FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR...

59
Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara) Vol. 1 No 05 januari 2015 1 FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR PADA LANJUT USIA DI PELAYANAN TERPADU PANTI WERDA PEMATANGSIANTAR Pipin Sumantrie, Email: [email protected] (Akademi Keperawatan Surya Nusantara) Seiring dengan pertambahan usia, berbagai faktor, baik fisiologis, psikologis, obat-obatan, gaya hidup, dan lingkungan telah menyebabkan perubahan-perubahan yang khas dalam pemenuhan pola tidur yang membedakannya dari orang yang lebih muda, seperti sulit memulai tidur, bangun terlalu dini dipagi hari dan tidak dapat tidur lagi, terbangun pada malam hari, serta mengantuk berat pada siang hari. Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami gangguan tidur kerena faktor-faktor gangguan tidur? Dan faktor manakah yang dominan menyebabkan gangguan tidur lansia di UPT tersebut? Populasi dalam penelitian deskriptif ini berjumlah 41 orang lansia. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling jenuh, yaitu seluruh jumlah populasi adalah sampel, dan disertai dengan kriteria responden yaitu umur di atas 60 tahun dan tidak menderita alzheimer. Dalam memproleh data dan informasi pada penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan metode persentase rata-rata, dan setelah data diperoleh, maka dibuat interpretasi berdasarkan persentase data responden. Pada akhir penelitian ini penulis menarik kesimpulan bahwa 36% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami gangguan tidur karena faktor-faktor gangguan tidur, dan didapati bahwa faktor lingkungan adalah faktor dominan yang telah menyebabkan gangguan tidur. Kata Kunci : Lansia, Gangguan Tidur, Faktor-Faktor Gangguan Tidur

Transcript of FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR...

Page 1: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 1

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR PADA LANJUT USIA DI

PELAYANAN TERPADU PANTI WERDA PEMATANGSIANTAR

Pipin Sumantrie, Email: [email protected] (Akademi Keperawatan Surya Nusantara)

Seiring dengan pertambahan usia, berbagai faktor, baik fisiologis, psikologis, obat-obatan, gaya hidup, dan lingkungan telah menyebabkan perubahan-perubahan yang khas dalam pemenuhan pola tidur yang membedakannya dari orang yang lebih muda, seperti sulit memulai tidur, bangun terlalu dini dipagi hari dan tidak dapat tidur lagi, terbangun pada malam hari, serta mengantuk berat pada siang hari. Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami gangguan tidur kerena faktor-faktor gangguan tidur? Dan faktor manakah yang dominan menyebabkan gangguan tidur lansia di UPT tersebut? Populasi dalam penelitian deskriptif ini berjumlah 41 orang lansia. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling jenuh, yaitu seluruh jumlah populasi adalah sampel, dan disertai dengan kriteria responden yaitu umur di atas 60 tahun dan tidak menderita alzheimer. Dalam memproleh data dan informasi pada penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan metode persentase rata-rata, dan setelah data diperoleh, maka dibuat interpretasi berdasarkan persentase data responden. Pada akhir penelitian ini penulis menarik kesimpulan bahwa 36% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami gangguan tidur karena faktor-faktor gangguan tidur, dan didapati bahwa faktor lingkungan adalah faktor dominan yang telah menyebabkan gangguan tidur. Kata Kunci : Lansia, Gangguan Tidur, Faktor-Faktor Gangguan Tidur

Page 2: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 2

PENDAHULUAN Tidur adalah anugrah Tuhan yang sangat berharga, dimana kita dapat mengistirahatkan badan dan pikiran, sehingga ketika bangun kita berada dalam kondisi yang sehat dan prima, dan melalui tidur kita juga dapat menghilangkan segala penat, sedih, dan perasaan yang tidak enak, hal ini menjelaskan bahwa tidur memang hal yang luar biasa dan tidak dapat digantikan oleh kegiatan lain. Hal tersebut juga telah dibuktikan oleh Yuliana (2000) di dalam penelitiannya, bahwa semua orang dapat melakukan aktivitas dengan maksimal apabila kebutuhan tidur mereka terpenuhi dengan baik, melalui hal tersebut dapat disimpulkan bahwa tidur adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Kebutuhan tidur setiap orang adalah berbeda-beda tergantung pada kebiasaan yang dibawanya selama perkembagan menjadi dewasa, umumnya orang dewasa tidur antara 7-8 jam setiap malam, akan tetapi, terjadi perubahan yang khas seiring dengan bertambahnya usia. Dengan pertambahan usia, waktu tidur seseorang cenderung berkurang, waktu terjaga semakin banyak, pola terbangun pada dini hari lebih sering, dan sulit untuk memulai tidur kembali. Perubahan tidur yang dialami oleh lansia tentu saja memberikan dampak negatif, baik bagi fisik maupun psikis. Potter dan Perry (2006) menjelaskan bahwa waktu tidur kurang dari kebutuhan dapat mempengaruhi sintesis protein yang berperan dalam memperbaiki sel-sel yang rusak menjadi menurun, dan ditambahkan oleh jurnal Universitas Sumatra Utara, bahwa menarik diri, apatis, daya ingat

berkurang, bingung, timbul halusinasi, ilusi penglihatan atau pendengaran, dan kemampuan memberikan pertimbangan atau keputusan menurun dapat terjadi apabila kebutuhan tidur tidak terpenuhi dengan baik. Dalam bab pendahuluan ini, penulis akan membahas latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, pembatasan masalah, manfaat peneltian, dan asumsi dasar.. Di Indonesia proporsi penduduk berusia lanjut terus membesar, dan Indonesia termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk lanjut usia terbanyak di dunia yakni mencapai 18,1 juta jiwa pada 2010 atau 9,6% dari jumlah penduduk. Penduduk lansia ini diproyeksikan menjadi 28,8 juta jiwa (11, 34%) dari total penduduk Indonesia pada tahun 2020, dan setiap tahun jumlah lansia bertambah rata-rata 450.000 orang, maka pada tahun 2050 diperkirakan berjumlah 60 juta lansia, atau setara gabungan penduduk Jawa Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Banten. Stanley dan Beare (2006) yang dikutip dari Simpson mengatakan, bahwa gangguan tidur yang dialami lansia disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya yaitu faktor penyakit dan lingkungan. Hal ini didukung oleh Potter dan Perry (2005) dalam bukunya “Fundamental Keperawatan” menjelaskan bahwa faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur orang dewasa berasal dari fisiologis, psikologis, obatan-obatan, gaya hidup dan lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2012) kepada 30 lansia di Panti Werdha Tresna Kabupaten Magetan, ia

Page 3: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 3

menemukan adanya gangguan tidur pada lansia yang disebabkan oleh faktor stres psikologis sebanyak 43%, faktor diet atau nutrisi 20%, dan faktor fisiologis 30%. Selanjutnya, ketika mengadakan praktek keperawatan gerontik di UTP, penulis melakukan wawancara singkat kepada beberapa lansia tentang tidur mereka. Penulis menemukan bahwa mereka sering terbangun pada malam hari disebabkan oleh nyamuk dan suara dari dalam serta luar ruangan. Menurut Nugroho (2000) yang dikutip dari Costantinides, menua atau menjadi tua adalah suatu proses menghilangnya secara pelahan-perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita. Perubahan-Perubahan Pada Lanjut usia Perubahan-perubahan yang umum terlihat pada masa usia lanjut adalah ditandai dengan perubahan fisik dan psikologis tertentu. Baik pria maupun wanita, pada usia lanjut mereka akan melakukan penyesuaian diri agar mereka tampak siap dan sesuai dengan masa usia lanjut tersebut secara baik ataupun tidak baik. Akan tetapi hasil yang diperoleh dari penyesuaian tersebut cenderung menuju dan membawa penyesuaian diri yang tidak baik daripada yang baik, terutama adalah

terjadinya kemunduran fisik dan mental yang berlangsung perlahan dan bertahap Setiap orang membutuhkan tidur agar dapat mempertahankan status kesehatan pada tingkat yang optimal, Alimul (2006) mengatakan bahwa tidur merupakan kondisi tidak sadar di mana individu dapat dibangunkan oleh stimulus dan sensori yang sesuai, atau dapat dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan dan tanpa kegiatan, tetapi merupakan suatu urutan siklus yang berulang, dengan ciri adanya aktivitas yang minim, memiliki kesadaran yang bervariasi, terdapat perubahan fisiologis, dan terjadi penurunan respon terhadap ransangan dari luar. Jenis-Jenis Tidur Dijelaskan oleh Alimul (2006), bahwa dalam prosesnya, tidur dibagi menjadi dua jenis. Pertama, jenis tidur yang disebabkan oleh menurunnya kegiatan dalam sistem pengaktivasi retikularis, disebut dengan tidur gelombang lambat (slow wave sleep) karena gelombang otak bergerak sangat lambat, atau disebut juga tidur Non Rapid Eye Movement (NREM). Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran abnormal dari isyarat-isyarat dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak tertekan secara berarti, ini disebut dengan jenis tidur paradoks, atau disebut juga dengan tidur Rapid Eye Movement (REM).

Gambar 1 Tahap Siklus Tidur Orang Dewasa

Kantukpra-tidur

NREM

Tahap1

NREM

Tahap2

NREM

Tahap3

NREM

Tahap4NREMTahap3TidurREM

Page 4: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 4

Sumber: Potter, P. A., dan Perry A.G (2005) Manfaat Tidur Menurut Hodgson yang dikutip oleh Potter dan Perry (2005) mengungkapkan, bahwa kegunaan tidur masih tetap belum jelas, namun tidur nampaknya diperlukan untuk memperbaiki proses biologis secara rutin, dan selama tidur gelombang rendah yang dalam (NREM tahap 4) tubuh melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk memperbaiki dan memperbaharui sel epitel. Penelitian lain menunjukkan bahwa sintesis protein dan pembagian sel untuk pembaharuan jaringan seperti pada kulit, sumsum tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan tidur. Gangguan Tidur Pada Lanjut Usia Sebagian besar lansia beresiko mengalami gangguan tidur akibat berbagai faktor, dan proses patologis terkait usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur. Gangguan tidur mempengaruhi kualitas hidup dan berhubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi (Stanley dan Beare 2006). Stanley dan Beare (2006) juga menjelaskan, bahwa selama penuaan pola tidur mengalami perubahan-perubahan yang khas yang membedakannya dari orang yang lebih muda, perubahan-perubahan tersebut mencakup kelatenan tidur, terbangun dini hari, dan peningkatan jumlah tidur siang. Di antara lansia yang sehat, beberapa di antaranya mengalami gejala-gejala terkait dengan perubahan tidur dan distribusi tidur serta perilaku terjaga, namun banyak juga lansia yang mengalami berbagai masalah psikososial dan menyebabkan gangguan tidur gangguan tidur.

Kondisi-kondisi tersebut antara lain penyakit psikiatrik, terutama depresi; penyakit alzheimer dan penyakti degeneratif neuro lainnya; penyakit kardiovaskular dan perawatan pascaoperasi bedah jantung; inkompensasi jalan napas atas; penyakit paru; sindrom nyeri; penyakit prostatik; dan endokrinopati. Dibawah ini Stanley dan Beare (2006) akan menjelaskan hal-hal yang terkait dengan gangguan tidur pada lanjut usia. Insomnia Insomnia adalah ketidakmampuan untuk tidur walaupun ada keinginan untuk melakukannya, lansia rentan terhadap adanya perubahan pola tidur, biasanya menyerang tahap 4 tidur (tidur dalam). Keluhan insomnia mencakup sulit untuk jatuh tidur, sering terbangun pada malam hari dan kesulitan untuk tidur kembali, bangun terlalu dini di pagi hari, dan merasa lelah dan tidak segar ketika terbangun, demikian dijelaskan oleh Stanley dan Beare (2006). Hipersomnia Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang berlebihan terutama pada siang hari. Hal ini didukung oleh Stanley dan Beare (2006) yang mengatakan bahwa hipersomnia dicirikan sebagai tidur yang lebih dari 8 (delapan) atau 9 (sembilan) jam per periode 24 jam dengan keluhan tidur berlebihan, dan penyebabnya masih bersifat spekulatif tetapi dapat berhubungan dengan ketidakaktifan, gaya hidup yang membosankan, atau depresi, orang tersebut dapat menunjukkan mengantuk di siang hari yang persisten,

NREMTahap2

Page 5: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 5

mengalami “serangan tidur”, tampak mabuk atau komatose, atau mengalami mengantu pascaensefalik, keluhan keletihan, kelemahan, dan kesulitan mengingat nerupakan hal yang sering terjadi. Apnea Tidur Apnea tidur adalah berhentinya pernapasan selama tidur, dan gangguan ini diidentifikasi dengan gejala “mendengkur, behentinya pernapasan minimal sepuluh detik, dan rasa kantuk di siang hari yang luar biasa”. Selama tidur, pernapasan dapat berhenti paling banyak 300 kali, dan episode apnea dapat berakhir dari 10 sampai 90 detik, pria dewasa dengan riwayat mendengkur yang keras dan intermitten, yang juga obesitas dengan leher yang pendek dan besar biasanya beresiko mengalami apnea tidur. Gejala apnea tidur antara lain adalah dengkuran yang keras dan periodik; aktivitas malam hari yang tidak biasa, seperti duduk tegak, berjalan dalam tidur, terjatuh dari tempat tidur; gangguan tidur dengan seringnya terbangun di malam hari (noctural waking); perubahan memori; depresi; rasa kantuk yang berlebihan di siang hari; nokturia; sekit kepala di pagi hari; dan ortopnea akibat apnea tidur (Stanley dan Beare, 2006). Hal tersebut didukung oleh Mubarak dan Chayatin (2007), bahwa kondisi apnea sering terjadi pada orang yang mengorok dengan keras, sering terjada pada malam hari, insomnia, mengantuk berlebihan pada siang hari, sakit kepala di padi hari, iritabilitas, atau mengalami perubahan

psikologis seperti hipertensi atau aritmia jantung. Menurut Mubarak dan Chayatin (2007), terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur, di antaranya adalah penyakit, lingkungan, kelelahan, diet, merokok, medikasi, dan motivasi, dan hal ini didukung oleh Potter dan Perry (2005) yang mengatakan bahwa gangguan tidur dapat disebabkan oleh faktor fisiologis, psikologis, dan lingkungan. Berikut ini akan dijelaskan faktor-faktor yang menyebabkan gangguan tidur menurut Potter dan Perry (2005). Kerangka Konsep Menurut Notoatmodjo (2010), konsep adalah abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi hari hal-hal yang khusus, oleh karena konsep merupakan abstraksi maka konsep tidak dapat langusung diamati atau diukur, akan tetapi dapat diamati melalui konstrak atau yang lebih dikenal dengan nama variabel. Pada penelitian ini, penulis hanya ingin mengetahui berapa jumlah lansia yang mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh faktor-faktor gangguan tidur, dan pada akhirnya penulis akan dapat mengetahui faktor dominan yang menyebabkan gangguan tidur. Kerangka konsep yang menuntun penelitian ini adalah faktor-faktor yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia, dan dapat dilihat pada gambar 2 (dua).

Gambar 2 Kerangka Konsep :

Yang diteliti Tidak diteliti

Faktor-Faktor:

1. Fisiologis2. Psikologis3. Obat-obatan4. Gayahidup5. Lingkungan

Gangguan

TidurLansia

Page 6: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 6

METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian adalah pembahasan mengenai konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan dan kelamahannya, yang dalam karya ilmiah dilajutkan dengan memilih metoda yang digunakan (Sedarmayanti, 2002). Dalam riset digunakan metode ilmiah, yaitu suatu proses berurutan yang memakai prinsip-prinsip ilmiah, oleh karena itu, metode ilmiah perlu menggunakan rangkaian langkah tertentu untuk mendapatkan informasi yang dapat diandalkan dalam pemecahan masalah (Dempsey dan Dempsey,1997 Menurut Sedarmayati dan Hidayat (2002), metode penelitian adalah prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu dengan langkah-langkah sistematis. Metode yang digunakan penulis ialah metode penelitian survei, Notoatmodjo (2010) mengatakan bahwa penelitian survei adalah suatu penelitian yang dilakukan tanpa melakukan intervensi terhadapa subjek penelitian, sehingga sering disebut penelitian noneksperimen Survei deskriptif juga dapat didefinisikan sebagai suatu penelitan yang dilakukan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan suatu fenomena yang terjadi di dalam masyarakat, dan tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tetentu, tetapi menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel. Tipe dari jenis penelitian deskriptif adalah memberikan jawaban, tanggapan dengan cara menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti. Populasi yang digunakan oleh penulis adalah lansia yang ada di UTP, yakni berjumlah 41 orang. Sedangkan sampel adalah sampling jenuh. Menurut Nasution (2008), sampling jenuh adalah teknik

pengambilan sampel dimana seluruh jumlah populasi dijadikan sebagai sampel. Proses Pengolahan Data Dalam kegiatan ini dijelaskan tentang pengolahan data dan perhitungan persentasi. Setelah data dikumpulkan seluruhnya, penulis mengadakan seleksi data untuk dikelola. Untuk pengolahannya penulis menggunakan perhitungan persentasi (P) untuk setiap jawaban dengan jalan membagi frekuensi (F) dari setiap jawaban yang ada dengan jumlah responden (N) dikali 100% Rumus P= !

!x100

Kemudian hasil persentase tersebut diinterpretasikan dengan kriteria menurut Arikunto (1998). Tabel 1 Skala Persentase Responden1

Persentase Interpretasi 100% Seluruhnya

76%-99% Hampir seluruhnya

51%-75% Sebagian besar

50% Setengah 26%-49% Hampir setengah 1%-25% Sebagian kecil

0% Tidak ada

1Sumber: Panjaitan, D.W, 2009,Karya Tulis Ilmiah: Evaluasi Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Tingkat III AKPER Surya Nusantara Tentang Masalah Pertama: Mengetahui Jumlah Lansia Di UPTYang Mengalami Gangguan

Page 7: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 7

Tidur Oleh Karena Faktor-Faktor Gangguan Tidur Yang menjadi identifikasi masalah ini adalah: Berapa jumlah lansiadi UPT

Pelayanan Sosial Pematangsiantar yang mengalami gangguan tidur oleh kerena faktor-faktor gangguan tidur? Untuk menjawab pertanyaan ini maka dibuatlah nilai jawaban responden berdasarkan persentase rata-rata pada tabel 7 (tujuh).

Tabel 2 Faktor Fisiologis Pertanyaan Jumlah Persen Rata-rata 1. Saya sulit tidur pada malam hari karena kaki dan tangan saya nyeri.

12 39% 5%

2. Saya sering bangun terlalu cepat di pagi hari karena nyeri pada lambung.

7 23% 3%

3. Pada malam hari saya sering terbangun karena kebas pada kaki.

18 58% 7%

4. Saya sering terbangun pada malam hari karena sulit bernapas.

8 26% 3%

5. Saya sering terbangun pada malam hari karena rasa gatal di badan.

7 23% 3%

6. Nyeri dada membuat saya sering terbangun pada malam hari.

5 16% 2%

7. Saya sering terbangun pada malam hari karena harus buang air kecil (BAK).

27 87% 11%

8. Batuk membuat saya sering terbangun pada malam hari.

15 48% 6%

JUMLAH 99 319% 40% Berdasarkan jumlah rata-rata, 40% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh faktor fisiologis. Hal ini didukung olehPotter dan Perry (2005), bahwa setiap penyakit yang menyebabkan nyeri dan kram, ketidaknyamanan fisik (mis. kesulitan bernapas, rasa gatal), dapat menyebabkan gangguan tidur, dan seseorang yang berpenyakit tukak peptik juga seringkali terbangun pada tengah malam, peningkatan kadar asam lambung mencapai puncak sekitar pukul 1 sampai pukul 3 menyebabkan nyeri lambung.

Selanjutnya penyakit jantung koroner seringkali dikarakteristikkan dengan episode nyeri dada yang tiba-tiba dan denyut jantung yang tidak teratur, klien dengan penyakit ini seringkali mengalami frekuansi terbangun yang sering. Nokturia atau berkemih pada malam harijuga paling umum pada lansia disebabkan oleh penurunan tonus kandung kemi, demikian ditambahkan oleh Potter dan Perry (2005). Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia (2014) juga mengatakan bahwa nyeri dan perasaan tidak nyaman dapat membatasi kedalaman tidur dan menyebabkan terjaga dari tidurnya, dan nyeri

Page 8: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 8

juga dapat menimbulkan penurunan kapasitas paru dan timbulnya hipoksemia sehingga tubuh melakukan kompensasi

dengan meningkatkan frekuensi napas untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, dan napas pendek ini dapat menganggu tidur.

Tabel 3 Faktor Psikologis

Pertanyaan Jumlah Persen Rata-rata 9. Saya merasa kesepian dan itu membuat saya sulit untuk memulai tidur di malam hari.

9 29% 6%

10. Hubungan kekerabatan dengan keluarga yang renggang sering membuat saya sulit tidur pada malam hari

10 32% 6%

11. Ketika memiliki masalah saya sering sulit untuk memulai tidur.

17 55% 11%

12. Ketika memiliki masalah saya sering terbangun pada malam hari.

19 61% 12 %

13. Saya sulit untuk memulai tidur karena sering memikirkan pasangan hidup saya yang telah tiada.

4 13% 2,6%

JUMLAH 59 190% 38% Interpretasi Data Berdasarkan jumlah rata-rata, 38 % atau hampir setengah responden mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh faktor psikologis. Hal ini didukung oleh Susilo dan Yekti (2011), bahwa sulit tidur sering terjadi, baik pada usia muda maupun usia lanjut, dan kondisi ini sering timbul bresamaan dengan gangguan emosional, seperti kecemasan, stres, kegelisahan, depresi atau ketakutan, kemudian ditambahkan oleh Potter dan Perry (2005) bahwa seringkali klien lansia

mengalami kehilangan yang mengarah pada stres emosional, yakni pensiun, gangguan fisik, kematian orang yang dicintai, dan kehilangan keamanan ekonomi. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia (2014) menambahkan, bahwa cemas dan depresi dapat menganggu tidur, melalui cemas tubuh akan mensekresi hormon norephinephrine yang akan menstimulasi saraf pusat sehingga mengakibatkan penurunan NREM tahap 4 (empat).

Tabel 4 Faktor Obat-Obatan Pertanyaan Jumlah Persen Rata-rata 14. Saya menderita sakit dan harus mengkonsumsi obat.

16 52% 10%

15. Obat yang saya makan membuat saya sering buang air kecil pada malam hari.

12 39% 8%

16. Obat yang saya makan sering menyebabkan mimpi buruk sehingga terbagun pada malam hari.

0 0% 0%

Page 9: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 9

17. Obat yang saya makan sering menyebabkan kantuk berat pada siang hari.

7 23% 4%

18. Saya tidak sakit, tetapi saya meminum obat agar dapat tidur (obat tidur).

0 0% 0%

JUMLAH 35 114% 23% Interpretasi Data Berdasarkan jumlahrata-rata, 23% atau sebagian sebagian kecildari responden mengalami ganggun tidur yang disebabkan oleh faktor obat-obatan. Hal ini didukung oleh Potter dan Perry (2005) dalam bukunya “Fundamental Keperawatan” bahwa dari daftar obat di DPR 1990, dangan 584 resep obat atau obat bebas menuliskan mengantuk sebagai salah satu efek samping, 486 menulis insomnia, dan 281 menyebabkan kelelahan,

mengantuk dan depriavasi tidur adalah efek samping medikasi yang umum. Orang dewasa muda dan dewasa tengah juga dapat bergantung pada obat tidur untuk mengatasi stresor gaya hidupnya,dan mereka juga berpendapat bahwa berbagaigolongan obat dapat menyebabkan nokturia, membangunkan seseorang pada malam hari dan menyebabkan kesulitan untuk tidur kembali, meningkatkan waktu tidur, dan meningkatkan kantuk pada siang hari

Tabel 5 Faktor Gaya Hidup

Pertanyaan Jumlah Persen Rata-rata 19. Saya adalah seorang perokok. Merokok sebelum tidur membuat saya susah tidur.

2 6% 1%

20. Saya minum teh atau kopi sebelum tidur, itu membuat saya susah tidur di malam hari.

5 16% 3%

21. Saya minum teh atau kopi sebelum tidur, itu membuat saya sering terbangun pada malam hari.

7 23% 4%

22. Aktivitas disiang hari sering membuat saya susah tidur dimalam hari.

5 16% 3%

23. Saya sering tidak dapat memulai tidur karena merasa lapar.

25 81% 13%

24. Kekenyangan sering membuat saya susah untuk memulai tidur pada malam hari.

16 52% 9%

JUMLAH 60 194% 32% Interpretasi Data Berdasarkan jumlah rata-rata, 32% responden atau hampir setengah mengalami gangguan tidur yang sebabkan oleh faktor gaya hidup. Tidur dalam keadaan lapar sangat tidak nyaman, namun demikian tidur dalam keadaan kekenyangan juga sangat

tidak nyaman, dan meminum yang mengandung kafein, seperti kopi, soda, teh, maupun coklat juga akan membuat tubuh dan otak semakin terjaga, ini semua akan mengahambat proses kantuk dan akan semakin sulit untuk tidur, demikian menurut Susilo dan Wulandari (2011). Potter dan

Page 10: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 10

Perry (2005) juga menambahkanbahwa seseorang yang kelelahandari kerja yang

meletihkan atau penuh stres membuat sulit tidur

Tabel 6 Faktor Lingkungan Pertanyaan Jumlah Persen Rata-rata 25. Saya sering tidak dapat memulai tidur karena suara bising dari luar atau dalam kamar.

21 68% 8%

26. Saya sering sulit memulai tidur jika suhu ruangan panas.

17 55% 7%

27. Saya sering tidak dapat memulai tidur karena suhu ruangan yang dingin.

5 16% 2%

28. Tempat tidur yang kecil membuat saya sering terbangun pada malam hari.

13 42% 5%

29. Ruangan yang pengap sering membuat saya susah tidur.

14 45% 6%

30. Seprai yang kotor sering membuat saya susah tidur.

17 55% 7%

31. Nyamuk sering membuat saya sering terbangun di malam hari.

16 52% 7%

32. Saya sering tidak dapat tidur karena ruangan terang.

13 42% 6%

JUMLAH 116 374% 47% Interpretasi Data Berdasarkan jumlah rata-rata, 47% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami gangguan tidur yang disebabkan oleh faktor lingkungan.Hal ini didukung oleh Potter dan Perry (2005), bahwa lingkungan fisik tempat seseorang untuk tidur sangat penting pada kemampuan untuk memulai tertidur dan ketika tetap tidur, ventilasi yang baik adalah esensial untuk tidur yang tenang. Ukuran, kekerasan, dan posisi tempat tidur juga mempengaruhi kualitas tidur.juga mempengaruhi tidur. uara yang rendah lebih sering membangunkan seorang dari tidur tahap 1 (satu), sementara suara keras membangunkan orang pada tahap tidur 3 (tiga) atau 4 (empat). Tingkat cahaya juga dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur.

Beberapa klien menyukai ruangan gelap, sementara yang lain menyukai cahaya remang yang tetap menyala selama tidur, klien juga mungkin bermasalah tidur karena suhu ruangan, ruangan yang terlalu hangat atau terlalu dingin sering kali menyebabkan klein gelisah dan tidak dapat tertidur, demikian menurut Potter dan Perry (2005). Tabel 7 Faktor-Faktor Gangguan Tidur Lansia Faktor Rata-rata 1. Fisiologis. 40% 2. Psikologis. 38% 3. Obat-obatan. 23% 4. Gaya hidup. 32% 5. Lingkungan. 47% JUMLAH 180% RATA-RATA 36%

Page 11: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 11

Interpretasi Data Berdasarkan jumlah rata-rata, didapati 36% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami ganggaun tidur yang disebabkan oleh faktor-faktor gangguan tidur.Hal ini didukung oleh Stanley dan Beare (2006), bahwa sebagian besar lansia

beresiko mengalami gangguan tidur akibat berbagai faktor dan gangguan tidur ini akan mempengaruhi kualitas hidup dan angka mortalitas yang lebih tinggi. Masalah Kedua: Mengetahui Faktor Dominan Yang Menyebabkan Gangguan Tidur Lansia Di UPT

Gambar 3 Grafik Faktor-Faktor Gangguan Tidur Lansia

Interpretasi Data Berdasarkan grafik tersebut, didapati faktor lingkungan memilikipersentase rata-rata tertinggi, yaitu 47%; dan nilai terendah didapati pada faktor obat-obatan dengan persentase rata-rata sebesar 23%. Kesimpulan yang didapat dalam penelitian ditarik dari jumlah nilai rata-rata dalam setiap interpretasi data pada pembahasan yaitu:

1. Sebanyak 36% atau hampir setengah dari jumlah responden mengalami gangguan tidur karena faktor-faktor gangguan tidur.

2. Faktor lingkungan adalah faktor dominan yang menyebabkan gangguan tidur pada lansia, antara lain, suara bising dari luar dan dalam ruangan, suhu ruangan yang panas, nyamuk, dan ruangan yang pengap. DAFTAR PUSTAKA Ahmad, T. (1993). Anda sanggup mengatasi stres. Bandung: IPH

0%

5%

10%

15%

20%

25%

30%

35%

40%

45%

50%

F.Lingkungan F.Fisioligis F.Psikologis F.Gayahidup F.Obat-oabatan

Page 12: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 12

Alimul, A. (2006). Kebutuhan dasar manusia: aplikasi konsep dan proses keperawatan Buku 2. Jakarta: Salemba Medika Arikunto, S. (1998). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik Edisi 3. Jakarta: Rineka Cipta (2006). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik Edisi revisi 6 Cetakan 13. Jakarta: Rineka Cipta Dempsey, P., dan Dempsey, A. D. (1997). Riset keperawatan: buku ajar dan latihan Edisi 4. Trans. Palupi Wudyastuti. Jakarta: EGC Guyton, A.C., dan Hall, J. E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran Edisi 9 Trans. Irawati Setiawan, dkk. Jakarta: EGC Mardalis. (2006). Metode penelitian: suatu pendekatan proposal Edisi 1 Cetakan 8. Jakarta: Bumi Aksara Mubarak, W. I., dan Chayatin, N. (2005). Buku ajar keperawatan dasar manusia: teori dan aplikasi dalam praktik. Jakarta: EGC Nasution. (2008). Metode research Edisi 1. Jakarta: Bumi Aksara Nugroho, W. (2000). Keperawatan gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC Notoatmodjo, S. (2010). Metodelogi penelitian kesehatan Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta Panjaitan, D.W. (2009). Karya tulis ilmiah: evaluasi tingkat pengetahuan mahasiswa tingkat III AKPER Surya Nusantara tentang bantuan hidup dasar. Pematangsiantar

Poerwadarminta. (2011). Kamus umum bahasa indonesia Edisi 3 Cetakan 4. Jakata: Balai Pustaka Potter, P. A., dan Perry, A. G. (2005). Fundamental keperawatan: konsep, proses, dan praktik Edisi 4 Volume 2. Trans, Renata Komalasari, dkk. Jakarta: EGC (2010). Fundamental keperawatan Buku 1 Edisi 7. Trans. Adrina F. Anggie. Jakarta: EGC Fundamental keperawatan Edisi 7 Buku 3. Trans. Diah Nurfitriani, Dkk. Jakarta: Salemba Medika Pusparini, Y., Kusman, dan Prawesti, A. (2014). Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pasien di ruang ICU. Volume 10. Hal. 1054-1065 Sedarmayanti, dan Hidayat, S. (2002). Metodelogi penelitian. Bandung: Mandar Maju Stanley, M., dan Beare, P. G. (2006). Buku ajar keperawatan gerontik Edisi 2. Trans. Netty Juniarty Dan Sari Kurnianingsih. Jakarta: EGC Sugiyono. (2008). Metode penelitian bisnis. Bandung: Alfabeta Susilo, Y., dan Wulandari, A. (2001). Cara jitu mengatasi insomnia. Yogyakarta: Andi Offset Scanlon, V.C., dan Sander, T. (2006). Buku ajar anatomi dan fisiologi Edisi 3. Trans. Awal Prasetyo. Jakarta:

Page 13: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 13

KNOWLEDGE ON HYPERTENSION, SOCIAL SUPPORT, AND LIFESTYLE PRACTICES OF HYPERTENSIVE PATIENTS

Rosnancy Sinaga

Dosen Akademi Keperawatan Surya Nusantara

Abstrak

This study was conducted to determine the relationship between the knowledge on hypertension (HPN), social support, lifestyle practices of hypertensive patients. The descriptive-correlational design was utilized to examine the relationships that exist among the variables of the study. The self-constructed questionnaire was used to identify the relationship. One hundred fifty-five hypertensive patients in Bandung Adventist Hospital, Indonesia, were selected as representative sample of the population. For statistical treatment of data, frequency and percentage were used to describe the respondents’ demographic profile, the extent of their knowledge on HPN, and to find out the lifestyle practices of respondents before and after diagnosis of HPN. Mean and standard deviation were used to find out the extent of social support received by the hypertensive patients. T tests for related samples were used to test significant differences between the lifestyle before and after diagnosis. A multiple regression analysis was used to identify the combination of independent and moderator variables that best estimate the relationship to lifestyle practices after the diagnosis of HPN. This study concludes that respondents with average level of knowledge about HPN, received higher social support from the significant others than from the physicians’, have better lifestyle practices after diagnosis of HPN in smoking cessation, diet, weight control, and stress management but not in physical activity. This study found out variables that are significantly related to the lifestyle practices after diagnosis of HPN. Smoking cessation is related to the numbers of cigarettes smoked per day, employed respondents, and being non Catholic. Diet practices are related to grain and grain product intake, social support from physician, young age, and lower income. Weight control is related to the weight before diagnosis of HPN, being male, having hypertensive grandparents, highest educational attainment, and fruits eaten. Physical activity is related to the length of exercise time per day, eating sweets, being young, non-Catholic, and being knowledgeable. Stress management is significantly related with high income, having hypertensive parents, being knowledgeable, eating less of nuts, seeds, and dry beans, as well as being employed. After a careful review of findings and analyses of this study, the following recommendation are proposed to the nurse educators that should create awareness among nurses and student nurses dealing with urgency to educate and involve patients so as to motivate the necessity of knowledge on HPN that includes signs and symptoms, risk factors, complications, and lifestyle modification of HPN that may reduce blood pressure. This study proposed nurse practitioner to translate the research into

Page 14: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 14

improved practice hence will aid in developing nursing care plans that would reduce the burden of hypertensive clients by maintaining healthy lifestyle. The study proposed nurse researcher to conduct a further study needed to investigate persons at highest risk for noncompliance, methods for monitoring and improving compliance, and strategies to sustain recommended health behavior over time. This study recommends the importance of involving the individual, the family, and the governments to achieve successful intervention to advocate for change – in order to develop policies, create infrastructure, and provide resource to support healthy lifestyle. Keywords: Hypertension, knowledge, lifestyle practices, social support, Introduction Hypertension is one of the most common worldwide diseases afflicting humans. Because of the associated morbidity and mortality and the cost to society, HPN is an important public health challenge. It is the most modifiable risk factor for coronary heart disease, stroke, congestive heart failure, end-stage renal disease, and peripheral vascular disease (Sharma, 2007). In the world, approximately one of four adults suffers from HPN. Every year, it becomes the cause of one of seven deaths as well as heart, eye, brain and kidney damages. Based on World Health Organization (WHO) data, about 25% from 50% HPN sufferers get treatment, and only 12.5% are adequately treated cases (WHO, 2003). In both developed and developing countries, deaths from cardiovascular disease still acoount for almost 50% of all deaths. Since there is a dearth of study about HPN in Indonesia, the researcher presented the prevalence of HPN in Indonesia that showed 416.3 per 100.000 populations (Kamso, Rumawas, & Lukito, 2007). The most common interventions aimed to increase a healthy lifestyle practice focus on a patient’s knowledge about the disease

and /or treatment (Deccache, Aujoulat, 2001; Muhlhauser et al., 1993; Stanton, 1987). In most studies, patients with an enhanced understanding of the disease and its management have higher adherence rates. However, only 20% of hospitalized patients feel that they received adequate information and education, and another 20% are completely unsatisfied with the information they received (Muhlhauser et al., 1993). The social network of patients can also influence lifestyle practices. Social support was proven to be one of the most important factors when predicting healthy lifestyle (Lopez, Zanini, Filho, Chagas, 2008). The lifestyle measures are widely recognized to lower blood pressure or cardiovascular risk. Lifestyle recommendations should not be given as lip service but instituted with adequate behavioral and expert support, and reinforced periodically (Mancia, De Backer, Dominiczack, 2003). On a workshop of “Hypertension in The Asian Pacific: The Problem and the Solution” held in Beijing 2007, Dr L. Beilin discussed factors that contribute to non optimal blood pressure levels and the development of hypertension. He emphasized that was only

Page 15: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 15

one aspect of the problem that was to reduce all risk factors associated with cardiovascular disease. Prevention of obesity, increased intake of fruit and vegetables, reduced alcohol intake and increased physical activity can all cause a fall in blood pressure. Coupled with decreased saturated fat intake, increased consumption of fish and cessation of smoking would lead to favourable effects on blood pressure and to reduction of deaths from cardiovascular disease. This study sought to determine the knowledge on HPN, social support, lifestyle practices before and after diagnosis of HPN. Research Method The study utilized the descriptive-correlational design to examine the relationship that exist among the variables of the study or in a situation. In this study it determined the relationship between knowledge on HPN, social support, and lifestyle practices before and after diagnosis of HPN. Purposive sampling method was used in this study. The population of this study were adult and elderly hypertensive client who attended the outpatient clinic and or being hospitalized in Bandung Adventist Hospital, Indonesia and currently using antihypertensive medications. A four-part self-constructed questionnaire was used to measure both the independent and the dependent variables. It was devised from literature and previous studies. Before administering the instrument, the tool was submitted for content validity to a panel of experts in the area of study nutrition, public health, psychology, and three nursing experts. After establishing the content

validity on the instrument, the tool was pilot-tested on 50 hypertensive patients in Bandung Adventist Hospital (Indonesia). After confirming the reliability of the instrument, the researcher secured a request letter from the Director of Graduate School to conduct the main study in Bandung Adventist Hospital. And upon approval of the said hospital, the researcher distributed the questionnaire to the respective respondents in the outpatient clinic and in-hospitalized client. And to be able to analyze, interpret and determined the implications of data gathering, both descriptive and inferential statistics were utilized. Frequency and percentage were used to describe the respondents demographic profile, the extent of their knowledge on HPN, and to find out what the lifestyle practices of respondents before and after the diagnosis of HPN. Mean and standard deviation were used to find out the extent of social support received by the hypertensive respondents. T-tests for related samples was used as one of the most parametric analyses to test for significant differences between the subjects under different condition (Burns & Grove, 2001. A multiple regression analysis was used to determine the correlation between the independent and the dependent variables and to identify the combination of independent variables that best estimates the dependent variable (Lauer, 2006). Result This study reflected the demographic profile of the respondents that implied the distribution of the respondents was almost even between males and females

Page 16: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 16

Table 1 Grand Mean and Standard Deviation of Knowledge on Hypertension Minimum Maximu

m Mean

S D Descriptive Interpretation

Knowledge 6.00 29.00 19.52

5.66 Average

(50.7% was males and 49.3% was females), majority of the respondents were in the range of 51-60 years old (46%), most were outpatients (70%) have marital status (77.3%), had secondary educational attainment (46%), were Protestant (43.3%), employed people (49.3%), with estimated family income of Rp. 1.000.0001 – Rp. 3.000.000/ month, and had parents diagnosed with HPN (39.3%). Table 1 presents the extent of the knowledge of the respondents on essential HPN. It shows the minimum, the maximum score, the mean and standard deviation of total sample population. The minimum score is 6 and the maximum is 29. The mean is 19.52 with a standard deviation of 5.66 The extent of social support received by the respondents from the significant others and physician was measured in a 1 – 5 scale, in which 1 is never, 2 is rarely, 3 is sometimes, 4 is often, and 5 is always. It is being reflected in the table 2 that the grand mean of the respondents’ social support from the significant others is 3.91 with standard deviation of .634. While from the physician, the grand mean of the respondents’ social support is 3.4 and standard deviation of .76.

Table 3 presents the significant differences in the lifestyle practices before and after diagnosis of HPN. The related t test were employed to the variables: smoking, diet, weight control, physical activity, and stress management. As seen in the table, the number of cigarettes smoked by the respondents before and after the diagnosis has t value of 6.44 and p – value of .000. Significant level is less than .05 in 2-tailed, this indicates that there was significant decreasing number of cigarettes smoked after the diagnosis of HPN. Table 3 presents the respondents intake of grain and grain products before and after the diagnosis, has t value of 11.129 and p – value of .000. The significant level falls below .05 in 2-tailed, this shows that the respondents’ intake of grain and grain product had significantly decreased after they were diagnosed. As shown in the table 3, respondents’ intake of vegetable per day before and after diagnosis of HPN has t value of -7.816 and p – value of .000.Significant level is less than .05 (2-tailed), this indicates that the vegetables intake had significantly increased after diagnosis of HPN. Table 3 depicts the respondents intake of fruits per day before and after diagnosis of HPN, which has t value -

Table 2 The Extent of Social Support Received by the Respondents from Significant Others and Physician Items X S D Scaled Descriptive

Page 17: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 17

Responses Interpretation Social Support from Significant Others

3.91 .634 Often High

Social Support from Physician 3.40 .7696 Sometimes

Moderate

10.657 and p – value of .000, which points out that there was significant increasing number of fruits eaten per day in the lifestyle practices after diagnosis of HPN. Table 3 presents the respondents’ intake of low fat or fat free diet per day before and after the diagnosis of HPN which has t value 2.346 and p – value of .020. The significant level falls below .05 in 2-tailed, this indicates that the respondent had significantly decreased the low fat or fat free intake per day after being diagnosed as hypertensive patients. The table presents the respondents’ intake of poultry, and fish per day before and

after diagnosis of HPN which has t value 12.27 and p value of .000. The significant level is less than .05 in 2-tailed, this points out that the intake of meats, poultry, and fish per day had significantly decreased after the diagnosis of HPN. As shown in table 3, the comparison of the fats and oils consumed per day by the respondents before and after the diagnosis of HPN has t value 10.959, p – value of .000. The probability level falls below .05 in 2-tailed indicating that respondents’ fats and oils intake before and after diagnosis of HPN had significantly decreased. Data shows

Table 3 Paired Differences in the Lifestyle Practices Before and After the Diagnosis of HPN Paired Differences Before and After the Diagnosis of HPN

T p-value

Descriptive Interpretation

Pair 1 Number of cigarettes smoked in a day? 6.44 .000 Significant Pair 2 Grain and grains product 11.129 .000 Significant Pair 3 Vegetable intake -7.816 .000 Significant Pair 4 Fruits eaten -

10.657 .000 Significant

Pair 5 Low fat or fat free 2.346 .020 Significant Pair 6 Meats, poultry, and fish 12.217 .000 Significant Pair 7 Fats and oils 10.950 .000 Significant Pair 8 Nuts, seeds, and dry beans -2.360 .020 Significant Pair 9 Sweets 8.700 .000 Significant Pair 10What is your weight? 10.175 .000 Significant Pair 11Physical activity -.691 .491 Not

Significant Pair 12 Stress management 14.816 .000 Significant

Page 18: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 18

that the respondents were aware of the danger of using more fat and oils in their food. Moreover, table 3 shows the respondents’ intake of nuts, seeds, and dry beans per week before and after diagnosis of HPN has t value -2.360, p – value of .020. Since significant level is less than .05 (2-tailed), this indicates that there is significant difference in the weekly consumption of nuts, seeds, and dry beans before and after diagnosis of HPN. The table shows the respondents’ intake of sweets before and after diagnosis of HPN has t value 8700 and p – value of .000. This indicates that the respondents had significantly decreased their weekly consumption of sweets in their lifestyle after diagnosis. The table depicts the respondents’ body weight before and after the diagnosis of HPN which has t value 10.175 and p – value .000. This indicates that the respondents’ body weight had significantly decreased after diagnosis of HPN. The table further presents the respondents’ physical activity before and after diagnosis of HPN which has t value of -.691, with p – value of.491. This indicates that there is no significant difference in the respondents’ physical activity before and after diagnosis of HPN. The table also presents the respondents’ stress management before and after diagnosis of HPN which has t value of 14.816 and p – value of .000. This indicates that there is significant difference in the stress management before and after diagnosis of HPN. The respondents’ stress management had significantly increased after diagnosis of HPN. Discussion The finding shows that the respondents had an average level of knowledge on HPN. This implies that the respondents need improvement in the knowledge of HPN as a disease. Francis (2008) states that lifestyle

disease can be simply defined as any diseases associated with the way a person lives. He said that lifestyle diseases are eminently preventable or at least modifiable by changes in lifestyle in a cost effective way. The result implies that the respondents received a high level of social support from significant others. This is reflected in overall grand mean which reveals that respondents “often” received support from significant others. The finding of current study proves that the respondents received high social support from their significant others that may promote them to achieve better health behavior (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2006). Lindsay (2001) evaluated that social support is increasingly recognized as an important aspect of life that relates to positive health. Lindsay states that social support was considered to be a function of an increased number of social contacts and the quality of those relations, including emotional and confiding support. Anchored in Health Promotion Model (HPM), it explains that health care providers (physician) are also primary sources of interpersonal influence on promoting health behavior or practices (Pender, Murdaugh, & Parsons, 2006). Several studies have searched for a significant correlation between blood pressure reduction and social support, while other studies have demonstrated an empirical relationship between social support and compliance with HPN regimens or regimens in diastolic blood pressure (Jo Anne, 1998). The finding imply that there were significant increase of the respondents who smoked less after diagnosis of the HPN as they considered the danger of cigarette smoking to the blood pressure. Cigarette smoking is one of the most important avoidable causes of cardiovascular diseases worldwide (Teo et at., 2006) and arterial

Page 19: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 19

stiffness may be one of the underlying pathophysiological mechanisms. Smoking cessation is an important lifestyle measure for the prevention of cardiovascular disease, and patients with myocardial infarction may experience as much as a 5% reduction in risk of reinfarction, sudden cardiac death, and total mortality if they quit smoking (Critchley & Capewell, 2003). The finding implies that the respondents were eating less of grain and grain products in their lifestyle practices after diagnosis. A cross-sectional studies found an association between higher whole grain intake and a lower prevalence of HPN (Liu et al,. 1999). The large study of dietary intervention for BP control, the DASH trial, showed that a healthy dietary pattern that emphasized whole grain cereal products substantially lowered BP in subjects with and without HPN (Steffen et al., 2005). The findings of this study implies that the diagnosis of HPN has made the difference among the respondents in the vegetable intake after the diagnosis by consuming more vegetables. Vollmer, Sacks, and Svetkey (2001) found out that fruits, vegetables, low-fat whole grain breads and cereals should make up the majority of caloric intake. An inverse relationship was found between fruits and vegetable consumption and cardiovascular risks. The foods also lower inflammatory markers, CRP, and homocysteine. Anti-inflammatory effects may be due to their antioxidants, vitamins, and flavonoid properties. These foods also provide a variety of nutrients and soluble fiber. Soluble fiber plays a role in reducing LDL cholesterol and CRP levels. The data imply that the respondents were eating more fruits after diagnosis of HPN. Vollmer, Sacks, and Svetkey (2001) found that evidence for the importance of fruit and vegetable intake to health and quality of life with aging is widely recognized. Consuming

fruits and vegetables can reduce an individual’s risk of cardiovascular disease and many cancers. Furthermore, fruits and vegetables are important components of diet for the secondary prevention of diabetes and HPN. The findings imply that the diagnosis of HPN had made a difference in the life of the respondents by consuming less low fat or fat free diet after diagnosis. In twenty-seven studies concluded that alteration of dietary fat intake had small effects on total mortality. Cardiovascular mortality was reduced by 9% and cardiovascular events by 16%, which was attenuated in a sensitivity analysis that excluded a trial using oily fish. These studies concluded that there is a small but potentially important reduction in cardiovascular risk with reduction or modification of dietary fat intake, seen particularly in trials of longer duration (Lee Hooper et al., 2001). The findings show that there was decreasing number of the respondents who were eating meats, poultry, and fish after being diagnosed. Modest consumption of fish (e.g., 1-2 servings/week), especially species higher in the n-3 fatty acids eicosapentaenoic acid (EPA) and docosahexaenoic acid (DHA), reduces risk of coronary death by 36% and total mortality by 17% and may favourable affect other clinical outcomes. In one cohort study in US (2008) found out that high intake of meat, particularly red meat, may contribute to the development of hypertension. This study investigated the association of total red meat, types of red meat and poultry intake at baseline with the incidence of hypertension in a prospective cohort of 28 .766 female US health professional aged ˃45 years. Incident cases of hypertension were identified from annual follow-up questionnaires during 10 years of follow-up. They concluded that red meat intake was positively associated,

Page 20: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 20

whereas poultry intake was unassociated with the risk of hypertension in middle-aged and older women. The findings are consistent with the study of Olendzky, Speed, and Domino (2006) that nonhydrogenated plant oils have been associated with reduced levels of triglycerides, increased levels of high-density lipoprotein (HDL) cholesterol, and improved glycemic control and all of these may reduce the risk of cardiovascular disease. Oils that primarily monounsaturated (e.g., olive oil, canola oil) may be used for cooking and salad dressings, and oils rich in omega-3 fatty acids (e.g., flaxseed oil, walnut oil) work well in cold foods. All of these oils, even the predominantly omega 6 oils (e.g., soybean oil, corn oil) are preferred over saturated fats (e.g., butter, animal fats) and trans-fatty acid (e.g.,partially hydrogenated oils). The findings implied that there was slight increasing number of the respondents who were eating nuts, seeds, and beans intake after diagnosis of HPN. One study of Jacobs, Kushi, and Folsom (1998) found out that nuts and beans are a source of healthy fat. They are palatable and rich in monounsaturated and polyunsaturated fatty acids. Nuts can have a cardioprotective effect by lowering serum cholesterol. The result implies that the diagnosis of HPN had made a difference in the life of the respondents thus they made a change in the diet by eating fewer sweets after being diagnosed of HPN. The health dangers which ingesting sugar on a habitual basis creates are certain. Simple sugars have been observed to hurry heart disease and hasten PHN (http://www.ajcn.org/cgi). Another study found out that sucrose, common table sugar, elevates blood pressure. It is possible that sugar increases the production of adrenaline, which in turn, increases blood vessel constriction and sodium retention.

Data implies that the respondents have tried to make a change in weight reduction after diagnosis of HPN. Being overweight is a major factor for developing high BP. Weight loss can sometimes dramatically improve blood pressure readings. In a study called the Trials of Hypertension Prevention, overweight people who lost and maintained at least 10 pounds saw notable reductions in BP, and fewer of them were ultimately diagnosed with high blood pressure. Aiming for a body mass index (BMI) of fewer than 25 is ideal. The findings implies that the respondents made slight difference in the physical activity after diagnosis of HPN but it was significantly different. Olendzky (2006) and his colleagues state that exercise reduces blood pressure, reduces risk of heart disease, improve blood sugar control, and is important in achieving and maintaining a reasonable weight. The general recommendation is to strive for 30 minutes of exercise per day. The findings imply that the respondents had better stress management after the diagnosis. A study was conducted in elderly patients with systolic HPN, 8 weeks of stress management training or lifestyle modification has resulted in a reduction of systolic BP of more than 9 mmHg, according to the results of a double-blind, randomized controlled trial (Barclay & Murata, 2008). Summary This study concludes that respondents with average level of knowledge about hypertension, received higher social support from the significant others than from physicians’, have better lifestyle practices after diagnosis of HPN in smoking cessation, diet, weight control and stress management but not in physical activity. This study recommends nurse educators to create awareness among nurses to educate and to involve patients in order to make them

Page 21: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 21

aware of the necessity of HPN knowledge. Nurses should work with clients to identify factors that may influence HPN management, recognize potential areas for change, and create a collaborative management plan to assist in reaching client goals. This study recommends the importance of involving the individual, the family, and the government to achieve successful intervention. Health care organizations will promote a collaborative practice model within the interdisciplinary team to enhance HPN care and promote physician and nurse’ role in HPN management. Daftar Pustaka Abarques, R.F & Cabral, E (1998). Most

guidelines focus on BP control. Al-Sowielem, L. S., & Elzubier, A.G.

(1998). Compliance and knowledge of hypertensive patients attending PHC centres in Al-Khobar, Saudi Arabia. Eastern Mediterranean Health Journal, Volume 4, Issue 2, Page 301-307, http://www.emro.who.int/Publications/emhj/0402/13.htm.Retrieved October,2008.

American College of Cardiology/American Heart Association. (2002). Home monitoring of High Blood Pressure. http://americanheart.org/presenter.html. retrieved November, 2008.

American Journal of Clinical Nutrition. (2005). Nov 21, 82:972-979

Angeli F., Verdechia, P., Reboldi G.P., Gattobigio, R., Bentivoglio., M., Staessen, I. A., Porcellati, C. (2004) Calcium Channel Blockade to Prevent Stroke in Hypertension: a metaanalysis of 13 studies. Am J Hypertens. 17:817-22

Appel, L. (1997). Hypertension and Exercise. New England Journal of

Medicine 336:1117-24, http://hypertension.medicweb.org/lifestyle/exercise,php. Retrieved November, 2008.

Article on Diet and High Blood Pressure, http://www.medindia.com/patients/patientinfo/diet-high-blood-pressure-wholegrain.htm. retrieved October, 2008

Barclay, L., & Murata, P. (2008). Stress Management, Lifestyle Modificatioin Help Control Systolic BP in Elderly Patients. J Altern Complement Med. 14:129-138.

Bethesda. (2004). Obesity and Hypertension: Two Epidemics Or One? ScienceDailyNews. June 11, 2004

Biehn, J., Steward, M., Molineux, J. (1984, May). Patients’ Knowledge of Hyperension, CAN, FAM. PHYSICIAN Vol. 30: http://www.pubmedcentral.nih.gov/ retrieved July, 2008.

Boss, P. (2001) Family Stress Management: A Contextual Approach

Burke, L. E., Dunbar-Jacob, J. M., & Hill, M. N. (1997). Compliance with cardiovascular disease prevention strategies: A review of the research. Springer New York Volume 19, No 3.

Burns, N., & Grove, S. K. (2001). The Practice of Nursing Research: Conduct, Critique, & Utilization. 4th edition. W. B. Saunders Company. Pennsylvania.

Critchley, J., & Capewell, S. (2003). Smoking cessation for the secondary prevention of coronary heart disease. Cochrane Database of Systematic Review, Issue 4.

Daunbauchi, S. (2007). What is Hypertension, articles. Retrieved July, 2008.

Page 22: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 22

Deccache, A. & Aujoulat, I. (2001). A European perspective: common developments, differences and challenges in patient education. Pat Educ Counsel, 44:7-14.

Frances, S., & Eleanor, W. (2003). Nutrition, Concepts, and Controversies, 9th edition, Fr Thomson Asian Edition, Singapore.

Francis, J. (2008). Lifestyle Disease in Developing World. Calicut Medical Journal, 6 (3): el.

Frazer, N. L., Larkin, K. T & Goodie, J. L. (2002) Do Behavioral, Responses Mediate or Moderate the Relation Between Cardiovascular Reactivity to Stress and Parental History of Hypertenion, “West Virginia University: Health Psychology, Vol 21, No 3.

Gaziano, M. (2007). Whole-Grain Breakfast Cereal Associated with Reduced Heart Failure Risk. Mar 7. Cardiology News.

Honda, K., A. (2005). Psychosocial correlates of smoking cessation among elderly ever-smokers in the United States. Addictive Behaviors, Volume 30, Issue 2, Pages 375-381. Elsevier. Ltd.

Jacobs, D. R., Jr, Meyer, K. A., Kushi, L. H., & Folsom, A. R. (1998). Stress, Mental Health & Suicide: Employment Status. Study 1-3. Am J Clin Nutr, 68:248-57.

Joint National Committee (1997). The sixth report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure. Arch Intern Med. 157: 2413-46

Journal of Human Hypertension (2007) 21, 5-7. Published online October 26, 2006, retrieved Oct 16, 2008.

Kamso. S., Rumawas, J.S., Widjaja, K. J., Lukito (2007). Determinants of Blood Pressure among Indonesian elderly individuals who are of normal and

overweight: a cross sectional study in an urban population. Asia Pac J Clin Nutr. 16 (3):546-53

Lee, H., Summerbell, C.D., Higgins, J.P., Thompson, R. L., Capps, N. E., Davey Smith, J., Riemersma, R. A., Ebrahim, S. (2001). Dietary fat intake and prevention of cardiovascular disease: systematic review. BMJ, 322:757-763

Lauer, P. (2006). An Education Research Primer. San Francisco, McRel California.

Lindsay, G. M., Smith, L. N., Hanlon, P., Wheatley, D. J. (2001). The Influence of general health status and social support on symptomatic outcome following coronary artery bypass grafting. Heart. 85:80-86

Lopez, N., Zanini, A, C., Casella-Filho, A., Chagas, A. P. (2008). Metabolic syndrome patient compliance with drug treatment. Clinics vol 63 no 5. Sao Paulo.

Mancia G, De Backer G. Dominiczak A, Cifkova R, Fagard R, Germano G, et al. (2007) Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. The Task Force for the Management of Arterial Hyperension of the European Society of Hypertension (ESH) and of the European Society of Cardiology (ESC). J Hypertens. 25:1105-87.

Muhlhauser, L., et al. (1993) Evaluation of a structured treatment and teaching program on hypertension in general practice. Clin Exper Hypertens, 15: 125-142.

National Heart Foundation of Australia. Guide to management of hypertension 2008. Assesing and managing raised blood pressure in adults. NHF. (2008). http://www. Heartfoundation.org.au/Professional_Information/Clinical_Practice/Hypertension.htm, Retrieved Nov, 2008.

Page 23: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 23

Olendzki, B., Speed, C., Domino, F. (2006). Nutritional Assessment and Counseling for Prevention and Treatment of Cardiovascular Disease. Journal of the American Academy of Family Physicians.

Pender, N.J., Murdaugh, C. L. & Parsons, M. A. (2006) Health Promotion in Nursing Practice, 5th edition, Pearson Prentice-Hall.

Sharma, U. C. & Pokharel, S (2007). Ionotropic Stress & Integrin. Hypertension Journal of the American Heart Association. http://hyper.aha journal.org. available at October, 2008

Stephen, L. M., Jacobs, D. R. Jr, Stevens, J., Shahar, E., Carithers, T., Folsom, A. R. (2003). Association of whole-grain, refined-grain, and fruit and vegetable consumption with risks of all-cause mortality and incident coronary artery disease and ischemic stroke: the

Atherosclerosis Risk in Communities (ARIC) Study. Am J Clin Nutr, 78: 383-90.

Volllmer, W. M. Sacks, F. M. Svetkey, L. P. (2001). New insights into the effects on blood pressure of diets low in salt and high in fruits and vegetables and low-fat dairy products. Currrent Controlled Trials in Cardiovascular Medicine, 2:71-74.

HUBUNGAN KEPEMIMPINAN DAN KOMUNIKASI TERHADAP KINERJA

PERAWAT PELAKSANA MENURUT PERSEPSI PERAWAT DI RUMAH SAKIT PERTAMINA PANGKALAN BRANDAN

TAHUN 2014

Nurhikmah Panjaitan Email: nurhikmah_panjaitan @ yahoo.com

ABSTRACT: Applied leadership in an organization can help create a positive work effectiveness for employees. In addition to leadership, internal communication also has a very important role in creating a positive work effectiveness. The purpose of this study was to determine the relationship of leadership and communication on the performance of head room nurses at Pertamedika Hospital Pangkalan Brandan 2014. Research type is descriptive cross sectional correlation. The number of sample as many as 36 people. The results of chi-square analysis between leadership variables with performance room nurses obtained p = 0.012 and variable head room communication with nurses performance obtained value of p = 0.002. p value < 0.005 so that there is a relationship between leadership and communication with performance head room nurses at Pertamina Hospital Pangkalan Brandan. It is expected that the

Page 24: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 24

management of public hospitals improve the function of leadership as a treatment room nurses effort to improve performance Keywords : Performance

ABSTRAK

Kepemimpinan yang diterapkan dalam suatu organisasi dapat membantu menciptakan efektivitas kerja yang positif bagi pegawai. Selain kepemimpinan, komunikasi intern juga mempunyai peranan yang sangat penting dalam mewujudkan efektivitas kerja yang positif. Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan kepemimpinan dan komunikasi kepala ruangan terhadap kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamedika Pangkalan Brandan Tahun 2014. Jenis penelitian ini ialah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional. Jumlah sampel penelitian sebanyak 36 orang. Hasil analisis chi square antara variabel kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana diperoleh nilai p = 0,012 dan variabel komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana diperoleh nilai p = 0,002. Nilai p < 0,005 sehingga terdapat hubungan antara kepemimpinan dan komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. Diharapkan pihak manajemen rumah sakit meningkatkan fungsi kepemimpinan kepala ruang perawatan sebagai upaya meningkatkan kinerja perawat pelaksana Kata Kunci : Kinerja PENDAHULUAN Latar belakang Salah satu masalah yang ada dalam manajemen sumber daya manusia di rumah sakit adalah masalah kinerja karyawan. Kinerja karyawan dianggap penting bagi organisasi karena keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja itu sendiri. Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melakukan tugas sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Harahap, 2012). Faktor kepemimpinan dalam organisasi memegang peranan penting, karena bawahan bekerja tergantung

dari kemampuan pimpinannya. Pemimpin yang efektif akan mampu menularkan optimisme dan pengetahuan yang dimilikinya dalam mencapai tujuan organisasi. Menurut Robbins (2006) kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya suatu tujuan. Tujuan Penelitian Menganalisis hubungan kepemimpinan dan komunikasi kepala ruangan terhadap kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

Page 25: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 25

Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui bagaimana

kepemimpinan kepala ruangan di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

b. Untuk mengetahui bagaimana komunikasi kepala ruangan di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

c. Untuk mengetahui bagaimana kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

d. Untuk mengetahui bagaimana hubungan kepemimpinan terhadap kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

e. Untuk mengetahui bagaimana hubungan komunikasi kepterhadap kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan Tahun 2014.

Manfaat Penelitian

Bagi Penelitian Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penelitian selanjutnya.

Bagi Rumah Sakit Diharapkan penelitian ini dapat menjai masukan bagi kepala ruangan dalam memimpin dan berkomunikasi kepada perawat di rumah sakit.

Bagi Institusi Pendidikan Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dan memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberi informasi mengenai pengaruh kepribadian dengan perilaku caring seorang perawat. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif korelasional. Rancangan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan kepemimpinan dan komunikasi terhadap kinerja perawat pelaksana yang dilihat dari evaluasi tindakan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian yang akan diteliti (Notoatmojo, 1993 dalam Setiadi, 2007). Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh perawat pelaksana di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan yang berjumlah 36 orang. Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul, 2003). Dalam penelitian ini teknik sampel yang digunakan adalah total sampling, artinya seluruh populasi dijadikan sampel penelitian yakni sebanyak 36 orang. Validitas intrumen adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau keshahihan suatu instrumen (Arikunto, 2006). Suatu instrumen dikatakan valid jika mampu mengukur apa yang diinginkan dengan mengungkap variabel yang diteliti secara tepat. Uji validitas digunakan untuk mengetahui apakah alat ukur yang digunakan benar-benar mengukur apa yang di ukur (Notoatmodjo, 2002). Kuisioner divalidasi dengan menggunakan validitas isi (content validity) yaitu instrumen dibuat berdasarkan isi dan menjelaskan isi. Kemudian pengujian validitas isi dilakukan dengan memberikan konsep yang digunakan kepada seorang yang ahli dibidangnya (Arikunto, 2003). Ahli yang diminta untuk melakukan uji validitas adalah dosen keperawatan yang ahli dalam bidang manajemen keperawatan. Proses validasi dilakukan dengan memberikan keterangan mengenai tujuan penelitian dan selanjutnya ahli dari uji validitas akan menelaah lebih lanjut isi proposal dan kuesioner. Pada beberapa item

Page 26: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 26

pernyataan dilakukan perubahan sebelum instrumen ini dikatakan valid. Reliabilitas Instrumen Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap variabel yang sama dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmodjo, 2002). Instrumen yang reliabel akan dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya atau benar sesuai kenyataannya (Polit & Hungler, 1999). Uji reliabilitas ini dilakukan dengan menggunakan bantuan komputerisasi untuk analisa cronbach alpha. Polit & Hunger (1999) menjelaskan bahwa suatu instrumen dikatakan reliabel jika memiliki nilai reliabilitas lebih dari 0.70. Uji reliabilitas instrumen dilakukan pada bulan Maret Tahun 2014 di Rumah Sakit Umum Insani Stabat. Uji coba dilakukan terhadap 30 orang perawat pelaksana di rumah sakit tersebut. Kuesioner kepemimpinan diperoleh hasil 0.922, kuesioner komunikasi diperoleh hasil 0,767 dan kuesioner kinerja perawat pelaksana diperoleh hasil 0,793, artinya semua hasil reliabel kuesioner > 0.70 sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen ketiga instrumen telah reliabel. HASIL Berdasarkan Tabel 4.1. diatas, dapat dilihat bahwa kategori kepemimpinan kepala ruangan mayoritas dengan kategori baik yakni sebanyak 34 responden (94,4%) dan minoritas dengan kategori kurang dengan jumlah responden 2 orang (5,6%). Berdasarkan Tabel 4.2. diatas, dapat dilihat bahwa kategori komunikasi kepala ruangan mayoritas baik yakni sebanyak 29 responden (80,6%) dan minoritas kurang yakni sebanyak 7 responden (19,4%). Berdasarkan Tabel 4.3. diatas, dapat dilihat bahwa kategori kinerja perawat pelaksana

mayoritas baik yakni sebanyak 27 responden (75%) dan minoritas kurang yakni sebanyak 9 responden (25%). Pada analisa bivariat menggunakan uji Chi Square untuk melihat hubungan dan tingkat masing-masing variabel yaitu variabel bebas dianalisis dengan variabel terikat. Hasil analisis antara variabel kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,012) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. Hasil analisis antara variabel komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p<0,05 (p = 0,002) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara komunikasi dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. PEMBAHASAN Kinerja Perawat Pelaksana Berdasarkan Tabel 4.3. pada Bab IV diatas, dapat dilihat bahwa kategori kinerja perawat pelaksana mayoritas baik yakni sebanyak 27 responden (75%) dan minoritas kurang yakni sebanyak 9 responden (25%).

a. Pengkajian Kinerja perawat pelaksana pada aspek pengkajian secara umum diatas 50% yakni mencapai nilai 61,1% dinilai dari item nomor 1 dan 2 dari kuesioner pengukuran kinerja perawat pelaksana. Pengkajian data pasien serta penyakit yang dideritanya merupakan tahap awal yang menjadi acuan bagi proses asuhan keperawatan pada tahap berikutnya. Apabila pada tahap pengkajian tidak

Page 27: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 27

dilakukan dengan baik maka akan berdampak kepada kurang akuratnya tahap diagnosis sampai kepada pelaksanaan tindakan keperawatan.

b. Diagnosa Pelaksanaan asuhan keperawatan tahap diagnosis, ditemukan merupakan yang paling tinggi dari semua aspek asuhan keperawatan yakni mencapai 69,45% perawat pelaksana. Hal ini menunjukkan kegiatan diagnosis yang dilakukan perawat pelaksana di RSU Pertamina Pangkalan Brandan telah mendukung pelaksanaan asuhan keperawatan secara keseluruhan. Keberhasilan suatu asuhan keperawatan kepada pasien sangat ditentukan oleh pemilihan metode pemberian asuhan keperawatan profesional. Dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan keperawatan dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang keperawatan, maka metode sistem pemberian asuhan keperawatan harus efektif dan efisien (Nurachmad, 2001). Berdasarkan orientasi tugas dari filosofi keperawatan perawat melaksanakan tugas (tindakan) tertentu berdasarkan jadwal kegiatan yang ada, salah satunya adalah metode fungsional dilaksanakan oleh perawat dalam pengelolaan asuhan keperawatan sebagai pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Pada saat itu, karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat maka setiap perawat hanya melakukan 1-2 jenis intervensi keperawatan kepada semua pasien di ruang perawatan (Yulia, 2006).

c. Perencanaan Perencanaan tindakan keperawatan ditemukan dilakukan 5,6% perawat pelaksana. Rendahnya kegiatan perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan perawat pelaksana di RSU Pertamina Pangkalan Brandan berdampak kepada

kualitas asuhan keperawatan yang dilakukan kepada pasien. Konsep perencanaan tindakan keperawatan yang dilakukan kepada pasien mencakup kebutuhan pasien secara menyeluruh, dan dasar menyusun rencana tindakan keperawatan tersebut adalah data yang telah dikumpulkan pada tahap asuhan keperawatan sebelumnya yaitu pengkajian dan diagnosis. Oleh karena itu kesesuaian data pasien antar shift kerja perawat perlu dikomunikasikan sehingga dapat dirumuskan suatu rencana tindakan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien serta menghindari terjadinya kesalahan menetapkan tindakan keperawatan (Yulia, 2006). Komunikasi secara profesional sesuai dengan lingkup tanggung jawab merupakan dasar pertimbangan penentuan model. Model asuhan keperawatan diharapkan akan dapat meningkatkan hubungan interpersonal yang baik antara perawat dengan perawat lain maupun dengan tenaga kesehatan lainnya.

d. Pelaksanaan Tindakan Keperawatan

Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan perawat pelaksana dinyatakan 28,7% responden perawat. Pada model asuhan keperawatan fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas dan prosedur keperawatan. Setiap perawat diberikan satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada semua pasien yang dirawat di suatu ruangan. Seorang perawat mungkin bertanggung jawab dalam pemberian obat, mengganti balutan, monitor infus dan sebagainya. Prioritas utama yang dikerjakan adalah pemenuhan kebutuhan fisik sesuai dengan kebutuhan pasien dan kurang menekankan kepada pemenuhan kebutuhan pasien secara holistik, sehingga dalam penerapannya kualitas asuhan keperawatan sering terabaikan, karena pemberian asuhan yang terfragmentasi.

Page 28: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 28

Komunikasi antara perawat sangat terbatas, sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan. Hal ini sering menyebabkan klien kurang puas dengan pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan, karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang ditanyakan, dan kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat. Dalam model fungsional koordinasi antar perawat sangat kurang sehingga seringkali pasien harus mengulang berbagai pertanyaan atau permintaan kepada semua petugas yang datang kepadanya dan kepala ruanganlah yang memikirkan setiap kebutuhan pasien secara komprehensif. Informasi yang disampaikan bersifat verbal, yang seringkali terlupakan karena tidak didokumentasikan dan tidak diketahui oleh staf lain yang memberikan asuhan keperawatan (Nurachmad, 2001).

e. Evaluasi Dari kelima aspek dalam asuhan keperawatan, ditemukan persentase terendah pada kategori selalu melakukan evaluasi yakni sebesar 0%, kategori sering 97,2% dan kategori kadang-kadang sebesar 2,8% yang melakukan evaluasi tindakan keperawatan, yaitu mengevaluasi kemampuan seluruh pasien setelah diberi tindakan keperawatan kepada pasien dan mengevaluasi kemampuan keluarga pasien tentang merawat pasien. Sesuai dengan konsep dan fungsi evaluasi dalam teori manajemen adalah untuk mengukur kesesuaian pelaksanaan kegiatan keperawatan dengan pedoman asuhan keperawatan yang berlaku di rumah sakit serta untuk mengetahui kendala atau hambatan yang dihadapi perawat pelaksana dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Kurangnya pelaksanaan kegiatan evaluasi berdampak kepada kurang berkembangnya pelayanan keperawatan di RSU Pertamina

Pangkalan Brandan. Keseluruhan asuhan keperawatan di RSU Pertamina Pangkalan Brandan Brandan. Keseluruhan asuhan keperawatan di RSU Pertamina Pangkalan Brandan sebagai indikator kinerja perawat pelaksana belum terlaksana secara optimal. Hubungan Kepemimpinan terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Menurut Persepsi Perawat di Rumah Sakit Umum Pertamina Pangkalan Brandan Hasil analisis antara variabel kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,012) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara kepemimpinan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. Indikator kepemimpinan yang digunakan dalam penelitian ini yang mengadopsi pendapat Gillies (1994) lebih mengarah sebagai bentuk aplikatif kepemimpinan dalam pelayanan keperawatan. Jika dikaji secara teoritis maka kepemimpinan yang dimaksud dalam penelitian ini lebih relevan dengan teori fungsi kepemimpinan sebagaimana disebutkan dalam teori kepemimpinan kontingensi yang dalam perkembangannya dikenal “teori kepemimpinan situasional”. Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers (Thoha, 2006), menyatakan bahwa efektifitas kepemimpinan seseorang adalah tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan situasi. Fungsi kepemimpinan sebagaimana dinyatakan dalam kepemimpinan kontingensi meliputi: (a) pimpinan sebagai penentu arah, (b) pimpinan sebagai wakil dan juru bicara organisasi, (c) pemimpin sebagai komunikator yang efektif dan (d) pemimpin sebagai mediator. Keterkaitan antara indikator kepemimpinan dalam penelitian ini

Page 29: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 29

berdasarkan pendapat Gillies (1994) dengan fungsi kepemimpinan kontigensi menjadi bahan pembahasan dengan melihat relevansi antara kedua aspek tersebut.

a. Kepiawaian Menggunakan Posisi Kepiawaian menggunakan posisi sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan sebagai penentu arah dalam teori kepemimpinan kontigensi (Thoha, 2006). Telah umum dari fungsi kepemimpinan tersebut diketahui bahwa setiap organisai diciptakan atau dibentuk sebagai wahana untuk mecapai sesuatu tujuan tertentu. Kenyataan yang selalu dihadapi oleh organisasi ialah bahwa sarana dan prasarana yang tersedia mungkin terbatas sedangkan tujuan yang hendak dicapai adalah sifatnya yang tidak terbatas. Pada gilirannya situasi kelangkaan yang selalu dihadapi organisasi menuntut agar seluruh komponen dan jajaran suatu organisasi bekerja optimal sehingga dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan tidak terjadi pemborosan karena akan membuat jalannya organisasi tidak efektif.

b. Kemampuan Memecahkan Masalah secara Efektif

Kemampuan memecahkan masalah secara efektif sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan sebagai wakil dan juru bicara organisasi dalam teori kepemimpinan kontigensi (Thoha, 2006). Dalam fungsi kepemimpinan ini dijelaskan bahwa setiap organisasi dalam usaha pencapaian tujuan harus: menyatukan persepsi yang tepat tentang organisasi tersebut, adanya pemahaman bebagai kebijaksanaan yang ditempuh oleh organisasi dalam rangka pencapaian tujuannya serta mencegah timbulnya salah pengertian tentang arah yang ditempuh oleh organisasi.

c. Ketegasan Sikap dan Komitmen dalam Pengambilan Keputusan

Tugas-tugas pimpinan yang terkait dengan sikap dalam mengambil keputusan adalah sebagai pengambil keputusan itu sendiri, sebagai pemikul tanggung jawab dengan mengerahkan sumber daya untuk mencapai tujuan sebagai pemikir konseptual. Dengan demikian kepala ruangan harus memiliki sebagai pemikir konseptual dan bertanggung jawab sehingga dapat memutuskan segala sesuatu untuk peningkatan asuhan keperawatan. Hal tersebut hanya dapat dilakukan oleh kepala ruangan yang memiliki pengalaman dan pengetahuan yang memadai dengan kriteria asertif, self direction, kemampuan mengambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klinis, akuntabel, serta mampu berkolaborasi dengan berbagai displin ilmu. Sesuai dengan pendapat Thoha (2006) yang menyatakan bahwa ketegasan sikap dan komitmen dalam pengambilan keputusan sebagai perilaku kepemimpinan kepala ruang perawatan relevan dengan fungsi kepemimpinan selaku penentu arah yang akan ditempuh dalam usaha pencapaian tujuan. Pemimpin yang membuat keputusan dengan memperhatikan situasi sosial kelompok organisasinya, akan dirasakan sebagai keputusan bersama yang menjadi tanggung jawab bersama pula dalam melaksanakannya. Dengan demikian akan terbuka peluang bagi pemimpin untuk mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan sejalan dengan situasi sosial yang dikembangkannya.

d. Kemampuan Menjadi Media dalam Penyelesaian Konflik Kinerja

Secara teoritis konflik didefinisikan sebagai suatu perselisihan atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan, pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang yang terancam. Terdapat sembilan faktor umum yang berkaitan dengan semua kemungkinan penyebab konflik, yaitu: spesialisasi, (sebuah

Page 30: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 30

kelompok yang bertanggung jawab untuk suatu tugas tertentu), peran yang bertugas banyak (manajer, seorang pemberi asuhan yang trampil, seorang ahli dalam hubungan antar manusia, seorang negosiator, penasihat dan sebagainya), interdependensi peran (Peran perawat pelaksana dalam praktek pribadi tidak akan serumit seperti peran perawat dalam tim kesehatan yang multidisiplin), kekaburan tugas (diakibatkan oleh peran yang mendua), perbedaan (sekelompok orang dapat mengisi peran yang sama tetapi perilaku sikap, emosi, dan kognitif orang - orang ini terhadap peran mereka bisa berbeda), kekurangan sumber daya (persaingan ekonomi, pasien, jabatan, adalah sumber absolut dari konflik antar pribadi dan antar kelompok), perubahan, imbalan, dan masalah komunikasi. Cara-cara penanganan konflik ada beberapa macam, meliputi: bersaing, berkolaborasi, menghindar, mengakomodasi dan berkompromi, dengan uraian sebagai berikut : Yulia (2006)

1. Mengatasi konflik dengan bersaing adalah penanganan konflik dimana seseorang atau satu kelompok berupaya memuaskan kepentingannya sendiri tanpa mempedulikan dampaknya pada orang lain atau kelompok lain. Cara ini kurang sehat bila diterapkan karena bisa menimbulkan potensi konflik yang lebih besar terutama pada pihak yang merasa dikalahkan. Untuk itu organisasi sebaiknya menghindari metode penyelesaian konflik jenis ini.

2. Berkolaborasi adalah upaya yang ditempuh untuk memuaskan kedua belah pihak yang sedang berkonflik. Cara ini adalah salah satu bentuk kerjasama. Berbagai pihak yang terlibat konflik didorong menyelesaikan masalah yang mereka

hadapi dengan jalan mencari dan menemukan persamaan kepentingan dan bukan perbedaan. Situasi yang diinginkan adalah tidak ada satu pihakpun yang dirugikan. Istilah lain cara penyelesaian konflik ini disebut juga win-win solution.

3. Menghindar adalah cara menyelesaikan konflik dimana pihak yang sedang berkonflik mengakui adanya konflik dalam interaksinya dengan orang lain tetapi menarik diri atau menekan konflik tersebut (seakan-akan tidak ada konflik atau masalah). Cara ini tidak dianjurkan dalam upaya penyelesaian konflik karena masalah mendasar tidak diselesaikan, penyelasaian yang terjadi adalah penyelesaian semu. Untuk itu tidak dianjurkan organisasi untuk menggunakan metode ini.

4. Akomodasi adalah upaya menyelesaikan konflik dengan cara salah satu pihak yang berkonflik menempatkan kepentingan pihak lain yang berkonflik dengan dirinya lebih tinggi. Salah satu pihak yang berkonflik mengalah kepada pihak yang lain. Ini suatu upaya lose – win solution. Upaya penyelesaian konflik dengan akomodasi sebaiknya juga tidak digunakan terlalu sering karena kepuasan tidak terjadi secara penuh dan bisa menimbulkan potensi konflik di masa mendatang.

5. Kompromi adalah cara penyelesaian konflik di mana semua pihak yang berkonflik mengorbankan kepentingannya demi terjalinnya keharmonisan hubungan dua belah pihak tersebut. Dalam upaya ini tidak ada salah satu pihak yang menang atau kalah. Ini adalah lose-lose solution di mana masing-masing pihak akan mengorbankan

Page 31: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 31

kepentingannya agar hubungan yang dijalin tetap harmonis.

e. Keterampilan dalam Komunikasi dan Advokasi

Kelemahaan kepala ruangan dalam komunikasi dan advokasi merupakan hambatan yang sangat besar dalam pelayanan keperawatan, karena hubungan antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana dalam setiap kegiatan di rumah sakit tidak dapat lepas dari proses komunikasi. Sebagai kepala ruangan juga berperan sebagai penghubung interpersonal, yaitu merupakan simbul suatu kelompok dalam melakukan tugas secara hukum dan sosial, mempunyai tanggung jawab dan memotivasi, mengatur tenaga dan mengadakan pengembangan serta merupakan penghubung jaringan kerja di luar kelompok atau tim keperawatan. Sebagai pemberi informasi, yaitu memonitor informasi yang ada di lingkungan unit kerjanya, menyebarluaskan informasi dari pimpinan rumah sakit kepada perawat pelaksana dan mewakili kelompok (unit kerjanya) sebagai pembicara kepada manajemen RSU Pertamina. Ketrampilan berkomunikasi juga diperlukan ketika pemimpin perawat melakukan lobi ke berbagai pihak terutama penentu kebijakan yang berhubungan dengan profesi keperawatan. Komunikasi yang dilakukan seyogyanya tidak menimbulkan ancaman atau ketidak nyamanan pihak yang sedang dilobi, sehingga kegiatan negosiasi dapat dilakukan tanpa disadari dan berpotensi menghasilkan sesuatu yang positif. 5.3. Pengaruh Komunikasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana Menurut Persepsi Perawat di Rumah Sakit Umum Pertamina Pangkalan Brandan Berdasarkan Tabel 4.2. diatas, dapat dilihat bahwa kategori komunikasi kepala ruangan mayoritas baik yakni sebanyak 29 responden

(80,6%) dan minoritas kurang yakni sebanyak 7 responden (19,4%). Belum optimalnya fungsi komunikasi dalam pelaksanaan asuhan keperawatan di RSU Pertamina Pangkalan Brandan diakibatkan kurangnya keterbukaan dan rasa empati kepala ruangan kepada perawat pelaksana serta dalam proses komunikasi belum ditunjukkan kepala ruangan sikap mendukung dan sikap sportif tentang materi yang dikomunikasikan serta kepala ruangan tidak merasa ada kesetaraan dengan perawat pelaksana. Hasil analisis antara variabel komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana menurut persepsi perawat mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p<0,05 (p = 0,002) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara komunikasi dengan kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. Sesuai dengan penelitian Salfiya (2011) menemukan bahwa keterbukaan, empati, perilaku suportif, perilaku positif, kesetaraan merupakan faktor penunjang efektivitas komunikasi antarpribadi perawat dalam menyampaikan pesannya kepada pasien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Jawa Barat. Karena dengan faktor-faktor tersebut sebuah pesan yang disampaikan perawat kepada para pasien bisa diterima dengan baik oleh para pasien sehingga semua itu bisa berdampak pada kegiatan keperawatan yang nantinya akan berpengaruh pada perkembangan kesehatan kejiawaan para pasien kearah yang lebih baik. Salah satu diantara keterampilan kepemimpinan adalah human relation, disamping dua keterampilan lainnya, yaitu conceptual skills, dan technical skills. Keterampilan human relation, ialah suatu keterampilan yang didalamnya meliputi berbagai penguasaan dan kemampuan, diantaranya “kemampuan berkomunikasi

Page 32: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 32

secara jelas dan efektif”. Dengan demikian kemampuan berkomunikasi merupakan bagian dari keterampilan “human relation” sebagai bagian dari kualitas atau persyaratan utama yang mutlak diperlukan oleh seorang pemimpin, disamping keterampilan-keterampilan yang lain.

a. Keterbukaan (Openness) Proses komunikasi antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana harus didukung dengan adanya kesediaan untuk membuka diri, mengungkap informasi yang biasanya disembunyikan asalkan pengungkapan diri tersebut dilakukan secara pantas. Komunikasi antara perawat sangat terbatas, sehingga tidak ada satu perawat yang mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali kepala ruangan. Hal ini sering menyebabkan klien kurang puas dengan pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan, karena seringkali pasien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang hal-hal yang ditanyakan, dan kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat. Salah satu ciri dalam Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) adalah penerapan komunikasi yang efektif. Beberapa bentuk komunikasi dalam MPKP adalah : (a) Operan, yaitu komunikasi dan serah terima antara shift pagi, sore dan malam. Operan dari dinas malam ke dinas pagi dan dari dinas pagi ke dinas sore dipimpin oleh kepala ruangan, sedangkan operan dari dinas sore ke dinas malam dipimpin oleh penanggung jawab shift sore, (b) Pre Conference yaitu komunikasi kepala ruang perawatan (ketua tim) dan perawat pelaksana setelah selesai operan untuk rencana kegiatan pada hari tersebut yang dipimpin oleh ketua tim atau penanggung jawab tim. Jika yang dinas pada tim tersebut hanya satu orang, maka pre conference ditiadakan. Isi pre conference adalah rencana tiap perawat (rencana harian), dan tambahan

rencana lainnya, (c) Post Conference yaitu komunikasi kepala ruang perawatan dan perawat pelaksana tentang hasil kegiatan sepanjang shift dan sebelum operan kepada shift berikut. Isi post conference adalah hasil asuhan keperawatan tiap perawat dan hal penting untuk operan (tindak lanjut).

b. Empati (Empathy) Fungsi empati dalam komunikasi antara kepala ruangan dengan perawat pelaksana sesuai dengan konsep komunikasi interpersonal yang efektif merupakan suatu kemampuan merasakan orang lain, artinya sejauhmana kepala ruangan merasakan apa yang dirasakan oleh perawat pelaksana. Jika kepala ruangan mampu berempati kepada perawat pelaksana maka perawat pelaksana tersebut akan berada dalam posisi yang lebih baik serta dapat mendorong dirinya melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik.

c. Sikap Mendukung (Supportiveness) Komunikasi supportif mengandung landasan orientasi pada masalah, diberikan secara verbal dan non-verbal yang sinkron, menekankan pada pembenaran sehingga orang yang sedang berkomunikasi merasa nyaman karena berarti telah memberi pengakuan akan kehadiran, keunikan dan arti penting dari orang lain yang diajak berkomunikasi. Komunikasi suportif juga bersifat spesifik, terkait logis dengan informasi sebelumnya, dan diakui secara nyata, serta mengandung sikap mau mendengar dan memberi informasi. Pimpinan yang sadar bahwa pengembangan potensi orang lain terletak sebagian besar pada dirinya sebagai pemimpin, maka pimpinan juga harus bersedia untuk memberi umpan balik dan dorongan positif. Salah satu tugas dasar seorang pemimpin adalah memberi umpan balik tentang kinerja dan perilaku yang diperlihatkan bawahan. Umpan balik baik yang positif maupun negatif harus diberikan dengan tepat, sesuai

Page 33: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 33

tempat, dan waktu sehingga dapat membantu bawahan untuk tumbuh dan berkembang serta menjadi kekuatan untuk memotivasinya dalam berkinerja dan berperilaku lebih baik. Umpan balik yang diberikan sebaiknya pada akhir peristiwa, bersifat spesifik, memberi kesempatan pada bawahan untuk menjelaskan, dan berfokus pada perilaku bukan personal bawahan.

d. Sikap Positif (Positiveness) Sesuai penelitian Muhajir, dkk (2007) tentang komunikasi antar shift di instalasi rawat inap RSUD dr. H. M. Rabain Kabupaten Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan, menemukan bahwa strategi komunikasi yang konsisten adalah untuk meningkatkan efektifitas, efisiensi, akses data, dan deteksi kesalahan. Jenis komunikasi yang dominan adalah bentuk tertulis. Media komunikasi yang langsung dimanfaatkan dalam transfer informasi adalah media yang berhubungan dengan pasien. Media tersebut adalah tatap muka, status pasien, buku laporan, dan buku injeksi. Transfer informasi dominan tidak lengkap perpasien.

e. Kesetaraan (Equality) Perilaku lain yang dapat memperlihatkan integritas dan kredibilitas pemimpin adalah kemampuan berkomunikasi. Seorang pemimpin akan memilih kalimat, mengucapkan kata-kata dan bahasa tubuh yang dapat memberikan pengaruh pada orang lain. Selain itu, materi komunikasi yang disampaikan dapat memberi inspirasi pada bawahan atau orang lain. Bahasa yang digunakan oleh seorang pemimpin yang memahami bahwa teknik komunikasi dapat memperlancar pencapaian tujuan merupakan kekuatan internal diri yang memberikan pengaruh mendalam agar bawahan terlarut dalam pemikiran yang diharapkan pemimpin.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis antara variabel kepemimpinan kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,012) dan hasil analisis antara variabel komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,002) sehingga terdapat hubungan antara kepemimpinan dan komunikasi kepala ruangan dengan kinerja perawat pelaksana di Rumah Sakit Pertamina Pangkalan Brandan. Saran

1. Bagi Rumah Sakit Manajemen rumah sakit hendaknya meningkatkan fungsi kepemimpinan kepala ruang perawatan sebagai upaya meningkatkan kinerja perawat pelaksana melalui sistem penjenjangan yang terarah untuk jabatan kepala ruang perawatan dan memberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan mengenai kepemimpinan dan komunikasi.

2. Bagi Kepala Ruangan Setiap kepala ruang perawatan perlu melakukan komunikasi yang efektif dengan perawat pelaksana, khususnya bersikap objektif dalam berkomunikasi dengan perawat pelaksana. DAFTAR PUSTAKA Bass, B.M dan Avolio. (1990). The

Implications of Transaksional and Transformational, Team and Organization Development

Brich, P. (2001). Latihan Praktis, Efektif, Motivasi, Instant Leadership. Erlangga, Jakarta.

Page 34: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 34

Cangara, H. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Davis, K. (2004). Fundamental Organization Behavior. Diterjemahkan Agus Dharma Penerbit Erlangga, Jakarta.

Depkes RI. (2001). Petunjuk Pelaksanaan Indikator Pelayanan Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.

Gaffar, La Ode. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. EGC: Jakarta

Gibson, James, L.John M, Ivancevich dan James H. Donnelly, Jr. (1996). Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Binarupa Aksara, Jilid I, Diterjemahkan oleh: Nunuk Adiarni, Edisi Kedelapan, Jakarta.

Gillies. (1994). Nursing Management. Philadhelpia: W.B. Saunders Company.

Harahap, N. (2012). Pengaruh Kepemimpinan dan Komunikasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Ruang Rawat Inap RSUD Kota Padangsidimpuan. Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara: Medan

Kabul, I. (2005). Kepemimpinan Partisipasif dalam Meningkatkan Prestasi Kerja Anggota Organisasi. Jurnal Keuangan dan Perbankan, Th. IX, No 2, Surabaya.

Kron, T. (1981). The Manajement of Patient Care. 4 TH Edition Philadelphia: W.B. Saunders Company

Liliweri, A. (2007). Komunikasi Antar Pribadi. CV Mandar Maju: Bandung

Luthans, F. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi Sepuluh, ANDI: Yogyakarta

Mangkunegara, A.A. Prabu. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia

Perusahaan, Penerbit Rosda Karya: Bandung

Mulyadi. (1997). Akuntansi Manajemen: Konsep, Manfaat dan Rekayasa. (Edisi kedua). Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi, YKPN: Yogyakarta

Nurachmad E. (2001). Asuhan Keperawatan Bermutu di Rumah Sakit. Jakarta: http//www.pdpersi.co.id

Nurahmah, E. (2005). Leadership dalam Keperawatan. Artikel FK UI, Tidak diterbitkan

Nursalam. (2007). Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keperawatan Profesional. Salemba Medika: Jakarta

Rivai V. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta

Robbin, S.P. (2006). Perilaku Organisasi. Jilid I, (Edisi ke-10 terjemahan). PT. Gramedia: Jakarta

Siboro, E.D.S. (2011). Pengaruh Motivasi terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Umum Daerah Perdagangan Kabupaten Simalungun. Tesis

Siregar, H.S. (2009). Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Kemampuan Berkomunikasi Kepala Bidang terhadap Kinerja Pegawai Pelayanan Keperawatan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara: Medan

Simamora, H. (2004). Manajemen Sumber daya Manusia. Edisi III, STIE YPKN: Yogyakarta

Situmorang U.S. (2011). Pengaruh Komunikasi Organisasi Vertikal Ke Bawah, Vertikal Ke Atas dan Horizontal terhadap Kinerja Perawat Pelaksana di Rumah Sakit Bhayangkara Tingkat II Medan. Tesis.

Page 35: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 januari 2015 35

Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat: Universitas Sumatera Utara Medan

Stoner, J. A. F. (1994). Manajemen. Jilid 2. Edisi Ke-5. Alih Bahasa : Wilhelmus W. Bakowatun &

Page 36: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 47

HUBUNGAN MOBILISASI DINI DENGAN PENYEMBUHAN LUKA PASIEN PASCA SECTIO CAESARIA DI RUMAH SAKIT TENTARA

BINJAI

(*) Juliati. Email: Juliati_80 @ yahoo.co.id

ABSTRACT: Sectio Caesaria is a way of delivery of a fetus by making an incision in the wall of the uterus through the front wall of the abdomen or vagina. Mobilization is the ability of individuals to move his limbs. This type of research is descriptive correlation with cross sectional approach that aims to portray how the relationship with the early mobilization patients' recovery post-sectio caesarea in Binjai Army Hospital. The number of sample as many as 30 people. Chi square analysis results between variables early mobilization patients with post-operative wound healing sectio caesarea have a meaningful relationship that is characterized by the value of p <0.05 (p = 0.006) so that Ho refused and Ha accepted that there is a relationship between early mobilization of the patient wound healing post sectio caesarea. Expected to health workers especially nurses to always be able to continue to take care of post-operative patients sectio caesarea in order to accelerate the wound healing process and also sought in the prevention of infection. Keywords: Sectio Caesarea, Early Mobilization

ABSTRAK Sectio Caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut atau vagina. Mobilisasi adalah kemampuan individu dalam menggerakkan anggota tubuhnya. Jenis penelitian ini ialah deskriptif korelasi dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengambarkan bagaimana hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai. Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang. Hasil analisis chi square antara variabel mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca operasi sectio caesarea mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,006) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara mobilisasi dini terhadap penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea.

Page 37: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 48

Diharapkan kepada tenaga kesehatan khusunya perawat agar senantiasa dapat terus menerus melakukan perawatan pada pasien pasca operasi sectio caesarea agar mempercepat proses penyembuhan luka dan turut berupaya dalam pencegahan infeksi. Kata Kunci : Sectio Caesarea, Mobilisasi Dini PENDAHULUAN Latar belakang Sectio Caesarea merupakan kelahiran janin melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen dan uterus. Tindakan insisi pada persalinan Sectio Caesarea ini menyebabkan luka sayat yang harus diperhatikan derajat kesembuhan lukanya karena resiko tinggi terjadi infeksi, rupture uteri dan pendarahan. Salah satu yang berperan dalam penyembuhan luka adalah mobilisasi dini yang dipercaya dan terbukti meningkatkan proses penyembuhan luka. Apabila mobilisasi dini tidak dilakukan sesegera mungkin akan dapat mengaibatkan terjadinya komplikasi yaitu thrombosis dan tromboemboli (Shella Christina dkk, 2012). Sectio Caesarea merupakan prosedur bedah untuk kelahiran janin dengan insisi melalui abdomen dan uterus. Resiko penyebeb bedah harus dipertimbangkan. Pendelegasian yang tidak tepat, fasilitas yang tidak adekuat dan komunikasi yang buruk menjadi penyebab perawatan di bawah standar dan memerlukan perbaikan (Eny Meiliya, 2008). Mobilisasi atau aktivitas adalah kemampuan orang untuk bergerak secara bebas mudah dan teratur untuk mencapai suatu tujuan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan aktivitas (Sujono dkk, 2012). Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana mobilisasi dini pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai.

b. Untuk mengetahui bagaimana penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai.

c. Untuk mengetahui apakah ada hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai.

Manfaat Penelitian Bagi Peneliti Untuk menambah pengetahuan mengenai pengembangan ilmu yang berkaitan dengan asuhan keperawatan pasien dengan masalah kebutuhan dasar mobilisasi. Bagi Institusi Pendidikan Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah kebutuhan dasar mobilisasi yang dapat digunakan acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan. Bagi Perawat Hasil penulisan ini dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan strategi bagi keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah kebutuhan dasar mobilisasi.

Page 38: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 49

METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif corelasional. Rancangan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan pasien pasca sectio caesarea. Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul, 2007). Dalam penelitian ini jumlah sampel yang akan diambil berdasarkan sampel yang ditemui saat di lapangan (accidental sampling) yakni sebanyak 30 orang. Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahian suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2007). Untuk menguji validitas, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Pendapat orang yang ahli diminta pendapatnya mengenai instrumen yang telah disusun (Riduwan, 2007). Setelah dilakukan uji validitas oleh salah seorang dosen keperawatan di STIKes Putra Abadi Langkat Stabat, didapatkan hasil bahwa instrumen penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya. Setelah dilakukan uji validitas instrumen, maka untuk mengetahui tingkat kepercayaan instrumen maka dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun pada waktu yang bebeda (Setiadi, 2007). Menurut Nazir (2009) suatu bagian alat ukur

mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya serta stabil dan dapat dihandalkan jika alat ukur tersebut digunakan berkali-kali maka akan memberikan hasil yang relatif sama. Uji reliabilitas penelitian ini akan dilakukan terhadap responden yang telah memenuhi kriteria sampel peneliti. Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan program SPSS 17.00. Bila dilakukan uji reliabilitas diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,71 maka insrumen dinyatakan reliabel (Polit & Hungler, 2009). Reliabilitas instrumen dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Insani Stabat, dengan pasien yang mengalami operasi section caesarea di rumah sakit tersebut sebagai responden yang berjumlah 15 orang perawat. Hasil reliabilitas instrumen mobilisasi dini yang di dapatkan setelah dilakukan pengolahan data yakni sebesar 0.767 dan instrumen penyembuhan pasca sectio caesarea sebesar 0,718, yang artinya kuesioner telah reliabel. HASIL Berdasarkan dapat dilihat bahwa mobilisasi dini pasien pasca section caesarea mayoritas dilaksanakan oleh pasien dengan kategori efektif yakni sebanyak 23 responden (76,7%) dan minoritas dengan kategori tidak efektif dengan jumlah responden 7 orang (23,3%). Berdasarkan hasil diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kesembuhan luka pasien pasca operasi sectio caesarea mayoritas dapat dikatakan sembuh yakni sebanyak 21 responden (70%) dan terdapat 9 orang responden yang penyembuhan

Page 39: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 50

lukanya tidak sembuh yakni sebanyak 9 responden (30%). Dari hasil tabel silang antara variabel mobilisasi dini yang dilakukan pasien pasca section caesarea dengan penyembuhan operasi pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai , di dapat bahwa mobilisasi dini dengan kategori efektif menghasilkan luka pasca sectio caesarea tergolong sembuh sebanyak 19 orang responden dan tingkat mobilisasi yang tidak efektif menghasilkan keadaan luka pasca operasi yang tidak sembuh juga sebanyak 5 orang responden. Pada analisa bivariat menggunakan uji Chi Square untuk melihat hubungan dan tingkat masing-masing variabel yaitu variabel bebas dianalisis dengan variabel terikat. Hasil analisis antara variabel mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca operasi sectio caesarea mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,006) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara mobilisasi dini terhadap penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai. PEMBAHASAN Mobilisasi Dini Berdasarkan hasil diatas, dapat dilihat bahwa mobilisasi dini pasien pasca sectio caesarea mayoritas dilaksanakan oleh pasien dengan kategori efektif yakni sebanyak 23 responden (76,7%) dan minoritas dengan kategori tidak efektif dengan jumlah responden 7 orang (23,3%).

Mochtar (2007) menyatakan mobilisasi segera secara bertahap sangat berguna untuk kesembuhan pasien. Pada hari kedua pasien dapat didudukkan selama 3 menit dan diminta untuk bernafas dalam-dalam lalu menghembuskannya disertai dengan batuk-batuk kecil yang gunanya untuk melonggarkan pernafasan dan sekaligus menambahkan kepercayaan diri pada penderita bahwa ia mulai sembuh. Kemudian posisi tidur telentang dimulai menjadi setengah duduk (posisi semi fowler). Selanjutnya secara berturut-turut hari demi hari pasien dianjurkan belajar duduk selama satu hari, belajar berjalan dan kemudian belajar sendiri pada hari ke 3 sampai ke 5 pasca bedah. Menurut Kasdu (2008) yang menyatakan bahwa dengan mobilisasi dini diharapkan ibu nifas dapat menjadi lebih sehat dan lebih kuat, selain juga dapat melancarkan pengeluaran lochea, membantu proses penyembuhan luka akibat proses persalinan, mempercepat involusi alat kandungan, melancarkan fungsi alat gastrointestinal dan alat perkemihan serta meningkatkan kelancaran peredaran darah, sehingga mempercepat fungsi air susu ibu (ASI) dan pengeluaran sisa metabolisme. Penyembuhan Luka Post Operasi Sectio Caesarea Berdasarkan Tabel 4.2. diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kesembuhan luka pasien pasca operasi section caesarea mayoritas dapat dikatakan sembuh yakni sebanyak 21 responden (70%) dan terdapat 9 orang responden yang penyembuhan lukanya tidak sembuh yakni sebanyak 9 responden (30%).

Page 40: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 51

Pada penyembuhan luka yang tidak baik dapat dilihat dari terjadinya infeksi pada luka tersebut. Potter dan Perry 2005 menyatakan bahwa Infeksi luka operasi biasanya tidak terjadi sampai hari ke 4 atau ke 5 setelah operasi. Klien mengalami demam, nyeri tekan, dan nyeri pada daerah luka serta jumlah sel darah putih klien meningkat. Tepi luka terlihat mengalami inflamasi. Jika terdapat drainase, maka drainase berbau dan purulen, sehingga menimbulkan warna kuning, hijau, atau coklat tergantung pada jenis organisme penyebab Hubungan Mobilisasi Dini dengan Penyembuhan Luka Pasien Pasca Sectio Caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai Pada analisa bivariat menggunakan uji Chi Square untuk melihat hubungan dan tingkat masing-masing variabel yaitu variabel bebas dianalisis dengan variabel terikat. Hasil analisis antara variabel mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca operasi sectio caesarea mempunyai hubungan yang bermakna yang ditandai dengan nilai p < 0,05 (p = 0,006) sehingga Ho ditolak dan Ha diterima yakni ada hubungan antara mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai Tahun 2015. Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Angriani, dkk (2014), berdasarkan hasil Uji Chi-square (Fisher’s Exact Test) didapatkan nilai P = 0,009, artinya terdapat hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan

penyembuhan luka Post Operasi Sectio Caesarea di RSUD Salewangeng Maros. Menurut asumsi peneliti, mobilisasi dini sangat bermanfaat untuk melancarkan sirkulasi darah, membantu proses pemulihan, mencegah terjadinya infeksi yang timbul karena gangguan pembulu darah balik serta mencegah perdarahan lebih lanjut. Dengan mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko perdarahan yang abnormal dapat dihindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka, Involusi uterus tidak baik, apabila tidak dilakukan mobilisasi secara dini karena dapat menghambat pengeluaran darah dan sisa plasenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus. Salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi kesembuhan luka adalah mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan faktor yang dapat mempercepat pemulihan luka pasien post operasi sectio caesarea dan mencegah komplikasi post operasi Banyak keuntungan yang dapat diraih dari latihan mobilisasi dini di tempat tidur dan berjalan pada periode dini post operasi, mobilisasi dini sangat penting dalam percepatan hari rawat dan mengurangi terjadinya dekubitus, kekakuan atau penegangan otot di seluruh tubuh, gangguan sirkulasi darah dan gangguan peristaltik. Proses penyembuhan luka dikatakan baik apabila tidak ditemukan tanda-tanda infeksi seperti rubor, dolor, kalor, tumor, dan gangguan fungsi laesa. Hal ini sesuai dengan teori Ancheta (2008) menyatakan bahwa mobilisasi secara bertahap sangat berguna untuk

Page 41: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 52

proses penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi serta trombosis vena. Bila terlalu dini melakukan mobilisasi dapat mempengaruhi penyembuhan luka operasi. Jadi mobilisasi secara teratur dan bertahap yang diikuti dengan latihan adalah hal yang paling dianjurkan. Hasil Penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Shella Christina pada tahun 2012 berjudul “Mobilisasi Dini Berhubungan Dengan Peningkatan Kesembuhan Luka Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea” berdasarkan hasil uji Chi-square mendapatkan tingkat kemaknaan 0,014 yang berarti terdapat hubungan mobilisasi dini pasien Post Operasi Sectio Caesarea dengan tingkat kesembuhan luka. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hairul Bariah (2010), tentang efektitas mobilisasi dini terhadap penyembuhan pasien post op sectio caesarea di RSUD Dr. Pirngadi Medan juga mendapatkan hasil bahwa mobilisasi dini efektif terhadap penyembuhan pasien post operasi sectio caesarea khususnya pada penyembuhan luka operasi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Mayoritas mobilisasi dini yang dilakukan pasien dengan turut serta peran perawat di Rumah Sakit Tentara Binjai dapat dikategorikan efektif yakni sebanyak 23 responden (76,7%).

2. Mayoritas keadaan luka pasien pasca operasi sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai dapat dikategorikan sembuh yakni sebanyak 21 responden (70%).

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara mobilisasi dini dengan penyembuhan luka pasien pasca sectio caesarea di Rumah Sakit Tentara Binjai 01.07.02 ditandai dengan nilai p value = 0,006.

Saran

1 Bagi Penelitian Keperawatan Kiranya hasil penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian selanjutnya dan diharapkan dapat menjadi tambahan referensi serta menambah pengetahuan mengenai adanya mobilisasi dini yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka terhadap pasien post operasi sectio caesarea.

2 Bagi Tenaga Kesehatan Diharapkan kepada tenaga kesehatan khusunya perawat agar senantiasa dapat terus menerus melakukan perawatan pada pasien pasca operasi sectio caesarea agar mempercepat proses penyembuhan luka dan turut berupaya dalam pencegahan infeksi.

3. Bagi Rumah Sakit penelitian ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk melakukan mobilisasi dini tetap karena berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka. Maka diharapkan kepada Rumah Sakit Tentara Binjai untuk membuat Standar Operasional Prosedur mengenai aktivitas mobilisasi dini pada pasien pasca sectio caesarea khususnya.

Page 42: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 53

DAFTAR PUSTAKA Alimul, A. Aziz. (2007). Riset

Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

Arikunto, Suharsimi. (2007). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi Enam. Jakarta: Rineka Cipta.

________. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek Edisi Revisi Enam. Jakarta: Rineka Cipta. Bariah, Khairul. (2010). Efektivitas

Mobilisasi Dini Terhadap Penyembuhan Pasien Pasca Sectio Caesarea Di RSUD Dr. Pirngadi Medan. Diambil pada http://repository.usu.ac.id tanggal 13 Maret 2013.

Bobak. (2008). Buku Ajar Keperawatan

Maternitas. Edisi 4. Jakarta : EGC dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hidayat, A & Uliyah, M. (2009).

Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan. Edisi Pertama. Jakarta : Salemba Medika

Jitowiyono, S. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operasi Pendekatan Nanda, NIC, NOC. Yogyakarta: Nuha Medika

Kasdu, Dini. (2008). Operasi Caesar Masalah dan Solusinya. Jakarta: Puspa Swara.

Lubis, Hidayat. (2014). Pengantar

Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2012). Direktorat Bina Kesehatan Ibu Akan Lakukan Assessment Kualitas Pelayanan Kesehatan Ibu di 20 Kabupaten/Kota. Diambil di www.depkes.go.id pada tanggal 25 Februari 2013.

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN CAMPAK PADA

BALITA DI PUSKESMAS PANTAI CERMIN KECAMATAN TANJUNG PURA KABUPATEN LANGKAT

Siskawati Amri : E-mail: [email protected]

ABSTRACT Measles is a highly contagious acute disease caused by the measles virus usually attacks children with mild to moderate degree . Around 30,000 Indonesian children die each year from complications of measles . In Langkat in the region of the sub-district health centers mirror the coast of Tanjung Pura measles cases found as many as 30 people ( 3.27 % ) / 275 toddlers . Achievement of Universal Child Immunization Village ( UCI ) sub-district health centers mirror the coast of Tanjung Pura Langkat in 2013 by 90 % . Factors associated with the incidence of measles is immunization status of measles and vitamin A. This study aims to determine the

Page 43: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 54

factors associated with the incidence of measles in infants in public health centers Mirror Beach Tanjung Pura Langkat 2013. Kind of research is observational analytic by using a case study design control . The population in this study is that written toddler in public health centers Tanjung Pura Langkat year 2012 so much 275 people . Samples of 90 toddlers using the total sample of this study the incidence of measles cases as many as 30 toddlers and 60 control toddler in the ratio 1: 2. The result showed that there was not relationship status for measles immunization with measles incidence in infants p value 0.11, was not relationship association vitamin A with measles incidence in infants p value 0.096. Langkat District Health Office in order to improve the public health promotion Langkat especially in working areas of existing health centers in Langkat Measles Immunization Campaign through the implementation of programs such as measles in children aged 9 months and vitamin A. Keywords : Measles Immunization Status , Vitamin A , Measles Genesis Toddler

ABSTRAK Campak adalah suatu penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh virus Campak biasanya menyerang anak anak dengan derajat ringan sampai sedang. Sekitar 30.000 anak Indonesia meninggal tiap tahun karena komplikasi campak. Di Kabupaten Langkat di wilayah kerja puskesmas pantai cermin kecamatan Tanjung Pura kasus campak ditemukan sebanyak 30 orang (3,27%) per 275 balita. Pencapaian Desa Universal child immunization (UCI) puskesmas pantai cermin kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat Tahun 2013 sebesar 90%. Faktor yang berhubungan dengan kejadian campak adalah status imunisasi campak dan pemberian vitamin A. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian campak pada balita di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat 2013. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol. Populasi dalam penelitian ini adalah balita yang tercatat di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2012 sebanyak 275 orang. Sampel penelitian ini sebanyak 90 balita menggunakan total sampel kasus campak 30 balita dan 60 kontrol balita dengan perbandingan 1:2. Hasil penelitian diperoleh bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita dengan nilai p value 0,11, tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak pada balita dengan nilai p value 0,096. Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat agar dapat meningkatkan promosi kesehatan kepada masyarakat Kabupaten Langkat terutama di Wilayah Kerja Puskesmas yang ada di Kabupaten Langkat melalui Kampanye Imunisasi Campak seperti pelaksanaan program campak pada anak usia 9 bulan dan pemberian kapsul vitamin A.

Page 44: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 55

Kata Kunci : Status Imunisasi Campak, Vitamin A, Kejadian Campak Balita PENDAHULUAN Latar Belakang Perbaikan kualitas manusia di suatu negara dijabarkan secara Internasional dalam Millenium Development Goal (MDG’s). Salah satu tujuan MDG’s adalah menurunkan 2/3 angka kematian anak di bawah usia lima tahun dari tahun 1990 sampai 2015. Indikator yang digunakan terkait hal tersebut adalah angka kematian balita, angka kematian bayi dan cakupan pencapaian imunisasi campak pada anak di bawah 1 tahun (United Nations Development Programme/UNDP, 2008). Campak adalah salah satu penyakit infeksi menular yang sering menyerang anak-anak yang angka kejadiannya cukup tinggi didunia. Campak merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus RNA dari family Paramixiviridae, genus Morbilivirus. Penyakit ini dapat terjadi ketika seseorang yang daya tahan tubuhnya menurun menghirup percikan yang mengandung virus dari secret nasofaring pasien (Octavia, 2011) Di seluruh dunia diperkirakan terjadi penurunan 56% kasus campak yang dilaporkan yaitu 373.421 kasus pada tahun 2000 menjadi 352.937 kasus pada tahun 2006. Jumlah laporan kasus campak di South East Asia Region (SEARO) meningkat dari 78.574 kasus pada tahun 2000 menjadi 94.562 pada tahun 2006, ini disebabkan karena adanya peningkatan surveleins campak di Indonesia dan India (Depkes, 2008).

