“Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran...
Embed Size (px)
Transcript of “Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran...
-
1
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Oleh :
Abdul Gofur
NIM : 104011000083
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1429 H/2008 M
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Studi Pemikiran Pendidikan
Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
-
2
Skripsi :
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi
Syarat-syarat guna Mencapai Gelar Sarjana Strata I
Dalam Bidang Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Abdul Gofur
NIM : 104011000083
Dibawah Bimbingan :
Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA
NIP : 150222550
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta
1429 H/2008
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, Pencipta alam semesta,
Dzat yang Maha Rahman dan Rahim, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis
dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Agama Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah
-
3
dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Judul yang
penulis ajukan adalah:
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib Al-Attas).
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW semoga tercurah pula kepada keluarga dan pengikutnya yang menjadi
Pendidik umat manusia.
Penullis sangat menyadari keterbatasan kemampuan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini, juga penulis menyadari bahwa setiap manusia pasti sangat
memerlukan bantuan dari sesamamnya. Oleh sebab itu dengan ketulusan hati dan
kerendahan hati ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada semua yang telah membantu penulis, antara lain:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Abdul Fattah Wibisono, MA, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam dan
Drs. Syafiudin Siddiq, sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta
3. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA, Dosen Pembimbing utama Penulis dalam
menyelesaikan skripsi, yang telah meluangkan waktu dan pikiran disela-sela
kesibukannya untuk memberikan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Orang tuaku yang tercinta, Ibunda Hj. Aisyah dan Ayahanda H. Rochmani yang
dengan sabar memberikan dukungan moril maupun materil, dan kepada saudara-
saudaraku yang tercinta.
5. Sahabat dan teman-temanku dari jurusan PAI angkatan 2004, Humaidi, Amin
Rahman, Faishil Qibthiyah, Melati Triksiana, khusus kepada Muhammad
Muyasser yang telah membantu dengan memberikan perhatian serta memberikan
bantuan moril, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan
6. Kepada teman-teman Nurul Hikmah yang mau menemani berdiskusi di waktu
senggang untuk sekedar memuntahkan unek-unek akibat banyak buku yang
diacak-acak, sehingga skripsi ini terselesaikan.
-
4
Akhirnya hanya kepada Allah Jualah penulis berharap dan memanjatka doa
semoga amal baik semua pihak da termasuk daripada Shodaqoh Jariyah yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini senantiasa mendapat balasan yang
berlipat dari Allah SWT, dan semoga ilmu yang penulis dapatkan termasuk ilmu
yang bermanfaat.
Amien Ya Rabbal Alamin
Jakarta, 20 Agustus 2008
-
5
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...... 1
A. Tujuan dan Signifikansi Penelitian .....13
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .... 15
C. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian ...15
2. Sumber Data .......16
3. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ....16
4. Pedoman Penelitian ....17
D. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II : OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Riwayat Hidup dan Kariernya .18
B. Situasi Sosial Keagamaan .20
C. Karya-karya Intelektualnya ..26
BAB III : PARADIGMA ISLAMISASI ILMU
A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu ............32
B. Ruang Lingkup Islamisasi Ilmu.36
1. Klasifikasi Ilmu.. 38
2. Sumber Ilmu46
3. Metode Ilmu47
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Islamisasi Ilmu.53
-
6
BAB IV : PANDANGAN SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
DALAM MENJAJAKI KEMUNGKINAN ISLAMISASI ILMU
A. Latar Belakang Tujuan..55
B. Konsep Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas70
C. Karakteristik Islam dan Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Attas83
D. Pengaruh Islamisasi Naquib al-Attas Terhadap Pendidikan..89
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan93
B. Saran-saran.94
DAFTAR PUSTAKA ..95
-
7
BAB I
PENDAHULUAN
E. Latar belakang masalah
Terdapat Fenomena menarik mengusung abad ke-21, kemajuan peradaban Barat
menjadi suatu kiblat utama peradaban bangsa lain. Kemajuan teknologi tak terbatas
jangkaunnya. Barat menjadi ikon kemajuan peradaban abad 21, kemajuan peradaban
Barat tidak disertai dengan nilai-nilai pada aspek pendidikan, pemaksaan hak akan
negara lain tentang suatu model negara terlihat pada penyerbuan besar-besaran
negara Adidaya bersama para sekutunya terhadap negara kecil penghasil minyak,
pemaksaan ideology menjadi model utama baik itu bermadzhab sosialis komunis,
kapitalis, bahkan agamis, ideology diperankan sebagai mesin kekuatan yang
diharapkan dapat mengangkat martabat para pengusung ideology mereka, satu-
satunya perahu yang dapat mengantarkan pada tujuan yaitu tentang konsepsi
pendidikan.
Aneka panorama ini pada satu sisi mengikuti pendapatnya Zeno pada 2500
yang lalu bahwa seluruh benda_ baik benda yang hidup maupun yang mati_
bergerak kepada arah kehancuran sedangkan pada sisi lain bahwa neraca pendidikan
tak jelas arahnya pada satu ideology yang di tawarkan oleh negara-negara maju, hal
ini berimplikasi pada apakah sesungguhnya konsep pendidikan yang sesuai tujuan
utama penciptaan manusia dimuka bumi ini sebagai Kholifah Fil ardhi. Selain
daripada itu pendidikan yang bermutu merupakan wahana SDM yang mampu
menerapkan, mengembangkan dan menguasai IPTEK dengan tetap dilandasi nilai-
-
8
nilai agama, moral dan budaya luhur bangsa, sedangkan kualitas SDM terbukti
menjadi factor cerminan kemajuan suatu bangsa1.
Pendidikan memiliki andil yang sangat besar dalam membangun suatu
peradaban yang luhur. Dilihat dalam segi obyek formalnya, pendidikan memang
menjadikan sarana kemampuan manusia untuk dibahas dan dikembangkannya.
Dalam persoalan kemajuan pendidikan dan umat, kemampuan manusia ini harus
menjadi perhatian utama, karena ia menjadi penentunya. Ini berarti kajian
pendidikan berhubungan langsung dengan pengembangan sumber daya manusia
yang belakangan ini diyakini lebih mampu mengalahkan kemajuan peradaban
daripada sumberdaya alam. Ada banyak negara yang potensi alamnya kecil tetapi
potensi sumberdaya manusianya besar mampu mengalahkan kemampuan negara
yang sumber alamnya besar tetapi sumber daya manusianya kecil seperti Indonesia.
Nilai-nilai etika sudah menjadi moralitas bangsa yang tergadaikan,
keurgensian reinternalisasi nilai-nilai pendidikan sudah tidak lagi melahirkan
manusia yang baik, tetapi justru melahirkan destroyer bagi kesejahteraan umat
manusia dan alam semesta. Mungkin karena fenomena ini Mangunwijaya
(Tholkhah,2004:129 )mengatakan bahwa . Apa guna kita memiliki seribu
alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum
sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka
Di dalam kacamata sejarah, umat Islam pernah mencapai masa keemasan
peradaban ditandai dengan kemajuan diberbagai aspek, ekonomi, sastra, politik,
geografi yang menjadi sentral peradaban, penyerapan ilmu-ilmu yang berkembang
1 Manshur Isha, Diskursus Pendidikan Islam. ( Yogyakarta : Global Pustaka Utama 2001)
cet I, hal 1
-
9
diIslamisasikan menjadi ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, perhatian para
penguasa terhadap pendidikan mengantarkan peradaban umat Islam tak tertandingi,
dan banyak melahirkan tokoh-tokoh handal sepanjang sejarah, seperti, Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ibnu Rusydy, Al-Faraby, Ibnu Maskawaih
dan masih banyak tokoh lainnya2.
Kekalahan Islam akibat penghancuran yang dilakukan oleh Hulagu Khan
terhadap kota Baghdad sebagai pusat kekuasaan Islam pada tahun 1258 M
mengakibatkan kemunduran umat Islam dalam segala bidang kehidupan, baik
ekonomi, politik, budaya maupun pendidikan. Pasca penghancuran itu, umat Islam
seakan-akan sudah kehilangan semangat dalam menggali ilmu pengetahuan umum
yang bersifat ilmiah. Pembahasan-pembahasan serius dalam bidang kebudayaan
(sastra), filsafat, dan teologi yang seringkali dilakukan para Ilmuwan yang hidup
pada zaman kejayaan peradaban Islam, hilang tak membekas.
Kemiskinan intelektual ini tidak bisa pulih, meskipun terdapat penyatuan
kembali hampir seluruh wilayah Islam pada abad ke-16 dibawah dinasti Turki
Utsmani. Penguasa baru ini sama sekali tak mampu melindungi kebudayaan Islam
yang luhur, kendatipun dibatas wilayah-wilayah kekuasaanya sendiri. Sementara itu
sistem pendidikan dalam periode ini, sebagaimana dilaporkan oleh Nikki R. Keddie,
dikuasai oleh para pemimpin agama, yaitu Ulama3.
Kondisi seperti ini berlangsung sangat lama, sehingga pendidikan Islam
berada dalam keterbelakangan. Pendidikan Islam tidak lagi memberikan perspektif
2 C.A.Qadir Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta,Yayasan obor
Indonesia,2002) h.75 3 Nikki R. Keddie (ed), Scholars, saints and Sufism: Muslim Religioon Institutions in The
Middle East Since 1500, (Berkeley dan Los Angeles, 1972) bab I.
-
10
masa depan yang cerah. Keadaan demikian berlaku di semua negara Islam.
Beriringan dengan masa ini, negara-negara Islam sedang menjadi obyek jajahan bagi
bangsa Eropa, sementara itu Napoleon mendarat dimesir pada tahun 1798 M.
Namun, ekspedisi ini datang tidak hanya untuk kepentingan militer, tetapi juga
untuk keperluan ilmiah, sehingga dia membawa para ahli dalam berbagai cabang,
tampaknya kedatangan Napoleon ini direspon oleh para pemikir Islam dengan
perlawanan baik fisik maupun intelektual4.
Umat Islam setelah mengalami masa kejayaan, memasuki masa-masa
kemunduran, hal ini diakibatkan banyak faktor tetapi faktor yang paling mendasar
ialah kurangnya perhatian para penguasa pada pendidikan, umat Islam mulai
mengalami kerancuan berfikir yang dahulu diperankan oleh para pendahulunya,
umat Islam sudah tidak lagi menggunakan rasionalitas berubah menjadi pola pikir
yang cenderung eksklusif, konservatif dalam memandang kehidupannya5, di satu sisi
para penguasa tidak menggunakan nuraninya lagi dalam menjalankan
pemerintahannya.
Pendidikan diberbagai dunia bahkan di Indonesia hanya diartikan Transfer of
Knowledge, nilai-nilai moralitas tak lagi menjadi perhatian serius, hal ini berakibat
pada lahirnya robot-robot yang tak bermoral. Hilangnya sosok Nabi Muhammad saw
sebagi Public Figure mengantarkan kebobrokan moral umat manusia mencapai
klimaksnya.
