Geger perek di kampung - arielheryanto.files.wordpress.com fileGeger "perek" di kampung MENDADAK...

1
Geger "perek" di kampung MENDADAK saja, rasanya, aku merasa menjadi kaum yang mulai diperhitungkan se- caraserius, Karenaituakume- rasa pU!1ya dongeng penting. Juga hak untuk mendongeng- kannya. Siapa aku'" Nama tak pen- ting. Yang penting adalah julukan yang diberikan orang padaku: PEREK. Belum lama ini sebuah Kampung yang ber- dekatan dengan pondokku menjadi ribut. Sedikit dan ba- riyak aku terlibat dalam keri- butan itu. Secara pribadi, aku terlibat sedikit. Yang terlibat banyak adalah kaumku, atau lebih tepatnya lagi: julukan untuk kaurnku. Kampung (dengan huruf- besar K) itu memang tidak se- perU karnpung-kampung sern- barangan. Pokoknya bukan kampung yang kampungan. Kampung ini bebas dari gelan- dangan. Bebas dari selokan macet, karena tumpukan sam- pah membusuk, dan bebas ban- jir. Juga bebas dari gubug-- gubug reyot dari karton atau plastik. Kayak dunia fantasi, yang baru fotonya saja pernah aku lihat di koran-koran. Di Kampung ini banyak mo- bil mondar-mandir. Tidak se- perti kebanyakan kampung yang diributkan oleh rom- bongan anak-anak bertelan- jang dada. Mobil-mobil yang le- wat di Kampung ini pun bukan mobil sembarangan. Hampir semuanya mengkilat, mente- reng, dan mewah. Persis seper- ti gambar mobil di iklan koran. Tapi jangan tanya apa merek- nya. Itu jenis pertanyaan rna- hasiswa. Aku seorang Perek. Seorang Perek tak perduli de- ngan merek, nama, julukan, cap, atau gelar. Semua itu tak penting. Yang penting isi. Dan kulihat mobil-mobil itu keba- nyakan berisi laki-laki. Di Kampung yang bukan sembarangan kampung ini berjajar' gedung-gedung ber- tingkat. Setiap hari banyak 0- rang masuk-keluar gedung-- gedung itu. Pakaian mereka rapi. Gaya mereka menarik. Sekali Iagi, kalau menyaksi- kan orang-orang itu aku jadi ingat pada'ikian-ikian rokok a- tau kemeja dikoran. Juga poster-poster bioskop. Ya, di Karopung .ini mereka memang . kelihatannya seperti iklan-- iklan yang berkeliaran. Orang-orang di Kampung itu setiap hari tampak sibuk. Termasuk sibuk mengobrol. Tampaknya setiap hari ada sa- jahal-p.al serius danpenting yang perl:u: mereka . obrolkan. pernah aku ikut nim- brung percakapan mereka. Ta- pi aku tak betah. Omongan me- reka seringkali ngelantur 1_ kemana-kemana tak jelas jun- trungnya. Aku tak begitu ya- kin, mereka itu sendiri meng- ert.\ betul apa yang mcreka per- O\eh Ariel Heryanto Perek: Jadi geger, gara-gara sebuah koran di Kampung itu memberitakan adanya kegiat- an kaum Perek di sana. Berita ini meniml)ulkan keributan karen a Perek dianggap sama dengan gelandangan, selokan macet, atau gubug reyot dari karton dan plastik. Dengan de- mikian ekologi sosial di Kam- pung itu dikuatirkan akan ter- cemar. Sementara banyak o- rang menjadi gusar, koran yang memberitakan soal Perek itu menjadi laris. Bagaikan sebuah perlomba- an, orang-orang sibuk meng- ajukan komentar dan penda- pat. Apalagi yang laki-laki. De- ngan scmangat berapi-api, me- reka memaki dan mengutuk walau mUllgkin juga merasa nikmat memperbincangkan kaumku itu. Di seluruh dunia ini kaum laki-lakilah yang pa- ling menikmati jasa kaum Per- ek. Karena itulah, di seluruh dunia ini juga kaum lak,i-- lakilah yang melestarikan praktek per-Perek-an. Dengan adanya keasyikan baru ini, pa- ra wartawan pun sibuk berpa- nen. Kebanyakan dari para wartawan ini juga Iaki-Iaki. Mereka mondar-mandir mew a- wancarai