Gizi buruk
-
Upload
frostedsurgeon -
Category
Documents
-
view
18 -
download
0
description
Transcript of Gizi buruk
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan
protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh.
Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi.
Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta
marasmik-kwashiorkor.1
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di
dunia, terutama di negara-negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika, Amerika
Tengah, dan Amerika Selatan. Salah satu klasifikasi dari gizi buruk adalah marasmik-
kwashiorkor. Di seluruh dunia, diperkirakan terdapat 825 juta orang yang menderita
gizi buruk pada tahun 2000–2002, dan 815 juta diantaranya hidup di negara
berkembang. Prevalensi yang tinggi terdapat pada anak-anak di bawah umur 5 tahun
(balita). Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi.
Berdasarkan laporan provinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami
gizi buruk dan data Susenas (Survei Sosial dan Ekonomi Nasional) tahun 2005
memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8,8%. Pada tahun 2005 telah
terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi
terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat.1,2
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk dan faktor tersebut
saling berkaitan. Secara langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu anak kurang
mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama dan anak menderita
penyakit infeksi. Anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh
secara optimal karena adanya gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi. Secara
tidak langsung penyebab terjadinya gizi buruk yaitu tidak cukupnya persediaan pangan
di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, dan sanitasi atau kesehatan lingkungan
kurang baik, serta akses pelayanan kesehatan terbatas. Akar masalah tersebut
berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan
kemiskinan keluarga.3
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa anak gizi buruk dengan gejala
klinis (marasmus, kwashiorkor, marasmus kwashiorkor) umumnya disertai dengan
penyakit infeksi seperti diare, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), tuberculosis
(TB), serta penyakit infeksi lainnya. Data dari WHO menunjukkan bahwa 54% angka
1
kesakitan pada balita disebabkan karena gizi buruk, 19% diare, 19% ISPA, 18%
perinatal, 7% campak, 5% malaria, dan 32% penyebab lainnya.4
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mengambil rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana Definisi dari Gizi Buruk?
2. Bagaimana Epidemiologi Gizi Buruk?
3. Bagaimana Etiologi Gizi Buruk?
4. Bagaimana Faktor Risiko Gizi Buruk?
5. Bagaimana Klasifikasi Gizi Buruk?
6. Bagaimana Patofisiologi Gizi Buruk?
7. Bagaimana Manifestasi Klinis dari Gizi Buruk?
8. Bagaimana Diagnosis Gizi Buruk?
9. Bagaimana Penatalaksanaan Gizi Buruk
10. Bagaimana Komplikasi dari Gizi Buruk?
11. Bagaimana Prognosis Klinis dari Gizi Buruk?
1.3 Tujuan
Berdasarkan Rumusan masalah diatas, penulis mengambil tujuan sebagai
berikut:
1. Bagaimana Definisi dari Gizi Buruk.
2. Bagaimana Epidemiologi Gizi Buruk.
3. Bagaimana Etiologi Gizi Buruk.
4. Bagaimana Faktor Risiko Gizi Buruk.
5. Bagaimana Klasifikasi Gizi Buruk.
6. Bagaimana Patofisiologi Gizi Buruk.
7. Bagaimana Manifestasi Klinis dari Gizi Buruk.
8. Bagaimana Diagnosis Gizi Buruk.
9. Bagaimana Penatalaksanaan Gizi Buruk.
10. Bagaimana Komplikasi dari Gizi Buruk.
11. Bagaimana Prognosis dari Gizi Buruk.
2
1.4 Manfaat
Melalui makalah ini, penulis mengharapkan dapat menambah pengetahuan
dokter muda mengenai penegakan diagnosis dan penatalaksanaan gizi buruk
secara komprehensif.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gizi buruk merupakan istilah teknis yang biasanya digunakan oleh kalangan
gizi, kesehatan dan kedokteran.5 Gizi buruk adalah kondisi seseorang yang nutrisinya
di bawah rata-rata.6 Hal ini merupakan suatu bentuk terparah dari proses terjadinya
kekurangan gizi menahun. Keadaan gizi kurang tingkat berat pada masa bayi dan
balita ditandai dengan dua macam sindrom yang jelas yaitu Kwashiorkor (karena
kurang konsumsi protein) dan Marasmus (karena kurang konsumsi energi dan
protein).5
Marasmus adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat
kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput.
Kwashiorkor adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh
terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil,
pandangan mata sayu dan rambut tipis / kemerahan. Marasmik-kwashiorkor adalah
keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor.1
Sedangkan menurut Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Departemen
Kesehatan RI 2003 marasmik-kwashiorkor adalah gizi buruk dengan gambaran klinik
yang merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor dan marasmus
dengan BB/U < 60 % baku median WHO-NHCS disertai edema yang tidak mencolok.7
2.2. Epidemiologi
Berdasarkan perkembangan masalah gizi, pada tahun 2005 diperkirakan
sekitar 5 juta anak menderita gizi kurang (berat badan menurut umur), 1,5 juta
diantaranya menderita gizi buruk. Dari anak yang menderita gizi buruk tersebut ada
150.000 menderita gizi buruk tingkat berat yang disebut marasmus, kwashiorkor, dan
marasmus-kwashiorkor, yang memerlukan perawatan kesehatan yang intensif di
Puskesmas dan Rumah Sakit. Masalah gizi kurang dan gizi buruk terjadi hampir di
semua Kabupaten dan Kota. Pada saat ini masih terdapat 110 Kabupaten / Kota dari
440 Kabupaten / Kota di Indonesia yang mempunyai prevalensi di atas 30% (berat
badan menurut umur). Menurut WHO keadaan ini masih tergolong sangat tinggi.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0% berstatus
gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk. Data yang sama
menunjukkan 13,3% anak kurus, diantaranya 6,0% anak sangat kurus dan 17,1%
anak memiliki kategori sangat pendek. Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita
4
pada tahun 2007 yang diukur berdasarkan BB/U adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada
Balita adalah 13,0%. Prevalensi nasional untuk gizi buruk dan kurang adalah 18,4%.
