cucu boleh menerima setelah kakek meninggal dunia.

4. Hauma punsu tali, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak

perempuannya, pemberian ini adalah merupakan pemberian terakhir dan baru

dapat diterima oleh anak perempuannya apabila si ayah meninggal dunia.

5. Ulos na so ra buruk, yaitu pemberian dari seorang ayah kepada anak

perempuannya. Harta pemberian ini adalah merupakan sebagai modal pertama

pada saat mulai membangun rumah tangga.

Dalam keadaan demikian anak perempuan masih mempunyai kesempatan

beroleh bagian dari “sinamot” orangtuanya, lewat ulos dan pauseang (tanda sayang).

Dalam membela kesamaan/kesetaraan derajat antara anak perempuan dengan anak

laki-laki sekarang ini dalam hukum adat Batak Toba ada ungkapan : “Sarupa adop do

marmeme anak dohot boru”. Kesetaraan anak perempuan dengan anak laki-laki

sangat digaris bawahi.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 98: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

BAB IV PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HARTA WARISAN DALAM

MASYARAKAT BATAK TOBA DI KECAMATAN PANGURURAN KABUPATEN SAMOSIR

A. Perkembangan saat ini

Diskriminasi perempuan sangat gampang ditemukan dalam kehidupan sehari-

hari. Kepemimpinan perempuan, contohnya, masih kerap terkungkung pola-pola

patriaki. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari di tengah keluargapun, hak-hak

perempuan ikut tertindas.

Desakan ekonomi seakan lebih kuat untuk menggiring perempuan atau

siapapun saat ini masuk dalam sebuah lingkaran yang tidak pernah ketemu di mana

ujung pangkalnya. Perjuangan Kartini untuk menyetarakan kedudukan laki-laki

dengan perempuan hampir berhasil. Karena semua sektor dan lini saat ini sudah ada

perempuannya. Dalam kancah politik dan bidang lainnya suara perempuan sudah

mulai didengar. Dalam pandangan Islam, perempuan memiliki seperangkat potensi

hidup berupa akal dan naluri yang mempunyai peran beragam, yaitu sebagai makhluk

(hamba) Allah, sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga. Sebagai hamba,

perempuanpun wajib beribadah kepada Allah, sebagaimana laki-laki.

Demikian juga dalam adat istiadat/budaya khususnya Batak Toba, perempuan

pada umumnya tetap terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan,

yang menempatkan mereka dalam arena adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari

peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagai bidang profesi-

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 99: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

profesi terhormat dalam masyarakat, dan hidup sebagai “orang-modern”, mereka

tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Misalnya mereka

“harus” melahirkan anak laki-laki, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak-anak dan

suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi saudara-saudara suaminya

maupun kelompok kekerabatan marga ayahnya (hula-hula), dan memiliki berbagai

kewajiban kerja tetapi tidak memiliki hak bicara dalam berbagai pertemuan keluarga

(adat). Meskipun tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adat,

perempuan dari lapisan sosial bawah secara diam-diam bekerja di sektor ekonomi

menjalani berbagai profesi dagang.

Pandangan mengenai perempuan yang tidak berhak atas harta bapaknya harus

dilihat dari falsafah masyarakat tradisional, yang berorientasi pada kelangsungan

hidup kelompok dan kaitannya dengan terbatasnya sumberaya. Dalam masyarakat

tradisional, laki-laki dalam kelompok clan ayahnya dipandang bertanggung jawab

terhadap pemenuhan kebutuhan hidup perempuan dari clan tersebut. Di samping itu

perempuan dianggap akan menikmati bagian harta suaminya, yang didapat dari clan

suaminya. Untuk kelestarian hidup kelompok itulah, telah diciptakan aturan-aturan

adat yang bersumber pada falsafah tradisional.

Namun kehidupan orang Batak Toba yang tadinya berorientasi pada

kelompok (kolektif) lambat-laun berubah menjadi kehidupan yang cenderung

menagrah pada individu, terutama di kota besar. Falsafah tradisional yang

berorientasi pada kelangsungan hidup kelompok tidak lagi sepenuhnya dapat

dibayangkan. Aturan-aturan yang tadinya sangat baik untuk menjaga kelangsungan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 100: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

hidup kelompok, khususnya yang berkaitan dengan waris, sesunguhnya dalam segi-

segi tertentu sudah tidak cocok lagi. Pada masa sekarang peraturan adat yang

mengatakan bahwa perempuan bukan ahli waris, akan berdampak tidak

menguntungkan bagi perempuan tertentu. Misalnya, bila seorang perempuan kawin

dengan seorang laki-laki yang tidak memiliki harta (tergolong miskin), dan dia

dikatakan tidak boleh mendapatkan bagian dari harta ayahnya, maka ia berada pada

posisi yang tidak diuntungkan.

Persoalan mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat

menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur

kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang laki-

laki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan

sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan

hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan-hubungan kekerabatan

dan hubungan sosial.

Bagaimana konsep jender dalam hubungan kekerabatan dan hubungan sosial

berkaitan dengan pembatasan perempuan terhadap harta milik ?. Bila jenis kelamin

(sex) mengacu pada kategori biologis, maka konsep gender mengacu pada konsep

sosial yang menempatkan seseorang sebagai maskulin atau feminin berdasarkan

karakteristik psikologis dan perilaku tertentu yang secara kompleks telah dipelajari

melalui pengalaman sosialisasi. Makna kodrat yang seharusnya mengacu kepada

perbedaan perempuan dan laki-laki sebatas fungsi reproduksinya, diperluas menjadi

peranan dan kedudukan di berbagai bidang kehidupan. Tambahan lagi, kondisi di atas

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 101: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

didukung oleh penafsiran teks-teks kitab suci yang bias laki-laki. Pemaknaan

terhadap hakikat perempuan dan laki-laki menjadi berbeda. Dalam hubungan

pertukaran dalam perkawinan, perempuan dilihat sebagai salah satu jenis harta milik

dan menerima pembagian kerja di sektor domestik. Sementara laki-laki adalah orang

yang memiliki akses kepada penguasaan dan kontrol atas harta milik dan

mendapatkan pembagian kerja di sektor publik. Cara pandang atau konstruksi sosial

mengenai perempuan dan laki-laki yang demikian itulah yang disebut sebagai gender.