orang-orang yang di- anggap ahli, yang hampir se- muanya juga laki-Iaki. Karena itu tak periu dijelaskan lagi, bagaimana . seragamnya pendapat-pendapat mereka tentang kaumku. Menyaksikan semua itu aku tidak sekedar muak. Tapi juga geli dan berbangga hati. Aku geU menyaksikan betapa kalang-kabutnya kaum laki-- laki itu gara-gara suatu peni- laian dan kepercayaan yang mereka ciptakan sendiri. Mere- mengerahkan Hansip dan Sat- pam untuk mengepung ru- mahku. Aku lolos, tapi seka- rang jadi buronan mereka." "Apa-apaan lagi kau ini, Gus." "Boleh apa enggak aku num- pang di sini?" "Kapan aku pernah meno- Iak? Aku euma bilang, kau nggak perlu mengobrak kibul- an sensasioni! untuk blsa da- pat numpang di sini." "Aku nggak ngibul. Aku di- tuduh jadi sumber kekaeauan Kampung, gara-gara bcrita sembrono eli koran minggu la- lu soal Perek itu." "Jangan mendramatisir, Gus. Soal gilu aja koq diribut- kan. Mestinya kau jadi pemain sandiwara saja." "lni beneran''', clia menjadi marah. "Petugas keamanan menguber-uber aku dengan pentungan. Aku nggak tahu mesti cari periindungan kema- na lagi. Para tetanggaku cum a melenggong diam. Tak ada yang mau nolong aku. Mereka senang mendapat tontonan gratis." "Dasar laki-Iaki. Rupanya bagus, otaknya nggak bisajaI- an. Kalau butuh keamanan kan mestinya justru minta keamanan pacta petugas kea- manan. Koq malah kabur ke- mari?" Aku masih senang mempermainkan keseriusan- nya, . sambi! menimbang-- nimbang apakah yang dilapor- kannya itu masuk aka!. "Petugas keamanan kerja- nya bukan membagi-bagikan keamanan buat orang macam kita. Yang mereka punya ku- mis tebal, otot kekar, suara bentakan dan pentungan, Be- go!" ka menciptakan penilaian Aku ketawa keras, tak kuat yang mereka jadikan kepe. menahan geli. Tapi segel'a aku rcayaan bahwa Perek itu sena- merasa kasihan pada anak mu- jis dan sejahat setan. Sesuatu da ini. Rambutnya kusut. Wa- yang tak ada mereka ciptakan jahnya kecut. Matanya lesu, menjadi ada. Dan setelah yang seperti kurang tidur. "Okelah. ada itu tampil di depan mon- Kalau Jr,;3.u mau cari perlin- cong mereka, sekarang mere- dungan di sini, aku nggak ke- ka kalang kabut. . beratan. Sebagai kaum per- Karena itu aku mendadak empuan, aku memang pantas merasa menjadi kaum yang jadi sumber perlindungan dan teramat penting di Kampung keamanan sesama man usia. inL Dan bangga. Betapa tidak? Di mana-mana, di sepanjang Tanpa bikin born, teror, atau sejarah, kehidupan manusia festival (seperti yang biasa di- jadi kacau gara-gara perang bikinlaki-lJLki), kaumPerekte- antar para raja dan penguasa lah mampu merigguncang-- yang terdiri dari laki-laki. Per- guncang kemapanan Kam- empuan melahirkan kehidup- pung yang hampir sepenuh- an manusia-manusia baru, nya dikuasai laki-laki. laki-Iaki menciptakan perang Gedung-gedung bertingkat untuk membinasakan mere- yang dikuasai laki-Iakidisana ka". seakan-akan kena ledakan "Sialan! Jangan bicara rna- born. Mobil-mopbil mentereng cam begitu. Perempuan bisa yang dikendalikan Iaki-Iaki di- apa? Kau sendiri ini apa? Kau S'ana seakan-akan berjalan eli segaia kekacauan di tas jalanari yang terkena gem- Kampung ini diakibatkan oleh pa bumi dahsyat. perempuan macam kau!" Menurutbahasamereka,sta- "Karena orang macam aku? bilitas, ketertiban, dan kea- Ha, ha, ha ... " manan di Kampung itu sedang terancam. **t** cakapan. Apalagi jika yang herbic-.;l.ra itu laki-laki yang me- Seorang anak sekolahan mang bl-n.sanya menguasai per- yang biasa dipanggil Cah En.- cakapan itu. Apalagi pula jika gus kemarin datang menguIl- mereka mulai mcmbicarakan jungi aku di pondokku. 1a ma- kaum per'lmpuan, kaumku. suk bcrgegas, membawa tas se- Syahadan, Kampung ini sc- kolah bedsi penuh pakaian. karang menjadi ramai oleh periu tinggal beberapa pembicaraan ten tang kaum haridisini", katanya. "Pak RT "Yang mestinya diuber, di- tangkap dan disikat itu orang macam kau. Bukan aku. ka salah tangkap. Aku nggak 'salah apa-apa. Tapi justru aku yang sekanmg jadi karban. Aku jadi buronan, kayak tikus seekor dikeroyok kucing sepu- luh. Sement.ara klan enak-- enakan di sini." . - .. "Mereka bukannya salah tangkap, Gus: Mereka cum a ------_._-- ngg'",K punya otak yang beKer- ja dengan normal. Mereka itu kan laki-laki? Ha, ha. ha ... " "Hus! Nggak ada yang 11icu. Nggak usah ketawa. Kau rnestinya menyesal, bertobat dan tahu malu. Dasar Perek! Mana ada Perek tahu rasa ma- lu". "Gus, Gus. Aku merasa ka- sihan pada kau dan ibumu yang telah bersusah payah me- lahirkan dan membenarkan kau. Kau perlu banyak belajar dari aku, Gus. Di sekolah kau cuma diajar dan belajar meng- hina dan memaki perempuan. Kau tahu, kenapa semua laki-laki di Kampung itu kalang-kabut? Bukan karena aku kehilangan rasa malu atau kehormatan. Bukan. Tapi ka- rena mereka ilu jadi keder. Me- reka takut pada dirinya sendiri dan kesalahannya sendiri. Ka- rena itu, untuk menutup-- nutupi kebelangannya sendiri, rnereka bekerja keras menghi- I na orang-orang semacam aku. Dan mereka bekerja keras mengajar orang-orang sema- cam kau untuk menghina kaumku. Mungkin aku bukan orang terhormat dan mulia. Tapi yang jelas . aku tidak sedikit pUI). lebih hina ketimbang orang-orang yang menghina aku di koran-koran itu. Tak se- dikit pun. Mereka bilang, aku menjual diri dan kehormatan- ,ku. Tapi apa yang mereka kerjakan sendiri? Persis sarna! Ya, semuanya. Yang jadi para pemuka Kampung menjual di- ri dan kehormatannya untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan. Yang namanya in- teIektual pembela keadilan dan kebenaran, kerjanya menjual diri dan kehormatan serta kea- dilan dan kebenaran karena c';'- ri selamat dan rejeki. Yang namanya wartawan, apa beda- nya? Yang namanya mahasis- wa? Atau seniman'" Kalau saja di an tara mereka ada yang benar-bcnar Iebih su- ei daripada aku, biariah dia menjadi orang pertama yang melemparkan batu ke atas ke- palaku ini. Kau pikir buat apa senimari itu berjungkir-balik di atas panggung? Kau pikir apa se- babnya para wartawan itu ber- dagang isyu? Kau pikir buat apa para dosen dan guru di sekolah-sekolah itu menjual klobot? Cobalah kau pikir lagi, kEmapa tidak ada satu pun war- ga di Kampungmu itu. yang mau kau ajak bicara danber- usaha membelamu seandainya benar aku sudah diperlakukan tidak adiI? Kau pikir apa benar parapetugas keamanan yang menguber-ubermu, seperti menguber para pelacur di pinggir jalan itu bertindak ka- rena yakin kau bersalah?" Tiba-tiba pintu rurnah digedor-gedor orang. Aku berdiri rnembukakan pintu. Kulirik Cah Bagus her- , gegas kabur lewat pintu bela- kang. "Ah, kau lagi' Mau apa?" "Mbak, aku peril! tinggal di- sini beberapa waktu. Orang-- orang Kampung marah-- marah, gara-gara apa yang aku tulis di koran kemarin ha- ri. .. " "Dasar laki-Iaki!" (01) . Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Transcript of Geger perek di kampung - arielheryanto.files.wordpress.com fileGeger "perek" di kampung MENDADAK...

Geger "perek" di kampung MENDADAK saja, rasanya,

aku merasa menjadi kaum yang mulai diperhitungkan se­caraserius, Karenaituakume­rasa pU!1ya dongeng penting. Juga hak untuk mendongeng­kannya.

Siapa aku'" Nama tak pen­ting. Yang penting adalah julukan yang diberikan orang padaku: PEREK. Belum lama ini sebuah Kampung yang ber­dekatan dengan pondokku menjadi ribut. Sedikit dan ba­riyak aku terlibat dalam keri­butan itu. Secara pribadi, aku terlibat sedikit. Yang terlibat banyak adalah kaumku, atau lebih tepatnya lagi: julukan untuk kaurnku.

Kampung (dengan huruf­besar K) itu memang tidak se­perU karnpung-kampung sern­barangan. Pokoknya bukan kampung yang kampungan. Kampung ini bebas dari gelan­dangan. Bebas dari selokan macet, karena tumpukan sam­pah membusuk, dan bebas ban­jir. Juga bebas dari gubug-­gubug reyot dari karton atau plastik. Kayak dunia fantasi, yang baru fotonya saja pernah aku lihat di koran-koran.

Di Kampung ini banyak mo­bil mondar-mandir. Tidak se­perti kebanyakan kampung yang diributkan oleh rom­bongan anak-anak bertelan­jang dada. Mobil-mobil yang le­wat di Kampung ini pun bukan mobil sembarangan. Hampir semuanya mengkilat, mente­reng, dan mewah. Persis seper­ti gambar mobil di iklan koran. Tapi jangan tanya apa merek­nya. Itu jenis pertanyaan rna­hasiswa. Aku seorang Perek. Seorang Perek tak perduli de­ngan merek, nama, julukan, cap, atau gelar. Semua itu tak penting. Yang penting isi. Dan kulihat mobil-mobil itu keba­nyakan berisi laki-laki.

Di Kampung yang bukan sembarangan kampung ini berjajar' gedung-gedung ber­tingkat. Setiap hari banyak 0-

rang masuk-keluar gedung-­gedung itu. Pakaian mereka rapi. Gaya mereka menarik. Sekali Iagi, kalau menyaksi­kan orang-orang itu aku jadi ingat pada'ikian-ikian rokok a­tau kemeja dikoran. Juga poster-poster bioskop. Ya, di Karopung .ini mereka memang . kelihatannya seperti iklan-­iklan yang berkeliaran.

Orang-orang di Kampung itu setiap hari tampak sibuk. Termasuk sibuk mengobrol. Tampaknya setiap hari ada sa­jahal-p.al serius danpenting yang perl:u: mereka . obrolkan. ~sekali pernah aku ikut nim­brung percakapan mereka. Ta­pi aku tak betah. Omongan me­reka seringkali ngelantur

1_ kemana-kemana tak jelas jun­trungnya. Aku tak begitu ya­kin, mereka itu sendiri meng­ert.\ betul apa yang mcreka per-

O\eh Ariel Heryanto

Perek: Jadi geger, gara-gara sebuah koran di Kampung itu memberitakan adanya kegiat­an kaum Perek di sana. Berita ini meniml)ulkan keributan karen a Perek dianggap sama dengan gelandangan, selokan macet, atau gubug reyot dari karton dan plastik. Dengan de­mikian ekologi sosial di Kam­pung itu dikuatirkan akan ter­cemar. Sementara banyak o­rang menjadi gusar, koran yang memberitakan soal Perek itu menjadi laris.

Bagaikan sebuah perlomba­an, orang-orang sibuk meng­ajukan komentar dan penda­pat. Apalagi yang laki-laki. De­ngan scmangat berapi-api, me­reka memaki dan mengutuk walau mUllgkin juga merasa nikmat memperbincangkan kaumku itu. Di seluruh dunia ini kaum laki-lakilah yang pa­ling menikmati jasa kaum Per­ek. Karena itulah, di seluruh dunia ini juga kaum lak,i-­lakilah yang melestarikan praktek per-Perek-an. Dengan adanya keasyikan baru ini, pa­ra wartawan pun sibuk berpa­nen. Kebanyakan dari para wartawan ini juga Iaki-Iaki. Mereka mondar-mandir mew a­wancarai orang-orang yang di­anggap ahli, yang hampir se­muanya juga laki-Iaki. Karena itu tak periu dijelaskan lagi, bagaimana . seragamnya pendapat-pendapat mereka tentang kaumku.