4 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik,( Surabaya, Erlangga. 2005) hal. 209 5 Poeradisastra, Sumbangan IslamTerhadap Perkembangan Modern. (Jakarta, P3M,1985)
h.35
-
11
Dalam hal ini Syed Muhammad Naquib al-Attas berkomentar bahwa
pengalaman keruntuhan dan perpecahan kekuatan dan masyarakat Islam membuat
masyarakat Islam, terutama tokoh reformernya, menilik kembali konsep-konsep
Ibnu Khaldun tentang Ummah dan Negara dalam Islam sehingga sebagai usaha
dikerahkan kepada pembangunan kembali konsep-konsep tersebut. Dengan
demikian, perhatian terhadap konsep-konsep individu dan peranan yang
dimainkannya dalam mewujudkan dan membina umat dan negara Islam dan
membina umat dan negara Islam itu sudah terabaikan sama sekali. Namun,
bagaimana suatau umat dan negara Islam dapat dibangun dan ditegakkan sementara
umat Uslam secara individual, yang menjadi sel-selnya, berada dalam keadaan
bingung dan tidak mengerti apa-apa tentang Islam dan ajaran-ajarannya?6
Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia tak terlepas dari
pendidikan dalam aspek epistemology ilmu yang telah di bangun oleh para pakar
pendidikan baik ahli di Barat maupun di timur.
Epistemologi secara umum dapat diartikan dengan filsafat yang membahas
tentang pengetahuan. Banyak hal menarik yang dibahas dalam epistemology, seperti
apakah seputar akal atau indera yang menjadi alat utama untuk mendapatkan
pengetahuan atau dalam bentuk pertanyaan lain apakah pengetahuan yang shohih,
semata-mata dihasilkan dari hasil logika atau observasi ketat saja.
Epistemologi Barat kini telah menjadi suatu cara pemikiran dan pencarian
yang sangat dominan dengan mengesampingkan cara-cara pengetahuan alternatif
lainnya. Bahkan sesungguhnya seluruh planet ini dibentuk dengan citra manusia
6 Syed Muhammad al-Naquib al-Attas, [Ed.], Aims and Objectives of Islamic Education
(Jeddah : Hodder and Stoughton, King Abdul Aziz University, 1979), hal 5-6
-
12
Barat, imperalisme tersebut menunjukkan tanda-tanda akan terus merambah, jika hal
ini dibiarkan, maka perilaku utilitarinisme, hedonisme, sekulerisasi bahkan cara
pandang materialisme akan melanda masyarakat muslim dan hal ini sebahagiannya
disebabkan oleh factor-faktor epistemologis.
Selain itu epistemologi Barat cenderung mengarah kepada authopocentris,
artinya epistemologinya didasarkan pada tradisi budaya yang dikuatkan kembali
melalui premis-premis filosofis ketat berdasarkan pada spekulasi-spekulasi yang
hanya di dasarkan yang hanya mencakup hazanah sekuler atas manusia sebagai
entitas fisik7 dan hewan rasional dengan menggantungkan diri pada kemampuan
intelektual manusia untuk menyingkap materi dan lingkungan eksistensinya
sehingga nilai moral dan etisnya menjadi penuntun dan pengatur, tidak ada kepastian
dalam proyeksi pandangan dunia dan pengarahan kehidupan mereka, dikarenakan
nilai-nilai pengetahuan mereka selalu bergantung pada tinjauan dan perubahan akal
semata8.bahkan tokoh sekaliber Sigment Freud meyakini bahwa eksistensi diluar
relitas adalah ilusi atau non sense, bahkan menurut lingkaran Wina, jika tidak
diverifikasi secara empirik Tuhan hanyalah hipotesis yang tak diperlukan dalam
kerja ilmiah.
Epistemologi Barat yang digencarkan oleh Rene Descartes yang mengarah
kepada antroposentrisme. Ungkapan Rene Descartes, menurut Mujammil Qomar,
bahwa saya pikir saya ada tidak semata-mata menunjukkan pemberdayaan potensi
manusia, tetapi ungkapan itu sekaligus berusaha untuk membalikkan kondisi dan
7 Yudi Lathief dan Subandi Ibrahim. Kekerasan Spiritual dalam Masyarakat pasca
Modern.Jurnal Ulumul Quran No 3 Vol V,1994,h.77, Lihat pula Mulyadi Kertanegara, Menyibak Tirai Kejahilan.Pengantar Epistemologi Islam ( Bandung, Mizan, 2002,Cet.I) h.8-15
8 Seyyed Hussei Naser, Islam dan Krisi Lingkungan,Terj. Abbas al-Jauhari dan Ihsan Ali Fauzi, dalam jurnal islamika, no 3 januari- maret. 1994.h.10
-
13
tradisi sebelumnya yang mendasarkan kebenaran pada sumber-sumber kekuasaan
diluar manusia, seperti kekuasaan gereja, kitab suci, tradisi atau negara. Pada
Descartes yang kemudian diikuti oleh para filosof dan ilmuwan berikutnya manusia
diangkat derajatnya pada posisi yang menentukan sesuatu kebenaran. Manusia
berdasarkan Ijtihad pemikirannya dapat membuat kriteria sendiri untuk mengukur
dan menentukan kebenaran. Manusia berdasarkan kewenangannya itu, tidak perlu
lagi menunggu petunjuk-petunjuk yang datang dari luar kekuatan dirinya hanya
untuk menentukan kebenara, apalagi kebenaran pengetahuan.
Perkembangan ilmu yang begitu pesat telah melahirkan berbagai teknologi
sering factor manusia terabaikan, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang
seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia, namun manusianyalah yang
seharusnya menyesuaikan diri dengan teknologi, dewasa ini, ilmu bahkan diambang
kemajuan yang memengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri, jadi
ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi9. Pada tahap inilah masalah
moral muncul kepermukaan, jika dalam masalah kontemplasi masalah moral
berkaitan dengan metafisika keilmuan, maka pada tahap praksis inilah masalah
moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah, atau secara filosofis
dapat dikatakan, dalam tahap pembangunan konsep terdapat masalah moral yang
ditinjau dari segi ontology keilmuan, sedangkan dalam tahap penerapan konsep
terdapat masalah moral yang ditinjau dari segi aksiologi keilmuan10
9 Rodhiyah Khuzai, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles
S.Peirce.(Bandung. PT. Refika Aditama. 2007) hal.45 10 Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, cet.
VI. 1990) hal. 234
-
14
Hegemoni Barat terhadap terknologi Barat atas negara-negara diseluruh
dunia membawa pengaruh yang sangat besar terhadap gaya, corak dan pandangan
kehidupan masyarakat. Mereka seperti tak sadarkan diri mengikuti pola-pola
pemikiran dari sains Barat, sehingga cara-cara pemikirannya, cara pandangannya
dan persepsinya terhadap sains dan hal-hal terkait yang menjadi implikasinya
menjadi terBaratkan. Dalam konteks sejarahnya, bahwa saints Barat modern
dibangun atas dasar semangat kebebasan dan penentangan terhadap doktrin ajaran
Kristen, sehingga ia mencoba menampilkan pola pikir yang berlawanan dengan
tradisi pemikiran agama, (Kristen) sebagai antitesis. Misi yang paling mencolok
yang disisipkan kedalam sains Barat modern itu adalah sekulerisasi, konsep
sekulerisasi disosialisasikan dan dipropagandakan sedemikian rupa dikalangan para
ilmuwan, mahasiswa, pelajar, kelompok-kelompok ilmuwan lainnya, dan
masyarakat pada umumnya, untuk mendapatkan pembenaran-pembenaran secara
ilmiah. Pada akhirnya, konsep sekulerisasi ilmu pengetahuan itu menjadi opini
publik pada tingkat global.
Ada beberapa kelompok masyarakat yang paling dirugikan akibat penerapan
sekulerisasi pengetahuan Barat modern itu. Mereka adalah kelompok yang
berpegang teguh pada ajaran yang yang tingkat kebenarannya absolut dan memiliki
ikatan moral dengan ajaran agamanya, terutama masyarakat muslim. Ketika
mengikuti arus perkembangan sains modern Barat, mereka secara sadar maupun
terpaksa harus menggantikan nilai-nilai religius mereka dengan nilai-nilai sekuler
yang sangat bertentangan dengan ajaran agamanya yang selama ini agama Islam
dipedomani sebagai satu-satunya jembatan yang dapat mengantarkan umat manusia
-
15
untuk selamat dunia dan akhirat, dan juga agama sebagai basic bangunan ilmu
pengetahuan, kondisi inilah yang menjadi perhatian muslim, sebab dapat
membahayakan keimanan (akidah) Islam termasuk tokoh Muslim abad modern Syed
Muhammad Naquib al-Attas serta R.Ismail al-faruqi.
Berhadapan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan
teknologi, para ilmuwan terbagi menjadi dua. Pertama, golongan yang
menghendaki, bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai, baik secara
ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini, tugas ilmuwan adalah menemukan
pengetahuan dan terserah kepada penggunaannya. Kedua, netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan pada
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, kegiatan keilmuan harus
berlandaskan pada asas-asas moral11.
Agama sebagai basis epistemology satu hal yang tak dapat ditawar-tawar
lagi. Terlebih lagi sumber ajaran Islam, Al Quran dan Sunnah mengajarkan untuk
mencari Ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan
pada derajat yang tinggi. Dalam Al-Quran sendiri terdapat kata al-Ilmi dan kata-
kata jadiannya sebanyak 780 kali. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kajian
ilmu dalam agama (Islam).