Menurut Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar
27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang,
dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%). WHO (1999) mengelompokkan wilayah
berdasarkan prevalensi gizi kurang ke dalam 4 kelompok yaitu: rendah (di bawah
10%), sedang (10-19%), tinggi (20-29%), sangat tinggi (30%).
2.3. Etiologi
Terdapat beberapa penyebab langsung yang dapat mengakibatkannya angka
kejadian gizi buruk yaitu tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi
juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit,
pada akhirnya dapat menderita gizi buruk. Demikian pula pada anak yang tidak
memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan
mudah terserang penyakit.
Terdapat pula beberapa penyebab tidak langsung yang dapat
mengakibatkannya angka kejadian gizi buruk yaitu pertama, ketahanan pangan
keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi
kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup baik jumlah
maupun mutu gizinya. Kedua, pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap
keluarga dan mayarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian, dan
dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik baik fisik, mental
dan sosial. Ketiga, pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem
pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan
sarana pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang
membutuhkan.
Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah pemasukan kalori yang tidak
cukup, kebiasaan makan yang tidak tepat, kelainan metabolik (misalnya renal asidosis,
idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance), malformasi kongenital
(misalnya penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas palatum,
palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis
pankreas).
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya asupan protein yang
berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara lain
kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting
5
terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan
pengganti ASI. {enghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan
berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun
tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. Infeksi derajat apapun dapat
memperburuk keadaan gizi.
Penyebab marasmik – kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu
malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang
gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat.
Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat,
menurunnya absorbsi dan atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari
tubuh.
Gambar 1. Etiologi Gizi Buruk
2.4 Faktor Resiko Gizi Buruk
Banyak faktor resiko terjadinya gizi buruk pada balita diantaranya penyakit
infeksi, jenis kelamin, umur, berat badan lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif,
imunisasi tidak lengkap, pekerjaan ayah dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah,
ibu pekerja, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, jumlah anggota keluarga yang
6
besar, perolehan imunisasi yang kurang, konsumsi protein yang kurang, dan lain-
lain.10
2.5 Klasifikasi
Penentuan prevalensi KEP (Kekurangan Energi Protein) diperlukan klasifikasi
menurut derajat beratnya KEP, klasifikasi demikian yang sering dipakai adalah sebagai
berikut:
2.5.1 Klasifikasi Berdasarkan Baku Median WHO-NCHS8
Klasifikasi KEP BB/U BB/TB
Ringan 70-80% 80-90%
Sedang 60-70% 70-80%
Berat <60% <70%
Table 1. Klasifikasi KEP berdasarkan baku median WHO-NHCHS8
2.5.2 Klasifikasi Menurut Departemen Kesehatan RI
Klasifikasi malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB), tinggi badan (TB),
dan umur menurut Depkes RI adalah sebagai berikut:8
BB/TB
(berat menurut tinggi)
TB/U
(tinggi menurut umur)
Mild 80 – 90 % 90 – 94%
Moderate 70 – 79 % 85 – 89 %
Severe < 70 % <85 %
Table 2. Klasifikasi KEP menurut Departemen Kesehatan RI8
2.5.3 Klasifikasi Menurut Gomez (1956)
Klasifikasi ini berdasarkan berat badan individu dibandingkan dengan
berat badan yang diharapkan pada anak sehat seumur.8
Derajat KEP Berat badan % dari baku*
0 (normal) ≥90%
1 (ringan) 89-75%
2 (sedang) 74-60%
3 (berat) <60%
Table 3. Klasifikasi KEP menurut Gomez8
7
2.5.4 Klasifikasi Menurut McLaren (1967)
McLaren mengklasifikasikan KEP berat dalam 3 kelompok menurut
tipenya. Gejala klinis edema disertai dermatosis, perubahan pada rambut, dan
pembesaran hati diberi nilai bersama-sama dengan menurunnya kadar albumin
atau total protein serum.8
Gejala klinis / laboratoris Angka
Edema 3
Dermatosis 2
Edema disertai dermatosis 6
Perubahan pada rambut 1
Hepatomegali 1
Albumin serum atau protein total serum/g %
<1,00 <3,25 7
1,00-1,49 3,25-3,99 6
1,50-1,99 4,00-4,74 5
2,00-2,49 4,75-5,49 4
2,50-2,99 5,50-6,24 3
3,00-3,49 6,25-6,99 2
3,50-3,99 7,00-7,74 1
>4,00 >7,75 0
Tabel 4. Klasifikasi KEP menurut McLaren8
Penentuan tipe berdasarkan atas jumlah angka yang dapat dikumpulkan tiap
penderita:
0-3 angka = marasmus
4-8 angka = marasmic-kwashiorkor
9-15 angka = kwashiorkor
2.5.5 Klasifikasi Menurut Wellcome Trust Party (1970)
Cara klasifikasi ini dapat dipraktekkan dengan mudah, namun jika cara
ini diterapkan pada penderita yang sudah beberapa hari dirawat dan mendapat
pengobatan diet, maka akan dapat dibuat diagnose yang salah. Seperti pada
penderita kwashiorkor (edema, berat >60%, gejala klinis khas kwashiorkor yang
lain) yang sudah dirawat selama satu minggu, edema pada tubuh pasien sudah
tidak terlihat lagi dan berat badan bisa turun sampai 60%, dengan gejala yang
seperti itu akan didiagnosis sebagai penderita marasmus.8
8
Berat badan %
dari baku
Edema
Tidak ada Ada
>60% Gizi kurang Kwashiorkor
<60% Marasmus Marasmik-Kwashiorkor
Tabel 5. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust Party8
2.5.6 Klasifikasi Menurut Waterlow (1973)Waterlow membedakan antara penyakit KEP yang terjadi akut dan menahun. Waterlow berpendapat bahwa defisit berat
terhadap tinggi mencerminkan gangguan gizi yang akut dan menyebabkan keadaan wasting (kurus kering). Sedangkan defisit tinggi
menurut umur merupakan akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama atau kronis. Akibatnya laju tinggi badan akan terganggu, hingga
anak akan menjadi pendek (stunting) untuk seusianya.8
Gangguan Derajat Stunting (BB/U) Wasting(BB/TB)
0 >95% >90%
1 95-90% 90-80%
2 89-85% 80-70%
3 <85% <70%
Tabel 6. Klasifikasi KEP menurut Waterlow8
2.5.7 Klasifikasi menurut Jelliffe
Jelliffe mengklasifikasikan malnutrisi KEP berdasarkan berat badan (BB)
menurut umur (U) sebagai berikut:8
Kategori BB/U (% baku)
KEP I 90 – 80
KEP II 80 – 70
KEP III 70 – 60
KEP IV <60
Tabel 7. Klasifikasi KEP menurut Jelliffe8
2.6 Patogenesis
Makanan yang tidak adekuat akan menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan
makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup dimulai dengan
pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan
melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan
protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif,
9
kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka
terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut atau ”decompensated malnutrition”). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini
terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-
kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3
SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik / compensated malnutrition).
