FIX.docx
-
Upload
firdhatriasnawas -
Category
Documents
-
view
217 -
download
3
Transcript of FIX.docx
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Batuk merupakan reflek pertahanan yang timbul akibat iritasi percabangan
trakeobronkial. Kemampuan untuk batuk merupakan mekanisme yang penting
untuk membersihkan saluran napas bagian bawah. Batuk juga merupakan gejala
tersering penyakit pernapasan. Rangsangan yang biasanya menimbulkan batuk
adalah rangsangan mekanik, kimia dan peradangan. Batuk dapat bersifat
produktif, pendek dan tidak produktif, keras dan parau, sering, jarang, atau
paroksismal.1
Batuk darah (hemoptisis) adalah darah atau dahak bercampur darah yang
dibatukkan yang berasal dari saluran pernafasan bagian bawah (mulai glotis ke
arah distal). Batuk darah adalah suatu keadaan menakutkan / mengerikan yang
menyebabkan beban mental bagi penderita dan keluarga penderita sehingga
menyebabakan takut untuk berobat ke dokter.Biasanya penderita menahan batuk
karena takut kehilangan darah yang lebih banyak sehingga menyebabkan
penyumbatan karena bekuan darah. Batuk darah pada dasarnya akan berhenti
sendiri asal tidak ada robekan pembuluhdarah,berhenti sedikit-sedikit pada
pengobatan penyakit dasar.Batuk darah merupakan suatu gejala atau tanda suatu
penyakit infeksi. Volume darah yang dibatukkan bervariasi dan dahak bercampur
darah dalam jumlah minimal hingga masif, tergantung laju perdarahan dan lokasi
perdarahan.2
Batuk darah atau hemoptisis adalah ekspektorasi darah akibat perdarahan
pada saluran napas di bawah laring, atau perdarahan yang keluar melalui saluran
napas bawah laring. Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala
penyakit dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih
teliti. Batuk darah masif dapat diklasifikasikan berdasarkan volume darah yang
dikeluarkan pada periode tertentu. Batuk darah masif memerlukan penanganan
segera karena dapat mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mengganggu
kestabilan hemodinamik penderita sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat
mengancam jiwa.2
1
Angka kejadian hemoptisis di klinik paru berkisar antara 10 sampai 15
persen dan untuk negara dengan angka kejadian tuberkulosis yang tinggi
merupakan penyebab terjadinya hemoptisis masif sebesar 20 persen. Sedangkan
yang disebabkan oleh bronkiektasis sebesar 45 persen dan pada tumor sebesar 10
persen. 1
Hemoptisis masif yang tidak diterapi mempunyai angka mortaliti lebih
dari50% dan perlu dicari sumber perdarahannya sehingga terapi definitif dapat
dilakukan untuk menghentikan perdarahan. Hemoptisis masif sering terjadi pada
bronkiektasis, bekas tuberkulosis, karsinoma bronkogenik, tuberkulosis aktif,
kistik fibrosis,Artery-venous malformation (AVM), bronkiektasis nontuberkulosis
dan ditemukan pada kasus yang jarang seperti lesi infiltratif peribronkial.
Sebagian besar kasus hemoptisis dapat diterapi secara konservatif namun pada
kasus hemoptisis berat diperlukan tindakan pembedahan. Pemeriksaan penunjang
yang diperlukan dalam tatalaksana hemoptisis masif adalah foto toraks, Computed
tomography scanning (CT-scan) dan bronkoskopi.3
Komplikasi yang sering terjadi adalah asfiksia, kehilangan darah yang
banyak dalam waktu singkat dan penyebaran penyakit ke jaringan paru yang
sehat. Batuk darah sendiri terkadang sulit didiagnosis, salah satu faktor
penyebabnya adalahakibat ketakutan pasien mengenai gejala ini hingga terkadang
pasien akan menahan batuknya,hal ini akan memperburuk keadaan karena akan
timbul penyulit. Oleh sebab itu pengertian yang seksama mengenai hemoptisis
diharapkan mampu memberikan penatalaksanaan yang optimal pada penderita. 1,4
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vaskularisasi Paru
Gambar 2.1 Skema sirkulasi bronchial dan anastomase sirkulasi bronchial dengan sirkulasi pulmonal
Bronkus, jaringan ikat paru dan pleura visceralis menerima darah dari arteri
bronchial yang merupakan cabang dari aorta descendens. Vena bronchiales (yang
berhubungan dengan vena pulmonales) mengalirkan darahnya kevena azigos dan
vena hemiazigos4,5.
Alveoli menerima darah terdeoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri
pulmonalis.darah yang teroksigenasi meninggalkan kapiler-kapiler alveoli masuk
kecabang-cabang vena pulmonalis yang mengikuti jaringan ikat septa
intersegmentalis keradix pulmonalis4,5.
1. Sirkulasi bronkial :
a. nutrisi pada paru dan saluran napas
b. tekanan pembuluh darah sistemik
c. cenderung terjadi perdarahan lebih hebat
2. Sirkulasi pulmonar
a. mengatur pertukaran gas
b. tekanan rendah
3
2.2 HEMOPTISIS
A. Definisi
Batuk darah adalah ekspektorasi darah atau dahak yang berdarah, berasal
dari saluran nafas di bawah pita suara. Sinonim batuk darah ialah hemoptoe atau
hemoptisis.4Batuk darah lebih sering merupakan tanda atau gejala dari penyakit
yang mendasari sehingga etiologinya harus dicari melalui pemeriksaan yang
seksama.5
Hemoptisis merupakan salah satu bentuk kegawatan paru yang paling
sering terjadi diantara bentuk-bentuk klinis lainnya. Tingkat kegawatan dari
hemoptisis ditentukan oleh 3 faktor:
a. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah di dalam saluran
pernapasan. Terjadinya asfiksia ini tidak tergantung pada jumlah perdarahan
yang terjadi, akan tetapi ditentukan oleh reflek batuk yang berkurang atau
terjadinya efek psikis dimana pasien takut dengan perdarahan yang terjadi.
b. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik (hypovolemic shock). Bila perdarahan yang
terjadi cukup banyak, maka hemoptisis tersebut digolongkan ke dalam
hemoptisis masif walaupun terdapat beberapa kriteria, antara lain:
1) Kriteria Yeoh (1965) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi adalah sebesar 200 cc/24 jam.
2) Kriteria Sdeo (1976) menetapkan bahwa hemoptisis masif terjadi apabila
jumlah perdarahan yang terjadi lebih dari 600 cc/24 jam.
c. Adanya pneumonia aspirasi, yaitu suatu infeksi yang terjadi beberapa jam atau
beberapa hari setelah perdarahan. Keadaan ini merupakan keadaan yang gawat,
oleh karena baik bagian jalan napas maupun bagian fungsionil paru tidak dapat
berfungsi sebagaimana mestinya akibat terjadinya obstruksi total.6
4
B. Etiologi
Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas :4
1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh
karena jamur dan sebagainya.
2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta.
3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus.
4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik).
5. Benda asing di saluran pernapasan.
6. Faktor-faktor ekstrahepatik dan abses amuba.
Penyebab batuk darah menurut penyelidikan Osler A. Abbott7:
Penyakit
Presentase
Pasien
Hemoptisis
Penyakit
Presentase
Pasien
Hemoptisis
Karsinoma
bronkogenik56,0 Empiema 24,5
Abses paru 49,2Metastasis
Karsinoma24,0
Infark pulmonal 44,0
Bronkiektasis 43,5Tumor
Mediastinum20,0
Tuberkulosis 36,5 17,5
Krista kongenital 25,8Obstruksi
Esofagus9,0
Etiologi lain hemoptisis adalah sebagai berikut :7,8
1. Batuk darah idiopatik
Batuk darah idiopatik adalah batuk darah yang tidak diketahui
penyebabnya, dengan insiden 0,5 sampai 58% . dimana perbandingan
antara pria dan wanita adalah 2:1. Biasanya terjadi pada umur 30-50 tahun
kebanyakan 40-60 tahun dan berhenti spontan dengan suportif terapi.
5
2. Batuk darah sekunder
Batuk darah sekunder adalah batuk darah yang diketahui penyebabnya.
a. Oleh karena keradangan, ditandai vaskularisasi arteri bronkiale > 4%
(normal1%)
1) TB:batuk sedikit-sedikit, masif perdarahannya dan bergumpal.
2) Bronkiektasis : bercampur purulen.
3) Abses paru : bercampur purulen.
4) Pneumonia : warna merah bata encer berbuih.
5) Bronkitis : sedikit-sedikit campur darah atau lendir.
b. Neoplasma
1) Karsinoma paru.
2) Adenoma.
c. Lain-lain
1) Trombo emboli paru – infark paru.
2) Mitral stenosis.
3) Kelainan kongenital aliran darah paru meningkat.
ASD
VSD
4) Trauma dada.
Berdasarkan usia penderita, Pursel membagi batuk darah menjadi:9
1. Anak-anak dan remaja:
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
d. Tuberkulosis
2. Umur 20 – 40 tahun:
a. Tuberkulosis
b. Bronkiektasis
c. Stenosis mitral
3. Umur lebih dari 40 tahun:
a. Karsinoma bronkogen
b. Tuberkulosis
c. Bronkiektasis
6
c. Patofisiologi
Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan
hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk
memberikan nutrisi pada jaringan paru,juga bila terjadi kegagalan arteri
pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.6
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut :7,8
1. Batuk darah pada tuberculosis pada umumnya terjadi oleh karena:
a. Adanya Rasmussen’s aneurysm yang pecah.
Teori dimana terjadi perdarahan aneurisma dari Rasmussen ini
telah lama dianut, tetapi beberapa laporan otopsi lebih membuktikan
terdapat hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari
arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan. Setelah
berkembangnya arteriografi dapat dibuktikan bahwa pada setiap proses
paru terjadi hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang
berperan memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terdapat kegagalan
arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas.
Oleh karena itu terdapatnya Rasmussen aneurisma pada kaverna
tuberculosis yang merupakan asal perdarahan diragukan.
b. Adanya kekurangan protrombin yang disebabkan oleh toksemia dari basil
tuberkulosa yang menginfeksi parenkim paru.
2. Batuk darah pada karsinoma paru.
Terjadi oleh karena erosi permukaan tumor dalam lumen bronkus
atau berasal dari jaringan tumor yang mengalami nekrosis, pecahnya
pembuluh darah kecil pada area tumor atau invasi tumor ke pembuluh darah
pulmoner.
3. Batuk darah pada bronkiektasis:
a. Mukosa bronkus yang sembab mengalami infeksi dan trauma batuk
menyebabkan perdarahan.
b. Terjadi anastomose antara pembuluh darah bronchial dan pulmonal dan
juga terjadi aneurisma, bila pecah terjadi perdarahan.
c. Pecahnya pembuluh darah dari jaringan granulasi pada dinding bronkus
yang mengalami ektasis.
7
4. Batuk darah pada bronchitis kronis:
Terjadi oleh karena mukosa yang sembab akibat radang, terobek oleh
mekanisme batuk.
5. Batuk darah pada abses paru:
Pada abses kronik dengan kavitas berdinding tebal yang sukar
menutup, maka pembuluh darah pada dinding tersebut mudah pecah akibat
trauma pada saat batuk.
6. Batuk darah pada mitral stenosis dan gagal jantung kiri akut:
a. Bila batuk darah ringan, perdarahan terjadi secara perdiapedesis, karena
tekanan dalam vena pulmonalis tinggi menyebabkan rupture vena
pulmonalis atau distensi kapiler sehingga butir darah merah masuk ke
alveoli.
b. Menurut ferguson, batuk darah terjadi karena pecahnya varises di
mukosa bronkus.
c. Pada otopsi ternyata ada anastomose vena pulmonalis dan vena
bronkialis yang hebat sehingga tampak seperti varises.
7. Batuk darah pada infark paru:
Pada infark paru karena adanya penutupan arteri, maka terjadi
anastomose. Selain itu juga terjadi reflek spasme dari vena di daerah tersebut,
akibatnya terjadi daerah nekrosis dimana butir-butir darah masuk ke alveoli
dan terjadi batuk darah.
8. Batuk darah pada Good Pasture syndrome:
Terjadi kelainan pada membrane basalis alveol kapiler yaitu
terbentuknya antibody to glomerular basement membrane (anti GBM Ab)
lebih spesifiknya kolagen tipe IV pada paru sehingga membuat hilangnya
keutuhan membranan basalis epithelial-endotelial dan memudahkan
masuknya sel darah merah dan netrofil masuk ke dalam alveoli.
9. Batuk darah pada infeksi jamur:
Terjadi friksi pada pergerakan mycetoma dan terjadi pelepasan
antikoagulan serta enzim proteoitik yang menyerupai tripsin dari jamur.
8
10. Batuk darah pada batuk keras:
Sifat khas bahwa darah terletak di permukaan sputum, jadi tidak
bercampur di dalamnya.
a. Kelenjar getah bening yang mengapur, waktu batuk terjadi erosi pada
bronkus yang berdekatan.
b. Mungkin bronkolit yang ada pada saat batuk menggeser lumennya.
c. Batuk yang keras dan berulang-ulang merobek mukosa bronkus.
11. Cedera dada
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk
darah.
d. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Pusel:2
+ batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis
dalam sputum
++ batuk dengan perdarahan 1 – 30 ml
+++ batuk dengan perdarahan 30 – 150 ml
++++ batuk dengan perdarahan 150-500 ml
Massive batuk dengan perdarahan 500-1000 ml atau lebih
Klasifikasi didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan.4
1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam
Yang sering terjadi darah bercampur dengan sputum. Umumnya pada
bronkitis.
2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam
Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya
pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru.
3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam
Biasanya pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis.
9
4. Pseudohemoptisis
Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring)
atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan
(factitious).
Johnson membuat pembagian lain menurut jumlah darah yang keluar
menjadi:2
1. Single hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung kurang dari 7 hari.
2. Repeated hemoptysis yaitu perdarahan berlangsung lebih dari 7 hari dengan
interval 2 sampai 3 hari.
3. Frank hemoptysis yaitu bila yang keluar darah saja tanpa dahak.
Kesulitan dalam menegakkan diagnosis ini adalah karena pada hemoptisis
selain terjadi vasokontriksi perifer, juga terjadi mobilisasi dari depot darah,
sehingga kadar Hb tidak selalu memberikan gambaran besarnya perdarahan yang
terjadi. Kriteria dari jumlah darah yang dikeluarkan selama hemoptisis juga
mempunyai kelemahan oleh karena:8,9
a. Jumlah darah yang dikeluarkan bercampur dengan sputum dan kadang-kadang
dengan cairan lambung, sehingga sukar untuk menentukan jumlah darah yang
hilang sesungguhnya.
b. Sebagian dari darah tertelan dan dikeluarkan, bersama-sama dengan tinja,
sehingga tidak ikut terhitung.
c. Sebagian dari darah masuk ke dalam paru-paru akibat aspirasi.
Oleh karena itu suatu nilai kegawatan dari hemoptisis ditentukan oleh:10
a. Apakah terjadi tanda-tanda hipotensi yang mengarah pada renjatan
hipovolemik.
b. Apakah terjadi obstruksi total maupun parsial dari bronkus yang dapat dinilai
dengan adanya iskemia miokardium, baik berupa gangguan aritmia, gangguan
mekanik jantung, maupun aliran darah serebral.
Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap:11
a. Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis
b. Lamanya perdarahan
c. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi
d. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi dan kesadaran.
10
e. Manifestasi Klinis
Untuk mengetahui penyebab batuk darah kita harus memastikan bahwa
perdarahan tersebut berasal dari saluran pernafasan bawah, dan bukan berasal dari
nasofaring atau gastrointestinal. Dengan perkataan lain bahwa penderita tersebut
benar-benar batuk darahdan bukanmuntah darah.4Hal tersebut akan dijelaskan
pada tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Perbedaan Batuk Darah Dengan Muntah Darah9
No Keadaan Batuk Darah Muntah Darah
1 Prodromal Darah dibatukkan dengan
rasa panas di tenggorokan
Darah dimuntahkan
dengan rasa mual
(Stomach Distress)
2 Onset Darah dibatukkan, dapat
disertai dengan muntah
Darah dimuntahkan, dapat
disertai dengan batuk
3 Tampilan Darah berbuih Darah tidak berbuih
4 Warna Merah segar Merah tua
5 Isi Lekosit, mikroorganisme,
hemosiderin, makrofag
Sisa makanan
6 Ph Alkalis Asam
7 Riwayat
penyakit dahulu
(RPD)
Penyakit paru Peminum alkohol, ulcus
pepticum, kelainan hepar
8 Anemis Kadang tidak dijumpai Sering disertai anemis
9 Tinja Blood test (-) /
Benzidine Test (-)
Blood Test (+) /
Benzidine Test (+)
Kriteria batuk darah: 8
11
1. Batuk darah ringan (<25cc/24 jam).
2. Batuk darah berat (25-250cc/ 24 jam).
3. Batuk darah masif (batuk darah masif adalah batuk yang mengeluarkan darah
sedikitnya 600 ml dalam 24 jam).
Kriteria yang paling banyak dipakai untuk hemoptisis masif yang diajukan
Busroh (1978) :9
1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam
pengamatannya perdarahan tidak berhenti.
2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%,
sedangkanbatuk darahnya masih terus berlangsung.
3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan
tetapilebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi
selamapengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk
darahtersebut tidak berhenti.
f. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada
penyakit lain perlu dilakukan urutan-urutan dari anamnesis yang teliti hingga
pemeriksaan fisik maupun penunjang sehinggapenanganannya dapat
disesuaikan.7,8
1. Anamnesis
Hal-hal yang perlu ditanyakan dalam hal batuk darah adalah:7,10
a. Jumlah dan warna darah yang dibatukkan.
b. Lamanya perdarahan.
c. Batuk yang diderita bersifat produktif atau tidak.
d. Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan.
e. Ada merasakan nyeri dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik.
f. Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan
batuk
12
g. Wheezing
h. Perdarahan di tempat lain bersamaan dengan batuk darah
i. Perokok berat dan telah berlangsung lama
j. Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada
k. Hematuria yang disertai dengan batuk darah.
l. Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu.
2. Pemeriksaan fisik7,8
Untuk mengetahui perkiraan penyebab.
a. Panas merupakan tanda adanya peradangan.
b. Auskultasi :
1) Kemungkinan menonjolkan lokasi.
2) Ronchi menetap, whezing lokal, kemungkinan penyumbatan oleh : Ca,
bekuan darah.
c. Friction Rub : emboli paru atau infark paru
d. Clubbing finger : memberikan petunjuk kemungkinan keganasan
intratorakal dan supurasi intratorakal (abses paru, bronkiektasis).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto toraks dalam posisi PA dan lateral hendaklah dibuat pada setiap
penderitahemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan
tempatperdarahannya.2 Pemeriksan foto thoraks merupakan salah satu
komponen penting dalam pemeriksaan untuk mengetahui penyebab
perdarahan terutama kelainan parenkim paru, misalnya pemeriksaan
dengan kaviti, tumor, infiltrat dan atelektasis. Perdarahan intra-alveolar
menimbulkan pola infiltrat retikulonedular. Namun demikian gambaran
foto thoraks bisa normal ataupun tidak informatif.12
b. Pemeriksaanbronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, sebab
sebagian penderita bronkiektasis sukar terlihat pada pemeriksaan X-foto
toraks.4
c. Pemeriksaan dahak baik secara bakteriologi maupun sitologi (bahan dapat
diambil dari dahak dengan pemeriksaan bronkoskopi atau dahak
13
langsung).4 Pemeriksaan sputum yang dapat dilakukan adalah untuk
pemeriksaan bakteri pewarnaan gram, basil tahan asam (BTA).
Pemeriksaan dahak sitologi dilakukan apabila penderita berusia >40 tahun
dan perokok. Biakan kuman juga dapat dilakukan terutama untuk BTA dan
jamur.12
d. Laboratorium11
a. Pemeriksaan darah tepi lengkap
i. Peningkatan Hb dan Ht kehilangan darah yang akut
ii. Leukosit meningkat infeksi
iii. Trombositopenia koagulopati
iv. Trombositosis kanker paru
b. CT dan BT; PT dan APTT jika dicurigai adanya koagulopati atau pasien
menerima warfarain/heparin
c. Analisa gas darah arterial harus diukur jika pasien sesak yang jelas dan
sianosis.
e. Pemeriksaan bronkoskopi
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber perdarahan dan
sekaligus untuk penghisapan darah yang keluar, supaya tidak terjadi
penyumbatan. Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena
dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui.2,4
Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 2
1) Bila radiologik tidak didapatkan kelainan
2) Batuk darah yang berulang
3) Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik
Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan
diagnosis, lokasiperdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu
yang tepat untukmelakukannya merupakan pendapat yang masih
kontroversial, mengingatbahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi
akan menimbulkan batuk yanglebih impulsif, sehingga dapat memperhebat
perdarahan disampingmemperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan
bronkoskop fiberoptik dapatmenilai bronkoskopi merupakan hal yang
mutlak untuk menentukan lokasiperdarahan.2
14
Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop
serat optikjauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat
bermanfaat dalammembersihkan jalan napas dari bekuan darah serta
mengambil benda asing,disamping itu dapat melakukan penamponan
dengan balon khusus di tempatterjadinya perdarahan.2
g. Penatalaksanaan
Tujuan pokok terapi ialah:9
1. Mencegah asfiksia.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengobati penyebab utama perdarahan.
Langkah-langkah: 9
1. Pemantauan menunjang fungsi vital
a. Pemantauan dan tatalaksana hipotensi, anemia dan kolaps
kardiovaskuler.
b. Pemberian oksigen, cairan plasma expander dan darah
dipertimbangkan sejak awal.
c. Pasien dibimbing untuk batuk yang benar.
2. Mencegah obstruksi saluran napas
a. Kepala pasien diarahkan ke bawah untuk cegah aspirasi.
b. Kadang memerlukan pengisapan darah, intubasi atau bahkan
bronkoskopi.
3. Menghentikan perdarahan
a. Pemasangan kateter balon oklusi forgarty untuk tamponade
perdarahan.
b. Teknik lain dengan embolisasi arteri bronkialis dan pembedahan.
Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan support
kardiopulmoner danmengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia
yang merupakan penyebabutama kematian pada para pasien dengan
hemoptisis masif.6,9
Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam
saluran napasyang menyebabkan asfiksia. Bila terjadi afsiksi, tingkat
15
kegawatan hemoptisis palingtinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang
multipel. Hemoptosis dalam jumlahkecil dengan refleks batuk yang buruk
dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlahbanyak dapat menimbukan
renjatan hipovolemik.6,9
Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah :
1. Terapi konservatif
Dasar-dasarpengobatanyangdiberikan sebagai berikut :7,8,9
a. Mencegah penyumbatan saluran nafas
Penderita yang masih mempunyai refleks batuk baik dapat diletakkan
dalam posisi duduk, atau setengah duduk dan disuruh membatukkan
darah yang terasa menyumbat saluran nafas. Dapat dibantu dengan
pengisapan darah dari jalan nafas dengan alat pengisap. Jangan sekali-
kali disuruh menahan batuk.
Penderita yang tidak mempunyai refleks batuk yang baik, diletakkan
dalam posisi tidur miring kesebelah dari mana diduga asal perdarahan,
dan sedikit trendelenburg untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang
sehat. Kalau masih dapat penderita disuruh batuk bila terasa ada darah
di saluran nafas yang menyumbat, sambil dilakukan pengisapan darah
dengan alat pengisap. Kalau perlu dapat dipasang tube endotrakeal.
Batuk-batuk yang terlalu banyak dapat mengakibatkan perdarahan
sukar berhenti. Untuk mengurangi batuk dapat diberikan Codein10 - 20
mg. Penderita batuk darah masif biasanya gelisah dan ketakutan,
sehingga kadang-kadang berusaha menahan batuk. Untuk menenangkan
penderita dapat diberikan sedatif ringan (Valium) supaya penderita lebih
kooperatif.
b. Memperbaiki keadaan umum penderita
Bila perlu dapat dilakukan :
1) Pemberian oksigen.
2) Pemberian cairan untuk hidrasi.
3) Tranfusi darah.
4) Memperbaiki keseimbangan asam dan basa.
c. Menghentikan perdarahan
16
Pada umumnya hemoptisis akan berhenti secara spontan. Di dalam
kepustakaan dikatakan hemoptisis rata-rata berhenti dalam 7 hari.
Pemberian kantongan es diatas dada, hemostatiks, vasopresin
(Pitrissin)., ascorbic acid dikatakan khasiatnya belum jelas. Apabila ada
kelainan didalam faktor-faktor pembekuan darah, lebih baik
memberikan faktor tersebut dengan infus.
Pemberian obat – obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis),
misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom.
Di beberapa rumah sakit masih memberikan Hemostatika (Adona
Decynone) intravena 3 - 4 x 100 mg/hari atau per oral. Walaupun
khasiatnya belum jelas, paling sedikit dapat memberi ketenangan bagi
pasien dan dokter yang merawat.
d. Mengobati penyakityangmendasarinya(underlyingdisease)
Pada penderita tuberkulosis, disamping pengobatan tersebut diatas
selalu diberikan secara bersama tuberkulostatika. Kalau perlu diberikan
juga antibiotika yang sesuai.
2. Terapi pembedahan
Pembedahan merupakan terapi definitif pada penderita batuk darah masif
yang sumber perdarahannya telah diketahui dengan pasti, fungsi paru
adekuat, tidak ada kontraindikasi bedah.5
Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan.
Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan:5
a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien.
b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian
padaperdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan
tindakanoperasi.
Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya
hemoptisis yang berulang dapat dicegah.
Tindakan bedah meliputi:5,12
1. Reseksi paru: lobektomi atau pneumonektomi
17
Reseksi paru ditujukan untuk membuang sisa-sisa kerusakan akibat
penyakit dasarnya. Macam reseksi:
- Pneumonektomi: reseksi satu paru seluruhnya
- Bilobektomi : reseksi dua lobus
- Lobektomi : reseksi satu lobus
- Wedgeresection: reseksi sebagian kecil jaringan paru
- Enukleasi : bila kelainan patologis kecil dan jinak
- Segmentektomi: reseksi segmen bronkopulmonal
Berdasarkan foto thoraks dan pemeriksaan faal paru, luasnya
operasi dapat ditentukan sebelum operasi. Prinsipnya adalah
mempertahankan sebanyak mungkin jaringan paru yang dianggap
sehat. Luas dan jenis lesi (proses inflamasi, abses atau kavitas)
menentukan jenis reseksi yang akan dilaksanakan.
2. Terapi kolaps: pneumoperitoneum, pneumotoraks artifisia, torakoplasti,
frenikolisis (membuat paralise N. phrenicus).
Terapi kolaps bertujuan untuk mengistirahatkan bagian paru yang
sakit dengan cara membuat kolaps jaringan paru yang sakit tersebut.
Pendapat ini benar untuk kelainan berbentuk kavitas, tetapi cara ini
banyak ditinggalkan karena komplikasinya banyak.
Prosedur yang termasuk dalam kelompok terapi kolaps:
- Pneumotoraks artificial yaitu dengan memasukkan udara ke rongga
pleura kemudian secara bertahap ditambahkan udara sehingga
teracapai kolaps pada jaringan paru yang sakit. Bila paru kolaps
maka bagian tersebut dapat istirahat sehingga mempercepat proses
penyembuhan. Bila terdapat adhesi dan paru tidak dapat kolaps
dilakukan intrapleuralpneumonolysis (operasi Jacoboes), tetapi
sering terjadi komplikasi perdarahan. Karena sering terjadi
empyema setelah pneumotorak artifisial, tindakan ini sudah tidak
dilakukan lagi.
- Pneumoperitoneum yaitu tindakan memasukkan udara ke rongga
peritoneum dengan tujuan menaikkan diafragma agar terjadi kolaps
pada jaringan paru dengan harapan lesi di apikal akan menyembuh.
18
- Paralise nervus phrenicus yaitu dengan cara anestesi local nervus
phrenicus dibebaskan dari perlekatannya di M. scalenus anterior,
kemudian saraf dirusak (crushed) sehingga timbul paralise
diafragma. Akibatnya akan terjadi elevasi diafragma dan
diharapkan apeks paru dapat diistirahatkan sehingga, terjadi proses
penyembuhan.
- Torakoplasti yaitu suatu bentuk operasi dimana kolaps paru terjadi
dengan cara menghilangkan supporting framework-nya, misalkan
dengan membuang tulang iga dari dinding dada. Indikasi
torakoplasti:
Dulu: torakoplasti hamper selalu dilakukan setelah lobektomi atau
pneumonektomi dengan tujuan meminimalisasi kemungkinan
terjadinya over distensi parenkim paru yang tersisa selain itu dead
space akan segera menutup (obliterasi) sehimgga resiko
terbentuknya fistula bronkopleural dan empyema dapat dikurangi.
Sekarang: kebutuhan torakoplasti diragukan dan dilakukan bila
direncanakan reseksi lebih dari 1 lobus atau mengatasi komplikasi
tindakan reseksi seperti fistula bronkopleura dan empiema.
3. Lain-lain: embolisasi artifisial.
Embolisasi artifisial atau Bronchial Artery Embolization (BAE)
adalah penyuntikan gel foam atau polivinil alcohol melalui katerisasi
pada arteri bronkialis. Menurut Ingbar embolisasi berhasil
menghentikan perdarahan 95%. Dengan meningkatnya penggunaan
embolisasi arteriografi, sekarang penggunaan tindakan pembedahan
untuk pengelolaan batuk darah massif mulai ditinggalkan.
h. Komplikasi
Komplikasi yang dapat mengancam jiwa penderita adalah asfiksia,
sufokasi dan kegagalan sirkulasi akibat kehilangan banyak darah dalam waktu
singkat. Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah penyebaran penyakit ke sisi
paru yang sehat dan atelektasis. Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran
19
napas sehingga paru bagian distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.
Atelektasis dapat terjadi karena sumbatan saluran napas sehingga paru bagian
distal akan mengalami kolaps dan terjadi atelektasis.12
Tingkat kegawatan dari batuk darah ditentukan oleh 3 faktor:6
1. Terjadinya asfiksia karena adanya pembekuan darah dalam saluran
pernapasan. Pada dasarnya asfiksia tergantung dari:
a. Frekuensi batuk darah
b. Jumlah darah yang dikeluarkan
c. Kecemasan penderita
d. Siklus inspirasi
e. Reflek batuk yang buruk
f. Posisi penderita
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya batuk darah dapat
menimbulkan syok hipovolemik. Bila jumlah perdarahan banyak maka
digolongkan dalam massive hemoptysis. Kriteria massive hemoptysis
menurut Yeoh adalah perdarahan 200 cc dalam 24 jam sedangkan menurut
Sdeo adalah perdarahan lebih dari 600 cc dalam 24 jam.
3. Aspirasi pneumonia
Yaitu infeksi yang terjadi beberapa jam atau beberapa hari setelah
perdarahan. Aspirasi adalah masuknya bekuan darah ke dalam jaringan paru
yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a. Meliputi bagian yang luas dari paru
b. Terjadi pada bagian percabangan bronkus yang lebih kecil
c. Disamping perdarahan dapat pula disebabkan oleh masuknya cairan
lambung ke dalam paru karena penutupan glottis yang tidak sempurna
d. Dapat diikuti sekunder infeksi.
Aspirasi pneumonia merupakan keadaan berat karena saluran napas
dan bagian fungsional paru tidak dapat berfungsi dengan baik.
i. Prognosis
20
Pada hemoptosis idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita
mengalami hemoptosis yang rekuren. Sedangkan pada hemoptisis sekunder ada
beberapa faktor yang menentukan prognosis : 4,6,7
1. Tingkatan hemoptisis: hemoptisis yang terjadi pertama kali mempunyai
prognosis yang lebih baik.
2. Jenis penyakit dasar yang menyebabkan hemoptisis.
3. Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk
menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.
a. Hemoptisis <200ml/24jam prognosa baik
b. Profuse massive>600cc/24jamprognosa jelek 85% meninggal
2.3 TUBERKULOSIS PARU
A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex.
21
B. ETIOLOGI
Basil TB (Mycobacterium tuberculosis humanis)
C. EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih
menjadi permasalahan di dunia kesehatan hingga saat ini. Dalam situasi
TB di dunia yang memburuk dengan meningkatnya jumlah kasus TB dan
pasien TB yang tidak berhasil disembuhkan terutama di 22 negara dengan
beban TB paling tinggi di dunia, World Health Organization (WHO)
melaporkan dalam Global Tuberculosis Report 2011 terdapat perbaikan
bermakna dalam pengendalian TB dengan menurunnya angka penemuan
kasus dan angka kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir ini.
Insidens TB secara global dilaporkan menurun dengan laju 2,2% pada
tahun 2010-2011. Walaupun dengan kemajuan yang cukup berarti ini,
beban global akibat TB masih tetap besar. Diperkirakan pada tahun 2011
insidens kasus TB mencapai 8,7 juta (termasuk 1,1 juta dengan koinfeksi
HIV) dan 990 ribu orang meninggal karena TB. Secara global
diperkirakan insidens TB resisten obat adalah 3,7% kasus baru dan 20%
kasus dengan riwayat pengobatan. Sekitar 95% kasus TB dan 98%
kematian akibat TB di dunia terjadi di negara berkembang.13-14
Pada tahun 2011 Indonesia (dengan 0,38-0,54 juta kasus) menempati
urutan keempat setelah India, Cina, Afrika Selatan. Indonesia merupakan negara
dengan beban tinggi TB pertama di Asia Tenggara yang berhasil mencapai target
Millenium Development Goals (MDG) untuk penemuan kasus TB di atas 70% dan
angka kesembuhan 85% pada tahun 2006.13-14
22
D. PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN. 13-14
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks
paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 13-14
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
23
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang
waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler. 13-14
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap
hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru
yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. 13-14
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah
mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak
sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 13-14
24
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus
primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis
fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair
dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal
saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi. 13-14
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan
pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 13-14
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ
25
di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. 13-14
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman.
Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi
untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai
Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. 13-14
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini,
sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh
tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB
secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu
(host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. 13-14
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic
spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal
26
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm,
yang secara histologi merupakan granuloma. 13-14
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted
hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan
menyebar ke saluran vaskular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan
masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe
ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang. 13-14
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam
lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada
anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.15
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30%
anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10%
anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun
27
tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-
25 tahun setelah infeksi primer.16
Gambar 1. Patogenesis Tuberkulosis16
1. GEJALA KLINIS
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal
ialah gejala respiratorik (gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
a. Gejala respiratorik
- batuk-batuk lebih dari 2 minggu
28
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai
gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada
saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka
pasien mungkin tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi
bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
b. Gejala sistemik
- Demam
- Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia,
berat badan menurun.
c. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologik
- Bahan pemeriksasan
29
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau
setiap pagi 3 hari berturut-turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan
dikumpulkan/ditampung dalam pot yang bermulut lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum
dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di
gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium,
30
harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan
pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan
bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH)
dapat dilakukan dengan cara :
Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening) lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada
fasilitas foto toraks, kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD
(rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis
and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
31
Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis
dengan metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan
dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa
cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid,
uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen
yang timbul.
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto
lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis
dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
- Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan
opak berawan atau nodular.
- Bayangan bercak milier.
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
- Fibrotik
- Kalsifikasi
32
- Schwarte atau penebalan pleura
Pemeriksaan darah
- Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
yang spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam
pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator
penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfositpun kurang spesifik.
Uji tuberkulin
- Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi
tuberkulosis. Di Indonesia dengan prevalensi tuberculosis yang
tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai
makna bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan
dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan infeksi
HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
33
Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru20
3. PENATALAKSANAAN
TERAPI
Tujuan pengobatan TB adalah:13
- Menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas
pasien
- Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan
- Mencegah kekambuhan TB
- Mengurangi penularan TB kepada orang lain
- Mencegah perkembangan dan penularan resisten obat.
34
World Health Organization merekomendasikan obat kombinasi dosis tetap
(KDT) untuk mengurangi risiko terjadinya TB resisten obat akibat monoterapi.
Dengan KDT pasien tidak dapat memilih obat yang diminum, jumlah butir obat
yang harus diminum lebih sedikit sehingga dapat meningkatkan ketaatan pasien
dan kesalahan resep oleh dokter juga diperkecil karena berdasarkan berat badan.18,
24 Dosis harian KDT di Indonesia distandarisasi menjadi empat kelompok berat
badan 30-37 kg BB, 38-54 kg BB, 55-70 kg BB dan lebih dari 70 kg BB.
