Gede prama
-
Upload
tri-yulianto -
Category
Documents
-
view
345 -
download
1
Transcript of Gede prama
POSTING BY : TRI YULIANTO
JUNE.06.2011
AWAN PENGHALANG PEMAHAMAN
Oleh: Gede Prama
Di suatu malam yang suntuk, ada beberapa bapak muda dengan wajah lesu dan layu menunggui isterinya melahirkan.
Dalam suasana sepi penuh penantian, tiba-tiba keluar dari pintu seorang dokter dengan senyum gembira. Sambil
menyalami seorang bapak, dokter ini berucap : "Selamat, anak Anda kembar dua". Seperti sudah tahu sebelumnya,
bapak tadi berucap datar : "Saya sudah tahu dokter, karena telah lama saya bekerja di dua kelinci". Empat puluh lima
menit kemudian, dokter yang sama keluar lagi lengkap dengan senyumnya yang khas. Kali ini yang disalami seorang
bapak yang lain : ‘Anda hebat, anak Anda kembar tiga". Mirip dengan bapak tadi, iapun hanya berucap datar : "saya juga
sudah ramalkan dokter, karena sejak dulu saya bekerja di tiga roda". Satu jam setelah kejadian terakhir, keluar lagi
dokter yang peramah ini. Kali ini ia senyum penuh keheranan. Sambil menyalami bapak yang lain, ia berucap kagum :
‘Anda paling hebat, anak Anda kembar empat !". Tanpa ada tanda-tanda kejadian ini disutradarai manusia, bapak yang
memiliki anak kembar empat ini juga hanya menjawab biasa-biasa saja : "saya sudah duga dari dulu dokter, karena saya
bekerja di empat sekawan".
Setelah mendengar dialog antara dokter dengan suami-suami pasien ini, tiba-tiba saja seorang bapak jatuh pingsan. Dan
repotlah semua pihak dibuatnya. Setelah tidak sadarkan diri selama dua jam, dan membuat banyak orang khawatir, tiba-
tiba ia sadar dan langsung bertanya pada dokter : "nasib isteri saya bagaimana dokter, sebab saya bekerja lama di Auto
2000 ?".
Nah sebelum tertawa disamakan dengan kegiatan teroris, karena akhir-akhir ini banyak penguasa amat takut sama
teroris, sebaiknya Anda tertawalah sebanyak-banyaknya. Lebih banyak Anda tertawa lebih bagus. Terutama
mentertawakan kedunguan pikiran sebagai jembatan pemahaman. Berbeda dengan jembatan yang sebenarnya yang
menyeberangkan siapa saja dari satu daratan ke daratan lain tanpa perlu melakukan pemerkosaan, pikiran
menyeberangkan manusia dari satu pengertian ke pengertian lain lengkap dengan pemerkosaannya.
Serupa dengan lelucon di atas, ada banyak sekali manusia yang pikiran dan mind-nya tidak menjadi jembatan
pengertian, sebaliknya malah menjadi awan penghalang pengertian. Ada Amerika yang pengertiannya tentang
Afghanistan menjadi demikian menyimpang, ada Osama yang pemahamannya tentang Amerika jauh panggang dari api.
Dalam keseharian saya bertemu banyak sekali orang yang mata dan penglihatannya dibuat demikian kotor oleh mind
dan pikiran.
Ketika tulisan ini dibuat, saya barusan habis dimaki-maki dan dibentak-bentak oleh seorang sahabat pengusaha yang
sejarah hidupnya banyak sekali dipermainkan dan dikhianati orang. Sehingga kehadiran orang lain seperti saya, dipotret
dengan kaca mata kecurigaan yang diproduksi pengalaman masa lalu. Dan sayapun tampil dengan potret penjahat di
wajah mind demikian.
Dalam tataran pengertian ini, saya rindu sekali dengan J. Krishnamurti, penulis karya spektakuler dengan judul "Freedom
From The Known". Dimana tugas setiap orang yang menginginkan kejernihan dalam hidup adalah "to set him/herself
totally and unconditionally free". Membuat diri kita bebas secara total tanpa syarat dari segala keterkondisian.
Keterkondisian yang datang dari luar (pengetahuan, pengalaman, ideologi, agama, dll) lebih mudah untuk diseleksi dan
dipilah-pilah, karena memang ia berasal dan berada di luar. Akan tetapi, keterkondisian yang datang dari dalam seperti
keyakinan dan kepercayaan, ia lebih bahaya dari sekadar musuh dalam selimut. Keterkondisian dari luar mirip dengan
tamu yang datang berkunjung, dan kalau kita tidak suka tinggal menutup pintu rumah kehidupan rapat-rapat. Tetapi
keyakinan dan kepercayaan kita sendiri, ia adalah pemilik rumah kehidupan itu sendiri. Disamping berada di dalam
rumah, sulit dibayangkan kita bisa mengusir pemilik rumah dari rumahnya sendiri.
Di satu kesempatan, Krishnamurti pernah berucap : ‘It is words, explanations, memories, that clouds the understanding
of the fact’. Kata-kata, penjelasan, ingatan adalah rangkaian awan yang bisa menutupi pengertian. Dan lebih berbahaya
lagi, ada tidak sedikit orang yang mengidentikkan pengertiannya dengan awan-awan penghalang tadi.
Dalam pengalaman saya berinteraksi dengan orang yang memorinya penuh dengan kecurigaan, setiap kata dan
penjelasan selalu " sekali lagi selalu - dikaitkan dengan memori masa lalu yang diyakininya. Sebagai akibatnya, setiap
usaha untuk melihat kejadian dan orang baru, selalu dihalangi oleh memori masa lalu. Lebih dari itu, maka kejadian dan
orang barupun terlihat persis sama dengan kejadian dan orang kemaren dulu.
Kalau saja semua orang seperti ini, saya, Anda dan semua orang kualitas penglihatannya lebih buruk dari kualitas
penglihatan orang-orang buta. Pengetahuan, kearifan, kebijaksanaan, ideologi dan bahkan agama sekalipun, lewat
begitu saja di depan mata tanpa sempat kita selami pada kedalaman-kedalaman pengertian yang penuh keheningan.
Oleh karena alasan itulah, telah lama saya terbang di dunia pengertian melalui dua sayap : hening dan ikhlas. Jangankan
dipecat, matipun ikhlas. Keduanya tidak memerlukan kata-kata, penjelasan apa lagi memori. Mirip dengan sudah sampai
di ketinggian, agar tetap bisa tinggal di sana, tugas kita sekarang adalah menendang tangga-tangga yang membawa kita
sampai di sini. Termasuk menendang tulisan yang tidak menarik ini !
BIARKAN KEDAMAIAN BICARA
Oleh: Gede Prama
Dalam jangka waktu yang amat lama, wacana publik kita ditandai oleh kekerasan yang memperkuda kedamaian. Tidak
hanya setelah republik ini merdeka, jauh sebelumnyapun sejarah kita sudah ditandai oleh wajah- ajah kekerasan di sana-
sini. Di Jawa Barat sana, banyak orang yang tingkat penghormatannya lebih rendah di bandingkan daerah Jawa lainnya
terhadap nama Gajah Mada. Apa lagi yang ada di balik ini semua kalau bukan sejarah kekerasan. Sejarah masa
penjajahan apa lagi. Bercak dan aliran darah ada di mana-mana. Dulunya, setelah kemerdekaan direbut dan
pembangunan dijalankan, diharapkan bercak dan aliran darah bisa dihilangkan. Nyatanya, baik di masa orde lama, orde
baru, bahkan sampai sekarangpun ia masih menjadi berita di hampir setiap media. Ambon, Poso, Aceh, Irian Jaya,
Jakarta hanyalah sebagian saja dari sekian banyak kekerasan mengerikan, tapi menjadi santapan wacana yang digemari.
Belum lagi ditambah dengan kekerasan-kekerasan tersembunyi lainnya. Industri keuangan dan perbankan yang
dirampok orang di sana-sini. Uang negara yang dijarah dari dulu hingga sekarang. Hubungan industrial yang ditandai
banyak demonstrasi, pemogokan, pembakaran dan sejenisnya. Dan deretan panjang kekerasan lainnya.
Entah mana yang lebih mewakili. Sejarah manusia yang memang membawa kekerasan ke mana-mana, atau karena
publik lebih tertarik dengan topik-topik kekerasan. Yang jelas, sulit diingkari kenyataan, semakin banyak berita
kekerasan muncul dalam wacana publik, semakin laris medianya, serta semakin banyak orang mau membaca dan
terlibat wacana.
Anda mungkin sudah mahfum, beberapa tokoh publik dan organisasi masyarakat " kalau tidak mau dikatakan
kebanyakan " malah "mendulang" hasil dari kekerasan. Buktinya, setelah kekerasan muncul, mereka muncul sebagai
pahlawan, penyelamat, bahkan ada yang menjadi penguasa baru. Kadang saya malah bertanya penuh keraguan,
tidakkah rezim yang sedang berkuasa ini adalau output dari mesin raksasa yang bernama kekerasan ? Kalau mesinnya
mesin kekerasan, adilkah kalau kita mengharapkan output kedamaian dari sana ?
Anda jawab sendirilah pertanyaan-pertanyaan penuh keraguan tadi. Yang jelas, dengan resiko ditertawakan orang, ada
tidak sedikit orang yang berharap agar kedamaian diberi kesempatan untuk berbicara. Boleh saja dia tidak menarik
selera wacana banyak orang. Tidak membuat media menjadi laris manis. Tidak juga menghasilkan pahlawan dan
penyelamat. Akan tetapi, bukankah menjadi hak azasi setiap orang untuk hidup damai ?
Dibandingkan terlalu banyak bertanya, mari kita sama-sama ulas persoalan dianaktirikannya kedamaian oleh kekerasan.
Mereka yang diteropong oleh Naisbitt masuk ke dalam kotak spirituality yes, formal religion no, mungkin menyebut
agama telah gagal. Mereka yang antikekuasaan akan menunjuk hidung kekuasaan sebagai biang keladi. Pemerhati
pendidikan lain lagi, mereka menuduh lembaga terakhir sudah tidak berfungsi lagi sebagai pembawa misi perdamaian.
Izinkan saya meneropong persoalan ini di tingkat individu. Ada sebuah kualitas pribadi yang berperan besar dalam
memproduksi kekerasan. Dia bernama Aku. Dalam keakuan, banyak sekali hal yang sebenarnya berasal dari kedamaian
sekalipun, bisa berubah menjadi kekerasan. Bibit-bibit keakuan terakhir bisa bersumber dari keyakinan dan perasaan
benar, harga diri yang tinggi, keserakahan akan harta dan tahta, dll. Coba bayangkan sepasang suami isteri yang sudah
sejak lama hidup damai di hutan tanpa gangguan berarti. Suatu hari, ada kebutuhan untuk sekali-sekali bertengkar satu
sama lain. Dan sepakatlah mereka untuk memulai pertengkaran. Sang isteri berkata dengan nada membentak : "ini
ketela kesukaanku !". Dan suaminya berfikir sejenak, kemudian menjawab dengan penuh kesabaran : "ya itu memang
kesukaanmu, dan marilah kita makan sama-sama seperti biasa". Maka, batallah pertengkaran yang sudah direncanakan
terlebih dahulu ini.
Cerita ilustratif ini menunjukkan, keakuan memang sudah menjadi sumber pertengkaran di mana-mana. Namun,
kesediaan dan kesabaran untuk senantiasa awas dengan keakuan tadi, sudah dan akan terus membantu proses menuju
kedamaian. Bedanya dengan kekerasan yang datang tanpa diundang, kedamaian memerlukan "undangan" khusus agar
dia datang. Demikian khususnya, sehingga memerlukan biaya yang amat besar.
Salah satu laporan majalah Fortune ,( maaf saya lupa edisinya) pernah melaporkan sebuah kecenderungan yang mereka
sebut dengan the new corporate mystiques. Ternyata, apa yang mereka sebut dengan mistik-mistik baru dunia usaha
adalah kecenderungan sejumlah raksasa usaha di sana, untuk mengundang sejumlah rahib Buda sebagai pelatih. Bukan
untuk mengajak orang masuk agama Buda. Melainkan, mengajari ekskekutif hidup dalam kedamaian.
Kedamaian ( demikian mereka meyakini ) adalah syarat utama dari produktivitas. Dalam kedamaian, kita bisa melakukan
dan mencapai lebih banyak hal. Mirip dengan keluarga di rumah, apa yang bisa kita capai kalau setiap hari isinya hanya
pertengkaran ? Ada yang bertanya, bukankah kedamaian akan lebih terasa nikmatnya kalau kita pernah mengalami
kerusuhan ? Tentu saja. Sebab, kehidupan merupakan hasil dari dialektika. Dan dialektika terakhir, sulit diharapkan
berhasil optimal kalau salah satunya jauh lebih dominan dibandingkan yang lain. Mirip dengan kehidupan kita sekarang-
sekarang ini, terutama dengan hadirnya kekerasan di banyak pojokan ruang publik.
Akankah kita biarkan kedamaian menjadi kuda bisu yang ditunggangi kekerasan ?
BICARA BAIK ATAU DIAM
Ada sejenis kecemburuan tersendiri kalau saya melihat seorang pelukis sedang melukis. Melalui kegiatan bercakap-
cakap dengan diri sendiri, seorang pelukis kemudian mengungkapkan hasil percakapan tadi ke dalam sebuah lukisan.
Sehingga bagi siapa saja yang cukup peka untuk memaknai karya seni, ia bisa menerka percakapan apa yang terjadi di
balik banyak lukisan.
Agak berbeda dengan pelukis di mana lukisanlah salah satu hasil percakapannya dengan diri sendiri, kita manusia biasa
memiliki juga hasil dari percakapan panjang kita bersama diri sendiri. Dan hasil yang paling representatif adalah badan
yang kita bawa kemana-mana selama hidup. Atau kalau mau lebih dalam, jiwa adalah salah satu hasil lain dari
percakapan jenis terakhir ini.
Dilihat dalam bingkai berpikir seperti ini, hidup ini isinya serupa dengan kegiatan melukis. Bedanya dengan pelukis, kita
sedang melukis diri kita sendiri. Mirip dengan pelukis, ada aspek yang disengaja ada juga aspek yang tidak disengaja. Dan
percakapan adalah kuas, kertas, warna yang menjadi bahan-bahan kita dalam melukis. Dalam tingkat penyederhanaan
tertentu, apapun yang kita percakapkan dengan diri sendiri akan memberikan warna terhadap lukisan (baca : wajah) kita
sendiri.
Coba Anda perhatikan orang-orang yang suka sekali bicara negatif. Dari ngerumpi kejelekan orang lain, iri, dengki,
menempatkan orang lain dalam posisi tidak pernah benar, sampai dengan suka berkelahi dengan banyak orang.
Perhatikan badan dan sinar mukanya, bukankah berbeda sekali dengan orang lain yang percapakannya lebih banyak
berisi hal-hal yang positif ?
Lebih dari sekadar memiliki wajah berbeda, orang yang isi percakapannya hanya dan hanya negatif, juga berhobi
memproduksi penyakit yang akan dihadiahkan pada tubuhnya sendiri. Berbagai jenis penyakit siap menawarkan diri
secara amat suka rela kepada orang-orang jenis ini. Dari penyakit fisik sampai dengan penyakit psikis. Di luar
kesengajaan mereka, atau bersembunyi di balik ‘kesenangan’ sesaat, orang-orang seperti ini sedang memukul, menusuk
dan bahkan menghancurkan badan dan jiwanya. Kalau kemudian lukisan kehidupannya berwajah hancur lebur, tentu
bukan karena sengaja dihancurkan orang lain.
Dalam bingkai renungan seperti ini, layak dicermati kembali bagaimana persisnya kita bercakap-cakap dengan diri
sendiri setiap harinya. Entah ketika di depan cermin, entah tatkala berhadapan dengan banyak perkara, entah di
manapun kita selalu bercakap-cakap dengan diri sendiri. Tidak hanya sejak bangun pagi sampai tidur malam kita
melakukan percakapan, bahkan ketika tidurpun kita bercakap-cakap dengan diri sendiri.
Kalau semuanya bisa digerakkan dari tataran kesadaran semata, semua orang hanya mau bercakap-cakap yang positif
saja. Sayangnya, kekuatan di balik percakapan tidak saja berada di wilayah kesadaran. Ia juga berakar dalam pada
wilayah-wilayah di luar kesadaran. Di sinilah letak tantangannya. Orang-orang yang terlalu lama memformat lukisannya
dengan percakapan-percakapan negatif, tentu dihadang tantangan yang lebih besar. Demikian juga sebaliknya.
Akan tetapi, seberapa besarpun tantangannya, pilihan diserahkan ke kita, akankah kita membuat lukisan diri sendiri
yang berwajah indah, atau bopeng mengerikan di sana-sini. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, percakapan
memang kendaraan yang amat menentukan dalam hal ini.
Seorang sahabat jernih pernah memberikan pedoman amat sederhana dalam hal ini : speak good, or be silent. Bicaralah
hal-hal yang baik saja, kalau tidak bisa diamlah. Tampaknya terlalu sederhana, tetapi menangkap esensi yang paling
esensi. Sekaligus memberikan kompas, ke arah mana perjalanan percakapan sebaiknya dilakukan.
Tertawa tentu saja boleh dan bahkan sehat. Namun tertawa dengan cara mentertawakan kekurang fisik orang lain tentu
saja layak untuk dikurangi. Waspada dan hati-hati juga tidak salah, namun curiga apa lagi menuduh orang lain tanpa
bukti mungkin perlu rem yang menentukan dalam hal ini. Demikian juga ketika melihat kekurangan orang lain, atau juga
kekurangan diri sendiri. Serakah misalnya, kenapa tidak dibelokkan menjadi serakah belajar dan berusaha. Kebiasaan
mumpung sebagai contoh lain, mumpung berkuasa kenapa tidak segera menjadi contoh dari hidup yang lurus dan
bersih. Iri hati juga serupa, bisa saja energi-energi iri hati digunakan sebagai mesin pendorong kemajuan yang amat
menentukan. Bentuk tubuh yang tidak menarik sebagai contoh lain, kenapa tidak digunakan sebagai cambuk untuk
mengembangkan kecantikan dari dalam diri.
Dari serangkaian contoh ini, yang diperlukan sebenarnya kesediaan untuk senantiasa berdisiplin di dalam diri. Terutama
disiplin untuk mendidik mulut dan pikiran, serta membelokkan setiap energi negatif ke tempat-tempat yang lebih
produktif. Kalau ada yang menyebutnya susah, tentu saja tidak salah. Karena mirip dengan lukisan indah yang senantiasa
dihasilkan pelukis dengan penuh perjuangan, demikian juga dengan lukisan kehidupan. Kita hanya perlu mengingat
sebuah kalimat sederhana : bicaralah yang baik, atau diam sekalian. Dan atas rahmat Tuhan lukisan kehidupanpun
mungkin berwajah lebih menarik. Setidaknya, itulah yang sedang saya percakapkan dengan sang diri ketika tulisan ini
dibuat.
CINTA MEMBUAT KITA BERSAYAP
Entah dari mana datangnya kekuatan, setelah belajar jauh ke negeri orang bertahun-tahun, membaca ribuan buku,
majalah, koran, mengumpulkan pengetahuan lewat internet, dicerahkan oleh pergaulan yang demikian luas, diperkaya
oleh film yang sempat saya tonton, namun bolak-balik saya didamparkan pada puncak ide yang bernama cinta. Mirip
dengan guru Aikido yang bernama Morihei Ueshiba, yang menyebut hanya ada satu puncak yaitu
cinta, perjalanan ide saya juga demikian. Dari bacaan, pergaulan, maupun tontotan, semuanya berujung pada lorong
yang bernama cinta.
Demikian juga ketika saya bersama anak-anak menonton film The Theory of Conspiracy di HBO suatu malam
pertangahan Maret 2000. Film inspiratif yang dibintangi Mel Gibson dan Julia Roberts ini, memang dilatarbelakangi oleh
dunia intelejen yang penuh teka-teki, menantang dan kadang kejam. Mel Gibson dan Julia Roberts memang bermain
mengagumkan. Namun, yang lebih mengagumkan adalah cerita film ini. Untuk tujuan kekuasaan yang penuh kekejaman,
kerakusan dan keserakahan, Mel Gibson memorinya diacak-acak dan dihancurkan. Kemudian, diformat ulang agar ia
menjadi seorang pembunuh yang berdarah
dingin. Yang diharapkan bisa membunuh seorang hakim yang membongkar kasus lama.
Akan tetapi, begitu Mel Gibson siap membunuh sang hakim, ia melihat cinta seorang hakim terhadap puterinya (Julia
Roberts) yang menawan.Entah cinta sang hakim pada puterinya, atau cintaseorang pria kepada seorang wanita, yang
jelas seluruh energi cinta ini menghentikan energi membunuh Mel Gibson yang penuh
dengan format penguasa.
Merasa takut dan tidak puas dengan hasil format terhadap Mel Gibson, ia pun dikejar dan disiksa. Bahkan sampai
mengerahkan seluruh komponen aparat keamanan. Sekali lagi, ia selamat berkat sayap yang bernama cinta. Di akhir
cerita, secara amat romantis Mel Gibson bertutur apik : love gives us wing.
Kalimat apik terakhir ini mengingatkan saya pada sejumlah pengalaman berat. Dalam presentasi di depan petinggi-
petinggi Citibank Indonesia dari country manager sampai dengan semua vice president saya bertemu dengan banyak
sekali orang pintar dengan jam terbang yang mengagumkan. Demikian juga ketika diajak keliling Indonesia oleh Tupper
Ware. Saya bertemu dengan
banyak manusia yang amat beragam. Hal yang sama juga terjadi, ketika melakoni diri menjadi konsultan yang harus
berhadapan dengan pengusaha-pengusaha sukses yang kaya raya. Ada yang sombong, merendahkan, menghina sampai
dengan kagum penuh pujian.
Akan tetapi, dengan modal sayap yang bernama cinta, semua itu lewat tanpa halangan yang menakutkan. Seorang
peserta lokakarya yang amat sarkastis di awal, di akhir malah memeluk saya sambil memberikan hadiah sepasang sepatu
mahal. Kerap saya ragu dan bingung, tanpa usaha yang terlalu keras,
bagaimana orang yang demikian bermusuhan awalnya menjadi demikian bersahabat. Dalam politik perkantoran juga
sama. Kepala saya pernah diinjak dan dikencingin orang lain. Bahkan ada yang melakukannya di depan umum. Entah dari
mana datangnya kekuatan, orang-orang seperti ini belakangan tidak sedikit yang menaruh hormat yang tinggi.
Dan setelah mendengar pesan Mel Gibson bahwa love gives us wing, saya baru saja sadar. Bahwa cinta bisa membuat
kita bersayap. Untuk kemudian, terbang tinggi-tinggi dalam kehidupan. Tidak hanya tinggi dalam prestasi materi, tetapi
juga tinggi dalam prestasi spiritual. Lebih dari itu, sebagaimana burung yang
bersayap, tubuh dan jiwa ini juga menikmati kebebasan yang demikian mengagumkan. Imajinasi, inovasi, inspirasi
datang demikian mudahnya dalam kehidupan yang bersayapkan cinta.
Coba perhatikan lirik lagu Boyzone yang berjudul Every Day I Love You, It's a touch when I feel bad, It's a smile when I
get mad. Cinta memang bisa demikian memabukkan kalau tidak dibingkai dengan kedewasaan dan kearifan. Namun
begitu ia berada dalam bingkai kedewasaan dan kearifan, ia berfungsi persis seperti sayap besar dan tangguh. Dan siap
membawa kita kemana saja kita pergi dalam kehidupan.
Bercermin dari filmnya Mel Gibson, pengalaman pribadi saya, maupun lagunya Boyzone, akan banyak gunanya kalau kita
membanjiri diri kita dengan cinta. Dan ini sebenarnya tidak sulit. Energi cinta tersedia demikian melimpah di mana-
mana. Istri, suami, anak, orang tua, tetangga, alam semesta, Tuhan adalah
sumber dan sekaligus tempat penyaluran cinta. Kita bisa melakukannya kapan saja dan di mana saja baik dengan biaya
mahal maupun murah.
Saya menyisakan sebagian kecil makanan di pinggir piring setiap kali makan, meletakkan segenggam nasi di pinggir
taman rumah agar dimakan oleh burung-burung gereja yang datang setiap pagi, meletakkan daun talas di kolam ikan
agar ikan makan dengan lahap, membagi sebagian kecil rejeki ke orang-orang bawah yang memerlukan, memberi
semampu mungkin ke anak, isteri dan orang
tua. Anda saya yakin punya cara yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan saya. Mencintai juga lebih hebat
dibandingkan dengan saya. Namun, jangan pernah lupa, cinta membuat kita bersayap. Dan kemudian membuat tubuh
dan jiwa ini terbang demikian enteng dan ringan. Seperti Mel Gibson yang mengalahkan format teknologi yang demikian
mengagumkan namun kejam.
GARIS HIDUP ANDA
Angka-angka dalam tanggal lahir Anda menyimpan banyak makna.
Jumlahkan sampai menjadi satu angka, lalu lihat artinya? (misalnya Anda lahir tanggal 25 desember 1998, jumlahkan 25
+ 12 + 1998 == 2 + 5 + 1 + 2 + 1 + 9 + 8 + 8 == 36 == 3 + 6 == 9)
Garis Hidup 1
Misi hidupnya adalah untuk bisa selalu independen. Ada dua bagian dalam proses mencapai hal ini: pertama, Anda harus
belajar untuk berdiri di atas kedua kaki dan tidak tergantung pada orang lain.
Kemudian setelah Anda benar-benar bebas dan independen, belajarlah untuk menjadi pemimpin.
Banyak jenderal, pemimpin perusahaan, dan politikus mempunyai angka "Garis Hidup" 1.
Orang-orang yang mempunyai angka garis hidup satu ini selalu mempunyai potensi yang hebat untuk menjadi
pemimpin, tapi mereka bisa gagal bila menjadi pengikut. Banyak dari mereka yang menghabiskan sebagian besar
berusaha melepaskan ketergantungan mereka pada orang lain, tapi ini justru menyisakan sedikit waktu bagi mereka
untuk memperoleh kesenangan yang didapat dari keindependenan.
Orang dengan garis hidup 1 harus keluar dari lingkungan yang membuat mereka mudah untuk tergantung, dan sulit
untuk independen. Mereka yang mempunyai angka garis hidup 1 penuh dengan inspirasi kreatif, dan memiliki
antusiasme dan dorongan untuk mencapai banyak hal. Semangat dan potensi tersebut datang dari kedalaman kekuatan
yang dimiliki.
Baik fisik maupun karakter. Dengan kekuatan ini, muncul kegigihan dan kemampuan untuk memimpin. Sebagai
pemimpin alami, Anda mempunyai pengaruh untuk mengambil alih tiap situasi. Terlalu percaya diri dan tidak sabaran.
Sangat orisinil, Anda berbakat sebagai seorang penemu atau inovator. Dalam tiap pekerjaan yang Anda pilih, sikap
independen Anda akan terlihat. Anda memiliki keinginan-keinginan pribadi yang sangat kuat, dan Anda selalu merasa
harus mengikuti keyakinan Anda sendiri.
Jika seseorang dengan angka garis hidup 1 ini belum berevolusi dengan baik, dan menunjukkan sisi negatifnya, justru
yang tampak adalah sisi karakternya yang tergantung pada orang. Jika berada pada titik terburuknya, energi angka 1 ini
bisa membuatnya menjadi egois.
Garis Hidup 2
Karakter positif dari mereka yang tanggal lahirnya berjumlah 2 adalah kepekaan yang umumnya memiliki kemampuan
halus untuk bersikap adil dan seimbang. Anda bisa melihat banyak sudut pandang dalam tiap argumen atau situasi, dan
karenanya orang-orang akan mencari Anda sebagai penengah.
Dalam peran ini, Anda mampu menyelesaikan berbagai perselisihan dengan cara yang berkelas.
Ada perhatian yang tulus terhadap orang lain, Anda berpikir yang terbaik tentang mereka, dan ingin yang terbaik bagi
orang lain. Anda jujur dan terbuka dalam pikiran, ucapan maupun tindakan. Anda cenderung berhasil dalam segala
kegiatan kelompok, tempat Anda mempraktekkan kemampuan untuk menggabungkan orang-orang dari bermacam-
macam latar belakang.
Etiket dan diplomasi merupakan cara Anda berhubungan dengan orang setiap saat. Anda adalah manusia rutinitas yang
merasa nyaman untuk selalu mengikuti kebiasaan lama. Hal-hal baru untuk dicoba bukanlah kesukaan Anda.
Tapi Anda adalah seorang master dalam berkompromi dan mempertahankan harmoni dalam lingkungan, tidak suka
merendahkan diri untuk berargumen.
Seorang kolektor alami, dalam arti jarang membuang benda-benda yang (walaupun bagi orang lain sudah pasti dibuang)
masih ada gunanya bagi Anda.
Sisi negatif angka garis hidup 2 ini tidak terlalu membawa masalah.
Halangan dan kesulitan terbesar yang bisa Anda temui adalah kepasifan dan suatu kondisi apatis dan kelambatan. Juga
sikap pesimis dan bisa hanya sedikit hal-hal yang dicapainya. Tidak perlu dijelaskan lagi bahwa mereka dengan angka ini,
jika sisi negatifnya yang lebih dominan, tidak cocok dalam dunia bisnis dan walau karakter positifnya menonjol
sekalipun, mereka lebih suka dalam lingkungan yang akrab dan kurang kompetitif.
Garis Hidup 3
Bagi mereka yang jumlah angka hari lahirnya 3, ekspresi, sosialisasi, dan kreativitas sebagai pelajaran yang harus
ditempuh dalam hidupnya.
Entertainer kelas dunia, orang-orang yang berkilau dan optimistik termasuk di dalamnya. Orang orang dengan garis
hidup 3 yang telah mengasah bakatnya mempunyai bakat kreatif yang istimewa, biasanya dalam verbal, tulisan, akting,
atau semacamnya. Misi yang harus dicapainya dalam hidup adalah kesuksesan dalam berekspresi. Sisi cerah bagi orang-
orang ini bertema harmoni, keindahan dan kesenangan, serta membagi kemampuan kreatif Anda dengan dunia.
Mengasah kemampuan Anda dalam ekspresi kreatif adalah misi tertinggi bagi angka garis hidup ini.
Karakter mereka hangat dan bersahabat, pembicara yang baik, social dan terbuka. Pembicara yang trampil dalam arti
bukan hanya seseorang yang menyenangkan untuk didengar, tapi lebih penting lagi, seseorang yang mampu untuk
mendengarkan. Mereka adalah individu-individu yang selalu diterima dengan baik dalam setiap situasi sosial, dan juga
mengerti bagaimana membuat orang lain merasa diterima. Potensi imajinasi kreatif selalu ada, walaupun bisa berupa
hal yang laten, karena mereka tidak selalu tergerak untuk mengembangkan potensi ini.
Sikapnya melihat kehidupan hampir selalu positif, dan pembawaannya riang dan terbuka. Anda bisa menghadapi banyak
halangan dalam hidup dengan efektif dan langsung kembali bersemangat. Anda mempunyai tata krama yang baik dan
tampaknya cukup peka akan perasaan dan emosi orang lain.
Hidup dijalani sepenuhnya, seringkali tanpa kekhawatiran akan hari esok.
Anda tidak terlalu pandai menangani perihal keuangan karena tidak menganggap penting hal itu. Uang akan
dibelanjakan saat Anda punya, dan tidak dikeluarkan saat Anda tidak ada uang.
Sisi negatifnya, sikap mereka dalam hidup bisa sangat ringan sampai membuatnya jadi superfisial. Kemampuan Anda
seringkali tersebar dan jadi kehilangan fokus. Mereka dengan angka garis hidup 3 ini adalah teka-teki, dan Anda
seringkali berganti mood dan cenderung menghindar. Sulit bagi Anda untuk menetap di satu tempat. Jaga agar tidak
selalu mengkritik orang, tidak sabaran, ataupun terlalu optimistik.
Garis hidup 3 ini memberikan kemampuan di atas rata-rata dalam seni. Baik melukis, disain interior, lansekap, menulis,
musik, teater, ataupun mampu seluruhnya. Anda selalu gembira, penuh inspirasi, dan selalu mencari stimulasi dari
orang-orang yang sealiran. Sifat Anda yang ramai itu mendukung Anda untuk bisa melesat, apalagi jika Anda mampu
memfokuskan energi dan talenta Anda pada minat yang tepat.
Garis Hidup 4
Bila jumlah angka dalam ulang tahun Anda 4, berarti Anda bisa dipercaya, praktis, dan membumi. Anda adalah anggota
masyarakat yang bisa diandalkan. Misi dalam hidup adalah belajar untuk mendapat perintah-perintah atau tugas dan
melaksanakannya dengan dedikasi dan keuletan.
Anda selalu mengharap banyak dari diri sendiri sama seperti Anda mengharap banyak dari orang lain. Sebagai
organisator dan perencana yang hebat karena kemampuan Anda melihat persoalan dengan cara praktis, Anda
mempunyai kemauan kuat yang seringkali disalahtafsirkan sebagai sifat keras kepala. Sekali sebuah keputusan dibuat,
akan langsung dilanjutkan sampai mencapai konklusi, walaupun itu salah, benar, ataupun netral. Pola pikir Anda tidak
mudah untuk berubah dan
begitu yakin dalam cara Anda menangani persoalan. Cara Anda yang ulet dalam mencapai tujuan hampir seperti obsesi.
Setia dan mengabdi, Anda merupakan pasangan ideal dalam kehidupan perkawinan dan juga partner bisnis yang bisa
diandalkan. Mungkin tidak banyak teman-teman Anda,
tapi sangat erat dan sekali bersahabat biasanya sepanjang hidup.
Garis hidup 4 ini berhubungan dengan elemen bumi yang memberikan kekuatan dan perasaan realistis. Jika kesabaran
dan kegigihan merupakan sifat Anda sehari-hari, maka kesuksesan besar akan didapatkan dalam hidup. Sisi negatif dari 4
ini adalah sikap yang terlalu dogmatis, berpandangan sempit, dan represif atau tidak fleksibel terhadap gagasan baru.
Anda tidak suka pada orang-orang yang superfisial, dan Anda sendiri terlalu terbuka dengan semua perasaan Anda. 4
yang negatif punya kecenderungan buruk untuk terlibat terlalu dalam dengan rutinitas sehari-hari dan sering kurang
tanggap dengan hal-hal yang lebih luas sehingga tidak jarang kehilangan banyak kesempatan besar yang sekali-sekali
datang.
Garis Hidup 5
Minat dan kemampuannya banyak, petualang, dan progresif adalah beberapa gambaran bagi mereka yang angka garis
hidupnya 5. Sebaliknya dari 4, Anda tidak menyukai rutinitas, sehingga pekerjaan sehari-hari yang harus langsung
diselesaikan bukan untuk Anda. Selalu berusaha mencari jawaban bagi misteri kehidupan, Anda ingin selalu bebas,
independen, dan tidak ada ikatan. Orang-orang dengan garis hidup 5 ini adalah komunikator hebat, dan tahu bagaimana
memotivasi orang
lain. Hal ini membuat Anda guru yang baik. Cinta akan petualangan merupakan tema hidup Anda.
Bisa dalam bentuk nyata ataupun hanya dalam pikiran. Apapun itu, Anda selalu antusias untuk mengeksplorasi hal-hal
baru. Banyak potensi Anda, tapi tidak mempunyai arah. Juga seringkali tidak jelas akan keinginan Anda sendiri. Energi
yang ada dalam angka garis hidup 5 ini, jika digunakan secara salah menjadikan Anda tidak mempunyai rasa tanggung
jawab dalam tugas maupun pengambilan keputusan dalam kehidupan rumah tangga maupun bisnis. Kesukaan pada
sensasi dan petualangan bisa menjadikan diri Anda mengutamakan kepuasan diri dan tidak peka pada perasaan orang-
orang di sekitar Anda. Bagi mereka yang berada di titik ekstrim negatif, angka garis hidup 5 ini sangat tidak bisa
diandalkan dan menomorsatukan diri sendiri. Bagi sebagian
besar, kepribadian ini sangat hedonis, suka bersenang-senang, hidup untuk hari ini, dan tidak mau memikirkan esok hari.
Penting bagi Anda untuk bergaul dengan orang yang mempunyai selera dan pola pikir yang tidak jauh berbeda, serta
hindari orang-orang serius dan banyak menuntut. Juga penting untuk memilih pekerjaan yang menantang pikiran Anda
dan bukannya tugas-tugas yang rutin. Karir terbaik adalah yang berurusan dengan banyak orang, tapi yang terpenting
adalah Anda harus punya kebebasan untuk mengekspresikan diri Anda setiap saat.
Garis Hidup 6
Sangat berbeda dengan nomer 5, karakter garis hidup 6 yang paling menonjol adalah rasa tanggung jawab yang besar.
Anda idealis, dan bahagia jika berguna bagi orang lain. Sumbangan terbesar yang Anda berikan dalam kehidupan ini
adalah memberikan advis, pelayanan dan dukungan.
Garis hidup ini temanya adalah kepemimpinan karena kemampuannya dalam memberi teladan dan kesediaan untuk
bertanggung jawab. Hal ini menjadikan Anda selalu bersedia menanggung beban kelompok dan siap untuk menolong.
Anda seringkali terdorong untuk bertindak dengan kekuatan dan belas kasihan. Anda simpatik, dan senang berbagi
dengan orang lain, baik membantu dalam hal mental maupun materi. Kebijaksanaan, keseimbangan, dan pengertian
adalah beberapa karakter Anda. Kemampuan Anda memahami masalah orang lain, dan ini sudah menjadi karakter Anda
sejak kecil, sehingga tidak ada masalah dalam berhubungan dengan orang tua maupun muda. Anda bersedia untuk
mengeluarkan tenaga lebih dari yang diminta, dan selalu bisa diandalkan oleh keluarga. Realistis memandang hidup, bagi
Anda yang terpenting dalam hidup adalah rumah, keluarga dan teman-teman. Tentu ada sisi negatif pada tiap orang,
bagi garis hidup 6 ini, Anda harus menghindari kecenderungan terlalu
banyak menerima tanggung jawab dan diperbudak oleh orang lain. Selain itu, hindari terlalu banyak mengkritik diri
sendiri maupun kepada orang lain). Jika karakter buruknya terpupuk, maka ada kecenderungan untuk berlebih-lebihan,
dan merasa paling benarsendiri, walaupun tidak selalu berkembang seperti ini. Juga harus dihindari, memaksakan
pendapat sendiri dan mengurusi masalah orang lain.
Karena selalu merasa harus bertanggung jawab, maka beban yang dibawanya akan terasa sangat berat, walaupun
begitu, jika sekali-sekali Anda terpaksa tidak merasa bertanggung jawab, Anda akan sangat merasa bersalah dan akan
memberi dampak yang merusak bagi hubungan dengan orang lain.
Garis Hidup 7
Mereka yang angka garis hidupnya 7, berjiwa damai dan penyayang, tapi analitis dan tidak terlalu terbuka. Kekuatan
hebat dalam diri Anda terlihat pada dalamnya cara berpikir, Anda selalu mengumpulkan pengetahuan baru dalam setiap
hal yang Anda temukan. Seorang
intelektual, ilmiah, dan selalu mencari ilmu, Anda tidak akan menerima begitu saja sebuah pandangan tanpa
mengetesnya dan memperoleh konklusi sendiri. Angka ini juga bersifat spiritual dan sejak kecil sudah menunjukkan
kebijaksanaan. Anda butuh ketenangan agar bisa mengenali isi hati Anda.
Keramaian, banyak orang, bukan hal yang disukai. Dalam bekerja, Anda akan mengerjakannya sampai selesai, karena
Anda seorang perfeksionis yang mengharapkan tiap orang memenuhi standar performa yang tinggi. Anda mengevaluasi
situasi dengan cepat dan benar.
Pengalaman-pengalaman dan intuisi memandu Anda dalam bertindak. Anda tidak mudah percaya pada saran orang lain.
Memang dugaan-dugaan Anda seringkali tepat, dan karena Anda tahu benar akan hal ini, Anda selalu mengikutinya.
Mudah bagi Anda untuk mengetahui adanya kebohongan dan Anda bisa mengenali mana orang-orang yang jujur, mana
yang tidak. Tidak banyak teman Anda, tapi sekali Anda menerima seseorang sebagai teman, itu untuk seumur hidup.
Anda sama sekali
bukan seseorang yang senang berkumpul dengan orang banyak, dan sikap Anda yang tertutup dianggap sebagai
mengambil jarak. Itu tidak benar sama sekali, Anda memang senang menyendiri, jauh dari segala keramaian kehidupan
modern. Dalam banyak hal, Anda lebih cocok hidup
di jaman yang jauh sebelum masa sekarang. Jika energi angka 7 dalam garis hidup ini digunakan secara negatif, Anda
menjadi seorang pesimis, tidak pedulian, mudah berselisih, dan penuh rahasia. Bila individu ini tidak menjalani hidup
dengan benar dan tidak belajar dari pengalaman, Ia menjadi sebuah pribadi yang sulit karena tidak bisa memikirkan
kepentingan orang lain. Kepribadian garis hidup 7 ini egois dan manja.
Jika Anda merasa memiliki sifat-sifat ini, sulit untuk menghapusnya dengan mudah karena Anda merasa bahwa sudah
seharusnya dunia selalu memperlakukan Anda dengan baik. Untungnya, sifat negatif 7 ini bukanlah karakter yang
umum. Emosi angka ini seringkali ekstrim, berada di titik rendah pada satu saat, kemudian tinggi di saat berikutnya.
Jarang stabil.
Garis Hidup 8
Fokus Anda adalah mendapatkan kepuasan yang didapat dari dunia kebendaan. Garis Hidup 8 adalah orang-orang yang
percaya diri, kuat, serta sukses dalam materi. Anda independen, penuh dorongan dan kompetitif.
Rutinitas Anda sehari-hari meliputi hubungan-hubungan bisnis, praktis dan membumi, sedikit sekali waktu untuk impian-
impian dan khayalan. Bila ambisi, kemampuan organisasi, dan pendekatan Anda yang efisien itu terasah, tidak ada hal
yang tidak bisa Anda capai.
Fokus Anda kebanyakan mengenai uang dan kekuatan manipulasi yang ada di dalamnya. Garis hidup 8 ini mungkin yang
paling menganggap penting status dan kelas, sebagai suatu hal yang berdampingan dengan kesuksesan materi.
Jika karakter 8 ini berkembang dengan benar, Anda diberkahi dengan potensi hebat untuk menciptakan gagasan-
gagasan yang maju, serta juga keuletan dan kemandirian untuk merealisasikannya.
Singkatnya, dengan semua karakter itu Anda sangat siap untuk berkompetisi dalam dunia bisnis atau area lain yang
bersifat pertandingan. Anda tahu benar bagaimana mengelola diri dan lingkungan Anda. Praktis dan stabil dalam usaha
mencapai tujuan-tujuan, Anda punya keyakinan yang membuat Anda berani Sifat negatif mereka dengan garis hidup 8
kadang-kadang bisa seperti diktator dan seringkali menahan antusiasme dan usaha dari teman- teman di lingkungannya.
Juga, kuatnya kepribadian tersebut malah membuat berkurangnya perasaan dekat Anda terhadap orang-orang sekitar.
Keuntungan materi dan penghargaan menjadi hal paling penting, sehingga keluarga, rumah, dan kedamaian hati justru
terabaikan. Perasaan emosional sering ditekan dalam diri garis hidup 8 yang
negatif. Hal ini menimbulkan rasa terasing dan kesendirian. Anda harus mencoba untuk selalu menghargai pendapat
orang lain.
Garis Hidup 9
Sifat-sifat utama mereka yang angka garis hidupnya 9 adalah: rasa kasih pada sesama dan sikap yang sangat humanis. Ini
adalah misi yang harus Anda pelajari dalam hidup. Biasanya angka ini menghasilkan individu yang sangat dipercaya dan
pribadi terhormat, juga seorang individu yang tidak punya sifat rasialis dalam bentuk apapun. Tentu saja, semua ini
terlihat seperti daftar sifat yang terlalu sempurna, tapi Anda memang seseorang yang berperasaan peka bagi mereka
yang
kurang beruntung dibandingkan diri Anda. Dan jika Anda ada dalam posisi yang bisa membantu, akan Anda lakukan.
Anda sangat peka dan memandang sekitar diri Anda dengan rasa kasih. Anda dengan angka garis hidup yang tertinggi ini
berada pada posisi kehidupan yang tinggi dan dengan sendirinya mempunyai banyak tanggung jawab. Tujuan hidup garis
hidup 9 ini bersifat filosofis. Hakim, pemimpin spiritual, penyembuh dan pendidik, seringkali mempunyai energi 9 ini.
Keuntungan materi tidak terlalu penting, walaupun kualitas kepribadian beberapa dari Anda sedemikian istimewanya
sehingga menghasilkan penghargaan secara materi yang luar biasa. Untuk
kebaikan banyak orang, Anda seringkali harus bersikap tidak mengutamakan diri sendiri dan melepaskan hal-hal
kebendaan. Bahkan orang-orang bergaris hidup 9 yang tidak terlalu istimewa saja memiliki pribadi yang sangat berbelas
kasih. Keinginan untuk menolong orang, khususnya yang bermasalah dan kurang beruntung, sangat kuat. Kebaikan Anda
juga sering disalahgunakan dan Anda juga tidak jarang dikecewakan oleh orang lain.
Pemahaman Anda yang dalam terhadap kehidupan terkadang terealisasi dalam bentuk seni dan literatur. Dengan garis
hidup ini Anda sanggup mengekspresikan perasaan emosi terdalam dengan melukis, menulis, musik, atau bentuk seni
yang lain. Tapi sering juga ada kesulitan untuk menemukan media yang tepat sebagai jalan hidup Anda. Profesi
menolong dan menyembuhkan adalah pilihan yang tepat bagi mereka dengan angka garis hidup 9. Anda kurang tepat
untuk berada dalam lingkungan bisnis yang kompetitif. Anda punya kemampuan untuk berteman dengan mudah, karena
orang-orang tertarik pada kepribadian Anda yang terbuka dan seperti magnet. Anda diberi berkah oleh Tuhan berbentuk
kemampuan untuk memahami orang, yang jika digunakan dengan
benar bisa sangat bermanfaat bagi orang lain. Perhatian pada orang lain membuat diri Anda sangat sosial.
Orang-orang dengan mudahnya menyukai mereka dengan angka garis hidup 9 karena Anda simpatik, toleran dan
berwawasan luas. Anda seorang romantis dan dalam cinta dan gairah, bagaikan tersesat di jalan yang benar.
Membina hubungan justru sulit bagi Anda, karena tidak mudah untuk mendapatkan keseimbangan yang paling tepat.
Kalau pasangan sama seperti Anda, yaitu mempunyai sifat memberi, maka hubungan tersebut akan bahagia dan
bertahan, tapi sulit secara materi. Di lain sisi, bila Anda memilih individu yang membumi dan mementingkan materi,
masalah akan timbul.
Seperti halnya dengan angka garis hidup lain, nomer 9 mempunyai sisi negatifnya. Walaupun tentu orang-orang yang
cenderung ke titik negatif 9 lebih sedikit dari yang karakter positifnya besar. Biasa
bagi mereka untuk menentang arus realitas dan tantangan yang ada di dalamnya.
Mungkin sulit bagi Anda dengan 9 yang negatif, untuk percaya bahwa sifat memberi serta tidak adanya ambisi pribadi
bisa sangat membahagiakan. Harus disadari dan diterima bahwa kepuasan dan kebahagiaan-kebahagiaan kecil jangka
panjang bisa diperoleh dengan mengasah sifat manusiawi yang alami dalam garis hidup ini.
GENTA-GENTA SIWA-BUDDHA
Pluralitas alias penghargaan atas perbedaan, itulah salah satu tiang utama masyarakat modern. Demokrasi yang menjadi
salah satu barometer terpenting peradaban modern, juga berdiri di atas fundamen kokoh yang bernama pluralitas. Sulit
sekali membayangkan ada demokrasi tanpa penghargaan atas perbedaan. Tidak saja kehidupan publik yang keajegannya
berutang pada pluralitas, sejarah pengetahuan manusia juga berutang. Setelah lama sekali pemikiran Cartesian dan
Newtonian melakukan pengabsolutan terhadap banyak sekali tesis, belakangan muncul kejenuhan akan hal-hal absolut.
Dan, manusia-manusia seperti Lyotard, Foucault, Derrida datang membawa kesegaran melalui bendera-bendera
merayakan perbedaan.
Agama sebagai serangkaian pengetahuan juga serupa. Teroris lengkap dengan bom dan darahnya, hanyalah sisa-sisa
fanatisme yang dibawa oleh sejarah pemahaman yang absolut. Demikian absolutnya pemahaman di kepala sampai-
sampai berani memusnahkan nyawa orang lain. Demikian kakunya gambar yang ada di kepala, sehingga seluruh gambar
pemahaman yang lain tidak punya pilihan lain terkecuali dimusnahkan. Dan, jejak-jejak pemahaman agama seperti ini
pun sudah semakin minim pengikutnya.
Dikaguminya tokoh-tokoh Sufi seperti Jalaludin Rumi di Barat, demikian berwibawanya karya-karya Kahlil Gibran di
banyak belahan dunia, dikutipnya doa Santo Fransiscus dari Asisi tidak saja dalam kalangan umat Katolik, dugunakannya
Baghawad Gita sebagai acuan tidak saja dalam komunitas Hindu, didengarnya pesan-pesan Dalai Lama oleh banyak
sekali manusia yang bukan beragama Buddha, hanyalah sebagian bukti kalau tembok-tembok fanatisme semakin kecil
dan semakin kecil. Sehingga dalam totalitas, hanya manusia-manusia yang enggan bertumbuhlah yang masih memeluk
erat-erat fanatisme dan absolutisme.
Sejarah Bali
Dengan tetap sadar akan perlunya kerendahatian di depan bentangan sejarah, sebenarnya sejarah Pulau Bali juga
menyisakan tidak sedikit jejak-jejak pluralitas. Tokoh-tokoh yang dicatat rapi dalam sejarah Bali, sebagian adalah tokoh-
tokoh pluralitas. Mpu Kuturan (seorang pendeta Buddha Mahayana) menyatukan banyak sekali sekte di abad ke-10-11
melalui konsep tri kahyangan. Kalau saja Mpu Kuturan seorang tokoh fanatik dan pengikut pendekatan absolut, mungkin
ketika itu orang Bali akan dipaksa (atau setidak-tidaknya dipersuasi) untuk menjadi pemeluk Budhha Mahayana.
Ternyata sejarah bertutur tidak.
