“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran...

of 102 /102
1 “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”. Oleh : Abdul Gofur NIM : 104011000083 Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1429 H/2008 M “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naquib Al-Attas”.

Embed Size (px)

Transcript of “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran...

  • 1

    Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan

    Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

    Oleh :

    Abdul Gofur

    NIM : 104011000083

    Jurusan Pendidikan Agama Islam

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta

    1429 H/2008 M

    Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan

    Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

  • 2

    Skripsi :

    Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi

    Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I

    Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam

    Oleh :

    Abdul Gofur

    NIM : 104011000083

    Dibawah Bimbingan :

    Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

    NIP : 150222550

    Jurusan Pendidikan Agama Islam

    Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

    Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

    Jakarta

    1429 H/2008

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Pencipta alam semesta,

    Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis

    dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam

    memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah

  • 3

    dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang

    penulis ajukan adalah:

    Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed

    Muhammad Naquib Al-Attas).

    Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad

    SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi

    Pendidik umat manusia.

    Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam

    menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat

    memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan

    kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-

    dalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain:

    1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

    Hidayatullah Jakarta.

    2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan

    Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta

    3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Dosen Pembimbing utama Penulis dalam

    menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela

    kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam

    menyelesaikan skripsi ini.

    4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang

    dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudara-

    saudaraku yang tercinta.

    5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin

    Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad

    Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan

    bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan

    6. Kepada teman-teman Nurul Hikmah yang mau menemani berdiskusi di waktu

    senggang untuk sekedar memuntahkan unek-unek akibat banyak buku yang

    diacak-acak, sehingga skripsi ini terselesaikan.

  • 4

    Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka doa

    semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah

    membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang

    berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu

    yang bermanfaat.

    Amien Ya Rabbal Alamin

    Jakarta, 20 Agustus 2008

  • 5

    DAFTAR ISI

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ...... 1

    A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian .....13

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .... 15

    C. Metodologi Penelitian

    1. Jenis Penelitian ...15

    2. Sumber Data .......16

    3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ....16

    4. Pedoman Penelitian ....17

    D. Sistematika Pembahasan ... 17

    BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

    A. Riwayat Hidup dan Kariernya .18

    B. Situasi Sosial Keagamaan .20

    C. Karya-karya Intelektualnya ..26

    BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU

    A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ............32

    B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu.36

    1. Klasifikasi Ilmu.. 38

    2. Sumber Ilmu46

    3. Metode Ilmu47

    C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu.53

  • 6

    BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

    DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU

    A. Latar Belakang Tujuan..55

    B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas70

    C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas83

    D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan..89

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan93

    B. Saran-saran.94

    DAFTAR PUSTAKA ..95

  • 7

    BAB I

    PENDAHULUAN

    E. Latar belakang masalah

    Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat

    menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas

    jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban

    Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan

    negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran

    negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak,

    pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis,

    kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang

    diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satu-

    satunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi

    pendidikan.

    Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500

    yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_

    bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan

    tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal

    ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan

    utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ardhi. Selain

    daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu

    menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai-

  • 8

    nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti

    menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1.

    Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu

    peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang

    menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya.

    Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus

    menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian

    pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia

    yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban

    daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi

    potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara

    yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia.

    Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan,

    keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan

    manusia yang baik, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat

    manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya

    (Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa . Apa guna kita memiliki seribu

    alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum

    sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka

    Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan

    peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik,

    geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang

    1 Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. ( Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001)

    cet I, hal 1

  • 9

    diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para

    penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi,

    dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid

    Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih

    dan masih banyak tokoh lainnya2.

    Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan

    terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M

    mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik

    ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam

    seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum

    yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan

    (sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup

    pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas.

    Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan

    kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki

    Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam

    yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu

    sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie,

    dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3.

    Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam

    berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif

    2 C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor

    Indonesia,2002) h.75 3 Nikki R. Keddie (ed), Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The

    Middle East Since 1500, (Berkeley dan Los Angeles, 1972) bab I.

  • 10

    masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam.

    Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi

    bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M.

    Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga

    untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang,

    tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan

    perlawanan baik fisik maupun intelektual4.

    Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa

    kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar

    ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai

    mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya,

    umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir

    yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya5, di satu sisi

    para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan

    pemerintahannya.

    Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of

    Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat

    pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw

    sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai

    klimaksnya.

    4 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

    Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209 5 Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. (Jakarta, P3M,1985)

    h.35

  • 11

    Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa

    pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat

    masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep

    Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha

    dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan

    demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang

    dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan

    membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun,

    bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara

    umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan

    bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya?6

    Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari

    pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar

    pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur.

    Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas

    tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti

    apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan

    pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih,

    semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.

    Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian

    yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif

    lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia

    6 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education

    (Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979), hal 5-6

  • 12

    Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal

    ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara

    pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya

    disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.

    Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris,

    artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali

    melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang

    hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai

    entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan

    intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya

    sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian

    dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan

    nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal

    semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar

    relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak

    diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam

    kerja ilmiah.

    Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah

    kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar,

    bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi

    manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan

    7 Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca

    Modern.Jurnal Ulumul Quran No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15

    8 Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10

  • 13

    tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan

    diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada

    Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia

    diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia

    berdasarkan Ijtihad pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur

    dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu

    lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya

    untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.

    Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi

    sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang

    seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang

    seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang

    kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi

    ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah

    moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral

    berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah

    moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis

    dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang

    ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep

    terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10

    9 Rodhiyah Khuzai, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles

    S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45 10 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet.

    VI. 1990) hal. 234

  • 14

    Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh

    dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan

    kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola

    pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya

    dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya

    menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern

    dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran

    Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan

    tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok

    yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep

    sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para

    ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan

    masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara

    ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini

    publik pada tingkat global.

    Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan

    sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang

    berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki

    ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika

    mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun

    terpaksa harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler

    yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam

    dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia

  • 15

    untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu

    pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat

    membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed

    Muhammad Naquib al-Attas serta R.Ismail al-faruqi.

    Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan

    teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang

    menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara

    ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan

    pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap

    nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada

    penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus

    berlandaskan pada asas-asas moral11.

    Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar

    lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Quran dan Sunnah mengajarkan untuk

    mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan

    pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Quran sendiri terdapat kata al-Ilmi dan kata-

    kata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian

    ilmu dalam agama (Islam).

    Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan

    untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12

    : Tadib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna

    pendidikan adalah istilah tadib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap

    11Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235 12 Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

    Kritik . Hal 104

  • 16

    dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas

    sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin

    tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat

    yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual

    dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud

    ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin

    keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga

    bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan

    ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek

    kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan

    ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan

    dalam kenyataannya adalah tadib, karena adab sebagaimana didefinikasikan

    mencakup ilmu dan amal sekaligus.13

    Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan

    didalam Islam yang bersumberkan dari al-Quran bahwa selain kata tarbiyah

    terdapat pula kata talim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan

    pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan

    mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar

    kata) sering digunakan istilah talim dan tarbiyah yang berasal dari kata allama dan

    rabba yang dipergunakan didalam al-Quran, sekalipun kata tarbiyah lebih luas

    konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik

    sekaligus mengandung makna mengajar (allama).selanjutnya Faisal megutip

    13 Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994) hal. 52-60

    14 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997) hal.5

  • 17

    pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag

    mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan talim sebagaimana tersebut diatas

    terdapat pula kata tadib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti

    susunan15

    Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan

    oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah tadib

    merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam.

    Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan

    menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya.

    Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut.

    Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-ilm , karena

    memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah

    wahyu atau al quran yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa

    metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama

    valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat

    bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini

    menunjukkan, bahwa alilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains

    dalam versi Barat, akar sandaran al-ilm justru berasal langsung dari sang maha

    berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang

    penguasa segala-galanya17

    15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156 16 Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta:

    Pustaka,1991) hal. 222 17 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode

    Kritik . hal 105

  • 18

    Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran.

    Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut

    memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan

    semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga

    pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi

    juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-quran yang

    berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya.

    Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik

    materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris

    (sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris

    (sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif

    inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode

    analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah

    hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk

    menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau

    metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang

    empirik dengan yang abstrak18.

    Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode

    penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa

    menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang

    menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya

    berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan

    18 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.

    (Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 ) hal. 34

  • 19

    teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode

    penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik

    atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian

    mistik-sufistik.

    Menguaknya gagasan Islamisasi Pengetahuan abad modern, yang

    dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya

    mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada

    konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa

    tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan

    yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal

    ini sejalan dengan Ismail Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak

    dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan

    yang dialami umat19.

    Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh

    Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian

    ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul

    Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed

    Muhammad Naquib. Al-Attas).

    19 Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.

    h.38

  • 20

    B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

    Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah

    konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor

    yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut.

    Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi

    pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas.

    Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai

    berikut :

    1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu?

    2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap

    Epistemology Islam dengan Barat ?

    3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang

    dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ?

    C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

    Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas

    1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas

    2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad

    Naquib Al-attas

    Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk :

    1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam di

    Indonesia.

  • 21

    2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan

    khazanah intelektual Islam Indonesia.

    3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan,

    sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi

    pendidikan yang dilakukan di Indonesia.

    D. Metodologi Penelitian.

    Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis

    menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan

    argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena

    penelitiannya terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan

    masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan

    watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah

    pendekatan sejarah (historical approach).

    ` Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian

    deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam

    pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara

    melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data

    yang ada korelasinya dengan obyek penelitian.

    Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan

    sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang

    20 Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi

    pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12 langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat (Yogya:Kanisius,1990) h.63-65

  • 22

    terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada

    hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed

    Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,

    1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme,

    (Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam

    dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib

    Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the

    Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)

    cet, ke-2.

    Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat

    dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan,

    2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum

    Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data,

    digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan

    untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed

    Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.

    E. Sistematika Pembahasan

    Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis

    membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu

    sebagai berikut :

    Bab I : Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan,

    tujuan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan.

  • 23

    Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup

    dan karier hidup serta karya-karyanya.

    Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu,

    Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat

    Islamisasi Ilmu.

    Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang

    tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik

    Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib

    al-Attas terhadap Pendidikan.

    Bab V : Penutup, Kesimpulan dan Saran.

  • 24

    BAB II

    OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS

    A. Riwayat Hidup dan Kariernya

    Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september

    1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah

    ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga

    Balawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang

    Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi

    ulama besar, yaitu Syed Muhammad Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan

    pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan

    Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat

    Rifaiyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A,

    berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja

    Sunda Sukaparna22.

    Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang

    bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal

    tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah

    Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku

    Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik

    Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku

    Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk

    Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,

    ( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45 22 Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-

    Attas dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli Oktober 1991 ), h.90

  • 25

    kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed

    Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.

    Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga

    bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan

    Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang

    Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya

    dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz anak dari Ungku Abdul Madjid

    berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar,

    ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia

    dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National

    Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan

    Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.

    Melihat latar belakang keluarga al-Attas yang telah penulis ketengahkan,

    Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan yang

    tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio

    kultural, akan tetapi dari golongan ningrat, didalam dirinya mengalir tidak hanya

    darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam

    hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang

    diajarkan dalam ajaran tasawuf.

  • 26

    B. Situasi Sosial Keagamaannya

    Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari

    keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan

    dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia

    memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya

    kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran

    Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School

    (1936-1941)23.

    Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, al-

    Attas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan

    pendidikannya di Madrasah alUrwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab

    dan agama Islam.

    Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke

    Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan

    selanjutnya di English College ( 1046-1951). Selama menyelesaikan

    pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul

    Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang

    sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas

    perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan

    masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang

    tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian

    23 Syaidul Muzani, Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, h.91

  • 27

    banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian

    hari.

    Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di

    Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang

    sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall,

    Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris

    (1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspek-

    aspek yang memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup

    masyarakat Inggris24.

    Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas

    ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada

    saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan.

    namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya,

    sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan

    menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah

    berpangkat Letnan.

    Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke

    Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini

    kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku.

    Buku yang pertama adalah Rubaiyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some

    Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang

    24 Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H.

    92 25 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar), cet.ke-

    1, h. 251

  • 28

    diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang

    kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh

    pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di

    Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu

    ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil

    meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of

    17th Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di

    Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia,

    seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko

    Izutsu.

    Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill,

    akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental

    and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap

    sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika

    dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga

    lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.

    Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi

    ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.

    Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus

    yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha

    menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun

    26 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.256

  • 29

    usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya

    tersebut.

    Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas

    Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut

    bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari

    1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di

    Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan Islam dalam Sejarah

    Kebudayaan Melayu

    Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan

    kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima

    beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah

    Iran pada tahun 1975 sebagai Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran ( Fellow

    Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah

    Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran

    Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American

    Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London

    pada tahun pada 1976.

    Al-Attas telah melanglang buana keberbagai Negara, menjadi

    Narasumber atau peserta pada acara-acara yang bertaraf Internasional, diantaranya

    seperti, memimpin Komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam

    pada Konferensi Dunia pertama mengenai pendidikan yang berlangsung di

    Mekkah pada tahun 1997.

  • 30

    Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin

    pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah

    Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia,

    karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai

    penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas

    dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun

    Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika

    Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus

    Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization),

    Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato Seri Anwar Ibrahim dalam

    kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional

    ( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang

    pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam (

    Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada

    tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal

    Academy of Yordan27.

    Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti

    Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga

    memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas

    pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun

    1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus

    ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan

    27 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.257-258

  • 31

    klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas

    diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan

    dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam

    sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.

    Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman

    memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai seorang pemikir jenius. Al-Attas

    datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan

    oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau

    mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan

    lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak

    hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang

    berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di

    gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri

    tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari

    setengah abad membingungkan para Orientalis.

    Pemikiran dan tulisan-tulisan al-Attas mengenai agama Islam dan

    hubungannya dengan identitas kebudayaan dan sejarah telah menyedot perhatian

    bagi khalayak ramai., khususnya para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa yang di

    bawah bimbingannya ini kemudian membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam

    Malaysia), GAPIM (Gabungan Penulis Islam Malaysia), dan ASASI (Akademi

    Sains Islam). Sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Attas

    merupakan salah seorang tokoh yang ikut berperan membuka pintu bagi

    kebangkitan Islam di Malaysia sejak tahun 1970.

  • 32

    C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas

    1. Buku dan Monograf

    Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat,

    ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam

    bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak

    diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu,

    Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan

    Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti,

    bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara

    karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut:

    1. Rangkaian Rubuiyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala

    Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan

    syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas

    juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya

    tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq).

    2. Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays,

    terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini

    membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang

    terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya

    yang dipraktekkan di Malaysia.

    3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the

    Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku

    28A. Khudhori Shoeh. Wacana Baru Filsafat Islam h.55

  • 33

    ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli

    sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan

    Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke

    Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke

    Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam

    karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan

    pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di

    kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam

    Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam

    perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur

    Melayu-Indonesia.

    4. Islam: The Concep of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,

    terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah

    diterjemahkan kedalam bahasa Korea, Jepang dan Turki. Karya ini menjelaskan

    konsep Islam sebagai suatu agama (din), dalam uraiannya al-Attas secara

    singkat menjelaskan arti din yang saling berkaitan yang menunjuk kepada

    iman., kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang dianut

    oleh orang-orang muslim baik secara individu mapun kolektif sebagai suatu

    komunitas. Kemudian merangkumnya secara keseluruhan sebagai suatu

    kesatuan pengertian yang obyektif sebagai agama yang disebut dengan Islam.

    Disamping itu, dalam buku ini al-Attas juga menegaskan bahwa tantangan ilmu

    pengetahuan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini.