Pengobatan TB terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-
Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat
dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
35
Tahap awal (intensif)
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan
2. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk
luluh paru)
36
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
memperpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu
yang ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada
fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil
uji resistensi
b. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada
fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan
obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan
atau lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE /
5 RHE. Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama
tergantung dari perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak
dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2
RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2 TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif),
seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal
selama 1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat
diberikan obat 2 RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji
resistensi.
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
37
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan
hasil yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
d. TB Paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan
OAT dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik
tidak aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran
radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II
maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori
II maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan
klinik dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal
dengan paduan obat yang sama
38
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur
resistensi) terhadap OAT.
e. TB Paru kasus kronik
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam
OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan walaupun
resisten) ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam,
makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin,
Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan
OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien
yang mengalami efek samping OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
39
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada tabel 3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep
minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan
yang benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi.
40
Obat
Dosis (mg/kgBB/Hari
)
Dosis yang dianjurkan Dosis Maksimum
Dosis (mg) / BB (kg)
Harian (mg/kgBB/Hari
)
Intermitten
(mg/kgBB/Hari
)
< 40
40-60
R 8-12 10 10 600
300
450
H 4-6 5 10 300
150
300
Z 20-30 25 35 750
1000
E 15-20 15 30 750
1000
S 15-18 15 15 1000
Sesuai BB
750
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1
Berat Badan Tahap Intensif
tiap hari selama 56 hari
RHZE (150/75/400/275)
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu selama 16 minggu
RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
41
Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1
Tahap Pengobata
n
Lama Pengobatan
Dosis per hari / kali Jumlah hari/kali menelan
obat
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet Etambutol
@ 250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Berat Badan
Tahap Intensif
Tiap hari
RHZE (150/75/400/275) + S
Tahap Lanjutan
3 kali seminggu
RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT
+ 500 mg Streptomisin inj.
2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT
+ 750 mg Streptomisin inj.
3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj.
5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 5 tablet Etambutol
42
Tahap Pengobata
n
Lama Pengobatan
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirazinamid
@ 500 mg
Etambutol Streptomisin Injeksi
Jumlah/
kali menelan obat
Tablet
@ 250 mg
Tablet
@ 400 mg
Tahap Intenif (dosis harian
2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,75 gr
-
56
28
Tahap Lanjutan (dosis 3x
seminggu)
4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3). Paduan OAT ini diberikan
untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).
43
Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan
Tahap Pengobatan
Lamanya Pengobata
n
Tablet Isoniasid
@ 300 mg
Kaplet Rifampisin
@ 450 mg
Tablet Pirazinamid
@ 500 mg
Tablet Etambutol
@ 250 mg
Jumlah hari/kali
menelan obat
Tahap Intensif (dosis harian)
1 bulan 1 1 3 3 28
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.
Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
44
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila
efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan
pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B
kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah
menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang-kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
45
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan
khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan
jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
46
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus),
pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat
segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan
maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan
keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba
disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan
ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang
mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu
maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus barrier plasenta
sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf
pendengaran janin.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Price SA.Wilson LM. 2012.Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit ed.6, Jakarta: EGC.
2. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga University Press.
3. Swanson KL, Johnson CM, Prakash UB, McKusick MA, Andrews JC, Stanson AW.Bronchial artery embolization, experience with 54 patients. Chest 2002; 121: 789-95.
4. Arief,Nirwan. 2009. Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UI.
5. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM.
6. Pitoyo CW. 2011. Hemoptisis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam, jilid II, edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
7. PAPDI. 2012. Hemoptisis. Dalam: Rani Aziz, Sugondo Sidartawan, Nasir Anna U.Z., Wijaya Ika Prasetya, Nafrialdi, Mansyur Arif. Panduan pelayanan medik. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
8. Ward JPT, Ward J, Leach RM, Wiener CM. Tuberkulosis paru dalam buku at a glance Sistem respirasi. Jakarta: Erlangga; 2008.hal.80-81.
9. Snell, SS. Thorak dalam buku anatomi klinik. Jakarta: EGC; 2009.Hal : 94-95
10. Eddy, JB. Clinical assessment and management of massive hemoptysis. Crit Care Med 2010; 28(5):1642-7
11. Osaki S, Nakanishi Y, Wataya H, Takayama K, Inoue K, Takaki Y, etal. 2013. Prognosis of bronchial artery embolization in the management of hemoptysis. Respiration 67:412-6
12. Kosasih A., Susanto AD., Pakki TR., Martini T., Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-hari, Jakarta : Sagung Seto, 2008. Hal 1-15.
48
13. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2012 [Internet]. 2013 [cited 2013 May 15]. Available from: http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr12_main.pdf.
14. Kementrian Kesehatan RI. Rencana aksi nasional: public private mix pengendalian TB Indonesia: 2011- 2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2011.
15. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
16. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.
17. Widodo, Eddy. Upaya Peningkatan Peran Masyarakat Dan Tenaga Kesehatan Dalam Pemberantasan Tuberkulosis. IPB, Bogor. 2004.
18. Werdhani, Retno Asti. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, Dan Keluarga FKUI. 2002.
19. Kemenkes RI, DirJen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tata laksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Aniretroviral pada Orang Dewasa. Jakarta; 2011.WHO.
20. Xpert MTB/RIF increases imely TB detecion among people living with HIV and saves lives: informaion notes. 2013.
49