Dang Hyang Dwijendra juga serupa. Kendati punya reputasi mengagumkan dalam bentuk mendampingi Raja Dalem
Waturenggong membawa Bali ke zaman keemasan di abad ke-16, peninggalan Mpu Kuturan dalam bentuk Meru tetap
dihormati, bahkan dilengkapi melalui bangunan baru ketika itu berupa Padmasana. Kendati beliau seorang pendeta
Siwa-Buddha tetap saja pendekatan lain memiliki
ruangan untuk bertumbuh di Bali ketika itu.
Tempat ibadah adalah ruang-ruang sakral di Bali. Dan, tatkala berbicara tentang tempat ibadah, sulit sekali untuk tidak
memulainya dengan Pura Rwa Bhineda (Pura Purusa di Besakih, Pura Pradana di Ulun Danu Batur). Dan, indahnya, di
kedua tempat suci ini di ruang utamanya juga menghadirkan monumen pluralitas yang amat mengagumkan. Baik di
Besakih maupun di Ulun Danu Batur, di ruang utamanya masih menyisakan tempat pemujaan untuk dua agama (Hindu
dan Buddha). Di Besakih disebut Pura Syahbandar (lokasinya hanya beberapa meter dari Pura Sunaring Jagat), di Batur
disebut Pura Ponco yang juga berlokasi di tempat yang sangat utama. Di Pura Ulunsiwi di Jimbaran ada dua pintu di
bagian timur dari Meru, satu untuk Siwa satu lagi untuk Buddha.
Selain tokoh dan tempat ibadah, sastra tetua Bali juga banyak ditandai pluralitas. Suthasoma adalah salah satu sastra
acuan yang utama. Melalui kalimat indah bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, sebenarnya tetua Bali sedang
membukakan pintu-pintu pluralitas yang demikian indahnya. Fred B. Eisman Jr. menerjemahkannya dalam Bali, ''Sekala
& Niskala'' dengan sederhana: it is different, but it is one, there are not two truth. Sebuah pengakuan akan pluralitas
Siwa-Buddha yang amat eksplisit. Siwa-Buddha itu satu, bukan dua.
Sarana upacara juga tidak kalah sakralnya bagi orang Bali. Dan, di antara sekian banyak sarana upacara yang disakralkan
adalah genta. Meminjam argumen sebuah tesis di Universitas Gajah Mada tahun 1967 yang ditulis oleh IGN Anom,
ternyata genta -- yang dipercaya sebagai kendaraan mantra yang sangat utama -- dibuat di atas pluralitas juga. Bagian
bawah genta menyerepai Stupa, bagian atasnya sangat mirip dengan Lingga sebagai simbolik Siwa.
Potret-potret sejarah dalam bentuk tokoh, tempat ibadah, sastra, dan sarana upacara seperti ini, seperti sedang berbisik
penuh kerendahanhatian: tidak saja di Barat pluralitas itu menjadi ladang-ladang subur pertumbuhan, Bali juga serupa.
Genta-genta Siwa-Buddha
Disinari cahaya-cahaya sejarah seperti di atas, layak direnungkan kembali perjalanan sejarah Bali yang sebagian juga
berdarah karena absolutisme dan fanatisme. Setiap manusia di setiap sejarah sama-sama punya tugas yang sama:
bertumbuh! Dan, Bali dalam bentangan sejarah ratusan tahun bertumbuh di atas pluralitas Siwa-Buddha. Dalam
konstruksi genta, Siwa-Buddha memang dibaca dari atas (baca: Siwa) kemudian baru ke bawah (baca: Buddha). Namun,
sebagaimana bangunan lainnya, semuanya dibangun dari bawah.
Kebenaran manusia mana pun memang hanya bisa sampai di tingkatan probabilistik. Sehingga bisa dimaklumi, kalau
Buddha ditafsirkan secara berbeda-beda di Bali. Pandangan pertama mengatakan kalau Buddha kita di Bali adalah
Buddha Bairawa. Sebuah sudut pandang yang layak dihargai. Pandangan kedua yang sama layaknya untuk dihargai
adalah Buddha sebagai filsafat. Kembali ke konsep pluralitas sebagai lahan-lahan subur pertumbuhan, mungkin ada
baiknya untuk saling menghargai.
Di Barat, ada jutaan manusia yang belajar Bhagawad Gita tanpa masuk agama Hindu. Jutaan manusia tersentuh ajararan
Sufi ala Rumi tanpa berganti agama menjadi Islam. Jutaan manusia mendengarkan saran-saran Dalai Lama tanpa
berganti KTP menjadi Buddha. Hal serupa juga layak direnungkan ketika kita belajar membunyikan genta-genta Siwa
Buddha di Bali.
Entah kekuatan apa yang membimbing, sejak belasan tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada ketertarikan yang mendalam
untuk belajar Buddha sebagai filsafat hidup. Makin dipelajari, makin sejuk batin di dalam, makin kuat tanah-tanah Bali
mengirim pesan-pesan kerinduan untuk sering pulang. Menyangkut getaran-getaran rasa, mungkin saja ada kekhilafan
penafsiran, namun setelah belasan tahun menelusuri filsafat-filsafat Buddha, ada yang berbisik dari dalam sini: words
make you come closer but jus till the gate, only actions bring you inside. Kata-kata memang bisa membuat manusia
mendekat, tetapi hanya sampai di gerbang. Hanya tindakan yang bisa membawa manusia masuk ke dalam.
Dan, filsafat Buddha memberikan penekanan amat besar akan perlunya tindakan. Untuk itulah orang-orang Hinayana
memberikan porsi sangat besar untuk sebuah bidang: disiplin diri! Ketika disiplin diri diikuti secara serius, cahaya-cahaya
Mahayana muncul melalui sebuah kata: kebijaksanaan. Tatkala ini juga ditelusuri penuh cinta dan keikhlasan di depan
Tuhan, ada sinar Tantrayana yang muncul: hening, sepi, damai.
Makanya bisa dimaklumi kalau Dalai Lama pernah berucap tentang esensi nilai-nilai ke-Buddha-an dalam sebuah bahasa
sederhana: menghormati orang, mengkritik diri sendiri. Ini tentu saja terbalik dengan orang-orang fanatik yang absolut
itu, di mana mereka hanya mengenal penghormatan diri yang tinggi, serta kritik yang menyakitkan terhadap orang lain.
Ini juga sebuah pluralitas sebagai ladang pertumbuhan, sehingga keduanya layak dihargai. Entah seberapa banyak
sahabat di Bali yang juga menaiki tangga-tangga ke-Buddha-an, untuk bisa meraih tongkat Lingga untuk sampai di
tingkat ke-Siwa-an. Dan, di tingkat terakhir, seorang mistikus asli India bernama Ramakrishna pernah melafalkan doa
seperti ini: Tuhan, Engkau memiliki baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, kaya-miskin, surga-neraka, hidup-mati, siang-
malam. Ambillah semuanya! Biarlah hamba hidup dengan yang satu ini: cinta yang murni akan diri-Mu!
Sebuah percakapan suci antara Raja Janaka (ayahanda Dewi Sita) dengan gurunya bernama Asthavakra kemudian diberi
judul ''Asthavakra Gita'' (diterjemahkan Thomas Byron menjadi ''The Heart of Awareness''), pernah bertutur nilai-nilai
ke-Siwa-an seperti ini: when the mind desire nothing, grieve for nothing, without joy or anger, grasping nothing, turns
nothing awaythen you are free. Ketika pikiran berhenti memilih, berhenti merindukan maupun menolak kemudian
tersedia kebebasan. Ah, betapa indahnya kebebasan. Ia sama indahnya dengan salah satu bait kakawin tua di Bali yang
berbunyi: magentha suara ning sepi. Ah, maafkanlah kata-kata yang hanya bisa mengantar kita manusia sampai di
gerbang saja. Maafkan juga tulisan ini yang dibolak-balik juga hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja. Maafkan
juga saya, yang hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja.(*)
HADIAH TERBAIK UNTUK DIRI SENDIRI
Setiap orang pernah mengalami masa-masa sulit dalam kehidupan. Ada masa sulit dalam berumah tangga, kehidupan
karir, kesehatan, atau kehidupan pribadi yang diguncang badai. Kebanyakan juga setuju kalau masa-masa sulit ini
bukanlah keadaan yang diinginkan. Sebagian orang bahkan berdoa, agar sejarang mungkin digoda oleh keadaan-
keadaan sulit. Sebagian lagi yang dihinggapi oleh kemewahan hidup ala anak-anak kecil, mau membuang jauh-jauh, atau
lari sekencang-kencangnya dari godaan hidup sulit.
Akan tetapi, sekencang apapun kita menjauh dari kesulitan, ia tetap akan menyentuh badan dan jiwa ini di waktu-waktu
ketika ia harus datang berkunjung. Rumus besi kehidupan seperti ini, memang berlaku pada semua manusia, bahkan
juga berlaku untuk seorang raja dan p! enguasa yang paling berkuasa sekalipun.
Sadar akan hal inilah, saya sering mendidik diri untuk ikhlas ketika kesulitan datang berkunjung. Syukur-syukur bisa
tersenyum memeluk kesulitan. Tidak dibuat sakit dan frustrasi saja saya sudah sangat bersyukur. Pelukan-pelukan
kebijakan seperti inilah yang datang ketika sang hidup sempat membanting saya dari sebuah ketinggian. Sakit memang,
tapi karena ia sudah saatnya datang berkunjung, dan kita tidak punya pilihan lain terkecuali membukakan pintu rumah
kehidupan, maka seterpaksa apapun hanya keikhlasanlah satu-satunya modal berguna dalam hal ini.
Senyum penerimaan terhadap kesulitan memang terasa kecut di bibir. Dan sebagaimana logam yang sedang dibuat
menjadi patung indah, kesulitan memang terasa seperti semprotan panasnya api mesin las, dihajar oleh palu besar,
kencangnya cubitan tang, menyakitkannya goresan-goresan amplas kasar, atau malah tidak enaknya bau cat yang
menyelimuti selu! ruh badan patung logam. Semua tahu, kalau badan dan jiwa ini kemudian akan menjadi 'patung
logam' yang lebih indah dari sebelumnya. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa ketakutan - dan bahkan mungkin trauma - yang
membuat kita manusia menghindar dari kesulitan.
Cuma selebar apapun goresan luka yang dibuat oleh kesulitan, ada mahluk yang amat berguna dan amat dibutuhkan
dalam pengalaman-pengalaman menyakitkan ini, ia bernama sahabat. Tidak semua sahabat fasih memberikan nasehat.
Tetapi dengan kesediaannya untuk mendengar, sinaran mata yang berisi empati, kesediaan untuk menjaga rahasia,
sahabat menjadi permata berlian yang amat berguna dalam keadaan-keadaan ini.
Di rumah saya memiliki seorang sahabat yang amat mengagumkan. Dari segi pendidikan formal ia hanya tamatan SMU.
Bahkan SMU tempat ia bersekolah dulu sudah bubar, sebagai tanda ia bukanlah berasal dari sekolah yang terlalu
membanggakan. Namun nasehat serta keteladanan hidupnya kadang mengagumkan.
Di kantor saya memiliki sejumlah bawahan yang datang sama manisnya baik ketika dipuji maupun setelah di! maki.
Seorang tetangga menelpon, mengirim SMS dan bahkan menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Tidak untuk
memberikan ceramah, hanya untuk mendengar. Seorang sahabat dekat yang memimpin sebuah raksasa teknologi
informasi bahkan mengatakan bangga menjadi sahabat saya.
Ketika tulisan ini dibuat, seorang sahabat lama yang tinggal di Surabaya menelepon, tanpa bermaksud menggurui ia
mengutip kata-kata indah Confucius :
'Manusia salah itu biasa, tetapi menarik pelajaran dari kesalahan itu baru luar biasa'.
Apa yang mau saya tuturkan dengan semua ini, rupanya sahabat adalah hadiah paling berharga yang bisa kita berikan
pada diri kita sendiri. Secara lebih khusus ketika kita ditimpa kesulitan yang menggunung. Sehingga patut direnungkan,
kalau kita perlu menabung perhatian, empati, cinta buat para sahabat. Tidak untuk berdagang dengan kehidupan. Dalam
arti, memberi dengan harapan agar diberi kelak. Melainkan, sebagaimana cerita dan pengalaman di atas, dalam dunia
persahabatan, dalam memberi kita sebenarnya sudah diberi. Bahkan, setiap sahabat yang memberi perhatian dan
empati pada sahabat lainnya, ketika itu juga mengalami the joy of giving. Ketika itu juga seperti ada beban di bahu yang
berkurang jauh beratnya.
Ada memang orang yang memiliki banyak sekali teman. Kemana-mana namanya dipanggil orang. Cuman, sedikit
diantara semua teman yang banyak ini kemudian bisa menjadi sahabat. Bercermin dari kenyataan inilah, maka saya
lebih memusatkan diri untuk mencari dan membina sahabat. Jumlahnya memang tidak akan pernah banyak. Bahkan ia
lebih sedikit dari jumlah jari tangan. Cuma sesedikit apapun jumlahnya, sahabat tetap sejenis hadiah terbaik yang bisa
kita bisa berikan buat diri sendiri.
Mobil mewah memang bisa membawa kita ke tempat jauh lengkap dengan gengsinya. Rumah mewah memang bisa
meningkatkan kenyamanan tinggal sekaligus meningkatkan kelas. Ijazah lengkap dengan gelarnya yang mentereng juga
bisa meningkatkan percaya diri. Akan tetapi, baik mobil mewah, rumah mewah maupun ijazah tidak bisa menghadirkan
empati yang menyentuh hati
Di sebuah Sabtu pagi, seorang sahabat yang membaca harian Kompas yang
memberitakan bahwa saya mengundurkan diri dari jabatan presiden direktur di sebuah kelompok usaha amat besar di
negeri ini, langsung menelepon saya dari tempat yang jauh. Ia berucap sederhana : 'saya bangga jadi teman Anda'. Inilah
hadiah terbaik yang bisa dihadiahkan ke diri sendiri. Ia tidak dibungkus kado, ia juga tidak hanya datang ketika hari raya
atau ulang tahun. Ia justru lebih sering datang ketika kita amat membutuhkannya.
HARTA KARUN DARI AIR TERJUN
Ada berbagai macam cara melakukan silaturahmi. Salah satunya melalui SMS. Dan karena keterbatasan waktu dan
tenaga, kadang saya mengunjungi sejumlah teman melalui SMS. Pada sebuah kesempatan, salah satu SMS tadi dikirim
dengan gambar kupu-kupu diikuti pesan sederhana : "kupu-kupu ini membawa dompet yang isinya tidak pernah habis,
yakni persahabatan." Banyak sahabat yang berespon positif dan merasakan diri ini hadir dalam kehidupan mereka sesaat
kemudian. Tidak sedikit yang mengatakan tersentuh.
Akan tetapi, di sebuah kesempatan pernah ada suara Ibu yang marah-marah ke saya akibat pesan SMS di atas. Seperti
sedang mewawancarai calon karyawan, ditanyalah saya ke sana dan ke mari. Setelah didengarkan secara sabar, rupanya
ia curiga sama suaminya. Dia kira pesan SMS di atas datang dari wanita lain dan nama saya hanya dipinjam sebagai judul
tipuan. Dan ditutuplah telepon dengan keras tanpa mengucapkan terimakasih.
Inilah sekelumit kehidupan dalam kekinian. Di mana kecurigaan, kekakuan, ketakutan sudah menjadi beban berat
kehidupan yang digendong orang ke mana-mana. Kalau kemudian, perjalanan kehidupan terasa sangat berat, lebih
karena manusia sendiri yang rela menggendongnya ke mana-mana. Tidak hanya Ibu tadi, sayapun pernah menggendong
beban-beban berat yang tidak perlu. Ada beban takut masa depan, ada beban khawatir tentang sekolah putera-puteri,
ada rasa khawatir ditinggal orang-orang tercinta.
Hanya saja, setelah mengunjungi kolam-kolam kejernihan, ada rasa bersalah terhadap masa lalu yang tidak berdosa.
Masa lalu yang sebenarnya bersih dan jernih, terpaksa harus kotor karena kesukaan untuk takut, ngotot dan memaksa.
Dan ketika lelah, baru mengunjungi kejernihan. Dalam salah satu kunjungan saya pada kejernihan, sebuah buku
sederhana berjudul Zen Path To Harmony yang berisi kumpulan gambar dan tidak jelas siapa editornya, pernah
menghadirkan pesan menyentuh.
Dengan latar belakang gambar air terjun alami nan indah, buku ini mengutip pendapat Chuang Tzu : Flow with whatever
may happen and let your mind be free : Stay centered by accepting whatever you are doing. This is the ultimate.
Pertama kali pesan ini terbaca mata, ada keindahan, keteduhan dan ketenteraman yang dibawakan air terjun rupanya.
Ketika hidup sudah mengalir dengan apa saja yang mungkin terjadi, kemudian dengan modal tadi manusia belajar
"terpusat" dengan menerima proses yang sedang terjadi, tatkala itu juga perjalanan sampai di puncak kehidupan.
Mengalir itu modal pertama. Terpusat pada proses yang sedang terjadi, itu modal kedua. Serupa dengan aliran air di
sungai, kehidupan tidak saja terus berjalan. Tetapi yang lebih inspiratif, kelenturanlah yang membuat air bisa melewati
setiap rintangan. Demikian juga dengan kehidupan. Ada seorang peneliti yang pernah meneliti ciri-ciri kejiwaan orang
yang pernah terkena serangan jantung. Rupanya, lebih delapan puluh persen dari lima ratus responden menunjukkan
tanda-tanda hidup yang ngotot dan kaku.
Tidak selamanya sikap ngotot dan kaku itu berwajah buruk tentu saja. Banyak kemajuan justru didorong oleh
kengototan untuk mencapai tujuan. Cuman, kengototan di semua tempat dan semua keadaan, sungguh sebuah kegiatan
yang mencelakakan. Lebih-lebih kalau kengototan itu ditujukan ke orang yang kita temui di cermin setiap harinya. Tidak
hanya sering memproduksi penyakit, melainkan juga wajah kehidupan kita hadir di diri sendiri maupun orang lain
dengan penuh kerut.
Ada yang menyebut kehidupan mengalir seperti ini sebagai sikap pasrah yang tidak produktif. Dan tentu saja boleh
menyebutnya demikian. Cuman, dalam kedalaman kolam kontemplasi, justru dalam mengalir itu sendirilah terletak
banyak misteri kehidupan yang tidak bisa diberikan oleh reputasi, harta dan bahkan tahta.
Lebih-lebih kalau keadaan mengalir tadi dilengkapi dengan keterpusatan pada proses yang sedang terjadi ? dan
menyongsong hasilnya hanya dengan kendaraan keikhlasan. Sejumlah sahabat jernih menyebutkan, inilah yang kerap
disebut dengan pencerahan. Sangat sedikit orang yang pernah sampai di sana. Dan ternyata, harta karun kehidupan
terakhir tersembunyi di setiap air terjun.
Dengan kesadaran seperti ini, tentu saja tidak disarankan untuk meninggalkan pekerjaan, keluarga dan bahkan
masyarakat untuk pergi ke air terjun. Air terjun simbolik tadi sebenarnya ada di mana-mana, kita bawa ke mana-mana.
Suara-suara jernihnya pun berbisik setiap saat. Cuman, melalui kesukaan orang untuk hidup secara ngotot akan hasil,
kemudian telinga-telinga kehidupan menjadi tuli akan suara terakhir. Apa lagi kengototan tadi bertemu dengan pikiran
yang tidak pernah terpusat di hari ini. Jadilah ia semacam kombinasi yang berujung pada kehidupan tidak nyata. Jauh
dari keseharian, jauh juga dari dari kejernihan.
Saya tidak berani menghakimi kehidupan demikian sebagai kehidupan yang keliru. Hanya merasa sayang saja, kalau
harta karun yang demikian berharga, yang tersembunyi di air terjun yang kita bawa kemana-mana, kemudian jadi
kekayaan yang terbuang percuma. Lebih dari sekadar sayang karena terbuang, keadaan seperti ini juga yang membuat
Kabir pernah tertawa : "Saya tertawa, ikan mati kehausan di dalam air!"
HATI PENUH DENGAN INSPIRASI
Oleh: Gede Prama
Menyusul diluncurkannya kaset saya dengan judul ‘Memimpin Dengan Hati’, ada banyak sekali undangan seminar,
wawancara dan talk show dengan tema ini yang datang ke saya. Dari radio, televisi, media cetak sampai rapat-rapat di
perusahaan besar, semuanya amat dan teramat tertarik dengan topik ini. Di kelompok usaha Ciputra – di mana saya
kerap diundang – untuk pertama kali Bapak Ir. Ciputra bersedia mendengarkan penuturan saya sampai habis. Dan di
akhir presentasi, mengajak saya bertutur bagaimana beliau sering kali diselamatkan oleh suara-suara sang hati.
Demikian juga dengan ratusan audiens yang menghadiri seminar saya di Surabaya. Mereka seperti terbius dengan ide-
ide yang bersumber pada sang hati.
Mungkin ada yang mengkernyitkan alisnya tanda tidak percaya, demikian juga saya ketika pertama kali menuliskan
cerita tentang nyanyian-nyanyian sang hati. Ada semacam keraguan, adakah orang yang tertarik dengan topik-topik ini ?
Namun di luar dugaan, ternyata ada banyak sekali orang yang dahaga mendengarkan suara-suara hati. Seperti mau
bertutur ke kita, ada tidak sedikit orang yang mulai menyadari batas-batas egoisme, induividualisme, dan materialisme
untuk kemudian kembali ke hati.
Mungkin ada yang bertanya, kenapa mesti hati? Izinkan saya mengajak Anda masuk ke dalam dunia wacana yang agak
lain. Wacana kepemimpinan – sejauh ini – terlalu banyak diwarnai oleh ayunan bandul otokratik-demokratik. Seolah-
olah tidak ada dunia di luar bandul tadi.
Mirip dengan ayunan, kepemimpinan siapapun senantiasa berayun. Tergantung pada keadaan yang sedang dihadapi.
Sudah menjadi tugas setiap ayunan kalau ia harus berayun. Hanya saja, kita sering lupa kalau ayunan manapun
memerlukan fondasi yang kokoh. Sebab, tanpa fondasi terakhir, ayunan manapun akan roboh. Dan kembali ke soal
kepemimpinan, tidak ada fondamen yang lebih kokoh dari fondamen yang bernama sang hati.
Lebih dari sekadar kokoh, sejumlah pemimpin yang memimpin dengan hati, bahkan bisa berkuasa selamanya – sekali
lagi selamanya. Sebutlah nama-nama seperti Mahatma Gandhi dan George Washington. Raganya sudah lama tidak lagi
bersama kita. Tetapi ide dan tata nilai kepemimpinannya masih hidup sampai dengan sekarang. Bukan tidak mungkin
malah akan hidup selamanya.
Terinspirasi dari sinilah, kemudian saya mencoba menelusuri sebuah lorong yang agak lain : hati. Tidak langsung
membuat jadi kaya raya tentunya. Tidak juga mendadak sontak jadi hebat. Tetapi ada kesejukan, kedamaian, dan bisa
jadi malah pencerahan. Untuk kemudian, berpelukan rapi dengan hidup dan kehidupan. Dan dalam pelukan-pelukan
terakhir, ada yang mengandaikan kalau tubuh dan jiwa ini mulai bersayap. Terbang dan pergilah dia ke tempat yang
jauh. Dan kepemimpinan, ia bukanlah sebuah perkara yang terlalu sulit. Dalam banyak keadaan, ia mengalir lentur persis
seperti aliran air di sungai.
Kerap ada yang bertanya, adakah cara yang bisa membuat sang hati rajin bernyanyi ? Saya tidak berpretensi bisa
mengajari Anda dalam hal ini. Namun, rekan saya punya sebuah cerita tentang kereta yang ditarik lima kuda. Mirip
dengan tubuh dan jiwa ini yang ditarik ke mana-mana oleh panca indera. Mulut mau makan enak. Mata mau melihat
yang indah-indah. Demikian juga unsur-unsur panca indera yang lain. Dalam tubuh dan jiwa yang sepenuhnya ditarik
oleh panca indera, jangankan mendengarkan suara-suara hati, tubuh dan jiwa lari ketakutan, menyeramkan dan tanpa
tujuan.
Belajar dari sini, siapa saja yang mau mendengarkan suara-suara hati, sudah saatnya belajar mengendalikan kelima kuda
yang bernama panca indera. Saya memulainya dengan mengendalikan mulut, terserah Anda memulianya dari mana.
Pengendalian terakhir penting, paling tidak untuk mulai mengendalikan keliaran panca indera, kemudian diikuti oleh
hadirnya keheningan dan kekhusukan. Lebih dari sekadar menghadirkan keheningan dan kekhusukan, begitu panca
indera terkendalikan, energi-energi yang terbuang percuma oleh panca indera bisa dimanfaatkan untuk kepentingan
yang lebih berguna. Terutama untuk pergi menelusuri lorong-lorong sang hati.
Sekali seseorang pernah sampai di lorong terakhir, dan mengetahui indah dan nikmatnya berada di sana, bukan tidak
mungkin enggan kembali ke lorong-lorong lain. Ia tidak hanya indah dan menakjubkan. Melainkan juga penuh dengan
pohon dan bunga-bunga inspirasi. Ide, imajinasi, fantasi bukanlah sesuatu yang sulit ditemukan di sana. Ia bertaburan di
setiap pojokan ke mana mata menoleh. Seorang sahabat bahkan pernah bertutur, kalau kita bisa bertemu Tuhan di
sana.
Coba kita renungkan kembali, dari mana pemimpin-pemimpin kaliber seperti Mahatma Gandhi, George Washington, Ibu
Theresa, Lady Diana, Dalai Lama, Konosuke Matsushita memperoleh inspirasi sehingga kehidupannya begitu bersinar
bagi orang lain ? Bukankah ia memperolehnya dari perjalan di lorong-lorong sang hati ? Bukankah orang-orang ini bisa
disebut berkuasa selamanya ?
Kalau kekuasaan saja bisa mereka genggam selamanya, apa lagi hal-hal kecil lainnya. Untuk itulah, saya masih terus rajin
mengajak diri untuk sesering mungkin masuk lorong-lorong sang hati. Belum sempurna tentunya. Tetapi cukup
memberikan inspirasi bagi sebuah hidup yang penuh keheningan. Anda tertarik ?
JATUH CINTA SEBAGAI KEJADIAN SPIRITUAL
Oleh: Gede Prama
Setiap orang pernah jatuh cinta. Umumnya, jatuh cinta itu terjadi pada orang dengan lawan jenis. Tidak ada satupun
kata-kata yang bisa mewakili perasaan jatuh cinta. Sebutlah kata senang, gembira, bahagia, bergetar, berdebar, takut
kehilangan, cemburu, ingin selalu bersama, semua terlihat bersinar dan menyenangkan, tetap saja tidak bisa mewakili
seluruh nuansa jatuh cinta.
Biasanya yang lama diingat orang melalui kejadian-kejadian jatuh cinta adalah perasaan-perasaan yang ada di dalam.
Memegang tangan pasangan saja membuat jantung berdebar. Melihat matanya yang dibalut senyum bisa membuat
terkenang-kenang selamanya. Kata-kata pertama yang menunjukkan lawan jenis kita tertarik dan jatuh cinta pada kita,
bisa menjadi satu rangkaian kalimat yang terdengar di telinga setiap hari. Memperhatikan rambut, tata krama, cara
berpakaian, cara bicara lawan jenis kita, semuanya tampak pas dan sempurna. Dan pada akhirnya membuat kita seperti
memiliki dunia ini seorang diri.
Inilah rangkaian hal yang membuat cinta diidentikkan dengan perasaan (feeling). Banyak sudah lagu, film, sinetron,
novel, syair, puisi yang lahir dari sumber cinta sebagai perasaan. Kalau kemudian banyak yang memberikan kesan cinta
itu cengeng, lemah, tangisan dan sejenisnya, itu hanyalah sepenggal pemahaman tentang cinta sebagai perasaan.
Ada dimensi kedua dari cinta yang layak dicermati setelah cinta sebagai perasaan, yakni cinta sebagai sebuah kekuatan
(power). Coba perhatikan pengalaman jatuh cinta kita masing-masing. Ada kekuatan maha dahsyat yang ada di dalam
diri, yang membuat badan dan jiwa ini demikian perkasanya. Seolah-olah disuruh memindahkan gunungpun rasanya
bisa. Hampir tidak ada penugasan dari lawan jenis yang kita cintai yang tidak bisa diselesaikan. Mulut ini seperti dengan
cepatnya berteriak : bisa !
Bermula dari pemahaman seperti inilah maka Deepak Chopra dalam The Path To Love, menyebut bahwa jatuh cinta
adalah sebuah kejadian spiritual. Ia tidak semata-mata bertemunya dua hati yang cocok kemudian menghasilkan jantung
yang berdebar-debar. Ia adalah tanda-tanda hadirnya sebuah kekuatan yang dahsyat. Persoalannya kemudian, untuk
apa kekuatan dahsyat tadi dilakukan.
Kaum agamawan nan bijaksana menggunakan kekuatan terakhir sebagai sarana untuk bertemu Tuhan. Usahawan yang
berhasil menggunakan tenaga maha besar ini untuk menekuni seluruh pekerjaannya. Ibu yang mencintai keluarganya
mengabdikan seluruh tenaganya untuk mencintai anak dan suaminya. Pekerja yang menyadari kekuatan ini
menggunakannya untuk bekerja mencari harta di jalan-jalan cinta. Banyak orang yang dijemput keajaiban karena
kemampuan untuk membangkitkan tenaga maha dahsyat ini.
Anda bisa bayangkan, tentara Inggris yang demikian perkasa harus pergi dari India karena kekuatan cinta Mahatma
Gandhi beserta pejuang lainnya. Negeri ini dideklarasikan secara amat gagah berani melalui cinta duet Sukarno-Hatta.
Demokrasi Amerika berutang amat banyak pada cinta George Washington. Raksasa elektronika Matsushita Electric
dibangun di atas tiang-tiang cinta Konosuke Matsushita. Microsoft sampai sekarang masih dipangku oleh kecintaan
manusia luar biasa yang bernama Bill Gates. Sulit membayangkan bagaimana seorang Jenderal besar Sudirman bisa
memimpin pasukan melawan Belanda dengan badan yang sakit-sakitan, kalau tanpa modal cinta yang mengagumkan.
Wanita perkasa dengan nama Kartini mengambil resiko yang demikian tinggi untuk mengangkat derajat kaumnya, apa
lagi yang ada di baliknya kalau bukan kekuatan-kekuatan cinta.
Boleh saja Anda menyebut rangkaian bukti ini sebagai serangkaian kebetulan, tetapi saya lebih setuju dengan Deepak
Chopra yang menyebut bahwa jatuh cinta adalah sebuah kejadian spiritual. Dari sinilah sang kehidupan kemudian
menarik kita tinggi-tinggi ke rangkaian realita yang oleh pikiran biasa disebut luar biasa. Di bagian lain bukunya, Chopra
menulis : ‘merging with another person is an illusion, merging with the Self is the supreme reality’. Bergabung dengan
orang lain hanyalah sebuah ilusi, tapi bergabung dengan sang Diri yang sejati, itulah sebuah realita yang maha utama.
Jatuh cinta sebagai kejadian spiritual, yang dituju adalah bergabungnya diri kita dengan Diri yang sejati. Ada yang
menyebut Diri sejati terakhir dengan sebutan Tuhan, ada yang memberinya sebutan kebenaran, ada yang menyebutnya
dengan inner life, dan masih banyak lagi sebutan lainnya. Apapun nama dan sebutannya, ketika Anda menemukannya,
kata manapun tidak bisa mewakilinya. Yang ada hanya : ahhhhh !
Serupa dengan pengalaman jatuh cinta ketika kita masih muda, di mana semua unsur badan dan jiwa ini demikian kuat
dan perkasanya, demikian juga dengan jatuh cinta sebagai kejadian spiritual. Ia mendamaikan, menggembirakan,
mencerahkan, mengagumkan dan menakjubkan. Dan yang paling penting, semuanya kelihatan serba sempurna. Air
sungai, daun di pohon, desir angin, suara ombak, wajah pegunungan, demikian juga dengan pekerjaan, keluarga, atasan,
bawahan. Seorang sahabat yang kerap jatuh cinta seperti ini, pernah mengungkapkan, dalam keadaan jatuh cinta, setiap
lembar daun di pohon apapun terlihat seperti sehalaman buku suci yang penuh inspirasi. Setiap hembusan angin adalah
pelukan-pelukan tangan kekasih yang amat menyentuh. Setiap suara air adalah nyanyian-nyanyian rindu yang
menyentuh kalbu. Anda tertarik ?
KEALAMIAN DITEMUKAN DALAM DIAM
Oleh: Gede Prama
Kesibukan kerja yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain, membuat saya memiliki jadwal terbang yang cukup
padat. Hampir setiap minggu saya terbang. Beberapa pramugara dan pramugari Garuda bahkan mengenali saya karena
terlalu sering bertemu di pesawat. Bahkan, ada yang bercanda dan mengatakan kalau saya ini laki-laki panggilan. Dan
tentu saja mereka benar, karena saya teramat sering dipanggil orang untuk urusan jadi pembicara publik dan konsultan.
Namun, terlepas dari godaan dan canda terakhir, ada sebuah kegiatan yang kerap saya lakukan kalau sedang terbang :
melihat dan mengamati awan.
Kadang ada hamparan awan yang serupa dengan salju yang putih bersih dan terhampar luas. Ada juga awan yang tipis
dan terbang ringan ditiup angin. Ada juga awan tebal dan hitam yang kerap membuat pesawat bergoyang-goyang keras.
Namun, apapun warna dan jenis awannya, awan memiliki kemewahan luar biasa yang tidak dimiliki kita manusia :
kebebasan dan keikhlasan.
Ingin rasanya memiliki kualitas kebebasan dan keikhlasan sebagaimana awan. Dan semakin dicermati serta dipelajari,
apa lagi diselami dalam samudera-samudera kalbu yang maha luas, rupanya kita manusia juga bisa memiliki kualitas-
kualitas terakhir. Ada yang menyebutnya sulit tentunya. Ada juga yang mengatakan tidak mungkin. Apapun
halangannya, izinkan saya bertutur ke Anda, halangan-halangan manusia yang menggembok kita untuk memiliki kualitas
kebebasan dan keikhlasan seperti awan.
Sebagaimana dituturkan dan diyakini banyak penulis, akar dari semua ketidakbebasan dan ketidakikhlasan manusia
adalah mind. Oleh karena berbagai sebab dan faktor, mind manusia telah berkembang menjadi kekuatan-kekuatan
pengikat yang demikian memasung. Ia yang tadinya lahir secara alami, jernih, teduh dan terang, oleh pengalaman dan
pendidikan sudah dirubah menjadi kekuatan-kekuatan yang sebaliknya. Depresi, stress, penderitaan, pandangan yang
tidak jernih dan apapun namanya semuanya bermula dari rantai pengikat terakhir. Bedanya dengan rantai sebenarnya
yang bisa dimintakan tolong orang lain untuk membukanya, rantai mind diciptakan dan mesti dibuka oleh pemiliknya
sendiri.
Memang, ada banyak sebab yang tersembunyi di balik hidup yang dirantai mind. Salah satu yang layak untuk
diperhatikan adalah pendidikan dan pengalaman. Oleh dua faktor terakhir, banyak manusia yang sudah kehilangan sifat
alami mind-nya. Pendidikan yang pada awalnya diniatkan berfungsi sebagai jendela-jendela kejernihan, malah
berkembang sebaliknya. Melalui logika-logikanya yang keras (baca : benar-salah), ia telah membawa banyak peserta
didik terasing dari kealamiannya sendiri. Pengalaman juga serupa, ia memang bisa menjadi guru terbaik, namun tidak
jarang terjadi, ia juga menghadirkan peta-peta dari masa lalu yang kerap membuat orang jadi terasing dari
kesehariannya.
Sebagaimana diyakini banyak orang dalam tradisi Zen, perjalanan hidup sering diibaratkan dengan perjalanan dari satu
tempat, dan berakhir di tempat yang sama. Dan ketika kembali, manusia seperti melihat tempat tadi untuk pertama
kalinya. Ini berarti, setinggi apapun pengetahuan, sebanyak apapun pengalaman orang, layak dipertimbangkan untuk
kembali ke tempat di mana kita memulainya dulu. Dan siapapun manusianya, semua memulainya di tempat yang alami.
Coba perhatikan suara bayi yang baru lahir. Entah itu di Inggris maupun Prancis, di Australia atau di Amerika, semuanya
memiliki suara tangisan yang amat serupa. Demikian juga dengan anak-anak yang memulai dunia sekolah, semuanya
mulai dengan belajar huruf dan angka. Setiap anak-anak memulai kehidupan intelektualnya dengan serangkaian
pertanyaan – bukan jawaban. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi dalam mind manusia, ia mulai dengan sebuah
kealamian. Sayangnya, kealamian yang menjadi awal sekaligus akhir ini, oleh upaya sengaja maupun tidak sengaja,
sudah mulai terkikis secara meyakinkan dalam kehidupan banyak orang.
Di kota-kota besar di mana kepintaran, kecerdikan dan keahlian dipuja-puja sebagai mesin uang yang meyakinkan,
kealamian bahkan diberi stempel menyedihkan : lugu dan bodoh. Maka bisa dimaklumi, kalau kota besar disamping
memproduksi banyak uang, ia juga memproduksi keterikatan-keterikatan yang membuat manusia terasing. Coba lihat
anak-anak yang terkena narkoba, angka perceraian yang meningkat tajam, perampokan yang mengerikan, atau penyakit
korupsi yang tidak sembuh-sembuh. Bukankah terjadi kebanyakan di kota-kota di mana kealamian diidentikkan dengan
keluguan dan kebodohan ?
Mungkin saja saya bias, atau mungkin saja Anda menyebut saya lugu dan bodoh, namun kealamian di manapun adalah
sahabat kejernihan, kejujuran dan bahkan kebijakan. Dan berbeda dengan pendidikan serta pengalaman, yang mengenal
wacana sebagai kendaraan kemajuan. Kealamian malah berjalan sebaliknya, ia sering kali tersembunyi rapi dalam
silence. Makanya, saya masih ingat sekali apa yang pernah dituturkan seorang sahabat dengan kehidupan meditatif yang
mengagumkan : naturalness is found in silence.
Belajar dari sini, ada baiknya kalau kita kembali merenungkan sifat-sifat alami mind kita. Tidak untuk dinilai, apa lagi
untuk dihakimi. Sebagaimana awan, kita hanya memerlukan satu kegiatan : diam. Apa lagi diam yang dibimbing oleh
keikhlasan, bukan tidak mungkin kejernihan menjadi sahabat karibnya sang hidup.
KEKAYAAN MANUSIA YANG TERBESAR
SEORANG sahabat yang mulai kelelahan hidup, pagi bangun, berangkat ke kantor, pulang malam dalam kelelahan, serta
amat jarang bisa merasakan sinar matahari di kulit, kemudian bertanya: untuk apa hidup ini? Ada juga orang tua yang
sudah benar-benar lelah mengungsi (kecil mengungsi di rumah orang tua, dewasa mengungsi ke lembaga pernikahan,
tua mengungsi di rumah sakit), dan juga bertanya serupa.
Objek sekaligus subjek yang dikejar dalam hidup memang bermacam-macam. Ada yang mencari kekayaan, ada yang
mengejar keterkenalan, ada yang lapar dengan kekaguman orang, ada yang demikian seriusnya di jalan-jalan spiritual
sampai mengorbankan hampir segala-galanya. Dan tentu saja sudah menjadi hak masing-masing orang untuk memilih
jalur bagi diri sendiri.
Namun yang paling banyak mendapat pengikut adalah mereka yang berjalan atau berlari memburu kekayaan (luar
maupun dalam). Pedagang, pengusaha, pegawai, pejabat, petani, tentara, supir, penekun spiritual sampai dengan
tukang sapu, tidak sedikit kepalanya yang diisi oleh gambar-gambar hidup agar cepat kaya. Sebagian bahkan mengambil
jalan-jalan pintas.
Yang jelas, pilihan menjadi kaya tentu sebuah pilihan yang bisa dimengerti. Terutama dengan kaya materi manusia bisa
melakukan lebih banyak hal. Dengan kekayaan di dalam, manusia bisa berjalan lebih jauh di jalan-jalan kehidupan. Dan
soal jalur mana untuk menjadi kaya yang akan ditempuh, pilihan yang tersedia memang amat melimpah. Dari jualan
asuransi, ikut MLM, memimpin perusahaan, jadi pengusaha, sampai dengan jadi pejabat tinggi. Namun, salah seorang
orang bijak dari timur pernah menganjurkan sebuah jalan: contentment is the greatest wealth. Tentu agak unik
kedengarannya. Terutama di zaman
yang serba penuh dengan hiruk pikuk pencarian keluar. Menyebut cukup sebagai kekayaan manusia terbesar, tentu bisa
dikira dan dituduh miring.
Ada yang mengira menganjurkan kemalasan, ada yang menuduh sebagai antikemajuan. Dan tentu saja tidak dilarang
untuk berpikir seperti ini. Cuma, bagi setiap pejalan kehidupan yang sudah mencoba serta berjalan jauh di jalur-jalur
"cukup", segera akan mengerti, memang merasa cukuplah kekayaan manusia yang terbesar. Bukan merasa cukup
kemudian berhenti berusaha dan bekerja.
Sekali lagi bukan. Terutama karena hidup serta alam memang berputar melalui hukum-hukum kerja. Sekaligus
memberikan pilihan mengagumkan, bekerja dan lakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya, namun terimalah hasilnya
dengan rasa cukup.
Dan ada yang berbeda jauh di dalam sini, ketika tugas dan kerja keras sudah dipeluk dengan perasaan cukup. Tugasnya
berjalan, kerja kerasnya juga berputar. Namun rasa syukurnya mengagumkan. Sekaligus membukakan pintu bagi
perjalanan kehidupan yang penuh kemesraan. Tidak saja dengan diri sendiri, keluarga, tetangga serta teman. Dengan
semua perwujudan Tuhan manusia mudah terhubung ketika rasa syukurnya mengagumkan. Tidak saja dalam keramaian
manusia menemukan banyak kawan, di hutan yang paling sepi sekalipun ia menemukan banyak teman.
Dalam terang cahaya pemahaman seperti ini, rupanya merasa cukup jauh dari lebih sekadar memaksa diri agar damai.
Awalnya, apapun memang diikuti keterpaksaan. Namun begitu merasa cukup menjadi sebuah kebiasaan, manusia
seperti terlempar dengan nyaman ke sarang laba-laba kehidupan.
Di mana semuanya (manusia, binatang, tetumbuhan, batu, air, awan, langit, matahari, dll) serba terhubung, sekaligus
menyediakan rasa aman nyaman di sebuah titik pusat.
Orang tua mengajarkan hidup berputar seperti roda. Dan setiap pencarian kekayaan ke luar yang tidak mengenal rasa
cukup, mudah sekali membuat manusia terguncang menakutkan di pinggir roda. Namun di titik pusat, tidak ada putaran.
Yang ada hanya rasa cukup yang bersahabatkan hening, jernih sekaligus kaya. Bagi yang belum pernah mencoba, apa lagi
diselimuti ketakutan, keraguan dan iri hati, hidup di titik pusat berbekalkan rasa cukup memang tidak terbayangkan.
Hanya keberanian untuk melatih dirilah yang bisa membukakan pintu dalam hal ini.
Hidup yang ideal memang kaya di luar sekaligus di dalam. Dan ini bisa ditemukan orang-orang yang mampu
mengkombinasikan antara kerja keras di satu sisi, serta rasa cukup di lain sisi. Bila orang-orang seperti ini berjalan lebih
jauh lagi di jalan yang sama, akan datang suatu waktu dimana amat bahagia dengan hidup yang bodoh di luar, namun
pintar mengagumkan di dalam. Biasa tampak luarnya, namun luar biasa pengalaman di dalamnya. Ini bisa terjadi, karena
rasa cukup membawa manusia pelan-pelan mengurangi ketergantungan akan penilaian orang
lain. Jangankan dinilai baik dan pintar, dinilai buruk sekaligus bodoh pun tidak ada masalah.
Salah satu manusia yang sudah sampai di sini bernama Susana Tamaro. Dalam novel indahnya berjudul 'pergi ke mana
hati membawamu' ia kurang lebih menulis: kata-kata ibarat sapu. Ketika dipakai menyapu, lantai lebih bersih namun
debu terbang ke mana-mana. Dan hening ibarat lap pel. Lantai bersih tanpa membuat debu terbang. Dengan kata lain,
pujian, makian, kekaguman, kebencian dan kata-kata manusia sejenis, hanya menjernihkan sebagian, sekaligus
memperkotor di bagian lain (seperti sapu). Sedangkan hening di dalam bersama rasa cukup seperti lap pel, bersih, jernih
tanpa menimbulkan dampak negatif.
Manusia lain yang juga sampai di sini bernama Chogyum Trungpa, di salah satu karyanya yang mengagumkan (Shambala,
The sacred path of the warrior), ia menulis: this basic wisdom of Shambala is that in this world, as it is, we can find a
good and meaningful human life that will also serve others. That is our richness. Itulah kekayaan yang mengagumkan,
bahwa dalam hidup yang sebagaimana adanya (bukan yang seharusnya) kita bisa menemukan kehidupan berguna
sekaligus pelayanan bermakna buat pihak lain. ***
Gede Prama adalah pencinta keheningan, tinggal di Jakarta (Sinar Harapan)
KESEDERHANAAN YG PALING MENCERAHKAN
Oleh: Gede Prama
Tanggal 7 Desember 2001 adalah salah satu hari yang "khusus" dalam hidup saya. Disebut khusus, karena di hari itu saya
dilantik menjadi orang nomer satu (CEO) sebuah holding company yang membawahi sekumpulan perusahaan yang
sempat menjadi perdebatan panas di negeri ini.
Mirip dengan ketika pertama kali seorang sahabat mendekati saya agar bersedia menjadi pioneer, saat pelantikanpun
masih ada perasaan mendua : apakah ini berkah atau musibah ? Lebih-lebih keesokan harinya, harian Kompas
memberitakannya dengan tulisan besar di halaman ekonominya. Maka berdatanganlah telepon dan pesan-pesan SMS
yang mesti dilayani satu per satu. Umumnya, hampir semua sahabat mengucapkan selamat, sekaligus berpesan hati-
hati. Namun, segelintir sahabat dekat mengirimkan berita duka cita : ‘ikut berduka cita akan diangkatnya Gede Prama di
posisi baru’. Terutama karena mereka khawatir saya bisa kehilangan kejernihan dan kejujuran.
Sebagai manusia biasa yang masih memiliki kekuatan emosi di dalam sini, keraguan memang kadang datang sebagai
pengunjung. Demikian juga ketika hari khusus di atas tiba. Akan tetapi, di salah satu keheningan meditasi, ada
serangkaian ide yang sempat terlintas di kepala. ‘Ketakutan adalah sejenis ketidakyakinan kepada Tuhan’, demikian ide
itu melayang-layang dibawa pikiran.
Dalam cahaya kesadaran seperti ini, saya hanya bisa berjalan tegak ke depan, plus sebuah kata klise yang teramat sering
saya kutip : ikhlas. Seorang sahabat penyiar di radio Female Jakarta, mengirim SMS : ‘Tugas ini memang berat, tapi
dengan sayap-sayap cinta dan keikhlasan, Anda akan bisa menyelesaikannya’.
Entah bagaimana Anda bisa menarik manfaat dari kejadian ini, namun bagi saya ini adalah sebuah momentum besar
untuk melakukan perenungan dalam keheningan. Lama sempat saya bertanya pada sang keheningan, apa pesan-pesan
yang mau dihadirkan di balik semua ini. Rupanya, sebuah ide lama muncul di kepala : ‘tidak sombong ketika di atas, tidak
bersedih tatkala di bawah, itulah kesederhanaan kehidupan yang amat mencerahkan’.
Ternyata saya diingatkan lagi akan pentingnya kembali ke azas yang paling dasar : ‘tidak sombong ketika di atas, tidak
bersedih tatkala di bawah’. Siapa saja meresapi prinsip terakhir secara amat mendalam, pikirannya bersinar terang
benderang. Tidak saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi siapa saja yang berada di dekatnya.
Mirip dengan matahari yang menyinari alam semesta, demikianlah pikiran yang sudah berakar dalam pada
kesederhanan kehidupan tadi. Persoalannya kemudian, bagaimana menanamkan semua ini ke dalam akar-akar
kesadaran. Masih belajar dari matahari, ada satu ciri menarik matahari yang layak direnungkan dalam hal ini. Matahari
mendalami sekali apa yang disebut seorang guru Yoga sebagai the art of letting go. Seni membiarkan semuanya berlalu
secara alami. Lihatlah matahari, ia senantiasa menjalankan tugasnya. Seperti mengajarkan ke kita setiap hari, tugas kita
hanya melaksanakan tugas. Sisanya, membiarkan semuanya berjalan melaui hukum-hukum alami.
Sayangnya, kita manusia kerap serakah. Ketika sedang di atas, ingin agar kedudukan di atas ini bertahan selamanya.
Tatkala di bawah memohon ke Tuhan agar semuanya cepat berlalu. Keserakahan macam inilah yang menjadi musuhnya
kejernihan dan pencerahan. Bercermin dari sini, kalau banyak orang menghabiskan hampir semua waktunya dengan
tangan mengepal (baca : mempertahankan apa yang ada di tangan dan berjuang untuk selalu mendapat), mungkin ada
saatnya untuk membuka tangan. Bukan untuk membuang-buang apa yang sudah kita miliki, melainkan merelakan dan
mengikhlaskan alam bekerja dengan rumusan-rumusannya sendiri.
Ada yang mengartikannya dengan sikap pasrah yang pasif. Tentu saja ini perlu diluruskan. Sebab the art of letting go
terletak pada sektor hasil, bukan dalam usaha. Menyangkut usaha, tidak ada pilihan lain kecuali berusaha sekuat tenaga.
Begitu ia sudah dilakukan secara maksimal, bukalah tangan, biarkan sang alam bekerja dalam hukum-hukumnya sendiri.
Ada tidak sedikit orang dan sahabat – terutama yang suka ngotot terhadap kehidupan – yang ragu, akankah cara hidup
demikian bisa membuahkan hasil atau tidak. Tentu saja tergantung pada apa yang kita sebut dengan hasil. Kalau
pengertian tentang hasil adalah materi yang banyak dalam jangka pendek, keraguan tadi bisa dimaklumi. Apa lagi kalau
tidak perduli sama sekali pada dampak-dampak jangka panjang. Cuman kalau ukuran hasilnya adalah kedamaian dalam
jangka panjang, baik ke dalam maupun ke luar, cara-cara seperti ini layak untuk dipertimbangkan.