  • 34

    5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah

    diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia,

    Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual

    Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau

    sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya.

    Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat

    diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.

    6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series,

    terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong:

    1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari

    kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara

    dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang

    diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret 8 April 1977. Dalam

    konferensi itu al-Attas dipilih sebagai pembicara utama dengan

    mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on

    the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. Al-

    Attas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di

    ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan

    tujuan-tujuan pendidikan.

    7. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy

    of Education, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1980., diterjemahkan ke dalam

    bahasa Indonesia, Persia, dan Arab. Buku ini merupakan materi yang

    dipersiapkan al-Attas selaku pembicara pada Konferensi Internasional Kedua

  • 35

    tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 -

    20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah

    disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah.

    Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan

    unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan

    dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu

    konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilm dan

    marifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan.

    8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989.

    buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia,

    Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang

    dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi

    faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha

    mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi

    Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas

    yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan

    merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.

    9. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, terbitan ISTAC,

    Kuala Lumpur, 1990. buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi

    buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan al-Attas dalam menjelaskan

    kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam

    bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy

    of Science.

  • 36

    10. The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari

    buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam,

    karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali

    kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para

    intelektual muslim beberapa abad yang silam.

    11. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur,

    1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini

    memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran

    al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.

    Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak

    negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer.

    2. Artikel

    Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya

    mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk

    artikel, di antaranya adalah sebagai berikut:

    1. I slamic Culture in Malaysia, Malaysian Society of Orientalis,

    Kuala Lumpur, 1966.

    2. Rampaian Sajak, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti

    Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.

    3. Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period, Encyclopedia of

    Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.

    4. Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-Gaya Penelitian

    Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu,

  • 37

    Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti

    Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.

    5. Islam in Malaysia, Malaysia Panorama, Edisi Spesial,

    Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974.

    6. Islam dan Kebudayaan Malaysia Syarahan Tun Sri Lanang, seri

    kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur,

    1976.

    7. Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbals Thought,

    International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal,

    Lahore, 1977.

    8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of

    Implementation, World Symposium of al-Isra, Ammam, 1979.

    9. ASEAN Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?

    Diskusi, jil. 4, no. 11 12, November Desember, 1979.

    10. Hijrah: Apa Artinya? Panji Masyarakat, Desember, 1979.

    11. Knowledge and Non-Knowlwdge, Readings in Islam, No. 8, First

    Quarter, Kuala Lumpur, 1980.

    12. The Concept of Education in Islam, Second World Conference on

    Muslim Education, Islamabad, 1980.

    13. Religion and Secularity, Congress of the worlds Religions, New

    York, 1985.

  • 38

    BAB III

    PARADIGMA KEILMUAN

    A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu

    Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya

    untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan

    lilalamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan,

    dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh

    setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas

    manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan

    intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena

    Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak

    dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang

    berbeda.

    Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak

    pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi

    kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi

    Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of

    Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya

    kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan

    modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan

    1 Nasim Butt, Scince and Muslim Society, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam

    masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69 30

  • 39

    Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di

    wilayah teknologi31.

    Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia

    yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada

    April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang

    bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi

    dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan

    tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.

    Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi

    wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi

    kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut

    dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan

    melakukan Eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap

    komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta

    menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam

    tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan

    khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena

    terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan

    modern.

    31 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic

    science. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214

    32 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990), hal 867.

    33 A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal.86

  • 40

    Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan

    sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan

    modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam

    semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip

    Islam34.

    Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut

    :

    1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi

    didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan

    ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman

    kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut.

    2. melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.

    Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius

    secara diferensial.

    3. Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-quran disamping

    fenomena alam.35

    Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling

    melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan

    pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu

    Pengetahuan.

    Ismail Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1)

    penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei

    34 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science h. 214-235

    35 Mulyanto, Islamisasi Ilmu pengetahuan, Ulumul Quran, no.9, vol. II/1991 hal 58

  • 41

    displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah

    ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5)

    penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern,

    tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap

    khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei

    permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang

    dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan

    kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; (12)

    penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi.

    Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang

    harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap

    keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan.

    Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab

    utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini

    menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan,

    gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi

    hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar

    sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme

    absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang

    mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan

    tindakan Tuhan.

    36 Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: : Its Implication for thought and life diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), cet. Ke-2, hal.2

  • 42

    Impilikasi pandangan tauhid diatas dapat ditemukan pada

    pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu

    pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai

    sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang

    keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang

    teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk

    memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan

    pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup

    dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola

    hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia.

    Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat

    saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan

    alam secara menyeluruh.

    B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu

    Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah

    sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.

    Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar

    Peradaban, membagi dua masaah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif

    dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal,

    biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan

    urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah

  • 43

    kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai

    pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37.

    Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan

    perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis

    sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari

    kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-

    sampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya.

    Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja

    untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri.

    Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan

    hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.

    Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat

    modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human

    Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya,

    masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan

    menjadi impersonal.

    Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah

    sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang

    kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang

    diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak

    rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan

    hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak

    37 Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007)

    cet.I hal 216

  • 44

    sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari

    hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada

    jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis.

    Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn

    moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai

    Ilahiyah (Transenden)38.

    Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran

    berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial

    Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi

    yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup,

    namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa

    kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup

    yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang

    bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan

    keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola

    hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari dunia sana dan hanya memusatkan pada

    disini dan sekarang ini. Karena mereka memuja kemakmuran material yang

    disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam

    kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39.

    Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum

    mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai

    Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur

    38.Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 39. Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban , l. 218

  • 45

    dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat

    Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun

    golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran

    pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat

    Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam

    diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini

    berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lilalamin

    dan pemersatu umat menjadi tereduksi.

    Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya:

    1. Klasifikasi ilmu

    Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan

    oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini

    dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu

    pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup

    manusia.

    Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung

    pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita

    akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan

    menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional)

    ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia

    mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah.

    Setiap bagian ini sudah pasti memiliki tingkat yang berbeda-beda. Klasifikasi

    diatas tidak bisa dianggap sebagai dualitas karena tidak memiliki validitas yang

  • 46

    sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi

    dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al-

    Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama

    pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan

    menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari

    validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan

    status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40

    Al-attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan cara-cara untuk

    mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Marifah) dan ilmu

    sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan

    keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan

    kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41

    1. Ilmu Iluminasi (Marifat )

    Iluminasi (Marifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai

    karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal

    ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah

    SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq

    dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara

    langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki

    40 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.1

    41 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19

    42 Sesorang apabla ingin memperoleh ilmu ini, maka ia wajib mempelajari dan memiliki ilmu syarat utma ini, yaitu diantaranya ia wajib memahami dengan sempurna rukun-rukun Islam dan Iman. Wajib mengenai tauhid. Wajib mengerjakan amal ibadah kepada Allah swt. (Untuk lebih lengkapnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, op.cit., h. 80)

  • 47

    kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan

    ruhani.

    Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang

    diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan

    ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang

    yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known)

    melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah

    terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan

    keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi

    batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan

    sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui

    sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas

    dan tingkat yang ingin diketahuinya.

    Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa

    manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas,

    ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Quran, yang kemudian dipahami dan diamalkan

    oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Quran dan sunnah ini disebut

    dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu

    Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi

    merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua

    formulasi sains dan aktivitas umat.

    2.Ilmu Sains (Ilmu Pengetahuan)

  • 48

    Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha

    akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan

    pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.

    Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk

    memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena

    sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera

    konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita

    dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian

    diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi

    obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode

    observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh

    pengetahuan jenis apapun44.

    Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan

    inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif

    untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya

    objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan

    sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang hal-

    hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang

    dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan

    dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling

    bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.

    43 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 44 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke-

    1,h.97

  • 49

    Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki,

    pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya

    pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena

    sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit.

    Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi

    kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut.

    Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalan-

    jalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha

    Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di

    atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk

    mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi

    logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari

    ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi

    manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus

    berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam

    untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus

    mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu

    mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.

    Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu

    dikalsifikasilan menjadi Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi

    (Marifat ) merupakan ilmu Fardhu Ain. 46 artinya ilmu yang harus dipelajari

    45 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-

    Attas, h. 270 46 Konsep ini bukan berarti umat Islam harus mempelajari ilmu iluminasi saja, sebab ada

    keterkaitan antara ilmu iluminasi dan sains. Misalnya walaupun ilmu iluminasi statusnya lebih tinggi

  • 50

    oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan

    menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu

    pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu

    pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja,

    maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah

    kewajiban bagi yang lain.

    Konsep ilmu Fardhu AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih

    mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu

    jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi

    umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena

    seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-

    batasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat

    mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih

    bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang

    mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat.

    Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ain dan fardhu kifayah dalam

    konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:

    dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu iluminasi tersebut.

    47 Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157)

    48 Yaitu adanya pemahaman sebagian ulama nbahwa menuntut ilmu agama tergolong fardhu ain, sementara ilmu non-agama termasuk fardhu kifayah, lihat Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18

  • 51

    1. Fardhu Ain

    Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ain bukanlah kumpulan ilmu

    yang kaku dan tertutup.49 Ruang lingkup fardhu ain sangat luas sesuai

    dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial, dan

    profesionalisme seseorang.50 Dengan demikian, karena Islam mewajibkan

    mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan

    sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang muslim diwajibkan

    menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih

    tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan

    menghitung.

    Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu ain adalah

    ilmu-ilmu agama yaitu sebagai berikut:

    a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsir dan Tawil)

    b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul

    sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya.

    c) Asy-Syariah; undang-undang hukum, prinsip-prinsip, dan

    praktek-praktek Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).

    d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta

    tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhid).

    49 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-

    Attas., h.273 50 Misalnya di ISTAC meskipun ditawarkan beberapa mata kuliah dalam bidang hukum dan

    fiqih Islam namun tidak diwajibkan, kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat individual, yaitu jika pembimbing mahasiswa merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan Islam.

  • 52

    e) Metafisika Islam (at-Tashawuf), Psikologi, Kosmologi, dan

    Ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk

    doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan

    tingkatan-tingkatan wujud).51

    f) Ilmu Linguistik; bahasa Arab, tata bahasa leksikografi, dan

    kesusasteraannya.

    Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu ain

    bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia

    harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti

    diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat

    dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu ain

    bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan

    spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya.

    2. Fardhu Kifayah

    Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah

    tidak diwajibkan kepada setiap indvidu muslim untuk mempelajarinya.

    Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah

    memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang

    memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng

    51 Menurut al-Attas mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum

    pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaiman yang diterangkn dalam al-Quran, hadis, teologi, dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu ini harus dipelajari oleh setiap mahasiswa yang belajar di ISTAC. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas., h. 277

  • 53

    jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya.

    Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan

    teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya

    dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk

    kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah

    manjdi:52

    a. Ilmu-ilmu kemanusiaan,

    b. Ilmu-ilmu alam,

    c. Ilmu-ilmu terapan,

    d. Ilmu-ilmu teknologi,

    e. Perbandingan agama,

    f. Kebudayaan dan peradaban Barat,

    g. Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam,

    h. Sejarah Islam,

    Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah

    bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus

    dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan

    oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,53 yang tidak terhitung

    jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu ain bersifat

    dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat

    dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan

    kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.

    52 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al. ntegrasi

    Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 80

  • 54

    2. Sumber dan Metode Ilmu

    1. Sumber Ilmu

    Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan

    oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki

    manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari

    sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam

    jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah

    sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan54.

    Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan

    bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari realitas objek.

    Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam

    menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia

    bukan dalam diri objek55.konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi

    Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa

    makna pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara

    objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya,

    manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi56.

    2. Metode Ilmu

    Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna

    objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan

    fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui