Farter Dislipid Dan Ggk
-
Upload
diah-ayu-wulandari -
Category
Documents
-
view
45 -
download
2
description
Transcript of Farter Dislipid Dan Ggk
TUGAS TERSTRUKTUR FARMAKOTERAPI 2
DISLIPIDEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIS
DISUSUN OLEH
KURNIA PUSPA HARLEYNDA G1F011015
NUFI ATTOBIBAH G1F011045
INTAN DIAH PERTIWI G1F011069
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau
penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida serta penurunan kadar kolesterol HDL (Sunita,
2004) . Dislipidemia adalah keadaan terjadinya peningkatan kadar LDL kolesterol dalam darah
atau trigliserida dalam darah yang dapat disertai penurunan kadar HDL kolesterol (Hartono,
2000).
Banyak penelitian hingga saat ini menemukan bahwa prevalensi dislipidemia sebagai
penyebab morbiditas, mortalitas, dan biaya pengobatan yang tinggi. World Health Organization
memperkirakan dislipidemia berhubungan dengan kasus penyakit jantung iskemik secara luas,
serta menyebabkan 4 juta kematian per tahun. Survei MONICA (Monitoring Trends and
Determinant in Cardiovascular Disease Survey) yang dilakukan pada populasi usia 25-64 tahun
di Jakarta pada tahun 1993 menunjukkan adanya peningkatan dislipidemia dari 13,4% menjadi
16,4%. Salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah dislipidemia seringkali tidak disertai
gejala sehingga masyarakat kurang waspada akan bahayanya (Anonim,2012).
Penderita dengan penyakit ginjal kronis cenderung mengalami progresivitas seiring
dengan perjalanan waktu, hal ini dapat terjadi oleh karena kelainan pada struktur ginjal yang
makin memburuk dengan makin melanjutnya kerusakan ginjal yang akhirnya menjadi Gagal
Ginjal Kronis (GGK). Fungsi ginjal sangat dipengaruhi oleh adanya berbagai faktor resiko yang
disertai penyakit dasar seperti penyakit Diabetes Melitus, hipertensi, merokok dan dislipidemia.
(K/DOQI, 2002). Dislipidemia yang utama pada penderita gagal ginjal kronis adalah
meningkatnya kadar trigliserida (hipertrigliserida). Kurang lebih dari 30% penderita mengalami
hipertrigliserida yang merupakan salah satu ciri yang menonjol pada gagal ginjal kronis, hal
tersebut disebabkan oleh karena kurang berfungsinya Lipoprotein Lipase (LPL) dan Hepatik
Trigliserid Lipase (HTGL) Banyaknya kasus yang mengalami hipertrigliserida sangat bervariasi
diantara penderita yang dilaporkan, terutarna pada penderita-penderita dialisis, dirnana
hipertrigliserida ditemukan pada 30% - 70%. Kadar kolesterol total dan LDL dalam batas normal
dan kadar HDL menurun, sedangkan Cohen dan Lindall menemukan adanya peningkatan
kolesterol dan lipida total (hiperlipidemia). Profil lipida penderita gagal ginjal kronis sangat
dipengaruhi oleh pola makan yang dapat diukur dengan indeks masa tubuh (Mohan,1996).
Terjadinya dislipidemia pada penderita GGK merupakan salah satu faktor resiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular dan merupakan penyebab utama kematian dimana
insidensnya bervariasi kurang lebih 50% pada penderita yang telah lama menjalani terapi
hemodialisis.
BAB II
PATOFISIOLOGI
Spektrum dislipidemia pada pasien dengan CKD (cronic kidney disease) dan dialisis
berbeda dari populasi umum. Kejadian ini melibatkan semua kelas lipoprotein dan menunjukkan
variasi yang cukup besar tergantung pada tahap CKD. Tampaknya ada sebuah perubahan
bertahap ke profil lipid uremik sebagai akibat memburuknya fungsi ginjal, yang kemudian
perubahan oleh penyakit bersamaan seperti diabetes dan sindrom nefrotik. Terlepas dari
perbedaan kuantitatif, perubahan besar secara kualitatif dalam lipoprotein dapat diamati, seperti
oksidasi dan modifikasi LDL, yang membuat partikel-partikel yang lebih aterogenik.
Pada CKD, etiologi dislipidemia dapat tercermin lebih akurat dalam profil
apolipoprotein. Tingkat apoA-I dan apoA - II sering berkurang, menghasilkan penurunan
produksi HDL-C. Selain itu, ApoC-III berfungsi untuk metabolisme LDL-C dan very low-
density lipoprotein kolesterol (VLDL-C) berada dalam kadar tinggi. Akumulasi apoB
mengandung partikel VLDL juga penting dalam pengembangan dan pemeliharaan dislipidemia
di CKD (Attman, 1998). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan katabolisme dan
pembersihan trigliserida kaya apoB mengandung lipoprotein meliputi: 1) mengurangi aktivitas
lipolitik enzim; 2) kelainan komposisi lipoprotein dalam mencegah mengikat reseptor yang
sesuai; dan 3) penurunan penyerapan lipoprotein dari sirkulasi (Attman, 2003). Pengikatan dan
penyerapan lipoprotein dapat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah stres oksidan yang terlihat di
CKD sehingga modifikasi oksidatif dari lipoprotein menyebabkan penurunan serapan oleh tepat
reseptor dan aterosklerosis berikutnya (Quaschning, 2001). Singkatnya ,beberapa faktor
mengganggu penyerapan triglyceride kaya apoB mengandung lipoprotein oleh hati dan perifer,
menghasilkan peningkatan sirkulasi lipoprotein aterogenik (Attman, 1993).
Pasien dengan CKD memiliki ukuran partikel dan komposisi yang berbeda daripada
mereka yang tidak menderita CKD. Secara umum, terjadi peningkatan kadar trigliserida (TG)
pada pasien dengan CKD, yang meliputi ApoB kaya TG mengandung VLDL dan intermediate-
density lipoprotein (IDL) karena terjadi pengurangan aktivitas lipoprotein lipase. Selain itu,
pasien dengan CKD memiliki perbedaan ukuran partikel LDL-C dan kadar oxLDL yang lebih
tinggi. OxLDL merupakan LDL yang teroksidasi akibat terpapar oleh oksigen reaktif. Selain itu,
sebagian besar pasien hemodialisis (HD) memiliki kadar TG serum yang tinggi dan kadar high-
density lipoprotein (HDL) yang rendah meskipun kadar kolesterol total dan LDL normal. Pasien
CKD dan pasien yang menjalani HD juga memiliki kelainan pada apoprotein yakni adanya
peningkatan kadar apoB, apoE dan ApoC-III serta penurunan kadar ApoA-I dan ApoA-II
(Omran, 20130.
Di antara pasien dialisis, mereka yang menjalani dialisis peritoneal (PD) memiliki
kelainan lebih pada profil lipid dibandingkan mereka yang diobati dengan HD. Pasien dengan
PD menunjukkan faktor risiko dislipidemia lebih tinggi termasuk peningkatan LDL-C, TG,
lipoprotein (a), atauHDL rendah. Kolesterol HDL rendah (HDL-C) dan tingginya lipoprotein
yang mengandung apoB dikaitkan dengan peningkatan aktivitas protein mentransfer kolesterol
ester ditemukan pada pasien ini. Banyak etiologi potensial terjadinya peningkatan atherogenisitas
dari LDL pada pasien dengan stadium 5 CKD telah diusulkan, seperti afinitas menurun untuk
reseptor LDL dengan peningkatan serapan oleh reseptor scavenger, peningkatan terjadinya
oksidasi LDL, peningkatan filtrasi oleh endotelium karena ukuran LDL yang lebihdan afinitas
yang lebih besar untuk mengikat arteri proteoglikan dinding (Omran, 2013)
Hipertrigliseridemia
Trigliserida plasma mulai meningkat dalam stadium awal CKD dan menunjukkan
konsentrasi tertinggi pada sindrom nefrotik dan pada pasien yang menjalani dialisis, terutama
dialisis peritoneal (PD). Trigliserida plasma sebagian besar ditemukan dalam dua jenis
lipoprotein pada individu normal yaitu kilomikron yang produksi dalam usus untuk
pengangkutan asam lemak dalam makanan dan VLDL yang diproduksi dalam hati untuk
pengangkutan asam lemak endogen. Akumulasi trigliserida merupakan suatu akibat baik dari
tingkat produksi trigliserida yang tinggi dan tingkat katabolik yang rendah. Peningkatan produksi
lipoprotein kaya trigliserida adalah akibat dari gangguan toleransi karbohidrat dan meningkatkan
sintesis VLDL hati. Menurunnya tingkat katabolik kemungkinan disebabkan oleh penurunan
aktivitas dua lipase endotelium terkait , yaitu LPL dan lipase trigliserida hati yang memiliki
fungsi fisiologis utama yaitu membelah trigliserida menjadi FFA untuk produksi energi atau
penyimpanan. Penyebab penurunan aktifitas lipase dalam uremia diperkirakan terjadi karena
menipisnya persediaan enzim yang disebabkan oleh sering heparinisasi pada pasien yang
menjalani hemodialisis (HD), peningkatan rasio apoC-III/apoC-II dalam plasma, dan adanya
inhibitor lipase lainnya dalam plasma. ApoC-II adalah aktivator dari LPL, sedangkan ApoC-III
adalah inhibitor dari lipoprotein lipase (LPL). Peningkatan rasio apoC-III/apoC-II biasanya
karena peningkatan APOC-III dalam plasma yang tidak proporsional. Gangguan aktivitas lipase
di uremik plasma juga dapat disebabkan oleh penurunan sintesis LPL sebagai akibat dari
hiperparatiroidisme sekunder atau penekanan kadar insulin (Bonnie, 2007). Proses katabolisme
yang tidak lengkap merupakan hasil dari akumulasi sisa partikel (sisa-sisa chylomicron dan IDL)
yang berkontribusi terhadap heterogenitas lipoprotein kaya trigliserida dalam plasma dengan
tempat asal, ukuran, komposisi, dan derajat atherogenicity yang berbeda (Bonnie, 2007).
High-Density Lipoprotein (HDL)
Pasien dengan CKD umumnya mengalami penurunan konsentrasi kolesterol HDL
plasma dibandingkan dengan individu nonuremic. Selain itu, distribusi subfraksi HDL berbeda.
karena kadar apo-AI rendah dan penurunan aktivitas LCAT, esterifikasi kolesterol bebas dan
perubahan HDL3 menjadi HDL2 berkurang pada uremia. Penurunan kemampuan HDL untuk
membawa kolesterol menyebabkan adanya penurunan transportasi kolesterol terbalik dari sel-sel
perifer ke hati, sehingga membebani pembuluh darah dengan kolesterol dan mengakibatkan
aterosklerosis (Bonnie, 2007).
Komponen penting lainnya dari HDL adalah paraoxonase, enzim yang menghambat
oksidasi LDL. aktivitas paraoxonase plasma akan berkurang pada pasien dengan CKD, sehingga
mengakibatkan LDL dan mungkin juga HDL mengalami oksidasi. Selain itu, infeksi terkait atau
uremia terkait inflamasi mungkin akan mengubah HDL dari bentuk antioksidan menjadi partikel
pro-oksidan (Bonnie, 2007).
Low-Density Lipoprotein (LDL)
Tinggnya konsentrasi kolesterol LDL plasma adalah umum terjadi pada sindrom nefrotik
tapi bukan merupakan ciri khas dari pasien dengan CKD, terutama pasien yang menjalani HD.
Namun demikian, terjadi perubahan kualitatif LDL pada pasien dengan CKD dan pasien dialisis.
Proporsi sdLDL dan IDL yang dianggap sangat aterogenik, meningkat. sdLDL adalah subtipe
dari LDL yang memiliki kecenderungan tinggi untuk berpenetrasi ke dinding pembuluh darah,
menjadi teroksidasi, dan memicu terjadinya proses aterosklerosis. IDL adalah metabolit
menengah VLDL yang biasanya lebih terdegradasi ke LDL dengan pembelahan trigliserida oleh
lipase (lihat bagian Hipertrigliseridemia). Karena penurunan aktivitas enzim lipase trigliserida
hati pada pasien HD mengakibatkan terganggunya perubahan IDL menjadi LDL dan IDL
terakumulasi dalam plasma. IDL dan sdLDL memiliki afinitas tinggi untuk makrofag, yang
berfungsi untuk menghantarkan makrofag masuk ke dinding pembuluh darah untuk ikut serta
dalam pembentukan sel busa dan plak aterosklerotik. kadar apoB plasma, yang merupakan
apolipoprotein utama dari LDL dan IDL, yang sangat berkorelasi dengan tingkat lipoprotein ini
(Bonnie, 2007).
(Bonnie, 2007)
BAB III
PENATALAKSANAAN TERAPI
1. Penatalaksanaan non farmakologik
Meliputi terapi nutrisi medis, aktivitas fisik serta beberapa upaya lain seperti
berhenti merokok, menurunkan berat badan bagi yang gemuk dan mengurangi asupan
alkohol. Penurunan berat badan dan peningkatan aktivitas fisik dapat menurunkan kadar
trigliseridaa dan meningkatkan kadar HDL kolesterol serta sedikit menurunkan kadar
LDL kolesterol.
a. Terapi Nutrisi Medis
Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan dislipidemi, oleh karena itu
disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan
jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien dengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol
total yang tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh dan meningkatkan
asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda ( mono unsaturated fatty acid =
MUFA dan poly unsaturated fatty acid = PUFA). Pada pasien dengan kadar trigliserida
yang tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alkohol dan lemak.
b. Aktivitas fisik
Dari beberapa penelitian diketahui bahwa latihan fisik dapat meningkatkan kadar
HDL dan Apo AI, menurunkan resistensi insulin, meningkatkan sensitivitas dan
meningkatkan keseragaman fisik, menurunkan trigliserida dan LDL, dan menurunkan
berat badan. Setiap melakukan latihan jasmani perlu diikuti 3 tahap :
Pemanasan dengan peregangan selama 5-10 menit.
Aerobik sampai denyut jantung sasaran yaitu 70-85 % dari denyut jantung
selama 20-30 menit.
Pendinginan dengan menurunkan intensitas secara perlahan - lahan, selama 5-10 menit.
Frekuensi latihan sebaiknya 4-5 x/minggu dengan lama latihan seperti diutarakan
diatas. Dapat juga dilakukan 2-3x/ minggu dengan lama latihan 45-60 menit dalam tahap
aerobik. Pada prinsipnya pasien dianjurkan melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan
kondisi dan kemampuan pasien agar aktivitas ini berlangsung terus-menerus (Anwar,
2004).
Guidline Terapi
c
(Levin, 2008)
Terapi nonfarmakologi
(Kasiske, et al., 2003)
2. Terapi Farmakologi
Agen-agen farmakologi yang digunakan untuk terapi hipertkolesterolemia meliputi statin,
inhibitor transporter reuptake kolesterol, sequestrabts asam empedu, niasin, fibrat dan minyak
ikan omega-3 (Toth, 2010). Meskipun setiap golongan obat memiliki mekanisme aksi yang
berbeda, namun secara umum obat-obatan tersebut dapat menunjukkan efeknya terhadap nilai
LDL. Guidline terapi mengindikasikan untu populasi secara umum, terapi LDL sebagai target
dapat diberikan baik secara monoterapi maupun kombinasi (Anonim, 2002).
. HMG-CoA Reduktase Inhibitor (Statins)
Telah diketahui bahwa obat-obatan statin merupakan obat-obatan hiperlipidemik yang
secara umum paling banyak diresepkan dan banyak penelitian yang dilakukan dengan jumlah
besar, secara acak dan bersifat prospektif menunjukkan bahwa penggunaannya berhubungan
dengan penurunan kejadian penyakit karsiovaskular (Baigent, 2005). Sebagai satu kelompok,
obat-obatan ini adalah yang paling mudah bertoleransi dan paling efektif untuk menurunkan
kadar LDL oleh karena itu, statin paling banyak digunakan untuk menurunkan kadar lemak
dalam darah. Statin merupakan dasar utama dalam terapi hiperkolesterolemia dengan bukti
menunjukkan adanya penurunan kejadian CHD dan penyebab seluruh kematian. Derajat
penurunan resiko sebanding (directly proportional) dengan penurunan kadar LDL-C (Ridker,
2001).
Obat-obat golongan HMG-CoA reductase inhibitor (statins) terdiri dari lovastatin
(Mevacor), pravastatin, Simvastatin (Zocor), fluvastatin (Lescol), atorvastatin (Lipitor),
rosuvastatin dan Cerivastatin (Baycol). Lovastatin, simvastatin, dan pravastatin berasal dari
jamur . Fluvastatin, atorvastatin, dan cerivastatin terbuat dari bahan sintetik. Lovastatin dan
simvastatin merupakan lactone yang tidak aktif dan mereka harus dihidrolisis untuk mendapat
bentuk hydroxyacids yang mempunyai kemampuan farmakologik. Dengan demikian
lovastatin dan simvastatin dapat dipertimbangkan sebagai obat awal. Hidolisis dari bentuk
lactone yang tidak aktif terjadi dalam sel hepatosit. Pravastatin, fluvastatin, atorvastatin, dan
cerivastatin ada dalam bentuk aktif.
Mekanisme kerja dan metabolisme obat
Penghambat HMG-KoA reduktase bekerja dengan jalan menghambat 3-hydroxy-3
methylglutaryl koenzim A yaitu enzim yang mengontrol sintesakolesterol. Hal ini disebabkan
adanya serangkaian proses yang pada akhirnya mengakibatkan peningkatan kualitas reseptor
LDL pada sel-sel hepatosit sehingga mempercepat pembersihan LDL dari dalam plasma.
Selain terjadi peningkatan pembersihan LDL dari dalam darah dengan adanya peningkatan
jumlah reseptor, perlu diketahui statin juga mengurangi produksi dan mengubah pembersihan
LDL oleh sel-sel hepar. Hal tersebut dapat menyebabkan penurunan dari kadar trigliserida
yang dapat dinilai yaitu apabila obat ini digunakan.
Masing-masing obat mempunyai dua bagian yang berfungsi terstruktur yaitu :
Salah satu dari obat berfungsi meniru struktur koenzim A dan enzim HMG-KoA
reduktase.
Bagian yang lain menyerupai struktur dari produk yang masih belum jadi misalnya
hydroxymethyl glutarat dan diubah menjadi mevalonat.
Akibat yang penting dari pengghambatan biosintesis kolesterol dalam sel-sel hepatosit
adalah pengurangan jumlah cadangan kolesterol. Mekanisme homeostasis dalam sel-sel
hepatosit akan meningkatkan kualitas kerja dari reseptor LDL di membran sel, dan LDL
dibersihkan dari sirkulasi lebih cepat. Penyerapan saluran pencernaan terhadap obat-obatan ini
bervariasi dari 31% (lovastatin) sampai lebih dari 90% (fluvastatin). Semua golongan statin
diutamakan bekerja di hepar. Obat-obatan ini berikatan dengan protein plasma cukup kuat
(>95%) kecuali pravastatin, dimana hanya berikatan dengan protein plasma di bawah 50%.
Efek Terhadap Lemak
Statin adalah golongan yang paling efektif yang tersedia untuk menurunkan atau
mengurangi kadar LDL dalam darah. Sebagai tambahan mereka tidak mempunyai efek yang
cukup kuat untuk meningkatkan kadar HDL sebaik mereka menurunkan kadar trigliserida
seperti yang dilaporkan pada pasien dengan hipertrigliseremia. Ketika diberikan dalam dosis
tunggal sehari-hari, statin (kecuali atorvastatin) menghasilkan penurunan LDL yang lebih
besar jika diberikan pada sore hari. Kemampuan atorvastatin tidak dipengaruhi waktu
pemberian pada pemberian dosis hariannya. Beberapa obat dengan pemberian dosis
maksimum menghasilkan perbedaan dalam memberikan efek terhadap jumlah penurunan
LDL. Dosis maksimum dari atorvastatin (80mg/hr) terbukti memberikan penurunan LDL
sampai 58% pada penderita hiperkolesterolemia. Hal ini lebih besar daripada penurunan LDL
dengan dosis maksimum dari golongan statin yang lain. Peningkatan dari penurunan LDL
oleh atorvastatin dimungkinkan oleh karena waktu paruhnya yang lebih panjang.
Meskipun semua kelompok obat-obatan statin dihasilkan untuk menurunkan kadar LDL
yang meningkat, atorvastatin, pravastatin, dan simvastatin juga dihasilkan untuk menurunkan
kadar trigliserida pada orang dengan peningkatan trigliserida atau LDL yang bersamaan.
Golongan statin tidak dipakai untuk penurunan trigliserida jika dimana LDLnya normal.
Fluvastatin pada dosis maksimum 40 mg menghasilkan penurunan LDL yang bertahap (32%.
Cerivastatin dan pravastatin pada dosis maksimum dapat menurunkan LDL rata-rata sampai
28%.
Pada pemilihan golongan statin, harus diketahui bahwa tidak selalu penting untuk
mendapatkan penurunan LDL yang maksimal dari kemampuan yang dapat diturunkan oleh
obat. Tujuan yang diharapkan dari terapi tergantung pada kadar awal dari LDL dan kadar
akhir yang diinginkan. Untuk pasien dengan peningkatan LDL yang sangat tinggi, maka
penggunaan dosis yang tinggi dari atorvastatin mungkin dibutuhkan. Sebagian besar pasien
dengan peningkatan LDL yang tidak terlalu besar, penggunaan obat lain dengan dosis lebih
rendah dari biasanya sudah cukup.
Kontraindikasi penggunaan statin yaitu pasien yang menderita kolestasis dan penyakit
hepar. Selain itu, dalam kondisi tertentu statin juga mungkin menyebabkan miopati.
Peningkatan kreatinin kinase (CK) indicator penting untuk kejadian miopati yang terinduksi
oleh statin. Meskipun secara keseluruhan, kejadian miopati dengan peningkatan kreatinin
kinase serum selama penggunaan statin adalah rendah. Kegagalan untuk mengenali miopati
dan melanjutkan terapi dapat menyebabkan terjadinya rhabdomylisos, myoglubinuria, dan
gagal ginjal akut (Pierce, 1990). Miopati umumnya terjadi pada pasien dengan masalah
pengobatan kompleks dan/atau pasien dengan polifarmasi. Miopati dapat muncul lebih sering
ketika penggunaan statin dikombinasikan dengan beberapa jenis obat seperti siklosporin,
golongan fibrat, antibiotic makrolid, obat-obat anti fungi, dan asam nikotinat (Goldman, 1989;
Warnner, 1997).
Efek samping
Efek kurang baik yang paling utama dari golongan statin adalah sebagai berikut:
a. Efek Samping Utama
Hepatotoksik
Hepatotoksik diwujudkan dalam bentuk peningkatan transasaminase. Hal ini
berhubungan dengan dosis, biasanya tidak berhubungan dengan gejala (symptom),
dan akan hilang atau pulih kembali dengan penghentian obat secara bertahap.
Frekuensi timbulnya efek samping ini kurang lebih 1%. Hepatotoksik yang muncul
biasanya berhubungan secara langsung dengan mekanisme kerja obat, yaitu
penghambatan terhadap 3-hydroxy-3-methylglutaryl koenzim A reduktase.
Peningkatan transaminase yang sedang tidak membenarkan penghentian terapi.
Bagaimanapun juga peningkatan transaminase yang persisten dengan nilai tiga kali
diatas ambang batas normal membenarkan penghentian obat. Setelah terjadi
peningkatan transaminase, pemberian ulang obat dengan dosis yang lebih rendah
harus dipertimbangkan. Pengawasan rutin dari kadar transaminase direkomenasikan
untuk 6 sampai 12 minggu setelah terapi. Hepatotoksik lebih mudah terjadi pada
orang yang sering mengkonsumsi obatobat lain yang bersifat hepatotoksik atau orang
yang mengkonsumsi alcohol secara rutin.
Miopati
Miopati, mengarah pada kelemahan yang sangat, myalgia, dan peningkatan
kreatin kinase. Pada studi evaluasi klinis lovastatin yang cukup luas, didapatkan
bahwa frekuensi kejadian miopati berhubungan dengan pemberian dosis lovastatin
yaitu 0,24%, dengan pemberian dosis 40mg/hari. Tidak ada bukti yang menjamin
untuk mengatakan bahwa frekuensi terjadinya miopati berbeda untuk tiap
orang.Miopati telah dilaporkan lebih sering terjadi jika lovastatin digunakan
bersamaan dengan cyclosporin A (dilaporkan ada 30% kejadian miopati),
gemfibrozil (5%), asam nikotinat (3%), atau erithromycin.
Teratogenik
Efek teratogenik didapatkan dari hasil eksperimen pada binatang yang
diberi lovastatin dan fluvastatin dan bukan pravastatin atau simvastatin.
Bagaimanapun juga jika dilihat dari sirkulasi sintesa kolesterol pada sel yang
sedang tumbuh menunjukkan adanya gangguan, semua obat-obatan ini harus
dipertimbangkan karena berbahaya bagi kandungan. Pada hasil evaluasi 134
orang yang memakai lovastatin atau golongan statin lain pada kumpulan ibu
hamil menunjukkan terjadinya insiden 4% yang lahir dengan memiliki kelainan
kongenital (Manson JM, et al). Frekuensi ini tidaklah lebih tinggi tetapi
Bagaimanapun juga dengan jumlah laporan yang terbatas pada kehamilan yang
terpapar dengan statin, dari data ini kita hanya dapat menyimpulkan bahwa
kelainan kongenital pada wanita hamil yang memakai golongan statin 3 –4 kali
lebih besar dibandingkan kelompok yang tidak memakai golongan statin.
Dyspepsia
Rash dan eksem seluruh tubuh
Rash dan eksem pada seluruh tubuh telah dilaporkan sebagai salah satu efek
samping dari simvastatin yang jarang terjadi. Hal ini muncul dikarenakan hambatan
pada sintesa kolesterol di stratum korneum kulit, sehingga kemungkinan semua
kelompok statin dapat menyebabkan masalah ini. Efek samping merugikan yang
paling umum dari kelompok statin ini adalah dyspepsia, nyeri ulu hati, dan rasa tidak
nyaman pada perut. Hal ini terjadi pada 4% orang-orang yang mendapat terapi
kelompok statin.
Penggunaan Statin
Pada Juni 2011, US Food and Drug Administration (FDA) menyatakankan bahwa
simvastatin 80 mg hanya digunakan pada pasien yang memiliki toleransi terhadap dosis ini
sedikitnya setelah 12 bulan penggunaan tanpa adanya kejadian miopati. Berdasarkan
pernyataan ini, simvastatin 80 mg tidak noleh diberikan untuk pengobatan awal pasien
termasuk pasien yang telah mendapatkan simvastatin dosis rendah, pasien yang tidak
memperoleh control yang kuat pada dosis harian simvastatin 40mg simvastatin harus diubah
ke statin dengan potensi lebih tinggi. Interaksi farmakokinetik obat dengan obat dan obat
dengan makanan telah di identifikasi sebagai salah satu factor yang berkontribusi terhadap
adanya adverse drug reaction dari terapi golongan statin. Selain itu FDA juga mewajibkan
untuk merubah informasi dari simvastatin untuk menambahkan kontraindikasi baru pada
penggunaan itraconazole, ketoconazole, posaconazole, erythromycin, clarithromycin,
telithromycin, human immunodeficiency virus protease inhibitors, nefazodone, gemfibrozil,
cyclosporine, dan danazol. Selain itu, penggunaan harian 10 mg simvastatin tidak boleh
digunakan dengan verapamil atau diltiazem, dan simvastatin 20 mg/ hari tidak boleh dengan
amiodarone, amlodipine, atau ranolazine.
Asam Empedu Sequestran
Dua obat golongan cholestyramine (Questran, Questran light, LoCholest Light, dan
Prevalite) mempunyai kegunaan untuk mengurangi kadar LDL dalam plasma. Asam empedu
sequestrant telah digunakan sejak tahun 1960. Pada tahun 1980 mereka merupakan obat
utama untuk menurunkan kadar LDL dalam darah. Sekarang ini fungsi itu telah diambil alih
oleh penghambat HMG-KoA reduktase, yang mempunyai kemampuan toleransi dan dalam
penurunan LDL lebih tinggi. Akhir-akhir ini asam empedu sequestrant adalah obat tambahan
yang digunakan untuk menurunkan LDL apabila kelompok statin tidak mampu.Untuk obat-
obat ini mempunyai efek sistemik yang minimal karena mereka tidak diserap di saluran
pencernaan. Pengikat asam empedu adalah satu-satunya obat penurun kolesterol yang
direkomendasikan oleh National Cholesterol Education Program untuk anak-anak. Obat ini
juga satu-satunya obat yang dapat digunakan pada kehamilan. Baik cholestyramine maupun
colestipol tersedia dalam bentuk powder yang dicampur dengan air kemudian ditelan.
Colestipol juga tersedia dalam bentuk tablet 1 g.
Mekanisme Kerja
Obat-obatan ini dapat meningkatkan jumlah reseptor LDL dan meningkatkan
pembersihan LDL dari dalam plasma. Pengikat asam empedu bekerja untuk mencegah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Mekanisme homeostatis yang kedua adalah
meningkatkan konsentrasi kolesterol intraseluler. Pertama meningkatkan reseptor LDL pada
membran sel di hepar, hal ini mempercepat pembersihan LDL dari dalam plasma. Kedua
meningkatkan aktivitas HMG-KoA reduktase sehingga meningkatkan sintesa kolesterol di
sel-sel hepar.
Efek Pada Kadar Lipoprotein Plasma
Data terbaik mengenai kegunaan pengikat asam empedu didapatkan dari Lipid Research
Clinics Coronary Prymary Prevention Trial (LCR-CPPT). Didapatkan adanya penurunan
kadar LDL pada penggunaan cholestyramine dalam penelitian.Selain mengurangi kadar LDL,
cholestyramine juga mempengaruhi kadar Kadar Lipoprotein Plasma lainnya terutama VLDL.
Adanya hipertrigliserida sebagai efek samping dari penggunaan pengikat asam empedu, Efek
ini mungkin cukup bermakna pada orang yang dasarnya mengalami peningkatan trigliserida
dan mendapatkan cholestyramine.
Efek samping
Pengikat asam empedu tidak diserap secara sistemik, oleh karena itu hanya
menyebabkan efek sistemik yang kecil. Hal ini merupakan daya tarik utama dari obat ini.
Intoleransi gastrointestinal, interaksi obat dengan obat, dan efek yang minimal dalam
menurunkan kadar LDL-C merupakan efeksamping yang muncul akibat penggunaan
sequestran asam empedu. Efek samping pada gastrointestinal berkaitan dengan penggunaan
obat golongan ini seperti konstipasi, nyeri abdominal, bloating, dan mual (Knapp, 2001). Pada
beberapa pasien, penggunaan sequestran asam empedu dapat meningkatkan produksi VLDL
hepatic thereby peningkatan kadat TG serum (Knopp, 1999).
Efek samping yang predominan dari obat ini adalah konstipasi. Efek samping ini
berhubungan dengan sifat fisik dari obat ini. Lipid Research Clinics Coronary Prymary
Prevention Trial (LCR-CPPT) melaporkan angka konstipasi sebesar 39% pada kelompok
cholestyramine tetapi hanya 10% pada pada kelompok plasebo dalam penelitian terhadap efek
cholestyramine terhadap penurunan kadar LDL. Jika diberikan dalam dosis besar,
kolestiramin dapat menyebabkan asidosis hiperkloremia.Sebagai catatan, kolestiramin
meningkatkan kadar trigliserida plasma, terutama pada pasien dengan dasar
hipertrigliseremia.
Interaksi Obat
Pengikat asam empedu adalah resin penukar anion, mereka potensial untuk bereaksi
dengan obat-obat anion yang diberikan bersama-sama. Interaksi tersebut antara lain dengan
wafarin, thyroxine, hydrochlorothiazide, pravastatin, fluvastatin, dan cerivastatin. Banyak
obat termasuk lovastatin dan simvastatin belum dilakukan pengujian mengenai interaksinya
dengan pengikat asam empedu, karena itu harus hati-hati saat memberikannya dengan obat
lain. Secara umum obat lain seharusnya diberikan paling tidak 1 – 4 jam setelah pengikat
asam empedu.
Obat golongan sequestran asam empedu meliputi kolestiramin, kolestipol dan
kolesevelam. Ketiganya bekerja dengan mengikat asam empedu pada intestinal, efek
utamanya adalah untuk menurunkan kadar LDL-C. Pengikatan asam empedu akan
menurunkan resirkulasi enterohepatik menghasilkan regulasi perubahan kolesterol menhadi
asam empedu di hati. Hasil dari penurunan kolesterol hepatosit mempengaruhi perubahan
ekspresi reseptor LDL yang akan menyebabkan penurunan kosentrasi LDL-C darah.
Penelitian terbesar pertama untuk membuktikan efek utama untuk menurunkan kejadian
penyakit jantung koroner, Lipid Research Clinics Coronary Primary Prevention Trial
menggunakan kolestiramin sebagai sequestran asam empedu (Denke, 1995; Beil, 1982).
Asam Nikotinik (niasin)
Asam nikotinik merupakan obat penurun lipid yang pertama kali diperkenalkan. Oleh
karena bentuk yang lama yaitu asam nikotinik serap cepat mempunyai efek samping cukup
banyak, maka obat ini tidak banyak dipakai. Dengan diperkenalkannya asam nikotinik yang
lepas lambat (niaspan) sehingga absorpsi di usus berjalan lambat, maka efek samping menjadi
lebih kurang.
Mekanisme kerja
Obat ini diduga menghambat enzim hormone sensitive lipase di jaringan adiposa,
dengan demikian akan mengurangai asam lemak bebas. Diketahui bahwa asam lemak bebas
yang ada dalam darah sebagian akan ditangkap oleh hati dan akan menjadi sumber
pembentukan VLDL. Dengan menurunnya sintesis VLDL dihati, akan mengakibatkan
penurunan kadar trigliserida dan juga kolesterol LDL plasma. Pemberian asam nikotinik
ternyata juga meningkatkan kadar kolesterol HDL bahkan merupakan obat yang terbaik untuk
meningkatkan kolesterol HDL. Oleh karena menurunkan trigliserida, menurunkan LDL dan
meningkatkan kolesterol HDL maka disebut juga sebagai broad spectrum lipid lowering agent
(Lawrence M. Tierney, J. 2002).
Efek Lipoprotein Plasma
Niasin dengan dosis 3 gr/hari sampai dengan 4,5 gr/hari dapat menurunkan LDL 20%
sampai dengan 25%, trigliserida 20% sampai dengan 50%, serta dapat meningkatkan kadar
HDL secara signifikan.
Efek Samping
Flushing
Efek samping yang paling sering terjadi adalah flushing yaitu perasaan panas
pada muka bahkan di badan. Untuk mencegah hal tersebut, pada penggunaan asam
nikotinik sebaiknya dimulai dengan dosis rendah kemudian ditingkatkan, misalnya
selama satu minggu 375 mg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap sampai dosis
maksimal sekitar 1500- 2000 mg/hari. Dengan asam nikotinik yang baru yaitu lepas
lambat, efek samping sangat berkurang.Hasil yang sangat baik didapatkan bila
dikombinasikan dengan golongan HMG-CoA reductase inhibitor (Lawrence M. Tierney,
J. 2002).
Tachyphylaksis terjadi cepat dan pada hampir semua individu, flushing menjadi
lebih ringan setelah 1-2 minggu. Flushing yang berhubungan dengan niasin dimediasi
oleh prostaglandin, dan dapat dieliminasi atau diminalkan dengan pemberian dosis
sedang aspirin atau penghambat prostaglandin. Eksaserbasi flushing terjadi pada
komsumsi niasin bersamaan dengan mengkomsumsi makanan yang panas, hal ini
mungkin karena peningkatan kecepatan absorbsi.Oleh karena itu dianjurkan agar tidak
mengonsumsi obat bersamaan dengan makanan panas.Dengan mencegah konsumsi
dengan makanan panas, absobsi dapat lambat dan flushing dapat minimal. Untuk
meminimalkan flushing dosis awal harus kecil, jumlah 50 mg lalu kemdian ditingkatkan.
Efek samping yang mengenai kulit yang umum pada pemakaian niasin yaitu kulit kering,
ichthyosis dan acanthosis nigricans.
Gastritis
Gastritis atau ulkus peptik adalah alasan yang umum tidak digunakannya niasin.
Hal ini terjadi lebih sering pada bentuk lepas lambat utuh jika dipakai tanpa makanan.
Hepatisis terjadi sampai 3% pada individu yang diterapi dengan niasin. Niasin harusnya
diberikan dengan makanan untuk meminimalkan flushing dan sakit perut.
Derivat asam fibrat
Obat antihiperlipidemik yang termasuk golongan asam fibrat adalah: Gemfibrozil,
Fenofibrate, Ciprofibrate dan Bezafibrate. Fibrat diindikasikan ketika hipertrigliseridemia
(serum trigliserida ≥ 500 mg / dl) adalah kelainan lipid utama (Tabel 2), dan dapat
menurunkan kadar trigliserida hingga 30% sampai 50%. Fibrat di absorpsi dengan baik di
saluran cerna, kadar puncaknya di plasma dapat ditemukan 6 sampai 8 jam setelah di
konsumsi. Setelah diabsorpsi fibrat dieksresikan melalui urine dalam bentuk metabolitnya,
asam fibrat terkonjugasi.Rata-rata 60% dosis di eksresikan melalui urine dan 25 % nya di
eksresikan melalui feses. Asam fibrat di eliminasi dengan waktu paruh sekitar 20 jam,
sehingga di berikan dengan dosis sekali sehari . Fibrat meningkatkan kadar statin. Karena itu
dosis statin seharusnya lebih rendah jika di berikan bersamaan dengan fibrat. Dosis fibrat
harusnya juga di kurangi pada pasien dengan gagal ginjal sedang dan berat. Para ahli
merekomendasikan pemberian di pagi hari, sedangkan statin di malam hari (Collins, 2002).
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan oksidasi asam lemak bebas di hati ataupun
otot dan mengurangi lipogenesis dihati sehingga sekresi dari VLDL dan trigliserid hati
menjadi menurun (Collins, 2002).
Efek Samping
Efek samping yang paling sering dijumpai adalah gangguan saluran cerna pada 5%
pasien. Seperti juga pada statin, peningkatan enzim hati juga terjadi pada awal terapi tapi
tidak berlanjut. Miopati jarang dilaporkan jika fibrat digunakan sebagai terapi tunggal.
Harus dipertimbangkan risiko dan manfaatnya sebelum memberikan fibrat sebagai terapi
kombinasi (Collins, 2002). Pemakaian bersama dengan HMG-KoA reduktase inhibitor
secara bermakna meningkatkan terjadinya kondisi miopati. Fibrat diekskresikan terutama
oleh ginjal. Akibatnya, kadar serum terjadi pada pasien dengan gagal ginjal dan risiko
miopati sangat meningkat. Kombinasi fibrat dengan statin juga meningkatkan risiko
miopati , yang dapat menyebabkan rhabdomyolysis.
Meningkatkan resiko pembentukan batu empedu.
Veterans Affairs High-Density Lipoprotein Cholesterol InterventionTrial (VA-HIT)
mendapatkan bahwa gemfibrozil 1200 mg/hari dihubungkan dengan penurunan kejadian
cardiovascular sebesar 24% pada penderita diabetes yang sebelumnya telah menderita
penyakit kardiovaskuler dengan HDL rendah (<40 mg/dl) dan peningkatan trigliserida. Fibrat
biasanya meningkatkan HDL sebesar 10-15 %, namun lebih besar increasescan terjadi pada
individu-individu dengan tingkat Trigliserida yang sangat tinggi dan tingkat HDL yang sangat
rendah . Pengobatan Pencegahan primer dengan clofibrate atau gemfibrozil mengurangi risiko
fatal dan nonfatal MI dalam dua percobaan besar, dan gemfibrozil mengurangi kematian PJK,
infark miokard nonfatal, dan stroke pada pengobatan pencegahan sekunder (Lawrence M.
Tierney, J. 2002).
Asam lemak omega-3.
Bukti epidemiologi sejak lama menunjukkan bahwa diet kaya asam lemak omega‐3
yang diperoleh dari minyak ikan menurunkan resiko kardiovaskuler. Asam lemak omega‐
3,terutama asam eikosapentanoat(EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) mempunyai
beberapa efek pada lipid dan metabolism lipid.
Asam lemak omega‐3 menurunkan kadar lipid dengan cara menekan produksi
trigliserida dan VLDL di hati dan meningkatkan konversi VLDL menjadi LDL. Kadar
trigliserida menurun hingga 30% disertai sedikit peningkatan HDL.Suplemetasi asam lemak
omega‐3 4‐6g/hari digunakan untuk hiperkolestrolemia.Juga dapat ditambahkan pada terapi
statin atau fibrat untuk meningkatkan efektivitas penurunan lipidnya. Dosis rendah 1g/hari
digunakan untuk menurunkan risiko kardiovaskular dengan hasil penurunan mortalitas infark
miokard dan stroke 10%, dan kematian jantung mendadak 44%. Efek samping utama adalah
pada saluran cerna, berupa diare.
Selain itu asam lemak pada tipe n-3 seperti asam linoleat, DHA, dan EPA pada dosis
tinggi dapat menurunkan kadar TG pada serum sebanyak 30-40% dengan menurunkan sekresi
hepatic dari TG yang kaya lipoprotein. LDL-C mungkin akan tetap atau meningkat kadarnya
secara minimal namun tidak akan mempengaruhi kadar HDL-C. agen ini merupakan
alternative dari penggunaan obat golongan fibrat atau asam nikotinatuntuk terapi
hipertrigliseridemia dan sebagian kilomironemia. Beberapa penelitian terbaru juga
menunjukkan bahwa konsumsi n-3 asam lemak (1-2 g/hari) dalam bentik ikan, minyak ikan,
atau minyak tinggi asam linoleat menurunkan resiko kejadian penyakit koroner pada pasien
dengan CHD. Panel ATP-III mengakui bahwa asam lemak n-3 baik yang berasal dari
makanan maupun suplemen dapat digunakan sebagai pilihan terapi dalam pencegahan
sekunder (Omran, 2013).
BAB III
KESIMPULAN
Pada CKD, etiologi disebabkan karena tingkat apoA-I dan apoA - II sering berkurang,
menghasilkan penurunan produksi HDL-C. Selain itu, ApoC-III berfungsi untuk
metabolisme LDL-C dan very low-density lipoprotein kolesterol (VLDL-C) berada
dalam kadar tinggi. Akumulasi apoB mengandung partikel VLDL juga penting dalam
pengembangan dan pemeliharaan dislipidemia di CKD
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan penurunan katabolisme dan pembersihan
trigliserida kaya apoB mengandung lipoprotein meliputi: 1) mengurangi aktivitas lipolitik
enzim; 2) kelainan komposisi lipoprotein dalam mencegah mengikat reseptor yang
sesuai; dan 3) penurunan penyerapan lipoprotein dari sirkulasi.
Pilar utama pengelolaan dislipidemia adalah upaya non farmakologis yang meliputi
modifikasi diet, latihan jasmani, serta pengelolaan berat badan. Tujuan terapi diet adalah
menurunkan resiko penyakit jantung koroner dengan mengurangi asupan lemak jenuh
dan kolesterol serta mengembalikan keseimbangan kalori, sekaligus memperbaiki nutrisi.
Perbaikan keseimbangan kalori biasanya memerlukan peningkatan penggunaan energi
melalui kegiatan jasmani serta pembatasan asupan kalori.
Agen-agen farmakologi yang digunakan untuk terapi hipertkolesterolemia meliputi statin,
inhibitor transporter reuptake kolesterol, sequestran asam empedu, niasin, fibrat dan
minyak ikan omega-3
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Gramedia, Jakarta.
Anonim, 2012, Dislipidemia:Peningkatan Prevalensi dan Beban Kesehatan volume 10 no 1
dalam Buletin Rasional, ISSN 1411-8742.
Anonim, 2002, National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on
Detection,Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult
Treatment Panel III), Third Report of the National Cholesterol Education Program
(NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III) final report. Circulation;106:3143-
3421.
Anwar, Bahri., 2004, Dislipidemia Sebagai Faktor Resiko Jantung Koroner, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Attman PO, Knight-Gibson C, Tavella M, Samuelsson O, Alaupovic P., 1998, The
compositional abnormalities of lipoproteins in diabetic renal failure., Nephrol Dial.
Transplant.;13:2833–41.
Attman PO, Samuelsson O, Alaupovic P., 1993, Lipoprotein metabolism and renal failure., Am J
Kidney Dis.;21:573–92.
Attman PO, Samuelsson O, Johansson AC, Moberly JB, Alaupovic P., 2003, Dialysis modalities
and dyslipidemia. Kidney Int Suppl.;84:S110–S112.
Baigent C, Keech A, Kearney PM, et al., 2005, Efficacy and safety of cholesterol-lowering
treatment: prospective meta-analysis of data from 90, 056 participants in 14 randomised
trials of statins. Lancet; 366: 1267-78.
Beil U, et al., 1982, Effects of interruption of the enterohepatic circulation of bile acids on the
transport of very low density-lipoprotein triglycerides. Metabolism; 31: 438–444.
Bonnie C.H. Kwan., Florian Kronenberg., Srinivasan Beddhu., and Alfred K. Cheung., 2007,
Lipoprotein Metabolism and Lipid Management in Chronic Kidney Disease, J Am Soc
Nephrol 18: 1246–1261,
Chan, M.K., 1995, Lipoprotein Metabolism in Dialysis Patients, in Clinical Dialysis/ Third
edtion, Appleton and Lange A Simon and Schuster Co. 699-705.
Collins AJ, Robert TL, St Peter WL,Chen SC, 2002, United States Renal Data System Assesment
of the Impact of the National kidney Foundation Dialysis Outcome Quality initiative
Guideline. Am J Kidney Dis 39;889-891.
Denke MA, Grundy SM., 1995, Efficacy of low-dose cholesterol-lowering drug therapy in men
with moderate hypercholesterolemia. Arch Intern Med; 155: 393–399.
Goldman JA, et al., 1989, The role of cholesterol-lowering agents in drug-induced
rhabdomyolysis and polymyositis. Arthritis Rheum; 32: 358–359.
Hartono Andry. D. A, 2000, Asuhan Nutrisi Rumah Sakit, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Kasiske, Bertram, MD., Hennepin., dan Minneapolis, MN., 2003, Clinical Practice Guidelines
for Managing Dyslipidemias in Chronic Kidney Disease American Journal of Kidney
Diseases K/DOQI vol 41, no 4.
Knapp HH, et al., 2001, Efficacy and safety of combination simvastatin and colesevelam in
patients with primary hypercholesterolemia. Am J Med; 110: 352–360.
Knopp RH, 1999, Drug treatment of lipid disorders, N Engl J Med; 341: 498–511.
Lawrence M. Tierney, J., 2002, Diagnosis dan Terapi Kedokteran (Penyakit Dalam), Salemba
Media, Jakarta
Levin, Adeera., Brenda Hemmelgarn., dan Bruce Culleton., 2008, review: Guidelines for the
management of chronic kidney disease., CMAJ 179(11)
Omran, Jad., Ashraf Al-Dadah., dan Kevin C., 2013, Dyslipidemia in Patients with Chronic and
End-Stage Kidney Disease, Dellsperger Cardiorenal Med ;3:165–177
Pierce LR, et al., 1990, Myopathy and rhabdomyolysis associated with lovastatin-gemfibrozil
combination therapy, JAMA; 264: 71–75.
Quaschning T, Krane V, Metzger T, Wanner C., 2001, Abnormalities in uremic lipoprotein
metabolism and its impact on cardiovascular disease. Am J Kidney Dis.;38(4 suppl
1):S14–S19.
Ridker PM, et al., 2001, Measurement of C-reactive protein for the targeting of statin therapy in
the primary prevention of acute coronary events. N Engl J Med; 344: 1959–1965.
Toth PP, 2010, Drug treatment of hyperlipidaemia: a guide to the rational use of lipid-lowering
drugs, 70:1363-1379.
Wanner C, et al., 1997, Use of HMG-CoA reductase inhibitors after kidney and heart
transplantation: lipid-lowering and immunosuppressive effects. BioDrugs; 8: 387–393.