Kehidupan Anda adalah pilihan Anda sendiri. Kemana Anda berbelok adalah hak Anda sendiri. Dengan tidak ada maksud
membelokkan Anda, apa lagi memaksa Anda untuk ikut saya, kehidupan saya ditandai oleh banyak sekali monumen rasa
syukur. Dari yang besar sampai yang kecil. Dan setiap menoleh ke jalan-jalan di belakang, hampir setiap belokan isinya
adalah monumen rasa syukur. Dan jika ada yang bertanya, apa kendaraan yang saya gunakan, ya itu tadi, saya sedang
mendidik diri untuk tidak sombong ketika di atas, dan tidak bersedih tatkala di bawah. Sebagaimana roda berjalan,
bukankah tidak ada yang namanya keadaan permanen untuk senantiasa di atas ?. Lagian, kalau sudah ikut lentur
berputar bersama sang roda, bukankah di atas dan di bawah sama indah dan nikmatnya ?
KOSONG ITU ISI
Oleh: Gede Prama
Ada sebuah wilayah yang jarang ditelusuri ilmu pengetahuan, wilayah tersebut diberi sebutan kosong. Dalam
matematika, ia diberi simbul angka nol. Dalam tataran wacana yang biasa, ia diidentikkan dengan ketiadaan. Sesuatu
yang memang tidak ada, tidak bisa dijelaskan, tidak terlihat, apa lagi bisa diraba. Pokoknya, kosong itu berarti tidak ada.
Agak berbeda dengan orang barat memandang kekosongan, orang timur mengenal istilah koan. Sebagaimana hakekat
kosong yang tidak bisa dijelaskan, ide terakhir juga bersifat unexplainable. Ia mungkin hanya bisa ditanyakan. Pertanyaa
koan yang paling terkenal berbunyi begini : bagaimanakah bunyi tepuk tangan yang hanya dilakukan oleh sebelah
tangan ?
Siapa saja akan mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan terakhir. Lebih-lebih kalau sumber jawaban yang
dimiliki hanya bersumber pada logika-logika empiris. Sulit dibayangkan, ada seseorang atau sekumpulan orang yang
pernah mendengar bunyi tepuk tangan yang hanya dilakukan sebelah tangan. Sama sulitnya dengan membuat nyata
angka nol.
Tanpa bermaksud menjawab pertanyaan terakhir, sekarang coba perhatikan cangkir, gelas, piring, rumah, lapangan
sepak bola, sampai dengan alam semesta. Bukankah semua itu jadi berguna karena menyimpan ruang kosong. Sulit
dibayangkan, bagaimana kita manusia bisa memetik guna dan manfaat dari cangkir, gelas, rumah dan lapangan sepak
bola yang penuh. Apa lagi ruang kosong super besar yang menutup alam semesta. Andaikan ruang kosong terakhir
tertutup benda yang memungkinkan kekosongan tadi lenyap, dari mana manusia menghirup udara ? Bukankah semua
kehidupan akan mati percuma dan tiada guna ?
Dalam bingkai-bingkai pertanyaan (bukan pernyataan) seperti ini, saya menjaga jarak terhadap sinyalemen matematika
yang mengidentikkan kekosongan dengan angka nol yang berarti tiada. Kekosongan, setidaknya dalam bingkai
pertanyaan di atas, memiliki arti, guna, serta manfaat yang tidak kalah dengan apa-apa yang sejauh ini disebut berisi.
Bahkan, sebagaimana dicontohkan oleh lapangan sepak bola dan alam semesta di atas, kekosongan lebih ‘berisi’ dari
apa-apa yang sejauh ini disebut dengan isi. Bahkan, dalam beberapa bukti (seperti udara yang bermukim di ruang
kosong) kekosongan menghadirkan substansi manfaat yang lebih besar.
Setelah dibuat berkerut sebentar oleh penjelasan di atas, mari kita bawa perdebatan tentang kekosongan terakhir ke
dunia mind. Ilmu pengetahuan dan sekolah memang membuat mind jadi penuh dengan isi. Ada isi yang bernama fisika,
matematika, statistika, manajemen dan masih banyak lagi yang lain. Dan berbeda dengan isi rumah, atau isi cangkir, isi
mind memiliki pengaruh yang besar dalam hal bagaimana mata melihat dunia.
Orang-orang yang tahu dan paham betul akan statistika, memiliki penglihatan berbeda dengan mereka yang awam akan
statistika. Serupa dengan itu, sebagai orang yang lahir dan tumbuh di dunia manajemen, saya memiliki pandangan yang
sering kali berbeda dengan sahabat-sahabat yang tidak pernah tumbuh di lahan manajemen. Hanya kedewasaan dan
kearifan yang memungkinkan perbedaan terakhir kemudian bergerak maju ke dalam pengkayaan-pengkayaan.
Sayangnya, tidak banyak yang memiliki kedewasaan dan kearifan terakhir. Sehingga jadilah fully occupied mind – baik
karena penuh oleh pengetahuan, pengalaman, kepentingan maupun yang lain – tidak sebagai sumber dari banyak hal
yang berisi. Sebaliknya, menjadi awal dari penghancuran-penghancuran yang tidak berguna dan berbahaya.
Sebutlah wacana-wacana dikotomis benar-salah, sukses-gagal, sedih-gembira. Ia adalah hasil ikutan dari over
intelectualizing yang dilakukan oleh kepala-kepala yang penuh dengan isi. Ia memang memenuhi banyak buku, jurnal,
majalah, koran. Dan pada saat yang membuat semuanya jadi fully occupied. Sehingga tidak menyisakan sedikitpun ruang
kosong wacana. Sebagai hasilnya, sudah mulai ada orang yang gerah kepanasan, bahkan ada yang mulai tidak bisa
bernafas, dan pada akhirnya mati suri tanpa disadari.
Satu spirit dengan kekosongan alam semesta yang memungkinkan manusia menghirup udara gratis, mungkin ada
manfaatnya untuk menoleh pada unoccupied mind, unborn mind, atau apa yang kerap saya sebut dengan unschooled
mind. Sebagaimana tubuh yang memerlukan udara segar, mind juga memerlukan kesegaran-kesegaran.
Dan di titik ini, kekosongan adalah alternatif yang layak untuk direnungkan. Coba Anda perhatikan apa reaksi orang-
orang kalau tiba-tiba di depannya ada mobil bergerak menuju dirinya. Entah orang kaya, orang miskin, orang desa, orang
kota, orang tua maupun muda, beresponnya sama : lari atau melompat ketakutan. Saya kerap memperhatikan bunyi
anak-anak menangis. Entah itu di Inggris, Australia, Prancis, Amerika atau Indonesia, tangisan bayi senantiasa sama. Ini
hanya sebagian contoh dan bukti the unborn mind. Percaya atau tidak, dalam keadaan-keadaan tertentu, semua
manusia bisa kembali ke sana, ke alam kosong yang penuh dengan isi.
Ada orang yang takut memang pergi ke sana. Dan saya termasuk orang yang rajin bereksplorasi di sana. Mirip dengan
alam pegunungan yang tidak terjamah manusia, di mana udaranya demikian segar dan menjernihkan, unborn mind juga
serupa. Kesegaran, kejernihan dan kebeningan hadir dalam dunia kosong yang berisi. Paradoksnya, bukankah tulisan
pendek ini juga penuh dengan isi ? Karena itulah saya menyesal besar pernah menulis tulisan ini.
Orang Brengsek Guru Sejati
Labels: Orang Brengsek Guru Sejati
Entah apa dan di mana menariknya, Bank Indonesia amat senang mengundang saya untuk menyampaikan presentasi
dengan judul Dealing With Difficult People. Yang jelas, ada ratusan staf bank sentral ini yang demikian tertarik dan
tekunnya mendengar ocehan saya. Motifnya, apa lagi kalau bukan dengan niat untuk sesegera mungkin jauh dan bebas
dari manusia-manusia sulit seperti keras kepala, suka menghina, menang sendiri, tidak mau kerja sama dll.
Di awal presentasi, hampir semua orang bernafsu sekali untuk membuat manusia sulit jadi baik. Dalam satu hal jelas,
mereka yang datang menemui saya menganggap dirinya bukan manusia sulit, dan orang lain di luar sana sebagian
adalah manusia sulit.
Namun, begitu mereka saya minta berdiskusi di antara mereka sendiri untuk memecahkan persoalan kontroversial, tidak
sedikit yang memamerkan perilaku-perilaku manusia sulit. Bila saya tunjukkan perilaku mereka - seperti keras kepala,
menang sendiri, dll - dan kemudian saya tanya apakah itu termasuk perilaku manusia sulit, sebagian dari mereka hanya
tersenyum kecut.
Bertolak dari sinilah, maka sering saya menganjurkan untuk membersihkan kaca mata terlebih dahulu, sebelum melihat
orang lain. Dalam banyak kasus, karena kita tidak sadar dengan kotornya kaca mata maka orangpun kelihatan kotor.
Dengan kata lain, sebelum menyebut orang lain sulit, yakinlah kalau bukan Anda sendiri yang sulit. Karena Anda amat
keras kepala, maka orang berbeda pendapat sedikitpun jadi sulit. Karena Anda amat mudah tersinggung, maka orang
yang tersenyum sedikit saja sudah membuat Anda jadi kesal.
Nah, pembicaraan mengenai manusia sulit hanya boleh dibicarakan dalam keadaan kaca mata bersih dan bening.
Setelah itu, saya ingin mengajak Anda masuk ke dalam sebuah pemahaman tentang manusia sulit. Dengan meyakini
bahwa setiap orang yang kita temui dalam hidup adalah guru kehidupan, maka guru terbaik kita sebenarnya adalah
manusia-manusia super sulit. Terutama karena beberapa alasan.
Pertama, manusia super sulit sedang mengajari kita dengan menunjukkan betapa menjengkelkannya mereka.
Bayangkan, ketika orang-orang ramai menyatukan pendapat, ia mau menang sendiri. Tatkala orang belajar melihat dari
segi positif, ia malah mencaci dan menghina orang lain. Semakin sering kita bertemu orang-orang seperti ini, sebenarnya
kita sedang semakin diingatkan untuk tidak berperilaku sejelek dan sebrengsek itu. Saya berterimakasih sekali ke puteri
Ibu kost saya yang amat kasar dan suka menghina dulu. Sebab, dari sana saya pernah berjanji untuk tidak mengizinkan
putera-puteri saya sekasar dia kelak. Sekarang, bayangan tentang anak kecil yang kasar dan suka menghina, menjadi
inspirasi yang amat membantu pendidikan anak-anak di rumah. Sebab, saya pernah merasakan sendiri betapa sakit hati
dan tidak enaknya dihina anak kecil.
Kedua, manusia super sulit adalah sparring partner dalam membuat kita jadi orang sabar. Sebagaimana sering saya
ceritakan, badan dan jiwa ini seperti karet. Pertama ditarik melawan, namun begitu sering ditarik maka ia akan longgar
juga. Dengan demikian, semakin sering kita dibuat panas kepala, mengurut-urut dada, atau menarik nafas panjang oleh
manusia super sulit, itu berarti kita sedang menarik karet ini (baca : tubuh dan jiwa ini) menjadi lebih longgar (sabar).
Saya pernah mengajar sekumpulan anak-anak muda yang tidak saja amat pintar, namun juga amat rajin mengkritik.
Setiap di depan kelas saya diuji, dimaki bahkan kadang dihujat. Awalnya memang membuat tubuh ini susah tidur. Tetapi
lama kelamaan, tubuh ini jadi kebal. Seorang anggota keluarga yang mengenal latar belakang masa kecil saya, pernah
heran dengan cara saya menangani hujatan-hujatan orang lain. Dan gurunya ya itu tadi, manusia-manusia pintar tukang
hujat di atas.
Ketiga, manusia super sulit sering mendidik kita jadi pemimpin jempolan. Semakin sering dan semakin banyak kita
memimpin dan dipimpin manusia sulit, ia akan menjadi Universitas Kesulitan yang mengagumkan daya kontribusinya.
Saya tidak mengecilkan peran sekolah bisnis, tetapi pengalaman memimpin dan dipimpin oleh manusia sulit, sudah
terbukti membuat banyak sekali orang menjadi pemimpin jempolan. Rekan saya menjadi jauh lebih asertif setelah
dipimpin lama oleh purnawirawan jendral yang amat keras dan diktator.
Keempat, disadari maupun tidak manusia sulit sedang memproduksi kita menjadi orang dewasa. Lihat saja, berhadapan
dengan tukang hina tentu saja kita memaksa diri untuk tidak menghina balik. Bertemu dengan orang yang berhobi
menjelekkan orang lain tentu membuat kita berefleksi, betapa tidak enaknya dihina orang lain.
Kelima, dengan sedikit rasa dendam yang positif manusia super sulit sebenarnya sedang membuat kita jadi hebat. Di
masa kecil, saya termasuk orang yang dibesarkan oleh penghina-penghina saya. Sebab, hinaan mereka membuat saya
lari kencang dalam belajar dan berusaha. Dan kemudian, kalau ada kesempatan saya bantu orang-orang yang menghina
tadi. Dan betapa besar dan hebatnya diri ini rasanya, kalau berhasil membantu orang yang tadinya menghina kita.
Terakhir dan yang paling penting, manusia super sulit sebenarnya menunjukkan jalan ke surga, serta mendoakan kita
masuk surga. Pasalnya, kalau kita berhasil membalas hinaan dengan senyuman, batu dengan bunga, bau busuk dengan
bau harum, bukankah kemungkinan masuk surga menjadi lebih tinggi?
MATAHARI DI DALAM DIRI
Hidup penuh dengan jejak kaki. Demikian sejarah pernah bertutur pada manusia. Sayangnya, logika dan kata-kata
manusia tidak dan tidak akan pernah bisa memotret jejak-jejak kaki tadi sebagaimana adanya. Logika dan kata-kata, di
satu sisi memang jembatannya pemahaman, di lain sisi ia juga suka memperkosa. Karena pemerkosaan jenis terakhir
inilah, kemudian pengetahuan manusia manapun jadi tidak sempurna. Di tangan manusia-manusia yang digiring
kepintaran, ketidaksempurnaan terakhir kemudian menjadi bahan wacana. Ada juga yang membuatnya sebagai sarana
tawar menawar kepentingan, alat untuk melakukan penyerangan, bahan-bahan untuk memamerkan kehebatan. Ada
yang bertanya, tidakkah ini hanya bunga-bunga kehidupan yang membuat semuanya jadi kaya warna?
Di tangan manusia-manusia bijaksana nasib ketidaksempurnaan pengetahuan manusia lain lagi. Bagi mereka,
ketidaksempurnaan ada untuk mengajarkan kesempurnaan pada manusia. Ada juga yang menyebutkan, kalau hidup
ditujukan justru untuk melengkapi sisi-sisi pemahaman yang belum sempurna. Bagi pejalan-pejalan kaki di jalan jiwa lain
lagi. Ketidaksempurnaan ada untuk menjadi lahan-lahan latihan jiwa. Bukankah setelah tertabrak berbagai karang
kehidupan, jatuh dalam banyak jurang kehidupan, kemudian jiwa bisa pulang dengan tenang?
Ah entahlah, pejalan-pejalan kaki di jalan kejernihan memang hanya boleh bertanya. Jawaban memang senantiasa
diserahkan kepada mereka yang mendengar ketika pertanyaan dilontarkan. Tidak semua suka tentu saja. Dan itupun
tidak apa-apa. Yang jelas, apapun pertanyaannya, apapun jawabannya, siapapun yang bertanya, siapapun yang
menjawab, ada sebuah gejala yang terus menerus berjalan : waktu! Seperti jarum jam di dinding, berjalan, berjalan dan
berjalan. Kadang ia berhenti karena baterrynya mati, cuman waktu yang ia wakili tidak membutuhkan battery dan
tenaga manapun. Ia adalah tenaga itu sendiri, ia adalah gerakan itu sendiri, ia adalah hidup itu sendiri.
Sebagai manusia biasa, kita kerap baru tersadar, kadang malah terkejut, ketika melihat putera-puteri di rumah sudah
besar. Tatkala merasakan badan tidak lagi sekuat dulu. Mana kala melihat orang-orang yang lebih muda dipanggil yang
kuasa. Logika dan kata-kata manusiapun memberikan judul : tua. Dan judul terakhirpun tidak sama pemahamannya. Ada
yang mengkaitkannya dengan badan yang berbau tanah. Ada yang menyebutnya dengan masa-masa panen dalam
hidup. Ada juga yang meletakkannya sebagai waktu membalas dendam perhatian ke anak cucu.
Dan tentu saja, terserah sepenuhnya pada pribadi masing-masing. Yang jelas, ada yang mengkaitkan umur tua dengan
perlambang alam yang bernama matahari. Bagi yang melihat beban kehidupan sebagai serangkaian hal yang
memberatkan, tua adalah tanda-tanda matahari mau tenggelam. Bagi sahabat yang melihat beban sebagai vitamin-
vitamin yang memperkuat, tua adalah awal terbitnya matahari di dalam diri. Ada yang bertanya, matahari apa yang
terbit di dalam diri?
Inilah keterbatasan pemahaman melalui kata-kata dan logika. Pertama, semua hal ditanyakan dan mau dipahami dulu,
baru kemudian bergerak dan berjalan untuk menggali. Seolah-olah tanpa bertanya dan paham manusia akan masuk
jurang. Kedua, setiap pencaharian yang boros logika dan kata-kata, membuat pencaharian berjalan keluar. Kemudian
mengabaikan sumur tanpa dasar yang ada di dalam. Ketiga, begitu sebuah pemahaman terpetakan oleh logika dan kata-
kata, manusia terpental jauh dari dirinya sendiri.
Diterangi cahaya pemahaman seperti ini, ada seorang sahabat pernah berbisik. Kadang, ada saatnya perjalanan
pemahaman mirip dengan seorang anak yang baru bisa belajar bicara, kemudian bertanya pada mamanya: mana papa?
Dan begitu telunjuk mama menunjuk ke seorang lelaki, setiap bayi langsung mempercayainya. Dan seumur hidup
menyebut lelaki tadi dengan sebutan papa. Jarang sekali terjadi ? atau mungkin malah tidak pernah ? begitu mamanya
menunjuk seorang lelaki, kemudian anak bertanya ulang : itu papa atau teman selingkuh?
Bagi sahabat yang diperkuda kepintaran, mungkin cara seperti ini disebut dengan kebodohan dan ketololan. Cuman
pada kehidupan manapun yang menyelami lapisan-lapisan keihklasan secara mengagumkan, dan kemudian berpelukan
dengan kehidupan secara penuh penerimaan, inilah awal terbitnya matahari di dalam diri. Tidak ada pertanyaan di sana,
apa lagi penolakan. Sebutan pintar dan hebat tidak lagi menggoda. Kaya dan terkemuka, juga serupa. Dikasih
terimakasih, tidak dikasih juga terimakasih. Seorang pejalan kaki di jalan ini pernah berucap, ketika penafsiran kita
tentang semesta berhenti, kejernihan yang mendalam jadi terbuka. Kejernihan itu meliputi segala waktu, tempat dan
perubahan.
Pejalan kaki yang lain berucap pelan, pelepasan adalah jantung kehidupan. Tatkala manusia sudah terlepas dari harapan,
pendapat dan apalagi ketakutan, ia memasuki wilayah-wilayah kebebasan yang berkelimpahan. Dalam bahasa lain, ada
yang berbisik, seluruh hidup adalah proses pelepasan. Ketika manusia mengalami pelepasan, bukahkah muncul great
sun of wisdom dari dalam dirinya? Ada juga yang ragu-ragu dan bertanya, apa yang tersisa dalam kehidupan pasca
pelepasan ?
Yang tersisa di sana hanya satu : kerja, kerja dan kerja. Bedanya dengan kerja orang kebanyakan, bukankah kerja adalah
bentuk cinta yang paling nyata? Bukankah melalui kerja Tuhan menjadi nyata? Selamat tahun baru 2004!
MEMAAFKAN ITU MENYEMBUHKAN
Oleh: Gede Prama
Kolam kebencian tidak bertepi, mungkin itu sebutan yang cocok untuk tahun 2001. Ada kebencian terhadap Amerika
karena menyerang Afghanistan, ada kebencian terhadap Osama karena dituduh menghancurkan gedung WTC New York,
ada kebencian terhadap pemerintah karena tidak menunjukkan kinerja yang meyakinkan, ada kebencian terhadap DPR
karena tidak habis-habisnya dilanda skandal, ada kebencian terhadap suku atau agama lain karena terlibat perang dan
kerusuhan, ada kebencian terhadap pengusaha besar karena dicurigai mencuri uang negara, ada kebencian terhadap
oknum aparat yang tidak berhenti-berhenti korupsi, dan masih banyak lagi daftar kebencian lainnya.
Apa yang bisa diproduksi oleh kebencian ? Kita bisa lihat sendiri disamping pengangguran yang berjumlah puluhan juta
orang, juga secara amat meyakinkan kita sedang memproduksi masa depan yang amat menakutkan. Tidak hanya
pernikahan yang beranak pinak, kebencian bahkan bisa menghasilkan anak, cucu, cicit dengan wajah-wajah yang lebih
menakutkan. Lihatlah sejarah, di sana sudah tertulis banyak sekali catatan tentang kebencian yang beranak pinak, dan
kemudian menghasilkan kehidupan yang mengerikan.
Mirip dengan sebuah cerita Zen tentang dua orang pendeta yang mau berenang menyeberangi sungai. Tiba-tiba ada
wanita cantik yang berteriak di belakang meminta digendong. Dan pendeta lebih tuapun menyanggupinya. Dua jam
setelah kejadian itu berlalu, pendeta yang lebih muda bertanya : ‘kenapa abang sebagai pendeta mau menggendong
wanita cantik tadi ?’. Dengan sedikit kesal pendeta tua berucap : ‘saya sudah menurunkan tubuh wanita tadi dua jam
yang lalu, namun kamu menggendongnya sampai dengan sekarang’.
Demikianlah cara kerja kebencian. Oleh karena sebuah atau beberapa kejadian yang sudah lewat di masa lalu – sebagian
bahkan sudah lewat ratusan tahun yang lalu – sebagian orang menggendong kebencian bahkan sampai ketika dipanggil
sang kematian. Sehingga praktis seumur hidup orang-orang seperti itu isi waktunya hanya kebencian, kebencian dan
hanya kebencian. Anda pasti sudah tahu sendiri akibat yang ditimbulkan oleh semua itu. Jangankan doa dan perjalanan
menuju Tuhan, tubuh dan jiwanya sendiri pasti dikunjungi berbagai macam penyakit.
Dalam keadaan begini, tidak ada pilihan lain terkecuali belajar dan mendidik diri untuk melupakan kebencian serta mulai
memaafkan orang lain. Ya sekali lagi memaafkan orang lain. Inilah sebuah kegiatan yang amat sulit di zaman ini. Berat,
sulit, tidak mungkin, tidak bisa itulah rangkaian stempel yang diberikan kepada seluruh upaya untuk memaafkan orang
lain. Saya bahkan menemukan orang-orang dengan beban tidak bisa memaafkan dalam jumlah yang tidak terhitung.
Sehingga ini semua menyisakan pekerjaan rumah yang besar bagi saya (dan mungkin juga Anda), terutama bagaimana
berjalan dalam hidup dengan sesedikit mungkin beban kebencian. Di titik ini, mungkin ada manfaatnya mengutip apa
yang pernah ditulis Rabindranath Tagore dalam The Heart of God : ‘when the far and the near will kiss each other, and
life will be one in love’. Bila yang jauh berciuman dengan yang dekat, maka kehidupan menyatu dalam cinta. Mungkin
kedengarannya puitis sekaligus mengundang alis berkerut.
Yang jauh, setidaknya menurut saya, adalah kejadian-kejadian di masa lalu sekaligus harapan-harapan kita akan masa
depan. Yang dekat adalah kehidupan kita yang riil dan nyata di hari ini. Dan keduanya tidak mungkin disatukan oleh
kebencian. Ia jauh lebih mungkin dijembatani oleh kesediaan untuk memaafkan. Dan dari sinilah lahir bibit-bibit unggul
cinta buat sang kehidupan.
Dan bibit-bibit unggul cinta ini, mungkin saja bisa menyembuhkan orang yang dimaafkan. Tetapi yang jelas, kegiatan
memaafkan pasti menyembuhkan siapa saja yang mau dan rela memaafkan. Seperti baru saja meletakkan beban berat
yang lama tergendong di bahu, demikianlah rasanya ketika kita rela memaafkan orang lain. Keyakinan ini bukannya
tanpa bukti, Bernie Siegel dalam karya best seller-nya yang berjudul Love, Medicine and Miracles mengajukan sebuah
bukti meyakinkan. Sebagaimana ia tulis secara amat percaya diri di halaman 202 bukunya, Siegel telah mengkoleksi 57
kasus keajaiban kanker. Di mana ke lima puluh tujuh orang ini sudah positif terkena kanker, dan begitu mereka
menghentikan secara total dan radikal kebencian, depresinya menurun drastis, dan yang paling penting tumornya mulai
menyusut. Sebagai kesimpulan, Siegel menulis : ‘when you give love, you receive it at the same time. And letting go of
the past and forgiving everyone and everything sure helps you not to be afraid’. Ketika Anda memberi maaf, Anda juga
menerimanya pada saat yang sama. Dan kesediaan untuk melepas masa lalu dengan cara memaafkan, secara
meyakinkan membantu Anda keluar dari kekhawatiran.
Dan mohon dicatat kalau kesimpulan ini datang dari Berni Siegel yang nota bene salah seorang ahli bedah di Amerika
sana. Kembali ke cerita awal tentang lautan kebencian yang tidak bertepi, bila kita sepakat agar republik ini secepat
mungkin mengalami penyembuhan, bisa jadi saran Siegel ini layak direnungkan kembali. Saya dan Anda mungkin bukan
penentu di republik ini, tetapi kita bisa memulainya dengan kehidupan kita masing-masing. Entah itu memaafkan isteri,
suami, musuh, diri sendiri, atau siapa saja. Seperti telah diingatkan Rabindranath Tagore, bukankah itu bisa membuat
sang kehidupan menyatu dalam cinta ?