Konsep jender bervariasi di setiap kebudayaan dan konteks waktu. Apa yang patut

atau tidak patut dikenakan bagi laki-laki dan perempuan pada suatu masyarakat bisa

berbeda pada masyarakat lain, atau pada suatu waktu yang lain.

Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya

masing-masing dalam hubungan kekerabatan itu merupakan cara yang ampuh bagi

dipertahankannya patrilineage, sekaligus patriarkhi, dengan “mengorbankan”

perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik.

Masalah yang dihadapi oleh anak perempuan Batak Toba yang berkaitan

dengan akses terhadap hak waris adalah mengenai bagaimana anak perempuan untuk

mendapatkan akses kepada harta waris dan bagaimana anak perempuan dan harta

orang tuanya dalam pandangan hukum adat dan hukum negara. Penyelesaian

sengketa harta waris yang diskriminatif. Sebagai landasan dari penyelesaian sengketa

harta waris, dibedakan antara cara penyelesaian melalui peradilan negara yang tujuan

akhirnya adalah win-lose solution yang menitikberatkan pada substansi hukum dan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 102: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

melalui peradilan adat dengan tujuan win-win solution yang berfokus pada prosedur

untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial.

Perkembangan hukum, kompetisi hukum atau cara penyelesaian alternatif

yang menjadi bagian dari strategi bagi anak perempuan dalam penyelesaian sengketa

harta waris merupakan keunikan tersendiri. Kebudayaan Batak menetapkan, bahwa

hanya anak laki-laki yang mempunyai hak waris atas tanah, sementara anak

perempuan hanya memiliki hak terbatas, yakni “hak meminta” berdasarkan cinta

kasih. “Hak meminta” ini mengandung makna, bahwa anak perempuan yang orang

tuanya tidak mampu, sebaiknya jangan meminta karena tidak ada yang bakal diberi,

sementara bagi anak perempuan yang orang tuanya mampu, ia tidak akan diberi

kecuali ia meminta. Artinya “hak meminta” pun masih belum pasti antara diberi dan

tidak diberi. Sama dengan anak perempuan, seorang perempuan janda juga tidak

memiliki hak waris.

Ketika berstatus nikah, fungsi istri sebagai pengelola dan penikmat harta

suami dan harta bersama untuk selanjutnya diserahkan kepada anak laki-lakinya

ketika dewasa, tapi ketika terjadi perceraian (cerai mati/cerai hidup), maka

perempuan janda tidak memiliki hak waris atas harta gono-gini, apalagi harta pusaka

suaminya. Namun demikian, dalam prakteknya ada peradilan adat yang di lapangan,

yakni meskipun tidak memberikan hak milik waris, tapi memberikan hak pengelolaan

harta bagi anak perempuan atau memberikan hak waris hanya kepada anak

perempuan hanya jika ia merupakan anak satu-satunya dalam suatu keluarga.

Perkembangan implementasi hukum yang terjadi tentang hak waris yang banyak

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 103: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

dimenangkan oleh perempuan juga dipengaruhi oleh argumentasi tentang pembedaan

antara harta pusaka dan harta perkawinan.

Berbagai strategi yang dilakukan oleh perempuan ketika bersengketa, mulai

dengan cara yang halus tapi cerdik, yakni diam-diam pasang strategi dan tetap

menjalin hubungan baik dengan keluarganya, sampai dengan cara yang frontal untuk

mempertahankan harta orangtuanya.

Akan tetapi pengharapan untuk mendapatkan perlindungan kepada negara atas

harta waris tidak selamanya memberikan keuntungan bagi perempuan, meskipun hak

waris telah diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang didukung

dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan

yang termaktub dalam UU Nomor 7 Tahun 1984. Untuk kasus-kasus yang tidak

dipengadilankan, ada kecenderungan terjadinya “pengambangan”, artinya kasus

tersebut dibiarkan saja, tetapi si perempuan tetap berhubungan dengan pihak lawan

atau dengan cara mengelak dan mengurangi atau memutuskan hubungan dengan

pihak lawan, terutama ketika menyadari tipisnya kemungkinan untuk menang.

Strategi anak perempuan, meskipun dengan cara yang berbeda dalam

menghadapi sengketa waris juga bervariasi mulai dari bersandiwara untuk

mendapatkan belas kasihan sampai dengan melakukan perlawanan secara frontal

kepada lawan sengketanya. Jika akses terhadap hukum negara bagi perempuan

sangat terbatas dan penggunaan institusi hukum juga baru dilakukan ketika

perempuan sudah dalam keadaan sangat terdesak, maka anak perempuan dalam

menghadapi kasus sengketa warisan melalui pengadilan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 104: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Anak perempuan dapat juga melayani gugatan lawan yang mengajukannya ke

pengadilan atau melakukan gugatan ke pengadilan negara dan melanjutkan proses

pengadilan jika mengalami kekalahan (misalnya, banding). Anak perempuan tidak

segan-segan bersentuhan dengan pengadilan meskipun mereka menyadari, bahwa

tindakan itu akan banyak menyebabkan social loss. Hal ini bila cara musyawarah

tidak tercapai.

Keberanian ini disebabkan oleh faktor ekonomi (harta yang dipersengketakan

memang besar atau tidak besar tapi vital bagi kelangsungan hidup anak perempuan).

Faktor lain adalah karena lawan sengketa adalah anggota keluarga (kerabat ayah

dan/atau saudara laki-lakinya) yang sudah jelas tidak memberi hak waris kepada anak

perempuan sehingga mendorongnya untuk melakukan perlawanan. Namun, inipun

masih ada keraguan karena ada pula kasus anak perempuan ‘kalah sebelum perang’

ketika berhadapan dengan saudara laki-lakinya dalam soal harta waris. Menurut

Daniel S. Lev bahwa, dapat diidentifikasi beberapa ciri utama penyelesaian sengketa

yang di dalamnya dapat ditemukan budaya hukum masyarakat, yang cenderung

menghindari peradilan negara, yaitu:

a. penyelesaian sengketa lebih banyak mengandalkan pada konsiliasi (penyelesaian secara kekeluargaan), dengan mengutamakan kompromi;

b. gaya penyelesaian perselisihan yang dianjurkan oleh nilai-nilai dalam budaya hukum masyarakat adalah gaya yang lebih memperhatikan prosedur daripada substansi;

c. aturan dan pertimbangan hukum tentang keadilan sudah barang tentu tidak diabaikan, tetapi yang ditekankan bukanlah penerapan aturan-aturan tertentu

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 105: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

melainkan berakhirnya sengketa yang ditakutkan akan menimbulkan ketegangan atau gangguan sosial.76

Peradilan negara merupakan cara terakhir yang dilakukan oleh anak

perempuan yang menghadapi kasus sengketa waris juga tidak menjadikan peradilan

negara sebagai cara pertama, kecuali jika terjadi kegagalan bernegosiasi dengan

musyawarah di tengah-tengah keluarga dan jika ada yang memperadilankan kasus

sengketa terlebih dahulu, yang akhirnya mengenalkan anak perempuan pada institusi

hukum negara. “Hal ini menimbulkan terjadinya pilihan hukum di bidang waris

sehingga menimbulkan pluralisme hukum dan terdapat perdebatan menyangkut

sumber hukum adat dan mekanisme pembentukannya.”77

Dari Tabel-6 berikut ini dapat diketahui dari responden, apakah anak

perempuan termasuk dalam ahli waris, sebagai berikut:

Tabel 6. Anak Perempuan Termasuk Sebagai Ahli Waris n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Setuju. 16 54% 2 Tidak Setuju. 12 40% 3 Tidak Tahu. 2 6% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel-6 tersebut, jawaban responden yang mengatakan setuju sebanyak

16 responden (54%) sedangkan tidak setuju sebanyak 12 responden (40%). Dari tabel

tersebut tergambar bahwa anak perempuan telah mendapat hak secara bersama-sama

76Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3ES

(terjemahan), Jakarta, hal. 161. 77Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan

Resistensi, www. law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 106: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

dengan saudara laki-lakinya untuk mewaris harta peninggalan orangtuanya. Kalaupun

perempuan dapat bagian harta warisan dikarenakan harta peninggalan memang ada

untuk dibagikan dan semua dapat bagian, umumnya di Kecamatan Pangururan anak

laki-laki yang tertua mendapat rumah. Bahwa implementasi hukum adat tidak

berpengaruh terhadap letak geografis, tingkat pendidikan dan status sosial lawan

sengketa perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan berpengaruhnya implementasi

hukum waris bagi orang Batak yang tinggal di daerah. Tingkat pendidikan perempuan

berpengaruh positif pada resistensi mereka terhadap harta waris.

Berdasarkan penyebaran kuisioner di lapangan, ditemukan jawaban para

responden tentang besarnya bagian warisan untuk anak perempuan, dari Tabel-7,

sebagai berikut:

Tabel 7. Besarnya Bagian Warisan Untuk Anak Perempuan n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Lebih Besar Untuk Anak Laki-laki. 14 46% 2 Sama Besarnya. 6 20% 3 Sesuai Kesepakatan Ahli waris. 10 34% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel diatas, responden masih memihak kepada anak laki-laki dengan

persentase 46%, sedangkan jawaban responden yang mengatakan sama besarnya

hanya 20% saja. Sedangkan sesuai kesepakatan responden hanya berjumlah 10

responden (34%). Bahkan berdasarkan penelitian di lapangan dalam keluarga besar

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 107: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Simbolon ( E. Simbolon78, seorang anak laki-laki bersama 9 saudaranya yang lain,

yang awal tahun 2008 melaksanakan pembagian warisan yang telah

ditentukan/kesepakatan bersama sewaktu ayahnya masih hidup) bahwa “mereka yang

berjumlah 10 orang bersaudara (7 laki-laki dan 3 saudara perempuan), bahwa mereka

mendapat bagian tanah yang sama, sedangkan kelebihannya dibagikan kepada

saudara laki-laki, tetapi pembagian itu tidaklah sama persis, yang penting para ahli

waris (baik laki-laki maupun perempuan mendapat bagian).

Ada sebagian keluarga, untuk penentuan bagian warisan pada waktu

orangtuanya sudah tua atau sakit-sakitan, mereka semua semua berkumpul dan

diundang saksi-saksi. Maka setelah orangtuanya meninggal maka dilaksanakan

pembagian harta warisan, sepanjang ada yang dibagikan. Adat setempat mengakui

untuk rumah diberikan kepada anak laki-laki yang paling tua.

Mungkin sudah waktunya memang anak perempuan Batak harus mengambil

sikap, dan juga tuntutan zaman yg harus begitu. Dalam perkembangannya saat ini,

bahwa anak perempuan untuk mendapatkan harta warisan dari orangtuanya dapat

dilakukan berbagai cara, seperti membuat testamen, memberikan warisan dalam

bentuk lain seperti uang, pendidikan, perhiasan.

Namun pemberian warisan tersebut di atas kepada anak perempuan tetap

tidak dianggap sebagai hak. Bagaimana anak perempuan batak mengembangkan

78E. Simbolon bertempat tinggal di Jakarta, yang pada saat penelitian lapangan dilakukan

sedang berada di Pangururan, dan sedang mengurus surat tanah atas tanah yang baru diperolehnya dari pembagian tanah warisan yang ada di Pangururan.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 108: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

berbagai strategi untuk memperjuangkan aksesnya atas harta warisan. Sudah

diketahui bahwa adat Batak yang kuat sistem patriarkinya hanya mengenal laki-laki

sebagai ahli waris. Dalam adat dahulu di tanah Batak memang dikenal suatu cara

untuk memberi keseimbangan hak anak perempuan dengan memberikan sebidang

tanah kepada anak perempuan yang kawin, yang disebut "pauseang". Juga untuk

menunjukkan kasih sayang atas kelahiran cucunya dari anak perempuan dapat juga

diberi sebidang lahan disebut "indahan arian" atau "punsu tali".

Secara umum perempuan Batak tidak terlalu mempermasalahkan harta

pusaka, yang adalah hak dari anak laki-laki dalam sistem patrilineal. Yang

dipersoalkan adalah harta perkawinan, gono gini. Bagaimana perempuan Batak

melancarkan strategi ? Strategi mulai dari cara yang halus sampai cara frontal. Cara

halus maksudnya, dengan tidak kentara, misalnya tetap memelihara hubungan dengan

saudara laki-laki. Bisa juga terjadi meminta dukungan tulang (saudara laki-laki) dari

ibu, yang memang dimungkinkan adat. Dia juga mendata semua harta peninggalan

yang lain di kampung halaman yang diperoleh dari warisan orangtuanya. Cara anak

perempuan berperkara di pengadilan, karena melihat ada peluang di pengadilan.

Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya cenderung menganut pandangan

bahwa anak perempuan adalah juga ahliwaris harta perkawinan. Maka itu ada anak

perempuan Batak pakai strategi mengajukan gugatan atau melayani gugatan kerabat

suami di pengadilan. Sekarang sudah semakin meluas paham kesamaan kedudukan

perempuan dan laki-laki, emansipasi. Ini tantangan bagi budaya Batak.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 109: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Dalam Tabel-8 berikut ini akan tergambar bagaimana tanggapan para

responden terhadap harta pusaka, sebagai berikut:

Tabel 8. Pembagian Harta Warisan Terhadap Harta Pusaka n=30

No Jawaban Responden Jumlah % 1 Hanya untuk anak laki-laki saja. 28 94% 2 Di bagi sama. 1 3% 3 Tidak Tahu. 1 3% Jumlah 30 100 %

Sumber Data: Diolah dari data primer tahun 2008.

Dari Tabel-8 terjawab, bahwa para responden dengan jumlah 28 orang

(persentase 94%) tidak rela harta pusaka dibagikan untuk saudara perempuan.

Mungkin hal ini dapat dimaklumi bahwa harta pusaka itu merupakan pemberian

kakeknya/ompung dolinya yang harus diteruskan kepada anak laki-laki kepada cucu

laki-laki dan seterusnya. Bila diberikan kepada anak perempuan maka akan hilang,

karena harta pusaka itu masuk kepada clan/marga dari suaminya/hela-nya.

B. Penyelesaian Sengketa Warisan

Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum Pasal 12 ayat (1)

menyatakan: “Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan

kehakiman”. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman Pasal 5 ayat (2) menyatakan: “Pengadilan membantu pencari keadilan

dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Maka profesi hakim dalam

peraturan perundang-undangan tersebut diatas, adalah hakim sebagai pejabat

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 110: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

kekuasaan kehakiman yang memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan

kepadanya.

Dalam penelitian ini, Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Samosir yang

memeriksa dan mengadili perkara perdata (perceraian) dalam tingkat pertama yang

diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan)

tingkat pertama. Pengadilan Tinggi mempunyai wewenang untuk memeriksa dan

memutuskan perkara perdata (pewarisan) yang dimintakan banding serta Mahkamah

Agung memeriksa dan memutuskan perkara perdata (pewarisan) tingkat terakhir

tentang perkara yang dimintakan kasasi.

Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku

bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang

dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak

memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus

keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut

hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat

Batak. Sejak tahun 1961 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yaitu

Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang

memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang

sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari

Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli

waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 111: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris

apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).

“Walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di kota-kota besar sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan.”79

Secara garis besar penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan hak

mewaris anak perempuan Batak Toba, yang menurut hukum adatnya tidak

ditempatkan sebagai ahli waris, dalam rangka upayanya untuk memperoleh bagian

dari harta ayahnya. Dalam hal ini akan dikaji, bagaimana anak perempuan Batak

Toba menggunakan hukum nasional, hukum adat, atau kebiasaan-kebiasaan, dalam

melegitimasi kepentingannya untuk mendapatkan akses kepada harta waris.

Akhirnya akan dilihat bagaimanakah resistensi terhadap patriarkhi dapat

ditunjukkan melalui berkembanganya masalah pewarisan perempuan di tengah

berlangsungnya perubahan segi-segi tertentu dalam kebudayaan Batak Toba tersebut.

Berdasarkan penelitian lapangan sejak berdirinya Pengadilan Negeri

Kabupaten Samosir, belum pernah ada sengketa warisan. Namun melalui penelusuran

kepustakaan bahwa ada beberapa putusan dalam Tingkat Kasasi di Indonesia oleh

Mahkamah Agung Republik Indonesia tentang pewarisan putusan Kasasi tersebut No. 79Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2005, hal 208.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 112: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

179 /Sip/1961 tanggal 1 Nopember 1961 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Medan

Nomor 204/1959 tanggal 29 Desember 1959 jo. Putusan Pengadilan Negeri

Kabanjahe Nomor.3/S 1957 tanggal 8 September 1958 yaitu: Langtewas Sitepu dan

Ngadu Sitepu vs Benih Ginting, yang menjadi tonggak sejarah bagi anak perempuan

menyatakan bahwa anak perempuan dengan anak laki-laki sama-sama berhak

mewaris. Adapun duduk perkaranya sebagai berikut:

Kasus Posisi:80

Langtewas Sitepu dan Ngadu Sitepu menggugat Benih Ginting, anak kandung dari mendiang Rumbane boru Sitepu di muka Pengadilan Negeri Kabanjahe pada pokoknya atas dalil:

1. bahwa tanah sengketa bernama “Juma Pasar” adalah tanah pusaka berasal dari Rolak Sitepu;

2. bahwa oleh karena Rolak Sitepu tidak anak laki-laki, dan setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal dunia, maka menurut hukum adat Karo tanah itu harus diwarisi oleh penggugat-penggugat sebagai anak-anak lelaki dari saudara kandung almarhum Rolak Sitepu tersebut.

3. bahwa menurut putusan Balai Kerapatan (Raja Empat) Kabanjahe tanggal 1 Maret 1929 Nomor. 69 anak-anak perempuan dari almarhum Rolak Sitepu tersebut hanya ada hak buat memakai tanah itu selama mereka hidup.

4. bahwa setelah Rumbane yakni salah satu anak perempuan dari Rolak Sitepu meninggal dunia lalu tanah itu dikuasai oleh tergugat yakni anak lelaki dari almarhum Rumbane tersebut.

5. bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut penggugat-penggugat menuntut supaya Pengadilan Negeri Kabanjahe memberi putusan: a. Mengakui di dalam hukum, bahwa ladang perkara berasal dari pusaka

mendiang Rolak Sitepu yang menurut adat Indonesia Karo diwarisi oleh penggugat-penggugat, sebab mendiang Rolak Sitepu adalah saudara kandung dari Tindik Sitepu ayah kandung penggugat-penggugat, karena ia (Rolak Sitepu) telah mati masap (tidak ada keturunan anak laki-laki) selain dari kedua pengugat-penggugat;

80R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,

Bandung, 1983, hal. 15.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 113: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

b. menentukan di dalam hukum untuk menyudahi/memutus pemakaian tergugat atas ladang terperkara dan menyerahkannya kepada penggugat-penggugat.

Maka Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam putusannya tanggal 8 September

1958 Nomor.3/S 1957, mengabulkan gugatan dan menghukum tergugat untuk

menyerahkan ladang ”Juma Pasar” kepada para penggugat. Namun dalam tingkat

banding, Pengadilan Tinggi Medan dengan putusan tanggal 29 Desember 1959

Nomor 204/1959, membatalkan putusan Pengadilan Negeri dan dalam mengadili

kembali menolak gugatan penggugat-penggugat. Kemudian dalam Tingkat Kasasi di

Indonesia oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, keberatan-keberatan yang

diajukan pada pokoknya adalah: Bahwa menurut hukum adat Karo anak perempuan

(dimaksudkan Rumbane, yaitu ibu tergugat) adalah bukan ahliwaris dari ayahnya, dan

bahwa penggugat-penggugat kasasi adalah menurut hukum adat Karo ahliwaris dari

Rolak Sitepu dan berhak atas tanah sengketa setelah Rolak Sitepu tersebut meninggal

dunia.

Keberatan-keberatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung, berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai berikut:

1. Keberatan-keberatan tersebut berdasarkan atas anggapan bahwa di tanah Karo

masih tetap berlaku hukum yang hidup. Seorang anak perempuan tidak berhak

sama sekali atas barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya;

2. Mahkamah Agung berdasar selain atas rasa kemanusiaan dan keadilan umum

juga atas hakekat persamaan hak antara wanita dan pria, dalam beberapa

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 114: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

putusan mengambil sikap dan menganggap sebagai hukum yang hidup di

seluruh Indonesia, bahwa anak perempuan dan anak lelaki dari seorang

peninggal warisan, bersama-sama berhak atas harta warisan dalam arti, bahwa

bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan;

3. Bahwa berhubung dengan sikap yang tetap dari Mahkamah Agung ini, maka

juga di tanah Karo seorang anak perempuan harus dianggap sebagai ahli

waris yang berhak menerima bagian atas harta warisan dari orang tuanya;

4. bahwa oleh karena demikian, keberatan-keberatan penggugat-penggugat

untuk kasasi tidak dapat dibenarkan dan putusan Pengadilan Tinggi Medan,

meskipun berdasarkan alasan-alasan lain, harus dipertahankan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan, ada kasus yang telah menjadi

yurisprudensi untuk kalangan masyarakat Batak Toba, yang sebelumnya putusan

tersebut didasarkan atas yurisprudensi No.179K/Sip/1961 dan No.100/K/Sip/1967,

yaitu No.136/K/Sip/1967.