Dengan demikian pada malnitrisi dapat terjadi gangguan pertumbuhan, atrofi otot,
penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan
tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim.12
Penyakit marasmus-kwashiorkor memperlihatkan gejala campuran antara
penyakit marasmus dan kwashiorkor. Makanan sehari-harinya tidak cukup
mengandung protein dan juga energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita
demikian, disamping menurunnya berat badan di bawah 60% dari normal,
memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan
kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula. Pada malnutrisi terdapat perubahan
nyata dari komposisi tubuhnya, seperti jumlah dan distribusi cairan, lemak, mineral,
dan protein, terutama protein otot.13,14
Kurangnya protein dalam diet akan menimbulkan kekurangan berbagai asam
amino essensial yang dibutuhkan untuk sintesis albumin, sehingga terjadi
hipoalbuminemia dan edema. Anak dengan marasmus kwashiorkor juga sering
menderita infeksi multipel, seperti tuberkulosis dan gastroenteritis. Infeksi akan
mengalihkan penggunaan asam amino ke sintesis protein fase akut, yang semakin
memperparah berkurangnya sintesis albumin di hepar. Penghancuran jaringan akan
semakin lanjut untuk memenuhi kebutuhan energi, memungkinkan sintesis glukosa
dan metabolit essensial lainnya seperti asam amino. Kurangnya kalori dalam diet akan
meningkatkan kadar kortisol dan menurunkan kadar insulin. Hal ini akan menyebabkan
atrofi otot dan menghilangnya lemak di bawah kulit. Pada awalnya, kelainan ini
merupakan proses fisiologis. Untuk kelangsungan hidup, jaringan tubuh memerlukan
energi yang dapat dipenuhi oleh makanan yang diberikan, jika hal ini tidak terpenuhi
maka harus didapat dari tubuh sendiri sehingga cadangan protein digunakan juga
untuk memenuhi kebutuhan energi. Tubuh akan mengandung lebih banyak cairan
sebagai akibat menghilangnya lemak dan otot sehingga tampak edema.13,14
10
Gambar 2. Patogenesis Marasmik-Kwashiorkor
2.7 Manifestasi Klinis
Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
dan marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema yang
11
tidak mencolok. Pada penderita demikian disamping menurunnya berat badan <60%
dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan rambut,
kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
Tabel 8. Manifestasi klinis pada Marasmus-kwashiorkor
Marasmus Kwashiorkor
Pertumbuhan berkurang atau
berhenti
Terlihat sangat kurus (vel over
been)
Penampilan wajah seperti
orangtua
Iga gambang, bokong baggy
pant, perut cekung, wajah bulat sembab
Perubahan mental, cengeng,
apati
Kulit kering, dingin, mengendor,
keriput
Lemak subkutan menghilang
hingga turgor kulit berkurang
Otot atrofi sehingga kontur
tulang terlihat jelas
Vena superfisialis tampak jelas
Ubun – ubun besar cekung
tulang pipi dan dagu kelihatan
menonjol
mata tampak besar dan dalam
Kadang terdapat bradikardi
Tekanan darah lebih rendah
dibandingkan anak sebaya
Perubahan mental
sampai apatis
Anemia
Perubahan warna dan
tekstur rambut, mudah dicabut /
rontok
Gangguan sistem
gastrointestinal
Pembesaran hati
Perubahan kulit (crazy
pavement dermatosis)
Atrofi otot, lemah dan
berbaring terus-menerus
Ascites
Edema simetris pada
kedua punggung kaki, dapat
sampai seluruh tubuh.
Anoreksia berat
Diare
12
Gambar 3. Perbedaan marasmus dan kwarshiorkor10
2.8 Diagnosis
Diagnosis untuk marasmus-kwashiorkor dapat ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, dan antropometrik.
1. Manifestasi klinis: anamnesis (terutama anamnesis makanan, tumbuh kembang,
serta penyakit yang pernah diderita) dan pemeriksaan fisik. Manifestasi yang
umumnya timbul adalah gagal tumbuh kembang. Di samping itu terdapat pula satu
atau lebih manifestasi klinis marasmus dan kwashiorkor lainnya.15,16
2. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan laboratorium darah tepi yaitu Hb
memperlihatkan anemia ringan sampai sedang. Pada pemeriksaan faal hepar,
kadar albumin serum sedikit menurun. Kadar elektrolit seperti Kalium dan
Magnesium rendah, bahkan K mungkin sangat rendah, sedangkan kadar Natrium,
Zinc, dan Cuprum bisa normal atau menurun. Kadar glukosa darah umumnya
rendah, asam lemak bebas normal atau meninggi, nilai β-lipoprotein dapat rendah
ataupun tinggi, dan kolesterol serum rendah. Kadar asam amino esensial plasma
menurun. Kadar hormon insulin umumnya menurun, tetapi hormon pertumbuhan
dapar normal, rendah, maupun tinggi. Pada biopsi hati hanya tampak perlemakan
yang ringan, jarang dijumpai kasus dengan perlemakan yang berat. Pada
13
pemeriksaan radiologi tulang tampak pertumbuhan tulang yang terlambat dan
terdapat osteoporosis ringan. 15,16
3. Antropometri: ukuran yang sering dipakai adalah berat badan, panjang atau tinggi
badan, lingkar kepala, lingkar lengan atas, dan lipaan kulit. Diagnosis ditegakkan
dengan adanya data antropometrik untuk perbandingan seperti BB/U (berat badan
menurut umur), TB/U (tinggi badan menurut umur), LLA/U (lingkar lengan atas
menurut umur), BB/TB (berat badan menurut tinggi badan), LLA/TB (lingkar lengan
atas menurut tinggi badan). Dari pemeriksaan antropometrik dapat diklasifikasikan
menurut Wellcome Trust Party, klasifikasi menurut Waterlow, klasifikasi Jelliffe, dan
klasifikasi berdasarkan WHO dan Depkes RI. 15,16
2.9 Penatalaksanaan
Berikut ini adalah bagan langkah rencana pengobatan anak gizi buruk :
14
Gambar 4. Langkah Rencana Pengobatan Anak Gizi Buruk4
Anak marasmus kwashiorkor berat memerlukan perawatan karena terdapat
berbagai komplikasi yang membahayakan hidupnya. Tindakan yang dilakukan
berdasarkan pada ada tidaknya tanda bahaya dan tanda penting, yang dikelompokkan
menjadi 5, yaitu:4
Kondisi I
Jika ditemukan: Renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana I, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Pasang O2 1-2L/menit
2. Pasang infus Ringer Laktat dan Dextrosa / Glukosa 10% dengan
perbandingan 1:1 (RLG 5%)
3. Berikan glukosa 10% intravena (IV) bolus, dosis 5ml/kgBB bersamaan
dengan
4. ReSoMal 5ml/kgBB melalui NGT
Kondisi II
Jika ditemukan: Letargis, muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana II, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Berikan bolus glukosa 10 % intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
15
berikan ReSoMal secara Oral/NGT setiap 30 menit, dosis : 5ml/kgBB
setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan pemberian ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi.
Lakukan Rencana III, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% (oral/NGT)
2. 2 Jam pertama
berikan ReSoMal secara oral / NGT setiap 30 menit, dosis 5ml/kgBB
setiap pemberian
catat nadi, frekuensi nafas dan beri ReSoMal setiap 30 menit
Kondisi IV
Jika ditemukan: letargis. Lakukan Rencana IV, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Berikan bolus glukosa 10% intravena, 5ml/kgBB
2. Lanjutkan dengan glukosa atau larutan gula pasir 10% melalui NGT
sebanyak 50ml
3. 2 jam pertama
berikan F 75 setiap 30 menit, . dari dosis untuk 2 jam sesuai dengan
berat badan (NGT)
catat nadi, frekuensi nafas
Kondisi V
Jika tidak ditemukan: renjatan (syok), letargis, muntah dan atau diare atau
dehidrasi. Lakukan Rencana V, dengan tindakan segera, yaitu:4
1. Berikan 50ml glukosa atau larutan gula pasir 10% oral
2. Catat nadi, pernafasan dan kesadaran
Menurut Depkes RI pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 4 fase yang
harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-2), fase transisi (Hari 3 – 7), fase rehabilitasi
(Minggu ke 2 – 6), fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 24). Dimana tindakan pelayanan
terdiri dari 10 tindakan pelayanan sebagai berikut:4
*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1
minggu/kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit
16
Gambar 5. 10 Langkah Utama Tatalaksana Anak Gizi Buruk4
A. Prinsip Dasar Pengobatan Rutin Marasmus Kwashiorkor (10 Langkah utama)
Langkah Ke-1: Pengobatan/Pencegahan Hipoglikemia
Hipoglikemia dan hipotermia biasanya terjadi bersama-sama, seringkali
sebagai tanda adanya infeksi. Periksa kadar gula darah bila ada hipotermia ( suhu
ketiak <36C/suhu dubur <36C). Pemberian makanan yang sering penting untuk
mencegah kedua kondisi tersebut.4,17
Bila kadar gula darah dibawah 50 mg/dl, berikan 50 ml “bolus” (pemberian
sekaligus) glukosa 10% atau larutan sukrosa 10% (1 sendok teh gula dalam 5 sendo
makan air) secara oral atau pipa naso-gastrik. Selanjutnya berikan larutan tersebut
setiap 30 menit selama 2 jam (setiap kali berikan ¼ bagian dari jatah untuk 2 jam). Lalu
berikan antibiotika. Secepatnya berikan makan setiap 2 jam, siang dan malam.
Pemantauan yang dilakukan bila kadar glukosa darah rendah, ulangi
pemeriksaan gula darah dengan darah dari ujung jari atau tumit setelah 2 jam. Diobati
sekali saja, kebanyakan anak akan stabil dalam 30 menit. Bila gula darah turun lagi
17
sampai <50 mg/dl, ulangi pemberian 50 ml (bolus) larutan glukosa 10% atau sukrosa,
dan teruskan pemberian setiap 30 menit sampai stabil. Ulangi pemeriksaan gula darah
bila suhu aksila <36C dan atau kesadaran menurun. Bila tidak dapat memeriksa
kadar glukosa darah, anggaplah setiap anak gizi buruk menderita hipoglikemia dan
atasi segera dengan ditatalaksana seperti tersebut di atas.