MENDENGARKAN BAMBU BICARA
Oleh: Gede Prama
Terus terang, lama saya memendam keingintahuan, kenapa banyak lukisan-lukisan yang datang dari Cina dan Jepang
berlatar belakang pohon bambu ? Sampai-sampai sempat bertanya ke sana ke mari. Dan rasa ingin tahu ini sedikit
terobati ketika bertemu buku dengan judul The Bamboo Oracle karangan Chao-Hsiu Chen. Karya jernih ini bertutur
banyak tentang kebijakan-kebijakan Confusius melalui simbul-simbul bambu. Rupanya, pohon yang menarik perhatian
saya ini, menyimpan banyak sekali simbul dari sifat-sifat mulia.
Sebutlah sifat bambu yang tidak memiliki bunga dan buah. Tidak sama dengan pohon lainnya yang senantiasa sombong
dengan bunga dan buahnya, bambu tetap berdiri tegak tanpa sumber kesombongan terakhir. Semua ini seperti sedang
mengingatkan kita manusia, hasil dalam kehidupan, kalau dibiarkan menjadi kekuatan pendikte kesombongan dan
kecongkakan, maka mudah sekali membuat orang ‘berakar ke luar’.
Berbeda dengan bambu yang berakar kuat ke dalam, orang-orang yang didikte kesombongan dan kecongkakan, amat
dan sangat tergantung pada komentar, pendapat, pujian dan makian orang lain. Dan sebagaimana semua kita tahu, di
kaki langit manapun, dengan sikap dan prestasi setinggi apapun, pujian dan makian orang akan senantiasa datang
mengikuti. Sehingga kalau pujian dan makian orang yang digunakan sebagai barometer keberhasilan, maka siklus naik
dan turun akan senantiasa ikut bersama kita. Ketika dipuji naik siklusnya, tatkala dimaki turun mood-nya.
Kalau boleh jujur, tidak sedikit manusia yang hidupnya dibuat lelah karena senantiasa mendaki dan menuruni siklus
pujian dan makian. Dibandingkan lelah naik turun, orang-orang seperti Kabir (salah seorang seniman besar India),
memilih untuk berakar ke dalam persis seperti bambu. Dalam kehidupan yang berakar ke dalam, energi utama yang
mendorong perubahan dan kehidupan bukan lagi pujian dan makian orang lain, namun kenikmatan untuk senantiasa
bersyukur dalam melakukan perjalanan.
Mirip dengan anak-anak sekolah yang pergi tamasya dan di dalam perjalanan selalu bernyanyi ‘di sini senang, di sana
senang’, demikianlah kira-kira kehidupan orang-orang yang berakar ke dalam. Kabir bahkan pernah menyarankan untuk
tidak perlu pergi ke taman, gunung, pantai dan tempat rekreasi lainnya. Sebab, di dalam sini sudah tersedia keindahan
dan kenikmatan yang tidak terbatas jumlahnya. Dan kalau rekreasi ke luar kita membayar mahal, rekreasi ke dalam
biayanya amatlah murah secara materi. Hanya diperlukan duduk, hening, syukur dan tersenyum.
Mirip dengan bambu yang kuat dan kokoh karena berakar ke dalam, demikian juga kehidupan banyak orang yang
berakar ke dalam. Tidak ada satupun kekuatan pendikte dari luar yang bisa merobohkannya. Sayang sekali, kehidupan
manusia modern tidak mau mendengarkan bambu, untuk kemudian berakar ke luar. Sebagai hasilnya, kebencian,
peperangan, penderitaan dan sejenisnya, datang tanpa mengenal rasa lelah.
Sebutlah tragedi meledaknya World Trade Centers New York yang dibumi hanguskan oleh teroris 11 September 2001
lalu, yang belakangan membuka pintu kebencian yang amat mencekam, apa lagi penyebab utamanya kalau bukan
kehidupan yang berakar ke luar. Dengan judul-judul seperti memberi pelajaran pada adi kuasa, menegakkan martabat
bangsa, ada orang yang bahkan rela mati dan menghancurkan surga di dalam diri, hanya untuk mengundang decak
kagum orang lain.
Disamping berakar kuat ke dalam, bambu juga senantiasa hidup dalam keheningan dan kerendahhatian. Lihatlah ketika
angin bertiup, ia hanya bergesek-gesek kecil dengan sahabatnya, dan kemudian menimbulkan suara desis yang hening.
Dan hening terakhir adalah sejenis kualitas yang sudah lama hilang dari dunia manusia, untuk kemudian diganti dengan
kekisruhan, dendam dan sejenisnya. Berbeda dengan dendam dan kekisruhan lain yang mengenal kotak dan pagar-pagar
pemisah, keheningan ala bambu sudah lama membuang kotak dan pagar-pagar terakhir. Ketika angin lembut datang, ia
berdesis hening, ketika angin ribut datang ia juga berdesis hening.
Seolah-olah sedang mengingatkan, hanya dengan keheninganlah kejernihan pandangan bisa dipertahankan. Ketika
peledakan gedung WTC New York baru terjadi, sebagai pribadi hati sayapun menangis, sambil berharap inilah saatnya
bagi Amerika untuk menunjukkan kedigdayaannya yang sebenarnya. Ketika itu, lewat dalam bayangan saya sebagai
manusia, George W. Bush berpidato penuh senyum : ‘Kita amat terpukul dan berduka dengan kejadian ini. Namun,
karena kita bangsa besar, inilah saatnya untuk menunjukkan pada dunia kebesaran kita. Di mana dalam kebesaran dan
kedigdayaan, kebencian tidaklah sepantasnya dilawan dengan kebencian, kedengkian tidaklah selayaknya direspons
dengan kekisruhan pikiran’. Setidak-tidaknya itulah prediksi saya tentang pidato Bush di hari berikutnya.
Sayang sekali, prediksi saya tentang pidato Bush salah besar. Kedigdayaan Amerika yang dibangun dalam kurun waktu
lama bahkan dijatuhkan oleh serangkaian kebencian dan kekisruhan. Ketika tulisan ini dibuat, wajah dunia memang
terbelah. Sebagaimana cerita kehidupan yang berakar ke luar, ada yang memuji Amerika, ada juga yang mencaci
Amerika. Dan memang demikianlah hakekat kehidupan.
Anda bebas memilih sikap dalam hal ini, dan saya memilih untuk duduk hening mendengarkan suara-suara bambu. Dan
sebagaimana disarikan secara ringkas oleh Chao-Hsiu Chen, bambu senantiasa silent, modest, deeply rooted. Hening,
sopan dan berakar ke dalam. Setidak-tidaknya demikianlah cita-cita saya dalam perjalanan panjang yang bernama
kehidupan.
MENEMUKAN KEMBALI BALI DI DALAM DIRI
SETIAP kali terbang ke Bali, sebuah pemandangan yang sulit dihindari di pesawat adalah banyaknya penumpang dengan
rambut berwarna coklat. Kerap terjadi, penumpang dengan rambut coklat lebih banyak dibandingkan dengan yang
berwarna hitam. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah datang ke Bali berkali-kali. Didorong rasa ingin tahu, ada
yang bertanya kepada salah seorang wisatawan yang datang berulang-ulang. Dan, jawabannya agak mengejutkan, setiap
kali dia datang ke Bali, seperti selalu menemukan the hidden treasures of Bali. Bagian-bagian kekayaan Bali yang
tersembunyi, itulah yang kerap ditemukan wisatawan ini setiap kali datang dan datang lagi.
Dipancing oleh komentar seperti ini, kalau orang luar yang datang ke Bali, dan setiap kali datang menemukan bagian-
bagian lain dari Bali yang tersembunyi, adakah kita yang lahir di Bali melihat Bali setiap hari, kemudian juga menemukan
sisi-sisi lain kekayaan Bali yang tersembunyi? Ada seorang sahabat yang menemukan pengandaian berguna dalam hal
ini. Mendalami kehidupan (baca: menyelami Bali) mirip dengan mengupas bawang merah. Semakin dikupas, makin putih
warnanya. Tambah dikupas lebih putih lagi. Setelah dikupas semua, tidak ada yang tersisa terkecuali air mata yang
meleleh. Pertanyaannya kemudian, banyakkah di antara orang Bali yang ''mengupas'' Bali, menemukan wajahnya yang
semakin putih dari hari ke hari, dan pada akhirnya meneteskan air mata?
Ah, maafkanlah! Terutama karena belum apa-apa, tulisan ini sudah mengajukan sejumlah pertanyaan. Atau, mungkin
tugas dan wewenang seorang manusia hanya boleh bertanya. Dan jawaban, di samping mudah tergelincir ke dalam
kesombongan, kecongkakan dan malah perdebatan serta permusuhan, mudah sekali membuat perjalanan berhenti
dihadang tembok besar dan kokoh. Disinari cahaya-cahaya kejernihan seperti ini, izinkanlah tulisan ini lewat sebentar.
Bukan untuk memberi jawaban, tetapi lebih sebagai tumpukan arsitektur pertanyaan. Dengan sebuah doa, mudah-
mudahan berguna dalam membuka the hidden treasures of Bali.
Pulau Persembahan
Dalam sebuah perjalanan, ketika sang hidup sudah mulai menunjukkan tanda-tanda makna, ada seorang sahabat
pendeta Buddha yang bergumam kecil: ''Bali dalam bahasa Pali (bahasa teks asli agama Buddha) artinya persembahan''.
Ada yang kaget di dalam sini. Terutama karena tidak ditanya, sahabat pendeta ini bertutur terus tanpa bisa dihentikan.
Lebih-lebih bila ini dikaitkan dengan salah satu pertanyaan gelap sejarah Bali: di mana letak kekuatan pembelokan dari
sejarah Bali awal yang penuh dengan kekerasan, kemudian bergerak drastis menjadi Bali dengan perilaku santun, damai
dan harmoni selama ratusan tahun kemudian? Kalau benar asumsi tentang sejarah sebagai sebuah kontinuitas,
bukankah antara Bali awal yang ditandai kekerasan, dengan kesantunan hidup yang berumur ratusan tahun kemudian
yang memproduksi harmoni, justru menunjukkan sebuah diskontinuitas? Bila diskontinuitas terjadi, apa peristiwa besar
yang mendorong belokan diskontinuitas seperti ini?
Mungkin sahabat-sahabat yang mendalami lontar dan manuskrip tua Bali bisa membantu mengurai sebagian
diskontinuitas ini. Karena sifat sejarah yang selalu memiliki wajah-wajah tersembunyi yang mudah dieksploitasi pikiran
manusia, sejarah memang bukan gudang semua jawaban. Ia lebih menyerupai bahan-bahan yang memerlukan
pengolahan lebih dalam kemudian. Merenung di atas kesadaran sejarah seperti inilah, maka layak dipikirkan bersama-
sama sebuah pekerjaan rumah besar: apa peristiwa (atau kesadaran) besar yang membuat Bali berbelok dari kekerasan
menuju harmoni?
Tanpa bermaksud memberi jawaban, siapa pun yang lahir dan besar di Bali matanya akan tertangkap oleh pemandangan
keseharian yang tidak pernah mengenal henti: persembahan. Jangankan di tempat suci, di banyak sekali tempat yang
lain orang Bali dari dulu sampai sekarang amat dan teramat rajin melakukan persembahan. Seorang sahabat pengusaha
Bali yang kantornya penuh dengan canang sari setiap hari pernah bertutur, kalau dia mengalokasikan ratusan ribu rupiah
per bulan hanya untuk tersedianya canang sari setiap hari. Ada peneliti Belanda yang pernah bertutur tentang Bali tahun
1920-an yang pernah dikunjunginya. Masih menurut peneliti ini, orang Bali ketika itu tidak mengenal istilah kesenian.
Kesenian hanyalah sebuah judul yang datang dari luar. Lantas, kalau bukan kesenian, apa yang dilakukan orang-orang
Bali ketika itu yang suka menari, menyanyi, mengukir, melukis dan sejenisnya? Dengan terkagum-kagum peneliti ini
mendengar jawaban orang Bali ketika itu: tidak semua kami mengerti, namun satu hal jelas, semuanya dilakukan sebagai
rangkaian persembahan.
Kesimpulan ini sekaligus mengingatkan kita semua tentang wilayah-wilayah persembahan. Canang sari tentu saja sebuah
wujud persembahan, namun rupanya wilayah-wilayah persembahan jauh lebih lebar sekaligus lebih dalam dari sekadar
canang sari.
Wilayah-wilayah Persembahan
Pemahaman dan pendalaman seseorang tentang sebuah wilayah, memang amat ditentukan oleh seberapa tekun serta
seberapa sering yang bersangkutan datang memahami wilayah tersebut. Sebut saja seorang sahabat yang bertahun-
tahun pekerjaannya hanya melihat dan mempelajari peta kota London. Tentu saja kedalaman pemahamannya berbeda
dengan seseorang yang belum pernah melihat peta London, namun puluhan tahun sudah tinggal menetap di sana. Hal
yang sama juga terjadi dalam wilayah-wilayah persembahan.
Dari umur yang amat kecil, kita di Bali sudah dibekali banyak ''peta'' tentang persembahan. Anak-anak bertanya tentang
sesaji, tentang pura, tentang ngayah. Dan yang menjawab pun tidak sedikit: dari orangtua, keluarga dekat, guru-guru di
sekolah sampai dengan media seperti koran dan televisi. Ada cerita tentang Jaya Prana dan Layon Sari yang sebagian
hidupnya berisi persembahan. Ada kisah Mahabharata yang legendaris itu, yang juga berisi kisah persembahan. Dan,
tentu saja masih ada lagi yang lain. Pendek kata, kehidupan Bali sejak dulu penuh dengan peta-peta tentang
persembahan.
Mempelajari peta tentu saja baik dan berguna. Namun, hanya dengan memandanginya, manusia hanya memahami
serangkaian wilayah secara amat terbatas. Berangkat, berjalan, lihat dan pahami, itulah langkah-langkah yang dilakukan
oleh setiap manusia yang mau memahami serangkaian wilayah. Hal yang sama juga terjadi dengan wilayah-wilayah
persembahan. Hanya yang melakoninya penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bisa tergetar di wilayah-wilayah
persembahan.
Sebagaimana wilayah lain dalam kehidupan, wilayah-wilayah persembahan juga ditandai oleh sejumlah keluhan. Tidak
sedikit sahabat yang mengeluh mahal. Bahkan, ada segelintir orang yang berpikir pindah agama karena mahalnya
ongkos menjadi orang Bali. Teritori pengetahuan manusia memang penuh dengan hukum sebab akibat. Hukum ini juga
yang bertanya: jadi orang Bali dulu kemudian menyebut persembahannya mahal, atau persembahannya kurang dulu
baru jadi orang Bali terasa menderita?
Bagi pencinta logika, kata-kata dan perdebatan silakan temukan sendiri jawabannya. Silakan juga selami jalan-jalan yang
Anda temukan. Namun, bagi pencinta keheningan dan kejernihan, jawabannya memang bukan syarat mutlak dari
dimulainya perjalanan. Kerap terjadi, penekun keheningan dan kejernihan aman serta nyaman berjalan bahkan tatkala
tidak tahu. Melakukan persembahan, itu dan hanya itu. Sering tidak bernama, tidak bersuara, tidak ada tangan manusia
yang mencatat. Namun, toh itu dilakukan terus-menerus.
Ada memang yang memberi sebutan dan judul bodoh akan hal ini. Tidak tahu, tidak mengerti, tidak paham, itulah
rangkaian judul yang lain. Ketika ditanya, kenapa persembahannya seperti ini dan seperti itu, sebagian pencinta
keheningan malah bertanya balik: apa semuanya harus dimengerti? Ada juga yang bertanya ingin tahu, apa yang
ditemukan dalam wilayah-wilayah persembahan seperti ini? Tidak banyak yang rela menggerakkan lidahnya untuk
memberi jawaban terhadap pertanyaan terakhir. Sebagian di antara yang sedikit itu bernama Eugen Herrigel. Dalam
''Zen in the Art of Archery'', ia menulis: le's stop talking and go onpracticing. Mari berhenti berdebat, lakukan latihan
terus-menerus. Mengutip pendapat guru Takuan, Herrigel juga menulis: perfection in the art of swordsmanship is
reached when the heart is troubled by no more thought of I and You - no more thought even of life and death. All is
emptiness. Kesempurnaan, menurut Takuan, dicapai ketika hati tidak lagi diganggu oleh pikiran tentang saya dan Anda.
Bahkan hidup mati pun sudah tidak dipikirkan lagi. Semuanya hanya hening, sepi.
Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang dari Jepang. Dan, kita di Bali tentu saja punya
guru-guru yang tidak kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita terdahulu yang ditulis serta
disebarkan. Sastranya, sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada tempat-tempat suci yang
berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di Kintamani, Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk
sebelas gunung dan sebelas petirtan, sejumlah tetua Bali memberi nama salah satu tempat ibadah tua di sana dengan
nama Pura Puseh Meneng seperti sedang berbisik: diam, tenang, hening, sepi. Lebih-lebih, jika dalam diam (meneng)
seseorang sekaligus berjalan di wilayah-wilayah persembahan.
Di beberapa tempat sekaligus pegunungan yang ada pusat airnya, tetua Bali memberi nama Pura dengan Pura
Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening! Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan
kalimat bhur buah swah (alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu rapi dalam diam
dan hening. Bila ada sahabat yang berjalan perlahan dalam diam dan hening di wilayah-wilayah persembahan, sekaligus
menyatu rapi dalam kosmik bhur buah swah, apa yang disebut wisatawan di awal tulisan ini dengan the hidden
treasures of Bali, tidak lagi menjadi monopoli wisatawan. Ia juga menjadi kekayaan orang-orang yang lahir, tumbuh,
besar, tua dan mati di Bali. Dan di sebuah waktu, ada yang menemukan Bali di dalam diri. Ia akan beruarai air mata,
bukan karena sedih, melainkan karena sangat tersentuh oleh demikian baiknya Tuhan dan alam Bali. Ia kemudian hanya
mengucapkan kalimat sederhana setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun: matur
suksma! Yang dalam bahasa orang biasa diterjemahkan menjadi mengaturkan jiwa. Bahkan, jiwa ini pun ia gunakan
sebagai persembahan di pulau yang arti bahasa Palinya adalah pulau persembahan. Adakah sahabat di Bali yang
terbentuk hatinya untuk menemukan Bali di dalam diri?
Bali Kini dan Nanti
Dalam peta tatanan kosmik seperti ini, tidak terbayangkan apa terjadi di Bali bila wajah-wajah kekerasan muncul
kembali. Siapa saja yang lahir di desa-desa Bali Mula (termasuk saya-penulis), masih menyaksikan sampai kini sisa-sisa
masa lalu dalam bentuk makanan dan minuman orang Bali dulu dalam bentuk tuak, arak, dan komoh (darah segar
dicampur bumbu). Bisa dibayangkan wajah kehidupan manusia dengan makanan dan minuman seperti ini. Sekarang,
ketika beberapa daerah di Bali sempat rusuh oleh pemilu, sebuah istana raja tercecer darah manusia karena
perkelahian, jaba Pura Besakih juga ditandai darah manusia tercecer, angka perkelahian dan gantung diri yang
meningkat tajam, perebutan jabatan di sana-sini, akankah kita orang-orang Bali kembali ke pola hidup meminum dan
memakan arak, tuak dan komoh? Sekali lagi, maafkanlah pertanyaan.
Oleh Gede Prama
MENSYUKURI NERAKA
Entah kapan dimulai, dan siapa yang memulainya tidaklah terlalu jelas. Yang jelas, ada banyak sekali manusia yang amat
rindu akan surga dan amat takut sama neraka. Dari anak kecil sampai orang tua, dari orang desa sampai orang kota,
kebanyakan rindu surga dan takut neraka.
Jujur harus diakui, sayapun pernah lama dilanda kerinduan dan ketakutan semacam itu. Cuman, setelah menelusuri
lorong-lorong kehidupan dengan kedalaman kontemplasi tertentu, rupanya kita manusia sudah terlalu lama manja
dengan buaian surga, dan dibuat takut oleh ancaman neraka. Untuk kemudian kehilangan dua kesempatan emas dalam
hidup. Kesempatan emas pertama, manusia kehilangan kekuatan amat besar yang bernama keikhlasan. Kesempatan
emas kedua, justru melalui tempaan-tempaan neraka yang ditakuti (baca : masalah) kemudian manusia jadi kuat dan
hebat.
Konsepsi surga-neraka, sebagaimana kita tahu, memang memiliki banyak sekali manfaat. Cuman, sebagaimana wajah
dualitas manapun, konsepsi surga-neraka membuat tidak sedikit manusia kemudian "berdagang" dengan kehidupan.
Sebagai akibatnya, manusia kehilangan keikhlasan sebagai kekuatan kehidupan.
Ada cerita tentang sebuah desa yang tidak berhasil memotong pohon besar mengganggu. Karena berbagai peralatan
tidak berhasil membuat pohon tumbang, dicurigai pohon ini ditunggui mahluk dengan kekuatan metafisik tertentu.
Dicarilah orang "pintar" yang bisa membantu. Ternyata, ada orang berpenampilan sederhana yang bisa memotong
pohon tadi dengan gergaji biasa. Orang terakhir hanya memotong pohon tadi dengan kalimat permulaan yang berbunyi :
"dengan keikhlasan di depan Tuhan, tidak ada yang tidak bisa dilakukan".
Ternyata kinerja orang sederhana ini terdengar ke banyak tempat. Di samping karena kekaguman masyarakat, juga
kerena hadiah besar yang telah diterimanya. Di desa seberang yang memiliki problema yang serupa kemudian
memanggilnya. Dan setelah memotong pohon dengan teknik dan alat yang sama, ternyata berkali-kali hanya berujung
kegagalan. Ada yang berubah, katanya setelah berulang kali gagal, hadiah rupanya melenyapkan keikhlasan!
Ini memang hanya sebuah cerita, namun layak direnungkan kalau keikhlasan bukanlah sumber kelemahan. Ia sejenis
tenaga dalam yang bisa membuat manusia jadi demikian perkasa. Terinspirasi dari banyak cerita-cerita sufi, demikian
juga dari puisi-puisi Gibran dan Rumi, serta kualitas pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa ketika badannya sudah
disebut meninggal oleh dokter, keikhlasan sudah menjadi tema kehidupan yang kuat sejak dulu.
Kesempatan emas kedua yang dibuat lenyap oleh konsepsi surga-neraka, adalah kekuatan-kekuatan yang bisa
dihadirkan oleh keseharian yang penuh dengan "neraka". Masalah, godaan, tantangan, persoalan adalah rangkaian hal
yang ditakuti banyak manusia sebagaimana mereka menakuti neraka. Semakin sedikit wajah neraka seperti ini yang
hadir, semakin baik bagi para pengagum surga.
Ternyata kehidupan bertutur dan bercerita lain. Sebagaimana pernah dituturkan secara apik oleh M. Scott Peck dalam
The Road Less Travelled, mereka-mereka yang menakuti neraka ternyata tumbuh jadi manusia lemah dan lembek.
Sebagian bahkan terkena penyakit kejiwaan yang menyedihkan. Di bagian awal buku inspiratif ini Scott Peck menulis : ?
This tendency to avoid problems and emotional suffering inherent in them is the primary basis of all human mental
illness?. Kecenderungan untuk lari dari masalah dan penderitaan adalah fundamen utama dari kondisi mental yang tidak
terlalu sehat.
Bercermin dari sini, neraka tidaklah seburuk bayangan banyak orang. Dalam lapisan-lapisan kejernihan yang lebih dalam,
neraka adalah tempat pemurnian. Sebuah tempat di mana sampah-sampah kehidupan diolah menjadi pupuk-pupuk
berguna. Sebutlah masalah keseharian seperti dimarahin atasan. Sesaat memang membuat yang bersangkutan kesal,
tetapi kemarahan atasan sedang membuatnya jadi kuat. Atau memiliki isteri yang cerewetnya minta ampun, ia memang
sengaja hadir untuk membuat sang suami jadi sabar. Demikian juga dengan masalah lain.
Yang jelas, lari dari persoalan memang enak sebentar, tetapi ia membawa dampak jangka panjang yang negatif.
Meminjam argumen Scott Peck dalam karya di atas, kesukaan untuk lari dari masalah dan tanggung jawab adalah ciri
utama dari manusia-manusia yang terkena penyakit character disorder. Lebih dari sekadar terkena penyakit kejiwaan
tadi, tantangan dan masalah sebenarnya serupa dengan tangga-tangga kedewasaan dan kematangan. Semakin tinggi
dan besar masalahnya, itu berarti kaki sang hidup sedang melangkah di tempat yang juga tinggi.