Islam agama yang memacu umatnya untuk terus secara berkesinambungan
untuk belajar dalam memahami pendidikan, terdapat makna utama antara lain yaitu12
: Tadib, salah satu konsep kunci utama yang merujuk pada hakikat dari inti makna
pendidikan adalah istilah tadib yang berasal dari kata adab. Istilah adab dianggap
11Jujun S. Sumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar. hal. 235 12 Mujammil Komar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik . Hal 104
-
16
dapat mewakili makna utama pendidkan Islam. Istilah ini menurut Naquib al-attas
sangat penting dalam rangka memberi arti pendidikan Islam. Adab adalah disiplin
tubuh, jiwa dan ruh; disiplin yang menegaskan pengenalan dan pengakuan tempat
yang tepat hubungannya dengan kemampuan dan potensi jasmaniyah, intelektual
dan ruhaniyah; pengenalan dan pengakuan akan kenyataan bahwa ilmu dan wujud
ditata secara hierarkis sesuai dengan tingkat derajatnya. Dalam adab akan tercermin
keadilan dan kearifan. Adab meliputi kehidupan material dan spiritual. Adab juga
bermakna undangan kepada perjamuan yang bisa membawa kepada kenikmatan
ruhaniyah, adab melibatkan disiplin pikiran dan jiwa, tindakan yang betul dan aspek
kehormatan. Penekanan adab mencakup amal dan ilmu sehingga mengkombinasikan
ilmu dan amal serta adab secara harmonis, ketiganya sebagai pendidikan. Pendidikan
dalam kenyataannya adalah tadib, karena adab sebagaimana didefinikasikan
mencakup ilmu dan amal sekaligus.13
Prof. Dr. H. Abudin Nata berpendapat mengenai akar kata pendidikan
didalam Islam yang bersumberkan dari al-Quran bahwa selain kata tarbiyah
terdapat pula kata talim, kata ini oleh para penerjemah sering diartikan
pengajaran14. Dalam hubungan ini jusuf A faisal, pakar dalam bidang pendidikan
mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar
kata) sering digunakan istilah talim dan tarbiyah yang berasal dari kata allama dan
rabba yang dipergunakan didalam al-Quran, sekalipun kata tarbiyah lebih luas
konotasinya, yaitu mengandung arti memelihara, membesarkan, dan mendidik
sekaligus mengandung makna mengajar (allama).selanjutnya Faisal megutip
13 Muhammad al-Naquib al-attas, Konsep Pendidkan dalam Islam ( Bandung,: Mizan,1994) hal. 52-60
14 Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam ( Jakarta, PT Wacana Ilmu Logos, 1997) hal.5
-
17
pendapat Naquib Alatas dalam bukunya yang berjudul Islam and Seculerism yag
mengatakan bahwa selain kata tarbiyah dan talim sebagaimana tersebut diatas
terdapat pula kata tadib yang ada hubungannya dengan kata adab yag berarti
susunan15
Istilah ini dalam kaitannya dengan arti pendidikan Islam telah dikemukakan
oleh Syed Muhammad Naquib al-attas yang menyatakan bahwa istilah tadib
merupakan istilah yang sangat tepat untuk menunjuk arti pendidikan Islam.
Pengertian ini didasarkan bahwa arti pendidikan adalah meresapkan dan
menanamkan adab pada manusia16, disamping alasan makna kebahasan lainnya.
Dalam konteks Islam, sains tidak menghasilkan kebenaran yang absolut.
Istilah yang paling tepat untuk mendefinisikan pengetahuan adalah al-ilm , karena
memiliki dua komponen. Pertama : bahwa seluruh sumber asli pengetahuan adalah
wahyu atau al quran yang mengandung kebenaran yang absolut. Kedua : bahwa
metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama
valid; semua memiliki bagian dari satu kebenaran dan realitas-bagian yang sangat
bermanfaat untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Dua komponen ini
menunjukkan, bahwa alilm memiliki akar sandaran yang lebih kuat dibanding sains
dalam versi Barat, akar sandaran al-ilm justru berasal langsung dari sang maha
berilmu dan sang pencipta. Tuhan yang secara teologis diyakini sebagai sang
penguasa segala-galanya17
15 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran.( Bandung: Mizan, 1992) cet. Ke-2. hal156 16 Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Sekularisme, ter. Karsido Djoyoswarno (Jakarta:
Pustaka,1991) hal. 222 17 Mujammil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode
Kritik . hal 105
-
18
Realitas ini selanjutnya memiliki perbedaan bobot kualitas kebenaran.
Pengetahuan yang bersumber pada wahyu, sebagaimana disebut al-ilm tersebut
memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi daripada sains. Keunggulan ini akan
semakin kokoh dengan dukungan penggunaan metode yang valid, sehingaga
pengetahuan yang dihasilkan tidak secara keseluruhan apriori terhadap wahyu, tetapi
juga melalui tahapan-tahapan mekanisme kerja ilmiah. Banyak ayat al-quran yang
berkenaan dengan fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya.
Cara memperoleh materi pengetahuan sangat bergantung pada karakteristik
materinya itu sendiri, apakah ia berada dalam pengalaman manusia yang empiris
(sensual), rasional, atau hermeneutis. Jika karakteristik materinya adalah empiris
(sensual), maka metode yang digunakan adalah observasi, eksperimen, dan induktif
inferensial. Jika karakteristik materinya adalah rasional/aksiomatik, maka metode
analisis yang digunakan adalah metode deduktif. Jika karakteristik materinya adalah
hermeneutis, maka metode yang digunakan adalah verstehen, yakni untuk
menangkap makna yang lebih dalam, sehingga diperoleh kesimpulan kasus, atau
metode reflektif, yakni metode analitis yang prosesnya mondar-mandir antara yang
empirik dengan yang abstrak18.
Cara pengembangan ilmu pendidikan Islam bisa menggunakan metode
penelitian ilmiah (saintifik), metode penelitian filosofis ( kefilsafatan ), dan juga bisa
menguinakan metode penelitian mistik ( sufistik ). Hal ini tergantung pada apa yang
menjadi objek penelitian. Agaknya ilmu pendidikan Islam tidak mungkin hanya
berisi ilmu (sains) pendidkan Islam, tetapi pada bagian-bagian tertentu memerlukan
18 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.
(Jakarta, PT. Raja Grafindo, 2006 ) hal. 34
-
19
teori-teori filosofis, sehingga pada pengembangannya menggunakan metode
penelitian filosofis. Kadang-kadang juga menggunakan teori-teori yang non empirik
atau tidak terjangkau oleh logika. Sehingga perlu menggunakan metode penelitian
mistik-sufistik.
Menguaknya gagasan Islamisasi Pengetahuan abad modern, yang
dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas yang dengan gencarnya
mengkritik gagasan-gagasan para tokoh muslim sebelumnya yang terjebak pada
konsep sekularisasi, karena menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas bahwa
tantangan yang terbesar yang dialami umat bukanlah kebodohan tetapi pengetahuan
yang dipahamkan dan disebarkan keseluruh pelosok dunia oleh peradaban Barat. Hal
ini sejalan dengan Ismail Al-Faruqi (1984) bahwa system pendidikan telah dicetak
dalam sebuah karikatur, sehingga ia dipandang sebagai inti malaise atau penderitaan
yang dialami umat19.
Terinspirasi oleh gagasan Islamisasi Pengetahuan yang dilontarkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Penulis dalam menyelesaikan kelengkapan kajian
ilmiah strata I, serta untuk mencapai ridho Allah SWT. Penulis mengajukan judul
Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Study Pemikiran Pendidikan Syed
Muhammad Naquib. Al-Attas).
19 Muhaimin. Nuansa Baru Pendidikan Islam, Mengurai benang kusut Dunia Pendidikan.
h.38
-
20
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Permasalahasn pokok yang akan dibahas didalam penelitian ini adalah
konsep Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib Al-attas dan factor-faktor
yang melatar belakangi munculnya konsep tersebut.
Identifikasi permasalahan dalam penelitian ini adalah upaya refleksi
pendidikan Islam tentang Islamisasi Pengetahuan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Sebagai pijakan dalam penelitian ini akan dijabarkan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Faktor apakah yang melatar belakangi munculnya gagasan Islamisasi Ilmu?
2. Bagaimana pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas terhadap
Epistemology Islam dengan Barat ?
3. Bagaimana pengaruh Islamisasi Ilmu terhadap gerakan kependidikan yang
dilakukan Syed Muhammad Naquib al-Attas ?
C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian
Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Untuk mengetahui gerakan kependidikan Syed Muhammad Naquib al-Attas
2. Dapat menggali gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syed Muhammad
Naquib Al-attas
Adapun Signifikansi penelitian sebagai berikut untuk :
1. Memberikan kontribusi bagi pengembangan pemikiran pendidikan Islam di
Indonesia.
-
21
2. Memberikan sumbangan bagi pengembangan kepustakaan Islam dan
khazanah intelektual Islam Indonesia.
3. Memperoleh bahan-bahan serta cara melakukan reorientasi pendidikan,
sehingga dapat dijadikan bahan-bahan perbandingan dengan reorientasi
pendidikan yang dilakukan di Indonesia.
D. Metodologi Penelitian.
Sebagai suatu kajian terhadap pemikiran tokoh, dalam hal ini penulis
menggunakan pendekatan filosofos,20 yaitu pendekatan yang menggunakan
argumen-argumen, pemikiran dan logika dalam analisis data. Selanjutnya karena
penelitiannya terhadap kehidupan seseorang dalam hubungannya dengan
masyarakat, sifa-sifat, watak, pengaruh pemikiran dan idenya serta pembentukan
watak tokoh tersebut selama hidupnya, maka sebagai pendekatannya adalah
pendekatan sejarah (historical approach).
` Adapun secara metodologis penelitian ini menggunakan metode penelitian
deskriptif, serta diskursus. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan dalam
pencarian data adalah penelitian kepustakaan (library research) dengan cara
melacak lalu menyeleksinya kemudian menelaah dan terakhir mengklasifikasi data
yang ada korelasinya dengan obyek penelitian.
Sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi sumber primer dan
sekunder dari karya-karya tulis yang memiliki kaitan dengan permasalahan yang
20 Metode penelitian filosofis ini dilakukan dengan cara metodis umum yang berlaku bagi
pemikiran filsafat. Selanjutnya Anton barke merinci langkah-langkah metode tersebut menjadi 12 langkah, lihat Anton barker dan Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian filsafat (Yogya:Kanisius,1990) h.63-65
-
22
terdapat dalam penelitian ini baik buku, jurnal, makalah serta website yang ada
hubungannya. Adapun sumber-sumber data primer, antara lain : (1) Syed
Muhammad Naquib Al-attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
1983), cet, ke-3. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam dan Sekularisme,
(Bandung: Pustaka, 1981), cet, ke-1. (3) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Islam
dan Filsafat Sains, (Bandung: Mizan, 1995), cet, ke-1. (4) Syed Muhammad Naquib
Al-attas, Prolegomena to the Methaphysics of Islam an Exposition of the
Fundamental Elemens of The World View of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001)
cet, ke-2.
Adapun sumber data sekunder, antara lain, (1) Wan Mohd Nor Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib Al-attas (Bandung: Mizan,
2003), cet, ke-1. (2) Syed Muhammad Naquib Al-attas, Risalah untuk kaum
Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001). Adapun untuk menganalisis data,
digunakan metode analisis isi (Content Analysis). Analisis isi disini dimaksudkan
untuk menganalisis makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran Syed
Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
E. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah dalam proposal skripsi ini, penulis
membagi menjadi beberapa bab dan masing-masing terdiri dari sub-bab, yaitu
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan yang membahas latar belakang masalah, permasalahan,
tujuan penelitian, metodelogi penelitian, dan sistematika pembahasan.
-
23
Bab II : Otobiografi Syed Muhammad Naquib Al-attas, meliputi riwayat hidup
dan karier hidup serta karya-karyanya.
Bab III : Paradigma keilmuan, meliputi pengertian dan tujuan Islamisasi Ilmu,
Ruang lingkup Islamisasi Ilmu, factor pendukung dan penghambat
Islamisasi Ilmu.
Bab IV : Menjajaki kemungkinan Islamisasi Ilmu,meliputi: latar belakang
tujuan, konsep Islamisasi Ilmu Naquib al-Attas, konkluvistik
Islamisasi Ilmu Naquib al-Alatas, Pengaruh Islamisasi Ilmu Naquib
al-Attas terhadap Pendidikan.
Bab V : Penutup, Kesimpulan dan Saran.
-
24
BAB II
OTOBIOGRAFI SYED MUHAMMAD NAQUIB AL-ATTAS
A. Riwayat Hidup dan Kariernya
Syed Muhammad Naquib al-Attas lahir pada tanggal 5 september
1931 M. nama lengkapnya adalah Syed Muhammad Naquib ibn Ali ibn Abdullah
ibn Muhsin al-Attas silsilah keluarganya melalui silsilah sayyid dalam keluarga
Balawi di sampai kepada Imam Husein cucu Nabi Muhammad SAW21. Moyang
Naquib berasal dari Hadramaut (Yaman) diantara leluhurnya ada yang menjadi
ulama besar, yaitu Syed Muhammad Alaydrus(dari silsilah Ibu), guru dan
pembimbing ruhani syed Abu Hafs Umar ba Syaiban yang berhasil mengantarkan
Nur al-Din al-Raniri, seorang Ulama terkemuka di dunia melayu- ke tarekat
Rifaiyah. Ibunda Syed Muhammad Naquib al-Attas, yaitu Syarifah Raguan A,
berasal dari Bogor, Jawa Barat, dan merupakan keturunan-keturunan dari raja-raja
Sunda Sukaparna22.
Sedangkan dari pihak ayah, al-Attas merupakan cucu dari seorang wali yang
bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas, yang sangat terkenal
tidak hanya di Indonesia, tetapi juga sampai ke negeri Arab, neneknya Ruqoyyah
Hanum, adalah wanita Turki berdarah aristokrat yang menikah dengan Ungku
Abdul Majid. Adik Sultan Abu Bakar johor( W. 1895) yang menikah dengan adik
Ruqoyah Hanum, Khodijah. Yang kemudian menjadi ratu Johor. Setelah Ungku
Abdul Majid wafat, ia meninggalkan dua orang anak. Ruqoyah menikah untuk
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas,
( Bandung, Mizan,2003) cet. Ke-1, h. 45 22 Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Syed Muhammad Naquib al-
Attas dalam jurnal al-hikmah. ( No.3 edisi Juli Oktober 1991 ), h.90
-
25
kedua kalinya dengan syed Abdullah al-Attas dan dikaruniai seorang anak, Syed
Ali al-Attas, yaitu bapak dari Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Syed Muhammad Naquib al-Attas merupakan anak kedua dari tiga
bersaudara. Kakaknya bernama Syed Husein, seorang ahli Sosiologi dan mantan
Wakil Rektor Universitas Malaya, sedangkan adiknya bernama Syed Zaid seorang
Insinyur kimia dan mantan Dosen Institut Teknologi MARA. Sepupu Neneknya
dari pihak ayah, bernama Ungku Abdul Aziz anak dari Ungku Abdul Madjid
berasal dari keluarga bangsawan Melayu, termasuk keluarga Datuk Onn Jafar,
ayah dari Datuk Hussein Onn yang merupakan mantan Perdana Menteri Malaysia
dan tokoh pendiri sekaligus Presiden pertama UMNO (United Malaya National
Organisation), yaitu sebuah Partai Politik yang menjadi tumpuan kerajaan
Malaysia sejak mendapatkan kemerdekaan dari Kerajaan Inggris.
Melihat latar belakang keluarga al-Attas yang telah penulis ketengahkan,
Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah sosok yang dapat dikategorikan yang
tergolong berdarah biru, yang bukan berasal dari keluarga biasa secara sosio
kultural, akan tetapi dari golongan ningrat, didalam dirinya mengalir tidak hanya
darah biru tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam
hirarki spiritualitas Islam, yakni keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang
diajarkan dalam ajaran tasawuf.
-
26
B. Situasi Sosial Keagamaannya
Dalam usia yang relatif muda al-Attas telah mendapatkan pendidikan dari
keluarganya, dari keluarga yang berasal dari Bogor. Ia memperoleh pendidikan
dalam Ilmu- ilmu keislaman. Sedangkan dari keluarganya yang berada di Johor, ia
memperoleh pendidikan kesusastraan , bahasa dan budaya Melayu. Tampaknya
kedua orang tuanya menginginkan al-Attas untuk mendalami ilmu di Negeri Jiran
Malaysia. Disinilah ia mendapatkan pendidikan dasar di Ngee Primary School
(1936-1941)23.
Namun pada pertengahan tahun 1940-an Jepang menduduki Malaysia, al-
Attas kembali dikirim ketanah air tempat beliau dilahirkan untuk meneruskan
pendidikannya di Madrasah alUrwatul Wutsqo, Sukabumi, belajar Bahasa Arab
dan agama Islam.
Setelah perang Dunia ke II tepatnya pada tahun 1946, al-Attas kembali ke
Malaysia melanjutkan kembali pendidikannya dibukit Zahroh School dan
selanjutnya di English College ( 1046-1951). Selama menyelesaikan
pendidikannya, al-Attas tinggal bersama pamannya yang bernama Ungku Abdul
Aziz ibn Ungku Abdul Madjid. Pamannya ini yang mempunyai perpustakaan yang
sangat bagus, terutama manuskrip sastra dan kesejarahan Melayu. Fasilitas
perpustakaan ini tidak disia-siakan oleh al-Attas. Beliau banyak menghabiskan
masa mudanya untuk membaca dan mendalami manuskrip-manuskrip yang
tersedia diperpustakaan tersebut. Lingkungan intelektual inilah yang kemudian
23 Syaidul Muzani, Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, h.91
-
27
banyak mempengaruhi pola pikir, tulisan dan tutur bahasa al-Attas dikemudian
hari.
Pada tahun 195 setelah al-Attas selesai menyelesaikan pendidikannya di
Englis college. Ia kemudian masuk dinas militer dan karena prestasinya yang
sangat mengagumkan ia berkesempatan mengikuti pendidikan militer di Eton Hall,
Chester, Wales, kemudian di Royal Military Academy, Sandhurst, Inggris, Inggris
(1952-1955). Selama di Inggris, ia menyempatkan diri untuk memahami aspek-
aspek yang memahami aspek-aspek yang mempengaruhi semangat dan gaya hidup
masyarakat Inggris24.
Setelah selesai mengikuti pendidikan militer di Sandurst, al-Attas
ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Malaya, yang pada
saat itu disibukkan oleh perlawanan kaum komunis yang bersarang dihutan.
namun, tampaknya jiwa intelektualnya telah mendarah daging didalam dirinya,
sehingga ia mengambil keputusan untuk meninggalkan dunia kemiliteran dan
menjatuhkan pilihan pada dunia akademik, walaupun pada saat itu ia telah
berpangkat Letnan.
Karier akademiknya setelah keluar dari dinas militer, ia masuk ke
Universitas of Malay, Singapura, 1957-195925. ketika di Universiatas ini
kecemerlangan intelektualnya kembali terbukti, dengan menulis dua buah buku.
Buku yang pertama adalah Rubaiyat. Sedangkan buku yang kedua adalah some
Aspects of shufism as Understood and practised Among the Malays, yang
24 Syaidul Muzani. Pandangan Dunia Dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed M.N.Al-Attas, H.
92 25 A. Khudhori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar), cet.ke-
1, h. 251
-
28
diterbitkan oleh Lembaga Penelitian Sosiologi Malaysia pada 1963, buku yang
kedua ini sangat bagus, sehingga ia mendapatkan tawaran beasiswa oleh
pemerintahan Kanada melalui Canada Council Foollowship untuk belajar di
Institud of Islamic Studies, Universitas McGill, Monteral Kanada, Kesempatan itu
ia manfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam kurun waktu 3 tahun ia berhasil
meraih gelar M.A. setelah tesisnya yang berjudul Raniri and the Wujudiyyah of
17th Century Acheh, lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, selama di
Universitas McGill, al-Attas banyak berkenalan dengan pemikir-pemikir dunia,
seperti : Fazlur Rahman, Sir Hamilton Gibb, Syed Husein Naser, dan Toshihiko
Izutsu.
Karier akademik al-Attas tidak hanya berhenti di Universitas McGill,
akan tetapi, al-Attas kemudian menempuh program doktor di School of Oriental
and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap
sebagai pusat kaum Orientalis26. Disini al-Attas menekuni teologi dan metafisika
dan menulis disertasi dengan judul The Mysticm of Hamzah Fanshuri yang juga
lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Sekembali dari London pada tahun 1965. al-Attas langsung dilantik menjadi
ketua jurusan sastra di fakultas kajian Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur.
Dari tahun 1968-1970, al-Attas menjabat sebagai Dekan Fakultas Sastra dikampus
yang sama. Kariernya terus menanjak dan dilembaga ini al-Attas berusaha
menjadikan bahasa melayu sebagai pengantar Fakultas dan Universitas. Namun
26 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.256
-
29
usaha itu mendapat tantangan dosen-dosen lain yang tidak sepakat dengan idenya
tersebut.
Pada tahun 1970 al-Attas termasuk salah seorang pendiri Universitas
Kebangsaan Melayu (UKM), dan menjabat sebagai Dekan pertama dari institut
bahasa, kesusastraan dan Kebudayaan Melayu di UKM. Pada tanggal 24 januari
1972 beliau diangkat profesor dalam bidang bahasa dan kesusastraan Melayu di
Universitas yang sama, dengan pidato pengukuhan Islam dalam Sejarah
Kebudayaan Melayu
Berkat semangat dan prestasinya dalam bidang pemikiran sastra dan
kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, sehingga beliau menerima
beberapa penghargaan, diantaranya yaitu, menerima penghargaan dari pemerintah
Iran pada tahun 1975 sebagai Sarjana Akademi Falsafah Maharaja Iran ( Fellow
Of The Imperal Iranian Academi of Filosophy), penghargaan dari pemerintah
Pakistan, tahun 1979, atas kajian-kajiannya yang mendalam tentang pemikiran
Iqbal ( Iqbal centenary Commemorative medal), sebagai anggota American
Philoshopical Assosiation ( World of Islam Festival) yang diadakan di London
pada tahun pada 1976.
Al-Attas telah melanglang buana keberbagai Negara, menjadi
Narasumber atau peserta pada acara-acara yang bertaraf Internasional, diantaranya
seperti, memimpin Komite yang membahas tujuan dan definisi pendidikan Islam
pada Konferensi Dunia pertama mengenai pendidikan yang berlangsung di
Mekkah pada tahun 1997.