Pencegahan yang dilakukan mulai segera pemberian makan setiap 2 jam,
sesudah dehidrasi yang ada dikoreksi. Selalu memberikan makanan sepanjang
malam.
Langkah Ke-2: Pengobatan / Pencegahan Hipotermia
Bila suhu ketiak <36C: Periksalah suhu dubur dengan menggunakan
termometer suhu rendah. Bila tidak tersedia termometer suhu rendah dan suhu anak
sangat rendah pada pemeriksaan dengan termometer biasa, anggap anak menderita
hipotermia. 4,17
Bila suhu dubur <36C : Segera beri makanan cair atau formula khusus (mulai
dengan rehidrasi bila perlu), hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai
menutup kepala, letakkan dekat lampu atau pemanas (jangan gunakan botol air panas)
atau peluk anak di dada ibu, selimuti (metoda kanguru), dan berikan antibiotika.4,17
Pemantauan yang dilakukan adalah periksa suhu dubur setiap 2 jam sampai
suhu mencapai >36,5C, bila memakai pemanas ukur setiap 30 menit, pastikan anak
selalu terbungkus selimut sepanjang waktu (terutama malam hari), raba suhu anak,
bila ada hipotermia, periksa kemungkinan hipoglikemia.4,17
Pencegahan yang dilakukan segera beri makan atau formula khusus setiap 2
jam, sepanjang malam selalu beri makan, selalu diselimuti dan hindari keadaan basah
(baju, selimut, alas tempat tidur), hindari paparan langsung dengan udara (mandi atau
pemeriksaan medis terlalu lama).4,17
Langkah Ke-3: Pengobatan atau Pencegahan Dehidrasi
Jangan menggunakan jalur intravena untuk rehidrasi kecuali pada keadaan
syok atau renjatan. Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati, tetesan
perlahan-lahan untuk menghindari beban sirkulasi dan jantung. 4,17
Cairan rehidrasi oral standar WHO mengandung terlalu banyak natrium dan
kurang kalium untuk digunakan pada penderita gizi buruk. Sebagai pengganti, berikan
larutan garam atau elektrolit khusus yaitu Resomal. Tidaklah mudah untuk
memperkirakan status dehidrasi pada gizi buruk dengan menggunakan tanda-tanda
18
klinis saja. Jadi, anggap semua anak gizi buruk dengan diare encer mengalami
dehidrasi sehingga harus diberi cairan Resomal atau pengganti sebanyak 5 ml/KgBB
setiap 30 menit selama 2 jam secara oral atau lewat pipa nasogastrik. Selanjutnya beri
5–10 ml/kg/jam untuk 4–10 jam berikutnya; jumlah tepat yang harus diberikan
tergantung berapa banyak anak menginginkannya dan banyaknya kehilangan cairan
melalui tinja dan muntah. Ganti Resomal/cairan pengganti pada jam ke-6 dan ke-10
dengan formula khusus sejumlah yang sama bila keadaan rehidrasi menetap/stabil.
Selama pengobatan, pernafasan cepat dan nadi lemah akan membaik dan anak mulai
kencing. 4,17
Pemantauan yang dilakukan penilaian atas kemajuan proses rehidrasi setiap ½-
1 jam selama 2 jam pertama, kemudian setiap jam untuk 6-12 jam selanjutnya dengan
memantau denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, frekuensi diare / muntah.
Adanya air mata, mulut basah, kecekungan mata dan ubun-ubun besar yang
berkurang, perbaikan turgor kulit, merupakan tanda bahwa rehidrasi telah berlangsung,
tetapi pada gizi buruk perubahan ini seringkali tidak terlihat, walaupun rehidrasi sudah
tercapai. Pernafasan dan denyut nadi yang cepat dan menetap selama rehidrasi
menunjukkan adanya infeksi atau kelebihan cairan. Frekuensi pernafasan dan nadi
meningkat, edema dan pembengkakan kelopak mata bertambah. Bila ada tanda-tanda
tersebut, hentikan segera pemberian cairan dan nilai kembali setelah 1 jam.4,17
Pencegahan yang dilakukan bila diare encer berlanjut, teruskan pemberian
formula khusus, ganti cairan yang hilang dengan Resomal atau pengganti (jumlah +
sama). Sebagai pedoman, berikan Resomal atau pengganti sebanyak 50-100 ml
setiap kali buang air besar cair . Bila masih mendapat ASI, teruskan. 4,17
Langkah Ke-4: Koreksi Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Pada semua gizi buruk terjadi kelebihan natrium (Na) tubuh, walaupun kadar Na
plasma rendah. Defisiensi kalium (K) dan magnesium (Mg) sering terjadi dan paling
sedikit perlu 2 minggu untuk pemulihan. Ketidakseimbangan elektrolit ini ikut berperan
pada terjadinya edema (jangan obati edema dengan pemberian diuretikum). 4,17
Berikan tambahan Kalium 2-4 mEq/kg BB/hari (= 150-300 mg KCl/kgBB/hari).
Tambahkan Mg 0.3-0.6 mEq/kg BB/hari (= 7.5-15 mg MgCl2 /kgBB/hari). Untuk
rehidrasi, berikan cairan rendah natrium (Resomal atau pengganti). Siapkan makanan
tanpa diberi garam atau rendah garam. Tambahan K dan Mg dapat disiapkan dalam
bentuk larutan yang ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan
tersebut pada 1 liter formula, dapat memenuhi kebutuhan K dan Mg.4,17
19
Langkah Ke-5: Pengobatan Dan Pencegahan Infeksi
Pada gizi buruk, tanda yang biasanya menunjukkan adanya infeksi seperti
demam seringkali tidak tampak. Karenanya pada semua gizi buruk secara rutin
diberikan antibiotik spektrum luas, Vaksinasi Campak bila umur anak >6 bulan dan
belum pernah diimunisasi (tunda bila ada syok). Ulangi pemberian vaksin setelah
keadaan gizi anak menjadi baik. Beberapa ahli memberikan metronidazol (7.5 mg/kg,
setiap 8 jam selama 7 hari) sebagai tambahan pada antibiotik spektrum luas guna
mempercepat perbaikan mukosa usus dan mengurangi resiko kerusakan oksidatif dan
infeksi sistemik akibat pertumbuhan bakteri anaerobik dalam usus halus. 4,17
Pemilihan antibiotik spektrum luas bila tanpa komplikasi bisa diberikan
kotrimoksasol 5 ml suspensi pediatri secara oral, 2 kali perhari selama 5 hari (2,5 ml
bila berat badan < 4 Kg). Bila anak sakit berat (apatis, letargi) atau ada komplikasi
(hipoglikemia: hipotermia, infeksi kulit, saluran nafas atau saluran kencing) bisa
diberikan Ampisilin 50 mg/kgBB/i.m./i.v. – setiap 6 jam selama 2 hari, dilanjutkan
dengan Amoksisilin secara oral 15 mg/KgBB setiap 8 jam selama 5 hari. Bila
amoksisilin tidak ada, teruskan ampisilin 50 mg/kgBB setiap 6 jam secara oral dan
Gentamicin 7.5 mg /Kg/BB/i.m./i.v. sekali sehari, selama 7 hari. Bila dalam 48 jam tidak
terdapat kemajuan klinis, tambahkan kloramfenikol 25 mg/kg/BB/i.m./i.v. setiap 6 jam
selama 5 hari. Bila terdeteksi infeksi kuman yang spesifik, tambahkan antibiotik spesifik
yang sesuai. Tambahkan obat anti malaria bila pemeriksaan darah untuk malaria
positif. Bila anoreksia menetap setelah 5 hari pengobatan antibiotik, lengkapi
pemberian hingga 10 hari. 17
Langkah Ke-6: Mulai Pemberian Makanan
Pada awal fase stabilisasi, perlu pendekatan yang sangat berhati-hati karena
keadaan faal anak sangat lemah dan kapasitas homeostatik berkurang. Pemberian
makanan harus dimulai segera setelah anak dirawat dan dirancang sedemikian rupa
sehingga energi dan protein cukup untuk memenuhi metabolisme basal. 4,17
Prinsip pemberian nutrisi pada fase ini adalah porsi kecil tapi sering dengan
formula laktosa rendah dan hipo/iso-osmolar. Berikan secara oral atau nasogastric
dengan komposisi energi : 80 – 100 kal/kgBB/hari, protein : 1 – 1.5 g/kgBB/hari, cairan:
130 ml/kgBB/hari (100 ml/kgBB/hari bila terdapat edema), bila masih mendapat ASI,
tetap diberikan tetapi setelah pemberian formula. 4,17
Formula khusus seperti F-WHO 75 yang dianjurkan dan jadwal pemberian
makanan harus disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai prinsip tersebut seperti
20
tabel diatas. Berikan formula dengan cangkir atau gelas. Bila anak terlalu lemah,
berikan dengan sendok atau pipet.4,17
Pada anak dengan selera makan baik dan tanpa edema, jadwal pemberian
makanan pada fase stabilisasi ini dapat diselesaikan dalam 2-3 hari saja (1 hari untuk
setiap tahap). Bila asupan makanan tidak mencapai dari 80 Kkal/kg BB/hari, berikan
sisa formula melalui pipa nasogastrik. Jangan beri makanan lebih 100 Kkal/kgBB/hari
pada fase stabilisasi ini.4,17
Pantau dan catat jumlah yang diberikan dan sisanya, muntah, frekuensi buang
air besar dan konsistensi tinja, berat badan setiap hari.
Selama fase stabilisasi, diare secara perlahan berkurang dan berat badan
mulai naik, tetapi pada penderita dengan edema berat badannya akan menurun dulu
bersamaan dengan menghilangnya edema, baru kemudian berat badannya mulai naik.
Langkah Ke-7: Fasilitasi Tumbuh Kejar
Pada masa rehabilitasi, dibutuhkan berbagai pendekatan secara gencar agar
tercapai masukan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan 50g/minggu.
Awal fase rehabilitasi ditandai dengan timbulnya selera makan, biasanya 1-2 minggu
setelah dirawat. Transisi secara perlahan dianjurkan untuk menghindari risiko gagal
jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi
makanan dalam jumlah banyak secara mendadak.4,17
Pada periode transisi, dianjurkan untuk merubah secara perlahan-lahan dari
formula khusus awal ke formula khusus lanjutan. Ganti formula khusus awal (energi 75
Kkal dan protein 0.9-1.0 g per 100 ml) dengan formula khusus lanjutan (energi 100
Kkal dan protein 2.9 gram per 100 ml) dalam jangka waktu 48 jam. Modifikasi bubur
atau makanan keluarga dapat digunakan asalkan dengan kandungan energi dan
protein yang sama. Kemudian naikkan dengan 10 ml setiap kali, sampai hanya sedikit
formula tersisa, biasanya pada saat tercapai jumlah 30 ml/kgBB/kali (=200
ml/kgBB/hari). 4,17
Pemantauan pada masa transisi adalah frekuensi nafas, frekuensi denyut nadi.
