gangguan sistem endokrin.doc

download gangguan sistem endokrin.doc

of 27

Transcript of gangguan sistem endokrin.doc

PERUBAHAN FUNGSI SISTEM ENDOKRIN PADA LANSIA DAN TERAPI KOMPLEMENTER

Disusun Oleh: Kelompok 3

Maulia Dewi Ikhtiar Fitrah Susalit

Fajar Kurnia NingsihTiara Tresia

Mely Sakiyah

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2013BAB I

TINJAUAN PUSTAKA SISTEM ENDOKRINA. Definisi

Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelanjar yang mensekresikan sinyal kimia berupa hormon ke sistem peredaran darah dalam tubuh (Seeley et al., 2003 dalam Damayanti, 2011). Ia terdiri dari kelompok organ yang saling berinteraksi dan tersebar luas dengan tujuan mempertahankan keseimbangan metabolik atau homeostasis di dalam tubuh (Betty, 2008). Kelompok ini terdiri dari deretan sel-sel, lempengan, atau gumpalan sel yang disokong oleh jaringan ikat halus yang banyak mengandung pembuluh kapiler (Ronald et al., 2010). Sistem endokrin adalah sistem kontrol kelenjar tanpa saluran (ductless) yang menghasilkan hormon yang tersirkulasi ditubuh melalui aliran darah untuk mempengaruhi organ-organ lain. Hormon bertindak sebagai pembawa pesan (messanger) dan dibawa oleh aliran-aliran darah ke berbagai sel dalam tubuh yang selanjutnya akan menerjemahkan pesan tersebut menjadi suatu tindakan. Sistem endokrin tidak memasukkan kelenjar eksokrin seperti kelenjar ludah, kelenjar keringat, dan kelenjar-kelenjar lain dalam saluran gastrointestinal. Sistem endokrin merupakan bagian dari sistem pengatur suhu tubuh, pengaturan berbagai fungsi metabolisme tubuh.

Gambar 1. Sistem Endokrin (Sumber: Betty, 2008)

B. Fisiologi

Sistem endokrin membantu dan memelihara fungsi-fungsi vital seperti (1) respons terhadap stres dan cidera, (2) pertumbuhan dan perkembangan, (3) reproduksi, (4) homeostasis ion, (5) metabolisme energi, dan (6) respons kekebalan tubuh (Nugroho et al, 2011).

Sistem endokrin penting untuk mempertahankan homeostasis ion. Organisme mamalia hidup dalam lingkungan eksternal yang senantiasa mengalami perubahan, tetapi sel-sel dan jaringan harus hidup dalam lingkungan internal yang konstan. Sistem endokrin ikut berperan dalam pengaturan lingkungan internal dengan mempertahankan keseimbangan natrium, kalium, air, dan asam basa. Fungsi ini diatur oleh hormon aldosteron dan antidiuretik (ADH).

Jika terjadi stres atau cedera, sistem endokrin memacu serangkaian reaksi yang ditujukan untuk mempertahankan tekanan darah dan mempertahankan hidup. Sistem yang terutama terlibat dalam reaksi ini adalah aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal.

C. Patofisiologi (Anonim, 2011) Sistem endokrin merupakan suatu sistem yang kompleks dan rumit yang mencakup mekanisme kerja hormonal dan adanya mekanisme umpan balik yang negatif yang sudah tentu akan mempengaruhi perjalanan penyakit. Seperti lazimnya kelainan-kelainan pada organ tubuh, pada kelenjar endokrin pun berlaku hal yang sama dimana gangguan fungsi yang terjadi dapat diakibatkan oleh peradangan atau infeksi, tumor atau keganasan, degenerasi, dan idiopatik. Dampak yang ditimbulkan oleh kondisi patologis diatas terhadap kelenjar endokrin dapat berupa:1. Perubahan bentuk kelenjar tanpa disertai perubahan sekresi hormonal2. Peningkatan sekresi hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin sering diistilahkan dengan hiperfungsi kelenjar.3. Penurunan sekresi hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin, dan diistilahkan dengan hipofungsi kelenjar.4. Adanya hubungan timbal balik antara kelenjar hipofise sebagai master of gland dengan kelenjar targetnya, hipofise terhadap hipotalamus serta jaringan atau organ sasaran dengan kelenjar target, memungkinkan penyebab dari suatu kasus dapat lebih dari satu; artinya mungkin saja penyebab ada pada jaringan/organ sasaran, atau pada kelenjar target, atau pada kelenjar hipofise atau hipotalamus. Oleh karena itu, untuk tujuan kemudahan dalam penanggulangannya maka dalam setiap kasus sebaiknya dipaparkan, kemungkinan penyebabnya baik yang bersifat primer, sekunder, atau tersier. Penyebab yang bersifat primer bila penyebabnya ada pada kelenjar penghasil hormon itu sendiri. Bersifat sekunder, bila penyebabnya ada pada kelenjar di atasnya. Bersifat tersier, bila penyebabnya di luar primer dan sekunder seperti penggunaan obat-obatan tertentu ataupun kelainan pada organ tubuh tertentu yang dapat mempengaruhi fungsi kelenjar. Seperti bila terjadi peningkatan ACTH (hormon hipofise) pada serum yang akan menyebabkan hiperfungsi kelenjar adrenal sehingga terjadi hipersekresi hormon-hormon adrenal maka penyebabnya disebut sekunder. Disebut penyebab primer bila penyebabnya ada pada kelenjar adrenal sendiri. Disebut tersier bila penyebabnya diluar kedua penyebab diatas. Misalnya, pengunaan obat-obatan yang dapat merangsang ACTH atau merangsang sekresi hormon adrenal. Untuk pemahaman yang lebih baik tentang patofisiologi berbagai kelainan endokrin, ada dua hal utama yang harus dipahami dengan baik; efek dari setiap hormon yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin terhadap jaringan endokrin dan terhadap jaringan atau organ sasarannya dan fungsi organ/jaringan sasaran dari setiap hormon.D. Perubahan-perubahan Sistem Endokrin pada Lansia (Pongrekun, 2010) Saat memasuki usia lanjut, tidak hanya penurunan fungsi tubuh yang dialami oleh para lansia, akan tetapi sistem endokrin juga mengalami perubahan. Teori neuroendokrin merupakan teori yang mencoba menjelaskan tentang terjadinya proses penuaan melalui hormon. Penuaan terjadi karena adanya keterlambatan dalam sekresi hormon tertentu sehingga berakibat pada sistem saraf.

Hormon dalam tubuh berperan dalam mengorganisasi organ-organ tubuh melaksanakan tugasnya dan menyeimbangkan fungsi tubuh apabila terjadi gangguan dalam tubuh. Pengeluaran hormon diatur oleh hipotalamus dan hipotalamus juga merespon tingkat hormon tubuh sebagai panduan untuk aktivitas hormonal. Pada lansia, hipotalamus kehilangan kemampuan dalam pengaturan dan sebagai reseptor yang mendeteksi hormon individu menjadi kurang sensitif. Oleh karena itu, pada lansia banyak hormon yang tidak dapat disekresi dan mengalami penurunan keefektivitasan.

Penurunan kemampuan hipotalamus dikaitkan dengan hormon kortisol. Kortisol dihasilkan dari kelenjar adrenal (terletak di ginjal) dan kortisol bertanggung jawab untuk stres. Hal ini dikenal sebagai salah satu dari beberapa hormon yang meningkat dengan usia. Jika kerusakan kortisol hipotalamus, maka seiring waktu hipotalamus akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini kemudian dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormon sebagai hipotalamus kehilangan kemampuan untuk mengendalikan sistem.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem endokrin akibat proses menua:

1. Kadar glukosa darah meningkat. Implikasi dari hal ini adalah Glukosa darah puasa 140 mg/dL dianggap normal. 2. Ambang batas ginjal untuk glukosa meningkat. Implikasi dari hal ini adalah kadar glukosa darah 2 jam PP 140-200 mg/dL dianggap normal. 3. Residu urin di dalam kandung kemih meningkat. Implikasi dari hal ini adalah pemantauan glukosa urin tidak dapat diandalkan.

4. Kelenjar tiroid menjadi lebih kecil, produksi T3 dan T4 sedikit menurun, dan waktu paruh T3 dan T4 meningkat. Implikasi dari hal ini adalah serum T3 dan T4 tetap stabil.

Kelenjar endokrin dapat mengalami kerusakan yang bersifat age-related cell loss, fibrosis, infiltrasi limfosit, dan sebagainya. Perubahan karena usia pada reseptor hormon, kerusakan permeabilitas sel dan sebagainya, dapat menyebabkan perubahan respon inti sel terhadap kompleks hormon-reseptor (Darmojo & Martono, 2006 dalam Mulyani, 2012). Perubahan pada sistem endokrin akibat penuaan antara lain produksi dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah, terjadinya pituitari yaitu pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya di dalam pembuluh darah; berkurang produksi ACTH, TSH, FSH, dan LH. Menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate) dan menurunnya daya pertukaran zat. Menurunnya produksi aldosteron dan menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya progesteron, estrogen dan testosteron (Nugroho, 2008 dalam Mulyani, 2012).

BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Penyakit yang Disebabkan perubahan Sistem Endokrin pada Lansia

Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekwensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus terkait perubahan sistem endokrin. Makalah ini akan membahas diabetes melitus (DM) tipe 2 dan menopause pada lansia serta terapi komplementer pada setiap penyakit pada lansia tersebut.B. Definisi dan Patofisiologi Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya DM, sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah puasa (gula darah puasa 100-125mg/dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140-199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Bila kadar gula darah mencapai >200 mg/dL maka pasien ini masuk dalam kelas Diabetes Melitus (Rochmah, 2007 dalam Kurniawan, 2010).

Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu resistensi insulin dan disfungsi sel pankreas (Arifin, 2011). Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah, sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah. Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pancreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pancreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa.Gambar 2. Patogenesis dan Patofisiologi DM Tipe 2 (Sumber: Hakimi et al., 2010)C. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan Diabetes Melitus Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan.Algoritme pengelolaan DM tipe 2 menurut ADA/EASD dibuat dengan memperhatikan karakteristik intervensi individual, sinergisme dan biaya. Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan A1C < 7% dan mengubah intervensi secepat mungkin bila target glikemik tidak tercapai.a. Tier 1 : well validated core therapy

Intervensi ini merupakan cara yang terbaik dan paling efektif, serta merupakan strategi terapi yang cost-effective untuk mencapai target glikemik. Algoritme tier 1 ini merupakan pilihan utama terapi pasien diabetes tipe 2.

Langkah pertama : Intervensi pola hidup dan metformin.

Berdasarkan bukti-bukti keuntungan jangka pendek dan jangka panjang bila berat badan turun dan aktivitas fisik yang ditingkatkan dapat tercapai dan dipertahankan serta cost effectiveness bila berhasil, maka konsensus ini menyatakan bahwa intervensi pola hidup harus dilaksanakan sebagai langkah pertama pengobatan pasien diabetes tipe 2 yang baru.

Intervensi pola hidup juga untuk memperbaiki tekanan darah, profil lipid, dan menurunkan berat badan atau setidaknya mencegah peningkatan berat badan, harus selalu mendasari pengelolaan pasien diabetes tipe 2, bahkan bila telah diberi obat-obatan. Untuk pasien yang tidak obes ataupun berat badan berlebih, modifikasi komposisi diet dan tingkat aktivitas fisik tetap berperan sebagai pendukung pengobatan.

Para ahli membuktikan bahwa intervensi pola hidup saja sering gagal mencapai atau mempertahankan target metabolik karena kegagalan menurunkan berat badan atau berat badan naik kembali dan sifat penyakit ini yang progresif atau kombinasi faktor- faktor tersebut. Oleh sebab itu pada konsensus ini ditentukan bahwa terapi metformin harus dimulai bersamaan dengan intervensi pola hidup pada saat diagnosis. Metformin direkomendasikan sebagai terapi farmakologik awal, pada keadaan tidak ada kontraindikasi spesifik, karena efek langsungnya terhadap glikemia, tanpa penambahan berat badan dan hipoglikemia pada umumnya, efek samping yang sedikit, dapat diterima oleh pasien dan harga yang relatif murah. Penambahan obat penurun glukosa darah yang lain harus dipertimbangkan bila terdapat hiperglikemia simptomatik persisten.Langkah kedua : menambah obat kedua

Bila dengan intervensi pola hidup dan metformin dosis maksimal yang dapat ditolerir target glikemik tidak tercapai atau tidak dapat dipertahankan, sebaiknya ditambah obat lain setelah 2-3 bulan memulai pengobatan atau setiap saat bila target A1C tidak tercapai. Bila terdapat kontraindikasi terhadap metformin atau pasien tidak dapat mentolerir metformin maka perlu diberikan obat lain. Konsensus menganjurkan penambahan insulin atau sulfonilurea. Yang menentukan obat mana yang dipilih adalah nilai A1C. Pasien dengan A1C > 8,5% atau dengan gejala klinik hiperglikemia sebaiknya diberi insulin; dimulai dengan insulin basal (intermediate-acting atau long acting). Tetapi banyak juga pasien DM tipe 2 yang baru masih memberi respons terhadap obat oral.

Langkah ketiga : penyesuaian lebih lanjut

Bila intervensi pola hidup, metformin dan sulfonilurea atau insulin basal tidak menghasilkan target glikemia, maka langkah selanjutnya adalah mengintesifkan terapi insulin. Intensifikasi terapi insulin biasanya berupa suntikan short acting atau rapid acting yang diberikan sebelum makan. Bila suntikan-suntikan insulin dimulai maka sekretagog insulin harus dihentikan.

b. Tier 2 : less well-validated therapies

Pada kondisi-kondisi klinik tertentu algoritme tingkatan kedua ini dapat dipertimbangkan. Secara spesifik bila hipoglikemia sangat ditakuti (misalnya pada mereka yang melakukan pekerjaan yang berbahaya), maka penambahan exenatide atau pioglitazone dapat dipertimbangkan. Bila penurunan berat badan merupakan pertimbangan penting dan A1C mendekati target (