Menyaksikan semua itu aku tidak sekedar muak. Tapi juga geli dan berbangga hati. Aku geU menyaksikan betapa kalang-kabutnya kaum laki-­laki itu gara-gara suatu peni­laian dan kepercayaan yang mereka ciptakan sendiri. Mere­

mengerahkan Hansip dan Sat­pam untuk mengepung ru­mahku. Aku lolos, tapi seka­rang jadi buronan mereka."

"Apa-apaan lagi kau ini, Gus."

"Boleh apa enggak aku num­pang di sini?"

"Kapan aku pernah meno­Iak? Aku euma bilang, kau nggak perlu mengobrak kibul­an sensasioni! untuk blsa da­pat numpang di sini."

"Aku nggak ngibul. Aku di­tuduh jadi sumber kekaeauan Kampung, gara-gara bcrita sembrono eli koran minggu la­lu soal Perek itu."

"Jangan mendramatisir, Gus. Soal gilu aja koq diribut­kan. Mestinya kau jadi pemain sandiwara saja."

"lni beneran''', clia menjadi marah. "Petugas keamanan menguber-uber aku dengan pentungan. Aku nggak tahu mesti cari periindungan kema­na lagi. Para tetanggaku cum a melenggong diam. Tak ada yang mau nolong aku. Mereka senang mendapat tontonan gratis."

"Dasar laki-Iaki. Rupanya bagus, otaknya nggak bisajaI­an. Kalau butuh keamanan kan mestinya justru minta keamanan pacta petugas kea­manan. Koq malah kabur ke­mari?" Aku masih senang mempermainkan keseriusan­nya, . sambi! menimbang-­nimbang apakah yang dilapor­kannya itu masuk aka!.

"Petugas keamanan kerja­nya bukan membagi-bagikan keamanan buat orang macam kita. Yang mereka punya ku­mis tebal, otot kekar, suara bentakan dan pentungan, Be­go!"

ka menciptakan penilaian Aku ketawa keras, tak kuat yang mereka jadikan kepe. menahan geli. Tapi segel'a aku rcayaan bahwa Perek itu sena- merasa kasihan pada anak mu­jis dan sejahat setan. Sesuatu da ini. Rambutnya kusut. Wa­yang tak ada mereka ciptakan jahnya kecut. Matanya lesu, menjadi ada. Dan setelah yang seperti kurang tidur. "Okelah. ada itu tampil di depan mon- Kalau Jr,;3.u mau cari perlin­cong mereka, sekarang mere- dungan di sini, aku nggak ke­ka kalang kabut. . beratan. Sebagai kaum per-

Karena itu aku mendadak empuan, aku memang pantas merasa menjadi kaum yang jadi sumber perlindungan dan teramat penting di Kampung keamanan sesama man usia. inL Dan bangga. Betapa tidak? Di mana-mana, di sepanjang Tanpa bikin born, teror, atau sejarah, kehidupan manusia festival (seperti yang biasa di- jadi kacau gara-gara perang bikinlaki-lJLki), kaumPerekte- antar para raja dan penguasa lah mampu merigguncang-- yang terdiri dari laki-laki. Per­guncang kemapanan Kam- empuan melahirkan kehidup­pung yang hampir sepenuh- an manusia-manusia baru, nya dikuasai laki-laki. laki-Iaki menciptakan perang Gedung-gedung bertingkat untuk membinasakan mere-yang dikuasai laki-Iakidisana ka". seakan-akan kena ledakan "Sialan! Jangan bicara rna­born. Mobil-mopbil mentereng cam begitu. Perempuan bisa yang dikendalikan Iaki-Iaki di- apa? Kau sendiri ini apa? Kau S'ana seakan-akan berjalan eli a>'~'1ilfat; segaia kekacauan di tas jalanari yang terkena gem- Kampung ini diakibatkan oleh pa bumi dahsyat. perempuan macam kau!"

Menurutbahasamereka,sta- "Karena orang macam aku? bilitas, ketertiban, dan kea- Ha, ha, ha ... " manan di Kampung itu sedang terancam.