-
30
Pada tahun 1978, al-Attas meminta UNESCO untuk memimpin
pertemuan para Ahli Sejarah Islam yang diselenggarakan di Allepo, Suriah
Didalam Negeri sendiri al-Attas telah menjadi Icon bagi bangsa Malaysia,
karena kapasitas intelektualnya tidak di ragukan lagi, sehingga berbagai
penghargaan dan jabatan juga diberikan kepada beliau, diantaranya: al-Attas
dipilih menjadi ketua lembaga Tun Abdul Razak untuk studi Asia Tenggara ( Tun
Abdul Razak Khair of Shouteast Asian Studiers) di Universitas Ohio, Amerika
Serikat, pada tahun 1980-1982. Al-attas juga yang mendirikan ISTAC seklaligus
Rektor ISTAC ( Interantional Institut of Islamic Thought and Civization),
Malaysia sejak 1987. pada tahun 1993, Dato Seri Anwar Ibrahim dalam
kapasitasnya sebagai presiden ISTAC dan universitas Islam Malaysia Internasional
( International Islamic University Malaysia) menunjuk al-Attas sebagai pemegang
pertama kursi kehormatan Abu Hamid al-Ghazali dalam studi pemikiran Islam (
Abu Hamid al-Ghazali Chair of Islamic Thought) di ISTAC. Kemudian pada
tahun 1994 Raja Husein dari Yordania juga mengangkatnya sebagai anggota Royal
Academy of Yordan27.
Al-Attas adalah sebagai pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, seperti
Teologi, filsafat, Metafisika, sejarah dan sastra, selain itu, beliau rupanya juga
memiliki keahlian dalam bidang seni, seperti kaligrafi. Dalam bidang ini, al-Attas
pernah mengadakan pameran kaligrafi di Museum Tropen, Amsterdam, pada tahun
1954. Al-Attas jugalah yang telah merancang dan mendesain bangunan kampus
ISTAC pada tahun 1991. Pada tahun 1993, al-Attas diminta menyusun tulisan
27 A. Khudhori Shoeh, Wacana Baru Filsafat Islam hal.257-258
-
31
klasik yang unik untuk kursi kehormatan al-Ghazali. Pada tahun 1994 al-Attas
diminta menggambar Auditorium dan Masjid ISTAC lengkap dengan lanskap dan
dekorasi interior yang bercirikan seni arsitektur Islam yang dikemas dalam
sentuhan tradisional dan gaya kosmopolitan.
Melihat prestasi dan aktivitas al-Attas di atas, tidak heran kalau Fazrul Rahman
memuji al-Attas dan menyebutnya sebagai seorang pemikir jenius. Al-Attas
datang dengan menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan
oleh sebagaian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian,beliau
mengklarifikasikan, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan
lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Tidak
hanya itu beliau juga aktif memberikan solusi terhadap permasalahan yang
berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di
gugusan pulau rumpun Melayu. Misalnya beliau berhasil memecahkan misteri
tanggal Inkskripsi Trengganu dan menghitungnya dengan tepat, setelah lebih dari
setengah abad membingungkan para Orientalis.
Pemikiran dan tulisan-tulisan al-Attas mengenai agama Islam dan
hubungannya dengan identitas kebudayaan dan sejarah telah menyedot perhatian
bagi khalayak ramai., khususnya para mahasiswa. Mahasiswa-mahasiswa yang di
bawah bimbingannya ini kemudian membentuk ABIM (Angkatan Belia Islam
Malaysia), GAPIM (Gabungan Penulis Islam Malaysia), dan ASASI (Akademi
Sains Islam). Sehingga banyak kalangan yang berpendapat bahwa al-Attas
merupakan salah seorang tokoh yang ikut berperan membuka pintu bagi
kebangkitan Islam di Malaysia sejak tahun 1970.
-
32
C. Karya-karya Intelektual Syed Muhammad Naquib al-Attas
1. Buku dan Monograf
Al-Attas di samping mengajar dan memberikan seminar di berbagai tempat,
ia juga sangat produktif dalam menulis, berbagai buku dan monograf, baik dalam
bahasa Inggris maupun Melayu telah ia hasilkan. Hasil karyanya telah banyak
diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab, Persia, Turki, Undu,
Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea dan
Albania.28 Dalam karyanya itu al-Attas mengupas berbagai masalah seperti,
bahasa, sejarah, tasawuf, filsafat, pendidikan dan lain sebagainya. Diantara
karya-karya al-Attas telah diterbitkan adalah sebagai berikut:
1. Rangkaian Rubuiyat, terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Kuala
Lumpur, 1959. Dalam buku al-Attas mengkontribusikan bentuk-bentuk baru dan
syair-sayair orisinil yang terdapat di dunia Melayu. Di samping itu, al-Attas
juga memaparkan pemikiran-pemikiran sufi yang muncul dari kesadarannya
tehadap tuhan melalui pandangan batin dan rasa (dzauq).
2. Some Aspect of Shufism as Understood and Practised Among The Malays,
terbitan Malaysian Sosiological Research Institute, Singapura, 1963. buku ini
membahas tentang berbagai persoalan dari berbagai aspek pemahaman yang
terkandung dalam pokok-pokok ajaran sufi, serta melihat pula penerapannya
yang dipraktekkan di Malaysia.
3. Preliminary Statenment on The General Theory of the Islamization of the
Malay-Indonesia Archipelago, terbitan DBP, Kuala Lumpur, 1968. dalam buku
28A. Khudhori Shoeh. Wacana Baru Filsafat Islam h.55
-
33
ini al-Attas mengemukakan argumen-argumen yang menolak pendapat para ahli
sejarah yang menyatakan bahwa kedatangan Islam di kepulauan Melayu dan
Nusantara secara langsung dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat, India ke
Pasai dan Gresik. Menurut al-Attas untuk membuktikan kedatangan Islam ke
Nusantara adalah harus dilakukan dengan penelitian yang mendalam
karakteristik internal Islam di kedua wilayah tersebut. Untuk menguatkan
pendapatnya al-Attas mengajukan teori umum tentang proses Islamisasi di
kepulauan Melayu dan Nusantara yang didasarkan pada sejarah literatur Islam
Melayu-Indonesia dan sejarah pandangan dunia muslim seperti terlihat dalam
perubahan-perubahan konsep-konsep dan istilah-istilah kunci dalam literatur
Melayu-Indonesia.
4. Islam: The Concep of Religion and the Foundation of Ethics and Morality,
terbitan Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah
diterjemahkan kedalam bahasa Korea, Jepang dan Turki. Karya ini menjelaskan
konsep Islam sebagai suatu agama (din), dalam uraiannya al-Attas secara
singkat menjelaskan arti din yang saling berkaitan yang menunjuk kepada
iman., kepercayaan-kepercayaan, praktek-praktek dan ajaran-ajaran yang dianut
oleh orang-orang muslim baik secara individu mapun kolektif sebagai suatu
komunitas. Kemudian merangkumnya secara keseluruhan sebagai suatu
kesatuan pengertian yang obyektif sebagai agama yang disebut dengan Islam.
Disamping itu, dalam buku ini al-Attas juga menegaskan bahwa tantangan ilmu
pengetahuan merupakan tantangan terbesar yang dihadapi umat Islam saat ini.
-
34
5. Islam dan Sekularisme, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia,
Turki, Arab, dan Rusia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual
Muslim. Di dalamnya al-Attas membahas konsep sekularisasi atau
sekularisme dalam perspektif bahasa dan asal-usul serta sejarah kelahirannya.
Kesimpulannya bahwa konsep sekulerisasi atau sekularisme tidak dapat
diterima karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
6. (Ed.) Ains and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series,
terbitan Hodder and Stoughton dan King Abdul Aziz University, Londong:
1979., diterjemahkan ke dalam bahasa Turki. Buku ini merupakan editan dari
kumpulan makalah-makalah yang di presentasikan oleh para pembicara
dalam Konferensi Internasional Pertama tentang Pendidikan Islam yang
diadakan di Makkah pada tanggal 30 Maret 8 April 1977. Dalam
konferensi itu al-Attas dipilih sebagai pembicara utama dengan
mempresentasikan makalah kunci yang berjudul; Preliminary Thoughts on
the Nature of Knoeledge and the Definition and Aims of Educational. Al-
Attas dalam makalah tersebut memaparkan gagasan-gagasan awal yang di
ajukan Al-Attas mengenai sifat-sifat ilmu pengetahuan, serta definisi dan
tujuan-tujuan pendidikan.
7. The Concept of Education in Islam: A Framework for an Islamic Philosophy
of Education, terbitan ABIM, Kuala Lumpur, 1980., diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia, Persia, dan Arab. Buku ini merupakan materi yang
dipersiapkan al-Attas selaku pembicara pada Konferensi Internasional Kedua
-
35
tentang Pendidikan Islam yang berlangsung di Islamabad pada tanggal 15 -
20 Maret 1980. buku ini sebagai lanjutan gagasan-gagasan yang telah
disampaikannya pada Konferensi Internasional Pertama di Makkah.
Kandungan buku ini, menjelaskan tentang definisi yang berhubungan dengan
unsur-unsur esensial dalam konsep pendidikan serta konsep kependidikan
dalam Islam yang berlandaskan atas beberapa konsep pokok tertentu yaitu
konsep agama (din), konsep manusia (insan), konsep ilmu (ilm dan
marifah), konsep kebijakan (hikmah), serta konsep lainnya yang berkaitan.
8. Islam and the Philosophy of Science, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur 1989.
buku ini telah diterjemahkan berbagai bahasa, seperti bahasa Indonesia,
Bosnia, Persia, dan Turki. Karya ini memaparkan masalah penting yang
dihadapi umat Islam dewasa ini adalah masalah ilmu yang kemudian menjadi
faktor penyebab dari masalah-masalah lain. Oleh sebab itu, al-Attas berusaha
mengungkap kembali sistem metafisika yang pernah terbangun dalam tradisi
Islam. Sebagai langkah praktisnya adalah perencanaan sebuah universitas
yang memiliki struktur yang berasas pada pandangan dunia Islam dan
merupakan medium penyampaian hikmah dalam tradisi Islam.
9. The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, terbitan ISTAC,
Kuala Lumpur, 1990. buku telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia. Isi
buku ini merupakan kelanjutan dari gagasan al-Attas dalam menjelaskan
kembali tentang metafisika Islam sebagaimana yang dituangkan dalam
bukunya yang pertama seri metafisika Islam, yaitu Islam and the Philosophy
of Science.
-
36
10. The Degrees of the Existence, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. inti dari
buku ini adalah kesimpulan-kesimpulan akhir tentang metafisika Islam,
karena buku ini sangat ringkas, penulis berupaya menguraikan kembali
kesimpulan-kesimpulan metafisika Islam yang telah dicapai oleh para
intelektual muslim beberapa abad yang silam.
11. Prolegomena to the Metaphysics of Islam, terbitan ISTAC, Kuala Lumpur,
1995, buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia. Isi buku ini
memuat kumpulan yang merupakan titik kulminasi gagasan dan pemikiran
al-Attas tentang perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer.
Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan yang mendalam terhadap dampak
negatif yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan kontemporer.
2. Artikel
Al-Attas sebagai seorang pemikir yang jenius, tidak hanya
mencurahkan pikiran cerdasnya melalui buku, tapi juga dalam bentuk
artikel, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. I slamic Culture in Malaysia, Malaysian Society of Orientalis,
Kuala Lumpur, 1966.
2. Rampaian Sajak, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti
Malaya no. 9, Kuala Lumpur, 1968.
3. Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period, Encyclopedia of
Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
4. Konsep Baru Mengenai Rencana serta Cara-Gaya Penelitian
Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu,
-
37
Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti
Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 1972.