Surga (baca : kebahagiaan) memang udara kehidupan yang indah dan segar, tetapi ia terasa jauh lebih indah dan segar
jika seseorang pernah melalui tangga-tangga neraka. Serupa dengan lingkaran Yin-Yang yang di belah dua, awalnya
memang ada beda jelas dan tegas antara surga dan neraka. Surga itu berisi senyuman, neraka berisi tangisan. Namun, di
tingkatan-tingkatan kejernihan, sekat dan pemisah tadi sudah tidak ada. Suka-duka, tangisan-senyuman, sukses-gagal
hanyalah aliran kehidupan yang datang dengan peran masing-masing. Persis seperti siang yang berganti malam dan juga
sebaliknya, setiap pergantian berjalan tenang dan tenteram. Dan jangan lupa, kualitas hidup di dalam diri seperti ini
hanya bisa dicapai oleh manusia yang mendalami hakekat syukur akan adanya neraka.*****
MENUJU KESEMPURNAAN DENGAN KESEJATIAN
Oleh: Gede Prama
Entah karena faktor perjalanan pemahaman, atau karena faktor masukan dari orang lain, belakangan ada keindahan dan
kesenangan tersendiri kalau saya bertutur melalui jalur cerita, lelucon, anekdot dan sejenisnya. Tidak hanya pendengar
dan pembaca yang memberi respon positif, sayapun menikmati sekali pembicaraan yang keluar dari mulut ini melalui
jalur-jalur ini. Mungkin benar apa yang pernah ditulis seorang pemikir India yang bernama Bhagawan Vyasa –
sebagaimana dikutip salah satu serial buku Chicken Soup For The Soul – bahwa jembatan yang menghubungkan manusia
dengan kebenaran bernama cerita.
Oleh karena alasan terakhirlah, kemudian ada kesibukan tambahan dalam hidup saya belakangan ini : mengumpulkan
dan mengolah cerita. Dari sekian cerita yang sudah terkumpul dan telah digunakan sebagai kendaraan pemahaman buat
pembaca dan audiensi, ada sebuah cerita yang terbukti bisa menggugah hidup banyak orang. Ia berkisah tentang
seorang kaya raya yang baik hati dan memiliki empat isteri.
Di suatu pagi orang kaya tadi didatangi oleh sang kematian. Dengan sopan mahluk terakhir berucap begini : ‘Bapak yang
baik hati, atas utusan Tuhan kami ditugaskan untuk menjemput. Cuman, karena kebaikan hati Bapak selama hidup,
diizinkan oleh Tuhan untuk membawa satu di antara empat isteri Bapak’. Dengan tersenyum orang kaya ini memohon
waktu untuk menemui keempat isterinya satu persatu.
Yang pertama dipanggil tentu saja isteri keempat. Seorang wanita muda yang cantik, dengan tubuh yang menawan,
rambut panjang yang terurai dan tentu saja senyumnya yang indah dan manis. Namun, betapa terkejutnya orang kaya
tadi mendengar jawaban terhadap ajakan untuk menemani suaminya ke dunia kematian. Wanita cantik tadi menolak
ajakan suaminya dengan kata-kata kasar dan sarkastis.
Setelah menangis sambil menyesali hidupnya, orang kaya tadi memanggil isteri ketiga dengan ajakan yang sama. Wanita
ini menjawab dengan bahasa yang lebih sopan : ‘maafkan kanda, saya hanya bisa menemani kanda sampai di sini saja’.
Kalau tadi seperti diterjang petir rasanya, kali ini Bapak kaya tadi seperti dihempas air bah. Lagi-lagi ia menangis
menyesali seluruh hidupnya. Dengan semangat hampir putus asa, ia menemui isteri kedua dan mengemukakan ajakan
yang sama. Isteri kedua menjawab lebih sopan lagi : ‘saya akan temani kanda, namun hanya sampai di liang lahat’.
Sehingga tidak ada pilihan lain kecuali memanggil isteri pertama. Dan takjubnya, kendati isteri pertama tidak terlalu
diperhatikan, jarang diajak makan, bahkan sering disakiti, dengan tersenyum wanita yang pipinya sudah penyok dan
merah-merah ini menjawab begini : “saya akan menemani kanda sampai kapanpun dan sampai di manapun”.
Ilustrasi tentang empat isteri di atas, sebenarnya ilustrasi tentang isteri dan suami kehidupan. Semua orang memiliki
empat isteri (suami) kehidupan. Isteri keempat yang paling seksi, paling menarik, menghabiskan paling banyak waktu,
sehari-hari bernama harta dan tahta. Ia memang sejenis isteri yang menyita paling banyak waktu dan tenaga dalam
hidup. Dalam kehidupan banyak orang, lebih dari separuh waktu dan tenaga teralokasi ke sini. Dan sebagaimana cerita
di atas, siapa saja yang memperuntukkan waktu dan tenaga hanya untuk harta dan tahta, pasti menyesali kehidupannya
di gerbang kematian.
Isteri ketiga yang juga mengkonsumsi waktu dan tenaga cukup banyak bernama tubuh atau badan kasar. Ini juga
menghabiskan uang yang tidak sedikit. Dan jangan lupa, isteri yang ini hanya bisa menghantar kita sampai di tempat dan
waktu di mana kita dipanggil sang kematian. Setelah itu, ia kita kembalikan ke pihak yang meminjamkan badan ini. Isteri
kedua – yang hanya bisa menghantar kita sampai di liang lahat – adalah isteri, suami, putera-puteri serta kerabat dekat
kita di rumah. Sesetia-setianya mereka, hanya akan bisa menemani kita sampai di kuburan saja. Setelah itu, mereka
hanya menangis sambil kembali ke kehidupan masing-masing.
Dan isteri kita yang paling setia dan akan menemani kita kemanapun kita pergi, dan apapun yang kita lakukan
terhadapnya ia hanya mengenal kesetiaan, kesetiaan dan kesetiaan, ia bernama sang jiwa. Atau, dalam sejumlah tradisi
disebut dengan kata kesejatian.
Sayangnya, kendati ia yang paling setia, dalam keseharian ia juga yang paling jarang kita perhatikan. Dalam banyak
kehidupan, ia malah kerap disakiti. Kebencian, kemarahan, permusuhan dan sejenisnya adalah serangkaian kegiatan
yang memukuli sang jiwa. Kalau isteri kedua (badan kasar) kita beri makan setiap hari, kita hanya memberi makanan
sang jiwa sekali-sekali saja. Ada bahkan yang tidak pernah memberikan makanan pada jiwanya. Dan kalau makanan
badan kasar kita harus beli dan membayarnya, makanan sang jiwa dalam bentuk cinta, cinta dan cinta, ia tersedia gratis
dalam jumlah yang tidak terbatas.
Kembali ke cerita awal tentang perjalanan menuju kesempurnaan, hanya isteri pertamalah yang bisa membawa kita ke
sana. Bedanya dengan isteri-isteri lain yang egois, ia selalu mengingatkan kita bahwa jiwa bisa sehat walafiat kalau ketiga
isteri yang lain juga kita perhatikan secara seimbang. Tertarikkah Anda untuk hidup dengan jalan-jalan kesejatian ?
MERAIH HARTA DENGAN CINTA
Tidak sedikit manusia sepanjang sejarah, dan mungkin sepanjang zaman, dihadang pertanyaan mendasar : bisakah harta
diraih melalui jalan-jalan cinta ? Pertanyaan ini tidak saja menghadang Anda, sayapun dihadang pertanyaan serupa dulu.
Tidak sedikit manusia yang ragu, dan bahkan skeptis. Lebih menyedihkan lagi, ada yang meletakkan harta dan cinta
dalam posisi berseberangan. Bila mau harta, cinta harus dikorbankan. Jika mau cinta, maka harta akan menjauh. Paling
tidak, demikianlah keyakinan banyak orang.
Tanpa bermaksud berseberangan dengan banyak orang, premis dasar saya agak berbeda. Antara harta di satu sisi, dan
cinta di lain sisi, tidaklah selalu berada pada posisi berseberangan. Tidak sedikit kehidupan manusia bertutur, keduanya
bisa dilakukan secara bersama-sama. Kehidupan sejumlah orang mengagumkan bahkan menunjukkan, harta juga bisa
diraih melalui jalur-jalur cinta.
Sebut saja serangkaian kehidupan sejumlah orang yang mengagumkan seperti Konosuke Matsushita dan Mahatma
Gandhi. Yang pertama wakil kehidupan yang tinggi di dunia material, yang kedua adalah wakil kehidupan yang tinggi di
dunia spiritual. Keduanya adalah wakil dari kehidupan di mana harta (baik material maupun spiritual) bisa berjalan
bersama-sama dengan cinta. Matsushita melalui prinsip Man Does Not Live With Bread Alone, tidak saja membuat
pemilik prinsipnya menjadi kaya raya secara materi, tetapi juga memberikan inspirasi spiritual pada banyak sekali
kehidupan korporasi. Gandhi juga serupa, prinsip anti kekerasan tidak saja membuat sejarah kemerdekaan India jadi
legendaris, tetapi menjadi sumber air kejernihan bagi banyak sekali perjuangan umat manusia di seluruh kaki langit. Ada
yang menyebut dua kasus di atas sebagai kebetulan yang tidak representatif. Dan saya hargai mereka yang berkeyakinan
demikian. Dan kehidupan saya maupun kehidupan sejumlah orang lain bertutur sebaliknya.
Setiap kali pulang sekolah ketika masih kelas satu dan dua SD, saya ambil tempat duduk kecil dan meminta Ibu duduk di
sana. Sambil tersenyum Ibu duduk dan memangku saya. Dan dimulailah kegiatan konyol yang membuat banyak sahabat
kecil saya berteriak : ‘malu, sudah besar masih menetek !’. Dan ketika Ibu masih hidup, dan menyaksikan bagaimana
saya yang memiliki banyak kekurangan ini menggapai sejumlah ketinggian, Ibu berbisik ke saya : ‘kamu pantas sampai di
tempat tinggi dalam kehidupan, karena menetek sampai umur delapan tahun’.
Ketika itu, saya hanya menjawabnya dengan senyum, hanya untuk membahagiakan hati Ibu. Namun sekian lama setelah
Ibu meninggal, kekuatan-kekuatan cinta Ibu tidak habis sampai ketika saya berhenti menetek. Kekuatan cinta ini
menembus batas waktu. Dalam banyak kejadian bahkan terbukti, kehidupan saya ditarik ke tempat-tempat tinggi
melalui energi-energi cinta. Salah satunya cinta almarhumah Ibu saya.
Cerita kedua adalah cerita Rich Teerlink sebagai komandan Harley Davidson dalam melakukan turn around.
Sebagaimana kita tahu, Teerlink berhasil memutar balikkan sejarah Harley Davidson dari produsen sepeda motor yang
jadi pecundang, kembali berdiri tegak menjadi pemenang. Sebagaimana ia tuturkan dalam buku More Than Motor Cycle,
kekuatan terbesar yang mendorongnya untuk senantiasa teguh dan kuat mengomandani Harley Davidson adalah pesan
Ibunya : ‘semua manusia pada dasarnya sama baiknya’. Ini juga yang membuat banyak negosiasi Teerlink dengan serikat
pekerja, serta negosiasi-negosiasi berat lainnya berjalan relatif lancar. Energinya hanya satu : cinta.
Cerita serupa juga menjadi catatan hidup Lee Iacocca, Konosuke Matsushita, Mahatma Gandhi sampai dengan Dalai
Lama. Di mana, harta juga bisa digapai melalui jalan-jalan cinta. Catatan ini mengingatkan saya pada seorang penulis
jernih bernama Chao-Hsiu Chen. Penulis buku The Bamboo Oracle serta The Body Feng Shui ini pernah menulis : ‘Look at
your own life and that your roots, your trunks, your branches and your leaves will live as long as your character is noble.
Therefore you can be lucky’. Lihatlah kehidupan Anda. Akar, batang, cabang dan daun-daun Anda akan hidup sejauh
Anda memiliki sifat-sifat mulia. Dan karenanya, Anda juga bisa hidup penuh keberuntungan.
Tadinya, saya pikir apa yang disebut dengan The Body Feng Shui adalah bagaimana menyisir rambut, mengenakan
pakaian, atau merawat tubuh saja. Ternyata ia lebih mendalam : mengembangkan sifat-sifat mulia. Dan kemuliaan
terakhir ini tidak saja bisa membuat orang bisa jadi pendeta, melainkan juga bisa membuat orang hidup penuh
keberuntungan.
Sebuah tesis yang menjawab keraguan banyak orang, melalui cinta sebagai awal dari banyak hal-hal mulia, harta juga
bisa diraih dalam jumlah yang tidak terbatas. Lebih dari sekadar meraih harta, orang-orang yang meraih harta dengan
jalan cinta, bisa meraih dua sukses sekaligus : sukses di perjalanan sukses di tempat tujuan, sukses di dunia sukses juga
di surga. Bukankah indah sekali kehidupan yang diwarnai dua sukses sekaligus ?
Anda bebas memilih, akankah dibiarkan cinta berseberangan dengan harta, atau akan meraih harta dengan jalan-jalan
cinta. Apapun pilihan Anda saya hargai. Dan sejalan dengan Chao-Hsiu Chen melalui kearifan-kearifan bambunya yang
menyebutkan bahwa the greatest peace in modesty, the greatest modesty in silence, ketika tulisan ini sedang dibuat
saya sedang merangkum dua kontroversi ini dalam inti sari keheningan.
MERENDAH ITU INDAH
Di satu kesempatan, ada turis asing yang meninggal di Indonesia. Demikian baiknya turis ini ketika masih hidup, sampai-
sampai Tuhan memberikan kesempatan untuk memilih : surga atau neraka. Tahu bahwa dirinya meninggal di Indonesia,
dan sudah teramat sering ditipu orang, maka iapun meminta untuk melihat dulu baik surga maupun neraka. Ketika
memasuki surga, ia bertemu dengan pendeta, kiai dan orang-orang baik lainnya yang semuanya duduk sepi sambil
membaca kitab suci. Di neraka lain lagi, ada banyak sekali hiburan di sana. Ada penyanyi cantik dan seksi lagi bernyanyi.
Ada lapangan golf yang teramat indah. Singkat cerita, neraka jauh lebih dipenuhi hiburan
dibandingkan surga.
Yakin dengan penglihatan matanya, maka turis tadi memohon ke Tuhan untuk tinggal di neraka saja. Esok harinya,
betapa terkejutnya dia ketika sampai di neraka. Ada orang dibakar, digantung, disiksa dan kegiatan-kegiatan mengerikan
lainnya. Maka proteslah dia pada petugas neraka yang asli Indonesia ini. Dengan tenang petugas terakhir menjawab :
'kemaren kan hari terakhir pekan kampanye pemilu". Dengan jengkel turis tadi bergumam : 'dasar Indonesia, jangankan
pemimpinnya, Tuhannya saja tidak bisa dipercaya!'.
Anda memang tidak dilarang tersenyum asal jangan tersinggung karena ini hanya lelucon. Namun cerita ini
menunjukkan, betapa kepercayaan(trust) telah menjadi komoditi yang demikian langka dan mahalnya di negeri tercinta
ini. Dan sebagaimana kita tahu bersama, di masyarakat manapun di mana kepercayaan itu mahal dan langka, maka
usaha-usaha mencari jalan keluar amat dan teramat sulit.
Jangankan dalam komunitas besar seperti bangsa dan perusahaan dengan ribuan tenaga kerja, dalam komunitas kecil
berupa keluarga saja, kalau kepercayaan tidak ada, maka semuanya jadi runyam. Pulang malam sedikit, berujung dengan
adu mulut. Berpakaian agak dandy sedikit mengundang cemburu.
Di perusahaan malah lebih parah lagi. Ketidakpercayaan sudah menjadi kanker yang demikian berbahaya. Krisis ekonomi
dan konglomerasi bermula dari sini. Buruh yang mogok dan mengambil jarak di mana-mana, juga diawali dari sini. Apa
lagi krisis perbankan yang memang secara institusional bertumpu pada satu-satunya modal : trust capital.
Bila Anda rajin membaca berita-berita politik, kita dihadapkan pada siklus ketidakpercayaan yang lebih hebat lagi. Polan
tidak percaya pada Bambang. Bambang membenci Ani. Ani kemudian berkelahi dengan Polan. Inilah
lingkaranketidakpercayaan yang sedang memperpanjang dan memperparah krisis.
Dalam lingkungan seperti itu, kalau kemudian muncul kasus-kasus perburuhan seperti kasus hotel Shangrila di Jakarta
yang tidak berujung pangkal, ini tidaklah diproduksi oleh manajemen dan tenaga kerja Shangrila saja. Kita semua sedang
memproduksi diri seperti itu.
Andaikan di suatu pagi Anda bangun di pagi hari, membuka pintu depan rumah, eh ternyata di depan pintu ada
sekantong tahi sapi. Lengkap dengan pengirimnya : tetangga depan rumah. Pertanyaan saya sederhana saja :
bagaimanakah reaksi Anda ? Saya sudah menanyakan pertanyaan ini ke ribuan orang. Dan jawabannyapun amat
beragam.
Yang jelas, mereka yang pikirannya negatif, 'seperti sentimen, benci, dan sejenisnya ', menempatkan tahi sapi tadi
sebagai awal dari permusuhan (bahkan mungkin peperangan) dengan tetangga depan rumah. Sebaliknya, mereka yang
melengkapi diri dengan pikiran-pikiran positif 'sabar, tenang dan melihat segala sesuatunya dari segi baiknya'
menempatkannya sebagai awal persahabatan dengan tetangga depan rumah. Bedanya amatlah sederhana, yang negatif
melihat tahi sapi sebagai kotoran yang menjengkelkan. Pemikir positif meletakkannya sebagai hadiah pupuk untuk
tanaman halaman rumah yang memerlukannya.
Kehidupan serupa dengan tahi sapi. Ia tidak hadir lengkap dengan dimensi positif dan negatifnya. Tapi pikiranlah yang
memproduksinya jadi demikian. Penyelesaian persoalan manapun 'termasuk persoalan perburuhan ala Shangrila' bisa
cepat bisa lambat. Amat tergantung pada seberapa banyak energi-energi positif hadir dan berkuasa dalam pikiran kita.
Cerita tentang tahi sapi ini terdengar mudah dan indah, namun perkara
menjadi lain, setelah berhadapan dengan kenyataan lapangan yang teramat berbeda. Bahkan pikiran sayapun tidak
seratus persen dijamin positif, kekuatan negatif kadang muncul di luar kesadaran.
Ini mengingatkan saya akan pengandaian manusia yang mirip dengan
sepeda motor yang stang-nya hanya berbelok ke kiri. Wanita yang terlalu sering disakiti laki-laki, stang-nya hanya akan
melihat laki-laki dari perspektif kebencian. Mereka yang lama bekerja di perusahaan yang sering membohongi
pekerjanya, selamanya melihat wajah pengusaha sebagai penipu. Ini yang oleh banyak rekan psikolog disebut sebagai
pengkondisian yang mematikan.
Peperangan melawan keterkondisian, mungkin itulah jenis peperangan
yang paling menentukan dalam memproduksi masa depan. Entah bagaimana
pengalaman Anda, namun pengalaman saya hidup bertahun-tahun di pinggir sungai mengajak saya untuk merenung. Air
laut jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan air sungai. Dan satu-satunya sebab yang membuatnya demikian,
karena laut berani merendah.
Demikian juga kehidupan saya bertutur. Dengan penuh rasa syukur ke
Tuhan, saya telah mencapai banyak sekali hal dalam kehidupan. Kalau uang dan jabatan ukurannya, saya memang bukan
orang hebat. Namun, kalau rasa syukur ukurannya, Tuhan tahu dalam klasifikasi manusia mana saya ini hidup. Dan
semua ini saya peroleh, lebih banyak karena keberanian untuk merendah.
Ada yang menyebut kehidupan demikian seperti kaos kaki yang diinjak-
injak orang. Orang yang menyebut demikian hidupnya maju, dan sayapun melaju dengan kehidupan saya. Entah
kebetulan entah tidak. Entah paham entah tidak tentang pilosopi hidup saya seperti ini. Seorang pengunjung web site
saya mengutip Rabin Dranath Tagore : 'kita bertemu yang maha tinggi, ketika kita rendah hati'. ***
by Gede Prama
MUMPUNG MASIH DIBERI WAKTU
Oleh: Gede Prama
Setiap mengakhiri sebuah tahun, semua orang dihadang oleh sebuah kenyataan betapa cepatnya sang waktu berputar
dan berlalu. Dan secara tiba-tiba, baru sadar ketika ada sahabat atau kerabat yang dipanggil kematian. Di situ kita baru
merenung, kita masih diberi sisa waktu.
Mungkin Anda punya kenangan tersendiri dengan tahun 2001, demikian juga saya. Ada sejumlah catatan dan jejak
waktu yang tertulis dalam sejarah saya di tahun 2001. Ada kejadian diangkat menjadi presiden direktur sebuah
perusahaan swasta dengan dua ribuan karyawan di awal tahun, dan di akhir tahun diangkat lagi oleh sang kehidupan
untuk menjadi presiden direktur sebuah perusahaan dengan empat puluh ribuan karyawan. Ada juga catatan-catatan
yang menyedihkan seperti pernah diteror orang, didatangi karyawan yang marah sambil mengancam manajernya
dibunuh di depan saya. Dan masih ada lagi catatan lain yang terlalu panjang untuk diceritakan. Boleh saja ada orang
yang berdecak kagum, atau menyimpan kebencian setelah melihat catatan ini. Namun, bagi saya pribadi ada yang jauh
lebih membanggakan dari diangkatnya saya oleh sang kehidupan dua kali di tahu 2001 di posisi tertinggi. Setelah
mencoba beberapa kali di tahun-tahun sebelumnya, baru di tahun 2001 saya berhasil menemani sahabat-sahabat
muslim berpuasa sebulan penuh. Inilah prestasi yang paling saya banggakan di tahun 2001.
Mirip dengan kejadian sebelumnya, di mana sejumlah sahabat mengira saya seorang kristiani ketika banyak menulis soal
cinta dan kasih sayang, ada juga yang mengira saya seorang buddis ketika mereka tahu kalau saya seorang vegetarian,
demikian juga dengan kegiatan berpuasa sebulan tadi. Bawahan di kantor yang biasa melayani saya membelikan makan
siang, ada yang berbisik kalau saya sudah menjadi seorang muslim. Tentu saja semuanya hanya saya jawab dengan
senyuman. Dan ada yang lebih penting dari sekadar memasukkan kegiatan-kegiatan membanggakan ini ke dalam kotak
dan judul tertentu. Yakni, bagaimana sang waktu diisi.
Kadang ada anggota keluarga – terutama isteri – yang kasihan melihat saya menempuh jalan-jalan kehidupan seperti ini.
Dulu, ketika berada pada kehidupan yang amat di bawah dan amat jarang bisa membeli daging, bermimpi bisa makan
daging setiap hari. Sekarang, ketika membeli daging bukan lagi menjadi sebuah kegiatan yang teramat sulit untuk
dilakukan, tiba-tiba saya memutuskan hubungan dengan kegiatan makan daging. Dulu, ketika makan adalah sebuah
kemewahan dan hiburan yang amat menyenangkan. Sekarang ketika membeli makanan adalah sebuah perkara kecil,
malah berpuasa dalam waktu sebulan. Demikianlah kira-kira isteri saya kadang mengeluh di rumah. Dan semua keluhan
ini hanya saya jawab dengan senyuman sederhana plus kalimat sederhana : mumpung masih diberi waktu.
Serupa dengan lagu indah Ebiet G. Ade yang berjudul ‘Masih ada waktu’, hidup memang sebuah perjalanan abadi. Hanya
karena kehendakNya, kita masih bisa melihat matahari. Ebiet memberikan kita sebuah alternatif yang layak untuk
direnungkan : bersujud. Satu spirit dengan saran bersujud ala Ebiet, Kahlil Gibran dalam The Prophet pernah menulis :
‘your daily life is your temple and your religion’. Kehidupan sehari-hari Anda adalah tempat sembahyang sekaligus
‘agama’ Anda. Sulit membayangkan, bagaimana seseorang yang menyebut dirinya beragama tetapi setiap hari
pekerjaannya hanya menyakiti hati orang lain. Susah dimengerti, kalau ada orang yang datang ke tempat ibadah
demikian rajinnya, atau menyumbangkan dana besar untuk pembuatan tempat ibadah, tetapi hampir setiap hari
mencuri uang orang lain.
Dalam bingkai-bingkai Ebiet dan Gibran, mungkin lebih menyentuh hati orang-orang biasa yang tidak pernah
menyumbang, tidak pernah menyebutkan agamanya, tetapi mengisi waktu-waktunya dengan cinta dan kasih sayang.
Atau orang-orang yang namanya tidak pernah menghiasi media, tidak dikenal siapapun, namun mengisi hari-harinya
dengan senyuman buat kehidupan. Atau orang yang tidak pernah menduduki satu kursi jabatanpun, tidak menyandang
gelar apapun, namun menunjukkan keteladanan-keteladanan kehidupan yang mengagumkan.
Terinspirasi dari pemikiran-pemikiran orang seperti Ebiet dan Gibran inilah, saya merelakan diri hidup dalam jalur-jalur
yang oleh kebanyakan orang disebut menyengsarakan. Tidak untuk gagah-gagahan, tidak juga karena haus akan pujian,
akan tetapi melalui solidaritas, disiplin diri, kesederhanaan saya sedang mengukir sang hidup dengan catatan-catatan
waktu. Dan ketika suatu waktu putera puteri saya, atau orang lain membuka serta membacanya, mereka akan tahu,
pernah ada seorang ayah atau seorang penulis yang hidup dengan tingkat solidaritas dan disiplin diri tenrtentu.
Kemudian, membuahkan kehidupan yang hanya mengenal bersujud di depan Tuhan.
Sebagai orang yang bergaul ke mana-mana, kerap saya diberikan banyak kartu nama oleh banyak orang, lengkap dengan
jabatan mentereng di bawah nama yang bersangkutan. Ini membuat saya berimajinasi, kalau suatu saat saya bisa
memiliki sebuah kartu nama, di mana di bawah nama saya ada jabatan yang bisa mewakili kesukaan saya untuk bersujud
di depan Tuhan. Mimpi ini muncul di kepala karena teringat oleh salah satu tulisan Gibran dalam The Prophet : "beauty
is life when life unveils her holy face" (kecantikan adalah kehidupan yang wajah sucinya terungkap). Dan saya
berterimakasih bisa mengetahuinya ketika Tuhan masih memberi cukup waktu.