**t** cakapan. Apalagi jika yang herbic-.;l.ra itu laki-laki yang me- Seorang anak sekolahan mang bl-n.sanya menguasai per- yang biasa dipanggil Cah En.­cakapan itu. Apalagi pula jika gus kemarin datang menguIl­mereka mulai mcmbicarakan jungi aku di pondokku. 1a ma­kaum per'lmpuan, kaumku. suk bcrgegas, membawa tas se-

Syahadan, Kampung ini sc- kolah bedsi penuh pakaian. karang menjadi ramai oleh ~'Aku periu tinggal beberapa pembicaraan ten tang kaum haridisini", katanya. "Pak RT

"Yang mestinya diuber, di­tangkap dan disikat itu orang macam kau. Bukan aku. Mere~ ka salah tangkap. Aku nggak 'salah apa-apa. Tapi justru aku yang sekanmg jadi karban. Aku jadi buronan, kayak tikus seekor dikeroyok kucing sepu­luh. Sement.ara klan enak-­enakan di sini."

. ----------~--- - ..

"Mereka bukannya salah tangkap, Gus: Mereka cum a

------_._--

ngg'",K punya otak yang beKer­ja dengan normal. Mereka itu kan laki-laki? Ha, ha. ha ... "

"Hus! Nggak ada yang 11icu. Nggak usah ketawa. Kau rnestinya menyesal, bertobat dan tahu malu. Dasar Perek! Mana ada Perek tahu rasa ma­lu".

"Gus, Gus. Aku merasa ka­sihan pada kau dan ibumu yang telah bersusah payah me­lahirkan dan membenarkan kau. Kau perlu banyak belajar dari aku, Gus. Di sekolah kau cuma diajar dan belajar meng­hina dan memaki perempuan.

Kau tahu, kenapa semua laki-laki di Kampung itu kalang-kabut? Bukan karena aku kehilangan rasa malu atau kehormatan. Bukan. Tapi ka­rena mereka ilu jadi keder. Me­reka takut pada dirinya sendiri dan kesalahannya sendiri. Ka­rena itu, untuk menutup-­nutupi kebelangannya sendiri, rnereka bekerja keras menghi- I

na orang-orang semacam aku. Dan mereka bekerja keras mengajar orang-orang sema­cam kau untuk menghina kaumku.

Mungkin aku bukan orang terhormat dan mulia. Tapi yang jelas . aku tidak sedikit pUI). lebih hina ketimbang orang-orang yang menghina aku di koran-koran itu. Tak se­dikit pun. Mereka bilang, aku menjual diri dan kehormatan­

,ku. Tapi apa yang mereka kerjakan sendiri? Persis sarna! Ya, semuanya. Yang jadi para pemuka Kampung menjual di­ri dan kehormatannya untuk mempertahankan jabatan dan kekuasaan. Yang namanya in­teIektual pembela keadilan dan kebenaran, kerjanya menjual diri dan kehormatan serta kea­dilan dan kebenaran karena c';'­ri selamat dan rejeki. Yang namanya wartawan, apa beda­nya? Yang namanya mahasis­wa? Atau seniman'"

Kalau saja di an tara mereka ada yang benar-bcnar Iebih su­ei daripada aku, biariah dia menjadi orang pertama yang melemparkan batu ke atas ke­palaku ini.

Kau pikir buat apa senimari itu berjungkir-balik di atas panggung? Kau pikir apa se­babnya para wartawan itu ber­dagang isyu? Kau pikir buat apa para dosen dan guru di sekolah-sekolah itu menjual klobot? Cobalah kau pikir lagi, kEmapa tidak ada satu pun war­ga di Kampungmu itu. yang mau kau ajak bicara danber­usaha membelamu seandainya benar aku sudah diperlakukan tidak adiI? Kau pikir apa benar parapetugas keamanan yang menguber-ubermu, seperti menguber para pelacur di pinggir jalan itu bertindak ka­rena yakin kau bersalah?"

Tiba-tiba pintu rurnah digedor-gedor orang.

Aku berdiri rnembukakan pintu. Kulirik Cah Bagus her­

, gegas kabur lewat pintu bela­kang.

"Ah, kau lagi' Mau apa?" "Mbak, aku peril! tinggal di­

sini beberapa waktu. Orang-­orang Kampung marah-­marah, gara-gara apa yang aku tulis di koran kemarin ha­ri. .. "

"Dasar laki-Iaki!" (01) .

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>