5. Islam in Malaysia, Malaysia Panorama, Edisi Spesial,
Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974.
6. Islam dan Kebudayaan Malaysia Syarahan Tun Sri Lanang, seri
kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur,
1976.
7. Some Reflection on the Philosophical Aspects of Iqbals Thought,
International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal,
Lahore, 1977.
8. The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and System of
Implementation, World Symposium of al-Isra, Ammam, 1979.
9. ASEAN Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?
Diskusi, jil. 4, no. 11 12, November Desember, 1979.
10. Hijrah: Apa Artinya? Panji Masyarakat, Desember, 1979.
11. Knowledge and Non-Knowlwdge, Readings in Islam, No. 8, First
Quarter, Kuala Lumpur, 1980.
12. The Concept of Education in Islam, Second World Conference on
Muslim Education, Islamabad, 1980.
13. Religion and Secularity, Congress of the worlds Religions, New
York, 1985.
-
38
BAB III
PARADIGMA KEILMUAN
A. Pengertian dan Tujuan Islamisasi Ilmu
Islam adalah agama yang mengarahkan memerintahkan umatnya
untuk menjadikan ajaran agama islam dengan sumber utamanya sebagai rahmatan
lilalamin. Bagi komunitas Muslim Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayan,
dan peradban secra menyeluruh, ia merupakan sistem holistik yang menyentuh
setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap aktivitas
manusia, termasuk dadalamnya ilmu pengetahuan29. Sedang kejaian pemiskinan
intelektual spiritual Barat, menurut Sayyed Husein Naser, itu disebabkan karena
Barat telah menduniawikan ( mensekulerkan) pengetahuan dan kehilangan kontak
dengan yang kudus30. Sehingga, tampak keduanya memposisikan paradigma yang
berbeda.
Salah satu implikasi diatas yang muncul kemudian adlah menurut banyak
pihak, ilmu pengetahuan modern menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi
kalangan pendidkan Islam, kemudian, hal ini menjadi
Isu yang besar: yakni Islamisasi Ilmu pengetahuan (Islamization of
Knowledge). Isu ini hanya akan berarti jika dipandang dalam konteks bangkitnya
kesadaran dikalangan dunia Islam yangg dihadapkan dengan ilmu pengetahuan
modern. Yakni model pengkajian alam semesta yang dikembangkan oleh filosof dan
1 Nasim Butt, Scince and Muslim Society, diterjemahkan Masdar Hilmi: Sanins dam
masyarakat Islam, (Bandung:: Pustaka Hidayah, 1996), cet. Ke-1 hal 69 30
-
39
Ilmuwan Barat sejak abad ke tujuh belas, termasuk seluruh aplikasi praktisnya di
wilayah teknologi31.
Istilah Islamisasi untuk pertma kalinya sangat populer ketika konfrensi Dunia
yang pertama kalinya tentang Pendidikan Islam yang dilangsungkan di Makkah pada
April 1977. Islamisasi adalah konsep pembebasan manusia dari tradisi-tradisi yang
bersifat magnis-sekuler. Yang membelenggu pikiran dan prilakunya32. Islamisasi
dalam pengertian ini meniscayakan pada pendestruksian terhadap kekuatan-kekuatan
tradisi yang tidak mempunyai kerangka argumentasi yang jelas.
Sedang Islamisasi dalam kontek pengetahuan adalah suatau upaya integrasi
wawasan ilmu pengetahuan yang harus ditempuh sebagai awal proses integrasi
kehidupan kaum Muslimin33. Bagi al-Faruqi, pengintegrasian pengetahuan tersebut
dilakukan dengan cara memasukkan pengetahuan baru dengan warisan Islam dengan
melakukan Eliminasi, perubahan, reintrepetasi, dan penyesuaian terhadap
komponen-komponennya sebagai pandangan Dunia Islam (Wolrd view Islam), serta
menetapkan nilai-nilainya. Dengan demikian usaha Islamisasi ini, bagi umat Islam
tidak perlu berbuat dari kerangka pengetahuan modern, dan mampu memanfaatkan
khazanah Islam klasik dengan tidak harus mempertahankannya secara mutlak karena
terdapat beberapa kecenderungan yang kurang relevan dengan perkembangan
modern.
31 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic
science. Diterjemahkan oleh yuliani Liputo, Tauhid dan Sains: Essay tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) cet. Ke-1 hal.214
32 Mughal, Amien Rais, Cakrawala Islam: antara Cita dan Fakta, (Bandung: Mizan, 1990), hal 867.
33 A.M. Saefudin. Desakralisasi Pemikiran Landasan Islamisasi, (Bandung: Mizan, 1990), hal.86
-
40
Bagi Osman Bakar, Islamisasi Ilmu pengetahuan diterjemahkan
sebagai usaha untuk menyediakan sebuah model alternatif bagi ilmu pengetahuan
modern. Usaha ini dilangsungkan guna merumuskan kajian yang mencakup alam
semesta, bersama aplikasi teknologinya yang didasarkan pada prinsip-prinsip
Islam34.
Beberapa prinsip ilmu pengetahuan dalam Islam diantaranya sebagai berikut
:
1. Ilmu pengetahuan tidak ditujukan kepada kepentingan praktis partrikular, tetapi
didelegasi untuk tujuan-tujuan memahami eksistensi alam dan manusia. Dengan
ini ilmu pengetahuan akan mampu menghantarkan umat pada peningkatan iman
kepada Tuhan yang menciptakan ilmu sekaligus sebagai sumber ilmu tersebut.
2. melepaskan ikatan-ikatan ilmu pengetahuan dari pengaruh sekulerisme.
Desekulerisasi ini akan menghadirkan pada keniscayaan kebenaran religius
secara diferensial.
3. Ilmu pengetahuan didasarkan pada sumber ayat-ayat al-quran disamping
fenomena alam.35
Dalam ketiga inilah terjadi hubungan simultan dan saling
melengkapi (complentary), yang pada tahap selanjutnya membutuhkan
pada susunan langkah-langkah praktis dalam usaha Islamisasi Ilmu
Pengetahuan.
Ismail Raji al-Faruqi menawarkan 12 ( dua belas) tahapan, yaitu : (1)
penguasaan disiplin ilmu modern dan penguraian katagoris;(2) survei
34 Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays oon the history and philoshopy of Islamic science h. 214-235
35 Mulyanto, Islamisasi Ilmu pengetahuan, Ulumul Quran, no.9, vol. II/1991 hal 58
-
41
displin ilmu pengetahuan, (3) penguasaan khazanah Islam sebuah
ontologi;(4) penguasaan khazanah ilmiah islami, tahap analisa ; (5)
penemuan relevansi Islam yang khas terhadap disiplin ilmu modern,
tingkat perkembangannya dimasa ini; (7) penilaian krits terhadap
khazanah Islam, tingkat perkembangan dewasa ini; (8) survei
permasalahan yang dihadapi umat Islam (9) survei permasalahan yang
dihadapi umt manusia (10) analisis kreatif dan sintesis; (11) penuangan
kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; (12)
penyebarluasan ilmu-ilmu yang telah di Islamisasi.
Al-Faruqi mementingkan konsep Tauhid sebagai kerangka yang
harus dipahami secara utuh sehingga mempunyai implikasi terhadap
keseluruhan aspek kehidupan umat Islam, tak terkecuali ilmu pengetahuan.
Tauhid dipahami bahwa Tuhan tidak hanya sebagai absolut dan penyebab
utama, tetapi juga menjadi inti dari ajaran-ajaran normatif, prinsip ini
menyatakan bahwa Tuhan adalah wujud yang memerintah. Gerakan,
gagasan, dan tindakan Tuhan adalah realitas yang tidak bisa diragukan, tetapi
hal itu bagi manusia merupakan nilai36. Konsep ini bukan hanya sekedar
sebagai sumber atau penyebab utama ilmu pengetahuan, maka empirisme
absolut tidak dapat diterima bukan hanya karena prinsip positivistiknya yang
mutlak, tetapi juga karena relitas itu sendiri merupakan gerakan, gagasan dan
tindakan Tuhan.
36 Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: : Its Implication for thought and life diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1995), cet. Ke-2, hal.2
-
42
Impilikasi pandangan tauhid diatas dapat ditemukan pada
pandangannya tentang alam semesta (universe) yang menjadi materi ilmu
pengetahuan modern. Bagi al-Faruqi, sistem alam raya tidak hanya sebagai
sistem material dari sebab akibat, tetapi juga bersifat teologikal yang
keseluruhan elemennya mempunyai tujuan dan fungsi masing-masing yang
teratur. Bahkan alam raya ini diciptakan sebagai miniatur bagi manusia untuk
memperoleh kebahagiaan dari Tuhan. Prinsip demikian memberikan
pengaruh pada ilmu pengetahuan bahwa alam semesta tidak hanya cukup
dipahami secara fosifistik, tetapi juga harus memahami tujuan dari pola
hubungan harmonis alam itu, sehingga memberi manfaat bagi umat manusia.
Prinsip ini mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan tidak semata-mata bersifat
saintifik an sich, tetapi juga merupakan pengetahuan tentang keteraturan
alam secara menyeluruh.
B. Ruang lingkup Islamisasi Ilmu
Dalam skala global, persoalan pokok yang dihadapi agama memang masalah
sekulerisasi. Sekulerisasi itu menjelajahi kehidupan sosial dalam dua bentuk.
Menurut Dr. Zubaedi M.Ag. M.pd. dalam bukunya Islam Benturan dan antar
Peradaban, membagi dua masaah tersebut menjadi dua, yakni sekulerisasi obyektif
dan sekulerisasi subyektif. Sekulerisasi obyektif bersifat konkret dan radikal,
biasanya ditandai dengan pemisahan urusan/bidang agama ruhaniah dengan
urusan/bidang material jasmaniah. Praktik ini mudah kita temukan dalam sejarah
-
43
kehidupan masyarakat modern, terutama negara-negara Barat yang mempunyai
pengalaman negatif soal hubungan agama (gereja) dengan keilmuan37.
Adapun sekulerisasi subyektif bersifat halus, biasanya ditandai dengan
perasaan atau keyakinan batin untuk tidak menghubungkan pegalaman pragmatis
sehari-hari dengan pengalaman keagamaan. Ia cenderung membebaskan diri dari
kontrol ataupun komitmen terhadap nilai-nilai agama. Begitu halusnya sampai-
sampai orang yang mempraktikannya kadang-kadang kurang menyadarinya.
Barangkali pernah dalam sanubari kita bahwa saya makan untuk kenyang, bekerja
untuk mencari uang, dan meraih prestasi atas dasar kemampuannya sendiri.
Semuanya steril dari campur tangan atau kepentingan Tuhan. Kalau keyakinan
hanya sampai disitu, maka kita telah mengidap gejala sekulerisasi subyektif.