Kasus Posisi:81

Salmah (pr) menggugat Hadji Fahri dan Siti Dour (pr), anak kandung dari mendiang Hadji Muhammad. Arsjad di muka Pengadilan Negeri Padangsidempuan pada pokoknya atas dalil:

1. bahwa almarhum ada meninggalkan beberapa bidang tanah dan beberapa rumah yang berasal dari harta pencaharian;

2. bahwa semua harta peninggalan tersebut dikuasai dan dinikmati sendiri oleh saudara penggugat yaitu Hadji Fahri.

3. dst...

81Mahkamah Agung R.I., Yurisprudensi Indonesia, Penerbitan, I-II-III-IV/1969.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 115: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Pada Tingkat Pertama, gugatan Salmah (pr) selaku pengugat dikabulkan

sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji Muhammad. Arsjad

diadakan pembahagian menurut hukum adat Batak “Holong Ate”, yaitu penggugat

mendapat 1 (satu) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Negeri

No.91/1956 Per.Ps. tanggal 12 Pebruari 1958). Namun penggugat Salmah (pr) tidak

puas atas putusan tersebut, lalu mengajukan Banding ke Pengadilan Tinggi Medan,

dengan yang menjadi persoalan adalah sebagai berikut:

1. Hukum apakah yang dipergunakan ? hukum adat atau hukum Islam ?

2. Apakah benar yang didalilkan 2 rumah tersebut diserahkan dengan

memakai wasiat ?

3. dst...

Pertimbangan hukum dari Hakim judex factie bahwa:

1. Yang dipergunakan ialah hukum adat meskipun di sana sini di dalam tubuh

hukum adat itu ada terdapat faktor-faktor dari Hukum Islam.

2. Dalil terbanding/tergugat tidak dapat dibuktikan.

3. dst...

Pada Tingkat Banding, permohonan Salmah (pr) selaku pembanding

dikabulkan sebagian, di mana pembagian harta peninggalan mendiang Hadji

Muhammad. Arsjad diadakan pembahagian yaitu pembanding mendapat 2 1/2 (dua

setengah) pintu rumah dan tanahnya. (Putusan Pengadilan Tinggi Medan

No.201/1958 Perdata tanggal 5 Agustus 1964).

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 116: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Namun, terhadap putusan banding tersebut membuat Hadji Fahri mengajukan

kasasi dengan keberatan-keberatan untuk kasasi sebagai berikut:

1. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan memutus bertentangan dengan apa yang

telah terbukti karena tidak dapat dibuktikan adanya warisan, semua rumah

asal sudah terbakar, semua yang ada sekarang sudah didirikan oleh orang

lain.

2. Bahwa Pengadilan Tinggi Medan salah menerapkan hukum hukum adat

sebab menurut adat Holong Ate yang dapat diberikan oleh ahli waris

kepada anak perempuan ialah bagian yang dibagi dengan sukarela di

hadapan raja-raja adat, anak perempuan tidak berhak menentukan harta

mana yang hendak diterimanya sebagai holong ate, dan ahli waris tidak

diwajibkan untuk menyerahkan harta yang bukan harta peninggalan.

Terhadap keberatan-keberatan tersebut di atas maka Hakim Judex Factie

berpendapat bahwa:

1. Bahwa keberatan butir (1) tidak dapat dibenarkan, karena keberatan

mengenai penilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan tingkat kasasi.

2. Bahwa keberatan butir (2) tidak dapat dibenarkan, karena menurut

pendapat Mahkamah Agung putusan Pengadilan Tinggi yang

mempergunakan hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian

warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan

kemajuan kedudukan wanita dan hak-hak wanita di tanah Batak, yaitu 2

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 117: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

1/2 pintu rumah beserta tanah pekarangannya yang tersebut pada surat

gugat, adalah sudah tetap dan adil.

Dari pertimbangan hukum di atas, maka permohonan kasasi yang diajukan

oleh pemohon kasasi (Hadji Fahri) tersebut ditolak.

Putusan Mahkamah Agung ini mendapat sambutan hangat dari kaum wanita

Tapanuli dan dapat dianggap sebagai suatu tonggak bersejarah dalam proses

pencapaian persamaan hak antara kaum wanita dan kaum pria. Dengan putusan ini

Mahkamah Agung telah membentuk hukum yurisprudensi baru dalam soal warisan di

Tapanuli.

Untuk melengkapi penulisan ini, perlu dicantumkan beberapa kasus sengketa

waris anak perempuan secara nasional:82

Tabel 9. Sengketa Waris Anak Perempuan Persepsi Para Pihak Pilihan Pengaduan

No Lawan Sengketa

Harta warisan Laki-laki Perempuan

Pilihan Hukum

Perempuan Adat Negara

1.

2.

3.

Kakak sulung

laki-laki.

Saudara kandung laki-laki.

dst ...

Rumah, tanah seluas 50m2.

sawah, tanah,

ladang, rumah,

kebun di 37

tempat berbeda, perhiasan

...

Ingin hukum adat: perempuan tidak berhak mewaris. Perempuan sudah

dibeli suami, wajib membeli rumah.

Variasi pandangan dlm kelompok

pihak laki2: hy anak laki2 yang

berhak mewaris harta perkawinan,

tdk keberatan perempuan mendpt bagian warisan. ...

...

Tidak ingin hukum adat. Merasa punya

hak atas bagian harta perkawinan orangtua.

Dilahirkan dari ibu yang sama.

Meskipun perempuan, harus dianggap sbg

ahli waris jg meminta menuntut pembagian

sama rata dengan anak laki-laki.

...

Harta pusaka tunduk pada hukum adat.

Harta pencaharian: tidak pada

hukum adat...

Mengggugat ke PN

...

-

Upaya nego-siasi gagal

...

-

PN, PT, MA memenang-

kan anak Perempuan

...

82Sulistyowati Irianto, Op.Cit, hal. 275-276.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 118: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Dari Tabel tersebut merupakan sebagian dari kasus-kasus sengketa waris yang

terjadi di Indonesia yang diteliti oleh Sulistyowati Irianto dalam memperoleh gelar

Doktornya dalam bidang Antrologi Hukum yang berjudul Perempuan Di antara

Berbagai Pilihan Hukum.

Nomor 1 dari Tabel tersebut merupakan data yang diperoleh di lapangan yang

dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus tersebut merupakan sengketa

antara AP vs PP. Kasus ini memperlihatkan strategi anak perempuan (AP) yang

dibantu oleh saudara-saudara kandungnya melawan kakak sulung laki-laki, untuk

mempertahankan sepetak rumah yang menjadi tempatnya bertuduh. Saudara laki-laki

yang selalu berupaya menjual rumah peninggalan orangtuanya itu adalah seorang

Sarjana Hukum (satu-satunya sarjana dalam keluarganya), mempunyai pekerjaan

yang cukup baik, dan sudah mendapatkan bagian terbesar dari harta ayahnya.

Sementara itu saudara perempuan lawan sengketanya tidak memiliki apa-apa, kecuali

rumah petak di atas tanah 50 m2 yang disengketakan itu. Pertengkaran demi

pertengkaran mewarnai hubungan persaudaraan mereka, dan sampai saat ini tidak ada

penyelesaian.

Namun Nomor 2 dari Tabel tersebut berbeda, karena merupakan data yang

diperoleh dari studi dokumen yang dilakukan oleh Sulistyowati Irianto, di mana kasus

tersebut merupakan sengketa antara Muj, Pel dan Ter vs Raja Pulung M dan Raja

Meriah M (Putusan MA No.182/K/Sip/1970). Kasus waris ini menyangkut harta

yang sangat banyak berupa ladang, kebun, sawah, rumah yang terletak di 37 tempat

yang berbeda. Berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya harta yang disengketakan

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 119: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

juga meliputi benda bergerak berupa berbagai perhiasaan yang beratnya 478 gram.

Perseteruan terjadi antara anak-anak perempuan melawan saudara-saudara kandung

mereka yang laki-laki, memperebutkan harta mendiang orangtua mereka. Baik

Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi maupun Mahkamah Agung memenangkan

pihak anak perempuan.

Dengan demikian upaya yang dilakukan anak perempuan untuk mendapat

hak yang dituntutnya baik melalui musyawarah keluarga atau musyawarah adat,

bahkan mengajukan gugatan sengketa warisan ke pengadilan merupakan suatu

kemenangan untuk memperoleh hak/bagian bersama-sama dengan saudaranya laki-

laki atas harta peninggalan dari orangtua mereka.

Beberapa keputusan Mahkamah Agung telah melakukan koreksi terhadap

praktek di atas dengan menetapkan secara tegas kedudukan yang sama dalam hak

waris antara anak laki-laki dengan anak perempuan. “Namun pada sisi lain

pertimbangan hukum dalam putusan Mahakamah Agung tidak dikaitkan dengan

filosofi, sejarah Hukum Waris Adat Batak Toba dan nilai-nilai yang hidup pada

masyarakatnya.”83 Sehingga tidak semata-mata berisi pertimbangan persamaan

kedudukan anak laki-laki dengan anak perempuan dari aspek kemanausiaan,

perkembangan peradaban manusia dan pendapat pribadi majelis hakim. Menurut

Barita LM. Simanjuntak dalam disertasinya bahwa:

“Putusan Mahkamah Agung selanjutnya dipahami sebagai penafsiran kaidah Hukum Waris Adat Batak Toba yang baru sehingga dalam perkembangannya

83Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan

Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 120: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

otoritas badan peradilan (Mahkamah Agung) turut mempengaruhi kedudukan laki-laki dan perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba, padahal keputusan Mahkamah Agung tersebut sesungguhnya sekedar mengukuhkan, menguatkan kembali saja landasan sejarah dan filosofi Hukum Waris Adat Batak Toba yang sesungguhnya.”84

84Barita L.H. Simanjuntak, Disertasi, Tentang Hukum Waris Adat: Antara Perubahan Dan Resistensi, www. Law.ui.com. (penelusuran melalui google.com). tanggal 06 Agustus 2008.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 121: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Setelah diuraikan pada bab-bab terdahulu khususnya mengenai pembahasan,

maka pada bab terakhir ini, yang merupakan bab penutup dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kedudukan anak perempuan dalam struktur kekerabatan Batak Toba pada

prinsipnya masih berbeda, bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Seperti anak

perempuan tidak berhak berbicara dan mengeluarkan pendapat di acara-acara

resmi, terlihat pada pesta-pesta Batak hampir tidak pernah terlihat ada perempuan

duduk di barisan depan, ikut berbicara dan mengambil keputusan. Namun saat ini,

dalam lingkup pertemuan keluarga yang lebih kecil para perempuan sudah

diizinkan berbicara tetapi hanya sebagai pendahuluan saja, seperti acara

pemberian nama kepada anak (tardidi), acara memberi kata penghibur bagi

keluarga yang berduka (mangapuli).

2. Kedudukan anak perempuan dengan anak laki-laki secara bersama-sama telah

mendapat hak/bagian atas harta peninggalan dari orangtuanya. Namun terhadap

harta pusaka, yang berhak tetap anak laki-laki karena sebagai penerus marga

bapaknya.

3. Dalam masyarakat adat Batak Toba di Kecamatan Pangururan, sistem pembagian

warisannya telah mengalami perubahan. Sebelumnya anak perempuan tidak

mendapat bagian warisan terhadap harta peninggalan orangtuanya, kecuali

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 122: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

pemberian. Namun sekarang anak perempuan telah mendapat hak atas harta

warisan dari orangtuanya seperti tanah, ladang, sawah.