Bila terjadi peningkatan detak nafas >5x/menit dan denyut nadi >25x/menit dalam
pemantauan setiap 4 jam berturutan, kurangi volume pemberian formula. Setelah
normal kembali, ulangi menaikkan volume seperti di atas. 4,17
Setelah periode transisi dilampaui, anak diberi makanan anak formula dengan
jumlah tidak terbatas dan sering dengan komposisi energi : 150-220 Kkal/kgBB/hari,
21
protein 4-6 gram/kgBB/hari. Bila anak masih mendapat ASI, teruskan, tetapi juga beri
formula, karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh-kejar. 4,17
Pemantauan setelah periode transisi, kemajuan dinilai berdasarkan kecepatan
pertambahan berat badan, timbang anak setiap pagi sebelum diberi makan, evaluasi
kenaikan BB setiap minggu. Bila kenaikan berat badan kurang ( <50 g/minggu ), perlu
re-evaluasi menyeluruh. Cek apakah asupan makanan mencapai target atau apakah
infeksi telah dapat diatasi. Bila kenaikan berat badan baik ( 50 g/minggu ), lanjutkan
pemberian makanan. 4,17
Langkah Ke-8: Koreksi Defisiensi Mikro Nutrien
Semua gizi buruk menderita kekurangan vitamin dan mineral. Walaupun
anemia biasa dijumpai, jangan terburu-buru memberikan preparat besi (Fe), tetapi
tunggu sampai anak mau makan dan berat badannya mulai naik (biasanya setelah
minggu ke-2). Pemberian besi pada masa awal dapat memperburuk keadaan
infeksinya. Berikan setiap hari:4,17
Suplementasi multivitamin
Asam folat 1 mg/hari (5 mg pada hari pertama)
Seng (Zn) 2 mg/kgBB/hari
Tembaga (Cu) 0.2 mg/kgBB/hari
Bila BB mulai naik : Fe 3 mg/kgBB/hari atau sulfas ferrosus 10
mg/kgBB/hari
Vitamin A oral pada hari I : umur > 1 tahun : 200.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, < 6 bulan : 50.000 SI, kecuali bila dapat dipastikan anak sudah
mendapat suplementasi vitamin A pada 1 bulan terakhir. Bila ada tanda /
gejala defisiensi vitamin A, berikan vitamin dosis terapi.
Langkah Ke-9: Berikan Stimulasi Sensorik Dan Dukungan Emosional
Pada Gizi buruk terjadi keterlambatan perkembangan mental dan perilaku,
karenanya berikan kasih sayang, lingkungan yang ceria, terapi bermain terstruktur
selama 15 – 30 menit perhari, aktifitas fisik segera setelah sembuh, keterlibatan ibu
(memberi makan, memandikan, bermain). 4,17
Langkah Ke-10: Tindak Lanjut Di Rumah
Bila gejala klinis sudah tidak ada dan berat badan anak sudah mencapai 80%
BB/U, dapat dikatakan anak sembuh. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi
22
harus tetap dilanjutkan dirumah setelah penderita dipulangkan. Peragakan kepada
orang tua tentang pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan
nutrien yang padat dan terapi bermain terstruktur.4,17
Nasihatkan kepada orang tua untuk melakukan kunjungan ulang setiap minggu,
periksa secara teratur di Puskesmas, Pelayanan di PPG untuk memperoleh PMT-
Pemulihan selama 90 hari. Ikuti nasehat pemberian makanan (lihat lampiran 5) dan
berat badan anak selalu ditimbang setiap bulan secara teratur di posyandu atau
puskesmas, Pemberian makan yang sering dengan kandungan energi dan nutrien
yang padat, Penerapan terapi bermain dengan kelompok bermain atau Posyandu,
Pemberian suntikan imunisasi sesuai jadwal, Anjurkan pemberian kapsul vitamin A
dosis tinggi (200.000 SI atau 100.000 SI ) sesuai umur anak setiap Bulan Februari dan
Agustus.4,17
B. Pengobatan Penyakit Penyerta
1. Defisiensi vitamin A
Bila ada kelainan di mata, berikan vitamin A oral pada hari ke 1, 2 dan 14 atau
sebelum keluar rumah sakit bila terjadi memburuknya keadaan klinis diberikan
vitamin A dengan dosis:4,17
umur > 1 tahun : 200.000 SI/kali
umur 6 - 12 bulan : 100.000 SI/kali
umur 0 - 5 bulan : 50.000 SI/kali
Bila ada ulkus dimata diberikan : tetes mata khloramfenikol atau salep
matatetrasiklin, setiap 2-3 jam selama 7-10 hari, teteskan tetes mata atropin, 1
tetes 3 kalisehari selama 3-5 hari, tutup mata dengan kasa yang dibasahi
larutan garam faal.4,17
2. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya: hipo atau hiperpigmentasi, deskuamasi (kulit
mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar, sering disertai
infeksisekunder, antara lain oleh Candida.4,17
Tatalaksana:
a. Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO4
(Kpermanganat) 1% selama 10 menit
b. Beri salep atau krim (Zn dengan minyak kastor)
c. Usahakan agar daerah perineum tetap kering
d. Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn) : beri preparat Zn peroral
23
3. Parasit / Cacing
Beri Mebendazol 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antihelmintik lain.4,17
4. Diare Melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan umum.
Berikan formula bebas / rendah lactosa. Sering kerusakan mukosa usus dan
giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya diare. Bila mungkin,
lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Berikan Metronidasol 7.5 mg/kgBB
setiap 8 jam selama 7 hari.4,17
5. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberculin atau Mantoux (sering kali
anergi) dan Foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin TB, diobati sesuai
pedoman pengobatan TB.4,17
C. Kegagalan Pengobatan
Kegagalan pengobatan tercermin pada angka kematian dan kenaikan berat
badan:4,17
1. Tingginya angka kematian. Bila mortalitas >5%, perhatikan saat terjadi
kematian
Dalam 24 jam pertama: kemungkinan hipoglikemia, hipotermia, sepsis
yang terlambat atau tidak terdeteksi, atau proses rehidrasi kurang tepat.