Fenomena sekuleristik ini telah menjadi kecenderungan umum masyarakat
modern. James L. Peacock dan A. Thomas Kirsch, penulis buku The Human
Direction, adalah sebagai ilmuan yang bependapat seperti itu, menurut keduanya,
masa depan manusia adalah sekuler dan transendentalisasi atau proses dimana Tuhan
menjadi impersonal.
Jika dilacak, munculnya kecenderungan masyarakat modern kearah
sekuleristik dikondisikan oleh sains dan teknologi. Kontruksi Iptek modern yang
kurang mengakomodasi dimensi religiutas bersumber dari paradigma yang
diandalkan oleh para ilmuan modern dalam membangun pengetahuan yang bercorak
rasionalistik, positivistik, dan pragmatis. Cara berpikir yang lebih mementingkan
hal-hal rasional-material dan menafikan hal-hal spiritual metafisik ini secara tidak
37 Zubaedi. Islam Benturan dan Antar Peradaban, (Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2007)
cet.I hal 216
-
44
sadar telah mereduksi dimensi kemanusiaan yang secara fitrah tidak bisa lepas dari
hal-hal mistis spiritualis. Salah satu dampaknya, umat menjadi terperangkap pada
jaringan sistem rasionalitas ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang humanis.
Jika sudah demikian, manusia modern akan mengalami kekosongan dalam landasasn
moral dan kurang mampu memenuhi kebutuhan pokoknya dalam aspek nilai-nilai
Ilahiyah (Transenden)38.
Pengalaman masyarakat Barat setidak-tidaknya telah memberikan pelajaran
berharga akan hal ini. Masyarakat yang kini memasuki Era Post-Industrial
Society_dengan meraih kemakmuran material melimpah berkat perangkat teknologi
yang serba mekanis dan otomatis_ bukannya semakin mendekati kebahagiaan hidup,
namun, justru menghadapi berbagai kecemasan hidup dan rendahnya rasa
kebermaknaan hidup. Mereka merasa cukup dengan berbagai kemudahan hidup
yang dihasilkan iptek modern, sementara itu pemikiran dan paham keagamaan yang
bersumber dari ajaran wahyu kian ditinggalkan. Akibatnya, kehidupan
keagamaannya meluncur pada post- Cristian Era dengan mengembangkan pola
hidup sekulerisasi. Mereka berpaling dari dunia sana dan hanya memusatkan pada
disini dan sekarang ini. Karena mereka memuja kemakmuran material yang
disimbolkan dengan penguasaan uang, maka agama paling dominan dalam
kehidupannya diistilahkan dengan The Religion of Money39.
Kita akui fenomena keberagamaan sebagian pemeluk Islam belum
mencerminkan idealitas sebagaimana yang dituntut oleh ajaran Islam. Nilai-nilai
Islam belum berfungsi sepenuhnya sebagai sumber nilai yang menjadi tolak ukur
38.Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban hal 217 39. Zubaedy. Islam Benturan dan Antar Peradaban , l. 218
-
45
dan rujukan dalam menilai baik-buruk sebuah perbuatan. Yang sering terjadi, umat
Islam mengeksploitasi ajarannya demi memuluskan kepentingan pribadi maupun
golongannya sendiri. Islam diidentikkan dalam sebuah simbol, slogan, dan aliran
pemahaman keislaman tertentu yang cenderung membelah kehidupan sosial umat
Islam dalam retakan-retakan sosial dan cenderung menempatkan pemeluk Islam
diluar kelompok atau organisasinya sebagai saingan dan musuh. Jika gejala ini
berkembang, sudah pasti makna Islam yang seharusnya menjadi rahmatal lilalamin
dan pemersatu umat menjadi tereduksi.
Adapun ruang lingkup Islamisasi ilmu diantaranya:
1. Klasifikasi ilmu
Al-Attas mengklasifikasikan ilmu, sebagaimana yang telah dilakukan
oleh para filosofis, pakar, dan orang bijak khususnya para sufi. Pengklasifikasian ini
dilakukan al-Attas tidak terlepas dari tiga unsur: ketidak terbatasan ilmu
pengetahuan, kemuliaan tanggung jawab untuk mencarinya, dan keterbatasan hidup
manusia.
Klasifikasi ilmu pengetahuan kedalam beberapa kategori umum bergantung
pada pelbagai pertimbangan. Misalnya berdasarkan metode mempelajarnya, kita
akan mengenal pengetahuan Iluminatif atau Gnostik dan ilmu sains. Ilmuwan
menamakan dua kategori ini sebagai Ilmu Naqliyah dan Ilmu Aqliyah (rasional)
ataupun Tajribiyah (empiris). Berdasarkan dari aspek kewajiban manusia
mempelajarinya, pengetahuan dibagi menjadi Fardlu Ain dan Fardlu Kifayah.
Setiap bagian ini sudah pasti memiliki tingkat yang berbeda-beda. Klasifikasi
diatas tidak bisa dianggap sebagai dualitas karena tidak memiliki validitas yang
-
46
sama ataupun ekslusitas yang setara. Sebagai contoh, walaupun lebih tinggi
dibandingkan ilmu-ilmu intelektual ( al-Ulum al-Aqliyyah), ilmu-ilmu agama (al-
Ulum al-Naqliyyah) tidak dapat dijelaskan tanpa ilmu-ilmu intelektual, terutama
pada zaman kita sekarang ini. Ilmu-ilmu intelektual tanpa ilmu-ilmu agamaakan
menyesatkan dan sangat sofistik. Disamping itu, klasifikasi ilmu tidak mengingkari
validitas dan status yang satu terhadap yang lain, melainkan mengakui legitimasi dan
status ilmiah masing-masing ilmu tersebut.40
Al-attas mengklasifikasikan ilmu berdasarkan cara-cara untuk
mempelajarinya terbagi mejadi 2 (dua), yaitu ilmu Iluminasi (Marifah) dan ilmu
sains (ilmu Pengetahuan). Pengklasifikasian ini dilakukan untuk mewujudkan
keadilan dalam menempatkan dua kubu yang berbeda, yaitu kubu si pengenal dan
kubu yang dikenal atau antara subyek dan obyek.41
1. Ilmu Iluminasi (Marifat )
Iluminasi (Marifah) adalah ilmu yang diberkan Allah SWT. Sebagai
karunia-Nya kepada insan. Ilmu ini diperoleh oleh insan yang melakukan amal
ibadah serta kesucian hidupnya yakni dengan keihsanannya beribadah kepada Allah
SWT. Berdasarkan ilmu yang benar42. Manusia menerima ilmu ini melalui dzauq
dan kasf. Dzauq yaitu pandangan batin atau rasa ruhani yang dialami secara
langsung. Sedagkan kasf yaitu penyingkapan hijab yang menyelubungi alam hakiki
40 Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Jakarta:UIN Jakarta Press, 2003), cet. Ke-1, h.1
41 A. Sony Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu pengetahuan: sebuah Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet, ke-1 h. 19
42 Sesorang apabla ingin memperoleh ilmu ini, maka ia wajib mempelajari dan memiliki ilmu syarat utma ini, yaitu diantaranya ia wajib memahami dengan sempurna rukun-rukun Islam dan Iman. Wajib mengenai tauhid. Wajib mengerjakan amal ibadah kepada Allah swt. (Untuk lebih lengkapnya lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, op.cit., h. 80)
-
47
kandungan ilmu ini dengan sekejap alam ruhani dapat dilihat oleh penglihatan
ruhani.
Ilmu ini merupakan yang paling valid dan paling tinggi, yaitu wahyu yang
diterima oleh Nabi kemudian diikuti intuisi orang-orang bijak, para wali, dan
ilmuwan. Ilmu iluminasi hanya terjadi pada makhluk hidup yang melibatkan orang
yang ingin mengetahui (Knower) dan sesuatu yang hendak diketahui (known)
melalui perkataan ataupun cara-cara lain yang bisa dipahami dengan jelas, setelah
terlebih dahulu ada rasa saling mngenal dan memercayai diantara keduanya dan
keinginan untuk dipahami oleh diri yang ingin berbagi rahasia-rahasia dan kondisi
batinnya. Jika benar-benar ingin mendekatkan diri pada objek ilmunya, dia dengan
sendirinys mengharuskan orang yang ingin mengetahui itu mengenal dan mengakui
sesuatu yang ingin diketahuinya dengan cara yang tepat, sesuai dengan personalitas
dan tingkat yang ingin diketahuinya.
Objek iluminasi bersifat non-fisik. Ilmu ini merupakan konsumsi bagi jiwa
manusia. Dalam konteks Nabi Muhammad sebagaimana yang disinggung di atas,
ilmu ini diberikan dalam bentuk al-Quran, yang kemudian dipahami dan diamalkan
oleh Nabi sebagai sunnah. Dalam perspektif hukum al-Quran dan sunnah ini disebut
dengan syariat, sedangkan dalam perspektif spiritualitas disebut dengan ilmu
Ladunni dan Hikmah. Oleh sebab itu, ilmu iluminasi yang diperoleh Nabi
merupakan ilmu tertinggi dan selalu menjadi referensi dan petunjuk dalam semua
formulasi sains dan aktivitas umat.
2.Ilmu Sains (Ilmu Pengetahuan)
-
48
Ilmu sains adalah ilmu yang diperoleh oleh insans berdasarkan daya usaha
akliyahnya sendiri yang berasal dari pengalaman hiidup, penelitian, dan
pegkajian indera jasmani43 terhadap obyek-obyek yang bersifat materi.
Pengamatan indera terhadap objek-objek tersebut tentu saja tidak cukup untuk
memberi atau menerapkan objek-objek fisik itu sebagaimana adanya, karena
sering terjadi bahwa informasi yang ditangkap oleh pengamatan indera
konvensional adalah keliru. Misalnya suara gemuruh dari halilintar yang kita
dengar belum tentu terjadi pada saat kita mendengarnya. Dengan demikian
diperlukan cara-cara tertentu untuk membuat pengalaman inderawi mwnjadi
obyektif. Karena kebutuhan yang semacam inilah yang pertama kali metode
observasi inderawi. Metode ini adalah yang paling sering dipakai oleh
pengetahuan jenis apapun44.
Beberapa langkah bisa ditempuh untuk menyempurnakan pengamatan
inderawi, yaitu: Pertama, pengukuran (Measurement) adalah cara yang efektif
untuk menentukan ukuran yang lebih akurat tentang sebuah jarak atau besarnya
objek. Kedua, menggunakan alat bantu, seperti mikroskop, teleskop, dan
sebagainya. Ketiga, mengadakan eksperimen-eksperimen (tajribat) tentang hal-
hal yang belum jelas oleh pengamatan inderwi. Misalnya eksperimen yang
dilakukan oleh al-Biruni untuk mengukur keliling bumi cukup mengesankan
dengan memanfaatkan rumus-rumus trigonometri, dia memperoleh nilai keliling
bumi yang sangat akurat bahkan dibandingkan dengan ukuran modern.