PENUH KEBERUNTUNGAN SELAMANYA
Oleh: Gede Prama
Dulunya, ketika baru saja menginjakkan kaki di dunia bisnis, bagi saya sungguh sebuah pengalaman yang mengejutkan.
Bayangkan, dengan gaya anak Bali yang sering tersenyum, tidak boleh menonjol, kepala diinjak-injak orang hampir
setiap hari. Ada calon atasan yang baru memberikan pekerjaan beberapa menit sebelum pulang, untuk kemudian
membuat saya buru-buru, dan pada akhirnya membuat penilaian terhadap kinerja saya jadi buruk. Ada orang lama yang
iri hati, kemudian di depan umum menjewer telinga. Ada pengusaha yang menggunakan saya sebagai bumper agar
atasan cepat keluar. Dan masih banyak lagi pengalaman-pengalaman sejenis.
Yang jelas, lama saya sempat kesepian dalam keramaian di dunia bisnis. Sehingga pernah lari mencari habitat baru
sebagai dosen di salah satu program MBA di Jakarta. Dan ternyata habitat baru sama saja dengan yang lama. Dari sinilah
asal muasal untuk terbang sendiri di dunia penulis, pembicara publik dan konsultan. Namun, manusia bisa berusaha dan
ternyata Tuhanlah yang menentukan. Aliran air kehidupan lagi-lagi membawa saya sebagai pegawai perusahaan –
kendati di tingkatan kehidupan yang jauh lebih tinggi. Dan kesepian yang samapun datang lagi menjumpai.
Mungkin karena kesabaran untuk senantiasa berjalan dan mencari inilah, membuat Tuhan membukakan pintu lain. Di
dunia bisnis, di mana kepintaran dan kelicikan berperang setiap hari, ternyata masih menyediakan tempat-tempat teduh
dan sejuk. Saya merasa amat beruntung, karena pertama kali mengenal dunia kerja di tempat yang disemai dan
dibesarkan Konosuke Matsushita. Seorang pengusaha yang meramu dan menggabungkan bisnis dengan kecintaan
mendalam akan kedamaian dan kemanusiaan.
Melalui kegiatan interaksi sebagai pembicara publik, saya bertemu dengan Hari Darmawan (pendiri sekaligus ketua
kelompok usaha Matahari), Sudamek AWS (komandan kelompok usaha Garuda Food), Chairul Tanjung (pendiri dan
pemilik kelompok usaha Para yang memiliki Bank Mega dan Trans TV) dan sejumlah pengusaha kaya yang berhasil. Dan
kehadiran mereka membuat saya tidak lagi merasa kesepian seorang diri. Sebab, masih ada cukup banyak orang yang
berhasil dengan jalan-jalan lurus yang penuh cinta dan kasih sayang.
Di sebuah kesempatan sama-sama menjadi pembicara seminar, Chairul Tanjung pernah menyebutkan beberapa
tingkatan kualitas manusia. Manusia bodoh, demikian ia berbicara khas dengan suara lantangnya, dikalahkah manusia
pintar. Manusia pintar sering kalah oleh manusia licik. Dan manusia licik tidak bisa mengalahkan manusia beruntung.
Dengan kata lain, manusia beruntunglah termasuk manusia dengan kualitas yang tidak terkalahkan.
Sinyalemen Chairul Tanjung ini sempat menghentak kesadaran saya. Sebab, di luar kesadaran, di banyak kesempatan
saya teramat sering diselamatkan oleh ‘keberuntungan’. Ya sekali lagi keberuntungan. Sebagai orang yang lahir biasa-
biasa saja, sulit menyebut diri sebagai manusia pintar. Dan kehidupan tanpa cukup bekal kepintaran ini dipagari lagi oleh
nilai dan norma tidak boleh licik. Teorinya, orang seperti saya ini sudah menjadi keset yang diinjak-injak orang di banyak
kesempatan. Nyatanya, kenyataan bertutur lain.
Semua ini mengingatkan saya pada penulis buku The Body Feng Shui. Di mana keberuntungan mudah sekali datang pada
tubuh dan jiwa yang sering disirami kemuliaan-kemuliaan. Saya memang masih jauh dari status mulia, namun tetap saja
sang keberuntungan sering datang. Dan belakangan, bertemu dengan keberuntungan-keberuntungan yang lebih
menjernihkan dan membahagiakan. Terutama setelah berkenalan dengan karya-karya yang berbau Zen, Yoga, meditasi.
Dalam karya-karya jenis terakhir, hidup digambarkan seperti aliran air di sungai. Sebelah pinggir kali bernama
kesenangan, sebelahnya lagi bernama kesedihan. Sebagaimana kehidupan yang sebenarnya, ada saatnya kita terhenti di
pinggir kali kesenangan, ada kalanya terhenti di pinggir kali kesedihan. Apapun nama dan jenis pinggir kalinya, tidak
perduli kita sedang senang atau sedih, sang hidup akan senantiasa berjalan. Sehingga, siapa saja yang memusatkan
perhatian pada pemberhentian sementara di pinggir kali, ia pasti tidak puas. Sebab, pinggiran kali hanyalah bentuk lain
dari kesementaraan. Keabadiaan, demikian keberuntungan-keberuntungan terakhir mengajarkan ke saya, ada dalam
kenikmatan untuk mengalir dengan sang perubahan.
Dalam keheningan kesadaran seperti ini, saya (dan juga Anda ?) memang tidak pernah lahir dan tidak akan pernah mati.
Yang mati dan lahir hanyalah tubuh. Dan diri ini yang terus mengalir tidak mengenal kamus kelahiran dan kematian.
Sama dengan air yang mengalir di sungai, yang tidak hilang dibawa matahari, maupun tidak hilang ditelan bumi, ia
menghadirkan gemercik-gemercik kegembiraan.
Ketika tulisan ini dibuat, saya memang banyak dipuji dan dilayani. Dan saya paham, jabatan dan atribut-atribut
sejenislah yang membuatnya demikian. Suatu saat ketika atribut itu tidak ada, bukan tidak mungkin makian dan
kebencian yang datang. Dan ini juga ditujukan pada ketiadaan atribut. Dan diri saya yang mengalir memang tidak pernah
disentuh pujian dan makian. Jadi kenapa mesti tertawa ketika dipuja, dan kenapa juga mesti berhenti bernyanyi ketika
dimaki ? Bukankah keduanya tidak ditujukan pada diri ini yang terus mengalir ?.
Terimakasih Tuhan karena sudah membawa saya pada keberuntungan setinggi ini. Sebuah tingkatan yang tidak lagi
memerlukan kepintaran, apa lagi kelicikan.
SAYAP-SAYAP DIRI SEJATI
Oleh: Gede Prama
Kendati Max Weber sudah ratusan tahun yang lalu membahas soal karisma kepemimpinan, dan memberikan beberapa
sumber yang meyakinkan, toh tidak semua orang yang tahu lantas bisa memillikinya. Ratusan artikel, tidak sedikit buku
yang sudah diterbitkan untuk urusan ini, namun toh masih saja ada misteri yang tersisa.
Memang kedengaran tidak populer, kalau di tengah pencaharian-pencaharian dari luar (legalitas, legitimitas, dan
sejenisnya), kalau saya kemudian mengajak orang untuk mencari sumber-sumber karisma di sini : di dalam diri kita
sendiri. Meminjam argumen salah seorang seniman besar India yang bernama Kabir, ‘Janganlah datang ke taman, dalam
tubuh kita sudah ada taman. Duduklah di atas pohon lotus, dan temukan suka cita di sana’.
Ini berarti, ada banyak sekali sumber yang tersedia dalam diri ini. Akan tetapi, karena berbagai faktor, sumber tadi hanya
terbuang percuma, kemudian kita mencarinya di luar. Sebutlah orang yang mencari kesenangan melalui harta dan
wisata. Ia mirip dengan memindahkan buih ombak ke rumah. Ketika buih itu kita ambil dengan ember misalnya, ada rasa
senang dan bangga, karena kita akan bisa memamerkan buih ombak kepada keluarga dan kerabat di rumah. Namun,
tatkala sudah sampai di rumah, baru kita sadar yang tersisa hanya air biasa.
Dalam keheningan dan kejernihan, ingin saya bertutur ke Anda, sayapun pernah lama terlibat dalam kegiatan
‘memindahkan buih ombak’. Tidak sepenuhnya sia-sia tentunya, namun cukup memberi pelajaran, bukan hanya di luar
sana tersedia sumber-sumber kepemimpinan dan suka cita. Di dalam diripun, ada sumber-sumber dalam jumlah tidak
terbatas.
Ibarat sebuah pesawat terbang, tubuh dan jiwa ini sebenarnya sudah memiliki semua komponen yang memungkinkan
kita manusia bisa ‘terbang’ tinggi-tinggi. Cuman, karena demikian banyak beban dan muatan tidak perlu yang kita bawa
ke mana-mana, maka jadilah kehidupan banyak orang seperti pesawat yang hanya parkir di lapangan udara. Sebagian
dari beban-beban tidak perlu tadi adalah rasa marah, benci, dengki, ego, nafsu dan beban-beban sejenis. Sekilas tampak,
kemarahan dan kebencian memang bisa memuaskan diri kita dan memberatkan orang lain. Padahal yang sering terjadi
malah sebaliknya, ia lebih memberatkan diri kita sendiri.
Pernah dilakukan wawancara mendalam terhadap lima ratus orang yang pernah terkena penyakit serangan jantung.
Lebih dari delapan puluh persen responden, memiliki ‘hobi’ marah-marah. Ada sahabat seorang penulis yang iseng-iseng
melakukan penelitian kepustakaan terhadap pemimpin-pemimpin besar yang legendaris. Kebanyakan pemimpin-
pemimpin jenis terakhir adalah kumpulan orang-orang yang penyabar, pemaaf dan amat rajin mendidik diri untuk
senantiasa mencintai orang lain. Makanya, tidak heran kalau seorang sahabat intelektual pernah menyebutkan :
‘membalas kebencian dengan cinta dan kasih sayang adalah prestasi tersulit dan tertinggi yang bisa dicapai manusia di
atas bumi ini’. Ada yang bertanya, bagaimana beban-beban tidak perlu ini bisa dibuang ? Sayangnya saya bukan
psikolog, namun ada sahabat yang meyakini, bahwa kemarahan dan kebencian akan semakin sering datang berkunjung
kalau kita sering mengingat-ingatnya.
Ini baru berkaitan dengan pengurangan beban. Sama pentingnya dengan kegiatan mengurangi beban-beban tidak perlu,
pencaharian untuk menemukan diri sejati juga sama perlunya. Pertanyaan dasar dan klisenya berbunyi : who am I ?
Pohon memang tidak akan pernah tahu, dari bibit apa ia terbuat. Kuda juga tidak terlalu peduli, dalam keadaan
bagaimana ibunya ketika ia berada dalam kandungan. Demikian juga dengan kucing, asal muasal dan pengalaman masa
lalu bukanlah sebuah perkara yang layak untuk dicermati.
Tidak demikian halnya dengan manusia – lebih-lebih yang mau jadi pemimpin. Pengenalan dan penghayatan terhadap
‘bahan-bahan’ diri kita adalah perkara besar dalam hidup. Kondisi sang Ibu ketika kita di dalam kandungan, pengalaman
masa kecil, kejadian-kejadian ekstrim dalam hidup yang hadir sebagai sinyal-sinyal dari sutradara kehidupan, alasan-
alasan yang berada di balik tanjakan dan turunan kehidupan. Semua ini adalah sumber-sumber informasi yang bisa
membawa kita pada pemahaman diri kita yang sejati. Sejumlah psikolog bahkan pernah merekomendasikan untuk
melakukan penelusuran lebih jauh : sampai tahapan kehidupan kita sebelumnya.
Bacaan dan pengalaman hidup saya bertutur, pada titik di mana kita sudah mengenali diri kita yang sejati, badan dan
jiwa ini sudah dipenuhi oleh sayap-sayap diri sejati yang siap membawa kita terbang tinggi-tinggi. Rezeki, jodoh, lahir
dan mati memang bukan wewenang manusia. Tetapi masih dalam wewenang kita untuk mengisi hidup ini dengan penuh
suka cita, memberi vitamin terhadap tubuh dan jiwa, atau membiarkan sayap-sayap diri sejati tumbuh dengan
lancarnya. Menjadi konglomerat material memang masih wewenang Tuhan. Namun, kita bisa mencapai prestasi sebagai
konglomerat spiritual – dari mana semua wibawa, karisma, dan keseganan orang lain berasal – kalau saja kita rajin
berusaha menemukan bahan-bahan dari mana kita terbuat.
Kombinasi dari telah terbuangnya beban-beban tidak perlu, dengan ditemukannya kesejatian diri inilah yang kerap
disebut banyak pemikir sebagai sayap-sayap diri sejati.
SEPI SUNYI YANG MENERANGI
Ketika seorang guru ditanya evolusi jiwa manusia ratusan tahun terakhir, dengan diam sebentar, menatap mata lalu
menjawab, "dari gelap ke gelap".
Dari ketidakpuasan satu ke ketidakpuasan lain. Dari konflik satu ke konflik lain.
Melihat kehidupan bergerak begini, sejumlah orang desa yang polos bertanya, mengapa kemajuan iptek harus seperti
ini? Maafkanlah keluguan. Andaikan keluguan ini dijawab dengan data, angka, logika, mungkin sinyalemen "dari gelap ke
gelap" akan tambah panjang. Angka dilawan angka. Logika mengundang serangan balik logika.
Karena demikian keadaannya, izinkan sekali-sekali bukan angka, bukan logika yang bicara, tetapi sepi sunyi. Tidak dalam
posisi menyebut sepi benar, yang berbeda salah. Sekali lagi tidak. Serupa dengan mulut manusia, gigi wujudnya keras
karena tugasnya memotong dan menghancurkan. Lidah bentuknya lembut karena panggilan hidupnya bukan untuk
menghancurkan, tetapi merasakan.
Keduanya punya tugas lain. Dengan spirit seperti inilah, sepi sunyi dalam tulisan ini mohon izin bicara.
Sejak dulu, pencinta sepi selalu tidak banyak. 0rang yang bertapa di kesunyian selalu lebih sedikit dibanding mereka
yang mencari di keramaian.
Keduanya bertumbuh. 0rang-orang keramaian menyukai bertumbuh ke luar (dengan ukuran kekaguman pujian orang),
sedangkan pencinta kesunyian menyukai bertumbuh ke dalam. Kekaguman dan pujian orang dihindari karena penuh
godaan ego.
Melihat bulan dengan lampu
Satu contoh yang amat menerangi di jalan sunyi adalah pertapa suci Ramana Maharshi. Sampai umur 16 tahun tidak ada
tanda ia akan jadi pertapa. Begitu berkenalan dengan perjalanan ke dalam diri, tiba-tiba badannya panas. Ini
membuatnya lari ke Bukit Arunachala. Lebih dari sekadar panasnya menghilang, ia menikmati kesunyian di tempat ini.
Bahkan selama puluhan tahun menghabiskan hidup yang sepenuhnya diam.
Saat mengakhiri diamnya, Ramana menjawab pertanyaan orang secara mengagumkan hanya dengan segelintir kata.
Dari situ didirikan ashram oleh banyak pengikutnya di sekitar tempat ia bertapa. Tiap kali ditanya siapa gurunya, ia
menggeleng sambil bergumam, "The ultimate consciousness is the only teacher" (Kesadaran yang mahautama itulah
gurunya).
Serupa dengan ini, di sejumlah perenungan dengan judul agama yang berbeda-beda, banyak murid diminta diam.
Awalnya percakapan ke luar menghilang, diganti percakapan ke dalam. Akhirnya percakapan ke dalam pun menghilang.
Dan yang tersisa hanya satu, yakni kesadaran. 0rang-orang yang sudah disinari cahaya kesadaran, akan bergumam,
untuk melihat bulan tidak memerlukan lampu!
Kata-kata, logika, angka mirip lampu luar. Manusia membutuhkan saat gelap.
Namun, dalam terang cahaya kesadaran, manusia tidak memerlukan lampu luar.
Salah satu founding father kehidupan spiritual Bali (Dang Hyang Dwijendra) menulis Kakawin Dharma Sunya. Ia bertutur,
jika batin yang tenang-seimbang adalah sumber keindahan. Bila sumber keindahan sudah di dalam, masihkah manusia
memerlukan lampu penerang dari luar? Dalam bahasa provokatif seorang guru, "When you still have some one who can
make you happy or sad, you are not a master, you are a slave!" (Jika sumber kebahagiaan/kesedihan masih dari luar, itu
tandanya seseorang belum menjadi master, masih jadi budak).
Apresiasi akan sepi memang bukan monopoli Bali. Lama Surya Das (Awakening the Buddha Within) pernah menulis
bahwa puncak perjalanan menemukan perkataan yang benar adalah hening. Eckhart Tolle (Stillness Speaks) juga serupa,
"wisdom comes with the ability to be still. Just look and just listen... let stillness direct your words and actions" (Kearifan
datang dari keheningan. Lihat dan dengar saja... biar keheningan yang menjadi pembimbing). Thomas Merton (Thoughts
in Solitude) menambahkan, "My knowledge of myself in silence... opens out into the silence... of God" (Pengetahuan diri
dalam keheningan membuka rangkaian keheningan yang berujung pada Tuhan).
J Krishnamurti (The Light in Oneself) menyarankan, meditation is absolute silence of the mind (meditasi adalah keadaan
batin yang sepenuhnya hening).
Dainin Katagiri (Returning to Silence) menulis, Shakyamuni is some one who practice tranquil silence (Siapa saja yang
mempraktikkan kesempurnaan keheningan, ia menjadi Buddha). Murid-murid Zen yang perjalanannya suka menekuni
latihan silent illumination. Penyair sufi Rumi bertumbuh jauh dalam sepi. Perhatikan salah satu syairnya (The Rumi
Collections): when you know your own definition, flee from it, that you may attain to the 0ne who cannot be defined
(Saat Anda dipagari kata-kata, cepat-cepatlah menjauh. Ia menghalangi mencapai yang Satu yang tidak terucapkan).
Dengan cerita ini, terlihat banyak manusia yang terterangi rapi oleh sepi sunyi. Ia melewati banyak sekat tradisi. Dari
Sufi, Nasrani, Buddha, sampai Hindu. Jenis manusia-manusia ini memiliki pola pertumbuhan serupa. Logika dan kata-
kata ibarat kulit dan batok kelapa. Di awal manusia membutuhkan.
Namun, begitu dikupas dan dibuka, kelapa dimakan, airnya diminum, kulit dan batoknya dibuang.
Mikhail Naimy (The Book of Mirdad) lebih terang lagi. Kata, logika serupa tongkat, berguna bagi mereka yang kakinya
bermasalah. Bagi jiwa yang kakinya sehat, tongkat hanya beban. Lebih-lebih jiwa yang bisa terbang, tongkat adalah
beban berat.
Selamat hari raya Nyepi dan Selamat Tahun Baru Saka 1929.
Gede Prama Penulis Sejumlah Buku, Tinggal di Desa Tajun, Bali Utara
TINDAKAN KECIL TIDAK DIKENAL
Di kota Liverpool Inggris, tempat John Lennon melahirkan kelompok musik yang
pernah merubah sejarah dunia, saya pernah mengalami sebuah pengalaman
kemanusiaan yang amat menyentuh. Setelah antre cukup lama di kantor
imigrasi, guna memperpanjang visa isteri saya, lebih-lebih setelah mendengar
orang di antrean depan ditanya dan dimaki sana-sini, hati ini sempat kecut
juga. Belum lagi ditambah dengan stok tiket return yang batasnya hari itu
juga. Plus tidak ada uang untuk menyewa hotel kalau terpaksa menginap.
Begitu cekaknya keuangan, bekalpun membawa dari kota Lancaster yang berjarak
sekitar empat jam perjalanan kereta api.
Sesampai di depan petugas, saya terangkan maksud kedatangan saya.
Ketika petugas tahu, bahwa visa yang mau diperpanjang adalah visa isteri, ia
bertanya apakah saya membawa akte pernikahan. Busyet, saya lupa membawanya.
Kalaupun saya bawa, pasti ia tidak mengerti karena dalam bahasa melayu.
Saya sudah siap-siap mental dimaki sebagaimana orang Pakistan di depan, atau
disuruh kembali lain waktu. Tiba-tiba saja saya ingat lagu John Lennon yang
berjudul Imagine, yang bertutur mengenai mimpi John tentang kehidupan
manusia yang tanpa agama, bangsa dan atribut lain yang memisahkan.
Di tengah lamunan akan John Lennon tadi, tiba-tiba saya dikejutkan oleh
suara petugas imigrasi yang menemukan kata Bali sebagai tempat lahir isteri
saya di pasport. Dengan ekspresi yang amat bersahabat ia bertanya, di bagian
mana dari Bali ia lahir, apakah kami sekeluarga senang tinggal di Inggris,
dan sederetan pertanyaan yang sangat menghibur.
Ketika saya tanya balik, kenapa ia demikian bersahabat setelah tahu kami
dari Bali, petugas tadi menceritakan pengalaman pribadinya yang pernah
ditolong orang Bali, ketika mengalami kecelakaan saat berwisata di pulau
dewata ini. Singkat cerita, semua urusan menjadi beres hanya karena ada kata
Bali di pasport.
Mirip dengan pengalaman di Liverpool, di Manchester saya juga pernah
diselamatkan nasib baik. Setelah menempuh penerbangan dari Paris yang
melelahkan, saya ikuti saja antrean manusia yang ada di depan guna diperiksa
imigrasi. Setelah pegal berdiri setengah jam, dan akan memperoleh giliran
bertatap muka dengan petugas imigrasi, baru saya tahu walau saya antre di
tempat yang keliru. Sebagai warga Indonesia, saya antre di tempat yang
ditujukan untuk warga masyarakat Eropa.
Padahal, pesawat berikut ke tempat lain mesti take off kurang dari sejam
lagi.
Saya sudah pasrah, what will be, will be. Pertama-tama, tentu saja
petugasnya cemberut melihat tampang saya. Lebih-lebih setelah melihat
passport yang berisi gambar burung garuda. Namun, karena kesabaran petugas,
dibuka juga itu passport sambil bertanya, di mana saya tinggal selama di Inggris. Setelah saya jawab dengan sebutan
desa Galgate di pinggiran kota kecil Lancaster, tiba-tiba wanita di depan saya wajahnya sumringah. Dengan akrab dia
bercerita tempat lahirnya.
Penduduk desa kecil yang amat bersahabat. Buah apel yang bisa dipetik siapa
saja oleh penduduk desa Galgate. Orang-orang tua jompo yang penuh senyum dan persahabatan tanpa pamrih dan
masih banyak lagi yang lain. Dan, tiba-tiba
saja petugas imigrasi ini minta saya menunggu sebentar, sementara ia pergi
membawa passport saya ke counter lain.
Tidak lebih dari tiga menit, ia sudah mengembalikan passport saya lengkap
dengan stempel imigrasi. Sambil berpesan : sampaikan salam kangen saya buat
penduduk desa Galgate.
Boleh percaya boleh tidak, saya mengalami kejadian-kejadian seperti ini,
dalam frekuensi yang cukup sering. Sejumlah rekan Tionghoa yang mengerti
petunjuk hoki, menyebut saya manusia hoki karena bentuk hidung, telinga dan
dagu yang cocok dengan ciri-ciri hoki. Sebagai manusia biasa, saya memang
memiliki banyak kekurangan. Disebut sering suka cerita yang porno dan jorok.
Suka 'ngompol' (ngomong politik).
Berteriak kalau lagi marah besar di rumah. Wika, Adi dan Suci adalah
manusia-manusia yang paling tahu daftar kekurangan saya. Akan tetapi, sejak
umur yang sangat kecil, saya dibiasakan oleh seorang kakak, untuk
mengumpulkan daftar tindakan-tindakan kecil yang tidak bernama.
Tidak dikenal. Tidak dihitung. Namun, berguna buat alam dan orang lain.
Bukan pada tempatnya, kalau saya membeberkan daftar tindakan- tindakan saya
di kolom ini. Yang jelas, ada semacam kesegaran dalam jiwa, sesaat setelah
melakukan tindakan-tindakan tidak dikenal dan tidak bernama. Kepala yang
pusing, tiba-tiba jadi membaik. Kantong cekak yang membuat dahi berkerut, berubah menjadi ucapan terimakasih ke
Tuhan. Isteri yang tadinya kelihatan seram jadi lembut dan cantik.
Banyak hal bisa berubah setelah melakukan tindakan-tindakan model terakhir.
Saya tidak tahu, apa ini sebuah sugesti, atau ada tangan-tangan kekuatan
alam yang membuatnya demikian. Yang jelas, alam bisa demikian perkasa dan
bertahan lama, karena bergerak dalam siklus memberi, memberi dan memberi.
Rumput hijau memberi kesejukan.
Matahari membawa energi. Air menghadirkan kehidupan. Adakah mereka
membutuhkan imbalan lebih?
Belajar dari ini semua, saya berusaha untuk mematikan keran di tempat umum
yang lupa ditutup orang lain. Membukakan pintu ke orang lain yang tidak
dikenal di lokasi-lokasi publik. Mengembalikan posisi pohon yang roboh.
Mengubur kucing yang mati digilas mobil orang.
Bagaimana dengan Anda?