Dalam 72 jam: cek apakah volume formula terlalu banyak atau
pemilihan formula tidak tepat
Malam hari: kemungkinan terjadi hipotermia karena selimut kurang
memadai, tidak diberi makan, perubahan konsentrasi formula terlalu
cepat.
2. Kenaikan berat-badan tidak adekuat pada fase rehabilitasi. Penilaian
kenaikan Berat Badan:
Baik : 50 gram/kgBB/minggu
Kurang : <50 gram/kgBB/minggu.
Kemungkinan penyebab kenaikan BB <50 gram/kgBB/minggu antara lain:
Pemberian makanan tidak adekuat
Defisiensi nutrien tertentu; vitamin, mineral
Infeksi yang tidak terdeteksi, sehingga tidak diobati.
Masalah psikologik.
24
D. Penanganan Pasien Pulang Sebelum Rehabilitasi Tuntas
Rehabilitasi dianggap lengkap dan anak siap dipulangkan bila gejala klinis
sudah menghilang, BB/U mencapai minimal 70% atau BB/TB mencapai minimal
80%.4,17
Anak gizi buruk yang pulang sebelum rehabilitasi tuntas, di rumah harus diberi
makanan tinggi energi (150 Kkal/kgBB/hari) dan tinggi protein (4-6 gram/kgBB/hari):
Beri anak makanan yang sesuai (energi dan protein) dengan porsi paling
sedikit 5 kali sehari
Beri makanan selingan di antara makanan utama
Upayakan makanan selalu dihabiskan
Beri suplementasi vitamin dan mineral/elektrolit
Teruskan ASI.
E. Tindakan Kegawatan
1. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja. Syok karena dehidrasi akan
membaik dengan cepat pada pemberian cairanintravena, sedangkan pada
sepsis tanpa dehidrasi tidak. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.4,17
Pedoman pemberian cairan :
a. Berikan larutan Dekstrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan Ringer dengan
kadar dekstrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam pertama.
Evaluasi setelah 1 jam.
b. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan) dan
status hidrasi syok disebabkan dehidrasi. Ulangi pemberian cairan seperti di
atas untuk 1 jam berikutnya, kemudian lanjutkan dengan pemberian
Resomal / pengganti, peroral / nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula khusus (F-75 / pengganti).
c. Bila tidak ada perbaikan klinis anak menderita syok septik. Dalam hal ini,
berikan cairan rumat sebanyak 4 ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah
sebanyak 10 ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75 / pengganti)
2. Anemia berat
Transfusi darah diperlukan bila:Hb < 4 g/dl, atau Hb 4-6 g/dl disertai distress
pernapasan atau tanda gagal jantung. Transfusi darah :
25
Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam.
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan packed red cells untuk transfusi
dengan jumlah yang sama.
Beri furosemid 1 mg/kgBB secara intravena pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok). Bila pada
anak dengan distres napas setelah transfusi Hb tetap < 4 g/dl atau antara 4-
6 g/dl, jangan diulangi pemberian darah.
2.10 Komplikasi
Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain
masalah pada mata, anemia berat, lesi kulit pada kwashiorkor, diare persisten
(giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare osmotik)
2.11 Prognosis
Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering
disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena
infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat
pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya
pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin
disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition
maupun overnutrition.
26
BAB 3
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu
klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi
protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan
pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit, atrofi otot, perubahan tekstur dan
warna rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati,
anemia, anoreksia, edema, dan lain-lain.
Diagnosis marasmik-kwashiorkor ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik
(gejala klinis dan abnormalitas pada pemeriksaan antropometrik) dan laboratorium yang
memperlihatkan penurunan kadar albumin, kolesterol, glukosa, gangguan keseimbangan
elektrolit, hemoglobin, serta defisiensi mikronutrien yang penting bagi tubuh.
3.2 Saran
Diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan marasmik-kwashiorkor secara optimal.
Penanganan penyakit ini harus dilakukan dengan tepat dalam waktu sedini mungkin untuk
mencegah komplikasi yang menurunkan kualitas hidup bahkan kematian.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi
Buruk. Departemen Kesehatan RI, 2008.
2. Muller O. 2006. Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ
173:279-86
3. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia. 2005. Diakses dari
http://www.gizi.net/busung-apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-
Final.pdf tanggal 13 Maret 2014.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2011.
5. Notoatmodjo S. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar IlmuKesehatan Masyarakat.Jakarta: Rineka
Cipta.
6. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
7. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan Informasi
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
8. Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi 4 2000. Hal 97-190.
9. Program Perbaikan Gizi Makro. 2004. Diakses dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc.
10. Simanjuntak,E. 2008. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan.
Diakses dari http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?
option=com_journalreview&id=3197&task=view.
11. Marizza, Nofelia. 2006. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi
Protein (KEP) Pada Balita Di URJ RSU Dr. Soetomo Surabaya. Diakses dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.
12. Boerhan H, Roedi. 2010. Kurang Energi Protein (KEP). Diakses
dari:http://www.pediatrik.com/isi03.php?
page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
13. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of
Pediatrics, 19th ed. P. 167-73. Philadelphia: Sauders Elsevier.
14. Shetty, P. 2006. Malnutrition and Undernutrition. Medicine. 34:524-29.
15. Gulden, MHN. 2004. Malnutrition. In Textbook of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition. USA: Taylor and Franchis. P.489-523.
28
16. Braun TV, McComb J, et al. 1993. Urban Food Inseconts and Malnutrition in Developing
Countries. USA: International Food Policy Research Institute. P. 12-16.
17. World Health Organization. 2009. Gizi Buruk. Dalam Buku Saku Pelayanan Kesehatan
Anak di Rumah Sakit.
29