43 Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat sains,., h.78 44 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz, 2005), cet. Ke-
1,h.97
-
49
Tetapi, betapapun canggihnya metode pengamatan indrwai yang kita miliki,
pengamatan indra tetap saja tidak memadai, karena sehebat-hebatnya
pengamatan indra, ia tidak akan mampunmenembus objek-objek non fisik karena
sifatnya yang indrawi. Padahal objek-objek no-indrawi tersebut tidak sedikit.
Nah, disinilah keterlibatan ilmu iluminasi dengan sains, untuk menutupi
kelemahan-kelemahan ilmu sains tersebut.
Ilmu sains bersifat empiris atau acak dan pencapaiannya menempuh jalan-
jalan yang betingkat-tingkat imu pegetahuan sebagai sifat Allah swt. Yang Maha
Qadim adalah tidak terbatas. Namun sebagaimana yang telah dikemukakan di
atas bahwa keterlibatan ilmu pengetahuan, kemudian tanggung jawab untuk
mencarinya, dan keterbatasan hidup manusia. Dengan demikian, konsekuensi
logisnya kemudian adalah manusia harus membatasi keinginanya dalam mencari
ilmu pengetahuan. Dapat dikatakan bahwa tidak mungkin (mustahil) bagi
manusia untuk menguasai seluruh ilmu pengetahuan yang setiap saat terus
berubah dan berkembang. Walaupun demikian, al-Attas mengajak umat Islam
untuk tidak boleh tertinggal dari bangsa lain, oleh karenanya umat Islam harus
mampu membangun dan mengatur sistem pendidikan yang mampu
mengakomodir ilmu-ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Kemudian jika ditinjau dari aspek kewajiban manusia mempelajarinya, ilmu
dikalsifikasilan menjadi Fardhu Ain dan Fardhu Kifayah.45 Ilmu iluminasi
(Marifat ) merupakan ilmu Fardhu Ain. 46 artinya ilmu yang harus dipelajari
45 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-
Attas, h. 270 46 Konsep ini bukan berarti umat Islam harus mempelajari ilmu iluminasi saja, sebab ada
keterkaitan antara ilmu iluminasi dan sains. Misalnya walaupun ilmu iluminasi statusnya lebih tinggi
-
50
oleh setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, maka setiap individu akan
menanggung beban apabila meninggalkan kewajiban ini.47 Sedangkan ilmu
pengetahuan merupakan ilmu Fardhu Kifayah. Maksudnya yaitu ilmu
pengetahuan yang hanya wajib diketahui dan dipelajari oleh beberapa orang saja,
maka apabila sebagian atau beberapa orang menunaikan kewajiban itu, gugurlah
kewajiban bagi yang lain.
Konsep ilmu Fardhu AIn dan Fardhu Kifayah harus dipahami secara lebih
mendalam, agar tidak keliru dalam tatarn praktis. Konsep al-Attas tentang itu
jangan dipahami bahwa Al-Attas telah membangun dinding yang membatasi
umat Islam dlam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Karena
seperti yang diungkapkan di atas bahwa ilmu pengetahuan memiliki batasan-
batasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, justru pandangan seperti itu akan sangat
mebantu dalam mengarahkan pendidikan untuk lebih jujur, praktis, dan lebih
bermakna bagi orang yang sedang menjalaninya. Jadi, pendapat yang
mengatakan bahwa ilmu itu tidak perlu dipisah-pisahkan48 tidaklah tepat.
Untuk lebih mudah memahami konsep fardhu ain dan fardhu kifayah dalam
konsep al-Attas, berikut akan diuraikan secara lebih terperinci:
dari ilmu sains, namun ilmu iluminasi tidak bisa dijelaskan tanpa ilmu-ilmu sains. Dengan demikian umat Islam juga wajb mempelajari ilmu sains sebagai sarana pendukung dalam mempelajari ilmu iluminasi tersebut.
47 Ilmu ini bisa dipelajari oleh umat Islam, misalnya yang termasuk dlam ilmu ini salah satu diantaranya, adalah al-Quran yang harus dipelajari oleh setiap umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. (Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Ibid,.h.157)
48 Yaitu adanya pemahaman sebagian ulama nbahwa menuntut ilmu agama tergolong fardhu ain, sementara ilmu non-agama termasuk fardhu kifayah, lihat Abd. Rachman Assegaf, Membangun Format Pendidikan Islam di Era Globalisasi, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2004), cet. Ke-1, h. 18
-
51
1. Fardhu Ain
Al-Attas menyatakan bahwa fardhu ain bukanlah kumpulan ilmu
yang kaku dan tertutup.49 Ruang lingkup fardhu ain sangat luas sesuai
dengan perkembangan dan tanggung jawab spiritual, sosial, dan
profesionalisme seseorang.50 Dengan demikian, karena Islam mewajibkan
mencari ilmu tingkat tinggi, maka fasilitas untuk mencapainya merupakan
sesuatu yang diisyaratkan. Oleh sebabitu, seorang muslim diwajibkan
menguasai ilmu-ilmu yang membantu memperoleh ilmu-ilmu yang lebih
tinggi tersebut, seperti ilmu keterampilan membaca, menulis dan
menghitung.
Adapun ilmu-ilmu yang termasuk dalam kategori fardhu ain adalah
ilmu-ilmu agama yaitu sebagai berikut:
a) Al-Quran; pembacaan dan penafsiran (Tafsir dan Tawil)
b) As-Sunnah; kehidupan Nabi, sejarah dan pesan-pesan para Rasul
sebelumnya, hadis dan riwayat-riwayat otoritasnya.
c) Asy-Syariah; undang-undang hukum, prinsip-prinsip, dan
praktek-praktek Islam (Islam, Iman, dan Ihsan).
d) Teologi; Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya serta
tindakan-tindakan-Nya (at-Tauhid).
49 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-
Attas., h.273 50 Misalnya di ISTAC meskipun ditawarkan beberapa mata kuliah dalam bidang hukum dan
fiqih Islam namun tidak diwajibkan, kecuali dalam kasus-kasus yang bersifat individual, yaitu jika pembimbing mahasiswa merekomendasikannya atau jika mahasiswa itu belajar bidang kebudayaan Islam.
-
52
e) Metafisika Islam (at-Tashawuf), Psikologi, Kosmologi, dan
Ontologi; unsur-unsur yang sah dalam filsafat Islam (termasuk
doktrin-doktrin kosmologis yang benar, berkenaan dengan
tingkatan-tingkatan wujud).51
f) Ilmu Linguistik; bahasa Arab, tata bahasa leksikografi, dan
kesusasteraannya.
Perlu ditekankan kembali disini karena kategorisasi fardhu ain
bukanlah suatu hal yang statis. Oleh karena itu, dalam proses pendidikan ia
harus dipelajari harus mempertimbangkan keadaan peserta didik, tidak mesti
diketahui dalam waktu yang sama. Akan tetapi untuk memudahkan dapat
dilakukan dengan cara bertahap (gradual). Di samping itu, ilmu fardhu ain
bersifat dinamis dan berkembang sesuai dengan kemapuan intelektual dan
spiritual seseorang serta keadaan masyarakatnya.
2. Fardhu Kifayah
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa ilmu fardhu kifayah
tidak diwajibkan kepada setiap indvidu muslim untuk mempelajarinya.
Kewajiban itu gugur apabila telah ada sebagian atau beberapa orang telah
memnuhi kewajiban tersebut. Namun, tidak ada di antara umat Islam yang
memnuhi kewajiban itu, maka seluruh umat Islam harus turut bertanggng
51 Menurut al-Attas mata kuliah ini merupakan yang paling fundamental dalam kurikulum
pendidikan Al-Attas, bukan saja karena meliputi semua elemen yang paling penting dalam pandangan Islam mengenai realitas dan kebenaran sebagaiman yang diterangkn dalam al-Quran, hadis, teologi, dan filsafat, serta ilmu pengetahuan mengenai bahasa Arab klasik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ilmu ini harus dipelajari oleh setiap mahasiswa yang belajar di ISTAC. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas., h. 277
-
53
jawab dan menanggung resiko atas segala kesuatu yang ditimbulkannya.
Sudah tentu kategorisasi ini sangat urgen karena akan memberikan landasan
teoritis dan motivasi keagamaan kepada umat Islam untuk mempelajarinya
dan mengembangkan segala ilmu ataupun teknologi yang diperlukan untuk
kemakmuran umat Islam. Al-Attas mengklasifikasikan ilmu fardhu kifayah
manjdi:52
a. Ilmu-ilmu kemanusiaan,
b. Ilmu-ilmu alam,
c. Ilmu-ilmu terapan,
d. Ilmu-ilmu teknologi,
e. Perbandingan agama,
f. Kebudayaan dan peradaban Barat,
g. Ilmu-ilmu linguistik: bahasa-bahasa Islam,
h. Sejarah Islam,
Dari klasifikasi ilmu fardhu kifayah di atas, al-Attas tidaklah
bermaksud untuk membatasi cakupan ilmu pengetahuan yang harus
dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam. Karena seperti yang diungkapkan
oleh Al-Attas bahwa semua ilmu datang dari Allah,53 yang tidak terhitung
jumlahnya. Di samping itu, sebagaiaman halnya ilmu fardhu ain bersifat
dinamis, sudah barang tentu ilmu fardhu kifayah juga bahkan lebih bersifat
dinamis, yang terus mengalami perkembangan seiring dengan perubahan
kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman.
52 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 90-91 Syed M. Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan, h. 42, lihat juga Abudin Nata, et al. ntegrasi
Ilmu Agama dan Ilmu Umum, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. Ke-1, h. 80
-
54
2. Sumber dan Metode Ilmu
1. Sumber Ilmu
Menurut al-Attas, ilmu datang dari Tuhan yang kemudian ditafsirkan
oleh kekuatan fakultas-fakultas manusia, sehingga pengetahuan yang dimiliki
manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Tuhan. Dengan konsep ini, dari
sisi sumbernya, pengetahuan adalah masuknya makna sesuatu dari Tuhan kedalam
jiwa manusia; sebaliknya dari sisi subyek manusianya, pengetahuan adalah
sampainya jiwa pada makna sesuatu obyek pengetahuan54.
Dengan pemaknaan yang demikian, bagi al-Attas, objek pengetahuan
bukan ada-nya melainkan makna dari ada-nya, atau makna dari realitas objek.
Artinya, subjek (manusia) yang memegang peranan yang lebih penting dalam
menentukan apa yang ada pada objek. Makna objek ada dalam persepsi manusia
bukan dalam diri objek55.konsep ini tentu sangat kontradiksi dengan epistemologi
Barat yang positivistik, materialistik, dan empiris. Dunia Barat meyakini bahwa
makna pengetahuan sebenarnya ada dalam diri objek (in-self) itu sendiri secara
objektif, dan otonom, dan tanpa ada intervensi dari manusia (subjek). Artinya,
manusia bersikap pasif, yang diisi objek materal melalui pengalaman inderawi56.
2. Metode Ilmu
Dalam menafsirkan pengetahuan dari Tuhan dan menangkap makna-makna
objek pengetahuan, menurut al-Attas, manusia dapat menggunakan kekuatan
fakultas-fakultas yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia, yaitu melalui