B. Saran

Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil

diberikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Disarankan kepada tokoh-tokoh adat dan kaum laki-laki, mulai memberi

kesempatan kepada perempuan untuk bersuara dan mengambil keputusan dalam

acara pesta-pesta Batak tanpa menghilangkan rasa hormat kepada laki-laki dan

ataupun mengubah struktur kekerabatan Batak Toba yaitu “Dalihan Na Tolu”.

2. Persamaan hak itu merupakan tuntutan rasa keadilan dan hukum, karena

yurisprudensi tentang waris telah ada dan dijadikan acuan untuk menyelesaikan

mengatur persamaan hak antara laki-laki dengan perempuan. Maka disarankan

perlu adanya sosialisasi ditengah-tengah masyarakat (tokoh adat, pemerintah

setempat) untuk memberi pemahaman yang sama “kedudukan anak perempuan

sama dengan anak laki-laki” sehingga tidak terjadi perselisihan pewarisan dalam

satu keluarga.

3. Perkembangan hak mewaris bagi anak perempuan dari tidak mewaris menjadi

mewaris, perlu disikapi secara positif. Untuk itu pemerintah disarankan membuat

peraturan perundang-undangan tentang pembagian warisan yang bersifat

nasional, sehingga tidak ada lagi keanekaragaman pembagian warisan. Maka

terciptalah kepastian hukum dan kepastian pembagian warisan bagi para ahli

waris.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 123: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku.

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Seminar Hukum Adat dan Pembinaan

Hukum Nasional, 1976.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Edisi Ketiga, Jakarta, 2005. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Alumni, Bandung, 1980. -------------------------, Hukum Waris Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,

Hukum Agama Hindu-Islam, Citra Aditya Bajti, Bandung, 1991. Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al Qur’an, Tintamas, Jakarta. Ihromi, Tapi Omas, Inheritance and Equel rights for Toba Batak Daughters,” Law

and Society Review Vol. 28. No. 3, 1994. Irianto, Sulistyowati, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum, Yayasan Obor

Indonesia, Jakarta, 2005. Kartasapoetra, Rien G., Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Penerbit Bina Aksara,

Jakarta, Cetakan 1, 1988. Daniel S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan,

LP3ES (terjemahan), Jakarta. Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Malik, Rusdi, Penemu Agama Dalam Hukum di Indonesia, Penerbit Universitas

Trisakti, Jakarta. Manan, H. Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2004. Meliala, Djaja S. dan Aswin Perangin-angin, Hukum Perdata Adat Karo Dalam

Rangka Pembentukan Hukum Nasional, Bandung, Tarsito, 1978.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 124: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Moleong, Lexy. J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2001

Pitlo, A. Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Intermasa,

Jakarta, 1990. Poesponoto, K.Ng. Soebakti, Azas Dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita,

Jakarta 1990. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung. Purbacaraka, Purnadi, Pengantar Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu-ilmu Sosial, Universitas

Indonesia, Jakarta, 1989. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,

1976. Sangti, Batara, Sejarah Batak, Karl Sianipar Company, Balige, 1997. Saragih, Djaren, dkk, Hukum Perkawinan Adat Batak Khususnya Simalungun, Toba,

Karo, dan Undang-Undang Tentang Perkawinan (UU No. 1/1974), Tarsito, Bandung, 1980.

Satrio, J., Hukum Waris, Alumni, Bandung, 1992. Sianturi, Sr. Alfocine Idarmeiaty, Kesetaraan Jender Dalam Semangat Habitus Baru,

WKRI, PPU, 2008. Sihombing,T.M., Filsafat Batak (tentang kebiasasan-kebiasaan adat istiadat), Balai

Pustaka, Jakarta 1986. Sihotang, Jailani, dan Sadar Sibarani, Pokok-pokok Adat Batak (tata cara perkawinan

di Toba), Mars 26, Jakarta, 1988. Soediyat, Iman, Asas-Asas Hukum Adat, Gajah Mada, Yogyakarta, 1969. Soemitro, Ronny Hamitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 1984. -----------------------, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,

1988.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 125: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Penerbit Universitas, Jakarta, 1996. Subagio, Joko P., Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, Rineka Cipta,

Jakarta, 1994. Subekti, R., Hukum Adat Indonesia Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Alumni,

Bandung, 1983. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum; Suatu Pengantar, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001. Suparman, Erman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW,

Refika Aditama, Bandung, 2005. Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, Pustaka Azet, Jakarta,

1986. Vollmar, HFA., (penerjemah IS. Adiwimarta), Pengantar Studi Hukum Perdata,

Jilid I, Rajawali Press, Cet-2, Jakarta, 1989. Wignjodipoero, Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung,

Jakarta, 1987. Wuisman, J.J.J. M., dengan penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Jilid

I, FE-UI, Jakarta, 1996. B. Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975, tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. ------------, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 126: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

C. Media Cetak dan Elektronik Harian Analisa., 27 April 2008. Majalah Budaya Batak dan Pariwisata, Nomor.8. 1996. Magazine The International Day of World’s Indigenous Peoples, 9 Agustus 2006. [email protected] www.google.com www.law.ui.com www.samosir.go.id

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008

Page 127: HAK MEWARIS ANAK PEREMPUAN

Lampiran 1 Peta Wilayah Samosir:

Tiorista: Hak Mewaris Anak Perempuan Dalam Masyarakat Batak Toba (Studi Di Kecamatan Pangururan - Kabupaten Samosir), 2008. USU e-Repository © 2008