Sebagai perbandingan di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura merupakan salah satu Puskesmas di Kabupaten Langkat yang mencapai Universal Child Immunization (UCI) dengan cakupan 90%. Cakupan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuwono dan Lubis (1987) di Kabupaten Kuningan bahwa cakupan lebih dari 90% anak-anak yang kebal terhadap campak hanya 29,8%. Hasil penelitian ini sesuai kenyataan bahwa walaupun Kabupaten Langkat khususnya Kecamatan Tanjung Pura telah mencapai Universal Child Immunization (UCI) namun masih saja terjadi kejadian campak. Penyakit ini disebabkan oleh virus campak dari family Paramyxovirus, genus Morbillivirus. Virus campak adalah virus RNA yang dikenal hanya mempunyai satu antigen. Struktur virus ini mirip dengan virus penyebab parotis epidemis dan parainfluenza. Setelah timbulnya ruam kulit, virus aktif dapat ditemukan pada secret nasofaring, darah dan air kencing dalam waktu sekitar 34 jam pada suhu kamar. Virus campak dapat bertahan selama beberapa hari pada temperature 0 derajat celcius dan selama 15 minggu pada sediaan beku. Diluar tubuh manusia virus ini mudah mati. Pada suhu kamar sekalipun, virus ini akan kehilangan infektivitasnya sekitar 60% selama 3-5 hari. Virus campak mudah hancur oleh sinar ultraviolet. (Widoyono, 2011).

1

Page 45: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 55

Pertanyaan Penelitian “Apakah faktor yang berhubungan dengan kejadian campak pada balita di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2013”. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol yang bertujuan untuk mengetahui hubungan status imunisasi campak dan pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak. Kelompok kasus meliputi balita yang menderita campak, sedangkan kelompok kontrol meliputi balita yang tidak menderita campak. Populasi dalam penelitian ini adalah balita berusia 10-59 bulan yang terdaftar di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2012 sebanyak 275 orang Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampel kasus campak yang ada di Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat tahun 2012 sebanyak 30 orang untuk kasus dan 60 orang untuk kontrol. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang digunakan hanya analisa univariat dan bivariat. Analisis Univariat Karakteristik Balita Berdasarkan tabel menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki pada kelompok

kasus terdapat 21,1 % dan 40,0 % dari kelompok kontrol, sedangkan jenis kelamin perempuan pada kelompok kasus terdapat 12,2 % dan 26,7 % dari kelompok kontrol. Dilihat dari umur pada kelompok kasus mayoritas umur balita 10-20 bulan terdapat 11,1 % sedangkan pada kelompok kontrol mayoritas umur balita 10-20 bulan terdapat 20,0 %. Status Imunisasi Campak Bahwa pada kelompok kasus balita yang mendapat imunisasi campak terdapat 27,7 %, balita yang tidak mendapat imunisasi campak terdapat 5,6 %. Sedangkan pada kelompok kontrol, balita yang mendapat imunisasi campak terdapat 63,4 %, balita yang tidak mendapat imunisasi campak terdapat 3,3 %. Pemberian Kapsul Vitamin A Bahwa pada kelompok kasus balita yang mendapat kapsul vitamin A terdapat 25,5 % dan balita yang tidak mendapat kapsul vitamin A terdapat 7,8%. Sedangkan pada kelompok kontrol balita yang mendapat vitamin A terdapat 61,1 % dan balita yang tidak mendapat kapsul vitamin A terdapat 5,6 %. Analisis Bivariat Hubungan Status Imunisasi Campak Dengan Kejadian Campak Pada Balita Bahwa pada balita yang mendapat imunisasi campak terdapat 83,3 % kelompok kasus dan 95,0 % kelompok kontrol. Sedangkan yang tidak mendapat imunisasi campak terdapat 16,7 % kelompok kasus dan 5,0 % kelompok kontrol. Hasil uji statistik diperoleh nilai

Page 46: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 56

p value 0,11 dimana nilai P > 0,05 (CI 95%) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita. Hubungan Pemberian Kapsul Vitamin A Dengan Kejadian Campak Pada Balita Bahwa pada balita yang mendapat kapsul vitamin A terdapat 76,7 % kelompok kasus dan 91,7 % kelompok kontrol. Sedangkan yang tidak mendapat kapsul vitamin A terdapat 23,3 % kelompok kasus dan 8,3 % kelompok kontrol. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,096 dimana nilai P > 0,05 (CI 95%) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak pada balita. PEMBAHASAN Pada saat penelitian tidak luput dari keterbatasan penelitian. Adapun keterbatasan penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kemungkinan ada faktor lain diantaranya status gizi balita dan kontak langsung terhadap campak yang tidak diprediksi tetapi justru berpengaruh besar terhadap penyakit campak.

2. Variabel yang diteliti terbatas. Hubungan Status Imunisasi Campak Dengan Kejadian Campak Pada Balita Berdasarkan hasil penelitian bahwa pada balita yang mendapat imunisasi campak terdapat 83, 3 % kelompok kasus dan 95, 5 % kelompok kontrol. Sedangkan yang

tidak mendapat imunisasi campak terdapat 16,7 % kelompok kasus dan 5,0 % kelompok kontrol. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0, 11 dimana nilai P > 0,05 (CI 95%) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita. Pada penelitian ini status imunisasi campak dengan kejadian campak tidak berhubungan signifikan secara statistik, namun balita yang telah mendapat imunisasi campak baik yang kasus maupun kontrol yaitu 91,1 %. Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Depkes (2008), bahwa walaupun cakupan imunisasi cukup tinggi, kejadian campak mungkin saja masih akan terjadi yang diantaranya disebabkan adanya akumulasi anak-anak yang rentan terhadap campak dan ada sebagian anak yang tidak terbentuk imunitasnya. Kegagalan imunisasi dapat disebabkan oleh adanya balita yang mendapat kekebalan yang dibawa sejak lahir yang berasal dari antibodi ibu dan antibodi itu akan menetralisasi vaksin yang diberikan. Selain itu kegagalan imunisasi juga bisa terjadi karena kerusakan vaksin akibat penyimpanan, pengangkutan atau penggunaan diluar pedoman karena seharusnya vaksin disimpan dilemari es pada suhu antara + 2 0 C sampai + 80 C dan lebih baik - 200 C. Penelitian di Gweru, Zimbabwe menunjukkan bahwa risiko terjadinya komplikasi pada anak balita penderita campak lebih tinggi pada anak yang tidak divaksinasi campak. Vaksinasi campak sangat melindungi terhadap terjadinya komplikasi pada penderita campak (Marufu, 2001). Oleh sebab itu

Page 47: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 57

perlu dilakukan imunisasi campak lanjutan pada usia 5 - 7 tahun yaitu bulan imunisasi anak sekolah (BIAS) supaya anak terhindar dari penyakit campak karena penyebab kematian pada penyakit campak bukan karena penyakit campaknya sendiri melainkan karena komplikasi dan radang otak/ paru-paru (Widoyono, 2011). Hubungan Pemberian Kapsul Vitamin A Dengan Kejadian Campak Pada Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mendapat kapsul vitamin A terdapat 76,7 % kelompok kasus dan 91,7 % kelompok kontrol. Sedangkan yang tidak mendapat kapsul vitamin A terdapat 23,3 % kelompok kasus dan 8,3 % kelompok kontrol. Hasil uji statistik diperoleh nilai p value 0,096 dimana nilai P > 0,05 (CI 95%) artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak pada balita. Pada penelitian ini pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak secara statistik tidak berhubungan signifikan, namun balita yang telah mendapat kapsul vitamin A yaitu 86,6 %. Menurut Sommer (2004), vitamin A atau retinol adalah suatu substansi yang larut dalam lemak dan terdapat pada hati (terutama hati ikan) dan pada kuning telur serta produk susu. Program imunisasi campak menganjurkan pemberian kapsul vitamin A, karena infeksi campak juga dikaitkan dengan penurunan kadar vitamin A, dan rendahnya kadar vitamin A dikaitkan dengan peningkatan mortalitas anak. Anak yang kekurangan vitamin A akan

mengalami gangguan respon imun saat imunisasi, dan menunjukkan sel T yang abnormal yang mengacu kelainan imunodefesiensi. Pada penelitian ini perlu dilakukan pemberian kapsul vitamin A lanjutan yang diadakan pada bulan Februari dan Agustus di Puskesmas, karena seharusnya balita mendapat kapsul vitamin A sebanyak 9 kali sampai balita berusia 5 tahun. Balita mendapat vitamin A sejak usia 6-11 bulan sebanyak 1 kali, dan dilanjutkan pada usia 12-59 bulan sebanyak 8 kali KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Tidak ada hubungan signifikan antara status imunisasi campak dengan kejadian campak pada balita dengan nilai p value 0,11.

2. Tidak ada hubungan signifikan antara pemberian kapsul vitamin A dengan kejadian campak pada balita dengan nilai p value 0,09.

SARAN 1. Bagi Kepala Dinas Kesehatan

Kabupaten Langkat Kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat agar dapat meningkatkan promosi kesehatan kepada masyarakat Kabupaten Langkat terutama di wilayah kerja Puskesmas yang ada di Kabupaten Langkat melalui kampanye imunisasi campak seperti pelaksanaan program campak pada anak usia 9 bulan dan dilanjutkan dengan program Bulan

Page 48: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 58

Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) usia 5-7 tahun. 2. Bagi Kepala Puskesmas Pantai

Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kepada Kepala Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura agar memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang penyakit campak, pemberian imunisasi campak dan pemberian kapsul vitamin A untuk balita.

3. Bagi ibu balita Agar tetap membawakan balitanya untuk imunisasi campak lanjutan dengan program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) usia 5-7 tahun dan memberikan balita kapsul vitamin A sampai balita berusia 5 tahun dan memberikan balita makanan yang mengandung gizi tinggi kalori dan tinggi protein serta mengandung vitamin A.

4. Bagi peneliti selanjutnya Di sarankan bagi peneliti selanjutnya agar dapat menambahkan variabel-variabel lain yang terkait dengan kejadian campak serta dalam melakukan pengumpulan data sebaiknya dengan menggunakan data sekunder dan data primer. DAFTAR RUJUKAN Achmadi Umar Fahmi, 2011. Dasar-

dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

_____, 2012. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Arisman, 2009. Gizi dalam Daur

Kehidupan. Buku ajar ilmu gizi buku kedokteran, EGC. Jakarta.

Casaeri, 2003. Faktor-faktor Risiko

Kejadian Penyakit Campak di Kabupaten Kendal Tahun 2002. Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Di Ponegoro, Semarang.

Depkes RI, 2000. Petunjuk Pelaksanaan

Program Imunisasi, Jakarta. _____RI, 2008. Petunjuk Surveilans Campak, Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta. _____RI, 2004. Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit), Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta. _____RI, 2009. Panduan Manajemen Suplementasi Vitamin A. Direktoral jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Dian, Ginanjar, Nurani. 2011.

Gambaran Epidemiologi kasus campak di kota Cirebon (studi kasus data surveilans epidemiologi campak didinas kesehatan kota Cirebon). Jurnal Kesehatan Masyarakat volume 1 nomer 2012, halaman 293-304.

57

Page 49: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 59

Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat (2012). Data Surveilans Kejadian Campak di Kabupaten Langkat.

Duski, 2001. Hubungan status

imunisasi campak dengan kejadian campak pada anak usia dibawah 5 tahun saat peristiwa KLB campak di Desa Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2000. Tesis Program Studi Epidemiologi Program Pasca Sarjana UI, Jakarta.

Gibney Michael J.dkk, 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Hartono A, penerjemah Penerbit Buku Kedokteran EGC terjemahan dari Public Health Nutrition. Jakarta.

Hadinegoro Sri Rezeki S,dkk, 2011.

Pedoman Imunisasi di Indonesia, edisi 4 Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Hadinegoro, 2011. Panduan Imunisasi

anak mencegah lebih baik daripada mengobati. edisi 1 Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Handini Myrnawati Crie, 2012.

Metodologi Penelitian Untuk Pemula. FIP Press, Jakarta.

Hendarto, (2004). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian Campak di Puskesmas Kecamatan Ngaringan Kabupaten Groboan 2003.

I Made Suardiyasa, 2008. Faktor-faktor

Resiko Kejadian Penyakit Campak Pada Anak Balita Di

Kabupaten Tolitoli Propinsi Sulawesi Tengah, Universitas Gajah Mada 2010.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, (2010)

Satgas imunisasi, Pedoman Imunisasi di Indonesia, Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.

Iswandi, (2002). Faktor-faktor yang

berhubungan dengan kejadian campak pada anak usia 9-59 bulan di PT Musim Mas Kecamatan Pangkalan Lesung Kabupaten Pelalawan Tahun 2002. Tesis FKM Universitas Indonesia. Jakarta.

Lisnawati Lilis, 2011. Generasi Sehat

Melalui Imunisasi, cetakan I CV.Trans Info Media, Jakarta.

Marniasih Wulan dkk, 2012. Faktor-

faktor yang berhubungan dengan Kejadian Campak di Wilayah Kerja Puskesmas Natar Lampung Selatan Tahun 2012. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Bandar Lampung.

Mariati, 2012. Hubungan status

imunisasi dan ketepatan imunisasi campak dengan kejadian penyakit campak di Kabupaten Banyumas. Program Pasca Sarjana Fakultas Kedokteran Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM, Yogyakarta.

Page 50: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 60

Mitayani,Sartika Wiwi, 2010. Buku Saku Ilmu Gizi, cetakan pertama CV.Trans Info Media, Jakarta.

Micawati Trierly Wahyu. 2010,

Hubungan status imunisasi campak dan pemberian kapsul vitamin A pada penderita campak saat KLB campak tahun 2010. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR, Surabaya.

Meilani, Budiati, 2013. Faktor-faktor

yang Mempengaruhi Kejadian Campak DiPuskesmas Purwosari Kabupaten Kudus. Jurnal Keperawatan Dan Kesehatan Masyarakat Cendekia Utama, Vol 2, No 1.

Octavia, Roebijoso, Ratnawati, 2011.

Profil Penderita Campak serta Faktor-Faktor Resiko Kejadiaan Campak Di wilayah Kerja Puskesmas Gribig.

Padri Salma, 2001. Faktor social

ekonomi yang berhubungan dengan terjadinya campak pada balita di kabupaten Serang tahun 2000. Buletin Penelitian Kesehatan, 29 (1) 2001.

Proverawati Atikah& Andhini citra setyo

dwi, 2010. Imunisasi dan vaksinasi, edisi I Nuha Medika, Yogyakarta.

Pudjianto S, 2003. Ilmu Gizi Klinis Pada

Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Purnomo, 1996. Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan terhadap Kejadian Campak pada Anak Usia 12-24 bulan di Kota Madya Jakarta Selatan Tahun. Badan Penelitian dan pengembangan Kesehatan.

Raharjo Kukuh dan Marmi, 2012.

Asuhan Neonatus Bayi,Balita dan anak prasekolah. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Riduwan, 2010. Skala Pengukuran

Variabel-variabel Penelitian. Alfabeta, Bandung.

Santoso Soegeng, Ranti Anne Lies,

2009. Kesehatan dan Gizi, cetakan kedua PT Asdi Mahasatya, Jakarta.

Sediaoetama Achmad Djaeni, 2004. Ilmu

Gizi, Dian Rakyat,Jakarta. Semba, Richard D. 2002. Vitamin A,

Infection and Immun Function dalam Nutrition and Immune Function. USA.

Setiawan, I. M.(2008) Penyakit Campak,

Sagung Seto. Jakarta. Setijowati Nanik, (2011). Hubungan

antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Imunisasi Campak, Status imunisasi, dan Status gizi Balita terhadap Kejadian Campak di Puskesmas Lekok. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.

Page 51: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 61

Somer Alfred, 2004. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya Panduan Lapangan untuk Deteksi dan Pengawasan, edisi 3 EGC, Jakarta.

Suardiyasa, 2008. Faktor-faktor resiko

utama menimbulkan kejadian campak pada anak umur 9 bulan- 6 tahun pada saat kejadian luar biasa (KLB) di Kabupaten Bogor Tahun 2002.

Widoyono, 2011. Penyakit Tropis

Epidemiologi Penularan Pencegahan & Pemberantasan. edisi 2 Gelora Aksara Pratama Erlangga, Jakarta.

Yuwono, D (1987). Efektifitas Imunisasi

Campak dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya Sukabumi dan Kuningan Propinsi Jawa Barat, Laporan PTM Litbang Kesehatan RI.

Page 52: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 62

Page 53: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 63

Page 54: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 64

Page 55: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 65

Page 56: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 66

Page 57: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 67

Page 58: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 68

Page 59: FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN TIDUR …suryanusantara.ac.id/images/ptasn/papers/Akper-Vol-1-No.-5-tahun... · Identifikasi masalah adalah berapa jumlah lansia di UPT yang mengalami

Jurkessutra (Jurnal Kesehatan Surya Nusantara)

Vol. 1 No 05 Januari 2015 69